OPERASI MILITER PAPUA Kondisi Politik Papua

advertisement
OPERASI MILITER PAPUA
Kondisi Politik Papua Sebelum Menjadi Wilayah Indonesia.
Tumbuhnya paham "nasionalisme Papua" di Irian Jaya mempunyai sejarah yang panjang
dan pahit. Sebelum dan selama Perang Dunia II di Pasifik, nasionalisme secara khas
dinyatakan melalui gerakan millinerian, mesianic dan "cargo-cultis". Mungkin yang paling
terbuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan "koreri" di kepulauan Biak, gerakan "were
atau wege" yang terjadi di Enarotali dan gerakan "Simon Tongkat" yang terjadi di Jayapura.
Berhadapan dengan kebrutalan Jepang pada waktu itu, gerakan koreri di Biak mencapai
titik kulminasinya pada 1942 dengan sebuah proklamasi dan pengibaran bendera.1
Dengan masih didudukinya sebagian besar kepulauan Indonesia oleh Jepang, pemerintah
Belanda di Nieuw Guinea dihadapkan kepada kekurangan personil yang. terlatih di berbagai
bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1944
Resident J.P. van Eechoud yang terkenal dengan nama "vader der Papoea's" (Bapak orang
Papua) mendirikan sebuah sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (bestuurscbool)
di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara l944 sampai 1949. Sekolah
inilah yang melahirkan elit politik terdidik (borjuis kecil terdidik) di Nieuw Guinea.
Residen J.P. van Eechoud mempunyai misi khusus untuk menanamkan nasionalisme Papua
dan membuat orang Papua setia kepada pemerintah Belanda. Untuk itu setiap orang yang
ternyata pro-Indonesia ditahan atau dipenjarakan dan dibuang ke luar Irian Jaya sebagai
suatu tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro Indonesia di IrianJaya. Beberapa orang yang
menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian meniadi terkemuka dalam aktivitas politik
antara lain: Markus dan Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert
Karubuy, Mozes Rumainum, Baldus Mofu, Elieser Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Martin
Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdullah Arfan.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi para
pemuda terdidik tersebut di atas yaitu antara lain Silas Papare, Albert Karubuy, dan Martin
Indey. Pada tahun 1946 di Serui, Silas Papare dan sejumlah pengikutnya mendirikan
organisasi politik pro-Indonesia yang bernama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII).
Di Manokwari pada 17 Agustus 1947 dilakukan upacara penarikan bendera merah putih
yang dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johans Ariks, Albert
Karubuy, Lodewijk dan Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph
Djopari.
Upacara tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Akibatnya,
seluruh peserta tersebut di atas harus masuk tahanan Polisi Belanda selama lebih dari tiga
bulan. Pemerintah Belanda menghadapi tentangan yang berat dari organisasi PKII sebab
mereka mengklaim seluruh Indonesia Timur termasuk West Nieuw Guinea (Irian
Barat/Jaya) adalah wilayah Republik Indonesia. Dua nasionalis Papua lainnya yaitu Frans
Kaisiepo dan Johan Ariks bergabung dengan Silas Papare. Johan Ariks kemudian menjadi
orang yang sangat anti-Indonesia setelah mengetahui bahwa ada usaha dari Indonesia
untuk mengintegrasikan Irian Jaya dengan Republik Indonesia dan bukan sebaliknya
membantu kemerdekaan Irian Jaya sendiri.
Pada 16-24Juli 1946 dilakukan konferensi Malino, hadir pada konferensi tersebut tokoh
nasionalis Papua Frans Kaisiepo yang memperkenalkan nama "Irian" bagi West Nieuw
1
Bagian dari penjelasan fakta-fakta ini dikutip dari John RG Djopari, Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka,
PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1993. Cerita tentang kehidupan pada Abad XIX di kawasan
Papua dilukiskan secara lengkap dengan menarik oleh Kal Muler. Lihat Kal Muller, Mengenal Papua, Daisy
World Book, Jayapura, 2008.
Guinea dan secara tegas menuntut West Nieuw Guinea ke dalam Indonesia Timur. Tuntutan
itu disampaikan dalam konferensi yang dipimpin oleh wakil pemerintah Belanda Dr. HJ. van
Mook, namun hal ini ditolak oleh van Mook karena Belanda masih berkepentingan dengan
Nieuw Guinea.
Selain gerakan politik PKII, maka terdapat juga suatu gerakan pro-Indonesia yang disebut
gerakan nasionalis dari Soegoro Admoprasodjo yang pada waktu itu menjabat sebagai
direktur pendidikan pamongpraja di Kotanica-Hollandia. Soegoro membina dan
menghimpun semua orang Jawa, Sumatera, Makassar, Bugis, dan Buton yang ada di Nieuw
Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia. Kegiatannya itu kemudian diketahui oleh
pemerintahan Belanda dan sebagai konsekuensinya, aktivitasnya dilarang. Ia diberhentikan
sebagai direktur dan dikirim ke Batavia/Jakarta oleh Resident van Eechoud.
Berbeda dengan PKII yang dibina Dr. Sam Ratulangi yang tengah menjalani pembuangan
oleh Belanda ke Serui, maka pada 1954 dokter Gerungan mendirikan suatu gerakan politik
di Hollandia yang bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM). Gerakan atau organisasi
politik itu dipimpin oleh sejumlah pemimpin Papua yaitu Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan
Korinus Krey. Nicolaas Jouwe kemudian menjadi seorang pemimpin Papua yang antiIndonesia.
Untuk mewujudkan dan menumbuhkan nasionalis Papua sebagai suatu misi dan cita-cita,
van Eechoud melarang aktivitas PKII dan KIM, dan juga menangkap para pemimpinnya
serta membuang mereka ke Makassar, Jawa,dan Sumatera. Mereka yang dibuang yaitu Silas
Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Lukas Rumkorem dan Raja Rumagesang. Namun
kegiatan PKII dan KIM terus berlanjut di bawah tanah dengan dipimpin oleh beberapa tokoh
seperti Steven Rumbewas, Korinus Krey, Martin Indey, Abraham Koromat, Samuel
Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, dan EIi Ujo.
Untuk itu, Marten Indey, Kawab, Krey, dan Ujo pernah menikmati penjara untuk beberapa
saat, tapi semangat perjuangan itu terus hidup dan dilanjutkan di bawah tanah, yaitu
semangat pro-Indonesia atau semangat ingin menggabungkan Nieuw Guinea dengan
Indonesia. ElieserJan Bonay kemudian menjadi Gubernur pertama Irian Jaya untuk kurang
dari satu tahun (1961-1964) yang kemudian pada 1970 meninggalkan Irian Jaya dan
menjadi pendukung dan tokoh OPM serta berdomisili di Belanda.
Bonay pada mulanya adalah tokoh yang pro-Indonesia. Pada awal integrasi, ia dijadikan
sebagai Gubernur Irian Jaya yang pertama. Namun, pada 1964, ia mendesak agar segera
dilakukan Act of Free Choice di Irian Jaya bagi Kemerdekaan Irian Jaya sendiri dan desakan
itu disampaikan ke PBB. Ia diberhentikan sebagai Gubernur dan diganti oleh Frans Kaisiepo.
Pemberhentian tanpa menduduki posisi lain dalam jajaran pemerintahan apalagi status
kepegawaiannya tidak diperhatikan oleh pemerintah dan akhirnya ia mengkoordinir
berbagai kegiatan dan rapat "gelap" di Jayapura dan melakukan hubungan "rahasia" dengan
para tokoh OPM di luar negeri. Setelah mengetahui bahwa ia akan ditangkap oleh pihak
keamanan karena kegiatannya yang membantu OPM, maka ia memutuskan diri lari ke
Belanda melalui Papua New Guinea.
Untuk menghadapi PKII dan KIM, maka pemerintah Belanda mendirikan Gerakan Persatuan
Nieuw Guinea dengan satu-satunya tujuan untuk menentang pengaruh Indonesia. Gerakan
ini mempunyai sejumlah tokoh Papua yang terkenal, yaitu Markus Kaisiepo, Johan Ariks,
Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe, dan Herman Womsiwor, di mana mereka itu kemudian
menjadi pendukung yang kokoh bagi pemerintah Belanda dan nasionalisme Papua.
Pada 1960 dibentuklah suatu "uni perdagangan" yang pertama di Nieuw Guinea yang
bernama Christelijk Werkneemers Verbond Nieuw Guinea (Serikat Sekerja Kristen Nieuw
Guinea) yang pada mulanya hanya berhubungan dengan pemerintah Belanda dan pekerjapekerja kontraktor Eurasia, dan dalam waktu yang singkat keanggotaan orang Papua
menjadi 3.000 orang. Organisasi ini yang pada gilirannya bersama Gerakan Persatuan
Nieuw Guinea membentuk dasar dan pemimpin dari Partai Nasional.
Dalam tiga bulan menjelang akhir 1960, pemerintah Belanda membentuk beberapa partai
dan organisasi atau gerakan politik sebagai perwujudan dari kebijakan politik dari Kabinet
De Quay untuk mempercepat pembentukan Nieuw Guinea Raad melalui pemilihan umum,
yaitu realisasi dari politik dekolonisasi untuk Nieuw Guinea yang dilakukan secara
bertahap. Adapun berbagai partai dan organisasi atau gerakan politik tersebut adalah:2
(1) Partai Nasional (Parna) (Ketua Umum: Hermanus Wajoi)
(2) Democratische Volks Partij (DVP) (Ketua: A. Runtuboy)
(3) Kena U Embay (KUD) (Ketua: Essau Itaar)
(4) Nasional Partai Papua (Nappa) (Anggota: NMC Tanggahma)
(5) Partai Papua Merdeka (PPM) (Ketua: Mozes Rumainum)
(6) Committee Nasional Papua (CNP) (Ketua: Willem Inury)
(7) Front Nasional Papua (FNP) (Ketua: Lodewijk Ayamiseba)
(8) Partai Orang Nieuw Guinea (PONG) (Ketua: Johan Ariks)
(9) Eenheids partij Nieuw Guinea (APANG) (Ketua: L. Mandatjan)
(10) Sama-Sama Manusia (SSM)
(11) Persatuan Kristen Islam Radja Ampat (Perkisra) (Ketua: M.N. Majalibit)
(12) Persatuan Pemuda-Pemudi Papua (PERPEP) (Ketua : AJF Marey).
Partai Nasional (Parna) dipimpin oleh orang-orang yang beraliran nasionalis Papua yang
menghendaki suatu pemerintahan sendiri dan secara tegas menolak penggabungan dengan
Indonesia. Propaganda anti-Indonesia terus ditingkatkan, dimana pada saat itu West Nieuw
Guinea akan diberikan pemerintahan sendiri (kemerdekaan) oleh Belanda pada 1970
dimana bentuk dan isi dari pemerintahan itu kemudian akan ditentukan. Janji ini yang
menyebabkan sebagian dari pemimpin Papua tidak mengungsi ke negeri Belanda pada saat
Belanda harus meninggalkan Irian Jaya, tapi mereka memutuskan untuk tinggal dan ingin
memilih dan menerima kenyataan janji itu setelah Irian Jaya digabungkan dengan Indonesia.
Beberapa pemimpin Parna yang terkenal adalah Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman
Womsiwor, Frits Kirihio kemudian dikirim untuk belajar ke Belanda dan berubah
pikirannya menjadi pro-Indonesia. Frits Kirihio kemudian berjuang untuk meyakinkan
dunia bahwa West Nieuw Guinea merupakan bagian dari Indonesia, dan ia diangkat menjadi
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia. Silas Papare
menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan mereka membentuk
suatu Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Silas Papare sangat aktif dalam
kegiatan front ini dan diikutkan pada delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk membicarakan masalah lrian Jaya pada 1922.
Pada 1958 hingga 1961 sejumlah pemuda Papua melintas batas ke Indonesia, yang oleh
pemerintah Indonesia diterima dan dijadikan atau dilatih menjadi tentara dalam rangka
persiapan perebutan kembali Irian Jaya dari pemerintah Belanda. Beberapa pemuda yang
terkenal pada waktu itu antara lain AJ. Dimara, Benny Torey, Marinus Imbury (almarhum),
Zadrack Rumbobiar, Melkianus Torey, dan Metu-salim Fimbay.
Akibat tekanan internasional sehubungan dengan adanya sengketa dengan Indonesia,
pemerintah Belanda di Irian Jaya sesuai terpaksa mempercepat pembangunan infrastruktur
teknis ekonomi, dengan anjuran pembentukan pasar bagi pertanian rakyat dan sama sekali
menghindari campur tangan dari pencangkokan ekonomi Hindia Belanda. Juga
menganjurkan dasar pengajaran yang dilakukan secara luas atas wilayah dan bersamaan
2
John RG Djopari, op cit., hal. 33.
dengan itu dibentuk suatu elit-Papua (Irian Jaya) yang modern, meminjamkan dan
merangsang supaya seia-sekata dalam mempercepat pengembangan masyarakat sehingga
dapat dibentuk dewan daerah dan dewan Papua, penolakan kembali situasi kekuasaan
dengan menggantikan para pejabat orang Indonesia di lrian Jaya mulai dari atas ke bawah
dengan fungsionaris Belanda yang berkecimpung dalam struktur pemerintah daerah di
Irian Jaya yang kemudian dialihkan kepada orang Irian Jaya.
Selain itu, pihak Belanda juga mempercepat Papuanisasi dari kader rendah hingga
menengah. Terutama di Hollandia dan Manokwari, para kader nasionalis Papua dibentuk
menjadi elit-politik dengan kemampuan berdiskusi dengan baik. Hal ini sama dengan apa
yang dilakukan oleh Pemerintah Australia di Papua Nugini yang terkenal dengan Bully beef
club yang melahirkan para pemimpin Partai Panggu yang nasionalis radikal di Perguruan
Tinggi Administrasi Port Moresby.
Pemilihan Umum untuk Nieuw Guinea Raad diselenggarakan pada 18-25 Februari 1961
Aktivitas partai politik dalam rangka pemilihan tersebut menonjol dan penting terutama di
Hollandia dan Manokwari, sebab di kedua tempat tersebut banyak berdomisili orang-orang
Belanda, Indo-Belanda, Indonesia (Ambon, Menado, Jawa, Makassar, Bugis, Buton, dll) serta
kader-kader Papua yang terdidik (kader rendah dan menengah). Pada tanggal 5 April 1961,
Nieuw Guinea Raad diresmikan atau disahkan untuk mulai bekerja. Kewenangan yang
penting dari Nieuw Guinea Raad adalah hak petisi atau mengajukan permohonan, hak
interpelasi atau meminta keterangan, menyampaikan nasehat tentang undang-undang dan
peraturan umum pemerintah yang mengikat bagi Irian Jaya, tugas bantuan berdasarkan hak
amandemen/usul perubahan terhadap ketentuan ordonansi-ordonansi, tugas-bantuan
terhadap pelaksanaan dari anggaran yang berhubungan dengan tinjauan dan pengamatan
pada umumnya.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Nieuw Guinea Raad memiliki kekuasaan legislatif
bersama dengan pemerintah dan mnelaksanakan beberapa pengawasan terhadap anggaran
belanja. Dalam perencanaan pembentukan Nieuw Guinea Raad, Belanda menyadari bahwa
lembaga itu pada awalnya mempunyai sarana latihan demokrasi. Pada tahun 1960, telah
dibentuk sebuah batalyon sukarelawan Papua (Papua Vrtjwillegers Korps) dan
berkedudukan di Arfai-Manokwari. Setelah pembentukan Nieuw Guinea Raad, pada awal
1962 dilanjutkan dengan pembentukan 10 dewan daerah (streekraad). Implementasi dari
"demokrasi kolonial" ini bertujuan untuk menindas perasaan-perasaan pro-lndonesia.
Masalah Nieuw Guinea terus menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda, dimana
Belanda terus melaksanakan politik dekolonisasi dan ingin menjadikan Nieuw Guinea sama
kedudukannya dengan Suriname dan Antillen. Sengketa yang berkepanjangan itu
mendorong Menteri Luar Negeri Belanda Dr. Joseph Luns, pada 1961 mengajukan suatu
rencana pemecahan masalah Nieuw Guinea pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Sidang
Umum pada 28 November 1961. Rencana Luns terdiri dari 4 (empat) pasal sebagai berikut.
Pertama, harus ada jaminan tentang adanya suatu undang-undang penentuan nasib sendiri
bagi orang Papua/IrianJaya. Ke dua, harus ada kesediaan sampai terbentuknya pemerintah
dengan persetuiuan internasional. Ketiga, sehubungan dengan kesediaan tersebut juga akan
diberikan kedaulatan. Keempat, Belanda akan terus membiayai perkembangan masyarakat,
ke taraf yang lebih tinggi.3
Secara garis besar rencana ini mengandung pengertian bahwa perlu ada jaminan bagi orang
Papua untuk menentukan nasibnva sendiri, dan dunia internasional menjamin
terbentuknya suatu pemerintahan yang berdaulat, dan untuk itu Belanda memikul beban
pembangunan/pengembangan masyarakat Papua ke taraf yang lebih tinggi/baik. Sebelum
3
Ibid., hal 35.
rencana Dr. Joseph Luns tersebut dibuat pada Oktober 1958 dalam
suatu konferensi antara para pejabat Belanda dan Australia,
dicapailah suatu kesepakatan adanya kerjasama untuk pembentukan "Persatuan Melanesia"
(Melanesische Unie), yang mencakup wilayah-wilayah Nieuw Guinea, Bismarck, dan
Kepulauan Solomon sebagai suatu federasi. Tetapi kemudian tidak ada tindak lanjut dari
usaha persatuan itu.
Satu tahun kemudian diadakan lagi suatu konferensi antara Belanda dan Australia di
Canbera pada 2l-22 Oktober 1959 dan dilanjutkan di Hollandia pada Maret 1960, dengan
agenda dasar mendiskusikan berbagai kemungkinan untuk mempersatukan Nieuw Guinea
(wilayah Belanda dan Australia) menjadi satu negara di kemudian hari dan pemerintah
Australia menyetujuinya. Usaha gagal dilakukan karena Indonesia terus menuntut
pengembalian Nieuw Guinea sehingga mendesak Dr. Joseph Luns untuk membuat rencana
tersebut di atas.
Di Nieuw Guinea, sebagai jawaban atas rencana Luns yang akan didiskusikan di PBB, maka 5
(lima) dari anggota Nieuw Guinea Raad yang dipimpin oleh Mr. de Rijke merancangkan
suatu manifesto dan membentuk suatu Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang.
Komite ini menyelenggarakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh 70 orang Papua terdidik.
Dalam pertemuan ini, di Hollandia menghasilkan: Bendera Nasional Papua, lagu kebangsaan
"Hai Tanahku Papua", nama bangsa "Papua" dan nama negara "West Papua atau Papua
Barat".4
Pekerjaan Komite Nasional itu, hasilnya kemudian diajukan kepada Nieuw Guinea Raad dan
segera mendapatkan persetujuannya. Mr. de Rijke mempunyai peranan yang besar dalam
melahirkan hasil dari Komite Nasional tersebut atas. Hasil ini menyebabkan pemerintah
Belanda menunjukkan simpati penuh serta dukungan atau bantuan mereka pada aliran
nasional yang tumbuh di Nieuw Guinea atau IrianJaya, karena Belanda yakin bahwa dengan
politik dekolonisasi semacam ini akan membuktikan kepada masyarakat dunia bahwa
tuntutan-tuntutan dari Indonesia untuk mengembalikan Nieuw Guinea itu tidak berdasar,
dan akan membuka jalan ke arah transisi dalam perdamaian untuk mencapai dominasi neokolonial.
Pada 1 November 1961, bendera nasional Papua dikibarkan sejajar atau bersamaan dengan
bendera Belanda dan lagu kebangsaan Papua dinyanyikan pada saat itu. Kegiatan itu
mendapatkan publisitas dengan cepat dan meluas baik di Nieuw Guinea, maupun ke penjuru
dunia. Untuk kepentingan publisitas, dicetak, dan dibuat bendera dalam berbagai ukuran,
lagu kebangsaan, dan logo bendera dalam berbagai ukuran yang disebarluaskan teruama
kepada seluruh masyarakat Papua mulai dari kota sampai ke kampung-kampung yang dapat
dijangkau oleh aparat pemerintah.
Kegiatan dari Komite Nasional tersebut mendapatkan kritik dari sekelompok orang Papua,
karena mereka menilai bahwa Komite Nasional belum sepenuhnya mewakili seluruh rakyat
Papua, dan tindakan yang diambil atau dilakukan tergesa-gesa. Kelompok itu kuatir
terhadap rencana Luns apabila tidak diterima dalam Sidang Umum PBB (28 Oktober 196l)
sehingga mereka mengajukan alternatif lain seandainya rencana Luns itu benar-benar
demikian, maka pemerintah Belanda harus menghormati janjinya pada tahun 1960 yaitu
pemberian pemerintahan sendiri atau kemerdekaan kepada bangsa Papua, dan bila perlu di
bawah bimbingan Belanda. Perlu dicatat pula bahwa Batalyon Sukarelawan Papua yang
dibentuk pada 1960 dan berkedudukan di Arfai-Manokwari itu selain merupakan embrio
dari Tentara Nasional Papua, juga dipersiapkan untuk menghadapi konfrontasi bersenjata
dengan Republik Indonesia.
4
Penjelasan tentang penggunaan nama Papua bisa dibaca secara panjang lebar dalam Yorrys Th. Raweyai,
Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 2002, hal. 1-8.
Indonesia Merebut Papua Dari Belanda
Untuk menghadapi politik dekolonisasi dari pemerintah Belanda di atas, maka Presiden
Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada tanggal 19 Desember 196l di
Yogyakarta, yang isinya sebagai berikut:
Pertama, gagalkan pembentukan "Negara Papua" buatan Belanda kolonial. Kedua, kibarkan
Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia. Ketiga, bersiaplah untuk mobilisasi
umum guna mempertahankan Kemerdekaan dan Kesatuan Tanah Air dan Bangsa. Dalam
piudatonya, Soekarno menyatakan, “Bangsaku sekalian! Di Sumatera, di Jawa, di Borneo,
Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dari Sabang sampai Merauke!”.5
TRIKORA merupakan momentum politik yang penting, sebab dengan TRIKORA maka
pemerintah Belanda dipaksa untuk menandatangani perjanjian di PBB yang dikenal dengan
Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 mengenai Nieuw Guinea. Supaya pemerintah
Belanda tidak malu maka penyerahan Nieuw Guinea kepada Indonesia dilakukan melalui
UNTEA yaitu suatu badan PBB yang dibentuk untuk itu. Penyerahan ini dilakukan pada 1
Mei 1963. Sedangkan pemerintah Belanda menyerahkan penyelenggaraan administrasi
pemerintah kepada UNTEA pada 1 Mei 1962.6
Isi perjanjian tersebut antara lain, pertama, apabila PBB telah membenarkan persetujuan
atau perjanjian itu melalui Rapat Umum, maka Belanda segera menyerahkan kekuasaannya
atas Irian Jaya kepada UNTEA. Kedua, terhitung 1 Mei 1963, UNTEA sebagai pemikul
tanggung jawab administrasi pemerintah di lrian Jaya menyerahkan kepada Indonesia.
Ketiga, untuk akhir 1969, di bawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB dilakukan Act of
Free Cboice dalam mana orang Irian Jaya dapat menentukan penggabungan pasti tanah
mereka dengan Indonesia atau menentukan status/kedudukan yang lain. Keempat,
Indonesia dalam tenggang waktu itu akan mengembangkan/membangun kebersamaan
orang Irian Jaya, sehingga orang Irian Jaya pada akhir 1969 akan menentukan status
negerinya.
Secara garis besar ke-4 butir tersebut di atas menyatakan tentang pengalihan pengurusan
Nieuw Guinea dari Belanda kepada Indonesia melalui UNTEA pada 1 Mei 1963. Paling
lambat pada akhir 1969 harus dilakukan pemilihan bebas untuk menentukan nasib Nieuw
Guinea oleh orang Papua sendiri apakah bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri
(merdeka). Indonesia berkewajiban untuk membangun dalam kurun waktu itu (dari 1963
sampai 1969) sampai pada pelaksanaan pemilihan bebas.
Menurut Pasal XVIII Perjanjian New York (Indonesia-Belanda) tahun 1962, memuat
ketentuan rinci mengenai pelaksanaan hal penentuan nasib sendiri (Act of Free Choice)
yang diatur untuk dibuat oleh Indonesia dengan"nasehat, bantuan, dan partisipasi" PBB
yang meliputi 4 butir sebagai berikut.
Pertama, konsultasi atau musyawarah dengan sembilan dewan perwakilan mengenai
prosedur dan cara-cara untuk mengetahui kebebasan pernyataan kehendak rakyat. Kedua,
5
6
John RG Djopari, op cit., hal 119.
Uraian detil mengenai upaya pengambilan Papua dari tangan Belanda dari sudut pandang pemerintah
Indonesia bisa dilihat pada Baharuddin Lopa, Jalannya Revolusi Indonesia Membebaskan Irian Barat, PN
Percetakan & Periklanan Daya Upaya, Jakarta, 1962. Buku lain yang juga banyak mengungkap sisi heroisme
dari pihak Indonesia bisa dilihat dari buku biografi Benny Murdani dan si Pending Emas Herlina. Sedangkan
catatan proses politik yang lebih lengkap bisa dilihat pada Dr. PBR de Geus, Masalah Irian Barat: Aspek
Kebijakan Luar Negeri dan Kekuatan Militer, Yayasan Jayawijaya, Jakarta, 2003. Baca juga tulisan Tarmidzy
Thamrin tentang sejarah penggabungan Papua dari yang tadinya berada di bawah struktur pemerintahan
Belanda ke Indonesia dalam Drs. H. Tarmidzy Thamrin, Boven Digul: Lambang Perlawanan Terhadap
Kolonialisme, CISCOM-Cottage, Surabaya, 2001. Sedangkan sisi rekayasa dan operasi intelijen yang dilakukan
untuk menggagalkan Pepera bisa dilihat dalam Yorrys Th Raweyai, op cit. dan juga Aziz Ahmadi (ed), Feisal
Tanjung: Terbaik Untuk Rakyat, Terbaik Bagi ABRI, Penerbit Yayasan Dharmapena Nusantara, Jakarta, 1999,
hal. 222-253.
dalam jangka waktu ditetapkan oleh persetujuan tersebut,
ditentukanlah tanggal yang pasti untuk pelaksanaan Act of Free
Choice. Ketiga, suatu formulasi yang jelas sehingga penduduk dapat menentukan apakah
mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia atau memutuskan hubungan mereka
dengan Indonesia. Keempat, suatu jaminan bagi semua penduduk pribumi untuk ikut
memilih dalam rangka penentuan nasib sendiri yang akan dilakukan sesuai dengan praktek
internasional. Indonesia menurut Pasal XXII perjanjian itu juga akan menjamin hak-hak
penduduk Irian Barat, termasuk hak-hak dan kebebasan untuk berbicara, kebebasan untuk
bergerak dan berkumpul.
Sesaat sebelum TRIKORA dicetuskan oleh Presiden Soekarno, terjadi penolakan PBB atas
tuntutan Indonesia mengenai persoalan Irian Jaya pada akhir 1957. Saat itu, dilakukan
kebijaksanaan dan tindakan menasionalisasikan seluruh perusahaan Belanda yang ada di
Indonesia pada awal tahun 1958. TRIKORA juga merupakan ajang bagi terciptanya
serangan-serangan militer terbatas dari Indonesia melawan Belanda di Irian Barat pada
akhir tahun 1961 sehingga ikut mempercepat pencapaian perjanjian tersebut di atas antara
Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat atau Nieuw Guinea menanggapi usul-usul
Ellsworth Bunker.
Pada tahun 1962, para elit Papua mulai ragu-ragu, bimbang dan bingung dengan keputusan
15 Agustus 1962 (Perjanjian New York) bahwa pemerintah Indonesia akan mengambil-alih
pemerintahan di Irian Barat menyusul delapan bulan pengawasan dari badan PBB yang
bernama UNTEA. Pada bulan September 1962, dilakukan Konggres Nasional yang didorong
oleh ketua Parna Herman Wajoi dan anggota Nieuw Guinea Raad Nicolaas Tanggahma.
Kongres tersebut diikuti 90 elit politik Papua (pemimpin-pemimpin rakyat) dan
memutuskan untuk menerima perjanjian 15 Agustus 1962 dengan keraguan. Kongres ini
pada akhirnya menyetujui kerja sama dengan PBB dan pemerintah Indonesia, dan menuntut
UNTEA untuk menghormati bendera dan lagu nasional Papua dan bahwa pemilihan umum
harus diadakan pada 1963 segera setelah masa kerja resmi dari UNTEA.
Berbagai perasaan yang diekspresikan pada masa itu adalah tidak pro-Belanda, tidak proIndonesia, tapi pro-Papua. Mereka merasa dikhianati oleh Belanda dan merasa kuatir
terhadap nasionalis-Indonesia yang sudah mulai memberi kesan bahwa tidak ada keperluan
untuk mengadakan pemilihan umum, kaum elit tersebut mengarahkan kepercayaannya
kepada PBB.
Tampak jelas pemerintah Belanda berupaya menumbuhkan nasionalisme di Nieuw Guinea
menghasilkan 3 (tiga) kelompok borjuis/elit politik kecil Papua terdidik yang berorientasi
politik. Antara lain kelompok Pro-Papua dan pro-Indonesia. Yang pro-Papua terbagi dua
yaitu yang kerjasama dengan Belanda dan yang tidak kerjasama dengan Belanda.
Mereka yang "pro-Papua dan kerja sama dengan Belanda" adalah mereka yang pada saat
Belanda harus meninggalkan Irian Barat ikut berimigrasi ke negeri Belanda seperti: Markus
Kaisiepo, Nicolaas Jouwe dan kawan-kawan beserta keluarganya, sekalipun kemudian dari
negeri Belanda mereka berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat. Mereka yang"proIndonesia" adalah mereka yang berjuang untuk mengintegrasikan Irian Barat
denganIndonesia seperti Silas Papare, Alben Karubuy, Marten Indey, Lukas Rumkorem, dan
kawan-kawannya.
Sedangkan mereka yang "pro-Papua dan tidak kerjasama dengan Belanda" adalah mereka
yang menantikan realisasi janji Belanda pada tahun 1960, dan menantikan pelaksanaan
AFC, di Irian Barat pada 1969 seperti Johan Ariks, Herman Wajoi, Mori Muzendi, Willem
Inurf, Nicolaas C. Tanggahma, Izaac Hindom, Permenas Hans Torey, Mozes Rumainum,
Baldus Mofu, Aser Demotekay, Tontji Meset, Abdullan Arfan, Clemens Kiriwaib, FKT Poana,
Terianus Aronggear, Dolf. A. Faidiban, Alex Robert Wamafma, Johanes Rombobiar, A.
Mambrisau dan kawan-kawan.
Papua di Bawah UNTEA
UNTEA mulai menjalankan roda pemerintahan di Irian Barat dengan berbagai kesulitan
yang terus dihadapi sebagai konsekuensi dari proses peralihan kekuasaan. Mandat utama
UNTEA adalah pertama, memelihara keamanan dan ketertiban umum. Kedua,
mengumumkan dan menerangkan secara luas semua ketentuan dalam persetujuan
Indonesia dan Belanda serta memberitahukan kepada penduduk Papua mengenai
penyerahan pemerintahan kepada pihak Indonesia. Termasuk mengenai penentuan nasib
sendiri sebagaimana telah dicapai dalam persetujuan tersebut.
UNTEA memeiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan baru dan mengubah peraturan
yang telah ada sesuai dengan tugas dan kewenangan yang ada padanya. Selain itu juga
memiliki kewenangan untuk mempekerjakan pegawai bangsa Indonesia maupun Belanda
dalam berbagai kedinasan. Perkecualian diberlakukan untuk jabatan tertinggi seperti
direktur departemen, residen dan kepala polisi harus dijabat oleh pejabat berkebangsaan
selain Indonesia dan Belanda.7
Selain para pejabat sipil internasional, UNTEA terpaksa bekerja sama dengan perwakilan
Republik Indonesia di Irian Barat yang waktu itu dipimpin Sudjarwo Tjondronegoro, SH
serta perwakilan Belanda yang dipimpin LJ. Goedharta. Pemerintahan UNTEA akhirnya
dapat berjalan lancar dan relatif tenang serta damai. Namun demikian terdapat beberapa
insiden yang dapat ditanggulangi yaitu di Sorong dan Manokwari.
Keberhasilan UNTEA itu ditandai dengan antara lain berjalannya semua dinas umum,
terpeliharanya keamanan dan ketertiban, dipertahankannya stabilitas perekonomian
dengan persediaan barang-barang pokok yang cukup. Selesainya berbagai proyek umum
seperti rumah sakit, dermaga, sekolah, pusat penelitian pertanian, penflnpanan air minum,
gedung perwakilan ralyat dan gedung pengadilan, perluasan jalan dan lapangan terbang.
UNTEA benar-benar melaksanakan rugasnya dengan baik sehingga segala sesuatu
dipersiapkan dan pada tanggal 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat
sepenuhnya kepada Pemerintah Republik.
Sebelum penyerahan kekuasaan kepada Indonesia, pada Desember 1962, suatu delegasi
yang terdiri atas 7 (tujuh) orang Irian Barat (Papua) yang dipimpin oleh Elieser Jan Bonav
mendesak agar penyerahan kekuasaan oleh UNTEA kepada Indonesia dilakukan sebelum
tanggal 3l Desember 1962. Delegasi itu menyampaikan usulnya kepada pemerintah
Indonesia, pemerintah Belanda, dan Sekretaris Jenderal PBB. Usul tersebut ditolak oleh
Belanda dimana Perdana Menteri De Quay menyatakan bahwa perjanjian New York harus
dihormati dan untuk itu harus menunggu hingga 1 Mei 1963.
Sekretaris Jenderal PBB menolak karena menurut peraruran tata tertib PBB bahwa suatu
perutusan yang ingin menghadap haruslah disponsori oleh sebuah negara anggota PBB.
Indonesia harus bersikap netral di sini agar tidak timbul penilaian yang salah terhadap
Indonesia, sehingga delegasi itu kembali tanpa diterima oleh Sekretaris Jenderal PBB sejak
tanggal 19 Desember 1962. Berbagai demonstrasi pro-Indonesia muncul di berbagai kota
seperti Kotabaru, Manokwari, Ransiki, Biak, Merauke, Enarotali dan Kokonao yang pada
intinya menuntut perpendekan masa pemerintahan IINTEA.
7
Pemerintahan UNTEA sendiri dibagi dalam 8 departemen yang terdiri dari Department of Cultural Affairs
(including Education), Department of Economic Affairs, Department of Finance, Department of Internal Affairs,
Department of Public Health, Department of Public Works, Department os Social Affairs and Justice, dan
Department of Transport and Power. Sedangkan untuk dukungan administrasi, pemerintahan UNTEA dijalankan
oleh sebuah sekretariat pemerintah yang strukturnya sama dengan di masa pemerintahan Belanda yang masingmasing dikepalai oleh seorang residen. Ada enam divisi yaitu Hollandia (Jayapura), Biak, Manokwari, Fak-Fak
dan Central Highlands (Pegunungan Jayawijaya). Lihat John RG Djopari, op cit., hal. 55.
Pada 14 Januari 1963 di Kotabaru, suatu delegasi yang dipimpin oleh
18 pemimpin rakyat menyampaikan suatu pernyataan kepada
Administrator UNTEA, Dr. Djalal Abdoh yang berisikan, “Kami rakyat Irian Barat dengan ini
menyatakan: Pertama, menuntut perpendekan pemerintahan UNTEA. Kedua, berggabung
segera kepada Republik Indonesia secara mutlak dan tanpa syarat. Ketiga, setia kepada
Proklamasi 17 Agustus 1945. Keempat, menghendaki adanya negara kesatuan yang
berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Kelima, menghendaki otonomi yang seluasluasnya dalam Republik Indonesia bagi wilayah Irian Barat.”
Pada 15 Januari 1963, terjadi demonstrasi rakyat Merauke yang menimbulkan insiden yang
mengakibatkan beberapa orang luka-luka ketika anggota Polisi Irian Barat di bawah
pemerintahan UNTEA melepaskan tembakan terhadap Bendera Merah Putih yang dibawa
oleh para demonstran untuk membubarkan mereka, hal itu disambut dengan protes keras
oleh Komandan Pasukan kontingen Indonesia Kolonel Sudarto yang menganggap
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Sebelum itu, yaitu pada awal Januari 1963, rakyat Irian Barat yang pro-Indonesia terutama
di Kotabaru dibagi-bagikan bendera Merah Putih, lencana Garuda Pancasila dan Gambar
Presiden Soekarno. Adapun tuntutan mereka dengan berbagai resolusi maupun pernyataan
politiknya adalah penggabungan dengan Republik Indonesia secara mutlak dan tanpa
syarat. Dan, perpendekan masa pemerintahan UNTEA di Irian Barat serta penolakan
terhadap plebisit.
Pada Oktober 1962, di Sorong terjadi insiden antara TNI Patimura di bawah pimpinan Lettu
Nusi dengan polisi setempat dipimpin oleh Letnan G. Dimara. Insiden tersebut dapat
diselesaikan dengan baik oleh UNSF-UNTEA. Juga pada Desember 1962, di Manokwari,
Batalyon Papua atau PVK melakukan penyerangan terhadap pasukan Indonesia dari Kodam
Brawijaya yang dipimpin oleh Sersan Mayor Permenas Ferry Awom dan kawan-kawan, di
mana oleh LNSF-UNTEA Awom dan 20 temannya diberhentikan dari PVK setelah terlebih
dulu dipenjarakan selama satu bulan.
Walaupun dalam perjalanan pemerintahan UNTEA dihadapkan kepada berbagai
permasalahan, namun dapat dikatakan bahwa UNTEA berhasil dalam tugasnya dan
menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah Indonesia dengan baik sesuai dengan
persetujuan New York seperti pada lampiran II.
Papua di Bawah Indonesia dan di Jaman Orde Baru
Setelah daerah Irian Barat secara de jure dan de facto berhasil dikembalikan ke negara
Kesatuan Republik Indonesia atau ke pangkuan Ibu Pertiwi, maka wilayah kekuasaan
Republik Indonesia meliputi Sabang-Merauke yaitu seluruh wilayah bekas jajahan
pemerintahan Belanda. Sehubungan dengan itu pemerintah mengeluarkan Penetapan
Presiden (Pen.Pres) Nomor 1 Tahun 1963 sebagai kebijaksanaan untuk segera
melaksanakan pemerintahan di wilayah Irian Barat atau Irian Jaya dalam masa peralihan
sehingga susunan dan penyelenggaraan pemerintahan di Irian Jaya sarna dengan daerah
Indonesia lainnya. Penpres Nomor 1 Tahun 1963 ini adalah ketentuan pokok mengenai
pemerintahan dalam masa peralihan dengan memperhatikan Penpres Nomor 1 Tahun 1962
dan UU Nomor 1 Tahun 1957 serta beberapa ketentuan atau peraturan lainnya mengenai
pemerintahan daerah.
Dalam Pasal 4 Penpres No 1 tahun 1963 dijelaskan bahwa, Pemerintah Afdeling,
Onderafdeling dan Distrik termasuk badan perwakilannya yang ada menjelang penyerahan
Pemerintahan seluruhnya kepada Republik Indonesia, membantu Pemerintah Propinsi Irian
Barat menjalankan pemerintahan di daerah masing-masing menurut petunjuk Gubernur.
Jelaslah bahwa struktur pemerintahan di tingkat Afdeling,
Onderafdeling dan Distrik belum diubah atau disesuaikan dengan
struktur pemerintahan di daerah Indonesia lainnya.
Keadaan Politik dan Keamanan
Sebelum bergabung dengan Indonesia, di bawah pemerintahan Belanda telah terbentuk
beberapa organisasi atau partai politik yang telah memilih Niew Guinea Raad. Partai-partai
politik tersebut sebenarnya dengan sendirinya dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke
UNTEA dan dari UNTEA ke Indonesia sudah tidak berfungsi lagi. Namun karena statusnya
yang mengambang dan membutuhkan penegasan tentang status tersebut, maka dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan khususnya di bidang pembinaan politik dalam
negeri, pada 1 Desember 1963 para wakil rakyat Irian Barat mengadakan musyawarah di
Kotabaru (Jayapura) membicarakan tentang keamanan daerah yang berhubungan dengan
perkembangan politik dewasa itu.
Sebagai tindak lanjut ke arah keamanan politik demi stabilisasi dan normalisasi sesuai
dengan Penetapan Presiden Nomor 8 Tahun 1963 yang berlaku khusus untuk Irian
Barat, maka musyawarah itu telah menyetujui untuk mengeluarkan pernyataan tentang
pembubaran semua organisasi politik di Irian Barat. Adapun isi dari pernyataan itu
adalah sebagai berikut:
PERNYATAAN
I.
Bahwa Daerah Irian Barat adalah sebagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
II. Bahwa hanya ada satu dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah Undang-Undang
Dasar 1945, sedang Manipol merupakan haluan negara dan Pancasila merupakan
ideologi negara.
III. Bahwa semua ideologi negara yang berhaluan lain atau tidak sesuai dengan dasar-dasar
yang sah dari Negara Republik Indonesia sebagai yang tersebut di atas maka itu adalah
merupakan alat pemecah kesatuan bangsa Indonesia. Sesuai dengan apa yang telah
ditandaskan di atas dan sesuai pula dengan keinginan rakyat Irian Barat untuk tetap
bersatu-padu dengan daerah-daerah lain di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan tidak dipisah-pisahkan lagi, maka dengan ini kami menyatakan bahwa:
(1) Semua partai-partai politik atau organisasi-organisasi politik lainnya yang
didirikan pada waktu penjajahan Belanda mulai terhitung tahun 1950 s/d Agustus
1962, dinyatakan bubar, karena tidak sesuai lagi dengan keadaan politik pada
dewasa ini.
(2) Partai-partai politik dan organisasi-organisasi politik lainnya yang menyatakan
bubar adalah
i. Commite National Papua
ii. Front Nasional Papua (FNP)
iii. Nasional Partij Papua (Nappa)
iv. Partai Nasional (Parna)
v. Democratische Volks Partij (DYP)
vi. Panai Papua Merdeka ePM)
vii. Kena U Embay (KUE)
(3) Tanggal pembubaran mulai terhitung I Mei 1963 tepat
dengan hari kembalinya Irian Barat ke wilayah kekuasaan Republik
Indonesia.
Demikianlah pernyataan ini dibuat oleh kami bersama di Kotabaru pada tanggal yang
tersebut di atas. Kotabaru/Irian Barat, 1 Desember 1963. Kami yang bertanda:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Willem Inury (ttd) mantan Ketua Komite Nasional Papua
Lodewijk Ajamiseba (ttd) mantan Ketua Umum Front Nasional Papua (FNP)
Nicolaas M.C. Tanggahma (ttd) mantan Anggota Nasional Partai Papua (Nappa)
Hermanus Wajoi (ttd) mantan Ketua Umum Partai Nasional (Parna)
Manuel Waromi (ttd) mantan Sekretaris Democratische Volks Partij (DVP)
Mozes Rumainum (ttd) mantan Ketua Umum Partai Papua Merdeka (PPM)
Pilatus Keratua (ttd) mantan Penasehat Kena U Embay (KUE)
Essau Ittar (ttd) mantan Ketua Kena U Embay (KUE)
Pembubaran partai politik itu merupakan suatu langkah penting yang berkaitan dengan
usaha memantapkan proses integrasi dengan Indonesia, sebab partai-partai politik tersebut
merupakan produk dari sistem pemerintahan Belanda.
Sejumlah pernyataan kemudian dilakukan oleh rakyat Irian Jaya. Pernyataan rakyat itu
dimulai di Manokwari pada 9 Oktober 1962. Rincian banjirnya pernayataan itu adalah
sebagai berikut. Pada 1962 terdapat 2l pernyataan, pada 1963 terdapat 25 pernyataan, pada
1964 terdapat 7 pernyataan, pada 1965 terdapat 4 pernyataan, pada 1968 terdapat 3
pernyataan, pada 1967 terdapat 23 pernyataan, pada 1968 terdapat 35 pernyataan. Jadi
jumlah keseluruhan pernyataan rakyat yang merupakan kebulatan tekad untuk berintegrasi
dengan Indonesia ada 118 pernyataan rakyat. 8
Pada hakekatnya,lahirnya berbagai pernyataan tersebut merupakan hasil gemilang yang
dicapai oleh pemerintah Indonesia melalui direktorat khusus atau direktorat sosial politik
dan lembaga Operasi Khusus Irian Barat (OPSUS) untuk mencapai kemenangan pada Act of
Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969.
Selagi dilakukan penggalangan dan pembinaan ke arah integrasi dengan Indonesia terutama
oleh OPSUS, maka di pihak lain para kader nasionalis Papua yang dibentuk oleh Belanda
dulu juga menghimpun kekuatan dengan membentuk organisasi atau perkumpulan untuk
memperjuangkan kemerdekaan Papua atau Irian Barat terlepas dari pemerintah Indonesia
dan pemerintah Belanda.
Di Jayapura, dibentuklah suatu organisasi dengan bentuk gerakan di bawah tanah oleh Aser
Demotekay, mantan kepala distrik Demta Kabupaten Jayapura pada 1963. Gerakan ini diberi
nama Gerakan menuju Kemerdekaan Papua Barat.
Di Manokwari pada 1964 terbentuk sebuah gerakan yang diberi nama "Organisasi dan
Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat" yang oleh Pemerintah Indonesia dalam hal
ini pihak keamanan dan kejaksaan disebut sebagai "Organisasi Papua Merdeka" atau OPM.
Kedua gerakan yang dibentuk itu mulai melakukan gangguan terhadap keamanan atau
mulai melakukan pemberontakan baik secara radikal maupun secara pembinaan ideologi
Papua Merdeka atau Papua Barat mulai dari 1963 sampai sekarang, namun dalam hal ini
penulis hanya membatasi diri pada aktivitas pemberontakan selama 20 tahun, yaitu dari
1964 sampai 1984.
Selanjutnya mengenai Act of Free Choice atau PEPERA itu dilaksanakan pada 1969.
Musyawarah penentuan pendapat rakyat Irian Barat dimulai di Merauke pada 14 Juli dan
8
Ibid., hal 73.
berakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969. Musyawarah yang
diselenggarakan di 8 kota di IrianJaya itu disaksikan utusan PBB
bernama Dr. Fernando Ortiz-Sanz, duta besar dari Bolivia untuk PBB yang oleh Sekretaris
Jenderal PBB, U Thant, ditunjuk untuk menyelenggarakan tugas yang berkaitan degan
palaksanaan Act of Free Choice di Irian Jaya pada 1969.
Untuk mengatur bagaimana Act of Free Choice dilaksanakan di Irian Jaya, maka Ortiz-Sanz
tiba di Jayapura pada 22 Agustus 1969 dengan tiga orang staf ditambah atau didampingi Mr.
Sudjarwo Tjondronegoro, pembantu khusus Menteri Luar Negeri Indonesia untuk masalah
Irian Jaya. Setelah melakukan kunjungan ke wilayah dan memperoleh data tentang cara
pelaksanaan PEPERA, maka pada tanggal 1 Oktober 1968 sebagai wakil PBB Ortiz-Sanz
menerima bentuk musyawarah rakyat yang dilakukan pada 1969 nanti. Dewan Musyawarah
PEPERA yang dibentuk pada 8 kota di Irian Jaya itu mewakili berbagai golongan dan
kelompok dalam masyarakat.
Jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA sebanyak 1.025 orang dari jumlah penduduk
sebesar 809.337 orang. Selain wakil dari PBB atau Ortiz-Sanz, maka pelaksanaan PEPERA
tersebut disaksikan juga oleh duta besar dari Thailand, Belanda, Australia, Jerman Barat,
Selandia Baru, dan Burma. Walaupun terjadi beberapa insiden yang berupa protes maupun
demonstrasi pada hari penyelenggaraan PEPERA di Merauke, Fak-Fak, Manokwari, Paniai
dan Jayapura, acara musyawarah itu dapat berjalan dengan sukses dimana rakyat Irian Jaya
melalui Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) secara aklamasi memutuskan untuk bergabung
ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berintegrasi dengan berwilayah dari
Sabang sampai Merauke.
Sebelum PEPERA diselenggarakan, pada tanggal 12 Februari 1969 di Jayapura
diselenggarakan suatu demonstrasi masyarakat yang secara tertib menuju ke kediaman
Ortiz-Sanz dengan menyerahkan sebuah resolusi untuk menuntut penyelenggaraan
pemilihan pada 1969 tidak secara musyawarah tetapi menurut ketentuan Perjanjian New
York yaitu dengan cara one man one vote. Juga resolusi yang disampaikan itu menyampaikan
keinginan rakyat Irian Barat untuk merdeka sendiri sesuai dengan janji Belanda dan
menyampaikan protes terhadap tindakan dari aparat atau tentara Indonesia yang
melakukan sejumlah penangkapan terhadap para tokoh Irian Barat serta pengikutnya dan
memperlakukan mereka secara tidak manusiawi serta bertentangan dengan hak asasi
manusia. Delegasi yang dipimpin oleh Herman Wajoi dan Penehas Hans Torrey BA itu
kemudian diterima oleh Ortiz-Sanz dan berjanji akan melanjutkannya kepada Sekretaris
Jenderal PBB U Thant. Demonstrasi massa yang tertib semula dengan menyanyikan lagu
rohani "Laskar Kristen Maju" itu kemudian bubar saat mendengar tembakan panser
kavaleri yang tidak disengaja.
A. Irian Barat Sebagai Bagian Dari NKRI
Proses pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dilangsungkan mulai tanggal 14
Juli hingga 2 Agustus 1969. Seperti diketahui, pada akhirnya hasil penentuan pendapat
rakyat ini yang memperoleh suara terbanyak ialah kelompok pro integrasi. Dengan
demikian dianggap bahwa masyarakat Papua menyatakan keinginannya untuk berada
dalam wadah Negara Republik Indonesia. Hasil PEPERA ini pun dikukuhkan oleh Majelis
Umum PBB dalam sidangnya pada tanggal 19 November 1969 yang dituangkan dalam
resolusi Nomor 2504, yang isinya antara lain mengesahkan pelaksanaan penentuan nasib
sendiri di Irian Jaya sesuai dengan Persetujuan New York tahun 1962. Pengesahan inilah
yang dijadikan sebagai dasar oleh Pemerintah RI untuk menyatakan bahwa seluruh proses
PEPERA sudah sesuai ketentuan internasional dan hasilnya telah pula diterima oleh
komunitas internasional.
Berbeda halnya dengan kolompok yang pro-integrasi, kelompok yang
berkeinginan agar Papua membentuk negara sendiri dan berpisah
dari Republik Indonesia, tidak dapat menerima proses dan hasil PEPERA. Argumentasi yang
disampaikan oleh kelompok pro-pemisahan ini dilandasi oleh adanya berbagai intimidasi
yang dilakukan oleh otoritas dan aparat bersenjata Republik Indonesia selama masa
sosialisasi PEPERA di berbagai daerah di Papua. Selain itu, sebagian dari kelompok ini juga
memandang bahwa PEPERA yang hanya ditentukan oleh perwakilan kelompok masyarakat
(bukan dengan mekanisme ‘one man one vote’) tidak sah untuk dokualifikasikan sebagai
proses yang adil dalam penentuan nasib sendiri.
Pasca PEPERA menyebabkan menguatnya gerakan sipil untuk memisahkan diri dari
Indonesia. Terlepas dari adanya perbedaan tajam argumentasi antara kelompok prointegrasi dengan kelompok pro-pemisahan diantara masyarakat Papua, pada faktanya sejak
peralihan kekuasaan pemerintahan kepada Pemerintah RI pada 1 Januari 1963 telah
terjadinya begitu banyak peristiwa kekerasan, yang sebagian diantaranya layak untuk
diselidiki lebih lanjut guna memastikan apakah peristiwa tersebut tergolong sebagai
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar
dari peristiwa tersebut dilatari oleh perbedaan pandangan politik antara bergaung atau
berpisah dengan Negara RI. Salah satu lembaga non pemerintah merilis data bahwa selama
kurun waktu sekitar 40 tahun (sejak PEPERA hingga era tahun 1990-an), diperikirakan
sebanyak 100.000 orang Papua telah menjadi korban berbagai peristiwa kekerasan yang
terjadi di tanah Papua.
Kuatnya perlawanan kelompok masyarakat Papua yang pro-pemisahan telah membuat
otoritas Negara RI melakukan sejumlah operasi militer dalam rangka mengeliminir
gerakan-gerakan anti pemerintah RI. Sekadar menyebut contoh, sejak tahun 1962 hingga
1971 dilakukan operasi militer dengan Sandi Winumurti I dan II guna melakukan
penggalangan dan pengamanan sebelum, selam dan sesudah proses PEPERA. Antara tahun
1970 hingga 1985 dilaksanakan Operasi Tumpas dengan sasaran melumpuhkan basis
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan tahun 1977 dilakukan operasi militer dengan
mengerahkan pesawat pembom yang mengakibatkan hancurnya 17 desa dan diperkirakan
menelan korban ribuan jiwa, termasuk kelompok anak-anak, orang tua dan perempuan, di
wilayah sekitar pegunungan Jayawijaya9. Selain itu, masih terdapat sejumlah operasi militer
lainnya yang diterapkan di tanah Papua.
B. Dasar Hukum Pemberlakuan Kondisi Kenegaraan
Kondisi kehidupan suatu negara senantiasa dinamis dari masa ke masa. Ada kalanya suatu
negara hidup dalam keadaan tertib sejak berdirinya hingga saat ini, namun ada juga negara
yang sering menghadapi situasi tidak normal dalam sejarah perjalanan kehidupan
kenegaraannya. Pada umumnya, seluruh aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh suatu
negara dibuat dan diperuntukkan bagi kehidupan kenegaraan dalam situasi normal karena
pada prinsipnya situasi tidak normal atau situasi darurat tidak dapat diprediksi secara
persis keadaannya. Namun demikian, setiap pemerintah, termasuk pemerintah Republik
Indonesia, biasanya tetap berupaya melakukan langkah-langkah antisipasi apabila secara
tiba-tiba terjadi keadaan yang tidak normal, melalui pembentukan hukum keadaan darurat
atau bahaya.
9
9-10.
Lihat Majalah SAMPARI, Edisi 02 Februari 2006 (Jakarta: Solidaritas Nasional Untuk Papua, 2006) hal.
Keadaan bahaya dapat bervariasi bentuknya, mulai dari yang paling
ringan tingkat ancaman bahayanya hingga yang paling besar ancaman
bahayanya terhadap kelangsungan kehidupan suatu negara. Keadaan bahaya kenegaraan
dapat berkaitan dengan hal-hal berikut:
1. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar negeri;
2. keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri;
3. keadaan bahaya karena peperangan di dalam negeri atau ancaman pemberontakan
bersenjata oleh kelompok separatis di dalam negeri;
4. keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menyebabkan fungsi-fungsi
pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
5. keadaan bahaya karena terjadinya bencana alam (natural disaster) atau kecelakaan
dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan dan mengakibatkan pemerintahan
konstitusional tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya;
6. keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu atau
menyebabkan mekanisme administrasi negara tidak dapat dijalankan sebagaimana
mestinya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7. keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara yang tidak mendukung atau di mana
ketersediaan keuangan kenegaraan yang tidak memungkinkan dilaksanakannya tugastugas pemerintahan oleh lembaga-lembaga penyelenggara negara sebagaimana
mestinya, sementara kebutuhan untuk bertindak sudah sangat genting dan mendesak
untuk dilakukan; dan
8. keadaan lain di mana fungsi-fungsi kekuasaan konstitusional yang sah tidak dapat
bekerja sebagaimana mestinya10.
Sejarah perjalanan eksistensi negara Republik Indonesia merupakan sejarah berliku dalam
memperoleh kemerdekaannya. Pengalaman menghadapi berbagai situasi tidak normal
ketika berusaha memperoleh status merdeka dari kolonialisme bangsa-bangsa asing, telah
membuat para pemimpin negara mengantisipasi kondisi kebangsaan yang tidak normal
dalam kehidupan kenegaraan Republik Indonesia.
Berdasarkan penelusuran sejarah hukum, undang-undang pertama yang dibentuk oleh
pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mengantisipasi kondisi yang tidak menentu
pasca Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ialah Undang-undang Nomor 6 Tahun
1946 tentang Keadaan Bahaya, yang diundangkan pada tanggal 6 Juni 1946. Pemberlakuan
undang-undang tersebut kemudian diikuti dengan pernyataan pemberlakuan keadaan
bahaya atas beberapa wilayah Republik Indonisia, yakni Daerah Istimewa Surakarta pada
tanggal 6 Juni 1946, wilayah Jawa dan Madura pada tanggal 7 Juni 1946 dan keadaan bahaya
di seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 28 Juni 1946. Kemudian, pemerintah RI
mengeluarkan Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya, yang
dikeluarkan pada masa sistem pemerintahan parlementer dan penyiapan perubahan
konstitusi oleh Dewan Konstituante.
Selanjutnya, setelah Presiden Sukarno mengumumkan bahwa konstitusi negara Republik
Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
hukum keadaan darurat atau bahaya diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun
1959 tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan
Bahaya11, yang diundangkan pada 16 Desember 1959. Hingga saat ini, undang-undang
tersebutlah yang menjadi dasar hukum pemberlakuan keadaan tidak normal di wilayah
Indonesia. Oleh karena itu, segala kebijakan dan atau tindakan negara c.q pemerintah untuk
10Jimly
11
Asshidiqie, Hukum Tata Negara Darurat, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 68.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Prp Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang-undang Nomor
74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor
139, Tambahan Lembaran Negara Nomor1908
memberlakukan keadaan bahaya di wilayah hukum Republik
Indonesia haruslah mengacu kepada undang-undang tersebut.
Pemberlakuan kondisi kenegaraan tidak normal atau keadaan bahaya dalam wilayah
Republik Indonesia sesungguhnya merupakan kewenangan presiden dalam kapasitasnya
sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 74
Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya, yang berbunyi “Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik
Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan
darurat militer atau keadaan perang”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) undangundang tersebut, maka keadaan bahaya ini terdiri dari 3 tingkat, yaitu darurat sipil, darurat
militer atau darurat perang. Syarat pemberlakuan keadaan bahaya menurut ketentuan pasal
ini ialah:
1. Apabila keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah
negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau
akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat
perlengkapan secara biasa;
2. Apabila timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah
negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga
3. Apabila hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus
ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup
negara.
Dengan demikian tahap pertama yang wajib dilakukan oleh penguasa atau pemerintah
untuk memberlakukan keadaan bahaya ialah adanya suatu pernyataan atau deklarasi
keadaan bahaya di wilayah negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2)
undang-undang tersebut menyatakan “Penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh
Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang”. Dengan demikian, maka satu-satunya
pihak yang berwenang untuk mencabut kondisi darurat atau keadaan bahaya hanyalah
presiden selaku panglima tertinggi angkatan perang.
Berdasarkan studi yang dilakukan Tim Pengkajian, sejauh ini tidak ditemukan adanya bukti
yang menunjukkan bahwa setelah peralihan tanggungjawab administrasi wilayah Papua
dari Belanda kepada Republik Indonesia, negara c.q pemerintah Republik Indonesia pernah
menetapkan Papua sebagai wilayah dalam status bahaya. Hal ini agak berbeda dengan
pemberlakuan kondisi wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, yang pernah beberapa kali
ditetapkan sebagai wilayah darurat.
Sebagai perbandingan, Propinsi Nanggroe Aceh Darusaalam (NAD) pernah dinyatakan
dalam keadaan bahaya atau darurat melalui sejumlah Keputusan presiden, yakni Keputusan
Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan
Keadaan Darurat Militer di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditetapkan pada 18
Mei 200312. Dengan Keputusan Presiden tersebut, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dinyatakan dalam keadaan bahaya selama 6 (enam) bulan terhitung sejak 19 Mei 2003.
Dengan pertimbangan bahwa situasi bahaya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum
kondusif, pemerintah kemudian menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 2003
Tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Darurat Militer di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
12
Lihat Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan
Keadaan Darurat Militer di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 54.
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor
43 Tahun 2004 Tentang Pernyataan Perubahan Status Keadaan
Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Menjadi Keadaan Bahaya dengan
Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditetapkan
pada tanggal 18 Mei 200413. Status keadaan bahaya dengan tingkatan darurat sipil di
Propinsi NAD tersebut dicabut pada akhirnya dicabut oleh pemerintah Republik Indonesia
melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Penghapusan Keadaan Bahaya
dengan Tingkatan Darurat Sipil di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditetapkan
oleh Presiden RI pada 18 Mei 200514.
Dengan demikian, meskipun secara faktual sama-sama terjadi gerakan bersenjata baik di
Aceh maupun Papua, namun terdapat 2 (dua) pola penanganan yang berbeda secara yuridi
oleh pemerintah dalam menyikapi gerakan bersenjata di kedua wilayah tersebut. Dalam
kasus gerakan bersenjata di Aceh, pemerintah Republik Indonesia telah melakukan
prosedur hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, yakni dengan membuat
deklarasi atau pernyataan keadaan bahaya melalu sejumlah keputusan presiden dan
peraturan presiden yang mencabut keadaan bahaya tersebut.
Atas dasar pernyataan kepala negara tersebutlah aparat militer melaksakan tugas-tugasnya
melakukan sejumlah operasi serta aktivitas pemerintahan lain sesuai tingkatan keadaan
bahaya yang telah ditentukan dari waktu ke waktu. Semestinya pemerintah RI terlebih
dahulu menetapkan status keadaan bahaya di Papua sebelum menindaklanjutinya dengan
berbagai kebijakan yang bersifat operasional oleh aparat militer, sebab hal tersebut secara
tegas telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hingga saat
ini, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 195 Tentang Pencabutan Undang-Undang
Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
Meski status keadaan bahaya dapat diberlakukan atas sebagian wilayah hukum suatu
negara, namun hal tersebut bukan berarti bahwa aparat negara bebas melakukan segala
tindakan sewenang-wenang yang dapat berakibat terlanggarnya hak-hak asasi manusia
penduduk atau warga masyarakat di wilayah tersebut. Sebagaimana diketahui, hak asasi
manusia hanya dapat dikurangi atau dibatasi dengan undang-undang15. Pengurangan atau
pembatasan hak-hak asasi manusia dalam keadaan bahaya harus memenuhi sejumlah
persyaratan, yakni:
1. Hanya bersifat untuk sementara waktu;
2. Dimaksudkan untuk mengatasi keadaan krisis; dan
3. Dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan normal guna mempertahankan hak-hak
asasi manusia yang bersifat fundamental16.
Dalam teori hukum tata negara, apabila keadaan darurat atau bahaya memang ada dan
diberlakukan secara praktik, tetapi tidak didahului oleh suatu proklamasi atau deklarasi
13Dengan
keputusan presiden ini, selama 6 (enam) bulan terhitung mulai tanggal 19 Mei 2004, Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam berubah statusnya menjadi bahaya darurat sipil. Lebih lanjut lihat Keputusan
Presiden 43 Tahun 2004 tentang Pernyataan Perubahan Status Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan
Darurat Militer Menjadi Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 46.
14Dengan
diterbitkannya peraturan presiden tersebut, terhitung mulai tanggal 19 Mei 2005 wilayah Propinsi NAD
kembali statusnya menjadi tertib sipil. Lebih lanjut lihat Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2005 Tentang
Penghapusan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Darurat Sipil di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 42.
15
Lihat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
16
Jimly Asshidiqie, op cit, hal. 97.
secara resmi, maka keadaan darurat yang demikian hanya dapat diakui sebagai ‘emergency
de facto’ yang sangat rawan dan mudah disalahgunakan atau lemah dalam legitimasinya.
Praktik pemberlakuan keadaan darurat yang demikian sulit untuk dianggap sah dan
‘legitimate’ karena hanya didasarkan atas kehendak subjektif oleh para penentu kebijakan
saja17. Dengan demikian, sejauh tidak ada deklarasi pemberlakuan keadaan bahaya atas
suatu wilayah tertentu oleh presiden/panglima tertinggi, maka status wilayah tersebut
berada dalam kondisi tertib sipil dan tindakan-tindakan keamanan yang dilakukan hanya
sebatas tindakan penegakan hukum oleh aparat kepolisian Negara.
C. Operasi dan kebijakan Militer di Papua
D.I. Latar belakang/motif digelarnya operasi militer
Operasi militer di Papua secara umum bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan
pemerintah Indonesia terhadap wilayah Papua dari gerakan separatisme, khususnya
kelompok masyarakat yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain itu,
diduga, motif operasi militer di Papua adalah agar pemerintah pusat tetap menguasai
sumber daya alam Papua yang sangat kaya, khususnya dengan keberadaan PT. Freeport
Indonesia sejak 1967.
Beberapa laporan yang dibuat oleh lembaga-lembaga hak asasi manusia menunjukkan
beberapa motivasi lain lahirnya operasi militer di Papua, yaitu untuk mempertahankan
penguasaan sumber daya alam dan bahan tambang di Papua. Sebagai contoh adalah
pengerahan pasukan militer18 di wilayah konsesi tambang PT. Freeport19, bisnis kayu
gaharu20, bagi-bagi konsesi hutan di Papua melalui berbagai perizinan terutama hak
17
Lebih lanjut lihat Jimly Asshidiqie, op cit, hal. 293 – 302.
18
“Uang Keamanan: Pertambangan Freeport dan Uang Keamanan di Indonesia”, Global Witness, 2005 .
19
Freeport Sulphur, kemudian menjadi Freeport McMoRan, sebuah perusahaan AS, mulai melakukan kegiatan
eksplorasi di Papua bagian selatan pada tahun 1960. Perusahaan tersebut menandatangani kontrak produksi
dengan Indonesia pada tahun 1966, tiga tahun sebelum diberlakukannya kekuasaan Indonesia atas Papua.
Soeharto bersama resimnya yang didukung militer sangat mebutuhkan modal asing, dan Freeport diberi
keleluasaan besar dalam menyusun ketentutuan-ketentuan dari investasinya sendiri. Tambang tersebut dikelola
oleh anak perusahaan bernama Freeport Indonesia, yang dikendalikan oleh Freeport McMoRan yang berbasis di
Amerika Serikat.
20
Menurut Norkelis Kewa Ama (Wartawan Harian Kompas) dalam artikelnya berjudul “Mengapa Sulit Masuk ke
Asmat”, Kisah perburuan gaharu di Papua dimulai sejak 1990 ketika sejumlah hutan gaharu di Kalimantan,
Sulawesi, dan Sumbawa (NTB) mulai punah. Pemburu dan pemodal mulai melirik Papua sebagai daerah
sasaran perburuan gaharu. Perburuan dimulai di hutan-hutan pedalaman Jayapura, kemudian beralih ke Mimika,
terus sampai pedalaman Merauke yakni wilayah suku Asmat. Walau menghadapi berbagai kesulitan geografis
namun pemburu ini mencarter helikopter untuk berburu gaharu di pedalaman Papua. Di Mimika, tahun 2001
terjadi pembantaian tujuh pencari gaharu asal Sulawesi di Kali Kopi, Mimika oleh Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Pencarian gaharu diduga dibekingi oknum aparat keamanan, yang pada saat itu membangun pos
komando khusus di Kali Kopi untuk memantau dan mengawasi keamanan para pencari gaharu. World Wide
fund for Nature (WWF) Bioregion Sahul, Papua melaporkan, pemburu gaharu saat ini menguasai sebagian
Taman Nasional Laurentz. Mereka berhasil membujuk penduduk setempat kemudian masuk ke pedalaman
Taman Nasional Laurentz, merusak hutan dan satwa di dalam taman itu. Mereka tidak hanya mengambil gaharu,
tetapi sekali jalan mereka juga mengambil burung cenderawasih, kasuari, rusa, dan kanguru serta tumbuhtumbuhan tertentu. Para pemburu gaharu ini mendapat dukungan kuat dari pengumpul di kota. Mereka dibekali
bahan makanan dan uang selama berburu di hutan, kata Direktur WWF Bioregion Sahul, Benya Mambay.
Informasi yang diterima seorang pemburu gaharu yang tidak bersedia disebut namanya, mereka mendapat
senjata (pistol) dari aparat keamanan selama berburu gaharu di hutan Kali Kopi, Mimika. Tetapi syaratnya, hasil
perburuan gaharu dan hewan lain yang ditemukan di hutan dibagi dengan anggota TNI itu. Berburu gaharu di
pengusahaan hutan (HPH)21 terutama di rezim Soeharto22, maupun untuk melindungi
praktek aparat militer yang sering menyelundupkan binatang langka dan dilindungi dari
Papua ke Pulau Jawa, terutama untuk diperdagangkan23.
Contoh betapa eratnya kaitan antara operasi militer dengan sumber daya alam dapat dilihat
pada peristiwa berikut. Pada 31 Maret 2001, berlatar belakang protes terhadap sebuah
perusahaan penebangan kayu di wilayah Wasior oleh warga Papua, tiga karyawan
perusahaan dibunuh oleh segerombolan warga Papua yang bersenjata. Kemudian pasukan
huru-hara Brimob dikirim untuk memburu para pembunuh dan melindungi perusahaan
penebangan kayu yang lain, sehingga banyak warga desa ketakutan dan melarikan diri. Pada
tanggal 3 Mei 2001, pasukan Brimob menyerang warga sipil yang mungkin tengah menuju
pulang setelah menghadiri sebuah perayaan. Enam warga dilaporkan tewas, baik ditembak
polisi maupun karena tenggelam24.
Namun secara umum, operasi militer di Papua berawal untuk memobilisasi dan
“mengintimidasi” rakyat Papua agar memilih bergabung (berintegrasi) dengan Indonesia
pasca transisi pemerintahan di Papua yang dipegang oleh UNTEA sejak tahun 1963 sampai
menjelang dilaksanakannya PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969.
Menurut penuturan seorang mantan petinggi militer ke Komnas HAM, pelanggaran HAM
banyak terjadi pada saat masa transisi kekuasaan UNTEA yaitu dengan digelarnya operasi
khusus dibawah pimpinan Ali Murtopo25. Bentuk pelanggaran HAM tersebut diantaranya
adalah pembunuhan, penculikan, dsb. Namun data tentang bentuk pelanggaran secara lebih
kongkret, jumlah korban, dan lokasi yang spesifik (locus delicti) tidak mudah untuk
ditelusuri.
Sedangkan bentuk-bentuk operasi militer yang dipergunakan di Papua adalah merupakan
operasi teritorial, operasi intelijen, dan operasi tempur. Operasi militer bertujuan untuk
secara persuasif membujuk masyarakat agar mensukseskan Pepera dengan memenangkan
Indonesia. Operasi ini dilakukan diantaranya dengan pendampingan masyarakat, sosialisasi,
maupun pembangunan daerah. Operasi teritorial ini adalah operasi militer yang paling soft
karena lebih menekankan pada cara-cara yang persuasif untuk menarik simpati rakyat.
Bentuk operasi lain yang biasanya dilakukan bersamaan dengan operasi teritorial adalah
operasi intelijen. Operasi intelijen bertujuan untuk melakukan pemetaan atas kondisi suatu
wilayah atau kelompok masyarakat, maupun untuk melakukan kalkulasi sikap dan
Papua penuh risiko dan tantangan. Kondisi geografis yang sulit ditempuh, berikut kehadiran OPM yang
menguasai sebagian wilayah hutan rimba. Karena itu pemburu gaharu sering bekerja sama dengan aparat
keamanan sehingga mendapat akses ke pedalaman.
21
Kompas, 8 Agustus 2001. Jumlah resmi HPH di Papua saat ini sebanyak 53, dengan luasan sekitar 13 juta
hektar
22
Industri kayu di Papua dikuasai kalangan elit dari zaman Soeharto. Pemain terbesar adalah Djajanti Group,
yang pemegang sahamnya termasuk saudara sepupu Soeharto, yaitu Sudwikatmono, serta mantan pejabatpejabat dan petinggi militer. Sebuah perusahaan besar lainnya, yakni Barito Pacific Timber, dikelola oleh bekas
konco Soeharto, Prayogo Pangestu. Kedua konglomerat tersebut menanggung hutang sangat besar kepada
negara setelah krisis finansial 1997-1998 namun secara politik masih memiliki koneksi yang kuat. Sebuah
perusahaan yang lebih kecil, yaitu Hanurata, dikuasai oleh keluarga Soeharto. Diperkirakan para jenderal
purnawirawan, politisi Jakarta, serta pengusaha besar pun memegang HPH.
23
Baca hasil studi WWF atas praktek penyelundupan satwa liar Papua yang telah merugikan negara triyiunan
rupiah setiap tahunnya.
24
Indonesia: ICG, Sumber Daya dan Konflik di Papua, ICG, 12 September 2002.
25
FGD Tim Komnas HAM dengan narasumber, Bogor, 14 Mei 2009.
kecenderungan sosial politik suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Hasil dari operasi
intelijen ini untuk selanjutnya akan dipergunakan untuk mengambil sebuah keputusan atau
kebijakan atas suatu wilayah atau kelompok masyarakat yang dijadikan target operasi
intelijen. Jika operasi intelijen menunjukkan kecenderungan suatu wilayah atau kelompok
masyarakat melakukan resistensi atas kehendak penguasa, maka pilihan yang diambil
adalah melancarkan operasi tempur dengan kekuatan bersenjata, baik dari satuan organik
maupun kombinasi dengan pasukan non-organik.
Dari berbagai bentuk operasi militer tersebut, operasi tempur adalah yang paling sering
terjadi, terutama sejak dilancarkan di era pemerintahan Soekarno melalui Komando Trikora
1 Desember 1961. Operasi tempur menjadi wajah yang mendominasi wajah pemerintah
Indonesia bagi rakyat Papua dan sepertinya menjadi sebuah sikap politik dan kebijakan
Pemerintah Indonesia dalam memperlakukan rakyat Papua. Pemerintah Indonesia lebih
memilih pengerahan kekuatan bersenjata daripada mempergunakan pendekatan dialogis
dan kultural dalam menghadapi rakyat Papua.
D.II. Sejumlah Operasi Militer di Papua
Selama periode dari tahun 1961 sampai dengan tahun 1998, tercatat oleh Tim Komnas HAM
setidaknya telah dilancarkan 44 (empat puluh empat) operasi militer di wilayah Papua.
Model operasi militer tersebut terbagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu sebelum pelaksanaan
PEPERA dengan tujuan untuk memenangan PEPERA dan sesudah pelaksanaan PEPERA
dengan tujuan untuk mempertahankan hasil PEPERA, menyukseskan Pemilu, dan
menumpas gerakan OPM.
D.II.a. Operasi-operasi militer sebelum PEPERA (1961-1969)
Pada masa sebelum digelarnya PEPERA tahun 1969, setidaknya tercacat telah digelar
operasi-operasi militer sebagai berikut:
1. Operasi Jayawijaya (1961-1962)
Setelah Komando Trikora dicanangkan di Yogyakarta pada tanggal 1 Desember 1961,
operasi militer dilakukan dengan cara menginfiltrasi tentara Indonesia ke Papua dengan
sebutan “sukarelawan”.26 Pada waktu itu, salah satu perwira yang diterjunkan sebagai
infiltran adalah Benny Moerdani (Menhanham/Pangab periode tahun 1983-1988 dan
Menhankam periode tahun 1988-1993). Ia bergabung dengan pasukan yang berkekuatan
206 orang yang berasal dari RPKAD dan Kompi II Batalyon 530/Para dari Kodam Brawijaya.
Pasukan ini diterjunkan ke Merauke dengan sandi Operasi Jayawijaya.
Fase infiltrasi bertujuan untuk membentuk basis-basis gerilya dan mempersiapkan
pembentukan pos terdepan bagi upaya menguasai Papua yang pada saat itu masih berada di
bawah kekuasaan Belanda. Di fase ini, tentara Indonesia masih menjadi bagian dari pasukan
bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA). Pada fase ini, sebanyak 10 kompi (sekitar 1.000 orang) prajurit ABRI dikerahkan
26
Lebih detil kisah infiltrasi parea sukarelawan ke tanah Papua melalui sejumlah gelombang operasi
militer bisa dilihat dalam R. Ridhani, Mayor Jenderal Soeharto: Panglima Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat, PT Pustaka Sinar Harapan, jakarta, 2009. Baca juga Usamah Hisyam,
Feisal Tanjung: terbaik Untuk Rakyat, Terbaik Untuk ABRI, Penerbit Yayasan Dharmapena
Nusantara, Jakarta, 1999, hal. 219-253.
ke Papua. Fase berikutnya setelah melakukan infiltrasi adalah dengan melancarkan
serangan-serangan terbuka (open attack) di berbagai daerah strategis seperti Biak, Fak-Fak,
Sorong, Kaimana, dan Merauke. Fase ketiga adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan
militer di Papua dengan tujuan untuk mengukuhkan eksistensi kekuasaan militer di Papua
melalui pembentukan Komando Daerah Militer (Kodam).
Sejak saat itulah masyarakat Papua untuk pertama kalinya mengetahui Negara Indonesia
lewat sepak terjang tentara-tentara Indonesia yang sangat tidak bersahabat bagi rakyat
Papua. Bisa dikatakan bahwa kesan pertama rakyat Papua terhadap Indonesia adalah
kekerasan dan kekejaman militer, bukannya sebuah negara yang santun, bertoleransi, dan
menghormati kultur masyarakat.
Setelah perjanjian New York (New York Agreement) ditandatangani 15 Agustus 1962, Benny
Moerdani dipindahkan ke Holandia (Jayapura) sebagai komandan sementara seluruh
pasukan infiltran Indonesia di Papua Barat. Perjanjian New York adalah perjanjian yang
difasilitasi oleh Pemerintah Amerika Serikat atas nama Pemerintah Indonesia untuk
menyerahkan kekuasaan atas Papua Barat dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah
Indonesia. Di dalam artikel II Perjanjian tersebut, pemerintah Belanda akan menyerahkan
kekuasaan secara administrasi ke United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)
yang didirikan di bawah yurisdiksi Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan
menyerahkan administrasi ke Pemerintah Indonesia. Pada artikel XVIII Perjanjian tersebut
juga menyebutkan adanya jaminan agar rakyat Papua diberikan kesempatan untuk
menentukan pilihannya secara bebas (Act of Free Choice), apakah akan memilih bergabung
dengan Indonesia ataukah akan berdiri sendiri. Periode 1962-1969 adalah masa transisi
kekuasaan di Papua yang melibatkan secara intensif interaksi antara PBB yang
representasikan oleh UNTEA dan pemerintah Indonesia yang direpresentasikan oleh
kekuatan militer.
Pengerahan pasukan infiltran juga merupakan pelaksanaan atas Perjanjian New York.
Seluruh pasukan infiltran ini diorganisasi ke dalam Kontingen Indonesia (Kontindo) sebagai
bagian dari United Nation Security Forces (UNSF) yang merupakan aparat gabungan di
bawah otoritas UNTEA. Konsentrasi pasukan ini pada mulanya adalah di wilayah Merauke,
Kaimana, Fak-Fak, dan Sorong. Semua pasukan Indonesia ini kemudian dibagi dalam empat
datasemen, yaitu Datasemen A di Merauke, Datasemen B di Kaimana, Datasemen C di FakFak, dan Datasemen D di Sorong.
Walaupun tentara Indonesia diperbantukan di United Nations Security Forces (UNSF),
komando atas mereka tetap di bawah Panglima Mandala. Artinya, pasukan ini merupakan
pasukan yang tidak terpisahkan dari ABRI. Sehingga tanggung jawab organisatoris dan
administrasi tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia.
Pada fase awal di Papua, keberadaan ABRI setidaknya memiliki dua misi27. Misi pertama
secara formal adalah sebagai alat kelengkapan UNTEA, dan yang kedua secara informal
adalah untuk melanjutkan Komando Trikora28 yang dicanangkan Presiden Soekarno. Maka
dari itu, ABRI dalam Kontindo lebih berkepentingan untuk mengawasi UNTEA agar tidak
merugikan Indonesia dan menekan kekuatan sosial politik orang-orang Papua yang
menentang Indonesia.
Dengan mengintrodusir pendekatan militer di masa transisi kekuasaan tahun 1962-1969,
menyebabkan rakyat Papua memandang Indonesia sama dengan kekerasan dan kekejaman.
Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas rakyat Papua
sebagai reaksi untuk menentang kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh anggota
27
Socrates Sofyan Yoman, Pemusnahan Etnis Malanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua
Barat, Yogyakarta, 2007.
ABRI yang menjadi representasi Indonesia di Papua selama bertahun-tahun. Sikap ABRI
atas reaksi orang Papua bukannya mencari jalan penyelesaian secara damai, melainkan
mengintensifkan kekerasan dengan skala yang lebih besar melalui operasi militer dengan
menjadikan Papua sebagai wilayah Operasi Militer. Walaupun intensitas operasi militer di
Papua sangat sering (setidaknya tercatat ada 16 operasi militer antara tahun 1961-1998),
namun tidak pernah ada penetapan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Papua
adalah daerah tertib sipil29. Akibatnya, lingkaran kekerasan menjadi tidak terputus di Papua
sampai sekarang30.
Para infiltran yang tergabung dalam Kontindo adalah inti kekuatan ABRI di Papua ketika
Kodam XVII/Tjendrawasih dibentuk. Kodam XVII/Tjendrawasih yang awalnya bernama
Kodam XVII/Irian Barat dibentuk melalui Surat Men/Pangad No. Kpts-1058/8/1962 pada
tanggal 17 Agustus 1962 atau 2 hari setelah Perjanjian New York ditandatangani. Karena
belum memiliki kekuasaan di Papua, Kodam hanya menjadi bayangan dengan fungsi
mengawasi UNTEA dan gerak politik orang-orang Papua. Brigjen U. Rukman yang
merupakan komandan Kontindo merupakan Pangdam XVII/Tjendrawasih pertama di
Papua.
Kodam XVII/Tjendrawasih kemudian direalisasikan secara nyata pada tanggal 12 Januari
1963 mendekati hari penyerahan administrasi pemerintahan Papua dari UNTEA ke
Pemerintah Indonesia. Kodam ini kemudian membentuk komando teritorial pada tanggal 3
Maret 1963 menjadi Korem, 8 Kodim, 70 Puterpa, dan 20 Koorterpa.
2. Operasi Wisnumurti (1963-1965)
Pada tahun 1963, Men/Pangad Jend. A. Yani mengeluarkan perintah Operasi Wisnumurti
untuk mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa, Makasar, dan Maluku untuk
mengembangkan kekuatan tempur dan staf Kodam XVII/Tjendrawasih. Tugas pokoknya
adalah menegakkan kewibawaan Pemerintah Indonesia, menjamin keamanan dan
ketertiban serta membantu pemerintah sipil dan membangun Irian Jaya Barat, khususnya
untuk mengkounter gerakan separatis.
Gerakan separatis dalam bentuk Perlawanan senjata OPM untuk pertama kalinya terjadi di
Kebar, Manokwari, pada tanggal 26 Juli 1965. perlawanan ini dipimpin oleh Johanes
Djambuani dengan kekuatan 400 orang yang berasal dari Suku Karun dan Ayamaru. Seiring
dengan itu, Suku Arfak di Afai, Manokwari, melancarkan perlawanan yang dipimpin oleh
Mayor Tituler Lodewick Mandatjan yang diikuti Kapten Tituler Barent Mandatjan dan Lettu
Tituler Irogi Maedogda dengan mengajak penduduk lari ke hutan.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada awalnya adalah reaksi orang-orang Papua atas sikap
pejabat-pejabat Indonesia yang mengecewakan rakyat Papua karena mengintrodusir dan
mengedepankan operasi militer dalam menghadapi rakyat Papua. Di samping itu, rakyat
Papua merasa secara historis dan geneologis berbeda dengan kebanyakan ras Melayu, dan
tidak pernah merasa menjadi bagian atau jajahan dari kerajaan-kerajaan yang kemudian
melebur menjadi Negara Indonesia. Masyarakat Papua secara fisik maupun sosial berbeda
dari masyarakat Indonesia di daerah-daerah lain. Mayoritas orang Indonesia berasal dari
Kamboja, sedangkan orang Papua adalah rumpun melanesia ras negroid di Pasifik. Secara
sosial orang Papua memiliki otoritas tersendiri yang bersifat khas dalam mengatur,
29
30
FGD Tim Komnas HAM dengan Mayjen (Purn) Samsudin, Bogor, 14 Mei 2009.
Pemusnahan Etnis Malanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat, Socrates Sofyan
Yoman, 2007.
mengembangkan kebutuhan dan penyelesaian masalah berdasarkan hukum adat yang
membebani hak dan kewajiban adat bagi para individu31.
Kemudian di Manokwari pada tanggal 28 Juli 1965, terjadi perlawanan yang dilakukan oleh
Permenas Ferry Awom dengan pengikutnya sebanyak 400 orang yang berasal dari Suku
Biak, Ajamaru, Serui, dan Numfor yang menyerang asrama Yonif 641/Cenderawasih I.
Akibatnya, 3 orang tentara Indonesia tewas.
3. Operasi Sadar (1965)
Setelah terjadi penyerangan oleh gerakan OPM, diluncurkan Operasi Sadar dibawah
komando Pangdam Brigjend R. Kartidjo untuk menghancurkan perlawanan OPM. Operasi
ini tidak saja bertujuan untuk mematahkan perlawanan OPM di Manokwari, tetapi juga
menegaskan kekuasaan Kodam XVII/Tjendrawasih atas seluruh wilayah Papua. Tugas
utama adalah menghancurkan gerombolan yang bergerak di sekitar Manokwari dan Kebar,
sekaligus untuk menangkap Ferry Awom dan Julianus Wanma. Operasi yang dilancarkan
sejak 10 Agustus 1965 ini dilancarkan secara intensif dari kampung ke kampung yang
menjadi basis perlawanan OPM. Dalam operasi ini dilaporkan 36 penduduk tewas.
Operasi Sadar kemudian diperluas ke ke seluruh wilayah Papua pada 25 Agustus 1965,
dipimpin langsung oleh Pangdam XVIII/Tjendrawasih. Operasi ini membagi wilayah Papua
menjadi 4 sektor. Sektor I adalah daerah yang meliputi Manokwari dan sekitarnya yang
menjadi pos terdepan operasi. Untuk itu dilancarkan operasi intelejen dan teritorial untuk
mendukung operasi tempur. Di sektor lainnya yang belum muncul perlawanan OPM,
dilancarkan operasi intelejen dan teritorial untuk mencegah meluasnya pengikut
perlawanan OPM.
4. Operasi Bharatayudha (1966-1967)
Operasi kemudian dilanjutkan oleh Brigjend R. Bintoro sepanjang 1966-1967 secara lebih
massif. Nama operasi ini adalah Operasi Bharatayudha dengan mendatangkan pasukan
dari Yonif 314/Siliwangi dengan dua kompi Yon 700/RIT dan 2 Kompi Yon 935/Brimob.
Selain itu juga melibatkan 2 Ton KKO/ALRI, 1 Ton Kopasgat, dan 1 Tim RPKAD. Pasukan
juga diperkuat dengan pesawat bomber B-26, 1 pesawat dakota, dan 1 kapal perang.
Operasi ini bertujuan untuk menghancurkan perlawanan dan memenangkan PEPERA.
Dalam operasi ini dilaporkan timbul banyak korban jiwa. Sepanjang tahun 1967, operasi
telah menembak mati 73 orang dan menangkap 60 orang dengan menyita 39 pucuk senjata.
Sedangkan yang menyerahkan diri adalah sekitar 3.539 orang.
5. Operasi Wibawa (1967)
Ketika Brigjend Sarwo Edi menjadi Pangdam XVIII/Tjendrawasih, digelar operasi baru yaitu
Operasi Wibawa, dengan tugas utama memenangkan PEPERA untuk Indonesia. Kodam
melakukan sinkronisasi operasi tempur, intelijen, dan teritorial. Pangdam juga
memerintahkan agar pada setiap Kodim disiapkan kekuatan tempur.
Dalam kerangka Operasi Wibawa untuk memenangkan PEPERA, di Kodam diperbantukan
intelijen dari Den Dipiad dan dari Tim Karsa Yudha/RPKAD. Operasi ini secara keseluruhan
melibatkan 6.220 personil.Untuk memenangkan Pepera, intimidasi oleh kekuatan
bersenjata telah menyebabkan sebagian orang terpaksa memilih Indonesia.
31
Alternative Dispute Resolution Papua Merdeka, Foker LSM Papua, 28 Oktober 1999
Pada masa ini, pemerintah dan angkatan bersenjata Republik Indonesia memasukkan
ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat
Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana ‘Act of Free Choice’
terjadi. Rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum,
pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1.025 saja dari total 800.000 rakyat Papua
waktu itu yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia32. Selain itu, Pepera cacat secara
hukum, karena tidak melibatkan rakyat Papua dalam sebuah musyawarah sebagaimana
diamanatkan dalam Perjajian New York, juga tidak diterapkan prinsip “one man one vote”33.
Namun Operasi
Wibawa ini tidak berjalan mulus. Perlawanan dilakukan di Enarotali.
Kelompok bersenjata secara terang-terangan menolak untuk bergabung dengan Indonesia.
Perlawanan ini dipimpin AR. Wamafma, Senen Mote, dan Thomas Douw. Perlawanan
didukung oleh polisi asal Papua yang mendukung perlawanan.
Untuk menghentikan perlawanan, Pangdam Brigjen Sarwo Edi memerintahkan
penghancuran kelompok perlawanan. Untuk itu diterjunkan Batalyon Kopasanda dan
pasukan dari Batalyon 724/Hasanudin untuk membantu pasukan di Kodim 1705/Nabire.
Dalam operasinya, pasukan juga didukung diantaranya oleh Satgas AURI yang dilengkapi
dengan pesawat B-26, Dakota, dan Hercules. Pasukan Yon 724/Hasanudin kemudian
bergerak melancarkan operasi ke berbagai daerah di sekitar Paniai. Operasi yang dipimpin
oleh Mayor Mochtar Yahya dan Mayor Sitompul ini menimbulkan korban jiwa sekitar 634
orang.
Gencarnya operasi yang dilancarkan oleh Pangdam Sarwo Edi ini tidak lepas dari fungsinya
sebagai Ketua Proyek Pelaksana Daerah. Sesuai dengan surat Mendagri No. 30/1969,
Pangdam bertanggung jawab dalam pengendalian, penggerakan, dan koordinasi kegiatan
semua aparatur pemerintah daerah, sipil, militer, dan swasta. Dengan kata lain, pangdam
memegang kekuasaan tertinggi di Papua dalam menjalankan pemerintahan dan
bertanggungjawab memenangkan Pepera.
6. Operasi Khusus Pemenangan Pepera (1961-1969)
Kemudian juga dalam kerangka memenangkan PEPERA, dilaksanakan Operasi Khusus
Pemenangan Pepera (OPSUS) dipimpin oleh Mayor Ali Martopo selama periode 19611969. Operasi ini bergerak dalam bidang intelijen dan sosial ekonomi dalam kerangka
melancarkan operasi teritorial.34
Operasi pemenangan Pepera dibagi menjadi 4 fase. Fase pertama bertujuan untuk
menghancurkan kelompok perlawanan dan sekaligus memperluas sebaran pasukan ABRI ke
daerah-daerah yang dikuasai. Selain itu di setiap Puterpa disiapkan 1 regu pasukan untuk
melakukan operasi teritorial. Fase kedua adalah untuk memastikan daerah-daerah kepala
32
“Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Papua: Demi Persatuan Nasional dan Pembangunan”, John Rumbiak,
Elsham Papua Online
33
Berburu keadilan di Papua: Mengungkap dosa-dosa politik Indonesia di Papua Barat, Yakobus F. Dumupa,
2006
34 Cerita detil operasi intelijen yang dilakukan sejumlah satuan RPKAD (sekarang Kopassus) bisa dibaca pada
burung Pepera dimenangkan Indonesia. Fase ketiga dan keempat
adalah memastikan kemenangan pada hari- H dan mengamankan
hasilnya.
Sejalan dengan proyek pemenanganan Indonesia dalam Pepera, ABRI menjalankan pula
fungsi sosial dan politiknya. Untuk Kodam melancarkan program pergantian para pejabat
kabupaten dan dinas-dinas yang diragukan loyalitasnya ke Indonesia. ABRI juga dirapatkan
di kampung-kampung untuk mengawasi kehidupan masyarakat secara langsung. Juga
dilancarkan proyek civilisasi dan kesehatan bekerjasama dengan zending dan misi yang
berbeda. Di bidang ekonomi dengan mengontrol harga dan arus barang. Kegiatan-kegiatan
ini disebut dengan civic mission ABRI di Papua.
7. Operasi Tumpas (1967-1970)
Pada tahun 1967, dilancarkan Operasi Tumpas. Operasi ini dikonsentrasikan di wilayah
Ayaamaru, Teminabuan, dan Inanwatan. Akibat operasi ini, diperkirakan terjadi
pembunuhan massal di daerah-daerah tersebut yang jumlahnya sekitar 1.500 orang. Namun
demikian, tidak ada pendataan yang pasti untuk mengungkap kebenaran statemen jumlah
korban ini.
Operasi militer di Papua semakin masif di sejak pergantian Presiden dari Soekarno ke
Soeharto pada tahun 1968. Setelah ABRI sukses menjadi lokomotif Negara untuk
memenangkan Pepera tahun 196935, tidak lantas operasi dan kebijakan militer di Papua
berhenti ataupun berkurang.
Pada 29 Januari 1970, Bridjend Acub Zainal ditunjuk menjadi Pangdam XVIII/Tjendrawasih.
Pada bulan Mei 1970, wanita yang sedang hamil bernama Maria Monsapia disiksa dan
ditembak di tempat oleh tentara.
D.II.b. Berbagai Operasi Militer Pasca PEPERA
Operasi-operasi militer pasca-PEPERA yang dimenangkan oleh Indonesia secara umum
bertujuan untuk mempertahankan hasil PEPERA, mensukseskan Pemilu, dan menumpas
gerakan separatis OPM. Operasi-operasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Operasi Pamungkas (1971-1977)
Setelah berhasil memenangkan PEPERA dan untuk menyambut pelaksanaan Pemilu 1971,
Kodam direorganisasi menjadi 3 Korem, 9 Kodim, dan 3 Yonif. Dalam persiapan Pemilu
1971, terjadi perlawanan terutama di Biak Utara dan Biak Barat, serta di kepala burung
Manokwari. Untuk itu dilancarkan Operasi Pamungkas dengan pendekatan operasi
teritorial dibantu intelejen dan tempur. Pelaksana operasi adalah Kodim Biak yang dibantu
pasukan tempur Yonif 753 dan 752 Cinderawasih serta Dipiad.
Pada Juli 1971, operasi ini dilancarkan di Manokwari untuk mengejar Ferry Awom yang
belum menyerah. Operasi yang dipimpin Mayor Ahmad ini berhasil membujuk Ferry Awom
dan 400 anggotanya untuk menyerah.
Kemudian, pada 1974 terjadi pembunuhan di Kampung Busdori, Krisdori (Biak Barat) dan
Ampobukor (Biak Utara), dimana sebanyak 45 orang disiksa dan dibunuh.
35
PBB melalui Resolusi No. 2504 mengesahkan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang hasilnya
Papua menjadi bagian dari wilayah Negara Indonesia
2. Operasi Koteka (1977-1978)
Perlawanan orang Ndani (Lani) di daerah Jayawijaya diawali oleh perasaan tidak suka suku
Ndani terhadap kebijakan Pemerintahan Indonesia yang memaksa mereka berganti
pakaian, dari pakaian adat Koteka ke pakaian biasa. Sekitar 15.000 orang berkumpul untuk
melakukan protes. Untuk menghadapi perlawanan ini, ABRI melancarkan Operasi Koteka.
Di daerah Tiom, sekitar 4000 orang melawan dengan cara menyerang pos pemerintah.
Akibatnya diterjunkan pasukan RPKAD yang di-drop dari helikopter. Penduduk mencoba
menyelamatkan diri ke hutan, namun terus dihujani tembakan dengan pesawat/helikopter
dari udara.
Pada 1977-1978, di wilayah pelayanan Baptis, sebanyak 300 orang dibunuh oleh tentara.
Ada yang dibunuh dengan cara memanaskan besi dan dimasukkan dalam dubur, ada yang
dibunuh dengan mengiris tubuh dengan silet dan pisau dan digosok dengan rica yang
ditumbuk dalam jumlah banyak. Ada pula yang disuruh gali kuburan sendiri dan
dikuburkan sendiri setelah ditembak mati.
Juga pada 1977-1978, terjadi operasi militer besar-besaran di daerah pedalaman
Jayawijaya, yaitu di Piramit, Kelila, Bokondini, dan hampir seluruh daerah Jayawijaya. Tanpa
membedakan jenis kelamin dan usia, orang Papua dimusnahkan dengan cara yang
mengerikan.
Menjelang Pemilihan Umum pada 1977, perlawanan kembali dilancarkan oleh Kelompok
OPM di daerah daerah Tiom dan Kwiyawage (lembah di Baliem), Kobagma, Bokondini,
Mulia, Ilaga, Piramid (Kabupaten Jayawijaya). Perlawanan ini dipicu oleh penempatan
kesatuan-kesatuan ABRI di hampir seluruh Papua. Operasi militer untuk mematahkan
perlawanan menjelang Pemilu 1977 dan Sidang Umum MPR 1978 ditingkatkan secara
kualitatif dan kuantitatif. Selain itu perlawanan OPM juga terjadi di Enarotali, Biak, dan
Mimika serta di sepanjang perbatasan dengan PNG. Era ini dianggap oleh orang Papua
sebagai awal dari status “Daerah Operasi Militer” bagi Papua diterapkan36.
Di areal PT. Freeport di Timika pada Juli 1977, penduduk yang ditengarai OPM melancarkan
serangan ke pipa-pipa dan fasilitas milik PT.Freeport karena merasa kecewa atas kehadiran
perusahaan itu yang menyengsarakan masyarakat, merampas tanah ulayat masyarakat adat,
dan merusak lingkungan hidup. ABRI membalas perlawanan ini dengan menyerang
kelompok OPM dari udara mempergunakan pesawat Bronco OV-10.
Kemudian di daerah selatan Jayapura yang berdekatan dengan markas OPM diterjunkan
pasukan dalam jumlah besar 10.000 orang tentara setelah daerah itu dibombardir dengan
pesawat Bronco OV-10. Akibatnya diperkirakan sebanyak 1.605 orang pendukung OPM dan
penduduk sipil di wilayah itu tewas.
Sepanjang 1977-1978, Dubes Indonesia untuk Papua New Guinea (PNG) memperkirakan,
sebanyak 1.800 orang tentara Indonesia dikerahkan beroperasi di hutan-hutan di
perbatasan antara Indonesia dan PNG untuk melakukan pengejaran dan 3.000 pasukan
bersiaga di lapangan.
3. Operasi Senyum (1979-1980)
Menyadari bahwa operasi militer ini telah menimbulkan ketakutan bagi masyarakat,
Panglima ABRI Jendral TNI M. Yusuf mengumumkan akan mengurangi operasi militer di
Papua dengan mengintrodusir kebijakan baru dengan nama Operasi Senyum. Melalui
operasi ini, tidak dilaksanakan operasi militer besar-besaran, karena OPM dilihat mulai
36
Pemusnahan Etnis Malanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat, Socrates Sofyan
Yoman, 2007
mengecil dan tidak membahayakan. ABRI hanya melancarkan patroli di perbatasan dan
tugas keamanan rutin.
Pada tahun 1980-an, Kodam dinyatakan sebagai Kotama dalam jajaran Angkatan Darat.
Dengan status ini, Pangdam adalah pimpinan di daerah untuk seluruh jajaran komando
militer semua angkatan. Posisi Pangdam langsung berada di bawah Panglima ABRI.
Panglima ABRI juga memiliki komando langsung pada Kotama AD, yaitu Kostrad dan
Kopassus dengan perintah langsung dari Panglima ABRI dan Kodam hanya memfasilitasi.
Hal Ini disebut sebagai BKO (Bawah Kendali Operasi). Di era ini, Papua tertutup bagi media
sehingga tidak banyak operasi yang dilancarkan di Papua yang bisa diketahui oleh orang
luar. Robin Osborne menyebut keadaan ini sebagai perang rahasia Indonesia di Papua.
Pada awal tahun 1989-an, KOPKAMTIB mengeluarkan analisis bahwa kekuatan OPM sudah
melemah dan terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil dengan senjata yang
sangat terbatas. Gerakan OPM aktif di sekitar perbatasan dengan PNG. Sebagai respon atas
informasi ini, diterjunkan pasukan baret merah (Kopassus). Pengerahan pasukan ini
menakutkan penduduk di sekitar perbatasan. Akibatnya, ratusan orang dilaporkan
melarikan diri (eksodus) ke PNG. Pengungsian ke PNG pada tahun 1984 semakin meningjat
ketika Suku Muyu di Midiptana, Waropko, dan Merauke juga masuk ke wilayah PNG.
Gerakan suku Muyu ini kemudian diikuti penduduk dari daerah lainnya yaitu Jayapura,
Wamena, Sorong, Mimika, Manokwari, dan Fak-Fak. Seluruh pengungsi dari Papua yang
masuk ke wilayah PNG diperkirakan berjumlah 10.000 orang. Sementara Yafet Kambai
mencatat, dari seluruh pengungsi itu hanya sekitar 7.500 orang yang berhasil masuk PNG.
Sedangkan sekitar 1.900 orang berdiam di perbatasan. Di PNG, seluruh pengungsi
ditempatkan di Kamp East Westin dan Western Province.
Gerakan pengungsian/eksodus ke PNG, selain dikarenakan faktor operasi militer di daerah
perbatasan, juga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Faktor tersebut
yaitu aktifitas OPM di daerah perbatasan, munculnya rasa kecewa masyarakat karena
macetnya pembangunan di Papua, banyaknya operasi intelijen yang mengintimidasi
penduduk, dan masuknya arus transmigrasi (dari Pulau Jawa) secara besar-besaran ke
Papua, terutama di daerah sekitar perbatasan.
Pengungsian ke PNG dalam kurun waktu tahun 1983-1984, juga dipicu oleh banyaknya
penangkapan di kota Papua, terutama Jayapura oleh intelijen Kopassus. Mereka yang
ditangkap ada sebanyak 20 orang yang berasal dari Universitas Cinderawasih dan pegawai
gubernuran Irian Jaya. Salah seorang dari mereka adalah Arnold AP yang menjabat sebagai
Kepala Museum Antroplogi Uncen. Penangkapan ini menimbulkan keresahan di Jayapura.
4. Operasi Gagak I (1985-1986)
Operasi yang lain adalah Operasi Gagak I (1985-1986), yang dipimpin oleh Pangdam
Mayjen H. Simanjuntak. Dalam operasi ini, pasukan dibagi dalam beberapa sektor. Yaitu
Sektor A di perbatasan, Sektor B di tengah, dan Sektor C di kepala burung, dengan komando
di Korem masing-masing.
Sektor C yaitu daerah di Fak-Fak, memfokuskan operasinya di daerah C3, yaitu daerah
kompleks Tembagapura, Agimuga, dan Timika. Pimpinan OPM yang hendak dikejar adalah
Victus Wangmang. Pasukan yang dikerahkan berasal dari Yonif 752 dengan kekuatan 2
kompi dibantu Apter dan 2 SST hansip/Wanra. Dalam Operasi Gagak I ini tercatat 14 orang
yang diduga OPM dibunuh dan 8 orang ditangkap beserta senjatanya yang dibawa/dipakai.
5. Operasi Gagak II (1986)
Memasuki tahun 1986, operasi dilanjutkan dengan Operasi Gagak II, dengan pimpinan
Mayjen Setiana. Tugas pokok operasi ini adalah menghancurkan Gerakan Pengacau
Keamanan dan deteksi loyalitas rakyat. Pasukan yang dilibatkan adalah seluruh pasukan
organik tempur dari teritorial Kodam VIII/Trikora, serta pasukan BKO dari Satgas Yonif
321/Kostrad, 6 Tim Intelpur Kostrad, 1 Kompi Yonzipur/Dip, 1 Kompi Yon Zipur/Brawijaya,
satuan dari TNI AL dan AU serta Penerbad. Selama operasi ini ABRI melaporkan, sebanyak
21 orang terbunuh, 5 ditangkap, dan 12 orang menyerah dengan menyita 13 pucuk senjata.
6. Operasi Kasuari I (1987-1988)
Kemudian digelar Operasi Kasuari I (1987-1988) dengan Pangdam Trikora waktu itu
adalah Mayjend. Wismoyo Arismunandar, dengan tugas utama menghancurkan GPK secara
fisik terutama di daerah sekitar perbatasan. Operasi ditekankan di wilayah Jayapura, FakFak, Paniai, dan Biak. Di daerah subsektor B1, sasaran adalah Enarotali dan Sugapa, dengan
menerjunkan pasukan dari Yonif 753, Intel Laksusda, Kazipur 4/Diponegoro, Pleton
Intelrem 173, Ru Marinir, 1 Pleton Kopaskhas AU, 1 Tim khusus Kodim Nabire dan 2 SKK
Wanra. Kampung yang menjadi sasaran adalah kampung Tigitakaida, Seruai, Swaipak,
Ampobukar, Supriori, dan Swainober di Biak Barat.
7. Operasi Kasuari II (1988-1989)
Operasi militer ini dilanjutkan dengan Operasi Kasuari II (1988-1989), yang difokuskan di
sepanjang perbatasan dengan PNG dengan titik tekanan adalah operasi teritorial, intelijen,
tempur serta kamtibmas. Operasi teritorial diarahkan untuk membentuk desa binaan agar
berpihak pada ABRI. Pasukan yang bertugas dan sektor (wilayah) operasi sama dengan
Operasi Kasuari I. Kelly Kwalik muncul sebagai pimpinan OPM di daerah Agrimuka dan
Tembagapura pada saat Operasi Kasuari II ini dilancarkan.
8. Operasi Rajawali I (1989-1990)
ABRI melanjutkan operasi dengan menggelar Operasi Rajawali I (1989-1990) dan Operasi
Rajawali II (1990-1991) dengan pimpinan Mayjen Abinowo dengan tujuan untuk
menghancurkan OPM di sepanjang perbatasan dengan PNG. Jenis operasi adalah teritorial,
intelijen, dan tempur secara terpadu dan serempak. Operasi teritorial ditujukan untuk
pembentukan desa binaan dengan tujuan memisahkan rakyat dan GPK. Sementara operasi
intelijen ditujukan untuk mengindentifikasi gerakan GPK dan menetralisir pengaruhnya.
Sementara operasi tempur ditujukan untuk melancarkan patroli, pengejaran, dan
penghancuran. Pasukan yang terlibat adalah pasukan organik Kodam VIII ditambah Yonif
621/Tanjungpura, Yonif 431/Brawijaya (diganti Yonif 310/Siliwangi), 1 Intelpur Kostrad,
Satgas Dampak XX Kopasus, Satgas Udara 3 Heli Puma, 1 Cassa AL, dan 32 polsek dan 6
SKK/Wanra. Di masa inilah Thomas Wanggai mengibarkan bendera Melanesia barat di
Jayapura.
9. Operasi Rajawali II (1990-1995)
Pada 1990, operasi intelijen militer yang berintikan pasukan Kopassus di Papua meningkat.
Penangkapan yang disertai pembunuhan terhadap orang-orang yang ditengarai OPM kerap
terjadi di berbagai tempat. Operasi jenis ini mulai terkuak ketika terjadi pembunuhan
terhadap penduduk kampung di Desa Wea, Tembagapura di bulan Oktober sampai
Desember 1995. Dalam aksi ini, pasukan Yonif 752 melakukan penembakan secara
membabi buta terhadap penduduk yang sedang berada di rumah-rumah mereka. Hal ini
dipicu oleh pengibaran bendera bintang kejora, yang kemudian berakibat pada 11 orang
terbunuh dan beberapa orang lainnya ditangkap.
Pada 6 Oktober 1994, Marius Kwalik, Romulus Kwalik, Hosea Kwalik, dan Sebastinaus
Kwalik, ditangkap oleh aparat militer dengan alasan keempat orang ini bekerjasama dengan
Kelly Kwalik. Orang-orang ini ditahan dan disiksa di Pos tentara Koperapoka, Timika sampai
pada 15 November 1994.
Secara detil tercatat berbagai operasi militer yang digabung dengan operasi intelijen dan
kadang operasi teritorial adalah sebagai berikut:
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Nama Operasi
Antrareja
Aluguro
Sikat
Banteng I
Banteng II
Lintas
Garuda Merah
Garuda Putih
Srigala
Kancil I
Kancil II
Kancil III
Naga
Lumba-Lumba
Lumbung
Gurita
Lumbung
Jatayu
Elang
Alap-Alap
Badar Besi
Show of Force
Cakra I
Cakra II
Merpati
Sadar
Wisnumurti
Merpati
Damai
Nurti
Janggi
Imam Sura
Bharata Yudha
Tahun
Musuh Yang
Dihadapi
Isu Operasi
Mulai 1961
Belanda
Maret 1962-Juni 1962
Juli 1962
1963-1965
1963
1966-1967
Melawan
kolonial
Belanda,
disintegrasi
34 Penegak X
35 Sadar
36 Wibawa
37 Pamungkas
38 Koteka
39 Gagak I
40 Gagak II
41 Kasuari 01
42 Kasuari 02
43 Rajawali 01
44 Rajawali 02
Diolah dari berbagai sumber
Maret 1967-Juni 1968
1967
1971
1977
1985-1986
1986-1987
1987-1988
1988-1989
1989-1990
1990-1991
OPM
Disintegrasi
Tabel Daftar Pangdam XVII/ Cendrawasih dan Operasi Yang Dilakukan
No
Nama
Lama Tugas
Keterangan
1
Brigjen U Rukman
1963-1964
- Operasi Wisnumurti I
- Operasi Wisnumurti II
2
Brigjen Inf. Kartidjo
1964-1966
- Operasi Wisnumurti III
- Operasi Wisnumurti IV
- Operasi Giat
- Operasi Tangkas
- Operasi Sadar
3
Brigjen TNI R. Bintoro
1966-1968
- Operasi Bharatayudha
4
Brigjen TNI Sarwo Edi Wibowo
1968-1970
- Operasi Sadar
- Operasi Bharatayudha
- Operasi Wibawa
5
Brigjen Acub Zainal
1970- 1974
- Operasi Pamungkasa
- Operasi Koteka
6
Brigjen Imam Munandar
1977-1978
- Berbagai operasi di daerah
perbatasan
7
Brigjen C.I. Santosa
1978-1982
Belum teridentifikasi
8
Brigjen RK Sembiring Meliala
1982-1985
Belum teridentifikasi
9
Mayjen H. Simanjuntak
1985-1986
- Operasi Gagak I
10 Mayjen Setiana
1986-1987
- Operasi Gagak II
11 Mayjen Wismoyo Arismunandar
1987-1989
- Operasi Kasuari I
- Operasi Kasuari II
12 Mayjen Abinowo
1989-1991
- Operasi Rajawali I
- Operasi Rajawali II
13 Mayjen I Ketut Wardhana
1994-1995
- Operasi Rajawali III
14 Mayjen Johny Lumintang
1995-1996
Belum teridentifikasi
15 Mayjen Amir Sembiring
1998-1999
- Berbagai operasi daerah
rawan
16 Mayjen Mahidin Simbolon
1999-2002
- Operasi Pengendalian
Pengibaran Bendera
Sumber Artikel KKPK
Download