BAKTERI ASAM LAKTAT, PROBIOTIK DAN SISTEM IMUN

advertisement
BAKTERI ASAM LAKTAT, PROBIOTIK DAN SISTEM IMUN
1. Pendahuluan
Membran mukosa adalah lingkungan yang unik dimana terdapat banyak spesies bakteri
yang dapat bertahan hidup dan mempunyai pengaruh masing-masing. Terdapat sekitar 1014
bakteri dari 200 spesies, 40-50 di antaranya hidup pada permukaan dinding. 90% dari semua
populasi bakteri yang berada pada membrane mukosa usus halus bagian distal dan pada
proksimal dari kolon (Savage et all.,1998).
Mikroflora pada traktus gastrointestinal memegang peranan penting pada perkembangan
anatomi, fisiologi dan kekebalan (imunologi) dari host (penjamu) ini menstimulasi sistem
imun untuk merespon secara cepat infeksi yang disebabkan bakteri pathogen dan melalui
mekanisme antagonism dengan menghambat kolonisasi bakteri pathogen dan bakteri yang
berbahaya pada usus (Cebra et al.,1999).
Bakteri-bakteri ini terdiri dari family Bacteroides, Fusobacterium, Butyrivibrio,
Clostridium, Bifidobacterium, Eubacterium, dan Lactobaccilus. Enterocccocus dan
Escherichia coli bejumlah 1% dari semua mikroorganisme di usus. Bakteri anaerob lebih
mendominasi dibandingkan anaerob fakultatif dan mikroaerofil dengan rasio 1000:1
(Metesky and Russel, 1998) flora normal mendominasi 90% dari populasi bakteri, terutama
golongan Bifidobacteria dan Lactobacili. Sedangkan sisanya
(kurang dari 0,01%) dari
populasi terdiri beraneka ragam bakteri yang berpotensi menjadi pathogen (Tournut, 1993).
Kolonisasi bakteri pada usus halus mengalami perubahan tergantung dari umur. Hal ini
dipengaruhi oleh imunitas lokal, faktor fiksasi bacterial, dan fenomena resistensi kolonisasi
(Tournut, 1993). Strain bakteri dari periode neonatal akan berganti dengan bakteri strain lain
yang tergantung dari jenis specimen dan host-nya (Jiang et al., 2001). Satu hari setelah lahir
terjadi perubahan komposisi mikroflora usus baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada
saat penyapihan, bakteri asam laktat dan coliform digantikan oleh bakteri anaerob obligat
(Berg, 1996),
2. Mikroflora usus dan mekanisme proteksi host
Permukaan epitelial mukosa seperti traktus gastrointestinal atau traktus respiratorius
dimana host akan melawan beraneka ragam mikroorganisme dari lingkungan luar tubuh
yang merupakan tempat masuknya infeksi karena bakteri patogen. Permukaan ini tidak
terlindungi. Mekanisme pertahanan yang berbeda
dilibatkan untuk perlindungan yang
permanen dan efektif.
Sistem imun sekretorik berperan penting dalam hal ini. IgA sekretorik (sIgA) adah
isotype antibodi predominan yang disekresi pada usus mamalia. Sebagian besar adalah
derivate sel plasma subepitelial yang memproduksi IgA polimerik dengan rantai J (pIgA)
(McGhee et al., 1989). Sel epithelial mengeluarkan reseptor spesifik untuk Ig polimerik
(pIgR). Ini merupakan hal yang penting dalam transportasi selektif dari immunoglobulin
pada lumen usus. Imunoglobulin IgG dan IgM juga disekresi oleh usus tetapi jumlah dan
isotype-nya bervariasi tergantung spesiesnya. SIgA memiliki banyak kegunaan yang
penting. IgA yang berbentuk dimerik dan tetradimerik mengandung 4 sampai 8 tempat
antigen berikatan (binding site) dan memiliki efek multivalent yang mirip dengan IgM. IgA
lebih resisten terhadap enzim proteolitik yang terdapat pada sekresi traktus gastrointestinal
(Branrzaeg,
1995).
Berdasarkan
Kilian,
kompleks
antigen-IgAtidak
mengaktivasi
komplemen yang menyebabkan inflamasi. Adanya rantai samping oligosakarida mannan,
sIgA dapat menghambat perlekatan bakteri dengan fimbriae tipe I ke sel epithelial tanpa
melibatkan respon antibody spesifik (Wold et al., 1990).
Respon tipikal dari system imun sekretorik adalah dengan memproduksi antibody
sekretorik IgA yang spesifik (Underdown and Schiff, 1986) melawanantigen luminal untuk
mencegah respon yang lebih lanjut pada permukaan epithelial. Proses ini disebut “immune
exclusion”(produksi imunitas) dan memberikan perlindungan non-inflamasi pada membrane
mukosa. Gabungan dari lapisan epithelial, produksi mukos, glikolipid, peptide sitoprotektif,
dan zat yang mirip dengan antibiotic merupakan bentuk system proteksi lain pada host
(penjamu) (Bengtmark and Jeppson, 1995).
Mikroflora protektif membentuk efek perlindungan terhadap masalah bakteri pathogen
dan memproduksi faktor regulasi seperti asam amino rantai pendek dan bakteriosin.efenya
meliputi kompetitif terhadap reseptor dan bahan metabolic. Meski telah terbukti tapi masih
belum dipahami tentang peran mikroflora usus dalam modulasi dari homeostasis imun.
Lapisan mukosa usus merupakansalah satu organ imun terbesar dalam tubuh, dimana semua
sel imunokompeten telah teridentifikasi (Brandtzaeg et al., 1999). Ini memungkinkan untuk
menggambarkan induksi secara anatomi dan bagian efektor dari respon imun pada mukosa.
Tempat induksi utama adalah plaques Payeri yang terletak di sepanjang usus halus. Sel
limfoid dan sel assesori dari plaques Payeri ditutupi oleh epitelium folikuler serta sel M
yang mengenali antigen pada dinding usus (Neutra et al., 1996).
Migrasi limfosit adalah penting untuk mentransfer informasi imunologikal antara
kompartemen yang berbeda pada sistem imun usus. Berdasarkan Rothkotter et al. (1999) sel
dendritik adalah sel antigen spesifik pertama yang berasal dari usus setelah reseksi limfonodi
mesenterika, lalu akan mengeluarkan sel T ke dinding usus. Setelah imigrasi ke lamina
propia usus, limfosit akan masuk ke ruang antara sel epitelial dimana akan dokenali sebagai
limfosit intra epitelial.
Limfosit intra-epitelial (IEL) seluruhnya berjumlah sampai 27% dari semua sel epitelial
dan 40% dari sel T perifer. Proporsi terbanyak sel ini adalah CD8+ (77% pada babi, 24%
pada domba). Mereka berbeda dengan sel T pada darah. Sebaga contoh, CD90-, CD5- , dan
membawa isoform CD45 yang tidak ditemukan pada sel T di darah perifer (Tizard, 2000).
Pada pemisahan dinding usus pada babi yang berumur 5 hari didapatkan 10 kali lebih rendah
jika dibandingkan dengan babi dewasa dimana terdapat 26,8 x 106 limfosit intra-epitelial dan
35,2 x 106 limfosit total setiap gram jaringan usus (Rothkotter et al., 1994).
Sel epitelial usus (IEC) adalah sel yang imunokompeten (Bland and Warren,1986) di
bawah pengaruh tetap dari faktor modulasi lumen termasuk didalamnya adalah zat yang
diproduksi bakteri. IEC berperan aktif dalam melawan reaksi lokal dari kuman patogen
(Jung et al., 1995). Fungsi imun dari enterosit meliputi interaksi dengan faktor lingkungan,
proses enzimatik dari antigen pada makanan, pengeluaran molekul adhesif, pengeluaran
MHC kelas I dan kelas II, presentasi antigen pada limfosit, produksi sitokinin-partisipasi
reaksi sitokin, transport imunoglobulin sekretorik dan imun kompleks dengan sIgA (Bland
and Warren, 1986; Kaiserlain, 1991). Mereka juga berperan dalam mengedukasi limfosit
intra epitelial independen yang dihasilkan kelenjar thymus (mayer and Stillen, 1987).
Aktivasi sel apitelial usus membutuhkan kontak langsung dengan IEC dan mungkin
dibutuhkan interaksi dengan permukaan molekulnya. Sebagai inisiasi respon imun lokal dan
aktivasi sel T spesifik, jalur antigen luminal ini harus melalui barrier epitelial. Plaques
Payeri atau kumpulan organ limfoid lainnya ditutupi oleh lapisan epitelial lainnyadengan sel
M yang merupakan jalur utama antigen dan aktovasi sel T (neutra et al., 1996). Sel imun
lainnya seperti makrofag, sel dendritik, dan enterosit juga terlibat dalam melawan antigen
pada lapisan mukosa.
Limfosit T dari lamina propia usus akan berada dibawah pengaruh dari antigen invivo
(Brandtzaeg et al.,1989). Mereka diaktivasi (ekspresi reseptor IL2, CD95) dan bereaksi
secara efektif terhadap infeksi. Stimulasi antigen yang permanen bertanggung jawab
terhadap proliferasi, maturasi dan migrasi dari sel T ke jaringan yan)g letaknya jauh dimana
sel ini berperan sebagai sel efektor pada respon imun (Mestecky, 1987).
Sel T memproduksi limfokin yang bertanggung jawab pada agregasi dari sel imun
lainnya (sel B, sel inflamatorik) dan untuk memodifikasi lingkungan mikrobiotik. Salah satu
limfokin yang paling penting adalah interferon γ (IFN-γ) yang diproduksi oleh aktivasi sel T.
Ini akan mengaktivasi sel efektor seperti makrofag atau sel epitelial (IEC) (Coffman et al.,
1988; Mosmann dan Coffman, 1989)
IEC murine mengekspresikan MHC kelas II dan molekul ICAM-I dan mereka
mempresentasikan antigen kepada sel limfosot T (Bland ddan Warren, 1986). Fungsi ini
merupakan modifikasi secara fisiologis atau patologi pada host (Hughes et al., 1991; Mayer
et al., 1991). Pada binatang ternak, sebagian besar molekul MHC kelas II diekspresikan
hanya pada sel B dan diaktivasi oleh sel T. Pada babi, sel T resting mengekspresikan
molekul MHC kelas II sama seperti makrofag (Tizard 2000). IEC mampu memproduksi
secara in vitro sitokin pro-inflamatorik yang banyak seperti IL-8, MCP-1, TNF-α, dan GMCSF jika dipengaruhi oleh bakteri patogen yang invasif (Jung et al., 1995). IL-8 dan MCP
adalah kemokin yang menarik dan mengaktivasi netrofil dan monosit. TNF-α mengaktivasi
sel imun dan sel inflamatorik dan GM-CSF yang memiliki efek sinergis pada aktivasi sel
(Galli et al., 1991). Infiltrasi jaringan oleh sel efektor inflamatorik berguna untuk
menghancurkan patogen yang selalu berkaitan dengan adanya kerusakan jaringan. Maka
aktivasi ini dikontrol ketat oleh pengaruh eksternal seperti IFN-γ atau TNF-α dan oleh
molekul permukaan seperti CD54 atau CD95, yang apat mengaktivasi dan menghambat
aktivasi IEC (Delneste et al., 1998).
Terdapat perbedaan yang jelas antara bakteri gran negatif non patogen dan bakteri asam
laktat (LAB) dalam interaksinya dengan IEC. Interaksi langsung antara IEC dan kedua jenis
bakteri di atas memacu keluarnya IFN-γ, tetapi efek timulasi LAB terbatas pada ekpresi sel
molekul pada permukaan (Delneste et al., 1998)mekanisme molekuler ini bertanggung
jawab terhadap efek bakteri gram negatif dan LAB msih belum diketahui. Kemampuan
bakteri gram negatif dalam memacu ekspresi reseptor IFN-γ pada peningkatan IEC
sensitivitas sel ini dalam mengaktivasi IFN-α. Dengan kata lain, LAB dapat menstimulasi
IEC untuk aktivasi dari limfokin ini, dimana hai ini penting dalam homeostasis imun lokal.
Stimulasi antigen permanen pada permukaan mukosa dapat memproduksi lesi
inflamatorik pada jaringan. Mekanisme homeostasis akan menjadi aktif pada lapisan mukosa
untik mencegah efek yang tidak diinginkan. Apoptosis adalah program bunuh diri sel yang
merupakan salah satu mekanisme homeostasis. Sebagian besar dari limfosit T pada lamina
propia adalah sel yang menempel pada permukaan molekul Fas yang mentransfer sinyal
apoptosis ketika itu bereaksi dengan ligand Fas yang diaktivasi sel T. Beberapa sel T juga
mengekpresikan Fas dan ligand Fas yang mempunyai potensi reaktif juga dengan IEC atau
sel T lainnya (Boirvirant et al., 1996; De Maria et al., 1996)
3. Hubungan antara host dan mikroorganisme
Interaksi antara mikroorganisme dan host pada lapisan mukosa ditandai dengan aktivitas
keduanya. Adanya mikroorganisme dan sistem imun pada host memiliki keanekaragaman
mekanisme kerjanya (Pincus et al., 1992)
Bakteri yang bertahan hidup selama pembasmian kuman pada lapisan mukosa ini
disebabkan adanya kolonisasi mikroorganisme pada permukaan mukosa. Mikroflora normal
mempengarhi struktur mukosa host, fungsi dan perkembangan dari keseluruhan sistem imun
(Kramer dan Cebra, 1995). Ini terbukti saat percobaan di peternakan binatang pada kondisi
bebas kuman (Uribe et al., 1990). Inflamasi fisiologis pada usus setelah terjadi kolonisasi
pada binatang yang bebas kuman non patogen ditandai dengan infiltrasi sel yang kuat pada
lapisan mukosa usus. Pertukaran sel epitelial ini meningkat, respon imun spesifik dan nonspesifik akan cepat meningkat (Lodinova et al., 1991). Semua kompartemen usus halus
mengandung sel limfoid sejak lahir, tetapi berdasarkan Pabst dan Rochkotter (1999) jumlah
IEL meningkat pada babi yang bebas kuman hanya meningkat sedikit jika dibandingkan
dengan babi yang dipelihara secara konvensional. Mereka juga mengamati sel T pada lamina
propia usus halus, yang tidak mengekspresikan baik molekul CD4 maupun CD8. Komposisi
ini akan tetap bertahan sampai babi ini berumur 1,5 bulan.
Bakteri patogen mempunyai mekanisme berbeda dalam menginfeksi usus. Dua
diantaranya yang paling penting adahah perlekatan (adherence) pada membran mukosa dan
memproduksi toksin. Tidak semua bakteri patogen ini dieliminasi oleh mekanisme imun
mukosa karena memiliki ikatan yang kuat dengan permukaan glikoprotein, atau glikolipid
pada sel epitelial (Hoepelman dan Tuomanen,1992). Perubahan terjadi setelah terjadi ikatan
bakteri dengan permukaan selyang disebabkan terganggunya permeabilitas “tight junction”
(ikatan yg kuat) diantara sel epitelial. Seperti pada limfosit, bakteri juda dilengkapi molekul
pada permukaan yang mudah menempel sehingga memungkinkan bakteri melekat dengan
sel eukariotik (Hook dan Switalski, 1992; Svanborg, 1994). Adhesin bakteri berupa protein
fimbrial dan non-fimbrial yang dapat mengenali unit sakarida pada permukaan sel kariotik
atau pada matriks intraseluler. Beberapa spesies bakteri (Shigella, Salmonella, Yersinia)
ditangkap oleh sel epitelial dan kuman-kuman ini tidak harus mengeluarkan protein
membran spesifik. Bebrapa kuman patogen masuk ke jaringan host melalui absorpsi sel M
dan beberapa lainnya mengunakan reseptor integrin pada sel host untuk mempermudah
perlekatannya (Perdomo et al., 1994; Jones et al., 1994)
4. Imuno-modulasi respon imun
Membran mukosa usus memegang peranan penting dalam eksklusi dan eliminasi dari
antigen dan mikroorganisme yang berbahaya dan secara simultan berfungsi absorpsi selektif
dari makanan (Brandtzaeg, 1995). Perlawanan terhadap antigen berkaitan dengan kapasitas
membran mukosa dalam memproduksi sIgA dan mukosa (Slomiany et al., 1987). Mikroflora
usus berperan dalam melawan kuman. Ini mencegah bakteri lain melekat dengan cara
bersaing (kompetitif) untuk mendapatkan nutrisi dan tempat untuk perlekatan, serta
memproduksi antibodi spesifik (Bengtmark dan Jeppson,1995).
Paparan awal terhadap usus terhadap mikroorganisme yang hidup dan kolonisasi bakteri
yang masuk bersamaan dengan antigen dari makanan sangat penting dalam perkembangan
barrier usus (Helgeland et al., 1996; Sudo et al., 1997). Mikroflora
meningkatkan
kemampuan barrier melalui peningkatan sekresi plasmosit IgA (Moreau et al., 1996).
Peningkatan jumlah sel enteroendokrin pada epitelium jejenum dan kolon, dimana memacu
produksi IgA sekretorik dan mukosa (Sharma dan Schumaker, 1995). Hasil ini didapat oleh
Cukrowska et al. (2001) menunjukkan onset kolonisasi usus dari babi yang bebas kuman
dengan E.colli non petogenik O86 IgA, IgG, dan limfosit yg mensekresi IgA meningkat
pada lien, limfonodi mesenterika dan plaques Payeri pada binatang yang mn=engalami
kolonisasi dibandingkan dengan babi yang bebas kuman.
Telah diketahui bahwa mikroflora pada usus menstimulasi proliferasi sel epitelial dan
meningkatkan permukaan usus seluruhnya (Heyman et al., 1986) dan kolonisasi pada usus
dengan mikroflora komensal mempengaruhi perkembangan sistem imun. Pendapat tentang
mikroflora usus sebagai bagian penting dari mekanisme pertahanan mukosa menyebabkan
adanya strain bakteri spesifik yang dikenal dengan nama probiotik.
Aplikasi probiotik ini dapat mempengaruhi komposisi mikroflora dengan meningkatnya
jumlah lactobacillus dan bakteri anaerob lainnya (Salmien et al., 1998). Suplai makanan
yang mengandung bakteri probiotik menstimulasi respon imun IgA (Kaila et al., 1992) dan
transport antigen target melalui plaques Payeri (Isolauri et al., 1993). Plaques Payeri adalah
salah satu tempat respon imun membran mukosa pada usus. Antigen luminal ditransport
terutama melalui Plaques Payeri dan mereka akan melawan sel yang membawa antigen yang
dibawa oleh MHC kelas II (Weiner et al., 1994). Target transfer antigen yang melalui
Plaques Payeri adalah penting dalam perkembangan respon imun sekretorik lokal. Ini telah
terbukti bahwa probiotik menstimulasi produksi interferon γ (De Simone et al., 1986), yang
juga berperan dalam presentasi antigen dengan jalur ekspresi MHC kelas II dan
menstimulasi respon IgA. Pessi et al. (1998) menunjukkan bahwa probiotik mempengaruhi
permeabilitas mukosa yang memperbaiki transport makromolekul yang rusak dan
memungkinkan pengaruh yang positif terhadap lesi yang disebabkan oleh respon inflamasi
pada membran mukosa. Pada waktu yang sama mereka akan memacu permeabilitas
membran dan respon imun terhadap antigen.
Bakteri probiotik mempengaruhi memproses antigen pada lapisan mukosa berdasarkan
kandungan makanannya. Lactobaccilus GG bersama dengan antigen unhidrolisis
meningkatkan transport molekul yang terdegradasi, tetapi jika terdapat antigen yang
terhidrolisis. Ini menandakan adanya efek dari bakteri probiotik pada degradasi antigen
mukosa yang mengalami penurunan jika jumlah antogen makanan juga rendah (Pessi et al.,
1998).
5. Stimulasi sistem imun yang diinduksioleh bakteri asam laktat
Traktus gastrointestinal merupakan salah satu tempat yang sering terpapar oleh
mikroorganisme patogen dan bahan-bahan non viabel termasuk antigen dan karsinogen.
Jaringan limfatik pada usus berperan penting dalam respon imun lokal dan sistemik
(Naukkarinen dan Syrjanen, 1986) dan memediasi migrasi dan membawa kembali sel
teraktivasi dari usus ke bagian tubuh yang lain (Ernst et al, 1988). Mikroorganisme dari luar
dan fragmen sel dapat mengalami penetrasi ke dinding usus dengan translokasi melalui
lapisan epitelial atau melaui Plaques Payeri. Bakteri dari dalam usus termasuk lactobacili
memiliki kemampuan menembus lapisan mukosa usus dan dapat bertahan di dalam lien atau
organ lain selama beberapa hari dimana mereka menstimulasi aktivitas fagositosit (Deitch et
al., 1990). Respon proliferasi dari sel lien pada concavalin A dan lipopolisakarida yang
secara signifikan meningkat pada tikus yang diberi LAB yang berbeda. Sel-sel ini juga
terbukti memproduksi interferon-γ dalam jumlah yang besar
sebagai respon terhadap
stimulasi dengan concavalin A (Gill et al., 2000).
Bloksma et al. (1979) menunjukkan bahwa lactobaccilus plantarum strain viabel
diletakkan intraperitoneal pada tikus yang distimulasi hipersensitivitas tipe delayed dan
bakteri non viabel memiliki efek adjuvant. Pada penelitian lain, Lactobacillus yang
diletakkan intraperitoneal mengaktivasi makrofag (kemampuan fagositosit dan aktivitas
enzim) dan sel Natural Killer (Kato et al., 1984). Inokulasi subkutan Lactobacillus casei
menstimulasi produksi antibodi spesifik melawan antigen Pseudomonas
dengan
meningkatnya antigen IgM pada sirkulasi (Saito et al., 1983)
Aplikasi oral dari lactobacillus menyebabkan stimulasi makrofag dan limfosit serta
pelepasan enzim dari makrofag peritoneal murine (Perdigon et al., 1986). Penelitian dari
Perdigon et al. (1990, 1991) menunjukkan adanya inokulasi peroral Lc. casei mengaktivasi
jaringan limfatik pada usus, yang menyebabkan peningkatan titer IgA sekretorik antiSalmonella pada cairan usus. Dosis dan lamanya aplikasi lactobacillus sangat penting dalam
keberhasilannya. Hanya tikus yang telah mendapat Lc.casei selama3 hari mendapat efek
terapeutik yang berkaitan dengan peningkatan kadar antibody sIgA. Titer ini juga tergantung
jumlah bakteri yang diaplikasikan dan Lc.casei termasuk sebagai oral adjuvant sebagai
pencegahan infeksi pada usus.
Berdasarkan hasil kami (Herich et al., 1999) 10 hari setelah pemberian Lc.casei pada
anak babi gnotobiotik percobaan yang diinfeksi oleh E.coli dengan dosis yang sama adalah
lebih efisien dari pada pemberian 3 hari untuk menstimulasi fungsi imun non-spesifik.
Mekanisme bakteri asam laktat yang dipakai untuk mempengaruhi sistem imun dan
memproduksi dipakai untuk mempengaruhi sistem imun dan menyebabkan efek
imunostimulatif yang masih belum diketahui. Kemungkinan, bakteri asam laktat (LAB)
sendiri atau produk yang dihasilkan diserap oleh sel M dan dibawa ke folikel limfatik yang
lebih dalam dimana mereka akan menjadi sel imunokompeten (Brandtzaeg et al., 1987).
Selanjutnya, LAB dan produknya ditranspor untuk dikenalkan ke sistem imun menuju
jaringan limfatik sistemik-limfonodi mesenterika atau menuju lien. Teori ini didukung oleh
Classen et al (1995), yang menemukan adanya perlekatan dan proses pencernaan dari
lactobacillus yang diberikan secara oral oleh sel M pada Plaques Payeri. LAB ditemukan
pada Plaques Payeri setelah 6-12 jam dan limfonodi mesenterika 48 jam setelah dicerna.
Epitelium usus mengandung limfosit mampu memproduksi sitokin dalam skala luas dan
mempengaruhi lingkungan imun lokal (Taguchi et al., 1991; Lefrancois, 1994). Ini
memungkinkan LAB atau produknya pada lumen usus dapat berdampak langsung pada sel
ini dan menstimulasi aktivitasnya. Ini memungkinkan LAB masuk tubuh melalui jalur yang
tidak spesifik yang dimediasi mekanisme reseptor. Interaksi antara LAB dan produknya
dengan sel imunokompetenseperti makrofag dan sel T dapat meneningkatkan produksi
sitokin memiliki efek beraneka ragam terhadap sel imun dan non-imun (Nussler dan
Thomson, 1992).
LAB dapat memacu produksi sitokin melalui 2 jalur. Sekresi sitokin dapat dilepaskan
setelah terjadi presentasi antigen terhadap limfosit T. Atau produksi sitokin yang disebabkan
interaksi langsung antara LAB dan sel imunokompoten (Taguchi et al., 1991; Lefrancois,
1994). Adanya reseptor spesifik pada senyawa peptidoglikan dari sel LAB yang merupakan
manifestasi limfosit dan makrofag (Dziarski, 1991). Kemampuan peptidoglikan dalam
menginduksi sekresi IL-1, IL-6 dan TNF α oleh monosit telah dibuktikan oleh Bhandi et al..
(1991), Tufano et al. (1991), Heuman et al. (1994). Induksi produksi IFN γ pada limfosit
ditunjukkan berdasarkan penelitian Tufano et al. (1991). Sitokin empengaruhi sistem
pertahanan dari host baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Interferon
menghambat replikasi virus, menginduksi ekspresi antigen MHC kelas I dan kelas II,
menstimulasi limfosit T-helper, mengaktivasi makrofag, dan memacu imunogenitas dari
vaksin (Murray, 1988). IL-1 menstimulasi proliferasi sel B dan sel T, IL-6 menginduksi
diferensiasi sel B terhadap sel plasma dan TNF α memiliki efek sitotoksik pada sel tumor
(Gill, 1998).
Faktor yang mempengaruhi aktivitas imunomodulatif dari LAB :
a. Perbedaan yang besar dari kemampuan LAB dalam mempengaruhi sistem imun
(Perdigon dan Alvarez, 1992; De Petrino et al., 1995; Paubert-Braquet et al., 1995)
b. Efek LAB terhadap sistem imun tergantung pada dosis (Kishi et al., 1996)
c. Kultur langsung pada bakteri yg hidup lebih efisien pada beberapa aspek stimulasi
imun jika dibandingkan dengan bakteri yang sudah mati (Portier et al., 1993; Vesely
et al., 1996)
d. LAB yang diaplikasikan pada produk yang mengalami fermentasi akan
menyebabkan respon yang lebih besar pada sel jika dibandingkan pada produk yang
tidak mengalami fermentasi (Perdigon et al., 1986; Saucier et al., 1992)
Faktor lain yang dapat mempengaruhi efisiensi LAB yang menstimulasi imunitas
kemungkinan oleh umur dari host, status fisiologis dari host, serta kualitas dan kuantitas
pemberian makanan.
Sebagai contoh, Tejada-Simon et al. (1999) tidak mencatat efek positif yang terjadi
berulang (sampai 14 hari) pemberian oral bakteri asam laktat baik viabel maupun non-viabel
pada sitokin utama mRNA yang terdapat pada jaringan limfoid mukosa dan sistemik dan
besarnya kadar imunoglobulin. Berdasarkan Gill et al. (2000) pemberian Lc.rhamnosus,
Lc.acidophilus atau Bifidobacterium lactis pada tikus tidak memberikan efek signifikan
terhadap produksi IL-4 oleh sel pada lien atau presentase dari sel CD-4, CD-8 dan CD40
pada sirkulasi darah meskipun efek imunostimulatif diamati dengan parameter lain.
6. Efek bakteri asam laktat pada respon imun non spesifik
Respon imun non-spesifik merupakan lini pertama pertahanan host. Ini dirangsang oleh
stimulus yang berbeda dan dengan cepat teraktivasi. Sel imun non-spesifik terdiri ari sel
fagosit mononuklear (monosit, makrofag), lekosit polimorfonuklear (terutama netrofil) dan
sel NK. Fagositosis diinisiasi oleh reaksi intraseluler yang berlanjut dengan produksi
oksigen reaktif dan radikal nitrogen, TNF-α dan IL-1 (Tizard, 2000)
Aplikasi beberapa strain LAB memprodukasi:
a. Memacu aktivitas makrofag peritoneal dan pulmonal serta lekosit darah (Moineau
dan Gouler, 1991; Pauber-Brequet et al., 1995; de Petrino et al., 1995)
b. Meningkatkan sekresi enzim lisosomal (paubert-Braquet et al., 1995; Pedigon et al.,
1988), meningkatkan produksi oksigen reaktif, radikal nitrogen, dan monokin dari
sel fagositik (Balasubramanya et al., 1995)
c. Memacu pembuangan in vivo dari koloidal karbon sebagai indikator kemampuan
fagositik sistem monosit-makrofag (Pedigon et al., 1988)
Hasil dari beberapa penelitian dari binatang menunjukkan adanya peningkatan fungsi
dari sel fagositosit tergantung pada spesies atau strain bakteri. Sekresi enzim lisosomal pada
makrofag tikus yang diberi makanan berupa susu fermentasi dengan Lactobacillus casei
lebih efektif dibandingkan dengan yang diberi makanan berupa susu yang mengandung Lc.
acidophilus dan Streptococcus termophilus (Perdigon dan Alvarez, 1992). Tortuero et al.
(1995) menemukan peningkatan konsentrasi interleukin-2 pada jaringan ileus pada anak
babi yang diberikan Streptococcus faecium M-74 dan Lc.casei spp. Struktur histologi dari
epiteliun anak babi menunjukkan peningkatan aktivitas fagositosit sel. Perbedaan komposisi
dinding sel kemungkinan bertanggung jawab terhadap aksi yang berbeda dari beberapa
strain lactobacili. Beberapa strain mampu bertahan pada traktus gastrointestinal, mampu
menempel membran mukosa usus dan mampu bertahan pada kondisi kritis yang lebih efektif
menstimulasi sel fagosit (Perdigon dan Alvare, 1992; Schiffrin et al., 1997). Ini ditandai
dengan produk yang difermentasi ini lebih efektif dalam menstimulasi sistem imun nonspesifik sampai peptida imun yang aktif terbentuk selama terjadi fermentasi protein susu
(Fiat et al., 1993).
7. Efek LAB pada respon imun spesifik
Respon imun spesifik dapat dibagi menjadi 2 kategori utama yaitu imunitas humoral
dan imunitas seluler. Antibodi yang diproduksi oleh sel plasma (limfosit B matur)
memediasi imunitas humoral. Imunitas seluler dimediasi oleh limfosit T, dimana
berproliferasi setelah mengalami kontak dengan antigen, memproduksi sitokin dan
mempengaruhi aktivitas sel imunokompeten lainnya (Tizard, 2000).
Beberapa peneliti menyimpulkan efek protektif dari bakteri asam laktat melawan infeksi
usus dan tumor (Adachi, 1992; Aso et al., 1995; Savedra, 1995). Induksi respon imun
mukosa tidak mudah sampai terdapat toleransi tetapi Perdigon et al. (1999) menunjukkan
bahwa beberapa bakteri asam laktat mampu menginduksi imunitas sekretorik spesifik dan
yang lain akan memacu respon imun inflamatorik pada usus. Lc.casei dan Lc.plantarum
mampu berinteraksi dengan Plaques Payeri dan menunjukkan peningkatan pada IgA, sel
CD4+, dan antibodi spesifik untuk menstimulasi strain. Lc.lactis dan Lc.delbrueckii spp.
bulgaris menginduksi peningkatan pada sel IgAyang masuk ke siklus IgA tapi tidak untuk
sel CD4+. Nader de Macias et al. (1992) menjelaskan peningkatan resistensiterhadap infeksi
Shigella yang ditandai titer tinggi dari antibodi anti-Shigella pada serum dan sekresi usus
pada tikus yang diberi makanan fermentasi susu.
Pada percobaab Herias et al. (1999), tikus gnotobiotik diberikan Lc.plantarum senagai
tambahan terhadap E.coli berakibat rendahnya jumlah E.coli pada usus halus dan caecum
satu minggu setelah terjadi kolonisasi dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapat
E.coli. tikus yang mengalami kolonisasi Lc.plantarum memiliki kadar serum total IgA yang
lebih tinggi dan IgM serta antibodi IgA yang lebih tinggi sehingga dapat melawan E.coli
dibandingkan yang hanya terdapat kolonisasi E.coli.
Perdigon et al (1990) menemukan korelasi antara peningkatan respon imun dan
resistensi terhadap infeksi Salmonella pada tikus yang diberi susu fermentasi. Observasi
yang samadilakukan oleh Paubert-Braquet et al., (1995) untuk mengetahui resistensi host
terhadap Salmonella.
Pemberian Lc.casei dan Lc.bulgaricus yang mengalami imunosupresi pada tikus yang
mengalami infeksi Candida albicans (de Petrino et al., 1995). Dinatang yang diinokulasi
dengan Lactobacili menunjukkan peningkatan secara signifikan respon imun spesifik dan
non-spesifik dan mencapai kadar antibodi lebih tinggi jika dibandingkan dengan binatang
yang tidak mengalamin imunosupresi,
Berdasarkan Alvarez et al (1998) kultur Lc.casei yang viable melindungi host dari
infeksi Salmonella typhimurium tidak hanya setelah pemberian pertama tetapi juga
mempertahankan efeknya setelah revaksinasi simple pada hari ke-15 atau hari ke-30.
Mereka memperkirakanbahwa efek perlindungan ini didapat dari sejumlah IgA yang
dihasilkan pada lamina propia usus dan IgA sekretorik pada cairan usus yang emningkat,
mereka mengamati peningkatan jumlah sel polimorfonuklear yang menyebabkan respon
imun dan mempengaruhi keutuhan membrane mukosa.
Dari keterangan di atas, maka diperlukan pentingnya mempertahankan kadar CD4+ dan
CD8+ harus tetap. Peningkatan yang hanya terjadi pada pada sel T CD4+, terutama Th1,
dapat memacu ekspresi HLA kelas II melalui jalur sitokin (Lionetti et al., 1995) diikuti
pengikatan antigen yang tinggi dan stimulasi yang berlebihan mukos. Berdasarkan
Brandtzaeg (1996) stimulasi imun yang berlebihan pada usus terjadi melalui jalur
pembentukan sel T CD4+.
Menurut Havenith et al (2002) lactobacilli dikenal sebagai bakteri yang aman dan
memiliki jumlah yang sesuai untuk melindungi mukosa sebagai senyawa yang menarik dari
sudut pandang farmasi. Kemampuan imunomodulasi Lactobacilli bersama dengan
kemampuan menandai antigen bakteri pada tempat yang spesifik memberikan manfaat
sebagai terapi untuk penyakit infeksius, atau kelainan imun lainnya dengan cara memodulasi
respon imun secara langsung dan mengatasinya.
8. Kesimpulan
Terdapat beberapa mekanisme yang dapat mempengaruhi komposisi mikroorganisme
yang mengalami kolonisasi pada traktus digestivus. Dua diantaranya yang penting adalah:
sifat antagonisme antar bakteri dan kemampuannya berpindah ke organ dalam, yang dapat
menyebabkan penyakit.
Keuntungan aktivitas bakteri ini dapat mempengaruhi system imun host. Perlindungan
membrane mukosa didapat dari mekanisme pertahanan imunitas local. Perkembangan ini
tergantung pada kontak langsung antara host dan antigen yang berasal dari lingkungan luar.
Mikroflora endogen akan bergabung dengan pengeluaran imunitas dan melindungi host dari
adhesi kuman pathogen dengan cara kompetitif dalam menempati tempat perlekatannya.
Bakteri ini emproduksi zat anti-bakterial dan menstimulasi produksi antibody spesifik. LAB
salah satu jenis bakteri yang hidup secara fisiologis pada traktus digestivus mamalia. Bakteri
ini mempengaruhi distribusi dan jumlah sellimfoid pada jaringan limfatik yang terkait
dengan usus, untuk mempertahankan keseimbangan mikroflora usus dan melaui aktivitasnya
dapat membantu mempertahankan keutuhan (integritas) membrane mukosa usus.
Download