TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons) Daun Sang yang merupakan genus tanaman unik, pertama kali ditemukan di pedalaman Sumatera, Indonesia pada awal abad ke- 19 oleh Profesor Teijsman (Elias Teymann Johannes) seorang ahli botani dari Belanda. Nama ilmiah Daun Sang diambil dari nama Profesor Teijsman (Elias Teymann Johannes). Tanaman Daun Sang yang mempunyai nama ilmiah Johannestijsmania altifrons, disebut juga sebagai Daun Payung Sal, Sal (Malaysia), Bang Soon (Thailand), Joey Palm, Diamond Joey Palm, Umbrella Leaf Palm (Inggris) (Mutia, 2003). Menurut Sudarnadi (1996), tumbuhan Daun Sang merupakan tumbuhan bawah pada hutan lebat, dan merupakan tumbuhan tunggal, tegak, daun lebar berbentuk belah ketupat dengan tepi daun yang bergerigi, batang yang kecil setinggi satu kaki dengan diameter antara 30 - 40 cm. Daun Sang merupakan salah satu dari 4 spesies anggota genus johannestijsmania yang hanya tumbuh di kawasan Asia Tenggara. Daun Sang merupakan anggota famili Arecaceae (Pinang pinangan atau Palem). Daun Sang hidup secara berkelompok membentuk rumpun, namun penyebarannya sangat terbatas. Perkembangbiakan Daun Sang lebih banyak berasal dari anakan dari pada bijinya yang tertutup oleh kulit tebal yang berbentuk bulat bergerigi. Daun Sang ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di punggung bukit. Tingkat kemiringan lereng bukit yang menjadi lokasi tempat tumbuhnya Daun Sang memiliki kemiringan≥ 45%. Tinggi Daun Sang pada saat kegiatan inventarisasi di lapangan memiliki ketinggian yang bervariasi yaitu antara 2 − 3,5 meter dari permuka an tanah. Hasil pengukuran yang dilakukan terhadap beberapa individu Daun Sang yang mewakili, diperoleh data ukuran panjang daun antara 180 – 257 cm dengan lebar daun 56 – 98 cm (Indriani dkk., 2009). Gambar 1 merupakan tumbuhan Daun Sang yang ditemukan di lokasi penelitian. Gambar. 1. Daun Sang (Johannestejsmania altifrons) Berdasarkan klasifikasi ilmiah, Daun Sang tersusun dalam sistematika berikut (Krempin, 1993): Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Monokotil Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Johannesteijsmannia Spesies : Johannesteijsmannia altifrons Tempat Tumbuh Daun Sang Daun Sang adalah salah satu jenis palem langka di Sumatera, biasanya terjadi sangat lokal pada populasi kecil. Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, sebagai spesies tumbuhan langka Daun Sang harus mendapat prioritas untuk pelestarian karena populasi di alam kecil (langka) dan merupakan spesies endemik, peka terhadap adanya gangguan habitat. (PP No. 7 Tahun 1999) Menurut Qomar, dkk (2005), habitat mikro Palem ini memiliki karakteristik sebagai berikut : Daun Sang telah ditemukan pada ketinggian−175 85 mdpl dan sebagian besar didistribusikan pada ketinggian ≥ 110 mdpl dan tersebar pada lereng yang sangat curam dengan kemiringan > 60% dan ditemukan pada jenis tanah latosol atau tanah paleudult yang memiliki konsentrasi agak asam (pH 5,6 −5,9) dengan kandungan unsur N dan K yang tinggi, dengan persentase cakupan kanopi > 70%, intensitas cahaya 13-19 lux, suhu udara 27o C, dan kelembaban relatif udara 84%. Daun Sang ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di punggung bukit. Hubungan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dengan Lingkungan Lingkungan adalah suatu sistem yang kompleks dimana berbagai faktor berpengaruh timbal balik satu sama lain dengan masyarakat tumbuh-tumbuhan. Faktor-faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang berbeda pada saat yang berlainan terhadap kelangsungan hidup setiap jenis tumbuhan. Faktor lingkungan dikatakan penting apabila pada suatu waktu tertentu mempengaruhi hidup dan tumbuhnya tumbuh-tumbuhan. Karena terdapat pula taraf minimal, optimum, atau maksimal menurut batas-batas toleransi dari masing-masing dari masing-masing masyarakat tumbuh-tumbuhan. Kisaran toleransi untuk setiap masyarakat tumbuhtumbuhan tidak sama. Ada yang memiliki batas toleransi yang sempit (steno) dan ada yang luas (euri). Pada tumbuhan yang batas toleransinya steno, titik minimum, optimum, dan maksimum berdekatan. Sehingga perbedaan yang sedikit saja dapat menjadi kritis untuk pertumbuhannya. Setiap keadaan atau jumlah sesuatu faktor fisik yang berbeda sedikit dapat melampaui batas-batas toleransi dikatakan menjadi faktor penghambat/limiting factor ( Kusmana, 1995). Menurut Indriani (2009), menyatakan bahwa kondisi biotik habitat tumbuhan Salo didominasi oleh tumbuhan meranti-merantian dan jenis lipai (Licuala spinosa). Lipai merupakan jenis tumbuhan yang ditemukan tumbuh bersama dengan Salo, sehingga bila kita menemukan tumbuhan Salo maka di sekitarnya akan dapat ditemukan Lipai namun sebaliknya tidak selalu ditemukan adanya Salo di areal yang ditumbuhi Lipai. Analisis Vegetasi Pengenalan terhadap vegetasi tertentu biasanya digunakan istilah – istilah umum misalnya padang rumput, savana, hutan jati dan sebagainya. Pada saat sekarang cara ini dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu ditambah cara deskripsi yang lebih memadai. Kebutuhan untuk melukiskan suatu vegetasi tergantung pada vegetasi yang bersangkutan, baik untuk maksud ilmiah maupun keperluan praktis. Oleh karena vegetasi dapat bertindak sebagai indikator habitat, maka dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan “Land use planning“. Jika vegetasi ini dipetakan maka kesatuan-kesatuan vegetasi diperlukan di dalam mengadakan deskripsi (Marsono, 1977). Menurut Dauserau (1958), yang dikutip Marsono (1977) deskripsi terhadap suatu tipe vegetasi ini dapat didekati dengan berbagai cara, tergantung tujuan yang hendak dicapai. Di antaranya deskripsi yang berdasarkan fisiognomi vegetasi, yaitu deskripsi yang didasarkan atas kenampakan luar suatu vegetasi atau aspek-aspek suatu komunitas tumbuh-tumbuhan. Sedangkan cara lain yang dapat dikembangkan adalah deskripsi berdasarkan komposisi floristik vegetasi yaitu dengan membuat daftar jenis suatu komunitas. Cara ini disebut analisis vegetasi. Untuk cara ini selain diperlukan pengetahuan taksonomi juga dipelajari tentang dominansi dan penyebaran. Pada dasarnya analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara, 1972). Suatu vegetasi terbentuk oleh adanya kehadiran dan interaksi dari beberapa jenis tumbuhan di dalamnya. Salah satu bentuk interaksi antar jenis ini adalah asosiasi. Asosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas, ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang di beberapa lokasi. Asosiasi dicirikan dengan adanya komposisi floristik yang mirip, memiliki fisiognomi yang seragam dan sebarannya memiliki habitat yang khas (Daubenmire, 1968; Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Barbour et al., 1999). Asosiasi antar Jenis Asosiasi adalah kekariban antara dua spesies dalam komunitas, yang selalu hadir bersama-sama. Menurut Kusmana (1995) assosiasi ini terjadi bila: a. Kedua spesies tumbuh pada lingkungan yang serupa. b. Distribusi geografi kedua spesies serupa dan keduanya hidup di daerah yang sama. c. Bila salah satu spesies hidupnya bergantung pada yang lain. d. Bila salah satu spesies menyediakan perlindungan terhadap yang lain. Chi- square hitung dilakukan dengan tujuan untuk dapat menentukan terjadi atau tidaknya asosiasi antara spesies. Nilai Chi-square hitung kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square tabel pada derajat bebas = 1, pada taraf uji 1% dan 5% (nilai 3,84). Apabila nilai Chi-square Hitung > nilai Chi-square tabel, maka asosiasi bersifat nyata. Apabila nilai Chi-square Hitung < nilai Chi-square tabel, maka asosiasi bersifat tidak nyata (Ludwig dan Reynold, 1988). Kershaw (1964) menyatakan bahwa ada dua macam tipe asosiasi, yaitu asosiasi positif dan asosiasi negatif. Apabila kejadian bersama antara jenis tersebut positif berarti kejadian bersama antara jenis yang berasosiasi lebih besar dari yang diharapkan, sebaliknya berasosiasi negatif bila kejadian bersama antara jenis yang berasoasi lebih kecil dari yang daharapkan. Menurut Cole (1949) dalam Bratawinata (1998) menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat tumbuhan beberapa spesies sering menunjukkan adanya asosiasi positif dan negatif. Apabila terjadi asosiasi positif, spesies yang berasosiasi mempunyai respon yang sama terhadap perbedaan lingkungan dalam komunitas, dan apabila terjadi asosiasi negatif berarti spesies yang berasosiasi mempunyai respon yang tidak sama terhadap adanya perubahan lingkungan dalam komunitas. Faktor-faktor yang menentukan kuat atau lemahnya suatu asosiasi adalah jumlah jenis yang ada, keadaan tempat dimana tumbuh-tumbuhan itu berada, dan banyaknya kejadian bersama antara jenis-jenis yang berasosiasi, sedang ukuran yang digunakan untuk menentukan kuat lemahnya suatu asosiasi adalah koefisien asosiasi yang mempuyai nilai antara – 1 sampai + 1. Apabila nilai koefisien sama dengan + 1 berarti terjadi asosiasi maksimum dan sebaliknya apabila nilai koefisien asosiasi sama dengan – 1 maka terjadi asosiasi minimum. Resort Sei Betung Resort Sei Betung berada di Kabupaten Langkat, Kecamatan Besitang. Desa -desa yang berdampingan dengan resort tersebut adalah Desa Halaban, Desa Bukit Selamat dan Desa Bukit Mas. Besitang dapat ditempuh dengan waktu ± 3 jam dari Medan, kearah perbatasan Sumatera Utara dan Aceh, selanjutnya ke lokasi diperlukan waktu ± 1,5 jam menuju Dusun Aras Napal (daerah Sekundur) (Dephut, 2011). Hutan alam TNGL Sei Betung memiliki topografi datar dan berbukit, dan sebagian terdapat daerah yang curam. Vegetasinya masih alami, tumbuhan khas hutan tropis banyak dijumpai dalam kawasan ini khususnya suku Dipterocarpaceae. Begitu juga dengan keanekaragaman hayatinya juga masih dapat terlihat tegakan dengan diameter 1-2 meter juga masih dapat dijumpai (Dephut, 2011). Kawasan hutan Aras Napal termasuk dalam kawasan TNGL, Seksi Besitang dan Resort Sei Betung. Kawasan hutan di Aras Napal termasuk pada tipe hutan dataran rendah dengan ketinggian antara 75-100 mdpl. Topografi kawasan umumnya dataran landai hingga perbukitan yang landai hingga curam. Iklim di kawasan ini sangat basah tanpa bulan kering. Di kawasan TNGL Aras Napal dijumpai hutan primer dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik flora maupun fauna. Di hutan tropis ini hidup spesies satwa langka yaitu Orang Utan (Pongo pigmeus), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan beberapa satwa yang masuk ke dalam kategori satwa dilindungi seperti Kedih (Presbytis thomasi) dan Rangkong (Buheros rhinoceros). Terdapat beberapa spesies flora endemik yang hanya ditemukan di hutan Sekundur dekat dengan Aras Napal yakni Daun Sang. (Thoha, 2009). Menurut Manurung (2012) klasifikasi kesesuaian habitat tinggi berdasarkan kemiringan lereng yang diperoleh dari titik pengukuran kemiringan lereng dimana terdapat Daun Sang di dalamnya. Daun Sang yang tersebar paling banyak di kawasan dengan kemiringan lereng “sangat curam" dengan rata-rata kemiringan lereng ≥ 45% karena pada kemiringan lereng tersebut optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan Daun Sang di Resort Sei Betung. Selain itu, pada kemiringan lereng sangat curam di Resort Sei Betung tersebut juga ditemukan Daun Sang dengan kondisi yang cukup baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Indriani dkk, (2009) bahwa individu Daun Sang ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di punggung bukit. Kondisi Lokasi Penelitian Taman Nasional Gunung Leuser merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Penelitian dilakukan di Resort Sei Betung yang merupakan bagian dari kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Resort Sei Betung memiliki luas 9.734 Ha. Berdasarkan letak geografis , lokasi penelitian adalah 03̊ 94’− 03̊ 95’ Lintang Utara dan 98̊ 08’− 98̊ 09’ Bujur Timur. (Manurung, 2012) Menurut Manurung (2012), kawasan tersebut memiliki keadaan topografi yang sulit untuk dilalui, ketinggian punggung bukit yang paling tinggi adalah 104 mdpl dan yang paling rendah adalah 29 mdpl. Sehingga pembuatan petak contoh dilakukan pada kedua kawasan tersebut. Di dalam kawasan hutan Resort Sei Betung terdapat kawasan hutan yaitu Sekundur Kecil dan Sekundur Besar. Kondisi jalan menuju lokasi penelitian tergolong terjal, melewati lembah yang curam. Sehingga untuk dapat mencapai lokasi penelitian harus ditempuh dengan cara berjalan menelusuri jalan setapak. Gambar 2 merupakan akses jalan menuju lokasi penelitian. Gambar 2. Akses Jalan Menuju Lokasi Penelitian