BURAKUMIN DISKRIMINASI DI SEBUAH NEGARA MODERN Erni Puspitasari, Indun Roosiani, Nani Dewi Sunengsih Fakultas Sastra / Program Studi Bahasa Jepang ( [email protected] ) Abstrak Penelitian bertujuan untuk menganalisis tentang kebijakan pemerintahan Tokugawa dan Shinto, sebagai pemicu munculnya Burakumin, peranan koseki yang melanggengkan diskriminasi terhadap Burakumin, serta perlakuan diskriminasi yang diterima burakumin dari masyarakat modern Jepang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada jaman Nara dan Heian telah terbentuk kelas buangan yang disebut dengan senmin sebagai akibat dari ajaran Shinto dan Budha. Pada jaman Edo kelas buangan ini menjadi lebih dilembagakan yakni menjadi eta dan hinin. Kaum eta dan hinin yang merupakan cikal bakal Burakumin yang telah mengalami diskriminasi sejak jaman Edo akibat kebijakan pemerintahan Tokugawa. Diskriminasi terhadap Burakumin berlangsung lama karena tetap digunakannya sistem koseki sebagai alat untuk melakukan registrasi terhadap warga negara Jepang. Melalui koseki asal usul seseorang dapat diketahui, bahkan hingga 4 generasi sebelumnya.Pada jaman modern diskriminasi terhadap Burakumin antara lain dalam bidang pekerjaan, pendidikan, pernikahan, hingga dalam hubungan sosial. Kata kunci : Burakumin, diskriminasi, negara modern 1. PENDAHULUAN Pada era feodal Tokugawa ( 1603-1867), masyarakat terbagi dengan sistem kasta yang berlaku pada masa itu. Sistem kasta menstruktur hingga mendominasi masyarakat pada masa itu. System kasta ini diformalkan ke dalam pembagian kerja yang dilakukan oleh setiap individu. Kasta ini terdiri dari prajurit, petani, pengrajin,dan pedagang. Disamping empat kasta tersebut, terdapat kelompok yang berada di luar kasta tersebut, mereka adalah kelompok orang yang memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan sesuatu yang diangggap najis. Mereka biasanya bekerja di bidang penyamakan kulit binatang, bekerja sebagai jagal, dan sebagai eksekutor. Dalam kehidupan sosialnya,mereka selalu dibatasi oleh undang-undang yang berlaku pada saat itu. Pada feodal Tokugawa menerapkan dasar bagaimana fungsi diskriminasi pada jaman modern, tetapi tidak sepenuhnya menjelaskan manifestasi diskriminasi. Para Burakumin telah mengalami diskriminasi sejak era Tokugawa. Pada era Meiji, dimana Jepang dan sistem kasta telah dihapuskan menuju sebuah negara modernWalaupun telah banyak terjadi peristiwa besar yang merubah tatanan masyarakat, seperti perang, gempa bumi dan yang lainnya, di mana terjadi relokasi terhadap warganya, sehingga banyak warga yang bukan tergolomg burakumin menempati wilayah yang merupakan kawasan burakumin, tetapi hal ini tidak mampu merubah status para burakumin menjadi orang Jepang pada umumnya. Pada tahun 1871 seiring berkembangnya Jepang menjadi sebuah negara modern dan diskriminasi ini dianggap tidak sesuai dengan hak azazi manusia, maka, sistim kasta yang terdapat pada masyarakat Jepang yang telah mengakar hingga ratusan tahun dihapuskan, termasuk di dalamnya eta dan hinin yang merupakan kasta terendah, yang beraada di luar kasta resmi yakni bushi :prajurit, nomin : petani,koshakunin : pengrajin dan shonin : pedagang. Penghapusan ini tidak serta merta menghapuskan diskriminasi social dan standar hidup yang lebih rendah.Jejak burakumin pun masih terlacak dengan baik karena sistem registrasi di Jepang mengacu kepada koseki atau keluarga, yakni mengacu kepada alamat nenek moyang mereka, dan hal ini masih berlangsung hingga saat ini. Dahulu para burakumin ditempatkan pada sebuah wilayah khusus, sehinngga asal usul seorang buraku dapat terlacak dengan baik karena berasal dari wilayah tersebut, hal l ini tetap menjadikan para burakumin sebagai kelompok yang mendapat diskriminasi dari masyarakat. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terbentuknya eta dan hinin menjadi kasta yang terendah merupakan akibat dari kebijakan pemerintah, dan akibat dari ajaran Keyakinan asli bangsa Jepang yakni Shinto 2. Apakah kebijakan Koseki yang diberlakukan pemerintah, mengakibatkan stigma burakumin tetap melekat hingga sekarang 3. Mengapa masyarakat Jepang yang tergolong masyarakat modern masih mempermasalahkan burakumin, padahal sistim kasta telah dihapuskan sejak 1871. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk membuktikan bahwa pemerintahan Tokugawa merupakan pihak yang paling bertanggunga jawab terhadap terbentuknya burakumin, dan keyakinan Shinto turut memperkuat posisi eta dan hinin sebagai kelompok di luar kasta, atau kasta yang terendah. 2. Untuk membuktikan bahwa sistim koseki turut melanggengkan stigma burakumin dalam masyarakat Jepang 3. Membuktikan bahwa dalam masyarakat modern di Jepang saat ini masih terdapat diskriminasi terhadap para buraku,baik dalam perekrutan tenaga kerja maupun dalam pencarian jodoh atau perkawinan. 1.4 Manfaat Penelitian, Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, antara lain : 1. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Darma Persada, agar dipergunakan sebagai masukan dalam rangka memperkaya literatur dalam matakuliah Sejarah Jepang kontemporer 2. Dosen pengampu matakuliah Sejarah Jepang , dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam matakuliah Sejarah Jepang Kontemporer 3. Mahasiswa, agar dapat dipergunakan sebagai pengaya 1.5 Kajian Pustaka 1.5.1 Diskriminasi Menurut Theodorson diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perseorangan atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut atribut khas seperti suku bangsa, ras, agama, atau keanggotaan kelas kelas sosial ( Theodorson, 1979) Menurut beberapa konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa, maka diskriminasi dituangkan dalam pasal 1 ayat 1 tentang penghapusan diskriminasi. Dalam pasal ini Diskriminasi didefinisikan sebagai pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi berdasarkan warna kulit, keturunan, asal usul kebangsaan atau etnis yang bertujuan untuk meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan dalam status yang sama, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, social budaya, atau kehidupan public lainnya ( Willmore, 1997) 1.5.2 Burakumin Secara etimologi burakumin berasal dari huruf kanji 部落民 yang dalam bahasa China dimaknai buraku adalah suku dan min adalah orang. Definisi menurut pemaknaan Jepang burakumin adalah sebuah kelompok minoritas sosial Jepang yang merupakan keturunan dari kasta terendah atau orang orang buangan pada era feodal Tokugawa. Burakumin adalah etnis tertentu dan memiliki sistim sosial, serta bahasa yang berbeda dari orang Jepang umumnya. 1.5.3 Kasta Secara etimologi kasta berasal dari bahasa Spanyol dan Portugis yakni berasal dari kata casta yang bermakna pembagian masyarakat. Kasta sebenarnya merupakan kumpulan dari tukang tukang atau orang orang yang ahli dalam bidang tertentu, atau dengan kata lain kasta sebenarnya adalah kumpulan orang dengan keahlian yang sama. Kasta pada umumnya ditujukan untuk menjaga kemurnia ras atas ras lainnya yang dianggap lebih rendah. Kasta juga biasanya juga dibuat ditujukan untuk kepentingan penguasa . Kasta juga ditujukan untuk melanggengkan status sosial yang diwariskan. 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan responden, tetapi sebagai nara sumber, , teman dan guru dalam penelitian. Penentuan pengambilan sumber data yang diperoleh dari sampel dilakukan dengan cara purposive, yaitu dengan memilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan tertentu. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen penelitian adalah si peneliti itu sendiri, dalam hal ini maka yang menjadi instrumen penelitian adalah penulis sendiri. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai dengan pihak yang berkompeten , dan teknik pengumpulan data dengan dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini berupa tulisan dan gambar. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Terbentuknya Burakumin Burakumin pertama kali muncul pada jaman Nara atau Heian, masa di mana agama Budha sudah mulai masuk ke Jepang. Ajaran agama Budha yang berkembang pada saat itu memberikan stigma kehinaan bagi orang yang memakan daging, karena hal ini dianggap melanggar kesucian agama Budha. Di India stigma ini dihubungkan dengan kematian manusia, sehingga siapapun yang pekerjaannya ada kaitannya dengan kematian dianggap telah melanggar kesucian dan ternoda. Ajaran ini diterima di Jepang karena sesuai dengan ajaran Shinto. Pemerintah pada jaman ini pun sudah membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu, sebagai akibat dari penggabungan 2 ideologi yakni Budha dan Shinto. Tidak dapat disangkal bahwa ajaran agama Budha turut mempertegas adanya pembagian kasta dalam masyarakat. Keyakinan dalam agama Budha mengenai pengkastaan sangat mendominasi dan mempengaruhi seluruh rakyat Jepang. . Pada abad pertengahan (1185-1600) kelompok buangan ini diategorikan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan pekerjaan, tempat tinggal atau penampilan. Sebagai contoh kaum eta, yang bekerja sebagai tukang jagal atau penyamak kulit. Selain kaum eta, terdapat hinin, yang secara umum dianggap“bukan manusia”. Baik eta maupun hinin, keduanya termasuk kelompok minoritas yang hidup dalam lingkungan burakumin. Dalam kehidupan religius, kelompok eta memiliki kuil tersendiri sebagai tempat peribadatan mereka, karena mereka tidak boleh masuk ke kuil umum yang biasa digunakan oleh masyarakat umum. Dalam periode Tokugawa kaum buraku, yakni eta maupun hinin berada di bawah 4 golongan strata sosial (身分制度) yang secara hukum telah diakui oleh pemerintah. Mereka tinggal terpisah jauh dari pusat kota dan menjadi kaum marginal. Kelompok hinin pada umumnya terdiri dari gelandangan, pengemis, mantan narapidana atau pekerjaa protitusi. Hinin dianggap sebagai kelompok yang kurang ofensif bila dibandingkan dengan kaum eta, yang sebagian besar melakukan pekerjaan sebagai eksekutor, penjaga makam atau pedagang kulit dan daging. (Mc Lauchlan, 2002). Pada era Pemerintahan Meiji secara resmi menghapuskan diskriminasi terhadap kaum kawata pada tahun 1871 setelah tergulingnya pemerintahan Tokugawa. Dekrit Emansipasi yang dicanangkan pada tahun 1871 memaksa semua kelompok kawata untuk mendaftar sebagai shishimin (warga negara baru) (Uzuki, 2010:2). Dekrit tersebut menyatakan bahwa “Keberadaan eta dan hinin harus dihapuskan. Orang-orang yang berada dalam kasta tersebut harus diperlakukan sama dengan manusia lain baik di pekerjaan maupun di masyarakat”. Hal ini dapat menjadi catatan bagi negara untuk memberikan label identitas yang berbeda bagi kelompok kawata. Selain itu hal ini juga semakin memberikan kemudahan bagi siapapun untuk mendeskriminasikan mereka sebagai burakumin. Meskipun secara de jure kedudukan mereka telah dilindungi oleh hukum, tapi secara de facto tidaklah demikian. Label “berbeda” tetap melekat dan masyarakat tetap memperlakukan mereka sebagai kelompok yang berbeda. 2.2 Peranan Koseki Terhadap Diskriminasi Burakumin Jepang memerlukan sistim koseki karena pada era Meiji Jepang harus menyatukan berbagai domain untuk menjadi sebuah bangsa, sambil membangun infrastruktur ekonomi dan militer untuk menangkal kekuatan Barat. Koseki juga diperlukan untuk pendapatan dari pemungutan pajak dan wajib militer. Sehingga untuk keperluan tersebut diperlukan demografi tentang orang-orang Jepang, dan di mana mereka berada. Pada Era Restorasi Meiji, koseki diperlukan karena terdapat masalah social yang besar, orang tanpa identitas yang jelas atau orang tak dikenal berkeliaran di mana mana. Sistim koseki modern pertama kali diperkenalkan di Kyoto, yang dulunya merupakan pusat kegiatan politik. Sistem koseki nasional dimulai dengan pengumpulan informasi mengenai demografis, dan digunakan sebagai sarana pengawasan. Tidak seperti saat ini, pada awalnya koseki lebih ditujukan kepada tempat tinggal dan dilengkapi dengan system registrasi yang terpisah untuk siapapun yang tinggal jauh dari koseki mereka selama lebih dari 90 hari. Sistem ini dipertahankan sampai tahun 1952, ketika system registrasi tempat tinggal diperkenalkan. Sistem koseki sebelum perang, keluarga besar yang terdiri dari tiga atau empat generasi semua akan terdaftar sebagai dalam satu rumah tangga. Dua cara utama untuk menunjukan bahwa masih terjadi diskriminasi adalah melalui perkawinan dan pekerjaan. Jika seorang keturunan bermaksud menikah dengan orang non buraku, maka orang tua non buraku tersebut memanfaat “ sistem registrasi keluarga “ untuk menentukan asal usul keturunan orang tersebut, jika akar burakunya terdeteksi, maka si orang tua akan menekan anaknya untuk memutuskan hubungan dengan orang tersebut. Perusahaan juga menggunakan koseki untuk menyingkirkan karyawan yang tidak diinginkan, terlepas dari kemampuan orang tersebut. Tidak adil menghakimi seseorang hanya dari keturunannya saja. ( Zurui 2009) Banyak kaum muda Jepang yang khawatir ketika akan menikah bahwa pasangannya adalah burakumin, dan yang lebih mereka khawatirkan bahwa burakumin tersebut masih tinggal di lingkungannya yang penuh dengan kejahatan, alkoholisme dan pengangguran. Sistim koseki di Jepang adalah kemunduran ke masa feudal, dan keberadaannya telah menjadi kendala utama, dalam menghapuskan diskriminasi terhadap buraku. Perombakan besar sistim ini akan sangat berpengaruh terhadap pengurangan diskriminasi terhadap Burakumin 2.3 Diskriminasi Terhadap Burakumin pada Era Modern Di Jepang terdapat tiga kelompok lain yang menghadapi diskriminasi yakni, orang Korea Zainichi, Orang Ainu, dan orang Okinawa. Kelompok minoritas ini merupakan produk dari kolonialisme internal Jepang modern ((Yamazaki 1982). Diskriminasi terhadap burakumin menjadi sangat tertanam dalam budaya Jepang ke dalam bentuk struktur social. Dibandingkan dengan kelompok minoritas lainnya, burakumin berada dalam posisi yang paling unggul, tetapi mereka mengalami mengalami diskriminasi dari dalam kelompok mereka sendiri. Dalam bidang pernikahan, cerita mengenai diskriminasi burakumin, bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim. Beikut adalah contohnya : cerita memilukan tentang burakumin muncul dari seorang wanita yang baru menyadari bahwa suaminya adalah burakumin pada saat ia melahirkan anak pertamanya. Perempuan itu menolak menyentuh bayinya. Ia meninggalkan anak dan suaminya dan kembali ke rumah orang tuanya. Banyak orang tua yang menolak calon menantunya adalah keturunan Burakumin. Diskriminasi ini masih dipegang oleh kebanyakan orang tua di Jepang, bahkan orang tua dengan pendidikan tinggi sekalipun. Mereka menganggap bahwa Burakumin najis dan tidak asli Jepang. Dalam bidang hubungan social, menjadi seorang Burakumin adalah sesuatu yang sangat menyulitkan. Banyak orang yang tidak mengijinkan anaknya bergaul dengan Burakumin. Bahkan mereka tidak rela kalau peralatan makannya tersentuh oleh Burakuminn Dalam bidang pekerjaan, banyak perusahaan besar menyelidiki latar belakang karyawannya dengan menggunakan detetif swasta untuk menentukan apakah karyawannya seorang Burakumin, karena hal ini berkaitan dengan kredibilitas perusahaan. Di dunia pendidikan, diskriminasi juga terjadi, banyak orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka keluar wilayah di mana mereka tinggal, hal ini dilakukan dengan maksud menghindari kontak dengan anak-anak burakumin lainnya. Upaya pemerintah Jepang dilakukan dengan berbagai cara dalam menghapus diskriminasi ini, dan tuntutan dari Liga Pembebasan Buraku juga terus dilakukan, tetapi diskriminasi ini terus melekat, sehingga masalah sosial yang diakibatkan oleh masalah ini muncul, yakni kemiskinan, maraknya penggunaan alcohol di kalangan Burakumin, pengangguran, menjadi anggota genster, serta terlibat dalam tindakan kriminal. 3. KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan Diskriminasi terhadap burakumin, akan terus berlanjut hingga waktu yang tidak dapat dipastikan, karena stigma Burakumin telah melekat pada masyarakat Jepang, dan didukung oleh kepercayaan masyarakat Jepang yakni Budha dan Shinto. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah maupun liga pembebasan Buraku untuk menghilangkan diskriminasi ini, tetapi usaha ini belum sepenuhnya berhasil. Diskriminasi masih berlanjut di berbagai bidang kehidupan. 3.2 Saran Penelitian ini masih jauh dari sempurna, dan perlu kajian yang lebih mendalam, untuk itu mohon kiranya penelitian ini dapat dilajutkan ke tingkat yang lebih baik. Melalui penelitian ini sudah seyogyanya bangsa Jepang yang dikenal sebagai bangsa yang modern mulai berpikir untuk dapat menerima kaum Buraku, dan merubah pola berpikir sebagai bangsa yang homogeny. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada LP2MK yang telah memfasilitasi baik moril maupun materil, hingga penelitian ini dapat selesai dengan baik DAFTAR PUSTAKA Alldridt Leslie D. ( 2000 ) The Burakumin: The Complicity of Japanese Buddhism in Oppression and an Opportunity for Liberation. Journal of Buddist Ethict, Northland College _________________. Mainstream Attitudes Towards Burakujumin (部落住民): A Range Of Social, Psychological, Economic and Historical Factors Continue To Exclude These Descendants Of The Tokugawa Outcasts. New Zealand Journal of Asian Studies 4,1 (June, 2002):84-118 Arnason, Kristin (2014) History of Yakuza, Islandiae : Sigilum Universitatis Islandiae Contemporary Japan: Japanese Society-Homogenity, Asian Topics and online Resource for Asia Historya ndCulture diakses tanggal 8 Juni 2016 dari http://afe.easia.columbia.edu/at/contemp_japan/cp_society_01html Boyle, Tim. A Brief History of Buraku Discrimination in Japan, Osaka : Buraku Liberation Center, United of Christ in Japan Davis, H. John, How Burakumin Became Japanese, Ohio : Ohio State University Myrthe, Duin (2014 ) The Buraku Liberation League and the Buraku Master Narrative in the fight for human rights Leiden : Leiden University HIRASAWA, YASUMASA (1997) SEEKING TO END DISCRIMINATION THROUGH DOWA EDUCATION DIAKSES PADA 20 JUNI 2016 DARI https://www.carnegiecouncil.org/publications/archive/dialogue/1_09/articles/566.html Koseki : The Japanese Family Registration (nd.) diakses pada tanggal 24 Juli 2016 dari http://www.accessj.com/2013/01/koseki-japanese-family-registration.html Koseki at Root of Problem 01/02/2009 diakses pada tanggal 4 Juni 2016 diakses dari http://www.blacktokyo.com/2009/02/01/koseki-at-root-of-problem Mori & Hirasawa DOWA Education and Human Rights Osaka Noguchi Michihiko .Discrimination and the Buraku Reber,S.A. Emily,1998, Buraku Mondai in Japan, Osaka : Osaka Shiritsu Daigaku Sugiyono, 2006 Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif, dan R &D Jakarta : Alfabetha, Uzuki Kentaro. 2010 ) Japanese Outcasts: Burakumin. Sophia University Visocnik, Natasa, 2014, Living on the Edge : Buraku in Kyoto, Japan, University of Ljubljana Yamaguchi, Maria, 2011, Burakumin descendantsStill Suffering, Japan : The Japan Times