PERDA SYARIAH DALAM OTONOMI DAERAH Oleh: Patty Regina Rafli Fadilah Achmad Valeryan Natasha Universitas Indonesia Depok April 2015 LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS Kami yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Patty Regina Nama : Rafli Fadilah NPM : 1106056075 NPM : 1206246313 Program Studi : Ilmu Hukum Program Studi: Ilmu Hukum Nama : Valeryan Natasha NPM : 1206251471 Program Studi: Ilmu Hukum Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul : PERDA SYARIAH DALAM OTONOMI DAERAH Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami. Depok, 12 Mei 2015 (Patty Regina) (Rafli Fadilah Achmad) (Valeryan Natasha) Daftar Isi Daftar Isi ................................................................................................................ 3 I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 4 II. PEMBAHASAN ............................................................................................... 4 II. 1 Pandangan Pro terhadap Perda Syariah dalam Otonomi Daerah ...... 5 II. 1. 1 Perda Syariah Sesuai dengan Konsep Otonomi Daerah ...................... 5 II. 1. 2 Perda Syariah sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi ....................... 6 II. 1. 3 Perda Syariah sesuai dengan nilai Sejarah dan Sosiologis bangsa Indonesia ......................................................................................................... 7 II. 2 Pandangan Kontra terhadap Perda Syariah dalam Otonomi Daerah 8 II. 2. 1 Perda Syariah bertentangan dengan Otonomi Daerah ......................... 8 II. 2. 2 Perda Syariah menimbulkan ketidakseimbangan dalam Kehidupan Beragama dan Bertentangan dengan Konsep Agama ................................... 10 III. PENUTUP ..................................................................................................... 12 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………,…. 14 I. PENDAHULUAN Peraturan Daerah Syariah (Perda Syariah) belakangan merupakan topik yang hangat diperbincangkan. Eksistensi Perda Syariah didalam pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah kabupaten/kota ataupun provinsi bukan lagi menjadi hal yang aneh, contohnya Perda Sumatera Barat No. 3 Tahun 2007 tentang Pendidikan Al-Qur’an dan Perda Bulukumba Sulawesi Selatan No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin dan masih banyak lagi. Walaupun tidak diberikan nama Perda Syariah, namun dapat dimaknai sebagai perda syariah melihat bahwa substansinya yang secara tegas mengatur mengenai syariat islam dan bersumber secara langsung dari Al-Qur’an serta hanya ditunjukan bagi pemeluk agama islam. Keberadaan perda syariah ini bukanlah tanpa kontroversi, penolakan terhadap perda syariah telah terjadi di Indonesia, bahkan Presiden dan Wakil Presiden RI Jokowi dan Jusuf Kalla pada masa kampanyenya menyuarakan penolakan terhadap perda syariah dan melarang kemunculan perda syariah itu sendiri kecuali di Aceh.1 Namun, terhadap pernyataan tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla melalui Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK, Trimedya Panjaitan2 ini ditentang oleh Majelis Mujadihid (MM) yang menyatakan penghapusan perda syariah adalah tindakan anti-agama yang dilandaskan pada kebohongan belaka.3 Kontroversi ini lah yang akan dianalisis didalam artikel hukum ini menggunakan sudut pandang baik dari pro penghapusan perda syariah maupun yang kontra. II. PEMBAHASAN Dalam tulisan ini, perda syariah yang dimaksud adalah peraturanperaturan daerah yang secara tegas dan lugas mengatur mengenai syariat islam serta dasar pembentukannya adalah Al-Qur’an yang dapat dilihat pada bagian “menimbang” dari perda itu sendiri. Otonomi daerah disini adalah penyerahan utusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan,4 yang terbatas pada otonomi simetris atau umum bukan otonomi asimetris atau khusus seperti yang dimiliki oleh Aceh atau Papua. 5 II. 1 Pandangan Pro terhadap Perda Syariah dalam Otonomi Daerah II. 1. 1 Perda Syariah Sesuai dengan Konsep Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.6 Otonomi daerah ini sendiri telah diamanatkan didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yaitu pada BAB VI tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah ini diterapakan di Indonesia dengan prinsip seluas-luasnya7 dengan tujuan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas dalam rangka menjalankan pemerintahan daerah.8 Tujuan otonomi daerah ini akan tercapai karena pelaksanaannya didasarkan pada kekhususan dan keragaman daerah.9 Hal ini didasarkan pada kemajemukan faktor heterogenitas serta pluralisme masing-masing daerah yang perlu penanganan yang berbeda satu dengan yang lainnya.10 Salah satu dasar pembedaan ini dapatlah dikatakan adanya kebutuhan penegakan kaidah agama tertentu sesuai dengan daerah masingmasing. Dalam status quo, penjalanan otonomi daerah yang demikian dilaksanakan dengan cara pembentukan perda syariah. Pembentukan perda syariah ini ditunjukan hanya kepada pemeluk agama islam sehingga tidak akan melakukan pemaksaan kepada pemeluk agama lain. Tujuannya pun sebenarnya dilaksanakan agar didalam suatu daerah terjadi percepatan dalam hal pengaturan akan kebutuhan seperti pembentukan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 Kota Banjarmasing tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan No. 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan lainnya. Pembentukan peraturan ini ditunjukan berdasarkan intensitas perhatian dalam penanganan suatu permasalahan yang memang berbeda. Maka dari itu, eksistensi perda syariah didalam otonomi daerah adalah keniscayaan dari konsepsi otonomi daerah itu sendiri yang didasarkan pada keragaman dan kekhasan daerah. II. 1. 2 Perda Syariah sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi Para founding fathers bangsa Indonesia membentuk dasar negara yang sejatinya digunakan untuk menjadi arahan dalam kegiataan bernegara yaitu Pancasila.11 Sila ke-1 Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ke-1 ini menjadi dasar untuk mengatakan bahwa negara Indonesi adalah negara berketuhanan.12 Salah satu manifestasi dari konsep ini adalah lahirnya agama dan kepercayaan.13 Tiap-tiap warga negara memiliki hak untuk menjalankan segala bentuk kegiataan dari agama dan kepercayaannya ini selama tidak menganggu kepentingan umum. Hak ini pun telah diakui dan dilindungi didalam UUD NRI 1945 yaitu Pasal 28E ayat (1) dan 28I ayat (1). Terhadap perlindungan ini negara pun telah membebankan dirinya sendiri dengan kewajiban untuk menjamin kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya tersebut.14 Terhadap kewajiban negara yang diatur didalam pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 ini, Hazairin memberikan penafsiran bahwa, Negara wajib menjalankan syariat islam bagi pemeluk agama islam, agama kristen bagi pemeluk agama kristen, agama buddha bagi pemeluk agama buddha dan seterusnya.15 Negara disini tidaklah dapat diartikan hanya sebagai pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Dalam melaksanakan kewajibannya ini, negara melalui pemerintah daerah akhirnya membentuk perda syariah. Perda syariah ini dibentuk bagi pemeluk agama islam agar menjalankan syariat islam, sehingga secara substansial yang ditunjukan dalam pembentukan perda syariah adalah semata-mata menjalankan kewajiban negara sebagaimana diatur didalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Kemudian secara formil, kewajiban ini dijalankan dalam bentuk peraturan daerah. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah daerah memberikan perhatiannya terhadap penegakan konsep ketuhanan yang telah termanifestasi dalam agama dan ajaran-ajarannya. Jadi, perda syariah dalam otonomi daerah dengan demikian sejalan dengan pancasila dan memiliki landasan konstitusional yang jelas. II. 1. 3 Perda Syariah sesuai dengan nilai Sejarah dan Sosiologis bangsa Indonesia Agama islam tidak dapat dipungkiri merupakan agama mayoritas di Indonesia. Eksistensi agama islam telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan menjadi negara seperti yang dikenal dewasa ini. Sejak zaman kerajaan islam berjaya di Indonesia, ajaran-ajaran agama islam telah dikenal dan menjadi salah satu pedoman serta mengakar didalam kehidupan masyarakat Indonesia bahkan menjadi bagian dari adat beberapa kebudayaan.16 Syariat islam telah begitu kuat dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Salah satu bukti dari hal ini sebenarnya terlihat dari dibentukanya Kompilasi Hukum Islam17 dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Kedua produk hukum ini menunjukan bahwa dalam bidang tertentu diperlukan penyamarataan dalam skala nasional untuk mengatur pola kehidupan masyarakat agar tetap berpegang pada syariat islam itu sendiri. Selain itu, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, walaupun tidak ditegaskan didalam substansi UU tersebut, dapatlah dikatakan mengadopsi ajaranajaran islam terutama mengenai kebolehan poligami serta persyaratan poligami tersebut. Hal ini menandakan bahwa dari segi sosiologis telah tumbuh suatu kebutuhan untuk mempositivisasi ajaran-ajaran agama islam dalam rangka pengaturan pemeluk agama islam dengan tujuan menegakan ajaran agama islam itu sendiri, dimana dalam hal ini adalah dengan perda syariah didalam otonomi daerah. Selain itu dari segi historis lebih lanjut, didalam dekrit presiden 5 Juli 1950 terdapat bagian yang menyatakan bahwa, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD NRI 1945”. Kata “menjiwai” ini dimaknai oleh Notonegoro termasuk bagi pembukaan dan pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. 18 Lebih lanjut Notonegoro mengartikan kata “Ketuhanan” dengan konsep yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat islam menjalankan syariat islam.”,19 namun meskipun demikian dapat pula diartikan bagi menjalankan ajaran agama lain, semua tergantung pada kebutuhan suatu daerah. Berdasarkan hal ini maka jelas keberadaan perda syariah didalam otonomi daerah telah sesuai dengan nilai sejarah dan sosiologis bangsa Indonesia. II. 2 Pandangan Kontra terhadap Perda Syariah dalam Otonomi Daerah II. 2. 1 Perda Syariah bertentangan dengan Otonomi Daerah Penerapan ketidakberhasilan otonomi konsep daerah merupakan sentralisasi yang bentuk dianut respon Indonesia dari sejak diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Tujuan otonomi daerah ini adalah mencapai pemerataan pembangunan di Indonesia yang dijalankan melalui pengurusan dan pengaturan oleh masing-masing daerah sesuai kekhasan dan keragaman yang dimilikinya. Otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.20 Otonomi daerah ini dijalankan dengan prinsip seluas-luasnya,21 dengan batasan kewenangan pengurusan dan pengaturan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Pembatasan ini dapat ditemukan didalam Pasal 10 ayat (1) UU tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan ketentuan ini terdapat 6 (enam) hal yang menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat, yaitu:22 a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama Di dalam penjelasan mengenai huruf f dinyatakan bahwa,23 “Yang dimaksud dengan “urusan agama” misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.” Berdasarkan hal diatas terlihat bahwa, dalam menjalankan otonomi daerah, daerah tidak dibenarkan untuk mengatur perihal penyelenggaraan kehidupan beragama. Hal ini jelas dilanggar dengan adanya perda syariah. Perda syariah pada naturnya merupakan produk peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah daerah yang didasarkan pada syariat islam dan dibentuk untuk menegakan syariat islam serta mengatur kegiatan keagamaan, seperti Perda Sumatera Barat No. 3 Tahun 2007 tentang Pendidikan Al-Qur’an dan Perda Bulukumba Sulawesi Selatan No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin. Kedua perda ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa membaca, mempelajari, mengimahi dan mengamalkan Al-Qur’an adalah kewajban umat islam. Perda ini jelaslah mengatur kegiatan keagamaan, secara khusus agama islam dalam hal pendidikan Al-Qur’an, sehingga sudah selayaknya dinyatakan bertentangan dengan konsep otonomi daerah yang memiliki batasan sebagaimana diatur didalam UU No. 23 Tahun 2014. Selain itu didalam UU No 23 Tahun 2014 pada Pasal 250 ayat (1) dan (2) diatur pula bahwa peraturan daerah tidaklah boleh bertentangan dengan; I. II. Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi; dan Kepentingan umum meliputi diskriminasi terhadap agama Pada poin (1), berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundangundangan diatas perda adalah UUD 1945 hingga peraturan presiden. Namun, dalam praktik perda syariah telah bertentangan dengan peraturan perundangundangan diatasnya, contoh pada Perda Syariah Sumatera Barat dan Perda Bulukamba diatas mewajibkan calon pengantin untuk pandai baca ayat Al-qur’an dan mewajibkan siswa sesuai jenjang pendidikan (SD, SLTP atau SLTA) pandai membaca, menulis, dan memahami ayat Al-qur’an agar dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.24 Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang tidak mengatur syarat demikian sehingga jelaslah terjadi kontradiksi selain itu perda-perda ini juga membebankan kewajiban pendidikan Al-qur’an yang tidak diatur didalam UU No. 23 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikaan Nasional.25 Pertentangan-pertentangan tersebut hanyalah contoh kecil dari ketidakteraturan tata peraturan perundang-undangan di Indonesia akibat adanya Perda Syariah. Pada poin (2) mengenai diskriminasi. Secara konseptual, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan yang didasarkan pada stereotip atau prasangka yang kemudian ditunjukan kepada seseorang,26. Salah satu dasar terjadinya diskriminasi adalah karena adanya perbedaan agama terutama di negara yang pluralisme seperti Indonesia.27 Diskriminasi dalam konteks perda syariah terjadi karena pemerintah daerah membentuk peraturan yang seharusnya diperuntukan untuk seluruh warga di daerah tersebut namun ternyata hanya berlaku untuk pemeluk agama islam. Perda syariah menunjukan bahwa pengurusan dan pengaturan otonomi daerah lebih difokuskan pada agama islam saja, sedangkan agama lain di marginalkan. Selain itu jika dikaitkan dengan APBD, penegakan dan segala kewajiban daerah yang ditimbul dari perda syariah akan dijalankan menggunakan dana dari APBD. Dalam hal ini dengan semakin banyaknya perda syariah yang dibentuk semakin banyak APBD yang dialokasikan untuk penegakan syariat dan ajaran agama islam, semakin timpang pula pengaturan dan pengurusan yang dilakukan daerah terhadap warga daerah, terutama warga non-islam. Fokus otonomi daerah menjadi hanya pada pemeluk agama islam bukan warga daerah secara keseluruhan. Hal ini menunjukan adanya perbedaan sikap pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah yang didasarkan pada agama dan hal ini adalah tindakan diskriminatif. Padahal seharusnya otonomi daerah dijalankan tanpa berfokus pada agama tertentu saja. Berdasarkan penjelasan diatas jelas maka perda syariah didalam otonomi daerah tidak sesuai dengan konsep otonomi daerah dan bertentangan dengan UU Tentang Pemerintahan Daerah sehingga harus ditolak. II. 2. 2 Perda Syariah menimbulkan ketidakseimbangan dalam Kehidupan Beragama dan Bertentangan dengan Konsep Agama Salah satu tujuan pembentukan hukum adalah untuk menciptakan keteraturan didalam kehidupan manusia. Keteraturan ini adalah kunci agar kondisi suatu negara selalu damai. Sebagai negara yang plural, terdiri dari berbagai agama, suku,bangsa dan lain sebagainya, hukum di Indonesia memainkan peranan yang penting yaitu menciptakan keseimbangan sehingga masing-masing kepentingan yang didasarkan pada hal-hal tersebut tidak bertentangan dan menimbulkan konflik. Salah satu permasalahan yang harus dihindari adalah adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan beragama karena hal ini dapat memicu adanya konflik yang tidak diperlukan serta membuat hubungan antar umat beragama menjadi tidak rukun. Namun sayangnya, keberadaan salah satu produk hukum di Indonesia yaitu perda syariah ternyata membuat permasalahan tersebut menjadi kenyataan. Perda syariah dibentuk dengan pertimbangan bahwa mayoritas suatu daerah adalah beragama islam dan digunakan untuk menegakan syariat islam. Tetapi ternyata dalam praktiknya, respon terhadap eksistensi perda syariah ini telah membuat daerah-daerah di Indonesia terkotak-kotak. Perda syariah dinilai memberikan efek tertekan perasaan tida enak bagi pemeluk agama lain. Alhasil, hal ini menimbulkan daerah dengan mayoritas agama lain contoh kristen, terdorong membentuk perda sesuai ajaran agama kristen yaitu perda injili.28 Di Manokwari, terdapat Rancangan Peraturan Daerah Injili yang pada intinya melarang perempuan muslimah memakai jilbab di publik.29 Munculnya rancangan perda ini didasarkan pada fakta diperbolehkannya membentuk perda yang bernuansa agama. Jelas apabila tidak segera dihentikan maka kerukunan antra umat beragama akan terusik bahkan ditakutkan dapat menimbulkan konflik. Hal ini akan menciptakan ketidakseimbangan dalam kehidupan beragama. Selain itu, perda-perda syariah ini akan membuat wilayah-wilayah Indonesia menjadi terkotak-kotak sesuai agama dan menodai pluralisme dan heterogenitas yang ada di Indonesia. Secara lebih mendalam, perda syariah akan menimbulkan disintegrasi didalam kehidupan beragam yang mengancam persatuan bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah negara yang plural dari segi agama. Sejak dahulu founding fathers bangsa Indonesia berusaha menemukan cara agar perbedaan tidak memecahkan bangsa Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan membentuk dasar negara yang universal, pancasila. ditinjau dari sisi sejarah, dahulu terdapat perbedaan pendapat antara kaum nasionalis dan kaum agama mengenai sila pertama pancasila.Dimana dahulu muncul ide rumusan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syaritat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”30. Namun, hal ini ditolak kaum nasrani di Indonesia timur yang disampaikan oleh Muhammad Hatta dengan menyatakan hal tersebut bersifat diskriminatif.31 Pada akhirnya diambil jalan tengah dengan menghilangkan 7 (tujuh) kata setelah kata Esa. Hal ini menandakan bahwa pancasila adalah titik temu semua agama dan golongan.32 Perda syariah sejatinya bertentangan dengan semangat ini, perda yang seharusnya difokuskan untuk mengatur seluruh warga di suatu daerah ternyata hanya dikhusukan untuk agama islam saja, menandakan pengaturan yang tidak seimbang dan tidak mengadopsi nilai pancasila tersebut. Dalam sudut pandang agama, yaitu Islam, hukum islam adalah hukum yang bersumber dari Allah SWT yang sifatnya absolut. Hukum islam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, dimana ketaatan terhadap hukum islam ini bersumber dari keimanan seseorang. Namun, dengan penerjemahan syariat islam terutama mengenai pendidikan Al-qur’a ke dalam hukum nasional, kita mengamini dan mengatakan bahwa ajaran agama islam seolah-olah tidak dapat ditaati dan ditegakan apabila tidak ada sanksi atau ketentuan hukum positif di Indonesia. Kita menjadi mengecilkan arti agama dan ajarannya karena meniscayakan agama yang kita yakini bersumber dari Tuhan yang mutlak kebenarannya harus bersandar pada institusi temporer yaitu negara dalam penegakannya. Selain itu, perda syariah menunjukan ada tendensi pemanfaatan agama oleh penguasa didaerah. Agama tidak lepas dari hubungan kekuasaan dan pengetahuan.33 Dalam perda syariah, dapat dikatakan agama sebagai pengetahuan digunakan digunakan untuk memaksakan suatu kekuasaan pada subyek lain tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari pihak tertentu.34 Berdasarkan hal-hal diatas jelas bahwa Perda Syariah lebih memiliki dampak negatif yaitu menggangu kerukunan umat beragama, meciptakan ketidakseimbangan dalam kehidupan beragama dan mengecilkan arti agama itu sendiri. III. PENUTUP Penyelenggaraan Perda Syariah di beberapa daerah kabupaten/kota ataupun provinsi di Indonesia sudah bukan merupakan hal yang tabu. Meskipun disebut Perda, tetapi Perda Syariah pemaknaannya hanya ditujukan bagi warga yang memeluk agama islam. Perda Syariah sumbernya didasarkan pada syariat islam yang tertuang dalam Al-Qur’an. Pandangan yang pro terhadap Perda Syariah dalam otonomi daerah didasarkan pada kesesuaiian penerbitan Perda Syariah itu sendiri dengan konsep otonomi daerah, dimana daerah berusaha memenuhi kebutuhannya masingmasing. Selain itu, Perda Syariah juga sesuai dengan amanat Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD NRI 1945. Dari sudut pandang sosiologis dan historispun, nilai-nilai syariat islam juga memang sudah lama ada di Indonesia, sehingga lazimlah syariat islam untuk dijewantahkan dalam bentuk Perda. Pandangan yang kontra terhadap Perda Syariah dalam otonomi daerah didasarkan pada pembatasan kewenangan daerah terkait urusan agama yang seharusnya merupakan kewenangan absolut pusat. Selain itu, Perda Syariah juga dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan beragama akibat kecenderungan Perda untuk hanya memihak pada agama tertentu. 1 Muhammad Akbar Wijaya, Pemerintahan Jokowi-JK Larang Perda Syariat Islam Baru, http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/06/04/n6mzlx-pemerintahan-jokowijklarang-perda-syariat-islam-baru, diakses pada 04 Mei 2015. 2 Muhammad Akbar Wijaya, Kecuali di Aceh, Jokowi-JK Bakal Larang Perda Syariat Islam, http://www.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/06/04/n6n15d-kecuali-di-acehjokowijk-bakal-larang-syariat-islam, diakses pada 04 Mei 2015. 3 Arramah.com, Tolak Perda Syariah, Majelis Mujahidin tantang debat terbuka PDIP, http://www.arrahmah.com/news/2014/06/09/tolak-perda-syariah-majelis-mujahidin-tantang-debatterbuka-pdip.html, diakses [ada 04 Mei 2015. 4 HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005, h. 17. 5 Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Cetakan ke-1, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2005, h. 54. 6 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Pasal 1 Angka 6. 7 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 18 Ayat (5). 8 HAW Widjadja, Otonomi dan Otonomi Daerah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 7 9 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 18A Ayat (1). 10 Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, h. 19. 11 Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Yogyakarta, Media Pressindo, 2006, h. 152. 12 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, Lihat . Pasal 29 ayat (1). 13 Elza Peldi Taher, Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, Jakarta, ICRP, 2009, h. 257. 14 Ibid, Pasal 29 ayat (2) 15 Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam, Jakarta, IND-HILL-CO, 2003, h. 153. 16 Marzuki Wahid dan Rumadi, Kritis Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, LkiS, 2001, h. 81. 17 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Gema Insani Press, 1994, h. 61. 18 Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Cetakan ke-3, Jakarta, Pancuran Tujun, 1975, h. 70. 19 Ibid. 20 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No, 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Pasal 1 angka 6. 21 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 18 Ayat (5). 22 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No, 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Pasal 10 ayat (1). 23 Ibid, lihat bagian penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf (f) 24 Provinsi Sumatera Barat, Peraturan Daerah Sumatera Barat tentang Pendidikan AlQur’an, Perda No. 3 tahun 2007, LD Sumbar No. 3 Tahun 2007, Pasal 13. 25 Muntoha, Otonomi Daerah dan Perkembangan “Peraturan-Peraturan Daerah Bernuansa Syariah”, (Disertasi, Program Doktoral, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2008), h. 337. 26 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, LkiS, 2002, h. 93. 27 Tore Lindhol,et.al, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh, diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’i Abduh, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2010, h. 328. 28 Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko, Reimventing Indonesia Menemukan Kembali, Jakarta, Mizan, 2008, h. 88. 29 Rumadi dan Ahmad Suaedy (Ed), Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia, Cetakan ke-1, The Wahid Institute, Jakarta, 2007, h. 26-27. 30 Roland Dumartheray, Agama dalam Dialog Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan, Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia, 2003, h. 464. 31 Amrullah Ahmad, Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, h. 238. 32 Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaang Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia, 2004, h. 315. 33 Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat AkarKekerasan dan Diskriminasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2010, h. 101. 34 Ibid. Daftar Pustaka Abdullah, Abdul Gani. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. Ahmad, Amrullah. 1996. Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press. Aritonang, Jan S. 2004. Sejarah Perjumpaang Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Arramah.com. Tolak Perda Syariah, Majelis Mujahidin tantang debat terbuka PDIP. http://www.arrahmah.com/news/2014/06/09/tolak-perda-syariah- majelis-mujahidin-tantang-debat-terbuka-pdip.html diakses pada 04 Mei 2015. Azhary, Tahir. 2003. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: IND-HILL-CO. Dumartheray, Roland. 2003. Agama dalam Dialog Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat AkarKekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hidayat, Komaruddin dan Putut Widjanarko. 2008. Reimventing Indonesia Menemukan Kembal. Jakarta: Mizan. Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. UUD NRI 1945. _______. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 23 Tahun 2014. LN No. 244 Tahun 2014. TLN No. 5587 Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LkiS. Lindhol, Tore et al. 2010. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh. diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’i Abduh. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Muntoha. 2008. Otonomi Daerah dan Perkembangan “Peraturan-Peraturan Daerah Bernuansa Syariah”. (Disertasi, Program Doktoral, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta). Notonegoro. 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Cetakan ke-3. Jakarta: Pancuran Tujun. Provinsi Sumatera Barat, Peraturan Daerah Sumatera Barat tentang Pendidikan Al-Qur’an, Perda No. 3 tahun 2007, LD Sumbar No. 3 Tahun 2007, Pasal 13. Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media Pressindo. Solossa, Jacobus Perviddya. 2005. Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI. Cetakan ke-1. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suaedy, Ahmad dan Rumadi (Ed). 2007. Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta: The Wahid Institute. Taher, Elza Peldi. 2009. Merayakan Kebebasa Beragama Bunga Rampai Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: ICRP, 2009. Wahid, Marzuki dan Rumadi. 2001. Kritis Atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LkiS. Widjadja, HAW. 2004. Otonomi dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ______________. 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Wijaya, Muhammad Akbar. Kecuali di Aceh, Jokowi-JK Bakal Larang Perda Syariat Islam. http://www.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri- 1/14/06/04/n6n15d-kecuali-di-aceh-jokowijk-bakal-larang-syariat-islam diakses pada 04 Mei 2015. ______________________. Pemerintahan Jokowi-JK Larang Perda Syariat Islam Baru. http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot- politic/14/06/04/n6mzlx-pemerintahan-jokowijk-larang-perda-syariatislam-baru diakses pada 04 Mei 2015. X, Sultan Hamengku Buwono. 2007. Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama