KETERKAITAN ANTARA BAHASA DAN DIALEK DALAM MASYARAKAT Di dalam masyarakat terdapat berbagai ragam bahasa yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Munculnya berbagai ragam bahasa atau dialek tersebut disebabkan adanya faktor perbedaan waktu, tempat, sosial, budaya, situasi serta sarana pengungkapan. Ragam Bahasa yang Terdapat di Masyarakat Di dalam masyarakat terdapat berbagai macam ragam bahasa yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat dan suku bangsa. Menurut Harimurti Kridalaksana, munculnya berbagai ragam bahasa atau dialek tersebut disebabkan karena adanya faktor perbedaan waktu, tempat, sosial, budaya, situasi, serta sarana pengungkapan. Adapun berbagai macam ragam bahasa atau dialek yang berkembang di masyarakat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis, antara lain sebagai berikut. 1. Ragam bahasa yang digunakan oleh seseorang yang berbeda ragam bahasanya dengan orang lain yang disebut idiolek. Misalnya, ragam bahasa yang digunakan oleh orang dari suku Sunda akan berbeda dengan bahasa serta dialek yang digunakan seseorang dari suku Ambon. 2. Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat di suatu wilayah tertentu yang membedakannya dari bahasa yang dipakai oleh sekelompok anggota masyarakat di wilayah lainnya yang disebut dialek. Misalnya, bahasa Indonesia dialek Minang yang diucapkan oleh orang di daerah Padang akan berbeda dengan bahasa Indonesia dialek Jawa yang diucapkan oleh orang di daerah Solo. 3. Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat di suatu lingkungan tertentu yang berbeda dari suatu bahasa atau dialek yang digunakan oleh sekelompok masyarakat di suatu lingkungan sosial lainnya. Misalnya, ragam bahasa atau dialek yang digunakan oleh orang-orang di lingkungan pasar akan berbeda dengan ragam bahasa atau dialek yang digunakan oleh orangorang di kantor atau sekolah. 4. Ragam bahasa yang dipergunakan oleh sekelompok masyarakat di suatu lingkungan kelas sosial tertentu akan berbeda dengan ragam bahasa atau dialek yang digunakan oleh sekelompok masyarakat di lingkungan kelas sosial lainnya. Misalnya, bahasa atau dialek yang dipergunakan oleh orang-orang dari lingkungan kelas sosial yang tinggi akan berbeda dari bahasa atau dialek yang digunakan oleh orang-orang dari kelompok kelas sosial menengah atau kelas sosial rendah. Selain klasifikasi ragam bahasa tersebut, terdapat beberapa penggolongan ragam bahasa atau dialek yang dikemukakan oleh beberapa ahli linguistik. Menurut Pateda terdapat beberapa jenis ragam bahasa berdasarkan tempat, waktu, pemakai, pemakaian, situasi, dan statusnya. Menurut Sadtono terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi pembentukan variasi bahasa, yaitu faktor geografi, faktor sosial, dan faktor register yang menggambarkan ragam bahasa yang berbedabeda sesuai dengan tingkat keformalan suatu situasi, profesi, dan sarana bahasa. Pengaruh antara Bahasa dan Dialek dalam Masyarakat Sampai saat ini para ahli bahasa belum memperoleh rumusan yang jelas serta tegas mengenai batas-batas yang dapat membedakan antara bahasa dan dialek yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Panitia Atlas Bahasa-Bahasa Eropa dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang mempergunakan sistem bahasa yang berlainan, meskipun erat hubungannya. Di dalam analisis ilmu bahasa, dialek bersinonim dengan istilah logat, yakni cara berbicara yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok penutur bahasa yang membedakannya dari cara berbicara atau berkomunikasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang pemakai bahasa lainnya. Menurut Meillet ciri utama sebuah dialek adalah perbedaan dalam kesatuan serta kesatuan dalam perbedaan. Selain itu, terdapat dua cirri lain yang melekat pada dialek, antara lain 1. dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama; 2. dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Menurut Claude Fauchet, dialek pada mulanya ialah mots de leur terroir (kata-kata di atas tanahnya) yang di dalam perkembangannya menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang layak dipergunakan di dalam karya-karya sastra dan bahasa daerah. Di dalam perkembangannya, salah satu dialek bahasa daerah tersebut mulai diterima sebagai bahasa baku oleh berbagai daerah pemakai dialek-dialek karena adanya unsur subjektif maupun objektif. Beberapa faktor yang menentukan diterimanya suatu dialek bahasa daerah menjadi bahasa baku atau negara adalah faktor politik, kebudayaan, ekonomi, dan ilmiah. Selain itu, munculnya bahasa baku tersebut didorong oleh adanya kebutuhan dari beberapa kelompok masyarakat yang saling terpisah untuk bisa saling berkomunikasi. Dengan demikian, bahasa baku adalah satu bahasa atau dialek yang dipilih oleh berbagai kelompok masyarakat untuk saling berkomunikasi. Dipilihnya suatu dialek menjadi bahasa baku disebabkan karena bahasa atau dialek tersebut dianggap lengkap kosa katanya oleh masyarakat pemakainya. Bentuk dan pemakaian bahasa baku ini akan menjadi model percontohan bagi seluruh rakyat. Di dalam praktiknya, seseorang yang akan berbahasa akan menyesuaikan diri dengan orang yang akan diajak bicara. Selain itu, seseorang penutur bahasa tersebut biasanya akan mencoba untuk menyesuaikan diri dengan bentuk serta pemakaian bahasa yang telah dipakai secara luas di dalam masyarakat. Dengan demikian, di dalam penggunaan bahasa, terjadi proses tarikmenarik antara pemakaian bahasa standar dengan bahasa lokal. Karena di antara bahasa daerah atau dialek-dialek lokal tersebut terdapat salah satu bahasa daerah yang dibakukan atau diangkat menjadi bahasa nasional maka dalam kaitannya dengan perkembangan bahasa nasional, bahasa daerah atau dialek-dialek lokal tersebut akan mewarnai atau memengaruhi pertumbuhan bahasa nasional tersebut. Selain memiliki beragam bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu suatu suku bangsa, bangsa Indonesia juga memiliki bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan yang diangkat dari bahasa Melayu. Di dalam penggunaan bahasa Indonesia, setiap ragam bahasa daerah memengaruhi pemakaian bahasa Indonesia sehingga terjadi inferensi dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia karena setiap suku memiliki ciri khas di dalam penggunaan bahasa Indonesianya yang disebut ciri-ciri etnik bahasa Indonesia. Karena adanya ciri-ciri etnik di dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional maka di berbagai daerah di Indonesia dikenal adanya bahasa Indonesia berdialek bahasa daerah. Misalnya, bahasa Indonesia dialek Aceh, bahasa Indonesia dialek Minangkabau, bahasa Indonesia dialek Sunda, bahasa Indonesia dialek Jawa, bahasa Indonesia dialek Madura, bahasa Indonesia dialek Bali, bahasa Indonesia dialek Banjar, bahasa Indonesia dialek Bugis, bahasa Indonesia dialek Manado, atau bahasa Indonesia dialek Ambon. Selain adanya variasi bahasa dan dialek-dialek dalam bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh dialek-dialek lokal, di Indonesia terdapat variasi bahasa lain yang hampir sama cirinya dengan dialek etnik yang disebut variasi bahasa pijin. Bahasa pijin adalah ragam bahasa campuran antara dua bangsa yang berbeda. Misalnya, campuran bahasa Belanda dan Jawa pada masa penjajahan. Lahirnya bahasa pijin (pidgin) diakibatkan oleh adanya pertemuan sebagian penduduk dengan penduduk bangsa lain di tempat yang terpisah dari pusat pemukiman karena adanya aktivitas perdagangan, perusahaan perkebunan, dan penjajahan yang menghasilkan ragam bahasa campuran antara bahasa dua bangsa yang berbeda. Variasi bunyi dan aturan tata bahasa campuran tersebut merupakan campuran bunyi dua bahasa yang berbeda. Pada masa penjajahan, ragam bahasa baru juga dapat dihasilkan dari aktivitas perkebunan PEMETAAN BUDAYA, MASYARAKAT PENGGUNA BAHASA DIALEK, DAN TARDISI LISAN DI SUATU DAERAH DAN NUSANTARA. Indonesia merupakan himpunan masyarakat yang terdiri atas aneka suku bangsa yang mengikat diri sebagai satu bangsa, Indonesia. Menurut salah satu taksiran, ada lebih dari 500 suku bangsa yang hidup di Indonesia. Suku-suku bangsa di Indonesia beragam corak dan tingkat kebudayaannya. Ada suku bangsa yang secara social, ekonomi, dan politik telah berkembang dan mengenal system kerajaan, ada pula suku-suku bangsa yang secara social, ekonomi, dan politik masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan atas aturan kekerabatan dan hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan. Oleh karena itu bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. Keberagaman masyarakat Indonesia melahirkan bahasa yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. kemudian dalam daerah itu sendiri terdapat masyarakat yang memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda pula. Untuk itu sebagai pemersatu bangsa digunakanlah bahasa Indonesia. A. Pemetaan Budaya Budaya yang ada di Indonesia dipetakan sesuai dengan daerahnya masing-masing. Misalnya logat bahasa Jawa dari Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh bahasa Sunda; atau logat bahasa Sunda dari Banten; atau logat bahasa Cirebon, dan logat bahasa Sunda Cirebon. Selain itu, bahasa ngapak juga terdapat di daerah Jawa Tengah yaitu bahasa ngapak Tegal dan bahasa ngapak Banyumasan. Walaupun sama-sama bahasa ngapak tetapi antara Tegal dan Banyumas berbeda bahasa. Bahasa ngapak Tegal seperti: nyong (aku), kowen (kamu), ader (masa), laka-laka (tidak ada tandingannya), tuli (terus), pimen (bagaimana), pan (akan) dan sebagainya. Sedangkan bahasa ngapak Banyumasan seperti: inyong (aku), ko (kamu), teyeng (bisa), di akhir kata tanya menggunakan kata mbok (kan?), madang (makan), ngelih (lapar), kepriwe (bagaimana) dan sebagainya. Dialek adalah variasi bahasa yang berbeda menurut pemakai bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu atau kurun waktu tertentu. Dialek suatu daerah bisa diketahui berdasarkan tata bunyinya. Bahasa Indonesia yang diucapkan dalam dialek orang Tapanuli dapat dikenali karena tekanan katanya yang sangat jelas. Bahasa Indonesia dialek Bali dan Jawa dapat dikenali pada pelafalan bunyi t dan d. Ciri-ciri khas yang meliputi tekanan, turun naiknya nada, dan panjang pendeknya bunyi bahasa membangun aksen yang berbeda-beda. Perbedaan kosakata dan variasi gramatikal tidak terlalu jelas. Perbedaan ragam dialek tersebut berkaitan dengan bahasa ibu penutur bahasa. Oleh karena itu, dalam penggunaan bahasa terdapat perbedaan dialek seperti bahasa Jawa yang dipergunakan oleh orang-orang di Pekalongan dan Tegal berbeda dengan bahasa Jawa yang dipergunakan di Solo atau Yogyakarta. Demikian pula dialek bahasa Jawa yang dipergunakan oleh orang-orang di Madiun atau Surabaya berbeda dengan bahasa Jawa yang dipergunakan oleh orangorang di Banyumas. Akan tetapi, perbedaan dialek tersebut secara umum masih berlangsung dalam rumpun bahasa Jawa. Di Indonesia terdapat beratus-ratus dialek yang tersebar di berbagai daerah. Misalnya, dialek bahasa Indonesia Betawi, dialek Melayu Medan, Melayu Ambon, Melayu Palembang, dialek Batak Toba, Batak Karo, dialek bahasa Jawa Cirebon, bahasa Jawa Tegal, bahasa Jawa Solo, bahasa Jawa Semarang, bahasa Jawa Yogyakarta, dan bahasa Jawa Surabaya. Dialek dibedakan atas hal berikut: • Dialek regional yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga membedakan bahasa daerah yang satu dengan daerah yang lain walapun meraka berasal dari eka bahasa maka dikenalah melayu dialek ambon ,Jakarta disebut dialek betawi, atau bahasa melayu dialek medan.padahal bahasa yang digunakan sama . • Dialek sosial yaitu dialek yang digunakan oleh masyarakat tertentu atau untuk menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dengan dialek remaja atau dialek para eksekutif dengan dialek rakyat dari kalangan biasa. • Dialek temporal yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu terentu contohnya dialek pada zaman majapahit dengan dialek zaman sekarang. Pada zaman dahulu cara pelafalannya berbeda dan ejaannya pun berbeda. Tradisi Lisan Sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat mengandalkan tradisi lisan dalam hal pemeliharaan dan pewarisan budaya masyarakat dari generasi ke generasi. Seperti pemeliharaan dan penyampaian ilmu pengetahuan, adat istiadat, sejarah, filsafat moral, agama, kedudukan sosial, dan norma-norma masyarakat. Tradisi lisan menjelma dalam kisah-kisah lisan di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai nama. Kisah lisan memiliki beberapa ciri yang lazim. Biasanya banyak sekali–panjang lebar dan berlebihan dalam bahasa – menggunakan pola dan susunan baku untuk membantu pencerita memproses ucapan dan mengingat teksnya. Cerita tersusun dari serangkaian peristiwa yang benar-benar terjadi, dongeng khayalan atau teks keagamaan. Berikut ini disajikan beberapa contoh tradisi lisan dalam beberapa masyarakat bahasa yang ada di Indonesia, disarikan dari Indonesian Heritage, jilid 10 (2002). Wayang Kulit Wayang kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia. Kumpulan lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra dari tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk teater ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan layar lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan berbagai suara dan bunyi-bunyian. Mak Yong Tradisi teater Mak Yong berasal dari Pattani di Muangthai Selatan mulai abad ke – 16 dan menyebar ke selatan melalui Semenanjung Melayu ke Singapura dan tempat-tempat yang sekarang disebut provinsi Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Mak Yong disebut teater terindah karena menggabungkan banyak unsur pertunjukan seperti drama, tari, musik, mimik, dan sebagainya • Didong Didong adalah bentuk kesenian tradisional orang Gayo di daerah bagian tengah provinsi Riau di Sumatera. Kata didong dipercaya berasal dari dendang yang berarti sama dengan denang dan donang dalam bahasa Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi musik sambil bekerja. Didong meliputi seni sastra, suara dan tari. Pemain menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan music khusus. Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala dan badan. Tanggomo Tanggomo merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi Utara. Syair Tanggomo menceritakan kisah yang sedang hangat atau peristiwa menarik setempat, mempunyai banyak penganut. Selain menghibur, tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam peristiwa sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara harfiah, tanggomo berarti menampung; dan penyanyi tanggomo (ta motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan cerita dengan semenarik mungkin. Rabab Pariaman Rabab Pariaman merupakan tradisi pertunjukkan lisan dari Sumatera Barat. Penyampaian cerita dipersembahkan dalam bentuk nyanyian oleh tukang rabab, yang selalu laki-laki. Tukang rabab semuanya pribumi Pariaman. Tukang rabab duduk bersila, rabab dipegang berdiri di depannya, lehernya dijepit kendur antara jempol kiri dan jari-jari lain agar ia juga dapat memetik senarnya, dan penggeseknya di tangan kanan. Pertunjukkan biasanya diadakan pada malam hari setelah salat Isya dan berakhir tak lama sebelum salat subuh. Pantun Sunda Pantun Sunda merupakan sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda di Jawa Barat. Dipertunjukkan dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita cerita pantun merupakan campuran antara percakapan, lagu dan syair cerita, biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan pantun Sunda dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional, seperti pernikahan. Pada upacara keagamaan, juru pantun mungkin akan berpuasa selama beber apa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai bernyanyi. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN BUDAYA, BAHASA, DIALEK, TRADISI LISAN YANG ADA DI MASYARAKAT SETEMPAT Kemajemukan sistem sosial budaya masyarakat juga tercermin dalam penggunaan bahasa. Berbagai kelompok masyarakat tersebut menggunakan berbagai ragam bahasa. Misalnya, ragam bahasa di kantor, sekolah, terminal, kelompok remaja, dan arisan. Setiap ragam bahasa tersebut mempunyai istilah-istilah dan idiom khusus yang hanya dipahami oleh anggota kelompok tersebut. Bahasa dan Dialek yang Digunakan dalam Masyarakat Berdasarkan tingkat keformalannya, bahasa dan dialek-dialek yang berkembang di masyarakat juga memiliki berbagai variasi. Di dalam masyarakat terdapat komunitas tertentu yang menggunakan ragam bahasa formal dalam situasi tertentu, seperti upacara-upacara kenegaraan, rapat-rapat di kantor, khotbah di masjid atau pengambilan sumpah. Sebaliknya, terdapat sekelompok masyarakat atau komunitas tertentu yang dalam aktivitas sehari-hari menggunakan ragam bahasa nonformal, seperti bahasa daerah, bahasa pedagang, bahasa gaul, dan bahasa seni. Fungsi bahasa secara umum, yaitu untuk berkomunikasi. Kita berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan bahasa. Menurut Prof. Dr. Samsuri (1980), bahasa tidak dapat terpisahkan dari manusia dan mengikuti di dalam setiap pekerjaannya. Mulai bangun pagi-pagi sampai larut malam sebelum tidur manusia tidak lepas memakai bahasa. Di rumah kita berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain, misal bapak, ibu, kakak, atau adik. Di luar rumah kita berkomunikasi dengan tetangga, di perjalanan apabila naik angkutan umum kita bisa berkomunikasi dengan orang yang di dekat kita, di sekolah atau di tempat kerja kita juga berkomunikasi dengan teman sekolah atau rekan kerja. Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu. Di Indonesia terdapat ratusan bahasa daerah dan ratusan dialek yang digunakan dalam masyarakat. Dalam penggunaan bahasa dan dialek, kita harus bisa menempatkan di mana kita sedang berada dan kepada siapa kita berkomunikasi, misalnya di kantor, di pasar atau di terminal. 1. Bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas di kantor dan sekolah Di lingkungan kantor, sekolah, perusahaan, dan pemerintahan, digunakan ragam bahasa serta dialek yang resmi, yakni bahasa dan dialek yang telah dipilih serta diangkat menjadi bahasa resmi negara. Bahasa resmi negara adalah bahasa yang telah dipilih menjadi bahasa yang digunakan dalam administrasi negara, perundang-undangan, dan upacara-upacara resmi. Di Indonesia, bahasa resmi Negara adalah bahasa Indonesia, yang berkembang dari bahasa Melayu. Di lingkungan-lingkungan formal seperti di kantor, sekolah, dan pemerintahan selalu menggunakan bahasa Indonesia.Kantor adalah suatu tempat pelayanan masyarakat yang di dalamnya terdapat pimpinan, pembantu pimpinan, dan staf (karyawan) serta masyarakat yang membutuhkan pelayanan di tempat tersebut. Misalnya: – Bank, di dalamnya ada direktur, wakil direktur, karyawan, dan nasabah bank. – Sekolah, di dalamnya ada kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, dan murid. Bahasa dan dialek yang digunakan di kantor harus bahasa formal atau resmi atau nasional, yaitu bahasa Indonesia. Di kantor, kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Misalnya kita menyapa atau memberi salam kepada rekan kerja pada pagi hari: “Selamat pagi, Pak atau Bu!”. Apabila di sekolah, para guru khususnya harus menggunakan bahasa Indonesia yang benar sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia, mulai tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Para murid atau siswa harus diajak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Contoh guru membuka atau memulai pelajaran di ruang kelas XI, mata pelajaran antropologi. “ Selamat pagi, anak-anak!, pada pertemuan kali ini kita akan membahas materi bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas masyarakat di kantor”. Sumber: Ensiklopedi Umum untuk Pelajar, 2005 Bahasa formal biasa digunakan dalam lingkungan kerja (pemerintah maupun swasta). 2. Bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas masyarakat di pasar Pasar adalah tempat terjadinya transaksi para pedagang dan para pembeli. Dalam transaksi tersebut akan terjadi tawar-menawar barang hingga tercapai suatu kesepakatan harga di antara kedua belah pihak, yakni para pembeli dan penjual. Di dalam transaksi tersebut digunakan ragam bahasa yang khas di kalangan kaum pedagang, yaitu ragam bahasa pasar. Ragam bahasa tersebut digunakan untuk bertransaksi menentukan harga. Biasanya dalam proses tawar-menawar tersebut akan muncul istilah-istilah harga barang yang tidak asing di lingkungan para pedagang pasar. Istilahistilah harga barang yang merupakan bahasa para pedagang tersebut dalam ilmu folklore disebut dengan nama shoptalk. Karena pasar menjadi suatu tempat pelayanan umum yang di dalamnya terdapat penjual, pembeli, pengangkut barang, petugas kebersihan, dan sebagainya. Jadi, komunitas masyarakat di pasar lebih bervariasi, baik itu pekerjaan, pendidikan, usia, pakaian yang dikenakan, dan sebagainya. Bahasa dan dialek yang digunakan di pasar tradisional adalah bahasa daerah setempat. Misalnya di Pasar Johar Semarang (Jawa Tengah), komunitas masyarakatnya menggunakan bahasa. Contoh dialog antara penjual dan pembeli dengan menggunakan bahasa Jawa. – Pembeli “Endhoge sekilo regane pira?” (Telornya satu kilogram harganya berapa?). – Penjual “Wolungewu limangatus rupiah, Bu”. (Delapan ribu lima ratus rupiah, Bu). Sumber: Dokumen Penerbit Pasar merupakan tempat bertemunya para pedagang dan pembeli dari berbagai tempat. Hal itu menyebabkan penggunaan bahasa dan dialek yang khas di pasar. 3. Bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas masyarakat di terminal Terminal adalah tempat pemberhentian dan pemberangkatan angkutan umum bus dari dan ke berbagai jurusan. Di dalam lingkungan terminal terdapat kepala terminal, petugas administrasi, kebersihan, dan keamanan. Juga ada awak bus (sopir, kernet, kondektur), penumpang, pedagang di kios, pedagang asongan, pengamen, dan pengemis. Komunitas masyarakat di terminal yang beraneka ragam tersebut menjadikan bahasa yang mereka gunakan juga beberapa macam, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Misal: Komunitas masyarakat di terminal Lebak Bulus Jakarta menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Sunda dan Betawi). Karena terdiri dari para penumpang yang berasal dari berbagai daerah maka kelompok masyarakat yang ada di daerah terminal cenderung bersifat heterogen (majemuk), baik dilihat dari segi asal daerahnya, suku bangsa, agama, dan jenis kelaminnya. Lingkungan terminal terdiri atas para penumpang, sopir, kondektur, kernet, pedagang, yang ada di toko atau kantin-kantin terminal maupun para pedagang asongan yang menjajakan dagangannya di terminal. Selain itu, di terminal juga terdapat para calo penumpang, para pengamen, pengemis, preman, dan copet. Karena sifatnya yang heterogen tersebut maka pemakaian ragam bahasa di terminal juga sangat beragam sehingga terdapat ragam bahasa dan dialek para kru bus, para penumpang, para pedagang, pengamen, pengemis, gelandangan, preman, dan para pencopet. Karena lingkungan sosialnya bersifat campuran atau beragam maka ragam bahasa yang dipakai di terminal ada yang menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek serta logat daerah asalnya masing-masing serta bahasa lokal dengan dialek daerah tertentu. Fenomena tersebut akan mudah ditemukan di lingkungan terminal-terminal antarkota di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, atau Medan. Sebaliknya, di lingkungan terminal-terminal kota kecil keberagaman bahasa tersebut semakin berkurang. Selain itu, pada lingkungan komunitas yang ada di terminal juga muncul istilah-istilah khusus yang hanya dimengerti oleh anggota dari lingkungan komunitas-komunitas yang ada di terminal tersebut. Misalnya, di lingkungan penjahat dan gelandangan terminal terdapat istilah-istilah khusus yang hanya dimengerti oleh anggota-anggota dari komunitas tersebut. Dalam ilmu folklor, istilah-istilah khusus yang biasa digunakan di lingkungan para penjahat serta gelandangan atau oleh kelompok khusus lainnya disebut dengan istilah slang (bahasa rahasia). Fungsi bahasa slang adalah untuk menyamarkan arti bahasa yang digunakan anggotanya terhadap orang luar. Penggunaan slang (bahasa rahasia), dalam arti khusus oleh suatu kelompok sosial tertentu disebut cant. Misalnya, di Jakarta cant adalah istilah-istilah rahasia yang biasa dipergunakan oleh para pencopet maupun penjambret seperti istilah jengkol yang berarti kaca mata serta rumput yang berarti polisi. Bagi para pencopet dan penjambret, jengkol diartikan sebagai kaca mata karena bentuk buahnya yang bulat seperti kaca mata. Istilah tersebut dipergunakan oleh para penjahat ketika akan menyuruh kawannya untuk merampas kaca mata orang yang hendak mereka jadikan korban penjambretan. Istilah rumput diartikan polisi karena warna pakaian polisi yang berwarna hijau seperti rumput. Dengan demikian, apabila seorang pencopet hendak memperingatkan kawannya bahwa ada seorang polisi maka ia akan berkata, ”awas ada rumput!”, yang berarti ada polisi di dekat tempat itu Sumber: http://images.google.co.id Di terminal masyarakat menggunakan bahasa dan dialek yang bermacam-macam, karena mereka berasal dari beberapa daerah yang berbeda. 4. Di Lingkungan Remaja Salah satu ciri remaja adalah ingin bergaul dengan teman sebayanya. Upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan ragam bahasa khusus yang hanya dipahami oleh anggota kelompok remaja. Penggunaan ragam bahasa khusus tersebut bertujuan agar mereka bisa berkomunikasi antara anggota kelompok remaja dengan lebih leluasa. Sebagaimana di lingkungan pencopet maupun penjambret, di lingkungan para remaja juga terdapat penggunaan bahasa-bahasa rahasia (cant), seperti yang dilakukan para remaja di Jakarta. Untuk berkomunikasi, mereka menciptakan bahasa rahasia dengan cara menukarkan konsonan suku kata pertama dengan suku kata kedua atau sebaliknya. Misalnya, kata bangun setelah ditukarkan konsonannya dari kedua suku katanya berubah menjadi ngabun, kata makan menjadi kaman, kata baca menjadi caba, dan kata terus menjadi retus. Selain di Jakarta, di daerah Jawa Tengah terdapat kebiasaan yang serupa dengan yang dilakukan oleh kalangan remaja di Jakarta. Adapun cara pembentukan bahasa khusus para remaja di Jawa Tengah adalah dengan membalik konsonan (huruf mati) suatu kata bahasa Jawa. Misalnya, kata kowe (kamu) setelah dibalik huruf matinya dari suku-suku katanya maka akan berubah menjadi woke. Selain penggunaan bahasa rahasia atau yang lebih dikenal dengan istilah cant tersebut, dalam pergaulan sehari-hari para remaja juga dikenal istilah colloquial, yakni ragam bahasa khusus yang menyimpang dari bahasa sehari-hari. Misalnya, ragam bahasa para mahasiswa di Jakarta mempergunakan bahasa Betawi yang ditambahi dengan istilah khusus, seperti ajigile (gila), manyala bob (sangat menarik), dan gonse (genit). Fungsi colloquial berbeda dengan fungsi jargon karena jargon dipergunakan para sarjana untuk meningkatkan gengsinya, sedangkan colloquial dipergunakan untuk menambah keintiman pergaulan. Selain itu, masih terdapat istilah atau idiom-idiom khusus yang diciptakan oleh para remaja pada saat ini yang disebut sebagai bahasa gaul. Misalnya, istilah-istilah bete yang berarti malas, tidak bergairah, kecewa, sumpek, dan istilah jomblo yang berarti tidak mempunyai pacar serta istilah-istilah bahasa gaul lainnya yang diciptakan oleh para remaja pada saat ini. Sumber: Dokumen Penerbit Gambar 9.5 Remaja yang mengembangkan ragam bahasa khusus 5. Di Lingkungan Arisan Selain di tempat-tempat umum, ragam bahasa serta dialek-dialek khusus juga dipakai pada saat acara-acara arisan. Apabila arisan tersebut merupakan acara keluarga dan bersifat informal maka bahasa serta dialek yang digunakan adalah bahasa serta dialek daerah (lokal). Sebaliknya, apabila acara arisan tersebut merupakan pertemuan PKK atau pertemuan RT yang bersifat nonformal maka akan cenderung digunakan bahasa Indonesia diselingi adanya penggunaan bahasa atau dialek daerah. Namun, apabila acara arisan tersebut merupakan acara kantor maka digunakan juga bahasa Indonesia. Hubungan Bahasa dan Dialek Bahasa yang digunakan dalam kehidupan manusia mengandung beragam dialek. Dialek tersebut memiliki variasi yang beragam. Variasi tersebut di antaranya ada yang berkaitan dengan aktivitas. M. Ramlan dan kawan-kawan membagi ragam bahasa Indonesia menjadi sebagai berikut. Pertama, ragam berdasarkan tempat misalnya dialek Jakarta, dialek Menado, dialek Jawa, dan sebagainya. Kedua, ragam bahasa berdasarkan penutur terbagi menjadi ragam golongan cedekiawan dan ragam golongan bukan cendekiawan. Ketiga, ragam bahasa berdasarkan sarana terbagi menjadi ragam lisan dan ragam tulisan. Keempat, ragam bahasa berdasarkan bidang penggunaan terbagi menjadi ragam ilmu, ragam sastra, ragam surat kabar, ragam undang-undang, dan lain-lain. Kelima, ragam bahasa berdasarkan suasana penggunaan, terbagi menjadi ragam resmi dan ragam santai oleh konteks sosial budaya yang melingkunginya. Konteks budaya tersebut bergantung pula pada status sosial, aktivitas, daerah geografis, usia, gender, dan masih banyak lagi. Masyarakat bahasa yang berada di wilayah perkotaan sangat berbeda di dalam penggunaan bahasanya dengan masyarakat bahasa yang berada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan oleh konteks sosial budaya yang menyertai di dalam kehidupan masyarakat bahasa tersebut. Seorang pelajar yang tinggal di kota Surabaya akan memiliki dialek yang berbeda dengan seorang pelajar yang tinggal di daerah pedesaan di pinggiran kota Surabaya. Meski keduanya adalah seorang yang berpendidikan, namun gaya bahasa atau dialek yang digunakan akan jauh berbeda. Dua penutur bahasa yang berbeda jenis kelamin yang memiliki profesi sebagai kapster salon akan menggunakan dialek yang berbeda. Kapster salon pria cenderung akan menggunakan bahasa gaul yang saat ini sedang tren digunakan; misalnya sutralah ’sudahlah’, Sementara itu kapster perempuan, meski jarang menggunakan ragam bahasa seperti itu, namun sedikit-sedikit juga menggunakannya. Persentase pemakaian bahasa gaul yang umumnya banyak digunakan oleh para banci seperti itu lebih sedikit digunakan oleh kapster perempuan Di daerah Yogyakarta juga dikenal dengan basa walikan. Basa walikan adalah transkripsi dari huruf ha, na, ca.ra. ka yang terdiri dari empat baris itu kemudian dipasangkan. Baris kesatu dengan baris ketiga, dan baris kedua dengan baris keempat. Misalnya kata ”mari” menjadi dayi. Kata-kata dalam basa walikan tersebut umumnya digunakan oleh pelajar lelaki dibandingkan pelajar perempuan atau banyak digunakan oleh mahasiswa dibandingkan oleh mahasiswi. Seorang eksekutif muda akan menggunakan ragam bahasa atau dialek yang berbeda dibandingkan tukang parkir. Hal tersebut dangat dipengaruhi oleh aktivitas kesehariannya di tempat kerja. Eksekutif muda terbiasa dengan rapat, presentasi, melakukan lobi, bisnis, dan lain sebagainya; adapun tukang parkir hanya melakukan aktivitas memandu kendaraan pada arah yang tepat. Akibatnya penggunaan bahasanya pun akan jelas jauh berbeda uatu masyarakat memiliki beberapa macam cara untuk mewariskan nilai-nilai sejarah dan kebudayaannya yang berupa kebiasaan, adat istiadat, dan sejarah kepada generasi S penerusnya. Pada masyarakat prasejarah proses pewarisan kebudayaan tersebut dilakukan melalui tradisi lisan karena masyarakat tersebut belum mengenal tulisan. Suatu masyarakat memiliki beberapa macam cara untuk mewariskan masa lalunya yang berupa kebiasaan, adat istiadat, dan sejarah kepada generasi penerusnya. Proses pewarisan kebudayaan tersebut dilakukan melalui bukti-bukti tertulis dan penuturan secara lisan atau cerita dari generasi tua kepada generasi penerus. Pada masa sejarah di mana manusia sudah mulai mengenal tulisan maka proses pewarisan kebudayaan suatu kelompok masyarakat dilakukan dengan cara menggunakan tulisan. Sebaliknya, pada masa di mana manusia belum mengenal tulisan maka proses pewarisan masa lalu dilakukan dengan cara lisan melalui penuturan dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Proses kebiasaan masyarakat untuk mewariskan budaya kepada generasi berikutnya yang dilakukan secara lisan disebut tradisi lisan. Tradisi Lisan dalam Masyarakat Setempat Pernahkah kamu mendengar lagu yang berjudul Lir-Ilir? Melalui berbagai grup musik, lagu yang konon digubah oleh Sunan Kalijaga itu kembali hadir di tengah-tengah kita. Mari kita simak syair lagu tersebut. Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir Dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane Yo surako... surak hiyo... Artinya: Sayup-sayup terbangun (dari tidur) Tanaman telah bersemi, betapa menghijau bak gairah pengantin baru Anak-anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu, meskipun licin tetaplah panjat untuk mencuci pakaian Pakaian-pakaian yang koyak disisihkan Jahitlah benahilah untuk menghadap nanti sore Selagi terang rembulanya Selagi banyak waktu luangnya Mari bersorak-sorak ayo... Macam-macam tradisi lisan Tradisi lisan adalah cerita lisan tentang suatu tempat atau tokoh yang dibuat teks kisahan dalam berbagai bentuk, seperti syair, prosa, lirik, syair bebas, dan nyanyian. Macam-macam tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat, antara lain sebagai berikut. a. Cerita tentang terjadinya suatu tempat yang berbentuk syair bebas dan ditampilkan hal hal yang tidak benar-benar terjadi. b. Cerita rakyat mengenai seorang tokoh di suatu daerah, baik tokoh yang bersifat baik dan berjasa bagi daerahnya maupun tokoh yang bersifat buruk, jahat, dan merugikan orang lain. c. Cerita rakyat tentang misteri atau kegaiban di suatu tempat, misalnya makam seorang tokoh, goa, batu besar, dan sebagainya. 1. Cerita Rakyat Cerita rakyat adalah cerita pada zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat yang diceritakan secara turun-temurun. Meskipun sebagian besar isi cerita rakyat hanya berisi cerita khayalan, namun di dalam cerita rakyat tersebut terkandung pesan moral yang berisi Ande-Ande Lumut, Bawang Putih dan Bawang Merah, Sang Kuriang atau legenda terjadinya Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat, dan dongeng Bujang Munang dari Kalimantan Barat. nasihatnasihat. Oleh karena itu, cerita rakyat dapat dipakai sebagai sarana pewarisan kebudayaan dan adat istiadat dari suatu masyarakat kepada generasi berikutnya. Menurut William R. Bascom, cerita rakyat terdiri atas tiga golongan, yaitu mitos, legenda, dan dongeng. Contoh cerita rakyat yang berupa cerita mitologi adalah cerita terjadinya dewi padi, Dewi Sri, dan cerita terjadinya mado (marga) di Pulau Nias. Contoh cerita rakyat berupa legenda adalah legenda Ken Arok, legenda Panji, dan legenda para Wali. Contoh cerita rakyat yang berupa dongeng adalah dongeng Sang Kancil, Ande-Ande Lumut, Bawang Putih dan Bawang Merah, Sang Kuriang atau legenda terjadinya Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat, dan dongeng Bujang Munang dari Kalimantan Barat. 2. Bahasa Rakyat Menurut James Danadjaja dalam buku Folklor Indonesia, bentuk-bentuk tradisi lisan yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat atau dialek, slang, bahasa pedagang (shoptalk), bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional (colloquial), sirkumlokusi, cara pemberian nama pada seseorang, gelar kebangsawanan, bahasa bertingkat (speech level), kata-kata onomatopoetis (onomatopoetic), dan pemberian nama tradisional jalan atau tempat tertentu berdasarkan legenda sejarah (onomastis). a. Logat logat atau dialek adalah gaya bahasa suatu daerah di Indonesia. Misalnya, logat bahasa Jawa Indramayu yang merupakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Sunda, logat bahasa Sunda dari Banten, logat bahasa Jawa Cirebon, dan logat bahasa Sunda Cirebon. b. Slang Slang atau bahasa rahasia adalah ragam bahasa tidak resmi yang bersifat musiman yang dipakai oleh suatu kelompok masyarakat tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar. c. Bahasa Pedagang (Shoptalk) Bahasa pedagang adalah ragam bahasa yang digunakan di kalangan pedagang untuk melakukan transaksi. Di Jakarta, bahasa pedagang yang digunakan di pasar-pasar berasal dari istilah yang dipinjam dari bahasa Mandarin dari suku bangsa Hokkian. Misalnya, istilah-istilah harga suatu barang, seperti jigo (dua puluh lima rupiah), cepek (seratus rupiah), dan cetiau (sejuta). d. Kolokuial (Colloquial) Kolokuial adalah bahasa-bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional. Misalnya, bahasa sehari-hari yang digunakan para remaja di Jakarta, seperti jomblo (tidak punya pacar), tajir (kaya), dan jutek (judes), garing (membosankan), jaim (jaga wibawa), jayus (kuno), culun (lugu), dan jeti (juta). Fungsi kolokuial digunakan untuk menambah keakraban dalam pergaulan remaja. e. Sirkomlokusi (Circumlocution) Sirkomlokusi adalah ungkapan tidak langsung yang digunakan untuk menyebutkan suatu benda atau suatu tempat. Contoh sirkomlokusi adalah penyebutan istilah harimau yang hidup di suatu hutan dengan istilah eyang (kakek) dalam masyarakat Jawa dan datuk (kakek) di kalangan masyarakat Jambi. Penggunaan sirkomlokusi nama binatang tersebut digunakan untuk menghindari terkaman harimau apabila seseorang akan berjalan melewati hutan. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, harimau di hutan tidak akan menerkam manusia apabila dipanggil kakek. Masyarakat Jawa meyakini bahwa seorang kakek tidak akan melukai dan membunuh cucunya sendiri. Di kalangan orang Bali juga terdapat selama panen. Jika dilanggar, maka penyebutan istilah yang dilarang tersebut akan mengakibatkan kegagalan panen. Oleh karena itu, digunakan kata-kata sirkomlokusi. Misalnya, penggunaan istilah kutu sawah untuk menggantikan kata kerbau, monyet diganti dengan istilah kutu dahan, dan istilah ular diganti dengan si perut panjang. f. Pemberian Nama pada Seseorang Cara pemberian nama pada seseorang merupakan contoh bahasa rakyat. Di Jawa Tengah, seseorang tidak mempunyai nama keluarga. Untuk memberi nama pada seorang anak, orang tua harus memperhitungkan tanggal dan hari lahir anak (weton) sehingga sesuai nama yang diberikan. Selanjutnya, seorang pria yang telah menikah akan mendapatkan nama dewasa (jeneng tuwo). Namun, pemberian nama dewasa ini hanya dilakukan pada para pria. Meskipun sudah jarang dilakukan, penambahan nama baru setelah dewasa masih ditemui di wilayah pedesaan di Surakarta dan Yogyakarta. Pemberian nama pada seseorang bisa dilakukan berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Di Jawa masih terdapat kebiasaan untuk memberi nama julukan pada seseorang, selain nama pribadinya berdasarkan bentuk tubuh si anak. Misalnya, si jangkung (tinggi), si pendek (pendek), dan si nonong (dahinya menonjol). g. Pemberian Gelar Kebangsawanan Pemberian gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional adalah salah satu bentuk bahasa rakyat. Pemberian gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional ini masih dilakukan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Gelar kebangsawanan seorang pria di Jawa Tengah secara berturutturut adalah mas, raden, raden mas, raden panji, raden tumenggung, raden ngabehi, raden mas panji, dan raden mas aria. Gelar kebangsawanan seorang wanita di Jawa Tengah secara berturutturut adalah raden roro, raden ajeng, dan raden ayu. Gelar-gelar tradisional tersebut juga masih terdapat di desa Adat Trunyan, Bali, yaitu kubuyan, bau mucuk, bau madenan, bau merapat, saing nem, saing pitu, saing kutus, saing sanga, saing diyesta, punggawa, pasek dan penyarikan. h. Bahasa Bertingkat Bahasa bertingkat atau speech level adalah bahasa yang dipergunakan berdasarkan adanya perbedaan dalam lapisan masyarakat. Bahasa bertingkat berlaku dalam lapisan masyarakat, tingkatan masyarakat, dan kelompok umur. Penggunaan bahasa bertingkat berkaitan dengan nilai budaya masyarakat dan sopan santun. Contoh Jenis bahasa bertingkat di kalangan masyarakat Jawa Tengah adalah, bahasa ngoko (bahasa yang tidak resmi dan bersifat kurang hormat); bahasa kromo ( bahasa yang bersifat setengah resmi dan bersifat sedikit hormat); bahasa kromo inggil (bahasa yang bersifat resmi dan sopan). Contoh Jenis bahasa bertingkat di kalangan masyarakat Sunda adalah bahasa kasar (bahasa yang tidak sopan dan tidak resmi); bahasa penengah (bahasa sopan dan setengah resmi); dan bahasa lemes (bahasa yang bersifat sopan dan resmi). Contoh bahasa bertingkat orang Bali adalah bahasa nista (rendah); bahasa madia (menegah); dan bahasa utama (resmi). i. Onomatopoetis Onomatopoetis adalah kata-kata yang dibentuk dengan mencontoh bunyi atau suara alamiah. Misalnya, kata greget dalam bahasa Betawi, yang berarti perasaan sengit sehingga seolah-olah ingin menggigit orang yang menjadi sasaran kemarahan. Kata greget terbentuk dengan mencontoh suara beradunya barisan gigi rahang atas dan rahang bawah. Contoh onomatopetis adalah kata dalam bahasa Jawa gemlodak (riuh rendah) untuk mengambarkan bunyi suatu benda yang digerak-gerakan dalam sebuah kotak kayu. j. Onomastis Onomastis adalah pemberian nama tradisional jalan atau tempat tertentu berdasarkan legenda sejarah. Misalnya, pemberian nama kota Surabaya untuk mengenang pertempuran antara buaya (boyo) dan hiu (sura). Menurut James Danandjaja, masyarakat, tingkatan masyarakat, dan kelompok umur. Penggunaan bahasa bertingkat berkaitan dengan nilai budaya masyarakat dan sopan santun. Contoh Jenis bahasa bertingkat di kalangan masyarakat Jawa Tengah adalah, bahasa ngoko (bahasa yang tidak resmi dan bersifat kurang hormat); bahasa kromo ( bahasa yang bersifat setengah resmi dan bersifat sedikit hormat); bahasa kromo inggil (bahasa yang bersifat resmi dan sopan). Contoh Jenis bahasa bertingkat di kalangan masyarakat Sunda adalah bahasa kasar (bahasa yang tidak sopan dan tidak resmi); bahasa penengah (bahasa yang bahasa rakyat mempunyai empat fungsi, antara lain 1) memberi dan memperkukuh identitas kelompok; 2) melindungi pemakai bahasa rakyat dari ancaman kelompok lain atau penguasa; 3) memperkukuh pemakai bahasa rakyat dalam sistem pelapisan sosial masyarakat; 4) memperkukuh kepercayaan rakyat terhadap nilai-nilai budayanya 3. Sajak atau Puisi Rakyat Ciri khas folklor lisan berbentuk sajak rakyat adalah kalimatnya berbentuk terikat (fixed phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang terdiri atas beberapa deret kalimat yang dibentuk berdasarkan unsur mantra, panjang pendeknya suku kata, dan lemah kuatnya tekanan suara atau irama. Sajak atau puisi rakyat dapat berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), pertanyaan tradisional (teka-teki), cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat berupa mantra-mantra. Menurut W. Meijner, seperti puisi-puisi rakyat dari bangsa lain, puisi rakyat bangsa Indonesia seringkali bertumpang tindih dengan jenis-jenis folklore lainnya. Suku-suku bangsa di Indonesia memiliki banyak sekali khazanah puisi rakyat yang masih belum tergali kekayaannya. Contoh puisi rakyat di dalam suku bangsa Jawa adalah jenis puisi rakyat yang harus dinyanyikan yang disebut tembang. Contoh puisi rakyat berbentuk tembang adalah tembang sinom, kinanti, pangkur, dan durma. Contoh puisi rakyat di dalam suku bangsa Sunda adalah puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran yang disebut sisindiran. Berdasarkan jenisnya sisindiran dibagi menjadi dua kategori, yakni sisindiran yang disebut paparikan dan wawangsalan. Contoh puisi rakyat dalam bahasa Bali disebut dengan istilah geguritan yang bertema masalah percintaan. 4. Peribahasa Rakyat (Ungkapan Tradisional) Berdasarkan jenisnya, ungkapan tradisional atau peribahasa rakyat dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, antara lain sebagai berikut. a. Peribahasa berbentuk ungkapan tradisional yang memiliki struktur kalimat yang lengkap berisi petuah bijak. Misalnya, ”buah yang manis berulat di dalamnya” (orang yang bermulut manis, tetapi sesungguhnya hatinya jahat). b. Peribahasa yang tidak lengkap kalimatnya dan berisi kiasan. Misalnya, peribahasa Melayu, ”terajuk kecewa, tersaukkan ikan suka, tersaukkan batang masam”, (orang yang hanya ingin mengambil untung tanpa bekerja keras). c. Peribahasa perumpamaan, yang dimulai dengan kata-kata seperti atau sebagai. Misalnya, ”seperti telur di ujung tanduk” (menggambarkan keadaan yang sangat gawat); atau ”bagai belut diregang”, (menggambarkan orang yang sangat kurus). d. Ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa, yaitu ungkapan-ungkapan hinaan (insult), celetukan (retort), atau suatu jawaban yang pendek, tajam, lucu, atau peringatan yang dapat menyakitkan hati. 5. Teka-Teki Rakyat (Pertanyaan Tradisional) Menurut Robert A. Georges dan Alan Dundes, berdasarkan unsur pertentangan di dalam pertanyaan dan jawabannya, maka teka-teki rakyat atau pertanyaan tradisional tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, antara lain a. teka-teki yang tidak bertentangan (non oppositional riddles); b. teka-teki yang bertentangan (oppositional riddles). Pembagian jenis teka-teki rakyat yang tidak bertentangan pertanyaannya dan jawabannya didasarkan atas unsur-unsur yang bersifat harfiah (literal) atau kiasan (metaphorical). Ciri teka-teki bertentangan (oppositional riddles) adalah pertentangan antara sepasang unsur pelukisannya (descriptive elements). Salah satu contoh teka-teki rakyat yang bertentangan di antara unsur-unsur pelukisannya adalah pertanyaan ”apa yang pergi ke sungai meminum dan tidak meminum?” Jawabannya adalah ”sapi dan gentanya!” Di dalam pertanyaan tersebut terdapat unsure pertentangan antara unsur pelukisan kedua (genta yang tidak meminum) yang mengingkari unsur pelukisan pertama (sapi yang meminum). 6. Nyanyian Rakyat (Folksong) Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri atas kata-kata dan lagu tradisional yang dinyanyikan secara lisan di dalam suatu masyarakat. Berdasarkan kegunaannya jenis-jenis nyanyian rakyat dapat dibagi menjadi, antara lain a. nyanyian rakyat atau aba-aba yang digunakan untuk menggugah semangat ”gotong royong” masyarakat seperti aba-aba holopis kuntul baris dari Jawa Timur atau rambate rata dari Sulawesi Selatan b. nyanyian permainan yang digunakan untuk mengiringi anakanak yang bermain barisberbaris. Misalnya, nyanyian baris terik tempe, ridong udele bodong (berbaris sayuran dari tempe, Ridong pusarnya menonjol) dari Jawa Timur. Berdasarkan isinya, nyanyian rakyat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu nyanyian rakyat permainan anak-anak, umum, dan kerohanian. Contoh nyanyian rakyat untuk mengiringi tari atau permainan anakanak dari berbagai daerah adalah Cublak-Cublak Suweng, Ilir-Ilir, dan Jamuran (Jawa Tengah dan Jawa Timur); Cing Cangkeling (Jawa Barat); Meyong-Meyong (Bali); dan Cik-Cik Periok (Kalimantan). Nyanyian rakyat umum dinyanyikan untuk mengiringi suatu tarian. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur nyanyian rakyat umum disebut dengan istilah gending, seperti gending sinom, pucung, dan asmaradhana. Di Bali terdapat nyanyian rakyat umum di dalam kisah balada dan epos yang berasal dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Di Jawa Barat terdapat nyanyian rakyat umum yang disebut pantun Sunda, seperti Cerita Lutung Kesarung, Cerita Sumur Bandung, Cerita Demung Kalagan, dan Cerita Mundanglaya di Kusuma. Nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dinyanyikan pada saat upacara-upacara siklus hidup, seperti saat kelahiran, perkawinan, upacara bersih desa, dan panen. Misalnya, nyanyian Hoho di Nias, dan lagu Bisi serta Pirawat suku Asmat di Papua. Nyanyian rakyat juga berkembang pada saat pengaruh budaya Islam mulai menyebar di Indonesia. Misalnya, lagu-lagu unuk mengiringi tari Saman dan Seudati di daerah Aceh, tari Zapin, tari hadrah, serta nyanyian kasidah di beberapa daerah lainnya. PERUBAHAN BUDAYA DAN MELEMAHNYA NILAI-NILAI TRADISIONAL Bangsa Indonesia terkenal dengan kebudayaannya yang beraneka ragam. Pada setiap daerah masyarakat kita mengembangkan budayanya masing-masing. Kebudayaan yang dikembangkan di daerah-daerah dinamakan kebudayaan lokal. Kebudayaan dan masyarakat ialah satu hal yang tidak dapat dipisahkan karena masyarakat pasti memiliki budaya. Setiap masyarakat pasti akan mengalami perubahan. Perubahan budaya menekankan pada perubahan system nilai yang mengatur tingkah laku suatu masyarakat. Dalam hidupnya, manusia memiliki naluri untuk mengembangkan daerah kekuasaannya dengan melakukan migrasi atau perpindahan. Perpindahan tersebut berawal dari upaya manusia memenuhi kebutuhannya yang berkaitan dengan mata pencahariannya. Proses migrasi ini membawa dampak terhadap proses penyebaran kebudayaan dari satu daerah ke daerah lain. Dengan adanya migrasi (perpindahan manusia dari daerah satu ke daerah lain), maka terjadilah proses difusi, akulturasi, asimilasi, dan penetrasi budaya. Menurut William A. Haviland, difusi adalah penyebaran kebiasaan atau sistem adat istiadat dari kebudayaan yang satu kepada kebudayaan yang lain. Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses bertemunya dua budaya atau lebih di mana unsure-unsur budaya lama atau asli masih terlihat dan tidak hilang. Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsurunsur dari suatu kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan asli. Menurut Koentjaraningrat, asimilasi adalah proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Selanjutnya sifat khas dari unsurunsur kebudayaan masing-masing berubah menjadi kebudayaan campuran. Adapun penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh kebudayaan asing yang sedemikian rupa, sehingga menimbulkan perubahan kebudayaan secara besar-besaran dalam waktu yang relatif singkat. Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra, memiliki peluang terjadinya proses interaksi sosial dari berbagai bangsa sekaligus membuka proses difusi atau penyebaran kebudayaan melalui jalur perdagangan, baik lokal maupun antarnegara. Melalui perdagangan inilah terjadi kontak kebu- dayaan antarsuku bangsa, baik suku-suku bangsa yang ada di Indonesia maupun dari mancanegara. Pengaruh kebudayaan asing terhadap kebudayaan local secara umum dapat dijumpai dalam bentuk sebagai berikut: 1. Sistem Religi Bergesernya sistem religi yang berakar pada kepercayaan tradisional menuju sistem religi yang berlandaskan ajaran agama, merupakan contoh konkret adanya pengaruh kebudayaan asing terhadap kebudayaan lokal. Bangsa Indonesia pada awalnya menganut system kepercayaan kepada roh-roh leluhur maupun kekuatan gaib yang diwariskan secara turun temurun. Namun, kini telah terkikis dengan adanya ajaran agama yang menekankan kepadasatu tujuan penyembahan yakni Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian bukan berarti sistem religi tradisional yang merupakan kebudayaan asli bangsa Indonesia telah punah. Hal ini tampak dalam bentuk upacara adat tradisional yang telah mengalami penyesuaian dengan sistem religi yang berdasarkan agama. Misal: upacara sedekah laut, upacara sekaten, dan upacara yaqowiyu, merupakan bentuk-bentuk kebudayaan yang menggabungkan unsure religi tradisional dengan agama. 2. Sistem Pengetahuan Setiap suku bangsa memiliki sistem pengetahuan yang membentuk unsur kebudayaan lokal. Sebelum unsure pengetahuan kebudayaan asing memengaruhi kebudayaan lokal, nenek moyang kita telah mengenal pengetahuan tentang kemaritiman, gejala alam, perubahan musim, berburu, bercocok tanam sampai kepada pengetahuan tentang pengobatan tradisional. Masuknya kebudayaan asing dengan membawa bentuk sistem pengetahuan yang lebih modern telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap keadaan alam sekitarnya. Pengetahuan tradisional yang cenderung berlandaskan pada kemampuan intuitif yang irasional berubah ke pola pemikiran yang lebih rasional. Misal: penemuan obat-obatan tradisional merupakan bentuk pengembangan pengetahuan tradisional terhadap khasiat tumbuhan yang dipadukan dengan pengetahuan modern (ilmu farmasi), sehingga menghasilkan obat yang alami dan bebas dari bahan kimia. Demikian halnya pengaruh kebudayaan asing di bidangpengetahuan yang berkaitan dengan cara bercocok tanam, telah mengubah pola kehidupan petani tradisional menjadi lebih produktif. 3. Sistem Teknologi Teknologi merupakan salah satu unsur kebudayaan yang berkaitan dengan peralatan yang dipergunakan manusia untuk mengubah keadaan sekitarnya maupun keadaan dirinya demi terpenuhinya kebutuhan hidup. Sistem teknologi tradisional yang menjadi unsur kebudayaan lokal menyangkut tentang: a. alat-alat produksi; b. senjata; c. wadah; d. alat untuk menyalakan api; e. makanan dan minuman; f. pakaian dan perhiasan; g. tempat berlindung atau rumah; h. alat-alat transportasi. 4. Sistem Kesenian Dari waktu ke waktu kesenian tradisional sebagai salah satu unsur kebudayaan lokal mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya terutama para generasi muda. Masuknya kesenian mancanegara yang dirasa lebih menarik dan mewakili jiwa muda, banyak menggeser ruang gerak kesenian tradisional. Salah satu upaya untuk mempertahankan kesenian tradisional agar tetap lestari adalah dengan memadukan unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam kesenian tradisional tersebut. Misal: kesenian music campur sari, merupakan bentuk kesenian yang memadukan unsur-unsur kesenian tradisional dengan unsur-unsur kesenian modern. Pementasan seni pertunjukan tradisional, seperti: lenongdan wayang kulit, banyak menyisipkan unsur-unsur kesenian modern untuk menarik penonton khususnya kalangan anak muda. 5. Bahasa Bahasa merupakan sistem perlambang dalam komunikasi. Salah satu ciri suatu suku bangsa adalah memiliki bahasa daerah yang merupakan bahasa komunikasi antarwarga dalam kelompok suku bangsa yang bersangkutan. Pengaruh kebudayaan asing terhadap perkembangan bahasa daerah sangatlah besar. Terutama di daerah pesisir, di mana penduduknya banyak berinteraksi dengan suku bangsa lain (asing) yang memiliki komposisi bahasa yang berbeda dengan komposisi bahasa induknya. Misal: bahasa Jawa yang diterapkan di daerah pesisir berbeda dengan bahasa Jawa yang ada di daerah pedalaman. Secara umum, pengaruh kebudayaan asing khususnya dalam bahasa, bukan menghilangkan bahasa lokal, namun justru memperkaya perbendaharaan kata dalam bahasa local tersebut. Banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata-kata bahasa asing yang telah diserap menjadi kosakata bahasa Indonesia. Namun, dengan semakin majunya zaman dan segalanya mengalami perubahan maka budaya-budaya ini semakin tersisihkan, bukan dengan menghapuskan nilai-nilai budaya tradisional masyarakat namun lebih kepada mengkolaborasikan kebudayaan baru dan lama untuk menjadi kebudayaan yang lebih dapat diterima oleh masyarakat. METODE ETNOGRAFI DAN MANFAATNYA DALAM MENCARI SOLUSI BERBAGAI PERMASALAHAN SOSIAL-BUDAYA A. Pengertian Etnografi Istilah etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphy yang berarti tulisan. Jadi, pengertian etnografi adalah deskripsi tentang bangsa-bangsa. Beberapa pendapat ahli antropologi mengenai pengertian etnografi sebagai berikut. 1. Menurut pendapat Spradley dalam Yad Mulyadi (1999), etnografi adalah kegiatan menguraikan dan menjelaskan suatu kebudayaan. 2. Menurut pendapat Spindler dalam Yad Mulyadi (1999), etnografi adalah kegiatan antropologi di lapangan. 3. Menurut pendapat Koentjaraningrat (1985), isi karangan etnografi adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa B. Studi Etnografi Cara untuk melakukan studi tentang etnografi Bukanlah hal yang mudah karena berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh anggota suatu suku bangsa. Padahal ada suku bangsa yang anggotanya sangat banyak bahkan mencapai jutaan penduduk. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi yang menulis tentang sebuah etnografi tentu tidak mampu mencakup keseluruhan penduduk anggota dari suku bangsa yang besar tersebut dalam deskripsinya. Dalam penulisan etnografi, pada umumnya seorang peneliti membatasi objek penelitian dengan mengambil salah satu unsur kebudayaan yang diteliti pada sekelompok masyarakat tertentu. Misal: meneliti sistem kesenian tradisional masyarakat daerah tertentu, meneliti tentang macam-macam upacara adat yang berkembang dalam masyarakat di suatu daerah. Jika daerah yang dijadikan objek pengamatan terlalu luas pada umumnya peneliti membatasi dengan mengambil bagian kecil dari daerah tersebut yang dianggap dapat mewakili keadaan di seluruh daerah pengamatan. Misal: untuk mengamati adat istiadat masyarakat suku Jawa diambil daerah penelitian pada masyarakat pedesaan di wilayah Kabupaten Klaten – Surakarta yang dianggap dapat mewakili keseluruhan perilaku khas orang Jawa. Pada zaman sekarang memang tidak mudah untuk memperoleh daerah yang penduduknya hanya dihuni oleh suku bangsa asli, apalagi jika penelitian dilakukan di kota besar atau desa yang memungkinkan hadirnya kaum pendatang menetap di daerah tersebut. Dalam penyusunan sebuah karangan etnografi, kita dapat menggunakan tahapan sebagai berikut. 1. Pemilihan lokasi penelitian Menurut J.A. Clifton dalam bukunya yang berjudul Introduction to Cultural Anthropology, batasan lokasi yang akan dipergunakan sebagai penelitian sebagai berikut. a. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih. b. Kesatuan masyarakat yang terdiri atas penduduk yang mengucapkan satu bahasa atau satu logat bahasa yang sama. c. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu daerah politik-administratif. d. Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa identitas penduduknya sendiri. e. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah fisik. f. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologi. g. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman sejarah yang sama. h. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekuensi interaksinya satu dan lainnya merata tinggi. i. Kesatuan masyarakat dengan susunan sosial yang seragam atau homogen. Dalam karangan etnografi, lokasi pe-nelitian yang telah ditentukan perlu di deskripsikan. Deskripsi lokasi penelitian mengenai hal-hal berikut. a. Ciri-ciri geografis, yaitu mengenai iklim (misal: tropis, sedang, mediteran, dan kutub), sifat daerah (misal: pegunungan, dataran rendah, dataran tinggi, kepulauan, rawa-rawa, hutan tropikal, sabana, stepa, gurun, dan sebagainya), keadaan suhu rata-rata dan curah hujan. b. Ciri-ciri geologi dan geomorfologi yang berkaitan dengan kondisi tanah. c. Keadaan flora dan fauna. d. Data demografi yang berkaitan dengan kependudukan. Misalnya mengenai: data jumlah penduduk, jenis kelamin, laju natalitas, mortalitas, dan data mengenai migrasi atau mobilitas penduduk. e. Catatan tentang asal mula sejarah terbentuknya suku bangsa (penduduk di lokasi pengamatan tersebut). Untuk melengkapi deskripsi mengenai lokasi penelitian perlu dilengkapi dengan peta-peta yang memenuhi syarat ilmiah. Peta-peta tersebut melukiskan keadaan lokasi penelitian. 2. Menyusun kerangka etnografi Setelah lokasi ditetapkan, Maka langkah berikutnya adalah menentukan bahan mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa di lokasi yang dipilih tersebut. Hal itu merupakan kerangka etnografi. Penelitian etnografi merupakan penelitian yang bersifat holistik atau menyeluruh, artinya penelitian etnografi tidak hanya mengarahkan perhatiannya kepada salah satu atau beberapa variabel tertentu saja. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa budaya merupakan keseluruhan sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan. Unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang dapat dijadikan sebagai kerangka etnografi sebagai berikut. a. Bahasa. b. Sistem pengetahuan. c. Sistem teknologi. d. Kesenian. e. Sistem ekonomi. f. Sistem religi. g. Organisasi sosial. Keseluruhan unsur-unsur di atas bersifat universal, artinya semua kebudayaan suku bangsa pasti terdapat unsur-unsur tersebut. Mengenai urutan mana yang menjadi prioritas penelitian dari keseluruhan unsur kebudayaan tersebut bergantung sepenuhnya kepada peneliti. Namun, sistem urutan yang biasa dipergunakan dalam studi etnografi diawali dari hal-hal yang bersifat konkret menuju ke hal-hal yang paling abstrak. Dalam hal ini unsur bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling konkret, karena hal pertama yang kita jumpai dalam penelitian terhadap penduduk di suatu daerah adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan seharihari. Amat jarang kiranya seseorang langsung menggunakan bahasa isyarat saat pertama bertemu dengan orang asing. Hal yang lazim dilakukan oleh orang saat pertama bertemu dengan orang asing adalah mencoba mengajaknya berkomunikasi dengan bahasa lisan yang biasa ia gunakan. Dengan mengamati interaksi sesama penduduk, dapat ditemukan jenis bahasa lokal yang mereka gunakan sebagai komunikasi lisan sehari-hari. Dengan menjumpai pemakaian bahasa ini, peneliti dapat menganalisis tentang kedudukan bahasa lokal dikaitkan dengan bahasa resmi yang dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi lisan antarpenduduk suku bangsa yang berbeda. Dengan mengamati sistem teknologi yang berkembang di dalam kehidupan penduduk, peneliti dapat memfokuskan perhatiannya kepada benda-benda kebudayaan dan alatalat kehidupan sehari-hari yang sifatnya konkret. Berkaitan dengan sistem ekonomi yang menjadi perhatian dalam penulisan etnografi, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari peneliti adalah jenis mata pencaharian utama yang dilakukan penduduk dalam upaya memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Unsur kebudayaan menyangkut tentang organisasi sosial. Unsur kebudayaan sebagai bahan deskripsi kebudayaan, antara lain berkaitan dengan sistem kekerabatan yang dianut, sistem pemerintahan, pembagian kerja, ataupun aktivitas sosial yang sifatnya kolektif dan mencerminkan suatu birokrasi. Penulisan deskripsi kebudayaan yang menyangkut sistem pengetahuan adalah hal-hal yang berkaitan dengan upaya penduduk untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaannya, termasuk dalam hal ini adalah bagaimana penduduk berupaya melakukan adaptasi terhadap lingkungan alam sekitarnya. Sebagai contoh, untuk meningkatkan produksi pertanian, penduduk mengembangkan sistem pertanian hidrophonik dengan memanfaatkan setiap jengkal tempat yang kosong untuk ditanami sayuran atau pun buah-buahan di dalam pot tanpa menggantungkan tersedianya lahan pertanian yang luas. Deskripsi tentang sistem kesenian yang ada dalam kehidupan masyarakat mencakup tentang berbagai bidang seni yang menunjukkan identitas khas masyarakat atau suku bangsa tersebut. Bidang seni yang menunjukkan identitas khas masyarakat atau suku bangsa, antara lain seni bangunan, seni lukis, seni tari, seni musik tradisional, dan seni vokal. Deskripsi tentang sistem religi yang dianut masyarakat/ suku bangsa di daerah penelitian berkaitan dengan kepercayaan, gagasan, ataupun keyakinan-keyakinan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat/suku bangsa tersebut. Oleh karena itu, peneliti harus tanggap terhadap unsur dalam sistem religi tersebut. Menentukan metodologi penelitian Studi etnografi tidak terlepas dari teknik yang dipergunakan dalam melaksanakan penelitian etnografi, karena etnografi merupakan sebuah pendekatan penelitian secara teoritis. Oleh karena itu, seorang peneliti di lapangan terlebih dahulu harus menguasai metode-metode yang terkait dengan kegiatan penelitiannya. Banyak metode yang dapat dipilih dalam melaksanakan studi etnografi. Metode yang paling tepat digunakan, antara lain metode observasi dan metode interview. a. Metode Observasi Observasi atau pengamatan merupakan salah satu metode yang dipergunakan dalam penelitian. Dalam arti sempit, metode observasi dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomenafenomena yang diselidiki. Dalam arti luas, observasi merupakan proses yang kompleks dan tersusun dari berbagai proses biologis maupun psikologis. Dalam metode observasi yang terpenting adalah proses pengamatan dan ingatan. Kemungkinan penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam proses pengamatan dapat diatasi dengan cara sebagai berikut. 1) Menyediakan waktu yang lebih banyak agar dapat melihat objek yang komplek dari berbagai segi secara berulang-ulang. 2) Menggunakan orang ( petugas pengamat/observers) yang lebih banyak untuk melihat objeknya dari segisegi tertentu dan mengintegrasikan hasil-hasil penyelidikan mereka agar diperoleh gambaran tentang keseluruhan objeknya. 3) Mengambil lebih banyak objek yang sejenis agar dalam jangka waktu yang terbatas dapat disoroti objek-objek itu dari segi-segi yang berbeda-beda oleh penyelidik yang terbatas jumlahnya. Untuk mengatasi keterbatasan ingatan dalam proses observasi dapat diantisipasi dengan cara sebagai berikut. 1) Mengadakan pencatatan biasa atau dengan menggunakan check list. 2) Menggunakan alat-alat mekanik (mechanical device) seperti tape recorder, kamera, dan video. Alat-alat tersebut berfungsi mengabadikan fenomena yang sedang diamati. 3) Menggunakan lebih banyak observers. 4) Memusatkan perhatian pada data yang relevan. 5) Mengklasifikasikan gejala-gejala secara tepat. 6) Menambah bahan apersepsi tentang objek yang akan diamati 1. Observasi Partisipan - Observasi Nonpartisipan Observasi partisipan pada umumnya dipergunakan dalam penelitian yang sifatnya eksploratif, termasuk dalam menyusun karangan etnografi. Observasi partisipan adalah observasi yang dilakukan di mana observers atau orang yang melakukan observasi turut ambil bagian dalam kehidupan masyarakat yang diobservasi. Sebagai contoh, untuk meneliti pola kehidupan kaum gelandangan maka observers turut membaur dalam kehidupan para gelandangan tersebut. Dalam menggunakan teknik observasi partisipan ini, seorang observers perlu memerhatikan masalah-masalah sebagai berikut. a. Materi apa saja yang akan diobservasi. Untuk keperluan ini, observers dapat menyiapkan daftar mengenai hal-hal yang akan diamati. b. Waktu dan bentuk pencatatan. Saat pencatatan yang terbaik adalah model "on the spot", yaitu melakukan pencatatan segera saat pengamatan berlangsung. Tiap pencatatan dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu bentuk kronologis dan bentuk sistematik. Bentuk kronologis didasarkan pada urutan kejadiannya, sedangkan bentuk sistematik, yaitu memasukkan tiap-tiap kejadian dalam kategori-kategori masing-masing tanpa memerhatikan urutan kejadiannya. c. Hubungan baik antara observers dengan objek yang diamati (observees). Untuk mewujudkan hubungan yang baik antara observers dengan observees dapat dilakukan dengan cara: x mencegah timbulnya kecurigaan-kecurigaan; x mengadakan good raport, yaitu hubungan antarpribadi yang ditandai oleh semangat kerja sama, saling mempercayai, dan saling membantu antara observers dengan observees; x menjaga agar situasi dalam masyarakat yang diamati tetap dalam situasi yang wajar. d. Intensi dan ekstensi keterlibatan observers dalam partisipasi, yaitu sejauh mana keterlibatan observers dalam observasi partisipan. Dalam hal ini observers dapat mengambil bagian dalam kegiatan observasi, yaitu dengan cara sebagai berikut. - Peneliti (observers) mengikuti kegiatan objek yang diamati (observees) hanya pada saatsaat tertentu saja yang oleh peneliti dianggap penting. Hal itu sering disebut sebagai partisipasi sebagian (partial participation) - Peneliti (observers) mengikuti seluruh kegiatan objek yang diamati (observees) dari awal sampai akhir kegiatan penelitian tersebut. Hal itu sering disebut sebagai partisipasi penuh (full participation) Adapun sejauh mana tingkat keterlibatan atau partisipasi peneliti (observers) dalam setiap kegiatan pengamatan adalah sebagai berikut. - Peneliti (observers) semaksimal mungkin turut terlibat atau mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diamati (observees). Dalam hal ini peneliti terlibat secara intensif (intensive participation). - Peneliti (observers) hanya sedikit ambil bagian dalam kegiatan objek yang diamati. Dalam hal ini peneliti tidak sepenuhnya terlibat, hanya sekilas saja (surfice participation). Penentuan tersebut sepenuhnya ada pada kemauan observers. Adapun observasi non partisipan adalah observasi yang dilakukan di mana observers sama sekali tidak ikut terjun dalam kegiatan objek yang diamati. 2. Observasi Sistematik - Observasi Nonsistematik Observasi sistematik sering disebut sebagai observasi berstruktur (structured observation). Observasi sistematik adalah observasi yang dilakukan berdasarkan kerangka pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya. Di dalam kerangka pengamatan tersebut memuat hal-hal sebagai berikut. a. Materi yang akan diobservasi. Materi yang akan diobservasi pada umumnya telah dibatasi , sehingga observers tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pengamatan. b. Cara-cara pencatatan hasil observasi. Cara pencatatan hasil observasi dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan atau permasalahan yang telah dirumuskan terlebih dahulu, sehingga memudahkan untuk mengadakan kuantifikasi terhadap hasil pengamatan. Pembuatan daftar ini diawali dengan kegiatan sebagai berikut. x Observasi pendahuluan. x Perumusan sementara (konsep). x Adanya uji coba (try out) terhadap konsep yang telah disusun. x Perbaikan dari hasil uji coba. x Dilakukan uji coba lagi - diperbaiki - diuji cobakan, dan seterusnya hingga diperoleh rumusan yang final. Cakrawala Budaya Kerja lapangan (Fieldwork) yang dilakukan oleh seorang antropolog, yaitu kegiatan eksplorasi yang sistematis, intensif, dan melalui pengamatan langsung di lapangan terhadap suatu kebudayaan. c. Hubungan antara observers dengan observees. Dalam hal ini, perlu adanya kerja sama yang baik antara observers dengan observees, sehingga pengamatan dapat berlangsung dalam situasi yang sewajarnya atau tidak dibuat-buat. Adapun observasi nonsistematik adalah observasi yang berlangsung secara spontan atau bebas tanpa adanya kerangka pengamatan. Observasi ini sering disebut sebagai observasi tak berstruktur. 3. Observasi Eksperimental - Observasi Noneksperimental Observasi Eksperimental sering disebut sebagai observasi dalam situasi tes. Ciri-ciri observasi eksperimen sebagai berikut. a. Observers dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observees. b. Situasi dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang akan diamati oleh observers. c. Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observees tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari kegiatan observasi tersebut. d. Observers membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observees mengadakan aksireaksi, bukan hanya jumlah aksi-reaksi semata. Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni untuk menyelidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Dalam hal ini, faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingkah laku observees telah dikontrol secermatcermatnya, sehingga tinggal satu atau dua faktor untuk diamati sejauh mana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu dari tingkah laku. Melalui observasi eksperimental, observers memiliki kesempatan atau peluang untuk mengamati sifatsifat tertentu yang jarang sekali muncul dalam situasi normal. Sebagai contoh, ketidakjujuran, keberanian, dan reaksi terhadap frustrasi. Observasi eksperimental merupakan observasi yang distandardisasi secermatcermatnya. Dengan demikian, hasil observasi dapat dipergunakan untuk menilai reaksi-reaksi khusus atau perilaku istimewa dari setiap orang. Adapun observasi noneksperimental merupakan kebalikan dari observasi eksperimental. Agar hasil observasi dapat diperoleh secara optimal, diperlukan beberapa alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data hasil pelaksanaan observasi. Beberapa alat yang dipergunakan dalam kegiatan observasi sebagai berikut. a. Catatan anekdot (anecdotal record) b. Catatan berkala c. Daftar pengamatan (check list) d. Skala pengukuran (rating scale) e. Peralatan penunjang (mechanical devices) DAFTAR PUSTAKA Dyastriningrum. 2009. Antropologi Kelas XI : Untuk SMA dan MA Program Bahasa. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Indriyawati, Emmy. 2009. Antropologi I : Untuk Kelas XI SMA dan MA. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Siany L., dan Atiek Catur B. 2009. Khazanah Antropologi 1 : Untuk Kelas XI SMA Dan MA. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.