PENGADAAN BARANG DAN JASA DI BUMN OLEH :

advertisement
BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) :
TERMASUK LINGKUP HUKUM PRIVAT/BISNIS ATAU
HUKUM KEUANGAN NEGARA?
Henry D. Hutagaol
Email: [email protected]
SH, 2007, Universitas Indonesia
LLM, 2010, Universiteit van Amsterdam
UUD 1945
PENGUASA
Pasal 33 ayat 2
PENGUSAHA
(Publiek rechtelijk handeling)
vs
(Privat rechtelijk handeling)
Pemerintahan Umum
vs
Penyelenggara Negara
vs
Urusan Bisnis
Pelaku Usaha
PNS
APBN
Keppres 80/2003
(Perpres 54/2010)
vs
vs
vs
(Badan Usaha yang terdapat saham
Negara)
PEKERJA
RKAP
PER-05/MBU/2008 jo PER154/MBU/2012 dan Peraturan
Direksi
PER-02/MBU/2010 jo
PER-06/MBU/2010
(Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN)
PER-06/MBU/2011
(Pendayagunaan Aktiva Tetap BUMN)
PP 6/2006 jo PMK
96/PMK.06/2007
vs
Penghapusan : Menkeu, Presiden, DPR
vs
Menteri-Menteri Teknis
vs
Meneg BUMN
REGULASI
vs
Kepemilikan BUMN
REGULATOR
vs
BADAN PUBLIK
vs
HUKUM PUBLIK
vs
Penghapusan : Direksi, Dewan
Komisaris, Menteri BUMN/RUPS,
OPERATOR
BADAN PRIVAT
HUKUM PRIVAT
Kementerian BUMN
2 -
PENGERTIAN BUMN
BUMN :
• Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara;
• BUMN terdiri dari Persero dan Perum;
• Modalnya berasal dari penyertaan negara secara langsung;
• Penyertaan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan;
• Merupakan badan usaha, lembaga privat, bukan lembaga
publik, bukan instansi pemerintah;
• BUMN merupakan badan hukum tersendiri, memiliki kekayaan
tersendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri/pemiliknya
(negara).
• Bagi BUMN Persero (PT) berlaku sepenuhnya UUPT, dan UU
Pasar Modal bagi Persero Tbk.
• BUMN Persero berbeda dengan PT Swasta hanya dari segi
kepemilikan saja.
3
STATUS BUMN
•
•
•
•
•
•
Badan Hukum.
BUMN Persero berbentuk PT.
BUMN Persero tunduk sepenuhnya kepada UUPT.
BUMN adalah badan privat, bukan badan publik.
Bagi BUMN berlaku hukum privat.
BUMN (Persero) berbeda dengan swasta hanya dari segi
kepemilikan saham.
• Makna kepemilikan terhadap badan usaha (BUMN):
 Kepemilikan terhadap saham, bukan terhadap aset badan
usaha.
 Aset/kekayaan badan usaha merupakan milik badan usaha
itu sendiri.
4
STATUS KEKAYAAN BUMN
…1)
• BUMN sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari
kekayaan pendirinya (kekayaan negara)
• Kekayaan negara yang ada di BUMN hanya sebatas modal/saham (kekayaan
negara yang dipisahkan pada BUMN):
 Pasal 2 huruf g UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang
memasukkan Kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN tetap diakui
sebagai Keuangan Negara.
 Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan
bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
 Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN: Yang dimaksud dengan dipisahkan
adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan
modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan
pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun
pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat.
 Pasal 2 huruf g UU 17/2003 jo Pasal 4 ayat 1 UU 19/2003, dan teori Badan
Hukum, maka Keuangan Negara pada BUMN hanya sebatas saham/modal
pada BUMN (non-cash).
5
STATUS KEKAYAAN BUMN
…2)
• BUMN adalah badan hukum, karena itu ia memiliki kekayaan
sendiri.
• Kekayaan BUMN adalah kekayaan BUMN itu sendiri.
• Kekayaan/aset BUMN statusnya sama dengan kekayaan/aset
perusahaan perseroan terbatas lainnya, dapat diagunkan untuk
mendapatkan pinjaman, dan dapat disita dan dapat digadaikan.
• Yang tidak dapat diagunkan adalah Kekayaan Negara/Barang
Milik Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (5) UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: “Barang
Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan
untuk mendapatkan pinjaman”, dan Pasal 50: “Pihak manapun
dilarang melakukan penyitaan antara lain terhadap barang tidak
bergerak dan hak kebendaan lainnya milik Negara/Daerah”.
6
DUA REZIM HUKUM BERLAKU BAGI BUMN
7
Koperasi
NEGARA
BUMN
(PUBLIK)
BISNIS
(PRIVAT)
PT Swasta
Rezim Hukum publik/ UU Bidang Keuangan
Negara (mengatur Permodalan dan
eksistensi BUMN)
Ini yang membedakan BUMN dengan badan
usaha swasta, misal pendirian, perubahan
modal, merger, akuisisi, konsolidasi,
pembubaran BUMN harus dengan PP,
bahkan privatisasi melibatkan DPR
Rezim Hukum privat/UU bidang korporasi
(mengatur operasional BUMN)
Undang-undang memang menghendaki
agar BUMN (Persero) dalam melakukan
kegiatan usahanya tunduk pada hukum
korporasi seperti badan usaha swasta
Kementerian BUMN
8 -
Presiden
DPR
Menteri Keuangan
Menteri Teknis
BUMN
SWASTA
BPK
Penegak Hukum Tipikor
RUPS
Dewan Komisaris
Direksi
BUMN
9
KELEMBAGAAN
4
SWASTA
Lembaga yang terlibat dalam pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan BUMN lebih banyak daripada swasta.
Kondisi ini menjadikan BUMN tidak memiliki LEVEL OF PLAYING FIELD yang sama dengan SWASTA.
UU PT
UU PASAR MODAL
UU SEKTORAL
UU BUMN
BUMN
SWASTA
UU KEUANGAN NEGARA
UU PERBENDAHARAAN NEGARA
UU TIPIKOR
UU PEMERIKSAAN PENGEL & Tg
JAWAB KEU.NEG
BUMN
8
REGULASI
3
SWASTA
BUMN diwajibkan untuk mematuhi ketentuan yang jumlah dan lingkupnya lebih banyak daripada
swasta. Kondisi ini menjadikan BUMN tidak memiliki LEVEL OF PLAYING FIELD yang sama dengan
SWASTA.
PERLAKUAN PADA BUMN :
ANTARA NORMA DAN REALITAS
11
SEHARUSNYA
YANG TERJADI
• Keuangan Negara pada BUMN
sebatas saham (non-cash)
• Keuangan Negara meliputi
kekayaan BUMN.
• Kekayaan Negara di BUMN
sebatas saham
• Kekayaan BUMN dianggap
sebagai kekayaan Negara.
• Kerugian BUMN adalah
• Kerugian BUMN dianggap
kerugian perusahaan, bukan
kerugian Negara, masuk dalam
kerugian Negara, masuk dalam
ranah hukum Tipikor.
ranah perdata dan pidana
umum.
• Piutang BUMN adalah piutang
BUMN itu sendiri.
• Piutang BUMN dianggap piutang
Negara, walaupun hutang BUMN
tak diakui sebagai hutang
Negara.
• Penyimpangan di BUMN
diselesaikan oleh Pemegang
Saham/RUPS berdasarkan
prinsip business judgment
rule.
• UUPT, UU BUMN, dan UU Pasar
Modal seringkali diabaikan,
cenderung mendasarkan pada
UU Keuangan Negara/UU
Tipikor.
12
SEHARUSNYA
YANG TERJADI
• Pemegang Saham/RUPS memiliki
kewenangan korporasi (business
judgment rule) sebagaimana
pemegang saham/RUPS swasta.
• Pemegang Saham/RUPS BUMN,
dalam hal ini Menteri BUMN, tidak
memiliki kewenangan penuh selaku
RUPS dalam melakukan business
judgment rule, terutama apabila
terkait dengan kasus di BUMN.
• BUMN sebagai pengemban
amanah konstitusi (Pasal 33 ayat
2 UUD 1945), seharusnya
mendapat dukungan dari semua
pihak.
• BUMN dimarjinalkan, kelembagaan
dan regulasi bagi BUMN jauh lebih
banyak daripada kelembagaan dan
regulasi yang berlaku bagi swasta,
dengan dalih untuk mengamankan
aset Negara.
• Badan privat.
• Badan Publik.
• Kearsipan tunduk pada UU ttg
Dokumen Perusahaan (UU No.8
Tahun 1997)
• UU No. 43 Tahun 2009 tentang
Kearsipan diberlakukan pula bagi
BUMN.
• Hasil sitaan tindak pidana masuk
ke kas perusahaan.
• Hasil sitaan tindak pidana masuk ke
kas Negara
13
SEHARUSNYA
YANG TERJADI
• Tuntutan pembayaran
• Mantan karyawan menuntut
kekurangan pesangon, tunggakan
pembayaran kepada Pemerintah
gaji, seharusnya merupakan
(APBN).
tanggung jawab Direksi/BUMN.
• Tuntutan pembayaran hutang
BUMN, seharusnya merupakan
tanggung jawab Direksi/BUMN.
• Kreditor menuntut pembayaran
piutangnya kepada Pemerintah
(APBN).
• Remunerasi/penghasilan
Direksi/Komisaris seharusnya
benchmarking pada industri
sejenis.
• Remunerasi/penghasilan
Direksi/Komisaris dibandingbandingkan dengan gaji pejabat
publik.
• Tanah BUMN merupakan tanah
milik badan usaha, yang
penggunaannya harus
berdasarkan transaksi jualbeli/ganti-rugi.
• Masih ada instansi Pemerintah
yang meminta hibah terhadap
Tanah BUMN untuk kepentingan
pembangunan.
• Discount/insentif merupakan
praktek bisnis yang lazim
dilakukan dalam dunia usaha.
• Discount/insentif dianggap
“fraud”.
14
SEHARUSNYA
YANG TERJADI
• Regulasi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah harus equal treatment,
agar terjadi persaingan yang sehat
bagi dunia usaha (BUMN, BUMD,
koperasi, swasta).
• Instansi Pemerintah cenderung
untuk mengatur BUMN (regulasi),
dimana tidak diberlakukan bagi
swasta. (Contoh: kredit luar negeri
BUMN harus izin Tim PKLN, persepsi
penggunaan Perpres pengadaan
barang dan jasa, UU Kearsipan,
nyaris masuk kategori badan publik
dalam UU KIP, Direksi/Dekom/
pejabat BUMN disamakan dengan
penyelenggara Negara dan
statusnya sebagai pegawai negeri)
• BUMN diperlakukan sebagai
korporasi, termasuk aset dan
kekayaannya, serta tindakan dalam
menyelesaikan hutang-piutang.
• Berkembangnya opini yang
menyulitkan dalam praktek
pengelolaan BUMN, seperti aset
BUMN merupakan aset negara,
piutang BUMN merupakan piutang
negara, kerugian BUMN merupakan
kerugian negara, penghapusan aset
dan piutang BUMN harus izin
Menkeu/DPR, hapus tagih bank- 15
Negara
Yayasan
Koperasi
Perorang
an
PT
PT
PT
PT
(Persero
)
Dikelola dan tunduk sepenuhnya kepada UUPT
Tunduk kepada UU sektoral
UUKN (17/2003)
UUNN (1/2004)
UUPPTJKN
(15/2004)
UUBPK
UU Tipikor
16
PENYEBAB
• Euforia reformasi, khususnya dalam pemberantasan korupsi.
• Peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis .
• Penegak hukum mengacu kepada UU Keuangan Negara dan Tipikor,
yang memberikan dasar untuk masuk ke BUMN (ranah korporasi).
• Penegakan hukum korporasi dikesampingkan.
• Kurangnya pemahaman terhadap konsep korporasi, khususnya yang
terkait dengan konsep kemilikan kekayaan badan hukum.
(Kondisi perkembangan beberapa tahun terakhir, para penyidik sudah
mulai mempertimbangkan aspek korporasi dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus di BUMN)
17
KONSEKUENSI DARI ANGGAPAN KEKAYAAN BUMN
SEBAGAI KEKAYAAN NEGARA












Aset BUMN = aset Negara.
Kekayaan BUMN = kekayaan Negara.
Piutang BUMN = piutang Negara.
Kerugian BUMN = kerugian Negara.
Hutang BUMN = hutang Negara.
Aset Negara akan dilibatkan (dapat disita) dalam penyelesaian bisnis BUMN
dengan swasta, terutama dengan swasta asing.
Aset/tanah BUMN dijadikan sasaran utama untuk kepentingan instansi
Pemerintah (pusat/daerah).
Hasil sitaan tindak pidana di BUMN disetor ke Kas Negara.
Aset/tanah BUMN dijadikan sasaran okupasi oknum masyarakat.
Kekurangan pembayaran kepada kreditor/karyawan dalam proses
likuidasi/kepailitan menjadi beban APBN.
Resiko kerugian yang ditanggung Negara tidak lagi sebatas pada saham yang
dimiliki Negara.
Instansi Pemerintah selalu terdorong untuk membuat peraturan yang
mencampuri urusan korporasi (pengadaan barang/jasa, pengadaan pinjaman
luar negeri, BUMN ingin dijadikan badan publik, mengatur kearsipan)
18
KEMAJUAN HUKUM TERKAIT STATUS PIUTANG BUMN
19
KETIDAKHARMONISAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
PIUTANG BUMN
o Pasal 8 dan Pasal 12 UU/Prp No.49 Tahun 1960 tentang PUPN yang
memperlakukan BUMN sama dengan instansi Pemerintah, oleh
karena itu piutang BUMN sama dengan piutang Negara,
penyelesaian piutang BUMN mengikuti tata cara penyelesaian
piutang Negara.
Padahal Pasal 1 angka 6 UU No.1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa Piutang Negara
adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat.
Jadi, menurut UU No.1 Tahun 2004, piutang BUMN bukan piutang
Negara.
20


Piutang BUMN sebagaimana diatur dalam UU No.49/Prp Tahun 1960, sudah
tidak relevan lagi dan bertentangan dengan UUPN, UUPT, dan UU BUMN,
yang pada dasarnya menyatakan bahwa piutang Negara adalah piutang
Pemerintah Pusat dan tujuan pemisahan kekayaan Negara menjadi
modal/saham untuk dikelola secara korporasi, keluar dari sistem APBN.
Fatwa MA tanggal 16 Agustus 2006:
– Piutang BUMN bukan piutang Negara.
– Penyelesaian piutang BUMN tidak lagi diselesaikan melalui PUPN (UU 49/Prp.
Tahun 1960 tentang PUPN)
– Pengaturan UU 49/Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang terkait dengan piutang
BUMN tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya UU BUMN (lex specialis).
– Pasal 2 huruf g UUKN, khusus mengenai kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah, tidak mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum.
– BUMN dikelola secara korporasi, mekanisme pengelolaannya keluar dari sistem
APBN.
21
Sesuai ketentuan Pasal II :
 pengurusan piutang perusahaan negara/daerah untuk
selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang
undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan
BUMN beserta peraturan pelaksanaannya.
 Sejak PP tersebut ditetapkan, pengurusan piutang
BUMN/BUMD tidak lagi diselesaikan melalui mekanisme PUPN
(Panitia Urusan Piutang Negara)
22
Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan bagian Pemerintah atas
laba BUMN di bidang usaha perbankan, penyelesaian piutang
bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan dilakukan:
a.
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan di
bidang Perseroan Terbatas (PT) dan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Perbankan; dan
b.
dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
23

Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.07/2006 tentang
Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah diatur bahwa mengenai
pengurusan, pengelolaan, dan penyelesaian piutang Perusahaan
Negara/Daerah yang dilaksanakan berdasarkan UU tentang Perseroan Terbatas
jo UU tentang BUMN beserta peraturan pelaksanaannya.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.06/2010 dan Nomor
97/PMK.06/2011 tentang Penyelesaian Piutang Bermasalah Pada Badan Usaha
Milik Negara Di Bidang Usaha Perbankan, yang di dalam salah satu pasalnya
mengatur bahwa penyelesaian piutang bermasalah BUMN di bidang usaha
perbankan dilaksanakan oleh BUMN di bidang usaha perbankan dengan
memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik serta mengacu pada
UU tentang Perseroan Terbatas, UU tentang BUMN, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan.
24
“ membatalkan (dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum) atas frasa `badan-badan negara`
dan “badan-badan yang baik secara langsung atau
tidak langsung dikuasai oleh negara” pada UndangUndang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara (UU PUPN).”
25

Dalam penyelesaian piutang Bank BUMN, masih terdapat dua aturan yang berlaku
yaitu UU 49/1960 dan UU 1/2004 juncto UU BUMN dan UU PT sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
konstitusi.

Dengan adanya ketentuan penyerahan piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan
diserahkan ke PUPN telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur
Bank BUMN dan debitur Bank selain BUMN sehingga bertentangan dengan prinsip
konstitusi yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan prinsip bahwa undang-undang yang terbaru mengesampingkan
undang-undang yang lama (lex posterior derogat legi priori) dan peraturan yang
lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat
legi inferiori), maka UU 49/1960 sepanjang mengenai piutang badan-badan usaha
yang sudah diatur dalam UU 1/2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara/Daerah sepanjang menunjuk pelaksanaan UU 49/1960 adalah
bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang
berlaku umum.

26



Menteri BUMN memandang Bank-Bank BUMN perlu membuat prosedur untuk
menghapus piutang tagih, mulai dari kajian, syarat-syarat penghapusan
piutang, termasuk penyiapan dokumen-dokumen pendukung pembuatan
rumusan peraturan intenal soal penghapusan piutang tersebut untuk
menghindari terjadinya moral hazard.
Selain itu peraturan internal diperlukan karena masing-masing khususnya pada
bank-bank BUMN, pengaturan penanganan piutang yang berbeda-beda,
terutama terkait nominal piutang yang bisa dihapusbukukan.
Kementerian BUMN menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE-10/MBU/Wk/2012
tanggal 1 November 2012 tentang Penyusunan Ketentuan Internal (Standar
Operasional Prosedur/SOP) Penghapusan Piutang BUMN.
Inti Surat Edaran :
 Direksi BUMN diminta menyusun ketentuan internal mengenai pengurusan
piutang BUMN melalui mekanisme korporasi.
 Deputi Kementerian BUMN, sesuai bidang tugas masing-masing melakukan
koordinasi BUMN di bawah binaannya , sehingga penyusunan SOP pada
BUMN sektor yang sama terdapat kesamaan dan keselarasan mekanisme.
27
HARAPAN:
PENEGAKAN HUKUM YANG SESUAI DENGAN
REZIM HUKUM KORPORASI
28
PERLUNYA PEMILAHAN PEMBERLAKUAN HUKUM
SECARA KONSISTEN
…1)
 Rezim Hukum Publik berkaitan dengan pengaturan mengenai permodalan dan
eksistensi/keberadaan BUMN.
a. Permodalan :
- menyangkut pengeluaran dana APBN yang harus dipertanggungjawabkan kepada
DPR.
- pendirian BUMN, perubahan modal (penambahan/pengurangan), dananya harus
tercantum dalam APBN ( Pasal 24 ayat 2 UUKN), dibahas Pemerintah dan DPR,
ditetapkan dengan PP (Pasal 41 ayat 4 UUPN, Pasal 4 ayat 3 UU BUMN).
- Privatisasi harus mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 24 ayat 2 UUKN, Pasal 82
ayat 2 UU BUMN)
b. Eksistensi/keberadaan :
- menyangkut kewajiban negara yang ditugaskan kepada BUMN dalam melayani
masyarakat, mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa
yang terjangkau (BUMN adalah alat negara untuk mencapai tujuan nasional,
kesejahteraan rakyat).
- Merger, akuisisi, peleburan, holdingisasi, pembubaran BUMN ditetapkan dengan
PP, sebelumnya harus dilakukan pembahasan dengan Menkeu, Menteknis,
Presiden, persetujuan DPR (Pasal 64 dan 65 UU BUMN).
- terhadap permodalan dan eksitensi tersebut berlaku UUKN, UUPN (terbatas
hanya terhadap kedua tindakan tersebut).
29
PERLUNYA PEMILAHAN PEMBERLAKUAN HUKUM
SECARA KONSISTEN
…2)
 Rezim Hukum Privat (Perdata)
a. Bagi BUMN berlaku hukum privat terkait dengan operasional perusahaan. Hal-hal yang
terkait dengan operasional adalah hal-hal yang diluar permodalan dan eksistensi, yaitu
yang pelaksanaannya merupakan kewenangan penuh organ BUMN, misalnya :
pengangkatan Direksi dan Dekom (kewenangan RUPS), penjualan aset, kerjasama,
penarikan pinjaman (kewenangan Direksi dengan persetujuan Dekom/Dewas dan/atau
RUPS).
b. Berlakunya Hukum Privat bagi BUMN didasarkan pada Pasal 11 UU BUMN yang
menyatakan bahwa terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsipprinsip yang berlaku pada perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU 1/1995
tentang PT (saat ini UU 40/2007). Berdasarkan pasal inilah pengelolaan BUMN,
khususnya Persero yang berbentuk PT tidak boleh berbeda dengan Swasta, karena
BUMN dan swasta sama-sama PT dan sama-sama tunduk pada UU PT. BUMN Persero
adalah berbentuk perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU
BUMN. Bagi BUMN sebagai badan hukum privat berlaku regulasi sektoral yang sama
yang juga berlaku bagi swasta di bidang usaha yang sejenis (Pasal 3 UU BUMN).
c. Disamping itu di dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1 UU BUMN disebutkan bahwa terhadap
kekayaan negara yang dipisahkan, pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan
pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsipprinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
30
PERLUNYA PEMILAHAN PEMBERLAKUAN HUKUM
SECARA KONSISTEN
…3)
 Status Kekayaan Negara Yang Dipisahkan.
Pasal 4 ayat 1 UU BUMN berbunyi “modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Sementara itu Pasal 2 huruf g UUKN menyatakan salah satu
unsur keuangan negara adalah kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan
negara. Dengan demikian yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan
pada BUMN adalah modal yang disetor.
 Beda BUMN dengan swasta hanya dari segi kepemilikan saham.
 Pengelolaan BUMN harus sama dengan swasta karena BUMN harus bersaing
dengan swasta (proses bisnis, pengambilan keputusan sangat menentukan
daya saing BUMN terhadap swasta).
 Beda BUMN dengan swasta hanya terkait dengan hal-hal yang menyangkut
permodalan dan eksistensi (rezim hukum publik), begitu BUMN masuk dalam
lalu-lintas privat, maka tidak ada perbedaan dengan swasta (equal treatment,
persamaan kedudukan dalam hukum karena sama-sama pelaku bisnis dan
sama-sama perseroan terbatas).
 UUKN, UUPN, PP 6/2006 dan PMK 96/2007 hanya berlaku bagi BUMN dalam
konteks permodalan dan eksistensinya (rezim hukum publik). Sedangkan
pengelolaan dan pengawasan BUMN tunduk sepenuhnya pada rezim hukum
privat (UU BUMN, UU PT, UU Pasar Modal).
31
PENEGAKAN HUKUM PADA BUMN SECARA
PROPORSIONAL
 Dalam pelaksanaan penegakan hukum pada BUMN agar
mempertimbangkan terlebih dahulu norma hukum korporasi sebagaimana
diatur dalam UUPT, UU Pasar Modal, dan UU BUMN, serta peraturan di
bidang perbankan bagi BUMN Perbankan, selain hukum pidana dan norma
hukum Keuangan Negara.
 Aparat penegak hukum dalam memeriksa kasus dugaan tipikor di BUMN,
harus terlebih dahulu memperhatikan aspek-aspek hukum korporasi (UUPT,
UU BUMN, UU Pasar Modal). Sehingga, dapat membedakan antara kerugian
Perusahaan, dengan resiko bisnis.
 Dalam mekanisme korporasi dikenal adanya “ratifikasi”. Dengan ratifikasi,
maka menjadi lengkap prosedur yang harus dipenuhi. Ratifikasi oleh
Pemegang Saham/RUPS merupakan salah satu penyelesaian kekurangan
prosedur yang diakui di dalam korporasi.
 Sejalan dengan norma hukum korporasi tersebut, seharusnya tindak pidana
terjadi apabila perbuatan Direksi tersebut telah memenuhi unsur-unsur
tindak pidana.
32
KONSEKUENSI PENANGANAN KORPORASI
YANG KURANG PROPORSIONAL
 Terjadi trauma/ketakutan Direksi BUMN untuk mengambil keputusan bisnis
(mematikan inovasi bisnis dalam menciptakan nilai tambah).
 BUMN telah dibawa ke alam berfikir bahwa “prosedur” lebih penting daripada
“profit”, “prosedur” lebih penting dari pada “percepatan pelayanan”. Artinya
Direksi sebagai profesional yang harus bersaing dalam dunia usaha, dibawa untuk
berfikir seperti seorang birokrat yang mengutamakan prosedur dari pada hasil.
 Kegiatan usaha BUMN akan menjadi lamban, bahkan stagnant dan manajemen
enggan mencari terobosan baru.
 Mitra bisnis BUMN juga ikut-ikutan takut, dan menjauhi BUMN.
 BUMN diperlakukan secara tidak adil, baik dalam hal pemeriksaan laporan
keuangan, kegiatan operasional, maupun dalam penegakan hukum, karena
diperlakukan berbeda dengan swasta, padahal beda BUMN dengan swasta hanya
dari segi pemiliknya/pemegang sahamnya. Seharusnya secara operasional, Negara
selaku pemilik BUMN memposisikan BUMN sama dengan swasta yang tunduk
pada UUPT dan UU Pasar Modal.
33
PENUTUP
34



Disadari bahwa pengelolaan BUMN tidak bisa sepenuhnya disamakan
dengan pengelolaan perusahaan swasta, karena BUMN adalah milik negara,
modalnya dimiliki negara yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan, namun pilihan bagi negara untuk mendirikan BUMN dalam
bentuk PT merupakan pilihan dengan segala konsekuensinya, yaitu
pengelolaannya harus tunduk kepada UUPT dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Apabila terdapat kekurangan dalam segi pengamanan pengelolaan BUMN
berdasarkan UUPT (dan UU Pasar Modal bagi BUMN Tbk), maka UUPT-nya
yang harus disempurnakan, sehingga UUPT dapat memenuhi harapan
publik, bukan dengan cara mengatur BUMN melalui suatu UU yang
menyebabkan pengelolaan BUMN berbeda dengan pengelolaan PT pada
umumnya, baik dari segi kelembaan maupun dari segi ketentuan.
Kepemilikan seharusnya tidak membedakan sistem pengelolaan dan
pengawasan BUMN, apabila Negara memilih BUMN dalam bentuk PT. BUMN
memang 100% dimiliki oleh Negara, tetapi 100% juga harus dikelola secara
korporasi sesuai dengan UUPT.
35
TERIMA KASIH
36
Download