KONSTITUSI GEN PADA PROTEIN PUTIH TELUR BURUNG

advertisement
KONSTITUSI GEN PADA PROTEIN PUTIH TELUR BURUNG PUYUH
SEBAGAI DASAR DALAM KLASIFIKASI
(Gene Constitution in Japanese Quail Egg White as A Standard for Classification)
Riztyan
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa perbedaan konstitusi gen dan heterozigositas putih
telur burung puyuh diantara garis keturunan pada dua populasi berbeda (yang dikembangbiakkan dan
diseleksi selama beberapa generasi di kandang pembibitan Universitas Saga dan Universitas Kagoshima) serta
bermanfaat sebagai salah satu cara klasifikasi. Polimorfisme protein ditunjukkan dengan 4 lokus polimorfik
pada 5 garis keturunan menggunakan 219 sampel putih telur dari kedua populasi. Frekuensi gen, yang mengkode
protein menunjukkan bahwa Ov dan TfEW adalah monomorfik untuk semua populasi. Polimorfisme pada lokus
G1 hanya terjadi pada garis RR populasi Universitas Saga. Ovoglobulin adalah lokus yang paling polimorfik,
menunjukkan 6 alel yang diamati pada garis seleksi dan kontrol, 3 alel pada SS, dan sisanya 2 pada LL dan RR.
Hasil perhitungan menyatakan variabilitas genetik yang rendah pada hampir semua populasi. Proporsi lokus
polimorfik berkisar antara 0,25 sampai 0,5; perbedaan terbesar ditunjukkan oleh garis RR. Interval heterozigositas
adalah 0,0577 sampai 0,1764 pada kedua populasi dan koefisien inbreeding masing-masing 62,5% dan 31,9%
pada garis LL dan SS. Besar relatif perbedaan gen terhitung 0,003 antar populasi. Jarak genetik antar populasi
dalam populasi Universitas Saga adalah dekat dimana garis RR berada pada angka rata-rata dan LL mempunyai
jarak genetik paling jauh. Garis seleksi dan kontrol populasi Universitas Kagoshima secara genetik memiliki
hubungan yang dekat, sedangkan jarak genetik antara garis seleksi dan LL jauh.
Kata kunci : putih telur, polimorfisme protein, variabilitas genetik, heterozigositas
ABSTRACT
This study was undertaken to analyze the differences of gene constitution and heterozygosity of
Japanese quail egg white among lines from two different populations (Japanese quails those have been reared
and selected for generations at Saga and Kagoshima University animal breeding house) with different treatments as for classifications. Protein polymorphism were screened at 4 polymorphic loci on 5 lines using total
219 quail egg white samples from both populations. The frequencies of the genes, which encoded the proteins,
was expressing that Ov and TfEW were monomorphic within all populations. Polymorphism on G1 locus was
occurred exclusively only in RR lines belongs to Saga University population. Ovoglobulin was the most
polymorphic locus, exhibiting the observed six alleles in selection and control lines, three alleles in SS line, and
the rest two in LL and RR lines. Measurement of genetic variability was consistently low for almost in all
populations. Proportion of polymorphic loci ranged from 0.25 to 0.5, in which the greatest different was
displayed by RR line. The range of heterozygosity was extent from 0.0577 to 0.1764 in both populations and
inbreeding coefficient was estimated as 62.5% and 31.9% in LL and SS lines, respectively. The relative magnitude of gene differentiation was calculated into 0.003 among populations. Genetic distances between population estimation within Saga University population were low with RR line being on average and LL line was the
most genetically distant while in Kagoshima University population, selection and control lines were geneti-
Gene Constitution in Japanese Quail Egg White as A Standard for Classification (Riztyan)
53
cally close. In general, genetic distance between selection line and LL line were high.
Keywords : egg white, protein polymorphism, genetic variability, heterozygosity
PENDAHULUAN
Penelitian polimorfisme protein burung
puyuh Jepang umumnya menggunakan sampel darah
seperti dilakukan oleh Maeda et al. (1980). Protein
putih telur lebih mudah dipurifikasi daripada kuning
telur karena tidak terdapat lemak yang mengganggu
proses purifikasi (Stevens, 1999a). Protein putih telur
adalah larutan utama dalam putih telur, sebanyak
kurang lebih 10 % dari beratnya (Stevens, 1999b).
Penetapan perbedaan polimorfisme protein antar
strain dengan perbedaan fungsi fisiologi
menimbulkan keingintahuan beberapa peneliti.
Penelitian secara kuantitatif di bidang genetika
dengan sampel burung puyuh belum banyak
dilakukan, sehingga mendorong dilakukannya
penelitian ini.
Polimorfisme merupakan peristiwa
terdapatnya dua atau lebih alel yang berlainan
dengan frekuensi relatif besar (biasanya lebih dari
1%) bagi gen yang sama (Nei dan Kumar, 2000).
Peristiwa tersebut dapat terjadi dalam suatu populasi
atau antar populasi dan menyebabkan terjadinya
beberapa bentuk fenotip (Griffiths et al., 1999a). Hal
ini dapat diketahui ketika sebuah lokus genetik
teridentifikasi pada tingkat protein. Polimorfisme
genetik pada lokus bisa terjadi karena mutasi (Nei
dan Kumar, 2000). Kemajuan metode elektroforesis
untuk pemisahan protein mampu melihat polimorfisme
protein yang menyebar luas. Penelitian polimorfisme
genetik telah dilakukan pada tingkat polipeptida yang
dikode oleh gen strukturalnya (Griffiths et al., 1999a).
Penetapan perbedaan polimorfisme protein antar
strain berguna untuk membandingkan struktur protein spesifik yang terbentuk pada setiap strain untuk
menetapkan hubungan filogenetik dan membuat
pohon filogenetik. Polimorfisme juga dapat
menjelaskan sejarah terdekat burung puyuh sejalan
dengan pengetahuan akan hubungan dominansi.
Polimorfisme protein dapat mendeteksi fenotip baru
maupun alel dan bermanfaat untuk menentukan
54
derajat variabilitas genetik (Stevens, 1987). Salah satu
cara untuk mengetahui polimorfisme dalam sebuah
populasi adalah menghitung rata-rata proporsi lokus
polimorfik yaitu dengan membandingkan jumlah lokus
polimorfik dengan seluruh sample lokus (Hsiung Li
dan Graur, 1991).
Penelitian bertujuan untuk menganalisa
perbedaan konstitusi gen dan heterozigositas putih
telur antar garis keluarga burung puyuh Jepang dari
dua populasi serta bermanfaat sebagai salah satu cara
guna klasifikasi. Hasil penelitian diperoleh
berdasarkan hasil analisa gel, perhitungan data, dan
didukung oleh referensi. Secara umum diharapkan
agar manfaat seperti tersebut di atas dapat diperoleh
dan secara khusus memperluas kajian polimorfisme
protein putih telur burung puyuh Jepang.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium
Pembibitan Ternak dan Genetik, Fakultas Pertanian,
Universitas Kagoshima, Jepang.
Preparasi Sampel Putih Telur. Sampel diambil
dari dua populasi yang berbeda dari kandang
pembibitan burung puyuh. Populasi pertama berasal
dari generasi ketujuh populasi Universitas
Kagoshima. Terdapat dua garis keturunan yang
digunakan pada penelitian ini, yaitu garis seleksi (S)
dan non-seleksi (C), masing-masing 45 dan 40 ekor.
Kedua garis keturunan tersebut mempunyai ukuran
sedang dan dikenal sebagai jenis acak. Dua parameter yang diperlakukan pada kedua garis tersebut
adalah efisiensi pakan dan produksi telur. Telur
diambil pada umur 36 minggu. Populasi kedua berasal
dari Universitas Saga berupa dua garis seleksi yang
digunakan sebagai bahan penelitian, yaitu garis
keturunan besar (LL) dan kecil (SS). Garis keturunan
ini telah diseleksi sejak 80 generasi terakhir untuk
peningkatan dan penurunan bobot badan. Burung
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (1) March 2005
Tabel 1. Metode Pemisahan Protein Putih Telur Burung Puyuh
Nama Lokus
Protein
Metode
Pustaka
Ov
Ovalbumin
Native-PAGE
Davis (1964)
G3
Ovoglobulin
Native-PAGE
Davis (1964)
TfEW
Ovotransferrin
Native-PAGE
Davis (1964)
G1
Lysozyme
Acid Native-PAGE
Reisfield et al., (1962)
+
2
1
FS
-
BB
FF
3
+
AA
+
4
AC
Ilustrasi 1.
AD
BD
BB
CD
C’D’
C’C’
AD’
Fenotip Elektroforesis pada Polimorfisme Protein Putih Telur pada Kedua Populasi; (1) Lysozyme
G1(alel: FS dan FF) , (2) Ovotransferrin (alel: BB), (3) Ovalbumin (alel: AA),(4) Ovoglobulin
G3 (alel: AC, AD, BD, BB, CD, C’D’, C’C’, AD’)
Gene Constitution in Japanese Quail Egg White as A Standard for Classification (Riztyan)
55
-
puyuh yang diamati masing-masing berjumlah 45 dan
33 ekor pada LL dan SS. Garis keturunan selanjutnya
adalah kontrol (RR) yang merupakan populasi
tersendiri dan telah dipertahankan melalui perkawinan
acak selama lebih dari 20 tahun. Burung puyuh yang
diamati pada garis RR berjumlah 56 ekor. Setiap telur
dipecah diatas glassware dan lapisan albumen tipis
dari telur segar tersebut diambil dengan pipet 1000
µl. Albumen disimpan dalam tabung plastik
menggunakan pelarut 50 % gliserol.
Analisis Elektroforesis. Empat lokus pengkode
protein terdiri dari ovalbumin (Ov), ovoglobulin (G3),
ovotransferin (TfEW), dan lisozim (G1). Penelitian
menggunakan gel acid native polyacrylamide untuk
lisozim sedangkan untuk ketiga lokus lainnya
menggunakan 8 – 12% (Laemmli, 1970) gel native
polyacrylamide (Native-PAGE). Elektroforesis
menggunakan 10 – 12% gel starch horizontal juga
digunakan untuk ovoglobulin (G3) sesuai metode
Stratil (1968) atau Baker dan Manwell(1962).
Elektroforesis dilakukan dalam ruang penelitian
dengan suhu 4 0C. Metode elektroforesis dan
petunjuk staining yang digunakan pada setiap lokus
protein ditunjukkan Tabel 1.
Hasil elektroforesis protein putih telur kecuali
lisozim, dipisahkan menjadi beberapa pita. Pemisahan
tersebut dibedakan sesuai wilayahnya berdasarkan
kecepatan migrasi ovalbumin, ovoglobulin dan
ovotransferin (Ilustrasi 1).
Perhitungan Variabilitas Genetik. Frekuensi
alel dihitung dengan metode perhitungan alel
langsung. Perhitungan tiap lokus polimorfik
diharapkan sesuai kondisi keseimbangan HardyWeinberg pada semua populasi. Variabilitas genetik
dihitung berdasarkan proprosi lokus polimorfik (PPoly)
dan rata-rata heterozigositas (H). PPoly diperoleh dari
perbandingan lokus polimorfik dengan total lokus
yang dianalisa. Rata-rata heterozigositas tiap populasi
pada semua lokus yang dideteksi diperoleh menurut
Nei (1978), dengan rumus di bawah ini:
H = 2n Σ(1-qi 2)/(2n-1)
Dimana qi adalah frekuensi alel ke i pada
sebuah lokus, n adalah jumlah individu pada populasi
dan bar (H) berarti rata-rata semua lokus yang diamati.
Koefisien inbreeding relatif (F) garis LL dan SS
diperoleh dengan model berikut:
56
FLL= (HRR-HLL)/HRR
FSS= (HRR-HSS)/HRR
Besar relatif perbedaan gen antar strain diukur
dengan koefisien perbedaan gen, GST (Nei, 1973; Nei
dan Kumar, 2000). Koefisien diperoleh dari :
GST= (HT-HS)/HT
Dimana HT adalah perhitungan rata-rata
heterozigositas dari total populasi yang dihitung dari
rata-rata frekuensi gen seluruh strain dan HS adalah
rata-rata heterozigositas seluruh strain. Jarak genetik
standar (Ds) dihitung seperti perhitungan persamaan
genetik antar populasi menurut Nei (1972), Ds = logeI, I = Jxy/(Jx.Jy)1/2, dimana Jx, Jy, dan Jxy masingmasing adalah rata-rata Óxi2, Σyi2, dan Σxiyi lokus
yang dipelajari. xi adalah frekuensi alel ke i pada satu
lokus dalam populasi x dan yi dalam populasi y. Pohon
filogenetik dibuat berdasar metode neighbor joining (Saitou dan Nei, 1987) menggunakan aplikasi
piranti lunak MEGA untuk average distance methode
atau unweighted pair group methode with arithmetic mean (UPGMA) (Kumar,1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Polimorfisme Protein Putih Telur
Polimorfisme protein menggunakan teknik
gel elektroforesis membentuk pita-pita dengan pola
tertentu. Hal ini memungkinkan munculnya sebuah
pertanyaan sejauh mana proporsi gen – gen struktural
dalam genom suatu spesies yang polimorfik dan
berapa rata-rata heterozigositasnya dalam populasi.
Nei dan Kumar (2000) menguatkan bahwa teknik ini
mampu mendeteksi banyaknya variasi genetik dan
tidak perlu mendeteksi seluruh alel yang berbeda
pada tingkat DNA.
Frekuensi alel yang mengkode protein (Tabel
2) menunjukkan bahwa Ov dan TfEW adalah
monomorfik dalam semua populasi. Hal itu
memperlihatkan bahwa pada homozigot memiliki
intensitas warna pita lebih tinggi daripada
heterozigot. Hasil penelitian menunjukkan tidak
terdapat polimorfisme pada ovalbumin, meskipun
menurut Iwase et al. (1984) bahwa muncul indikasi
penambahan variasi yang berbeda satu sama lain
pada rantai oligosakarida ovalbumin. Penelitian
menunjukkan dua variasi genetik pada ovalbumin,
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (1) March 2005
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Gen pada 4 Lokus Protein Putih Telur dalam 5 Kelompok
di Universitas Saga dan Kagoshima
Protein
Lokasi
Kelompok
Univ.
Seleksi
Kgs
n=45
Univ.
Kontrol
Kgs
n=40
Ov
Tfew
G3
G1
A
B
A
B
C
F
S
A
B
C
D
C'
D'
1,00
0
0
1,00
0
0
1,00
0,46
0,06
0,21
0,19
0,03
0,06
1,00
0
0
1,00
0
0
1,00
0,50
0,03
0,35
0,10
0,01
0,01
1,00
0
0
1,00
0
0
1,00
0,87
0,13
--
--
--
--
1,00
0
0
1,00
0
0,06
0,94
0,53
--
0,47
--
--
--
1,00
0
0
1,00
0
0
1,00
0,71
--
0,27
0,02
--
--
HT
=
0,131
HS
=
0,130
Univ.
LL
Saga
n=45
Univ.
RR
Saga
n=56
Univ.
SS
Saga
n=33
=
0,001
GST
n: jumlah sampel; Ov: Ovalbumin; Tfew: Ovotransferin; G1: Lisozim; G3: Ovoglobulin
OvA dan OvB. Ovotransferin atau dikenal sebagai
conalbumin adalah protein kedua terbesar dari protein putih telur dalam putih telur (Stevens,1991a).
Polimorfisme pada ovotransferin belum ditemukan
dalam TfEWA, TfEWB, TfEWC.
Polimorfisme pada lokus G1 terjadi dalam
populasi RR Universitas Saga. Tujuh pita heterozigot
dalam gel lisozim dengan jelas terlihat pada alel F dan
S. Frekuensi alel S lebih tinggi daripada alel F masingmasing 0,94 dan 0,06, sementara pada populasi lain
bersifat monomorfik. Menurut Nei (1987) bahwa
sebuah lokus dikatakan polimorfik ketika frekuensi
dari sebagian besar alel adalah kurang dari 0,99.
Penemuan ini telah memperkaya jenis ternak yang
mengandung enzim ini mengingat secara keseluruhan
hanya 3,4 % dari seluruh protein (Belitz, 1999) dan
pada penelitian ini digolongkan dalam tipe-c (ayam)
berdasarkan urutan asam amino dan perbedaan antigen (Stevens, 1991a). Berdasarkan sudut pandang
genetika hanya terdapat dua bentuk polimorfisme
yang telah terdeteksi, yaitu G1F dan G1S (Baker, 1968).
Ovoglobulin adalah lokus yang paling
polimorfik, menunjukkan enam alel pada seleksi dan
kontrol, tiga alel pada SS, dan masing-masing satu
buah pada LL dan RR. A dan C merupakan alel-alel
yang sering muncul. Hasil penelitian ini sesuai
Stevens (1991a) dengan membandingkan protein
putih telur diatas, ovoglobulin mempunyai
polimorfisme lebih besar, tetapi secara kelompok
belum banyak terdefinisi dan baru sedikit yang
diketahui strukturnya.
Variabilitas dan Heterozigositas
Perhitungan variabilitas genetik tetap
rendah pada hampir semua populasi. Proporsi lokus
polimorfik berkisar antara 0,25 sampai 0,5, dimana
perbedaan terbesar ditunjukkan oleh garis RR.
Heterozigositas berkisar antara 0,0577 sampai 0,1764
pada kedua populasi dan nilai koefisien inbreeding
adalah 62,5% dan 31,9% pada garis LL dan SS.
Terdapat tiga parameter yang mempunyai hubungan
erat melalui analisa di bawah ini, yang dideskripsikan
pada Tabel 3.
Heterozigositas pada garis seleksi dan
kontrol lebih tinggi, dengan asumsi bahwa tidak
terdapat seleksi individu dan betina dikawinkan
dengan pejantan acak. Heterozigositas dalam
populasi Saga kecil, akan tetapi terdapat pengecualian
dimana RR mempunyai heterozigositas tinggi (Tabel
3). Menurut Griffith et al. (1999b) bahwa bila suatu
alel frekuensinya sangat tinggi maka alel lainnya
mendekati nol, selanjutnya heterozigositas menjadi
sangat kecil karena sebagian besar individu adalah
Gene Constitution in Japanese Quail Egg White as A Standard for Classification (Riztyan)
57
Tabel 3. Variabilitas dan Heterozigositas Setiap Populasi
Lokasi
Kelompok
Ppoly
H
Univ. Kagoshima
Seleksi
0,25
0,178
Univ. Kagoshima
Kontrol
0,25
0,156
Univ. Saga
LL
0,25
0,059
Univ. Saga
RR
0,5
0,155
Univ. Saga
SS
0,25
0,106
Tabel 4. Matriks Standar Jarak Genetik (Ds) antar Masing-masing Pasangan dalam 5 Populasi
Berdasarkan 4 Lokus Menggunakan Nei (1972)
Populasi
Kontrol
LL
RR
SS
Seleksi
0,005
Kontrol
LL
RR
homozigot pada alel-alel tersebut.
Koefisien inbreeding pada kedua garis ini lebih
tinggi dibandingkan hasil yang diperoleh
Ardiningsasi et al. (1993). Nei (1987) menyatakan
bahwa inbreeding meningkatkan frekuensi
homozigot, dan jika tidak terdapat faktor lain, F akan
sama dengan koefisien inbreeding pada Wright’s
(1969). F dalam hal ini selalu bernilai positif.
Besar relatif perbedaan gen terhitung 0,001
antar populasi (Tabel 2). Nilai ini mengindikasikan
bahwa kira-kira 0,1 % keragaman gen yang diamati
lebih dikarenakan oleh perbedaan populasi dan
hampir 99,9 % karena variasi antar individu dalam
populasi. GST sangat tergantung pada nilai HT. Nilai
yang rendah sesuai dengan Ardiningsasi et al., (1993)
bahwa indeks subdivisi (GST) pada penelitian ini
menghasilkan rendahnya derajat perbedaan antar
populasi walaupun perbedaan karakter fisiologi tetap
ada.
Jarak Genetik
Jarak genetik antar populasi di Universitas
Saga adalah rendah dimana RR berada di tengah dan
LL berjarak paling jauh, sedangkan populasi Universitas Kagoshima memiliki jarak yang dekat antara garis
seleksi dan kontrol (Tabel 4). Jarak genetik berarti
besarnya perbedaan genetik (perbedaan genom) antar
dua populasi. Hal ini merupakan perbedaan genetik
58
0,035
0,038
0,019
0,015
0,005
0,008
0,051
0,016
0,011
yang diukur dengan frekuensi alel (Nei dan Kumar
2000). Nei (1972) mengembangkannya melalui
pengukuran jarak genetik sebagai jarak genetik
standar yang bernilai proporsional terhadap waktu
evolusi dengan mempertimbangkan pengaruh mutasi
dan arus genetik. Secara umum jarak genetik antara
garis seleksi dan LL adalah jauh. Penerapan metode
jarak rata-rata mampu membedakan dengan jelas
mengkonstruksi pohon filogenetik (Ilustrasi 2). Garis
LL mempunyai asal yang berbeda dari garis RR dan
SS.
Terdapat hubungan genetik yang dekat antar
populasi Universitas Saga dan Kagoshima, dan sulit
dijelaskan karena kedua populasi tersebut berada
pada dua daerah ekologi berbeda dengan sistem
produksi yang berbeda. Hanya terdapat dua
polimorfisme pada lokus G3 yang membuat jarak LL
jauh, yaitu 0,87 pada alel A dan 0,13 pada alel B. Alel
A mempunyai frekuensi tinggi pada lokus G3
sedangkan pada alel B tidak. Garis LL diperkirakan
mempunyai asal yang berbeda dengan RR dan SS
dan terdapat polimorfisme pada lokus G3 dan G1. LL
dan SS kemungkinan memiliki perbedaan gen yang
kecil sebagai akibat dari arus genetik acak. Kinoshita
et al. (2002) menegaskan bahwa hal tersebut dapat
terjadi karena adanya kekurangan jumlah burung
puyuh pada beberapa generasi terdahulu dan alel-
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (1) March 2005
alel tersebut hilang oleh efek bottleneck mengingat
seleksi telah dilakukan selama lebih dari 80 generasi.
KESIMPULAN
Perbedaan konstitusi gen putih telur puyuh
Jepang antar garis keturunan menghasilkan sebuah
dasar baru dengan klasifikasi untuk meyakinkan
variasi genetik dari dua populasi dan perlakuan yang
berbeda yaitu Universitas Saga dan Kagoshima.
Penelitian sebaiknya dilanjutkan untuk mengamati
populasi lain yang berada di sekitar Saga dan
Kagoshima. Metode penelitian dapat diterapkan pada
DAFTAR PUSTAKA
Ardiningsasi, S. M., Y. Maeda, Shin Okamoto, Satoru
Okamoto and T Hashiguchi. 1993. Protein
polymorphism in the quail line selected for
large and small body weight. Jpn. Poultry Sci.
30(2) : 123-128.
Baker, C.M and C. Manwell. 1962. Molecular genetics of avian protein. The egg proteins of domestic fowl. Br. Poultry Sci. 3 : 161-167.
Baker, C.M. 1964. Molecular genetics of avian pro-
Seleksi
Kontrol
LL
RR
SS
0.002
Ilustrasi 2. Kurva Pohon UPGMA Berdasarkan Matriks Jarak Ds
di daerah lain menggunakan jumlah lokus lebih
banyak sehingga nilai diversitas genetik lebih akurat
dan mengurangi kesalahan sampling yang lebih besar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof.
Dr. Yoshizane Maeda dan Dr. Keiji Kinoshita (Faculty of Agriculture, Kagoshima University, Japan)
atas kesempatan dan penyediaan fasilitas selama
penelitian, serta saran dan koreksi pada naskah.
teins. III. The egg protein of an isolated population of jungle fowl, Gallus gallus (L). Comp.
Biochem. Physiol. 12: 389-396.
Baker, C.M. 1968. Molecular genetics of avian proteins. IX. Interspecific and intraspecific variation of egg white proteins of the genus Gallus.
Genetics 58:211-219.
Groschm, B. 1999. Food Chemistry 2nd Ed. Springer,
Verlag Berlin Heidelberg.
Gene Constitution in Japanese Quail Egg White as A Standard for Classification (Riztyan)
59
Buvanendran, V. 1967. Egg white polymorphism and
economic characters in the domestic fowl. Br.
Poultry Sci. 8: 119-227.
Laemmli, U.K. 1970. Cleavage of structural proteins
during the assembly of the head of Bacteriophage T4. Nature 227: 680 - 688.
Davis, B. J. (1964 ). Disc electrophoresis ?-method
and application to human serum proteins. Ann.
NY Acad. Sci. 121: 404-408.
Legates, J.E and E.J. Worwick. 1990. Breeding and
Improvement of FarmAnimals. 8th Ed. McGraw
Hill Publishing Co. Agricultural Science Oklahoma State Univ.
Desert, C., C. Gue’rin Dubiard, F. Nau, G. Jan, F. Val
and J. Mallard. 2001. Comparison of different
electrophoretic separations of hen egg white
proteins. J. Agric. Food Chem. 49(10) : 45534561.
Fairbanks, D. J and W. Andersen. 1999. Genetics:
The Continuity of Life. Brooks/Cole Publ. Co.
New York.
Griffiths, A.J.F., William M.G., Jeffery H.M and Richard C.L. 1999a. Modern genetic analysis. W.H.
Freeman and Co., New York.
Griffiths, A.J.F., David Suzuki, William M.G., Jeffery
H.M and Richard C.L. 1999b. An introduction
to genetic analysis. W.H. Freeman and Co.,
New York.
Hsiung Li, W and D. Graur. 1991. Fundamental of
Molecular Evolution. Penerbit Sinauer Associates, INC Publishers, Massachusetts.
Lush, I.E. 1961. Genetics polymorphism in the egg
albumen proteins of the domestic fowl. Nature 189 : 981-998.
Maeda, Y., K.W. Wasburn and H.L Marks. 1980. Protein polymorphism in quail population selected
for large body size. Animal Blood Groups Biochemical Genetics, 11: 251-260.Stevens, L.
1991a. Genetics and evolution of the domestic fowl. Cambridge Univ. Press.
Minkema, D. 1987. Dasar Genetika dalam
Pembudidayaan Ternak. Penerbit Bharata
Karya Aksara, Jakarta.
Nei, M. 1972. Genetic distance between populations.
Am. Nat. 106: 283-292.
Nei, M. 1973. Analysis of the gene diversity in subdivided populations. Proc. Nat. Acad. Sci.
USA. 70: 3321-3327.
Iwase, H., Kato, Y and Hotta, K. (1984). Comparative
study of ovalbumins from various avian species by Con A/ Sepharose chromatography.
Comp. Biochem. Physiol. 77B : 743-747.
Nei, Mashatoshi. 1987. Molecular evolutionary genetics. Columbia University Press, New York.
Nei, M and Kumar, S. 2000. Molecular evolution and
genetics. Oxford University Press, New York.
Kinoshita, K., S. Okamoto, T. Shimogiri, K. Kawabe,
T. Nishida, R. Kakizawa, Y.Yamamoto and Y.
Maeda. 2002. Gene constitution of egg white
proteins of native chicken in Asian countries.
Asian-Austral. J. Anim. Sci. 15 (2) : 157-165.
Reisfield, R.A., U.J. Lewis, and D.E. Williams. 1962.
Disk electrophoresis of basic proteins and
peptides on polyacrylamide gels. Nature. 4838:
281-283.
Kumar, S., K. Tamura and M. Nei. 1993. MEGA (molecular Evolutionary Genetic Analysis), ver.
1.01. The Pennsylvania State University, University Park, PA 16802.
60
Saitou and M. Nei. 1987. The neighbor-joining
method: a new method for reconstructing phylogenetic trees. Mol. Bio. Evol. 4: 406-412.
Stevens, L. 1991b. Egg white proteins. Comp.
Biochem. Physiol.100 (1) : 1-9.
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (1) March 2005
Stratil, A. 1968. Transferrin and albumin loci in
chicken, Gallus L. Comp. Biochem. Physiol.
24: 113-118.
Wright, S. 1969. Evolution and the genetics of populations. vol. 2: The theory of gene frequencies. Chicago: III. University of Chicago Press.
William, P.W., G.B. Edward, O.C. Carl dan V.B. Robert.
1967. The nature of the biochemical lesion in
avian renal riboflavinuria-II. The inherited
change of a riboflavin-binding protein from
blood and eggs. Comp. Biochem. Physiol. 22:
897-903.
Gene Constitution in Japanese Quail Egg White as A Standard for Classification (Riztyan)
61
Download