dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil di

advertisement
DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA
SEKTOR RIIL DI INDONESIA
LIRA MAI LENA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2 0 0 7
ABSTRAK
Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil. (ANNY
RATNAWATI sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi
Pembimbing).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perkembangan moneter,
perekonomian dan kinerja sektor riil pada periode sebelum dan setelah adanya
independensi Bank Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
sektor moneter dan kinerja transmisi kebijakan moneter ke sektor riil, (3) mengkaji
dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja perekonomian,
dan (4) merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan moneter yang dapat
dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil.
Produksi sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh investasi sehingga
peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan melalui peningkatan
investasi, sedangkan peningkatan produksi sektor industri dapat diupayakan melalui
peningkatan produktivitas tenaga kerja. Kebijakan moneter yang mampu
menstimulasi peningkatan investasi kapital/modal adalah penciptaan suku bunga
yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian karena jalur
transmisi melalui suku bunga dan kredit khususnya dari sisi pinjaman bank (bank
lending channel) bekerja efektif mempengaruhi investasi sektor pertanian.
Sedangkan investasi sektor industri lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga
pasar.
Implementasi kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dan kebijakan peningkatan alokasi kredit mampu meningkatkan kinerja investasi,
ekspor dan output sektor pertanian dan industri. Sedangkan kebijakan peningkatan
giro wajib minimum dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden perbankan
dengan menurunkan alokasi kredit yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi
untuk sektor pertanian dan industri. Kebijakan ini juga berdampak pada penurunan
aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi
sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib
minimum masih mampu meningkatkan ekspor namun dalam jumlah yang sangat
kecil. Bagi kinerja perekonomian secara agregat, kebijakan yang membawa dampak
positif terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah kebijakan perkreditan yaitu
kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen.
Namun demikian
kebijakan penurunan suku bunga SBI juga memberikan dampak positif dengan
besaran yang tidak begitu berbeda dibandingkan kebijakan kredit sehingga dua
kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam menstimulasi
peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output
dalam perekonomian.
Berdasarkan hasil simulasi tersebut disarankan bahwa peningkatan kinerja
sektor riil dapat diupayakan melalui kebijakan peningkatan jumlah kredit yang dapat
digunakan sektor riil untuk mendorong aktivitas produksinya. Disamping itu,
penurunan suku bunga tetap terus dilakukan agar investasi sektor riil dapat
diperbaiki dan diharapkan selanjutnya dapat mendorong peningkatan produksi.
Kata kunci: kebijakan moneter, jalur suku bunga, jalur nilai tukar, kinerja sektor
pertanian, kinerja sektor industri
DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA
SEKTOR RIIL DI INDONESIA
LIRA MAI LENA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam tesis saya yang berjudul:
DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA
SEKTOR RIIL DI INDONESIA
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan dibimbing Komisi
Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi
lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Maret 2007
LIRA MAI LENA
NRP A545010041/EPN
Judul Penelitian
: Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja
Sektor Riil di Indonesia
Nama Mahasiswa
: Lira Mai Lena
Nomor Pokok
: A 545010041
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS
Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Tanggal Ujian: 22 Desember 2006
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 30 Mei 1976, merupakan anak
pertama dari pasangan Ali Martonang dan Ratna Wilis, H. Saat ini penulis telah
menikah dengan suami tercinta Achmad Husna, SP dan dikaruniai satu orang
putri bernama Aini Nurrohmah Husna. Sekolah dasar sampai SLTA diselesaikan
di Padang. Pendidikan sarjana di selesaikan pada tahun 1998 di Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengembangan Sumberdaya Regional
dan Pemberdayaan Masyarakat pada tahun 1999 sampai awal tahun 2006.
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada
Nabi Muhammad S.A.W, keluarga beserta sahabat dan pengikutnya sampai
akhir jaman.
Tesis ini menyajikan hasil analisis dampak kebijakan moneter yang
dijalankan otoritas moneter yaitu Bank Indonesia terhadap Kinerja Sektor Riil
yang menjadi komponen pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Kebijakan
moneter dalam penelitian ini dilihat dalam beberapa perkembangan sejak adanya
deregulasi perbankan, masa krisis dan pasca krisis dengan diperkuatnya
independensi Bank Indonesia dalam mengatur target akhir yaitu target inflasi
pada laju dan tingkat yang tertentu.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Anny Ratnawati dan Dr. Hermanto Siregar yang bersedia menjadi komisi
pembimbing dan telah banyak memberikan masukan bagi penyempurnaan
tesis ini
2. Semua dosen dan staf pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan banyak ilmu
pengetahuan dan fasilitas kemudahan bagi penulis
3. Rekan-rekan EPN 2001 dan 2002 khususnya Mas Sumedi, Mbak Wahida,
Yati, Besse M, Pak Azhar, Fahriyah, Indra, yang telah memberikan
semangat, pemikiran-pemikiran dan dorongan bagi penulis
4. Teman-teman khususnya Debra, Mbak Ida, Eko, Asyik, Lia di lingkungan
kerja yang terus memberikan dorongan dan bantuan moril bagi penulis
5. Semua guru-guruku yang telah banyak memberikan limpahan ilmu semenjak
sekolah dasar sampai saat ini serta semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu.
6. Kedua orang tua penulis yang tidak pernah berhenti berdoa dan
mencurahkan kasih sayang serta dukungan kepada penulis, begitu juga
adikku yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini
7. Suamiku tercinta dan anakku Aini Nurrohmah yang penuh pengertian
mendampingi penulis selama menyelesaikan sekolah
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak
kekurangannya.
Namun demikian penulis tetap berharap semoga dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Maret 2007
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v
I.
PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah............................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................. 6
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ....................................... 7
II.
KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................................. 9
2.1. Tinjauan Teoritis ................................................................................... 9
2.1.1.
Konsep dan Fungsi Uang ........................................................ 9
2.1.2.
Uang Beredar......................................................................... 11
2.1.3.
Teori Permintaan Uang.......................................................... 14
2.1.4.
Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi................................ 18
2.1.5.
Teori Permintaan Agregat...................................................... 20
2.1.6.
Suku Bunga ........................................................................... 22
2.1.7.
Investasi dan Ekspor Netto .................................................... 25
2.1.8.
Kerangka Strategis Kebijakan Moneter ................................. 26
2.1.9.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ............................. 30
2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter ............................ 36
2.2. Tinjauan Pustaka................................................................................ 39
2.2.1.
Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia .......... 39
2.2.2.
Penerapan Inflation Targeting di Indonesia ........................... 45
2.2.3.
Beberapa Studi Terdahulu ..................................................... 50
2.3. Kerangka Konseptual ......................................................................... 60
III.
METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 63
3.1. Lokasi Penelitian ................................................................................ 63
3.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 63
3.3. Spesifikasi Model................................................................................ 63
3.4. Validasi Model .................................................................................... 70
3.5. Simulasi Model ................................................................................... 71
IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA ......................... 74
4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia .................................. 74
4.1.1.
Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar................................ 74
4.1.2.
Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi .... 78
4.1.3.
Kinerja Suku Bunga ............................................................... 82
4.2. Kinerja Sektor Riil ............................................................................... 85
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA ........................................ 89
5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter ............ 89
5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Riil ......... 94
VI. DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA
SEKTOR RIIL DI INDONESIA................................................................... 101
6.1. Validasi Model .................................................................................. 101
6.2. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil ................ 102
VII. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 108
7.1. Kesimpulan....................................................................................... 108
7.2. Saran ................................................................................................ 110
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 112
L A M P I R A N ......................................................................................... 115
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
Nomor
1. Pertumbuhan Uang Primer dan Uang Beredar, Tahun 1984-2005 ........ 76
2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1998-2005 .................... 77
3. Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto dan Inflasi Indonesia,
Tahun1980-2005.............................................................................. 79
4. Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar, Output dan Harga Umum
Perekonomian Indonesia, Tahun 1980-2005 ...................................... 81
5. Perkembangan Suku Bunga, Tahun 2001-2005 .................................. 84
6. Kinerja Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1984-2005.............................. 87
7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga, Tahun 2005.............. 90
8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar, Tahun 2005................ 91
9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Pertanian,
Tahun 2005 ..................................................................................... 92
10.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Industri,
Tahun 2005 ..................................................................................... 93
11.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Sektor Pertanian dan
Industri, Tahun 2005 ........................................................................ 95
12.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Sektor Pertanian dan
Industri, Tahun 2005 ........................................................................ 97
13.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Output Sektor Pertanian,
Tahun 2005 ..................................................................................... 98
14.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor
Pertanian dan Industri, Tahun 2005 .................................................. 99
15.
Hasil Validasi Model Kebijakan Moneter dan Sektor Riil di Indonesia,
Tahun 1986-2005............................................................................101
16.
Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil,
Tahun 2005 ....................................................................................105
17.
Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian
Indonesia, Tahun 2005 ....................................................................107
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Nomor
1.
Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat
dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang.......................................... 21
2.
Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi pada kurva IS-LM .................................................................... 22
3.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ............................................. 37
4.
Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas Besaran
Moneter .................................................................................................. 38
5.
Kerangka Operasional dengan Pendekatan Suku Bunga...................... 38
6.
Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak Kebijakan Moneter
terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia ............................................... 62
7.
Kinerja Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1984-2005 ..... 74
8.
Pergerakan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito,
Tahun 1984-2000................................................................................... 83
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Nomor
1.
Skema Model Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja
Sektor Riil ...........................…..............................................................117
2.
Keragaan Indikator Moneter dan Perbankan di Indonesia,
Tahun 1984-2005 .................................................................................118
3.
Keragaan Indikator Perekonomian dan Sektor Riil,
Tahun 1984-2005 .................................................................................121
v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan
dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.
Pada satu sisi
Indonesia terlalu cepat melakukan proses integrasi perekonomian menuju
perekonomian global sehingga memudahkan pergerakan aliran dana luar negeri,
padahal di sisi lain perangkat kelembagaan yang mendukung bekerjanya
ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik.
Dengan kondisi
perekonomian seperti tersebut maka gejolak nilai tukar yang merupakan efek
penularan dari Thailand dan Korea telah menimbulkan kesulitan ekonomi yang
cukup
parah
dan
ditunjukkan
oleh
adanya
stagflasi
dan
instabilitas
perekonomian.
Penarikan dana secara tiba-tiba oleh investor asing karena pesimis
dengan proses perekonomian regional mengakibatkan lemahnya mata uang
rupiah. Selanjutnya gelombang capital outflow tersebut direspon oleh penduduk
Indonesia dengan membeli dollar dalam jumlah besar yang membuat nilai tukar
semakin menurun drastis.
Padahal karakteristik sektor riil yang berkembang
pesat di Indonesia saat itu adalah footloose industry dengan kandungan bahan
baku impor yang sangat tinggi sehingga depresiasi nilai tukar rupiah menjadi
beban biaya yang memicu timbulnya peningkatan harga-harga barang (inflasi).
Disamping itu terputusnya akses ke sumber dana luar negeri karena kewajiban
hutang yang terlalu besar dan perubahan kebijakan di negara-negara donor
semakin menurunkan tingkat produksi sektor riil.
Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala spekulasi dan
ekspektasi
depresiasi
rupiah
yang
berlebihan,
maka
otoritas
moneter
menerapkan kebijakan moneter yang kontraktif yang berkonsekuensi pada
2
tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan beban suku bunga yang tinggi secara
paralel mendorong keatas suku bunga pinjaman yang menjadi biaya modal
perusahaan di sektor riil.
Kenaikan biaya modal tersebut dengan sendirinya
mengganggu perencanaan investasi maupun produksi yang pada akhirnya
berpengaruh pada penurunan penawaran agregat.
Sementara itu melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pula pada
penurunan daya beli masyarakat karena kenaikan inflasi yang tertransmisi
melalui kenaikan harga barang konsumsi yang tinggi kandungan impornya.
Penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat bersama-sama dengan
terjadinya kenaikan biaya produksi dari kandungan impor dan biaya modal
semakin memberikan tekanan kepada sektor riil.
Secara makro, terganggunya penawaran agregat tersebut tampak dari
tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 1997 yang merosot menjadi 4.19 persen dan
bahkan pada akhir tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 17.13 persen.
Pemutusan hubungan kerja meningkat tajam dan pada saat yang bersamaan,
kenaikan laju inflasi yang tinggi (77.6%) dan penurunan penghasilan masyarakat
telah
menurunkan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
yang
selanjutnya
berdampak pada semakin meluasnya kantong-kantong kemiskinan (Bank
Indonesia, 1998).
Menghadapi tekanan pasca krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis
multidimensi tersebut, maka pemerintah menetapkan kombinasi kebijakan
moneter dan fiskal dimana kebijakan fiskal diarahkan pada penghematan
anggaran belanja negara. Sedangkan di bidang moneter berdasarkan pasal 7
UU No, 23 tahun 1999, Bank Indonesia telah menetapkan inflasi sebagai
landasan kebijakan moneter ke depan.
Artinya kebijakan moneter diarahkan
pada penurunan tingkat inflasi yang pada tahun ini ditargetkan berada pada
kisaran 6-7 persen (Warjiyo, 2000).
3
Dengan pertimbangan bahwa tekanan inflasi yang terjadi selama ini lebih
banyak disebabkan keterbatasan dari sisi penawaran dan kebijakan pemerintah
di bidang harga (cost push inflation), maka untuk mencapai sasaran inflasi
tersebut, kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada upaya pengendalian
uang primer dengan fokus pada penyerapan kelebihan likuiditas agar tetap
sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian.
Secara
operasional,
pengendalian
moneter
dilakukan
dengan
mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang tersedia khususnya melalui
operasi pasar terbuka yaitu mekanisme lelang SBI baik yang berjangka waktu 1
bulan atau 3 bulan. Upaya ini juga didukung oleh penyerapan likuiditas melalui
intervensi rupiah yang dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga agar uang
primer tetap berada dalam sasaran yang telah ditetapkan.
Dengan relatif besarnya kelebihan likuiditas sejalan dengan belum
pulihnya fungsi intermediasi perbankan, upaya pengendalian moneter melalui
instrumen moneter ini membawa implikasi pada terjadinya kenaikan suku bunga
SBI dan suku bunga perbankan.
Oleh sebab itu, upaya pengendalian uang
primer juga dilengkapi dengan upaya penambahan pasokan valuta asing di pasar
melalui kebijakan sterilisasi valuta asing.
Hal ini terutama dilakukan untuk
menyerap ekspansi uang primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah
dalam rupiah yang dibiayai dari penerimaan dalam valuta asing.
Penambahan pasokan valuta asing melalui sterilisasi valuta asing selain
digunakan untuk menyerap uang primer, juga dimaksudkan untuk mengurangi
tekanan depresiasi dan volatilitas nilai tukar. Namun dalam pasar valuta asing
masih terdapat kesenjangan antara jumlah pasokan dan permintaan valuta asing
sehingga untuk menjaga efektivitas kebijakan ini maka diperlukan juga dukungan
kebijakan lain yang dapat membatasi kemampuan para pelaku pasar untuk
melakukan kegiatan spekulatif.
4
Namun demikian, kebijakan moneter yang lebih independen saat ini
dengan adanya penetapan sasaran akhir yang lebih jelas yaitu target inflasi
diharapkan tetap dapat memberikan pengaruh pada perbaikan perekonomian
dan kinerja sektor riil yang terganggu akibat krisis selama 5 tahun terakhir ini.
Inflasi yang berada pada kisaran yang rendah dengan kondisi perekonomian
yang lebih stabil memberikan kepastian kepada pengusaha dalam meningkatkan
kapasitas produksi yang didukung perencanaan investasi yang matang dan
kegiatan perdagangan yang menguntungkan.
1.2. Perumusan Masalah
Setelah lima tahun proses pemulihan ekonomi, perbaikan kebijakan
dibidang moneter belum tertransmisi dengan baik terhadap perekonomian
Indonesia. Sampai triwulan IV-2005, pertumbuhan Produk Domestik Bruto relatif
kecil yaitu 4.5 persen/tahun (Laporan Bank Indonesia, 2006).
Lambatnya
pertumbuhan ekonomi ini terutama disebabkan oleh kinerja konsumsi dan
investasi yang kurang optimal.
Konsumsi masyarakat mengalami penurunan
yang signifikan karena menurunnya daya beli terkait dengan tingginya angka
inflasi. Sementara itu perlambatan investasi terjadi karena meningkatnya biaya
input, menurunnya margin keuntungan perusahaan dan iklim usaha di Indonesia
yang masih belum kondusif. Kontribusi investasi terhadap pembentukan produk
domestik bruto juga hanya 15 persennya, padahal sebelum krisis aktivitas
investasi menyumbang sekitar 30 persen terhadap PDB.
Disisi eksternal, kegiatan ekspor sebagai sumber pertumbuhan yang
dominan sebelum krisis juga masih menunjukkan pertumbuhan yang kecil
dimana sampai akhir tahun 2005 tumbuh hanya 8.6 persen. Peningkatan ekspor
netto lebih banyak disebabkan oleh kontraksi impor barang dan jasa yang mulai
terjadi sejak tahun 2004. Melambatnya volume impor diperkirakan terkait erat
5
dengan melambatnya kegiatan investasi khususnya jenis-jenis investasi yang
membutuhkan barang modal impor dalam proses produksi.
Perlambatan kinerja perekonomian juga tampak pada pengangguran
terbuka tahun 2005 yang mencapai 10.84 persen (11.6 juta orang) jauh lebih
tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4.7 persen. Artinya
pertumbuhan ekonomi saat ini tidak cukup menampung angkatan kerja yang
bertambah 1.8 juta orang per tahun. Sulitnya mengurangi tingkat pengangguran
atau menciptakan lapangan kerja baru menjadi cerminan lambatnya gerak laju
ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja yang terus bertambah
setiap tahunnya.
Secara teoritis kebijakan moneter mampu mempengaruhi sisi permintaan
seperti yang dikemukakan oleh Keynesian dan Monetaris.
Namun melihat
struktur ekonomi Indonesia semasa krisis ekonomi dimana tekanan inflasi
ternyata lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja
sektor riil, maka kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral adalah kebijakan
moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga sehingga diharapkan stimulan ini
dapat mendorong ekspansi produksi dan menggeser kembali kurva penawaran
ke kanan.
Dengan demikian diharapkan harga akan menurun dan output
meningkat.
Namun penurunan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia pada
tahun 2004 dengan pertimbangan tekanan inflasi selama krisis ekonomi lebih
banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, tidak
langsung mendongkrak peningkatan output dengan indikasi awal suku bunga
kredit investasi masih tinggi. Lambannya penurunan suku bunga kredit investasi
bagi sektor riil terutama disebabkan masih tingginya persepsi risiko perbankan
terhadap penyaluran kredit investasi bagi sektor riil seiring dengan tingginya
resiko yang harus ditanggung sektor riil setelah krisis ekonomi. Akibatnya suku
6
bunga kredit terlihat kurang elastis terhadap sinyal penurunan suku bunga dari
bank sentral.
Padahal perbankan mendominasi 80 persen sistem keuangan
sehingga perbankan menjadi prioritas jalur transmisi kebijakan moneter.
Hal ini sejalan dengan gejala yang muncul dari sisi pelaku usaha, dimana
dunia usaha masih banyak mengeluhkan sulitnya memperoleh suntikan modal
sebagai sumber dana untuk meningkatkan kapasitas produksi, padahal suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan dan
diharapkan bertransmisi kepada turunnya suku bunga kredit (Hendarsah, 2003).
Penurunan suku bunga SBI cenderung direspon dengan peningkatan
kegiatan konsumsi.
Sementara itu, kegiatan investasi yang memiliki efek
pengganda (multiplier effect) yang lebih tinggi daripada konsumsi tidak
memberikan pengaruh yang berarti dengan perkembangan yang kurang
memuaskan dan justru mengalami kontraksi sebesar 0.2 persen. Dalam tiga
tahun terakhir ini, persetujuan investasi PMDN dan PMA pada tahun 2003 hanya
sebesar Rp 177.18 trilyun rupiah, pada tahun 2004 menurun menjadi Rp 129.24
trilyun dan pada tahun 2005 persetujuan investasi sebesar Rp 179.57 trilyun
rupiah (33.93% dari target).
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka
secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana dampak
kebijakan moneter terhadap perbaikan kinerja sektor riil di Indonesia. Adapun
secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil
pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja
transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.
7
3. Mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja
perekonomian.
4. Merumuskan
rekomendasi
alternatif
kebijakan
moneter
yang
dapat
dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sektor riil di Indonesia yang
disederhanakan menjadi tiga kelompok utama yaitu sektor pertanian, sektor
industri pengolahan, dan sektor lainnya. Penyederhanaan menjadi tiga kelompok
sektor ini dengan pertimbangan sektor pertanian dan sektor industri merupakan
sektor andalan dalam pembentukan PDRB namun memiliki karakteristik yang
berbeda dalam merespon gejolak krisis seperti tampak pada kinerja sektor-sektor
tersebut saat terjadi depresiasi nilai tukar rupiah dan peningkatan suku bunga.
Menurut Yudanto (1998) seberapa besar tekanan krisis ekonomi
terhadap sektor riil sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi
sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga. Diantara lima sektor
utama yaitu pertanian, industri, perdagangan, keuangan dan bangunan, sektor
pertanian terbukti cukup resisten terhadap krisis sehingga pertumbuhan sektor ini
memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat dengan gejolak kurs dan
bahkan mempunyai koefisien korelasi dan elastisitas yang positif meskipun
sangat rendah yaitu 0.08 dan 0.01. Sedangkan sektor yang terkait cukup erat
dengan faktor depresiasi adalah sektor bangunan, industri, transportasi dan
keuangan dan dilihat dari tingkat elastisitasnya maka sektor industri menjadi
sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Saratnya kandungan
input yang diimpor dan besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri dalam
struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor suku
8
bunga diketahui bahwa sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang
paling terpengaruh oleh gejolak suku bunga.
Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan bahasan pada sektor
pertanian dan industri untuk melihat seberapa jauh perubahan kinerja produksi
setelah adanya perbaikan kebijakan moneter yang dijalankan sejak tahun 1999.
Transmisi moneter dilihat dari sisi permintaan agregat menurut sektor dan secara
sekilas juga akan dilihat dari sisi penawaran agregatnya yang terwakili dari jalur
kredit karena seperti yang dikatakan oleh aliran neostrukturalis bahwa kebijakan
moneter juga ditransmisikan melalui penawaran agregat via suku bunga dan
volume kredit.
Dampak kebijakan moneter terhadap sektor riil dianalisis melalui jalurjalur transmisi yaitu jalur suku bunga, jalur harga aset dan jalur kredit. Jalur
transmisi harga aset dibatasi pada pengaruh nilai tukar, sedangkan jalur kredit
dibatasi pada jalur pinjaman bank (bank lending channel) karena jalur ini yang
diperkirakan memberikan pengaruh yang relatif kuat terhadap pertumbuhan
kinerja sektor riil. Kinerja sektor riil dianalisis dari indikator penggunaan kredit,
kinerja investasi, ekspor, Produk Domestik Bruto, dan penyerapan tenaga kerja.
Sedangkan secara makro, digunakan lima indikator kinerja yaitu alokasi kredit
total, investasi, ekspor, PDB dan tingkat pengangguran.
Keterbatasan penelitian ini tampak pula pada perhitungan kinerja sektor
riil yang diasumsikan hanya dipengaruhi oleh kebijakan moneter sedangkan
kebijakan ekonomi lainnya seperti kebijakan fiskal dan faktor lain diluar moneter
tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Dengan adanya keterbatasan dalam
perolehan data, maka data time series yang akan digunakan dibatasi hanya
untuk periode 1984-2005.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang
Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang diterima secara umum dalam
pembayaan barang dan jasa (Mishkin, 2001).
Uang seringkali diidentikkan
dengan uang kartal (currency) yaitu uang kertas dan uang logam.
Padahal
menurut ahli ekonomi, segala sesuatu yang relatif cepat dan mudah dikonversi
menjadi uang kartal (currency) dapat dikelompokkan sebagai uang (money)
seperti cek dan giro.
Ahli ekonomi juga membedakan antara uang dan
kesejahteraan karena kesejahteraan meliputi tidak hanya uang tapi juga aset lain
seperti obligasi, saham, tanah, mobil, furnitur dan rumah. Lebih jauh lagi, ahli
ekonomi juga membedakan uang dengan pendapatan. Pendapatan didefinisikan
sebagai aliran penerimaan menurut waktu, sedangkan uang adalah cadangan.
Tiga fungsi dasar dari uang adalah (1) sebagai media pertukaran (as a
medium of xchange) , (2) sebagai satuan hitung (as a unit of account), dan (3)
sebagai alat penyimpan nilai (as a store of value).
Uang sebagai media
pertukaran yaitu uang digunakan untuk membayar barang dan jasa.
Uan
sebagai media pertukaran mengatasi permsalahan dalam pemenuhan dua
barang yang berbeda dan mendorong spesialisasi dan pembagian kerja.
Penggunaan uang sebagai media pertukaran juga mampu meningkatkan
efisiensi dalam perekonomian karena menghemat waktu saat mempertukarkan
barang dan jasa. Waktu yang diperlukan dalam bertransaksi disebut juga dengan
biaya transaksi (transaction cost).
Hal ini dapat dipahami dengan mudah bila
dibandingkan dengan perekonomian barter dimana peningkatan kesejahteraan
dilakukan dengan tukar menukar komoditas yang dibutuhkan secara langsung.
10
Hal ini sangat merepotkan karena harus ada dua keinginan yang saling bertemu
dan pada akhirnya, perekonomian barter ini meningkatkan biaya transaksi
(transaction cost).
Beberapa kelemahan perekonomian barter adalah tidak
adanya metode penyimpanan daya beli yang dapat diterima secara umum, tidak
adanya standar ukuran dan nilai dan tidak adanya alat pembayaran untuk
transaksi-transaksi dimasa mendatang.
Keterbatasan
sistem
barter
ini
mendorong
manusia
untuk
mengembangkan sistem yang memungkinkan transaksi berjalan lebih cepat dan
lancar.
Untuk mengantisipasi kelemahan sistem barter, maka barang/benda
yang dapat difungsikan sebagai uang haruslah memenuhi kriteria (1) mudah
distandarisasikan, (2) diterima secara luas oleh masyarakat sebagai alat
pembayaran, (3) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, (4) mudah
dibawa, dan (5) tahan lama.
Peranan kedua dari uang sebagai satuan hitung dimana uang
digunakan untuk mengukur nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Peranan
ini menjadi semakin penting karena semakin komplek dan beragamnya barang
dan jasa yang diperdagangkan. Sebagai satuan hitung, uang mempermudah
tukar menukar dimana dua barang yang secara fisik sangat berbeda bisa
menjadi seragam apabila nilai masing-masing dinyatakan dengan uang.
Pengenalan
uang
dalam
perekonomian
sebagai
hitungan
nilai
barang
memudahkan konsumen membandingkan harga satu barang dengan barang lain
dan akhirnya mengurangi biaya transaksi dalam perekonomian.
Uang berfungsi juga sebagai alat penyimpan nilai dalam artian uang
mampu mempertahankan daya beli dari pendapatan sejak pendapatan tersebut
diterima sampai pada waktu pendapatan tersebut dibelanjakan. Fungsi uang
seperti ini sangat bermanfaat karena tidak semua orang menghabiskan
pendapatannya dalam waktu cepat dan sangat terkait dengan sifat manusia
11
sebagai pengumpul kekayaan.
Namun fungsi uang sebagai alat penyiman nilai
menjadi kurang optimal jika dala perekonomian terjadi peningkatan harga secara
terus menerus (inflasi).
2.1.2. Uang Beredar
Secara umum terdapat dua definisi jumlah uang beredar yang banyak
dipakai dimana definisi ini dibangun berdasarkan dua pendekatan, yaitu
pendekatan transaksional (transactional approach) dan pendekatan likuiditas
(liquidity approach).
Pendekatan transaksional memandang jumlah uang beredar dihitung dari
jumlah uang yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi.
Dalam prakteknya,
pendekatan tersebut digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam
arti sempit yang dikenal sebagai M1. Yang tercakup dalam M1 adalah uang
kartal (uang kertas dan uang logam yang berlaku) dan uang giral (rekening giro,
kiriman uang, simpanan berjangka dan tabungan dalam rupiah yang sudah jatuh
tempo).
Pendekatan likuiditas mendefinisikan jumlah uang beredar sebagai
jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Pertimbangannya
adalah sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid
dibandingkan uang kertas, uang logam dan rekening giro, tapi sangat mudah
diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan transaksi. Dalam
praktek, pendekatan ini digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam
arti luas yaitu M2. Uang kuasi adalah simpanan rupiah dan valuta asing milik
penduduk pada sistem moneter yang untuk sementara waktu kehilangan
fungsinya sebagai alat tukar meliputi simpanan berjangka dan tabungan
penduduk pada bank umum baik dalam rupiah maupun valuta asing. Jumlah M2
ini sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian (Mishkin, 2001).
12
Untuk memudahkan pembahasan, Mc Callum (1989) mendefinisikan
uang beredar terdiri dari uang kartal (currency) dan giro (checkable deposits)
dengan rumusan:
M = C + D ...............................................................................................(1)
dimana:
M
C
D
=
=
=
Uang beredar
Uang kartal
Deposito
Rasio uang kartal dan deposito (C/D) sepenuhnya berada dalam
pengawasan masyarakat dengan notasi
cr = C/D .................................................................................................(2)
dimana:
cr
C
D
=
=
=
Rasio uang kartal dan deposito
Uang kartal
Deposito
Berdasarkan persamaan (1) dan (2) dapat ditulis ulang persamaan uang
beredar sebagai berikut:
M = (cr + 1) D ..........................................................................................(3)
Uang beredar (money supply) dapat dikendalikan oleh Bank sentral
melalui uang primer (high power money) karena uang beredar memiliki kaitan
yang erat dengan uang primer.
Uang primer merupakan penjumlahan uang
kartal dalam peredaran dan cadangan perbankan (TR) dengan rumusan :
H = C + TR .............................................................................................(4)
dimana:
H
C
TR
=
=
=
Uang primer (high power money)
Uang kartal
Cadangan perbankan
Jika rasio cadangan perbankan terhadap deposito sebagai rr = TR/D, maka uang
persamaan uang primer dapat ditulis menjadi:
13
H = (cr+rr) D ............................................................................................(5)
Dari persamaan (3) dan (5) dapat dibuatkan hubungan uang beredar dan uang
primer sebagai berikut:
M
cr + 1
=
H cr + rr
........................................................................................(6)
Menurut Mishkin (2001), kaitan uang primer dengan uang beredar dapat
juga dirumuskan sebagai berikut:
M = m X H ...............................................................................................(7)
dimana m adalah angka pengganda uang (money multiplier) yang didefinisikan
sebagai besaran perubahan uang beredar akibat perubahan uang primer pada
tingkat tertentu.
Selanjutnya angka pengganda uang (money multiplier)
dirumuskan sebagai berikut:
m=
1 + (C / D)
………………………………………………...(8)
rD + ( ER / D) + (C / D)
artinya money multiplier merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur
sepenuhnya oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan
required reserve ratio yang diatir oleh bank sentral. Dari rumusan diatas dapat
pula dikatakan bahwa :
1. Jika rasio cadangan wajib minimum yang ditetapkan oleh bank sentral
meningkat maka akan mendorong perbankan untuk mengurangi alokasi
kredit untuk mempertahankan kemampuan cadangan perbankan dan
selanjutnya menurunkan nilai angka pengganda uang (m) dan menurunkan
pula jumlah uang beredar (M).
2. Ketika penabung meningkatkan ratio uang kartal per deposito dengan
mengkoversi deposito ke uang kartal akan mendorong penurunan penciptaan
uang sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan jumlah
uang beredar akan berkurang.
14
3. Ketika bank meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap
deposit atau tabungan maka bank akan mengurangi penyaluran kredit
sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan mengurangi uang
beredar.
Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa uang beredar berhubungan
negatif dengan cadangan wajib minimum, rasio uang kartal (C/D) dan rasio
cadangan perbankan (ER/D). Sementara itu, uang beredar berhubungan positif
dengan uang primer yang ditentukan oleh bank sentral melalui operasi pasar
terbuka.
Oleh karena itu, model persamaan uang beredar haruslah
mempertimbangkan perilaku bank sentral yang mengatur giro wajib minimum dan
suku bunga diskonto, perilaku penabung melalui keputusan dalam memegang
uang kartal, perilaku bank melalui keputusan rasio cadangan perbankan dan
perilaku peminjam yang mempengaruhi suku bunga pasar yang akan
mempengaruhi keputusan bank terkait dengan jumlah cadangan yang dipegang.
2.1.3. Teori Permintaan Uang
Pandangan para ekonom Klasik di abad 19 dan awal abad 20 dalam
Teori Kuantitas Uang memfokuskan fungsi uang sebagai alat tukar dan pengukur
nilai sehingga uang bersifat netral dan tidak mempengaruhi perekonomian riil.
Dengan demikian dalam teori ini dikatakan bahwa suku bunga tidak memiliki
pengaruh apapun terhadap permintaan uang (Mishkin, 2001).
Irving Fisher dalam bukunya ”Purchasing Power of Money” mengatakan
bahwa permintaan uang dari masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari
nilai transaksi (PY).
Artinya permintaan uang timbul dari penggunaan uang
dalam proses transaksi yang merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat
output masyarakat (pendapatan nasional). Hal ini dijelaskan dengan persamaan
15
yang menunjukkan hubungan uang dengan tingkat harga dan pendapatan
nasional sebagai berikut:
MV = PY ................................................................................................(9)
dimana:
M
V
P
Y
=
=
=
=
Uang beredar
Tingkat perputaran uang
Tingkat output
Harga
dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V)
sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (Y) dikalikan dengan
tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar
yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan
jumlah
output
yang
dihitung
dengan
harga
berlaku
(PY).
Dengan
mentransformasikan persamaan diatas, maka:
Md = 1/V PY ..........................................................................................(10)
Dari persamaan diatas, permintaan uang murni ditentukan oleh tingkat
pendapatan nasional dan tidak dipengaruhi oleh faktor lain seperti bunga. Fisher
menyusun kesimpulan seperti ini karena kepercayaannya bahwa orang-orang
memegang uang hanya untuk transaksi sehingga permintaan uang dtentukan
oleh dua variabel yaitu (1) jumlah transaksi yang diwakilkan oleh tingkat
pendapatan PY dan (2) institusi perekonomian yang mempengaruhi cara orangorang melakukan transaksi yang akan menentukan tingkat perputaran uang
(velocity of money).
Teori permintaan uang Cambridge menekankan pada perilaku individu
dalam mengalokasikan kekayaan salah satunya dalam bentuk uang dengan
memperhitungkan untung rugi pemegangan kekayaan tersebut.
Cambridge
mengatakan bahwa kelebihan memegang uang adalah kemudahan dalam
proses transaksi, namun di pihak lain memegang uang berarti mengorbankan
16
kemungkinan mendapatkan penghasilan dalam bentuk bunga atau keuntungan
kapital bila memegang kekayaan dalam bentuk surat berharga. Pandangan ini
sangat berbeda dengan teori Fisher yang menekankan permintaan uang hanya
merupakan proporsi konstan dari volume transaksi.
Dengan demikian teori Cambridge mengatakan bahwa permintaan uang
selain dipengaruhi oleh volume transaksi juga dipengaruhi oleh tingkat bunga,
kekayaan dan ekspektasi masyarakat mengenai masa depan. Jadi dalam jangka
pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan
pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsional konstan. Hal ini
digambarkan pada persamaan sebagai berikut :
Md = k P Y ...........................................................................................(11)
Teori Cambridge ini menyatakan pula bahwa terdapat kemungkinan
pengaruh faktor lain seperti tingkat bunga yang diwakilkan oleh variabel k.
Artinya jika tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat mengurangi
permintaan uang dan jika di masa datang diharapkan ada kenaikan tingkat bunga
maka orang akan cenderung menambah jumlah uang tunai yang mereka
pegang.
John Maynard Keynes memperluas pendekatan Cambridge dengan
mengemukakan tiga motif memegang uang (Mishkin, 2001). Dalam teori yang
dikenal dengan nama Liquidity Preference mengatakan bahwa permintaan uang
bukan semata-mata sebagai alat tukar atau motif transaksi dan berjaga-jaga
tetapi dapat digunakan lebih luas untuk tujuan spekulasi. Teori ini memprlihatkan
bahwa motif transaksi dan berjaga-jaga sebagai komponen permintaan uang
proporsional terhadap tingkat pendapatan. Sementara itu, motif memegang uang
untuk spekulasi sangat sensitif terhadap suku bunga dan ekspektasi pergerakan
suku bunga di waktu mendatang.
17
Rumusan teori liquidity preference yang dikembangkan oleh Keynes
adalah sebagai berikut :
Md/P = f (i, Y) .......................................................................................(12)
Suku bunga memiliki tanda yang negatif yang artinya permintaan uang
secara riil berhubungan negatif dengan suku bunga dan sebaliknya permintaan
uang berhubungan positif dengan pendapatan nasional (tingkat output). Artinya,
Keynes menyimpulkan permintaan uang berhubungan tidak hanya dengan
pendapatan nasional namun juga dengan suku bunga.
Penurunan fungsi liquidity preference untuk melihat tingkat perputaran
uang (PY/M) akan menunjukkan bahwa tingkat perputaran uang menurut Keynes
tidaklah konstan tetapi berfluktuasi mengikuti pergerakan suku bunga.
P
1
=
………………………………………………….....………(13)
Md f (i, Y )
mengalikan kedua sisi dengan Y maka didapatkan persamaan tingkat perputaran
uang (velocity of money) sebagai berikut:
V=
PY
Y
…………………………………………………..……..(14)
=
Md f (i, Y )
artinya ketika suku bunga naik akan mendorong orang memegang uang lebih
sedikit sehingga tingkat perputaran uang akan meningkat yang berarti velocity of
money meningkat.
Pendekatan Keynesian terus mengalami penyempurnaaan diantaranya
oleh William Baumol dan James Tobin yang menggambarkan bahwa uang yang
dipegang untuk transaksi sebenarnya sensitif terhadap suku bunga. Ketika suku
bunga meningkat maka jumlah uang kas yang dipegang untuk tujuan transaksi
akan menurun yang selanjutnya akan meningkatkan tingkat perputaran uang.
18
Artinya, komponen transaksi dalam fungsi permintaan uang berhubungan negatif
dengan suku bunga (Mishkin, 2001).
Ide dasar dalam analisis Baumol-Tobin ini adalah adanya biaya
oportunitas dalam memegang uang yaitu keuntungan yang mungkin diperoleh
dari aset lainnya dan keuntungan memegang uang adalah menghindari biaya
transaksi.
Ketika
suku
bunga
naik,
masyarakat
akan
mencoba
mengekonomiskan pemegangan uang untuk tujuan transaksi karena biaya
oportunitas yang menjadi mahal.
Teori kuantitas modern yang dipelopori oleh Milton Friedman merupakan
penyempurnaan dari teori kuantitas klasik. Friedman (1991) menyusun formulasi
permintaan uang sebagai berikut:
Md/P = f(Yp, rb-rm, re-rm, πe-rm) ...............................................................(15)
Persamaan ini menunjukkan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari
keuntungan yang diharapkan dari aset lain relatif terhadap keuntungan yang
diharapkan dari uang dan pendapatan permanen. Friedman berpendapat bahwa
permintaan uang relatif stabil dan tidak sensitif terhadap suku bunga, tingkat
perputaran uang dapat diprediksi.
2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi
Hubungan antara uang dengan kegiatan perekonomian khususnya
pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perdebatan antara kelompok
Keynesian dan Monetarist (Friedman, 1991). Kelompok Monetarist berpendapat
bahwa uang hanya berpengaruh pada tingkat inflasi dan tidak ada pengaruhnya
pada pertumbuhan ekonomi riil. Dalam hal ini, kelompok Monetarist berasumsi
bahwa mekanisme pasar dalam perekonomian dapat berjalan secara sempurna
sehingga harga-harga segera menyesuaikan apabila terjadi perbedaan antara
permintaan dan penawaran di pasar. Dengan kondisi ini, kelompok Monetarist
19
berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap nilai
nominal permintaan agregat melalui perubahan harga-harga tersebut dengan
pengaruh yang relatif stabil. Implikasinya, kebijakan moneter diarahkan hanya
untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa diarahkan untuk mempengaruhi
kegiatan ekonomi riil.
Pada sisi lain kelompok Keynesian berpendapat bahwa uang dapat
mempengaruhi kegiatan ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap inflasi.
Keynes berpendapat bahwa sebelum full employment dicapai maka perubahan
jumlah uang beredar bersama-sama dengan permintaan uang mempengaruhi
tingkat bunga, selanjutnya perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat
investasi riil yang kemudian melalui proses multiplier mempengaruhi tingkat
output
masyarakat.
Artinya
perubahan
dalam
sektor
moneter
dapat
mempengaruhi sektor riil (Mankiw, 2000).
Implikasinya adalah kebijakan moneter dapat digunakan sebagai salah
satu instrumen kebijakan untuk mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi
riil.
Dengan
kata
lain,
bank
sentral
mempunyai
discreation
untuk
mempergunakan kebijakan moneter secara aktif untuk membantu upaya-upaya
mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Apabila kegiatan ekonomi riil dirasakan
terlalu lesu, kebijakan moneter dapat dilonggarkan sehingga jumlah uang
beredar dalam perekonomian bertambah dan dapat mendorong peningkatan
kegiatan ekonomi riil.
Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi riil dinilai terlalu
cepat dan cenderung memanas, kebijakan moneter perlu diketatkan sehingga
terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi.
Kelompok Keynesian juga memandang bahwa permasalahan dalam
suatu perekonomian pada dasarnya sangat kompleks sehingga tidak hanya uang
yang berperan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi, tetapi juga variabelvariabel lain.
Dalam hal ini, kelompok Keynesian berasumsi bahwa terjadi
20
sejumlah kekakuan dalam bekerjanya mekanisme pasar di dalam perekonomian
sehingga pasar tidak selalu dalam kondisi keseimbangan. Apabila terjadi kejutan
(shock) dalam perekonomian, misalnya kebijakan moneter yang secara aktif
melakukan
pelonggaran
atau
pengetatan
akan
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka pendek, meskipun pada akhirnya dalam
jangka menengah-panjang perkembangan harga juga akan terpengaruh.
2.1.5. Teori Permintaan Agregat
Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat
harga dengan tingkat pendapatan nasional.
Keseimbangan makroekonomi
secara simultan ditentukan oleh perpotongan permintaan agregat (AD) dan
penawaran agregat (AS).
Shock yang terjadi pada permintaan agregat akan
menyebabkan terjadinya perubahan harga. Shock ini dapat diantisipasi melalui
kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM.
Ketika perekonomian berada pada kesimbangan jangka pendek pada
titik K dan tingkat harga P1 menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila
dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya
input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga
biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah
pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada
kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil
(daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM(P2)
dengan suku bunga yang lebih rendah.
Biaya output yang lebih murah
meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat keseimbangan alamiah di titik
C pada kurva SRAS2 (Gambar 1).
21
Tingkat
LRAS
Tingkat
LM (P1)
bunga, r
LRAS
harga,P
LM (P2)
K
P1
SRAS1
C
SRAS2
P2
IS
Y
AD
Pendapatan (Y)
Y
Pendapatan (Y)
Sumber: Mankiw (2000)
Gambar 1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan
Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Analisis
ini
menunjukkan
bahwa
dalam
jangka
pendek,
proses
penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya
perubahan perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang penyesuaian
terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat harga
sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau pada
titik keseimbangan baru.
Pengaruh shock kebijakan moneter terhadap permintaan agregat dalam
perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat (AS).
Apabila kurva AS vertikal (asumsi Klasik), shock kebijakan moneter akan
menyebabkan tingkat harga berubah dengan pendapatan nasional yang tetap.
Tetapi apabila kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan
moneter akan menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi
alamiah sementara tingkat harga tetap. Penyesuaian antara tingkat harga dan
pertumbuhan ekonomi, sangat tergantung pada kebijakan bank sentral dalam
melakukan shock terhadap kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap
22
pergeseran kurva permintaan agregat (AD).
Kemiringan kurva IS (elastisitas
pengeluaran investasi terhadap suku bunga) dan kemiringan kurva LM
(elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga) menjadi faktor yang
mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter.
Ekspansi kebijakan moneter
dengan menambah jumlah uang beredar pada kurva IS yang datar meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar Y2 dan pada kurva IS yang tegak pertumbuhan
ekonomi lebih rendah yaitu hanya Y1.
Dilihat pada kurva LM, kebijakan moneter akan kurang efektif dalam
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi
pada
pertumbuhan ekonomi hanya sebesar Y0 – Y1.
kurva
LM
datar
dengan
Sementara itu pada kurva LM
yang tegak maka pengaruh terhadap perekonomian lebih besar yaitu sebesar
Y0–Y2. Kebijakan moneter bahkan tidak efektif sama sekali pada kurva LM yang
horizontal karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu
kebijakan moneter gagal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (output) tetapi
justru menimbulkan dampak terhadap inflasi. Gambaran lebih detail disajikan
pada Gambar 2.
LMTo
LMT1
Tingkat
bunga ( r )
Tingkat
bunga ( r )
LMD0
LM0
LM1
LMD1
IS datar
IS
IS tegak
Y0 Y1 Y2
Y
Yo
Y1Y2
Y
Sumber : Mankiw (2000)
Gambar 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi pada kurva IS-LM
23
2.1.6. Suku Bunga
Suku bunga menggambarkan biaya pinjaman yang menjadi indikator
melakukan pinjaman atau indikator bagi yang meminjamkan (Mishkin, 2001).
Dalam perkembangannya, suku bunga riil menjadi lebih penting dibandingkan
suku bunga nominal karena suku
bunga riil sudah mempertimbangkan
perkembangan harga sebagaimana tampak pada rumus:
Suku bunga riil = suku bunga nominal –inflasi
Dalam Liquidity Preference Framework keseimbangan suku bunga
tercapai saat terjadi perpotongan uang beredar dan permintaan uang. Jumlah
uang beredar (MS) ditentukan oleh bank sentral sehingga kurva MS tegak.
Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh pendapatan dan tingkat harga.
Oleh karena itu, perubahan suku bunga dalam keyakinan Liquidity Preference
Framework dapat dipahami dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang.
Dua faktor yang mempengaruhi permintaan uang adalah pendapatan dan
harga. Disaat perekonomian bagus maka pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat meningkat yang mendorong masyarakat memegang uang lebih
banyak sehingga permintaan uang meningkat. Sedangkan saat harga meningkat
maka nilai nominal uang terhadap harga barang akan turun.
Kondisi ini
mendorong masyarakat untuk menambah uang yang dipegang sehingga
permintaan uang meningkat.
Dalam
Mishkin
(2001)
disebutkan
bahwa
jumlah
uang
beredar
berhubungan dengan uang primer (monetary base) dengan rumus:
MS = m x MB .............................................................................(16)
dimana:
MS
M
MB
=
=
=
Uang beredar
Angka pengganda uang
Uang primer
24
Dari rumusan diatas dapat diketahui uang beredar memiliki hubungan
yang positif dengan uang primer. Disamping itu angka pengganda uang (m)
menjadi faktor yang turut mempengaruhi jumlah uang beredar karena m
menunjukkan seberapa banyak perubahan MS untuk nilai MB tertentu dengan
rumus:
m=
1 + C/D
rD + (ER/D) + (C/D)
....................................................(17)
artinya money multiplier (angka pengganda uang) merupakan fungsi dari
currency ratio yang diatur oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh
bank dan required reserve ratio yang diatur oleh Bank sentral.
1. Perubahan Required Reserve
Jika required reserve naik maka jumlah cadangan perbankan menjadi
tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan
cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang
disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan akhirnya
jumlah uang beredar menjadi lebih rendah. Kesimpulannya adalah money
multiplier dan MS berhubungan negatif dengan Required Reserve
2. Perubahan Currency Ratio
Ketika penabung meningkatkan uang kas yang dipegang dengan
merubah deposito menjadi uang kas (C/D meningkat) maka money multiplier
akan turun
karena deposito berperan dalam menciptakan perluasan uang
sedangkan uang kas tidak mampu menciptakan perluasan uang. Artinya, money
multiplier dan MS berhubungan negatif dengan currency ratio.
3. Perubahan Excess Reserve Ratio
Ketika perbankan meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif
terhadap dana pihak ketiga yang dipegang pada jumlah MB tertentu, maka bank
25
menurunkan jumlah pinjaman sehingga MS menurun.
Preferensi bank
memegang cadangan lebih banyak atau lebih sedikit dipengaruhi oleh biaya dan
manfaatnya.
Ketika biaya memegang cadangan meningkat maka bank
menurunkan cadangan yang dipegang dan sebaliknya. Faktor yang
menjadi
acuan perbankan adalah suku bunga pasar, dimana ketika suku bunga pasar
meningkat maka biaya memegang cadangan meningkat sehingga bank
menurunkan jumlah cadangan yang dipegang (dengan meningkatkan jumlah
pinjaman) dan money multiplier meningkat yang selanjutnya meningkatkan MS
2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto
Dalam sistem perekonomian tertutup jumlah tabungan masyarakat
merupakan jumlah modal yang dapat digunakan untuk melakukan investasi
(Mankiw, 2000).
jumlah tabungan
Pada tingkat keseimbangan jumlah investasi sama dengan
(I
= S).
Namun pada sistem ekonomi terbuka dimana
dimungkinkan terjadinya transaksi antar negara dalam bentuk barang (eksporimpor) maupun aliran modal antar negara, investasi bisa lebih besar dari
akumulasi tabungan domestik.
Hal ini dapat diturunkan dari persamaan
pendapatan nasional,
Y = C + I + G + NX …………………………………………….............. (18)
Y – C – G = I + NX;
dimana : Y – C – G adalah simpanan nasional sehingga:
S = I + NX ………………………………..........……….............……….. (19)
NX = S – I .....…………………………..……………..................... .........(20)
dimana NX adalah net ekspor yang menunjukkan neraca perdagangan, dan S – I
menunjukkan net foreign investment (NFI). Dengan demikian NFI adalah selisih
antara tabungan domestik dikurangi dengan investasi domestik. Jika NFI positif
26
artinya jumlah tabungan domestik lebih besar dari investasi, dan sebaliknya jika
NFI negatif artinya investasi domestik
lebih besar
dari tabungan domestik,
dimana selisih investasi dibiayai dari pinjaman luar negeri.
Ekspor bersih (NX)
merupakan selisih antara ekspor dan impor.
Besaran NX dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang asing. Jika mata uang domestik nilai tukarnya rendah, barang domestik
relatif lebih murah dibandingkan dengan barang asing sehingga ekspor
meningkat dan impor menurun sehingga NX akan meningkat, sebaliknya jika nilai
tukar tinggi, barang domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang
impor sehingga ekspor berkurang dan impor meningkat akibatnya NX menurun.
Investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, karena tingkat bunga merupakan
opportunity cost seseorang melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat bunga
pasar opportunity kegiatan investasi semakin mahal dan sebaliknya.
Dalam
bentuk persamaan dapat dituliskan:
S = I (r) + NX (∈) ……………………………............….………………… (21)
dimana:
S
I
NX
=
=
=
Tabungan
Investasi
Ekspor netto
2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter
Perhatian utama dalam penyusunan strategi kebijakan moneter di seluruh
negara adalah dasar acuan (nominal anchor) yaitu variabel nominal yang
digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan akhir kebijakan
moneter (Mishkin, 2000).
pencapaian
tujuan
Dasar acuan (nominal anchor) ini membantu
kebijakan
moneter
karena
mampu
meminimalisasi
permasalahan ketidakkonsistenan waktu penetapan kebijakan dimana kebijakan
27
moneter yang ditetapkan otoritas moneter tidak memberikan dampak jangka
panjang.
Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh kebijakan moneter terkait dengan
pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Namun permasalahan selama ini adalah
pencapaian pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat dilakukan secara
bersamaan karena pencapaian sasaran akhir ini bersifat kontradiktif.
Oleh
karena itu, dalam perkembangannya bank sentral lebih cenderung memilih salah
satu sasaran untuk dicapai secara optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya
dan dewasa ini beberapa negara secara bertahap telah menggeser penerapan
kebijakan moneter yang lebih memfokuskan pada sasaran tunggal yaitu stabilitas
harga.
Secara prinsip terdapat beberapa strategi dalam mencapai tujuan
kebijakan moneter. Masing-masing strategi memiliki karakteristik sesuai dengan
indikator nominal yang digunakan sebagai nominal anchor (dasar acuan) atau
sasaran antara dalam mencapai tujuan akhir. Beberapa strategi pelaksanaan
kebijakan moneter tersebut antara lain (1) penargetan nilai tukar (exchange rate
targeting), (2) penargetan besaran moneter, (3) penargetan inflasi, dan (4)
strategi kebijakan moneter tanpa jangkar yang tegas.
1. Penargetan Nilai Tukar
Strategi kebijakan moneter dengan penargetan nilai tukar didasari
pemikiran bahwa nilai tukarlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap
pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dalam pelaksanaannya, terdapat
tiga alternatif yang dapat ditempuh, yaitu (1) menetapkan nilai mata uang
domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara internasional
seperti emas, (2) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang
negara-negara besar yang mempunyai laju inflasi yang rendah dan (3)
menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu
28
ketika perubahan nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju
inflasi antara dua negara.
Penargetan nilai tukar memiliki beberapa keuntungan yaitu (1) dapat
meredam laju inflasi yang berasal dari perubahan harga barang-barang impor,
(2) dapat mengarahkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan mengurangi
masalah ketidakkonsistenan waktu kebijakan moneter, dan (3) bersifat cukup
sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat (Mishkin, 2001)
Namun kebijakan ini juga memiliki kelemahan yaitu (1) penargetan nilai
tukar dalam kondisi perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas
dana luar negeri sangat tinggi akan menghilangkan independensi kebijakan
moneter domestik dari pengaruh luar negeri, dimana setiap gejolak struktural
yang terjadi di negara acuan akan ditransmisikan pada stabilitas perekonomian
domestik, (2) rentan terhadap tindakan spekulasi dalam pemegangan mata uang
domestik, dan (3) memperlemah akuntabilitas pembuatan kebijakan moneter
karena hilangnya sinyal nilai tukar yang menjadi perhatian masyarakat dan
pasar.
2. Penargetan Besaran Moneter
Penargetan
besaran
moneter
dilakukan
dengan
menetapkan
pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai sasaran antara, misalnya uang
beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) serta kredit. Kelebihan
utama dari penargetan besaran moneter adalah kebijakan moneter lebih
independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian tujuan yang
ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan.
Strategi ini sangat bergantung pada kestabilan hubungan antara besaran
moneter dengan sasaran akhir kebijakan.
Stratgi kebijakan ini akan menjadi
kurang optimal jika tidak ada hubungan yang erat antara besaran moneter
29
dengan
sasaran
akhir
diantaranya
tingkat
inflasi.
Dengan
semakin
berkembangnya instrumen keuangan dan semakin terintegrasinya perekonomian
domestik dengan internasional, maka kestabilan hubungan tersebut terganggu
sehingga menjadi alasan strategi ini kurang banyak diadopsi.
3. Penargetan Inflasi
Penargetan inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik
mengenai target inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk
mencapai stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter.
Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, strategi ini tidak mendasarkan pada
satu indikator saja tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci dan relevan
untuk perumusan kebijakan moneter.
Yang diutamakan adalah pencapaian
sasaran akhir inflasi dan bukan pencapaian sasaran antara seperti uang beredar
atau nilai tukar sehingga dengan menargetkan inflasi sebagai acuan nominal,
bank sentral dapat menjadi lebih kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai
kestabilan harga sebagai tujuan akhir.
Kelebihan penargetan inflasi adalah (1) memungkinkan otoritas moneter
untuk lebih fokus pada pertimbangan kondisi dalam negeri, (2) stabilitas
hubungan antara uang dan inflasi tidak menjadi penting dalam keberhasilan
penargetan inflasi, (3) mudah dipahami oleh publik dan lebih transparan, (4)
meningkatkan akuntabilitas otoritas moneter, dan (5) mampu mengurangi
goncangan harga. Namun strategi kebijakan penargetan inflasi ini juga memiliki
kelemahan yaitu: (1) inflasi tidak mudah dikontrol oleh otoritas moneter sehingga
sinyal penargetan inflasi tidak dapat disampaikan dengan cepat kepada publik
dan pasar, (2) strategi ini seringkali membutuhkan aturan yang rumit, dan (3)
fokus tunggal pada inflasi akan mendorong fluktuasi output yang sangat besar.
Walaupun
mengabaikan
penargetan
pencapaian
dilakukan
tujuan
pada
kebijakan
inflasi,
moneter
strategi
lainnya
ini
tidak
seperti
30
perkembangan output dan kesempatan kerja.
Dalam hal ini, bank sentral
senantiasa berupaya untuk memperhitungkan stabilitas perkembangan output
dan kesempatan kerja dalam jangka pendek dalam penetapan sasaran inflasi
jangka menengah yang ingin dicapai. Selain itu, dalam rangka meminimumkan
penurunan perkembangan output, bank sentral melakukan penyesuaian secara
bertahap sasaran inflasi jangka pendek menuju ke arah pencapaian sasaran
inflasi jangka menengah-panjang yang lebih rendah.
2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Mekanisme transmisi kebijakan moneter terkait dengan bagaimana
kebijakan moneter dapat mempengaruhi pendapatan nominal dan kegiatan
sektor riil secara keseluruhan. Mekanisme transmisi kebijakan moneter awalnya
mengacu pada peranan uang dalam perekonomian yang pertama kali dijelaskan
oleh teori kuantitas uang. Teori kuantitas uang menggambarkan kerangka kerja
yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis antara
pertumbuhan jumlah uang beredar dan inflasi yang dinyatakan dalam suatu
identitas the equation of exchange:
MV = PT
dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V)
sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (T) dikalikan dengan
tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar
yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan
jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PT).
Berdasarkan mekanisme transmisi ini, maka dalam jangka pendek
pertumbuhan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output
riil, selanjutnya dalam jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan
mendorong kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan
31
perkembangan output riil menuju posisi semula.
Dalam jangka panjang,
pertumbuhan jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap perkembangan
output riil tetapi mendorong kenaikan laju inflasi secara proporsional.
Dalam perkembangannya, penjelasan transmisi kebijakan moneter
terhadap produksi terbagi atas dua arah pemikiran yaitu (1) pemikiran monetarist
yang cenderung menggunakan model reduced-form yang tidak menggambarkan
secara spesifik jalur pengaruh uang beredar terhadap output melainkan
menganalisis efek uang beredar terhadap output dalam suatu kotak hitam, (2)
pemikiran Keynesian yang mengaplikasikan pendekatan model struktural untuk
memahami jalur transmisi secara lebih baik.
Menurut pemikiran Keynesian, jalur transmisi dikelompokkan atas tiga
jalur utama yaitu (1) jalur suku bunga, (2) jalur harga aset, dan (3) jalur transmisi
dari sisi kredit. (Mishkin, 2001).
2.1.9.1. Jalur Suku Bunga
Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat mempengaruhi kebijakan agregat melalui perubahan
suku bunga. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif
melalui peningkatan uang beredar akan mendorong penurunan suku bunga riil
yang mengindikasikan biaya modal yang lebih murah dan mendorong
peningkatan pengeluaran investasi yang merupakan komponen dari permintaan
agregat sehingga akhirnya meningkatkan total produksi (output riil) dalam suatu
perekonomian.
Investasi dalam bahasan ini tidak hanya keputusan investasi
oleh sektor usaha melainkan juga pengeluaran rumah tangga untuk barangbarang tahan lama seperti pengeluaran perumahan dan automobil.
Perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga
jangka menengah atau jangka panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi
32
permintaan dan penawaran di pasar uang. Dalam hal ini, apabila perubahan
harga bersifat kaku, perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang
dipengaruhi oleh kebijakan moneter akan mendorong perubahan suku bunga riil
jangka pendek dan panjang.
Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan
moneter ekspansif akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek
dan selanjutnya menurunkan suku bunga riil jangka panjang yang selanjutnya
meningkatkan investasi (investasi sektor usaha dan pengeluaran rumah tangga
untuk barang-barang tahan lama). Pentingnya suku bunga riil dalam analisis
jalur suku bunga dapat dijelaskan persamaan berikut ini.
i = ir + πe .............................................................................................(22)
atau sama juga dengan :
ir = i - πe ................................................................................................(23)
sehingga transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat
disederhanakan seperti berikut ini
M Æ Pe Æ πe Æ ir Æ IÆ Y ...........................................(24)
2.1.9.2. Jalur Harga Aset
Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset dibedakan menjadi tiga
jalur pengaruh yaitu (1) pengaruh nilai tukar terhadap ekspor netto, (2) Teory
Tobin, dan (3) efek kekayaan.
Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar
menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan
penawaran dan permintaan agregat dan selanjutnya mempengaruhi output dan
harga. Namun besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap output
tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Misalnya,
dalam sistem nilai tukar mengambang, kebijakan moneter ekspansif oleh bank
sentral akan mendorong depresiasi mata uang domestik karena penurunan suku
33
bunga riil yang
mendorong
terjadinya capital outflow
dan selanjutnya
meningkatkan harga barang impor dan nilai ekspor netto menjadi lebih rendah.
Selain itu, pengaruh pergerakan nilai tukar dapat terjadi secara tidak
langsung melalui perubahan permintaan agregat (indirect pass through).
Sementara itu dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali, pengaruh
kebijakan moneter pada perkembangan output riil dan inflasi menjadi semakin
lemah terutama apabila terdapat subtitusi yang tidak sempurna antara aset
domestik dan aset luar negeri.
Mekanisme
transmisi
menurut
Teori
Tobin
dan
efek
kekayaan
menekankan bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga
asset dan kekayaan masyarakat yang selanjutnya mempengaruhi pengeluaran
investasi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif, maka
terjadi peningkatan suku bunga yang pada gilirannya akan menekan harga aset
perusahaan.
Penurunan harga aset berakibat pada dua hal, yaitu (1)
mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi sehingga
kegiatan investasi menurun, dan (2) menurunkan nilai kekayaan dan pendapatan
sehingga mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara keseluruhan kedua hal
tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat.
2.1.9.3. Jalur Kredit
Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima
jalur, yaitu (1) jalur pinjaman bank (bank lending channel) yang menekankan
pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank khususnya sisi asset.,
(2) jalur neraca perusahaan (balance sheet channel) yang menekankan
pengaruh
kebijakan
moneter
pada
kondisi
keuangan
perusahaan
dan
selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit , (3)
jalur aliran kas (cash flow channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan
34
moneter terhadap aliran kas yang selanjutnya mempengaruhi tindakan adverse
selection dan moral hazard oleh perusahaan dalam mendapatkan kredit, (4) jalur
ekspektasi harga (unanticipated price level channel) yang menekankan pada
pengaruh kebijakan moneter terhadap ekspektasi harga yang selanjutnya
mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit, dan (5) pengaruh
likuiditas rumah tangga (household liquidity effect) yang menekankan pada
pengaruh kebijakan moneter terhadap kekayaan finansial rumah tangga yang
mempengaruhi kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga yang selanjutnya
berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan barang
tahan lama.
Menurut jalur pinjaman bank, sisi liabilitas bank juga menjadi komponen
penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Apabila bank sentral
melakukan kebijakan moneter kontraktif misalnya melalui peningkatan rasio
cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank akan
menurun sehingga dana yang dapat dipinjamkan (loanable fund) juga mengalami
penurunan.
Apabila hal tersebut tidak dapat diatasi dengan melakukan
penambahan dana/pengurangan surat-surat berharga maka kemampuan bank
untuk memberikan pinjaman akan menurun yang pada gilirannya menyebabkan
penurunan investasi dan mendorong penurunan output.
Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan
moneter akan mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Sebagai contoh,
apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga
di pasar uang akan turun dan mendorong kenaikan harga saham. Kondisi ini
meningkatkan nilai bersih perusahaan yang selanjutnya mengurangi tindakan
adverse selection
dan moral hazard oleh perusahaan sehingga mendorong
peningkatan pemberian kredit oleh bank. Tahap selanjutnya akan meningkatkan
investasi dan output.
35
Adverse selection merujuk pada situasi ketika dalam suatu transaksi
ekonomi masing-masing individu memiliki informasi yang berbeda/asimetris
mengenai beberapa aspek terkait dengan kualitas produk. Dengan kondisi ini,
individu yang memiliki informasi lebih banyak memperoleh keuntungan lebih
besar dari negosiasi yang dilakukan. Sementara itu moral hazard, merujuk pada
situasi ketika pelaku ekonomi yang satu tidak mengetahui tindakan yang
dilakukan oleh pelaku ekonomi lainnya sehingga menyebabkan adanya
pengambilan keputusan yang salah yang pada gilirannya memberikan hasil yang
tidak baik.
Menurut jalur aliran kas, kebijakan moneter mempengaruhi kondisi aliran
kas perusahaan melalui suku bunga nominal yang selanjutnya menjadi
gambaran bagi pihak pemberi pinjaman tentang kemampuan membayar kredit
oleh perusahaan/ rumah tangga. Apabila bank sentral melakukan kebijakan
moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga nominal, maka
kondisi aliran kas perusahaan membaik dan begitu juga dengan neraca
keuangannya.
Perbaikan kondisi keuangan (aliran kas) ini meningkatkan
keyakinan pemberi pinjaman terhadap kemampuan membayar pinjaman
sehingga mengurangi tindakan adverse selection
meningkatkan
pemberian
kredit
oleh
bank.
dan moral hazard dan
Tahap
selanjutnya
akan
meningkatkan investasi dan output.
Jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan
untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi terhadap inflasi dan kegiatan
ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap keputusan konsumsi dan
investasi. Sebagai contoh, dalam hal bank sentral menempuh kebijakan moneter
ekspansif maka kenaikan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga
yang tidak terduga yang selanjutnya meningkatkan nilai bersih perusahaan.
Perbaikan nilai bersih riil perusahaan ini akan mengurangi tindakan adverse
36
selection dan moral hazard dan meningkatkan pemberian kredit oleh bank yang
mampu mendorong peningkatan investasi dan output.
Jalur likuiditas rumah tangga menjelaskan bahwa kebijakan moneter
akan mempengaruhi harga saham dimana kebijakan moneter ekspansif yang
mendorong penurunan suku bunga mampu meningkatkan nilai saham.
Peningkatan nilai saham ini berlanjut pada pebaikan kekayaan finansial rumah
tangga yang menurunkan kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga dan
selanjutnya meningkatkan keyakinan rumah tangga untuk meningkatkan
pengeluaran perumahan dan barang-barang tahan lama yang dimasukkan
sebagai pengeluaran investasi sehingga meningkatkan output dari permintaan
agregat. Mekanisme transmisi kebijakan moneter secara lebih rinci disajikan
pada Gambar 3.
2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter
Kerangka operasional kebijakan moneter merupakan langkah-langkah
bank sentral dari penentuan dan prakiraan sasaran antara, pemantauan variabelvariabel ekonomi keuangan yang dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter
hingga pelaksanaan pengendalian moneter di pasar uang untuk mencapai
sasaran akhir. Kerangka operasional kebijakan moneter mencakup instrumen,
sasaran operasional dan sasaran antara yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran akhir yang telah ditetapkan.
Sasaran antara diperlukan karena untuk mecapai sasaran akhir yang
ditetapkan, terdapat tenggang waktu antara pelaksanaan kebijakan moneter dan
hasil pencapaian sasaran akhir dari kebijakan tersebut.
Tenggang waktu
pengaruh kebijakan moneter terjadi karena diperlukan waktu : (1) merumuskan
kebijakan moneter di bank sentral (inside lag), baik dalam mengetahui masalah
KEBIJAKAN MONETER
JALUR SUKU BUNGA
JALUR HARGA ASSET LAIN
JALUR KREDIT
Dampak Suku Bunga
Tradisional
Dampak Nilai
Tukar Terhadap
Ekspor Neto
Teori Thobin q
DAMPAK
KEKAYAAN
JALUR
PINJAMAN
BANK
JALUR NERACA
PERUSAHAAN
JALUR
ALIRAN KAS
JALUR
EKSPEKTASI
HARGA
DAMPAK
LIKUIDITAS
RUMAH TANGGA
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
Suku Bunga Ril
Suku Bunga Ril
Harga Saham
Harga Saham
Simpanan Bank
Harga Saham
Suku Bunga
Nominal
Tingkat Ekspektasi
Harga
Harga Saham
Nilai Tukar
Tobin’s q
Kekayaan
Finansial
Pinjaman Bank
INVESTASI
Pengeluaran Rumah
Tangga
Konsumsi Barang
Tahan Lama
Moral Hazard
Adverse Selection
Moral Hazard
Adverse Selection
Moral Hazard
Adverse Selection
AktifitasPinjaman
Aktifitas Pinjaman
Aktifitas Pinjaman
INVESTASI
INVESTASI
INVESTASI
Peluang Kesulitan
Keuangan
INVESTASI
INVESTASI
EKSPOR NETO
Kekayaan
Finansial
Aliran Kas
KONSUMSI
Pengeluaran
Rumah Tangga
PRODUK DOMESTIK BRUTO
Sumber : Frederic S. Mishkin (2001)
Gambar 3. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Pengeluaran
Rumah Tangga
Konsumsi Barang
Tahan Lama
37
(recognition lag), memutuskan kebijakan (decision lag), dan melaksanakan
kebijakan
moneter (action lag),
dan (2) kebijakan moneter berpengaruh
terhadap kegiatan ekonomi (outside lag).
Oleh karena itu, diperlukan adanya indikator-indikator yang lebih segera
dapat dilihat untuk mengetahui indikasi arah pergerakan ekonomi dan inflasi ke
depan dan respon kebijakan moneter yang diperlukan dan indikator ini yang
disebut sebagai sasaran antara.
Sasaran antara yang dipilih harus memiliki
kestabilan hubungan dengan sasaran akhir diantaranya adalah M1, M2 atau
suku bunga.
Untuk mencapai sasaran antara tersebut, bank sentral memerlukan
sasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai
dengan rencana.
Sasaran operasional yang dipilih harus memiliki kestabilan
hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan bank sentral dan informasi
tersedia lebih awal daripada sasaran antara.
Beberapa pilihan sasaran
operasional yang dapat digunakan antara lain uang primer (M0), cadangan dan
suku bunga jangka pendek.
Sementara itu, instrumen moneter adalah instrumen yang dimiliki oleh
bank sentral yang dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.
Beberapa
pilihan instrumen yang digunakan antara lain operasi pasar terbuka (open market
operation), cadangan wajib minimum (reserve requirement) dan fasilitas diskonto
(discount policy).
Kerangka operasional yang dilakukan bank sentral akan ditentukan oleh
pendekatan yang dianut, yaitu (1) pendekatan kuantitas besaran moneter
(quantity-basec approach) dan (2) pendekatan suku bunga sebagai harga
besaran moneter (price based approach).
Secara lebih rinci, kerangka
operasional kebijakan moneter melalui kedua pendekatan tersebut yang
38
mencerminkan keterkaitan antara instrumen, sasaran operasional, sasaran
antara dan sasaran akhir disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Instrumen
Sasaran
Operasional
- Operasi pasar terbuka - Uang Primer
- Cadangan wajib
- Cadangan
minimum
Bank
- Fasilitas Diskonto
Sasaran
Akhir
Sasaran
Antara
- Besaran
Moneter (M1,
M2, M3)
- Stabilitas harga
- Stabilitas pasar
uang
- Pertumbuhan
ekonomi
- Kesempatan Kerja
Sumber : Mishkin (2001)
Gambar 4. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas Besaran
Moneter
Sasaran
Operasional
Instrumen
- Operasi pasar
terbuka
- Cadangan wajib
minimum
- Fasilitas Diskonto
- Suku bunga
jangka pendek
(suku bunga
bank sentral)
Sasaran
Antara
Sasaran
Akhir
- Suku bunga
jangka
pendek dan
jangka
panjang
- Stabilitas harga
- Stabilitas pasar
uang
- Pertumbuhan
ekonomi
- Kesempatan Kerja
Sumber : Mishkin (2001)
Gambar 5. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Suku Bunga
Penggunaan dua pendekatan ini tidak bisa dilakukan secara bersamaan
karena
penggunaan
besaran
moneter
sebagai
variabel
sasaran
akan
menghilangkan kontrol terhadap suku bunga. Dengan kata lain, pada besaran
moneter tertentu, permintaan uang tetap akan berfluktuasi karena perubahan
39
yang tidak diharapkan pada output dan harga yang akhirnya akan mendorong
perubahan pada suku bunga. Sementara itu, ketika bank sentral menggunakan
suku bunga sebagai variabel target, fluktuasi permintaan uang direspon oleh
bank sentral dengan membeli atau menjual obligasi pada operasi pasar terbuka
sampai jumlah uang beredar dan suku bunga kembali pada tingkat tertentu.
2.2. Tinjauan Pustaka
2.2.1. Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia
Pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter mengalami evolusi
sesuai dengan pasang surut perkembangan ekonomi dan iklim politik di
Indonesia. Perkembangan ekonomi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
kebijakan moneter tidak hanya karena kebijakan moneter diarahkan untuk
mempengaruhi berbagai variabel ekonomi makro khususnya inflasi dan
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga karena perkembangan ekonomi akan
menentukan bagaimana reaksi Bank Indonesia merumuskan dan melaksanakan
kebijakan moneternya. Secara khusus perkembangan sektor keuangan sangat
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan moneter karena mekanisme transmisi
kebijakan moneter pada dasarnya terjadi melalui sektor keuangan sesuai
fungsinya sebagai lembaga intermediasi.
Perkembangan kebijakan moneter di Indonesia cukup beragam yang
dapat dilihat pada tiga periode waktu yang berbeda yaitu tahun 1968-1972,
periode 1973-1982, periode 1983-1997 dan periode setelah krisis yaitu setelah
tahun 1997 (Solikin, 2000).
2.2.1.1. Periode Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (1968-1972)
Pada akhir tahun 1960-an perkembangan ekonomi dan keuangan terus
berkembang.
Awalnya kebijakan pemerintah lebih diprioritaskan untuk
40
pemulihan stabilitas ekonomi yang sempat terancam pada pertengahan tahun
1960-an.
Pengeluaran anggaran diseleksi secara ketat, defisit anggaran
pemerintah dikendalikan dan pembiayaan diupayakan dari pinjaman lunak luar
negeri sehingga tidak mengancam stabilitas ekonomi.
Di sisi moneter,
pencetakan uang untuk pembiayaan defisit anggaran pemerintah dihentikan dan
jumlah uang beredar dikendalikan. Dengan upaya ini stabilitas ekonomi secara
cepat dipulihkan yang terlihat dari menurunnya laju inflasi hingga dibawah 10
persen.
Penataan ekonomi khususnya di sektor moneter dan perbankan lebih
disempurnakan dengan dikeluarkannya UU. No. 13 tahun 1963 tentang Bank
Sentral.
Dalam hal ini tugas Bank Indonesia adalah membantu pemerintah
dalam mengatur, menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah dan mendorong
kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
2.2.1.2. Periode Pertumbuhan Ekonomi melalui Kontribusi Minyak
(1973-1982)
Peningkatan
kegiatan
perekonomian
nasional
dalam
periode
ini
mendapat dukungan dari hasil minyak yang meningkat khususnya pada tahun
1970-an. Kondisi ini memberikan dampak positif dan negatif dimana pada satu
sisi hasil minyak menjadi sumber penerimaan pemerintah dalam membiayai
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di sisi fiskal sehingga
mendorong pertumbuhan kegiatan sektor riil. Namun di sisi lain peningkatan
penerimaan
devisa
hasil
minyak
dan
pengeluaran
pemerintah
telah
menyebabkan ekspansi jumlah uang beredar dari sisi fiskal yang mengharuskan
otoritas moneter untuk melakukan penyerapan ekspansi fiskal tersebut untuk
41
mencegah timbulnya kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang dapat
mendorong peningkatan inflasi.
Oleh karena itu, pada tahun 1974 pemerintah mulai menempuh kebijakan
kredit selektif dari sisi moneter dengan tujuan untuk mengendalikan jumlah uang
beredar. Langkah utama yang ditempuh adalah melakukan pengaturan terhadap
besarnya ekspansi kredit yang boleh disalurkan oleh perbankan atau sering
dikenal dengan pagu ekspansi aktiva neto.
Meskipun peran sektor perbankan menjadi berkurang karena kelangkaan
sumber dana akibat menurunnya penghimpunan dana masyarakat dan adanya
pembatasan dalam pemberian kredit, kegiatan investasi terus berlanjut
khususnya investasi pemerintah.
Dalam rangka memberikan keleluasaan
kepada perbankan terutama dalam pemberian kredit kepada sektor swasta, pada
tahun 1978 Bank Indonesia menurunkan reserve requirement bank dari 30
persen menjadi 15 persen.
2.2.1.3. Periode Deregulasi, Debirokratisasi dan Liberalisasi Ekonomi
(1983-1997)
Pada awal dekade 1980-an harga minyak di pasar dunia mengalami
kemerosotan akibat adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia sehingga
menurunkan penerimaan negara.
Oleh karena itu, pemerintah melakukan
serangkaian kebijakan reformasi di bidang ekonomi untuk mengatasi ancaman
krisis dengan tujuan untuk menumbuhkan, mendorong dan meningkatkan peran
sektor swasta dalam pembangunan ekonomi.
Kebijakan reformasi ini mulai
diterapkan sejak awal dekade 1980-an dalam bentuk kebijakan deregulasi,
debirokratisasi dan liberalisasi baik di sektor perbankan dan keuangan,
perdagangan, investasi dan sebagainya.
42
Pada tanggal 1 Juni 1983 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi
perbankan yang berpengaruh pada pesatnya perkembangan sektor perbankan
dan keuangan saat itu yang dapat dilihat dari jumlah bank yang beroperasi,
besarnya dana masyarakat yang dapat dimobilisasi baik dalam bentuk giro,
tabungan dan deposito, maupun kredit dan jenis pembiayaan lainnya. Di pasar
keuangan juga terjadi perkembangan yang pesat baik dari sisi volume transaksi
keuangan maupun berbagai produk keuangan (saham, obligasi, surat-surat
berharga dan produk-produk derivatif) yang diperdagangkan. Dengan kondisi ini,
semakin banyak dana yang berputar di sektor keuangan dan mempengaruhi
keeratan hubungan antara uang, inflasi dan output.
Kebijakan moneter pun mengalami perubahan dimana kebijakan moneter
sebelumnya dilakukan secara langsung dengan selection credit policy beralih ke
cara tidak langsung dan berorientasi pasar dengan melakukan operasi pasar
terbuka. Pengendalian moneter diarahkan pada jumlah uang beredar (M1 dan
M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional.
Sementara itu, operasi di pasar uang dilakukan melalui lelang SBI yang mulai
diterbitkan pada tahun 1984 sebagai instrumen utama kebijakan moneter.
Pengendalian likuiditas juga dibantu dengan intervensi di pasar uang rupiah
dengan cara memberi pinjaman jangka pendek atau overnight hingga tujuh hari
(Warjiyo, 2000).
Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan paket
kebijakan 27 Oktober 1988 yang secara umum merupakan penyempurnaan
kebijakan bidang keuangan, moneter dan perbankan. Dalam upaya peningkatan
efektivitas pengendalian moneter, langkah yang ditempuh diantaranya adalah
penurunan reserve requirement dari 15 persen menjadi 2 persen. Di bidang
perbankan, dilakukan penciptaan iklim persaingan yang lebih kondusif melalui
pelonggaran izin pendirian bank-bank baru dan bank campuran.
43
Sejalan dengan pesatnya perkembangan perbankan dan pasar keuangan
di Indonesia, timbul permasalahan baru dalam pelaksanaan kebijakan moneter
khususnya berkaitan dengan upaya pengendalian jumlah uang beredar (M1 dan
M2). Operasi dan produk perbankan baik dalam mobilisasi dana maupun dalam
pembiayaan dunia usaha tidak hanya terbatas pada rekening giro, tabungan,
deposito ataupun kredit tetapi juga telah bervariasi dalam berbagai bentuk
instrumen pasar seperti negotiable certificate of deposits, commercial papers,
promissory notes dan di sisi lain perkembangan pasar modal juga cukup pesat
baik dalam bentuk volume transaksi maupun jenis surat-surat berharga yang
diperdagangkan. Akibatnya terjadi kecenderungan adanya pelepasan keterkaitan
antara sektor keuangan dan sektor riil yang menyebabkan semakin renggangnya
hubungan antara uang beredar dengan inflasi dan output riil khususnya dalam
jangka pendek.
Sebagai dampak dari liberalisasi sektor keuangan, aliran dana yang
masuk ke perekonomian Indonesia khususnya pinjaman luar negeri swasta
menjadi sangat besar. Pada satu sisi, besarnya aliran dana luar negeri tersebut
mampu menutup kesenjangan tabungan dan investasi sehingga dapat
mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
Namun di sisi lain aliran dana luar negeri yang pada umumnya berupa pinjaman
luar negeri swasta berjangka pendek, tidak memperhitungkan risiko perubahan
nilai tukar dan banyak dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek swasta
yang berjangka panjang dan tidak menghasilkan devisa.
Dari sisi moneter,
mobilitas aliran dana luar negeri tersebut juga mempersulit pelaksanaan
kebijakan moneter oleh Bank Indonesia.
Untuk menghindari dampak negatif dari ekspansi uang beredar yang
berasal dari aliran dana luar negeri tersebut terhadap peningkatan inflasi dan
kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan penyerapan kelebihan
44
likuiditas dalam perekonomian sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam
negeri. Namun kenaikan suku bunga ini semakin mendorong masuknya aliran
dana luar negeri khususnya dalam bentuk surat-surat berharga yang berjangka
pendek dan akibatnya jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam berbagai
bentuk semakin besar jumlahnya dan hal ini menjadi penyebab utama krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia.
2.2.1.4. Periode Setelah Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 pada dasarnya dipicu oleh
adanya kelangkaan dana perbankan sebagai akibat penarikan dana oleh
masyarakat yang sangat besar dan melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS
yang pada akhirnya semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
rupiah yang membuat nilai tukar rupiah terus menurun. Dengan pertimbangan
pengalaman tersebut, maka perlu diwujudkan sistem perekonomian yang lebih
tangguh.
Kebijakan moneter yang merupakan salah satu bagian penting dari
kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus lebih diarahkan pada upaya
menciptakan dan menjaga stabilitas moneter.
Oleh karena itu pemerintah
mengeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti
UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral (Bank Indonesia, 2000). Dalam
landasan hukum yang baru ini Bank Indonesia mempunyai tujuan yang lebih
terfokus yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda
dengan UU No. 13/1968 yang menyatakan bahwa tugas Bank Indonesia adalah
membantu pemerintah dalam mencapai multiple objectives (beberapa tujuan)
yaitu menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah, mendorong kelancaran
produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna
meningkatkan taraf hidup rakyat.
45
Kestabilan nilai rupiah secara teoritis mempunyai makna ganda yaitu
stabilitas harga barang dan jasa (inflasi) di dalam negeri dan stabilitas harga
mata uang domestik (nilai tukar).
Warjiyo (2000) menyatakan bahwa dalam
jangka panjang, pencapaian stabilitas harga akan mendorong stabilitas nilai tukar
dan
kestabilan
nilai
rupiah
ini
merupakan
prasyarat
bagi
tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Untuk mencapai tujuan diatas, Bank Indonesia melaksanakan tiga tugas
pokok, yaitu (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, (2) mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan (3) mengatur dan mengawasi
sistem perbankan. Pada dasarnya pelaksanaan ketiga tugas pokok ini
mempunyai keterkaitan erat dalam upaya pencapaian kestabilan nilai rupiah
tersebut.
Selanjutnya sesuai amandemen UU No.3 tahun 2004 ditegaskan bahwa
sasaran laju inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh
pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Perubahan ini
bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara kebijakan moneter Bank
Indonesia dengan kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah dalam mencapai
sasaran ekonomi makro. Disamping itu, perubahan tersebut dimaksudkan untuk
memperkuar komitmen dan dukungan pemerintah dalam pencapaian sasaran
inflasi oleh Bank Indonesia.
2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia
Pemberlakuan Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia membawa perubahan mendasar pada perumusan dan pelaksanaan
kebijakan moneter di Indonesia.
Undang-undang ini memberikan landasan
hukum yang jelas menyangkut kewenangan dan independensi Bank Indonesia
dalam melaksanakan tugas di bidang moneter yaitu mencapai dan memelihara
46
kestabilan nilai rupiah. Undang-undang tersebut secara implisit mengamanatkan
kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia berdasarkan pada kerangka
kerja yang dikenal dengan sebutan Inflation Targeting.
Prinsip dasar yang melandasi kerangka kerja Inflation Targeting tersebut
adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter diutamakan untuk mencapai dan
memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Hal ini didasarkan pada dua
pertimbangan pokok, yaitu (1) laju inflasi yang tinggi menimbulkan biaya sosial
yang harus ditanggung oleh masyarakat karena menurunnya daya beli atas
pendapatan yang diperolehnya maupun meningkatnya ketidakpastian yang dapat
mempersulit perencanaan usaha dan memperburuk kegiatan ekonomi, dan (2)
perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di berbagai
negara menunjukkan bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengahpanjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan pada pertumbuhan ekonomi
meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai bagaimana pengaruh kebijakan
moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Pokok-pokok konsep dasar penerapan inflation targeting di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Sasaran Inflasi
Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan
sasaran inflasi yang akan dicapai melalui kebijakan moneternya. Sasaran inflasi
ditetapkan untuk jangka menengah-panjang (3-5 tahun ke depan), yang untuk
saat ini adalah 6 persen pada tahun 2006. Jenis inflasi yang digunakan adalah
Indeks Harga Konsumen (IHK), terutama untuk memudahkan komunikasi dengan
Pemerintah dan masyarakat.
Akan tetapi, untuk dasar perumusan kebijakan
moneter secara internal, Bank Indonesia mengembangkan jenis inflasi yang
dapat dikendalikan oleh kebijakan moneter dan dikenal dengan sebutan inflasi
inti.
Terkait dengan penetapan inflasi, amandemen UU No. 3 tahun 2004
47
terhadap UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi yang semula ditetapkan sendiri
oleh Bank Indonesia ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan
Bank Indonesia.
2. Kebijakan moneter mengarah ke depan
Kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan.
Pentingnya kebijakan
moneter yang berorientasi masa depan dilatarbelakangi fakta empiris bahwa
terdapat tenggang waktu yang relatif lama dari pengaruh kebijakan moneter
terhadap perkembangan berbagai variabel ekonomi-keuangan dan sasaran akhir
inflasi.
Orientasi kebijakan moneter yang demikian mengharuskan bank sentral
untuk dapat ; (1) memprakirakan pergerakan inflasi ke depan untuk dibandingkan
dengan sasaran yang ditetapkan, (2) mengetahui seberapa lama tenggang waktu
dari pengaruh kebijakan moneter saat ini dengan infllasi di masa yang akan
datang, dan (3) mengetahui dengan baik bagaimana mekanisme transmisi
kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi dan perekonomian. Untuk itu,
Bank Indonesia telah mengembangkan model-model proyeksi ekonomi, nilai
tukar dan inflasi serta berbagai penelitian yang diperlukan untuk memperkuat
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara foorward looking.
3. Transparansi
Penjelasan secara periodik mengenai pelaksanaan kebijakan moneter
dilakukan oleh Bank Indonesia baik pada setiap awal tahun, triwulan, bulanan
maupun mingguan.
Dalam penjelasan setiap awal tahun dan triwulanan
dikemukakan mengenai perkembangan pencapaian inflasi dan pelaksanaan
kebijakan moneter yang telah dilakukan serta proyeksi ekonomi dan inflasi ke
depan dan arah kebijakan moneter yang akan ditempuh sebagaimana dibahas
dan diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur.
48
4. Akuntabilitas
Sesuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
diubah dengan UU No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk
menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulanan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang termasuk kebijakan moneter kepada DPR.
Laporan
tersebut dievaluasi DPR dalam rangka penilaian secara tahunan atas kinerja
dewan gubernur dan Bank Indonesia.
Perubahan dalam undang-undang
tersebut dimaksudkan untuk memperkuat mekanisme akuntabilitas pelaksanaan
tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan kebijakan
moneter.
Selanjutnya, berdasarkan sasaran inflasi yang ditetapkan serta proyeksi
pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, suku bunga dan variabel ekonomi makro
lainnya, maka Bank Indonesia dapat memperkirakan permintaan uang yang
sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian dan memperhitungkan pertumbuhan
jumlah uang beredar (M1 dan M2) yang dibutuhkan masyarakat.
Dengan
mengendalikan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional yang dapat
ditentukan baik secara tahunan, kuartalan, bulanan maupun mingguan, maka
jumlah uang beredar di masyarakat dapat dipengaruhi.
Berdasarkan sasaran uang primer yang ditetapkan, Bank Indonesia
melakukan
Operasi
Pasar
Terbuka
(OPT)
sebagai
instrumen
utama
pengendalian moneter melalui tiga cara yaitu (1) lelang SBI, (2) Fasilitas Bank
Indonesia, dan (3) sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing. Sebagai contoh,
jika Bank Indonesia ingin mengurangi jumlah uang beredar (kebijakan uang
ketat) maka Bank Indonesia mendorong masyarakat untuk membeli SBI dengan
cara menaikkan suku bunga SBI.
Sebaliknya jika pemerintah ingin ekspansi
uang beredar maka Bank Indonesia menarik SBI yang berada di tangan
49
masyarakat dengan cara membelinya. Agar semakin banyak SBI yang dijual,
maka Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga SBI.
Instrumen utama kebijakan moneter lain yang dilakukan Bank Indonesia
adalah melalui fasilitas diskonto yaitu fasilitas pinjaman yang diberikan Bank
Indonesia kepada bank umum.
Ekspansi jumlah uang beredar diupayakan
melalui peningkatan daya ekspansi kredit bank umum melalui penurunan tingkat
bunga pinjaman fasilitas diskonto, dan sebaliknya.
Giro wajib minimum mempengaruhi daya ekspansi kredit.
Jika Bank
Indonesia menurunkan giro wajib minimum maka daya ekspansi kredit bank
umum akan meningkat sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya
jika giro wajib minimum ditingkatkan maka daya ekspansi kredit bank umum
menurun dan jumlah uang beredar berkurang.
Sementara itu, imbauan
digunakan oleh Bank Indonesia dengan tujuan agar semua bank mengikuti
langkah kebijakan moneter yang diinginkan Bank Indonesia.
Meskipun berbagai langkah persiapan dan penguatan kebijakan moneter
telah dilakukan Bank Indonesia, penerapan kerangka inflation targeting di
Indonesia tidaklah mudah karena terkait dengan kondisi perekonomian dan
sistem perbankan yang sedang mengalami perubahan struktural. Permasalahan
fungsi intermediasi perbankan yang belum berjalan optimal mempengaruhi
efektivitas mekanisme transmisi dan kebijakan moneter yang ditempuh Bank
Indonesia. Dengan kondisi demikian, langkah-langkah kebijakan moneter Bank
Indonesia misalnya perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tidak
selalu dapat secara efektif mempengaruhi perkembangan suku bunga perbankan
maupun berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan secara keseluruhan yang
diperlukan dalam mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
50
2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu
Alkadri (1999) menganalisis tentang sumber-sumber pertumbuhan
Indonesia selama 1969-1996 dengan menggunakan metode regresi kuadran
terkecil (OLS). Model yang diaplikasikan dalam analisis adalah perluasan model
pertumbuhan Harrod-Domar dan Rana Dowling dengan memasukkan 11 variabel
penjelas pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari hasil penaksiran model
diperoleh hasil bahwa utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta,
investasi domestik, eskpor barang, tabungan pemerintah, tabungan swasta,
pajak dan angkatan kerja memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Sementara itu variabel investasi asing, impor barang dan pengeluaran
pemerintah memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dilihat dari angka signifikansi maka meskipun utang luar negeri
pemerintah dan utang luar negeri swasta memberikan dampak positif namun
tidak dapat diandalkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi selama 19691996. Begitu juga dengan investasi asing dan pengeluaran pemerintah.
Dalam kenyataannya kondisi ini dipicu oleh ketidaktepatan penggunaan
dana, dimana pemerintah mengalokasikan utang untuk membangun infrastruktur
fisik dan non fisik sedangkan swasta mengucurkan utang yang diperoleh untuk
membangun sektor properti dan sektor lain yang kurang produktif dalam jangka
pendek.
Padahal sebagian besar utang luar negeri berjangka waktu
pengembalian yang relatif pendek (3-5 tahun) dengan bunga relatif tinggi (5-8
persen).
Sebaliknya ekspor barang (migas dan non migas) menjadi kunci utama
sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996. Hal ini dibuktikan
oleh hasil olahan data dimana variabel ekpor berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sumber pokok pertumbuhan ekonomi
51
lainnya adalah tabungan pemerintah, tabungan swasta, investasi domestik dan
pajak.
Disamping itu angkatan kerja ternyata menjadi salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996 meskipun secara statistik
kurang berarti. Artinya apabila potensi sumberdaya dapat dikembangkan secara
optimal maka besar kemungkinan variabel ini menjadi sumber utama
pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja perekonomian Indonesia.
Terkait dengan itu Yudanto (1999) menganalisis Dampak Krisis Moneter
terhadap Sektor Riil. Hal ini dilatarbelakangi kondisi penurunan pertumbuhan
produksi riil sektor-sektor perekonomian sejak krisis melanda Indonesia. Sektorsektor yang selama ini memiliki pangsa cukup besar terhadap PDB seperti sektor
industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan keuangan
telah mengalami kontraksi secara signifikan.
Hipotesis yang digunakan adalah daya tahan setiap sektor dari tekanan
nilai tukar dan tingginya suku bunga sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan
tingkat produksi sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga,
dimana kedua faktor tersebut merupakan unsur biaya dalam proses produksi .
Untuk membuktikan hipotesis tersebut dilakukan uji korelasi yang melihat
seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi nilai tukar dan suku bunga dengan
pertumbuhan produksi. Sedangkan untuk menguji tingkat kepekaannya dihitung
dari koefisien elastisitas faktor-faktor tersebut.
Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup erat
dengan faktor depresiasi nilai kurs adalah sektor bangunan, industri, transportasi
dan sektor bangunan.
Sedangkan dari tingkat elastisitasnya ternyata sektor
industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Dua
penyebab utamanya adalah saratnya kandungan input yang diimpor dan
52
besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri. Dari sisi fluktuasi suku bunga
diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi dan perdagangan
merupakan sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga.
Dilihat dari elastisitasnya maka sektor bangunan dan keuangan merupakan
sektor yang paling elastis terhadap perubahan suku bunga.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jenis usaha sektor riil yang
memiliki basis sumberdaya yang kuat, berorientasi ekspor, sumber pembiayaan
non rupiah yang rendah serta mempunyai korelasi maupun elastisitas yang
rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu
bertahan dalam krisis bahkan masih mampu memberikan pertumbuhan secara
positif selama krisis.
Sejalan dengan perubahan tatanan perekonomian dunia yang semakin
menglobal, maka pembangunan ekonomi Indonesia harus dibenahi sehingga
selaras dengan liberalisasi dan dapat memberikan manfaat positif terhadap
perekonomian. Hal ini dianalisis oleh Gonarsyah (2002) dengan judul Dampak
Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan
Antisipasinya menghadapi Era Abad Asia Pasifik.
Dengan menggunakan
kerangka model makroekonomi Keynes-Klein atau yang dikenal model mikromakroekonomi memberikan hasil bahwa secara keseluruhan, krisis ekonomi
yang
terjadi
menyebabkan
terpuruknya
perekonomian
nasional
seperti
ditunjukkan dari memburuknya pertumbuhan beberapa indikator makroekonomi
yaitu penurunan pendapatan nasional, neraca pembayaran Indonesia, nilai tukar,
konsumsi agregat, distribusi pendapatan dan peningkatan inflasi. Namun satu
hal yang menarik adalah saat hampir semua sektor mengalami penurunan,
sektor pertanian justru menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi.
Implikasi kebijakan yang dapat ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi
di dalam atmosfir liberalisasi perdagangan adalah memprioritaskan investasi
53
pada sektor pertanian dan perdagangan yang disertai dengan kebijakan
penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan tetap mempertahankan
restriksi perdagangan pada komoditi strategis seperti beras dan gula. Kebijakan
ini diperkirakan mampu menumbuhkan PDB, mampu mengurangi defisit neraca
perdagangan dan jasa, meningkatkan neraca pembayaran dan menstabilkan nilai
tukar serta mampu memperbaiki pemerataan pendapatan.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melakukan perubahan yang
cukup signifikan dengan mengeluarkan UU No. 23/1999 yang menyatakan
bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Undang-undang ini melandasi upaya penyempurnaan kebijakan moneter
di Indonesia dalam kerangka kerja pentargetan inflasi (inflation targeting).
Nuryati (2204) dalam tesisnya tentang ”Pelaksanaan Kebijakan
Moneter
Pentargetan Inflasi di Indonesia” menunjukkan bahwa pelaksanaan UU No.
23/1999 belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Tugas, fungsi dan
wewenang Bank Indonesia belum terkoordinasi dalam sebuah struktur organisasi
yang efektif sehingga peran Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan
moneter masih terbatas yang menyebabkan tujuan kebijakan sulit tercapai.
Ketidakefektifan dapat terlihat pada belum tercapainya prinsip independensi,
transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam penyelenggaraan kebijakan.
Dengan menggunakan metode analisis Impulse Response Function (IRF)
dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) melalui Vector Error
Correction Model (VECM), diperoleh hasil bahwa kebijakan moneter selama
krisis hanya berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan
harga dalam jangka panjang tetapi rendah.
Guncangan suku bunga
mempengaruhi nilai tukar relatif kecil dan variabilitas nilai tukar lebih ditentukan
oleh nilai tukar itu sendiri yang sesuai dengan sistem nilai tukar di Indonesia
mengambang bebas.
Variabilitas suku bunga dipengaruhi oleh adanya
54
guncangan permintaan uang dan agregat suplai. Sedangkan variabilitas harga
dipengaruhi oleh permintaan uang.
Kebijakan moneter mempengaruhi harga
memerlukan lag selama 6 bulan.
Implikasi umum hasil penelitian ini adalah perlu penyempurnaan kembali
kebijakan moneter inflation targeting melalui arah kebijakan yang lebih
transparan sehingga dampak nyata terhadap perekonomian lebih terasa.
Kebijakan moneter dengan pengendalian harga tetap dipertahankan apabila di
masa mendatang Bank Indonesia mempunyai instrumen yang sepenuhnya
dibawah kendali Bank Indonesia.
Namun kebijakan moneter dengan
mengendalikan jumlah uang beredar justru lebih tepat digunakan selama proses
pemulihan ekonomi.
Perubahan penting yang juga dilakukan Indonesia pasca krisis adalah
peralihan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating system)
menjadi sistem mengambang penuh atau bebas (freely floating system). Sistem
nilai tukar baru ini diterapkan pada tanggal 14 Agustus 1997 sehingga
menyebabkan posisi nilai tukar rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar.
Sistem nilai tukar mengambang penuh atau bebas ini mengasumsikan
bahwa intervensi pemerintah tidak ada dalam pasar valuta asing. Artinya dalam
sistem nilai tukar bebas ini tidak ada kewajiban Bank Indonesia untuk melakukan
intervensi secara sistematis sehingga nilai tukar rupiah bebas bergerak dalam
merespon kekuatan pasar.
Penelitian yang dilakukan oleh Suhendra (2001) bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah pasca
penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas yaitu faktor fundamental
makroekonomi, faktor resiko dan faktor ekspektasi nilai tukar di masa depan.
Dengan menggunakan dua model yaitu model persamaan kointegrasi dan model
dinamis (ECM) diperoleh hasil bahwa perbedaan tingkat suku bunga, tingkat
55
harga relatif, cadangan devisa, investasi langsung dan tidak langsung luar
negeri, pertumbuhan utang luar negeri, pembayaran utang swasta, ekspor,
indeks resiko dan ekspektasi nilai tukar akan datang mempunyai korelasi
terhadap nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang. Artinya seluruh
faktor fundamental diatas berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap
dollar. Sedangkan PDB riil, penawaran uang, dan impor mempunyai korelasi
terhadap nilai tukar hanya dalam jangka panjang.
Hasil temuan empiris dalam studi ini memunculkan beberapa implikasi
pokok kebijakan pengelolaan ekonomi makro jangka pendek dan jangka panjang
diantaranya : (1) melakukan upaya menciptakan stabilitas sosial-politik dan
penciptaan rasa aman dalam berinvestasi, (2) menjaga kestabilan tingkat harga
yang merupakan cerminan dari inflasi, (3) melakukan upaya peningkatan ekspor
baik migas maupun non migas, (4) melakukan penjadwalan pembayaran utang
resmi pemerintah dan penudaan pembayaran utang luar negeri swasta, dan (5)
melakukan upaya pengurangan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang
dapat menganggu stabilitas nilai tukar pada saat pembayaran utang.
Deregulasi moneter di Indonesia dan kaitannya dengan tingkat suku
bunga menjadi topik analisis Wiranta (1995). Analisis ini dilatarbelakangi kondisi
riil bahwa dalam setiap kegiatan ekonomi, tingkat suku bunga menjadi perhatian
kreditur dan debitur dimana kedua belah pihak menginginkan tingkat suku bunga
yang wajar. Disamping itu tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator
antara bagi otoritas moneter dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter.
Oleh karena itu secara lebih rinci Wiranta ingin mengetahui lebih jauh tentang
kebijakan moneter yang pernah dilakukan pemerintah dan kaitannya dengan
tingkat suku bunga.
Dari hasil kajian diketahui bahwa tingkat suku bunga di Indonesia pada
masa mendatang masih tetap tinggi yang disebabkan antara lain oleh laju inflasi
56
yang masih tinggi, overhead cost yang tinggi, faktor internal dan eksternal serta
ketatnya persaingan antar bank. Disamping itu kebijakan moneter tahun 1983
merupakan awal deregulasi yang sangat penting karena bank-bank pemerintah
diberikan keleluasaan menentukan suku bunga tanpa intervensi pemerintah.
Diperkenalkannya SBI dan SBPU sebagai instrumen kontrol pengembangan
moneter memberikan hasil cukup positif dimana jumlah bank meningkat tajam,
begitu pula jumlah penyimpan dana, volume kredit dan tabungan. Selanjutnya
manajemen perbankan dikelola secara profesional dan efisien sehingga dapat
melakukan ekspansi usaha.
Berhubung tingkat suku bunga yang tinggi kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan ekonomi, maka beberapa kebijakan yang perlu dilakukan
diantaranya (1) kontrol moneter secara agregat guna menjaga stabilitas seperti
pengendalian laju inflasi, jumlah uang beredar, dan tabungan masyarakat, (2) BI
sebagai otoritas moneter berkewajiban menyehatkan persaingan pasar dan
melakukan intervensi jika bank menyimpang dari aturan yang ditetapkan, (3)
pinjaman luar negeri harus diatur secara lebih ketat, (4) merangsang pemasukan
kembali tabungan nasional yang ditahan dalam bentuk valuta asing, dan
(5) pemberlakukan perbedaan tingkat suku bunga kepada pelaku ekonomi.
Hamdani (2003) dalam topik Pengaruh Aliran Modal Swasta Jangka
Pendek terhadap Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Laju Inflasi di Indonesia
membangun 3 model ekonometrik yaitu (1) model perilaku aliran modal swasta,
(2) model perilaku nilai tukar, dan (3) model perilaku inflasi.
Menggunakan
metode persamaan simultan yang dianalisis dengan two stage least square
memberikan hasil bahwa laju inflasi dan nilai tukar mempunyai hubungan yang
timbal balik (2 arah).
Laju inflasi berpengaruh positif terhadap perubahan nilai tukar rupiah/US$
dengan nilai koefisien 1.01.
Hal ini sejalan dengan teori ”purchasing power
57
parity” yang menyebutkan bahwa laju inflasi doemstik yang lebih besar dari laju
inflasi luar negeri akan melemahkan nilai tukar mata uang domestik. Sedangkan
pengaruh nilai tukar terhadap inflasi juga positif dengan nilai koefisien lebih kecil
yaitu 0.72 yang berarti jika nilai tukar rupiah terdepreasiasi sebesar 1 persen
maka laju inflasi akan meningkat sebesar 0.72 persen. Pengaruh perubahan
nilai tukar terhadap laju inflasi yang positif merupakan pass-trough effect dari
barang-barang dan bahan baku impor yang harganya meningkat sehingga
mengakibatkan meningkatnya biaya produksi.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap laju inflasi adalah pertumbuhan
produk domestik bruto riil dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Pengaruh
pertumbuhan PDB riil menunjukkan arah positif dengan nilai koefisien sebesar
0.46 persen. Angka ini mengisyaratkan bahwa kenaikan tingkat output riil tidak
bisa meredam laju inflasi karena perilaku masyarakat yang tidak optimis
mengharapkan laju inflasi di masa yang akan datang menurun sehingga
walaupun terjadi kenaikan output riil, laju inflasi tetap meningkat.
Untuk mengatasi laju inflasi dari sisi permintaan tersebut, maka melalui
kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI.
Hasil analisis
membuktikan hal tersebut dimana suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap
laju inflasi dengan nilai koefisien sebesar -0.005.
Artinya sertifikat Bank
Indonesia merupakan instrumen yang cukup efektif mengendalikan inflasi
terutama demand inflation. Dasar pemikran dan mekanismenya adalah ketika
terjadi kelebihan permintaan yang diakibatkan peningkatan produk domestik
bruto riil yang berarti masyarakat memiliki pendapatan yang lebih tinggi, maka
dilakukan kebijakan meningkatkan suku bunga SBI yang berarti return yang bisa
didapatkan masyarakat juga meningkat (cateris paribus) sehingga masyarakat
tertarik menggunakan uang untuk membeli SBI yang selanjutnya mengurangi
perilaku konsumtif masyarakat dan akhirnya meredam laju inflasi.
58
Studi yang dilakukan oleh Julaihah (2004) tentang Analisis Dampak
Kebijakan
Moneter
terhadap
Variabel
Makroekonomi
di
Indonesia
mengaplikasikan Vector Error Correction Model dalam analisisnya. Berdasarkan
hasil impulse response yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
merespon adanya kejutan satu standar deviasi dari uang primer. Sedangkan
pengaruh kejutan uang primer terhadap inflasi yang terlihat cukup signifikan,
ternyata menghasilkan prize puzzle. Prize puzzle merupakan kondisi dimana
ekspansi moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter ternyata direspon
dengan penurunan inflasi.
Penggunaan suku bunga SBI sebagai variabel kebijakan ternyata
memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer. Pada saat
suku bunga SBI dimasukkan dalam model, maka liquidity puzzle dan prize puzzle
dapat dihindari. Sehingga interpretasi ekonomi dari hasil impulse response lebih
mudah dan sesuai dengan teori. Penggunaan agregat moneter untuk kasus di
Indonesia ternyata hanya berdampak pada inflasi dan tidak memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan variance decomposition, maka terlihat bahwa uang primer
tidak mampu memberikan kontribusi terhadap variasi pertumbuhan ekonomi,
uang primer hanya berkontribusi terhadap variabilitas inflasi. Sedangkan SBI
memiliki kemampuan untuk menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi dan
SBI terlihat lebih mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan
ketika
horizon waktu semakin panjang. Hal yang menarik dari variance decomposition
adalah bahwa nilai tukar ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel kebijakan,
yaitu baik ketika menggunakan variabel kebijakan uang primer maupun ketika
menggunakan SBI.
Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya kejutan kebijakan
moneter ternyata direspon secara cepat oleh nilai tukar dibandingkan dengan
variabel-variabel ekonomi makro yang lain.
59
Khusus terkait dengan nilai tukar, Ekananda Mahyus (2004) melakukan
studi tentang Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi
Manufaktur di Indonesia. Dengan menggunakan Non Linear Seemingly Unrelated
Regression di peroleh hasil bahwa komoditi manufaktur dengan kandungan impor
tinggi akan terkena dampak yang berbeda, dibandingkan dengan komoditi
manufaktur dengan kandungan impor rendah. Artinya , terdapat perbedaan
dampak volatilitas nilai tukar dan nilai tukar pada nominal ekspor komoditi
manufaktur dengan kandungan impor yang berbeda.
Fluktuasi nilai tukar dan volatilitas nilai tukar rupiah memiliki elastisitas
yang berbeda pada setiap nilai ekspor komoditi. Pengaruh ini dapat saja
signifikan atau bahkan tidak signifikan sama sekali. Setiap komoditi yang
diekspor ke berbagai negara memerlukan waktu penyesuaian yang berbeda.
Adanya impor sebagai bahan baku untuk memproduksi komoditi ekspor akan
mempengaruhi performa ekspor sebagai akibat pengaruh dari nilai tukar dan
volatilitas nilai tukar.
Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur
pada masa nilai tukar mengambang terkendali, secara proporsional, tidak
berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan
impor rendah. Pada periode ini, kebijakan pemerintah melakukan devaluasi dan
depresiasi nilai tukar, cukup efektif meningkatkan ekspor komoditi manufaktur.
Sementara itu
pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor
komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang bebas, secara
proporsional, berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan
kandungan impor rendah. Pada periode ini, pemerintah melepas rentang
intervensi sama sekali, sehingga nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar.
60
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan waktu
penyesuaian antara komoditi dengan impor tinggi dan komoditi dengan impor
rendah. Dalam hal waktu penyesuaian pengaruh dari volatilitas nilai tukar, pada
masa nilai tukar mengambang terkendali, ekspor dengan kandungan impor tinggi
memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan
impor rendah.
Pada masa nilai tukar mengambang bebas, ekspor dengan kandungan
impor tinggi memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan
kandungan impor rendah (6.97 bulan). Waktu penyesuaian yang berbeda
disebabkan karena adannya perbedaan jumlah kandungan impor.
2.3. Kerangka Konseptual
Pencapaian target dalam sektor riil yaitu mendorong pertumbuhan
produksi dan kesempatan kerja merupakan salah satu sasaran akhir kebijakan
moneter.
Jalur transmisi kebijakan moneter ke sektor rill yang selama ini
diadopsi berdasarkan pada paradigma jumlah uang beredar. Otoritas moneter
mengandalkan efektivitas operasi pasar terbuka dalam mengatur jumlah reserve
money (uang primer) sebagai sasaran operasional yang ditujukan untuk
mempengaruhi jumlah M1,M2 dan M3 sebagai sasaran. Selanjutnya dengan
mengasumsikan stabilitas money multiplier dan money velocity, maka target
akhir dapat dicapai.
Namun dengan adanya kemajuan industri keuangan serta makin
terintegrasinya pasar keuangan dunia membuat paradigma lama tersebut
menjadi kurang tepat dan sebagai alternatif otoritas moneter menggunakan
indikator suku bunga sebagai target operasional disamping jumlah uang beredar.
Penggunaan indikator suku bunga ini lebih unggul dari segi kecepatan informasi
yang diterima serta besarnya (magnitude pass through).
61
Selanjutnya, kebijakan moneter tersebut ditransmisikan melalui jalur-jalur
transmisi sehingga mampu mempengaruhi kinerja sektor riil dan jalur yang relatif
kuat kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja sektor riil adalah jalur suku
bunga, jalur harga aset melalui nilai tukar dan jalur kredit khususnya dari sisi jalur
pinjaman bank. Pada jalur suku bunga, otoritas moneter dapat mempengaruhi
sisi investasi. Kebijakan moneter kontraktif akan mendorong peningkatan suku
bunga yang mempengaruhi biaya modal dan mendorong penurunan investasi.
Sedangkan transmisi melalui jalur nilai tukar ini relatif efektif jika sistem nilai tukar
yang dianut adalah nilai tukar mengambang. Hal ini telah diterapkan di Indonesia
dimana saat ini otoritas moneter membiarkan pergerakan nilai tukar berdasarkan
permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. Disamping itu, antara jalur
suku bunga dan nilai tukar terdapat keterkaitan yang cukup erat terutama dalam
kondisi perekonomian terbuka dimana kenaikan suku bunga domestik akan
mendorong perbedaan suku bunga domestik dengan suku bunga luar negeri
yang cenderung stabil, dan daya tarik margin yang tinggi akan mendongkrak
capital inflow yang mempu memberikan tekanan apresiatif pada mata uang
domestik.
Perubahan nilai tukar ini dengan sendirinya akan mempengaruhi
kinerja perdagangan.
Kemajuan sektor keuangan juga menjadi perhatian dalam penelitian ini
karena pada dasarnya transmisi moneter dijalankan oleh sektor keuangan
menuju ke sektor riil. Otoritas moneter melalui instrumen penetapan giro wajib
minimum (GWM) di bank sentral dapat mempengaruhi kondisi keuangan bank.
Apabila Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter kontraktif melalui
peningkatan giro wajib minimum (GWM), maka cadangan yang ada di bank akan
mengalami penurunan sehingga loanable fund mengalami penurunan. Apabila
hal tersebut tidak diatasi dengan melakukan penambahan dana/pengurangan
surat-surat berharga maka kemampuan bank memberikan pinjaman akan
62
menurun dalam arti penawaran/alokasi kredit oleh perbankan juga akan
menurun. Terkait dengan peran intermediasi yang dijalankan sektor keuangan
dan melihat kondisi perekonomian di Indonesia dimana sebagian besar sektor riil
masih tergantung pada kredit maka penurunan jumlah penawaran kredit oleh
sektor
perbankan
akan
menurunkan
investasi
yang
terkendalanya peningkatan produksi atau skala usaha.
berdampak
pada
Secara lebih rinci,
kerangka konseptual penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
Kebijakan Moneter (Ekspansif/Kontraktif)
Instrumen : OPT, GWM
Uang Primer
(2)
(3)
(1)
Suku Bunga Riil
Dana Pihak Ketiga
(3)
(2)
Alokasi Kredit
Nilai Tukar
(1)
(2)
(3)
Ekspor Netto
Investasi
Kinerja Sektor Riil
a. Produk domestik bruto
b. Penyerapan Tenaga Kerja
c. Tingkat pengangguran
Keterangan : (1) jalur suku bunga
(2) jalur harga aset melalui nilai tukar
(3) jalur kredit
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak Kebijakan Moneter
terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil
mencakup wilayah Indonesia dengan basis analisis pada masing-masing sektor
yang menjadi objek penelitian yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor
lainnya.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
data time series. Deret waktu data yang digunakan adalah triwulanan pertama
1984 sampai triwulan empat tahun 2005. Data diperoleh dari dua sumber utama
yaitu Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistika.
3.3. Spesifikasi Model
Model dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil disusun
dalam sistem persamaan simultan dalam tiga blok yaitu blok moneter,
blok
transmisi moneter ke sektor riil dan blok kinerja sektor riil. Secara rinci model
yang disusun adalah sebagai berikut:
A. Blok Moneter
Suku Bunga
IR = a10 + a11MB +a12RR+ a13 ISBI + a14 PDB+ a15 DKM+ a16 DBI + e01 ..(1)
dimana:
IR
=
Suku Bunga Deposito 1 tahun (persen)
MB
=
Uang Primer (milyar rupiah)
RR
=
Giro Wajib Minimum (persen)
ISBI
=
Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia 3 bulan (persen)
PDB
=
Produk Domestik Bruto (milyar rupiah)
DKM =
Dummy Krisis Moneter
DBI
=
Dummy Independensi Bank Indonesia
Hipotesis: a12, a13, a14, a15 , a16 >0 a11 < 0
64
Nilai Tukar
ER = b10 + b11 IR + b12 ILN+ b13 DKM+ b14 DBI + e02
……(2)
dimana:
ER
=
Nilai Tukar (US$/Rp)
IR
=
Suku Bunga riil Indonesia (persen)
ILN
=
Suku Bunga Luar Negeri/SIBOR (persen)
DKM =
Dummy Krisis Moneter
DBI
=
Dummy Independensi Bank Indonesia
Hipotesis: b11, b13, b14 >0 b12 < 0
Alokasi Kredit Sektor Pertanian
ACSPT = c10 + c11 IRC + c12 DPK + c13 RR + c14 LACSPT + c15 DKM
+ c16 DBI + c03
……(3)
dimana:
ACSPT
=
Alokasi Kredit Sektor Pertanian (milyar rupiah)
IRC
=
Suku Bunga Kredit (persen)
DPK
=
Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah)
RR
=
Giro Wajib Minimum (persen)
LACSPT =
Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Pertanian
DKM
=
Dummy Krisis Moneter
DBI
=
Dummy Independensi Bank Indonesia
c11 , c13, c15 , c16 < 0
Hipotesis: c12, c14 >0
Alokasi Kredit Sektor Industri
ACSI = d10 + d11 IRC + d12 DPK + d13 RR + d14 LACSI + d15 DKM
+ d16 DBI + d04
dimana:
ACSI
=
Alokasi Kredit Sektor Industri (milyar rupiah)
IRC
=
Suku Bunga Kredit (persen)
DPK
=
Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah)
RR
=
Giro Wajib Minimum (persen)
LACSI =
Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Industri
DKM
=
Dummy Krisis Moneter
DBI
=
Dummy Independensi Bank Indonesia
Hipotesis: d12, d14 >0
d11 , d13, d15 , d16 < 0
……(4)
65
Alokasi Kredit Sektor Lainnya
ACSL = e10 + e11 IRC + e12 DPK + e13 RR + e14 LACSL + e15 DKM
+ e16 DBI + e05
……(5)
dimana:
ACSL
=
Alokasi Kredit Sektor Lainnya (milyar rupiah)
IRC
=
Suku Bunga Kredit (persen)
DPK
=
Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah)
RR
=
Giro Wajib Minimum (persen)
LACSL =
Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Lainnya
DKM
=
Dummy Krisis Moneter
DBI
=
Dummy Independensi Bank Indonesia
Hipotesis: e12, e14 >0
e11 , e13, e15 , e16 < 0
B. Blok Transmisi Moneter ke Sektor Riil
Investasi
InvSPT = f10+ f11 IR + f12 ACSPT +f13GPDBSPT+ f14LINVSPT+
f15 DKM + e6
InvSI
…………(6)
= g10+ g11 IR + g12 ACSI +g13GPDBSI+ g14LINVSI+
g15 DKM + e7
…………(7)
InvSL = h10+ h11 IR + h12 ACSL +h13GPDBSL+ h14LINVSL+
h15 DKM + e8
InvTotal = InvSPT+InvSI+InvSL
…………(8)
….........(9)
dimana:
InvSPT
=
Investasi yang disetujui untuk Sektor Pertanian
(milyar rupiah)
InvSI
=
Investasi yang disetujui untuk Sektor Industri
(milyar rupiah)
InvSL
=
Investasi yang disetujui untuk Sektor Lainnya
(milyar rupiah)
IR
=
Suku Bunga (persen)
ACSPT
=
Alokasi Kredit Sektor Pertanian (milyar rupiah)
ACSI
=
Alokasi Kredit Sektor Industri (milyar rupiah)
ACSL
=
Alokasi Kredit Sektor Lainnya (milyar rupiah)
GPDBSPT =
Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor
Pertanian (milyar rupiah)
GPDBSI
=
Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Industri
(milyar rupiah)
GPDBSL
=
Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya
(milyar rupiah)
LINVSPT
=
Lag (t-1) Investasi Sektor Pertanian
LINVSI
=
Lag (t-1) Investasi Sektor Industri
LINVSL
=
Lag (t-1) Investasi Sektor Lainnya
DKM
=
Dummy Krisis Moneter
Hipotesis: f12 , f13, f14, g12 , g13, g14, h12 , h13, h14 >0
f11 , f15, g11 , g15, h11 , h15 < 0
66
GPDBSPT = PDBSPT - LPDBSPT
............(10)
GPDBSI
= PDBSI - LPDBSI
............(11)
GPDBSL
= PDBSL - LPDBSL
............(12)
dimana:
GPDBSPT =
GPDBSI
=
GPDBSL
=
PDBSPT
=
PDBSI
PDBSL
LPDBSPT
LPDBSI
LPDBSL
=
=
=
=
=
Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian
Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Industri
Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya
Produk Domestik Bruto sektor Pertanian (milyar
rupiah)
Produk Domestik Bruto sektor Industri (milyar rupiah)
Produk Domestik Bruto sektor lainnya (milyar rupiah)
Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Pertanian
Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Industri
Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor lainnya
Ekspor
VXSPT = i10+i11 INFL+i12ER+ i13PDBSPT+i14LVXSPT +
i15DKM+e11
VXSI
.........(13)
= j10+j11 INFL+ j12 ER+ j13 PDBSI+ j14LVXSI +
j15DKM +e12
.........(14)
VXSL = k10+k11 INFL+ k12ER+k13 PDBSL+k14LVXSL +
k15DKM +e13
VX
= VXSPT+VXSI+VXSL
.........(15)
.........(16)
dimana:
VXSPT
=
Ekspor Sektor Pertanian (milyar rupiah)
VXSI
=
Ekspor Sektor Industri (milyar rupiah)
VXSL
=
Ekspor Sektor lainnya (milyar rupiah)
INFL
=
Inflasi (persen)
ER
=
Nilai Tukar (US$/Rp)
PDBSPT =
Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian (milyar rupiah)
PDBSI
=
Produk Domestik Bruto Sektor Industri (milyar rupiah)
PDBSL
=
Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya (milyar rupiah)
LXSPT
=
Lag (t-1) Ekspor Sektor Pertanian
LXSI
=
Lag (t-1) Ekspor Sektor Industri
LXSL
=
Lag (t-1) Ekspor Lainnya
DKM
=
Dummy Krisis Moneter
Hipotesis: i11, i12, i13, i14, i15, j11, j12, j13, j14, j15, k11, k12, k13, k14, k15 >0
67
C. Blok Kinerja Sektor Riil
Produk Domestik Bruto
PDBSPT = l10+l11LASPT+l12INVSPT+l13LPDBSPT+l14DKM+ l15DBI+e15
PDBSI
......(17)
= m10+m11LASI+m12INVSI+m13LPDBSI+m14DKM+ m15DBI+e16 ..... (18)
PDBSL = n10+n11LASL+n12INVSL+n13LPDBSL+n14DKM+ n15DBI+e17
..... (19)
PDB
......(20)
= PDBSPT + PDBSI + PDBSL
dimana:
PDBSPT
=
Produk Domestik Bruto sektor Pertanian (milyar
rupiah)
PDBSI
=
Produk Domestik Bruto sektor Industri (milyar rupiah)
PDBSL
=
Produk Domestik Bruto sektor lainnya (milyar rupiah)
LASPT
=
Penyerapan Tenaga Kerja sektor Pertanian (ribu
orang)
LASI
=
Penyerapan Tenaga Kerja sektor Industri (ribu orang)
LASL
=
Penyerapan Tenaga Kerja sektor Lainnya (ribu
orang)
INVSPT
=
Investasi yang disetujui untuk Sektor Pertanian
(milyar rupiah)
INVSI
=
Investasi yang disetujui untuk Sektor Industri (milyar
rupiah)
INVSL
=
Investasi yang disetujui untuk Sektor Lainnya (milyar
rupiah)
LPDBSPT =
Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Pertanian
LPDBSI
=
Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Industri
LPDBSL
=
Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor lainnya
DKM
=
Dummy Krisis Moneter
DBI
=
Dummy Independensi Bank Indonesia
Hipotesis: l11, l12, l13, l14, l15, m11, m12, m13, m14, m15, n11, n12, n13, n14, n15 >0
Penyerapan Tenaga Kerja
LASPT = o10+o11WSPT+ o12 GPDBSPT+o13LLASPT + e19
....(21)
LASI
....(22)
= p10+p11WSI+ p12 GPDBSI+p13LLASI+e20
LASL = q10+q11WSL+ q12 GPDBSL+q13LLASL + e21
....(23)
LA
....(24)
= LASPT + LASI + LASL
dimana:
LA
LASPT
=
=
LASI
=
LASL
=
Penyerapan Tenaga Kerja (ribu orang)
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (ribu
orang)
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri (ribu
orang)
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lainnya (ribu
orang)
68
WSPT
=
WSI
WSL
=
=
Tingkat Upah Riil Sektor Pertanian (rupiah per
bulan)
Tingkat Upah Riil Sektor Industri (rupiah per bulan)
Tingkat Upah Riil Sektor Lainnya (rupiah per bulan)
GPDBSPT =
Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor
Pertanian
GPDBSI
=
Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor
Industri
GPDBSL
=
Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor
Lainnya
LLASPT
=
Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja sektor
Pertanian
LLASI
=
Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri
LLASL
=
Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lainnya
Hipotesis: o12, o13, p12, p13, q12, q13 >0
o11, p11, q12, < 0
Tingkat Pengangguran
U = SL – LA
....(25)
dimana:
U
SL
LA
=
=
=
Jumlah Pengangguran (ribu orang)
Angkatan Kerja (ribu orang)
Total Penyerapan Tenaga Kerja (ribu orang)
Identifikasi dan Metode Estimasi
Sebelum
melakukan
metode
pendugaan
model,
suatu
model
ekonometrika persamaan struktural simultan memerlukan identifikasi model.
Model persamaan struktural dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode
order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat
kecukupan (Koutsoyiannis, 1997).
Metode order condition tersebut adalah:
(K-M) > (G-1)
dimana:
K
=
M
=
G
=
Total variabel dalam model yaitu variabel endogen dan
variabel pre determined
Jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk
dalam suatu persamaan tertentu dalam model
Jumlah variabel endogen dalam model
69
Kondisi suatu persamaan dalam model mengikuti metode order condition
adalah sebagai berikut
(K-M) > (G-1)
:
(K-M) < (G-1)
:
(K-M) = (G-1)
:
persamaan yang bersangkutan teridentifikasi
berlebih (over identified)
persamaan yang bersangkutan tidak diidentifikasi
(unidentified)
persamaan
yang
bersangkutan
dapat
diidentifikasi secara tepat (exactly identified)
agar parameter-parameter dapat diduga maka setiap persamaan struktural
haruslah exactly identified atau over identified
Suatu persamaan yang teridentifikasi akan memenuhi rank condition jika
dan hanya jika memungkinkan minimal satu determinan bukan nol pada order
(G-1) dari parameter struktural yang tidak termasuk dalam persamaan.
Jumlah persamaan pada model ekonometrika yang telah disusun
sebanyak 25 persamaan yang terdiri atas 8 persamaan identitas dan 17
persamaan struktural. Jumlah seluruh variabel dalam model adalah 52 variabel.
Sementara jumlah variabel dalam satu persamaan tidak ada yang melebihi 6
buah variabel sehingga semua persamaan dalam model ini bersifat over
identified.
Suatu persamaan yang teridentifikasi berlebih diduga dengan metode
Two Stage Least Square (2 SLS) yang didasarkan pada kesesuaiannya dengan
tujuan pembentukan model yaitu analisis struktural dan evaluasi kebijakan.
Selain itu sampel data yang tersedia relatif kecil dan tidak sensitif terhadap
modifikasi model baik untuk analisis struktural maupun analisis simulasi.
Perhitungan pendugaan parameter persamaan struktural dilakukan dengan
menggunakan program komputer SAS/ETS versi 8.0 (Statistical Analysis
System/Econometric Time Series).
Uji serial korelasi (autocorrelation) dengan menggunaka uji DurbinWatson Statistic tidak valid dalam persamaan simultan jika model mengandung
70
lagged endogeneous variables. Oleh karena itu untuk menguji adanya serial
korelasi digunakan uji Durbin h statistik dengan rumus sebagai berikut:
h = (1-0.5 DW ) (T/(1-T(Var Bhart))0.5
dimana:
h
T
Var Bhart
DW
=
=
=
=
Angka statistik Durbin-H
Jumlah pengamatan contoh
Varians dari koefisien variabel beda kala
Nilai statistik Durbin Watson
Suatu persamaan tidak mengalami masalah serial korelasi bila nilai
mutlak h hitung lebih kecil dari nilai mutlak tabel. Pada taraf nyata 5% suatu
persamaan tidak mengalami serial korelasi jika hhit < 1.96. Nilai statistik durbin
h tidak akan diperoleh jika hasil kali T dan var βlag lebih besar dari 1 karena akan
diperoleh nilai penyebut yang negatif sehingga nilai akarnya tidak dapat
didefinisikan.
3.4. Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi
kebijakan maka dilakukan validasi model. Dalam validasi model untuk melihat
keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat menggunakan
beberapa kriteria statistik, yaitu RMSE (Root Mean Squares Error), RMSPE
(Root Mean Squares Percent Error) dan Theil’s Inequality Coefficient (U).
Nilai RMSE yang kecil atau rendah adalah ukuran yang diinginkan dari
ketelitian simulasi. Nilai RMSPE merupakan ukuran deviasi dari nilai simulasi
suatu peubah terhadap nilai aktualnya dalam persen.
Sedangkan koefisien
ketidaksamaan Theil digunakan untuk simulasi historik. Untuk melihat keeratan
arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R2 (koefisien
determinasi). Makin kecil RMSE, RMSPE, U serta makin besar R2 maka model
71
semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0 maka
pendugaan model sempurna dan sebaliknya.
3.5. Simulasi Model
Simulasi antara lain bertujuan untuk : (1) melakukan pengujian dan
evaluasi terhadap model, (2) mengevaluasi kebijakan pada masa lampau, dan
(3) membuat peramalan pada masa yang akan datang. Simulasi yang dilakukan
pada penelitian ini untuk mengevaluasi alternatif kebijakan melalui simulasi
historis (ex-post simulation).
Skenario simulasi yang akan dilakukan dalam
penelitian ini adalah goncangan beberapa variabel pada jalur transmisi yaitu
cadangan wajib (giro) minimum perbankan, suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia, dan alokasi kredit.
Penurunan Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan cerminan
penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia. Rapat Dewan Gubernur sejak bulan
September 2006 memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 50 bps setiap
bulannya dan sampai bulan November terjadi penurunan BI rate dari 10.75
menjadi 10.25
dan pada 7 Desember 2006, BI kembali memutuskan
menurunkan BI rate sebesar 50 bps dari 10.25 persen menjadi 9.75 persen atau
sekitar 5 persen yang diikuti dengan penurunan Suku bunga SBI 1 bulan dalam
persentase penurunan yang sama.
Keputusan tersebut diambil setelah
melakukan evaluasi kondisi makroekonomi terkini, mencermati hasil berbagai
survei, dan memandang prospek ekonomi moneter ke depan, termasuk upaya
pencapaian sasaran inflasi ke depan, yaitu 6±1% untuk tahun 2007. Keputusan
tersebut juga diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi,
mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di pasar
keuangan.
72
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi fokus perhatian saat ini
terkait dengan perubahan target operasional yang diberlakukan Bank Indoesia
sejak Juni 2005 dari sebelumnya menggunakan uang primer (base money)
menjadi suku bunga. Pertimbangannya adalah Suku bunga Sertifikat Indonesia
lebih memudahkan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan mencapai
sasaran pertumbuhan ekonomi.
Keuntungan lain menggunakan suku bunga
adalah biasa dipakai sebagai rujukan di pasar modal dan mempengaruhi alokasi
aset
masyarakat
karena
masyarakat
bisa
menganalisis
dananya
akan
ditempatkan di deposito atau surat berharga. Disamping itu, dalam prakteknya,
penggunaan uang primer sebagai target operasional menjadi sulit karena
sebagian besar uang primer merupakan uang kartal yang beredar di masyarakat
(Halim, 2005). Sebagai contoh, setiap akhir tahun permintaan uang kartal pasti
naik akibat adanya hari raya, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru dan di saat seperti
itu sangat sulit bagi BI mengendalikan inflasi karena berapa pun BI menaikkan
suku bunga untuk menyerap uang kartal tetap tidak akan berhasil berhubung
masyarakat sangat membutuhkannya untuk transaksi.
Kebijakan penetapan cadangan wajib minimum ini adalah mewajibkan
setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya merupakan
persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang
dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar persentase tertentu dari
dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank
yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang
perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat
ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya. Kebijakan meningkatkan giro wajib
minimum sebesar 5 persen sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam
rangka meredam nilai tukar yaitu BI menaikkan simpanan wajib perbankan atau
giro wajib minimum (GWM) secara bervariasi sesuai dengan kondisi bank atau
73
berdasarkan Loan to Deposit Ratio (LDR) masing-masing bank. Ketentuan ini
berlaku sejak 6 September 2005 dan dalam simulasi kebijakan ini diambil
kenaikan yang paling besar yaitu tambahan 5 persen bagi bank dengan LDR
kurang dari 40 persen.
Kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen merupakan wujud
perhatian Bank Indonesia terhadap sektor riil dengan program pengembangan
UMKM.
Untuk meningkatkan kemampuan bank dalam pembiayaan kepada
UMKM dan membantu UMKM dalam proses pengajuan kredit, BI bekerjasama
dengan Pemerintah Negara Swiss yaitu Swisscontact and International Finance
Cooperation (IFC)- World Bank tentang “Access to Finance for SME’s in
Indonesia”. Kerjasama ini direalisasikan dalam bentuk credit line senilai USD
100 juta. Pertumbuhan kredit yang positif ini juga merupakan respon penurunan
BI rate yang dalam laporan Bank Indonesia disebutkan bahwa selama tahun
2006 pertumbuhan alokasi kredit meningkat sebesar 10.6 persen (Laporan BI,
2006).
IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA
4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia
4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar
Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran
operasional kebijakan moneter karena akan menentukan jumlah uang beredar
dalam suatu perekonomian.
Hal ini terlihat jelas dari pola pergerakan uang
primer dan jumlah uang beredar yang dalam paparan ini dibagi atas dua periode
yaitu periode sebelum independensi Bank Indonesia dan periode setelah
independensi Bank Indonesia
140.00
124.63
120.00
101.79
101.20
100.00
80.00
78.34 75.12
64.09
60.00
52.68
46.09
45.37
40.00
37.04
20.00
28.78
23.82 26.34
22.16
14.74 17.61
10.09 10.96 12.36
20.11
8.58
4.22
1984
1985
10.10
5.14
1986
12.69 14.39
7.12
6.15
11.68
6.12
1987
1988
1989
1990
1991
1992
Uang Primer
1993
1994
1995
34.41
25.85
1996
1997
1998
1999
Uang Beredar
300.00
253.82
250.00
281.91
267.64
239.78
Triliun Rp
223.80 223.73
200.00
150.00
100.00
162.19
133.83
177.73
174.02
127.80
119.94
160.14
125.62
191.94
194.88
138.25
132.40
199.45
155.83
110.60
198.43
155.47
94.56
50.00
2000.2 2000.4
2001.2
2001.4
2002.2 2002.4
Uang primer
2003.2 2003.4 2004.2 2004.4 2005.2 2005.4
Uang beredar
Gambar 7. Kinerja Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1984-2005
75
Pada gambar 7 tampak bahwa sebelum independensi Bank Indonesia
(1984-1999), nilai nominal uang primer dan jumlah uang beredar terus meningkat
dengan pola yang semakin curam.
Periode 1984 sampai 1995 peningkatan
dalam persentase yang relatif rendah antar tahun sehingga grafik landai dan
mulai tahun 1996 terjadi lonjakan dan bahkan pada tahun 1997 sampai 1999
terjadi peningkatan yang sangat signifikan.
Kondisi ini ditunjukkan dari
persentase pertumbuhan uang primer pada periode sebelum krisis hanya sekitar
19.2 persen dan saat krisis tumbuh sebesar 44.15 persen. Sedangkan uang
beredar pada tahun 1984-1996 tumbuh sekitar 18.53 persen dan meningkat
menjadi 21.67 persen pada periode 1997-1999.
Peningkatan uang primer dan jumlah uang beredar yang dimulai pada
pertengahan tahun 1996 merupakan cerminan dari liberalisasi sektor keuangan
dimana aliran dana yang masuk ke perekonomian Indonesia khususnya dari
pinjaman luar negeri sangatlah besar. Pada periode awal tahun 1997 Bank
Indonesia mengeluarkan kebijakan kontraktif dengan meningkatkan suku bunga.
Namun peningkatan suku bunga dalam rangka menyerap likuiditas dalam negeri
tersebut ternyata semakin mendorong masuknya aliran dana luar negeri dan
kondisi inilah yang sebenarnya menjadi penyebab awal krisis ekonomi di
Indonesia.
Salah satu solusi bagi penciptaan kestabilan moneter dan perekonomian
Indonesia adalah diberlakukannya UU No. 23 tahun 1999 dimana secara jelas
disebutkan bahwa Bank Indonesia adalah pemegang otoritas moneter yang lebih
independen.
Dengan adanya perubahan kebijakan moneter tersebut, uang
primer menjadi instrumen yang dikendalikan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pencapaian sasaran inflasi (inflation targeting) pada rate dan pertumbuhan
tertentu dan langkah ini ternyata berdampak besar bagi kinerja uang primer dan
uang beredar di Indonesia. Selama implementasi independensi Bank Indonesia,
76
pertumbuhan uang primer dan jumlah uang beredar berada pada kisaran
dibawah empat persen. Pada periode 2000-2005 persentase pertumbuhan uang
primer hanya berada pada kisaran yang ditargetkan yaitu 4.15 persen dan diikuti
dengan pertumbuhan uang beredar sebesar 3.62 persen (Tabel 1).
Tabel 1. Pertumbuhan Uang Primer dan Uang Beredar, Tahun 1984-2005
Pertumbuhan (%)
Komponen
Uang
1984-1996
1997-1999
2000-2005
Uang Primer
19.55
44.15
4.15
Uang Beredar (M1)
18.53
21.67
3.62
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia,1984-2005
(diolah)
Selanjutnya dari pola pergerakan terlihat bahwa pergerakan uang primer
dan uang beredar cenderung stabil dengan kecenderungan peningkatan setiap
tahunnya. Pada periode pertama setiap tahun terjadi penurunan dan sebaliknya
pada periode akhir setiap tahunnya terjadi peningkatan uang primer dan jumlah
uang beredar. Hal ini sangat terkait dengan siklus perekonomian dimana pada
triwulan empat setiap tahunnya terjadi peningkatan uang kartal karena
meningkatnya kebutuhan transaksi masyarakat untuk perayaan lebaran, natal
dan tahun baru serta pada triwulan yang sama terjadi pula peningkatan giro
perbankan di Bank Indonesia yang bersumber dari meningkatnya posisi giro
wajib minimum sejalan dengan peningkatan dana pihak ketiga pada bank umum
di Indonesia. Kinerja lebih rinci jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1)
maupun dalam arti luas (M2) disajikan pada Tabel 2.
Selama periode 1998 sampai 2005, jumlah uang beredar dalam artian
sempit yaitu M1 menunjukkan pertumbuhan yang relatif stabil dengan
pertumbuhan rata-rata sebesar 3.26 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan
jumlah uang beredar dalam artian luas (M2) dimana dalam periode yang sama
mencapai 2.74 persen.
77
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1998-2005
Periode
1998.1
1998.2
1998.3
1998.4
1999.1
1999.2
1999.3
1999.4
2000.1
2000.2
2000.3
2000.4
2001.1
2001.2
2001.3
2001.4
2002.1
2002.2
2002.3
2002.4
2003.1
2003.2
2003.3
2003.4
2004.1
2004.2
2004.3
2004.4
2005.1
2005.2
2005.3
2005.4
Rata-rata
Jumlah Uang Beredar (Miliar Rp)
MI
M2
Uang Kuasi
109480
450730
560210
102563
447841
550404
101197
476184
577381
105705
497620
603325
105964
509447
615411
118124
534165
652289
124633
521572
646205
124663
538284
662947
134663
538284
662947
133832
552196
686028
135430
551023
686453
162186
584842
747028
148375
618437
766812
160142
636298
796440
171383
607186
778569
177731
844053
1021784
166173
831411
997584
174017
838635
1012652
181791
863101
1044892
191939
883908
1075847
181239
877776
1059015
194878
894213
1089091
207587
911224
1118811
223779
955692
1179491
219086
716161
935247
223726
741440
975166
240911
745895
986806
253818
779710 1,033528
250492
770201
1020693
267635
806111
1073746
273954
876497
1150451
281905
921310
1203215
Pertumbuhan (%)
M1
M2
-6.32
-1.33
4.45
0.25
11.48
5.51
0.02
8.02
-0.62
1.19
19.76
-8.52
7.93
7.02
3.70
-6.50
4.72
4.47
5.58
-5.57
7.53
6.52
7.80
-2.10
2.12
7.68
5.36
-1.31
6.84
2.36
2.90
3.26
-1.75
4.90
4.49
2.00
5.99
-0.93
2.59
0.00
3.48
0.06
8.82
2.65
3.86
-2.24
31.24
-2.37
1.51
3.18
2.96
-1.56
2.84
2.73
5.42
-20.71
4.27
1.19
4.73
-1.24
5.20
7.14
4.59
2.74
Pangsa (%)
M1
M2
19.54
80.46
18.63
81.37
17.53
82.47
17.52
82.48
17.22
82.78
18.11
81.89
19.29
80.71
18.80
81.20
20.31
81.20
19.51
80.49
19.73
80.27
21.71
78.29
19.35
80.65
20.11
79.89
22.01
77.99
17.39
82.61
16.66
83.34
17.18
82.82
17.40
82.60
17.84
82.16
17.11
82.89
17.89
82.11
18.55
81.45
18.97
81.03
23.43
76.57
22.94
76.03
24.41
75.59
24.56
75.44
24.54
75.46
24.93
75.07
23.81
76.19
23.43
76.57
20.01
80.00
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia,1998-2005
Pertumbuhan M1 tertinggi terjadi pada triwulan IV tahun 2000 sebesar
19.76 persen yang berkemungkinan karena meningkatnya motif berjaga-jaga
mengingat kondisi sosial politik negara yang tidak menentu.
Sedangkan
pertumbuhan M2 tertinggi terjadi pada triwulan IV/2001 yang mencapai angka
31.24 persen.
Hal ini mengindikasikan semakin membaiknya kondisi
perekonomian saat itu sehingga menciptakan rasa nyaman bagi masyarakat
78
untuk meningkatkan aktivitas investasi pada perbankan dan meningkatkan motif
spekulasi pada bentuk penyimpanan dana lainnya. Namun kondisi sebaliknya
terjadi pada triwulan pertama tahun 2004 dimana terjadi pertumbuhan negatif
untuk jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) yang menjadi indikasi kurang
kondusifnya kondisi perekonomian.
Satu hal menarik tampak dari komposisi jumlah uang beredar dimana
uang kuasi mendominasi uang yang beredar di masyarakat. Selama periode
tersebut 80 persen lebih uang beredar adalah uang kuasi.
Artinya motif
spekulasi semakin menonjol di kalangan masyarakat. Namun dilihat dari sisi laju
pertumbuhan, ada kecenderungan terjadinya laju pertumbuhan yang meningkat
pada M1, sedangkan M2 mengalami perlambatan. Perlambatan pertumbuhan
M2 ini dipicu berbagai faktor diantaranya pada satu sisi fungsi intermediasi
perbankan belum berjalan optimal, sedangkan disisi lain alternatif penyimpanan
dana dalam bentuk lain (non bank) semakin berkembang sehingga terjadi
pengalihan aset masyarakat dari aset perbankan ke aset non bank.
4.1.2. Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Berdasarkan Tabel 3, terdapat kesamaan pola hubungan antara sektor riil
dengan sektor moneter, dalam arti ada hubungan searah antara pertumbuhan
ekonomi dengan pertambahan jumlah beredar dan pertumbuhan ekonomi
dengan inflasi. Dari tahun 1980 sampai 2005 terjadi peningkatan jumlah uang
beredar baik itu jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) maupun M2.
Peningkatan jumlah uang beredar ini diikuti pula dengan peningkatan PDB
nominal dan peningkatan indeks harga konsumen yang menunjukkan adanya
inflasi.
79
Tabel 3. Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto dan Inflasi Indonesia,
Tahun1980-2005
Tahun
1980
Jumlah Uang Beredar
(Rp Miliar)
M1
M2
4995
7691
Output
(Rp Miliar)
IHK
1993=100
45500
27.30
1990
23818
84629
196600
72.30
1995
52677
222638
454700
177.80
1996
64089
288632
532700
189.60
1997
78343
355643
625500
211.60
1998
101197
577381
1002300
198.60
1999
124633
646205
1107300
202.40
2000
162186
747028
1290700
221.40
2001
177731
844054
1684280
249.10
2002
191839
883098
1863274
274.10
2003
223799
955692
2036351
287.90
2004
253818
1033528
2261724
116.86
2005
281905
1203215
2729708
136.86
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia,
1980-2005 (diolah)
Dari Tabel 4 terlihat bahwa selama periode 1980-1990 perekonomian
Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Pada periode
tahun 1990-1995 pertumbuhan ekonomi terus membaik dengan peningkatan
persentase pertumbuhan 7,1 persen per tahun yang dilanjutkan pada tahun 1996
dengan persentase 7.8 persen.
Namun krisis ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan tahun 1997
memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi perekonomian yang
tercermin dari pertambahan PDB riil yang mengalami penurunan tingkat
pertumbuhan menjadi hanya 4 persen. Kondisi buruk terus terjadi pada tahun
1998 dengan pertumbuhan ekonomi negatif 13.4 persen.
80
Setelah mengalami stagnansi pada tahun 1999, perekonomian Indonesia
kembali membaik pada tahun 2000 dengan persentase pertumbuhan mencapai 4
persen pertahun. Selanjutnya sampai tahun 2003 perekonomian Indonesia
tumbuh pada kisaran angka 4 persen dan angka ini yang paling realistis
mengingat kondisi
Indonesia yang masih dalam proses pemulihan.
Sampai
tahun 2005 perekonomian terus menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan
yang meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi ini menjadi acuan
bagi pelaku ekonomi untuk mulai menggerakkan kembali usaha produktifnya.
Jika dikaitkan dengan pertumbuhan jumlah uang beredar terlihat bahwa
dalam kondisi sebelum krisis (1980-1997) pertumbuhan ekonomi berhubungan
searah dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dimana pertumbuhan jumlah
uang beredar sekitar 3 kali pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang teori
Klasik, hal ini dapat dipandang sebagai peningkatan penggunaan uang sebagai
alat transaksi (M1) yang biasanya memang semakin meningkat pada saat
perekonomian tumbuh.
Sedangkan dari sudut pandang teori Keynesian,
peningkatan jumlah uang beredar ini terjadi berkemungkinan karena suntikan
kredit yang akan mendorong aktivitas investasi dan akhirnya mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Selama periode krisis, jumlah uang beredar sempat bertambah tinggi
khususnya pada periode tahun 1998-2000. Saat itu pertambahan M1 melebihi
angka 20 persen per tahun dan bahkan pertumbuhan M2 mencapai 62 persen.
Walaupun pertambahan jumlah uang beredar relatif tinggi, namun pertumbuhan
ekonomi justru menjadi negatif dan hampir tidak berkembang. Hal ini terjadi
berkemungkinan karena kondisi abnormal selama awal krisis yang mendorong
masyarakat
untuk
menyimpan
uang
untuk
berjaga-jaga
dan
transaksi.
Sedangkan pertambahan M2 yang sempat melebihi angka 60 persen pada tahun
81
1998 sangat berkaitan dengan tingkat bunga deposito yang pada masa itu
mencapai 64 persen per tahun.
Mulai tahun 2001, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter
yang independen menempuh kebijakan uang ketat (tight money policy). Hal ini
menyebabkan pertambahan jumlah uang beredar sangat terkendali menjadi
sekitar 10 persen per tahun. Pengetatan jumlah uang beredar ini ternyata tidak
menurunkan pertumbuhan ekonomi karena terbukti selama periode 2001-2005
pertumbuhan ekonomi tetap stabil pada kisaran angka 3-5 persen per tahun.
Tabel 4. Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar, Output dan Harga Umum
Perekonomian Indonesia, Tahun 1980-2005
Tahun
1980-1990
1990-1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Pertumbuhan (%)
Uang Beredar
PDB Riil
M1
M2
17.5
22.1
5.0
17.2
30.6
7.1
21.7
29.6
7.8
22.2
23.2
4.9
29.2
62.3
-13.4
23.2
11.9
0.2
30.1
15.6
4.8
9.6
13.0
3.6
8.0
4.7
3.7
16.6
8.1
4.1
13.4
8.1
5.1
11.1
16.4
5.6
Keterangan : PDB riil = tahun dasar 1993
Sumber : Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia, 1980-2005 (diolah)
IHK
10.8
11.1
9.3
12.5
73.6
10.3
9.3
12.5
10.0
5.1
6.4
17.1
Dari data pada Tabel 4 terlihat pula bahwa terdapat hubungan searah
antara inflasi dengan pertambahan jumlah uang beredar terutama jumlah uang
beredar untuk kebutuhan transaksi (M1). Namun dari pola pergerakan,
pertambahan M1 tidak segera mempengaruhi inflasi karena membutuhkan
tenggang waktu sekitar 1 tahun yang diindikasikan dari pola pergerakan yang
sama pada tahun berikutnya. Dengan kata lain, jika dilakukan perubahan jumlah
uang beredar tahun ini, dampaknya terhadap inflasi akan tampak pada tahun
82
berikutnya.
Dari besaran nilainya terlihat pula bahwa inflasi tidak dapat
dipandang hanya sebagai gejala moneter karena terdapat masa-masa dimana
pertambahan jumlah uang beredar relatif rendah, namun inflasi tetap tinggi
seperti pada tahun 1998 pertambahan jumlah uang beredar hanya 29.2 persen
namun inflasi mencapai 73.6 persen dan kondisi sebaliknya pada tahun 2003
pertambahan jumlah uang beredar 16.6 persen namun inflasi tetap rendah pada
kisaran 5 persen. Akhir tahun 2005 inflasi meningkat signifikan dan mencapai
dua digit angka (17%) yang terutama disebabkan oleh kenaikan harga yang
diatur pemerintah yaitu kenaikan Bahan Bakar Minyak disertai dengan tingginya
inflasi bahan makanan akibat terganggunya pasokan dan distribusi (laporan
tahunan BI, 2005).
4.1.3. Kinerja Suku Bunga
Suku bunga sertifikat Bank Indonesia merupakan salah satu instrumen
utama pengendalian moneter dalam menjaga stabilitas jumlah uang beredar
dalam perekonomian. Suku bunga SBI akan menjadi stimulus bagi sektor
perbankan dalam menaikkan atau menurunkan suku bunga nominal (suku bunga
deposito).
Berdasarkan Gambar 8, pergerakan suku bunga deposito 6 bulanan dari
tahun 1984 sampai 2001 mengikuti pergerakan suku bunga SBI dengan
tenggang waktu yang relatif pendek. Artinya instrumen suku bunga SBI langsung
direspon oleh bank-bank umum dengan suku bunga deposito bulanan atau enam
bulanan dan tahunan.
Pada periode 1984-1990, suku bunga SBI dan suku bunga simpanan
(deposito) 6 bulanan relatif stabil pada kisaran 14-16 persen.
mengindikasikan bahwa kondisi likuiditas Indonesia relatif baik.
Angka ini
Sejak tahun
2002 perkembangan jumlah uang beredar yang terkendali serta ekspektasi positif
83
masyarakat terhadap inflasi ke depan yang cenderung membaik memberi
peluang kepada Bank Indonesia untuk memberikan sinyal penurunan suku
bunga SBI.
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
Suku bunga SB I
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
I-
II -
III -
IV -
2000
2000
2000
2000
Suku bunga Depo sito 6 bulan
Gambar 8. Pergerakan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito,
Tahun 1984-2000
Dalam operasionalnya, penurunan suku bunga instrumen moneter telah
diikuti oleh penurunan suku bunga simpanan perbankan dengan laju yang lebih
cepat.
Artinya pergerakan suku bunga simpanan perbankan searah dengan
penurunan suku bunga instrumen moneter, dimana selama tahun 2004 suku
bunga simpanan dan deposito mengalami penurunan signifikan. Suku bunga
deposito rata-rata tertimbang 1 bulan mengalami penurunan hingga mencapai
6.62 persen dibanding tahun sebelumnya.
Beberapa faktor lain yang
mempengaruhi penurunan suku bunga deposito adalah meningkatnya ekses
likuiditas perbankan dan menurunnya marjin penjaminan suku bunga simpanan.
Penurunan suku bunga simpanan ini diikuti pula oleh suku bunga kredit,
namun dengan laju penurunan yang lambat. Suku bunga Kredit Modal Kerja
(KMK) mengalami penurunan 318 basis point (bps) menjadi 13.41 persen dan
suku bunga kredit investasi menurun 214 bps sehingga menjadi 14.05 persen.
84
Sedangkan suku bunga kredit konsumsi mengalami penurunan yang kecil yaitu
152 bps menjadi 18.69 persen .
Tabel 5. Perkembangan Suku Bunga, Tahun 2001-2005
No
1
2
3
Suku
bunga
Tahun
2001
2002
2003
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
1 bulan
17.6
12.9
11.4
3 bulan
17.6
13.1
11.9
Deposito
1 bulan
16.7
12.8
11.9
3 bulan
17.2
13.6
12.9
6 bulan
16.2
13.8
13.2
12 bulan
15.5
15.3
14.2
Kredit
Modal
Kerja
19.9
18.2
18.1
Investasi
17.9
17.8
17.8
Perubahan
2002- 20032003 2004
2004
2005
20012002
20042005
7.4
7.3
12.7
12.8
26.6
25.6
11.8
-8.8
34.8
39.1
71.6
75.9
6.4
6.7
7.1
7.1
11.9
11.7
10.2
10.9
23.3
20.9
14.8
-1.3
-7.1
-5.4
-4.1
-7.3
45.9
47.9
46.1
50.1
86.3
75.1
42.8
54.9
13.4
14.1
16.2
15.7
-8.3
-0.5
-0.9
0.2
25.8
21.3
21.0
11.5
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, 2001-2005
(diolah)
Lambatnya penurunan suku bunga kredit ini lebih banyak disebabkan
oleh faktor internal dan eksternal perbankan.
Faktor internal terkait dengan
struktur aset dan kinerja keuangan bank termasuk di dalamnya tingkat
profitabilitas bank, tingkat likuiditas, biaya dana dan rasio kecukupan modal.
Sedangkan faktor eksternal adalah perkembangan perekonomian nasional dan
internasional, tingkat persaingan perbankan, suku bunga investasi alternatif serta
regulasi sektor perbankan (Bank Indonesia, 2003).
Namun pada tahun 2005, Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter
kontraktif melalui peningkatan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia atau yang
dikenal sekarang dengan nama BI rate. Hal ini dilakukan sebagai salah satu
upaya mengembalikan inflasi pada kisaran awal yaitu 6 persen ± 1 persen.
Sampai akhir tahun, BI rate mencapai 12.75 persen atau naik 71.6 persen dari
tahun sebelumnya.
85
Perubahan ini direspon oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga
simpanan menjadi 11.98 persen untuk suku bunga deposito bulanan.
Suku
bunga kredit meningkat 21 persen dari tahun 2004 menjadi 13.41 persen (KMK)
dan 15.66 persen untuk kredit investasi. Kebijakan kontraktif ini pada satu sisi
dapat mengembalikan inflasi pada kisaran awal konsisten dengan landasan
kebijakan moneter (inflation trageting), namun pada sisi lain menjadi sinyal
negatif bagi sektor riil dalam memperluas usaha yang khawatir dengan biaya
modal yang semakin memberatkan mereka.
4.2. Kinerja Sektor Riil
Kebijakan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah terhitung tanggal 1
Juni 1983 dicanangkan dengan tujuan meningkatkan peranan perbankan
sebagai
media
transmisi
kebijakan
moneter
ke
sektor
produksi
dan
perekonomian secara keseluruhan. Pesatnya perkembangan sektor perbankan
dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kredit/pembiayaan
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ditambah lagi,
kemudahan kredit yang disediakan perbankan serta proses transaksi yang makin
cepat dan sederhana diharapkan dapat meningkatkan akses pelaku ekonomi
terhadap sumber modal sehingga meningkatkan aktivitas investasi.
Adanya
pertumbuhan dalam aktivitas investasi dan berlanjut pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat pula memperluas kesempatan kerja di
Indonesia.
Namun dalam realitasnya, pertumbuhan investasi, pertumbuhan ekonomi
dan kesempatan kerja tidak berjalan searah secara proporsional.
Selama
periode 1984-1997 pertumbuhan output yang tercermin dari nilai Produk
Domestik Bruto mencapai 3.39 persen dengan pertumbuhan investasi 11.21
persen. Namun pertumbuhan penyerapan tenaga kerja jauh dibawahnya yaitu
86
hanya 0.76 persen.
Pada periode krisis, meskipun pertumbuhan output
menunjukkan angka negatif (-0.75%), namun aktivitas investasi masih tumbuh
0.86 persen sehingga persentase penyerapan tenaga kerja menurun menjadi
0.35 persen. Sebaliknya pada periode setelah krisis, output tumbuh 12.9 persen,
dan investasi mulai membaik dengan persentase 3.75 persen, namun
penyerapan tenaga kerja turun drastis menjadi hanya 0.04 persen. Dari sisi
jumlah nominal, penambahan kesempatan kerja kurang dari satu juta orang
setahun, padahal penambahan angkatan kerja mencapai lebih dari 2 juta orang
setahun.
Kondisi ini bisa dijelaskan dari sisi kinerja sektoral yang dalam paparan
berikutnya difokuskan pada dua sektor produksi dalam perekonomian yaitu
sektor pertanian dan industri dengan alasan dua sektor ini mempunyai teknologi
produksi yang sangat berbeda dimana sektor pertanian dengan labor intensive
dan sektor industri yang cenderung capital intensive.
Dari tiga periode waktu seperti tampak pada Tabel 6, kontribusi PDB
sektor industri terhadap PDB total terus meningkat dan sebaliknya dengan
kontribusi produksi sektor pertanian yang terus menurun. Pada periode 19841997 kontribusi PDB sektor pertanian terhadap pembentukan total output
nasional hampir sama dengan kontribusi sektor industri yaitu 19.26 persen dan
19.28 persen. Namun mulai tahun 1998 kontribusi sektor pertanian menurun
sampai pada tahun 2005 hanya menjadi 15.5 persen.
Disamping itu,
pertumbuhan produksi sektor pertanian juga lebih kecil daripada pertumbuhan
sektor industri.
Kecenderungan ini juga terjadi pada aktivitas investasi kedua sektor
dimana investasi sektor pertanian cenderung melambat.
Kontribusi investasi
pada sektor industri pun jauh lebih besar dibandingkan investasi sektor pertanian
dengan nilai nominal yang sangat timpang. Total investasi sektor pertanian sejak
87
tahun 1984 berada pada kisaran Rp 669 sampai Rp 1 428 miliar, sedangkan nilai
investasi sektor industri berkisar Rp 6 sampai Rp 12 triliun rupiah.
Tabel 6. Kinerja Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1984-2005
Kinerja
1984-1997
1998-1999
48569
3.39
94150
-0.75
325738
12.9
8570
19.26
3.58
16294
17.31
-1.99
47759
15.5
11.1
10409
19.28
5.04
24079
25.57
0.4
91241
27.6
12.3
9989
11.21
15650
0.86
23559
3.75
1428
17.55
14.76
1027
6.62
-6.49
710
2.9
6.6
6416
62.35
11.69
12324
78.61
2.79
9777
41.5
0.4
73590
0.76
88730
0.35
91152
0.04
38284
0.36
39376
0.5
30695
0.2
7605
1.05
10685
1.47
11484
-1.0
Output
a. PDB Nominal
- Nilai (Miliar Rp)
- Pertumbuhan (%/thn)
b. PDB Pertanian
- Nilai (Miliar Rp)
- Share (%)
- Pertumbuhan (%/thn)
c. PDB Industri
- Nilai (Miliar Rp)
- Share (%)
- Pertumbuhan (%/thn)
Investasi
a. Investasi Total
- Nilai (Miliar Rp)
- Pertumbuhan (%/thn)
b. Investasi sektor Pertanian
- Nilai (Miliar Rp)
- Share (%)
- Pertumbuhan (%/thn)
c. Investasi sektor Industri
- Nilai (Miliar Rp)
- Share (%)
- Pertumbuhan (%/thn)
Penyerapan Tenaga Kerja
a. Total Penyerapan Tenaga Kerja
- Jumlah (ribu orang)
- Pertumbuhan (%/thn)
b. Penyerapan TK sektor Pertanian
- Jumlah (ribu orang)
- Pertumbuhan (%/thn)
c. Penyerapan TK sektor Industri
- Jumlah (ribu orang)
- Pertumbuhan (%/thn)
2000-2005
Kondisi ini terjadi berkemungkinan karena liberalisasi perbankan
mendorong
terbentuknya
struktur
industri
perbankan
oligopolis
yang
menimbulkan kesulitan bagi pelaku ekonomi di sektor pertanian untuk
memperoleh kucuran kredit sebagai sumber permodalan usaha mengingat
88
keterbatasan petani dalam pemenuhan persyaratan perbankan, kurangnya akses
informasi dan rendahnya tingkat pendidikan.
Padahal dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian menjadi mata
pencaharian 38 juta orang penduduk, sedangkan sektor industri hanya menyerap
tenaga kerja seperlimanya sektor pertanian yaitu sekitar 7.6 juta orang. Bahkan
sepanjang tahun 2005, sektor industri mengalami ekonomi biaya tinggi dengan
kenaikan input produksi sehingga mendorong pelaku usaha sektor industri untuk
melakukan efisiensi yang salah satunya diupayakan melalui pengurangan tenaga
kerja. Hal ini tercermin dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor
ini yang negatif 1 persen.
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER
DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA
5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja moneter difokuskan
analisis faktor-faktor penentu suku bunga, nilai tukar dan alokasi kredit. Hasil
analisis masing-masing variabel moneter tersebut disajikan pada Tabel 7, Tabel
8, Tabel 9 dan Tabel 10.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi suku bunga menjadi penting
diketahui terkait dengan perubahan target operasional oleh Bank Indonesia dari
sebelumnya uang primer menjadi suku bunga.
Dalam
keyakinan
Liquidity
Preference Framework, perubahan suku bunga dapat dipahami dengan
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar
dan permintaan uang.
Dalam analisis ini, variabel uang primer, giro wajib
minimum dan suku bunga SBI dikelompokkan dalam faktor yang berpengaruh
terhadap uang beredar, sedangkan Produk Domestik Bruto menjadi variabel
yang mempengaruhi permintaan uang.
Berdasarkan Tabel 7, uang primer, giro wajib minimum dan suku bunga
SBI berpengaruh nyata terhadap suku bunga pasar. Dari arah parameter, uang
primer mempengaruhi suku bunga dalam arah negatif yang artinya peningkatan
uang primer menurunkan suku bunga riil. Sementara itu, peningkatan giro wajib
miniumum dan peningkatan suku bunga SBI berpengaruh positif terhadap suku
bunga.
Artinya, peningkatan giro wajib minimum menyebabkan jumlah
cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga
perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi
jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda
uang dan jumlah uang beredar menjadi lebih rendah dan akhirnya meningkatkan
90
suku bunga riil. Demikian pula dengan peningkatan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) akan mendorong masyarakat menyimpan uang dalam SBI
sehingga menurunkan uang beredar dan akhirnya meningkatkan suku bunga
pasar.
Hasil ini mendukung langkah Bank Indonesia menjadikan suku bunga
pasar sebagai target operasional karena tingginya hubungan suku bunga pasar
dengan uang primer, giro wajib minimum dan suku bunga SBI.
Produk Domestik Bruto sebagai variabel yang mempengaruhi suku bunga
dari sisi permintaan uang berpengaruh nyata terhadap suku bunga dengan arah
yang positif. Artinya peningkatan produk domestik bruto yang mencerminkan
kondisi perekonomoian yang lebih baik meningkatkan permintaan uang oleh
masyarakat dan selanjutnya dengan jumlah uang beredar yang tetap akan
meningkatkan suku bunga pasar.
Tabel 7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga, Tahun 2005
Variabel
Uraian
Intercep
MB
Parameter
Dugaan
Prob>ITI
Elastisitas
33.7111
<.0001
-0.0005
0.0001
-0.0005
Uang Primer
RR
Giro Wajib Minimum
0.6348
0.0002
-0.2144
ISBI
Suku Bunga SBI
0.0098
0.0842
0.0108
PDB
DKM
DBI
Produk Domestik Bruto
Dummy Krisis Moneter
Dummy Independensi BI
0.0001
4.5057
4.8697
0.0465
0.0515
0.0292
0.4080
R2 = 0.98347;
1st Order Autocorrelation = 0.463326
Dummy krisis ekonomi dalam analisis ini ternyata berpengaruh nyata
terhadap suku bunga dengan kecenderungan tingginya suku bunga sejak krisis
ekonomi. Demikian pula independensi Bank Indonesia yang memiliki pengaruh
positif terhadap suku bunga riil yang artinya terjadi kecenderungan peningkatan
suku
bunga
riil
sejak
berlakunya
independensi
Bank
Indonesia
dimaksudkan untuk menjaga stabilitas likuiditas dalam perekonomian.
yang
91
Tabel
8
menyajikan
hasil
analisis
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi nilai tukar dimana nilai tukar didefinisikan sebagai rasio dollar
terhadap rupiah. Dari model yang dibangun, suku bunga berpengaruh nyata
terhadap nilai tukar dengan arah paremeter yang positif. Artinya peningkatan
suku bunga domestik akan mendorong peningkatan aliran dana masuk (capital
inflow) sehingga kebutuhan rupiah meningkat dan mendongkrak nilai rupiah
(apresiasi rupiah) sehingga nilai tukar dollar terhadap rupiah akan meningkat.
Namun dilihat dari nilai elastisitasnya, variabel nilai tukar kurang responsif
terhadap perubahan suku bunga pasar.
Dua variabel lain yang berpengaruh terhadap nilai tukar adalah krisis
moneter dan independensi Bank Indonesia dengan arah yang positif. Artinya,
selama priode krisis moneter dan independensi Bank Indonesia, terjadi
depreasiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar. Depresiasi nilai tukar selama krisis
ekonomi dipicu oleh tindakan penarikan dana oleh investor asing secara besarbesaran karena ketidakpercayaan terhadap kondisi perekonomian saat itu dan
meskipun sejak independensi Bank Indonesia telah terjadi perbaikan nilai tukar
namun dibandingkan periode sebelum tahun 1997, nilai rupiah relatif masih
lemah.
Tabel 8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar, Tahun 2005
Variabel
Uraian
Intercep
Parameter
Dugaan
Prob>ITI
Elastisitas
2150.69
0.0036
28.7738
0.4059
-0.1054
-16.85512
0.8436
0.0214
IR
Suku bunga Domestik
ILN
Suku bunga Luar Negeri
DKM
Dummy Krisis Moneter
5746.579
<.0001
DBI
Dummy Independensi BI
7310.434
<.0001
R2 = 0.85152 ; 1st Order Autocorrelation = 0.516384
92
Alokasi kredit oleh perbankan merupakan salah satu bentuk penggunaan
dana yang dalam neraca perbankan menjadi komponen aset dan merupakan
wujud peran intermediasi yang dijalankan perbankan dalam mendukung
perekonomian. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi kredit kepada
sektor pertanian dan sektor industri disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
Tabel 9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Pertanian,
Tahun 2005
Variabel
Uraian
Intercept
Parameter
Dugaan
Elastisitas
Prob>ITI
3236.762
0.0073
Jangka
Pendek
Jangka
Panjang
IRC
Suku Bunga Kredit
-58.6362
0.0739
-0.0794
-0.3660
DPK
Dana Pihak Ketiga
0.020661
0.0111
0.0875
0.4037
RR
Giro Wajib Minimum
Lag Alokasi Kredit Sektor
Pertanian
-91.3100
0.0583
-0.0417
-0.1925
0.783199
<.0001
LACSPT
DKM
Dummy Krisis Moneter
-110.307
0.8306
DBI
Dummy Independensi BI
-2277.51
0.0003
R2 = 0.95523 ;
1st Order Autocorrelation = -0.2948
Penyaluran kredit kepada sektor pertanian dipengaruhi oleh suku bunga
kredit dengan arah berlawanan.
Artinya suku bunga yang lebih tinggi akan
menurunkan jumlah kredit yang disalurkan karena suku bunga menjadi biaya
bagi peminjam sehingga suku bunga yang mahal menurunkan permintaan kredit
dan akhirnya menurunkan jumlah kredit yang disalurkan.
Selain suku bunga, dua variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap
alokasi kredit kepada sektor pertanian adalah dana pihak ketiga (DPK) dan giro
wajib minimum. Arah parameter DPK yang positif yang menunjukkan bahwa
peningkatan DPK mendorong peningkatan alokasi kredit pada sektor pertanian
karena dana pihak ketiga merupakan salah satu sumber dana (likuiditas)
perbankan sehingga jumlah DPK yang lebih besar mendorong perbankan untuk
meningkatkan penyaluran kreditnya dengan harapan memperoleh pendapatan
yang lebih besar.
93
Sebaliknya giro wajib minimum mempengaruhi alokasi kredit dalam arah
yang berlawanan dimana peningkatan giro wajib minimum akan menurunkan
jumlah cadangan yang dipegang perbankan bank untuk menutupi giro sehingga
bank cenderung menurunkan jumlah penyaluran kredit untuk meningkatkan
cadangan. Berdasarkan hasil analisis, Independensi Bank Indonesia ternyata
kurang mendukung peningkatan penyaluran kredit kepada sektor pertanian
karena arah parameter dummy independensi BI yang negatif mengindikasikan
bahwa Independensi Bank Indonesia mengurangi keleluasaan BI dalam
mengatur penyaluran kredit oleh perbankan umum khususnya kredit bagi sektor
riil sehingga terjadi kecenderungan merosotnya jumlah penyaluran kredit untuk
sektor pertanian
Tabel 10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Industri,
Tahun 2005
Variabel
Uraian
Intercept
Parameter
Dugaan
Prob>ITI
23358.85
0.0056
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
IR
Suku Bunga Kredit
-789.237
0.0044
-0.2439
-0.9097
DPK
Dana Pihak Ketiga
0.108753
0.0173
0.1052
0.3924
RR
-319.742
0.2305
-0.0334
-0.1244
LACSI
Giro Wajib Minimum
Lag Alokasi Kredit Sektor
Pertanian
0.731871
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
-425.512
0.8993
DBI
Dummy Independensi BI
-8242.48
2
st
R = 0.92377;
1 Order Autocorrelation = -0.25423
0.0078
Keragaaan yang sama terlihat pula pada alokasi kredit sektor industri
dimana suku bunga kredit dan giro wajib minimum berpengaruh negatif
sedangkan dana pihak ketiga berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit
kepada sektor industri. Bahkan dalam jangka panjang, nilai elastisitas suku
bunga mendekati satu (0.9097) yang menunjukkan bahwa jumlah kredit yang
94
disalurkan kepada sektor industri sangat responsif terhadap perubahan suku
bunga.
Hasil analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit
ini menggambarkan bahwa jalur kredit khususnya jalur pinjaman bank melalui
penetapan giro wajib minimum efektif mempengaruhi alokasi kredit kepada
sektor riil dimana ekspansi penyaluran kredit dapat diupayakan melalui
penurunan giro wajib minimum yang disimpan bank umum pada Bank Indonesia
dan sebaliknya. Namun dalam operasionalnya, kebijakan moneter ini menjadi
kurang efektif jika suku bunga kredit masih tinggi karena mengurangi minat
sektor riil mengingat mahalnya biaya modal yang harus ditanggung.
5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Riil
Kinerja sektor riil dalam bahasan berikut ini dilihat dari empat indikator
yaitu investasi, ekpor, produk domestik bruto dan penyerapan tenaga kerja.
Analisis setiap indikator kinerja ini dibedakan antara sektor pertanian dan sektor
industri dengan pertimbangan adanya perbedaan perilaku teknologi yang khas
oleh dua sektor produksi ini.
Tabel 11 menyajikan faktor-faktor yang mempengaruhi investasi pada
sektor pertanian dan industri. Investasi pada sektor pertanian dan sektor industri
dipengaruhi oleh suku bunga dan arah parameter yang negatif menunjukkan
bahwa suku bunga yang tinggi akan menurunkan nilai investasi pada kedua
sektor.
Alasannya adalah suku bunga merupakan biaya modal bagi pelaku
ekonomi sehingga biaya modal yang lebh tinggi menurunkan minat berinvestasi.
Dari nilai elastisiitasnya tampak bahwa dalam jangka panjang variabel suku
bunga ini memiliki nilai elastisitas sebesar 1.1817 yang menunjukkan bahwa
investasi pada sektor pertanian sangat responsif terhadap perubahan suku
bunga. Dikaitkan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter, maka hasil ini
95
menunjukkan bahwa jalur tranmisi melalui suku bunga bekerja efektif dalam
mempengaruhi aktivitas investasi pada sektor riil dimana otoritas moneter dapat
mendukung upaya perbaikan investasi melalui penciptaan suku bunga yang
murah.
Tabel 11.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Sektor Pertanian dan
Industri, Tahun 2005
Sektor/Variabel
Uraian
Parameter
Dugaan
Prob>ITI
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
Pertanian
Intercept
-261.157
0.3034
IR
Suku Bunga
-9.55172
0.194
-0.5583
-1.1817
ACSPT
3263.967
0.101
0.2577
0.0011
GPDBSPT
Alokasi Kredit Sektor Pertanian
Perkembangan PDB sektor
Pertanian
0.074038
0.086
0.0009
0.0009
LINVSPT
Lag Investasi Sektor Pertanian
1.002156
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
-44.7899
0.5961
-1716.82
0.5101
IR
Suku Bunga
-186.033
0.0037
-0.1685
-0.1707
ACSI
5663.908
0.2695
0.4669
0.4730
GPDBSI
Alokasi Kredit Sektor Industri
Perkembangan PDB sektor
Industri
0.11021
0.4246
0.0080
0.0081
LINVSPT
Lag Investasi Sektor Industri
0.099208
<.0001
-999.429
0.1661
Industri
Intercept
DKM
Dummy Krisis Moneter
R2 = 0.98145;
R2 = 0.83942;
1st Order Autocorrelation
1st Order Autocorrelation
= -0.11701
= 0.06518
Faktor lain yang menjadi pertimbangan pelaku usaha dalam perencanaan
investasi adalah alokasi kredit karena sampai saat ini sebagian besar
pembiayaan sektor produksi masih tergantung pada kredit. Kondisi ini tampak
jelas pada sektor pertanian dimana variabel kredit berpengaruh nyata terhadap
investasi sektor pertanian dengan arah yang positif. Artinya, peningkatan jumlah
kredit yang disalurkan pada sektor pertanian berpotensi meningkatkan investasi
pada sektor tersebut.
Sedangkan pada sektor industri, signifikansi pengaruh
kredit terhadap investasi terlihat pada taraf kepercayaan 30 persen. Hasil ini
menjadi gambaran bahwa jalur transmisi melalui kredit bekerja efektif dalam
96
mempengaruhi investasi sektor pertanian sehingga prioritas penyaluran kredit
bagi sektor pertanian tetap dibutuhkan.
Variabel lain yang berpengaruh juga terhadap investasi pada sektor
pertanian adalah perkembangan produksi sebagai potensi ekonomi di sektor
tersebut. Arah parameternya mengindikasikan bahwa tambahan output sektor
pertanian mendorong minat pelaku usaha untuk meningkatkan investasi di sektor
pertanian karena adanya potensi ekonomi yang lebih baik.
Kinerja sektor riil juga dapat diamati dari kinerja ekspor. Sebagaimana
disajikan pada Tabel 12,
kinerja ekspor sektor pertanian dan sektor industri
memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Ekspor sektor pertanian dipengaruhi
hanya oleh tingkat produksi sektor tersebut dengan arah yang positif. Hal ini
terjadi berkemungkinan karena output sektor pertanian relatif spesifik dan
memiliki keunggulan komparatif sehingga peningkatan ekspor sangat responsif
terhadap peningkatan produksi sektor itu sendiri. Sedangkan variabel yang
dominan mempengaruhi ekspor sektor industri adalah inflasi.
Dari arah
parameternya diketahui bahwa peningkatan inflasi yang mencerminkan kenaikan
harga barang-barang menurunkan nilai ekspor karena harga barang ekspor
menjadi lebih mahal dan menurunkan daya saing produk ekspor sektor industri di
pasar dunia.
Disamping itu, harga domestik yang lebih tinggi menarik minat
investor untuk mengurangi volume ekspor karena lebih memilih pasar dalam
negeri.
Satu fenomena yang menarik dari analisis ini adalah nilai tukar yang
menjadi variabel transmisi kebijakan moneter melalui jalur harga aset ternyata
tidak berpengaruh nyata terhadap eskpor sektor pertanian dan ekspor sektor
industri.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa transmisi moneter melalui
jalur harga aset yaitu efek nilai tukar tidak bekerja optimal dalam mendorong
kinerja ekspor sektor riil.
97
Tabel 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Sektor Pertanian dan
Industri, Tahun 2005
Variabel
Uraian
Elastisitas
Parameter
Dugaan
Prob>ITI
87.0600
0.166
Jangka
Pendek
Jangka
Panjang
Pertanian
Intercept
INFL
Inflasi
0.0659
0.987
0.0381
-0.1450
ER
Nilai Tukar
0.0032
0.731
0.0161
-0.0612
PDBSPT
Produksi sektor pertanian
0.0056
0.060
0.0587
0.2234
LVXSPT
Lag Ekspor sektor Pertanian
DKM
Dummy Krisis Moneter
0.7879
<.0001
51.3417
0.248
222.3393
0.0798
Industri
Intercept
INFL
Inflasi
ER
Nilai Tukar
PDBSI
Produksi sektor industri
LVXSI
Lag Ekspor sektor industri
DKM
Dummy Krisis Moneter
-36.8204
0.0438
-0.0574
-0.6506
0.0176
0.5686
0.0114
-0.1297
0.010835
0.5955
0.0566
0.6415
0.979397
<.0001
168.2534
0.4174
produksi
dalam
2
1 Order Autocorrelation = 0.062607
2
1 Order Autocorrelation = 0.022181
R = 0.64275;
R =0.97670;
st
st
Produk
Domestik
Bruto
menunjukkan
tingkat
perekonomian dimana analisis faktor-faktor yang mempengaruhinya disajikan
pada Tabel 13.
Pada sektor pertanian, tenaga kerja berpengaruh negatif
terhadap produksi sedangkan investasi yang menjadi cerminan kapital
berpengaruh positif terhadap tingkat produksi sektor pertanian.
Hal ini
mengindikasikan bahwa penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian saat ini
sudah berlebih sehingga penambahan tenaga kerja hanya akan menurunkan
jumlah produksi. Selanjutnya arah parameter investasi yang positif menunjukkan
bahwa peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan dengan
menambah investasi modal/kapital. Dikaitkan dengan hasil analisis pada Tabel
11, maka kebijakan moneter yang dapat diupayakan untuk menstimulasi
peningkatan produksi sektor pertanian melalui investasi kapital/modal adalah
98
melalui penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi
sektor pertanian.
Pada sektor industri, variabel tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap
produksi dengan arah yang positif.
Hasil ini sangat terkait dengan struktur
industri di Indonesia yang sebagian besar adalah industri kecil dan industri rumah
tangga sehingga peningkatan penggunaan tenaga kerja akan meningkatkan total
produksi. Disamping itu, produktivitas dan kualitas tenaga kerja yang biasanya
dipekerjakan di sektor industri memang relatif lebih baik sehingga mampu
memberikan sumbangan yang berarti terhadap peningkatan produksi.
Dalam
jangka panjang, variabel tenaga kerja ini bahkan sangat elastis sehingga tingkat
output sektor industri sangat responsif terhadap perubahan jumlah tenaga kerja
yang bekerja di sektor industri.
Tabel 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Output Sektor Pertanian,
Tahun 2005
Variabel
Pertanian
Uraian
Parameter
Dugaan
Intercept
Prob>ITI
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
5705.806
0.0062
LACSPT
Penggunaan Tenaga Kerja
-0.11815
0.0226
0.0099
0.0478
INVSPT
Investasi
0.429825
0.0003
0.0741
0.3588
LPDBSPT
Lag Produksi Sektor Pertanian
0.673881
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
997.0357
0.0051
DBI
Industri
Dummy Independensi BI
2070.318
0.0001
-3861.53
0.0212
Penggunaan Tenaga Kerja
0.713666
0.0248
0.6336
2.7661
0.0018
0.0078
Intercept
LACSI
INVSI
Investasi
-0.00053
0.9926
LPDBSI
Lag Produksi Sektor Industri
0.873862
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
-602.237
0.4429
Dummy Independensi BI
-717.391
0.4449
DBI
R2 =
0.97252;
1st Order Autocorrelation =
-0.13836
R2 = 0.98084;
1st Order Autocorrelation =
0.098572
99
Peningkatan kesempatan kerja menjadi salah satu tujuan akhir
pembangunan nasional sehingga mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat penyerapan tenaga kerja masing-masing sektor produksi menjadi sangat
penting. Performan faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian dan sektor industri disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor
Pertanian dan Industri, Tahun 2005
Variabel
Parameter
Dugaan
Uraian
Prob>ITI
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek Panjang
Pertanian
Intercept
WSPT
Upah sektor pertanian
Perkembangan PDB sektor
Pertanian
Lag Penyerapan TK
sektor pertanian
GPDBSPT
LLASPT
1216.285
0.4699
-0.00228
0.1973
-0.0098
-0.4788
-0.15609
0.4012
-0.0001
-0.0054
0.982622
<.0001
-189.889
0.2035
-0.001481
0.0123
0.0392
3.4844
0.011347
0.3172
0.0004
0.0363
0.988634
<.0001
Industri
Intercept
WSPT
Upah sektor industri
GPDBSPT
Perkembangan PDB sektor Industri
Lag Penyerapan TK
sektor Industri
LLASPT
R2 = 0.88810;
R2 = 0.99509;
1sOrder Autocorrelation = -0.01519
1s Order Autocorrelation = 0.692474
Pada sektor pertanian, upah menjadi faktor yang berpengaruh nyata
terhadap penyerapan tenaga kerja dengan arah yang negatif dimana semakin
murah upah tenaga kerja yang dibayarkan, maka semakin banyak tenaga kerja
yang diserap oleh sektor tersebut.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan
teknologi produksi sektor pertanian yang padat tenaga kerja sehingga penurunan
upah menjadi sinyal baik pelaku usaha pertanian untuk menggunakan lebih
banyak tenaga kerja. Fenomena yang sama juga terlihat pada sektor industri
dimana upah yang lebih rendah akan mendorong penggunaan tenaga kerja yang
lebih banyak. Bahkan dalam jangka panjang, penyerapan tenaga kerja sektor
industri
ini
sangat
responsif
terhadap
perubahan
upah
sebagaimana
100
diindikasikan dari nilai elastisitas sebesar 3.48.
Variabel lain yang juga
berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja oleh kedua sektor adalah
lag penyerapan tenaga kerja periode sebelumnya yang mengindikasikan bahwa
keputusan penambahan atau pengurangan penggunaan tenaga kerja oleh sektor
riil mempertimbangkan kondisi periode sebelumnya.
VI. DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA
SEKTOR RIIL DI INDONESIA
6.1. Validasi Model
Validasi model kebijakan moneter dan kinerja sektor riil dilakukan pada
periode 1986-2005.
Kriteria statistik yang digunakan dalam validasi model
adalah R square (R2) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) dimana hasilnya
disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil Validasi Model Kebijakan Moneter dan Sektor Riil di Indonesia,
Tahun 1986-2005
No
Variabel
Aktual
Prediksi
R -square
RMS%
Error
Coef U
1
Suku bunga
14.1204
14.1469
0.6308
23.217
0.1005
2
Nilai Tukar
4113.7
4112.2
0.8481
36.5405
0.1207
3
Alokasi Kredit sektor
Pertanian
11137.8
11140.2
0.9575
14.8297
0.0731
Alokasi Kredit sektor
Industri
48774.5
48454.8
0.9129
20.8226
0.1112
Alokasi Kredit sektor
Lainnya
53559.4
53874.4
0.7965
38.9304
0.1454
4
5
6
Investasi Sektor Pertanian
1429.3
1613.4
0.8754
112.6
0.2301
7
Investasi Sektor Industri
7372.1
150809
0.8115
69573.4
0.3524
8
Investasi Sektor Lainnya
2335.5
1969.9
0.8733
108.4
0.2270
9
Ekspor Sektor Pertanian
605.7
618.4
0.5719
19.3732
0.0897
10
Ekspor Sektor Industri
5788.3
7156.8
0.9763
30.7147
0.1140
11
Ekspor Sektor Lainnya
3409.1
3390.1
0.6273
33.4987
0.1029
12
Penyerapan Tenaga Kerja
Sektor Pertanian
39007.7
39867.4
0.9031
4.3692
0.0199
Penyerapan Tenaga Kerja
Sektor Industri
8751.7
9553.2
0.9955
11.7792
0.0492
Penyerapan Tenaga Kerja
Sektor Lainnya
31039.8
30951.9
0.9813
5.8762
0.0282
15
Produk Domestik Bruto
Sektor Pertanian
11044.2
11515.4
0.8793
47.2465
0.1284
16
Produk Domestik Bruto
Sektor Industri
15381.4
21045.9
0.9753
65.6755
0.1583
Produk Domestik Bruto
Sektor Lainnya
38307.8
37776.1
0.9683
33.1705
0.0808
Produk Domestik Bruto
64733.5
70337.4
-
35.8089
0.0815
13
14
17
18
102
Secara umum, sebagian besar model memiliki R square relatif tinggi yaitu
antara 0.6 sampai 0.9. Angka ini mengindikasikan model dapat dengan handal
menjelaskan perilaku yang sebenarnya yang disederhanakan dalam sebuah
model. Berdasarkan indikator Theil’s Inequality Coefficient (U), sebagian besar
persamaan berada disekitar 0.019 sampai 0.35.
Dengan demikian dapat
dikatakan hasil validasi sudah cukup baik dan dapat digunakan untuk simulasi.
Simulasi kebijakan dilakukan dengan melakukan simulasi historis
terhadap kebijakan yang dapat dilakukan oleh otoritas moneter untuk mendorong
pertumbuhan
ekonomi
yang
tercermin
dari
kinerja
sektor
riil
dengan
mempertimbangkan paradigma baru dalam penetapan kebijakan moneter
dengan inflasi sebagai landasan (anchor) kebijakan moneter di Indonesia.
6.2. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil
Tiga kebijakan moneter yang dianalisis adalah : (1) Penurunan Suku
Bunga Sertifikat Bank Indonesia sebesar 5 persen, (2) Peningkatan Giro Wajib
Minimum sebesar 5 persen, dan (3) Peningkatan alokasi kredit sebesar 10
persen.
Penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan cerminan
penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia. Rapat Dewan Gubernur sejak bulan
September 2006 memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 50 bps setiap
bulannya dan sampai bulan November terjadi penurunan BI rate dari 10.75
menjadi 10.25
dan pada 7 Desember 2006
Bank Indonesia kembali
memutuskan menurunkan BI rate sebesar 50 bps dari 10.25 persen menjadi 9.75
persen atau sekitar 5 persen yang diikuti dengan penurunan Suku bunga SBI 1
bulan dalam persentase penurunan yang sama.
Keputusan tersebut diambil
setelah melakukan evaluasi kondisi makroekonomi terkini, mencermati hasil
berbagai survei, dan memandang prospek ekonomi moneter ke depan, termasuk
103
upaya pencapaian sasaran inflasi ke depan, yaitu 6±1% untuk tahun 2007.
Keputusan tersebut juga diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku
ekonomi, mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di
pasar keuangan.
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi fokus perhatian saat ini
terkait dengan perubahan target operasional yang diberlakukan Bank Indoesia
sejak Juni 2005 yang sebelumnya menggunakan uang primer (base money)
menjadi suku bunga. Pertimbangannya adalah Suku bunga Sertifikat Indonesia
lebih memudahkan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan mencapai
sasaran pertumbuhan ekonomi.
Keuntungan lain menggunakan suku bunga
karena suku bunga sudah biasa dipakai sebagai rujukan di pasar modal dan
mempengaruhi alokasi aset masyarakat karena masyarakat bisa menganalisis
dananya akan ditempatkan di deposito atau surat berharga.
Disamping itu,
dalam prakteknya, penggunaan uang primer sebagai target operasional menjadi
sulit karena sebagian besar uang primer merupakan uang kartal yang beredar di
masyarakat (Laporan Tahunan BI, 2005).
Sebagai contoh, setiap akhir tahun
permintaan uang kartal pasti naik akibat adanya hari raya, Lebaran, Natal, dan
Tahun Baru dan di saat seperti itu sangat sulit bagi BI mengendalikan inflasi
karena berapa pun BI menaikkan suku bunga untuk menyerap uang kartal tetap
tidak akan berhasil berhubung masyarakat sangat membutuhkannya untuk
transaksi.
Kebijakan penetapan cadangan wajib minimum ini adalah mewajibkan
setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya merupakan
persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang
dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar persentase tertentu dari
dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank
104
yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang
perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat
ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya.
Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum sebesar 5 persen sejalan
dengan kebijakan Bank Indonesia dalam rangka meredam nilai tukar yaitu Bank
Indonesia menaikkan simpanan wajib perbankan atau giro wajib minimum
(GWM) secara bervariasi sesuai dengan kondisi bank atau berdasarkan Loan to
Deposit Ratio (LDR) masing-masing bank. Ketentuan ini berlaku sejak 6
September 2005 dan dalam simulasi kebijakan ini diambil kenaikan yang paling
besar yaitu tambahan 5 persen bagi bank dengan LDR kurang dari 40 persen.
Kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen merupakan wujud
perhatian Bank Indonesia terhadap sektor riil dengan program pengembangan
UMKM.
Untuk meningkatkan kemampuan bank dalam pembiayaan kepada
UMKM dan membantu UMKM dalam proses pengajuan kredit, BI bekerjasama
dengan Pemerintah Negara Swiss yaitu Swisscontact and International Finance
Cooperation (IFC)- World Bank tentang “Access to Finance for SME’s in
Indonesia”. Kerjasama ini direalisasikan dalam bentuk credit line senilai USD
100 juta. Pertumbuhan kredit yang positif ini juga merupakan respon penurunan
BI rate yang dalam laporan Bank Indonesia disebutkan bahwa selama tahun
2006 pertumbuhan alokasi kredit meningkat sebesar 10.6 persen (Laporan Bank
Indonesia, 2006). Adapun dampak kebijakan moneter ini terhadap kinerja sektor
riil disajikan pada Tabel 16.
Dua kebijakan yang memberikan dampak positif terhadap kinerja sektor
pertanian dan sektor industri adalah kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) sebesar 5 persen dan kebijakan peningkatan alokasi kredit
sebesar 5 persen karena dua kebijakan ini mampu meningkatkan kinerja
investasi, ekspor dan output kedua sektor. Sedangkan kebijakan peningkatan
105
giro wajib minimum sebesar 5 persen dalam rangkaian kebijakan kontraktif
diresponden oleh perbankan dengan menurunkan alokasi kredit untuk sektor
pertanian dan industri yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi kedua
sektor tersebut. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum ini juga berdampak
pada
penurunan
aktivitas
ekspor
sektor
pertanian
sehingga
akhirnya
menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri,
kebijakan peningkatan giro wajib minimum masih mampu meningkatkan ekspor
meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini terjadi karena kebijakan ini
mencerminkan langkah cepat otoritas moneter dalam menjaga stabilitas
perekonomian dan menjadi indikator kemampuan perbankan yang lebih baik
dalam menjaga likuiditas sehingga memberikan rasa aman bagi dunia industri
untuk tetap mempertahankan kinerja ekspor dan selanjutnya meningkatkan pula
total produksi sektor industri.
Tabel 16. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil,
Tahun 2005
Variabel
Sektor Pertanian
Alokasi kredit Sektor Pertanian (Miliar Rp)
Investasi Sektor Pertanian (Miliar Rp)
Ekspor Sektor Pertanian (Miliar Rp)
Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian
(Miliar Rp)
Penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian
(Ribu orang)
Sektor Industri
Alokasi Kredit Sektor Industri (Miliar Rp)
Investasi Sektor Industri (Miliar Rp)
Ekspor Sektor Industri (Miliar Rp)
Produk Domestik Bruto Sektor Industri (Miliar
Rp)
Penyerapan tenaga kerja sektor Industri
(Ribu orang)
Nilai
Dasar
ISBI
turun
5%
Giro Wajib
Minimum
naik 5%
Alokasi
Kredit
naik 5%
11061
3432
616
0.34
3.20
0.52
-0.70
-8.87
-1.58
0.37
3.52
0.57
9418
1.47
-4.20
1.61
39044
-0.03
-0.10
-0.03
47746
13021
6138
1.00
4.55
0.07
-0.32
-6.55
0.03
1.07
4.91
0.07
14619
0.10
0.14
0.10
8603
0.04
0.04
0.04
106
Dari besaran dampak dapat dikatakan bahwa kebijakan peningkatan
alokasi kredit sebesar 5 persen memberikan dampak positif yang lebih besar
terhadap peningkatan investasi, ekspor dan output kedua sektor. Meningkatnya
alokasi kredit total sebesar 5 persen meningkatkan alokasi kredit sektor pertanian
0.37 persen dan meningkatkan pula alokasi kredit sektor industri lebih besar lagi
yaitu 1.07 persen yang selanjutnya mendorong peningkatan investasi sektor
pertanian sebesar 3.52 persen. Bahkan peningkatan investasi sektor industri
akibat kebijakan ini cukup signifikan yaitu 4.9 persen . Kebijakan meningkatkan
alokasi kredit sebesar 5 persen juga memberikan dampak positif pada
peningkatan ekpor kedua sektor meskipun dalam persentase yang sangat kecil
dan akhirnya meningkatkan total produksi sektor pertanian sebesar 1.61 persen
dan produksi sektor industri sebesar 0.099 persen.
Satu fenomena menarik dari analisis kebijakan ini adalah tidak ada satu
pun kebijakan yang mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor
pertanian sehingga dapat dikatakan kebijakan moneter belum memberikan
pengaruh yang berarti bagi peningkatan kinerja sektor pertanian yang benarbenar mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Sedangkan
pada sektor industri, ketiga kebijakan dalam analisis ini masih berdampak pada
peningkatan penggunaan tenaga kerja meskipun dalam persentase yang sangat
kecil.
Dampak simulasi kebijakan terhadap kondisi perekonomian secara
agregat disajikan pada Tabel 17. Pembahasan kinerja perekonomian dibatasi
pada lima indikator utama yaitu nilai alokasi kredit, investasi, ekspor, PDB dan
jumlah pengangguran.
Dampak simulasi kebijakan terhadap kondisi perekonomian secara umum
sejalan dengan dampak kebijakan yang sama terhadap sektor riil dimana
rangkaian kebijakan moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga SBI dan
107
peningkatan alokasi kredit memberikan dampak positif terhadap kinerja investasi,
ekspor dan produk domestik bruto (PDB).
Sebaliknya, simulasi kebijakan
moneter kontraktif yaitu peningkatan giro wajib minimum berdampak pada
penurunan output sebesar 0.9 persen yang terjadi terutama karena penurunan
investasi sebesar 7.16 persen.
Tabel 17. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian
Indonesia, Tahun 2005
Nilai
Dasar
Variabel
Alokasi Kredit (Miliar Rp)
Giro Wajib
Minimum
naik 5%
ISBI turun
5%
Alokasi Kredit
naik 5%
112324
0.637
-0.3448
Investasi (Miliar Rp)
19371
4.609
-7.1641
4.99
Ekspor (Miliar Rp)
Produk Domestrik Bruto
(Miliar Rp)
10170
0.120
-0.1378
0.13
62914
0.559
-0.9814
0.61
4296
0.112
1.0560
0.14
Pengangguran (ribu orang)
5.00
Peningkatan investasi akibat penurunan suku bunga SBI dan akibat
peningkatan alokasi kredit tidak menunjukan perbedaan yang mencolok sehingga
dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam stimulasi
peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output.
Namun peningkatan output yang mampu diupayakan dari dua kebijakan ini masih
lebih
rendah
dibandingkan
persentase
peningkatan
investasi
yang
mengindikasikan bahwa kontribusi investasi terhadap peningkatan ouput masih
sangat kecil. Hal ini pula yang menjadi alasan masih tingginya pengangguran
dan bahkan belum ada satu pun kebijakan yang mampu menurunkan angka
pengangguran di Indonesia.
Disamping itu, hasil ini juga menunjukkan bahwa
upaya mengurangi angka pengangguran tidak cukup diusahakan hanya dari
kebijakan moneter karena diperlukan pula dukungan kebijakan lain yang bersifat
makro dan mikro.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Kinerja perekonomian, jumlah uang beredar dan inflasi mempunyai
kesamaan pola perkembangan dalam artian ada hubungan searah antara
pertumbuhan ekonomi dengan pertambahan jumlah beredar dan pertumbuhan
ekonomi dengan inflasi. Pada periode sebelum krisis (1980-1997), pertumbuhan
ekonomi berhubungan searah dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dimana
pertumbuhan jumlah uang beredar sekitar 3 kali pertumbuhan ekonomi. Dari
sudut pandang teori Klasik, hal ini dapat dipandang sebagai peningkatan
penggunaan uang sebagai alat transaksi (M1) yang biasanya memang semakin
meningkat pada saat perekonomian tumbuh. Sedangkan dari sudut pandang
teori Keynesian, peningkatan jumlah uang beredar ini terjadi berkemungkinan
karena suntikan kredit yang akan mendorong aktivitas investasi dan akhirnya
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selama periode krisis, jumlah uang beredar meningkat signifikan dengan
persentase peningkatan melebihi angka 20 persen, namun pertumbuhan
ekonomi justru menjadi negatif dan hampir tidak berkembang. Hal ini terjadi
berkemungkinan karena kondisi abnormal selama awal krisis yang mendorong
masyarakat untuk menyimpan uang untuk berjaga-jaga dan transaksi.
Mulai tahun 2001, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter
yang independen menempuh kebijakan uang ketat (tight money policy) sehingga
menyebabkan pertambahan jumlah uang beredar sangat terkendali menjadi
sekitar 10 persen per tahun. Pengetatan jumlah uang beredar ini ternyata tidak
menurunkan pertumbuhan ekonomi karena terbukti selama periode 2001-2005
pertumbuhan ekonomi tetap stabil pada kisaran angka 3-5 persen per tahun.
109
Penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian saat ini sudah berlebih
jumlahnya sehingga penambahan tenaga kerja hanya akan menurunkan jumlah
produksi.
Oleh karena itu peningkatan produksi sektor pertanian dapat
diupayakan melalui perbaikan dan peningkatan investasi modal/kapital. Pada
sektor industri, variabel tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi
dengan arah yang positif. Hasil ini menjadi cerminan bahwa struktur industri di
Indonesia sebagian besarnya adalah industri kecil dan industri rumah tangga
yang menggunakan teknologi intensif tenaga kerja (labor intensive). Disamping
itu, tenaga kerja di sektor industri memiliki kualitas dan produktivitas kerja yang
relatif lebih baik sehingga penambahan tenaga kerja di sektor industri mampu
memberikan sumbangan yang berarti terhadap peningkatan produksi.
Kebijakan moneter yang mampu menstimulasi peningkatan produksi
sektor pertanian melalui peningkatan investasi kapital/modal adalah penciptaan
suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian
karena jalur transmisi melalui suku bunga dan kredit khusus dari sisi pinjaman
bank (bank lending channel) bekerja efektif mempengaruhi investasi sektor
pertanian.
Sedangkan investasi sektor industri lebih banyak dipengaruhi oleh suku
bunga pasar, sedangkan alokasi kredit tidak berpengaruh nyata.
Hal ini
mengindikasikan bahwa meskipun peranan BI sudah cukup baik dalam
mempengaruhi ketersediaan kredit melalui penetapan giro wajib minimum
perbankan yang selanjutnya direspon oleh perbankan dengan meningkatkan
penyaluran kredit bagi sektor pertanian, namun tidak mampu meningkatkan
investasi sektor tersebut.
Hal ini terjadi biasanya karena kredit seringkali
digunakan atau dialihkan penggunaannya untuk kegiatan yang lebih bersifat
konsumtif atau adanya tenggang waktu penggunaan kredit dengan peningkatan
investasi.
110
Kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan
kebijakan peningkatan alokasi kredit mampu meningkatkan kinerja investasi,
ekspor dan output kedua sektor. Sedangkan kebijakan peningkatan giro wajib
minimum dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden oleh perbankan
dengan menurunkan alokasi kredit untuk sektor pertanian dan industri yang
selanjutnya menurunkan kinerja investasi. Kebijakan meningkatkan giro wajib
minimum ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian
sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian.
Sedangkan
pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum maih mampu
meningkatkan ekspor meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini terjadi
karena kebijakan ini mencerminkan langkah cepat otoritas moneter dalam
menjaga stabilitas perekonomian dan menjadi indikator kemampuan perbankan
yang lebih baik dalam menjaga likuiditas sehingga memberikan rasa aman bagi
dunia industri untuk tetap mempertahankan kinerja ekspor dan selanjutnya
meningkatkan pula total produksi sektor industri
Bagi kinerja perekonomian secara agregat, kebijakan yang membawa
dampak positif terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah kebijakan
meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen.
Namun demikian kebijakan
penurunan suku bunga SBI juga memberikan dampak positif, bahkan
peningkatan investasi akibat penurunan suku bunga SBI dan akibat peningkatan
alokasi kredit tidak berbeda jauh sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi
pilihan bagi otoritas moneter dalam stimulasi peningkatan investasi yang
diharapkan mampu mendorong peningkatan output dalam perekonomian.
7.2. Saran
Peningkatan kinerja sektor riil dapat diupayakan melalui penurunan suku
bunga karena suku bunga pasar memiliki pengaruh yang nyata terhadap
111
kegiatan investasi. Hal ini dapat diatur oleh Bank Indonesia sebagai pemegang
otoritas moneter dengan menurunkan suku bunga SBI dan giro wajib minimum.
Secara bersamaan, pemerintah tetap perlu menciptakan stimulasi perbaikan
kinerja dunia usaha melalui penyaluran paket-paket kredit sehingga dapat
menjadi sumber permodalan untuk meningkatkan kapasitas produksi terutama
bagi sektor pertanian.
Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan perkreditan, maka khusus pada
sektor pertanian perlu kebijakan lain yang lebih mikro agar pelaku usaha
pertanian memiliki akses yang lebih baik, diantaranya adalah pembinaan dan
pengawasan yang ketat atau kemudahan persyaratan untuk mendapatkan kredit.
Sementara itu, kebijakan perkreditan bagi sektor industri akan optimal
meningkatkan kinerja apabila kondisi perekonomian mendukung diantaranya
melalui penciptaan stabilisasi harga (inflasi) karena inflasi yang stabil mampu
mendorong
ekspor
sektor
penambahan investasi.
industri
yang
selanjutnya
akan
mendorong
DAFTAR PUSTAKA
Alkadri. 1999. Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Selama 19691996. Jurnal Studi Indonesia, 9 (2): 1-13. www.psi.ut.ac.id/jsi/92alkadri
Ascarya. 2002. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan
dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta.
Bank Indonesia. 2003. Laporan Tahunan 2002. Bank Indonesia, Jakarta.
Boediono, 1980. Ekonomi Moneter. Edisi kedua. Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Ekananda, M. 2004. Analisis Pengaruh Volatulitas Nilai Tukar pada Ekspor
Komoditi Manufaktur di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, 7 (4): 197-235.
Friedman, M. 1991. Monetarist Economics. Basil Blackwell Ltd, New York
Julaihah, Umi dan Insukrindo. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Moneter
terhadap Variabel Makreoekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 – 2003.2.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7 (2): 323-341.
Gonarsyah, I. , N. Hanani dan B. M. Sinaga. 2002. Dampak Liberalisasi
Perdagangan terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan
Antisipasinya menghadapi Era Abad Asia Pasifik. Ekonomi dan
Keuangan Indonesia, 50 (3): 343-376.
Grenville, S. 2000. Monetary Policy and The Exchange Rate During the Crisis.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(2): 43-60.
Hamdani. 2003. Pengaruh Aliran Modal Swasta Jangka Pendek terhadap
Perubahan Nilai Tukar dan Laju Inflasi di Indonesia. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, 6 (1): 12-33.
Hendarsah. 2003. Nilai Tukar, Stabilitas Makro dan Intermediasi Perbankan.
Buletin Bisnis dan Investasi,
Jakarta. www.kompas.com/kompascetak/0305/31/ekonomi.340442.
Intriligator, M.D., R. Bodkin dan C. Hsio. 1996. Econometric Models Techniques
and Applications. Second Edition. Prentice-Hall,Inc, Englewood Cliffs,
New Jersey.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of
Econometric Method. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, New
York.
113
Mankiw, N.G. 2000. Macroeconomics. Third Edition. Worth Publisher, New York
McCallum, B.T. 1989. Monetary Economics:Theory and Policy.
Publishing Company, New York.
Macmillan
McLeod, R.H. 2003. Toward Improved Monetary Policy in Indonesia. Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 39(3): 303-328.
Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking and Financial Market.
Pearson Education International, New York.
Montiel, P. 2003. Tight Money in a Post Crisis Defense of the Exchange Rate:
What Have We Learned. Research Observer, 18 (1): 1-22.
Nuryati, Y. 2004. Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di
Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Pindyck, R.S. and D.L. Rubienfeld. 1981. Econometric Models and Economic
Forecast. Mc Graw-Hill, International Book Company, Tokyo.
Sipayung,T.
2000.
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor
Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Solikin.
2002.
Uang: Pengertian, Penciptaan dan Peranannya dalam
Perekonomian. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank
Indonesia, Jakarta.
Suhendra. 2003. Pengaruh Faktor Fundamental, Faktor Resiko, dan Ekspektasi
Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar Rupiah Pasca Penerapan Sistem Kurs
Mengambang Bebas. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 6 (1):
34-55.
Warjiyo, P. dan J. Agung. 2002. Transmission Mechanisms of Monetary Policy
in Indonesia. Directorate of Economic Research and Monetary Policy,
Bank Indonesia, Jakarta.
Warjiyo,P. dan Solikin. 2002. Kebijakan Moneter di Indonesia. Direktorat
Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta.
__________________. 2004. Bank Sentral: Kebijakan Moneter. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. Bank Indonesia, Jakarta.
Westerlund, J. 2003. A Structural Approach to Assessing the Bank Lending
Channel in the European Union. Department of Economics, Lund
University, Lund.
114
Wiranta, S. 1995. Deregulasi Moneter di Indonesia dan Kaitannya dengan
Tingkat Suku Bunga. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 3(1): 85101.
Yudanto, N dan M. Setyawan, S. 1998. Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor
Riil.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1(2):131-155.
LAMPIRAN
BLOK KINERJA MONETER
ISBI
ISBI
ILN
MB
IR
IRC
RR
ER
Kredit Sektoral
Lag Kredit
Sektoral
BLOK KINERJA PEREKONOMIAN
Investasi
Sektoral
Ekspor
Sektoral
Lag Investasi
Sektoral
Investasi
SL
INFL
GPDB
Sektoral
PDB
Ekspor
Lag PDB
Sektoral
U
LA
Upah
Sektor
Tenaga Kerja
Sektoral
PDB
Sektoral
BLOK KINERJA SEKTOR RIIL
Keterangan:
= variabel endogen ;
= variabel eksogen
Lampiran 1. Skema Model Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil
Download