BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Theory of Planned Behavior Theory of planned behavior pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun 1980 (Jogiyanto, 2007). Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam teori ini, Ajzen (2005) dalam Jogiyanto (2007) menyatakan bahwa seseorang dapat melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tergantung dari niat yang dimiliki oleh orang tersebut. Lebih lanjut, Ajzen (2005) dalam Jogiyanto (2007) mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar yakni perilaku yang berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan perilaku yang berhubungan norma subjektif (subjective norms). Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen (2005) melengkapi teori ini dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakannya bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs). Secara skematik, teori dapat digambarkan dalam Gambar 2.1. 9 10 Gambar 2.1. Konsep Theory Of Planned Behavior Sumber : Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Jogiyanto (2007) Model teoritik dari Teori Planned Behavior (perilaku yang direncanakan) mengandung berbagai variabel yaitu: 1) Latar belakang (background factors). Faktor latar belakang pada dasarnya adalah sifat yang hadir di dalam diri seseorang. Dalam kategori ini Ajzen (2005) dalam Jogiyanto (2007), memasukkan tiga faktor latar belakang yakni personal, sosial, dan informasi. 2) Keyakinan perilaku (behavioral belief). Hal-hal yang diyakini oleh individu mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif terhadap suatu perilaku, dalam bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut. 3) Keyakinan normatif (normative beliefs). Variabel ini berkaitan langsung dengan pengaruh lingkungan. Menurut Ajzen (2005) dalam Jogiyanto (2007), faktor lingkungan sosial khususnya orang-orang yang berpengaruh bagi kehidupan individu (significant others) dapat mempengaruhi keputusan individu. 11 4) Norma subjektif (subjective norm) yakni sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang akan dilakukannya. 5) Keyakinan dari dalam diri individu yang dapat ditentukan oleh ketersediaan waktu untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya fasilitas untuk melaksanakannya, memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan yang menghambat pelaksanaan perilaku, pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman. 6) Persepsi kemampuan mengontrol tingkah laku (perceived behavioral control) yakni kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. Menurut Theory of Planned Behavior, seseorang dapat bertindak berdasarkan intensi atau niatnya hanya jika ia memiliki kontrol terhadap perilakunya (Ajzen, 2005 dalam Jogiyanto, 2007). Teori ini tidak hanya menekankan pada rasionalitas dari tingkah laku manusia, tetapi juga pada keyakinan bahwa target tingkah laku berada di bawah kontrol kesadaran individu 12 tersebut atau suatu tingkah laku tidak hanya bergantung pada atensi seseorang, melainkan juga pada faktor lain yang tidak ada dibawah kontrol dari individu, misalnya ketersediaan sumber dan kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tersebut (Ajzen, 2005 dalam Jogiyanto, 2007). 2.2. Teori Kepatuhan (Complience Theory) Menurut Talcot Parsons dalam Ardani (2010), kepatuhan terhadap suatu sistem aturan berkonsekuensi pada interaksi-interaksi sosial yang berjalan dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik-konflik yang terbuka ataupun terselubung dalam keadaan kronis. Menurut Bierstedt dalam Ardani (2010), dasardasar kepatuhan adalah : 1) Indoctrination Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah adalah karena dia diindoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayan lainnya, dan semula menerimanya secara tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia dididik untuk mengenal, mengetahui serta mematuhi kaedah-kaedah tersebut. 2) Habituation Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasan untuk mematuhi kedah-kaedah yang berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaedah-kaedah tadi yang seolah-olah mengekang kebebasan, tetapi apabila hal itu setiap hari ditemui, maka 13 lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama. 3) Utility Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur,tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan keteraturan. Patokan-patokan tadi merupakan pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku yang dinamakan kaedah. Dengan demikian maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat pada kaedah karena kegunaan dari pada kaedah tersebut. Manusia menyadari, bahwa kalau dia hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan kaedah-kaedah. 4) Group Identification Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah adalah karena kepatuhan merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam kelompoknya bukan bukan karena ia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompokkelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya tadi. Menurut Merton dalam Ardani (2010), seseorang kadangkadang mematuhi kaedah-kaedah kelompok lain karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut. 14 Di samping teori-teori tersebut, ada juga teori dalam sosiologi yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan “mengapa orang itu mematuhi hukum” yang disampaikan oleh Schuyt dalam Ardani (2010) yaitu: 1) Kepatuhan tersebut dipaksakan oleh sanksi (Teori Paksaan). 2) Kepatuhan tersebut diberikan atas dasar persetujuan yang diberikan oleh para anggota masyarakat terhadap hukum yang diperlakukan untuk mereka (Teori Persetujuan). Adanya sanksi menurut Sudarto dalam Ardani (2010) adalah agar norma hukum dapat dipatuhi oleh masyarakat, sedangkan sanksi tersebut bisa bersifat negatip bagi mereka yang menyimpang dari norma, akan tetapi juga bisa bersifat positip bagi yang mentaatinya. 2.3. Teori Persepsi Robbins (2006) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian, apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif. Menurut Daviddof (1976) dalam Robbins (2006), persepsi adalah suatu proses yang dilalui oleh suatu stimulus yang diterima panca indera yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari yang diinderanya itu. Atkinson dan Hilgard (2003) dalam Robbins (2006) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap 15 stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Menurut Walgito (2004), proses terjadinya persepsi tergantung dari pengalaman masa lalu dan pendidikan yang diperoleh individu. Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Atkinson dan Hilgard (2003) dalam Robbins (2006) sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimulus. Setelah mendapat stimulus, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan interpretation, begitu juga berinteraksi dengan closure. Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Persepsi positif maupun negatif ibarat file yang sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar manusia. File itu akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya atau ada kejadian yang membukanya. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi, 2006: 118). Menurut Sunaryo (2004: 98), syarat-syarat terjadinya persepsi adalah: 1) Adanya objek yang dipersepsi. 16 2) Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi. 3) Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus. 4) Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon. Menurut Notoatmodjo (2007), ada banyak faktor yang akan menyebabkan stimulus masuk dalam rentang perhatian seseorang. Faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang melekat pada objeknya, sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat pada orang yang mempersepsikan stimulus tersebut. 1) Faktor eksternal yakni: (1) Kontras berupa warna, ukuran, bentuk atau gerakan. (2) Perubahan intensitas suara yang berubah dari pelan menjadi keras, atau cahaya yang berubah dengan intensitas tinggi akan menarik perhatian seseorang. (3) Pengulangan (repetition). Dengan pengulangan, walaupun pada mulanya stimulus tersebut tidak termasuk dalam rentang perhatian kita, maka akan mendapat perhatian kita. (4) Sesuatu yang baru (novelty). Suatu stimulus yang baru akan lebih menarik perhatian kita daripada sesuatu yang telah kita ketahui. (5) Sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak. 17 2) Faktor internal yakni: (1) Pengalaman atau pengetahuan. (2) Harapan (expectation). (3) Kebutuhan. (4) Motivasi. (5) Emosi. (6) Budaya. Menurut Sunaryo (2004), proses terbentuknya persepsi terdiri dari tiga tahapan yakni: 1) Proses Fisik Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu objek yang menimbulkan stimulus/rangsangan yang hadir dari lingkungan dan mengenai alat indra atau reseptor. 2) Proses Fisiologis Dalam proses fisiologis, alat indra yang menerima stimulus mengirimkanya ke otak untuk didaftarkan sebagai sebuah informasi. 3) Proses Psikologis Proses psikologis adalah proses yang terjadi dalam otak sehingga individu menyadari keberadaan stimulus tersebut. 18 2.4. Pajak 2.4.1. Pengertian pajak Mardiasmo (2011:1) menuliskan pengertian pajak yakni iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan menurut Waluyo (2009:2), pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan untuk membiayai yang gunanya adalah pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Dari dua definisi tesebut, terdapat persamaan prinsip mengenai pajak dalam hal unsur-unsur sebagai berikut: 1) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. 2) Tidak ada timbal jasa (kontraprestasi) secara langsung. 3) Dapat dipaksakan. 4) Hasilnya untuk membiayai pembangunan. 2.4.2. Fungsi pajak Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang mempunyai dua fungsi (Mardiasmo, 2011:1) yaitu : 19 1) Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. 2) Fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi. 2.4.3. Sistem pemungutan pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga sistem (Mardiasmo, 2011: 7) yaitu sebagai berikut : 1) Official Assessment system yakni suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. 2) Self Assessment System yakni suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. 3) With Holding System yakni suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. 2.4.4. Pajak daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 1 tahun 2012 tentang Pajak Hotel, pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan 20 Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu jenis pajak daerah sesuai dengan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah pajak hotel. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 1 Tahun 2012, pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh Hotel yangmana dalam Pasal 1 angka 7, dituliskan definisi hotel yakni fasilitas penyedia jasa penginapan/ peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh. 2.4.5. Wajib pajak Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mendefinisikan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. orang pribadi merupakan subjek pajak yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Hotel mengatur bahwa definisi wajib pajak hotel yakni orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak hotel, pemotongan pajak hotel, dan pemungutan pajak 21 hotel, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah. 2.5. Kepatuhan Wajib Pajak 2.5.1. Definisi kepatuhan wajib pajak Kepatuhan adalah sebuah sikap yang rela untuk melakukan segala sesuatu, yang di dalamnya terdapat kesadaran maupun adanya paksaan, yang membuat perilaku seseorang dapat sesuai dengan yang diharapkan (McMahon, 2001). Perilaku patuh seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu kelompok dan organisasi (Gibson dkk. dalam Nurina, 2010). Motivasi yang dimiliki seseorang sangat terpengaruh oleh faktor lingkungannya, baik internal maupun eksternal (Wenzel, 2005). Kepatuhan merupakan perilaku untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan aktivitas tertentu sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku (Gibson dkk. dalam Nurina, 2010). Salman dan Farid (2008) menuliskan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah perbuatan atau perilaku wajib pajak dalam pajak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kepatuhan wajib pajak merupakan tingkatan sejauh mana wajib pajak mengikuti undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam melaporkan pajak terutang (Nihayah dalam Nurina, 2010). Pengertian kepatuhan menurut Rahayu (2010:138) adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Pengertian kepatuhan tersebut dijabarkan dalam bentuk: 22 1) Kewajiban wajib pajak dalam mendaftarkan diri. 2) Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan. 3) Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang. 4) Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003 menjelaskan bahwa wajib pajak dapat ditetapkan sebagai wajib pajak patuh bila memenuhi kriteria: 1) Kriteria Umum (1) Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam dua tahun terakhir. (2) Dalam tahun terakhir, penyampaian SPT masa yang terlambat tidak lebih dari tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut. (3) SPT masa yang terlambat sebagaimana yang dimaksudkan dalam poin a dan b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT masamasa pajak berikutnya. (4) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir. (5) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan. 23 2) Kriteria Khusus (1) Bagi wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit dalam dua tahun terakhir, harus menyelenggarakan pembukuan. (2) Bagi wajib pajak yang laporan keuangannya diaudit, Laporan keuangan tersebut diaudit oleh akuntan fiskal atau badan pengawasan keuangan dan mendapat opini wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pajak Hotel juga menyatakan secara tersirat beberapa kewajiban wajib pajak daerah yang harus dilaksanakan yang sebagai bentuk dari kepatuhan wajib pajak yakni: 1) Membayar pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD (Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012). 2) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD dengan jelas, benar dan lengkap serta ditanda tangani oleh wajib pajak atau kuasanya (Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012). 3) Setiap Wajib Pajak menyampaikan SPTPD kepada Bupati selambatlambatnya 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya masa pajak dengan dilampirkan keterangan dan/atau dokumen pendukungnya (Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012). 2.5.2. Jenis kepatuhan wajib pajak Menurut Rahayu (2010:110), jenis kepatuhan adalah: 24 1) Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. 2) Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif/hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai isi dan jiwa undang-undang pajak kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal. 2.6. Sanksi Pajak 2.6.1. Pengertian sanksi pajak Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan (Jung, 1999). Sanksi diperlukan agar peraturan atau undang-undang tidak dilanggar (Sanders, 2008). Agar peraturan perpajakan dipatuhi, maka harus ada sanksi perpajakan bagi para pelanggarnya (Nazmel, 2010). Definisi sanksi pajak menurut Mardiasmo (2009:57) adalah jaminan bahwa ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Sanksi pajak merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan (Ronald dkk., 2005) Hal serupa juga dikemukakan oleh Zain (2007:35) yaitu sesungguhnya tidak diperlukan suatu tindakan apapun, apabila dengan rasa takut dan ancamam hukuman (sanksi dan pidana) saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya. Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah yang ampuh untuk mengurangi penyelundupan pajak atau kelalaian pajak. Jika hal ini sudah 25 berkembang dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. 2.6.2. Macam-macam sanksi pajak Dalam undang-undang perpajakan dikenal ada dua macam sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi administrasi (Mardiasmo, 2009:57). Sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan, suatu alat pencegah atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sedangkan sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara khsususnya yang berupa bunga dan kenaikan. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 terdapat tiga macam sanksi pidana yaitu: 1) Denda pidana merupakan sanksi yang dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan. 2) Pidana kurungan merupakan sanksi yang hanya dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran 3) Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, terdapat tiga macam sanksi administrasi yaitu: 1) Denda merupakan sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan pajak. 2) Bunga merupakan sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak. 26 3) Kenaikan merupakan sanksi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam ketentuan material. 2.7. Kecerdasan Emosional 2.7.1. Pengertian kecerdasan emosional Kennedy (2013:3) menuliskan bahwa istilah kecerdasan emosional pertama kali di lontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire Amerika untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan seseorang. Salovey dan Mayer (1990) dalam Daud (2012) menyebutkan kualitaskualitas emosional antara lain empati (kepedulian), mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, bisa memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Menurut Salovey dan Mayer (1990) dalam Trisnawati dan Suryaningrum (2003), kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Salovey dan Mayer (1990) dalam Mulyani (2008) menyatakan bahwa kecerdasan emosional (Emotional intelligence) adalah penggunaan emosi secara cerdas, dengan maksud membuat emosi tersebut bermanfaat dengan 27 menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran kita sedemikian rupa sehingga hasil kita meningkat. Kecerdasan emosional di gunakan untuk kepentingan interpersonal (membantu diri kita sendiri) dan juga interpersonal (membantu orang lain). Menurut Goleman (2015), kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan orang lain. 2.7.2. Faktor-faktor kecerdasan emosional Menurut Goleman (2015) terdapat lima dimensi atau komponen kecerdasan emosional yaitu: 1) Kesadaran emosi. Kesadaran emosi merupakan kemampuan untuk mengenali emosi pada waktu emosi itu terjadi. Kesadaran emosi berarti waspada terhadap suasana hati atau pikiran tentang suasana hati atau tidak hanyut dalam emosi. Orang yang dapat mengenali emosi atau kesadaran diri terhadap emosi, tidak buta terhadap emosiemosinya sendiri, termasuk dapat memberikan label setiap emosi yang dirasakan secara tepat. Mengenali emosi atau kesadaran diri terhadap emosi ini merupakan dasar kecerdasan emosi 2) Pengendalian emosi. Seseorang yang dapat mengendalikan diri mereka dapat mengelola dan mengekspresikan emosi yang ditandai dengan adanya : (1) Dapat menangani emosi, sehingga emosi dapat diekspresikan dengan tepat. 28 (2) Mempunyai toleransi terhadap frustrasi. (3) Menangani ketegangan jiwa dengan lebih baik. 3) Motivasi diri Menata emosi merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan motivasi diri dan untuk berkreasi. Orang yang mampu mengendalikan emosi merupakan landasan keberhasilan dalam segala bidang. Orang yang mempunyai motivasi diri cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Menurut Goleman (2015), ciri-ciri orang yang mempunyai motivasi diri serta dapat memanfaatkan emosi secara produktif adalah sebagai berikut: (1) Ketekunan dalam usaha mencapai tujuan. (2) Kemampuan untuk menguasai diri (3) Bertanggung-jawab (4) Dapat membuat rencana-rencana inovatif-kreatif ke depan dan mampu menyesuaikan diri, mampu menunda pemenuhan kebutuhan sesaat untuk tujuan yang lebih besar, lebih agung dan lebih menguntungkan. 4) Empati (mengenali emosi orang lain). Orang yang empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan hal-hal yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Goleman (2015) menuliskan ciri-ciri orang yang memiliki empati adalah sebagai berikut: (1) Mampu menangkap sinyal-sinyal mengisyaratkan kebutuhan orang lain. sosial yang tersembunyi yang 29 (2) Mampu menerima sudut pandang atau pendapat orang lain. (3) Peka terhadap perasaan orang lain. (4) Mampu mendengarkan orang lain. Scheler dalam Melandy&Aziza (2006) mengatakan bahwa empati adalah merasakan perasaan orang lain, tanpa melakukan penilaian terhadap orang lain. 5) Membina hubungan antar manusia (pergaulan). Orang yang mampu melakukan hubungan sosial merupakan orang yang cerdas emosi. Orang yang cerdas emosi akan mampu menjalin hubungan dengan orang lain, mereka dapat menikmati persahabatan dengan tulus. Ketulusan memerlukan kesadaran diri dan ungkapan emosional sehingga pada saat berbicara dengan seseorang, kita dapat mengungkapkan perasaan-perasaan secara terbuka termasuk gangguan-gangguan apapun yang merintangi kemampuan seseorang untuk mengungkapkan perasaan secara terbuka. Dalam melakukan hubungan sosial, hal pertama yang perlu dilakukan adalah membina rasa saling percaya satu sama lain. Menurut Gohen dalam Melandy dan Aziza (2006), orang yang memberi kepercayaan pada orang lain maka dia akan dipercaya orang lain. Apabila seseorang menunjukkan kepercayaan pada orang lain dan bersikap jujur, maka orang lain akan lebih terbuka dan percaya dengan kita.