BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menua 2.1.1 Pengertian Menua Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan tersebut (Wahjudi, 2008). 2.2 Konsep Lansia 2.2.1 Pengertian Lansia Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia apabila usianya 65 tahun keatas (Setianto, 2004 dalam Effendy, 2009). Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan (Pudjiastuti, 2003 dalam Wahjudi, 2008). Menurut BAB I Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan Usia lanjut, lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan 10 11 penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Hawari, 2001). 2.2.2 Batasan Umur Lansia Berikut ini adalah batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari beberapa ahli dan sumber dokumen negara (Nugroho, 2000). 1) Menurut UU No. 13 Tahun 1998 BAB I Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”. 2) Menurut World Health Organization (WHO) lansia dibagi menjadi 3 yaitu: a) Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun b) Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun c) Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun d) Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun 3) Menurut Prof.Dr.Koesoemato Setyonegoro antara lain: a) Masa dewasa muda (elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun b) Masa dewasa penuh (middle years) : 25-60 tahun atau 65 tahun c) Masa lanjut usia (geriatric age) : > 65 atau 70 tahun 2.2.3 Perubahan Sistem Kardiovaskuler Tubuh pada Lansia Bagian tubuh lansia yang paling sering menunjukkan tanda klinis dalam penurunan fungsinya adalah sistem kardiovaskuler. Elastisitas dinding pembuluh aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung 12 memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume darah yang dipompakan. Sesuai dengan konsep menua menurut Goldman dan Kaltz (2007) dalam Wahjudi (2008), menyatakan dalam teorinya wear and tear tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalah gunakan (overuse and abuse). Fungsi organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, nikotin, stres fisik dan emosional. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, menyebabkan kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk penyaluran darah, sering terjadi postural hipotensi. Tekanan darah meningkat diakibatkan meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer (Nugroho, 2000). Penurunan sel otot jantung akibat menua, menyebabkan menurunnya kekuatan otot jantung. Dengan bertambahnya usia, denyut jantung maksimum dan fungsi lain jantung juga ikut menurun. Pada lanjut usia tekanan darah akan naik secara bertahap, elastisitas jantung pada orang berusia 70 tahun menurun sekitar 50% dibandingkan dengan orang muda berusia 20 tahun. Pada usia 90 tahun, curah jantung menurun dan menimbulkan efek pada otot, paru, dan ginjal karena berkurangnya arus darah ke organ tubuh (Wahjudi, 2008). 2.2.4 Prevalensi Gangguan yang Bersifat Kronis pada Lansia Ada beberapa penyakit yang sangat erat hubungannya dengan proses menua sesuai dengan tabel 1. 13 Tabel 2.1. Prevalensi Gangguan yang Bersifat Kronis pada Lansia Masalah 1 Artritis Hipertensi Gangguan pendengaran Kelainan jantung Sinusitis kronis Penurunan visus Ganguan pada tulang Sumber : Tamher, 2009:9. % yang terkena 2 46 38 28 28 18 14 13 2.3 Hipertensi 2.3.1 Pengertian Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg (Price, 2005). Menurut Junaedi, Sufriadi, dan Mira tahun 2013, hipertensi merupakan suatu keadaan medis yang ditandai dengan meningkatnya kontraksi pembuluh darah arteri sehingga terjadi resistensi aliran darah yang meningkatkan tekanan darah. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan konsisten di atas 140/90 mmHg (Mary, Wilfrid, Yakobus, 2008). 2.3.2 Klasifikasi Tekanan Darah pada Hipertensi Berikut pada tabel 2 dan 3 merupakan tabel klasifikasi hipertensi yaitu sebagai berikut: 14 Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Dewasa Usia 18 Tahun atau Lebih Kategori 1 Sistolic (mmHg) 2 < 130 130-139 Normal Normal Tinggi Hipertensi Tingkat 1 (ringan) 140-159 Tingkat 2 (sedang) 160-179 Tingkat 3 (berat) > 180 Sumber : Price, 2005:583. Diastolic (mmHg) 3 <85 85-89 90-99 100-109 > 110 Tabel 2.3. Hipertensi menurut Kelompok Umur Berbeda Kelompok Usia Normal (mmHg) 1 2 Bayi 80/40 Anak 7-11 th 100/60 Remaja 12-17 th 115/70 Dewasa 20-45 th 120-125/75-80 45-65 th 135-140/85 > 65 th 150/85 Sumber : Tambayong, 2000:94. Hipertensi (mmHg) 3 90/60 120/80 130/80 135/90 140/90-160/95 160/95 Menurut National Clinical Guidline Hypetension in Older People dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network (2007), mengklasifikasikan hipertensi pada orang tua sesuai dengan tabel 4. 15 Tabel 2.4. Klasifikasi Hipertensi pada Lansia Category 1 Sistolic (mmHg) Diastolic (mmHg) 2 3 Normal <140 < 90 Mild hypertension 140-159 90-99 Moderate hypertension 160-179 100-109 Severe hypertension > 180 > 110 Sumber : Scottish Intercollage Guidelines Network, 2008. 2.3.3 Etiologi Hipertensi Sesuai dengan penyebabnya hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi sekunder dan primer/essensial. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang sudah diketahui penyebabnya sedangkan hipertensi primer belum diketahui secara pasti penyebabnya. Ada beberapa penyebab hipertensi sekunder menurut Setiawan dkk., 2008, antara lain: 1. Stenosis arteri ginjal Stenosis arteri ginjal adalah suatu kondisi dimana terjadinya penyempitan arteri yang memasok darah ke ginjal. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan pembedahan atau dilatasi/melebarkan pembuluh darah arteri. Pada dilatasi, sebuah tabung fleksibel dengan balon kecil di ujung dimasukkan ke dalam arteri di selangkangan. Apabila tindakan ini gagal menurunkan tekanan darah maka tindakan selanjutnya yaitu dengan pemberian obat. 16 2. Gagal ginjal Penderita gagal ginjal biasanya juga perlu perawatan tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi terutama disebabkan oleh kegagalan ginjal dalam mengatur jumlah garam dan air dalam tubuh. 3. Kelebihan noradrenaline Penyebab tekanan darah tinggi lainnya adalah kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal terdapat di atas setiap ginjal. Kelenjar adrenal mempunyai lapisan dalam dan luar yang dapat mengeluarkan berbagai hormon ke dalam aliran darah. Bagian dalam kelenjar disebut medula yang mengeluarkan adrenaline. Adrenaline dapat meningkatkan denyut jantung. Selain itu medula juga menghasilkan hormon noradrenaline yang juga menyebabkan kontraksi otot arteri dan meningkatkan tekanan darah. 4. Sindrom chusing dan aldosteronisme Sindrom ini merupakan suatu keadaan akibat adanya tumor atau pertumbuhan yang berlebihan dari lapisan luar kelenjar adrenal. Pada keadaan ini dihasilkan hormon stres lain yaitu kortisol atau hormon yang disebut aldosterone yaitu hormon yang mengakibatkan ginjal menahan garam dan melepaskan kalium. Terlalu banyak kortisol dapat menyebabkan cushing sindrom yang mengakibatkan pertambahan berat badan amat cepat, tekanan darah tinggi dan kadang menyebabkan diabetes. Produksi aldosterone mengakibatkan ginjal menahan garam dan melepaskan kalsium yang berlebihan sehingga tekanan darah naik dengan kadar kalium yang rendah dalam darah. Kadar kalium yang rendah menimbulkan kelemahan otot dan hilangnya kemampuan memekatkan air seni. 17 5. Alkohol Alkohol dikaitkan dengan distres pada ginjal sehingga memacu pengeluaran rennin yang akan merangsang angiotensin I yang akan merangsang pengeluaran angiotensin II di hati yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah. 6. Stres Stres dapat meningkatkan tekanan darah dalam jangka waktu pendek dengan mengaktifkan bagian otak dan sistem saraf yang mengendalikan tekanan darah secara otomatis. Stres akan membuat sistem koordinasi fisiologis tubuh mejadi tidak teratur terutama pelepasan hormon adrenaline, kortisol, epinephrine dan norephineprine. 2.3.4 Patofisiologi Hipertensi Kaplan (2010), menyatakan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar: Tekanan darah = Curah jantung x Tahanan Perifer. Mekanisme patofisologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi essensial antara lain: 1. Curah jantung dan tahanan perifer Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible. 18 2. Sistem Renin-Angiostensin Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem renin-angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh jukstaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatik. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh Angiotensi I-Converting Enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon rennin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptide yang tidak aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua jalur, yaitu : a. Meningkatkan sekresi hormon Anti Diuretik Hormone (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolaritas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolaritasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah. b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi eksresi Nacl (garam) dengan 19 cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume darah dan tekanan darah. 3. Sistem saraf otonom Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam mempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama-sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi dan beberapa hormon. 4. Disfungsi endotelium Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptide endothelium. Disfungsi endothelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit. 5. Substansi vasoaktif Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan sensifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volume darah. Hal ini 20 dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi. 6. Hiperkoagulasi Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh darah (disfungsi endothelium atau kerusakan sel endothelium), ketidaknormalan faktor homeostatis, platelet, fibrinolisis. Hipertensi dianggap dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target. 21 Renin Angiotensin I Angiotensin II Angiotensin I Converting Enzyme (ACE) ↑ Sekresi hormone ADH rasa haus Urin sedikit → pekat & ↑osmolaritas Mengentalkan Menarik cairan intraseluler → ekstraseluler Volume darah ↑ ↑ Tekanan darah Stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal ↓ Ekskresi NaCl (garam) dengan mereabsorpsinya di tubulus ginjal ↑ Konsentrasi NaCl di pembuluh darah Diencerkan dengan ↑ volume ekstraseluler ↑ Volume darah ↑ Tekanan darah Gambar 2.1. Patofisiologi Hipertensi Mekanisme Sistem Renin-Angiotensin (Sumber: Rusdi & Nurlaela Isnawati, 2009 dalam Nurhaedar, 2010). Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output) dan dukungan dari arteri (peripheral resistance). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah 22 ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal. Selengkapnya dapat dilihat pada bagan. Gambar 2.2. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah (Sumber: Kaplan, 2010). 2.3.5 Faktor Risiko Hipertensi Faktor risiko pada pasien dengan hipertensi ada 2 yaitu faktor yang dapat dikontrol dan tidak dapat dikontrol (Setiawan dkk., 2008). 23 1. Faktor yang tidak dapat dikontrol Beberapa faktor yang tidak dapat dikontrol antara lain: a. Keturunan Sekitar 70-80% penderita hipertensi essensial ditemukan riwayat hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua maka dugaan hipertensi essensial lebih besar. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita yang kembar monozigote apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peranan dalam terjadinya hipertensi. b. Jenis kelamin Hipertensi lebih mudah menyerang kaum laki-laki daripada perempuan. Hal itu kemungkinan karena laki-laki lebih banyak memiliki faktor pendorong terjadinya hipertensi, seperti stres, kelelahan, dan makan yang kurang terkontrol. Adapun hipertensi pada perempuan peningkatan risiko terjadi setelah masa menopause (sekitar 45 tahun). c. Umur Pada umumnya, hipertensi menyerang pria pada usia di atas 31 tahun, sedangkan pada wanita terjadi setelah usia 45 tahun. 2. Faktor hipertensi yang dapat dikontrol yaitu : a. Kegemukan Walaupun belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi essensial, tetapi penyelidikan membuktikan bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi 24 dibandingkan dengan penderita hipertensi lebih tinggi dibandingkan penderita hipertensi dengan berat badan normal. b. Konsumsi garam berlebih Garam mempunyai sifat menahan air. Konsumsi garam yang berlebihan dengan sendirinya akan menaikkan tekanan darah. Menurut Tuti&Susirah tahun 2005, asupan Natrium maksimal setiap hari pasien hipertnsi adalah 2400 mg atau + 1 sendok teh. c. Aktivitas fisik dan olahraga Suharjo tahun 2006, menyatakan aktifitas fisik menurut World Health Organization (WHO) dibagi menjadi 4 yaitu aktivitas ringan (pekerjaan rumah dan pekerjaan professional seperti dokter,guru, pegawai bank dan perkerjaan rumah tangga), aktivitas sedang (pekerjaan lapangan seperti nelayan, tentara, mahasiswa, pekerja perkebunan dan pekerjaan rumah tangga), aktivitas berat (pekerjaan serabutan seperti buruh, kuli bangunan, tentara perang, satpam), aktivitas sangat berat (penarik becak, penarik gerobak,buruh angkut). Olahraga isotonik seperti bersepeda, jogging, dan aerobik seperti senam dapat memperlancar peredarah darah sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Orang yang kurang aktif berolahraga pada umumnya cenderung mengalami kegemukan. Olahraga juga dapat membantu pengeluaran kelebihan garam melalui pengeluaran keringat. d. Alkohol dan prilaku merokok Hipertensi juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam rokok. Nikotin akan menyebabkan peningkatan sintesis katekolamin yang dapat meningkatkan 25 psikositas darah. Dengan meningkatnya psikositas darah maka tekanan darah akan semakin meningkat karena usaha jantung lebih kuat untuk memompa jantung memenuhi distribusi darah ke perifer tubuh. 2.3.6 Pencegahan Hipertensi Hipertensi essensial memang belum ada obatnya sehingga untuk mengatasi dan mencegah keadaan yang lebih parah dapat dilakukan dengan mengkombinasikan antara obat-obatan, diet, olahraga, dan gaya hidup yang baik serta teratur. Pada hipertensi sekunder, upaya pencegahan dan pengobatannya dilakukan pada upaya untuk menghilangkan atau memperkecil faktor pemicu yang menjadi penyebab timbulnya hipertensi. Hal-hal yang merupakan tindakan pencegahan bagi penderita hipertensi adalah: 1. Diet rendah lemak dengan mengurangi atau menghindari makanan berminyak, seperti gorengan, daging yang berlemak, susu full cream dan kuning telur. 2. Diet rendah garam. Batasi pemakaian garam dan makanan yang diasinkan, seperti cumi asin, ikan asin, telur asin, dan kecap asin. 3. Hindari konsumsi daging kambig, buah durian, dan minuman beralkosol tinggi 4. Lakukan olahraga secara teratur dan terkontrol, seperti jalan kaki, naik sepeda, berenang, dan senam. Penelitian yang dilakukan oleh Cleroux, Kouame, Nadeau, Coulombe, dan Lacourciere dari American Heart Association (AHA) dengan judul “After effects of exercise on regional dan systemic hemodynamics in hypertension” tahun 2000, menemukan setelah 30 menit melakukan olahraga kaki dan istirahat selam 30 menit didapatkan hasil tekanan sistolik, diastolik, tahanan 26 total perifer, tahanan vaskuler lengan atas, dan kadar norepinephrine plasma berkurang secara signifikan dan peningkatan cardiac otput pada pasien dengan hipertensi. 5. Berhenti merokok 6. Berhenti minum kopi 7. Jaga berat badan ideal 8. Hindari stres dengan gaya dan sikap hidup yang lebih santai 9. Obati penyakit penyerta seperti kencing manis. (Setiawan dkk., 2008). 2.3.7 Penatalaksanaan Hipertensi Tuty (2006) dari Divisi Geriatri SMF Fakultas Kedokteran Unud menyatakan bahwa penatalaksanaan pasien hipertensi terdiri dari: 1. Penatalaksanaan nonfarmakologis Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minuman alkohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, joging, jalan santai, renang, bersepeda, yoga, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, menghentikan kebiasaan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol, serta mengurangi asupan garam/natrium (Na). Seperti halnya pada orang yang lebih 27 muda, intervensi nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obatobatan. 2. Penatalaksanaan farmakologis Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam memberikan obat hipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut Joint National Commite (JNC) VI pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretik atau penyekat beta. Pada Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST), direkomendasikan penggunaan diuretik dan antagonis kalsium. 2.4 Konsep ABI 2.4.1 Pengertian ABI Ankle Brachial Index (ABI) adalah screening non invasif pembuluh darah untuk mengidentifikasi luasnya Peripheral Arterial Desease (PAD) dengan membandingkan tekanan darah sistolik di ankle dengan tekanan sistolik ekstremitas atas (WOCNS, 2002). Tekanan darah sistolik pergelangan kaki yang leih tinggi dari tekanan darah sistolik brachialis merupakan estimasi terbaik dari tekanan darah sistolik pusat (Sacks dkk., 2002). ABI adalah pemeriksaan non invasif yang dilakukan dengan mudah menggunakan doppler tangan dan tensimeter dengan nilai normal 0,9-1 (Amstrong&Lavery, 1998 dalam Mulyati, 2009) 28 2.4.2 Tujuan Pengukuran ABI ABI menurut Wound Ostomy and Continence Nurse Society (WOCNS) (2002), ditujukan untuk: 1. Mendeteksi perluasan PAD pada ekstremitas bawah. 2. Untuk menentukan aliran darah yang adekuat pada ekstremitas bawah. 3. Memberikan dokumentasi dari jumlah estimasi aliran darah pada ekstremitas bawah. 2.4.3 Prosedur Pengukuran Nilai ABI Menurut WOCNS (2002) adapun prosedur pengukuran ABI yaitu prosedur pemeriksaan ABI yaitu: 1. Anjurkan pasien berbaring terlentang (supine), posisi kaki sama tinggi dengan posisi jantung. 2. Pasang manset tensimeter di lengan atas dan tempatkan probe vaskular doppler ultrasound di atas arteri brachialis dengan sudut 45 derajat. 3. Palpasi nadi radialis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg di atas tekanan darah sistolik palpasi. 4. Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe hasilnya merupakan tekanan darah sistolik brachialis. 5. Ulangi pada lengan yang lain. 29 6. Pasang manset tensimeter di pergelangan kaki dan tempatkan probe vaskular doppler ultrasound di atas arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis dengan sudut 45 derajat. 7. Palpasi nadi dorsalis pedis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg di atas tekanan darah sistolik palpasi. 8. Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe hasilnya merupakan tekanan darah sistolik ankle. 9. Ulangi pada kaki yang lain. 10. Pilih tekanan darah sistolik brachialis tertinggi (diantara lengan kanan dan kiri) dan tekanan darah sistolik ankle tertinggi (diantara kaki kanan dan kaki kiri). Setelah mendapatkan tekanan sistolik pada masing-masing brachialis dan ankle, maka dilihat tekanan sistolik yang lebih tinggi. Perhitungan nilai ABI dilakukan dengan cara membagi tekanan darah sistolik tertinggi dari ankle atau dorsalis pedis dengan tekanan darah sistolik brachialis tertinggi (Laurel, 2005). Frekuensi tes ABI dilakukan didasarkan pada faktor risiko yang menyertai kondisi pasien. Pasien tanpa faktor risiko idealnya diukur 1 tahun sekali sedangkan untuk yang memiliki faktor risiko diukur 3-4 bulan sekali (Bali Aging and Geriatric Update Symposium&Workshop, 2007). Fomula penghitungan ABI menurut WOCNS (2002) yaitu : ABI = Nilai tekanan sistolik ankle tertinggi Nilai tekanan sistolik brachial lengan 30 Tabel 2.5. Klasifikasi Nilai ABI Nilai ABI 1 Interpretasi 2 > 1,4 Pembuluh noncompressible 1,0-1,4 Normal 0,9-0,99 Batas toleransi 0,8-0,89 Penyakit arterial ringan 0,5-0,79 Penyakit arterial sedang < 0,5 Penyakit arterial berat Sumber : Stanford School of Medicine, 2014. Rekomendasi 3 Kurangi faktor risiko Rujuk kepada spesialis Rujuk kepada spesialis Tabel 2.6. Interpretasi Nilai ABI Nilai ABI 1 > 1,4 > 1,0 < 0,9 < 0,6-0,8 < 0,5 Sumber : Laurel, 2005. Interpretasi 2 Pembuluh noncompressible Normal LEAD Borderline Iskemia parah 2.4.4 Kondisi ABI pada Pasien Hipertensi Nilai ABI pada pasien hipertensi berisiko mengalami penurunan (Korhonen, 2009). Pada lansia dengan hipertensi kondisi dari pembuluh darah akan mengalami penebalan akibat arterosklerosis. Pada fase akut dari hipertensi tidak akan terjadi penebalan otot jantung tapi pada fase kronik otot jantung akan menebal terutama pada left ventrikel yang memompa darah ke seluruh tubuh. Dengan menebalnya pembuluh darah, maka tekanan dari darah yang harus dipompakan semakin naik sebagai kompensasi usaha memenuhi kebutuhan darah 31 (nutrisi dan O2) sedangkan jumlah volume darah yang dipompakan jantung ke bagian perifer akan mengalami penurunan akibat penebalan otot jantung (Brunner&Suddarth, 2001). Hal ini dapat dilihat dari nilai ABI. Nilai ABI di bawah normal mengindikasikan sirkulasi darah pada pasien hipertensi dan DM mengalami PAD. Penurunan sirkulasi ini terjadi terutama pada bagian perifer dari tubuh seperti kaki, otak dan ginjal (Price, 2005). Penurunan dari nilai ABI ini berhubungan sangat signifikan terhadap fungsi kaki pada lansia usia 55 tahun ke atas ( Mary dkk., 2000). Penurunan ABI pada lansia paling banyak ditemui usia 66-69 tahun sebanyak 48% ( Theandra, Toruan, Natalia, 2014). Manifestasi klinis yang dapat dilihat dari penurunan ABI pada pasien hipertensi yaitu rasa kebas/kesemutan di lengan dan kaki. Rasa kebas kadang dirasakan di lengan menjalar ke dada (Yahya, 2010). Berbeda dengan penurunan ABI pada DM, penurunan ABI pada hipertensi mengindikasikan tekanan perifer yang meningkat, stroke volume yang cenderung menurun, usaha kompensasi jantung untuk mengatasi kondisi tersebut sehingga jantung bekerja lebih keras dan pada suatu ketika jantung akan berhenti bekerja akibat kelelahan. Pasien lansia dengan hipertensi yang memiliki nilai ABI di bawah normal maka lansia tersebut dikatakan mengalami PAD. Dengan adanya PAD ini maka risiko kerusakan jaringan perifer seperti kaki, ginjal dan otak akan meningkat. Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai ABI yang rendah dengan kematian akibat penyakit kardiovaskuler ( Dhyu, 2007). 32 2.5 Konsep Senam Kaki 2.5.1 Pengetian senam kaki Senam kaki adalah latihan fisik yang dipilih dan diciptakan dengan terencana, disusun secara sistemik dengan tujuan membentuk dan mengembangkan pribadi secara harmonis (Probosuseno, 2007 dalam Sigit, 2012). Berdasarkan pengertiannya senam adalah salah satu jenis olahraga aerobik yang menggunakan gerakan sebagian otot-otot tubuh, dimana kebutuhan Oksigen masih dapat dipenuhi tubuh (Karim 2002 dalam Sigit, 2012). Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki (Sumosardjuno, 2006 dalam Sigit 2012). 2.5.2 Manfaat senam kaki Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otototot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki. Selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis, otot paha dan juga mengatasi keterbatasan pergerakan sendi (Wibisono, 2009 dalam Sigit, 2012). Aktivitas fisik dapat meningkatkan sirkulasi darah (Cleroux, 2000). Menurut penelitian yang dilakukan Gunarto (2005) dalam Sigit (2012), menunjukkan bahwa lansia yang diberikan latihan four square step yaitu salah satu bentuk latihan gerak dinamik selama 4 minggu mempunyai sirkulasi darah lebih baik secara signifikan dibandingkan sebelum latihan. Penelitian tersebut didukung didukung juga oleh penelitian yang 33 dilakukan oleh Maryani tahun 2013 yang menemukan pada 38 responden yang diberikan latihan senam kaki selama 2 minggu, terdapat pengaruh senam kaki yang signifikan terhadap sirkulasi darah kaki pada lansia. Selain itu, Hirsch (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa latihan aktivitas dan latihan Range Of Motion (ROM) intensitas tinggi pada lansia dengan penyakit parkinson idiopatik yang dilakukan 3 kali seminggu selama 4 minggu dapat meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi darah. Priyanto, Sahar dan Widyatuti tahun 2013 juga menemukan pada 125 responden lansia yang diberikan latihan senam kaki 3x seminggu dalam 4 minggu, menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara senam kaki terhadap perbaikan sensivitas kaki. Dilihat dari organ yang dipengaruhi, senam kaki dapat bemanfaat pada : 1. Pembuluh darah Elastisitas pembuluh darah akan bertambah, karena berkurangnya timbunan lemak Low Density Lipoprotein (LDL) dan penambahan kontraktilitas otot dinding pembuluh darah. Elastisitas pembuluh darah yang tinggi akan memperlancar jalannya darah dan mencegah timbulnya hipertensi (Sukarman, 1987 dalam Kushartanti, 2007). 2. Jantung Otot jantung bertambah kuat dan bilik jantung betambah besar, sehingga denyutan kuat dan daya tampung besar. Kedua hal ini akan meningkatkan efisiensi kerja jantung. Dengan efisiensi kerja yang tinggi, jantung tak perlu berdenyut terlalu sering (Strauss, 1979 dalam Kushartanti, 2007). 34 3. Otot Kekuatan, kelenturan dan daya tahan otot akan bertambah. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya serabut otot dan meningkatnya sistem penyediaan energi di otot ( Brooks, 1984 dalam Kushartanti 2007). 4. Ligamen dan tendon Ligamentum dan tendo akan bertambah kuat, demikian juga perlekatan tendon pada tulang (Teitz, 1989 dalam Kushartanti 2007). 2.5.3 Prosedur Senam Kaki Menurut Department of Health Central Health Education Unit Exercise Prescription (2011), menyatakan rekomendasi untuk melakukan latihan fisik aerobik seperti senam yang efektif untuk pasien dengn hipertensi yaitu 30-60 menit setiap hari. Menurut Elizabeth dan Kim (2013), durasi aerobik yang dapat dilakukan pada pasien lanjut usia adalah 3-5 kali seminggu selama 10-30 menit. Perhatian khusus sebelum pasien hipertensi melakukan latihan fisik yaitu : 1. Jika hipertensi tidak terkontrol maka anjurkan pasien untuk konsultasi dengan dokter di pelayanan kesehatan untuk mendapat terapi pengontrolan tekanan darah. Tekanan darah yang direkomendasikan untuk melakukan latihan fisik yaitu < 220 sitolik dan < 105 mmHg diastolik. 2. Pemberian Beta Blokers dan diuretik dapat berpengaruh pada fungsi termoregulasi dan menyebabkan hipoglikemi. Dalam kondisi ini informasikan kepada pasien tentang tanda dan gejala intoleransi jantung dan hipoglikemi, dan 35 jika ada tanda gejala tersebut anjurkan pasien untuk tidak melaksanakan latihan fisik. 3. Informasikan kepada pasien tentang perubahan nafas pendek, pusing, tidak nyaman pada dada, palpitasi/berdebar saat melakukan latihan fisik agar segera menghentikan latihan fisik dan segera mencari pelayanan kesehatan. Langkah-langkah melakukan senam kaki menurut Akhtyo (2004) dalam Sigit (2012). 1. Perawat mencuci tangan 2. Jika dilakukan dalam posisi duduk maka posisikan pasien duduk tegak di atas bangku dengan kaki menyentuh lantai. Dapat juga dilakukan dalam posisi berbaring dengan meluruskan kaki. 3. Meletakkan tumit di lantai, jari-jari kedua kaki diluruskan ke atas lalu dibengkokkan kembali ke bawah seperti cakar ayam sebanyak 10 kali. Pada posisi tidur, jari-jari kedua kaki diluruskan ke atas lalu dibengkokkan kembali ke bawah seperti cakar ayam sebanyak 10 kali. 36 4. Meletakkan tumit salah satu kaki di lantai, angkat telapak kaki ke atas. Pada kaki lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dengan tumit kaki diangkatkan ke atas. Cara ini dilakukan bersamaan pada kaki kiri dan kanan secara bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali. 5. Tumit kaki diletakkan di lantai. Bagian ujung kaki diangkat ke atas dan buat gerakan memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. Pada posisi tidur, kaki lurus ke atas dan buat gerakan memutar degan pergerakan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. 6. Jari-jari kaki diletakkan di lantai. Tumit diangkat dan buat gerakan memutar dengan pergerakan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. Pada posisi tidur kaki harus diangkat sedikit agar dapat melakukan gerakan memutar pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. 37 7. Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar kaki pada pergelangan kaki, tuliskan pada udara dengan kaki dari angka 0-10 lakukan secara bergantian. 8. Letakkan sehelai koran di lantai. Bentuk ketas itu menjadi bola dengan kedua belah kaki. Kemudian buka bola menjadi lembaran seperti semula menggunakan kedua kaki. Cara ini hanya dilakukan sekali saja. Lalu robek koran menjadi 2 bagian, pisahkan kedua bagian koran dengan kaki. Sebagian koran dirobek kembali menjadi bagian yang kecil-kecil dengan kedua kaki. Pindahkan kumpulan robekan yang lebih kecil ke bagian koran yang masih utuh. Bungkus semuanya dengan kedua kaki menjadi bentuk bola kecil. 38 9. Evaluasi setelah tindakan yaitu respon pasien, kemampuan pasien dalam mengikuti seluruh proses senam kaki dari awal sampai akhir, vital sign termasuk evaluasi nilai ABI. 10. Dokumentasi tindakan. 2.5.4 Pengaruh Senam Kaki terhadap Nilai ABI pada Pasien Hipertensi Olahraga meningkatkan jumlah darah yang dipompakan setiap menitnya oleh jantung khususnya ventrikel kiri. Dengan peningkatan jumlah darah yang dipompa berarti jumlah oksigen yang beredar ke seluruh tubuh juga meningkat. Seluruh sel, jaringan dan sistem dalam tubuh membutuhkan zat-zat gizi dan oksigen untuk pertumbuhan fungsinya. Adapun zat-zat gizi dan oksigen yang dibutuhkan tersebut berada dalam darah. Sehingga apabila zat-zat dan oksigen dan jumlah darah yang dibutuhkan sel, jaringan dan sistem tubuh optimal, maka pertumbuhan dan fungsinya akan optimal. Hal ini akan menyebabkan sel, jaringan dan sistem tubuh kita dapat dipertahankan dalam kondisi yang optimal (Werdani, 2005). Salah satu efek yang ditimbulkan dari aktivitas aktifitas fisik yaitu penurunan tekanan perifer dengan meningkatkan elastisitas pembuluh darah karena pengendapan LDL berkurang dan meningkatkan aliran balik vena ke jantung akibat kontraksi otot. Dengan meningkatnya aliran darah balik vena maka akan meningkatkan stroke volume jantung yang dilakukan ventrikel kiri ke seluruh tubuh. Jantung tidak perlu usaha yang besar untuk memompakan darah ke perifer tubuh karena stroke volume ideal dengan heart rate serta kekuatan kontraksi yang efektif dan tekanan perifer menurun. Pada senam kaki terjadi 39 pergerakan tungkai yang mengakibatkan menegangnya otot-otot tungkai dan menekan vena di sekitar otot tersebut. Hal ini akan mendorong darah kembali kearah jantung dan tekanan vena menurun mekanisme ini dikenal dengan pompa vena. Mekanisme ini akan membantu melancarkan peredaran darah ke kaki memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil meningkatkan otot-otot betis (Guyton&Hall, 2001). Pada dasarnya secara umum latihan fisik akan menurunkan tekanan darah. Pada lansia terjadi arterial stiffness (kekakuan arteri) karena proses menua dan juga karena pengendapan LDL yang cenderung mengendap di daerah pembuuh darah yang sempit dan organ yang semakin jauh dengan jantung selain itu juga didukung oleh gaya tarik grafitasi menyebabkan arteri sklerosis banyak terjadi di organ perifer tubuh. Dengan senam kaki, gerakan-gerakan yang dilakukan akan menyebabkan kekakuan tersebut berkurang dengan mengurangi kesempatan LDL mengendap di dalam darah dan pembakaran cikal bakal LDL menjadi energi sehingga kelebihan LDL dalam tubuh tidak memiliki kesempatan mengendap dan menyebabkan kekakuan arteri perifer. Turunnya tekanan darah ankle dan brachialis mengindikasikan perbaikan nilai ABI atau sirkulasi darah ke bagian perifer seperti kaki. Selain itu dengan gerakan tubuh maka tubuh akan menghasilkan hormon endorphine (Mulyati, 2009). Hormon ini berfungsi untuk menekan hormon adrenalin sehingga vasokonstriksi pembuluh darah tidak terjadi ,tetapi pembuluh darah mengalami vasodilatasi sehingga dapat menurunkan tekanan darah yang berefek pada perbaikan nilai ABI. Penelitian yang dilakukan oleh Gunarto (2005), dalam Sigit (2012), menunjukkan bahwa lansia yang 40 diberikan latihan four square step yaitu salah satu bentuk latihan gerak kaki secara dinamik selama 4 minggu, mempunyai sirkulasi darah lebih baik secara signifikan dibanding sebelum latihan. Hal ini didukung dengan Stanley&Bare (1999), keuntungan dari program latihan pada lansia terutama pada Range of Motion (ROM), kepadatan tulang, kelenturan dan sirkulasi darah. 41 Latihan fisik (senam kaki) Kebutuhan energi oleh sel, jaringan& organ tubuh Aktivitas pernafasan Aktivi tas saraf simpat is dan ephine frin Frekuensi jantung Aliran balik vena Aktifitas otot kaki Efek pengisian ruangan jantung Kontrol metabolik lokal Vasodilatasi arteriol di otot rangka dan otot jantung, Metabolisme LDL Volume sekuncup Resistensi perifer total pembuluh darah kaki Curah jantung Tekanan darah arteri sedang Fase Istirahat Aktivitas pernafasan Aktivitas saraf simpatis dan ephinefrin Aktivitas saraf parasimpatis Curah jantung optimal dan resistensi perifer total Aktivitas otot rangka Frekuensi jantung , volume sekuncup, dan vasodilatasi arteriol dan vena Tekanan arteri perifer Perbaikan ABI Gambar 2.3. Adaptasi Tekanan Darah terhadap Senam (Sumber: Sherwood, 2001)