BAB II KERANGKA TEORISASI A. Pendekatan Pendidikan Sosial Peningkatan Kualitas SDM 1. Pendekatan Pendidikan Sosial Istilah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial menurut Muhammad Nu'man Somantri dalam makalah yang berjudul Penelusuran Filsafat Ilmu Tentang PIPS dan Kaitan Struktural Fungsionalnya Dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial pada Forum Komunikasi IV Pimpinan FPIPS-IKIP dan Jurusan Pendidikan IPSFKIP Universitas di Ujung Pandang ( 1993 ) mengemukakan bahwa dalam " nomenclature filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, dan ilmu pendidikan , kita belum menemukan sub-sub disiplin ilmu yang diberi nama " Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial " ( PIPS ) yang dalam kepustakaan SSEC dan NCSS di sebut " Social Science Education dail Sooi.ftl Studies Istilah Studi Sosial atau Pendidikan Sosial muncul sebagai sebutan bagi pendidikan ilmu-ilmu sosial sebagai terjemahan dari " Social Studies " yang telah lama digunakan di Amerika Serikat untuk mata pelajaran pada kurikulum sekolah. Di Indonesia diperkenalkan pendidikan sosial sejak tahun 1971 pada Seminar Nasional Civics Education di Tawangmangu - Solo ( Panitia Seminar Civics Education ). Didasari hasil survai pelajaran ilmu-ilmu sosial pada tahun 1969, dan kemudian disusul, dengan munculnya naskah yang berjudul " Tantangan Dalam Pengajaran Ilmu Sosial " yang ditulis oleh Hartshorn dan Nu'man Somantri ( Suwarma Al Muchtar, 1991 : 48 ). Penggunaan istilah " studi sosial ", kendatipun tidak dijadikan nama bagi pendidikan IPS, namun terus berkembang sebagai sebutan dalam pembaharuan pendidikan IPS, yang secara operasional lebih berperan sebagai " pendekatan dalam pengembangan kurikulum " pendidikan IPS. Implikasi dari studi sosial sebagai terjemahan dari " social studies " dijadikan acuan teoritik dalam pengembangan pendidikan IPS di Indonesia. Beberapa istilah yang digunakan dalam pendidikan IPS antara lain menurut Gross dan Zeleny adalah Civics. Ciyjcs m Education. Sedangkan menurut Wesley Soclal Studles- Social Sciences dan Sosial Educatlon. sering digunakan secara bergantian, " Soclal Sciences " sebagai organisasi dari bodles of knowledge " mengenai hubungan antar manusia. Begitu pula Marsh dan Print menggunakan " Soclal Sciences " untuk kelompok mata pelajaran sosial dalam kurikulum sekolah ( Suwarma Al Muchtar : 1991 )Sedangkan istilah " social studles " menurut Barr, Barth dan Shermis ( 1977 ) adalah sebagai integrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humanitis untuk kepentingan pendidikan kewargaan negara (" citizenshlp education "), sehingga model " soclal studles " sebagal soclal sclence, citizenshlp education, dan reflective inguiry ". Dihubungkan dengan pendekatan pendidikan sosial dalam rangka fokus penelitian ini, tentunya mempunyai kontekstual terhadap " soclal studies &£ citizenship education Pendidikan sosial sebagai intergrasi atau totalitas transformasi dan internalisasi nilai pengetahuan, sikap dan pengalaman dalam rangka hubungan manusia bagi kepentingan tujuan pendidikan warga negara. Adapun tujuan yang dikehendaki dari " soclal studles " bagi " citizenshlp education " untuk memperoleh efektivitas pengetahuan, sikap, kepercayaan dan keterampilan yang dibutuhkan melalui proses transformasi nilai guna menumbuhkan partisipasi sosial bagi perubahan sosial. 2. Pendidikan Untuk Perubahan Sosial Menuju SDM Salah satu karakteristik utama kebanyakan negara berkembang adalah komitmen dan konsisten terhadap pembangunan nasional. Pembangunan Nasional pada prinsipnya merupakan perubahan sosial yang besar dari satu situasi ke situasi lain yang lebih bernilai, dari statis ke dinamis, dari masyarakat tradisional menuju mansyarakat industri atau modern. Pembangunan sebagai proses perubahan yang terencana dalam rangka perbaikan tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat bersifat multidisipliner, komprehensif dan integral yang berakar pada suatu konfigurasi lingkungan sosial budaya. 31 Perubahan sosial yang diwarnai oleh dinamika perilaku masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial, baik yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam sistem sosial harus memenuhi persyaratan fungsional, yaitu " adaptation " ( penyesuaian diri )» " goal attainment " ( mencapai tujuan ), " integration ( integrasi ) , dan " latent maintenance " ( pemeliharaan pola ) dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Mengingat masyarakat terdiri dari subsistem budaya, subsistem sosial dan subsistem kepribadian berupa individu-individu. Sistem budaya berisi nilai-nilai, norma-noram, pengetahuan dan kepercayaan atau keyakinan hidup yang dianut bersama ( " shared "). Dalam sistem sosial terdapat struktur peran yaitu perilaku yang diharapakan dan dilakukan seseorang sesuai dengan status sosialnya ( " Hfllfi ftypactation " ). Sedangkan sistem kepribadian, setiap individu memiliki keperluan yang lahir atau dibentuk saat berlangsungnya proses sosialisasi bagi dirinya ( Parson dalam Sudardja Adiwikarta, 1988 ). Sistem sosial merupakan salah satu wujud dari kebudayaan, disamping wujud idiil dan fisik, sehingga sistem sosial bersifat kompleks. Sifat komplek dari sistem sosial, karena mencerminkan aktivitas pola perilaku dari setiap individu berdasarkan struktur, norma, nilai, kepercayaan dan lain sebagainya dalam masyarakat. Sistem sosial budaya menurut komponennya dapat membentuk yaitu : keluarga, ekonomi, pemerintahan, agama, pendidikan dan kelas atau lapisan masyarakat. Komponen-komponen tersebut dapat dipengaruhi oleh : a). Ekologi r tempat dan geografi dimana masyarakat berada; b). Demografi. menyangkut populasi, susunan penduduk dan ciri-ciri penduduknya ; c). Kebudayaan. menyangkut nilai-nilai sosial, sistem kepercayaan, dan norma-norma dalam masyarakat ; d). Kepribadian, meliputi sikap mental, semangat, temperamen dan ciri-ciri psikologis masyarakat ; e). Haktll, sejarah dan latar belakang masa lampau masyarakat tersebut ( Slamet Margono, 1985 ). 32 Gambar. II.1. MASYARAKAT SEBAGAI SISTEM SOSIAL I Waktu i Keluarga B/ ^ - III Demografi II • C. Kebudayaan Lapisan Masyarakat Keterangan : -> Interaksi, interelasi dan interdependesl => Kekuatan mempengaruhi ke semua arah Ferdinan Toennies ( dalam Slamet Margono, 1986 ) suatu masyarakat dapat mengalami fase ." Gemeinsphaft " atau fase Gesseleschaft " . Sifat dari masyarakat " Gemeinschaft adanya keterikatan yang bersifat emosional dibandingkan dengan 2. Gesselschaft " yang bersifat rasional. Masyarakat Gemeinschaft " biasanya lebih berorientasi ke masa silam bersikap fatalistik dan dogmatik. Sebaliknya masyarakat "GesselBchaft " lebih beroirentasi ke masa depan dan bersifat obyektif. Sedangkan Durhkeim mengatakan bahwa adanya proses perubahan sosial disebabkan oleh solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik, manusia dilahirkan dalam lingkungan sosialnya yang akan membentuk ikatan emosional. Bentuk perubahan sosial atas dasar solidaritas organik, manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan. Smelser ( Etziona, 1974 ) berpendapat bahwa terdapat hubungan erat antara ekonomi dengan perubahan struktur sosial, karena sistem ekonomi memerlukan dan dilandasi oleh suatu struktur masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain setiap struktur sosial merupakan ekologi dari bentuk sistem ekonomi 33 sekaligus bersifat pengadaan struktur sosial baru yang menunjangnya. Pendekatan semacam ini adanya " adaptasi " dan keharusan " instrumen teknologi sebagai pengganti tenaga manusia telah merubah struktur sosial masyarakat. Heilbron ( Slamet Margono, 1986 ) sebaliknya mempunyai pemikiran bahwa struktur sosial yang tepat dari suatu masyarakat harus menunjang sistem ekonomi agar berfungsi dengan baik. Unsur yang ikut menentukan adalah peran individu dalam masyarakat, spesialisasi pekerjaan dan kesempatan kerja yang merata serta meningkat, keterbatasan sumber daya manusia melalui pendidikan dan keterampilan, maupun sistem organisasi ekonomi yang menunjang. Sepaham dengan Chodak dan Ekeh ( Astrid S. Susanto, 1984 ), terjadinya perubahan sosial menuju modernisasi dan industrialisasi unsur pertukaran sosial ( " social change " ) timbul sebagai akibat diversifikasi dan spesialisasi pekerjaan yang biasanya menginginkan sikap demokratis dan adanya sikap timbal balik dalam hubungan antar manusia. Sejak dekade tahun 1980 kehidupan dunia ditandai oleh adanya krisis dehumanisasi kemiskinan, kerusakan sistem lingkungan dan struktur sosial sebagai implikasi dari perang nuklir. Pada dekade tahun 1990 dan menjelang abad ke 21 merupakan periode " human soclety " atau periode karakteristik perjuangan kelangsungan hidup , yang ditandai oleh gejala globalisasi dan arus informasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perubahan masyarakat seperti ini memerlukan strategi pembangunan yang berwawasan sosial, tekanan upaya pertumbuhan selama ini memerlukan perombakan strategi pada transformasi pembangunan sosial yang memperhatikan kapabilitas institusi / kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai, sikap dan perilaku manusia yang konsisten dengan lingkungan dan realita sosial. Strategi transformasi sosial tersebut dilandasi tiga kebutuhan dasar globalisasi sosial berupa " Justlce, Sustainabllity and Inci vs i veness " { David C. Korten, 1989 ). Berkenaan dengan asumsi dasar di atas, menunjukkan bahwa perubahan sosial biasanya mempunyai akses terhadap kemampuan institusi pemerintah dan institusi sosial dalam proses 34 perubahan struktur , perilaku, nilai dalam lingkungan sosial untuk mengantisipasi krisis pertumbuhan penduduk, kemiskinan, kebodohan, dan pertumbuhan ekonomi. Masalah kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi, lapangan kerja, permodalan dan kelembagaan yang saling keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain yang bersifat ekonomi, politik,sosial dan budaya. Perubahan sosial mempunyai relevansi dengan perubahan ekonomi, politik, kebudayaan, termasuk ilmu pengetahuan dan tekonologi melalui proses pendidikan secara timbal balik. Pendidikan dapat mempercepat perubahan teknologi, sosial, ekonomi, politik dan budaya. Perubahan pendidikan masyarakat menghasilkan perubahan sosial diberbagai aspek dengan aneka ragam perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial yang demikian melalui fase inovasi, difusi, dan konsekuensi nilai yang direncanakan atau tidak, evolusi dan revolusi maupun internal sistem maupun eksternal sistem sosial.Konsepsi Basil dan Cook ( Slamet Margono : 1986 ) menggambarkan bentuk mekanisme perubahan sosial yang disebabkan oleh transformasi pendidikan dan teknologi kepada masyarakat sehingga terdapat hubungan kontributor sosio-ekonomi utama dalam pertumbhan nasional adalah sebagai berikut : Gambar III.2. PENDIDIKAN DAN TEKNOLOGI DALAM PERUBAHAN SOSIAL * * * * Tata Nilai Aspirasi Kerangka Kelembagaan Masyarakat 35 Keunggulan bidang pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis dan jalur pendidikan akan memberi kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai investasi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam perubahan sosial. Pertanda meningkatnya kualitas manusia diiringi dengan produktivitas kerja, profesional, etos kerja maupun kemandirian dalam proses peningkatan kesej ahteraannya. Dalam dinamika proses berlangsungnya hubungan kontributor tersebut, dipengaruhi oleh sistem tata nilai, aspirasi serta kerangka kelembagaan masyarakat pada waktu berlangsungnya proses perubahan sosial. Perubahan sosial dapat dilihat pula melalui perubahan dalam distribusi status masyarakat dan perubahan dalam peran-peran yang mencakup hak dan kewajiban, serta perubahan dalam norma antar warga dengan masyarakat, perubahan seperti ini lebih konsisten pada perubahan sosial budaya. Pendidikan sebagai sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan, norma serta adat kebiasaan serta berbagai perilaku yang telah membudaya untuk diwariskan melalui proses sosialisasi dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Dalam proses regenerasi terdapat dua peran pendidikan dalam perubahan sosial, yaitu : pertama, pendidikan berperanan dalam upaya mewariskan kebudayaan dan sistem sosial; dan kedua peranan pendidikan sebagai pembawa atau pelaku perubahan masyarakat atau " agen t of ch&nge ". Kedua, peranan pendidikan tersebut dalam rangka perubahan yang cepat, biasanya dikaitkan dengan teknologi, karena penerapan teknologi merupakan sumber utama perubahan sosial bila dibandingkan dengan aspek perubahan mental dan rohani. Apabila tidak seimbang antara penerapan teknologi dengan aspek kehidupan mental dan rohani dalam proses perubahan sosial, bentuk seperti ini biasanya dapat menimbulkan " cul tur e lag " . Peranan pendidikan sebagai salah satu unsur dinamika sosial mempunyai kontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat. Hal ini seperti dikemukakan oleh C. Arnold dalam Wiener dikutip Soepardjo Adikusumo, dkk ( 1992 ) terdapat hubungan antara perubahan sosial, modernisasi 36 dengan peranan pendidikan dalam rangka " empowerment sehubungan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pernyataan tersebut tegasnya dikatakan sebagai : Modernlzation and social change can be achieved only by improving and extending educatlon. Why do the leader of developing countries put so much emphasis on the point ? First, you much have education before you can obtain technologlcal and economic progress. To boot food production , to operate factories, to apply science for Improvement of life, or to trade in world markets, acountry has t o have a large group o f well-trained people. Scound to unity a collectlon of people and tribes into nation, you also need education. Man cannot understand the i r fellow citlzens and widen their loyalitles beyond the vallage i f they cannot communicate ....Third. a political state in modern world can survive only i f its officials can coordlnate administration over large areas ... A people has t o learn how t o behave so that there can be an effectlve modern state and society ...Finally. since schools have important political purposes, we should point out that pupils a indoctrinated ". Fungsi, peranan dan kedudukan pendidikan dalam proses transformasi sosial dalam rangka modernisasi melalui berbagai program pembangunan sosial, terutama peningkatan kualitas manusia sebagai mahluk pribadi, Tuhan dan sosial sangat strategis dan menyeluruh. Modernisasi yang menimbulkan perubahan sosial tidak akan berlangsung tanpa didukung dengan sumber daya manusia yang terdidik. Untuk menggalang tenaga manusia, merebut teknologi, menertibkan administrasi, mengembangkan industri , membangun pabrik, mendayagunakan sumber daya alam dan lain sebagainya, kesemuanya membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peter Ranis dalam Jan Knippers Black ( 1990 : 8 ) menjelaskan bahwa karakteristik proses perubahan sosial pada 37 negara berkembang di Asia, Amerika Latin dan Afrika menuju modernisasi yang terencana dalam rangka dehumanisasi Jl mengandung aspek rasionalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi; orientasi individu yang mempunyai kepentingan bersama; orientasi konsumtif; mobilisasi kehidupan perkotaan; partisipasi yang disebabkan oleh mobilisasi dan kemampuan organisasi dalam memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok; integrasi sosial; dan perluasan kesempatan dan perluasan pendidikan dan minat baca masyarakat yang tinggi. Hal ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Daniel Lerner di Timur Tengar tahun 1965-1970 bahwa perubahan sosial terjadi akibat fungsi individu dalam sikap dan perilaku dalam pola tradisional ke pola modernisasi baik adanya diferensiasi struktur dan fungsi sosial, redistribusi pendapatan dan suasana demokrasi yang didukung oleh kemampuan masyarakat dalam aktivitas pendidikan, saluran media masa, kemampuan minat baca dan partisipasi masa yang terorganisir. Kesemuanya ini dinamakan memudarnya masyarakat tradisional menuju modernitas melalui perubahan sosial atau passing in the tradisional society " . Terdapat indikator yang sangat kuat adanya fungsi pemberdayaan atau " empowerment masyarakat dalam perubahan sosial ekonomi melalui pendidikan terutama bagi masyarakat tradisional. Pemberdayaan merupakan strategi pendidikan yang umumnya diterapkan dalam upaya pemerataan, relevansi dan tujuan pendidikan tingkat masyarakat di pedesaan untuk menghubungkan modernisasi dan pembangunan, dengan tujuan mendukung " Gross National Product " dan " Rate o f Growth " untuk kemajuan sosial ekonomi dan peningkatan kualitas hidup yang dikembangkan tahun 1980. Alasannya pendidikan bagi masyarakat dalam rangka perubahan dan dinamika sosial adalah : adanya energi sosial untuk ditingkatkan kualitasnya bagi tujuan sosial ekonomi, t pengembangan pendidikan yang relevan dengan dunia kerja dan bisnis, sikap dan perilaku inidividu secara kerjasama dan integrasi merupakan bentuk kelangsungan budaya, pendidikan 38 merupakan akar pembangunan dan kekuasaan sentral dalam kehidupan maupun elit yang berkuasa harus konsern terhadap pemberdayaan sebagai perwujudan dari " nature collective or communal ". Terdapat relevansi antara pendidikan dan pembangunan melalui perubahan sosial pada negara-negara berkembang dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai potensi utama pembangunan- Indonesia sebagai negara berkembang secara konsisten telah melaksanakan pembangunan sejak orde baru lahir melalui Pelita I sampai V. Pada Pelita VI ditandai dengan era PJP II, lebih menitik beratkan dan menegaskan ulang relevansi tersebut, sehingga menjadi akses dalam GBHN tahun 1993/94-1998/89 bahwa adanya kecenderungan kuat antara pendidikan dan kebutuhan pembangunan dalam rangka perubahan sosial melalui strategi " Link and Match " yang ditandai oleh : Pertama. Semakin tingginya tuntutan dunia kerja sejalan dengan pembangunan baik kuantitatif maupun kualitatif ; Perubahan dalam struktur dan persyaratan dunia kerja Kedua, yang semakin kompetitif dan mengandalkan keahlian dalam suatu bidang tertentu, tanpa mengabaikan wawasan dan pengetahuan secara interdisipliner ; adanya Ketiga, Kecenderungan umum dalam dunia pendidikan perubahan cara berpikir yang menyangkut pengetahuan, sikap, kemauan, dan keterampilam yang fungsional bagi kehidupan sebagai pribadi, warga negara, dan warga masyarakat. Keempat. Semakin populernya konsep pengembangan sumber daya manusia dan pendidikan dipandang upaya kuat untuk pengembangan sumber daya yang berkualitas ( Z. A. Achmady dkk, 1994 : 26 ). Pengembangan sumber daya manusia mengimplikasikan pentingnya makna pendidikan sebagai wahana dan intrumen untuk pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan sekaligus dipandang sebagai investasi sumber daya manusia atau " human investment 2 dimasa mendatang. Pentingnya pembangunan pendidikan bagi 39 manusia dan masyarakat dalam pembangunan atau perubahan sosial bagi peningkatan sumber daya manusia menjadi pusat perhatian negara berkembang ( Asia , Afrika dan Amerika Latin ), melalui pendidikan formal, informal dan terutama sekali non formal bagi masyarakat miskin di pedesaan ( Philip Coombs : 1984 ). Konsep dasar sumber daya manusia bersumber pada kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan, individu dan sosial. Citra manusia Indonesia masa depan, secara ideologis~filosofis telah dirumuskan dalam Eka Prasetia Panca Karsa. Namun demikian secara operasional masih perlu dijabarkan ke dalam kehidupan keseharian secara nyata, kreatif dan dinamis, disesuaikan dengan keadaan masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal " Pancasila lu Aotlon ". Salah satu upaya mendasarnya yaitu disesusaikkan dengan kodrat manusia, baik sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, sosial maupun pribadi dalam struktur kebudayaan ( Pidato Presiden Soeharto dalam Dialog Utara-Selatan dan Selatan-Selatan, 1993 ). 1). Manusia sebagai mahluk Tuhan Xailg Maha Esa, bahwa manusia masa depan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, sekalipun secara kenyataan bisa berbeda, minimal sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. Ia seyogyanya memiliki budaya utama sebagai dasar ketahanan nasional. Dalam hal ini berawal dari kebersihan fisik dan rokhani yang menampilkan manusia yang sehat. Lebih lanjut ia harus menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila, disiplin dan jujur dalam melaksanakan peraturan dan undang-undang yang berlaku , hidup berwawasan jauh kedepan seperti digariskan dalam GBHN, memiliki pengetahuan dasar yang memadai dan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Semuanya itu merupakan dasar manusia dalam kehidupan yang berintikan moral Pancasila ( P ) yang seharusnya dimiliki setiap orang Indonesia sesuai dengan tingkat perkembangannya, termasuk masyarakat atau penduduk misikin pada desa tertinggal. 2). Manusia sebagai makhluk sosial. ia tak dapat melepaskan diri dari manusia lain. Ia selayaknya memiliki budaya 40 profesi yang dilandasi ilmu pengetahuan dan teknologi baik yang bersifat teknologi tepatguna maupun teknologi tinggi. Kebudayaan ini sebagai dasar upajiwa atau pencaharian untuk mendapatkan nafkah secara ekonomik, minimal untuk dirinya sendiri dan berangsur-angsur untuk orang lain. kemampuan ini selayaknya ditanamkan sedini mungkin baik melalui semangat belajar dan semangat bekerja yang dijiwai oleh etos dan budaya " yang berlangsung sepanj ang hayat. Sehubungan dengan pekerjaan,ia mempunyai kemauan dan kemampuan bekerja di orang lain, terutama bekerja bagi dirinya sendiri serta akan lebih baik apabila dapat memberikan pekerjaan kepada orang lain. Etos dan budaya kerja yang didukung dengan kemauan belajar setiap individu anggota masyarakat Indonesia, sangat mutlak diperlukan dalam menghadapi era globalisasi dewasa ini. Salah satu karakteristik kerja yang dapat mengentaskan kemiskinan dan memberantas pengangguran, setiap individu anggota masyarakat dengan dilandasi kemampuan pendidikan upajiwa kewiraswastaan atau keterampilan ekonomik untuk dapat mengembangkan kandungan potensi sumber daya alam setempat atau kandungan lokal. Misalnya masyarakat Bali dengan keterampilan untuk kerajinan ukiran dan seni, masyarakat Tasikmalaya dengan kerajinannya dan berdagang, masyarakat Padang dengan restorannya dsb. Kemampuan budaya semacam itu, sudah barang tentu setiap orang dilandasi dengan minat, keterampilan, kemahiran dan ahli sesuai dengan profesinya yang berlaku bagi kelompok masyarakat tertentu ( petani, pendidik, pedagang, pengrajin, dokter dan lain-lain ) memiliki etika sesuai dengan pengalaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan tatakrama kerja. Kemampuan semacam ini manusia dituntut untuk mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi ( IT ) sebagai dasar kehidupannya. Manusia sebagai makhluk individu, manusia memiliki keunikan sendiri yang sangat khusus dan berusaha untuk meningkatkan 41 sesuatu sebaik dan seindah mungkin sesuai dengan kodratnya karena ia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa maklhuk yang paling sempurna dan indah. Budaya seperti ini disebut budaya pribadi dalam bentuk seni hidup yang bersifat kreatif dan inovatif sesuai dengan kemampuan pribadinya. Kemampuan ini sangat realistik yang dimilikinya, sehingga tak dapat menanggalkan kemampuan seni ( S ) baik sebagai pelengkap budaya utama maupun budaya profesi. Ketiga nilai budaya bagi pembentukan manusia yang berkualitas adalah manusia yang dituntut untuk memiliki moral Pancasila ( P ), memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi ( IT ) dan seni hidup yang indah, kreatif dan inovatif ( S ). Tanpa kecuali bagi penduduk miskin pada desa tertinggal. Untuk membekali manusia yang syarat terhadap sumber daya yang berkualitas dari ketiga dimensi ( PITS ) tersebut, perlu membekali atau menyiapkan melalui upaya yang simultan dengan wahana utama " pembangunan pendidikan ". Begitu pula dikemukakan oleh Ginandjar Kartasasmita dalam makalahnya pada Seminar Kebijaksanaan Pendidikan, Pengembangan IPTEK dan Transformasi Sosial dalam rangka Dies Natalis UGM pada Bulan Desember 1994, bahwa penyiapan SDM dalam PJPT II mangacu pada konsep dasar dari manusia yang terdiri dari tiga komponen yaitu jasmani, akal dan kalbu. Sumber daya manusia adalah segenap potensi jasmani,akal dan kalbu yang satu sama lain mendukung dan dapat didayagunakan manusia untuk melakukan berbagai kegiatan guna mencapai tujuan hidupnya. Kualitas SDM sangat ditentukan oleh kualitas jasmani, akal dan kalbu. Kualitas jasmani diukur dengan derajat kesehatan. Kualitas akal diukur dengan derajat kecerdasan dan penguasaan ilmu pengetahuan serta kemampuan berpikir. Kualitas kalbu diukur dengan keimanan dan ketagwaan, budi pekerti, moral dan akhlak serta kepedulian dan kepekaan sosial. Oleh karena itu, SDM yang berkualitas manusia yang sehat jasmani, cerdas, berilmu pengetahuan luas berdaya pikir sehingga mampu menerapkan, menguasai dan mengembangkan iptek guna kemaslahatan umat manusia, beriman dan bertagwa kepada 42 Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur , bermoral dan berakhlak mulya, selalu condong dan berpihak kepada keadilan dan kebenaran, berkepribadian serta mempunyai kepedulian dan kepekaan sosial sehingga memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan yang tinggi. Manusia seperti itu manusia pembangunan yang efektif yang berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Untuk mewujudkan kualitas SDM tersebut faktor pendidikan sangat penting, terutama bagi penduduk miskin, karena gejala kemiskinan pada desa tertinggal ditandai oleh kurangnya atau tidak memiliki pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia melalui pembangunan pendidikan ( formal, informal dan non formal ) yang dirumuskan dalam kebijaksanan dibidang pendidikan yang berakses pada : a). Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang mengandung makna terhadap : (1) kesempatan (" eaualltv of. opportunltv (2) aksesibilitas ( " anesibilitv " ) dan (3) keadilan dan kewajaran ( " eouitv " ). b). Relevansi pendidikan yang erat kaitannya perubahan nilai yang didasari oleh kebutuhan iman, taqwa, iptek atau budaya dengan kebutuhan sektor dan program pembangunan. c). Kualitas proses dan produk pendidikan untuk menciptakan sumber daya manusia bagi kepentingan pembangunan. d). Efisiensi pendidikan yang erat kaitannya dengan tujuan pendidikan baik secara makro maupun mikro. 3. Sasaran Perubahan SDM dan Masyarakat Perubahan sosial dapat terjadi secara evolusioner maupun direncanakan. Perubahan sosial yang evolusioner biasanya lambat, monoton dan diiringi dengan sifat statis, karena terjadinya lebih berpusat pada pengaruh dari dalam sistem sosial. Perubahan sosial yang direncanakan, biasanya pengaruh luar sistem sosial sangat dominan dan menentukan terhadap perubahan sikap, kepribadian, keyakinan, motivasi maupun kebiasaan serta pengetahuan yang bermanfaat bagi perubahan nilai budayanya. 43 Dalam perubahan sosial dapat dilakukan melalui berbagai usaha pendekatan bagi percepatan yang diinginkan bagi proses pembangunan secara substansial. Salah satu yang perlu diperhatikan dalam sistem sosial, karena dalam masyarakat terdiri dari individu, kelompok dan organisasi, komunitas tertentu dan masyarakat maka pendekatan halayak sasaran dalam proses perubahan sosial perlu diperhatikan ( Noeng Muhadjir, Long et.al, Kunto dalam Slamet Margono, 1985 ). a. Sasaran Perubahan Sosial SDM Pada Individu Untuk melakukan perubahan individu dalam masyarakat dapat dilakukan model perubahan individu ( " change mau strateev " ) ataupun pendekatan perubahan mandiri (" self-help apprnanh " ). Model pendekatan tersebut beraneka ragam mencakup antara lain sebagai berikut : 1. Model perubahan kebiasaan individu dari Goodenough ( 1970 ), yang menekankan kerjasama antara agen pembaharu dengan warga masyarakat agar terjadi perubahan kebiasaan, sehingga dapat diadakan perubahan lingkungan masyarakat. Agen Pembaharu < > Warga Masyarakat Kerjasama 2. Model perubahan tingkah laku dari Kuenkel (1947),menekankan pada terciptanya proses belajar yang dilakukan oleh pemerintah/pendidik/penyuluh/fasilitator dalam konteks sosial agar terjadi perubahan tingkah laku individu anggota masyarakat. Pemerintah/ Pendidik/ Pembina/ > Anggota Masyarakat Penyuluh/ Proses Pendidikan Fasilitator < 3. Model reformasi dari Neihoff ( 1946 ), beranjak adanya gagasan, ide atau rencana yang diperkenalkan oleh pembawa inovasi kepada warga masyarakat, sehingga dari interaksi tersebut terjadi integrasi baru. 44 Inovantor > Gagasan > Masyarakat Integrasi Baru < 4. Model orientasi proses dari Batten ( 1956 ), menekankan pent ingnya perubahan sikap dan t ingkah laku manus ia sehingga pada gilirannya menggugah partisipasi warga masyarakat untuk melaksanakan pembaharuan. Perubahan sikap dan tingkah laku melalui hasil proses pendidikan dan pengorganisasian sebagai wujud dari hasil kerjasama antara pekerja sosial dengan warga masyarakat. 5. Model pemanfaatan serentak arus komunikasi Jenjang tunggal dan jenjang ganda. Model ini diadaptasikan sekaligus pada struktur sosial yang paternalistik dan mengkondisi tumbuhnya kehidupan yang lebih demokratis. Arus komunikasi jenjang tunggal dipakai untuk memperluas dan mempercepat jangkauan informasi tanpa reduksi. Sedangkan arus komunikasi jenjang ganda dipakai untuk menumbuhkan pemahaman, implementasi, implikasi dan menumbuhkan kemampuan untuk mengambil keputusan. Berbagai model tersebut menunjukkan bahwa dalam peningkatan kualitas individu merupakan proses transformasi nilai-nilai pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui sarana pendidikan. Dalam prosesnya bersifat " Learning prooess berupa informasi, gagasan, ide dan bentuk nilai lainnya baik yang bersifat abstrak ( konsep nilai ) maupun konkrit ( pengalaman dan pengetahuan riil ). Tegasnya seperti dikemukakan John Deway, Lewin, Piaget ( Lois Lamdin : 1991 > bahwa pendidikan merupakan suatu proses transformasi, dialektik dan analisis yang terintegrasi dari nilai " abstraction and experience " secara terus menerus dalam kehidupan manusia sebagai mahluk Tuhan, peribadi dan sosial. Begitupula dalam rangka pembangunan sosial untuk menumbuhkan partisipasi individu anggota masyarakat, tidak terlepas dari kesadaran dan tanggung jawabnya untuk memikul beban pembangunan terutama perannya selaku subyek dari pada sebagai obyek pembangunan di desa. Aspek sikap, kesadaran dan tanggung jawab individu anggota masyarakat dalam proses 45 pembangunan menunjukkan adanya kualitas pengetahuan, pengalaman dan keterampilan sebagai dasar partisipasinya dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan setiap individu anggota masyarakat selaku obyek dan pelaku program pembangunan penting dalam upaya : a. Perluasaan pendidikan yang dibutuhkan oleh aneka macam program pembangunan ; b. Pengembangan individu yang mempunyai akses terhadap variasi sosio-ekonomi dan kelompok etnis sosial ; c. Mempunyai sikap keterbukaan dan demokratis dalam memecahkan berbagai masalah sosial ; d. Pengembangannya difokuskan pada kemampuan untuk mengembangkan sumber daya lokal di wilayahnnya ; e. Pengembangan perilaku individu anggota masyarakat yang mempunyai komitmen dan akses terhadap kelangsungan program dan proyek pembangunan ( Ross dalam William R. Lassey dan Marshall Sashkin, 1983 ). Dalam kaitannya dengan program IDT, tentunya sasaran peningkatan kualitas SDM dari segi pendidikan sosial diarahkan pada manusia selaku makhluk pribadi, mahluk sosial dan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka yang dikatagorikan atau digariskan penduduk miskin seperti petani, nelayan, pengrajin maupun pedagang kecil memerlukan pendekatan pembinaan melalui " human approach " dan " human sfcjll " secara terus menerus sehingga menumbuhkan sikap dan tanggung jawab berupa percaya diri atau " self confidience " dalam mendukung produktivitas usahanya bagi peningkatan pendapatan dan kesehatannya menuju kesejahteraan hidupnya. b. Sasaran Perubahan Sosial pada SDM Kelompok dan Organisasi Perubahan sosial lewat halayak sasaran SDM kelompok dan organisasi berpegang pada prinsip bahwa kehidupan sosial tidak dapat dilepaskan dari struktur dan fungsi sosial. Ditinjau dari psikologi sosial, adanya iasumsi dasar bahwa adanya kecenderungan manusia untuk berkelompok, berorganisasi dan 46 bermasyarakat atas dasar interaksi dan komunikasi sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Perilaku manusia dalam kelompok, organisasi dan masyarakat didasarkan pada tipe dependensi, konterdependensi dan interdependensi sesuai dengan status dan peranannya ( William R. Lassey dan Marshall Sashkin : 1983 ). Kelompok dan organisasi masyarakat beragam mulai dari pendekatan kepentingan dan kebutuhan sosial, aksi atau tindakan sosial maupun struktur kehidupan dari sudut pendekatan politik, sosial, ekonomi maupun budaya. Beragamnya kelompok dan organisasi sebagai sasaran perubahan sosial, tidak terlepas dari faktor internal dan ekternal sistem nilai yang dianut, dipelihara dan dikembangkan. Kelompok sesuai dengan kepentingan, tujuan, interaksi dan komunikasi serta sistem nilai yang dianut dapat dibagi pada kelompok primer dan skunder serta kelompok formal dan informal. Kelompok akan menjadi organisasi manakala mengandung dasar yang memiliki nilai berupa aturan, norma dan etika yang mengikat dan dipelihara oleh setiap anggota untuk ditaati dan dipelihara bagi kepentingan tujuan bersama. Adanya proses kegiatan yang terorganisir untuk mencapai tujuan, apabila disertai dengan pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab anggotanya maupun adanya susunan kekuasaan yang herarkis dalam suatu organisasi. Kelompok dan organisasi cakupannya sangat luas dalam fungsi pembangunan masyarakat, seperti organisasi sosial, organisasi keluarga, organisasi kerja , organisasi kebudayaan, ekonomi maupun politik. Kelompok dan organisasi tersebut merupakan potensi dan kekuatan bagi sarana upaya menumbuhkan keterlibatan partisipasi sosial bahkan untuk mengakarkan pembangunan pada masyarakat. Kelompok dan organisasi sosial sebagai sasaran dalam rangka transformasi budaya beragam dipedesaan mulai dari kelompok yang bergerak dalam program agama sampai ekonnomi berupa Majelis Taklim , kesehatan misalnya NKKBS, kelompok tani seperti Mitra Cai dsb. Dalam rangka program pengentasan kemiskinan melalui program IDT berupa Kelompok Swadaya Masyarakat yang terdiri dari beberapa penduduk miskin yang ada di desa tertinggal. 47 Kelompok tersebut, dapat dipandang sebagai kelompok primer yang perlu mendapatkan informasi, pembinaan, bimbingan dan bantuan dana dari pemerintah sesuai dengan proses transformasi pendidikan sosial budaya dalam rangka " empowerment " dan pelembagaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta institutional building " bagi penguatan kelembagaan sosial yang berkiprah selaku " agen t of development ". Kelompok sasaran program IDT dalam bentuk KSM di desa tertinggal, terdiri dari kelompok penduduk miskin yang bekerja sebagai nelayan, petani, pedagang kecil, peternak, pengrajin dan kegiatan usaha kelompok masyarakat lainnya yang dalam kegiatan usahanya memerlukan transformasi pendidikan sosial dari pemerintah, khsusnya birokrasi pemerintahan selaku organisasi pelaksana program baik selaku penanggung jawab, pelaksana, pendamping maupun fasilitator pada tingkat Kecamatan dan Desa. Kelompok sasaran dalam rangka perubahan sosial tersebut, tentunya memerlukan penanganan yang lebih terencana dan terprogram melalui program pembangunan sumber daya manusia kelompok sasaran masyarakat miskin di desa tertinggal. c. Perubahan Sosial Pada KSM Komunitas Perubahan sosial dapat terjadi pada subsistem kepribadian ( individu ), sosial dan budaya, komunitas sebagai unsur dari masyarakat akan mengalami perubahan sosial. Komunitas dalam kaitannya dengan perubahan sosial beragam, dapat dipandang dari aspek mikro berupa kampung , marga, desa dan kota kecil. Sedangkan komunitas dilihat dari aspek makro dalam rangka perubahan sosial berupa kota besar, propinsi, bangsa dan seluruh umat manusia. Komunitas baik dilihat dari aspek makro maupun mikro yang beraneka ragam bentuknya pada prinsipnya mempunyai tiga unsur yang sangat kuatnya komunitas yaitu berupa kolektivitas manusia, lokasi georgrafis dan kesamaam yang memberikan identitas, pandangan dan tujuan hidup komunitas tersebut. Komunitas dapat diklasifikasikan berdasarkan ciriciri struktur sosial budaya, yaitu komunitas yang struktur 48 sosial budayanya sederhana ( tradisional ), madya ( transisional ) dan modern ( Selo Soemardjan dalam Slamet Margono, 1986 ). Terdapat enam model pendekatan perubahan sosial pada halayak sasaran komunitas, yang dihubungkan dengan kualitas manusianya, partisipasi dan pemanfaatan sumber daya lokal melalui proses " pemberdayaan manusia " yaitu : 1). Pendekatan komunitas sebagai suatu kesatuan atau " the community approach " , pendekatan ini menekankan pentingnya partisipasi anggota komunitas secara lintas bagian dalam lokalitas tertentu- Partisipasi sepenuhnya dari anggota masyarakat ini sangat diperlukan untuk menentukan dan memecahkan problematiknya sendiri dengan menggunakan prosedur yang demokratis dan kepemimpinan sendiri. 2). Pendekatan penanggulangan mandiri lewat informasi atau the Information self-help approach ", pendekatan komunitas ini dianggap sebagai suatu hal yang berubah, sehingga informasi yang diberikan pada komunitas pada saat yang tepat akan dapat menolong mereka, baik informasi dari luar komunitas berupa para ahli dari anggota komunitas sendiri. 3). Pendekatan lewat pemecahan masalah tertentu atau " the special purpose eolving approach " , pendekatan ini menganggap bahwa manusia anggota komunitas mampu menentukan pilihan secara rasional dengan mengenyampingkan pertimbangan emosional. Lokalitas walaupun penting, sering kurang dapat diandalkan secara operasional, sehingga lebih tepat perhatian dipusatkan pada pemecahan masalah tertentu. Interes yang sama didasari kebutuhan dan masalah yang dirasakan bersama , merupakan hal yang fungsional yang dapat menumbuhkan loyalitas terhadap komunitas. 4). Pendekatan eksperimental atau " the experlmental approach ", pendekatan ini mencari model pendekatan yang tepat lewat observasi dan analisa, untuk akhirnya memperoleh penyempurnaan teoritik maupun aplikasinya. Eksperimen disini lebih tepat kaitannya dengan aksi penanggulangan terhadap peningkatan kualitas komunitas dilihat dari berbagai faktor manusianya. 49 5). Pendekatan lewat introduksi percontohan atau " the demonstration approach ", pendekatan ini juga sering disebut dengan jenis pendekatan " show and tell " , dimana yang dperagakan adalah hasil uji coba yang dianggap berhasil dan siap untuk diterapkan. Dalam pendekatan ini ditunjukkan dan diperagakan metode, prosedur ataupun hasil pengembangan yang dianggap tepat guna dapat diterapkan dalam suatu komunitas. 6). Pendekatan lewat konflik kekuasaan atau " the power conflict approach " , pendekatan ini mempunyai kerangka berpikir dan dasar teori yang sangat berbeda dengan pendekatan sebelumnya, dimana keserasian kehidupan dan fungsionalisasi suatu komunitas sangat diutamakan. Dalam pendekatan ini, konflik kekuasaan sebagai dasar dari perubahan sosial dalam waktu tertentu yang ditimbulkan oleh unsur kekuasaan yang ada pada komunitas tersebut. Berbagai pendekatan untuk perubahan sosial pada komunitas mempunyai keragaman, sasaran dan landasannya yang berbeda, tentunya pendekatan yang baik adalah kondisional dan relevan dengan ciri struktur budaya komunitas yang bersangkutan. Bagi komunitas pedesaan yang mempunyai karakteristik masyarakat miskin yang melanda petani dan nelayan digambarkan Robert Chambers ( 1993 ) seperti ditandai oleh pemilikan aset rumah gubug, terisolasi dari dunia luar, lemah fisik dan ratio, ketidak berdayaan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak tidak memiliki kekuatan hukum dan tanpa perlindungan hukum, sehingga model pendekatan komunitas seperti ini memerlukan pendekatan sistemik, baik dari segi perubahan sikap dan perilaku manusianya, kebijakan pemerintah dan institusi sosial maupun metode transformasi sosial yang terpadu. Oleh karena itu, pendekatan perubahan sosial bagi peningkatan sumber daya manusia kelompok sasaran miskin sebagai komunitas sosial di desa tertinggal, dilakukan beberapa pendekatan program IDT yaitu demokratis, keswadayaan, terdesentralisasi maupun kegotongroyongan yang satu sama lain dilaksanakan secara terpadu, simultan dan berkelanjutan. 50 B. Strategi Pembangunan : Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan Menuju Pembangunan Manusia Dinamika sosial mempunyai makna strategis dalam proses pembangunan sesuai dengan era globalisasi dan arus informasi yang semakin deras dalam puncak keunggulan budaya. Makna strategis, karena dinamika sosial mempunyai interelasi, interdependensi dan korelasi dengan perkembangan budaya, pertumbuhan ekonomi serta pembinaan politik yang bersifat integral-komprehensif dalam rangka pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat. Karakteristik yang menonjol dari komitmen peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan hampir setiap negara melaksanakan berbagai program pembangunan yang terencana dan berkesinambungan atau " programme oriented and sustainable development ". Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan yang terencana dari situasional yang satu kesituasional yang lain yang dinilai lebih baik ( Katz dalam Mooelyarto. 1993 ). Dengan perkataan lain Phillip Roupps ( 1953 : 16 ) " development signifles change from something throught to be more desirable Adanya proses perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Pada awalnya, proses pembangunan difokuskan terhadap pertumbuhan ekonomi dan proses perubahan sosial secara kumulatif dengan ekonomi dan demokrasi politik. Pembangunan suatu proses yang saling terkait dan terjadi dalam lingkaran sebab akibat secara kumulatif atau " Civcular Cumulative Causatlon ( Gunnar Myrdal, 1956 ). Konsep pembangunan mempunyai kaitan dengan nilai, strategi, dan indikator yang menjadi domain setiap negara berkembang. Konsep pembangunan mempunyai interpretasi yang secara diametrik bertentangan satu sama lain, mulai dari perbedaan dalam perspektif ontologi dan epistimologi pada tingkat filsafat sampai pada tingkat empirik. Ditinjau dari hakekat nilai dan strategi pembangunan yang harus dicapai terdapat perbedaan dari paradigma pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas dari indikator ekonomi klasik versus indikator neo51 ekonomi; perbedaan proses pembangunan dari teori konflik dan ekuilibrium ; perbedaan penahapan dan Jalur pembangunan ( unilinier versus multylinier , necessity model versus possibility model ); perbedaan antara hubungan bangsa dalam proses pembangunan ( dependency model versus diffusionisme ); perbedaan keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya ( limit to growth versus model of doom ); perbedaan pandangan pemikian faktor produksi ( capitalist mode of production versus socialist mode of production ); perbedaan dalam strategi pembangunan pertanian versus industri : big push strategy versus unbalanced growth strategy dan lain sebagainya ( Moelyarto T., 1993 ). Paradigma pertumbuhnan sosial ekonomi ditinjau dari konsep pembangunan " growth paradlgm " menimbulkan kelompok negara maju dan berkembang- Untuk mengejar ketinggalan sosial ekonomi pada negara berkembang diterapkan konsep paradigam pertumbuhan " growth paradiem ", yang ditandai oleh Pertumbuhan Pendapatan Nasional ( Gross National Productivity or GNP }. Peningkatan GNP tidak menjamin distribusi Pendapatan Nasional dan harapan " trlckle down effect " tidak tercapai untuk mengatasi dan menghapus kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Paradigma pertumbuhan menimbulkan ketimpangan yang lebih besar. Kemudian diterapkan konsep pembangunan dengan paradigma pertumbuhan dan pemerataan atau " growth and epultv Hasilnya dapat dirasakan dalam perbaikan sosial ekonomi masyarakat, tetapi ternyata dihawatirkan terjadi eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang mengancam kelangsungan pembangunan. Kemudian diterapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan atau " sustainable development " yang didukung dengan pendekatan " konsep pembangunan manusia " atau " human development ". Proses pembangunan berkelanjutan yang menitik beratkan pendekatan pembangunan manusia erat kaitannya dengan pembangunan sebagai sistem, metode dan gerakan dalam rangka perubahan sosial ( Sarkansky, 1973 : 5 dan Katz dalam Riggs : 1971 ). Lebih lanjut keduanya menjelaskan bahwa pembangunan 52 sebagai sistem mencakup komponen-komponen : a) Masukan terdiri dari nilai, sumber daya manusia, alam, budaya dan kelembagaan masyarakat; b) Proses, kemampuan organisasi dan manajemen pemerintahan dalam melaksanakan program pembangunan; c) Keluaran, berupa perubahan kualitas perilaku manusia yang berakses pada kognisi, afeksi dan keterampilan yang berkaitan dengan taraf hidupnya. Pembangunan sebagai Gerakan mengandung makna bahwa pembangunan sebagai usaha sadar, terorganisir, terarah dan berkelanjutan yang dilakukan birokrasi pemerintah bersama masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan sebagai Metode berorientasi pada upaya penciptaan kemajuan sosial ekonomi yang didukung oleh pengorganisasian dan peran serta masyarakat selaku pelaku pembangunan. Berdasarkan pengalaman pembangunan di Pakistan ( Mahbub UI Haq, 1983 ) mencatat bahwa pembangunan yang terlalu bertumpu pada pembangunan ekonomi dan GNP akan berakibat pada semakin lebarnya jurang antara kaya dan miskin. Oleh UI Haq ini merupakan kesalahan, karena kurang mengacu pada upaya menghapus bentuk gejala kemiskinan, tetapi lebih berfokus pada pencapaian tingkat pendapatan perkapita yang tinggi dan akibatnya tumbuhnya kemiskinan, ketimpangan dan kebodohan atau " dlrect attact to the poverty, distributioan and inliteracy . Mc. N amar a yang sejalan dengan UI Haq. dalam Pidatonya didepan Direksi Bank Dunia tahun 1980 menyarankan agar Pemerintah negara berkembang mengubah kebijaksanaan pembangunan untuk memerangi kemiskinan bagi golongan penduduk miskin sebesar 40 % dari jumlah penduduk itu, tanpa mengorbankan tujuannya untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang kokoh. Dudle Seer berpendapat bahwa proses pembangunan akan bermakna bila prosesnya mampu mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Seer mempertanyakan apakah hasil - hasil pembangunan yang telah dilakukan menjawab ketiga masalah tersebut. " The question t o ask about a country's development are therefore : What has been happening to poverty ? What has been happening t o un empl oymen t ? What has been happening 53 to Ineguallty ? I f all o f three o f these have declalned f r om hlgh level s, then beyond doubt this has been a prlod o f development for the country concerned. I f one or two o f these central problem have been growing worse, espesially It all there have, it would be strange to call the result " development " event If per capi t a income doubled " ( Seer dalam Moeljarto Tjokrowinoto, 1993 ) Baik UI Haq, Mc. Namara dan Seer lebih menekankan pada pertumbuhan dan pemerataan pembangunan sebagai suatu paradigma dalam konsep pembangunan. Namun demikian pandangan Dennis Goulet ( Moeljarto Tjokrowinoto, 1993 ) bahwa gejala under deve lotane nt'' bukanlah semata-mata masalah ekonomi ( kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan ), tetapi merupakan pengalaman deprivasi yang disadari adanya " shock o f underdevelopment ". Untuk menghindari gejala tersebut, Goulet memberikan konsep pembangunan yang memiliki tiga komponen utama : yaitu kelangsungan hidup (" llfe-sustenance " ), kehormatan diri ( "self esteem ") dan kebebasan (" freedom "). Selain itu, pembangunan harus dapat menciptakan kualitas diri yang berupa keautentikan (" authencity "), identitas (" identity " }, kemulyaan (" dlgnlty" ), kehormatan (" respect "), dan pengakuan ( " recognition "). Kegagalan orientasi pembangunan pada paradigma pertumbuhan dan pemerataan, selain menekankan pada pendekatan human development " juga menekankan pada model pembangunan kebutuhan dasar manusia atau " baslc needs strategy Kebutuhan dasar manusia mempunyai tingkatan berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, hubungan sosial, harga diri dan aktualisasi diri ( Abraham Maslow , 1954 ). Alderfer ( 1972 ) mengelompokkan kebutuhan dasar manusia dari Maslow menjadi tiga katagori yaitu kebutuhan untuk keberadaannya ( " needs for existence" ), kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain (" needs for relatedness") dan kebutuhan untuk pengembangan diri ( " needs for growth "). Laporan Bank Dunia tahun 1980 tentang Kemiskinan dan Pembangunan Manusia bahwa Kebutuhan dasar manusia dalam 54 mengatasi kesenjangan sosial ekonomi pada masyarakat miskin sehubungan dengan pembangunan manusia tidak lain adalah kesempatan pemenuhan gizi, pelayanan kesehatan, cukup penghasilan, kesempatan memperoleh pendidikan dan kehidupan keluarga sejahtera ( " pollcy againt poverty " ). Kebijakan pengentasan kemiskinan merupakan sasaran multidimensi terpadu dan dirumuskan dalam model hubungan kebutuhan dasar manusia sebagai berikut : GAMBAR.II.3. MODEL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEMISKINAN ) ( POLICY AGAINT POVERTY ) * Land ownership and tenure * Inveetment allocation * Technology and research * Agriculture * Domestic saving * External trade * External capital * Taxation and transfer income health nutrition public health, sanitation, an housing food production subsidies/rations, food fertification educat ion fert ility public education family planning incentive Gema strategi kebutuhan dasar dalam pendekatan kemiskinan dan pembangunan manusia semakin besar dan banyak dianut oleh negara berkembang. Kita harus mengakui kebutuhan dasar dari setiap negara berbeda, perbedaan ini dilandasi oleh model dan strategi pembangunan yang dilaksanakan, disamping itu, konsep kebutuhan dasar bersifat dinamis yaitu kebutuhan dasar dari suatu priode ke priode yang lain. Semakin maju suatu negara, 55 kebutuhan dasar manusianya akan meningkat. Streeten ( Syahrir, 1986 ) mengatakan bahwa terjadinya perbedaan dalam menentukan kebutuhan dasar dari setiap negara, pada hakekatnya didasarkan pada pendekatan tiga tujuan pokok yaitu : 1. Terpenuhinya kebutuhan minimum keluarga untuk konsumsi : pangan, sandang, papan dan sebagainya ; 2. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan publik ( " access to public services " ) ; 3. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam formulasi dan implementasi program atau kebijaksanaan yang menyangkut diri masyarakat. Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dasar minimal dari setiap negara, peranan pemerintah sangat penting dalam menyalurkan pelayanan masyarakat. Pelayanan publik yang dilakukan birokrasi pemerintahan pada negara-negara berkembang terus menerus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh arus informasi maupun dinamika dan tuntutan masyarakat ( Rondinnelli, 1989 ). Dalam paradigma pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan masyarakat miskin selain dibutuhkan pelayanan publik yang efisien dan efektif oleh birokrasi pemerintahan, juga dituntut terciptanya suatu kondisi pemberian akBes yang sama pada setiap penduduk dalam memperoleh pelayanan publik. Terciptanya akses yang terbuka dan sama dalam pelayanan publik kepada lapisan masyarakat diperlukan bagi pemerataan hasil -hasil pembangunan dan pelayanan publik. Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka memperoleh akses dan memanfaatkan kesempatan serta kemampuan untuk menggunakan pelayanan publik. Terdapat keterhubungan yang erat antara pembangunan, kebutuhan dasar manusia serta kepentingan lapisan masyarakat dengan pelayanan publik yang optimal dari birokrasi pemerintahan, tentunya di dukung oleh kesempatan untuk memanfaatkan dan mampu menggunakannya. Di dalam pelaksanaannya, strategi pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan dasar manusia, cenderung 56 memanifestasikan charlty strategy dari pada penumbuhan kemampuan masyarakat untuk dapat " self sustalnlng ". Bentuk strategi seperti ini oleh Feire dalam Moeljarto ( 1993 ) disebut " assjstenclali sm " yang memandang masyarakat sebagai obyek asistensi dan obyek bantuan di dalam bentuk pelbagai pelayanan dan pemberian fasilitas sosial. Strategi pembangunan dengan menitik beratkan bantuan kepada masyarakat justru memperbesar ketergantungan masyarakat pada uluran tangan pemerintah ( " dependency " ) dan pada hakekatnya merendahkan hakekat dan martabat manusia ( Moelyarto, 1993 : 24 ). Hal ini disadari bahwa untuk menumbuhkan oto aktivitas dan swadaya masyarakat dalam proses pembangunan, stimulasi dari pemerintah sangat dibutuhkan terutama bagi lapisan masyarakat miskin dan posisi Btrategis peranan dan fungsi pemerintah pada negara berkembang sangat dominan selaku motivator, dinamisator, dan komunikator dalam berbagai aspek pembangunan. Perlu disadari, meskipun berbagai program pembangunan dilaksanakan secara optimal, tetapi tidak menjamin bahwa akses masyarakat miskin terhadap program pembangunan akan cepat meningkat dengan sendirinya, terutama dengan strategi assistence " dari pemerintah. Korten ( 1984 : 176 ) mengatakan banyak program pembangunan tidak mampu meningkatkan akses masyarakat terhadap program pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, bahkan gagal dalam mencapai program tersebut. Kendala besar dalam pelayanan publik adanya perbedaan sosial ekonomi masyarakat beragam dengan kemampuan birokrasi pemerintahan. Pemerintah dalam melakukan pelayanan publik harus memperhatikan kondisi lokal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan kelompok sasaran masyarakat. Inti dasarnya terletak pada proses kebijakan publik, dan pendekatan terhadap operasionalisasi kebijakan publik tersebut. Bertitik tolak dari kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar atau " basic needs approach " dan untuk menutupi kelemahan tersebut, pada akhirnya muncul strategi pembangunan kualitas manusia atau " Strategy o f Human Approach" , strategi ini juga 57 sering dikatakan " people-centered development " ( pembangunan yang berpusat pada manusia atau kualitas manusia ). Pembangunan yang berpusat pada arah manusia di Indonesia mendapatkan tempat sejak dikeluarkannya GBHN tahun 1988-1983 dan GBHN tahun 19931998. Tujuan pembangunan Indonesia adalah untuk membangun kualitas manusia Indonesia seutuhnya dan arah pembangunan pada PJPT II untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia agar makin maju, mandiri dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Pembangunan yang berpusat pada manusia memandang manusia sebagai individu dan warga masyarakat merupakan fokus dan sumber utama pembangunan. Seperti ditegaskan oleh G. Satari dan Kedi Suradisastra dalam Seminar Nasional Upaya Peningkatan Pendidikan Dalam Pengentasan Kemiskinan Pada Desa Tertinggal yang diselenggarakan di IKIP Bandung pada tanggal 24-26 Oktober 1994, bahwa : Dalam PJPT II manusia dan masyarakat Indonesia ditempatkan sebagai titik pusat dari segenap pembangunan, sekaligus sebagai modal dasar atau kekuatan, sebagai faktor dominan dan determinan serta sebagai sasaran utama pembangunan. Pembangunan manusia merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia yang memiliki keaneka ragaman sosio-budaya dan perkembangan kondisi ekonominya antar golongan masyarakat dan wilayah berbeda tingkat kemampuannya ". Oleh karena itu pembangunan yang berpusat pada manusia dan masyarakat Indonesia, sasaran utamanya adalah peningkatan sumber daya manusia ( SDM ) agar mereka mampu berperan serta secara aktif dalam pembangunan, mempunyai kemandirian dan mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas Nasional dalam menghadapi dan menangani tantangan-tantangan permasalahan dalam dan luar negeri. Pembangunan yang berpusat pada manusia seperti dikemukakan Thomas ( dalam Moelyarto, 1993 ) adalah : "... a sence o f sel f - worth and a personal capaclty for actlvely particlpating in life's important decislon ... a sence o f political offlcacy which, when realized, converts 58 passive resipients lnto actlve, contributing partlcipants in the development process... soclal development becomes the liberation of human belng and communities from passive reclplents to words a developed, active citizenry capable ov partlclpating in choices about communlty issues Komitmen pemerintah dalam pembangunan kualitas manusia ( GBHN, 1993-1998 ) yaitu dengan ditegaskannya manusia dan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, maka pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, membina serta menciptakan suasana yang menunjang proses pembangunan. Keinginan yang kuat dari pemerintah untuk mendudukkan masyarakat tidak hanya sebagai obyek pembangunan, tetapi sebagai subyek guna mengembangkan kemandiriannya. Karakteristik pokok pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia dikemukakan Korten ( dalam Moelyarto, 1993 ) adalah sebagai berikut : a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat ditingkat lokal, yang di dalamnya rakyat memiliki identitas dan peranan yang dilakukan sebagai partisipasi yang dihargai ; b. Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi dan mengerahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan yang khas menurut daerah mereka sendiri ; c. Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan dan karenanya mengakui arti penting pilihan nilai individual dan pembuatan keputusan yang terdistribusi ; d. Dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses " social learning " yang di dalamnya terdapat interaksi kolaborasi antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada saling belajar ; e. Budaya kelembagaan ditandai adanya organisasi yang mengatur diri sendiri dan lebih terdistribusi, yang menandai unitunit lokal yang mengelola diri sendiri, yang terintegrasi satu sama lain guna memberikan umpan balik pelaksanaan yang cepat dan kaya kepada semua tingkat organisasi yang 59 membantu tindakan koreksi diri.Dengan demikian keseimbangan yang lebih baik antara struktur vertikal dan horizontal dapat terwujud. f. Proses pembentukan jaringan koalisi dan komunikasi antara birokrasi dengan lembaga lokal ( LSM ), satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasi dan mengelola berbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horizontal. Strategi dan pendekatan pembangunan yang demikian lebih memfokuskan pada unggulan potensi untuk memperbaiki proses pelaksanaan pembangunan dengan memberi kekuatan, kesempatan dan kekuasaan individu, kelompok sasaran lokal, masyarakat serta struktur kelembagaan pembangunan ( " capacity, capability and institutional locally " ), agar berpartisipasi dalam proses pembangunan. Pendekatan ini berusaha untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada birokrasi pemerintahan. Birokrasi pemerintahan dalam pelayanan publik hendaknya lebih melakukan peran dan fungsi sebagai " steering organization ketimbang sebagai " rowing organization " untuk menjamin tumbuhnya " self-sustalning capacity " masyarakat menuju sustained development " seperti disarankan Osborne dan Gaebler Tead ( 1992 ). Pada hakekatnya strategi dan pendekatan pembangunan manusia untuk menumbuhkan otonomi perilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Interaksi tersebut merupakan kristalisasi dari faktor-faktor situasional dengan kognisi, keinginan, sikap, motivasi dan responsnya. Latar belakang sosio-kultural, status sosial dan tingkatan hidup menentukan kesempatan dan kemampuan untuk berproses dalam pembangunan. Faktor internal manusia dan lingkungan sosial, terutama sekali kelembagaan sosial untuk tumbuhnya " eelf-sustaining capacity " mempunyai derajat penting bekerjasama dengan kelembagaan pemerintahan dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia yang berkelanjutan. 60 Kapasitas dan kapabilitas dari kualitas sumber daya manusia dalam proses pembangunan yang berkelanjutan oleh ( Bryant dan White, 1987, 22-23 ) mempunyai implikasi tertentu yaitu : Pertama, pembangunan memberikan perhatian terhadap kemampuan " atau " capaci ty ", terhadap apa yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dan tenaga guna membuat perubahan. Ini menunjukkan kapasitas terhadap harga diri, dalam memikirkan dan membentuk hari depan yang baik; Kedua. pembangunan harus mencakup " keadilan " atau " egult y", perhatian yang tidak berimbang terhadap kelompok tertentu akan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat dan mengurangi konsistensinya ; KetigaT pembangunan berusaha untuk menumbuhkan kekuasaan dan wewenang bertindak yang lebih besar kepada si miskin. Penumbuhan kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat akan menerima manfaat pembangunan yang besar. Keempatf pembangunan harus memperhatikan masa depan melalui keberlanjutan program pembangunan tersebut atau sustainability Kelima. pembangunan memperhatikan keseimbangan antara titik berat manusia dengan kelangsungan sumber daya lingkungannya atau " resources o f envlroiwentlingkage ". Untuk menggambarkan strategi pembangunan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia yang unggul dan mempunyai kepedulian terhadap sosial. David C. Korten ( 1984: 182 ) mengajukan suatu model interaksi antara masyarakat kelompok sasaran pembangunan, program pembangunan dan organisasi pelaksana pembangunan. Model tersebut sering disebut kesesuaian tiga arah " atau three way fit model. Model ini berasumsi bahwa daya kerja dari suatu program pembangunan adalah merupakan fungsi kesesuaian antara mereka yang dibantu atau "beneficiarlea program pembangunan dan organisasi yang membantu. Dengan istilah lain, program pembangunan akan berhasil dan gagal memajukan kesejahteraan suatu kelompok sasaran masyarakat, dipengaruhi oleh kualitas derajat kesesuaian antara kebutuhan pihak penerima dengan program, persyaratan program 61 dengan kemampuan nyata dari organisasi pembantu, dan kemampuan pengungkapan kebutuhan oleh organisasi pembantu. Oleh karena itu, suatu program pembanguan agar menjadi akses dan komitmen yang melekat pada masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai sence of bilonging dan sence of responsibility " kesesuaian tiga arah ini harus disosialisasikan dan dilembagakan melalui kebijakan publik. GAMBAR.II.4 : MODEL KESESUAIAN PEMBANGUNAN Persyaratan Tugas Hasil Program Kemampuan Khusus Kebutuhan-kebutuhan Proses-proses Keputusan Organisasi Saran Pengungkapan Kebutuhan I ( Diadaptasi dari : David C. Korten dan Rudy Klauss, Centered Developmentz 1994 ). 62 People C. Pembangunan Masyarakat Dalam Mengatasi Kemiskinan Di Pedesaan 1. Makna Pembangunan Masyarakat Pembangunan manusia dan pembangunan masyarakat satu sama lain berkaitan, karena manusia secara kodrati mempunyai kecenderungan hidup dalam masyarakat sesuai dengan kedudukannya manusia sebagai makhluk individu, Tuhan Yang Maha Esa dan sosial- Dalam kehidupan masyarakat terdiri dari individu, kelompok , komunitas yang melakukan interaksi dan komunikasi satu sama lain baik secara terorganisir maupun tidak untuk mencapai kepentingan nya secara bersama dalam berbagai kebutuhan hidup dan kehidupannya. Semua pembangunan menyangkut bahkan ditujukan untuk masyarakat, tetapi pembangunan masyarakat sebagai metode mempunyai karakteristik tersendiri. Pembangunan masyarakat tidak saja bermaksud membina hubungan dan kehidupan setiap orang untuk hidup bermasyarakat, melainkan untuk membangun masyarakat karena setiap satuan masyarakat mempunyai kekuatan sendiri yang disebut " community power ". Suatu masyarakat dapat kehilangan kekuatannya jika masyar&kat itu mengalami community disorganization " , untuk itu pentingnya pembangunan masyarakat jika diingat bahwa masyarakat komunitas perlu disiapkan untuk memasuki bentuk masyarakat atau society baik untuk masyarakat pedesaan maupun perkotaan ( Talziduhu Ndraha, 1986 ). Masyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat adalah masyarakat dalam arti " community " atau komunitas. yang berarti memiliki sistem budaya dan sistem sosial serta sejarah tertentu pada pemukiman terkecil. Komunitas dari pendekatan antropologis adalah pemukiman kooil penduduk yang bersifat mandiri yang mempunyai perbedaan satu sama lain serta dicirikan oleh kesadaran kelompok atau - " group consciusness ", anggotanya saling mengenal secara pribadi, bersifat homogen dan hidup mandiriSedangkan dari pendekatan sosial, mempunyai kontekstual yang erat dengan masyarakat pada umumnya antara kehidupan masyarakat pedesaan dan perkotaan, masyarakatan 63 paguyuban dan patembeyan, masyarakat tradisional, industrial dan post industrial yang mempunyai karakeristik tertentu. Karakteristik masyarakat tersebut ditinjau dari segi bentuk pengorganisasian, interaksi, stratifikasi, kekuasaan, komunikasi, kerjasama maupun pencapaian tujuannya. Pembangunan masyarakat dalam artian komunitas maupun masyarakat umum dikaitkan dengan masyarakat industrial desawa ini mengundang perhatian para ahli seperti Priedman, Bryand and White ( 1992 ) yang menekankan pada karakteristik masyarakat atas dasar kemampuan, kebersamaam, kemerataan, keberdayaan , kemandirian, dan saling tergantungan. John Naisbitt dalam Megatrend" dengan ciri masyarakat industrinya. Daniel Bell ( 1973 ) di dalam memasuki post masyarakat industri, masyarakat diramalkan adanya peralihan pasca industri yang dicirikan oleh masyarakat penghasil jasa, profesional, pengetahuan teoritik , orientasi masa depan dan timbulnya teknologi intelektual baru. Gambaran tersebut, membawa konsekuensi terhadap masyarakat ideal sebagai akibat kebokbrokan moral dan etika sosial dikemukakan oleh Ashley Montagu dan Floyd Matson dalam The Dehumanizatlon o f Man " mengusulkan konsep " The Good Community and Competency " . Konsep komunitas yang baik atau "The Good Community " mengandung sembilan nilai yaitu : 1). Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi, adanya kelompok Juga kelompok primer. 2). Komunitas memiliki otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung Jawab. 3). Memiliki vialibilitas yaitu mempunyai kemampuan memecahkan masalah sendiri. 4). Distribusi kekuasaan merata, seting setiap orang berkesempatan real, bebas memilih dan menyatakan kehendaknya. 5). Kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif untuk kepentingan bersama. 6). Komunitas memberi makna kepada anggotanya. 64 7). Adanya heterogenitas dan beda pendapat. 8). Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat kepada yang berkepentingan. 9). Adanya konflik dan " managing conflict ". Selanjutnya, dalam masyarakat kompeten yang komponenkomponennya adalah mempunyai nilai : 1). Mampu mengindentifikasikan masalah dan kebutuhan komunitas. 2). mampu mencapai kesepakatan tentang sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritasnya. 3). Mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui. 4). Mampu bekerjasama rasional dalam bertindak mencapai tujuan. Oleh karena itu, penting dalam pembangunan masyarakat memperhatikan karakteristik komunitas dan masyarakat umum, terutama dihubungkan dengan kekuasaan dan kekuatan pentingnya informasi yang bersifat global, pesatnya ilmu pengetahuan serta sumber daya manusia faktor utama bagi perubahan sosial dan kemajuan masyarakat. Pembangunan masyarakat dalam arti sosial merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita negara menuju kesejahraan ( Welfare State ). Pembangunan masyarakat dalam rangka welfare state " semula digunakan oleh William Temple pada tahun 1941 dan digunakan secara umum setelah Perang Dunia Kedua. Untuk menunjukkan bahwa negara tidak lagi hanya bertugas sebagai polisi yang bertanggung jawab memelihara ketertiban dan menegakkan hukum, atau sebagai hakim yang menyelesaikan perkara dan mendamaikan orang yang bersengketa, tugas utama sekarang adalah peningkatan kesejahteraan semua warga negara baik dalam wujud komunitas, suku dan masyarakatnya. Pembangunan masyarakat sebagai bagian integral dari pembangunan secara nasional dengan pembangunan lainnya yang dilaksanakan oleh negara-negara berkembang bervariasi, karena mempunyai batasan terhadap budaya dan kaitannya dengan konteks ciri sosial yang ada pada masyarakatnya, tetapi mempunyai dasar pertimbangan yang bersifat multidimensional, kesejahteraan lebih diutamakan, pembangunan selalu membawa efek 65 sosial, kemiskinan, ketimpangan dan kebodohan dampak dari tidak seimbangnya pembangunan sosial. Seperti dikemukakan oleh Moeljarto Tjokrowinoto ( 1993 ) bahwa pembangunan sosial bersifat lintas budaya dan lintas waktu yang dipengaruhi oleh sosio-kultural dan sosio-politie. Terdapat tiga katagori makna pembangunan sosial atau masyarakat yaitu : a. Pembangunan sosial atau masyarakat sebagai pengadaan pelayanan masyarakat. Pembangunan sosial seperti ini menginterpretasikan adanya usaha terencana untuk membangun dan memberikan fasilitas sosial sesuai dengan kebutuhan Nasional, yang mencakup program nutrisi, kesehatan, pendidikan, kesejahtraan dan peningkatan kehidupan sosial, terutama dalam rangka memberantas kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan masyarakat. b. Pembangunan sosial atau masyarakat sebagai upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang komplek dan bervariasi. Tujuan sosial yang komplek dan variasi dalam rangka pembangunan sosial mencapuk proses pencapaian keadilan sosial, persamaan, pemerataan, peningkatan budaya, kedamaian pikiran ketentraman bathin dan lain sebagainya. Negara Asia dan Pasifik Selatan misalnya, menolak interpretasi pembangunan masyarakat secara sempit sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menekankan kepada interpretasi pembangunan masyarakat sebagai " communlty self-reliance " dan family sel f reliance " ( O'Collins dalam Moeljarto, 1993 ). Begitu pula aspek " human dlgnity dan " social egulty " sebagai pembangunan masyarakat di Afrika mewarnai terhadap upaya dari dominasi bangsabangsa pada masa kolonial sehingga menempatkan nilai seperti antidominasi dan penindasan, kemulyaan martabat manusia, dan kebebasan sebagai tujuan sosial dari pembangunan masyarakat mereka. c. Pembangunan Sosial sebagai upaya yang terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk berbuat. Pembangunan sosial ini berorientasi pada derivasi dari paradigma 66 pembangunan yang berpusat pada manusia ( " people-centered development" ). Dengan anggapan dasar dari interpretasi pembangunan masyarakat bahwa manusia, bukan ekonomi dan teknologi yang menjadi fokus dan sumber pembangunan yang utama. Kehendak, komitmen dan kemampuan manusia sebagai anggota masyarakat merupakan sumber pembangunan yang strategis. Pembangunan masyarakat dengan demikian, menyangkut suatu upaya yang terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensialitas anggota masyarakat dan memobilisasikan antusiasme mereka untuk berpartisipasi secara aktif di dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Dengan kata lain, merupakan upaya t o promote the empowermen t o f people, instead o f perpetuatlng the dependency-creatlng re J a t i onshi ps to characterlstlc of top-down approach " . ( Hollnsteiner dalam Moeljarto, 1993 ). Pembangunan ini lebih menekankan pada sustalned development " yang menuntut kemampuan masyarakat untuk membangun atas kekuatan sendiri, untuk membangun dengan swasembada melalui " sel f sustaining " dan " sel f to help and sel f for creative " . Pembangunan masyarakat dapat dipandang dalam arti luas sebagai perubahan sosial yang terencana yang berusaha meningkatkan dan perbaikan masyarakat secara umum dari segi budaya, ekonomi, sosial, politik, agama. Sedangkan pembangunan masyarakat dalam arti sempit berarti perubahan sosial berencana pada lokalitas atau komunitas tertentu seperti kampung, desa, kota dan sebagainya. Dikaitkan dengan proyek atau program yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, sepanjang mampu dikelola masyarakat setempat. Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1956 melalui Dewan Sosial Ekonominya merumuskan makna pembangunan masyarakat dan telah diterima secara luas adalah sebagai berikut : Community development Is the processes by which the efforts o f the people themselves are unlte.d wlth those of governmental authorlties to Improve the economlc, social and cultural condltlons o f communlties, to Integrate to 67 enable them to contrlbute fully to national progress. This complex o f proceases i s thus made up o f two essential elements : the participation o f the people themaelves in efforts to improve their level of livlng with as mu c h reliance as possible on their own Initlative ; and the provislons of technical and o the r services in way which encourage initiative, self help and mutual help and make these more effective. It is expressed in programmes designed to achieve a wi de vari e ty o f specl f i c improvements. These programmes are usually concerned with local communities because o f the fact that the people livlng together in a local i ty have many and varled interest in common. Some o f their in terest are expressed in functional groups organized t o further a more limited range o f interest not primarily determined by locality. " ( J. Bhattacharyya dalam Taliziduhu Ndraha, 1986 ) Pembangunan masyarakat dari definisi tersebut adalah suatu proses, baik usaha masyarakat sendiri berdasarkan prakarsa, inisiatif, kreaktivitas dan kemandiriannya bersamasama kegiatan pemerintah untuk memperbaiki kondisi sosial, budaya dan ekonomi dari komunitas yang bersangkutan menjadi integritas bangsa dalam usaha memberi dukungan bagi kemajuan bangsa dan negara. Proses tersebut mencirikan adanya elemen dasar yaitu : Pertama. partisipasi masyarakat itu sendiri dalam rangka memperbaiki kehidupannya atas dasar kekuatan dan kemampuan sendiri dan; Kedua, pelayanan dan bantuan teknis dari pemerintah untuk membangkitkan prakarsa, tekad untuk menolong diri sendiri dan kesediaan membantu orang lain ( " self-help and self to other" }. Proses tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana dan program serta pelaksanaannya didasarkan pada " -pemberdayaan melalui bimbingan, pembinaan dan bantuan teknis untuk menumbuhkan kemandirian dan jatidirinya selaku sumber daya manusia mempunyai kekuatan dan kemampuan hidupnya. 68 Konsep pembangunan masyarakat tersebut, lebih relevan pada pembangunan komunitas atau " Community Development dalam bentuk gerakan pembangunan pendidikan masyarakat. Kemudian dikembangkan menjadi pembangunan sosial atau " Social Development " yang jangkauannya meliputi bidang pendidikan atau budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya yang dilaksanakan dalam bentuk pendekatan pembangunan desa, pembangunan masyarakat desa, pembangunan pedesaan dan pembangunan masyarakat pedesaan termasuk pembangunan desa terpadu. 2. Strategi Pembangunan Masyarakat Pedesaan Pembangunan masyarakat pedesaan merupakan bagian dari pembangunan masyarakat atau sosial dan pembangunan desa serta pembangunan pedesaan yang diarahkan pada kelembagaan dan partisipasi masyarakat miskin dalam meningkatkan kesejahtraan pada satuan wilayah pedesaan yang jumlah penduduknya banyak. Secara demografis, bagian terbesar penduduk tinggal di pedesaan, sekitar 70 - 80 % penduduk dunia terutama pada negara berkembang dan terbelakang bermukin di pedesaan. Taraf pendidikannya sangat rendah, kebanyakan buta huruf dan buta pengetahuan dasar yang menjadi pemasalahan global. Phillip Coombs ( 1985 ) menjelaskan bahwa penduduk menjadi masalah utama negara-negara miskin dan sedang berkembang. Jumlah penduduk kedua katagori negara tersebut adalah 1.19 milyar orang sedangkan pada tahun 1990 meningkat 2.62 milyar. Penduduk miskin selain tersebar di pedesaan, juga merupakan bagian dari masyarakat kota. Kemiskinan dapat dilihat dari kondisi keluarga dan kantong atau wilayah yang dihuni penduduk miskin. Gejala kemiskinan disebabkan oleh indikator keluarga yaitu rata-rata kelahiran dan kematian tinggi, angka pengangguran meningkat, tingkat pendapatan rendah, status gizi rendah, status perumahan kumuh, tingkat pendidikan rendah, pengeluaran konsumsi pangan tidak mencukupi dsb. Sedangkan indikator kantong kemiskinan ditandai oleh pendapatan perkapita wilayah yang rendah, persentase rawan gizi yang tinggi, umur harapan hidup rendah disertai rata-rata tingkat pendidikan 69 rendah. Disamping itu, kondisi pemukiman, transfortasi, sarana air bersih, Jalan, fasilitas kesehatan, sarana pendidikan dan fasilitas umum lainnya tidak mencukupi. Konsep pembangunan pedesaan menjadi pusat perhatian negara-negara berkembang semenjak tahun limapuluhan, enampulahan dan tujuh puluhan sampai sekarang dalam pembangunan nasionalnya, dengan menerapkan strategi untuk memecahkan masalah besar masyarakat pedesaan yang menyangkut pertumbuhan penduduk, kemiskinan, urbanisasi dan pengangguran masyarakatnya. Para penentu kebijaksanaan pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang, telah mengangkat masalah tersebut dalam haluan dan program serta kegiatan pembangunan pedesaan secara menyeluruh yang menyangkut sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sosial, budaya, agama dsb. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Chaudri ( Moelyarto, 1993 ) kenapa sejak tahun 70-an hingga kini pembangunan pedesaan dan masyarakat pedesaan banyak mendapat sorotan para ahli : Pertama. dua pertiga penduduk negara berkembang tinggal di wilayah pedesaan dan terdapat proporsi yang tinggi antara negara-negara miskin; Kedua, pesatnya laju pertumbuhan penduduk yang menimbulkan persoalan sosial-ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan dan pendidikan rendah; Ketiga, peningkatan dan pertumbuhan ekonomi negara tidak membawa pengaruh besar terhadap peningkatan pendapatan penduduk miskin, tetapi pada golongan tertentu. Sehubungan dengan itu, Uma Lele ( Moeljarto, 1993 ) merumuskan pembangunan masyarakat pedesaan sebagai berikut : Community rural development is a improving Standard of the mass of the low-income population residing in rural areas and making the process of their development self sustaining ". ( Pembangunan masyarakat pedesaan sebagai upaya perbaikan standar kehidupan bagi sebagaian 70 besar penduduk yang berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah pedesaan seraya menciptakan proses pembangunan yang berkelanjutan ). Sedangkan Batten ( 1961 ) menjelaskan bahwa pembangunan masyarakat desa adalah aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, dimana mereka mendiskusikan kebutuhan dan masalah bersama , merencanakan masalah yang mereka hadapi bersama. Para Pakar yang tergabung dalam ICED-UN menegaskan bahwa pembangunan masyarakat desa adalah merupakan kegiatan yang berencana untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi kemajuan sosial-ekonomi masyarakat dengan partisipasi aktif masyarakat dan kepercayaan sepenuh mungkin atas prakarsa itu sendiri. Irwin Sander dalam Phillip Coombs ( 1984 ) memberikan argumentasi bahwa pembangunan masyarakat desa adalah perpaduan antara pembangunan sosial-ekonomi dengan pengorganisasian masyarakat. Pembangunan sektor sosial ekonomi masyarakat desa perlu diwujudkan dalam program pembangunan, didukung oleh kemampuan administratif serta dukungan partisipasi masyarakat. Organisasi dan partisipasi masyarakat tumbuh dari dan dalam masyarakat, yang dapat dipandang sebagai lembaga pemicu atau sebagai katalisator pembangunan masyarakat pedesaan. Dengan syarat organisasi masyarakat tersebut memiliki kapasitas, kapabilitas dan performansi yang memperjuangkan kepentingan masyarakat. Pada Negara berkembang yang menempuh kebijaksanaan pembangunan pedesaan , paling tidak terdapat empat jenis strategi yang dipergunakan oleh pemerintah negara-negara yang bersangkutan dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan pedesaan tersebut. Keempat jenis strategi tersebut diadaptasikan dari John C. Ickis dalam " Structural Reeponses to New Rural Development Strategles " yang dikemukakan David C. Korteen dan Fillip- Alponso pada "Bureaucracv and the ( 1990 ) ialah : 1. The Growth Strategy ( Strategi Pertumbuhan ) ; 2. The Welfare Strategy ( Strategi Kesejahteraan ) ; 71 3. The Responsive Strategy ( Strategi yang tanggap Kebutuhan Masyarakat ) ; 4. The Integrated or Holistic Strategy ( Strategi Keterpaduan atau Strategi Menyeluruh ). 1. Strategi Pertumbuhan Strategi pertumbuhan pada umumnya bermaksud untuk mencapai peningkatan yang cepat dalam nilai ekonomis melalui peningkatan pendapatan perkapita penduduk, produktivitas sektor pertanian, permodalan, kesempatan kerj a dan peningkatan kemampuan konsumsi masyarakat pedesaan. 2. Strategi Kesejahteraan Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki taraf hidup atau kesejahteraan penduduk daerah pedesaan melalui pelayanan dan peningkatan program-program pembangunan sosial yang berskala besar atau nasional seperti peningkatan pendidikan, perbaikan kesehatan dan gizi, penanggulangan urbanisasi, perbaikan pemukiman penduduk, pembuatan sarana dan prasarana sosial lainnya transportasi, pendidikan, ibadah, fasilitas umum lainnya di pedesaan. 3. Strategi Tanggap Kebutuhan Masyarakat Strategi ini merupakan reaksi terhadap strategi kesejahteraan yang bermaksud untuk menanggapi kebutuhankebutuhan yang dirumuskan masyarakat sendiri dengan bantuan pihak luar ( " sel f need and assistence ") untuk memperlancar usaha mandiri melalui pengadaan teknologi serta sumber-sumber yang sesuai bagi kebutuhan proses pembangunan akibat tidak tersedianya sumber pada pedesaan yang bersangkutan. Dari ketiga strategi pembangunan masyarakat desa tersebut, memiliki kelemahan tertentu yang melekat pada pendekatan yang dianutnya. Kelemahan dari strategi pertumbuhan akan menimbulkan jurang kaya-miskin di pedesaan; strategi kesejahteraan justru menciptakan ketergantungan masyarakat pada 72 pemerintah dan sumber-sumber yang mereka butuhkan akan melapaui kemampuan pemerintah untuk memenuhinya. Strategi yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat terlalu idealistik, sulit untuk diadaptif dan transformasi budaya sehingga sukar dilaksanakan secara efektif dalam skala luas. 4. Strategi Integratif atau Menyeluruh Untuk mengatasi dilema pembangunan masyarakat desa tersebut, para penentu kebijaksanaan pada negara-negara berkembang mempunyai kesepakatan merumuskan konsep yang merupakan kombinasi dari unsur-unsur pokok dari pendekatan ketiga strategi tersebut. Strategi baru berupa Strategi Intergratlf atau Menyeluruh ingin mencapai secara simultan tujuan-tujuan yang menyangkut kelangsungan pertumbuhan. persamaan, ke se.i ah teraan <ian taarti H 1 pasi aktif masvarftkat dalam proses pembangunan pedesaannya. Strategi ini amat berbeda dengan pendekatan strategi, dalam artian fungsi yang dijalankan secara mendasar lebih beragam dan kompleks. Secara konsepsional, terdapat tiga prinsip yang membedakan dengan strategi lainnya yaitu : a). Persamaan, keadilan,pemerataan dan partisipasi merupakan tujuan yang secara eksplisit dari strategi menyeluruh, maka badan publik yang ditugasi untuk melaksanakan harus : a) memahami dinamika sosial masyarakat sebagai basis intervensinya; b) intervensi dilakukan untuk memperkokoh kemampuan masyarakat sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, serta untuk mengambil langkah-langkah instrumental yang membutuhkan kemampuan aparatur pemerintah melakukan intervensi sosial. b). Memerlukan perubahan-perubahan mendasar baik dalam komitmen maupun dalam gaya dan cara bekerja, maka badan publik yang belum memiliki kemampuan intervensi sosial akan memerlukan pemimpin yang kuat komitmen pribadinya terhadap tujuan dari strategi menyeluruh tersebut, yakni untuk : a) menentukan arah nilai organisasi, energi dan proses menuju tujuan strategi; b) memelihara integritas 73 organisasi yang didukung oleh "Institutlonal leadership". c). Keterlibatan badan publik dan organisasi sosial yang terpadu, maka memerlukan suatu pedoman untuk memfungsikan struktur supra organisasi yang bertugas antara lain : 1) membangun dan memelihara perspektif menyeluruh, 2) melaksanakan rekrutmen dan pengembangan pimpinan kelembagaan, dan 3) membuat mekanisme untuk mengatur saling keterkaitan antara organisasi formal dan informal melalui sistem mflnaeamfin BtartegiSDalam strategi integratif atau menyeluruh pembangunan masyarakat desa ini, secara struktural dapat dilihat unsur pendekatan yang digunakannya adalah : a. Tu.iuan adalah pertumbuhan, persamaan, kesejahteraan dan partisipasi aktif masyarakat pedesaan. b. Sarana adalah membangun kemampuan masyarakat untuk melaksanakan pembangunan bersama pemerintah. c. Fungsi Lingkungan Masyarakat adalah aneka ragam dan kompleks. d. Dasar Asumsi adalah bahwa pemerintah dapat menempuh suatu kebijaksanaan yang bertujuan untuk merestrukturalisasi hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Birokrasi Pusat yang didesentralisasikan dapat memahami kekuatan kelompok masyarakat. e. Struktur Birokrasi adalah struktur desentralisasi yang herarkhi dan fungsional dengan mekanisme dan prosedure kegiatan yang permanen bagi terciptanya integrasi vertikal dan horizontal. Kemampuan manajerial, spesialisasi, kualifikasi dan fungsionalisasi birokrasi yang terdesentralisasi tetap mempunyai kemampuan generalis dan spesialis. f. Koordinasi adalah beraneka ragam koordinasi dapat permanen atau adhoc. dalam semua tingkatan, fungsi, kebutuhan dan mekanismenya. g. Arus Komunikasi adalah dua arah yang dapat dilakukan secara formal, informal, vertikal, horizontal dan diagonal secara terus menerus melalui bermacam saluran dan 74 bentuk sarana komunikasi yang persuasif dan edukatif. masyarakat, h. Tempat Prakarsa adalah kelompok-kelompok pengumpulan Pemerintah Lokal dan Desa melalui proses keputusan, informasi, penentuan dan pengambilan kegiatannya implementasi kebijaksanaan dan monitoring secara terpadu, berkaitan dan terus menerus. i. Indikator Prestasi Yang Dicapai adalah lebih mengakar pada pemecahan aspek kependudukan yang diarahkan pada perbaikan persamaam/pemerataan/keadilan, kesejahteraan, dan partisipasi aktif masyarakat yang dihubungkan dengan tujuannya. 3. Prinsip Pembangunan Masyarakat Pedesaan Pembangunan masyarakat desa meliputi pembangunan masyarakat perkotaan dan pedesaan dapat ditinjau sebagai sistem, metode. gerakan untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, baik kemiskinan struktural, kultural dan alamiah. Mengingat gejala kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan masyarakat harus dipecahkan dalam pendekatan sistem dan metode tertentu serta gerakannya secara menyeluruh karena satu sama lain saling berhubungan dan ketergantungan baik yang bersumber dari sumber daya alam, manusia, teknologi, lapangan pekerjaan, permodalan, dan kelembagaan. Haguel dalam Slamet Margono ( 1985 ) membuat model pengaruh dan interelasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang memerlukan pendekatan sistem, metode dan gerakan pembangunan masyarakat desa, dimana hubungan dan faktornya dapat digambarkan sebagai berikut : 75 GAMBAR II.5. MODEL PENGARUH DAN INTERELASI KE1ISKINAN, KEBODOHAN DAN KETERBELAKANGAN Sumber Daya Alam Pembangunan masyarakat pedesaan dapat ditinjau dari pendekatan sistem, metode dan gerakan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat dan bersama pemerintah guna meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya secara menyeluruh terutama dalam mengatasi kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan penduduknya dalam suatu wilayah atau kantong kemiskinan di pedesaan. Pendekatan tersebut merupakan bagian dari strategi pembangunan pedesaan yang bersifat terpadu atau menyeluruh. 1). Pembangunan masyarakat pedesaan dapat ditinjau dari pendekatan sistem, merupakan bagian dari sistem pembangunan nasional yang secara sub sistem adalah meliputi : sub sistem pembangunan regional, pembangunan lokal/daerah, pembangunan desa, pembangunan pedesaan dan perkotaan, pembangunan masyarakat pedesaan dan masyarakatan perkotaan. Pembangunan masyarakat pedesaan sebagai sistem mencapuk komponen-komponen: masukan. proses, kfiluaran dan penaaruh . 76 Masukan, pembangunan masyarakat pedesaan me1iput i lingkungan, sarana, mentah dan lain-lain. Masukan Lingkungan terdiri sumber daya manusia, alam, budaya, dan kelembagaan masyarakat yang bersangkutan. Masukan Sarana terdiri dari pelaku pembangunan , program, fasilitas, pengelolaan dan biaya. Masukan Mentah adalah warga masyarakat baik individu atau kelompok, terutama penduduk miskin di pedesaan. Proses, pembangunan masyarakat pedesaan mencakup rangkaian kegiatan semua komponen untuk menghasilkan keluaran berupa proses organisasi dan managemen pemerintahan, baik dari segi perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pengendalian maupun dari segi perilaku birokrasi pemerintahannya yang profesional dan kultural. Kelyaran. pembangunan masyarakat pedesaan menciptakan perubahan kualitas tingkah laku manusia selaku individu, kelompok dan masyarakat yang mencakup aspek kognisi, afeksi, dan skills yang berkenaan dengan peningkatan taraf kehidupannya. Pengaruh pembangunan masyarakat pedesaan merupakan akibat yang diperoleh penduduk dalam peningkatan taraf kehidupannya, penularan pengalamannya kepada orang lain dan partisipasinya dalam pembangunan pedesaan. 2). Pembangunan masyarakat pedesaan ditinjau dari pendekatan metode adalah upaya pendidikan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, LSM, organisasi masyarakat atau perguruan tinggi terhadap penduduk pedesaan melalui pendekatan edukatif dan persuasif untuk menumbuhkan inisiatif, kreativitas, keterampilan dan kemandirian dalam meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya maupun partisipasi aktif dalam pembangunan pedesaan. 3). Pembangunan masyarakat desa sebagai gerakan lebih menekankan pada pengdemokrasian, pelembagaan, partisipasi aktif masyarakat untuk memecahkan, merumuskan, merencanakan dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan kebutuhannya secara bersama dalam upaya menciptakan kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya. 77 Sehubungan dengan pandangan di atas, maka prinsip umum dari pembangunan masyarakat desa termasuk pembangunan masyarakat pedesaan adalah meluputi: prinsip pembangunan yang berkelanjutan, prinsip pembangunan yang integral ; prinsip pembangunan dinamis . Namun demikian prinsip-prinsip pembangunan masyarakat pedesaan adalah berorientasi pada kebutuhan, partisipasi, keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri / kemandirian, dan kaderisasi. 1). Prinsip Kebutuhan adalah program pembangunan masyarakat pedesaan terutama didasarkan atas dan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan dan dinyatakan oleh masyarakat. 2). Prinsip Partisipasi menekankan pada keterlibatan masyarakat secara aktif dan lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pelayanan masyarakat di dalam perencanaan ( termasuk identifikasi kebutuhan ), pengorganisasian, penggerakkan , pembinaan, penilaian dan pengembangan kegiatan pembangunan masyarakat di daerah pedesaan. Penyelenggaraan kegiatan inipun sekaligus bertujuan untuk : a) mendorong tumbuhnya perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kemajuan, b) meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat, c) memberikan kepercayaan yang lebih besar terhadap peranan pemuda dan wanita yang merupakan bagian terbesar penduduk pedesaan, d) menyegarkan dan meningkatkan efektivitas fungsi dan peranan kepemimpinan serta pemerintahan lokal. 3). Prinsip Keterpaduan, mencerminkan adanya upaya untuk memadukan sumber-sumber yang dimiliki oleh masyarakat dan lembaga-lembaga terkait dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan masyarakat. Rencana pembangunan merupakan produk dari perpaduan perencanaan dari bawah dan dari atas atau bottom UR and top down plannlng sehingga kegiatan pembangunan masyarakat memiliki kaitan erat dengan program sektoral dan regional. Sumber yang berasal dari lembaga terkait dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 4). Prinsip Berkelanjutan. menegaskan bahwa pembangunan masyarakat di daerah pedesaan tidak dilakukan sekali tuntas 78 melainkan secara bertahap, terus menerus, dan terarah untuk mencapai kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Suatu program yang dianggap berhasil menjadi titik awal penyelenggaraan program berikutnya, sedangkan program yang perlu diperbaiki atau diperluas perlu ditindak lanjuti. 5). Prinsip Keserasjan , mengandung makna bahwa program pembangunan masyarakat di pedesaan memerlukan perhatian keserasian antara kebutuhan yang dirasakan oleh anggota masyarakat dengan kebutuhan lembaga-lembaga terkait dan pembangunan sehingga terdapat kaitan erat antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Tujuan dan proses pembangunan adalah untuk terwujudnya keseimbangan dan keserasian antara pemenuhan kebutuhan jasmaniah dan rohaniah serta antara berbagai aspek kehidupan masyarakat. 6). Prinsip gemamPUfrn Sendiri, menegaskan bahwa kegiatan pembangunan masyarakat pedesaan disusun dan dilaksanakan berdasarkan kemampuan dan sumber-sumber yang dimiliki masyarakat. Keterlibatan pihak lain baik perorangan, kelompok maupun lembaga adalah untuk mendorong dan menarik agar masyarakat mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber-sumber dari dalam dan dari luar masyarakat secara efektif dan efisien. Kemampuan sendiri itu diwujudkan dalam swadaya dan gotong royong, kreativitas, dan sikap inovatif serta produktif dari masyarakatnya dalam berbagai kegiatan kehidupannya. 7). Prinsip Karierina»i- memberi arah bahwa penyelenggaraan pembangunan masyarakat di pedesaan akan berlanjut apabila kader-kader pembangunan disiapkan dan dibina selama proses pembangunan berlangsung. Upaya peningkatan pimpinan lokal dan pembinaan kader yang berasal dari kalangan pemuda , perlu dijadikan sarana pokok dalam setiap program pembangunan masyarakat. Kader-kader ini diharapkan menjadi " agen t of development " masyarakat yang mencerminkan sikap dan perilaku antisipasif dan partisipatif bagi kemajuan masyarakat yang lebih baik dimana mendatang. 79 D. Transformasi Pedesaan Pendidikan Sosial Pengentasan Kemiskinan di 1. Transformasi Pendidikan Peningkatan SDM Pendekatan pembangunan manusia atau " human development approach " dalam rangka pembangunan manusia dan masyarakat merupakan titik pusat dari segenap pembangunan, sekaligus sebagai modal dasar atau kekuatan maupun faktor dominan dan determinan serta sasaran utama pembangunan. Sasaran utama dari peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah peningkatan kualitas manusia dan masyarakat agar mereka mampu berperan serta secara aktif dalam pembangunan, mempunyai kemandirian, meningkatkan efisiensi dan produktivitas bagi peningkatan kesejateraan hidupnya. Dukungan penduduk selaku sumber daya pembangunan, tidak hanya dilandasi oleh jumlah yang besar melainkan ditentukan oleh kualitas daya nalar, keterampilannya dan penerapan teknologi yang dimiliki sumber daya yang menjadi subyek pelaksana pembangunan. Dengan dilandasi oleh rasa tanggung jawab kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan melalui ikut sertanya dalam proses pembangunan. Menarik untuk diperhatikan pernyataan Prof. Dr. Soepardjo Adikusumo, dkk dalam " Laporan Penelitian Pendidikan di Indonesia Bagian Timur " ( 1991 : 37 ) bahwa kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh meliputi tingkat kesehatan, pengetahuan ilmu, keterampilan memanfaatkan teknologi dan sikap mentalnya dalam keikut sertaan dalam pembangunan akan menentukan keberhasilan pembangunan, terutama dalam mengatasi ketinggalan dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, penduduk selaku sumber daya manusia selain subyek dalam melaksanakan pembangunan, juga sekaligus menjadi obyek garapan pembangunan melalui garapan pembangunan sebagai peningkatan kesehatan, pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya sebagai subyek yang menentukan keberhasilan pembangunan. Tanpa dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, pembangunan tidak mencapai hasil optimum sesuai dengan tujuannya. 80 Melibatkan penduduk selaku sumber daya manusia dalam pembangunan, tidak dapat dipisahkan dari proses transformasi pendidikan sebagai sarana untuk menciptakan dan sekaligus obyek peningkatan sumber daya pembangunan. David C. Korten < 1990 ) mengatakan bahwa dalam era sekarang dan masa mendatang, transformasi budaya dalam arti pendidikan erat kaitannya dengan perubahan sosial, pranata sosial serta pertumbuhan ekonomi masyarakat, sehingga transformasi seperti ini menumbuhkan kualitas manusia untuk " gualitv af llfe^ developmental Q£ «ani»! inflfcttutionai. aplication cl£ tftghnologies and maint.enance resources environmenta 1 " ( peningkatan kualitas hidup, pengembangan institusi sosial yang demokratis, pemanfaatan teknolgi serta pemeliharaan sumberdaya alam dan lingkungan ). Proses transformasi pendidikan dalam arti pengembangan pengaruh sistem budaya, sisten sosial dan sistem kepribadian yang unggul untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berhubungan erat dengan pranata sosial, kehidupan ekonomi, stratifikasi sosial. mobilltan Rnaial seria perubahan sosial ( Sudardja Adiwikarta, 1988 ). Seperti dikemukakan Ki Hajar Dewantara transformasi pendidikan landasan andalannya mengacu pada " kemerdekaan " sebagai upaya pemulyaan harkat dan martabat manusia yang diarahkan pada bakat dan kodratnya. Sedangkan pemikir Dryarkara bahwa transformasi pendidikan berkenaan dengan nilai budaya yang " laten t and Manifest yang diarahkan bagi manusia dalam upaya hotglnlsasi dan humanisasi secara terus menerus sesuai dengan zamannya. Pendidikan sebagai sarana transformasi budaya dalam rangka kualitas sumber daya manusia mempunyai relevansi terhadap aspek survlval. Vftmardekftan. humanisasi. pemberdayaan. dan rasionalisasi guna terCiptanya produktivitas, etos kerja, kemandirian dan jatidiri manusia yang unggul bagi tuntutan pembangunan. Dalam proses transformasi yang demikian dikenal sebagai proses peralihan from old societes to a new ( nation ) Btate " . Pendidikan mengemban misi sebagai transformasi perjuangan nilai budaya untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, kemiskinan, 81 keterbelakangan, penjajahan, primordial dan tradisi-tradisi lokal yang sempit menuju perilaku yang global baik dari .aspek apektif, kognitif dan psikomotorik. Prof. Dr. Soepardjo Adikusumo dalam " Pengaruh dan Transformasi Antisipasi f Perobahan Sosial di Indonesia _ ( 1992 ) menyebutkan bahwa upaya pembudayaan transformasi pada saat ini menghadapi saatnya kritis. Situasi dari upaya transformasi formal pada pasca proklamasi berubah menjadi upaya massal, pemikiran cenderung pada upaya transformasi teknologis dan mengacu pada pembenahan instrumental... bukan pada proses belajar. Upaya pembenahan pendidikan sebagai sarana transformasi, bahwa pengemban sumber daya manusia adalah proses pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, penataran dan bentuk pembinaan lainnya sarana kunci demi eksistensi bangsa dan terasanya kelemahan dan kesadaran dari potensi raksasa tersebut, maka diperlukan pembenahan melalui upaya transformasi pendidikan formal, nonformal dan informal untuk peningkatan kualitas sumber daya bagi era kemajuan dunia dan berani berkompetisi demi survive eksistensinya. Ini mengisyaratkan terhadap upaya transformasi budaya dalam rangka peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas melalui sarana pendidikan dan pelatihan yang mempunyai relevansi dengan kebutuhan kerja atau " Link and Match " yang dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, informal dan non formal yang kondusif berorientasi pada nilai budaya seperti yang terkandung dalam tujuan sistem pendidikan nasional. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Phillip Coomb yang dibiayai oleh UNESCO PBB di negara-negara berkembang ( 1984 ) menyebutkan bahwa " timbulnya sumber daya manusia yang tidak berkualitas, khususnya dipedesaan karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengikuti proses pendidikan sejak kecil sampai dewasa melalui cara dan sumber pada pendidikan formal, pendidikan informal maupun pendidikan non formal sehingga timbul kemiskinan kultural yang berkelanjutan. Transformasi nilai budaya melalui pendidikan tersebut, terutama diarahkan pada upaya sosialisasi, pemberdayaan dan pengembangan 82 intelektual, sikap dan kepercayaan, kepribadian, kemampuan pengambilan keputusan maupun produktivitas atau etos .kerja sebagai manusia yang berdayaguna dan berhasilguna Transformasi nilai melalui pendidikan sosial dapat dilalaikan dalam proses pembelajaran, pelatihan dan pembimbingan dan pembinaan di sekolah maupun di luar sekolah yang intensitas dan kapasitasnya memperhatikan aspek strategis dari sudut tujuan, kualitas, relevansi, dan efisiensi. Dalam hubungannya dengan transformasi budaya melalui pendidikan Sosial dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, maka pendidikan mempunyai dimensi sebagai berikut : a). Transformasi Pendidikan Sosial Sebagai Terapi Budaya Sumberdaya manusia dapat diusahakan atau diupayakan menjadi sumber daya yang mempunyai arti bagi pembangunan budaya dan pengembangan keseluruhan eksistensi bangsa dengan keseluruhan sumber daya alam yang dimiliki. Manusia yang berkualitas sadar terhadap eksistensi manusia sebagai manusia dan manusia yang menyadari eksistensi dirinva dan keberadaannya. Kesadaran akan eksistensinya, tercermin pada ihtiar untuk memperkuat ketahanan dirinya sendiri dan melaksanakan peranannya dalam proses interaksi dengan lingkungannya, sehingga pernanannya mempunyai makna dalam hidupnya. Ketahanan dalam hidupnya mempunyai konteks terhadap ketahanan dalam bidang Ipoleksosbudhankam sebagai manifestasi ketahan dirinya, sosial dan bangsanya. Untuk mewujudkanya melalui usaha pendidikan yang terkait dengan nilai sosial budaya. Oleh karena itu, transformasi pendidikan sosial dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan pengembangan budava. juga sebagai terapi budaya dan transformasi budayaT yang mencerminkan pendidikan mampu memantapkan ciri-ciri kebribadian bangsa dan ciri-ciri budaya bangsa. Kepribadian individu merupakan hasil dari budaya bangsa itu sendiri. b>. Transformasi Pendidikan Sosial Pemicu Potensi Pendidikan sosial berfungsi sebagai pelestari eksistensi manusia dan bangsa untuk bersaing dalam mencapai keunggulan 83 penguasaan iman, taqwa dan budaya. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang memiliki keunggulan iman, tagwa dan iptek sesuai dengan tingkat peradabannya sehingga dipandang bagi peran untuk peningkatan kehidupannya dan masyarakatnya. Pengembangan potensi manusia melalui transformasi pendidikan lebih diarahkan pada pembinaan dan penyaluran kemampuan potensi dasar baik dari segi pengetahuan, keterampilan dan kepribadiannya memiliki harga diri, kemandirian dan tanggung jawab sosial, c). Transformasi Pendidikan Sosial Selaku Kekuasaan Transformasi pendidikan sosial bagi manusia sebagai sumber daya manusia diharapkan mereka memiliki pengetahuan sebagai kekuasaan. Kekuasaan pengetahuan yang ditransformasi dan dimodifikasi melalui pendidikan karena pengetahuan merupakan kebajikan, kebenaran, kebaikan dan kemulyaan ( Plato dan Aristoteles ). Oleh karena itu, Theodore Bremeld ( 1977 ) bahwa pendidikan adalah moral pengetahuan sebagai kekuasan yang ditransformasikan dan dimodifikasi untuk inovasi dan memperkuat manusia yang mampu mengatasi krisis ekonomi, budaya, sosial, agama, ilmu pengetahuan, politik, demografi dan kesenian sehingga terciptanya stabilitas, harmoni, keseimbangan dan keserasian hidupnya dan lingkungan sosialnya. Transformasi pendidikan sosial sebagai upaya untuk menanamkan, mempengaruhi, mengembangkan nilai budaya yang dimodifikasi bagi kebutuhan peningkatan sumberdaya manusia harus memperhatikan tujuan, jalur, metode atau cara, materi serta unsur pendidikan yang relevan dan kondisional. Dalam hal ini yang erat kaitannya dengan bahasan pendidikan non formal, berkenaan dengan subyek pendidikan bagi penduduk miskin untuk dientaskan melalui pemberdayaan ; tu.iuan pendidikan untuk penguasaan keterampilan dalam rangka mewujudkan etos dan produktivitas kerja penduduk miskin ; metode andragogi yang menumbuhkan pengetahuan, sikap, kepercayaan dan kepribadian dalam beruasaha dan bekerja. ; materi atau substansi pengetahuan dan teknologi tepatguna yang relevan bagi 84 keswadayaan, pengorganisaslan/pelembagaan pendemokrasian penduduk miskin. masyarakat maupun 2. Kriteria Miskin dan Kantong Kemiskinan Penduduk Desa Tertinggal Kedudukan manusia dalam proses pembangunan, terutama pembangunan di pedesaan merupakan sumber daya unggulan karena penduduk pedesaan jumlahnya besar. Wilayah pedesaan pada umumnya ditandai oleh karakteristik penduduknya besar dengan pendapatan, produktivitas, tingkat pendidikan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraannya lemah. Sangat penting untuk ditingkatkan, terutama dalam upaya mengatasi kemiskinan pada masyarakat desa tertinggal. Pengentasan kemiskinan merupakan multi dimensi tidak hanya terkait dengan sasaran bidang pendidikan, tetapi merupakan sasaran pemenuhan kebutuhan dasar manusia atau " human basic needs " yang harus ditangani secara terpadu. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia tidak lain adalah : kesempatan menperoleh kesehatan dan gizi, penghasilan yang cukup, kesempatan memperoleh pendidikan dan kehidupan keluarga yang sejahtera. Menurut Bank Dunia ( 1990 ) dalam Laporannya pada PBB Povertv £uad Imman rievelopment " mengatakan bahwa : The case for human development is not only or event primarily an economic one. Less hunger, fewer child death, and beter change of primary education are almost universally accepted as important and in themselves ". ( Pembangunan manusia tidak hanya diutamakan pada aspek ekonomi, tetapi yang lebih penting mengutamakan aspek pendidikan secara universal bagi kepentingan diri orang miskin guna meningkatkan kehidupan sosial ekonominya ). Booth dan MC. Cawley ( Dalam Moelyarto T., 1993 ) menyatakan bahwa " dibanyak negara memang terjadi kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dari pendapatan perkapita, tetapi hanya dapat dinikmati sebagian kecil masyarakat, sedangkan sebagian besar masyarakat miskin kurang memperoleh manfaat dan bahkan merugikan Untuk itu perlu 85 kebijaksanaan yang tepat dengan mengidentifikasikan golongan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan beserta karakteristiknya. Di mana keadaan miskin ditandai oleh kekuarangan atau tidak mampu untuk memenuhi tingkat kebutuhan dasar manusia untuk hidup yang paling rendah. Kemiskinan tersebut meliputi kebutuhan dasar yang mencakup aspek primer dan skunder. Aspek primer berupa miskin akan aset pengetahuan dan keterampilan, sedangkan aspek sekunder adalah miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informal yang berbentuk kekurangan gizi, air, perumahan, perawatan kesehatan yang kurang baik dan pendidikan yang relatif rendah. a. Karakteristik Kelompok Penduduk Miskin Emil Salim ( 1976 ) mengemukakan lima karakteristik kemiskinan, kelima karakterisktik kemiskinan tersebut adalah : 1). Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi. 2). Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. 3). Tingkat pendidikan pada umumnya rendah. 4). Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas. 5). Diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai. Kriteria lain yang digunakan untuk mengukur kemiskinan penduduk adalah dengan menggunakan Ratio-Kebutuhan Fisik Mnimum ( R-KFM ). Apabila diasumsikan kebutuhan fisik minimum sesuai dengan kondisi yang dihadapi sekarang ini untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum empat sehat lima sempurma adalah sebesar Rp. 2.500,- perkapita perhari, maka dapat ditentukan besarnya kebutuhan fisik minimum perbulan. Dengan nilai tersebut dapat dihitung nilai kebutuhan fisik minimum per bulan sebesar Rp. 2.500 X 30 hari = Rp. 75.000,- dan pertahun sebesar Rp. 2.500 X 365 hari = Rp. 912.500,- ( Zulkifli Husin, 1993 ). Apabila nilai kebutuhan fisik minimum per kapita per tahun dijadikan sebagai pembagi maka akan diperoleh Ratio Kebutuhan Fisik Minimum ( R-KFM ). Dari hasil tersebut dapat 86 dikatagorikan apakah penduduk tersebut miskin atau tidak. Apabila R-KFM yang diperoleh sama dengan 1 maka penduduk tersebut dikatagorikan sebagai miskin, dikarenakan tingkat pendapatan tersebut merupakan tingkat subsisten atau subslstance level ". Artinya bahwa orang tersebut memperoleh sejumlah pendapatan dengan tingkatannya hanya untuk mempertahankan hidup. Berdasarkan kondisi tersebut, maka R-KFM diformulasikan sebagai berikut : a), b), c), d), miskin sekali apabila R-KFM < 0,75 miskin apabila R-KFM 0,76-1,00 nyaris miskin apabila R-KFM 1,01 - 1,50 nyaris kaya apabila R-KFM 1,51 - 2,00 Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat pedesaan dan perkotaan, pada umumnya dapat digolongkan pada buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedangan kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan dan pengemis dan pengangguran. Kelompok miskin akan menimbulkan problema yang berkelanjutan bagi kemiskinan kultural dan struktural, apabila tidak ditangani secara serius terutama generasi berikutnya. Pada umumnya penduduk yang tergolong miskin adalah " golongan residual " adalah sebagian masyarakat yang belum disentuh dengan berbagai kebijakan pemerintah secara terkonsentrasi khusus seperti sekarang ini melalui IDT, namun secara umum sudah ada melalui PKT, Program Bimas, Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan, NKKBS, KUD, PKK di desa dsb. Golongan ini sulit untuk dicapai, karena kualitas sumber dayanya yang rendah sehingga kurang memanfaatkan fasilitas maupun faktor produksi dan kemampuan pendidikan dan latihan yang sangat minimal, bahkan pemberian bantuan kebutuhan dasar manusia serta perlindungan hukum atau perundang-undangan yang tidak adil. Kelompok penduduk miskin di Indonesia yang berada disektor perkotaan dan pedesaan sejak tahun 1984 sampai tahun 1993 mengalami penurunan, sebagai akibat dari program pemerintah dan peran serta masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan dari aspek sosial ekonomi secara terpadu. 87 TABEL.II.1. PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEKTOR PERKOTAAN DAN PEDESAAN TAHUN 1984-1993 No Tahun Garis kemiskinan (Rp) Jumlah dan % Penduduk Miskin Desa+Kota Desa Kota Kota Desa 1. 1984 13.337 9.184 2. 1987 16.105 11.175 3. 1990 21.098 14.524 4. 1993 1,9 3,8 5,7 ( 24,7 % ) ( 16,5 % ) ( 18,5 % ) 2,9 2,1 5,0 ( 22,2 % ) ( 12,75 % )( 15,5 % ) 2,4 2,4 4,8 ( 20,9 % ) ( 10,2 % ) ( 13,9 % ) 8,7 17,2 25,9 Sumber : Kantor BPS Jabar 1994 Penduduk miskin yang tinggal di kota sebanyak 8,7 juta orang sekitar 71,3 % berada di Jawa termasuk di Bali dan 15,0 % berada di Sumatera sedangkan yang tinggal di desa sekitar 17,2 juta penduduk miskin berada di Jawa 48 % dan 21,9 % di Sumatera. b. Peta Kantong Kemiskinan Pada Desa Tertinggal Kelompok penduduk miskin pada umumnya berada pada desa/kelurahan miskin atau tertinggal, bukan berarti penduduk miskin tidak berada pada bukan desa/kelurahan miskin. Biro Pusat Statistik menentukan suatu desa tergolong miskin atau tidak miskin menggunakan tiga metode yaitu : metode Standard deviasi ( SD ), metode range ( R ) , dan metode persepsi lapangan ( PL ). Dengan ketiga metode tersebut akan dihasilkan 3 macam desa miskin : miskin menurut metode standar deviasi, miskin menurut metode range dan miskin menurut persepsi lapangan. Walaupun suatu desa tergolong miskin menurut suatu metode standar deviasi, desa tersebut belum tentu miskin menurut metode yang lain. Batasan desa miskin yang disepakai adalah apabila paling sedikit -dua atau tiga metode tersebut mengatakan bahwa suatu desa adalah miskin, maka desa tersebut 88 dikategorikan miskin. Akan tetapi apabila hanya satu dari ketiga metode tersebut yang mengatakan miskin maka desa tersebut tidak digolongkan sebagai miskin. Salah satu metode standar deviasi dan metode range merupakan metode yang sering digunakan penilaian terhadap status desa didasarkan atas 29 variabel ( untuk perkotaan 25 variabel, pedesaan 27 variabel dan tambahan keduanya 2 variabel ) yang terdapat pada Potensi Desa Sensus Penduduk 1990 ( Podes SP 1990 ). Variabel-variabel tersebut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : a), potensi dan fasilitas sosial ekonomi desa, b), fasilitas perumahan dan lingkungan hidup, dan c), keadaan penduduk / kependudukan. Setiap variabel tersebut mempunyai skor, jumlah skor dari setiap desa dihitung dan dipakai untuk menghitung rata-rata, standar deviasi dan range untuk tingkat propinsi. Kemudian jumlah skor masing-masing desa dibandingkan dengan rata-rata skor tingkat propinsi untuk menentukan desa miskin atau tidak dari metode standar deviasi. Skor desa juga dibandingkan dengan nilai range untuk menentukan desa tersebut miskin dari metode range. TABEL. I1.2. METODE STANDAR DEVIASI DAN RANGE UNTUK MENENTUKAN DESA MISKIN Rumus Nomor Metode 1. Metode Standar Deviasi 2. Metode Range Keterangan : Xi X SD T I = = = = = Xi < ( X - 1 SD ) Xi > ( X - 1 SD ) Xi < ( T - 3 I ) Xi > ( T - 3 I ) Katagori Miskin Tidak Miskin Miskin Tidak Miskin Total skor Desa Rata-rata skor desa untuk tingkat propinsi Standar deviasi untuk tingkat propinsi Nilai skor tertinggi disuatu propinsi Interval ( range / 5 ) 89 Sedangkan ketiga variabel yang meliputi 25 dan 27 indikator penilaian yang digunakan untuk menentukan desa miskin tahun 1993 di Indonesia, kaitannya dengan penduduk miskin dan program IDT sebagai berikut : TABEL II.3. VARIABEL YANG DIGUNAKAN DALAM MENENTUKAN DESA MISKIN 1993 NO VARIABEL KLASIFIKASI I. POTENSI DESA 1. Tipe LKMD 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. tipe 3 tipe 1 atau 2 tipe 0 Jalan Utama aspal diperkeras tanah Sebagian Besar Penduduk jasa, perdagangan dll industri/keraj inan bergantung pada potensi pertaian Rata2 tanah pertanian yg > 1 Ha diusahakan/rt tani untuk 0,5 Ha - lHa < 0,5 Ha pertanian Jarak dari Desa/Kelurahar 0 - 5 Km ke ibukota Kecamatan 6 - 9 Km > 10 Km s/d SLTA keatas Fasilitas Pendidikan S/d SLTP keatas S/d SD Poliklinik keatas Fasilitas Kesehatan Puskesmas Puskesmas Pembantu Dokter Tenaga Kesehatan Paramedis Dukun Bayi Sarana Komunikasi Telepon terpasang/umum Kantor Pos 90 SKOR 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 10 .Pasar Tidak ada sarana Bangunan permanen/Setengan permanen Kios/Pertokoan Tanpa bangunan Total Skor 1 3 2 1 30 II PERUMAHAN DAN LINGKUNGAh 0 - 200 jiwa/Km 3 11 Kepadatan Penduduk 201 ~ 299 jiwa/Km 2 1 > 300 jiwa/Km Pam, Pompa Listrik 3 12 Sumber Air Minum Sumur pompa/mata air 2 Air hujan 1 Tidak ada wabah 13 Wabah penyakit selama 3 Selain muntaber/deman ber setahun 2 darah paling sedikit 1 kali Deman berdarah/muntaber pa1 ling sedikit 1 kali 14. Bahan bakar Listrik/Gas 3 2 Minyak; Tanah 1 Kayu Bakar 3 15 Pembuangan sampah Tempat sampah dan diangkut Kedalam lubang 2 1 Kekali dll 3 16. Jamban Sendiri Bersama-sama 2 1 Bukan jamban 3 17. Penerangan Listrik Listrik PLN 2 Listrik Non PLN Lainnya/tidak ada 1 3 18. Ratio banyaknya tempat > = 5/1000 2 ibadah/1000 penduduk (2-4)/1000 1 < = 1/1000 Total Skor 27 113 . KEADAAN PENDUDUK 91 19 . Tingkat Kelahiran Kasar ( 0-2 )/1000 setiap penduduk ( 3-9 )/1000 > = 10/1000 ( 0-4 )/1000 20 . Tingkat Kematian Kasar ( 5-9 )/1000 setiap penduduk > = 10/1000 21 Enrolment Ratio Penduduk 96 - 100 % 81-95 % < = 80 % 22 . Rata-rata banyaknya ter- > - 5 ekor nak per rt ternak 2 - 4 ekor < = 1 ekor 29 23 . % Rumah Tangga punya TV > 5-29 < 5 > 9 % 24 . % Rumah Tangga punya 1-9 % Telepon < 5 % 25 . Sosial budaya penduduk salah satu dari - B, C dan D - B dan C, B dan D atau C dan D - B, C atau D Total Skor TAMBAHAN VARIABEL UNTUK DAERA fl PEDESAAN >15 % 1. Rumah Tangga Pertanian 16-29 % > = 30 % Rincian -5,6 atau 7 2. Angkutan penduduk Rincian -1,2,3,4,8,9 atau 1C Tidak ada Total Skor Tertinggi Sumber : BPS tahun 1993 92 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 31 3 2 1 3 2 0 6 TABEL. II.4. PETA DESA DAN KOTA TERTINGGAL TK. PROPINSI DI INDONESIA TH 1993 No Propinsi Kota (%) Miskin 31 1 .D.I. Aceh 2 Sumut 33 26 3 Sumbar 18 4 Riau 5 Jambi 12 38 6 Sumsel 7 7 Bengkulu 8 8 Lampung 9 DKI Jakarta 11 10 Jawa Barat 203 11 Jawa Tengal 198 12 D.I.Y. 19 13 Jawa Timur 232 17 14,Bali 13 15 NTB 17 16 NTT 17 Timor Timui 4 12 18, Kalbar 3 19 Kalteng 20 Kalsel 13 21 Kaltim 6 22 Sulut 24 23 Sulteng 3 42 24 Sulsel 6 25 Sultra 5 26 Maluku 27 Irian Jaya 7 T o t a l Desa (%) Miskin (14,16) 2244 ( 7,45) 1331 ( 8,58) 674 (13,74) 442 (15,38) 263 (18,01) 677 ( 9,72) 321 (10,26) 527 ( 4,15) (16,60) 1357 (15,22) 2241 (15,32) 92 (18,43) 1737 (16,35) 91 (21,31) 112 (21,25) 451 (50,00) 308 (20,34) 513 (12,50) 963 (12,38) 555 ( 8,57) 449 (17,27) 337 ( 6,00) 598 (14,84) 613 (13,64) 321 ( 7,04) 807 (11,67) 1731 - Desa+Kota Desa/Kota JumNon Miskin lah Miskin (41,37) 2275 (27,45) 1364 (31,15) 700 (38,94) 460 (25,05) 275 (26,77) 715 (30,23) 328 (33,09) 635 11 (23,07) 1560 (31,15) 2439 (29,30) 111 (24,39) 1969 (15,37) 98 (21,46) 125 (27,27) 468 (70,97) 312 (39,43) 525 (57,42) 696 (26,90) 568 (48,21) 505 (26,81) 361 (44,96) 601 (26,26) 655 (40,58) 327 (56,28) 812 (79,33) 1738 - 008 (14,68) 19625(33,44) 20633 Sumber : BPS tahun 1983 93 3368 3927 1767 806 853 853 806 1338 254 5544 6056 327 6412 533 458 1266 130 835 535 1600 600 1035 1035 1962 508 693 504 5643 5291 2467 1266 1128 1128 1134 1937 265 7104 8495 438 8381 631 583 1734 442 1360 1231 2168 1105 1396 1396 2117 835 1505 2242 44921 65554 Berdasarkan data di atas, terdapat 20-633 desa tertinggal yang terdiri dari 1.008 desa yang bersifat perkotaan dan 19.625 desa yang bersifat pedesaan. Secara absolut, terdapat lima ( 5 ) Propinsi yang paling banyak desa tertinggalnya yaitu Jawa Tengah ( 2.439 desa ), Daerah Istimewa Aceh ( 2.275 desa ), Jawa Timur ( 1.969 desa ), Irian Jaya ( 1.798 desa } dan Jawa Barat C 1560 desa ). Namun apabila dilihat secara relativitas yaitu persentase jumlah desa tertinggal terhadap jumlah seluruh desa di Propinsi yang bersangkutan, terdapat lima Propinsi termiskin " di Indonesia yaitu : Irian Jaya ( 77,5 % ), Timor Timur ( 70,6 % ), NTT ( 56,5 %), Maluku ( 53,9 % ) dan Kalimantan Timur ( 45,7 % ). Penentuan Propinsi termiskin dapat juga dilakukan dengan menggunakan data riil per kapita per tahun dan melihat angka persentase penduduk miskin terhadap total penduduk propinsi yang bersangkutan. Dengan berbagai cara perhitungan tersebut, maka propinsi yang memerlukan prioritas penanganannya karena kondisi kemiskinannya lebih parah dibandingkan dengan propinsi lainnya adalah : Irian Jaya, Timor Timur, Nusa tenggara Timur, Maluku, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, D.I. Aceh, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Lampung dan Jawa Barat. Dari jumlah 20.633 desa tertinggal terdapat 3.968 desa tertinggal (19,2 ) yang kondisi kemiskinannya paling parah kebanyakan pada propinsi tersebut. Dari jumlah tersebut, berada di Jawa- Bali sebanyak 813 desa dan luar Jawa-Bali berjumlah 3.155 desa. Peta kemiskinan nampaknya mempunyai relevansi dengan keragaman tingkat pendidikan yang antara lain diukur dengan APK. Pada tahun 1992/1993, sebagian besar propinsi termiskin APK tingkat SLTP atau di bawah rata-rata nasional sebesar 53 % yaitu : Jawa Barat ( 45,4 % ), Jawa Tengah ( 51,6 % ), D.I. Aceh ( 52,1 % ), NTT ( 41,3 % ), Irian Jaya ( 46,5 % ), Timor Timur ( 49 % ) Kalbar ( 46 % ), Lampung ( 46,5 % ), Maluku ( 49 % ) dan Kaltim ( 54,3 % ). 3. Tingkat dan Kebutuhan Pendidikan Sosial Penduduk Miskin Kemiskinan merupakan situasi serba keterbatasan yang 94 terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin di tandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraannya sehingga menunjukkan lingkaran ketidak berdayaan. Kemiskinan disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan dimanfaatkan terutama dari tingkat pendidikan formal maupun nonformal serta membawa konsekuensi terhadap pendidikan informal yang rendah. Terdapat relevansi yang positip dan kuat antara gejala kemiskinan penduduk di pedesaan dan perkotaan dengan pendidikan formal maupun nonformal. Phillip Coombs ( 1984 : 14 ) mengatakan bahwa : Bentuk pendidikan formal apabila tidak mampu dilakukan penduduk miskin, maka pemerintah negara berkembang membuat kebijaksanaan pendidikan nonformal yang dibutuhkan untuk mengatasi kesempatan kerja, urbanisasi, peningkatan pendapatan dan perbaikan kesehatan serta gizi berupa penyuluhan, penataran, krusus, maupun bentuk keterampilan teknis lainnya Sasaran dan tujuannya untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan kaum petani, pengrajin, nelayan, pertukangan, pengusaha kecil, pedagang dan lainnya yang tergolong penduduk miskin. Pada umumnya pendidikan yang diperlukan di negara berkembang menurut Phillip Coombs berupa pendidikan umum dan dasar, pendidikan keluarga, pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan kejuruan. Gambaran tingkat pendidikan kaitannya dengan kemiskinan di Indonesia, berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 1990 yang dilakukan BPS menunjukkan bahwa sekitar 68,4 % dari rumah tangga miskin di pedesaan kepala rumah tangganya tidak tamat SD dan 28,8 % dari kepala rumah tangga tamat SD. Kecenderungan yang sama dijumpai pada rumah tangga miskin di perkotaan sekitar 54,4 % rumah tangga miskin kepala rumah tangganya tidak tamat SD dan 34,4 % kepala rumah tangga tamat SD. Secara keseluruhan di kota dan desa dari 94 % kepala rumah tangganya hanya berpendidikan SLTP ke atas. Begitupula 95 dalam pendidikan nonformal baik bersifat pengetahuan umum dan dasar, keluarga dan kemasyarakatan maupun keterampilan teknis kurang mendapatkan kesempatan yang diprioritaskan dalam program pembinaan dan pengembangan penduduk miskin. Keterampilan teknis yang dibutuhkan penduduk miskin sesuai dengan klasifikasi dan sektor kegiatannya, seperti keterampilan Industri berupa Industri kecil, Kerajinan Rumah Tangga, Keterampilan Pertanian baik manajerial maupun teknis pertanian, keterampilan pengelolaan modal dagang kaki lima dan pedagang kecil, keterampilan permodalan dan teknis perikanan bagi nelayan, keterampilan pengelolaan usaha peternakan dan lain sebagainya. Menurut Oshima dalam Zulkarnaen Amin ( 1993 : 6 ) mengatakan bahwa : Meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin meliputi mobilisasi sektor pedesaan, penggalakan industri orientasi ekspor, pembangunan perumahan sederhana, perbaikan struktur bunga dan kredit, perbaikan tingkat upah minimum, pajak progresif dan program pendidikan keterampilan lainnya. Pendidikan keterampilan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam upaya transformasi sosial budaya penduduk miskin. Pendidikan formal bersifat makro untuk anggota keluarga dan pendidikan nonformal/keterampilan bersifat mikro untuk kepala keluarga atau orang dewasa dari penduduk miskin". Pendidikan formal dan nonformal harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat miskin, dalam arti nilai sosiologis dan antropologis daerah sasaran. Kebijaksanaan dan program mikro dibidang pendidikan keterampilan disesuaikan dengan kebutuhan yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, antara kelompok penduduk miskin dengan kelompok penduduk miskin lainnya. a. Kebijaksanaan Pendidikan Sosial Untuk Petani Kebijaksanaan mikro bagi masyarakat yang tidak punya tanah dan petani guram dapat dilakukan dengan redistribusi tanah, perlindungan kepemilikan tanah dari penggusuran, penyuluhan 96 sapta usaha tani, pemberian bea siswa pada anak petani dan kesempatan mengikuti pendidikan kejuruan. b. Kebijaksanaan Pendidikan Sosial Untuk Nelayan Program peningkatan taraf hidup nelayan dapat dilakukan melalui pemberian modal dan peningkatan teknologi serta keterampilan. Kebijaksanaan berlaku juga bagi petani, pedagang, pengrajin yang ditopang dengan proses pemasaran yang menjamin harga yang relatif stabil. Kegiatan ini lebih difokuskan pada mobilitas sosial baik vertikal maupun horizontal. c. Kebijaksanaan Pendidikan Sosial Untuk Pengrajin, Kaki Lima dan Pedagang Eceran. Kebijaksanaan pendidikan diarahkan pada pemberian modal kepada kelompok pengrajin kecil atau rumah tangga, karena umumnya mereka memiliki modal yang sangat kecil. Sama halnya terhadap pedagang kaki lima, pedagang eceran dan pedagang keliling dengan syarat ringan dan kredit lunak. Pembinaan keterampilan serta pembinaan pemasaran hasil produksi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, BUMN, BUMD tetapi juga Yayasan dan Swasta. E. Pendidikan Keterampilan Penduduk Miskin Pendidikan sosial sangat dibutuhkan masyarakat dalam rangka orientasi pada perilaku kehidupan yang berakses pada budaya. Apalagi dihubungkan dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang semakin memberi peluang terhadap kebutuhan pembangunan masyyarakat. Tujuan dari pendidikan sosial adalah untuk menciptakan warga masyarakat mempunyai pengetahuan, keterampilan, nilai dan kepercayaan serta partisipasi sosial yang disesuaikan dan dimodifikasi dari aspek tujuan, metode dan materi pendidikan bagi warga masyarakat ( Barr, Barth dan Shermis : 1977 ). Pendidikan sosial dapat dilakukan pada warga negara melalui pendidikan formal dan non formal baik bagi personil dan bukan personil, orang dawasa, pemuda, anak-anak, masyarakat umum maupun masyarakat miskin dalam rangka sosialisasi budaya. 97 Penduduk miskin dalam konteks pendidikan sosial mempunyai kaitannya terhadap upaya pemberdayaan, partisipasi, demokrasi, dan percaya diri maupun kemandirian melalui pendidikan non formal perlu mendapatkan prioritas utama dalam mengatasi kebodohan, keterbelakangan dan ketertinggalan sosial ekonominya. Pendidikan non formal dalam rangka pendidikan sosial bagi sasaran orang miskin selaku kepala keluarga ( individu ) dan anggota masyarakat tidak terlepas dari konsep Learning society, adui t education, experience learning " dan dari sudut ekonomi " human resources development and inservice training " atau dalam bahasa Indonesia dengan istilah pendidikan luar sekolah, kursus keterampilan, penyuluhan, pendidikan dan latihan, penataran atau bimbingan dan latihan. Konsep pendidikan luar sekolah bagi orang dewasa khususnya orang miskin dikemukakan Darkenwald dan Meriam dalam Sudardja Adiwikarta ( 1988 ) " adult education is a process where by persons whose major social rol es are characteristic of adult status undertake systematic and sustained learning activities for purpose of bringing about change in knowledge, attitude, va 1ues or ski lis " . Konsep tersebut mengisyaratkan adanya tujuan, proses, subyek, materi dan metode yang digunakan dalam rangka pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal terutama bagi orang miskin selaku orang dewasa. Sedangkan John H. Trange dalam bunga rampai yang berjudul "Experience Learning £uad Liberal Aci " saduran Louis Lamdin ( 1991 ) bahwa " experiental learning the educational community has the determined that experiental learning is a subset of learning, particularly that learning which occurs outside the clasroom or laboratory learning is a real learning some sugested communicating skill, intelectual/problem solving skill and affective behaviors ". Belajar pengalaman bagi pendidikan masyarakat dilakukan di luar sekolah, laboratorium dan tempat praktek lain dalam menumbuhkan keterampilan, kemampuan memecahkan masalah dan perilaku afektif dari masyarakat. Dengan kata lain belajar pengalaman melalui pendidikan luar sekolah, 98 pendidikan orang dewasa, pendidikan keterampilan untuk menumbuhkan the challenges of advancee profesional development society " melalui sumber pengembangan nilai, sikap dan perilaku masyarakat dalam bentuk " response centering, response of caryng, response of learning, response of vlslon, response o f team work, response o f hvmility and response o f courage " ( David A. Kolb dalam Lamdin : 1991 ). Menurut K. Patricia dalam karangannya berjudul " The Eoad ihs Learning Societv " ( Lamdin : 1991 ) bahwa khusus bagi masyarakat pedesaan terutama penduduk miskin, pendidikan luar sekolah, orang dewasa, belaj ar pengalaman sej enis pendidikan keterampilan penduduk diarahkan : 1). mempunyai akses terhadap penambahan pengalaman hidup dan pengalaman sebagai dasar pendidikan, kesempatan kerja, latihan keterampilan dan pemupukan profesi; 2). menjadi dasar untuk perubahan struktur sosial ekonomi; 3). memberikan basis terhadap penumbuhan sikap kelompok, komunikasi, dan tindakan sosial; 4). menumbuhkan dan mengembangkan personil dari aspek sikap efektivitas kelompok. Adanya informasi berupa pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang menumbuhkan nilai dan sikap afektif bagi penduduk miskin tersebut merupakan dasar bagi aktivitas hidup dan perubahan kehidupan dalam struktur sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dalam arti sebagai aset sumber daya manusia yang dibutuhkan bagi produktivitas kerja, kemandirian, dan perubahan kehidupan sosialnya. 1. Tujuan Pendidikan Keterampilan Tujuan dari bentuk pendidikan ini secara pilosofis lebih menekankan praktek daripada teori, tetapi tidak dapat dipisahkan yang menifestasinya bagi penduduk miskin berupa substansi keteladanan, bimbingan, pembinaan, penyuluhan, praktek, peragaan dan latihan-latihan guna menumbuhkan pengetahuan dan keterampilannya. Dengan asumsi dasar bahwa mereka hidup dan mempunyai kewajiban dalam situasi yang 99 memerlukan perubahan baik dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, masyarakat dan negara. Terdapat 1ima macam penekanan dalam rumusan tuj uan pendidikan keterampilan bagi orang dewasa, termasuk penduduk miskin yaitu : a. Pengembangan intelektual dan keahlian ; b. Pengembangan perwujudan diri ; c. Pengembangan pribadi dan masyarakat ; d. Perubahan sosial ; e. Peningkatan efektivitas organisasi ( Darkenwald dan Merriam dalam Sudardja Adiwikarta : 1987 ). Pendekatan dari tujuan pendidikan seperti itu, mempunyai interdependensi terhadap penumbuhan sikap, pengetahuan dan keterampilan untuk kebutuhan berupa " Job performance ", produktivitas kerja, partisipasi program pembangunan dan peningkatan sosial ekonomi maupun kesejahtraan keluarganya. Dalam hal ini biasanya tujuan pendidikannya merupakan gabungan antara " Job performance " dengan " Standard ", sehingga secara spesifik dirumuskan dalam bentuk "Operational Performance Standard" dan ditentukan bentuk pendidikan keterampilan yang standar atau " Training Performance Standard 2. Metode Pendidikan Keterampilan Metode pendidikan keterampilan bagi orang desawa seperti penduduk miskin dalam rangka memperoleh pengetahuan, pengalaman, sikap, kepercayaan, keahlian, dan partisipasi sosial dengan penerapan II metode andragoei". Alasannya menurut Malcolm S. Knowless ( 1977 ) adalah : pertama, adanya konsep diri orang dewasa lebih mengarah pada " self directing kedua, orang dewasa memupuk pengalaman yang diperoleh menjadi suatu hasanah; ketiga, berorientasi pada pekerjaan praktis; keempat, dapat menunjang pemecahan masalah hidupnya. Oleh karena itu, pemupukan transformasi keterampilan pada penduduk miskin setidaknya memerlukan pendekatan teori humanistik, perkembangan dan behavior atau perilaku. Teori 100 pendekatan frumaniptlk- lebih ditekankan pada proses penanaman dan pengembangan keterampilan bagi penduduk miskin akan tumbuh sumbur apabila substansi dan sumber pengembangan lingkungan masyarakat sekelilingnya memberikan iklim yang mendukung dan positif. " Pendekatan Teori Perkembangan " bahwa penduduk miskin adalah sebab tidak berdaya yang memerlukan pengembangan nilai, sikap, kepercayaan serta keterampilan melalui beberapa macam tahapan dalam pola tertentu, disertai lingkungan yang dapat mempengaruhi kecepatan tahapan tersebut. Oleh Mezirowi ( 1978 ) dipandang sebagai konsep transformasi perspektif, dimana tahapan-tahapan yang dikembangkan dapat diketahui sebagai pengetahuan baru dan menjadi sesuatu yang bermanfaat guna menjadi kebutuhan nyata bagi perbaikan hidupnya. Pendekatan Teoni Perilaku , lebih menekankan pada kegiatan pendidikan yang merubah perilaku dengan latihan kerja dan keterampilan, sehingga mempengaruhi terhadap paket pengalaman, nilai, kebutuhan, tujuan hidup, kepercayaan dan ide yang menyebabkan individu bertingkah laku berbeda terhadap sesuatu gejala kehidupannya. 3. Proses Pendidikan Keterampilan Proses pendidikan termasuk pendidikan luar sekolah khusus pendidikan keterampilan bagi orang dewasa sesuai dengan prinsip-prinsip belajar dan tahap belajar yang ingin dicapai serta metode yang ingin diterapkan. Salah satu konsep yang relevan dengan proses belajar orang dewasa termasuk penduduk miskin menerapkan konsep A.I.C atau proses A.I.C. Konsep proses ini dikembangkan oleh Kurt Lewin yang kemudian diterapkan oleh William E. Smith ( 1985 ) dalam proses belajar yang berhubungan erat dengan " Policy Formulation " terutama dalam pelatihanpelatihan, bimbingan dan pembinaan, penyuluhan, penataran dan bentuk lainnya dalam meningkatkan kemampuan praktis, pengalaman dan profesi tertentu. Model proses belajar dari William E. Smith yang demikian dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut : 101 APPRECIATION CONTROL INFLUENCE Reallties Relating Parts Interacting Transforming Probabilities Model Reflection Plans Possibilities LISTENING DIALOQUE ACTION Ilustrasi dari gambar yang dideskripsikan tersebut, setidaknya dapat dikemukakan sebagai berikut : a). Setiap tahapan intruksional yang tercermin dalam tujuan intruksional dalam bahasan disajikan melalui tiga phase yaitu phase apresiasi, phase mempengaruhi ( influence ), dan phase pengendalian ( control ). b). Dalam phase appresiasi, pelatih, instruktur, pembimbing, pasilitator dan lain sebagainya menerapkan metode " braln storming " untuk menggali khasanah pengetahuan dan pengalaman subyek pelatihan, bimbingan, penyuluhan berupa ide, pengetahuan, pengalaman yang dapat diterapkan untuk kepentingan pekerjaan, pengorganisasian maupun kehidupan sosial. c). Pelatih, Instruktur, pembina dan pembimbing maupun fasilitator memproses pendapat, ide, pengalaman, dan pengetahuan yang tumbuh dari peserta ke dalam suasana diskusi yang dinamis dengan mengikut sertakan peserta sebanyak mungkin, dengan cara mengkaitkan satu pendapat dengan pendapat lain. Pemberian ulasan, rangkuman dan kesimpulan diberikan dengan didukung contoh-contoh nyata yang berguna bagi peserta melalui diskusi dalam meningkatkan pengetahuan, pengalaman, sikap, nilai serta 102 perilakunya dalam kepentingan pekerjaan maupun keh i dupannya. d). Pada gilirannya pelatih, pembimbing, pembina, instruktur dan fasilitator membawa pikiran pada pase ketiga yaitu untuk direfleksikan kembali yang telah didiskusikan untuk diperagakan, praktek, studi banding, maupun membuat pilot proyek atau percontohan dari berbagai materi keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. 4. Materi Pendidikan Keterampilan Materi/substansi pendidikan keterampilan yang diinformasikan, diperagakan, dipraktekkan dan percontohan bagi peserta pendidi- kan keterampilan beraneka ragam dengan memperhatikan kondisi, tingkatan kemampuan, jenis materi yang dibutuhkan serta sarana prasarana sebagai intrumentalis pendukungnya. Materi yang termuat dalam kurikulum, program, kebijaksanaan teknis maupun bentuk lainnya mempunyai relevansi terhadap tujuan, metode dan proses, seperti tersebut di atas, dengan selektif model pendekatan yang dibutuhkannya. Kegiatan pendidikan keterampilan dapat disesuaikan dengan kondisional peserta ( petani, pengrajin, pedagang, pertukangan dsb ), sehingga dapat dilaksanakan secara terstruktur maupun nonstruktur melalui pelatihan, bimbingan keterampilan, pembinaan dan pengarahan yang dilakukan oleh fasilitator dari instansi dan dinas fungsional pemerintahan di wilayahnya. F. Program IDT Berakses Pemberdayaan Masyarakat Strategi dan pendekatan program IDT dalam Inpres Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan mempunyai kecenderungan yang sangat kuat terhadap orientasi pembangunan manusia. Salah satu indikasinya terlihat adanya keterlibatan kelompok penduduk miskin yang terintegrasi dalam pengorganisasian berbentuk Kelompok Sasaran Masyarakat ( KSM ) sebagai pelaku dan sekaligus sasaran untuk mengelola programprogram pembangunan yang bersumber dari dana Inpres tersebut. 103 Masalah pengentasan kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama, yaitu tanggung jawab birokrasi pemerintahan sampai jajarannya di tingkat lokal dan desa, Kelembagaan Sosial dan Politik, Dunia Usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ), Perguruan Tinggi dan masyarakat dan penduduk miskin sendiri. Pendekatan ini nampaknya searah dengan pendekatan yang dirumuskan David C. Korten pada pembahasan yang lalu dan sering disebut " Tliree Way Fit Model " atau model kesesuaian tiga jalur, terdiri dari unsur program, kelompok sasaran dan organisasi. Organisasi selaku pelaksana program yaitu: Pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi, serta Kelompok Sosial atau Kelompok Penduduk Miskin. Oleh karenanya untuk menganalisis pelaksanaan program IDT, setidaknya mengacu pada model kesesuaian tiga arah dari David C. Korteen yang dimodifikasi dengan kepentingan dan kebutuhan di Indonesia. Penelitian diarahkan pada fokus perilaku unsur birokrasi pemerintahan pelaksana program di tingkat lokal dengan pendekatan pendidikan sosial dalam menginternalisasikan nilai, pengetahuan, keterampilan pada kelompok sasaran masyarakat miskin dalam upaya mengaktualisasikan dirinya dan berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan kata lain, fokusnya untuk menganalisis kemampuan unsur birokrasi pemerintahan pelaksana program IDT dalam pemberdayaan pada KSM penduduk miskin sesuai kebutuhan, kemampuan dan kepentingannya, dengan mengantisipasi kepedulian kelembagaan non pemerintah lainnya. Makna pemberdayaan masyarakat menurut G i nan j ar Kartasasmita ( 1996 : 24 ) dapat dilihat dari tiga sisi : Ppri^ma , menc iptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang ( " e nabi Ing " ). Setiap .manusia dan masyarakat mempunyai potensi dan daya yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan upaya membangun daya, dengan memotivasi dan membangkitkan kesadaran dan membangkitkan kesadaran potensi yang dimiliki serta mengembangkannya. Kedua , memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat ( " empowerlng ). Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan 104 menyangkut penyediaan berbagai masukan serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang ( " opportunitiee " ) yang membuat masyarakat makin berdaya. Upaya yang amat pokok peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi. Penguatan dan pembaharuan pranata sosial ekonomi amat penting dalam menanamkan nilainilai budaya dalam pengintegrasian kelembagaan dan peranan masyarakatnya. Kualitas peningkatan partisipasi terarah pada proses pengambilan keputusan bagi kepentingan dirinya dan masyarakatnya. Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan Pancasila. Ketiga , memberdayakan mengandung arti proses pemberdayaan dalam melindungi dan keberpihakan pada yang lemah. Tujuannya memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung. Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan masyarakat, masyarakat tidak dijadikan obyek dari proyek pembangunan tetapi merupakan sumbyek dari pembangunan sendiri. Pemberdayaan yang demikian harus mengikuti : 1) pemberdayaan secara terarah ( " targetted " ) dalam upaya pemihakan; 2) program mengikut sertakan masyarakat sasaran; 3 ) menggunakan pendekatan kelompok. Program IDT dalam pelaksanaannya mengandung muatan konsep dan pendekatan pemberdayaan terhadap penduduk miskin pada desa tertinggal. Kesesuaian dan keberpihakan antara program IDT, organisasi pelaksana program dan penerima program dilakukan dengan pendekatan pendidikan sosial dengan pemberdayaan yang terpadu dari semua unsur yang terlibat dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin. Suatu program IDT akan berhasil mengentaskan kemiskinan, jika terdapat struktur hubungan yang erat antara : kebutuhan masyarakat; persyaratan program dengan kemampuan nyata dari pelaksana program yang bersifat pemberdayaan ; dengan pengungkapan kebutuhan oleh pihak masyarakat miskin dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan sebagai tahap awal pelaksanaan program yang didasari keterampilannya. 105 GAMBAR 11.6: MODEL KESESUAIAN TIGA JALUR PROGRAM IDT Program IDT LSI dan Perguruan Tinggi Kelompok sasaran masyarakat merupakan sarana penting dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan Program Inpres Desa Tertinggal. Dengan melibatan kelompok sasaran masyarakat selaku unsur obyek program dalam mengatasi kemiskinan, pada hakekatnya pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang terampil, mengatasi pengangguran, tumbuhnya sikap partisipasi, timbulnya kepedulian sosial, semakin kuatnya desentralisasi, keterpaduan dan kegotongroyongan. Kelompok sasaran masyarakat sesuai dengan kebutuhan diberi kekuasaan untuk merencanakan program sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, masalah serta memanfaatkan kelembagaan yang ada. Oleh David C. Korten disebut dengan learning with the people, and building new knowledge and institutional capacity throught actlon " atau belajar diantara masyarakat, pengembangan pengetahuan baru dan pengembangan kelembagaan yang ada. Kelompok yang dibentuk dari penduduk miskin sebagai wadah kebersamaan dari kelompok sasaran program IDT untuk mengelola kegiatan sosial ekonomi. Kebersamaan ini menunjukkan semangat dan kegiatan kooperatif yang menjadi dasar bagi gerakan koperasi yang mandiri dan andal. Mereka dengan dasar kebersamaan, keterpaduan, partisipasi dan keswadayaan akan menyusun program untuk memanfaatkan dana bagi kepentingan seluruh anggotanya. Untuk menumbuhkan sikap demikian, memerlukan " Learning Proceas atau proses pendidikan/pemberdayaan melalui pembinaan kelompok sasaran program IDT dari pihak luar untuk meningkatkan belajar efektif, belajar efisien dan belajar mengembangkan dirinya. 106 Pemberian bantuan dana program IDT untuk kepentingan usaha yang memacu peningkatan pendapatan disertai dengan upaya pelatihan keterampilan, pembimbingan dan pendampingan baik dari kalangan pemerintah maupun LSM dan Perguruan Tinggi agar kelompok swadaya masyarakat dapat menumbhkan kemampuan otonomi dan kemampuan administratif. Kemampuan otonomi dalam konseptualisasi disini berhubungan dengan fleksibilitas dan keleluasaan kelompok swadaya masyarakat dapat mengelola bantuan atas dasar pendekatan demokratis-partisipatif dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dinamis dari lingkungan masyarakat setempat. Sedangkan kemampuan adminsitrasi berkenaan dengan pengelolan bantuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara kelembagaan, pemupukan modal dan peningkatan pendapatan masyarakat. Tumbuhnya kemampuan otonomi dan administratif dalam organisasi yang berpihak pada program IDT, faktor penting keberhasilan suatu organisasi dan program pembangunan adalah manusia atau " the primerly resourcess o f any organ i zat ion and development programmu are people ". Kelompok Sasaran Masyarakat sebagai sasaran obyek dan pelaku program IDT dalam pengentasan kemiskinan harus memiliki kesadaran, tanggung jawab dan harga diri yang tinggi. Dalam konteks seperti ini Kelompok Sasaran Masyarakat harus bersifat responsif terhadap permasalahan yang ada dilingkungannya, partisipatif dan mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat. Disini dituntut adanya kemampuan administrasi Kelompok Sasaran Masyarakat baik secara internal maupun eksternal. Kemampuan internal administratif, erat kaitannya dengan penggunaan sumber-sumber tenaga kerja, sarana dan teknologi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi kelembagaannya. Kemampuan administrasi ekternal meliputi proses kegiatan dan hubungan dengan lembaga-lembaga dan kelompok - kelompok dari luar administrasi suatu lembaga, terutama dalam memperoleh bantuan pengetahuan dan keterampilan teknis yang diperlukan bagi pengembangan kemandiriannya dari agen pembangunan atau pembaharu. 107 Seperti dikemukakan oleh Zaltman dan Duncan yang dikemukakan oleh William R Lassey dan Marshall Sashkin ( 1983 : 251 ) bahwa upaya untuk memperbaiki kelompok masyarakat tentunya didasarkan pada empat asumsi dasar yaitu : 1) produktivitas partisipasi pengambilan keputusan yang tidak tersentralisir; 2) program yang terencana dengan memperluas partisipasi; 3) program yang dapat diajarkan dan dimanfaatkan bagi proses peningkatan kualitas kelompok dan 4) pengembangan potensi kepemimpinan kelompok yang dapat menularkan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya. Tetapi yang menjadi kunci pokoknya terletak pada proses pengembangan dan pendidikan keterampilan kelompok masyarakat atau " learning and development o f skills potential communi ty " agar mampu mengidentifikasi masalah, proses pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan penentuan perencanaan, program, sumber dana dan daya maupun pelaksanaan programnya. Pentingnya penumbuhan kemampuan administratif kelompok masyarakat dari segi pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan bagi proses penyusunan program dan pelaksanaannya, sangat dibutuhkan pengaruh dari luar kelompok masyarakat dalam rangka " learning process " atau pemberdayaan. Pengaruh luar Belaku agen pembaharu atau fasilitator berfungsi untuk mempercepat dalam peningkatan otonomi dan kemampuan administratif dan sosial budaya kelompok masyarakat. Hal ini didukung oleh William R. Lassey dan Marshall Sashkin ( 1983 : 252 ) bahwa konsultan atau fasilitator pendidikan sangat dibutuhkan bagi masyarakat setempat dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya untuk mengelola program pembangunan masyarakat. Peran dari konsultan, pembimbing atau pendamping yang berfungsi dalam pemberdayaan pendidikan baik kedudukannya selaku " Ca.ta.lyst, Process Helper, Resotirce Linker and Expert " atau Katalisator, Pembina, Pendamping, dan Para akhli bagi kelompok masyarakat. 1). Fasilitator pendidikan yang berfungsi «^lafeii KatalisT mampu membantu anggota masyarakat menentukan dan memecahkan masalah yang menyangkut kepentingannya dalam memperbaiki 108 kemampuan untuk memperbaharui program pembangunan yang akan dihasiIkannya. 2). Fasilitator Rslahi fungsi Pembina, memberikan bantuan bimbingan dan pembinaan pada masyarakat setempat dalam proses merencanakan dan melaksanakan perbaikan yang dkehendaki sesuai dengan keterampilannya. 3). Fasilitator pendidikan fungni Pendamping, membantu masyarakat setempat untuk mengarahkan pemanfaatan sumbersumber yang tersedia yaitu keuangan, bantuan teknis, pengetahuan dan program pemerintah yang terjalin antara kemampuan dari masyarakat setempat dengan sumber batuan dari luar baik dari pemerintah maupun pihak lainnya. 4). Fflflj3 3tator pendidikan fungsi Ekspert, membantu mengarahkan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk memecahkan masalah dan merealisasikan program maupun bantuan dalam meningkatkan pemahaman atau kemampuan efisiensi bagi masyarakat. Bantuan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dari konsultan selaku fasilitator pendidikan pada masyarakat dapat bersumber dari Pemerintah berupa Pekerja Sosial, Penyuluh Lapangan Kesehatan, Penyuluh Pertanian, Pendidik/Guru maupun LSM dan Perguruan Tinggi dalam rangka proses perencanaan dan pelaksanaan program yang dibutuhkan masyarakat setempat. Ini berarti pendekatan pemberdayaan dalam memperkuat aspek kelembagaan kelompok masyarakat untuk melaksanakan program yang dibutuhkannya. Kaitannya dengan program IDT, pembinaan kelompok berfungsi sebagai wahana proses belajarmengajar anggotanya, wahana untuk menajamkan masalah bersama yang dihadapi, wahana pengambilan keputusan untuk menentukan strategi masalah bersama, dan wahana mobilisasi sumber daya para anggota. Pembinaan kelompok swadaya masyarakat dalam program IDT melalui tenaga pendamping yang bertugas membina penduduk miskin dalam kelompok, sehingga menjadi suatu kebersamaan yang berorientasi pada perbaikan kehidupannya. Pendampingan bertugas menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok sebagai fasilitator, komunikator 109 maupun dinamisator. Lingkup, pembinaan yang dilakukan para pendamping meliputi upaya peningkatan kualitas sumber, daya manusia dari para anggota kelompok dan pengurus kelompok, peningkatan kemampuan penyelenggaraan kelompok, dan peningkatan kemampuan usaha anggota. Kemampuan pendamping, pembina, pembimbing, dan pelaksana dari unsur birokrasi pemerintahan lokal/daerah tingkat II sampai ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan dalam rangka memobilisasi, mendinamisasi serta mengembangkan kelompok masyarakat penduduk miskin melalui pendekatan administratif dan pemberdayaan pendidikan keterampilan sangat mewarnai dan menentukan tumbuhnya keswadayaan, demokratisasi, kegotong royongan serta kemandirian untuk menggulirkan dana program IDT secara berdayaguna dan berhasiguna. Keberhasilan pelaksanaan program IDT sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang meliputi sumber daya manusia berupa birokrasi pemerintahan, Lembaga Sosial Masyarakat dan peran Perguruan Tinggi serta penerima program ( KSM ), faktor program dan kegiatan, metode pendikikan sosial, prosedur penggunaan dana maupun faktor pengerahan sumber organisasi lainnya seperti kemantapan administratif yang dikehendaki oleh INPRES Nomor 5 Tahun 1993. 6. Perilaku Unsur Birokrasi Pemerintahan Di Daerah Pelaksana Program IDT 1. Birokrasi Pemerintahan Dalam rangka proses pemerintahan dan pembangunan pada negara berkembang, pemerintah mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam fungsinya selaku " Pelayan Publik " guna meningkatkan kesejahteraan, keadilan, keamanan, dan ketentraman serta ketertiban masyarakat. Ditinjau dari segi kenegaraan, pemerintah sebagai salah satu unsur dan bagian dari masyarakat. Pemerintah dan masyarakat mempunyai hubungan sistemik, organik, struktural, fungsional dan ideal. Pemerintah merupakan manifestasi dari rakyat, sehingga berkewajiban untuk memperhatikan kepentingan rakyat, melaksanakan fungsi rakyat melalui sistem pemerintahannya. 110 Fungsi pemerintahan yang dilakukan pemerintaah meliputi fungsi pelayanan publik dan pengaturan terhadap warga negara. Untuk melakukan fungsi pemerintahan tersebut, pemerintah melakukan aktivitas pelayanan, pengaturan, pembinaan, pengaturan, koordinasi, pengelolaan dan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Seperti dikemukakan David Osborne dan Gaebler Tead ( 1991 ) dalam "Reinventing Government" bahwa fungsi pemerintahan dalam arus globalisasi sekarang ini yang ditandai dengan berbagai kecenderungan pengaruh informasi, arah dalam pelayanan publik tidak hanya rowing role's " ( peran pengaturan ), tetapi lebih dititik beratkan pada pemberdayaan, kemitraan dan pengendalian untuk mendorong masyarakat dalam bentuk kebijakan publik yaitu steering role 's " ( peran pengendali terhadap kegiatan masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan ). Pemerintah dalam melaksanakan peran dan fungsi pemerintahan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan publik, aktivitas administratif, organisasi dan managemen, pelayanan publik, maupun kepentingan dan urusan publik atau " publlc affair and public interest ". Erat kaitannya dengan fungsi pemerintahan yang dilakukan oleh kekuasaan pemerintah dalam wadah institusi atau organisasi pemerintahan dalam sekala besar berbentuk birokrasi pemerintahan. Apa yang dikemukakan Ferrel Heady ( 1971 ) bahwa " bureaucracy is most opten employed as a " political cussword and is cast in the role of villain by openents of " big government " or the welfare state... Bureaucracy in a way intended to identity a phenomenon assoclated with large scale coplex organization ... identity bureaucracy as form of social organization with certain characteristic. Bureaucracy in term organization's basic structural characteristic a highly elaborated hierarchy of outhority , specialization and division of labor. Bureaucracy tendency of behavioral characteristics or structural characteristic, result being that a pattern of behavior or related pattern to be bureaucracy. Bureaucracy has of achievement of 111 purpose " ( Birokrasi selalu dihubungkan dengan personil sebagai " kebi.i aksanaan pq]itik " dan berkenaan pada pemerintahan besar atau kesejahteraan rakyat Birokrasi merupakan fenomena yang dihubungkan dengan skala organisasi besar ... identitas birokrasi sebagai bentuk organisasi sosial yang mempunyai ciri tertentu. Birokrasi dalam isltilah organisasi mempunyai ciri struktur herarki kekuasaan, spesialisasi dan pembagian kerja. Ciri perilaku birokrasi atau struktur merupakan hasil dari pola perilaku atau pola birokrasinya. Birokrasi mempunyai pencapaian tujuan ). Konsep birokrasi mempunyai erat kaitannya dengan : peran dan fungsi organisasi pemerintahan yang besar dalam rangka kesejahtraan rakyat melalui kebijakan publik; mencirikan identitas penomena sosial yang dicirikan bentuk organisasi sosial; mempunyai karakteristik struktur, herarki kekuasaan, pembagian tugas dan spesialisasi jabatan; ciri perilaku birokrasi dalam struktur sesuai dengan pola birokrasi serta birokrasi mempunyai tujuan secara efektif dan efisien. Birokrasi sebagai bentuk organisasi pemerintahan yang dicirikan oleh struktur mempunyai prinsip-prinsip dasar normatif, nilai filosofis dan etika dalam perilaku dalam proses administrasi dan psikologi sosial. Dikatakan demikian, karena birokrasi pemerintahan dalam melaksanakan peran dan fungsinya, dapat dilihat dari pendekatan arfminiRtratif bermula pada struktur kekuasaan, pembagian tugas, spesialisasi, fungsi kegiatan, koordinasi, jenjang pengawasan dan lain sebgainya. Sedangkan dilihat dari pendekatan sosial berhubungan erat dengan perilaku manusia selaku unsur birokrasi dalam struktur organisasi pemerintahan baik perilaku individu dalam kelompok formal dan informal, maupun internal dan ektemal organisasi pemerintahan. Karakteristik birokrasi pemerintahan dalam menjalankan peran dan fungsi pemerintahan menurut teori klasik dari Max Weber dapat diklasifikasikan pada birokrasi pemerintahan kaitannya dengan dominasi kekuasaan pemimpin birokrasi. 112 Dominasi salah satu bentuk hubungan kekuasaan pemimpin pemerintahan secara herarkis sadar haknya untuk memerintah, sedangkan yang diperintah sadar bahwa menjadi kewajibannya untuk mentaati perintah penguasa. Adanya tiga klasifikasi dominasi kekuasaan pemimpin birokrasi pemerintahan. 1) Chariamatlc Domlnation " adalah keabsahan bentuk hubungan kekuasaan yang bersumber pada kualitas supra natural pribadi si pemimpin birokrasi; 2) " Tradisional Dnmlnatinn " adalah suatu bentuk hubungan kekuasaan yang memperoleh keabsahan karena bersumber pada tradisi; 3) " Legal Tfatinnal Dnminfcaion " adalah melihat keabsahan bersumber pada ketentuan atau peraturan formal. Dalam " nharismatic domlnation " penggunaan kekuasaan dilaksanakan melalui suatu aparat yang terdiri dari pengikut setia ( decipline ), pada " tradisional dnmination " penggunaan kekuasaan dilakukan melalui aparat dalam bentuk pejabat feodal, maka aparat pemerintah " legal rasional domination " disebut birokrasi. Karakteristik utama " Weberian Bureaucracv " yang rasional dikemukakan Max Weber dalam John G. Garson dan Haris ( 1985 : 21 ) adalah sebagai berikut : 1). Adanya struktur kewenangan dan jabatan herarkis dengan batas tanggung jawab yang jelas; 2). Pembagian tugas, kewenangan dan yuridiksi administratif diatur berdasarkan hukum, aturan dan ketetapan administratif; 3). Pengisian dan promosi jabatan berdasarkan spesialisasi dan kecakapan teknis; 4). Hubungan kerja anggota oraganisasi bersifat impersonal; 5). Pelaksanaan kegiatan dikendalikan oleh sistem peraturan dan prosedur pelaksanaan yang konsisten serta pemisahan kepentingan dinas dengan pribadi; 6). Sistem penggaj ian berdasarkan kewenangan, j abatan dan keahlian. Konsep " Kegelian Bureaucracv " dalam kaitannya dengan birokrasi pemerintahan mengandung nilai strategis dari hubungan kausalitas fungsi birokrasi sebagai penghubung 113 negara dengan masyarakat sipil . Negara mengejawantahkan kepentingan umum. Sedangkan masyarakat eivil merepresentasikan kepentingan khusus yang ada di dalam masyarakat. Keberhasilan birokrasi diukur dari kemampuan untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan khusus di dalam masyarakat dan menginkorporasikan dalam kepentingan umum negara. Hegel tidak meitik beratkan pada efisiensi birokrasi seperti halnya Weber, melainkakan sejauhmana birokrasi menyalurkan kepentingan-kepentingan khusus masyarakat sipil menjadi kepentingan negara. Tetapi keduanya, mempunyai pandangan dalam katagori birokrasi bureau-rational " dan " sopial plagg " untuk kepentingan sosial sebagai " Grand Theorv " . Cendikiawan lain yang dipandang mutahir dalam " Midle Ranee FormulaUon Theory "( David C. Korten, 1983 : 35 ) melihat cukup toleransi terhadap nilai birokrasi dengan masyarakat yang bersifat " leaimlng process approach " , unsur pembinaan, pendidikan, demokratis, partisipasi dan kelembagaan sosial maupun artikulasi kepentingan merupakan nilai absolut yang perlu mendapatkan kapasitas dan kapabilitas birokrasi dalam melaksanakan fungsi pemerintahannya. Birokrasi pemerintahan suatu sistem yang mengatur jalannya pemerintahan dan pembangunan. Sebagai suatu sistem, dalam proses birokrasi tercakup berbagai sub-sistem yang saling berkaitan , saling mendukung dan menentukan, sehingga dapat membentuk suatu totalitas komponen terpadu dalam suatu sistem tersebut. Berbagai sub-sistem tersebut mencakup kewenangan, tugas pokok, unsur manusia, biaya, tempat kerja, dan tata kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa birokrasi pembangunan juga merupakan suatu alat atau instrumen pemerintah dalam melaksanakan kebijaksanaan dalam proses pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan ( Ermaya Suradinata : 1994 ). Birokrasi pemerintahan tidak sekedar dilihat dari pendekatan struktur administratif, melainkan menyangkut aspek po1it ik, budaya, sosial dan ekonomi yang mampu membangun mekanisme organisasi formal, informal, internal dan eksternal 114 serta dapat memecahkan persoalan yang menyangkut kepentingan umum atau pelayanan publik melalui proses penetapan kebijakan dan pelaksanaannya yang konsisten. Birokrasi pemerintahan dan pembangunan di Indonesia sebagai alat pemerintahan dalam menjalankan wewenang, tugas dan kewajibannya berdasarkan pada falsafah dan landasan hukum. Falsafah dan landasan hukum yang menj adi dasar kebij akan birokrasi di Indonesia adalah : Pancasila sebagai landasan idil, UUD 1945 sebagai landasan konstitutional, GBHN sebagai landasan operasional, REPELITA sebagai landasan operasional jangka sedang, APBN sebagai landasan operasional jangka pendek. Begitupula untuk Daerah Tingkat I dan daerah Tingkat II mengacu pada Lanndasan dan dasar hukum umum dan kondisional. Namun demikian secara moral dan etika kepegawaian, birokrasi juga dalam melaksanakan tugasnya selain berladaskan pada hal tersebut di atas, tetapi secara spesifik diatur pada UU Mo. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, PP 30 tahun 1980 dan aturan pelaksanaan lainnya yang mengatur perilaku, etika dan moral birokrasi pemerintahan. Berdasarkan falsafah dan landasan tersebut, berarti fungsi pemerintahan dan program-program pembangunan baik sektoral, regional, daerah, perkotaan dan pedesaan yang dilaksanakan oleh sistem birokrasi harus bermuara pada pemenuhan kebutuhan rakyat. Hal ini mengingat birokrasi pemerintahan dalam kendudukannya selaku abdi negara dan abdi masyarakat, atau dengan kata lain sebagai instrumen pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan fungsi birokrasi sebagai pelayanan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kemampuan profesional dan managemen dan organisasi " capacity and capabllity instltutional " yang berorientasi pada proses penggerakkan pembangunan secara terpadu, lancar dan integral dengan pendekatan adminiRtratl f <iail pendidikan atau orlentation bereaucratle to admlnietration and education " ( David C. Korten : 1983 , Bryant and White: 1987 dan Hondinelli : 1983 ). Oleh karena itu, birokrasi dalam menjalankan " public 115 service " harus mempunyai keseimbangan antara kekuasaan dengan tanggung jawab " power and responsibility " , sehingga fungsifungsi yang telah dijalankannya akan memperkokoh terhadap kedudukannya bagi birokrasi yang bersangkutan. Birokrasi pemerintahan dalam menjalankan fungsi pemerintahan terdapat dalam wadah organisasi C struktur ), melakukan proses ( kegiatan ) dan berperilaku ( nilai ), sehingga birokrasi pemerintahan memerlukan kemampuan profesional, kualifikasi adminsitratif/manajerial, dan herarki dalam menjalankan kekuasaan dan tanggung jawabnya terhadap pelayanan masyarakat. Birokrasi mengandung prinsip herarki, sehingga terdapat birokrasi pemerintahan lokal merupakan manifestasi dari birokrasi sentral dalam sistem birokrasi pemerintahan. Birokrasi lokal merupakan perpanjangan dalam memberikan akses pelayanan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Kedudukan birokrasi pemerintahan lokal dalam kaitannya dengan nilai demokrasi, otonomi, keterbukaan sangat strategis dalam upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan nasional maupun daerah- Baik birokrasi pusat maupun lokal dalam proses pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat harus melekat tiga aspek penting selaku aparatur pemerintah yaitu : 1). Memiliki tanggung jawab selaku abdi negara dan abdi masyarakat; 2). Responsif terhadap masalah masyarakat, khususnya yang membutuhkan pelayanan masyarakat dalam arti luas ; 3). Komitmen yang besar terhadap nilai standar moralitas dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Sehubungan dengan itu, birokrasi pemerintahan dalam menjalankan tugasnya tidak terlepas dari perilaku yang konsisten terhadap landasan falsafah dan hukum sebagai suatu nilai dan moral; dalam menjalankan tugas dan kewenangannya berorientasi pada sistem organisasi; memberikan fungsi " public service " yang memperhat ikan aspir as i dan kepent ingan masyarakat, sehingga mampu memberikan aset imformasi yang relevan dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat. Di 116 bawah ini akan di bahas aspek perilaku birokrasi lokal yang konsisten dengan pemberdayaan masyarakat miskin, peningkatan partisipasi masyarakat dan aset informasi dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan masyarakat miskin bagi peningkatan kesejahteraannya. 2. Perilaku Birokrasi di Pemerintahan Kondisi utama bagi terciptanya iklim yang mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat maupun kelembagaan pada kelompok masyarakat miskin adalah perilaku birokrasi. Bagaimana suatu birokrasi memandang kemiskinan dan cara mengatasi kemiskinan tersebut sangat menentukan tindakan-tindakan yang diambil dalam penanganan suatu program pengentasan kemiskinan. Dalam pelaksanaan program pembangunan, salah satu bentuk organisasi yang sering digunakan oleh pemerintah adalah organisasi birokrasi. Karena menurut Katz ( 1985 ) bahwa birokrasi pemerintah adalah satu-satunya organisasi yang memiliki akses penguasaan atas seluruh sumber-sumber nasional. Oleh karena itu, pada negara - negara yang sedang berkembang, terutama di kita menghendaki peran dan fungsi birokrasi yang mencerminkan tuntutan pembangunan dan ciri masyarakat yang sedang mengalami transisional, sehingga birokrasi pemerintah yang adaptif, responsip, proaktif, rasional, obyektif maupun efektif dan efisien. Dengan kata lain birokrasi pemerintah dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dan program pembangunan dalam rangka mengakomodasikan, menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan rakyat melalui berbagai kebijakannya bertopang pada nilai-nilai budaya bangsa, sehingga hubungan perilaku birokrasi dengan nilai kultural dan kepentingan umum ( pelayanan pubkik ) bersifat integral ( David E. Apter : 1977 ). 117 GAMBAR : II.7. HUBUNGAN PERILAKU BIROKRASI DENGAN NILAI KULTURAL DAN KEPENTINGAN UMUM Nilai Kultural Pada negara berkembang dengan ciri masyarakat yang dalam proses transisional dari masyarakat agraris menuju industri atau dari masyarakat tradisonal menuju modern, masih ditandai oleh ciri birokrasi yang paternalistik, formalistik, tumpang tindih, nevotisme dan mekanistik ( F.W. Riggs : 1964 ). Ciri birokrasi pemerintahan seperti ini disadari masih berorientasi pada status, struktur yang statis-mekanistis, sikap mental kental seremonial-slogan dan kurang profesional dan poliferasi birokrasi yang ditandai dengan budaya birokrasi peternalistik sehingga akan menghambat pada pelayanan publik. Oleh karena itu, perilaku birokrasi pemerintah dalam iklim pembangunan, tidak sekedar dilihat dari segi pendekatan struktur dan fungsi administratif, melainkan segi pendekatan budaya, sosiologis, dan psikologis merupakan aspek penting bagi pelayanan publik yang optimal menuju dayaguna dan hasilguna peningkatan kesejahtraan masyarakat. Seperti ditegaskan oleh Frederick ( Ferel Heady : 1971 ) bahwa perilaku birokrasi pemerintahan dalam melaksanakan fungsi administratif yang obyektif, diskreasi, presisi dan konsisten ditentukan oleh faktor budaya, sosiologi dan psikologi sehingga tercipta patologis fungsi antara kekuasaan birokrasi secara internal maupun eksternal dengan kepentingan rakyat melalui berbagai kebijakan, pelayanan, pembinaan dan pengayoman masyarakat. 118 Erat kaitannya dengan pemerataan, peningkatan sumber daya manusia dan pendidikan sosial, maka peran dan fungsi perilaku birokrasi pemerintahan dalam rangka pelayanan publik -harus bersandar pada demokratisasi, otonomi dan humanisasi melalui akses debirokratisasi lokal yang profesional dengan cara-cara kerja dinamis, inisiatif, inovatif, kreatif dan desisif untuk menumbuhkan suasana dinamika pembangunan yang kondusif dan didukung oleh partisipasi aktif masyarakat. Karakeristik perilaku birokrasi pemerintahan ditinjau dari pendekatan administratif menekankan pada tipe birokrasi model Max Weber berupa " rule organization ". Sedangkan pendekatan lainnya melalui " human approaeh " yang menekankan pada hubungan manusia secara internal organisasi dan eksternal lingkungan organisasi. Pada pendekatan pertama lebih menekankan pada struktur formal organisasi dan pendekatan kedua pada aspek tata hubungan kemanusiaan secara sosiologis, budaya dan psikologis sosial, terdapat di dalamnya berbagai perilaku individu dan kelompok suatu organisasi. Pengaruh lingkungan berupa nilai sosial budaya dan sosial politik mewarnai perilaku birokrasi pemerintahan, karena kedudukan birokrasi pemerintahan selaku " agent of society and cultural " atau agen sosial dan budaya C Eugene Litwak dalam Fred D. Carver dan Thomas J. Sergiovannni, 1969 : 92 dan Stephen P.Robbins, 1997 : 6 ) Dalam kaitannya dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran danf fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu selaku aparat pemerintah yang mempunyai persepsi, nilai, motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab sosial dalam pelayanan publik. Oleh sebab itu, perilaku individu dalam birokrasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yaitu variabel psikologis, fisiologis dan lingkungan. Variabel tersebut dirinci menurut faktornya yang digambarkan oleh James L. Gibson ( 1984 : 52 ) adalah sebagai berikut : 119 GAMBAR : II.8. VARIABEL PERILAKU BIROKRASI PEMERINTAHAN Perilaku Birokrasi Variabel Fisiologis ( kemampuan fisik dan mental ) / /Variabel Fsikologis L ( persepsi, sikap, \ kepribadian, bela\ jar dan motivasi ) \ Perilaku Individu Variabel Lingkungan ( keluarga, kebudaan,dan kias sosial) Perilaku birokrasi pemerintahan merupakan interaksi antara individu dalam organisasi dengan lingkungannya, karena perilaku birokrasi ditentukan oleh fungsi individu dalam lingkungan oraganisasi atau Perilaku Birokrasi - Fungsi ( Individu dalam Lingkungan Organisasi ). Struktur birokrasi pemerintahan diwarnai oleh karakteristik dari kapabilitas dan kapasitas individu atau aparat selaku abdi negara/pemerintah dan pelayan masyarakat secara herarki sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab dalam institusional, sosial dan negara. Selain itu, diwarnai oleh karakteristik birokrasi yang tercermin dalam pola dan struktur organisasinya sehubungan dengan fungsi pembangunan baik dalam proses pengambilan keputusan ( "public policy" ) sebagai strategi- arah, rencana , program yang konsisten dengan tujuan pemerintah maupun pelaksanaan kebijakan ( " policy implementation " ) dan evaluasinya dalam rangka pelayanan publik bagi peningkatan 120 kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, dilihat dari fungsi, pola dan perilaku birokrasi berkenaan dengan aspek proses politik dan administrasi pemerintahan dalam upaya mencapai tujuan kepentingan publik. Michael Barzelay dalam bukunya " Breacking Bureaucracv " ( 1992 ) bahwa pada masa lalu sejak tahun 1930, paradigma perilaku birokrasi pemerintahan dengan formal organisasinya menekankan pada determinasi pada prinsip efektivitas dan efisiensi yang dicirikan oleh delegasi kewenangan spesifik dari setiap cabang eksekutif, kewenangan pelaksanaan, ekspertis dari setiap kewenangan, tanggung jawab fungsi keuangan, cabang pelaksana pemerintahan. Pada masa sekarang dengan adanya aneka ragam fungsi pelayanan publik, masalah dan keinginan masyarakat yang perlu dipecahkan menuntuk ciri birokrasi dari strategi managemen pemerintahan, cabang pemerintahan, spesialisasi dan teknis operasional. Sedangkan paradigma karakteristik pola dan perilaku birokrasi pemerintahan sekarang disebut " Post-Bureaucracy Paradigm " adalah berfungsi selaku agen yang lebih difokuskan kepada kebutuhan dan persfektifnya, mempunyai peran dan tanggung jawab dari setiap unit secara jelas, memiliki kemampuan daya kontrol, pelayanan yang rutin, bersifat pelayanan bisnis, sistem dan prosedur yang mendukung tujuan, strategi yang memuat rencana dan program matang, memiliki kemampuan nilai pelayanan yang optimal. Dengan perkataan lain pendekatan perilaku birokrasi dewasa ini lebih dikembangkan pada kualitas, nilai, pelayanan, inovasi, pleksibel, kustomer, dan pemberdayaan pada masyarakat yang dilakukan pemerintah. 121 GAMBAR : II.9- KUALITAS BIROKRASI PEMERINTAHAN karakteristik birokrasi Pelayanan Karakterist ik individu kualitas fungsj birokrasi Publik nilai, inovasi, insentif pleksibel dan pemberdayaan Diperjelas oleh Miftah Thoha ( 1992 ) bahwa fungsi pemerintahan dan pembangunan dalam rangka pelayanan publik yang dilakukan pemerintah, dipengaruhi oleh perilaku birokrasi pemerintah. Yang digambarkan dalam paradigma sebagai berikut : Karakteristik Individu/aparat 1. Kemampuan fisiologis C fisik dan mental ) 2. Kemampuan Psikologis ( persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi ) 3. Kemampuan Lingkungan ( keluarga, kelas sosial dan kebudayaan ) Karakteristik Birokrasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Struktur dan herarki kekuasaan Pembagian tugas dan kewenangan Sistem dan prosedur yang formal hubungan impersonal Sistem karir dan promosi Sistem penggajian Manajemen dan kepemimpinan Komunikasi, koordinasi dan integrasi 122 Perilaku Birok rasi Pemerintahan Oleh karena itu, perilaku birokrasi pemerintahan dalam rangka perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan publik sehubungan dengan pelayanan publik yang menyangkut kepentingan umum melalui penyelenggaraan program pembangunan dan pembinaan masyarakat adalah sebagai berikut : a). Pendekatan hukum adanya persepsi nilai, norma, dan aturan. b). Pendekatan administrasi adanya kemampuan struktur, status, fungsi, profesi, dan keterampilan manajerial dan operasional, dan teknis administratif. c). Pendekatan sosiologis, ditunjukkan oleh hubungan komunikasi yang efektif baik internal maupun eksternal organisasi. d). Pendekatan psikologis, adanya kemampuan dalam pemberian pelayanan umum melalui " Learning process " ( membimbing, membina, keteladanan dan mengarahkan dsb ). e). Pendekatan ekonomi mampu untuk memberikan efisiensi organisasi dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat. f). Pendekatan budaya, merupakan agen sosial yang tercermin dari struktur dan fungsi dalam peran sosial. Mengingat birokrasi pemerintahan terdapat dalam organisasi pemerintahan besar, maka ciri herarki dan delegasi kekuasaan akan menimbulkan debirokrasi pemerintahan pada tingkat lokal sesuai dengan struktur birokrasi pemerintahan yang berlaku. Struktur birokrasi pemerintahan merupakan satu kesatuan yang berskala besar dan mempunyai relevansi dengan sistem sosial berdasarkan kekuasaan, tata hubungan, fungsi pelayanan, tata nilai maupun efisiensi pelayanannya tidak dapat dipisahkan dari faktor internal dan eksterani sehingga perlu adanya birokrasi lokal dalam upaya mencapai tujuan pusat dan daerahnya ( David Beetham, 1980 ). Struktur herarhi kekuasaan birokrasi pemerintahan di tingkat lokal ( debirokratisasi ) terdapat kewenangan manajemen yang dibantu oleh unsur staf administratif dan operasional atau pelaksana dalam mengamankan kebijakan umum, menetapkan kebijakan dan mengatur, melaksanakan dan mengendalikan teknis 123 operasional baik yang bersifat dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan sesuai dengan aturan dan kebijakan pemerintah sentral. Debirokratisasi pemerintahan lokal merupakan alat pemerintah pusat di daerah yang melaksanakan fungsi untuk membantu kelancaran tugas atau urusan pusat dan menciptakan kemandirian dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dan pembangunan di daerah. Sehubungan dengan itu, seperti dikemukakan oleh Bowman dan Hamton ( 1983 ) bahwa debirokratisasi atau birokrasi pemerintahan lokal dalam rangka pelaksanaan urusan desentralisasi, dekonsentrasi, devolusi dan privatisasi timbul karena ketidak pedulian pemerintah pusat dalam melaksanakan fungsi pelayanan pembangunan sampai di daerah. Berarti erat kaitannya dengan herarki kekuasaan dan kewenangan birokrasi pusat yang didelegasikan dari manajemen pemerintahan pusat pada unit-unit manajemen pemerintahan di daerah, sehingga tidak terlepas dari masalah akses atau kepercayaan, kewenangan, keleluasaan atau kemandirian, dan pertanggung jawaban dalam rangka menghindari keterlambatan keputusan dan pelaksanaan fungsi pelayanan publik. Kewajiban birokrasi lokal sebagai perpanjangan tangan birokrasi pusat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui fungsi pemerintahan dan pembangunan di daerah berbentuk pelayanan umum, pengaturan, pembangunan, perwakilan serta fungsi perencanaan dan koordinasi yang lebih responsif. Suatu kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang lebih responsif dan kondusif serta mengakar pada kepentingan masyarakat maupun pelaksanaannya lebih konsisten maka yang paling mendasar dilaksanakan birokrasi lokal apabila didukung oleh kemampuan kualitas sesuai dengan keahlian dan tugasnya. Birokrasi lokal yang memiliki kualifikasi profesional dan kompetensi administratif dapat memahami kondisi sosio-kultural dan sosio-ekonomi di daerahnya beserta kendala dan permasalahannya. Kualitas birokrasi pemerintahan lokal sangat ditentukan oleh struktur, kultur dan perilaku elit serta 124 unsur pelaksana operasional yang mendapatkan pelimpahan kewenangan, dukungan keuangan dan sumber daya lainnya terhadap proses kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan sehubungan dengan peningkatan partisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat di daerahnya. Perilaku birokrasi pemerintah Indonesia merupakan sistem birokrasi yang selalu bernafaskan nilai Pancasila yang diatur mulai dari etika Korps Pegawai dan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Popok-pokok Kepegawaian sampai pada peraturan pelaksanaannya seperti PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai RI. Birokrasi pemerintah dari pusat sampai di daerah , dimana gaya, perilaku dan orientasi bersumber pada nilai budaya tersebut mulai dari pengambilan keputusan ( " policy m&king " ) yang tetapkan dan diformulasikan sampai pada kebijakan itu dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi. Pengambilan kebijakan yang dilakukan birokrasi dengan menekankan musyawarah dan mufakat yang dijiwai oleh sikap birokrasi dengan cara, sistem dan prosedur kerja dengan mengutamakan nilai agama; menghargai dan menempatkan manusia ciptaan Tuhan, masyarakat dan individu yang sama untuk dilayani; menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu, golongan dan kelompok tertentu; mengutamakan kepentingan umum dalam pengambilan keputusan atas dasar musyawarah dan mufakat dengan yang dipertanggungjawabkan secara moral, nilai dan martabat kebenaran dan keadilan; mengembangkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan dengan menjaga hak dan kewajiban, menghargai orang lain dan pemerataan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Bagi birokrasi pemerintahan di daerah dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajibannya dari segi yuridis formal selain memperhatikan aturan umum yang berlaku, Juga dari aspek pemerintahan dikendalikan melalui UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sejalan dengan upaya pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang 125 berdayaguna dan berhasilguna, dengan titik berat otonomi pada daerah tingkat II maka PP No. 45 tahun 1992 tentang Pelaksanaan Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II yang di dukung dengan PP No. 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Pemerintahan di wilayah. Birokrasi pemerintahan di tingkat II sebagai alat pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilaksanakan oleh organisasi pemerintahan wilayah/daerah. Organisasi Pemerintahan Wilayah/ Daerah Tingkat II terdiri dari Unsur Organisasi Pemerintahan Wilayah yaitu Bupati/Walikotamadya Kepala Wilayah, Unsur Sekteratiat wilayah, Unsur pengawasan Inspektorat wilayah, Unsur pelaksana wilayah Instansi Vertikal Pemerintahan Umum dan Pemerintahan Teknis. Sedangkan Organisasi Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah yaitu Kepala Daerah dan DPRD, Sekretariat Daerah, Unsur perencana Bappeda, Unsur pelaksana Dinas Daerah dan Badan/Instansi daerah lainnya. Organisasi Pemerintah Daerah/Wilayah Tingkat II diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 1993. Organisasi pemerintahan pada daerah tersebut dalam rangka lebih mendayagunakan aparatur pemerintah di daerah dalam rangka otonomi daerah maupun pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pemerintahan teknis di daerah ( pusat di daerah ) sejalan dengan fungsi pelayanan pembangunan, kesejahteraan rakyat, pemerataan pembangunan, peningkatan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya penanggulangan atau pengentasan kemiskinan di desa tertinggal. 3. Birokrasi Pelaksana Program IDT dan Pengentasan Kemiskinan di Daerah Dalam pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan dan sasaran kelompok miskin memerlukan organisasi/birokrasi yang konduktif, pemberdayaan dan inovatif melalui pelayanan masyarakatnya. Orientasi perilaku birokrasi tidak sekedar mencapai sasaran peningkatan pendapatan masyarakat yang tinggi, tetapi usahanya untuk menciptakan 126 delivery mechanlsm " atau mekanisme ketat yang tandai oleh birokrasi yang kreatif, inovatif, pemberdayaan, efisiensi, dan pemecahan masalah. Perubahan ini menuntut perubahan perilaku birokrasi sampai birokrasi lokal dari paternalistik-tradisional kepada perilaku birokrasi pelayanan publik. Birokrasi seperti ini lebih mementingkan proses dari pada hasil atau sasaran, sehingga mampu menterjemahkan program sebagai kegiatan untuk mencapai sasaran sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Birokrasi pelaksana lokal akan lebih mementingkan kesesuaian antara organisasi, program dengan kelompok sasaran seperti contohnya pengentasan kemiskinan pada penduduk miskin. Tujuan program yang dilakukan unsur birokrasi lokal, disesuaikan dan dimodifikasi dengan kondisi sosial dan kultural dari masyarakat penerima program. Birokrasi sampai jajarannya pada pemerintahan lokal yang berorientasi pada kelompok sasaran, lebih mampu menclptakan akses terhadap kelompok miskin, kelembagaan sosial dan tokoh informal untuk melakukan pendidikan sosial melalui pendekatan adminsitratif dan pendidikan keterampilan sebagai bentuk pemberdayaan " bagi partisipasi aktif masyarakat miskin. Pembentukan birokrasi pelaksana program tingkat lokal dan kelompok ssasaran masyarakat miskin selaku organisasi program, diharapkan terbentuknya proses program IDT yang optimal. Kedua organisasi tersebut diharapkan sesuai dengan INPRES Nomor 5 Tahun 1993, Kelompok Swadaya Masyarakat yang dibentuk dari masyarakat miskin dengan bantuan pengaruh orientasi perilaku birokrasi lokal akan mampu mengindentifikasikan masalah, mengambil keputusan, merencanakan program, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program secara cepat dan tepat sesuai dengan kondisi dan situasi desa tertinggal masingmasing . Moeljarto Tjokrowinoto ( 1993 ) menunjukkan bahwa sosok birokrasi pemerintahan sampai ke tingkat lokal selaku unsur pelaksana program pembangunan masyarakat miskin adalah birokrasi harus melaksanakan fungsi " empowering " atau 127 pemberdayaan, menciptakan iklim agar anggota anggota masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensinya, baik potensi sosial, intelektual, mental spiritual maupun fisiknya secara maksimal; dan fungsi integrasi agar poliferasi kelembagaan, diferensiasi struktural dan fungsional, tekanan penduduk terhadap sumber daya dan sebagainya tidak mempunyai efek disintegratif. Kualitas birokrasi pelaksana program seperti ini adalah : a). Birokrasi yang mampu menumbuhkan " self-sustainlng capacity dan menghilangkan " dependency-crea t Ing" masyarakat, dengan secara terencana dan bertahap menyerahkan tanggung jawab dan kewenangan pembangunan kepada masyarakat untuk mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan potensi yang mereka miliki. b). Birokrasi sampai ke tingkat lokal tidak lagi sebagai governing " dalam merealisasikam rencana pembangunan yang dirumuskan secara sentralistis, akan tetapi bertindak sebagai " fasilitating ", yaitu menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan potensi - potensi tadi untuk tumbuh dan berkembang. Misalnya melalui pembentukan jaringan atau gugus proses belajar atau social learning clu&ters " yang merangsang mereka mengenali permasalahan mereka, mengidentifikasi berbagai sumber yang mereka miliki dan bersama-sama mengatasi permasalahan mereka. c). Pembangunan masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan kualitas masyarakat yang dicita-citakan bertumpu pada pengakuan akan adanya variasi sosio-kultural antara daerah yang menuntut variasi dalam pendekatannya. Oleh karenanya birokrasi harus mencegah kebijaksanaan yang uniformitas dan sterotipikal. d). Birokrasi pelaksana harus memberi peluang bagi tumbuhnya lembaga-lembaga swakelola " sel f managing local unit ", melalui interaksi dengan lembaga-lembaga swakelola ini akan tercapai mobilisasi sumber yang amat besar: komitmen, kreatif, energi, dana dan daya yang akan menjadi tumpuan 128 pemberdayaan, menciptakan iklim agar anggota anggota masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensinya, baik potensi sosial, intelektual, mental spiritual maupun fisiknya secara maksimal; dan fungsi integrasi agar poliferasi kelembagaan, diferensiasi struktural dan fungsional, tekanan penduduk terhadap sumber dan sebagainya tidak mempunyai efek disintegratif. Kualitas birokrasi pelaksana program seperti ini adalah : a). Birokrasi yang mampu menumbuhkan " self-suataining capacity dan menghilangkan " dependency-crea. ting" masyarakat, dengan secara terencana dan bertahap menyerahkan tanggung jawab dan kewenangan pembangunan kepada masyarakat untuk mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan potensi yang mereka miliki. b). Birokrasi sampai ke tingkat lokal tidak lagi sebagai governing " dalam merealisasikam rencana pembangunan yang dirumuskan secara sentralistis, akan tetapi bertindak sebagai " familitating ", yaitu menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan potensi - potensi tadi untuk tumbuh dan berkembang. Misalnya melalui pembentukan jaringan atau gugus proses belajar atau aocial learning clusters " yang merangsang mereka mengenali permasalahan mereka, mengidentifikasi berbagai sumber yang mereka miliki dan bersama-sama mengatasi permasalahan mereka. c). Pembangunan masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan kualitas masyarakat yang dicita-citakan bertumpu pada pengakuan akan adanya variasi sosio-kultural antara daerah yang menuntut variasi dalam pendekatannya. Oleh karenanya birokrasi harus mencegah kebijaksanaan yang uniformitas dan sterotipikal. d). Birokrasi pelaksana harus memberi peluang bagi tumbuhnya lembaga-lembaga swakelola " sel f managing local unit melalui interaksi dengan lembaga-lembaga swakelola ini akan tercapai mobilisasi sumber yang amat besar: komitmen, kreatif, energi, dana dan daya yang akan menjadi tumpuan 128 masyarakat dalam mempertahankan momentum pembangunan, e). Birokrasi harus mampu melaksanakan fungsi yang dicitrakan oleh Hegel, yaitu sebagai " mediating agen t" antara kepentingan khusus dengan kepentingan nasional, menjembatani " civi1 society " yang mencerminkan berbagai kepentingan khusus dan " the state " yang mencerminkan " general interest ". Inilah yang dikenal dengan fungsi integratif birokrasi. Birokrasi pemerintahan pada tingkat lokal dalam pelaksanaan program IDT dicirikan sifat pemberdayaan, kreatif, inovatif, adaptif dan kondusif terhadap tumbuhnya aspirasi masyarakat miskin, mampu memberikan ruang gerak bagi masyarakat miskin untuk mengartikulasikan kepentingan, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin untuk berpatisipasi dalam program IDT dan program lainnya. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, termasuk program pembangunan masyarakat miskin yang perlu diperhatikan oleh birokrasi menurut Moelyarto ( 1993 > dengan alasan adalah : a. Rakyat -adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis penyertaanya. b. Partisipasi menimbulkan harga diri dan kesempatan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat. c. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa kebedaraannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan. d. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki. e. Partisipasi memperluas zone ( wawasan ) penerimaan proyek pembangunan. f. Ia akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat. g. Partisipasi menopang pembangunan. h. Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif baik 129 aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia, i. Partisipasi merupakan cara yang efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program guna memenuhi kebutuhan khas daerah. Selain dari itu, menurut Conyers ( Moelyarto : 1993 ) bahwa pentingnya birokrasi memperhatikan dan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan sampai ke tingkat lokal dengan alasan sebagai berikut : Eectama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua. bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan lebih merasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga, adanya anggapan bahwa suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Oleh karena itu, pelaksanaan program IDT memerlukan, tumbuhnya iklim dan kondisi yang mendukung partisipasi tersebut melalui strategi pembangunan yang diarahkan rakyat miskin, struktur kepemimpinan yang cocok, pembentukan kelompok diluar kooperasi ( kerjasama ) yang berbasis pedesaan dan kelembagaan sosial yang memainkan peranan yang bersifat mendukung. Program IDT merupakan perluasan dan peningkatan berbagai program dan upaya pengembangan dari P ^ ^ n t Pengembangan Kawasan terpadu L EKI -LL Provek peningkatan Pendapatan petani dan NelflVan Kecil L P4K). Kegjatan Usaha Peningkatan Pendapatan keluarga Akseptor EB L hppkakbi- dan program serupa yang (1i Inftfiflnatom oleh. PKK. Program PKT dan lainnya menangani secara langsung masalah kemiskinan pada tingkat pedesaan di desa tertinggal yang diintegrasikan dalam program IDT. Program IDT merupakan kebijakan terpadu untuk meningkatkan potensi dan dinamika ekonomi masyarakat lapisan bawah. 130 Dalam kerangka ini, program IDT secara umum bertujuan memantapkan segi kelembagaan sosial ekonomi penduduk miskin sebagai wadah penyalur aspirasi mereka dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui usaha produktif yang berkelanjutan. Program IDT diarahkan pada upaya peningkatan penciptaan dan perluasan lapangan kerj a me lalui perluasan kegiatan pembangunan di desa/kelurahan yang dikatagorikan tertinggal. Upaya tersebut berupa pemberian perhatian dan bantuan khusus, seperti modal usaha T pelatihan ^ t e r a m n i i a n . pembimbingan serta pelaksanaan pendapatan. kegiatan yang dapat dan pendampingan memacu peningkatan Di tinjau dari birokrasi pemerintahan, organisasi pelaksana program IDT secara herarki melekat pada unsur kewenangan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya secara langsung baik tingkat pusat maupun di tingkat daerah di bawah pengawasan Presiden. Kelembagaan pelaksanaan program IDT disusun dari kelembagaan yang sudah ada dengan memperhatikan berbagai program pembangunan sektoral dan regional serta ditujukan untuk meningkatkan koordinasi dan integrasi aktif pada setiap tingkatan wilayah. Kelembagaan yang sudah ada diperkaya dengan dukungan dari berbagai unsur masyarakat, termasuk perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan serta lembaga kemasyarakatan setempat lainnya untuk membantu kelancaran dan efektivitas pelaksanaan program IDT. Unsur - unsur tersebut ditempatkan sebagai mitra yang tidak bersifat struktural, tetapi konsultatif, pendampingan, dan fungsional dengan tidak membebankan dana yang tersedia dalam program IDT. Pada tingkat nasional dibentuk tim pusat yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil Bappenas, Departemen Dalam Negeri, departemen Keuangan dan instansi lainnya yang terkait sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Pada tahap perencanaan, Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas bertindak sebagai koordinator. Tim Pusat bertugas untuk menyusun kebijaksanaan iimnm dalam mengkoordinasikan perencanaan, memantau pelaksanaan 131 dan mengendalikan, serta melakukan evaluasi untuk penyempurnaan pelaksanaan program IDT. Pada tingkat propinsi, Gubernur Kepala daerah Tingkat I bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan program IDT dan keterpaduan program antar sektor dan antar daerah dalam wilayahnya. Pada tingkat Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, tanggung jawab berada pada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Pada tingkat Kecamatan , Camat yang dibantu oleh Kepala Seksi Pembangunan Masyarakat Desa ( Kasi PMD ), bertugas mense ras ikan program IDT di desa/kelurahan tertinggal dalam wilayah kerjanya, memantau pelaksanaan, dan menyusun laporan hasil pelaksanaan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Camat dapat dibantu oleh tenaga lapangan dari berbagai instansi atau organisasi kemasyarakatan dan lembaga kemasyarakatan lainnya yang ada di tingkat kecamatan. Disamping itu, Camat berkewajiabn melaporkan rencana program IDT di desa/kelurahan tertinggal yang berada di wilayah kerjanya serta program sektoral dan regional yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pelaksanaan program IDT kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Berdasarkan laporan tersebut dan rencana program sektoral dan regional yang dilaksanakan di wilayah kerjanya, Bupati/walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II memadukan program sektoral dan regional dengan memberikan prioritas pada kegiatan pembangunan yang menunjang program IDT. Pada tingkat desa, Kepala Desa/Kepurahan dengan dibantu LKMD menemukenali penduduk miskin di daerahnya dan kemudian mendorong terbentuknya kelompok. Kepala Desa / Kelurahan memimpin musyawarah LKMD untuk mengevaluasi usulan rencana kegiatan program IDT yang diajukan oleh kelompok yang telah disepakati untuk disampaikan pada Camat. Kegiatan ditingkat desa/kelurahan dilaksanakan oleh kelompok masyarakat desa dalam wadah LKMD dan dibantu oleh tenaga pendamping yang ditugaskan di kecamatan atau di lingkungan desa/kelurahan bersangkutan. 132 H. Model Kelembagaan Program IDT Karakteristik penting yang membedakan program IDT dengan program lainnya, sama-sama mengatasi kemiskinan seperti Kawasan Pembangunan Terpadu ( PKT ), Norma Kehidupan Keluarga Bahagia dan Se j ahtera ( NKKBS ), Peningkatan Pendapatan Petani dan Neyalan Kecil ( PPPNK ) dan program pemerintah lainnya yang berorientasi ke desa adanya komitmen untuk menyertakan kelompok sasaran dan lembaga swadaya masyarakat miskin. Komitmen ini menunjukkan kesadaran politik dari pemerintah dalam rangka pembangunan sosial untuk mengatasi kesenjangan ekonomi, ketimpangan sosial dan kemiskinan alamiah dan struktural yang harus diatasi tidak saja menjadi tanggung jawab internal masyarakat miskin, tetapi pengaruh eksternal agar mampu mengatasi problema tersebut. Birokrasi pemerintahan atas dasar persepsi, orientasi dan motivasi strukturalnya, khususnya pada pemerintahan lokal/daerah dan desa/kelurahan bertindak dan bertanggung jawab selaku katalisator, dinamistaor maupun motivator bagi kelompok sasaran miskin dalam mengatasi problemanya. Dengan menumbuhkan kepedulian lembaga sosial kemasyarakatan dan kesetiakawanan pihak lainnya untuk membantu memecahkan secara terpadu dan berkelanjutan. Seperti disimak oleh David C. Korten ( 1984 ), Bryant dan White ( 1987 ) dan Moeljarto Tjokrowinoto < 1993 ) bahwa salah satu unsur penting dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan program pembangunan adalah dilibatkannya atau ikut sertanya kelompok sasaran dan swadaya masyarakat yang terdapat dalam kelompok sasaran tersebut untuk mengelola program pembangunan. Tanpa penyertaan kelompok selaku obyek dan subyek sasaran dan lembaga sasaran masyarakat penerima program dapat diprediksi tujuan mengetaskan kemiskinan yang diharapkan oleh program IDT akan mengalami hambatan bahkan kegagalan. Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) sebagai institusi lokal atau organisasi lokal dalam pembangunan terdapat pada masyarakat berbentuk agregasi masyarakat dan sekaligus sarana komunikasi bagi kelancaran dalam pengelolaan program 133 pembangunan. Fungsi lembaga swadaya masyarakat selaku institusi atau organisasi lokal mencerminkan " intermedlares function atau fungsi perantara Kelompok Sasaran Masyarakat ( KSM ) dengan pemerintah untuk menyelaraskan dan menyatu padukan keinginan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat penerima program. Lembaga swadaya masyarakat berperan untuk mengartikulasikan dan mengungkapkan kebutuhan atau aspirasi terhadap program pembangunan, serta menjadi jembatan antara kelompok sasaran masyarakat dengan pemerintah atau LSM lainnya. Dalam pelaksanaan program IDT, kelompok sasaran masyarakat ( KSM adalah penduduk miskin yang bermukin di desa/kelurahan tertinggal, yaitu kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah dan terbatas kemampuan sumber daya serta keterbatasan terhadap akses pelayanan, prasarana, dan permodalan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atau dalam menghadai masalah khusus dan mendesak yang segera memerlukan penanganan dan bantuan. Dari segi kedudukannya atau statusnya, kelompok swadaya masyarakat sebagai kumpulan penduduk miskin setempat yang terorganisir atau menyatukan diri dalam usaha dibidang sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, keswadayaan, dan kegotong royongan mereka. Kelompok sasaran masyarakat milik anggota untuk mengatasi masalah bersama serta mengembangkan usaha bersama anggotanya. Tujuan pembentukkan kelompok swadaya masyarakat ini adalah untuk memperlancar dan mengefektifkan upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan. Disamping itu, pembentukan kelompok dimaksudkan agar pelayanan terhadap penduduk miskin dapat terarah, terjalinnya interaksi diantara masyarakat dapat ditingkatkan, serta kesetiakawanan dan kegotong royongan dapat dibangun dan dikembangkan ( INPRES Nomor 5 tahun 1993 ). Kelompok sasaran masyarakat dalam program IDT, ditinjau dari terminologi dan konsep dari Easman dan Uphoff ( Moelyarto, 1993 ) adalah lembaga yang aktivitas, dan pengambilan keputusan berada pada masyarakat pedesaan ataupun daerah pedesaan. 134 Secara lengkap Easman dan Uphoff memberikan gambaran t ingkatan lembaga lokal dalam rangka program pembangunan sebagai berikut : GAMBAR .11.10 : LEVEL OF DECISION MAKING AND ACTIVITY 1. INTERNATIONAL LEVEL 2. NATIONAL LEVEL 3. REGIONAL ( STATE OR PROVINCIAL ) LEVEL 4. DISTRICT LEVEL 5. SUB DISTRICT LEVEL 6. LOCALITY LEVEL ( a set of communities having cooperating/commercial relation, this level may be the same as the subdistrict level where the sub-district center is a maket town ) 7. COMMUNITY LEVEL ( a relatively self-contained, socio-economic-residential unit ) 8. GROUP LEVEL C a set-identified set of persons having some common interest; any be a small residential group like a hamlet, or nightborhood, an occupational group, or some ethic, caste, age, sex, or other grouping ) 9. HOUSEHOLD LEVEL 10. INDIVIDUAL LEVEL Dari gambar di atas, maka yang dimaksud dengan lembaga lokal adalah pada tingkat 6, 7 dan 8 atau dapat diidentikkan dengan dengan tingkat kecamatan smapai pada desa/kelurahan yang mencakup Rukun Warga ( EW ), Rukun Tetatngga ( RT ) kelompokkelompok swadaya lainnya ). Kemudian lembaga lokal termasuk lembaga pemerintah ( " public sector " ) dan lembaga swasta ( " privat e sector " ). Dalam kaitan ini, Esman dan Uphoff ( 1984 ) mengklasifikasikan enan katagori utama dari lembaga lokal, yaitu: 135 a). Los&l AdmjnlstraftiPn ( LA ), yaitu aparat pemerintah pusat yang ada di daerah dan bertanggung jawab pada atasannya dalam melaksanakan urusan dekonsentrasi. b). Lcjsal Government ( LG ), badan-badan pemerintahan otonom yang mempunyai wewenang untuk menangani tugas pemerintahan dan pembangunan dan peraturan, serta bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. c). Memberghjp Qrgani?atlons ( MOs ), asosiasi sosial yang mempunyai tugas dan bergerak dibidang sosial, seperti: 1). Multjple Task. badan asosiasi pada tingkat lokal atau pembangunan masyarakat desa. 2). Spgfilfic lembaga sosial khusus yang menangani masalah irigasi, kesehatan dan pertanian pada program pedesaan. 3). Needs. kumpulan/kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu, misalnya kelompok wanita, petani, nelayan dsb. d). Cooperatlves ( Co), bentuk organisasi lokal yang menyatukan sumber daya ekonomi anggota-anggotanya untuk memperoleh keuntungan, contohnya kelompok pemasaran, koperasi, keredit dan lain sebagainya. e). Service Organizations ( SOs), organisasi lokal yang dibentuk terutama untuk memberikan bantuan kepada orangorang yang biakan anggota, contohnya adalah lembaga-lembaga pelayanan kesehatan, kredit dan lain sebagainya. f). Private Business ( PBs ), cabang-cabang atau kelompok pelaksana yang bebas dari kestrataan lokal, bergerak di sektor publik, jasa, ataupun perdagangan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang termasuk organisasi lokal adalah " Membership Organization, Cooveratives dan Service Organizations ". Sedangkan " Local Administration dan Local Government ", tidak termasuk karena merupakan bagian dari lembaga-lembaga lainnya ataupun bagian dari pemerintah di tingkat atas. Begitupula " Private Busslness ", meskipun organisasi ini sama-sama menghasilkan keuntungan bagi orang-orang di luar organisasi, tetapi orang-orang ini 136 -tidak dianggap sebagai bagian dari organisasi itu ( klien ) dan tidak memiliki hak untuk menentukan aktivitas organisasi. Dengan demikian maka kelompok sasaran masyarakat dalam program IDT dapat dikatagorikan " Membership Organiza t i on " dan M Co opera t ive ", karena kelompok ini disusun berdasarkan kesamaan jenis kegiatan dan kebutuhan kelompok miskin. Misalnya kelompok peternak ayam buras, kelompok perikanan, kelompok petani, kelompok nelayan dan lain sebagainya. Suatu studi tentang program dan proyek pembangunan masyarakat desa menunjukkan bahwa peran organisasi atau lembaga lokal sangat penting dalam mempermudah pencapaian tujuan program pembangunan dengan alasan : a) Organisasi-organisasi lokal dapat membantu pengembangan suatu sistem komunikasi dua arah yang efektif untuk menyusun rencana proyek, pelaksanaan dan evaluasinya; b) Orgainsasi-organisasi lokal merupakan sarana untuk menggalakkan dan mengukuhkan perubahan-perubahan perilaku seperti adopsi praktek-praktek pertanian baru; c) Pada wilayah yang penyaluran dan pemasaran hasil pertanian buruk, organisasi lokal dapat berfungsi untuk pengadaan, integrasi dan administrasi jasa-jasa tersebut; d) Komitmen sumber daya petani, pedagang* nelayan, pengrajin dan lain-lain dapat ditingkatkan dengan pengaturanpengaturan agar risiko ditanggung bersama, dengan melibatkan organisasi-organisasi lokal untuk memudahkan pengaturan ini dan mengetatkan pelaksanaannya. Oleh karena itu, seperti apa yang dikatakan Rondinelli ( 1983 ) untuk mendukung pernyataan tersebut bahwa : New insti tutional introduced by government or International agencies are frequently BO incompatible with traditional practicea, custom and behaviour that they not only fail to eerve, but may further alienate rural people. " ( Institusi baru yang mengacu pada institusi pemerintah atau internasional harus mempunyai perhatian terhadap tradisi, kebiasaan, tatacara dan perilaku mereka, tidak 137 hanya memberikan pelayanan tetapi mempunyai kepedulian pada masyarakat pedesaan ). Penggunaan kelompok-kelompok lokal dalam pembangunan pedesaan, terutama yang ditujukan kepada kelompok masyarakat miskin, dapat membantu anggota masyarakat miskin dalam mengatasi kekurangannya, baik sumber daya ekonomi, kekuasaan maupun informasi untuk mengadopsi teknologi atau untuk melaksanakan pembangunan. Dengan membentuk kelompok-kelompok, masyarakat miskin dapat secara bersama-sama membuat suatu jaringan kerjasama untuk memobilisasi sumber daya guna mencapai tujuan pembangunan. Demikian pula kelompok-kelompok lokal ini dapat digunakan sebagai media bagi para perencana pembangunan untuk memperkenalkan program-program pembangunan. Melalui kelompok-kelompok ini maka perencanaan pembangunan akan mampu mencakup kebutuhan kelompok masyarakat secara nyata dan bukan keinginan pihak perencana pembangunan di tingkat atas atau bottom-up planning Dengan pendekatan pembangunan yang memanfaatkan organisasi lokal ini maka konsekuensi yang harus dipenuhi adalah memberikan wewenang yang cukup kepada organisasi lokal tersebut dalam pengelolaan proses pembangunan. Perlu diakui bahwa semakin Bedikit wewenang yang dimiliki oleh organisasi lokal maka akan semakin lemah organisasi tersebut. Secara umum pemerintah sampai pada tingkat lokal harus menghindari tugas yang harus dilakukan masyarakat, pemerintah, lembaga masyarakat maupun gabungan antara ketiganya secara terpadu sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing dengan lebih menitik beratkan proses menuju kemandirian masyarakat dalam membangun dirinya. Untuk menunj ang pelaksanaan pembangunan dengan memanfaatkan lembaga-lembaga lokal, seperti halnya dalam program IDT maka Rondinelli ( 1983 ) mengajukan model kelembagaan yang tepat bagi pembangunan masyarakat dengan karakteristiknya adalah : 1). Lembaga tersebut harus memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi untuk menjawab berbagai masalah dan kondisi yang bervariasi. Kelompok sasaran biasanya 138 sangat heterogen, baik permasalahan, kebutuhan maupun keinginannya. Oleh karenanya lembaga tersebut harus mampu menyatukan keinginan dan kebutuhan serta menyelesaikan setiap permasalahan secara memuaskan bagi semua pihak. 2). Lembaga pedesaan harus komplementer dan menyatu dengan lembaga-lembaga pembangunan lainnya untuk mengatasi setiap permasalahn pembangunan yang tinggi. 3). Sebagai suatu organisasi yang adaptif, lembaga tersebut harus dibentuk dan disusun berdasarkan sifat-sifat budaya, praktekpraktek dan perilaku masyarakat sekitarnya. Tanpa penyesuaian terhadap budaya dan perilaku lokal, lembaga ini dapat dipastikan tidak diterima oleh masyarakat. 4). Jaringan kelembagaan harus disusun untuk mentransformasikan, perilaku dan praktek-praktek tradisional menuju kepada perilaku yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang seimbang. Untuk kepentingan ini maka lembaga tersebut harus mendorong perubahan, transformasi praktek-praktek pembangunan yang lebih cocok dan perilaku yang mendorong perubahan. 5). Lembaga yang adaptif harus dibentuk bersama-sama kelompok sasaran dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan menjamin tegaknya pemimpin lembaga tersebut. 6). Lembaga yang adaptif harus menyalurkan pelayanan secara merata kepada masyarakat yang menjadi kliennya. Dengan demikian, apabila kelompok sasaran masyarakat pelaksana program IDT memiliki karakteristik yang demikian, maka kelompok sasaran masyarakat tersebut merupakan model kelembagaan yang tepat bagi pelaksanaan program pembangunan dalam pengentasan kemiskinan secara kultural dan struktural. 139