disini

advertisement
A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini wacana seputar gender semakin populer. Tentunya
banyak faktor pendukung mengapa kajian ini begitu menarik perhatian para
ilmuwan, bahkan di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia banyak
dibuka kajian-kajian tentang wanita, dimana isu gender telah menjadi sebuah
kajian ilmiah.
Tulisan ini merupakan sebuah upaya dalam mengetahui fenomena
penulisan pemikiran tafsir yang berkembang di Indonesia. Dengan mengangkat
Karya “Tafsir Kebencian” yang ditulis oleh Zaitunah Subhan. Penelitian ini
ditujukan untuk menelusuri fenomena persentuhan antara al-Qur’an dengan
realitas sosial sebagaimana isu gender yang ternyata mampu memberikan warna
baru dalam khazanah penafsiran di Indonesia. Dalam teori resepsi, al-Qur’an yang
hidup di masyarakat yang bergerak akan terus direspon dan difahami sehingga
memunculkan tiga konsekuensi utama yakni: karya pemikiran, perilaku, dan
produk materi.
Salah satu di antara ketiga aspek tersebut, yakni karya pemikiran akan
menjadi titik fokus kajian pada tulisan ini dengan beracuan pada beberapa
pertanyaan utama yakni: Bagaimana konteks yang melahirkan pemikiran tafsir
Zaitunah Subhan ?, Bagaimana gambaran dari pemikiran tafsir tersebut ?, dan
Bagaimana motivasi, pra-pengetahuan, dan asumsi-asumsi yang membangunnya
?, serta penafsirannya terhadap ayat al-Qur’an.
B. Konteks Indonesia dan Memuncaknya Isu Gender
Tahun 1980-an merupakan tahun awal terbangunnya pilar-pilar kajian
gender1 di Indonesia.2 –Tentunya dengan tanpa meragukan adanya kemungkinan
1
Gender—“jenis kelamin” (inggris)—merupakan konsep kultural yang menurut Shorwalter
mulai ramai dibicarakan pada tahun 1977. Isu ini berkembang seiring kesadaran adanya
pembedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosiaonal antara perempuan dan
laki-laki yang berkembang dalam masyarakat. Istilah gender ini menggeser penggunaan
istilah-istilah sebelumnya seperti patriarchal dan sexist. Merebaknya isu ini juga dimotori
oleh kalangan agamawan yang melihat noda hitam sejarah. Perempuan dipersepsikan
merupakan mahluq yang mewarisi dosa sejarah bagi kalangan abrahamik yang merupakan
imbas dari dosa yang pernah dilakukan oleh Hawa yang mengakibatkan diusirnya Adam dari
64
65
masuknya kajian gender pada tahun-tahun sebelumnya—Pada tahun ini, didirikan
sebuah lembaga bernama PSW (Pusat Studi Wanita). Lembaga ini didirikan oleh
pemerintah yang bekerjasama dengan berbagai lembaga universitas dengan
bertujuan untuk meningkatkan kwalitas dan mengangkat harkat martabat wanita.
Lembaga ini kemudian berkembang dengan mengusung ideologi kesetaraan antar
kelamin yang pada akhirnya nanti menjadi motor pembuka isu gender di
Indonesia.
Kemudian pada 1989, Majalah Pesantren, LKPSM NU DIY mulai
melirik isu ini untuk dijadikan salah satu kajian tersendiri. Berkembangnya
wacana gender juga turut didukung oleh pihak luar berkenaan dengan kerjasama
antara Indonesia-Belanda “Indonesian-Netherlands in Islamic Studies” di pusat
kebudayaan Belanda Erasmushuis yang menggagas seminar tentang dunia wanita
tekstual dan kontekstual pada 1991. Dengan banyaknya pintu yang membuka
masuknya kajian gender, karya-karya tentang isu tersebut banyak bermunculan
yang salah satunya adalah “Tafsir Kebencian” yang ditulis antara 1996 hingga
1998.3
Pada awal dekade 1990-an wacana gender semakin berkembang
melalui dua pintu. Pintu pertama adalah adalah mahasiswa Indonesia yang
kembali dari studi di luar negeri dan pintu kedua adalah penterjemahan karyakarya yang berbau feminis dan gender. Salah satu di antara karya yang masuk di
Indonesia adalah tulisan Fatimah mernisi dan Amina Wadud Muhsin yang
berjudul Woman in The Quran. Tulisan Amina Wadud di terjemah di Bandung
dan terbit pada tahun 1994. Tulisan tersebut berbaur di antara tulisan-tulisan kaum
kiri Islam lainnya seperti Riffat Hassan dan Asghar Ali Engineer.
Tahun 2001 menjadi masa-masa emas bagi PSW dan para pendukung
gerakan gender di Indonesia. Melalui Impres tahun 2001, Abdurrahman Wahid
2
3
surga. lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, dalam Jurnal Pemikiran
Islam Paramadina, Vol. 1 Juli-Desember 1998. Hlm. 97-98.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 307-308.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013) hlm. 307-308.
66
(Gus Dur) yang menjabat sebagai presiden menekankan pentingnya peran dan
konstribusi kaum wanita dalam memajukan Negara “gender mainstreaming into
national development”. Istilah “gender mainstreaming” dimaksudkan sebagai
usaha dalam membuka akses jaminan kerja beriringan antara laki-laki dan
perempuan dalam berbagai lembaga pemerintah mulai dari kementerian,
kemiliteran, polisi, dan institusi-institusi lokal. Sistem kerja dari program “gender
mainstreaming”
adalah
perencanaan
(planing),
perumusan
(formulation),
penerapan (implementation), pengawasan (monitoring), dan evaluasi (evaluation).
1. Zaitunah Subhan, Akademisi Aktivis Gender.4
Zaitunah Subhan lahir di Gresik Jawa Timur, sebuah kabupaten di
pesisir utara tepatnya di pertemuan dengan Surabaya di sebelah timur dan
bertemuan dengan kabupaten Lamongan di sebelah barat, sedangkan di
Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo. Zaitunah Subhan lahir pada
tanggal 10 Oktober 1950. Pendidikan formalnya dijalani di SRN yang
ditempuh selama enam tahun. Ia juga memulai pendidikan keislaman di PP
Maskumambang Grasik dengan jenjang pendidikan ibtidaiyah (setingkat SD)
hingga tsanawiyah (setingkat SMP) yang ditempuh selama tiga tahun.
Menginjak Aliyah (jenjang setingkat SMA), Ia melanjutkan perjalanan
menimba ilmunya di Ihya’ul Ulum yang ditempuh selama dua tahun di Gresik.
Pada tahun 1967, ia memulai menapakan kaki di tingkat perguruan
tinggi, tepatnya di IAIN Sunan Ampel yang sekaligus menjadi angkatan
pertama dan lulus berpredikat sarjana muda (BA). Kelulusan ini kemudian
diikuti kelulusannya empat tahun setelahnya dengan berhasil meraih gelar
(Dra) jurusan Pebandingan Agama. Dengan prestasi akademis yang ia miliki,
Zaitunah Subhan diutus sebagai duta belajar ke Kairo Mesir jenjang dirasat alulya atau setingkat magister yang ia selesaikan selama empat tahun tepatnya
pada tahun 1978.
4
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 257.
67
Sekembalinya dari Mesir (1978), ia kemudian mengabdikan diri
kepada almamaternya sebagai tenaga dosen dan menjadi lektor kepala pada
tahun 1999. Pada tahun 1989, ia pernah mengikuti intensive course (Woman
and Development kerjasama INIS dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Kemudian pada 1996, ia berkesempatan untuk terbang ke Australia dalam
rangka turut serta dalam konferensi internasional yang tahun 1995-1999.di
selenggarakan di Adelaide. Selain itu, di dalam negeri juga pernah mengikuti
Konferensi bertajuk “international women: conference women in Indonesia
society;acces, empowerment and opportunity”.
Selama menempuh studi keislaman di kampus IAIN, Zaitunah
Subhan aktif dalam kegiatan berorganisasi dengan menjadi ketua KPSW
(Kelompok Pengembangan Studi Wanita) IAIN Sunan Ampel dari 1991-1995,
dan ketua PSW (Pusat Studi Wanita) di kampus yang sama. Di laur kampus ia
aktif dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekia Muslim Indonesia) selaku ketua
divisi hubungan antar oraganisasi wanita Orwil Jawa Timur tepatnya pada
tahun 1995-2000. Ia juga mengasuh kelompok pengajian agama Islam di
instansi pemerintah dan BUMN serta menjadi anggota Pokja P2W Pemba
Jatim. Di tengah kesibukan mengajar, berorganisasi, dan mengabdi kepada
masyarakat, ia turut mencurahkan waktunya untuk melanjutkan studi tingkat
doctoral (s3) bebas terkendali angkatan pertama tahun 1996/1997. Studi ini
merupakan tugas Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Dirjen Binbaga
Islam Departemen Agama RI. Studi ini diselesaikan pada tanggal 29 Desember
1998.
2. Pandangan Zaitunah tentang Tafsir
Dalam dinamika penulisan tafsir al-Qur’an, meski ulama telah
memberi garis bawah tentang apa yang dinamakan tafsir,5namun beberapa
5
Makna tafsir sendiri secara umum difahami sebagai upaya menyingkap (idhah) atau
menjelaskan (tibyan) sebagaimana pendapat Ibn Faris (w 395 H) dalam karyanya al-Maqayis
fi al-Lughah yang menyatakan tentang makna tafsir yang terdiri dari fa’-sin-ra’ yang
68
mufassir tertentu mengambil jalannya sendiri dan memilih makna tertentu
tentang tafsir. Hal ini sebagaimana Abduh yang dalam muqaddimah kitab tafsir
al-Mannar melayangkan keberatannya terhadap ulama terdahulu yang
memaknai tafsir secara sempit. Tafsir klasik ia anggap hanya dapat
mengungkap aspek lughawi dengan hanya membatasi kajiannya dalam aspek
nahwiyah, balaghah, dan lainnya, sedangkan di lain sisi, manusia masih haus
akan solusi atas permasalahan sosialnya. Dari sini, lahir tafsir adabi ijtima’iy.
Pemaknaan mufassir terhadap konsep tafsir akan menjelaskan arah
dan karakter pemikiran mufassir itu sendiri. Beberapa mufassir mungkin ada
yang mengikuti kaidah umum tentang makna tafsir, namun beberapa mufassir
yang lain memilih memahami tafsir secara berbeda dengan pemaknaan umum.
Jalan tersebut juga yang dipilih oleh Zaitunnah Subhan, ia memiliki definisi
khusus tentang apa yang dinamakan dengan tafsir. Menurutnya tafsir berfungsi
untuk memahami al-Qur’an baik makna maupun keindahannya. Al-Qur’an
menyimpan segala macam petunjuk dan ajaran yang meliputi segala aspek
kehidupan manusia di dunia. Dengan alasan tersebut, tafsir merupakan anak
kunci untuk membuka simpanan yang tertimbun dalam al-Qur’an.”6
Dari pemaknaan Zaitunah di atas, tersirat bahwa jalan yang ia
ambil dalam memahami al-Qur’an memiliki dua kategori. Pertama ialah alQur’an memiliki petunjuk dan kedua adalah, bahwa petunjuk itu mencakup
semua aspek kehidupan dunia, yang menarik, Zaitunah tidak mencantumkan
akhirat yang eskatologis. Corak yang ia bangun terlihat bersifat humanis
antroposentris yang memunculkan asumsi bahwa Zaitunah ingin menunjukkan
bahwa al-Qur’an sebenarnya diperuntukkan kepada manusia. Sedikit mirip
dengan pandangan Abduh tentang al-Qur’an dalam muqaddimah al-Mannar
6
mengandung arti keterbukaan dan kejelasan. Lihat Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang:
Lentera Hati, 2013), hlm. 9.
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 9.
69
yang ia anggap sebagai hidayah untuk umat manusia dalam setiap tempat dan
waktu.7
C. Deskripsi Tafsir Kebencian
Karya Zitunah ini merupakan penelitian disertasi Program doktoral di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis sekitar tahun 1997. Pada mulanya,
judul disertasi ini adalah Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif alQur’an. Karena karya ini didominasi oleh upaya melakukan dekonstruksi atas
asumsi-asumsi seperti dominasi, hegemoni, dan diskriminasi, maka dari hal
tersebutlah muncul istilah Tafsir Kebencian: “Studi Bias Gender dalam Tafsir alQur’an”. Untuk mengetahui, mengenal, dan memahami Tafsir Kebencian berikut
akan dipaparkan beberapa aspek mulai dari metode, corak, sistematika, sumbersumber yang mempengaruhi, hingga karakteristik Tafsir Kebencian.
1. Metode yang dipakai
Metode tafsir yang dipakai dalam tafsir ini ialah metode tafsir
maudhu’i. Karakter metode tafsir maudhu’i sendiri ialah lebih bersifat induktif.
Karakter ini menuntut penelusuran ayat di mulai dari realitas. Di sisi lain,
Zaitunah sendiri masih menyertakan argument mufassir terdahulu yang
menggunakan metode deduksi yang mendasari penelusuran makna melalui
teks. Meski sempat mengutip pendapat farmawi, namun Zaitunah tidak
mengambil rumusan farmawi secara total, melainkan mengkritisinya menjadi
formula lain. Dari enam langkah yang dirumuskan oleh Farmawi, ia
mengadopsi beberapa di antaranya dan mengganti yang perlu hingga kemudian
ia merumuskan empat langkah menurut versinya sendiri:
a. Mengelompokkan ayat dalam tema tertentu.
b. Mendeskripsikan pemikiran para mufassir tentang ayat-ayat yang telah
dirumuskan.
c. Memperkuat argumen dengan hadis-hadis.
d. Membuat kesimpulan dengan analisis kritis.8
7
Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Hakim: Tafsir al-Mannar (Kairo: Daar al-Mannar,
1947), hlm. 1.
70
2. Corak Tafsir
Corak dalam Tafsir Kebencian terlihat cukup terpengaruh oleh Abduh.
Hal tersebut bisa ditelusuri melalui pandangannya tentang makna tafsir. Ia
memaknai tafsir adalah pengungkapan makna terhadap ayat al-Qur’an yang
orientasinya ialah kembali kepada realitas kehidupan umat manusia. Dari hal
ini, corak adabi ijtima’i kemudian diambil dan digunakan dalam mengangkat
isu sosial mengenai gender. Corak sosial yang memiliki karakter relasi antar
manusia dihubungkan dengan mengangkat relasi antara perempuan dan lakilaki.
3. Sumber-sumber yang Dipakai
Mengenai sumber penafsiran, Zaitunah melandasi interpretasi alQur’an
berdasarkan
kombinasi
atara
argumentasi
sejarah
dan
teks.
Argumentasi sejarah mengenai gender ditelusuri sebagai penjelasan dan
penjabaran suatu ayat tertentu. Ia juga menyertakan hadis-hadis yang berkaitan
dengan isu gender. Selain mendasari interpretasinya secara otentis, ia juga
mengadopsi pemikiran dan penelitian ulama yang telah lalu. Ada tiga kitab
tafsir karya mufassir Indonesia yang juga banyak menjadi rujukan dalam Tafsir
kebencian. ketiganya adalah tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus,
al-Azhar karya Hamka, dan al-Qur’an dan Tafsirnya yang disusun di bawah
pengawasan Departemen Agama RI.9Selain kitab tafsir ia juga merujuk karya
Hamka tentang perempuan yang berjudul “Kedudukan Perempuan dalam
Islam”. Alasan pemilihan ketiga tafsir di atas ialah didasari upaya Zaitunah
dalam menampilkan tafsir-tafsir yang mewakili tiap generasi di Indonesia.
Dalam pembagian generasi tafsir, ia menggunakan pendapat Howard M.
Federspiel yang menyatakan bahwa tafsir Mahmud Yunus mewakili masa
1920-an, Hamka yang mewakili generasi 1970-an,10dan tafsir depag yang
mewakili generasi 1990-an.
8 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 15.
9 Ibid, hlm. 12.
10 Ibid, hm. 13.
71
Selain menggunakan tiga kitab tafsir di atas, penulisan Tafsir
Kebencian juga terpengaruh oleh tokoh-tokoh feminis seperti Rifat Hasan dan
Fatima Mernisi.11Selain itu, dalam aspek metodologis, ia terpengaruh oleh
Abduh yang menyatakan bahwa al-Qur’an tertutup oleh orang Islam
sendiri.12Dari ungkapan inilah corak tafsir adabi ijtima’i digunakan sebagai
kunci untuk membuka ketertutupan umat tersebut. istilah-istilah “kunci, pintu,
membuka, dan ketertutupan” yang dipakai oleh Zaitunah menggambarkan
tentang pengaruh Abduh pada pemakaian term-term tersebut dalam tafsirnya.
4. Karakteristik Tafsir Kebencian
Tafsir Kebencian yang lahir di tengah asumsi diskriminasi antara
wanita dan laki-laki mengakibatkan karya tersebut memiliki karakteristik
Gender. Sebuah konstruksi yang menginginkan terciptanya keadilan sosial dan
menempatkan wanita dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Karakter ini
pula yang mengakibatkan penggunaan analisis gender. Sebuah analisis yang
secara praktis digunakan untuk menelusuri penyebab-penyebab terjadinya
ketimpangan
sosial
berdasarkan
jenis
kelamin.13Dengan
mengetahui
karakteristik tafsir ini, akan diketahui pula pra-pengetahuan yang membangun
Tafsir Kebencian, motivasi, dan orientasi yang menjelaskan akan dibawa ke
mana arah interpretasi al-Qur’an.
D. Asumsi-Asumsi yang Dibangun dalam Tafsir Kebencian
Salah satu argument yang dikutip dalam Tafsir Kebencian adalah
ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib, “persilahkan al-Qur’an berbicara”.14Ucapan
sahabat Ali tersebut seharusnya menjadi pegangan setiap kali seseorang berusaha
11 Feminis muslim adalah mereka (orang-orang muslim) yang mempunyai faham dalam
memperjuangkan kebebasan dari dominasi kaum pria. Ibid, hm. 6.
12 Ibid, hm. 8.
13 Ibid, hlm. 5.
14 Ibid, hm. 14.
72
memahami al-Qur’an, namun menurut Zaitunah, para mufassir yang kebanyakan
adalah laki-laki telah terjebak pada pra pengetahuan berupa adatnya, budayanya,
dan kodratnya sebagai seorang laki-laki. Wanita menurutnya seringkali
dikonotasikan dalam arti negatif dan keterbatasan kodratnya dijadikan alasan
dalam mereduksi peran dan fungsi wanita baik dalam keluarga maupun dalam
ranah sosial.15
Implikasi dari penafsiran kaum bias gender pada akhirnya merambah
ke dalam wilayah hukum. Aspek hukum inilah yang pada gilirannya digunakan
sebagai alat untuk mengeksekusi hak kesetaraan kaum wanita. Di Sumatera abad
ke VXII generasi kepemimpinan empat sultan wanita—Din Syah (1641-1678 M),
Nur Alam (1675-1678 M), Inayat Syah (1678-1688 M), dan Kamalat Syah—harus
terputus karena fatwa haram pemimpin wanita oleh seorang hakim agama di
Makkah.16Hal tersebut menjadi kain penutup mata atas kenyataan adanya dua sisi
yang ada pada diri manusia yakni kodrat dan fungsi.
Secara kodrati, wanita memang berbeda dengan laki-laki, namun di
sisi lainnya, wanita memiliki akses yang sama dalam mengisi fungsi sosial,
kebudayaan, pendidikan dan fungsi-fungsi lainnya. Dua aspek ini, yakni “wanita,
antara kodrat dan fungsinya” merupakan asumsi utama Zaitunah Subhan dalam
tafsirnya. Ia membagi dua istilah yang merepresentasikan dua sisi pada manusia,
pertama adalah kemitraan dan kedua adalah kesejararan. Kemitraan ia anggap
merupakan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam aspek fungsional.
Secara bersama-sama hidup, beraktivitas, dan berkarya dengan saling beriringan.
Aspek kedua, yakni kesejajaran ia anggap sebagai kesetaraan pada aspek kodrati.
Baik perempuan dan laki-laki meski keduanya dibedakan menurut gen, namun
tetaplah sama sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Dengan pemahaman seperti ini, akses menuju produktifitas wanita
akan semakin terbuka. Sehingga laki-laki tidak melulu berada pada wilayah
produksi, sedangkan wanita berada pada wilayah reproduksi. Laki-laki tidak
15 Ibid, hm. 2.
16 Ibid, hm. 3.
73
melulu berada pada wilayah publik, sedangkan wanita berada pada wilayah
domestik. Keduanya saling mengisi. Kedudukan dan keberadaannya akan dihargai
secara sama rata sama rasa. Keduanya, baik laki-laki dan perempuan akan samasama bergantian saling mengisi fungsi dan perannya.
E. Penafsiran-Penafsiran Zaitunah terhadap Ayat-ayat al-Qur’an
Salah satu ayat yang ditafsiri oleh Zaitunah adalah surat an-Nisa’ 4:
34 yang berbunyi:



   
  
Ayat ini diterjemahkan dengan : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lakilaki) atas sebahagian yang lain (wanita)”. Terjemahan ini sebagaimana terjemahan
departemen agama RI dan beberapa terjemahan lainnya. Lebih lanjut, kata
qawwam pada ayat ini diterjemah sebagai pemimpin, namun ternyata kata ini juga
terdapat pada ayat lain yakni an-Nisa’ 135 dan al-Maidah 5: 8. Hal yang aneh
adalah pada kedua ayat tersebut kata qawwam tidak diterjemahkan dengan arti
pemimpin, tapi “berdiri karena Allah” dan “lurus karena Allah”.17
Menurut Zaitunah, penafsiran seperti itu mengandung bias. Lebih
lanjut menurutnya, penafsiran yang tepat adalah pengayom dan penanggung
jawab. Bagi wanita pun kepemimpinan tetap layak untuk disandangnya. Ia
memberikan sebuah contoh sosok Ummu Waraqah. Seorang perempuan yang
menjadi pemimpin bagi keluarga dan menjadi guru bagi beberapa sahabat lakilaki. Hal tersebut sebagaimana kapabilitasnya sebagai seorang hafizah dan qariah
yang baik dan bagus bacaannya. Suatu ketika, Rasulullah pernah menyuruh
seseorang lelaki tua untuk melantunkan iqamat dan menunjuk Ummu Waraqah
mengimami keluarganya untuk shalat.18
17 Ibid, hm. 105.
18 Ibid, hm. 108.
74
Ia mengkritisi ulama terdahulu yang mengaitkan term nisa’ dengan
nasiya = lupa. Perempuan hanya diproyeksikan sebagai mahluk yang lemah,
lunak, dan lembek. Dalam sisi lainnya, laki-laki diproyeksikan sebagai mahluq
yang keras, kuat, dan tajam ingatannya. Dalam tafsir kebencian, Zaitunah juga
melakukan kontekstualisasi atas kata wanita di Indonesia. sebagamana di Arab
yang orang akan memiliki pilihan secara paradegmatik untuk mengungkap sosok
wanita dengan beragam term diksi. Seperti untsa, nisa’, dan mar’ah, di Indonesia
juga demikian. Terdapat dua kata yang sering dipakai dalam menunjukkan sosok
jeniskelamin lawan laki-laki. Kedua kata tersebut adalah wanita dan perempuan.
Kata wanita berasal dari bahasa sangsekerta “wan”, yang berarti nafsu,
sedangkan perempuan sebagaimana tertulis dalam prasasti Ganda Suli berasal dari
kata “parpuanta” yang berarti yang dituankan atau dihormati. Dengan demikian
diksi perempuan lebih terhormat jika dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan
dalam kakawin arjuna wiwaha XXXII, kata wanita bermakna positif yang berasal
dari kata “wani ditata” atau keberanian untuk ditata.19
Dalam menafsiri ayat di atas, Zaitunah Subhan menarik sebuah
kesimpulan yang cukup berani dengan memilih memaknai ulang kata nisa’ dan
rijal sebagaimana makna dasarnya. Menurutnya, kedua kata tersebut tidak bisa
dimaknai sebagai laki-laki dan perempuan secara biologis, namun secara sifat.
nisa sebagaimana makna dasarnya adalah lembek, domestik, dan mudah lupa.
Sedangkan rijal yang diambil dari kata rijl (kaki) menurut makna dasarnya adalah
yang berjalan kaki (lawan dari domestik), bergerak, dan beraktfitas di ruang
publik.20Sangat mungkin seorang wanita memiliki sifat rijal, sebaliknya, juga
sangat mungkin bagi laki-laki memiliki sifat nisa’, sehingga, pemimpin bisa
disandang baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan.
Menurut Zaitunah, al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan
realitas. Realitas itu salah satunya adalah sejarah. Dan berdasarkan sejarah,
tercatat adanya perempuan-perempuan yang pernah menjadi pemimpin suatu
19 Ibid, hm. 20.
20 Ibid, hm. 110.
75
bangsa dan perempuan-perempuan yang memiliki peran penting dalam berbagai
peristiwa-peristiwa besar dunia. Di antara perempuan-perempuan itu adalah ratu
Bilkis yang memimpin Saba’ dan Bint Kisra’ yang memimpin Persia. Di
Nusantara pada abad ke VII sebelum kerajaan Mataram membangun Prambanan
dan Borobudur, terdapat ratu di Kerajaan kalingga yang merupakan seorang
perempuan bernama Simha. Selain itu, kerajaan majapahit yang termasyhur
dengan wilayah yang hampir meliputi seluruh wilayah nusantara dengan 24
negara bagian yakni Majapahit pun pernah dipimpin oleh ratu perempuan yang
bernama Tribuana Tungga Dewi. Dia adalah cucu Raden Wijaya pendiri kerajaan
Majapahit yang berkuasa pada tahun abad XIV.
Pada masa Rasulullah, selain Khadijah dan Umu Waraqah, terdapat
nama lain seperti Umu Salamah yang berhasil memberikan solusi di saat tragedy
boikot Makkah ketika rombongan uslimin dari Madinah hendak berhaji. Sahabat
yang tidak terima untuk kembali dengan tangan hampa membuat rasulullah marah
dan yang bisa memberikan solusi ketika itu adalah Umu Salamah.21
F. Penutup
Demikianlah paparan mengenai pemikiran tafsir zaitunah subhan,
dalam karyanya tersebut ia berusaha untuk membongkar tradisi yang sudah ada,
yaitu tradisi patriarkat yang mendiskrimasikan dan mensubordinasikan kaum
wanita. Zaitunah berusaha mengangkat konsep kemitrasejajaran antara pria dan
wnaita. Ia menawarkan kesejajaran dalam perundang-undangan, normatif, hingga
hubungan sosiologis-antropologis, yang berimplikasi pada penafsiran ulang ayatayat Al-Qur’an agar tidak bias gender, seperti ayat qawwamah, kesaksian wanita
dan waris.
Zaitunah menghubungkan konsep kemitrasejajaran tsersebut dengan
kodrat wanita. Di sini ia memaparkan bahwa kodrat tidak bisa menjadi
penghalang bagi wanita untuk ‘sejajar’ dengan pria. Terakhir, Zaitunah
menyimpulkan bahwa teks-teks keagamaan harus dimaknai dengan penafsiran
yang tidak bias gender, sehingga konsep kemitrasejajaran dapat tercapai.
21 Ibid, hm. 111.
76
Pemikiran Zaitunah sangat terpengaruh dengan pemikir-pemikir
feminis seperti Amina Wadud, Fatima Mernissi dan Asghar Ali Engineer.
Meskipun argumen-argumen mereka telah berguguran dan dikritik karena
kerancuan berpikir dan kesalahpahaman mereka dalam memahami teks-teks
keagamaan. Zaitunah sangat jarang merujuk kepada ulama’-ulama’ salaf dan lebih
memilih merujuk kepada tokoh-tokoh feminis tersebut.
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim: Tafsir alMannar . Kairo: Daar al-Mannar, 1947
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia .Yogyakarta: LKiS, 2013
Shihab, Quraish. Kaidah-Kaidah Tafsir .Tangerang: Lentera Hati, 2013
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian.Yogyakarta: LKiS, 1999
77
Umar, Nasaruddin. Perspektif Gender dalam Islam. Jurnal Pemikiran Islam
Paramadina, Vol. 1 Juli-Desember 1998.
Download