DILEMATIKA PENCABUTAN HAK ULAYAT UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI INDONESIA Oleh: Patty Regina Rafli Fadilah Achmad Valeryan Natasha Universitas Indonesia Depok April 2015 LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS Kami yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Patty Regina Nama : Rafli Fadilah NPM : 1106056075 NPM : 1206246313 Program Studi : Ilmu Hukum Program Studi: Ilmu Hukum Nama : Valeryan Natasha NPM : 1206251471 Program Studi: Ilmu Hukum Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul : DILEMATIKA PENCABUTAN HAK ULAYAT UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI INDONESIA Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami. Depok, 12 Mei 2015 (Patty Regina) (Rafli Fadilah Achmad) (Valeryan Natasha) DAFTAR ISI Lembar Orisinalitas..................................................................................................2 Daftar Isi ..................................................................................................................3 I. PENDAHULUAN I.1Pendahuluan.............................................................................................4 II. PEMBAHASAN II.1Pembahasan............................................................................................5 II.2 Pandangan Pro Pencabutan Hak Ulayat untuk Kepentingan Umum....6 II.2.A Kepentingan Umum adalah Prioritas Utama Tujuan _______Negara................................................................................6 II.2.B Hak Ulayat Tidak Bersifat Absolut......................................8 II.3 Pandangan Kontra Pencabutan Hak Ulayat untuk Kepentingan ____.Umum..................................................................................................9 II.3.A Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Haruslah ______Beserta_Dengan_Hak_Ulayatnya........................................9 II.3.B Hak Ulayat Bersifat Komunal.............................................10 II.3.C Pencabutan Hak Ulayat Merupakan Bentuk Pelanggaran ______Hak Asasi.............................................................................. III. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA I. PENDAHULUAN “Janganlah cepat-cepat menetapkan bahwa tidak ada hak ulayat lagi, ataupun sebaliknya untuk terlalu cepat-cepat menetapkan bahwa hak ulayat masih ada” Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa ini -1977 Pandangan dan konsep mengenai hak ulayat sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak berabad-abad lamanya. Bentuk dan corak mengenai hak ulayat senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan dinamika perkembangan hukum adat yang menjadi landasan utamanya.1 Sejatinya secara normatif, pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak ulayat dan masyarakat hukum adat di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan di era reformasi. Hal tersebut dikarenakan telah diaturnya materi muatan mengenai kedudukan dan eksistensi hak ulayat yang diwujudkan dalam konstitusi negara Indonesia pada Pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-2 dan kemudian diikuti dengan dibentuknya peraturan perundang-undangan terkait seperti Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007, UU No. 2 Tahun 2012. Namun sayangnya semangat tersebut masih terbatas pada law in book saja, belum diikuti hingga tataran empiris atau law in action.2 Dewasa ini persoalan mengenai hak ulayat kembali menyita perhatian publik khususnya pada sengketa-sengketa yang terjadi di berbagai daerah. Permasalahan utamanya bukanlah mengenai bentuk pengakuan formal dari pada hak ulayat itu sendiri, akan tetapi justru berkenaan dengan perlindungan hak masyarakat hukum adat mengenai tanah ulayat disatu pihak dan kepentingan umum untuk pembangunan dilain pihak. Terlebih lagi di era demokrasi yang sekarang dijunjung tinggi, menyebabkan masyarakat hukum adat menjadi lebih sadar dan gigih berjuang untuk mempertahankan hak-haknya, sementara disaat yang sama pemerintah dan/atau pemerintah daerah juga semakin gencar untuk menarik minat investor.3 Salah satu contohnya adalah pembebasan tanah ulayat seluas 316 hektar Nagari Mungo yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten 50 Kota, BPT-HMT, Departemen Pertanian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk mendirikan kebun pertanian daerah dan sekolah. Terkait dengan pembebasan lahan tersebut, sebelumnya telah ada diskusi dengan ninik-mamak Mungo dengan kesepakatan bahwa semua tanaman masyarakat diberi gantirugi, apabila didirikan sekolah maka anak Nagari Mungo yang diberi prioritas, apabila dibutuhkan tenaga buruh maka diambil dari anak Nagari Mungo. Namun kenyataanya sampai saat ini seluruh butir persyaratan tersebut tidak terpenuhi atau dengan sengaja tidak dipenuhi oleh pemerintah setempat.4 Menurut laporan dari KOMNAS HAM, konflik agraria yang berawal dari sengketa kepentingan umum telah menjadi salah satu bentuk konflik sosialekonomi yang sering terjadi di Indonesia, bahkan terdapat trend peningkatan jumlah dan kompleksitas konflik yang semakin meningkat. Tragedi berdarah akibat konflik agraria yang berdimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia datang silih berganti, dan sebagian besar yang menjadi korban adalah komunitas masyarakat hukum adat dalam mempertahankan hak ulayatnya, seperti didaerah Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, Tanah Awu, Lombok Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.5 Maka dari itu aneka permasalahan yang berkenaan dengan hak ulayat dan kepentingan umum memerlukan kajian yang komprehensif untuk didalami, kemudian dicarikan solusi konkret dan holistik yang bukan hanya melalui dimensi yuridis saja, akan tetapi juga harus dengan memperhatikan aspek-aspek lainnya, seperti politis, ekonomis dan kultural agar hal yang demikian tidak berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat menganggu stabilitas masyarakat. 6 Maka dari itu tulisan ini akan membahas mengenai pencabutan hak ulayat untuk kepentingan umum ditinjau dari perspektif pro dan kontra, dengan harapan tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dan masyarakat hukum adat dalam menyikapi isu ini. II. PEMBAHASAN Di Indonesia penguasaan atas tanah dapat dilakukan dengan berbagai hak penguasaan atas tanah seperti hak pengelolaan, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan tentu saja hak ulayat.7 Hak ulayat dalam perspektif yuridis diartikan sebagai serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya, sebagai “lebensraum” para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, yang ada dalam wilayah tersebut.8 Selain itu, tanah ulayat juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis serta bertujuan untuk memakmurkan rakyat di dalamya.9 Dewasa ini hak ulayat kembali dipertanyakan seiring dengan adanya sentimen yang menyatakan bahwa eksistensinya dapat menghambat pembangunan untuk tujuan kepentingan umum. Terlebih lagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut memerlukan tanah sebagai unsur utamanya.10 Kepentingan Umum itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diartikan sebagai kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari kedua perbedaan konsepsi antara hak ulayat dan kepentingan umum di atas, masyarakat saat ini terpolarisasi karena ada yang mendukung eksistensi dari hak ulayat, namun ada pula yang mendukung kepentingan umum. Tidak jarang ketika sudah dalam kondisi deadlock maka mekanisme yang ditempuh adalah dengan melakukan pencabutan hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat setempat. Meskipun terminologi pencabutan hak lebih sering dipakai kepada hak eigendom, namun menurut Ko Tjay Sing bahwa pencabutan hak juga dapat diterapkan kepada hak-hak lainnya seperti hak ulayat.11 Perlu diketahui bahwa pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum merupakan “cara yang terakhir” untuk memperoleh tanah-tanah yang sangat diperlukan guna keperluan-keperluan tertentu untuk kepentingan umum, setelah berbagai cara lain melalui jalan musyawarah dengan yang empunya tanah menemui jalan buntu dan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan, sedangkan keperluan untuk penggunaan tanah dimaksud sangat mendesak sekali.12 Mekanisme mengenai pencabutan hak ulayat disatu sisi menuai banyak kecaman, tetapi disisi lain juga mendapat dukungan dari masyarakat. Berikut adalah uraian argumentasi pro dan kontra terkait pencabutan hak ulayat untuk kepentingan umum “ II.2Pandangan Pro Pencabutan Hak Ulayat untuk Kepentingan Umum II.2.A Kepentingan Umum adalah Prioritas Utama Tujuan Negara Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat terdapat tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi empat aspek pelayanan pokok Negara terhadap rakyatnya dan salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum.13 Cara untuk negara memajukan kesejahteraan umum masyarakatnya adalah dengan cara melaksanakan pembangunan untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.14 Implementasi dari frasa seluruh rakyat Indonesia ditujukan bukan untuk beberapa warga negara atau masyarakat hukum adat tertentu saja, akan tetapi frasa tersebut harus dimaknai secara holistik yang diperuntukan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya adalah masyarakat hukum adat. Akan tetapi tidak jarang terdapat konflik agraria berupa benturan kepentingan dalam pelaksanaanya, salah satunya adalah terjadinya benturan antara pembangunan untuk kepentingan umum dengan eksistensi hak ulayat. Contoh kasusnya adalah mengenai pembangunan PLTA di Desa Kuta Gaja yang didirikan di atas tanah ulayat Marga Kembaren, pada situasi seperti ini PLTA adalah prioritas yang harus diutamakan karena PLTA ini akan memberikan kemaslahatan berupa manfaat listrik dalam konteks yang lebih luas ketimbang hak ulayat itu sendiri, lagipula ketika PLTA ini dibentuk kemanfaatan yang ada juga akan dirasakan oleh masyarakat hukum adat setempat itu sendiri.15 Dalam kondisi pertentangan tersebut jelaslah bahwa hak ulayat layak untuk dicabut untuk kepentingan umum, dan memprioritaskan kepentingan umum sebagaimana dipertegas dalam tujuan negara. Hal ini sejalan dengan pepatah kuno yang menyatakan “Prioritaskan kepentingan umum, daripada kepentingan pribadi” karena tentunya kepentingan umum berbicara dalam konteks khalayak kebutuhan dan kepentingan banyak orang, sedangkan kepentingan pribadi atau masyarakat hukum adat hanyalah dilandasi kebutuhan-kebutuhan yang skalanya jauh lebih kecil. Lagipula sebenarnya ketika hak ulayat itu dicabut, masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari entitas nasional juga akan tersejahterakan, bukan berarti ketika hak ulayat itu dicabut serta merta dapat membawa kerugian bagi masyarakat hukum adat setempat. Masyarakat hukum adat haruslah bijak dalam menyadari dan memahami betapa pentingnya kepentingan umum itu, karena sejatinya pembangunan untuk kepentingan umum tersebut ditujukan bagi Bangsa Indonesia, dimana dalam kepentingan umum tersebut terkandung juga kepentingan-kepentingan masyarakat hukum adat yang diakomodir di dalamnya. Maka dari itu pemikiran-pemikiran yang khawatir akan eksistensi hak ulayat akan dicampakan begitu saja haruslah dikesampingkan. Kasus di SMAN Olahraga Buper Waena Papua menjadi bukti bahwa pencabutan hak ulayat justru semakin menyejahterakan masyarakat hukum adat setempat karena dengan adanya sekolah tersebut membuat bibit-bibit terbaik dari tanah Papua memiliki fasilitas sekolah untuk para atlet yang nantinya dipersiapkan untuk PON dan kejuaraan nasional lainnya.16 Kasus lainnya adalah pembangunan bandara internasional di Tanah Awu, Lombok Tengah. Dengan adanya pembangunan tersebut, tentunya masyarakat hukum adat setempat adalah orang yang paling diuntungkan karena sektor pariwisata meningkat, adanya fasilitas bandara, ganti rugi yang sesuai dengan ekspektasi dan dipakainya putra putri tanah awu untuk bekerja di bandara tersebut.17 Sedangkan apabila masyarakat hukum adat menjunjung tinggi egosektoralnya maka yang dirugikan bukan hanya negara, tetapi masyarakat hukum adat itu sendiri, seperti pada kasus mangkraknya pembangunan gedung Kementrian Keuangan di Manokwari yang disebabkan adanya protes keras dari pemilik tanah ulayat untuk membayar ganti rugi terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pembangunan yang sudah berjalan 60% menjadi terhenti, dimana uang negara sudah terpakai dan tanah masyarakat hukum adat juga menjadi terbengkalai karena tidak jadi dibangun. 18 Maka dari itu penolakan tersebut merupakan bentuk ketakutan yang terlalu didramitisir dan tidak memiliki pijakan filosofis, yuridis, serta sosiologis yang kuat. II.2.B Hak Ulayat Tidak Bersifat Absolut Hak ulayat tidaklah bersifat absolut, karena hak ulayat merupakan bagian dari tanah negara yang terikat pada yurisdiksi pemerintah, maka dari itu secara prosedural juga mengikuti ketentuan-ketentuan pemerintah. Terlebih lagi pada Pasal 33 ayat (3) menyatakan secara jelas dan tegas bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Makna “dikuasai oleh negara” diartikan sebagai kewenangan mengatur yang dimiliki oleh negara sebagai organisasi tertinggi di bidang hukum publik untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.19 Itu artinya apabila ada tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum dan berada di atas hak ulayat, maka jelaslah tanah tersebut legal untuk dipakai dengan alasan kepentingan umum, karena tanah itu milik bangsa Indonesia yang dikelola oleh negara selaku organisasi tertinggi yang memiliki sifat memaksa untuk mengatur, mengurus dan mengelola. Hal ini dipertegas dalam prinsip umum agraria yang menyatakan bahwa hak ulayat berlaku sepanjang tidak ada kepentingan yang lebih tinggi yang menjadi saingannya.20 Itu artinya kepentingan suatu masyarakat hukum adat harus tunduk kepada kepentingan umum dan Negara yang lebih luas, termasuk didalamnya pelaksanaan hak ulayat yang harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.21 Maka dari itu sifat mutlak dari pada hak ulayat tidak lagi di tangan masyarakat hukum adat, akan tetapi ditangan negara dan menjelma menjadi hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan yang tertinggi diseluruh wilayah Indonesia sesuai dengan Pasal 2 UUPA.22 II.3 Pandangan Kontra Pencabutan Hak Ulayat untuk Kepentingan Umum II.3.A Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Haruslah Beserta Dengan Hak Ulayatnya “Masyarakat hukum adat adalah pemilik hak, bukan hanya sekedar rekanan”23, hal tersebut merupakan kalimat yang dikutip dalam kongres kelima World Park Congress (Kongres Taman Dunia) yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan pada 8-17 September 2003 silam. Kalimat tersebut menegaskan penyikapan negara-negara di dunia terhadap posisi masyarakat hukum adat yang tidak boleh diacuhkan, akan tetapi patut diakui sebagai suatu entitas yang memiliki ciri khas tersendiri di dalam suatu negara. Indonesia sebagai negara peserta kongres sejatinya sudah tepat untuk mengakui masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak secara konstitusional sebagaimana diatur pada Pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3) UUD 1945. Alasannya adalah hal tersebut merupakan bentuk penghormatan lebih lanjut terhadap hak ulayat yang sudah ada bahkan sebelum Negara Indonesia itu ada. Dengan mengakui eksistensi masyarakat hukum adat konsekuensi logisnya adalah harus pula mengakui, menghormati dan melindungi hak ulayat masyarakat hukum adat, karena pada dasarnya terdapat hubungan yang erat sekali antara warga masyarakat dengan tanah dimana ia bertempat tinggal sebagai suatu hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang tidaklah dapat dipisahkan layaknya kedua sisi mata koin. 24 Dimana terdapat ketergantungan antara keduanya, tanah ulayat tidak dapat dikatakan ulayat kalau tidak diperjuangkan dan dikelola oleh suatu masyarakat hukum adat, pun masyarakat hukum adat tidak akan mampu hidup tanpa adanya hak ulayat, karena pada dasarnya hak ulayat adalah tempat dimana masyarakat hukum adat itu lahir, tumbuh berkembang dan hingga meninggal, bahkan kesehariannya masyarakat hukum adat hidup berdasarkan hasil alam yang ada di tanah ulayat dengan cara berburu dan meramu. 25 Tidak bisa dibayangkan jika tempat lahiriah dan batiniah masyarakat hukum adat yang kental akan nuansa historisnya dicabut, lalu kemana lagi masyarakat hukum adat harus hidup? Pun jika direlokasi ketempat lain, tidak akan ada tempat yang mampu menggantikan nilai-nilai otentitas sejarah yang pernah terjadi di tanah ulayat sebelumnya. Ketika suatu negara mengakui masyarakat hukum adat sebagai suatu entitas maka tidak cukup hanya dengan bilang mengakui saja, akan tetapi harus disertai dengan tindakan-tindakan konkret berupa pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak yang ada padanya dan salah satunya adalah membuat mekanisme untuk melindungi hak ulayat dari oknum-oknum yang mengatasnamakan kepentingan umum untuk menjustifikasi tindakannya. Salah satu bentuk perlindungannya adalah dengan memperbaiki sistem registrasi tanah ulayat yang masih ada, karena saat ini banyak hak ulayat yang tidak teregistrasi oleh Badan Pertanahan Nasional yang menyebabkan status hukum dari hak ulayat itu sendiri dinilai tidak kuat dihadapan hukum.26 2.3.B Hak Ulayat Bersifat Komunal Ditinjau dari perspektif historis, sifat komunal dari tanah ulayat berawal dari perjuangan masyarakat hukum adat dalam mempertahankan, melindungi atau merebut kembali tanah air mereka secara bersama-sama dan gotong royong dari kekejaman program-program pembangunan yang datang dari kolonial Belanda.27 Maka tidaklah heran, apabila tanah ulayat itu memiliki nilai sama rasa dan sama rata terhadap anggota masyarakat hukum adatnya. Itu artinya bahwa hak ulayat ini bukanlah milik individu semata, tetapi hak ini dimiliki oleh banyak orang dalam satu kesatuan masyarakat hukum adat dengan nilai kuantitatif tersendiri. Hak ulayat ini tentunya berbeda dengan hak-hak lain seperti hak milik, hak guna usaha, hak pakai, maupun hak guna bangunan yang sejatinya bersifat individuil dan memberikan manfaat pada subjek pemegang hak atas tanah semata.28 Ciri komunal dari hak ulayat salah satunya dapat dilihat ketika mendaftarkan atau memetakan tanah ulayat yang tidak boleh dilakukan atas nama satu orang atau beberapa pihak saja, akan tetapi harus atas nama satu kesatuan masyarakat hukum adat. Konsekuensi logisnya adalah ketika hak ulayat ini dicabut, maka yang merasakan dampak negatifnya bukanlah orang perorangan saja, akan tetapi secara holistik akan memberikan dampak kepada seluruh penduduk masyarakat hukum adat pula. Salah satu contohnya adalah pencabutan hak ulayat di Nagari Mungo dimana ketika hak itu dicabut maka terdapat 9.090 Jiwa penduduk Nagari Mungo yang terancam tidak dapat berburu, tidak dapat meramu, bahkan kehilangan tempat tinggalnya.29 Maka pertanyaan besarnya adalah, apakah 9.090 jiwa tersebut bukan termasuk kepentingan umum pula? 2.3.C Pencabutan Hak Ulayat Merupakan Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Pada 29 Juni 2006 telah disepakati dalam Deklarasi PBB mengenai United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples bahwa masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya menjadi perhatian masyarakat internasional untuk dilindungi, diakui dan dipenuhi hak-hak asasinya. Hal ini sejalan dengan hukum positif di Indonesia yaitu Pasal 6 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa hak ulayat harus dilindungi karena sebagai bentuk hak asasi yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat untuk tetap hidup. Sangat disayangkan nyatanya pengakuan terhadap hak ulayat sebagai hak asasi hanya law in book saja. Alih-alih mengakui hak ulayat sebagai hak asasi, tindakan pemerintah yang mencabut hak ulayat justru melanggar hak asasi masyarakat hukum adat itu sendiri baik secara normatif maupun pada proses pencabutannya.Tak urung ketua KOMNAS HAM yang didukung oleh lapisan masyarakat lainnya melakukan unjuk rasa agar Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2005 segera dicabut karena dinilai melanggar hak asasi masyarakat hukum adat.30 Peraturan Pemerintah tersebut disalahgunakan untuk menjustifikasi oknum-oknum tertentu dalam melakukan pembangunan atas nama kepentingan umum secara sepihak. Padahal sejatinya definisi kepentingan umum itu sendiri saja masih tidak jelas, seperti kritik yang dikemukakan oleh Maria SW. Suwardjono yang dimuat dalam Kompas tanggal 16 Juni 2005 beliau menyatakan bahwa kepentingan umum yang dimaksud masih sangatlah abstrak, meskipun sejatinya mudah dipahami secara teoritis tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasikan. Lanjutnya, makna kepentingan umum saat ini menjadi justifikasi atas tindakan-tindakan pemerintah untuk menjalankan kebijakannya agar seolah-olah berorientasi pada kemaslahatan masyarakat luas, padahal sejatinya terdapat masyarakat lain yang dikorbankan, dalam hal ini adalah masyarakat hukum adat. Kekaburan definisi mengenai kepentingan umum ini sejatinya adalah bentuk ketidakpastian hukum yang nyata terjadi, karena tingkat fleksibilitas makna disalahgunakan oleh ini sangatlah oknum-oknum riskan dan pemerintah tingginya potensi untuk tertentu dengan dalih mengatasnamakan kepentingan umum. Padahal sejatinya kepastian hukum merupakan penjewantahan dari Hak Asasi Manusia yang paling fundamental yang direalisasikan dalam tujuan hukum. Dalam pencabutan hak ulayat, tidak jarang terjadi penolakan yang mengeluarkan banyaknya keringat dan darah yang mengucur dari arena konflik agraria karena nilai ganti rugi yang tidak sesuai, tidak ada relokasi, belum ada kata sepakat, dilakukan secara sewenang-wenang, dan pada akhirnya menyebabkan bentrokan antara aparat penegak hukum dan masyarakat yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan. Puncak dari otoritarianisme negara adalah melakukan penggunaan senjata dan alat kekerasan negara terhadap anggota masyarakat hukum adat, yang notabenenya adalah Warga Negara Indonesia pula. Salah satu contohnya adalah bentrok yang terjadi antara Suku Chaniago dan Polisi yang menyebabkan 20 orang luka-luka dari kedua belah pihak,31 selain itu ada pula bentrokan antara warga dan polisi di Padang Lawas karena yang mengakibatkan sembilan warga terkena tembakan dari polisi.32 III. PENUTUP Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengakui dan memberikan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya. Akan tetapi seiring berkembangnya suatu bangsa dan meningkatnya kebutuhan atas pembangunan, tak ayal eksistensi dari hak ulayat tersebut kembali dipertanyakan di Indonesia karena dihadapkan untuk memilih mempertahankan suatu hak tradisional masyarakat hukum adat ataukah justru memilih melakukan pembangunan untuk kepentingan umum. Pihak yang mendukung dicabutnya hak ulayat untuk kepentingan umum memiliki dua pijakan argumentasi yaitu : Pertama, kepentingan umum adalah suatu prioritas karena menyangkut khalayak banyak orang dan tidak perlu khawatir ketika dicabutnya suatu hak ulayat maka akan diakomodir juga kebutuhan dari masyarakat hukum adat. Selain itu hak ulayat tidaklah bersifat absolut, karena tanah ulayat berada dalam yurisdiksi Indonesia yang mana Negara selaku organisasi tertinggi memiliki hak dalam mengelola sumber daya alam berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sedangkan, pihak yang tidak mendukung dicabutnya hak ulayat memiliki tiga landasan argumentasi yaitu : Pertama, mengakui masyarakat hukum adat harus pula beserta mengakui hak ulayatnya, karena keduanya memiliki hubungan hukum yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, hak ulayat bersifat komunal, dimana ketika dicabut maka yang berpotensi dirugikan bukan perorangan saja, akan tetapi satu masyarakat hukum adat yang beribu-ribu jiwa jumlahnya. Ketiga, pencabutan hak ulayat adalah melanggar hak asasi masyarakat hukum adat untuk hidup bahkan dalam proses pencabutannya tak jarang banyak kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum kepada masyarakat hukum adat hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. 1 Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta : Bandung 1978, hal. 58 2 Maria S.W Sumardjono, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Pertanahan Jakarta : Departemen Hukum dan Ham RI 2009, hal. 87. 3 Ibid. 4 Amidhan, H.at.al, Dari Konflik Agraria ke Pengharapan Baru, Jakarta : Komnas HAM 2005, hal. 60. 5 Ibid., hal.3 6 Iswantoro, “Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional,” Jurnal Sosio-Religia Vol.10, No.1, (Febuari- Maret 2012), hal. 95. 7 Ilyas Ismail, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah, Bandung : Aulia Grafika 2011, hal. 36 8 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam hubungannya dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001, Jakarta : Universitas Trisaksi , 2003, hal.57-58 9 A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta : Grafiti Pers, 1986, hal.151-152 10 Indonesia, Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Undang-Undang No.2 Tahun 2012, LN. No.22 Tahun 2012, TLN No. 5280 11 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata, Jilid.II, Bag.3, Semarang : CV. Loka Cipta, 1965 hal.288. 12 Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Jakarta : Alumni, 2006 hal. 124 13 Indonesia, Pembukaan UUD 1945, Alinea-4 14 P. Hutabarat, “Pengaruh Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Eknomi,” (Studi pada kabupaten dan Kota di Sumatra Utara), skripsi sarjana Universitas Sumatra Utara, 2009, hlm.1 15 Raa, “Kasus Penyerobotan Tanah di Kuta Gajah, Poldasu Minta Polres Langkat Tindak Lanjuti Pengaduan Masyarakat” http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=24141, diakses pada 13 Mei 2015 16 Arjuna Pademme,”Papua Emas Ada Di Sma Negeri Khusus Olahraga Papua” http://tabloidjubi.com/2013/12/06/papua-emas-ada-di-sma-negeri-khusus-olahraga-papua/ , diakses pada 11 Mei 2015. 17 Unknown “Dampak Pembangunan Bandara Internasional Tanah Awu”, skripsi Sarjana Institut Teknologi Semarang, 2010, hlm.1 18 Laurel Benny, “Terbentur Adat, Pembangungan Gedung Kemenkui di Manokwari Mangkrak” http://www.merdeka.com/peristiwa/terbentur-adat-pembangunan-gedung-kemenkeudi-manokwari-mangkrak.html, diakses pada 11 Mei 2015. 19 Hal. 334 Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 20 Mahdi, Kedudukan Tanah Adat Dewasa ini, Kertas Kerja pada Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa ini, hal.23 21 Abdurrahman, op.cit., hlm.61 22 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung : Alumni1981, hal. 27 23 Iswantoro, op.cit., hlm.94. 24 Barend ter Har terjemahan Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en stelsel van het Adatrecht), Jakarta : Pradnya Paramita, hal.56 25 Harsono, op.cit., hlm.57-58 26 Yayasan Kemala dan Ford Foundation,Tanah Masih di Langit : Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi, Jakarta : Yayasan Kemala, 2005, hlm.12 27 Ruchiyat, op.cit, hlm.41 28 Erica Harper, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation : Perlindungan Hak-Hak Warga Sipil dalam Situasi Bencana , Jakarta : Grasindo, 2009 hlm. 314 29 Admin, “Profil Nagari Mungo” http://nagarimungo.blogspot.com/ , diakses pada 12 Mei 2015. 30 Hatta, op.cit., hlm.154 31 Denni Risman, “Eksekusi Tanah Ulayat di Padang Ricuh” http://news.liputan6.com/read/57178/eksekusi-tanah-ulayat-di-padang-ricuh , diakses pada 12 Mei 2015 Laksono Hari, “Bentrok Warga dan Polisi Terkait Sengketa Tanah Ulayat” http://nasional.kompas.com/read/2013/03/23/21511843/Bentrok.Warga.dan.Polisi.Terkait.Sengket a.Tanah.Ulayat , diakses pada 12 Mei 2015. 32 Daftar Pustaka Abdurrahman. Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia. Bandung : Alumni, 1978 Adiwinata, Saleh. Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA,Cet.ke-1. Bandung : Alumni, 1975. Amidhan, H.at.al. Dari Konflik Agraria ke Pengharapan Baru, Jakarta : Komnas HAM, 2005. Arif, Saiful. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Barend ter Har terjemahan Soebakti Poesponoto. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en stelsel van het Adatrecht). Jakarta : Pradnya Paramita, 1985. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Nasional : Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Jakarta : Djambatan, 1994. __________,Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam hubungannya dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001. Jakarta : Universitas Trisaksi, 2003. __________,Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Jambatan, 2003 Gautama, Sudargo. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni, 1981. Harper, Erica. International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation : Perlindungan Hak-Hak Warga Sipil dalam Situasi Bencana. Jakarta : Grasindo, 2009. Hutabarat, P. “Pengaruh Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Eknomi,” (Studi pada kabupaten dan Kota di Sumatra Utara) Skripsi Sarjana Universitas Sumatra Utara, 2009. Ismail, Ilyas. Konsepsi Hak Garap Atas Tanah. Bandung : Aulia Grafika, 2011 Iswantoro. “Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional.” Jurnal Sosio-Religia Vol.10, No.1, (Febuari- Maret 2012). Kalo, Syafruddin. Pengadaan Tanah Bagi Pembanguna untuk Keluarnya UUPA, Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Kepentingan Umum. Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004. Kasim, Ifdhal, dan Suhendar. Kebijakan Pertanahan Orde Baru : Mengabaikan Keadilan Demi Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta : Sinar Harapan, 1997. Ko Tjay Sing. Hukum Perdata, Jilid.II, Bag.3. Semarang : CV. Loka Cipta 1965. Mahdi. Kedudukan Tanah Adat Dewasa ini. Kertas Kerja pada Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa ini. Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers, 1986. Perangin, Efendi. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum. Jakarta. CV Rajawali, 1983. Perlindungan, A.P. Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Bandung : Mandar Maju, 1998. Rubaie, Achmad. Politik Hukum Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang : Bayu Media Publishing, 2006. Ruchiyat, Eddy. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Jakarta : Alumni, 2006. Tauchid, Mochammad. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Jakarta : Tjakrawala, 1952. Soetiknjo, Imam. Politik Hukum Agraria Nasional. Yogyakarta : BP.UGM, 1990. Sumardjono, Maria S.W. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Pertanahan. Jakarta : Departemen Hukum dan Ham RI, 2009. Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria. Jakarta : Insets Pers, 2000. Yayasan Kemala dan Ford Foundation. Tanah Masih di Langit : Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi. Jakarta : Yayasan Kemala, 2005.