Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi DITEMUKAN UU DAN PERDA YANG DISKRIMINATIF* Disajikan Oleh: M. Busyro Muqoddas, SH. MH dan Imron, SH** A. PENDAHULUAN Menjelang dan Pasca kejatuhan Orde baru Mei 1998 yang lalu, peristiwa kekerasan demi kekerasan terjadi silih berganti di pelbagai tempat di wilayah Indonesia. Ratusan atau bahkan ribuan orang mati, cacat, serta milyaran rupiah harta benda hancur. Kekerasan itu tak terhindarkan melahirkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik susulan yang tidak kalah hebatnya dibanding kekerasan fisik itu sendiri. Sebagian besar penyebab yang menyulut kekerasan itu dikarenakan isu rasialisme dan atau diskriminasi; sebuah isu yang memang sangat sensitif dan paling ditakutkan oleh setiap bangsa dimanapun di dunia ini. Kenyataan adanya heterogenitas agama, warna kulit, kultur, asal usul dan keturunan di Indonesia ternyata menjadi kontraproduktif buat bangsa ini; bukan justru menjadi kekuatan besar yang harus dipertunjukkan kepada dunia lain bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang kokoh berdiri di atas heterogenitas budaya, agama, bahasa, warna kulit, keturunan dan sebagainya. Selama 30 tahun lebih pemerintahan Soeharto, Orde baru tidak dapat tidak menyumbang sangat besar terhadap terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, oleh karena kebijakan politik yang ketat dan menekan terhadap rakyat telah menutup rapat realitas perbedaan, realitas rasilialisme dan diskriminasi. Perbedaan-perbedaan itu tidak dikelola sedemikian rupa menjadi kekuatan Indonesia. Rakyat tidak memiliki sedikit-pun ruang untuk menyampaikan kritik, usul bahkan untuk mengeluh terhadap pelbagai ketidakadilan, ketimpangan, pengecualian-pengecualian yang terjadi. Bahkan negara ini adalah negara yang paling lambat meratifikasi konvensi anti diskriminasi, yaitu baru pada tahun 1999, setelah 4 Januari 1969 konvensi ini disyahkan oleh PBB. Oleh sebab itu, saat-saat sekarang ini, kampanye anti diskriminasi di Indonesia benar-benar diperlukan dan harus dilakukan terus menerus. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut penting dilakukan: Pertama, selain karena kasus-kasus diskriminasi dengan alasan ras, suku, agama, kultur dan keyakinan politik—seperti disebut di atas--, tetapi juga karena masih banyak undang-undang (UU) atau peraturan nasional maupun daerah produk masa lalu yang bersifat diskriminatif di pelbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi dan * Disampaikan dalam Workshop II Strategi Kampanye Anti Diskriminasi, tg. 15-16 Januari 2003 di Hotel Jayakarta ** Kedua Pemakalah Dosen FH. UII dan Staf Pusham-UII 1 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi politik. Kedua, meskipun Yogyakarta terkesan aman, tetapi berdasarkan riset media yang kami lakukan, potensi konflik karena diskriminasi sangat terbuka mengingat: (a) hetergenitas Yogyakarta yang sangat tinggi. Di propinsi ini terdapat hampir semua suku, agama, bahasa dari pelbagai daerah di Indonesia; (b) masih kuat sisa-sisa feodalisme yang menempatkan individu atau golongan keturunan tertentu sebagai yang paling berhak duduk di posisi tertentu di pemerintahan (Gubernur, wakil gebernur, bupati atau eselon tertentu lainnya); (c) terdapat diskriminasi dalam memperoleh pelayanan utama di sektor pelayanan publik merupakan contoh diskriminasi lain di wilayah ini; (d) pandangan, pernyataan dan sikap streotype seperti “dasar orang sumatera, dasar Batak, dasar China” adalah contoh-contoh streotype yang mengandung “stigma”. Ketiga, momentum politik (desentralisasi) sekarang ini sangat strategis dan tepat untuk dilakukannya kampanye secara sistematis dan besar-besaran agar pemerintah dan masyarakat secepatnya menyadari pentingnya melakukan kebijakan dan tindakan yang sepenuhnya mengindahkan prinsip-prinsip anti diskriminasi. Keempat, dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih (good governance) tidak semata-mata dipandang membebaskan negeri ini dari KKN, sebagaimana banyak dibayangkan orang. Membebaskan Indonesia (Yogyakarta) dari problem dasar kemanusian, dalam bentuk menghilangkan segala bentuk pengecualian, pengabaian, pembatasan, pelecahan hak-hak manusia atas dasar ras, agama, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik sebagaimana ditegaskann dalam UU HAM (UU 39/99) adalah Good Governance yang sesungguhnya. Dalam konteks itu, membongkar dan memperbaiki aturan-aturan hukum nasional dan atau lokal (Perda) yang bersifat diskriminatif sebagai hal yang harus dilakukan karena tidak mungkin membangun negara hukum dan negara demokrasi di atas landasan hukum yang diskriminatif. Prinsip persamaan bagi setiap orang harus menjadi ideologi membangun Indonesia ke depan, yang semua itu harus tercermin dengan tegas dan jelas di dalam setiap aturan hukum dan pelaksanaan dari hukum itu, baik hukum-hukum nasional maupun hukum-hukum lokal (perda). Dan untuk kepentingan itulah program legal audit yang sekarang ada di hadapan pembaca kami lakukan, dengan harapan dapat membuka jalan bagi perubahan dan perbaikan aturan-aturan yang siqnifikan sehingga proses membangun negara hukum, demokratisasi dan hak asasi manusia tidak bersifat hipokrisi. 2 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi B. Fokus Masalah Pertanyaan pokok yang akan menjadi acuan legal audit ini adalah: (1) Apakah Peraturan Daerah (Perda) dan atau Undang-Undang Nasional tertentu atau UU Nasional yang relevan dengan Perda secara ekspelisit maupun inplisit bersifat diskriminatif?, dan (2) apakah Perda dan atau UU Nasional tersebut potensial disalahgunakan dengan salah satu kemungkinan penyalahgunaan itu adalah dipraktekkan secara diskriminatif? C. Analisis Terhadap Masalah Untuk mengetahui ada tidaknya sifat diskriminatif (ekspelisit atau inplisit) di dalam Perda dan atau UU Nasional akan dilakukan dengan menggunakan analisis penafsiran dalam ilmu hukum. Dari sejumlah alat penafsiran dalam ilmu hukum, studi ini akan mengoperasikan secara bersamaan tiga alat penafsiran sekaligus yaitu; alat penafsiran gramatikal, sistematis dan sosiologis secara bersamaan. Penafsiran gramatikal akan melihat bunyi perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai oleh Perda atau UU. Penafsiran sistimatis akan melihat atau meneliti susunan bunyi satu pasal dengan pasal lainnya, baik dalam satu UU/Perda maupun dengan UU/Perda lain. Sedang penafsiran sosiologis melihat atau meneliti maksud dan tujuan dari UU itu dikaitkan dengan perubahan yang terjadi, sehingga dari sana dapat diketahui apakah UU/Perda itu masih relevan dengan konteks sosial yang sudah berubah atau tidak. D. Terminlogi Legal Audit Legal Audit atau auditing hukum adalah melakukan analisis isi aturan hukum (UU atau Perda) yang terumus dalam pasal-pasal dan penjelasan-penjelasan bagi UU atau Perda yang memuat penjelasan untuk mengetahui ada tidaknya sifat diskriminatif, baik secara ekspelisit atau inplisit di dalam isi atau rumusan pasal-pasal dan aturan penjelasan tersebut. E. Acuan Pengertian Diskriminasi Untuk menyatakan sesuatu pasal dalam aturan atau dalam penjelasan bersifat diskriminatif tidak akan mengacu kepada ketentuan dalam Konvensi anti diskriminasi rasial, Konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan maupun UU HAM 39/1999 karena ketiga instrumen itu memiliki kelemahan. Karena itu untuk kepentingan studi ini rumusan pengertian diskriminasi yang dipergunakan adalah sebagai berikut: bahwa Diskriminasi adalah: “ setiap kebijakan, aturan, tindakan yang membatasi, menutup, melecehkan, mengabaikan atau mengucilkan yang langsung atau tidak langsung didasarkan pada 3 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi pembedaan manusia sebagai seseorang atau kelompok orang atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, fisik, bahasa, dan keyakinan politik, yang bertentangan dan atau melanggar prinsip-prinsip persamaan dan atau keadilan bagi setiap orang”. F. Kerangka Acuan Normatif Studi ini akan menggunakan perangkat normatif tertentu sebagai pedoman alat ukur diskriminasi, yaitu: 1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948, 2. Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik 3. Konvensi Hak-Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya 4. Konvensi Hak Anak 5. Konvensi Anti Diskriminasi Rasial 6. Konvensi Anti Diskriminasi Terhadap Wanita 7. UUD 1945 8. UU 39/1999 G. Sasaran Audit 1. UU Nasional a. KUHP b. KUHAP c. KUH Perdata d. UU HAM (UU No. 39/1999) e. UU Peradilan HAM (UU 26/2000) f. UU Otonomi Daerah (UU No. 22/1999) g. UU Pokok Kepolisian (UU No. 2/2002) h. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 269/1999 2. Peraturan Daerah (Perda) DIY a. Perda No. 02/1999 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan di daerah Istimewa Yogyakarta b. Perda No. 4/1999 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan c. Perda No. 7/1999 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah d. Perda No. 3/1999 Tentang Retribusi Izin Trayek 4 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi e. Perda No. 42/2000 Tentang Pencalonan, Pelantikan, Pemberhentuan Kepala Desa f. Perda No. 8/1988 Tentang Izin Reklame g. Perda 2/2001 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil serta Perda No. 3/2001 Tentang Retribusi Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. 5 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi Bagian II Hasil Audit Terhadap UU Nasional No. UU/Aturan Pasal Masalah Keterangan 6 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi 1. KUHP Bab XIV Menggabung delik percabulan dan perkosaan terhadap orang (wanita) dengan kejahatan terhadap hewan, memberi minuman keras, dan judi dalam satu Bab Penggabungan ini menunjukkan KUHP tdk memiliki komitmen tegas untuk memproteksi perempuan 2. KUHP Pasal 285 Menjadikan kekerasan atau ancaman Seringkali sulit kekerasan sebagai unsur penting dibuktikan sehingga untuk membuktikan ada tidaknya tidak sedikit korban perkosaan tidak perkosaan mendapat perlakuan hukum yang adil. Posisi korban sebagai saksi korban Menjadikan korban yang harus berhadapan dg Polisi, mengalami Jaksa dan Hakim, dan tidak jarang Victimisasi struktural berhadapan dengan penyidik Pria. 3. KUHP Pasal 285 Pidana 12 tahun Ancaman pidana 12 tahun terhadap pelaku terlalu ringan karena tidak mempertimbangkan keadaan korban pasca perkosaan yang umumnya menderita tekanan sosial psikologis berat Ada asumsi dikalangan aparat Dalam menghadapi perkosaan penegak hukum tentang adanya kasus Polisi acapkali “perkosaan semu” menduga adanya perkosaan yang sesungguhnya bukan perkosaan 4. KUHP Pasal 286 5. KUHP Pasal 287 (2) 6. KUHP Menyetubuhi wanita di luar perkawinan yang diketahuinya wanita itu dalam keadaan pingsan, tidak berdaya dipidana 9 th Diskriminatif pada perempuan karena tidak menjadikan kasus ini sbg tindak pidana yang diperberat Bersetubuh dg wanita bawah umur Diskriminatif terhadap perempuan sbg delik aduan dan anak sekaligus. Negara tdk protektif thd golongan ini. Mestinya delik ini 7 delik biasa, bukan aduan Tidak ada pasal yang melindungi Tidak sedikit Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi Bagian III Hasil Audit Terhadap PERDA No PERDA Pasal/Bagian Masalah Keterangan 8 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi 1. No. 02/1999 Ttg. Pokok Reformasi Pembangunan Daerah DIY Menimbang tidak mencantumkan secara tegas gagasan-gagasan filosofis dimensi kemanusian yang dapat menjadi kerangka dasar bagi penyusunan pasal-pasal Pasal-pasal Tidak secara tegas memberi proteksi terhadap kelompok tertentu masyarakat yang potensial didiskriminasikan. Dengan aturan ini, kelompok yang memiliki kemampuan ekonomi justru mendapat pijakan untuk berperan Aturan ini memang tidak secara tegas diskriminatif pada kelompok tertentu, tetapi potensial terjadi pengabaianpengabaian di satu sisi pada saat aturan ini memberi peluang pada kelompok lain yang 2. No. 5/1999 Ttg. Retribusi Pelayanan Kesehatan Menimbang Tidak ada komitmen dan pasal yang dan Pasal- menjamin kelompok-kelompok tidak Pasal mampu akan memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan tidak diperlakukan berbeda Dalam realitas tidak bisa dibantah adanya perlakuan tidak sama sektor jasa kesehatan pada mereka yang tidak mampu secara ekonomi 3. No. 7/1999 Ttg. Retribusi Pemakaian kekayaan daerah Menimbang Tidak adanya jaminan hukum yang dan pasal- secara proporsional memberikan pasal peluang, kesempatan dan atau ketentuan retribusi khusus pada kelompok-kelompok masyarakat tidak mampu Perda ini tidak secara langsung diskriminatif, tetapi ia akan dirasakan diskriminati ketika golongan tertentu dalam masyarakat mendapat keistimewaankeistimewaan; sesuatu yang tidak di dadapt oleh golongan lain. 4. No. 3/1999 ttg. Retribusi Izin Trayek ini tidak Tidak ada rumusan yang secara Perda Menimbang dan Pasal- tegas diskriminatif pada orang, tetapi memberi peluang dan atau jaminan hukum Pasal diskriminatif pada Badan Hukum. pada Koperasi, padahal badan usaha jenis inilah yang pada umumnya menghimpun masyarakat kebanyakan, termasuk golongan 9 masyarakat ekonomi lemah. Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi Bagian IV Kesimpulan dan Rekomendasi Dari audit yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa masih terdapat sejumlah UU atau peraturan nasional dan lokal (Perda) yang secara ekspelisit dan inpilisit diskriminatif atau dapat diberlakukan diskriminatif. Dikatakan diskriminatif karena secara jelas dan terang UU atau aturan bersangkutan merumuskan pengecualian atau pengabaian akan hak-hak seseorang atau kelompok orang dalam pasal-pasal atau penjelasan atas pasal-pasal. Sementara dikatakan dapat diberlakukan diskriminatif karena rumusan pasal atau penjelasan dalam pasal secara inplisit memberi ruang dan peluang yang menguntungkan dan atau mengiistimewakan kelompok masyarakat tertentu, dan karena itu berarti pula menutup rapat bagi kepentingan kelompok lain. Dari audit itu pula, ditemukan data atau fakta jenis – jenis diskriminatif, yaitu: 1. Adanya UU atau aturan yang memuat unsur diskriminasi atas dasar latar belakang keturunan. 2. Adanya UU atau aturan yang memuat diskriminasi atas dasar ketidakmampuan fisik (jasmani). 3. Adanya UU atau aturan yang memuat diskriminasi atas dasar gender. 4. Adanya UU atau aturan yang memuat diskriminasi atas dasar status sosial politik. 5. Adanya UU atau aturan yang memuat diskriminasi atas dasar status hukum. 6. Adanya UU atau aturan yang potensial menimbulkan diskriminasi atas dasar status sosial ekonomi. Dari dari temuan-temuan yang dihasilkan, maka dapat direkomendasikan beberapa hal: 1. Pembaharuan/perubahan/amandemen terhadap KUHP yang selain tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial, dengan nilai-nilai (agama) dan basis sosio kultural masyarakat dimana hukum itu diterapkan, juga sangat kuat memuat diskriminasi gender. 2. Pembaharuan/perubahan/amandemen terhadap pasal-pasal dalam KU Perdata, yang juga tidak dapat atau tidak mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat, serta sangat kuat mendiskriminasi wanita. 3. Pembaharuan/perubahan/amandemen terhadap KUHAP karena memberi peluang dan ruang terjadinya penyalahgunaan wewenang/kekuasaan oleh aparat penegak hukum, yang 10 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi salah satu kemungkinan itu adalah diskriminasi gender, ras, asal usul keturunan, dan klas sosial ekonomi. 4. Pembaharuan/perubahan/amandemen terhadap UU HAM dan UU Peradilan HAM yang masih memuat unsur diskriminasi dalam beberapa pasal pengaturannya. 5. Pembaharuan/perubahan/amandemen terhadap UU Pokok Kepolisian yang menegaskan fungsi Polisi sebagai Aparat penegak hukum, dan bukan sebagai aparat keamanan karena fungsi yang terakhir inilah yang kerapkali menjadi dasar terjadinya pelbagai tindakan penyalahgunaan wewenang, termasuk diskriminasi. 6. Pembaharuan/perubahan/amandemen terhadap UU Otonomi Daerah yang dalam beberapa pasalnya jelas memberi peluang dilakukannya praktik diskriminatif; salah satunya legitimasi terhadap pengistimewaan keturunan Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam untuk menjadi Gubernur dan Wakli Gubernur. Hal ini tidak sesuai dengan semangat demokratisasi dalam kebijakan Otonomi itu sendiri. 7. Menghapus Peraturan Menteri/instruksi menteri atau instruksi Presiden di bidang catatan sipil atau kewarganegaraan yang jelas sangat diskriminatif. 8. Rumusan yang terdapat pada keempat perda, lebih merefleksikan paradigma bahwa pemerintah daerah memiliki otoritas untuk mengatur tentang sesuatu. Dengan kata lain amat menonjol aspirasi yang bersifat normatif. Hal demikian tidak keliru, namun mengandung kekurangan. Kekurangan ini dapat diatasi dengan menerapkan paradigma perumusan perda( legal drafting) dengan merespon terlebih dahulu kecenderungan sosial (sociological approach) melalui proses evaluasi secara metodologis . Kemudian hasilnya dipadukan dengan pendekatan dalam kerangka konsep yang mencerminkan spirit keadilan dan keberpihakan kepada penguatan HAM. Jika demikian dapat diharapkan adanya Perda yang sensitif dengan isu-isu HAM sehingga jelas keberpihakannya dengan kepentingan kemanusian. 9. Karena keterbatasan Dewan dan Pemerintah Daerah, proses legal drafting yang didahului dengan perumusan gagasan awal tentang Apa yang akan dirumuskan didalam perda, serta kalkulasi mengenai berbagai implikasi yuridis dan ekosok dari penerapan suatu perda, maka pola kemitraan dengan kalangan Perguruan Tinggi dan NGO menjadi bermakna. 10. Secara eksplisit perlu diberi perumusan dalam suatu perda, sejak dari bagian menimbang hingga bagian dan Bab-bab berikutnya yang bersifat mengatur secara langsung ketiadaan unsur diskriminasi di dalamnya. Hal ini perlu agar jangan sampai dengan suatu perda yang di dalamnya tidak ada pengaturan dalam arti pendistribusian hak-hak dasar yang mencerminkan sifat kesetaraan bagi kalangan masyarakat secara luas. Sering terdapat 11 Penyajian singkat hasil Legal Audit UU Nasional dan Peraturan Daerah DIY Dalam Rangka Strategi Kampanye Anti Diskriminasi suatu peraturan perundangan secara tidak sengaja mengabaikan sesuatu hak-hak dasar kelompok masyarakat tertentu yang mengakibatkan adanya effek diskriminasi. Salah satu contoh adalah tidak adanya instrumen pelayanan publik, seperti sarana transportasi, komunikasi, gedung, loket pelayanan khusus untuk orang tua/orang cacat, dsb sebagai bukti belum kuatnya Komitmen pemerintah pada HAM, sekaligus belum sensisitifnya Perda dengan HAM. 11. Kedepan, dipandang perlu adanya suatu Perda Induk mengenai bidang tertentu yang berfungsi menjadi acuan bagi perda-perda lain sejenis yang sifatnya lebih organik . Termasuk perda yang berspirit reformasi. Hal ini penting bukan saja untuk memudahkan bagi penyusunan/pembentukan suatu perda secara tehnis, tetapi juga agar masing-masing dan keseluruhan perda dapat memiliki watak yang benar yaitu sebagai produk hukum yang beresensi keadilan. Dimana “esensi keadilan” tersebut dapat diproses secara dalam hal ini secara spesifik adalah “diskriminasi” sebagai salah satu elemen pokok dalam konsep HAM, yang secara tegas harus dirumuskan di dalam melakukan legal audit (telaah hukum) terhadap peraturan perundang-undangan. Faedah yang dapat diperolehnya adalah untuk mengidentifikasi, apakah suatu produk perundangan-undangan mengandung unsur “diskriminasi” atau tidak didalamnya. 12. Jika suatu peraturan perundangan-undangan secara eksplisit maupun implisit mengandung elemen-elemen diskriminasi, atau sama sekali tidak memberikan perlindungan terhadap kelompok sosial rentan dalam rumusan peraturan perundangan. 12