BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Theory of Planned Behavior

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Theory of Planned Behavior
Theory of planned behavior pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada
tahun 1980 (Jogiyanto, 2007). Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar
bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan
segala informasi yang tersedia. Dalam teori ini, Ajzen (2005) dalam Jogiyanto
(2007) menyatakan bahwa seseorang dapat melakukan atau tidak melakukan suatu
perilaku tergantung dari niat yang dimiliki oleh orang tersebut. Lebih lanjut,
Ajzen (2005) dalam Jogiyanto (2007) mengemukakan bahwa niat melakukan atau
tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar yakni
perilaku yang berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan perilaku
yang
berhubungan
norma
subjektif
(subjective
norms).
Dalam
upaya
mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk
dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen (2005) melengkapi teori ini
dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakannya bahwa sikap berasal dari keyakinan
terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari
keyakinan normatif (normative beliefs). Secara skematik, teori dapat digambarkan
dalam Gambar 2.1.
9
10
Gambar 2.1. Konsep Theory Of Planned Behavior
Sumber : Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Jogiyanto (2007)
Model teoritik dari Teori Planned Behavior (perilaku yang direncanakan)
mengandung berbagai variabel yaitu:
1) Latar belakang (background factors). Faktor latar belakang pada dasarnya
adalah sifat yang hadir di dalam diri seseorang. Dalam kategori ini Ajzen
(2005) dalam Jogiyanto (2007), memasukkan tiga faktor latar belakang yakni
personal, sosial, dan informasi.
2) Keyakinan perilaku (behavioral belief). Hal-hal yang diyakini oleh individu
mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku
atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif terhadap suatu perilaku,
dalam bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut.
3) Keyakinan normatif (normative beliefs). Variabel ini berkaitan langsung
dengan pengaruh lingkungan. Menurut Ajzen (2005) dalam Jogiyanto (2007),
faktor lingkungan sosial khususnya orang-orang yang berpengaruh bagi
kehidupan individu (significant others) dapat mempengaruhi keputusan
individu.
11
4) Norma subjektif (subjective norm) yakni sejauh mana seseorang memiliki
motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan
dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa itu adalah hak
pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan
oleh orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang
tentang perilaku yang akan dilakukannya.
5) Keyakinan dari dalam diri individu yang dapat ditentukan oleh ketersediaan
waktu untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya fasilitas untuk
melaksanakannya, memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan
yang menghambat pelaksanaan perilaku, pengetahuan, ketrampilan, dan
pengalaman.
6) Persepsi kemampuan mengontrol tingkah laku (perceived behavioral control)
yakni kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak
melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu
memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau dia
memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari
orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya.
Menurut Theory of Planned Behavior, seseorang dapat bertindak
berdasarkan intensi atau niatnya hanya jika ia memiliki kontrol terhadap
perilakunya (Ajzen, 2005 dalam Jogiyanto, 2007). Teori ini tidak hanya
menekankan pada rasionalitas dari tingkah laku manusia, tetapi juga pada
keyakinan bahwa target tingkah laku berada di bawah kontrol kesadaran individu
12
tersebut atau suatu tingkah laku tidak hanya bergantung pada atensi seseorang,
melainkan juga pada faktor lain yang tidak ada dibawah kontrol dari individu,
misalnya ketersediaan sumber dan kesempatan untuk menampilkan tingkah laku
tersebut (Ajzen, 2005 dalam Jogiyanto, 2007).
2.2. Teori Kepatuhan (Complience Theory)
Menurut Talcot Parsons dalam Ardani (2010), kepatuhan terhadap suatu
sistem aturan berkonsekuensi pada interaksi-interaksi sosial yang berjalan dengan
baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik-konflik yang terbuka ataupun
terselubung dalam keadaan kronis. Menurut Bierstedt dalam Ardani (2010), dasardasar kepatuhan adalah :
1) Indoctrination
Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah adalah
karena dia diindoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik
agar mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana
halnya dengan unsur-unsur kebudayan lainnya, dan semula menerimanya secara
tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia dididik untuk mengenal,
mengetahui serta mematuhi kaedah-kaedah tersebut.
2) Habituation
Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan
menjadi suatu kebiasan untuk mematuhi kedah-kaedah yang berlaku. Memang
pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaedah-kaedah tadi yang
seolah-olah mengekang kebebasan, tetapi apabila hal itu setiap hari ditemui, maka
13
lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila
manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatannya dengan bentuk dan cara
yang sama.
3) Utility
Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan
teratur,tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang belum tentu pantas dan
teratur bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang
kepantasan dan keteraturan. Patokan-patokan tadi merupakan pedoman-pedoman
atau takaran-takaran tentang tingkah laku yang dinamakan kaedah. Dengan
demikian maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat pada kaedah
karena kegunaan dari pada kaedah tersebut. Manusia menyadari, bahwa kalau dia
hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan kaedah-kaedah.
4) Group Identification
Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah adalah karena
kepatuhan merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan
kelompok. Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam kelompoknya
bukan bukan karena ia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompokkelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan
kelompoknya tadi. Menurut Merton dalam Ardani (2010), seseorang kadangkadang mematuhi kaedah-kaedah kelompok lain karena ingin mengadakan
identifikasi dengan kelompok lain tersebut.
14
Di samping teori-teori tersebut, ada juga teori dalam sosiologi yang
memberikan jawaban terhadap pertanyaan “mengapa orang itu mematuhi hukum”
yang disampaikan oleh Schuyt dalam Ardani (2010) yaitu:
1) Kepatuhan tersebut dipaksakan oleh sanksi (Teori Paksaan).
2) Kepatuhan tersebut diberikan atas dasar persetujuan yang diberikan oleh para
anggota masyarakat terhadap hukum yang diperlakukan untuk mereka (Teori
Persetujuan).
Adanya sanksi menurut Sudarto dalam Ardani (2010) adalah agar norma
hukum dapat dipatuhi oleh masyarakat, sedangkan sanksi tersebut bisa bersifat
negatip bagi mereka yang menyimpang dari norma, akan tetapi juga bisa bersifat
positip bagi yang mentaatinya.
2.3. Teori Persepsi
Robbins (2006) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang digunakan
individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka
memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian, apa yang
dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif. Menurut
Daviddof (1976) dalam Robbins (2006), persepsi adalah suatu proses yang dilalui
oleh suatu stimulus yang diterima panca indera yang kemudian diorganisasikan
dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari yang diinderanya itu. Atkinson
dan Hilgard (2003) dalam Robbins (2006) mengemukakan bahwa persepsi adalah
proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam
lingkungan. Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap
15
stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke
dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses
yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi.
Menurut Walgito (2004), proses terjadinya persepsi tergantung dari
pengalaman masa lalu dan pendidikan yang diperoleh individu. Proses
pembentukan persepsi dijelaskan oleh Atkinson dan Hilgard (2003) dalam
Robbins (2006) sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan
adanya stimulus. Setelah mendapat stimulus, pada tahap selanjutnya terjadi
seleksi yang berinteraksi dengan interpretation, begitu juga berinteraksi dengan
closure. Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka
akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap
penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan
disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan
interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna
terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.
Persepsi positif maupun negatif ibarat file yang sudah tersimpan rapi di
dalam alam pikiran bawah sadar manusia. File itu akan segera muncul ketika ada
stimulus yang memicunya atau ada kejadian yang membukanya. Persepsi
merupakan hasil kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi
di sekitarnya (Waidi, 2006: 118).
Menurut Sunaryo (2004: 98), syarat-syarat terjadinya persepsi adalah:
1) Adanya objek yang dipersepsi.
16
2) Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan
dalam mengadakan persepsi.
3) Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus.
4) Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang
kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.
Menurut Notoatmodjo (2007), ada banyak faktor yang akan menyebabkan
stimulus masuk dalam rentang perhatian seseorang. Faktor tersebut dibagi
menjadi dua bagian besar yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal adalah faktor yang melekat pada objeknya, sedangkan faktor internal
adalah faktor yang terdapat pada orang yang mempersepsikan stimulus tersebut.
1) Faktor eksternal yakni:
(1) Kontras berupa warna, ukuran, bentuk atau gerakan.
(2) Perubahan intensitas suara yang berubah dari pelan menjadi keras, atau
cahaya yang berubah dengan intensitas tinggi akan menarik perhatian
seseorang.
(3) Pengulangan (repetition). Dengan pengulangan, walaupun pada mulanya
stimulus tersebut tidak termasuk dalam rentang perhatian kita, maka akan
mendapat perhatian kita.
(4) Sesuatu yang baru (novelty). Suatu stimulus yang baru akan lebih menarik
perhatian kita daripada sesuatu yang telah kita ketahui.
(5) Sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak.
17
2) Faktor internal yakni:
(1) Pengalaman atau pengetahuan.
(2) Harapan (expectation).
(3) Kebutuhan.
(4) Motivasi.
(5) Emosi.
(6) Budaya.
Menurut Sunaryo (2004), proses terbentuknya persepsi terdiri dari tiga
tahapan yakni:
1) Proses Fisik
Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu objek
yang menimbulkan stimulus/rangsangan yang hadir dari lingkungan dan
mengenai alat indra atau reseptor.
2) Proses Fisiologis
Dalam proses fisiologis, alat indra yang menerima stimulus mengirimkanya
ke otak untuk didaftarkan sebagai sebuah informasi.
3) Proses Psikologis
Proses psikologis adalah proses yang terjadi dalam otak sehingga individu
menyadari keberadaan stimulus tersebut.
18
2.4. Pajak
2.4.1. Pengertian pajak
Mardiasmo (2011:1) menuliskan pengertian pajak yakni iuran rakyat
kepada
kas
negara
berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Sedangkan menurut Waluyo (2009:2), pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dipaksakan) yang terutang
oleh
yang
wajib
membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
untuk
membiayai
yang
gunanya
adalah
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Dari dua definisi tesebut, terdapat persamaan prinsip mengenai pajak
dalam hal unsur-unsur sebagai berikut:
1) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang.
2) Tidak ada timbal jasa (kontraprestasi) secara langsung.
3) Dapat dipaksakan.
4) Hasilnya untuk membiayai pembangunan.
2.4.2. Fungsi pajak
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang mempunyai dua fungsi
(Mardiasmo, 2011:1) yaitu :
19
1) Fungsi
anggaran
(budgetair)
sebagai
sumber
dana
bagi pemerintah,
untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2) Fungsi
mengatur
(regulerend)
sebagai
alat
pengatur
atau
melaksanakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.
2.4.3. Sistem pemungutan pajak
Sistem
pemungutan
pajak
dapat
dibagi
menjadi
tiga
sistem
(Mardiasmo, 2011: 7) yaitu sebagai berikut :
1) Official Assessment system yakni suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak.
2) Self Assessment System yakni suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang
sepenuhnya
kepada
wajib
pajak
untuk
menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
3) With Holding System yakni suatu sistem pemungutan
yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak.
2.4.4. Pajak daerah
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 1 tahun 2012
tentang Pajak Hotel, pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
20
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Salah satu jenis pajak daerah sesuai dengan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah pajak hotel. Menurut ketentuan Pasal 1
angka 6 Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 1 Tahun 2012, pajak
hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh Hotel yangmana dalam
Pasal 1 angka 7, dituliskan definisi hotel yakni fasilitas penyedia jasa penginapan/
peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran yang
mencakup
juga
motel,
losmen,
gubuk
pariwisata,
wisma
pariwisata,
pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari sepuluh.
2.4.5. Wajib pajak
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan mendefinisikan wajib pajak adalah orang
pribadi
atau
badan, meliputi
pembayar
pajak,
pemotong
pajak,
dan
pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. orang pribadi
merupakan subjek pajak yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia.
Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak
Hotel mengatur bahwa definisi wajib pajak hotel yakni orang pribadi atau badan,
meliputi pembayaran pajak hotel, pemotongan pajak hotel, dan pemungutan pajak
21
hotel, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan perpajakan daerah.
2.5. Kepatuhan Wajib Pajak
2.5.1. Definisi kepatuhan wajib pajak
Kepatuhan adalah sebuah sikap yang rela untuk melakukan segala sesuatu,
yang di dalamnya terdapat kesadaran maupun adanya paksaan, yang membuat
perilaku seseorang dapat sesuai dengan yang diharapkan (McMahon, 2001).
Perilaku patuh seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu kelompok
dan organisasi (Gibson dkk. dalam Nurina, 2010). Motivasi yang dimiliki
seseorang sangat terpengaruh oleh faktor lingkungannya, baik internal maupun
eksternal (Wenzel, 2005). Kepatuhan merupakan perilaku untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan aktivitas tertentu sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku
(Gibson dkk. dalam Nurina, 2010). Salman dan Farid (2008) menuliskan bahwa
kepatuhan wajib pajak adalah perbuatan atau perilaku wajib pajak dalam pajak
memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kepatuhan wajib pajak merupakan tingkatan sejauh mana wajib pajak mengikuti
undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam melaporkan pajak terutang
(Nihayah dalam Nurina, 2010).
Pengertian kepatuhan menurut Rahayu (2010:138) adalah suatu keadaan
dimana
wajib
pajak
memenuhi
semua
kewajiban perpajakan dan
melaksanakan hak perpajakannya. Pengertian kepatuhan tersebut dijabarkan
dalam bentuk:
22
1) Kewajiban wajib pajak dalam mendaftarkan diri.
2) Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan.
3) Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang.
4) Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni
2003 menjelaskan bahwa wajib pajak dapat ditetapkan sebagai wajib pajak patuh
bila memenuhi kriteria:
1) Kriteria Umum
(1) Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam dua
tahun terakhir.
(2) Dalam tahun terakhir, penyampaian SPT masa yang terlambat tidak lebih dari
tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut.
(3) SPT masa yang terlambat sebagaimana yang dimaksudkan dalam poin a dan
b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT masamasa pajak berikutnya.
(4) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan
tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan
untuk 2 (dua) masa pajak terakhir.
(5) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang
perpajakan.
23
2) Kriteria Khusus
(1) Bagi wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit dalam dua tahun
terakhir, harus menyelenggarakan pembukuan.
(2) Bagi wajib pajak yang laporan keuangannya diaudit, Laporan keuangan
tersebut diaudit oleh akuntan fiskal atau badan pengawasan keuangan dan
mendapat opini wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan
pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pajak Hotel juga
menyatakan secara tersirat beberapa kewajiban wajib pajak daerah yang harus
dilaksanakan yang sebagai bentuk dari kepatuhan wajib pajak yakni:
1) Membayar pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD (Pasal 11 Ayat
(2) Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012).
2) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD dengan jelas, benar dan lengkap
serta ditanda tangani oleh wajib pajak atau kuasanya (Pasal 11 Ayat (2)
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012).
3) Setiap Wajib Pajak menyampaikan SPTPD kepada Bupati selambatlambatnya 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya masa pajak dengan dilampirkan
keterangan dan/atau dokumen pendukungnya (Pasal 11 Ayat (2) Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2012).
2.5.2. Jenis kepatuhan wajib pajak
Menurut Rahayu (2010:110), jenis kepatuhan adalah:
24
1) Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban
secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
2) Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara
substantif/hakikatnya
memenuhi semua ketentuan material perpajakan
yaitu sesuai isi dan jiwa undang-undang pajak kepatuhan material juga
dapat meliputi kepatuhan formal.
2.6. Sanksi Pajak
2.6.1. Pengertian sanksi pajak
Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang
yang melanggar peraturan (Jung, 1999). Sanksi diperlukan agar peraturan atau
undang-undang tidak dilanggar (Sanders, 2008). Agar peraturan perpajakan
dipatuhi, maka harus ada sanksi perpajakan bagi para pelanggarnya (Nazmel,
2010). Definisi sanksi pajak menurut Mardiasmo (2009:57) adalah jaminan bahwa
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan (norma perpajakan) akan
dituruti/ditaati/dipatuhi. Sanksi pajak merupakan alat pencegah (preventif) agar
wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan (Ronald dkk., 2005)
Hal serupa juga dikemukakan oleh Zain (2007:35) yaitu sesungguhnya
tidak diperlukan suatu tindakan apapun, apabila dengan rasa takut dan ancamam
hukuman (sanksi dan pidana) saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajiban
perpajakannya. Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah yang ampuh
untuk mengurangi penyelundupan pajak atau kelalaian pajak. Jika hal ini sudah
25
berkembang dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan
dan kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.6.2. Macam-macam sanksi pajak
Dalam undang-undang perpajakan dikenal ada dua macam sanksi, yaitu
sanksi pidana dan sanksi administrasi (Mardiasmo, 2009:57). Sanksi pidana
merupakan siksaan atau penderitaan, suatu alat pencegah atau benteng hukum
yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sedangkan sanksi
administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara khsususnya yang
berupa bunga dan kenaikan. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
terdapat tiga macam sanksi pidana yaitu:
1) Denda pidana merupakan sanksi yang dikenakan kepada tindak pidana yang
bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan.
2) Pidana kurungan merupakan sanksi yang hanya dikenakan kepada tindak
pidana yang bersifat pelanggaran
3) Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, terdapat tiga macam sanksi
administrasi yaitu:
1) Denda merupakan sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran
yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan pajak.
2) Bunga merupakan sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran
yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak.
26
3) Kenaikan merupakan sanksi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus
dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam
ketentuan material.
2.7. Kecerdasan Emosional
2.7.1. Pengertian kecerdasan emosional
Kennedy (2013:3) menuliskan bahwa istilah kecerdasan emosional
pertama kali di lontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire Amerika
untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan
seseorang. Salovey dan Mayer (1990) dalam Daud (2012) menyebutkan kualitaskualitas emosional antara lain empati (kepedulian), mengungkapkan dan
memahami
perasaan,
mengendalikan
amarah,
kemandirian,
kemampuan
menyesuaikan diri, bisa memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan,
kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Menurut Salovey dan Mayer
(1990) dalam Trisnawati dan Suryaningrum (2003), kecerdasan emosional
merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan
perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan
mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan
emosi dan intelektual.
Salovey dan Mayer (1990) dalam Mulyani (2008) menyatakan bahwa
kecerdasan emosional (Emotional intelligence) adalah penggunaan emosi secara
cerdas,
dengan
maksud
membuat
emosi
tersebut
bermanfaat
dengan
27
menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran kita sedemikian rupa
sehingga hasil kita meningkat. Kecerdasan emosional di gunakan untuk
kepentingan interpersonal (membantu diri kita sendiri) dan juga interpersonal
(membantu orang lain). Menurut Goleman (2015), kecerdasan emosional adalah
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan orang lain.
2.7.2. Faktor-faktor kecerdasan emosional
Menurut Goleman (2015) terdapat lima dimensi atau komponen kecerdasan
emosional yaitu:
1) Kesadaran emosi.
Kesadaran emosi merupakan kemampuan untuk mengenali emosi pada waktu
emosi itu terjadi. Kesadaran emosi berarti waspada terhadap suasana hati atau
pikiran tentang suasana hati atau tidak hanyut dalam emosi. Orang yang dapat
mengenali emosi atau kesadaran diri terhadap emosi, tidak buta terhadap emosiemosinya sendiri, termasuk dapat memberikan label setiap emosi yang dirasakan
secara tepat. Mengenali emosi atau kesadaran diri terhadap emosi ini merupakan
dasar kecerdasan emosi
2) Pengendalian emosi.
Seseorang yang dapat mengendalikan diri mereka dapat mengelola dan
mengekspresikan emosi yang ditandai dengan adanya :
(1) Dapat menangani emosi, sehingga emosi dapat diekspresikan dengan tepat.
28
(2) Mempunyai toleransi terhadap frustrasi.
(3) Menangani ketegangan jiwa dengan lebih baik.
3) Motivasi diri
Menata emosi merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan motivasi diri
dan untuk berkreasi. Orang yang mampu mengendalikan emosi merupakan
landasan keberhasilan dalam segala bidang. Orang yang mempunyai motivasi diri
cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
Menurut Goleman (2015), ciri-ciri orang yang mempunyai motivasi diri serta
dapat memanfaatkan emosi secara produktif adalah sebagai berikut:
(1) Ketekunan dalam usaha mencapai tujuan.
(2) Kemampuan untuk menguasai diri
(3) Bertanggung-jawab
(4) Dapat membuat rencana-rencana inovatif-kreatif ke depan dan mampu
menyesuaikan diri, mampu menunda pemenuhan kebutuhan sesaat untuk
tujuan yang lebih besar, lebih agung dan lebih menguntungkan.
4) Empati (mengenali emosi orang lain).
Orang yang empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan hal-hal yang dibutuhkan atau dikehendaki
orang lain. Goleman (2015) menuliskan ciri-ciri orang yang memiliki empati
adalah sebagai berikut:
(1) Mampu
menangkap
sinyal-sinyal
mengisyaratkan kebutuhan orang lain.
sosial
yang
tersembunyi
yang
29
(2) Mampu menerima sudut pandang atau pendapat orang lain.
(3) Peka terhadap perasaan orang lain.
(4) Mampu mendengarkan orang lain.
Scheler dalam Melandy&Aziza (2006) mengatakan bahwa empati adalah
merasakan perasaan orang lain, tanpa melakukan penilaian terhadap orang lain.
5) Membina hubungan antar manusia (pergaulan).
Orang yang mampu melakukan hubungan sosial merupakan orang yang cerdas
emosi. Orang yang cerdas emosi akan mampu menjalin hubungan dengan orang
lain, mereka dapat menikmati persahabatan dengan tulus. Ketulusan memerlukan
kesadaran diri dan ungkapan emosional sehingga pada saat berbicara dengan
seseorang, kita dapat mengungkapkan perasaan-perasaan secara terbuka termasuk
gangguan-gangguan apapun yang merintangi kemampuan seseorang untuk
mengungkapkan perasaan secara terbuka. Dalam melakukan hubungan sosial, hal
pertama yang perlu dilakukan adalah membina rasa saling percaya satu sama lain.
Menurut Gohen dalam Melandy dan Aziza (2006), orang yang memberi
kepercayaan pada orang lain maka dia akan dipercaya orang lain. Apabila
seseorang menunjukkan kepercayaan pada orang lain dan bersikap jujur, maka
orang lain akan lebih terbuka dan percaya dengan kita.
Download