Proses Keimanan Bagaimana cara kita mengetahui keshahihan keimanan kita? Bagaimana cara kita meyakinkan orang lain bahwa hanya Aqidah Islamiyah sajalah yang shahih? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dimunculkan, mengingat begitu besar jumlah umat Islam, bahkan di negeri ini, dimana umat Islam menjadi mayoritas, namun pada kenyataannya kehidupan Islam tidak terasa, tidak ada bedanya dengan negeri-negeri Barat. Mungkin benar apa yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb, bahwa saat ini Islam adalah satu hal dan umat Islam adalah hal lain, tidak ada hubungan antara keduanya. Dalam realita kehidupan saat ini, tidak sedikit kaum muslimin yang kurang mengetahui kenapa dia memeluk Islam. Ketika ditanya mengapa Anda beragama Islam? Sering terlontar jawaban yang paling sederhana: Ya, karena orang tua saya Islam. Benarkah pemahaman keIslaman seperti ini? Padahal AlQur’an menuntut untuk membuktikan setiap kebenaran yang diyakini manusia. ِ ِ وقَالُواْ لَن ي ْدخل ا ْْلنَّةَ إِالَّ من َكا َن هوداً أَو نَصارى تِلْك أَمانِيُّهم قُل هاتُواْ ب رهانَ ُكم إِن ُكنتم ي َ صادق َ ُْ َ َ َُ َ ْ َ ُْ َ ْ ْ ُ َ َ ََ ْ ُ َ “Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk syurga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 111) Di sisi lain, banyak manusia yang mendasarkan keimanannya pada sesuatu hanya berdasarkan dugaan yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Seperti menyebutkan Tuhan itu tiga, akan terjadi reinkarnasi setelah kematian, atau menyebut tidak ada hari kebangkitan. Sebagian manusia lagi mendasarkan keimanannya hanya pada perasaan (wijdan), walaupun itu fitrah di dalam diri manusia, tapi tanpa didukung dengan pembuktian akal. Bila keimanan hanya berdasarkan perasaan, yang terjadi pada manusia adalah kecenderungan untuk mengkhayalkan apa yang diimani dan mencari sendiri cara untuk menyembahnya. Maka muncullah penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong), syirik, atau ajaran kebatinan. Islam sebagai satu-satunya diin yang kita yakini kebenarannya tentu tidak demikian. Islam adalah diin yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan akal sehat, sesuai dengan fitrah manusia dan menentramkan hati. Permasalahan Mendasar Manusia dan Kebangkitannya Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik. Namun, hal itu tidak memberikan suatu jaminan bahwa setiap orang akan berkelakuan dan berakhlak baik. Oleh karena itu, apabila kita hendak mengubah perilaku seseorang yang hina menjadi mulia, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan cara mengubah pemikiran dan pemahamannya. Oleh sebab itu, satu-satunya metode untuk mengubahnya adalah dengan memberikan penjelasan tentang pemikiran yang menyeluruh dan tuntas mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan (baik kehidupan dunia maupun kehidupan sebelum dan sesudahnya). Sebab pemikiran tersebut merupakan landasan ideal bagi semua pemikiran cabang yang berkaitan dengan kehidupan, dan yang memberikan pemecahan terhadap permasalahan mendasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Adapun persoalan yang mendasar tersebut adalah: Dari mana aku berasal? Mau apa aku di dunia ini? Akan kemana aku setelah mati? Apabila ketiga pertanyaan tersebut telah terjawab oleh seorang manusia, akan terjawab pula pertanyaan-pertanyaan cabang yang lain. Jawaban terhadap permasalahan mendasar manusia itulah yang kemudian disebut dengan Aqidah. Adapun syarat sebuah aqidah yang benar haruslah sesuai dengan fitrah manusia, dapat memuaskan dan diterima akal manusia, dan memberi ketenangan batin dan menentramkan hati manusia. Aqidah Islam mengajarkan bahwa dibalik alam semesta, manusia, dan kehidupan terdapat Pencipta. Sang Pencipta inilah yang telah menciptakan ketiganya, dan segala sesuatu yang lainnya. Oleh sebab itu, Sang Pencipta ini disebut sebagai Khaliqul ‘Alam. Dia adalah Allah SWT yang bersifat mutlak ada-Nya (wajibul wujud). Dia bukanlah makhluk, sebab sifat-Nya sebagai pencipta merupakan petunjuk bahwa Dia bukan makhluk, dan memastikan bahwa keberadaan-Nya adalah tidak berawal dan tidak berakhir. Sementara selain Dia, yaitu alam semesta, manusia, dan kehidupan serta segala sesuatu yang lain bersifat terbatas, lemah dan memiliki sifat tergantung kepada makhluk lainnya, dan fana. Oleh sebab itu, tidak ada sesuatu pun yang kekal selain Allah SWT. Dalam rangka membuktikan sifat Sang Pencipta ini menurut kemampuan akal manusia maka terdapat tiga kemungkinan dalam hal menentukannya. Pertama, Dia diciptakan oleh sesuatu yang lain. Kedua, Dia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Dia memang mutlak adanya (wajibul wujud) tidak berawal dan tidak berakhir (azali). Untuk kemungkinan pertama, merupakan kemungkinan yang sulit diterima akal. Sebab, apabila Dia diciptakan maka Dia akan memiliki sifat terbatas, lemah dan bergantung pada yang lain, Dia menempati posisi makhluk. Kemungkinan kedua pun adalah kemungkinan yang salah sebab mustahil Dia menjadi makhluk sekaligus sebagai Pencipta. Oleh karena itu, Sang Pencipta itu haruslah bersifat mutlak keberadaannya (wajibul wujud), tidak berawal dan tidak berakhir (azali). Sesungguhnya setiap manusia yang berakal mampu untuk membuktikan tentang eksistensi (keberadaan) Allah SWT, yaitu dengan memperhatikan makhluk ciptaan-Nya. Hal ini akan membuktikan bahwa tidak mungkin sesuatu itu ada tanpa ada yang telah mengadakan (Pencipta). Dengan demikian, akan terbukti tentang kemutlakan-Nya sebagai Yang Maha Pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam hal ini Al-Qur’an pun banyak menyebutkan tentang benda-benda (makhluk) ciptaan Allah yang disertai dengan ajakan kepada manusia untuk senantiasa memikirkannya. Apabila kita hitung terdapat ratusan ayat yang menyatakan demikian. Di antaranya Allah SWT berfirman: ِ ِ ضو ٍ ف اللَّي ِل والنَّها ِر ِ َّ إِ َّن ِِف خ ْل ِق ِ ت ِِألُوِِل األلْب اب ْ َ ِ الس َم َاوات َواأل َْر َ َ ْ آلَي َ َ َ ْ َاختال “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat-ayat) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali-Imran: 190) ِ ِ السماو ِِ وِمن ِِ ِ ٍ ِ ات َو ْاأل َْر ي ُ اختِ َال َ ف أَلْ ِسنَتِ ُك ْم َوأَلْ َوانِ ُك ْم إِ َّن ِِف َذل ْ ض َو َ ك َآل ََيت لِْل َعالم َ ْ َ َ َ َّ آَيته َخ ْل ُق “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakan oleh-Nya langit dan bumi, dan berbedabedanya bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS. Ar-Rum: 22) ِْ ) وإِ َْل17( َ ِاِبِ ِل َكي َ خل ِ ُاْلِب ا ِ َكي َ ن ِ ِ ) َوإِ َْل ْاأل َْر19( ْ َص ب ض ْ ُ َ ْ ِْ أَفَ َال يَنرُ ُرو َن إِ َْل َ ْ َ ْ ) َوإِ َْل18( ْ ََ نُص ب َ اْلبَ ا ِ َكْي َ )20( ْ َ ُس ِط َح َ َكْي “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. AL-Ghasyiyah: 17-20) ِ ْ َ) ََيْرج ِمن ب6() ُخلِ َق ِمن َّماء َدافِ ٍق5(اِنسا ُن ِم َّم ُخلِ َق ِ ِب والتَّرائ ِ ُّ ي ِ ِ )7(ب ُُ َ َ الص ْل َ ْ فَ ْليَنرُر “Hendaklah manusia memperhatikan, bagaimana ia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang memancar, yang keluar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS. Ath-Thaariq: 5-7) Itulah antara lain ajakan-ajakan Al-Qur’an untuk mengadakan perenungan dan pemikiran terhadap ayat-ayat Allah SWT di alam dan diri manusia sendiri. Dengan demikian, sangat diharapkan keimanan manusia kepada Allah SWT akan bertambah tebal, kokoh dan mantap. Jadi, setiap muslim wajib menjadikan imannya benar-benar tumbuh dari proses berpikir, kemudian mencari, dan memperhatikan serta harus menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah. Namun, meskipun menggunakan akal itu wajib dalam beriman kepada Allah, tidak setiap hal yang wajib diimani dapat dicapai oleh akal manusia. Bagaimana pun jenius dan pandainya pemikiran seseorang, pada dasarnya dia tetap memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, akal manusia tidak akan pernah mampu memahami Dzat dan Hakikat Allah SWT, sebab Allah berada di luar ketiga unsur pokok alam (alam semesta, manusia, dan kehidupan). Hendaknya, ketidakmampuan manusia untuk memahamiNya justru menambah besar keimanannya karena hal itu menunjukkan kelemahannya sebagai makhluk dan ketidakterbatasan kekuasaan Allah SWT. Keyakinan dan keimanan yang bersumber dari pemahaman akal merupakan iman yang kokoh dan sempurna. Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk beriman kepada Sang Pencipta, tetapi tanpa adanya akal yang memperkuat keimanan, akan menyebabkan naluri tersebut tersesat. Hal ini disebabkan perasaan hati manusia cenderung menambah-nambah keimanannya dengan sesuatu yang tidak masuk akal. Oleh karena itu, keimanan yang bersifat fitrah pada manusia harus disertai dengan bimbingan akal, sehingga akan menimbulkan suatu keyakinan yang teguh, kokoh dan pasti. Pada akhirnya, akan tertanam suatu pemahaman yang sempurna dan keyakinan yang mendalam akan sifat-sifat Ilahiyah. Iman Terhadap Rasul Di samping ingin mencari kebenaran yang hakiki tentang Al-Khaliq yang disembahnya, manusia juga membutuhkan Rasul sebagai penunjuk jalan dalam beribadah kepada Tuhannya, serta untuk membimbing manusia agar bisa memenuhi segenap kebutuhan dirinya (kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluri-nalurinya) dengan suatu aturan yang bisa menenangkan jiwa dan memuaskan akal serta menjamin tercapainya kebahagiaan manusia secara hakiki. Sebab, tanpa adanya Rasul yang membimbing dan mengarahkan, maka manusia dapat terperosok dalam cara-cara ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT, baik perintah maupun larangan-Nya, dan manusia akan terjerumus kepada penyikapan dan penindakan yang salah. Aturan ini tidak boleh datang dari manusia, sebab bagaimana pun baiknya peraturan buatan manusia, pada dasarnya tetap tidak akan pernah sempurna dan abadi. Dengan demikian, aturan ini harus datang dari Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Kemudian aturan-Nya itu disampaikan, dijelaskan, dan dilaksanakan melalui para Rasul-Nya. Nabi Muhammad SAW dan Bukti Kebenaran Al-Qur’an Adapun Rasul terakhir yang diutus Allah di muka bumi ini adalah Nabi Muhammad SAW. Mu’jizat terbesar yang dibawanya adalah Al-Qur’an Al-Karim yang merupakan Kalamullah (firman Allah) yang mutlak berasal dari Allah Yang Maha Kuasa. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagaimana pembuktian kebenaran tentang sifat-sifat Allah sebagai Sang Pencipta, ada tiga kemungkinan tentang asal-usul Al-Qur’an itu. Pertama, Al Qur’an merupakan karangan bangsa Arab. Kedua, Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad SAW. Ketiga, Al-Qur’an merupakan hal yang mutlak yang berasal dari Allah SWT. Kemungkinan pertama adalah batil, sebab Al-Qur’an sendiri telah menantang manusia dan jin untuk membuat sesuatu yang serupa dengannya, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam ayat: ِ ِ ون اّللِ إِن ُكنتم ٍ ِِ ِ ِ ِ ي َ صادق ِ استَطَ ْعتُم ِمن ُد ْ أ َْم يَ ُولُو َن افْ تَ َراهُ قُ ْل فَأْتُواْ بِ َع ْش ِر ُس َوٍر ِمثْله ُم ْفتَ َرََيت َو ْاد ُعواْ َم ِن َ ُْ “Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Qur’an itu”, Katakanlah: “Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyerupainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah jika kamu memang orang-orang yang benar” (QS. Huud: 13) ِ ِ ون اّللِ إِن ُكنتم ِِ ِ ِ ِ ي َ صادق ِ استَطَ ْعتُم ِمن ُد ْ أ َْم يَ ُولُو َن افْ تَ َراهُ قُ ْل فَأْتُواْ بِ ُس َورةٍ ِمثْله َو ْادعُواْ َم ِن َ ُْ “Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kalian katakan), maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya, dan panggillah siapapun yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. Yunus: 38) ِ ِ ِِ ِ اْلِ ُّن علَى أَن َيْتُواْ ِبِِثْ ِل ه َذا الْ ُر ِ ِ ْ ق ُُ لَّئِ ِن ٍ ض ُه ْم لِبَ ْع ض ظَ ِه ًريا ُ آن الَ ََيْتُو َن ِبثْله َولَ ْو َكا َن بَ ْع َ ْ نس َو َ َ ْ ُ ِاجتَ َم َع ا “Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat hal yang serupa dengan Al-Qur’an ini, pastilah mereka tidak dapat membuat yang serupa denganya, sekalipun seluruh dari mereka saling membantu.” (QS. Al-Israa: 88) Dalam sejarah, kita mengenal beberapa orang Arab yang telah berusaha membuat karya-karya sastra untuk menandingi Al-Qur’an. Misalnya, Musailamah Al-Kadzdzab yang pada akhirnya ditertawakan dan tidak berhasil untuk membuat hal yang semisal dengan Al-Qur’an. Allah telah berjanji sampai kapan pun dan dengan daya upaya apa pun juga, manusia dan jin tidak akan mampu untuk membuat yang semisal dengan Al-Qur’an. Allah SWT berfirman untuk menantang manusia, sebagai berikut: ِ ِ فَِإن ََّّل تَ ْفعلُواْ ولَن تَ ْفعلُواْ فَاتَّ ُواْ النَّار الَِِّت وقُودها النَّاس وا ْْلِجارةُ أ ُِعد ين ْ َُ َ َ َ ََ َُ َ َّت ل ْل َكاف ِر َ َ ْ “Maka jika kalian tidak mampu dan (memang) tidak akan mampu (untuk membuat surat yang serupa dengan Al-Qur’an), takutlah akan neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24) Kemungkinan yang kedua juga batil, sebab bagaimana pun jeniusnya Nabi Muhammad SAW, beliau sendiri adalah orang Arab, anggota masyarakat dan bangsa Arab. Selama bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa dengan Al-Qur’an, logis pula apabila dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang juga orang Arab, tidak akan mampu melahirkan hal yang semisal dengan AlQur’an tersebut. Kalaupun beliau mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang disebut Hadits, dan sebagian di antaranya diriwayatkan secara bersambung dari satu generasi ke generasi berikutnya, itu bukanlah ayat-ayat Al-Qur’an dan tidak dapat disebut sebagai ayat-ayat Al-Qur’an. Di samping itu apabila dilihat dari susunan kata dan gaya bahasanya, antara Al-Qur’an dan Al-Hadits berbeda. Oleh karena itu, benarlah bahwa Al-Qur’an bukanlah perkataan Nabi Muhammad SAW. Memang kaum musyrikin di Mekah pernah menuduh bahwa Al-Qur’an itu disadur oleh Nabi Muhammad SAW dari seorang pemuda Nashrani yang bernama Jabr. Namun, tuduhan tersebut disanggah keras oleh Allah SWT melalui firmannya: ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ي ٌ َِولَ َ ْد نَ ْعلَ ُم أَن َُّه ْم يَ ُولُو َن إَِّّنَا يُ َعلِ ُمهُ بَ َشٌر لِ َسا ُن الَّذي يُْلح ُدو َن إِلَْيه أ َْع َجم ٌّي َوَه َذا ل َسا ٌن َعَرِِبٌّ ُّمب “Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata ‘Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)’. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya, bahasa ‘Ajamy (non Arab), sedang Al-Qur’an itu dalam bahasa Arab yang nyata.” (QS. An-Nahl: 103) Dengan demikian, terbuktilah bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan bangsa Arab atau Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, semakin yakinlah kita sebenarnya Al-Qur’an itu Kalamullah yang merupakan mu’jizat Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan Rasul-Nya yang terakhir, dan Al-Qur’an mutlak datangnya dari Allah SWT. Itulah dalil-dalil aqli dalam beriman kepada Allah, keRasulan Muhammad SAW, dan tentang Al-Qur’an yang merupakan Kalamullah. Jawaban Atas Tiga Pertanyaan Mendasar Dengan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, wajib bagi kita untuk beriman kepada sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia, yakni Allah SWT dan kepada yang ada setelah kehidupan dunia, yakni hari Kiamat (akhirat). Perintah-perintah Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan penghubung antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelumnya yang terkait dengan masalah penciptaan. Juga, perintah-perintah Allah merupakan penghubung antara kehidupan dunia dengan kehidupan sesudahnya (akhirat), di mana terdapat proses penghitungan amal pada hari kebangkitan manusia di padang Mahsyar. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang muslim pada dasarnya harus senantiasa terkait dengan hubungan-hubungan tersebut, sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia selaras dengan aturan yang datang dari Allah SWT. Demikian pula, menjadi suatu keyakinan dalam aqidah muslim tadi bahwa di akhirat nanti setiap manusia akan dihisab dan dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup di dunia. Dengan demikian, telah terbentuk suatu pemikiran yang jernih tentang apa-apa yang ada di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan, baik kehidupan sebelum maupun sesudah dunia ini, yang semuanya terjalin dalam satu hubungan dan satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, terjawablah ketiga pertanyaan mendasar tersebut dengan Aqidah Islamiyah. Selanjutnya dapatlah kiranya manusia memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan pemahaman yang benar hasil dari pemikiran ini. Pemecahan tersebut akan menjadi dasar berdirinya suatu landasan (mabda’) yang akan membentuk jalan ke arah kebangkitan umat manusia. Hal itu juga akan menjadi dasar bagi kerangka bangunan masyarakat yang Islami, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam syariat-Nya. Jadi, dasar berdirinya Islam secara ideal maupun metodologis adalah dengan Aqidah Islamiyah. Firman Allah SWT: ِاب الَّ ِذي أَن ََ ِم ن قَب ل وم ن ي ْك ُف ر ِرّلل ِ َاب الَّ ِذي نَ َََّ َعلَ ى رس ولِِه والْ ِكت ِ ََي أَيُّه ا الَّ ِذين آمنُ واْ ِآمنُ واْ ِر ِّللِ ورس ولِِه والْ ِكت ِ ْ َ ََ ُ ْ َ َ َ َ ُ ََ َ َ َ َُ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ يدا ً ضالَالً بَع َ ض َّل َ َوَمالَئ َكته َوُكتُبِه َوُر ُسله َوالْيَ ْوم اآلخ ِر فَ َ ْد “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kepada kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, dan kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan barangsiapa ingkar kepada Allah dan malaikat-malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan Hari Akhir, maka ia telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisaa: 136)