BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) : TERMASUK LINGKUP HUKUM PRIVAT/BISNIS ATAU HUKUM KEUANGAN NEGARA? Henry D. Hutagaol Email: [email protected] SH, 2007, Universitas Indonesia LLM, 2010, Universiteit van Amsterdam UUD 1945 PENGUASA Pasal 33 ayat 2 PENGUSAHA (Publiek rechtelijk handeling) vs (Privat rechtelijk handeling) Pemerintahan Umum vs Penyelenggara Negara vs Urusan Bisnis Pelaku Usaha PNS APBN Keppres 80/2003 (Perpres 54/2010) vs vs vs (Badan Usaha yang terdapat saham Negara) PEKERJA RKAP PER-05/MBU/2008 jo PER154/MBU/2012 dan Peraturan Direksi PER-02/MBU/2010 jo PER-06/MBU/2010 (Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN) PER-06/MBU/2011 (Pendayagunaan Aktiva Tetap BUMN) PP 6/2006 jo PMK 96/PMK.06/2007 vs Penghapusan : Menkeu, Presiden, DPR vs Menteri-Menteri Teknis vs Meneg BUMN REGULASI vs Kepemilikan BUMN REGULATOR vs BADAN PUBLIK vs HUKUM PUBLIK vs Penghapusan : Direksi, Dewan Komisaris, Menteri BUMN/RUPS, OPERATOR BADAN PRIVAT HUKUM PRIVAT Kementerian BUMN 2 - PENGERTIAN BUMN BUMN : • Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara; • BUMN terdiri dari Persero dan Perum; • Modalnya berasal dari penyertaan negara secara langsung; • Penyertaan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan; • Merupakan badan usaha, lembaga privat, bukan lembaga publik, bukan instansi pemerintah; • BUMN merupakan badan hukum tersendiri, memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri/pemiliknya (negara). • Bagi BUMN Persero (PT) berlaku sepenuhnya UUPT, dan UU Pasar Modal bagi Persero Tbk. • BUMN Persero berbeda dengan PT Swasta hanya dari segi kepemilikan saja. 3 STATUS BUMN • • • • • • Badan Hukum. BUMN Persero berbentuk PT. BUMN Persero tunduk sepenuhnya kepada UUPT. BUMN adalah badan privat, bukan badan publik. Bagi BUMN berlaku hukum privat. BUMN (Persero) berbeda dengan swasta hanya dari segi kepemilikan saham. • Makna kepemilikan terhadap badan usaha (BUMN): Kepemilikan terhadap saham, bukan terhadap aset badan usaha. Aset/kekayaan badan usaha merupakan milik badan usaha itu sendiri. 4 STATUS KEKAYAAN BUMN …1) • BUMN sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendirinya (kekayaan negara) • Kekayaan negara yang ada di BUMN hanya sebatas modal/saham (kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN): Pasal 2 huruf g UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang memasukkan Kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN tetap diakui sebagai Keuangan Negara. Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN: Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Pasal 2 huruf g UU 17/2003 jo Pasal 4 ayat 1 UU 19/2003, dan teori Badan Hukum, maka Keuangan Negara pada BUMN hanya sebatas saham/modal pada BUMN (non-cash). 5 STATUS KEKAYAAN BUMN …2) • BUMN adalah badan hukum, karena itu ia memiliki kekayaan sendiri. • Kekayaan BUMN adalah kekayaan BUMN itu sendiri. • Kekayaan/aset BUMN statusnya sama dengan kekayaan/aset perusahaan perseroan terbatas lainnya, dapat diagunkan untuk mendapatkan pinjaman, dan dapat disita dan dapat digadaikan. • Yang tidak dapat diagunkan adalah Kekayaan Negara/Barang Milik Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (5) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman”, dan Pasal 50: “Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan antara lain terhadap barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik Negara/Daerah”. 6 DUA REZIM HUKUM BERLAKU BAGI BUMN 7 Koperasi NEGARA BUMN (PUBLIK) BISNIS (PRIVAT) PT Swasta Rezim Hukum publik/ UU Bidang Keuangan Negara (mengatur Permodalan dan eksistensi BUMN) Ini yang membedakan BUMN dengan badan usaha swasta, misal pendirian, perubahan modal, merger, akuisisi, konsolidasi, pembubaran BUMN harus dengan PP, bahkan privatisasi melibatkan DPR Rezim Hukum privat/UU bidang korporasi (mengatur operasional BUMN) Undang-undang memang menghendaki agar BUMN (Persero) dalam melakukan kegiatan usahanya tunduk pada hukum korporasi seperti badan usaha swasta Kementerian BUMN 8 - Presiden DPR Menteri Keuangan Menteri Teknis BUMN SWASTA BPK Penegak Hukum Tipikor RUPS Dewan Komisaris Direksi BUMN 9 KELEMBAGAAN 4 SWASTA Lembaga yang terlibat dalam pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan BUMN lebih banyak daripada swasta. Kondisi ini menjadikan BUMN tidak memiliki LEVEL OF PLAYING FIELD yang sama dengan SWASTA. UU PT UU PASAR MODAL UU SEKTORAL UU BUMN BUMN SWASTA UU KEUANGAN NEGARA UU PERBENDAHARAAN NEGARA UU TIPIKOR UU PEMERIKSAAN PENGEL & Tg JAWAB KEU.NEG BUMN 8 REGULASI 3 SWASTA BUMN diwajibkan untuk mematuhi ketentuan yang jumlah dan lingkupnya lebih banyak daripada swasta. Kondisi ini menjadikan BUMN tidak memiliki LEVEL OF PLAYING FIELD yang sama dengan SWASTA. PERLAKUAN PADA BUMN : ANTARA NORMA DAN REALITAS 11 SEHARUSNYA YANG TERJADI • Keuangan Negara pada BUMN sebatas saham (non-cash) • Keuangan Negara meliputi kekayaan BUMN. • Kekayaan Negara di BUMN sebatas saham • Kekayaan BUMN dianggap sebagai kekayaan Negara. • Kerugian BUMN adalah • Kerugian BUMN dianggap kerugian perusahaan, bukan kerugian Negara, masuk dalam kerugian Negara, masuk dalam ranah hukum Tipikor. ranah perdata dan pidana umum. • Piutang BUMN adalah piutang BUMN itu sendiri. • Piutang BUMN dianggap piutang Negara, walaupun hutang BUMN tak diakui sebagai hutang Negara. • Penyimpangan di BUMN diselesaikan oleh Pemegang Saham/RUPS berdasarkan prinsip business judgment rule. • UUPT, UU BUMN, dan UU Pasar Modal seringkali diabaikan, cenderung mendasarkan pada UU Keuangan Negara/UU Tipikor. 12 SEHARUSNYA YANG TERJADI • Pemegang Saham/RUPS memiliki kewenangan korporasi (business judgment rule) sebagaimana pemegang saham/RUPS swasta. • Pemegang Saham/RUPS BUMN, dalam hal ini Menteri BUMN, tidak memiliki kewenangan penuh selaku RUPS dalam melakukan business judgment rule, terutama apabila terkait dengan kasus di BUMN. • BUMN sebagai pengemban amanah konstitusi (Pasal 33 ayat 2 UUD 1945), seharusnya mendapat dukungan dari semua pihak. • BUMN dimarjinalkan, kelembagaan dan regulasi bagi BUMN jauh lebih banyak daripada kelembagaan dan regulasi yang berlaku bagi swasta, dengan dalih untuk mengamankan aset Negara. • Badan privat. • Badan Publik. • Kearsipan tunduk pada UU ttg Dokumen Perusahaan (UU No.8 Tahun 1997) • UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan diberlakukan pula bagi BUMN. • Hasil sitaan tindak pidana masuk ke kas perusahaan. • Hasil sitaan tindak pidana masuk ke kas Negara 13 SEHARUSNYA YANG TERJADI • Tuntutan pembayaran • Mantan karyawan menuntut kekurangan pesangon, tunggakan pembayaran kepada Pemerintah gaji, seharusnya merupakan (APBN). tanggung jawab Direksi/BUMN. • Tuntutan pembayaran hutang BUMN, seharusnya merupakan tanggung jawab Direksi/BUMN. • Kreditor menuntut pembayaran piutangnya kepada Pemerintah (APBN). • Remunerasi/penghasilan Direksi/Komisaris seharusnya benchmarking pada industri sejenis. • Remunerasi/penghasilan Direksi/Komisaris dibandingbandingkan dengan gaji pejabat publik. • Tanah BUMN merupakan tanah milik badan usaha, yang penggunaannya harus berdasarkan transaksi jualbeli/ganti-rugi. • Masih ada instansi Pemerintah yang meminta hibah terhadap Tanah BUMN untuk kepentingan pembangunan. • Discount/insentif merupakan praktek bisnis yang lazim dilakukan dalam dunia usaha. • Discount/insentif dianggap “fraud”. 14 SEHARUSNYA YANG TERJADI • Regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah harus equal treatment, agar terjadi persaingan yang sehat bagi dunia usaha (BUMN, BUMD, koperasi, swasta). • Instansi Pemerintah cenderung untuk mengatur BUMN (regulasi), dimana tidak diberlakukan bagi swasta. (Contoh: kredit luar negeri BUMN harus izin Tim PKLN, persepsi penggunaan Perpres pengadaan barang dan jasa, UU Kearsipan, nyaris masuk kategori badan publik dalam UU KIP, Direksi/Dekom/ pejabat BUMN disamakan dengan penyelenggara Negara dan statusnya sebagai pegawai negeri) • BUMN diperlakukan sebagai korporasi, termasuk aset dan kekayaannya, serta tindakan dalam menyelesaikan hutang-piutang. • Berkembangnya opini yang menyulitkan dalam praktek pengelolaan BUMN, seperti aset BUMN merupakan aset negara, piutang BUMN merupakan piutang negara, kerugian BUMN merupakan kerugian negara, penghapusan aset dan piutang BUMN harus izin Menkeu/DPR, hapus tagih bank- 15 Negara Yayasan Koperasi Perorang an PT PT PT PT (Persero ) Dikelola dan tunduk sepenuhnya kepada UUPT Tunduk kepada UU sektoral UUKN (17/2003) UUNN (1/2004) UUPPTJKN (15/2004) UUBPK UU Tipikor 16 PENYEBAB • Euforia reformasi, khususnya dalam pemberantasan korupsi. • Peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis . • Penegak hukum mengacu kepada UU Keuangan Negara dan Tipikor, yang memberikan dasar untuk masuk ke BUMN (ranah korporasi). • Penegakan hukum korporasi dikesampingkan. • Kurangnya pemahaman terhadap konsep korporasi, khususnya yang terkait dengan konsep kemilikan kekayaan badan hukum. (Kondisi perkembangan beberapa tahun terakhir, para penyidik sudah mulai mempertimbangkan aspek korporasi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus di BUMN) 17 KONSEKUENSI DARI ANGGAPAN KEKAYAAN BUMN SEBAGAI KEKAYAAN NEGARA Aset BUMN = aset Negara. Kekayaan BUMN = kekayaan Negara. Piutang BUMN = piutang Negara. Kerugian BUMN = kerugian Negara. Hutang BUMN = hutang Negara. Aset Negara akan dilibatkan (dapat disita) dalam penyelesaian bisnis BUMN dengan swasta, terutama dengan swasta asing. Aset/tanah BUMN dijadikan sasaran utama untuk kepentingan instansi Pemerintah (pusat/daerah). Hasil sitaan tindak pidana di BUMN disetor ke Kas Negara. Aset/tanah BUMN dijadikan sasaran okupasi oknum masyarakat. Kekurangan pembayaran kepada kreditor/karyawan dalam proses likuidasi/kepailitan menjadi beban APBN. Resiko kerugian yang ditanggung Negara tidak lagi sebatas pada saham yang dimiliki Negara. Instansi Pemerintah selalu terdorong untuk membuat peraturan yang mencampuri urusan korporasi (pengadaan barang/jasa, pengadaan pinjaman luar negeri, BUMN ingin dijadikan badan publik, mengatur kearsipan) 18 KEMAJUAN HUKUM TERKAIT STATUS PIUTANG BUMN 19 KETIDAKHARMONISAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PIUTANG BUMN o Pasal 8 dan Pasal 12 UU/Prp No.49 Tahun 1960 tentang PUPN yang memperlakukan BUMN sama dengan instansi Pemerintah, oleh karena itu piutang BUMN sama dengan piutang Negara, penyelesaian piutang BUMN mengikuti tata cara penyelesaian piutang Negara. Padahal Pasal 1 angka 6 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat. Jadi, menurut UU No.1 Tahun 2004, piutang BUMN bukan piutang Negara. 20 Piutang BUMN sebagaimana diatur dalam UU No.49/Prp Tahun 1960, sudah tidak relevan lagi dan bertentangan dengan UUPN, UUPT, dan UU BUMN, yang pada dasarnya menyatakan bahwa piutang Negara adalah piutang Pemerintah Pusat dan tujuan pemisahan kekayaan Negara menjadi modal/saham untuk dikelola secara korporasi, keluar dari sistem APBN. Fatwa MA tanggal 16 Agustus 2006: – Piutang BUMN bukan piutang Negara. – Penyelesaian piutang BUMN tidak lagi diselesaikan melalui PUPN (UU 49/Prp. Tahun 1960 tentang PUPN) – Pengaturan UU 49/Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang terkait dengan piutang BUMN tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya UU BUMN (lex specialis). – Pasal 2 huruf g UUKN, khusus mengenai kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah, tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. – BUMN dikelola secara korporasi, mekanisme pengelolaannya keluar dari sistem APBN. 21 Sesuai ketentuan Pasal II : pengurusan piutang perusahaan negara/daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan BUMN beserta peraturan pelaksanaannya. Sejak PP tersebut ditetapkan, pengurusan piutang BUMN/BUMD tidak lagi diselesaikan melalui mekanisme PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) 22 Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN di bidang usaha perbankan, penyelesaian piutang bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan dilakukan: a. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan di bidang Perseroan Terbatas (PT) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perbankan; dan b. dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. 23 Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.07/2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah diatur bahwa mengenai pengurusan, pengelolaan, dan penyelesaian piutang Perusahaan Negara/Daerah yang dilaksanakan berdasarkan UU tentang Perseroan Terbatas jo UU tentang BUMN beserta peraturan pelaksanaannya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.06/2010 dan Nomor 97/PMK.06/2011 tentang Penyelesaian Piutang Bermasalah Pada Badan Usaha Milik Negara Di Bidang Usaha Perbankan, yang di dalam salah satu pasalnya mengatur bahwa penyelesaian piutang bermasalah BUMN di bidang usaha perbankan dilaksanakan oleh BUMN di bidang usaha perbankan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik serta mengacu pada UU tentang Perseroan Terbatas, UU tentang BUMN, dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. 24 “ membatalkan (dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum) atas frasa `badan-badan negara` dan “badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” pada UndangUndang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN).” 25 Dalam penyelesaian piutang Bank BUMN, masih terdapat dua aturan yang berlaku yaitu UU 49/1960 dan UU 1/2004 juncto UU BUMN dan UU PT sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Dengan adanya ketentuan penyerahan piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan diserahkan ke PUPN telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur Bank BUMN dan debitur Bank selain BUMN sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan prinsip bahwa undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama (lex posterior derogat legi priori) dan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori), maka UU 49/1960 sepanjang mengenai piutang badan-badan usaha yang sudah diatur dalam UU 1/2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sepanjang menunjuk pelaksanaan UU 49/1960 adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum. 26 Menteri BUMN memandang Bank-Bank BUMN perlu membuat prosedur untuk menghapus piutang tagih, mulai dari kajian, syarat-syarat penghapusan piutang, termasuk penyiapan dokumen-dokumen pendukung pembuatan rumusan peraturan intenal soal penghapusan piutang tersebut untuk menghindari terjadinya moral hazard. Selain itu peraturan internal diperlukan karena masing-masing khususnya pada bank-bank BUMN, pengaturan penanganan piutang yang berbeda-beda, terutama terkait nominal piutang yang bisa dihapusbukukan. Kementerian BUMN menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE-10/MBU/Wk/2012 tanggal 1 November 2012 tentang Penyusunan Ketentuan Internal (Standar Operasional Prosedur/SOP) Penghapusan Piutang BUMN. Inti Surat Edaran : Direksi BUMN diminta menyusun ketentuan internal mengenai pengurusan piutang BUMN melalui mekanisme korporasi. Deputi Kementerian BUMN, sesuai bidang tugas masing-masing melakukan koordinasi BUMN di bawah binaannya , sehingga penyusunan SOP pada BUMN sektor yang sama terdapat kesamaan dan keselarasan mekanisme. 27 HARAPAN: PENEGAKAN HUKUM YANG SESUAI DENGAN REZIM HUKUM KORPORASI 28 PERLUNYA PEMILAHAN PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA KONSISTEN …1) Rezim Hukum Publik berkaitan dengan pengaturan mengenai permodalan dan eksistensi/keberadaan BUMN. a. Permodalan : - menyangkut pengeluaran dana APBN yang harus dipertanggungjawabkan kepada DPR. - pendirian BUMN, perubahan modal (penambahan/pengurangan), dananya harus tercantum dalam APBN ( Pasal 24 ayat 2 UUKN), dibahas Pemerintah dan DPR, ditetapkan dengan PP (Pasal 41 ayat 4 UUPN, Pasal 4 ayat 3 UU BUMN). - Privatisasi harus mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 24 ayat 2 UUKN, Pasal 82 ayat 2 UU BUMN) b. Eksistensi/keberadaan : - menyangkut kewajiban negara yang ditugaskan kepada BUMN dalam melayani masyarakat, mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa yang terjangkau (BUMN adalah alat negara untuk mencapai tujuan nasional, kesejahteraan rakyat). - Merger, akuisisi, peleburan, holdingisasi, pembubaran BUMN ditetapkan dengan PP, sebelumnya harus dilakukan pembahasan dengan Menkeu, Menteknis, Presiden, persetujuan DPR (Pasal 64 dan 65 UU BUMN). - terhadap permodalan dan eksitensi tersebut berlaku UUKN, UUPN (terbatas hanya terhadap kedua tindakan tersebut). 29 PERLUNYA PEMILAHAN PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA KONSISTEN …2) Rezim Hukum Privat (Perdata) a. Bagi BUMN berlaku hukum privat terkait dengan operasional perusahaan. Hal-hal yang terkait dengan operasional adalah hal-hal yang diluar permodalan dan eksistensi, yaitu yang pelaksanaannya merupakan kewenangan penuh organ BUMN, misalnya : pengangkatan Direksi dan Dekom (kewenangan RUPS), penjualan aset, kerjasama, penarikan pinjaman (kewenangan Direksi dengan persetujuan Dekom/Dewas dan/atau RUPS). b. Berlakunya Hukum Privat bagi BUMN didasarkan pada Pasal 11 UU BUMN yang menyatakan bahwa terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsipprinsip yang berlaku pada perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU 1/1995 tentang PT (saat ini UU 40/2007). Berdasarkan pasal inilah pengelolaan BUMN, khususnya Persero yang berbentuk PT tidak boleh berbeda dengan Swasta, karena BUMN dan swasta sama-sama PT dan sama-sama tunduk pada UU PT. BUMN Persero adalah berbentuk perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU BUMN. Bagi BUMN sebagai badan hukum privat berlaku regulasi sektoral yang sama yang juga berlaku bagi swasta di bidang usaha yang sejenis (Pasal 3 UU BUMN). c. Disamping itu di dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1 UU BUMN disebutkan bahwa terhadap kekayaan negara yang dipisahkan, pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsipprinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. 30 PERLUNYA PEMILAHAN PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA KONSISTEN …3) Status Kekayaan Negara Yang Dipisahkan. Pasal 4 ayat 1 UU BUMN berbunyi “modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara itu Pasal 2 huruf g UUKN menyatakan salah satu unsur keuangan negara adalah kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara. Dengan demikian yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN adalah modal yang disetor. Beda BUMN dengan swasta hanya dari segi kepemilikan saham. Pengelolaan BUMN harus sama dengan swasta karena BUMN harus bersaing dengan swasta (proses bisnis, pengambilan keputusan sangat menentukan daya saing BUMN terhadap swasta). Beda BUMN dengan swasta hanya terkait dengan hal-hal yang menyangkut permodalan dan eksistensi (rezim hukum publik), begitu BUMN masuk dalam lalu-lintas privat, maka tidak ada perbedaan dengan swasta (equal treatment, persamaan kedudukan dalam hukum karena sama-sama pelaku bisnis dan sama-sama perseroan terbatas). UUKN, UUPN, PP 6/2006 dan PMK 96/2007 hanya berlaku bagi BUMN dalam konteks permodalan dan eksistensinya (rezim hukum publik). Sedangkan pengelolaan dan pengawasan BUMN tunduk sepenuhnya pada rezim hukum privat (UU BUMN, UU PT, UU Pasar Modal). 31 PENEGAKAN HUKUM PADA BUMN SECARA PROPORSIONAL Dalam pelaksanaan penegakan hukum pada BUMN agar mempertimbangkan terlebih dahulu norma hukum korporasi sebagaimana diatur dalam UUPT, UU Pasar Modal, dan UU BUMN, serta peraturan di bidang perbankan bagi BUMN Perbankan, selain hukum pidana dan norma hukum Keuangan Negara. Aparat penegak hukum dalam memeriksa kasus dugaan tipikor di BUMN, harus terlebih dahulu memperhatikan aspek-aspek hukum korporasi (UUPT, UU BUMN, UU Pasar Modal). Sehingga, dapat membedakan antara kerugian Perusahaan, dengan resiko bisnis. Dalam mekanisme korporasi dikenal adanya “ratifikasi”. Dengan ratifikasi, maka menjadi lengkap prosedur yang harus dipenuhi. Ratifikasi oleh Pemegang Saham/RUPS merupakan salah satu penyelesaian kekurangan prosedur yang diakui di dalam korporasi. Sejalan dengan norma hukum korporasi tersebut, seharusnya tindak pidana terjadi apabila perbuatan Direksi tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. 32 KONSEKUENSI PENANGANAN KORPORASI YANG KURANG PROPORSIONAL Terjadi trauma/ketakutan Direksi BUMN untuk mengambil keputusan bisnis (mematikan inovasi bisnis dalam menciptakan nilai tambah). BUMN telah dibawa ke alam berfikir bahwa “prosedur” lebih penting daripada “profit”, “prosedur” lebih penting dari pada “percepatan pelayanan”. Artinya Direksi sebagai profesional yang harus bersaing dalam dunia usaha, dibawa untuk berfikir seperti seorang birokrat yang mengutamakan prosedur dari pada hasil. Kegiatan usaha BUMN akan menjadi lamban, bahkan stagnant dan manajemen enggan mencari terobosan baru. Mitra bisnis BUMN juga ikut-ikutan takut, dan menjauhi BUMN. BUMN diperlakukan secara tidak adil, baik dalam hal pemeriksaan laporan keuangan, kegiatan operasional, maupun dalam penegakan hukum, karena diperlakukan berbeda dengan swasta, padahal beda BUMN dengan swasta hanya dari segi pemiliknya/pemegang sahamnya. Seharusnya secara operasional, Negara selaku pemilik BUMN memposisikan BUMN sama dengan swasta yang tunduk pada UUPT dan UU Pasar Modal. 33 PENUTUP 34 Disadari bahwa pengelolaan BUMN tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan pengelolaan perusahaan swasta, karena BUMN adalah milik negara, modalnya dimiliki negara yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, namun pilihan bagi negara untuk mendirikan BUMN dalam bentuk PT merupakan pilihan dengan segala konsekuensinya, yaitu pengelolaannya harus tunduk kepada UUPT dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Apabila terdapat kekurangan dalam segi pengamanan pengelolaan BUMN berdasarkan UUPT (dan UU Pasar Modal bagi BUMN Tbk), maka UUPT-nya yang harus disempurnakan, sehingga UUPT dapat memenuhi harapan publik, bukan dengan cara mengatur BUMN melalui suatu UU yang menyebabkan pengelolaan BUMN berbeda dengan pengelolaan PT pada umumnya, baik dari segi kelembaan maupun dari segi ketentuan. Kepemilikan seharusnya tidak membedakan sistem pengelolaan dan pengawasan BUMN, apabila Negara memilih BUMN dalam bentuk PT. BUMN memang 100% dimiliki oleh Negara, tetapi 100% juga harus dikelola secara korporasi sesuai dengan UUPT. 35 TERIMA KASIH 36