RABU, 4 MARET 2015 Efek Fatal Anestesi Spinal Bupivakain Kasus meninggalnya 2 pasien setelah penyuntikan Buvanest Spinal 0,5% Heavy di Rumah Sakit Siloam, Tangerang, pada 12 Februari 2015, mengundang pertanyaan banyak pihak. Tetapi menelusuri penyebab kematian, selain kemungkinan toksisitas bupivakain, juga diduga ketertukaran zat aktif dalam ampul Buvanest Spinal. Oleh F Suryadjaja B uvanest Spinal 0,5 % Heavy adalah larutan obat injeksi anestesi bupivakain hidroklorida (bupivacaine HCl) dengan kadar 5 miligram per mililiter. Sediaan dengan volume 4 mililiter berbentuk ampul dengan kaca berwarna bening. Buvanest Spinal umum digunakan untuk anestesi spinal dalam tindakan pembedahan pada bagian pinggul, termasuk operasi sesar saat persalinan. Anestesi spinal adalah satu satu prosedur anestesi lokal atau regional, dengan cara menyuntikkan zat anestesi ke dalam ruang subaraknoid. Dengan demikian terjadi efek analgesia pada bagian tubuh yang dipersyarafi oleh saraf spinalis. Untuk keperluan pembedahan pada dinding perut bawah pusar, cairan obat bupivakain ditempatkan pada ruang subaraknoid setinggi pertengahan segmen lumbal vertebra. Untuk mencapai rongga subaraknoid, maka dengan menggunakan peralatan jarum spinal khusus, maka dilakukan penusukan pada kulit daerah lumbal setinggi intervertebra antara tulang lumbal 2 (VL2) dengan VL3, atau VL3 dengan VL4. Obat anestesi spinal bupivakain 0,5 persen dipilih untuk anestesi regional daerah pinggul, lantaran dalam praktik medis diketahui lidokain 5 persen cenderung menimbulkan toksisitas pada saraf spinalis. Setelah menembus kulit, maka jarum spinal melewati lapisan lemak subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum, dan permukaan luar duramater, lapisan paling luar dari medula spinalis, yang kaya akan anyaman pembuluh darah. Sebelah dalam duramater terdapat lapisan araknoid dan piamater, dan organ saraf berkonsistensi lembut yang disebut medula spinalis. Antara lapisan araknoid dan piamater terdapat ruang subaraknoid atau ruang intratekal. Pada ruang subaraknoid inilah cairan obat anestesi bupivacaine diinjeksikan. Meskipun tindakan anestesi spinal dikategorikan sebagai tindakan medis sederhana, namun diperlukan kompetensi khusus untuk melakukannya, lantaran memiliki kontraindikasi dan komplikasi. Tindakan anestesi spinal tidak diindikasikan pada pasien dengan anemia pernisiosa, meningitis, tumor spinal, gangguan pembekuan darah, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, kelainan anatomis tulang belakang yang parah, dan gangguan jantung. Sementara komplikasi akibat anestesi apinal ini adalah hipotensi, mual, muntah, rasa nyeri pada saat atau sesudah penyuntikan, kejang hingga koma dan meninggal dunia. Obat bius injeksi bermerek dagang Buvanest Spinal 0,5% Heavy merupakan larutan hiperbarik anestesi spinal. Dengan kata lain, larutan dalam ampul Buvanest memiliki berat jenis yang lebih tinggi ketimbang berat jenis cairan serebrospinal. Berat jenis cairan serebrospinal normal antara 1,003 hingga 1,008. Untuk menjadikan larutan anestesi Buvanest Spinal 0,5% Heavy, agar menjadi larutan hiperbarik, maka ditambahkan dekstrosa dengan kadar 8 persen atau 80 mg per mililiter larutan. Toksis pada Jantung Lantaran larutan hiperbarik, akibat pengaruh gaya gravitasi, maka larutan bupivakain cenderung menempati segmen lebih bawah atau kaudal dari tempat cairan bupivakain diinjeksikan, asalkan posisi pinggul berada lebih rendah dari posisi letak dada. Lantaran letak dada lebih rendah, maka tidak mungkin larutan obat anestesi bupivakain merambat naik ke segmen torakal medula spinalis. Perlu dketahui, medula spinalis segmen torakal merupakan pusat saraf otonom simpatis yang memelihara fungsi berbagai organ tubuh di dalam rongga badan. Pada masa lampau tatkala larutan bupivakain isobarik masih dipergunakan secara luas untuk anestesi spinal, maka sejumlah komplikasi gangguan jantung dan pernapasan terjadi pada saat pembedahan atau pascapembedahan pada daerah pinggul. Lagipula, tubuh pasien berposisi terlentang sehingga letak dada sama tinggi dengan letak pinggul. Akibatnya, obat anestesi spinal bupivakain merambat sampai ke segmen torakal medula spinalis. Jikalau sampai obat bius bupivakain memblokade segmen saraf torakal 4 (T4), maka terjadi gangguan fungsi jantung dengan manifestasi penurunan volume sekuncup jantung. Dengan demikian terjadi penurunan tekanan darah atau hipotensi mendadak. Bila terjadi kelumpuhan saraf frenikus yang menpersyarafi diafragma, pasien yang dianestesi spinal dapat mengalami apnea yang dapat berakibat fatal. Kelumpuhahn saraf frenikus terjadi lantaran bupivakain memblokade segmen saraf torakal 3 (T3). Sedangkan bila pasien sampai mengalami komplikasi mual dan muntah merupakan pertanda telah terjadi hipoksia pada organ otak akibat hipotensi mendadak. Prosedur anestesi spinal harus dilakukan dengan kehati-hatian, sehingga pada saat ujung jarum melewati permukaan lapisan luar selubung duramater jangan sampai cairan hiperbarik bupivakain terinjeksikan ke dalam lumen pembuluh darah yang ada di permukaan duramater medula spinalis. Meskipun sedikit volume yang masuk ke dalam lumen pembuluh darah sudah cukup bagi senyawa bupivakain menimbulkan toksisitas pada organ jantung berupa aritmia atau fibrilasi jantung yang dapat berakhir fatal. Pasalnya, bupivakain merupakan senyawa kimia yang sangat toksis bagi organ jantung. Secara keseluruhan, insidensi kematian akibat anestesi berkisar 0,03 persen dari semua tindakan anestesi. Selain terkait dengan komplikasi anestesi spinal dan toksisitas bupivakain, faktor ketidaksempurnaan dapal proses pembuatan obat, memberikan kontribusi bagi fatalitas akibta kesalahan medikasi pada tindakan medis anestesi spinal. Pada Juli 2006, the Institute of Medicine (IOM) merilis warta Preventing Medication Errors yang menyorot isu kesalahan label dan pengemasan obat sebagai penyebab 33 persen kesalahan medikasi, termasuk 30 persen fatalitas akibat kesalahan medikasi. Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 2000, the Institute of Medicine (IOM) merilis warta tentang To Err is Human : Building a Safer Health System. Warta ini menyatakan 44.000 98.000 kematian terjadi setiap tahun tekait kesalahan medikasi. Dalam warta tersebut, IOM merekomendasikan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration, FDA) berupa pengembangan dan memperkuat standar untuk desain pengepakan obat dan pemberian label sehingga memaksimalkan keamanan dalam penggunaan suatu obat. (11) –– F Suryadjaja, dokter di Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali. Tumor Spinal Merampas Kualitas Hidup RINTO Harahap meninggal pada 09 Februari 2015 saat usia 65 tahun akibat komplikasi tumor spinal yang mulai diderita sejak beberapa tahun lalu. Akibatnya, kondisi tubuh musisi kondang ini semakin hari semakin lemah hingga sering memerlukan perawatan di rumah sakit. Selain itu, Rinto Hararap juga sempat mengalami stroke 4 tahun yang silam. Tumor spinal atau sering disebut juga kanker spinal (spinal malignancy) merupakan proses keganasan pada daerah tulang belakang. Secara anatomi, tulang belakang terdiri dari bagian yang keras berupa tulang belakang (vertebrae), dan bagian yang lunak berupa medula spinal (spinal cord). Dimaksud dengan kanker spinal adalah kanker pada tulang belakang maupun kanker pada medula spinalis. Insidensi kanker spinal meningkat seiring bertambahnya usia seseorang. Meskipun kanker pada tulang belakang dapat berupa kanker primer dari jaringan tulang belakang sendiri yang bersifat progresif lambat, seperti kondrosarkoma dan mieloma multiple. Tetapi jauh lebih dominan prevalensinya adalah kanker sekunder terkait metastase dari kanker primer pada organ tubuh yang lain, khususnya metastase dari kanker pada organ prostat. Sementara itu, kanker primer medula spinalis sendiri (di antaranya meningioma, dan astrositoma) jauh lebih dominan ketimbang kanker sekunder terkait metastase. Selain itu, gejala kanker pada medula spinalis lebih bersifat progresif akibat penekanan massa tumor lantaran sempitnya rongga kanalis vertebral. Selain limfoma, leukemia dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), faktor kecenderungan genetik memegang peran penting sebagai penyebab untuk kemunculan kanker spinal. Manifestasi kanker spinal umumnya berupa tubuh yang lemah, kesulitan saat menggerakkan tubuh, kejang otot, nyeri hebat pada daerah tulang belakang sehingga sangat merampas kualitas hidup penderita, tungkai teraba dingin, inkontinesia alvi dan urine, parestesia hingga kelumpuhan tungkai. Sulit Bertahan Hidup Penegakan diagnosis tumor spinal selain dengan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, juga perlu pemeriksaan penunjang foto roentgen baik dengan kontras maupun tanpa kontras, CT-scan, pemindaian tulang (bone scanning), dan magnetic resonance imaging (MRI) pada tulang belakang. Selain itu, terkadang diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk cairan serebrospinal, dan elektroensefalografi. Penanganan harus segera dilakukan begitu diagnosis kanker spinal ditegakkan. Semakin dini penemuan dan semakin tepat penanganan, semakin baik prognosis kanker spinal. Terapi bedah dipilih bila prosedur pembedahan masih memungkinkan untuk pengangkatan massa kanker. Pembedahan merupakan terapi utama untuk sebagian besar kasus tumor spinal, meskipun berisiko tinggi untuk menimbulkan kerusakan pada medula spinalis atau saraf spinal. Kalau memungkinkan dilakukan prosedur bedah mikro sebagai upaya intervensi untuk meminimalisasi jaringan saraf yang ikut terangkat (tereksisi) saat pengangkatan massa tumor. Dengan demikian memperkecil kemungkinan komplikasi kelumpuhan terkait ketiadaan persyarafan oleh medula spinalis. Bila tidak, maka kemoterapi dan radioterapi direkomendasikan. Pada kasus kanker spinal yang mana telah terjadi penekanan atau kompresi pada medula spinalis, maka diindikasikan pemberian kortikosteroid untuk menekan proses inflamasi yang berkontribusi memperparah kerusakan akibat proses kompresi kanker pada medula spinalis. Kanker spinal dapat melakukan metastase ke organ otak lewat cairan serebrospinal dan lewat aliran darah ke organ tubuh dalam rongga perut. Selain itu, kanker pada medula spinalis dapat juga bermetastase ke jaringan tulang vertebra, jaringan lunak pada tulang belakang, dan organ tubuh lainnya. Kanker atau tumor spinal mudah kambuh dan merupakan pertanda prognosis yang buruk bagi pasien. Adanya gangguan neurologis yang parah dan usia lanjut dapat memperburuk kualitas hidup penderita, sebab memiliki probabilitas tinggi untuk kecacatan permanen. Tergantung pada lokasi kanker, dan jenis kanker spinal, hanya sekitar 40 persen penyandang tumor spinal yang dapat bertahan hidup dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan. Pasalnya, kanker spinal cenderung menimbulkan osteoporosis parah pada tulang vertebra, penyumbatan lumen pembuluh darah, kerusakan pada saraf perifer serta selaput otak (meninx), dan sel saraf pada medula spinalis. Dengan pemberian terapi yang tepat, angka kelangsungan hidup penyandang kanker spinal dapat mencapai 5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. (F Surjadjaya- 11). Balita Juga Butuh Makanan Berlemak Oleh JC. Susanto ADA pendapat dalam masyarakat, bahwa anak laki -laki tumbuh dengan cepat setelah sunat. Atau sekitar umur 12-14 tahun pada anak laki dan 10-12 tahun pada anak perempuan. Padahal peningkatan pertumbuhan panjang badan, bukan pada masa remaja setelah anak disunat, tetapi justru pada saat awal kehidupan, terutama satu tahun pertama. Artinya pertambahan panjang pada anak/bayi dari 0-1 atau 2 tahun jauh lebih cepat dari tinggi badan pada remaja. Pertambahan panjang badan bayi laki dari lahir sampai umur 2 tahun, sekitar 38 cm, sedangkan pada bayi 0-1 tahun adalah 26 cm. Artinya kecepatan pertumbuhan panjang bayi umur 0-1 tahun sangat cepat, dan kecepatannya adalah dua kalinya pertambahan panjang badan anak umur 1-2 tahun. Bisa diartikan juga bahwa pertumbuhan panjang badan anak paling cepat di umur 0-1 tahun kemudian melambat, makin bertambah umur makin lambat, sampai anak mencapai usia remaja. Sementara itu pada pada anak remaja pertambahan tinggi badan pada anak laki umur 12 14 tahun, saat terjadi pertumbuhan cepat hanya 12 cm dalam 2 tahun. Demikian juga pada wanita (bayi 0-2 tahun 37 cm, bayi 0-1 tahun 25 cm, pada dewasa wanita umur 10-12 tahun 9 cm). Jadi pertumbuhan tinggi badan pada anak remaja, sekalipun sering disebut cepat, masih jauh lebih lambat dibanding pertumbuhan panjang pada bayi 0-2 tahun. Dalam hal pertumbuhan berat badan, bayi harus tumbuh cepat, dari berat badan 3 kg saat lahir menjadi 4 kg pada umur 1 bulan, atau meningkat 30% dibanding berat badan saat lahir, dan menjadi 3x berat badan lahir saat umur 1 tahun. Serta menjadi 4 kali berat badan lahir di umur 24 bulan. Pertumbuhan cepat pada kelompok umur 0-2 tahun lebih istimewa lagi, karena pada saat itu juga terjadi pertumbuhan cepat otak. Saat anak mencapai umur 2 tahun besarnya otak mencapai 80% ukuran otak orang dewasa. Maka pada masa ini disebut sebagai “golden period”. Konsekuensinya, jika pada awal kehidupan (dari konsepsi sampai umur 2 tahun) terjadi hambatan pertumbuhan (anak menjadi kurus dan atau pendek), akan berakibat pada terjadinya hambatan perkembangan/kepandaian. Nutrisi Lalu bagaimana bayi dapat mencukupi kebutuhannya Pada umur 1-2 tahun bayi mendapat makanan MPASI yang disebut makanan keluarga, dalam hal ini nasi dengan lauk pauknya. Sementara kelompok orang dewasa juga mengkonsumsi makanan keluarga. Lalu apa makanan keluarga untuk bayi dan anak itu sama dengan makanan keluarga untuk orang dewasa? Untuk kelompok orang dewasa, mengkonsumsi makanan untuk beraktivitas, dan mempertahankan berat badan. Sumber energi utama pada orang dewasa adalah karbohidrat, sebaliknya pada kelompok bayi dan anak sumber energi adalah minyak atau lemak. Hal ini karena lemak merupakan sumber energi yang efisien (1 gram lemak menghasilkan 9 kkal energi, dibanding 1 gram karbohidrat yang setiap gram hanya mengghasilkan 4 kkal). ASI yang merupakan makanan terbaik bayi (sampai 2 tahun), mempunyai kandungan lemak sangat tinggi, sekitar 50%. Artinya 50% energi dari ASI berasal dari lemak, sekalipun ASI itu tidak tampak berminyak. Oleh karena itu, ketika anak itu mendapat MPASi, juga harus mempunyai kandungan lemak yang tinggi, sekitar 30-45%. Hal ini berbeda dengan kebutuhan lemak pada orang dewasa yang harus rendah atau kurang dari 30% dari total energi. Dapat disimpulkan bahwa untuk menunjang pertumbuhan pada awal kehidupan, bayi dan anak harus mengkonsumsi makanan atau minuman padat gizi (tidak hanya mengenyangkan) dengan frekuensi yang sering, agar dapat memenuhi kebutuhan tubuh yang sedang tum- buh sangat cepat. Anak tumbuh cepat tetapi lambungnya kecil. Jadi, berikan kepada anak makanan dengan porsi kecil sering dan padat gizi. Kata kunci di kalimat ini adalah padat gizi. Dalam pelaksanaannya, bisa berarti makanan yang masuk ke mulut bayi/anak itu harus padat gizi, padat energi dan nutrisi. Makanan Keluarga Makanan keluarga adalah apa yang dimakan oleh sebagian besar keluarga. Macamnya sangat bervariasi tergantung tempat, musim dan budaya. Di Jawa berupa makanan pokok, yang paling sering adalah nasi, dengan sayur, paling banyak yang berwarna hijau, seperti bayam dan brokoli. Sayur untuk bayi/anak umumnya dimasak dengan banyak air misalnya sayur bening bayam kunci, atau sayur gambas, atau sop. Yang terakhir ini biasanya memakai kubis, wortel dan bakso. Ketiga jenis makanan tadi biasanya tanpa minyak atau sedikit menggunakan minyak. Itulah makanan yang paling sering diberikaan pada anak. Sedangkan masakan sayur yang bersantan, seperti lodeh, opor atau gule, atau makanan yang digoreng seperti nasi goreng atau mie goreng sangat jarang diberikan kepada anak kecil. Para ibu atau nenek bayi, takut kalau ususnya belum siap atau menyebabkan batuk. Makanan tersebut biasanya ditambah dengan lauk ditambah dengan lauk hewani seperti telur, hati, dan ayam. Makanan keluarga yang dikonsumsi anak biasanya itu-itu saja. Hampir tidak pernah berubah dari hari ke hari, alias monoton, rendah energi dan rendah mikronutrien. Makanan seperti ini baru dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak jika dikonsumsi dalam volume yang sangat besar. Hal ini tidak mungkin karena lambung bayi atau anak itu kecil. Sebaliknya makanan keluarga yang dikonsumsi orang dewasa lebih bervariasi, dan lebih berlemak. Akibat kekurangan energi dan gizi, baik makro nutrient maupun mikro nutrient, pertumbuhan bayi atau anak terganggu. Pada masa ini yang utama adalah pembelahan sel (hiperplasi), pertumbuhan yang cepat bukan hanya fisik, tetapi juga otak. Orang tua menghendaki anak cepat besar. Hal itu akan dapat dicapai jika mendapat makanan padat gizi. Mereka berpendapat makanan setengah padat ini (bubur atau nasi tim) akan membuat bayi lebih cepat besar dibanding mendapat ASI saja. Lalu, umur satu tahun itu diberi nasi. Kadang nasi lembek, tetapi kadang masih diberi bubur dengan sayur bening bayam atau sop dan lauknya. Pada umumnya makanan ini tidak berlemak atau bersantan. Karena memang demikianlah makanan tradisional yang dianjurkan. Menyadari hal itu sebaiknya anjuran pemberian MPASI perlu dibetulkan. Tidak cukup dengan pemberian MPASI yang dapat mengenyangkan anak umur 6-24 bulan, tetapi juga memperhatikan kebutuhannya. Anak perlu tumbuh cepat tetapi lambungnya kecil, jadi bayi perlu mendapat makanan dengan porsi kecil, sering dan padat gizi. Kebutuhan lemak untuk anak seumur itu adalah 30-45% dari total energi. Dari sejumlah itu anak yang masih mendapat ASI perlu mendapat pasokan minyak sekitar 18%. Untuk anak umur 12-24 bulan perlu pasokan minyak sekitar 5,5 sendok obat, ditambah lauk dan sayur. Minyak dapat diganti dengan santan kental yang membasahi nasi. Dengan cara itu akan dihasilkan makanan padat energi dan nutrisi yang diharapkan dspat menunjang pertumbuhan anak, sehingga dapat mengikuti grafik pertumbuhan atau tumbuh normal, atau menjadi 4x berat badan lahir pada umur 2 tahun. Apakah pemberian lemak yang banyak itu tidak berlebihan dan dapat merugikan bagi masa depan kesehatan anak?. Tidak. Karena pada masa bayi dan anak itu diperlukan makanan yang padat nutrisi dan energi yang memerlukan asupan lemak yang tinggi. Konsumsi energi yang tinggi dapat dicapai jika konsumsi minyak yang tinggi baik dalam bentuk minyak, santan atau margarin. Konsumsi minyak yang tinggi ini ternyata tidak mempunyai dampak yang buruk bagi kesehatan anak. (11) –– Dr JC Susanto SpAK, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP / RSUP Dr Kariadi Semarang