AKTIVITAS ANTIPROLIFERASI EKSTRAK ETANOL

advertisement
AKTIVITAS ANTIPROLIFERASI EKSTRAK ETANOL
TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA SEL
LESTARI TUMOR MCA-B1 DAN MCM-B2 SECARA IN VITRO
ROYAMA SARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
ROYAMA SARI. Aktivitas Antiproliferasi Ekstrak Etanol Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Sel Lestari Tumor MCA-B1 dan MCMB2 secara In Vitro. Di bawah bimbingan BAMBANG PONTJO
PRIOSOERYANTO
Pengobatan kanker secara konvesional dapat menimbulkan imunosupresi
dan efek samping lainnya yang memberikan peluang bagi pertumbuhan tumor
yang progresif atau timbulnya rekurens. Oleh karena itu, pengobatan tradisional
menjadi salah satu alternatif pilihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
adanya aktivitas antiproliferasi ekstrak etanol temulawak terhadap pertumbuhan
sel lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2 secara in vitro. Penelitian dilakukan
dengan menanam sel lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2 pada tissue culture
plate 24 well dengan vinblastin (kontrol positif) dan konsentrasi ekstrak yang
berbeda sebanyak 5 kali ulangan. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 0
ppm (kontrol negatif), 15 ppm (P1), 30 ppm (P2), 45 ppm (P3), 60 ppm (P4), dan
75 ppm (P5). Sel diinkubasikan pada suhu 370C, 5% CO2. Pemanenan dilakukan
setelah confluence, yaitu pada hari ketiga dan penghitungan jumlah sel dilakukan
dengan hemositometer Neubauer. Hasil penelitian menunjukkan adanya aktivitas
antiproliferasi ekstrak etanol temulawak pada sel lestari tumor MCA-B1 dan
MCM-B2. Dosis ekstrak yang memberikan hasil paling baik adalah 75 ppm
dengan aktivitas antiproliferasi sebesar 70,0% pada sel lestari tumor MCA-B1
dan 75,4% pada sel lestari tumor MCM-B2. Hasil tersebut menunjukkan potensi
temulawak sebagai tanaman obat antitumor dan kami menyarankan agar
tanaman ini dapat dikembangkan sebagai salah satu obat antitumor.
Kata kunci : tumor, temulawak, antiproliferasi, MCA-B1, MCM-B2, in vitro
ABSTRACT
ROYAMA SARI. Antiproliferation Activities of Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) Ethanol Extract on MCA-B1 and MCM-B2 Tumor Cell
Lines In Vitro. Under direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO
Conventional cancer treatments can induce immunosupression and other
side effects that lead to progressive tumors growth and reccurence. It has
become the reason of choosing traditional medicines as antitumor therapy. The
aim of this research is to observe the antiproliferation activities of temulawak
ethanol extract on MCA-B1 and MCM-B2 tumor cell lines in vitro. Cells were
cultivated in tissue culture plate 24 well with vinblastin (positive control) and
different concentrations of extract in 5 replicates. The concentrations were 0 ppm
(negative control), 15 ppm (P1), 30 ppm (P2), 45 ppm (P3), 60 ppm (P4), and 75
ppm (P5). Cells were incubated at 370C, 5% CO2. After confluence had been
attained on control wells (day third), cells were harvested and total cells were
counted using a haemocytometer Neubauer. The results showed that temulawak
ethanol extract had antiproliferation activities on MCA-B1 and MCM-B2 tumor cell
lines. The best result was given by 75 ppm dose, with antiproliferation activity
reached for 70.0% on MCA-B1 cells and 75.4% on MCM-B2 cells. Based on all
results, we concluded that temulawak ethanol extract have a possible therapeutic
potential against cancer and suggested that this plant extract could be developed
as an anticancer substance.
Keywords : tumor, temulawak, antiproliferation, MCA-B1, MCM-B2, in vitro
AKTIVITAS ANTIPROLIFERASI EKSTRAK ETANOL
TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA SEL
LESTARI TUMOR MCA-B1 DAN MCM-B2 SECARA IN VITRO
ROYAMA SARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
NIM
: Aktivitas Antiproliferasi Ekstrak Etanol Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Sel Lestari Tumor
MCA-B1 dan MCM-B2 secara In Vitro
: Royama Sari
: B04104164
Disetujui
Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D.
Pembimbing
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan
Tanggal lulus :
PRAKATA
Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada Sang Triratna dengan
segala hormat dan pujian, karena atas seluruh berkah-Nya, skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak drh. Bambang Pontjo
Priosoeryanto, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing
akademik (PA) atas segala kepercayaan, dukungan, dan bimbingannya; Bapak
Bayu Febram Prasetyo S.Si, Apt, MSi selaku dosen penguji atas saran dan
masukannya; dan juga para staf Laboratorium Patologi FKH IPB.
Atas segala dukungan moral yang diberikan, penulis mengucapkan terima
kasih kepada papa, mama, koko, so Fita, Mae, Once, dan seluruh keluarga
besar; teman-teman penulis (Titin, Willine, Andreas, ko Leo, Itha, Cece, Sherly,
Vonti, Sio, Ina, Nova, Lina2, Uya, Rita, Memey, Ven-ven, Dika, Bagus, Andi,
Chandra, Tari, Sius, Gilang, Putri, Nova, Mani, Lolo, dan lainnya); teman-teman
satu bimbingan (Renny, Ivan, Debby, dan lainnya); rekan-rekan KMB-IPB; Yang
Luhur Rachmat Mulia; teman-teman Asteroidea 41; dan semua pihak yang telah
membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Atas segala
kekurangannya, penulis mohon maaf dan bersedia menerima kritik maupun
saran yang dapat berguna bagi penyempurnaan tulisan ini. Penulis berharap
tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
Bogor, Juli 2008
Royama Sari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1987 di Tangerang sebagai anak
ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Acang Suherman dan Tan Siok
Beng.
Penulis memulai pendidikan dasarnya di SDN 4 Cikupa Tangerang pada
tahun 1992-1996 dilanjutkan di SD Tarakanita Citra Raya Tangerang pada tahun
1996-1998, sekolah menengah pertama di SMP Tarakanita Citra Raya
Tangerang pada tahun 1998-2001, dan melanjutkan ke sekolah menengah
umum di SMUN 1 Tangerang pada tahun 2001-2004.
Pada tahun 2004, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama
menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM)
Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB)-IPB dan Himpunan Minat Profesi
(HIMPRO) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB 2005-2007.
Penulis pernah mengikuti kegiatan magang kerja di Pusat Penyelamatan Satwa
Cikananga (PPSC), Klinik Laras Satwa BSD Tangerang, dan Praktek Dokter
Hewan Bersama Sunter.
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Tabel....................................................................................................
ix
Daftar Gambar................................................................................................
x
Daftar Lampiran..............................................................................................
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang..........................................................................................
1
Perumusan Masalah.................................................................................
2
Tujuan Penelitian......................................................................................
3
Manfaat Penelitian....................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tumor........................................................................................................
4
Definisi Tumor.....................................................................................
4
Etiologi Tumor.....................................................................................
4
Sifat Khas Tumor................................................................................
5
Klasifikasi Tumor................................................................................
6
Pengobatan Tumor.............................................................................
7
Sel Lestari Tumor.....................................................................................
10
Sel Lestari Tumor MCA-B1.................................................................
10
Sel Lestari Tumor MCM-B2................................................................
11
Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) .............................
11
Deskripsi Tanaman.............................................................................
12
Khasiat dan Kegunaan........................................................................ 13
Komposisi dan Kandungan Kimia.......................................................
13
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian................................................................... 14
Bahan dan alat.......................................................................................... 14
Metode Penelitian.....................................................................................
14
Persiapan Media dan Ekstrak.............................................................
14
Penanaman Sel..................................................................................
15
Pemanenan dan Penghitungan Sel....................................................
15
Analisis Data.......................................................................................
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Antiproliferasi pada Sel Lestari Tumor MCA-B1........................
17
Aktivitas Antiproliferasi pada Sel Lestari Tumor MCM-B2.......................
20
Perbandingan Aktivitas Antiproliferasi pada Sel Lestari
Tumor MCA-B1 dan MCM-B2..................................................................
23
Mekanisme Penghambatan Sel Tumor oleh Ekstrak Etanol
Temulawak dan Vinblastin.......................................................................
24
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan...............................................................................................
31
Saran........................................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 32
LAMPIRAN.....................................................................................................
37
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kriteria untuk membedakan tumor jinak dan ganas...................................
6
2 Klasifikasi tumor.......................................................................................... 7
3 Komposisi rimpang temulawak................................................................... 13
4 Data aktivitas antiproliferasi kelompok perlakuan terhadap
pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1...................................................... 17
5 Hasil uji statistik sidik ragam ANOVA terhadap aktivitas
penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1............................. 18
6 Hasil uji statistik wilayah berganda Duncan terhadap aktivitas
penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1............................. 19
7 Data aktivitas antiproliferasi kelompok perlakuan terhadap
pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2..................................................... 20
8 Hasil uji statistik sidik ragam ANOVA terhadap aktivitas
penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2............................ 21
9 Hasil uji statistik wilayah berganda Duncan terhadap aktivitas
penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2............................ 22
10 Data perbandingan aktivitas antiproliferasi kelompok perlakuan
terhadap pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2................ 23
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman temulawak dan rimpang temulawak yang berkhasiat obat......... 12
2 Sel tumor pada kamar hitung hemositometer Neubauer dengan
pewarnaan trypan blue (bar = 40 µm).....................................................
16
3 Aktivitas penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1
pada setiap perlakuan................................................................................ 17
4 Aktivitas penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2
pada setiap perlakuan................................................................................ 20
5 Perbandingan aktivitas penghambatan pertumbuhan sel lestari
tumor MCA-B1 dan MCM-B2 pada setiap perlakuan................................. 23
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tabulasi penghitungan dosis ekstrak.......................................................... 37
2 Skema kerja uji aktivitas penghambatan pertumbuhan sel lestari
tumor........................................................................................................... 38
3 Data hasil pengujian in vitro aktivitas antiproliferasi ekstrak etanol
temulawak................................................................................................... 39
4 Hasil analisis data penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor
MCA-B1 oleh ekstrak etanol temulawak..................................................... 40
5 Hasil analisis data penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor
MCM-B2 oleh ekstrak etanol temulawak.................................................... 41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Neoplasma atau yang lazim dikenal sebagai tumor adalah suatu daerah
pada jaringan yang pertumbuhannya melebihi normal dan tidak tergantung
kepada jaringan di dekatnya. Kelompok paling penting neoplasma adalah kanker
yang merupakan pertumbuhan tumor ganas atau neoplasma malignan (Spector
dan Spector 1993).
Pada peralihan abad ke-20, menurut data penyakit di Amerika Serikat,
kanker merupakan penyebab kematian yang berada pada urutan ke delapan,
sedangkan penyakit jantung berada pada urutan ke empat. Kematian yang
disebabkan oleh kanker mencapai 16% dari total kematian yang terjadi di
Amerika Serikat. Sejak tahun 1990, kasus kanker yang telah didiagnosis adalah
sekitar 16 juta. Pada tahun 2002 sendiri, 1.284.000 kasus kanker baru berhasil
didiagnosis dan 555.500 orang Amerika meninggal karena kanker. Dalam waktu
sekejap, kanker menjadi penyebab utama kematian pada urutan ke dua setelah
penyakit jantung (Warshawsky dan Landolph 2006). Menurut WHO (1997),
jumlah penderita kanker di dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru
yang jumlahnya diperkirakan 9 juta setiap tahun, lebih dari setengahnya terdapat
di negara berkembang. Di kebanyakan daerah di dunia, angka kematian
penderita kanker diperkirakan terus meningkat.
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui pesatnya perkembangan
penyakit kanker sehingga menjadi masalah yang penting untuk diatasi. Namun
saat ini, belum ada metode pengobatan definitif untuk melawan kanker. Terapi
untuk kanker belum memiliki metode yang pasti seperti halnya terapi untuk
penyakit infeksius. Meskipun tindakan pengobatan telah dicoba dan pada banyak
kasus berhasil menekan kanker secara temporer, namun pada akhirnya, hampir
seluruh penderita kanker berakhir dengan kematian (Imaizumi 1982).
Ada berbagai cara pengobatan antitumor yang dapat dipilih, diantaranya
dengan tindakan pembedahan, radioterapi, kemoterapi, imunoterapi, terapi
hormonal, dan lain-lain. Saat ini, kemoterapi merupakan pendekatan terapi yang
paling efektif karena bersifat sistemik. Hasil yang diberikan adalah dapat
meringankan gejala penyakit, memperpanjang hidup, bahkan menyembuhkan
(Theilen dan Madewell 1987). Namun kemoterapi untuk pengobatan kanker
masih memiliki kendala, yaitu dapat menyebabkan imunosupresi yang mengarah
kepada resiko terjadinya infeksi sekunder maupun menjadi faktor predisposisi
meningkatnya keganasan tumor. Hal ini disebabkan obat-obatan yang digunakan
untuk kemoterapi memiliki efek sitosidal sehingga tidak hanya merusak sel tumor
saja namun juga sel-sel normal lainnya (Abdillah 2006)
Hal inilah yang mendasari upaya manusia menemukan pengobatan
alternatif yang efektif namun aman bagi tubuh. Penemuan produk alam dalam
farmasetik modern menjadi elemen yang krusial. Potensi penggunaan produk
alam sebagai agen antitumor pertama kali ditemukan pada sekitar tahun 1950
oleh U.S. National Cancer Institut (NCI) di bawah kepemimpinan Dr. Jonathan
Hartwell (Cragg et al. 2005). Salah satu produk alam berasal dari tumbuhan.
Beragam jenis tumbuhan dan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya
berkorelasi positif dengan khasiat yang dimilikinya.
Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat
yang potensial dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Di hutan tropika
Indonesia tumbuh sekitar 30.000 spesies tumbuhan berbunga dan diperkirakan
sekitar 3.689 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat. Menurut Ditjen
POM, baru sebanyak 283 spesies tumbuhan obat yang sudah digunakan dalam
industri obat tradisional (Djauhariya dan Hernani 2004), salah satunya adalah
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Tanaman ini banyak dikebunkan
secara komersial karena permintaan cukup tinggi (Duryatmo 2003). Selama ini
temulawak
diketahui
antihiperlipidemik,
berkhasiat
hepatoprotektor,
sebagai
kholagogum,
antiinflamasi,
dan
antibakteri,
lain-lain.
Menurut
Wijayakusuma (2005a), genus Curcuma selain temulawak, yaitu kunyit (Curcuma
longa L.), temu mangga (Curcuma mangga Val.), dan temu putih (Curcuma
zedoaria [Berg.] Rosc.) telah diketahui dapat digunakan untuk pengobatan
kanker secara tradisional. Hal tersebut mendasari penggalian yang lebih dalam
lagi mengenai adanya khasiat yang lain dari temulawak, yaitu kemungkinan
adanya aktivitas antitumor.
Perumusan Masalah
Pengobatan dengan obat modern tidak mampu mengobati semua penyakit.
Beberapa penyakit yang cukup berat seperti tumor dan kanker tidak cukup
diobati dengan obat modern, tetapi juga diperlukan obat tradisional. Hal ini
disebabkan indeks terapi dari obat modern sempit dan biayanya lebih mahal
sehingga obat tradisional menjadi alternatif pilihan yang cukup baik. Saat ini
penyakit kanker berkembang sangat pesat namun belum ditemukan terapi yang
benar-benar optimal untuk mengatasinya. Kemoterapi sebagai terapi yang cukup
efektif masih memiliki efek samping yaitu dapat membunuh sel tubuh normal dan
menyebabkan imunosupresi. Hal inilah yang menyebabkan penelitian mengenai
tanaman obat yang memiliki aktivitas antitumor banyak dilakukan. Salah satu
tanaman
yang
memiliki
potensi
tersebut
adalah
temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) yang sampai sejauh ini diketahui memiliki khasiat yang luas.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antiproliferasi ekstrak
etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan sel
lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2 secara in vitro.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
salah satu khasiat temulawak sebagai bahan yang bersifat antitumor sehingga
memiliki kemungkinan untuk dapat dikembangkan menjadi obat antitumor yang
aman dan efektif.
TINJAUAN PUSTAKA
Tumor
Definisi Tumor
Tumor atau neoplasma menurut Priosoeryanto (1994) adalah gangguan
pertumbuhan yang dicirikan adanya proliferasi yang berlebihan, abnormal, dan
tidak terkendali akibat transformasi atau perubahan satu atau lebih unsur penting
di dalam tubuh hospes, dan seringkali terjadi pada satu atau lebih tempat
metastatik. Smith dan Jones (1961) mendefinisikan tumor sebagai pertumbuhan
sel baru yang berproliferasi terus menerus tanpa terkendali, mempunyai
kemiripan dengan sel normal darimana tumor itu berasal, tidak mempunyai
keteraturan struktur, dan tidak mempunyai fungsi maupun penyebab yang jelas.
Menurut Warshawsky dan Landolph (2006), tumor merupakan istilah yang umum
untuk menunjukkan adanya massa atau pertumbuhan jaringan yang abnormal.
Pada dasarnya, tumor mengarah pada sel yang tumbuh terus menerus secara
tidak terkendali, tidak terbatas, dan tidak normal. Pertumbuhan ini tidak
terkoordinasi dengan jaringan lain sehingga berbahaya bagi tubuh (Mardiana
2007).
Etiologi Tumor
Penyebab tumor sangat kompleks, dan penyebab umum tidak diketahui.
Secara sederhana, penyebabnya dibagi dua, yaitu faktor ekstrinsik dan faktor
intrinsik. Berdasarkan data statistik, kemungkinan 80% dari seluruh kematian
yang terjadi akibat kanker berhubungan dengan faktor ekstrinsik yang bisa
dikendalikan atau dicegah, sedangkan 5-10% merupakan faktor herediter
(Warshawsky dan Landolph 2006).
Faktor ekstrinsik berasal dari lingkungan, meliputi agen biologik, agen fisik,
dan agen kimia. Agen biologik meliputi parasit dan virus. Contoh parasit yang
dapat menyebabkan tumor adalah Spirocerca lupi, cacing nematoda pada anjing
yang secara fisik memberikan rangsangan kronis pada dinding esofagus
sehingga terjadi proliferasi secara berlebihan. Virus terbagi menjadi virus DNA
dan RNA. Beberapa tipe virus DNA (adenovirus, herpesvirus, papovavirus,
hepadnavirus) dapat menyebabkan tumor dan menimbulkan transformasi sel,
sedangkan virus RNA hanya satu tipe, yaitu retrovirus. Penyisipan genom virus
ke dalam genom sel hospes pada saat terjadi replikasi menimbulkan beberapa
mutasi gen yang mengarah pada terjadinya tumor (Spector dan Spector 1993).
Menurut Warshawsky dan Landolph (2006), agen fisik meliputi radiasi ionisasi
(sinar X, radium, uranium) dan radiasi nonionisasi (sinar UV). Tumor dapat juga
diinduksi secara iatrogenik, misalnya melalui transplantasi organ. Agen kimia
meliputi senyawa organik dan senyawa inorganik. Contoh senyawa organik
diantaranya hidrokarbon aromatik polisiklik, amina, amina aromatik, bifenil,
hidrokarbon klorinasi, eter, dan lain-lain. Senyawa inorganik meliputi logam berat
dan metaloid, seperti timbal, nikel, mangan, kromium, kadmium, arsen, merkuri,
dan sebagainya.
Faktor intrinsik meliputi diet, stimulasi hormonal, genetik, dan usia tua. Diet
merupakan faktor penting yang mendukung perkembangan sel tumor dalam
tubuh, meskipun diet tidak menjadi penyebab secara langsung. Makanan
berlemak, berkolesterol, dan berprotein tinggi, tetapi rendah serat dapat menjadi
pemicu timbulnya tumor. Daging yang diawetkan baik dengan nitrit atau
pengasapan juga dapat menyebabkan tumor (Mardiana 2007). Bahan alam yang
bersifat karsinogenik dapat mengkontaminasi makanan, contohnya aflatoksin
(Theilen dan Madewell 1987). Stimulasi hormon seperti estrogen, progesteron,
testosteron, atau prolaktin berkaitan dengan kejadian tumor, terutama pada
kelenjar mamaria dan prostat. Hormon ini menginduksi terjadinya tumor yang
disebabkan oleh karsinogen, tetapi bukan merupakan penyebab langsung.
Faktor genetik sangat penting dalam beberapa jenis kanker karena perubahan
dalam informasi genetik (DNA) merupakan dasar neoplasia dan dapat
diwariskan. Usia tua pada umumnya merupakan salah satu faktor predisposisi
kejadian kanker menurut studi epidemiologis (Spector dan Spector 1993).
Sifat Khas Tumor
Tumor dapat bersifat jinak (benign) atau ganas (malignant). Tumor jinak
tumbuh lambat, berbatas nyata dari jaringan sekitarnya, terdiri atas sel-sel yang
tidak dapat dibedakan dari sel asalnya, tidak menginfiltrasi jaringan sekitar, tidak
mengalami metastasis, dan tidak mengancam jiwa kecuali jika mengganggu
fungsi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Tumor ganas atau kanker,
tumbuh cepat, batas dengan jaringan sekitarnya tidak jelas, terdiri atas sel-sel
yang berbeda dengan sel asal, menginfiltrasi jaringan sekitar dan bermetastasis
ke organ-organ yang jauh, serta selalu berakhir dengan kematian dimanapun
tumor itu tumbuh (Spector dan Spector 1993).
Tabel 1 Kriteria untuk membedakan tumor jinak dan ganas
Kriteria
Tumor jinak (benign)
Tumor ganas (malignant)
Ukuran sel
Uniform (seragam)
Pleomorfik
Nukleolus
Normal
Besar, biasanya multipel
Kromatin, DNA
Biasanya dalam jumlah
Hiperkromatik, sering
normal
poliploid
Sedikit
Biasanya banyak, termasuk
Mitosis
patologis
Rasio nuklear-sitoplasmik
Lebih rendah
Lebih tinggi
Struktur
Terdiferensiasi
Anaplastik
Cara pertumbuhan
Biasanya ekspansif dan
Infiltratif dan ekspansif,
membentuk kapsul
tidak membentuk kapsul
Kecepatan pertumbuhan
Biasanya lambat
Cepat
Jalannya pertumbuhan
Dapat terhenti
Jarang terhenti
Efek terhadap hospes
Biasanya tidak
Berbahaya akibat
berbahaya, tidak ada
pertumbuhan infiltratif
metastasis
destruktif, cenderung
rekurens dan metastasis
Sumber : Theilen dan Madewell 1987
Klasifikasi Tumor
Salah
satu
alasan
dilakukannya
klasifikasi
tumor
adalah
untuk
merencanakan dan mengevaluasi pengobatan yang tepat. Klasifikasi tumor
bersifat multidimensional, multitemporer, dan arbitrarius. Tumor atau neoplasma
dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, meliputi pemeriksaan klinis terhadap
perluasan penyakit (derajat klinis), klasifikasi hospes dan penyakit, pemeriksaan
histologis dan klasifikasi sel tumor (Theilen dan Madewell 1987).
Baik tumor jinak maupun tumor ganas diklasifikasikan menurut tipe jaringan
dimana mereka ditemukan. Berdasarkan asal sel, ada dua kelas utama dari
tumor, yaitu epitelial dan nonepitelial. Untuk sebagian besar nama tumor benign
diberi akhiran –oma dengan awalan nama jaringan darimana mereka berasal.
Tumor malignan epitelial dinamakan karsinoma. Sebagian besar jaringan epitel
dalam tubuh adalah stratified squamous atau glandular sehingga kebanyakan
tumor epitelial diberi nama squamous cell carcinoma dan adenokarsinoma.
Tumor malignan nonepitelial umumnya dinamakan sarkoma (Suindra 2005).
Tabel 2 Klasifikasi tumor
Jaringan asal
Benign
Malignan
Epitel
Adenoma
Karsinoma
Papiloma
Naevus berpigmen
Melanoma malignan
Fibroma
Fibrosarkoma
Miksoma
Miksosarkoma
Otot polos
Leiomioma
Leiomiosarkoma
Otot skelet
Rabdomioma
Rabdomiosarkoma
Kartilago
Khondroma
Khondrosarkoma
Lemak
Lipoma
Liposarkoma
Tulang
Osteoma
Osteosarkoma
Pembuluh darah
Angioma
Angiosarkoma
Jaringan limfoid
-
Limfoma
Jaringan hemopoietik
-
Leukemia
Mesotel
-
Mesotelioma
Meningen
Meningioma
-
Sel glia SSP
-
Glioma
Selubung saraf
Neurofibroma
Neurofibrosarkoma
Mesenkim
Jaringan pengikat
Sumber : Spector dan Spector 1993
Pengobatan Tumor
Ada beberapa cara pengobatan tumor yang telah dicoba, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1
Pembedahan
Pembedahan dapat berjalan dengan baik apabila tumor bersifat benign
karena massa tumor terlokalisir dan mudah diangkat secara keseluruhan.
Sebaliknya pada tumor malignan, pembedahan seringkali gagal karena biasanya
sudah terjadi metastasis dan sel tumor yang masih tertinggal bisa menyebabkan
rekurens. Efek samping pembedahan dapat berupa imunosupresi, efek sistemik,
dan efek tumor terhadap persembuhan luka dan keseimbangan cairan tubuh
(Theilen dan Madewell 1987). Penyebaran tumor atau metastasis dapat terjadi
dengan cara perpindahan sel tumor melalui pembuluh darah yang terbuka pada
saat pembedahan.
2
Cryosurgery
Menurut NCI (2003), cryosurgery adalah suatu tindakan pembedahan
dengan menggunakan ekstrim dingin yang dihasilkan oleh nitrogen cair (atau gas
argon) untuk merusak jaringan abnormal. Cryosurgery biasanya digunakan untuk
tumor eksternal seperti pada kulit, namun dapat juga untuk tumor internal.
Kelebihannya adalah hanya melibatkan sedikit insisi atau insersi cryoprobe
melalui kulit, sehingga rasa sakit, perdarahan, dan komplikasi pembedahan
dapat diminimalisir. Biayanya lebih murah dan waktu penyembuhan lebih cepat.
Kekurangannya adalah teknik ini masih perlu dipelajari lebih lanjut, dan
efektivitas jangka panjangnya belum diketahui.
3
Radioterapi
Radioterapi merupakan suatu metode pengobatan tumor menggunakan
sinar radioaktif, contohnya sinar X, elektron, dan sinar gamma. Pada prinsipnya,
apabila berkas sinar radioaktif atau partikel dipaparkan ke jaringan akan terjadi
berbagai peristiwa, antara lain peristiwa ionisasi molekul air yang mengakibatkan
terbentuknya radikal bebas di dalam sel yang kemudian dapat menyebabkan
kematian sel. Lintasan sinar juga menimbulkan kerusakan akibat tertumbuknya
DNA (deoxy ribonucleic acid) yang dapat diikuti kematian sel. Hal ini dapat terjadi
baik pada sel tumor maupun sel normal, tetapi sebagian besar jenis tumor
memperlihatkan kepekaan yang lebih tinggi terhadap radioaktif dibandingkan selsel normal (Siswono 2002).
4
Kemoterapi
Kemoterapi merupakan suatu jenis terapi dengan menggunakan obat-
obatan untuk merusak sel tumor (NCI 2007). Saat ini, kemoterapi merupakan
pendekatan terapi yang paling efektif karena bersifat sistemik. Hasil yang
diberikan adalah dapat meringankan gejala penyakit, memperpanjang hidup,
bahkan menyembuhkan (Theilen dan Madewell 1987). Sayangnya, kemoterapi
dirancang untuk membunuh sel yang tumbuh cepat, sehingga selain membunuh
sel tumor dapat juga mengenai sel tubuh normal yang aktif membelah, seperti
yang terdapat pada mulut, usus, sumsum tulang belakang, dan folikel rambut.
Kemoterapi dapat memperkecil ukuran tumor sebelum operasi atau radioterapi
(neo-adjuvant chemotherapy), menghancurkan sel tumor yang masih tertinggal
setelah operasi atau radioterapi (adjuvant chemotherapy), menghasilkan
efektivitas yang lebih baik jika dikombinasikan dengan imunoterapi (Crow 2008),
serta menghancurkan sel tumor yang mengalami rekurens dan metastasis.
5
Terapi hormonal
Terapi hormonal merupakan bagian dari kemoterapi dengan penggunaan
hormon tertentu untuk pengobatan tumor yang proliferasinya sangat dipengaruhi
hormonal, seperti tumor mamaria dan prostat (Theilen dan Madewell 1987).
6
Imunoterapi
Tumor dapat menyebabkan imunosupresi. Terapi konvensional seperti
bedah, radioterapi, dan kemoterapi dapat memperburuk keadaan ini sehingga
memberikan peluang bagi pertumbuhan tumor yang progresif atau timbulnya
rekurens. Oleh karena itu, imunoterapi dilakukan dengan tujuan merangsang
sistem imunitas (Cornain et al. 1986). Imunoterapi meliputi interferon, interleukin,
colony-stimulating factor (CSF), antibodi monoklonal, vaksin, dan nonspesific
immunomodulating agents. Interferon menghambat pertumbuhan sel tumor dan
beberapa diantaranya menstimulasi sel NK, sel T, dan makrofag, memperkuat
fungsi imun antitumor. Interleukin menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas sel
imun seperti limfosit, yang dapat menghancurkan sel tumor. CSF merangsang
sumsum tulang belakang menghasilkan sel darah putih, sel darah merah, dan
trombosit (NCI 2006). CSF dapat mengatasi efek neutropenia yang disebabkan
oleh kemoterapi (Repetto dan Accettura 2003). Antibodi monoklonal dan vaksin
memberikan kekebalan melawan sel tumor. Bacillus Calmette-Guerin (BCG) dan
levamisol merupakan contoh nonspesific immunomodulating agents yang dapat
meningkatkan produksi sitokin dan imunoglobulin (NCI 2006).
7
Inhibitor angiogenesis
Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang prosesnya
dikendalikan oleh senyawa kimia tertentu yang dihasilkan oleh tubuh. Inhibitor
angiogenesis atau agen antiangiogenik bertujuan menghambat pertumbuhan
maupun penyebaran sel tumor. Inhibitor angiogenesis tidak bersifat toksik, dan
tidak menimbulkan resistensi seperti yang terjadi pada kemoterapi. Terapi ini
hanya mengendalikan tetapi tidak membunuh sel tumor, dan terapi jangka
panjang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung, sistem imun, dan
sistem reproduksi (NCI 2008).
8
Metode lainnya
Menurut Theilen dan Madewell (1987), metode lain yang dapat digunakan
adalah hipertermia (terapi panas) dan fototerapi (terapi cahaya).
Sel Lestari Tumor
Sel lestari tumor merupakan sel yang berasal dari tumor atau jaringannya
yang sudah dibiakkan secara berkala, ditumbuhkembangkan dan dipelihara serta
disimpan dalam nitrogen cair. Keistimewaannya adalah bersifat immortal karena
dapat hidup pada kondisi media yang minimal (Suindra 2005). Reaksi neoplastik
pada kultur sel telah diobservasi sebaik pada jaringan in vivo hewan. Hal ini
penting karena mengindikasikan bahwa proses neoplastik mungkin berlangsung
lokal dan tidak memerlukan peralihan sistemik yang melibatkan keseluruhan
organisme (Ackerman dan Regato 1947). Transformasi yang terjadi pada kultur
sel sangat berguna untuk suatu studi tentang tumor karena sifatnya yang mudah
berkembang biak dan mudah diprediksi (Theilen dan Madewell 1987).
Sel Lestari Tumor MCA-B1
Sel lestari tumor MCA-B1 berasal dari sel tumor epulis akantomatosis oral
dari seekor anjing ras Akita berumur 10 tahun. Massa tumor berukuran 2 mm x 2
mm sampai 1.5 cm x 3.5 cm; secara patologi anatomis berwarna putih, solid
dengan permukaan kasar dan beberapa area hemoragik. Kultur sel dari biopsi
pertama ditumbuhkan dan memperlihatkan bentuk bulat sampai poligonal,
memiliki nukleus yang besar dan sering memperlihatkan dua atau lebih nukleolus
yang jelas. Sel yang tumbuh pada permukaan gel berbentuk bulat, sedangkan
yang tumbuh di dalam matriks kolagen berupa koloni tiga dimensi berukuran
besar dengan pola bercabang. Secara histokimia, sel-sel bereaksi kuat dengan
antibodi anti-keratin dan bereaksi ringan dengan antibodi anti-vimentin.
Pemeriksaan ultrastruktural sel menguatkan sifat alami epitelialnya. Jumlah
kromosom 72 dan waktu rataan untuk penggandaan populasi adalah enam jam.
Sel lestari tumor MCA-B1 masih memiliki karakteristik morfologikal yang sama
dengan sel tumor asalnya. Sel ini digunakan sebagai model untuk mempelajari
tumor khususnya epulis akantomatosis (Priosoeryanto et al. 1995a).
Sel Lestari Tumor MCM-B2
Sel lestari tumor MCM-B2 diisolasi dari sel benign mixed tumor kelenjar
mamaria anjing pemburu betina berumur 10 tahun dengan cara pembedahan,
dengan massa tumor berukuran 3 cm x 5 cm. Massa tumor ini telah muncul sejak
dua tahun sebelumnya dan hasil pemeriksaan radiografi menunjukkan adanya
metastasis pada paru-paru. Secara mikroskopis kultur sel menunjukkan koloni
monolayer. Sel yang tumbuh di dalam matriks gel kolagen membentuk koloni tiga
dimensi berukuran besar dengan pola bercabang. Secara histokimia, sel ini
bereaksi kuat dengan antiserum anti-vimentin, bereaksi ringan dengan antiserum
anti-desmin, dan bereaksi lemah dengan antiserum anti-keratin. Pemeriksaan
ultrastruktural memperlihatkan nukleus yang besar, organel-organel intrasitoplasmik dan filamen-filamen intermediat, yang bervariasi di antara sel. Sel
tumor ini memiliki jumlah kromosom abnormal yaitu rataan 80 per sel. Secara
histologis, hasil transplantasi tumor dari sel kultur ini serupa dengan karsinoma
anaplastik. Beberapa penemuan menunjukkan adanya kemungkinan bahwa sel
lestari tumor ini berasal dari sel induk (stem cell) atau sel atipikal. Sel lestari ini
digunakan sebagai model untuk mempelajari diferensiasi sel dan proliferasi pada
tumor mamaria anjing (Priosoeryanto et al. 1995b).
Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Tanaman temulawak merupakan tanaman asli Indonesia (Ketaren 1988)
dan memiliki nama daerah koneng gede (Sunda) dan temo labak (Madura)
(Santosa dan Gunawan 2003). Klasifikasi tanaman temulawak menurut
Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai berikut:
kingdom
: Plantae
divisi
: Spermatophyta
subdivisi
: Angiospermae
kelas
: Monocotyledoneae
ordo
: Zingiberales
famili
: Zingiberaceae
genus
: Curcuma
spesies
: Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Sumber: www.bio-asli.com
Gambar 1
Tanaman temulawak (kiri) dan rimpang temulawak yang berkhasiat
obat (kanan)
Deskripsi Tanaman
Temulawak banyak ditemukan di hutan-hutan daerah tropis. Temulawak
juga berkembang biak di tanah tegalan sekitar pemukiman, terutama pada tanah
gembur sehingga buah rimpangnya mudah berkembang menjadi besar
(Mahendra 2005).
Tanaman temulawak digolongkan ke dalam tanaman terna menahun.
Batangnya adalah batang semu yang merupakan metamorfosis dari daun. Tinggi
tanaman dapat mencapai 2 m bahkan lebih.
Daun berbentuk lanset berwarna hijau tua dengan garis-garis coklat di
bagian tulang daunnya. Pada bagian ibu tulang daun (bagian tengah daun)
berwarna ungu. Jumlah helaian daun 2-9 helai. Lebar tiap helaian 10-18 cm dan
panjang daunnya 31-84 cm. Panjang tangkai daun (termasuk helaian daun) 4380 cm.
Perbungaan temulawak bersifat lateral. Tangkai bunga ramping dan
berbulu dengan panjang 4-37 cm. Bunga berbentuk bulir, bulat memanjang yang
panjangnya mencapai 23 cm. Bunga tanaman ini memiliki banyak daun
pelindung yang panjangnya melebihi atau terkadang sebanding dengan panjang
mahkota bunga. Mahkota bunga berwarna putih sampai kuning dan bagian
ujungnya berwarna merah dadu atau merah. Bunga temulawak memiliki benang
sari dan putik sehingga setelah terjadi fruitset maka akan terbentuk buah. Buah
yang terbentuk merupakan buah yang berbulu dengan panjang 2 cm.
Rimpang tanaman berukuran besar, bercabang-cabang, dan berwarna
coklat kemerahan atau kuning tua. Daging rimpang berwarna oranye tua atau
kecoklatan, beraroma tajam yang menyengat dan rasanya pahit.
Khasiat dan Kegunaan
Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai bahan ramuan obat
(Mahendra 2005). Menurut Wijayakusuma (2005b), temulawak memiliki khasiat
antiradang,
antibakteri,
peluruh
haid,
perangsang
ASI,
kholagogum
(memperlancar pengeluaran empedu dan mengalirkannya ke usus halus),
hipolipidemik (menurunkan kadar kolesterol), tonikum (penguat), peluruh kemih,
dan hepatoprotektor (melindungi sel hati dari pengaruh toksik).
Komposisi dan Kandungan Kimia
Rimpang temulawak terdiri dari zat warna kuning kurkumin, minyak atsiri,
pati, protein, lemak (fixed oil), selulosa, dan mineral (Ketaren 1988). Minyak atsiri
dalam rimpang mengandung senyawa kamfer, mirsen, xanthorizol, β-kurkumin,
arkurkurmin, isofuranogermakren, dan p-toluil metil karbinol (Purseglove et al.
1981). Menurut Santosa dan Gunawan (2003), rimpang temulawak mengandung
minyak atsiri, mirsen, a-felandren, kurkumin, atlanton, β-kurkumin, borneol, dkamfer, desmetoksikurkumin, isofuranogermakren, l-sikloisoprenmirsen, monodesmetoksikurkumin, p-toluil metil karbinol, amilum, turmeron, xanthorizol,
zingiberen, dan zingiberol.
Tabel 3 Komposisi rimpang temulawak
Komposisi Rimpang
Kadar (%)
Zat warna kuning kurkumin
1,55
Minyak atsiri
4,90
Pati
58,24
Protein
2,90
Lemak (fixed oil)
12,10
Serat kasar
4,20
Abu
4,92
Mineral (N, P, K, Na)
4,29
Sumber: Ketaren 1988
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2008 di
Laboratorium Kultur Jaringan, Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi,
dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel lestari tumor
MCA-B1 dan MCM-B2, ekstrak etanol temulawak, Dulbecco’s Modified Eagle’s
Medium dan Ham’s Nutrient Mixture F-12 (DMEM/F-12), fetal calf serum (FCS)
10%, 100 IU/ml penisilin, 100 µg/ml streptomisin, dimetilsulfoksida (DMSO),
0,05% tripsin, 2 mM ethylenediamine tetra-acetic acid – phosphat buffer saline
(EDTA-PBS), dan trypan blue.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tissue culture plate 24
well, tissue culture plate 96 well, pipet, mikropipet, tabung eppendorf 1 ml,
inkubator 370C (5% CO2), bunsen, laminar air flow, vortex, hemositometer
Neubauer, cover slip, dan mikroskop cahaya.
Metode Penelitian
Metode penelitian dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Priosoeryanto et al. (1995c).
Persiapan Media dan Ekstrak
Media yang digunakan adalah DMEM/F-12 yang ditambahkan antibiotik
(penisilin 100 IU/ml dan streptomisin 100 µg/ml) dan FCS 10%. Ekstrak yang
digunakan berupa ekstrak etanol temulawak yang diperoleh dengan metode
soxhletasi menggunakan pelarut etanol 70%. Ekstrak ini diambil sebanyak 0,5
mg dan dilarutkan dengan DMSO sebanyak 20 µl. Setelah itu, campuran tersebut
ditambah dengan DMEM/F-12 sebanyak 980 µl sehingga stok ekstrak yang
diperoleh sebesar 500 ppm. Dosis ekstrak yang digunakan, yaitu sebesar 15
ppm, 30 ppm, 45 ppm, 60 ppm, dan 75 ppm telah ditentukan sebelumnya
menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
Penanaman Sel
Suspensi sel lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2 dicairkan terlebih dahulu
(thawing) dengan cara digesek-gesekkan di antara kedua telapak tangan atau
didiamkan pada suhu kamar. Setelah cair, suspensi sel tersebut dihomogenkan
dengan vortex. Penanaman tiap sel dilakukan dalam dua buah tissue culture
plate 24 well yang berisi medium penumbuh dengan 5 konsentrasi ekstrak (15
ppm, 30 ppm, 45 ppm, 60 ppm, dan 75 ppm), tidak ditambahkan ekstrak (kontrol
negatif), dan vinblastin (kontrol positif). Suspensi sel diberikan dalam jumlah
yang sama dalam setiap lubang yaitu sebanyak 100 µl dengan kepadatan 106
sel. Pengulangan dilakukan sebanyak lima kali. Volume total cairan dalam satu
lubang adalah 1 ml, sehingga volume media yang ditambahkan harus
disesuaikan dengan volume ekstrak dan suspensi sel lestari tumor dalam lubang.
Suspensi sel lestari tumor ditumbuhkan dengan menginkubasikannya dalam
inkubator 370C, 5% CO2.
Pemanenan dan Penghitungan Sel
Pemanenan sel lestari tumor dilakukan apabila sel pada lubang kontrol
sudah tumbuh optimal menutupi sekitar 70% permukaan lubang (confluence)
kira-kira setelah 3-4 hari. Medium pada seluruh lubang dihisap dan dibuang,
kemudian dibilas dengan EDTA-PBS dan dilakukan tripsinisasi sambil dikocok
merata untuk membantu melepaskan semua sel yang menempel pada dinding
plate. Sel diinkubasi lagi selama 5-7 menit, kemudian ditambahkan 1 ml media.
Setelah tersuspensi, dari setiap lubang diambil 90 µl suspensi sel tumor yang
dimasukkan ke dalam tissue culture plate 96 well, kemudian diberi perwarna
trypan blue sebanyak 10 µl. Setelah homogen, suspensi diteteskan pada
hemositometer Neubauer dan dilakukan penghitungan jumlah sel di bawah
mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x. Sel yang dihitung adalah sel yang
berada pada kotak tengah kamar hitung.
Hasil penghitungan dikonversikan ke dalam jumlah sel per ml suspensi
dengan menggunakan rumus :
Jumlah sel/ml = Jumlah sel yang dihitung x faktor volume x faktor pengenceran
Jumlah sel/ml = Jumlah sel yang dihitung x 104 x 10/9
Rumus
yang
digunakan
untuk
menghitung
persentase
aktivitas
pertumbuhan dan penghambatan sel tumor adalah sebagai berikut :
Jumlah rataan sel perlakuan
% aktivitas pertumbuhan
=
x 100%
Jumlah rataan sel kontrol negatif
% aktivitas penghambatan = 100% - (% aktivitas pertumbuhan)
Gambar 2
Sel tumor pada kamar hitung hemositometer Neubauer dengan
pewarnaan trypan blue (bar = 40 µm)
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik analisis
sidik ragam ANOVA dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk
melihat ada tidaknya perbedaan yang nyata (p<0,01) antara kelompok perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Antiproliferasi pada Sel Lestari Tumor MCA-B1
Pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis bertingkat memberikan
efek berupa penurunan jumlah sel tumor yang menandakan adanya aktivitas
antiproliferasi ekstrak terhadap pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1, yaitu
dapat dilihat dalam Tabel 4 dan Gambar 3.
Tabel 4 Data aktivitas antiproliferasi kelompok perlakuan terhadap pertumbuhan
sel lestari tumor MCA-B1
Aktivitas
Aktivitas
Sel/ml (x 10 /9)
Pertumbuhan (%)
Penghambatan (%)
K(-)
72,6
100
0
P1
63,6
87,6
12,4
P2
60,0
82,6
17,4
P3
47,2
65,0
35,0
P4
28,2
38,8
61,2
P5
21,8
30,0
70,0
K(+)
10,0
13,8
86,2
Perlakuan
Rataan Jumlah
5
% Aktivitas Penghambatan
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
K(-)
P1
P2
P3
P4
P5
K(+)
Perlakuan
Gambar 3
Aktivitas penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1
pada setiap perlakuan
Keterangan :
K(-) : Kontrol negatif, sel yang tidak diberi ekstrak
P1 : Perlakuan 1, sel yang diberi ekstrak 15 ppm
P2 : Perlakuan 2, sel yang diberi ekstrak 30 ppm
P3 : Perlakuan 3, sel yang diberi ekstrak 45 ppm
P4 : Perlakuan 4, sel yang diberi ekstrak 60 ppm
P5 : Perlakuan 5, sel yang diberi ekstrak 75 ppm
K(+) : Kontrol positif, sel yang diberi vinblastin
Gambar 3 memperlihatkan bahwa kenaikan aktivitas antiproliferasi ekstrak
etanol temulawak pada sel lestari tumor MCA-B1 terjadi seiring dengan
peningkatan dosis. Aktivitas antiproliferasi tertinggi terdapat pada kontrol positif,
yaitu vinblastin, sedangkan dosis ekstrak etanol temulawak yang memberikan
hasil terbaik adalah 75 ppm. Pada dosis yang lebih tinggi tidak tertutup
kemungkinan bahwa aktivitas antiproliferasi ekstrak etanol temulawak akan tetap
stabil, semakin meningkat atau malah menurun. Uji statistik dilakukan terhadap
setiap perlakuan dengan menggunakan analisis sidik ragam ANOVA. Hasilnya
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji statistik sidik ragam ANOVA terhadap aktivitas penghambatan
pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1
Sumber
Jumlah
Derajat
Ragam
Keragaman
Kuadrat
Bebas
Kuadrat
F Hitung
F Tabel
85,53
3,53
Tengah
Perlakuan
32173,79351
6
5362,29892
Galat
1755,55902
28
62,69854
Total
33929,35253
34
F Hitung lebih besar daripada F Tabel (p<0,01) menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata antara kelompok-kelompok perlakuan yang dibandingkan.
Oleh karena itu uji statistik dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan
untuk melihat kelompok-kelompok yang berbeda secara nyata, yang dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6
Hasil uji statistik wilayah berganda Duncan terhadap aktivitas
penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1
Perlakuan
Aktivitas Penghambatan (%)
K(-)
0a
P1
12,4b
P2
17,4b
P3
35,0
P4
61,2
P5
70,0
K(+)
86,2
c
d
d
e
Keterangan : Huruf superscript yang berbeda menunjukkan kelompok-kelompok
yang berbeda nyata (p<0,01)
Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara
kontrol negatif, perlakuan 1-2, perlakuan 3, perlakuan 4-5, dan kontrol positif.
Dosis terendah dari ekstrak etanol temulawak, yaitu sebesar 15 ppm sudah
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol negatif yang tidak
ditambahkan ekstrak. Dosis ekstrak etanol temulawak yang mempunyai aktivitas
antiproliferasi paling baik adalah 60 ppm dan 75 ppm, yaitu sebesar 61,2% dan
70,0%. Tetapi keduanya masih menunjukkan perbedaan yang nyata dengan
kelompok
kontrol
positif,
yaitu
vinblastin.
antiproliferasi tertinggi, yaitu sebesar 86,2%.
Vinblastin
memiliki
aktivitas
Aktivitas Antiproliferasi pada Sel Lestari Tumor MCM-B2
Pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis bertingkat memberikan
efek berupa penurunan jumlah sel tumor yang menandakan adanya aktivitas
antiproliferasi ekstrak terhadap pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2, yaitu
dapat dilihat dalam Tabel 7 dan Gambar 4.
Tabel 7 Data aktivitas antiproliferasi kelompok perlakuan terhadap pertumbuhan
sel lestari tumor MCM-B2
Perlakuan
Rataan jumlah
Aktivitas
Aktivitas
sel/ml (x 10 /9)
pertumbuhan (%)
penghambatan (%)
K(-)
87,0
100
0
P1
59,4
68,3
31,7
P2
47,6
54,7
45,3
P3
34,4
39,5
60,5
P4
24,8
28,5
71,5
P5
21,4
24,6
75,4
K(+)
8,4
9,7
90,3
% Aktivitas Penghambatan
5
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
K(-)
P1
P2
P3
P4
P5
K(+)
Perlakuan
Gambar 4
Aktivitas penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2
pada setiap perlakuan
Keterangan :
K(-) : Kontrol negatif, sel yang tidak diberi ekstrak
P1 : Perlakuan 1, sel yang diberi ekstrak 15 ppm
P2 : Perlakuan 2, sel yang diberi ekstrak 30 ppm
P3 : Perlakuan 3, sel yang diberi ekstrak 45 ppm
P4 : Perlakuan 4, sel yang diberi ekstrak 60 ppm
P5 : Perlakuan 5, sel yang diberi ekstrak 75 ppm
K(+) : Kontrol positif, sel yang diberi vinblastin
Gambar 4 memperlihatkan bahwa kemampuan ekstrak etanol temulawak
dalam menghambat pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2 meningkat seiring
dengan peningkatan dosis. Aktivitas antiproliferasi tertinggi terdapat pada kontrol
positif, yaitu vinblastin, sedangkan dosis ekstrak etanol temulawak yang
memberikan hasil terbaik adalah 75 ppm. Pada dosis yang lebih tinggi tidak
tertutup kemungkinan bahwa aktivitas antiproliferasi ekstrak etanol temulawak
akan tetap stabil, semakin meningkat atau malah menurun. Uji statistik dilakukan
terhadap setiap perlakuan dengan menggunakan analisis sidik ragam ANOVA.
Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil uji statistik sidik ragam ANOVA terhadap aktivitas penghambatan
pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2
Sumber
Jumlah
Derajat
Ragam
Keragaman
Kuadrat
Bebas
Kuadrat
F Hitung
F Tabel
189,17
3,53
Tengah
Perlakuan
28071,98879
6
4678,66480
Galat
692,50182
28
24,73221
Total
28764,49061
34
F Hitung lebih besar daripada F Tabel (p<0,01) menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata antara kelompok-kelompok perlakuan yang dibandingkan.
Oleh karena itu uji statistik dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan
untuk melihat kelompok-kelompok yang berbeda secara nyata, yang dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9
Hasil uji statistik wilayah berganda Duncan terhadap aktivitas
penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor MCM-B2
Perlakuan
Aktivitas Penghambatan (%)
K(-)
0a
P1
31,7b
P2
45,3b
P3
60,5
P4
71,5
P5
75,4
K(+)
90,3
c
d
e
f
Keterangan : Huruf superscript yang berbeda menunjukkan kelompok-kelompok
yang berbeda nyata (p<0,01)
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara
kontrol negatif, perlakuan 1-2, perlakuan 3, perlakuan 4, perlakuan 5, dan kontrol
positif. Dosis terendah dari ekstrak etanol temulawak, yaitu sebesar 15 ppm
sudah menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol negatif
yang tidak ditambahkan ekstrak. Dosis ekstrak etanol temulawak yang
mempunyai aktivitas antiproliferasi paling baik adalah 75 ppm, yaitu sebesar
75,4%. Tetapi kelompok dosis tersebut masih menunjukkan perbedaan yang
nyata dengan kelompok kontrol positif (vinblastin). Vinblastin memiliki aktivitas
antiproliferasi tertinggi, yaitu sebesar 90,3%.
Perbandingan Aktivitas Antiproliferasi pada Sel Lestari Tumor MCA-B1 dan
MCM-B2
Ekstrak etanol temulawak memiliki kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan sel lestari tumor, baik sel lestari tumor MCA-B1 maupun MCM-B2.
Kedua sel tersebut memiliki kepekaan yang berbeda terhadap pemberian ekstrak
etanol temulawak. Perbandingan aktivitas penghambatan pertumbuhan sel
lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2 dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 5.
Tabel 10
Data perbandingan aktivitas antiproliferasi kelompok perlakuan
terhadap pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2
Aktivitas Penghambatan (%)
% Aktivitas Penghambatan
Perlakuan
Sel MCA-B1
Sel MCM-B2
K(-)
0
0
P1
12,4
31,7
P2
17,4
45,3
P3
35,0
60,5
P4
61,2
71,5
P5
70,0
75,4
K(+)
86,2
90,3
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
MCA-B1
MCM-B2
K(-)
P1
P2
P3
P4
P5
K(+)
Perlakuan
Gambar 5
Perbandingan aktivitas penghambatan pertumbuhan sel lestari
tumor MCA-B1 dan MCM-B2 pada setiap perlakuan
Keterangan :
K(-) : Kontrol negatif, sel yang tidak diberi ekstrak
P1 : Perlakuan 1, sel yang diberi ekstrak 15 ppm
P2 : Perlakuan 2, sel yang diberi ekstrak 30 ppm
P3 : Perlakuan 3, sel yang diberi ekstrak 45 ppm
P4 : Perlakuan 4, sel yang diberi ekstrak 60 ppm
P5 : Perlakuan 5, sel yang diberi ekstrak 75 ppm
K(+) : Kontrol positif, sel yang diberi vinblastin
Gambar 5 menunjukkan
bahwa
aktivitas
antiproliferasi sel
tumor
berbanding lurus dengan peningkatan dosis ekstrak. Pada dosis bertingkat,
terlihat bahwa ekstrak etanol temulawak memiliki aktivitas antiproliferasi yang
lebih baik terhadap sel lestari tumor MCM-B2 dibandingkan sel lestari tumor
MCA-B1. Hal ini ditandai dengan penurunan jumlah sel tumor yang lebih besar.
Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan reaksi antara kedua
kelompok sel lestari tumor terhadap aktivitas antiproliferasi yang dimiliki ekstrak.
Hal ini menunjukkan adanya kepekaan sel yang berbeda terhadap ekstrak yang
diberikan, dengan kata lain sel lestari tumor MCM-B2 memiliki kepekaan yang
lebih tinggi terhadap aktivitas antiproliferasi ekstrak etanol temulawak bila
dibandingkan dengan sel lestari tumor MCA-B1.
Mekanisme Penghambatan Sel Tumor oleh Ekstrak Etanol Temulawak dan
Vinblastin
Komponen utama yang berkhasiat dalam rimpang temulawak adalah zat
warna kuning kurkuminoid dan minyak atsiri (Ketaren 1988). Zat warna kuning
kurkuminoid terdiri dari 62% kurkumin dan 38% desmetoksikurkumin. Sedangkan
minyak atsiri terdiri dari kamfer, mirsen, xanthorizol, β-kurkumin, arkurkurmin,
isofuranogermakren, dan p-toluil metil karbinol (Purseglove et al. 1981).
Kurkumin [1,7-bis(hidroksi-3-metoksifenil)-1,6-heptadien-3,5-dion] dikenal
sebagai bahan alam yang memiliki aktivitas biologis, diekstraksi dari rimpang
tanaman jenis kurkuma berupa zat warna kuning (Meiyanto 1999). Menurut
Wijayakusuma (2005b), kurkumin memiliki efek sebagai antiradang, antibakteri,
hipolipidemik, kholagogum, dan hepatoprotektor. Efek hipolipidemik artinya
kurkumin dapat menurunkan kolesterol. Selain faktor diet yang lain, kolesterol
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kejadian tumor secara ekstensif
(Laidlaw dan Swendseid 1991). Kurkumin mampu menginduksi antioksidan dan
enzim metabolisme fase II yang berperan dalam detoksifikasi, sehingga
mendukung adanya aktivitas antitumor (Iqbal 2003).
Penelitian yang dilakukan terhadap kurkumin menunjukkan adanya
aktivitas antitumor, yaitu dengan cara menginduksi apoptosis sel tumor (Bhaumik
et al. 2000; Choudhuri et al. 2002; Khar et al. 2003; Rashmi et al. 2003).
Kurkumin dapat menginduksi apoptosis sel tumor AK-5 secara in vitro dengan
diperantarai oleh aktivasi caspase-3. Aktivasi ini disebabkan kurkumin memacu
pelepasan cytochrom C melalui pembentukan intermediat oksigen reaktif dan
hilangnya potensial membran pada mitokondria (Khar et al. 2003).
Chouduri et al. (2002) mengemukakan bahwa apoptosis pada sel lestari
tumor kelenjar mamaria MCF-7 diinduksi oleh kurkumin melalui induksi p53-Bax.
Menurut Meiyanto (1999), protein p53 merupakan protein supresor tumor dan
regulator checkpoint yang diaktivasi oleh adanya kerusakan DNA atau adanya
stres tertentu pada sel. Protein ini dapat memacu proses apoptosis melalui
peningkatan ekspresi Bax, yaitu gen yang menyandi suatu protein Bax yang
berperan dalam apoptosis. Namun demikian elevasi ekspresi Bax oleh p53
masih belum cukup untuk memacu proses apoptosis sendirian sehingga masih
diperlukan pemacu lainnya. Dalam hal ini, Bax bersama-sama dengan protein
lainnya akan mengaktifkan cytochrom C yang dilepas dari mitokondria dan
selanjutnya akan terjadi aktivasi berantai terhadap caspase-9 dan caspase-3
hingga proses apoptosis terjadi.
Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Chouduri et al. (2005)
menjelaskan bahwa kurkumin menginduksi apoptosis pada daur sel fase G2
menuju fase S dan menurunkan ekspresi cyclin-D1 pada sel karsinoma epitelial
kelenjar mamaria tanpa mempengaruhi sel normal. Mekanisme yang terjadi
adalah adanya peningkatan ekspresi dari gen penekan tumor (tumor suppresor
gen) p53 secara selektif pada fase G2 sel karsinoma dan pelepasan cytochrom C
dari mitokondria, yang pada akhirnya menyebabkan apoptosis. Menurut
Aggarwal et al. (2005), cyclin-D1 merupakan gen yang diekspresi secara
berlebihan pada berbagai jenis tumor dan memperantarai perkembangan sel dari
fase G1 menuju fase S, sehingga penurunan cyclin-D1 menginduksi penahanan
fase G1/S.
Penelitian lain menunjukkan bahwa proses apoptosis oleh kurkumin
disebabkan adanya peningkatan permeabilitas membran mitokondria, sehingga
berakibat pada pembengkakan sel, hilangnya potensial membran, dan
terhambatnya sintesis ATP. Hal ini diperantarai oleh pembukaan lubang transisi
membran mitokondria (Morin et al. 2001).
Aggarwal et al. (2003), Gafner et al. (2004), dan Hong et al. (2004a)
menyebutkan bahwa kurkumin dapat menghambat lipooxygenase (LOX);
cyclooxygenase (COX), yaitu COX-1 dan COX-2; lipopolisakarida yang
menginduksi ekspresi COX-2; dan inducible nitric oxide synthase (iNOS). COX
merupakan
enzim
yang
mengkatalisis
sintesis
prostanoid
(contohnya
prostaglandin) dari asam arakidonat. COX-1 secara konstitutif diekspresi secara
nyata oleh hampir seluruh jaringan tubuh mamalia, sedangkan COX-2 hanya
sebagian saja, dan dalam level yang rendah atau tidak terdeteksi. Level ekspresi
COX-1 pada umumnya konstan, dan hanya akan ada sedikit kenaikan bila ada
stimulasi dari faktor pertumbuhan atau selama masa diferensiasi. Sementara itu,
COX-2 biasanya akan diekspresi lebih banyak karena adanya rangsang dari
mitogen, sitokin, dan promotor tumor yang bisa diakibatkan oleh adanya
kerusakan sel atau bentuk stres sel lainnya. Pada beberapa sel tumor, ekspresi
COX-2 menunjukkan adanya peningkatan yang nyata (Goel et al. 2001).
Lebih lanjut menurut Meiyanto (1999), pada sel-sel tumor, ekspresi
berlebihan COX-2 yang berakibat pada berlebihnya produksi prostanoid akan
menyebabkan peningkatan proliferasi dan pencegahan apoptosis. Peningkatan
proliferasi sel terjadi karena adanya aktivasi beberapa onkogen yang terlibat
dalam sinyal mitogenik seperti onkogen Ras, sedangkan inhibisi terhadap proses
apoptosis merupakan akibat dari adanya ekspresi berlebihan onkogen Bcl-2.
Disamping itu, ekspresi berlebihan COX-2 pada sel-sel tumor juga ikut memacu
proses angiogenesis sehingga akan mempermudah penyebaran tumor. Hal ini
disebabkan produk katalisis COX-2 dapat memacu aktivasi faktor angiogenik.
Prostaglandin adalah asam lemak rantai karbon 20 yang diproduksi oleh
setiap jaringan tubuh. Secara kimia, prostaglandin dapat merangsang terjadinya
tumor. Selain itu, imunosupresi yang disebabkan prostaglandin menjadi
mekanisme tak langsung dalam memfasilitasi pertumbuhan tumor (Day et al.
1977). Dengan menghambat COX, kurkumin mencegah produksi prostanoid
(termasuk prostaglandin) yang berlebih sehingga mengurangi efek inflamasi,
mencegah proliferasi sel tumor, dan memacu apoptosis. Pada jalur ini proses
apoptosis dipacu karena adanya akumulasi asam arakidonat. Akumulasi asam
arakidonat akan mengaktifkan enzim sphingomyelinase yang mengkatalisis
pembentukan seramid dari sphingomyelin, dan pada akhirnya seramid akan
memacu proses apoptosis (Meiyanto 1999).
Kurkumin juga mampu menghambat aktivitas tirosinkinase dari protein
neu
p185
, yaitu protein yang dihasilkan oleh onkogen erb B-2/neu (dikenal juga
sebagai HER-2). Onkogen ini diketahui diekspresikan secara berlebihan pada
sekitar 30% kasus tumor kelenjar mamaria. Mekanisme penghambatan terjadi
melalui dua cara, yaitu dengan menghambat aktivitas enzimatik dari protein
tersebut dan menurunkan kadarnya. Aktivitas ganda yang ditunjukkan oleh
kurkumin tersebut terbukti sangat efektif untuk mencegah proliferasi sel-sel tumor
dan sekaligus mencegah penyebarannya (Hong et al. 1999).
Kurkumin juga dapat menghambat perkembangan tumor kelenjar mamaria
dengan cara lain, yaitu dengan menghambat aktivasi estrogen receptor (ER) oleh
estrogen. Aktivasi reseptor estrogen ini akan mengakibatkan aktivasi faktor
transkripsi untuk memacu pertumbuhan sel melalui induksi RNA polimerase.
Pada jalur ini, penghambatan perkembangan sel tumor oleh kurkumin akan lebih
efektif bila dilakukan bersama-sama dengan senyawa-senyawa isoflavonoid
seperti genistein (Verma et al. 1997).
Menurut Aggarwal et al. (2005), kurkumin dapat menekan transformasi
seluler,
proliferasi,
invasi,
angiogenesis,
dan
metastasis
melalui
suatu
mekanisme yang belum dimengerti secara penuh. Kurkumin diketahui dapat
menekan tumor necrosis factor (TNF) yang menginduksi nuclear factor- B (NFB). NF- B mengatur beberapa gen yang berperan dalam proliferasi sel (COX-2,
cyclin-D1, dan c-myc), antiapoptosis [inhibitor of apoptosis protein (IAP)1, IAP2,
X-chromosome-linked IAP, Bcl-2, TNF receptor-associated factor 1, dan lainlain],
dan
metastasis
(vascular
endothelial
growth
factor,
matrix
metalloproteinase-9, dan intercellular adhesion molecule-1). Dengan adanya
penghambatan terhadap aktivasi NF- B, maka ekspresi gen yang diatur oleh NFB tersebut juga terhambat.
Minyak atsiri rimpang temulawak antara lain mengandung senyawa
felandren, kamfer, borneol, turmerol, xanthorizol, xineol, l-sikloisoprenmirsen
(Wijayakusuma 2005b), mirsen, β-kurkumin, arkurkumin, isofuranogermakren,
dan p-toluil metil karbinol (Purseglove et al. 1981). Komposisi minyak atsiri
temulawak merupakan golongan terpenoid yang terdiri dari unit dasar isopren
(Ketaren 1988). Menurut Laidlaw dan Swendseid (1991), terpenoid merupakan
salah satu komponen kemopreventif tumor yang dapat menghambat inisiasi dan
perkembangan tumor, menghambat aktivasi karsinogen kimia, menginaktivasi
pengaktifan genotoksik spesies, serta menghambat jalur transduksi yang penting
untuk perkembangan tumor.
Kadar minyak atsiri temulawak paling tinggi di antara semua jenis kurkuma,
yaitu bervariasi antara 7,3-29,5% dihitung berdasarkan bobot kering rimpang.
Adanya senyawa xanthorizol menjadi ciri khas yang membedakan temulawak
dengan kurkuma lainnya. Dalam rimpang temulawak, xanthorizol biasanya
bergabung dengan kurkumin yang merupakan penyebab khasiat temulawak
(Ketaren 1988). Meskipun khasiat temulawak sudah banyak diketahui, aktivitas
xanthorizol sendiri belum banyak mendapat perhatian (Chung et al. 2007).
Hasil penelitian yang dilakukan Park et al. (2003) menunjukkan bahwa
xanthorizol dapat menghambat formasi tumor dalam dua tahap karsinogenesis
kulit tikus dan menginduksi apoptosis pada sel HL-60. Menurut Hong et al.
(2004b), xanthorizol memiliki efek protektif dan potensi kemopreventif terhadap
karsinogenesis oral dan genotoksisitas yang diinduksi karsinogen penyebab
kerusakan DNA. Xanthorizol memiliki aktivitas antimetastasis dengan cara
menekan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang menginduksi
angiogenesis. Hasil penelitian lain yang dilakukan Choi et al. (2005)
menunjukkan adanya aktivitas antimetastasis xanthorizol pada model metastasis
paru-paru tikus secara in vivo melalui penurunan COX-2 dan matrix
metalloproteinase-9 (MMP-9) yang berperan dalam metastasis.
Xanthorizol diketahui memiliki efek antikarsinogenik dan menginduksi
apoptosis pada sel karsinoma squamous oral (Kim et al. 2004). Mekanisme
terjadinya apoptosis adalah dengan cara menurunkan ekspresi Bcl-2 dan
meningkatkan p53 pada sel HeLa (Ismail et al. 2005), sel MCF-7 (Cheah et al.
2006), dan sel hepatoma HepG2 (Handayani et al. 2007). Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa xanthorizol tidak hanya menghambat formasi tumor, tetapi
juga membalikkan proses karsinogenesis pada tahap pre-malignan dengan cara
menurunkan kadar protein ornithine decarboxylase (ODC), cyclooxygenase-2
(COX-2), dan inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang diatur oleh NF- B
(Chung et al. 2007).
Meskipun ekstrak etanol temulawak memiliki aktivitas antiproliferasi pada
sel tumor, namun efektivitasnya belum sebaik vinblastin sebagai kontrol positif.
Vinblastin merupakan komponen aktif pada tanaman tapak dara (Catharanthus
roseus [L.] G. Don.) yang mempunyai efek menghambat sel kanker pada
leukemia dan kanker lainnya, dengan cara menghentikan pembelahan sel tumor
pada tingkat metafase (mitosis), menghambat sintesis purin, DNA, dan RNA sel
tumor sehingga perkembangannya dapat dihambat (Wijayakusuma 2005a).
Vinblastin adalah salah satu dari kelompok alkaloid vinka. Alkaloid vinka
merupakan komponen dimerik indolin yang berasal dari genus Apocynaceae,
ditemukan pada sekitar tahun 1950, dan menjadi salah satu agen antitumor yang
paling penting (Gueritte dan Fahy 2005).
Alkaloid vinka merupakan agen antimitotik yang berinteraksi dengan
tubulin, protein heterodimerik yang dimiliki oleh setiap sel eukariotik. Tubulin dan
bentuk polimernya (mikrotubuli) memiliki peran penting dalam menjaga struktur
sel, transport intraseluler, dan pembentukan spindel mitotik selama pembelahan
sel. Alkaloid vinka menghambat pengumpulan tubulin menjadi mikrotubuli dan
mencegah pembelahan sel. Secara in vitro efeknya tergantung pada konsentrasi.
Pada konsentrasi rendah (submikromolekular), alkaloid vinka dapat menghambat
formasi dan fungsi mikrotubuli dari tubulin, sedangkan struktur spiral terbentuk
pada konsentrasi yang lebih tinggi (Gueritte dan Fahy 2005).
Afinitas pengikatan tubulin yang semakin kuat dapat menginduksi formasi
spiral mikrotubuli, diduga mengakibatkan neurotoksisitas sebagai salah satu efek
samping dominan secara klinis (Lobert et al. 1996). Disamping itu, pemberian
dosis alkaloid vinka perlu dibatasi karena dapat mengakibatkan neutropenia yang
akan sembuh bila pengobatan dihentikan. Penggunaan klinis alkaloid vinka juga
terbatas, karena dapat menyebabkan resistensi seperti kebanyakan obat
antitumor lainnya (Hill et al. 1993). Vinblastin dapat juga menyebabkan alopesia
dan lesi mukosa mulut (Ganiswarna 1995).
Jika dibandingkan dengan vinblastin yang memiliki indeks terapi yang
sempit, kurkumin sebagai salah satu komponen aktif temulawak telah dibuktikan
aman secara farmakologis. Percobaan klinis pada manusia tidak menunjukkan
adanya toksisitas pada pemberian dosis lebih dari 10 g/hari (Cheng et al 2001).
Di samping itu, fakta bahwa selama berabad-abad masyarakat di negara Asia
mengkonsumsinya sebagai bumbu dapur memperlihatkan bahwa kurkumin aman
secara farmakologis (Syng-ai 2004). Xanthorizol sebagai komponen aktif
temulawak lainnya juga bersifat protektif terhadap karsinogen penyebab
kerusakan DNA (Hong et al. 2004b) dan diketahui memiliki efek preventif
terhadap kejadian nefrotoksisitas yang diinduksi oleh obat antitumor cisplatin
(Kim et al. 2005).
Dari seluruh uraian di atas, ekstrak etanol temulawak diketahui memiliki
aktivitas antiproliferatif terhadap pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1 dan
MCM-B2 secara in vitro dan didukung pula oleh khasiatnya yang lain sehingga
memungkinkan untuk dikembangkan menjadi obat antitumor yang aman dan
efektif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap ekstrak etanol
temulawak pada sel lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1
Ekstrak etanol temulawak yang diujikan memiliki aktivitas antiproliferasi
terhadap pertumbuhan sel lestari tumor MCA-B1 dan MCM-B2.
2
Peningkatan aktivitas antiproliferasi ekstrak etanol temulawak terhadap sel
tumor terjadi seiring dengan peningkatan dosis dan aktivitas antiproliferasi
tertinggi diperoleh pada dosis ekstrak 75 ppm, yaitu sebesar 70,0% pada
sel lestari tumor MCA-B1 dan 75,4% pada sel lestari tumor MCM-B2.
3
Sel lestari tumor MCM-B2 memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap
aktivitas antiproliferasi ekstrak etanol temulawak dibandingkan sel lestari
tumor MCA-B1.
4
Temulawak memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi salah satu obat
antitumor.
Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini antara lain adalah
sebagai berikut:
1
Perlu dilakukan penelitian lanjutan pemberian ekstrak etanol temulawak
terhadap sel lestari tumor MCA-B1, MCM-B2, atau sel tumor lain secara in
vitro, dengan selang konsentrasi yang lebih kecil untuk memperoleh dosis
yang lebih efektif dan akurat.
2
Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa uji aktivitas antiproliferasi ekstrak
etanol temulawak dan uji toksisitas secara in vivo.
3
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai mekanisme aksi komponen
aktif temulawak yang dapat menghambat pertumbuhan sel tumor dalam
upaya penemuan obat antitumor yang lebih spesifik dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah A. 2006. Aktivitas antiproliferasi ekstrak air daun sisik naga (Pyrrosia
nummularifolia (Sw.) Ching) terhadap sel lestari tumor HeLa secara in vitro.
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Ackerman LV, Regato JA. 1947. Cancer: Diagnosis, Treatment, and Prognosis.
St. Louis: The C.V. Mosby Company.
Aggarwal BB, Kumar A, Bharti AC. 2003. Anticancer potential of curcumin:
preclinical and clinical studies. Anticancer Res. 23:363-398.
Aggarwal S et al. 2006. Curcumin (Diferuloylmethane) down-regulates
expression of cell proliferation and antiapoptotic and metastatic gene
products through suppression of I B kinase and Akt activation. Mol
Pharmacol 69:195-206.
Bhaumik S, Jyothi MD, Khar A. 2000. Differential modulation of nitric oxide
production by curcumin in host macrophages and NK cells. FEBS Lett.
483(1):78-82.
Cheah YH, Azimahtol HL, Abdullah NR. 2006. Xanthorrhizol exhibits
antiproliferative activity on MCF-7 breast cancer cells via apoptosis
induction. Anticancer Res. 26:4527-4534.
Cheng AL et al. 2001. Phase I clinical trial of curcumin, a chemopreventive agent,
in patients with high-risk or pre-malignant lesions. Anticancer Res 21:28952900.
Choi MA, Kim SH, Chung WY, Hwang JK, Park KK. 2005. Xanthorrhizol, a
natural sesquiterpenoid from Curcuma xanthorrhiza, has an anti-metastatic
potential in experimental mouse lung metastasis model. Biochem Biophys
Res Commun. 326 (1):210-217.
Chouduri T, Pal S, Agwarwal ML, Das T, Sa G. 2002. Curcumin induces
apoptosis in human breast cancer cells through p53-dependent Bax
induction. FEBS Lett. 512(113):334-340.
Chouduri T, Pal S, Das T, Sa G. 2005. Curcumin selectively induces apoptosis in
deregulated cyclin D1-expressed cells at G2 phase of cell cycle in a p53dependent manner. J. Biol. Chem. 280 (20):20059-20068.
Chung WY et al. 2007. Xanthorrhizol inhibits 12-O-tetradecanoylphorbol-13acetate-induced acute inflammation and two-stage mouse skin
carcinogenesis by blocking the expression of ornithine decarboxylase,
cyclooxygenase-2 and inducible nitric oxide synthase through mitogenactivated protein kinases and/or the nuclear factor- B. Carcinogenesis
28(6):1224-1231.
Cornain S, Marwoto W, Setyawan S, Tjahjadi G. 1986. Tumor Ganas pada
Wanita. Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran UI.
Cragg GM, Kingstone DGI, Newmann DJ. 2005. Anticancer Agents from Natural
Products. New York: Taylor & Francis Group.
Crow SE. 2008. Chemoimmunotherapy for canine lymphoma: tumor vaccines
and monoclonal antibodies. Cancer Therapy 6:181-186.
Day SB, Myers WP, Stansly P, Garattini S, Lewis MG. 1977. Cancer Invasion
and Metastasis: Biologic Mechanisms and Therapy. New York: Raven
Press.
Djauhariya E, Hernani. 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Duryatmo S. 2003. Aneka Ramuan Berkhasiat dari Temu-temuan. Jakarta:
Puspa Swara.
Gafner S et al. 2004. Biologic evaluation of curcumin and structural derivatives in
cancer chemoprevention model systems. Phytochemistry 65(21):28492859.
Ganiswarna SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran UI.
Goel A, Boland CR, Chauhan DP. 2001. Specific inhibition of cyclooxygenase-2
(COX-2) expression by dietary curcumin in HT-29 human colon cancer
cells. Cancer Lett. 172: 111–118.
Gueritte F, Fahy J. 2005. The Vinca Alkaloids. Di dalam: Cragg GM, Kingstone
DGI, Newmann DJ, editor. Anticancer Agents from Natural Products. New
York: Taylor & Francis Group.
Handayani T, Sakinah S, Nallappan M, Azimahtol HL. 2007. Regulation of p53-,
Bcl-2- and caspase-dependent signaling pathway in xanthorrhizol-induced
apoptosis of HepG2 hepatoma cells. Anticancer Res. 27(2):965-971.
Hill SA et al. 1993. Vinca alkaloid: anti-vascular effects in murine tumour. Eur. J.
Cancer 29: 1320.
Hong R, Spohn WH, Hung M. 1999. Curcumin inhibits tyrosine kinase activity of
p185neu and also depletes p185neu. Clinical Cancer Research 5: 1884-1891
Hong J et al. 2004a. Modulation of arachidonic acid metabolism by curcumin and
related ß-diketone derivatives: effects on cytosolic phospholipase A2,
cyclooxygenases and 5-lipooxygenase. Carcinogenesis 25(9):1671-1679.
Hong KO et al. 2004b. The inhibitory effects of xanthorrhizol against 7,12dimethylbenz[a]anthracene-induced carcinogenesis in hamster buccal
pouch and carcinogen-mediated DNA damage in oral cancer cells [abstrak].
Di dalam: Proc Amer Assoc Cancer Res, 2004. Abstr no 1551.
Imaizumi T. 1982. Cancer and Field. Tokyo: Saikon Publishing Co., Ltd.
Iqbal M, Sharma SD, Okazaki Y, Fujisawa M, Okada S. 2003. Dietary
supplementation of curcumin enhances antioxidant and phase II
metabolizing enzymes in ddY male mice: possible role in protection against
chemical carcinogenesis and toxicity. Pharmacol Toxicol 92: 33–38.
Ismail N, Azimahtol HL, Nallapan M. 2005. Xanthorrhizol induces apoptosis via
the up-regulation of bax and p53 in HeLa cells. Anticancer Res.
25(3B):2221-2217.
Ketaren S. 1988. Penentuan komponen utama minyak atsiri temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxburg). [Tesis]. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Khar A, Ali AM, Pardhasaradhi BVV, Begum Z, Anjum R. 2003. Antitumor activity
of curcumin is mediated through the induction of apoptosis in AK-5 tumor
cells. J. Assoc. Physicians India 57: 1055-1060.
Kim JY, Chung WY, Park KK, Seo JT. 2004. Involvement of mitogen-activated
protein kinases in the xanthorrhizol-induced cell death in SCC-15 cells
[abstrak]. Di dalam: European Life Scientist Organization Meeting; 5 Sep
2004. Cancer Biology I. Abstr no 12.
Kim SH, Hong KO, Hwang JK, Park KK. 2005. Xanthorrhizol has a potential to
attenuate the high dose cisplatin-induced nephrotoxicity in mice. Food
Chem Toxicol. 43 (1):117-122.
Laidlaw SA, Swenseid ME. 1991. Vitamins and Cancer Prevention. USA: WilleyLiss Inc.
Lobert S, Vulevic B, Correia JJ. 1996. Interaction of vinca alkaloid with tubulin: a
comparison of vinblastin, vincristine, and vinorelbine. Biochemistry 35:
6806.
Mahendra B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya.
Mardiana L. 2007. Kanker pada Wanita : Pencegahan dan Pengobatan dengan
Tanaman Obat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Meiyanto E. 1999. Kurkumin sebagai Obat Kanker: menelusuri mekanisme
aksinya. http://groups.yahoo.com/group/FarmasiNet/messages/278?xm=1&
m=e&1=1 [20 Juli 2008]
Morin D, Barthelemy S, Zini R, Labidalle S, Tillement JP. 2001. Curcumin
induced the mitochondrial permeability transition pore mediated by
membran protein thiol oxidation. FEBS Lett. 495(1-2):131-136.
NCI. 2003. Cryosurgery in Cancer Treatment: Questions and Answers.
http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/therapy/cryo surgery [20 Juli
2008]
.
. 2006. Biological Therapies for Cancer: Questions and Answers.
http://www.cancer.gov/cancertopics/biological/therapy [20 Juli 2008]
NCI. 2007. Chemotherapy and You: Support for People With Cancer.
http://www.cancer.gov/cancertopics/chemotherapy_and_ you [20 Juli 2008]
. 2008. Angiogenesis Inhibitors Therapy: Questions and Answers.
http://www.cancer.gov/cancertopics/angiogenesis-inhibitors [20 Juli 2008]
Park JH et al. 2003. Chemopreventive effect of xanthorrhizol from Curcuma
xanthorrhiza. Journal of Korean Association of Cancer Prevention 8(2):9197.
Priosoeryanto BP. 1994. Morphological and cell biological studies of tumours in
domestic animal. [Ph.D Dissertation] The United Graduate School of
Veterinary Sciences. Yamaguchi, University, Japan.
Priosoeryanto BP, Tateyama S, Yamaguchi R, Uchida K. 1995a. A cell line
(MCA-B1) derived from a canine oral acanthomatous epulis. Research in
Veterinary Science 58:101-102.
Priosoeryanto BP, Tateyama S, Yamaguchi R, Uchida K. 1995b. Establishment
of a cell line (MCM-B2) from a benign mixed tumour of canine mammary
gland. Research in Veterinary Science 58:272-276.
Priosoeryanto BP, Tateyama S, Yamaguchi R, Uchida K. 1995c. Antiproliferation
and colony-forming inhibiton activities of recombinant feline interferon
(rFeIFN) on various cells in vitro. Canadian J. Vet. Res. 59:67-69
Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robins SRJ. 1981. Spices. Vol 2. London:
Longman.
Rashmi R, Kumar TRS, Karunagaran D. 2003. The release of apoptosis inducing
factor from mitochondria induced by curcumin. FEBS Lett. 538(1-3):19-24.
Repetto L, Accettura C. 2003. The importance of prophylactic management of
chemotherapy-induced neutropenia. Anti-Cancer Drugs. 14(9):725-730
Santosa D, Gunawan D. 2003. Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Kulit.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Siswono.
2002.
Peran
Radioterapi
pada
Pengobatan
Kanker.
http://www.gizi.net/cgi-bip/berita/fullnews.cgi?newsid1010376116,48600 [20
Juli 2008]
Smith HA, Jones TC. 1961. Veterinary Pathology. Philadelphia: Lea & Febiger.
Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Soetjipto
NS, Harsoyo, Amelia Hana, Pudji Astuti, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Suindra. 2005. Efektivitas ekstrak kloroform biji blustru (Luffa cylindrica) terhadap
aktivitas penghambatan sel lestari tumor MCM-B2 dan HeLa secara in vitro.
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Syng-ai C, Kumari L, Khar A. 2004. Effect of curcumin on normal and tumor cells:
role of glutathione and Bcl-2. Mol Cancer Ther. 3:1101-1108.
Theilen GH, Madewell BR. 1987. Veterinary Cancer Medicine. Ed ke-2.
Philadelphia : Lea & Febiger.
Tjitrosoepomo G. 2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Verma SP et al. 1997. Curcumin and genistein, plant natural products,
show synergistic inhibitory effects on the growth of human breast cancer
MCF-7 cells induced by estrogenic pesticides. Biochemical and Biophysical
Research Communications 233: 692-696
Warshawsky D, Landolph JR. 2006. Molecular Carcinogenesis and the Molecular
Biology of Human Cancer. New York: Taylor & Francis Group.
WHO. 1997. Pereda Nyeri Kanker. Ed ke-2. Amir Musadad, penerjemah.
Bandung: Penerbit ITB.
Wijayakusuma H. 2005a. Atasi Kanker dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa
Swara.
Wijayakusuma H. 2005b. Menumpas Penyakit Kewanitaan dengan Tanaman
Obat. Jakarta: Puspa Swara.
Lampiran 1 Tabulasi penghitungan dosis ekstrak
Stok ekstrak = 0.5 mg/ml (=500 ppm)
Perhitungan :
Konsentrasi
Perhitungan (V1xM1=V2xM2)
Hasil
P1
1 ml x 15 ppm = V2 x 500 ppm
V2 = 30 µl
P2
1 ml x 30 ppm = V2 x 500 ppm
V2 = 60 µl
P3
1 ml x 45 ppm = V2 x 500 ppm
V2 = 90 µl
P4
1 ml x 60 ppm = V2 x 500 ppm
V2 = 120 µl
P5
1 ml x 75 ppm = V2 x 500 ppm
V2 = 150 µl
Pemasukan ekstrak, sel, dan media ke dalam tissue culture plate 24 well
Variabel
Dosis (ppm)
Jumlah (µl)
Sel (µl)
Media (µl)
K-
0
0
100
900
P1
15
30
100
870
P2
30
60
100
840
P3
45
90
100
810
P4
60
120
100
780
P5
75
150
100
750
K+
5
1
100
899
Keterangan:
K- : Kontrol negatif (tidak ditambahkan ekstrak etanol temulawak)
P1 : Perlakuan 1 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 15 ppm)
P2 : Perlakuan 2 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 30 ppm)
P3 : Perlakuan 3 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 45 ppm)
P4 : Perlakuan 4 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 60 ppm)
P5 : Perlakuan 5 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 75 ppm)
K+ : Kontrol positif (ditambahkan vinblastin)
Lampiran 2 Skema kerja uji aktivitas penghambatan pertumbuhan sel lestari
tumor
Pencairan sel lestari (thawing)
Dua buah tissue culture plate 24 well DMEM/F-12 + sel lestari + ekstrak
K-
P1
P2
P3
P4
P5
K+
Ulangan 1
K-
P1
P2
P3
P4
P5
K+
Ulangan 2
K-
P1
P2
P3
P4
P5
K+
Ulangan 3
K-
P1
P2
P3
P4
P5
K+
Ulangan 4
K-
P1
P2
P3
P4
P5
K+
Ulangan 5
K-
P1
P2
P3
P4
P5
K+
Keterangan:
K- : Kontrol negatif (tidak ditambahkan ekstrak etanol temulawak)
P1 : Perlakuan 1 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 15 ppm)
P2 : Perlakuan 2 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 30 ppm)
P3 : Perlakuan 3 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 45 ppm)
P4 : Perlakuan 4 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 60 ppm)
P5 : Perlakuan 5 (ditambahkan ekstrak etanol temulawak 75 ppm)
K+ : Kontrol positif (ditambahkan vinblastin)
Inkubasi 3-4 hari sampai confluence
Medium dibuang, dibilas dengan EDTA-PBS, dan dilakukan tripsinisasi
90 µl suspensi sel + 10 µl trypan blue
Penghitungan jumlah sel tumor dengan hemositometer Neubauer
Lampiran 3 Data hasil pengujian in vitro aktivitas antiproliferasi ekstrak etanol
temulawak
Nama sel : MCA-B1
Jumlah Sel ( x 105/9)
Dosis
Pertumbuhan Penghambatan
(ppm)
1
2
3
4
5
x
(%)
(%)
0
70
67
71
78
74
72,6
100
0
15
70
66
54
57
71
63,6
87,6
12,4
30
60
63
64
54
59
60,0
82,6
17,4
45
40
50
47
51
48
47,2
65,0
35,0
60
35
27
34
21
24
28,2
38,8
61,2
75
22
26
21
23
17
21,8
30,0
70,0
Vinblastin
10
12
8
11
9
10,0
13,8
86,2
Nama sel : MCM-B2
Jumlah Sel ( x 105/9)
Dosis
Pertumbuhan Penghambatan
(ppm)
1
2
3
4
5
x
(%)
(%)
0
85
84
87
89
90
87,0
100
0
15
65
59
64
57
52
59,4
68,4
31,6
30
40
49
47
48
54
47,6
54,7
45,3
45
30
42
35
29
36
34,4
39,5
60,5
60
26
24
22
25
27
24,8
28,5
71,5
75
20
22
16
30
19
21,4
24,6
75,4
Vinblastin
9
12
6
8
7
8,4
9,7
90,3
Lampiran 4 Hasil analisis data penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor
MCA-B1 oleh ekstrak etanol temulawak
ANOVA
The SAS System
The GLM Procedure
Dependent Variable: penghambatan
Source
penghambatan
Sum of
Squares
DF
Model
6
Error
28
1755.55902
Corrected Total
34
33929.35253
Mean Square
F Value
Pr > F
5362.29892
85.53
<.0001
32173.79351
62.69854
Duncan
The SAS System
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for penghambatan
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
28
Error Mean Square
62.69854
Number of Means
Critical Range
2
10.26
3
10.78
4
11.12
5
11.35
6
11.53
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
dosis
A
86.054
5
6
B
B
B
69.546
5
5
60.492
5
4
C
34.357
5
3
D
D
D
16.231
5
2
11.283
5
1
E
0.000
5
0
7
11.68
Lampiran 5 Hasil analisis data penghambatan pertumbuhan sel lestari tumor
MCM-B2 oleh ekstrak etanol temulawak
ANOVA
The SAS System
The GLM Procedure
Dependent Variable: penghambatan
penghambatan
DF
Sum of
Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
6
28071.98879
4678.66480
189.17
<.0001
Error
28
692.50182
24.73221
Corrected Total
34
28764.49061
Source
Duncan
The SAS System
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for penghambatan
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
28
Error Mean Square
24.73221
Number of Means
Critical Range
2
6.443
3
6.770
4
6.981
5
7.131
6
7.245
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
dosis
A
90.293
5
6
B
B
B
75.414
5
5
71.493
5
4
C
60.378
5
3
D
45.330
5
2
E
31.581
5
1
F
0.000
5
0
7
7.333
Download