COVER_Hukum Humaniter DR.indd

advertisement
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Menjawab Pertanyaan Anda
COVER_Hukum Humaniter DR.indd 1
2/28/2011 6:01:50 AM
2
KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH (ICRC)
Didirikan oleh lima warga negara Swiss pada tahun 1863 yaitu
(Henry Dunant, Guillaume-Henri Dufour, Gustave Moynier, Louis
Appia, dan Thêodore Maunoir), ICRC merupakan cikal bakal
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
ICRC
• adalah lembaga kemanusiaan yang tidak memihak, netral,
dan mandiri
• lahir karena terjadinya perang lebih dari 130 tahun yang lalu
• merupakan organisasi yang unik
• memperoleh mandatnya dari masyarakat internasional
• bertindak sebagai penengah yang netral antara pihak-pihak
yang berperang
• dalam kapasitasnya sebagai promotor dan pemelihara Hukum
Humaniter Internasional berupaya melindungi dan menolong
para korban konflik bersenjata, gangguan dalam negeri, dan
situasi kekerasan dalam negeri lainnya.
ICRC bekerja aktif di sekitar 80 negara dan mempunyai kurang
lebih 12.000 karyawan (data 2010).
ICRC dan Gerakan
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Perhimpunanperhimpunan Palang Merah/Bulan Sabit Merah Nasional, bersamasama dengan Federasi Internasional Perhimpunan-perhimpunan
Palang Merah/Bulan Sabit Merah, bergabung membentuk Gerakan
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Gerakan).
Sebagai kebiasaan, perwakilan dari organisasi-organisasi tersebut
bertemu setiap empat tahun sekali dengan perwakilan dari Negaranegara peserta Konvensi-konvensi Jenewa dalam sebuah
Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
COVER_Hukum Humaniter DR.indd 2
Landasan kegiatan ICRC
Selama konflik bersenjata internasional, ICRC melakukan
kegiatannya berdasarkan keempat Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan I 1977 (lihat Pertanyaan 4). Perjanjianperjanjian ini memberikan hak kepada ICRC untuk
menyelenggarakan kegiatan tertentu seperti memberikan
pertolongan kepada personil militer yang terluka, yang sakit, atau
yang kapalnya karam, mengunjungi tawanan perang (prisoners
of war), memberikan bantuan kepada penduduk sipil dan, secara
umum, memastikan agar orang-orang yang dilindungi oleh Hukum
Humaniter diperlakukan sesuai dengan hukum tersebut.
Selama konflik bersenjata non-internasional, ICRC melakukan
kegiatannya berdasarkan Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada
keempat Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II 1977 (lihat
indeks). Pasal 3 tersebut juga mengakui hak ICRC untuk
menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang berperang,
yaitu melakukan aksi pemberian bantuan dan mengunjungi orangorang yang ditahan sehubungan dengan konflik.
Dalam situasi kekerasan yang belum setara dengan konflik
bersenjata (yaitu gangguan dalam negeri dan situasi kekerasan
dalam negeri lainnya), ICRC melakukan kegiatannya berdasarkan
Pasal 5 Anggaran Dasar Gerakan, yang memberi ICRC hak untuk
melakukan prakarsa kemanusiaan. Hak tersebut juga bisa
digunakan dalam konflik bersenjata internasional dan noninternasional.
MISI
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organisasi
yang tidak memihak, netral, dan mandiri, yang misinya sematamata bersifat kemanusiaan , yaitu melindungi kehidupan dan
martabat para korban konflik bersenjata dan situasi-situasi
kekerasan lainnya, dan memberi mereka bantuan.
ICRC juga berusaha untuk mencegah penderitaan dengan
mempromosikan dan memperkuat hukum humaniter dan prinsipprinsip kemanusiaan universal.
Didirikan pada tahun 1863, ICRC merupakan cikal bakal dari
Konvensi-konvensi Jenewa dan Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional. ICRC mengatur dan mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan internasional yang dilakukan oleh Gerakan
dalam konflik-konflik bersenjata dan situasi-situasi kekerasan
lainnya.
Semua pasal dan instrumen hukum tadi bersama-sama merupakan
mandat yang diberikan kepada ICRC oleh masyarakat internasional,
yaitu Negara-negara.
International Committee of the Red Cross
19 Avenue de la Paix
1202 Geneva, Switzerland
T +41 22 734 6001 F +41 22 733 2057
E-mail: [email protected]
www.icrc.org
ICRC Delegasi Indonesia
Jl. Iskandarsyah I / 14
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan12160
Telp. : +62 21 739 6756 / 720 7252
Fax. : +62 21 739 9512
E-mail: [email protected]
www.icrc.org
Original: English
Oktober 2002
Versi: Bahasa Indonesia
Februari 2008
2/28/2011 6:01:50 AM
RINGKASAN PERTANYAAN
1.
Apa itu Hukum Humaniter Internasional?
4
2.
Apa saja aturan-aturan dasar dalam Hukum Humaniter Internasional?
6
3.
Bagaimana asal-usul Hukum Humaniter Internasional?
8
4.
Perjanjian-perjanjian internasional apa saja yang membentuk Hukum Humaniter Internasional?
10
5.
Siapa saja yang terikat oleh Konvensi-konvensi Jenewa?
12
6.
Apa itu jus ad bellum dan jus in bello?
14
7.
Dalam situasi apa Hukum Humaniter berlaku? Untuk siapa hukum ini ditujukan dan siapa yang dilindunginya?
16
8.
Apakah Hukum Humaniter berlaku bagi konflik "jenis baru"?
18
9.
Bagaimana Hukum Humaniter beradaptasi dengan perkembangan baru dan apa peran ICRC dalam proses tersebut?
20
10. Apa yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter mengenai bantuan material bagi korban konflik bersenjata?
22
11. Apa yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter mengenai pemulihan hubungan keluarga?
24
12. Seperti apa ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur penggunaan lambang?
26
13. Bagaimana Hukum Humaniter melindungi pengungsi eksternal dan pengungsi internal?
28
14. Langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mengimplementasikan Hukum Humaniter?
30
15. Apa peran ICRC dalam memastikan penghormatan terhadap Hukum Humaniter?
32
16. Bagaimana penjahat perang dituntut berdasarkan Hukum Humaniter?
34
17. Apa perbedaan antara Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia?
36
18. Apakah Hukum Humaniter berlaku bagi operasi penjagaan perdamaian dan operasi penegakan perdamaian yang
38
dilaksanakan oleh atau di bawah perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)?
19. Apa yang dikatakan Hukum Humaniter mengenai terorisme?
39
Indeks
40
Bibliografi
41
3
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 3
2/28/2011 5:58:12 AM
4
Peduli bagi semua korban luka di medan pertempuran
1
APA ITU HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ?
Hukum Humaniter Internasional (HHI)
merupakan bagian terbesar pada Hukum
Internasional Publik (lihat halaman berikut).
HHI terdiri dari aturan-aturan yang pada
masa konflik bersenjata berupaya untuk
melindungi orang-orang yang tidak, atau
tidak lagi, ambil bagian dalam peperangan
dan untuk membatasi cara dan sarana
berperang yang digunakan.
Lebih tepatnya, yang dimaksud oleh ICRC
dengan "HHI yang berlaku pada masa konflik
bersenjata" adalah aturan-aturan pada
perjanjian dan kebiasaan internasional yang
secara khusus bertujuan menyelesaikan
masalah-masalah kemanusiaan yang muncul
sebagai akibat langsung dari konflik
bersenjata, baik internasional maupun noninternasional. Demi alasan kemanusiaan,
aturan-aturan tersebut membatasi hak pihakpihak yang terlibat konflik dalam hal pemilihan
cara dan sarana berperang dan melindungi
orang-orang serta benda-benda yang terkena,
atau berkemungkinan terkena, dampak konflik
(lihat Pertanyaan 3, 6, dan 17, yang
memberikan informasi tambahan yang
berguna).
Jenewa dan Den Haag
Siapa melawan siapa?
HHI, yang juga dikenal dengan nama Hukum Konflik Bersenjata atau
Hukum Perang (lihat Terminologi di halaman berikut), mempunyai
dua cabang:
• “Hukum Jenewa,” yang disusun untuk melindungi personil militer
yang tidak lagi ambil bagian dalam pertempuran dan orang-orang
yang tidak terlibat aktif dalam peperangan, yaitu penduduk sipil;
• “Hukum Den Haag,” yang menetapkan hak dan kewajiban pihakpihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan
menetapkan batasan-batasan mengenai sarana yang boleh dipakai
untuk mencelakai musuh.
Konflik bersenjata internasional (international armed conflict) adalah
pertempuran antara angkatan bersenjata dari setidak-tidaknya dua
Negara (perlu dicatat bahwa perang kemerdekaan nasional telah
diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata internasional).
Nama masing-masing cabang HHI tersebut diambil dari nama kota
di mana cabang yang bersangkutan untuk pertama kalinya dikodifikasi.
Dengan diadopsinya Protokol-protokol Tambahan 1977, yang
mengkombinasikan kedua cabang HHI tersebut, perbedaan antara
keduanya sekarang hanya bernilai historis dan didaktik.
Konflik bersenjata non-internasional (non-international armed conflict)
adalah pertempuran di wilayah sebuah Negara yang terjadi antara
angkatan bersenjata reguler Negara yang bersangkutan dan kelompok
bersenjata terindentifikasi atau antara kelompok-kelompok bersenjata.
Untuk bisa digolongkan sebagai konflik bersenjata non-internasional,
pertempuran tersebut harus mencapai tingkat intensitas tertentu dan
berlangsung untuk jangka waktu tertentu.
Gangguan dalam negeri (internal disturbance) ialah situasi yang
ditandai dengan adanya gangguan serius terhadap ketertiban dalam
negeri sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan kekerasan yang
bukan merupakan konflik bersenjata (misalnya: huru hara, perkelahian
antar faksi, atau pergolakan melawan pihak penguasa).
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 4
2/28/2011 5:58:13 AM
Grotious dan Hukum Bangsa-Bangsa
Dalam bahasa percakapan masa kini, Hukum Bangsa-Bangsa
(law of nations) sama artinya dengan "Hukum Internasional
Publik" atau "Hukum Internasional," yang merupakan seperangkat
aturan yang mengatur hubungan antar-Negara dan hubungan
antara Negara dan anggota-anggota masyarakat internasional
lainnya.
Grotius (lihat indeks), seorang ahli hukum dan diplomat, adalah
bapak Hukum Bangsa-Bangsa. Setelah terjadinya gerakan
Reformasi, yang memecah belah gereja Kristen di Eropa, dia
berpandangan bahwa hukum bukan lagi ungkapan keadilan
ilahi melainkan hasil penalaran manusia dan bahwa hukum
tidak lagi mendahului aksi melainkan timbul karena adanya
aksi.
Hukum
Pengungsi
Hukum yang
mengatur
penyelesaian
konflik secara
damai
Hukum yang
mengatur
hubungan
diplomatik
Hukum yang
mengatur
tanggung jawab
Negara
Dengan demikian, muncul kebutuhan untuk mencari sebuah
prinsip pemersatu lain bagi hubungan internasional. Hukum
Bangsa-Bangsalah yang kemudian dijadikan prinsip tersebut.
Dalam bukunya De jure belli ac pacis (Hukum tentang Perang
dan Damai), Grotius menyusun sebuah daftar aturan yang
sekarang menjadi salah satu landasan yang paling kokoh bagi
Hukum Perang.
Terminologi
Istilah seperti Hukum Humaniter Internasional, Hukum Konflik
Bersenjata, dan Hukum Perang bisa dianggap berpadanan
satu dengan yang lain. Organisasi-organisasi internasional,
universitas-universitas, dan bahkan Negara-negara cenderung
memakai istilah Hukum Humaniter Internasional (atau Hukum
Humaniter) sedangkan dua istilah yang lain lebih sering
digunakan oleh angkatan bersenjata.
Hukum
HAM
Hukum
Humaniter
Internasional
Hukum
Lingkungan
Hukum yang
mengatur
organisasi
internasional
Hukum
Kelautan
Hukum yang
mengatur
ruang angkasa
Hukum yang
mengatur
hubungan
ekonomi
NB: Bagan ini bukan upaya untuk mengklasifikasikan atau memperingkat berbagai cabang yang ada pada Hukum Internasional Publik.
Bagan tersebut hanya menyebutkan beberapa dari cabang yang terkenal.
5
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 5
2/28/2011 5:58:13 AM
Thomas Pizer/ICRC
6
"... begitu mereka meletakkan senjata, mereka bukan lagi musuh atau agen dari musuh.
Mereka kembali menjadi orang biasa. Tidak lagi dibenarkan secara hukum membunuh mereka."
APA SAJA ATURAN-ATURAN DASAR DALAM
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL?
2
Pihak yang terlibat konflik harus setiap saat
membedakan antara penduduk sipil dan
kombatan agar dapat menyelamatkan
penduduk sipil dan harta benda sipil.
Penduduk sipil secara keseluruhan maupun
secara individual tidak boleh diserang.
Penyerangan hanya boleh dilakukan
terhadap objek militer. Orang yang tidak
ikut serta, atau tidak dapat lagi ikut serta,
dalam peperangan berhak dihormati
kehidupannya dan keutuhan jiwa dan
raganya. Orang-orang seperti ini harus
dilindungi dalam segala keadaan dan
diperlakukan secara manusiawi, tanpa
diskriminasi dalam bentuk apapun. Dilarang
membunuh atau melukai musuh yang
sudah menyerah atau yang sudah tidak
dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.
Pihak yang terlibat konflik maupun para
anggota angkatan bersenjatanya tidak
mempunyai hak yang tak terbatas untuk
memilih sarana dan cara berperang.
Dilarang menggunakan senjata atau cara
berperang yang berkemungkinan
menimbulkan kerugian yang tidak perlu
atau penderitaan yang berlebihan.
Korban yang terluka dan yang sakit harus
dikumpulkan dan dirawat oleh pihak terlibat
konflik yang menguasai mereka. Personil
medis dan bangunan, sarana transportasi,
serta peralatan medis harus diselamatkan.
Lambang palang merah atau bulan sabit
merah di atas dasar putih adalah tanda
pembeda yang menunjukkan bahwa orang
dan objek yang mengenakan tanda tersebut
Aturan-aturan ini, yang disusun oleh ICRC, merupakan intisari
HHI. Aturan-aturan tersebut tidak memiliki kekuatan sebagai
sebuah instrumen hukum dan sama sekali tidak dimaksudkan
harus dihormati. Kombatan yang
tertangkap dan orang sipil yang berada di
bawah kekuasaan pihak lawan berhak
memperoleh penghormatan atas kehidupan,
martabat, dan hak-hak pribadi mereka serta
keyakinan politik, keyakinan agama, dan
keyakinan-keyakinan lain mereka. Mereka
harus dilindungi dari segala bentuk
kekerasan ataupun pembalasan. Mereka
berhak untuk bertukar berita dengan
keluarga dan untuk menerima bantuan.
Mereka harus memperoleh jaminan-jaminan
dasar di bidang peradilan.
untuk menggantikan perjanjian-perjanjian internasional yang
berlaku. Aturan-aturan tersebut disusun untuk memperlancar
proses mempromosikan HHI (lihat indeks).
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 6
2/28/2011 5:58:13 AM
IMAJI, Guntur/ICRC
Prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter
Seperti Grotius (lihat hal. 5 dan indeks), banyak ahli hukum dan
ahli filsafat yang tertarik pada bidang peraturan konflik jauh sebelum
Konvensi Jenewa yang pertama Tahun 1984 diadopsi dan
dikembangkan.
Pada abad 18, Jean-Jaques Rousseau memberikan sumbangan
besar dengan merumuskan prinsip berikut ini menyangkut
perkembangan perang antarNegara:
"Perang bukanlah suatu hubungan antara orang dan orang
melainkan hubungan antara Negara dan Negara, di mana individu
saling bermusuhan hanya karena kebetulan, bukan sebagai
manusia ataupun sebagai warga negara melainkan sebagai prajurit
(…). Karena tujuan perang adalah menghancurkan negara lawan,
adalah absah membunuh prajurit lawan selama mereka membawa
senjata; tetapi begitu mereka meletakkan senjata dan menyerah,
mereka bukan lagi musuh ataupun agen musuh melainkan kembali
menjadi orang biasa sehingga tidak absah membunuh mereka."
Pada tahun 1899, Fyodor Martens merumuskan prinsip berikut ini
untuk hal-hal yang belum diatur dalam Hukum Humaniter: "(…)
orang sipil dan kombatan tetap berada di bawah perlindungan
dan kewenangan prinsip-prinsip Hukum Internasional yang berasal
dari kebiasaan yang sudah mapan, dari prinsip-prinsip
kemanusiaan, dan dari suara hati nurani publik." Prinsip di atas,
yang dikenal dengan nama klausula Martens, dianggap sebagai
bagian standar Hukum Kebiasaan ketika prinsip tersebut
diintegrasikan ke dalam Pasal 1(2) Protokol Tambahan I Thn.
1977 (lihat indeks). Kalau Rousseau dan Martens merumuskan
prinsip-prinsip kemanusiaan, maka para penyusun Deklarasi St.
Petersburg (lihat Pertanyaan 4) merumuskan, secara implisit
maupun secara eksplisit, prinsip pembedaan (distinction), prinsip
kepentingan militer (military necessity), dan prinsip pencegahan
penderitaan yang tidak perlu (prevention of unnecessary suffering)
sebagai berikut:
"mempertimbangkan (…): Bahwa satu-satunya tujuan yang absah
untuk dicapai oleh Negara selama berlangsungnya perang ialah
melemahkan angkatan bersenjata pihak musuh;
Bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, cukuplah jika sebanyak
mungkin prajurit berhasil dilumpuhkan;
Bahwa pencapaian tujuan tersebut akan berlebihan dengan
penggunaan senjata yang memperburuk penderitaan orang-orang
yang sudah tidak berdaya atau membawa kematian tak terelakkan
bagi mereka, yang sebenarnya tidak perlu."
Protokol-protokol Tambahan 1977 mempertegas dan sekaligus
menjabarkan prinsip-prinsip tersebut, terutama prinsip pembedaan:
"(…) Pihak-pihak yang terlibat konflik harus setiap saat membedakan
antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan
objek militer dan, karena itu, harus mengarahkan operasinya hanya
pada sasaran-sasaran militer." (Ps. 48 Protokol I; lihat juga Ps.
3 Protokol II).
Akhirnya, prinsip proporsionalitas, yang mendasari ketiga prinsip
di atas, berupaya menyeimbangkan dua kepentingan yang bertolak
belakang, kepentingan yang satu didasarkan pada pertimbangan
kebutuhan militer dan kepentingan yang satunya lagi didasarkan
pada kebutuhan kemanusiaan, bilamana hak-hak atau laranganlarangannya tidak bersifat mutlak (lihat juga hal. 9).
7
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 7
2/28/2011 5:58:15 AM
Elchin Mamedov/ICRC
8
“...untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah”
3
BAGAIMANA ASAL-USUL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita
harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan
lain seperti tercantum di bawah ini:
Hukum apa yang mengatur konflik
bersenjata sebelum lahirnya Hukum
Humaniter yang ada sekarang ini?
Pada awalnya ada sejumlah aturan tak
tertulis, yang didasarkan pada kebiasaan,
yang mengatur konflik bersenjata.
Kemudian perjanjian-perjanjian
internasional bilateral (kartel), yang disusun
dengan tingkat kerincian berbeda-beda,
s e c a r a b e r a n g s u r- a n g s u r m u l a i
diberlakukan. Pihak-pihak yang berperang
kadang kala meratifikasi kartel semacam
ini setelah peperangannya berakhir. Ada
juga peraturan yang dikeluarkan oleh
Negara bagi pasukannya (lihat Kode Lieber
di halaman berikut). Dengan demikian,
hukum yang saat itu berlaku dalam konflik
bersenjata bersifat terbatas baik dari segi
waktu maupun dari segi ruang. Maksudnya,
hukum tersebut berlaku hanya untuk satu
pertempuran atau satu konflik tertentu saja.
Aturannya juga berubah-ubah, tergantung
pada masa, tempat, moral, dan peradaban
yang ada pada saat itu.
Siapakah para perintis Hukum
Humaniter yang ada sekarang ini?
Ada dua orang yang memainkan peran
esensial dalam pembentukan HHI yang kita
kenal sekarang ini: Henry Dunant dan
Guillaume-Henri Dufour (lihat hal. 2).
Dunant merumuskan gagasannya dalam
bukunya berjudul "Kenangan dari Solferino"
(A Memory of Solferino), yang terbit pada
tahun 1862. Jenderal Dufour, didorong
oleh pengalamannya sendiri dalam perang,
menggunakan seluruh waktunya untuk
memberikan dukungan moril secara aktif
bagi pembentukan HHI, terutama dengan
memimpin Konferensi Diplomatik 1864.
Dunant:
"Pada kesempatan-kesempatan istimewa
tertentu, misalnya ketika para pendekar
seni perang dari berbagai kebangsaan
bertemu (…), mungkin akan bermanfaat
jika mereka dapat menggunakan konggres
seperti ini untuk merumuskan suatu prinsip
internasional tertentu yang disetujui oleh
sebuah Konvensi dan memiliki sifat tidak
dapat diganggu gugat dan yang, bilamana
telah disetujui dan diratifikasi, dapat menjadi
landasan bagi berdirinya perhimpunan
bantuan bagi prajurit yang terluka di negaranegara Eropa."
Dufour (kepada Dunant):
"Kita perlu mengerti, melalui contoh-contoh
gamblang seperti yang Anda laporkan itu,
kesedihan dan penderitaan seperti apa
yang ada di balik kebesaran medan
pertempuran."
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 8
2/28/2011 5:58:17 AM
Bagaimana gagasan tersebut menjadi
kenyataan?
Pembaharuan apa yang dihasilkan
oleh Konvensi tersebut?
Pemerintah Swiss, atas desakan kelima
pendiri ICRC (lihat hal. 2), mengadakan
Konferensi Diplomatik 1864, yang dihadiri
oleh 16 Negara yang kemudian
mengadopsi Konvensi Jenewa untuk
Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Bersenjata Yang Terluka di Medan
Pertempuran Darat.
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar
bagi Hukum Humaniter moderen. Konvensi
ini terutama ditandai dengan hal-hal berikut:
• aturan tertulis tetap yang mempunyai
lingkup universal untuk melindungi korban
konflik;
• sifat multilateral, yaitu terbuka untuk
semua Negara;
• kewajiban untuk memberikan perawatan
tanpa diskriminasi kepada personil militer
yang terluka dan yang sakit;
• penghormatan dan pemberian tanda
kepada personil medis dan sarana
transportasi serta peralatan medis dengan
menggunakan sebuah lambang (yaitu
palang merah di atas dasar putih).
Hukum Humaniter sebelum dikodifikasi
Keliru jika kita mengklaim bahwa pendirian Palang Merah pada
tahun 1863 dan pengadopsian Konvensi Jenewa yang pertama
pada tahun 1864 merupakan titik awal HHI seperti yang kita
kenal dewasa ini. Karena tak ada satu pun masyarakat yang
tidak mempunyai perangkat aturan sendiri, maka belum pernah
ada perang yang tidak mempunyai aturan, yang jelas ataupun
yang samar-samar, menyangkut kapan perang itu dimulai atau
diakhiri dan bagaimana perang itu harus dilaksanakan.
"Secara keseluruhan, praktik perang bangsa-bangsa primitif
menggambarkan berbagai aturan internasional tentang perang
sebagaimana yang kita kenal dewasa ini: aturan mengenai
pembedaan jenis musuh; aturan mengenai keadaan, formalitas,
dan kewenangan yang diperlukan untuk memulai dan mengakhiri
perang; aturan yang memberikan batasan-batasan mengenai
jumlah prajurit, waktu, tempat, dan cara bagi pelaksanaan
perang; dan bahkan aturan yang melarang perang sama sekali."
(Quincy Wright)
Hukum-hukum perang yang paling tua diproklamirkan oleh
bangsa-bangsa besar beberapa milenium sebelum jaman
moderen ini. "Saya membuat hukum ini untuk mencegah yang
kuat menindas yang lemah." (Hammurabi, Raja Babylon)
Banyak naskah kuno seperti Mahabharata, Alkitab, dan AlQuran memuat aturan yang menganjurkan penghormatan
terhadap musuh. Sebagai contoh, Viqayet –sebuah naskah
yang ditulis menjelang berakhirnya abad ke-13, yaitu pada
puncak kejayaan bangsa Arab memerintah Spanyol– memuat
sebuah peraturan hukum yang sesungguhnya tentang perang.
Karena itu, Konvensi Jenewa 1864, yang berbentuk perjanjian
internasional multilateral, merupakan kodifikasi dan penguatan
terhadap berbagai hukum dan kebiasaan perang yang kuno,
sepotong-sepotong, dan terpencar-pencar, yang mengatur
perlindungan bagi prajurit yang terluka maupun orang yang
merawatnya (lihat halaman berikut).
Kode Lieber (Lieber Code)
Dari permulaan adanya perang hingga lahirnya Hukum Humaniter
moderen, lebih dari 500 kartel, aturan perilaku, perjanjian, dan
naskah tertulis lainnya yang mengatur peperangan berhasil
dicatat. Salah satunya adalah Kode Lieber (lihat indeks), yang
mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting
karena kode tersebut menandai usaha pertama yang pernah
dilakukan orang untuk mengkodifikasi berbagai hukum dan
kebiasaan perang yang sudah ada. Namun, tidak seperti
Konvensi Jenewa yang pertama (yang diadopsi satu tahun
sesudahnya), Kode Lieber tidak berstatus traktat (perjanjian
internasional) karena kode tersebut ditujukan hanya bagi para
prajurit Union yang bertempur dalam Perang Saudara di Amerika.
9
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 9
2/28/2011 5:58:20 AM
ICRC
10
Keluarga-keluarga yang dideportasi dari perkampungan Yahudi di Warsawa selama Perang Dunia Kedua
PERJANJIAN-PERJANJIAN APA SAJA YANG MEMBENTUK
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL?
4
Diawali dalam bentuk Konvensi Jenewa
pertama tahun 1864, Hukum Humaniter yang
ada sekarang ini merupakan hasil
pengembangan secara bertahap, yang sering
kali dilakukan setelah terjadinya peristiwa
yang membuat pengembangan baru terhadap
hukum tersebut sangat dibutuhkan, untuk
memenuhi semakin meningkatnya kebutuhan
akan bantuan kemanusiaan sebagai akibat
terjadinya perkembangan di bidang
persenjataan dan timbulnya jenis-jenis konflik
yang baru. Berikut ini adalah perjanjianperjanjian internasional (traktat-traktat) utama
yang membentuk HHI, yang disajikan sesuai
urutan kronologis pengadopsian:
1864 Konvensi Jenewa untuk perbaikan
keadaan anggota Angkatan Bersenjata
yang Terluka di Medan Pertempuran
Darat
1868 Deklarasi St. Petersburg (pelarangan
penggunaan proyektil-proyektil tertentu
pada waktu perang)
1899 Konvensi-konvensi Den Haag, yang
menghormati hukum-hukum dan
kebiasaan-kebiasaan perang di darat
dan menyesuaikan prinsip-prinsip
Konvensi Jenewa 1864 terhadap
peperangan laut.
1906 Peninjauan kembali dan pengembangan
Konvensi Jenewa 1864.
1907 Peninjauan kembali Konvensi-konvensi
Den Haag 1899 dan pengadopsian
Konvensi-konvensi Baru
1925 Protokol Jenewa tentang larangan
penggunaan gas cekik, gas racun,
dan gas-gas lainnya dan penggunaan
metode perang bakteri
1929 Dua Konvensi Jenewa:
• Peninjuan kembali dan
pengembangan Konvensi Jenewa
1906
• Konvensi Jenewa tentang perlakuan
tawanan perang (baru)
1949 Empat Konvensi Jenewa
I. Perbaikan keadaan anggota
angkatan bersenjata yang terluka
dan yang sakit di medan
pertempuran darat
II. Perbaikan keadaan anggota
angkatan bersenjata yang terluka,
yang sakit, dan yang kapalnya
karam di medan pertempuran laut
III.Perlakuan terhadap tawanan perang
IV.Perlindungan terhadap penduduk
sipil pada masa perang (baru)
1954 Konvensi Den Haag mengenai
perlindungan terhadap benda-benda
budaya pada waktu konflik bersenjata
1972 Konvensi tentang larangan atas
pengembangan, pembuatan, dan
penimbunan senjata bakteri (biologi)
dan senjata racun dan tentang
pemusnahannya
1977 Dua Protokol Tambahan untuk
keempat Konvensi Jenewa 1949, yang
memperkuat perlindungan bagi korban
konflik bersenjata internasional
(Protokol I) dan konflik bersenjata
non-internasional (Protokol II)
1980 Konvensi tentang larangan atau
pembatasan atas penggunaan senjatasenjata konvensional tertentu yang
dapat dianggap berpotensi
menimbulkan luka yang berlebihan
atau memberikan efek tidak pandang
bulu (Certain Conventional Weapons
Convention/CCW), yang termasuk:
• Protokol (I) tentang fragmen
(pecahan logam) yang tidak dapat
dideteksi
• Protokol (II) tentang larangan atau
pembatasan atas penggunaan
ranjau darat, booby trap, dan alatalat lain
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 10
2/28/2011 5:58:24 AM
• Protokol (III) tentang larangan atau
pembatasan atas penggunaan
senjata pembakar
1993 Konvensi tentang larangan atas
pengembangan, pembuatan,
penimbunan, dan penggunaan senjata
kimia dan tentang pemusnahannya
1995 Protokol tentang senjata laser yang
membutakan (Protokol IV [baru] untuk
Konvensi 1980)
1996 Revisi Protokol tentang larangan atau
pembatasan atas penggunaan ranjau,
booby trap, dan alat-alat lain
(Protokol II [hasil revisi) untuk
Konvensi 1980)
1997 Konvensi tentang larangan atas
penggunaan, penyimpanan,
pembuatan, dan pengiriman ranjau
darat antipersonil dan tentang
pemusnahannya
1998 Statuta Roma tentang Pengadilan
Pidana Internasional (International
Criminal Court)
1999 Protokol untuk Konvensi 1954 tentang
benda-benda budaya
2000 Protokol Opsional untuk Konvensi Hakhak Anak, menyangkut keterlibatan
anak dalam konflik bersenjata
2001 Amandemen Pasal 1 Konvensi
Senjata-senjata Konvensional Tertentu
(CCW)
Didorong oleh peristiwa
Daftar di atas menunjukkan dengan jelas bahwa sejumlah konflik
bersenjata tertentu membawa dampak langsung terhadap
perkembangan HHI. Misalnya:
Perang Dunia Pertama (1914-1918) menjadi saksi penggunaan
cara-cara berperang yang, walaupun bukan baru sama sekali,
berlangsung pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Cara-cara berperang ini antara lain adalah: gas racun, pemboman
udara yang pertama kali, dan penangkapan ratusan ribu tawanan
perang. Perjanjian internasional 1925 dan 1929 di atas menanggapi
perkembangan baru tersebut.
Asal-usul Konvensi-konvensi
Jenewa 1949
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menandai
sebuah kemajuan pesat dalam perkembangan
HHI. Namun, setelah dekolonisasi, Negaranegara yang baru terbentuk tidak bersedia
terikat oleh seperangkat aturan yang
penyusunannya tidak melibatkan mereka itu.
Apalagi, aturan-aturan perjanjian internasional
yang mengatur perilaku peperangan (the
conduct of hostilities) tersebut tidak
mengalami perkembangan baru semenjak
diadopsinya Konvensi-konvensi Den Haag
pada tahun 1907. Karena merevisi Konvensikonvensi Jenewa dikhawatirkan akan
Perang Dunia Kedua (1939-1945) menewaskan penduduk sipil
dan personil militer dalam jumlah yang seimbang, padahal rasionya
1 : 10 dalam Perang Dunia Pertama. Pada tahun 1949, masyarakat
internasional bereaksi terhadap angka-angka jumlah korban yang
tragis itu, terlebih terhadap dampak mengerikan yang menimpa
penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi-konvensi yang saat itu
berlaku dan mengadopsi sebuah instrumen baru: Konvensi Jenewa
Keempat untuk perlindungan penduduk sipil.
Kemudian, pada tahun 1977, Protokol-protokol Tambahan diadopsi
sebagai tanggapan terhadap dampak kemanusiaan dari berbagai
perang kemerdekaan nasional, suatu hal yang hanya dicakup
sebagian saja oleh Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
membahayakan sebagian dari kemajuan
yang telah dicapai pada tahun 1949 tersebut,
maka diputuskan untuk memperkuat
perlindungan bagi korban konflik bersenjata
dengan mengadopsi naskah baru dalam
bentuk Protokol tambahan bagi Konvensikonvensi Jenewa tersebut (lihat Pertanyaan 9)
Asal-usul Protokol-protokol
Tambahan 1977
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menandai
sebuah kemajuan pesat dalam perkembangan
HHI. Namun, setelah dekolonisasi, Negaranegara yang baru terbentuk tidak bersedia
terikat oleh seperangkat aturan yang
penyusunannya tidak melibatkan mereka itu.
Apalagi, aturan-aturan perjanjian internasional
yang mengatur perilaku peperangan tersebut
tidak mengalami perkembangan baru
semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi
Den Haag pada tahun 1907. Karena merevisi
Konvensi-konvensi Jenewa dikhawatirkan
akan membahayakan sebagian dari kemajuan
yang telah dicapai pada tahun 1949 tersebut,
maka diputuskan untuk memperkuat
perlindungan bagi korban konflik bersenjata
dengan mengadopsi naskah baru dalam
bentuk Protokol tambahan bagi Konvensikonvensi Jenewa tersebut (lihat Pertanyaan 9)
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokol Tambahan 1977 terdiri dari hampir 600 pasal dan merupakan instrumeninstrumen utama HHI.
11
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 11
2/28/2011 5:58:25 AM
12
“...bekerja untuk pemahaman dan penyebarluasan pengetahuan tentang hukum humaniter internasional...”
5
SIAPA SAJA YANG TERIKAT OLEH KONVENSI - KONVENSI JENEWA?
Hanya Negara yang bisa menjadi peserta
perjanjian internasional. Dengan demikian,
hanya Negara yang bisa menjadi peserta
Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokolprotokol Tambahannya. Walaupun demikian,
semua pihak yang terlibat konflik bersenjata,
baik itu Negara ataupun aktor bukan Negara,
terikat oleh HHI.
Pada akhir tahun 1953, hampir semua
Negara di dunia –tepatnya 191 Negara–
telah menjadi peserta Konvensi-konvensi
Jenewa. Fakta bahwa konvensi-konvensi
tersebut termasuk salah satu perjanjian
internasional yang diterima oleh sebagian
besar
Negara
membuktikan
kesemestaannya/keuniversalannya. Dalam
hal Protokol-protokol Tambahannya, 161
Negara telah menjadi peserta Protokol 1
sedangkan 156 Negara telah menjadi peserta
Protokol II.
Penandatanganan, ratifikasi, aksesi, reservasi, suksesi
Perjanjian multilateral antara Negara-negara, misalnya Konvensi-konvensi keinginannya, melalui deklarasi suksesi, untuk tetap terikat oleh sebuah
Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya, memerlukan dua macam perjanjian internasional yang sudah berlaku di wilayahnya sebelum
prodedur:
kemerdekaan. Negara yang bersangkutan juga boleh membuat deklarasi
akan memberlakukan perjanjian yang bersangkutan untuk sementara
a) penandatanganan yang diikuti dengan ratifikasi
waktu sambil mempelajari isinya sebelum melakukan aksesi atau
Walaupun penandatanganan tidak mengikat Negara, tindakan tersebut suksesi.
mewajibkannya untuk berperilaku dengan cara yang menganggap
penting arti isi perjanjian internasional yang bersangkutan bilamana
d) reservasi
Negara penandatangan kemudian meratifikasinya dan berjanji dengan Dalam konteks prosedur-prosedur di atas, dan dengan syarat-syarat
serius untuk menghormatinya.
tertentu, sebuah Negara boleh membuat reservasi dengan tujuan
membuang atau mengubah efek hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu
b) aksesi
yang ada pada perjanjian internasional yang bersangkutan. Syarat
Aksesi adalah tindakan untuk menyatakan setuju terikat oleh sebuah
utamanya ialah bahwa reservasi tersebut tidak bertentangan dengan
perjanjian internasional yang dilakukan oleh Negara yang pada saat
unsur-unsur substantif yang esensial yang ada pada perjanjian yang
pengadopsian perjanjian internasional tersebut tidak ikut
bersangkutan.
menandatanganinya. Aksesi mempunyai implikasi yang sama seperti
ratifikasi.
Yang terakhir, gerakan kemerdekaan nasional yang dicakup oleh Ps.
1, alinea 4, Protokol I boleh berjanji untuk memberlakukan Konvensic) suksesi
konvensi Jenewa dan Protokol I dengan mengikuti prosedur khusus
Sebuah Negara merdeka yang baru terbentuk dapat mengungkapkan
sebagaimana ditetapkan dalam Ps. 96, alinea 3, Protokol I.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 12
2/28/2011 5:58:26 AM
Didier Bregnard/ICRC
Siapakah yang bertugas menyebarluaskan
pengetahuan mengenai Konvensi-konvensi Jenewa
dan Protokol-protokolnya?
Negaralah yang mempunyai kewajiban hukum untuk
menyebarluaskan pengetahuan akan Konvensi-konvensi Jenewa
dan Protokol-protokolnya:
"Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk, pada waktu damai
maupun pada waktu perang, menyebarluaskan teks Konvensi
ini seluas-luasnya di wilayah negara masing-masing dan,
khususnya, untuk memasukkan studi tentangnya dalam programprogram pendidikan militer dan, bilamana mungkin, dalam
program-program pendidikan sipil, agar prinsip-prinsip Konvensi
ini dapat dikenal oleh seluruh penduduk, khususnya oleh
angkatan bersenjata, personil medis, dan rohaniwan."
(Ps. 47 KJ I, Ps. 48 KJ II, Ps. 127 KJ III, dan Ps. 144 KJ IV)
penduduk sipil, agar instrumen-instrumen hukum ini dapat
dikenal oleh angkatan bersenjata dan penduduk sipil."
(Ps. 83, Protokol I)
"Protokol ini disebarluaskan seluas-luasnya."
(Ps. 19, Protokol II)
ICRC dan tugas penyebarluasan pengetahuan tentang
Hukum Humaniter
Berdasarkan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional, adalah tugas ICRC untuk:
"(…) mengupayakan pemahaman dan penyebarluasan
(diseminasi) pengetahuan tentang HHI yang berlaku dalam
konflik bersenjata dan mempersiapkan pengembangan hukum
tersebut"
[Ps. 5(2)(g)]
"(…) [memelihara hubungan yang erat dengan Perhimpunan"Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk, pada waktu damai perhimpunan Nasional] (…) dalam hal-hal yang menjadi
maupun pada waktu konflik bersenjata, menyebarluaskan teks kepedulian bersama, misalnya penyiapan aksi pada masa
Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini seluas-luasnya di konflik bersenjata, penghormatan, pengembangan, dan
peratifikasian Konvensi-konvensi Jenewa, dan penyebarluasan
wilayah negara masing-masing dan, khususnya, untuk
Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan HHI." [Ps. 5(4)(a)]
memasukkan studi tentangnya dalam program-program
pendidikan militer dan mendorong studi tentangnya di kalangan
13
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 13
2/28/2011 5:58:30 AM
14
Jus in bello: melindungi dan membantu korban-korban konflik bersenjata.
6
Tujuan HHI ialah untuk membatasi
penderitaan yang timbul akibat perang
dengan cara melindungi dan membantu
korban semaksimal mungkin. Karena itu,
hukum tersebut menyikapi realitas konflik
tanpa mempersoalkan alasan ataupun
legalitas bagi penggunaan kekuatan yang
sedang berlangsung. HHI hanya mengatur
aspek-aspek konflik yang berkaitan dengan
kepedulian kemanusiaan. HHI-lah yang
dimaksud dengan jus in bello (hukum dalam
perang). Ketentuan-ketentuan yang ada
pada hukum tersebut berlaku bagi pihak-
pihak yang berperang, tanpa mempedulikan
apa sebenarnya alasan bagi konflik yang
bersangkutan dan apakah perjuangan yang
dilakukan oleh masing-masing pihak benar
atau tidak.
Dalam hal konflik bersenjata internasional,
kadang sulit menentukan Negara mana
yang bersalah telah melanggar Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (lihat
Pertanyaan 18). Penerapan HHI tidak
mengharuskan dilakukannya pengecaman
terhadap pihak yang bersalah, karena hal
itu justru akan menimbulkan perdebatan
sehingga menghambat pelaksanaan HHI
sendiri. Masing-masing pihak yang
berperang akan mengklaim telah menjadi
korban agresi. Apalagi, tujuan HHI ialah
melindungi korban dan hak-hak
fundamental yang dimilikinya, dari pihak
manapun korban berasal. Karena itu, jus
in bello harus tetap berdiri sendiri terpisah
dari jus ad bellum atau jus contra bellum
(hukum penggunaan kekuatan atau hukum
pencegahan perang).
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 14
2/28/2011 5:58:34 AM
Sebelum berakhirnya Perang Dunia Pertama, penggunaan
kekuatan bersenjata tidak dianggap sebagai tindakan ilegal
tetapi dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk
menyelesaikan perbedaan.
Pada tahun 1919 diadopsi Perjanjian Liga Bangsa-bangsa
(the Covenant of the League of Nations) dan, pada tahun
1928, diadopsi Traktat Paris (atau Pakta Briand-Kellogg)
dalam rangka melarang peperangan. Pengadopsian Piagam
PBB pada tahun 1945 mengukuhkan tren tersebut. "Dalam
hubungan internasionalnya, anggota PBB menahan diri dari
mengancam akan menggunakan kekuatan ataupun dari
menggunakan kekuatan (…)."
Halvor Fossum Lauritzen/ICRC
Pelayanan Diseminasi dan Konsultasi
Namun, bilamana sebuah Negara atau sekelompok Negara
diserang oleh sebuah atau sekelompok Negara lain, Piagam
PBB menjunjung tinggi hak Negara-negara untuk membela
diri baik secara individual ataupun secara kolektif. Dewan
Keamanan PBB, dengan mengacu pada Bab VII Piagam
tersebut sebagai landasan (lihat Pertanyaan 18), dapat
memutuskan untuk menggunakan kekuatan secara kolektif.
Penggunaan kekuatan secara kolektif ini dapat berupa:
• tindakan pemaksaan (coercive measures) terhadap
Negara yang membahayakan keamanan internasional,
dengan tujuan memulihkan perdamaian;
• tindakan pemeliharaan perdamaian dalam bentuk misi
pengamat atau misi pemeliharaan perdamaian.
Sebuah contoh lain dapat diketemukan dalam kerangka hak
bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Dalam
resolusi 2105 (XX) yang diadopsi pada tahun 1965, Majelis
Umum PBB "mengakui keabsahan perjuangan yang
dikobarkan oleh bangsa-bangsa terjajah untuk melaksanakan
hak mereka atas penentuan nasib sendiri dan atas
kemerdekaan (…)." (Lihat hal. 16.)
15
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 15
2/28/2011 5:58:34 AM
Ursula Meissner/ICRC
16
Perlindungan bagi personil medis ...
7
DALAM SITUASI APA HUKUM HUMANITER BERLAKU?
UNTUK SIAPA HUKUM INI DITUJUKAN DAN SIAPA YANG DILINDUNGI?
HHI berlaku dalam dua situasi. Dengan
kata lain, HHI menyediakan dua sistem
perlindungan:
a) Konflik bersenjata internasional (lihat
hal. 5)
Dalam situasi ini, Konvensi-konvensi
Jenewa dan Protokol Tambahan I berlaku.
HHI pada dasarnya ditujukan untuk pihakpihak yang terlibat konflik internasional dan
melindungi setiap orang atau kategori orang
yang tidak, atau tidak lagi, terlibat aktif
dalam peperangan, yaitu:
• personil militer yang terluka atau sakit di
medan pertempuran darat, dan anggota
dinas medis angkatan bersenjata;
• personil militer yang terluka, yang sakit,
atau yang kapalnya karam dalam
pertempuran laut, dan anggota dinas
medis angkatan laut;
• tawanan perang;
• penduduk sipil, misalnya:
- warga negara asing di wilayah negara
yang terlibat konflik, termasuk
pengungsi;
- orang sipil di wilayah pendudukan;
- tahanan sipil dan internir;
- personil medis dan rohaniwan atau
satuan pertahanan sipil (perlindungan
massa).
Perang kemerdekaan nasional,
sebagaimana didefinisikan dalam Ps. 1
Protokol I, diklasifikasikan sebagai konflik
bersenjata internasional (lihat hal. 12).
b) Konflik bersenjata non-internasional
(lihat hal. 5)
Perlu dicatat bahwa syarat-syarat bagi
pemberlakuan Protokol II lebih ketat
daripada yang ditetapkan dalam Pasal 3
tersebut (lihat Pertanyaan 19). Dalam
situasi konflik bersenjata non-internasional,
HHI ditujukan bagi angkatan bersenjata,
yang reguler maupun yang bukan reguler,
yang ikut serta dalam konflik tersebut dan
melindungi setiap orang atau kategori
orang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat
aktif dalam peperangan, misalnya:
• prajurit yang terluka atau sakit;
• orang yang dicabut kebebasannya
(ditawan/ditahan) akibat konflik;
• penduduk sipil;
• personil medis dan personil keagamaan
(rohaniwan).
Selama berlangsungnya konflik bersenjata
non-internasional, Pasal 3 Ketentuan Yang
Sama pada keempat Konvensi Jenewa dan
Protokol II berlaku.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 16
2/28/2011 5:58:35 AM
Thierry Gassmann/ICRC
(Contact Press Images)/ICRC
Bjorn Fjertoft/ICRC
...orang yang dicabut kebebasannya
...orang sipil
HHI dan konflik bersenjata non-internasional
Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa
dianggap sebagai sebuah perjanjian internasional mini (lihat
Pertanyaan 19). Ditambah dengan ketentuan-ketentuan Protokol
II pun, perangkat aturan mengenai konflik bersenjata noninternasional tetap belum lengkap dibandingkan dengan
perangkat aturan tentang konflik bersenjata internasional (lihat
halaman sebalik). Memang sulit memperkuat sistem
perlindungan tersebut dalam konflik bersenjata non-internasional
karena adanya prinsip kedaulatan Negara.
...kombatan yang sakit atau terluka.
Hukum apa yang berlaku untuk gangguan dalam negeri
dan situasi-situasi kekerasan dalam negeri lainnya?
HHI tidak berlaku pada situasi kekerasan yang intensitasnya
lebih rendah daripada konflik bersenjata. Kasus-kasus jenis
ini diatur oleh ketentuan Hukum HAM (lihat Pertanyaan 17)
dan peraturan perundangan nasional yang berlaku.
Aturan-aturan yang termuat dalam Pasal 3 dianggap sebagai
hukum kebiasaan dan merupakan standar minimum yang tidak
pernah boleh diabaikan oleh pihak yang terlibat konflik.
17
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 17
2/28/2011 5:58:37 AM
18
Bahkan dalam konflik ‘anarkis “, aturan kemanusiaan harus berlaku.
APAKAH HUKUM HUMANITER BERLAKU
BAGI KONFLIK “JENIS BARU”?
8
Ada banyak pembicaraan dewasa ini
tentang adanya konflik-konflik "jenis
baru." Istilah ini mencakup berbagai
jenis konflik bersenjata: konflik-konflik
yang dikenal sebagai konflik "anarkis"
dan konflik-konflik lain di mana identitas
kelompok menjadi titik fokus. Terminologi
tersebut digunakan secara agak bebas.
Konflik "anarkis," yang kemunculannya
tak diragukan lagi merupakan akibat
berakhirnya Perang Dingin, sering kali
ditandai oleh melemahnya atau
runtuhnya struktur Negara secara
sebagian atau bahkan secara total.
Dalam situasi seperti ini, kelompokkelompok bersenjata memanfaatkan
vakum politik yang ada dalam upaya
mereka merebut kekuasaan. Namun,
konflik jenis ini terutama ditandai oleh
melemahnya atau runtuhnya rantai
komando di dalam kelompok-kelompok
bersenjata yang bersangkutan.
Konflik-konflik yang bertujuan untuk
menegaskan identitas kelompok sering
kali mencoba meniadakan lawannya
melalui cara "pembersihan etnik" (ethnic
cleansing). Pembersihan etnik ialah
tindakan memindahkan penduduk secara
paksa atau bahkan tindakan membasmi
penduduk. Di bawah pengaruh
propaganda, kekerasan, dan kebencian
yang semakin hari semakin membesar,
konflik jenis ini memperkuat 'perasaan
kelompok' dengan merugikan identitas
nasional yang ada, karena 'perasaan
kelompok' semacam itu meniadakan
kemungkinan koeksistensi dengan
kelompok-kelompok lain.
HHI juga berlaku bagi konflik "anarkis"
dan konflik yang terkait dengan "identitas
kelompok" semacam itu, di mana
penduduk sipil pada khususnya terpapar
pada kekerasan. Pasal 3 Ketentuan Yang
Sama (lihat halaman berikut)
mengharuskan semua kelompok
bersenjata, baik yang sedang terlibat
pemberontakan maupun yang tidak,
untuk menghormati individu-individu
yang sudah meletakkan senjata serta
mereka-mereka yang tidak terlibat dalam
peperangan, misalnya orang sipil.
Oleh karena itu, bukan karena
melemahnya atau tidak adanya struktur
Negaralah yang menyebabkan terjadinya
vakum hukum menyangkut HHI. Justru,
dalam keadaan seperti itulah HHI berlaku
sepenuhnya sebagai dirinya sendiri.
Memang, aturan-aturan Hukum
Humaniter lebih sulit diterapkan dalam
jenis-jenis konflik semacam itu. Tiadanya
disiplin di antara pihak-pihak yang
bertikai, dipersenjatainya penduduk sipil,
masuknya senjata membanjiri wilayah
yang bersangkutan, dan semakin
samarnya perbedaan antara kombatan
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 18
2/28/2011 5:58:40 AM
dan orang sipil, semuanya ini sering kali
menyebabkan konfrontasi yang
bersangkutan menjadi sangat brutal
sehingga ruang bagi penegakan aturan
hukum menjadi sempit.
Sebagai akibatnya, dalam situasi
semacam itulah diperlukan upaya
bersungguh-sungguh untuk membuat
orang sadar akan Hukum Humaniter.
Walaupun meningkatnya kesadaran akan
Hukum Humaniter tidak akan
memecahkan masalah mendasar yang
menyebabkan timbulnya konflik, hal
tersebut dapat mengurangi konsekuensi
yang mematikan dari konflik yang
bersangkutan.
Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa 1949:
sebuah traktat mini
Bilamana terjadi konflik bersenjata non-internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Negara Peserta Konvensikonvensi Jenewa, masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik tersebut wajib menerapkan sekurang-kurangnya ketentuanketentuan berikut:
1) Orang-orang yang tidak terlibat secara aktif dalam peperangan, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan
senjata dan anggota angkatan bersenjata yang tidak lagi terlibat dalam pertempuran karena sakit, luka-luka, atau ditahan
atau karena alasan-alasan lain harus diperlakukan secara manusiawi dalam segala keadaan, tanpa pembeda-bedaan
merugikan yang didasarkan pada ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau
kriteria-kriteria lain yang serupa.
Untuk tujuan tersebut, tindakan-tindakan berikut ini dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang
tersebut di atas di segala waktu dan dalam segala keadaan:
a) tindakan kekerasan terhadap jiwa dan raga, terutama pembunuhan dalam segala jenisnya, pengudungan (mutilasi),
perlakuan kejam, dan penyiksaan;
b) penyanderaan;
c) pelecehan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
d) penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman mati tanpa didahului oleh pembacaan keputusan oleh pengadilan
reguler yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.
2) Yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan kemanusiaan yang tidak memihak, seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC), dapat menawarkan jasajasanya kepada pihak-pihak yang terlibat konflik.
Pihak-pihak yang terlibat konflik harus berusaha lebih lanjut untuk memberlakukan, dengan perjanjian-perjanjian khusus, semua
atau sebagian dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam Konvensi ini.
Penerapan ketentuan-ketentuan tersebut tidak mempengaruhi status hukum pihak-pihak yang terlibat konflik.
(Lihat hal. 16 dan 17.)
19
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 19
2/28/2011 5:58:45 AM
20
Perjanjian Ottawa melarang penggunaan ranjau darat
9
BAGAIMANA HUKUM HUMANITER BERADAPTASI DENGAN
PERKEMBANGAN BARU DAN APA PERAN ICRC DALAM PROSES TERSEBUT?
HHI dikembangkan oleh Negara-negara melalui
proses kodifikasi atau melalui praktik Negara
(State practice). Kedua proses ini biasanya
tumpang tindih.
Praktik yang meluas oleh Negara-negara dapat
mengkristal menjadi Hukum Internasional
Kebiasaan. Praktik oleh Negara jugalah, yang
kadang-kadang digabungkan dengan kegiatan
LSM (lembaga swadaya masyarakat), yang dapat
memicu pengkodifikasian Hukum Internasional
(HI). Kodifikasi dapat menggunakan bentukbentuk traktat (perjanjian internasional) seperti
konvensi, kovenan, protokol, atau pakta. Sebagai
contoh, sejumlah Negara telah mengesahkan
peraturan perundangan nasional yang secara
implisit maupun eksplisit melarang penggunaan
ranjau darat antipersonil. Namun, praktik
pengesahan peraturan perundangan nasional
semacam itu pada waktu itu belum meluas
sehingga Hukum Kebiasaan mengenai larangan
penggunaan ranjau darat antipersonil tersebut
tidak terbentuk. Kemudian, pada tahun 1997,
sebuah konferensi diadakan untuk menyusun
sebuah konvensi khusus sehingga penggunaan,
penimbunan, pembuatan serta transportasi ranjau
Kedua Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa
merupakan contoh mengenai bagaimana Hukum Humaniter dibuat,
dari saat timbulnya gagasan hingga saat pengadopsian:
• berdasarkan rancangan peraturan yang dipersiapkan pada tahun
1956, yang kemudian menjadi resolusi yang diadopsi oleh dua
Konferensi Internasional Palang Merah pada tahun 1960 and
oleh Konferensi HAM Internasional di Teheran pada tahun 1968,
ICRC mempelajari kemungkinan membuat suplemen bagi
Konvensi-konvensi Jenewa 1949;
• pada tahun 1969, ICRC mengajukan gagasan penyusunan
suplemen tersebut pada Konferensi Internasional Palang Merah
ke-21 di Istambul. Para peserta konferensi ini, termasuk Negaranegara Peserta Konvensi-konvensi Jenewa, memberi mandat
kepada ICRC untuk melaksanakan gagasan tersebut, dan para
ahli hukum ICRC segera memulai kegiatan persiapan;
• dari tahun 1971 hingga 1974, ICRC mengadakan konsultasi
antipersonil menjadi dilarang bagi semua Negara
yang meratifikasi perjanjian tersebut.
Peran ICRC dalam pengembangan Hukum
Humaniter adalah:
• memonitor perubahan-perubahan sifat konflik
bersenjata;
• mengadakan konsultasi dalam rangka
memastikan terciptanya kemungkinan untuk
mencapai kesepakatan atas aturan-aturan baru;
• mempersiapkan rancangan peraturan untuk
disampaikan pada konferensi diplomatik.
dengan pemerintah-pemerintah maupun dengan Gerakan.
Laporan kemajuan diberikan secara teratur kepada Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB);
• pada tahun 1973, Konferensi Internasional Palang Merah ke22, yang diadakan di Teheran, mempelajari rancangan suplemen
tersebut dan sepenuhnya mendukungnya;
• pada bulan Februari 1974, Pemerintah Swiss sebagai penyimpan
(depository) Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyelenggarakan
Konferensi Diplomatik di Jenewa dalam rangka meneguhkan
dan menyusun Hukum Humaniter Internasional yang berlaku
pada konflik bersenjata. Konferensi ini terdiri dari empat sesi
yang secara keseluruhan berakhir pada bulan Juni 1977;
• pada sesi terakhir Konferensi tersebut, sebanyak 102 pasal
Protokol I and 28 pasal Protokol II diadopsi oleh para wakil
berkuasa penuh dari sebanyak 102 Negara yang diwakili dalam
Konferensi tersebut.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 20
2/28/2011 5:58:49 AM
ICRC sebagai promotor Hukum Humaniter
Berdasarkan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional (lihat hal. 13), salah satu tugas ICRC
ialah mempersiapkan perkembangan yang bisa dilakukan
terhadap HHI. Dengan demikian, ICRC adalah promotor HHI.
Beberapa perkembangan terbaru (lihat juga Pertanyaan 4)
Protokol tentang senjata laser yang membutakan, yang diadopsi
pada Konferensi Diplomatik di Wina pada bulan Oktober 1995,
melarang penggunaan dan pemindahan senjata laser, yang
salah satu fungsi tempur utamanya ialah menimbulkan kebutaan
permanen. Protokol ini juga mengharuskan Negara untuk
mengambil segala tindakan pencegahan yang diperlukan,
termasuk pelatihan angkatan bersenjata, untuk mencegah
terjadinya kebutaan permanen sebagai akibat dari penggunaan
yang sah atas sistem laser yang demikian.
Dalam hal ranjau, lingkup pemberlakuan Protokol II Konvensi
1980 tersebut (lihat hal. 10) diperluas dengan diadopsinya
versi amandemen Protokol tentang larangan atau pembatasan
atas penggunaan ranjau, booby traps, and alat-alat lainnya di
Jenewa pada tanggal 3 Mei 1996. Konvensi tentang larangan
atas penggunaan, penimbunan, pembuatan, dan pengangkutan
ranjau antipersonil dan tentang pemusnahannya, yang
ditandatangani oleh 121 negara di Ottawa pada tanggal 3-4
Desember 1997, mutlak melarang ranjau antipersonil. Konvensi
ini juga mengatur tentang pembersihan ranjau dan pemberian
bantuan kepada korban ranjau.
Perjanjian-perjanjian HHI yang mengandung aturan yang
berlaku bagi perlindungan lingkungan antara lain adalah Pasal
56 Protokol Tambahan I dan Konvensi 10 Desember 1976
tentang larangan penggunaan teknik-teknik modifikasi lingkungan
untuk tujuan militer atau tujuan perang.
Namun, Perang Teluk 1991 menunjukkan bahwa aturan-aturan
tersebut kurang dipahami dan kadang-kadang kurang rinci.
Karena itu, pada tahun 1994, dengan dorongan dari Majelis
Umum PBB dan dengan bantuan dari pakar-pakar di bidang
itu, ICRC membuat rancangan Pedoman bagi penyusunan
buku pegangan militer dan instruksi militer menyangkut
perlindungan terhadap lingkungan hidup di masa konflik
bersenjata.
Perkembangan terbaru lainnya ialah Buku Pegangan San Remo
(the San Remo Manual) tentang hukum internasional yang
berlaku pada konflik bersenjata di laut. Pentingnya penyusunan
buku pegangan tersebut, yang dilakukan oleh Institut Internasional
Hukum Humaniter (the International Institute of Humanitarian
Law) dengan dukungan dari ICRC, diakui oleh pemerintahpemerintah melalui resolusi yang diadopsi oleh Konferensi
Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-26, yang
diselenggarakan di Jenewa pada tahun 1995.
Walaupun Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokol
Tambahannya tidak secara tegas melarang penggunaan senjata
nuklir, prinsip-prinsip dan aturan-aturan HHI (lihat hal. 7) tetap
berlaku dalam kasus ini. Prinsip-prinsip dan aturan-aturan ini
antara lain mengharuskan pihak-pihak yang berperang untuk
setiap saat membedakan antara kombatan dan non-kombatan
dan melarang penggunaan senjata yang bisa menimbulkan
penderitaan yang tidak perlu. Penerapan prinsip-prinsip dan
aturan-aturan ini terhadap senjata nuklir ditegaskan kembali
oleh Pengadilan Internasional (the International Court of Justice)
di Den Haag pada tahun 1996.
Sebuah perkembangan lebih lanjut ialah pengadopsian Statuta
Pengadilan Pidana Internasional (the International Criminal
Court) pada tanggal 17 Juli 1998. Statuta tersebut merupakan
langkah penting dalam upaya mengurangi impunitas (kelolosan
dari jerat hukum) dan memastikan meningkatnya penghormatan
terhadap Hukum Humaniter. Pengadilan yang baru ini akan
mempunyai kewenangan hukum atas kejahatan perang yang
dilakukan dalam konflik bersenjata internasional maupun dalam
konflik bersenjata non-internasional. Walaupun HHI telah
menjadi dasar kewajiban untuk menuntut penjahat perang,
pengadilan yang baru ini memperkuat perangkat hukum yang
telah ada.
Perkembangan terbaru menyangkut HHI berkenaan dengan
sarana perang. Pada bulan Desember 2001, lingkup Konvensi
PBB 1980 tentang larangan dan pembatasan atas penggunaan
senjata-senjata konvensional tertentu diperluas. Sebelumnya,
Konvensi tersebut hanya mencakup situasi konflik bersenjata
internasional, tetapi Konferensi Kaji Ulang Kedua mengamendasi
Pasal 1 dengan mengikutsertakan situasi konflik bersenjata
non-internasional.
21
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 21
2/28/2011 5:58:53 AM
22
Korban perang punya hak untuk menerima bantuan yang mutlak mereka perlukan untuk bertahan hidup
APA YANG DITETAPKAN OLEH HUKUM HUMANITER MENGENAI
BANTUAN MATERIAL BAGI PARA KORBAN KONFLIK BERSENJATA?
10
Negara-negara peserta Konvensi-konvensi
Jenewa mengakui hak para korban konflik
bersenjata untuk memperoleh bantuan yang
mutlak mereka perlukan untuk bertahan
hidup.
Hak tersebut kemudian
dikembangkan lebih jauh dengan
pengadopsian Protokol-protokol Tambahan
1977.
penduduk di wilayah yang didudukinya
(Pasal 55 Konvensi Jenewa IV);
bilamana persediaan barang-barang
semacam itu dari mereka sendiri tidak
memadai, Penguasa Pendudukan harus
menyetujui penyediaan bantuan
kemanusiaan (relief) oleh sumber-sumber
luar (Pasal 59 Konvensi Jenewa IV).
Dalam sebuah konflik bersenjata
internasional, hak untuk memperoleh
bantuan meliputi terutama:
• jalur bebas untuk pengiriman barangbarang tertentu yang diperlukan bagi
kelangsungan hidup penduduk sipil
(Pasal 23 Konvensi Jenewa IV, yang
disusun untuk menangani masalah
blokade);
• kewajiban bagi Penguasa Pendudukan
untuk menjamin tersedianya barangbarang kebutuhan pokok (esensial) bagi
Protokol I (Ps. 69 dan 70) memperkuat
perangkat aturan yang diadopsi pada tahun
1949 tersebut. Sebagai contoh, sebuah
Negara dalam keadaan perang harus
bersedia menerima skema pemberian
bantuan kemanusiaan bersifat tidak
memihak yang dilaksanakan tanpa
diskriminasi bagi penduduk di wilayahnya,
setelah skema tersebut disepakati oleh
pihak-pihak terkait. Bilamana kondisikondisi sebagaimana disebutkan di atas
memang ada, keliru jika skema bantuan
kemanusiaan semacam itu ditolak karena
pemberian bantuan semacam itu tidak
dianggap oleh HHI sebagai tindakan campur
tangan terhadap konflik bersenjata itu sendiri
ataupun sebagai tindakan permusuhan.
Dalam konflik bersenjata non-internasional,
Protokol II (Ps. 18) menetapkan antara
lain bahwa jika penduduk sipil mengalami
penderitaan berlebihan karena tiadanya
barang-barang yang mutlak mereka
perlukan bagi kelangsungan hidup mereka,
maka tindakan pemberian bantuan yang
sepenuhnya bersifat kemanusiaan dan tidak
memihak dan yang dilaksanakan tanpa
diskriminasi harus dilakukan, setelah
disetujui oleh pihak-pihak yang bertikai
(lihat hal. 19). Dewasa ini telah diakui
secara umum bahwa Negara harus
mengizinkan dilaksanakannya operasi
pemberian bantuan kemanusiaan semacam
itu.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 22
2/28/2011 5:58:57 AM
ICRC dan hak untuk memberikan bantuan
ICRC pada setiap kasus mempunyai hak prakarsa (lihat hal.
2) yang memungkinkannya menawarkan pelayanannya kepada
pihak-pihak yang terlibat konflik, terutama dengan tujuan
memberikan bantuan kepada para korban. Pelayanan bantuan
ICRC (yang berupa kegiatan pemberian bantuan darurat atau
kegiatan pemberian bantuan lainnya) bukan merupakan campur
tangan terhadap urusan dalam negeri sebuah Negara, karena
pelayanan bantuan ICRC ditetapkan dalam HHI.
Hukum Humaniter dan “hak untuk mengintervensi
atas dasar kemanusiaan.”
Sejauh sebuah "hak –atau bahkan kewajiban– untuk melakukan
intervensi" menjadi setara dengan pembenaran dilakukannya
intervensi bersenjata demi alasan-alasan kemanusiaan, maka
masalah semacam itu bukanlah untuk Hukum Humaniter
melainkan untuk Hukum yang mengatur legalitas penggunaan
kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional, yaitu jus
ad bellum (lihat Pertanyaan 6 dan 18).
Bilamana terdapat intervensi bersenjata yang dilakukan demi
alasan kemanusiaan, maka ICRC sesuai dengan mandatnya
(lihat indeks) harus memastikan agar pihak-pihak yang terlibat
dalam intervensi tersebut mematuhi aturan-aturan yang relevan
dari HHI. Selain itu, ICRC juga harus berupaya memberikan
bantuan bagi para korban konflik yang bersangkutan.
ICRC tidak mendukung ataupun menentang "hak untuk
melakukan intervensi" tersebut. Berdasarkan pengalaman ICRC
sendiri, masalah tersebut adalah masalah politis dan ICRC
tidak mungkin terlibat di dalamnya tanpa membahayakan
kegiatan kemanusiaannya sendiri.
23
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 23
2/28/2011 5:58:59 AM
24
Anggota-anggota keluarga yang terpisah akibat konflik harus dipersatukan kembali.
APA YANG DITETAPKAN OLEH HUKUM HUMANITER MENGENAI
PEMULIHAN HUBUNGAN KELUARGA?
11
Sebagai akibat konflik bersenjata, tawanan
perang dan internir sipil terpisah dari orangorang yang mereka cintai, keluarga menjadi
tercerai berai, dan sejumlah orang hilang.
Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol
I berisi sejumlah ketentuan yang
memberikan perlindungan kepada para
korban tersebut. Ketentuan-ketentuan ini
berlaku dalam konflik bersenjata
internasional dan memberikan wewenang
kepada ICRC untuk melaksanakan tugastugas berikut ini:
1) Menyampaikan berita keluarga dan
informasi lainnya (Ps. 25 Konvensi Jenewa
IV). Tugas ini mencakup antara lain;
• menerima dan mencatat kartu penawanan
tawanan perang (prisoner-of-war capture
card) dan kartu penahanan internir sipil
(civilian internment card) serta
mengirimkan salinan kartu-kartu ini
kepada pihak keluarga tawanan
perang/internir sipil;
• menyampaikan surat antara orang yang
dicabut kebebasannya dan keluarganya;
• menyampaikan berita keluarga (Berita
Palang Merah) antara anggota keluarga
yang terpisah apabila jaringan pos biasa
tidak dapat berfungsi dengan baik;
• menerima dan menyampaikan berita
kematian.
ICRC untuk pertama kalinya melakukan pekerjaan semacam
ini ketika berlangsung perang Prancis-Prussia pada tahun
1870. Dengan bertindak sebagai penengah, badan pencarian
(tracing agency) ICRC mulai melakukan kegiatan untuk
Secara lebih umum, Badan Pencarian Pusat
(Central Tracing Agency) ICRC berperan
sebagai penengah antara pihak-pihak yang
terlibat konflik atau, lebih tepatnya, antara
biro informasi nasional masing-masing
(lihat halaman sebalik) untuk
menyampaikan informasi tentang orangorang yang dilindungi HHI.
2) Mencari tahu tentang keberadaan orang
yang hilang (Ps. 33 Protokol I dan Ps. 26
Konvensi Jenewa IV).
3) Mempertemukan kembali keluarga yang
terpisah (lihat halaman berikut, Ps. 74
Protokol I dan Ps. 26 Konvensi Jenewa
IV).
memulihkan hubungan antara tawanan perang dan keluarganya,
dimulai dengan pertukaran daftar korban luka antara pihakpihak yang berperang. Sejak saat itu, Badan Pencarian Pusat
ICRC telah banyak mengembangkan kegiatan-kegiatannya.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 24
2/28/2011 5:59:01 AM
Richard Fradin/ICRCRichar
Marwan Naam/ICRC
Biro Informasi Nasional
Badan Pusat Pencarian (Central Tracing Agency)
Konvensi Jenewa III (Ps. 122) menyatakan bahwa pada saat
pecah perang, setiap pihak yang netral maupun pihak yang
berperang yang di wilayahnya terdapat warga negara dari pihak
musuh harus mendirikan sebuah biro informasi resmi bagi para
tawanan perang di sana. Setiap pihak yang berperang harus
memberikan kepada biro informasi yang telah didirikannya itu
informasi mengenai semua tawanan perang yang telah ditangkap
oleh angkatan bersenjatanya serta data rinci mengenai identitas
para tawanan perang ini supaya keluarga terdekatnya dapat
diberi tahu sesegera mungkin. Apabila tidak ada biro semacam
itu, sebagaimana yang sering terjadi dalam situasi konflik, ICRC
sendiri melakukan usaha untuk mengumpulkan informasi
tentang orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi-konvensi
Jenewa.
"Sebuah Badan Informasi Tawanan Perang Pusat harus didirikan
di sebuah negara netral. Apabila ICRC menganggap perlu,
ICRC harus mengusulkan diselenggarakannya Badan semacam
itu kepada Pihak-pihak Penguasa yang terkait. Fungsi Badan
semacam itu ialah mengumpulkan semua informasi yang dapat
diperoleh melalui saluran-saluran resmi ataupun saluransaluran swasta mengenai para tawanan perang dan
mengirimkan informasi ini secepat mungkin ke negara asal
para tawanan perang itu atau kepada Pihak Penguasa yang
menjadi gantungan mereka (…)." (Ps 123 Konvensi Jenewa
III)
Keluarga yang terpisah
"Setiap Pihak yang terlibat konflik harus memfasilitasi pencarian
informasi yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang
terpisah sebagai akibat perang yang bersangkutan, dengan
maksud memulihkan kontak antara satu sama lain dan,
bilamana mungkin, mempertemukan mereka (…)." (Ps. 26
Konvensi Jenewa IV)
25
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 25
2/28/2011 5:59:05 AM
26
tanda yang melindungi
SEPERTI APA KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM HUMANITER
YANG MENGATUR PENGGUNAAN LAMBANG?
12
Konvensi-konvensi Jenewa menyebutkan
tiga lambang: palang merah, bulan sabit
merah, serta singa dan matahari merah,
walaupun sekarang ini hanya dua lambang
yang pertama sajalah yang dipakai.
Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokolprotokol tambahannya berisi sejumlah
ketentuan mengenai lambang-lambang
tersebut. Ketentuan-ketentuan ini mengatur
antara lain: penggunaan, ukuran, tujuan,
dan penempatan lambang yang
bersangkutan; orang-orang dan bendabenda yang dilindunginya; siapa yang dapat
memakainya; penghormatan seperti apa
yang harus diberikan terhadap lambang
tersebut; dan sanksi/hukuman seperti apa
yang harus diberikan untuk penggunaan
keliru atas lambang tersebut (lihat halaman
berikut).
Dalam masa konflik bersenjata, lambanglambang tadi bisa digunakan sebagai alat
perlindungan hanya oleh:
• Perhimpunan Nasional Palang Merah atau
Bulan Sabit Merah yang secara resmi
diakui dan diizinkan oleh pemerintahnya
untuk memberikan bantuan kepada dinas
medis angkatan bersenjata; Perhimpunan
Nasional boleh menggunakan lambang
tersebut untuk tujuan perlindungan hanya
bagi personil dan peralatan medis yang
dipakai membantu dinas medis resmi
pada masa perang, dengan ketentuan
bahwa personil dan peralatan tersebut
melaksanakan fungsi-fungsi yang sama,
dan bukan fungsi lain, dan bahwa mereka
tunduk pada hukum dan peraturan militer;
• rumah sakit sipil dan sarana medis lain
yang diakui oleh pemerintah dan diizinkan
untuk memajang lambang untuk tujuan
perlindungan (pos pertolongan pertama,
ambulans, dll.);
• badan-badan bantuan kemanusiaan
sukarela lain yang tunduk pada
persyaratan yang sama seperti
Perhimpunan Nasional. Badan-badan
ini harus memiliki pengakuan dan izin
dari pemerintahnya; boleh menggunakan
lambang tersebut hanya bagi personil
dan peralatan yang memang dipakai
semata-mata untuk pemberian pelayanan
medis, dan harus tunduk pada hukum
dan peraturan militer.
HHI juga menetapkan bahwa setiap Negara
peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus
mengambil langkah-langkah untuk
mencegah dan menghukum penggunaan
keliru atas lambang tersebut dalam masa
perang maupun dalam masa damai serta
memberlakukan undang-undang mengenai
perlindungan bagi lambang tersebut.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 26
2/28/2011 5:59:09 AM
Ursula Meissn
Thierry Gassman
Penggunaan lambang
Penggunaan lambang tersebut sebagai tanda perlindungan
merupakan perwujudan nyata dari perlindungan yang diberikan
oleh Konvensi-konvensi Jenewa bagi personil, unit, dan transportasi
medis.
Penggunaan lambang tersebut sebagai tanda pengenal di masa
perang ataupun di masa damai menunjukkan bahwa orang atau
benda yang bersangkutan mempunyai hubungan dengan Gerakan
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
ICRC berhak untuk setiap saat menggunakan lambang tersebut
baik sebagai tanda perlindungan maupun sebagai tanda pengenal.
Penggunaan keliru atas lambang
Setiap penggunaan yang tidak secara tegas diizinkan oleh HHI
merupakan penggunaan keliru atas lambang tersebut. Ada tiga
jenis penggunaan keliru:
• peniruan (imitation), yaitu penggunaan tanda tertentu yang
bentuk dan/atau warnanya sedemikian rupa sehingga bisa
menimbulkan kerancuan dengan lambang yang telah ditetapkan
oleh HHI tersebut;
• pembajakan (usurpation), yaitu penggunaan lambang tersebut
oleh badan atau perorangan yang tidak berhak menggunakannya
(misalnya: perusahaan komersial, apotik, dokter swasta, LSM,
perorangan, dan lain sebagainya); bilamana orang yang berhak
menggunakan lambang tersebut menggunakannya dengan
cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh HHI, hal tersebut juga merupakan
penyalahgunaan lambang;
• tipu muslihat licik (perfidy), yaitu penggunaan lambang tersebut
pada waktu konflik dengan tujuan melindungi kombatan atau
perlengkapan militer; penggunaan secara tipu daya licik atas
lambang tersebut, dalam konflik bersenjata internasional ataupun
konflik bersenjata non-internasional, merupakan kejahatan
perang.
Penggunaan keliru atas lambang tersebut sebagai tanda
perlindungan di masa perang membahayakan sistem perlindungan
yang diatur dalam HHI.
Penggunaan keliru atas lambang tersebut sebagai tanda pengenal
merusak citranya di mata publik sehingga mengurangi kekuatan
perlindungannya pada waktu perang.
Negara-negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa telah berjanji
untuk memberlakukan langkah-langkah pidana dalam rangka
mencegah dan menindak penggunaan keliru atas lambang tersebut
di masa perang maupun di masa damai.
27
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 27
2/28/2011 5:59:14 AM
Willem Smit/ICRC
28
Penghormatan terhadap Hukum Humaniter mencegah terjadinya perpindahan penduduk secara paksa
13
BAGAIMANA HUKUM HUMANITER MELINDUNGI PENGUNGSI EKSTERNAL
DAN PENGUNGSI INTERNAL?
Pengungsi eksternal (refugees) adalah
pengungsi yang meninggalkan negaranya
sedangkan pengungsi internal (internally
displaced person atau IDP) adalah pengungsi
yang belum meninggalkan wilayah negaranya.
Sumber perlindungan terpenting bagi pengungsi
eksternal ialah Hukum Pengungsi (Refugee
Law) (lihat halaman berikut) dan mandat
Kantor Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi
Eksternal (UNHCR / United Nations High
Commissioner for Refugees). Apabila mereka
berada di dalam sebuah Negara yang terlibat
konflik bersenjata, pengungsi eksternal juga
dilindungi oleh HHI. Selain perlindungan umum
sebagaimana yang diberikan oleh HHI kepada
penduduk sipil, pengungsi eksternal juga
memperoleh perlindungan khusus berdasarkan
Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan
I. Perlindungan khusus ini mengakui kerentanan
pengungsi eksternal sebagai orang asing yang
berada di tangan salah satu pihak yang terlibat
konflik dan ketiadaan perlindungan dari Negara
asal mereka.
Pengungsi internal dilindungi oleh berbagai
perangkat hukum, terutama hukum nasional
dan hukum HAM dan, apabila mereka berada
di Negara yang sedang mengalami konflik
bersenjata, mereka juga dilindungi oleh HHI.
Apabila pengungsi internal berada di sebuah
Negara yang terlibat konflik bersenjata, mereka
dianggap sebagai penduduk sipil –asalkan
mereka tidak ambil bagian secara aktif dalam
peperangan yang ada. Dengan demikian,
mereka berhak memperoleh perlindungan yang
diberikan kepada penduduk sipil.
Apabila dihormati, perangkat-perangkat hukum
tersebut sangat membantu mencegah terjadinya
pengungsian, karena sering kali pelanggaran
terhadap perangkat-perangkat hukum
tersebutlah yang menyebabkan terjadinya
pengungsian. Sebagai tambahan, HHI secara
tegas melarang pemaksaan terhadap penduduk
sipil untuk meninggalkan tempat tinggal mereka
kecuali bilamana keselamatan mereka terancam
atau ada alasan-alasan militer yang sangat
penting yang mengharuskan penduduk sipil
untuk mengungsi.
Setelah mengungsi, pengungsi internal
dilindungi dari dampak konflik bersenjata oleh
aturan-aturan umum yang mengatur
perlindungan dan bantuan kemanusiaan bagi
penduduk sipil seperti yang dijelaskan di atas.
Apabila dihormati, ketentuan-ketentuan umum
Hukum Humaniter yang mengatur perlindungan
bagi penduduk sipil dapat mencegah terjadinya
pengungsian. Apabila pengungsian tetap
terjadi, ketentuan-ketentuan tersebut dapat
memberikan perlindungan selama orang-orang
yang bersangkutan menjadi pengungsi. Secara
khusus perlu disebutkan ketentuan-ketentuan
berikut ini, yaitu ketentuan-ketentuan yang
melarang:
• penyerangan terhadap penduduk sipil atau
objek-objek sipil atau penyerangan yang
membabi buta;
• penggunaan metode membuat penduduk
sipil kelaparan dan penghancuran objekobjek yang mutlak diperlukan bagi
kelangsungan hidup mereka;
• pemberian hukuman kolektif – yang seringkali
berbentuk penghancuran pemukiman.
Ada juga sejumlah ketentuan yang
mengharuskan pihak-pihak yang terlibat konflik
untuk memperbolehkan pengiriman bantuan
kemanusiaan menjangkau penduduk sipil yang
membutuhkan.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 28
2/28/2011 5:59:18 AM
Boris Heger/ICRC
Definisi pengungsi eksternal (refugee)
Menurut Pasal 1 Konvensi PBB 1951 tentang Status Pengungsi
Eksternal, istilah refugee (pengungsi eksternal) berlaku bagi
setiap orang "yang karena memiliki ketakutan yang cukup
beralasan bahwa dia akan dianiaya atas dasar ras, agama,
kebangsaan, atau keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu
atau aliran politik tertentu, berada di luar wilayah negara
kebangsaannya itu dan tidak dapat menerima perlindungan
dari negara kebangsaannya itu atau, disebabkan oleh
ketakutannya itu, tidak bersedia menerima perlindungan
semacam itu" atau setiap orang "yang karena tidak memiliki
kewarganegaraan dan berada di luar wilayah negara yang
biasa ditinggalinya sebagai akibat kejadian-kejadian semacam
itu, tidak dapat kembali ke negara tersebut atau, disebabkan
oleh ketakutan semacam itu, tidak bersedia kembali ke negara
tersebut."
Konvensi OAU (Organisasi Persatuan Afrika) 1969 mengenai
masalah-masalah pengungsi eksternal di Afrika dan Deklarasi
Cartagena 1984 mengenai pengungsi eksternal memperluas
definisi tersebut dengan memasukkan orang yang melarikan
diri dari peristiwa yang secara serius mengacaukan ketertiban
umum, misalnya konflik bersenjata dan situasi gangguan.
29
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 29
2/28/2011 5:59:21 AM
Priska Spoerri/ICRC
30
Menyebarluaskan pengetahuan tentang Hukum Humaniter
LANGKAH-LANGKAH APA YANG DAPAT DIAMBIL UNTUK
MENGIMPLEMENTASIKAN HUKUM HUMANITER?
14
Langkah-langkah implementasi berikut ini
harus dilaksanakan.
Langkah pencegahan (preventif), yang
didasarkan pada kewajiban Negara untuk
tunduk pada Hukum Humaniter, yaitu antara
lain:
• menyebarluaskan pengetahuan tentang
HHI;
• melatih personil berkualifikasi untuk
memfasilitasi pelaksanaan HHI dan
pengangkatan penasihat hukum di
lingkungan angkatan bersenjata;
• mengadopsi peraturan perundangan
untuk memastikan kepatuhan terhadap
HHI;
• menerjemahkan naskah Konvensikonvensi Jenewa.
Langkah untuk memantau kepatuhan
terhadap HHI selama berlangsungnya
konflik, yaitu antara lain:
• tindakan oleh "Otoritas Pelindung"
(protecting power), yaitu pihak ketiga
yang netral yang ditunjuk oleh kedua
pihak yang terlibat konflik atau oleh
penggantinya;
• tindakan oleh ICRC (lihat Pertanyaan
15).
Langkah penindakan (represi), yang
didasarkan pada kewajiban pihak-pihak
yang terlibat konflik untuk mencegah dan
menghentikan segala bentuk pelanggaran,
yaitu antara lain:
• kewajiban bagi pengadilan nasional
untuk menindak pelanggaran berat
(grave breaches) yang dianggap
sebagai kejahatan perang (mengenai
pengadilan internasional, lihat Pertanyaan
16);
• pertanggungjawaban pidana dan
pertanggungjawaban disipliner dari
atasan dan kewajiban komandan untuk
menindak dan melaporkan pelanggaran;
• bantuan timbal balik antar-Negara
menyangkut masalah-masalah kejahatan
pidana.
Ada sejumlah langkah implementasi lain,
yang meliputi pencegahan, pengendalian,
maupun penindakan (dua yang terakhir,
yaitu pengendalian dan penindakan,
didasarkan terutama pada kewajiban
Negara untuk menjamin penghormatan
terhadap Hukum Humaniter). Langkahlangkah implementasi lain ini antara lain
adalah sebagai berikut:
• prosedur penyelidikan;
• Komisi Pencari Fakta Internasional;
• prosedur pemeriksaan mengenai
penerapan dan penafsiran ketentuanketentuan hukum;
• kerja sama dengan Perserikatan BangsaBangsa.
Upaya diplomatik dan tekanan dari media
dan opini publik juga sangat membantu
memastikan implementasi HHI.
Selain bersifat melekat pada setiap
ketentuan hukum yang relevan, langkahlangkah represi tersebut juga berperan
sebagai penangkal.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 30
2/28/2011 5:59:24 AM
Ketentuan hukum mengenai implementasi HHI
NB: Untuk pasal-pasal mengenai promosi pengetahuan tentang Konvensi- "Pihak Peserta Agung setiap saat boleh setuju untuk mempercayakan
konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya, lihat hal. 13.
pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang ada pada Otoritas Pelindung
kepada sebuah organisasi internasional yang ketidakberpihakan dan
"Pihak-pihak Peserta Agung" harus berusaha (…) di masa damai (…) keefektifannya sepenuhnya terjamin, berdasarkan Konvensi ini (…).
untuk melatih personil yang berkualifikasi agar mereka dapat memfasilitasi Jika perlindungan tidak dapat diatur seperti itu, maka Otoritas Penahan
pelaksanaan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini (…)."
(the Detaining Power) harus meminta atau harus menyetujui, sesuai
(Ps. 6, Protokol I)
dengan ketentuan-ketentuan Pasal ini, penawaran jasa dari sebuah
organisasi kemanusiaan, seperti Komite Internasional Palang Merah
"Pihak-pihak Peserta Agung berjanji akan menghormati dan menjamin (ICRC), untuk melaksanakan fungsi-fungsi kemanusiaan yang
penghormatan atas Konvensi ini dalam segala keadaan."
berdasarkan Konvensi ini harus diselenggarakan oleh Otoritas Pelindung."
(Pasal 1 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa)
(Ps. 10, KJ I, II, III; dan Ps. 11, KJ IV)
"Pada setiap saat Pihak-pihak Peserta Agung harus, dan selama
berlangsungnya konflik Pihak-pihak yang terlibat konflik harus, menjamin
tersedianya penasihat hukum, bilamana diperlukan, untuk memberikan
pertimbangan/advis kepada para komandan militer pada jajaran pangkat
yang tepat mengenai penerapan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol
ini dan mengenai instruksi yang tepat yang perlu diberikan kepada
angkatan bersenjata menyangkut pokok masalah tersebut."
(Ps. 82, Protokol I)
"Atas permintaan salah satu Pihak Peserta Agung atau lebih, dan atas
persetujuan mayoritas Pihak Peserta Agung, pihak yang penyimpan
Protokol ini (the depository of this Protocol) harus menyelenggarakan
pertemuan Pihak-pihak Peserta Agung untuk membicarakan masalahmasalah umum menyangkut pelaksanaan Konvensi-konvensi Jenewa
dan Protokol ini."
(Ps. 7, Protokol I)
"Apabila peraturan perundangan mereka belum memadai, Pihak-pihak
Peserta Agung pada setiap saat harus mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencegah dan menindak setiap penyalahgunaan tandatanda pembeda (…)."
(Ps. 45, Konvensi Jenewa II)
"Ketentuan-ketentuan Konvensi ini bukan penghalang bagi kegiatan
kemanusiaan yang mungkin diupayakan oleh Komite Internasional
Palang Merah atau oleh organisasi kemanusiaan lainnya yang juga
bersifat tidak memihak, atas persetujuan Pihak-pihak yang terlibat
konflik, untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan
kepada korban luka, korban sakit, personil medis, dan personil
keagamaan."
(Ps. 9/9/9/10 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa)
"Pihak-pihak Peserta Agung harus saling mengkomunikasikan melalui
Dewan Federal Swiss (the Swiss Federal Council) dan, selama
berlangsungnya peperangan, melalui Otoritas Pelindung (Protecting
Powers) terjemahan resmi Konvensi ini maupun terjemahan resmi peraturan
perundangan yang mungkin akan mereka adopsi untuk menjamin
penerapan Konvensi ini."
(Ps. 48/49/128/145 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi
Jenewa)
"Pihak-pihak Peserta Agung berjanji akan memberlakukan setiap peraturan
perundangan yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana yang
efektif kepada orang-orang yang melakukan, atau yang memerintahkan
dilakukannya, salah satu dari pelanggaran-pelanggaran berat terhadap
Konvensi ini (…). Setiap Pihak Peserta Agung berkewajiban mencari
orang-orang yang diduga telah melakukan, atau telah memerintahkan
dilakukannya, pelanggaran-pelanggaran berat semacam itu dan harus
membawa orang-orang semacam itu ke hadapan pengadilannya sendiri,
apapun kebangsaan orang yang bersangkutan."
(Ps. 49/50/129/146 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi
Jenewa)
"Konvensi ini harus dilaksanakan dengan kerja sama dan pengawasan
dari Otoritas Pelindung (Protecting Powers), yang tugasnya memang
mengamankan kepentingan Pihak-pihak yang terlibat konflik. Untuk
maksud tersebut, Otoritas Pelindung boleh mengangkat, selain staf
diplomatik dan staf konsuler mereka, utusan-utusan yang dipilih dari
antara warga negara mereka sendiri atau dari antara warga negara
negara netral lainnya.
(Ps. 8, KJ I, II, III; dan Ps. 9 KJ IV)
"Dalam situasi pelanggaran serius (serious violations) terhadap Konvensikonvensi Jenewa atau terhadap Protokol ini, Pihak-pihak Peserta Agung
harus berusaha mengambil tindakan, secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri, dengan bekerja sama dengan Perserikatan Bangsabangsa (PBB) dan dengan cara yang sesuai dengan Piagam PBB."
(Ps. 89, Protokol I)
"Pihak-pihak Peserta Agung harus memberikan bantuan sebesarbesarnya kepada satu sama lain sehubungan dengan proses pengadilan
pidana menyangkut pelanggaran berat (grave breaches) terhadap
Konvensi-konvensi Jenewa atau terhadap Prototol ini (…). Bilamana
keadaan mengizinkan, Pihak-pihak Peserta Agung harus bekerja sama
dalam masalah ekstradisi (…)"
(Ps. 88, Protokol I)
"Sebuah Komisi Pencari Fakta Internasional (…) yang terdiri dari 15
anggota yang moralnya tinggi dan ketidakmemihakannya telah diakui
harus dibentuk (…). Komisi ini harus memiliki kompetensi untuk (i)
menyelidiki setiap fakta yang diduga merupakan pelanggaran berat
sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan oleh
Protokol ini atau yang diduga merupakan pelanggaran serius lainnya
terhadap Konvensi-konvensi Jenewa atau terhadap Protokol ini (…)."
(Ps. 90, Protokol I)
31
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 31
2/28/2011 5:59:25 AM
32
ICRC mengingatkan pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata akan kewajiban mereka untuk mengizinkan penyelenggaraan registrasi dan repatriasi bagi tawanan perang.
APA PERAN ICRC DALAM MEMASTIKAN PENGHORMATAN
TERHADAP HUKUM HUMANITER?
15
Sebagai promotor dan pemelihara HHI,
ICRC harus mendorong penghormatan
terhadap hukum tersebut. ICRC melakukan
hal itu dengan menyebarluaskan
pengetahuan mengenai ketentuan-ketentuan
Hukum Humaniter dan dengan
mengingatkan pihak-pihak yang terlibat
konflik akan kewajiban-kewajiban mereka.
Pelayanan Diseminasi dan Konsultasi
Karena ketidaktahuan terhadap HHI
merupakan hambatan bagi
implementasinya, ICRC mengingatkan
Negara-negara bahwa mereka telah berjanji
untuk membuat ketentuan-ketentuan Hukum
Humaniter diketahui. ICRC juga mengambil
tindakan sendiri untuk membuat ketentuanketentuan Hukum Humaniter diketahui (lihat
hal. 13). Lebih lanjut, ICRC mengingatkan
Negara-negara bahwa mereka harus
mengambil semua langkah yang diperlukan
untuk memastikan agar HHI dihormati
dengan cara dilaksanakan secara efektif.
ICRC melakukan hal ini terutama melalui
Pelayanan Konsultasinya menyangkut
Hukum Humaniter, yaitu pelayanan yang
memberikan panduan teknis kepada
Negara-negara dan membantu para
pemimpinnya untuk mengadopsi peraturan
pelaksanaan tingkat nasional.
Mengingatkan pihak-pihak yang terlibat
konflik akan kewajiban-kewajiban
mereka
berwenang terkait bilamana terjadi
pelanggaran atas HHI.
Apabila
pelanggarannya serius dan berulang dan
dapat dipastikan telah terjadi, ICRC
mempunyai hak untuk menyampaikan
pendiriannya secara terbuka. Namun, ICRC
menyampaikan pendirian secara terbuka
hanya bilamana ICRC beranggapan bahwa
tindakan tersebut sesuai dengan
kepentingan orang-orang yang terkena
dampak atau terancam oleh pelanggaran
yang bersangkutan. Karena itu, tindakan
menyampaikan pendirian secara terbuka
ini tetap merupakan tindakan perkecualian.
Berdasarkan kesimpulan yang dibuatnya
dari kegiatan perlindungan dan bantuannya,
ICRC menyampaikan laporan secara
rahasia (konfidensial) kepada pihak
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 32
2/28/2011 5:59:25 AM
ICRC sebagai pemelihara HHI
HHI memberikan mandat kepada ICRC untuk memastikan
bahwa aturan-aturan Hukum Humaniter dihormati.
Anggaran Dasar Gerakan menetapkan bahwa salah satu peran
ICRC adalah:
"menjalankan tugas-tugas yang berdasarkan Konvensi-konvensi
"Wakil-wakil atau utusan-utusan dari Otoritas Pelindung diizinkan Jenewa dibebankan kepadanya, bekerja demi terlaksananya
mengunjungi semua tempat di mana terdapat tawanan perang, secara benar Hukum Humaniter Internasional yang berlaku
terutama tempat-tempat penginterniran, penjara-penjara, dan dalam konflik bersenjata, dan memperhatikan pengaduantempat-tempat kerja (…)" Dan juga: "Para utusan Komite
pengaduan yang didasarkan pada dugaan pelanggaran atas
Internasional Palang Merah (ICRC) mempunyai hak prerogatif hukum tersebut." [Ps. 5(2)(c)]
tersebut."
(Ps. 126, KJ III)
NB: Pasal 143 Konvensi Jenewa IV berisi ketentuan-ketentuan
serupa menyangkut internir sipil.
33
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 33
2/28/2011 5:59:29 AM
34
menyerang penduduk sipil dan harta benda mereka adalah kejahatan perang
BAGAIMANA PENJAHAT PERANG DITUNTUT
BERDASARKAN HUKUM HUMANITER?
16
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 34
2/28/2011 5:59:33 AM
Pada saat sebuah Negara menjadi peserta
Konvensi-konvensi Jenewa, Negara yang
bersangkutan berjanji akan memberlakukan
peraturan perundangan yang diperlukan untuk
menghukum orang-orang yang bersalah atas
pelanggaran berat (grave breaches) terhadap
Konvensi-konvensi tersebut. Negara yang
bersangkutan juga terikat untuk melakukan
penuntutan hukum, melalui sistem peradilannya
sendiri, terhadap setiap orang yang disangka
telah melakukan pelanggaran berat terhadap
Konvensi-konvensi tersebut atau untuk
menyerahkan orang yang bersangkutan kepada
Negara lain untuk diadili. Dengan kata lain,
para pelaku pelanggaran berat, yaitu penjahat
perang, harus dituntut secara hukum kapanpun
dan di manapun, dan Negara-negara
bertanggung jawab memastikan agar penuntutan
hukum tersebut terlaksana.
Secara umum, hukum pidana sebuah Negara
hanya dapat diterapkan pada kejahatan yang
dilakukan di wilayahnya atau oleh warganya.
HHI melangkah lebih jauh, yaitu dengan
mengharuskan Negara-negara untuk mencari
dan menghukum setiap orang yang telah
melakukan pelanggaran berat, apapun
kewarganegaraannya dan di manapun
pelanggaran tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi
universal ini penting untuk menjamin bahwa
pelanggaran berat ditindak secara efektif.
Penuntutan hukum semacam itu boleh dilakukan
oleh pengadilan nasional Negara yang
bersangkutan atau Negara lain ataupun oleh
sebuah otoritas internasional. Mahkamah Pidana
Internasional untuk bekas Yugoslavia dan untuk
Rwanda dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB,
masing-masing pada tahun 1993 dan 1994,
untuk mengadili orang-orang yang dituduh telah
melakukan kejahatan perang selama
berlangsungnya konflik di negara-negara tersebut.
Mengapa HHI tidak selalu dihormati dan pelanggaran
tidak selalu ditindak?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan berbagai cara. Sebagian
berpendapat bahwa ketidaktahuan tentang HHI merupakan
penyebab terbesar. Sebagian lagi berpendapat bahwa hakikat
perang itu sendirilah yang memang menghendaki terjadinya
hal semacam itu atau bahwa hal semacam itu terjadi karena
Hukum Internasional –yang berarti termasuk HHI– tidak disertai
dengan sebuah sistem terpusat yang efektif untuk memberlakukan
sanksi disebabkan oleh, antara lain, struktur masyarakat
internasional yang ada pada saat ini. Apapun penyebabnya,
hukum tetap dilanggar dan kejahatan tetap dilakukan baik dalam
situasi konflik maupun di masa damai, baik yang berlaku adalah
yurisdiksi nasional ataupun yurisdiksi internasional.
Namun, menyerah begitu saja dan menghentikan segala tindakan
yang mengusahakan penghormatan lebih besar terhadap HHI
justru lebih jelek. Itulah sebabnya, sambil menunggu sistem
pemberian sanksi yang lebih efektif, pelanggaran harus terus
dikutuk dan tindakan harus terus diambil untuk mencegah dan
menghukumnya. Karena itu, penindakan terhadap kejahatan
perang melalui proses pidana harus dipandang sebagai salah
satu cara melaksanakan Hukum Humaniter, di tingkat nasional
ataupun di tingkat internasional.
Akhirnya, masyarakat internasional telah membentuk sebuah
Pengadilan Pidana Internasional yang permanen, yang memiliki
kompetensi untuk mengadili kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan genosida.
Apa itu kejahatan perang?
Kejahatan perang selama ini dipahami sebagai pelanggaran serius
atas HHI yang dilakukan selama berlangsungnya konflik bersenjata
internasional atau non-internasional. Beberapa naskah hukum
mencantumkan definisi tentang kejahatan perang, yaitu: Statuta
Mahkamah Militer Internasional (the International Military Tribunal)
yang didirikan di Nuremberg, Jerman, sesudah Perang Dunia II;
Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya;
Statuta dan yurisprudensi (case law) Mahkamah Pidana Internasional
untuk bekas Yugoslavia dan untuk Rwanda (the International Criminal
Tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda); dan Statuta Pengadilan
Pidana Internasional (the International Criminal Court atau ICC).
Berbagai definisi tentang kejahatan perang juga terdapat dalam
peraturan perundangan dan yurisprudensi berbagai negara. Penting
dicatat bahwa sebuah tindakan tunggal pun bisa merupakan kejahatan
perang.
Tindakan-tindakan berikut ini termasuk dalam tindakan-tindakan yang
dicakup oleh definisi kejahatan perang:
• pembunuhan sengaja terhadap orang yang dilindungi (misalnya
kombatan yang terluka atau yang sakit, tawanan perang, orang
sipil);
• penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi terhadap orang
yang dilindungi;
• dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang hebat pada orang
yang dilindungi atau luka yang serius terhadap tubuh atau
kesehatannya;
• menyerang penduduk sipil;
• deportasi atau pemindahan penduduk secara melawan hukum;
• menggunakan senjata atau cara berperang yang dilarang;
• menggunakan lambang pembeda palang merah atau bulan sabit
merah atau tanda-tanda perlindungan lainnya secara tidak
semestinya;
• membunuh atau melukai, dengan tipu daya licik, orang dari bangsa
atau angkatan bersenjata yang sedang berperang;
• penjarahan barang-barang milik publik atau milik pribadi.
Perlu dicatat bahwa Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas
Yugoslavia sudah mengakui bahwa definisi kejahatan perang dalam
Hukum Internasional Kebiasaan juga mencakup pelanggaranpelanggaran yang dilakukan selama berlangsungnya konflik bersenjata
non-internasional. Statuta Pengadilan Pidana Internasional permanen
dan Statuta Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda juga
memasukkan pelanggaran yang dilakukan selama berlangsungnya
konflik bersenjata non-internasional ke dalam daftar kejahatan perang
masing-masing.
35
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 35
2/28/2011 5:59:35 AM
Didier Bregnard/ICRC
36
anak-anak juga punya hak
APA PERBEDAAN ANTARA HUKUM HUMANITER
DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA?
17
Hukum Humaniter Internasional dan Hukum
Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional
(selanjutnya disebut sebagai Hukum HAM)
saling melengkapi. Keduanya berusaha
untuk melindungi kehidupan, kesehatan,
dan martabat individu walaupun dari sudut
yang berbeda.
Hukum Humaniter berlaku dalam situasi
konflik bersenjata (lihat Pertanyaan 7)
sedangkan Hukum HAM, atau setidaknya
sebagian darinya, melindungi individu pada
setiap saat, baik di masa perang maupun
di masa damai. Namun, beberapa
perjanjian HAM memperbolehkan
pemerintah untuk mengabaikan hak-hak
tertentu dalam situasi darurat umum
sedangkan pengabaian hak semacam itu
sama sekali tidak diperbolehkan oleh HHI
karena HHI disusun untuk situasi-situasi
darurat yang disebut sebagai konflik
bersenjata.
HHI ditujukan untuk melindungi orangorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat
dalam peperangan. Aturan-aturan yang
terkandung dalam HHI membebankan
kewajiban-kewajiban tertentu kepada semua
pihak yang terlibat konflik. Hukum HAM,
yang dirancang terutama untuk masa
damai, berlaku bagi setiap orang. Tujuan
utamanya ialah untuk melindungi individu
dari perilaku yang semena-mena oleh
pemerintahnya sendiri. Hukum HAM tidak
berhubungan dengan perilaku peperangan.
Kewajiban untuk melaksanakan HHI dan
Hukum HAM terletak pertama-tama dan
terutama di tangan Negara. HHI
mewajibkan Negara untuk mengambil
langkah-langkah praktis dan langkahlangkah hukum seperti memberlakukan
peraturan perundang-undangan pidana dan
menyebarluaskan HHI. Demikian pula,
Negara terikat oleh Hukum HAM untuk
meyelaraskan hukum nasional dengan
kewajiban-kewajiban internasional. HHI
menetapkan sejumlah mekanisme tertentu
yang membantu pelaksanaan hukum
tersebut. Perlu dicatat bahwa Negara
diharuskan untuk memastikan agar HHI
juga dihormati oleh Negara lain. Terdapat
juga ketentuan agar dibentuk prosedur
penyelidikan, mekanisme Otoritas
Pelindung, dan Komisi Pencari Fakta
Internasional. Selain itu, ICRC diberi peran
kunci untuk menjamin penghormatan
terhadap aturan-aturan Hukum Humaniter.
Mekanisme-mekanisme pelaksanaan
Hukum HAM sangat kompleks. Berbeda
dengan HHI, mekanisme-mekanisme
pelaksanaan Hukum HAM mencakup antara
lain sistem-sistem regional. Badan-badan
pengawas (supervisory bodies) pelaksanaan
Hukum HAM, misalnya Komisi HAM PBB,
didasarkan pada Piagam PBB atau pada
ketentuan yang ada dalam traktat-traktat
tertentu (misalnya: Komite HAM, yang
didasarkan pada Perjanjian Internasional
1966 tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Komisi HAM PBB beserta subkomisisubkomisinya sudah mengembangkan
mekanisme "pelapor khusus" (special
rapporteurs) dan sejumlah kelompok kerja,
yang tugasnya ialah memantau dan
melaporkan situasi HAM per negara ataupun
per topik.
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 36
2/28/2011 5:59:36 AM
Enam dari perjanjian HAM yang utama
juga berisi ketentuan mengenai
pembentukan komite-komite (misalnya
Komite HAM) yang terdiri dari ahli-ahli
independen yang bertugas memantau
pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut.
Beberapa perjanjian regional (Eropa dan
Amerika) juga membentuk pengadilan HAM.
Kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM
(UNHCHR) memainkan peran kunci dalam
keseluruhan kegiatan perlindungan dan
peningkatan HAM. Peran UNHCHR ialah
meningkatkan keefektifan upaya HAM PBB
serta membangun kapasitas nasional,
regional, dan internasional untuk
mempromosikan dan melindungi HAM dan
untuk menyebarluaskan naskah-naskah
dan informasi HAM.
Instrumen-instrumen HAM
HAM "Inti"
BInstrumen HAM yang sekarang berlaku ada banyak, yang antara
lain adalah:
a)Instrumen universal
• Deklarasi HAM, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
tahun 1948
• Konvensi 1948 tentang Pencegahan Kejahatan Genosida dan
Penghukumannya
• Perjanjian Internasional 1966 tentang Hak-hak Sipil dan Politik
• Perjanjian Internasional 1966 tentang Hak-Hak Sosial dan
Ekonomi
• Konvensi 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Perempuan
• Konvensi 1984 Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Hukuman Lainnya Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat
• Konvensi 1989 tentang Hak-hak Anak
Instrumen-instrumen HAM internasional mengandung sejumlah
klausula yang mengizinkan Negara yang sedang menghadapi
ancaman publik yang serius untuk menangguhkan hak-hak asasi
manusia yang terkandung di dalam instrumen-instrumen tersebut.
Namun, masing-masing instrumen ini membuat perkecualian untuk
sejumlah hak asasi manusia tertentu, yang harus dihormati dalam
segala keadaan dan tidak boleh sekalipun diabaikan, apapun
perjanjiannya. Hak-hak yang tidak boleh diabaikan tersebut antara
lain adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa (prohibition
of torture), hak untuk tidak dihukum secara tidak manusiawi
(prohibition of inhuman punishment), hak untuk tidak diperbudak
dan diperhamba (prohibition of slavery and servitude), dan hak
atas prinsip legalitas dan ketidakberlakusurutan hukum. Hak-hak
fundamental yang wajib dihormati oleh Negara dalam segala
keadaan, pun dalam situasi konflik dan gangguan, ini dikenal
sebagai HAM inti.
b)Instrumen regional
• Konvensi Eropa 1950 tentang HAM
• Konvensi Amerika 1969 tentang HAM
• Piagam Afrika 1981 tentang HAM dan Hak Asasi Bangsa-Bangsa
(the African Charter of Human and Peoples' Rights 1981)
Karena Hukum Humaniter berlaku pada situasi luar biasa yang
merupakan konflik bersenjata, isi Hukum HAM yang harus dihormati
oleh Negara dalam segala keadaan (yaitu HAM inti) cenderung
bertemu dengan jaminan-jaminan fundamental dan jaminanjaminan hukum yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter, misalnya
larangan penyiksaan, larangan eksekusi sumir, dan lain sebagainya
(lihat hal. 21; Ps. 75, Protokol I; dan Ps. 6, Protokol II).
37
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 37
2/28/2011 5:59:42 AM
38
Anggota operasi perdamaian harus mengetahui dan menerapkan Hukum Humaniter
18
APAKAH HUKUM HUMANITER BERLAKU PADA OPERASI PEMELIHARAAN
PERDAMAIAN DAN OPERASI PENEGAKAN PERDAMAIAN YANG DILAKSANAKAN
OLEH ATAU DI BAWAH PERLINDUNGAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB)?
Dalam situasi konflik bersenjata internasional
maupun non-internasional, anggota satuan militer
yang ikut serta dalam operasi perdamaian harus
menghormati Hukum Humaniter sewaktu mereka
aktif terlibat dalam konfrontasi bersenjata
menghadapi salah satu pihak yang terlibat dalam
konflik itu. Bilamana mereka tidak terlibat dalam
konfrontasi semacam itu, mereka dianggap
sebagai orang sipil, selama situasi konflik
bersenjatanya belum berubah. Untuk setiap
kontingen, Hukum Humaniter berlaku menurut
kewajiban internasional yang dimiliki oleh masingmasing Negara penyumbang pasukan. Negara
yang menyediakan pasukan untuk operasi seperti
itu harus memastikan bahwa satuan yang mereka
kirim mengetahui aturan-aturan Hukum Humaniter.
Bahwa Hukum Humaniter harus diterapkan oleh
pasukan yang melaksanakan operasi di bawah
perintah PBB ditegaskan dalam Buletin Sekretariat
Jenderal PBB edisi 6 Agustus 1999, yang
diterbitkan untuk menandai ulang tahun ke-50
pengadopsian Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
aksi penegakan (enforcement action) atau
bilamana mereka bertindak untuk membela diri
selama berlangsungnya operasi pemeliharaan
perdamaian. Prinsip-prinsip tersebut berlaku
sejauh terjadi pertempuran bersenjata dan selama
berlangsungnya pertempuran bersenjata.
Dengan judul "Observance by United Nations forces
of international humanitarian law" (Kepatuhan
Pasukan PBB terhadap Hukum Humaniter
Internasional), buletin tersebut menyajikan sebuah
daftar berisi prinsip-prinsip dan aturan-aturan
fundamental dari Hukum Humaniter. Prinsipprinsip ini berlaku sebagai ketentuan minimum
bagi pasukan PBB kapanpun mereka terlibat
sebagai kombatan dalam sebuah aksi penegakan
Kewajiban pasukan PBB untuk menghormati
prinsip-prinsip dan aturan-aturan fundamental
tersebut juga telah dimasukkan ke dalam
perjanjian-perjanjian terbaru yang dibuat antara
PBB dan negara-negara yang di wilayahnya
dikerahkan pasukan PBB.
Perbedaan dan definisi
Tujuan operasi pemeliharaan perdamaian (peace-keeping operation)
ialah untuk memastikan penghormatan terhadap gencatan senjata
dan garis demarkasi dan untuk menuntaskan perjanjian penarikan
pasukan. Dalam beberapa tahun terakhir, lingkup operasi semacam
itu telah diperluas hingga mencakup tugas-tugas lain, seperti
pengawasan pemilihan umum (pemilu), pengiriman bantuan
kemanusiaan, dan pendampingan proses rekonsiliasi nasional.
Penggunaan kekuatan hanya diperbolehkan dalam kasus pembelaan
diri yang sah. Operasi semacam ini dilakukan dengan persetujuan
pihak-pihak yang berada di lapangan.
Di lain pihak, operasi penegakan perdamaian (peace-enforcement
operation), yang tercakup dalam Bab VII Piagam PBB, dilaksanakan
oleh pasukan PBB atau oleh Negara, sekelompok Negara, atau
organisasi regional, atas undangan Negara yang bersangkutan atau
atas izin Majelis Umum PBB. Pasukan ini diberi misi tempur dan
diberi izin untuk melakukan tindakan-tindakan pemaksaan (coercive
measures) dalam rangka melaksanakan mandatnya. Persetujuan dari
pihak-pihak yang berada di lapangan tidak selalu diperlukan.
Namun, pembedaan antara kedua jenis operasi tadi telah menjadi
semakin kurang jelas akhir-akhir ini. Selain itu, sebuah istilah baru
juga telah mulai digunakan, yaitu operasi dukungan perdamaian
(peace-support operation).
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 38
2/28/2011 5:59:45 AM
ICRC
“Aksi yang menyebarkan teror...”
19
APA YANG DIKATAKAN HUKUM HUMANITER MENGENAI TERORISME?
Tindakan terorisme bisa terjadi pada masa
konflik bersenjata ataupun pada masa
damai. Karena HHI hanya berlaku dalam
situasi konflik bersenjata, hukum ini tidak
mengatur tindakan terorisme yang dilakukan
pada masa damai.
Keharusan untuk membedakan antara
orang sipil dan kombatan dan larangan
untuk menyerang orang sipil atau
melakukan penyerangan yang membabi
buta merupakan bagian inti pada HHI.
Selain larangan tegas terhadap segala
tindakan yang bertujuan menyebarkan teror
di kalangan penduduk sipil [Ps. 51(2)
Protokol I dan Ps. 13(2) Protokol II], HHI
juga melarang tindakan-tindakan berikut
ini, yang bisa dianggap sebagai tindakan
terorisme, yaitu:
• penyerangan terhadap penduduk sipil
dan objek-objek sipil [Ps. 51(2) dan Ps.
52 Protokol I; Ps. 13 Protokol II)
• penyerangan secara membabi buta [Ps.
51(4) Protokol I)
• penyerangan terhadap tempat ibadah
[Ps. 53 Protokol I; Ps. 16 Protokol II]
• penyerangan terhadap bangunan dan
instalasi yang mengandung tenaga
berbahaya [Ps. 56 Protokol I; Ps. 15
Protokol II]
• penyanderaan [Ps. 75 Protokol I; Ps. 3
Ketentuan Yang Sama pada keempat
Konvensi Jenewa; Ps. 4(2)(b) Protokol
II)
• pembunuhan terhadap orang yang tidak,
atau tidak lagi, terlibat dalam peperangan
[Ps. 75 Protokol I; Ps. 3 Ketentuan Yang
Sama pada keempat Konvensi Jenewa;
Ps. 4(2)(a) Protokol II).
Selain melarang tindakan-tindakan tadi,
HHI juga berisi sejumlah ketentuan yang
memberikan kewajiban untuk menindak
pelanggaran atas larangan-larangan
tersebut dan sejumlah ketentuan mengenai
mekanisme pelaksanaan kewajiban
tersebut. Kewajiban untuk menindak
pelanggaran tersebut jauh lebih maju
dibandingkan dengan kewajiban manapun
yang saat ini ada di bawah konvensikonvensi internasional mengenai
pencegahan terorisme dan
penghukumannya.
39
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 39
2/28/2011 5:59:48 AM
40
INDEKS
Aksesi: h. 12
Protokol-protokol Tambahan dan/atau Konvensi-konvensi Jenewa:
lihat "Konvensi-konvensi Jenewa."
Konflik bersenjata (internasional/non-internasional/"jenis baru"): h.
4, 10, 14, 15, 16, 17, 18, 22, 24
Pasal 3 (Ketentuan Yang Sama): h. 2, 16, 17, 18, 19
Bantuan: h. 22, 23
Pelanggaran (breaches/violations): h. 27, 30, 31, 32, 33, 35, 39
Pengembangan Hukum Humaniter: h. 10, 11, 20, 21
Diseminasi (penyebarluasan): h. 6, 13, 31, 32
Definisi: merupakan salah satu kegiatan ICRC, mencakup
peningkatan kesadaran akan HHI, Gerakan pada umumnya,
dan ICRC pada khususnya dan akan Prinsip-prinsip
Fundamental yang menjadi pedoman bagi aksi dan kegiatan
mereka, dalam rangka membatasi pelanggaran hukum,
mencegah penderitaan, dan memfasilitasi aksi kemanusiaan.
Konferensi Diplomatik: h. 8, 11, 20, 21
Definisi: merupakan pertemuan wakil-wakil dari Negaranegara untuk mengadopsi perjanjian internasional; salah
satunya diadakan pada tahun 1949 untuk mengadopsi
Konvensi-konvensi Jenewa, salah satunya lagi diadakan
pada tahun 1977 untuk mengadopsi Protokol-protokol
Tambahannya.
Pengungsi: 16, 28, 29
Lambang: h. 6, 8, 26
Jenewa (Hukum Jenewa): h. 4
Konvensi-konvensi Jenewa dan/atau Protokol-protokol Tambahan:
h. 8, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 28,
31, 33, 39
Grotius [Hugo de Groot (1583-1645), seorang ahli hukum dan
diplomat Belanda yang sangat berpengaruh terhadap teori tentang
hukum dan Negara pada umumnya dan teori tentang Hukum
Internasional pada khususnya]: h. 5, 7
Hak asasi manusia: h. 17, 35, 36, 37
Implementasi Hukum Humaniter: h. 30, 31
Komite Internasional Palang Merah (ICRC): h. 8, 11, 13, 19, 20,
21, 23, 24, 25, 27, 30, 31, 33, 36, 37
Intervensi (hak intervensi): h. 23
jus ad bellum/jus in bello: h. 14, 23
Hukum Bangsa-bangsa: h. 5
Kode Lieber: h. 9 (lihat juga "Lieber, Francis")
Lieber, Francis [profesor dari Colombia College (New York); atas
permintaan Abraham Lincoln, menyusun serangkaian instruksi bagi
prajurit Union dalam Perang Saudara Amerika ; lihat juga "Kode
Lieber"): h. 19
Mandat: h. 2, 21, 23, 29, 31, 37
Martens, Fyodor (ahli hukum dan diplomat dari Rusia; penyusun
klausula dengan nama yang sama): h. 7
Perhimpunan Nasional: h. 2, 13, 26
Penengah yang netral: h. 2, 31
Peserta (Negara Peserta; Peserta Agung): h. 11, 12, 13, 14, 19,
22, 31, 32
Definisi: Negara yang telah meratifikasi antara lain
Konvensi-konvensi Jenewa
Pihak yang terlibat konflik: h. 7, 16, 19, 31
Definisi: Negara atau gerakan yang mengangkat
senjata dan terlibat langsung dalam sebuah konflik
Operasi pemeliharaan/penegakan perdamaian: h. 36, 37
Orang yang dicabut kebebasannya (tawanan perang, internir sipil,
tahanan): h. 16, 24, 25, 31, 33
Prinsip-prinsip (Hukum Humaniter): h. 7
Promosi: lihat "Diseminasi" (penyebarluasan)
Protokol-protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa: lihat
"Konvensi-konvensi Jenewa"
Hukum Internasional Publik: h. 4, 5
Ratifikasi: h. 12
Pengungsi eksternal (refugees): h. 16, 28, 29
Reservasi: h. 12
Penghormatan terhadap Hukum Humaniter: h. 31, 33
Pemulihan hubungan keluarga: h. 24, 25
Hak prakarsa kemanusiaan: h. 2, 23
Peran ICRC: h. 11, 13, 19, 21, 23, 24, 25, 29, 31, 37
Rousseau, Jean-Jacques [penulis dan filsuf, kelahiran
Jenewa (1712-1778), penulis The Social Contract (Kontrak
Sosial), di mana beliau menjelaskan prinsip-prinsipnya]: h. 7
Aturan-aturan (Hukum Humaniter): h. 6, 17, 33
St. Petersburg (Deklarasi): h. 7, 10
Penandatanganan: h. 12
Terorisme: h. 39
Den Haag (Hukum): h. 4
Traktat/perjanjian internasional: h. 8, 9, 10, 11, 12, 15, 20, 21, 29,
30, 35, 37
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB): h. 14, 15, 20, 21, 28,
29, 30, 33, 36, 37
Korban (kategori): h. 16, 19, 24, 28
Pelanggaran (violations): h. 27, 31, 33, 35, 39
Kejahatan perang: h. 27, 33
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 40
2/28/2011 5:59:50 AM
BIBLIOGRAFI
Sejumlah publikasi memberikan penjelasan lebih lanjut tentang
HHI pada umumnya dan tentang topik-topik tertentu yang dibahas
di buku ini pada khususnya. Publikasi-publikasi ini antara lain
adalah artikel-artikel dan cetakan-cetakan lepas dari International
Review of the Red Cross sebagai berikut:
ICRC. National measures to implement international humanitarian
law; Oktober 1991
Abi-Saab R. The "General principles" of humanitarian law according
to the International Court of Justice; Juli-Agustus 1987
ICRC. ICRC, Children and war; Desember 2001
Berman P. The ICRC's Advisory Service on International Humanitarian
Law: The challenge of national implementation; Mei-Juni 1996
Bouvier A. Recent studies on the protection of the environment in
time of armed conflict; November-Desember 1992
Bugnion F. The red cross and red crescent emblems; SeptemberOktober 1989
Doswald-Beck L, Vité S. International humanitarian law and
human rights law; Maret-April 1993
Dufli M. –T. Captured child soldiers; September-Oktober 1990
Eberlin P. The identification of medical aircraft in periods of armed
conflict: Identification of hospital ships and vessels protected by
the Geneva Conventions of 12 August 1949; Juli-Agustus dan
November-Desember 1982
Fleck D. Setting up the International Institute of Humanitarian Law
(San Remo, Italy); Implementing international humanitarian law:
Problems and priorities; Maret-April 1991
ICRC. Internally displaced persons: The mandate and role of the
International Committee of the Red Cross; Juni 2000
Jeannet S, Mermet J. The involvement of children in armed conflict;
Maret 1998
Kosirnik R. The 1977 Protocols: a landmark in the development of
international humanitarian law; Oktober 1997
Krill F. The ICRC's policy on refugees and internally displaced
civilians; September 2001
Lavoyer J.-Ph. Guiding principles on internal displacement;
September 1998
Lavoyer J.-Ph. Refugees and internally displaced persons,
international humanitarian law and the role of the ICRC; MaretApril 1995
Lavoyer J.-Ph. National legislation on the use and protection of
the emblem of the red cross and red crescent: Model law
concerning the use and protection of the emblem of the red cross
and red crescent; Juli-Agustus 1996
Maurice F, de Courten J. ICRC activities for refugees and displaced
civilians; Januari-Februari 1991
Grossrieder P. A future for international humanitarian law and its
principles?; Maret 1999
Muntarbhorn V. Protection and assistance for refugees in armed
conflicts and internal disturbances: Reflections on the mandates
of the International Red Cross and Red Crescent Movement and
the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees;
Juli-Agustus 1988
Harroff-Tavel M. Action taken by the International Committee of
the Red Cross in situations of internal violence; Mei-Juni 1993
Palwankar U. Applicability of international humanitarian law to
United Nations peace-keeping forces; Mei-Juni 1993
ICRC. ICRC action in the event of violations of international
humanitarian law; Maret-April 1981
Pejic J. Accountability for international crimes: From conjecture
to reality; Maret 2002
Forster J. The emblem; Statement by Jacques Forster; Desember
2001
41
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 41
2/28/2011 5:59:50 AM
42
Plattner D. Assistance to the civilian population: The development
and present state of international humanitarian law; Mei-Juni
1992
Rey-Schyrr C. The Geneva Conventions of 1949: a decisive
breakthrough; Juni 1999
Roberge M,-Cl. The new International Criminal Court :A preliminary
assessment; Desember 1998
Ryniker A. Observance by United Nations forces of international
humanitarian law: Comments on the Secretary General’s Bulletin
of 6 August 1999; Desember 1999
Sandoz Y. Advisory Opinion of the International Court of Justice
on the legality of threat or use of nuclear weapons; Februari
1997
Sandoz Y. “Droit or “devoir d’ingerence” and the right to
assistance: The issues involved; Mei-Juni 1992
Sassòli M. The national information bureau in aid of victims of
armed conflicts; Januari-Februari 1987
Sassòli M. State responsibility for violations of international
humanitarian law; Juni 2002
Schindler D. Significance of the Geneva Conventions for the
contemporary world; Desember 1999
Sommaruga C. Unity and plurality of the emblems; Juli-Agustus
1992
Stroun J. International criminal jurisdiction, international
humanitarian law and humanitarian action; Desember 1997
Torelli M. From humanitarian assistance to “intervention on
humanitarian grounds”?; Mei-Juni 1992
Verhaegen J. Legal obstacles to prosecution of breaches of
humanitarian law; Nopember-Desember 1987
International Institute of Humanitarian Law (San Remo, Italy).
Declaration on the rules of international humanitarian law governing
the conduct of hostilities in non-international armed conflicts;
September-Oktober 1990
Publikasi-publikasi di atas bisa diperoleh melalui website ICRC,
www.icrc.org, atau melalui:
International Committee of the Red Cross,
Production, Marketing and Distribution Division,
19 Avenue de la Paix,
1202 Geneva, Switzerland
T +41 22 734 6001
F +41 22 733 2057
E-mail: [email protected]
Lihat juga cetakan-cetakan lepas dan buku-buku berikut ini:
Bouchet-Saulnier F. The practical guide to humanitarian law,
Lanham, Rowman & Littlefield, 2002
Bugnion F. Towards a comprehensive solution to the question
of the emblem, ICRC, 2000
Gasser H.-P. International humanitarian law: An introduction;
Henry Dunant Institute/Haupt, 1993
Green L. The contemporary law of armed conflict, Manchester
University Press, 2000
Lindsey C. Women facing war, ICRC, 2001
Roberts A. and Guelff R. Documents on the laws of war, Oxford
University Press, 2000
;
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
03-42_Hukum Humaniter DR.indd 42
2/28/2011 5:59:50 AM
Download