8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepribadian Big

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepribadian Big Five
2.1.1 Definisi Kepribadian
Feist & Feist (2009)mengatakan bahwa kepribadian suatupola yang relatif
menetap didalam diri individu yang menghasilkan beberapa ukuran konsisten tentang
perilaku.Serupa dengan pernyataan tersebutLarsen & Buss (dalam Endah, 2005)juga
menambahkan bahwa kepribadian merupakan sekumpulan trait psikologis dan
mekanisme didalam diri individu yang diorganisasikan dan relatif bertahan, sehingga
mempengaruhi interaksi dan adaptasi individu pada lingkungan.Selanjutnya, Fieldman
(dalam Endah, 2005)mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan yang
dikemukakan para ahli untuk memahami kepribadian, salah satunya dengan
menggunakan teori trait.Trait didefinisikan sebagai suatu dimensi yang relatif
menetappada karakteristik individu.Sehingga, trait yang menetap didalam diri invidu
tersebut dapat digunakanuntuk membedakan individu yang satu dengan individu yang
lain.
Saat ini para peneliti menyetujui teori trait yang mengelompokkan trait menjadi
lima besar, dengan dimensi bipolar (Costa & McCrae dalam Pervin, 2005), yang disebut
Big Fiveatau FFM (Five Factor Model). McCrae & Costa (1997), big five dapat
digunakan dalam berbagai bentuk bahasa, baik dalam bentuk bahasa Inggris maupun
bahasa lainnya.Piedmont & Chae (1997) juga berpendapat berbagai penelitian lintas
budaya mengenai kepribadian big five ini dilakukan, salah satunya di Korea.Big Five
atau FFM didasarkan pada kategori sifat individu, yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi diri sendiri maupun orang lain (Moberg, 1999).
2.1.2 Definisi Kepribadian Big Five
Feist & Feist (2009)menyatakan bahwa big five adalah salah satu bentuk
kepribadian yang dapat digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku
individu. Gufron (2010) berpendapat bahwa kepribadian big five adalah kepribadian
yang dikembangkan oleh McCrae & Costa yang memiliki lima bentuk dimensi
kepribadian yang mendasari perilaku individu. McCrae & Costa (1997) menambahkan
8
bahwa kepribadian big fivedigambarkan dalam lima dimensi dasar, diantaranya
Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness, Conscientiousness.
2.1.3Dimensi-dimensi dalam Kepribadian Big Five
McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) menyatakan bahwa terdapat
lima dimensi dari big five personalitydiantaranya Neuroticism, Extraversion, Openness
to Experience, Agreeableness, Conscientiousness.Masing-masing dari lima dimensi
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut;
1.
Neuroticism (N)
McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa
neuroticm menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang
negatif seperti rasa khawatir. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang
rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup mereka
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi.
Neuroticism dicirikan sebagai individu yang memiliki kesulitan dalam menjalin
hubungan dan memiliki tingkat self esteem yang rendah. Individu yang memiliki
skor yang tinggi di neuroticism adalah individu yang memiliki kepribadian mudah
khawatir, rasa marah, dan depresi.Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg,
1999), skala-skala yang terdapat dalam neuroticism adalah:
a. Anxiety. Individu yang gelisah, penuh rasa takut, gugup dan tegang.
b. Hostility. Individu yang memiliki rasa amarah dan frustasi.
c. Depression. Individu yang mengalami depresi.
d. Self-Consciousness. Individu yang menunjukkan rasa tidak nyaman
ketika berada diantara orang lain, terlalu sensitif, dan merasa rendah
diri.
e. Impulsiveness. Individu yang tidak mampu mengontrol keinginannya
yang berlebihan untuk melakukan sesuatu.
f. Vulnerability.
Individu
yang
tidak
mampu
menghadapi
stress,
bergantung pada orang lain, mudah menyerah dan panik bila
dihadapkan pada sesuatu yang datang secara mendadak.
2.
Extravertion (E)
McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa
extravertiondalam berinteraksi lebih banyak memegang kontrol.Extravertion
dicirikan seperti memiliki emosi yang positif, enerjik, senang bergaul, tertarik
dengan banyak hal, juga ramah terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki
tingkat extravertion yang rendah cenderung pendiam dan menarik diri dari
lingkungannya. Individu yang extravertion termotivasi olehperubahan, tantangan,
dan mudah bosan. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala
yang yang terdapat dalam extravertionadalah:
a.
Warmth. Individu yang mudah bergaul.
b.
Gregariousness. Individu yangsenang berinteraksi dengan orang lain.
c.
Assertiveness. Individu yang cenderung tegas.
d.
Activity (E4). Individu yang sering mengikuti berbagai kegiatan yang
memiliki semangat yang tinggi.
e.
Excitement-seeking. Individu yang senang mencari sensasi dan berani
mengambil resiko.
f.
Positive Emotion. Individu yang memiliki emosi-emosi yang positif
seperti senang, bahagia dan cinta.
3.
Openness to experience (O)
McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa
openness to experience mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan
penyesuaian
pada
suatu
ide
atau
situasi
yang
baru.Openness
to
experiencememiliki kapasitas untuk menyerap informasi, fokus pada berbagai
pemikiran dan perasaan.Seseorang dengan tingkat openness to experience yang
tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi dan
pemikiran yang luas.Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness to
experience yang rendah menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran
yang sempit dan tidak suka dengan perubahan.Pencapaian kreatifitas terdapat
pada orang yang memiliki tingkat openness to experience yang tinggi dan tingkat
agreeableness yang rendah.Hal ini dikarenakan, seseorang yang kreatif memiliki
rasa ingin tahu yang tinggidan lebih mudah untuk mendapatkan solusi terhadap
suatu masalah. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang
terdapat dalam openness to experienceadalah :
a. Fantasy. Individu yang memiliki imajinasi yang tinggi.
b. Aesthetic. Individu yang memiliki apresiasi terhadap seni dan keindahan.
c. Feelings. Individu yang mampu menyelami emosi dan perasaannya.
d. Action. Individu yang memiliki keinginan untuk mencoba hal-hal baru.
e. Ideas. Individu yang berpikiran terbuka terhadap ide baru.
f. Values. Individu yang berkeinginan untuk menguji ulang nilai-nilai
sosial, politik dan agama.
4.
Agreeableness (A)
McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat
bahwaagreeableness mengindikasikan seseorang yang ramah, rendah hati, tidak
menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti
orang lain. Agreeableness memiliki motivasi untuk membantu orang lain dan
terarah pada perilaku prososial. Namun, dalam hubungan interpersonal orang yang
memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika berhadapan dengan konflik,
self esteem mereka cenderung menurun.Sehingga,menghindarikonflikmerupakan
usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain. Sedangkan, orang-orang
dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung lebih agresif dan kurang
kooperatif.Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang
terdapat dalam agreeablenessadalah:
a.
Trust. Individu yang memiliki kepercayaan terhadap orang lain.
b.
Straightforwardness. Individu yang berkata secara apa adanya.
c.
Altruism. Individu yang memiliki keinginan untuk menolong orang
lain.
d.
Compliance. Karakteristik dari reaksi terhadap konflik interpersonal.
e.
Modesty. Individu yang rendah hati.
f.
Tender-mindedness. Individu yang memiliki kepedulian dan simpati
terhadap orang lain.
5.
Conscientiousness (C)
McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat
bahwaConscientiousness mendeskripsikan individu yang memiliki kontrol
terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan,
mengikuti peraturan dannorma, terencana, dan memprioritaskan tugas.Individu
yang memiliki tingkat conscientiousness yang rendah menunjukkan sikap yang
malas, tidak terarahdan mudah teralih perhatiannya. Menurut Costa & Widiger
(dalam Moberg, 1999), skala-skala yang terdapat dalam conscientiousnessadalah:
a. Competence. Individu yang memiliki kemampuan dalam mengerjakan
sesuatu.
b. Order.Individu yang memiliki kemampuan dalam mengorganisasi.
c. Dutifulness.Individu yang berpegang teguh pada prinsip hidup.
d. Achievement-striving. Individu yang memiliki kesanggupan untuk
mencapai prestasi.
e. Self-discipline. Individu yang dapat mengatur diri sendiri.
f. Deliberation. Individu yang berpikir dahulu sebelum bertindak.
Perbandingan antara skor tertinggi dan skor terendah pada kepribadian big five
yang terdiri dari lima dimensi dasar, diantaranya Neuroticism, Extraversion, Openness
to Experience, Agreeableness,danConscientiousness.Dapat diketahui pada tabel
dibawah ini:
Tabel 2.1Karakteristik Skor Tinggi dan Skor Rendah Pada DimensiBig Five
Skor Tinggi
Skala Trait
Skor Rendah
Cemas,emosional,
Neuroticism (N)
merasa tidak aman,
merasa tidak mampu, Menggambarkan cakupancakupan emosi negatif
mudah panik.
yang
kuat
termasuk
kecemasan, kesedihan, dan
nervous tension.
Tenang, santai, merasa
aman, puas terhadap
dirinya,
tidak
emosional,
sabar,
gembira, dan puas
terhadap hidupnya.
Optimis,
ramah
dengan
oranglain,
mudah
bergaul,
banyak berinteraksi,
memiliki emosi yang
positif,
suka
menolong.
Extravertion (E)
Tidak ramah, suka
menyendiri, pendiam.
Ingin tahu, minat luas,
kreatif,
original,
imajinatif,
untraditional
Openness to Experience Pemikiran sederhana,
(O),
Menggambarkan minat
sempit,
non
keluasan dan kedalaman artistic.
mental
individu
dan
pengalamannya.
Lembut hati, dapat
dipercaya,
suka
menolong,
dan
memiliki
kecenderungan
mengikuti oranglain.
Sinis, kasar, curiga,
tidak kooperatif dan
Mengukur kualitas dari agresif.
apa
yang
dilakukan
dengan orang lain dan apa
yang dilakukan terhadap
orang lain.
Teratur, pekerja keras,
berpikir
sebelum
bertindak,
disiplin,
tepat waktu, rapi, hatihati.
Conscientiousness (C)
Mengukur kuantitas dan
intensitas dari interaksi
interpersonal,
tingkatan
aktivitas.
Agreeableness (A)
Mendeskripsikan perilaku
yang diarahkan pada tugas
dan memiliki kontrol
sosial.
Malas, lalai, ceroboh
dan mudah menyerah.
Sumber :Moberg, J. D. (1999). The Big Five and Organizational Virtue.Business Ethics
Quarterly. 9 (2): 245-272.
2.2 Perilaku Prososial
2.2.1 Definisi Perilaku Prososial
Bagaimana kita dapat menjelaskan mengapa seseorang memiliki pengorbanan
diri yang tinggi ketika seseorang tersebut juga dapat menjadi tidak peduli? Hal tersebut
disebabkan oleh perilaku prososial (Aronson, Wilson& Akert, 2007). Eisenberg (1989)
mengatakan bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan secara sukarela
dan dimaksudkan untuk membantu maupun memberi keuntungan kepada individu atau
sekelompok individu.
2.2.2Bentuk-bentuk Tindakan dalam Perilaku Prososial
Bentuk-bentuk tindakan dalam perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen
(1989), diantaranya ialahberbagi (sharing), kerjasama (cooperative), menyumbang
(donating),
menolong
(helping),
kejujuran
(honesty),
dan
kedermawanan
(generosity).Masing-masing dari bentuk-bentuk tindakan dalamperilaku prososial akan
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Berbagi (sharing). Kesediaan individu untuk berbagi perasaan dengan orang
laindalam suasana suka dan duka dan memberikan kesempatan kepada
oranglain untuk merasakan keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya.
2.
Kerjasama(Cooperation). Kesediaan individu untuk melakukan kegiatan
bersama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, termasuk
mempertimbangkan dan menghargai pendapat orang lain saatmelakukan
diskusi.
3.
Menyumbang(Donating). Kesediaan individu untuk memberikan secara
materil (berupa uang) kepada seseorang atau sekelompok orang untuk
kepentingan umum yang berdasarkan pada permintaandan kegiatan.
4.
Menolong (Helping). Kesediaan individu untuk menolong orang lain yang
membutuhkan pertolongan. Menolong dapat diwujudkan dalam kegiatan
berbagi dengan orang lain, memberi tahudan menawarkan bantuan kepada
orang lain.
5.
Kejujuran (Honesty). Kesediaan individu untuk berkata dan bersikap apa
adanya, serta menunjukkan ketulusan hati.
6.
Kedermawanan (Generosity). Kesediaan individu untuk memberikan
sesuatu (biasanya berupa uang dan barang) kepada orang lain atas dasar
kesadaran diri.
Selanjutnya, Bringham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) menambahkan
bahwa tindakan-tindakan dalam perilaku prososial meliputi menolong, kerjasama,
persahabatan, kedermawanan, menyelamatkan dan pengorbanan.
Wispe (dalam Luthfi, 2009) juga mengatakan bahwa tindakan-tindakan dalam
perilaku prososial meliputi:
1.
Simpati(Sympathy). Kesediaan individu untuk perhatian dan peduli terhadap
orang lain.
2.
Kerjasama (cooperation). Kesediaan individu untuk membantu pihak-pihak
yang terlibat dalam mencapai tujuan bersama.
3.
Menolong (helping). Kesediaan individu untuk membantu urusan orang
lain. Sehingga, orang tersebut dapat mencapai kesejahteraannya.
4.
Menyumbang
(donating).
Kesediaan
individu
untuk
memberikan
sumbangan kepada orang lain dan dilakukan atas dasar kemurahan hati.
5.
Altruistik (altruism). Kesediaan individu untuk memberikan pertolongan
kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan.
Berdasarkan uraian dari bentuk-bentuk tindakan dalam perilaku prososial yang
dikemukakan oleh para ahli, peneliti memutuskan untuk menggunakan bentuk-bentuk
tindakan dalam perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen (1989). Tindakantindakan
ini
didalamnya
meliputiberbagi
(sharing),
kerjasama
(cooperative),
menyumbang (donating), menolong (helping), kejujuran (honesty), dan kedermawanan
(generosity).
2.2.3 Faktor-faktor yang Berkontribusi terhadap Perilaku Prososial
Eisenberg & Mussen (1989),terdapat tujuh faktor utama yang memiliki kontribusi
terhadap perilaku prososial seseorang, diantaranya; faktor biologis, budaya masyarakat
setempat, pengalaman sosialisasi, proses kognitif, respon emosional, faktor karakteristik
individu dan faktor situasional.Aronson, Wilson& Akert (2007) menambahkan efek
mood juga memiliki kontribusi terhadap perilaku prososial.Selanjutnya,Aronson,
Wilson & Akert (2007) mengatakan bahwa efek mood terbagi dua, yaitu efek dari mood
positif dan efek dari mood negatif. Masing-masing dari faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku prososial akan dijelaskan sebagai berikut;
1.
Faktor Biologis. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa adanya
faktor genetik dapat menyebabkan perbedaan individu dalam berperilaku
prososial.
2.
Budaya masyarakat setempat. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan
bahwa perilaku, motivasi, dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu
dipengaruhi oleh budaya dimana individu tinggal.Sehingga budaya dapat
digunakan sebagai alat untuk memperkirakan tingkat kecenderungan
individu dalam berperilaku prososial.
3.
Pengalaman sosialisasi.
Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan
banyaknya interaksi individu dengan agen-agen sosialisasi seperti orang tua
(agen sosialisasi utama), teman sebaya, guru dan media massa dapat
membentuk perilaku prososial pada individu.
4.
Proses kognitif. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa perilaku
prososial melibatkan beberapa proses kognitif, diantaranya:
a) Intelegensi. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa tingkat
intelegensi dapat mempengaruhi individu dalam mempersepsi
stimulus dan berperilaku.
b) Persepsi terhadap kebutuhan orang lain. Eisenberg & Mussen (1989)
mengatakan bahwa penelitian Pearl menyatakan anak baru bisa
memahami kebutuhan orang lain, ketika berada pada tingkat tiga
sekolah dasar. Kemampuan ini nantinya dapat meningkatkan
intensitas perilaku prososial pada anak tersebut.
c) Role Taking.Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa role
takingmeliputikemampuan untuk memahami dan menarik kesimpulan
dari perasaan,pemikiran, reaksi emosi, motivasi dan keinginan orang
lain. Eisenberg & Mussen (1989) juga menambahkan bahwa role
takingdapat menjadi perantara perilaku prososial yang secara
sistematik telah teruji.
d) Keterampilan memecahkan masalah interpersonal. Eisenberg & Mussen
(1989) mengatakan bahwa keterampilan memecahkan masalah
interpersonal meliputi adanya sensitivitas terhadap permasalahan
interpersonal dan kemampuan menemukan solusi terhadap masalah.
e) Penalaran moral. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa
penalaran moral merupakan faktor yang memiliki kecenderungan
terhadap individu untuk berperilaku prososial.
5.
Respon emosional. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakanbahwa respon
emosional meliputi adanya perasaan bersalah dan rasa peduli terhadap orang
lain. Respon ini nantinya akan meningkatkan intensitas prososial seseorang.
6.
Faktor karakteristik individu. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan
bahwa faktor karakteristik individu yang berhubungan dengan intensitas
prososial adalah kepribadian.
7.
Faktor situasional. Eisenberg & Mussen (1989) mengatakan bahwa adanya
tekanan-tekanan
eksternal,sepertiperistiwa
sosial
dapat
menimbulkan
kecenderunganpada individu untuk berespon secara prososial.
8.
Efek mood. Aronson, Wilson& Akert (2007)menambahkan bahwa tipe efek
mood dalam perilaku prososial ada dua, diantaranya;
a)
Efek dari mood positif.Aronson, Wilson& Akert (2007)mengatakan
bahwa individu yang memiIiki mood positif dapat meningkatkan
intensitas perilaku prososial. Hal ini dikarenakanmoodpositif membuat
individu selalu melihat sisi positif dari orang lain dan memungkinkan
individu berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang ideal.
b)
Efek dari mood negatif. Baumeister (dalam Aronson, Wilson& Akert,
2007) mengatakan bahwa salah satu jenis moodnegatif yang dapat
meningkatkan intensitas perilaku prososial individu adalah rasa
bersalah. Sehinggaketika individu melakukan sesuatu yang membuat
ia merasa bersalah, dengan berperilaku prososial seperti menolong
orang lain dapat mengurangi rasa bersalahnya.
2.3 Relawan TAGANA
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan antara kepribadian big five
dengan perilaku prososial pada relawan TAGANA di Jakarta.
2.3.1 Definisi Relawan
Basuki (2013)mengatakan bahwa relawan adalah seseorang yang secara sukarela
menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk menolong orang lain
yang membutuhkan pertolongan serta sadar bahwa tidak akan mendapatkan upah atas
sesuatu yang telah disumbangkan. Himpsi (dalam Gunawan & Sulistyorini, 2007) juga
menambahkan bahwa relawan merupakan seseorang yang memiliki niat untuk
membantu individuatausekelompok individu yang memerlukan bantuan,termotivasi
oleh kemauan sendiri dan tidak bermaksud untuk menerima harta atau benda.
2.3.2 Ciri-ciri Relawan
Rajaguguk, Sinaga, & Effendi (dalam Saleh, 2011)mengatakan bahwa pada
dasarnya relawan memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:
a.
Melayani individu atau sekelompok individu secara sadar dan atas kemauan
diri sendiri.
b.
Melayani
individu
atau
sekelompok
individu
untuk
memperoleh
kesejahteraan.
c.
Melayani individu atau sekelompok individu dalam semangat rasa
kebersamaan dan persaudaraan.
d.
Melayani individu atau sekelompok individu tanpa mengharapkan imbalan.
2.3.3 Alasan-alasan Menjadi Relawan
Rusell &Taylor (2009) mengatakan bahwa terdapat beberapaalasan-alasan untuk
menjadi relawan diantaranya;
1.
Memiliki keinginan untuk menolong orang lain.
2.
Mengekspresikan nilai-nilai yang dianut.
3.
Sebagai kesempatan untuk mendapat keterampilan baru dan bertemu orang
baru.
2.3.4Jenis-jenis Relawan
Rajaguguk, Sinaga, & Effendi (dalam Saleh, 2011) mengatakan bahwa relawan
dapat dibedakan dalam beberapa kategori, diantaranya:
a.
Menurut status:individu dan organisasi
b.
Menurut sifat pelayanan: pelayanan langsung dan pelayanan tidak langsung
c.
Menurut sumber dorongan: inisiatif sendiri dan bukan inisiatif sendiri
2.3.5 Tugas-tugas Relawan
Brennan (2007) mengatakan bahwa relawan memiliki tiga tugas utama
diantaranya:
1.
Relawan dapatmenjalankan operasi secara cepat, sigap dan tanggap.
2.
Relawan dapat menyediakan fasilitas darurat sebagai sarana untuk
penyelamatan korban sementara waktu.
3.
Relawan dapat memastikan adanya distribusi obat dan minuman bersih
untuk membantu kesehatan dari korban sementara waktu.
2.3.6 Relawan TAGANA
TAGANA (Taruna Siaga Bencana) merupakan perwujudan dari penanggulangan
bencana bidang bantuan sosial berbasis masyarakat yang beranggotakan seluruh rakyat
Indonesia baik pria maupun wanita (Tagana, 2014).Peran TAGANA disesuaikan
dengan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 27 yaitu mengamanatkan
setiap orang berkewajiban melakukan kegiatan penanggulangan bencana. TAGANA
juga disesuaikan dengan UU 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, pasal 1 ayat 9 yaitu
perlindungan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan
menangani resiko dari guncangan sosial (keadaan tidak stabil yang terjadi secara tibatiba sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik dan bencana alam).
TAGANA memiliki tugas-tugas pokok yang harus dilaksanakan saat berada di
lapangan diantaranya wajib mengadakan pemantauan terhadap daerah rawan bencana
dan memberikan pertolongan evakuasi korban.Pasca bencana relawan TAGANA
mempunyai kewajiban memberikan bantuan berupa mencarikan tempat pengungsian
untuk korban saat korban belum bisa kembali ke tempat tinggalnya, memberikan
pelayanan dapur umum, posko sosial dan melayani kebutuhan darurat yang
diperlukan.TAGANA memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat
yang ingin turut serta untuk berpartisipasi menjadi relawan TAGANA diantaranya ialah
warga Negara Indonesia baik pria maupun wanita dan telah mengikuti pelatihan
TAGANA.
2.4 Keterkaitan antara Kepribadian Big Five dengan Perilaku Prososial Pada
Relawan TAGANA
Eisenberg (1989) mengatakan bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang
dilakukan secara sukarela dan dimaksudkan untuk membantu maupun memberi
keuntungan kepada individu atau sekelompok individu.Eisenberg & Mussen (1989)
menambahkan bahwa terdapat faktor-faktor yang berkontribusi dengan perilaku
prososial,
salah
satunya
ialah
faktor
karakteristik
individu
khususnya
kepribadian.Serupa dengan hal tersebut Piliavin (dalam Dayakisni& Hudaniah, 2009),
juga
menambahkan
bahwa
faktor
seseorang,yaknikepribadianmemiliki
yang
kecenderungan
terdapat
terhadap
didalam
diri
seseorang
untuk
berperilaku prososial.
Kepribadian suatupola yang relatif menetap didalam diri individu yang
menghasilkan beberapa ukuran konsisten tentang perilaku(Feist &Feist, 2009).Fieldman
(dalam Endah, 2005) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan yang
dikemukakan
paraahli
untuk
memahami
kepribadian,
salah
satunya
dengan
menggunakan teori trait.Para peneliti khususnya generasi muda menyetujui teori trait
yang mengelompokkan trait menjadi lima besar, dengan dimensi bipolar (dalam
Beaumont & Stout, 2003), yang disebut Big Five. McCrae & Costa (1997) menyatakan
bahwa kepribadian big five digambarkan dalam lima dimensi dasar, diantaranya
Neuroticism,
Extraversion,
Openness
to
Experience,
Agreeableness,
dan
Conscientiousness.
Pada dua trait kepribadian dari lima trait kepribadian dalam big five yang
dikemukakan oleh McCrae & Costa(dalam Beaumont & Stout, 2003), yaitu
extraversion dan agreeableness sama-sama memiliki kepribadian yakni ramah dengan
orang lain. Dalam tabel karakteristik skor tinggi dan skor rendah pada dimensibig
five,terlihat
bahwa
agreeablenessdan
extrovertionmemiliki
skor
tinggi
pada
karakteristik suka menolong (Moberg, 1999).Artinya, individu yang memiliki
karakteristik
agreeableness
menolong.Menolong
dan
merupakan
extrovertion
bentuk
yang
ialah
paling
individu
jelas
yang
dari
suka
perilaku
prososial.Eisenberg & Mussen (1989) menambahkan bahwa menolong merupakan salah
satu bentuk tindakan dari perilaku prososial.
Relawan adalah seseorang yang secara sukarela menolong orang lainyang
membutuhkan pertolongan dan sadar bahwa tidak akan mendapatkan upah atas sesuatu
yang telah disumbangkan (Basuki, 2013).Maka para relawan TAGANA di Jakarta yang
memiliki kepedulian dan aktif dalam penanggulangan bencana bidang bantuan
sosial,dapat dikatakan memiliki karakteristik yang menonjol baik itu extraversion atau
agreeableness maupun keduanya.Pernyataan ini didukung oleh Susanto (dalam Jannah,
2008)yang mengatakan bahwa individu yang berkepribadian extravertion memiliki
kecenderungan intensitas perilaku prososial yang lebih tinggi. Sedangkan menurut
McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) mengatakan bahwaagreeableness
memiliki motivasi untuk membantu orang lain dan terarah pada perilaku prososial.
2.5 Kerangka Berpikir
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas faktor yang menentukan perilaku
prososial seperti berbagi (sharing), kerjasama (cooperative), menyumbang (donating),
menolong (helping), kejujuran (honesty), dan kedermawanan(generosity) adalah
kepribadian big five.Sedangkan perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan
secara sukarela dan dimaksudkan untuk membantu maupun memberi keuntungan
kepada individu atau sekelompok individu (Eisenberg, 1989).
Perilaku prososial juga disebabkan oleh kepribadian.Eisenberg & Mussen (1989)
menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang berkontribusi dengan perilaku prososial,
salah satunya ialah faktor karakteristik individu khususnya kepribadian.Serupa dengan
hal tersebut Piliavin (dalam Dayakisni& Hudaniah, 2009), juga menambahkan bahwa
faktor yang terdapat didalam diri seseorang,yaknikepribadianmemiliki kecenderungan
terhadap seseorang untuk berperilaku prososial.
Subjek penelitian yang digunakan ialah relawan TAGANA di Jakarta.Relawan
TAGANA merupakan perwujudan dari penanggulangan bencana bidang bantuan sosial
berbasis masyarakat yang beranggotakan seluruh rakyat Indonesia baik pria maupun
wanita.Dengan menggunakan kepribadian big five dalam mengukur tipe kepribadian
pada relawan TAGANA di Jakarta, dapat diketahui macam-macam tipe kepribadian
pada masing-masing relawan.
Dalam kepribadian big five terdapat lima macam dimensi dan digunakan menjadi
variabel pertama pada masing-masing dimensi. Variabel tersebut meliputineuroticism,
extravertion,openness to experience,agreeableness, dan conscientiousness.Peneliti ingin
melihat adanya hubungan terhadap perilaku prososial pada relawan TAGANA di
Jakarta dalam melaksanakan tugas mulianya yaitu menolong korban bencana alam.
Neuroticism (N) adalah relawan TAGANA di Jakarta yang memiliki masalah
dengan emosi yang negatif. Relawan TAGANA yang memiliki skor tinggi
padaneuroticismberkepribadian mudah mengalami rasa khawatir, rasa takut, stress dan
rasa marah.Sedangkan skor rendah padaneuroticism cenderung akan lebih gembira dan
puas terhadap hidup mereka.
Extravertion (E) diantaranya meliputi emosi yang positif, enerjik, senang bergaul,
tertarik dengan banyak hal, juga ramah terhadap orang lain.Relawan TAGANA di
Jakarta yang memiliki tingkat extravertion yang tinggi dapat lebih cepat bersosialisasi
dengan lingkungannya daripada relawan TAGANA yang memiliki tingkat extravertion
yang rendah.Extravertion termotivasi dengan perubahan, tantangan dan mudah
bosan.Sedangkan relawan TAGANA di Jakarta dengan tingkat extravertion yang rendah
cenderung bersikap pendiam dan menarik diri dari lingkungannya.
Openness to experience (O) mempunyai kapasitas untuk menyerap informasi,
fokus pada berbagai pemikiran dan perasaan.Jika relawan TAGANA di Jakarta
memiliki skor rendah pada openness to experiences cenderung memiliki pemikiran yang
sempit dan tidak menyukai adanya perubahan, serta mempunyai kecurigaan terhadap
objek yang membutuhkan pertolongan sebelum berperilaku prososial.Relawan
TAGANA di Jakarta yang memiliki skor tinggi pada openness to experiencecenderung
lebih cepat untuk berperilaku prososial jika melihat objek yang membutuhkan
pertolongannya.
Agreeableness (A) adalah seseorang yangramah, rendah hati, tidak menuntut,
menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Relawan
TAGANA di Jakarta yang memiliki tingkat agreeablenesstinggicenderung perhatian,
ramah, suka menolong, dan bersedia untuk bekerjasamaterkaitdengan kepentingan
orang lain. Sedangkan, relawan TAGANA di Jakartayang memiliki tingkat
agreeableness rendah cenderung agresif, sinis dan kurang kooperatif dengan rekan
kerjanya.
Conscientiousness (C) adalah seseorang yang memiliki kontrol terhadap
lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan
dan norma, terencana, dan memprioritaskan tugas. Relawan TAGANA di Jakarta yang
memiliki skor tinggi pada conscientiousnesscenderung untuk menunjukkan sikap
disiplin dan pekerja keras, serta perilaku terarah pada tujuan untuk mencapai sesuatu
yang telah direncanakan.Sedangkan relawan TAGANAdi Jakarta yang memiliki skor
rendah pada conscientiousnesscenderung menunjukkan sikap malas, cerobohdan mudah
teralih perhatiannya.
Neuroticism
Extravertion
Perilaku
Kepribadian
Big Five
Openness to Experience
Prososial
Agreeableness
Conscientiousness
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
2.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
Ha1:Adanya hubungan antara neuroticismdengan perilaku prososial pada relawan
TAGANA di Jakarta.
Ho1: Tidak adanya hubungan antara neuroticismdengan perilaku prososial pada relawan
TAGANA di Jakarta.
Ha2: Adanya hubungan antara extravertiondengan perilaku prososial pada relawan
TAGANA di Jakarta.
Ho2: Tidak adanya hubungan antara extravertion dengan perilaku prososial pada
relawan TAGANA di Jakarta.
Ha3: Adanya hubungan antara openness to experiencedengan perilaku prososial pada
relawan TAGANA di Jakarta.
Ho3: Tidak adanya hubungan antara openness to experience dengan perilaku prososial
pada relawan TAGANA di Jakarta.
Ha4: Adanya hubungan antara agreeablenessdengan perilaku prososial pada relawan
TAGANA di Jakarta.
Ho4: Tidak adanya hubungan antara agreeableness dengan perilaku prososial pada
relawan TAGANA di Jakarta.
Ha5: Adanya hubungan antara conscientiousnessdengan perilaku prososial pada relawan
TAGANA di Jakarta.
Ho5: Tidak adanya hubungan antara conscientiousness dengan perilaku prososial pada
relawan TAGANA di Jakarta.
Download