ANALISA SALIVA SEBAGAI PREDIKSI FAKTOR RISIKO KARIES Disusun guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Manajemen Pelayanan Asuhan Klinik Semester 7 Dosen Pengampu : drg. Irma HY Siregar, MHKes Disusun Oleh : Melati Maharsalima Pamela Putri P17425213016 Semester 7 PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN GIGI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut yang tidak mendapat perhatian dengan baik akan menimbulkan kerusakan gigi, salah satunya adalah karies gigi. Karies gigi merupakan permasalahan yang sering dijumpai di rongga mulut. Karies gigi menjadi permasalahan tinggi dan paling umum di negara berkembang. Hampir seluruh penduduk di dunia pernah mengalami karies dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Karies gigi yang tidak ditangani dengan baik dapat menurunkan produktifitas dan menjadi sumber infeksi lokal maupun sistemik (Hervina, 2014). Karies gigi merupakan demineralisasi jaringan keras gigi yang terjadi secara multifaktor. Multifaktor penyebab karies antara lain interaksi antara gigi dan saliva sebagai host, bakteri normal dalam rongga mulut (agent), makanan terutama karbohidrat yang mudah difermentasikan menjadi asam melalui proses glikolisis (environment), serta dalam jangka waktu lama (time). Asam yang terbentuk pada proses glikolisis dapat menurunkan pH saliva, pH plak, dan pH cairan sekitar gigi sehingga terjadi demineralisasi gigi. Demineralisasi terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan suasana rongga mulut yang dapat terdeteksi melalui pemeriksaan parameter saliva (Suryadinata, 2012). Peran saliva dalam rongga mulut sangatlah penting, tidak hanya dalam proses terjadinya karies namun juga dalam proses remineralisasi gigi. Sekresi saliva yang memadai dan keseimbangan komposisi saliva sangat penting dalam mempertahankan kesehatan rongga mulut. Saliva melumasi dan mempertahankan rongga mulut dari iritasi faktor mekanis, termal dan kimia. Aliran saliva memiliki peran sebagai pembersih rongga mulut dapat mengangkat gula, asam dan bakteri. Kandungan elektrolit saliva, kalsium, fosfat dan fluoride berperan dalam proses remineralisasi gigi. Kadar bikarbonat, fosfat dan urea pada saliva berfungsi dalam mempertahankan kapasitas buffer rongga mulut (Gopinath dan Arzreanne, 2006; Hurlbutt dkk., 2010). Saliva selain berfungsi dalam mempertahankan kapasitas buffer rongga mulut, juga menjadi penentu/faktor risiko karies. Analisa saliva merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memprediksi kerentanan gigi individu akan mengalami karies gigi. Analisa saliva dapat dilakukan dengan menggunakan analisa saliva istirahat dan analisa saliva terstimuli. Dengan menganalisis saliva, dapat memperoleh informasi yang sangat penting mengenai tingkat sekresi serta kapasitas buffering dan jumlah bakteri dalam rongga mulut (Putri, dkk, 2010). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana analisa saliva dapat menentukan/memprediksi kerentanan gigi individu akan mengalami karies (faktor risiko karies). B. Rumusan Masalah Berdasar latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana analisa saliva dapat menjadi faktor penentu terjadinya risiko karies?” C. Tujuan 1. Untuk mengetahui saliva sebagai salah satu faktor terjadinya karies. 2. Untuk mengetahui cara melakukan analisa saliva dengan cara analisa saliva istirahat. 3. Untuk mengetahui cara melakukan analisa saliva dengan cara analisa saliva terstimuli. BAB II PEMBAHASAN A. Karies Karies gigi merupakan salah satu penyakit infeksi jaringan keras gigi yang paling sering dan umum terjadi di seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelompok ekonomi dan usia. Karies gigi didefinisikan sebagai suatu penyakit mikrobiologi pada jaringan keras gigi yang ditandai dengan terjadinya demineralisasi bagian anorganik dan penghancuran dari substansi organik yang dapat menyebabkan rasa nyeri (Senawa, dkk, 2015). Karies disebabkan oleh empat faktor utama yaitu faktor host yang meliputi gigi dan saliva, mikroorganisme, substrat serta waktu sebagai faktor tambahan.Selain itu ada beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap karies gigi, antara lain riwayat dental sebelumnya, jenis kelamin, diet atau pola makan, oral hygiene, sosial ekonomi dan lain-lain (Kidd EAM, 1991 dalam Senawa, 20115). Faktor-faktor tersebut bekerja bersama dan saling mendukung satu sama lain. Bakteri plak akan memfermentasikan karbohidrat (misalnya sukrosa) dan menghasilkan asam, sehingga menyebabkan pH plak akan turun dalam waktu 1–3 menit sampai pH 4,5–-5,0 (Soesilo,dkk, 2005). B. Saliva Saliva adalah suatu cairan oral yang kompleks yang terdiri atas campuran sekresi dari kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral (Edwina dan Sally, 1992). Sistem organ saliva terdiri dari tiga pasang kelenjar mayor: submandibular (SMG), parotid, Sublingual (SLG), yang bersama-sama memproduksi lebih dai 90% saliva, sebaik kelenjar minor melapisi rongga mulut. (Sarah dan Hoffman, 2008). Saliva yang terbentuk di rongga mulut, sekitar 90%dihaslkan oleh kelenjar submaksiler dan kelenjaar parotis, sekitar 5% oleh kelenjar sublingual dan 5% lagi oleh kelenja-kelenjar ludah yang kecil. Sebagian besar saliva ini dihasilkan pada saat makan, sebagai reaksi atas rangsang yang berupa pengecap dan pengunyahan makanan. Walaupun saliva membantu pencernaan dan penelanan makanan, dan diperlukan bagi pengoptimalan fungsi alat pengecap, perannya yang paling penting adalah untuk mempertahankan integritas gigi, lidah, dan membran mukosa daerah oral dan orofaring. Menurut Edwina dan Sally dalam bukunya yang berjudul Essential of Dental Caries the Disease and its Management menuturkan cara perlindungan yang dilakukan saliva bisa berupa : a. Membentuk lapisan mukus pelindung pada membran mukosa yang akan bertindak sebagai barier terhadap iritan dan akan mencegah kekeringan. b. Membantu membersihkan mulut dari makanan, debris sel, dan bakteri yang akhirnya akan menghambat pembentukan plak. c. Mengatur pH rongga mulut karena mengandung bikarbonat, fosfat, dan protein amfoter. Peningkatan kecepatan sekresinya biasanya berakibat pada peningkatan pH dan kapasitas buffernya. Oleh karena itu, membrana mukosa akan terlindung dari asam yang ada pada makanan dan pada waktu muntah. d. Membantu menjaga integritas gigi dengan berbagai cara karena kandungan kalsium dan fosfatnya. Pelarutan gigi dihindari atau dihambat, dan mineralisasi dirangsang dengan memperbanyak aliran saliva. Lapisan gluko protein yang terbentuk oleh saliva pada permukaan gigi(acquired pellicle) yang akan melindungi gigi dengan menghambat keausan karena abrasi atau erosi. e. Mampu melakukan aktivasi anti bakteri dan antivirus karena salliva mengandung antibodi spesifik (secretory IgA) juga mengandung lactoferin dan laktoperoksidase. Saliva dalam rongga mulut bisa berada dalam keadaan tidak terstimulasi atau dalam keadaan terstimulasi. Saliva tidak terstimulasi merupakan saliva yang disekresikan ke dalam rongga mulut tanpa adanya rangsangan luar, sedangkan saliva terstimulasi merupakan saliva yang disekresikan karena adanya respon terhadap rangsangan luar seperti rangsang mekanik dan kimia. Jumlah keseluruhan saliva dalam rongga mulut merupakan gabungan cairan dari kelenjar liur, gingival fold, transudat mukosa mulut, cairan mukus rongga hidung dan faring, bakteri mulut, sisa makanan, epitel deskuamasi, sel darah, serta bahan kimia obat (Almeida dkk., 2008). Volume saliva dipengaruhi oleh banyak hal dan dalam waktu 24 jam volume saliva sekitar 1000 – 1500 ml. Pada waktu tidur volume saliva paling banyak 0,1 ml/menit. Pada waktu terjaga dan tidak ada rangsangan volumenya sekitar 0,3 ml/menit, tetapi pada waktu mengunyah makanan volume akan meningkat menjadi 4 ml/menit (Hofman, 2001 dalam Supartinah, 2003). Pada umur dewasa apabila dalam keadaan terjaga dan tidak ada rangsangan maka volume saliva < 0,1 ml/menit dan bila ada rangsangan volumenya < 0,7 ml/menit, sedangkan pada umur muda bila tidak ada rangsangan volume saliva < 0,32 ml/menit dan bila ada rangsangan < 1,6 ml/menit, ini berarti sangat rendah dan perlu diwaspadai (Almstahl dan Wikstrom, 1999 dalam Supartinah, 2003). Saliva sangat berperan dalam proses terjadinya karies. Kekurangan saliva dapat menyebabkan mulut kering yang akan mengalami peningkatan proses karies gigi, infeksi candida dan gingivitis. Sekresi atau volume yang besar, viskositas yang lebih rendah (lebih encer sehingga aliran lebih lancar), serta pH saliva yang tidak begitu asam, semestinya penyakit rongga mulut akan lebih mudah dikontrol. Penentuan aktivitas karies pada individu dapat dilakukan melalui penilaian risiko karies. Salah satu tujuan dilakukan penilaian risiko karies ialah untuk membantu mengidentifikasi faktor yang berperan pada karies tersebut sehingga membantu memprediksi kerentanan seseorang terhadap karies saat ini atau karies yang akan datang (Senawa, 2015). C. Analisa Saliva Analisa saliva merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memprediksi kerentanan gigi individu akan mengalami karies gigi. Untuk melakukan analisa saliva dapat dilakukan dengan cara analisa saliva istirahat dan analisa saliva terstimuli/terrangsang. 1. Analisa Saliva Istirahat Pengukuran yang dilakukan pada saliva dalam keadaan tidak terstimulasi / istirahat (Analisa Saliva Istirahat) menunjukkan seberapa besar saliva yang disekresi secara konstan untuk melindungi dan melapisi rongga mulut, diantaranya yaitu : a. Hydrasi Saliva / Laju Aliran Saliva Dapat diukur dengan melihat timbulnya saliva pada mukosa bibir bawah. Hidrasi saliva dilakukan dengan cara menarik bibir bawah, lalu mengeringkan mukosa labial dengan kapas steril secara hati- hati, mukosa diperiksa dibawah sinar yang memadai, selanjutnya mengamati butiran saliva yang keluar dari muara glandula minor, apabila waktu keluarnya kurang dari 60 detik maka hidrasi saliva istirahat dikategorikan nomal. Jika waktu keluarnya saliva lebih dari 60 detik maka hidrasi saliva tergolong rendah. Berdasarkan penelitian Senawa, Wowor dan Juliatri, penilaian risiko karies berdasarkan pemeriksaan aliran saliva dapat dikriteriakan sebagai berikut : Risiko karies rendah, bila aliran saliva cepat (>60 detik) Risiko karies sedang, bila aliran saliva normal (30 – 60 detik) Risiko karies tinggi, bila aliran saliva lambat (<60 detik) b. Viskositas Saliva Pengukuran viskositas saliva dilakukan untuk mengukur konsistensi/kekentalan saliva. Untuk pemeriksaan viskositas saliva dilakukan dengan cara, posisi klien tegak lurus terhadap lantai. Pengumpulan saliva dilakukan pada pukul 12.00 – 16.00 WIB, 2 jam sesudah makan terakhir. Selanjutnya klien diminta untuk mengumpulkan salivanya di dalam rongga mulut tanpa stimulasi, dan diminta untuk meludahkan saliva ke dalam cawan pot saliva dengan cara menundukkan kepalanya (Indriana, 2011). Kemudian cawan pot yang berisi saliva tersebut dimiringkan untuk melihat konsistensi dari saliva tersebut. Kriteria kekentalan saliva : Encer, apabila saliva terlihat bening, cair, tidak berbusa, dan bila gelas dimiringkan, saliva langsung mengalir cepat seperti air. Normal, apabila saliva terlihat putih, berbusa, dan bila gelas dimiringkan, saliva mengalir perlahan. Kental : Lengket, putih, berbusa, bila gelas dimiringkan hampir tidak mengalir. 2. Analisa Saliva Terstimuli (Stimulated Saliva) Saliva terstimuli merupakan saliva yang diproduksi karena adanya rangsangan. Pengukuran analisa saliva terstimuli dilakukan dengan melakukan perhitungan kuantitas saliva ketika mendapat rangsangan dengan menggunakan sepotong wax dan pemeriksaan kapasitas buffer. a. Kuantitas saliva (Quantity Saliva) Pemeriksaan kuantitas saliva dapat dilakukan dengan cara : Klien diminta untuk mengunyah sepotong wax/xylitol, setelah 30 detik kemudian instruksikan klien untuk meludah dalam cawan. Pada saat klien meludah, wax/xylitol yang dikunyah diambil terlebih dahulu. Kemudian klien melanjutkan mengunyah selama 5 menit lalu meludah lagi ke dalam cawan. Selama 5 menit, klien diperbolehkan untuk meludah 2 kali saja. Hal ini dilakukan untuk mencegah saliva tertelan. Selanjutnya melihat kuantitas saliva dengan memeriksa jumlah saliva yang terdapat dalam cawan. Kuantitas saliva dikatakan normal apabila jumlah saliva lebih dari 5 ml. Kuantitas saliva dikatakan rendah apabila jumlah saliva dalam cawan berisi antara 3,5 ml – 5 ml. Sedangkan kuantitas saliva dikatakan sangat rendah apabila jumlah saliva kurang dari 3,5 ml. Semakin rendah jumlah saliva yang dihasilkan, semakin tinggi terjadinya faktor risiko karies. Semakin banyak jumlah saliva yang dihasilkan dalam 5 menit, semakin rendah faktor risiko karies yang terjadi. b. Kapasitas Buffer (Capacity Buffer) Kapasitas buffer merupakan kemampuan saliva untuk membuat pH saliva kembali pada pH normal atau menetralisir asam dalam rongga mulut. Pengukuran kapasitas buffer dilakukan dengan cara : Saliva yang sudah terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan kapasitas buffer menggunakan buffer strip. Saliva di ambil menggunakan pipet kemudian diteteskan di atas buffer strip dan dibiarkan selama 5 menit. Setelah 2 menit, lihat perubahan warna yang terjadi dan cocokkan skornya pada buku petunjuk yang sudah ada lalu dicatat hasilnya. Gambar. Buffer Test Strip Cara penilaiannya yaitu untuk warna hijau diberikan nilai 4, untuk warna hijau / biru diberikan nilai 3, untuk warna biru diberikan nilai 2, untuk warna biru /merah diberikan nilai 1, dan untuk warna merah diberikan nilai 0. Setelah itu jumlahkan masing-masing nilai pada buffer strip. Hasil dari penjumlahan 3 pads dapat dikategorikan kapasitas buffer sangat rendah apabila jumlah nilainya 0 sampai 5, kapasitas buffer tergolong rendah apabila jumlah nilai 6 sampai 9, dan kapasitas buffer tergolong normal apabila jumlah nilai 10 sampai 12. Semakin tinggi jumlah nilai kapasitas buffer maka semakin rendah faktor risiko kariesnya. Kejadian faktor risiko karies dikatakan tinggi jika jumlah nilai kapasitas buffernya sangat rendah (rentang nilai 0-5). BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa analisa saliva dapat dilakukan melalui analisa saliva istirahat (rest saliva) dan saliva terstimuli (stimulated saliva). Analisa saliva istirahat dapat dilakukan pengukuran dengan hidrositas saliva dan viskositas saliva. Sedangkan pada saliva terstimuli dilakukan pengukuran dengan kuantitas saliva dan kapasitas buffer. Jika saliva memiliki laju alir yang rendah maka risiko karies akan lebih tinggi, jika viskositas / kekentalan saliva sangat lengket dan bergelembung memiliki risiko karies yang tinggi, jika pH saliva tergolong asam maka risiko karies termasuk tinggi, kuantitas saliva yang terstimuli tergolong sangat rendah maka risiko karies tinggi, dan jika kapasitas buffer sangat rendah, maka risiko karies tergolong tinggi. DAFTAR PUSTAKA Kidd EAM, Bechal SJ. 1991. Dasar-dasar karies penyakit dan penanggulangannya. Cetakan 2. Jakarta: EGC. Hal 1-96. Hervina. 2014. Ekstrak Teh Hijau 3% Yang Dikumur Selama Tiga Menit Lebih Meningkatkan Sekresi, Ph Dan Kadar Bikarbonat Saliva Dibanding Satu Menit Dan Dua Meni. Denpasar: Universitas Udayana. Suryadinata, A. 2012. Kadar Bikarbonat Penderita Karies dan Bebas Karies. Sainstis; 1 (1): 35-42. Gopinath, V.K., Arzreanne, A.R. 2006. Saliva as a Diagnostic Tool for Assessment of Dental Caries. Archieves of Orofacial Sciences; 1: 57-59. Putri, H. P., Herijulianti, E., Nurjannah, N. 2010. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Cetakan 1. Jakarta: EGC, h. 154 – 158. Soesilo, Diana., Santoso, Rinna., Diyatri, Indeswati. 2005. Peranan Sorbitol Dalam Mempertahankan Kestabilan Ph Saliva Pada Proses Pencegahan Karies. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 1 Januari 2005: 25–28. M. Knox, Sarah., Hoffman, Matthew. 2008. Sailivary Diagnostic. Wiley Blackwell. A John Wiley &Sons, Ltd, Publication. Senawa, Made., dkk. 2015. Penilaian Risiko Karies Melalui Pemeriksaan Aliran Dan Kekentalan Saliva Pada Pengguna Kontrasepsi Suntik Di Kelurahan Banjer Kecamatan Tikal. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Indriana, T. 2011. Perbedan Laju Alir Saliva dan pH karena Pengaruh Stimulus Kimiawi dan Mekanis Jurnal Kedokteran Meditek. 17 (44)