tugas evaluasi pembelajaran pkn

advertisement
Tugas MATKUL : Pembaharuan dalam pembelajaran PKN
Nama
: Hariyanto
1.macam-macam Teori Belajar
Dalam psikologi dan pendidikan , pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai
suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan
pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan, atau
membuat perubahan’s pengetahuan satu, keterampilan,
nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod,
1995).
Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang
terjadi ketika belajar berlangsung. Penjelasan tentang
apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori
belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana
orang dan hewan belajar, sehingga membantu kita
memahami proses kompleks inheren pembelajaran. (Wikipedia)
Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar,
yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitivisme, dan teori belajar
konstruktivisme. Teori belajar behaviorisme hanya berfokus pada aspek objektif
diamati pembelajaran. Teori kognitif melihat melampaui perilaku untuk
menjelaskan pembelajaran berbasis otak. Dan pandangan konstruktivisme belajar
sebagai sebuah proses di mana pelajar aktif membangun atau membangun ide-ide
baru atau konsep.
1.Teori belajar Behaviorisme
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal
sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu
dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
2.Teori Belajar kognitivisme
Teoribelajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes
terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif
ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan
pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian
1
menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan
yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan teori kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne.
Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel
menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama
terhadap belajar.Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep
sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari
lingkungan.
3.Teori Belajar Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya
modern.
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna
melalui pengalaman nyata.
Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah,
mencari idea dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat
langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih pahamdan mampu
mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selian itu siswa terlibat secara langsung
dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
2. Eksperimen Para Ahli tentang teori Behaviorisme
2
Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti
aliran. Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas
proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara
ilmiah.
Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah
pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku
seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri
orang tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe
stimulus. Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan
Pavlov dengan teorinya yang disebut classical conditioning, John B. Watson yang
dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law
of Efect), dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.
1. Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning di
dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat,
bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the
Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927.
Teorinya disebut klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru.
Ada pula yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena
latihan, untuk membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya
Skinner.
a. Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan
oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air
liur membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan
anjing eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu
makan. Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata
mulai mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan
bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah
diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons
keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan
seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air
liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa
pengkondisian (makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa
3
pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian,
peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing
tersebut. Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak
menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti
mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai
makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing
tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi
lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut
respons dengan pengkondisian
b. Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan berhasil mengidentifikasi
empat proses: acquisition (akuisisi /fase dengan pengkondisian), extinction (eliminasi
/fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan discrimination
(diskriminasi).
2. Teori Stimulus-Respons John Watson
Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya
Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam
pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang
ada atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri.
Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk
mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap
lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut
memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah komparatif yaitu
membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi
karya Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli
dalam menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian
besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar
psikologi S - R (stimulus-response).
a. Percobaan John Watson
Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya,
Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini
didasari atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui
pengkondisian berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten
risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama
Albert. Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita
4
memegang tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita
menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus.
Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.
b. Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan,
hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut
terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut
berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi
menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning
mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak
rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu.
Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat
menjelaskan beberapa respons emosional—seperti kebahagiaan, kesukaan,
kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli khusus.
Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan
roller coaster kemungkinan belajar merasakan kesenangan justru karena melihat
bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat
dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang
tertera di sampul kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya
persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat
fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol
dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi
melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara
berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui
fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya
terhadap objek tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk alkohol, penderita
meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut
sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung
begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari
terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang
dihadapinya.
3.
Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia
University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka
5
pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru
berpendapat bahwa hewan juga memiliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya
ditujukan untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata
merupakan awal munculnya operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya
konsekuensi atau efek dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut
koneksionisme untuk menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli
tertentu dan perilaku yang disadari.
a.
Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam.
Untuk melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan
ruangan kecil yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan
respons yang benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga),
pintu akan terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan
tepat di luar kotak.
Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama
untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian,
pada akhirnya hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima
hadiahnya: lolos dan makanan
Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara
berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat.
Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa
detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
b.
Kesimpulan Thorndike
Thorndike menggunakan kurva waktu belajar tersebut untuk membuktikan
bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan
mendapatkan hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salahmencoba lagi sampai benar).
menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam eksperimen
tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya yaitu
dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika
hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga
catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual
yang signifikan. Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial
and error dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini
menunjukkan hewan dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
6
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia
sebut hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang
menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya,
perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah,
sehingga cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia
menjelaskan bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan
percobaan untuk lolos 'diperkuat setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini,
banyak yang menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh
Skinner dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang
disadari).
4.
Percobaan Tollman
Sesungguhnya, pada tahun 1930 pakar psikologi AS Edward C. Tolman sudah
meneliti proses kognitif dalam belajar dengan penelitian eksperimen bagaimana tikus
belajar mencari jalan melintasi maze (teka-teki berupa jalan yang ruwet). Ia
menemukan bukti bahwa tikus-tikus percobaannya membentuk “peta kognitif” (atau
peta mental) bahkan pada awal eksperimen, namun tidak menampakakan hasil
belajarnya sampai mereka menerima
penguatan untuk menyelesaikan
jalannya
melintasi
maze—suatu
fenomena
yang
disebutnya
latent
learning atau belajar latent. Eksperimen Tolman menunjukkan bahwa belajar adalah
lebih dari sekedar memperkuat respons melalui penguatan
5.
Pengkondisian Disadari B.F. Skinner
Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap
belajar dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip
penting dari operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan
hukuman. Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant
conditioning dapat menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks
sekalipun. Pada kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi
istilah operant conditioning.
Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga pengakuan
kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan menggunakan
kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam kehidupannya seharihari.
7
a.
Percobaan Skinner
Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa
mempelajari perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang
kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner
berupa ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan
melakukan respons sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat
yang diletakkan di dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut.
Kotak Skinner berbeda dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam
mengerjakan respons yang diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun
tidak keluar dari kotak; (2) persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk
setiap respons, sehingga penguat hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant
response (respons yang disadari)membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor
hewan dapat melakukan respons ratusan bahkan ribuan kali per jamnya. Karena tiga
perbedaan ini, Skinner dapat mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat
mengamati bagaimana perubahan pola pemberian makanan mempengaruhi
kecepatan dan pola perilaku hewan.
b.
Prinsip-prinsip Operant Conditioning
Selama lebih 60 tahun dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip
mendasar dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar
perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya
adalah reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping
(pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan
generalization (generalisasi).
3. Implementasi Teori teori dalam pembelajaran
PENDAHULUAN
Guru adalah perancang penting kegiatan pembelajaran. Tak ayal jika guru pasti
mengenal berbagai macam teori belajar dan pembelajaran. Akan tetapi, tak sedikit para
guru yang tak bisa merealisasikan teori pembelajaran itu dalam kegiatan pembelajaran.
Hal ini karena guru belum menganalisis kesesuaian teori-teori
belajar yang sesuai dengan materi yang akan dipelajari. Untuk itu, berikut akan dibahas
mengenai implementasi teori belajar.
Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun
terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefinisikan sebagai integrasi
8
prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan
pendidikan. Dengan adanya teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru
dalam menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan.
PEMBAHASAN
A. Implementasi Teori Behavioris
Teori ini secara umum melihat sosok atau kualitas manusia dari aspek kinerja atau
perilaku yang dapat dilihat secara impirik. Inti dari teori behavioris ini terletak pada
upaya memahami perilaku secara total. Dalam teori ini seseorang dianggap telah
belajar jika ia dapat menunjukan perubahan perilakunya. Teori behavioris adalah salah
satu teori yang memiliki kontribusi cukup signifikan dalam pembelajaran. Teori ini juga
merupakan teori yang selama ini dipakai oleh banyak guru-guru di Negara kita.1[1]
Hingga kini teori ini masih merajai praktek pembelajaran yang ada di Indonesia.
Pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement
(hukuman) masih sering dilakukan dalam kegiatan pembelajaran.
Suatu pembelajaran dikatakan berhasil menurut teori ini ditentukan oleh adanya
interaksi antara stimulus dan respon yang diterima oleh siswa. Indikasi keberhasilan
menurut teori ini adalah adanya perubahan tingkah laku yang nyata dalam kehidupan
peserta didik.
Perubahan titik dilihat dari perspektif intelektualnya tetapi lebih pada tingkah laku dalam
kehidupan sosialnya. Dalam kegiatan pembelajaran dirancang dan dilaksanakan
berpijak pada teori behavioristik memandang pengetahuan adanya objektif, pasti, tetap
dan tidak berubah. Pengetahuan menurut teori ini telah terstruktur dengan rapi
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan ke orang yang telah belajar atau siswa2[2]. Dalam
kegiatan pembelajaran menurut teori ini, seseorang siswa diharapkan harus memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Serta dalam proses
belajar dan pembelajarannya cukup terlihat bahwa yang cenderung memiliki keaktifan
adalah gurunya. Seorang murid dalam kegiatan belajar mengajar cenderung bersifat
pasif dan harus mematuhi dan mempercayai bahwa segala sesuatu yang dikatakan
dan disampaikan guru adalah suatu kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat.
9
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pelajar untuk berfikir linear,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan
berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar
tidak sekedar pembentukan atau faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses
belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Oleh karena itu, implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan
kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi, dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena system
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon sehingga tekanan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya, pelajar kurang
mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
B. Implimentasi Teori Kognitif
Teori kognitif adalah teori yang mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses
perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang
dapat diukur dan diamati. Dalam teori ini lebih menekankan bagaimana proses atau
upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain.
Teori pembelajaran ini adalah sebuah teori pembelajaran yang cenderung melakukan
praktek-praktek yang mengarah pada kualitas intelektual peserta didik. Meskipun teori
ini memiliki berbagai kelemahan akan tetepi, teori kognitif ini juga memiliki kelebihan
yang harus diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran. Salah satunya aspek positifnya
adalah kecerdasan peserta didik perlu di mulai dari adanya pembentukan intelektual
dan mengorganisasikan alat-alat kognisi.
Sebagai seorang pendidik kita harus menyadari bahwa pembelajaran adalah suatu
kegiatan penyampaian informasi kepada peserta didik, yang nantinya informasi
tersebut diolah oleh alat-alat kognisi yang dimiliki oleh peserta didik. Oleh karena itu,
pelaksanaan pembelajaran kualitas intelektualnya. Pada dasarnya proses
pembelajaran adalah suatu system artinya keberhasilan proses pembelajaran tidak
hanya ditentukan oleh salah satu faktor saja, tetapi lebih di tentukan secara simultan
dan komperehensif dari berbagai faktor yang ada. Dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran seorang guru harus menciptakan pembelajaran yang natural, tidak perlu
ada suatu rekaan atau paksaan kepada siswanya.
Dalam kegiatan pembelajaran materi harus benar-benar dilakukan secara
kontekstual dan relevan dengan realitas kehidupan peserta didik. Pelaksanaan
kegiatan pembelajaran tidak hanya bisa dilakukan di dalam ruangan saja tetapi juga
bisa dilakukan di luar ruangan dengan cara memanfaatkan alam sekitar sebagai
wahana tempat pembelajaran. Metode yang dapat digunakan juga tidak harus selalu
monoton, metode yang bervariasi merupakan tuntutan mutlak dalam pembelajaran
10
menurut teori ini. Keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran amat
dipentingkan karena hanya dengan mengaktifkan siswa, maka proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Selain itu,
seorang guru juga harus mampu memahami dan memperhatikan perbedaan
individual anak, arena anak, karena hal ini merupakan faktor penentu keberhasilan
dalam pembelajaran.
C. Implementasi Teori Konstruktivisme
Pengertian belajar menurut teori ini adalah proses untuk membangun pengetahuan
melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki
pengetahuan jika pengetahuan itu di bangun atas dasar realitas yang ada di
lapangan. Teori ini membawa implikasi dalam pembelajaran yang bersifat kolektif
dan komplek. Menurut pandangan ini, dalam proses pembelajaran siswa harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyususn konsep dan memberi makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari.
Dalam konteks ini siswa dianggap sebagai seorang pribadi yang memiliki kebebasan
untuk membangun idea atau gagasan tanpa harus di interverensi oleh siapapun,
siswa diposisikan sebagai kmanusia yang dewasa yang sudah memiliki modal awal
pengetahuan untuk menerjemahkan pengetahuan yang akan dipelajarinya. Guru
dalam konteks ini berperan sebagai pemberdaya seluruh potensi yang memiliki
siswa agar siswa mampu melaksanakan proses pembelajaran.
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran menurut teori ini, seorang guru harus
memiliki daya kreasi yang tinggi untuk bisa mendesain suasana pembelajaran yang
kondusif, suasana pembelajaran yang mampu memberikan kebebasan kepada
siswanya untuk mengekspresikan dirinya sesuai dengan kemauanya. Serta, semua
kegiatan pembelajaran harus banyak dikaitkan dengan realitas kehidupan
Masyarakat. Kegiatan pembelajaran cenderung menggunakan model pembelajaran
kooperatif3[3]. Pelaksanaan evaluasi menurut teori ini tidak hanya dimaksudkan
untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru. Evaluasi
menjadi sarana untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran.
D. Implikasi Teori Humanistic
Teori humanistic lebih menekankan pada bagaimana memahami persoalan manusia
dair berbagai dimensi yang dimilikinya, baik dimensi kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Kegiatan pembelajaran memiliki tujuan utama untuk kepentingan
memanusiakan manusia (proses humanistic). Teori ini lebih banyak membahas
mengenai konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang di citacitakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
11
Keberhasilan implementasi menurut teori ini, dalam belajar harus dilakukan dengan
cara menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, menggairahkan,
memberi kebebasan siswa dalam memahami dan mengatasi materi atau informasi
yang diterimanya. Guru harus bisa menciptakan pembelajaran secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi siswa untuk melakukan
kegiatan pembelajaran.
Keterlibatan siswa secara fisik juga merupakan wahana untuk menghilangkan
kejenuhan dari kegiatan pembelajaran yang yang tiap hari mereka kerjakan.
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memenuhi kriteria diatas dapat dilakukan
dengan cara guru merubah wahana atau situasi tempat pembelajaran, misalnya
saja pembelajaran yang biasanya dilakukan di dalam kelas kita bisa merubahnya
denan belajar di luar kelas seperti di kebun ataupun dihalaman sekolah.4[4]
Sedangkan mengenai metode atau strategi yang dilakukan, seorang guru bisa
melaksanakan pembelajaran yang monoton atau pembelajaran yang hanya terpusat
kepada siswa. Tetapi pembelajaran juga terpusat pada siswa sehingga tidak hanya
gurunya saja yang aktif tetpai siswanya juga harus aktif juga. Dengan siswanya aktif
di harapkan siswa akan memiliki kompetensi yang lebih untuk memahami dan
mengerti akan materi yang sedang di pelajari.
Teori humanistik ini akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah
belajar pada dimensi yang luas. Dalam konteks ini, upaya pembelajaran apapun dan
pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan di lakukan untuk mencapai
tujuannya.
Meskipun teori humanistic ini, sukar untuk diterjemahkan ke dalam langkah-langkah
yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sangat besar dalam
kegiatan pembelajaran sehari-hari di setiap sekolah.
Para ahli Humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :

Proses pemerolehan informasi baru,

Personalia informasi ini pada individu.5[5]
Prinsip- prinsip belajar humanistik:6[6]
1. Manusia mempunyai belajar alami
12
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi plajaran dirasakan murid mempuyai
relevansi dengan maksud tertentu
3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
4. Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila
ancaman itu kecil
5. Bila bancaman itu rendah terdapat pangalaman siswa dalam memperoleh
caar
6. Belajar yang bermakna diperolaeh jika siswa melakukannya
7. Belajar lancer jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
8. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang
mendalam
9. Kepercayaan pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk
mawas diri
10. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar
KESIMPULAN
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].Teori ini lalu berkembang
menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan
teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik.
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog
Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama
dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan
konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat
merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep
yang berdasar pada kenyataan.
13
Selaian ituh guru harus mampu menguasai materi dan teori pembelajaran tersebut
guna menujang kegiyatan pembelajaran agar materi yang disampaikan mampu di
serap dan mudah dipahami oleh setiap pesertadidik
14
Download