BAB Dua SEJARAH SINGKAT HOMOSEKSUAL (Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa Dalam Kelamin, Telaah Homoseks) Homoseksualitas: Ada, Dilarang dan Resisten Sebelum menuju pada uraian panjang menegenai fenomena homoseksual, pertama-tama marilah kita bersepakat mengenai pemaknaan homoseksualitas. Homoseksualitas merupakan sebuah rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik secara erotis atau tidak, dimana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif maupun secara ekslusif yang ditujukan pada orangorang berjenis kelamin sama. Homoseksualitas adalah salah satu bentuk orientasi seksual yang berbeda, tetapi tidak menyimpang dan mempunyai kesejajaran yang sama dengan heteroseksualitas. Definisi orientasi seksual beserta segala unsur yang ada di dalamnya seperti emosi, hasrat, keinginan, tingkah laku hingga identitas mempunyai bangunan yang sama dan sejajar. Konstruksi sosial mempunyai posisi yang kuat dalam sebuah lingkungan sebagai agen pembentuk apakah ia sejajar, atau hanya salah satu saja yang mempunyai kedudukan lebih tinggi. Disapora Pecinta Sejenis Keberadaan homoseksual telah muncul setua sejarah lahirnya manusia beserta peradaban dan kebudayaannya. Tindakan homoseksual bukan merupakan bagian dari pengaruh kontemporer 25 gaya hidup orang-orang barat semata. Ia merupakan kebutuhan manusia dalam memenuhi orientasi seksualnya yang bersifat alamiah/natural, yang kemudian menjadi berfungsi dan distrukturkan dalam berbagai lembaga lokal dan berbagai kebudayaan masyarakat. Dinamika percintaan sejenis tumbuh subur di daerah Melanesia yang notabene terisolasi dari berbagai wacana yang mengglobal dan kontemporer. Bahkan sebelum masuk pengaruh barat, didaerah kepulauan Asia Pasifik seperti Tahiti dan Hawaii, homoseksualitas dianggap sebagi orientasi seks yang umum dan wajar (Gunson 1994, Moris 1990). Homoseksualitas juga menjadi sesuatu yang umum dan wajar di Amerika Selatan, Asia, Afrika prakolonial dan Eropa modern. Di Amerika Utara, setidaknya ada 137 lembaga adat yang justru melegalkan peranan “berdache” yang bersifat transgender dan sering diasosiasikan berorientasi homoseks ( callender and Kochems 1983, Williams 1986, Roscoe 1987, Lang 1998 ).Di Malensia homoseks diperlukan masyarakat, salah satunya adalah untuk menjalankan berbagai upacara tradisional, dimana peran feminine dan maskulin lebih ditonjolkan dibanding jenis kelamin. Cinta Sejenis dan Lahirnya Wacana Homoseksualitas Cinta sejenis sebenarnya bukan masalah baru, ia telah eksis sejak masa awal sejarah manusia. Karena itu, pasti hampir disemua Negara dapat ditemui keberadaan kaum homoseksual, tak terkecuali di Indonesia. Yang membedakan kemudian adalah, penerimaan masyarakat terhadap kelompok homoseksual yang tidak sama di setiap Negara/latar karena latar belakang kebudayaan yang berbeda. Di Indonesia misalnya masih terdapat perbedaan pandangan dan perlakukan terhadap kaum homoseksual. Kecurigaan dan diskriminasi terhadap kaum homoseksual tidak lepas dari peran berbagai institusi yang berperan dalam segala mekanismenya di wilayah ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, 26 hingga agama. Misalnya pengakuan dosa di depan pastur di Eropa memperkuat diskriminasi terhadap keberadaan homoseksual. Agama masih dikatakan berkuasa terhadap pengakuan dosa. Pada sisi lain keharusan untuk meneruskan keturunan, membentuk keluarga lanjutan, merupakan strategi seksual yang menunjukan betapa penyebaran seksualitas secara gradual dan berkelanjutan terpusat didalam keluarga. Sejak abad pertengahan setidaknya homoseksual menghadapi tiga hal kekuasaan yang diproduskikan bagi mereka. Pertama, homoseksualitas dianggap bukan lagi menjadi permasalahan privat individu, melainkan bertransformasi kea rah publik. Ia dipermasalahkan dan diwacanakan khususnya oleh agama sebagai aktor utama. Gereja menjadi lokus utama dalam melakukan infiltrasi terhadap kaum homoseksual, untuk diajak kembali ke jalan yang “lurus/benar”. Agama menjadi wasit yang memunyai otoritas tinggi dalm menuntut, menghakimi, memaafkan dan menentramkan, hingga merekonsiliasi melalui bentuk ritus pengakuan. Kedua, memasuki abad 18 homoseksualitas tidak saja memasuki wilayah moralitas dan agama, namun ditambah dengan transformasi ke arah administratif. Pada abad ini muncul pengontrolan tingkah laku kolektif manusia dan seksualitas menjadi sebuah barometer pengembangan ekonomi politik suatu Negara ( utamanya Inggris ). Permasalahan tekhnis seperti produktivitas populasi, analisa rata-rata kelahiran dan kematian, dan cara membuat seks menjadi subur dan steril. Ketiga, homoseksualitas menjadi sebuah permasalahan yang kompleks, di mana terjadi perkambangan di dalam wacana, baik secara biologi, kedokteran, psikologi, hingga politik. Hal ini terpengaruh dari produksi pengakuan kebenaran mengenai homoseksualitas yang salah, berdosa dan menyimpang meluas tidak melalui pengakuan agama saja, tetapi diperluas dengan kebenaran yang diproduksi oleh keluarga, sekolah, klinik, psikiater dan rumah sakit. Seksualitas dan tubuh menjadi alat control bagi Negara. Tubuh dijadikan konsumsi politik anatomi yang merupakan fokus dari 27 wilayah biopower dimana kekuatan-kekuatan tersebut akan memunculkan Apparatus of sexuality yang cenderung memandang seks pada tataran hitam putih, moralitas ( baik-buruk, haram-halal ). “Penyimpangan” Kaum Homoseksual Dalam fenomena social dan budaya dimasyarakat hampir pasti terdapat kerangka aspirasi yang membentuk unsur-unsur sosial budaya. Unsur sosial budaya inilah yang merupakan serangkaian konsepsi ideology yang hidup dalm benak masyarakat. Sehingga masyarakat mampu mempunyai nilai dan paradigma umum, yang dapat mengukur apa-apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, hal apa saja yang dianggap menyimpang atau normal. Anggapan penyimpangan muncul dari sebuah ketidaksamaan dan ketidakserasian yang terjadi dalam paradigma umum masyarakat. Pada setiap kebudayaan selalu terdapat kelompok atau individu yang memiliki orientasi seks berbeda dengan dominan lainnya. Homoseksualitas cenderung dianggap oleh masyarakat dominan sebagai sebuah orientasi seks yang keluar dari jalur “keseluruhan cara hidup” atau “sebuah peta makna” yang memungkinkan dunia bisa dimengerti oleh anggota-anggotanya, dengan kata lain “penyimpangan” yang dicapkan pada kaum homoseksual, bukan berasal dari apa yang merekka kerjakan, namun dari bagaimana orang lain/dominan merespon tindakan orientasi seks tersebut. Menurut Foucault, semua masyarakat memerlukan menyimpang karena dengan adanya tindakan pemisahan terhadap penyimpang maka akan menciptakan perasaan solidaritas yang satu dan bersama bagi orang lain. Terkikisnya nilai atau budaya yang berbeda pada orientasi seksual yang sebenarnya mempunyai posisi yang setara, tidak lepas dari globalisasi budaya massa, termasuk didalamnya serbuan heteroseksualitas. Berkembangnya budaya massa heteroseksual mampu mengancam lahirnya “heterogenitas” seksual 28 yang belum sepenuhnya menjadi bentuk paradigma masyarakat Indonesia. Homoseksuaitas dalam Budaya Nusantara Pada kata pengantar buku Dede Oetomo, Memberi Suara yang Bisu (2000), Benedict Anderson mencermati bahwa pada dasarnya Indonesia merupakan Negara yang cukup sensual. Pada tahun 1962 di Indonesia, Anderson mendapati anak-anak lelaki berumur 9 tahun, berlari main bola dengan telanjang, dan tidak ada orang yang perduli dan marah. Di Jawa banyak pemuda yang rebahan dipangkuan sahabatnya, kaum bangsawan Aceh sering membelai laki-laki terpilih dari Nias (Seudati) untuk dijadikan “kesenangan” di ranjang maupun disuruh menari dengan pakaian wanita. Berbagai lirik yang dinyanyikan dalam tarian Seudati mempunyai unsur homoseksual yang cukup kuat. Dalam masyarakat Minangkabau ketika kehidupan sistem surau masih kuat, dikenal dengan induk jawi dan anak jawi. Di beberapa Pondok Pesantren di Jawa terdapat ritus inisiasi mairilan/amrot-amrotan (main perempuan-perempuan) pada kalangan santriwati dikenal istilah Musahaqoh yang kurang lebuh nyaris sama. Sedangkan di Bali terdapat hubungan antar lelaki ( menyilit ) maupun antar wanita. Demikian juga hubungan antara Warok dan Gemblak di Ponorogo. Kaum Bissu di Sulawesi Selatan, kaum Basir di Dayak Ngaju, hingga kaum Bayasa di Tana Toraja, yang berdandan ala pakaian wanita ( Tadu Mburake ). Pernyataan bahwa percintaan sejenis bukan pengaruh dari barat semakin menguat ketika mengamati berbagai fenomena kebudayaan Nusantara di atas. Di Jawa Timur terkenal dengan sebuah kesenian bernama ludruk, dimana seorang laki-laki yang berdandan selayaknya perempuan. Sifat keperempuanan dari pemain ludruk ini tidak hanya ditampilkan dipanggung, namun dikeseharian mereka di mana berpakaian selalu harum dan gemulai. Peacock melaporkan bahwa keberadaan pemain ludruk ini telah ada pada masa kerajaan Majapahit pada abad 13. 29 Secara Klasikal dalam naskah Jawa kuno setidaknya terdapat kitab yang berkaitan erat dengan hubungan seksualitas khususnya homoseksualitas yakni Serat Centhini. Unsur homoseksualitas pada Serat Centhini pada cerita mengenai Nurwitri dan Cebolang yang diperlakukan sebagai pihak feminine ketika mereka bertemu dengan Adipati di Kabupaten Daha. Sebelum meniduri dan melakukan hubungan seksual dengan Nurwitri, sang Adipati mewajibkan mereka mengenakan pakaian kewanitaan untuk menari di hadapannya. Serat yang sarat dengan muatan homoerotisme tersebut justru banyak berlatar belakang wilayah pesantren. Contoh bisa diambil dari sebuah adegan di mana semalam suntuk Cebolang berhubungan seks dengan dua remaaja berparas tampan. Dengan suasana senang dan bahagia mereka melakukan oral dan seks melalui dubur. Dan ketika subuh menjelang, mereka segera mandi junub, untuk melakukan sholat, di mana Cebolang menjadi imam sholat secara khidmat. Kebudayaan kuno Nusantara secara konsep mempunyai keragaman hubungan homoseksual yang tidak menjadi denyut problematis dalam kehidupan serta keseharian mereka. Kekayaan sensual serta seksualitas yang dimiliki kebudayaan kita menunjukkan bahwa sejak jaman dahulu masyarakat Indonesia telah menggunakan konsep hubungan seks yang didasarkan tidak hanya pada jenis kelamin yang berbeda, namun juga gender yang berbeda. Dan tentunya jenis kelamin yang sama dalam hubungan seks bukan menjadi sebuah permasalahan yang menggelisahkan. Sejarah Diskursus Homoseksualitas di Indonesia Seks menjadi suatu masalah ketika ia selalu dikonsepsikan secara dikotomik perkawinan-ekstramarital, heteroseks-homosek, maskulin-feminin. Akibatnya kemudian seks cenderung dipandang secara hirarkis, dalam artian ada yang dipandang lebih unggul dan dianggap normal dan bermoral tinggi. Di Indonesia, diskursus homoseksualitas dibentuk setidaknya oleh tiga hal, yakni (1) pada jaman masuk dan berkembangnya Islam yang berlaku hingga kini, (2) 30 pada masa kolonial, dan (3) infiltrasi keilmuaan medis dalam hal ini pihak psikologis/psikiarti, hingga rumah sakit jiwa. Homoseksualitas dalam Agama Dominan di Indonesia Agama mayoritas penduduk Indonesia hingga saat ini adalah Islam. Agama yang berasal dari Timur Tengah ini secara spesifik mencirikan dirinya sebagai agama yang dominan dengan nilai moralitas, yang datang ke Nusantara menggeser agama-agama dari Asia Tengah/Selatan yang dominan dengan nilai Estetika. Islam cenderung memisahkan antara sakral dan profan, sedangkan agama Hindu-Budha memandang seksualitas mempunyai batasan yang terkadang abstrak. Agama lokal menjadi terancam keberadaannya ketika Islam modernis mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1912, dimana Islam modernis tidak mengakomodasi local genius seperti kesenian tradisional yang mengandung cinta sejenis. Agama Timur Tengah tersebut selalu memandang seksualitas selalu terkait dengan disiplin moralitas tubuh, wacana patriarki, virginitas, prokreasi, heteroseksual, fungsi kekerabatan, yang berdasar kitab suci. Begitu juga agama yang berkembang di barat seperti Katholik yang kemudian membumi di Indonesia. Sebagai contoh, ketidak setujuan iman Kristen yang dilandaskan pada doktrin dan tafsiran yang mereka lakukan pada Alkitab. Mereka memandang tidak ada satupun ayat yang merestui hubungan homoseksual, seperti kisah Sodom dan Gomorah. Pengutukan atas homoseksualitas juga dipertegas melalui pemahaman Gereja atas pernikahan yang mempersatukan pria dan wanita. Homoseksual dipandang secara hitam putih karena tindakan seks tersebut cenderung bersifat promiscuity ( hubungan seks dengan berbagai partner )dan tidak untuk melahirkan. Sehingga tidak ada ritula keagamaan seperti kehidupan kekeluargaan yang sesuai dengan agama, seperti menstrurasi, mengandung, melahirkan, doa-doa kepada anak yang dilahirkan, doa perkawinan, dan lain sebagainya. Agama 31 memandang seksualitas sebagai sesuatu yang agung karena ia merupakan penyambung hidup dan pengganda keturunan. Dalam hubungan heteroseksual, anak dianggap sebagai anugerah yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Diluar itu,ajaran agama yang dipahami oleh masayarakat pada umumnya, nyaris tidak mempunyai konsep mengenai adopsi anak yang dilakukan dari sebuah hubungan homoseksual. Selama ini kalangan agamawan di Indonesia melihat bahwa kaum homoseks identik dengan sesuatu yang “hitam” karena berani melawan rezim moral yang dibangun oleh agama serta konstruksi dominan sosial masyarakat. Kuatnya pengaruh agama tampak pada sistem kelembagaan Negara yang tak melindungi orientasi seksual ini. Meluasnya pengaruh agama-agama Samawi di berbagai belahan bumi merupakan salah satu transformasi seksual terbesar khususnya setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi. Satu hal persamaan yang dinafikan oleh kaum agamawan adalah kasih sayang, mencintai dan dicintai secara universal dan tidak parsial. Terlepas dari jenis kelamin dan orientasi seksual, proses dicintai adalah fenomena humanistik yang menarik dan terhormat, sebab berarti terdapat subyek yang mencintai demi subyek lain. Merupakan sesuatu yang berharga jika subyek lain dicintai, sebab akan membuktikan pengingkaran terhadap dirinya sendiri dalam artian rela berkorban demi kebaikan subyek yang dicintai. Disinilah terdapat kesamaan esensi cinta antara kaum homoseksual dan heteroseksual. Homoseks Pada Masa Kolonial Pada abad 19, represifitas seksual menyebar keberbagai penjuru dunia ketika Inggris mengalami masa keemasan colonial, akibat berkembangnya industry dan kapitalisme. Undang-undang di Inggris pada tahun 1861 sempat direvisi, yang menyatakan bahwa para pelaku homoseksualitas dapat dituntut hukuman mati sebagai yang terberat dan yang teringan adalah 10 tahun hingga hukuman seumur hidup. 32 Pada tahun 1885 ativitas homoseksual dianggap sebagai tindakan kriminal dan melanggar hukum, karena ia melawan berbagai aktivitas dominan yang dianjurkan oleh Ratu Victoria yakni seksualitas prokreasi. Pengaruh Victoria terasa hingga kepemerintahan Belanda dibawah kepemimpinan Ratu Wilhelmina ( 1890-1948 ). Otomatis kebijakan berpengaruh erat dengan daerah kolonialnya, dalam hal ini Hindia Belanda (Indonesia). Perpaduan antara ancaman terhadap kekuasaan kerajaan karena menguatnya kelas borjuis mengakibatkan terkonsolidasinya kekuasaan Negara yang absolut pada semua segmen kehidupan, tak terkecuali seksualitas. Pada penghujung abad 19, konsolidasi dan absolutism semakin banyak mengalami persamaan dengan kemenangan Partai Kristen di Inggris dan Belanda. Bentuk tinggah laku dan wacana dari kalangan elit dan borjuis pada kedua Negara inilah yang kemudian memperluas makna moralitas seksual pasca revolusi industry di berbagai Negara jajahan. Bentuknya termanifestasi pada berbagai kebijakan dan undang-undang yang diterapkan. Berbagai kebudayaan Nusantara yang mengandung kuat unsur percintaan sejenis mengalami transformasi besar-besaran. Kaum homoseks semakin terancam di Indonesia ketika diadakannya Witchunt yakni kampanye hysteria pengebirian terhadap mereka. Tercatat pada tahun 1905 terdapat undang-undang yang dibuat di Hindia Belanda seperti aturan yang melarang tindakan homoseksualitas dan masturbasi. Untuk mencegahnya, pemerintah Belanda menyiapkan berbagai tempat pelacuran bagi para pekerjanya, baik pribumi maupun tidak, khususnya diberbagai tempat pembangunan kereta api di Jawa. Fenomena Nyai/istri simpanan petinggi Belanda juga merupakan bagian dari strategi seksual yang dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa kolonial, di semua wilayah jajahan Belanda dan Inggris terdapat sedikit sekali kalangan menengah/elit, cendekiawan, dan intelektual. Sehingga dialektika dan diskursus tidak berkembang 33 dikawasan kolonial. Di daerah koloni juga jarang ditemukan semangat yang bersifat laxis ( menghapuskan larangan-larangan ) atau pemikir liberal yang sedikit memperlunak undang-undang. Ilmu dan kajian mengenai seksualitas mengalami sensor besar-besaran. Daerah koloni yang diduduki singkat, dan kemudian ditinggalkan maka berbagai diskursus, dialektika, serta transformsi sosial, khususnya mengena seksualitas yang mengembang tidak menjadi berkelanjutan dan hanya diteruskan oleh berbagai intelektual pribumi yang disekolahkan ke Negara penjajah. Ketika mereka kembali, mereka hanya menjadi kelas menengah kota, sehingga wacana dan dialektika homoseksual hanya berkembang diwilayah kota. Homoseks dalam Pandangan Klinis Pada abad 16 gereja mulai memperkenalkan konsep virginitas, cinta lawan jenis, seks prokreasi ke penjuru dunia. Ajaran puritan Jean calvin (1506-1564) cukup mengena di Inggris. Setelah abad pencerahan, pengebirian terhadap kaum homoseks semakin menjadijadi di Inggris. Hal tersebut memiliki bebrapa penyebab. Pertama, lahirnya revolusi industry dimana pabrik emmerlukan banyak buruh dengan gaji rendah dan posisi tawar yang lemah. Untuk itu tenaga manusia harus diperbanyak, yang kelanjutannya pabrik ( capital ) menghujat percintaan sejenis yang tak mungkin melahirkan banyak anak dan membentuk sebuah keluarga utuh.Kapitalisme juga memandang bahwa keluarga mempunyai kepentingan besar dan membawa stabilitas bagi tingkat konsumsi. Kedua, ajaran alvinisme tampaknya mempunyai aroma senafas dengan kaum kapitalis, yakni sama-sama mendukung seks prokreasi. Akhirnya merekapun bergandeng mesra, sembari mendepak eksistensi sesama jenis. Ketiga, diangkatnya Victoria menjadi Ratu Inggris (1837-1901). Sebagai seorang yang puritan, ia tentunya mengikut kepada dua entitas di atas dan dapat ditebak, kaum homoseks semakin terdepak. Keempat, semakin banyaknya literatur yang menghujat kaum pecinta sejenis dan masturbasi. Tindakan ini dianggap sebagai pemubadziran air mani yang 34 tidak semestinya. Kelima, angina demokrasi yang menghembuskan persamaan menyebabkan degradasi dan bubarnya strukstur sosial yang kalah. Hal ini berakibat pada hubungan homoseks dimana percintaam mereka bernuansa hirarkis. Keenam, kesengsaraan kaum homoseks semakin lengkap ketika ilmu-ilmu kedokteran dan psikologis posivitistik lahir pada sekitar awal abad 19.Seksualitas awalnya bersifat plural, diversi dibuat menjadi patologis. Kemudian muncul istilah homoseks (1869), Fetishisme (suka melihat hubungan seks orang lain), Transvestisme (siapapun yang mengenakan pakaian dari jenis kelamin lain, temasuk sebagian homoseks), Styriasis (seks berlebihan pada lakilaki), Nymphomania (seks mania pada wanita). Dari sanalah kemudian terjadi perubahan stigma kaum homosek dari orang berdosa menjadi orang gila dan menyimpang. Posisi “dosa” dari agama dan “devian” dari patologi medis saling berkelindan dan melengkapi stigma tertuju pada kaum pecinta sejenis ini. Ini juga merupakan bukti bahwa transformasi sosial dan pemahaman mengenai keberadaan homoseksul sangat lamban di Indonesia. Ketika kalangan medis Amerika mulai menyadari bahwa homoseksaul bukan merupakan sesuatu yang patologis dan menyimpang pada tahun 70an hingga kini kita masih bergulat bahwa homoseks adalah penyakit sosial. Memasuki awal tahun 80an di berbagai belahan dunia khususnya Amerika dan dikuti pula oleh Indonesia bahwa terbangunya tesis dengan mewabahnya penyakit AIDS yang cenderung disebabkan oleh hubungan seksual kalangan homo. Jenis hubungan ini dianggap sebagai biang keladi penyakit AIDS oleh kalangan medis. Munculnya stigma itu membuat homoseksual waspada dan mengurangi frekuensi hubungan seks. Pada tahun 90an terjadi pergantian bahwa penyebab utama penyakit mematikan ini terkait penggunaan jarum suntik. Pasca abad 20, khususnya ketika diberbagai belahan Negara di dunia memasuki tahap industrialisasi, Negara mempunyai berbagai apparatus. Di Indonesia, logika salah satu apparatus sebagai pemproduksi kekuasaan adalah para psikiolog yang hingga saat ini 35 masih menganggap homoseksualitas sebagai sebuah tindakan patologis yang memerlukan penyembuhan dan normalisasi. Pengakuan medis merupakan bentuk panjang tangan dari berbagai kuasa agar orintasi seksual yang dianggap menyimpang dapat direduksi menjadi orientasi yang tidak berdosa, melanggar hukum Negara dan masyarakat. Ia menjadi semacam penyembuh kebenaran. Dunia medis dapat pula dilihat sebagai bagian dari distorsi ideology dengan mengambil sebuah kesempatan dari tabunya seksualitas yang jarang dibicarakan untuk menjadikan seksualitas seragam dalam bentuk heteroseksual dan prokreasi. Disinilah kemudian konsep Foucault dapat dibaca bahwa sebenarnya kekuasaan tersebut bersifat ada dimana-mana, ia direproduksi, diproliferasi serta dioperasikan untuk dinikmati dan justru bukan merasa ditindas olehnya. Homoseksualitas dalam Film-Film Indonesia Dalam film-film homoseksual munculah sebuah wacana bahwa homoseksualitas bukan merupakan bagian dari penyimpangan seksual yang disertai dengan abnormalitas atau gejala kejiwaan. Namun ia tidak lebih dari pilihan seksual saja layaknya ketika seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta dengan seorang perempuan. Sama halnya ketika seorang laik-laki jatuh cinta dengan laki-laki dan perempuan yang jatuh cinta dengan perempuan. Mereka akan menyanjung pujaannya tersebut, bersedia berkorban dan saling mengasihi, penuh perhatian dan kerinduan seperti heteroseksual. Jadi tidak ada yang tidak normal.Yang tidak normal adalah ketika kita mencintai seseorang tetapi kita justru menyakitinya, melukainya, tidak memperdulikannya dan melakuakan segala sesuatu yang merugikan orang yang kita cintai. Dengan demikian apakah seseorang berorientasi heteroseksual, homoseksual atau lesbian, tidak ada masalah. Layaknya ketika anda memilih masakan kesukaan anda, agama mana yang anda pilih, mana gaya pakaian yang menurut anda nyaman. Tidak ada yang menyimpang. 36 Posisi Homoseksual dalam Pembentukan Kenegaraan dan Munculnya Resistensi Otoritas sebuah Negara tampak nyata pada jaman Orde Baru. Negara melihat bahwa masyarakat merupakakan kesatuan organisasi dimana individu dan golongan menjadi bagian darinya. Karena Negara merupakan perwujudan roh, semangat dan entitas rakyat, maka rakyat harus tunduk pada Negara. Tangan-tangan kuasa Negara ini tak terkecuali juga menyentuh pasangan yang berorientasi sejenis. Sejauh ini pemerintah belum menunjukkan itikad baik untuk melindungi hak-hak asasi kaum homoseks yang dituangkan dalam konstitusi ataupun peraturan yang melindungi mereka sebagai manusia yang tetap mempunyai hak asasi dalam berkehidupan, baik ketika berhubungan dengan orang lain, menikmati fasilitas publik hingga fasilitas hubungan seksual sejenis. Kekacauan pemerintah Indonesia menunjukan bahwa segala kebijakan dari Negara sering dan selalu bertalian erat dengan kepentingan agama maupun kepentingan kapital. Pada satu sisi ketika Negara menghancurkan keberadaan kaum homoseksual, mereka akan mempunyai kebebasan dalam mengekspresikan kehendak dan uneguneg mereka. Berbagai gerakan kaum homoseksual dibeberapa kota besar, Pelangi di Yogyakarta dan Gaya Nusantara di Surabaya menunjukkan sebuah contoh kecil gerakan masyarakat sipil yang mampu lepas dari tangan-tangan Negara. Gerakan mereka berawal dari kesamaan orientasi seksual. Pada sisi lain berbagai gerakan yang bersifat diskursif dan resisten ini mempunyai berbagai kerentanan. Karena sistem hukum di Indonesia belum mempunyai ketetapan secara kuat mengenai keberadaan kaum homoseksual, orientasi seksual, gerakan homoseksualsampaidengan hukum perkawinan yang ada. Dengan demikian, gerakan kaum homoseksual akan bermain diwilayah kultur masyarakat tertentu dan bukan diwilayah politik yang lebih luas dan strategis. Kebebasan yang dimiliki kaum homooseksual di wilayah kultural tentunya mempunyai 37 keterbukaan benturan dengan makna kebebasan di wilayah kultural dengan masyarakat dominan. Tragedi di Kaliurang Yogyakarta pada tahun 2000 lalu , penyerangan oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan agama pada homoseksual yang tengah mengadakan sebuah acara ilmiah disebuah villa, menunjukkan adanya perbedaan pemahaman atas orientasi seksual dan berbagai varian gender di masyarakat. Homoseksual nyaris tidak mendapatkan perlindungan hukum dari Negara secara tepat, jelas dan tegas. Padahal secara ideologis berbagai gerakan homoseksual di Indonesia nyaris tak beroposisi dengan kaum heterosesksual. Hal ini tampak dari berbagai program yang dijalankan oleh lembaga yang menggeluti isu LGBTIQ ( Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, Queer ). Lembaga-lembaga tersebut pada umumnya mengedepankan tema sosial kemanusiaan serta hak asasi manusia serta bantuan kepada korban bencana alam, kunjungan ke pantiasuhan dan program-program sosial lainnya. Jika ditarik benang merah resistensi yang muncul pada kalangan homosekksual di Indonesia, merupakan sebuah subkultur yang tidak terpisah dengan revolusi ‘Mei 1968’ di Perancis. Revolusi yang digerakan anak muda kalangan menengah ini mampu membuat getaran pemberontakan yang menyebar ke seluruh benua. Isu yang kemudian sering dibicarakan kaum homoseksual dunia selalu menyangkut kesetaraan, pembebasan, dan reformasi seksual. Dua tahun kemudian setelah peristiwa ‘Mai 1968’ di London didirikan Front Pembebasan Gay (GLF). Gerakan ini terdiri dari berbaggai kalangan, mulai dari seniman hingga ilmuwan. Sambil bergandengan tangan dan berciuman, mereka melakukan gerakan turun ke jalan menuntut penghapusan diskriminasi terhadap kaumnya. Mereka juga menetapkan Gay Pride Week, minggu kebanggan kaum gay. Di AS, tahun 1974, gerakan ini berhasil mendesak APA (American Pshyciatry Association) untuk mencabut anggapan yang menyatakan homoseksual adalah gangguan jiwa. Bentuk resistensi dan subkultur yang tengah mengahangat di Negara-negara Eropa barat dan Amerika Serikat ini 38 yang kemudian diadopsi oleh Dede Oetomo, sebagai pelopor dalam pembentukan lembaga homoseksual seperti Gaya Nusantara, sepulang mengambil gelar doctoral di Cornell University, Amerika Serikat. Wacana homoseksual di Indonesia mengalami transformasi dari orientasi seksual yang bersifat privat menjadi wacana public yang dihubungkan dengan pembentukan sebuah moral bangsa dan kepribadian nasional. Pada awalnya berbagai praktek homoseksual ditoleransi sepanjang ia disembunyikan secara pribadi, namun ia menjadi permasalahan public ketika dominasi heteroseskaula mempunyai kepentingan di dalamnya. Lahirnya wacana homoseksual justru bukan menjadi kepentingan homoseksual, ini merupakan kondisi atau syarat tingkat kedua bagi kaum homoseksual yang digiring k earah resistensi diri. Gerakan bersifat subkultur hingga different culture merupakan jawaban atas keberadaan mereka. Homoseksual yang diabnormalkan, didenaturalisasikan hingga dianggap sebagai tindakan kriminal merupakan bentuk strategi wacana yang menunjukkan adanya kepanikan moral dari suatu Negara. Homoseksualitas Sebagai Solusi Selama dekade tahun 1980an, laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,98% pertahun, tiga tahun kemudian jumlah penduduk Indonesia mencapai 188,9 juta. Di akhir Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) VI, angka tersebut melonjak hingga 204,2 juta jiwa. Meningkatnya pertambahan penduduk ini berimplikasi pada meningkatnya tambahan kebutuhan pokok, agar mampu mengimbangi laju pertumbuhan. Padatnya penduduk Indonesia kini, mengahsilkan banyak anak terlantar, praktik aborsi dan sebagainya, ini merupakan permasalahan tersendiri bagi Negara. Salah satu penyebab utamanya adalah tingginya angka kelahiran yang dihasilkan perkawinan heteroseksual dan kekerabatan. Program KB merupakan bentuk campur tangan negara terhadap aktivitas seks masyarakat. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan wacana dominan mengenai seks yang prokreatif dan bertujuan 39 reproduksi. Alhasil, program KB tak mampu memberi solusi dalam hal kependudukan. Legalisasi pernikahan sesama jenis kelamin atau penerimaan terhadap mereka akan memberikan peluang bagi kaum homoseks untuk membuka diri. Dengan begitu mereka tidak akan merasa diawasi dan dikejar-kejar. Tentu saja, ini menjadi sebuah alternatif bagi mereka dengan secara terbuka untuk mengadopsi anak. Pesatnya tingkat pertumbuhan penduduk dunia, maka terdapat beberapa hal yang dikhawatirkan oleh kapitalisme dalam menstabilkan produksi dan peradabannya seperti munculnya berbagai kerusuhan social, kerusakan lingkungan serta tingkat ketergantungan dan tingkat konsumsi yang semakin tinggi. Meningkatnya jumlah penduduk tentu berbanding terbalik dengan persediaan bahan baku yang semakin terbatas dan menipis. Belum ditemukan sumber daya tak terbatas untuk memenuhi konsumsi umat manusia, namun pertambahan jumlah penduduk justru semakin meningkat karena perilaku seksual tentu menjadi bagian dari masalah yang dihadapi oleh kapitalisme. Salah satu upaya untuk menekan populasi adalah dengan membuat strategi kekuasaan yang mengesahkan homoseksualitas diberbagai belahan bumi dimana kapitalisme besar mencengkeramkan kukunya. Agama, Negara dan kapitalisme memang secara tidak langsung sebenarnya saling mengikat pada apa yang disebut sebagai seksualitas dan juga sexual activity. Jika kita reintepretasi, terdapat prespektif etik dalam agama yang mencoba melahirkan adanya homoseksualitas. Konsekuensi logisnya, jika kaum homoseksual ingin dihilangkan, maka hilangkan pula agama, bahkan Negara dan kapital, karena mereka adalah bagiannya juga. Jika tidak mungkin, maka homoseksualitas pun tak mungkin dihilangkan. Jika ia dihilangkan, runtuhkah keseimbangan alam? Homoseks adalah spectrum seks pilihan yang diberikan oleh Tuhan di mana mempunyai posisi yang sama layaknya kaum heteroseksual. Sudah bukan waktunya lagi homoseks dikutuk dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan, karena perintah “penuhilah bumi” 40 perlu diinterpretasi ulang. Dan tampaknya Tuhan pun ikut camur tangan dengan mengijinkan lahirnya bayi-bayi homoseksual di dunia, sebagi reaksi keras dari alam karena manusia sudah terlalu banyak dan tidak bisa mengatur/memelihara bumi dengan baik. 41