Makassar Bukan Bugis Makassar Oleh Tadjuddin Maknun Universitas Hasanuddin [email protected] Abstrak Di Sulawesi Selatan terdapat empat suku bangsa (etnik), yaitu suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Namun, setelah Provinsi Sulawesi Selatan dimekarkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat, kebanyakan wilayah yang didiami oleh suku Mandar masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Wilayah yang didiami suku Bugis beserta semangat dan kebudayaan yang dimilikinya, yaitu Kabupaten Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng Rappang, Parepare, Sinjai, Bulukumba, Palopo, dan Luwu. Wilayah yag didiami suku Makassar beserta semangat dan kebudayaan yang dimilikinya pada umumnya berada di bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan, meliputi Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Bulukumba (sebagian), Maros (sebagian), dan Pangkajene Kepulauan (sebagian). Wilayah yang didiami suku Toraja beserta semangat dan kebudayaan yang dimilikinya, yaitu Kabupaten Tana Toraja, Enrekang (sebagian), dan Palopo (sebagian). Setiap suku mempunyai bahasa daerah masing-masing. Bahasa Bugis untuk Suku Bugis, bahasa Makassar untuk suku Makassar, bahasa Toraja untuk suku Toraja, dan bahasa Mandar untuk suku Mandar. Selama ini terdapat salah kaprah bahwa seolah-olah tidak ada suku Makassar, yang ada hanya suku Bugis Makassar. Selain itu, juga terdapat salah kaprah terhadap pengertian kata Makassar. Untuk itu, risalah ini bertujuan (1) menjelaskan pengertian kata Makassar ditinjau dari segi etimologi, terminologi, segi mitos, dan sejarah; dan (2) menjelaskan eksistensi suku Makassar dengan beberapa cirinya dari aspek budaya. Untuk mengkaji kedua masalah pokok tersebut, digunakan beberapa pendekatan atau perspektif secara eklektik. Pendekatan yang dimaksud adalah antropologi, linguistik, dan sejarah. Kata kunci: Etnik Makassar, kata Makassar, budaya 1. Pengantar Di Sulawesi Selatan terdapat empat suku bangsa (etnik), yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Toraja, dan suku Mandar. Namun, setelah Provinsi Sulawesi Selatan dimekarkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat, kebanyakan wilayah yang didiami oleh suku Mandar masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat (Kabupaten Majene dan Kab. Poliwali Mamasa). Wilayah yang didiami 1 suku Bugis beserta semangat dan kebudayaan yang dimilikinya, yaitu Kabupaten Bone, Kab. Wajo, Kab. Soppeng, Kab. Sidenreng Rappang, Kab. Parepare, Kab. Sinjai, Kab. Bulukumba, Kab. Palopo, dan Kab. Luwu Utara, dan Kab. Luwu Timur. Wilayah yang didiami suku Makassar beserta semangat dan kebudayaan yang dimilikinya pada umumnya berada di bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Gowa; Kota Makassar; Kab. Takalar; Kab. Jeneponto; Kab. Bantaeng; Kab. Selayar; Kab. Bulukumba (sebagian); Kab. Maros (sebagian); dan Kab. Pangkajene Kepulauan (sebagian). Wilayah yang didiami suku Toraja beserta semangat dan kebudayaan yang dimilikinya, yaitu Kabupaten Tana Toraja, Enrekang (sebagian), dan Palopo (sebagian). Setiap suku mempunyai bahasa daerah masing-masing, yaitu bahasa Bugis untuk suku Bugis; bahasa Makassar untuk suku Makassar; bahasa Toraja untuk suku Toraja; dan bahasa Mandar untuk suku Mandar. Bahasa-bahasa daerah tersebut sampai sekarang masih aktif digunakan oleh masyarakat pendukungnya. Selama ini terdapat salah kaprah di kalangan masyarakat, baik kalangan akademisi maupun kalangan awam bahwa seolah-olah tidak ada suku Makassar, yang ada hanya suku Bugis Makassar. Dengan kata lain, suku Makassar merupakan subordinasi dari suku Bugis. Padahal kedua suku tersebut mempunyai perbedaan, baik dari segi kebahasaan maupun kebudayaan. Selain itu, juga terdapat salah kaprah bahkan sinis terhadap pengertian kata Makassar. Untuk itu, risalah ini bertujuan menjelaskan dua masalah pokok seperti berikut. 1. Pengertian kata Makassar ditinjau dari segi etimologi, terminologi, segi mitos, dan sejarah; 2. Eksistensi suku Makassar dengan beberapa cirinya dari aspek budaya (budaya Makassar). 2 Penjelasan kedua masalah pokok tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih komprehensif sehingga tidak lagi terjadi salah kaprah. Selain itu, dengan adanya informasi ilmiah tentang kedua masalah pokok tersebut dapat meningkatkan integritas dan menjalin harmonitas sosial budaya antarbangsa-bangsa serumpun Melayu. Untuk mengkaji kedua masalah pokok tersebut, digunakan beberapa pendekatan atau perspektif secara eklektik. Pendekatan yang dimaksud adalah antropologi, linguistik, dan sejarah. 2. Kajian Pustaka Seperti dikatakan dalam pendahuluan bahwa risalah ini menggunakan pendekatan atau perspektif secara eklektik, yaitu antropologi; linguistik; semantik; dan sejarah. a. Konsep Antropologi Secara etimologi antropologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata anthrophos dan logos. Kata anthrophos mengandung makna ‘manusia, orang’ dan logos berarti ‘ilmu, kajian, telaah’(ipskreatif.pun.bz/pengertian antropologi (diakses 13-10-2015)). Jadi, antropologi adalah ilmu tentang manusia atau ilmu yang mempelajari, mengkaji, menelaah manusia. Selanjutnya, dijumpai beberapa pendapat tentang pengertian (terminologi) antropologi. Misalnya, antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan seluk-beluknya secara menyeluruh dan apa yang dihasilkannya. Pendapat lain mendefinisikan ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya (Beals and Hoijen dalam id.ana.wikia.com/wiki/antropologi (diakses 13-10-2015)). Selain itu, ada yang mengatakan bahwa antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari budaya masyarakat suatu etnis (nurdewieryanti.blogspot.co.id/2013/06/antropologi.html (diakses 13-10-2015)). Pendapat terakhir ini sejalan dengan istilah antropologi budaya (Koentjaraningrat, 1990: 13) atau semiotika budaya (Christomy dan Yuwono (Ed.), 2004). 3 Salah satu aspek kehidupan masyarakat yang dikaji oleh antropologi adalah mitos. Mitos (myth) adalah (1) cerita rakyat legendaris atau tradisional, biasanya bertokoh makhluk yang luar biasa dan mengisahkan peristiwaperistiwa yang tidak dijelaskan secara rasional, seperti cerita terjadinya sesuatu; (2) kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti, tetapi diterima mentah-mentah (Sudjiman dalam Udin, dkk., 1997: 9; Bakyr (Koordinator Tim), 2003: 1802). b. Konsep Linguistik Linguistik mempelajari bahasa dalam arti tuturan/lisan (parole) (Verhaar, 1978: 3). Bahasa menurut Nida terdiri atas dua lapis, yaitu lapis bentuk (form) dan lapis arti/makna (meaning) atau sejajar dengan konsep Chomsky, yaitu tataran permukaan dan tataran batin (transbahasa.com/2013/09/27seri teori 2teori penerjemahan-nida). Lapis bentuk berkaitan dengan seluk-beluk pembentukan kata (proses morfologis) dan seluk-bentuk penyusunan kalimat, klausa, frasa (proses sintaktis). Kedua proses tersebut biasa disebut tatabahasa (gramatika). Selanjutnya, lapis arti/makna berkaitan dengan makna leksikal dan makna gramatikal. Kedua jenis makna tersebut diselidiki oleh semantik. Semantik adalah cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti (Verhaar, 1978: 9; Chaer, 1990: 2; Djajasudarma, 1993: 2) c. Konsep Sejarah Untuk mengungkap nama “Makassar” dari segi sejarah, ada baiknya terlebih dahulu diberikan pengertian atau definisi sejarah itu sendiri. Beberapa pengertian atau definisi sejarah menurut para ahli sejarah. Dalam risalah ini disebutkan antara lain Sartono Kartodirdjo, Ibnu Kaldum, dan Ismaun. Sartono Kartodirdjo mengemukakan, “Sejarah merupakan bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lalu, dan untuk mengungkapkannya dapat melalui aktualisasi dan penetasa pengalaman masa lalu. Menceritakan suatu kejadian adalah cara membuat hadirnya kembali peristiwa tersebut dengan cara pengungkapan verbal. Ibnu Kaldum 4 menjelaskan, “Sejarah didefinisikan sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban manusia yang terjadi pada watak /sifat masyarakat itu. Adapun Ismaun menjelaskan, “Sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan tentang kisah mengenai peristiwa-peristiwa yang benar-benar telah terjadi atau berlangsung dalam segala aspeknya pada masa yang lampau. Sejarah merupakan catatan atau rekaman pilihan yang disusun secara teliti tentang segala aspek kehidupan umat manusia pada masa lampau (http://hedisasrawan.blogspot.com /2014/01/04-pengertian-sejarah-menurut para ahli.html. 3. Pembahasan Dalam bagian ini dibahas secara berturut-turut (1) tentang kata “Makassar” ditinjau dari segi etimologi, segi terminologi, segi mitos, dan sejarah; dan (2) sekilas kebudayaan Makassar. a. Tentang kata “Makassar” Kata “Makassar” dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu segi etimologi, segi termonologi, segi mitos, dan sejarah. (1) Segi Etimologi Dari segi etimologi kata “Makassar” berasal dari kata “Mangkasarak”. Kata mangkasarak terdiri atas dua morfem, yaitu morfem terikat “mang-“ dan morfem bebas atau kata dasar (selanjutnya disingkat Kd) “kasarak”. Morfem terikat (prefiks) mang- mengandung makna gramatikal seperti berikut. a) Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya (morfem bebas); b) Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. Selanjutnya, apabila morfem bebas kasarak bergabung dengan unsur lain, seperti prefiks prefiks ak- dan partikel penegas mi (pola struktur: ak- + Kd + mi). Partikel mi sepadan dengan partikel penegas lah dalam bahasa Indonesia; apabila 5 Kd bergabung dengan prefiks ak- dan pronomina persona i (pola struktur: ak- + Kd + i). Pronomina persona i sepadan dengan penunjuk orang ketiga tunggal, dia/ia dan jamak, mereka dalam bahasa Indonesia; apabila Kd bergabung dengan unsur enklitik posesif –na dan penanda jumlah ngaseng (pola struktur: Kd + -na + ngaseng). Enklitik –na sepadan dengan bentuk nya dalam bahasa Indonesia; apabila Kd bergabung dengan prefiks si- dan sufiks -ang (pola struktur si- + Kd + -ang) atau (si- + Kd (Redup) + -ang) dapat mengandung beberapa makna seperti: a) Jelas, nyata; b) Tampak (dari penjelmaan); c) Besar (lawan kecil); d) Terus terang, tegas, berani, transparan Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh kalimat berikut. - Akkasarakmi angkanaya ... ‘jelaslah (nyatalah) bahwa ...’ - Akkasaraki Nabitta ri birin(g)na tamparanga. ‘Nabi menjelma (menampakkan diri ) di tepi laut/pantai - Kasarakna ngaseng jukuk boluna. ‘besarnya semua ikan bandengnya’ - Sikasarrang atau sikasa-kasarriang. ‘berterus terang, transparan, tegas’ Dengan demikian, kata “mangkasarak” mengandung arti ‘memiliki sifat besar (mulia), tegas, berterus terang, transparan, tegas, dan jujur. Makna inilah sampai sekarang dikenal sebagai karakter orang Makassar, yaitu apa yang terungkap melalui bibir begitu pula di hati. Karakter tersebut tergambar pula dalam ungkapan yang berbunyi “angkana mangkasarak”, maksudnya berkata terus terang dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab walaupun pahit. Dengan kata lain, kalau ia diperlakukan dengan baik, ia berbuat lebih baik; kalau ia diperlakukan dengan halus, ia bertindak lebih halus; kalau dihormati, ia lebih hormat. 6 Karakter tegas dan berani serta bersedia menanggung segala konsekuensi dari setiap kata dan perbuatannya, dijumpai pula dalam kelong (nyanyian/puisi) seperti berikut. (1) Takunjungak bangung turuk Na kugincirik gulingk Kualeanna Tallanga na toalia (Basang, 1988) Terjemahan secara harafiah: Tak begitu saja aku mengikut angin Dan aku putar kemudiku Aku lebih memilih Tenggelam daripada kembali Terjemahan secara puitis: Bila layar telah berkembang Dan kemudi telah terpasang Biarkan topan dan badai menghantam Pantang surut ke pantai. (2) Kubantunna sombalakku Kutantang bayabayaku Takminasayak Toali tannga dolangang Terjemahan secara harafian: Kupasang sudah layarku Kurentang temaliku Tak berharap saya Kembali dari tengah samudera. Terjemaan secara puitis: Bila layar telah kupasang Temali telah kurentang Aku tak berharap Kembali dari tengah samudera Selain dalam kelong, karakter tersebut dijumpai pula dalam bentuk paruntukkana (peribahasa) antara lain “Kontunna possok kala lempeka”, 7 artinya ‘biar pesuk (lekuk-lekuk, ronyok) daripada membengkok’ (Basang, 1988: 7). (2) Segi Terminologi Pengertian kata Makassar dari segi terminologi dapat disebutkan seperti berikut. a. Sebagai nama suku atau enis yang mendiami sepanjang pesisir selatan jazirah Sulawesi Selatan, memiliki bahasa sendiri dengan berbagai dialek yang digunakan dalam kehidupan kebudayaan dan adat-istiadatnya, dan memiliki aksara yang disebut lontarak. b. Sebagai nama kerajaan kembar Gowa Tallo dengan nama kerajaan atau kesultanan Makassar yang puncak kejayaannya diletakkan oleh pahlawan nasional Sultan Hasanuddin. c. Sebagai nama ibukota kerajaan Gowa, bandar niaga yang dikenal oleh dunia internasional sejak permulaan abad ke-16 (Mattulada, 1991: 15). d. Sebagai nama selat yang terletak di antara pulau Kalimantan dan pulau Sulawesi (Basang, 1988: 8). e. Sebagai nama ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang sekaligus sebagai nama salah satu wilayah pemerintah daerah (pemerintah kota), KOTA MAKASSAR telah dikenal oleh dunia internasional sejak dahulu. (3) Segi Mitos Sampai sekarang masih terpatri dalam hati masyarakat bahwa nama Makassar sebagai ibukota kerajaan Gowa berhubungan erat dengan suatu peristiwa yang dialami oleh seorang raja di Tallo. Peristiwa itu seperti dilansir oleh Basang (1988) dan Wahid (2007) sebagai berikut. Pada suatu hari petugas istana melaporkan kepada Raja Tallo bahwa di tepi pantai sebelah barat ada seorang laki-laki bersorban hijau dan berjubah putih. Ia melakukan gerakan tertentu, tegak, bungkuk, duduk. Setelah mendengar berita itu Raja pun bergegas ke pantai walaupun 8 suasana pagi masih gelap. Raja hendak menyaksikannya, siapa tahu orang itu mempunyai maksud-maksus tertentu. Tidak jauh dari istana, Raja pun bertemulah dengan seorang orang tua. Orang itu pun menyapa Raja dan menanyakan maksudnya. Setelah Raja memberitahukannya, berkatalah orang tua itu, “Wahai raja, orang yang ada di pantai itu adalah orang sakti, kalau raja hendak menundukkan dia, marilah saya beri ilmu lebih dahulu. Tangan raja akan saya tulisi, kemudian perlihatkan kepadanya, niscaya tunduklah dia. Orang itu pun berjabat tangan dengan Raja. Sesudah itu tampaklah tulisan kalimat syahadat di tangan raja dan orang tua yang bersorban hijau dan berjubah putih itu pun gaiblah. Raja pun melanjutkan perjalanannya. Setelah tiba di pantai, Raja pun memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada orang berjubah itu. Orang berjubah itu tundukklah seraya berjabat tangan dan mengatakan, “Selamatlah dan berbahagialah engkau wahai raja karena engkau telah memegang agama Allah dan kedatangan saya ke mari ialah untuk menyebarkan agama Allah”. Selanjutnya, raja pun berkesimpulan dan mengatakan “Makkasaraki Nabbia” atau “Nabbia Akkasaraki” artinya Nabi yang menjelma atau menampakkan diri (yang dimaksud adalah orang berjubah putih yang gaib). Tempat nabi “akkasarak” ini dinamai Mangkasarak (Makassar). (4) Segi Sejarah Dari bahan tertulis seperti yang disinyalir oleh Basang (1988) dan Mattulada (1991) dapat diketahui nama Makassar dalam lintasan sejarah sebagai berikut. a) Dalam buku peradaban di pulau Jawa yang disebut Negara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca pada zaman Gadjah Mada (1364) tercantum nama Makassar. Kalimat-kalimat yang menyebutkan nama Makassar dapat dilihat di bawah ini. “ ... Ikang sakasanusanusa Makassar Buton Banggawi, Kunir Ggaliyao mwangi (ng) Salaya Sumba Solot Unar mwah tikang i 9 wandan Ambwa Maloko Wwanin ri Seran i Timur makadining angeka nusatutur”. b) Dalam sejarah Melayu, kisah ke-19, tercantum pula nama Makassar seperti terlihat di bawah ini. “... maka tersebutlah perkataan adalah sebuah negeri di tanah Mengkasar, Balului namanya, nama rajanya kaeraing Mancoko, terlalu besar kerajaannya, segala negeri di tanah Mengkasar itu semuanya takluk kepadanya”. b. Sekilas Kebudayaan Makassar Sebelum membahas sekilas kebudayaan Makassar, ada baiknya diberikan pengertian kebudayaan itu sendiri. Dalam risalah ini dapat dikemukakan antara lain definisi yang disampaikan oleh Tylor dan Koentjaraningrat. Menurut Tylor, “Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai anggota masyarakat (Mattulada, 1997: 1; Wahid, 2007: 2; Liliweri, 2014: 6). Koentjaraningrat (1990: 180) mengatakan, “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Kedua definisi tersebut terlihat berbeda, namun mempunyai prinsip yang sama, yaitu mengakui adanya ciptaan manusia yang meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusia, yang diatur oleh tata kelakukan dan diperoleh dengan belajar yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (Sujarwa, 2005: 9). Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup (Widagdho, 1991: 19-20). Dalam menganalisis komponen kebudayaan suatu masyarakat tertentu, biasanya digunakan konsep unsur-unsur atau komponen kebudayaan universal (culural univeral). Menurut Koentjaraningrat (1990: 203-204) ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dimaksud, yaitu (1) bahasa; (2) 10 sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian; (6) sistem religi; dan (7) kesenian. Ketujuh komponen kebudayaan tersebut dapat dipadatkan menjadi tiga wujud kebudayaan, yaitu (a) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan (ideas); (b) wujud kebudayaan sebagai sebagai kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat (activities); (c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (artifact) (Koentjaraningrat, 1990: 186-187; Mattulada, 1997: 1-2). Risalah ini membahas sebagian kecil saja untuk menunjukkan unsur spesifik atau khas kebudayaan Makassar. (a) Bahasa Makassar Etnik Makassar memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Makassar. Aksaranya disebut aksara lontarak jangang-jangang (mirip dengan aksara Jawa/Kawi, sedangkan aksara Bugis disebut aksara bilangbilang/sulapak appak (mirip dengan aksara Rejang (Enre dalam Manyambeang, 1996: 30). Fonem bahasa Makasar sebanyak 23 buah (18 konsonan dan 5 vokal), sedangkan fonem bahasa Bugis sebanyak 29 buah (22 konsonan dan 7 vokal). (b) Benda-benda Budaya (Artefak/hasil karya) 1) Jenis Kue Tradisional Salah satu jenis kue tradisional yang selalu hadir pada setiap acara ritual suka cita adalah umbaumba (Makassar), ondeonde (Bugis), klepon (Jawa). Nama kue ini dalam setiap suku berbeda-beda, namun secara referensial (referent), baik bahan maupun bentuknya sama. Bahannya terdiri atas tepung beras ketan, gula merah, dan kelapa parut. Bentuknya bulat sebesar ibujari kaki orang dewasa, berisi gula merah, dan berbalut kelapa parut. Umbaumba artinya ‘muncul’ dan ondeonde artinya ‘berguling-guling’ Akan tetapi, secara makna (sense) nama kue ini mengandung makna kultural yang berbeda dalam setiap masyarakat. Di kalangan 11 masyarakat Makassar nama kue ini mengandung makna kultural, yaitu penuh pengharapan (optimistis), semoga dalam proses menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini berujung dengan kebahagiaan (kesejahteraan). Dimaknai seperti itu berdasarkan dengan sifat kue tersebut yang selalu muncul ke permukaan air ketika sudah masak. Itulah sebabnya kue ini selalu dihadirkan pada saat acara seperti pengantin, bangun rumah, masuk rumah baru, beli mobil baru. 2) Makam Bercorak Makassar Penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan yang secara dominan dijalankan oleh Kerajaan Gowa menyebabkan budaya makam berciri Makassar dominan memengaruhi budaya makam di kawasan Nusantara. Hal ini terbukti dengan kehadiran bentuk-bentuk jirat dan nisan makam jenis pedang (A), jenis mata tombak (B), jenis blok (D), dan silindrik (I) yang berkembang di kawasan etnik Makassar (Rosmawati, 2013: 381-382. Sejalan dengan pendapat tersebut, Duli, et.al. (2013: 281) mengatakan, “Peranan Kerajaan Gowa sangat dominan dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan, menyebabkan perkembangan budaya awal Islam di daerah tersebut banyak mendapat pengaruh budaya Makassar, seperti bentuk-bentuk jirat dan nisan makan. Ketika budaya nisan makam berciri Makassar masuk memengaruhi budaya etnik yang lain, muncullah varian nisan makam yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kreativitas masyarakat setempat. 3) Nama Daeng (Pakdaengang) Dalam masyarakat Makassar dikenal pakdaengang. Yang dimaksud pakdaengan adalah proses pemberian nama kedua kepada seseorang, baik sebagai gelar kebangsawanan, sebagai penghormatan maupun sebagai nama sapaan dalam interaksi sosial sehari-hari masyarakat Makassar. Secara tradisional pemberian pakdaengang berdasarkan pertimbangan stratifikasi sosial masyarakat Makassar. Strafikasi sosial yang berhak menyandang pakdaengang hanya di kalangan bangsawan sebagai 12 identitas dalam sistem sosial masyarakat Makassar. Misalnya, I Tajibarani Daeng Marumpa, Karaeng Data “Tunibatta”, Raja Gowa XI (1565); dan I Mappadulung Daeng Mattimung, Karaeng Sanrobone, Sultan Abd. Jalil, Tumenanga ri Lakiung, Raja Gowa XIX (1677-1709). Selanjutnya, pemberian pakdaengang mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan sosiokultural masyarakat Makassar. Nama pakdaengang biasa diberikan kepada tokoh-tokoh yang berasal dari luar negeri atau pun dalam negeri yang mengunjungi Ballak Lompoa (istana Raja Gowa) sebagai tamu terhormat. Nama Daeng (pakdaengang) yang diberikan kepada tokoh tersebut sebagai gelar kehormatan dan sebagai simbol tali ikatan kekerabatan keluarga besar Raja Gowa. Misalnya, Gubernur Cafe Town, Afrika Selatan, Ibrahim Rasul Daeng Mangunjungi; Dato’ Sri Mohd. Najib bin Tun Haji Abdul Razak Daeng Mattimung. Selain itu, ada seorang perempuan dari Amerika bernama Barbara diberi gelar kehormatan (pakdaengang) Daeng Singara menjadi Barbara Daeng Singara. Beliau diberi gelar pakdaengang karena berjasa dalam pengembangkan aksara lontarak Makassar dalam bentuk digital (komputerisasi). Selanjutnya, dalam dunia modern seperti sekarang ini, suasana demokratis mewarnai interaksi sosial masyarakat Makassar sehingga penggunaan pakdaengang tidak lagi berdasarkan pertimbangan sosiokultural. Dalam pergaulan sehari-hari banyak orang menggunakan pakdaengang (Daeng) sebagai nama sapaan. Barangkali sebagai konsekuensi dari perwujudan julukan Kota Makassar sebagai “Kota Daeng”. Mereka saling menyapa nama dengan sapaan Daeng seperti Daeng Naba, Daeng Becak, Daeng Mansyur. Selain itu, penggunaan pakdaengang sebagai wujud pengintegrasian diri dalam komunitas etnik Makassar tanpa memahami sistem sosiokultural yang berlaku dalam budaya Makassar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nama Daeng merupakan kekhasan budaya masyarakat Makassar, baik sebagai gelar kebangsawanan, gelar kehormatan maupun sebagai nama sapaan dalam interaksi sosial 13 sehari-hari. Adapun dalam masyarakat Bugis dikenal Andi sebagai gelar kebangsawanan. Misalnya, Andi Mappatjukki; Andi Akhmar; Andi Mappadjantji. Perlu ditambahkan di sini bahwa secara leksikal kata daeng dalam bahasa Makassar dapat berarti ‘kakak’. Kata daeng yang berarti ‘kakak’ dapat dilihat pada kalimat seperti “kemai daengku? (di mana kakakku?. Adapun dalam bahasa Bugis dikenal kata andi dan andik atau anrik. Kata andi sebagai nama gelar kebangsawanan, sedangkan kata andik atau anrik berarti ‘adik’. 4). Kesenian Dalam masyarakat Makassar dikenal beberapa kesenian tari, salah satunya, yakni tari pepek-pepek ri Makka ‘tari bermain api’. Tarian ini biasanya ditampilkan pada acara-acara rakyat seperti upacara hajatan, sunatan, dan perkawinan. Tarian ini dilakonkan oleh beberapa laki-laki tua dan muda. Para pemain memegang obor yang sudah berapi, lalu mengarahkan api tersebut ke tubuh temannya atau dirinya sendiri, bahkan tidak jarang mereka mengundang penonton untuk masuk ke arena permainan lalu disulut lengannya. Anehnya orang yang disulut sama sekali tidak merasa kepanasan atau pun melepuh kulitnya. Penarinya berputar-putar sambil melakukan gerakan-gerakan jenaka untuk mengundang tawa para penonton. Misalnya, ada penari yang meniru gerakan seekor kera, berjalan terpincang-pincang, menggeleng dan menganggukkan kepala sambil menjulurkan lidah bagai orang kepedasan. 4. Penutup Dari uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan: (1) makna kata Mangkasarak (Makassar) secara kultural memiliki sifat atau karakter selalu tegas, transparan, berterus terang sebagaimana di bibir begitu pula di hati. Namun, orang lain sering salah menafsirkan dan menganggap agak kasar; (2) etnik Makassar adalah salah satu etnik yang tetap eksis di 14 Sulawesi Selatan dengan kekhasan budaya yang dimilikinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa etnik Makassar bukan subordinasi dari etnik Bugis sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang selama ini dengan sebutan Bugis Makassar. DAFTAR PUSTAKA Basang, Djirong. 1988. Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: CV Alam. Beals and Hoijen dalam id.ana.wikia.com/wiki/antropologi (diakses 13/10/2015). Bakyr, Haji Dato Paduka Haji Mahmud bin, dkk. 2003. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka. Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Christomy dan Yuwono (Ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, UI. Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik. Bandung: PT Eresco. Duli, Akin. 2014. xxxxx htp://hedisasrawan.blogspot.com/2014/01/04-pengertian-sejarah-menurut-para ahli. html ipskreatf.pun.bz/pengertian antropologi (diakses 13/10/2015). Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusamedia. Manyambeang, Abd. Kadir. 1996. “Lontaraq Riwayaqna Tuanta Salamaka ri Gowa: Suatu Analisis Linguistik Filologi”. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Mattulada. 1991. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. 15 ________. 1997. Kebudayaan, Kemanusiaan, dan Lingkungan Hidup. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. nurdewieryanti.blogspot.co.id/2013/06/antropologi.html (diakses 13/10/2015). Rosmawati.2015. Tamadun xxxx Sujarwa. 2005. Manusia dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Udin, Syahlinar, dkk. 1977. Rasionalisasi Mitos dan Sastra Drama Karya Wisran Hadi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, DEPDIKBUD. Verhaar, J.W.M. 1978. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wahid, Hj. Sugira. 2007. Manusia Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi. 16