BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Mangrove Hutan merupakan salah satu sumber daya alam Indonesia yang tidak ternilai harganya, termasuk di dalamnya hutan mangrove dengan ekosistem yang khas dan unik. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat unik dan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat potensial, karena di kawasan hutan mangrove terpadu unsur fisik, biologis daratan dan biologis lautan, sehingga menciptakan keterlibatan suatu ekosistem yang kompleks antara ekosistem laut dan ekosistem darat (Purnobasuki, 2005). Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya merupakan suatu kekuatan dalam pelaksanaan konservasi kawasan hutan mangrove. Di dalam undang-undang tersebut terdapat tiga sapek yang sangat penting, yakni sebagai berikut. 1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehiduapan dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsuangan hidup biota dan keberadaan ekosistemnya 2. Pengawetan sumber plasama nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya. 3. Pemanfaatan secara lestari atau berkelanjutan, baik berupa poduksi dan jasa. Pada mulanya, hutan mangrove hanya dikanal secara terbatas oleh kalangan ahli lingkungan, terutama lingkungan laut. Mula-mula kawasan 9 10 dikenal dengan istilah Vloedbosh, kemudian dikenal dengan istilah “payau” karena sifat habitanya yang payau. Berdasarkan dominasai jenis pohonnya yaitu bakau, maka kawasan mangrove juga disebut sebagai hutan bakau. Kata mangrove merupakan kombiasi antara kata mangue (bahasa potugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil. Menurut Mac Nae (1968) “dalam” Arief (2003), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh di diantara batas air tertinggi pada saat air pasang dan batas air terendah sampai diatas rata-rata permukaan air laut. Sebenarnya kata mangrove digunakan untuk menyebut masyarakat tumbuh-tumbuhan dari beberap spesies yang mempunyai perkaran Pneematophores dan tumbuh di anatara garis pasang surut. Sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan Pasang”. 1. Peranan Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan daerah yang sangat penting bagi masyarakat yang hidup disekitarnya, karena secara langsung mangrove dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup mereka, misalnya untuk kayu bakar, kayu bangunan, arang bahkan dapat juga dimafaatkan sebagai obat-obatan dan khusus dari jenis Nypa fruticans dapat dimanfaatkan sebagai sumber gula, alkohol maupun cuka (Rahman & Sudarto 1991 “dalam” Pramudji 2000). Secara tidak lansung, hutan mangrove juga bermanfaat bagi kehidupan mereka, karena daerah ini dapat berperan sebagai habitat beberapa jenis ikan, udang dan kepiting yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Secara ekologis, hutan mangrove 11 mempunyai berbagai macam peranan yang cukup besar antara lain adalah sebagai berikut: a. Hutan mangrove berperan sebagai sumber nutrisi. Dibandingkan dengan hutan hujan tropik, biomas hutan mangrove jauh lebih kecil, hutan mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya (Budiman & Suhardjono 1992 “dalam” Pramudji 2000). Serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove merupakan sumber karbon dan nitrogen bagi hutan mangrove sendiri maupun untuk perairan disekitarnya (Brotonegoro & Abdulkadir 1979 “dalam” Pramudji 2000). b. Hutan mangrove berperan sebagai pelindung pantai Hutan mangrove dapat berfungsi untuk sebagai stabilator garis pantai, dapat mencegah erosi sebagai akibat pukulan ombak dan juga berperan dalam penambahan lahan pantai. Tipe perakaran dari jenis Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dapat meredam hantaman gelombang dan sekaligus berperan sebagai penghimpun atau pengikat lumpur yang dibawa oleh aliran sungai, sehinga akan terbentuk pulau-pulau delta kecil yang ditumbuhi mangrove, dan selanjutnya masing- masing pulau akan bergabung dan akhirnya akan terbentuk hutan mangrove yang arealnya cukup luas. Hutan mangrove juga dapat berperan sebagai filter dari pengaruh laut maupun dari darat serta dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke darat. Kemampuan hutan mangrove juga diduga dapat berperan sebagai penghambat intrusi air laut ke daratan. 12 c. Hutan mangrove berperan sebagai penyedia kebutuhan manusia. Hutan mangrove sudah lama dimanfaatkan dan digunakan oleh masyarakat yang tinggal sekitar hutan mangrove, baik itu untuk keperluan lokal maupun sebagai bahan industri. Secara lokal, manusia menggunakan mangrove sebagai bahan bangunan, kontruksi, atap, kayu bakar, sebagai sumber makanan, obat dan bahan untuk keperluan rumah tangga lainnya. Sedangkan dari segi industri, hutan mangrove sebagai penghasil kayu lapis, bahan industri pulp, bahan arang dan penghasil tanin. Khusus untuk jenis Nypa fruticans dikenal sebagai penghasil alkohol. Areal hutan mangrove juga digunakan sebagai lahan untuk berbagai kegiatan manusia antara lain, untuk tempat pemukiman, tempat rekreasi, lahan pertanian, lahan tambak ikan dan udang dan bahkan yang sangat mencemaskan adalah untuk tempat pembuangan sampah. Areal hutan mangrove juga digunakan sebagai tempat pencaharian untuk menangkap kepiting bakau, udang dan berbagai macam jenis moluska (Pramudji 2000). B. Nitrogen (N) 1. Manfaat Nitrogen Bagi Tumbuhan Nitrogen (N) merupakan nutrisi penting bagi tumbuhan dan diperlukan dalam jumlah besar. Kandungan N dalam jaringan tumbuhan tinggi per berat kering jaringan adalah sebanyak 1,5%. Nitrogen menjadi salah satu komponen dalam molekul protein, purin, pirimidin dan porfirin. Purin dan pirimidin merupakan basa nitrogen yang penting 13 dalam pembentukan molekul asam nukleat (RNA dan DNA). Sedangkan porfirin penting dalam pembentukan klorofil (Arief, 1989). Nitrogen dikatakan penting bagi tumbuhan oleh karena dinilai mampu memenuhi tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap unsur. Ketiga kriteria tersebut meliputi (1) unsur N penting bagi pertumbuhan dan reproduksi, (2) unsur tersebut tidak dapat diganti dengan unsur lain dan (3) kebutuhan akan unsur tersebut bersifat langsung dan bukan hasil efek tidak langsung (Sasmitamiharja dan Siregar, 1990). 2. Siklus Nitrogen Berbagai bentuk nitrogen (N) dijumpai di lingkungan kita. Pengubahan berkesinambungan berbagai bentuk nitrogen oleh proses fisika dan biologi merupakan daur nitrogen, dirangkum pada gambar 1. larutan batuan pemupukan denitrifikasi kilat NO − 3 Nitrogen organik dlm tanaman bakteri nitrat NO N2 bebas 2 bakteri nitrit Nitrogen organik dalam hewan nitrogen-fiksing nitrogen penghancuran nitrifikasi NH 3 Gambar 1. Siklus Nitrogen (Arief, 1989). Sekitar 75 % nitrogen (N) terdapat di atmosfir bumi, kehadiran N dalam tanah hampir seluruhnya merupakan hasil kerja biologi, pegayaan artifisial atau pemupukan secara alami antara lain hasil kilat pada waktu hujan. Nitrogen yang terdapat di atmosfir tersebut tidak dapat digunakan 14 langsung oleh organisme. Pada tumbuhan, unsur N masuk ke dalam sel tumbuhan bersama-sama CO2 lewat stomata, enzim yang ada hanya dapat mereduksi CO2 sehingga N keluar lagi secepat ia masuk (Salisbury dan Ross, 1995). Sumber nitrogen yang paling umum dan sering dipakai oleh organisme adalah ion-ion nitrat (NO3−), yang diserap oleh tumbuhan berbentuk nutrien mineral dan diubahnya menjadi gugusan amino (-NH2 ) serta bahan hidup lainnya yang mengandung nitrogen. Sumber nitrat yang ada di lingkungan dapat berasal dari pelarutan batu-batuan oleh air atau karena pemupukan oleh manusia. Disamping itu ion nitrat dalam jumlah yang kecil dapat juga terbentuk di udara dengan bantuan energi kilat yang dengan cepat mencampur nitrogen di udara dengan oksigen, dan kemudian hujan membawanya dalam bentuk nitrat ke dalam tanah (Arief, 1989). Nitrogen yang masuk dalam tubuh tanaman akan menetap sampai tanaman itu mati. Hewan sebagai organisme harus mendapatkan nitrogen tersebut, dengan cara memakan tanaman atau hewan lainnya, dan hewan tersebut akan mati. Melalui pembusukan, semua nitrogen organik dari tanaman dan hewan yang mati itu pada akhirnya diubah menjadi amoniak (NH3). Zat amoniak sangat berguna bagi bakteri nitrifikasi, untuk pembuatan makananya. Bakteri ini ada dua macam, pertama, menyerap amoniak dan mengubahnya menjadi ion-ion nitrat (NO−2) yang kemudian dilepaskan ke dalam lingkungan. Kedua, menyerap nitrit dan mengubahnya menjadi ion-ion nitrat (NO3−) yang juga pada akhirnya dilepaskan ke dalam lingkungan (Salisbury dan Ross, 1995). 15 Keberadaan nitrat di lingkungan dipengaruhi oleh bakteri denitrifikasi, yang dalam kegiatan metabolismenya mengubah nitrat dan menghasilkan antara lain, molekul nitrogen yang bebas (N2). Dengan demikian bakteri tersebut berperan mengurangi nitrat di lingkungannya dan menambah jumlah nitrogen bebas di udara. Tetapi pengurangan persediaan nitrat di lingkungan dapat diimbangi dengan adanya organisme yang mengikat nitrogen (fixing nitrogen), yaitu organisme yang langsung menangkap nitrogen dari udara seperti beberapa bakteri dan ganggang biru yang hidup di air dan tanah gembur yang kegiatannya menangkap nitrogen udara dan diubahnya menjadi asam amino dan protein. Jika organisme ini mati, maka nitrogen organik dalam tubuhnya akan melepaskan amoniak ke dalam tanah yang selanjutnya zat amoniak itu diubah kembali menjadi nitrat oleh bakteri nitrifikasi (Deacon, 2002). Dengan adanya bakteri nitrogen fiksing, berarti siklus nitrogen secara keseluruhan telah lengkap. Jadi siklus nitrogen ditentukan oleh empat macam bakteri yang berbeda yaitu: bakteri pembusuk, bakteri nitrifikasi, bakteri denitrifikasi dan bakteri fiksing (penambat N). C. Bakteri Fiksasi Nitrogen Nitrogen merupakan unsur hara tanaman esensial. Kecukupan suplai nitrogen pada tanaman dicirikan dengan kecepatan pertumbuhan tanaman dan warna daun hijau gelap. Ketidak seimbangan nitrogen atau terlalu besar unsur hara ini dibandingkan dengan unsur lain seperti P, K, dan S dapat mengakibatkan memanjangnya periode tumbuh dan tertundanya kematangan (Tisdale et al., 1985“dalam” Danaptritna, 2010). Umumnya hara N tanah 16 dalam kondisi kekurangan, hal ini memberikan kontribusi terhadap penurunan hasil. Di atmosfer nitrogen dalam bentuk molekul dan gas dinitrogen (N2) sangat berlimpah sekitar 80% dari total gas atmosfer, namun tidak dapat langsung digunakan untuk proses metaboilsme oleh tanaman tingkat tinggi atau binatang. Bentuk nitrogen yang dapat diambil oleh tanaman dari tanah adalah nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+) (Barber, 1984; Tisdale et al., 1985 “dalam” Danaptritna, 2010). Kedua bentuk nitrogen tersebut sebagian besar berasal dari pupuk dan penambatan nitrogen udara oleh mikroba tanah (Danaptritna, 2010). Berbagai jenis bakteri fiksasi N2 secara hayati, antara lain terdiri atas rhizobia, sianobakter (ganggang hijau biru), bakteri foto-autotrofik pada air tergenang dan permukaan tanah, dan bakteri heterotrofik dalam tanah dan zona akar (Ladha and Reddy 1995, Boddey et al. 1995, Kyuma 2004 “dalam” Saraswati dan Sumarno, 2008). Bakteri tersebut mampu mengikat nitrogen dari udara, baik secara simbiosis (root-nodulating bacteria) maupun nonsimbiosis (free-living nitrogen-fixing rhizobacteria). Pemanfaatan bakteri fiksasi N2, baik yang diaplikasikan melalui tanah maupun disemprotkan pada tanaman, mampu meningkatkan efisiensi pemupukan N. Dalam upaya mencapai tujuan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan, penggunaan bakteri fikasi N2 berpotensi mengurangi kebutuhan pupuk N sintetis, meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani dengan masukan yang lebih murah (Saraswati dan Sumarno, 2008). 17 Bakteri fiksasi N2 yang hidup bebas pada daerah perakaran dan jaringan tanaman padi, seperti Pseudomonas spp., Enterobacteriaceae, Bacillus, Azotobacter, Azospirillum, dan Herbaspirillum telah terbukti mampu melakukan fiksasi N2 (James and Olivares 1997). Bakteri fiksasi N2 pada rizosfer tanaman gramineae, seperti Azotobacter paspali dan Beijerinckia spp., termasuk salah satu dari kelompok bakteri aerobik yang mengkolonisasi permukaan akar (Baldani et al. 1997). Di samping itu, Azotobacter merupakan bakteri fiksasi N2 yang menghasilkan substansi zat pemacu tumbuh giberalin, sitokinin dan asam indol asetat, sehingga dapat memacu pertumbuhan akar (Alexander 1977 “dalam” Saraswati dan Sumarno, 2008). 1. Bakteri Penambat Nitrogen Non Simbiotik Bakteri heterotropik tertentu yang hidup dalam tanah ternyata dapat pula hidup secara bebas pada tanaman tingkat tinggi yang berkemampuan menggunakan nitrogen udara dalam pembentukan sel-sel jaringan tubuhnya. Bakteri-bakteri heterotropik tersebut apabila tidak hidup bersama-sama dengan tanaman-tanaman tingkat tinggi disebut dengan bakteri non-simbiotik (Hamdi, 1982). Karakteristik Bakteri Penambat N Non Simbiotik Karakteristik bakteri penambat N non simbiotik dapat dicirikan sebagai berikut: Warna koloni mulai dari warna putih, bening, putih berlendir, bening berlendir dan kuning. Bentuk koloni irregular dan circulaie, Permukaan koloni licin dan kasar. Bentuk sel berkisar antara batang, kokus dan spiral. Sifat respirasi bakteri aerob dan fakultatif. 18 a. Klasifikasi Bakteri penambat nitrogen non simbiotik, termasuk dalam famili Azotobacteriaceae yang terdiri dari empat genus. Pertama, genus Azotobacter terdiri dari empat spesies, yaitu A. crhoococcum, A. beijerinkii, A. vinelandii dan A. paspali. Kedua, genus Azomonas terdiri dari A. agilis, A. insigne, dan A. macrocytogenese. Ketiga, Beijerinkia terdiri dari B. indica, B. mobilis, B.fluminensis dan B.derxii. keempat, genus Derxia yang terdiri dari satu spesies yaitu D.gumnosa (Hamdi, 1982). b. Ciri Morfologi Secara umum morfologi penambat N non simbiotik tidak jauh berbeda dengan ciri morfologi bakteri lainnya. Genus Azotobacter dicirikan dengan sel berbentuk batang, gram negatif, bersifat aerobik obligat dan mempunyai ukuran sel yang lepih panjang dari prokariot lainnya dengan diameter sel 2-4 µm atau lebih. Beberapa strain motil dengan flagel peritrikha. Pada media yang mengandung karbohidrat, bekteri ini membentuk kapsul yang berfungsi melindunginya dari lingkungan luar. Bakteri ini memiliki struktur khusus yang disebut kista. Kista ini bersifat seperti endospora, yakni tubuh berdinding tebal, sangat reaktif dan resisten, tahan terhadap proses pengeringan, pemecahan mekanik, ultraviolet dan radiasi ionik (Brock, et al., 1994). Menurut Gardner et al (1991), pembentukan kista pada Azotobacter karena sel-sel Azotobacter mengandung PBH (Poli-ßhidroksibutirat) yang merupakan bahan utama pembentukan kista, 19 selain juga mengandung sebuah sistem sitokrom untuk mengirim elektron yang menunjukkan respirasi oksidatif yang tinggi dalam mendukung penambatan nitrogen udara. Pertumbuhan Azotobacter dalam media semi padat dapat dilihat setelah masa inkubasi selama 2 sampai 7 hari, yang dicirikan dengan pembentukan pellicle berwarna putih, ringan, tidak tembus cahaya, bentuk irregular dan mengelilingi media sehingga terlihat seperti cincin dengan diameter 2-5 mm. koloni Azotobacter pada media padat terlihat berwarna putih berlendir dan mucoid. Sedangkan bentuk sel dicirikan dengan bentuk batang ujung tumpul, berpasangan atau berbentuk rantai (Anonim, 2002). Beberapa spesies dari genus Azotobacter, antara lain Azotobacter chroococcum mempunyai flagel peritrikha, lendir sedang, dan memiliki pigmen hitam-coklat yang tidak larut. A. venelandii, A. paspali dan A. agilis memiliki flagel peritrikha, lendir sedikit sampai sedang, berwarna hijau, pigmen fluoresens dan larut. A. beijerenkii tanpa flagel, lendir sedang dan pigmen kuning muda kecoklatan tidak larut. A. macrocytogenes berflagel polar, lendir banyak dan pigmen merah muda yang dapat larut (Rao, 1994). Genus Beijerinckia memiliki ciri sel tunggal, bentuk lurus atau melengkung, dan seperti buah pear yang saling bergandengan antar ujung sel satu dengan lainnya. Sel-sel berukuran panjang dan bersifat membiaskan cahaya. Pada media cair tidak terbentuk pellicle, namun eksudat yang dikeluarkan dapat merubah media menjadi kental dan 20 terbentuk masa semi transparan seperti lendir berwarna putih. Pellicle akan terbentuk bila genus Beijerinckia ditumbuhkan pada media semi padat. Pellicle tersebut terbentuk pada permukaan media, berwarna putih dan dapat digores pada media padat untuk proses pemurnian (Hamdi, 1982). Beijerinkia indica memiliki flagel peritrikha, lendir banyak dan pigmen berwarna coklat karat yang muda dan tidak larut. Derxia gumnosa dari genus Derxia berflagel polar, lendir banyak dan pigmen kuning-coklat. Genus Psedeomonas dicirikan dengan sel berbentuk batang yang mirip dengan Azotobacter, bedanya bakteri ini tidak mempunyai kista. Bakteri ini termasuk gram negatif dan bersifat anaerob fakultatif (Pelczar, et al., 1986; Rao, 1994). Azospirillum mempunyai ciri berupa sel yang berbentuk setengah spiral yang padat dan bergetar dengan sebuah flagel polar, sehingga bergerak secara berputar. Bakteri ini adalah gram negatif dan mengandung butir-butir Poli-ßhidroksibutirat (Harran dan Ansori, 1992). Pertumbuhan genus Azospirillum pada media semi padat dicirikan dengan pembentukan pellicle berwarna putih di permukaan media dengan diameter 2-4 mm. Koloni berbentuk irregular berwarna putih dan berukuran besar (Hamdi, 1982). D. Peran Bakteri dalam Ekosistem Mangrove Bakteri berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik. Aktivitas bakteri mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara melalui 21 proses mineralisasi karbon dan asimilasi nitrogen. Mikroorganisme membutuhkan molekul-molekul organik dari organisme lain sebagai nutrisi agar mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Adanya aktivitas bakteri menyebabkan produktivitas ekosistem mangrove tinggi (Lyla dan Ajmal, 2006). Bakteri hidup dan berkembang biak pada organisme mati dengan menguraikan senyawa organik yang bermolekul besar seperti protein, karbohidrat, lemak atau senyawa organik lain melalui proses metabolisme menjadi molekul tunggal seperti asam amino, metan, gas CO2, serta molekulmolekul ain yang mengandung senyawa karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fosfor, serta sulfur atau unsur anorganik seperti K, Mg, Ca, Fe, Co, Zn, Cu, Mn dan Ni. Keseluruhan unsur ini dibutuhkan oleh bakteri heterotrof sebagai sumber nutrisi (Martinko dan Madigan, 2005). Bakteri merupakan salah satu komponen penting yang berperan dalam penguraian serasah daun di ekosistem mangrove. Hampir semua bakteri laut bersifat Gram negatif dan ukurannya lebih kecil dibanding dengan bakteri non laut. Bakteri Gram positif hanya sekitar 10% dari total populasi bakteri laut dan proporsi terbesar terdiri atas bakteri gram negatif berbentuk batang, yang umumnya aktivitas gerakan dilakukan dengan bantuan flagel. Bakteri bentuk kokus umumnya lebih sedikit dibanding bentuk batang. Keberadaan bakteri laut Gram positif terbanyak ditemukan pada sedimen (Kathiresan dan Bingham, 2001). Kebanyakan bakteri laut terikat, bergabung sesamanya untuk membentuk permukaan yang kuat karena adanya bahan berlendir yang terbentuk pada 22 permukaan sel, sehingga sel-sel saling terikat. Dengan cara ini bakteri dapat membentuk lapisan permukaan yang mengakibatkan bakteri dapat hidup pada alga, rumput laut dan tumbuhan mangrove (Hutching dan Saenger, 1987). Bakteri dapat hidup pada lingkungan salin dan membutuhkan Na+ untuk pertumbuhan dan untuk menjaga tekanan osmotik dan integritas sel (Lyla dan Ajmal, 2006). 1. Jenis dan Fungsi Mikroba Penyubur Tanah Di setiap tempat seperti dalam tanah, udara maupun air selalu dijumpai mikroba. Umumnya jumlah mikroba dalam tanah lebih banyak daripada dalam air ataupun udara. Umumnya bahan organik dan senyawa anorganik lebih tinggi dalam tanah sehingga cocok untuk pertumbuhan mikroba heterotrof maupun autotrof. Keberadaan mikroba di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia dan fisika tanah. Komponen penyusun tanah yang terdiri atas pasir, debu, lempung dan bahan organik maupun bahan penyemen lain akan membentuk struktur tanah. Struktur tanah akan menentukan keberadaan oksigen dan lengas dalam tanah. Dalam hal ini akan terbentuk lingkungan mikro dalam suatu struktur tanah. Mikroba akan membentuk mikrokoloni dalam struktur tanah tersebut, dengan tempat pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan yang diperlukan. Dalam suatu struktur tanah dapat dijumpai berbagai mikrokoloni seperti mikroba heterotrof pengguna bahan organik maupun bakteri autotrof, dan bakteri aerob maupun anaerob. Untuk kehidupannya, setiap jenis mikroba mempunyai kemampuan untuk 23 merubah satu senyawa menjadi senyawa lain dalam rangka mendapatkan energi dan nutrien. Dengan demikian adanya mikroba dalam tanah menyebabkan terjadinya daur unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, fosfor dan unsur lain di alam (Sumarsih, 2007). Untuk meningkatkan efektivitas fungsinya, mikroba sebagai komponen teknologi pertanian disediakan dari strain murni terpilih, yang difungsikan sebagai inokulan. Metode aplikasi dan mutu inokulan merupakan faktor yang sangat menentukan, sehingga upaya mengatasi keragaman keefektifan, mutu inokulan mikroba harus distandardisasi (Zdor & Pueppke 1988, 1990). Teknologi produksi inokulan yang kurang aseptik dapat mempengaruhi keefektifan produk, yang akan mengakibatkan rendahnya kualitas inokulan. Produk biologi aktif yang terdiri atas mikroba yang berfungsi meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah disebut sebagai pupuk hayati (pupuk mikroba). Pupuk hayati yang telah terstandardisasi merupakan alternatif sumber penyediaan hara tanaman yang aman lingkungan. Pemanfaatan pupuk hayati yang bermutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan meningkatkan produksi tanaman, menghemat biaya pupuk, dan meningkatkan pendapatan petani. Semakin mahalnya pupuk anorganik dan pestisida serta semakin dipahaminya manfaat pupuk hayati dalam menjaga keseimbangan hara dan produktivitas tanah, maka penggunaan pupuk hayati dan agensia hayati diharapkan akan lebih meningkat pada tahuntahun mendatang (Saraswati dan Sumarno, 2008). 24 2. Pemanfaatan Mikroba Sebagai Pupuk Hayati Pupuk hayati (biofertilizer) adalah suatu bahan yang berasal dari jasad hidup, khususnya mikrobia, yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi suatu tanaman. Dalam hal ini yang dimaksud dengan berasal dari jasad hidup adalah mengacu pada hasil proses mikrobilogis. Oleh karena itu istilah pupuk hayati lebih tepat disebut sebagai inokulan mikrobia, seperti yang dikemukakan oleh Rao (1982) “dalam” Sinaga (2012). Meskipun demikian istilah pupuk hayati sudah lebih dikenal dan sebagai alternatif bagi pupuk kimia buatan (artificial chemical fertilizer). Pupuk hayati berbeda dari pupuk kimia buatan, misalnya urea, TSP dan lainlain, karena dalam pupuk hayati komponen utamanya adalah jasad hidup yang pada umumnya diperoleh dari alam tanpa ada penambahan bahan kimia, kecuali bahan kimia yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan jasad hidupnya selama dalam penyimpanan. Dalam formulasi pupuk hayati, seringkali bahkan tidak diperlukan bahanbahan kimia buatan karena bahan-bahan tersebut dapat diganti dengan bahan alami, misalnya gambut, kapur alam. Pupuk hayati mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pupuk kimia buatan karena bahan-bahannya berasal dari alam sehingga tidak menimbulkan persoalan pencemaran lingkungan seperti halnya dengan pupuk kimia buatan (Yuwono, 2006 “dalam” Sinaga, 2012). Pupuk hayati tidak mengandung N, P, dan K. Kandungan pupuk hayati adalah mikrooganisme yang memiliki peranan positif bagi 25 tanaman. Kelompok mikroba yang sering digunakan adalah mikrobamikroba yang menambat N dari udara, mikroba yang malarutkan hara (terutama P dan K), mikroba-mikroba yang merangsang pertumbuhan tanaman. Kelompok mikroba penambat N sudah dikenal dan digunakan sejak lama. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dengan tanaman dan ada juga yang bebas (tidak bersimbiosis). Contoh mikroba yang bersimbiosis dengan tanaman antara lain adalah Rhizobium sp Sedangkan contoh mikroba penambat N yang tidak bersimbiosis adalah Azosprillium sp dan Azotobacter sp. Mikroba-mikroba bahan aktif pupuk hayati dikemas dalam bahan pembawa, bisa dalam bentuk cair atau padat. Pupuk hayati juga ada yang hanya terdiri dari satu atau beberapa mikroba saja, tetapi ada juga yang mengklaim terdiri dari bermacammacam mikroba. Pupuk hayati ini yang kemudian diaplikasikan ke tanaman. Salah satu kelemahan mikroba adalah sangat tergantung dengan banyak hal. Mikroba sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, baik lingkungan biotik maupun abiotik. Jadi biofertilizer yang cocok di daerah sub tropis belum tentu efektif di daerah tropis. Demikian juga biofertilizer yang efektif di Indonesia bagian barat, belum tentu efektif juga di wilayah Indonesia bagian timur. Mikroba yang bersimbiosis dengan tanaman lebih spesifik lagi. Misalnya Rhizobium sp yang bersimbiosis dengan kedelai varietas tertentu belum tentu cocok untuk 26 tanaman kacang-kacangan yang lain. Umumnya mikroba yang bersimbiosis berspektrum sempit (Sinaga. 2012). E. Kajian Penelitian terdahulu 1. Metasari, K. (2011). Dalam Penelitiannya “Eksplorasi Bakteri Penambat Nitrogen Non Simbiosis Dari Tanah Kawasan Mangrove Wonorejo Surabaya” dijelaskan bahwa Karakterisasi bakteri penambat nitrogen non simbiosis pada sampel tanah mangrove Wonorejo Surabaya memiliki morfologi yang berbeda-beda tiap genus yaitu: genus Azospirillum koloni berwarna kuning, bentuk bulat, elevasi konveks, dengan tepi rata, dan bakteri dengan bentuk sel vibroid gram negatif. Genus Azotobacter dengan warna kuning, bentuk bulat, tepi rata, elevasi konveks, dengan sel berbentuk ovoid gram negatif. Genus Pseudomonas berwarna putih transparan, biru transparan, hingga oranye dengan tepi rata berbentuk bulat, elevasi konveks, dan dengan bentuk sel kokoid gram negatif. Sedangkan pada genus Streptomyces koloni bakteri berwarna putih tepi transparan, berbentuk bulat, tepi tidak rata, elevasi konveks, dan dengan bentuk sel batang gram positif. 2. Danapriatna, N. (2010) Dalam penelitianya “Biokimia Penambatan Nitrogen Oleh Bakteri Non Simbiotik” dijelaskan bahwa Nitrogen hasil proses penambatan nitrogen secara biologis oleh mikroorganisme merupakan poin kunci masuknya molekul nitrogen kedalm sikus nitrogen dialam. Sejumlah mikroorganisme tanah dan air sanggup menambat nitrogen atmosfer menjadi amonium. Kelompok mikroorganisme ini ada dua menurut cara penambatan nitrogen yang dilakukan yaitu: (1) 27 Penambat nitrogen nonsimbiotis; (2) Penambat nitrogen simbiosis. Kelompok non simbiosis terbagi dua yaitu organisme aerob dan anaerob. Untuk terjadinya proses penambatan nitrogen dibutuhkan beberapa syarat yaitu : (1) adanya enzim nitrogense; (2) ketersediaan sumber energi dalam bentuk ATP; (3) adanya sumber penurun potensial dari elektron; (4) adanya sistem perlindungan enzim nitrogenase dari inaktivasi oleh oksigen; dan (5) pemindahan yang cepat nitrogen hasil tambatan dari tempat penambatan nitrogen untuk mencegah terhambatanya enzim nitrogenase. 3. Saraswati, R. dan Sumarno. (2008) Dalam penelitiannya “Pemanfaatan Mikroba Penyubur Tanah sebagai Komponen Teknologi Pertanian” diejalaskan bahwa kesadaran masyarakat pertanian tentang manfaat dan pentingnya mikroba berguna dalam usaha pertanian masih rendah, sehingga diperlukan penjelasan, penyuluhan, dan sosialisasi kepada berbagai kalangan, termasuk pejabat pertanian, penyuluh, dan petani. Penggunaan mikroba bermanfaat sebagai salah satu komponen teknologi pertanian merupakan teknologi ramah lingkungan, berkelanjutan, dan komplementer terhadap komponen teknologi lain, layak digunakan dalam program peningkatan produktivitas pertanian. Untuk menggalakkan penggunaan teknologi mikroba bermanfaat diperlukan kebijakan Pemerintah yang dapat mendukung dan mempopulerkan teknologi tersebut sesuai dengan tujuan peruntukannya.