See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/328980986 PERSPEKTIF TEORI BEHAVIORISTIK DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN Article · November 2018 CITATIONS READS 0 2,260 1 author: Nurfarhanah Nurfarhanah Situs Resmi Universitas Negeri Padang 19 PUBLICATIONS 1 CITATION SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: PEMANFAATAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE GROUP INVESTIGATION (GI) UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP PROFESIONAL MAHASISWA BIMBINGAN DAN KONSELING View project All content following this page was uploaded by Nurfarhanah Nurfarhanah on 16 November 2018. The user has requested enhancement of the downloaded file. PERSPEKTIF TEORI BEHAVIORISTIK DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN Oleh: Nurfarhanah Universitas Negeri Padang Abstract Learning can be defined as a permanent influence on behavior, knowledge, and thinking skills acquired through experience. Learning theory of behavioristik explains that learning is a change in behavior that can be observed, measured and assessed in the concrete. Change occurs is through stimulation (stimulus) that causes reactive behavior relationship (response) based on mechanistic laws. In this article will discuss about behavioral approach, also known as different characteristics, both the human perspective, to its application to learning. Keywords: teori behavioristik, belajar, pembelajaran PENDAHULUAN Pendekatan behavioristik merupakan orientasi teoretis yang didasarkan pada premis bahwa psikologi ilmiah harus berdasarkan studi tingkah laku yang teramati (observable behavior). Pada tahun 1913 Watson menuliskan artikel, di dalamnya mengemukakan bahwa psikologi harus meninggalkan fokus kajian yang terkait dengan proses mental dan mengalihkan dokus kajiannya kepada tingkah laku yang tampak (overt behavior). Watson beralasan bahwa psikologi tidak dapat meneliti proses mental secara ilmiah, sebab proses tersebut bersifat pribadi dan tidak dapat diamati oleh publik. Teori Behavioristik muncul dari studi-studi laboratorium yang mempelajari hewan dan manusia. Dua pioner behavioris adalah Thorndike dan Watson, namun pribadi yang dilekatkan dengan posisi behavioristik adalah B.F. Skinner yang analisis behavioralnya berbeda jauh dari teori-teori pesikodinamis yang sangat spekulatif. Pendekatan behavioristik lebih memperhatikan kecenderungan-kecenderungan respon yang dapat diamati. Pendekatan perilaku memandang kepribadian individu sebagai “koleksi kecenderungan-kecenderungan respon yang terkait dengan berbagai situasi rangsangan yang beragam”. Pendekatan Perilaku memang kurang memperhatikan terhadap struktur kepribadian (seperti Id, Ego, dan Superego pada Psikoanalisa), tetapi memiliki perhatian yang cukup besar terhadap perkembangan kepribadian. Mereka menjelaskan bahwa perkembangan itu melalui belajar. Konsep belajar ini digunakan dalam hal-hal yang merujuk kepada perubahan tingkah laku yang tahan lama sebagai hasil pengalaman. Kebanyakan perilaku manusia tidak diwariskan begitu saja. Ketika seseorang menggunakan komputer dengan cara baru, bekerja lebih keras memecahkan masalah, mengajukan pertanyaan secara lebih baik, menjelaskan dengan jawaban yang lebih logis, berarti orang tersebut sedang melalui proses belajar. Cakupan belajar itu luas. Pembelajaran melibatkan perilaku akademik dan non-akademik. Pembelajaran berlangsung di sekolah dan di mana saja di seputar dunia siswa. Pembelajaran (learning) dapat didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan, dan keterampilan berpikir yang diperoleh melalui pengalaman. Tidak semua yang diketahui manusia diperoleh melalui hasil belajar. Ada beberapa kemampuan-kemampuan itu dibawa sejak lahir, tidak dipelajari. Ada beberapa pendekatan dalam proses pembelajaran, diantaranya behavioristik, humanistik, kognitif sosial, dan sebagainya. Masing-masing 1 pendekatan memiliki karakteristik yang berbeda, baik sudut pandang mengenai manusia, hingga aplikasinya terhadap dunia pendidikan. Dalam artikel ini akan dibahas salah satu pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan perilaku atau dikenal juga dengan pendekatan behavioristik. PRINSIP-PRINSIP DASAR TEORI BEHAVIORISTIK DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Proses mental didefinisikan oleh psikolog sebagai pikiran, perasaan, dan motif yang dialami seseorang namun tidak dapat dilihat oleh orang lain. Meskipun pikiran, perasaan, dan motif tidak bisa dilihat secara langsung, semua itu adalah sesuatu yang riil. Menurut behavioris, pemikiran, perasaan dan motif ini bukan subjek yang tepat untuk ilmu perilaku sebab semuanya itu tidak bisa diobservasi secara langsung. Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar peserta didik, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan pendidik kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh pendidik tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh pendidik (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. 1. Pengkondisian Klasik (Ivan Petrovich Pavlov 1849-1936) Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Pengkondisian Klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimulus. Dalam pengkondisian klasik, stimulus netral (seperti melihat seseorang) diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna (seperti makanan) dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama. Ada dua tipe stimulus dan respon, yaitu: unconditioned stimulus (UCS), unconditioned response (UCR), condition stimulus (CS), dan conditioned response (CR). Sebelum Eksperimen Pemberian makanan (UCS) air liur keluar (UCR) Bunyi bel (CS) tidak ada respons Eksperimen/latihan Bunyi bel (CS) + pemberian makanan (UCS) Setelah eksperimen Bunyi bel (CS) air liur keluar (CR) Gambar 2.1 Pengkondisian Klasik Pavlov 2 Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu. Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang. Pavlov mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan (US), maka akan keluarlah air liur anjing (UR) tersebut. Sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah (CR) terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun (CR) akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula. Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons. Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia,yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia. Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Pengkondisian Klasik dapat berupa pengalaman negatif dan positif dalam diri peserta didik di kelas. Diantara hal-hal di sekolah peserta didik yang akan menghasilkan kesenangan karena telah dikondisikan secara klasik adalah lagu favorit, perasaan bahwa kelas adalah tempat yang aman dan menyenangkan dan kehangatan dan perhatian pendidik. Misalnya lagu bisa jadi merupakan hal netral bagi peserta didik sebelum peserta didik bergabung dengan peserta didik lain untuk menyanyikannya dengan diiringi oleh perasaan yang positif. Contoh lain misalnya peserta didik akan merasa takut di kelas jika mereka mengasosiasikan kelas dengan teguran dan karenanya teguran atau kritik menjadi CS untuk rasa takut. Pengkondisian klasik juga dapat terjadi dalam kecemasan menghadapi ujian. Misalnya peserta didik gagal dalam ujian dan ditegur, hal ini menghasilkan kegelisahan. Setelah itu, peserta didik mengasosiasikan ujian dengan kecemasan, sehinggan menjadi CS untuk kecemasan. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. 2. Operant Conditioning (Burrhus Frederic Skinner 1904-1990) Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, Skinner mengemukakan teori Operant Conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah The Experimental an Analysis of Behavior. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika. 3 B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Dimana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik. Reinforcement (penguatan) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya punishment (hukuman) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Misalnya seorang pendidik berkata pada peserta didiknyanya, “selamat, saya merasa senang telah membaca cerita yang ananda tulis”. Jika peserta didik bekerja lebih keras dan menulis lebih baik lagi untuk cerita selanjutnya, komentar positif pendidik tersebut merupakan penguat atau memberi imbalan pada perilaku menulis peserta didik. Jika seorang pendidik merengut pada peserta didik yang bicara di kelas dan kemudian perilaku bicara itu menurun, maka muka pendidik yang merengut tersebut merupakan hukuman bagi tindakan peserta didik. Ada dua jenis penguatan. Pertama penguatan positif, frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding), seperti dalam contoh dimana komentar positif pendidik meningkatkan perilaku menulis peserta didik. Kedua penguatan negatif, frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Misalnya seorang ayah memarahi putranya agar mau mengerjakan PR. Sang ayah terus memarahi putranya. Akhirnya anak itu lelah mendengarkan omelan ayahnya dan mengerjakan PR. Respons anak (mengerjakan PR) menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (omelan). Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh. Dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau dihilangkan. Sangat mudah untuk mengacaukan penguatan negatif dengan hukuman (punishment). Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa penguatan negatif meningkatkan probabilitas terjadinya suatu perilaku, sedangkan hukuman menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Penguatan Positif Pendidik memuji Peserta Peserta Didik mengajukan Didik lebih banyak pertanyaan Penguatan Negatif Peserta Didik menyerahkan Pendidik berhenti menegur Peserta Didik makin sering PR tepat waktu Peserta Didik menyerahkan PR tepat waktu Hukuman Peserta Didik menyela Pendidik menegur Peserta Peserta Didik berhenti guru Didik langsung menyela Pendidik Gambar 2.2 Penguatan dan Hukuman Peserta didik mengajukan pertanyaan yang bagus Gaya mengajar pendidik dilakukan dengan beberapa pengantar dari pendidik secara searah dan dikontrol pendidik melalui pengulangan dan latihan. Manajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan 4 secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping. Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati, Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang. Beberapa prinsip Skinner antara lain: Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada peserta didik, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran, digunakan sistem modul. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah. Dalam pembelajaran digunakan shaping. Operan Kondisi memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. 3. Koneksionisme (Edward Edward Lee Thorndike 1874-1949) Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha–usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut: S R S1 R1 dst 5 Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan. Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut: a) Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan. Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain. Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya. Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya. b) Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai. c) Hukum Akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya. Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis. Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut: Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response). Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi. 6 Hukum Sikap (Set/Attitude). Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya. Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element). Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif). Hukum Respon by Analogy. Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah. Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting) Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama. Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain: Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah. Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain. Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya. PENGGUNAAN ANALISIS PERILAKU TEORI BEHAVIORISTIK DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN Penggunaan analisis perilaku teori behavioristik adalah penerapan prinsip pengkondisian operan untuk mengubah perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting dalam belajar dan pembelajaran: meningkatkan perilaku yang diinginkan, menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping) dan mengurangi perilaku yang tidak diharapkan. 1) Meningkatkan Perilaku yang Diharapkan Terdapat lima strategi pengkondisian operan yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku anak yang diharapkan, yaitu: a. Memilih Penguat yang Efektif Tidak semua penguat akan sama efeknya bagi anak. Analisis perilaku terapan menganjurkan agar pendidik mencari tahu penguat apa yang paling baik bagi peserta didik, yakni mengindividualisasikan penggunaan penguat tertentu. Penguat yang paling sering digunakan pendidik adalah aktivitas. Prinsip Premarck menyatakan bahwa aktivitas probabilitas tinggi dapat berfungsi sebagai penguat aktivitas probabilitas rendah. Prinsip Premarck akan bekerja ketika pendidik berkata kepada peserta didiknya, “jika kamu selesai mengerjakan tugas menulis, kamu bisa main game di 7 b. c. d. e. f. komputer”, atau seorang pendidik berkata kepada semua peserta didiknya di kelas, “jika kelas ini menyerahkan PR pada hari jumat, kita akan mengadakan wisata minggu depan”. Menjadikan Penguat Kontingen dan Tepat Waktu Penguat akan lebih efektif jika diberikan tepat pada waktunya, sesegera mungkin setelah peserta didik menjalankan tindakan yang diharapkan. Ini akan membantu siswa melihat hubungan kontingensi antar-imbalan dan perilaku mereka. Jika peserta didik menyelesaikan perilaku sasaran (seperti mengerjakan sepuluh soal matematika) tapi pendidik tidak memberikan waktu bermain pada anak sampai sore hari, maka peserta didik itu mungkin akan kesulitan membuat hubungan kontingensi. Memilih Jadwal Penguat Terbaik Jadwal penguatan merupakan jadwal penguatan parsial yang menentukan kapan suatu respons akan diperkuat. Empat jadwal penguatan utama adalah rasio-tetap, rasio-variabel, interval-tetap, dan interval-variabel. Pada jadwal rasio-tetap, suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah respons. Misalnya pendidik dapat memuji peserta didik hanya setelah muncul empat respons yang tepat, bukan sesudah tiap respons. Pada jadwal rasio-variabel, suatu perilaku diperkuat setelah terjadi sejumlah respons, akan tetapi tidak berdasarkan pada basis yang dapat diprediksi. Misalnya pujian pendidik rata-rata diberikan setelah respons kelima, tetapi pujian itu diberikan setelah respons yang benar kedua, setelah delapan lagi respons yang benar, setelah tujuh lagi respons yang benar dan setelah tiga lagi respons yang benar. Jadwal intervensi ditentukan berdasarkan jumlah waktu yang berlalu sejak perilaku terakhir diperkuat. Pada jadwal interval-tetap, respons tepat pertama setelah beberapa waktu akan diperkuat. Misalnya, seorang pendidik memberikan pujian dua menit kemudian setelah peserta didik mengajukan pertanyaan yang bagus atau membri latihan soal tiap minggu. Pada jadwal interval-variabel, suatu respons diperkuat setelah tiga menit berlalu, kemudian setelah tujuh menit berlalu dan seterusnya. Memberi soal latihan pada interval yang berbeda-beda juga merefleksikan jadwal interval-variabel. Menggunakan Perjanjian (contracting) Perjanjian adalah menempatkan kontingensi penguatan dalam tulisan. Jika muncul masalah dan peserta didik tidak bertindak sesuai dengan harapan, pendidik dapat merujuk peserta didik pada perjanjian yang mereka sepakati. Analisis perilaku terapan menyatakan bahwa perjanjian kelas harus berisi masukan dari pendidik dan peserta didik. Menggunakan Penguatan Negatif secara Efektif Dalam penguatan negatif, frekuensi respons meningkat karena respons tersebut menghilangkan stimulus yang dihindari (tidak menyenangkan). Jika seorang pendidik mengatakan, “Pepeng, kamu harus duduk dan menyelesaikan tugas mengarang sebelum kamu boleh bergabung dengan peserta didik lain untuk membuat poster”. Ini berarti dia menggunakan penguatan negatif. Kondisi negatif disuruh duduk saat peserta didik lain melakukan sesuatu yang menyenangkan akan dihilangkan jika Pepeng sudah menyelesaikan tugas mengarangnya. Menggunakan Prompt dan Shapping Prompt (dorongan) adalah stimulus tambahan atau isyarat tambahan yangdiberikan sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respons itu akan terjadi. Instruksi dapat dipakai sebagai prompt. Misalnya saat pelajaran menggambar akan selesai, pendidik berkata, “mari bersiap untuk pelajaran membaca”. Jika peserta masih saja menggambar, pendidik bisa menambahkan, “baiklah, letakkan gambar kalian dan ikut saya ke ruangan membaca”. Shapping (pembentukan) adalah mengajari perilaku baru dengan memperkuat perilaku yang mirip dengan perilaku sasaran. Pada mulanya, respons diperkuat dengan seuatu yang mirip dengan perilaku yang diharapkan. Kemudian diperkuat lagi respon yang lebih mirip dengan perilaku sasaran, dan seterusnya. Sampai murid itu melakukan perilaku sasaran dan kemudian sasaran perilaku tersebut diperkuat lagi. Misalnya ada peserta didik yang 8 pemalu. Perilaku sasarannya adalah membuatnya mau berkelompok dan berbicara dengan teman sebayanya. Pada awalnya pendidik perlu memperkuatnya dengan memberinya senyum di kelas. Kemudian pendidik memperkuatnya hanya jika peserta didik itu mengatakanb sesuatu untuk teman sekelasnya. Kemudian pendidik memperkuatnya hanya jika melakukan percakapan yang lama dengan teman sekelasnya. Terakhir pendidik harus memberinya imbalan hanya jika peserta didik melakukan perilaku sasaran, yakni bergabung dengan teman-temannya dan berbicara dengan mereka. 2) Mengurangi Perilaku yang Tidak Diharapkan Ada empat langkah untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yaitu: a. Menggunakan Penguatan Diferensial Dalam penguatan diferensial, pendidik memperkuat perilaku yang lebih tepat atau yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan peserta didik. Misalnya pendidik lebih memperkuat aktivitas belajar peserta didik di komputer ketimbang bermain game, atau memperkuat perilaku sopan atau peserta didik yang duduk tenang ketimbang berlarian di kelas atau peserta didik yang mengerjakan pekerjaan rumah tepat pada waktunya. b. Menghentikan Penguatan (Pelenyapan) Strategi menghentikan penguatan ini adalah menarik penguatan positif terhadap perilaku tidak tepat atau tidak pantas. Banyak perilaku tidak tepat yang secara tak sengaja dipertahankan karena ada penguatan positif terhadapnya, terutama oleh perhatian pendidik. Salah satu strategi bagus adalah meminta seseorang mengobservasi kelas beberapa kali dan menggambarkan pola penguatan yang diberikan pendidik kepada peserta didik. Jika pendidik kemudian menyadari bahwa pendidik terlalu banyak memberi perhatian pada perilaku peserta didik yang tidak tepat, abaikan perilaku itu dan beri perhatian pada perilaku peserta didik yang tepat. Misalnya ketika peserta didik berhenti memonopoli percakapan dalam diskusi kelompok setelah pendidik tidak mempedulikannya, beri peserta didik perhatian pada perilaku tepat yang dilakukan peserta didik itu. c. Menghilangkan Stimulus yang Diinginkan Misalnya pendidik mencoba dua opsi pertama dan ternyata tidak berhasil. Opsi ketiga adalah menghilangkan stimulus yang diinginkan peserta didik. Dua strategi dalam opsi ini adalah: Time out. Strategi yang paling sering dipakai pendidik untuk menghilangkan stimulus yang diinginkan ialah time out (disetrap). Dengan kata lain, jauhkan penguatan positif dari peserta didik. Response cost. Strategi kedua untuk menjauhkan stimulus yang diinginkan adalah response cost, yakni menjauhkan penguatan positif dari peserta didik. Misalnya setelah seorang peserta didik berperilaku salah, pendidik bisa menyuruh peserta didik tidak boleh istirahat saat jam istirahat tiba. Response cost biasanya menggunakan beberapa bentuk hukuman atau denda. Seperti halnya dengan time out, response cost harus diiringi dengan strategi untuk meningkatkan perilaku positif peserta didik. d. Menyajikan Stimulus yang Tidak Disukai (Hukuman) Kebanyakan orang mengasosiasikan presentasi stimulus yang tidak disukai (tidak menyenangkan) dengan hukuman, seperti saat pendidik membentak peserta didik atau orang tua menampar anaknya. Tetapi sering kali stimulus tidak menyenangkan ini bukan hukuman efektif karena stimulus itu tidak mengurangi perilaku yang tidak diinginkan dan bahkan kadang-kadang menambah perilaku yang tidak diinginkan. Teguran lebih efektif jika dilakukan segera setelah perilaku buruk terjadi ketimbang dilakukan belakangan dan jika dilakukan dengan langsung dan cepat. Teguran ini tidak selalu berupa bentakan dan omelan, yang justru malah menambah kebisingan kelas dan membuat pendidik menjadi contoh buruk bagi pendidik. Cukup katakan dengan tegas “jangan lakukan itu!” dan diiringi dengan kontak mata. Ini biasanya sudah cukup untuk menghentikan perilaku yang 9 tidak diharapkan itu. Strategi lainnya adalah memanggil peserta didik lalu ditegur dalam ruang tersendiri, bukan di depan kelas. Berikut adalah terapan dalam pendidikan yang dituangkan ke dalam bagan. Tabel 2.1 Menerapkan Operan Kondisi dalam Kelas Penguatan dan Hukuman Jika memungkinkan gunakan penguatan lebih sering daripada hukuman. Sekolah Dasar Setelah memberikan pelajaran, pendidik berpindah kelas dan memberikan tiket pada peserta didik yang bekerja dengan baik. Peserta didik bisa menukar tiket tersebut dengan kesempatan bermain game. Sekolah Menengah Pertama Memberikan peserta didik “poin perilaku” di awal pekan. Jika peserta didik melanggar aturan, dia kehilangan poin. Di akhir pekan, peserta didik bisa menjual sisa poin mereka yang dapat digunakan untuk sesuatu. Sekolah Menengah Atas Pendidik memberikan bonus poin untuk pengembangan. Peserta didik menerima pemberian poin agar poin mereka lebih tinggi dari rata-ratanya. SIMPULAN Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran yaitu pendekatan Perilaku (Behavioristik). Pendekatan Behavioristik merupakan orientasi teoretis yang didasarkan pada premis bahwa psikologi ilmiah harus berdasarkan studi tingkah laku yang teramati (observable behavior). Dalam behavioristik ada yang disebut dengan stimulus dan respons, stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar peserta didik, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulus. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon). B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik. Reinforcement (penguatan) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya punishment (hukuman) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi, bentuk paling dasarnya dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Penggunaan analisis perilaku dalam belajar dan pembelajaran adalah penerapan prinsip pengkondisian operan untuk mengubah perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting dalam bidang pendidikan: meningkatkan perilaku yang diinginkan, menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping) dan mengurangi perilaku yang tidak diharapkan. 10 DAFTAR PUSTAKA Alfasius, Yuyun. 2009. Learning Theory. Tersedia: http://www.scribd.com/doc/10961275/psikologi-kritis. Eggen, Paul dan Don Kauchak. 2007. Educational Psychology: Windows on Classroom. New Jersey: Pearson Education Inc. Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon. Sugihartono, dkk. 2009. Teori Behavioristik. Tersedia: www.lutfizulfi.wordpress.com. Syah, Muhibbin. 1997. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakarya. Yusuf, Syamsu dan Ahmad Juntika Nurihsan. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: Rosdakarya. _______. 2009. Teori Belajar Behavioristik. Tersedia: mesin06.blogspot.com/2009/01/teori-belajar-behavioristik.html. http://teknik- 11 View publication stats