PENGANTAR Perkembangan sosial anak-anak dapat dilihat dari tingkatan kemampuannya dalam berhubungan dengan orang lain dan menjadi anggota masyarakat sosial yang produktif. Hal ini mencakup bagaimana seorang anak belajar untuk memiliki suatu kepercayaan terhadap perilakunya dan hubungan sosialnya. Perkembangan sosial meliputi Kompetensi Sosial (kemampuan untuk bermanfaat bagi lingkungan sosialnya), Kemampuan Sosial (perilaku yang digunakan dalam situasi sosial), Pengamatan Sosial (memahami pikiran-pikiran, niat, dan perilaku diri sendiri maupun orang lain), Perilaku Prososial ( sikap berbagi, menolong, bekerjasama, empati, menghibur, meyakinkan {reassure = to make somebody feel less anxious or worried}, bertahan, dan menguatkan orang lain ); Perolehan nilai dan moral (perkembangan standar untuk memutuskan mana yang benar atau salah, kemampuan untuk memperhatikan keutuhan dan kesejahteraan orang lain) Pada tahun awal perkembangannya, seorang anak mengalami pertumbuhan yang sangat pesat di dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan tentang tahap-tahap perkembangan perilaku dapat menolong kita untuk memahami tindakan setiap anak dan memberikan pengalaman yang akan mendukung perkembangan sosial mereka yang positif. Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan sosial atau dapat juga dikatakan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orangtua terhadapnya dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anak bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan sosial meliputi perubahan peningkatan pengetahuan yang berbentuk spiral tentang dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini dipengaruhi baik oleh pengalaman maupun hubungan sosial anak dengan orang dewasa dalam kehidupannya, dan oleh tingkatan perkembangankognitifnya. 4 aspek kognisi yang berhubungan dengan perkembangan sosial anak : a. Perpindahan dari sikap egosentris – melihat dunia hanya dari sudut pandangnya sendiri – ke perkembangan kemampuan untuk memahami bagaimana pikiran/pendapat orang lain dan apa yang dirasakan oleh orang lain b. Pertumbuhan dalam kemampuan untuk memahami sebab dan akibat – untuk melihat hubungan antra sikap seseorang dan konsekwensi yang harus dipikul. c. Perubahan dari berpikir konkrit (kamu adalah temanku jika kamu bermain dengan aku) ke pola piker abstrak (kamu adalah temanku walau ketika aku tidak melihat kamu setiap hari, karena kita suka bermain bersama) d. Perkembangan kognisi yang kompleks, seperti kemapuan untuk memahami hubungan keluarga yang lebih luas (ibu saya adalah seorang ibu, bibi, istri dan juga anak Pengaruh Kecerdasan Sosial Emosional terhadap Prestasi Sekolah (ke 2, 1 oktober 2013) Menurut Plato secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Syamsuddin mengungkapkan bahwa "sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial"1, seseorang memiliki sikap sosial apabila ia selalu memperhatikan ataupun berbuat baik terhadap orang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap sosial merupakan beberapa atau serentetan tindakan menuju kebaikan terhadap sesamanya 2, dan kata sosial itu sendiri memiliki makna yang beragam, dari yang menyamakan sebagai tindakan-tindakan yang menyenangkan (seperti: sepak bola, volly dsb) hingga pandangan yang lebih serius misalnya meningkatkan kehidupan ke taraf yang lebih baik melalui kehidupan sosial. Perkembangan dan pertumbuhan sosial anak tidak dapat lepas dari perkembangan lainnya, seperti fisik, mental dan emo1si. Hubungan ketiganya sangat erat kaitannya, sehingga salah satu faktor saja dapat menjadi dasar untuk menghasilkan perkembangan sosial itu sendiri, misalnya fisik dan fisiologis, taraf kesiapan mental dan taraf kematangan emosional, karena faktor inilah yang akan mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain, sehingga akan menentukan cepat lambatnya perkembangan di setiap fase. Power ( dalam Crow&Crow) mendefinisikan bahwa perkembangan sosial adalah sebagai kemajuan yang progresif melalui kegiatan yang terarah dari individu dalam pemahaman atas warisan sosial dan formasi pola tingkah lakunya yang luwes. Menurut Elizabeth B. Hurlock perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam bersikap atau tata cara perilakunya dalam berinteraksi dengan unsur sosialisasi dimasyarakat. hal ini akan banyak dipengaruhi oleh sifat pribadi setiap individu yaitu introvert atau ekstrovert. 1 2 Syamsuddin, Psikologi Pendidikan, 1995 (ed. Revisi), Bandung : Remaja rosydakary, hal. 105 Zaini Hasan dan Salladin, Pengantar Ilmu Sosial, 1996,Jakarta: Jl. Pintu satu Senayan.hal 1 Sedangkan Singgih D. Gunarsah, mengatakan bahwa perkembangan sosial merupakan kegiatan manusia sejak lahir, dewasa, sampai akhir hidupnya akan terus melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya yang menyangkut norma-norma dan sosial budaya masyarakatnya. Emosi, menurut L. Crow &Crow, adalah pengalaman yang afektif yag disertai oleh penyesuaian batin secara menyeluruh, dimana keadaan mental dan fisiologi sedang dalam kondisi yang meluap-luap, juga dapat diperlihatkan dengan tingkah laku yang jelas dan nyata3. Menurut Goleman, emosi adalah perasaan dan pikiran khasnya; suatu keadaan biologis dan psikologis; suatu rentangan dari kecenderungan untuk bertindak. Sedangkan menurut kamus The American College Dictionary, emosi adalah suatu keadaan afektif yang disadari dimana dialami perasaan seperti kegembiraan (joy), kesedihan,takut,benci dan cinta . Di tengah persaingan dalam dunia pendidikan saat ini, setiap pelajar menginginkan prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan ada rasa khawatir jika nantinya mereka mengalami kegagalan sehingga belajar yang keras (seperti mencari tempat les dan privat) dilakukan, agar nantinya, pada jenjang berikutnya mereka tidak mengalami kegagalan dan mendapatkan lembaga favorit dengan harapan akan membawa kesuksesan dalam kehidupannya kelak. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Seseorang dengan keterampilan emosional yang baik maka sangat dimungkinkan kehidupannya mendatang akan lebih bahagia karena ia memiliki keinginan untuk berprestasi, 33 L .Crow &Crow, Educational Psyicology, Terjemahan Abd. Rachman Abror, 1998, Yogyakarta: Nur Cahaya,hal 98 Sementara seseorang yang tidak mempunyai keterampilan emosional yang baik maka ia tidak akan dapat mengendalikan emosinya dan tidak dapat berpikir jernih karena adanyag linggi yam pertarungan batin yang merusak kemampuan pemusatkan pikirannya. Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitankesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). Keterampilan sosial emosional ini tidak dapat begitu saja terjadi tetapi ia memerlukan proses untuk mewujudkannya yang dimulai dari pembentukan sosial emosional di lingkungannya. orang yang terlatih terampil secara emosional, maka ia akan semakin terampil memecahkan permasalahan dirinya sendiri, mengendalikan gagasan-gagasan yang negatip dalam berbagai kondisi dan juga dapat menerima apa yang diinginkan oleh teman yang lainnya. Orang tua mempunyai peluang yang luar biasa untk mempengaruhi kecerdasan emosional anak-anak mereka dengan menolong mereka mempelajari tingkah laku yang menghibur diri sejak masa bayi dan seterusnya. Miskipun bayi-bayi itu tidak berdaya, mereka mampu belajar dari tanggapan kita terhadap ketidaknyamanan mereka bahwa emosi itu mempunyai sebuah arah bahwa dimungkinkan untuk beralih dari perasaanperasaan sedih sekali, amarah dan takut menuju pada perasaa-perasaan nyaman dan segar (John Gottman, 2003: 29) Dalam peneniltian Murray tentang perkembangan kebutuhan berprestasi (n-Ach), menemukan pengaruh kebutuhan ini pada banyak sisi kehidupan manusia. Orang dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi cenderung menunjukkan berbagai perbedaan dengan mereka yang kebutuhan prestasinya rendah. Sukar untuk menentukan apa yang mempengaruhi n-Ach ini menjadi tinggi atau rendah. Perkembangan n-Ach tentu dipengaruhi oleh model pengasuhan anak, dan hubungan anak dengan orang tua/lingkungan, namun hubungan ini sangat kompleks. Dari penelitian yang intensif, ditemukan tujuh ciri orang yang memiliki n-Ach yang tinggi dan empat anteseden orang yang mempunyai n-Ach tinggi: Ciri orang yang memiliki n-Ach tinggi: 1. Lebih kompetitif 2. Lebih bertanggungjawab terhadap keberhasilan diri 3. Senang menetapkan tujuan yang menantang tapi cukup realistik 4. Memilih tugas yang tingkat kesulitannya cukupan, yang tidak pasti apakah bisa diselesaikan atau tidak 5. Senang dengan kerja interprener yang beresiko tetapi cocok dengan kemampuannya 6. Menolak kerja rutin 7. Bangga dengan pencapaian dan mampu menunda untuk memperoleh kepuasan yang lebih besar, konsep diri positip, berprestasi di sekolah Empat anteseden (pemberi dukungan) n-Ach tinggi: 1. Orangtua dan lingkungan budaya memberikan tekanan yang cukup kuat (menganggap penting) dalam hal berperstasi yang tinggi 2. Anak diajar untuk percaya keada diri sendiri dan berusaha memantapkan tujuan menjadi orang yang berprestasi tinggi 3. Pekerjaan kedua orangtua mungkin berpengaruh. Ayah yang pekerjaannya melibatkan pengambilan keputusan dan inisiatif dapat mendorong anak mengembangkan motivasi berprestasi 4. Kelas sosial dan pertumbuhan ekonomi (nasional) yang tinggi dapat mempengaruhi n-Ach. (Alwisol,Psikologi kepribadian, 2008, Malang: UMM Press. Komunikasi Orangtua-Anak (Pert. Ke 3, 8 Okt.2013) Dalam perkembangan sosial anak, ketika mereka berumur satu tahun ia hanya dapat berhubungan dengan ayah dan ibunya serta orang lain yang tinggal bersama keluarganya dengan tugas masing 2 dalam rangka memenuhi kebutuhan anak, dan dalam proses berikutnya, anak akan dapat menghubungkan dirinya dengan masyarakat yang baru, didalamnya mulai terjadi perkembangan baru, yakni perkembangan sosial. Di lingkungan rumah tangga, anak suka menuntut kasih sayang ibunya hanya untuk dirinya sendiri, dan ketika usia tiga tahun dalam dirinya mulai timbul rasa iri hati kepada orang seisi rumah, khususnya kepada adik dan kakaknya dan terkadang ia berselisih dengan orang dewasa di rumah itu. Perselisihan itu timbul karena ia bersikap seperti mau menurutkan kehendaknya sendiri. Dikalangan anak yang lain yang tampak menonjol adalah sikap simpatinya. Rasa simpati sudah dikenal sejak masa kanak-kanak walaupun dalam perwujudannya masih sangat sederhana, seperti suka manolong, melindungi teman, membela anak yang lain dsb. Dikemudian hari laju perkebangan sosial ini tampaknya semakin menggembirakan karena anak mulai memahami kepada siapa ia harus bersimpati dan kepada siapa ia harus bersikap tidak simpati. Ia tidak merasa takut atau malu jika berada diantara orang-orang yang disukainya tetapi ia akan merasa takut jika berada diantara orang-orang yang tidak disukainya4 Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Dibawah ini kami sampaikan bagaimana sosialisasi dan perkembangan anak: Kegiatan Orangtua Pencapaian Pengembangan Prerilaku anak 1. Memberikan makanan dan memelihara kesehatan fisik anak 2. Melatih dan menyalurkan kebutuhan fisiologis 3. Mengajar dan melatih keterampilan berbahasa, fisik dll 4 1. Untuk Mengembangkan sikap percaya kepada orang lain 2. Mampu mengendalikan dorongan biologis dan belajar untuk menyalurkan pada tempat yang diterima masyarakat 3. Belajar menguasai objek-obek ,belajar, bahasa, berjalan dll Zulkifli, Psikologi Perkembangan (Bandung: Remaja Rosydakarya) 2001, hal. 46 4. Mengenalkan lingkungan kepada anak 5. Mengajarkan tentang budaya, nilainilai (agana) dan mendorong anak untuk menerimanya sebagai bagian dirinya 6. Mengembangkan keterampilan interpersonal , motf, perasaan dan berlaku dalam berhubungan dengan orang lain 7. Membimbing mengoreksi, dan membantu anak untuk meerumuskan tujuan dan merencanakan aktivitasnya 4. Mengembangkan pemahaman tentang tingkah laku sosial 5. Mengembangkan pemahaman tentang baik-buruk,merumuskan tujuan dan kreteria pilihan dan perilaku yang baik 6. Belajar memahami perspektip ( pandangan) orang lain dan merespon harapan/pendapat mereka secara selekif 7. Memiliki pemahaman untuk mengatur diri dan memahami krieria a untuk menilai penampilan/perilaku sendiri 5 Bagaimana sebaiknya komunikasi dengan nak-anak dilakukan? Apakah komunikasi hanya berjalan satu arah dari Anda sebagai orangtua/guru kepada anak, atau terjadi dua arah? idealnya komunikasi dengan anak ini berjalan dua arah, dari orangtua/guru ke anak dan dari anak ke orangtua/guru. Miskipun, banyak kita ketahui bahwa masih ada keluarga yang hanya menerapkan komunikasi satu arah, yaitu dari orangtua ke anak. "Karena komunikasi tak lancar dan hanya berjalan satu arah, maka banyak anak yang malas ngobrol dengan orangtu/guru tentang masalah mereka," Untuk menciptakan komunikasi dua arah yang menyenangkan, ada trik yang bisa dilakukan. 1. Bersedia mendengarkan Mungkin sampai saat ini Indonesia masih menerapkan budaya yang menjadikan posisi orangtua/guru lebih tinggi daripada anak, sehingga anak harus menuruti semua perintah orangtua/guru. Aturan ini tidak salah jika dimanfaatkan dengan tepat. Namun, seringkali budaya ini "dimanfaatkan" orangtua (terutama) untuk memaksakan kehendaknya pada anak, sekalipun si anak tak suka. "Dalam berkomunikasi, seharusnya orangtua/guru juga harus mau dan bisa mendengarkan keinginan dan apa yang dirasakan anak-anak mereka. Dengan demikian, kedekatan anak dan orangtua akan terjalin dan saling memahami satu sama lain," tambahnya. 5 Syamsu Yusuf, Psiklologi Perkembangan anak dan remaja, (Bandung: Remaja Rosydakarya, 2001) Hal. 123 Orangtua/guru yang tak pernah mau mendengar keinginan dan permintaan anak akan membuat anak merasa tertekan lalu mencari pelarian yang sifatnya negatif. 2. Beri pertanyaan yang tepat Sering berkumpul bersama bukan jaminan komunikasi orangtua dan anak terjalin baik. Seringkali saat berkumpul, suasana masih terasa kaku karena tidak ada obrolan yang panjang dan bermakna, yang terjalin di antara semua pihak. Sesekali mungkin hanya terdengar obrolan pendek dan terputus-putus. Misalnya, "Bagaimana hari ini?", lalu anak hanya menjawab, "Baik". Obrolan seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai komunikasi yang bermakna. Jika ada salah satu anggota keluarga yang bersikap seperti ini (menjawab dan bertanya seadanya), maka kita harus bisa memancing mereka untuk bercerita lebih banyak. Dengan demikian kita bisa melihat perkembangan diri, cara anak bersosialisasi, dan lain-lain. Misalnya, "Tadi kata bu guru kamu menang lomba di sekolah, memangnya kamu bikin apa sih? Ceritain mama, dong." 3. Lihat kondisi Ketika mengajak anak atau keluarga ngobrol, ada baiknya untuk melihat kondisi mereka terlebih dulu. Ketika suasana tidak kondusif, otomatis komunikasi yang terjalin juga tidak akan maksimal. Alih-alih menjawab pertanyaan kita, anak justru kesal karena diberondong berbagai pertanyaan. Jangan ajak anak ngobrol saat mereka sedang lelah atau habis bepergian. Beri mereka waktu untuk beristirahat dan menenangkan pikiran. 4. Selingi dengan camilan Agar suasana ngobrol jadi lebih santai dan tenang, tak ada salahnya untuk menghadirkan camilan dan minuman segar untuk disantap saat ngobrol. Karena mungkin makanan dan minuman bisa menjadi senjata ampuh untuk memecahkan kebekuan saat ngobrol. 5. Perhatikan posisi tubuh Saat pertanyaan sudah tepat, camilan sudah disiapkan, dan anak dalam kondisi yang santai, mengapa komunikasi masih tidak lancar? Hmm... mungkin saja posisi tubuh kita yang jadi penyebabnya. "Jangan salah, posisi tubuh kita, saat sedang bicara ke anak juga akan memengaruhi psikologis anak. Ketika ingin ngobrol penting, jangan sesekali kita berbicara sambil berdiri, terutama saat ia duduk. Posisi tubuh seperti ini diasumsikan sebagai posisi tubuh yang mengancam lawan bicara," Sebaiknya, kita dalam posisi duduk dan merangkulnya6. Menatapnya dengan penuh cinta. "Kasih sayang dan perhatian yang tulus akan terlihat dari cara kita memandang anak. Ada pancaran kebahagiaan dan kehangatan yang akan dirasakan anak melalui tatapan mata kita," Untuk mengakrabkan hubungan dengan anak, sebaiknya orangtua menyediakan waktu khusus bersama anak, tidak harus menyediakan waktu khusus untuk melakukan suatu kegiatan besar seperti berakhir pekan atau berlibur bersama. Sediakan saja lebih banyak waktu ketika kita hanya berdua bersama anak untuk saling bercerita, bertukar pengalaman, bermain, atau bahkan curhat.7 Setiap orangtua menginginkan anak-anaknya bertumbuh menjadi individu-individu yang dewasa secara sosial, dan mereka mungkin merasa kesulitan dalam menemukan cara terbaik untuk memcapai pertumbuhan ini. Seorang ahli perkembangan sosial Diana Baumrind (1971) menyakini bahwa para oranttua tidak boleh menghukum atau mengucilkan anak, tetapi sebagai gantinya orangtua harus mengembangakan aturan-aturan bagi anak-anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka. Ia menekankan tiga t ipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek berbeda dalam perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif dan laissez Faire (permisif): 1. Pengasuhan otoriter ialah suagtu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbacara (bermusyawarah) . gaya kepengasuhan ini diasosiasikan dengan inkopetensi sosial anak. 6 http://female.kompas.com/read/2013/05/17/21024071/Agar.Komunikasi.OrangtuaAnak.Lebih.Efek tif 7 http://female.kompas.com/read/2012/11/06/16515891/3.Cara.Lekatkan.Hubungan.Orangtua.dan. Anak. 2. Pengasuhan otoritatif, ialah mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah-musyawarah yang ekstensif memungkinkan dilaksnakan. Dan orangtua menunjukkan kehangatan dan kasih sayang . pengasuhan ini diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak. 3. Pengasuhan permisif terjadi dalam dua bentuk: permissive indifferent , adalah gaya pengasuhan yang mana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Gaya ini lebih mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orantua adalah lebih penting dari pada anak mereka. Sedangkan gaya pengasuhan permisive indulgent: suatu gaya pengasuhan dimana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas/kendali terhadap mereka. Orangtua membiarkan anak-anak melakukan apa saja yang mereka inginkan dan beranggapan bahwa dengan kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit kekangan akan menghasilkan orang-orang yang kreatif dan percaya diri.8 Orangtua juga perlu menyesuaikan perilaku mereka terhadap anak, yang didasarkan pada kedewasaan perkembangan anak. Perasaan sosial atau perasaan komunitas mengandung makna suatu perasaan yang tidak dapat diekspresikan dalam kata-kata. Istilah itu mengandung makna suatu perasaan meyatu dengan kemanusiaan, menjadi anggota dari komnitas umat manusia. Orang yang gemainschafgefuh (bhs.Jerman)nya berkembang baik, berjuang bukan untuk superioritas pribadi tetapi untuk kesempurnaan semua orang dalam masyarakat luas. Menurut Adler (dalam Alwison, 2008:65) mengatakan bahwa untuk membimbing tingkah laku, setiap orang menciptakan tujuan final yang semu (fictional final Goal), memakai bahan yang diperoleh dari keturunan dan lingkungan. Tujuan ini semu karena mereka tidak harus didasarkan pada kenyataan, tetapi tujuan itu lebih menggambarkan fikiran orang itu mengenai bagaimana seharusnya kenyataan itu didasarkan pada interpretasi subjektifnya mengenai dunia. Tujuan final adalah hasil dari kekuatan kreatif individu; kemampuan untuk membentuk tingkah laku diri dan menciptakan kepribadian diri. Pada usia 4-5 tahun, fikiran 8 JW. Santrock, 2002,Perkembangan masa hidup, Jakarta: Erlangga kreatif anak mencapai tingkat perkembangan yang membuat mereka mampu menentukan tujuan final. Jika anak diabaikan atau dimanja, sebagian besar tujuan final mereka tetap tidak disadari dan ia membuat hipotesa bahwa anak semacam itu akan mengkompensasi perasaan inferiornya (perasaan lemah dan terampil dalam menghadapi tugas yang harus diselesaikan), dengan cara yang rumit dan tidak jelas hubungannya dengan tujuan final mereka. Tapi jika anak mengalami cinta dan keamanan, mereka membuat tujuan yang sebagaian besar disadari dan difahami. Anak yang secara psikologis sehat, berjuang menjadi superioritas (yang terus-menerus berusaha menjadi lebih baik, menjadi semakin dekat dengan tujuan final), memakai tolok ukur kesuksesan dan minat sosial. Walaupun tujuan final tidak pernah disadari secara lengkap, individu yang secara psikologis masak akan memahami dan berjuang mengejar tujuan itu dengan kesadaran yang tinggi. Walaupun minat sosial itu ada sejak anak dilahirkan, namun ia tetap membutuhkan bimbingan terutama dari ibu sebagai manusia pertama bertugas untuk mengembangkan potensi sosial pada diri anak, baik ketika masih dalam kandungan maupun setelah ia dilahirkan. Adanya pembinaan rasa dan minat sosial dari orangtuna, berupa pemberian informasi tentang orang-orang disekitarnya baik yang berkaitan dengan pekerjaan/karir maupun masyarakat pada umumnya, sebagai latihan dan pengalaman pendahuluan pada masa awal kanak-kanak sebagai masa prakelompok. Dasar untuk sosialisasi diletakkan den;gan meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun ke tahun. Anak tidak hanya lebih banyak bermain dengan anak-anak lain tapi juga lebih banyak berbicara, dan jenis hubungan sosial lebih penting dari pada jumlahnya. Kontak sosial menjadi lebih baik daripada hubungan sosial yang sering ttpi sifat hubungannya kurang baik. Bebarapa pola perilaku sosial dan tidak sosial pada anak yang perlu diketahui: A. Pola perilaku sosial: 1. Meniru: agar sama dengan kelompok, anak meniru sikap dan perilaku orang yang sangat dikagumi 2. Persaingan, yang diawali pada kehidupan di rumah hingga dalam permainan 3. Kerjasama, bermain kooperatif dan kegiatan kelompok mulai berkembang seiring dengan meningkatnya kesempatan untuk bermain dengan anak lain 4. Simpati yang akan berkembang seiring dengan frekwensi kontak bermain 5. Empati, miskipun masih sulit bagi anak untuk dapat merasakan hal ini, hingga masa awal kanak-kanak berakhir 6. Dukungan sosial. Menjelang berakhirnya masa kanak-kanak akhir, dukungan dari teman-tamannya lebih penting daripada persetujuan orang-orang dewasa. 7. Membagi, sebagai bentuk perilaku yang biasanya dengannya anak meperoleh dukungan so sial dari yang lain. 8. Perilaku akrab, kepada orang diluar rumah maupun benda-benda kesayangannya B. Perilaku anti sosial: 1. Negativisme, yakni melawan otoritas orang dewasa 2. Agresif, yang diawali dengan serangan fisik hingga serangan verbal dalam bentuk memaki-maki atau menyalahkan orang lain. 3. Perilaku berkuasa, yang akan meningkat dengan bertambahnya kesempatan untuk kontak sosial 4. Memikirkan diri sendiri, meluasnya cakrawala sosial akan mengurangi perilaku ini miskipun murah hati juga masih belum maksimal. 5. Mementingkan diri sendiri, cepatnya perubahan ini bergantung pada banyakknya kontak dengan orang-orang di luar rumah dan berapa besar keinginan mereka untuk diterima oleh tman-temannya. 6. Merusak.9 Melihat dari adanya beberapa perilaku sosial dan tidak sosial anak, maka orangtua perlu memberikan pelatihan terhadap emosi anak agar ia dapat berperilaku sosial sebagaimana yang diharapkan lingkungan dan orang-orang terdekatnya . Miski begitu, tidak semua orangtua memberikan bimbingan kepada anak-anaknya. Ada sebagian orangtua yang membiarkan anak-anak mereka memperlihatkan rasa amarah, sedihdan takut dan juga tidak mengabaikannya. Orangtua memaknai hal itu digunakan untuk memberi pengalaman hidup dan akan membuat ikatan orang tua dan anak menjadi lebih erat. Disamping itu, masih banyak pula orangtua yang belum berhasil untuk secara efektif mengatasi perasaan99 Elizabeth B. Hurlock perasaan negatif anak. Diantara para orangtua yang gagal mengajarkan kecerdasan emosional kepada anak-anak mereka, telah teridentifikasi menjadi tiga tipe: 1. Orangtua yang mengabaikan, tidak menghiraukan, menganggap sepi atau meremehkan emosi-emosi nagatif anak mereka 2. Orang yang tidak menyetujuai, yang berfikir kritis terhadap ungkapan perasaanperasaan negatif anak mereka barangkali memarahi atau menghukum karena mengungkapkan emosinya 3. Orangutua Laissez-Faire, yang menerima emosi anak mereka dan berempati kepada mereka, tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan batas-batas pada tingkahlaku anak mereka.10 Cobalah perhatikan percakapan di bawah ini, sekedar untuk perenungan dan instrospeksi: Percakapan seorang anak dengan ibunya: Diana : Ayoo, segera pakai jaketmu, Arin... Sudah waktunya pergi Arin : Tidak! Aku tidak mau pergi ke tempat penitipan Diana : Kamu tidak mau pergi? Kenapa tidak? Arin : Karena aku ingin di rumah saja bersama ibu Diana : Oh, begitu? Arin : Ya, aku ingin di rumah saja Diana : Wah rasa ibu tahu perasaanmu. Suatu hari ibu ingin bisa duduk bersantai dikursi dan melihat-lihat buku bersamamu, bukannya buru-buru pergi. Tapi, tahu tidak? Ibu sudah ada janji penting dengan teman-teman di kantor. Ibu harus ada disana jam sembilan dan ibu tidak bisa melanggar janji itu. Arin (mulai menangis): tapi mengapa tidak bisa? Ibu jahat, aku tidak mau pergi.. Diana : kemarilah Rin...(sambil memangkunya). Maafkan ibu, sayang, tapi kita tak mungkin tinggal di rumah. Ibu tahu, ini membuatmu tidak enak, bukan? Arin (mengangguk) : ya.. Diana : ibu juga sediih (ia membiarkan Arin manangis sebentar dan terus memeluknya sambil mengusap air matanya). Ibu tahu apa yang dapat kita lakukan. Nanti kita pikirkan besuk pagi karena besuk ibu tidak pergi ke kantor. Kita bisa seharian bersama. Apa yang ingin kamu lakukan besok? 1010 John Goggman,Ph.D bersama Joan DeClaire, 2003, Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki Kecerdasan Emosional, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Arin : makan pizza dan buat ice cream bu? Diana : tentu..itu bagus sekali, lainnya lagi? Arin : bisa tidak saya bawa boneka ke pantai? Diana : ibu rasa bisa. Arin : bisa tidak kalau ngajak meila sekalian? Diana : barangkali. Kita harus tanya ibunya dulu. Tapi sekarang kita harus pergi ok Arin : Ok. Proses tersebut bisa terjadi dalam lima langkah: a. Menyadari emosi anak b. Mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar c. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak d. Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang dialaminya e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang dihadapi. UPAYA MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SOSIAL EMOSIONAL ANAK (pertemuan ke 4 /2013) Upaya mengembangkan kompetensi sosial anak adalah sebuah usaha guru dan orang tua untuk mengembangkan kemampuan sosial emosional anak dalam kehidupan sehari-hari yang sangat berpengaruh bagi kehidupan dunianya yang identik dengan sikap sosial. Setiap anak membutuhkan keamanan emosional dan mendapatkan hak mengembangkan keinginannya untuk bersosialisasi dengan lingkungannya sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuan anak dengan dipengaruhi oleh stimulasi dari lingkungan terdekatnya. Salah satu tugas perkembangan awal masa kanak-kanak yang penting adalah memperoleh latihan dan pengalaman pendahuluan yang diperlukan untuk menjadi anggota “kelompok” dalam akhir masa kanak-kanak. Ini disebut sebagai masa pra kelompok. Elizabeth B. Hurlock, mengklaisifikasi pola sosialisasi awal anak yang ditandai dengan kesukaannya untuk bermain dengan sesama (jenis kelamin) menjadi tiga, yaitu: 1. Bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendtiri , tidak bermain dengan anak-anak lain, jika terjadi kontak, ini cenderung bersifat perkelaihan, bukan kerjasama. Ini adalah bentuk kegiatan sosial pertama anak dengan teman sebayanya. 2. Bermain asosiatif, yakni anak terlIbat dalam kegiatan yang menyerupai kegiatan anak-anak lain 3. Bermain kooperatif, yakni anak sudah menjadi anggota kelompo dan saling berinteraksi. Miskipun demikian, masih terdapat beberapa anak yang belia (2 Th) lebih suka menonton dan menjadi pengamat, tidak berusaha benar-benar bermain dengan mereka, sambil memperhatikan perilaku sosial teman yang lain dalam berbagai aktivitas berbeda. Perilaku ini merupakan pengalaman sosialisasi pendahuluan sehingga ia mengerti dasardasar permainan kelompok, sadar akan pendapat orang lain dan berusaha untuk menonjolkan diri dengan memperlihatkan “kebisaannya”. Dalam tahun-tahun selanjutnya ia memperhalus pola perilaku sosialnya dan mempelajari pola perilaku baru yang dapat diterima oleh kelompok teman-temannya. Pada usia 3-4 th anak mulai bermain bersama dalam kelompok, berbicara satu sama lain saat bermain dan memilih beberapa anak untuk dijadikan teman bermain bersama dan perilaku yang terjadi adalah mereka saling mengamati satu dengan yang lainnya, melakukan percakapan dan memberikan saran secara lisan. Sedangkan pada usia prasekolah, perkembangan sosial anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah: 1. Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain 2. Sedikit demi sedikit, anak sudah mulai tunduk pada peraturan 3. Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain 4. Anak mulai bermain bersama anak-anak lain atau sebaya (peer group) Kematangan penyesuaian sosial anak akan sangat terbantu apabila mereka dimasukkan ke Taman Kanak-kanak, karena TK merupakan “jembatan bergaul”, tempat yang memberikan peluang kepada anak untuk belajar dan memperluas pergaulan sisialnya dan mentaati peraturan. Perkembangan emosi anak selalu berhubungan dengan seluruh aspek perkembangannya. Anak yang lebih muda mengalami hampir semua jenis emosi yang secara normal dialami oleh orang dewasa, namun, rangsangan yang membangkitkan emosi dan cara anak mengungkapkannya berbeda-beda. Hal ini , tergantung pada pola asuh orang tua dalam menghadapi berbagai setuasi emosional diantaranya; amarah, takut, cemburu, ingin tahu, irihati, gembira, sedih dan aksih sayang. Beberapa strategi yang dapat dilakukan orangtua/guru perkembangan sosial anak adalah: 1. Memberi contoh yang baik 2. Mengajarkan pengenalan emosi 3. Menanggapi dan memahami perasaana anak 4. Melatih mengendalikan diri dan mengelola emosi 5. Menerapkan disiplin dengan konsep empati 6. Melatih keterampilan komunikasi dan sosial 7. Memberi iklim positip 8. Tidak menabukan, amarah,sedih dan cemas 9. Melatih empati dan perduli pada orang lain 10. Mengajari akibat perilaku 11. Beri reinforceme atas perilaku untuk menstimulasi Apakah Saya Guru yang Baik (Mengembangkan Rasa Sosial) Pertemuan ke 5 Dalam konsep belajar Konstruktivisme yang dipelopori olehJJean Piaget dan Vygotsky menakankan bahwa perubahan kognitif ke arah perkembangan terjadi ketika kosep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses ketidakseimbangan. Selain itu, keduanya juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan perubahan secara konseptual . Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam belajar adalah adanya interaksi sosial dengan lingkungannya. Menurut Vygotsky, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemn penting, pertama, belajar merupakan secara biologi sebagai proses dasar, kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya, sehingga munculnya perilaku seseorang adalah karena intervening kedua elemen tersebut. Pada saat seseorang mendapatkan stimulus dari lingkungannya, ia akan menggunakan fisiknya berupa alat indranya untuk menangkap atau menyerap stimulus tersebut, kemudian dengan menggunakan saraf otaknya informasi yang telah diterima tersebut diolah. Keterlibatan alat indra dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam mengelola informasi yang diperoleh merupakan proses secara fisik-psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar. Pengetahuan yang telah ada sebagai hasil dari proses elemen dasar akan lebih berkembang ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya mereka. Lebih lanjut Vygotsky mengatakan bahwa fungsi mental tingkat tinggi biasanya ada dalam percakapan atau komunikasi dan kerjasama di antara individu-individu (proses sosialisasi) sebelum akhirnya itu berada dalam diri individu (internalisasi). Oleh karenanya, pada saat seseorang berbagi pengetahuan dengan orang lain dan akhirnya pengetahuan itu menjadi pengetahuan personal, disebut dengan “private speech”, di sini Vygotsky ingin menjelaskan bahwa kesadaran sebagai akhir dari sosialisasi tersebut. Dalam belajar bahasa, misalnya ucapan partama kita dengan orang lain adalah bertujuan untuk komunikasi, akan tetapi sekali kita menguasainya, ucapan atau bahasa itu akan terinternalisasi dalam diri kita dan akan menjadi “inner speech” atau “private speech’. Private speech ini dapat diamati saat seorang anak sering berbisara dengan dirinya sendiri, terutama jika ia dihadapkan dengan tugas-tugas sulit. Namun demikian, sebagaimana studi-studi yang dilakukan, anak-anak sering menggunakan private speech ketika menghadapi tugas-tugas yang kompleks ini lebih efektif memecahkan tugas-tugas daripada anak-anak yang kurang menggunakan private speech.11 Misalnya, pikiran seorang gadis kecil usia 5 tahun yang ingin mengambil buku di atas almari, ia tetap berusaha keras, hingga berhasil, dan dilakukan sesuai dengan private speech yang ia ketahui. Sebuah monolog “ Saya tahu bahwa saya akan mendapatkan uang yang lebih sedikit dengan menjadi guru, itu kenyataan yang telah saya terima.” belum lagi harus berhadapan dengan murid yang mengganggu dan tidak memiiki rasa hormat, pengurus yayasan, teman sejawat yang kurang dapat diajak kerjasama, tumpukan kertas dan buku yang harus diselesaikan, bahkan tekanan dari para orangtua yang terkadang banyak menuntut dan akhirnya kelelahan emosi dan tekanan mental. Keluhan tersebut benar adanya, mengajar adalah pekerjaan yag sulit dan menantang anak-anak mengalami tekanan emosi, mental dan fisik yang memengaruhi perilaku dan kemampuan belajar mereka dan saryangnya banyak role model mereka yang mendorong untuk memprlakukan diri mereka sendiri dan diri orang lain sangat tidak hormat: banyak PR, Ujian yang menghabiskan banyak uang dll., dan guru sangat memimpikan bahwa mereka akan berdiri di depan kalas, berkeliling dan membantu anak dengan tenang dan teratur, menghadapi lautan wajah kecil yang tenang , mengagumi gurunya, patuh dan manis dan tidak akan berubah menjadi wajah yang membosankan, berisik serta berantakan. Miskipun begitu...menjadi guru merupakan hal yang menyenangkan. Buktinya...mengajar adalah profesi yang paling indah di dunia karena ia adalah pembuat kontribusi langsung dan terukur bagi bangsa kita dan dunia dengan membantu anak-anak mengenal pengetahuan dan keterampilan. Guru (perlu terus belajar) dan menghabiskan waktu hidup mencapai tujuan yang terhormat dan hidup dengan tujuan yang jelas. 11 Baharuddin&Esa Nur Wahyuni, Teori belajar dan Pembelajaran, 2007, Yogyakarta: Arruz Medir, hal. 125 Guru terbagi menjadi tiga rasa dasar; super, excellent dan good. Rasa apa yang diinginkan sebagai guru tergantung pada kekuatan personal, hubungan pertemanan, tujuan profesional dan prioritas individual.Putuskan sesuatu yang penting dan menjadi prioritas 1. Menjadi guru super, membutuhkan energi fisik, emosi dan mental yang tinggi. Guruguru super biasanya tiba di sekolah lebih awal dan pulang paling akhir. Mereka juga menghadiri seminar dan melanjutkan kuliah pendidikan, sukarelawan bagi kegiatan murid, dan memberikan diri mereka bagi murid-murid yang membutuhkan bantuan ekstra di dalam maupun di luar kalas. Guru super menikmati hubungan yang solid dengan para muridnya, mereka tidak harus berfokus pada berapa banyak waktu atau energi untuk menerapkan disiplin di kelas-kelas mereka. Guru super yang sudah berkeluarga perlu mendapatkan ijin dari suami maupun anak. Jika tidak...tidak usah dipaksakan. 2. Guru excellent, menikmati pekerjaan mereka, tetapi mereka membatasi jumlah waktu dan energi yang mereka baktikan untuk mengajar. Mereka peduli dan melaukan yang terbaik bagi murid mereka tetapi tidak mengorbankan kebutuhan keluarga mereka sendiri. Mereka juga melakukan kerja lembur, tetapi memberikan batasan waktu lembur yang mau mereka kerjakan. Guru ini berprinsip bahwa pekerjaan menjadi prioritas utama dan hal itu harus dijelaskan kepada teman dan keluarganya. 3. Guru yang good, mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik, tetapi mereka memahami batasan mereka sendiri dengan sangat jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi. Mereka memperlakukan murid mereka dengan rasa hormat dan mereka melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa semua murid mempeajari materi yang disyaratkan untuk tingkat pedidikan selanjutnya, tetapi mereka tidak berkewajiban untuk menyelamatkan murid-muridnya satu persatu. Guru good tiba disekolah cukup awal untuk menyiapkan diri, tetapi mereka tidak menawarkan kunjungan ke rumah mereka atau tidak juga jam istirahatnya.12 12 LouAnne Johnson, Pengajaran yang Kreatif dan Menarik, 2008, Indeks) Menciptakan Lingkungan Sekolah yang Kondusif untuk Mengembangkan Kompetensi Sosial (pert.ke 6 dan 7) A. Urgensi Menata Ruang Kelas Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, adalah sebuah generasi yang memiliki pengalaman yang berbeda, anak-anakpun menikmati dan merasakan segala sesuatu tentang mereka. Mereka mengembangkan perasaan keinginan untuk membuat berbagai hal, dan membuatnya lebih baik serta lebih sempurna. Keinginan mereka yang kuat adalah untuk mengetahui dan memahami. Dan orangtua mereka tetap merupakan pemberi pengaruh yang penting dalam kehidupan mereka, miskipun pertumbuhan mereka juga dibentuk oleh rangkaian teman-teman yang berada di sekelilingnya. Sosioemosional anak menjadi semakin kompleks dan berbeda pada masa pertengahan dan akhir anak-anak. Relasi keluarga dan teman sebaya terus memainkan peran penting pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, sekolah dan guru merupakan aspek kehidupan anak yang semakin terstruktur. Bronfenbrenner dan Erikson mengemukakan tentang lingkungan yang sangat berperan terhadap perkembangan sosioemosional anak, dan setiap faktor yang memengaruhi memberi dampak yang positip dan negatip terhadap perkembangan anak. lingkungan kelas dalam sekolah baik fisik maupun sosialnya berpengaruh terhadap perkembangan fisik, kognitif, maupun bahasa serta sosialemosional anak, bahkan dapat mengurangi munculnya perilaku bermasalah dan meningkatkan kerjasama antar teman-teman dalam kelas. Ruang kelas diatur untuk meningkatkan interaksi dan pembelajaran. Meja, kursi dan tempat mengerjakan tugas dikelompokkan: tempat mengerjakan memiliki berbagai materi belajar untuk mendorong proyek kelompok, percobaan dan aktifitas kreatif. Tempat-tempat yang kita lihat di kelas prasekolah masih ada di kelas TK: meja, pasir/air, tempat komputer, tempat bermain dan tempat membaca diatur untuk berinteraksi, yang menurut teori figotsky dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan bahasa. Selain itu, kelas (TK) yang berkualitas adalah kelas dimana anak merasa berada pada rumah sendiri, hasil karya anak dipajang sehingga mereka merasa memilikinya. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyediakan lingkungan yang berkualitas: 1. Meyediakan banyak materi yang mendukung anak belajar membaca dan menulis. Keduanya adalah menjadi prioritas utama sehingga pastikan guru menawarkan berbagai jenis buku dan bahan untuk menulis 2. Memasukkan anak dalam kelompok-kelompok yang berbeda jumlah anggota dan tingkat kemampuannya. Kegiatan ini menyebabkan terjadinya interaksi sosial dan belajar bersama sehingga mendorong anak untuk bekerjasama dan membantu teman lain dalam meningkatkan pembelajaran 3. Mengembangkan pengaturan kelas yang mendukung standar sekolah dan negera, cohtoh untuk memenuhi standar membaca, buatlah anak mudah mendapatkan buku yang diperlukan. Dan pastikan juga ruang kelas memiliki tempat yang nyaman untuk waktu membaca individu atau kelompok 4. Bekerjasama dengan peserta didik untuk membuat ruang kelas yang sesuai dengan selera guru dan peserta didik. Sedangkan lingkungan yang kondusif, antara lain dapat dikembangkan melalui berbagai layanan dan kegiatan sebagai berikut; 1. Memberikan pilihan pelayanan bagi setiap anak dalam belajar dan bermain, hal itu akan membangkitkan semangat belajar yang tinggi. 2. Mengembangkan organisasi kelas yang efektif, menarik, nyaman dan aman bagi perkembangan potensi seluruh anak secara optimal termasuk dalam kegiatan belajar dan bermain yang menarik dan menantang, serta manajemen kelas yang efektif. Teori tentang Perkembangan Sosioemosional anak diantaranya adalah teori Ekologi yang dikembangkan oleh Bronfenbrenner, yang utamanya adalah pada konteks sosial anak dimana anak tinggal dan orang-orang yang memengaruhi perkembangannya. Menurutnya ada lima sistem lingkungan yang memengaruhi kehidupan anak, yaitu: 1. Mikrosistem, adalah settting dimana individu menghabiskan banyak waktu, dirumah, disekolah, teman sebaya maupun keluarga. Dalam mikrosistem ini individu berinteraksi langsung dengan orangtua, guru, teman sebaya maupun orang lain. Menurutnya, peserta didik bukan penerima pengalaman secara pasif di dalam setting ini, tetapi ia orang yang berinteraksi secara timbal balik dengan oranglain dan membantu mengkonstruksi setting tersebut 2. Mesostem, adalah kaitan antar-mikrosistem. Contoh adalah hubungan antara pengalaman dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah dan antara keluarga dan teman sebaya. 3. Ekosistem, terjadi ketika pengalaman di setting lain (dimana pst didik tidak berperan aktif) memengaruhi pengalaman pst didik dan guru dalam kontek mereka sendiri. Misalnya dewan sekolah dan dewan pengawas taman di dalam suatu komunitas. Mereka memegang peran yang kuat dalam menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi dan perpustakaan. Dalam hal ini keputusan mereka bisa membantu atau menghambat perkembangan anak 4. Makrosistem,adalah kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas dimana pst didik dan pendidik tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat masyarakat. 5. Kronosistem, adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Misalnya anakanak sekarang adalah generasi pertama yang mendapatkan perhatian setiap hari, generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik yang dipenuhi oleh komputer dan bentuk media baru, generasi pertama yang tumbuh dalam kota yang semrawut dan tak terpusat dls. Dalam perencanaan dan organisasi lingkungan fisik, seorang guru perlu menetapkan tujuan pendidikan dalam kelasnya, mereka akan selalu mengfokuskan bagaimana mereka harus menata lingkungan fisik dan dilanjutkan dengan merencanakan dan mengorgansasikan lingkungan sosial yang akan menopang prestasi dari tujuan pendidikan. Anak-anak dapat dibantu agar lebih peka terhadap kebutuhan dan perasaan anak lain maupun kebutuhan anak itu sendiri, anak-anak juga akan mampu mengendalikan dorongan-dorongan serta tingkahlaku sehingga menjadi anak yang lebih mudah diajak kerjasama. Hubungan-hubungan yang ditumbuhkan oleh guru akan menumbuhkan hubungan dengan anak maupun orang dewasa lain didalam kelas akan terefleksi dalam tingkah laku yang muncul di dalam kelas. Perencanaan dan pengorganisasian lingkungan fisik Sebelum menata ruangan, guru perlu mengetahui dan menyadari susunan lingkungan fisik dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapainya. Pertama kali yang dapat membantu perencanaan dan pengeorganisasian lingkungan fisik kelas adalah informasi berupa catatan atau laporan tertulis yang akan diperoleh guru beberapa waktu sebalum sekolah dimulai, melalui pertemuan pertama dengan murid yang datang bersama ortu akan menambah informasi seperti apa kelas akan dirancang dan diorganisasikan oleh guru sesuai anak didik yang telah ditemuinya secara individual. Kedua, guru tahu apa yang harus dilakukan anak yang berkaitan dengan tujuan khusus yang hendak dicapai. Apabila anak-anak diharapkan mampu bersosialisasi, guru harus merencanakan dan mengorganisasi ruang yang memungkinkan anak mampu mengembangkan bersosialisas melalui kerjasama, jika merencanakan agar anak menjadi kreatif, maka guru harus rtmenyediakan meteri terlebih dahulu dapat berupa balok, cat air dll. B. Latar Belakang Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan hal yang penting bagi suatu negara untuk menjadi negara maju, kuat, makmur dan sejahtera. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak bisa terpisah dengan masalah pendidikan bangsa. Menurut Mulyasa (2006:3) ”Setidaknya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yakni: (1) sarana gedung, (2) buku yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang yang professional. Guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Di dalam kelas guru malaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan mengajar dan kegiatan mengelola kelas. Kegiatan mengajar pada hakikatnya adalah proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa. Semua komponen pengajaran yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan. Pengelolaan kelas tidak hanya berupa pengaturan kelas, fasilitas fisik dan rutinitas. Kegiatan pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakan dan mempertahankan suasana dan kondisi kelas. Sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Misalnya memberi penguatan, mengembangkan hubungan guru dengan siswa dan membuat aturan kelompok yang produktif. Di kelaslah segala aspek pendidikan pengajaran bertemu dan berproses. Guru dengan segala kemampuannya, siswa dengan segala latar belakang dan sifat-sifat individualnya. Kurikulum dengan segala komponennya, dan materi serta sumber pelajaran dengan segala pokok bahasanya bertemu dan berpadu dan berinteraksi di kelas. Bahkan hasil dari pendidikan dan pengajaran sangat ditentukan oleh apa yang terjadi di kelas. Oleh sebab itu sudah selayaknyalah kelas dikelola dengan bagi, professional, dan harus terus-menerus. ” Masalah yang dihadapi guru, baik pemula maupun yang sudah berpengalaman adalah pengelolaan kelas. Aspek yang sering didiskusikan oleh penulis professional dan pengajar adalah juga pengelolaan kelas”. Mengingat tugas utama dan paling sulit bagi pengajar adalah pengelolaan kelas, sedangkan tidak ada satu pendekatan yang dikatakan paling baik. Sebagian besar guru kurang mampu membedakan masalah pengajaran dan masalah pengelolaan. Masalah pengajaran harus diatasi dengan cara pengajaran dan masalah pengelolaan harus diatasi dengan cara pengelolaan. Pengelolaan kelas diperlukan karena dari hari ke hari bahkan dari waktu ke waktu tingkah laku dan perbuatan siswa selalu berubah. Hari ini siswa dapat belajar dengan baik dan tenang, tetapi besok belum tentu. Kemarin terjadi persaingan yang sehat dalam kelompok, sebaliknya dimasa mendatang boleh jadi persaingan itu kurang sehat. Kelas selalu dinamis dalam bentuk perilaku, perbuatan, sikap, mental, dan emosional siswa. Tugas perkembangan sosial emosional anak berusia 3-5 tahun adalah sebagai berikut: 1. Anak usia 3 tahun diharapkan dapat: Memilih teman bermain Memulai interaksi sosial dengan anak lain Berbagi mainan, bahan ajar atau makanan 2. Anak usia 3 tahun, 6 bulan diharapkan dapat: Menunggu atau menunda keinginan selama 5 menit Menikmati kedekatan sementara dengan salah satu teman bermain 3. Anak usia 4 tahun diharapkan dapat: Menunjukkan kebanggan terhadap keberhasilan Membuat sesuatu karena imajinasi yang dominan 4. Anak usia 4 tahun, 6 bulan diharapkan dapat: Menunjukkan rasa percaya diri Menceritakan kejadian yang baru berlalu Lebih disukai ditemani teman sebaya dibanding orang dewasa Menggunakan barang milik orang dengan hati-hati 5. Anak usia 5 tahun diharapkan dapat: Memiliki beberapa kawan, mungkin satu sahabat Memuji, memberi semangat, atau menolong anak lain 6. Anak usia 5 tahun, 6 bulan diharapkan dapat: Mencari kemandirian lebih banyak. Sering kali puas, menikmati berhubungan dengan anak lain meski pada saat krisis muncul. Berteman secara mandiri. Anak yang berusia tujuh dan delapan tahun mulai menunjukkan ketekunan di dalam usaha yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan mereka. Ini sering menyebabkan orang tua mereka menjadi kesal dimana ketika anak meminta orang tua untuk melakukan suatu hal secara berulang kali. Pada usia ini anak-anak mengembangkan sikap empati yang lebih memperkenalkan diri kepada orang lain dan juga merasa bersalah ketika mereka melukai orang lain, baik secara fisik ataupun emosional. Mereka mencoba untuk menimbulkan rasa nyaman terhadap keluarga atau teman tanpa diminta untuk melakukannya.13 13 http://amisisiliasari.blogspot.com/2012/11/karakteristik-perkembangan-emosi-anak.html KARAKTERISTIK NILAI SOSIAL YANG PERLU DIKEMBANGKAN (pert. Ke 8) Sosial emosional anak usia TK berada dalam tahap kerja keras lawan rendah diri yang mana tahap ini peserta didik akan terus belajar untuk mengatur emosi dan interaksi sosial mereka. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perkembangan sosial emosional positip pada mereka adalah: Memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk ikut serta secara fisik dan mental dalam aktivitas yang mencakup permasalahan dan aktivitas sosial dengan orang lain. Contoh: menyanyi di depan kelas, menceritakan kembali isi buku yang telah dibacakan, di depan temannya,mengikuti lomba lari estafet, menjadi pemimpin dalam upacara bendera, Ajarkan dan contohkan cara berteman dan menjada pertemanan Contoh: saling meminjamkan mainan, mengacak tempat duduk anak setiap hari. Dan mamber maaf jika melakukan kesalahan, mau berbagi dengan temannya Contohkan respon sosial dan emosi positip. Bacakan cerita dan bahas perasaan- perasaan seperti marah, bahagia, dan bangga. Contoh: bermain peran,dapat memuji hasil karya teman, mengajak bermain dan saling berbagi Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk menjadi pimpinan dalam proyek dan aktivitas Contoh: menjadi ketua kelas, menjadi mayoret drumband, meronce dalam satu kelompok, Berikan harapan anda tentang sikap yang baik dan bahasa dengan peserta didik. Contoh: memberi motivasi dan hadiah (bintang) terhadap anak Sebagian besar anak, terutama mereka yang telah mengikuti prasekolah, sangat percaya diri , ingin ikut serta dan dapat menerima tangggaungjawab. Mereka senang mengunjungi tempat-tempat dan melakukan banyak hal, melakukan percobaan mengenai banyak hal dan bekerjasama daengan orang lain.14 Selanjutnya, Gottman (dalam Casmini) menambahkan beberapa strategi tambahan agar emosi anak dapat berkembang dengan baik antara lain: 1. Hindari kritik berlebihan, karena akan menyebabkan yang bersangkutahn mengalami sindroma “takun salah” dalam setiap akan melakukan sesuatu. 2. Gunakan pujian, ketika anak dapat mengenal dan mengekpresikan emosinya dengan benar sesuai batas yang dapat diterima oleh masyarakat. 3. Jangan “berpihak pada musuh”, jika anak sendiri yang selalu disalahkan, acap kali menimbulkan persepsi pada anak bahwa orangbua berpihak pada musuh dan ia merasa tidak mendapatkan dukungan dan perlindungan. Sebenarnya masalah utamanya bukanlah berkaitan dengan keberpihakan tapi soal empati orangtua terhadap perasaan anak 4. Memerikan kesempatan pada anak untuk menyelesaikan sendiri permasalahannya 5. Memberi pilihan, hormati keinginan-keinginannya karena hal ini akan mendorong anak memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk berani mengambil keputusan 6. Jujur pada anak, yang akan mendorong mereka untuk melaksanakan hal yang sama 7. Membaca buku bersama anak, untuk menjaga keakraban antara orangtua dan anak 8. Sabar dengan proses. Mengembangkan emosi anak adalah proses panjang yang memerlukan kesabaran orangtua 9. Berhusnudzon pada kodrat Allah, menghindari pada kekhawatiran yang berlebihan.15 14 George S.Morisson, Dasar Pendidikan Anak usia dini............... Casmini, S.Ag.,M.Si,2007, Emotiondengan berbagai pedoman dan bahan pelatihan tentang penguatan, metal Parenting, Yogyakarta: Pilar Mediade pembelajaran 15 Karakteristik dan nilai perkembangan emosi dipengaruhi oleh kematangan dan belajar, baik dari lingkungan keluarga maupun pergaulan dengan sesamanya. Maka, hal ini menyebabkan adanya perbedaan antara reaksi emosi anak dan orang dewasa. Adapun karakteristik reaksi emosi anak adalah sebagai berikut: 1. Reaksi anak sangat kuat: mereka akan memprelihatkan reaksi emosi yang sama kuatnya dalam menghadapi setiap peristiwa, baik yang sderhana sifatnya meupun yang berrat, karena bagi mereka semua peristiwa dianggap menarik dan menakjubkan, tidak ada peristiwa yang dianggap sederhana, semua peristiwa memiliki niliai yang sangat berarti. Dalam hal kekuatan makin bertambah matangnya emosi anak, maka akan semakin terampil dalam memilah dan memilih kadar keterlibatan emosionalnya. 2. Reaksi emosi sering kali muncul pada setiap peristiwa dengan cara yang diinginkan. Kita sering melihat anak-anak tiba-tiba manangis ataru merajuk dengan sebab yang tidak jelas. Mereka melakukan itu karena memang menginginkannya, sekalipun tidak ada penctusnya, misalnya: anak tiba-tiba menangis karena merasa bosan. Untuk anak yang lebih muda usianya, hal ini masih bisa ditoleransinsi, namun bagi anak usia 4-5 tahun, hal ini tidak dapat diterima oleh lingkungannya. Mereka akan belajar mengontrol diri dan memperlihatkan reaksi emosi dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan. 3. Reaksi emosi anak mudah berubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Bagi anak sangat mungkin saat ini ia manangis dengan keras, namun ketika ibunya mengalihkan perhatiannya pada benda-benda yang disukainya, ia dapat langsung berhenti manangis dan melupakan kejadian yang baru saja membuatnya marah dan kecewa. 4. Reaksi emosi bersifat individual. Artinya, sekalipun peristiwa pencetus emosi adalah sama, namun reaksi setiap orang akan berbeda dalam menyikapinya, hal ini disebabkan karena adanya pengalaman yang diperoleh berbebeda pada setiap individu. 5. Keadaan emosi anak dapat dikenali melalui gejala tingkah laku yang ditampilkan. Pada dasarnya semua anak lebih mudah mengekspresikan emosinya melalui sikap dan perilaku, dibandingkan mengungkapkannya secara verbal. Hal ini juga tampak pada anak yang mengalami hambatan dalam mengekspresikan kehidupan emosinya secara terbuka. Mereka biasanya memperlihatkan gejala tingkah laku : melamun, gelisah, menghisap jari, menggigit kuku, kesulitan bicara Beberapa bentuk reaksi emosi anak sebenarnya hampir sama dengan orang dewasa, perbedaannya hanya saja penyebab pencetusnya reaksi emosi dan cara mengekspresikannya, yang berkaitan erat dengan tingkat usia dan kemampuan anak sesuai dengan perkembangan jasmani dan ruhaninya. Beberapa bentuk emosi yang pada umumnya terjadi pada awal masa kanak-kanak menurut Hurlock adalah sebagai birikut, 1. Amarah: yang sering kalimuncul sebagai reaksi terhadap frustasi, sakit hati, dan merasa terancam. Frustasi yang disebabkan karena keinginannya tidak terpenuhi, merupakan hal yang paling sering menimbullkan kemarahan pada tiap tingkatan usia dan pada usia anak-anak amarah ini terkadang dapat dijadikan senjata sehingga keinginannya terpenuhi. Secara umum hal-hal yang menimbulkan rasa marah, apabila anak terhambat melakukan sesuatu baik yang disebabkan oleh dirinya sendiri maupun dari orang lain, misalnya adanya berbagai batasan terhadap gerak yang diinginkan atau direncanakan anak, seerta kejengkelan yang menumpuk. Anak usia Batita, biasanya karena secara fisik ia merasa tidak nyaman, dihambat untuk bergerak, dimandikan atau dipakaikan baju. Kadang-kadang ketidakmampuan anak untuk menyatakan suatu secara verbal saat awal belajar bicara dan kurang mndapat perhatian juga bisa membuat mereka marah. Sedangkan saat usia pra sekolah dengan pengalaman sosial yang lebih banyak, maka permasalahan anak yang membuat mereka marah adalah ketika permainannya direbut atau diambil anak yang lain. Perkembangan-perkembangan emosi di atas perlu mendapat perhatian dan bimbingan dari pendidik agar mereka mampu berkomunikasi dengan baik dan memiliki toleransi, rasa sosial dan mampu mengelola emosi tanpa ada paksaan yang berarti pada anak. Reaksi marah dapat dibedakan menjadi dua : a. Marah yang impulsif, biasanya disebut juga agresi. Marah jenis ini ditunjukkan langsung pada orang lain, binatang atau objek, bisa dalam bentuk rekasi fisik maupun verbal, bisa ringan atau intens. Amukan atau tempertantrum adalah hal yang biasa dijumpai pada anak-anak. biasanya anak-anak juga tidak ragu-ragu untuk menyakiti orang/anak lain dengan cara seperti: menggigit, memukul, meludah, menendang ataupun mendorong dan terkadang dilanjutkan dengan tambahan kata-kata kasar ataupun ejekan-ejekan. b. Marah yang terhambat adalah marah yang tidak dicetuskan karena dikendalikan atau di tahan. Biasanya anak-anak beraksi menarik diri, melarikan diri dari anak/orang lain. Gejalanya kemudian anak akan bersikap lesu, masa bodoh atau tidak berani. Oleh karenanya, anak yang marah dengan dara inisering merasa siasia atau tidak berguna. Inilah cara mereka untuk menerima frustrasi dan mereka menganggap menahan marah adalah lebih bik daripada mengekspresikannya karena mereka terbebas dari resiko penolakan sosial. 2. Takut , reaksi rasa takut pada bayi dan anak-anak berupa rasa tak berdaa yang tampak pada ekspres wajah yang khas, tangisan yang merupakan perminta/an tolong, menyembunyikan muka/wajah dan sejauh mungkin menghindari orang/objek yang ditakuti atau bersembunyi di balik kursi. Ekspresi rasa takut ini akan berubah seiring dengan bertambahnya usia anak, selain mereka menghindari dari objek yang ditakuti, gejala rasa takut ini juga diperlihatkan dengan gejala fisik diantaranya mata membelalak, diam tak bergerak, menangis, bersembunyi atau memegang orang lain. Gray (1971) mengemukakan beberapa bentuk penyebab rasa takut pada anak dapat diakibatkan oleh adanya rangsangan berupa suaa keras, pengalaman menghadapi tempat atau orang asing, tempat tinggi, kamar gelap, berada seorang diri, rasa sakit atau interaksi sosial, terancam atau marah dengan orang lain. Pada periode awal anak, rasa takut timbul disaat dirinya merasa terancam oleh benda-benda yang ditemuinya. Strangernxiety di sini anak belum mengenal/mampu memahami bahwa bukan dirinya yang terancam oleh benda tersebut. Reaksi yang ditampilkan adalah anak melakukan gerakan motorik, misalnya berlari, bersembunyi, memegang orang lain serta memengang orang yang dikenalnya. Pada periode akhir anak-anak, rasa takut timbul akibat fantasi yang dibentuk oleh itu sendiri yang menyebabkan harga rinya terancam oleh lingkungannya, misalnya takut gagal, berbeda dengan orang lain, status dsb. Keadaan ini disebabkan anak telah mengalami perkembangan kemampuan berpikir sehingga mampu membentuk fantasi dan menilai dirinya sendiri. Reaksi yang aksi yang ditampilkan dapat langsung, misalnya: sembuembunyi, berlari, menangis ataupun marah. Reaksi ini dapat pula secara langsung, misalnya sakit perutberlari, menangis ataupun marah. Reaksi ini dapat pula secara langsung, misalnya sakit perut, badan panas, badan panas, badan panas, pusing dls. Berkenaan dengan rasa takut ini Hurlock (1991) mengemukakan adanya reaksi emosi yang berdekatan dengan reaksi takut, yaitu shynees atau rasa malu. Emmbarassment atau merasa kesulitan, khawatir dan anxiety atau cemas, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Shnees atau malu adalah reaksi takut yang ditandai dengan rasa segan, berjumpa dengan orang yang dianggap asing. Sejak usia enam bulan anak sudah mengalami perkembangan intelektual, sehingga mereka mulai mampu membedakan antara orang yang sudah dikenalnya dan yang tidak, namun mereka belum matang untuk bisa memahami bahwa orang yang tidak dikenalnya tidak mengancam dirinya. Jika anak sudah mampu merangkak,biasanya bersembunyi atau mengintip. Pada periode awal dan akhir anak, reaksi ini timbul bila mereka memiliki perasaan tidak mengnal perlakuan orang lain kepadanya. Perasaan ini timbul tidak terbatas pada orang yang tak dikenalnya, tetapi jugyang dikenalnya, misalnya bertemu dengan tamu baru, guru baru atau orang tuanya yang menonton ia menyanyi/menari. Reaksi ini timbul karena adanya perasaan tidak pasti akan reaksi orang lain pada dirinya, takut orang lain menertawakan dirinya. b. Embarrassment ( merasa sulit, tidak mampu atau malu melakukan sesuatu) merupakan reaksi takut akan penilaian orang lain pada dirinya. Timbulnya reaksi diperoleh dari lingkungan sosialnya. Reaksi ini berhubungan dengan kesadaran akan dirinya yang terancam. Persaaan ini belum dimiliki oleh anak-anak di bawah usia 5-6 tahun karena pada usia ini reaksi embarr udiassment belum muncul. c. Khawatir timul disebabkan oleh rasa takut yang dibentuk oleh pikiran anak sendiri, biasanya mengenai hal-hal khususu, misalnya takut sekolah, takut t d. Unxty atau lemas, merupakan perasaan takut sesuatu yang tidak jelas dan dirasakan oleh anak sendiri karena sifatnya subjektif. Kadangkala merekapun tidak dapat menggambarkan secara jelas apa yang membuatnya takut . perasaan cemas ini kadang ditanai dengan perubahan secara fisiologis, seperti berkeringat, muka pucat tega. 3. cemburu,adalah reaksi normal terhadap hilangnya kasih sayang, yang nyata maupun sekedar dugaan. perasaan ini muncul karena anak takut kehilangan atau merasa tersaingi dalam mamperoleh perhatian dan kasih sayang dari orang yang dicintai . cemburu adalah bentuk lain dari amarah, yang menimbulkan rasa kesal atau benci terhadap orang yang disayang maupun terhadap saingannya. Rasa cemburu biasanya bercampur dengan marah dan takut, yang membuat anak tidak nyaman. Reaksi cemburu dapat langsung ataupun ditekan. Reaksi cemburu yang lansung dapat berwujud perlawanan agresif, menggigit, menendang, memukul dll. Sedangkan yang tidak langsung bersifat lebih halung sehingga lebih sukar untuk dikendalikan, meliputi pengunduran diri ke arah perilaku infantile seperti mengompol, mengisap jempol, makan makanan yang aneh2, perilaku merusak dan melampiaskan perasaan kepada binatang atau mainan. Tiga penyebab perasan cemburu yang terjadi pada anak –anak adalah: a. biasanya berasal dari kondisi di rumah, misalnya kehadiran adik baru yang menyita lebih banyak waktu sang ibu. b. Situasi sosial di sekolah, juga bisa menyebabkan seorang anak memiliki rasa cemburu. Anak memiliki rasa posesif (ingin memiliki sendiri perhatian) terhadap guru atau teman tertentu. Dan anak akam menjadi kesal dan marah jika guru atau temannya memberikan perhatian kepada yang lain c. Cemburu jika saudaranya atau temannya yang lain mempunyai barang atau mainan yang lebih dari miliknya 4. Rasa ingin Tahu, yang melibatkan emosi kegembiraan dalam diri anak, terutama jika mereka dihadapkan pada aktivitas atau benda-benda baru. Rasa ingin tahu ini sangat efektif dalam membantu proses pembelajaran 5. Iri hati. Rasa ini muncul pada saat anak merasa tidak memperoleh perhatian yang diharapkan sebagaimana yang diperoleh teman atau saudaranya. Hal ini muncul lebih bersifat emosi negatif, ia timbul karena anak kurang memiliki rasa aman dan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. 6. Senang/gembira. Adalah emosi yang menyenangkan. Rasa ini ditimulkan bila seorang anak mendapatkan apa yang ia inginkan. Rasa ini dapat berbentuk kepuasan dalam hati, s bisa pula lebih ekspresif, yaitu tersenyum, tertawa, sampai tertawa terbahakbahak. Pada saat ini terjadilah relaksasi tubuh secara menyeluruh . anak-anak mengekspresikan rasa gembira ini dengan cara dan intensitas yang bervariasi. Semakin bertambah usia, semakin bervariasi pula hal-hal yang bisa menimbulkan kegembiraannya. Dengan bertambahnya usia, anak juga akan belajar mengekspresikan kegembiaanya Pertemuan ke...9.. 4 Desember 2013 PENDEKATAN DAN METODE PENGEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK Pembelajaran Sosial emosional pada anak penting dikembangkan, karena terdapat beberapa hal mendasar yang mendorong untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan yang akan datang. Beberapa alasan tersebut diantaranya: 1. Semakin kompleknya permasalahan kehidupan di sekitar anak, termasuk didalamnya perkembangan IPTEK yang banyak memberikan tekanan pada anak, dan mempengaruhi perkembangan emosi maupun sosial mereka. 2. Penanaman kesadaran bahwa anak adalah investasi masa depan yang perlu dipersiapkan secara maksimal, baik aspek perkembangan emosi maupun keterampilan sosialnya 3. Rentang usia emas tidaklah lama, maka diperlukan stimulasi dan fisilitas se optimal mungkin agar tidak ada satu fasepun yang terlewatkan 4. Anak tidak mampu hidup dan berkembang dengan IQ semata tetapi EQ jauh lebih dibutuhkan sebagai bekal kehidupan mereka 5. Telah tumbuh kesadaran pada setiap anak dan orang tua, tetantang tuntutan untuk dibekali dan memiliki kecerdasan sosial emosional sejak dini Kecerdasan emosional merupakan usaha-usaha yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan kualitas emosional anak sehingga mampu disamping ia mampu mengenali perasaan diri sendiri, ia akan mampu mengenali perasaan orang lain, mampu memotivasi diri sendiri serta mampu mengelola emosi dan perilaku sosial yang lebih baik. Indikator mutu emosional tersebut meliputi; kualitas empati, kualitas dalam mengungkapkan dan memahami perasaan, mengalokasikan rasa marah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai atau tidak, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan dan kualitas kesetiakawanan.. Perhatian orang tua dan para pendidik pada kecerdasan emosional,tidak lepst dari pengaruh dimunculkannya beberapa pandangan dan teori yang menanggapi prinsipprinsip Emotional Intellegence, yang dapat membawa dampak positip pada sebagian orang yakni semakin memperhatikan aspek perkembangan emosi anak disamping perkembanagn skoatisnya (proses belajar di sekolah)16 A. Pengembangan Pendekatan Sosial Emosional 1. Pendekatan terpadu Karakteristik perkembangan anak TK bersifat holistik atau menyeluruh, atau terpadu, artinya antara aspek yang satu dengan yang lain saling berkaitan, aspek perkembangan yang satu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek perkembangan lainnya. Pembelajaran yang cocok adalah pembelajaran terpadu dengan berbasis pada tema, karena melalui tema anak akan lebih mudah dalam membangun konsep tentang benda atau peristiwa yang ada dilingkungannya. Dengan pembelajaran terpadu sejak dini anak sudah terlatih mengaitkan informsi yang satu dengan lainnya sehingga seccara wajar dapat menghadapi situasi yang berbeda-beda serta sekaligus dapat belajar secara aktif dan terlibat langsung dalam kehidupan nyata , bahkan pembelajaran ini dapat menyentuh semua aspak kecerdasan anak. 2. Pendekatan rutin Pendekatan ini sering juga disebut sebagai pembiasaan yang dilakkukan dengan cara penjadwalan secara terus menerus hingga pola perilaku yang diharapkan melekat menjadi kebiasaan positip pada setiap anak 3. Pendekatan terprogram Pelaksanaan pendekatan ini dilakukan melalui kegiattan terprogram yang dibuat secara terncana, 16 menjadi sasaran atau agenda utama saat program itu eilaksanakan. Monty P Satiadarma&Fidelis E.Waruwu,2003, Mendidik Kecerdasan, Jakarta: Pustaka Populer Obor Pembelajaran dapat dirancang dalam silabus, baik untuk jangka waktu yang panjang maupun pendek (RKH/RKM) dll 4. Pendekatan spontan Yakni pembelajaran yang dikembangkan untuk menanggapi stimulus langsung dari anak sebagai konsekuensi konteks pembelajaran yang bersifat dinamis, terutama pada kelas TK. Penting dilakukan pembelajaran spontan karena pemberian efek kepuasan yang sangat tinggi pada anak 5. Pendekatan keteladanan Yang dimaksudkan adalah pembelajaran yang ditampilkan melalui contoh-contoh yang baik dan menggunakan bebagai contoh yang telah diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan standar serta sistm nilai tertentu. Pendekatan ini penting karena anak ussia TK merupakan peniru yang hebat dan meudah menyerap dari apa yang dilihatnya. B. Sasaran Pengembangan Emosi di Taman Kanak-kanak Sebagaimana teori belajar era Quantum yang menyatakan bahwa informasi yang memasuki otak akan menuju otak tengah. Otak tengah berfungsi sebagai semacam pusat pengarah. Jika memutuskan informasi penting, ia mengalihkan informasi tersebut ke “otak berpikir”. Fungsi otak tengah tidak hanya sebuah “pusat pengarah”, tetapi juga bagian otak yang mengendalikan emosi. Jadi jika informasi baru disampaikan dengan cara yang menyenangkan, maka seseorang dapat belajar dan mengingat dengan baik. Jika hal yang dipelajari memasukkan unsur wrna, ilustrasi, permainan dan iringan lagu, emosi terlibat secara positip sehingga orang akan belajar lebih baik.17 Hal yang penting untuk diperhatikan dan dibutuhkan anak dalam upaya pengembangan emosi yang sehat adalah sebagai berikut: 1. Rasa cinta dan kasih sayang 2. Rasa saling memiliki 3. Rasa diterima apa adanya 4. Diberi kesempatan untuk mandiri dan membuat keputusan sendiri 5. Rasa aman 6. Diberi kepercayaan pada dirinya 7. Diperlakukan sebagai seseorang yang mempunyai identitas. Ada lima cara yang dapat dilakukan guru untuk membantu proses pengembangan emosi anak, yaitu kemampuan untuk mengenali emosi diri, kemampuan untuk mengelola dan mengeksprseikan emosi secara tepat, kemampuan untuk memotivasi diri, kemampuan 17 Hamruni, Edutainment dalam Pendidikan Islam& Teori Pembelajaran Quantum, 2009, Yogyakarta: Fak. Tarbiah UIN Sunan Kalijaga hal. 213 untuk memahami perassaan orang lain dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain. Sedangkan materi pembelajaran emosi di taman kanak-kanak meliputi rasa cinta, kasih sayang, empati serta pengendalian emosi. C. Metode Pengembangan Sosial di Taman Kanak-kanak Salah satu keahliah guru yang diharapkan adalah kemampuannya dalam memilih metode pembelajaran yang paling tepat untuk peserta didiknya. Metode yang dapat digunakan untuk membantu proses pengembangan sosial diantaranya adalah: 1. Bernyanyi dan bermain musik Musik memberikan dampak nyata pada perkembangan emosional manusia.oleh karenanya, bermain musik bagi anak penting dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pengembangan emosinya. Musik dapat menumbuhkan rasa kebangsaan, kesatuan, kagum, gembira,bahkan kepuasan rohaniah dan jasmani. Manfaat yang lain diantaranya adalah mendorong gerak pikir dan rasa membangkaitkan kekuatan dalam jiwa dan membantuk watak. Musik juga dapat memerikan kepuasan rohaniah dan membangkitkan kekuatan dalam jiwa dan membentuk watak. Selain itu....musik merupakan salah satu instrumen atau media bagi seseorang untuk dapat merasakan kasih sayang, keagungan ilahi serta semesta alam. 1. Bermain peran Adalah permainan yang dilakukan anak dengan cara memerankan tokok-tokoh, bendabenda, binatang ataupun tumbuhan yang ada disekitar anak. melalui permaian ini daya majinasi kreatvitas, empati serta penghayatan anak dapat berkembang. Anak-anak dapat menjadi apapun yang diinginkannya dan ia juga dapat melakukan manipulasi terhadap objek, seperti yyaang diharapkannya. Jika ia mengagumi ibunya, maka ia akan memerankan tokoh ibunnya seperti yang biasa ia lihat. Salah satu cara bagi anak untuk menelusuri dunianya, salah satunya adalah dengan meniru tindakan dan karaketr dari orang-orang yang berada disekitarnya. Ini merupakan bagian paling awal dari bentuk drama, yang tidak dapat disamakan dengan drama atau ditafsirkan sebagai penampilan. 2. Hand puppet Hand pupet atau permainan dengan menggunakan boneka tangan, merupakan salah satu permainan yang digemari anak-anak usia TK.. melalui permainan ini anak akan belajar berkomunikasi, berimajinasi, mengekspresikan perasaannya dan meningkatkan kepercayaan dirinya. Untuk melakukan permainan yang lebih menyenangkan anak membutuhkan kawan dalam melakukannya, walaupun masih ada beberapa anak yang bermain sendiri dan berbicara sendiri memainkan bola tangannya. Namun sekalipun permainan dilakukan anak sendirian, itu pun tidak menjadi masalah selama anak tidak menolak teman-temannya. Dengan adanya manfaat yang cukup besar dalam mengekspresikan emosi, sebagian terapis telah menggunakan permainan Hand Pupetini untuk tarapi. Dengan permainan ini anak-anak yang mengalami permasalahan emosional pun akan tererbabantu. Yang menjadi catatan: hendaklah mencari boneka yang menakutkan bagi anak serta mengkomunikasikan tentang materi-materi yang sesuai dengan perkembangan anak. 3. Bercerita Bercerita bagi seorang anak adalah suatu yang menyenangkan. Melalui cerita anak dapat mengembangkan imajinasinya menjadi apapun yang dia inginkan. Dalam cerita...seorang anak dapat memperoleh nilai yang banyak dan berarti bagi proses pembelajaran dan perkembangan sosialnya. Bercerita juga dapat berfungsi untuk membangun hubungan yang erat dengan anak. melalui bercrita, para pendidik dapat berinteraksi secara hangat dan akrab, terlebih lagi jika mereka dapat melengkapi dengan cerita-cerit itu dengan unsur humor. 4. Permainan gerak dan lagu: merupakan aktivitas bermain musik sambil menari, dan anak akan lebih senang jika kita memodifikasi lagu-lagu yang diperdengarkan. Teknik pelaksaaannya mudah, permata kita dapat memutar musik klasik di awal kegiatan, anakanak diminta bergerak bebas mengikuti alunan musik. Tiba-tiba musik dimatikan di tenga-tengah dan anak-anak pun berhenti bergerak dan berpura-pura menjadi patung. Begitu dan seterusnya di ulang lagi dengan menggunakan berbagai macama lagu sehingga semakin menyenangkan dan emosi aanak aan semakin terekspresikan. 5. Relaksasi dan meditasi. CHARAKTER BUILD (pert ke 10) Dalam segi bahasa charakter building atau membangun karakter terdiri dari dua suku kata yaitu membangun (to build) dan karakter (character) artinya membangun yang mempunyai sifat memperbaiki, membina, mendirikan. Sedangkan karakter adalah tabiat, watak, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Arti lain membangun karakter (charakter building) adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki dan atau membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlaq (budi pekerti) insan manusia (masyarakat) sehingga menunjukkan perangkat dan tingkah laku yang baik berdasarkan Pancasila. Lewis A. Barbara (2004) mengemukakan adanya 10 pilar karakter terjabar menjadi 56 indiktor nilai yaitu: 1. Peduli 2. Sadar akan hidup berkomunitas 3. Mau bekerjasama 4. Adil 5. Rela memaafkan 6. Jujur 7. Menjaga hubungan 8. Hormat terhadap sesama 9. Bertanggungjawab dan 10. Mengutamakan keselamatan Upaya membangun karakter akan menggambarkan hal-hal pokok antara lain : 1. Merupakan suatu proses yang terus menerus dilakukan untuk membentuk tabiat, watak dan sifat-sifat kejiwaan yang berlandaskan kepada semangat pengabdian dan kebersamaan. 2. Menyempurnakan karakter yang ada untuk terwujudnya karakter yang diharapkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. 3. Membina karakter yang ada sehingga menampilkan karakter yang kondusif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilandasi dengan nilainilai falsafah bangsa yaitu Pancasila. Faktor-faktor yang membangun karakter 1. Ideologi 2. Politik 3. Ekonomi 4. Social budaya 5. Agama 6. Normatif 7. Pendidikan 8. Lingkungan 9. Kepemimpinan Pembangunan karakter pada anak usia dini Ini bisa dimulai semenjak anak masih berada pada usia balita. Menurut sebuah sumber disebutkan bahwa perkembangan otak dimulai sejak awal kehidupannya. Pada usia 0-6 tahun merupakan waktu dimana otak anak sedang berkembang dengan sangat pesatnya. Usia seperti ini biasa disebut dengan Golden Age. Mereka menyerap serta menyimpan seluruh informasi yang mereka terima tanpa bisa memilih-milihnya. Pada saat inilah perkembangan fisik, mental, dan spiritual mulai terbangun. Pada usia Golden Age ini orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakteristik pada anak yang nantinya akan membentuk bagaimana karakter anak di masa depan. Menurut teori “Tabula Rasa” anak diibaratkan sebagai kertas kosong yang nantinya perlahan-lahan mulai diisi dengan berbagai gambar/coretan menggunakan tinta yang berasal dari orang tua sebagai orang terdekatnya. Pola didik orang tua pada usia Golden Age ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan / kesuksesan anaknya di masa depan. Orang tualah yang nantinya akan menentukan apakah anak tersebut akan berkembang sebagai pribadi yang semangat, berani atau malah menjadi pribadi yang penakut bahkan pengecut. Kebiasaan orang tua memberikan hukuman serta tekanan yang berlebihan terhadap anak akan memunculkan karakter negatif pada anak. Misalnya rendah diri, minder, takut untuk bersosialisasi, serta tidak berani mengambil resiko. Karakter- karakter inilah yang nantinya akan terus meresap dalam alam bawah sadar anak dan akan mereka bawa hingga dewasa. Sebagai contoh orang tua melarang anaknya bermain dan memaksa mereka untuk terus belajar agar mendapatkan nilai bagus serta prestasi yang tinggi di kelas. Pemaksaan seperti ini hanya akan membuat anak tertekan dan tidak bisa berkembang secara optimal. Padahal kesuksesanpun tidak diukur melalui seberapa tinggi prestasi anak di kelas tapi seberapa berani anak untuk mengambil resiko serta bertanggung jawab atau setiap keputusan yang akan diambilnya. Untuk itu para orang tua perlu mengetahui serta banyak membaca tentang bagaimana cara yang tepat untuk mendidik seorang anak sehingga dapat mengoptimalkan karakter-karakter positif pada diri anak. Pada dasarnya untuk menumbuhkan karakter positif pada anak sehingga bisa menjadi orang yang sukses harus dimulai dengan mengembangkan 3 hubungan dasar manusia (triangle relationship) yaitu hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan lingkungan, hubungan dengan Tuhan. Hubunagn dengan diri sendiri/intrapersonal dapat dikembangkan dengan cara membiarkan anak berkembang sesuai dengan bakat dan potensinya dengan memberikan kepercayaan kepada anak dalam pengambilan keputusan akan membiasakan untuk bertanggung jawab dalam setiap keputusannya. Untuk hubungan dengan lingkungan yang perlu dilakukan adalah dengan membiasakan anak untuk selalu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Kebiasaan seperti ini akan meningkatkan rasa percaya diri pada anak untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga anak tidak tumbuh menjadi anak yang minder dan antisosial. Hubungan dengan Tuhan juga harus dikembangkan untuk menjaga kemampuan spiritual anak sehingga memiliki ketahanan mental yang baik, tidak mudah depresi dan tidak mudah putus asa. Perkembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah katerkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan bangsa dan negara serta dunia Internasional. Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter, karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu, oleh karenanya dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Pendidikan karakter di Taman kanak-kanak, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang diantaranya menyebutkan bahwa pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral,dan pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan seluruh warga sekolah untuk memberikan keputusan baik buruk, Keteladanan, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Berdasarkan pada keterangan di atas, pendidikan karakter bukan hanya mengajarakan baik dan buruk, benar dan salah tetapi pendidikan karakter adalah usahausaha menanamkan kebiasaan yang baik sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan pada nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan demikian, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik, perasaan yang baik dan perilaku yang baik sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. MEMPELAJARI KARAKTER RAJA KECIL Ada beberapa orang yang berprinsip bahwa kedisiplinan perlu ditanamkan sejak dini dengan cara yang keras, demi pembentukan karakter dimasa yang akan datang. Namun ketika disampaikan bahwa “seharusnya yang terjadi justru sebaliknya, para orangtua semestinya belajar karakter dari anak kita yang masih usia dini”, dan mereka terkejut.... alasan untuk perilaku kedua adalah, bahwa anak usia dini itu masih suci dan ma’sum. Fitrah ilahiah masih aktif bekerja pada diri mereka serta belum tertutupi oleh prilaku dosa. Oleh karenanya, rasulullah saw. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa beliau paling suka jika bercengkrerama dengan anak-anak kecil, dengan alasan lima hal: 1. Anak kecil suka menangis, apalagi kalau dia merasa telah berbuat salah, dengan cepat pasti dia segera menangis. Menangis adalah tanda kelembutan hati sehingga anak usia dini adalah manusia paling lembut hatinya. Sebaliknya, orang deswasa malah jarang menangis. Jadi, ketika anak menangis dengan berbagai alasan, sungguh tepat bagi orang tua untuk instrospeksi diri tentang makna tangisan mereka 2. Anak kecil suka main tanah, dan biasanya dibuat dalam berbagai bentuk. Hakikat dari permainan itu memberikan indikator bahwa anak kecil sebenarnya mengetahui dari mana dia berasal dan kemana akan kembali, jawabannya adalah tanah. Hal itu jarang dilakukan orangtua/dewasa karena kebanyakan mereka melupakan asal dan tujuan hidupnya. Oki ..ketika anak bermain tanah orangtua perlu berinstrospeksi bahwa semua terbuat dan akan kembali ke tanah. 3. Anak kecil tidak punya rasa dendam. Anak-anak bila meminta mainan dari temannya dan tidak berhasil maka ia langsung berkelahi dan beberapa menit kemudian ia lansung bermain bersama dan bercanda gurau kembali seolah tidak terjadi perkelahian sebelumnya. 4. Anak kecil tidak suka menyimpan sesuatu untuk hari esok. Jika memiliki sesuatu, anak-anak biasanya lebih suka langsung dihabiskan, baik dengan cara dibagikan maupun dimakan sendiri, karena mereka tidak punya perencanaan untuk menyimpan yang dimilikinya untuk hari esok, jadi mereka tidak pelit, tampaknya mereka mempunyai keyakinan bahwa rezeki itsudah dijamin oleh Allah, sehingga mereka tampaknya memahami betul konsep tawakal dalam kehidupan ini. 5. Anak kecil cepat membuat dan cepat merusak. Ketika kita perhatikan, betapa anakanak bermain balok, dibuat bangunan yang sedemikian bagusnya. Ketika sudah selesai ia pandangi bangunan itu dengan cermat dan akhirnya puas. Setelah itu...tanpa alasan yang jelas, dirusaklah susunan balok tersebut. Jika orang dewasa memperhatikan sepertinya anak ini memberikan pelajaran bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal selain Allah SWT.18 Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dituliskan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggungjawab.” Menurut kamus besar bahasa Indonesia, karakter memiliki arti: Sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Sedangkan menurut Ditjen Mandikdasmen Kementerian Pendidikan Nasional, arakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil), kondisi ini akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik.19 1818 Munif Chatib, 2012, orangtuanya manusia, Bandung: PT.Mizan Pustaka Kementerian Pendidikan Nasional, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pemginaan SMP2010, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama 19 Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting) dan kebiasaan (habit) dan karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja, seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan saja belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Oleh karenanya diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (penguatan emosi) tentang moral dan moral action atau perbuatan moral. Terkait dengan pendidikan karakter dan pebntukan akhlak mulia ini, pemerintah telah memberikan respon positip dengan digulirkannya kebijakan Nasional pembangunan karakter bangsa yang berisi tentang arah kebijakan, kerangka dasar, tahapan serta strategi yang digunakan dalam pembentukan karakter bangsa. Kebijakan yang terkait dengan strategi pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan telah ditindak lanjuti oleh kementerian Pendidikan Nasional dengan berbagai pedoman dan bahan pelatihan tentang penguatan metode pembelajaran berdasarkan nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter ba ngsa. Pendidikan karakter yang dikembangkan melalui jalur pendidikan akan melingkupi pengetahuan, sikap dan perilaku terkait dengan nilai-nilai moral, yang terdiri dari: Religius, jujur, toleransi disiplin,kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu semangat kebangsaa, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, citnta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan bertanggungjawab. Anak Berperilaku “Anti Sosial” Anti sosial yang dimaksud adalah bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma nilai atau harapan sosial yang dilakukan oleh anak usia dini/prasekolah, diantaranya: a. Negativisme, yakni melawan otoritas orang dewasa, atau dapat dikatakan sebagai perlawanan terhadap tekanan dari ihak lain untuk berperilaku tertentu. biasanya dimulai sejak anak berusia 2 tahun dan mencapai puncaknya antara hun dan mencapai puncaknya antara 3sampai 6 tahun. Ekspresi fisiknya menyerupai dengan ledakan kemarahan tettapi secara bertahap diganti dengan penolakan lisan untuk menuruti perintah b. Agresif, adalah tindakan permusuhan yang nyata atau ancaman permusuhan yang diawali dengan serangan fisik hingga serangan verbal dalam bentuk memaki-maki atau menyalahkan orang lain, terutama kepada anak yang lebih kecil. c. Perilaku berkuasa atau bossy atau suka memerintah, yang dilalui oleh anak yang berusia kurang dari enam tahun. Pada saat ini anak ingin menunjukkan superioritasnya dengan cara menyuruh orang lain untuk melakukan apa yang diperintahkannya. 20 yang akan meningkat dengan bertambahnya kesempatan untuk kontak sosial, jika perilaku ini dapat diarahkan, maka akan menumbuhkan sifat kepemimpinan pada anak. d. Memikirkan diri sendiri (egosentris), yakni mereka berpikir dan berbicara tentang diri mereka sendiri Kecenderungan ini akan menetap hilang atau berkembang semakin kuat, tergantung pada kesadaran anak bahwa hal rersebut akan membuat mereka tidak populer, Meluasnya cakrawala sosial akan mengurangi perilaku ini miskipun murah hati juga masih belum maksimal. e. Mementingkan diri sendiri, cepatnya perubahan ini bergantung pada banyakknya kontak dengan orang-orang di luar rumah dan berapa besar keinginan mereka untuk diterima oleh teman-temannya. Yang dianggap Sebagai penunjang sifat egosentris adalah: 20 1) Perlindungan secara berlebihan 2) Favoritisme orangtua Drost, dkk,2003, Perilaku Anak Usia Dini, Kasus dan Pemecahannya, yogyakarta: Kanesius 3) Aspirasi orangtua 4) Usia orangtua, yang biasanya orangtua muda lebih mementingkan kepentingan diri sendiri 5) Pusat perhatian di rumah 6) Urutan posisi kelahiran 7) Ukuran keluarga 8) Jenis kelamin anak 21 f. Merusak22 Ledakan amarah yang dilakukan anak sering disertai dengan tindakan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya, tidak perduli itu milik sendiri atau milik orang lain. Semakin hebat marahnya semakin luas tindakan merusaknya. Penyebab Perilaku Anti Sosial Perilaku tidak sosial atau bahkan anti sosial tidak terjadi begitu saja tetapi melalui proses selama masa kehidupan anak yang dibentuk dari keluarga maupun lingkungan yang terjadi di sekitar mereka. Miskipun begitu, terdapat hal-hal yang secara umum menjadi penyebab dan penentu bagaimana seorang anak berperilaku sosial, 1. Gaya Pengasuhan Orangtua. Sebagaimana yang disampaikan oleh Diana Baumrind, yang menekankan pada tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak. Ia menekankan tiga t ipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek berbeda dalam perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif dan laissez Faire (permisif): 1) Pengasuhan otoriter ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbacara (bermusyawarah) . gaya kepengasuhan ini diasosiasikan dengan inkopetensi sosial anak. 21 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak jilid 2, Jakarta: Erlangga, hal. 263 John Goggman,Ph.D bersama Joan DeClaire, 2003, Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki Kecerdasan Emosional, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 22 2) Pengasuhan otoritatif, ialah mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah-musyawarah yang ekstensif memungkinkan dilaksnakan. Dan orangtua menunjukkan kehangatan dan kasih sayang . pengasuhan ini diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak. 3) Pengasuhan permisif terjadi dalam dua bentuk: permissive indifferent , adalah gaya pengasuhan yang mana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Gaya ini lebih mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orantua adalah lebih penting dari pada anak mereka. Sedangkan gaya pengasuhan permisive indulgent: suatu gaya pengasuhan dimana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas/kendali terhadap mereka. Orangtua membiarkan anak-anak melakukan apa saja yang mereka inginkan dan beranggapan bahwa dengan kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit kekangan akan menghasilkan orang-orang yang kreatif dan percaya diri.23 2. Faktor Bawaan (hereditas), adalah merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Disini hereditas diartikan sebagai totalitas karakteristik individu yang diwariskan orangtua kepada anak atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari pihak orangtua melalui gen-gen.24 Sedangkan yang diturunkan orangtua kepada anaknya adalah sifat strukturnya bukan tingkah laku yang diperoleh sebagai hasil belajar atau pengalaman. Penurunan sifatsifat ini mengikuti beberapa prinsip sebagai berikut: 1) Reproduksi, yang berarti bahwa penurunan sifat-sifatnya hanya berlangsung melalui sel benih 2) Konformitas (keseragaman), proses penurunan sifat akan mengikuti pola jenis generai sebalumnya, contohnya manusia akan menurunkan sifat-sifat manusia kepada anaknya 23 JW. Santrock, 2002,Perkembangan masa hidup, Jakarta: Erlangga 24 Syamsu yusuf,2001, Psikologi Perkembangan Anak& Remaja, Bandung: Remadja Rosydakarya, hal.31 3) Variasi, disebabkan jumlah gen-gen dalam setiap kromosom sangat banyak, maka konbinasi gen-gen pada setiap pembuahan akan mempunyai kemungkinan yang banyak pula. Oleh karenanya, untuk setiap proses penurunan sifat akan terjadi penurunan yang beraneka ragam, antara kakan dan adik mungkin akan berlainan sifatnya 4) Regresi Fillial, yakni penurunan sifat yang cenderung ke arah rata-rata. 3. Faktor lingkungan, yakni faktor dari luar diri anak, yang mempengaruhi peroses perkembangan mereka yang meliputi suasana dan cara pendidikan lingkungan tertentu, yang dapat menstimulasi atau justru menghambat dan mengganggu perkembangan anak. Sedangkan urie Bronfrenbrenner dan Ann Crouter (dalam Syamsyu Yusuf, 2001:35) mengemukakan bahwa lingkungan perkembangan merupakan “berbagai peristiw, situasi atau kondisi di luar organisme yang diduga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perkembangan individu”. Sedangkan lingkungan sendiri terdiri dari atas lingkungan fisik, yakni meliputi segala sesuatu dari mulekul yang ada disekitar janin sebelum lahir sampai kepada rancangan arstektur suatu rumah dan sosial yaknimeliputi seluruh manusia yang secara potensial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan individu. 4. Perkembangan hubungan dengan Teman sebaya Teman sebaya (peer) adalah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kuranglebih sama. 25 Hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan pribadi anak. salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting ialah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak akan menerima umpan balik tentang kemampuankemampuan mereka dari kelompok teman sebaya.26 Relasi yang baik antar teman sebaya memiliki peran penting dalam perkembangan sosial secara normal, dan ketidakmampuannya, dapat menyebabkan perilaku-perilaku yang tidak diharapkan, misalnya kenakalan sampai perilaku kriminal yang lain. 25 26 JW.Santrock, 1983, Life Spand Development, Jakarta: Erlangga, hal. 268 Desmita, 2012, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remadja Rosydakarya, hal. 145