HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Menjawab Pertanyaan Anda COVER_Hukum Humaniter DR.indd 1 2/28/2011 6:01:50 AM 2 KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH (ICRC) Didirikan oleh lima warga negara Swiss pada tahun 1863 yaitu (Henry Dunant, Guillaume-Henri Dufour, Gustave Moynier, Louis Appia, dan Thêodore Maunoir), ICRC merupakan cikal bakal Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. ICRC adalah lembaga kemanusiaan yang tidak memihak, netral, dan mandiri lahir karena terjadinya perang lebih dari 130 tahun yang lalu merupakan organisasi yang unik memperoleh mandatnya dari masyarakat internasional bertindak sebagai penengah yang netral antara pihak-pihak yang berperang dalam kapasitasnya sebagai promotor dan pemelihara Hukum Humaniter Internasional berupaya melindungi dan menolong para korban konflik bersenjata, gangguan dalam negeri, dan situasi kekerasan dalam negeri lainnya. ICRC bekerja aktif di sekitar 80 negara dan mempunyai kurang lebih 12.000 karyawan (data 2010). ICRC dan Gerakan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Perhimpunanperhimpunan Palang Merah/Bulan Sabit Merah Nasional, bersamasama dengan Federasi Internasional Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah/Bulan Sabit Merah, bergabung membentuk Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Gerakan). Sebagai kebiasaan, perwakilan dari organisasi-organisasi tersebut bertemu setiap empat tahun sekali dengan perwakilan dari Negaranegara peserta Konvensi-konvensi Jenewa dalam sebuah Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. COVER_Hukum Humaniter DR.indd 2 Landasan kegiatan ICRC Selama konflik bersenjata internasional, ICRC melakukan kegiatannya berdasarkan keempat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 (lihat Pertanyaan 4). Perjanjianperjanjian ini memberikan hak kepada ICRC untuk menyelenggarakan kegiatan tertentu seperti memberikan pertolongan kepada personil militer yang terluka, yang sakit, atau yang kapalnya karam, mengunjungi tawanan perang (prisoners of war), memberikan bantuan kepada penduduk sipil dan, secara umum, memastikan agar orang-orang yang dilindungi oleh Hukum Humaniter diperlakukan sesuai dengan hukum tersebut. Selama konflik bersenjata non-internasional, ICRC melakukan kegiatannya berdasarkan Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II 1977 (lihat indeks). Pasal 3 tersebut juga mengakui hak ICRC untuk menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang berperang, yaitu melakukan aksi pemberian bantuan dan mengunjungi orangorang yang ditahan sehubungan dengan konflik. Dalam situasi kekerasan yang belum setara dengan konflik bersenjata (yaitu gangguan dalam negeri dan situasi kekerasan dalam negeri lainnya), ICRC melakukan kegiatannya berdasarkan Pasal 5 Anggaran Dasar Gerakan, yang memberi ICRC hak untuk melakukan prakarsa kemanusiaan. Hak tersebut juga bisa digunakan dalam konflik bersenjata internasional dan noninternasional. MISI Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organisasi yang tidak memihak, netral, dan mandiri, yang misinya sematamata bersifat kemanusiaan , yaitu melindungi kehidupan dan martabat para korban konflik bersenjata dan situasi-situasi kekerasan lainnya, dan memberi mereka bantuan. ICRC juga berusaha untuk mencegah penderitaan dengan mempromosikan dan memperkuat hukum humaniter dan prinsipprinsip kemanusiaan universal. Didirikan pada tahun 1863, ICRC merupakan cikal bakal dari Konvensi-konvensi Jenewa dan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. ICRC mengatur dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan internasional yang dilakukan oleh Gerakan dalam konflik-konflik bersenjata dan situasi-situasi kekerasan lainnya. Semua pasal dan instrumen hukum tadi bersama-sama merupakan mandat yang diberikan kepada ICRC oleh masyarakat internasional, yaitu Negara-negara. International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F +41 22 733 2057 E-mail: [email protected] www.icrc.org ICRC Delegasi Indonesia Jl. Iskandarsyah I / 14 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan12160 Telp. : +62 21 739 6756 / 720 7252 Fax. : +62 21 739 9512 E-mail: [email protected] www.icrc.org Original: English Oktober 2002 Versi: Bahasa Indonesia Februari 2008 2/28/2011 6:01:50 AM RINGKASAN PERTANYAAN 1. Apa itu Hukum Humaniter Internasional? 4 2. Apa saja aturan-aturan dasar dalam Hukum Humaniter Internasional? 6 3. Bagaimana asal-usul Hukum Humaniter Internasional? 8 4. Perjanjian-perjanjian internasional apa saja yang membentuk Hukum Humaniter Internasional? 10 5. Siapa saja yang terikat oleh Konvensi-konvensi Jenewa? 12 6. Apa itu jus ad bellum dan jus in bello? 14 7. Dalam situasi apa Hukum Humaniter berlaku? Untuk siapa hukum ini ditujukan dan siapa yang dilindunginya? 16 8. Apakah Hukum Humaniter berlaku bagi konflik "jenis baru"? 18 9. Bagaimana Hukum Humaniter beradaptasi dengan perkembangan baru dan apa peran ICRC dalam proses tersebut? 20 10. Apa yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter mengenai bantuan material bagi korban konflik bersenjata? 22 11. Apa yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter mengenai pemulihan hubungan keluarga? 24 12. Seperti apa ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur penggunaan lambang? 26 13. Bagaimana Hukum Humaniter melindungi pengungsi eksternal dan pengungsi internal? 28 14. Langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mengimplementasikan Hukum Humaniter? 30 15. Apa peran ICRC dalam memastikan penghormatan terhadap Hukum Humaniter? 32 16. Bagaimana penjahat perang dituntut berdasarkan Hukum Humaniter? 34 17. Apa perbedaan antara Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia? 36 18. Apakah Hukum Humaniter berlaku bagi operasi penjagaan perdamaian dan operasi penegakan perdamaian yang 38 dilaksanakan oleh atau di bawah perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)? 19. Apa yang dikatakan Hukum Humaniter mengenai terorisme? 39 Indeks 40 Bibliografi 41 3 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 3 2/28/2011 5:58:12 AM 4 Peduli bagi semua korban luka di medan pertempuran 1 APA ITU HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ? Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan bagian terbesar pada Hukum Internasional Publik (lihat halaman berikut). HHI terdiri dari aturan-aturan yang pada masa konflik bersenjata berupaya untuk melindungi orang-orang yang tidak, atau tidak lagi, ambil bagian dalam peperangan dan untuk membatasi cara dan sarana berperang yang digunakan. Lebih tepatnya, yang dimaksud oleh ICRC dengan "HHI yang berlaku pada masa konflik bersenjata" adalah aturan-aturan pada perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara khusus bertujuan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang muncul sebagai akibat langsung dari konflik bersenjata, baik internasional maupun noninternasional. Demi alasan kemanusiaan, aturan-aturan tersebut membatasi hak pihakpihak yang terlibat konflik dalam hal pemilihan cara dan sarana berperang dan melindungi orang-orang serta benda-benda yang terkena, atau berkemungkinan terkena, dampak konflik (lihat Pertanyaan 3, 6, dan 17, yang memberikan informasi tambahan yang berguna). Jenewa dan Den Haag Siapa melawan siapa? HHI, yang juga dikenal dengan nama Hukum Konflik Bersenjata atau Hukum Perang (lihat Terminologi di halaman berikut), mempunyai dua cabang: Hukum Jenewa, yang disusun untuk melindungi personil militer yang tidak lagi ambil bagian dalam pertempuran dan orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan, yaitu penduduk sipil; Hukum Den Haag, yang menetapkan hak dan kewajiban pihakpihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan-batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh. Konflik bersenjata internasional (international armed conflict) adalah pertempuran antara angkatan bersenjata dari setidak-tidaknya dua Negara (perlu dicatat bahwa perang kemerdekaan nasional telah diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata internasional). Nama masing-masing cabang HHI tersebut diambil dari nama kota di mana cabang yang bersangkutan untuk pertama kalinya dikodifikasi. Dengan diadopsinya Protokol-protokol Tambahan 1977, yang mengkombinasikan kedua cabang HHI tersebut, perbedaan antara keduanya sekarang hanya bernilai historis dan didaktik. Konflik bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) adalah pertempuran di wilayah sebuah Negara yang terjadi antara angkatan bersenjata reguler Negara yang bersangkutan dan kelompok bersenjata terindentifikasi atau antara kelompok-kelompok bersenjata. Untuk bisa digolongkan sebagai konflik bersenjata non-internasional, pertempuran tersebut harus mencapai tingkat intensitas tertentu dan berlangsung untuk jangka waktu tertentu. Gangguan dalam negeri (internal disturbance) ialah situasi yang ditandai dengan adanya gangguan serius terhadap ketertiban dalam negeri sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan kekerasan yang bukan merupakan konflik bersenjata (misalnya: huru hara, perkelahian antar faksi, atau pergolakan melawan pihak penguasa). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 4 2/28/2011 5:58:13 AM Grotious dan Hukum Bangsa-Bangsa Dalam bahasa percakapan masa kini, Hukum Bangsa-Bangsa (law of nations) sama artinya dengan "Hukum Internasional Publik" atau "Hukum Internasional," yang merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan antar-Negara dan hubungan antara Negara dan anggota-anggota masyarakat internasional lainnya. Grotius (lihat indeks), seorang ahli hukum dan diplomat, adalah bapak Hukum Bangsa-Bangsa. Setelah terjadinya gerakan Reformasi, yang memecah belah gereja Kristen di Eropa, dia berpandangan bahwa hukum bukan lagi ungkapan keadilan ilahi melainkan hasil penalaran manusia dan bahwa hukum tidak lagi mendahului aksi melainkan timbul karena adanya aksi. Hukum Pengungsi Hukum yang mengatur penyelesaian konflik secara damai Hukum yang mengatur hubungan diplomatik Hukum yang mengatur tanggung jawab Negara Dengan demikian, muncul kebutuhan untuk mencari sebuah prinsip pemersatu lain bagi hubungan internasional. Hukum Bangsa-Bangsalah yang kemudian dijadikan prinsip tersebut. Dalam bukunya De jure belli ac pacis (Hukum tentang Perang dan Damai), Grotius menyusun sebuah daftar aturan yang sekarang menjadi salah satu landasan yang paling kokoh bagi Hukum Perang. Terminologi Istilah seperti Hukum Humaniter Internasional, Hukum Konflik Bersenjata, dan Hukum Perang bisa dianggap berpadanan satu dengan yang lain. Organisasi-organisasi internasional, universitas-universitas, dan bahkan Negara-negara cenderung memakai istilah Hukum Humaniter Internasional (atau Hukum Humaniter) sedangkan dua istilah yang lain lebih sering digunakan oleh angkatan bersenjata. Hukum HAM Hukum Humaniter Internasional Hukum Lingkungan Hukum yang mengatur organisasi internasional Hukum Kelautan Hukum yang mengatur ruang angkasa Hukum yang mengatur hubungan ekonomi NB: Bagan ini bukan upaya untuk mengklasifikasikan atau memperingkat berbagai cabang yang ada pada Hukum Internasional Publik. Bagan tersebut hanya menyebutkan beberapa dari cabang yang terkenal. 5 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 5 2/28/2011 5:58:13 AM Thomas Pizer/ICRC 6 "... begitu mereka meletakkan senjata, mereka bukan lagi musuh atau agen dari musuh. Mereka kembali menjadi orang biasa. Tidak lagi dibenarkan secara hukum membunuh mereka." APA SAJA ATURAN-ATURAN DASAR DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL? 2 Pihak yang terlibat konflik harus setiap saat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan agar dapat menyelamatkan penduduk sipil dan harta benda sipil. Penduduk sipil secara keseluruhan maupun secara individual tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan terhadap objek militer. Orang yang tidak ikut serta, atau tidak dapat lagi ikut serta, dalam peperangan berhak dihormati kehidupannya dan keutuhan jiwa dan raganya. Orang-orang seperti ini harus dilindungi dalam segala keadaan dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Dilarang membunuh atau melukai musuh yang sudah menyerah atau yang sudah tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran. Pihak yang terlibat konflik maupun para anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai hak yang tak terbatas untuk memilih sarana dan cara berperang. Dilarang menggunakan senjata atau cara berperang yang berkemungkinan menimbulkan kerugian yang tidak perlu atau penderitaan yang berlebihan. Korban yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak terlibat konflik yang menguasai mereka. Personil medis dan bangunan, sarana transportasi, serta peralatan medis harus diselamatkan. Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda pembeda yang menunjukkan bahwa orang dan objek yang mengenakan tanda tersebut Aturan-aturan ini, yang disusun oleh ICRC, merupakan intisari HHI. Aturan-aturan tersebut tidak memiliki kekuatan sebagai sebuah instrumen hukum dan sama sekali tidak dimaksudkan harus dihormati. Kombatan yang tertangkap dan orang sipil yang berada di bawah kekuasaan pihak lawan berhak memperoleh penghormatan atas kehidupan, martabat, dan hak-hak pribadi mereka serta keyakinan politik, keyakinan agama, dan keyakinan-keyakinan lain mereka. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun pembalasan. Mereka berhak untuk bertukar berita dengan keluarga dan untuk menerima bantuan. Mereka harus memperoleh jaminan-jaminan dasar di bidang peradilan. untuk menggantikan perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku. Aturan-aturan tersebut disusun untuk memperlancar proses mempromosikan HHI (lihat indeks). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 6 2/28/2011 5:58:13 AM IMAJI, Guntur/ICRC Prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter Seperti Grotius (lihat hal. 5 dan indeks), banyak ahli hukum dan ahli filsafat yang tertarik pada bidang peraturan konflik jauh sebelum Konvensi Jenewa yang pertama Tahun 1984 diadopsi dan dikembangkan. Pada abad 18, Jean-Jaques Rousseau memberikan sumbangan besar dengan merumuskan prinsip berikut ini menyangkut perkembangan perang antarNegara: "Perang bukanlah suatu hubungan antara orang dan orang melainkan hubungan antara Negara dan Negara, di mana individu saling bermusuhan hanya karena kebetulan, bukan sebagai manusia ataupun sebagai warga negara melainkan sebagai prajurit ( ). Karena tujuan perang adalah menghancurkan negara lawan, adalah absah membunuh prajurit lawan selama mereka membawa senjata; tetapi begitu mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh ataupun agen musuh melainkan kembali menjadi orang biasa sehingga tidak absah membunuh mereka." Pada tahun 1899, Fyodor Martens merumuskan prinsip berikut ini untuk hal-hal yang belum diatur dalam Hukum Humaniter: "( ) orang sipil dan kombatan tetap berada di bawah perlindungan dan kewenangan prinsip-prinsip Hukum Internasional yang berasal dari kebiasaan yang sudah mapan, dari prinsip-prinsip kemanusiaan, dan dari suara hati nurani publik." Prinsip di atas, yang dikenal dengan nama klausula Martens, dianggap sebagai bagian standar Hukum Kebiasaan ketika prinsip tersebut diintegrasikan ke dalam Pasal 1(2) Protokol Tambahan I Thn. 1977 (lihat indeks). Kalau Rousseau dan Martens merumuskan prinsip-prinsip kemanusiaan, maka para penyusun Deklarasi St. Petersburg (lihat Pertanyaan 4) merumuskan, secara implisit maupun secara eksplisit, prinsip pembedaan (distinction), prinsip kepentingan militer (military necessity), dan prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (prevention of unnecessary suffering) sebagai berikut: "mempertimbangkan ( ): Bahwa satu-satunya tujuan yang absah untuk dicapai oleh Negara selama berlangsungnya perang ialah melemahkan angkatan bersenjata pihak musuh; Bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, cukuplah jika sebanyak mungkin prajurit berhasil dilumpuhkan; Bahwa pencapaian tujuan tersebut akan berlebihan dengan penggunaan senjata yang memperburuk penderitaan orang-orang yang sudah tidak berdaya atau membawa kematian tak terelakkan bagi mereka, yang sebenarnya tidak perlu." Protokol-protokol Tambahan 1977 mempertegas dan sekaligus menjabarkan prinsip-prinsip tersebut, terutama prinsip pembedaan: "( ) Pihak-pihak yang terlibat konflik harus setiap saat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan objek militer dan, karena itu, harus mengarahkan operasinya hanya pada sasaran-sasaran militer." (Ps. 48 Protokol I; lihat juga Ps. 3 Protokol II). Akhirnya, prinsip proporsionalitas, yang mendasari ketiga prinsip di atas, berupaya menyeimbangkan dua kepentingan yang bertolak belakang, kepentingan yang satu didasarkan pada pertimbangan kebutuhan militer dan kepentingan yang satunya lagi didasarkan pada kebutuhan kemanusiaan, bilamana hak-hak atau laranganlarangannya tidak bersifat mutlak (lihat juga hal. 9). 7 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 7 2/28/2011 5:58:15 AM Elchin Mamedov/ICRC 8 ...untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah 3 BAGAIMANA ASAL-USUL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain seperti tercantum di bawah ini: Hukum apa yang mengatur konflik bersenjata sebelum lahirnya Hukum Humaniter yang ada sekarang ini? Pada awalnya ada sejumlah aturan tak tertulis, yang didasarkan pada kebiasaan, yang mengatur konflik bersenjata. Kemudian perjanjian-perjanjian internasional bilateral (kartel), yang disusun dengan tingkat kerincian berbeda-beda, s e c a r a b e r a n g s u r- a n g s u r m u l a i diberlakukan. Pihak-pihak yang berperang kadang kala meratifikasi kartel semacam ini setelah peperangannya berakhir. Ada juga peraturan yang dikeluarkan oleh Negara bagi pasukannya (lihat Kode Lieber di halaman berikut). Dengan demikian, hukum yang saat itu berlaku dalam konflik bersenjata bersifat terbatas baik dari segi waktu maupun dari segi ruang. Maksudnya, hukum tersebut berlaku hanya untuk satu pertempuran atau satu konflik tertentu saja. Aturannya juga berubah-ubah, tergantung pada masa, tempat, moral, dan peradaban yang ada pada saat itu. Siapakah para perintis Hukum Humaniter yang ada sekarang ini? Ada dua orang yang memainkan peran esensial dalam pembentukan HHI yang kita kenal sekarang ini: Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour (lihat hal. 2). Dunant merumuskan gagasannya dalam bukunya berjudul "Kenangan dari Solferino" (A Memory of Solferino), yang terbit pada tahun 1862. Jenderal Dufour, didorong oleh pengalamannya sendiri dalam perang, menggunakan seluruh waktunya untuk memberikan dukungan moril secara aktif bagi pembentukan HHI, terutama dengan memimpin Konferensi Diplomatik 1864. Dunant: "Pada kesempatan-kesempatan istimewa tertentu, misalnya ketika para pendekar seni perang dari berbagai kebangsaan bertemu ( ), mungkin akan bermanfaat jika mereka dapat menggunakan konggres seperti ini untuk merumuskan suatu prinsip internasional tertentu yang disetujui oleh sebuah Konvensi dan memiliki sifat tidak dapat diganggu gugat dan yang, bilamana telah disetujui dan diratifikasi, dapat menjadi landasan bagi berdirinya perhimpunan bantuan bagi prajurit yang terluka di negaranegara Eropa." Dufour (kepada Dunant): "Kita perlu mengerti, melalui contoh-contoh gamblang seperti yang Anda laporkan itu, kesedihan dan penderitaan seperti apa yang ada di balik kebesaran medan pertempuran." HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 8 2/28/2011 5:58:17 AM Bagaimana gagasan tersebut menjadi kenyataan? Pembaharuan apa yang dihasilkan oleh Konvensi tersebut? Pemerintah Swiss, atas desakan kelima pendiri ICRC (lihat hal. 2), mengadakan Konferensi Diplomatik 1864, yang dihadiri oleh 16 Negara yang kemudian mengadopsi Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata Yang Terluka di Medan Pertempuran Darat. Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar bagi Hukum Humaniter moderen. Konvensi ini terutama ditandai dengan hal-hal berikut: aturan tertulis tetap yang mempunyai lingkup universal untuk melindungi korban konflik; sifat multilateral, yaitu terbuka untuk semua Negara; kewajiban untuk memberikan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan yang sakit; penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis dan sarana transportasi serta peralatan medis dengan menggunakan sebuah lambang (yaitu palang merah di atas dasar putih). Hukum Humaniter sebelum dikodifikasi Keliru jika kita mengklaim bahwa pendirian Palang Merah pada tahun 1863 dan pengadopsian Konvensi Jenewa yang pertama pada tahun 1864 merupakan titik awal HHI seperti yang kita kenal dewasa ini. Karena tak ada satu pun masyarakat yang tidak mempunyai perangkat aturan sendiri, maka belum pernah ada perang yang tidak mempunyai aturan, yang jelas ataupun yang samar-samar, menyangkut kapan perang itu dimulai atau diakhiri dan bagaimana perang itu harus dilaksanakan. "Secara keseluruhan, praktik perang bangsa-bangsa primitif menggambarkan berbagai aturan internasional tentang perang sebagaimana yang kita kenal dewasa ini: aturan mengenai pembedaan jenis musuh; aturan mengenai keadaan, formalitas, dan kewenangan yang diperlukan untuk memulai dan mengakhiri perang; aturan yang memberikan batasan-batasan mengenai jumlah prajurit, waktu, tempat, dan cara bagi pelaksanaan perang; dan bahkan aturan yang melarang perang sama sekali." (Quincy Wright) Hukum-hukum perang yang paling tua diproklamirkan oleh bangsa-bangsa besar beberapa milenium sebelum jaman moderen ini. "Saya membuat hukum ini untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah." (Hammurabi, Raja Babylon) Banyak naskah kuno seperti Mahabharata, Alkitab, dan AlQuran memuat aturan yang menganjurkan penghormatan terhadap musuh. Sebagai contoh, Viqayet sebuah naskah yang ditulis menjelang berakhirnya abad ke-13, yaitu pada puncak kejayaan bangsa Arab memerintah Spanyol memuat sebuah peraturan hukum yang sesungguhnya tentang perang. Karena itu, Konvensi Jenewa 1864, yang berbentuk perjanjian internasional multilateral, merupakan kodifikasi dan penguatan terhadap berbagai hukum dan kebiasaan perang yang kuno, sepotong-sepotong, dan terpencar-pencar, yang mengatur perlindungan bagi prajurit yang terluka maupun orang yang merawatnya (lihat halaman berikut). Kode Lieber (Lieber Code) Dari permulaan adanya perang hingga lahirnya Hukum Humaniter moderen, lebih dari 500 kartel, aturan perilaku, perjanjian, dan naskah tertulis lainnya yang mengatur peperangan berhasil dicatat. Salah satunya adalah Kode Lieber (lihat indeks), yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena kode tersebut menandai usaha pertama yang pernah dilakukan orang untuk mengkodifikasi berbagai hukum dan kebiasaan perang yang sudah ada. Namun, tidak seperti Konvensi Jenewa yang pertama (yang diadopsi satu tahun sesudahnya), Kode Lieber tidak berstatus traktat (perjanjian internasional) karena kode tersebut ditujukan hanya bagi para prajurit Union yang bertempur dalam Perang Saudara di Amerika. 9 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 9 2/28/2011 5:58:20 AM ICRC 10 Keluarga-keluarga yang dideportasi dari perkampungan Yahudi di Warsawa selama Perang Dunia Kedua PERJANJIAN-PERJANJIAN APA SAJA YANG MEMBENTUK HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL? 4 Diawali dalam bentuk Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, Hukum Humaniter yang ada sekarang ini merupakan hasil pengembangan secara bertahap, yang sering kali dilakukan setelah terjadinya peristiwa yang membuat pengembangan baru terhadap hukum tersebut sangat dibutuhkan, untuk memenuhi semakin meningkatnya kebutuhan akan bantuan kemanusiaan sebagai akibat terjadinya perkembangan di bidang persenjataan dan timbulnya jenis-jenis konflik yang baru. Berikut ini adalah perjanjianperjanjian internasional (traktat-traktat) utama yang membentuk HHI, yang disajikan sesuai urutan kronologis pengadopsian: 1864 Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka di Medan Pertempuran Darat 1868 Deklarasi St. Petersburg (pelarangan penggunaan proyektil-proyektil tertentu pada waktu perang) 1899 Konvensi-konvensi Den Haag, yang menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang di darat dan menyesuaikan prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1864 terhadap peperangan laut. 1906 Peninjauan kembali dan pengembangan Konvensi Jenewa 1864. 1907 Peninjauan kembali Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan pengadopsian Konvensi-konvensi Baru 1925 Protokol Jenewa tentang larangan penggunaan gas cekik, gas racun, dan gas-gas lainnya dan penggunaan metode perang bakteri 1929 Dua Konvensi Jenewa: Peninjuan kembali dan pengembangan Konvensi Jenewa 1906 Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang (baru) 1949 Empat Konvensi Jenewa I. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan yang sakit di medan pertempuran darat II. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka, yang sakit, dan yang kapalnya karam di medan pertempuran laut III.Perlakuan terhadap tawanan perang IV.Perlindungan terhadap penduduk sipil pada masa perang (baru) 1954 Konvensi Den Haag mengenai perlindungan terhadap benda-benda budaya pada waktu konflik bersenjata 1972 Konvensi tentang larangan atas pengembangan, pembuatan, dan penimbunan senjata bakteri (biologi) dan senjata racun dan tentang pemusnahannya 1977 Dua Protokol Tambahan untuk keempat Konvensi Jenewa 1949, yang memperkuat perlindungan bagi korban konflik bersenjata internasional (Protokol I) dan konflik bersenjata non-internasional (Protokol II) 1980 Konvensi tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan senjatasenjata konvensional tertentu yang dapat dianggap berpotensi menimbulkan luka yang berlebihan atau memberikan efek tidak pandang bulu (Certain Conventional Weapons Convention/CCW), yang termasuk: Protokol (I) tentang fragmen (pecahan logam) yang tidak dapat dideteksi Protokol (II) tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan ranjau darat, booby trap, dan alatalat lain HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 10 2/28/2011 5:58:24 AM Protokol (III) tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan senjata pembakar 1993 Konvensi tentang larangan atas pengembangan, pembuatan, penimbunan, dan penggunaan senjata kimia dan tentang pemusnahannya 1995 Protokol tentang senjata laser yang membutakan (Protokol IV [baru] untuk Konvensi 1980) 1996 Revisi Protokol tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan ranjau, booby trap, dan alat-alat lain (Protokol II [hasil revisi) untuk Konvensi 1980) 1997 Konvensi tentang larangan atas penggunaan, penyimpanan, pembuatan, dan pengiriman ranjau darat antipersonil dan tentang pemusnahannya 1998 Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) 1999 Protokol untuk Konvensi 1954 tentang benda-benda budaya 2000 Protokol Opsional untuk Konvensi Hakhak Anak, menyangkut keterlibatan anak dalam konflik bersenjata 2001 Amandemen Pasal 1 Konvensi Senjata-senjata Konvensional Tertentu (CCW) Didorong oleh peristiwa Daftar di atas menunjukkan dengan jelas bahwa sejumlah konflik bersenjata tertentu membawa dampak langsung terhadap perkembangan HHI. Misalnya: Perang Dunia Pertama (1914-1918) menjadi saksi penggunaan cara-cara berperang yang, walaupun bukan baru sama sekali, berlangsung pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Cara-cara berperang ini antara lain adalah: gas racun, pemboman udara yang pertama kali, dan penangkapan ratusan ribu tawanan perang. Perjanjian internasional 1925 dan 1929 di atas menanggapi perkembangan baru tersebut. Asal-usul Konvensi-konvensi Jenewa 1949 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menandai sebuah kemajuan pesat dalam perkembangan HHI. Namun, setelah dekolonisasi, Negaranegara yang baru terbentuk tidak bersedia terikat oleh seperangkat aturan yang penyusunannya tidak melibatkan mereka itu. Apalagi, aturan-aturan perjanjian internasional yang mengatur perilaku peperangan (the conduct of hostilities) tersebut tidak mengalami perkembangan baru semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Den Haag pada tahun 1907. Karena merevisi Konvensikonvensi Jenewa dikhawatirkan akan Perang Dunia Kedua (1939-1945) menewaskan penduduk sipil dan personil militer dalam jumlah yang seimbang, padahal rasionya 1 : 10 dalam Perang Dunia Pertama. Pada tahun 1949, masyarakat internasional bereaksi terhadap angka-angka jumlah korban yang tragis itu, terlebih terhadap dampak mengerikan yang menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi-konvensi yang saat itu berlaku dan mengadopsi sebuah instrumen baru: Konvensi Jenewa Keempat untuk perlindungan penduduk sipil. Kemudian, pada tahun 1977, Protokol-protokol Tambahan diadopsi sebagai tanggapan terhadap dampak kemanusiaan dari berbagai perang kemerdekaan nasional, suatu hal yang hanya dicakup sebagian saja oleh Konvensi-konvensi Jenewa 1949. membahayakan sebagian dari kemajuan yang telah dicapai pada tahun 1949 tersebut, maka diputuskan untuk memperkuat perlindungan bagi korban konflik bersenjata dengan mengadopsi naskah baru dalam bentuk Protokol tambahan bagi Konvensikonvensi Jenewa tersebut (lihat Pertanyaan 9) Asal-usul Protokol-protokol Tambahan 1977 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menandai sebuah kemajuan pesat dalam perkembangan HHI. Namun, setelah dekolonisasi, Negaranegara yang baru terbentuk tidak bersedia terikat oleh seperangkat aturan yang penyusunannya tidak melibatkan mereka itu. Apalagi, aturan-aturan perjanjian internasional yang mengatur perilaku peperangan tersebut tidak mengalami perkembangan baru semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Den Haag pada tahun 1907. Karena merevisi Konvensi-konvensi Jenewa dikhawatirkan akan membahayakan sebagian dari kemajuan yang telah dicapai pada tahun 1949 tersebut, maka diputuskan untuk memperkuat perlindungan bagi korban konflik bersenjata dengan mengadopsi naskah baru dalam bentuk Protokol tambahan bagi Konvensikonvensi Jenewa tersebut (lihat Pertanyaan 9) Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokol Tambahan 1977 terdiri dari hampir 600 pasal dan merupakan instrumeninstrumen utama HHI. 11 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 11 2/28/2011 5:58:25 AM 12 ...bekerja untuk pemahaman dan penyebarluasan pengetahuan tentang hukum humaniter internasional... 5 SIAPA SAJA YANG TERIKAT OLEH KONVENSI - KONVENSI JENEWA? Hanya Negara yang bisa menjadi peserta perjanjian internasional. Dengan demikian, hanya Negara yang bisa menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokolprotokol Tambahannya. Walaupun demikian, semua pihak yang terlibat konflik bersenjata, baik itu Negara ataupun aktor bukan Negara, terikat oleh HHI. Pada akhir tahun 1953, hampir semua Negara di dunia tepatnya 191 Negara telah menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa. Fakta bahwa konvensi-konvensi tersebut termasuk salah satu perjanjian internasional yang diterima oleh sebagian besar Negara membuktikan kesemestaannya/keuniversalannya. Dalam hal Protokol-protokol Tambahannya, 161 Negara telah menjadi peserta Protokol 1 sedangkan 156 Negara telah menjadi peserta Protokol II. Penandatanganan, ratifikasi, aksesi, reservasi, suksesi Perjanjian multilateral antara Negara-negara, misalnya Konvensi-konvensi keinginannya, melalui deklarasi suksesi, untuk tetap terikat oleh sebuah Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya, memerlukan dua macam perjanjian internasional yang sudah berlaku di wilayahnya sebelum prodedur: kemerdekaan. Negara yang bersangkutan juga boleh membuat deklarasi akan memberlakukan perjanjian yang bersangkutan untuk sementara a) penandatanganan yang diikuti dengan ratifikasi waktu sambil mempelajari isinya sebelum melakukan aksesi atau Walaupun penandatanganan tidak mengikat Negara, tindakan tersebut suksesi. mewajibkannya untuk berperilaku dengan cara yang menganggap penting arti isi perjanjian internasional yang bersangkutan bilamana d) reservasi Negara penandatangan kemudian meratifikasinya dan berjanji dengan Dalam konteks prosedur-prosedur di atas, dan dengan syarat-syarat serius untuk menghormatinya. tertentu, sebuah Negara boleh membuat reservasi dengan tujuan membuang atau mengubah efek hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu b) aksesi yang ada pada perjanjian internasional yang bersangkutan. Syarat Aksesi adalah tindakan untuk menyatakan setuju terikat oleh sebuah utamanya ialah bahwa reservasi tersebut tidak bertentangan dengan perjanjian internasional yang dilakukan oleh Negara yang pada saat unsur-unsur substantif yang esensial yang ada pada perjanjian yang pengadopsian perjanjian internasional tersebut tidak ikut bersangkutan. menandatanganinya. Aksesi mempunyai implikasi yang sama seperti ratifikasi. Yang terakhir, gerakan kemerdekaan nasional yang dicakup oleh Ps. 1, alinea 4, Protokol I boleh berjanji untuk memberlakukan Konvensic) suksesi konvensi Jenewa dan Protokol I dengan mengikuti prosedur khusus Sebuah Negara merdeka yang baru terbentuk dapat mengungkapkan sebagaimana ditetapkan dalam Ps. 96, alinea 3, Protokol I. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 12 2/28/2011 5:58:26 AM Didier Bregnard/ICRC Siapakah yang bertugas menyebarluaskan pengetahuan mengenai Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokolnya? Negaralah yang mempunyai kewajiban hukum untuk menyebarluaskan pengetahuan akan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokolnya: "Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk, pada waktu damai maupun pada waktu perang, menyebarluaskan teks Konvensi ini seluas-luasnya di wilayah negara masing-masing dan, khususnya, untuk memasukkan studi tentangnya dalam programprogram pendidikan militer dan, bilamana mungkin, dalam program-program pendidikan sipil, agar prinsip-prinsip Konvensi ini dapat dikenal oleh seluruh penduduk, khususnya oleh angkatan bersenjata, personil medis, dan rohaniwan." (Ps. 47 KJ I, Ps. 48 KJ II, Ps. 127 KJ III, dan Ps. 144 KJ IV) penduduk sipil, agar instrumen-instrumen hukum ini dapat dikenal oleh angkatan bersenjata dan penduduk sipil." (Ps. 83, Protokol I) "Protokol ini disebarluaskan seluas-luasnya." (Ps. 19, Protokol II) ICRC dan tugas penyebarluasan pengetahuan tentang Hukum Humaniter Berdasarkan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, adalah tugas ICRC untuk: "( ) mengupayakan pemahaman dan penyebarluasan (diseminasi) pengetahuan tentang HHI yang berlaku dalam konflik bersenjata dan mempersiapkan pengembangan hukum tersebut" [Ps. 5(2)(g)] "( ) [memelihara hubungan yang erat dengan Perhimpunan"Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk, pada waktu damai perhimpunan Nasional] ( ) dalam hal-hal yang menjadi maupun pada waktu konflik bersenjata, menyebarluaskan teks kepedulian bersama, misalnya penyiapan aksi pada masa Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini seluas-luasnya di konflik bersenjata, penghormatan, pengembangan, dan peratifikasian Konvensi-konvensi Jenewa, dan penyebarluasan wilayah negara masing-masing dan, khususnya, untuk Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan HHI." [Ps. 5(4)(a)] memasukkan studi tentangnya dalam program-program pendidikan militer dan mendorong studi tentangnya di kalangan 13 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 13 2/28/2011 5:58:30 AM 14 Jus in bello: melindungi dan membantu korban-korban konflik bersenjata. 6 Tujuan HHI ialah untuk membatasi penderitaan yang timbul akibat perang dengan cara melindungi dan membantu korban semaksimal mungkin. Karena itu, hukum tersebut menyikapi realitas konflik tanpa mempersoalkan alasan ataupun legalitas bagi penggunaan kekuatan yang sedang berlangsung. HHI hanya mengatur aspek-aspek konflik yang berkaitan dengan kepedulian kemanusiaan. HHI-lah yang dimaksud dengan jus in bello (hukum dalam perang). Ketentuan-ketentuan yang ada pada hukum tersebut berlaku bagi pihak- pihak yang berperang, tanpa mempedulikan apa sebenarnya alasan bagi konflik yang bersangkutan dan apakah perjuangan yang dilakukan oleh masing-masing pihak benar atau tidak. Dalam hal konflik bersenjata internasional, kadang sulit menentukan Negara mana yang bersalah telah melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (lihat Pertanyaan 18). Penerapan HHI tidak mengharuskan dilakukannya pengecaman terhadap pihak yang bersalah, karena hal itu justru akan menimbulkan perdebatan sehingga menghambat pelaksanaan HHI sendiri. Masing-masing pihak yang berperang akan mengklaim telah menjadi korban agresi. Apalagi, tujuan HHI ialah melindungi korban dan hak-hak fundamental yang dimilikinya, dari pihak manapun korban berasal. Karena itu, jus in bello harus tetap berdiri sendiri terpisah dari jus ad bellum atau jus contra bellum (hukum penggunaan kekuatan atau hukum pencegahan perang). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 14 2/28/2011 5:58:34 AM Sebelum berakhirnya Perang Dunia Pertama, penggunaan kekuatan bersenjata tidak dianggap sebagai tindakan ilegal tetapi dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan perbedaan. Pada tahun 1919 diadopsi Perjanjian Liga Bangsa-bangsa (the Covenant of the League of Nations) dan, pada tahun 1928, diadopsi Traktat Paris (atau Pakta Briand-Kellogg) dalam rangka melarang peperangan. Pengadopsian Piagam PBB pada tahun 1945 mengukuhkan tren tersebut. "Dalam hubungan internasionalnya, anggota PBB menahan diri dari mengancam akan menggunakan kekuatan ataupun dari menggunakan kekuatan ( )." Halvor Fossum Lauritzen/ICRC Pelayanan Diseminasi dan Konsultasi Namun, bilamana sebuah Negara atau sekelompok Negara diserang oleh sebuah atau sekelompok Negara lain, Piagam PBB menjunjung tinggi hak Negara-negara untuk membela diri baik secara individual ataupun secara kolektif. Dewan Keamanan PBB, dengan mengacu pada Bab VII Piagam tersebut sebagai landasan (lihat Pertanyaan 18), dapat memutuskan untuk menggunakan kekuatan secara kolektif. Penggunaan kekuatan secara kolektif ini dapat berupa: tindakan pemaksaan (coercive measures) terhadap Negara yang membahayakan keamanan internasional, dengan tujuan memulihkan perdamaian; tindakan pemeliharaan perdamaian dalam bentuk misi pengamat atau misi pemeliharaan perdamaian. Sebuah contoh lain dapat diketemukan dalam kerangka hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Dalam resolusi 2105 (XX) yang diadopsi pada tahun 1965, Majelis Umum PBB "mengakui keabsahan perjuangan yang dikobarkan oleh bangsa-bangsa terjajah untuk melaksanakan hak mereka atas penentuan nasib sendiri dan atas kemerdekaan ( )." (Lihat hal. 16.) 15 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 15 2/28/2011 5:58:34 AM Ursula Meissner/ICRC 16 Perlindungan bagi personil medis ... 7 DALAM SITUASI APA HUKUM HUMANITER BERLAKU? UNTUK SIAPA HUKUM INI DITUJUKAN DAN SIAPA YANG DILINDUNGI? HHI berlaku dalam dua situasi. Dengan kata lain, HHI menyediakan dua sistem perlindungan: a) Konflik bersenjata internasional (lihat hal. 5) Dalam situasi ini, Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I berlaku. HHI pada dasarnya ditujukan untuk pihakpihak yang terlibat konflik internasional dan melindungi setiap orang atau kategori orang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat aktif dalam peperangan, yaitu: personil militer yang terluka atau sakit di medan pertempuran darat, dan anggota dinas medis angkatan bersenjata; personil militer yang terluka, yang sakit, atau yang kapalnya karam dalam pertempuran laut, dan anggota dinas medis angkatan laut; tawanan perang; penduduk sipil, misalnya: - warga negara asing di wilayah negara yang terlibat konflik, termasuk pengungsi; - orang sipil di wilayah pendudukan; - tahanan sipil dan internir; - personil medis dan rohaniwan atau satuan pertahanan sipil (perlindungan massa). Perang kemerdekaan nasional, sebagaimana didefinisikan dalam Ps. 1 Protokol I, diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata internasional (lihat hal. 12). b) Konflik bersenjata non-internasional (lihat hal. 5) Perlu dicatat bahwa syarat-syarat bagi pemberlakuan Protokol II lebih ketat daripada yang ditetapkan dalam Pasal 3 tersebut (lihat Pertanyaan 19). Dalam situasi konflik bersenjata non-internasional, HHI ditujukan bagi angkatan bersenjata, yang reguler maupun yang bukan reguler, yang ikut serta dalam konflik tersebut dan melindungi setiap orang atau kategori orang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat aktif dalam peperangan, misalnya: prajurit yang terluka atau sakit; orang yang dicabut kebebasannya (ditawan/ditahan) akibat konflik; penduduk sipil; personil medis dan personil keagamaan (rohaniwan). Selama berlangsungnya konflik bersenjata non-internasional, Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa dan Protokol II berlaku. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 16 2/28/2011 5:58:35 AM Thierry Gassmann/ICRC (Contact Press Images)/ICRC Bjorn Fjertoft/ICRC ...orang yang dicabut kebebasannya ...orang sipil HHI dan konflik bersenjata non-internasional Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa dianggap sebagai sebuah perjanjian internasional mini (lihat Pertanyaan 19). Ditambah dengan ketentuan-ketentuan Protokol II pun, perangkat aturan mengenai konflik bersenjata noninternasional tetap belum lengkap dibandingkan dengan perangkat aturan tentang konflik bersenjata internasional (lihat halaman sebalik). Memang sulit memperkuat sistem perlindungan tersebut dalam konflik bersenjata non-internasional karena adanya prinsip kedaulatan Negara. ...kombatan yang sakit atau terluka. Hukum apa yang berlaku untuk gangguan dalam negeri dan situasi-situasi kekerasan dalam negeri lainnya? HHI tidak berlaku pada situasi kekerasan yang intensitasnya lebih rendah daripada konflik bersenjata. Kasus-kasus jenis ini diatur oleh ketentuan Hukum HAM (lihat Pertanyaan 17) dan peraturan perundangan nasional yang berlaku. Aturan-aturan yang termuat dalam Pasal 3 dianggap sebagai hukum kebiasaan dan merupakan standar minimum yang tidak pernah boleh diabaikan oleh pihak yang terlibat konflik. 17 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 17 2/28/2011 5:58:37 AM 18 Bahkan dalam konflik anarkis , aturan kemanusiaan harus berlaku. APAKAH HUKUM HUMANITER BERLAKU BAGI KONFLIK JENIS BARU? 8 Ada banyak pembicaraan dewasa ini tentang adanya konflik-konflik "jenis baru." Istilah ini mencakup berbagai jenis konflik bersenjata: konflik-konflik yang dikenal sebagai konflik "anarkis" dan konflik-konflik lain di mana identitas kelompok menjadi titik fokus. Terminologi tersebut digunakan secara agak bebas. Konflik "anarkis," yang kemunculannya tak diragukan lagi merupakan akibat berakhirnya Perang Dingin, sering kali ditandai oleh melemahnya atau runtuhnya struktur Negara secara sebagian atau bahkan secara total. Dalam situasi seperti ini, kelompokkelompok bersenjata memanfaatkan vakum politik yang ada dalam upaya mereka merebut kekuasaan. Namun, konflik jenis ini terutama ditandai oleh melemahnya atau runtuhnya rantai komando di dalam kelompok-kelompok bersenjata yang bersangkutan. Konflik-konflik yang bertujuan untuk menegaskan identitas kelompok sering kali mencoba meniadakan lawannya melalui cara "pembersihan etnik" (ethnic cleansing). Pembersihan etnik ialah tindakan memindahkan penduduk secara paksa atau bahkan tindakan membasmi penduduk. Di bawah pengaruh propaganda, kekerasan, dan kebencian yang semakin hari semakin membesar, konflik jenis ini memperkuat 'perasaan kelompok' dengan merugikan identitas nasional yang ada, karena 'perasaan kelompok' semacam itu meniadakan kemungkinan koeksistensi dengan kelompok-kelompok lain. HHI juga berlaku bagi konflik "anarkis" dan konflik yang terkait dengan "identitas kelompok" semacam itu, di mana penduduk sipil pada khususnya terpapar pada kekerasan. Pasal 3 Ketentuan Yang Sama (lihat halaman berikut) mengharuskan semua kelompok bersenjata, baik yang sedang terlibat pemberontakan maupun yang tidak, untuk menghormati individu-individu yang sudah meletakkan senjata serta mereka-mereka yang tidak terlibat dalam peperangan, misalnya orang sipil. Oleh karena itu, bukan karena melemahnya atau tidak adanya struktur Negaralah yang menyebabkan terjadinya vakum hukum menyangkut HHI. Justru, dalam keadaan seperti itulah HHI berlaku sepenuhnya sebagai dirinya sendiri. Memang, aturan-aturan Hukum Humaniter lebih sulit diterapkan dalam jenis-jenis konflik semacam itu. Tiadanya disiplin di antara pihak-pihak yang bertikai, dipersenjatainya penduduk sipil, masuknya senjata membanjiri wilayah yang bersangkutan, dan semakin samarnya perbedaan antara kombatan HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 18 2/28/2011 5:58:40 AM dan orang sipil, semuanya ini sering kali menyebabkan konfrontasi yang bersangkutan menjadi sangat brutal sehingga ruang bagi penegakan aturan hukum menjadi sempit. Sebagai akibatnya, dalam situasi semacam itulah diperlukan upaya bersungguh-sungguh untuk membuat orang sadar akan Hukum Humaniter. Walaupun meningkatnya kesadaran akan Hukum Humaniter tidak akan memecahkan masalah mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik, hal tersebut dapat mengurangi konsekuensi yang mematikan dari konflik yang bersangkutan. Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa 1949: sebuah traktat mini Bilamana terjadi konflik bersenjata non-internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Negara Peserta Konvensikonvensi Jenewa, masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik tersebut wajib menerapkan sekurang-kurangnya ketentuanketentuan berikut: 1) Orang-orang yang tidak terlibat secara aktif dalam peperangan, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata dan anggota angkatan bersenjata yang tidak lagi terlibat dalam pertempuran karena sakit, luka-luka, atau ditahan atau karena alasan-alasan lain harus diperlakukan secara manusiawi dalam segala keadaan, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria-kriteria lain yang serupa. Untuk tujuan tersebut, tindakan-tindakan berikut ini dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas di segala waktu dan dalam segala keadaan: a) tindakan kekerasan terhadap jiwa dan raga, terutama pembunuhan dalam segala jenisnya, pengudungan (mutilasi), perlakuan kejam, dan penyiksaan; b) penyanderaan; c) pelecehan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; d) penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman mati tanpa didahului oleh pembacaan keputusan oleh pengadilan reguler yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab. 2) Yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan kemanusiaan yang tidak memihak, seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC), dapat menawarkan jasajasanya kepada pihak-pihak yang terlibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat konflik harus berusaha lebih lanjut untuk memberlakukan, dengan perjanjian-perjanjian khusus, semua atau sebagian dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam Konvensi ini. Penerapan ketentuan-ketentuan tersebut tidak mempengaruhi status hukum pihak-pihak yang terlibat konflik. (Lihat hal. 16 dan 17.) 19 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 19 2/28/2011 5:58:45 AM 20 Perjanjian Ottawa melarang penggunaan ranjau darat 9 BAGAIMANA HUKUM HUMANITER BERADAPTASI DENGAN PERKEMBANGAN BARU DAN APA PERAN ICRC DALAM PROSES TERSEBUT? HHI dikembangkan oleh Negara-negara melalui proses kodifikasi atau melalui praktik Negara (State practice). Kedua proses ini biasanya tumpang tindih. Praktik yang meluas oleh Negara-negara dapat mengkristal menjadi Hukum Internasional Kebiasaan. Praktik oleh Negara jugalah, yang kadang-kadang digabungkan dengan kegiatan LSM (lembaga swadaya masyarakat), yang dapat memicu pengkodifikasian Hukum Internasional (HI). Kodifikasi dapat menggunakan bentukbentuk traktat (perjanjian internasional) seperti konvensi, kovenan, protokol, atau pakta. Sebagai contoh, sejumlah Negara telah mengesahkan peraturan perundangan nasional yang secara implisit maupun eksplisit melarang penggunaan ranjau darat antipersonil. Namun, praktik pengesahan peraturan perundangan nasional semacam itu pada waktu itu belum meluas sehingga Hukum Kebiasaan mengenai larangan penggunaan ranjau darat antipersonil tersebut tidak terbentuk. Kemudian, pada tahun 1997, sebuah konferensi diadakan untuk menyusun sebuah konvensi khusus sehingga penggunaan, penimbunan, pembuatan serta transportasi ranjau Kedua Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa merupakan contoh mengenai bagaimana Hukum Humaniter dibuat, dari saat timbulnya gagasan hingga saat pengadopsian: berdasarkan rancangan peraturan yang dipersiapkan pada tahun 1956, yang kemudian menjadi resolusi yang diadopsi oleh dua Konferensi Internasional Palang Merah pada tahun 1960 and oleh Konferensi HAM Internasional di Teheran pada tahun 1968, ICRC mempelajari kemungkinan membuat suplemen bagi Konvensi-konvensi Jenewa 1949; pada tahun 1969, ICRC mengajukan gagasan penyusunan suplemen tersebut pada Konferensi Internasional Palang Merah ke-21 di Istambul. Para peserta konferensi ini, termasuk Negaranegara Peserta Konvensi-konvensi Jenewa, memberi mandat kepada ICRC untuk melaksanakan gagasan tersebut, dan para ahli hukum ICRC segera memulai kegiatan persiapan; dari tahun 1971 hingga 1974, ICRC mengadakan konsultasi antipersonil menjadi dilarang bagi semua Negara yang meratifikasi perjanjian tersebut. Peran ICRC dalam pengembangan Hukum Humaniter adalah: memonitor perubahan-perubahan sifat konflik bersenjata; mengadakan konsultasi dalam rangka memastikan terciptanya kemungkinan untuk mencapai kesepakatan atas aturan-aturan baru; mempersiapkan rancangan peraturan untuk disampaikan pada konferensi diplomatik. dengan pemerintah-pemerintah maupun dengan Gerakan. Laporan kemajuan diberikan secara teratur kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB); pada tahun 1973, Konferensi Internasional Palang Merah ke22, yang diadakan di Teheran, mempelajari rancangan suplemen tersebut dan sepenuhnya mendukungnya; pada bulan Februari 1974, Pemerintah Swiss sebagai penyimpan (depository) Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyelenggarakan Konferensi Diplomatik di Jenewa dalam rangka meneguhkan dan menyusun Hukum Humaniter Internasional yang berlaku pada konflik bersenjata. Konferensi ini terdiri dari empat sesi yang secara keseluruhan berakhir pada bulan Juni 1977; pada sesi terakhir Konferensi tersebut, sebanyak 102 pasal Protokol I and 28 pasal Protokol II diadopsi oleh para wakil berkuasa penuh dari sebanyak 102 Negara yang diwakili dalam Konferensi tersebut. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 20 2/28/2011 5:58:49 AM ICRC sebagai promotor Hukum Humaniter Berdasarkan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (lihat hal. 13), salah satu tugas ICRC ialah mempersiapkan perkembangan yang bisa dilakukan terhadap HHI. Dengan demikian, ICRC adalah promotor HHI. Beberapa perkembangan terbaru (lihat juga Pertanyaan 4) Protokol tentang senjata laser yang membutakan, yang diadopsi pada Konferensi Diplomatik di Wina pada bulan Oktober 1995, melarang penggunaan dan pemindahan senjata laser, yang salah satu fungsi tempur utamanya ialah menimbulkan kebutaan permanen. Protokol ini juga mengharuskan Negara untuk mengambil segala tindakan pencegahan yang diperlukan, termasuk pelatihan angkatan bersenjata, untuk mencegah terjadinya kebutaan permanen sebagai akibat dari penggunaan yang sah atas sistem laser yang demikian. Dalam hal ranjau, lingkup pemberlakuan Protokol II Konvensi 1980 tersebut (lihat hal. 10) diperluas dengan diadopsinya versi amandemen Protokol tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan ranjau, booby traps, and alat-alat lainnya di Jenewa pada tanggal 3 Mei 1996. Konvensi tentang larangan atas penggunaan, penimbunan, pembuatan, dan pengangkutan ranjau antipersonil dan tentang pemusnahannya, yang ditandatangani oleh 121 negara di Ottawa pada tanggal 3-4 Desember 1997, mutlak melarang ranjau antipersonil. Konvensi ini juga mengatur tentang pembersihan ranjau dan pemberian bantuan kepada korban ranjau. Perjanjian-perjanjian HHI yang mengandung aturan yang berlaku bagi perlindungan lingkungan antara lain adalah Pasal 56 Protokol Tambahan I dan Konvensi 10 Desember 1976 tentang larangan penggunaan teknik-teknik modifikasi lingkungan untuk tujuan militer atau tujuan perang. Namun, Perang Teluk 1991 menunjukkan bahwa aturan-aturan tersebut kurang dipahami dan kadang-kadang kurang rinci. Karena itu, pada tahun 1994, dengan dorongan dari Majelis Umum PBB dan dengan bantuan dari pakar-pakar di bidang itu, ICRC membuat rancangan Pedoman bagi penyusunan buku pegangan militer dan instruksi militer menyangkut perlindungan terhadap lingkungan hidup di masa konflik bersenjata. Perkembangan terbaru lainnya ialah Buku Pegangan San Remo (the San Remo Manual) tentang hukum internasional yang berlaku pada konflik bersenjata di laut. Pentingnya penyusunan buku pegangan tersebut, yang dilakukan oleh Institut Internasional Hukum Humaniter (the International Institute of Humanitarian Law) dengan dukungan dari ICRC, diakui oleh pemerintahpemerintah melalui resolusi yang diadopsi oleh Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-26, yang diselenggarakan di Jenewa pada tahun 1995. Walaupun Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya tidak secara tegas melarang penggunaan senjata nuklir, prinsip-prinsip dan aturan-aturan HHI (lihat hal. 7) tetap berlaku dalam kasus ini. Prinsip-prinsip dan aturan-aturan ini antara lain mengharuskan pihak-pihak yang berperang untuk setiap saat membedakan antara kombatan dan non-kombatan dan melarang penggunaan senjata yang bisa menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. Penerapan prinsip-prinsip dan aturan-aturan ini terhadap senjata nuklir ditegaskan kembali oleh Pengadilan Internasional (the International Court of Justice) di Den Haag pada tahun 1996. Sebuah perkembangan lebih lanjut ialah pengadopsian Statuta Pengadilan Pidana Internasional (the International Criminal Court) pada tanggal 17 Juli 1998. Statuta tersebut merupakan langkah penting dalam upaya mengurangi impunitas (kelolosan dari jerat hukum) dan memastikan meningkatnya penghormatan terhadap Hukum Humaniter. Pengadilan yang baru ini akan mempunyai kewenangan hukum atas kejahatan perang yang dilakukan dalam konflik bersenjata internasional maupun dalam konflik bersenjata non-internasional. Walaupun HHI telah menjadi dasar kewajiban untuk menuntut penjahat perang, pengadilan yang baru ini memperkuat perangkat hukum yang telah ada. Perkembangan terbaru menyangkut HHI berkenaan dengan sarana perang. Pada bulan Desember 2001, lingkup Konvensi PBB 1980 tentang larangan dan pembatasan atas penggunaan senjata-senjata konvensional tertentu diperluas. Sebelumnya, Konvensi tersebut hanya mencakup situasi konflik bersenjata internasional, tetapi Konferensi Kaji Ulang Kedua mengamendasi Pasal 1 dengan mengikutsertakan situasi konflik bersenjata non-internasional. 21 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 21 2/28/2011 5:58:53 AM 22 Korban perang punya hak untuk menerima bantuan yang mutlak mereka perlukan untuk bertahan hidup APA YANG DITETAPKAN OLEH HUKUM HUMANITER MENGENAI BANTUAN MATERIAL BAGI PARA KORBAN KONFLIK BERSENJATA? 10 Negara-negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa mengakui hak para korban konflik bersenjata untuk memperoleh bantuan yang mutlak mereka perlukan untuk bertahan hidup. Hak tersebut kemudian dikembangkan lebih jauh dengan pengadopsian Protokol-protokol Tambahan 1977. penduduk di wilayah yang didudukinya (Pasal 55 Konvensi Jenewa IV); bilamana persediaan barang-barang semacam itu dari mereka sendiri tidak memadai, Penguasa Pendudukan harus menyetujui penyediaan bantuan kemanusiaan (relief) oleh sumber-sumber luar (Pasal 59 Konvensi Jenewa IV). Dalam sebuah konflik bersenjata internasional, hak untuk memperoleh bantuan meliputi terutama: jalur bebas untuk pengiriman barangbarang tertentu yang diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil (Pasal 23 Konvensi Jenewa IV, yang disusun untuk menangani masalah blokade); kewajiban bagi Penguasa Pendudukan untuk menjamin tersedianya barangbarang kebutuhan pokok (esensial) bagi Protokol I (Ps. 69 dan 70) memperkuat perangkat aturan yang diadopsi pada tahun 1949 tersebut. Sebagai contoh, sebuah Negara dalam keadaan perang harus bersedia menerima skema pemberian bantuan kemanusiaan bersifat tidak memihak yang dilaksanakan tanpa diskriminasi bagi penduduk di wilayahnya, setelah skema tersebut disepakati oleh pihak-pihak terkait. Bilamana kondisikondisi sebagaimana disebutkan di atas memang ada, keliru jika skema bantuan kemanusiaan semacam itu ditolak karena pemberian bantuan semacam itu tidak dianggap oleh HHI sebagai tindakan campur tangan terhadap konflik bersenjata itu sendiri ataupun sebagai tindakan permusuhan. Dalam konflik bersenjata non-internasional, Protokol II (Ps. 18) menetapkan antara lain bahwa jika penduduk sipil mengalami penderitaan berlebihan karena tiadanya barang-barang yang mutlak mereka perlukan bagi kelangsungan hidup mereka, maka tindakan pemberian bantuan yang sepenuhnya bersifat kemanusiaan dan tidak memihak dan yang dilaksanakan tanpa diskriminasi harus dilakukan, setelah disetujui oleh pihak-pihak yang bertikai (lihat hal. 19). Dewasa ini telah diakui secara umum bahwa Negara harus mengizinkan dilaksanakannya operasi pemberian bantuan kemanusiaan semacam itu. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 22 2/28/2011 5:58:57 AM ICRC dan hak untuk memberikan bantuan ICRC pada setiap kasus mempunyai hak prakarsa (lihat hal. 2) yang memungkinkannya menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang terlibat konflik, terutama dengan tujuan memberikan bantuan kepada para korban. Pelayanan bantuan ICRC (yang berupa kegiatan pemberian bantuan darurat atau kegiatan pemberian bantuan lainnya) bukan merupakan campur tangan terhadap urusan dalam negeri sebuah Negara, karena pelayanan bantuan ICRC ditetapkan dalam HHI. Hukum Humaniter dan hak untuk mengintervensi atas dasar kemanusiaan. Sejauh sebuah "hak atau bahkan kewajiban untuk melakukan intervensi" menjadi setara dengan pembenaran dilakukannya intervensi bersenjata demi alasan-alasan kemanusiaan, maka masalah semacam itu bukanlah untuk Hukum Humaniter melainkan untuk Hukum yang mengatur legalitas penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional, yaitu jus ad bellum (lihat Pertanyaan 6 dan 18). Bilamana terdapat intervensi bersenjata yang dilakukan demi alasan kemanusiaan, maka ICRC sesuai dengan mandatnya (lihat indeks) harus memastikan agar pihak-pihak yang terlibat dalam intervensi tersebut mematuhi aturan-aturan yang relevan dari HHI. Selain itu, ICRC juga harus berupaya memberikan bantuan bagi para korban konflik yang bersangkutan. ICRC tidak mendukung ataupun menentang "hak untuk melakukan intervensi" tersebut. Berdasarkan pengalaman ICRC sendiri, masalah tersebut adalah masalah politis dan ICRC tidak mungkin terlibat di dalamnya tanpa membahayakan kegiatan kemanusiaannya sendiri. 23 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 23 2/28/2011 5:58:59 AM 24 Anggota-anggota keluarga yang terpisah akibat konflik harus dipersatukan kembali. APA YANG DITETAPKAN OLEH HUKUM HUMANITER MENGENAI PEMULIHAN HUBUNGAN KELUARGA? 11 Sebagai akibat konflik bersenjata, tawanan perang dan internir sipil terpisah dari orangorang yang mereka cintai, keluarga menjadi tercerai berai, dan sejumlah orang hilang. Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol I berisi sejumlah ketentuan yang memberikan perlindungan kepada para korban tersebut. Ketentuan-ketentuan ini berlaku dalam konflik bersenjata internasional dan memberikan wewenang kepada ICRC untuk melaksanakan tugastugas berikut ini: 1) Menyampaikan berita keluarga dan informasi lainnya (Ps. 25 Konvensi Jenewa IV). Tugas ini mencakup antara lain; menerima dan mencatat kartu penawanan tawanan perang (prisoner-of-war capture card) dan kartu penahanan internir sipil (civilian internment card) serta mengirimkan salinan kartu-kartu ini kepada pihak keluarga tawanan perang/internir sipil; menyampaikan surat antara orang yang dicabut kebebasannya dan keluarganya; menyampaikan berita keluarga (Berita Palang Merah) antara anggota keluarga yang terpisah apabila jaringan pos biasa tidak dapat berfungsi dengan baik; menerima dan menyampaikan berita kematian. ICRC untuk pertama kalinya melakukan pekerjaan semacam ini ketika berlangsung perang Prancis-Prussia pada tahun 1870. Dengan bertindak sebagai penengah, badan pencarian (tracing agency) ICRC mulai melakukan kegiatan untuk Secara lebih umum, Badan Pencarian Pusat (Central Tracing Agency) ICRC berperan sebagai penengah antara pihak-pihak yang terlibat konflik atau, lebih tepatnya, antara biro informasi nasional masing-masing (lihat halaman sebalik) untuk menyampaikan informasi tentang orangorang yang dilindungi HHI. 2) Mencari tahu tentang keberadaan orang yang hilang (Ps. 33 Protokol I dan Ps. 26 Konvensi Jenewa IV). 3) Mempertemukan kembali keluarga yang terpisah (lihat halaman berikut, Ps. 74 Protokol I dan Ps. 26 Konvensi Jenewa IV). memulihkan hubungan antara tawanan perang dan keluarganya, dimulai dengan pertukaran daftar korban luka antara pihakpihak yang berperang. Sejak saat itu, Badan Pencarian Pusat ICRC telah banyak mengembangkan kegiatan-kegiatannya. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 24 2/28/2011 5:59:01 AM Richard Fradin/ICRCRichar Marwan Naam/ICRC Biro Informasi Nasional Badan Pusat Pencarian (Central Tracing Agency) Konvensi Jenewa III (Ps. 122) menyatakan bahwa pada saat pecah perang, setiap pihak yang netral maupun pihak yang berperang yang di wilayahnya terdapat warga negara dari pihak musuh harus mendirikan sebuah biro informasi resmi bagi para tawanan perang di sana. Setiap pihak yang berperang harus memberikan kepada biro informasi yang telah didirikannya itu informasi mengenai semua tawanan perang yang telah ditangkap oleh angkatan bersenjatanya serta data rinci mengenai identitas para tawanan perang ini supaya keluarga terdekatnya dapat diberi tahu sesegera mungkin. Apabila tidak ada biro semacam itu, sebagaimana yang sering terjadi dalam situasi konflik, ICRC sendiri melakukan usaha untuk mengumpulkan informasi tentang orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi-konvensi Jenewa. "Sebuah Badan Informasi Tawanan Perang Pusat harus didirikan di sebuah negara netral. Apabila ICRC menganggap perlu, ICRC harus mengusulkan diselenggarakannya Badan semacam itu kepada Pihak-pihak Penguasa yang terkait. Fungsi Badan semacam itu ialah mengumpulkan semua informasi yang dapat diperoleh melalui saluran-saluran resmi ataupun saluransaluran swasta mengenai para tawanan perang dan mengirimkan informasi ini secepat mungkin ke negara asal para tawanan perang itu atau kepada Pihak Penguasa yang menjadi gantungan mereka ( )." (Ps 123 Konvensi Jenewa III) Keluarga yang terpisah "Setiap Pihak yang terlibat konflik harus memfasilitasi pencarian informasi yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang terpisah sebagai akibat perang yang bersangkutan, dengan maksud memulihkan kontak antara satu sama lain dan, bilamana mungkin, mempertemukan mereka ( )." (Ps. 26 Konvensi Jenewa IV) 25 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 25 2/28/2011 5:59:05 AM 26 tanda yang melindungi SEPERTI APA KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM HUMANITER YANG MENGATUR PENGGUNAAN LAMBANG? 12 Konvensi-konvensi Jenewa menyebutkan tiga lambang: palang merah, bulan sabit merah, serta singa dan matahari merah, walaupun sekarang ini hanya dua lambang yang pertama sajalah yang dipakai. Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokolprotokol tambahannya berisi sejumlah ketentuan mengenai lambang-lambang tersebut. Ketentuan-ketentuan ini mengatur antara lain: penggunaan, ukuran, tujuan, dan penempatan lambang yang bersangkutan; orang-orang dan bendabenda yang dilindunginya; siapa yang dapat memakainya; penghormatan seperti apa yang harus diberikan terhadap lambang tersebut; dan sanksi/hukuman seperti apa yang harus diberikan untuk penggunaan keliru atas lambang tersebut (lihat halaman berikut). Dalam masa konflik bersenjata, lambanglambang tadi bisa digunakan sebagai alat perlindungan hanya oleh: Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah yang secara resmi diakui dan diizinkan oleh pemerintahnya untuk memberikan bantuan kepada dinas medis angkatan bersenjata; Perhimpunan Nasional boleh menggunakan lambang tersebut untuk tujuan perlindungan hanya bagi personil dan peralatan medis yang dipakai membantu dinas medis resmi pada masa perang, dengan ketentuan bahwa personil dan peralatan tersebut melaksanakan fungsi-fungsi yang sama, dan bukan fungsi lain, dan bahwa mereka tunduk pada hukum dan peraturan militer; rumah sakit sipil dan sarana medis lain yang diakui oleh pemerintah dan diizinkan untuk memajang lambang untuk tujuan perlindungan (pos pertolongan pertama, ambulans, dll.); badan-badan bantuan kemanusiaan sukarela lain yang tunduk pada persyaratan yang sama seperti Perhimpunan Nasional. Badan-badan ini harus memiliki pengakuan dan izin dari pemerintahnya; boleh menggunakan lambang tersebut hanya bagi personil dan peralatan yang memang dipakai semata-mata untuk pemberian pelayanan medis, dan harus tunduk pada hukum dan peraturan militer. HHI juga menetapkan bahwa setiap Negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah dan menghukum penggunaan keliru atas lambang tersebut dalam masa perang maupun dalam masa damai serta memberlakukan undang-undang mengenai perlindungan bagi lambang tersebut. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 26 2/28/2011 5:59:09 AM Ursula Meissn Thierry Gassman Penggunaan lambang Penggunaan lambang tersebut sebagai tanda perlindungan merupakan perwujudan nyata dari perlindungan yang diberikan oleh Konvensi-konvensi Jenewa bagi personil, unit, dan transportasi medis. Penggunaan lambang tersebut sebagai tanda pengenal di masa perang ataupun di masa damai menunjukkan bahwa orang atau benda yang bersangkutan mempunyai hubungan dengan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. ICRC berhak untuk setiap saat menggunakan lambang tersebut baik sebagai tanda perlindungan maupun sebagai tanda pengenal. Penggunaan keliru atas lambang Setiap penggunaan yang tidak secara tegas diizinkan oleh HHI merupakan penggunaan keliru atas lambang tersebut. Ada tiga jenis penggunaan keliru: peniruan (imitation), yaitu penggunaan tanda tertentu yang bentuk dan/atau warnanya sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan kerancuan dengan lambang yang telah ditetapkan oleh HHI tersebut; pembajakan (usurpation), yaitu penggunaan lambang tersebut oleh badan atau perorangan yang tidak berhak menggunakannya (misalnya: perusahaan komersial, apotik, dokter swasta, LSM, perorangan, dan lain sebagainya); bilamana orang yang berhak menggunakan lambang tersebut menggunakannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh HHI, hal tersebut juga merupakan penyalahgunaan lambang; tipu muslihat licik (perfidy), yaitu penggunaan lambang tersebut pada waktu konflik dengan tujuan melindungi kombatan atau perlengkapan militer; penggunaan secara tipu daya licik atas lambang tersebut, dalam konflik bersenjata internasional ataupun konflik bersenjata non-internasional, merupakan kejahatan perang. Penggunaan keliru atas lambang tersebut sebagai tanda perlindungan di masa perang membahayakan sistem perlindungan yang diatur dalam HHI. Penggunaan keliru atas lambang tersebut sebagai tanda pengenal merusak citranya di mata publik sehingga mengurangi kekuatan perlindungannya pada waktu perang. Negara-negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa telah berjanji untuk memberlakukan langkah-langkah pidana dalam rangka mencegah dan menindak penggunaan keliru atas lambang tersebut di masa perang maupun di masa damai. 27 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 27 2/28/2011 5:59:14 AM Willem Smit/ICRC 28 Penghormatan terhadap Hukum Humaniter mencegah terjadinya perpindahan penduduk secara paksa 13 BAGAIMANA HUKUM HUMANITER MELINDUNGI PENGUNGSI EKSTERNAL DAN PENGUNGSI INTERNAL? Pengungsi eksternal (refugees) adalah pengungsi yang meninggalkan negaranya sedangkan pengungsi internal (internally displaced person atau IDP) adalah pengungsi yang belum meninggalkan wilayah negaranya. Sumber perlindungan terpenting bagi pengungsi eksternal ialah Hukum Pengungsi (Refugee Law) (lihat halaman berikut) dan mandat Kantor Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi Eksternal (UNHCR / United Nations High Commissioner for Refugees). Apabila mereka berada di dalam sebuah Negara yang terlibat konflik bersenjata, pengungsi eksternal juga dilindungi oleh HHI. Selain perlindungan umum sebagaimana yang diberikan oleh HHI kepada penduduk sipil, pengungsi eksternal juga memperoleh perlindungan khusus berdasarkan Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan I. Perlindungan khusus ini mengakui kerentanan pengungsi eksternal sebagai orang asing yang berada di tangan salah satu pihak yang terlibat konflik dan ketiadaan perlindungan dari Negara asal mereka. Pengungsi internal dilindungi oleh berbagai perangkat hukum, terutama hukum nasional dan hukum HAM dan, apabila mereka berada di Negara yang sedang mengalami konflik bersenjata, mereka juga dilindungi oleh HHI. Apabila pengungsi internal berada di sebuah Negara yang terlibat konflik bersenjata, mereka dianggap sebagai penduduk sipil asalkan mereka tidak ambil bagian secara aktif dalam peperangan yang ada. Dengan demikian, mereka berhak memperoleh perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil. Apabila dihormati, perangkat-perangkat hukum tersebut sangat membantu mencegah terjadinya pengungsian, karena sering kali pelanggaran terhadap perangkat-perangkat hukum tersebutlah yang menyebabkan terjadinya pengungsian. Sebagai tambahan, HHI secara tegas melarang pemaksaan terhadap penduduk sipil untuk meninggalkan tempat tinggal mereka kecuali bilamana keselamatan mereka terancam atau ada alasan-alasan militer yang sangat penting yang mengharuskan penduduk sipil untuk mengungsi. Setelah mengungsi, pengungsi internal dilindungi dari dampak konflik bersenjata oleh aturan-aturan umum yang mengatur perlindungan dan bantuan kemanusiaan bagi penduduk sipil seperti yang dijelaskan di atas. Apabila dihormati, ketentuan-ketentuan umum Hukum Humaniter yang mengatur perlindungan bagi penduduk sipil dapat mencegah terjadinya pengungsian. Apabila pengungsian tetap terjadi, ketentuan-ketentuan tersebut dapat memberikan perlindungan selama orang-orang yang bersangkutan menjadi pengungsi. Secara khusus perlu disebutkan ketentuan-ketentuan berikut ini, yaitu ketentuan-ketentuan yang melarang: penyerangan terhadap penduduk sipil atau objek-objek sipil atau penyerangan yang membabi buta; penggunaan metode membuat penduduk sipil kelaparan dan penghancuran objekobjek yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup mereka; pemberian hukuman kolektif yang seringkali berbentuk penghancuran pemukiman. Ada juga sejumlah ketentuan yang mengharuskan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk memperbolehkan pengiriman bantuan kemanusiaan menjangkau penduduk sipil yang membutuhkan. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 28 2/28/2011 5:59:18 AM Boris Heger/ICRC Definisi pengungsi eksternal (refugee) Menurut Pasal 1 Konvensi PBB 1951 tentang Status Pengungsi Eksternal, istilah refugee (pengungsi eksternal) berlaku bagi setiap orang "yang karena memiliki ketakutan yang cukup beralasan bahwa dia akan dianiaya atas dasar ras, agama, kebangsaan, atau keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau aliran politik tertentu, berada di luar wilayah negara kebangsaannya itu dan tidak dapat menerima perlindungan dari negara kebangsaannya itu atau, disebabkan oleh ketakutannya itu, tidak bersedia menerima perlindungan semacam itu" atau setiap orang "yang karena tidak memiliki kewarganegaraan dan berada di luar wilayah negara yang biasa ditinggalinya sebagai akibat kejadian-kejadian semacam itu, tidak dapat kembali ke negara tersebut atau, disebabkan oleh ketakutan semacam itu, tidak bersedia kembali ke negara tersebut." Konvensi OAU (Organisasi Persatuan Afrika) 1969 mengenai masalah-masalah pengungsi eksternal di Afrika dan Deklarasi Cartagena 1984 mengenai pengungsi eksternal memperluas definisi tersebut dengan memasukkan orang yang melarikan diri dari peristiwa yang secara serius mengacaukan ketertiban umum, misalnya konflik bersenjata dan situasi gangguan. 29 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 29 2/28/2011 5:59:21 AM Priska Spoerri/ICRC 30 Menyebarluaskan pengetahuan tentang Hukum Humaniter LANGKAH-LANGKAH APA YANG DAPAT DIAMBIL UNTUK MENGIMPLEMENTASIKAN HUKUM HUMANITER? 14 Langkah-langkah implementasi berikut ini harus dilaksanakan. Langkah pencegahan (preventif), yang didasarkan pada kewajiban Negara untuk tunduk pada Hukum Humaniter, yaitu antara lain: menyebarluaskan pengetahuan tentang HHI; melatih personil berkualifikasi untuk memfasilitasi pelaksanaan HHI dan pengangkatan penasihat hukum di lingkungan angkatan bersenjata; mengadopsi peraturan perundangan untuk memastikan kepatuhan terhadap HHI; menerjemahkan naskah Konvensikonvensi Jenewa. Langkah untuk memantau kepatuhan terhadap HHI selama berlangsungnya konflik, yaitu antara lain: tindakan oleh "Otoritas Pelindung" (protecting power), yaitu pihak ketiga yang netral yang ditunjuk oleh kedua pihak yang terlibat konflik atau oleh penggantinya; tindakan oleh ICRC (lihat Pertanyaan 15). Langkah penindakan (represi), yang didasarkan pada kewajiban pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mencegah dan menghentikan segala bentuk pelanggaran, yaitu antara lain: kewajiban bagi pengadilan nasional untuk menindak pelanggaran berat (grave breaches) yang dianggap sebagai kejahatan perang (mengenai pengadilan internasional, lihat Pertanyaan 16); pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban disipliner dari atasan dan kewajiban komandan untuk menindak dan melaporkan pelanggaran; bantuan timbal balik antar-Negara menyangkut masalah-masalah kejahatan pidana. Ada sejumlah langkah implementasi lain, yang meliputi pencegahan, pengendalian, maupun penindakan (dua yang terakhir, yaitu pengendalian dan penindakan, didasarkan terutama pada kewajiban Negara untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Humaniter). Langkahlangkah implementasi lain ini antara lain adalah sebagai berikut: prosedur penyelidikan; Komisi Pencari Fakta Internasional; prosedur pemeriksaan mengenai penerapan dan penafsiran ketentuanketentuan hukum; kerja sama dengan Perserikatan BangsaBangsa. Upaya diplomatik dan tekanan dari media dan opini publik juga sangat membantu memastikan implementasi HHI. Selain bersifat melekat pada setiap ketentuan hukum yang relevan, langkahlangkah represi tersebut juga berperan sebagai penangkal. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 30 2/28/2011 5:59:24 AM Ketentuan hukum mengenai implementasi HHI NB: Untuk pasal-pasal mengenai promosi pengetahuan tentang Konvensi- "Pihak Peserta Agung setiap saat boleh setuju untuk mempercayakan konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya, lihat hal. 13. pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang ada pada Otoritas Pelindung kepada sebuah organisasi internasional yang ketidakberpihakan dan "Pihak-pihak Peserta Agung" harus berusaha ( ) di masa damai ( ) keefektifannya sepenuhnya terjamin, berdasarkan Konvensi ini ( ). untuk melatih personil yang berkualifikasi agar mereka dapat memfasilitasi Jika perlindungan tidak dapat diatur seperti itu, maka Otoritas Penahan pelaksanaan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini ( )." (the Detaining Power) harus meminta atau harus menyetujui, sesuai (Ps. 6, Protokol I) dengan ketentuan-ketentuan Pasal ini, penawaran jasa dari sebuah organisasi kemanusiaan, seperti Komite Internasional Palang Merah "Pihak-pihak Peserta Agung berjanji akan menghormati dan menjamin (ICRC), untuk melaksanakan fungsi-fungsi kemanusiaan yang penghormatan atas Konvensi ini dalam segala keadaan." berdasarkan Konvensi ini harus diselenggarakan oleh Otoritas Pelindung." (Pasal 1 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa) (Ps. 10, KJ I, II, III; dan Ps. 11, KJ IV) "Pada setiap saat Pihak-pihak Peserta Agung harus, dan selama berlangsungnya konflik Pihak-pihak yang terlibat konflik harus, menjamin tersedianya penasihat hukum, bilamana diperlukan, untuk memberikan pertimbangan/advis kepada para komandan militer pada jajaran pangkat yang tepat mengenai penerapan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini dan mengenai instruksi yang tepat yang perlu diberikan kepada angkatan bersenjata menyangkut pokok masalah tersebut." (Ps. 82, Protokol I) "Atas permintaan salah satu Pihak Peserta Agung atau lebih, dan atas persetujuan mayoritas Pihak Peserta Agung, pihak yang penyimpan Protokol ini (the depository of this Protocol) harus menyelenggarakan pertemuan Pihak-pihak Peserta Agung untuk membicarakan masalahmasalah umum menyangkut pelaksanaan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini." (Ps. 7, Protokol I) "Apabila peraturan perundangan mereka belum memadai, Pihak-pihak Peserta Agung pada setiap saat harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan menindak setiap penyalahgunaan tandatanda pembeda ( )." (Ps. 45, Konvensi Jenewa II) "Ketentuan-ketentuan Konvensi ini bukan penghalang bagi kegiatan kemanusiaan yang mungkin diupayakan oleh Komite Internasional Palang Merah atau oleh organisasi kemanusiaan lainnya yang juga bersifat tidak memihak, atas persetujuan Pihak-pihak yang terlibat konflik, untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada korban luka, korban sakit, personil medis, dan personil keagamaan." (Ps. 9/9/9/10 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa) "Pihak-pihak Peserta Agung harus saling mengkomunikasikan melalui Dewan Federal Swiss (the Swiss Federal Council) dan, selama berlangsungnya peperangan, melalui Otoritas Pelindung (Protecting Powers) terjemahan resmi Konvensi ini maupun terjemahan resmi peraturan perundangan yang mungkin akan mereka adopsi untuk menjamin penerapan Konvensi ini." (Ps. 48/49/128/145 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa) "Pihak-pihak Peserta Agung berjanji akan memberlakukan setiap peraturan perundangan yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana yang efektif kepada orang-orang yang melakukan, atau yang memerintahkan dilakukannya, salah satu dari pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi ini ( ). Setiap Pihak Peserta Agung berkewajiban mencari orang-orang yang diduga telah melakukan, atau telah memerintahkan dilakukannya, pelanggaran-pelanggaran berat semacam itu dan harus membawa orang-orang semacam itu ke hadapan pengadilannya sendiri, apapun kebangsaan orang yang bersangkutan." (Ps. 49/50/129/146 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa) "Konvensi ini harus dilaksanakan dengan kerja sama dan pengawasan dari Otoritas Pelindung (Protecting Powers), yang tugasnya memang mengamankan kepentingan Pihak-pihak yang terlibat konflik. Untuk maksud tersebut, Otoritas Pelindung boleh mengangkat, selain staf diplomatik dan staf konsuler mereka, utusan-utusan yang dipilih dari antara warga negara mereka sendiri atau dari antara warga negara negara netral lainnya. (Ps. 8, KJ I, II, III; dan Ps. 9 KJ IV) "Dalam situasi pelanggaran serius (serious violations) terhadap Konvensikonvensi Jenewa atau terhadap Protokol ini, Pihak-pihak Peserta Agung harus berusaha mengambil tindakan, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, dengan bekerja sama dengan Perserikatan Bangsabangsa (PBB) dan dengan cara yang sesuai dengan Piagam PBB." (Ps. 89, Protokol I) "Pihak-pihak Peserta Agung harus memberikan bantuan sebesarbesarnya kepada satu sama lain sehubungan dengan proses pengadilan pidana menyangkut pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi-konvensi Jenewa atau terhadap Prototol ini ( ). Bilamana keadaan mengizinkan, Pihak-pihak Peserta Agung harus bekerja sama dalam masalah ekstradisi ( )" (Ps. 88, Protokol I) "Sebuah Komisi Pencari Fakta Internasional ( ) yang terdiri dari 15 anggota yang moralnya tinggi dan ketidakmemihakannya telah diakui harus dibentuk ( ). Komisi ini harus memiliki kompetensi untuk (i) menyelidiki setiap fakta yang diduga merupakan pelanggaran berat sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan oleh Protokol ini atau yang diduga merupakan pelanggaran serius lainnya terhadap Konvensi-konvensi Jenewa atau terhadap Protokol ini ( )." (Ps. 90, Protokol I) 31 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 31 2/28/2011 5:59:25 AM 32 ICRC mengingatkan pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata akan kewajiban mereka untuk mengizinkan penyelenggaraan registrasi dan repatriasi bagi tawanan perang. APA PERAN ICRC DALAM MEMASTIKAN PENGHORMATAN TERHADAP HUKUM HUMANITER? 15 Sebagai promotor dan pemelihara HHI, ICRC harus mendorong penghormatan terhadap hukum tersebut. ICRC melakukan hal itu dengan menyebarluaskan pengetahuan mengenai ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter dan dengan mengingatkan pihak-pihak yang terlibat konflik akan kewajiban-kewajiban mereka. Pelayanan Diseminasi dan Konsultasi Karena ketidaktahuan terhadap HHI merupakan hambatan bagi implementasinya, ICRC mengingatkan Negara-negara bahwa mereka telah berjanji untuk membuat ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter diketahui. ICRC juga mengambil tindakan sendiri untuk membuat ketentuanketentuan Hukum Humaniter diketahui (lihat hal. 13). Lebih lanjut, ICRC mengingatkan Negara-negara bahwa mereka harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan agar HHI dihormati dengan cara dilaksanakan secara efektif. ICRC melakukan hal ini terutama melalui Pelayanan Konsultasinya menyangkut Hukum Humaniter, yaitu pelayanan yang memberikan panduan teknis kepada Negara-negara dan membantu para pemimpinnya untuk mengadopsi peraturan pelaksanaan tingkat nasional. Mengingatkan pihak-pihak yang terlibat konflik akan kewajiban-kewajiban mereka berwenang terkait bilamana terjadi pelanggaran atas HHI. Apabila pelanggarannya serius dan berulang dan dapat dipastikan telah terjadi, ICRC mempunyai hak untuk menyampaikan pendiriannya secara terbuka. Namun, ICRC menyampaikan pendirian secara terbuka hanya bilamana ICRC beranggapan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan kepentingan orang-orang yang terkena dampak atau terancam oleh pelanggaran yang bersangkutan. Karena itu, tindakan menyampaikan pendirian secara terbuka ini tetap merupakan tindakan perkecualian. Berdasarkan kesimpulan yang dibuatnya dari kegiatan perlindungan dan bantuannya, ICRC menyampaikan laporan secara rahasia (konfidensial) kepada pihak HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 32 2/28/2011 5:59:25 AM ICRC sebagai pemelihara HHI HHI memberikan mandat kepada ICRC untuk memastikan bahwa aturan-aturan Hukum Humaniter dihormati. Anggaran Dasar Gerakan menetapkan bahwa salah satu peran ICRC adalah: "menjalankan tugas-tugas yang berdasarkan Konvensi-konvensi "Wakil-wakil atau utusan-utusan dari Otoritas Pelindung diizinkan Jenewa dibebankan kepadanya, bekerja demi terlaksananya mengunjungi semua tempat di mana terdapat tawanan perang, secara benar Hukum Humaniter Internasional yang berlaku terutama tempat-tempat penginterniran, penjara-penjara, dan dalam konflik bersenjata, dan memperhatikan pengaduantempat-tempat kerja ( )" Dan juga: "Para utusan Komite pengaduan yang didasarkan pada dugaan pelanggaran atas Internasional Palang Merah (ICRC) mempunyai hak prerogatif hukum tersebut." [Ps. 5(2)(c)] tersebut." (Ps. 126, KJ III) NB: Pasal 143 Konvensi Jenewa IV berisi ketentuan-ketentuan serupa menyangkut internir sipil. 33 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 33 2/28/2011 5:59:29 AM 34 menyerang penduduk sipil dan harta benda mereka adalah kejahatan perang BAGAIMANA PENJAHAT PERANG DITUNTUT BERDASARKAN HUKUM HUMANITER? 16 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 34 2/28/2011 5:59:33 AM Pada saat sebuah Negara menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa, Negara yang bersangkutan berjanji akan memberlakukan peraturan perundangan yang diperlukan untuk menghukum orang-orang yang bersalah atas pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi-konvensi tersebut. Negara yang bersangkutan juga terikat untuk melakukan penuntutan hukum, melalui sistem peradilannya sendiri, terhadap setiap orang yang disangka telah melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi-konvensi tersebut atau untuk menyerahkan orang yang bersangkutan kepada Negara lain untuk diadili. Dengan kata lain, para pelaku pelanggaran berat, yaitu penjahat perang, harus dituntut secara hukum kapanpun dan di manapun, dan Negara-negara bertanggung jawab memastikan agar penuntutan hukum tersebut terlaksana. Secara umum, hukum pidana sebuah Negara hanya dapat diterapkan pada kejahatan yang dilakukan di wilayahnya atau oleh warganya. HHI melangkah lebih jauh, yaitu dengan mengharuskan Negara-negara untuk mencari dan menghukum setiap orang yang telah melakukan pelanggaran berat, apapun kewarganegaraannya dan di manapun pelanggaran tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini penting untuk menjamin bahwa pelanggaran berat ditindak secara efektif. Penuntutan hukum semacam itu boleh dilakukan oleh pengadilan nasional Negara yang bersangkutan atau Negara lain ataupun oleh sebuah otoritas internasional. Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia dan untuk Rwanda dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB, masing-masing pada tahun 1993 dan 1994, untuk mengadili orang-orang yang dituduh telah melakukan kejahatan perang selama berlangsungnya konflik di negara-negara tersebut. Mengapa HHI tidak selalu dihormati dan pelanggaran tidak selalu ditindak? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan berbagai cara. Sebagian berpendapat bahwa ketidaktahuan tentang HHI merupakan penyebab terbesar. Sebagian lagi berpendapat bahwa hakikat perang itu sendirilah yang memang menghendaki terjadinya hal semacam itu atau bahwa hal semacam itu terjadi karena Hukum Internasional yang berarti termasuk HHI tidak disertai dengan sebuah sistem terpusat yang efektif untuk memberlakukan sanksi disebabkan oleh, antara lain, struktur masyarakat internasional yang ada pada saat ini. Apapun penyebabnya, hukum tetap dilanggar dan kejahatan tetap dilakukan baik dalam situasi konflik maupun di masa damai, baik yang berlaku adalah yurisdiksi nasional ataupun yurisdiksi internasional. Namun, menyerah begitu saja dan menghentikan segala tindakan yang mengusahakan penghormatan lebih besar terhadap HHI justru lebih jelek. Itulah sebabnya, sambil menunggu sistem pemberian sanksi yang lebih efektif, pelanggaran harus terus dikutuk dan tindakan harus terus diambil untuk mencegah dan menghukumnya. Karena itu, penindakan terhadap kejahatan perang melalui proses pidana harus dipandang sebagai salah satu cara melaksanakan Hukum Humaniter, di tingkat nasional ataupun di tingkat internasional. Akhirnya, masyarakat internasional telah membentuk sebuah Pengadilan Pidana Internasional yang permanen, yang memiliki kompetensi untuk mengadili kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Apa itu kejahatan perang? Kejahatan perang selama ini dipahami sebagai pelanggaran serius atas HHI yang dilakukan selama berlangsungnya konflik bersenjata internasional atau non-internasional. Beberapa naskah hukum mencantumkan definisi tentang kejahatan perang, yaitu: Statuta Mahkamah Militer Internasional (the International Military Tribunal) yang didirikan di Nuremberg, Jerman, sesudah Perang Dunia II; Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya; Statuta dan yurisprudensi (case law) Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia dan untuk Rwanda (the International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda); dan Statuta Pengadilan Pidana Internasional (the International Criminal Court atau ICC). Berbagai definisi tentang kejahatan perang juga terdapat dalam peraturan perundangan dan yurisprudensi berbagai negara. Penting dicatat bahwa sebuah tindakan tunggal pun bisa merupakan kejahatan perang. Tindakan-tindakan berikut ini termasuk dalam tindakan-tindakan yang dicakup oleh definisi kejahatan perang: pembunuhan sengaja terhadap orang yang dilindungi (misalnya kombatan yang terluka atau yang sakit, tawanan perang, orang sipil); penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi terhadap orang yang dilindungi; dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang hebat pada orang yang dilindungi atau luka yang serius terhadap tubuh atau kesehatannya; menyerang penduduk sipil; deportasi atau pemindahan penduduk secara melawan hukum; menggunakan senjata atau cara berperang yang dilarang; menggunakan lambang pembeda palang merah atau bulan sabit merah atau tanda-tanda perlindungan lainnya secara tidak semestinya; membunuh atau melukai, dengan tipu daya licik, orang dari bangsa atau angkatan bersenjata yang sedang berperang; penjarahan barang-barang milik publik atau milik pribadi. Perlu dicatat bahwa Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia sudah mengakui bahwa definisi kejahatan perang dalam Hukum Internasional Kebiasaan juga mencakup pelanggaranpelanggaran yang dilakukan selama berlangsungnya konflik bersenjata non-internasional. Statuta Pengadilan Pidana Internasional permanen dan Statuta Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda juga memasukkan pelanggaran yang dilakukan selama berlangsungnya konflik bersenjata non-internasional ke dalam daftar kejahatan perang masing-masing. 35 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 35 2/28/2011 5:59:35 AM Didier Bregnard/ICRC 36 anak-anak juga punya hak APA PERBEDAAN ANTARA HUKUM HUMANITER DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA? 17 Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional (selanjutnya disebut sebagai Hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya berusaha untuk melindungi kehidupan, kesehatan, dan martabat individu walaupun dari sudut yang berbeda. Hukum Humaniter berlaku dalam situasi konflik bersenjata (lihat Pertanyaan 7) sedangkan Hukum HAM, atau setidaknya sebagian darinya, melindungi individu pada setiap saat, baik di masa perang maupun di masa damai. Namun, beberapa perjanjian HAM memperbolehkan pemerintah untuk mengabaikan hak-hak tertentu dalam situasi darurat umum sedangkan pengabaian hak semacam itu sama sekali tidak diperbolehkan oleh HHI karena HHI disusun untuk situasi-situasi darurat yang disebut sebagai konflik bersenjata. HHI ditujukan untuk melindungi orangorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat dalam peperangan. Aturan-aturan yang terkandung dalam HHI membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada semua pihak yang terlibat konflik. Hukum HAM, yang dirancang terutama untuk masa damai, berlaku bagi setiap orang. Tujuan utamanya ialah untuk melindungi individu dari perilaku yang semena-mena oleh pemerintahnya sendiri. Hukum HAM tidak berhubungan dengan perilaku peperangan. Kewajiban untuk melaksanakan HHI dan Hukum HAM terletak pertama-tama dan terutama di tangan Negara. HHI mewajibkan Negara untuk mengambil langkah-langkah praktis dan langkahlangkah hukum seperti memberlakukan peraturan perundang-undangan pidana dan menyebarluaskan HHI. Demikian pula, Negara terikat oleh Hukum HAM untuk meyelaraskan hukum nasional dengan kewajiban-kewajiban internasional. HHI menetapkan sejumlah mekanisme tertentu yang membantu pelaksanaan hukum tersebut. Perlu dicatat bahwa Negara diharuskan untuk memastikan agar HHI juga dihormati oleh Negara lain. Terdapat juga ketentuan agar dibentuk prosedur penyelidikan, mekanisme Otoritas Pelindung, dan Komisi Pencari Fakta Internasional. Selain itu, ICRC diberi peran kunci untuk menjamin penghormatan terhadap aturan-aturan Hukum Humaniter. Mekanisme-mekanisme pelaksanaan Hukum HAM sangat kompleks. Berbeda dengan HHI, mekanisme-mekanisme pelaksanaan Hukum HAM mencakup antara lain sistem-sistem regional. Badan-badan pengawas (supervisory bodies) pelaksanaan Hukum HAM, misalnya Komisi HAM PBB, didasarkan pada Piagam PBB atau pada ketentuan yang ada dalam traktat-traktat tertentu (misalnya: Komite HAM, yang didasarkan pada Perjanjian Internasional 1966 tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Komisi HAM PBB beserta subkomisisubkomisinya sudah mengembangkan mekanisme "pelapor khusus" (special rapporteurs) dan sejumlah kelompok kerja, yang tugasnya ialah memantau dan melaporkan situasi HAM per negara ataupun per topik. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 36 2/28/2011 5:59:36 AM Enam dari perjanjian HAM yang utama juga berisi ketentuan mengenai pembentukan komite-komite (misalnya Komite HAM) yang terdiri dari ahli-ahli independen yang bertugas memantau pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut. Beberapa perjanjian regional (Eropa dan Amerika) juga membentuk pengadilan HAM. Kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM (UNHCHR) memainkan peran kunci dalam keseluruhan kegiatan perlindungan dan peningkatan HAM. Peran UNHCHR ialah meningkatkan keefektifan upaya HAM PBB serta membangun kapasitas nasional, regional, dan internasional untuk mempromosikan dan melindungi HAM dan untuk menyebarluaskan naskah-naskah dan informasi HAM. Instrumen-instrumen HAM HAM "Inti" BInstrumen HAM yang sekarang berlaku ada banyak, yang antara lain adalah: a)Instrumen universal Deklarasi HAM, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948 Konvensi 1948 tentang Pencegahan Kejahatan Genosida dan Penghukumannya Perjanjian Internasional 1966 tentang Hak-hak Sipil dan Politik Perjanjian Internasional 1966 tentang Hak-Hak Sosial dan Ekonomi Konvensi 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Perempuan Konvensi 1984 Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainnya Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Konvensi 1989 tentang Hak-hak Anak Instrumen-instrumen HAM internasional mengandung sejumlah klausula yang mengizinkan Negara yang sedang menghadapi ancaman publik yang serius untuk menangguhkan hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalam instrumen-instrumen tersebut. Namun, masing-masing instrumen ini membuat perkecualian untuk sejumlah hak asasi manusia tertentu, yang harus dihormati dalam segala keadaan dan tidak boleh sekalipun diabaikan, apapun perjanjiannya. Hak-hak yang tidak boleh diabaikan tersebut antara lain adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa (prohibition of torture), hak untuk tidak dihukum secara tidak manusiawi (prohibition of inhuman punishment), hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba (prohibition of slavery and servitude), dan hak atas prinsip legalitas dan ketidakberlakusurutan hukum. Hak-hak fundamental yang wajib dihormati oleh Negara dalam segala keadaan, pun dalam situasi konflik dan gangguan, ini dikenal sebagai HAM inti. b)Instrumen regional Konvensi Eropa 1950 tentang HAM Konvensi Amerika 1969 tentang HAM Piagam Afrika 1981 tentang HAM dan Hak Asasi Bangsa-Bangsa (the African Charter of Human and Peoples' Rights 1981) Karena Hukum Humaniter berlaku pada situasi luar biasa yang merupakan konflik bersenjata, isi Hukum HAM yang harus dihormati oleh Negara dalam segala keadaan (yaitu HAM inti) cenderung bertemu dengan jaminan-jaminan fundamental dan jaminanjaminan hukum yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter, misalnya larangan penyiksaan, larangan eksekusi sumir, dan lain sebagainya (lihat hal. 21; Ps. 75, Protokol I; dan Ps. 6, Protokol II). 37 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 37 2/28/2011 5:59:42 AM 38 Anggota operasi perdamaian harus mengetahui dan menerapkan Hukum Humaniter 18 APAKAH HUKUM HUMANITER BERLAKU PADA OPERASI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN OPERASI PENEGAKAN PERDAMAIAN YANG DILAKSANAKAN OLEH ATAU DI BAWAH PERLINDUNGAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB)? Dalam situasi konflik bersenjata internasional maupun non-internasional, anggota satuan militer yang ikut serta dalam operasi perdamaian harus menghormati Hukum Humaniter sewaktu mereka aktif terlibat dalam konfrontasi bersenjata menghadapi salah satu pihak yang terlibat dalam konflik itu. Bilamana mereka tidak terlibat dalam konfrontasi semacam itu, mereka dianggap sebagai orang sipil, selama situasi konflik bersenjatanya belum berubah. Untuk setiap kontingen, Hukum Humaniter berlaku menurut kewajiban internasional yang dimiliki oleh masingmasing Negara penyumbang pasukan. Negara yang menyediakan pasukan untuk operasi seperti itu harus memastikan bahwa satuan yang mereka kirim mengetahui aturan-aturan Hukum Humaniter. Bahwa Hukum Humaniter harus diterapkan oleh pasukan yang melaksanakan operasi di bawah perintah PBB ditegaskan dalam Buletin Sekretariat Jenderal PBB edisi 6 Agustus 1999, yang diterbitkan untuk menandai ulang tahun ke-50 pengadopsian Konvensi-konvensi Jenewa 1949. aksi penegakan (enforcement action) atau bilamana mereka bertindak untuk membela diri selama berlangsungnya operasi pemeliharaan perdamaian. Prinsip-prinsip tersebut berlaku sejauh terjadi pertempuran bersenjata dan selama berlangsungnya pertempuran bersenjata. Dengan judul "Observance by United Nations forces of international humanitarian law" (Kepatuhan Pasukan PBB terhadap Hukum Humaniter Internasional), buletin tersebut menyajikan sebuah daftar berisi prinsip-prinsip dan aturan-aturan fundamental dari Hukum Humaniter. Prinsipprinsip ini berlaku sebagai ketentuan minimum bagi pasukan PBB kapanpun mereka terlibat sebagai kombatan dalam sebuah aksi penegakan Kewajiban pasukan PBB untuk menghormati prinsip-prinsip dan aturan-aturan fundamental tersebut juga telah dimasukkan ke dalam perjanjian-perjanjian terbaru yang dibuat antara PBB dan negara-negara yang di wilayahnya dikerahkan pasukan PBB. Perbedaan dan definisi Tujuan operasi pemeliharaan perdamaian (peace-keeping operation) ialah untuk memastikan penghormatan terhadap gencatan senjata dan garis demarkasi dan untuk menuntaskan perjanjian penarikan pasukan. Dalam beberapa tahun terakhir, lingkup operasi semacam itu telah diperluas hingga mencakup tugas-tugas lain, seperti pengawasan pemilihan umum (pemilu), pengiriman bantuan kemanusiaan, dan pendampingan proses rekonsiliasi nasional. Penggunaan kekuatan hanya diperbolehkan dalam kasus pembelaan diri yang sah. Operasi semacam ini dilakukan dengan persetujuan pihak-pihak yang berada di lapangan. Di lain pihak, operasi penegakan perdamaian (peace-enforcement operation), yang tercakup dalam Bab VII Piagam PBB, dilaksanakan oleh pasukan PBB atau oleh Negara, sekelompok Negara, atau organisasi regional, atas undangan Negara yang bersangkutan atau atas izin Majelis Umum PBB. Pasukan ini diberi misi tempur dan diberi izin untuk melakukan tindakan-tindakan pemaksaan (coercive measures) dalam rangka melaksanakan mandatnya. Persetujuan dari pihak-pihak yang berada di lapangan tidak selalu diperlukan. Namun, pembedaan antara kedua jenis operasi tadi telah menjadi semakin kurang jelas akhir-akhir ini. Selain itu, sebuah istilah baru juga telah mulai digunakan, yaitu operasi dukungan perdamaian (peace-support operation). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 38 2/28/2011 5:59:45 AM ICRC Aksi yang menyebarkan teror... 19 APA YANG DIKATAKAN HUKUM HUMANITER MENGENAI TERORISME? Tindakan terorisme bisa terjadi pada masa konflik bersenjata ataupun pada masa damai. Karena HHI hanya berlaku dalam situasi konflik bersenjata, hukum ini tidak mengatur tindakan terorisme yang dilakukan pada masa damai. Keharusan untuk membedakan antara orang sipil dan kombatan dan larangan untuk menyerang orang sipil atau melakukan penyerangan yang membabi buta merupakan bagian inti pada HHI. Selain larangan tegas terhadap segala tindakan yang bertujuan menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil [Ps. 51(2) Protokol I dan Ps. 13(2) Protokol II], HHI juga melarang tindakan-tindakan berikut ini, yang bisa dianggap sebagai tindakan terorisme, yaitu: penyerangan terhadap penduduk sipil dan objek-objek sipil [Ps. 51(2) dan Ps. 52 Protokol I; Ps. 13 Protokol II) penyerangan secara membabi buta [Ps. 51(4) Protokol I) penyerangan terhadap tempat ibadah [Ps. 53 Protokol I; Ps. 16 Protokol II] penyerangan terhadap bangunan dan instalasi yang mengandung tenaga berbahaya [Ps. 56 Protokol I; Ps. 15 Protokol II] penyanderaan [Ps. 75 Protokol I; Ps. 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa; Ps. 4(2)(b) Protokol II) pembunuhan terhadap orang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat dalam peperangan [Ps. 75 Protokol I; Ps. 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa; Ps. 4(2)(a) Protokol II). Selain melarang tindakan-tindakan tadi, HHI juga berisi sejumlah ketentuan yang memberikan kewajiban untuk menindak pelanggaran atas larangan-larangan tersebut dan sejumlah ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan kewajiban tersebut. Kewajiban untuk menindak pelanggaran tersebut jauh lebih maju dibandingkan dengan kewajiban manapun yang saat ini ada di bawah konvensikonvensi internasional mengenai pencegahan terorisme dan penghukumannya. 39 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 39 2/28/2011 5:59:48 AM 40 INDEKS Aksesi: h. 12 Protokol-protokol Tambahan dan/atau Konvensi-konvensi Jenewa: lihat "Konvensi-konvensi Jenewa." Konflik bersenjata (internasional/non-internasional/"jenis baru"): h. 4, 10, 14, 15, 16, 17, 18, 22, 24 Pasal 3 (Ketentuan Yang Sama): h. 2, 16, 17, 18, 19 Bantuan: h. 22, 23 Pelanggaran (breaches/violations): h. 27, 30, 31, 32, 33, 35, 39 Pengembangan Hukum Humaniter: h. 10, 11, 20, 21 Diseminasi (penyebarluasan): h. 6, 13, 31, 32 Definisi: merupakan salah satu kegiatan ICRC, mencakup peningkatan kesadaran akan HHI, Gerakan pada umumnya, dan ICRC pada khususnya dan akan Prinsip-prinsip Fundamental yang menjadi pedoman bagi aksi dan kegiatan mereka, dalam rangka membatasi pelanggaran hukum, mencegah penderitaan, dan memfasilitasi aksi kemanusiaan. Konferensi Diplomatik: h. 8, 11, 20, 21 Definisi: merupakan pertemuan wakil-wakil dari Negaranegara untuk mengadopsi perjanjian internasional; salah satunya diadakan pada tahun 1949 untuk mengadopsi Konvensi-konvensi Jenewa, salah satunya lagi diadakan pada tahun 1977 untuk mengadopsi Protokol-protokol Tambahannya. Pengungsi: 16, 28, 29 Lambang: h. 6, 8, 26 Jenewa (Hukum Jenewa): h. 4 Konvensi-konvensi Jenewa dan/atau Protokol-protokol Tambahan: h. 8, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 31, 33, 39 Grotius [Hugo de Groot (1583-1645), seorang ahli hukum dan diplomat Belanda yang sangat berpengaruh terhadap teori tentang hukum dan Negara pada umumnya dan teori tentang Hukum Internasional pada khususnya]: h. 5, 7 Hak asasi manusia: h. 17, 35, 36, 37 Implementasi Hukum Humaniter: h. 30, 31 Komite Internasional Palang Merah (ICRC): h. 8, 11, 13, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 27, 30, 31, 33, 36, 37 Intervensi (hak intervensi): h. 23 jus ad bellum/jus in bello: h. 14, 23 Hukum Bangsa-bangsa: h. 5 Kode Lieber: h. 9 (lihat juga "Lieber, Francis") Lieber, Francis [profesor dari Colombia College (New York); atas permintaan Abraham Lincoln, menyusun serangkaian instruksi bagi prajurit Union dalam Perang Saudara Amerika ; lihat juga "Kode Lieber"): h. 19 Mandat: h. 2, 21, 23, 29, 31, 37 Martens, Fyodor (ahli hukum dan diplomat dari Rusia; penyusun klausula dengan nama yang sama): h. 7 Perhimpunan Nasional: h. 2, 13, 26 Penengah yang netral: h. 2, 31 Peserta (Negara Peserta; Peserta Agung): h. 11, 12, 13, 14, 19, 22, 31, 32 Definisi: Negara yang telah meratifikasi antara lain Konvensi-konvensi Jenewa Pihak yang terlibat konflik: h. 7, 16, 19, 31 Definisi: Negara atau gerakan yang mengangkat senjata dan terlibat langsung dalam sebuah konflik Operasi pemeliharaan/penegakan perdamaian: h. 36, 37 Orang yang dicabut kebebasannya (tawanan perang, internir sipil, tahanan): h. 16, 24, 25, 31, 33 Prinsip-prinsip (Hukum Humaniter): h. 7 Promosi: lihat "Diseminasi" (penyebarluasan) Protokol-protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa: lihat "Konvensi-konvensi Jenewa" Hukum Internasional Publik: h. 4, 5 Ratifikasi: h. 12 Pengungsi eksternal (refugees): h. 16, 28, 29 Reservasi: h. 12 Penghormatan terhadap Hukum Humaniter: h. 31, 33 Pemulihan hubungan keluarga: h. 24, 25 Hak prakarsa kemanusiaan: h. 2, 23 Peran ICRC: h. 11, 13, 19, 21, 23, 24, 25, 29, 31, 37 Rousseau, Jean-Jacques [penulis dan filsuf, kelahiran Jenewa (1712-1778), penulis The Social Contract (Kontrak Sosial), di mana beliau menjelaskan prinsip-prinsipnya]: h. 7 Aturan-aturan (Hukum Humaniter): h. 6, 17, 33 St. Petersburg (Deklarasi): h. 7, 10 Penandatanganan: h. 12 Terorisme: h. 39 Den Haag (Hukum): h. 4 Traktat/perjanjian internasional: h. 8, 9, 10, 11, 12, 15, 20, 21, 29, 30, 35, 37 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB): h. 14, 15, 20, 21, 28, 29, 30, 33, 36, 37 Korban (kategori): h. 16, 19, 24, 28 Pelanggaran (violations): h. 27, 31, 33, 35, 39 Kejahatan perang: h. 27, 33 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 40 2/28/2011 5:59:50 AM BIBLIOGRAFI Sejumlah publikasi memberikan penjelasan lebih lanjut tentang HHI pada umumnya dan tentang topik-topik tertentu yang dibahas di buku ini pada khususnya. Publikasi-publikasi ini antara lain adalah artikel-artikel dan cetakan-cetakan lepas dari International Review of the Red Cross sebagai berikut: ICRC. National measures to implement international humanitarian law; Oktober 1991 Abi-Saab R. The "General principles" of humanitarian law according to the International Court of Justice; Juli-Agustus 1987 ICRC. ICRC, Children and war; Desember 2001 Berman P. The ICRC's Advisory Service on International Humanitarian Law: The challenge of national implementation; Mei-Juni 1996 Bouvier A. Recent studies on the protection of the environment in time of armed conflict; November-Desember 1992 Bugnion F. The red cross and red crescent emblems; SeptemberOktober 1989 Doswald-Beck L, Vité S. International humanitarian law and human rights law; Maret-April 1993 Dufli M. T. Captured child soldiers; September-Oktober 1990 Eberlin P. The identification of medical aircraft in periods of armed conflict: Identification of hospital ships and vessels protected by the Geneva Conventions of 12 August 1949; Juli-Agustus dan November-Desember 1982 Fleck D. Setting up the International Institute of Humanitarian Law (San Remo, Italy); Implementing international humanitarian law: Problems and priorities; Maret-April 1991 ICRC. Internally displaced persons: The mandate and role of the International Committee of the Red Cross; Juni 2000 Jeannet S, Mermet J. The involvement of children in armed conflict; Maret 1998 Kosirnik R. The 1977 Protocols: a landmark in the development of international humanitarian law; Oktober 1997 Krill F. The ICRC's policy on refugees and internally displaced civilians; September 2001 Lavoyer J.-Ph. Guiding principles on internal displacement; September 1998 Lavoyer J.-Ph. Refugees and internally displaced persons, international humanitarian law and the role of the ICRC; MaretApril 1995 Lavoyer J.-Ph. National legislation on the use and protection of the emblem of the red cross and red crescent: Model law concerning the use and protection of the emblem of the red cross and red crescent; Juli-Agustus 1996 Maurice F, de Courten J. ICRC activities for refugees and displaced civilians; Januari-Februari 1991 Grossrieder P. A future for international humanitarian law and its principles?; Maret 1999 Muntarbhorn V. Protection and assistance for refugees in armed conflicts and internal disturbances: Reflections on the mandates of the International Red Cross and Red Crescent Movement and the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees; Juli-Agustus 1988 Harroff-Tavel M. Action taken by the International Committee of the Red Cross in situations of internal violence; Mei-Juni 1993 Palwankar U. Applicability of international humanitarian law to United Nations peace-keeping forces; Mei-Juni 1993 ICRC. ICRC action in the event of violations of international humanitarian law; Maret-April 1981 Pejic J. Accountability for international crimes: From conjecture to reality; Maret 2002 Forster J. The emblem; Statement by Jacques Forster; Desember 2001 41 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 41 2/28/2011 5:59:50 AM 42 Plattner D. Assistance to the civilian population: The development and present state of international humanitarian law; Mei-Juni 1992 Rey-Schyrr C. The Geneva Conventions of 1949: a decisive breakthrough; Juni 1999 Roberge M,-Cl. The new International Criminal Court :A preliminary assessment; Desember 1998 Ryniker A. Observance by United Nations forces of international humanitarian law: Comments on the Secretary Generals Bulletin of 6 August 1999; Desember 1999 Sandoz Y. Advisory Opinion of the International Court of Justice on the legality of threat or use of nuclear weapons; Februari 1997 Sandoz Y. Droit or devoir dingerence and the right to assistance: The issues involved; Mei-Juni 1992 Sassòli M. The national information bureau in aid of victims of armed conflicts; Januari-Februari 1987 Sassòli M. State responsibility for violations of international humanitarian law; Juni 2002 Schindler D. Significance of the Geneva Conventions for the contemporary world; Desember 1999 Sommaruga C. Unity and plurality of the emblems; Juli-Agustus 1992 Stroun J. International criminal jurisdiction, international humanitarian law and humanitarian action; Desember 1997 Torelli M. From humanitarian assistance to intervention on humanitarian grounds?; Mei-Juni 1992 Verhaegen J. Legal obstacles to prosecution of breaches of humanitarian law; Nopember-Desember 1987 International Institute of Humanitarian Law (San Remo, Italy). Declaration on the rules of international humanitarian law governing the conduct of hostilities in non-international armed conflicts; September-Oktober 1990 Publikasi-publikasi di atas bisa diperoleh melalui website ICRC, www.icrc.org, atau melalui: International Committee of the Red Cross, Production, Marketing and Distribution Division, 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F +41 22 733 2057 E-mail: [email protected] Lihat juga cetakan-cetakan lepas dan buku-buku berikut ini: Bouchet-Saulnier F. The practical guide to humanitarian law, Lanham, Rowman & Littlefield, 2002 Bugnion F. Towards a comprehensive solution to the question of the emblem, ICRC, 2000 Gasser H.-P. International humanitarian law: An introduction; Henry Dunant Institute/Haupt, 1993 Green L. The contemporary law of armed conflict, Manchester University Press, 2000 Lindsey C. Women facing war, ICRC, 2001 Roberts A. and Guelff R. Documents on the laws of war, Oxford University Press, 2000 ; HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 42 2/28/2011 5:59:50 AM