evolusi pemikiran pembangunan

advertisement
EVOLUSI PEMIKIRAN PEMBANGUNAN
Amich Alhumami *)
“It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most
responsive to change.” Charles Darwin 1809-1882
Panta rei – everything flows, everything is constantly changing, itulah ungkapan masyhur
filosof Yunani kuno, Heraclitus (641-575 sm), yang acapkali dikutip para ilmuwan ketika
menjelaskan suatu gejala perubahan. Seperti air, segala sesuatu mengalir mengikuti arus
perubahan dalam kehidupan. Demikian pula halnya teori, aksioma, atau paradigma ilmu
pengetahuan, semuanya berkembang dinamis mengikuti dialektika pemikiran manusia yang
juga berubah. Salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang mengalami perubahan teori dan
paradigma sangat cepat sepanjang lebih dari setengah abad terakhir adalah disiplin ilmu
ekonomi pembangunan. "No area of economics," tulis Irma Adelman (2002), "has
experienced as many abrupt changes in its leading paradigm since World War II as has
development economics." Evolusi pemikiran dalam ekonomi pembangunan memang
berlangsung demikian cepat, yang bisa dilihat dari begitu banyak temuan ilmiah baru. Teori
dan paradigma ekonomi pembangunan terus berkembang pesat, mulai dari generasi peraih
Nobel dekade 1960-an: Jan Tinbergen dan dekade 1970-an: Simon Kuznets, sampai generasi
dekade 1990-an: John Nash dan Amartya Sen.
Dalam artikel Fallacies in Development Theory and their Implications for Policy, Adelman
mengidentifikasi setidaknya ada tiga faktor utama yang mendorong perubahan teori dan
paradigma pembangunan. Pertama, perubahan ideologi. Setiap generasi pemikir ekonomi
mempunyai basis ideologi sendiri-sendiri serta memiliki rujukan teoretis dan policy
prescriptions yang berlainan. Bila terjadi perubahan basis ideologi, maka otomatis akan
membawa perubahan pada kerangka teori dan policy prescriptions tersebut. Dalam hal ini,
kita bisa membandingkan antara pemikiran ahli-ahli ekonomi yang menganut mazhab
Keynesian dengan pemikiran ahli-ahli ekonomi lain yang menganut mazhab neoliberal.
Kedua, revolusi dan inovasi teknologi. Aktivitas ekonomi kini mengalami perubahan sangat
fundamental akibat sukses besar revolusi teknologi informasi dan komunikasi. Revolusi
teknologi yang berlangsung spektakuler itu membawa implikasi luas dan pengaruh kuat pada
perkembangan teori dan paradigma pembangunan. Contoh, lahirnya paradigma
pembangunan knowledge-based economy adalah produk revolusi teknologi tersebut. Ketiga,
perubahan lingkungan internasional sebagai dampak globalisasi ekonomi yang berlangsung
sangat intensif, yang tecermin pada kian terintegrasinya aktivitas ekonomi antarbangsa.
Gejala integrasi ekonomi ini lazim disebut borderless economy, yang ditandai oleh: (i)
liberalisasi ekonomi dan intensifikasi perdagangan bebas antarnegara, (ii) meluasnya operasi
perusahaan multinasional, dan (iii) pesatnya perkembangan bisnis finansial internasional
(Robert Gilpin, The Nation-State in the Global Economy, 2001).
Ketiga faktor di atas jelas mempengaruhi premis dasar dan preposisi teoretis dalam
perkembangan ilmu ekonomi mutakhir. Tentu saja faktor-faktor tersebut menjadi daya
dorong yang kuat bagi para pemikir ekonomi untuk merumuskan ulang kerangka teoretis
dan paradigma pembangunan yang telah mapan selama ini. Salah satu paradigma
pembangunan yang pada tahun-tahun terakhir ini mendominasi kajian dalam disiplin ilmu
ekonomi adalah paradigma pembangunan manusia (human development paradigm).
Paradigma pembangunan manusia
Amich Alhumami, peneliti sosial ekonomi, bekerja di Direktorat Agama dan Pendidikan,
Bappenas.
*)
1
Mabub ul Haq, ekonom berkebangsaan Pakistan yang amat terpandang, membuat refleksi
mendalam tentang paradigma pembangunan Barat yang sangat materialistik, yang sertamerta diterapkan di negara-negara berkembang. Paradigma pembangunan Barat yang
materialistik itu mengukur pencapaian hasil pembangunan hanya dari aspek fisik semata,
yang dikuantifikasi dalam perhitungan matematik dan angka statistik. Hasil pembangunan
adalah deretan simbol-simbol numerikal dalam tabel dan grafik, yang melambangkan sukses
pencapaian dimensi fisik dan materi. Tak heran, bila paradigma ini cenderung mengabaikan
dimensi manusia sebagai subyek utama pembangunan dan menegasikan harkat dan
martabat kemanusiaan yang paling hakiki. Haq menuangkan hasil renungannya itu dalam
buku terkenal berjudul: Reflections on Human Development (1995), yang sekaligus
menandai pergeseran paradigma pembangunan dari "national income accounting" ke
"people-centered policy." Kita patut menyimak dengan saksama rumusan paradigma itu:
"The human development paradigm is concerned both with building up human capabilities
through investment in people and with using those human capabilities fully through an
enabling framework for growth and employment."
Paradigma ini mempunyai empat komponen esensial. Pertama, kesetaraan yang merujuk
pada kesamaan dalam memperoleh akses ke sumber daya ekonomi dan politik yang menjadi
hak dasar warga negara. Ini mensyaratkan sejumlah hal yaitu: (i) distribusi aset-aset
ekonomi produktif secara adil; (ii) distribusi pendapatan melalui perbaikan kebijakan fiskal;
(iii) menata sistem kredit perbankan untuk memberi kesempatan bagi kelompok kecil dan
menengah dalam mengembangkan usaha; (iv) menata sistem politik demokratis guna
menjamin hak dan kebebasan politik; (v) menata sistem hukum guna menjamin tegaknya
keadilan.
Kedua, produktivitas yang merujuk pada usaha-usaha sistematis yang bertujuan
meningkatkan kegiatan ekonomi. Upaya ini mensyaratkan investasi di bidang sumber daya
manusia, infrastruktur, dan finansial guna mendukung pertumbuhan ekonomi, yang
berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Agar kapasitas produksi bisa
maksimal, maka investasi harus lebih difokuskan pada upaya peningkatan mutu SDM, yang
ditandai oleh peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta penguasaan teknologi. SDM
berkualitas memainkan peranan sentral dalam proses pembangunan suatu bangsa.
Ketiga, pemberdayaan yang merujuk pada setiap upaya membangun kapasitas masyarakat
dengan cara melakukan transformasi potensi dan kemampuan, sehingga mereka memiliki
kemandirian, otonomi, dan otoritas dalam melaksanakan pekerjaan dan mengatasi
permasalahan sosial. Dalam konteks ini, pembangunan menempatkan manusia sebagai
pusat segala perhatian yang bertujuan bukan saja meningkatkan pertumbuhan dan
pendapatan, melainkan juga memperluas pilihan-pilihan publik (public choices) sehingga
manusia mempunyai peluang mengembangkan segenap potensi yang dimiliki.
Keempat, berkelanjutan yang merujuk pada strategi dalam mengelola dan merawat modal
pembangunan: fisik, manusia, finansial, dan lingkungan agar bisa dimanfaatkan guna
mencapai tujuan utama pembangunan: kesejahteraan rakyat. Untuk itu, penyegaran,
pembaruan, dan pelestarian modal pembangunan sangat penting dan perlu guna menjaga
kesinambungan proses pembangunan di masa depan.
Demikianlah, paradigma pembangunan manusia kini menjadi tema sentral dalam wacana
perdebatan mengenai isu-isu pembangunan. Orientasi pembangunan pun bergeser dari
sekadar mencapai tujuan makroekonomi seperti peningkatan pendapatan nasional dan
stabilitas fiskal ke upaya memantapkan pembangunan sosial (societal development). Paling
kurang ada enam alasan mengapa paradigma pembangunan manusia ini bernilai penting,
yaitu: (i) pembangunan bertujuan akhir meningkatkan harkat dan martabat manusia; (ii)
mengemban misi pemberantasan kemiskinan; (iii) mendorong peningkatan produktivitas
secara maksimal dan meningkatkan kontrol atas barang dan jasa; (iv) memelihara konservasi
alam (lingkungan) dan menjaga keseimbangan ekosistem; (v) memperkuat basis civil society
2
dan institusi politik guna mengembangkan demokrasi; dan (vi) merawat stabilitas sosial
politik yang kondusif bagi implementasi pembangunan (Kaushik Basu, On the Goals of
Development, 2002).
Ulasan di atas menegaskan betapa pemikiran pembangunan itu terus berdialektika dengan
perubahan zaman dan berevolusi secara konstan. Setiap tahapan evolusi niscaya merujuk
pada konteks zaman tertentu dan memiliki karakterisktik yang berlainan antara satu dengan
yang lain. Sudah pasti setiap periode dalam evolusi pemikiran pembangunan
menggambarkan perbedaan mendasar antara satu generasi dengan generasi yang lain.
Dengan merujuk pada sejumlah literatur dan agar lebih mudah dalam membahas esensi
pemikiran di masing-masing tahapan evolusi, kita pilah periode evolusi itu menjadi dua
generasi saja.
Generasi pertama
Setelah Perang Dunia II berakhir, ahli-ahli ekonomi Barat mengenalkan konsep
pembangunan kepada negara-negara bekas jajahan yang baru merdeka sepanjang tahun
1940-an dan 1950-an. Dalam berbagai khazanah literatur pembangunan, kita memahami
teori-teori pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk melakukan modernisasi di negaranegara baru tersebut. Teori-teori pembangunan ekonomi itu berfokus pada empat isu sentral
yaitu: (i) pertumbuhan, (ii) akumulasi kapital, (iii) transformasi struktural, dan (iv) peran
pemerintah. Keempat isu ini merupakan tema dasar yang menjadi kajian penting dan utama
dalam evolusi pemikiran pembangunan generasi pertama (1950-1975). Para ahli ekonomi
pembangunan memusatkan perhatian pada empat isu sentral tersebut sebagai topik
perdebatan akademis dalam kurun waktu seperempat abad itu.
Secara teoretis, pembangunan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang ditandai oleh
peningkatan pendapatan per kapita seperti tercermin pada GNP. Namun, pertumbuhan
mensyaratkan adanya akumulasi kapital, yang hanya bisa dicapai melalui investasi. Salah
satu strategi untuk memacu akumulasi kapital dan mendorong investasi adalah
industrialisasi. Pemikir-pemikir pembangunan dari mazhab ekonomi neoklasik dan
strukturalis seperti Paul Rosestein-Rodan (1944), Ragnar Nurkse (1952), Arthur Lewis
(1955), dan Irma Adelman (1961) mempunyai pemahaman yang serupa, bahwa “capital
accumulation, investment, and well-designed industrialization are the very crucial
components to accelerate development.” Ketiga hal tersebut merupakan kekuatan pendorong
utama, yang dapat menggerakkan proses transformasi struktural. Proses ini mengandaikan
adanya lompatan pembangunan yang semula berbasis pertanian ke pembangunan yang
berbasis industri. Industrialisasi akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak, yang
menjadi salah satu elemen vital dalam proses produksi. Bila proses produksi berjalan baik,
maka pendapatan nasional pun akan meningkat.
Dalam konteks manajemen dan administrasi pembangunan, para pemikir generasi pertama
ini mengakui peranan pemerintah sebagai suatu hal yang tak terelakkan bahkan bersifat
imperatif. Pembangunan tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik tanpa keterlibatan
pemerintah dalam porsi yang wajar. Peranan pemerintah itu bisa pada level perumusan
kebijakan, perencanaan program, rekayasa sosial ekonomi, manajemen dan administrasi,
serta regulasi dan kontrol. Bentuk-bentuk peranan seperti ini merupakan instrumen yang
sangat efektif dalam implementasi pembangunan. Bahkan tak sedikit pula yang meyakini
bahwa institusi pemerintah diperlukan guna mengendalikan pasar, terutama untuk
menghindari agar mekanisme pasar tidak hanya dikuasai oleh para pemilik modal besar. Ini
diperlukan guna memberi proteksi bagi pemilik modal kecil agar tidak sampai tergulung di
dalam kompetisi pasar bebas. Untuk itu, pemerintah harus berperan sebagai lembaga yang
menstimulasi akumulasi kapital, mengalokasikan sumber daya, menyediakan dan mengelola
tenaga kerja, dan mengontrol transaksi ekonomi.
3
Namun, penting dicatat bahwa isu pengendalian pasar dan kontrol atas transaksi ekonomi
ini bersifat kontroversial, yang mengundang perdebatan serius dan panjang di kalangan ahliahli ekonomi. Bagi yang menentang, mereka berargumen bahwa hal itu menjadi
kontraproduktif dan akan menciptakan inefisiensi. Yang diperlukan justru deregulasi dan
debirokratisasi guna mendorong perkembangan ekonomi yang efisien dan membangun iklim
pasar yang sehat. Isu krusial yang menjadi bone of contention ini telah menjadi arus-utama
dalam mazhab pemikiran neoliberal, yang menekankan pada tiga policy prescriptions yaitu:
(i) deregulasi, (ii) privatisasi, dan (iii) liberalisasi. Salah seorang proponen utama mazhab ini,
Friederich Hayek (1899-1999) yang memenangi Nobel Ekonomi pada 1974, berpandangan
bahwa mekanisme pasar merupakan instrumen yang sangat efektif dalam menggerakkan
persaingan, sekaligus menjadi kekuatan pemaksa bagi para pelakunya agar berupaya
menawarkan produk dan barang dengan harga kompetitif. Dengan kata lain, pasar menjadi
mekanisme alamiah untuk menciptakan efisiensi. Pandangan kaum neoliberal itu terwakili
dalam ungkapan berikut: “the essential tenet of neoliberalism is the extraordinary
importance attributed to market mechanisms; prices in a market economy provide the best
possible information regarding the relative efficiency of many possible combinations of
physical and human resources affecting the link between supply and demand” (Stromquist,
2002).
Generasi kedua
Harus diakui bahwa pembangunan sebagaimana dikonsepsikan oleh para ahli ekonomi
generasi pertama itu telah menciptakan perubahan penting dalam kehidupan suatu bangsa.
Pembangunan telah mengantarkan negara-negara sedang berkembang memasuki tahapan
moderninasi sebagai titik lompatan menuju kehidupan yang maju dan sejahtera. Namun,
paradigma pembangunan yang dirumuskan oleh generasi pertama ini menuai kritik tajam,
sebab pembangunan telah menciptakan ketimpangan dan kesenjangan yang mencolok
antarkelompok masyarakat dan membelenggu kebebasan manusia yang paling asasi. Kritik
ini diapresiasi dengan sangat baik oleh para pemikir pembangunan generasi kedua (1975sekarang), yang kemudian lebih memusatkan perhatian pada empat isu fundamental yaitu:
(i) distribusi pendapatan, (ii) ketidakadilan, (iii) kemiskinan, dan (iv) kebebasan dan
demokrasi.
Sebenarnya, kritik itu sudah mulai mengemuka pada akhir dekade 1960-an, ketika Dudley
Seers dalam The Meaning of Development (1969) mencoba menggugat apa yang disebut “the
growth fetishism of development theory.” Bagi Dudley Seers, makna paling hakiki
pembangunan itu bukan semata peningkatan pendapatan per kapita, melainkan pemerataan
distribusi pendapatan, penurunan pengangguran, pembebasan kemiskinan, dan
penghapusan ketidakadilan. Keempat isu ini jauh lebih mendasar yang harus diselesaikan
dalam proses pembangunan, sebab semuanya itu menjadi problem kritikal yang menyangkut
harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain, peningkatan pendapatan yang hanya
dinikmati oleh sekelompok masyarakat tertentu tidak berarti sama sekali, bila di sebagian
masyarakat yang lain justru dijumpai fakta kemiskinan dan ketidakadilan. Menurut
pengalaman banyak negara berkembang, kesenjangan ekonomi yang tajam justru menjadi
faktor pemicu munculnya kekacauan sosial akibat gerakan protes, pertikaian etnis, dan
konflik kelas yang sulit dikendalikan. Meksiko dan Brazil di Amerika Latin, Rwanda dan
Burundi di Afrika, serta India, Sri Lanka, dan tentu saja Indonesia di Asia adalah sebagian
dari contoh empirik yang memberi pelajaran berharga.
Para pemikir pembangunan generasi kedua bahkan bergerak lebih maju lagi dengan
mengusung isu kebebasan dan demokrasi. Isu terakhir ini sudah mulai disuarakan oleh ahliahli sosiologi, politik, dan ekonomi yang menaruh perhatian besar pada isu pembangunan
dan perkembangan demokrasi politik (lihat Lipset 1959, Diamond & Linz 1995, Amartya Sen
1999, Przeworzki & Alvarez 2000, dan Meier & Stiglitz 2002). Mereka berargumen, selain
pertumbuhan, peningkatan pendapatan nasional, dan akumulasi kapital, pembangunan
harus mampu mengantarkan suatu bangsa mencapai kehidupan politik yang bebas dan
4
demokratis, yang tercermin pada adanya pengakuan apa yang disebut civil rights and
political liberty. Semua itu diperlukan untuk menjamin keamanan sosial dan memelihara
stabilitas politik. Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, meringkas
keseluruhan pandangan para pemikir pembangunan generasi kedua itu dalam rumusan yang
padat: "development requires the removal of major sources of unfreedom: poverty as well
as tyranny, poor economic opportunities as well as systematic social deprivation, neglect of
public facilities as well as intolerance or overactivity of repressive states.”
Mengamati arus utama pemikiran pembangunan dua generasi yang diuraikan di atas,
tampak jelas para pemikir itu memiliki sensitivitas yang tinggi dalam merespons ide-ide baru
yang berkembang dinamis. Isu-isu kritikal yang muncul belakangan mendapat apresiasi yang
memadai; para pemikir generasi kedua berusaha merevisi premis-premis dasar
pembangunan yang diajukan oleh generasi pertama. Jika kita perhatikan secara mendalam,
akan terlihat penyesuaian, perubahan, dan revisi atas teori dan paradigma pembangunan itu.
Garis evolusi pemikiran tersebut terutama sangat nyata terlihat dalam hal penetapan tujuan
pembangunan, yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar: Evolusi Pemikiran Pembangunan (Tujuan)
Gross
Domestic
Product
GDP
Per kapita
Riil
Indikator Nonmoneter (Indeks
Pembangunan
Manusia (HDI)
Penghapusan
Kemiskinan
Pemenuhan hak
dasar dan
peningkatan
kemampuan
Kebebasan
Pembangunan
Berkelanjutan
Sumber: Gerald Meier & Joseph Stiglitz, Frontiers of Development Economics (2002)
DEMIKIANLAH, ahli-ahli ekonomi dari setiap generasi merasa berkepentingan melakukan
penyesuaian, pembaruan, dan perubahan atas teori-teori pembangunan lama, dengan
menyerap gagasan-gagasan baru agar tetap relevan dan kontekstual dengan semangat zaman
(zeitgeist). Kemunculan sebuah teori niscaya akan diperdebatkan oleh penyokong dan
penentangya, untuk menguji tingkat validitasnya secara ilmiah. Kita tahu, ilmu pengetahuan
akan memberi manfaat besar bila para pencetusnya mampu memahami semangat zaman
yang berkembang pada masa itu, sehingga akan lebih peka dan adaptif terhadap setiap gejala
perubahan. Para pemikir pembangunan tampaknya memahami makna ungkapan klasik
Charles Darwin: “it is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent,
but the one most responsive to change.”
5
Download