Penyakit Tropik Tugas 1 — Kelompok 05, Epid 16

advertisement
TUGAS MATA KULIAH PENYAKIT TROPIK
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK
“PATOGENESIS, PATOFISIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR DAN
PENYAKIT MENULAR”
Tugas ini disusun guna memenuhi nilai tugas mata kuliah Semester VI Penyakit Tropik
Dosen Pembimbing: dr. M. Sakundarno Adi, MSc
Disusun Oleh Kelompok 5 :
Hafidzoh Najwati
25010113120189
Evrilda Andani Putri
25010113120183
Rizka Inunggita
25010113140231
Hana Fitria Azizah
25010113120065
Nita Dwilestari
25010115183002
Arini
25010115183009
Khasanah Budi Rahayu
25010113130401
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
1
Daftar Isi
Daftar Isi
2
Pengertian Patogenesis
3
Pengertian Patofisiologis
4
Pentingnya Mempelajari Patogenesis PTM dan PM
4
Pentingnya Mempelajari Patofisiologis PTM dan PM
8
Contoh Patogenesis PTM dan PM
9
Contoh Patofisiologis PTM dan PM
13
Daftar Pustaka
17
2
1.Pengertian Patogenesis
Pengertian Patogenesis adalah proses dimana mekanisme infeksi dan mekanisme
perkembangan suatu penyakit. Infeksi adalah invasi inang oleh mikroba yang
memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan inang. Infeksi berbeda dengan penyakit.
Kapasitas bakteri menyebabkan penyakit tergantung pada patogenitasnya. Dengan kriteria
ini, bakteri dikelompokan menjadi 3, yaitu agen penyebab penyakit, patogen oportunistik,
nonpatogen.
1. Agen penyebab penyakit adalah bakteri patogen yang menyebabkan suatu
penyakit (contohnya Salmonella spp.).
2. Patogen oportunistik adalah bakteri yang berkemampuan sebagai patogen
ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah (contoh E. coli menginfeksi
saluran urin ketika sistem pertahanan inang dikompromikan (diperlemah).
3. Nonpatogen adalah bakteri yang tidak pernah menjadi patogen. Namun
bakteri nonpatogen dapat menjadi patogen karena kemampuan adaptasi
terhadap efek mematikan terapi modern seperti kemoterapi, imunoterapi, dan
mekanisme resistensi.(contoh Serratia marcescens yang semula nonpatogen,
berubah menjadi patogen yang menyebabkan pneumonia, infeksi saluran urin,
dan bakteremia pada inang terkompromi).
Berdasarkan kamus kesehatan, Patogenesis penyakit diartikan sebagai mekanisme
penyebab penyakit. Istilah ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan asal-usul
dan perkembangan penyakit, apakah akut, kronis atau berulang. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani “pathos” (penyakit) dan “genesis” (penciptaan). KBBI juga mendefinisikan
Patogenesis sebagai proses berjangkitnya penyakit yang dimulai dari permulaan terjadinya
infeksi sampai dengan timbulnya reaksi akhir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
patogenesis adalah suatu mekanisme perjalanan penyakit dari mulai masuknya agent
hingga timbulnya gejala serta berdampak pada tubuh host/manusia.
3
2.Pengertian Patofisiologis
Patofisiologis merupakan salah satu ilmu kesehatan yang memiliki peran sangat
fundamental, karena seringkali diagnosis pasti suatu penyebab penyakit ditegakkan dengan
patologi (histopatologi). Patofisiologis berasal dari dua kata yaitu patologi dan fisiologi.
Patologi adalah ilmu kesehatan yang mempelajari dan mengamati sebab akibat terjadinya
sutau penyakit atau kelainan yang terjadi pada tubuh, sedangkan fisiologi merupakan disiplin
ilmu biologi yang menjelaskan proses atau mekanisme yang beroprasi dalam suatu
organisme. Patofisiologis merupakan ilmu yang mempelajari perubahan fisiologus yang
diakibatkan oleh proses patologi. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa pengertian dari
patofisiologis adalah reaksi fungsi tubuh terhadap suatu organisme atau zat yang
masuk kedalam tubuh sehingga menyebabkan terjadinya suatu penyakit.
3.Pentingnya Mempelajari Patogenesis Penyakit Tidak Menular dan Penyakit Menular
3.1 Alasan pentingnya mempelajari patogenesis Penyakit Tidak Menular (PTM) :
Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyakit yang dianggap tidak dapat ditularkan
atau disebarkan dari seseorang kepada orang lain, sehingga bukan merupakan sebuah
ancaman bagi orang lain. PTM merupakan beban kesehatan utama di negara-negara
berkembang dan negara industri. Kebanyakan PTM merupakan bagian dari penyakit
degeneratif dan mempunyai prevalensi tinggi pada orang berusia lanjut.
Penyakit tidak menular terjadi akibat interaksi antara agent (Non living agent) dengan
host dalam hal ini manusia (faktor predisposisi, infeksi, dan lain-lain) dan lingkungan sekitar
(source and vehicle of agent). Epidemiologi berusaha untuk mempelajari distribusi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PTM dalam masyarakat. Faktor penyebab dalam
PTM dipakai istilah Faktor Risiko (risk factor) untuk membedakan dengan istilah etiologi
pada penyakit menular atau diagnosis klinis. Perlu adanya penelitian atau penyelidikan
lebih lanjut mengenai faktro risiko karena :
-
Untuk setiap penyakit, faktor risiko dapat berbeda-beda (merokok, hipertensi,
hiperkolesterolemia)
4
-
Satu faktor risiko dapat menyebabkan penyakit yang berbeda-beda
-
Untuk kebanyakan penyakit, faktor-faktor risiko yang telah diketahui hanya dapat
menerangkan sebagian kecil kejadian penyakit, tetapi etiologinya secara pasti belum
diketahui
Adanya pergeseran/perubahan konsep epidemiologi dari penyakit menular
menjadi penyakit tidak menular menjadi salah satu dasar pentingnya mempelajari
patogenesis penyakit tidak menular. Sehingga sangat perlu memahami riwayat alamiah
penyakit atau patogenesis PTM. Beberapa alasan pentingnya memahami patogenesis
PTM melalui faktor risikonya :
1. Prediksi
Untuk meramalkan kejadian penyakit. Misalnya perokok berat mempunyai resiko
10 kali lebih besar terserang Ca Paru daripada bukan perokok.
2. Penyebab
Kejelasan dan beratnya suatu faktor risiko dapat ditetapkan sebagai penyebab
suatu penyakit dengan syarat telah menghapuskan faktor-faktor penggangu
(Confounding Factors).
3. Diagnosis
Dapat membantu dalam menegakan diagnosa.
4. Prevensi
Jika suatu faktor risiko merupakan penyabab suatu penyakit tertentu, maka dapat
diambil tindakan untuk pencegahan terjadinya penyakit tersebut.
Prinsip upaya pencegahan lebih baik dari sebatas pengobatan. Terdapat 4 tingkatan
pencegahan dalam Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, yaitu :
1. Pencegahan Primordial
Berupa upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan
penyakit tidak dapat berkembang karena tidak adanya peluang dan dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup maupun kondisi lain yang merupakan faktor resiko untuk
munculnya statu penyakit. Misalnya : menciptakan prakondisi dimana masyarakat
merasa bahwa merokok itu merupakan statu kebiasaan yang tidak baik dan masyarakat
mampu bersikap positif untuk tidak merokok.
2. Pencegahan Tingkat Pertama
5
a) Promosi Kesehatan Masyarakat : Kampanye kesadaran masyarakat, promosi
kesehatan pendidikan kesehatan masyarakat.
b) Pencegahan Khusus : Pencegahan keterpaparan, pemberian kemopreventif
3. Pencegahan Tingkat Kedua
a) Diagnosis Dini, misalnya dengan screening.
b) Pengobatan, misalnya dengan kemotherapi atau pembedahan
4. Pencegahan Tingkat Ketiga adalah dengan cara Rehabilitasi.
3.2 Alasan pentingnya mempelajari patogenesis Penyakit Menular (PM) :
Riwayat Alamiah Penyakit (Natural History of Disease) adalah perkembangan suatu
penyakit tanpa adanya campur tangan medis atau bentuk intervensi lainnya sehingga suatu
penyakit berlangsung secara natural. Pada umumnya secara umum RAP dibagi menjadi 3
tahap, yakni tahap patogenesis, pre-patogenesis (masa inkubasi, penyakit dini dan penyakit
lanjut), dan tahap pasca patogenesis (penyakit akhir).
-
Konsep Tingkat Pencegahan Penyakit (Level of Prevention)
Konsep tingkat pencegahan penyakit ialah mengambil tindakan terlebih dahulu
sebelum kejadian dengan menggunakan langkah‐langkah yang didasarkan pada data/
keterangan bersumber hasil analisis/ pengamatan/ penelitian epidemiologi. Berikut
merupakan tingkatan pencegahan penyakit menular :
a)
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) seperti promosi kesehatan dan
pencegahan khusus. Sasarannya ialah faktor penyebab, lingkungan & pejamu. Langkah
pencegahaan di faktor penyebab misalnya, menurunkan pengaruh serendah mungkin
(desinfeksi, pasteurisasi, strerilisasi, penyemprotan insektisida) agar memutus rantai
penularan. Langkah pencegahan di faktor lingkungan misalnya, perbaikan lingkungan fisik
agar air, sanitasi lingkungan & perumahan menjadi bersih. Langkah pencegahan di faktor
pejamu misalnya perbaikan status gizi, status kesehatan, pemberian imunisasi.
b)
Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) seperti diagnosis dini serta
pengobatan tepat. Sasarannya ialah pada penderita / seseorang yang dianggap menderita
6
(suspect) & terancam menderita. Tujuannya adalah untuk diagnosis dini & pengobatan tepat
(mencegah meluasnya penyakit/ timbulnya wabah & proses penyakit lebih lanjut/ akibat
samping & komplikasi). Beberapa usaha pencegahannya ialah seperti pencarian penderita,
pemberian chemoprophylaxis (Prepatogenesis / patogenesis penyakit tertentu).
c)
Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) seperti pencegahan terhadap cacat
dan rehabilitasi. Sasarannya adalah penderita penyakit tertentu. Tujuannya ialah mencegah
jangan sampai mengalami cacat & bertambah parahnya penyakit juga kematian dan
rehabilitasi (pengembalian kondisi fisik/ medis, mental/ psikologis & sosial
- Manfaat mempelajari RAP (Riwayat Alamiah Penyakit) dalam epidemiologi. Studi
tentang RAP merupakan bagian dari studi epidemiologi, dikarenakan terdapat:
a) Studi etiologi — menemukan penyebab
b) Studi prognostik — mempelajari faktor risiko dan perkiraan akhir penyakit
c) Studi intervensi — mengetahui effectiveness , dan efficiency program pemberantasan dan
pencegahan penyakit.
Dengan mempelajari RAP dapat diperoleh beberapa informasi penting :

Masa inkubasi atau masa latent.

Kelengkapan keluhan (symptom) sebagai bahan informasi dama menegakkan
diagnosis

Lama dan beratnya keluhan yang dialami oleh penderita kejadian penyakit menurut
musim (season) kapan penyakit itu lebih frekuen kejadiannya

Kecenderungan lokasi geografis serangan penyakit sehingga dapat dengan mudah
dideteksi lokasi kejadian penyakit.

Untuk diagnostik: masa inkubasi dapat dipakai sebagai pedoman penentuan jenis
penyakit.

Sifat-sifat biologis kuman patogen sehingga menjadi bahan informasi untuk
pencegahan penyakit.
7

Untuk pencegahan: dengan mengetahui kuman patogen penyebab dan rantai
perjalanan penyakit dapat dengan mudah ditemukan titik potong yang penting dalam
upaya pencegahan penyakit.

Untuk terapi: intervensi atau terapi hendaknya diarahkan pada fase paling awal. Lebih
awal terapi akan lebih baik hasil yang diharapkan. Keterlambatan diagnosis akan
berkaitan dengan keterlambatan terapi.
Dalam memperlajari epidemiologi penyakit, sangat penting untuk mempelajari
patogenesis penyakit/perjalanan suatu penyakit baik PTM(Penyakit Tidak Menular) maupun
PM(Penyakit Menular). Dengan mempelajari patogenensis suatu penyakit maka kita
dapat memahami bagaimana mekanisme dan tahap perkembangan penyakit tersebut
dalam tubuh
sampai
menimbulkan
akibat.
Pemahaman
akan
perjalanan dan
perkembangan penyakit (riwayat alamiah penyakit) tersebut dapat menjadi dasar untuk
melakukan intervensi baik untuk pencegahan maupun pengobatan terhadap suatu penyakit.
Munculnya berbagai macam penyakit disebabkan oleh banyak faktor. Studi RAP
yakni Riwayat Alamiah Penyakit mempelajari bagaimana suatu penyakit dapat timbul dan
tersebar. Studi ini diduga mempunyai manfaat dalam mengetahui bagaimana pencegahan
penyakit yang seharusnya dilakukan.
Jika ada sebab pastilah ada sumbernya. Telah diketahui bahwa perkembangan zaman
di bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi membawa dampak yang besar terhadap
lingkungan, maka dari situlah penyakit yang pada umumnya bersifat biasa saja menjadi suatu
penyakit yang lebih bersifat patogen, dan adanya transisi epidemiologi merupakan salah satu
buktinya. Dengan mempelajari patogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada
simpul mana kita bisa melakukan pencegahan.
4. Pentingnya Mempelajari Patofisiologis Penyakit Tidak Menular dan Penyakit Menular
Dengan mempelajari setiap tahap perkembangan, rantai kejadian yang menuju kepada
terjadinya pathogen, perubahan struktur dan fungsi setiap komponen yang terlibat di
dalamnya, seperti sel, jaringan, tubuh, organ stimulasi faktor-faktor eksternal seperti faktor
mikrobial, kimiawi dan fisis kita mengetahui faktor apa saja yang dapat menjadi penyebab,
pemicu, dan faktor yang memperberat penyakit sehingga dapat menghindari faktor – faktor
tersebut, dan dengan mengetahui organ apa saja yg terlibat dalam proses penyakit kita
8
mengetahui derajat keparahan dan seberapa bahaya penyakit tersebut, sebagai landasan untuk
memberikan edukasi kepada masyarakat.
5.Contoh Patogenesis Penyakit Tidak Menular dan Penyakit Menular
Contoh Patogenesis Penyakit Tidak Menular dan Penyakit Menular
1. Patogenesis Penyakit Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, jika telah berkembang
penuh secara klinis maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati.
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel
terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikitmenurun atau berada dalam rentang normal.
Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II
dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus.
Diabetes mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan
fungsi insulin (resistensi insulin). Berikut patogenesis diabetes mellitus tipe II :
a. Resistensi Insulin
Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer
(terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada diabetes mellitus tipe II
dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin
mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan
meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia.
Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau
di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada diabetes mellitus tipe II jarang terjadi
defek kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi
insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor.
Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis diabetes
mellitus tipe II. Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan
9
otot serta meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi
insulin.
b. Gangguan Sekresi Insulin
Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berarti
jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada awal perjalanan
penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma
tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan
fase pertama sekresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun.
Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan
sekresi insulin yang tipe II, dan bukan defisiensi sintesa insulin. Namun pada
perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi absolut yang ringan sampai
sedang, yang lebih ringan dibanding DM tipe I . Penyebab defisiensi insulin pada
DM tipe II masih belum sepenuhnya jelas. Berdasarkan data mengenai hewan
percobaan dengan DM tipe II, diperkirakan mula-mula resistensi insulin
menyebabkan peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya.
Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap DM tipe II, kompensasi ini
gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya terjadi kehilangan 20 - 50% sel beta,
tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang
dirangsang oleh glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan
glukosa oleh sel beta. Dasar molekuler gangguan sekresi insulin yang dirangsang
oleh glukosa ini masih belum dipahami.
Peningkatan asam lemak bebas (NEFA = non-esterified fatty acids) juga
mempengaruhi sel beta. Secara akut, NEFA menginduksi sekresi insulin setelah
makan, sedangkan pajanan kronik terhadap NEFA menyebabkan penurunan sekresi
insulin yang melibatkan lipotoksisitas yang menginduksi apoptosis sel islet dan atau
menginduksi uncoupling protein-2 (UCP-2) yang menurunkan membran potensial,
sintesa ATP dan sekresi insulin.
Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM tipe II dilaporkan berkaitan
dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien DM tipe II ditemukan
endapan amiloid pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap
ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama
dengan insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang
10
disebabkan resistensi insulin pada fase awal DM tipe II menyebabkan peningkatan
produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amiloid yang
mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta refrakter dalam menerima
sinyal glukosa. Yang lebih penting, amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga
berperan menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus DM tipe II
tahap lanjut.
2. Patogenesis Penyakit Malaria
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan
kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak senamding dengan
parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal
ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan
sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang
menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap
eritrosit.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga
mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi
fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria
kronis terjadi hyperplasia dan retikulosit disertai peningkatan makrofag.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit
kedalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel,
sitoadherensi, sekuestasi dan resetting.
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi
Plasmodium falciparum pada reseptor di bagian endothelium venule dan kapiler. Selain
itu, eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk
roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekapan antara sebuah eritrosit yang
mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non
11
parasit, sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A
dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain pathogenesis malaria adalah multifaktoria dan
berhubungan dengan hal – hal sebagai berikut :
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga
terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia
dan hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi
hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin – makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag
yang sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin
mungkin berasal dari saluran crna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan
faktor nekrosis tumor (TNF) yang merupaka suatu monokin, ditemukan dalam
peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan
sitokin dapat menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sindom penyakit
pernapasan pada orang dewasa.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka
Eritrosit yang terinfeksi oleh plasmodium dapat membentuk tonjolantonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan
bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan avinitas eritrosit yang
mengandung parasit terhadap endothelium kapiler alat dalam, sehingga skizogoni
berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada
endothelium dan membentuk gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor
dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan.
12
6.Contoh Pafisiologis Penyakit Tidak Menular dan Penyakit Menular
6.1 Patofisiologi Malaria
Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan
hipotesis telah dikemukakan. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama berhubungan
dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya eritrosit yang mengandung
parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada mereka yang dapat tetap
hidup (survive). Peran beberapa mediator humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat
dalam patogenesis terjadinya demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin
dapat
menyebabkan
reaski
leukosit
dan
fagosit,
sedangkan
sporozoit
danzgametositztidakzmenimbulkanzperubahanzpatofisiologik.
Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan
hal-halzsebagaizberikut:
a.
Penghancuran eritrosit.
Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung
parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak
mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan
hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever)
dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
b.
Mediator endotoksin-makrofag.
Pada saat skizogoni, eritrosit
yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam
perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria,
mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat
melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan
dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain
yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia dan sindrom penyakit
pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan
sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan
plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang
dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak
13
dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas,
hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
c.
Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi.
Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat membentuk
tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen
malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas
eritrosit yang mengandung plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler darah
dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di
sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah
dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat
dalam.
Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi
permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang
cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum
ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam
protein untuk sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum.
Tahap Perkembangan Penyakit Malaria,
1.
Tahap exoeriyhrocitic adalah tahap dimana terjadinya infeksi pada sistem hati
(liver) manusia yang disebabkan oleh parasit plasmodium,
2.
Tahap erithrocitic adalah tahap terjadinya infeksi pada sel darah merah (eritrosit).
Setelah masuk melalui darah dan sampai di sistem hati manusia, parasit ini
akan berkembang biak dengan cepat yang kemudian keluar dan menginfeksi sel darah
merah, yang mana proses inilah yang menimbulkan timbulnya demam pada penderita
malaria.
Parasit plasmodium akan terus berkembang biak dalam sel darah merah yang
kemudian keluar untuk menginfeksi sel darah merah lain yang masih sehat, hal inilah
yang menyebabkan terjadinya gejala panas atau demam naik turun pada
penderitazmalaria.
Walaupun sebenarnya sistem limpa manusia bisa menghancurkan sel darah merah
yang terinfeksi oleh parasit, tetapi parasit plasmodium jenis falciparum dapat
membuat sel darah merah menempel pada pembuluh darah kecil dengan cara
melepaskan protein adhesif, sehingga dengan begini sel darah merah yang terinfeksi
14
tidak dapat masuk kedalam sistem limpa untuk dihancurkan. Dengan kemampuan
inilah plasmodium falciparum sering menjadi penyakit malaria akut, karena dengan
kemampuan menempelkan sel darah merah yang telah terinfeksi di dinding pembuluh
darah kecil secara simultan sehingga dapat menyumbat peredaran darah ke otak yang
sering mengakibatkan kondisi koma pada penderita penyakit malaria.
Lain halnya dengan sebagian parasit plasmodium jenis vivax atau ovale
tidak mempunyai kecenderungan yang mematikan seperti plasmdium falciparum
tetapi dengan kemampuan menghasilkan hipnosoites yang tetap aktif selama beberapa
bulan bahkan tahun, sehingga penderita penyakit malaria yang disebabkan
plasmodium ini sering mengalami malaria yang baru kambuh dan kambuh lagi selama
beberapa bulan bahkan tahun setelah terinfeksi pertama kali, dan sangat sulit dibasmi
secara tuntas dari dalam tubuh manusia terinfeksi.
6.2 Patofisiologi Diabetes
Tubuh manusia memerlukan bahan bakar berupa energi untuk menjalankan
berbagai fungsi sel dengan baik. Bahan bakar tersebut bersumber dari sumber zat gizi
karbohidrat, protein, lemak yang di dalam tubuh mengalami pemecahan menjadi zat yang
sederhana dan proses pengolahan lebih lanjut untuk menghasilkan energi. Proses
pembentukan energi terutama yang bersumber dari glukosa memerlukan proses
metabolisme yang rumit. Dalam proses metabolisme tersebut, insulin memegang peranan
yang sangat penting yang bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya
diubah menjadi energi (Syahbudin, 2004).
Pada keadaan normal, glukosa diatur sedemikian rupa oleh insulin yang diproduksi
oleh sel beta pankreas, sehingga kadarnya di dalam darah selalu dalam batas aman baik
pada keadaan puasa maupun sesudah makan. Kadar glukosa darah normal berkisar antara
70-140 mg/dl.
Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh beta pankreas pada
pulau Langerhans. Tiap pankreas mengandung 100.000 pulau langerhans dan tiap pulau
berisikan 100 sel beta (Syanbudin, 2004).
15
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam pengaturan kadar glukosa
darah dan koordinasi penggunaan energi oleh jaringan. Insulin yang dihasilkan sel beta
pankreas dapat diibaratkan anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke
dalam sel agar dapat dimetabolisrne menjadi energi. Bila insulin tidak ada atau insulin tidak
dikenali oleh reseptor pada permukaan sel, maka glukosa tak dapat masuk ke dalam sel
dengan akibat glukosa akan tetap berada dalam darah sehingga kadarnya akan meningkat.
Tidak adanya glukosa yang dimetabolisme menyebabkan tidak ada energi yang dihasilkan
sehingga badan menjadi lemah.
Pada keadaan DM, tubuh relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan glukosa
darah menjadi kacau (Waspadji, 1999). Walaupun kadar glukosa darah sudah tinggi,
pemecahan lemak dan protein menjadi glukosa melalui glukoneogenesis dihati tidak dapat
dihambat karena insulin yang kurang! resisten sehingga kadar glukosa darah terus
meningkat. Akibatnya terjadi gejala-gejaia khas DM seperti poliuri, polidipsi, polipagi,
lemas, berat badan menurun. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, berakibat terjadi
kegawatan Diabetes Mellitus yaitu ketoasidois yang sering menimbulkan kematian
Pada diabetes melitus tipe 1 sel beta dalam yang terdapat dalam pankreas tidak
dapat memproduksi insulin, sehingga glukosa yang berada di dalam darah tidak dapat
diserap oleh sel. Hal tersebut mengakibatkan naiknya kadar gula dalam darah. Sedangkan
pada diabetes tipe 2 sel beta dalam pankreas berfungsi baik dengan menghasilkan insulin
yang normal atau bahkan berlebih. Hanya saja jumlah reseptor dalam sel berkurang,
sehingga glukosa yang berhasil masuk ke dalam sel hanya sedikit. Akibatnya kadar glukosa
dalam darah menjadi naik. Diabetes Melitus tipe 2 juga dapat dikarenakan kurang
berkualitasnya insulin sehingga tidak mampu memasukan glukosa ke dalam darah.
16
Daftar Pustaka
Adiputro, Didie. Malaria Masih Menghantui Indonesia, www.perspektif.net diakses tanggal
13 Maret 2015
Buku Pegangan Kuliah epidemiologi “Dasar-Dasar dan Penatalaksanaan Penyakit Tidak
Menular (PTM)”. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Politeknik Kesehatan
Surakarta, Jurusan Kebidanan, 2009.
Bustan mn. Pengantar epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Gerstman. Epidemiology Kept Simple. California: Willey Liss, 2003.
Imam Subekti pada Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu edisi kedua tahun 2009.
Bagian II
Juwono, Sugeng. Riwayat Alamiah, Spektrum, Rantai Infeksi dan Kejadian Epidemik
Penyakit, 2011.
Lalusu, Yusnita Erni. Pengantar epidemiologi, 2011.
Marnaam, dkk. Makalah Malaria. Politeknik Kesehatan Semarang. Semarang, 2012.
Murti, Bisma. Modul Perkuliahan Fakultas Kedoketran UNS.
Detiklife.
Pengertian
Patofisiologi
beserta
contohnya.
http://detiklife.com/2014/10/03/pengertian-patofisiologi-beserta-contohnya/,
diakses pada 13 Maret.
http://wanenoor.blogspot.co.id/2011/06/pengertian-patogenesis.html di akses pada tanggal 11
Maret 2016
https://carapedia.com/patofisiologi_penyakit_info2312.html (diakses pada Sabtu, 12 Maret
2016)
http://dokumen.tips/documents/pengertian-patofisiologi-560d8499caa0f.html (diakses pada
Minggu, 13 Maret 2016)
http://id.scribd.com/doc/57173289/pengertian-patofisiologi#scribd (diakses pada Sabtu, 12
Maret 2016)
http://kamuskesehatan.com/arti/patogenesis/ diakses pada tanggal 12 Maret 2016.
http://kbbi.web.id/patogenesis diakses pada tanggal 12 Maret 2016.
17
Download