BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber

advertisement
 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki sebuah
perusahaan. Pada praktiknya, perusahaan sering melupakan hakikat sumber daya
manusia sebagai aset bergerak perusahaan. Sumber daya manusia dapat hilang
apabila tidak dijaga dengan baik akibat berpindah ke perusahaan lain. Fenomena
keluarnya karyawan dari perusahaannya dikenal dengan nama voluntary turnover.
Voluntary turnover bersifat merugikan, karena berpotensi menimbulkan banyak
biaya dan konsekuensi bagi perusahaan. Biaya tersebut ditimbulkan dari usaha
perusahaan untuk kembali merekrut orang-orang baru yang memiliki kompetensi
yang serupa bahkan lebih baik dari karyawan keluar (Mobley, 1982). Hal ini
didukung oleh Thomas (2009) yang menyebutkan bahwa voluntary turnover
karyawan sangat merugikan, karena keluarnya karyawan, secara tidak langsung
memiliki pengaruh negatif terhadap produktivitas perusahaan.
Robbins (1996) dalam Thomas (2009), menjelaskan pada dasarnya actual turnover
terdiri dari dua jenis, yakni turnover yang dapat terjadi tidak secara sukarela
(involuntary turnover) maupun secara sukarela (voluntary turnover). Involuntary
Turnover menggambarkan keputusan perusahaan untuk memecat dan menghentikan
16 hubungan kerja dengan karyawannya. Umumnya, involuntary turnover terjadi karena
penurunan profit perusahaan, pergantian orang-orang di bagian top level
management, dan lain-lain. Sedangkan, voluntary turnover merujuk kepada
keputusan karyawan untuk keluar dari perusahaannya secara sukarela. Voluntary
Turnover dapat terjadi akibat berbagai alasan, seperti ketidaksukaan karyawan kepada
atasan, ketidakmampuan karyawan untuk beradaptasi dengan budaya perusahaan, dan
karena ketertarikan karyawan pada perusahaan lain yang menawarkan berbagai
kelebihan yang mungkin karyawan tersebut cari dari sebuah pekerjaan (Thomas,
2009).
Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan perusahaan guna mengendalikan tingkat
involuntary turnover, namun justru fenomena voluntary turnover yang tidak dapat
dihindarkan, karena terjadi di luar kendali perusahaan dan berkaitan dengan perilaku
individu. Fenomena voluntary turnover dapat merugikan perusahaan yang
ditinggalkan, karena secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh pada
produktivitas perusahaan dan rencana jangka panjang perusahaan (Thomas, 2009).
Walaupun ada anggapan yang menilai bahwa tingkat voluntary turnover tertentu
merupakan hal yang sehat dan harus dihadapi sebuah perusahaan, karena adanya
orang-orang baru yang menggantikan karyawan keluar dapat memberikan ide baru
bagi organisasi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa voluntary turnover yang tinggi
mengindikasikan banyak karyawan yang merasa tidak puas dengan organisasi.
17 Peristiwa voluntary turnover tidak terjadi seketika, melainkan melalui gejala-gejala
berupa keinginan implisit karyawan untuk berpindah ke perusahaan lain (Becker,
1960). Keinginan implisit karyawan untuk berpindah, dikenal dengan nama turnover
intentions. Turnover intentions umumnya menjadi salah satu pilihan terakhir seorang
karyawan bila ia mendapati kondisi kerjanya sudah tidak lagi sesuai dengan apa yang
ia harapkan. Jika seorang karyawan mulai berpikir untuk keluar dari pekerjaannya, ia
akan mempertimbangkan peluang-peluang pekerjaan lain dan mulai aktif mencari
pekerjaan baru. Melihat hal ini, maka penelitian lebih ditekankan pada turnover
intentions, dan bukan voluntary turnover semata, mengingat voluntary turnover
diawali oleh adanya turnover intentions.
Beberapa penelitian mengungkapkan terdapat beberapa faktor yang menimbulkan
terjadinya turnover intentions, yakni job satisfaction, pay satisfaction, dan komitmen
organisasional.
Telah banyak penelitian yang menghubungkan pengaruh job satisfaction terhadap
turnover intentions (Mobley et al., 1979; Mowday & Steers, 2004). Dalam
penelitian yang dilakukan Mobley et al., (1979); Porter dan Steers (1981), tentang
pengaruh job satisfaction dan komitmen organisasional pada voluntary turnover,
ditemukan bahwa job satisfaction berpengaruh negatif pada voluntary turnover, di
mana pada saat yang sama komitmen organisasional berpengaruh negatif secara
signifikan pada voluntary turnover. Banyak peneliti telah melakukan penelitian
tentang job satisfaction sebagai salah satu variabel dari faktor penyebab voluntary
18 turnover. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa job satisfaction hanya
berkontribusi sebesar 16 persen pada variance dalam voluntary turnover (Porter &
Steers, 1981; Mobley et al., 1979).
Pay satisfaction ditenggarai sebagai salah satu pendorong terjadinya turnover
intentions.
Menurut
Henemand
dan
Judge
(2000)
dalam
Tremblay
dan
Vandenberghe, (2008), terdapat berbagai reward yang diberikan oleh organisasi
sebagai balasan atas kontribusi karyawan untuk bekerja guna mencapai tujuan
perusahaan. Salah satu reward yang dianggap penting adalah pemberian upah (pay)
kepada karyawan terhadap kontribusinya di dalam perusahaan. Terdapat empat faktor
yang berpengaruh pada pay satisfaction. Keempat hal tersebut adalah pay level, pay
structure, benefits, dan pay raises (Tremblay & Vandenberghe, 2008).
Telah banyak penelitian mengenai pay satisfaction dan turnover intentions.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wiener (1980), pay satisfaction merupakan
alat prediksi yang tepat untuk memprediksi turnover intentions dan actual turnover.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tremblay dan Vandenberghe (2008), mengenai
peran pay satisfaction dan komitmen organisasional dalam turnover intentions,
didapatkan bahwa turnover intentions memiliki hubungan yang lebih signifikan pada
komitmen organisasional daripada pay satisfaction.
Allen dan meyer (1991) menyatakan dua kesamaan dalam hal komitmen
organisasional. Kesamaan pertama adalah semua definisi komitmen organisasional
19 yang pernah ada pada penelitian terdahulu merujuk pada pernyataan psikologikal
yang menggambarkan hubungan karyawan dengan organisasinya. Persamaan kedua
adalah komitmen organisasional memiliki implikasi dalam keputusan karyawan
untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan keanggotaannya di dalam organisasi.
Dalam sebuah penelitian, Allen dan meyer (1991) mendefinisikan tiga komponen
komitmen organisasional, yakni;
- Komitmen afektif
Komitmen afektif terbentuk melalui proses panjang. Proses ini diawali dari harapan
seorang karyawan untuk terus bekerja pada organisasi yang menawarkan lingkungan
kerja dan pengalaman kerja positif. Apabila karyawan telah mendapatkan
lingkungan kerja dan pengalaman kerja yang ia inginkan dalam suatu organisasi,
maka untuk tetap berada pada organisasi tersebut, ia akan berusaha memberikan
kontribusi pada organisasinya dan menjaga hubungan baik dengan organisasi
tersebut. Proses interaksi antara karyawan dengan organisasinya menyebabkan
pertukaran nilai yang menciptakan ikatan emosional antara karyawan dengan
organisasinya. Dalam proses ini, komitmen afektif seorang karyawan terbentuk.
Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja pada suatu
perusahaan karena ia menginginkannya. Keinginan untuk tetap tinggal tergambar
dari kontribusi karyawan pada organisasinya. Hal ini memunculkan komitmen
afektif dan secara otomatis, akan menurunkan tingkat turnover intentions.
20 - Komitmen continuance
Komitmen continuance menggambarkan keinginan seorang karyawan untuk tetap
bertahan pada organisasinya karena ia merasa perlu untuk tinggal dikarenakan
terdapat “investasi” yang pernah ia buat dalam organisasinya. Karenanya komitmen
continuance merupakan komitmen berdasarkan persepsi karyawan tentang
keuntungan dan kerugian yang akan dihadapi jika ia meninggalkan organisasi.
Komitmen continuance terbentuk dari dua faktor pendorong, yakni investasi dan
alternatif pekerjaan lain. Komitmen continuance merupakan hasil dari berbagai
bentuk “pertaruhan” yang dilakukan seorang karyawan demi organisasi tempatnya
bekerja. Seorang karyawan akan mempertaruhkan banyak hal yang menurutnya
berharga, seperti waktu, usaha, dan materi sebagai bentuk investasinya pada
perusahaan untuk mendapatkan tujuan tertentu pada pekerjaannya. Dalam proses
investasi tersebut, akan terbentuk komitmen continuance dalam diri karyawan.
Karyawan yang memiliki tingkat komitmen continuance yang tinggi akan
beranggapan,
bahwa
meninggalkan
organisasi
akan
menyebabkan
dirinya
kehilangan waktu, usaha, materi, dan hal berharga lain yang telah ia berikan pada
organisasi. Sehingga semakin tinggi tingkat komitmen continuance akan semakin
menurunkan tingkat turnover intentions. Penyebab lain dari timbulnya komitmen
continuance adalah persepsi karyawan akan alternatif pekerjaan lain. Seorang
karyawan yang berpikir bahwa ia memiliki lebih banyak pekerjaan alternatif lain
21 akan memiliki komitmen continuance yang lebih rendah dibandingkan karyawan
yang memiliki alternatif pekerjaan lebih sedikit.
- Komitmen normatif
Komitmen normatif menciptakan ikatan antara karyawan dengan organisasinya,
karena karyawan tersebut merasa wajib untuk tetap tinggal dalam organisasi tersebut.
Komitmen ini dipengaruhi faktor kewajiban dan nilai-nilai personal individu.
Komponen komitmen normatif berisi persepsi karyawan tentang kewajiban yang
harus ia berikan kepada organisasi. Terdapat beberapa penyebab timbulnya komitmen
normatif dalam diri seorang karyawan. Penyebab pertama, komitmen normatif timbul
saat seorang karyawan merasa perusahaan tempatnya bekerja telah berbuat banyak
kebaikan, sehingga ia merasa berhutang kepada perusahaan. Hal ini mendorong
karyawan untuk bersikap loyal pada perusahaan sampai ia merasa hutangnya pada
perusahaan telah terbayarkan dengan kontribusi yang telah ia lakukan pada
perusahaan. Penyebab kedua, komitmen normatif timbul dari proses yang panjang
yang diawali dari adanya berbagai macam tekanan yang dirasakan seorang karyawan
selama ia bersosialisasi di berbagai tempat (keluarga, lingkungan, maupun tempat
kerja). Pengalaman sosialisasi tersebut sangat beragam dan mengajarkannya berbagai
hal tentang perilaku yang patut maupun tidak patut dilakukan. Proses ini dikenal
dengan nama internalisasi. Melalui internalisasi, seorang karyawan belajar mengenai
berbagai nilai dan menyadari apa yang organisasinya harapkan dari karyawan
tersebut. Hal ini menciptakan persepsi karyawan mengenai arti loyalitas pada
22 organisasi dan memunculkan rasa tanggung jawab seorang karyawan pada
organisasinya. Semakin tinggi rasa tanggung jawab dan loyalitas karyawan pada
organisasinya, yang merupakan pertanda tingginya tingkat komitmen normatif
karyawan tersebut, akan menyebaban semakin rendah keinginan karyawan keluar dari
pekerjaannya (turnover intentions).
Dari beberapa faktor penyebab turnover intentions, dapat disimpulkan komitmen
organisasional adalah faktor dominan yang menyebabkan terjadinya turnover
intentions. Hal ini didukung banyaknya penelitian, yang menjelaskan hubungan
negatif antara komitmen organisasional pada turnover intentions (Allen & Meyer,
1991; Blau & Boal, 1987). Blau dan Boal (1987) dalam penelitiannya menemukan
semakin tinggi tingkat komitmen yang dimiliki oleh seorang karyawan, maka
semakin rendah tingkat absensi dan turnover intentions dari karyawan tersebut.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, peneliti melihat adanya fenomena yang
berkaitan antara komitmen organisasional dan turnover intentions pada organisasi.
Karyawan yang tidak memiliki komitmen dengan organisasinya dikhawatirkan akan
memiliki turnover intentions yang tinggi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
meneliti hubungan antara komitmen organisasional dan turnover intentions.
Terbatasnya penelitian tentang pengaruh komitmen organisasional pada turnover
intentions, terutama di Indonesia menyebabkan fenomena ini menarik untuk diteliti.
23 1.2.
Perumusan Masalah
Tingkat voluntary turnover yang tinggi dialami berbagai negara di Asia Pasifik,
termasuk juga Indonesia (Ruhanen, 2009). Berdasarkan analisa yang dilakukan
CompData Surveys, perusahaan consulting services di Amerika, negara-negara Asia
Pasifik mengalami peningkatan tingkat voluntary turnover trend semenjak tahun
2011. Di mana, pada tahun 2011 tingkat voluntary turnover berada pada persentase
9,1%, dan pada tahun 2012 meningkat, menjadi 9,8%, serta pada tahun 2013
mencapai angka 9,4% dengan persentase tertinggi diberikan pada industri hospitality
sebesar 18,2%. Berdasarkan data yang didapat dari jurnal yang diterbitkan oleh
Tower Watson, perusahaan consulting multinasional, pada tahun 2012 jumlah
voluntary turnover di Indonesia cenderung tinggi, mencapai angka 20,35%. Angka
tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan tingkat voluntary turnover secara global
yang hanya mencapai 8,24%. Menurut penelitian tersebut, voluntary turnover di
Indonesia umumnya terjadi akibat ketidakcocokan dengan basic salary, hubungan
dengan rekan kerja yang tidak harmonis, lokasi kerja yang sulit dijangkau, dan
adanya kesempatan berkarir yang lebih baik di tempat lain. Hasil yang tidak jauh
berbeda juga ditemukan Hay Group co.ltd, perusahaan konsultasi manajemen
internasional, bahwa taksiran tingkat voluntary turnover di Indonesia pada tahun
2013 mencapai angka 25,8%, di mana Indonesia menjadi negara dengan tingkat
voluntary turnover tertinggi nomor 3 di dunia, setelah India (26,9%) dan Rusia
(26,8%).
24 Industri Hospitality diidentifikasi sebagai industri dengan tingkat voluntary turnover
tertinggi di Amerika, Australia, dan negara-negara di Asia Pasifik (National
Restaurant Association, 2014; Ruhanen, 2009; CompData Surveys, 2013). Menurut
CompData Surveys (2013), secara global, voluntary turnover pada industri hospitality
menempati urutan tertinggi sebesar 18,2% pada tahun 2013.
Yogyakarta, sebagai salah satu kota dengan jumlah kunjungan wisatawan lokal dan
mancanegara terbanyak di Indonesia telah menjadi kota dengan tingkat pertumbuhan
pariwisata yang meningkat setiap tahunnya. Tingkat pertumbuhan itu dapat dilihat
dari jumlah tamu hotel bintang dan non-bintang per harinya, seperti yang terdapat
pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Jumlah Tamu Hotel Bintang dan Non-bintang per hari di Yogyakarta
No
Tahun
1
2
3
4
5
Tamu Per Hari
Hotel Bintang
Hotel Non-Bintang
2009
6.188
1.986
2010
2011
2012
2013
6.051
5.258
6.303
5.717
3.072
3.286
3.112
4.219
Jumlah
8.174
9.123
8.544
9.415
9.936
Sumber: Badan Pusat Statistik D.I. Yogyakarta, 2014
Peningkatan jumlah tamu menginap di hotel bintang dan non-bintang di Yogyakarta
per tahunnya juga dibarengi oleh pembangunan hotel bintang yang terus bertambah.
Seperti yang dilihat pada Tabel 1.2.
25 Tabel 1.2
Jumlah Hotel Bintang di Yogyakarta
No
Tahun
Jumlah Hotel Bintang
1
2
3
4
5
2004
2006
2008
2010
2012
36
37
34
36
84
Sumber: Badan Pusat Statistik D.I. Yogyakarta, 2014
Dapat dilihat pada Tabel 1.2, terjadi peningkatan jumlah hotel bintang di Yogyakarta
selama delapan tahun terakhir, di mana jumlah hotel bintang didominasi hotel bintang
satu dan dua, yakni berturut-turut sebanyak 35 dan 34 hotel di tahun 2014.
Tingginya tingkat voluntary turnover pada sektor hiospitality di berbagai negara
ditenggarai terjadi karena rendahnya komitmen organisasional karyawan. Hal ini
didukung oleh penelitian Buciuniene et al., (2006) pada 346 karyawan hotel di
Lithuania. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa karyawan hotel memiliki turnover
intentions yang cenderung tinggi, di mana hanya terdapat 16% dari total responden
yang masih bekerja pada hotel yang sama selama lebih dari 3 tahun. Pada penelitian
ini juga ditemukan bahwa komitmen organisasional karyawan hotel tergolong rendah,
di mana komitmen organisasional karyawan hanya berkisar pada skala 5,1
(berdasarkan skala 1 hingga 10), dengan skala komitmen tertinggi ada pada
komponen komitmen afektif. Namun, keterbatasan penelitian ini adalah tidak
26 diujikannya komponen komitmen normatif sehingga tidak diketahui sejauh mana
kontribusi komitmen normatif pada turnover intentions. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Eng dan Kumar (2012) pada karyawan hotel di Malaysia juga
ditemukan bahwa komitmen organisasional yang rendah berpengaruh pada tingginya
tingkat turnover intentions pada karyawan hotel, namun sayangnya penelitian ini
tidak membahas pengaruh masing-masing komponen komitmen (afektif, normatif,
dan continuance) pada turnover intentions. Tingginya tingkat turnover intentions
menurut Ruhanen (2009) terjadi karena sektor hospitality memiliki kisaran gaji yang
tergolong rendah dibandingkan industri lain, kondisi kerja yang tidak nyaman, dan
jenjang karir yang tidak jelas.
Melihat tingginya tingkat actual turnover di Indonesia, terutama pada sektor
hospitality dan mengingat masih sedikitnya penelitian mengenai pengaruh masingmasing komponen komitmen organisasional pada turnover intentions di hotel bintang
satu dan dan di Indonesia, terutama di Yogyakarta sebagai salah satu destinasi
pariwisata, maka penelitian ini mengambil setting pada hotel bintang satu dan dua di
Yogyakarta, dengan sampel karyawan di semua posisi dan level organisasi. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh komitmen afektif, continuance, dan
normatif terhadap turnover intentions pada perusahaan yang bergerak di sektor
hospitality, secara khusus hotel bintang satu dan dua di Yogyakarta.
27 1.3.
Pertanyaan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti pengaruh komitmen afektif, continuance,
dan normatif terhadap turnover intentions pada perusahaan yang bergerak di sektor
hospitality, secara khusus hotel bintang satu dan dua di Yogyakarta, sehingga
pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Apakah komitmen afektif berpengaruh pada turnover intentions?
2.
Apakah komitmen continuance berpengaruh pada turnover intentions?
3.
Apakah komitmen normatif berpengaruh pada turnover intentions?
1.4.
Lingkup Penelitian dan Batasan
Maksud penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh dari komitmen
afektif, continuance, dan normatif pada turnover intentions karyawan perusahaan
yang bergerak di sektor hospitality yang terkenal memiliki tingkat voluntary turnover
karyawan yang tinggi, karena itu populasi dari penelitian ini adalah karyawan di hotel
bintang satu dan dua di Yogyakarta sebagai kota tujuan pariwisata. Sampel dari
penelitian ini, difokuskan pada karyawan hotel bintang satu dan dua di Yogyakarta
yang telah bekerja pada hotel yang bersangkutan selama minimal satu tahun. Pada
penelitian ini, jumlah responden adalah lebih dari 30 sampel namun kurang dari 500
sampel.
28 1.5.
Tujuan Penulisan
Tujuan utama yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh komitmen afektif pada turnover intentions.
2. Menganalisis pengaruh komitmen continuance pada turnover intentions.
3. Menganalisis pengaruh komitmen normatif pada turnover intentions.
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharap dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.6.1. Manfaat bagi hotel bintang satu dan dua di Yogyakarta:
Bagi hotel bintang satu dan dua di Yogyakarta, hasil penelitian diharapkan menjadi
masukan bagi pihak manajemen hotel dalam membuat kebijakan yang tepat sasaran
bagi karyawan, guna meningkatkan komitmen organisasional (afektif, normatif, dan
continuance) dan menurunkan tingkat turnover intentions.
29 
Download