PAI AQIDAH ISLAM Aqidah (tata keimanan) Islam mengajarkan bahwa dibalik alam semesta, manusia, dan kehidupan terdapat Pencipta. Sang Pencipta inilah yang telah menciptakan ketiganya, dan segala sesuatu yang lainnya. Oleh sebab itu, Sang Pencipta ini disebut sebagai Khaliqul 'Alam. Dia adalah Allah SWT. yang bersifat mutlak ada-Nya (wajibul wujud). Dia bukanlah makhluk, sebab sifat-Nya sebagai pencipta merupakan petunjuk bahwa Dia bukan makhluk, dan memastikan bahwa keberadaan-Nya adalah tidak berawal dan tidak berakhir. Sementara selain Dia, yaitu alam semesta, manusia, dan kehidupan serta segala sesuatu yang lain bersifat terbatas, lemah dan memiliki sifat tergantung kepada makhluk lainnya, dan fana. Oleh sebab itu, tidak ada sesuatupun yang kekal selain Allah SWT. Dalam rangka membuktikan sifat Sang Pencipta ini menurut kemampuan akal manusia, maka terdapat tiga kemungkinan dalam menentukannya. Pertama, Dia diciptakan oleh sesuatu yang lain (Pencipta yang lain). Kedua, Dia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Dia memang mutlak adanya (wajibul wujud) tidak berawal dan tidak berakhir (azali). Berkenaan dengan kemungkinan pertama, merupakan kemungkinan yang tidak dapat diterima akal. Sebab, apabila Dia merupakan hal yang diciptakan maka dengan demikian Dia akan memiliki sifat terbatas, lemah dan tergantung pada yang lain. Dengan demikian, Dia akan menempati pada posisi sebagai yang diciptakan (makhluq). Demikian pula, kemungkinan kedua adalah kemungkinan yang salah, sebab mustahil Dia menjadi makhluk sekaligus sebagai Pencipta (Khaliq). Oleh karena itu, Sang Pencipta itu haruslah bersifat mutlak keberadaannya (wajibul wujud), tidak berawal dan tidak berakhir (azali), dan kekal. Sesungguhnya setiap manusia yang berakal mampu untuk membuktikan tentang eksistensi (keberadaan) Allah SWT., yaitu dengan memperhatikan mahluk ciptaan-Nya. Hal ini akan membuktikan bahwa tidak mungkin sesuatu itu ada tanpa ada yang telah mengadakan (Pencipta). Dengan demikian, akan terbukti tentang kemutlakan-Nya sebagai Yang Maha Pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam hal ini Al-Qur’ân pun banyak menyebutkan tentang benda-benda (makhluk) ciptaan Allah yang disertai dengan ajakan kepada manusia untuk senantiasa memikirkannya. Jadi, setiap muslim wajib menjadikan imannya benar-benar tumbuh dari proses berpikir, kemudian mencari, dan memperhatikan serta harus menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah. Namun, meskipun menggunakan akal itu wajib dalam beriman kepada Allah, tidak setiap hal yang wajib diimani dapat dicapai oleh akal manusia. Bagaimanapun jenius dan pandainya pemikiran seseorang, pada dasarnya dia tetap memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, akal manusia tidak akan pernah mampu memahami Dzat dan Hakikat Allah SWT., sebab Allah berada di luar ketiga unsur pokok alam (alam semesta, manusia, dan kehidupan). Hendaknya, ketidakmampuan manusia untuk memahamiNya justru menambah besar keimanan karena hal itu menunjukkan kelemahan manusia sebagai makhluk dan ketidakterbatasan kekuasaan Allah SWT. Keyakinan dan keimanan yang bersumber dari pemahaman akal merupakan iman yang kokoh dan sempurna. Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk beriman kepada Sang Pencipta, tetapi tanpa adanya akal yang memperkuat keimanan, akan menyebabkan naluri tersebut tersesat. Hal ini disebabkan perasaan hati manusia cenderung menambah-nambah keimanannya dengan sesuatu yang tidak masuk akal, misalnya dengan mengkhayalkan Tuhan yang dia imani dengan patung, matahari, gunung, dan sebagainya. Oleh karena itu, keimanan yang bersifat fitrah pada manusia 1 PAI harus disertai dengan bimbingan akal, sehingga akan menimbulkan suatu keyakinan yang teguh, kokoh dan pasti. Pada akhirnya, akan tertanam suatu pemahaman yang sempurna dan keyakinan yang mendalam akan sifat-sifat Ilahiyah. Kebutuhan Terhadap Rasul Di samping ingin mencari kebenaran yang hakiki tentang Al-Khaliq yang disembahnya, manusia juga membutuhkan rasul sebagai penunjuk jalan dalam beribadah kepada Tuhannya itu. Sebab, tanpa adanya rasul yang membimbing dan mengarahkan, maka manusia dapat terperosok dalam cara-cara ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT., baik perintah maupun larangan-Nya. Bukti lain dari kebutuhan manusia akan rasul adalah bahwa manusia mempunyai tuntutan-tuntutan berupa naluri dan kebutuhan fisik yang memerlukan pemuasan dan pemenuhan. Untuk itu, dibutuhkan suatu aturan yang mengatur pemuasan itu agar tidak terjerumus ke dalam pemuasan dan pemenuhan yang salah. Aturan ini tidak boleh datang dari manusia, sebab bagaimanapun baiknya peraturan buatan manusia, pada dasarnya tetap tidak akan pernah sempurna dan abadi. Dengan demikian, aturan ini harus datang dari Allah SWT. Yang Maha Mengetahui. Kemudian aturan-Nya itu disampaikan, dijelaskan, dan dilaksanakan melalui para Rasul-Nya. Rasulullah Saw. dan Kebenaran Al-Qur’an Adapun Rasul terakhir yang diutus Allah di muka bumi ini adalah Nabi Muhammad SAW. Mu'jizat terbesar yang dibawanya adalah Al-Qur’ân Al-Karim yang merupakan Kalamullah (firman Allah) yang mutlak berasal dari Allah Yang Maha Kuasa. Al-Qur’ân merupakan kitab suci yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagaimana pembuktian kebenaran tentang sifat-sifat Allah sebagai Sang Pencipta, ada tiga kemungkinan tentang asal-usul Al-Qur’ân itu. Pertama, Al Qur-an merupakan karangan bangsa Arab. Kedua, Al-Qur’ân adalah karangan Muhammad Ketiga, Al-Qur’ân merupakan hal yang mutlak yang berasal dari Allah SWT. Selain tiga kemungkinan ini, tidak ada lagi kemungkinan lain. Pembahasan tentang Kemungkinan pertama, yang mengatakan bahwa Al-Qur’ân adalah karangan orang Arab, tidak terbukti. Mengapa? Karena, kendati al-Qur’ân telah berulang kali menantang orangorang Arab Jahiliyah ketika itu -yang dari maknanya berarti juga tantangan untuk siapapun- untuk membuat sekadar sepuluh atau satu surat saja serupa al-Qur’ân, ternyata tak seorang pun, bahkan hingga kini, yang mampu mewujudkan tantangan itu. Perhatikan ٍَQS. Huud: 13, QS.Yunus:38, QS.Al Baqarah: 23- 24, QS. Al-Isra' 88. Kegagalan orang Arab menjawab tantangan itu membuktikan bahwa al-Qur’ân bukanlah berasal dari kalangan mereka. Kemungkinan kedua, yakni bahwa al-Qur’ân adalah buatan Muhammad juga tidak dapat diterima oleh akal sehat. Muhammad adalah orang Arab juga, yang bagaimanapun jeniusnya tetaplah ia bagian dari bangsa Arab. Jika seluruh orang Arab tidak mampu membuat al-Qur’ân, masuk akal bila Muhammad juga tidak mampu membuat al-Qur’ân. Karena bila mereka yang mungkin lebih pandai dari Muhammad saja tidak bisa membuat al-Qur’ân, apalagi Muhammad yang ummy. Andai Muhammad bisa membuat al-Qur’ân, tentu saja mereka lebih bisa. Kenyataannya, tak seorang pun yang bisa membuat al-Qur’ân. Maka jelaslah bahwa al-Qur’ân bukanlah karangan Muhammad. Allah sendiri dalam al-Qur’ân mengancam bila Muhammad berdusta atas nama al-Qur’ân. Perhatikan QS. Al-Haaqaq: 40, QS. Al-Haaqaq: 44 – 47. Disamping al-Qur’ân, yang keluar dari mulut Nabi Muhammad adalah al-Hadits, yang sebagiannya malah diriwayatkan secara tawatur sehingga kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits dibandingkan dengan ayat manapun dalam al-Qur’ân, bagi para ahli bahasa dan sastra akan nyata sekali perbedaannya. Bila al-Qur’ân "buatan" 2 PAI Muhammad, bagaimana mungkin dalam waktu yang bersamaan bisa mengeluarkan alHadits yang bisa berbeda sama sekali dari struktur bahasanya dibanding al-Qur’ân. Seseorang bisa saja berbicara dalam dua atau lebih gaya bahasa, tapi biasanya hanya dalam waktu tertentu. Tidak terus menerus, apalagi selama lebih dari dua puluh tahun, sebagaimana masa kenabian Muhammad. Maka jelaslah bahwa Al-Qur'an bukanlah bikinan Muhamad. Tuduhan lain yang mereka lontarkan adalah bahwa al-Qur’ân disadur Muhammad dari seorang pemuda Nashrani yang bernama Jabr. Tuduhan ini ditolak keras oleh Allah, perhatikan QS. Al-Nahl: 103. Apabila telah terbukti bahwa al-Qur’ân bukan karangan bangsa Arab, bukan pula buatan Nabi Muhammad, maka yakinlah bahwa al-Qur’ân itu merupakan kalamullah, yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya. Oleh karena Nabi Muhammad adalah orang yang membawa al-Quran, yang telah terbukti sebagai kalamullah, maka jelaslah bahwa Muhammad adalah benar-benar Rasulullah. . Perhatikan QS. An-Nisa 82, QS. Al-Hijr: 9. Yakin bahwa al-Qur’ân benar-benar kalamullah, maka sebagai seorang muslim yang baik, sikap terhadap al-Qur’ân: 1. Mengimani al-Qur’ân secara keseluruhan, termasuk hal ghaib, kisah, pemikiran dan hukum-hukum (perintah dan larangan) yang tercantum di dalamnya. Dalam hal ini tidak dibenarkan mengingkari satu bagian, bahkan satu ayat atau huruf sekalipun. Rasulullah bersabda: 2. Membaca dan mengkaji. Al Qu'ran adalah kitabullah yang membacanya adalah ibadah, serta akan memberikan rahmat kepada yang mendengarkan ketika ia dibacakan Islam sangat menghargai orang yang belajar membaca al-Qur’ân dan mengajarkannya. 3. Mengamalkan dan memperjuangkan. Sebagai petunjuk hidup, Al-Qur’ân baru bermanfaat bila diamalkan, dan untuk mengamalkannya ia harus dikaji. Agar AlQuran diamalkan bukan hanya dalam kehidupan individu tetapi juga masyarakat, maka ia harus diperjuangkan oleh mereka yang beriman kepadanya. Bahkan bisa dikatakan salah satu ciri orang beriman kepada al-Qur’ân adalah giat berjuang karena ia sangat ingin semua ajaran al-Qur’ân terujud di tengah masyarakat. Dengan demikian, terbuktilah bahwa Al-Qur’ân itu bukan karangan bangsa Arab atau Nabi Muhammad SAW. Jadi, semakin yakinlah kita sebenarnya Al-Qur’ân itu Kalamullah yang merupakan mu'jizat Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasulNya yang terakhir, dan Al-Qur’ân mutlak datangnya dari Allah SWT. Itulah dalil-dalil aqli dalam beriman kepada Allah, kerasulan Muhammad SAW., dan tentang Al-Qur’ân yang merupakan Kalamullah. Kemukjizatan Al-Qur’an Arti mu'jizat atau i'jaz, menurut bahasa (etimologi) ialah : "Menetapkan adanya kelemahan (Al 'Ajz) pada pihak lain" Sedangkan menurut istilah/terminologi (Hukum Islam), definisi mu'jizat adalah : "Suatu kejadian yang nampak bertentangan dengan kebiasaan, yang muncul dari orang yang mendakwahkan dirinya sebagai nabi, disertai tantangan terhadap orang-orang yang ingkar (kepada kenabiannya), dan orang-orang tersebut tidak mampu mendatangkan kejadian yang semisal (kejadian) di luar kebiasaan itu”. (An-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, I/116) Uslub Al-Qur’ân yang merupakan segi kemu'jizatannya itu nampak jelas dalam tiga aspek : Pertama, Lafazah-lafazh dan susunan kata (tarkib) yang digunakan. Al-Qur’ân telah menggunakan lafazh-lafazh dan susunan kata (redaksi kalimat) yang amat unik. Makna yang lembut diungkapkan dengan lafazh yang lembut. Makna yang kasar, 3 PAI diungkapkan dengan lafazh yang kasar, dan seterusnya. Ayat yang menggunakan lafazh lembut untuk mengungkapkan makna yang lembut, misalnya : ﺴﺒِﻴﻼ َ ﺳ ْﻠ َ ﺴ َﻤّﻰ َ ﻋ ْﻴﻨًﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ ُﺗ َ ﺠﺒِﻴﻼ َ ﺟﻬَﺎ َز ْﻧ ُ ن ِﻣﺰَا َ ن ﻓِﻴﻬَﺎ َآ ْﺄﺳًﺎ آَﺎ َ ﺴ َﻘ ْﻮ ْ َو ُﻳ "Di dalam surga itu kami diberi minum segelas (minuman) yang sampurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil" (QS. Al-Insaan: 1718). Bandingkan dengan ayat yanng menggunakan lafazh kasar untuk mengungkapkan makna yang kasar: ﻦ ﻣَﺂﺑًﺎ َ ﻄّﺎﻏِﻴ َ ﺖ ِﻣ ْﺮﺻَﺎدًا ﻟِﻠ ْ ﺟ َﻬ َّﻨ َﻢ آَﺎ َﻧ َ ن َّ ِإ "Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas." (QS. An-Naba': 21-22) Kedua, Irama kata (nadham) yang digunakan. Susunan huruf-huruf dan katakata dalam Al-Qur’ân tersusun dalam irama khas yang unik, tidak dapat dijumpai dalam pembicaraan manusia, baik dalam sya'ir maupun dalam kalimat yang bersajak (natsar). Sebagai contoh, perhatikanlah firman Allah SWT. : ﺲ َ ﺢ ِإذَا َﺗ َﻨ َّﻔ ِ ﺼ ْﺒ ُّ ﺲ وَاﻟ َ ﺴ َﻌ ْ ﻋ َ ﺲ وَاﻟَّﻠ ْﻴ ِﻞ ِإذَا ِ ﺠﻮَا ِر ا ْﻟ ُﻜ َّﻨ َ ﺲ ا ْﻟ ِ ﺨ َّﻨ ُ ﺴ ُﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ِ ﻓَﻼ ُأ ْﻗ "Sesungguhnya, Aku bersumpah dengan bintang-bintang. Yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. Dan demi subuh apabila fajarnya telah mulai menyingsing." (QS. At Takwiir: 15-18). Ayat di atas menyebutkan huruf "sin" secara berulang-ulang, yang ternyata sangat sesuai dengan makna yang hendak diungkapkan, yaitu keheningan malam dan menyingsingnya fajar. Juga ayat Kursy, misalnya, yang di dalamnya terdapat pengulangan huruf "lam" sebanyak 23 kali, dimaksudkan untuk menyimak makna ayat dengan penuh perhatian. Kadang-kadang kita jumpai satu surat Al-Qur’ân dengan ayat seluruhnya pendek dengan akhiran kata yang sama. Kadang-kadang panjang-panjang ayatnya. Tetapi kita jumpai pula gabungan dari keduanya. Ini menunjukkan bahwa AlQur’ân bukanlah puisi dan bukan pula prosa. Berdasarkan hal ini tidak diperbolehkan menerjemahkan Al-Qur’ân dengan gaya bahasa puisi atau prosa, karena akan menghilangkan unsur-unsur kemu'jizatannya. Malah jika diganti/diterjemahkan ke dalam bahasa lain hilanglah aspek mu'jizat bahasanya. Itulah makna firman Allah SWT. : ن َ ﻋ َﺮ ِﺑ ًﻴّﺎ َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ َ ِإ َﻧّﺎ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ ُﻗﺮْﺁﻧًﺎ "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’ân dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya." (QS. Yusuf: 2). Ketiga, Lafazh dan susunan kata yang digunakan mencakup makna yang beraneka ragam dan menyeluruh. Al-Qur’ân telah memberikan makna yang panjang lebar/mendalam dengan menggunakan lafazh yang ringkas. Misalnya, firman Allah SWT. : ن َ ب َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ َّﺘﻘُﻮ ِ ﺣﻴَﺎ ٌة ﻳَﺎ أُوﻟِﻲ اﻷ ْﻟﺒَﺎ َ ص ِ َو َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟ ِﻘﺼَﺎ "Dan di dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi." (QS. Al Baqarah : 179). Penggalan dari ayat 179 tersebut di atas, lafazhnya sedikit. Tetapi bila diuraikan, maknanya akan panjang lebar. Makna ayat tersebut ialah, apabila seseorang mengetahui bahwa kalau dia membunuh akan dibunuh, maka hal ini akan mencegahnya untuk melakukan pembunuhan. Jadi, dengan tiadanya pembunuhan, berarti akan terjamin kehidupan bagi masyarakat. 4 PAI Dengan kemu'jizatan itu, Al-Qur’ân telah menantang orang-orang Arab untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’ân sekaligus juga telah menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan itu. Menerapkan Al-Qur’an Tujuan dari adanya suatu mu'jizat adalah untuk meyakinkan manusia, bahwa orang yang membawa suatu mu'jizat adalah benar-benar seorang nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah benar-benar berasal dari sisi Allah (lihat Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fi Al Fikri Al- Islami, hal. 21). Oleh karenanya, kemu'jizatan Al-Qur’ân merupakan bukti nyata dan meyakinkan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar seorang nabi dan rasul. Kita umat Islam telah beriman bahwa Muhammad itu memang Rasulullah, seperti yang termaktub dalam syahadat kita. Hanya saja keimanan kita ini, tentunya tidak berhenti sebatas keimanan saja, melainkan memiliki konsekuensi wajib lebih jauh, yaitu menerapkan dan mengamalkan Al-Qur’ân yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Jadi, menerapkan syari'at Islam secara totalitas merupakan bukti dan konsekuensi keimanan kita akan kenabian Muhammad SAW., yang telah terbukti melalui kemu'jizatan Al-Qur’ân. Di sini muncul pertanyan, apakah kita umat Islam sudah benar-benar melaksanakan kewajiban tersebut, yakni menerapkan Islam ? Konsekuensi Keimanan Keimanan kepada Allah SWT. harus berasal dari pemahaman akal. Keimanan inilah yang menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman kepada hal-hal yang ghaib dan segala apa yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab, apabila kita telah beriman kepadaNya maka konsekuensinya kita wajib pula beriman terhadap apa-apa yang dikabarkanNya melalui Rasul-Nya. Begitulah aqidah seorang muslim yang menggunakan akal. Kalaupun dia harus mempercayai dalil-dalil naqli (kutipan), maka dalil-dalil yang diterimanya itu harus qath'i (pasti). Untuk mengetahui apakah suatu dalil pasti atau tidak, juga harus memakai akal dalam memilah dan memilihnya. Sebab, tidak ada taqlid dalam masalah aqidah. Oleh karena itu, Aqidah Islamiyah disebut Aqidah Aqliyah, artinya aqidah yang dapat diterima oleh akal dan dapat dipahami akal manusia. Setelah seorang muslim beriman kepada apa-apa yang telah dijelaskan di atas, ia pun wajib menerima seluruh Syariat Islam sebagai pengatur bagi kehidupannya. Sebab, syariat itu datang dari Allah SWT. melalui rasul-Nya, baik yang terdapat di dalam AlQur’ân dan Al-Hadits. Penerimaan terhadap hal tersebut harus utuh dan bulat, tidak boleh hanya sebagian-sebagian. Tidak boleh dipilah-pilah dalam menerima hukumhukum Allah. Semuanya harus diterima dan diimani dengan sepenuh hati. Jadi penolakan terhadap ayat: ... ﺼﻠَﻮ َة َو َأ ِﻗ ْﻴ ُﻤﻮْا اﻟ ﱠ "Tegakkanlah shalat...!" (QS Al-Baqarah: 110) sama saja dengan penolakan terhadap ayat: ... ﺣ ﱠﺮ َم اﻟﺮﱢﺑـَﻮا َ ﷲ اْﻟﺒَﻴ ْـ َﻊ َو ُ َو َأﺣَـ ﱠﻞ ا... "...Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS Al-Baqarah: 275) atau ayat: ... ق َو اﻟﺴﱠـﺎ ِر َﻗ ُﺔ ﻓَﺎ ْﻗﻄَـ ُﻌﻮْا َأ ْﻳﺪِﻳَـ ُﻬﻤَﺎ ُ َو اﻟﺴﱠـﺎ ِر 5 PAI "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya..." (QS Al-Maidah: 38) ... ﷲ ِﺑ ِﻪ ِ ﺤ ُﻢ ا ْﻟﺨِﻨ ْـ ِﺰ ْﻳ ِﺮ َو ﻣَﺂ ُأ ِهﻞﱠ ِﻟ َﻐ ْﻴ ِﺮ ا ْ ﻋﻠَﻴ ْـ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ َﻤﻴْـ َﺘ ُﺔ َو اﻟﺪﱠ ُم َو َﻟ َ ﺖ ْ ﺣ ﱢﺮ َﻣ ُ "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah..." (QS Al-Maidah: 3) Penerimaan terhadap Syariat Islam tidak boleh berhenti pada akal saja, dalam arti hanya sebatas kepada pengetahuan. Akan tetapi, harus terdapat penyerahan mutlak dan totalitas terhadap segala peraturan yang datang dari Allah SWT. ﺖ َو ُﻳﺴَـﱢﻠ ُﻤﻮْا َﺗﺴْـ ِﻠ ْﻴﻤًﺎ َ ﻀﻴْـ َ ﺣﺮَﺟـًﺎ ﱢﻣﻤﱠﺎ َﻗ َ ﺠ ُﺪ ْوا ﻓِﻰ َأ ْﻧﻔُﺴِـ ِﻬ ْﻢ ِ ﺠ َﺮ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ُﺛﻢﱠ َﻻ َﻳ َﺷ َ ك ِﻓﻴْـﻤَﺎ َ ﺤ ﱢﻜ ُﻤ ْﻮ َ ن ﺣَـﺘﱠﻰ ُﻳ َ ﻚ َﻻ ُﻳ ْﺆﻣِﻨُـ ْﻮ َ ﻼ َو رَﺑﱢـ َ َﻓ "Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kauberikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An-Nisaa: 65) Aqidah Islam menuntut seorang muslim untuk tunduk dan patuh terhadap Allah SWT. serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya yang ditaati, diibadahi dan disembah. Allahlah satu-satunya Pencipta yang berhak menerima pengabdian. Dalam keyakinan seorang muslim Allah merupakan penguasa alam semesta dan manusia, Dia yang membuat aturan dan hukum bagi kehidupan manusia karena Dialah yang Maha mengetahui kelemahan dan kelebihan manusia, Allah sebagai Dzat Pemberi Hidayah, Rizki, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Maha Menolong, Memiliki Kerajaan dan Maha Atas segala sesuatu. Tidak ada sekutu bagiNya. Berkenaan dengan penerimaan yang seperti itulah maka seorang muslim akan menolak beribadat kepada sesembahan lain. Keimanan seperti itu cukup bagi seorang muslim untuk menuntunnya berjalan dalam kehidupan dengan jalan yang telah dipilih oleh Allah SWT., yaitu Dienul Islam. Di dalam hatinya ia senantiasa merasakan getaran keagungan Allah dan selalu merasa takut kepada-Nya. Ia senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan yang membuat Allah murka. Bahkan sebaliknya ia selalu melakukan amal perbuatan yang dapat mendekatkan dirinya dengan Allah melalui perkataan, perbuatan, ketaatan, maupun melalui ibadah-ibadah tertentu. Keimanan semacam inilah yang seharusnya terjadi dalam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam. Iman yang mampu memberi pengaruh kuat dalam amal perbuatan dan kepribadian muslim. 6