BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepribadian Big Five 2.1.1 Definisi Kepribadian Feist & Feist (2009)mengatakan bahwa kepribadian suatupola yang relatif menetap didalam diri individu yang menghasilkan beberapa ukuran konsisten tentang perilaku.Serupa dengan pernyataan tersebutLarsen & Buss (dalam Endah, 2005)juga menambahkan bahwa kepribadian merupakan sekumpulan trait psikologis dan mekanisme didalam diri individu yang diorganisasikan dan relatif bertahan, sehingga mempengaruhi interaksi dan adaptasi individu pada lingkungan.Selanjutnya, Fieldman (dalam Endah, 2005)mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan yang dikemukakan para ahli untuk memahami kepribadian, salah satunya dengan menggunakan teori trait.Trait didefinisikan sebagai suatu dimensi yang relatif menetappada karakteristik individu.Sehingga, trait yang menetap didalam diri invidu tersebut dapat digunakanuntuk membedakan individu yang satu dengan individu yang lain. Saat ini para peneliti menyetujui teori trait yang mengelompokkan trait menjadi lima besar, dengan dimensi bipolar (Costa & McCrae dalam Pervin, 2005), yang disebut Big Fiveatau FFM (Five Factor Model). McCrae & Costa (1997), big five dapat digunakan dalam berbagai bentuk bahasa, baik dalam bentuk bahasa Inggris maupun bahasa lainnya.Piedmont & Chae (1997) juga berpendapat berbagai penelitian lintas budaya mengenai kepribadian big five ini dilakukan, salah satunya di Korea.Big Five atau FFM didasarkan pada kategori sifat individu, yang dapat digunakan untuk mengevaluasi diri sendiri maupun orang lain (Moberg, 1999). 2.1.2 Definisi Kepribadian Big Five Feist & Feist (2009)menyatakan bahwa big five adalah salah satu bentuk kepribadian yang dapat digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku individu. Gufron (2010) berpendapat bahwa kepribadian big five adalah kepribadian yang dikembangkan oleh McCrae & Costa yang memiliki lima bentuk dimensi kepribadian yang mendasari perilaku individu. McCrae & Costa (1997) menambahkan 8 bahwa kepribadian big fivedigambarkan dalam lima dimensi dasar, diantaranya Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness, Conscientiousness. 2.1.3Dimensi-dimensi dalam Kepribadian Big Five McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) menyatakan bahwa terdapat lima dimensi dari big five personalitydiantaranya Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness, Conscientiousness.Masing-masing dari lima dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut; 1. Neuroticism (N) McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa neuroticm menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup mereka dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Neuroticism dicirikan sebagai individu yang memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan memiliki tingkat self esteem yang rendah. Individu yang memiliki skor yang tinggi di neuroticism adalah individu yang memiliki kepribadian mudah khawatir, rasa marah, dan depresi.Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang terdapat dalam neuroticism adalah: a. Anxiety. Individu yang gelisah, penuh rasa takut, gugup dan tegang. b. Hostility. Individu yang memiliki rasa amarah dan frustasi. c. Depression. Individu yang mengalami depresi. d. Self-Consciousness. Individu yang menunjukkan rasa tidak nyaman ketika berada diantara orang lain, terlalu sensitif, dan merasa rendah diri. e. Impulsiveness. Individu yang tidak mampu mengontrol keinginannya yang berlebihan untuk melakukan sesuatu. f. Vulnerability. Individu yang tidak mampu menghadapi stress, bergantung pada orang lain, mudah menyerah dan panik bila dihadapkan pada sesuatu yang datang secara mendadak. 2. Extravertion (E) McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa extravertiondalam berinteraksi lebih banyak memegang kontrol.Extravertion dicirikan seperti memiliki emosi yang positif, enerjik, senang bergaul, tertarik dengan banyak hal, juga ramah terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki tingkat extravertion yang rendah cenderung pendiam dan menarik diri dari lingkungannya. Individu yang extravertion termotivasi olehperubahan, tantangan, dan mudah bosan. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang yang terdapat dalam extravertionadalah: a. Warmth. Individu yang mudah bergaul. b. Gregariousness. Individu yangsenang berinteraksi dengan orang lain. c. Assertiveness. Individu yang cenderung tegas. d. Activity (E4). Individu yang sering mengikuti berbagai kegiatan yang memiliki semangat yang tinggi. e. Excitement-seeking. Individu yang senang mencari sensasi dan berani mengambil resiko. f. Positive Emotion. Individu yang memiliki emosi-emosi yang positif seperti senang, bahagia dan cinta. 3. Openness to experience (O) McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa openness to experience mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru.Openness to experiencememiliki kapasitas untuk menyerap informasi, fokus pada berbagai pemikiran dan perasaan.Seseorang dengan tingkat openness to experience yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi dan pemikiran yang luas.Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness to experience yang rendah menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit dan tidak suka dengan perubahan.Pencapaian kreatifitas terdapat pada orang yang memiliki tingkat openness to experience yang tinggi dan tingkat agreeableness yang rendah.Hal ini dikarenakan, seseorang yang kreatif memiliki rasa ingin tahu yang tinggidan lebih mudah untuk mendapatkan solusi terhadap suatu masalah. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang terdapat dalam openness to experienceadalah : a. Fantasy. Individu yang memiliki imajinasi yang tinggi. b. Aesthetic. Individu yang memiliki apresiasi terhadap seni dan keindahan. c. Feelings. Individu yang mampu menyelami emosi dan perasaannya. d. Action. Individu yang memiliki keinginan untuk mencoba hal-hal baru. e. Ideas. Individu yang berpikiran terbuka terhadap ide baru. f. Values. Individu yang berkeinginan untuk menguji ulang nilai-nilai sosial, politik dan agama. 4. Agreeableness (A) McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwaagreeableness mengindikasikan seseorang yang ramah, rendah hati, tidak menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Agreeableness memiliki motivasi untuk membantu orang lain dan terarah pada perilaku prososial. Namun, dalam hubungan interpersonal orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika berhadapan dengan konflik, self esteem mereka cenderung menurun.Sehingga,menghindarikonflikmerupakan usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain. Sedangkan, orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung lebih agresif dan kurang kooperatif.Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang terdapat dalam agreeablenessadalah: a. Trust. Individu yang memiliki kepercayaan terhadap orang lain. b. Straightforwardness. Individu yang berkata secara apa adanya. c. Altruism. Individu yang memiliki keinginan untuk menolong orang lain. d. Compliance. Karakteristik dari reaksi terhadap konflik interpersonal. e. Modesty. Individu yang rendah hati. f. Tender-mindedness. Individu yang memiliki kepedulian dan simpati terhadap orang lain. 5. Conscientiousness (C) McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwaConscientiousness mendeskripsikan individu yang memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dannorma, terencana, dan memprioritaskan tugas.Individu yang memiliki tingkat conscientiousness yang rendah menunjukkan sikap yang malas, tidak terarahdan mudah teralih perhatiannya. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang terdapat dalam conscientiousnessadalah: a. Competence. Individu yang memiliki kemampuan dalam mengerjakan sesuatu. b. Order.Individu yang memiliki kemampuan dalam mengorganisasi. c. Dutifulness.Individu yang berpegang teguh pada prinsip hidup. d. Achievement-striving. Individu yang memiliki kesanggupan untuk mencapai prestasi. e. Self-discipline. Individu yang dapat mengatur diri sendiri. f. Deliberation. Individu yang berpikir dahulu sebelum bertindak. Perbandingan antara skor tertinggi dan skor terendah pada kepribadian big five yang terdiri dari lima dimensi dasar, diantaranya Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness,danConscientiousness.Dapat diketahui pada tabel dibawah ini: Tabel 2.1Karakteristik Skor Tinggi dan Skor Rendah Pada DimensiBig Five Skor Tinggi Skala Trait Skor Rendah Cemas,emosional, Neuroticism (N) merasa tidak aman, merasa tidak mampu, Menggambarkan cakupancakupan emosi negatif mudah panik. yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan, dan nervous tension. Tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, tidak emosional, sabar, gembira, dan puas terhadap hidupnya. Optimis, ramah dengan oranglain, mudah bergaul, banyak berinteraksi, memiliki emosi yang positif, suka menolong. Extravertion (E) Tidak ramah, suka menyendiri, pendiam. Ingin tahu, minat luas, kreatif, original, imajinatif, untraditional Openness to Experience Pemikiran sederhana, (O), Menggambarkan minat sempit, non keluasan dan kedalaman artistic. mental individu dan pengalamannya. Lembut hati, dapat dipercaya, suka menolong, dan memiliki kecenderungan mengikuti oranglain. Agreeableness (A) Teratur, pekerja keras, berpikir sebelum bertindak, disiplin, tepat waktu, rapi, hatihati. Conscientiousness (C) Mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal, tingkatan aktivitas. Sinis, kasar, curiga, tidak kooperatif dan Mengukur kualitas dari agresif. apa yang dilakukan dengan orang lain dan apa yang dilakukan terhadap orang lain. Mendeskripsikan perilaku yang diarahkan pada tugas dan memiliki kontrol sosial. Malas, lalai, ceroboh dan mudah menyerah. Sumber :Moberg, J. D. (1999). The Big Five and Organizational Virtue.Business Ethics Quarterly. 9 (2): 245-272. 2.2 Perilaku Prososial 2.2.1 Definisi Perilaku Prososial Bagaimana kita dapat menjelaskan mengapa seseorang memiliki pengorbanan diri yang tinggi ketika seseorang tersebut juga dapat menjadi tidak peduli? Hal tersebut disebabkan oleh perilaku prososial (Aronson, Wilson& Akert, 2007). Eisenberg (1989) mengatakan bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan secara sukarela dan dimaksudkan untuk membantu maupun memberi keuntungan kepada individu atau sekelompok individu. 2.2.2Bentuk-bentuk Tindakan dalam Perilaku Prososial Bentuk-bentuk tindakan dalam perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen (1989), diantaranya ialahberbagi (sharing), kerjasama (cooperative), menyumbang (donating), menolong (helping), kejujuran (honesty), dan kedermawanan (generosity).Masing-masing dari bentuk-bentuk tindakan dalamperilaku prososial akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Berbagi (sharing). Kesediaan individu untuk berbagi perasaan dengan orang laindalam suasana suka dan duka dan memberikan kesempatan kepada oranglain untuk merasakan keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya. 2. Kerjasama(Cooperation). Kesediaan individu untuk melakukan kegiatan bersama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, termasuk mempertimbangkan dan menghargai pendapat orang lain saatmelakukan diskusi. 3. Menyumbang(Donating). Kesediaan individu untuk memberikan secara materil (berupa uang) kepada seseorang atau sekelompok orang untuk kepentingan umum yang berdasarkan pada permintaandan kegiatan. 4. Menolong (Helping). Kesediaan individu untuk menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan. Menolong dapat diwujudkan dalam kegiatan berbagi dengan orang lain, memberi tahudan menawarkan bantuan kepada orang lain. 5. Kejujuran (Honesty). Kesediaan individu untuk berkata dan bersikap apa adanya, serta menunjukkan ketulusan hati. 6. Kedermawanan (Generosity). Kesediaan individu untuk memberikan sesuatu (biasanya berupa uang dan barang) kepada orang lain atas dasar kesadaran diri. Selanjutnya, Bringham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) menambahkan bahwa tindakan-tindakan dalam perilaku prososial meliputi menolong, kerjasama, persahabatan, kedermawanan, menyelamatkan dan pengorbanan. Wispe (dalam Luthfi, 2009) juga mengatakan bahwa tindakan-tindakan dalam perilaku prososial meliputi: 1. Simpati(Sympathy). Kesediaan individu untuk perhatian dan peduli terhadap orang lain. 2. Kerjasama (cooperation). Kesediaan individu untuk membantu pihak-pihak yang terlibat dalam mencapai tujuan bersama. 3. Menolong (helping). Kesediaan individu untuk membantu urusan orang lain. Sehingga, orang tersebut dapat mencapai kesejahteraannya. 4. Menyumbang (donating). Kesediaan individu untuk memberikan sumbangan kepada orang lain dan dilakukan atas dasar kemurahan hati. 5. Altruistik (altruism). Kesediaan individu untuk memberikan pertolongan kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Berdasarkan uraian dari bentuk-bentuk tindakan dalam perilaku prososial yang dikemukakan oleh para ahli, peneliti memutuskan untuk menggunakan bentuk-bentuk tindakan dalam perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen (1989). Tindakantindakan ini didalamnya meliputiberbagi (sharing), kerjasama (cooperative), menyumbang (donating), menolong (helping), kejujuran (honesty), dan kedermawanan (generosity). 2.2.3 Faktor-faktor yang Berkontribusi terhadap Perilaku Prososial Eisenberg & Mussen (1989),terdapat tujuh faktor utama yang memiliki kontribusi terhadap perilaku prososial seseorang, diantaranya; faktor biologis, budaya masyarakat setempat, pengalaman sosialisasi, proses kognitif, respon emosional, faktor karakteristik individu dan faktor situasional.Aronson, Wilson& Akert (2007) menambahkan efek mood juga memiliki kontribusi terhadap perilaku prososial.Selanjutnya,Aronson, Wilson & Akert (2007) mengatakan bahwa efek mood terbagi dua, yaitu efek dari mood positif dan efek dari mood negatif. Masing-masing dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial akan dijelaskan sebagai berikut; 1. Faktor Biologis. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa adanya faktor genetik dapat menyebabkan perbedaan individu dalam berperilaku prososial. 2. Budaya masyarakat setempat. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa perilaku, motivasi, dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu dipengaruhi oleh budaya dimana individu tinggal.Sehingga budaya dapat digunakan sebagai alat untuk memperkirakan tingkat kecenderungan individu dalam berperilaku prososial. 3. Pengalaman sosialisasi. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan banyaknya interaksi individu dengan agen-agen sosialisasi seperti orang tua (agen sosialisasi utama), teman sebaya, guru dan media massa dapat membentuk perilaku prososial pada individu. 4. Proses kognitif. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa perilaku prososial melibatkan beberapa proses kognitif, diantaranya: a) Intelegensi. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa tingkat intelegensi dapat mempengaruhi individu dalam mempersepsi stimulus dan berperilaku. b) Persepsi terhadap kebutuhan orang lain. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa penelitian Pearl menyatakan anak baru bisa memahami kebutuhan orang lain, ketika berada pada tingkat tiga sekolah dasar. Kemampuan ini nantinya dapat meningkatkan intensitas perilaku prososial pada anak tersebut. c) Role Taking.Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa role takingmeliputikemampuan untuk memahami dan menarik kesimpulan dari perasaan,pemikiran, reaksi emosi, motivasi dan keinginan orang lain. Eisenberg & Mussen (1989) juga menambahkan bahwa role takingdapat menjadi perantara perilaku prososial yang secara sistematik telah teruji. d) Keterampilan memecahkan masalah interpersonal. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa keterampilan memecahkan masalah interpersonal meliputi adanya sensitivitas terhadap permasalahan interpersonal dan kemampuan menemukan solusi terhadap masalah. e) Penalaran moral. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa penalaran moral merupakan faktor yang memiliki kecenderungan terhadap individu untuk berperilaku prososial. 5. Respon emosional. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakanbahwa respon emosional meliputi adanya perasaan bersalah dan rasa peduli terhadap orang lain. Respon ini nantinya akan meningkatkan intensitas prososial seseorang. 6. Faktor karakteristik individu. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa faktor karakteristik individu yang berhubungan dengan intensitas prososial adalah kepribadian. 7. Faktor situasional. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa adanya tekanan-tekanan eksternal,sepertiperistiwa sosial dapat menimbulkan kecenderunganpada individu untuk berespon secara prososial. 8. Efek mood. Aronson, Wilson& Akert (2007)menambahkan bahwa tipe efek mood dalam perilaku prososial ada dua, diantaranya; a) Efek dari mood positif.Aronson, Wilson& Akert (2007)mengatakan bahwa individu yang memiIiki mood positif dapat meningkatkan intensitas perilaku prososial. Hal ini dikarenakanmoodpositif membuat individu selalu melihat sisi positif dari orang lain dan memungkinkan individu berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang ideal. b) Efek dari mood negatif. Baumeister (dalam Aronson, Wilson& Akert, 2007) mengatakan bahwa salah satu jenis moodnegatif yang dapat meningkatkan intensitas perilaku prososial individu adalah rasa bersalah. Sehinggaketika individu melakukan sesuatu yang membuat ia merasa bersalah, dengan berperilaku prososial seperti menolong orang lain dapat mengurangi rasa bersalahnya. 2.3 Relawan TAGANA Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan antara kepribadian big five dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. 2.3.1 Definisi Relawan Basuki (2013)mengatakan bahwa relawan adalah seseorang yang secara sukarela menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan serta sadar bahwa tidak akan mendapatkan upah atas sesuatu yang telah disumbangkan. Himpsi (dalam Gunawan & Sulistyorini, 2007) juga menambahkan bahwa relawan merupakan seseorang yang memiliki niat untuk membantu individuatausekelompok individu yang memerlukan bantuan,termotivasi oleh kemauan sendiri dan tidak bermaksud untuk menerima harta atau benda. 2.3.2 Ciri-ciri Relawan Rajaguguk, Sinaga, & Effendi (dalam Saleh, 2011)mengatakan bahwa pada dasarnya relawan memiliki beberapa ciri khusus, yaitu: a. Melayani individu atau sekelompok individu secara sadar dan atas kemauan diri sendiri. b. Melayani individu atau sekelompok individu untuk memperoleh kesejahteraan. c. Melayani individu atau sekelompok individu dalam semangat rasa kebersamaan dan persaudaraan. d. Melayani individu atau sekelompok individu tanpa mengharapkan imbalan. 2.3.3 Alasan-alasan Menjadi Relawan Rusell &Taylor (2009) mengatakan bahwa terdapat beberapaalasan-alasan untuk menjadi relawan diantaranya; 1. Memiliki keinginan untuk menolong orang lain. 2. Mengekspresikan nilai-nilai yang dianut. 3. Sebagai kesempatan untuk mendapat keterampilan baru dan bertemu orang baru. 2.3.4Jenis-jenis Relawan Rajaguguk, Sinaga, & Effendi (dalam Saleh, 2011) mengatakan bahwa relawan dapat dibedakan dalam beberapa kategori, diantaranya: a. Menurut status:individu dan organisasi b. Menurut sifat pelayanan: pelayanan langsung dan pelayanan tidak langsung c. Menurut sumber dorongan: inisiatif sendiri dan bukan inisiatif sendiri 2.3.5 Tugas-tugas Relawan Brennan (2007) mengatakan bahwa relawan memiliki tiga tugas utama diantaranya: 1. Relawan dapatmenjalankan operasi secara cepat, sigap dan tanggap. 2. Relawan dapat menyediakan fasilitas darurat sebagai sarana untuk penyelamatan korban sementara waktu. 3. Relawan dapat memastikan adanya distribusi obat dan minuman bersih untuk membantu kesehatan dari korban sementara waktu. 2.3.6 Relawan TAGANA TAGANA (Taruna Siaga Bencana) merupakan perwujudan dari penanggulangan bencana bidang bantuan sosial berbasis masyarakat yang beranggotakan seluruh rakyat Indonesia baik pria maupun wanita (Tagana, 2014).Peran TAGANA disesuaikan dengan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 27 yaitu mengamanatkan setiap orang berkewajiban melakukan kegiatan penanggulangan bencana. TAGANA juga disesuaikan dengan UU 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, pasal 1 ayat 9 yaitu perlindungan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan sosial (keadaan tidak stabil yang terjadi secara tibatiba sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik dan bencana alam). TAGANA memiliki tugas-tugas pokok yang harus dilaksanakan saat berada di lapangan diantaranya wajib mengadakan pemantauan terhadap daerah rawan bencana dan memberikan pertolongan evakuasi korban.Pasca bencana relawan TAGANA mempunyai kewajiban memberikan bantuan berupa mencarikan tempat pengungsian untuk korban saat korban belum bisa kembali ke tempat tinggalnya, memberikan pelayanan dapur umum, posko sosial dan melayani kebutuhan darurat yang diperlukan.TAGANA memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat yang ingin turut serta untuk berpartisipasi menjadi relawan TAGANA diantaranya ialah warga Negara Indonesia baik pria maupun wanita dan telah mengikuti pelatihan TAGANA. 2.4 Keterkaitan antara Kepribadian Big Five dengan Perilaku Prososial Pada Relawan TAGANA Eisenberg (1989) mengatakan bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan secara sukarela dan dimaksudkan untuk membantu maupun memberi keuntungan kepada individu atau sekelompok individu.Eisenberg & Mussen (1989) menambahkan bahwa terdapat faktor-faktor yang berkontribusi dengan perilaku prososial, salah satunya ialah faktor karakteristik individu khususnya kepribadian.Serupa dengan hal tersebut Piliavin (dalam Dayakisni& Hudaniah, 2009), juga menambahkan bahwa faktor seseorang,yaknikepribadianmemiliki yang kecenderungan terdapat terhadap didalam diri seseorang untuk berperilaku prososial. Kepribadian suatupola yang relatif menetap didalam diri individu yang menghasilkan beberapa ukuran konsisten tentang perilaku(Feist &Feist, 2009).Fieldman (dalam Endah, 2005) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan yang dikemukakan paraahli untuk memahami kepribadian, salah satunya dengan menggunakan teori trait.Para peneliti khususnya generasi muda menyetujui teori trait yang mengelompokkan trait menjadi lima besar, dengan dimensi bipolar (dalam Beaumont & Stout, 2003), yang disebut Big Five. McCrae & Costa (1997) menyatakan bahwa kepribadian big five digambarkan dalam lima dimensi dasar, diantaranya Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness, dan Conscientiousness. Pada dua trait kepribadian dari lima trait kepribadian dalam big five yang dikemukakan oleh McCrae & Costa(dalam Beaumont & Stout, 2003), yaitu extraversion dan agreeableness sama-sama memiliki kepribadian yakni ramah dengan orang lain. Dalam tabel karakteristik skor tinggi dan skor rendah pada dimensibig five,terlihat bahwa agreeablenessdan extrovertionmemiliki skor tinggi pada karakteristik suka menolong (Moberg, 1999).Artinya, individu yang memiliki karakteristik agreeableness menolong.Menolong dan merupakan extrovertion bentuk yang ialah paling individu jelas yang dari suka perilaku prososial.Eisenberg & Mussen (1989) menambahkan bahwa menolong merupakan salah satu bentuk tindakan dari perilaku prososial. Relawan adalah seseorang yang secara sukarela menolong orang lainyang membutuhkan pertolongan dan sadar bahwa tidak akan mendapatkan upah atas sesuatu yang telah disumbangkan (Basuki, 2013).Maka para relawan TAGANA di Jakarta yang memiliki kepedulian dan aktif dalam penanggulangan bencana bidang bantuan sosial,dapat dikatakan memiliki karakteristik yang menonjol baik itu extraversion atau agreeableness maupun keduanya.Pernyataan ini didukung oleh Susanto (dalam Jannah, 2008)yang mengatakan bahwa individu yang berkepribadian extravertion memiliki kecenderungan intensitas perilaku prososial yang lebih tinggi. Sedangkan menurut McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) mengatakan bahwaagreeableness memiliki motivasi untuk membantu orang lain dan terarah pada perilaku prososial. 2.5 Kerangka Berpikir Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas faktor yang menentukan perilaku prososial seperti berbagi (sharing), kerjasama (cooperative), menyumbang (donating), menolong (helping), kejujuran (honesty), dan kedermawanan(generosity) adalah kepribadian big five.Sedangkan perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan secara sukarela dan dimaksudkan untuk membantu maupun memberi keuntungan kepada individu atau sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Perilaku prososial juga disebabkan oleh kepribadian.Eisenberg & Mussen (1989) menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang berkontribusi dengan perilaku prososial, salah satunya ialah faktor karakteristik individu khususnya kepribadian.Serupa dengan hal tersebut Piliavin (dalam Dayakisni& Hudaniah, 2009), juga menambahkan bahwa faktor yang terdapat didalam diri seseorang,yaknikepribadianmemiliki kecenderungan terhadap seseorang untuk berperilaku prososial. Subjek penelitian yang digunakan ialah relawan TAGANA di Jakarta.Relawan TAGANA merupakan perwujudan dari penanggulangan bencana bidang bantuan sosial berbasis masyarakat yang beranggotakan seluruh rakyat Indonesia baik pria maupun wanita.Dengan menggunakan kepribadian big five dalam mengukur tipe kepribadian pada relawan TAGANA di Jakarta, dapat diketahui macam-macam tipe kepribadian pada masing-masing relawan. Dalam kepribadian big five terdapat lima macam dimensi dan digunakan menjadi variabel pertama pada masing-masing dimensi. Variabel tersebut meliputineuroticism, extravertion,openness to experience,agreeableness, dan conscientiousness.Peneliti ingin melihat adanya hubungan terhadap perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta dalam melaksanakan tugas mulianya yaitu menolong korban bencana alam. Neuroticism (N) adalah relawan TAGANA di Jakarta yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif. Relawan TAGANA yang memiliki skor tinggi padaneuroticismberkepribadian mudah mengalami rasa khawatir, rasa takut, stress dan rasa marah.Sedangkan skor rendah padaneuroticism cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup mereka. Extravertion (E) diantaranya meliputi emosi yang positif, enerjik, senang bergaul, tertarik dengan banyak hal, juga ramah terhadap orang lain.Relawan TAGANA di Jakarta yang memiliki tingkat extravertion yang tinggi dapat lebih cepat bersosialisasi dengan lingkungannya daripada relawan TAGANA yang memiliki tingkat extravertion yang rendah.Extravertion termotivasi dengan perubahan, tantangan dan mudah bosan.Sedangkan relawan TAGANA di Jakarta dengan tingkat extravertion yang rendah cenderung bersikap pendiam dan menarik diri dari lingkungannya. Openness to experience (O) mempunyai kapasitas untuk menyerap informasi, fokus pada berbagai pemikiran dan perasaan.Jika relawan TAGANA di Jakarta memiliki skor rendah pada openness to experiences cenderung memiliki pemikiran yang sempit dan tidak menyukai adanya perubahan, serta mempunyai kecurigaan terhadap objek yang membutuhkan pertolongan sebelum berperilaku prososial.Relawan TAGANA di Jakarta yang memiliki skor tinggi pada openness to experiencecenderung lebih cepat untuk berperilaku prososial jika melihat objek yang membutuhkan pertolongannya. Agreeableness (A) adalah seseorang yangramah, rendah hati, tidak menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Relawan TAGANA di Jakarta yang memiliki tingkat agreeablenesstinggicenderung perhatian, ramah, suka menolong, dan bersedia untuk bekerjasamaterkaitdengan kepentingan orang lain. Sedangkan, relawan TAGANA di Jakartayang memiliki tingkat agreeableness rendah cenderung agresif, sinis dan kurang kooperatif dengan rekan kerjanya. Conscientiousness (C) adalah seseorang yang memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, dan memprioritaskan tugas. Relawan TAGANA di Jakarta yang memiliki skor tinggi pada conscientiousnesscenderung untuk menunjukkan sikap disiplin dan pekerja keras, serta perilaku terarah pada tujuan untuk mencapai sesuatu yang telah direncanakan.Sedangkan relawan TAGANAdi Jakarta yang memiliki skor rendah pada conscientiousnesscenderung menunjukkan sikap malas, cerobohdan mudah teralih perhatiannya. Neuroticism Extravertion Perilaku Kepribadian Big Five Openness to Experience Prososial Agreeableness Conscientiousness Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 2.6 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ha1:Adanya hubungan antara neuroticismdengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ho1: Tidak adanya hubungan antara neuroticismdengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ha2: Adanya hubungan antara extravertiondengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ho2: Tidak adanya hubungan antara extravertion dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ha3: Adanya hubungan antara openness to experiencedengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ho3: Tidak adanya hubungan antara openness to experience dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ha4: Adanya hubungan antara agreeablenessdengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ho4: Tidak adanya hubungan antara agreeableness dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ha5: Adanya hubungan antara conscientiousnessdengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta. Ho5: Tidak adanya hubungan antara conscientiousness dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta.