Konstruktivisme dalam Pemikiran

advertisement
Konstruktivisme dalam
Pemikiran
Ditulis oleh Bagus Takwin
Sabtu, 01 Desember 2007
Membaca tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang
pendidikan, saya teringat pada pendekatan konstruktivisme
dalam pendidikan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa
titik-berat proses belajar-mengajar terletak pada murid. Pengajar
berperan sebagai fasilitator atau instruktur yang membantu
murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi dari masalah
yang dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang
optimal adalah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning).
Kesamaan ini saya kira bukan suatu kebetulan. Konstruktivisme yang sudah besar
pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara
langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar
pertama yang dari pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan adalah ‘teori
konvergensi’ yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi
dari faktor bawaan (nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Dalam tulisannya berjudul
”Tentang dasar dan ajar” di Pusara Nopember 1940-Jilid 9 no. 9/11, Ki Hadjar
menunjukkan keberpihakannya kepada teori konvergensi. Menurutnya, baik ‘dasar’
(faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak
seseorang.
Dari Teori Konvergensi ke ‘Sistem Merdeka’
Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hadjar teori konvergensi diturunkan
menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya ‘sistem
merdeka’. Dalam tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan. Faham Tua dan Faham
Baru” yang dimuat di Waskita edisi Mei 1929-Jilid I no. 8, Ki Hadjar mengemukakan 10
syarat untuk melakukan ‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil yang baik. Inti dari
syarat-syarat itu dalam hemat saya adalah memfasilitasi siswa untuk memperoleh
pengalaman yang dapat dijadikan media pembelajaran, mencakup pembelajaran tentang
konsekuensi logis dari tindakan sesuai dengan hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang
pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Ki Hadjar
menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa
menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada
masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri
tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib.
Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir.
Jika dicermati, maka ‘sistem merdeka’ dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan
konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil
konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang
yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian (Bettencourt, dalam Suparno,
1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada
orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.
Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode
pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach &
Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai
orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam
lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan
peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek
utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun
pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya
pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya
memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal
terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar
(Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan
sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.
Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar
yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya
perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan
melakukan perintah (dalam bahasa Jawa = dhawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik
sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti
(rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...”
Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang
yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia
mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada
ganjaran dan hukuman, maka “ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai
hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan.” Ini mengingatkan saya kepada teori
perkembangan dari tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954), bahwa anak
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objekobjek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah
memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari
tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari
konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar dan
konstruktivisme.
Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra para siswa
untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan
dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses
belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta
makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap
berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara
kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.
Sejalan dengan konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut Wuri
Handayani”, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa,
membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu
siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna
bagi masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia memahami
konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa dalam
menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar sehingga
siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-saat siswa
sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan untuk
menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada pengajar.
Pengajar harus memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan
menghargai pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan pendapat yang
berbeda bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. Apa yang dikatakan oleh murid
dalam menjawab sebuah pertanyaaan adalah masuk akal bagi mereka saat itu. Jika
jawaban itu jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip keilmuan atau membahayakan,
maka pengajar harus hati-hati dalam memberi pengarahan. Jangan sampai pengarahan
yang diberikan menghilangkan rasa ingin tahu siswa atau menimbulkan konflik antara
pengajar dengan siswa. Dalam perkataan Ki Hadjar, “Si pendidik hanya boleh membantu
kodrat-iradatnya “keadilan”, kalau buahnya segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul
karena adanya rintangan, atau kalau buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang.”
Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar
Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hadjar adalah pendidikan
Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang
dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato, tokoh
pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl Groos, serta
ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki Hadjar yang
banyak merujuk mereka.
Dari banyaknya rujukan yang digunakan, tampak jelas Ki Hadjar merupakan orang yang
giat belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah
pemikiran-pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus
menambah dan mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya
sebagai tokoh yang progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan
Indonesia. Tetapi yang menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia,
khususnya dalam bidang pendidikan adalah kemampuannya menempatkan pemikiranpemikiran mutakhir itu dalam konteks Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya menyerap atau
meniru pemikiran para ahli, melainkan memodifikasi dan mengembangkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Dalam karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan
sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan
keluarga sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya
“Mobilisasi Intelektual Nasional untuk Mengadakan Wajib Belajar” dalam Keluarga edisi
Desember 1936 th. 1 no.2, Ki Hadjar mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam
proses pembelajaran rakyat Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis.
Di situ ia mengemukakan ‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena
praktisnya, mudah dilakukan oleh tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk
dipakai bagi tiap-tiap orang di dalam keluarga.” Dalam banyak tulisan, Ki Hadjar juga
menempatkan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan. Dalam tulisan “Pendidikan
Keluarga” yang dimuat dalam Keluarga edisi Oktober 1937 tahun ke-1 no. 11, Ki Hadjar
menyimpulkan perlunya anak-anak dikembalikan “ke dalam alam keluarganya”.
Keluarga adalah hak anak dan oleh karena itu jangan merampas anak dari keluarganya.
Di sisi lain, jangan juga keluarga membuang anak ke sekolah karena kebutuhan utama
anak ada dalam keluarga.
Bagi Ki Hadjar, keluarga adalah alam yang paling penting bagi pertumbuhan anak.
Apalagi di Indonesia, pola hidup kekeluargaan dan kelekatan orang dengan keluarga
dinilai sangat penting. “Mulai dari kecil hingga dewasa anak-anak hidup di tengah
keluarganya.” Begitu tulis Ki Hadjar. “Ini berarti bahwa anak-anak itu baik di dalam
“masa peka”-nya ... maupun di dalam periode bertumbuhnya fikiran ... mendapat
pengaruh yang sebanyak-banyaknya serta sedalam-dalamnya dari keluarganya masingmasing.” Keluarga merupakan lingkungan yang sangat bermakna bagi anak. Apa yang
terjadi dalam keluarga merupakan fenomena yang dihayati anak sebagai peristiwa
penting dan oleh karena itu dijadikan titik-tolak anak untuk belajar dan berusaha
memahami dunia. Pendidikan yang tidak relevan dengan keluarga akan cenderung
diabaikan anak sebab dinilai bukan sebagai hal yang bermakna.
Pemikiran Ki Hadjar tentang pentingnya keluarga sebagai komunitas yang bermakna bagi
anak sejalan dengan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran dan
perolehan pengetahuan pada anak akan terjadi jika dan hanya jika apa yang akan
dipelajari dan diketahui itu relevan dengan kehidupan anak. Objek-objek yang bermakna
(dalam arti dianggap penting) akan dikenali dan dipelajari sehingga representasinya
disimpan dalam kognisi (pikiran) anak dalam bentuk pengetahuan. Sebaliknya objekobjek yang tak bermakna akan diabaikan oleh anak. Anak-anak memilih sendiri
pengetahuan apa yang akan dikonstruksi dalam pikiran berdasarkan derajat
kepentingannya. Lingkungan sosial, dengan keluarga sebagai pusat, memberikan dasar
penting-tidaknya suatu pengetahuan bagi anak. Pemikiran ini juga sejalan dengan
pemikiran Vygotsky (1978) yang menjadi salah satu dasar dari konstruktivisme-sosial.
Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil
dari Ki Hadjar. Meski dewasa ini sudah banyak ahli pendidikan dan psikologi pendidikan
yang menekankan pentingnya konteks sosial-budaya tempat siswa hidup, tetap saja
rumusan tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia yang komprehensif baru
dikemukakan oleh Ki Hadjar. Dalam kumpulan karyanya tentang pendidikan (terbit ulang
tahun 2004), kita temukan berbagai rumusan konsep pendidikan yang berkonteks
Indonesia itu. Di antaranya dalam tulisan “Pendidikan dan pengajaran nasional”, “Taman
Madya”, “Taman Siswa dan Shanti Niketan”, “Olah gending minangka
panggulawentah/Olah gending sebagai pendidikan”, “Kesenian dalam Pendidikan”,
“Faedahnya sistim pondok’, dan “Pengajaran budipekerti”. Di dalamnya juga termasuk
pentingnya pendidikan memfasilitasi siswa untuk mempelajari etika, ada-istiadat dan
budi-pekerti agar siswa nantinya dapat hidup mandiri dan ikut berkontribusi dalam
masyarakatnya.
Penelusuran dalam karya-karya tulis Ki Hadjar memberi pelajaran penting bagi saya:
orisinalitas dan progresivitas Ki Hadjar dalam hal pemikiran tentang pendidikan
merupakan teladan berharga bagi Bangsa Indonesia. Orisinalitas itu lahir dari wawasan
dan pemahaman yang luas tentang bidang pendidikan yang ia geluti, juga tentang
kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia. Tentunya pemahaman itu diperoleh melalui
proses belajar yang panjang. Ketekunan dan kegigihan tercakup di dalamnya. Secara
kreatif berbagai pemahaman dan pengetahuan itu diolah oleh Ki Hadjar untuk
menghasilkan pemikiran yang khas dan orisinal. Di situ juga tampak jelas keterbukaan
pikiran Ki Hadjar terhadap berbagai pandangan dan pemikiran tokoh-tokoh dunia.
Ketekunannya mempelajari berbagai perkembangan baru dalam pendidikan
memungkinkannya menyerap itu semua.
Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan
progresivitas pemikiran Ki Hadjar. Ia menjadi tokoh Indonesia yang berpikir ke depan
melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai bangsa. Itulah yang
menjadikan pikirannya tetap relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia menggunakan berbagai
pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk
menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat. Dari situ, saya memahami
Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada
aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya
secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang
dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa ia hidup. Dari pergulatannya dengan berbagai
persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.
Orisinalitas dan progresivitas. Itulah yang menurut saya warisan amat berharga dari Ki
Hadjar. Kita perlu meneladaninya, mengusahakan diri menjadi orang yang mandiri,
mampu berpikir kreatif untuk menghasilkan solusi orisinal, berorientasi ke depan dan ikut
memberi kontribusi kepada perkembangan masyarakat Indonesia. Untuk itu, lagi-lagi
belajar dari Ki Hadjar, ketekunan dan kegigihan belajar serta kepedulian dan keterlibatan
dalam persoalan Bangsa Indonesia perlu kita miliki. ***
Bagus Takwin, Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka
Dewantara, K.H. 2004. Karya K.H. Dewantara, bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Fosnot, C. 1996. “Constructivism: A Psychologycal Theory of Learning”. Dalam C.
Fosnot (Editor): Constructivism: Theory, Perspectives, and Practice. NewYork: Teachers
College.
Lorsbach, A. & K. Tobin. 1992. “Cosntructivism as a referent for Science Teaching”.
NARST Research Matters — to the Science Teacher, No. 30.
Novak, J.D., & B. Gowin. 1984. Learning How to Learn. Cambridge: Cambridge
University Press.
Piaget, Jean (1954). The Construction of Reality in the Child. New York: Ballantine
Books.
Resnick, Lauren B., John M. Levine, & Stephanie D. Teasley. 1991. Perspectives on
Socially Shared Cognition. Washington, DC: American Psychological Association.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Harvard University Press.
Teori Komunikasi Klasik: Teori Informasi
Posted on August 9, 2007 by fickry
Studi komunikasi dewasa ini telah banyak melahirkan berbagai macam teori yang
masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Ada banyak teori tentang
komunikasi. Berdasarkan kurun waktu dan pemahaman atas makna komunikasi, teori
komunikasi semakin hari berkembang seiring berkembangnya teknologi informasi yang
memakai komunikasi sebagai fokus kajiannya.
Teori komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi
klasik melihat fenomena komunikasi tidak fragmatis. Artinya, komunikasi dipandang
sebagai sesuatu yang kompleks-tidak sesederhana yang dipahami dalam teori komunikasi
klasik.
Pendekatan dalam memahami komunikasi pun tidak hanya mengacu pada teori semata,
tetapi juga memperhitungkan mazhab dan model apa yang dipakai. Mazhab yang dipakai
antara lain mazhab proses dan semiotika. Namun, dalam paper ini saya tidak membahas
teori kontemporer yang dianggap ‘pahlwan revolusioner’, tetapi saya mengajak anda
untuk mengkaji lebih detail tentang salah satu teori komunikasi klasik yang dicetuskan
oleh Shannon dan Weaver, yaitu teori matematis atau teori informasi yang berkembang
setelah perang dunia II . Teori yang termasuk ke dalam tradisi sibernetik ini mengkaji
bagaimana mengirim sejumlah informasi yang maksimum melalui saluran yang ada.
Tentunya teori ini memiliki kelebihan dan kelemahan jika dibandingkan dengan teoriteori lainnya. Apakah teori ini masih relevan atau justru sudah tidak dapat disentuh sama
sekali. Namun, kita tidak bisa menafikkan kontribusi Shannon dan Weaver dalam
memberikan inspirasi ahli-ahli komunikasi berikutnya yang terus mengembangkan
teorinya seperti Gerbner, Newcomb, Westley dan MacLean, dan lain-lain.
Teori Informasi atau Matematis
1. Konteks Sejarah
Salah satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori komunikasi
selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis. Teori ini merupakan bentuk
penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver (1949, Weaver. 1949 b),
Mathematical Theory of Communication.
Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan informatif:
komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan
media komunikasi. Ini merupakan salah satu contoh gamblang dari mazhab proses yang
mana melihat kode sebagai sarana untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya
(encoding dan decoding). Titik perhatiannya terletak pada akurasi dan efisiensi proses.
Proses yang dimaksud adalah komunikasi seorang pribadi yang bagaimana ia
mempengaruhi tingkah laku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek yang
ditimbulkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka mazhab ini cenderung
berbicara tentang kegagalan komunikasi. Ia melihat ke tahap-tahap dalam komunikasi
tersebut untuk mengetahui di mana letak kegagalannya. Selain itu, mazhab proses juga
cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan
cenderung memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi.
Karya Shannon dan Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Perang Dunia II di
Bell Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri adalah
insiyiur di sana yang berkepentingan atas penyampaian pesan yang cermat melalui
telepon. Kemudian Weaver mengembangkan konsep Shannon ini untuk diterapkan pada
semua bentuk komunikasi. Titik kajian utamanya adalah bagaimana menentukan cara di
mana saluran (channel) komunikasi digunakan secara sangat efisien. Menurut mereka,
saluran utama dalam komunikasi yang dimaksud adalah kabel telepon dan gelombang
radio.
Latar belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan Weaver ini tampak dalam
penekanan mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon, faktor yang terpenting dalam
keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang disampaikan-seperti
pada mazhab semiotika, tetapi lebih pada berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses
transmisi.
Penjelasan Teori Informasi Secara Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
Teori informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat
melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada
pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter, receiver, dan code
untuk memudahkan efisiensi informasi.
Sinyal Sinyal yang diterima
(Model Komunikasi Shannon dan Weaver)
Jika dianalogikan dengan pesawat telepon, salurannya adalah kabel, sinyalnya adalah
arus listrik di dalamnya, dan transmitter dan penerimanya adalah pesawat telepon. Dalam
percakapan, mulut adalah transmitternya, sedangkan gelombang suara yang ke luar
melalui saluran udara adalah sinyalnya, dan telinga adalah penerimanya.
Shannon dan Weaver membuat model komunikasi yang dilihat sebagai proses linear yang
sangat sederhana. Karakteristik kesederhanaanya ini menonjol dengan jelas. Mereka
menyoroti masalah-masalah komunikasi (penyampaian pesan) berdasarkan tingkat
kecermatannya.
Sebagaimana yang dipakai dalam teori komunikasi informasi atau matematis, konsep
tidak mengacu pada makna, akan tetapi hanya memfokuskan titik perhatiannya pada
banyaknya stimulus atau sinyal.
Konsep dasar dalam teori ini adalah entropi dan redundansi-konsep yang dipinjam dari
thermodynamics. Kedua konsep ini saling mempengaruhi dan bersifat sebab akibat
(kausatif). Di mana entropi akan sangat berpengaruh terhadap redundansi yang timbul
dalam proses komunikasi.
Entropi
Entropi adalah konsep keacakan, di mana terdapat suatu keadaan yang tidak dapat
dipastikan kemungkinannya. Entropi timbul jika prediktabilitas/kemungkinan rendah
(low predictable) dan informasi yang ada tinggi (high information). Sebagai contoh ada
pada penderita penyakit Aids. Pengidap Aids atau yang lebih sering disebut OHIDA tidak
dapat dipastikan usianya atau kapan ia akan dijemput maut. Ada yang sampai delapan
tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai dua puluh tahun, masih bisa menjalani hidup
sebagaimana orang yang sehat. Hal ini dikarenakan ajal atau kematian adalah sebuah
sistem organisasi yang kemungkinannya sangat tidak dapat dipastikan.
Dengan kata lain, semakin besar entropi, semakin kecil kemungkinan-kemungkinannya
(prediktabilitas). Informasi adalah sebuah ukuran ketidakpastian, atau entropi, dalam
sebuah situasi. Semakin besar ketidakpastian, semakin besar informasi yang tersedia
dalam proses komunikasi. Ketika sebuah situasi atau keadaan secara lengkap dapat
dipastikan kemungkinannya atau dapat diprediksikan-highly predictable, maka informasi
tidak ada sama sekali. Kondisi inilah yang disebut dengan negentropy.
Redundansi
Konsep kedua yang merupakan kebalikan dari entropi adalah redundansi. Redudansi
adalah sesuatu yang bisa diramalkan atau diprediksikan (predictable). Karena
prediktabilitasnya tinggi (high predictable), maka informasi pun rendah (low
information). Fungsi dari redundan dalam komunikasi menurut Shannon dan Weaver ada
dua, yaitu yang berkaitan dengan masalah teknis dan yang berkaitan dengan perluasan
konsep redundan itu sendiri ke dalam dimensi sosial.
Fungsi redundansi apabila dikaitkan dengan masalah teknis, ia dapat membantu untuk
mengatasi masalah komunikasi praktis. Masalah ini berhubungan dengan akurasi dan
kesalahan, dengan saluran dan gangguan, dengan sifat pesan, atau dengan khalayak.
Kekurangan-kekurangan dari saluran (channel) yang mengalami gangguan (noisy
channel) juga dapat diatasi oleh bantuan redundansi. Misalnya ketika kita berkomunikasi
melalui pesawat telepon dan mengalami gangguan, mungkin sinyal yang lemah, maka
kita akan mengeja huruf dengan ejaan yang telah banyak diketahui umum, seperti charlie
untuk C, alpa untuk huruf A, dan seterusnya. Contoh lain, apabila kita ingin
mengiklankan produk kita kepada masyarakat konsumen baik melalui media cetak
(koran, majalah, atau tabloid) ataupun elektronik (radio dan televisi), maka redundansi
berperan pada penciptaan pesan (iklan) yang dapat menarik perhatian, sangat simpel,
sederhana, berulang-ulang dan mudah untuk diprediksikan (predictable).
Selain masalah gangguan, redundansi juga membantu mengatasi masalah dalam
pentransmisian pesan entropik dalam proses komunikasi. Pesan yang tidak diinginkan
atau tidak diharapkan, lebih baik disampaikan lebih dari satu kali, dengan berbagai cara
yang sekreatif mungkin.
Fungsi kreatif redundansi ini juga bila dikaitkan dengan khalayak, akan sangat membantu
sekali pada masalah jumlah dan gangguan pesan di dalamnya. Jika pesan yang ingin
disampaikan tertuju pada khalayak yang besar dan heterogen, maka pesan tersebut harus
memiliki tingkat redundansi yang tinggi, sehingga pesan yang disampaikan akan berhasil
dan mudah dicerna. Sebaliknya, jika khalayak berada pada jumlah yang kecil, spesialis,
dan homogen, maka pesan yang akan disampaikan akan lebih entropik.
Contoh dari fungsi redundansi di atas misalnya pada pemaknaan seni populer (popular
art) yang lebih redundan dari pada seni bercita rasa tinggi (highbrow art). Hal ini
dikarenakan seni populer lebih mudah untuk dicerna dan dipahami oleh banyak khalayak
dari pada seni bercita rasa tinggi di mana khalayak yang mengerti hanya beberapa
golongan elit saja.
Selain masalah di atas, konsep redundansi juga bisa diperluas hubungannya dengan
konvensi dan hubungan realitas sosial masyarakat.
Redundansi dan Konvensi
Konvensi adalah menyusun suatu pesan dengan pola-pola yang sama. Pengertian
sederhananya dapat dipahami sebagai bentuk baku yang telah umum diterima sebagai
pedoman. Sebagai contoh, dalam karya sastra lama ada yang disebut dengan pantun.
Pantun merupakan salah satu bentuk karya sastra lama (klasik) yang memiliki
karakteristik tersendiri. Cirinya antara lain berpola AB AB, artinya bunyi huruf terakhir
dari dua baris terakhir pasti sama dengan bunyi dua huruf terakhir dua baris pertama.
Contoh:
Jalan-jalan ke sawah Lunto
Keliling jalan Batu Sangkar
Tegaklah tikus berpidato
Kucing mendengar habis bertengkar
Pada contoh pantun di atas, kita setidaknya dapat meramalkan bahwa baris ketiga dan
keempat pasti memiliki bunyi yang sama dengan baris pertama dan kedua, walaupun kita
belum mengetahui isi dan maknanya. Hal ini dikarenakan pantun menekankan
pengulangan dan pola-pola yang bisa diramalkan. Sehingga ini bisa meningkatkan
redundansi dan menurunkan entropi.
Ketika berbicara masalah entropi dan redundansi pada masalah karya seni , kita
mengetahui bahwa karya seni bukan merupakan hal yang statis dan kaku. Ia akan terus
berubah dan bersifat dinamis seiring perkembangan nilai dan corak hidup masyarakat.
Karya seni ada kalanya akan bersifat ‘nakal’ atau ‘nyeleneh’ dan melanggar konvensikonvensi yang ada, sehingga menjadi entropik bagi khalayak yang ada di dekatnya.
Namun, ia juga akan berusaha mengikis imej itu secara perlahan dengan membangun
sendiri konvensi-konvensi baru yang awalnya hanya ada pada khalayak yang jumlahnya
terbatas. Maka dengan sendirinya karya seni tadi akan diterima dan dipelajari secara luas,
sehingga dapat meningkatkan redundansinya. Sebagai contoh, seni lukis tubuh (body
paint) yang dahulu dianggap tabu sekarang dianggap sebagai hal yang biasa dan
mempunyai nilai seni.
Teori informasi yang dikemukakan Shannon dan Weaver ini banyak menuai kritik . Salah
satunya adalah ia tidak mnjelaskan konsep umpan balik (feedback) dalam model teorinya.
Padahal dalam konsep analogi pesawat telepon yang ia kemukakan, konsep umpan balik
sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan komunikasi. Hal ini dikarenakan
teori yang ia kaji hanya melihat komunikasi sebagai fenomena linear satu arah.
Teori informasi (matematis) yang ia kaji hanya melihat komunikasi dari faktor
komunikator yang dominan. Padahal penerima sebagai komunikan pun adalah bagian
dari proses komunikasi yang akan terlibat jika konsep umpan balik ia masukkan. Selain
itu umpan balik juga justru bisa memberitahukan kegagalan dalam komunikasi. Sebagai
contoh, ketika seseorang menelpon dan yang ditelepon tidak melakukan reaksi apapun,
atau mungkin sinyal di udara lemah, maka reaksi diam penerima sebenarnya adalah
umpan balik bagi sumber atau penelpon.
Selain konsep umpan balik yang tidak diusung dalam teori informasi, sebenarnya,
Shannon dan weaver juga tidak mengkaji detil tentang peranan medium (media) dalam
teorinya. Ia hanya terfokus pada fungsi saluran atau transmitter. Padahal konsep medium
tidak dapat dipisahkan dari konsep transmisi yang ia usung sebelumnya.
Secara garis besar, jika dibandingkan dengan teori kontemporer, misalnya,
interaksionisme simbolik, model teori Shannon dan Weaver ini terlalu sederhana. Padahal
komunikasi terdiri dari banyak aspek seperti yang dikatakan Schramm sebagai area studi
Multidisipliner. Ia akan selalu berkaitan dengan ilmu sosial, psikologi, kejiwaan,
teknologi, bahkan perang. []
Daftar Pustaka
Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Effendy, Onong Uchjana. (1992). Spektrum Komunikasi. Bandung: Penerbit Mandar
Maju
Fiske, John. (1999). Introduction To Communication Studies. 2nd Edition. London:
Guernsey Press Co Ltd
Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA:
McGraw-Hill
Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth
Group
Miller, Katherine. (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and
Contexts. USA: McGraw Hill
Mulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Susanto, Astrid. S. (1977). Komunikasi Kontemporer. Jakarta: Penerbit Binacipta
Teori Belajar Konstruktivisme
Oleh: Anwar Holil
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran
konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan
bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturanaturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat
menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan
segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini
berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori
psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk
menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar
dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi,
dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).
Sumber: MENJADI MANUSIA PEMBELAJAR
Komunikasi yang Efektif
Ketika kembali dari Singapura sehabis menerima MTV Awards Asia, Piyu, salah seorang
personal grup band PADI membawakan sebuah buku yang sangat bagus buat saya. Judulnya
Say it like Shakespeare karya Thomas Leech seorang pakar dan konsultan komunikasi bisnis,
pembicara publik yang terkenal di Amerika Serikat. Kliennya termasuk perusahaan-perusahaan
besar yang terdaftar dalam Fortune 500.
Pengelola rubrik:
Aribowo Prijosaksono
dan Roy Sembel
Aribowo Prijosaksono (email:[email protected]) dan Roy Sembel (http://www.roysembel.com) adalah co-founder dan direktur The Indonesia Learning Institute – INLINE
(http://www. inline.or.id), sebuah lembaga pembelajaran untuk para eksekutif dan profesional.
Tidak peduli seberapa berbakatnya seseorang, betapapun unggulnya sebuah produk, atau
seberapa kuatnya sebuah kasus hukum, kesuksesan tidak akan pernah diperoleh tanpa
penguasaan ketrampilan komunikasi yang efektif. Apakah anda sedang mempersiapkan
presentasi, negosiasi bisnis, melatih tim bola basket, membangun sebuah teamwork, bahkan
menghadapi ujian akhir gelar kesarjanaan, maka efektifitas komunikasi akan menentukan
kesuksesan anda dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Kemampuan anda dalam mengirimkan
pesan atau informasi dengan baik, kemampuan menjadi pendengar yang baik, kemampuan atau
ketrampilan menggunakan berbagai media atau alat audio visual merupakan bagian penting
dalam melaksanakan komunikasi yang efektif.
Menurut penulis buku ini tidak ada seorang pun di dunia yang memiliki kemampuan atau
pengetahuan dan pemahaman mengenai komunikasi sebaik yang dimiliki oleh William
Shakespeare, sastrawan Inggris yang sangat terkenal di abad pertengahan, yang hingga saat ini
masih dipandang sebagai referensi utama sastra dunia. Selama berabad-abad banyak sekali
komunikator ulung di dunia yang mendapatkan inspirasi dan panduan dari karya-karyanya yang
abadi. Buku ini justru menggali lebih dalam karya-karya sang jenius sastra ini dan
mengaplikasikan inspirasi dari karya-karya tersebut dalam dunia komunikasi baik personal
maupun dalam komunikasi bisnis. Karya-karya Shakespeare ternyata mampu memberikan
pelajaran-pelajaran yang bernilai tinggi untuk menjadi komunikator yang efektif dan ulung, baik
dalam dunia pekerjaan kita maupun dalam kehidupan pribadi kita.
Ada lima komponen atau unsur penting dalam komunikasi yang harus kita perhatikan yaitu:
pengirim pesan (sender), pesan yang dikirimkan (message), bagaimana pesan tersebut
dikirimkan (delivery channel atau media), penerima pesan (receiver), dan umpan balik
(feedback). Kelima hal inilah yang diuraikan dengan amat menarik melalui penggalan-penggalan
frase dari karya-karya Shakespeare tersebut. Seperti penggalan syair berikut yang diucapkan
oleh tokoh karakter Ulysses yang diambil dari karya Shakespeare yang berjudul Troilus and
Cressida yang berbunyi:
No man is the lord of anything, Though in and of him there be much consisting, Till he
communicate his parts to others.
Disinilah letak pentingnya kemampuan mengembangkan komunikasi yang efektif yang
merupakan salah satu ketrampilan yang amat diperlukan dalam rangka pengembangan diri kita
baik secara personal maupun profesional. Paling tidak kita harus menguasai empat jenis
ketrampilan dasar dalam berkomunikasi yaitu: menulis – membaca (bahasa tulisan) dan
mendengar – berbicara (bahasa lisan). Bayangkan betapa waktu-waktu kita setiap detik setiap
saat kita habiskan untuk mengerjakan setidaknya salah satu dari keempat hal itu. Oleh
karenanya kemampuan untuk mengerjakan ketrampilan dasar komunikasi tersebut dengan baik
mutlak diperlukan demi efektifitas dan keberhasilan kita.
Menurut Stephen Covey, justru komunikasi merupakan ketrampilan yang paling penting dalam
hidup kita. Kita menghabiskan sebagian besar jam di saat kita sadar dan bangun untuk
berkomunikasi. Sama halnya dengan pernafasan, komunikasi kita anggap sebagai hal yang
otomatis terjadi begitu saja, sehingga kita tidak memiliki kesadaran untuk melakukannya dengan
efektif. Kita tidak pernah dengan secara khusus mempelajari bagaimana menulis dengan efektif,
bagaimana membaca dengan cepat dan efektif, bagaimana berbicara secara efektif, apalagi
bagaimana menjadi pendengar yang baik. Bahkan untuk yang terakhir, yaitu ketrampilan untuk
mendengar tidak pernah diajarkan atau kita pelajari dalam proses pembelajaran yang kita
lakukan baik di sekolah formal maupun pendidikan informal lainnya. Bahkan menurut Covey,
hanya sedikit orang yang pernah mengikuti pelatihan mendengar. Dan sebagian besar pelatihan
tersebut adalah teknik Etika Kepribadian, yang terpotong dari dasar karakter dan dasar hubungan
yang mutlak vital bagi pemahaman kita terhadap keberadaan orang lain.
Stephen Covey menekankan konsep kesalingtergantungan (interdependency) untuk menjelaskan
hubungan antar manusia. Unsur yang paling penting dalam komunikasi bukan sekedar pada apa
yang kita tulis atau kita katakan, tetapi pada karakter kita dan bagaimana kita menyampaikan
pesan kepada penerima pesan. Jika kata-kata ataupun tulisan kita dibangun dari teknik
hubungan manusia yang dangkal (etika kepribadian), bukan dari diri kita yang paling dalam (etika
karakter), orang lain akan melihat atau membaca sikap kita. Jadi syarat utama dalam komunikasi
efektif adalah karakter yang kokoh yang dibangun dari fondasi integritas pribadi yang kuat.
Kita bisa menggunakan analogi sistem bekerjanya sebuah bank. Jika kita mendeposito-kan
kepercayaan (trust) kita, ini akan tergambar dalam perasaan aman yang kita miliki ketika kita
berhubungan dengan orang lain. Jika saya membuat deposito di dalam rekening bank emosi
dengan Anda melalui integritas, yaitu sopan santun, kebaikan hati, kejujuran, dan memenuhi
setiap komitmen saya, berarti saya menambah cadangan kepercayaan Anda terhadap saya.
Kepercayaan Anda menjadi lebih tinggi, dan dalam kondisi tertentu, jika saya melakukan
kesalahan, anda masih dapat memahami dan memaafkan saya, karena anda mempercayai saya.
Ketika kepercayaan semakin tinggi, komunikasi pun mudah, cepat, dan efektif.
Covey mengusulkan enam deposito utama yang dapat menambah rekening bank emosi dalam
hubungan kita dengan sesama:
Berusaha benar-benar mengerti orang lain.
Ini adalah dasar dari apa yang disebut emphatetic communication- komunikasi empatik. Ketika
kita berkomunikasi dengan orang lain, kita biasanya ”berkomunikasi” dalam salah satu dari empat
tingkat. Kita mungkin mengabaikan orang itu dengan tidak serius membangun hubungan yang
baik. Kita mungkin berpura-pura. Kita mungkin secara selektif berkomunikasi pada saat kita
memerlukannya, atau kita membangun komunikasi yang atentif (penuh perhatian) tetapi tidak
benar-benar berasal dari dalam diri kita.
Bentuk komunikasi tertinggi adalah komunikasi empatik, yaitu melakukan komunikasi untuk
terlebih dahulu mengerti orang lain – memahami karakter dan maksud/tujuan atau peran orang
lain.
Kebaikan dan sopan santun yang kecil-kecil begitu penting dalam suatu hubungan – hal-hal yang
kecil adalah hal-hal yang besar.
Memenuhi komitmen atau janji adalah deposito besar; melanggar janji adalah penarikan yabng
besar.
Menjelaskan harapan. Penyebab dari hampir semua kesulitan dalam hubungan berakar di dalam
harapan yang bertentangan atau berbeda sekitar peran dan tujuan. Harapan harus dinyatakan
secara eksplisit.
Meminta maaf dengan tulus ketika Anda membuat penarikan.
Memperlihatkan integritas pribadi. Integritas pribadi menghasilkan kepercayaan dan merupakan
dasar dari banyak jenis deposito yang berbeda.
Integritas merupakan fondasi utama dalam membangun komunikasi yang efektif. Karena tidak
ada persahabatan atau teamwork tanpa ada kepercayaan (trust), dan tidak akan ada
kepercayaan tanpa ada integritas. Integritas mencakup hal-hal yang lebih dari sekadar kejujuran
(honesty). Kejujuran mengatakan kebenaran atau menyesuaikan kata-kata kita dengan realitas.
Integritas adalah menyesuaikan realitas dengan kata-kata kita. Integritas bersifat aktif,
sedangkan kejujuran bersifat pasif.
Setelah kita memiliki fondasi utama dalam membangun komunikasi yang efektif, maka hal berikut
adalah kita perlu memperhatikan 5 Hukum Komunikasi Yang Efektif (The 5 Inevitable Laws of
Efffective Communication) yang kami kembangkan dan rangkum dalam satu kata yang
mencerminkan esensi dari komunikasi itu sendiri yaitu REACH, yang berarti merengkuh atau
meraih. Karena sesungguhnya komunikasi itu pada dasarnya adalah upaya bagaimana kita
meraih perhatian, cinta kasih, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari
orang lain.
Hukum # 1: Respect
Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi yang efektif adalah sikap menghargai setiap
individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai
merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa
pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik
atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaaan
seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan
menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan
meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai
sebuah tim.
Bahkan menurut mahaguru komunikasi Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and
Influence People, rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan
dengan manusia adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Seorang ahli
psikologi yang sangat terkenal William James juga mengatakan bahwa ”Prinsip paling dalam
pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai.” Dia mengatakan ini sebagai suatu
kebutuhan (bukan harapan ataupun keinginan yang bisa ditunda atau tidak harus dipenuhi), yang
harus dipenuhi. Ini adalah suatu rasa lapar manusia yang tak terperikan dan tak tergoyahkan.
Lebih jauh Carnegie mengatakan bahwa setiap individu yang dapat memuaskan kelaparan hati
ini akan menggenggam orang dalam telapak tangannya.
Charles Schwabb, salah satu orang pertama dalam sejarah perusahaan Amerika yang mendapat
gaji lebih dari satu juta dolar setahun, mengatakan bahwa aset paling besar yang dia miliki
adalah kemampuannya dalam membangkitkan antusiasme pada orang lain. Dan cara untuk
membangkitkan antusiasme dan mendorong orang lain melakukan hal-hal terbaik adalah dengan
memberi penghargaan yang tulus. Hal ini pula yang menjadi satu dari tiga rahasia manajer satu
menit dalam buku Ken Blanchard dan Spencer Johnson, The One Minute Manager.
Hukum # 2: Empathy
Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang
dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah
kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau
dimengerti oleh orang lain. Secara khusus Covey menaruh kemampuan untuk mendengarkan
sebagai salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti
terlebih dahulu, baru dimengerti (Seek First to Understand – understand then be understood to
build the skills of empathetic listening that inspires openness and trust). Inilah yang disebutnya
dengan Komunikasi Empatik. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita
dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun
kerjasama atau sinergi dengan orang lain.
Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara
dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Oleh karena itu
dalam ilmu pemasaran (marketing) memahami perilaku konsumen (consumer’s behavior)
merupakan keharusan. Dengan memahami perilaku konsumen, maka kita dapat empati dengan
apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan dan kesenangan dari konsumen.
Demikian halnya dengan bentuk komunikasi lainnya, misalnya komunikasi dalam membangun
kerjasama tim. Kita perlu saling memahami dan mengerti keberadaan orang lain dalam tim kita.
Rasa empati akan menimbulkan respek atau penghargaan, dan rasa respek akan membangun
kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun teamwork.
Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan
memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat
tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima.
Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap
menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap yang positif. Banyak sekali dari
kita yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi
dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak
ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan. Oleh karena itu
dalam kegiatan komunikasi pemasaran above the lines (mass media advertising) diperlukan
kemampuan untuk mendengar dan menangkap umpan balik dari audiensi atau penerima pesan.
Hukum # 3: Audible
Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati
berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan
baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan.
Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel
sedemikian hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada
kemampuan kita untuk menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu
audio visual yang akan membantu kita agar pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan
baik. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau
sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan.
Hukum # 4: Clarity
Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait
dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi
atau berbagai penafsiran yang berlainan. Ketika saya bekerja di Sekretariat Negara, hal ini
merupakan hukum yang paling utama dalam menyiapkan korespondensi tingkat tinggi. Karena
kesalahan penafsiran atau pesan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran akan
menimbulkan dampak yang tidak sederhana.
Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu
mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat
menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan atau anggota tim kita. Karena tanpa
keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat
dan antusiasme kelompok atau tim kita.
Hukum # 5: Humble
Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini
merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai
orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Dalam edisi Mandiri 32 Sikap
Rendah Hati pernah kita bahas, yang pada intinya antara lain: sikap yang penuh melayani (dalam
bahasa pemasaran Customer First Attitude), sikap menghargai, mau mendengar dan menerima
kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela
memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang
lebih besar.
Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada lima hukum pokok komunikasi yang efektif ini,
maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal dan pada gilirannya dapat
membangun jaringan hubungan dengan orang lain yang penuh dengan penghargaan (respect),
karena inilah yang dapat membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan
dan saling menguatkan.
Download