DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil. (ANNY RATNAWATI sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja transmisi kebijakan moneter ke sektor riil, (3) mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja perekonomian, dan (4) merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan moneter yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil. Produksi sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh investasi sehingga peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan melalui peningkatan investasi, sedangkan peningkatan produksi sektor industri dapat diupayakan melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja. Kebijakan moneter yang mampu menstimulasi peningkatan investasi kapital/modal adalah penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian karena jalur transmisi melalui suku bunga dan kredit khususnya dari sisi pinjaman bank (bank lending channel) bekerja efektif mempengaruhi investasi sektor pertanian. Sedangkan investasi sektor industri lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga pasar. Implementasi kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan kebijakan peningkatan alokasi kredit mampu meningkatkan kinerja investasi, ekspor dan output sektor pertanian dan industri. Sedangkan kebijakan peningkatan giro wajib minimum dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden perbankan dengan menurunkan alokasi kredit yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi untuk sektor pertanian dan industri. Kebijakan ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum masih mampu meningkatkan ekspor namun dalam jumlah yang sangat kecil. Bagi kinerja perekonomian secara agregat, kebijakan yang membawa dampak positif terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah kebijakan perkreditan yaitu kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen. Namun demikian kebijakan penurunan suku bunga SBI juga memberikan dampak positif dengan besaran yang tidak begitu berbeda dibandingkan kebijakan kredit sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam menstimulasi peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output dalam perekonomian. Berdasarkan hasil simulasi tersebut disarankan bahwa peningkatan kinerja sektor riil dapat diupayakan melalui kebijakan peningkatan jumlah kredit yang dapat digunakan sektor riil untuk mendorong aktivitas produksinya. Disamping itu, penurunan suku bunga tetap terus dilakukan agar investasi sektor riil dapat diperbaiki dan diharapkan selanjutnya dapat mendorong peningkatan produksi. Kata kunci: kebijakan moneter, jalur suku bunga, jalur nilai tukar, kinerja sektor pertanian, kinerja sektor industri DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan dibimbing Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Maret 2007 LIRA MAI LENA NRP A545010041/EPN Judul Penelitian : Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia Nama Mahasiswa : Lira Mai Lena Nomor Pokok : A 545010041 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS Ketua Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Tanggal Ujian: 22 Desember 2006 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 30 Mei 1976, merupakan anak pertama dari pasangan Ali Martonang dan Ratna Wilis, H. Saat ini penulis telah menikah dengan suami tercinta Achmad Husna, SP dan dikaruniai satu orang putri bernama Aini Nurrohmah Husna. Sekolah dasar sampai SLTA diselesaikan di Padang. Pendidikan sarjana di selesaikan pada tahun 1998 di Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengembangan Sumberdaya Regional dan Pemberdayaan Masyarakat pada tahun 1999 sampai awal tahun 2006. PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W, keluarga beserta sahabat dan pengikutnya sampai akhir jaman. Tesis ini menyajikan hasil analisis dampak kebijakan moneter yang dijalankan otoritas moneter yaitu Bank Indonesia terhadap Kinerja Sektor Riil yang menjadi komponen pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kebijakan moneter dalam penelitian ini dilihat dalam beberapa perkembangan sejak adanya deregulasi perbankan, masa krisis dan pasca krisis dengan diperkuatnya independensi Bank Indonesia dalam mengatur target akhir yaitu target inflasi pada laju dan tingkat yang tertentu. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Anny Ratnawati dan Dr. Hermanto Siregar yang bersedia menjadi komisi pembimbing dan telah banyak memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis ini 2. Semua dosen dan staf pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan dan fasilitas kemudahan bagi penulis 3. Rekan-rekan EPN 2001 dan 2002 khususnya Mas Sumedi, Mbak Wahida, Yati, Besse M, Pak Azhar, Fahriyah, Indra, yang telah memberikan semangat, pemikiran-pemikiran dan dorongan bagi penulis 4. Teman-teman khususnya Debra, Mbak Ida, Eko, Asyik, Lia di lingkungan kerja yang terus memberikan dorongan dan bantuan moril bagi penulis 5. Semua guru-guruku yang telah banyak memberikan limpahan ilmu semenjak sekolah dasar sampai saat ini serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. 6. Kedua orang tua penulis yang tidak pernah berhenti berdoa dan mencurahkan kasih sayang serta dukungan kepada penulis, begitu juga adikku yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini 7. Suamiku tercinta dan anakku Aini Nurrohmah yang penuh pengertian mendampingi penulis selama menyelesaikan sekolah Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya. Namun demikian penulis tetap berharap semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Maret 2007 Penulis DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................iii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v I. PENDAHULUAN............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah............................................................................. 4 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................. 6 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ....................................... 7 II. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................................. 9 2.1. Tinjauan Teoritis ................................................................................... 9 2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang ........................................................ 9 2.1.2. Uang Beredar......................................................................... 11 2.1.3. Teori Permintaan Uang.......................................................... 14 2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi................................ 18 2.1.5. Teori Permintaan Agregat...................................................... 20 2.1.6. Suku Bunga ........................................................................... 22 2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto .................................................... 25 2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter ................................. 26 2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ............................. 30 2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter ............................ 36 2.2. Tinjauan Pustaka................................................................................ 39 2.2.1. Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia .......... 39 2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia ........................... 45 2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu ..................................................... 50 2.3. Kerangka Konseptual ......................................................................... 60 III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 63 3.1. Lokasi Penelitian ................................................................................ 63 3.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 63 3.3. Spesifikasi Model................................................................................ 63 3.4. Validasi Model .................................................................................... 70 3.5. Simulasi Model ................................................................................... 71 IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA ......................... 74 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia .................................. 74 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar................................ 74 4.1.2. Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi .... 78 4.1.3. Kinerja Suku Bunga ............................................................... 82 4.2. Kinerja Sektor Riil ............................................................................... 85 V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA ........................................ 89 5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter ............ 89 5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Riil ......... 94 VI. DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA................................................................... 101 6.1. Validasi Model .................................................................................. 101 6.2. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil ................ 102 VII. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 108 7.1. Kesimpulan....................................................................................... 108 7.2. Saran ................................................................................................ 110 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 112 L A M P I R A N ......................................................................................... 115 ii DAFTAR TABEL Halaman Nomor 1. Pertumbuhan Uang Primer dan Uang Beredar, Tahun 1984-2005 ........ 76 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1998-2005 .................... 77 3. Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto dan Inflasi Indonesia, Tahun1980-2005.............................................................................. 79 4. Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar, Output dan Harga Umum Perekonomian Indonesia, Tahun 1980-2005 ...................................... 81 5. Perkembangan Suku Bunga, Tahun 2001-2005 .................................. 84 6. Kinerja Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1984-2005.............................. 87 7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga, Tahun 2005.............. 90 8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar, Tahun 2005................ 91 9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Pertanian, Tahun 2005 ..................................................................................... 92 10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Industri, Tahun 2005 ..................................................................................... 93 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005 ........................................................................ 95 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005 ........................................................................ 97 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Output Sektor Pertanian, Tahun 2005 ..................................................................................... 98 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005 .................................................. 99 15. Hasil Validasi Model Kebijakan Moneter dan Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1986-2005............................................................................101 16. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil, Tahun 2005 ....................................................................................105 17. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia, Tahun 2005 ....................................................................107 iii DAFTAR GAMBAR Halaman Nomor 1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang.......................................... 21 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva IS-LM .................................................................... 22 3. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ............................................. 37 4. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas Besaran Moneter .................................................................................................. 38 5. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Suku Bunga...................... 38 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia ............................................... 62 7. Kinerja Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1984-2005 ..... 74 8. Pergerakan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito, Tahun 1984-2000................................................................................... 83 iv DAFTAR LAMPIRAN Halaman Nomor 1. Skema Model Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil ...........................…..............................................................117 2. Keragaan Indikator Moneter dan Perbankan di Indonesia, Tahun 1984-2005 .................................................................................118 3. Keragaan Indikator Perekonomian dan Sektor Riil, Tahun 1984-2005 .................................................................................121 v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan proses integrasi perekonomian menuju perekonomian global sehingga memudahkan pergerakan aliran dana luar negeri, padahal di sisi lain perangkat kelembagaan yang mendukung bekerjanya ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik. Dengan kondisi perekonomian seperti tersebut maka gejolak nilai tukar yang merupakan efek penularan dari Thailand dan Korea telah menimbulkan kesulitan ekonomi yang cukup parah dan ditunjukkan oleh adanya stagflasi dan instabilitas perekonomian. Penarikan dana secara tiba-tiba oleh investor asing karena pesimis dengan proses perekonomian regional mengakibatkan lemahnya mata uang rupiah. Selanjutnya gelombang capital outflow tersebut direspon oleh penduduk Indonesia dengan membeli dollar dalam jumlah besar yang membuat nilai tukar semakin menurun drastis. Padahal karakteristik sektor riil yang berkembang pesat di Indonesia saat itu adalah footloose industry dengan kandungan bahan baku impor yang sangat tinggi sehingga depresiasi nilai tukar rupiah menjadi beban biaya yang memicu timbulnya peningkatan harga-harga barang (inflasi). Disamping itu terputusnya akses ke sumber dana luar negeri karena kewajiban hutang yang terlalu besar dan perubahan kebijakan di negara-negara donor semakin menurunkan tingkat produksi sektor riil. Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala spekulasi dan ekspektasi depresiasi rupiah yang berlebihan, maka otoritas moneter menerapkan kebijakan moneter yang kontraktif yang berkonsekuensi pada 2 tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan beban suku bunga yang tinggi secara paralel mendorong keatas suku bunga pinjaman yang menjadi biaya modal perusahaan di sektor riil. Kenaikan biaya modal tersebut dengan sendirinya mengganggu perencanaan investasi maupun produksi yang pada akhirnya berpengaruh pada penurunan penawaran agregat. Sementara itu melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pula pada penurunan daya beli masyarakat karena kenaikan inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga barang konsumsi yang tinggi kandungan impornya. Penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat bersama-sama dengan terjadinya kenaikan biaya produksi dari kandungan impor dan biaya modal semakin memberikan tekanan kepada sektor riil. Secara makro, terganggunya penawaran agregat tersebut tampak dari tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 1997 yang merosot menjadi 4.19 persen dan bahkan pada akhir tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 17.13 persen. Pemutusan hubungan kerja meningkat tajam dan pada saat yang bersamaan, kenaikan laju inflasi yang tinggi (77.6%) dan penurunan penghasilan masyarakat telah menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang selanjutnya berdampak pada semakin meluasnya kantong-kantong kemiskinan (Bank Indonesia, 1998). Menghadapi tekanan pasca krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis multidimensi tersebut, maka pemerintah menetapkan kombinasi kebijakan moneter dan fiskal dimana kebijakan fiskal diarahkan pada penghematan anggaran belanja negara. Sedangkan di bidang moneter berdasarkan pasal 7 UU No, 23 tahun 1999, Bank Indonesia telah menetapkan inflasi sebagai landasan kebijakan moneter ke depan. Artinya kebijakan moneter diarahkan pada penurunan tingkat inflasi yang pada tahun ini ditargetkan berada pada kisaran 6-7 persen (Warjiyo, 2000). 3 Dengan pertimbangan bahwa tekanan inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak disebabkan keterbatasan dari sisi penawaran dan kebijakan pemerintah di bidang harga (cost push inflation), maka untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada upaya pengendalian uang primer dengan fokus pada penyerapan kelebihan likuiditas agar tetap sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Secara operasional, pengendalian moneter dilakukan dengan mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang tersedia khususnya melalui operasi pasar terbuka yaitu mekanisme lelang SBI baik yang berjangka waktu 1 bulan atau 3 bulan. Upaya ini juga didukung oleh penyerapan likuiditas melalui intervensi rupiah yang dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga agar uang primer tetap berada dalam sasaran yang telah ditetapkan. Dengan relatif besarnya kelebihan likuiditas sejalan dengan belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan, upaya pengendalian moneter melalui instrumen moneter ini membawa implikasi pada terjadinya kenaikan suku bunga SBI dan suku bunga perbankan. Oleh sebab itu, upaya pengendalian uang primer juga dilengkapi dengan upaya penambahan pasokan valuta asing di pasar melalui kebijakan sterilisasi valuta asing. Hal ini terutama dilakukan untuk menyerap ekspansi uang primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah dalam rupiah yang dibiayai dari penerimaan dalam valuta asing. Penambahan pasokan valuta asing melalui sterilisasi valuta asing selain digunakan untuk menyerap uang primer, juga dimaksudkan untuk mengurangi tekanan depresiasi dan volatilitas nilai tukar. Namun dalam pasar valuta asing masih terdapat kesenjangan antara jumlah pasokan dan permintaan valuta asing sehingga untuk menjaga efektivitas kebijakan ini maka diperlukan juga dukungan kebijakan lain yang dapat membatasi kemampuan para pelaku pasar untuk melakukan kegiatan spekulatif. 4 Namun demikian, kebijakan moneter yang lebih independen saat ini dengan adanya penetapan sasaran akhir yang lebih jelas yaitu target inflasi diharapkan tetap dapat memberikan pengaruh pada perbaikan perekonomian dan kinerja sektor riil yang terganggu akibat krisis selama 5 tahun terakhir ini. Inflasi yang berada pada kisaran yang rendah dengan kondisi perekonomian yang lebih stabil memberikan kepastian kepada pengusaha dalam meningkatkan kapasitas produksi yang didukung perencanaan investasi yang matang dan kegiatan perdagangan yang menguntungkan. 1.2. Perumusan Masalah Setelah lima tahun proses pemulihan ekonomi, perbaikan kebijakan dibidang moneter belum tertransmisi dengan baik terhadap perekonomian Indonesia. Sampai triwulan IV-2005, pertumbuhan Produk Domestik Bruto relatif kecil yaitu 4.5 persen/tahun (Laporan Bank Indonesia, 2006). Lambatnya pertumbuhan ekonomi ini terutama disebabkan oleh kinerja konsumsi dan investasi yang kurang optimal. Konsumsi masyarakat mengalami penurunan yang signifikan karena menurunnya daya beli terkait dengan tingginya angka inflasi. Sementara itu perlambatan investasi terjadi karena meningkatnya biaya input, menurunnya margin keuntungan perusahaan dan iklim usaha di Indonesia yang masih belum kondusif. Kontribusi investasi terhadap pembentukan produk domestik bruto juga hanya 15 persennya, padahal sebelum krisis aktivitas investasi menyumbang sekitar 30 persen terhadap PDB. Disisi eksternal, kegiatan ekspor sebagai sumber pertumbuhan yang dominan sebelum krisis juga masih menunjukkan pertumbuhan yang kecil dimana sampai akhir tahun 2005 tumbuh hanya 8.6 persen. Peningkatan ekspor netto lebih banyak disebabkan oleh kontraksi impor barang dan jasa yang mulai terjadi sejak tahun 2004. Melambatnya volume impor diperkirakan terkait erat 5 dengan melambatnya kegiatan investasi khususnya jenis-jenis investasi yang membutuhkan barang modal impor dalam proses produksi. Perlambatan kinerja perekonomian juga tampak pada pengangguran terbuka tahun 2005 yang mencapai 10.84 persen (11.6 juta orang) jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4.7 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi saat ini tidak cukup menampung angkatan kerja yang bertambah 1.8 juta orang per tahun. Sulitnya mengurangi tingkat pengangguran atau menciptakan lapangan kerja baru menjadi cerminan lambatnya gerak laju ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja yang terus bertambah setiap tahunnya. Secara teoritis kebijakan moneter mampu mempengaruhi sisi permintaan seperti yang dikemukakan oleh Keynesian dan Monetaris. Namun melihat struktur ekonomi Indonesia semasa krisis ekonomi dimana tekanan inflasi ternyata lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, maka kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral adalah kebijakan moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga sehingga diharapkan stimulan ini dapat mendorong ekspansi produksi dan menggeser kembali kurva penawaran ke kanan. Dengan demikian diharapkan harga akan menurun dan output meningkat. Namun penurunan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2004 dengan pertimbangan tekanan inflasi selama krisis ekonomi lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, tidak langsung mendongkrak peningkatan output dengan indikasi awal suku bunga kredit investasi masih tinggi. Lambannya penurunan suku bunga kredit investasi bagi sektor riil terutama disebabkan masih tingginya persepsi risiko perbankan terhadap penyaluran kredit investasi bagi sektor riil seiring dengan tingginya resiko yang harus ditanggung sektor riil setelah krisis ekonomi. Akibatnya suku 6 bunga kredit terlihat kurang elastis terhadap sinyal penurunan suku bunga dari bank sentral. Padahal perbankan mendominasi 80 persen sistem keuangan sehingga perbankan menjadi prioritas jalur transmisi kebijakan moneter. Hal ini sejalan dengan gejala yang muncul dari sisi pelaku usaha, dimana dunia usaha masih banyak mengeluhkan sulitnya memperoleh suntikan modal sebagai sumber dana untuk meningkatkan kapasitas produksi, padahal suku bunga Sertifikat Bank Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan dan diharapkan bertransmisi kepada turunnya suku bunga kredit (Hendarsah, 2003). Penurunan suku bunga SBI cenderung direspon dengan peningkatan kegiatan konsumsi. Sementara itu, kegiatan investasi yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang lebih tinggi daripada konsumsi tidak memberikan pengaruh yang berarti dengan perkembangan yang kurang memuaskan dan justru mengalami kontraksi sebesar 0.2 persen. Dalam tiga tahun terakhir ini, persetujuan investasi PMDN dan PMA pada tahun 2003 hanya sebesar Rp 177.18 trilyun rupiah, pada tahun 2004 menurun menjadi Rp 129.24 trilyun dan pada tahun 2005 persetujuan investasi sebesar Rp 179.57 trilyun rupiah (33.93% dari target). 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana dampak kebijakan moneter terhadap perbaikan kinerja sektor riil di Indonesia. Adapun secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. 7 3. Mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja perekonomian. 4. Merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan moneter yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sektor riil di Indonesia yang disederhanakan menjadi tiga kelompok utama yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor lainnya. Penyederhanaan menjadi tiga kelompok sektor ini dengan pertimbangan sektor pertanian dan sektor industri merupakan sektor andalan dalam pembentukan PDRB namun memiliki karakteristik yang berbeda dalam merespon gejolak krisis seperti tampak pada kinerja sektor-sektor tersebut saat terjadi depresiasi nilai tukar rupiah dan peningkatan suku bunga. Menurut Yudanto (1998) seberapa besar tekanan krisis ekonomi terhadap sektor riil sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga. Diantara lima sektor utama yaitu pertanian, industri, perdagangan, keuangan dan bangunan, sektor pertanian terbukti cukup resisten terhadap krisis sehingga pertumbuhan sektor ini memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat dengan gejolak kurs dan bahkan mempunyai koefisien korelasi dan elastisitas yang positif meskipun sangat rendah yaitu 0.08 dan 0.01. Sedangkan sektor yang terkait cukup erat dengan faktor depresiasi adalah sektor bangunan, industri, transportasi dan keuangan dan dilihat dari tingkat elastisitasnya maka sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Saratnya kandungan input yang diimpor dan besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri dalam struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor suku 8 bunga diketahui bahwa sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang paling terpengaruh oleh gejolak suku bunga. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan bahasan pada sektor pertanian dan industri untuk melihat seberapa jauh perubahan kinerja produksi setelah adanya perbaikan kebijakan moneter yang dijalankan sejak tahun 1999. Transmisi moneter dilihat dari sisi permintaan agregat menurut sektor dan secara sekilas juga akan dilihat dari sisi penawaran agregatnya yang terwakili dari jalur kredit karena seperti yang dikatakan oleh aliran neostrukturalis bahwa kebijakan moneter juga ditransmisikan melalui penawaran agregat via suku bunga dan volume kredit. Dampak kebijakan moneter terhadap sektor riil dianalisis melalui jalurjalur transmisi yaitu jalur suku bunga, jalur harga aset dan jalur kredit. Jalur transmisi harga aset dibatasi pada pengaruh nilai tukar, sedangkan jalur kredit dibatasi pada jalur pinjaman bank (bank lending channel) karena jalur ini yang diperkirakan memberikan pengaruh yang relatif kuat terhadap pertumbuhan kinerja sektor riil. Kinerja sektor riil dianalisis dari indikator penggunaan kredit, kinerja investasi, ekspor, Produk Domestik Bruto, dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan secara makro, digunakan lima indikator kinerja yaitu alokasi kredit total, investasi, ekspor, PDB dan tingkat pengangguran. Keterbatasan penelitian ini tampak pula pada perhitungan kinerja sektor riil yang diasumsikan hanya dipengaruhi oleh kebijakan moneter sedangkan kebijakan ekonomi lainnya seperti kebijakan fiskal dan faktor lain diluar moneter tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Dengan adanya keterbatasan dalam perolehan data, maka data time series yang akan digunakan dibatasi hanya untuk periode 1984-2005. II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang diterima secara umum dalam pembayaan barang dan jasa (Mishkin, 2001). Uang seringkali diidentikkan dengan uang kartal (currency) yaitu uang kertas dan uang logam. Padahal menurut ahli ekonomi, segala sesuatu yang relatif cepat dan mudah dikonversi menjadi uang kartal (currency) dapat dikelompokkan sebagai uang (money) seperti cek dan giro. Ahli ekonomi juga membedakan antara uang dan kesejahteraan karena kesejahteraan meliputi tidak hanya uang tapi juga aset lain seperti obligasi, saham, tanah, mobil, furnitur dan rumah. Lebih jauh lagi, ahli ekonomi juga membedakan uang dengan pendapatan. Pendapatan didefinisikan sebagai aliran penerimaan menurut waktu, sedangkan uang adalah cadangan. Tiga fungsi dasar dari uang adalah (1) sebagai media pertukaran (as a medium of xchange) , (2) sebagai satuan hitung (as a unit of account), dan (3) sebagai alat penyimpan nilai (as a store of value). Uang sebagai media pertukaran yaitu uang digunakan untuk membayar barang dan jasa. Uan sebagai media pertukaran mengatasi permsalahan dalam pemenuhan dua barang yang berbeda dan mendorong spesialisasi dan pembagian kerja. Penggunaan uang sebagai media pertukaran juga mampu meningkatkan efisiensi dalam perekonomian karena menghemat waktu saat mempertukarkan barang dan jasa. Waktu yang diperlukan dalam bertransaksi disebut juga dengan biaya transaksi (transaction cost). Hal ini dapat dipahami dengan mudah bila dibandingkan dengan perekonomian barter dimana peningkatan kesejahteraan dilakukan dengan tukar menukar komoditas yang dibutuhkan secara langsung. 10 Hal ini sangat merepotkan karena harus ada dua keinginan yang saling bertemu dan pada akhirnya, perekonomian barter ini meningkatkan biaya transaksi (transaction cost). Beberapa kelemahan perekonomian barter adalah tidak adanya metode penyimpanan daya beli yang dapat diterima secara umum, tidak adanya standar ukuran dan nilai dan tidak adanya alat pembayaran untuk transaksi-transaksi dimasa mendatang. Keterbatasan sistem barter ini mendorong manusia untuk mengembangkan sistem yang memungkinkan transaksi berjalan lebih cepat dan lancar. Untuk mengantisipasi kelemahan sistem barter, maka barang/benda yang dapat difungsikan sebagai uang haruslah memenuhi kriteria (1) mudah distandarisasikan, (2) diterima secara luas oleh masyarakat sebagai alat pembayaran, (3) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, (4) mudah dibawa, dan (5) tahan lama. Peranan kedua dari uang sebagai satuan hitung dimana uang digunakan untuk mengukur nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Peranan ini menjadi semakin penting karena semakin komplek dan beragamnya barang dan jasa yang diperdagangkan. Sebagai satuan hitung, uang mempermudah tukar menukar dimana dua barang yang secara fisik sangat berbeda bisa menjadi seragam apabila nilai masing-masing dinyatakan dengan uang. Pengenalan uang dalam perekonomian sebagai hitungan nilai barang memudahkan konsumen membandingkan harga satu barang dengan barang lain dan akhirnya mengurangi biaya transaksi dalam perekonomian. Uang berfungsi juga sebagai alat penyimpan nilai dalam artian uang mampu mempertahankan daya beli dari pendapatan sejak pendapatan tersebut diterima sampai pada waktu pendapatan tersebut dibelanjakan. Fungsi uang seperti ini sangat bermanfaat karena tidak semua orang menghabiskan pendapatannya dalam waktu cepat dan sangat terkait dengan sifat manusia 11 sebagai pengumpul kekayaan. Namun fungsi uang sebagai alat penyiman nilai menjadi kurang optimal jika dala perekonomian terjadi peningkatan harga secara terus menerus (inflasi). 2.1.2. Uang Beredar Secara umum terdapat dua definisi jumlah uang beredar yang banyak dipakai dimana definisi ini dibangun berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan transaksional (transactional approach) dan pendekatan likuiditas (liquidity approach). Pendekatan transaksional memandang jumlah uang beredar dihitung dari jumlah uang yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi. Dalam prakteknya, pendekatan tersebut digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti sempit yang dikenal sebagai M1. Yang tercakup dalam M1 adalah uang kartal (uang kertas dan uang logam yang berlaku) dan uang giral (rekening giro, kiriman uang, simpanan berjangka dan tabungan dalam rupiah yang sudah jatuh tempo). Pendekatan likuiditas mendefinisikan jumlah uang beredar sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Pertimbangannya adalah sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid dibandingkan uang kertas, uang logam dan rekening giro, tapi sangat mudah diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan transaksi. Dalam praktek, pendekatan ini digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti luas yaitu M2. Uang kuasi adalah simpanan rupiah dan valuta asing milik penduduk pada sistem moneter yang untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar meliputi simpanan berjangka dan tabungan penduduk pada bank umum baik dalam rupiah maupun valuta asing. Jumlah M2 ini sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian (Mishkin, 2001). 12 Untuk memudahkan pembahasan, Mc Callum (1989) mendefinisikan uang beredar terdiri dari uang kartal (currency) dan giro (checkable deposits) dengan rumusan: M = C + D ...............................................................................................(1) dimana: M C D = = = Uang beredar Uang kartal Deposito Rasio uang kartal dan deposito (C/D) sepenuhnya berada dalam pengawasan masyarakat dengan notasi cr = C/D .................................................................................................(2) dimana: cr C D = = = Rasio uang kartal dan deposito Uang kartal Deposito Berdasarkan persamaan (1) dan (2) dapat ditulis ulang persamaan uang beredar sebagai berikut: M = (cr + 1) D ..........................................................................................(3) Uang beredar (money supply) dapat dikendalikan oleh Bank sentral melalui uang primer (high power money) karena uang beredar memiliki kaitan yang erat dengan uang primer. Uang primer merupakan penjumlahan uang kartal dalam peredaran dan cadangan perbankan (TR) dengan rumusan : H = C + TR .............................................................................................(4) dimana: H C TR = = = Uang primer (high power money) Uang kartal Cadangan perbankan Jika rasio cadangan perbankan terhadap deposito sebagai rr = TR/D, maka uang persamaan uang primer dapat ditulis menjadi: 13 H = (cr+rr) D ............................................................................................(5) Dari persamaan (3) dan (5) dapat dibuatkan hubungan uang beredar dan uang primer sebagai berikut: M cr + 1 = H cr + rr ........................................................................................(6) Menurut Mishkin (2001), kaitan uang primer dengan uang beredar dapat juga dirumuskan sebagai berikut: M = m X H ...............................................................................................(7) dimana m adalah angka pengganda uang (money multiplier) yang didefinisikan sebagai besaran perubahan uang beredar akibat perubahan uang primer pada tingkat tertentu. Selanjutnya angka pengganda uang (money multiplier) dirumuskan sebagai berikut: m= 1 + (C / D) ………………………………………………...(8) rD + ( ER / D) + (C / D) artinya money multiplier merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur sepenuhnya oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatir oleh bank sentral. Dari rumusan diatas dapat pula dikatakan bahwa : 1. Jika rasio cadangan wajib minimum yang ditetapkan oleh bank sentral meningkat maka akan mendorong perbankan untuk mengurangi alokasi kredit untuk mempertahankan kemampuan cadangan perbankan dan selanjutnya menurunkan nilai angka pengganda uang (m) dan menurunkan pula jumlah uang beredar (M). 2. Ketika penabung meningkatkan ratio uang kartal per deposito dengan mengkoversi deposito ke uang kartal akan mendorong penurunan penciptaan uang sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan jumlah uang beredar akan berkurang. 14 3. Ketika bank meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap deposit atau tabungan maka bank akan mengurangi penyaluran kredit sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan mengurangi uang beredar. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa uang beredar berhubungan negatif dengan cadangan wajib minimum, rasio uang kartal (C/D) dan rasio cadangan perbankan (ER/D). Sementara itu, uang beredar berhubungan positif dengan uang primer yang ditentukan oleh bank sentral melalui operasi pasar terbuka. Oleh karena itu, model persamaan uang beredar haruslah mempertimbangkan perilaku bank sentral yang mengatur giro wajib minimum dan suku bunga diskonto, perilaku penabung melalui keputusan dalam memegang uang kartal, perilaku bank melalui keputusan rasio cadangan perbankan dan perilaku peminjam yang mempengaruhi suku bunga pasar yang akan mempengaruhi keputusan bank terkait dengan jumlah cadangan yang dipegang. 2.1.3. Teori Permintaan Uang Pandangan para ekonom Klasik di abad 19 dan awal abad 20 dalam Teori Kuantitas Uang memfokuskan fungsi uang sebagai alat tukar dan pengukur nilai sehingga uang bersifat netral dan tidak mempengaruhi perekonomian riil. Dengan demikian dalam teori ini dikatakan bahwa suku bunga tidak memiliki pengaruh apapun terhadap permintaan uang (Mishkin, 2001). Irving Fisher dalam bukunya ”Purchasing Power of Money” mengatakan bahwa permintaan uang dari masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari nilai transaksi (PY). Artinya permintaan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi yang merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Hal ini dijelaskan dengan persamaan 15 yang menunjukkan hubungan uang dengan tingkat harga dan pendapatan nasional sebagai berikut: MV = PY ................................................................................................(9) dimana: M V P Y = = = = Uang beredar Tingkat perputaran uang Tingkat output Harga dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (Y) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PY). Dengan mentransformasikan persamaan diatas, maka: Md = 1/V PY ..........................................................................................(10) Dari persamaan diatas, permintaan uang murni ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional dan tidak dipengaruhi oleh faktor lain seperti bunga. Fisher menyusun kesimpulan seperti ini karena kepercayaannya bahwa orang-orang memegang uang hanya untuk transaksi sehingga permintaan uang dtentukan oleh dua variabel yaitu (1) jumlah transaksi yang diwakilkan oleh tingkat pendapatan PY dan (2) institusi perekonomian yang mempengaruhi cara orangorang melakukan transaksi yang akan menentukan tingkat perputaran uang (velocity of money). Teori permintaan uang Cambridge menekankan pada perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaan salah satunya dalam bentuk uang dengan memperhitungkan untung rugi pemegangan kekayaan tersebut. Cambridge mengatakan bahwa kelebihan memegang uang adalah kemudahan dalam proses transaksi, namun di pihak lain memegang uang berarti mengorbankan 16 kemungkinan mendapatkan penghasilan dalam bentuk bunga atau keuntungan kapital bila memegang kekayaan dalam bentuk surat berharga. Pandangan ini sangat berbeda dengan teori Fisher yang menekankan permintaan uang hanya merupakan proporsi konstan dari volume transaksi. Dengan demikian teori Cambridge mengatakan bahwa permintaan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, kekayaan dan ekspektasi masyarakat mengenai masa depan. Jadi dalam jangka pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsional konstan. Hal ini digambarkan pada persamaan sebagai berikut : Md = k P Y ...........................................................................................(11) Teori Cambridge ini menyatakan pula bahwa terdapat kemungkinan pengaruh faktor lain seperti tingkat bunga yang diwakilkan oleh variabel k. Artinya jika tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat mengurangi permintaan uang dan jika di masa datang diharapkan ada kenaikan tingkat bunga maka orang akan cenderung menambah jumlah uang tunai yang mereka pegang. John Maynard Keynes memperluas pendekatan Cambridge dengan mengemukakan tiga motif memegang uang (Mishkin, 2001). Dalam teori yang dikenal dengan nama Liquidity Preference mengatakan bahwa permintaan uang bukan semata-mata sebagai alat tukar atau motif transaksi dan berjaga-jaga tetapi dapat digunakan lebih luas untuk tujuan spekulasi. Teori ini memprlihatkan bahwa motif transaksi dan berjaga-jaga sebagai komponen permintaan uang proporsional terhadap tingkat pendapatan. Sementara itu, motif memegang uang untuk spekulasi sangat sensitif terhadap suku bunga dan ekspektasi pergerakan suku bunga di waktu mendatang. 17 Rumusan teori liquidity preference yang dikembangkan oleh Keynes adalah sebagai berikut : Md/P = f (i, Y) .......................................................................................(12) Suku bunga memiliki tanda yang negatif yang artinya permintaan uang secara riil berhubungan negatif dengan suku bunga dan sebaliknya permintaan uang berhubungan positif dengan pendapatan nasional (tingkat output). Artinya, Keynes menyimpulkan permintaan uang berhubungan tidak hanya dengan pendapatan nasional namun juga dengan suku bunga. Penurunan fungsi liquidity preference untuk melihat tingkat perputaran uang (PY/M) akan menunjukkan bahwa tingkat perputaran uang menurut Keynes tidaklah konstan tetapi berfluktuasi mengikuti pergerakan suku bunga. P 1 = ………………………………………………….....………(13) Md f (i, Y ) mengalikan kedua sisi dengan Y maka didapatkan persamaan tingkat perputaran uang (velocity of money) sebagai berikut: V= PY Y …………………………………………………..……..(14) = Md f (i, Y ) artinya ketika suku bunga naik akan mendorong orang memegang uang lebih sedikit sehingga tingkat perputaran uang akan meningkat yang berarti velocity of money meningkat. Pendekatan Keynesian terus mengalami penyempurnaaan diantaranya oleh William Baumol dan James Tobin yang menggambarkan bahwa uang yang dipegang untuk transaksi sebenarnya sensitif terhadap suku bunga. Ketika suku bunga meningkat maka jumlah uang kas yang dipegang untuk tujuan transaksi akan menurun yang selanjutnya akan meningkatkan tingkat perputaran uang. 18 Artinya, komponen transaksi dalam fungsi permintaan uang berhubungan negatif dengan suku bunga (Mishkin, 2001). Ide dasar dalam analisis Baumol-Tobin ini adalah adanya biaya oportunitas dalam memegang uang yaitu keuntungan yang mungkin diperoleh dari aset lainnya dan keuntungan memegang uang adalah menghindari biaya transaksi. Ketika suku bunga naik, masyarakat akan mencoba mengekonomiskan pemegangan uang untuk tujuan transaksi karena biaya oportunitas yang menjadi mahal. Teori kuantitas modern yang dipelopori oleh Milton Friedman merupakan penyempurnaan dari teori kuantitas klasik. Friedman (1991) menyusun formulasi permintaan uang sebagai berikut: Md/P = f(Yp, rb-rm, re-rm, πe-rm) ...............................................................(15) Persamaan ini menunjukkan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari keuntungan yang diharapkan dari aset lain relatif terhadap keuntungan yang diharapkan dari uang dan pendapatan permanen. Friedman berpendapat bahwa permintaan uang relatif stabil dan tidak sensitif terhadap suku bunga, tingkat perputaran uang dapat diprediksi. 2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi Hubungan antara uang dengan kegiatan perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perdebatan antara kelompok Keynesian dan Monetarist (Friedman, 1991). Kelompok Monetarist berpendapat bahwa uang hanya berpengaruh pada tingkat inflasi dan tidak ada pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi riil. Dalam hal ini, kelompok Monetarist berasumsi bahwa mekanisme pasar dalam perekonomian dapat berjalan secara sempurna sehingga harga-harga segera menyesuaikan apabila terjadi perbedaan antara permintaan dan penawaran di pasar. Dengan kondisi ini, kelompok Monetarist 19 berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap nilai nominal permintaan agregat melalui perubahan harga-harga tersebut dengan pengaruh yang relatif stabil. Implikasinya, kebijakan moneter diarahkan hanya untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa diarahkan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Pada sisi lain kelompok Keynesian berpendapat bahwa uang dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap inflasi. Keynes berpendapat bahwa sebelum full employment dicapai maka perubahan jumlah uang beredar bersama-sama dengan permintaan uang mempengaruhi tingkat bunga, selanjutnya perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat investasi riil yang kemudian melalui proses multiplier mempengaruhi tingkat output masyarakat. Artinya perubahan dalam sektor moneter dapat mempengaruhi sektor riil (Mankiw, 2000). Implikasinya adalah kebijakan moneter dapat digunakan sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil. Dengan kata lain, bank sentral mempunyai discreation untuk mempergunakan kebijakan moneter secara aktif untuk membantu upaya-upaya mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Apabila kegiatan ekonomi riil dirasakan terlalu lesu, kebijakan moneter dapat dilonggarkan sehingga jumlah uang beredar dalam perekonomian bertambah dan dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi riil. Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi riil dinilai terlalu cepat dan cenderung memanas, kebijakan moneter perlu diketatkan sehingga terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi. Kelompok Keynesian juga memandang bahwa permasalahan dalam suatu perekonomian pada dasarnya sangat kompleks sehingga tidak hanya uang yang berperan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi, tetapi juga variabelvariabel lain. Dalam hal ini, kelompok Keynesian berasumsi bahwa terjadi 20 sejumlah kekakuan dalam bekerjanya mekanisme pasar di dalam perekonomian sehingga pasar tidak selalu dalam kondisi keseimbangan. Apabila terjadi kejutan (shock) dalam perekonomian, misalnya kebijakan moneter yang secara aktif melakukan pelonggaran atau pengetatan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka pendek, meskipun pada akhirnya dalam jangka menengah-panjang perkembangan harga juga akan terpengaruh. 2.1.5. Teori Permintaan Agregat Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pendapatan nasional. Keseimbangan makroekonomi secara simultan ditentukan oleh perpotongan permintaan agregat (AD) dan penawaran agregat (AS). Shock yang terjadi pada permintaan agregat akan menyebabkan terjadinya perubahan harga. Shock ini dapat diantisipasi melalui kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM. Ketika perekonomian berada pada kesimbangan jangka pendek pada titik K dan tingkat harga P1 menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil (daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM(P2) dengan suku bunga yang lebih rendah. Biaya output yang lebih murah meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat keseimbangan alamiah di titik C pada kurva SRAS2 (Gambar 1). 21 Tingkat LRAS Tingkat LM (P1) bunga, r LRAS harga,P LM (P2) K P1 SRAS1 C SRAS2 P2 IS Y AD Pendapatan (Y) Y Pendapatan (Y) Sumber: Mankiw (2000) Gambar 1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Analisis ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, proses penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya perubahan perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang penyesuaian terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat harga sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau pada titik keseimbangan baru. Pengaruh shock kebijakan moneter terhadap permintaan agregat dalam perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat (AS). Apabila kurva AS vertikal (asumsi Klasik), shock kebijakan moneter akan menyebabkan tingkat harga berubah dengan pendapatan nasional yang tetap. Tetapi apabila kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan moneter akan menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi alamiah sementara tingkat harga tetap. Penyesuaian antara tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi, sangat tergantung pada kebijakan bank sentral dalam melakukan shock terhadap kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap 22 pergeseran kurva permintaan agregat (AD). Kemiringan kurva IS (elastisitas pengeluaran investasi terhadap suku bunga) dan kemiringan kurva LM (elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga) menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Ekspansi kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar pada kurva IS yang datar meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar Y2 dan pada kurva IS yang tegak pertumbuhan ekonomi lebih rendah yaitu hanya Y1. Dilihat pada kurva LM, kebijakan moneter akan kurang efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada pertumbuhan ekonomi hanya sebesar Y0 – Y1. kurva LM datar dengan Sementara itu pada kurva LM yang tegak maka pengaruh terhadap perekonomian lebih besar yaitu sebesar Y0–Y2. Kebijakan moneter bahkan tidak efektif sama sekali pada kurva LM yang horizontal karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu kebijakan moneter gagal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (output) tetapi justru menimbulkan dampak terhadap inflasi. Gambaran lebih detail disajikan pada Gambar 2. LMTo LMT1 Tingkat bunga ( r ) Tingkat bunga ( r ) LMD0 LM0 LM1 LMD1 IS datar IS IS tegak Y0 Y1 Y2 Y Yo Y1Y2 Y Sumber : Mankiw (2000) Gambar 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva IS-LM 23 2.1.6. Suku Bunga Suku bunga menggambarkan biaya pinjaman yang menjadi indikator melakukan pinjaman atau indikator bagi yang meminjamkan (Mishkin, 2001). Dalam perkembangannya, suku bunga riil menjadi lebih penting dibandingkan suku bunga nominal karena suku bunga riil sudah mempertimbangkan perkembangan harga sebagaimana tampak pada rumus: Suku bunga riil = suku bunga nominal –inflasi Dalam Liquidity Preference Framework keseimbangan suku bunga tercapai saat terjadi perpotongan uang beredar dan permintaan uang. Jumlah uang beredar (MS) ditentukan oleh bank sentral sehingga kurva MS tegak. Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh pendapatan dan tingkat harga. Oleh karena itu, perubahan suku bunga dalam keyakinan Liquidity Preference Framework dapat dipahami dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang. Dua faktor yang mempengaruhi permintaan uang adalah pendapatan dan harga. Disaat perekonomian bagus maka pendapatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat yang mendorong masyarakat memegang uang lebih banyak sehingga permintaan uang meningkat. Sedangkan saat harga meningkat maka nilai nominal uang terhadap harga barang akan turun. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk menambah uang yang dipegang sehingga permintaan uang meningkat. Dalam Mishkin (2001) disebutkan bahwa jumlah uang beredar berhubungan dengan uang primer (monetary base) dengan rumus: MS = m x MB .............................................................................(16) dimana: MS M MB = = = Uang beredar Angka pengganda uang Uang primer 24 Dari rumusan diatas dapat diketahui uang beredar memiliki hubungan yang positif dengan uang primer. Disamping itu angka pengganda uang (m) menjadi faktor yang turut mempengaruhi jumlah uang beredar karena m menunjukkan seberapa banyak perubahan MS untuk nilai MB tertentu dengan rumus: m= 1 + C/D rD + (ER/D) + (C/D) ....................................................(17) artinya money multiplier (angka pengganda uang) merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatur oleh Bank sentral. 1. Perubahan Required Reserve Jika required reserve naik maka jumlah cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan akhirnya jumlah uang beredar menjadi lebih rendah. Kesimpulannya adalah money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan Required Reserve 2. Perubahan Currency Ratio Ketika penabung meningkatkan uang kas yang dipegang dengan merubah deposito menjadi uang kas (C/D meningkat) maka money multiplier akan turun karena deposito berperan dalam menciptakan perluasan uang sedangkan uang kas tidak mampu menciptakan perluasan uang. Artinya, money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan currency ratio. 3. Perubahan Excess Reserve Ratio Ketika perbankan meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap dana pihak ketiga yang dipegang pada jumlah MB tertentu, maka bank 25 menurunkan jumlah pinjaman sehingga MS menurun. Preferensi bank memegang cadangan lebih banyak atau lebih sedikit dipengaruhi oleh biaya dan manfaatnya. Ketika biaya memegang cadangan meningkat maka bank menurunkan cadangan yang dipegang dan sebaliknya. Faktor yang menjadi acuan perbankan adalah suku bunga pasar, dimana ketika suku bunga pasar meningkat maka biaya memegang cadangan meningkat sehingga bank menurunkan jumlah cadangan yang dipegang (dengan meningkatkan jumlah pinjaman) dan money multiplier meningkat yang selanjutnya meningkatkan MS 2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto Dalam sistem perekonomian tertutup jumlah tabungan masyarakat merupakan jumlah modal yang dapat digunakan untuk melakukan investasi (Mankiw, 2000). jumlah tabungan Pada tingkat keseimbangan jumlah investasi sama dengan (I = S). Namun pada sistem ekonomi terbuka dimana dimungkinkan terjadinya transaksi antar negara dalam bentuk barang (eksporimpor) maupun aliran modal antar negara, investasi bisa lebih besar dari akumulasi tabungan domestik. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional, Y = C + I + G + NX …………………………………………….............. (18) Y – C – G = I + NX; dimana : Y – C – G adalah simpanan nasional sehingga: S = I + NX ………………………………..........……….............……….. (19) NX = S – I .....…………………………..……………..................... .........(20) dimana NX adalah net ekspor yang menunjukkan neraca perdagangan, dan S – I menunjukkan net foreign investment (NFI). Dengan demikian NFI adalah selisih antara tabungan domestik dikurangi dengan investasi domestik. Jika NFI positif 26 artinya jumlah tabungan domestik lebih besar dari investasi, dan sebaliknya jika NFI negatif artinya investasi domestik lebih besar dari tabungan domestik, dimana selisih investasi dibiayai dari pinjaman luar negeri. Ekspor bersih (NX) merupakan selisih antara ekspor dan impor. Besaran NX dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing. Jika mata uang domestik nilai tukarnya rendah, barang domestik relatif lebih murah dibandingkan dengan barang asing sehingga ekspor meningkat dan impor menurun sehingga NX akan meningkat, sebaliknya jika nilai tukar tinggi, barang domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang impor sehingga ekspor berkurang dan impor meningkat akibatnya NX menurun. Investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, karena tingkat bunga merupakan opportunity cost seseorang melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat bunga pasar opportunity kegiatan investasi semakin mahal dan sebaliknya. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan: S = I (r) + NX (∈) ……………………………............….………………… (21) dimana: S I NX = = = Tabungan Investasi Ekspor netto 2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter Perhatian utama dalam penyusunan strategi kebijakan moneter di seluruh negara adalah dasar acuan (nominal anchor) yaitu variabel nominal yang digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan akhir kebijakan moneter (Mishkin, 2000). pencapaian tujuan Dasar acuan (nominal anchor) ini membantu kebijakan moneter karena mampu meminimalisasi permasalahan ketidakkonsistenan waktu penetapan kebijakan dimana kebijakan 27 moneter yang ditetapkan otoritas moneter tidak memberikan dampak jangka panjang. Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh kebijakan moneter terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun permasalahan selama ini adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena pencapaian sasaran akhir ini bersifat kontradiktif. Oleh karena itu, dalam perkembangannya bank sentral lebih cenderung memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya dan dewasa ini beberapa negara secara bertahap telah menggeser penerapan kebijakan moneter yang lebih memfokuskan pada sasaran tunggal yaitu stabilitas harga. Secara prinsip terdapat beberapa strategi dalam mencapai tujuan kebijakan moneter. Masing-masing strategi memiliki karakteristik sesuai dengan indikator nominal yang digunakan sebagai nominal anchor (dasar acuan) atau sasaran antara dalam mencapai tujuan akhir. Beberapa strategi pelaksanaan kebijakan moneter tersebut antara lain (1) penargetan nilai tukar (exchange rate targeting), (2) penargetan besaran moneter, (3) penargetan inflasi, dan (4) strategi kebijakan moneter tanpa jangkar yang tegas. 1. Penargetan Nilai Tukar Strategi kebijakan moneter dengan penargetan nilai tukar didasari pemikiran bahwa nilai tukarlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dalam pelaksanaannya, terdapat tiga alternatif yang dapat ditempuh, yaitu (1) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara internasional seperti emas, (2) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara-negara besar yang mempunyai laju inflasi yang rendah dan (3) menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu 28 ketika perubahan nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju inflasi antara dua negara. Penargetan nilai tukar memiliki beberapa keuntungan yaitu (1) dapat meredam laju inflasi yang berasal dari perubahan harga barang-barang impor, (2) dapat mengarahkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan mengurangi masalah ketidakkonsistenan waktu kebijakan moneter, dan (3) bersifat cukup sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat (Mishkin, 2001) Namun kebijakan ini juga memiliki kelemahan yaitu (1) penargetan nilai tukar dalam kondisi perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas dana luar negeri sangat tinggi akan menghilangkan independensi kebijakan moneter domestik dari pengaruh luar negeri, dimana setiap gejolak struktural yang terjadi di negara acuan akan ditransmisikan pada stabilitas perekonomian domestik, (2) rentan terhadap tindakan spekulasi dalam pemegangan mata uang domestik, dan (3) memperlemah akuntabilitas pembuatan kebijakan moneter karena hilangnya sinyal nilai tukar yang menjadi perhatian masyarakat dan pasar. 2. Penargetan Besaran Moneter Penargetan besaran moneter dilakukan dengan menetapkan pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai sasaran antara, misalnya uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) serta kredit. Kelebihan utama dari penargetan besaran moneter adalah kebijakan moneter lebih independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian tujuan yang ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Strategi ini sangat bergantung pada kestabilan hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir kebijakan. Stratgi kebijakan ini akan menjadi kurang optimal jika tidak ada hubungan yang erat antara besaran moneter 29 dengan sasaran akhir diantaranya tingkat inflasi. Dengan semakin berkembangnya instrumen keuangan dan semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan internasional, maka kestabilan hubungan tersebut terganggu sehingga menjadi alasan strategi ini kurang banyak diadopsi. 3. Penargetan Inflasi Penargetan inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik mengenai target inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter. Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, strategi ini tidak mendasarkan pada satu indikator saja tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci dan relevan untuk perumusan kebijakan moneter. Yang diutamakan adalah pencapaian sasaran akhir inflasi dan bukan pencapaian sasaran antara seperti uang beredar atau nilai tukar sehingga dengan menargetkan inflasi sebagai acuan nominal, bank sentral dapat menjadi lebih kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai kestabilan harga sebagai tujuan akhir. Kelebihan penargetan inflasi adalah (1) memungkinkan otoritas moneter untuk lebih fokus pada pertimbangan kondisi dalam negeri, (2) stabilitas hubungan antara uang dan inflasi tidak menjadi penting dalam keberhasilan penargetan inflasi, (3) mudah dipahami oleh publik dan lebih transparan, (4) meningkatkan akuntabilitas otoritas moneter, dan (5) mampu mengurangi goncangan harga. Namun strategi kebijakan penargetan inflasi ini juga memiliki kelemahan yaitu: (1) inflasi tidak mudah dikontrol oleh otoritas moneter sehingga sinyal penargetan inflasi tidak dapat disampaikan dengan cepat kepada publik dan pasar, (2) strategi ini seringkali membutuhkan aturan yang rumit, dan (3) fokus tunggal pada inflasi akan mendorong fluktuasi output yang sangat besar. Walaupun mengabaikan penargetan pencapaian dilakukan tujuan pada kebijakan inflasi, moneter strategi lainnya ini tidak seperti 30 perkembangan output dan kesempatan kerja. Dalam hal ini, bank sentral senantiasa berupaya untuk memperhitungkan stabilitas perkembangan output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek dalam penetapan sasaran inflasi jangka menengah yang ingin dicapai. Selain itu, dalam rangka meminimumkan penurunan perkembangan output, bank sentral melakukan penyesuaian secara bertahap sasaran inflasi jangka pendek menuju ke arah pencapaian sasaran inflasi jangka menengah-panjang yang lebih rendah. 2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Mekanisme transmisi kebijakan moneter terkait dengan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi pendapatan nominal dan kegiatan sektor riil secara keseluruhan. Mekanisme transmisi kebijakan moneter awalnya mengacu pada peranan uang dalam perekonomian yang pertama kali dijelaskan oleh teori kuantitas uang. Teori kuantitas uang menggambarkan kerangka kerja yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan jumlah uang beredar dan inflasi yang dinyatakan dalam suatu identitas the equation of exchange: MV = PT dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (T) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PT). Berdasarkan mekanisme transmisi ini, maka dalam jangka pendek pertumbuhan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil, selanjutnya dalam jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan 31 perkembangan output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang, pertumbuhan jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap perkembangan output riil tetapi mendorong kenaikan laju inflasi secara proporsional. Dalam perkembangannya, penjelasan transmisi kebijakan moneter terhadap produksi terbagi atas dua arah pemikiran yaitu (1) pemikiran monetarist yang cenderung menggunakan model reduced-form yang tidak menggambarkan secara spesifik jalur pengaruh uang beredar terhadap output melainkan menganalisis efek uang beredar terhadap output dalam suatu kotak hitam, (2) pemikiran Keynesian yang mengaplikasikan pendekatan model struktural untuk memahami jalur transmisi secara lebih baik. Menurut pemikiran Keynesian, jalur transmisi dikelompokkan atas tiga jalur utama yaitu (1) jalur suku bunga, (2) jalur harga aset, dan (3) jalur transmisi dari sisi kredit. (Mishkin, 2001). 2.1.9.1. Jalur Suku Bunga Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi kebijakan agregat melalui perubahan suku bunga. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif melalui peningkatan uang beredar akan mendorong penurunan suku bunga riil yang mengindikasikan biaya modal yang lebih murah dan mendorong peningkatan pengeluaran investasi yang merupakan komponen dari permintaan agregat sehingga akhirnya meningkatkan total produksi (output riil) dalam suatu perekonomian. Investasi dalam bahasan ini tidak hanya keputusan investasi oleh sektor usaha melainkan juga pengeluaran rumah tangga untuk barangbarang tahan lama seperti pengeluaran perumahan dan automobil. Perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah atau jangka panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi 32 permintaan dan penawaran di pasar uang. Dalam hal ini, apabila perubahan harga bersifat kaku, perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter akan mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek dan selanjutnya menurunkan suku bunga riil jangka panjang yang selanjutnya meningkatkan investasi (investasi sektor usaha dan pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang tahan lama). Pentingnya suku bunga riil dalam analisis jalur suku bunga dapat dijelaskan persamaan berikut ini. i = ir + πe .............................................................................................(22) atau sama juga dengan : ir = i - πe ................................................................................................(23) sehingga transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat disederhanakan seperti berikut ini M Æ Pe Æ πe Æ ir Æ IÆ Y ...........................................(24) 2.1.9.2. Jalur Harga Aset Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset dibedakan menjadi tiga jalur pengaruh yaitu (1) pengaruh nilai tukar terhadap ekspor netto, (2) Teory Tobin, dan (3) efek kekayaan. Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan penawaran dan permintaan agregat dan selanjutnya mempengaruhi output dan harga. Namun besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap output tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Misalnya, dalam sistem nilai tukar mengambang, kebijakan moneter ekspansif oleh bank sentral akan mendorong depresiasi mata uang domestik karena penurunan suku 33 bunga riil yang mendorong terjadinya capital outflow dan selanjutnya meningkatkan harga barang impor dan nilai ekspor netto menjadi lebih rendah. Selain itu, pengaruh pergerakan nilai tukar dapat terjadi secara tidak langsung melalui perubahan permintaan agregat (indirect pass through). Sementara itu dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali, pengaruh kebijakan moneter pada perkembangan output riil dan inflasi menjadi semakin lemah terutama apabila terdapat subtitusi yang tidak sempurna antara aset domestik dan aset luar negeri. Mekanisme transmisi menurut Teori Tobin dan efek kekayaan menekankan bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga asset dan kekayaan masyarakat yang selanjutnya mempengaruhi pengeluaran investasi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif, maka terjadi peningkatan suku bunga yang pada gilirannya akan menekan harga aset perusahaan. Penurunan harga aset berakibat pada dua hal, yaitu (1) mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi sehingga kegiatan investasi menurun, dan (2) menurunkan nilai kekayaan dan pendapatan sehingga mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara keseluruhan kedua hal tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat. 2.1.9.3. Jalur Kredit Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima jalur, yaitu (1) jalur pinjaman bank (bank lending channel) yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank khususnya sisi asset., (2) jalur neraca perusahaan (balance sheet channel) yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan dan selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit , (3) jalur aliran kas (cash flow channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan 34 moneter terhadap aliran kas yang selanjutnya mempengaruhi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan dalam mendapatkan kredit, (4) jalur ekspektasi harga (unanticipated price level channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap ekspektasi harga yang selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit, dan (5) pengaruh likuiditas rumah tangga (household liquidity effect) yang menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap kekayaan finansial rumah tangga yang mempengaruhi kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga yang selanjutnya berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan barang tahan lama. Menurut jalur pinjaman bank, sisi liabilitas bank juga menjadi komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif misalnya melalui peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank akan menurun sehingga dana yang dapat dipinjamkan (loanable fund) juga mengalami penurunan. Apabila hal tersebut tidak dapat diatasi dengan melakukan penambahan dana/pengurangan surat-surat berharga maka kemampuan bank untuk memberikan pinjaman akan menurun yang pada gilirannya menyebabkan penurunan investasi dan mendorong penurunan output. Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan turun dan mendorong kenaikan harga saham. Kondisi ini meningkatkan nilai bersih perusahaan yang selanjutnya mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan sehingga mendorong peningkatan pemberian kredit oleh bank. Tahap selanjutnya akan meningkatkan investasi dan output. 35 Adverse selection merujuk pada situasi ketika dalam suatu transaksi ekonomi masing-masing individu memiliki informasi yang berbeda/asimetris mengenai beberapa aspek terkait dengan kualitas produk. Dengan kondisi ini, individu yang memiliki informasi lebih banyak memperoleh keuntungan lebih besar dari negosiasi yang dilakukan. Sementara itu moral hazard, merujuk pada situasi ketika pelaku ekonomi yang satu tidak mengetahui tindakan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi lainnya sehingga menyebabkan adanya pengambilan keputusan yang salah yang pada gilirannya memberikan hasil yang tidak baik. Menurut jalur aliran kas, kebijakan moneter mempengaruhi kondisi aliran kas perusahaan melalui suku bunga nominal yang selanjutnya menjadi gambaran bagi pihak pemberi pinjaman tentang kemampuan membayar kredit oleh perusahaan/ rumah tangga. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga nominal, maka kondisi aliran kas perusahaan membaik dan begitu juga dengan neraca keuangannya. Perbaikan kondisi keuangan (aliran kas) ini meningkatkan keyakinan pemberi pinjaman terhadap kemampuan membayar pinjaman sehingga mengurangi tindakan adverse selection meningkatkan pemberian kredit oleh bank. dan moral hazard dan Tahap selanjutnya akan meningkatkan investasi dan output. Jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi terhadap inflasi dan kegiatan ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap keputusan konsumsi dan investasi. Sebagai contoh, dalam hal bank sentral menempuh kebijakan moneter ekspansif maka kenaikan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang tidak terduga yang selanjutnya meningkatkan nilai bersih perusahaan. Perbaikan nilai bersih riil perusahaan ini akan mengurangi tindakan adverse 36 selection dan moral hazard dan meningkatkan pemberian kredit oleh bank yang mampu mendorong peningkatan investasi dan output. Jalur likuiditas rumah tangga menjelaskan bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi harga saham dimana kebijakan moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga mampu meningkatkan nilai saham. Peningkatan nilai saham ini berlanjut pada pebaikan kekayaan finansial rumah tangga yang menurunkan kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga dan selanjutnya meningkatkan keyakinan rumah tangga untuk meningkatkan pengeluaran perumahan dan barang-barang tahan lama yang dimasukkan sebagai pengeluaran investasi sehingga meningkatkan output dari permintaan agregat. Mekanisme transmisi kebijakan moneter secara lebih rinci disajikan pada Gambar 3. 2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter Kerangka operasional kebijakan moneter merupakan langkah-langkah bank sentral dari penentuan dan prakiraan sasaran antara, pemantauan variabelvariabel ekonomi keuangan yang dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter hingga pelaksanaan pengendalian moneter di pasar uang untuk mencapai sasaran akhir. Kerangka operasional kebijakan moneter mencakup instrumen, sasaran operasional dan sasaran antara yang dipergunakan untuk mencapai sasaran akhir yang telah ditetapkan. Sasaran antara diperlukan karena untuk mecapai sasaran akhir yang ditetapkan, terdapat tenggang waktu antara pelaksanaan kebijakan moneter dan hasil pencapaian sasaran akhir dari kebijakan tersebut. Tenggang waktu pengaruh kebijakan moneter terjadi karena diperlukan waktu : (1) merumuskan kebijakan moneter di bank sentral (inside lag), baik dalam mengetahui masalah KEBIJAKAN MONETER JALUR SUKU BUNGA JALUR HARGA ASSET LAIN JALUR KREDIT Dampak Suku Bunga Tradisional Dampak Nilai Tukar Terhadap Ekspor Neto Teori Thobin q DAMPAK KEKAYAAN JALUR PINJAMAN BANK JALUR NERACA PERUSAHAAN JALUR ALIRAN KAS JALUR EKSPEKTASI HARGA DAMPAK LIKUIDITAS RUMAH TANGGA KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER Suku Bunga Ril Suku Bunga Ril Harga Saham Harga Saham Simpanan Bank Harga Saham Suku Bunga Nominal Tingkat Ekspektasi Harga Harga Saham Nilai Tukar Tobin’s q Kekayaan Finansial Pinjaman Bank INVESTASI Pengeluaran Rumah Tangga Konsumsi Barang Tahan Lama Moral Hazard Adverse Selection Moral Hazard Adverse Selection Moral Hazard Adverse Selection AktifitasPinjaman Aktifitas Pinjaman Aktifitas Pinjaman INVESTASI INVESTASI INVESTASI Peluang Kesulitan Keuangan INVESTASI INVESTASI EKSPOR NETO Kekayaan Finansial Aliran Kas KONSUMSI Pengeluaran Rumah Tangga PRODUK DOMESTIK BRUTO Sumber : Frederic S. Mishkin (2001) Gambar 3. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Pengeluaran Rumah Tangga Konsumsi Barang Tahan Lama 37 (recognition lag), memutuskan kebijakan (decision lag), dan melaksanakan kebijakan moneter (action lag), dan (2) kebijakan moneter berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi (outside lag). Oleh karena itu, diperlukan adanya indikator-indikator yang lebih segera dapat dilihat untuk mengetahui indikasi arah pergerakan ekonomi dan inflasi ke depan dan respon kebijakan moneter yang diperlukan dan indikator ini yang disebut sebagai sasaran antara. Sasaran antara yang dipilih harus memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran akhir diantaranya adalah M1, M2 atau suku bunga. Untuk mencapai sasaran antara tersebut, bank sentral memerlukan sasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai dengan rencana. Sasaran operasional yang dipilih harus memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan bank sentral dan informasi tersedia lebih awal daripada sasaran antara. Beberapa pilihan sasaran operasional yang dapat digunakan antara lain uang primer (M0), cadangan dan suku bunga jangka pendek. Sementara itu, instrumen moneter adalah instrumen yang dimiliki oleh bank sentral yang dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan. Beberapa pilihan instrumen yang digunakan antara lain operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan wajib minimum (reserve requirement) dan fasilitas diskonto (discount policy). Kerangka operasional yang dilakukan bank sentral akan ditentukan oleh pendekatan yang dianut, yaitu (1) pendekatan kuantitas besaran moneter (quantity-basec approach) dan (2) pendekatan suku bunga sebagai harga besaran moneter (price based approach). Secara lebih rinci, kerangka operasional kebijakan moneter melalui kedua pendekatan tersebut yang 38 mencerminkan keterkaitan antara instrumen, sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Instrumen Sasaran Operasional - Operasi pasar terbuka - Uang Primer - Cadangan wajib - Cadangan minimum Bank - Fasilitas Diskonto Sasaran Akhir Sasaran Antara - Besaran Moneter (M1, M2, M3) - Stabilitas harga - Stabilitas pasar uang - Pertumbuhan ekonomi - Kesempatan Kerja Sumber : Mishkin (2001) Gambar 4. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas Besaran Moneter Sasaran Operasional Instrumen - Operasi pasar terbuka - Cadangan wajib minimum - Fasilitas Diskonto - Suku bunga jangka pendek (suku bunga bank sentral) Sasaran Antara Sasaran Akhir - Suku bunga jangka pendek dan jangka panjang - Stabilitas harga - Stabilitas pasar uang - Pertumbuhan ekonomi - Kesempatan Kerja Sumber : Mishkin (2001) Gambar 5. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Suku Bunga Penggunaan dua pendekatan ini tidak bisa dilakukan secara bersamaan karena penggunaan besaran moneter sebagai variabel sasaran akan menghilangkan kontrol terhadap suku bunga. Dengan kata lain, pada besaran moneter tertentu, permintaan uang tetap akan berfluktuasi karena perubahan 39 yang tidak diharapkan pada output dan harga yang akhirnya akan mendorong perubahan pada suku bunga. Sementara itu, ketika bank sentral menggunakan suku bunga sebagai variabel target, fluktuasi permintaan uang direspon oleh bank sentral dengan membeli atau menjual obligasi pada operasi pasar terbuka sampai jumlah uang beredar dan suku bunga kembali pada tingkat tertentu. 2.2. Tinjauan Pustaka 2.2.1. Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia Pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter mengalami evolusi sesuai dengan pasang surut perkembangan ekonomi dan iklim politik di Indonesia. Perkembangan ekonomi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan moneter tidak hanya karena kebijakan moneter diarahkan untuk mempengaruhi berbagai variabel ekonomi makro khususnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga karena perkembangan ekonomi akan menentukan bagaimana reaksi Bank Indonesia merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneternya. Secara khusus perkembangan sektor keuangan sangat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan moneter karena mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya terjadi melalui sektor keuangan sesuai fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Perkembangan kebijakan moneter di Indonesia cukup beragam yang dapat dilihat pada tiga periode waktu yang berbeda yaitu tahun 1968-1972, periode 1973-1982, periode 1983-1997 dan periode setelah krisis yaitu setelah tahun 1997 (Solikin, 2000). 2.2.1.1. Periode Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (1968-1972) Pada akhir tahun 1960-an perkembangan ekonomi dan keuangan terus berkembang. Awalnya kebijakan pemerintah lebih diprioritaskan untuk 40 pemulihan stabilitas ekonomi yang sempat terancam pada pertengahan tahun 1960-an. Pengeluaran anggaran diseleksi secara ketat, defisit anggaran pemerintah dikendalikan dan pembiayaan diupayakan dari pinjaman lunak luar negeri sehingga tidak mengancam stabilitas ekonomi. Di sisi moneter, pencetakan uang untuk pembiayaan defisit anggaran pemerintah dihentikan dan jumlah uang beredar dikendalikan. Dengan upaya ini stabilitas ekonomi secara cepat dipulihkan yang terlihat dari menurunnya laju inflasi hingga dibawah 10 persen. Penataan ekonomi khususnya di sektor moneter dan perbankan lebih disempurnakan dengan dikeluarkannya UU. No. 13 tahun 1963 tentang Bank Sentral. Dalam hal ini tugas Bank Indonesia adalah membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. 2.2.1.2. Periode Pertumbuhan Ekonomi melalui Kontribusi Minyak (1973-1982) Peningkatan kegiatan perekonomian nasional dalam periode ini mendapat dukungan dari hasil minyak yang meningkat khususnya pada tahun 1970-an. Kondisi ini memberikan dampak positif dan negatif dimana pada satu sisi hasil minyak menjadi sumber penerimaan pemerintah dalam membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di sisi fiskal sehingga mendorong pertumbuhan kegiatan sektor riil. Namun di sisi lain peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran pemerintah telah menyebabkan ekspansi jumlah uang beredar dari sisi fiskal yang mengharuskan otoritas moneter untuk melakukan penyerapan ekspansi fiskal tersebut untuk 41 mencegah timbulnya kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang dapat mendorong peningkatan inflasi. Oleh karena itu, pada tahun 1974 pemerintah mulai menempuh kebijakan kredit selektif dari sisi moneter dengan tujuan untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Langkah utama yang ditempuh adalah melakukan pengaturan terhadap besarnya ekspansi kredit yang boleh disalurkan oleh perbankan atau sering dikenal dengan pagu ekspansi aktiva neto. Meskipun peran sektor perbankan menjadi berkurang karena kelangkaan sumber dana akibat menurunnya penghimpunan dana masyarakat dan adanya pembatasan dalam pemberian kredit, kegiatan investasi terus berlanjut khususnya investasi pemerintah. Dalam rangka memberikan keleluasaan kepada perbankan terutama dalam pemberian kredit kepada sektor swasta, pada tahun 1978 Bank Indonesia menurunkan reserve requirement bank dari 30 persen menjadi 15 persen. 2.2.1.3. Periode Deregulasi, Debirokratisasi dan Liberalisasi Ekonomi (1983-1997) Pada awal dekade 1980-an harga minyak di pasar dunia mengalami kemerosotan akibat adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia sehingga menurunkan penerimaan negara. Oleh karena itu, pemerintah melakukan serangkaian kebijakan reformasi di bidang ekonomi untuk mengatasi ancaman krisis dengan tujuan untuk menumbuhkan, mendorong dan meningkatkan peran sektor swasta dalam pembangunan ekonomi. Kebijakan reformasi ini mulai diterapkan sejak awal dekade 1980-an dalam bentuk kebijakan deregulasi, debirokratisasi dan liberalisasi baik di sektor perbankan dan keuangan, perdagangan, investasi dan sebagainya. 42 Pada tanggal 1 Juni 1983 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi perbankan yang berpengaruh pada pesatnya perkembangan sektor perbankan dan keuangan saat itu yang dapat dilihat dari jumlah bank yang beroperasi, besarnya dana masyarakat yang dapat dimobilisasi baik dalam bentuk giro, tabungan dan deposito, maupun kredit dan jenis pembiayaan lainnya. Di pasar keuangan juga terjadi perkembangan yang pesat baik dari sisi volume transaksi keuangan maupun berbagai produk keuangan (saham, obligasi, surat-surat berharga dan produk-produk derivatif) yang diperdagangkan. Dengan kondisi ini, semakin banyak dana yang berputar di sektor keuangan dan mempengaruhi keeratan hubungan antara uang, inflasi dan output. Kebijakan moneter pun mengalami perubahan dimana kebijakan moneter sebelumnya dilakukan secara langsung dengan selection credit policy beralih ke cara tidak langsung dan berorientasi pasar dengan melakukan operasi pasar terbuka. Pengendalian moneter diarahkan pada jumlah uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional. Sementara itu, operasi di pasar uang dilakukan melalui lelang SBI yang mulai diterbitkan pada tahun 1984 sebagai instrumen utama kebijakan moneter. Pengendalian likuiditas juga dibantu dengan intervensi di pasar uang rupiah dengan cara memberi pinjaman jangka pendek atau overnight hingga tujuh hari (Warjiyo, 2000). Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan paket kebijakan 27 Oktober 1988 yang secara umum merupakan penyempurnaan kebijakan bidang keuangan, moneter dan perbankan. Dalam upaya peningkatan efektivitas pengendalian moneter, langkah yang ditempuh diantaranya adalah penurunan reserve requirement dari 15 persen menjadi 2 persen. Di bidang perbankan, dilakukan penciptaan iklim persaingan yang lebih kondusif melalui pelonggaran izin pendirian bank-bank baru dan bank campuran. 43 Sejalan dengan pesatnya perkembangan perbankan dan pasar keuangan di Indonesia, timbul permasalahan baru dalam pelaksanaan kebijakan moneter khususnya berkaitan dengan upaya pengendalian jumlah uang beredar (M1 dan M2). Operasi dan produk perbankan baik dalam mobilisasi dana maupun dalam pembiayaan dunia usaha tidak hanya terbatas pada rekening giro, tabungan, deposito ataupun kredit tetapi juga telah bervariasi dalam berbagai bentuk instrumen pasar seperti negotiable certificate of deposits, commercial papers, promissory notes dan di sisi lain perkembangan pasar modal juga cukup pesat baik dalam bentuk volume transaksi maupun jenis surat-surat berharga yang diperdagangkan. Akibatnya terjadi kecenderungan adanya pelepasan keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil yang menyebabkan semakin renggangnya hubungan antara uang beredar dengan inflasi dan output riil khususnya dalam jangka pendek. Sebagai dampak dari liberalisasi sektor keuangan, aliran dana yang masuk ke perekonomian Indonesia khususnya pinjaman luar negeri swasta menjadi sangat besar. Pada satu sisi, besarnya aliran dana luar negeri tersebut mampu menutup kesenjangan tabungan dan investasi sehingga dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Namun di sisi lain aliran dana luar negeri yang pada umumnya berupa pinjaman luar negeri swasta berjangka pendek, tidak memperhitungkan risiko perubahan nilai tukar dan banyak dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek swasta yang berjangka panjang dan tidak menghasilkan devisa. Dari sisi moneter, mobilitas aliran dana luar negeri tersebut juga mempersulit pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Untuk menghindari dampak negatif dari ekspansi uang beredar yang berasal dari aliran dana luar negeri tersebut terhadap peningkatan inflasi dan kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan penyerapan kelebihan 44 likuiditas dalam perekonomian sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam negeri. Namun kenaikan suku bunga ini semakin mendorong masuknya aliran dana luar negeri khususnya dalam bentuk surat-surat berharga yang berjangka pendek dan akibatnya jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam berbagai bentuk semakin besar jumlahnya dan hal ini menjadi penyebab utama krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. 2.2.1.4. Periode Setelah Krisis Ekonomi Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 pada dasarnya dipicu oleh adanya kelangkaan dana perbankan sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat yang sangat besar dan melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS yang pada akhirnya semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah yang membuat nilai tukar rupiah terus menurun. Dengan pertimbangan pengalaman tersebut, maka perlu diwujudkan sistem perekonomian yang lebih tangguh. Kebijakan moneter yang merupakan salah satu bagian penting dari kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus lebih diarahkan pada upaya menciptakan dan menjaga stabilitas moneter. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral (Bank Indonesia, 2000). Dalam landasan hukum yang baru ini Bank Indonesia mempunyai tujuan yang lebih terfokus yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda dengan UU No. 13/1968 yang menyatakan bahwa tugas Bank Indonesia adalah membantu pemerintah dalam mencapai multiple objectives (beberapa tujuan) yaitu menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. 45 Kestabilan nilai rupiah secara teoritis mempunyai makna ganda yaitu stabilitas harga barang dan jasa (inflasi) di dalam negeri dan stabilitas harga mata uang domestik (nilai tukar). Warjiyo (2000) menyatakan bahwa dalam jangka panjang, pencapaian stabilitas harga akan mendorong stabilitas nilai tukar dan kestabilan nilai rupiah ini merupakan prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan diatas, Bank Indonesia melaksanakan tiga tugas pokok, yaitu (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, (2) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan (3) mengatur dan mengawasi sistem perbankan. Pada dasarnya pelaksanaan ketiga tugas pokok ini mempunyai keterkaitan erat dalam upaya pencapaian kestabilan nilai rupiah tersebut. Selanjutnya sesuai amandemen UU No.3 tahun 2004 ditegaskan bahwa sasaran laju inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara kebijakan moneter Bank Indonesia dengan kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah dalam mencapai sasaran ekonomi makro. Disamping itu, perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperkuar komitmen dan dukungan pemerintah dalam pencapaian sasaran inflasi oleh Bank Indonesia. 2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia Pemberlakuan Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia membawa perubahan mendasar pada perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang jelas menyangkut kewenangan dan independensi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas di bidang moneter yaitu mencapai dan memelihara 46 kestabilan nilai rupiah. Undang-undang tersebut secara implisit mengamanatkan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia berdasarkan pada kerangka kerja yang dikenal dengan sebutan Inflation Targeting. Prinsip dasar yang melandasi kerangka kerja Inflation Targeting tersebut adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter diutamakan untuk mencapai dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan pokok, yaitu (1) laju inflasi yang tinggi menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat karena menurunnya daya beli atas pendapatan yang diperolehnya maupun meningkatnya ketidakpastian yang dapat mempersulit perencanaan usaha dan memperburuk kegiatan ekonomi, dan (2) perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengahpanjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan pada pertumbuhan ekonomi meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai bagaimana pengaruh kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Pokok-pokok konsep dasar penerapan inflation targeting di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Sasaran Inflasi Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi yang akan dicapai melalui kebijakan moneternya. Sasaran inflasi ditetapkan untuk jangka menengah-panjang (3-5 tahun ke depan), yang untuk saat ini adalah 6 persen pada tahun 2006. Jenis inflasi yang digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK), terutama untuk memudahkan komunikasi dengan Pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, untuk dasar perumusan kebijakan moneter secara internal, Bank Indonesia mengembangkan jenis inflasi yang dapat dikendalikan oleh kebijakan moneter dan dikenal dengan sebutan inflasi inti. Terkait dengan penetapan inflasi, amandemen UU No. 3 tahun 2004 47 terhadap UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi yang semula ditetapkan sendiri oleh Bank Indonesia ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. 2. Kebijakan moneter mengarah ke depan Kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan. Pentingnya kebijakan moneter yang berorientasi masa depan dilatarbelakangi fakta empiris bahwa terdapat tenggang waktu yang relatif lama dari pengaruh kebijakan moneter terhadap perkembangan berbagai variabel ekonomi-keuangan dan sasaran akhir inflasi. Orientasi kebijakan moneter yang demikian mengharuskan bank sentral untuk dapat ; (1) memprakirakan pergerakan inflasi ke depan untuk dibandingkan dengan sasaran yang ditetapkan, (2) mengetahui seberapa lama tenggang waktu dari pengaruh kebijakan moneter saat ini dengan infllasi di masa yang akan datang, dan (3) mengetahui dengan baik bagaimana mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi dan perekonomian. Untuk itu, Bank Indonesia telah mengembangkan model-model proyeksi ekonomi, nilai tukar dan inflasi serta berbagai penelitian yang diperlukan untuk memperkuat perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara foorward looking. 3. Transparansi Penjelasan secara periodik mengenai pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia baik pada setiap awal tahun, triwulan, bulanan maupun mingguan. Dalam penjelasan setiap awal tahun dan triwulanan dikemukakan mengenai perkembangan pencapaian inflasi dan pelaksanaan kebijakan moneter yang telah dilakukan serta proyeksi ekonomi dan inflasi ke depan dan arah kebijakan moneter yang akan ditempuh sebagaimana dibahas dan diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur. 48 4. Akuntabilitas Sesuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulanan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang termasuk kebijakan moneter kepada DPR. Laporan tersebut dievaluasi DPR dalam rangka penilaian secara tahunan atas kinerja dewan gubernur dan Bank Indonesia. Perubahan dalam undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat mekanisme akuntabilitas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Selanjutnya, berdasarkan sasaran inflasi yang ditetapkan serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, suku bunga dan variabel ekonomi makro lainnya, maka Bank Indonesia dapat memperkirakan permintaan uang yang sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian dan memperhitungkan pertumbuhan jumlah uang beredar (M1 dan M2) yang dibutuhkan masyarakat. Dengan mengendalikan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional yang dapat ditentukan baik secara tahunan, kuartalan, bulanan maupun mingguan, maka jumlah uang beredar di masyarakat dapat dipengaruhi. Berdasarkan sasaran uang primer yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan Operasi Pasar Terbuka (OPT) sebagai instrumen utama pengendalian moneter melalui tiga cara yaitu (1) lelang SBI, (2) Fasilitas Bank Indonesia, dan (3) sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing. Sebagai contoh, jika Bank Indonesia ingin mengurangi jumlah uang beredar (kebijakan uang ketat) maka Bank Indonesia mendorong masyarakat untuk membeli SBI dengan cara menaikkan suku bunga SBI. Sebaliknya jika pemerintah ingin ekspansi uang beredar maka Bank Indonesia menarik SBI yang berada di tangan 49 masyarakat dengan cara membelinya. Agar semakin banyak SBI yang dijual, maka Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga SBI. Instrumen utama kebijakan moneter lain yang dilakukan Bank Indonesia adalah melalui fasilitas diskonto yaitu fasilitas pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank umum. Ekspansi jumlah uang beredar diupayakan melalui peningkatan daya ekspansi kredit bank umum melalui penurunan tingkat bunga pinjaman fasilitas diskonto, dan sebaliknya. Giro wajib minimum mempengaruhi daya ekspansi kredit. Jika Bank Indonesia menurunkan giro wajib minimum maka daya ekspansi kredit bank umum akan meningkat sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya jika giro wajib minimum ditingkatkan maka daya ekspansi kredit bank umum menurun dan jumlah uang beredar berkurang. Sementara itu, imbauan digunakan oleh Bank Indonesia dengan tujuan agar semua bank mengikuti langkah kebijakan moneter yang diinginkan Bank Indonesia. Meskipun berbagai langkah persiapan dan penguatan kebijakan moneter telah dilakukan Bank Indonesia, penerapan kerangka inflation targeting di Indonesia tidaklah mudah karena terkait dengan kondisi perekonomian dan sistem perbankan yang sedang mengalami perubahan struktural. Permasalahan fungsi intermediasi perbankan yang belum berjalan optimal mempengaruhi efektivitas mekanisme transmisi dan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Dengan kondisi demikian, langkah-langkah kebijakan moneter Bank Indonesia misalnya perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tidak selalu dapat secara efektif mempengaruhi perkembangan suku bunga perbankan maupun berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan secara keseluruhan yang diperlukan dalam mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan. 50 2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu Alkadri (1999) menganalisis tentang sumber-sumber pertumbuhan Indonesia selama 1969-1996 dengan menggunakan metode regresi kuadran terkecil (OLS). Model yang diaplikasikan dalam analisis adalah perluasan model pertumbuhan Harrod-Domar dan Rana Dowling dengan memasukkan 11 variabel penjelas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari hasil penaksiran model diperoleh hasil bahwa utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta, investasi domestik, eskpor barang, tabungan pemerintah, tabungan swasta, pajak dan angkatan kerja memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu variabel investasi asing, impor barang dan pengeluaran pemerintah memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dilihat dari angka signifikansi maka meskipun utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri swasta memberikan dampak positif namun tidak dapat diandalkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi selama 19691996. Begitu juga dengan investasi asing dan pengeluaran pemerintah. Dalam kenyataannya kondisi ini dipicu oleh ketidaktepatan penggunaan dana, dimana pemerintah mengalokasikan utang untuk membangun infrastruktur fisik dan non fisik sedangkan swasta mengucurkan utang yang diperoleh untuk membangun sektor properti dan sektor lain yang kurang produktif dalam jangka pendek. Padahal sebagian besar utang luar negeri berjangka waktu pengembalian yang relatif pendek (3-5 tahun) dengan bunga relatif tinggi (5-8 persen). Sebaliknya ekspor barang (migas dan non migas) menjadi kunci utama sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996. Hal ini dibuktikan oleh hasil olahan data dimana variabel ekpor berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sumber pokok pertumbuhan ekonomi 51 lainnya adalah tabungan pemerintah, tabungan swasta, investasi domestik dan pajak. Disamping itu angkatan kerja ternyata menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996 meskipun secara statistik kurang berarti. Artinya apabila potensi sumberdaya dapat dikembangkan secara optimal maka besar kemungkinan variabel ini menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Terkait dengan itu Yudanto (1999) menganalisis Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil. Hal ini dilatarbelakangi kondisi penurunan pertumbuhan produksi riil sektor-sektor perekonomian sejak krisis melanda Indonesia. Sektorsektor yang selama ini memiliki pangsa cukup besar terhadap PDB seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan keuangan telah mengalami kontraksi secara signifikan. Hipotesis yang digunakan adalah daya tahan setiap sektor dari tekanan nilai tukar dan tingginya suku bunga sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga, dimana kedua faktor tersebut merupakan unsur biaya dalam proses produksi . Untuk membuktikan hipotesis tersebut dilakukan uji korelasi yang melihat seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi nilai tukar dan suku bunga dengan pertumbuhan produksi. Sedangkan untuk menguji tingkat kepekaannya dihitung dari koefisien elastisitas faktor-faktor tersebut. Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup erat dengan faktor depresiasi nilai kurs adalah sektor bangunan, industri, transportasi dan sektor bangunan. Sedangkan dari tingkat elastisitasnya ternyata sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Dua penyebab utamanya adalah saratnya kandungan input yang diimpor dan 52 besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri. Dari sisi fluktuasi suku bunga diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi dan perdagangan merupakan sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga. Dilihat dari elastisitasnya maka sektor bangunan dan keuangan merupakan sektor yang paling elastis terhadap perubahan suku bunga. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jenis usaha sektor riil yang memiliki basis sumberdaya yang kuat, berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non rupiah yang rendah serta mempunyai korelasi maupun elastisitas yang rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan dalam krisis bahkan masih mampu memberikan pertumbuhan secara positif selama krisis. Sejalan dengan perubahan tatanan perekonomian dunia yang semakin menglobal, maka pembangunan ekonomi Indonesia harus dibenahi sehingga selaras dengan liberalisasi dan dapat memberikan manfaat positif terhadap perekonomian. Hal ini dianalisis oleh Gonarsyah (2002) dengan judul Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan Antisipasinya menghadapi Era Abad Asia Pasifik. Dengan menggunakan kerangka model makroekonomi Keynes-Klein atau yang dikenal model mikromakroekonomi memberikan hasil bahwa secara keseluruhan, krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan terpuruknya perekonomian nasional seperti ditunjukkan dari memburuknya pertumbuhan beberapa indikator makroekonomi yaitu penurunan pendapatan nasional, neraca pembayaran Indonesia, nilai tukar, konsumsi agregat, distribusi pendapatan dan peningkatan inflasi. Namun satu hal yang menarik adalah saat hampir semua sektor mengalami penurunan, sektor pertanian justru menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Implikasi kebijakan yang dapat ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi di dalam atmosfir liberalisasi perdagangan adalah memprioritaskan investasi 53 pada sektor pertanian dan perdagangan yang disertai dengan kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan tetap mempertahankan restriksi perdagangan pada komoditi strategis seperti beras dan gula. Kebijakan ini diperkirakan mampu menumbuhkan PDB, mampu mengurangi defisit neraca perdagangan dan jasa, meningkatkan neraca pembayaran dan menstabilkan nilai tukar serta mampu memperbaiki pemerataan pendapatan. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melakukan perubahan yang cukup signifikan dengan mengeluarkan UU No. 23/1999 yang menyatakan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Undang-undang ini melandasi upaya penyempurnaan kebijakan moneter di Indonesia dalam kerangka kerja pentargetan inflasi (inflation targeting). Nuryati (2204) dalam tesisnya tentang ”Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di Indonesia” menunjukkan bahwa pelaksanaan UU No. 23/1999 belum dapat dilaksanakan secara optimal. Tugas, fungsi dan wewenang Bank Indonesia belum terkoordinasi dalam sebuah struktur organisasi yang efektif sehingga peran Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter masih terbatas yang menyebabkan tujuan kebijakan sulit tercapai. Ketidakefektifan dapat terlihat pada belum tercapainya prinsip independensi, transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam penyelenggaraan kebijakan. Dengan menggunakan metode analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) melalui Vector Error Correction Model (VECM), diperoleh hasil bahwa kebijakan moneter selama krisis hanya berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan harga dalam jangka panjang tetapi rendah. Guncangan suku bunga mempengaruhi nilai tukar relatif kecil dan variabilitas nilai tukar lebih ditentukan oleh nilai tukar itu sendiri yang sesuai dengan sistem nilai tukar di Indonesia mengambang bebas. Variabilitas suku bunga dipengaruhi oleh adanya 54 guncangan permintaan uang dan agregat suplai. Sedangkan variabilitas harga dipengaruhi oleh permintaan uang. Kebijakan moneter mempengaruhi harga memerlukan lag selama 6 bulan. Implikasi umum hasil penelitian ini adalah perlu penyempurnaan kembali kebijakan moneter inflation targeting melalui arah kebijakan yang lebih transparan sehingga dampak nyata terhadap perekonomian lebih terasa. Kebijakan moneter dengan pengendalian harga tetap dipertahankan apabila di masa mendatang Bank Indonesia mempunyai instrumen yang sepenuhnya dibawah kendali Bank Indonesia. Namun kebijakan moneter dengan mengendalikan jumlah uang beredar justru lebih tepat digunakan selama proses pemulihan ekonomi. Perubahan penting yang juga dilakukan Indonesia pasca krisis adalah peralihan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating system) menjadi sistem mengambang penuh atau bebas (freely floating system). Sistem nilai tukar baru ini diterapkan pada tanggal 14 Agustus 1997 sehingga menyebabkan posisi nilai tukar rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar. Sistem nilai tukar mengambang penuh atau bebas ini mengasumsikan bahwa intervensi pemerintah tidak ada dalam pasar valuta asing. Artinya dalam sistem nilai tukar bebas ini tidak ada kewajiban Bank Indonesia untuk melakukan intervensi secara sistematis sehingga nilai tukar rupiah bebas bergerak dalam merespon kekuatan pasar. Penelitian yang dilakukan oleh Suhendra (2001) bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah pasca penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas yaitu faktor fundamental makroekonomi, faktor resiko dan faktor ekspektasi nilai tukar di masa depan. Dengan menggunakan dua model yaitu model persamaan kointegrasi dan model dinamis (ECM) diperoleh hasil bahwa perbedaan tingkat suku bunga, tingkat 55 harga relatif, cadangan devisa, investasi langsung dan tidak langsung luar negeri, pertumbuhan utang luar negeri, pembayaran utang swasta, ekspor, indeks resiko dan ekspektasi nilai tukar akan datang mempunyai korelasi terhadap nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang. Artinya seluruh faktor fundamental diatas berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Sedangkan PDB riil, penawaran uang, dan impor mempunyai korelasi terhadap nilai tukar hanya dalam jangka panjang. Hasil temuan empiris dalam studi ini memunculkan beberapa implikasi pokok kebijakan pengelolaan ekonomi makro jangka pendek dan jangka panjang diantaranya : (1) melakukan upaya menciptakan stabilitas sosial-politik dan penciptaan rasa aman dalam berinvestasi, (2) menjaga kestabilan tingkat harga yang merupakan cerminan dari inflasi, (3) melakukan upaya peningkatan ekspor baik migas maupun non migas, (4) melakukan penjadwalan pembayaran utang resmi pemerintah dan penudaan pembayaran utang luar negeri swasta, dan (5) melakukan upaya pengurangan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang dapat menganggu stabilitas nilai tukar pada saat pembayaran utang. Deregulasi moneter di Indonesia dan kaitannya dengan tingkat suku bunga menjadi topik analisis Wiranta (1995). Analisis ini dilatarbelakangi kondisi riil bahwa dalam setiap kegiatan ekonomi, tingkat suku bunga menjadi perhatian kreditur dan debitur dimana kedua belah pihak menginginkan tingkat suku bunga yang wajar. Disamping itu tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator antara bagi otoritas moneter dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. Oleh karena itu secara lebih rinci Wiranta ingin mengetahui lebih jauh tentang kebijakan moneter yang pernah dilakukan pemerintah dan kaitannya dengan tingkat suku bunga. Dari hasil kajian diketahui bahwa tingkat suku bunga di Indonesia pada masa mendatang masih tetap tinggi yang disebabkan antara lain oleh laju inflasi 56 yang masih tinggi, overhead cost yang tinggi, faktor internal dan eksternal serta ketatnya persaingan antar bank. Disamping itu kebijakan moneter tahun 1983 merupakan awal deregulasi yang sangat penting karena bank-bank pemerintah diberikan keleluasaan menentukan suku bunga tanpa intervensi pemerintah. Diperkenalkannya SBI dan SBPU sebagai instrumen kontrol pengembangan moneter memberikan hasil cukup positif dimana jumlah bank meningkat tajam, begitu pula jumlah penyimpan dana, volume kredit dan tabungan. Selanjutnya manajemen perbankan dikelola secara profesional dan efisien sehingga dapat melakukan ekspansi usaha. Berhubung tingkat suku bunga yang tinggi kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi, maka beberapa kebijakan yang perlu dilakukan diantaranya (1) kontrol moneter secara agregat guna menjaga stabilitas seperti pengendalian laju inflasi, jumlah uang beredar, dan tabungan masyarakat, (2) BI sebagai otoritas moneter berkewajiban menyehatkan persaingan pasar dan melakukan intervensi jika bank menyimpang dari aturan yang ditetapkan, (3) pinjaman luar negeri harus diatur secara lebih ketat, (4) merangsang pemasukan kembali tabungan nasional yang ditahan dalam bentuk valuta asing, dan (5) pemberlakukan perbedaan tingkat suku bunga kepada pelaku ekonomi. Hamdani (2003) dalam topik Pengaruh Aliran Modal Swasta Jangka Pendek terhadap Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Laju Inflasi di Indonesia membangun 3 model ekonometrik yaitu (1) model perilaku aliran modal swasta, (2) model perilaku nilai tukar, dan (3) model perilaku inflasi. Menggunakan metode persamaan simultan yang dianalisis dengan two stage least square memberikan hasil bahwa laju inflasi dan nilai tukar mempunyai hubungan yang timbal balik (2 arah). Laju inflasi berpengaruh positif terhadap perubahan nilai tukar rupiah/US$ dengan nilai koefisien 1.01. Hal ini sejalan dengan teori ”purchasing power 57 parity” yang menyebutkan bahwa laju inflasi doemstik yang lebih besar dari laju inflasi luar negeri akan melemahkan nilai tukar mata uang domestik. Sedangkan pengaruh nilai tukar terhadap inflasi juga positif dengan nilai koefisien lebih kecil yaitu 0.72 yang berarti jika nilai tukar rupiah terdepreasiasi sebesar 1 persen maka laju inflasi akan meningkat sebesar 0.72 persen. Pengaruh perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi yang positif merupakan pass-trough effect dari barang-barang dan bahan baku impor yang harganya meningkat sehingga mengakibatkan meningkatnya biaya produksi. Faktor lain yang berpengaruh terhadap laju inflasi adalah pertumbuhan produk domestik bruto riil dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Pengaruh pertumbuhan PDB riil menunjukkan arah positif dengan nilai koefisien sebesar 0.46 persen. Angka ini mengisyaratkan bahwa kenaikan tingkat output riil tidak bisa meredam laju inflasi karena perilaku masyarakat yang tidak optimis mengharapkan laju inflasi di masa yang akan datang menurun sehingga walaupun terjadi kenaikan output riil, laju inflasi tetap meningkat. Untuk mengatasi laju inflasi dari sisi permintaan tersebut, maka melalui kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI. Hasil analisis membuktikan hal tersebut dimana suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap laju inflasi dengan nilai koefisien sebesar -0.005. Artinya sertifikat Bank Indonesia merupakan instrumen yang cukup efektif mengendalikan inflasi terutama demand inflation. Dasar pemikran dan mekanismenya adalah ketika terjadi kelebihan permintaan yang diakibatkan peningkatan produk domestik bruto riil yang berarti masyarakat memiliki pendapatan yang lebih tinggi, maka dilakukan kebijakan meningkatkan suku bunga SBI yang berarti return yang bisa didapatkan masyarakat juga meningkat (cateris paribus) sehingga masyarakat tertarik menggunakan uang untuk membeli SBI yang selanjutnya mengurangi perilaku konsumtif masyarakat dan akhirnya meredam laju inflasi. 58 Studi yang dilakukan oleh Julaihah (2004) tentang Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia mengaplikasikan Vector Error Correction Model dalam analisisnya. Berdasarkan hasil impulse response yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merespon adanya kejutan satu standar deviasi dari uang primer. Sedangkan pengaruh kejutan uang primer terhadap inflasi yang terlihat cukup signifikan, ternyata menghasilkan prize puzzle. Prize puzzle merupakan kondisi dimana ekspansi moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter ternyata direspon dengan penurunan inflasi. Penggunaan suku bunga SBI sebagai variabel kebijakan ternyata memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer. Pada saat suku bunga SBI dimasukkan dalam model, maka liquidity puzzle dan prize puzzle dapat dihindari. Sehingga interpretasi ekonomi dari hasil impulse response lebih mudah dan sesuai dengan teori. Penggunaan agregat moneter untuk kasus di Indonesia ternyata hanya berdampak pada inflasi dan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan variance decomposition, maka terlihat bahwa uang primer tidak mampu memberikan kontribusi terhadap variasi pertumbuhan ekonomi, uang primer hanya berkontribusi terhadap variabilitas inflasi. Sedangkan SBI memiliki kemampuan untuk menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi dan SBI terlihat lebih mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ketika horizon waktu semakin panjang. Hal yang menarik dari variance decomposition adalah bahwa nilai tukar ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel kebijakan, yaitu baik ketika menggunakan variabel kebijakan uang primer maupun ketika menggunakan SBI. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya kejutan kebijakan moneter ternyata direspon secara cepat oleh nilai tukar dibandingkan dengan variabel-variabel ekonomi makro yang lain. 59 Khusus terkait dengan nilai tukar, Ekananda Mahyus (2004) melakukan studi tentang Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi Manufaktur di Indonesia. Dengan menggunakan Non Linear Seemingly Unrelated Regression di peroleh hasil bahwa komoditi manufaktur dengan kandungan impor tinggi akan terkena dampak yang berbeda, dibandingkan dengan komoditi manufaktur dengan kandungan impor rendah. Artinya , terdapat perbedaan dampak volatilitas nilai tukar dan nilai tukar pada nominal ekspor komoditi manufaktur dengan kandungan impor yang berbeda. Fluktuasi nilai tukar dan volatilitas nilai tukar rupiah memiliki elastisitas yang berbeda pada setiap nilai ekspor komoditi. Pengaruh ini dapat saja signifikan atau bahkan tidak signifikan sama sekali. Setiap komoditi yang diekspor ke berbagai negara memerlukan waktu penyesuaian yang berbeda. Adanya impor sebagai bahan baku untuk memproduksi komoditi ekspor akan mempengaruhi performa ekspor sebagai akibat pengaruh dari nilai tukar dan volatilitas nilai tukar. Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang terkendali, secara proporsional, tidak berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan impor rendah. Pada periode ini, kebijakan pemerintah melakukan devaluasi dan depresiasi nilai tukar, cukup efektif meningkatkan ekspor komoditi manufaktur. Sementara itu pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang bebas, secara proporsional, berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan impor rendah. Pada periode ini, pemerintah melepas rentang intervensi sama sekali, sehingga nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar. 60 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan waktu penyesuaian antara komoditi dengan impor tinggi dan komoditi dengan impor rendah. Dalam hal waktu penyesuaian pengaruh dari volatilitas nilai tukar, pada masa nilai tukar mengambang terkendali, ekspor dengan kandungan impor tinggi memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan impor rendah. Pada masa nilai tukar mengambang bebas, ekspor dengan kandungan impor tinggi memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan impor rendah (6.97 bulan). Waktu penyesuaian yang berbeda disebabkan karena adannya perbedaan jumlah kandungan impor. 2.3. Kerangka Konseptual Pencapaian target dalam sektor riil yaitu mendorong pertumbuhan produksi dan kesempatan kerja merupakan salah satu sasaran akhir kebijakan moneter. Jalur transmisi kebijakan moneter ke sektor rill yang selama ini diadopsi berdasarkan pada paradigma jumlah uang beredar. Otoritas moneter mengandalkan efektivitas operasi pasar terbuka dalam mengatur jumlah reserve money (uang primer) sebagai sasaran operasional yang ditujukan untuk mempengaruhi jumlah M1,M2 dan M3 sebagai sasaran. Selanjutnya dengan mengasumsikan stabilitas money multiplier dan money velocity, maka target akhir dapat dicapai. Namun dengan adanya kemajuan industri keuangan serta makin terintegrasinya pasar keuangan dunia membuat paradigma lama tersebut menjadi kurang tepat dan sebagai alternatif otoritas moneter menggunakan indikator suku bunga sebagai target operasional disamping jumlah uang beredar. Penggunaan indikator suku bunga ini lebih unggul dari segi kecepatan informasi yang diterima serta besarnya (magnitude pass through). 61 Selanjutnya, kebijakan moneter tersebut ditransmisikan melalui jalur-jalur transmisi sehingga mampu mempengaruhi kinerja sektor riil dan jalur yang relatif kuat kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja sektor riil adalah jalur suku bunga, jalur harga aset melalui nilai tukar dan jalur kredit khususnya dari sisi jalur pinjaman bank. Pada jalur suku bunga, otoritas moneter dapat mempengaruhi sisi investasi. Kebijakan moneter kontraktif akan mendorong peningkatan suku bunga yang mempengaruhi biaya modal dan mendorong penurunan investasi. Sedangkan transmisi melalui jalur nilai tukar ini relatif efektif jika sistem nilai tukar yang dianut adalah nilai tukar mengambang. Hal ini telah diterapkan di Indonesia dimana saat ini otoritas moneter membiarkan pergerakan nilai tukar berdasarkan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. Disamping itu, antara jalur suku bunga dan nilai tukar terdapat keterkaitan yang cukup erat terutama dalam kondisi perekonomian terbuka dimana kenaikan suku bunga domestik akan mendorong perbedaan suku bunga domestik dengan suku bunga luar negeri yang cenderung stabil, dan daya tarik margin yang tinggi akan mendongkrak capital inflow yang mempu memberikan tekanan apresiatif pada mata uang domestik. Perubahan nilai tukar ini dengan sendirinya akan mempengaruhi kinerja perdagangan. Kemajuan sektor keuangan juga menjadi perhatian dalam penelitian ini karena pada dasarnya transmisi moneter dijalankan oleh sektor keuangan menuju ke sektor riil. Otoritas moneter melalui instrumen penetapan giro wajib minimum (GWM) di bank sentral dapat mempengaruhi kondisi keuangan bank. Apabila Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter kontraktif melalui peningkatan giro wajib minimum (GWM), maka cadangan yang ada di bank akan mengalami penurunan sehingga loanable fund mengalami penurunan. Apabila hal tersebut tidak diatasi dengan melakukan penambahan dana/pengurangan surat-surat berharga maka kemampuan bank memberikan pinjaman akan 62 menurun dalam arti penawaran/alokasi kredit oleh perbankan juga akan menurun. Terkait dengan peran intermediasi yang dijalankan sektor keuangan dan melihat kondisi perekonomian di Indonesia dimana sebagian besar sektor riil masih tergantung pada kredit maka penurunan jumlah penawaran kredit oleh sektor perbankan akan menurunkan investasi yang terkendalanya peningkatan produksi atau skala usaha. berdampak pada Secara lebih rinci, kerangka konseptual penelitian ini disajikan pada Gambar 6. Kebijakan Moneter (Ekspansif/Kontraktif) Instrumen : OPT, GWM Uang Primer (2) (3) (1) Suku Bunga Riil Dana Pihak Ketiga (3) (2) Alokasi Kredit Nilai Tukar (1) (2) (3) Ekspor Netto Investasi Kinerja Sektor Riil a. Produk domestik bruto b. Penyerapan Tenaga Kerja c. Tingkat pengangguran Keterangan : (1) jalur suku bunga (2) jalur harga aset melalui nilai tukar (3) jalur kredit Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil mencakup wilayah Indonesia dengan basis analisis pada masing-masing sektor yang menjadi objek penelitian yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor lainnya. 3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series. Deret waktu data yang digunakan adalah triwulanan pertama 1984 sampai triwulan empat tahun 2005. Data diperoleh dari dua sumber utama yaitu Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistika. 3.3. Spesifikasi Model Model dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil disusun dalam sistem persamaan simultan dalam tiga blok yaitu blok moneter, blok transmisi moneter ke sektor riil dan blok kinerja sektor riil. Secara rinci model yang disusun adalah sebagai berikut: A. Blok Moneter Suku Bunga IR = a10 + a11MB +a12RR+ a13 ISBI + a14 PDB+ a15 DKM+ a16 DBI + e01 ..(1) dimana: IR = Suku Bunga Deposito 1 tahun (persen) MB = Uang Primer (milyar rupiah) RR = Giro Wajib Minimum (persen) ISBI = Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia 3 bulan (persen) PDB = Produk Domestik Bruto (milyar rupiah) DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia Hipotesis: a12, a13, a14, a15 , a16 >0 a11 < 0 64 Nilai Tukar ER = b10 + b11 IR + b12 ILN+ b13 DKM+ b14 DBI + e02 ……(2) dimana: ER = Nilai Tukar (US$/Rp) IR = Suku Bunga riil Indonesia (persen) ILN = Suku Bunga Luar Negeri/SIBOR (persen) DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia Hipotesis: b11, b13, b14 >0 b12 < 0 Alokasi Kredit Sektor Pertanian ACSPT = c10 + c11 IRC + c12 DPK + c13 RR + c14 LACSPT + c15 DKM + c16 DBI + c03 ……(3) dimana: ACSPT = Alokasi Kredit Sektor Pertanian (milyar rupiah) IRC = Suku Bunga Kredit (persen) DPK = Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah) RR = Giro Wajib Minimum (persen) LACSPT = Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Pertanian DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia c11 , c13, c15 , c16 < 0 Hipotesis: c12, c14 >0 Alokasi Kredit Sektor Industri ACSI = d10 + d11 IRC + d12 DPK + d13 RR + d14 LACSI + d15 DKM + d16 DBI + d04 dimana: ACSI = Alokasi Kredit Sektor Industri (milyar rupiah) IRC = Suku Bunga Kredit (persen) DPK = Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah) RR = Giro Wajib Minimum (persen) LACSI = Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Industri DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia Hipotesis: d12, d14 >0 d11 , d13, d15 , d16 < 0 ……(4) 65 Alokasi Kredit Sektor Lainnya ACSL = e10 + e11 IRC + e12 DPK + e13 RR + e14 LACSL + e15 DKM + e16 DBI + e05 ……(5) dimana: ACSL = Alokasi Kredit Sektor Lainnya (milyar rupiah) IRC = Suku Bunga Kredit (persen) DPK = Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah) RR = Giro Wajib Minimum (persen) LACSL = Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Lainnya DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia Hipotesis: e12, e14 >0 e11 , e13, e15 , e16 < 0 B. Blok Transmisi Moneter ke Sektor Riil Investasi InvSPT = f10+ f11 IR + f12 ACSPT +f13GPDBSPT+ f14LINVSPT+ f15 DKM + e6 InvSI …………(6) = g10+ g11 IR + g12 ACSI +g13GPDBSI+ g14LINVSI+ g15 DKM + e7 …………(7) InvSL = h10+ h11 IR + h12 ACSL +h13GPDBSL+ h14LINVSL+ h15 DKM + e8 InvTotal = InvSPT+InvSI+InvSL …………(8) ….........(9) dimana: InvSPT = Investasi yang disetujui untuk Sektor Pertanian (milyar rupiah) InvSI = Investasi yang disetujui untuk Sektor Industri (milyar rupiah) InvSL = Investasi yang disetujui untuk Sektor Lainnya (milyar rupiah) IR = Suku Bunga (persen) ACSPT = Alokasi Kredit Sektor Pertanian (milyar rupiah) ACSI = Alokasi Kredit Sektor Industri (milyar rupiah) ACSL = Alokasi Kredit Sektor Lainnya (milyar rupiah) GPDBSPT = Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian (milyar rupiah) GPDBSI = Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Industri (milyar rupiah) GPDBSL = Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya (milyar rupiah) LINVSPT = Lag (t-1) Investasi Sektor Pertanian LINVSI = Lag (t-1) Investasi Sektor Industri LINVSL = Lag (t-1) Investasi Sektor Lainnya DKM = Dummy Krisis Moneter Hipotesis: f12 , f13, f14, g12 , g13, g14, h12 , h13, h14 >0 f11 , f15, g11 , g15, h11 , h15 < 0 66 GPDBSPT = PDBSPT - LPDBSPT ............(10) GPDBSI = PDBSI - LPDBSI ............(11) GPDBSL = PDBSL - LPDBSL ............(12) dimana: GPDBSPT = GPDBSI = GPDBSL = PDBSPT = PDBSI PDBSL LPDBSPT LPDBSI LPDBSL = = = = = Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Industri Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya Produk Domestik Bruto sektor Pertanian (milyar rupiah) Produk Domestik Bruto sektor Industri (milyar rupiah) Produk Domestik Bruto sektor lainnya (milyar rupiah) Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Pertanian Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Industri Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor lainnya Ekspor VXSPT = i10+i11 INFL+i12ER+ i13PDBSPT+i14LVXSPT + i15DKM+e11 VXSI .........(13) = j10+j11 INFL+ j12 ER+ j13 PDBSI+ j14LVXSI + j15DKM +e12 .........(14) VXSL = k10+k11 INFL+ k12ER+k13 PDBSL+k14LVXSL + k15DKM +e13 VX = VXSPT+VXSI+VXSL .........(15) .........(16) dimana: VXSPT = Ekspor Sektor Pertanian (milyar rupiah) VXSI = Ekspor Sektor Industri (milyar rupiah) VXSL = Ekspor Sektor lainnya (milyar rupiah) INFL = Inflasi (persen) ER = Nilai Tukar (US$/Rp) PDBSPT = Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian (milyar rupiah) PDBSI = Produk Domestik Bruto Sektor Industri (milyar rupiah) PDBSL = Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya (milyar rupiah) LXSPT = Lag (t-1) Ekspor Sektor Pertanian LXSI = Lag (t-1) Ekspor Sektor Industri LXSL = Lag (t-1) Ekspor Lainnya DKM = Dummy Krisis Moneter Hipotesis: i11, i12, i13, i14, i15, j11, j12, j13, j14, j15, k11, k12, k13, k14, k15 >0 67 C. Blok Kinerja Sektor Riil Produk Domestik Bruto PDBSPT = l10+l11LASPT+l12INVSPT+l13LPDBSPT+l14DKM+ l15DBI+e15 PDBSI ......(17) = m10+m11LASI+m12INVSI+m13LPDBSI+m14DKM+ m15DBI+e16 ..... (18) PDBSL = n10+n11LASL+n12INVSL+n13LPDBSL+n14DKM+ n15DBI+e17 ..... (19) PDB ......(20) = PDBSPT + PDBSI + PDBSL dimana: PDBSPT = Produk Domestik Bruto sektor Pertanian (milyar rupiah) PDBSI = Produk Domestik Bruto sektor Industri (milyar rupiah) PDBSL = Produk Domestik Bruto sektor lainnya (milyar rupiah) LASPT = Penyerapan Tenaga Kerja sektor Pertanian (ribu orang) LASI = Penyerapan Tenaga Kerja sektor Industri (ribu orang) LASL = Penyerapan Tenaga Kerja sektor Lainnya (ribu orang) INVSPT = Investasi yang disetujui untuk Sektor Pertanian (milyar rupiah) INVSI = Investasi yang disetujui untuk Sektor Industri (milyar rupiah) INVSL = Investasi yang disetujui untuk Sektor Lainnya (milyar rupiah) LPDBSPT = Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Pertanian LPDBSI = Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Industri LPDBSL = Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor lainnya DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia Hipotesis: l11, l12, l13, l14, l15, m11, m12, m13, m14, m15, n11, n12, n13, n14, n15 >0 Penyerapan Tenaga Kerja LASPT = o10+o11WSPT+ o12 GPDBSPT+o13LLASPT + e19 ....(21) LASI ....(22) = p10+p11WSI+ p12 GPDBSI+p13LLASI+e20 LASL = q10+q11WSL+ q12 GPDBSL+q13LLASL + e21 ....(23) LA ....(24) = LASPT + LASI + LASL dimana: LA LASPT = = LASI = LASL = Penyerapan Tenaga Kerja (ribu orang) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (ribu orang) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri (ribu orang) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lainnya (ribu orang) 68 WSPT = WSI WSL = = Tingkat Upah Riil Sektor Pertanian (rupiah per bulan) Tingkat Upah Riil Sektor Industri (rupiah per bulan) Tingkat Upah Riil Sektor Lainnya (rupiah per bulan) GPDBSPT = Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor Pertanian GPDBSI = Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor Industri GPDBSL = Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor Lainnya LLASPT = Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja sektor Pertanian LLASI = Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri LLASL = Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lainnya Hipotesis: o12, o13, p12, p13, q12, q13 >0 o11, p11, q12, < 0 Tingkat Pengangguran U = SL – LA ....(25) dimana: U SL LA = = = Jumlah Pengangguran (ribu orang) Angkatan Kerja (ribu orang) Total Penyerapan Tenaga Kerja (ribu orang) Identifikasi dan Metode Estimasi Sebelum melakukan metode pendugaan model, suatu model ekonometrika persamaan struktural simultan memerlukan identifikasi model. Model persamaan struktural dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan (Koutsoyiannis, 1997). Metode order condition tersebut adalah: (K-M) > (G-1) dimana: K = M = G = Total variabel dalam model yaitu variabel endogen dan variabel pre determined Jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam suatu persamaan tertentu dalam model Jumlah variabel endogen dalam model 69 Kondisi suatu persamaan dalam model mengikuti metode order condition adalah sebagai berikut (K-M) > (G-1) : (K-M) < (G-1) : (K-M) = (G-1) : persamaan yang bersangkutan teridentifikasi berlebih (over identified) persamaan yang bersangkutan tidak diidentifikasi (unidentified) persamaan yang bersangkutan dapat diidentifikasi secara tepat (exactly identified) agar parameter-parameter dapat diduga maka setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified Suatu persamaan yang teridentifikasi akan memenuhi rank condition jika dan hanya jika memungkinkan minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural yang tidak termasuk dalam persamaan. Jumlah persamaan pada model ekonometrika yang telah disusun sebanyak 25 persamaan yang terdiri atas 8 persamaan identitas dan 17 persamaan struktural. Jumlah seluruh variabel dalam model adalah 52 variabel. Sementara jumlah variabel dalam satu persamaan tidak ada yang melebihi 6 buah variabel sehingga semua persamaan dalam model ini bersifat over identified. Suatu persamaan yang teridentifikasi berlebih diduga dengan metode Two Stage Least Square (2 SLS) yang didasarkan pada kesesuaiannya dengan tujuan pembentukan model yaitu analisis struktural dan evaluasi kebijakan. Selain itu sampel data yang tersedia relatif kecil dan tidak sensitif terhadap modifikasi model baik untuk analisis struktural maupun analisis simulasi. Perhitungan pendugaan parameter persamaan struktural dilakukan dengan menggunakan program komputer SAS/ETS versi 8.0 (Statistical Analysis System/Econometric Time Series). Uji serial korelasi (autocorrelation) dengan menggunaka uji DurbinWatson Statistic tidak valid dalam persamaan simultan jika model mengandung 70 lagged endogeneous variables. Oleh karena itu untuk menguji adanya serial korelasi digunakan uji Durbin h statistik dengan rumus sebagai berikut: h = (1-0.5 DW ) (T/(1-T(Var Bhart))0.5 dimana: h T Var Bhart DW = = = = Angka statistik Durbin-H Jumlah pengamatan contoh Varians dari koefisien variabel beda kala Nilai statistik Durbin Watson Suatu persamaan tidak mengalami masalah serial korelasi bila nilai mutlak h hitung lebih kecil dari nilai mutlak tabel. Pada taraf nyata 5% suatu persamaan tidak mengalami serial korelasi jika hhit < 1.96. Nilai statistik durbin h tidak akan diperoleh jika hasil kali T dan var βlag lebih besar dari 1 karena akan diperoleh nilai penyebut yang negatif sehingga nilai akarnya tidak dapat didefinisikan. 3.4. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan maka dilakukan validasi model. Dalam validasi model untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat menggunakan beberapa kriteria statistik, yaitu RMSE (Root Mean Squares Error), RMSPE (Root Mean Squares Percent Error) dan Theil’s Inequality Coefficient (U). Nilai RMSE yang kecil atau rendah adalah ukuran yang diinginkan dari ketelitian simulasi. Nilai RMSPE merupakan ukuran deviasi dari nilai simulasi suatu peubah terhadap nilai aktualnya dalam persen. Sedangkan koefisien ketidaksamaan Theil digunakan untuk simulasi historik. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R2 (koefisien determinasi). Makin kecil RMSE, RMSPE, U serta makin besar R2 maka model 71 semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0 maka pendugaan model sempurna dan sebaliknya. 3.5. Simulasi Model Simulasi antara lain bertujuan untuk : (1) melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, (2) mengevaluasi kebijakan pada masa lampau, dan (3) membuat peramalan pada masa yang akan datang. Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini untuk mengevaluasi alternatif kebijakan melalui simulasi historis (ex-post simulation). Skenario simulasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah goncangan beberapa variabel pada jalur transmisi yaitu cadangan wajib (giro) minimum perbankan, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan alokasi kredit. Penurunan Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan cerminan penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia. Rapat Dewan Gubernur sejak bulan September 2006 memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 50 bps setiap bulannya dan sampai bulan November terjadi penurunan BI rate dari 10.75 menjadi 10.25 dan pada 7 Desember 2006, BI kembali memutuskan menurunkan BI rate sebesar 50 bps dari 10.25 persen menjadi 9.75 persen atau sekitar 5 persen yang diikuti dengan penurunan Suku bunga SBI 1 bulan dalam persentase penurunan yang sama. Keputusan tersebut diambil setelah melakukan evaluasi kondisi makroekonomi terkini, mencermati hasil berbagai survei, dan memandang prospek ekonomi moneter ke depan, termasuk upaya pencapaian sasaran inflasi ke depan, yaitu 6±1% untuk tahun 2007. Keputusan tersebut juga diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi, mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di pasar keuangan. 72 Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi fokus perhatian saat ini terkait dengan perubahan target operasional yang diberlakukan Bank Indoesia sejak Juni 2005 dari sebelumnya menggunakan uang primer (base money) menjadi suku bunga. Pertimbangannya adalah Suku bunga Sertifikat Indonesia lebih memudahkan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi. Keuntungan lain menggunakan suku bunga adalah biasa dipakai sebagai rujukan di pasar modal dan mempengaruhi alokasi aset masyarakat karena masyarakat bisa menganalisis dananya akan ditempatkan di deposito atau surat berharga. Disamping itu, dalam prakteknya, penggunaan uang primer sebagai target operasional menjadi sulit karena sebagian besar uang primer merupakan uang kartal yang beredar di masyarakat (Halim, 2005). Sebagai contoh, setiap akhir tahun permintaan uang kartal pasti naik akibat adanya hari raya, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru dan di saat seperti itu sangat sulit bagi BI mengendalikan inflasi karena berapa pun BI menaikkan suku bunga untuk menyerap uang kartal tetap tidak akan berhasil berhubung masyarakat sangat membutuhkannya untuk transaksi. Kebijakan penetapan cadangan wajib minimum ini adalah mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya merupakan persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum sebesar 5 persen sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam rangka meredam nilai tukar yaitu BI menaikkan simpanan wajib perbankan atau giro wajib minimum (GWM) secara bervariasi sesuai dengan kondisi bank atau 73 berdasarkan Loan to Deposit Ratio (LDR) masing-masing bank. Ketentuan ini berlaku sejak 6 September 2005 dan dalam simulasi kebijakan ini diambil kenaikan yang paling besar yaitu tambahan 5 persen bagi bank dengan LDR kurang dari 40 persen. Kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen merupakan wujud perhatian Bank Indonesia terhadap sektor riil dengan program pengembangan UMKM. Untuk meningkatkan kemampuan bank dalam pembiayaan kepada UMKM dan membantu UMKM dalam proses pengajuan kredit, BI bekerjasama dengan Pemerintah Negara Swiss yaitu Swisscontact and International Finance Cooperation (IFC)- World Bank tentang “Access to Finance for SME’s in Indonesia”. Kerjasama ini direalisasikan dalam bentuk credit line senilai USD 100 juta. Pertumbuhan kredit yang positif ini juga merupakan respon penurunan BI rate yang dalam laporan Bank Indonesia disebutkan bahwa selama tahun 2006 pertumbuhan alokasi kredit meningkat sebesar 10.6 persen (Laporan BI, 2006). IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran operasional kebijakan moneter karena akan menentukan jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian. Hal ini terlihat jelas dari pola pergerakan uang primer dan jumlah uang beredar yang dalam paparan ini dibagi atas dua periode yaitu periode sebelum independensi Bank Indonesia dan periode setelah independensi Bank Indonesia 140.00 124.63 120.00 101.79 101.20 100.00 80.00 78.34 75.12 64.09 60.00 52.68 46.09 45.37 40.00 37.04 20.00 28.78 23.82 26.34 22.16 14.74 17.61 10.09 10.96 12.36 20.11 8.58 4.22 1984 1985 10.10 5.14 1986 12.69 14.39 7.12 6.15 11.68 6.12 1987 1988 1989 1990 1991 1992 Uang Primer 1993 1994 1995 34.41 25.85 1996 1997 1998 1999 Uang Beredar 300.00 253.82 250.00 281.91 267.64 239.78 Triliun Rp 223.80 223.73 200.00 150.00 100.00 162.19 133.83 177.73 174.02 127.80 119.94 160.14 125.62 191.94 194.88 138.25 132.40 199.45 155.83 110.60 198.43 155.47 94.56 50.00 2000.2 2000.4 2001.2 2001.4 2002.2 2002.4 Uang primer 2003.2 2003.4 2004.2 2004.4 2005.2 2005.4 Uang beredar Gambar 7. Kinerja Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1984-2005 75 Pada gambar 7 tampak bahwa sebelum independensi Bank Indonesia (1984-1999), nilai nominal uang primer dan jumlah uang beredar terus meningkat dengan pola yang semakin curam. Periode 1984 sampai 1995 peningkatan dalam persentase yang relatif rendah antar tahun sehingga grafik landai dan mulai tahun 1996 terjadi lonjakan dan bahkan pada tahun 1997 sampai 1999 terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi ini ditunjukkan dari persentase pertumbuhan uang primer pada periode sebelum krisis hanya sekitar 19.2 persen dan saat krisis tumbuh sebesar 44.15 persen. Sedangkan uang beredar pada tahun 1984-1996 tumbuh sekitar 18.53 persen dan meningkat menjadi 21.67 persen pada periode 1997-1999. Peningkatan uang primer dan jumlah uang beredar yang dimulai pada pertengahan tahun 1996 merupakan cerminan dari liberalisasi sektor keuangan dimana aliran dana yang masuk ke perekonomian Indonesia khususnya dari pinjaman luar negeri sangatlah besar. Pada periode awal tahun 1997 Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan kontraktif dengan meningkatkan suku bunga. Namun peningkatan suku bunga dalam rangka menyerap likuiditas dalam negeri tersebut ternyata semakin mendorong masuknya aliran dana luar negeri dan kondisi inilah yang sebenarnya menjadi penyebab awal krisis ekonomi di Indonesia. Salah satu solusi bagi penciptaan kestabilan moneter dan perekonomian Indonesia adalah diberlakukannya UU No. 23 tahun 1999 dimana secara jelas disebutkan bahwa Bank Indonesia adalah pemegang otoritas moneter yang lebih independen. Dengan adanya perubahan kebijakan moneter tersebut, uang primer menjadi instrumen yang dikendalikan oleh Bank Indonesia dalam rangka pencapaian sasaran inflasi (inflation targeting) pada rate dan pertumbuhan tertentu dan langkah ini ternyata berdampak besar bagi kinerja uang primer dan uang beredar di Indonesia. Selama implementasi independensi Bank Indonesia, 76 pertumbuhan uang primer dan jumlah uang beredar berada pada kisaran dibawah empat persen. Pada periode 2000-2005 persentase pertumbuhan uang primer hanya berada pada kisaran yang ditargetkan yaitu 4.15 persen dan diikuti dengan pertumbuhan uang beredar sebesar 3.62 persen (Tabel 1). Tabel 1. Pertumbuhan Uang Primer dan Uang Beredar, Tahun 1984-2005 Pertumbuhan (%) Komponen Uang 1984-1996 1997-1999 2000-2005 Uang Primer 19.55 44.15 4.15 Uang Beredar (M1) 18.53 21.67 3.62 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia,1984-2005 (diolah) Selanjutnya dari pola pergerakan terlihat bahwa pergerakan uang primer dan uang beredar cenderung stabil dengan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya. Pada periode pertama setiap tahun terjadi penurunan dan sebaliknya pada periode akhir setiap tahunnya terjadi peningkatan uang primer dan jumlah uang beredar. Hal ini sangat terkait dengan siklus perekonomian dimana pada triwulan empat setiap tahunnya terjadi peningkatan uang kartal karena meningkatnya kebutuhan transaksi masyarakat untuk perayaan lebaran, natal dan tahun baru serta pada triwulan yang sama terjadi pula peningkatan giro perbankan di Bank Indonesia yang bersumber dari meningkatnya posisi giro wajib minimum sejalan dengan peningkatan dana pihak ketiga pada bank umum di Indonesia. Kinerja lebih rinci jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2) disajikan pada Tabel 2. Selama periode 1998 sampai 2005, jumlah uang beredar dalam artian sempit yaitu M1 menunjukkan pertumbuhan yang relatif stabil dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 3.26 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dalam artian luas (M2) dimana dalam periode yang sama mencapai 2.74 persen. 77 Tabel 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1998-2005 Periode 1998.1 1998.2 1998.3 1998.4 1999.1 1999.2 1999.3 1999.4 2000.1 2000.2 2000.3 2000.4 2001.1 2001.2 2001.3 2001.4 2002.1 2002.2 2002.3 2002.4 2003.1 2003.2 2003.3 2003.4 2004.1 2004.2 2004.3 2004.4 2005.1 2005.2 2005.3 2005.4 Rata-rata Jumlah Uang Beredar (Miliar Rp) MI M2 Uang Kuasi 109480 450730 560210 102563 447841 550404 101197 476184 577381 105705 497620 603325 105964 509447 615411 118124 534165 652289 124633 521572 646205 124663 538284 662947 134663 538284 662947 133832 552196 686028 135430 551023 686453 162186 584842 747028 148375 618437 766812 160142 636298 796440 171383 607186 778569 177731 844053 1021784 166173 831411 997584 174017 838635 1012652 181791 863101 1044892 191939 883908 1075847 181239 877776 1059015 194878 894213 1089091 207587 911224 1118811 223779 955692 1179491 219086 716161 935247 223726 741440 975166 240911 745895 986806 253818 779710 1,033528 250492 770201 1020693 267635 806111 1073746 273954 876497 1150451 281905 921310 1203215 Pertumbuhan (%) M1 M2 -6.32 -1.33 4.45 0.25 11.48 5.51 0.02 8.02 -0.62 1.19 19.76 -8.52 7.93 7.02 3.70 -6.50 4.72 4.47 5.58 -5.57 7.53 6.52 7.80 -2.10 2.12 7.68 5.36 -1.31 6.84 2.36 2.90 3.26 -1.75 4.90 4.49 2.00 5.99 -0.93 2.59 0.00 3.48 0.06 8.82 2.65 3.86 -2.24 31.24 -2.37 1.51 3.18 2.96 -1.56 2.84 2.73 5.42 -20.71 4.27 1.19 4.73 -1.24 5.20 7.14 4.59 2.74 Pangsa (%) M1 M2 19.54 80.46 18.63 81.37 17.53 82.47 17.52 82.48 17.22 82.78 18.11 81.89 19.29 80.71 18.80 81.20 20.31 81.20 19.51 80.49 19.73 80.27 21.71 78.29 19.35 80.65 20.11 79.89 22.01 77.99 17.39 82.61 16.66 83.34 17.18 82.82 17.40 82.60 17.84 82.16 17.11 82.89 17.89 82.11 18.55 81.45 18.97 81.03 23.43 76.57 22.94 76.03 24.41 75.59 24.56 75.44 24.54 75.46 24.93 75.07 23.81 76.19 23.43 76.57 20.01 80.00 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia,1998-2005 Pertumbuhan M1 tertinggi terjadi pada triwulan IV tahun 2000 sebesar 19.76 persen yang berkemungkinan karena meningkatnya motif berjaga-jaga mengingat kondisi sosial politik negara yang tidak menentu. Sedangkan pertumbuhan M2 tertinggi terjadi pada triwulan IV/2001 yang mencapai angka 31.24 persen. Hal ini mengindikasikan semakin membaiknya kondisi perekonomian saat itu sehingga menciptakan rasa nyaman bagi masyarakat 78 untuk meningkatkan aktivitas investasi pada perbankan dan meningkatkan motif spekulasi pada bentuk penyimpanan dana lainnya. Namun kondisi sebaliknya terjadi pada triwulan pertama tahun 2004 dimana terjadi pertumbuhan negatif untuk jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) yang menjadi indikasi kurang kondusifnya kondisi perekonomian. Satu hal menarik tampak dari komposisi jumlah uang beredar dimana uang kuasi mendominasi uang yang beredar di masyarakat. Selama periode tersebut 80 persen lebih uang beredar adalah uang kuasi. Artinya motif spekulasi semakin menonjol di kalangan masyarakat. Namun dilihat dari sisi laju pertumbuhan, ada kecenderungan terjadinya laju pertumbuhan yang meningkat pada M1, sedangkan M2 mengalami perlambatan. Perlambatan pertumbuhan M2 ini dipicu berbagai faktor diantaranya pada satu sisi fungsi intermediasi perbankan belum berjalan optimal, sedangkan disisi lain alternatif penyimpanan dana dalam bentuk lain (non bank) semakin berkembang sehingga terjadi pengalihan aset masyarakat dari aset perbankan ke aset non bank. 4.1.2. Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Berdasarkan Tabel 3, terdapat kesamaan pola hubungan antara sektor riil dengan sektor moneter, dalam arti ada hubungan searah antara pertumbuhan ekonomi dengan pertambahan jumlah beredar dan pertumbuhan ekonomi dengan inflasi. Dari tahun 1980 sampai 2005 terjadi peningkatan jumlah uang beredar baik itu jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) maupun M2. Peningkatan jumlah uang beredar ini diikuti pula dengan peningkatan PDB nominal dan peningkatan indeks harga konsumen yang menunjukkan adanya inflasi. 79 Tabel 3. Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto dan Inflasi Indonesia, Tahun1980-2005 Tahun 1980 Jumlah Uang Beredar (Rp Miliar) M1 M2 4995 7691 Output (Rp Miliar) IHK 1993=100 45500 27.30 1990 23818 84629 196600 72.30 1995 52677 222638 454700 177.80 1996 64089 288632 532700 189.60 1997 78343 355643 625500 211.60 1998 101197 577381 1002300 198.60 1999 124633 646205 1107300 202.40 2000 162186 747028 1290700 221.40 2001 177731 844054 1684280 249.10 2002 191839 883098 1863274 274.10 2003 223799 955692 2036351 287.90 2004 253818 1033528 2261724 116.86 2005 281905 1203215 2729708 136.86 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, 1980-2005 (diolah) Dari Tabel 4 terlihat bahwa selama periode 1980-1990 perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Pada periode tahun 1990-1995 pertumbuhan ekonomi terus membaik dengan peningkatan persentase pertumbuhan 7,1 persen per tahun yang dilanjutkan pada tahun 1996 dengan persentase 7.8 persen. Namun krisis ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan tahun 1997 memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi perekonomian yang tercermin dari pertambahan PDB riil yang mengalami penurunan tingkat pertumbuhan menjadi hanya 4 persen. Kondisi buruk terus terjadi pada tahun 1998 dengan pertumbuhan ekonomi negatif 13.4 persen. 80 Setelah mengalami stagnansi pada tahun 1999, perekonomian Indonesia kembali membaik pada tahun 2000 dengan persentase pertumbuhan mencapai 4 persen pertahun. Selanjutnya sampai tahun 2003 perekonomian Indonesia tumbuh pada kisaran angka 4 persen dan angka ini yang paling realistis mengingat kondisi Indonesia yang masih dalam proses pemulihan. Sampai tahun 2005 perekonomian terus menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan yang meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi ini menjadi acuan bagi pelaku ekonomi untuk mulai menggerakkan kembali usaha produktifnya. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan jumlah uang beredar terlihat bahwa dalam kondisi sebelum krisis (1980-1997) pertumbuhan ekonomi berhubungan searah dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dimana pertumbuhan jumlah uang beredar sekitar 3 kali pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang teori Klasik, hal ini dapat dipandang sebagai peningkatan penggunaan uang sebagai alat transaksi (M1) yang biasanya memang semakin meningkat pada saat perekonomian tumbuh. Sedangkan dari sudut pandang teori Keynesian, peningkatan jumlah uang beredar ini terjadi berkemungkinan karena suntikan kredit yang akan mendorong aktivitas investasi dan akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama periode krisis, jumlah uang beredar sempat bertambah tinggi khususnya pada periode tahun 1998-2000. Saat itu pertambahan M1 melebihi angka 20 persen per tahun dan bahkan pertumbuhan M2 mencapai 62 persen. Walaupun pertambahan jumlah uang beredar relatif tinggi, namun pertumbuhan ekonomi justru menjadi negatif dan hampir tidak berkembang. Hal ini terjadi berkemungkinan karena kondisi abnormal selama awal krisis yang mendorong masyarakat untuk menyimpan uang untuk berjaga-jaga dan transaksi. Sedangkan pertambahan M2 yang sempat melebihi angka 60 persen pada tahun 81 1998 sangat berkaitan dengan tingkat bunga deposito yang pada masa itu mencapai 64 persen per tahun. Mulai tahun 2001, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter yang independen menempuh kebijakan uang ketat (tight money policy). Hal ini menyebabkan pertambahan jumlah uang beredar sangat terkendali menjadi sekitar 10 persen per tahun. Pengetatan jumlah uang beredar ini ternyata tidak menurunkan pertumbuhan ekonomi karena terbukti selama periode 2001-2005 pertumbuhan ekonomi tetap stabil pada kisaran angka 3-5 persen per tahun. Tabel 4. Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar, Output dan Harga Umum Perekonomian Indonesia, Tahun 1980-2005 Tahun 1980-1990 1990-1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Pertumbuhan (%) Uang Beredar PDB Riil M1 M2 17.5 22.1 5.0 17.2 30.6 7.1 21.7 29.6 7.8 22.2 23.2 4.9 29.2 62.3 -13.4 23.2 11.9 0.2 30.1 15.6 4.8 9.6 13.0 3.6 8.0 4.7 3.7 16.6 8.1 4.1 13.4 8.1 5.1 11.1 16.4 5.6 Keterangan : PDB riil = tahun dasar 1993 Sumber : Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia, 1980-2005 (diolah) IHK 10.8 11.1 9.3 12.5 73.6 10.3 9.3 12.5 10.0 5.1 6.4 17.1 Dari data pada Tabel 4 terlihat pula bahwa terdapat hubungan searah antara inflasi dengan pertambahan jumlah uang beredar terutama jumlah uang beredar untuk kebutuhan transaksi (M1). Namun dari pola pergerakan, pertambahan M1 tidak segera mempengaruhi inflasi karena membutuhkan tenggang waktu sekitar 1 tahun yang diindikasikan dari pola pergerakan yang sama pada tahun berikutnya. Dengan kata lain, jika dilakukan perubahan jumlah uang beredar tahun ini, dampaknya terhadap inflasi akan tampak pada tahun 82 berikutnya. Dari besaran nilainya terlihat pula bahwa inflasi tidak dapat dipandang hanya sebagai gejala moneter karena terdapat masa-masa dimana pertambahan jumlah uang beredar relatif rendah, namun inflasi tetap tinggi seperti pada tahun 1998 pertambahan jumlah uang beredar hanya 29.2 persen namun inflasi mencapai 73.6 persen dan kondisi sebaliknya pada tahun 2003 pertambahan jumlah uang beredar 16.6 persen namun inflasi tetap rendah pada kisaran 5 persen. Akhir tahun 2005 inflasi meningkat signifikan dan mencapai dua digit angka (17%) yang terutama disebabkan oleh kenaikan harga yang diatur pemerintah yaitu kenaikan Bahan Bakar Minyak disertai dengan tingginya inflasi bahan makanan akibat terganggunya pasokan dan distribusi (laporan tahunan BI, 2005). 4.1.3. Kinerja Suku Bunga Suku bunga sertifikat Bank Indonesia merupakan salah satu instrumen utama pengendalian moneter dalam menjaga stabilitas jumlah uang beredar dalam perekonomian. Suku bunga SBI akan menjadi stimulus bagi sektor perbankan dalam menaikkan atau menurunkan suku bunga nominal (suku bunga deposito). Berdasarkan Gambar 8, pergerakan suku bunga deposito 6 bulanan dari tahun 1984 sampai 2001 mengikuti pergerakan suku bunga SBI dengan tenggang waktu yang relatif pendek. Artinya instrumen suku bunga SBI langsung direspon oleh bank-bank umum dengan suku bunga deposito bulanan atau enam bulanan dan tahunan. Pada periode 1984-1990, suku bunga SBI dan suku bunga simpanan (deposito) 6 bulanan relatif stabil pada kisaran 14-16 persen. mengindikasikan bahwa kondisi likuiditas Indonesia relatif baik. Angka ini Sejak tahun 2002 perkembangan jumlah uang beredar yang terkendali serta ekspektasi positif 83 masyarakat terhadap inflasi ke depan yang cenderung membaik memberi peluang kepada Bank Indonesia untuk memberikan sinyal penurunan suku bunga SBI. 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 Suku bunga SB I 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 I- II - III - IV - 2000 2000 2000 2000 Suku bunga Depo sito 6 bulan Gambar 8. Pergerakan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito, Tahun 1984-2000 Dalam operasionalnya, penurunan suku bunga instrumen moneter telah diikuti oleh penurunan suku bunga simpanan perbankan dengan laju yang lebih cepat. Artinya pergerakan suku bunga simpanan perbankan searah dengan penurunan suku bunga instrumen moneter, dimana selama tahun 2004 suku bunga simpanan dan deposito mengalami penurunan signifikan. Suku bunga deposito rata-rata tertimbang 1 bulan mengalami penurunan hingga mencapai 6.62 persen dibanding tahun sebelumnya. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi penurunan suku bunga deposito adalah meningkatnya ekses likuiditas perbankan dan menurunnya marjin penjaminan suku bunga simpanan. Penurunan suku bunga simpanan ini diikuti pula oleh suku bunga kredit, namun dengan laju penurunan yang lambat. Suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) mengalami penurunan 318 basis point (bps) menjadi 13.41 persen dan suku bunga kredit investasi menurun 214 bps sehingga menjadi 14.05 persen. 84 Sedangkan suku bunga kredit konsumsi mengalami penurunan yang kecil yaitu 152 bps menjadi 18.69 persen . Tabel 5. Perkembangan Suku Bunga, Tahun 2001-2005 No 1 2 3 Suku bunga Tahun 2001 2002 2003 Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan 17.6 12.9 11.4 3 bulan 17.6 13.1 11.9 Deposito 1 bulan 16.7 12.8 11.9 3 bulan 17.2 13.6 12.9 6 bulan 16.2 13.8 13.2 12 bulan 15.5 15.3 14.2 Kredit Modal Kerja 19.9 18.2 18.1 Investasi 17.9 17.8 17.8 Perubahan 2002- 20032003 2004 2004 2005 20012002 20042005 7.4 7.3 12.7 12.8 26.6 25.6 11.8 -8.8 34.8 39.1 71.6 75.9 6.4 6.7 7.1 7.1 11.9 11.7 10.2 10.9 23.3 20.9 14.8 -1.3 -7.1 -5.4 -4.1 -7.3 45.9 47.9 46.1 50.1 86.3 75.1 42.8 54.9 13.4 14.1 16.2 15.7 -8.3 -0.5 -0.9 0.2 25.8 21.3 21.0 11.5 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, 2001-2005 (diolah) Lambatnya penurunan suku bunga kredit ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal dan eksternal perbankan. Faktor internal terkait dengan struktur aset dan kinerja keuangan bank termasuk di dalamnya tingkat profitabilitas bank, tingkat likuiditas, biaya dana dan rasio kecukupan modal. Sedangkan faktor eksternal adalah perkembangan perekonomian nasional dan internasional, tingkat persaingan perbankan, suku bunga investasi alternatif serta regulasi sektor perbankan (Bank Indonesia, 2003). Namun pada tahun 2005, Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter kontraktif melalui peningkatan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia atau yang dikenal sekarang dengan nama BI rate. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya mengembalikan inflasi pada kisaran awal yaitu 6 persen ± 1 persen. Sampai akhir tahun, BI rate mencapai 12.75 persen atau naik 71.6 persen dari tahun sebelumnya. 85 Perubahan ini direspon oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga simpanan menjadi 11.98 persen untuk suku bunga deposito bulanan. Suku bunga kredit meningkat 21 persen dari tahun 2004 menjadi 13.41 persen (KMK) dan 15.66 persen untuk kredit investasi. Kebijakan kontraktif ini pada satu sisi dapat mengembalikan inflasi pada kisaran awal konsisten dengan landasan kebijakan moneter (inflation trageting), namun pada sisi lain menjadi sinyal negatif bagi sektor riil dalam memperluas usaha yang khawatir dengan biaya modal yang semakin memberatkan mereka. 4.2. Kinerja Sektor Riil Kebijakan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah terhitung tanggal 1 Juni 1983 dicanangkan dengan tujuan meningkatkan peranan perbankan sebagai media transmisi kebijakan moneter ke sektor produksi dan perekonomian secara keseluruhan. Pesatnya perkembangan sektor perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kredit/pembiayaan diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ditambah lagi, kemudahan kredit yang disediakan perbankan serta proses transaksi yang makin cepat dan sederhana diharapkan dapat meningkatkan akses pelaku ekonomi terhadap sumber modal sehingga meningkatkan aktivitas investasi. Adanya pertumbuhan dalam aktivitas investasi dan berlanjut pada peningkatan pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat pula memperluas kesempatan kerja di Indonesia. Namun dalam realitasnya, pertumbuhan investasi, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak berjalan searah secara proporsional. Selama periode 1984-1997 pertumbuhan output yang tercermin dari nilai Produk Domestik Bruto mencapai 3.39 persen dengan pertumbuhan investasi 11.21 persen. Namun pertumbuhan penyerapan tenaga kerja jauh dibawahnya yaitu 86 hanya 0.76 persen. Pada periode krisis, meskipun pertumbuhan output menunjukkan angka negatif (-0.75%), namun aktivitas investasi masih tumbuh 0.86 persen sehingga persentase penyerapan tenaga kerja menurun menjadi 0.35 persen. Sebaliknya pada periode setelah krisis, output tumbuh 12.9 persen, dan investasi mulai membaik dengan persentase 3.75 persen, namun penyerapan tenaga kerja turun drastis menjadi hanya 0.04 persen. Dari sisi jumlah nominal, penambahan kesempatan kerja kurang dari satu juta orang setahun, padahal penambahan angkatan kerja mencapai lebih dari 2 juta orang setahun. Kondisi ini bisa dijelaskan dari sisi kinerja sektoral yang dalam paparan berikutnya difokuskan pada dua sektor produksi dalam perekonomian yaitu sektor pertanian dan industri dengan alasan dua sektor ini mempunyai teknologi produksi yang sangat berbeda dimana sektor pertanian dengan labor intensive dan sektor industri yang cenderung capital intensive. Dari tiga periode waktu seperti tampak pada Tabel 6, kontribusi PDB sektor industri terhadap PDB total terus meningkat dan sebaliknya dengan kontribusi produksi sektor pertanian yang terus menurun. Pada periode 19841997 kontribusi PDB sektor pertanian terhadap pembentukan total output nasional hampir sama dengan kontribusi sektor industri yaitu 19.26 persen dan 19.28 persen. Namun mulai tahun 1998 kontribusi sektor pertanian menurun sampai pada tahun 2005 hanya menjadi 15.5 persen. Disamping itu, pertumbuhan produksi sektor pertanian juga lebih kecil daripada pertumbuhan sektor industri. Kecenderungan ini juga terjadi pada aktivitas investasi kedua sektor dimana investasi sektor pertanian cenderung melambat. Kontribusi investasi pada sektor industri pun jauh lebih besar dibandingkan investasi sektor pertanian dengan nilai nominal yang sangat timpang. Total investasi sektor pertanian sejak 87 tahun 1984 berada pada kisaran Rp 669 sampai Rp 1 428 miliar, sedangkan nilai investasi sektor industri berkisar Rp 6 sampai Rp 12 triliun rupiah. Tabel 6. Kinerja Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1984-2005 Kinerja 1984-1997 1998-1999 48569 3.39 94150 -0.75 325738 12.9 8570 19.26 3.58 16294 17.31 -1.99 47759 15.5 11.1 10409 19.28 5.04 24079 25.57 0.4 91241 27.6 12.3 9989 11.21 15650 0.86 23559 3.75 1428 17.55 14.76 1027 6.62 -6.49 710 2.9 6.6 6416 62.35 11.69 12324 78.61 2.79 9777 41.5 0.4 73590 0.76 88730 0.35 91152 0.04 38284 0.36 39376 0.5 30695 0.2 7605 1.05 10685 1.47 11484 -1.0 Output a. PDB Nominal - Nilai (Miliar Rp) - Pertumbuhan (%/thn) b. PDB Pertanian - Nilai (Miliar Rp) - Share (%) - Pertumbuhan (%/thn) c. PDB Industri - Nilai (Miliar Rp) - Share (%) - Pertumbuhan (%/thn) Investasi a. Investasi Total - Nilai (Miliar Rp) - Pertumbuhan (%/thn) b. Investasi sektor Pertanian - Nilai (Miliar Rp) - Share (%) - Pertumbuhan (%/thn) c. Investasi sektor Industri - Nilai (Miliar Rp) - Share (%) - Pertumbuhan (%/thn) Penyerapan Tenaga Kerja a. Total Penyerapan Tenaga Kerja - Jumlah (ribu orang) - Pertumbuhan (%/thn) b. Penyerapan TK sektor Pertanian - Jumlah (ribu orang) - Pertumbuhan (%/thn) c. Penyerapan TK sektor Industri - Jumlah (ribu orang) - Pertumbuhan (%/thn) 2000-2005 Kondisi ini terjadi berkemungkinan karena liberalisasi perbankan mendorong terbentuknya struktur industri perbankan oligopolis yang menimbulkan kesulitan bagi pelaku ekonomi di sektor pertanian untuk memperoleh kucuran kredit sebagai sumber permodalan usaha mengingat 88 keterbatasan petani dalam pemenuhan persyaratan perbankan, kurangnya akses informasi dan rendahnya tingkat pendidikan. Padahal dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian menjadi mata pencaharian 38 juta orang penduduk, sedangkan sektor industri hanya menyerap tenaga kerja seperlimanya sektor pertanian yaitu sekitar 7.6 juta orang. Bahkan sepanjang tahun 2005, sektor industri mengalami ekonomi biaya tinggi dengan kenaikan input produksi sehingga mendorong pelaku usaha sektor industri untuk melakukan efisiensi yang salah satunya diupayakan melalui pengurangan tenaga kerja. Hal ini tercermin dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor ini yang negatif 1 persen. V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja moneter difokuskan analisis faktor-faktor penentu suku bunga, nilai tukar dan alokasi kredit. Hasil analisis masing-masing variabel moneter tersebut disajikan pada Tabel 7, Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi suku bunga menjadi penting diketahui terkait dengan perubahan target operasional oleh Bank Indonesia dari sebelumnya uang primer menjadi suku bunga. Dalam keyakinan Liquidity Preference Framework, perubahan suku bunga dapat dipahami dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang. Dalam analisis ini, variabel uang primer, giro wajib minimum dan suku bunga SBI dikelompokkan dalam faktor yang berpengaruh terhadap uang beredar, sedangkan Produk Domestik Bruto menjadi variabel yang mempengaruhi permintaan uang. Berdasarkan Tabel 7, uang primer, giro wajib minimum dan suku bunga SBI berpengaruh nyata terhadap suku bunga pasar. Dari arah parameter, uang primer mempengaruhi suku bunga dalam arah negatif yang artinya peningkatan uang primer menurunkan suku bunga riil. Sementara itu, peningkatan giro wajib miniumum dan peningkatan suku bunga SBI berpengaruh positif terhadap suku bunga. Artinya, peningkatan giro wajib minimum menyebabkan jumlah cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan jumlah uang beredar menjadi lebih rendah dan akhirnya meningkatkan 90 suku bunga riil. Demikian pula dengan peningkatan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) akan mendorong masyarakat menyimpan uang dalam SBI sehingga menurunkan uang beredar dan akhirnya meningkatkan suku bunga pasar. Hasil ini mendukung langkah Bank Indonesia menjadikan suku bunga pasar sebagai target operasional karena tingginya hubungan suku bunga pasar dengan uang primer, giro wajib minimum dan suku bunga SBI. Produk Domestik Bruto sebagai variabel yang mempengaruhi suku bunga dari sisi permintaan uang berpengaruh nyata terhadap suku bunga dengan arah yang positif. Artinya peningkatan produk domestik bruto yang mencerminkan kondisi perekonomoian yang lebih baik meningkatkan permintaan uang oleh masyarakat dan selanjutnya dengan jumlah uang beredar yang tetap akan meningkatkan suku bunga pasar. Tabel 7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga, Tahun 2005 Variabel Uraian Intercep MB Parameter Dugaan Prob>ITI Elastisitas 33.7111 <.0001 -0.0005 0.0001 -0.0005 Uang Primer RR Giro Wajib Minimum 0.6348 0.0002 -0.2144 ISBI Suku Bunga SBI 0.0098 0.0842 0.0108 PDB DKM DBI Produk Domestik Bruto Dummy Krisis Moneter Dummy Independensi BI 0.0001 4.5057 4.8697 0.0465 0.0515 0.0292 0.4080 R2 = 0.98347; 1st Order Autocorrelation = 0.463326 Dummy krisis ekonomi dalam analisis ini ternyata berpengaruh nyata terhadap suku bunga dengan kecenderungan tingginya suku bunga sejak krisis ekonomi. Demikian pula independensi Bank Indonesia yang memiliki pengaruh positif terhadap suku bunga riil yang artinya terjadi kecenderungan peningkatan suku bunga riil sejak berlakunya independensi Bank Indonesia dimaksudkan untuk menjaga stabilitas likuiditas dalam perekonomian. yang 91 Tabel 8 menyajikan hasil analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar dimana nilai tukar didefinisikan sebagai rasio dollar terhadap rupiah. Dari model yang dibangun, suku bunga berpengaruh nyata terhadap nilai tukar dengan arah paremeter yang positif. Artinya peningkatan suku bunga domestik akan mendorong peningkatan aliran dana masuk (capital inflow) sehingga kebutuhan rupiah meningkat dan mendongkrak nilai rupiah (apresiasi rupiah) sehingga nilai tukar dollar terhadap rupiah akan meningkat. Namun dilihat dari nilai elastisitasnya, variabel nilai tukar kurang responsif terhadap perubahan suku bunga pasar. Dua variabel lain yang berpengaruh terhadap nilai tukar adalah krisis moneter dan independensi Bank Indonesia dengan arah yang positif. Artinya, selama priode krisis moneter dan independensi Bank Indonesia, terjadi depreasiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar. Depresiasi nilai tukar selama krisis ekonomi dipicu oleh tindakan penarikan dana oleh investor asing secara besarbesaran karena ketidakpercayaan terhadap kondisi perekonomian saat itu dan meskipun sejak independensi Bank Indonesia telah terjadi perbaikan nilai tukar namun dibandingkan periode sebelum tahun 1997, nilai rupiah relatif masih lemah. Tabel 8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar, Tahun 2005 Variabel Uraian Intercep Parameter Dugaan Prob>ITI Elastisitas 2150.69 0.0036 28.7738 0.4059 -0.1054 -16.85512 0.8436 0.0214 IR Suku bunga Domestik ILN Suku bunga Luar Negeri DKM Dummy Krisis Moneter 5746.579 <.0001 DBI Dummy Independensi BI 7310.434 <.0001 R2 = 0.85152 ; 1st Order Autocorrelation = 0.516384 92 Alokasi kredit oleh perbankan merupakan salah satu bentuk penggunaan dana yang dalam neraca perbankan menjadi komponen aset dan merupakan wujud peran intermediasi yang dijalankan perbankan dalam mendukung perekonomian. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi kredit kepada sektor pertanian dan sektor industri disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Pertanian, Tahun 2005 Variabel Uraian Intercept Parameter Dugaan Elastisitas Prob>ITI 3236.762 0.0073 Jangka Pendek Jangka Panjang IRC Suku Bunga Kredit -58.6362 0.0739 -0.0794 -0.3660 DPK Dana Pihak Ketiga 0.020661 0.0111 0.0875 0.4037 RR Giro Wajib Minimum Lag Alokasi Kredit Sektor Pertanian -91.3100 0.0583 -0.0417 -0.1925 0.783199 <.0001 LACSPT DKM Dummy Krisis Moneter -110.307 0.8306 DBI Dummy Independensi BI -2277.51 0.0003 R2 = 0.95523 ; 1st Order Autocorrelation = -0.2948 Penyaluran kredit kepada sektor pertanian dipengaruhi oleh suku bunga kredit dengan arah berlawanan. Artinya suku bunga yang lebih tinggi akan menurunkan jumlah kredit yang disalurkan karena suku bunga menjadi biaya bagi peminjam sehingga suku bunga yang mahal menurunkan permintaan kredit dan akhirnya menurunkan jumlah kredit yang disalurkan. Selain suku bunga, dua variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap alokasi kredit kepada sektor pertanian adalah dana pihak ketiga (DPK) dan giro wajib minimum. Arah parameter DPK yang positif yang menunjukkan bahwa peningkatan DPK mendorong peningkatan alokasi kredit pada sektor pertanian karena dana pihak ketiga merupakan salah satu sumber dana (likuiditas) perbankan sehingga jumlah DPK yang lebih besar mendorong perbankan untuk meningkatkan penyaluran kreditnya dengan harapan memperoleh pendapatan yang lebih besar. 93 Sebaliknya giro wajib minimum mempengaruhi alokasi kredit dalam arah yang berlawanan dimana peningkatan giro wajib minimum akan menurunkan jumlah cadangan yang dipegang perbankan bank untuk menutupi giro sehingga bank cenderung menurunkan jumlah penyaluran kredit untuk meningkatkan cadangan. Berdasarkan hasil analisis, Independensi Bank Indonesia ternyata kurang mendukung peningkatan penyaluran kredit kepada sektor pertanian karena arah parameter dummy independensi BI yang negatif mengindikasikan bahwa Independensi Bank Indonesia mengurangi keleluasaan BI dalam mengatur penyaluran kredit oleh perbankan umum khususnya kredit bagi sektor riil sehingga terjadi kecenderungan merosotnya jumlah penyaluran kredit untuk sektor pertanian Tabel 10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Industri, Tahun 2005 Variabel Uraian Intercept Parameter Dugaan Prob>ITI 23358.85 0.0056 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang IR Suku Bunga Kredit -789.237 0.0044 -0.2439 -0.9097 DPK Dana Pihak Ketiga 0.108753 0.0173 0.1052 0.3924 RR -319.742 0.2305 -0.0334 -0.1244 LACSI Giro Wajib Minimum Lag Alokasi Kredit Sektor Pertanian 0.731871 <.0001 DKM Dummy Krisis Moneter -425.512 0.8993 DBI Dummy Independensi BI -8242.48 2 st R = 0.92377; 1 Order Autocorrelation = -0.25423 0.0078 Keragaaan yang sama terlihat pula pada alokasi kredit sektor industri dimana suku bunga kredit dan giro wajib minimum berpengaruh negatif sedangkan dana pihak ketiga berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit kepada sektor industri. Bahkan dalam jangka panjang, nilai elastisitas suku bunga mendekati satu (0.9097) yang menunjukkan bahwa jumlah kredit yang 94 disalurkan kepada sektor industri sangat responsif terhadap perubahan suku bunga. Hasil analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit ini menggambarkan bahwa jalur kredit khususnya jalur pinjaman bank melalui penetapan giro wajib minimum efektif mempengaruhi alokasi kredit kepada sektor riil dimana ekspansi penyaluran kredit dapat diupayakan melalui penurunan giro wajib minimum yang disimpan bank umum pada Bank Indonesia dan sebaliknya. Namun dalam operasionalnya, kebijakan moneter ini menjadi kurang efektif jika suku bunga kredit masih tinggi karena mengurangi minat sektor riil mengingat mahalnya biaya modal yang harus ditanggung. 5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Riil Kinerja sektor riil dalam bahasan berikut ini dilihat dari empat indikator yaitu investasi, ekpor, produk domestik bruto dan penyerapan tenaga kerja. Analisis setiap indikator kinerja ini dibedakan antara sektor pertanian dan sektor industri dengan pertimbangan adanya perbedaan perilaku teknologi yang khas oleh dua sektor produksi ini. Tabel 11 menyajikan faktor-faktor yang mempengaruhi investasi pada sektor pertanian dan industri. Investasi pada sektor pertanian dan sektor industri dipengaruhi oleh suku bunga dan arah parameter yang negatif menunjukkan bahwa suku bunga yang tinggi akan menurunkan nilai investasi pada kedua sektor. Alasannya adalah suku bunga merupakan biaya modal bagi pelaku ekonomi sehingga biaya modal yang lebh tinggi menurunkan minat berinvestasi. Dari nilai elastisiitasnya tampak bahwa dalam jangka panjang variabel suku bunga ini memiliki nilai elastisitas sebesar 1.1817 yang menunjukkan bahwa investasi pada sektor pertanian sangat responsif terhadap perubahan suku bunga. Dikaitkan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter, maka hasil ini 95 menunjukkan bahwa jalur tranmisi melalui suku bunga bekerja efektif dalam mempengaruhi aktivitas investasi pada sektor riil dimana otoritas moneter dapat mendukung upaya perbaikan investasi melalui penciptaan suku bunga yang murah. Tabel 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005 Sektor/Variabel Uraian Parameter Dugaan Prob>ITI Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang Pertanian Intercept -261.157 0.3034 IR Suku Bunga -9.55172 0.194 -0.5583 -1.1817 ACSPT 3263.967 0.101 0.2577 0.0011 GPDBSPT Alokasi Kredit Sektor Pertanian Perkembangan PDB sektor Pertanian 0.074038 0.086 0.0009 0.0009 LINVSPT Lag Investasi Sektor Pertanian 1.002156 <.0001 DKM Dummy Krisis Moneter -44.7899 0.5961 -1716.82 0.5101 IR Suku Bunga -186.033 0.0037 -0.1685 -0.1707 ACSI 5663.908 0.2695 0.4669 0.4730 GPDBSI Alokasi Kredit Sektor Industri Perkembangan PDB sektor Industri 0.11021 0.4246 0.0080 0.0081 LINVSPT Lag Investasi Sektor Industri 0.099208 <.0001 -999.429 0.1661 Industri Intercept DKM Dummy Krisis Moneter R2 = 0.98145; R2 = 0.83942; 1st Order Autocorrelation 1st Order Autocorrelation = -0.11701 = 0.06518 Faktor lain yang menjadi pertimbangan pelaku usaha dalam perencanaan investasi adalah alokasi kredit karena sampai saat ini sebagian besar pembiayaan sektor produksi masih tergantung pada kredit. Kondisi ini tampak jelas pada sektor pertanian dimana variabel kredit berpengaruh nyata terhadap investasi sektor pertanian dengan arah yang positif. Artinya, peningkatan jumlah kredit yang disalurkan pada sektor pertanian berpotensi meningkatkan investasi pada sektor tersebut. Sedangkan pada sektor industri, signifikansi pengaruh kredit terhadap investasi terlihat pada taraf kepercayaan 30 persen. Hasil ini menjadi gambaran bahwa jalur transmisi melalui kredit bekerja efektif dalam 96 mempengaruhi investasi sektor pertanian sehingga prioritas penyaluran kredit bagi sektor pertanian tetap dibutuhkan. Variabel lain yang berpengaruh juga terhadap investasi pada sektor pertanian adalah perkembangan produksi sebagai potensi ekonomi di sektor tersebut. Arah parameternya mengindikasikan bahwa tambahan output sektor pertanian mendorong minat pelaku usaha untuk meningkatkan investasi di sektor pertanian karena adanya potensi ekonomi yang lebih baik. Kinerja sektor riil juga dapat diamati dari kinerja ekspor. Sebagaimana disajikan pada Tabel 12, kinerja ekspor sektor pertanian dan sektor industri memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Ekspor sektor pertanian dipengaruhi hanya oleh tingkat produksi sektor tersebut dengan arah yang positif. Hal ini terjadi berkemungkinan karena output sektor pertanian relatif spesifik dan memiliki keunggulan komparatif sehingga peningkatan ekspor sangat responsif terhadap peningkatan produksi sektor itu sendiri. Sedangkan variabel yang dominan mempengaruhi ekspor sektor industri adalah inflasi. Dari arah parameternya diketahui bahwa peningkatan inflasi yang mencerminkan kenaikan harga barang-barang menurunkan nilai ekspor karena harga barang ekspor menjadi lebih mahal dan menurunkan daya saing produk ekspor sektor industri di pasar dunia. Disamping itu, harga domestik yang lebih tinggi menarik minat investor untuk mengurangi volume ekspor karena lebih memilih pasar dalam negeri. Satu fenomena yang menarik dari analisis ini adalah nilai tukar yang menjadi variabel transmisi kebijakan moneter melalui jalur harga aset ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap eskpor sektor pertanian dan ekspor sektor industri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa transmisi moneter melalui jalur harga aset yaitu efek nilai tukar tidak bekerja optimal dalam mendorong kinerja ekspor sektor riil. 97 Tabel 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005 Variabel Uraian Elastisitas Parameter Dugaan Prob>ITI 87.0600 0.166 Jangka Pendek Jangka Panjang Pertanian Intercept INFL Inflasi 0.0659 0.987 0.0381 -0.1450 ER Nilai Tukar 0.0032 0.731 0.0161 -0.0612 PDBSPT Produksi sektor pertanian 0.0056 0.060 0.0587 0.2234 LVXSPT Lag Ekspor sektor Pertanian DKM Dummy Krisis Moneter 0.7879 <.0001 51.3417 0.248 222.3393 0.0798 Industri Intercept INFL Inflasi ER Nilai Tukar PDBSI Produksi sektor industri LVXSI Lag Ekspor sektor industri DKM Dummy Krisis Moneter -36.8204 0.0438 -0.0574 -0.6506 0.0176 0.5686 0.0114 -0.1297 0.010835 0.5955 0.0566 0.6415 0.979397 <.0001 168.2534 0.4174 produksi dalam 2 1 Order Autocorrelation = 0.062607 2 1 Order Autocorrelation = 0.022181 R = 0.64275; R =0.97670; st st Produk Domestik Bruto menunjukkan tingkat perekonomian dimana analisis faktor-faktor yang mempengaruhinya disajikan pada Tabel 13. Pada sektor pertanian, tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap produksi sedangkan investasi yang menjadi cerminan kapital berpengaruh positif terhadap tingkat produksi sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian saat ini sudah berlebih sehingga penambahan tenaga kerja hanya akan menurunkan jumlah produksi. Selanjutnya arah parameter investasi yang positif menunjukkan bahwa peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan dengan menambah investasi modal/kapital. Dikaitkan dengan hasil analisis pada Tabel 11, maka kebijakan moneter yang dapat diupayakan untuk menstimulasi peningkatan produksi sektor pertanian melalui investasi kapital/modal adalah 98 melalui penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian. Pada sektor industri, variabel tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi dengan arah yang positif. Hasil ini sangat terkait dengan struktur industri di Indonesia yang sebagian besar adalah industri kecil dan industri rumah tangga sehingga peningkatan penggunaan tenaga kerja akan meningkatkan total produksi. Disamping itu, produktivitas dan kualitas tenaga kerja yang biasanya dipekerjakan di sektor industri memang relatif lebih baik sehingga mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap peningkatan produksi. Dalam jangka panjang, variabel tenaga kerja ini bahkan sangat elastis sehingga tingkat output sektor industri sangat responsif terhadap perubahan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri. Tabel 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Output Sektor Pertanian, Tahun 2005 Variabel Pertanian Uraian Parameter Dugaan Intercept Prob>ITI Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 5705.806 0.0062 LACSPT Penggunaan Tenaga Kerja -0.11815 0.0226 0.0099 0.0478 INVSPT Investasi 0.429825 0.0003 0.0741 0.3588 LPDBSPT Lag Produksi Sektor Pertanian 0.673881 <.0001 DKM Dummy Krisis Moneter 997.0357 0.0051 DBI Industri Dummy Independensi BI 2070.318 0.0001 -3861.53 0.0212 Penggunaan Tenaga Kerja 0.713666 0.0248 0.6336 2.7661 0.0018 0.0078 Intercept LACSI INVSI Investasi -0.00053 0.9926 LPDBSI Lag Produksi Sektor Industri 0.873862 <.0001 DKM Dummy Krisis Moneter -602.237 0.4429 Dummy Independensi BI -717.391 0.4449 DBI R2 = 0.97252; 1st Order Autocorrelation = -0.13836 R2 = 0.98084; 1st Order Autocorrelation = 0.098572 99 Peningkatan kesempatan kerja menjadi salah satu tujuan akhir pembangunan nasional sehingga mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja masing-masing sektor produksi menjadi sangat penting. Performan faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan sektor industri disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005 Variabel Parameter Dugaan Uraian Prob>ITI Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang Pertanian Intercept WSPT Upah sektor pertanian Perkembangan PDB sektor Pertanian Lag Penyerapan TK sektor pertanian GPDBSPT LLASPT 1216.285 0.4699 -0.00228 0.1973 -0.0098 -0.4788 -0.15609 0.4012 -0.0001 -0.0054 0.982622 <.0001 -189.889 0.2035 -0.001481 0.0123 0.0392 3.4844 0.011347 0.3172 0.0004 0.0363 0.988634 <.0001 Industri Intercept WSPT Upah sektor industri GPDBSPT Perkembangan PDB sektor Industri Lag Penyerapan TK sektor Industri LLASPT R2 = 0.88810; R2 = 0.99509; 1sOrder Autocorrelation = -0.01519 1s Order Autocorrelation = 0.692474 Pada sektor pertanian, upah menjadi faktor yang berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja dengan arah yang negatif dimana semakin murah upah tenaga kerja yang dibayarkan, maka semakin banyak tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan teknologi produksi sektor pertanian yang padat tenaga kerja sehingga penurunan upah menjadi sinyal baik pelaku usaha pertanian untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja. Fenomena yang sama juga terlihat pada sektor industri dimana upah yang lebih rendah akan mendorong penggunaan tenaga kerja yang lebih banyak. Bahkan dalam jangka panjang, penyerapan tenaga kerja sektor industri ini sangat responsif terhadap perubahan upah sebagaimana 100 diindikasikan dari nilai elastisitas sebesar 3.48. Variabel lain yang juga berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja oleh kedua sektor adalah lag penyerapan tenaga kerja periode sebelumnya yang mengindikasikan bahwa keputusan penambahan atau pengurangan penggunaan tenaga kerja oleh sektor riil mempertimbangkan kondisi periode sebelumnya. VI. DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA 6.1. Validasi Model Validasi model kebijakan moneter dan kinerja sektor riil dilakukan pada periode 1986-2005. Kriteria statistik yang digunakan dalam validasi model adalah R square (R2) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) dimana hasilnya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Validasi Model Kebijakan Moneter dan Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1986-2005 No Variabel Aktual Prediksi R -square RMS% Error Coef U 1 Suku bunga 14.1204 14.1469 0.6308 23.217 0.1005 2 Nilai Tukar 4113.7 4112.2 0.8481 36.5405 0.1207 3 Alokasi Kredit sektor Pertanian 11137.8 11140.2 0.9575 14.8297 0.0731 Alokasi Kredit sektor Industri 48774.5 48454.8 0.9129 20.8226 0.1112 Alokasi Kredit sektor Lainnya 53559.4 53874.4 0.7965 38.9304 0.1454 4 5 6 Investasi Sektor Pertanian 1429.3 1613.4 0.8754 112.6 0.2301 7 Investasi Sektor Industri 7372.1 150809 0.8115 69573.4 0.3524 8 Investasi Sektor Lainnya 2335.5 1969.9 0.8733 108.4 0.2270 9 Ekspor Sektor Pertanian 605.7 618.4 0.5719 19.3732 0.0897 10 Ekspor Sektor Industri 5788.3 7156.8 0.9763 30.7147 0.1140 11 Ekspor Sektor Lainnya 3409.1 3390.1 0.6273 33.4987 0.1029 12 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian 39007.7 39867.4 0.9031 4.3692 0.0199 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri 8751.7 9553.2 0.9955 11.7792 0.0492 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lainnya 31039.8 30951.9 0.9813 5.8762 0.0282 15 Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian 11044.2 11515.4 0.8793 47.2465 0.1284 16 Produk Domestik Bruto Sektor Industri 15381.4 21045.9 0.9753 65.6755 0.1583 Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya 38307.8 37776.1 0.9683 33.1705 0.0808 Produk Domestik Bruto 64733.5 70337.4 - 35.8089 0.0815 13 14 17 18 102 Secara umum, sebagian besar model memiliki R square relatif tinggi yaitu antara 0.6 sampai 0.9. Angka ini mengindikasikan model dapat dengan handal menjelaskan perilaku yang sebenarnya yang disederhanakan dalam sebuah model. Berdasarkan indikator Theil’s Inequality Coefficient (U), sebagian besar persamaan berada disekitar 0.019 sampai 0.35. Dengan demikian dapat dikatakan hasil validasi sudah cukup baik dan dapat digunakan untuk simulasi. Simulasi kebijakan dilakukan dengan melakukan simulasi historis terhadap kebijakan yang dapat dilakukan oleh otoritas moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari kinerja sektor riil dengan mempertimbangkan paradigma baru dalam penetapan kebijakan moneter dengan inflasi sebagai landasan (anchor) kebijakan moneter di Indonesia. 6.2. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil Tiga kebijakan moneter yang dianalisis adalah : (1) Penurunan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia sebesar 5 persen, (2) Peningkatan Giro Wajib Minimum sebesar 5 persen, dan (3) Peningkatan alokasi kredit sebesar 10 persen. Penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan cerminan penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia. Rapat Dewan Gubernur sejak bulan September 2006 memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 50 bps setiap bulannya dan sampai bulan November terjadi penurunan BI rate dari 10.75 menjadi 10.25 dan pada 7 Desember 2006 Bank Indonesia kembali memutuskan menurunkan BI rate sebesar 50 bps dari 10.25 persen menjadi 9.75 persen atau sekitar 5 persen yang diikuti dengan penurunan Suku bunga SBI 1 bulan dalam persentase penurunan yang sama. Keputusan tersebut diambil setelah melakukan evaluasi kondisi makroekonomi terkini, mencermati hasil berbagai survei, dan memandang prospek ekonomi moneter ke depan, termasuk 103 upaya pencapaian sasaran inflasi ke depan, yaitu 6±1% untuk tahun 2007. Keputusan tersebut juga diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi, mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di pasar keuangan. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi fokus perhatian saat ini terkait dengan perubahan target operasional yang diberlakukan Bank Indoesia sejak Juni 2005 yang sebelumnya menggunakan uang primer (base money) menjadi suku bunga. Pertimbangannya adalah Suku bunga Sertifikat Indonesia lebih memudahkan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi. Keuntungan lain menggunakan suku bunga karena suku bunga sudah biasa dipakai sebagai rujukan di pasar modal dan mempengaruhi alokasi aset masyarakat karena masyarakat bisa menganalisis dananya akan ditempatkan di deposito atau surat berharga. Disamping itu, dalam prakteknya, penggunaan uang primer sebagai target operasional menjadi sulit karena sebagian besar uang primer merupakan uang kartal yang beredar di masyarakat (Laporan Tahunan BI, 2005). Sebagai contoh, setiap akhir tahun permintaan uang kartal pasti naik akibat adanya hari raya, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru dan di saat seperti itu sangat sulit bagi BI mengendalikan inflasi karena berapa pun BI menaikkan suku bunga untuk menyerap uang kartal tetap tidak akan berhasil berhubung masyarakat sangat membutuhkannya untuk transaksi. Kebijakan penetapan cadangan wajib minimum ini adalah mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya merupakan persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank 104 yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum sebesar 5 persen sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam rangka meredam nilai tukar yaitu Bank Indonesia menaikkan simpanan wajib perbankan atau giro wajib minimum (GWM) secara bervariasi sesuai dengan kondisi bank atau berdasarkan Loan to Deposit Ratio (LDR) masing-masing bank. Ketentuan ini berlaku sejak 6 September 2005 dan dalam simulasi kebijakan ini diambil kenaikan yang paling besar yaitu tambahan 5 persen bagi bank dengan LDR kurang dari 40 persen. Kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen merupakan wujud perhatian Bank Indonesia terhadap sektor riil dengan program pengembangan UMKM. Untuk meningkatkan kemampuan bank dalam pembiayaan kepada UMKM dan membantu UMKM dalam proses pengajuan kredit, BI bekerjasama dengan Pemerintah Negara Swiss yaitu Swisscontact and International Finance Cooperation (IFC)- World Bank tentang “Access to Finance for SME’s in Indonesia”. Kerjasama ini direalisasikan dalam bentuk credit line senilai USD 100 juta. Pertumbuhan kredit yang positif ini juga merupakan respon penurunan BI rate yang dalam laporan Bank Indonesia disebutkan bahwa selama tahun 2006 pertumbuhan alokasi kredit meningkat sebesar 10.6 persen (Laporan Bank Indonesia, 2006). Adapun dampak kebijakan moneter ini terhadap kinerja sektor riil disajikan pada Tabel 16. Dua kebijakan yang memberikan dampak positif terhadap kinerja sektor pertanian dan sektor industri adalah kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 5 persen dan kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen karena dua kebijakan ini mampu meningkatkan kinerja investasi, ekspor dan output kedua sektor. Sedangkan kebijakan peningkatan 105 giro wajib minimum sebesar 5 persen dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden oleh perbankan dengan menurunkan alokasi kredit untuk sektor pertanian dan industri yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi kedua sektor tersebut. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum masih mampu meningkatkan ekspor meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini terjadi karena kebijakan ini mencerminkan langkah cepat otoritas moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian dan menjadi indikator kemampuan perbankan yang lebih baik dalam menjaga likuiditas sehingga memberikan rasa aman bagi dunia industri untuk tetap mempertahankan kinerja ekspor dan selanjutnya meningkatkan pula total produksi sektor industri. Tabel 16. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil, Tahun 2005 Variabel Sektor Pertanian Alokasi kredit Sektor Pertanian (Miliar Rp) Investasi Sektor Pertanian (Miliar Rp) Ekspor Sektor Pertanian (Miliar Rp) Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian (Miliar Rp) Penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian (Ribu orang) Sektor Industri Alokasi Kredit Sektor Industri (Miliar Rp) Investasi Sektor Industri (Miliar Rp) Ekspor Sektor Industri (Miliar Rp) Produk Domestik Bruto Sektor Industri (Miliar Rp) Penyerapan tenaga kerja sektor Industri (Ribu orang) Nilai Dasar ISBI turun 5% Giro Wajib Minimum naik 5% Alokasi Kredit naik 5% 11061 3432 616 0.34 3.20 0.52 -0.70 -8.87 -1.58 0.37 3.52 0.57 9418 1.47 -4.20 1.61 39044 -0.03 -0.10 -0.03 47746 13021 6138 1.00 4.55 0.07 -0.32 -6.55 0.03 1.07 4.91 0.07 14619 0.10 0.14 0.10 8603 0.04 0.04 0.04 106 Dari besaran dampak dapat dikatakan bahwa kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap peningkatan investasi, ekspor dan output kedua sektor. Meningkatnya alokasi kredit total sebesar 5 persen meningkatkan alokasi kredit sektor pertanian 0.37 persen dan meningkatkan pula alokasi kredit sektor industri lebih besar lagi yaitu 1.07 persen yang selanjutnya mendorong peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 3.52 persen. Bahkan peningkatan investasi sektor industri akibat kebijakan ini cukup signifikan yaitu 4.9 persen . Kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen juga memberikan dampak positif pada peningkatan ekpor kedua sektor meskipun dalam persentase yang sangat kecil dan akhirnya meningkatkan total produksi sektor pertanian sebesar 1.61 persen dan produksi sektor industri sebesar 0.099 persen. Satu fenomena menarik dari analisis kebijakan ini adalah tidak ada satu pun kebijakan yang mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian sehingga dapat dikatakan kebijakan moneter belum memberikan pengaruh yang berarti bagi peningkatan kinerja sektor pertanian yang benarbenar mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Sedangkan pada sektor industri, ketiga kebijakan dalam analisis ini masih berdampak pada peningkatan penggunaan tenaga kerja meskipun dalam persentase yang sangat kecil. Dampak simulasi kebijakan terhadap kondisi perekonomian secara agregat disajikan pada Tabel 17. Pembahasan kinerja perekonomian dibatasi pada lima indikator utama yaitu nilai alokasi kredit, investasi, ekspor, PDB dan jumlah pengangguran. Dampak simulasi kebijakan terhadap kondisi perekonomian secara umum sejalan dengan dampak kebijakan yang sama terhadap sektor riil dimana rangkaian kebijakan moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga SBI dan 107 peningkatan alokasi kredit memberikan dampak positif terhadap kinerja investasi, ekspor dan produk domestik bruto (PDB). Sebaliknya, simulasi kebijakan moneter kontraktif yaitu peningkatan giro wajib minimum berdampak pada penurunan output sebesar 0.9 persen yang terjadi terutama karena penurunan investasi sebesar 7.16 persen. Tabel 17. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia, Tahun 2005 Nilai Dasar Variabel Alokasi Kredit (Miliar Rp) Giro Wajib Minimum naik 5% ISBI turun 5% Alokasi Kredit naik 5% 112324 0.637 -0.3448 Investasi (Miliar Rp) 19371 4.609 -7.1641 4.99 Ekspor (Miliar Rp) Produk Domestrik Bruto (Miliar Rp) 10170 0.120 -0.1378 0.13 62914 0.559 -0.9814 0.61 4296 0.112 1.0560 0.14 Pengangguran (ribu orang) 5.00 Peningkatan investasi akibat penurunan suku bunga SBI dan akibat peningkatan alokasi kredit tidak menunjukan perbedaan yang mencolok sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam stimulasi peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output. Namun peningkatan output yang mampu diupayakan dari dua kebijakan ini masih lebih rendah dibandingkan persentase peningkatan investasi yang mengindikasikan bahwa kontribusi investasi terhadap peningkatan ouput masih sangat kecil. Hal ini pula yang menjadi alasan masih tingginya pengangguran dan bahkan belum ada satu pun kebijakan yang mampu menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Disamping itu, hasil ini juga menunjukkan bahwa upaya mengurangi angka pengangguran tidak cukup diusahakan hanya dari kebijakan moneter karena diperlukan pula dukungan kebijakan lain yang bersifat makro dan mikro. VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Kinerja perekonomian, jumlah uang beredar dan inflasi mempunyai kesamaan pola perkembangan dalam artian ada hubungan searah antara pertumbuhan ekonomi dengan pertambahan jumlah beredar dan pertumbuhan ekonomi dengan inflasi. Pada periode sebelum krisis (1980-1997), pertumbuhan ekonomi berhubungan searah dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dimana pertumbuhan jumlah uang beredar sekitar 3 kali pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang teori Klasik, hal ini dapat dipandang sebagai peningkatan penggunaan uang sebagai alat transaksi (M1) yang biasanya memang semakin meningkat pada saat perekonomian tumbuh. Sedangkan dari sudut pandang teori Keynesian, peningkatan jumlah uang beredar ini terjadi berkemungkinan karena suntikan kredit yang akan mendorong aktivitas investasi dan akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama periode krisis, jumlah uang beredar meningkat signifikan dengan persentase peningkatan melebihi angka 20 persen, namun pertumbuhan ekonomi justru menjadi negatif dan hampir tidak berkembang. Hal ini terjadi berkemungkinan karena kondisi abnormal selama awal krisis yang mendorong masyarakat untuk menyimpan uang untuk berjaga-jaga dan transaksi. Mulai tahun 2001, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter yang independen menempuh kebijakan uang ketat (tight money policy) sehingga menyebabkan pertambahan jumlah uang beredar sangat terkendali menjadi sekitar 10 persen per tahun. Pengetatan jumlah uang beredar ini ternyata tidak menurunkan pertumbuhan ekonomi karena terbukti selama periode 2001-2005 pertumbuhan ekonomi tetap stabil pada kisaran angka 3-5 persen per tahun. 109 Penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian saat ini sudah berlebih jumlahnya sehingga penambahan tenaga kerja hanya akan menurunkan jumlah produksi. Oleh karena itu peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan melalui perbaikan dan peningkatan investasi modal/kapital. Pada sektor industri, variabel tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi dengan arah yang positif. Hasil ini menjadi cerminan bahwa struktur industri di Indonesia sebagian besarnya adalah industri kecil dan industri rumah tangga yang menggunakan teknologi intensif tenaga kerja (labor intensive). Disamping itu, tenaga kerja di sektor industri memiliki kualitas dan produktivitas kerja yang relatif lebih baik sehingga penambahan tenaga kerja di sektor industri mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap peningkatan produksi. Kebijakan moneter yang mampu menstimulasi peningkatan produksi sektor pertanian melalui peningkatan investasi kapital/modal adalah penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian karena jalur transmisi melalui suku bunga dan kredit khusus dari sisi pinjaman bank (bank lending channel) bekerja efektif mempengaruhi investasi sektor pertanian. Sedangkan investasi sektor industri lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga pasar, sedangkan alokasi kredit tidak berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun peranan BI sudah cukup baik dalam mempengaruhi ketersediaan kredit melalui penetapan giro wajib minimum perbankan yang selanjutnya direspon oleh perbankan dengan meningkatkan penyaluran kredit bagi sektor pertanian, namun tidak mampu meningkatkan investasi sektor tersebut. Hal ini terjadi biasanya karena kredit seringkali digunakan atau dialihkan penggunaannya untuk kegiatan yang lebih bersifat konsumtif atau adanya tenggang waktu penggunaan kredit dengan peningkatan investasi. 110 Kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan kebijakan peningkatan alokasi kredit mampu meningkatkan kinerja investasi, ekspor dan output kedua sektor. Sedangkan kebijakan peningkatan giro wajib minimum dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden oleh perbankan dengan menurunkan alokasi kredit untuk sektor pertanian dan industri yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum maih mampu meningkatkan ekspor meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini terjadi karena kebijakan ini mencerminkan langkah cepat otoritas moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian dan menjadi indikator kemampuan perbankan yang lebih baik dalam menjaga likuiditas sehingga memberikan rasa aman bagi dunia industri untuk tetap mempertahankan kinerja ekspor dan selanjutnya meningkatkan pula total produksi sektor industri Bagi kinerja perekonomian secara agregat, kebijakan yang membawa dampak positif terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen. Namun demikian kebijakan penurunan suku bunga SBI juga memberikan dampak positif, bahkan peningkatan investasi akibat penurunan suku bunga SBI dan akibat peningkatan alokasi kredit tidak berbeda jauh sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam stimulasi peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output dalam perekonomian. 7.2. Saran Peningkatan kinerja sektor riil dapat diupayakan melalui penurunan suku bunga karena suku bunga pasar memiliki pengaruh yang nyata terhadap 111 kegiatan investasi. Hal ini dapat diatur oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dengan menurunkan suku bunga SBI dan giro wajib minimum. Secara bersamaan, pemerintah tetap perlu menciptakan stimulasi perbaikan kinerja dunia usaha melalui penyaluran paket-paket kredit sehingga dapat menjadi sumber permodalan untuk meningkatkan kapasitas produksi terutama bagi sektor pertanian. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan perkreditan, maka khusus pada sektor pertanian perlu kebijakan lain yang lebih mikro agar pelaku usaha pertanian memiliki akses yang lebih baik, diantaranya adalah pembinaan dan pengawasan yang ketat atau kemudahan persyaratan untuk mendapatkan kredit. Sementara itu, kebijakan perkreditan bagi sektor industri akan optimal meningkatkan kinerja apabila kondisi perekonomian mendukung diantaranya melalui penciptaan stabilisasi harga (inflasi) karena inflasi yang stabil mampu mendorong ekspor sektor penambahan investasi. industri yang selanjutnya akan mendorong DAFTAR PUSTAKA Alkadri. 1999. Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Selama 19691996. Jurnal Studi Indonesia, 9 (2): 1-13. www.psi.ut.ac.id/jsi/92alkadri Ascarya. 2002. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia. 2003. Laporan Tahunan 2002. Bank Indonesia, Jakarta. Boediono, 1980. Ekonomi Moneter. Edisi kedua. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ekananda, M. 2004. Analisis Pengaruh Volatulitas Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi Manufaktur di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7 (4): 197-235. Friedman, M. 1991. Monetarist Economics. Basil Blackwell Ltd, New York Julaihah, Umi dan Insukrindo. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel Makreoekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 – 2003.2. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7 (2): 323-341. Gonarsyah, I. , N. Hanani dan B. M. Sinaga. 2002. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan Antisipasinya menghadapi Era Abad Asia Pasifik. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 50 (3): 343-376. Grenville, S. 2000. Monetary Policy and The Exchange Rate During the Crisis. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(2): 43-60. Hamdani. 2003. Pengaruh Aliran Modal Swasta Jangka Pendek terhadap Perubahan Nilai Tukar dan Laju Inflasi di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 6 (1): 12-33. Hendarsah. 2003. Nilai Tukar, Stabilitas Makro dan Intermediasi Perbankan. Buletin Bisnis dan Investasi, Jakarta. www.kompas.com/kompascetak/0305/31/ekonomi.340442. Intriligator, M.D., R. Bodkin dan C. Hsio. 1996. Econometric Models Techniques and Applications. Second Edition. Prentice-Hall,Inc, Englewood Cliffs, New Jersey. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Method. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, New York. 113 Mankiw, N.G. 2000. Macroeconomics. Third Edition. Worth Publisher, New York McCallum, B.T. 1989. Monetary Economics:Theory and Policy. Publishing Company, New York. Macmillan McLeod, R.H. 2003. Toward Improved Monetary Policy in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(3): 303-328. Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking and Financial Market. Pearson Education International, New York. Montiel, P. 2003. Tight Money in a Post Crisis Defense of the Exchange Rate: What Have We Learned. Research Observer, 18 (1): 1-22. Nuryati, Y. 2004. Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pindyck, R.S. and D.L. Rubienfeld. 1981. Econometric Models and Economic Forecast. Mc Graw-Hill, International Book Company, Tokyo. Sipayung,T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Solikin. 2002. Uang: Pengertian, Penciptaan dan Peranannya dalam Perekonomian. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Suhendra. 2003. Pengaruh Faktor Fundamental, Faktor Resiko, dan Ekspektasi Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar Rupiah Pasca Penerapan Sistem Kurs Mengambang Bebas. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 6 (1): 34-55. Warjiyo, P. dan J. Agung. 2002. Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia. Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Bank Indonesia, Jakarta. Warjiyo,P. dan Solikin. 2002. Kebijakan Moneter di Indonesia. Direktorat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta. __________________. 2004. Bank Sentral: Kebijakan Moneter. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. Bank Indonesia, Jakarta. Westerlund, J. 2003. A Structural Approach to Assessing the Bank Lending Channel in the European Union. Department of Economics, Lund University, Lund. 114 Wiranta, S. 1995. Deregulasi Moneter di Indonesia dan Kaitannya dengan Tingkat Suku Bunga. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 3(1): 85101. Yudanto, N dan M. Setyawan, S. 1998. Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1(2):131-155. LAMPIRAN BLOK KINERJA MONETER ISBI ISBI ILN MB IR IRC RR ER Kredit Sektoral Lag Kredit Sektoral BLOK KINERJA PEREKONOMIAN Investasi Sektoral Ekspor Sektoral Lag Investasi Sektoral Investasi SL INFL GPDB Sektoral PDB Ekspor Lag PDB Sektoral U LA Upah Sektor Tenaga Kerja Sektoral PDB Sektoral BLOK KINERJA SEKTOR RIIL Keterangan: = variabel endogen ; = variabel eksogen Lampiran 1. Skema Model Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil