Imam Syafi

advertisement
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza,
Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan
masih keluarga jauh rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul
Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib
r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina,
setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh
dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada
usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat
pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan
beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah.
Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis
pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di
dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan
belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam
Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang
sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam
Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu,
semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam
Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal
sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu
tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru
Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan
yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i
menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum
islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada
hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap
Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu
ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran)
sebagai dasar hukum islam.
Berkaitan dengan bid’ah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua
macam, yaitu bid’ah terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan
prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal taklid, beliau selalu
memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat
pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya bertaklid buta pada
pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk bersikap kritis dan berhati hati
dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila
kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.
Diantara karya karya Imam Syafi’i yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa
kitabnya, selain itu juga buku Al Musnadberisi tentang hadis hadis rasulullahyang dihimpun
dalam kitab Umm serta ikhtilaf Al hadis.
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap
adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin
‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau
bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau
masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh
beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan
menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu
berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya
meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang
namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah
seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar
(senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan
tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri
dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal
dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian
mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi,
kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah
dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy
secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat
mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain
menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah.
Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun
beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama
dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah
dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang
berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah
(Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah
Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang
disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan
dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah
Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur
dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah
Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang
ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu
mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan
kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat
menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya
ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia
diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.”
Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya
(mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia
baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan,
beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar,
potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai
tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan
pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau
belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat
berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada
usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan
untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan
kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah
berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui
nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab
yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah
menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu
Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar
mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti
Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang
masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman
bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini,
beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu
beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi
mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan
bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah
beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca alMuwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik
kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu
darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga
mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz
ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana
beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang
lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu
dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi
tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu
sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya
akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka
menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan
Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani
‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap
khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari
kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam
memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara
mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam
pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat
orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa.
Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terangterangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya
sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i
menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman
Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini
kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah
kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun haditshadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh
orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan,
membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan
rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu
dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya
menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia
menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam
Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan
ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau
berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya.
Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan
bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan
mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada
Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab atsTsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke
Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia
belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang
telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti
pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka
adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim
surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabarkhabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lainlain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak
untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau
mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebutnyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat
angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai
dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar
20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah
saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah.
Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu
kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana
karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama
ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara
Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana
pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di
dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam
menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya
rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits.
Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak
musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul
Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka
menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila
tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan
itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya
menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di
Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar
ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai
akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu
masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai
landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan
menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam.
Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah
kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah
dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat
perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara
(mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar,
tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad
berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan
menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan
ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih
aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab
Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam
ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam
adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring
berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi
orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang
selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya
beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir
bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan
kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia
berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?”
Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada
diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan
jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab.
Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy
mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan
jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam alFahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi
128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan AsSunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: ‫شافعية‬, Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i[1][2].
Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah,
Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.
Daftar isi
[sembunyikan]









1 Sejarah
2 Dasar-dasar
3 Qaul Qadim dan Qaul Jadid
4 Penyebaran
5 Peninggalan
6 Catatan kaki
7 Referensi
8 Lihat pula
9 Pranala luar
[sunting] Sejarah
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan
antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi
(cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam
Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai
tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan
aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok
tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah
dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih
luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan
Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya
memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup
sezaman dengannya.
[sunting] Dasar-dasar
Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh alUmm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip
mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang).
Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.
1. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang
dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari
alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
2. Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari
Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki
Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
3. Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat
dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum
adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu
terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
4. Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga
ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah
sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
Lihat pula: Ijtihad
[sunting] Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia
mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat
yang lama").
Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil
memengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang
sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang
berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru").
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak
ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun
dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa
keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap
dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.
[sunting] Penyebaran
Mazhab Syafi'i (warna kuning tua) dominan di Afrika Timur, dan di sebagian Jazirah Arab
dan Asia Tenggara.
Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab
Maliki[3], yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip
dasar Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya.
Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan
Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:



Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri fiqh
Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i[4]. Selain itu, masih banyak
ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i,
antara lain:





Imam Abu al-Hasan
al-Asy'ari
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Nasa'i
Imam Baihaqi





Imam Turmudzi
Imam Ibnu Majah
Imam Tabari
Imam Ibnu Hajar alAsqalani
Imam Abu Daud





Imam Nawawi
Imam as-Suyuti
Imam Ibnu Katsir
Imam adz-Dzahabi
Imam al-Hakim
[sunting] Peninggalan
Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau
metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah
Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang
paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai
ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan
para pendukungnya.
Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh
Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi
pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap
keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab
Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar
kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.
[sunting] Catatan kaki
Ibnu Majah dengan nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin
Abdullah bin Majah Al Quzwaini . Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal
pada hari selasa, delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadan tahun 275.[rujukan?] Ia
menuntut ilmu hadits dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadits dari madzhab
Maliki dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari beliau. Ibnu Majah
menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini sebelumnya tidak mempunyai tingkatan
atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah (lihat di bagian hadits) karena dalam
kitabnya ini terdapat hadits yang dlaif bahkan hadits munkar. Oleh karena itu para ulama
memasukkan kitab Al Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al
Khamsah). Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau
memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir
dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal
Artikel bertopik Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia
dengan mengembangkannya.
Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: ‫شافعية‬, Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i[1][2].
Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah,
Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.
Daftar isi
[sembunyikan]









1 Sejarah
2 Dasar-dasar
3 Qaul Qadim dan Qaul Jadid
4 Penyebaran
5 Peninggalan
6 Catatan kaki
7 Referensi
8 Lihat pula
9 Pranala luar
[sunting] Sejarah
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan
antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi
(cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam
Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai
tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan
aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok
tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah
dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih
luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan
Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya
memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup
sezaman dengannya.
[sunting] Dasar-dasar
Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh alUmm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip
mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang).
Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.
1. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang
dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari
alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
2. Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari
Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki
Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
3. Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat
dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum
adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu
terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
4. Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga
ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah
sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
Lihat pula: Ijtihad
[sunting] Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia
mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat
yang lama").
Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil
memengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang
sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang
berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru").
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak
ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun
dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa
keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap
dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.
[sunting] Penyebaran
Mazhab Syafi'i (warna kuning tua) dominan di Afrika Timur, dan di sebagian Jazirah Arab
dan Asia Tenggara.
Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab
Maliki[3], yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip
dasar Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya.
Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan
Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:



Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri fiqh
Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i[4]. Selain itu, masih banyak
ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i,
antara lain:





Imam Abu al-Hasan
al-Asy'ari
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Nasa'i
Imam Baihaqi





Imam Turmudzi
Imam Ibnu Majah
Imam Tabari
Imam Ibnu Hajar alAsqalani
Imam Abu Daud





Imam Nawawi
Imam as-Suyuti
Imam Ibnu Katsir
Imam adz-Dzahabi
Imam al-Hakim
[sunting] Peninggalan
Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau
metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah
Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang
paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai
ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan
para pendukungnya.
Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh
Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi
pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap
keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab
Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar
kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.
[sunting] Catatan kaki
1. ^ Hamid, Mohd. Liki, (2006), Pengajian Tamadun Islam, ed. ke-2, Malaysia: PTS
Professional, ISBN 978-983-3585-65-6
2. ^ Yilmaz, Ihsan, (2005), Muslim laws, politics and society in modern nation states:
dynamic legal pluralisms in England, Turkey, and Pakistan, Ashgate Publishing
Ltd.,ISBN 0-7546-4389-1.
3. ^ Bearman, Peri J., Bearman, Peri, Peters, Rudolph, Vogel, Frank E., (2005), The
Islamic school of law: evolution, devolution, and progress, Islamic Legal Studies
Program, Harvard Law School, ISBN 978-0-674-01784-9.
4. ^ Al-Salam, Ibn 'Abd, Kabbani, Shaykh Muhammad Hisham, Haddad, Gibril Fouad,
(1999), The Belief of the People of Truth, ISCA, ISBN 1-930409-02-8.
[sunting] Referensi
1. Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah
Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman,
Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
2. Al-Qaththan, Syaikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Penerjemah: H. Aunur
Rafiq El-Mazni, Lc., MA., Penyunting: Abduh Zulfidar Akaha, Lc., Cet.1 (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006).
3. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Ed.1, Cet.12 (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001).
4. Imam Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Penerjemah: Ahmad Sunarto
(Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, 2002).
5. Al Imam Al Bukhari, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab
Baiquni dan Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, tanpa tahun).
6. Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini
didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu'man
bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka
kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam
Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat, walaupun
pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam.
Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.
7. [sunting] Metodologi Fiqh Abu Hanifah
8. Dasar-dasar Abu Hanifah dalam Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari
urutan berikut:
9. 1. Al-Qur'an
10. 2. Sunnah, dimana beliau selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Beliau
mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah.
11. 3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar)
12. 4. Qiyas
13. 5. Istihsan
14. 6. Ijma' para ulama
15. 7. Urf masyarakat muslim
16.
[sunting] Murid-Murid Abu Hanifah
17. Abu Hanifah mempunyai murid-murid yang meneruskan mazhab beliau. Di antara
murid-murid tersebut adalah:
18. 1. Abu Yusuf (Ya'kub bin Ibrahim Al-Anshari)
19. 2. Muhammad bin Al-Hasan As-Shaybani
20. 3. Zufar bin Hudhayl bin Qays Al-Kufi
21. 4. Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu'lu'i Al-Kufi
22. Begitu pun fuqaha'-fuqaha' (Ulama ahli Fiqh) yang mengikuti mazhab Imam Hanafi.
Di antara mereka adalah:
23. 1. Yahya bin Akhtam bin Muhammad bin Qatn At-Tamimi Al-Marwazi
24. 2. Hilal bin Yahya bin Muslim Al-Basri
25. 3. Abu Abdullah Muhammad bin Shuja' Al-Tsalji
26. 4. Ahmad bin Al-Hasan Abu Sa'id Al-Barda'i
27. 5. Muhammad bin Musa bin Muhammad Abu Bakr Al-Khawarizmi
28. 6. 'Ala' Ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Abi Ahmad As-Samarqandi
29. 7. 'Ala' Ad-Din Abu Bakr bin Mas'ud bin Ahmad Al-Kasani
30. 8. Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz Ad-Dimasyqi (Ibn Abidin)
31.
[sunting] Hubungan dengan Mazhab yang Lain
32. Kehadiran mazhab-mazhab ini mungkin tidak bisa dilihat sebagai perbedaan mutlak
seperti dalam agama Kristen (Protestan dan Katolik) dan beberapa agama lain.
Sebaliknya ini merupakan perbedaan melalui pendapat logika dan ide dalam
memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih sama dan tidak
berubah.
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: ‫ )القرآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam
percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan
bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu
pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat
Al-'Alaq ayat 1-5[1].
Daftar isi
[sembunyikan]













1 Etimologi
2 Terminologi
3 Jaminan Tentang Kemurnian Al-Quran dan Bukti-Buktinya
4 Nama-nama lain Al-Qur'an
5 Struktur dan pembagian Al-Qur'an
o 5.1 Surat, ayat dan ruku'
o 5.2 Makkiyah dan Madaniyah
o 5.3 Juz dan manzil
o 5.4 Menurut ukuran surat
6 Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
o 6.1 Penurunan Al-Qur'an
o 6.2 Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
 6.2.1 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
 6.2.2 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
 6.2.2.1 Pada masa pemerintahan Abu Bakar
 6.2.2.2 Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
7 Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
o 7.1 Terjemahan
o 7.2 Tafsir
8 Adab Terhadap Al-Qur'an
o 8.1 Pendapat pertama
o 8.2 Pendapat kedua
9 Hubungan dengan kitab-kitab lain
10 Referensi
11 Daftar kepustakaan
12 Lihat pula
13 Pranala luar
[sunting] Etimologi
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau
"sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar)
dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai
pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang
artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya
(pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
[sunting] Terminologi
Sebuah cover dari mushaf Al-Qur'an
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk
ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan
ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta
membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah
dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti
Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan
kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi,
tidak termasuk Al-Qur’an.
[sunting] Jaminan Tentang Kemurnian Al-Quran dan
Bukti-Buktinya
Kemurnian Kitab Al-Quran ini dijamin langsung oleh Allah, yaitu Dzat yang menciptakan
dan menurunkan Al-Quran itu sendiri dan pada kenyataannya kita bisa melihat bahwa satusatunya kitab suci yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.
[sunting] Nama-nama lain Al-Qur'an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan
untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat
yang mencantumkannya:


















Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
An-Nur (cahaya): QS(4:174)
Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
[sunting] Struktur dan pembagian Al-Qur'an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Surat dalam Al-Qur'an, Makkiyah, dan Madaniyah
Al-Qur'an yang sedang terbuka.
[sunting] Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan
terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah
dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr.
Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas
tema atau topik tertentu.
[sunting] Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat
Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan
tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum
Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya
tergolong surat Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsipprinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun
di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah).
Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat
Madaniyah yang turun di Mekkah.[rujukan?]
[sunting] Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang
sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin
menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil
memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu
minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek
bahasan tertentu.
[sunting] Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi
menjadi empat bagian, yaitu:




As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’,
Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan
sebagainya
[sunting] Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil,
objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil
inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan
sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
[sunting] Penurunan Al-Qur'an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2
bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu
periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung
selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
[sunting] Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai
dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
[sunting] Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang
ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin
Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut
walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang
binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat AlQur'an setelah wahyu diturunkan.
[sunting] Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
[sunting] Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang
dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal AlQur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir
akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh
tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas
memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah
pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya
kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya
mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
[sunting] Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam
cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah)
antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran
Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin
mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku.
Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang
digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda
dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses
ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di
masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
“
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang
Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an
sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu
qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa
qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami
berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu
pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami
berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
”
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini
menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat.
Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf
Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga
orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin AlHarits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan
jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam
bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah,
Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
[sunting] Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses
penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai
bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan
usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan
terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
[sunting] Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang
tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh
dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu
lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk
arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya Terjemahan dalam bahasa daerah
dilaksanakan oleh:
Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1. Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh
Departemen Agama Republik Indonesia, ada
dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
2. Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud
Yunus
3. An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
4. Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS
Terjemahan dalam bahasa Inggris
1. The Holy Qur'an: Text, Translation and
Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
2. The Meaning of the Holy Qur'an, oleh
Marmaduke Pickthall
1. Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh
Kemajuan Islam Jogyakarta
2. Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
3. Qur'an bahasa Sunda oleh K.H.
Qomaruddien
4. Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri
Mustafa Rembang
5. Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa
Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad
Adnan
6. Al-Amin (bahasa Sunda)
[sunting] Tafsir
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tafsir al qur'an
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat
itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat
tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih
dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga
beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang
dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat
dan teologis bahkan corak ilmiah.
[sunting] Adab Terhadap Al-Qur'an
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang
junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang
sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an,
karena tidak ada dalil yang menguatkannya.[3]
[sunting] Pendapat pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk
menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan
interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat
mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan
bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap
Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan
hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat
berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman
mati.
[sunting] Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah:
"Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana
ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan
oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah
diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak
boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan
hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang
firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an
kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul
(obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali
mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il
(subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [4]Yang dimaksud oleh
hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena
orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang
mu’min itu tidak najis”[5]
[sunting] Hubungan dengan kitab-kitab lain
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hubungan Al-Qur'an dengan kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum
Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an
dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah
pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan
Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:




Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab
tersebut. QS(2:4)
Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab
sebelumnya. QS(5:48)
Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara
ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai
kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para
rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang
terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
[sunting] Referensi
1. ^ Al-A'zami, M.M., (2005), Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.),
Jakarta: Gema Insani Press, ISBN 979-561-937-3.
2. ^ Rahman, A., (2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap IsyaratIsyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.), Bandung: Penerbit Mizania, ISBN 979-8394-43-7
3. ^ www.almanhaj.or.id Hukum Menyentuh Atau Memegang Al-Qur'an Bagi Orang Junub,
Wanita Haid Dan Nifas (diakses pada 8 Juli 2010)
4. ^ Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam
diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam
Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain.
Dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lainlain. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di
atas dan menyatakannya shahih.
5. ^ Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lainlain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam
keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang
(menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?”
Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam
keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang
mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang
muslim itu tidak najis”).
Portal Al Qur'an
Wikimedia Commons memiliki galeri mengenai:
Al-Qur'an
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan Al-Qur'an
[sunting] Daftar kepustakaan

















Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi
Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama,
Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains
Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.
Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon
Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.
al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain
Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur
Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum
Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan:
Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.
ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok
dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
-----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an
Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung.
Pustaka Setia.
[sunting] Lihat pula




Abu Bakar
Surah
Nabi Islam
Majlis Tilawah Al Quran Peringkat Antarabangsa
[sunting] Pranala luar















Teks Al-Qur'an dalam 36+ bahasa, termasuk bahasa Indonesia
Al-Qur'an Search Engine SE Mesin Pencari Al-Qur'an dalam berbagai bahasa (Albanian,
Bosnian, Dutch, English, EnglishQaribullah, EnglishShakir, French, German, Indonesia, Italian,
Japanese, Spanien, Swahili)
Online Quran Project list over 100+ translation in 25 different languages.
Translation of the Meanings of The Noble Quran in 10 languages - Indonesian, Urdu, Spanish,
French, English, German, Russian, Chinese, Greek, Turkish
www.ifran-ul-Quran.com Read, Listen to, Search, Download English & Urdu translations of
holy Quran by Dr Muhammad Tahir-ul-Qadri
(Arab) Animasi flash Al Quran
(Indonesia) Quran Terjemah Indonesia
(Indonesia) Quran Terjemah Indonesia
(Indonesia) Bermacam artikel ada disini
(Melayu) Kamus Istilah Al Qur'an
(Inggris) Faizani.com Terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris.
(Indonesia) Eramuslim, Sejarah Penulisan Al-Quran : Siapa yang Melakukan, Mengapa dan
Bagaimana
(Inggris) Brief History of Compilation of the Qur'an, University of Southern California Muslim Student Association
(Inggris) Proyek Zekr software open source Al Qur'an berbasis java
(Indonesia) Media Muslim INFO, Mushhaf al-Qur'an Yang Sudah Rusak dan Hukum
Membaca Al-Qur'an secara Bersama-sama
Mazhab Hambali / Imam Ahmad bin Hanbal dicetuskan oleh Ahmad bin Muhammad
Hanbal bin Hilal. Dasar-dasarnya yang pokok ialah berpegang pada :
1. al-Qur-an
2. Hadits marfu'
3. Fatwa sahabat dan mereka yang lebih dekat pada al-Qur-an dan hadits, di antara fatwa
yang berlawanan
4. Hadits mursal
5. Qiyas
Mazhab ini dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di pedalaman Oman dan beberapa tempat
sepanjang Teluk Persia dan di beberapa kota Asia Tengah.
Hijaz (Hejaz, Hedjaz bahasa Arab: ‫الحجاز‬al-Ḥiǧāz, literatur "the barrier") adalah sebuah
wilayah di sebelah barat laut Arab Saudi; kota utamanya adalah Jeddah, namun wilayah ini
lebih dikenal sebagai tempat terletaknya kota suci Mekkah. Sebagai sebuah wilayah, Hijaz —
karena menjadi lokasi bagi tempat-tempat suci agama Islam, mempunyai kepentingan dalam
lanskap sejarah dan politik Arab dan Islam.
Di bawah kekuasaan kekuatan regional seperti Mesir atau Kerajaan Ottoman hampir
sepanjang sejarahnya, Hejaz sempat memperoleh kemerdekaan politik untuk sesaat pada awal
abad ke-20. Hijaz adalah salah satu wilayah Kerajaan Ottoman yang diprovokasi hingga
memberontak oleh T. E. Lawrence (alias "Lawrence of Arabia") dari Britania pada masa
Perang Dunia II. Pada 1916 kemerdekaannya diproklamasikan oleh Hussein bin Ali, sang
Shariff Mekkah. Pada 1924, kekuasaan ibnu Ali direbut ibnu Saud dari negara tetangganya,
Nejd. Perebutan ini membawa dampak penting bagi terbentuknya negara Arab Saudi.
[sunting] Kota
Peta menunjukkan lokasi dalam wilayah Saudi Arabia












Jeddah
Makkah al-Mukarramah
Madinah
Ta'if
Yanbu' al Bahr
Al Bahah
Tabuk
Badr Hunayn
Rabigh
Kesultanan Oman adalah sebuah negara di Jazirah Arab bagian tenggara, Asia
bagian barat daya. Oman berbatasan dengan Uni Emirat Arab di sebelah barat laut,
Arab Saudi di barat, dan Yaman di barat daya.
Sekitar 98,8% penduduk Oman memeluk agama Islam. Sultannya sekarang ialah
Qaboos bin Said Al Said yang menggulingkan ayahandanya sendiri, Said bin Taimur,
yang berkuasa pada 1932 hingga 23 Juli 1970. Luas wilayah Oman lebih kurang
separuh luas Pulau Sumatra.
[sunting]
Asia Tengah adalah sebuah kawasan yang terkurung daratan di Benua Asia. Banyak arti
yang berbeda dalam komposisi wilayah yang sebenarnya.
Daftar isi
[sembunyikan]





1 Arti
2 Sejarah
3 Geografi
4 Demografis
5 Pranala luar
[sunting] Arti
Peta Asia Tengah
Menurut sebuah definisi, Asia Tengah mencakup sekitar 9.029.000 km², atau 21% dari benua.
Negara-negara yang termasuk dalam wilayah Asia Tengah menurut arti ini ialah Republik
Rakyat Cina (Provinsi Qinghai, wilayah otonomi Xinjiang dan Tibet), Kazakhstan (wilayah
sebelah timur Sungai Ural), Kirgizia, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Definisi kedua juga mencakup wilayah-wilayah definisi pertama ditambah Azerbaijan-Iran,
negara-negara Transkaukasus (Azerbaijan, Armenia, dan Georgia), wilayah Turkic/Muslim
selatan Rusia (Siberia selatan), Mongolia, Tiongkok bagian barat (Xinjiang dan Tibet),
Afganistan, dan sebagian wilayah utara Pakistan.
Definisi ketiga menjelaskan wilayah Asia Tengah sebagai bekas negara Republik-republik
Asia Tengah Uni Soviet yang terdiri dari Kazakhstan, Kirgizia, Uzbekistan, Tajikistan, dan
Turkmenistan.
[sunting] Sejarah
Sebuah lukisan abad ke-9
Pada masa lampau, Asia Tengah dihuni oleh orang normadik seperti:



Xiongnu (Hun) dan orang Turkic
Yuezhi (Tocharian atau Kushan), warga Iran, dan kaum Indo-Eropa
Mongol
Asia Tengah telah lama menjadi wilayah perdagangan antara Tiongkok dan masyarakat
Barat, dengan Jalur Sutra melewati wilayah ini dan menjamurnya banyak kerajaan di sini.
Pada lima abad terakhir, kebanyakan wilayah ini perlahan-lahan dijajah oleh Kekaisaran
Rusia dan Kerajaan Tiongkok, sedangkan Britania Raya menduduki India di bagian selatan
Asia Tengah.
Semasa abad ke-20, kebanyakan wilayah di Asia Tengah merupakan bagian dari bekas
negara aliran komunis Uni Soviet, yang pecah tahun 1991. Wilayah terkecuali ialah Mongolia
dan daerah milik Tiongkok seperti Xinjiang. Negara-negara tersebut telah berpaling dari
sistem komunis, dan sekarang mengikuti berbagai sistem politik yang terdiri dari demokratis
lemah hingga sangat otoriter. Namun Tiongkok dan Rusia masih berpengaruh kuat dalam
mengontrol wilayah itu. Kebanyakan negara di Asia Tengah bergabung dalam Organisasi
Kerjasama Shanghai..
[sunting] Geografi
Peta geologi Asia Tengah
Asia Tengah adalah wilayah yang sangat luas dengan jenis daratan yang bervariasi, misalnya
tanah datar tinggi dan pegunungan (Tian Shan), gurun luas (Kara Kum, Kyzyl Kum,
Taklamakan), dan tanah datar berupa rerumputan. Kebanyakan tanah sangat kering atau
sangat kasar untuk dijadikan sebagai sawah. Mata pencaharian mayoritas penduduk ialah
penggembala. Aktivitas industri berada di perkotaan.
Sungai utama ialah Sungai Amu Darya, Syr Darya dan Hari Rud. Aliran utama air juga
berasal dari Laut Aral dan Danau Balkhash, keduanya adalah bagian dari kolam endorheic
besar di Asia barat/tengah yang juga mencakup Laut Kaspia. Kedua aliran air ini mengalami
penurunan volume pada akhir dekade ini yang disebabkan oleh pengalihan air dari sungai
untuk aktivitas irigasi dan industri. Air merupakan sumber alam yang sangat berharga di Asia
Tengah yang gersang, dan ia dapat berujung ke persengketaan internasional.
[sunting] Demografis
Lebih dari 80 juta manusia tinggal di Asia Tengah, ±2% dari jumlah populasi Asia. Di antara
wilayah Asia, hanya Asia Utara yang lebih sedikit penduduknya. Kepadatan penduduk di
Asia Tengah ialah 9 orang per km², sangat kurang dari 80,5 orang per km² di benua Asia.
Mazhab (bahasa Arab: ‫مذهب‬, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan
yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun
abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri
khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode
(manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang
menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagianbagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.[1]
Daftar isi
[sembunyikan]







1 Pengertian ulama fiqih
2 Pembagian Mazhab
3 Sunni
o 3.1 Hanafi
o 3.2 Maliki
o 3.3 Syafi'i
o 3.4 Hambali
4 Syi'ah
o 4.1 Ja'fari
o 4.2 Ismailiyah
o 4.3 Zaidiyah
5 Khawarij
6 Lain-lain
7 Referensi
[sunting] Pengertian ulama fiqih
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh
seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya
memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara
umum, bukan suatu mazhab khusus.[1]
[sunting] Pembagian Mazhab
Mazhab yang digunakan secara luas saat ini antara lain mazhab Hanafi, mazhab Maliki,
mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali dari kalangan Sunni. Sementara kalangan Syi'ah
memiliki mazhab Ja'fari, Ismailiyah dan Zaidiyah.
[sunting] Sunni
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunni
Sunni atau lebih dikenal dengan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah pada awal mula
perkembangannya banyak memiliki aliran, ada beberapa sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in
yang dikenal memiliki aliran masing-masing. Sampai kemudian terdapat empat mazhab yang
paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan Sunni, empat mazhab yang
mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat
fundamental.
[sunting] Hanafi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Hanafi
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia
Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India,
Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan
Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).
[sunting] Maliki
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Maliki
Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini
dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan
menyodorkan tatacara hidup penduduk Madinah sebagai sumber hukum karena Nabi
Muhammad hijrah, hidup, dan meninggal di sana; dan kadang-kadang kedudukannya
dianggap lebih tinggi dari hadits.
[sunting] Syafi'i
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Syafi'i
Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia.
Pengikutnya tersebar terutama di Indonesia, Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman,
Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan
Brunei.
[sunting] Hambali
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Hambali
Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5%
muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab
yang saat ini dianut di Arab Saudi.
[sunting] Syi'ah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Syi'ah
Syi'ah atau lebih dikenal lengkapnya dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali pada awal mula
perkembangannya juga banyak memiliki aliran. Namun demikian hanya tiga aliran yang
masih ada sampai sekarang, yaitu Itsna 'Asyariah (paling banyak diikuti), Ismailiyah dan
Zaidiyah. Di dalam keyakinan utama Syi'ah, Ali bin Abu Thalib dan anak-cucunya dianggap
lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan sebagai khalifah dan imam bagi kaum
muslimin. Di antara ketiga mazhab Syi'ah terdapat perbedaan dalam hal siapa saja yang
menjadi imam dan pengganti para imam tersebut pada saat ini.
[sunting] Ja'fari
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Ja'fari
Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) adalah mazhab dengan
penganut yang terbesar dalam Muslim Syi'ah. Dinisbatkan kepada Imam ke-6, yaitu Ja'far
ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keimaman kemudian
berlanjut yaitu sampai Muhammad al-Mahdi bin Hasan al-Asykari bin Ali al-Hadi bin
Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja'far ash-Shadiq. Mazhab ini
menjadi mazhab resmi dari Negara Republik Islam Iran.
[sunting] Ismailiyah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ismailiyah
Mazhab Ismaili atau Mazhab Tujuh Imam berpendapat bahwa Ismail bin Ja'far adalah Imam
pengganti ayahnya Jafar as-Sadiq, bukan saudaranya Musa al-Kadzim. Dinisbatkan kepada
Ismail bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Garis
Imam Ismailiyah sampai ke Imam-imam Aga Khan, yang mengklaim sebagai keturunannya.
[sunting] Zaidiyah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zaidiyah
Mazhab Zaidi atau Mazhab Lima Imam berpendapat bahwa Zaid bin Ali merupakan
pengganti yang berhak atas keimaman dari ayahnya Ali Zainal Abidin, ketimbang saudara
tirinya, Muhammad al-Baqir. Dinisbatkan kepada Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Setelah kematian imam ke-4, Ali Zainal Abidin, yang ditunjuk sebagai imam
selanjutnya adalah anak sulung beliau yang bernama Muhammad al-Baqir, yang kemudian
diteruskan oleh Ja'far ash-Shadiq. Zaid bin Ali menyatakan bahwa imam itu harus melawan
penguasa yang zalim dengan pedang. Setelah Zaid bin Ali syahid pada masa Bani Umayyah,
ia digantikan anaknya Yahya bin Zaid.
[sunting] Khawarij
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Khawarij
Mazhab Khawārij mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan
Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya karena melakukan takhrif (perdamaian} dengan
Muawiyah bin Abu Sufyan yang mereka anggap zalim. Awalnya mazhab ini berpusat di
daerah Irak bagian selatan. Kaum Khawārij umumnya fanatik dan keras dalam membela
mazhabnya, serta memiliki pemahaman tekstual Al-Quran yang berbeda dari Sunni dan
Syi'ah.
[sunting] Lain-lain



Mazhab agama Islam yang paling banyak dianut di Indonesia adalah Mazhab Syafi'i
Pengertian Mazhab dalam Islam tidak serupa dengan denominasi dalam Kristen, melainkan
satu tingkat di bawahnya. Denominasi Katolik-Protestan-Ortodoks lebih setara dengan
denominasi (firqah) Sunni-Syi'ah dalam Islam.
Istilah Mazhab secara umum dalam bahasa Indonesia juga digunakan untuk merujuk kepada
suatu aliran tertentu dalam suatu disiplin ilmu atau filsafat, misalnya Mazhab Frankfurt
dengan tokoh-tokoh pemikirnya Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin,
Herbert Marcuse, Jürgen Habermas, dll

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina,
namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di
Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli
sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat
pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

[sunting] Nasab

Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam
Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman
bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin
Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin
Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di
Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris AsySyafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh
Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’.
Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut
dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris AsySyafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim,
adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:



“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari
satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR.
Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66).
“


[sunting] Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu
membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam
”
keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan
sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail
dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i
adalah imam bahasa Arab.

[sunting] Belajar di Makkah

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az
Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan
sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah,
seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti
Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar
dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu
dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id
bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun
semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di
berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.



[sunting] Belajar di Madinah

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia
mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam.
Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan
cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat
Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan
dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di
Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang
terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah,
niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut
kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka
Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab AlMuwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih
bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga
menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah
pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling
beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di
samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’
yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin
Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya
Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini
adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan
madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai
kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan



gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi
menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

[sunting] Di Yaman

Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah
sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin,
Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau
melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak
mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga
beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan
masih banyak lagi yang lainnya.

[sunting] Di Baghdad, Irak

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari
Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar
Rasyid.

[sunting] Di Mesir

Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di
Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu
fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam
Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke
Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau
wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

[sunting] Karya tulis

[sunting] Ar-Risalah

Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan
kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah
seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh
ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau
adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun
yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’
Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul,
hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat
amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa,
dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak
menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

[sunting] Mazhab Syafi'i

Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil
Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak
maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i
mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan
syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah
(pembela sunnah),”

[sunting] Al-Hujjah

Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam
Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

[sunting] Al-Umm

Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan
oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman.
Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih
bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah
perkataanku di belakang tembok,”
Download