BAB II KAJIAN LITERATUR A. Konsep/Teori yang Relevan dengan Berbagai Masalah Kesejahteraan Sosial Ilmu pekerjaan sosial berhubungan erat dengan kesejahteraan sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari individu yang bermasalah sosial berarti mereka belum dapat dikatakan sejahtera dalam bidang kesejahteraan sosialnya. Berkaitan dengan masalah-masalah di bidang kesejahteraan sosial, maka di bawah ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai pengertian pekerjaan sosial, masalah sosial, dan juga tentang kesejahteraan sosial. Pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang mempunyai bidang garapan tersendiri. Berbeda dan lain halnya dengan profesi lain seperti psikolog, dokter, dan sosiolog. Ada beberapa definisi pekerjaan sosial menurut para ahli, yaitu : a Pekerjaan Sosial didefinisikan sebagai metode yang bersifat sosial dan institusional untuk membantu seseorang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi, untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi sosial mereka. Pekerjaan sosial juga dapat dikatakan sebagai institusi sosial, profesi pelayanan manusia serta seni praktek yang ilmiah dan teknis (Max Siporin dalam Dwi Heru Sukoco, 1995) 8 b Pekerjaan sosial menekankan pada interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya yang mempengaruhi kemampuan orang untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupannya, meringankan stress, mewujudkan aspirasi dan nilai-nilainya (Allen Pincus dan Anne Minahan dalam Achlis, 1986) c Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan profesional yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan pribadi dan sosial (Walter A. Friedlander dalam Syarif Muhidin, 1982) Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang membantu meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) seseorang melalui pemecahan/intervensi masalah yang dihadapinya. Masalah atau problema adalah perbedaan antara das sollen (yang seharusnya, yang diinginkan, yang dicita-citakan, yang diharapkan) dengan das sein (yang nyata, yang terjadi). Dengan kata lain masalah adalah perbedaan antara yang ideal dan real (Abu Huraerah, 2008), menurut Horton dan Leslie dalam Suharto (2000) ”masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirasakan banyak orang yang tidak menyenangkan serta menuntut pemecahan aksi sosial secara kolektif.” 9 Parillo yang dikutip Edi Suharto (2005) dalam ”Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial,” empat komponen dalam memahami pengertian masalah sosial, yaitu : a. Masalah itu bertahan untuk suatu periode tertentu. b. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental, baik pada individu maupun masyarakat. c. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari satu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat. d. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan. Lebih lanjut dijelaskan tentang karakteristik dari masalah sosial antara lain : a. Masalah adalah perbedaan antara harapan dan kenyataan ; suatu masalah sosial baru dikatakan masalah, apabila kondisi yang dirasakan tidak sesuai harapan masyarakat. b. Kondisi sosial yang dinilai tidak menyenangkan ; penilaian masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu kondisi sebagai masalah sosial, sementara ukuran baik buruk sangat tergantung pada nilai atau norma yang dianut masyarakat. c. Masalah sosial adalah perilaku atau keadaan kompleks yang akibatnya berpengaruh pada membahayakan kesejahteraan orang banyak (umum) serta dapat mengganggu kestabilan masyarakat, norma, adat istiadat, norma dan kepercayaan masyarakat. 10 d. Kondisi yang menuntut pemecahan. Bagaimana pun beratnya suatu masalah sosial, pasti membutuhkan pemecahan secara kolektif sesuai dengan kebutuhan permasalahan, atau pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara kolektif. Masalah sosial merupakan gejala-gejala sosial yang tidak diinginkan akibat ketidakberfungsian dari unsur-unsur masyarakat yang menyebabkan kekecewaan dan penderitaan. Masalah masyarakat dan problema sosial adalah dua macam persoalan dalam masalah sosial. Timbulnya masalah sosial adalah dari kekurangan dalam diri manusia kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomis, biologis dan kebudayaan. Sehingga setiap masyarakat mempunyai norma yang berhubungan dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, mental serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Ada beberapa definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli, yaitu : a. Menurut Walter A. Friedlander, 1961 dalam Pengantar Kesejahteraan Sosial oleh Drs. Syarif Muhidin, Msc. “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembagalembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.” b. Menurut Dwi Heru Sukoco, 1995 dari buku Introduction to Social Work Practice oleh Max Siporin. “Kesejahteraan sosial mencakup semua 11 bentuk intervensi sosial yang secara pokok dan langsung untuk meningkatkan keadaan yang baik antara individu dan masyarakat secara keseluruan. Kesejahteraan sosial mencakup semua tindakan dan proses secara langsung yang mencakup tindakan dan pencegahan masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas hidup.” c. Kesejahteraan sosial adalah sebuah sistem yang meliputi program dan pelayanan yang membantu orang agar dapat memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang sangat mendasar untuk memelihara masyarakat (Zastrow, 2000). d. Sebagaimana batasan PBB, kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang betujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat (Suharto, 2005). Setelah membaca beberapa definisi tentang kesejahteraan sosial di atas di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tindakan yang mengarah kepada kondisi sosial masyarakat yang menjamin kehidupan masyarakat dalam lingkungan untuk hidup dengan rasa nyaman, aman, dan tentram untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pembangunan pun merupakan suatu konsep yang relevan dengan pemecahan permasalahan sosial. Pembangunan juga harus memperhatikan berbagai aspek-aspek sosial dan ekonomi penduduk, pemanfaatan sumber 12 daya alam maupun pengelolaan lingkungan. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (2003) dalam Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial : Hakikat pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Pembangunan kesejahteraan sosial pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat sebaik-baiknya dalam upaya menciptakan suatu kondisi tata kehidupan sosial yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin sehingga memungkinkan setiap warga masyarakat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya secara layak bagi individu, keluarga maupun masyarakat. Arah pembangunan kesejahteraan sosial adalah seperti yang tertuang di bawah ini : a. Pencegahan, mencakup kegiatan mencegah timbul, meluas serta kambuhnya permasalahan baik dalam kehidupan perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat. b. Rehabilitasi, merupakan proses refungsionalisasi dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk memungkinkan para PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) mampu melaksanakan kembali fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 13 c. Pengembangan, merupakan upaya pemeliharaan dan peningkatan taraf kesejahteraan sosial para PMKS melalui penggalian dan pendayagunaan potensi dirinya. d. Penunjang, merupakan fungsi pendorong dan pendukung yang turut menentukan keberhasilan pembangunan. Pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya adalah pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS), yaitu mereka yang mengalami hambatan dalam menjalani fungsi sosialnya, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar dan karenanya memerlukan pelayanan sosial. Tujuan Pembangunan Kesejahteraan Sosial (PKS) adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup: a. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompokkelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial. b. Peningkatan keberdayaan melalui penepatan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan. c. Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihanpilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan. 14 B. Indikator Masalah Kesejahteraan Sosial Menurut PUSDATIN Depsos RI tahun 2008 merujuk pada Buku Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Tahun 2008. Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana sosial. Menurut Kementerian Sosial saat ini terdapat 22 jenis Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), yaitu sebagai berikut: 1. Anak Balita Telantar Anak berusia 0-4 tahun yang karena sebab tertentu, orangtuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang sakit, salah seorang/kedua-duanya meninggal, anak balita sakit) sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Indikator : a. Anak (laki – laki/perempuan) usia 0 – 4 tahun. b. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasarnya atau balita yang tidak pernah mendapat ASI/susu pengganti atau balita yang tidak 15 mendapat makanan bergizi (4 sehat 5 sempurna) 2x dalam satu minggu atau balita yang tidak mempunyai sandang yang layak sesuai dengan kebutuhannya. c. Yatim piatu atau tidak dipelihara, ditinggalkan oleh orangtuanya pada orang lain, di tempat umum, rumah sakit, dsb. d. Apabila sakit tidak mempunyai akses kesehatan modern (dibawa ke Puskesmas dan lain–lain). 2. Anak Telantar Anak yang berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua orang tuanya/wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu atau pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Indikator : a. Anak (Laki-laki/perempuan) usia 5 – 18 tahun. b. Anak yatim, piatu, yatim piatu. c. Tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya. d. Anak yang lahir karena tindak perkosaan, tidak ada yang mengurus dan tidak mendapat pendidikan. 3. Anak Nakal Anak yang berusia 5-18 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, lingkungannya 16 sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan orang lain, akan mengganggu ketertiban umum, akan tetapi (karena usia) belum dapat dituntut secara hukum. Indikator : a. Anak (laki – laki/perempuan) usia 8 sampai kurang dari 18 tahun dan belum menikah. b. Melakukan perbuatan (secara berulang) yang menyimpang atau melanggar norma masyarakat seperti : 1) Sering bolos sekolah. 2) Sering bohong, ingkar/menipu. 3) Sering mencuri di lingkungan keluarga. 4) Sering merusak barang/peralatan/sarana umum. 5) Sering mengganggu orang lain, memancing keributan atau perkelahian. 6) Sering meminta uang/barang dengan paksa. 7) Perokok dan peminum. 8) Melakukan perkelahian massal (tawuran) 9) Melakukan tindak kriminal seperti perjudian, penodongan, perampokan, penjarahan, pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan dan pelacuran (membayar/dibayar). 17 4. Anak Jalanan Anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat – tempat umum. Indikator : a. Anak (laki-laki/perempuan) usia 5 – 18 tahun. b. Melakukan kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan atau berkeliaran di jalanan atau di tempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu 1 bulan yang lalu, seperti pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanjaan di pasar dan lain – lain. c. Kegiatannya dapat membahayakan dirinya sendiri atau mengganggu ketertiban umum. 5. Wanita Rawan Sosial Ekonomi WRSE (Wanita Rawan Sosial Ekonomi) adalah Seorang wanita dewasa belum menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. (Keputusan Menteri Sosial Nomor. 24/HUK/1996). Indikator: a. Wanita usia 18 - 59 tahun. b. Berpenghasilan kurang atau tidak mencukupi untuk kebutuhan fisik minimum (sesuai kriteria fakir miskin). 18 c. Tingkat pendidikan rendah (umumnya tidak tamat/maksimal pendidikan dasar). d. Isteri yang ditinggal suami tanpa batas waktu dan tidak dapat mencari nafkah. e. 6. Sakit sehingga tidak mampu bekerja. Korban Tindak Kekerasan Wanita yang terancam secara fisik atau non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya. Indikator : a. Wanita usia 18–59 tahun atau kurang dari 18 tahun tetapi sudah menikah. b. Tidak diberi nafkah atau tidak boleh mencari nafkah. c. Diperlakukan secara keras, kasar dan kejam (dipukul, disiksa) dalam keluarga. d. Diancam secara fisik dan psikologis (diteror, ditakut-takuti, disekap) dalam keluarga atau di tempat umum. e. Mengalami pelecehan seksual (di kantor, di RT, di tempat umum antara lain diperkosa atau dipaksa menjual diri/dieksploitir). 7. Lanjut Usia Telantar Setiap orang berhubung lanjut usia (60 tahun keatas) tidak mempunyai/berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupan sehari-hari. (UU Nomor 13 tahun 1998).Seseorang yang 19 berusia 60 tahun atau lebih karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya. Indikator : a. Usia 60 tahun ke atas (laki-laki/perempuan). b. Tidak sekolah/tidak tamat/tamat SD. c. Makan 2 x perhari. d. Makan-makanan berprotein tinggi (4 sehat 5 sempurna) e. Pakaian yang dimiliki kurang dari 4 stel. f. Tempat tidur tidak tetap. g. Jika sakit tidak mampu berobat ke fasilitas kesehatan. h. Ada atau tidak ada keluarga, sanak saudara atau orang lain yang mau dan mampu mengurusnya. 8. Penyandang Cacat Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara layaknya yang terdiri dari ; a. Penyandang cacat fisik, b. Penyandang cacat mental, dan c. Penyandang cacat fisik dan mental (UU Nomor 4 tahun 1997). a. Penyandang Cacat Fisik 1) Penyandang Cacat Tubuh Seseorang yang menderita kelainan pada tulang dan atau sendi anggota gerak dan tubuh, kelumpuhan pada anggota gerak 20 dan tulang, tidak lengkapnya anggota gerak atas dan bawah, sehingga menimbulkan gangguan atau menjadi lambat untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar. Indikator : a) Anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki. b) Cacat tulang/persendian. c) Cacat sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki. d) Lumpuh. 2) Penyandang Cacat Mata (Tuna Netra) Seseorang yang buta kedua matanya atau kurang awas (low vision) sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar. Indikator : a) Buta total (buta kedua mata). b) Masih mempunyai sisa penglihatan atau kurang awas (low vision). 3) Penyandang Cacat Rungu/Wicara Seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar. 21 Indikator : a) Tidak dapat mendengar atau memahami perkataan yang disampaikan pada jarak 1 meter tanpa alat bantu dengar. b) Tidak dapat bicara sama sekali atau berbicara tidak jelas (pembicaraannya tidak dapat dimengerti). c) Mengalami hambatan atau kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain. b. Penyandang Cacat Mental. Seseorang yang menderita kelainan mental/jiwa sehingga orang tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umum dilakukan orang lain seusianya atau yang tidak dapat mengikuti perilaku biasa sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar. Penyandang Cacat Mental terdiri dari : 1) Penyandang Cacat Mental Eks Psikotik a) Eks Penderita penyakit gila. b) Kadang masih mengalami kelainan tingkah laku. c) Sering mengganggu orang lain. 2) Penyandang Cacat Mental Retardasi a) Idiot : kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 2 tahun, wajahnya terlihat seperti wajah dungu. 22 b) Embisil : kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 3-7 tahun. c) Debil : kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 8-12 tahun. 3) Penyandang Cacat Fisik dan Mental/Ganda Seseorang yang menderita kelainan fisik dan mental sekaligus atau cacat ganda seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan berbicara serta mempunyai kelainan mental atau tingkah laku, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar. 9. Tuna Susila Seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa. Indikator : a. Seseorang (laki-laki/perempuan) usia 18 – 59 tahun. b. Menjajakan diri di tempat umum, di lokasi atau tempat pelacuran (bordil) dan tempat terselubung (warung remang-remang, hotel, mall dan diskotik). 23 10. Pengemis Orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. Indikator : a. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun. b. Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya. c. Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaanbacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu. d. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya. 11. Gelandangan Orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum. Indikator : a. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau 24 menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar. b. Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya. c. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas dan lain-lain. 12. Bekas Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan (BWBLK) Seseorang yang telah selesai atau dalam 3 bulan segera mengakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupannya secara normal Indikator : a. Usia 18 tahun sampai usia dewasa. b. Telah selesai atau segera keluar dari penjara karena masalah pidana. c. Kurang diterima/dijauhi atau diabaikan oleh keluarga dan masyarakat. 13. Korban Penyalahgunaan NAPZA Seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras di luar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang. 25 Indikator : a. Usia 10 tahun sampai usia dewasa. b. Pernah menyalahgunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras, yang dilakukan sekali, lebih sekali atau dalam taraf coba-coba. c. Secara medik sudah dinyatakan bebas dari ketergantungan obat oleh dokter yang berwenang. 14. Keluarga Fakir Miskin Orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. (PP No. 42 tahun 1981). Seseorang atau kepala keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan. Indikator : a. Seorang kepala keluarga usia 18-59 tahun. b. Penghasilan rendah atau berada di bawah garis kemiskinan seperti tercermin dari tingkat pengeluaran perbulan, yaitu Rp. 62.000,- 26 untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,- untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per bulan. c. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah : tidak tamat SLTP, tidak ada ketrampilan tambahan. d. Derajat kesehatan dan gizi rendah. e. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK. f. Pemilikan harta sangat terbatas jumlah atau nilainya. g. Hubungan sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. h. Akses informasi terbatas (baca koran, radio). 15. Keluarga Berumah Tidak Layak Huni Keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial. a. Kondisi Rumah : 1) Luas lantai per kapita kota < 4m2, desa < 10 m2. 2) Sumber air tidak sehat, akses memperoleh air bersih terbatas. 3) Tidak mempunyai akses MCK. 4) Bahan bangunan tidak permanen atau atap/dinding dari bambu, rumbia. 5) Tidak memiliki pencahayaan matahari dan ventilasi udara. 6) Tidak memiliki pembagian ruangan. 27 7) Lantai dari tanah dan rumah lembab atau pengap. 8) Letak rumah tidak teratur dan berdempetan. 9) Kondisi rusak. b. Kondisi Lingkungan : 1) Lingkungan kumuh dan becek. 2) Saluran pembuangan air tidak memenuhi standar. 3) Jalan setapak tidak teratur. c. Kondisi Keluarga : 1) Kebanyakan keluarga miskin usia 18-59 tahun, pengeluaran biaya hidup tidak melebihi Rp. 62.000,- untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,- untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per bulan. 2) Kesadaran untuk ikut serta memiliki dan memelihara lingkungan pada umumnya rendah (ikut bersih kampung, ikut kerja bakti, membuang sampah sembarangan di sungai). 16. Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis Keluarga yang hubungan antar anggota keluarganya terutama hubungan antara suami isteri kurang serasi, sehingga tugas dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar. Indikator : a. Suami atau isteri sering tanpa saling memperhatikan atau anggota keluarga kurang berkomunikasi. b. Suami dan isteri sering saling bertengkar, hidup sendiri-sendiri walapun masih dalam ikatan keluarga. 28 c. Hubungan dengan tetangga kurang baik, sering bertengkar, tidak mau bergaul/berkomunikasi. d. Kebutuhan anak baik jasmani, rohani maupun sosial kurang terpenuhi. 17. Komunitas Adat Terpencil Kelompok orang yang hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik nasional. (SK Mensos No. 60/HUK/1998). Kelompok orang/masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan kecil yang bersifat lokal dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan habitatnya yang secara sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas. Indikator : a. Hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial yang bersifat lokal dan terpencil. 1) Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen. 2) Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan. 3) Pada umumnya secara geografis terpencil dan relatif sulit dijangkau atau terisolasi. 29 b. Kehidupan dan penghidupannya masih sangat sederhana 1) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistens (hanya untuk kepentingan sendiri) belum untuk kepentingan pasar. 2) Peralatan dan teknologi sederhana, misalnya peralatan rumah tangga. 3) Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi. 4) Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik. 5) Secara sosial budaya terasing dan atau terbelakang. 18. Korban Bencana Alam Perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya bencana alam atau musibah lainnya yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Termasuk dalam korban bencana adalah : a. Korban bencana gempa bumi tektonik letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau tsunami, angin kencang, kekeringan dan kebakaran hutan atau lahan. b. Korban kebakaran pemukiman, kecelakaan kapal terbang, kereta api dan lain-lain, musibah industri (kecelakaan kerja), kekacauan atau kerusuhan sosial dan kecelakaan perahu. 30 c. Orang terlantar dalam perjalanan seperti orang Indonesia yang terlantar di luar negeri, TKI yang terlantar, pelintas batas, orangorang Indonesia yang masuk negara lain tanpa izin dan harus dipulangkan ke Indonesia. d. Korban wabah penyakit. Indikator : a. Kehilangan tempat tinggal sehingga mereka ditampung sementara atau diasramakan di tempat pengungsian atau menumpang dirumah keluarga/kerabat. b. Kehilangan sumber mata pencaharian sehingga mengalami hambatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. c. Kehilangan kepala atau anggota keluarga yang merupakan sumber pencari nafkah utama untuk anggota keluarga lainnya. d. Kehilangan harta benda. e. Kondisi mental kurang stabil, emosional atau stress. 19. Korban Bencana Sosial atau Pengungsi Perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya bencana sosial atau kerusakan yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Indikator : a. Korban musibah, kekacauan atau kerusuhan sosial b. Korban wabah penyakit 31 20. Pekerja Migran Telantar Seseorang yang bekerja di luar tempat asalnya dan menetap sementara di tempat tersebut dan potensial mengalami permasalahan sosial. Indikator : Orang terlantar dalam perjalanan seperti orang Indonesia yang terlantar di luar negri, TKI yang terlantar, pelintas batas, orang-orang Indonesia yang masuk negara lain tanpa izin dan harus dipulangkan ke Indonesia. 21. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ODHA adalah seseorang yang dengan rekomendasi profesional/petugas laboratorium terbukti tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS). 22. Keluarga Rentan Keluarga Rentan adalah keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan lima tahun usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial dan ekonomi (berpenghasilan sekitar 10% di atas garis kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Adalah keluarga yang masih berkategori tidak bermasalah, namun jika tidak diberdayakan melalui bimbingan sosial akan mengalami masalah tertentu. Keluarga rentan tersebut berada pada batas marginal dan menjadi rentan terhadap masalah sosial lainnya. 32 C. Kebijakan Penanganan Masalah Kesejahteraan Sosial Kebijakan merupakan suatu prinsip atau tindakan yang diambil untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan, baik yang dialami oleh perorangan, kelompok maupun masyarakat. Kebijakan terkadang diambil karena suatu kondisi atau situasi masalah yang memerlukan suatu tindakan atau penanganan secepat mungkin. 1. Pengertian Kebijakan Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (actionoriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan caracara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Kaitan kebijakan dengan program pelayanan sosial adalah kebijakan sosial harus dapat diterima oleh masyarakat, karena pada 33 dasarnya kebijakan dibuat untuk dapat mengatasi masalah sosial yang ada pada masyarakat. Harus juga diingat bahwa kebijakan meliputi: kebijakan sosial, kebijakan kesejahteraan sosial, dan kebijakan publik a. Kebijakan Sosial Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996). Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Bruce. S Jansson mendefinisikan kebijakan sosial adalah mengendalikan sasaran pemecahan masalah yang menyangkut keuntungan orang banyak. Hal ini menekankan bahwa kebijakan sosial bertujuan untuk mengurangi masalah sosial seperti kelaparan, kemiskinan, dan guncangan jiwa. Atau kebijakan sosial dapat pula di definisikan sebagai kumpulan strategi untuk memusatkan perhatian pada problem sosial. Schorr dan Baumheir, menggunakan definisi kebijakan sosial yaitu suatu prinsip dan cara melakukan suatu tindakan kesepakatan di suatu tataran dengan individu dan juga menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal ini menjadikan suatu pemikiran dalam melakukan 34 intervensi (keterlibatan) dari peraturan yang berbeda dengan sistem sosial. Menetapkan suatu kebijakan sosial haruslah menunjukkan tata cara bagaimana proses penerapannya dalam menghadapi suatu fenomena sosial, hubungan sosial pemerintah dalam mendistribusikan penghasilan dalam suatu masyarakat. Dalam perjalanan, penyusunan, perancangan, dan penerapannya, kebijakan sosial meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi : 1) Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undang-undang, mengartikannya dengan menjadikan sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah 2) Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu negara demokrasi. 3) Meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial 35 4) Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya misalkan LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain. Sehingga kesimpulan ringkas yang dapat kita ambil dari adanya pembagian aktivitas yang secara tidak langsung dapat bekerjasama mengambil suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan sosial, disini pihak pemerintah dapat dengan mudah menentukannya hal ini disebabkan karena masing-masing pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat pemerintah dan mengawasi tindakan dalam penerapannya. Sehingga tingkat pelanggaran yang nantinya akan terjadi dapat terdeteksi dan transparan. Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing-masing, kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi, yang tak jauh berbeda dengan tingkatan aktivitas. Penjelasan ini menurut pembagian Bruce. S Jansson, di dalam Social Policy,from Theory to Practice di antaranya: 1) Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para pelaksana kebijakan 2) Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan seperti menghimpun koalisi 36 3) Administrative social work, yang berkenaan dengan pokok persoalan. Suatu kebijakan yang telah disusun, dirancang, dan disepakati sebelumnya haruslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, di antaranya ialah : 1) Mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat 2) Menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan. Adanya aspek yang tertera di atas dimaksudkan agar masyarakat sebagai objek sasaran kesejahteraan dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah dan semua perangkatnya haruslah memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung. Sehingga kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan baik. Pemerintah dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang telah disusun dan diterapkan dapat ditempuh dengan 3 (tiga) langkah yang bila hal tersebut berjalan secara efektif maka penerapannya akan sempurna. Ketiga langkah tersebut antara lain seperti yang terdapat dalam The Handbook of Social Policy adalah : 37 1) Mereka (pemerintah) membuat kebijakan yang bersifat spesifik dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh : pemerintah mungkin dapat saja mencoba untuk memperbaiki kondisi sosial penduduknya dengan memperkenalkan bentuk program kebijakan yang baru. 2) Pemerintah mempengaruhi kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial dengan melihatnya dari sisi ekonomi, lingkungan, atau kebijakan lainnya, walaupun begitu mereka memiliki perhatian terhadap suatu kondisi sosial. Contoh : kebijakan sosial dengan menambah hubungan relasi perdagangan atau mengundang investor dari negara lain lalu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membangkitkan pemasukan yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dengan melihat tumbuh suburnya jumlah investor perdagangan, dan lain-lain. 3) Kebijakan sosial pemerintah yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara tidak terduga dan tidak diharapkan. Suatu kebijakan terfokus pada salah satu grup tetapi pada kenyataanya justru mendatangkan keuntungan yang tidak terduga pada aspek yang lain b. Kebijakan Kesejahteraan Sosial Menurut Neil Gilbert dan Harry Specht (K. Suhendra, 1985 : 5), menjelaskan bahwa : Kebijakan Kesejahteraan Sosial adalah 38 keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan yang memberikan informasi berupa petunjuk perencanaan atau petunjuk kegiatan kepada pemerintah maupun lembaga sosial masyarakat. Kebijakan Kesejahteraan sosial dapat dijabarkan sebagai berikut ini : 1) Meningkatkan dan meratakan pelayanan sosial yang lebih adil dalam arti bahwa setiap orang khususnya Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) berhak untuk memperoleh pelayanan sosial yang sebaik-baiknya. 2) Meningkatkan profesionalisme pelayanan sosial baik yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha terhadap Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), memantapkan manajemen pelayanan sosial yang mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan serta koordinasi atau masyarakat dalam pelayanan sosial dengan melibatkan satu unsur dan komponen masyarakat. 3) Mendukung terlaksananya kebijakan desentralisasi dengan mempertimbangkan keunikan nilai sosial budaya daerah serta mengedepankan potensi dan sumber sosial keluarga dan masyarakat setempat. 39 2. Tujuan Kebijakan Sosial a. Membina, menyelamatkan, memulihkan dan mengentaskan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) agar dapat hidup dan berkembang secara wajar. b. Menggali dan memanfaatkan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial dan peningkatan serta pemerataan pelayanan sosial. c. Meningkatkan keberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat rentan, guna mendukung pemulihan kehidupan ekonomi nasional. d. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia dalam jajaran pembangunan kesejahteraan sosial. e. Mengembangkan kepekaan, kepedulian, kesetiakawanan sosial, etika moral dan tanggung jawab moral masyarakat. 3. Sasaran Kebijakan Sosial a. Individu, kelompok dan masyarakat yang menyandang masalah sosial. b. Individu, kelompok dan masyarakat yang dikhawatirkan akan menjadi penyandang masalah sosial. c. Sumber dan potensi yang mendukung pelayanan sosial. d. Lembaga pemerintah dan swasta, organisasi-organisasi sosial di masyarakat. 40 4. Pelayanan yang Berkaitan dengan Kebijakan Sosial a. Program pemeliharaan pendapatan meliputi jaminan sosial seperti lanjut usia kesehatan dan lain-lain. b. Pelayanan case work, group work, seperti konseling, pelayanan kesejahteraan anak dan lan-lain. c. Program bantuan perumahan bagi orang-orang yang pendapatannya menengah kebawah seperti perumnas (RSS). d. Bantuan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan pelayan sosial lainnya. e. Progam pendidikan seperti sekolah luar biasa dan penempatan pekerja sosial di sekolah. f. Pelayanan yang berorientasi pada pekerjaan seperti training bagi PPKS, penyandang cacat, remaja putus sekolah dan lain-lain. 5. Landasan Pembangunan Kesejahteraan Sosial a. Landasan Idiil Pancasila mengarahkan agar semua pembangunan dan pelayanan sosial harus merupakan penjabaran pengalaman dari sila dalam Pancasila. b. Landasan Konstitutional Undang-Undang Dasar 1945. 1) UUD 1945 pasal 27 ayat 2, bahwa tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 2) UUD 1945 pasal 34 fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. 41 c. Landasan Operasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004. d. Landasan struktural berupa peraturan perundang-undangan, antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. 4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat 6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 7) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. 9) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 42 tentang Hak Asasi Manusia. 10) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan 42 Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. 11) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. 13) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. 6. Program Prioritas Pelayanan antara lain: Program prioritas pembangunan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial seperti program penanggulangan kemiskinan, penanggulangan keterlantaran, pelayanan dan rehabilitasi cacat, ketunaan sosial dan penanggulangan bencana termasuk pengungsi. Sasaran program dan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial seperti pelayanan kesejahteraan anak, kesejahteraan sosial lanjut usia, rehabilitasi penyandang cacat, rehabilitasi tuna sosial dan rehabilitasi sosial korban NAPZA. Sasaran program dan kegiatan lingkup dirjen bantuan dan jaminan sosial seperti bantuan korban bencana seperti bencana alam termasuk kondisi rawan dan rentan bencana, pengungsi, kecelakaan dan masyarakat dalam kondisi konflik. Program prioritas Kementerian Sosial oleh menteri sosial RI seperti program penanganan fakir miskin di kota, pinggiran kota, di desa dan 43 desa nelayan pantai. Penanganannya melalui kelompok usaha bersama (KUBE) dan Adopsi Desa Miskin (ADEM). a. Kebijakan Pembangunan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: 1) Rehabilitasi sosial, yang dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar yang dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. 2) Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jaminan sosial diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan. 3) Pemberdayaan sosial yang dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok,dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri juga meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemberdayaan sosial tersebut dapat dilakukan melalui: 44 a) Peningkatan kemauan dan kemampuan; b) Penggalian potensi dan sumber daya; c) Penggalian nilai-nilai dasar; d) Pemberian akses; dan/atau e) Pemberian bantuan usaha. 4) Perlindungan sosial, yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Perlindungan sosial tersebut dilaksanakan melalui: a) Bantuan sosial; b) Advokasi sosial; dan/atau Bantuan hukum. b. Pembangunan kesejahteraan sosial dilaksanakan berdasarkan kebijakan sebagai berikut : 1) Pembangunan kesejahteraan sosial dilaksanakan melalui usaha kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang melembaga. 2) Usaha kesejahteraan sosial yang mencakup semua program dan kegiatan yang ditunjukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial dilaksanakan sebagai tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah. 3) Peningkatan kualitas dan efektifitas pelayanan sosial. 45 4) Perluasan jangkuan pelayanan sosial yang makin adil dan merata. 5) Peningkatan profesionalitas pelayanan sosial. Baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah. 6) Pengutamaan fungsi pencegahan dan pengembangan di samping fungsi rehabilitasi dan bantuan. 7) Pembinaan dan pengembangan keterpaduan dalam kerja sama intra dan inter sektoral. 8) Pendayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial dalam masyarakat. D. Sistem Sumber Kesejahteraan Sosial Max Siporin D.S.W. mengatakan bahwa “A resource any valuable thing, or recerve or at hand, that one can mobilie and put to instrumental use in order to function, meet a need resolve a problem” (Siporin, 1975 : 22). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jenis sumber dapat dipandang dari beberapa hal, yaitu : 1) Sumber Internal dan Eksternal Sumber internal dapat berupa kemampuan intelektual, imaginasi, kreativitas, motivasi, kegairahan, karakter moral kekuatan dan ketahanan fisik/jasmani, stamina, ketampanan/kecantikan serta pengetahuan. Sedang sumber eksternal dapat berupa harta kekayaan, prestise, mata pencaharian sanak-saudara yang kaya, teman yang berpengaruh dan hak jaminan. 46 2) Sumber official/formal dan sumber non-official/non-formal Sumber official dapat berupa tokoh-tokoh formal, organisasiorganisasi yang secara formal mewakili mayarakat seperti guru, pekerja sosial, badan konseling, dan badan-badan sosial pemberdayaan. Sedang sumber non-offisial dapat berupa dukungan emosional maupun sosial dari kerabat, teman serta tetangga. Sumber non-offisial tersebut merupakan bagian dari sistem sumber pertolongan alamiah. 3) Sumber manusia dan non-manusia Sumber manusia adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk digali dan dimanfaatkan untuk membantu memecahkan permasalahan klien. Sedang sumber non-manusia adalah sumber-sumber material atau benda. 4) Sumber simbolik-partikularistik, kongkrit-universal dan pertukaran nilai Sumber simbolik-partikularistik dapat berupa informasi dan status sosial seseorang. Informasi dan status sosial seseorang di dalam masyarakat mempunyai arti simbolik yang khusus dan dapat dipergunakan sebagai sumber yang dapat digali dan dimanfaatkan. Sumber kongkrit-universalistik dapat berupa pelayanan-pelayanan maupun benda-benda kongkrit. Sedang sumber pertukaran nilai dapat berupa kasih sayang maupun uang. 47 Menurut Allen Pincus dan Anne Minahan (1973:4–9) mengklasifikasikan sumber kesejahteraan sosial ke dalam beberapa jenis: 1. Sistem Sumber Informal (natural resource systems) Sistem sumber informal atau alamiah dapat berupa keluarga, teman, tetangga, maupun orang lain yang bersedia membanru. Bantuan yang dapat diperoleh dari sumber alamiah adalah dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, informasi dan pelayananpelayanan konkgkrit lainnya, seperti pinjam uang. 2. Sistem Sumber Formal (formals resource systems) Sistem sumber formal adalah keanggotaannya di dalam suatu organisasi atau asosiasi formal yang bertujuan untuk meningkatkan minat anggota mereka. Sistem sumber tersebut juga dapat membantu anggotanya untuk bernegosiasi dan memanfaatkan sistem sumber kemasyarakatan atau societal. 3. Sistem Sumber Kemasyarakatan (societal resource system) Sistem sumber kemasyarakatan dapat berupa rumah sakit, badan-badan adopsi, program-program latihan kerja, pelayananpelayanan sosial resmi. Orang didalam kehidupannya terkait dengan sistem sumber perawatan anak, kemasyarakatan, seperti penempatan-penempatan sekolah, tenaga pusat-pusat kerja, dan program-program tenaga kerja. Orang juga terkait dengan badanbadan pemerintah dan pelayanan-pelayanan umum lainnya, seperti 48 perpustakaan umum, kepolisian, tempat-tempat rekreasi dan pelayanan perumahan. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) adalah semua hal yang berharga yang dapat digunakan untuk menjaga, menciptakan, mendukung atau memperkuat Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS). PSKS dapat berasal atau bersifat manusiawi, sosial dan alam. Adapun jenisjenis PSKS antara lain: 1. Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM) Warga masyarakat yang peduli dan komitmen kesejahteraan sosial dan telah mengikuti program pendidikan dan latihan kesejahteraan sosial atas`dasar kesadaran dan tanggung jawab sosialnya secara sukarela melaksanakan usaha kesejahteraan sosial di daerah atau wilayah sendiri. TKSM terdiri dari: a. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Warga masyarakat yang telah memperoleh atau mengikuti bimbingan dan pelatihan di bidang kesejahteraan sosial atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosialnya serta didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi dibidang kesejahteraan sosial yang bertujuan meningkatkan kemampuan diri untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. 49 Kriteria : 1) Usia sekurangnya 18 tahun 2) Adanya minat untuk mengabdi dan bekerja di bidang Kesejahteraan Sosial atas dasar sukarela, rasa terpanggil dan kesadaran sosial 3) Telah mengikuti berbagai bimbingan dan pelatihan bidang Kesejahteraan Sosial 4) Sebagai tokoh atau ditokohkan masyarakat 5) Pendidikan sekurang-kurangnya SLTP b. Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial (WPKS) Wanita tokoh masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk memimpin dan melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan sosial, selain itu telah mengikuti bimbingan dan pelatihan di bidang kesejahteraan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosialnya yang secara sukarela melaksanakan usaha kesejahteraan sosial di daerah atau wilayah sendiri. 2. Organisasi Sosial (Orsos) Menurut Kepmensos No. 40/HUK/1980 yang dimaksud dengan organisasi sosial (Orsos) adalah lembaga, yayasan atau perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik berbadan hukum, maupun tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial. 50 Kriteria : a. Mempunyai nama struktur dan alamat organisasi yang jelas. b. Mempunyai pengurus dan program kerja. c. Berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. d. Melaksanakan/mempunyai kegiatan dalam bidang Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS). 3. Karang Taruna (KT) Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia, Karang Taruna (KT) adalah organisasi sosial kepemudaan, wadah pengembangan generasi muda, yang tumbuh atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat khususnya generasi muda di wilayah suatu daerah, kelurahan atau komunitas sosial sederajat, yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial dan organisasi berdiri sendiri. 4. Dunia Usaha yang Melaksanakan Usaha Kesejahteraan Sosial Menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia, Dunia Usaha yang Melakukan Usaha Kesejahteraan Sosial adalah organisasi komersial seluruh lingkungan industri dan produksi barang atau jasa termasuk BUMN dan BUMD serta atau wirausahawan beserta jaringannya yang dapat melakukan tanggung jawab sosialnya. Dunia usaha yang melakukan usaha kesejahteraan sosial lebih populer dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR), dan biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, contohnya 51 Pertamina, Unilever, Telkom, Bank Mandiri, Aqua, Djarum, dan lain sebagainya. Namun untuk kapasitas di desa, yang biasa melakukan UKS adalah dari jenis perusahaan kecil menengah seperti perusahaan meubel kayu, perusahaan keripik, perusahaan genting, dan lain sebagainya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut : a)Perorangan atau Keluarga b)Dikaderkan oleh masyarakat setempat c)Memiliki dana, menghimpun dana, mencarikan dana untuk kepentingan kegiatan usaha kesejahteraan sosial. 5. Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM) Menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia, WKSBM adalah sistem kerja sama anta keperangkatan kepelayanan sosial diakar rumput yang terdiri atas usaha kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya. Wahana ini berupa jejaring kerja daripada kelembagaan sosial komunitas lokal, baik yang tumbuh melalui proses alamiah dan tradisional maupun lembaga yang sengaja dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat pada tingkat lokal, sehingga dapat menumbuhkembangkan sinergi lokal dalam pelaksanaan tugas di bidang usaha kesejahteraan sosial. WKSBM dibangun dalam upaya menggali, menghimpun, mengembangkan dan mengarahkan sumberdaya yang ada terutama di tingkat lokal untuk mencapai tujuan bersama dalam mengembangkan masyarakat. Dengan demikian di dalam WKSBM 52 terjadi sinergi sumber daya yang pada awalnya masih tersebar di berbagai keperangkatan pelayanan masyarakat. Terjadinya sumber daya yang dimiliki ditingkat lokal dan sistem sumber akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membangun dirinya. Hal ini merupakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya pembangunan masyarakat yang dilandasi oleh kepercayaan diri dan keswadayaan baik secara sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Kondisi tersebut selanjutnya akan mewujudkan tata kehidupan dan penghidupan yang diliputi oleh ketahanan sosial masyarakat. 6. Keperintisan dan Kepahlawanan Perintis Kemerdekaan Perintis kemerdekaan adalah mereka yang telah berjuang mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, diakui dan disyahkan sebagai perintis kemerdekaan. Janda/duda perintis kemerdekaan adalah isteri/suami yang ditinggal(meninggal dunia) oleh perintis kemerdekaan dan telah disahkan sebagai janda, duda perintis kemerdekaan. Keluarga pahlawan adalah suami/isteri (warakawuri) pahlawan, anak kandung, anak angkat yang diangkat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pahlawan yang bersangkutan belum/tidak berkeluarga maka yang menjadi keluarga adalah orang tuanya. 53