Convert JPG to PDF online - Unlam Repository

advertisement
PENGENDALIAN PENYAKIT PADA TANAMAN
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN
Prosiding Seminar Nasional
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Joglosemar
Dan
Universitas Gadjah Mada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSTAS GADJAH MADA
2015
i
PENGENDALIAN PENYAKIT PADA TANAMAN PERTANIAN
RAMAH LINGKUNGAN
PENULIS
Arif Wibowo
ISBN
978-602-71784-0-3
Dewan Redaksi
Achmadi Priyatmojo
Tri Joko
Suryanti
Ani Widiastuti
Redaksi Pelaksana
Norman Yudi Nugroho
Utami Handayani
Ahmad Khoirudin Asrofi
Andika Febrianto
PENERBIT
PERHIMPUNAN FITOPATOLOGI INDONESIA
REDAKSI
Jl. Flora No.1, Bulaksumur, Yogyakarta,
55281 Telp/Fax (0274) 523926,
E-mail : [email protected]
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena telah memberi
rahmat
dan
karunianya
sehingga
pada
kesempatan
ini
Perhimpunan
Fitopatologi Indonesia dapat melaksanakan Seminar Nasional dengan topik
“Pengendalian Penyakit Pada Tanaman Pertanian Yang Ramah Lingkungan”
Seminar Nasional ini disamping bertujuan sebagai media pertemuan antar
peneliti di bidang Fitopatologi di seluruh Indonesia dalam menyebar-luaskan
hasil penelitiannya juga dimaksudkan sebagai media informasi kepada
masyarakat umum untuk mengetahui teknik-tenik yang terbaru dalam
pengelolaan penyakit tumbuhan yang ramah kepada lingkungan.
Pelaksanaan Seminar Nasional kali ini dihadiri oleh lebih dari 150
peserta dari berbagai institusi di Indoneia yang membawakan 73 makalah dari
berbagai bidang keahlian yaitu mikologi, bakteriologi, virologi, nematologi serta
pengendalian penyakit.
PFI berharap agar di masa mendatang Seminar Nasional ini dapat
dilaksanakan secara rutin dengan mengusung topik yang berbeda yang
merupakan permasalahan nasional dibidang Fitopatologi.
Yogyakarta, 20 September 2014
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................... i
Kata Pengantar .............................................................................................. iii
Daftar Isi ......................................................................................................... iv
1.
Pengendalian Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan
dengan Penerapan Prinsip Epidemiologi
manfaat
(Suatu telaah
pengendalian penyakit tanaman yang ramah
lingkungan)
Bambang Hadisutrisno ........................................................................ 1
2.
Pengelolaan Kesehatan Benih Kentang Guna Mendukung
Sistem Produksi yang Optimal dan Ramah Lingkungan
Baharuddin ........................................................................................... 13
3.
Peranan Faktor Lingkungan Terhadap Penyakit Hawar Daun
Bakteri (Xanthomonas axonopodis pv. allii) Pada Tanaman
Bawang Merah
Asrul, Bambang Hadisutrisno, Triwidodo Arwiyanto dan
Jaka Widada ......................................................................................... 15
4.
Komposisi Dan Sebaran Patotipe Xanthomonas oryzae pv.
oryzae Penyebab Penyakit Hawar Daun Bakteri Di Sentra
Produksi Padi Di Provinsi Jawa Tengah Dan Daerah
Istimewa Yogyakarta
Dini Yuliani dan Sudir .......................................................................... 26
5.
Waktu Aplikasi Dan Jenis Bakterisida Terhadap Keparahan
Penyakit Hawar Daun Bakteri Dan Hasil Padi
Dini Yuliani dan Sudir .......................................................................... 36
6.
Kajian Penggunaan Biorasional Untuk Mengendalikkan
Hawar Daun Bakteri (HDB) Padi
Agus Nurawan dan Nandang Sunandar ............................................. 48
iv
7.
Pemanfaatan
Bakteriofage
Asal
Daun
Kubis
Untuk
Mengendalikan Penyakit Busuk Hitam Kubis
Mukhamad Kurniarrokhman, Sri Widadi dan Supyani ...................... 55
8.
Pemanfaatan
Bakteriofage
Tanah
Indigenus
Sebagai
Pengendali Busuk Hitam Kubis
Neny Saputri, Sri Widadi dan Supyani ............................................... 62
9.
Karakter Bacillus subtilis B315 sebagai antibakteri Ralstonia
solanacearum dan antijamur Colletotrichum sp.
Nur Prihatiningsih dan Heru Adi Djatmiko......................................... 70
10. Intersepsi Temuan OPTK A1 dan A2 pada Ekspor Impor
Komoditas Hasil Pertanian Melalui BBKP Surabaya Tahun
2014
Purwati .................................................................................................. 79
11. Peningkatan Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit
Virus Kuning Melalui PGPR (Plant Growth Promoting
Rhizobacteria)
Dari
Agensia
Hayati
Pseudomonas
fluorescens Dan Trichoderma harzianum
Sri Murtiati dan Hairil Anwar ............................................................... 88
12. Formulasi
Pseudomonad
fluorescens
Pf-122
dan
Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai Cabai
Yenny Wuryandari, Sri Wiyatiningsih dan Maruto ............................ 98
13. Kunci Identifikasi Mobil Untuk Spesies Pratylenchus filipjev,
1936 (Nematoda: Pratylenchidae)
Abdul Gafur .......................................................................................... 109
14. Keefektifan Fungi Mikoriza Arbuskular Dan Gliocladium
fimbriatum
Dalam
Mencegah
Busuk
Pangkal
Batang
(Botryodiplodia theobromae) Pada Jeruk
Almira Pintari Supraba dan Meity Suradji Sinaga ............................. 116
v
15. Pengaruh Aplikasi Jamur Mikoriza Arbuskular terhadap
Penurunan Perkembangan Penyakit pada Bibit Tebu
Ambar Swastiningrum dan Bambang Hadisutrisno ......................... 130
16. Pengaruh Kombinasi Cara Pengairan Dan Tipe Varietas Padi
Terhadap Keparahan Penyakit Hawar Upih
Bambang Nuryanto, Achmadi Priyatmojo, Bambang
Hadisutrisno, dan Bambang Hendro Sunarminto ............................. 137
17. Analisis Populasi Nematoda Parasit Pada Lahan Tanaman
Tomat Dengan Sistem Tanam Monokultur Dan Polikultur
Ankardiansyah Pandu Pradana, Diana Putri dan Abdul
Munif ..................................................................................................... 147
18
Peningkatan Daya Antagonis Dengan Penambahan Gulma
Sebagai Media Aplikatif
Ismed Setya Budi ................................................................................. 156
19. Peningkatan Kualitas Mikroba Indiginous Lahan Basah Sub
Optimal
Untuk
Pertumbuhan
Kelapa
Sawit
Dan
Pengendalian Penyakit Fase Pre Nursery
Jamzuri Hadie Dan Ismed Setya Budi ................................................ 165
20. Penggunaan Varietas Tahan Dalam Pengelolaan Penyakit
Hawar Daun Bakteri Dan Blas Dalam Sistem Usaha Tani
Padi
Ida Bagus Kade Suastika dan A.A.N.B. Kamandalu ......................... 174
21. Pengendalian Penyakit Layu Pisang Pada Tanaman Pisang
(Musa paradisiaca, Linn) Melalui Penerapan Budidaya
Tanaman Sehat Dengan Metode Pengendalian Hama
Terpadu
(PHT)
Di
Kabupaten
Tanah
Datar
Provinsi
Sumatera Barat
Enie Taurslina Amarullah, Azwar dan Enwidarti ............................... 186
vi
22. Pengaruh Aplikasi Fungisida Berbahan Aktif Metalaksil Dan
Dimetomorf Terhadap Fisiologi Tanaman Jagung Dan
Penyakit Bulai
Muji Winarno dan Christanti Sumardiyono........................................ 198
23. Kajian Dampak Penggunaan Pestisida Pada Bawang Merah
Terhadap Residu Yang Ditimbulkannya
Renny Utami Somantri, Kgs. Abdul Kodir, Syahri dan
Sidiq Hanapi ......................................................................................... 204
24. Deteksi Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)
Pada Tanaman Solanaceae Dengan Teknik PCR
Siti Halimah .......................................................................................... 213
25. Kajian Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Petani PadiIrigasi
Dalam Menggunakan Pestisida (Kasus: Desa Srikaton, Kec.
Buay Madang Timur, Kab. Oku Timur
Syahri, Renny Utami Somantri dan Sidiq Hanapi.............................. 221
26. Uji Metode Inokulasi Pada Bawang Merah Dengan Fusarium
spp.
Ayu Lestiyani, Arif Wibowo dan Siti Subandiyah .............................. 230
27. Ketahanan
Tomat
Terimbas
Asam
Fusarat
Terhadap
Fusarium oxysporum Pada Tiga Lokasi Dengan Ketinggian
Berbeda
Abdul Azis Ambar dan Nur Ilmi .......................................................... 238
28. Uji Antagonisme Cendawan Endofit Terhadap Ganoderma
Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Kelapa
Sawit
Lisnawita, Hamidah Hanum dan Ahmad Rafiqi Tantawi ................... 244
vii
29. Kajian Induced Resistance Anggrek Phalaenopsis amabilis
secara In Vitro terhadap Fusarium oxysporum penyebab
Penyakit Busuk Daun
R.Soelistijono, A, Priyatmojo dan D.S. Utami .................................... 253
30. Pengendalian Penyakit Hawar Pelepah dengan Trichoderma
sp. Pada Sistem Tanam Padi Loka lLahan Rawa
Mariana ................................................................................................. 261
31
Identifikasi Galur Planlet Vanili (Vanilla planifolia Andrews)
ResistenTerhadap Infeksi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
Hasil Seleksi In Vitro Dengan Asam Fusarat
Endang Nurcahyani, Bambang
Hadisutrisno, Issirep
Sumardi dan E. Suharyanto ................................................................ 272
32. Effect Of Binucleate Rhizoctonia And Stem Rot (Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae) of
Vanilla (Vanilla planifolia
Andrews) At Andisol Soil
Haryuni ................................................................................................. 280
33. Pengujian
Harapan
Ketahanan
Cabai
Merah
Varietas
Komersial
Terhadap
Penyakit
Dan
Galur
Antraknos
(Colletotrichum spp) Skala Laboratorium
Ineu Sulastrini, T.S Uhandan dan R Kirana ....................................... 293
34. Evaluasi Ketahanan Varietas/Galur Harapan Bawang Merah
Terhadap Penyakit Embun Bulu (Peronospora destructor) Di
Lapangan
Ineu Sulastrini dan Iteu M. Hidayat..................................................... 299
35. Seleksi In Vitro Jamur Endofit Yang Berpotensi Sebagai
Agen Biokontrol Jamur Fusarium oxysporum f. sp. cubense
Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang
Jumsu Trisno , Suardi Gani, dan Yuda Pratama ............................... 307
viii
36. Pengaruh Pupuk Hayati Terhadap Perkembangan Penyakit
Layu Fusarium Pada Tomat
Marlina Puspita Sari, Bambang Hadisutrsisno dan Arif
Wibowo ................................................................................................. 314
37. Kajian Ekologi Jamur Mycosphaerella spp. Penyebab
Penyakit Sigatoka Pada Tanaman Pisang Secara In Vitro
Rabiyatul Adauwiyah, Mariana dan Ismed Fachruzi ......................... 322
38. Penyakit Virus Bunchy Top Pada Tanaman Pisang, Virulensi
Dan Cara Pengendaliannya
Yulianto ................................................................................................. 331
39. Deteksi Dan Evaluasi Serangan Penyakit Grapevine Fanleaf
Virus (GFLV) Pada Sepuluh Varietas Anggur Yang Ditanam
Bersama Kenikir (Tagetes erecta)
Sri Widyaningsih dan M.E. Dwiastuti ................................................. 339
40. Ketahanan Beberapa Varietas Dan Plasmanutfah Padi
Terhadap Penyakit Virus Kerdil Rumput Dan Effektivitasnya
Sebagai Sumber Inokulum
Suprihanto, Susamto Somowiyarjo, Sedyo Hartono dan
Y. Andi Trisyono .................................................................................. 348
41. Penggunaan Mikovirus Sebagai Agens Pengendalian Hayati
Penyakit Jamur Pada Tanaman
Supyani, H.S.Gutomo, dan Sri Widadi ............................................... 357
ix
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pengendalian Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan dengan
Penerapan Prinsip Epidemiologi
Suatu telaah manfaat pengendalian penyakit tanaman yang ramah
lingkungan
Bambang Hadisutrisno1 dan Didik Setyo Heriyanto2
1) Laboratorium Mikologi Pertanian-Fakultas Pertanian UGM
2) Bagian Patologi Anatomi-Fakultas Kedokteran UGM
Intisari
Kecepatan pertambahan penduduk yang lebih tinggi daripada kecepatan
pertambahan produksi pangan, ditambah lagi dengan realita ketahanan pangan
Indonesia di kawasan Asean yang cukup rendah (skor di atas 25 dikategorikan
lemah, dan Indonesia skornya 66), memusatkan perhatian masyarakat untuk
meningkatkan produksi pangan, baik kuantitas maupun kualitas. Permasalahanpermasalahan yang menyebabkan menurunnya atau rendahnya produksi dicari
solusi pemecahannya, termasuk masalah tidak tercapainya sasaran target oleh
adanya gangguan hama dan penyakit. Kenyataan ini memicu masyarakat untuk
melakukan berbagai usaha dalam menekan gangguan hama dan penyakit
tanaman. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di lapangan pengendalian penyakit
tanaman masih banyak yang bertumpu dengan penggunaan pestisida, padahal
dampak pestisida terhadap risiko kesehatan manusia cukup besar. Dengan
memperhatikan dampak negatif pestisida terhadap kesehatan ini, maka
pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan dengan meminimalkan
penggunaan pestisida, mutlak diperlukan. Pertanaman yang bersifat pertanian
univarietas atau monokultur seperti tanaman perkebunan mempunyai risiko tinggi
mendapat gangguan penyakit tanaman, tetapi dilihat dari lingkungan dan
ekosistemnya, pengendalian penyakit yang ramah lingkungan dengan
pemanfaatan agens pengendali hayati pada tanaman perkebunan lebih baik
dibandingkan penggunaan pestisida kimiawi. Dalam manajemen pengendalian
penyakit tumbuhan, perlu penerapan strategi dan taktik. Secara epidemiologis,
strategi yang dapat dilakukan adalah mengurangi inokulum awal, mengurangi laju
infeksi, dan mengurangi lamanya epidemi, sedangkan taktik yang dapat digunakan
adalah ekslusi, avoidan, eradikasi, proteksi, resistensi dan terapi. Baik strategi
maupun taktik dalam pengendalian dapat dilakukan dengan berbagai cara yang
tidak harus mengandalkan penggunaan pestisida kimiawi. Pemanfaatan jamur
mikoriza arbuskular yang unggul dan legal dapat disarankan untuk dicoba, karena
1
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
selain sebagai pupuk hayati beberapa di antaranya berpotensi sebagai agens
pengendali hayati.
Pendahuluan
Dalam masyarakat modern di era globalisasi ada 3 prinsip yang dianut oleh
masyarakat terkait dengan pola makan, yaitu cepat, tepat dan selaras dengan
selera. Kebiasaan serba cepat efisen dan efektif dalam setiap langkah,
mengharuskan manusia untuk bersikap demikian. Namun, tanpa disadari pola
makan yang demikian itu mengandung risiko besar bagi kesehatan, terutama
peluangnya untuk terkena berbagai macam penyakit degeneratif, seperti jantung,
kanker, dan stroke. Pola makan yang benar agar terhindar dari penyakit defisiensi
dan penyakit degeneratif yaitu jumlah karbohidrat yang dikonsumsi ≥ 70% total
kebutuhan kalori, jumlah lemak yang dikonsumsi < 30% total kalori yang terdiri <
10% asam lemak jenuh, 10% asam lemak tidak jenuh tunggal dan >10% asam
lemak tidak jenuh ganda. Penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan
kanker, sekarang ini merupakan pembunuh yang ke-2 atau ke-3. Mengkonsumsi
produk pertanian yang mengandung residu pestisida, merupakan salah satu
penyebab terkena oleh penyakit degeneratif di atas.
Memang harus disadari bahwa, kehilangan hasil akibat penyakit tanaman
rata-rata mencapai 11,8% dan karena hama mencapai 12,2 % pada berbagai
tanaman penting di seluruh dunia. Kehilangan hasil akibat gangguan penyakit
pada tanaman padi rata-rata mencapai 15,1 % dari potensi hasilnya. Tidak
disangkal lagi masyarakat berusaha mengurangi terjadinya kehilangan hasil
tersebut dengan melakukan berbagai cara pengendalian. Realita di lapangan,
pengendalian penyakit tumbuhan masih lebih bertumpu pada penggunaan
fungisida, baik secara terjadwal maupun tergantung kondisi cuaca. Pemilihan
varietas tanaman oleh petani lebih berorientasi pada produksi dan permintaan
pasar, bukan karena ketahanannya terhadap organism pengganggu tanaman
(OPT). Belum banyak petani yang membuat perencanaan pengelolaan OPT mulai
awal sebelum dilakukan praktek penanaman.
Panitia meminta penulis untuk menyampaikan materi dengan topik
Pengendalian Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan, suatu judul yang
menarik, tetapi sesederhana itukah dalam aplikasinya di masyarakat? Bagaimana
petani melakukan penyemprotan fungisida bawang merahnya bila terkena penyakit
bercak ungu atau antraknose? Perlakuan oleh masyarakat untuk kentang di
lapangan bila terkena potato blight? Meskipun
disadari bahwa pestisida
berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Dengan
menguraikan dampak negatif pestisida bagi kesehatan manusia, akan menjadi
2
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
daya-dorong tersendiri untuk mau melakukan pengendalian penyakit tumbuhan
yang ramah lingkungan.
Dampak pengendalian kimiawi terhadap kesehatan manusia
Pestisida yang digunakan dalam pengendalian kimiawi dapat berdampak
pada lingkungan, kesehatan manusia dll., namun dalam makalah ini yang akan
dikemukakan adalah
dampak pestisida
terhadap kesehatan manusia.
Beberapa contoh dampak pestisida terhadap kesehatan manusia, dapat
dikemukakan seperti berikut ini.
Pestisida Menyebabkan Kemandulan
Salah satu pestisida adalah atrazine, yaitu herbisida yang banyak
digunakan di lahan tebu dan sering terdeteksi dalam air keran. Para ilmuwan
dan dokter mengemukakan bahwa pestisida ini meningkatkan risiko keguguran
dan kemandulan, melalui penurunan kualitas dan mobilitas sperma.
Bahaya Pestisida Pada Kehamilan, Bayi, dan Anak
Ibu hamil yang mengkonsumsi produk pertanian yang mengandung
residu pestisida tinggi, dapat menyebabkan bayi yang dikandungnya menderita
cacat lahir, seperti spina bifida, bibir sumbing, kaki pengkor, dan sindrom down.
Untuk memperkecil risiko, ibu hamil harus selektif dalam mengkonsumsi
makanan dan minuman.
Paparan pestisida selama 3 bulan sebelum konsepsi dan selama
kehamilan akan meningkatkan risiko keguguran spontan pada ibu hamil. Selain
itu, bayi yang dilahirkan berisiko terkena leukimia dan kecerdasannya dapat
terganggu. Bila terpapar pestisida sejak awal kehamilan akan berpengaruh
pada pembentukan janin dalam kandungan. Residu pestisida dapat
meningkatkan risiko kelainan bawaan tertentu selama perkembangan janin.
Apalagi selama perkembangannya janin belum mampu mendetoksifikasi racun
yang ada, sementara otak dan system saraf sendiri masih terus berkembang
sampai anak berusia 12 tahun.
Pada anak, paparan pestisida dapat menurunkan stamina tubuh,
perhatian, dan daya konsentrasi. Begitu pun memori dan koordinasi
tangan-mata yang terganggu, serta semakin besar kesulitan anak dalam
membuat gambar atau garis sederhana. Anak yang terpapar residu pestisida
sejak balita, ketika menginjak usia SD kecerdasannya akan menurun. Hasil
penelitian yang dilakukan di Meksiko terhadap anak yang mengkonsumsi
anggur disemprot pestisida dan yang tidak disemprot pestisida, menunjukkan
perbedaan kognitif yang signifikan. Pestisida ini dari jenis fungisida dalam
upaya mengendalikan penyakit mildew yang disebabkan oleh Plasmopara
viticola.
3
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pengaruh Pestisida Terhadap Perubahan Hormon
Paparan pestisida dalam tubuh secara terus-menerus dalam waktu sekitar
20-30 tahun akan menyebabkan perubahan hormonal dan system reproduksi.
Pada anak laki-laki diistilahkan dengan demasculinisation, yaitu hilangnya sifatsifat maskulin, sementara pada anak perempuan diistilahkan dengan
defeminisasion. Anak mengalami perubahan orientasi seksualnya.
Pestisida Menyebabkan Diabetes
Bertahun-tahun ilmuwan percaya ada hubungan antara diabetes dengan
pestisida. Menurut jurnal yang diterbitkan di Diabetes Care, orang yang mengalami
kelebihan berat badan dan dalam tubuhnya terdapat pestisida golongan
organoklorin berisiko tinggi terkena diabetes. Untuk menghindarinya, konsumsi
makanan organik dan hindari penyegar udara kimia dan produk-produk artifisial
yang beraroma. Tanaman yang dipupuk dan dikendalikan terhadap gangguan
dengan pupuk dan pestisida organik, akan menghasilkan produk pertanian
organik.
Pestisida Menyebabkan Kanker
Pestisida cukup erat hubungannya dengan kanker. Lebih dari 260 pestisida
berkaitan dengan beragam jenis kanker seperti limfoma, leukemia, sarcoma,
jaringan lunak, otak, kanker hati, dan kanker paru-paru. Kanker timbul akibat
kerusakan genetik yang berdampak tidak terkendalinya pertumbuhan sel.
Kerusakan genetik tersebut dapat disebabkan faktor lingkungan eksternal, seperti
infeksi virus, bahan makanan, zat kimia/obat-obatan, faktor internal seperti efek
genetik. Faktor lingkungan seperti kebiasaan makan (makanan awetan, ikan asin,
makanan siap saji, pemanis dan pengawet), gaya hidup (rokok, alkohol, dan
kebiasaan lainnya), dan kebersihan, sangat besar pengaruhnya terhadap
timbulnya kanker.
Pestisida menyebabkan Obesitas
Kadang-kadang pestisida bertindak sebagai hormon palsu dalam tubuh.
Hormon ini mengganggu kemampuan tubuh untuk mengatur pengeluaran hormon
yang sehat. Menurut penelitian yang dimuat jurnal Environmental Health
Perspectives, lebih dari 50 jenis pestisida diklasifikasikan sebagai pengganggu
hormon, di antaranya dapat memicu sindrom metabolik dan obesitas.
4
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pestisida Menyebabkan Parkinson
Penyakit gangguan degeneratif sistem saraf pusat atau yang sering
mengganggu penderita dalam keterampilan motorik, pidato atau Parkinson sangat
berhubungan dengan paparan pestisida. Penelitian yang dilakukan menunjukkan
penyakit ini berkaitan erat dengan paparan pestisida dalam jangka waktu yang
panjang.
Dari uraian di atas tampak bahwa pestisida, yang meliputi fungisida,
insektisida, herbisida dan racun pengganggu yang lain mempunyai dampak atau
risiko yang tinggi bagi kesehatan manusia. Dalam kaitannya dengan pengendalian
penyakit tanaman, sudah selayaknya harus dicari alternatif lain yang tidak
mengandalkan pestisida, dengan memperhatikan taktik dan strategi pengendalian.
Setelah mengetahui dampak pestisida terhadap kesehatan manusia, maka perlu
dibahas Filosofi Pengelolaan (Manajemen) Penyakit Tanaman.
Filosofi Pengelolaan Penyakit Tanaman
Untuk mencegah terjadinya epidemi penyakit tanaman, perlu diperhatikan
taktik dan strategi pengendaliannya. Secara epidemiologi, dengan menggunakan
peubah (variabel) populasi inokulum awal (xo), dan laju infeksi (r), dapat disusun
konsep strategi pengendaliannya.
Pestisida dalam Pengendalian Penyakit
Jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam pengendalian penyakit
tumbuhan, sangat bervariasi, misalnya.:
1. Fungisida yang digunakan untuk jamur jumlahnya cukup banyak
2. Nematisida untuk nematoda beberapa saja
3. Bakterisida untuk bakteri beberapa saja
4. Algisida untuk Algae sangat sedikit jumlahnya
5. Racun untuk Tanaman Tinggi Parasit (?)
6. Protozoisida (?)
7. Virisida (?)
8. Viroisida (?)
9. Fitoplasmasida (?)
10. Riketsiasida (?)
Data kuantitatif jenis pestisida yang digunakan sulit dikemukakan, karena
setiap saat banyak berubah, namun sebagai perbandingan antar jenis pestisida,
data kualitatif di atas dapat digunakan.
5
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Sistem Pertanian Berkelanjutan dan Pengendalian Hama Terpadu
Dalam pertanian berkelanjutan, ada tiga indikator besar yang harus
dipenuhi, yaitu:
1. Lingkungannya lestari,
2. Ekonomi masyarakat (petani) nya meningkat, dan
3. Secara sosial diterima oleh masyarakat petani.
Agar suatu kegiatan pertanian dapat dikategorikan pertanian berkelanjutan, maka
ketiga indikator tersebut harus terpenuhi.
Seharusnya dengan menerapkan Pengendalian “Hama” Terpadu,
pengertian pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan sudah
tercakup di dalamnya, karena antara Sistem Pertanian Berkelanjutan dan
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) saling berkaitan. Sasaran PHT adalah:
1. Produktivitas pertanian yang mantap dan tinggi,
2. Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat,
3. Populasi OPT dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada
pada aras yang secara ekonomis tidak merugikan, dan
4. Pengurangan risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida.
Dari uraian yang dikemukakan di muka dapat diketahui bahwa
pengendalian penyakit tumbuhan yang bertumpu pada penggunaan pestisida
kimiawi, mempunyai risiko yang besar terhadap pencemaran lingkungan dan
terjadinya penyakit-penyakit degeneratif pada manusia. Penerapan pengendalian
penyakit tumbuhan yang berporos pada PHT merupakan pengendalian yang
ramah lingkungan, dan dapat menekan timbulnya beberapa penyakit degeneratif
seperti yang diuraikan di muka. Bagaimana realita dan pelaksanaannya di
lapangan? Penulis mencoba membahasnya dengan pendekatan epidemiologis,
suatu ilmu yang penulis tekuni.
.
Prinsip Pengelolaan Penyakit Tumbuhan
Untuk mengelola penyakit tumbuhan secara berkesinambungan, maka
diperlukan strategi dan taktik pengendalian.
1. Strategi
Strategi adalah ilmu dan seni yang menggunakan semua sumber daya
untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu, atau rencana yang cermat mengenai
kegiatan untuk memecahkan masalah khusus. Jadi strategi merupakan tindakan
yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah yang sifatnya jangka panjang.
Ada tiga strategi yang dapat dilakukan, yaitu:
a.. Strategi untuk mengurangi inokulum awal (Xo)
b. Strategi untuk mengurangi laju infeksi (r), dan
c. Strategi untuk mengurangi lamanya epidemi (t)
6
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Untuk inokulum awal (Xo) dan laju infeksi (r), istilah mengurangi sering diganti
menekan, sedangkan untuk waktu atau lamanya epidemi (t) diganti memodifikasi
lama epidemi.
2. Taktik
Taktik adalah tindakan yang bersistem untuk mencapai tujuan atau mengatasi
masalah dan merupakan pelaksanaan strategi, sehingga taktik sifatnya jangka
pendek Taktik pengendalian penyakit tumbuhan pada prinsipnya ada enam, yaitu:
a. ekslusi,
b. avoidan,
c. eradikasi,
d. proteksi,
e. resistensi, dan
f. terapi.
Keenam taktik pengendalian di atas akan dibahas dalam penerapan prinsip
epidemiologi dalam pengendalian penyakit tumbuhan.
Penerapan Prinsip Epidemiologi dalam Pengendalian
1. Ekslusi (Exclusion) untuk menekan inokulum awal (Xo)
Ekslusi dianggap sebagai
tindakan pertahanan pertama dalam
manajemen penyakit terpadu. Konsep ini cukup sederhana yaitu menjaga
patogen keluar dari lahan produksi tanaman sehingga inokulum awal (Xo)
disimpan di nol. Ekslusi sering pula diartikan sebagai mencegah masuknya
inokulum.
2. Penghindaran (Avoidance) untuk menekan Xo dan menurunkan t
Jika ancaman penyakit tidak dapat dicegah keluar dari lahan produksi
tanaman dengan ekslusi, maka dilakukan usaha untuk menghindari risiko
penyakit dalam bentuk Xo yang sangat rendah. Mencegah terjadinya penyakit
dengan memilih waktu tanam, memilih lokasi, atau memilih lingkungan yang
tidak mendukung infeksi, dapat pula dikategorikan penghindaran. Prinsip
pengelolaan penyakit seperti ini dikenal sebagai penghindaran, didefinisikan
sebagai penggunaan taktik manajemen dengan menghindari daerah
penanaman yang memiliki risiko penyakit tinggi.
Penghindaran dapat juga untuk mempengaruhi t yakni dengan memilih
waktu, musim, atau tempat dengan jumlah inokulum penyakit rendah atau
memilih tempat yang memiliki lingkungan tidak mendukung infeksi.
7
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
3. Eradikasi (Eradication) untuk menekan Xo dan menurunkan r
Eradikasi yaitu suatu praktek mengurangi inokulum awal (Xo) pada
sumbernya. Contoh tindakan eradikasi adalah tindakan pembenaman,
pembakaran, atau penghilangan sisa-sisa tanaman sakit di lapangan.
Menghilangkan gulma dan tanaman inang alternatif yang berfungsi sebagai
sumber inokulum awal di lokasi lapangan, termasuk tindakan eradikasi.
Tindakan eradikasi seperti ini selain menekan Xo dapat juga menekan r.
Praktek-praktek lain yang mengurangi inokulum awal antara lain rotasi
tanaman, penggunaan agens pengendalian hayati, fumigasi tanah, sterilisasi
uap atau pasteurisasi, solarisasi, dan penggunaan pupuk hijau. Praktekpraktek ini mengurangi jumlah inokulum awal dalam tanah.
4. Proteksi (Protection) menekan Xo dan menekan r
Ketika patogen tanaman tidak dapat diekslusi, ditekan, atau dihindari,
maka tindakan berikutnya terhadap patogen adalah "Proteksi", yaitu taktik
yang memberikan penghalang fisik atau kimia untuk melindungi tanaman.
Taktik ini seperti umumnya mengurangi inokulum awal, tetapi perlindungan
diarahkan pada titik infeksi tanaman (yaitu perlindungan dari serangan infeksi
potensial), dan tidak langsung pada sumber inokulum di lapangan. Contohnya
adalah perlakuan benih, dan penggunaan mulsa plastik. Penggunaan mulsa
plastik dalam budidaya melon ternyata cukup menarik. Penutupan mulsa yang
semula bertujuan untuk menekan gulma, ternyata juga dapat menekan laju
infeksi penyakit busuk Fusarium, salah satu penyakit utama pada melon dan
cucurbitacae lainnya. Hal terakhir ini menunjukkan bahwa penggunaan mulsa
plastik, melalui pengaruh tidak langsung yaitu mengaktifir jasad antagonistik
dapat menekan laju infeksi (r). .
5. Ketahanan (Resistance)
Maksudnya adalah penggunaan varietas tahan. Resistensi atau ketahanan
inang umumnya mempengaruhi inokulum awal dengan menekan Xo ke nilai
nol atau hampir nol, atau menekan laju infeksi (r). Ketika Xo mendekati nol,
maka epidemi tidak dapat berkembang. Ketahanan dapat berperan sebagai
berikut:
a. Ketahanan menekan inokulum awal (Xo)
Ketika ketahanan kultivar atau varietas inang, efektif dalam menekan
inokulum awal hingga nol untuk beberapa jenis (ras) patogen tetapi
terbatas, maka kemudian ketahanan tersebut didefinisikan sebagai
"strain-spesifik".
8
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
b.Ketahanan menekan laju infeksi (r)
Ketahanan tanaman inang mengurangi laju infeksi atau laju
perkembangan penyakit (r) dapat memiliki manfaat luar biasa dalam
mengurangi risiko penyakit, dan secara tidak langsung akan
meningkatkan hasil.
c.Ketahanan inang mempengaruhi waktu (t)
Penggunaan kultivar/varietas mengurangi periode waktu (t) yakni periode
selama inang dan patogen populasi berinteraksi dapat mengurangi
tingkat akhir dari intensitas penyakit.
6. Terapi (Therapy)
Terapi sebagai prinsip manajemen penyakit dapat mengurangi Xo, dan
dalam beberapa kasus juga dapat mengurangi r. Tindakan terapi dapat
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Terapi panas dapat menekan Xo
Prinsip utama dari terapi panas adalah melebihi titik inaktivasi patogen,
tetapi tidak melampaui ambang batas toleransi panas dari jaringan inang.
b. Menghilangkan bagian banaman terinfeksi dapat menekan Xo dan
menurunkan r.
Menghilangkan bagian tanaman yang terinfeksi bertujuan untuk
mengurangi inokulum awal dan r. Sebagai contohnya, menghilangkan
daun tembakau yang sakit patik (Cercospora) merupakan tindakan untuk
mengurangi inokulum awal (Xo) dan laju infeksi (r). Menghilangkan
bagian tanaman yang sakit juga meningkatkan waktu kelangsungan
hidup tanaman yang sakit. Contoh lain yang menarik dalam taktik ini
adalah pembuangan daun krisan mulai dari bawah dekat permukaan
tanah menyebabkan intensitas penyakit karat pada krisan dapat ditekan
hingga 80,05% dengan keefektifan relatif pengendalian sebesar 64,17%.
Model Monosiklik dan Polisiklik
Dalam perkembangannya didasarkan pada siklus infeksinya, penyakit
dapat dipilahkan menjadi penyakit yang memiliki model monosiklik dan model
polisiklik.
Model Monosiklik
Dalam Model Monosiklik, dapat digambarkan dalam persamaan x = Q R t.
Dari model epidemik monosiklik tersebut tampak bahwa Q, R dan t memiliki bobot
yang setara dalam mmpengaruhi nilai x. Pengurangan terhadap inokulum awal
atau terhadap laju infeksi akan menyebabkan penurunan dalam tingkatan penyakit
9
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
dengan proporsi yang sama pada setiap waktu t, selama epidemi berlangsung.
Jika t dapat dikurangi (misalnya, dengan memperpendek musim tanam), maka
penyakit juga akan mengalami penurunan secara proporsional.
Penyakit monosiklik umumnya termasuk model Monomolekular, namun,
sering pula termasuk dalam model Gompertz dan Logistik, seperti yang terjadi
pada perkembangan penyakit busuk pangkal batang lada yang disebabkan oleh
Phytophthora capsici di Sulawesi Tenggara. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pada kondisi lingkungan yang mendukung maka siklus infeksinya menjadi
berulang, artinya tanaman sakit dapat menghasilkan inokulum yang dapat
menginfeksi tanaman di sekitarnya.
Contoh lain yang menarik untuk dibahas adalah penyakit kuning pada
lada. Penyakit kuning ini semula penyebabnya diduga nematoda Meloidogyne
incognita, ternyata terbukti penyebabnya adalah interaksi antara M. incognita dan
Fusarium solani, yang bila keduanya menginfeksi secara bersamaan akan
menimbulkan keparahan yang lebih tinggi. F. solani yang mempunyai konidium
bertipe slime spore; mudah lengket pada organ serangga penyebar, meningkatkan
perhatian epidemiolog bahwa penyakit kuning dalam keadaan tertentu harus
diwaspada sebagai polisiklik.ogis2013
Model Polisiklik
Untuk model polisiklik, berlaku persamaan x = x0e rt
1. Jika r sangat tinggi, penekanan Xo akan menunda epidemi.
2. Jika r sangat tinggi, Xo harus ditekan sampai tingkatan yang sangat rendah
agar berpengaruh nyata terhadap epidemi.
3. Pengurangan terhadap r memiliki pengaruh yang relatif lebih besar
terhadap epidemi daripada pengurangan Xo.
4. Pengurangan terhadap Xo merupakan strategi yang baik hanya jika r
bernilai rendah atau jika, pengurangan xo juga dibarengi dengan
pengurangan r
Dari uraian di atas tampak bahwa strategi pengendalian penyakit tanaman,
baik melalui penekanan inokulum awal, kecepatan perkembangan penyakit (laju
infeksi) maupun modifikasi waktu epidemi, dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yang tidak harus bertumpu dengan penggunaan pestisida kimiawi. Dengan sangat
mencemati dampak negatif penggunaan pestisida kimiawi terhadap kesehatan
manusia, sudah saatnya pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan
perlu digalakkan kembali.
10
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Penutup
1. Memperhatikan
dampak
negatif
pestisida
terhadap
kesehatan,
pengendalian penyakit tanaman ramah lingkungan yang meminimalkan
penggunan pestisida, mutlak diperlukan.
2. Pertanaman yang bersifat pertanian univarietas atau monokultur misalnya
tanaman perkebunan mempunyai risiko tinggi mendapat gangguan penyakit
tanaman
3. Dilihat dari lingkungan dan ekosistemnya pengendalian penyakit ramah
lingkungan dengan pemanfaatan agens pengendali hayati pada tanaman
perkebunan lebih baik dibandingkan penggunaan pestisida kimiawi
4. Dalam manajemen pengendalian penyakit tumbuhan , perlu penerapan
strategi dan taktik. Strategi yang dapat dilakukan adalah:mengurangi
inokulum awal, mengurangi laju infeksi, dan mengurangi lamanya epidemi.
Taktik yang dapat digunakan, yaitu : ekslusi, avoidan, eradikasi, proteksi,
resistensi, dan terapi
5. Pemanfaatan Mikoriza (jenis Glomus) dalam pengelolaan tanaman, dapat
dianjurkan, dengan tetap mengetrapkan Sistem Pengendalian Hama
Terpadu
Daftar Pustaka
Bande, L.O.S. 2012. Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada di Sulawesi
Tenggara. Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Pertanian UGM. Tidak
dipublikasikan.
Hadisutrisno, B. 2014. Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati dan Jamur Mikoriza
dalam Pengendalian Penyakit Hortikultura yang Ramah Lingkungan. Materi
Penyuluhan pada Diskusi dengan Petani PHT di Menado tanggal 12-13 Mei
2014
Hadisutrisno, B. 2014. Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati dan Jamur Mikoriza
dalam Pengendalian Penyakit Hortikultura yang Ramah Lingkungan. Materi
Penyuluhan pada Diskusi dengan Petani PHT di Kalimantan Timur tanggal
21-23 Juni 2014.
Hadisutrisno, B. 2014. Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati dan Jamur Mikoriza
dalam Pengendalian Penyakit Hortikultura yang Ramah Lingkungan. Materi
Penyuluhan pada Diskusi dengan Petani PHT di Mataram Nusa Tenggara
Barat tanggal 14-16 Agustus 2014
Manici, L. M., F. Caputo & G. Baruzzi, 2005. Additional Experiences to Elucidate
Microbial Component of Soil Suppressiveness towards Strawberry Black
Root Complex. Annual Applied Biology 146: 421-431.
11
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Mazzola, M., 2004. Assessment and Management of Soil Microbial Community
Structure for Disease Suppression. Ann. Rev. Phytopathol 42: 35-59.
Milgroom, M.G., & T. L. Peever, 2003. Population Biology of Plant Pathogens. The
Synthesis of Plant Disease Epidemiology and Population Genetics. Plant
Disease 87 : 608-617.
Neher, D.A., & C. L. Campbell, 1997. Analysis of Disease Progress Curves Using
Nonlinear Regression. In. Frand, L.J. & Neher, D. A. (Eds). Exercises in
Plant Disease Epidemiology. APS Press. St. Paul, Minnesota.
Neher, D.A., K. L. Reynolds, & C. L. Campbell, 1997. Analysis of Disease Progress
Curves Using Liniear Models. In. Frand, L.J. & Neher, D. A. (Eds). Exercises
in Plant Disease Epidemiology. APS Press. St. Paul, Minnesota.
Martini, T. 2014. Kajian Pengendalian Penyakit Karat Krisan Berdasarkan Prinsip
Epidemi. Disertasi. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Tidak
dipublikasikan.
Sofia Mubarika, 2003. Penanggulangan Kanker Menuju Indonesia Sehat 2010.
Pidato Pengukuhan Guru Besar pada 28 April 2003, Tidak dipublikasikan.
Suryanti, 2014. Kajian Inang Patogen pada Penyakit Kuning Lada, Disertasi
Program Pascasarjana Fakultas Pertanian UGM. Tidak dipublikasikan.
Wiryatun, Lestariana. 2003 Tinjauan biokimiawi pola makan untuk mencegah
penyakit defisiensi dan penyakit degeneratif. Pidato Pengukuhan Guru
Besar pada 29 Maret 2003. Tidak dipublikasikan
12
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
MANAGEMENT OF HEALTHY POTATO SEED TO SUPPORT
ENVIRONMENT FRIENDLY AND OPTIMAL PRODUCTION SYSTEM
Baharuddin, Ach. Syaifuddin, Jayadi, Tutik Kuswinanti, Mu’minah2,
Henry Kesulya3
1
Faculty of Agriculture, Hasanuddin University, Makassar 90245
2
Politani Negeri Pangkep
3
Faculty of Agriculture, Pattimura University, Ambon
Abstract
Availability of seed potatoes in Indonesia is far from adequate. It is only
10% from the total national requirement of 120,000 tonnes/year. This situation
give impact on the low productivity, 12 tonnes/ha of potential 40 tonnes/ha. To
support the availability of seed potatoes, several technological innovation need
to be applied such as: an early detection of viruses and other pathogens using
PCR technique to produce patogen-free planlets, application of aeroponic
technology from tissue culture cuttings, use of Plant Growth Promoting
Rhizobacteria (PGPR), bioactivator, biopesticides, organic fertilizer as well as
botanical plant growth regulators. Through the utilization of these technology
packages, it is expected can support the availability of seed potatoes in 7 seed
rights: the type, variety, quantity, quality, time, place and price.
Over the past 12 years, the Center for Potato Studies (CPS) of
Hasanuddin University has conducted several research activities in the
development of potato production through environmental friendly technologies.
The results of the optimization of seed potatoes production in each
development region has acquired a healthy seed production system with the
chain propagation models and measurable. The Chain of production of
plantlets, sticks of acclimatization, sticks of production to the amount of seed
produced G0 and G1 were 2000 bottles : 14,000 sticks of acclimatization :
33,000 sticks production : 100,000 bulbs G0 : G1 500,000 . Furthermore, seed
production system of G2 , G3 and G4 in field i.e. 50 tons : 500 tons : 5000 ton
/season
To increase the capacity of seed potato production in the Seed
Horticulture Office (BBH) partners in 10 districts of Sulawesi corridor, some
technology packages has been applied to improve the production of potato
seed. Several technologies and it products has been integratelly used. Two of
them have been registered by the Directorate General of the Ministry of
Justice and Human Rights. One local potato variety named “Kalosi” have
been
registered
by
the
Ministry
of
Agriculture
with
the
numbers: 0085/B.Kn/DKEKG/2013. Aeroponic system can stimulate 5-10 fold
seed production (up to 100 knols/plant), larger and 2-3 times more uniform
13
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
tuber size, free from pathogens, saving nutrients trough circulatory system
and can produce seed at any time. G0 is the direct product that can be planted
for the production G2 in the field without going through the G1. Thereby it can
saving 6 months time.
Hopefully, through this program high quality seed potatoes will be
produced continously and gradually in the 10 districts partner, such as: G0
(nucleus seed), G2 (basic seed), G3 (foundation seed) and G4 (spread seed).
The prediction of multiple outcomes : from 1.000.000 of G0 can produce 500
tons of G2 furthermore 5000 tons of G3, and 50.000 tons of G4 on every
planting season, with estimated value of Rp. 5 trillion. This production can
cover the need of seed in 33,000 hectares of potato planting areas in Sulawesi
economic corridor.
Keywords: Tissue culture, potato aeroponic technology, pathogen
detection, bioactivator, microbial antagonists, botanical
pesticides, PGPR.
14
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PERANAN FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PENYAKIT
HAWAR DAUN BAKTERI (Pantoea ananatis)
PADA TANAMAN BAWANG MERAH
Asrul1), Bambang Hadisutrisno2),, Triwidodo Arwiyanto2) dan Jaka Widada2)
1)
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Kota Palu
Jln. Soekarno Hatta KM 5 Palu Timur,Kota Palu
2)
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Jln. Flora 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui peranan faktor lingkungan terhadap
penyakit hawar daun bakteri (Pantoea ananatis) pada bawang merah. Penelitian
dilaksanakan di beberapa sentra produksi bawang merah (Bantul, Cirebon, Tegal,
Nganjuk dan Sigi) pada akhir musim kemarau (Agustus – September) 2012 dan di
laboratorium bakteriologi, Fakultas Pertanian, UGM. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor lingkungan, seperti curah hujan, suhu dan kelembapan udara, suhu
dan kelembapan tanah, pH, jenis tanah di lokasi pengamatan sangat mendukung
terjadinya epidemi penyakit hawar daun bakteri. Demikian pula umur dan kultivar
bawang merah yang digunakan petani sangat mempengaruhi terjadinya gejala
penyakit hawar daun bakteri. Hal ini dibuktikan dengan tingginya intensitas
penyakit hawar daun bakteri dan densitas patogeniknya, meskipun di beberapa
tempat memiliki curah hujan yang rendah. Gejala penyakit hawar daun bakteri
ditemukan pada saat bawang merah berumur lebih dari 40 hari. Semua kultivar
bawang merah yang ditanam petani seperti bima curut, bauji, biru-sawah dan
palasa sangat rentan terhadap penyakit tersebut.
Kata kunci : iklim, hawar daun bakteri, Pantoea ananatis
Pendahuluan
Pantoea ananatis merupakan bakteri penyebab penyakit hawar daun
(Gitaitis & Gay, 1997; Schwartz et al., 2003) dan busuk tengah umbi pada bawang
bombay (Allium cepa L.) (Walcott et al., 2002; Carr et al., 2013). Menurut Brewster
(2008), bakteri patogenik yang menginfeksi bawang bombay dapat menyerang dan
menginfeksi bawang merah, termasuk spesies anggota genus Allium lainnya.
Sebagai contoh, bakteri P. ananatis tercatat sebagai patogen penyebab penyakit
hawar daun pada bawang bombay di daerah iklim subtropik tetapi dapat pula
menimbulkan penyakit yang sama pada bawang merah didaerah iklim tropik
(Asrul, 2014). Di lapangan, serangan P. ananatis menyebabkan kehilangan hasil
15
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
panen mencapai 80 - 100%, sedangkan di tempat penyimpanan diperkirakan
berkisar antara 20 - 25% (Walcott et al., 2002). Dengan demikian, penyakit hawar
daun bakteri Pantoea dapat berpotensi menimbulkan kerusakan yang parah baik di
daerah iklim subtropik maupun tropik.
Iklim tropik seperti Indonesia merupakan daerah yang cocok bagi
perkembangan penyakit tanaman seperti tersedianya air dan cahaya matahari
yang cukup sepanjang tahun,suhu dan kelembapan udara yang tinggi dan
konstan, curah hujan yang cukup besar dan panjang hari yang lebih lama
(Semangun, 1989). Faktor lingkungan yang berperan besar terhadap insiden dan
keparahan penyakit hawar daun bakteri adalah suhu udara dan curah hujan yang
tinggi terutama saat periodepembentukan umbi bawang merah. Kisaran suhu
udara maksimal untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri patogenik hawar
daun bakteri berkisar antara 28 – 35OC (Schwartz et al., 2003). Curah hujan
memiliki peranan dalam meningkatkan kelembapan udara sehingga sangat cocok
untuk perkembangan bakteri patogenik. Menurut Schroeder & Schwartz (2011),
kelembapan udara yang sesuai bagi pertumbuhanP. ananatisbila lebih dari 75%.
Dengan demikian, penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan P. ananatis dapat
menimbulkan permasalahan yang serius pada bawang merah terutama didaerah
dengan kondisi suhu dan kelembapan udara lingkungan yang tinggi.
Oleh karena itu, kajian peranan lingkungan terhadap perkembangan
penyakit hawar daun bakteri pada tanaman bawang merah perlu dilakukan untuk
membantu mengembangkan suatu teknik pengendalian yang lebih efisien dan
efektif sehingga dapat menekan perkembangan penyakit tersebut.
Metode penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan di lapangan dan di laboratorium.
Penelitian lapangan menggunakan metode survei dan dilaksanakan di lima daerah
sentra produksi bawang merah yakni di Desa Kalirahayu (Cirebon), Dukuhturi
(Tegal), Sukomoro (Nganjuk), Tirtomulyo (Bantul) dan Sidera (Sigi) pada bulan
Agustus – September 2012 (akhir musim kemarau). Penentuan Desa berdasarkan
metode purposive sampling. Survey dilakukan dengan cara mengumpulkan data
primer / sekunder, wawancara dan pengamatan lapangan (gejala dan tanda
penyakit, intensitas pemyakit).
Penghitungan intensitas penyakit hawar daun bakteri pada bawang merah
yang diamati di lapangan, dihitung menggunakan rumus :
=
∑( . )
100%
.
16
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Keterangan :
IP = intensitas penyakit
n
= jumlah daun bergejala hawar dengan nilai skor ke i
v
= nilai skor daun bergejala hawar daun ke i
N
= jumlah total daun yang di amati
Z
= nilai skor tertinggi
Skoring penyakit hawar daun bakteri sebagai berikut: 0 = tidak ada bercak
water soaked; 1 = 1 - 15% bercak water soaked; 3 = 16 - 30% bercak water
soaked; 5 = 31 - 45% bercak water soaked; 7 = 45 – 60% bercak water soaked;
dan 9 = > 60% bercak water soaked, nekrosis, dan mati pucuk. Kriteria intensitas
penyakit dikelompokkan menjadi sehat (0), ringan (1 – 15%), agak ringan (16 –
30%), sedang (31 – 45%); agak tinggi (46 - 60%) dan tinggi (> 60%).
Penelitian di laboratorium dilakukan untuk mengamati morfologi koloni
bakteri patogenik yang diisolasi dari tanah pertanaman bawang merah sakit dan
dihitung kerapatan, atau kepadatan populasinya (densitas). Koloni Xanthomonas
axonopodis pv. allii dicirikan dengan bentuk yang bundar, permukaan cembung,
tepi rata, berlendir (mucoid), mengkilap, halus dan berwarna kuning atau krem.
Perhitungan densitas patogenik dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Count)
dan teknik pengenceran menurut Arwiyanto et al. (1997) menggunakan medium
selektif SX yang telah dimodifikasi. Pengamatan terhadap variabel densitas
patogenik dilakukan setelah 72 jam dan dihitung dengan rumus:
= ℎ
ℎ
ℎ
= X = Densitas bakteri (cfu/g kering tanah); cfu = colony-forming unit
m = cfu / g basah tanah
a = Jumlah unit koloni yang tumbuh
U = Tingkat pengenceran sampel
Isolasi bakteri patogenik dari dalam tanah ini dilakukan untuk mengetahui
dan memastikan keberadaan bakteri patogenik pada lahan pertanaman bawang
merah sakit. Data hasil pengamatan yang diperoleh dari lapangan, diolah dengan
menggunakan teknik tabulasi sederhana yang disajikan dalam bentuk nilai ratarata (persentase).Selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tampilan
tabel.
17
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil dan pembahasan
Intensitas penyakit hawar daun bakteri di Kabupaten Cirebon, Tegal,
Nganjuk, Bantul dan Sigi sangat tinggi dan hampir merata (seragam), yakni
berkisar antara 77,98 - 83,66% (Tabel 1). Keadaan ini kemungkinan dipengaruhi
oleh faktor densitas patogenik dalam tanah, kultivar bawang merah, umur tanaman
dan didukung dengan kondisi lingkungan setempat.
Tabel 1. Rata-rata intensitas penyakit pada berbagai lokasi penelitian.
Kultivar
Intensitas
Umur tanaman
Desa
bawang
penyakit
(hari)
merah
(%)
Kalirahayu
Bima curut
+ 41
81,43
(Cirebon)
Sidapurna
Bima curut
+ 54
80,81
(Tegal)
Sukomoro
Bauji
+ 52
83,31
(Nganjuk)
Tirtomulyo
Biru-sawah
+ 43
78,04
(Bantul)
Sidera
Palasa
+ 55
83,64
(Sigi))
Sumber: data primer
Densitas patogenik yang ditemukan pada masing-masing lahan bawang
merah cukup tinggi dan relatif hampir sama, yakni 107 cfu/g, sedangkan densitas
patogenik minimal untuk menimbulkan gejala penyakit adalah 104 cfu/g. Menurut
Brown et al. (1980) cit. Jahudin et al. (2007), densitas patogenik di dalam tanah
sangat menentukan tingkat intensitas penyakit tanaman. Semakin besar densitas
patogenik dalam tanah maka akan semakin tinggi intensitas penyakitnya. Massa
bakteri patogenik akan terbawa bersama tanah melalui percikan air hujan /
siraman yang jatuh di permukaan tanah dan mengenai daun yang paling dekat
dengan permukaan tanah sehingga menyebabkan infeksi tanaman.
Intensitas penyakit hawar daun bakteri yang sangat tinggi mengindikasikan
bahwa seluruh kultivar bawang merah yang digunakan petani sangat rentan
terhadap penyakit tersebut (Tabel 1). Menurut Agrios (2005) ketahanan terhadap
infeksi penyakit kemungkinan merupakan sifat genetik dari tanaman. Pada
tanaman rentan tidak memiliki atau mewarisi gen ketahanan sehingga tidak
mampu mengatasi serangan patogen. Dalam hubungan antara kultivar bawang
merah dengan bakteri patogenik, kultivar bawang merah mempunyai gen rentan
18
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
(resesif) berinteraksi secara kompatibel terhadap patogenik yang memiliki gen
virulen (resesif) sehingga menyebabkan timbulnya gejala penyakit. Interaksi ini
dikenal dengan hipotesis “gene for gene hypothesis”, yakni setiap gen yang
menentukan ketahanan pada inang, terdapat satu gen yang menentukan virulensi
pada patogenik untuk mengatasi gen ketahanan inang tersebut (Semangun, 1996).
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa gejala penyakit hawar
daun bakteri terlihat saat bawang merah berumur antara 40 – 50 hari setelah
tanam (hst) (Tabel 1) dengan intensitas penyakit tergolong sangat tinggi.
Selanjutnya, pada bawang merah berumur kurang dari 40 hst belum
memperlihatkan gejala penyakit hawar daun bakteri. Diduga hal ini berkaitan
dengan reaksi ketahanan bawang merah terhadap serangan patogen berdasarkan
umur tanaman. Shahbazi et al. (2010) menyatakan, reaksi ketahanan tanaman
berkorelasi dengan umur tanaman karena umumnya ketahanan akan menurun
seiring dengan pertambahan umur tanaman. Pada jaringan sel daun yang masih
muda, senyawa fenol berada dalam konsentrasi yang tinggi sehingga lebih tahan.
Sebaliknya, bila jaringan sel daun muda tumbuh menjadi lebih tua (dewasa) maka
tingkat ketahanannya menurun secara teratur (Agrios, 2005).
Hal ini
mengindikasikan bahwa bawang merah yang telah berumur tua sangat rentan
terhadap serangan bakteri P. ananatis. Keadaan ini sesuai dengan laporan Gitaitis
et al. (2003), bahwa keparahan penyakit hawar daun P. ananatis seringkali terjadi
padakultivar yang telah berumur panen. Dengan demikian, serangan bakteri
patogenik pada bawang merah berumur tua kemungkinan akan memberikan
tingkat keparahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang berumur
muda.
Tabel 2. Keadaan lingkungan disekitar pertanaman bawang merah pada berbagai
lokasi penelitian
Komponen
lingkungan
Ketinggian
tempat
(m / dpl)1)
Intensitas
cahaya (lux)
Suhu udara
(OC)
Desa
Tirtomulyo Kalirahayu Sidapurna Sukomoro
(Bantul)
(Cirebon)
(Tegal)
(Nganjuk)
Sidera
(Sigi)
0 – 15
0 - 25
0 – 50
0 - 54
0 - 250
42.566
46.766
43.133
49.600
52.833
29,04
29,57
29,76
30,79
32,40
19
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kelembaban
udara (%)
72,68
71,09
72,26
67,96
61,68
Suhu tanah
(OC)
22,11
23,8
22,28
25,03
29,39
Kelembaban
tanah (%)
32,34
35,60
32,50
30,78
28,28
Curah
hujan1)
(mm/bln)
12,36
11,33
3,62
200,49
63,41
pH tanah
6,3 - 6,7
6,2 - 6,8
6,5 - 6,8
6,2 - 6,9
6,4 - 7,0
Jenis tanah
Latosol
Alluvial
Alluvial
Alluvial
Inseptisol
Suhu udara di seluruh lokasi penelitian cukup tinggi, yakni antara 29,04 –
32,40 C dan berada di dataran rendah (Tabel 2). Menurut de la Pena & Hughes
(2007), daerah tropik yang berada di dataran rendah mempunyai suhu udara lebih
tinggi (udaranya lebih panas) daripada di dataran tinggi
Suhu udara ini tidak
hanya berada pada kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan bawang merah tetapi
juga sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan patogenik hawar daun bakteri.
Suhu udara yang cocok bagi pertumbuhan bawang merah berkisar antara 25 –
32OC (Sumarni & Rosliani, 1995), sedangkan suhu udara yang sesuai bagi
pertumbuhan bakteri P.ananatis adalah antara 28 – 35OC (Schwartz et al.,2003).
Pada kondisi tersebut memungkinkan bawang merah dapat tumbuh dan
berkembang, sedangkan bakteri patogenik akan selalu bertahan hidup dan
menghasilkan banyak keturunan. Dengan demikian, kondisi suhu udara di lokasi
penelitian telah mendukung keberadaan penyakit tersebut.
Hasil pengamatan intensitas cahaya di lokasi penelitian cenderung tinggi,
yakni rata-rata berkisar antara 42.566 – 52.833 lux, dengan intensitas penyakit
yang dijumpai di seluruh lahan pertanaman bawang merah juga sangat tinggi
(Tabel 2). Diduga sel bakteri patogenik telah masuk dan berada di dalam tubuh
tanaman saat matahari belum bersinar sehingga lebih terlindungi dari cahaya
langsung karena dalam jaringan tanaman sudah cukup lembab bagi pertumbuhan
patogen untuk mengadakan infeksi. Menurut Semangun (1996), pengaruh
O
20
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
intensitas cahaya terhadap penyakit tumbuhan dapat terjadi bila patogennya
berada di permukaan tubuh tanaman. Sel bakteri yang berada pada permukaan
daun akan mengalami kerusakan bila terkena sinar cahaya langsung. Cahaya
matahari diketahui mempunyai daya bakterisidal karena memiliki spektrum
ultraviolet yang berkemampuan memenetrasi dinding sel bakteri sehingga menjadi
rusak. Radiasi ultraviolet yang diterima akan mengubah komposisi asam nukleat
bakteri sehingga tidak mampu melakukan replikasi yang berakibat pada kematian
sel. Dengan tingginya intensitas penyakit di lapangan kemungkinan bakteri
patogenik terhindar dari penyinaran matahari secara langsung saat masuk ke
dalam jaringan tanaman .
Curah hujan di Desa Kalirahayu, Sidapurna, Tirtomulyo, dan Sidera,
umumnya tergolong rendah, yakni berkisar antara 3,61 – 63,41 mm per bulan,
sedangkan di Desa Sukomoro curah hujan tergolong cukup tinggi, yakni 200 mm
per bulan (Tabel 2).Meskipun curah hujan tergolong rendah akan tetapi intensitas
penyakit hawar daun bakteri yang ditemukan di empat Desa tersebut sangat tinggi
pada akhir musim kemarau (bulan Agustus dan September). Curah hujan yang
rendah menciptakan cuaca lembab agak kering dan udara terasa panas (suhu
tinggi) diikuti kelembapan udara yang tinggi. Keadaan ini sangat ideal bagi
pertumbuhan bakteri patogenik dan mendorong perkembangan penyakit hawar
daun bakteri.
Suhu udara yang tinggi kemungkinan telah mempercepat
perkembangbiakan bakteri patogenikdan perkembangan gejala penyakit pada
daun yang terinfeksi. Dipihak lain, curah hujan yang tinggi di Desa Sukomoro
sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri P. ananatis. Schwartz
et al. (2003) melaporkan bahwa intensitas penyakit hawar daun bakteri pada
bawang bombay mencapai maksimum saat curah hujan lebih dari 100 mm per
bulan dan menurun ketika curah hujan menjadi 57 mm per bulan. Curah hujan
yang tinggi memiliki peranan dalam meningkatkan kelembapan udara danmemacu
perkembangan penyakit hawar daun bakteri.
Kelembapan udara di seluruh lokasi penelitian relatif cukup tinggi, yakni
berkisar antara 61,68 – 72,68%(kelembapan udara > 60%) sehinggasangat
mendukung pertumbuhan dan perkembangan bakteri patogenik hawar daun
bakteri. Schroeder & Schwartz (2011) melaporkan,perkembangan penyakit hawar
daunsangat sesuai apabila kelembapan udara lebih dari 75%.Namun gejala
penyakit tersebut dapat pula berkembang pada kelembapan udara rendah, yakni
antara 40 - 60% (Azad et al., 2000) dengan pemunculan gejala menjadi lebih
lambat. Pada kelembapan udara yang tinggi akan mempercepat pertumbuhan
bakteri P. ananatis untuk membentuk populasi yang lebih banyak sehingga
meningkatkan keparahan penyakit di pertanaman bawang merah.
21
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Suhu tanah diseluruh lokasi penelitian berkisar antara 22,11 - 29,39%
(Tabel 2). Suhu tanah yang rendah umumnya memperlambat perkembangan
bakteri patogenik dan menurunkan keparahan penyakit. Sebaliknya, pada kondisi
suhu tanah yang hangat, bakteri patogenik tumbuh dan berkembang lebih cepat
dan menyebabkan penyakit yang lebih ganas. Bila suhu tanah berada di atas
kisaran 30 – 33OC, umumnya patogenik tanaman akan mati meskipun setiap
patogenik, gulma dan organisme tanah lainnya mempunyai tanggapan yang
berbeda terhadap suhu tanah (Elmore et al., 1997). Dengan demikian, kisaran
suhu tanah di lokasi penelitian berada pada kisaran yang sesuai dan mendukung
bagi perkembangan patogenik hawar daun bakteri karena densitas patogenik yang
dijumpai cukup tinggi.
Kelembapan tanah di lokasi penelitian tampak
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya, yakni berkisar antara 28,28 35,60% (Tabel 2). Keberadaan P. ananatispada kondisi kelembapan tanah yang
terlalu rendah, atau tinggi, menyebabkan penurunan hasil dan kualitas umbi yang
buruk (Diaz-Perez et al., 2004). Kemungkinan pada kelembapan tanah yang tinggi
akan lebih meningkatkan resiko perkembangan dan penyebaran bakteri
P.
ananatis. Secara umum, suhu dan kelembapan tanah yang tinggi merupakan
kondisi yang disukai bakteri P. ananatis untuk mengadakan infeksi (Diaz-Perez et
al., 2004). Dengan demikian, kondisi kelembapan tanah di lokasi penelitian ini
sangatmendukung keberadaan patogen hawar daun untuk mengadakan infeksi
bawang merah. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya densitas patogenik di seluruh
lokasi penelitian.
Derajat keasaman (pH) tanahdiseluruh lokasi penelitian berada pada
kisaran 6,2 – 7,0 (Tabel 2). Keberadaan bakteri patogenik yang ditemukan dengan
densitas tinggi (107 cfu/g tanah) mengindikasikan bahwa patogenik mampu
tumbuh dan berkembang, serta beradaptasi dengan baik pada kisaran pH
tersebut. Menurut Thiel (1999), pertumbuhan bakteri di dalam tanah cenderung
lebih stabil pada kisaran pH antara 6–8. Secara umum, bakteri mampu bertahan
hidup lebih baik pada pH basa daripada pH asam. Pada pH yang lebih tinggi
pertumbuhan bakteri patogenik akan lebih cepat sehingga menghasilkan turunan
yang lebih banyak (Rousk et al., 2009). Sebaliknya, bila tingkat keasaman tanah
lebih rendah maka proses pembentukan ATP oleh sel bakteri untuk kebutuhan
energinya dan transportasi zat – zat ke dalam sel bakteri akan terganggu
sehingga menghambat proses pertumbuhan sel dan akhirnya densitas bakteri
akan menurun bahkan terhenti sama sekali.
Hasil analisis tekstur tanah menunjukkan bahwatanah aluvial di Kabupaten
Cirebon mempunyai kelas tekstur geluh lempungan, sedangkan di Kabupaten
Tegal dan Nganjuk berkelas tekstur lempung. Kedua kelas tekstur ini lebih
didominasi fraksi liat (lempung), yakni antara 37,97 – 67,87%, diikuti fraksi debu
22
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
sebesar 21,09 – 39,60% dan fraksi pasir sebanyak 11,04 – 29,09%, memiliki
tekstur halus dan sebagian besar merupakan tanah bekas sawah (Tabel 3).Tanahtanah yang didominasi fraksi liat umumnya mempunyai sirkulasi udara (aerasi) dan
air (draenase) dalam tanah terhambat (jelek). Menurut Hanafih (2012), aerasi
tanah yang jelek menyebabkan akitivitas mikrobia yang terkait dengan kesuburan
tanah menjadi tertekan. Drainase tanah yang buruk menyebabkan kelembapan
tanah di sekitar pertanaman bawang merah meningkat.
Tabel 3. Hasil analisis tekstur tanah dari 5 lokasi pertanaman bawang merah
Desa
Kalirahayu
(Cirebon)
Sidapurna
(Tegal)
Sukomoro
(Nganjuk)
Tirtomulyo
(Bantul)
Sidera
(Sigi)
Jenis
tanah1
Kelas
tekstur2
Liat
(%)
Debu
(%)
Pasir
(%)
Aluvial
37,97
32,93
29,09
Aluvial
Geluh
berlempung
Lempung
42,45
39,60
17,95
Aluvial
Lempung
67,87
21,09
11,04
Latosol
Geluh
18,32
34,43
47,25
Inceptisol
Geluh
25,60
31,89
42,51
Sumber: data dinas pertanian1) dan hasil analisa Laboratorium Illmu Tanah,
Fakultas Pertanian, UGM2)
Bakteri patogenik gejala hawar daun bakteri dapat tumbuh dan berkembang
pada kondisi kelembapan tanah yang rendah hingga tinggi (Gitaitis et al., 2004).
Pada kelembapan tanah yang tinggi akan lebih meningkatkan resiko
perkembangan dan penyebaran bakteri P. ananatis (Schwartz et al. 2003) Oleh
karena itu, kondisi kelembapan tanah di lokasi penelitian sangat membantu dan
mendukung keberadaan patogen hawar daun bakteri untuk menginfeksi bawang
merah. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya intensitas penyakit dengan densitas
patogen yang besar dalam tanah dan ditemukan menyebar di seluruh lokasi
penelitian.
Jenis tanah latosol di Kabupaten Bantul dan inseptisol di Kabupaten Sigi
memiliki kelas tekstur yang sama, yakni geluh yang didominasi fraksi pasir (42,52
– 47,25%), diikuti fraksi debu (31,89 – 34,43%) dan liat (18,32 – 25,60%) (Tabel 3).
23
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tanah bertekstur pasir kurang mampu menahan dan menyimpan air, serta mudah
mengalami penguapan karena pori-porinya cukup besar sehingga tanah
cenderung lebih cepat kering. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap suhu tanah
yang cenderung lebih hangat (tinggi). Menurut Diaz-Perez et al. (2003), kecepatan
serangan bakteri P. ananatis pada bawang bombay dipengaruhi oleh suhu tanah
yang tinggi.Kondisi suhu tanah yang hangat ini telah mendukung keberadaan
patogenik di dalam tanah dengan densitas patogenik yang cukup besar.
Kesimpulan
1. Intensitas penyakit yang tinggi (77,98 – 83,68%) di lapangan dan densitas
patogenik (107 cfu/g) yang besar di dalam tanah mengindikasikan bahwa
bakteri patogenik hawar daun dapat tumbuh dan berkembang, serta
beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan (tropis) pertanaman bawang
merah di Indonesia
2. Intensitas penyakit dan densitas patogenik hawar daun bakteri bawang merah
dalam tanah dipengaruhi oleh kultivar bawang merah, umur tanaman dan
lingkungan setempat.
3. Gejala penyakit hawar daun bakteri mulai terlihat saat bawang merah berumur
lebih dari 40 hari, atau menjelang panen.
4. Semua kultivar bawang merah yang ditanam petani seperti bima curut, bauji,
biru-sawah dan palasa sangat rentan terhadap patogenik penyakit hawar daun
bakteri.
Daftar pustaka
Arwiyanto, T., Handini, E. dan Martoredjo, T. 1997. Dinamika populasi
Pseudomonas solanacearum pada rizosfer tanaman bukan inang. J.
Perlindungan Tanaman Indonesia 3 : 81 – 85.
Brewster, J. L. 2008. Onions and other vegetable alliums. Library congress
Catalonging-in-Publication Data. Cambridge, USA.
Gent, D. H., Schwartz, H. F., Ishimaru, C. A., Louws, F. J., Cramer, R. A. &
Lawrence, C. B. 2004. Polyphasic characterization of Xanthomonas strains
from onion. Plant Disease 94: 184 – 195.
Gillings, M. and Holley, M. 1997. Repetitive element PCR fingerprinting (Rep-PCR)
using enterobacterial repetitive intergenic consensus (ERIC) primers is not
necessarily direct at ERIC elements. Letter in Applied Microbiology 25: 17 21.
Gitaitis, R. D., Walcott, R. R., Sanders, H. R., Zolobowska, L. and Diaz-Perez, J. C.
2004. Effects of mulch and irrigation system on sweet onion: II. the
24
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
epidemiology of center rot. Journal of the American Society for Horticultural
Science 129 : 225 - 230.
McDonald, M. R, M.A. Jaime and M. H.Y. Hovius. 2004. Management of Diseases
of Onions and Garlic. In: Naqwi, S. A. M. 2004. Diseases of fruiets and
vegetables: diagnosis and management. Kluwer Academic Publishers. The
Netherlands. 149 – 200 pp.
Schaad, N. W. and White, W. C. 1990. A selective medium for soil isolation and
enumeration of Xanthomonas campestris. Phytopathology 64: 876 – 880.
Schwartz, H. F., Otto, K. L. and Gent, D. H. 2003. Relation of temperature and
rainfall to development of Xanthomonas and Pantoea leaf blights of onion in
Colorado. Plant Disease 87: 11 – 14.
Schroeder, B. K. and Schwartz, H. F. 2011. Bacterial Diseases. Onion ipmPIPE
Diagnostic Pocket Series, USA.
Walcott, R. R., Gitaitis, R. D., Castro, A. C., Sanders, F. H. and Diaz-Perez, J. C.
2002. Natural infestation of onion seed by Pantoea ananatis causal agent of
center rot. Plant Disease 86: 106 – 111.
25
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KOMPOSISI DAN SEBARAN PATOTIPE Xanthomonas oryzae pv. oryzae
PENYEBAB PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI DI SENTRA PRODUKSI PADI
DI PROVINSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Dini Yuliani dan Sudir
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
JL. Raya IX Sukamandi Subang 41256, email: [email protected]
Abstrak
Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv.
oryzae (Xoo) merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya produksi padi
berdasarkan potensi hasilnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran
penyakit HDB di sentra produksi padi di Prop. Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta
yang dilaksanakan pada musim kemarau 2013 dan musim hujan
2013/2014.Penelitian meliputi 3 tahapan yaitu pengamatan penyakit HDB dan
pengambilan sampel daun sakit di lapangan, isolasi bakteri Xoo di laboratorium
dan pengujian patotipe Xoo di rumah kaca. Lokasi pengamatan penyakit HDB dan
pengambilan sampel tanaman sakit dilakukan di 16 kabupaten di Jawa Tengah
dan 3 kabupaten di Yogyakarta. Hasil pemantauan menunjukkan keparahan
penyakit HDB mencapai > 80% terdapatdi Ds. Kebon Agung, KecamatanKajen,
Kabupaten Pekalongan, Prop. Jawa Tengah dan Ds. Sekarsuli, Kecamatan
Berbah, Kabupaten Sleman, Prop.Yogyakarta. Hasil isolasi Xoo diperoleh 414
isolat dari Jawa Tengah dan 66 isolat dari Yogyakarta.Hasil pengujianterhadap
isolate Xoo Jawa Tengah teridentifikasi 81 isolat (20%) patotipe III, 162 isolat
(39%) patotipe IV, dan 171 isolat (41%) patotipe VIII. Hasil pengujian terhadap
isolat Xoo Yogyakarta diperoleh 39 isolat (59,1%) patotipe III, 18 isolat (27,3%)
patotipe IV, dan 9 isolat (13,6%) patotipe VIII. Hawar daun bakteri di Jawa Tengah
didominasi oleh Xoo patotipe VIII, sedangkan di Yogyakarta didominasi oleh Xoo
patotipe III.Informasi sebaran patotipe Xoo bermanfaat dalam pemilihan dan
penggunaan varietas tahan yang spesifik dengan lokasi masing-masing daerah
endemis HDB.
Kata kunci: sebaran, hawar daun bakteri, padi, Jawa Tengah, Yogyakarta
Pendahuluan
Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv.
oryzae (Xoo), merupakan salah satu penyakit penting di negara penghasil padi di
Asia, termasuk di Indonesia (Nayak et al. 2008). Selama ini, pengendalian penyakit
HDB yang paling efektif adalah dengan menanam varietas tahan. Namun
penggunaan varietas tahan dihadapkan pada keragaman patotipe bakteri Xoo
26
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
sehingga ketahanan varietas dibatasi oleh waktu dan tempat (Suparyono et al.
2003). Suatu varietas tahan di suatu tempat pada waktu tertentu dapat bereaksi
rentan pada waktu dan tempat lain. Oleh karena itu penanaman varietas tahan
harus disesuaikan dengan keberadaan patotipe Xoo yang ada. Hifni (1995),
melaporkan bahwa pada periode tahun 80-an patotipe Xoo didominasi oleh
patotipe III, sedangkan pada awal tahun 90-an dominasi bergeser ke patotipe IV.
Suparyono et al. (2004), melaporkan pada awal tahun 2000-an di beberapa sentra
produksi padi di Jawa, Xoo didominasi oleh patotipe VIII. Sementara, Sudir et al.
(2009), melaporkan bahwa di sentra produksi padi P. Jawa telah teridentifikasi 3
patotipe Xoo utama yaitu patotipe III, IV, dan VIII. Informasi tentang peta komposisi
patotipe dan dominasi penyakit HDB di suatu ekosistem padi (spatial dan
temporal) menjadi sangat diperlukan sebagai dasar penentuan strategi
pengendalian penyakit. Selain itu, pemantauan keadaan patotipe HDB sebagai
dasar penanaman varietas tahan sangat diperlukan. Oleh karena itu, pemantauan
struktur dan dominasi patotipe bakteri Xoo sebagai dasar perakitan varietas tahan
sesuai keadaan patogen dilapangan untuk pengendalian penyakit HDB yang
berkesinambungan sangat diperlukan terutama di daerah-daerah sentra produksi
padi di Jawa.
Bahan dan metode
A. Pengambilan sampel tanaman sakit.
Sampling dilakukan pada 2-5 kabupaten di Prop. Jawa Tengah dan D.I.
Yogyakarta pada MK 2013 dan MH 2013/2014.Tiap kabupaten diambil 3
kecamatan dan tiap kecamatan diambil 2 desa. Pengamatan dan pengambilan
sampel dilakukan pada fase generatif pada hamparan sawah seluas ± 0,1-0,5
ha. Tiap hamparan di bagi menjadi 3 bagian,tiap bagiandijadikan ulangan.Tiap
ulangan ditarik garis diagonal, diambil 10 rumpun sampeldandiamati keparahan
penyakit HDB serta diambil sampel daunsakit.Sampel daun sakit dimasukkan ke
dalam amplop yang diberi keterangan lokasi, varietas,dan skor keparahan.
B. Isolasi penyebab penyakit.
Isolasi Xoo dilaksanakan dengan metode leaf washing. Sampel daun sakit
dipotong kecil ±1 mm kemudian dicuci dengan air destilasi steril. Air cucian
ditampung dalam gelas erlenmayer dan diencerkan hingga 10-6, kemudian
diambil ±1 cc serta ditanam dalam cawan petri yang berisi media Wakimoto.
Inkubasi dilaksanakan di laboratorium pada suhu kamar. Koloni tunggal khas
Xoo dipindah ke media Wakimoto miring dan diperbanyak.
27
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
C. Pengujian patotipe patogen.
Pengujian patotipe Xoo dilakukan di rumah kaca pada 5 varietas diferensial
yang memiliki latar belakang genetik ketahanan terhadap Xoo berbeda. Tiap
varietas diferensial ditanam sebanyak 3 pot dan diinokulasi Xoo dengan metode
gunting pada stadium primordia. Ujung daun padi dipotong ± 5-10 cm dengan
gunting inokulasi berisi suspensi Xoo umur 48 jam dengan kepekatan 108 cfu.
Inokulasi dilakukan menjelang sore (jam 15.00-17.30 WIB).
D. Pengamatan penyakit HDB.
Pengamatan keparahan dilakukan dengan mengukur panjang gejala pada 15
HSI. Keparahan penyakit adalah rasio antara panjang gejala dengan panjang
daun yang diinokulasi dikali 100%. Keparahan penyakit < 11% tergolong tahan,
sedangkan keparahan> 11% tergolong rentan (Suparyono et al. 2003).
Pengelompokan patotipeXoo berdasar pada nilai interaksi antara varietas
diferensial dengan isolat Xoo (Tabel 1).
Tabel 1. Pengelompokan patotipe Xoo berdasar interaksi antara varietas
diferensial asal Jepang dengan isolat Xoo
No.
1
2
3
4
5
Genotipe
Gen tahan
Kinmaze
Kogyoku
Tetep
Wase Aikoku
Java 14
Tidak ada
Xa-1, Xa-12
Xa-1, Xa-2
Xa-3 (Xa-12)
Xa-1, Xa-2, dan Xa12
Kelompok patotipe
Reaksi ketahanan terhadap bakteri Xoo
R
T
T
T
T
R
R
T
T
T
R
R
R
T
T
R
R
R
R
R
R
T
T
R
T
I
II
III
IV V
R
T
R
T
T
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
R
R
T
R
T
R
T
R
R
T
R
R
T
R
R
VI VII VIII IX
X
XI XII
T = tahan, keparahan penyakit ≤ 11%, R = rentan, keparahan penyakit > 11% (Suparyono et al.
2003).
Hasil dan pembahasan
A. Sebaran penyakit HDB di Propinsi Jawa Tengah pada MK 2013
Pemantauan penyakit HDB pada MK 2013 di Prop. Jawa Tengah dilakukan
di 9 kabupaten yaitu Pemalang, Pekalongan, Batang, Demak, Jepara, Kudus, Pati,
Rembang, dan Blora (Tabel 2). Penyakit HDB, di Kabupaten Pemalang ditemukan
dengan keparahan 10,6-68,0%. Keparahan penyakit HDB di Kabupaten
Pekalongan14,4-84,4%, sedangkan di Kabupaten sebesar 27,5-44,4%. Di
Kabupaten Demak, penyakit HDB ditemukan dengan keparahan 4,4-5,0%,
sedangkan di Kabupaten Jepara sebesar 0,0-43,0%.Keparahan penyakit HDB di
KabupatenKudus sebesar 10,0-33,5%. Di Kabupaten Pati, keparahan penyakit
28
T
T
T
R
T
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
HDB cukup rendah 0,0-26,4%, sedangkan di Kabupaten Rembang 0,0-56,7%. Di
Kabupaten Blora, penyakit HDB hanya ditemukan di satu lokasi yaitu di Ds.
Medang Kecamatan Blora pada varietas Ciherang dengan keparahan 30,7%.
Tabel 2. Sebaran penyakit HDB di beberapa daerah Kabupaten di Jawa Tengah
pada MK 2013
Kabupaten
Pemalang
Kecamatan
Pemalang
Pemalang
Pekalongan
Batang
Demak
Jepara
Kudus
Pati
Petarukan
Petarukan
Petarukan
Bodeh
Bodeh
Kedungwuni
Kedungwuni
Doro
Doro
Kajen
Kajen
Batang
Batang
Subah
Subah
Demak
Mijen
Mijen
Welahan
Tahunan
Jepara
Kalinyamat
Pecangaan
Jekulo
Bae
Pati
Pati
Tambakromo
Tambakromo
Desa
Pekunden
Kulon
Pekunden
Wetan
Petarukan
Kecapang
Iser
Pendowo
Kelang
Pakis Putih
Langkap
Kutosari
Doro
Kebon Agung
Sangkanjoyo
Kesepuhan
Depok
Kalimanggis
Jatisari
Sedugenting
Ngelo Wetan
Bakung
Kalipucang
Ngabul
Mulyoharjo
Margoyoso
Pengging
Hadipolo
Gondangmani
Kalidoro
Wetan
Kalidoro Kulon
Karangmulyo
Karangawen
Varietas
Keparahan Penyakit
(%)
Si Denuk
20,9
Ciherang
13,3
Ciherang
Ciherang
Si Denuk
Si Denuk
Ciherang
IR64
Ciherang
Si Denuk
Si Denuk
Bondoyudo
St. Bagendit
Si Denuk
IR64
Ciherang
W. Apoburu
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Mekongga
10,6
54,4
36,3
68,0
27,0
20,2
45,4
40,4
31,5
84,4
14,4
44,4
33,9
33,5
27,5
4,8
4,4
5,0
5,4
16,3
4,1
43,0
0,0
33,5
10,0
Sintanur
26,4
Mekongga
Ciherang
St. Bagendit
6,5
0,0
0,0
29
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Rembang
Blora
Gabus
Gabus
Winong
Winong
Sulang
Sulang
Rembang
Rembang
Pamotan
Pamotan
Blora
Blora
Tunjungan
Tunjungan
Ngawen
Gondang
Koripan
Pagendisan
Winong
Karanganyar
Sulang
Parerejo
Tireman
Pamotan
Japerejo
Medang
Komahan
Sembung
Adirejo
Sambiroto
IR64
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Mekongga
Ciherang
St. Bagendit
Si Denuk
Ciherang
Ciherang
Ciherang
IR64
Ciherang
0,0
6,9
0,0
6,1
0,0
25,7
32,1
0,0
16,3
56,7
30,7
0,0
0,0
0,0
0,0
B. Sebaran penyakit HDB di Propinsi Jawa Tengah pada MH 2013/2014
Pemantauan penyakit padi di Prop. Jawa Tengah pada musim hujan (MH)
2013/2014 dilakukan di Kabupaten Banyumas, Cilacap, Kebumen, Klaten,
Sukoharjo, dan Sragen (Tabel 3). Penyakit HDB, di Kabupaten Cilacap ditemukan
dengan keparahan 7,0-31,9%. Di Kabupaten Banyumas, keparahan penyakit 14,140,4%. Di Kabupaten Kebumen, keparahan penyakit ditemukan sebesar 11,514,0%. Di Kabupaten Klaten, keparahan HDB 5,7-13,9%. di Kabupaten Boyolali,
keparahan HDB 7,0-10,4%. Di Kabupaten Sukoharjo, keparahan HDB4,6-15,4%.
Di Kabupaten Sragen, penyakit HDB ditemukan dengan keparahan 3,5-14,1%.
Tabel 3. Sebaran penyakit HDB di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah, pada MH
2013/2014
Kabupaten
Kecamatan
Desa
Varietas
Cilacap
Maos
Maos
Maos
Maos
Maos
Maos
Maos
Kawunganten
Kawunganten
Kawunganten
Kawunganten
Maos Lor
Karangkemiri
Karangrena
Karangrena
Karangrena
Karangrena
Karangrena
Karangpucung
Karangpucung
Jayagiri
Bojong
Ciherang
Situbagendit
Ciherang
Ciherang
Situbagendit
Galur
Galur
Ciherang
Muncul
Ciherang
Ciherang
Keparahan Penyakit
(%)
31,9
19,6
14,6
15,0
7,0
13,9
19,4
10,6
30,7
14,3
15,6
30
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Banyumas
Kebumen
Klaten
Klaten
Boyolali
Sampang
Sampang
Kebasen
Kebasen
Kebasen
Kemranjen
Kemranjen
Sumpyuh
Sumpyuh
Kutowinangun
Kutowinangun
Kutowinangun
Kutowinangun
Prembun
Prembun
Prembun
Klaten Selatan
Klaten Selatan
Klaten Selatan
Klaten Selatan
Klaten Selatan
Kebonarum
Kebonarum
Kebonarum
Kebonarum
Ngawen
Ngawen
Ngawen
Ngawen
Juwiring
Juwiring
Juwiring
Juwiring
Juwiring
Banyudono
Banyudono
Banyudono
Banyudono
Banyudono
Banyudono
Sawit
Sawit
Sampang
Karangasem
Bangsal
Kaliwedi
Adisana
Kacila
Kedungpring
Sumpyuh
Kradenan
Kutowinangun
Mekarsari
Ngaran
Ngaran
Prembun
Sidomangu
Sidomangu
Jetis
Jetis
Truno
Truno
Juragan
Cinde
Sambeng
Kebonarum
Kluneng
Getak
Getak
Senden
Senden
Juwiring
Juwiring
Juwiring
Juwiring
Juwiring
Kuwiran
Cangkringan
Cangkringan
Ngaru
Ngaru
Ngaru
Sawit
Kemasan
Muncul
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
IR64
Ciherang
IR64
IR64
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Muncul
Ciherang
Muncul
Ciherang
Situ Bagendit
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Membramo
IR64
Membramo
Ciherang
Situ Bagendit
Ciherang
Situ Bagendit
Situ Bagendit
Situ Bagendit
Situ Bagendit
Membramo
Membramo
Situ Bagendit
Sintanur
Membramo
Situ Bagendit
12,6
12,8
40,4
23,0
37,8
14,1
38,2
12,4
17,6
11,5
12,3
11,9
11,9
13,4
14,0
13,9
6,7
9,3
13,9
12,6
13,5
5,7
7,4
12,2
18,0
9,8
10,6
14,3
13,9
10,4
9,1
12,4
12,0
14,3
8,3
9,1
10,7
6,9
9,4
10,4
7,6
7,0
31
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Sukoharjo
Sukoharjo
Sragen
Grogol
Grogol
Grogol
Grogol
Sukoharjo
Sukoharjo
Sukoharjo
Sukoharjo
Tawangsari
Tawangsari
Tawangsari
Sambungmacan
Sambungmacan
Sambungmacan
Sambungmacan
Sambungmacan
Sambungmacan
Telukan
Telukan
Telukan
Telukan
Jetis
Carikan
Combangan
Combangan
Pojok
Dalangan
Tawangsari
Jatisumo
Jatisumo
Jatisumo
Banaran
Banaran
Sumberagung
Situ Bagendit
Ciherang
Ciherang
Membramo
Ciherang
Situ Bagendit
Situ Bagendit
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Membramo
IR64
IR64
Mentik
Inpari4
12,2
11,5
11,1
15,4
9,1
11,9
4,6
12,6
3,0
10,0
2,0
13,5
14,1
9,6
9,4
3,5
6,5
C. Sebaran penyakit HDB di Propinsi D.I. Yogyakarta
Pemantauan penyakit HDB pada MK 2013 dilakukan di 2 kabupaten yaitu
Sleman dan Bantul. Di Kabupaten Sleman, pengamatan dilakukan di Kecamatan
Berbah, Kalitirto, dan Prambanan. Di Kabupaten Bantul, pengamatan dilakukan di
Kecamatan Pleret, Sewon, dan Piyungan. Penyakit HDB dengan keparahan 27,088,2% diperoleh di Kabupaten Sleman, sedangkan di Kabupaten Bantul sebesar
4,8-32,6%. Pemantauan penyakit HDB pada MH 2013/2014 dilakukan di
Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulonprogo. Di KabupatenSleman, pengamatan
dilakukan di Kecamatan Godean dan Moyudan. PengamatanDi Kabupaten Bantul
dilakukan di Kecamatan Banguntapan dan Sedayu, sedangkan di Kabupaten
Kulonprogo pengamatan di Kecamatan Nanggulan dan Sentolo. Di Kabupaten
Sleman, keparahan HDB 0,0-13,3%, di Kabupaten Bantulsebesar 0,0-22,2%,
sedangkan di Kabupaten Kulonprogo 4,4% (Tabel 4).
Tabel 4.Keparahan penyakit HDB di beberapa sentra produksi padi di Yogyakarta.
Kabupaten
Sleman
Kecamatan
Berbah
Berbah
Berbah
Kalitirto
Prambanan
Godean
Desa
Sendangtirto
Sekarsuli
Sekarsuli
Jarakan
Madurejo
Sidorejo
Varietas
Sintanur
Mekongga
Ciherang
Sintanur
Ketan
Ciherang
Keparahan Penyakit
(%)
63,7
57,8
88,2
34,1
27,0
8,9
32
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Bantul
Kulonprogo
Godean
Godean
Moyudan
Moyudan
Moyudan
Pleret
Pleret
Sewon
Piyungan
Piyungan
Banguntapan
Banguntapan
Banguntapan
Sedayu
Sedayu
Sedayu
Sedayu
Sedayu
Nanggulan
Nanggulan
Sentolo
Sidoluhur
Joglo
Nalangan
Kruwet
Sumberagung
Kedaton
Segoroyoso
Pacar
Banyakan
Sitimulyo
Jambidan
Potorono
Wirokerten
Kalaan
Argosari
Sedayu
Argorejo
Argorejo
Wijimulyo
Ploso
Banguncipto
Ciherang
St. Bagendit
St. Bagendit
St. Bagendit
IR64
Situbagendit
Situbagendit
Situbagendit
Ciherang
Ciherang
Ciherang
St. Bagendit
St. Bagendit
Ciherang
IR64
IR42
IR64
St. Bagendit
Ciherang
Muncul
Ciherang
13,3
0
0
0
4,4
11,7
17,0
4,8
32,6
29,3
8,9
7,8
0
5,6
14,4
0
22,2
0
4,4
0
0
D. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo)
Hasil koleksi daun sakit HDB dari Jawa Tengah diperolehsebanyak 426
sampel, sedangkan D.I. Yogyakarta sebanyak 66 sampel. Hasil isolasi Xoo
diperoleh 414 isolat Jawa Tengah dan 66 isolat Yogyakarta. Hasil pengujian isolat
Xoo Jawa Tengah teridentifikasi 81 isolat (20%) patotipe III, 162 isolat (39%)
patotipe IV, dan 171 isolat (41%) patotipe VIII. Hasil pengujian terhadap isolat
XooYogyakarta diperoleh 39 isolat (59,1%) patotipe III, 18 isolat (27,3%) patotipe
IV, dan 9 isolat (13,6%) patotipe VIII. Penyakit HDB di Jawa Tengah didominasi
oleh Xoo patotipe VIII, sedangkan di Yogyakarta didominasi oleh Xoo patotipe III.
Tabel 5. Komposisi patotipe Xoo di kabupaten di Prop.Jawa Tengah dan D.I.
Yogyakarta.
Kabupaten
Jawa Tengah
Pemalang
Pekalongan
Batang
Demak
Jumlah
sampel
Jumlah
isolat
III
45
58
19
3
45
57
19
0
2 (4,4)
2 (3,5)
7 (36,8)
-
Jumlah Patotipe (%)
IV
31 (68,9)
31 (54,4)
7 (36,8)
-
VIII
12 (26,7)
24 (42,1)
5 (26,4)
-
33
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kudus
Jepara
Pati
Rembang
Blora
Cilacap
Banyumas
Kebumen
Klaten
Boyolali
Sukoharjo
Sragen
JUMLAH :
11
46
17
20
5
40
21
24
39
21
39
18
426
11
43
17
18
2
40
21
24
39
21
39
18
414(100%)
2 (18,2)
5 (11,6)
4 (23,5)
6 (33,3)
1 (50)
11(27,5)
3 (14)
10 (42)
1 (2,6)
10 (47,6)
14 (35,9)
3 (16,7)
81(20)
2 (18,2)
21 (48,8)
3 (17,6)
3 (16,7)
0 (0)
8 (20)
7 (33)
1(4)
27 (69,2)
7 (33,3)
5 (12,8)
9 (50,0)
162(39)
7 (63,6)
17 (39,5)
10 (58,8)
9 (50)
1 (50)
21 (52,5)
11 (53)
13 (54)
11 (28,2)
4 (19,1)
20 (51,3)
6 (33,3)
171(41)
Sleman
35
Bantul
31
66
JUMLAH:
- = tidak diperoleh data
35
31
66(100%)
19 (54,3)
20 (64,5)
39 (59,1)
11 (31,4)
7 (22,6)
18(27,3)
5 (14,3)
4 (12,9)
9(13,6)
D.I. Yogyakarta
Kesimpulan
Keparahan penyakit HDB mencapai > 80% terdapat di Ds. Kebon Agung,
Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan, Prop. Jawa Tengah dan Ds. Sekarsuli,
Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Prop. Yogyakarta.Hasil isolasi bakteri Xoo
diperoleh 414 isolat dari Prop. Jawa Tengah dan 66 isolat dari D.I. Yogyakarta.
Hasil pengujian terhadap isolat Xooasal Jawa Tengah teridentifikasi 81 isolat
(20%) patotipe III, 162 isolat (39%) patotipe IV, dan 171 isolat (41%) patotipe VIII.
Hasil pengujian terhadap isolat Xooasal Yogyakarta diperoleh 39 isolat (59,1%)
patotipe III, 18 isolat (27,3%) patotipe IV, dan 9 isolat (13,6%) patotipe VIII.
Hawar daun bakteri di Prop. Jawa Tengah didominasi oleh Xoo patotipe VIII,
sedangkan di D.I. Yogyakarta didominasi oleh Xoo patotipe III.
Daftar pustaka
Hifni, H. R. 1995. Variasi patogen hawar daun bakteri di Indonesia. Dalam Kinerja
Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan Bogor.
Nayak, D. , M.L. Shanti, L.K. Bose, U.D. Singh and P. Nayak. 2008. Pathogenicity
association in Xanthomonas oryzaepv. oryzae the causal organism of rice
bacterial blight disease. Asian Research Publishing Network (ARPN). and
Biol. Science: 12-27.
34
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Sudir, Suprihanto dan Triny S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas
oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di daerah
sentra produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan 28 (3) : 131-138.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun
bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian
Pertanian 22 : 45-50.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomoas
campestris pv.oryzae,isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian
Jurnal of Agricultural Science 5 : 63-69.
35
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
WAKTU APLIKASI DAN JENIS BAKTERISIDA TERHADAP KEPARAHAN
PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI DAN HASIL PADI
Dini Yuliani dan Sudir
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
JL. Raya IX Sukamandi Subang 41256, email: [email protected]
Abstrak
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan kendala utama budidaya
tanaman padi di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh Xanthomonas oryzae
pv. oryzae (Xoo). Pengendalian penyakit HDB dengan teknik pemupukan
bersifat lokal dan terbatas, sedangkan taktik penggunaan varietas cukup efektif
namun memiliki keterbatasan waktu dan tempat. Oleh karena itu, diperlukan
alternatif pengendalian lain yang efektif dan efisien yaitu penggunaan jenis
bakterisida dengan waktu aplikasi yang tepat. Penelitian dilaksanakan di Kebun
Percobaan BB Padi Sukamandi pada musim kemarau (MK) 2012 dan musim
hujan (MH) 2012/2013. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh
waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap penyakit HDB. Percobaan ditata
dalam rancangan Split Plot dengan 3 ulangan. Petak utama adalah waktu
aplikasi: (1). Tanaman padi diinokulasi Xoo kemudian satu hari berikutnya
disemprot bakterisida, dan (2). Tanaman padi disemprot bakterisida kemudian
satu hari berikutnya diinokulasi Xoo. Isolat Xoo yang digunakan adalah patotipe
IV merupakan patotipe Xoo yang paling ganas. Anak petak terdiri dari 4
perlakuan bakterisida yaitu: (1). Asam Khloro Bromo Iso Sianurik, (2).
Streptomycin Sulfate 7%, (3). Tembaga Oksida 56%, dan (4). Kontrol.
Pengamatan keparahan penyakit dilakukan dengan mengukur gejala penyakit
yang muncul pada 2 dan 3 minggu setelah inokulasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa waktu aplikasi bakterisida sebelum inokulasi Xoo memiliki
keparahan penyakit HDB yang lebih rendah dibandingkan aplikasi bakterisida
setelah inokulasi Xoo. Jenis bakterisida yang efektif untuk menekan keparahan
penyakit pada MK 2012 yaitu Tembaga Oksida 56%, sedangkan pada MH
2012/2013 yaitu Asam Khloro Bromo Iso Sianurik. Hasil tanaman padi pada MK
2012 lebih tinggi dibandingkan MH 2012/2013.
Kata Kunci: waktu aplikasi, jenis bakterisida, hawar daun bakteri
Pendahuluan
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan kendala utama pada
seluruh sentra padi dunia tersebar luas di Indonesia, India, Thailand, Filipina,
Jepang, Cina, Amerika Serikat, Meksiko, Madagaskar, Nigeria, Senegal, Mali
dan Australia (Agarwal and Sinclair, 1987 dalam Rachmawati, 2009). Penyakit
ini disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) yang tersebar di
36
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
berbagai ekosistem dan dapat menyerang semua stadium tumbuh tanaman
padi. Penyakit HDB menghasilkan dua gejala khas yaitu kresek dan hawar.
Kresek adalah gejala yang terjadi pada tanaman padi berumur < 30 hari
setelah tanam (HST). Sementara, hawar merupakan gejala yang paling umum
dijumpai pada pertanaman yang telah mencapai fase anakan maksimum
sampai pemasakan (Suparyono et al. 2004). Baik kresek maupun hawar
memiliki gejala yang sama yaitu daun-daun berwarna hijau kelabu, melipat dan
menggulung. Dalam keadaan parah, seluruh daun menggulung, layu dan mati
mirip tanaman yang terkena air panas (Semangun, 2004).
Kehilangan hasil akibat penyakit HDB mencapai 20-30% bahkan
mencapai 50% di Jepang. Di India, keparahan penyakit HDB 7-39%
menyebabkan kehilangan hasil 22.000-105.000 ton (Rajarajeswari and
Muralidharani, 2006). Di daerah tropis seperti Indonesia kerusakan pertanaman
padi lebih besar dibandingkan daerah sub-tropis (Khaeruni, 2001). Luas
serangan HDB di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 110.248 ha diantaranya
mengalami puso seluas 12 ha. Luas serangan HDB yang paling parah
berdasarkan provinsi yaitu Jawa Barat 40.486 ha, Jawa Tengah 30.029 ha,
Jawa Timur 23.504 ha, Banten 3.745 ha dan Sulawesi Tenggara 2.678 ha
(Anonim, 2011). Intensitas serangan HDB tidak hanya dipengaruhi oleh
ketahanan varietas dan virulensi patogen, tetapi juga dipengaruhi oleh teknik
bercocok tanam yang diterapkan petani. Penyakit HDB memiliki hubungan yang
jelas dengan pemupukan nitrogen (N). Pemberian pupuk N dengan dosis
anjuran dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan produktivitas tanaman.
Sebaliknya pemupukan N dengan dosis tinggi akan meningkatkan kerentanan
tanaman terhadap patogen (Khaeruni, 2001). Namun pengendalian melalui
pemupukan terbatas dan bersifat lokal, sehingga dihadapkan pada kesulitan
teknis yang relatif tinggi.
Taktik penggunaan varietas efektif namun memiliki keterbatasan waktu
dan tempat dikarenakan patogen memiliki banyak patotipe. Oleh karena itu,
diperlukan alternatif pengendalian lain yang efektif dan efisien yaitu
penggunaan jenis bakterisida dengan waktu aplikasi yang tepat. Bakterisida
adalah suatu zat yang bersifat racun, menghambat pertumbuhan,
mempengaruhi tingkah laku, penghambat makan, serta aktivitas lainnya yang
dapat mempengaruhi OPT. Pengendalian HDB secara kimiawi dapat dilakukan
dengan pelapisan benih padi menggunakan bleaching powder (100 μg/ml) dan
zinc sulfate 2% (Anonim, 2008). Sigee (1993) menyatakan, bahan aktif pada
bakterisida dilepaskan dalam bentuk agens toksik berupa ion yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri hingga menyebabkan sel bakteri patogen
mati, pada kondisi lain bakterisida tidak membunuh secara langsung tetapi
mempengaruhi metabolisme tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri patogen.
37
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Penyakit HDB dapat dikendalikan dengan cara relatif aman terhadap
lingkungan dengan menggunakan bakterisida dengan waktu dan aplikasi yang
tepat sehingga kehilangan hasil oleh penyakit ini dapat ditekan (Sudir dan
Suprihanto, 2008). Aplikasi bakterisida sintetis umumnya dengan penyemprotan
langsung di lapang pada kondisi tanaman terserang penyakit yang disebabkan
oleh patogen bakteri. Teknik pengendalian ini diharapkan mampu menekan
kehilangan hasil akibat penyakit HDB dan mampu mendukung usaha pertanian
berkelanjutan. Namun hasil penelitian mengenai waktu aplikasi dan jenis
bakterisida masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh dari waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap
keparahan penyakit HDB dan hasil padi pada dua musim tanam.
Bahan dan metode
A. Tempat dan Waktu.
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan BB Padi, Kab. Subang Jawa
Barat pada musim kemarau (MK) 2012 dan musim hujan (MH) 2012/2013.
B. Rancangan Percobaan.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan petak terpisah dengan 3
ulangan. Petak percobaan berukuran 2 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x
25 cm. Petak utama adalah: (1). Tanaman padi diinokulasi isolat Xoo
kemudian 1 hari berikutnya disemprot bakterisida, dan (2). Tanaman padi
disemprot bakterisida kemudian 1 hari berikutnya diinokulasi isolat Xoo. Anak
petak terdiri dari 4 perlakuan yaitu: (1). Asam Khloro Bromo Iso Sianurik
(Puanmur 50 SP), (2). Streptomycin Sulfate 7% (Plantomycin 7 SP), (3).
Tembaga Oksida 56% (Nordox 56 WP), dan (4). Kontrol.
C. Cara Tanam dan Pemeliharaan Tanaman.
Varietas Ciherang dipilih karena merupakan varietas yang rentan terhadap
HDB patotipe IV. Bibit padi ditanam saat bibit berumur 21 hari setelah sebar.
Seluruh plot diberi pupuk nitrogen (N) dan Posfor (P) sesuai dengan dosis
rekomendasi. Pemupukan N dalam bentuk Urea diberikan secara bertahap 3
kali, masing-masing 1/3 bagian diberikan pada umur tanaman padi 10-12
HST, fase pembentukan anakan aktif, dan primordia. Pupuk P diaplikasikan
seluruhnya pada pemupukan pertama. Untuk memacu perkembangan
penyakit HDB tanaman tidak dipupuk KCl. Pemeliharaan tanaman dilakukan
menurut standar bercocok tanam padi.
D. Inokulasi Xoo.
Sebanyak 20 rumpun tanaman per petak yang terbagi pada lima titik
diagonal, masing-masing 4 rumpun per titik diinokulasi dengan bakteri Xoo
patotipe IV. Inokulasi dilakukan pada saat pertanaman menjelang stadium
38
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
primordia dengan metode gunting. Tanaman sampel digunting seluruh ujung
daunnya sepanjang kira-kira 10 cm dengan gunting inokulasi yang berisi
suspensi bakteri Xoo umur 48 jam dengan kepekatan 108 cfu. Inokulasi
dilakukan menjelang sore hari sekitar pukul 14.00 – 17.30 WIB.
E. Pengamatan Penyakit.
Pengamatan keparahan penyakit HDB dilakukan pada 20 rumpun sampel
per petak yang telah diinokulasi Xoo. Pengamatan dilakukan dengan
mengukur 5 daun bergejala terpanjang/rumpun pada umur 2 dan 3 minggu
setelah inokulasi (MSI). Keparahan penyakit adalah rasio dari panjang gejala
HDB dibagi panjang daun yang diinokulasi dikali 100%. Pengamatan
keparahan penyakit berdasarkan Standard Evaluation Sytem for Rice
(Anonim, 1996) tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Keparahan Penyakit HDB berdasarkan SES for Rice
Nilai Skala Luas gejala/keparahan penyakit (%)
0
1
3
5
7
9
Tidak ada gejala
Keparahan 1-6%
Keparahan > 6-12%
Keparahan > 12-25%
Keparahan > 25-50%
Keparahan > 50-100%
F. Pengamatan Komponen Hasil.
Pengamatan komponen hasil berdasarkan standar IRRI untuk padi (Anonim,
1996) terhadap bobot gabah kering giling, jumlah gabah isi, jumlah gabah
hampa, bobot gabah isi, bobot gabah hampa, dan bobot 1000 butir. Data
hasil didapatkan dari hasil panen per plot dengan meninggalkan dua baris
pinggir. Bobot gabah kering giling dihitung setelah gabah padi memiliki kadar
air 14%.
G. Analisis Data.
Pengaruh waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap keparahan penyakit
HDB dan komponen hasil padi dianalisis secara statistik dengan metode
sidik ragam ANOVA. Pengaruh perlakuan dievaluasi berdasarkan nilai F
hitung. Perbedaan antar perlakuan diuji lanjut dengan DMRT pada taraf 5%
(Gomez and Gomez, 1995).
39
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil dan pembahasan
A. Keparahan Penyakit HDB MK 2012
Hasil analisis sidik ragam pengujian waktu aplikasi dan jenis bakterisida
terhadap HDB pada musim kemarau (MK) 2012 menunjukkan bahwa waktu
aplikasi dan jenis bakterisida berbeda nyata (P<0,001) namun tidak terjadi
interaksi antara keduanya (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa keparahan
penyakit HDB pada MK 2012 dipengaruhi oleh waktu aplikasi dan jenis
bakterisida secara terpisah.
Tabel 2. Sidik ragam waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap HDB,
Sukamandi MK 2012.
Sumber
Keragaman
DB
Pengamatan 1
Pengamatan 2
Waktu Aplikasi
1
*
*
Jenis Bakterisida
3
*
*
Ulangan
2
tn
tn
Waktu x Jenis
3
tn
tn
2
R
0,96
0,93
CV (%)
7,47
7,26
* = berbeda nyata, tn= tidak berbeda nyata pada taraf LSD 5%
Hasil pengamatan pada MK 2012 menunjukkan bahwa waktu aplikasi
bakterisida sebelum inokulasi Xoo memiliki keparahan penyakit HDB yang lebih
rendah dibandingkan dengan aplikasi bakterisida setelah inokulasi Xoo pada 2
dan 3 MSI berturut-turut sebesar 3,09 dan 5,27% (Tabel 3). Jenis bakterisida
berpengaruh terhadap keparahan penyakit HDB. Bakterisida tembaga oksida
56% memiliki keparahan penyakit HDB paling rendah dibandingkan bakterisida
lainnya sebesar 2,80% (2 MSI) dan 4,90% (3 MSI). Tembaga oksida 56%
merupakan bakterisida yang memiliki mekanisme kerja sebagai racun kontak
untuk patogen. Bahan aktif pada racun kontak akan menghambat bakteri untuk
melakukan infeksi pada tanaman padi. Bakterisida lainnya yaitu Streptomycin
Sulfate 7% dan Asam Khloro Bromo Iso Sianurik memiliki cara kerja sebagai
racun sistemik. Bakterisida jenis ini akan bekerja apabila racun yang
disemprotkan ke bagian tanaman sudah terserap masuk ke dalam jaringan
tanaman baik melalui akar maupun daun sehingga dapat membunuh patogen
yang berada di dalam jaringan tanaman, seperti bakteri/cendawan.
40
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 3. Waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap rata-rata intensitas
penyakit HDB, Sukamandi MK 2012.
Intensitas Penyakit (%)
Perlakuan
Waktu Aplikasi
Sebelum inokulasi Xoo
Setelah inokulasi Xoo
Jenis Bakterisida
Streptomycin Sulfate 7%
Asam Khloro Bromo Iso
Sianurik
Tembaga Oksida 56%
Kontrol
Keterangan: Angka yang selajur yang
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan
2 MSI
3 MSI
3,09 b
4,22 a
5,27 b
6,76 a
3,40 c
3,84 b
6,08 b
6,33 ab
2,80 d
4,90 c
4,58 a
6,77 a
diikuti oleh huruf yang sama tidak
Komponen hasil tanpa inokulasi Xoo pada MK 2012 menunjukkan waktu
aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak interaksi antara
keduanya. Waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo diperoleh bobot gabah kering
giling, jumlah gabah hampa, bobot gabah hampa, dan bobot 1000 butir lebih
tinggi dibandingkan dengan waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Waktu
aplikasi setelah inokulasi Xoo menunjukkan jumlah gabah isi dan bobot gabah
isi lebih tinggi dibandingkan dengan waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo
(Tabel 4). Jenis bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap komponen hasil
tanpa inokulasi Xoo pada MK 2012 kecuali pada bobot gabah kering giling.
Bobot gabah kering giling, jumlah gabah isi, dan bobot 1000 butir tertinggi
dijumpai pada bakterisida Tembaga Oksida 56% masing-masing sebesar
292,75 kg, 728,67 butir, dan 27,82 gram. Jumlah gabah hampa tertinggi
diperoleh pada bakterisida Streptomycin Sulfate 7% sebesar 173,33 butir.
Bobot gabah isi tertinggi sebesar 20,22 gram pada jenis bakterisida Asam
Khloro Bromo Iso Sianurik. Bobot gabah hampa tertinggi pada perlakuan
kontrol yaitu 0,83 gram.
Tabel 4. Komponen hasil tanpa inokulasi Xoo, Sukamandi MK 2012.
Perlakuan
BGKG
JGI
JGH
BGI
BGH
(kg)
(butir)
(butir)
(gr)
(gr)
1000
butir
(gr)
Waktu Aplikasi
Sebelum inokulasi Xoo
282,21 a
713,25
a
169,17
a
19,88
a
0,85
a
27,59 a
41
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Setelah inokulasi Xoo
261,17 a
Jenis Bakterisida
Streptomycin Sulfate 7%
261,42 b
720,83
a
158,08
a
20,20
a
0,73
a
27,47 a
711,67 173,33 19,85 0,75 27,55 a
a
a
a
a
Asam Khloro Bromo Iso 270,92 b 725,83 161,00 20,22 0,72 27,79 a
Sianurik
a
a
a
a
Tembaga Oksida 56%
292,75 a 728,67 164,00 20,00 0,73 27,82 a
a
a
a
a
Kontrol
261,67 b 726,67 156,17 20,15 0,83 27,61 a
a
a
a
a
Keterangan: Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan, BGKG: bobot gabah kering giling, JGI:
jumlah gabah isi, JGH: jumlah gabah hampa, BGI: bobot gabah isi, BGH: bobot
gabah hampa.
Komponen hasil dengan inokulasi Xoo pada MK 2012 menunjukkan
bahwa waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak
interaksi antara keduanya. Waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo diperoleh
bobot gabah kering giling, bobot gabah hampa, dan bobot 1000 butir lebih tinggi
dibandingkan dengan waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Waktu aplikasi
setelah inokulasi Xoo menunjukkan jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan
bobot gabah isi lebih tinggi dibandingkan dengan waktu aplikasi sebelum
inokulasi Xoo (Tabel 5). Jenis bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap
komponen hasil dengan inokulasi Xoo pada MK 2012. Bakterisida Asam Khloro
Bromo Iso Sianurik memberikan jumlah gabah isi dan bobot gabah isi tertinggi
dibandingkan perlakuan bakterisida lainnya. Pada bakterisida Tembaga Oksida
56% dijumlah bobot gabah kering giling sebesar 232,33 kg. Jumlah gabah
hampa, bobot gabah hampa, dan bobot 1000 butir tertinggi dijumpai pada
perlakuan kontrol (Tabel 5).
Tabel 5. Komponen hasil dengan inokulasi Xoo, Sukamandi MK 2012.
Perlakuan
BGKG
JGI
JGH
BGI
BGH
(kg)
(butir)
(butir)
(gr)
(gr)
1000
butir
(gr)
Waktu Aplikasi
Sebelum inokulasi Xoo
Setelah inokulasi Xoo
231,08
a
225,58
a
710,92
a
720,67
a
181,92
a
201,17
a
19,78
a
19,91
a
0,87
a
0,84
a
27,51 a
27,12 a
Jenis Bakterisida
42
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Streptomycin Sulfate 7%
230,58 710,33 193,00 19,78 0,88 27,35 a
a
a
a
a
a
Asam Khloro Bromo Iso 231,83 716,00 196,00 19,83 0,75 27,36 a
Sianurik
a
a
a
a
a
Tembaga Oksida 56%
232,33 700,67 167,00 14,92 0,85 26,38 a
a
a
a
a
a
Kontrol
218,58 711,50 210,17 19,77 1,05 27,54 a
a
a
a
a
a
Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 0,05 Duncan, BGKG: bobot gabah kering giling, JGI: jumlah gabah isi,
JGH: jumlah gabah hampa, BGI: bobot gabah isi, BGH: bobot gabah hampa.
B. Keparahan Penyakit HDB MH 2012/2013
Hasil analisis sidik ragam pengujian waktu aplikasi dan jenis bakterisida
terhadap HDB pada musim hujan (MH) 2012/2013 menunjukkan bahwa waktu
aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata (P<0,001) dan tidak terjadi
interaksi antara keduanya (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa keparahan
penyakit HDB pada MH 2012/2013 tidak dipengaruhi oleh waktu aplikasi dan
jenis bakterisida.
Tabel 6. Analisis sidik ragam waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap
hawar daun bakteri, Sukamandi MH 2012/2013.
Sumber
Keragaman
DB
Pengamatan 1
Pengamatan 2
Waktu Aplikasi
1
tn
tn
Jenis Bakterisida
3
tn
tn
Ulangan
2
tn
tn
Waktu x Jenis
3
tn
tn
2
R
0,84
0,95
CV (%)
17,95
12,74
* = berbeda nyata, tn= tidak berbeda nyata pada taraf LSD 5%
Hasil pengamatan pada MH 2012/2013 menunjukkan bahwa waktu
aplikasi bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit HDB
pada 2 dan 3 MSI. Namun aplikasi bakterisida sebelum inokulasi Xoo memiliki
keparahan penyakit HDB relatif lebih rendah dibandingkan aplikasi setelah
inokulasi Xoo berturut-turut sebesar 3,90 dan 6,03% (Tabel 7). Jenis bakterisida
tidak berpengaruh terhadap keparahan penyakit HDB. Bakterisida Asam Khloro
Bromo Iso Sianurik memiliki keparahan penyakit HDB paling rendah
dibandingkan bakterisida lainnya sebesar 3,87% (2 MSI) dan 5,84% (3 MSI).
43
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 7. Waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap rata-rata intensitas
penyakit hawar daun bakteri, Sukamandi MH 2012/2013.
Intensitas Penyakit (%)
Perlakuan
2 MSI
3 MSI
Waktu Aplikasi
Sebelum inokulasi Xoo
3,90 a
Setelah inokulasi Xoo
4,00 a
Jenis Bakterisida
Streptomycin Sulfate 7%
3,64 a
Asam Khloro Bromo Iso
3,87 a
Sianurik
Tembaga Oksida 56%
4,04 a
Kontrol
4,27 a
Keterangan: Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan.
6,03 a
6,43 a
6,18 a
5,84 a
6,19 a
6,72 a
yang sama tidak
Komponen hasil tanpa inokulasi Xoo pada MH 2012/2013 menunjukkan
waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak interaksi
antara keduanya. Waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo diperoleh bobot gabah
kering giling (237,41 kg) dan bobot 1000 butir (27,55 gram) lebih tinggi
dibandingkan waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Jumlah gabah isi, jumlah
gabah hampa, bobot gabah isi, dan bobot gabah hampa paling tinggi diperoleh
pada waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo (Tabel 8). Jenis bakterisida tidak
berpengaruh nyata terhadap komponen hasil tanpa inokulasi Xoo. Bakterisida
Streptomycin Sulfate 7% memberikan hasil bobot gabah kering giling dan
jumlah gabah hampa yang tertinggi dibandingkan perlakuan bakterisida lainnya.
Pada bakterisida Asam Khloro Bromo Iso Sianurik diperoleh bobot gabah
hampa dan bobot 1000 butir tertinggi masing-masing sebesar 2,37 gram dan
27,54 gram. Jumlah gabah isi dan bobot gabah isi tertinggi dijumpai pada
bakterisida Tembaga Oksida 56%. Jumlah gabah hampa tertinggi diperoleh
pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 315,33 butir (Tabel 8).
Tabel 8. Kohasil tanpa inokulasi Xoo, Sukamandi MH 2012/2013
Perlakuan
BGKG
JGI
JGH
BGI
BGH
(kg)
(butir)
(butir)
(gr)
(gr)
1000
butir
(gr)
Waktu Aplikasi
Sebelum inokulasi Xoo
Setelah inokulasi Xoo
237,41
a
219,03
1.074,75
a
1.130,67
272,17
a
288,33
28,56
a
30,44
1,92
b
2,52
27,55 a
27,31 a
44
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
a
a
a
a
a
Jenis Bakterisida
Streptomycin Sulfate 7%
231,78 1.140,83 309,67 30,14 2,28 27,28 a
a
a
a
a
a
Asam Khloro Bromo Iso 227,14 1.069,33 264,17 28,59 2,37 27,59 a
Sianurik
a
a
a
a
a
Tembaga Oksida 56%
225,01 1.147,17 231,83 30,55 1,90 27,30 a
a
a
a
a
a
Kontrol
228,97 1.053,50 315,33 28,73 2,32 27,54 a
a
a
a
a
a
Keterangan: Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan, BGKG: bobot gabah kering giling, JGI:
jumlah gabah isi, JGH: jumlah gabah hampa, BGI: bobot gabah isi, BGH: bobot
gabah hampa.
Komponen hasil dengan inokulasi Xoo pada MH 2012/2013
menunjukkan waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak
interaksi antara keduanya. Waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo diperoleh
jumlah gabah isi, bobot gabah isi, dan bobot 1000 butir lebih tinggi
dibandingkan waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Bobot gabah kering giling,
jumlah gabah hampa, dan bobot gabah hampa tertinggi dijumpai waktu aplikasi
setelah inokulasi Xoo. Jenis bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap
komponen hasil dengan inokulasi Xoo. Bakterisida Streptomycin Sulfate 7%
memberikan hasil bobot gabah isi tertinggi dibandingkan perlakuan bakterisida
lainnya sebesar 27,61 gram. Pada bakterisida Asam Khloro Bromo Iso Sianurik
diperoleh jumlah gabah hampa tertinggi sebesar 424,50 butir dan bobot 1000
butir tertinggi sebesar 27,47 gram. Jumlah gabah isi dan bobot gabah kering
giling tertinggi dijumpai pada bakterisida Tembaga Oksida 56%. Bobot gabah
hampa tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 3,19 gram
(Tabel 9).
Tabel 9. Kohasil dengan inokulasi Xoo, Sukamandi MH 2012/2013
Perlakuan
BGKG
JGI
JGH
BGI
BGH
(kg)
(butir)
(butir)
(gr)
(gr)
1000
butir
(gr)
Waktu Aplikasi
Sebelum inokulasi Xoo
Setelah inokulasi Xoo
186,43
a
194,84
a
1.025,75
a
920,25 b
348,83
a
412,58
a
27,27
a
25,81
a
2,60 a
27,35 a
2,95 a
27,30 a
Jenis Bakterisida
45
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Streptomycin Sulfate 7%
193,62 998,83 a 362,00 27,61
2,70
27,28 a
a
a
a
ab
Asam Khloro Bromo Iso 191,74 932,83 a 424,50 26,08
2,88
27,47 a
Sianurik
a
a
a
ab
Tembaga Oksida 56%
196,10 1.012,17 360,83 27,31 2,33 b 27,26 a
a
a
a
a
Kontrol
181,07 948,70 a 375,50 25,17 3,19 a 27,29 a
a
a
a
Keterangan: Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan, BGKG: bobot gabah kering giling, JGI:
jumlah gabah isi, JGH: jumlah gabah hampa, BGI: bobot gabah isi, BGH: bobot
gabah hampa.
Kesimpulan
Waktu aplikasi bakterisida sebelum inokulasi Xoo memiliki keparahan
penyakit HDB yang lebih rendah dibandingkan aplikasi bakterisida setelah
inokulasi Xoo. Jenis bakterisida yang efektif untuk menekan keparahan
penyakit pada MK 2012 yaitu Tembaga Oksida 56%, sedangkan pada MH
2012/2013 yaitu Asam Khloro Bromo Iso Sianurik. Waktu aplikasi dan jenis
bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak ada interaksi antara keduanya
terhadap komponen hasil baik perlakuan inokulasi Xoo maupun tanpa inokulasi
Xoo pada dua musim tanam. Namun, secara umum hasil tanaman padi pada
MK 2012 lebih tinggi dibandingkan MH 2012/2013.
Daftar pustaka
Anonim. 1996. Standard Evaluation System for Rice. IRRI. Los Banos.
Philippines.
Anonim.
2008.
Bacterial
Leaf
Blight:
Diagnostic
Summary.
<http://www.knowledgebank.irri.org/RiceDoctor/Fact_Sheets/Diseases/
Bacterial_Leaf_Blight.htm#Common>. Diakses pada 22 Mei 2014
Anonim. 2011. Laporan Tahunan 2010 Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan. Dirjen Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian.
Gomez, A.K. and A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian
Pertanian. (Terjemahan oleh Enang Sjamsudin & Justika Baharsjah).
Edisi 11. UI Press, Jakarta.
Khaeruni, A. 2001. Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi: Masalah dan
Upaya Pemecahannya. IPB Press. Bogor.
Rachmawati, A.Y. 2009. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning Plus Bakterisida
Sintetis atau Nabati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri
(Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Terbawa Benih serta Meningkatkan
Viabilitas dan Vigor benih Padi (Oryza sativa L.). Skripsi Departemen
Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
46
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Rajarajeswari, N.V.L., and K. Muralidharan. 2006. Assessments of farm yield
and district production loss from bacterial leaf blight epidemics in rice.
Crop Protection 25: 244–252.
Semangun H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sigee, D.C. 1993. Bacterial Plant Pathology: Cell and Molecular Aspect. First
Edition. Cambridge University Press. England. 325 p.
Sudir dan Suprihanto. 2008. Pengaruh jenis dan waktu aplikasi bakterisida
antagonis terhadap penyakit hawar daun bakteri Xanthomonas oryzae
pv. oyzae pada tanaman padi. prosiding Seminar Apresiasi Hasil
Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas
campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java.
Indonesian J. Agric. Sci. 5 : 63-69.
47
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014
KAJIAN PENGGUNAAN BIORASIONAL UNTUK MENGENDALIKKAN
HAWAR DAUN BAKTERI (HDB) PADI
Agus Nurawan dan Nandang Sunandar
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Barat
Jl.Kayuambon No.80, Lembang Kabupaten Bandung Barat. 40391
Email : [email protected]
Abstrak
Pengkajian penggunaan biorasional untuk mengendalikan penyakit
Hawar Daun Bakteri telah dilakukan di Desa Cipeuyeum, Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur. Lokasi tersebut merupakan daerah endemik
HDB padi. Biorasional yang digunakan, berasal dari Balai Besar Biogen yang
mengandung inokulum Serratia marescens, Bacillus firmus dan Burkholderia
sp. Biorasional tersebut disamping untuk mengendalikan penyakit HDB juga
salah satu inokulumnya mengandung mikroorganisme yang dapat
meningkatkan produktivitas tanaman. Pengkajian tersebut bertujuan untuk
mengetahui efektifitas biorasional untuk mengendalikan HDB dan varietas
inpari HDB di lapangan dan pengaruhnya terhadap peningkatan produktivitas
padi. Pengkajian menggunakan analisis deskriptif membandingkan antara 2
perlakuan yaitu Biorasional dan varietas Inpari HDB dengan kontrol, setiap
petak terdiri 3 sampel tanaman dan ulangan sebanyak 16 kali. Varietas yang
digunakan adalah Inpari 20, jarak tanam 30 x 15 cm dan selokan 60 cm
menggunakan sistim jajar legowo 2 : 1. Dosis biorasional adalah 2 gram per
liter air, diaplikasikan pada umur 14, 28 dan 42 HST (Hari Setelah Tanam).
Parameter yang diamati meliputi daya hambat terhadap penyakit HDB, tinggi
tanaman, jumlah anakan produktivitas dan komponen hasil tanaman pada saat
panen. Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa pemberian biorasional dapat
menurunkan intensitas serangan HDB dari 20% menurun menjadi 0,71%
sedangkan kontrol tetap 20%. Berdasarkan hasil pengamatan agronomis
tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan serta komponen hasil pada umumnya
penggunaan biorasional lebih unggul dibandingkan dengan kontrol. Hasil
evaluasi terhadap respons petani menunjukkan bahwa petani sangat suka
menggunakan biorasional ini karena lebih efisien, dan mudah cara
penggunaannya.
Kata kunci : biorasional, padi, hawar daun bakteri
48
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014
PENDAHULUAN
Dalam melakukan budidaya tanaman padi baik di lahan sawah maupun
di lahan kering (padi gogo), banyak dihadapi kendala seperti dampak fenomena
iklim, kebanjiran dan lain-lain. Salah satu kendala yang sangat penting adalah
gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT terdiri dari serangan
hama maupun serangan patogen penyebab penyakit. Penyakit penting yang
menyerang tanaman padi adalah blast yang disebabkan oleh patogen
Pyricularia oryzae dan penyakit pangkal batang yang disebabkan oleh
Rhizoctonia sp. Akan tetapi ada salah satu penyakit yang sewaktu-waktu
muncul dan berbahaya adalah penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) yang
disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv oryzae (XOO) (Hifni et al. 1996).
Gejala penyakit ini berupa bercak-bercak pada daun warna coklat kemerahan,
pada serangan yang parah seluruh permukaan daun tertutup bercak sehingga
daun terganggu dalam melakukan fotosintesis, dan akhirnya tanaman
produktivitasnya menurun dan bahkan dapat menimbulkan puso. Beberapa
tempat dilaporkan, kerugian yang ditimbulkan sangat beragam tergantung
tergantung varietas padi yang ditanam. Kerugian yang ditimbulkan sebagai
contoh di Jepang dapat menurunkan hasil sampai dengan 50% (Yusida, et al.
1994). Di beberapa negara Asia, HDB berkembang menjadi penyakit yang
serius pada lahan sawah terutama setelah diintroduksikannya varietas IR-64,
serta teknik budidaya baru dengan pemupukan nitrogen yang tinggi. Berbagai
cara pengendalian sudah dilakukan oleh petani terutama yang paling praktis
yaitu menggunakan pestisida (fungisida, bakterisida, dll), namun semua itu
harus menggunakan dana yang cukup besar, disamping bila tidak bijak dalam
mengaplikasikannya dapat mencemari lingkungan, residu pada hasil panen dan
serangga menjadi imun. Beberapa kerugian lainnya terbunuhnya seranggaserangga non target yang justru berguna dalam menunjang kesimbangan
hayati di lapangan. Sejak digulirkannya program dan konsep Pengendalian
Hama terpadu (PHT), beberapa jenis pestisida ada yang dilarang beredar
karena berpotensi membunuh serangga berguna dan mencemari lingkungan.
Berbagai cara pengendalian sudah dicoba, misalnya dengan pestisida nabati,
agensia hayati, menggunakan musuh alami yang dianggap ramah lingkungan.
Untuk mengendalikan penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) salah satunya
dengan biorasional. Biorasional pestisida disebut juga biopestisida, yaitu
pestisida yang berasal dari alam yang tidak memiliki pengaruh terhadap
manusia, lingkungan dan organisme yang bermanfaat dan mengandung
substansi aktif seperti bakteri, cendawan, protozoa, feromon, zat pengatur
tumbuh (Williamson, 1999 cit. Samudra, et al., 2012). Biorasional yang
digunakan dalam pengkajian ini mengandung Bacillus firmus, Burkholderia sp
dan Serratia marescens yang efektif mengendalikan beberapa penyakit padi
seperti hawar pelepah daun.
49
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014
Bahan dan metode
Pengkajian dilakukan dilakukan di Kelompok Tani Mandiri, Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, yang dilakukan pada
April sampai dengan September 2013. Bahan yang digunakan terdiri atas
biorasional yang hasil penelitian dari Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetika Bogor. Perlakuan tediri atas : 1) perlakuan biorasional, 2) varietas
Inpari HDB, dan 3) kontrol dan 16 kali ulangan. Menggunakan lahan petani
seluas 4 ha, perlakuan biorasional diberikan dengan dosis 2 gr/liter air,
diaplikasikan pada umur 14, 28 dan 42 HST dalam 1 ha menggunakan cairan
semprot 200 liter. Setiap petak perlakuan ditentukan 3 tanaman sampel untuk
diamati. Varietas yang digunakan adalah Inpari 20, jarak tanam 30 x 15 cm dan
selokan 60 cm menggunakan sistim jajar legowo 2 : 1. Pengamatan fase
vegetatif dilakukan pada umur 30, 45 dan 65 HST, dan pengamatan intensitas
serangan HDB umur 80-90 HST. Hal-hal yang diamati adalah tinggi tanaman,
jumlah anakan, daya hambat terhadap penyakit HDB, dan produksi.
Hasil dan pembahasan
Pengkajian teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan di lahan
sawah irigasi dilaksanakan di lahan petani seluas 4 hektar dengan jumlah
koperator petani sebanyak 7 orang. Adapun benih padi yang digunakan yaitu
benih padi varietas Inpari 20 dan varietas Inpari HDB. Varietas inpari 20 dan
HDB dipilih karena tekstur berasnya pulen, rasa nasi enak, toleran rebah,
potensi hasil cukup tinggi (8,8 ton/ha), agak tahan terhadap wereng batang
coklat biotipe 1, tahan terhadap hawar daun bakteri dan sesuai ditanam pada
ekosistem sawah dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl yang
diaplikasikan menggunakan teknologi PTT tanpa menggunakan pupuk kimia
sintetis (Anonim, 2011). Adapun jumlah tanaman yang dijadikan sampel
sebanyak 3 rumpun per petak (tabel 1).
Tabel 1. Jumlah sampel pada masing-masing perlakuan
Jumlah sampel
Jumlah
Perlakuan
per petak
Total sampel
petak sawah
sawah
Biorasional
39
3
117
pestisida
Inpari HDB
8
3
24
Kontrol
16
3
48
50
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014
Data pengamatan agronomis tanaman pada masing-masing perlakuan dapat
dilihat pada tabel 2 .
Tabel 2. Rerata tinggi tanaman (cm) pada umur 30, 45 dan 65 HST
Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan
30 HST
45 HST
65 HST
Biorasional
34,82
59,28
79,05
Varietas HDB
38,58
71,63
96,42
Kontrol
10,77
62,94
83,58
Biorasional
Inpari HDB
Kontrol
96,42 96,42
71,63
59,28
51,74
65,23
38,58
34,82
10,77
0
0
1
0
2
3
4
Berdasarkan hasil pengamatan, tinggi tanaman tertinggi dihasilkan oleh
padi varietas HDB. Hal ini disebabkan Inpari HDB memang mempunyai potensi
tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 20. Jumlah
anakan, biorasional tidak berpengaruh langsung terhadap jumlah anakan
tersebut.
Tabel 3. Rerata Jumlah Anakan Tanaman pada umur 30, 45 dan 65 HST
Jumlah anakan
Perlakuan
30 HST
45 HST
65 HST
Anakan produktif
Biorasional
16,53
8,41
25,76
30,63
Varietas
29,13
7,33
26,67
29,13
HDB
Kontrol
16,04
33,60
35,60
20,54
51
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014
Jumlah anakan 30 HST
Jumlah anakan 45 HST
29,12
26,27
25,76
Jumlah anakan 65 HST
28,23
26,2
23,06
8,4
Biorasional
10,26
7,33
Inpari HDB
Kontrol
Kecamatan Haurwangi merupakan daerah endemik HDB, pada periode
pengkajian berdasarkan hasil pengamatan secara acak, rata-rata
rata rata prosentase
serangannya adalah 20%. Hasil Pengamatan pada pengkajian penggunaan
Biorasional pestisida, intensitas serangan HDB di lokasi pengkajian
menunjukkan serangan tertinggi pada tanaman kontrol (8,94%).
(8,94%). Sedangkan
serangan penyakit HDB terendah pada tanaman yang telah diaplikasikan
biorasional (0,71%). Jenis varietas padi antara perlakuan kontrol dan
biorasional adalah Inpari 20. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi biorasional
mampu menekan perkembangan serangan penyakit HDB. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Samudra, (2012) isolat Burkholderia sp menunjukkan
penekanan terhadap penyakit HDB paling tinggi dibandingkan senyawa kimia
CuSo4 (9,3%).
52
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014
Tabel 4. Rata-rata hasil ubinan dan rata-rata hasil (ton/ha) Gabah Kering Panen
(GKP).
Rata-rata hasil
Rata-rata
Rata-rata
2
No.
Perlakuan
ubinan (kg/10 m )
jumlah
hasil (ton/ha)
rumpun
GKP
1.
Kontrol
7,00
105
7,00
2.
Biorasional
8,45
201
8,45
3.
Inpari HDB
7,30
7,30
Pada tabel 3, dapat dilihat hasil ubinan (ton/ha) yang diperoleh pada
masing-masing perlakuan. Hasil tertinggi Gabah Kering Panen (GKP) didapat
dari perlakuan biorasional pestisida (8,45 ton/ha) sedangkan hasil terendah
didapat dari perlakuan kontrol (7,00 ton/ha). Hal ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh antara perlakuan dengan biorasional pestisida dengan kontrol. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Syakti, (2009), Burkholderia sp dapat berfungsi
sebagai agent bioremediasi dan mampu mengeliminir penyakit yang
disebabkan oleh jamur dan mikroorganisme lainnya yang membahayakan bagi
pertumbuhan tanaman.
Kesimpulan
1. Teknologi pengendalian penyakit hawar daun bakteri (HDB) dengan
menggunakan biorasional pestisida mampu menekan perkembangan
penyakit HDB pada pertanaman padi varietas Inpari 20 dengan persentase
serangan 0,71% dibandingkan dengan penggunaan varietas Inpari HDB
(6,022%) dan kontrol (8,94%).
2. Hasil ubinan gabah kering panen (GKP) ton/ha pada varietas Inpari 20 yang
telah diberi perlakuan biorasional pestisida menunjukkan hasil paling tinggi
(8,45 ton/ha) dibandingkan hasil ubinan pada varietas Inpari HDB (7,3
ton/ha) dan kontrol (7 ton/ha).
Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Deskripsi varietas padi. Badan Litbang pertanian.Puslibang
Tanaman Pangan.
Hifni, H.R., E. Mihardja., Sutarno, Yusida dan K. Karin. 1996. Penyakit hawar
daun bakteri pada padi sawah. Maqsalah dan pemecahannya. Buletin
Agrobio 1 : 18-23.
Samudra, Yadi, Tri P, Ifa M., Dodin, K. Wartono, Wawam, Nrjani, dan Triny S.K.
2012.Pengendalian penggerek batang kuning dan hawar daun bakteri
dengan biorasional pestisida. Laporan akhir Insentif peningkatan
kemampuan peneliti dan perekayasa. Kerjasama kementan dan kemen
Ristek dan teknologi.
53
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014
Syakti, A.D., 2009. Manfaat rumput laut dalam meremediasi tanah
terkontaminasi pestisida dan jamur patogen. Fakultas Sains dan
Teknologi. Universitas Jenderal Sudirman.
54
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PEMANFAATAN BAKTERIOFAGE ASAL DAUN KUBIS UNTUK
MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK HITAM KUBIS
Mukhamad Kurniarrokhman, Sri Widadi, Supyani
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta
Abstrak
Tanaman kubis merupakan komoditas sayuran yang banyak
dibudidayakan di Indonesia. Peningkatan produktivitas kubis sering terkendala
adanya penyakit, seperti busuk hitam kubis yang disebabkan oleh bakteri
Xanthomonas campestris pv. campertris (Xcc). Salah satu langkah
pengendalian yaitu menggunakan bakteriofage atau virus yang menginfeksi
bakteri. Bakteriofage menjadi inovasi dalam pengendalian hayati karena dapat
menekan penggunaan pestisida kimia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pengenceran bakteriofage dan selang waktu inokulasi
bakteriofage terhadap munculnya gejala; dan intensitas penyakit busuk hitam
kubis. Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu isolasi bakteriofage asal
daun kubis bergejala busuk hitam dan pengujian bakteriofage pada tanaman
kubis. Pengujian bakteriofage disusun menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan perlakuan tingkat pengenceran bakteriofage dan selang
waktu inokulasi bakteriofage terhadap bakteri Xcc. Analisis data menggunakan
uji ANOVA pada taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan Uji Taraf
Berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test). Hasil penelitian menunjukan
inokulasi bakteriofage pada berbagai pengenceran dapat menekan munculnya
gejala dan intensitas penyakit busuk hitam kubis. Sedangkan berbagai tingkat
pengenceran bakteriofage tidak menunjukan pengaruh nyata terhadap
perkembangan intensitas penyakit busuk hitam kubis. Perlakuan inokulasi pada
berbagai pengenceran dengan selang waktu pemberian bakteriofage tidak
memiliki korelasi nyata.
Kata kunci: bakteriofage, busukhitam, kubis, Xanthomonas campestris
pv. campestris
PENDAHULUAN
Busuk hitam kubis (black rot) merupakan penyakit penting dalam budidaya
kubis. Di Indonesia, penyakit busuk hitam kubis pertama kali dilaporkan pada
tahun 1931 terdapat di Sumatra Utara. Pada tahun 1932 terdapat busuk hitam
di Sumatra Barat dan Yogyakarta. Penyakit busuk hitam disebabkan oleh
bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris (Xcc) (Semangun 2000).
Pengendalian terhadap penyakit busuk hitam kubis selama ini masih
menggunakan pestisida kimia dan penggunaanya secara terus menerus dapat
55
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satu inovasi untuk
mengendalikan busuk hitam kubis yaitu menggunakan bakteriofage atau virus
penginfeksi bakteri. Penelitian Rahmawati (2012), menunjukkan bahwa
bakteriofage memiliki kemampuan dalam menekan serangan penyakit busuk
hitam kubis. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari bakteriofage asal daun
kubis untuk mengendalikan penyakit busuk hitam kubis.
Bahan dan metode
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai Mei
2014 di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Laboratorim Biologi
Tanah, dan Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Uji kinerja bakteriofage ini dilakukan di rumah
plastik di Desa Gerdu, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah.
B. Isolasi Bakteri Xanthomonas campestris
Isolasi ini bertujuan untuk mendapatkan bakteri Xanthomonas campestris pv.
campestris (Xcc). Daun kubis yang bergejala busuk hitam kubis diambil dari
lahan pertanaman kubis di Tawangmangu. Bakteri yang didapat dari daun
kubis kemudian ditumbuhkan pada media YPG (Yeast Peptone Glukose) dan
di inkubasikan selama 48 jam pada suhu ruang. Identifikasi bakteri Xcc
dilakukan dengan cara pengamatan koloni dan uji KOH 3% untuk
mengetahui sifat gram bakteri,
C. Isolasi Bakteriofage
Bakteriofage diisolasi dari daun kubis bergejala busuk hitam di
Tawangmangu. Bakteri Xanthomonas campestris ditumbuhkan pada media
YPG cair 300 ml yang telah di gojok selama 24 jam pada suhu ruang.
Sampel daun kubis bergejala busuk hitam di timbang 50 gram dan
dimasukan kedalam biakan bakteri, kemudian di gojok selama 24 jam.
Suspensi YPG cair didiamkan ± 1 jam kemudian di ambil supernatant yang
berada pada lapisan atas sebanyak 10 ml. Supernatant yang sudah diambil
lalu dicentrifuse dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatant
di saring menggunakan syringe filter 0,2 µm sehingga didapatkan larutan
bakteriofage.
D. Uji Plak
Uji plak bertujuan untuk mengetahui adanya bakteriofage yang menginfeksi
bakteri Xanthomonas campestris. Larutan bakteriofage yang telah di dapat
diencerkan berseri sepersepuluh hingga pengenceran 10-5. Larutan
bakteriofage pada tiap pengenceran dicampurkan dengan larutan bakteri
56
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Xanthomonas campestris ke dalam minitube. Diambil sebanyak 200 µm
menggunakan micropipet dan dituang ke dalam media YPG, diratakan
kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Plak dapat diamati
yaitu berupa zona bening yang terbentuk pada tiap-tiap pengenceran.
E. Uji Kinerja Bakteriofage di Lapang
Uji bakteriofage bertujuan untuk mengetahui pengaruh bakteriofage terhadap
munculnya gejala dan intensitas penyakit busuk hitam kubis. Bakteriofage
diambil dari plak yang terbentuk. Plak yang diambil dari media dimasukan ke
dalam YPG cair yang telah berisi bakteri Xanthomonas campestris
selanjutnya digojok selama 24 x 2 jam dan didiamkan kurang lebih 1-2 jam
hingga terbentuk supernatant dan pelet. Supernatant diambil sebanyak 10 ml
dan diencerkan berseri hingga 10-5. Supernatant yang telah diencerkan pada
pengenceran 10-1, 10-3, dan 10-5 dimasukan ke dalam mini sprayer agar
memudahkan proses penyemprotan kepada tanaman kubis untuk proses
inokulasi.
Hasil dan pembahasan
A. Pengamatan Xanthomonas campestris
Koloni bakteri Xanthomonas campestris pada media menunjukan ciri-ciri
memiliki tepian rata dan permukaan datar, berwarna putih kekuningan, terlihat
transparan apabila diterawang. Bakteri Xanthomonas campestris memiliki sifat
gram negatif, maka untuk mengetahui sifat gram bakteri tersebut dilakukan uji
KOH 3%. Berdasarkan uji tersebut koloni bakteri memiliki sifat gram negatif. Uji
karakteristik koloni juga dilakukan terhadap biakan murni bakteri Xanthomonas
campestris. Pada murni koloni yang terbentuk memiliki diameter rata-rata 3
mm. Karakteristik pembentukan koloni tersebut mengindentifikasi bakteri
Xanthomonas campestris menurut Streets (1972). Biakan murni bakteri
Xanthomonas campestris di simpan guna untuk dilakukan uji lapang.
B. Pengamatan Bakteriofage
Berdasarkan hasil uji plak dapat di sajikan pada gambar 1. Zona bening
pada media menunjukan bahwa bakteriofage asal daun kubis dapat
menyebabkan lisis pada bakteri Xanthomonas campestris yang ditumbuhkan
pada media. Plak yang terbentuk berupa zona bening dan zona keruh yang
terdapat di tengah zona bening. Hal ini membuktikan bahwa adanya jenis strain
bakteriofage yang berbeda dari sumber isolat yang di ambil. Marvin dan Hohn
(1969) menjelaskan bahwa bakteriofage yang virulen memiliki siklus lisis yang
menyebabkan pecahnya sel bakteri sehingga zona bening dapat terlihat,
sedangkan bakteriofage resisten parsial memiliki siklus lisogeni sehingga
menimbulkan bintik keruh di tengah zona bening.
57
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 1. Hasil Uji Plak
C. Saat Muncul Gejala
Tabel saat muncul gejala disajikan pada tabel 1. Gejala penyakit busuk
hitam kubis lebih cepat terlihat pada perlakuan tanpa pemberian bakteriofage
dibandingkan dengan memberikan bakteriofage. Pengamatan saat muncul
gejala dilakukan dari hari ke 1 sampai pada hari ke-8. Perlakuan tanpa
bakteriofage menunjukan tanaman yang menunjukan gejala terlihat lebih
banyak dibandingkan pada perlakuan pemberian bakteriofage.
Tabel 1. Saat Muncul Gejala Busuk Hitam Kubis.
Saat Muncul Gejala (HSI)
Perlakuan
Ulangan 1 Ulangan 2
Ulangan 3
Bersamaan
4
4
3
Selang 3 jam
3
4
Tanpa
Selang
1
Bakteriofage
hari
1
1
(aquadest)
Selang
3
hari
1
1
Bersamaan
5
Selang
3
jam
Pengenceran
Selang
1
-1
10
hari
2
Selang
3
hari
Bersamaan
5
4
Selang
3
jam
Pengenceran
Selang
1
-3
10
hari
2
Selang
3
hari
58
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pengenceran
10-5
Bersamaan
Selang
3
jam
Selang
1
hari
Selang
3
hari
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
1
1
Kemunculan gejala busuk hitam kubis pada perlakuan selang waktu
pamberian bakteriofage dan bakteri X.campestris menunjukan hasil yang
bervariasi, hal ini di duga bakteri X. campestris yang disemprotkan dengan
hand sprayer terbawa angin dan mengenai tanaman kubis yang diberi
perlakuan yang lain. Secara keseluruhan, pemberian bakteriofage dapat
menekan munculnya gejala busuk hitam kubis. Hal ini membuktikan bahwa
bateriofage dapat menginfeksi bakteri X. campestris di luar jaringan tumbuhan.
D. Insiden Penyakit
Presentase insiden penyakit di sajikan pada gambar 2. Pemberian
bakteriofage dengan pengenceran 10-1 dan 10-5 dapat menurunkan presentase
insiden penyakit menjadi 11,34% sedangkan tanaman yang tidak diberi
bakteriofage menunjukan nilai insiden penyakit sebesar 54,81%. Supiyani et al.
(2012) dalam penelitiannya menyatakan perlakuan tanpa bakteriofage
menunjukan presentase insiden penyakit sebesar 61,18% dibandingkan
dengan pemberian bakteriofage asal daun kubis sakit sebesar 22,2%.. Hasil
pemberian bakteriofage pada berbagai tingkat pengenceran tidak berpengaruh
terhadap presentase insiden penyakit.
Gambar 2. Presentase Insiden Penyakit
Selain faktor pengenceran bakteriofage, persentase insiden penyakit
juga dipengaruhi oleh selang waktu inokulasi bakteriofage dan bakteri X.
campestris. Presentase insiden penyakit paling rendah ditunjukan pada
59
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
pemberian bakteriofage dan bakteri X. campestris dengan selang waktu 3 jam,
yaitu sebesar 12,38%. Hasil presentase insiden penyakit tertinggi pada
perlakuan selang waktu 1 hari yaitu sebesar 33%.
E. Keparahan Penyakit
Pengamatan dilakukan secara diskriptif dengan melihat gejala serangan
busuk hitam kubis yang terlihat kemudian menentukan presentase dengan skor
yang telah ditentukan. Presentase keparahan penyakit dapat dilihat pada
gambar 3. Berdasarkan hasil pengamatan, pemberian bakteriofage
berpengaruh terhadap penekanan keparahan penyakit busuk hitam kubis.
Bakteriofage pada berbagai tingkat pengenceran dapat menekan keparahan
penyakit sebesar 10,5%-11,56%.
Presentase keparahan penyakit pada parameter selang waktu
menunjukan bahwa pada selang waktu 3 jam menunjukan presentase terendah
yaitu 2,84%. Perlakuan selang waktu 1 hari menunjukan presentase keparahan
penyakit tertinggi yaitu 10,25%. Pengaruh selang waktu terhadap keparahan
penyakit busuk hitam kubis dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu
dan kelembaban.
Gambar 3. Presentase Keparahan Penyakit
Kesimpulan
Kemampuan bakteriofage asal daun kubis bergejala busuk hitam kubis
berpengaruh dalam menurunkan penyakit busuk hitam kubis. .Pengenceran
bakteriofage tidak menunjukan pengaruh terhadap intensitas penyakit busuk
hitam kubis. Perlakuan inokulasi pada berbagai pengenceran dengan selang
waktu pemberian bakteriofage tidak memiliki korelasi.
Daftar pustaka
Marvin, D.A. dan Hohn B. 1969. Filamentous bacterial viruses. Bacteriological
reviews 33 : 172–209
Rahmawati Y, Sri Widadi, Sumijati, dan Supiyani. 2012. Explorasi Bakteriofage
Virulen Terhadap Xantomonas campetris pv. campetris Asal
60
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tawangmangu Dalam Pengendalian Penyakit Busuk Hitam Kubis.
Skripsi. UNS Surakarta.
Semangun H 2000. Penyakit-penyakit Penting Tanaman Holtikultura di
Indonesia. Edisi keempat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Streets, R.B. 1972. Diagnosis of Plant Diseases. The University of Arizona
Press, USA.
Supiyani, Nugroho A, Widadi S 2012. Pemanfaatan Bakteriofage Asal Kopeng
Untuk Mengendalikan Busuk Hitam Kubis. Seminar nasional fakultas
pertanian Universitas Jendral Soedirman: Purwokerto, 19 September
2012.
61
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PEMANFAATAN BAKTERIOFAGE TANAH INDIGENUS SEBAGAI
PENGENDALI BUSUK HITAM KUBIS
Neny Saputri , Sri Widadi, Supyani
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta
Abstrak
Kubis merupakan tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan di
daerah dataran tinggi. Salah satu kendala dalam membudidayakannya adalah
penyakit busuk hitam kubis (black rot). Gejala awal busuk hitam adalah klorosis
di tepi daun kemudian berlanjut hingga membentuk huruf V pada pertulangan
daun. Busuk hitam kubis ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris
pv. campestris (Xcc). Xcc menginfeksi jaringan xylem menjadi berwarna
kehitaman. Pengendalian penyakit bisa dilakukan dengan memanfaatkan agens
hayati, bakteriofage (fage).
Penelitian dilakukan untuk mengetahui kenampakan visual dari hasil
infeksi fage terhadap Xcc, serta kemampuan fage dalam mengendalikan busuk
hitam di lapang. Penelitian dimulai dari eksplorasi dan isolasi Xcc; eksplorasi
fage; uji plaq; dan preparasi dan aplikasi lapang. Dari uji plaq, diperoleh plaq
(zona lisis) yang berarti bakteriofage memang ada. Warna kultur cair Xcc
dengan fage lebih terang dibanding kultur Xcc tanpa fage. Uji kemampuan fage
dalam mengendalikan busuk hitam kubis menggunakan RAL 3 faktor yaitu
selang waktu aplikasi fage dengan Xcc (bersamaan, 3 jam, 1 hari); fage yang
digunakan (stok lama, stok baru); dan tingkat pengenceran fage (100, 10-2, 104
). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa inkubasi patogen paling lama
11,06 hari pada perlakuan aplikasi fage dan Xcc secara bersamaan. Intensitas
penyakit terendah terdapat pada tingkat pengenceran 100 yaitu 8,53%, berbeda
signifikan terhadap tingkat pengenceran lain 10-2 dan 10-4 masing-masing
12,39% dan 13,41%. Ini menunjukkan bahwa fage dapat mengurangi intensitas
penyakit busuk hitam kubis.
Kata kunci: bakteriofage, busuk hitam kubis, Xanthomonas campestris pv.
campestris
Pendahuluan
Kubis merupakan tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan di
daerah dataran tinggi dan memiliki permintaan pasar yang cukup tinggi karena
dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan. Usaha pembudidayaannya sering
terdapat kendala, salah satunya adalah penyakit busuk hitam kubis yang
disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris (Xcc). Bakteri
yang menginfeksi jaringan xylem ini menyebabkan daun mengalami klorosis,
62
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
berlanjut hingga membentuk huruf V (mengikuti jaringan xylem) dan terus
menjalar ke jaringan xylem lainnya. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan
lebih dari 50% pada kondisi yang lembab dan panas (Babadost 1999),
sehingga dibutuhkan cara untuk mengendalikan penyakit tersebut.
Cara pengendalian yang ramah lingkungan dan sesuai dengan konsep
PHT adalah penggunaan agens hayati, diantaranya bakteriofage (fage). Fage
adalah virus yang menginfeksi bakteri secara spesifik, menyebabkan pecahnya
dinding sel (lisis) bakteri akibat aktivitas litiknya. Dilihat dari kemampuan fage,
dapat dimanfaatkan dalam pengendalian bakteri patogen. Maka dari itu
dilakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan fage dalam mengendalikan
Xcc, baik secara in-vitro maupun in-vivo.
Bahan dan metode
Penelitian dimulai dari eksplorasi dan isolasi Xcc; karaktersasi Xcc;
eksplorasi fage; uji plaq; preparasi aplikasi lapang; dan aplikasi lapang.
Eksplorasi dilakukan untuk mencari sampel bergejala busuk hitam juga sumber
fage. Isolasi Xcc dilakukan untuk mendapatkan biakan murni dan dijadikan
sebagai bahan untuk uji plaq. Karakterisasi Xcc dilakukan untuk mengetahui
gram bakteri berdasarkan pengamatan morfologi koloni dan pengujian KOH. Uji
plaq dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat fage yang menginfeksi
bakteri Xcc. Preparasi aplikasi lapang meliputi pembuatan rumah kasa,
penyediaan tanaman kubis berumur ± 6 minggu yang ditanam di media dalam
polybag, dan pembuatan suspensi Xcc dan fage. Aplikasi di lapang dimulai
pukul 19.00 WIB dilakukan dengan cara 10 ml suspensi fage dan 10 ml
suspensi Xcc disemprotkan ke sekitar hidatoda kubis sesuai dengan rancangan
percobaan. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 3 faktor perlakuan dan 2 kontrol.
1. Kontrol, a) positif: menggunakan aquadest tanpa Xcc dan fage; b)
menggunakan aquadest, Xcc, tanpa fage
2. Selang waktu aplikasi fage dan inokulasi Xcc pada daun kubis
T1 = Fage dan Xcc diaplikasikan secara bersamaan; T2 = Aplikasi fage
kemudian inokulasi Xcc selang 3 jam; dan T3 = Aplikasi fage kemudian
inokulasi Xcc selang 1 hari
3. Sumber Fage
V1 = fage yang sudah disimpan; dan V2 = fage baru
4. Tingkat pengenceran Fage asal tanah
P1 = 100; P2 = 10-2; dan P3 = 10-4
Masing-masing kombinasi perlakuan dibuat 3 ulangan. Data yang diambil dari
uji lapang ini adalah masa inkubasi patogen dan intensitas penyakit. Kemudian
data dianalisis menggunakan uji unianova taraf 5% dan dilanjutkan dengan uji
DMRT apabila diperoleh hasil yang signifikan.
63
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil dan pembahasan
A. Kondisi Pertanaman Kubis di Tawangmangu
Kubis (Brassica oleracea) banyak dibudidayakan di Tawangmangu, baik
yang ditanam secara monokultur ataupun tumpangsari. Pada musim
penghujan, terdapat kendala yang banyak ditemukan di pertanaman kubis yaitu
penyakit busuk hitam (black rot), bahkan pada suatu lahan ditemukan kubis
yang seluruhnya tidak dapat dipanen. Berdasarkan hasil pengamatan, bakteri
Xcc menyebabkan beberapa kerugian seperti terhambatnya fungsi daun untuk
berfotosintesis karena daun mengalami kerusakan (klorosis dan nekrosis), tidak
sempurnanya pembentukan krop kubis, dan akibatnya kubis tidak layak untuk
dipanen.
B. Karakterisasi Xcc
Pengamatan morfologi koloni bakteri hasil isolasi menunjukkan bahwa
koloni berupa lendir, berbentuk bulat, cembung, dan berwarna kuning pucat,
keterangan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Popović et al (2013).
Dengan pengujian KOH 3 % menunjukkan bakteri hasil isolasi bersifat gram
negatif. Dari ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa isolat tersebut adalah isolat
Xcc, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suslow et al (1981) yang
melakukan pembuktian bakteri gram negatif.
C. Uji Plaq
Adanya fage ditandai dengan munculnya plaq (zona bening) (gambar 1a)
pada media agar yang ditumbuhi Xcc secara merata (bacterial lawn). Menurut
Kusnadi et al. (2003), pada saat partikel virus memulai infeksinya pada lapisan
sel inang yang tumbuh menyebar di permukaan medium, zona lisis akan
muncul sehingga terlihat wilayah yang terang pada lapisan sel inang. Satu plaq
(zona bening) diasumsikan sebagai satu partikel fage.
a
b
Keterangan: a. Zona bening (plaq) menunjukkan adanya fage
b. Xcc yang tidak terinfeksi fage
Gambar 1. Uji Plaq
64
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
D. Pembiakan Fage
Kultur fage berasal dari plaq yang diambil dan dibiakkan di medium cair
yang telah ditumbuhi Xcc. Kultur fage warnanya lebih bening dibanding dengan
kultur Xcc sebelum diberi fage. Hal ini diduga karena fage yang menyebabkan
lisisnya Xcc membuat jumlah koloni Xcc lebih sedikit dibanding dengan media
yang hanya ditumbuhi Xcc. Menurut Golkar et al (2013), fage litik merusak
metabolisme bakteri dan menyebabkan bakteri lisis. Fage litik digunakan untuk
terapi pengendalian bakteri patogen.
Selain warna yang dibandingkan, endapan dari biakan juga
dibandingkan. Endapan dari kultur fage lebih banyak daripada endapan kultur
Xcc tanpa fage. Diduga endapan merupakan dinding sel Xcc yang rusak akibat
aktivitas fage dalam sel bakteri. Dugaan tersebut dikuatkan oleh Fischetti
(2008), fage mengeluarkan enzim lisin (lysin) yang berfungsi untuk merusak
dinding sel bakteri sehingga fage bisa melangsungkan keturunannya (progeni).
E. Aplikasi Fage dan Xcc di Tanaman Kubis
1. Masa inkubasi
Masa inkubasi menurut Agrios (2005) adalah interval waktu antara
inokulasi patogen dan munculnya gejala penyakit. Menurut Bila et al (2013),
pada suhu ruang 20℃ - 25℃ gejala busuk hitam muncul 5 – 14 hari setelah
inokulasi Xcc. Berdasarkan uji Duncan taraf 5% (Gambar 3) gejala busuk hitam
muncul berkisar 9 – 12 hari dari keseluruhan kombinasi perlakuan kecuali
kontrol positif (tanpa perlakuan). Hal ini bisa diartikan bahwa aplikasi fage untuk
mengendalikan Xcc belum bisa menghambat munculnya gejala busuk hitam.
Akan tetapi, jika masa inkubasi patogen dibandingkan antar kombinasi
perlakuan, menunjukkan hasil yang berbeda nyata yaitu antara perlakuan
T3V2P3 (6,67 hsi) dengan T1V1P2 (10,67 hsi), T2V1P1 (10,67 hsi), T3V1P3
(10,67 hsi), T1V2P2 (11,67 hsi), T1V1P1 (12 hsi), T1V2P3 (12 hsi).
65
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 3. Histogram pengaruh semua perlakuan terhadap masa inkubasi Xcc
- Keterangan: Kpositif adalah kontrol hanya menggunakan aquadest tanpa
inokulasi fage dan Xcc, Knegatif adalah kontrol menggunakan aquadest dan
Xcc (tanpa fage), T adalah selang waktu aplikasi fage dan inokulasi Xcc
pada daun kubis (T1 = bersamaan; T2 = selang 3 jam; T3 = selang 1 hari), V
adalah sumber fage (V1 = yang telah disimpan; V2 = baru).
- Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda
Duncan taraf 5%. Bar adalah standard error yang menunjukkan sebaran
data. Hsi Xcc adalah hari setelah inokulasi Xcc.
Masa inkubasi
(hsi)
Masa inkubasi jika dilihat dari masing-masing faktor perlakuan,
berdasarkan uji Duncan taraf 5%, perlakuan selang waktu aplikasi antara fage
dengan Xcc memiliki pengaruh yang nyata terhadap masa inkubasi Xcc
(Gambar 4), sedangkan untuk tingkat pengenceran fage (P) dan sumber fage
(V) tidak berpengaruh nyata terhadap masa inkubasi Xcc. Fage yang
diaplikasikan secara bersamaan dengan inokulasi Xcc (T1) masa inkubasi Xccnya lebih lama yaitu 11,06 hsi dibanding dengan faktor perlakuan lain seperti
selang 3 jam (T2) dengan masa inkubasi 9,44 hsi, atau selang 1 hari (T3)
dengan masa inkubasi 9,22 hsi.
20
10
0
11,06 b
9,44 a
9,22 a
Bersamaan (T1)
Selang 3 jam (T2)
Selang 1 hari (T3)
Selang waktu aplikasi antara bakteriofage dengan Xcc
Gambar 4. Pengaruh selang waktu aplikasi fage dengan Xcc terhadap masa
inkubasi Xcc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji
Duncan taraf 5%.
66
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
2. Keparahan Penyakit/Intensitas Penyakit
Aplikasi fage sebagai upaya pengendalian Xcc penyebab busuk hitam
menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding dengan kubis yang hanya
diinokulasikan Xcc dan tanpa aplikasi fage, meskipun gejala penyakit masih
muncul. Berdasarkan uji Duncan taraf 5%, keparahan penyakit dari seluruh
kombinasi perlakuan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol negatif (hanya
diinokulasikan Xcc tanpa fage) dengan nilai 23,13%, akan tetapi, intensitas
penyakit antar perlakuan tidak berbeda nyata dan hanya terdapat
kecenderungan intensitas penyakit lebih rendah pada perlakuan yang
menggunakan fage dengan tingkat pengenceran 100 baik pada perlakuan yang
diaplikasikan secara bersamaan, selang 3 jam, maupun 1 hari.
Gambar 5. Histogram pengaruh semua perlakuan terhadap masa inkubasi Xcc
- Keterangan: Kpositif adalah kontrol hanya menggunakan aquadest tanpa
inokulasi fage dan Xcc, Knegatif adalah kontrol menggunakan aquadest dan
Xcc (tanpa fage), T adalah selang waktu aplikasi fage dan inokulasi Xcc
pada daun kubis (T1 = bersamaan; T2 = selang 3 jam; T3 = selang 1 hari), V
adalah sumber fage (V1 = yang telah disimpan; V2 = baru).
- Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda
Duncan taraf 5%. Bar adalah standard error. Hsi Xcc adalah hari setelah
inokulasi Xcc.
Jika intensitas penyakit dilihat per faktor perlakuan, maka perlakuan
yang memiliki hasil berbeda nyata adalah tingkat pengenceran fage (P)
sedangkan 2 faktor perlakuan lain tidak memiliki hasil yang berbeda nyata.
Dilihat dari gambar 6, intensitas penyakit pada perlakuan tingkat pengenceran
fage 100 (P1) lebih rendah yaitu 8,53% dibanding dengan perlakuan
pengenceran 10-2 dan pengenceran 10-4 dengan nilai masing-masing 12,39%
dan 13,41%. Dari hasil tersebut, diduga fage yang terdapat pada pengenceran
67
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
100 lebih banyak dibanding dengan pengenceran yang lain sehingga fage akan
lebih mampu menghambat pertumbuhan Xcc.
Gambar 6. Pengaruh tingkat pengenceran terhadap keparahan penyakit
Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda
Duncan taraf 5%. P1 = pengenceran 100; P2 = pengenceran 10-2; P3 =
pengenceran 10-4
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, diperoleh beberapa kesimpulan:
1. Hasil uji plaq dan pembandingan kultur fage dengan Xcc menunjukkan
bahwa fage dapat menghambat dan merusak sel bakteri.
2. Penggunaan fage belum bisa menghambat masa inkubasi patogen (Xcc),
akan tetapi terdapat kecenderungan masa inkubasi lebih lama pada
pengaplikasian fage dengan Xcc secara bersamaan.
3. Fage pada pengenceran 100 mampu mengurangi intensitas penyakit busuk
hitam kubis.
Daftar pustaka
Agrios, G.N. 2004. Plant Pathology Fifth Edition. Elsevier Academic Press.
California.
Babadoost, M. 1999. Black Rot of Cabbage and Other Crucifers.
<http://ipm.illinois.edu/>. Diakses 07 September 2013.
Bila J, Mortensen CN, Andresen M, Vicente, Wulff EG 2013. Xanthomonas
campestris pv. campestris race 1 is the main causal agent of black rot of
Brassicas in Southern Mozambique. African Journal of Biotechnology 12:
602-610.
Fischetti VA . 2008. Bacteriophage Lysins as Effective Antibacterials. Curr Opin
Microbiol. 11: 393 – 400.
Golkar Z, Bagasra O, Jamil N 2013. Experimental Phage Therapy on Multiple
Drug Resistant Pseudomonas aeruginosa Infection in Mice. J Antivir
Antiretrovir S10- 005.
Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi A, Purwianingsih W, Rochintaniawati D 2003.
Mikrobiologi. FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Popović T, Jošić D, Starović M, Milovanović P, Dolovac N, Poštić D, Stanković
S 2013. Phenotypic and Genotypic Characterization of Xanthomonas
68
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
campestris Strains Isolated from Cabbage, Kale and Broccoli. Arch. Biol.
Sci., Belgrade 65 : 585-593.
Suslow TV, Schroth MN, Isaka M 1982. Application of rapid method for gram
differentiation of plant pathogenic and saprophytic bacteria without
staining. Phytopathology 72: 917-918.
69
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KARAKTER Bacillus subtilis B315 SEBAGAI ANTIBAKTERI
Ralstonia solanacearum DAN ANTIJAMUR Colletotrichum sp.
Nur Prihatiningsih dan Heru Adi Djatmiko
Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Surel: [email protected]
Abstrak
Bacillus subtilis B315 adalah bakteri antagonis yang berpotensi sebagai
agens pengendali hayati patogen tanaman. Tujuan penelitian ini adalah 1)
menguji kemampuan B. subtilis B315 sebagai antibakteri dan antijamur patogen
tanamanin vitro,2) mendeteksi karakter antimikrobial dari B. subtilis B315.
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Perlindungan Tanaman Fakultas
Pertanian Universitas Jenderal Soedirman dan di Laboratorium Riset Terpadu
Unsoed selama 6 bulan. Metode penelitian yang digunakan adalah
eksperimental dengan menumbuhkan secara berlapis terhadap R.
solanacearum dan dual culture terhadap Colletotrichum sp. Rancangan yang
digunakan adalah acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 8 ulangan. Perlakuan
1 adalah B. subtilis B1, perlakuan 2 adalah B. Subtilis B46 dan perlakuan 3
adalah B. Subtilis B315 ditumbuhkan secara berlapis dengan R. solanacearum
dan pada unit penelitian lain ketiga isolat B. Subtilis ditumbuhkan berhadapan
dengan Colletotrichum sp. Pengujian karakter antimikrobial dilakukan dengan
mengekstrak B. subtilis B315 untuk mendeteksi enzim yang dihasilkan
selanjutnya dianalisis dengan FTIR (Fourier Transform-infra Red). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa B. subtilis B315 mampu menekan pertumbuhan
R solanacearum dan jamur Colletotrichum sp. dengan zona hambatan 14 mm
dan persentase hambatan 63,6%. Karakter B. subtilis B315 sebagai agens
antimikrobial ditunjukkan
dengan dihasilkannya enzim protease dengan
aktivitas 166,03 unit/ml. Hasil analisis dengan FTIR menunjukkan bahwa B.
subtilis B315 menghasilkan gugus fungsi alifatik alkena, karbonil, nitro dan
ester.
Kata kunci: Bacillus subtilis, karakter antimikrobial, Ralstonia
solanacearum, Colletotrichum sp.
Pendahuluan
Salah satu mikroba antagonis yang sebagai kandidat agens pengendali
hayati adalah Bacillus subtilis yang mewakili bakteri Gram positif (Chen et al.,
2008). B. subtilis adalah bakteri antagonis yang telah diketahui mampu
mengendalikan beberapa patogen baik jamur maupun bakteri, dengan cara
menghambat pertumbuhannya. Beberapa jamur patogen yang dihambat
pertumbuhannya oleh B. subtilis seperti Botryris cinerea, Fusarium oxysporum,
70
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
F. solani, F. verticilloides, F. equiseti (Killani et al., 2011; Wang et al., 2013).
Beberapa bakteri patogen yang telah diketahui terhambat pertumbuhannya oleh
B. subtilis adalah Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dan Ralstonia solanacearum
(Agustiansyah et al., 2013).
Mekanisme pengendalian oleh B. subtilis sebagai aktivitas langsung
yaitu antibiosis, parasitisme dan penginduksi ketahanan tanaman terhadap
patogen serta kompetisi langsung (Janisiewiez et al., 2000).Mekanisme
antibiosis terlihat dengan terbentuknya zona hambatan, yang menunjukkan
adanya suatu senyawa yang dihasilkan sebagai metabolit sekunder dan
berfungsi sebagai aktivitas antibiosis. Senyawa tersebut berupa enzim, toksin,
dan antibiotik. Menurut Morikawa (2006) B. subtilis mensekresikan enzim
amylase, protease, pullulanase, chitinase, xylanase, dan lipase. Sebanyak
60% secara komersial dihasilkan sebagai industri produksi enzim.
Raltonia solanacearum adalah bakteri penyebab layu pada beberapa
tanaman. Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum
(Yabuuchi et al., 1995) pada tanaman kentang merupakan penyakit penting
yang ke dua setelah hawar daun oleh jamur Phytophthora infestans di daerah
tropis dan sub-tropis (Champoiseau et al., 2010). Serangan bakteri ini dapat
menyebabkan tanaman layu bahkan kematian tanaman, sehingga kerugian
hasil dapat mencapai 50-100% (Muthoni et al., 2012). Penyakit layu bakteri
menunjukkan penyebaran yang luas. Bakteri patogennya mempunyai kisaran
inang luas, hampir 200 spesies tanaman dapat terserang oleh R. solanacearum
dan lebih dari 50 famili (Hayward, 1991). R. solanacearum mempunyai kisaran
inang yang luas, termasuk patogen tular tanah, menyebabkan penyakit layu
bakteri ini sulit dikendalikan (Win and Ranamukhaarachchi, 2006).
Colletotrichum sp. adalah jamur penyebab penyakit antraknosa pada
cabai. Menurut Susheela (2012) penyakit antraknosa merupakan penyakit
yang cukup serius karena dapat menurunkan hasil 50-100%. Penyebab
penyakit cabai di Indonesia terdeteksi ada 3 spesies Colletotrichum yang utama
yaitu C.acutatum, C. gloeosporioides dan C. capsici (Than et al., 2008). Di
dunia
penyakit antraknosa pada cabai disebabkan oleh 5 spesies
Colletotrichum yaitu C. capsici (Sydow) Butl. & Bisby, C. gloeosporioides (Pent.)
Penz. & Sacc., C. acutatum Simmonds, C. coccodes (Walir) Hughes, dan C.
graminicola (Ces.) Wils, (Rajapakse and Ranasinghe, 2002).
Penyakit
antraknosa juga termasuk penyakit yang sulit dikendalikan karena
Colletotrichum mempunyai patogenisitas yang kuat, mudah disebarkan oleh
angin, sehingga cepat menular. Kondisi lingkungan seperti musim hujan
mendukung perkembangan patogen, maka gejala antraknosa cepat sekali
menyebar ke tanaman lain (Semangun, 2007, Herwidyarti et a.l, 2013).
Penyakit antraknosa dikenal dengan istilah penyakit patek. Semua tahap
pertumbuhan bisa terserang penyakit ini, termasuk tahap pasca panen. Gejala
yang tampak terjadi pada buah yang masih muda (hijau) sampai dengan yang
71
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
masak (merah). Buah yang masak ada yang menjadi kecil, terdapat cekungan
melingkar hingga 30 mm. Pusat luka menjadi berwarna coklat sampai hitam,
dengan jaringan di sekitarnya berwarna lebih ringan mengelilingi pusat luka
membentuk cincin konsentris (Semangun, 2007).
Tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan B. subtilis B315
sebagai antibakteri dan antijamur patogen tanaman in vitro serta mendeteksi
karakter antimikrobial dari B. subtilis B315.
Bahan dan metode
A. Penyiapan isolat bakteri dan jamur
Tiga isolat B.subtilis yang digunakan adalah B. subtilis B1, B46 dan
B315. B. subtilis B1 diisolasi dari rizosfer padi, sedangkan B46 dan B315
diisolasi dari rizosfer kentang sehat. R. solanacearum yang digunakan berasal
dari tanaman kentang layu dan Colletotrichum sp. dari cabai yang terserang
antraknosa. Medium yang digunakan untuk memelihara isolat bakteri adalah
YPGA (yeast pepton glucose agar), dan untuk jamur adalah PDA (potato
dextrose agar).
B. Pengujian penghambatan in vitro
Pengujian penghambatan B. subtilis sterhadap R. solanacearum
dilakukan dengan perlakuan
3 isolat B. subtilis B1, B46 dan B315
menggunakan metode yang dikemukakan oleh Ghosh, et al.(2007) dengan dua
lapis medium. Pengujian penghambatan B. subtilis terhadap jamur
Colletotrichum sp. dilakukan seperti metode yang dikemukakan oleh Killaniet al.
(2011; Wang et al, 2013), dengan menumbuhkan secara berhadapan (dual
culture) dalam cawan petri berdiameter 9 cm Inokulasi antagonis dilakukan
setelah potongan miselium Colletotrichum sp dari biakan murni, yang dipotong
menggunakan bor gabus diameter 5 mm diletakkan di tengah cawan petri
bermedium PDA, satu ose biakan murni digoreskan secara berhadapan dengan
potongan miselium Colletotrichum sp. Perlakuan ini diulang 8 kali
menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Perlakuan diinkubasi pada suhu
28+2oC diamati sampai dengan 7 hari.
Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase penghambatan
sebagai berikut (Wang et al., 2013)
I=
x100%
I: penghambatan
C: pertumbuhan miselium jamur kontrol (berlawanan arah dengan antagonis)
T: pertumbuhan miselium jamur perlakuan (mengarah ke antagonis)
C. Karakter B. subtilis sebagai antimikrobial
Setelah pengujian in vitro diketahui bahwa B. subtilis mampu
menghambat pertumbuhan R. solanacearum dan Colletotrichum sp. maka
72
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan ethyl acetat untuk melihat senyawa apa
yang dihasilkan oleh B subtils B315 sebagai karakter aktivitas antibakteri dan
antijamur (Kumar et al.,2009). Selanjutnya dideteksi gugus fungsi dengan FTIR
(Fourier Transform Infrared Spectrum) yang menunjukkan aktivitas atau
karakter B. subtilis B315 sebagai mekanisme antibiosis dalam pengendalian
patogen menurut Kumar et al. (2009). B. subtilis B315 ditumbuhkan pada
medium YP cair digojog selama 3 hari 250 rpm, kemudian disentrifuse pada
suhu 4oC selama 15 menit. Supernatan bebas sel yang diperoleh diekstrak
dengan ethyl acetat, kemudian diuapkan dengan vacum rotary evaporator pada
77oC. Crude extract kemudian dideterminasi gugus fungsinya sebagai senyawa
antibakteri dan antijamur dengan FTIR pada bilangan gelombang 4000-120
(cm-1).
Hasil dan pembahasan
Penghambatan pertumbuhan R. solanacearum dan Colletotrichum sp.
oleh B. subtilis B315 dapat dilihat dalam Tabel 1. Tiga isolat B. subtilis
menunjukkan berbeda sangat nyata pada penghambatan terhadap R.
solanacearum dan Colletotrichum sp.
B. subtilis B315 menunjukkan
penghambatan terbaik terhadap R. solanacearum dan Colletotrichum sp.
Tabel 1. Penghambatan R. solanacearum dan Colletotrichum sp. oleh B.
subtilis
Perlakuan
Zona hambatan (mm)
Persentase hambatan (%)
terhadap R.
terhadap Colletotrichum sp.
solanacearum
B1
5c
39,4 c
B46
12,6 b
57,4 b
B315
14,0 a
63,6 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Newman-Keuls 5%
Terbentuknya zona hambatan menunjukkan bahwa mekanisme B.
subtilis sebagai agens hayati adalah antibiosis. Hasil pengamatan uji antibiosis
B. subtilis B315 terhadap R. Solanacearum menunjukkan zona hambatan
terbesar 14 mm. Hasil penelitian Kumar et al. (2009) menunjukkan bahwa B.
subtilis MTCC-8114 yang diisolasi dari sampel tanah menunjukkan zona
hambatan 14-16 mm dengan metode inokulasi spot. Penghambatan terhadap
jamur Colletotrichum sp. menunjukkan bahwa B. subtilis B315 mampu
menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. dengan persentase 63,6%. Hasil
penelitian Chaurasia et al.(2005) menunjukkan bahwa B. subtilis mampu
menghambat jamur
patogen Alternaria alternata, Fusarium oxysporum,
Paecilomyces variotii dengan persentase penghambatan berturut-turut adalah
73
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
65,20%, 60,0% dan 62,80%.
Selanjutnya dikatakan bahwa mekanisme
penghambatannya adalah dihasilkan senyawa volatil yang dapat menginduksi
terjadinya abnormalitas morfologi dari struktur jamur misalnya terjadinya septa
yang tidak teratur, percabangan yang tidak teratur, pembengkakan hifa,
penghambatan pertumbuhan, dan perkecambahan spora.
Gambar 1. Zona hambatan B. subtilis B315dan B46 terhadap R. solanacearum
Gambar 2. Penghambatan pertumbuhan Colletotrichum sp. oleh B. subtilis
B315, B46 dan B1 setelah 4 hari inkubasi
Senyawa yang dihasilkan B. subtilis B315 dapat terdeteksi setelah kultur
B. subtilis bebas sel diekstrak dengan ethyl asetat. Analisis enzim protease
yang dihasilkan B. subtilis B315 dilakukan setelah mendapatkan persamaan
regresi dari nilai absorbansi larutan standar tirosin (Gambar 3). Aktivitas enzim
protease dihitung berdasarkan persamaan regresi linear larutan standar tirosin
dengan memasukkan nilai absorbansi sampel, lama inkubasi dan jumlah enzim
yang digunakan. Hasil perhitungan enzim protease menunjukkan aktivitas
sebesar 166,03 unit/ml setiap 30 menit dengan panjang gelombang 275 nm
(Tabel 2). Hasil penelitian Hageman et al. (1984) menunjukkan bahwa B.
subtilis menghasilkan enzim protease 1,9 unit/ml dengan absorbansi pada 335
nm per jam. Kumar et al. (2002) menyebutkan bahwa B. subtilis menghasilkan
antibiotik peptida bersifat antijamur dengan aktivitas 135 g/ml dan 145 g/ml.
74
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
0,12
y = -0,0004 + 0,655 x
R² = 0,9824
Absorbans
0,1
0,08
0,06
abs
0,04
Linear (abs)
0,02
0
0,08
0,1
0,12
0,14
0,16
Konsentrasi larutan standar tirosin mg/ml
Gambar 3. Regresi absorbans larutan standar tirosin
Tabel 2. Nilai aktivitas enzim protease dari B. subtilis B315
Sampel Nilai
X (Nilai aktivitas
X (Nilai aktivitas
absorbans
protease) dari
protease) dari
λ 275 nm
persamaan
persamaan
regresi
regresi (μg/ml)
(mg/ml)
1
0,337
0,5151
515,1
2
0,309
0,4724
472,4
3
0,308
0,4708
470,8
Rata-rata
X (Nilai
aktivitas
protease)
: 30 x 10
(unit/ml)
183,70
157,47
156,93
166,03
75
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Transmitans (%)
FTIR (Fourier Transform-Infra Red) Spectroscopy atau spektroskopi infra
merah
Bilangan gelombang (cm-1)
Gambar 4. Daerah gugus fungsi dari ekstrak B. subtilis B315
Bilangan gelombang dan gugus fungsidari ekstrak B. Subtilis B315 dapat
dilihat dalam Tabel 3. yang menunjukkan nilai daerah bilangan gelombang
dengan gugus fungsi yang terbentuk dan kelompok senyawa yang dihasilkan.
Tabel 3. Gugus fungsi dan senyawa yang dihasilkan oleh B. subtilis B315
berdasarkan bilangan gelombang yang dianalisis dengan FTIR
Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
Senyawa
2983,22
C-H
Alifatik alkena
1737,46
C=O
Karbonil
1373,38
NO2
Nitro simetris
1232,22
C-O
Ester
Hasil analisis gugus fungsi dari B. subtilis B315 dengan FTIR
menunjukkan gugus fungsi alifatik alkena (C-H) pada bilangan gelombang
2983,22 cm-1. Berdasarkan hasil penelitian Kumar et al. (2009) gugus fungsi
alifatik (C-H) berkaitan dengan dominansi asam amino hidrofobik seperti Val,
Leu dan Ileu atau dalam strukturnya berisi asam lemak. Perlu penelitian
lanjutan untuk mendeteksi struktur kimia, sehinggan diketahui macam senyawa
yang dihasilkan B. subtilis B315.
76
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
1. B. subtilis B315 dapat menghambat R. solanacearum dan Colletotrichum sp.
in vitro dengan zona hambatan 14 mm dan persentase penghambatan
penghambatan 63,6%
2. B. subtilis B315 menghasilkan enzim protease sebagai karakter antimikrobial
dengan aktivitas 166,03 unit/ml
3. Berdasarkan analisiss FTIR, B subtilis B315 menghasilkan senyawa dengan
gugus fungsi alifatik alkena, karbonil, nitro, dan ester.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiansyah, S. Ilyas, Sudarsono, dan M. Machmud. 2013. Karakterisasi
Rizobakteri yang berpotensi mengendalikan bakteri Xanthomonas
oryzae pv. oryzae dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi.
Jurnal. HPT Tropika 13 : 42-51
Champoiseau, P.G., J.B. Jones, T.M. Momol, J. Pingsheng, C. Allen, D.J.
Norman, &K. Caldwell. 2010. Ralstonia solanacearum Race 3 biovar 2
causing brown rot of potato, bacterial wilt of tomato and southern wilt of
geranium. American Phytopathological Society. Madison, WI
Chaurasia, B., A. Pandey, L.M.S. Paini, P. Trivedi, B. Kumar, N. Colvin. 2005.
Diffusible and volatile compounds produced by an antagonistic Bacillus
subtilis strain cause structural deformations in pathogenic fungi in vitro.
Microbial Research 160: 75-81
Ghosh, S., A. Sinha & C. Sahu. 2007. Isolation of putative probionts from the
intestines of Indian mayor carps. The Israel Journal of AquacultureBamigdeh 59: 127-132
Hageman, J.H., G.W. Shankweiler, P.R. Wall, K. Franich, G.W. McCowan, S.M.
Cauble, J. Grajeda & C. Quinones. 1984. Single, chemically defined
sporulation medium for Bacillus subtilis: Growth, sporulation and
extracellular protease production
Hayward, A.C. 1991. Biology and apidemiology of bacterial wilt caused ny
Pseudomonas solanacearum. Annual Review of Phytopathology.2:6587
Herwidyarti, K.H., S. Ratih & D.R.J. Sembodo. 2013. Keparahan penyakit
antraknosa pada cabai (Capsicum annuum L.) dan berbagai jenis
gulma. Jurnal Agrotek Tropika 1: 102-106
Janisiewiez, W.J., T.J. Tworkoski and C. Sharer. 2000. Characterizing the
mechanism of biological control of postharvest disease on fruits with a
simple method to study competition for nutrients. Phytopathology 90:
1196-1200
77
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Killiani. A.S., R.C. Abaidoo, A.K. Akintokun and M.A. Abiala. 2011. Antagonistic
Effect of Indigenous Bacillus subtilis on Root-/Soil-borne Fungal
Pathogens of Cowpea. Researcher 3 : 11-18
Kumar, A., P. Saini & J.N. Shrivastava. 2009. Production of peptide antifungal
antibiotic and biocontrol activity of Bacillus subtilis. Indian Journal of
Experimental Biology 47:57-62
Morikawa, M. 2006. "Beneficial Biofilm Formation by Industrial Bacteria Bacillus
subtilis and Related Species". Journal of Bioscience and Bioengineering
101 : 1-8.
Muthoni, J., M.W. Mbiyu & D.O. Nyamongo. 2010. A review of potato seed
systems and germplasm conservation in Kenya. Journal of Agricultural
and Food Information 11: 157-167
Rajapakse, R.G.A.S., & J.A.D.A.R. Ranasinghe. 2002. Development of variety
screening method for anthracnose disease of chilli (Capsicum annum
L.) under field conditions. Tropical Agricultural Research and Extension
5 : 7-11
Semangun, H. 2007.Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Susheela, K. 2012. Evaluation of screening methods for anthracnose disease in
chilli. Pest Management in Horticultural Ecosystems 18: 188-193
Than, Po.Po., H. Prihastuti, S. Phoulivong, P.W.J. Taylor, K.D. Hyde. 2008.
Chilli anthracnose disease caused by Colletotrichum species. Journal of
Zhejiang University Science B 9: 764-778
Wang, H.K., R.F. Xiao and W. Qi. 2013. Antifungal Activity of Bacillus
coagulans TQ33, Isolated from Skimmed Milk Powder, against Botrytis
cinerea. Food Tachnol. Biotechnol 51: 78-83
Yabuuchi, E., Y. Kosako, .I Yano, H. Hotta & Y. Nishiuchi. 1995. Transfer of two
Burkholderia and an Alcaligenes species to Ralstonia genus nov.:
proposal of Ralstonia pickettii (Ralston, Palleroni and Donderoff 1973)
comb.nov., Ralstonia solanacearum (Smith 1896) comb. Nov. And
Ralstonia eutropha (Davis 1969) comb.nov. Microbiology and
Immunology 39: 897-904.
78
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
INTERSEPSI TEMUAN OPTK A1 DAN A2 PADA EKSPOR IMPOR
KOMODITAS HASIL PERTANIAN MELALUI BBKP SURABAYA TAHUN 2014
Purwati
POPT Pertama BBKP Surabaya, Jl. Prapat Kurung Utara No. 6 Surabaya
Abstrak
Tanah air Indonesia memiliki sumberdaya hayati berupa anekaragam jenis
hewan, ikan dan tumbuhan yang perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya.
Dengan meningkatnya lalu lintas antar negara dan dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Indonesia dalam rangka perdagangan, pertukaran dan
penyebarannya OPT dan OPTK yang dapat merusak SDA hayati. Balai Besar
Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya sebagai salah satu UPT Badan Karantina
Pertanian mengemban amanah suci mencegah masuk dan tersebarnya OPTK
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Lalu lintas perdagangan dunia
melalui ekspor maupun impor berpotensi sekali membawa serta OPTK yang telah
ada di negara asal namun masih belum terdapat di Indonesia. Selama Januari
hingga Agustus 2014 ini BBKP Surabaya telah mendeteksi temuan OPTK baik
dari kategori OPTK A1 maupun OPTK A2 yang terbawa masuk ke Indonesia
melalui komoditas hasil pertanian yang di impor ke Indonesia melalui pengujian
laboratorium dengan berbagai metoda pengujian sesuai target OPTK sasaran
sesuai Permentan 93 Tahun 2011. OPTK yang telah ditemukan antara lain (1)
Aphelenchoides fragariae (OPTK A1) ditemukan 4 kali pada umbi bawang putih
(Cina), 1 kali pada umbi bawang merah (India, Thailand, Vietnam), 3 kali pada
umbi bawang bombay (India, Selandia Baru), (2) Ditylenchus destructor (OPTK
A1) ditemukan 20 kali pada umbi bawang putih (Cina), (3) Ditylenchus dipsaci
(OPTK A1) ditemukan 17 kali pada umbi bawang putih (Cina), (4) Pratylenchus
penetrans (OPTK A2) ditemukan 82 kali pada umbi bawang putih (Cina, Taiwan),
2 kali pada umbi bawang merah (Thailand), 1 kali pada umbi bawang bombay
(India, Cina), (5) Pratylenchus vulnus (OPTK A1) ditemukan 7 kali pada umbi
bawang putih (Cina), (6) Burkholderia glumae (OPTK A2) ditemukan 3 kali pada
benih Padi (Cina), (7) Sphacelothecha reiliana (OPTK A1) ditemukan 1 kali pada
gandum (Rusia dan Australia), (8) Stenocarpella macrospora (OPTK A1)
ditemukan 1 kali pada gandum (Australia), dan 2 kali pada benih jagung
(Argentina), (9) Tilletia indica ditemukan 1 kali pada gandun (India) dan (10)
Tilletia laevis ditemukan 3 kali pada gandum (India). Sedangkan pada komoditas
ekspor telah ditemukan 2 OPTK A2 yaitu Meliodogyne hapla pada Jahe yang
79
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
diekspor ke Pakistan dan Thailand, dan Pratylenchus penetrans pada jahe yang
diekspor ke Pakistan dan Bangladesh.
Kata kunci : Intersepsi, OPTK A1, OPTK A2, Ekspor, Impor, BBKP Surabaya
Pendahuluan
Tanah air Indonesia memiliki berbagai jenis sumberdaya alam hayati
berupa anekaragam jenis hewan, ikan dan tumbuhan yang perlu dijaga dan
dilindungi kelestariannya. Sumberdaya alam hayati tersebut merupakan salah satu
modal dasar sekaligus sebagai factor dominan yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tanah
air Indonesia atau sebagian pulau-pulau di Indonesia masih bebas dari organisme
pengganggu tumbuhan yang memiliki potensi untuk merusak kelestarian
sumberdaya alam hayati.
Dengan meningkatnya lalu lintas komoditas hasil pertanian antar negara
dan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Indonesia dalam rangka
perdagangan, pertukaran dan penyebarannya semakin membuka peluang bagi
kemungkinan masuk dan menyebarnya organisme pengganggu tumbuhan yang
dapat merusak sumberdaya alam hayati.
Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya sebagai salah satu UPT Badan
Karantina Pertanian mengemban amanah suci mencegah masuk OPTK ke
wilayah negara RI dan mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain dan
mencegah keluarnya dari wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku.
Lalu lintas perdagangan dunia baik melalui kegiatan ekspor maupun impor
beraneka jenis komoditas terutama komoditas hasil pertanian baik yang berupa
hasil tanaman hidup maupun hasil tanaman mati baik yang belum diolah maupun
yang sudah diolah sangat berpotensi sekali membawa serta OPT yang telah ada
di negara asal namun masih belum terdapat di Indonesia. Selama Januari hingga
Agustus 2014 ini BBKP Surabaya telah mendeteksi temuan OPTK baik dari
kategori OPTK A1 maupun OPTK A2 yang terbawa masuk ke Indonesia melalui
komoditas hasil pertanian yang di impor ke Indonesia melalui pengujian
laboratorium dengan berbagai metoda pengujian sesuai target OPTK sasaran
sesuai Permentan 93 Tahun 2011. Komoditas hasil pertanian yang paling banyak
ditemukannya OPTK baik kategori A1 maupun A2 adalah umbi lapis (umbi
bawang putih, bawang merah dan bawang bombay, terutamanya umbi bawang
putih), biji gandum, benih jagung, dan benih padi.
80
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil dan pembahasan
A. Hasil Intersepsi
Berdasarkan hasil pengujian kesehatan tumbuhan di Laboratorium
Entomologi, Mikologi, Nematologi, Serologi BBKP Surabaya selama Januari 2013
hingga Juni 2014 diperoleh hasil inetrsepsi sebagai berikut :
Tabel 1. Temuan OPTK pada Komoditas Impor Melalui BBKP Surabaya Januari
2013- Juni 2014
No OPTK Temuan
Media
Negara Asal
Frekuensi
Pembawa
Aphelenchoides fragariae Bawang putih
1.
Cina
4
(A1/II)
Bawang merah India, Thailand,
1
Vietnam
Bawang
India, Selandia
3
bombay
Baru
Ditylenchus
destructor Bawang putih
2.
Cina
20
(A1/II)
3.
Ditylenchus dipsaci (A1/II)
Bawang putih
Cina
17
Pratylenchus
penetrans Bawang putih
4.
Cina, Taiwan
82
(A2/II)
Bawang merah Thailand
2
Bawang
India, Cina
1
bombay
Pratylenchus vulnus (A1/II)
5.
Bawang putih
Cina
7
Bulkhoderia glumae (A2)
6.
Benih Padi
Cina
3
Sphacelotheca reiliana (A1
7.
Gandum
Rusia, Australia
1
Stenocarpella macrospora Gandum
8.
Australia
1
(A1)
Benih Jagung
Argentina
2
Tilletia indica
9.
Gandum
India
1
Tabel 2. Temuan OPT Pada Komoditas Ekspor Melalui BBKP Surabaya Januari
2013-Juni 2014
No
Temuan OPT
Media Pembawa
Negara Tujuan
Meloidogyne hapla
1.
Jahe Segar
Pakistan, Thailand
Pratylenchus penetrans
2.
Jahe Segar
Pakistan,
Bangladesh
81
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
B. Pembahasan
OPTK yang ditemukan pada komoditas impor maupun ekspor kebanyakan
OPTK golongan nematoda. Penemuan OPTK nematoda pada komoditas impor
antara lain : Aphelenchoide fragariae (A1/II), Ditylenchus destructor (A1/II),
Ditylenchus dipsaci (A1/II), Pratylenchus penetrans (A2/II), Pratylenchus vulnus
(A1/II), sedangkan penemuan OPTK nematoda pada komoditas ekspor antara lain
: Meloidogyne hapla, dan Pratylenchus penetrans. Penemuan OPTK nematoda
tersebut biasa ditemukan pada umbi lapis terutama paling banyak dan paling
sering ditemukan di perakaran umbi bawang putih yang masih terdapat pada
kiriman umbi bawang putih yang masuh dari negara China. Berdasarkan Tabel 1
diatas terlihat bahwa pada umbi bawang putih dari China selama Januari 2013Juni 2014 telah ditemukan sebanyak 4 kali Aphelenchoides faragariae, 20 kali
Ditylenchus destructor, 17 kali Ditylenchus dipsaci, 82 kali Pratylenchus
penetrans, dan 7 kali Pratylenchus vulnus. Hal ini sangat mengancam dan
membahayakan kelestarian sumber daya alam hayati Indonesia terutama
komoditas pertanian family Liliaceae yang cukup luas pertanaman umbi lapis
terutama umbi bawang merah di Indonesia karena nematoda tersebut selain dapat
menginfeksi umbi bawang putih juga dapat menginfeksi perakaran pada umbi
lapis yang lain baik umbi bawang merah maupun umbi bawang bombay. A.
fragariae memiliki bentuk tubuh ramping (langsing), daerah vulva terletak 2/3 dari
panjang tubuh diukur dari bagian anterior (daerah kepala), bentuk stilet ramping
dan pan jang dengan basal knop kecil tapi jelas. Bentuk metacarpus besar dan
menempati ¾ atau lebih dari lebar esophagus, bentuk ujung ekor menyerupai
kerucut tajam dan memanjang dengan ujung meruncing seperti duri tumpul seperti
yang terligat pada gambar 1 berikut ini :
ABXJK A
ABXJK B
ABXJK C
ABXJK D
Gambar 1. Aphelenchoides fragariae (a,b) tampaak kepala (c) tampak ekor (d)
tampak utuh
(Sumber : Dokumentasi Laboratorium Nematologi BBKP Surabaya; M = 40x)
Selain A. fragariae paling sering diketemukan nematoda D. destructor dan
D. dipsaci pada media pembawa umbi bawang putih impor dari China. D.
destructor memiliki diameter 0,8-1,4 mm dan 23-47 mm, memiliki bentuk tubuh
82
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
langsing dengan panjang tubuh 0,6-1,5 mm. Kerangka kepala sedikit
berskelerotin, mulut datar dan rendah, sedikit atau tidak berlekuk terhadap
tubuhnya, Stilet memiliki kekuatan lemah sedang panjang stilet 10-14 µm, kepala
sedikit mengeras, mempunyai basal knop kecil, pada esophagus memiliki median
bulbus berotot, istmusnya berangsur meluas membentuk basal bulbus,
berkembang menjadi gelembung menjorok ke bagian usus, pada nematoda
betina, ada kantong vulva memanjang yang terletak ¾ panjang tubuh, dengan ciri
khas pada ujung ekor bulat sempit, pada nematoda jantan mempunyai abdomen
melengkung spikula, anterior diperluas, nematoda tidak mampu bertahan pada
kekeringan, nematoda menyerang umbi bawang putih melalui lentisel lalu
berkembangbiak dengan cepat menyerang seluruh umbi, D. destructor dapat
berkembang dalam umbi setelah dipanen (Celletti, 2009 dalam CABI, 2014).
Bentuk dewasa nematota D. destructor ditunjukkan pada gambar 2 berikut ini :
A
B
Gambar 2. Nematoda dewasa D. destructor
(Sumber : Dokumentasi Laboratorium Nematologi BBKP Surabaya; M = 40x)
Pada nematoda Ditylenchus dipsaci memiliki cir khas pada D. destructor
jantan memiliki alat kelamin berupa bursa panjang, ramping, sspikula sedikit lebih
luas dari spikula D. destructor, nematoda ini memiliki ketahanan terhadap kondisi
kering, dan dapat terisolasi dari bahan tanaman yang benar-benar kering, dan
nematoda D. dipsaci bersifat ektoparasitik pada batang dan daun. Oleh karena
dapat tahan pada kondisi kering maka kemungkinan terbawanya pada perakaran
umbi bawang putih sangat besar kemungkinannya.
Gambar 3. Dewasa D. dipsaci
(Sumber : Dokumentasi Laboratorium Nematologi BBKP Surabaya; M = 40x)
83
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gejala serangan nematoda D. dipsaci maupun D. destructor adalah
tanaman inang berubah menjadi kuning kecoklatan, mengecil dan mati, pola
sebaran tanaman secara acak yang mungkin menunjukkan benih terinfeksi, pada
umbi bawang putih terdapat bagian yang berkilau, daun menggulung, distorsi dan
batang, daun dan akar dengan mudah terpisah umbi yang mirip dengan gejala
basal rot, infeksinya dapat menjadi celah masuknya pathogen cendawan.
Nematoda selanjutnya yang telah ditemukan oleh laboratorium nematologi
BBKP Surabaya yaitu P. penetrans yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
tubuh kecil (panjangnya kurang dari 1 mm), bila mati karena diperlakukan dengan
panas secara berhati-hati maka tubuhnya sedikit bengkok paada bagian ventral,
tidak ada taanda-tanda seksual diformisme pad bagian anterior tubuhnya,
kepalanya rendah dan datar, ujung anteriornya seperti topi hitam yang datar,
mulutnya terbagi atas 2,3 atau 4 anulus dan lurus dengan garis tubuh serta
mengalami sklerotisasi yang kuat, panjang stilet ±20µm (±2x lebar kepala), stilet
mengalami sklerotisasi sedang dengan basal knob berbetuk bulat dan bagian
anteriornya konkaf, esophagus tumbuh baik pada nematoda jantan maupun
betina, media bulbus berkembang baik dengan lobus kelenjar esophagus dorsal
menjorok ke usus pada bagian ventral. Bentuk morfologi nematoda Pratylenchus
penetrans terlihat sebagai berikut :
Gambar 4. P. penetrans
(Sumber : Dokumentasi Laboratorium Nematologi BBKP Surabaya; M = 40x)
OPTK selanjutnya yang ditemukan yaitu P. vulnus yang ditemukan 7 kali
pada bawang putih asal Cina. Perbedaan yang tampak jelas antara Pratylenchus
vulnus dan Pratylenchus penetrans terutama tampak terlihat pada knop yang
membelah menjadi dua bagian dan pada bagian ekor yaitu pada P. vulnus knop
pada stilet lebih besar bagian kanan daripada bagian kiri dan isi tubuh pada
bagian yang mendekati ujung ekor sedikit jarang, sedangkan pada P. penetrans
knop paada stylet lebih besar pada bagian kiri daripada bagian kanan dan isi
tubuh di bagian yang mendekati ujung ekor hampir terisi penuh.
OPTK golongan cendawan yang telah diketemukan pada komoditas impor
yang masuk melalui BBKP Surabaya yaitu Bulkhoderia glumae, Sphacelotheca
reiliana, Stenocarpella macrospora, Tilletia indica. Pada impor benih padi asal
84
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Cina telah diketemukan sebanyak 3 kali B. glumae, dan ditemukan Sphacelotheca
reiliana pada biji gandum konsumsi asal Rusia dan Australia sebanyak 1 kali
(gambar 5).
Gambar 5. Sphacelotheca reiliana
(Sumber : Dokumentasi Laboratorium Mikologi BBKP Surabaya; M = 40x)
OPTK selanjutnya yang telah ditemukan oleh analis laboratorium BBKP
Surabaya adalah cendawan Stenocarpella macrospora yang ditemukan pada
pemasukan biji gandum asal Australia sebanyak 1 x dan pemasukan benih
jagung asal Argentina sebanyak 2x dengan gambar S. macrospora seperti gambar
6 berikut ini :
Gambar 6. Stenocarpella macrospora
(Sumber : Dokumentasi Laboratorium Mikologi BBKP Surabaya; M = 40x)
OPTK berikutnya yang telah ditemukan oleh laboratorium mikologi BBKP
Surabaya yaitu cendawan Tilletia indica yang ditemukan sebanyak 1x pada
pengujian sample biji gandum asal India.
Gambar 7. Cendawan Tilletia indica
(Sumber : Dokumentasi Laboratorium Mikologi BBKP Surabaya; M = 40x)
85
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
OPTK terakhir yang telah berhasil ditemukan oleh laboratorium mikologi
BBKP Surabaya yaitu cendawan T. laevis yang ditemukan sebanyak 3x pada
pemasukan biji gandum asal India ke Indonesia melalui BBKP Surabaya. Berikut
ini gejala seranggan cendawan Tilletia laevis pada biji gandum asal India.
Gambar 8. Gejala infeksi Tilletia laevis pada biji gandum asal India
Sedangkan temuan OPTK yang terbawa pada komoditas yang akan di
ekspor ke negara lain yaitu Meloidogyne hapla dan Pratylenchus penetrans yang
diketemukan pada komoditas jahe segar yang akan diekspor ke Pakistan dan
Bangladesh. Terhadap temuan hasil laboratorium tersebut ditindaklanjuti dengan
perlakuan penyemprotan air bersih dengan pompa hidrolik bertekanan tinggi
kemudian dikeringanginkan selama 12-24 jam terhadap komoditas yang akan
dikirim sebelum dimuat kedalam container. Hal ini untuk mencegah keluarnya atau
terbawanya kedua spesies nematoda tersebut keluar drai wilayah Indonesia yang
merupakan salah satu tugas pokok fungsi utama karantina tumbuhan sesuai
dengan jaminan kesehatan tumbuhan terhadap komoditas yang dikirim yang
dinyatakan pada Phytosanitary Certificate yang menyertai kiriman komoditas jahe
segar tersebut ke Pakistan dan Bangladesh.
Gambar 9. Meloidogyne hapla
Dengan sering kalinya diketemukan temuan OPTK yang terbawa masuk
melalui komoditas yang di Impor dari negara lain ke Indonesia maka Balai Besar
Karantina Pertanian Surabaya telah mengirimkan Notification Non Compliance
(NNC) ke negara asal komoditas yang diketemukan OPTK tersebut
memberitahukan bahwa PC yang meryertai komoditas tersebut tidak valid karena
masih diketemukannya OPTK yang terbawa pada komoditas kiriman negara
86
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
tersebut agar untuk pengiriman berikutnya dapat lebih baik dan lebih diawasi
dalam perlakuan yang diberikan di negara asal sebelum dikirim ke Indonesia.
Terhadap komoditas yang diketemukan OPTK tersebut segera dilakukan tindakan
karantina berupa perlakuan (treatment) berupa fumigasi dengan metil bromide
dosis 16 gram/m3 selama 2 jam untuk komoditas umbi bawang putih dengan
pertimbangan dengan dosis 12 gram/m3 tersebut nematoda yang terbawa pada
akar umbi bawang putih dapat mati namun tidak sampai merusak umbi bawang
putih, bila dosis yang digunakan lebih dari 16 gram/m3 dan lebih dari 2 jam maka
kemungkinan besar umbi bawang putih akan menghitam dan rusak. Sedangkan
untuk perlakuan terhadap OPTK pada biji gandum diberi perlakuan pemusnahan
terhadap kulit luar (sampah) biji gulma setelah dipisahkan antara kulit luar biji
gandum dengan bagian dalam biji gandum, karena OPTK Tilletia indica, dan
Tilletia laevis berada di permukaan kulit luar biji gandum sehingga langsung diberi
tindakan karantina berupa pemusnahan kulit luar biji gandum setelah dilakukan
pemisahan dengan mesin-mesin pabrik. Alasan pemusnahan terhadap kulit luar
biji gandum yang positif OPTK dilakukan karena mengingat proses pengolahan biji
gandum tersebut dari container langsung masuk ke silo-silo mesin pabrik
perusahaan besar tidak di distribusikan langsung namun sebagai bahan baku
tepung terigu sehingga pengumpulan kulit luar biji gandum dapat terkendali dan
tidak ada yang lolos tercecer sehingga lebih efektif dan efisien membunuh OPTK
secara cepat di tempat pemasukan jangan sampai masuk ke wilayah Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Perlu diwaspadai penemuan 8 spesies OPTK A1 dan 2 spesies OPTK A2
telah terintroduksi masuk ke RI melalui umbi bawang putih, bawang merah,
bawang bombay, biji gandum, benih padi dan benih jagung.
2. Telah dilakuan perlakuan fumigasi Metil Bromida pd dosis 16 gr/m3 selama 2
jam pada umbi lapis.
3. Telah dilakukan NNC ke karantina negara asal terhadap jaminan
Phytosanitary Certificate nya sesuai hasil uji laboratorium OPTK di Surabaya.
Daftar pustaka
Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93 Tahun 2011 tentang jenis-jenis Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina. Kementerian Pertanian.
87
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENINGKATAN KETAHANAN TANAMAN CABAI TERHADAP PENYAKIT
VIRUS KUNING MELALUI PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria)
DARI AGENS HAYATI Pseudomonas fluorescens DAN Trichoderma
harzianum
Sri Murtiati dan Hairil Anwar
BPTP Jawa Tengah
Bukit Tegalepek, Sidamulya, Ungaran Tlp. 0246924965
Email : [email protected]
Abstrak
Infeksi virus kuning pada tanaman cabai (Pepper Yellow Leaf Curl Virus)
menyebabkan penurunan hasil terutama pada musim kemarau. Penyakit ini
hanya dapat ditularkan oleh serangga vektor kutu kebul (Bemisia tabaci L.) dan
bukan merupakan penyakit terbawa benih (seed born diseases). Penyakit virus
kuning ini menyebabkan perubahan fisiologi pada proses fotosintesis yang
dapat menurunkan produksi tanaman cabai. Penggunaan pupuk dan pestisida
kimia untuk pengendalian secara terus-menerus dapat mengakibatkan
pencemaran tanah. Salah satu sistem pengendalian yang diterapkan adalah
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) melalui pemanfaatan mikroba antagonis
yang berguna secara maksimaldengan menggunakan bahan–bahan organik.
Mikroba antagonis yang digunakan sebagai agens pengendali hayati
ditambahkan pada bahan organik dapat digunakan untuk PGPR, sehingga
meningkatkan ketahanan tanaman dari serangan penyakit virus kuning pada
tanaman cabai. Agens hayati lebih efektif apabila diaplikasikan sebagai
perlakuan preventif sebelum penyakit berkembang dan aplikasi lanjutan untuk
memperoleh penekanan penyakit yang dapat bertahan lama. Pseudomonas
fluorescens dan Trichoderma harzianum adalah kelompok agens hayati yang
mempunyai kemampuan sebagai agen biokontroldan PGPR (Plant Growth
Promoting Rhizobacteria). Kedua agens hayati tersebut mampu memproduksi
beberapa metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan akar (Zat Pengatur Tumbuh) yang berperan sebagai PGPR dan
menghasilkan senyawa kimia antibiotik sebagai pengendalian penyakit virus
kuning pada tanaman cabai.Selain itu P. flourescensadalah bakteri yang
berperan sebagai jasad renik pelarut fosfat dengan menyerap residunya untuk
mengurangi pencemaran tanah dan lingkungan. Hubungan antara bakteri dan
jamur yang menguntungkan mampu memberikan pengaruh positif terhadap
ketahanan tanaman, pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi.
Kata kunci : virus kuning, agens hayati, PGPR
88
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pendahuluan
Rendahnya produksi cabai ini disebabkan oleh banyaknya faktor, salah
satu diantaranya adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT)
berupa mikroorganisme (virus, bakteri dan Jamur) (Duriat et al., 2004). Salah
satu penyakit virus yang menyerang tanaman cabai seperti Pepper Yellow Leaf
Curl Virus (PYLCV) adalah penyebab penyakit kuning pada cabai (Habazar dan
Hidrayani, 2005). Penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai di
Indonesia telah menyebar dengan cepat keberbagai sentral tanaman cabai di
Indonesia, seperti Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah,
dan telah meresahkan petani serta sangat mempengaruhi produksi cabai.
Penyakit ini merupakan jenis penyakit virus yang menyerang tanaman
dengan kisaran inang cukup luas pada tanaman budidaya maupun gulma
disekitar tanaman, infeksi pada jaringan inang hanya dilakukan oleh serangga
vektor (Bemisia tabaci), satu vektor yang viruliferous dilaporkan mampu
menularkan virus (Aidawati et al. 2006). Akibat serangannya dapat
menghilangkan hasil cabai antara 20-100% (Setiawati, 2003).
Gejala penyakit pada tanaman cabai berupa bercak kuning di sekitar
tulang daunmenebal dan helai daun menggulung ke atas (cupping). Gejala
lanjut penyakit ini menunjukan daun-daun muda menjadi kecil-kecil, helai daun
berwarna kuning cerah atau hijau muda yang berseling dengan warna kuning
dan cerah yang akhirnya tanaman kerdil (Sulandari et al., 2001). Daun-daun
muda yang kecil dan berwarna kuning, ini akan mengganggu proses
fotosintesis pada tanaman.Penelitian yang dilakukan oleh Nur Aeni (2007)
memperlihatkan bahwa laju asimilasi bersih tanaman sehat lebih tinggi
dibandingkan dengan laju asimilasi bersih tanaman terinfeksi virus kuning
cabai.
Kemampuan agens hayati menghasilkan beberapa keuntungan baik
terhadap pertumbuhan tanaman maupun dalam menekan kejadian penyakit di
lapang. Salah satu mikroorganisme yang punya potensi untuk dikembangkan
sebagai agen hayati adalah Pseudomonas fluorescens. Bakteri ini juga
berperan sebagai pemacu pertumbuhan (Plant Growth Promoting
Rhizobakteria), karena menghasilkan zat pengatur tumbuh (ZPT) dan dapat
pula meningkatkan ketersediaan hara melalui produksi asam organik
(Linderman and Paulizt, 1985). Disamping bakteri, mikroorganisme lain yang
digunakan untuk menekan penyakit virus kuning adalah Trichoderma
harzianum. Oleh karena itu, mekanisme perlindungan tanaman oleh T.
harzianum tidak hanya menginfeksi patogen pengganggu, tetapi juga
melibatkan produksi beberapa metabolit sekunder yang berfungsi
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar, dan memacu mekanisme
pertahanan tanaman itu sendiri (Shoresh and Harman, 2008).
89
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Dengan penambahan biofertilizer dari agens hayati P. fluorescens dan
T. harzianum mampu memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan
ketahanan tanaman cabai. Tanaman cabai yang mempunyai ketahanan yang
tinggi akan menekan penyakit virus kuning sehingga proses fisiologis pada
tanaman tidak terganggu. Proses asimilasi yang tinggi pada tanaman akan
meningkatkan produksi tanaman cabai.
Pembahasan
A. Gejala Infeksi Virus Kuning dan Gangguan Fisiologis Tanaman Cabai
1.
Gejala Penyakit Virus Kuning
Masuknya serangga vektor yang menyebarkan virus ke dalam tanaman
cabai adalah salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam epidemi
penyakit kuning cabai yang disebabkan oleh kutu kebul (Bemisia tabaci).
Serangga ini termasuk dalam kelompok serangga penusuk penghisap. Secara
mekanik virus ini tidak dapat ditularkan melalui biji. Masa inkubasi virus ini
antara 15-29 hari setelah inokulasi. Tanaman cabai yang terinfeksi berat tidak
dapat menghasilkan bunga dan buah. Bila serangan terjadi pada fase vegetatif
jumlah tunas menjadi lebih banyak namun pertumbuhan tanaman kerdil.
Mekanisme infeksi virus dalam tubuh tanaman hingga memunculkan gejala
berupa daun menjadi berwarna kuning, kerdil dan menggulung ke atas
(cupping).
Semua gejala yang muncul adalah akibat dari terhambatnya aliran
nutrisi (fotosintat) dari source ke sink karena virus yang ada di dalam tanaman
menguasai floem (floem limited virus). Tanaman yang terinfeksi pada awal
pertumbuhan tidak akan menghasilkan buah dan tanaman tidak dapat tumbuh
dengan normal. Jika tanaman terinfeksi saat memasuki fase generatif maka
buah yang dihasilkan akan berbentuk kerdil dan bertekstur keras.
Aktivitas kutu kebul baru meningkat setelah tanaman mulai berbunga
hingga awal pengisian buah. Meningkatnya aktivitas vektor tersebut karena
meningkatnya jumlah makanan yang tersedia (Hirano et al.,1993). Virus
tersebut melakukan replikasi sel yang bergerak dan masuk ke dalam floem,
sehingga menyebar ke dalam tubuh tanaman. Virus yang masuk ke floem akan
bergerak bersama aliran di dalam floem dan menyebar ke seluruh tubuh
tumbuhan. Meskipun demikian, banyak tanaman yang gagal diinfeksi oleh virus.
Perubahan warna daun hanya akan terjadi jika suhu lingkungan di atas
25ºC dan intensitasnya akan meningkat jika suhu lingkungan mencapai 40ºC
(Dawson, 1999). Fase selanjutnya virus bergerak dari sel ke sel yang lain
hingga mencapai floem sehingga dapat bergerak cepat ke dalam daun-daun
muda yang masih berkembang. Di sinilah biasanya gejala daun berubah
menjadi kuning, mengeriting dan menjadi kerdil akan tampak, sehingga
penyakit kuning cabai ini sering juga disebut sebagai jambul amerika karena
90
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
yang menguning hanya daun bagian atas atau daun muda saja (Dawson,
1999).
Gambar. Gejala Penyakit Virus Kuning Tanaman Cabai (koleksi pribadi)
2.
Gangguan Fisiologis Tanaman Cabai
Proses fisiologi yang terganggu terjadi setelah virus masuk ke dalam
tanaman, karena virus tersebut akan mereplikasi dirinya sehingga jumlah
mereka mencukupi untuk menguasai tubuh tanaman. Menurut Te’csi, et al.
(1996) virus yang sudah dapat masuk ke dalam tubuh tanaman akan
melakukan replikasi dan pembentukan protein virus. Virus yang menginfeksi
tanaman melakukan replikasi sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas
enzim anaplerotik, laju fotosintesis dan kandungan pati. Apabila sintesis virus
menurun, laju fotosintesis dan kandungan pati dalam daun akanmenurun,
sedangkan glikolisis dan respirasi dalam mitokondria akan meningkat.
Kloroplas merupakan organel utama yang diserang oleh virus
tumbuhan. Penurunan laju fotosintesis disebabkan karena bentuk kloroplas
yang abnormal, dengan ukuran yang relatif lebih kecil dan jumlah tilakoid pada
setiap grana yang menurun akibat infeksi virus. Kerusakan utama akibat infeksi
virus pada tanaman adalah akumulasi klorofil, yang menyebabkan penurunan
laju fotosintesis karena penurunan kemampuan mengabsorsi cahaya.
Perubahan ini ditunjukkan dengan terjadinya klorosis pada daun (Funayama
dan Terashima, 2006).
Klorosis atau warna daun menguning pada tanaman yang terinfeksi
terjadi karena terhambatnya pembentukan klorofil pada daun sehingga
mengakibatkan akumulasi gula. Menurut Funayama dan Terashima (2006)
klorosis pada daun tanaman yang terinfeksi terjadi karena pembentukan klorofil
terhambat sehingga laju pembentukan klorofil sama atau lebih kecil
91
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
dibandingkan dengan laju degradasi klorofil. Kandungan nitrogen daun pada
tanaman terinfeksi lebih rendah dibandingkan dengan daun tanaman yang tidak
terinfeksi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tanaman yang terinfeksi
virus lebih banyak mengalokasikan nitrogen untuk bertahan dan replikasi virus
dalam tubuh tanaman. Apabila jumlah nitrogen dalam daun rendah dan
tanaman terkena cahaya matahari dengan intensitas tinggi maka daun akan
mengalami penurunan protein klorofil daun (Funayama dan Terashima, 2006).
Laju asimilasi bersih adalah laju penimbunan bahan kering per satuan
luas daun per satuan waktu (Gardner et al., 1991), yang merupakan ukuran
rata-rata efisiensi fotosintesis daun dalam satu tanaman. Efisiensi laju asimilasi
bersih dipengaruhi oleh besarnya radiasi matahari, kemampuan daun untuk
berfotosintesis, nilai indeks luas daun dan pemerataan radiasi matahari ke
seluruh permukaan daun. Laju asimilasi bersih tertinggi dicapai pada saat
tanaman masih kecil karena sebagian besar daunnya terkena sinar matahari
secara langsung. Semakin banyak daun yang terlindungi maka laju asimilasi
bersih akan menurun. Tanaman yang terinfeksi virus kuning cabai akan
mempunyai daun yang bentuknya tidak normal, terutama apabila tanaman
terinfeksi sebelum memasuki fase generatif. Hal ini tentu akan berpengaruh
terhadap indeks luas daun tanaman. Jika indeks luas daunnya rendah dan
kandungan klorofilnya juga rendah maka jumlah fotosintat yang dihasilkan
untuk pertumbuhan tanaman juga akan menurun. Dalam kondisi ini, hasil
fotosintat tidak hanya digunakan oleh tanaman untuk tumbuh namun juga
sebagian besar energinya dipakai oleh virus untuk hidup dan terus mereplikasi
diri. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Aeni (2007) memperlihatkan bahwa laju
asimilasi bersih tanaman sehat lebih tinggi dibandingkan dengan laju asimilasi
bersih tanaman terinfeksi virus kuning cabai. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap hasil produksi tanaman. Buah cabai yang dihasilkan oleh tanaman
sehat memilki jumlah dan berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
dan berat buah yang dihasilkan oleh tanaman terinfeksi virus.
B.
Peranan Agens Hayati P. fluorescens dan T. harzianum Untuk PGPR
dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman
1.
Agens Hayati P. fluorescens
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) adalah rizosfer tanah
yang
mengelilingi
akar
dan
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan
mikroorganisme. Interaksi ini ditandai dengan adanya pemanfaatan eksudat
akar yang dikeluarkan akar oleh mikroorganisme dan sebaliknya metabolisme
di perakaran dipengaruhi oleh kerja mikroorganisme. Eksudat akar adalah
asam amino, asam organik, karbohidrat, gula, vitamin, mucilage dan protein.
Eksudat akar sebagai pengirim pesan untuk merangsang interaksi biologi
maupun fisik di antara akar dan organisme perakaran. Modifikasi biologi dan
92
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
fisika tanah dari rizosfer memberi kontribusi bagi pertumbuhan akar tanaman
agar tetap survive (Kelly, 2005).
Bakteri-bakteri yang hidup di sekitar perakaran ada yang
menguntungkan. Dalam Supriadi (2006) jenis-jenis agens hayati dari kelompok
bakteri yang pernah diteliti salah satunya P. fluorescens. Selanjutnya menurut
Minorsky (2008), bakteri P. fluorescens yang diisolasi dari perakaran tanaman
Graminae menunjukan adanya kolonisasi yang dapat meningkatkan hasil,
menambah jumlah bunga, menambah jumlah buah, dan berat buah.
Kemampuan untuk menfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, memproduksi
senyawa siderofor dan hidrogen sianida (HCN), enzim kitinase, protease, dan
selulosa merupakan karakteristik rizobakteri yang diinginkan (Zhang, 2004).
Salah satu kemampuan rizobakteri dari kelompok Bacillus spp. dan
Pseudomonas spp. yang telah dilaporkan adalah mampu melarutkan fosfat
(Faccini et al., 2004). Selain itu P. fluorescens merupakan salah satu
mikroorganisme antagonis yang diteliti secara intensif dan berpotensi besar
untuk pengendalian beberapa penyakit (Hasanuddin, 2003).
Bakteri P. fluorescens mempunyai kemampuan dalam menghasilkan
siderofor yang berguna sebagai pengkhelat besi ketika konsentrasi besi
rendah. Sebaliknya apabila konsentrasi besi tinggi, pyoverdine tidak diperlukan
sehingga koloni bakteri tidak akan berpendar di bawah sinar ultraviolet. Di
samping itu P. fluorescens juga menghasilkan viscosin yang dapat
meningkatkan antivirality. Metabolit sekunder yang dihasilkan P. fluorescens
memainkan peranan penting dalam menekan perkembangan penyakit tanaman
seperti antibiotik .
Hasil aplikasi P. fluorescens pada tanaman cabai menunjukkan bahwa
tanaman yang diaplikasikan memperlihatkan pertumbuhan yang bagus, dilihat
dari tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah dan berat kering tanaman serta
hasil buah.
Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun tanaman Cabai Sesuai
Perlakuan
Perlakuan
Tinggi
Peningkatan
tanaman (cm)
(%)
Jumlah daun
Peningkatan
(%)
A (Kontrol)
40,88
0,00
52,00
0,00
B (Pf)
50,88
24,46
59,10
13,65
C (Pestisida)
49,77
21,75
55,56
6,85
93
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 2. Rata-Rata Berat Basah dan Berat Kering Tanaman Cabai dengan
Aplikasi dan Tanpa Aplikasi Pf
Berat basah
Peningkatan Berat kering
Peningkatan
Perlakuan
(kg)
(%)
(kg)
(%)
A (Kontrol)
31,4
0,00
7,3
0,00
B (Pf)
58,4
85,99
13,55
85,62
C (Pestisida)
43,9
39,81
13,08
79,18
Sumber : Nurbailis et al., 2010
2.
Agens Hayati T. harzianum
Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk
biologis tanah adalah jamur T. harzianum karena disamping sebagai organisme
pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator
pertumbuhan tanaman. Di samping kemampuan sebagai pengendali hayati,
T.harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman,
pertumbuhan tanaman dan hasil produksi tanaman, sehingga dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah utama tanaman cabai yaitu tingginya serangan
hama dan penyakit yang secara ekonomis dapat menurunkan produkitivitas,
penggunaan pestisida kimia yang kurang bijaksana berdampak pada
lingkungan dan tidak aman untuk dikonsumsi. Sifat ini menandakan bahwa T.
harzianum berperan sebagai plant growth enhancer. Menurut Windham et al. ,
(1986), bahwa Trichoderma spp. menghasilkan metabolit sekunder yang
berperan sebagai faktor pengatur tumbuh tanaman.
Trichoderma spp. adalah salah satu jamur tanah yang bersifat
antagonis terhadap patogen tular tanah bahkan telah dilaporkan juga bahwa
jamur ini mampu menginduksi ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit
dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Harman, 2000). Keberhasilan
penggunaan Trichoderma spp. untuk pengendalian
penyakit tanaman baik di
rumah kaca, pada pembibitan maupun di lapangan telah banyak dilaporkan
(Howell,1887; Harman, 2000; Nurbailis et al, 2008). Ini menunjukkan bahwa
aktivitas enzim pertahanan meningkat pada jaringan akar dan daun, sehingga
terjadi induksi ketahanan tanaman.
Selain itu, T. harzianum menginduksi resistensi lokal dan sistematis
untuk berbagai patogen tanaman (Hoitink et al., 2006). Penelitian terbaru dari
Shoresh et al. (2010), menunjukkan bahwa cendawan tersebut memicu
tanaman memproduksi berbagai senyawa, yang tidak saja mengatasi gangguan
patogen, tetapi juga mengatasi berbagai stress lingkungan. Peranan T.
Harzianum selain sebagai agen pengendali organisme juga sangat besar dalam
menjaga kesuburan tanah karena memiliki potensi sebagai kompos aktif.
94
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Dengan memanfaatkan T. harzianum akan meningkatkan ketahanan
tanaman melalui perakaran kuat dan pertumbuhan tanaman yang baik akan
menekan penyakit virus kuning pada tanaman cabai. Di samping itu kerusakan
tanah oleh pupuk dan pestisida kimia dan menyebabkan lingkungan perakaran
tanah stress dapat diperbaiki dengan agens hayati.
Kesimpulan
Penyakit infeksi virus kuning yang disebabkan oleh serangga vektor
Bemisia tabaci mempunyai gejala daun berubah menjadi kuning, mengeriting
dan menjadi kerdil serta mengganggu proses fisiologis tumbuhan. Penyakit
virus kuningdapat dikendalikan dengan meningkatkan ketahanan tanaman
melalui plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dari agens hayati
Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma harzianum. Kedua agens hayati
tersebut selain sebagai pengendali
hayati juga meningkatkan produksi
tanaman cabai.
Daftar pustaka
Aidawati, N. 2006. Keanekaragaan Begomovirus pada Tomat dan Serangga
Vektornya, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae). Serta
Pengujian Ketahanan Genotipe Tomat Terhadap Strain Begomovirus.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dawson W., 1999. Tobacco Mosaic Virus Virulence and Avirulence. Phil.
Trans.vol 354, p.645-651. The Royal Society, London.
Duriat, AS., N. Gunaneni dan Wulandari. 2004. Induksi resistensi sistemik
terhadap virus dan vektor virus CMV. Laboran Penelitian APBN. J.3.1.
20 hlm
Faccini G, Garzon S, Martines M, Varela A. 2004. Evaluation of the effects of a
dual inoculum of phosphate-solubilizing bacteria and
Azotobacter
chroococcum in creolo potato (Solanum phureya) var. YemadeHuevo.
<http:\www.ag.auburn.edu /argentina/pdfmanuscripts/faccini.pdf >.
Funayama S. and Terashima I. 2006. Effect of Eupatorium Yellow Vein Virus
Infection on Photosynthetic Rate, Chlorophyll Content and Chloroplast
Structure in Leaves of Euphatorium makinoi During Leaf Development.
Functional Plant Biology. P.165-175.
Gardner, F. P. , R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop
Plants. The Lowa State University Press.
Habazar, T. dan Hidrayani.2005. Penyakit Virus Kuning Keriting Daun Pada
Cabai dan Cabai Berta Teknik Pengendaliannya. Diskusi Pemecahan
Masalah Actual Upaya Pengendalian Virus Kuning Keriting Daun (Yellow
leaf Curl Virus) pada Cabai dan cabai di Padang, Sumatera Barat 28 Mei
2005.
95
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Harman, G. E. 2000. Changes in Perceptions Derived from Research on
Trichoderma harzianum T-22. Plant Disease / April 2000. Publication
No. D-2000-0208-01F.
Hasanudin, 2003. Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem
Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Hirano, K., E. Budiyanto, dan S. Winarni. 1993. Biologocal Characteristics and
Forecasting Outbreaks of The Whitefly, Bemisia tabaci, a vector of Virus
Disease in Soybean Fields. Food Fertilizer and Technology Center.
<http://www.fffc.agnet.org /library/abstract/tb135.html>.
Hoitink HAJ, LV Madden & AE Dorrance . 2006. Systemic resistance induced
by Trichoderma spp: Interactions between the host, the pathogen, the
biocontrol agent, and soil organic matter quality. Phytopathol 96 : 186189.
Kelly Rebecca Lines, 2005, The Rizosfer. Soil Biology Basic. Interact with plant
roots. New Department of Primary Industries.
Lindermann, R.G. and T.C. Paulitz. 1990. Mycorhizal rhizobacterial. in.
Biological Control of Soil Born Pathogens. D. Homby. (Ed.). 267-283
CAB. International, Wellingford, England.
Minorsky Peter V. 2008. On The Inside. Division of Health Professions and
Natural Sciences Mercy College Dobbs Ferry, New York 10522.
Nurbailis, Trizelia, Reflin, Haliatur Rahma. 2010. Pemanfaatan Jerami Padi
Sebagai Medium Perbanyakan Trichoderma harzianumdan Aplikasinya
Pada Tanaman Cabai. Kumpulan Artikel Kegiatan Pengabdian kepada
Masyarakat. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas
Andalas. Fakultas Pertanian Lokasi Kota Padang, Sumatera Barat.
Nur Aeni, A. 2007. Kajian Kestabilan Produktivitas Cabai Keriting Di Daerah
Endemis Virus Kuning dengan Optimalisasi Nutrisi Tanaman. Tesis.
UGM.
Setiawati, W. 2003. Pengendalian Kutu Kebul (B. tabaci) pada Tanaman Cabai.
Seminar Sehari mengeni Pengenalan dan Pengendalian Virus Kuning
pada Tanaman Cabai, Jakarta, 20 Februari 2003.
Shoresh M & GE Harman (2008). The relationship between increased growth
and resistance induced in plants by root colonizing microbes. Plant
Signaling & Behavior 3 :737-739
Shoresh M, GE Harman & F Mastouri (2010). Induced systemic resistance
and plant responses to fungal biocontrol agents. Ann Rev Phytopathol
48: 1-23.
Sulandari, S., Rusmilah, S., S. S. Hidayat, Jumanto, H., dan Sumartono, S.
2001. Deteksi Virus Gemini pada Cabai di Daerah Istimewa Jogjakarta.
Prosiding Konggres Nasional XVI. PFI. Bogor. 22-24 Agustus.
96
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Supriadi., 2006. Analisis Resiko Agens Hayati Untuk Pengendalian Patogen
Pada Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 25.
Té’csi, L. I., Smith, A. M., Maule, A. J. & Leegood, R. C. 1996. A spatial analysis
of physiological changes associated with infection of cotyledons of
marrow plants with cucumber mosaic virus. Plant physiol. 111, p.975985.
Windham, M. T., Elad, Y., Baker, R. 1986. A. Mechanims for Increased Plant
growth Induces by Trichoderma spp. Phytopathology 76 : 518-821.
Zhang Yilan. 2004. Biocontrol of Sclerotinia stem Rot of Canola by Bacterial
Antagonists and Study of Biocontrol Mechanisms Involved. University of
Manitoba. Thesis.
97
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
FORMULASI PSEUDOMONAD FLUORESCENS PF-122 DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI CABAI
Yenny Wuryandari, Sri Wiyatiningsih, Maruto
Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur
Abstrak
Pemanfaatan mikroorganisme selain bertujuan untuk meminimalkan
penggunaan bahan kimia dalam sistem pengendalian terpadu penyakit tanaman
sekaligus untuk memacu pertumbuhan tanaman.Di antara Plant Growth Promoting
Rhizobacteria (PGPR), pseudomonad fluoresen mendapat banyak perhatian
karena pseudomonad fluoresen tertentu menunjukkan kemampuannya dalam
menekan perkembangan beberapa penyakit tumbuhan dan
menginduksi
ketahanan tanaman. Suatu formulasi agensia pengendali biologi tanamanyang
efisien diperlukan untuk aplikasi dalam skala besar di lapangan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui beberapa formula berbahan aktif pseudomonad
fluoresen Pf-122 yang paling baik dalam menginduksi atau memacu pertumbuhan
semai cabai. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yaitu yang
terdiri dari 4 perlakuan. Keempat perlakuan tersebut adalah formula serbuk,
granul, pelet, dan formula cair. Semua formula berbahan aktif pseudomonad
fluorescens pf-122. Apabila ditinjau dari hasil pengamatan terhadap tinggi
tanaman, jumlah daun, berat basah daun, panjang akar, dan berat basah akar
semai menunjukkan bahwa pemberian formula serbuk hasilnya paling baik
dibandingkan dengan kontrol dan formula lain. Hasil pengamatan terhadap tinggi
tanaman pada persemaian, pemberian formula serbuk tertinggi yaitu 12,04 cm
kemudian diikuti formula pelet sebesar 11,18 cm, sedangkan untuk pengamatan
berat basah daun, panjang akar, dan berat basah akar hasil tertinggi adalah
formula serbuk kemudian diikuti formula granul. Adapun pemberian formula cair,
menunjukkan hasil paling kecil mendekati kontrol hampir pada semua parameter
pengamatan. Dengan demikian untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai
pada tingkat persemaian, aplikasi pseudomonad fluorescens dalam bentuk formula
serbuk lebih dianjurkan.
Kata kunci: formulasi, pseudomonad fluorescens, semai
98
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pendahuluan
Tanaman cabai merupakan salah satu dari beberapa tanaman hortikultura
yang potensial dikembangkan. Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap
tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya
industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Meskipun fluktuasi harga yang
terjadi seringkali tidak menentu namun bisnis cabai di Indonesia masih tetap
menarik perhatian petani hortikultura. Sampai saat ini kebutuhan cabai masih
meningkat, akan tetapi poduksi cabai masih rendah (Anonim, 2009). Sekalipun
cabai mempunyai prospek permintaan yang baik, tetapi sektor budidayanya cabai
masih menghadapi berbagai kendala (Rosmahani, 2006). Salah satu kendala yang
sangat mempengaruhi produksi cabai adalah penyakit utama yaitu panyakit layu
Ralstonia solanacearum dan layu jamur Fusarium oxysporum. Kerugian akibat
penyakit ini semakin tinggi karena sering kali keduanya secara bersama
menyerang tanaman cabai.
Pengendalian hayati dapat meningkatkan hasil dengan menekan atau
merusak inokulum pathogen, melindungi tanaman melawan infeksi, dan
meningkatkan kemampuan tanaman untuk tahan terhadap pathogen atau
mengimbas ketahanan tanaman. Pengendalian hayati dengan mikroorganisme
yang bermanfaat akan memacu pertumbuhan akar, akar menjadi lebih banyak
(Podile and Kishore, 2007). Di antara Plant Growth Promoting Rhizobacteria
(PGPR), pseudomonad fluoresen mendapat banyak perhatian. Strain dari
pseudomonad fluoresen tertentu menunjukkan kemampuannya dalam menekan
perkembangan beberapa penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh pathogen dan
memacu pertumbuhan tanaman (Fukui et al., 1994; Raaijmakers et al., 1995;
Schippers, 1992).
Pengendalian hayati patogen tanaman oleh rhizobakteria dapat didasarkan
pada produksi metabolit bakteri seperti siderofor, antibiotik, dan hydrogen cyanida.
Rhizobakteria juga mampu memacu pertumbuhan
tanamana dengan
memproduksi zat pengatur tumbuh seperti turunan auxin (Pinton et al, 2001).
Sebagian besar rhizobakteria seperti Pseudomonas, Bacillus, Azotobacter
memproduksi senyawa pemacu pertumbuhan seperti Indolacetic acid (IAA),
gibberellin, substansi sperti cytokinin (Brimecombe et al., 2001). Bakteri mampu
memacu ketahanan sistemik tanaman dengan memproduksi fitohormon,
melarutkan fosfat anorganik dan meningkatkan pengikatan Fe dengan siderofor
(Podile & Kishore 2007 ; Haas and Defago 2005). Bakteri genus pseudomonas
juga memproduksi senyawa antimikroba atau senyawa penghambat yang
berperan sebagai agens hayati
seperti phenazine, pyrrolnitrin, pyluteorin,
phloroglucinols, cyclic lipopeptides, dan hydrogen cyanida (Haas and Defago,
2005).
99
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Rhizobakteria yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam
memperbaiki tanaman. Rhizobakteria juga mungkin membebaskan fosfat
anorganik yang dapat larut ke dalam tanah. Salah satu cara untuk memperbaiki
defisiensi fosfor pada tanaman adalah dengan inokulasi tanah dengan
mikroorganisme pelarut fosfat. Salah satu bakteri yang merupakan pelarut
potensial dari fosfat adalah Pseudomonas dan Bacillus (Beattie, 2007).
Pada penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa pengujian dengan
metode pencelupan akar tanaman cabai dengan bakteri pseudomonad fluorescens
isolat Pf122 dapat menekan penyakit layu utama sebesar 54,11%, dan mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman (Wuryandari et al., 2012). Aplikasi yang telah
dilakukan adalah dengan cara pencelupan akar. Cara pencelupan akar tersebut
masih ada kelemahannya atau belum optimum karena tidak praktis dalam skala
lapang, sehingga masih harus dikembangkan dengan pembuatan formula yang
tepat untuk memproteksi penyakit dan sekaligus untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman cabai.
Pengendalian biologi menggunakan mikroorganisme antagonis yang telah
diformulasikan diharapkan dapat mengendalikan penyakit dan dapat memacu
pertumbuhan tanaman secara efektif dan efisien. Penelitian terdahulu yaitu
penelitian Hibah Bersaing telah dilakukan penelitian pembuatan formula. Hasil
penelitian dengan formula menggunakan Pf-122, bahan aditif CMC dengan
glukosa ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman, untuk semua
parameter agronomis yang diamati menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dan
berbeda nyata dengan kontrol tanpa pemberian Pf-122 (Wuryandari et al., 2009).
Formulasi yang telah dibuat dan dilakukan penelitian dalam bentuk pil-benih dan
pelet dangan bahan pembawa pupuk kandang bukan produksi dari Pabrik Mini
UPN ”Veteran” Jawa Timur. Hasil yang diperoleh belum menunjukkan hasil yang
optimal. Cara pembuatan formula pil-benih cukup sulit pembuatannya serta belum
mengoptimalkan bahan pembawa pupuk organik yang telah tersedia di UPN
”Veteran” Jawa Timur yaitu produk pupuk organik Pabrik Mini.
Beberapa produk usaha Unit Produksi pupuk organik yang dihasilkan oleh
Pabrik Mini Pupuk Organik di UPN ”Veteran ” Jawa Timur yaitu antara lain pupuk
kompos dari limbah tanaman (serbuk), pupuk organik kombinasi kompos dan
kotoran sapi (pelet), pupuk organomineral (granul) dan pupuk cair (cair). Produkproduk yang dihasilkan tersebut adalah pupuk yang berasal dari bahan organik
berfungsi menambah nutrisi dalam tanah. Produksi dan pemasaran pupuk organik
di Pabrik Mini UPN masih belum maksimal. Pengembangan dan peningkatan
produk pupuk organik Pabrik Mini masih sangat diperlukan penyempurnaan atau
penambahan nilai plus dengan mensinergikan menjadi suatu formula dengan
mengkombinasi antara pupuk organik dengan biopestisida. Pada akhirnya
100
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
diharapkan akan diperoleh satu formula yang terbaik untuk meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap penyakit dan peningkatan pertumbuhan cabai.
Bahan dan metode
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Tanaman, Pabrik Mini, dan
Rumah Kaca Fakultas Pertanian, UPN “Veteran” Jawa Timur. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan.
Keempat perlakuan tersebut adalah bentuk formula dengan bahan aktif bakteri
pseudomonad fluorescens yaitu Formula serbuk, pelet, granul, dan cair. Setiap
perlakuan terdapat tiga ulangan.
Proses pembuatan formula dilakukan dengan mengkombinasikan bahan
pembawa berupa pupuk organik produk Pabrik Mini UPN Jatim, serta inokulum
rhizobakteria pseudomonad fluorescens 122. Bahan pembawa formulasi yang
digunakan antara lain 3 produk pupuk organik produk Pabrik Mini UPN Jatim yaitu
1). Pupuk Kompos berupa serbuk, 2). Pupuk kandang berupa pelet, 3). Pupuk
organomineral berupa granul,dan 4). Pupuk organik cair. Masing-masing pupuk
tersebut selanjutnya dicampur dengan rhizobakteria pseudomonad fluoresen
dengan konsentrasi 1010 CFU/ml dimasukkan pada alat pembuat pupuk atau
formula pupuk di pabrik sehingga campuran yang terbentuk berupa beberapa
formula yaitu serbuk, granul, pelet dan cair. Formulasi tersebut digunakan sebagai
perlakuan untuk pengujian selanjutnya.
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh formula terhadap
pertumbuhan semai cabai tanpa adanya infestasi bakteri patogen. Cara
pengujiannya : formula diberikan pada tanah media tanam di polibag sebelum
benih cabai disemaikan. Dosis pemberian pada media semai adalah dalam setiap
5 kg media diberi formula sebanyak 50 gr, sedangkan yang cair diberi 50
ml.Pengamatan dilakukan pada umur 40 hari. Parameter yang diamati meliputi;
tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah daun,panjang akar, dan berat basah
akarsemai cabai. Semua uji disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 3
ulangan dan data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian.
Hasil dan Pembahasan
Hasil agronomis yang diperoleh dari keempat formula, terhadap
pertumbuhan tanaman cabai pada fase persemaian yang meliputi tinggi semai,
jumlah daun, berat basah daun, panjang akar dan berat basah akar terlihat pada
Gambar 1, 2 dan Tabel 1.
101
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 1. Pertumbuhan tanaman cabai pada umur semai 40 hari yang media
tanamnya diperlakukan dengan formula berbahan aktif Pseudomonad fluorescens
122
Gambar 2. Pertumbuhan akar tanaman cabai pada umur semai 40 hari yang
media tanamnya diperlakukan dengan formula berbahan aktif Pseudomonad
fluorescens 122
102
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 1. Rata-rata
rata tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah daun, panjang akar,
dan berat basah akar pada tanaman cabai yang diperlakukan dengan
formula berbahan aktif pseudomonad fluorescens 122
Tinggi
tanaman
Perlakuan
Serbuk
Pelet
Granul
Cair
Kontrol
12,06 b
11,18 ab
10,74 a
10,85 a
10,11 a
Berat
basah
daun
Jumlah
daun
5,44 a
5,13 a
5,37 a
4,48 a
4,17 a
4,61 d
3,36 c
3,55 c
1,91 b
1,45 a
Panjang
akar
0,17 b
0,08 a
0,09 a
0,09 a
0,06 a
Berat
basah
akar
0,0072 b
0,0070 b
0,0080 b
0,0050 a
0,0038 a
Apabila ditinjau dari hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman, berat
basah daun dan panjang akar menunjukkan bahwa tanaman yang diperlakukan
dengan formula berbahan aktif Pseusomonad fluorescens 122 yang formula
serbuk menunjukkan hasil yang paling baik dibandingkan dengan kontrol,
kemudian diikuti formula pelet, granul dan cair (Gambar 3, 5, dan 6).
). Sedangkan
untuk jumlah daun dan berat kering akar tanaman cabai pada persemaian tidak
ada beda nyata dibandingkan dengan k
kontrol dan formula lain (Gambar 4 dan 6).
Tinggi Tanaman (cm)
12,50
12,00
11,50
11,00
10,50
10,00
9,50
9,00
Serbuk
Pelet
Granul
Cair
Kontrol
Perlakuan
Gambar 3. Rata-rata
rata tinggi tanaman cabai pada persemaian yang diperlakukan
dengan formula berbahan aktif pseudomonad fluorescens
s 122
103
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
6,00
Jumlah daun
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
Serbuk
Pelet
Granul
Cair
Kontrol
Perlakuan
Gambar 4. Rata-rata
rata jumlah daun tanaman
tanaman cabai pada persemaian yang
diperlakukan dengan formulaberbahan aktif pseudomonad fluoresc
cens 122
5,00
Berat basah Daun (gram)
4,50
4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
Serbuk
Pelet
Granul
Cair
Kontrol
Perlakuan
Gambar 5. Rata-rata
rata berat basah daun tanaman cabai ada persemaian
setelah diperlakukan dengan formula berbahan aktif pseudomonad
fluorescens 122
104
Panjang Akar (cm)
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
0,18
0,16
0,14
0,12
0,10
0,08
0,06
0,04
0,02
0,00
Serbuk
Pelet
Granul
Cair
Kontrol
Perlakuan
Berat Basah Akar (gr)
Gambar 6. Rata-rata
rata panjang akar tanaman cabai pada persemaian
setelah diperlakukan dengan formula berbahan aktif
pseudomonadfluorescens
0,0090
0,0080
0,0070
0,0060
0,0050
0,0040
0,0030
0,0020
0,0010
0,0000
Perlakuan
Gambar 7. Rata-rata
rata berat basah akar tanaman cabai ada persemaian
yang diperlakukan dengan formula pseudomonad fluorescens
s 122
Hasil pertumbuhan tanaman cabai pada fase semai, dengan pemberian
formula serbuk menunjukkan hasil yang paling baik pada hampir semua parameter
pertumbuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa aplikasi formula serbuk lebih
berpotensi atau lebih memacu pertumbuhan tanaman. Pada formula
formula serbuk,
105
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
kemungkinan pseudomonan fluorescens 122 lebih dapat berkembang dan
populasinya lebih tinggi dibandingkan pada formula lain dan kontrol. Pada formula
serbuk kondisi lebih besar porositasnya, sehingga kebutuhan oksigen lebih
tercukupi. Hal itu mungkin dapat mendukung pertumbuhan sehingga meningkatkan
populasi bakteri dengan lebih baik. Populasi bakteri pseudomonad fluorescens 122
yang tinggi dalam sistem perakaran tanaman cabai akan lebih dapat memacu
pertumbuhan tanaman karena bakteri dapat mengikat fosfor dan menghasilkan
hormon pertumbuhan untuk tanaman. Seperti hasil penelitian sebelumnya bahwa
mikroorganisme tanah yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam
memperbaiki tanaman (Beattie, 2007). Mikroorganisme tanah juga mungkin
membebaskan fosfat anorganik yang dapat larut ke dalam tanah. Salah satu cara
untuk memperbaiki defisiensi fosfor pada tanaman adalah dengan inokulasi tanah
dengan mikroorganismepelarut fosfat. Salah satu bakteri yang merupakan pelarut
potensial dari fosfat adalah Pseudomonas dan Bacillus (Beattie, 2007). Banyak
genus bakteri, salah satu diantaranya adalah Pseudomonas, menghasilkan suatu
senyawa giberelin dan yang serupa giberelin yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Bakteri ini juga mempengaruhi perkembangan rambut
akar, sekresi getah, perkembangan akar lateral (Brimecombe,2001).
Mengingat bahwa salah satu kelebihan dari bakteri pseudomonad
fluorescens
adalah dapat mengimbas ketahanan tanaman, maka ada
kemungkinan populasi pseudomonad fluorescens 122 yang tinggi pada formula
serbuk dapat meningkatkan pertumbuhan dan tidak menghambat pertumbuhan
tanaman. Keberadaan mikroorganisme dalam tanah media tanam yang beragam
dapat berinteraksi
dengan pseudomonad fluorescens.Interaksi antara
pseudomonad fluorescens 122 dengan mikroorganisme ini dapat mempengaruhi
peningkatan pertumbuhan tanaman.
Seperti pendapat peneliti sebelumnya, bahwa Rhizobakteria mampu
memacu pertumbuhan tanamana dengan memproduksi zat pengatur tumbuh
seperti turunan auxin (Pinton et al., 2001). Sebagian besar rhizobakteria seperti
Pseudomonas, Bacillus, Azotobacter memproduksi senyawa pemacu pertumbuhan
seperti Indolacetic acid (IAA), gibberellin, substansi sperti cytokinin (Brimecombe
et al, 2001).Bakteri mampu memacu ketahanan sistemik tanaman dengan
memproduksi fitohormon, melarutkan fosfat an organik, meningkatkan pengikatan
Fe dengan siderofor (Podile
and Kishore 2007 ; Haas and Defago
2005).Rhizobakteria yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam
memperbaiki tanaman. Rhizobakteria juga mungkin membebaskan fosfat
anorganik yang dapat larut ke dalam tanah. Salah satu cara untuk memperbaiki
defisiensi fosfor pada tanaman adalah dengan inokulasi tanah dengan
106
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
mikroorganisme pelarut fosfat. Salah satu bakteri yang merupakan pelarut
potensial dari fosfat adalah Pseudomonas dan Bacillus (Beattie, 2007).
Kesimpulan
Aplikasi dengan formula serbuk berbahan aktif pseudomonad fluoresen Pf 122
menunjukkan hasil yang paling baik dalam memacu pertumbuhan semai tanaman
cabai dibandingkan dengan control dan formula yang lain.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini dapat terlaksana atas biaya Hibah Penelitian Unggulan
Perguruan TinggiSurat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian, Nomor :
32/SP2H/P/K7?KM/2014.Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada Direktur
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Daftar pustaka
Anonim. 2009. Budidaya Cabai Merah Keriting di lahan kering.
<http://www.mojokertokota.go.id>.
Beattie, G.A. 2007. Plant-Associated Bacteria: Survey, molecular phylogenygenomics and Recent Advances. In : Gnanamanickam, S.S. (ed.). PlantAssociated Bacteria. SpringerThe Netherlands
Brimecombe, M.J., De Leij, F.A., and Lynch, J.M., 2001. The Effect of Root
Exudates on Rhizosphere Microbiae Populations. In: Pinton, R., Varanini,
Z., Nanipieri, P. The Rhizophere. Biochemistry and Organic Substances at
the Soil-Plant Interface . Marcel Dekker, Inc. New York – Basel.H. 95-140.
Fukui, R., Schroth, M.N., Hendson, M. & Hancock, J.G. 1994. Interaction between
Strain of Pseudomonas in Sugar Beet Spermosphere and Their Relationship
to Pericarp Colonization by Pythium ultimum in Soil. Phytopathology 84:
1330-1332.
Haas, D & Defago, G. 2005. Biological Control of Soil Borne Pathogens by
fluorescent pseudomonads. Nat Rev Microbial. In : Allen, C., Prior, P.,
Hayward, A.C. 2005. Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia
solanacearum Species Complex. The American Phytopathological Society
3.307-319.
Liu, L., Kloepper, J.W., and Tuzun, S. 1995. Induction of Systemic Resistance in
Cucumber by
Plant Growth Promoting Rhizobacteria : Duration of
107
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Protection and Effect of Host Resistance on Protection and Root
Colonization. Phytopathology 85: 1064-1068.
Pinton, R., Varanini,Z., and Nanipieri, P., 2001. The Rhizophere as a site of
Biochemical Interactions Among Soil Components, Plants, and
Microorganisms. In: Pinton, R., Varanini, Z., Paulo Nanipieri, P.. The
Rhizophere. Biochemistry and Organic Substances at the Soil-Plant
Interface. Marcel Dekker, Inc. New York–Basel. H. 1 – 18
Podile, A.R. and Kishore, G.K. 2007. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria.p.
195-230. In : Gnanamanickam, S.S. (ed.). Plant-Associated Bacteria.
Springer. The Netherlands.
Raaijmakers, J.M., Leeman, M., Van Oorschot, M.M.P., Van der Sluis, I.,
Schipper, B., and Bakker, P.A.H.M. 1995. Dose-response relationships in
biological control of fusarium wilt of radish by Pseudomonas spp.
Phytopathology 85: 1075-1081.
Rao,S,N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman (edisi
kedua). Universitas Indonesia Press. 351 hal.
Wuryandari, Y; Purnawati, A& Siswanto. 2009. Viabilitas Pseudomonad fluoresen
Isolat Pf-122 dalam Beberapa Formula. Jurnal Berkala Hayati Mipa Biologi
UNAIR 14.
Wuryandari, Y; Purnawati, A& Siswanto.2011. Effect of Formulation with
Pseudomonad fluorescens Isolate Pf-122 for Progress of Tobacco Bacterial
Wilt Disease. The International Seminar on Natural Resources, Climate
Change, and Food Security in Developing Countries. ISBN 978-602-891593-9.
Wuryandari, Y; Wiyatiningsih, S& Sulistyono, A. 2012. Induksi Pertumbuhan dan
Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Utama Layu Ralstonia
solanacearum dan Fusarium oxysporum menggunakan Rhizobacteria. Lap
Pen. Strategis Nasional. Dikti 2012. Jakarta.
108
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KUNCI IDENTIFIKASI MOBIL UNTUK SPESIES PRATYLENCHUS FILIPJEV,
1936 (NEMATODA: PRATYLENCHIDAE)
Abdul Gafur
Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lambung Mangkurat
Jalan Ahmad Yani km 36 Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Email: [email protected] /[email protected]
Abstrak
Pratylenchus merupakan salah satu genus terpenting nematoda parasit
tumbuhan. Dengan jumlah spesies yang besar, tetapi variasi morfologi yang
relatif kecil, identifikasi spesies merupakan salah satu kesulitan utama untuk
berbagai kajian seperti keanekaragaman, biologi, dan ekologi terkait genus
ini.Hal ini dapat menjadi kendala bagi upaya pengembangan pengendalian
yang efektif dan ramah lingkungan terhadap genus ini. Untuk mengatasi
kesulitan tersebut, telah dibuat kunci identifikasi berbasis-komputer untuk
Pratylenchus. Kunci ini dibuat dengan format SAIKS berdasarkan matriks yang
mencakup 11 karakter morfologi dan 73 spesies. Dengan kunci ini, identifikasi
dapat dimulai dari karakter mana saja, dan dilanjutkan dengan karakter apa
saja, tanpa urutan tertentu. Setiap kali ada karakter yang dipilih, kemungkinan
spesies berkurang hingga akhirnya tersisa satu spesies yang menandakan
identifikasi telah dilakukan.Sebaliknya, daftar karakter suatu spesies dapat
dengan mudah ditampilkan. Dibandingkan dengan kunci dikotomik, kunci ini
lebih fleksibel dan lebih mudah dipakai. Dibandingkan dengan kunci berbasiskomputer lain, kunci ini lebih mudah dibawa karena dapat digunakan dengan
komputer jinjing, tablet dan bahkan telepon pintar berkat formatnya yang cross
platform. Selain bermanfaat bagi peneliti, kunci ini juga dapat diharapkan lebih
menarik dan lebih membantu untuk dipergunakan dalam pelatihan identifikasi
Pratylenchus.
Kata kunci: Pratylenchus, identifikasi, SAIKS
Pendahuluan
Nematoda dari genus Pratylenchus (nematoda peluka-akar) sudah diakui
merupakan salah satu masalah utama bagi tanaman ekonomi. Genus ini
menduduki posisi kedua setelah nematoda puru-akar (Meloidogyne spp.) dan
nematoda kista (Heterodera spp.) dalam hal kerugian ekonomi yang
ditimbulkannya di seluruh dunia (Davis & MacGuidwin, 2005; Castillo and
Vovlas, 2007). Hal itu dikarenakan kisaran inangnya yang sangat luas, sekitar
400 spesies tumbuhan (Davis and MacGuidwin, 2005) serta oleh
109
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
penyebarannya yang sangat luas di hampir seluruh lingkungan tropis,
temperata, dan dingin, bahkan hingga Antartika (Castillo and Vovlas, 2007).
Identifikasi genus Pratylenchus tidak mudah dilakukan akibat adanya
tumpang tindih karakter morfologi yang besar dan keanekaragaman morfologi
yang kecil di antara spesies-spesiesnya (Roman & Hirschmann, 1969; Ryss,
2002). Selain itu, jumlah spesiesnya tergolong besar, dengan lebih dari 100
spesies telah dideskripsikan (Siddiqi, 2000) dan lebih dari 70 dinyatakan valid
(Palomares-Rius et al., 2010).
Secara tradisional dalam nematologi identifikasi dilakukan dengan alat
bantu kunci dikotomik (Fortuner, 1989). Begitu pula dengan identifikasi
Pratylenchus. Kunci dikotomik untuk genus ini telah dibuat, misalnya oleh Filho
& Huang (1989) dan Loof (1991), dan yang terakhir oleh Palomares-Rius dkk.
(2010) yang juga menyusun kunci tabular untuk genus ini.
Adanya kunci tabular memungkinkan identifikasi secara politetik, yakni
digunakannya beberapa karakter sekaligus (Pankhurst, 1978), alih-alih satu per
satu seperti pada kunci dikotomik yang monotetik. Karenanya ini
memungkinkan terbentuknya kunci identifikasi yang politomik. Karena kunci
politomik dalam bentuk tercetak dirasa kurang praktis, terutama apabila takson
yang dicakup banyak, maka dikembangkan kunci yang terkomputerisasi.
Sejumlah perangkat lunak khusus telah dikembangkan untuk membuat
dan menjalankan kunci identifikasi dengan komputer. Masing-masing dengan
kelebihan sendiri-sendiri. Namun, umumnya memiliki kekurangan yang sama,
yaitu mengharuskan pengguna memasang program tersebut di komputernya,
baik untuk membuat maupun untuk menjalankan kunci identifikasi yang dibuat.
Karena itu, format SAIKS yang tidak menuntut program khusus untuk membuat
dan menjalankan kunci menjadi menarik. Kelebihan lain format ini adalah kunci
yang dibuat dapat dijalankan pada komputer desktop maupun laptop, bahkan
tablet dan telepon pintar, dengan berbagai sistem operasi yang ada saat ini.
Bahan dan metode
Kunci dibuat dengan data awal berupa kunci tabular yang disusun oleh
Castillo & Vovlas (2007), yang mencakup 11 karakter (Tabel 1) dan 68 spesies
Pratylenchus. Kemudian ditambahkan 5 spesies baru yang ditemukan
sesudahnya. Dengan demikian, secara keseluruhan kunci yang dibuat
mencakup 73 spesies Pratylenchus.
Kunci dibuat dalam format SAIKS ((c) 2006 Greg Alexander) dengan
mesin utama file ‘saiks.js’ dan ‘saiks.css’. Pembuatan kunci identifikasi
Pratylenchus dilakukan dengan pertama-tama membuat file gerbang
‘pratylenchus.html’ (Gambar 1). Data untuk kunci identifikasi tercantum dalam
file teks ‘pratylenchus.js’ yang memuat daftar karakter dan wujud karakter yang
dipakai serta daftar spesies dan skor tiap spesies untuk tiap karakter (Gambar
2).
110
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 1. Sebagian dari isi file gerbang kunci identifikasi Pratylenchus spp
dalam format html.
Gambar 2. Sebagian dari isi file ‘pratylenchus.js’ yang dibuat dengan program
Notepad.
Sebagai langkah terakhir, kunci identifikasi yang dibuat diujicoba
secara offline dan online dengan komputer desktop, laptop, tablet, dan telepon
pintar dengan berbagai sistem operasi (Windows, Unix, iOS, android, dan
111
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Blackberry) dan beberapa program browser (Explorer, Firefox, Chrome, Opera,
dan Dolphin).
A. Kunci identifikasi Pratylenchus spp.
Kunci dapat diakses secara offline dengan menjalankan file
‘pratylenchus.html’ yang, beserta file-file pendukung, sudah disalin ke
komputer. Selain itu, kunci juga dapat dijalankan secara online melalui situs
http://www.nematoda.gafura.net atau langsung ke laman http://gafura.net
/nematoda/pratylenchus.html. Program browser akan menampilkan halaman
pembuka seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Tampilan pembuka kunci identifikasi Pratylenchus spp.
Di bawah bagian judul terdapat dua tombol: ‘RESET’ dan ‘How to use’.
Tombol pertama jika diklik akan memulai proses identifikasi dari awal. Yang
kedua berisi petunjuk pemakaian kunci secara umum. Di bawahnya lagi
terdapat dua buah tabel. Tabel di kiri merupakan tabel karakter dan wujud
karakternya, sedangkan tabel di kanan adalah tabel spesies.
Untuk menggunakan kunci identifikasi pertama-tama pengguna memilih
(mengklik) salah satu pilihan wujud karakter yang tersedia untuk salah satu dari
11 karakter yang tersedia pada tabel kiri. Setiap kali pengguna mengklik salah
112
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
satu wujud karakter, maka nama spesies di tabel kanan yang cocok dengan
pilihan itu akan tersorot hijau dan yang tidak cocok tersorot merah. Selanjutnya,
pengguna memilih salah satu alternatif dari karakter karakter yang lain,
sehingga nama spesies yang tersorot merah semakin banyak. Begitu
seterusnya hingga tersisa hanya satu spesies yang tersorot hijau dan semua
yang lain tersorot merah, yang berarti identifikasi telah berhasil.
Untuk setiap karakter pengguna boleh memilih lebih dari satu pilihan,
yang diartikan bahwa spesimen-spesimen yang diidentifikasi memperlihatkan
lebih dari satu wujud karakter untuk karakter yang bersangkutan.
‘Show chars’ di bagian paling kanan jika dipilih akan menyebabkan
wujud-wujud karakter yang relevan di tabel kiri tersorot hijau untuk spesies yang
dipilih.
Ujicoba yang sudah dilakukan dengan kunci identifikasi Pratylenchus
menunjukkan bahwa kunci ini berjalan dengan baik pada semua mesin
komputer yang ada saat ini dan berbagai sistem operasi yang banyak beredar
saat ini (Windows, Unix, MacOS) dengan berbagai program browser yang ada
(Explorer, Firefox, Chrome, Opera, dan Dolphin). Bahkan, kunci juga sudah
diujicoba dan dapat dijalankan dengan gadget (tablet dan telepon pintar)
dengan sistem operasi Android, Windows Phone, dan Blackberry serta
beberapa program browser (Explorer, Chrome, MiniOpera, dan Dolphin).
Hasil dan pembahasan
Kunci identifikasi Pratylenchus dibuat dalam format SAIKS yang
memungkinkan suatu karakter ditampilkan memiliki 3 atau lebih wujud
(multiwujud). Hal ini merupakan kelebihan dibandingkan kunci dikotomi yang
hanya memberikan dua alternatif untuk setiap langkah, dan bahkan dari
sebagian format kunci terkomputerisasi lain (misalnya SLIKS). Selain itu, format
SAIKS tidak mensyaratkan instalasi program khusus untuk membuat maupun
menjalankan kunci. Program dapat dibuat dengan editor teks apa saja. Kunci
yang dihasilkan dapat dijalankan dengan program browser apapun yang
biasanya sudah terpasang bersama pemasangan sistem operasi atau yang
bisa diunduh secara cuma-cuma.
Karena itu, kunci yang dibuat dalam format SAIKS memiliki
kompatibilitas dan portabilitas yang tinggi. Selama koneksi internet tersedia,
kunci yang dihasilkan dapat dipergunakan di mana saja secara online. Secara
offline, kunci dapat disalin ke komputer atau gadget yang sesuai lalu dapat
dijalankan kapan saja dan di mana saja.
Meskipun demikian, ada beberapa keterbatasan yang terlihat, baik yang
terkait dengan format SAIKS secara umum maupun yang spesifik untuk kunci
Pratylenchus yang dibuat. Yang pertama adalah bahwa nama-nama spesies
yang cocok dengan karakter dan wujud karakter yang dipilih hanya ditandai
dengan disorot warna hijau, untuk membedakan dengan yang disorot merah.
113
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Muncul kesulitan manakala kunci memuat banyak spesies, dan nama-nama
spesies yang disorot hijau saling berjauhan. Dalam hal ini pengguna harus
menggulung layar berkali-kali untuk melihat spesies-spesies mana saja yang
terpilih. Dalam kasus seperti ini ada kemungkinan bahwa satu atau lebih
spesies sebenarnya terpilih, tetapi terlangkaui oleh pengguna. Bahkan mungkin
saja terjadi pengguna mengira identifikasi sudah tercapai, karena ia mengira
tinggal satu nama yang disorot hijau, padahal masih ada nama lain yang disorot
tetapi terlangkaui akibat letaknya terlalu jauh. Semakin kecil layar yang dipakai
masalah ini semakin terasa, dan karenanya pengguna yang memakai telepon
pintar akan paling merasakan kesulitan ini.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, perlu diusahakan agar nama
spesies yang terpilih setiap kali suatu wujud karakter diklik tidak sekedar disorot
berbeda, tetapi ditampilkan tersendiri dan nama spesies yang tidak cocok
menjadi tidak tampil. Ini seperti yang diperlihatkan oleh kunci dengan format
SLIKS atau MEKA.
Selain mengatasi kesulitan tadi, untuk penyempurnaan di masa
mendatang bisa ditambahkan gambar-gambar yang mendukung pemahaman
mengenai suatu karakter atau wujud karakter. Gambar seperti itu bisa
dimunculkan dengan meng-klik suatu bagian tertentu dari kunci. Selain itu,
gambar yang berkaitan dengan ciri-ciri setiap spesies juga bisa ditambahkan.
Caranya misalnya dengan meng-klik nama spesies yang tertera di daftar.
Terlepas dari adanya keterbatasan tadi, kunci identifikasi Pratylenchus
ini diharapkan dapat membantu para peneliti dalam mengidentifikasi spesiesspesies Pratylenchus dengan lebih mudah. Selain itu, kunci yang sifatnya
interaktif ini akan dapat lebih membangkitkan minat dan semangat para
mahasiswa atau peserta pelatihan identifikasi dalam berlatih mengidentifikasi
Pratylenchus.
Daftar pustaka
Cafe Filho AC and Huang CS. 1989. Description of Pratylenchus pseudofallax
n. sp. with a key to species of the genus Pratylenchus Filipjev, 1936
(Nematoda: Pratylenchidae). Revue de Nematologie 12: 7-15.
Castillo P and Vovlas N. 2007. Pratylenchus (Nematoda: Pratylenchidae):
Diagnosis, Biology, Pathogenicity and Management. Brill, LeidenBoston.
Davis EL and MacGuidwin AE. 2005. "Lesion nematode disease. The Plant
Health Instructor." Retrieved 18/08/2014, from apsnet.org.
Fortuner R. 1989. A New Description of The Process of Identification of Plant
Parasitic Nematode Genera. Nematode Identification and Expert System
Technology. R. Fortuner (Ed.). Plenum Publishing, New York: 35-44.
114
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Loof PAA. 1991. The Family Pratylenchidae Thorne, 1949. Manual of
Agricultural Nematology. W. R. Nickle (Ed.). Marcel Dekker, Inc., New
York: 363-421.
Palomares-Rius JE, Castillo P, Liebanas G, Vovlas N, Landa BB, Navas-Cortes
JA and Subbotin SA. 2010. Description of Pratylenchus hispaniensis n.
sp. from Spain and considerations on the phylogenetic relationship
among selected genera in the family Pratylenchidae. Nematology 12 :
429-451.
Pankhurst RJ. (1978). Biological Identification: The principles and practice of
identification methods in biology. University Park Press, Baltimore.
Roman J and Hirschmann H. 1969. Morphology and morphometrics of six
species of Pratylenchus. Journal of Nematology 1: 363-386.
Ryss AY. 2002. Genus Pratylenchus Filipjev: multientry and monoentry keys
and diagnostic relationships (Nematoda: Tylenchida: Pratylenchidae).
Zoosystematica Rossica 10: 241-255.
Siddiqi MR. 2000. Tylenchida. Parasites of Plants and Insects.Second edition.
CABI Publishing, New York.
115
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KEEFEKTIFAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN Gliocladium
fimbriatum DALAM MENCEGAH BUSUK PANGKAL BATANG
(Botryodiplodia theobromae) PADA JERUK
Almira Pintari Supraba dan Meity Suradji Sinaga
E-mail: [email protected]
Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Jl. Raya Dramaga Kampus IPB, Dramaga-Bogor 16680, Jawa Barat-Indonesia
No. Tlp. (0251) 8622642. E-mail: [email protected]
Abstrak
Saat ini, di Indonesia, busuk pangkal batang (Botryodiplodia
theobromae) adalah penyakit tumbuhan paling penting pada jeruk karena dapat
menghilangkan produksi buah jeruk sebesar 200 555 ton. Keparahan penyakit
yang tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman jeruk. Beberapa penelitian
telah melaporkan keberhasilan agens biokontrol dalam mengendalikan patogen
tumbuhan terutama patogen atular tanah. Oleh karena itu, dilakukan percobaan
rumah kaca yang bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan Fungi Mikoriza
Arbuskular (FMA), Gliocaldium fimbriatum, dan kombinasinya dalam mencegah
penyakit busuk pangkal batang bibit jeruk siam (Citrus nobilis). Fungi Mikoriza
Arbuskular (FMA) dan G. fimbriatum diinfestasikan di daerah rizosfir bibit jeruk.
Setelah seminggu perlakuan agens antagonis, Botryodiplodia theobromae
diinokulasikan dengan tehnik pelukaan pada batang bawah bibit jeruk 15 cm di
atas permukaan tanah. Peubah yang diamati adalah periode laten, kejadian
penyakit, keparahan penyakit, laju infeksi, dan asosiasi FMA dalam akar (%).
Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan FMA, Gliocladium fimbriatum,
dan kombinasinya merupakan perlakuan yang efektif dan efisien secara nyata
dalam menekan keparahan penyakit, serta memperbaiki vigor tanaman jeruk.
Kata kunci : Botryodiplodia theobromae, busuk pangkal batang, fungi
mikoriza arbuskular (FMA), Gliocladium fimbriatum, jeruk.
Pendahuluan
Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai
ekonomi tinggi. Adapun manfaat dari jeruk, yaitu sebagai bahan dasar
makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik. Menurut data Badan Pusat
Statistik (2013), produksi buah jeruk di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 1
611 784 ton, sedangkan pada tahun 2013, produksi buah jeruk menurun
menjadi 1 411 229 ton (Anonim, 2014). Menurunnya produksi buah jeruk dapat
diakibatkan adanya serangan hama dan patogen tanaman. Penyakit tumbuhan
penting yang dapat menyerang pohon jeruk adalah penyakit busuk pangkal
batang. Phytophthora palmivora dan Botryodiplodia theobromae adalah
116
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
patogen penyebab penyakit busuk pangkal batang pada jeruk (Sinaga et al.,
2009). Saat ini, di sentra produksi buah jeruk Indonesia, kejadian penyakit
busuk pangkal batang lebih banyak disebabkan oleh Botryodiplodia
theobromae (Sinaga et al., 2009).
Tingkat keparahan penyakit yang tinggi dapat menyebabkan kematian
pada pohon jeruk, hal ini menjadi kendala utama bagi para petani jeruk untuk
memproduksi buah jeruk yang berkualitas, apabila petani tidak dapat memenuhi
kebutuhan tersebut, maka cara yang dilakukan adalah mengimpor buah jeruk
dari luar Indonesia. Impor jeruk pada tahun 2012 mencapai 179 000 ton
(Anonim, 2013).
Sinaga et al. (2009) melakukan pemuliaan dengan cara menghasilkan
varietas dan kultivar baru batang bawah (rootstock) tanaman jeruk yang tahan
terhadap cekaman biotik dan abiotik di lahan marginal, terutama tahan terhadap
penyakit busuk pangkal batang. Selain memiliki sifat tahan terhadap busuk
pangkal batang, tanaman batang bawah jeruk tersebut memiliki kompatibilitas
genetik yang tinggi dengan batang atas (scion), serta mempunyai sistem
perakaran batang bawah yang bagus. Saat ini, batang bawah jeruk sudah tidak
banyak digunakan dalam mencegah serangan patogen busuk pangkal batang,
hal ini dikarenakan keberadaan inokulum B. theobromae yang semakin banyak
di lapangan.
Pengendalian hayati sudah banyak dilakukan untuk mengatasi masalah
penyakit tumbuhan. Saat ini, banyak petani jeruk yang belum mengenal
pemanfaatan agens hayati untuk mengendalikan busuk pangkal batang jeruk.
Pengendalian hayati pada prinsipnya adalah pengurangan kepadatan inokulum
atau aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit menggunakan satu atau
lebih organisme (Cook & Baker, 1996).
Mikroorganisme
yang
telah
banyak
dilaporkan
berpontensi
mengendalikan patogen tular tanah adalah Gliocladium, Trichoderma, Bacillus,
dan Pseudomonas flourescens (Agrios, 2005). Gliocladium sp. merupakan
jamur saprofitik yang sangat aktif sebagai dekomposer, mampu mengkoloni
rizosfir tanaman, menghasilkan enzim selulotik, serta daya tumbuh dan
reproduksinya cepat (Pradikta, 2008). Kelebihan lainnya adalah toleran
terhadap senyawa metabolit toksik organisme lain, tidak bersifat toksik terhadap
tanaman, dan tingkat persistensi yang tinggi setelah diinfestasikan ke dalam
tanah (Wiyono dan Sinaga, 1994). Gliocladium spp. dapat mematikan dan
menghancurkan hifa patogen dengan mengeluarkan antibiotik dan enzim,
memiliki sistem hiperparasit dengan melilit hifa patogen sebagai inang, serta
hidup dan berkembang pada sel inang yang telah mati (Sinaga, 1992), serta
memacu mekanisme pertahanan terhadap patogen (Conteras-Cornejo et al.,
2009).
117
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Selain G. fimbriatum, jamur mikoriza arbuskular (JMA) juga digunakan
untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang jeruk. Mikoriza adalah
bentuk simbiosis mutualisme antara jamur dan akar tanaman (Brundrett, 2004).
Adanya asosiasi JMA dengan akar tanaman dapat membentuk struktur
ketahanan terhadap penetrasi patogen dan menginduksi ketahanan terhadap
penyakit busuk pangkal batang (Sinaga et al., 2009). Akar yang terkolonisasi
mikoriza dapat terlindungi dari patogen tanaman (Morin et al., 1999). Ryglewicz
dan Anderson (1996) menyatakan, mikoriza berkontribusi terhadap pasokan
karbon dalam tanah dengan cara mengubah kualitas dan kuantitas bahan
organik tanah. Inokulasi mikoriza mampu meningkatkan ketersediaan hara
mineral bagi tanaman, baik berupa unsur makro maupun mikro, terutama
meningkatkan ketersediaan fosfor dan nitrogen bagi tanaman yang terinfeksi
patogen (Yuliawati, 2002). Mikoriza dapat bekerja sama dengan
mikroorganisme tanah lainnya untuk mendekomposisi hara bagi tanaman
(Brundret et al. 1996).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan JMA,
Gliocladium fimbriatum, dan kombinasinya dalam mencegah penyakit busuk
pangkal batang bibit jeruk siam (Citrus nobilis) secara in vivo. Manfaat dari
penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam penyusunan strategi
pengendalian busuk pangkal batang jeruk (Botryodiplodia theobromae).
Bahan dan metode
A. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2013 hingga April 2014 di
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman dan Rumah
Kaca University Farm, Unit Lapangan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor
B. Metode Penelitian
Perbanyakan G. fimbriatum
Isolat G. fimbriatum diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi
Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Gliocladium fimbriatum ditumbuhkan pada media Potato
Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang.
Selanjutnya, biakan diinfestasikan ke dalam medium campuran jagung pipil dan
dedak dengan perbandingan 1:1 di dalam kantung plastik tahan panas, dengan
masing-masing kantung plastik berisi 300 g medium Medium yang sudah steril
diinokulasi dengan biakan murni G. fimbriatum kemudian diinkubasi selama 2
minggu, hingga miselium G. fimbriatum memenuhi seluruh permukaan medium.
Peremajaan Isolat B. theobromae
Isolat B. theobromae diperoleh dari Laboratorium Mikologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
118
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Isolat B. theobromae ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA)
dan diinkubasi pada suhu ruang selama 5 hari, dan siap untuk digunakan
sebagai inokulum.
Persiapan Media Pembibitan dan Perawatan
Bibit jeruk yang digunakan adalah jenis jeruk siam (Citrus nobilis)
berumur 4 bulan, bibit jeruk diperoleh dari kebun petani di Cijeruk, Bogor. Media
tanam yang digunakan adalah campuran tanah steril, pupuk kandang, dan
pupuk kompos. Campuran media tanam steril dimasukkan ke dalam polybag
berukuran 30 x 30 cm. Bibit jeruk disiram dan dirawat selama 9 minggu di
rumah kaca.
Inokulasi JMA dan G. fimbriatum pada bibit jeruk
Inokulum JMA diperoleh dari BPTPH Serpong, merupakan JMA jenis
Glomus sp. Inokulasi JMA dilakukan di daerah rizosfir sebanyak 5 g,
bersamaan dengan penanaman bibit jeruk di media tanam steril. Aplikasi G.
fimbriatum sebanyak 10 per tanaman pada daerah rizosfer dilakukan 2 minggu
setelah inokulasi JMA.
Inokulasi B. theobromae
Inokulasi B. theobromae mengacu pada prosedur Retnosari 2011 yang
sudah dimodifikasi. Inokulasi B. theobromae dilakukan satu minggu setelah
aplikasi agens hayati.
Batang bibit jeruk dicuci menggunakan kloroks 0.5% untuk
menghilangkan kontaminan pada batang, kemudian dibilas dengan air steril.
Biakan B. theobromae yang berumur 5 hari diinokulasikan dengan teknik
pelukaan pada batang bawah bibit jeruk 15 cm di atas permukaan tanah,
kemudian ditutup dengan kapas steril dan diselotip. Inkubasi dilakukan selama
2 minggu. Perlakuan inokulasi B. theobromae terdiri dari 5 perlakuan dan 5
ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 3 unit tanaman. Pengamatan
keparahan dan kejadian penyakit dilakukan pada hari ke 21, 28, 35, 42, 49, dan
56 setelah inokulasi. Adapun kombinasi perlakuan dalam pengujian ini adalah:
Kontrol-B-G-FMA : Kontrol (-), tanpa inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi
G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular.
Kontrol+B-G-FMA : Kontrol (+), inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G.
fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular.
B+FMA
: Inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza
Arbuskular.
B+G
: Inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum.
B+G+FMA
: Inokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum
dan Fungi Mikoriza Arbuskular.
119
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
C. Pengamatan
Peubah yang diukur yaitu periode laten (hsi), kejadian penyakit %KjP,
keparahan penyakit %KpP, laju infeksi, dan tingkat asosiasi FMA (%).
Pengamatan periode laten dilakukan pada hari setelah inokulasi, hingga gejala
pertama busuk pangkal batang muncul pada tanaman.
Tingkat keparahan dan kejadian penyakit diukur berdasarkan gejala
yang muncul pada batang tanaman. Metode pemberian skor skala 0 sampai 4
digunakan untuk menentukan %KpP (Tabel 1). Kejadian dan keparahan
penyakit busuk pangkal batang dihitung dengan persamaan:
KjP = kejadian penyakit
KpP= keparahan penyakit
vi = nilai skor dari masing-masing
kategori
V = nilai skor tertinggi
N = jumlah tanaman yang diamati
ni = jumlah batang terinfeksi
n = jumlah tanaman terinfeksi
Tabel 1 Skoring penyakit busuk pangkal batang jeruk berdasarkan luas gejala
Nilai skor
0
Luas gejala
(cm2)
0≤x<1
1
1≤x<2
2
2≤x<4
3
4≤x<6
4
6≤x≤10
Keterangan
Tidak ada gejala atau gejala bukan
disebabkan oleh infeksi B. Theobromae
Gejala hanya meluas hingga 20%
(ringan)
Gejala hanya meluas hingga 40%
(sedang)
Gejala hanya meluas hingga 60%
(berat)
Gejala meluas hingga 100% (sangat
berat)
Pengamatan tingkat asosiasi JMA enggunakan prosedur yang dilakukan
Brundrett et al. (1996), yaitu dengan proses pencucian jaringan sel dan
pewarnaan. Akar jeruk dicuci terlebih dahulu menggunakan air mengalir,
selanjutnya potong bagian akar sekunder dengan panjang 1 cm sebanyak 0.1
g. Potongan akar dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% (w/v) dan dipanaskan
menggunakan boiling bath pada suhu 95 °C selama 1 jam. Akar yang masih
berwarna gelap, dimasukkan ke dalam larutan 10% H2O2 (v/v) selama 10 menit,
120
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
selanjutnya akar direndam di dalam larutan 5% HCl (v/v) selama 10 menit. Akar
diwarnai menggunakan larutan trypan blue 0.05% (w/v) di dalam larutan lactid
acid glycerol yang terdiri dari campuran asam laktat, gliserol, dan aquades
dengan perbandingan 1:1:1 (v/v), lalu dipanaskan pada suhu 85 °C selama 15
menit. Akar dicuci di bawah air mengalir hingga bersih sebelum dipindahkan ke
dalam larutan yang berbeda. Akar yang telah diwarnai, disimpan di dalam
larutan 50% gliserol (v/v) selama 24 jam, kemudian akar disebar secara merata
di cawan petri berdiameter 14 cm yang sudah diberi gridline berukuran 0.8 x 0.8
cm.
Tingkat asosiasi FMA (Smith & Dickson 1997) =
Keterangan :
A = jumlah akar yang terinfeksi x gridline (0.8 cm) x
B = jumlah total akar x gridline (0.8 cm) x
(panjang akar terinfeksi)
(panjang akar total terinfeksi dan
yang tidak terinfeksi)
Laju infeksi busuk pangkal batang jeruk dihitung dengan persamaan:
, dengan r adalah laju infeksi, e adalah bilangan hasil
konversi sebesar 2.30259, t adalah selang waktu pengamatan, Xt adalah
keparahan penyakit pada waktu-t, dan Xo adalah keparahan penyakit pada
pengamatan sebelumnya.
D. Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pengujian
in vitro dilakukan sebanyak 3 perlakuan dan 5 ulangan, masing-masing ulangan
terdiri dari 3 unit cawan. Adapun jenis perlakuannya yaitu, Kontrol, hanya
pembiakan Botryodiplodia theobromae (BT) dan uji daya hambat Gliocladium
fimbriatum terhadap B. theobromae (GF+BT) .
Pengujian in vivo dilakukan sebanyak 5 perlakuan dan 5 ulangan,
masing-masing ulangan terdiri dari 3 unit tanaman. Adapun jenis perlakuannya,
yaitu kontrol (-), tanpa inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum
dan Fungi Mikoriza Arbuskular (Kontrol-B-G-FMA), kontrol (+), inokulasi B.
theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular
(Kontrol+B-G-FMA), inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum (B+G),
inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular (B+FMA),
sertainokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan Fungi
Mikoriza Aruskular (B+G+FMA).
Data yang diperolah ditabulasi menggunakan Microsoft Excel 2007 dan
dianalisis dengan Statistical Analysis System (SAS) for Windows versi 9.13.
Perlakuan yang berpengaruh nyata akan diuji lanjut menggunakan uji selang
berganda Duncan dengan taraf α = 0.05.
121
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil dan pembahasan
A. Keefektifan Penghambatan B. theobormae oleh G. fimbriatum secara in
vivo
Gejala serangan dapat terlihat pada bagian batang utama dan ranting.
Menurut Kalie (2000), Botryodiplodia theobromae dapat menyerang ranting dan
cabang-cabang kecil hingga kering dan mati. Gejala busuk pangkal batang
jeruk dapat berupa blendok atau gummosis berwarna kuning keemasan,
blendok tersebut keluar melalui luka pada batang (Gambar 1a dan b), hal ini
terjadi akibat proses pertahanan histologis dari tanaman, setelah itu penyakit
tidak akan berkembang. Diplodia basah terjadi apabila cabang atau ranting
yang terserang mengeluarkan blendok berwarna kuning keemasan (DBPT
1994). Menurut Sinaga et al. (2009), Botryodiplodia theobromae mudah
menyebar melalui tanah, percikan air hujan, dan alat-alat pertanian.
Adapun gejala berupa bercak nekrotik hitam pada batang ( Gambar 1c),
di daerah bercak nekrotik batang mengalami pembusukan dan terlihat miselium
B. theobromae yang berwarna kehitaman. Tingkat infeksi yang tinggi akan
menyebabkan batang pecah (Gambar 2d), buah, daun, dan ranting berguguran,
kemudian tanaman akan mati. Gejala Diplodia kering terjadi apabila kulit batang
atau cabang yang terserang tidak mengeluarkan blendok atau gummosis, tetapi
kulit batang akan mengelupas dan mengering, sehingga gejala awal akan sulit
diamati (DBPT 1994).
a
b
c
d
Gambar 1 Gejala busuk pangkal batang jeruk pada minggu ke-4 setelah
inokulasi. Batang jeruk yang mengeluarkan blendok atau gummosis
(a dan b), bercak nekrotik hitam (c), batang jeruk yang pecah (d)
Pengamatan keparahan dan kejadian penyakit busuk pangkal batang
dihitung berdasarkan gejala yang muncul pada batang dan ranting.
Pengamatan dilakukan pada hari ke 21, 28, 35, 42, 49, dan 56 setelah
inokulasi.
122
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 2 Pengaruh infestasi G. fimbriatum, Fungi Mikoriza Arbuskular, dan
kombinasinya terhadap luas gejala busuk pangkal batang dan tangkai
kering
Perlakuan
Kontrol-B-G-FMA
Kontrol+B-G-FMA
B+G
B+FMA
B+G+FMA
Kontrol-B-G-FMA
Kontrol+B-G-FMA
B+G
B+FMA
B+G+FMA
Luas gejala dan jumlah tangkai kering pada hari ke21
28
35
42
49
56
2 1
Luas gejala (cm )
0.00a
0.11a
0.11b 0.31a 0.31a
0.48b
0.78a
0.88a
1.11a 2.31a 2.92a
5.22a
0.16a
0.23a
0.25b 0.77a 0.77ab 1.00b
0.19a
0.17a
0.17b 0.61a 0.61a
0.72b
0.28a
0.38a
0.41ab 2.08a 2.13ab 2.72ab
Rata-rata jumlah tangkai kering
0
0
0
0
0
4
0
0
0
1
2
5
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
3
a
Kontrol-B-G-FMA= Kontrol (-), tanpa B. theobromae, tanpa infestasi G.
fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, Kontrol+B-G-FMA= Kontrol (+),
inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza
Arbuskular, B+G= inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum,
B+FMA= inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular,
B+G+FMA= inokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan
Fungi Mikoriza Arbuskular.
1
Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Nilai Duncan pada taraf
nyata 0.05.
Perlakuan
Kontrol-B-G-FMA,
B+G,
B+FMA,
dan
B+G+FMA
menunjukkan luas gejala yang lebih sempit dibandingkan dengan Kontrol+B-GFMA (Tabel 2). Perlakuan kombinasi infestasi G. fimbriatum dan FMA
menunjukkan luas gejala yang lebih lebar dibandingkan dengan perlakuan
tunggal infestasi G. fimbriatum maupun FMA, hal ini akan dihubungkan dengan
rekomendasi pengendalian busuk pangkal batang yang efektif dan efisien.
Rata-rata jumlah ranting kering terbanyak dimiliki oleh perlakuan Kontrol+B-GFMA. Hal ini diduga karena B. theobromae dapat menyerang hingga ke bagian
xylem batang, sehingga menghambat aliran air dari akar menuju ke batang,
kemudian daun, bunga, dan ranting akan berguguran. Perluasan kulit yang
mengering akan sangat cepat, dan apabila menggelang pada tanaman, daun
123
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
akan mengalami kekeringan, ranting atau pohon akan mengalami kematian
(Anonim, 1994).
Tabel 3 Pengaruh JMA dan G. Fimbriatum terhadap periode laten, kejadian
penyakit, keparahan penyakit, dan laju infeksi busuk pangkal batang
(B. theobromae).
Perlakuana
Kejadian
Keparahan
Laju infkesi1
Penyakit
penyakit
1
(%)
(%)1
Kontrol-B-G-FMA
53.60a
26.66b
10.00c
0.10b
Kontrol+B-G-FMA
23.60b
100.00a
48.33a
0.27a
B+G
26.60b
100.00a
26.67b
0.16ab
B+FMA
31.40b
100.00a
26.67b
0.14ab
B+G+FMA
23.60b
100.00a
31.67b
0.17ab
a
Kontrol-B-G-FMA= Kontrol (-), tanpa B. theobromae, tanpa infestasi G.
fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, Kontrol+B-G-FMA= Kontrol (+),
inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza
Arbuskular, B+G= inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum,
B+FMA= inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular,
B+G+FMA= inokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan
Fungi Mikoriza Arbuskular.
1
Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Nilai Duncan pada taraf
nyata 0.05.
Periode
laten (hsi)1
Periode laten tercepat terjadi pada perlakuan Kontrol-B-G-FMA (Tabel
3), hal ini diduga karena patogen lebih cepat beradaptasi menginfeksi batang
bibit jeruk tanpa diinfestasikan agens hayati. Periode laten terlambat mencapai
23-31 hari setelah inokulasi, yaitu terjadi pada perlakuan infestasi G.
fimbriatum, FMA, dan kombinasinya. Semakin lama gejala penyakit yang
muncul pada batang, maka semakin baik pengaruhnya terhadap penekanan
penyakit busuk pangkal batang. Gliocladium fimbriatum, FMA, dan
kombinasinya mampu menghambat perkembangan B. theobromae.
Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens merupakan agens antagonis
yang baik dalam menekan pertumbuhan patogen (Retnosari 2011). Adanya
asosiasi FMA dengan akar tanaman dapat membentuk struktur ketahanan
terhadap penetrasi patogen dan menginduksi ketahanan terhadap penyakit
busuk pangkal batang (Sinaga et al. 2009).
Semua tanaman yang diinokulasi dengan agens hayati menunjukkan
tingkat keparahan penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
Kontrol+B-G-FMA (Tabel 3). Pradikta (2008) dalam penelitiannya menyatakan,
124
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
bercak nekrotik tertinggi pada akar kelapa sawit mencapai 73.37%, terjadi pada
inokulasi Ganoderma boninense tanpa infestasi Gliocladium virens. Gliocladium
sp. dapat memproduksi metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan akar, serta memacu pertahanan terhadap patogen
(Conteras-Cornejo et al. 2009).
Kejadian penyakit dari perlakuan Kontrol+B-G-FMA tidak berbeda nyata
dengan perlakuan B+G, B+FMA, dan B+G+FMA. Gejala busuk pangkal batang
yang muncul pada perlakuan Kontrol-B-G-FMA diduga disebabkan oleh
Phytopthora palmivora. Botryodiplodia theobromae dan Phytophthora palmivora
menunjukkan gejala yang serupa, tetapi gejala yang ditimbulkan B. theobromae
lebih banyak menyebabkan batang pecah kulit.
Nilai rata-rata laju infeksi pada perlakuan B+G, B+FMA, dan B+G+FMA
secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan Kontrol+B-G-FMA (Tabel 3).
Nilai rata-rata laju infeksi yang lebih rendah dari 0.5 disebabkan oleh patogen
yang tidak terlalu agresif, varietas inang tahan, serta faktor lingkungan eksternal
dan internal yang tidak mendukung perkembangan patogen (Manengkey &
Senewe 2011). Perbandingan dengan kontrol menunjukkan bahwa dari ketiga
perlakuan tahan terhadap infeksi busuk pangkal batang.
Pengamatan tinggi tajuk tanaman dilakukan saat minggu keenam.
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan untuk mengetahui pengaruh G.
fimbriatum, dan JMA dalam memperbaiki vigor tanaman. Pertumbuhan tajuk
tanaman terlihat lebih baik jika diinfestasikan G. fimbriatum, FMA, dan
kombinasinya. Sinaga et al. (2003) menyatakan, secara umum, tanaman yang
diinfestasikan Gliocladium memiliki vigor yang lebih baik. Gliocladium cukup
berperan dalam proses pelapukan yang membantu menyuburkan dan
meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Wiyono dan Sinaga
1994). Mikoriza akan meningkatkan kesuburan tanah di sekitar perakaran
(Sieverding 1991). Pemberian mikoriza mampu meningkatkan ketersediaan
hara mineral bagi tanaman, baik berupa unsur makro maupun mikro, terutama
meningkatkan ketersediaan fosfor dan nitrogen bagi tanaman yang terinfeksi
(Yuliawati, 2002). Menurut Wright dan Uphadhyaya (1998), mikoriza melalui
akar eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein glomalin dan asam-asam
organik yang akan mengikat butir-butir tanah menjadi agregat mikro, kemudian
agregrat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap tanaman.
Tingkat asosiasi FMA ditentukan berdasarkan kemampuan FMA dalam
mengkolonisasi akar jeruk. Saat pengamatan tidak ditemukan struktur
arbuskular di dalam jaringan tanaman, hal ini diduga karena proses pencucian
yang masih belum baik. Arbuskular adalah hifa bercabang yang berkembang di
dalam sel korteks akar. Fungsi dari arbuskular adalah sebagai jembatan
transfer unsur hara antar inang dan mikrosimbion (Brundrett, 2004).
Fungi Mikoriza Arbuskular yang diinfestasikan sudah berasosiasi dengan
akar tanaman. Bentuk asosiasi FMA pada perakaran ditandai dengan warna
125
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
yang lebih gelap pada jaringan akar (Gambar 2a dan b). Struktur gelap
sepanjang jaringan akar merupakan hifa mikoriza (Gambar 4a), sedangkan
struktur bulat pada jaringan tanaman merupakan spora dari FMA yang berupa
vesikel (Gambar 2b). Fungi Mikoriza Arbuskular membentuk struktur vesikel
secara interseluler dan intraseluler (Pradikta 2008). Vesikel adalah struktur
mikoriza yang terbentuk setelah pembentukan arbuskular pada ujung hifa, di
dalam vesikel terdapat nutrisi cadangan bagi FMA saat penyuplaian metabolit
dari tanaman (Brundrett, 2004).
Hifa mikoriza yang berkembang secara internal dan eksternal pada
jaringan kortikel akar, menunjukkan adanya pembentukkan mekanisme
pertahanan fisik oleh FMA terhadap serangan Ganoderma boninense (Pradikta
2008). Akar yang terkolonisasi mikoriza melindungi tanaman dari patogen
(Morin et al. 1999). Mikoriza dapat memperlebar zona penangkapan fosfor di
dalam tanah (Brundrett et al. 1996).
Gambar 2 Bentuk asosiasi FMA pada akar sekunder jeruk yang diamati di
bawah mikroskop binokuler menggunakan gridline intersection
method. Struktur hifa FMA (a) dan struktur vesikel FMA (b)
Tabel 4 Pengaruh perlakuan Fungi Mikoriza Arbuskular, G. fimbriatum, dan
kombinasinya terhadap tingkat asosiasi Fungi Mikoriza Arbuskular
Perlakuana
Kontrol-B-G-FMA
Kontrol+B-GFMA
B+G
B+FMA
B+G+FMA
a
Asosiasi FMA
Kolonisasi FMA (%) Panjang akar terkolonisasi
(cm2)
3.16
1.89
0.00
0.00
6.90
30.69
10.11
3.77
19.49
5.66
Kontrol-B-G-FMA= Kontrol (-), tanpa B. theobromae, tanpa infestasi G.
fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, Kontrol+B-G-FMA= Kontrol (+),
inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza
Arbuskular, B+G= inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum,
126
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
B+FMA= inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular,
B+G+FMA= inokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan
Fungi Mikoriza Arbuskular.
Tingkat asosiasi FMA tertinggi terjadi pada perlakuan B+FMA (Tabel 4).
Semakin tinggi tingkat asosiasi FMA, maka semakin baik pula pengaruhnya
terhadap peningkatan vigor tanaman dan penekanan penyakit busuk pangkal
batang jeruk. Introduksi FMA pada tanaman pisang saat pembibitan dapat
meningkatkan persentase asosiasi FMA dibandingkan tanpa introduksi FMA
(Huda, 2010). Ryglewicz dan Anderson (1996) menyatakan, mikoriza
berkontribusi terhadap pasokan karbon dalam tanah dengan cara mengubah
kualitas dan kuantitas bahan organik tanah. Fungi Mikoriza Arbuskular juga
membantu meningkatkan penyerapan air, asimilasi karbon, fitohormon
(Brundrett 1991), dan akumulasi hara (Lewis & Koide, 1990). Mikoriza dapat
memperluas permukaan akar untuk menyerap hara dari dalam tanah (Lambers
et al., 2008).
Perlakuan B+G dan B+G+FMA menunjukkan tingkat asosiasi yang lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan B+FMA (Tabel 4). Asosiasi FMA
berjalan lebih lambat jika dikombinasikan dengan Gliocladium virens karena
terjadi kompetisi antara G.virens dan FMA (Pradikta, 2008). Perlakuan tunggal
FMA menghasilkan persentase asosiasi FMA pada bibit akar vanili lebih tinggi
dibandingkan perlakuan FMA dengan mikroba antagonis (Kumalawati, 2006).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji in vivo, perlakuan infestasi Gliocladium fimbriatum,
Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA), dan kombinasinya mampu menekan
perkembangan penyakit busuk pangkal batang jeruk, sekaligus memperbaiki
vigor tanaman.
Daftar pustaka
Anonim. 2013. Impor buah-buahan menurut provinsi. <http://www.bps.go.id.> .
Diakses 2014 Desember 2014.
Anonim. 2014. Produksi buah-buahan menurut provinsi <http://www.bps.go.id.>
. Diakses 2014 Desember 2014.
Anonim. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan Secara
Terpadu pada Tanaman Jeruk. Jakarta : Direktorat Jenderal Pertanian
Tanaman Pangan.
Agrios GN. 2005. Plant Pathology 5th edition. Elsevier Academic Press, London
Bundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with
Mycorrhizas in Foresty and Agriculture. ACIAR Monograph 32. Canberra
(AUS): Australian Centre for International Agricultural Research.
Conteras-Cornejo HA, Marcias-Rodrigues L, Cortes-Penagos C, Lopez-Bucio
J. 2009. Trichoderma maviresns, a Plant Benefecial Fungus, Enhances
127
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Biomass Production and Promotes Lateral Root Growth Through an
Auxin-Dependent Mechanism in Arabipsis. Plant Physiologist 149: 15791592.
Cook RJ, Baker KF. 1996. The Nature and Practice of Biological Control of
Plant Pathogens. The American Phytophatological Society, St Paul,
Minnesota.
Huda M. 2010. Pengendalian layu fusarium pada tanaman pisang (Musa
paradisiaca L.) secara kultur teknis dan hayati. Institut Pertanian Bogor.
Skripsi.
Istikorini Y. 2008. Potensi cendawan endofit untuk mengendalikan penyakit
antraknosa pada cabai (Capsicum annuum L.) Institut Pertanian Bogor.
Skripsi.
Kumalawati Z. 2006. Analisis potensi sinergisme Radophulus similis Cobb. dan
Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp cubense (E.F. Smith) Synd. & Hans.
dalam perkembangan layu fusarium pada pisang. Bull. 10: 17-21.
Manengkey GSJ, Senewe E. 2011. Intensitas dan laju infeksi penyakit karat
daun Uromycesphaseoli pada tanaman kacang merah. Eugenia 17: 218223.
Morin C, Samson J, Dessureault M. 1999. Protection of black spruce seedlings
against Cylindrocladium root rot with ectomycorrhizal fungi. Canadian
Journal of Botani 77: 169-174.
Pradikta. 2008. Peran fungi mikoriza arbuskular dan Gliocladium virens dalam
pencegahan penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit. Institut
Pertanian Bogor.Skripsi
Retnosari E. 2011. Identifikasi penyebab busuk pangkal batang jeruk (Citrus
spp.) serta uji antagonism in vitro dengan Trichoderma harzianum dan
Gliocladium fimbriatum. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Ryglewicz PT, Anderson CP. 1994. Mycorrhizae alter quality and quantity of
carbon below ground. Nature 369: 58-60.
Sieverding. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical
Agrosystem. Technical Coorporation, Eschburn.
Sinaga MS. 1992. Biokontrol sebagai salah satu komponen pengendalian
penyakit secara terpadu. Makalah disampaikan dalam seminar
Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia Cabang Bogor, 5 November 1992.
Sinaga MS, Bonny PWS, A Susanto. 2003. Keragaman mikroorganisme
rhizosfer kelapa sawit dan patogenesitas Ganoderma boninense Pat.
Sebagai dasar pengendalian penyakit busuk pangkal batang. Laporan
Akhir Hibah Bersaing IX. Bogor
Sinaga MS, Suryowiyono, Husni A, Kosmiatin M. 2009. Pemanfaatan batang
bawah jeruk mutan dan mikoriza arbuskular untuk mengendalikan
penyakit busuk pangkal batang phytophthora pada tanaman jeruk. J
Litbang Pertanian. 29 :45-47.
128
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Yayu SN. 2012. Karakteristik cendawan Botryodiplodia theobromae dan
Rhizoctonia solani dari berbagai tanaman inang berdasarkan morfologi
dan pola RAPD-PCR Institut Pertanian Bogor. Skripsi
Yuliawati. 2002. Pengaruh zeolit , vermikompos, inokulan endomikoriza dan
Gliocladium sp. pada pertumbuhan tomat (Lycopersicon esculentum
Mill.) Institut Pertanian Bogor. Skripsi
Wiyono S, Sinaga MS. 1994. Keefektifan Gliocladium fimbriatum Gilman &
Abbott terhadap patogen busuk batang pada kedelai dan toleransinya
terhadap pestisida. Bul. HPT 7 :5-10.
129
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGARUH APLIKASI JAMUR MIKORIZA ARBUSKULA
TERHADAP PENURUNAN PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA BIBIT
TEBU
Ambar Swastiningrum dan Bambang Hadisutrisno
Prodi Fitopatologi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Jl. Flora Bulaksumur, Yogyakarta 55581 Telp/Fax:0274-523926.
Abstrak
Tebu merupakan bahan baku utama gula dan menempati 60% dari
kebutuhan gula dunia. Indonesia telah mencanangkan program Swasembada
Gula Nasional pada tahun 2014. Namun, target tersebut belum terpenuhi
karena adanya kendala keterbatasan lahan dan gangguan penyakit. Salah satu
penyakit yang menyebabkan kerugian hingga 50% adalah penyakit karat daun
(Puccinia melanocephala). Jamur Mikoriza Arbuskula (JMA) yang dapat
berasosiasi dan bersimbiosis dengan 97% famili tanaman tingkat tinggi berguna
untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, meningkatkan serapan hara dan
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan maupun serangan
patogen, sehingga JMA berpotensi diaplikasikan pada lahan marginal untuk
budidaya tebu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi
JMA terhadap penurunan perkembangan penyakit pada bibit tebu. Penelitian
menggunakan inokulan mikoriza yang berasal dari 4 lokasi yaitu Moyudan
Sleman, Palingan Kulonprogo, Klaten, Batang dan ditambah inokulan campuran
dari keempatnya. Tahapan penelitian meliputi aplikasi inokulan mikoriza pada
bibit tebu, invetarisasi gejala penyakit, dan pengamatan perkembangan
penyakit utama, yakni penyakit karat jingga. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perkembangan penyakit pada bibit tebu yang diinokulasi dengan JMA
mengalami penurunan dibandingkan kontrol, ditandai dengan intensitas
penyakit karat jingga lebih rendah dibandingkan kontrol atau bibit tebu tanpa
inokulasi JMA.
Kata kunci: jamur mikoriza arbuskula (JMA), Puccinia melanocephala,
penyakit karat jingga, tebu
Pendahuluan
Tebu merupakan bahan baku utama gula dan menempati 60% dari
kebutuhan gula dunia, karena dapat tumbuh di berbagai negara. Produk utama
berupa sukrosa atau gula yang menjadi bahan dasar untuk berbagai produk
makanan dan minuman, selain sebagai pemanis, juga berfungsi sebagai
pengawet. Produk sampingan dari produksi gula, yakni molase, digunakan
dalam penyulingan alkohol dan sebagai tambahan pakan ternak yang penting.
130
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tebu dapat diolah untuk menghasilkan bahan bakar bermotor berupa alkohol
atau etanol. Berkembangnya tema biofuel di seluruh dunia, menjadikan tebu
sebagai salah satu komoditas utama (Biovision Foundation, 2014).
Indonesia telah mencanangkan Program Swasembada Gula Nasional
berupa taksasi produksi 5,7 juta ton pada tahun 2014, hingga saat ini jumlah
yang dicapai masih dalam kisaran 2,6 juta ton per tahun. Target produksi gula
5,7 juta ton, idealnya membutuhkan tambahan lahan 350 ribu hektar. Areal
panen tebu secara nasional tahun 2014 diperkirakan seluas 472.792 hektar
dengan produktivitas 26,18 juta ton/ha. Jumlah ini hanya mencukupi kebutuhan
tebu nasional (2,60 juta ton), namun belum dapat mencapai target swasembada
(Adig, 2014).
Selain masalah lahan, organisme penganggu tanaman (OPT) menjadi
salah satu penentu keberhasilan peningkatan produktivitas tebu. Beberapa
contoh penyakit pada tebu seperti penyakit mozaik, penyakit busuk akar oleh
cendawan Pythium sp, penyakit blendok oleh bakteri dan penyakit pokahbung
oleh cendawan Gibbrella monoliformis (Sutarman, 2011), penyakit nanas oleh
Ceratocystis paradoxa (Raid, 2012a), busuk merah (red rot) disebabkan
cendawan Glomerella tucumanensis (Raid, 2012b), daun kuning oleh
pytoplasm (Comstock et.al, 2011). Penyakit karat (rust) yang disebabkan
Puccinia melanocephala berpotensi menyebabkan kerugian hingga 50% pada
varietas yang paling rentan (Santiago & Rosetto, 2014).
Pengendalian hayati menjadi praktik kunci dalam pertanian berkelanjutan
ramah lingkungan. Salah satunya menggunakan Jamur Mikoriza Arbuskula
(JMA) yang dapat berasosiasi dan bersimbiosis dengan 97% famili tanaman
tingkat tinggi. JMA terbukti berperan dalam perbaikan nutrisi tanaman maupun
peran proteksi dalam simbiosis (Aguilar-Barea, 1997 dan Madjid, 2009).
Penelitian ini lebih terfokus pada peran mikoriza dalam mengendalikan patogen
dan meningkatkan kesehatan bibit tebu, sehingga tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui pengaruh aplikasi JMA terhadap perkembangan penyakit
pada bibit tebu.
Metode penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Plastik di Condong Catur dan
Laboratorium Mikologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Inokulum mikoriza yang digunakan berasal dari 4 lokasi yaitu
Moyudan Sleman, Palingan Kulonprogo, Klaten, Batang dan ditambah inokulum
campuran dari keempatnya. Inokulum tersebut telah diperbanyak pada media
zeolit sebelum diaplikasikan pada bibit tebu (varietas PS 862 berumur 2 bulan)
yang ditanam pada media tanah steril+ kompos. Aplikasi dilakukan dua kali,
yaitu pada saat pindah tanam pertama (polibag ukuran 1 kg) dan pindah tanam
131
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
kedua (polibag ukuran 10 kg). Dosis mikoriza yang digunakan sebanyak 20
spora mikoriza per polibag.
Penelitian disusun dalam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
menggunakan tujuh perlakuan dan tiga ulangan (blok). Tiap ulangan terdiri dari
delapan polibag tebu. Rancangan ini dipilih karena adanya kondisi
pencahayaan yang beragam di lahan (Gomez & Gomez, 2010). Parameter
yang diamati adalah pertumbuhan bibit yang meliputi tinggi tanaman, panjang
ruas dan jumlah daun. Pengamatan gejala penyakit dilakukan untuk
menentukan penyakit utama bibit tebu. Selanjutnya intensitas penyakit utaman
digunakan sebagai parameter utntuk mengetahui peranan JMA terhadap
intensitas penyakit pada bibit tebu.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam pada jenjang
nyata 5%. Jika berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji DMRT untuk
mengetahui beda nyata pada masing-masing perlakuan.
Hasil dan pembahasan
Beberapa gejala penyakit yang ditemukan di lapangan adalah busuk
merah (red rot) pada tulang daun dan pelepah daun disebabkan jamur
Glomerella
tucumanensis,
bercak
daun
(eye
spot)
disebabkan
Helminthosporium sacchari dan karat daun yang disebabkan oleh Puccinia
melanocephala. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa gejala yang
paling banyak dijumpai pada bibit tebu adalah penyakit karat daun, sehingga
penyakit utama yang diamati perkembangannya adalah karat jingga, dengan
menghitung jumlah pustul pada permukaan daun.
Jamur karat jingga termasuk parasit obligat. Jamur membentuk
urediospora yang berwarna kuning atau jingga. Sepanjang daur hidupnya
membentuk lima macam spora. Jamur karat jingga membentuk urediospora di
bawah epidermis yang lalu mendesak epidermis hingga sobek (Semangun,
1996). Serangan jamur karat menimbulkan gejala nekrotik pada daun yang
menyebabkan fotosintesis tanaman terhambat disebabkan zona daun hijau
berkurang dan terjadi kompetisi fotosintat sehingga menyebabkan pertumbuhan
tanaman terganggu.
Cara kerja JMA terhadap tanaman inang melewati beberapa tahapan,
yaitu: tahap pengenalan inang, dimana spora akan menemukan permukaan
akar tanaman inang dan mengenalinya. Bila tanaman inang tersebut kompatibel
bagi spora JMA, maka spora akan berkecambah, lalu membentuk apresorium
pada bagian epidermis sel akar, melakukan penetrasi masuk menembus
korteks, membentuk koil atau tabung untuk melewati antar sel dan membentuk
arbuskular dan vesikel di dalam sel inang (Peterson et. al., 2004 & Brundrett
et.al., 1996).
132
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Jamur mikoriza arbuskula berperan terhadap kesehatan tanaman melalui
beberapa mekanisme yang terlibat, meliputi perlindungan fisik, interaksi kimia
dan efek tidak langsung (Fitter dan Garbaye 1994 dalam Pal, et al, 2006).
Lebih lanjut melalui perubahan sistem perakaran, aktifitas metabolisme berupa
perubahan komposisi kimia pada jaringan (Morris dan Ward 1992), perbaikan
nutrisi tanaman, , kompetisi nutrisi dan tempat infeksi, kompensasi kerusakan,
perubahan populasi mikroba di rizosfer (Barea dan Aguilar, 1997), serta
menginduksi mekanisme ketahanan (Azcon-Aguilar et. al., 2002, Wehner et.al.
2009) untuk meningkatkan resistensi tanaman terhadap stress biotik dan abiotik
(Bonfante et al, 2009; Linderman 1994).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan penyakit pada bibit
tebu yang diinokulasi dengan JMA mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan
dengan rerata intensitas penyakit karat jingga pada bibit yang diinokulasi JMA
lebih rendah dibandingkan kontrol atau tebu tanpa inokulasi JMA. Bibit tebu
yang diinokulasi dengan JMA menunjukkan rerata intensitas yang berbeda
nyata dibandingkan bibit tebu tanpa inokulasi JMA (Tabel 1).
Tabel. 1 Rerata Intensitas Penyakit Karat Daun Tebu
Perlakuan
10 MST
13 MST
Tanpa inokulasi JMA + tanpa pupuk NPK
15.56 ab
19.21 a
Tanpa inokulasi JMA + pupuk NPK
20.73 a
16.12 a
Inokulasi JMA Moyudan Sleman (MS)+ pupuk NPK
11.70 b
6.92 b
Inokulasi JMA Palingan Kulonprogo (PKP) + pupuk
10.13 b
8.08 b
NPK
Inokulasi JMA Klaten (KLT) + Pupuk NPK
9.34 b
6.17 b
Inokulasi JMA Batang (BTG) + Pupuk NPK
10.96 b
5.61 b
Inokulasi JMA campuran (MC) + Pupuk NPK
8.20 b
6.39 b
Keterangan: Huruf yang sama pada angka di setiap kolom menunjukkan tidak
beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%.
Simbiosis JMA dengan akar tanaman mampu mengaktivasi ketahanan
tanaman baik secara lokal maupun sistemik (Lioussanne et al, 2009). Salah
satu respon ketahanan yang ditunjukkan oleh tanaman adalah dengan
terbentuknya senyawa fenol seperti Asam Salisilat (SA). (Pozo et al, 2009). SA
merupakan senyawa yang dibentuk tanaman ketika terjadi infeksi untuk
mengaktivasi gen-gen ketahanan tanaman dalam menghadapi serangan
patogen (Vidhyasekaran, 2008). Fitohormon lainnya yang banyak ditemukan
dalam interaksi JMA-inang adalah asam jasmonat, yang mengatur respon
perlukaan dan ketahanan terhadap luka akibat cahaya dan patogen (Pozo dan
Azcón- Aguilar, 2007; Ton et.al., 2002; Glazebrook, 2005). Konsentrasi asam
133
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
jasmonat diketahui meningkat pada tanaman dengan mikoriza simbion (Hause
et. al., 2002; Vierheilig, 2002; Stumpe et.al., 2005). Selanjutnya JMA cenderung
memiliki peran dalam induksi enzim hidrolitik, peningkatan level PR protein dan
fitoaleksin (Khan, 2010) yang berperan menghambat perkembangan patogen
pada tanaman inang.
Parameter pertumbuhan bibit tebu meliputi tinggi tanaman (total), tinggi
ruas, dan jumlah daun. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan
bibit tebu secara umum menunjukkan beda nyata antara bibit tebu yang
diinokulasi JMA dengan bibit tebu tanpa inokulasi JMA.
Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Bibit Tebu
Jumlah Daun) 12 MST
Perlakuan
Tanpa inokulasi JMA + tanpa pupuk NPK
(Tinggi Tanaman, Tinggi Ruas,
TT
221,65a
Tanpa inokulasi JMA + pupuk NPK
204,34ab
Inokulasi JMA Moyudan Sleman (MS)+ pupuk
246,14b
NPK
Inokulasi JMA Palingan Kulonprogo (PKP) +
249,11b
pupuk NPK
Inokulasi JMA Klaten (KLT) + Pupuk NPK
255,94b
Inokulasi JMA Batang (BTG) + Pupuk NPK
236,32b
Inokulasi JMA campuran (MC) + Pupuk NPK
245,21b
Keterangan: Huruf yang sama pada angka di setiap kolom
beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%.
TR
60,82a
JD
15,17a
51,70ab 14,50ab
73,23b 16,50b
77,84b
17,67b
78,75b 16,28b
68,75b 15,44b
67,67b 16,39b
menunjukkan tidak
Kolonisasi JMA pada perakaran sangat berguna untuk meningkatkan
serapan hara, khususnya unsur fosfat (P). Bolan (1991) dalam Mustal (2010),
melaporkan bahwa kecepatan masuknya hara P ke dalam hifa JMA dapat
mencapai enam kali lebih cepat pada akar tanaman yang terinfeksi JMA
dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi JMA. Jaringan hifa eksternal JMA
mampu memperluas bidang serapan dan meningkatkan serapan nitrogen (N)
dan kalium (K). Beberapa unsur tersebut merupakan unsur hara esensial bagi
tanaman.
JMA juga berperan dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. JMA
menghasilkan enzim fosfatase yang dapat melepaskan unsur P yang terikat
unsur Al dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur sehingga P
akan tersedia bagi tanaman. JMA juga berperan dalam memperbaiki sifat fisik
tanah, yaitu membuat tanah menjadi gembur. Menurut Wright dan Uphadhyaya
(1998) dalam Mustal (2010), JMA melalui akar eksternalnya menghasilkan
senyawa glikoprotein glomalin dan asam- asam organik yang akan mengikat
134
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
butir- butir tanah menjadi agregat mikro. Selanjutnya melalui proses mekanis
oleh hifa eksternal, agregat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah
diserap tanaman. Sifat fisik dan kimia tanah yang baik akan menyediakan
nutrisi yang mendukung pertumbuhan bibit tebu.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
1. Perkembangan penyakit pada bibit tebu yang diinokulasi dengan jamur
mikoriza arbuskula mengalami penurunan dibandingkan kontrol yang
ditunjukkan dengan intensitas penyakit karat jingga lebih rendah
dibandingkan kontrol atau bibit tebu yang tidak diinokulasi jamur mikoriza
arbuskula. Hal ini menunjukkan jamur mikoriza arbuskula berpotensi sebagai
agen pengendali hayati.
2. Bibit tebu yang diinokulasi dengan jamur mikoriza arbuskula mengalami
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol.
Daftar pustaka
Adig. 2014. Ikhwal Target Swasembada Gula 2014. <http://www.ptpn11.com/ikhwal-target-swasembada-gula-2014.html>. Diakses 18 Agustus
2014.
Aguilar C. A. & J.M. Barea. Arbuscular mycorrhizas and biological control of
soil-borne plant pathogens – an overview of the mechanisms
involved. February 1997, Volume 6, pp 457-464
Arya, A., C. Arya, and R. Misra. 2010. Mechanism of Action in Arbuskular
Mycorrhizal Symbionts to Control Fungal Diseases. CAB International.
USA.
Biovision Foundation. 2014. General Information and Agronomic Aspects.
<http://www.infonet-biovision.org/default/ct/134/crops#1847>.
Bonfante, P., R. Balestrini, A. Genre, & L. Lanfranco. 2009. Establishment and
Functioning of Arbuscular Mycorrhizas. In H. Deising (Ed). 2009. Plant
Relationship, 2nd Ed. The Mycota V. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Brundrett, M., N. Bougher, B. Del, T. Grove, and N. Malajczuk. 1996. Working
with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR: Canberra.
Comstock, J.C. R.A Gilbert and D.C. Odero. 2011. Sugarcane Yellow Leaf
Disease.
Florida
Sugarcane
Handbook.
SS-AGR-256.
<http://EDIS.ifas.ufl.edu.> Diakses 13 Agustus 2014.
Giovannetti, M. & B. Mosse. 1980. An Evaluation of Techniques for Measuring
Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Infection in Roots. New Phytol. 84:489500.
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 2010. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian
Edisi Kedua. Terjemahan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
135
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Indrawanto, C., Purwono., Siswanto., Syakir., Rumini. 2010. Budidaya dan
Pasca Panen Tebu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Khan, H. 2010. Arbuscular Mycorrhizal Fungi-Induced Signalling In Plant
Defence Against Phytopathogens. Journal of Phytology 7 : 53-69.
Linderman, R. G. 1994. Role of AM fungi in biocontrol. Pages 1-25 in:
Mycorrhizae and Plant Health. F. L. Pfleger and R. G. Linderman, eds.
APS Press, St. Paul, MN.
Lioussanne et al, L., M. Jolicoeur, & M. St. Arnaud. 2009. Role of the
Modification in Root Exudation Induced by Arbuscular Mycorrhizal
Colonization on the Intraradical Growth of Phytophthora nicotianae in
Tomato. <http://www.springerlink.com.pp.13-20>.
Mustal. 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula untuk meningkatkan
Hasil Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian 29.
Pal, K. K. and B. McSpadden Gardener, 2006. Biological Control of
Plant Pathogens. The Plant Health
Peterson R. Larry,Hugues B. Massicotte,Lewis H. Melville. 2004. Mycorrhizas:
Anatomy and Cell Biology. CABI Publishing, Canada.
Pozo, M.J., A. Verhage, J.G. Andrade, J.M. Garcia, & C.A. Aguilar. 2009.
Priming Plant Defence Against Pathogens by Arbuscular Mycorrhizal
Fungi. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Pozo, María J., and Concepción Azcón-Aguilar. 2007. Unraveling
MycorrhizaInduced Resistance. Current Opinion in Plant Biology 10: 393398.
Raid, R.N. 2012a. Pineapple Diseases of Sugar. Florida Sugarcane Handbook.
SS-AGR-205.< http://EDIS.ifas.ufl.edu>. Diakses 13 Agustus 2014.
Raid, R.N. 2012b. Sugarcane Red Rot Diseases. Florida Sugarcane
Handbook. SS-AGR-205.< http://EDIS.ifas.ufl.edu>. Diakses 13 Agustus
2014.
Santiago and Rosetto, 2014. 2014. Penyakit Tebu [Terjemahan].
<http://www.portalsaofrancisco.com.br>. Diakses 17 September 2014.
Schenck, N.C. 1982. Methods and Principles of Mycorrhizal Research.
The American Phythopathological Society, Minnesota.
Semangun, H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sutarman, A. 2011. Pengendalian Penyakit pada Tanaman Tebu.
<http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/pengendalian-penyakitpadatanaman-tebu>. Diakses 13 Agustus 2014
Vidhyasekaran, P. 2008. Fungal Pathogenesis in Plant and Crops.
Molekular Biology and Host Defense Mechanism. 2nd Ed. CRC Press,
USA.
Whardhika, 2014. Eksplorasi Mikoriza Arbuskula yang Mampu Meningkatkan
Pertumbuhan dan Kesehatan Tebu. Universitas Gadjah Mada. Tesis.
136
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGARUH KOMBINASI CARA PENGAIRAN DAN TIPE VARIETAS PADI
TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT HAWAR UPIH
Bambang Nuryanto*1), Achmadi Priyatmojo2), Bambang
Hadisutrisno2), dan Bambang Hendro Sunarminto2)
1) Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jl. Raya IX Sukamandi Subang, Jawa
Barat 41256
2) Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora 1 Bulaksumur,
Yogyakarta 55281
*) Penulis untuk korespondensi. E-mail: [email protected]
Abstrak
Penyakit hawar upih padi disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani
Kühn. sulit dikendalikan karena inokulum selalu tersedia di sawah sepanjang
musim, baik dalam bentuk miselium maupun sklerotium. Pengendalian penyakit
ini dapat diupayakan dengan mengelola lingkungan, agar kondisi iklim di bawah
kanopi tanaman tidak cocok untuk perkembangan penyakitnya. Penelitian
dengan memodifikasi teknik budidaya padi bertujuan untuk mempelajari
efektivitas penerapan kombinasi cara pengairan dan tipe tanaman padi dalam
menekan keparahan penyakit hawar upih. Percobaan lapang di persawahan
Dukuh Bakungan (185 m di atas permukaan laut), Desa Wedomartani,
Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ditata dalam
rancangan petak terpisah dengan pola rancangan acak kelompok (RAK). Petak
utama menempatkan cara pengairan sedangkan anak petak menempatkan
varietas padi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa cara pengairan dengan
penggenangan dalam parit keliling dan penggenangan 1 kali/minggu, nyata
menekan keparahan penyakit hawar upih sebesar 14,84% dan 21,64% pada
tanaman padi yang diinokulasi serta 35,32% dan 36,05% pada tanaman padi
yang tidak diinokulasi. Penggunaan varietas Cimelati dibandingkan Ciherang
dapat menekan keparahan penyakit hawar upih sebesar 6,05% pada tanaman
padi yang diinokulasi dan 25,02% pada tanaman padi yang tidak diinokulasi,
sedangkan bila dibandingkan dengan hibrida Maro dapat menekan sebesar
11,22% pada tanaman padi yang diinokulasi dan 38,99% pada tanaman padi
yang tidak diinokulasi. Kombinasi antara cara pengairan yang tidak selalu
tergenang dan penggunaan varietas Cimelati dapat menjadi komponen
pengendali penyakit hawar upih padi karena menekan tingkat keparahan
penyakit hawar upih dan kehilangan hasil padi.
Kata kunci: hawar upih padi, pengairan, varietas
137
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pendahuluan
Peningkatan produksi padi terus diupayakan melalui penggunaan
varietas unggul, peningkatan intensitas tanam, dan teknologi budidaya, namun
demikian, perkembangan beberapa penyakit yang semakin tinggi frekuensinya
menyebabkan produksi padi tidak stabil bahkan dapat mengalami gagal panen
(Fukui et al., 2003). Praktek budidaya padi unggul agar dapat berproduksi
secara optimum harus didukung dengan teknologi pemupukan (Kasno, 2007),
akibatnya di lapangan ada kecenderungan penggunaan pupuk urea melebihi
dosis anjuran. Menurut Winarso (2005), kandungan nitrogen yang tinggi dalam
jaringan tanaman padi menyebabkan tanaman tersebut rentan terhadap
gangguan penyakit.
Penyakit hawar upih disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani Kühn.
menyebar luas di daerah pertanian padi yang intensif dan berkembang semakin
parah, pada varietas padi tipe anakan banyak (Nuryanto, 2011). Gangguan
penyakit ini menyebabkan tanaman padi menjadi mudah rebah, sehingga
proses pengisian malai tidak sempurna dan banyak terbentuk gabah hampa.
Kerusakan seperti ini sangat menurunkan produksi padi, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Menurut Inagaki (2001), kehilangan hasil padi akibat
gangguan penyakit hawar upih rata-rata di beberapa daerah penghasil beras
dunia berkisar 20–35%.
Varietas padi yang secara genetik tahan terhadap penyakit hawar upih,
sampai saat ini belum tersedia di Indonesia, karena perakitan varietas tahan
hawar upih masih susah dilakukan (Pinson et al., 2005). Meskipun demikian,
varietas padi yang ditanam petani mempunyai tanggapan yang berbeda-beda
terhadap perkembangan penyakit hawar upih di lapangan. Penyakit hawar upih
berkembang parah pada tanaman padi tipe pendek dan berdaun lebat, seperti
IR64, terutama bila ditanam pada daerah yang tergenang. Varietas Cisadane
dibandingkan dengan IR64, memperlihatkan tingkat keparahan hawar upih
yang lebih rendah. Cisadane merupakan varietas padi tipe tanaman tinggi dan
anakan sedikit (Nuryanto, 2003). Fenotipe tanaman berkaitan dengan
perubahan kondisi suhu dan kelembaban lingkungan yang terjadi di bawah
kanopi. Suhu dan kelembaban lingkungan pertanaman mempengaruhi
perkembangan jamur R. solani (Bolton et al., 2010)
Persawahan dengan sistem drainase jelek banyak terjadi genangan air
memicu penyakit hawar upih berkembang lebih parah, hal ini diduga berkaitan
dengan kelembaban lingkungan pertanaman. Fagi & Kartaatmadja (2004)
menyatakan bahwa pada sawah yang diari setinggi kurang lebih 1 cm, tanaman
padi tumbuh dengan sehat dan hasil padi dapat lebih tinggi dibanding dengan
cara penggenangan 5 cm terus menerus. Syamsuddin (2008) melaporkan
bahwa pengairan padi sawah melalui cara penggenangan dalam parit
menyebabkan kandungan lengas tanah lebih rendah dari cara sawah, dan pada
jenis tanah regosol dengan lebar bedengan 1–4 m menyebabkan kadar lengas
138
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
tanah berada di sekitar kapasitas lapangan. Penerapan cara pengairan yang
menggenang terus-menerus pada pertanaman padi varietas tipe pendek
anakan banyak yang dipupuk nitrogen dosis tinggi, menyebabkan penyakit
hawar upih berkembang semakin parah. Menurut Prasad & Eizenga (2008),
kerentanan padi terhadap penyakit hawar upih juga dipengaruhi oleh
kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman.
Pemilihan varietas padi yang dapat menekan laju perkembangan
penyakit menjadi komponen penting dalam pengendalian hawar upih secara
terpadu, di samping itu penggunaan varietas tahan dapat dikombinasikan
dengan teknik pengendalian cara lain. Penelitian modifikasi cara budidaya padi
sawah melalui pengaturan pengairan dan pemilihan varietas bertujuan untuk
mengetahui efektivitas pengaruh cara pengairan dengan tipe varietas padi
terhadap penekanan keparahan penyakit hawar upih dan hasil padi.
BAHAN DAN metode
Percobaan dilakukan di persawahan petani Dukuh Bakungan (185 m
dari permukaan laut/dpl.), Kelurahan Wedomartani, Kecamatan Ngemplak,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada bulan April–Agustus 2010. Bibit padi
umur 21 hari ditanam di sawah dengan jumlah 3 bibit tiap lubang dan ditanam
dengan jarak 20x20 cm. Pertanaman dipupuk dengan Urea, SP36, dan KCl
masing-masing dengan dosis 250,100, dan 50 kg/ha.
Percobaan menggunakan rancangan split-plot dengan pola acak
kelompok (RAK), diulang 3 kal. Petak utama adalah 3 macam cara pengairan
yaitu 1) penggenangan dalam parit keliling, 2) penggenangan 1 minggu sekali,
dan 3) penggenangan terus menerus. Air genangan dalam parit dipertahankan
pada ketinggian rata dengan permukaan tanah. Pengaturan pengairan
diterapkan mulai dari stadium tanaman anakan maksimum sampai pengisian
malai. Anak petak adalah 3 macam varietas padi, yaitu 1) Ciherang mewakili
varietas padi tipe pendek anakan banyak, 2) Cimelati mewakili varietas padi
tipe tinggi anakan sedikit, dan 3 ) Maro mewakili padi hibrida.
Tiap unit perlakuan diterapkan pada petak tanaman seluas 3x10 m2.
Sejumlah 20 rumpun tanaman padi diinokulasi dengan inokulum jamur R. solani
dalam campuran dedak dan sekam (1:1) yang telah berumur 3 hari. Inokulasi
dilakukan pada stadium primordia (bunting awal), dengan cara menyisipkan
inokulum R. solani sebanyak 25 g/rumpun disela-sela batang padi, kira-kira
berada 5 cm di atas permukaan air sawah. Batang padi dalam satu rumpun
yang diinokulasi diikat dengan karet gelang tepat di atas bagian yang
diinokulasi.
Pengamatan keparahan penyakit dilakukan pada 1 minggu menjelang
panen, dengan menggunakan metode pengamatan penyakit hawar upih
menurut Ahn et al. (1986).
139
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Persentase keparahan penyakit dihitung berdasarkan pada tinggi relatif
keberadaan gejala dibandingkan dengan tinggi tanaman padi pada rumpun
yang diamati. Rata-rata persentase keparahan penyakit per petak perlakuan
dihitung dengan menjumlahkan persentase keparahan tiap rumpun sampel
kemudian dibagi dengan jumlah rumpun sampel. Suhu dan kelembaban udara
di bawah kanopi tanaman diukur pada tiap stadium pertumbuhan tanaman.
Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan waktu siang hari pukul 09.0010.00
WIB,
dengan
cara
menempatkan
termohigrometer
(TFA
Dostmann/Wertheim, Germany) di bawah kanopi tanaman selama 15 menit,
kemudian dialakukan pembacaan skala suhu dan kelembaban pada alat. Hasil
padi diamati dengan cara mengukur berat gabah isi dan hampa dari 50 rumpun
sampel tiap petak serta berat 1000 butir gabah.
Data hasil pengamatan dianalisis dengan program Statistical Analysis
System (SAS). Pengaruh perlakuan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA)
dan perlakuan yang berpengaruh nyata dianalisis lanjut dengan uji beda nyata
terkecil (BNT) pada derajat kesalahan 0,05.
Hasil dan pembahasan
Penyakit hawar upih berkembang dengan baik, hal ini menunjukkan
kondisi lingkungan pada lokasi percobaan cocok untuk perkembangan penyakit.
Lokasi percobaan di persawahan daerah rendah (185 m dpl.) yang
lingkungannya kondusif untuk perkembangan penyakit hawar upih. Nuryanto
(2014) menyatakan penyakit hawar upih berkembang baik di persawahan dan
semakin parah di daerah rendah (0–200 m dpl). Budidaya padi sawah di sekitar
percobaan dilakukan dengan waktu tanam tidak serempak, hal ini juga
mendukung ketersediaan inokulum penyakit hawar upih sepanjang musim.
Analisis varian menunjukkan bahwa perlakuan cara pengairan dan tipe
varietas padi nyata menekan keparahan penyakit hawar upih dan penurunan
hasil padi, akan tetapi tidak terdapat interaksi antara cara pengairan dengan
varietas terhadap keparahan penyakit dan hasil padi.
A. Keparahan penyakit.
Penyakit hawar upih berkembang dengan baik dan menimbulkan variasi
keparahan pada tiap perlakuan cara pengairan. Data pengamatan disajikan
pada tabel 1.
Tabel 1. Keparahan penyakit hawar upih pada berbagai cara pengairan
Keparahan penyakit (%) pada
tanaman
Perlakuan
Diinokulasi
Tidak diinokulasi
Penggenangan
keliling
dalam
parit
48,11 b
12,36 b
140
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Penggenangan 1 kali seminggu
44,27 b
12,22 b
Penggenangan terus
56,50 a
19,11 a
)
CV (%)*
6,31
9,.21
Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata
menurut BNT 0,05
*) Koefisien keragaman
Perlakuan tiga macam cara pengairan menyebabkan perbedaan tingkat
keparahan penyakit hawar upih. Pada kondisi ketersediaan inokulum penyakit
yang melimpah dan didukung oleh periode kebasahan jaringan tanaman yang
lama, menyebabkan penyakit berkembang lebih parah, seperti yang
dikemukakan oleh Groth & bond (2007), bahwa keparahan penyakit hawar upih
tergantung oleh jumlah inokulum awal yang tersedia dan kondisi lingkungan
akibat dari manajemen budidaya seperti pengairan.
Pada tanaman yang tidak dilakukan inokulasi, keparahan penyakit
terlihat rendah. Gejala penyakit mulai terlihat saat tanaman berada pada akhir
stadium pengisian malai. Munculnya gejala penyakit pada tanaman padi,
membuktikan bahwa pada lahan sawah telah terdapat sumber inokulum
walaupun dalam jumlah yang terbatas. Pada perlakuan penggenangan terusmenerus, penyakit terlihat lebih parah. Groth & Lee (2003) melaporkan bahwa
dalam kondisi sumber inokulum awal penyakit rendah, tetapi pengairan
dilakukan dengan cara penggenangan terus-menerus seperti yang umumnya
dilakukan petani, penyakit hawar upih mempunyai peluang berkembang lebih
pesat.
Semua varietas padi yang diuji terkena gejala hawar, berarti tidak ada
yang tahan. Tingkat keparahan penyakit hawar upih yang ditimbulkan
mencerminkan tanggapan ketahanan dari tiap varietas yang diuji, seperti yang
disajikan dalam (Tabel 2).
Tabel 2. Keparahan penyakit hawar upih pada varietas yang diuji
Varietas
Keparahan penyakit (%) pada
tanaman
Diinokulasi
Ciherang
Cimelati
Hibrida (Maro)
50,56 b
47,50 c
52,83 a
Tidak diinokulasi
14,67 b
11,00 c
18,03 a
CV (%)*)
6,31
9,.21
Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata
menurut BNT 0,05
*) Koefisien keragaman
141
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Varietas Cimelati bila dibandingkan dengan Ciherang (varietas yang
umum ditanaman petani) dan hibrida Maro, menampilkan keparahan hawar
upih yang lebih rendah. Cimelati merupakan salah satu varietas padi yang
mempunyai tipe tanaman anakan sedikit. Tipe tanaman seperti ini
menyebabkan kondisi lingkungan di bawah kanopi tanaman kurang cocok untuk
perkembangan penyakit hawar upih.
Penggunaan varietas Cimelati dapat menekan keparahan penyakit
hawar upih. Tingkat penekanan keparahan penyakit oleh varietas Cimelati pada
tanaman yang diinokulasi lebih kecil dibanding dengan penekanan keparahan
penyakit pada tanaman yang tidak diinokulasi. Hal ini menunjukkan bahwa
pada keadaan gangguan penyakit semakin berat, penekanan keparahan
penyakit semakin menurun. Penggunaan salah satu varietas yang dianggap
tahan hanya mampu menekan penyakit dari salah satu komponen epidemiknya
saja, sedangkan dari sisi komponen epidemik lainnya masih dapat mendukung
perkembangan penyakit.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cara pengairan berpengaruh
nyata terhadap kelembaban di bawah kanopi tanaman tetapi tidak berpengaruh
terhadap suhu (Tabel 3).
Tabel 3. Suhu dan kelembaban lingkungan di bawah kanopi tanaman
pada berbagai cara pengairan
Perlakuan
Suhu (oC)
Penggenangan dalam parit
keliling
Penggenangan 1 kali seminggu
Penggenangan terus
28,77 a
95,11 b
29,00 a
28,67 a
93,64 b
97,89 a
Kelembaban (%)
CV (%)*)
5,66
6,12
Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata
menurut BNT 0,05
*) Koefisien keragaman
Suhu lingkungan tidak berbeda nyata, hal ini karena perlakuan cara
pengairan tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan, sehingga pancaran sinar
matahari dan hembusan angin mempunyai pengaruh yang relatif sama pada
tiap petak perlakuan. Pada kondisi seperti ini suhu dibawah kanopi tanaman
lebih dipengaruhi oleh cuaca disekitarnya. Kelembaban lingkungan di bawah
kanopi tanaman nyata dipengaruhi oleh cara pengairan. Penggenangan terus
menerus di lahan sawah menyebabkan terbentuk uap air, sehingga lingkungan
di bawah kanopi tanaman kelembabannya tinggi.
Jumlah anakan, suhu, dan kelembaban lingkungan di bawah kanopi
tanaman nyata dipengaruhi oleh varietas (Tabel 4).
142
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 4. Suhu dan kelembaban lingkungan di bawah kanopi tanaman serta
jumlah anakan pada tiga varietas padi.
Varietas
Ciherang
Cimelati
Hibrida (Maro)
Jumlah anakan
16,53 b
13,04 c
18,07 a
Suhu (oC) Kelembaban (%)
28,67 b
28,11 c
29,67 a
95,44 b
93,56 c
96,56 a
CV (%)*)
8,49
5,66
6,12
Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata
menurut BNT 0,05
*) Koefisien keragaman
Pada padi hibrida Maro jumlah anakan tanaman lebih banyak dari kedua
varietas uji lainnya. Menurut Suprihatno et al. (2007), secara genetik padi
hibrida Maro mempunyai anakan lebih banyak. Anakan tanaman lebih banyak
menyebabkan kondisi pertanaman lebih rapat (Jia et al. 2003), sehingga suhu
dan kelembaban di bawah kanopi tanaman hibrida Maro lebih tinggi dibanding
Ciherang dan Cimelati.
B. Produksi Padi
Produksi padi merupakan interaksi dari potensi genetik suatu tanaman
dengan daya dukung lingkungan. Cara pengairan dalam budidaya padi
merupakan daya dukung lingkungan yang ikut menentukan pencapaian hasil
suatu varietas padi sawah. Perbedaan hasil panen akibat dari perlakuan cara
pengairan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Komponen hasil padi pada berbagai cara pengairan
Berat gabah kering pada
Tanaman diinokulasi
Tanaman tidak diinokulasi
Perlakuan
50
1000
Hampa
50
1000
Hampa
rumpun butir (g)
(g)
rumpun butir (g)
(g)
(kg)
(kg)
Penggenanganparit
keliling
Penggenangan sekali
seminggu
Penggenangan terus
1,03 a
29,89 a
134,44 b
1,19 a
31,00 a 126,22 a
1,06 a
30,11 a
132,89 b
1,16 a
31,11 a 134,78 a
0,82 b
28,89 b
159,00 a
1,17 a
30,22 b 133,11 a
CV (%)*)
5,92
1,25
4,17
7,89
11,69
5,11
Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata
menurut BNT 0,05
*) Koefisien keragaman
143
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pada tanaman yang diinokulasi, pengairan dengan cara penggenangan
lahan sawah terus-menerus mengakibatkan berat gabah yang dipanen dari 50
rumpun dan berat gabah 1000 butir menunjukkan paling rendah serta berat
gabah hampa paling tinggi. Penurunan hasil dan peningkatan gabah hampa
berkaitan dengan gangguan penyakit yang parah sehingga produksi menurun
secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan ini juga diperkuat oleh data hasil
panen pada tanaman yang tidak diinokulasi. Pada tanaman yang tidak
diinokulasi perlakuan cara pengairan berpengaruh nyata terhadap berat gabah
1000 butir. Berat gabah 1000 butir terendah didapatkan pada perlakuan
pengairan cara penggenangan terus-menerus, dan berbeda nyata dengan
perlakuan cara pengairan yang lain. Hal ini membuktikan bahwa cara pengairan
mempengaruhi tingkat kebernasan gabah.
Varietas yang diuji pengaruh terhadap komponen hasil padi (Tabel 6).
Pada tanaman yang diinokulasi, berat gabah dari 50 rumpun yang tertinggi
didapatkan dari varietas Cimelati dan secara statistik berbeda nyata dengan
hibrida Maro tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Ciherang.
Tabel 6. Komponen hasil padi pada varietas yang diuji
Berat gabah kering pada
Tanaman diinokulasi
Tanaman tidak diinokulasi
Varietas
50 rumpun 1000 butir Hampa
50 rumpun 1000 butir Hampa
(kg)
(g)
(g)
(kg)
(g)
(g)
Ciherang
1,00 ab
Cimelati
1,04 a
Hibrida (Maro) 0,97 b
29,78 b 134,12 b
30,44 a 136,11 b
28,67 c 147,11 a
1,18 a
1,16 a
1,19 a
31,11 a
31,44 a
29,78 b
131,78 b
126,56 b
135,78 a
CV (%)*)
5,92 11,25
4,17
7,89
11,69
5,11
Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata
menurut BNT 0,05
*) Koefisien keragaman
Pada tanaman yang tidak diinokulasi, varietas yang diuji tidak
berpengaruh nyata terhadap berat gabah yang dipanen dari 50 rumpun.
Keadaan ini menunjukkan bahwa pada kondisi tekanan penyakit rendah semua
varietas yang diuji menampilkan hasil yang sebanding, namun pada tanaman
yang diinokulasi hasil padi dipengaruhi oleh adanya gangguan penyakit,
sehingga hasil dapat berbeda nyata dari tiap varietas. Hasil padi di samping
dipengaruhi oleh potensi hasil suatu varietas, juga dipengaruhi oleh tanggap
ketahanan varietas tersebut terhadap penyakit yang diinokulasikan. Keparahan
penyakit hawar upih dalam kategori berat menyebabkan kerebahan tanaman,
sehingga pengisian malai tidak sempurna, hasil panen menurun, dan banyak
terbentuk gabah hampa, (Kumar et al., 2004).
144
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kesimpulan
1. Pengairan dengan cara penggenangan dalam parit keliling dan
penggenangan sekali seminggu dapat diggunakan sebagai komponen
pengendali penyakit hawar upih karena menekan kelembaban lingkungan
di sekitar tanaman.
2. Pengairan dengan cara penggenangan terus menerus dapat memicu
perkembangan pesat penyakit hawar upih, walaupun kondisi sumber
inokulum awal penyakit sedikit.
3. Penggunaan varietas Cimelati dapat mengurangi kerapatan tanaman di
lapangan, sehingga menekan suhu dan kelembaban lingkungan di bawah
kanopi tanaman
4. Kombinasi antara cara pengairan yang tidak menggenangi lahan terusmenerus dan penggunaan varietas padi tipe anakan sedikit dapat menekan
keparahan penyakit hawar upih dan menekan kehilangan hasil padi.
Daftar pustaka
Ahn, S.W., R.C. delta Pena, B.L. Candole, T.W. Mew. 1986. A new scale for rise
sheath blight (ShB) disease assessment. International Rice Research
News 11:17-18
Banu, S.P., M.A. Shaaheed, A.A. Siddique, M.A. Nahar, H.U. Ahmed, M.H.
Devare, J.M. Duxbury, and J.G. Lauren. 2003. Soil biological health: A
major factor in increasing the productivity of the rice-wheath cropping
system. International Rice Research News 30:5-11
Fagi, A.M. and S. Kartaatmadja. 2004. Teknologi budidaya padi: Perkembangan
dan Peluang. In: Kasryno, F., E. Pasandaran, A.M. Fagi (eds.) Ekonomi
Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian.
Fukui, S., S. Hartono, N. Iwamoto. 2003. Risk and rice farming intensification in
rural Java. In: Hayashi, Y., S. Manuwoto, S. Hartono. (eds.) Sustainable
Agriculture in Rural Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Pp 217-233
Groth, D.E. and F. Lee. 2003. Rice diseases, In: C.W. Smith & R.H. Dilday (eds),
Rice origin, history, technology, and production. John Wiley & Sons.
Hobokem. N.J. pp. 413-436
Groth, D.E. and J.A. Bond. 2007. Effects of cultivar and fungicides on rice sheath
blight, yield, and quality. Plant Dis. 91:1647-1650
Inagaki, K. 2001. Outbreaks of rice sclerotium disease in paddy fields and
physiological and ecological characteristics of this causal fungi. Sci. Rep.,
Fac. Agric., Meijo Univ. 37:57-66
Jia, Y., F. Correa-Victoria, A. McClung, L. Zhu, G. Liu, Y. Wamishe, J. Xie, M.A.
Marchetti, S.R.M. Pinson, J.N. Rutger, and J.C. Correl. 2007. Rapid
145
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
determination of rice cultivar responses to the sheath blight pathogen
Rhizoctonia solani using micro-chamber screening method. Plant Dis.
91:485-489
Kasno, A. 2007. Produksi padi dan serapan hara N, P, dan K lahan sawah
dengan pupuk majemuk. Jurnal Akta Agrosia 2:181-188
Kumar, P.R.B., K.R.N. Reddy, and K.S. Rao, 2009. Sheath blight disease of
Oryza sativa and its management by biocontrol and chemical control invitro. EJEAFChe 8:639-646
Nuryanto, B. 2003. Pengelolaan komponen epidemik untuk menekan hawar
pelepah daun padi (Rhizoctonia solani). Institut Pertanian Bogor. Tesis
Nuryanto, B. 2011. Varietas, kompos dan cara pengairan sebagai komponen
pengendali penyakit hawar upih. Universitas Gadjah Mada. Disertasi.
Nuryanto, B. 2014. Pengaruh tinggi tempat dan tipe tanaman padi terhadap
keparahan penyakit hawar pelepah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan 33:1-8
Pinson, S.R.M., F.M. Capdevielle, J.H. Oard. 2005. Confirming QTLs and finding
additional loci conditioning sheath blight resistance in rice using
recombinant inbred lines. Crop Sci. 45:503-510
Prasad, B. & G.C. Eizenga. 2008. Rice sheath blight disease resistance identified
in Oryza spp. Accessions. Plant Dis. 92:1503-1509
Radjgukguk, B. 2004. Developing sustainable agriculture of tropical peatland.
wise use of peatland. In: Juhani Paivaven. (eds.) Procedings of the 12th
International Peath Congress. Tempere, Finland. 6-11 June 2004
Setiabudi, D. &
S. Kartaatmadja. 2002. Efisiensi penggunaan air dan
hubungannya dengan produktivitas padi sawah di wilayah layanan irigasi
waduk pondok. Ngawi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
21:11-17
Snyder, C.S. & N.A. Slaton. 2002. Rice Production in the United States – An
overview. Better Crops International. 16:30-35
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, S.E. Baehaki, N. Widiarta, A. Setyono,
S.D. Indrasari, O.S. Lesmana, H. Sembiring. 2007. Deskripsi varietas padi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi.
Syamsuddin. 2008. Pertumbuhan dan hasil padi pada dua jenis tanah dan
berbagaui lebar bedengan sistem genangan dalam parit. Program Pasca
Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah: Dasar kesehatan dan kualitas tanah. Gava
Media. Yogyakarta.
146
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Analisis Populasi Nematoda Parasit Pada Lahan Tanaman Tomat
Dengan Sistem Tanam Monokultur Dan Polikultur
Ankardiansyah Pandu Pradana, Diana Putri, Abdul Munif
Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
Abstrak
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra produksi tomat di Jawa
Barat. Pada tahun 2011-2012 luas lahan tomat di Jawa Barat meningkat 6,31%,
namun produksi menurun 17,14%. Survei ini bertujuan untuk mengetahui
keragaman dan kelimpahan nematoda pada tanaman tomat serta pengaruhnya
terhadap pertumbuhan tanaman tomat. Contoh tanah diambil dari dua petak
lahan yang diperlakukan dengan sistem tanam monokultur dan polikultur.
Survei dilaksanakan di Desa Pasir Kampung Kabupaten Cianjur - Jawa Barat,
dan analisis di Laboratorium Nematologi Departemen Proteksi Tanaman IPB.
Setiap petak tanah diambil 10 contoh tanah. Variabel yang diamati pada survei
adalah: genus nematoda, kerapatan dan penyebaran nematoda, frekuensi
penyebaran nematoda, nilai dominansi nematoda serta pengaruh kerapatan
nematoda parasit tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tinggi tanaman
tomat. Hasil survei menunjukkan bahwa pada setiap contoh tanah mengandung
nematoda parasit. Terdapat tujuh genus nematoda parasit pada kedua lahan,
yaitu Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., Rotylenchus sp., Ditylenchus sp.,
Helicotylenchus sp., Hoplolaimus sp., dan Xiphinema sp. Nematoda dari genus
Meloidogyne spp. memiliki kerapatan tertinggi dibandingkan dengan nematoda
lain. Pada lahan monokultur penyebaran Meloidogyne spp., Pratylenchus sp.,
Rotylenchus sp., Ditylenchus sp. mencapai 100%, sedangkan pada lahan
polikultur nematoda yang memiliki penyebaran hingga 100% adalah
Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., Rotylenchus sp.
Kerapatan tujuh
nematoda tersebut memiliki pengaruh terhadap tingkat kerusakan akar dan
tinggi tanaman tomat. Semakin melimpah jumlah nematoda parasit tanaman,
tingkat kerusakan akar semakin tinggi. Semakin rendah jumlah nematoda
parasit tanaman, tanaman tomat berkembang lebih tinggi.
Kata kunci: monokultur, nematoda parasit tanaman, polikultur, tomat
147
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pendahuluan
Tomat (Lycopersicum escelentum Mill.) merupakan salah satu tanaman
hortilkultura yang banyak ditanam oleh masyarakat Indonesia (Semangun
2000).
Sebagai bahan makanan, tomat mengandung gizi yang tinggi.
Disamping dikonsumsi sebagai sayur dan buah segar, tomat banyak dijual
untuk bahan baku industri.
Anonim (2013a) melaporkan bahwa produksi tomat di jawa barat tahun
2007-2012 mengalami fluktuasi hasil. Pada tahun 2011-2012 produksi tomat di
jawa barat mengalami penurunan hasil 17,14%, sedangkan luas lahan yang
ditanami tomat meningkat 6,31%.
Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya hasil produksi tomat
adalah penyakit tanaman karena nematoda (Calvin dan Cook 2005).
Kehilangan hasil akibat serangan nematoda di seluruh dunia dapat mencapai
US$ 80 milyar per tahun (Price 2000). Sementara itu kerugian ekonomi akibat
serangan nematoda di Indonesia belum dapat diperkirakan dengan pasti
mengingat belum adanya penelitian yang komprehensif dalam bidang ini
(Mustika 2005).
Serangan nematoda mengakibatkan berkurangnya fungsi akar secara
normal, mengakibatkan pengangkutan unsur hara ke bagian jaringan tanaman
di atas permukaan tanah makin berkurang (Dropkin 1991). Menurut Mulyadi
(2009) apabila tanaman terserang oleh nematoda, sistem perakaran yang
normal akan berkurang dan menyebabkan jaringan berkas pengangkut
mengalami gangguan, akibatnya tanaman mudah layu khususnya dalam
keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil, pertumbuhan terhambat
dan mengalami klorosis.
Di lapangan, penyakit karena nematoda diperparah dengan infeksi
sekunder dari patogen lain. Keparahan layu karena R. solanacearum dan F.
oxysporum semakin meningkat dengan keberadaan nematoda puru akar
Meloidogyne incoqnita (Khan dan Akram 2000; Carneiro et al. 2010).
Salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi resiko
kerusakan dan kerugian akibat nematoda adalah dengan pengendalian yang
tepat. Agar pengendalian tepat sasaran dan teknik maka diperlukan informasi
mengenai kepadatan dan keragaman nematoda pada suatu lahan (Panggeso
2010).
Survei ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui : 1) Kepadatan
populasi dan keragaman genus nematoda parasit tanaman di daerah perakaran
tanaman tomat pada sistem tanam monokultur dan polikultur, 2) Pengaruh
nematoda parasit tanaman terhadap pertumbuhan dan tingkat kerusakan akar
tanaman tomat.
148
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Bahan dan metode
Survei dilaksanakan pada tanggal 6 Desember 2013 di lahan pertanian
Desa Pasir Kampung, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Lokasi survei berada di
ketinggian 1398 meter diatas permukaan laut.
A. Rancangan Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara acak menggunakan model
bintang. Pada setiap titik diambil satu sampel, dan pada bagian tengah titik
diambil dua sampel. Titik sampel berada di dalam tanaman border.
Sampel yang diambil adalah tanah disekitar tanaman tomat dengan
kedalaman 13 cm. Tanah yang telah diambil kemudian dimasukkan kedalam
plastik yang telah diberi kode TMx dan TPx. TM adalah kode untuk sampel yang
diambil dari lahan tanaman tomat yang menggunakan sistem tanam
monokultur, dan TP adalah kode untuk sampel yang diambil dari lahan tanaman
tomat yang menggunakan sistem tanam polikultur, sedangkan x adalah kode
untuk nomor sampel.
B. Ekstraksi Nematoda
Ekstraksi nematoda dilakukan menggunakan metode FlotasiSentrifugasi. Tanah sampel diambil 100 ml menggunakan gelas ukur, kemudian
tanah dimasukkan kedalam wadah berisi 800 ml air bersih dan didiamkan
selama 20 detik. Cairan dituangkan melalui saringan bertingkat (20, 50, dan
500 mesh). Hasil penyaringan pada 500 mesh dimasukkan kedalam centrifuge
tube, kemudian suspensi di sentrifugasi selama 5 menit. Setelah di sentrifugasi
cairan dibuang dengan hati-hati hingga menyisakan endapan, kemudian
endapan dicampur dengan gula 40% dan diaduk. Suspensi di sentrifugasi
selama 1 menit, kemudian larutan gula berisi nematoda disaring dan dicuci
dengan saringan 500 mesh. Hasil saringan dimasukkan dalam botol koleksi
untuk dilakukan pengamatan.
C. Penghitungan Kepadatan Nematoda
Kepadatan populasi nematoda diamati dibawah mikroskop stereo.
Seluruh suspensi hasil ekstraksi dituangkan kedalam cawan petri yang telah
diberi garis pembatas, kemudian suspensi diamati dibawah mikroskop stereo
dengan perbesaran 40x dengan bantuan counter. Kepadatan yang dihitung
adalah kepadatan absolut (kepadatan total), kepadatan nematoda parasit
tanaman, dan kepadatan nematoda non parasit tanaman. Peubah yang diamati
didasarkan kepada penelitian Norton (1978) yaitu:
1. KPA = 2. KPR =
3. FA = x 100%
149
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
4. FR =
5. D =
x 100%
√
x 100%
Keterangan:
KPA : Kerapatan populasi absolut
KPR : Kerapatan populasi relatif
FA
: Frekuensi absolut
FR
: Frekuensi relatif
F
: Frekuensi seluruh spesies
nematoda
D
: Nilai dominansi
N
: Σ seluruh spesies nematoda
N
: Σ suatu spesies nematoda
S
: Σ seluruh sampel
s
: Σ sampel yang mengandung
nematoda
D. Pengamatan Morfologi Nematoda
Nematoda yang berhasil di ekstrak kemudian dikait menggunakan
pengkait nematoda dibawah mikroskop stereo dengan perbesaran 40x.
Nematoda yang berhasil dikait diletakkan di atas kaca preparat yang telah
ditetesi air, kemudian ditutup menggunakan cover glass. Nematoda diamati
dibawah mikroskop compound dengan perbesaran 100 x 10. Morfologi yang
diamati adalah: bibir, stilet, posisi esofagus terhadap usus, vulva, ekor dan
anulasi.
E. Pengukuran Komponen Pertumbuhan dan Kerusakan Akar Tanaman
Tomat
Komponen pertumbuhan tanaman tomat yang diukur adalah tinggi
tanaman dan tingkat kerusakan akar. Tinggi tanaman tomat diukur dari ujung
tanaman yang berada tepat diatas permukaan tanah sampai ujung tanaman
yang paling atas. Pengukuran kerusakan akar dilakukan pada akhir survei
dengan cara mencabut akar dari media tanam. Setelah dipisahkan dari media
tanam, akar dibersihkan, kemudian diukur intensitas kerusakannya menurut
skala Zeck (1971) (Gambar 1).
150
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 1. Skala Kerusakan Zeck ( Zeck, 1971)
Hasil
A. Kerapatan Populasi Nematoda di Lahan Monokultur dan Polikultur
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah populasi
nematoda parasit dan non parasit di lahan monokultur. Pada lahan monokultur
rata-rata jumlah nematoda non parasit lebih tinggi 28,6% dibandingkan
nematoda parasit pada lahan yang sama. Pada lahan dengan sistem tanam
polikultur perbandingannya lebih kecil dibandingkan lahan monokultur, yaitu
nematoda non parasit lebih banyak 23% dibandingkan nematoda parasit.
Pada lahan dengan sistem tanam monokultur, kepadatan absolut
nematoda lebih lebih tinggi 3,93% dibandingkan dengan kepadatan absolut
nematoda pada lahan dengan sistem tanam polikultur. Meskipun demikian,
keberadaan nematoda parasit antara lahan dengan sistem tanam monokultur
dan polikultur menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, yaitu pada lahan
dengan sistem tanam monokultur jumlah nematoda parasit lebih banyak 10,1%
dibandingkan dengan sistem polikultur (Tabel 1).
Tabel 1. Kerapatan populasi nematoda di dua lahan
Lahan Monokultur
Lahan Polikultur
Variabel
Nematoda
Nematoda
Nematoda
Nematoda
Pengamatan
Parasit
Non Parasit
Parasit
Non Parasit
KPA
77,20
105,90
69,40
104,40
KPR (%)
42,16
57,84
39,93
60,07
FA (%)
100,00
100,00
100,00
100,00
FR (%)
50,00
50,00
50,00
50,00
151
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
B. Keragaman Genus Nematoda Parasit Tanaman di Lahan Monokultur
dan Polikultur
Berdasarkan pengamatan morfologi terhadap sampel, diketahui terdapat
7 genus nematoda parasit yang terdapat pada lahan monokultur dan polikultur.
Nematoda parasit yang berhasil di identifikasi adalah nematoda dari genus
Meloidogyne spp., Xiphinema sp., Pratylenchus sp., Hoplolaimus sp.,
Rotylenchulus sp., Helicotylenchus sp., dan Ditylenchus sp.
Setiap sampel bernomor ganjil diambil dan diencerkan hingga 80 ml,
kemudian diambil 10 ml suspensi nematoda dan diamati. Berdasar pengamatan
tersebut, nematoda yang paling banyak ditemui secara berurutan adalah:
Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., Rotylenchulus sp., Ditylenchus sp.,
Helicotylenchus sp., Hoplolaimus sp., dan Xiphinema sp (Tabel 2).
Tabel 2. Kerapatan populasi nematoda parasit tanaman di dua lahan pada
10 ml suspensi
KPA
KPR
FA (%)
FR (%)
D (%)
Nematoda
LM LP
LM
LP
LM LP
LM
LP
LM
LP
Meloidogyne
6,2 6,6 0,3483 0,3882 100 100 16,129 17,241 62,00 66,00
spp.
Pratylenchus
3,8 3,2 0,2135 0,1882 100 100 16,129 17,241 38,00 32,00
sp.
Rotylenchus
3,0 2,6 0,1685 0,1529 100 100 16,129 17,241 30,00 26,00
sp.
Ditylenchus sp. 1,6 1,8 0,0899 0,1059 100 80 16,129 13,793 16,00 16,10
Helicotylenchus
1,4 1,2 0,0787 0,0706 80 80 12,903 13,793 12,52 10,73
sp.
Hoplolaimus
1,2 1,0 0,0674 0,0588 80 60 12,903 10,345 10,73 7,75
sp.
Xiphinema sp.
0,6 0,6 0,0337 0,0353 60 60 9,677 10,345 4,65 4,65
Keterangan : KPA = Kerapatan Populasi Absolut, KPR = Kerapatan Populasii
Relatif, FA = Frekuensi Absolut, FR = Frekuensi Relatif, D = Nilaii
Dominansi, LM = Lahan Monokultur, LP = Lahan Polikultur
C. Pengaruh Kerapatan Populasi Nematoda Parasit Terhadap Kerusakan
Akar dan Pertumbuhan Tanaman Tomat
Berdasar hasil pengamatan diatas diketahui bahwa kerapatan populasi
nematoda parasit tanaman pada tanah di sekitar tanaman tomat berpengaruh
terhadap tingkat kerusakan akar tanaman. Semakin tinggi kerapatan populasi
nematoda parasit, semakin tinggi tingkat kerusakan akar tanaman. Namun
demikian terdapat beberapa sampel yang memiliki kerapatan tinggi namun
tingkat kerusakan akarnya lebih rendah daripada sampel yang memiliki
kerapatan nematoda parasit lebih rendah. Hal demikian diduga karena
152
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
keragaman mikroorganisme tanah seperti bakteri atau cendawan antagonis
pada tanah sampel tersebut tinggi.
Pada lahan monokultur tingkat kerusakan akar tertinggi yang ditemui
berada pada skala 6, sedangkan pada lahan polikultur kerusakan tertinggi
berada pada skala 4. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem tanam monokultur
dapat mengurangi resiko kerusakan akar akibat serangan nematoda parasit
tanaman. Secara keseluruhan tingkat kerusakan akar pada sistem tanam
polikultur lebih rendah 39,4% dibandingkan tingkat kerusakan akar pada sistem
tanam monokultur. Rata-rata tingkat kerusakan akar pada lahan monokultur
berada pada skala 3,3, sedangkan rata-rata kerusakan akar pada lahan
polikultur berada pada skala 2 (Tabel 3).
Tabel 3. Tingkat Kerusakan Akar Berdasar Skala Zeck (1970)
Lahan Monokultur
Lahan Polikultur
No
Sampel
KPA
TKA
TT (Cm)
KPA
TKA
TT (Cm)
1
21
1
157
106
2
182
2
233
5
58
39
1
177
3
19
4
147
73
2
165
4
128
3
95
53
3
196
5
151
6
110
30
1
188
6
21
3
174
52
2
185
7
94
3
108
64
2
167
8
78
4
162
91
2
135
9
23
3
180
143
4
120
10
4
1
176
43
1
155
Keterangan: KPA = Kerapatan Populasi Absolut Nematoda Parasit, TKA =
Tingkat Kerusakan Akar Berdasar Skala Zeck (1970), TT = Tinggi
Tanaman
Pembahasan
Sistem tanam monokultur memungkinkan bagi nematoda untuk
berkembang lebih baik pada suatu lahan. Hal tersebut dikarenakan inang dari
suatu nematoda tersedia dalam jumlah melimpah pada suatu musim. Hal ini
sejalan dengan laporan Lisnawita (2003) yang melaporkan bahwa berbagai
teknik budidaya pertanian yang kurang tepat seperti pemilihan waktu, jenis
tanaman, pemilihan bahan kimia, pemupukan, pengairan, dan sistem tanam
yang tidak tepat dapat mempengaruhi keseimbangan mikroba tanah dan
akhirnya mengakibatkan kerugian ekonomi.
Hasil survei diatas menunjukkan bahwa Meloidogyne spp. memiliki
kerapatan populasi tertinggi, daerah sebar luas dan nilai dominansi tertinggi.
Meloidogyne spp. menjadi nematoda paling dominan diduga karena genus ini
memiliki daya adaptasi tinggi. Tingginya daya adaptasi Meloidogyne spp.
153
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
dikarenakan nematoda ini memiliki keragaman morfologi yang tinggi, dan
memiliki inang yang banyak (Dropkin 1991). Nematoda dengan kerapatan,
daerah sebar, dan dominansi terendah adalah Xiphinema sp. Diduga
rendahnya kerapatan, daerah sebar, dan dominansi Xiphinema sp. karena
genus ini memiliki waktu reproduksi yang panjang. Xiphinema sp memiliki daur
hidup sampai dengan dua tahun untuk setiap generasi (Anonim, 2013b).
Di kedua jenis lahan dominansi nematoda parasit tidak berbeda jauh. Hal
ini diduga karena kedua lahan berada pada kondisi lingkungan yang sama,
memiliki jarak yang dekat, diolah dengan alat pertanian yang sama, dan sumber
air irigasi untuk kedua lahan berasal dari sumber yang sama. Hal ini sesuai
dengan pendapat Muin (2008) yang menyatakan bahwa perpindahan nematoda
dapat dipengaruhi oleh pembawa pasif, seperti air, alat pertanian dan angin.
Beberapa peniliti lain juga mengemukakan pendapat yang sama, yaitu Norton
(1978) dan Mulyadi (2009).
Kerusakan akar tanaman akibat serangan nematoda memiliki pengaruh
langsung pada pertumbuhan tanaman. Tanaman yang terserang nematoda
pertumbuhannya menjadi tidak normal karena akar tidak mampu menjalankan
fungsinya dengan baik apabila akar rusak. Salah satu gejala akibat serangan
nematoda adalah pertumbuhan tanaman terhambat (kerdil, layu, bahkan
sampai mati) dan penurunan hasil budidaya (Dropkin 1991, Semangun 1996,
Mulyadi 2009, Soesanto dan Rahayuniati 2013).
Daftar pustaka
Anonim. 2013a. Hortikultura. <http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel =1&kat
=3&id_subyek=55>. Diakses 20 Febuari 2014.
Anonim. 2013b. Xiphinema. <http://www.cals.ncsu.edu/pgg /dan_webpage/
Nematodes/Ectos/Xiphinema.htm>. Diakses 20 Febuari 2014.
Calvin dan Cook. 2005. North American greenhouse tomatoes emerge as a
major market force. Amber Waves 3: 20–27.
Carniero FF, Ramalho MAP, Pereira MJZ. 2010. Fusarium oxysporum f. sp.
phaseoli and Meloidogyne incognita interaction in common bean. Crop
Breeding and Applied Biotechnology 10: 271-274.
Dropkin VH. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Khan MR, Akram M. 2000. Effects of certain antagonistic fungi and
rhizobacteria on wilt disease complex of tomato caused by Meloidogyne
incognita and Fusarium oxysporum f.sp.lycopersici. Nematol medit. 28:
139-144
Lisnawita. 2003. Pengelolaan tanah sehat dan pengaruhnya terhadap
nematoda
parasit
tumbuhan
<http://repository.usu.ac.id/bitstream
/123456789/1129/1/hpt-lisnawita2.pdf>. Diakses 20 Febuari 2014.
154
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Muin A. 2008. Nematologi Tumbuhan; Biologi, Ekologi, dan Pengendalian.
Bogor: IPB Press.
Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Mustika I. 2005. Konsepsi dan strategi pengendalian nematoda parasit tananam
perkebunan di Indonesia. Perspektif 4: 20 – 23.
Norton CD. 1978. Ecology of Plant Parasitic Nematodes. New York: John Wiley
and Sons.
Panggeso J. 2010. Analisis kerapatan populasi nematoda parasitik pada
tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) asal Kabupaten Sigi
Biromaru. J. Agroland 17 : 198-04.
Price TV. 2000. Plant parasitic nematodes. Integrated pest management for
smallholder estate crops project. Plant Quarantine Component 4: 173-180.
Semangun, H. 1996. Pengantar Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soesanto L, Ruth FR. 2013. Penyakit Karena Bakteri, Virus, Nematoda dan
Kahat hara – Kompedium Penyakit-Penyakit Kacang Tanah. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Zeck WM. 1971. A rating scheme for field evaluation of root-knot nematode
infestations. Bayer PflSchutz. Nachr. 1:141-144
155
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENINGKATAN DAYA ANTAGONIS DENGAN PENAMBAHAN GULMA
SEBAGAI MEDIA APLIKATIF
Ismed Setya Budi
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
Jl. A. Yani Po Box 1028, Banjarbaru 70714
Telpon: +6281933753340 email: [email protected]
Abstrak
Pengendalian hayati menggunakan mikroba antagonis memerlukan media
aplikatif agar terjadi peningkatan efektivitas, efisiensi dan kemudahan aplikasi
ditingkat petani. Penelitian ini dilaksanakan di lahan pasang surut Desa
Mandastana Kabupaten Barito Kuala, dengan tujuan penelitian untuk melihat
pengaruh penambahan bahan organik gulma untuk pengendalian penyakit layu
fusarium. Hasil eksplorasi dari empat tife lahan pasang surut didapatkan 4 isolat
unggul terpilih adalah Trichoderma viride PS-2.1, Pseudomonas fluorescens PS4,8 , FNP PS-1,5 dan Bacillus sp PS-3.14. Daya antagonis tertinggi pada aplikasi
kombinasi dua antagonis (T. viride PS-2.1 + P. fluorescent PS-4.8), dan (T. viride
PS-2.1+ FNP PS-1.5), lebih baik dibanding aplikasi antagonis tunggal.
Penggunaan media aplikatif hydrilla, enceng gondok, kayapu dan kiambang
mampu meningkatkan daya hambat terhadap intensitas penyakit layu dan juga
dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan, berat basah dan
berat kering tanaman serta terjadi peningkatan pH dan N.
Kata kunci: antagonis, bahan organik, layu fusarium, padi
Pendahuluan
Lahan pasang surut tidak lagi didominasi penanaman varietas padi lokal
tapi padi unggul juga semakin meningkat. Akibat penanaman terus menerus
sepanjang musim maka gangguan patogen tular tanah seperti Rhizoctonia sp. dan
Fusarium sp terus bertambah hebat (Budi dan Mariana, 2009).
Budidaya tanaman sehat dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati
spesifik lokasi perlu digali untuk menjawab tantangan gangguan penyakit tanaman
di lahan padang surut. Menurut Harman (2006), antagonis Trichoderma spp.. telah
terbukti dapat mengendalikan berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur,
bakteri dan virus. Menurut Budi dan Mariana (2013), hasil eksplorasi antagonis dari
empat tipe lahan pasang surut ditemukan Fusarium non pathogen dan beberapa
Trichoderma sp yang berbeda kemampuan daya hambatnya terhadap patogen
Rhizoctonia solani.
156
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Selain berfungsi sebagai agens pengendali hayati, Trichoderma spp. juga
telah terbukti dapat memacu peningkatan pertumbuhan tanaman (Budi dan
Mariana, 2013). Penambahan Trichoderma hamatum 382 pada kompos dapat
memacu ketahanan tanaman terhadap Botritys blight pada tanaman Begonia
(Horst et al., 2005). Jamur Trichoderma spp.. selain sebagai agen hayati dalam
menekan penyakit tanaman juga dapat sebagai stimulator pertumbuhan tanaman
karena kemampuannya menguraikan bahan organik untuk nutrisi tanaman
(Daniele et al., 2011),
Gulma air seperti enceng gondok, kayapu dan kiambang melimpah berada
di sekitar pertanaman padi, sesungguhnya berpotensi untuk digunakan sebagai
bahan organik sumber nutrisi bagi tanaman dan pertumbuhan agens hayati. Oleh
sebab itu penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas antagonis Trichoderma spp.
setelah dilakukan perbanyakan pada gulma enceng gondok, kiambang dan
Kayuapu sebagai media aplikatif pengendalian hayati di lahan pasang surut.
Metode penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Karang Indah, Kelurahan Mandastana,
Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian tahap I (fase
taradak) pada bulan Desember 2013 dan tahap II (fase lacak dan tanam) pada
bulan Januari – Maret 2014.
Isolat Trichoderma spp. asal lahan pasang surut dari koleksi Laboratorium
Hayati Fakultas Pertanian Unlam, dilakukan perbanyakan pada media PDA.
Varietas padi IR-42 dari petani dan gulma air dari lahan pasang surut (eceng
gondok, kayapu dan kiambang). Gulma dihaluskan/dicacah hingga berukuran 0,51 cm dan dikering anginkan sebelum diinokulasi Trichoderma spp.
Penelitian tahap pertama menggunakan metode percobaan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan yaitu Trichoderma spp.+ enceng gondok
(T+EG), perlakuan Trichoderma sp. + Kayapu (T+KA), perlakuan Trichoderma sp.
+ kiambang (T+KY). Aplikasi dilakukan 7 hari sebelum semai sebanyak 250 gram.
Pengukuran intensitas penyakit dilakukan sebanyak 2 kali disertai pengukuran
tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan. Sedangkan penelitian tahap
lanjutan menguji perlakuan berat media aplikatif kiambang, yaitu: Trichoderma
spp. + kiambang 200 gram (K1), Trichoderma spp.. + 300 gram (K2), Trichoderma
spp. + 400 gram (K3), dan Trichoderma spp. + 500 gram (K4). Sebagai kontrol
positif hanya diaplikasi Trichoderma spp. (KT) sedangkan kontrol negatif hanya
diaplikasi patogen Fusarium (KP). Selanjutnya data di uji kehomogenan dengan
ragam Bartlett, sedangkan perbedaan di antara perlakuan diuji menurut uji jarak
berganda Duncan (DMRT) taraf 5%.
157
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil dan pembahasan
Hasil pengamatan pengaruh penambahan media aplikatif gondok, kayapu
dan kiambang terhadap kemampuan Trichoderma spp. menghambat
perkembangan penyakit layu fusarium pada padi di lahan pasang surut cukup
besar. Terjadi peningkatan kemampuan daya antagonis dalam menghambat
perkembangan penyakit layu Fusarium. Terbukti pula dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman dengan terjadinya peningkatan tinggi tanaman dan jumlah
anakan yang terbentuk. Pada media aplikatif
enceng gondok
hanya
mengakibatkan intensitas penyakit 22,82%, pada kayapu sebesar 22,50%, pada
kiambang 12,56%, sedangkan pada kontrol (tanpa antagonis) intensitas penyakit
mencapai 42,70%. Dibanding tanpa penambahan media aplikatif (aplikasi hanya
suspensi Trichoderma spp.) maka penambahan tinggi tanaman terjadi cukup
singnifikan pada perlakuan media aplikatif kiambang dengan terjadi peningkatan
penambahan tinggi tanaman sebesar 10,73 cm. Demikian pula pada hasil
pengamatan terhadap jumlah anakan, tertinggi pada perlakuan aplikasi pada
media aplikatif kiambang yakni sebesar 1,08 batang, sedangkan pada pada
perlakuan media aplikatif gulma lainnya tidak berbeda nyata dibanding kontrol
(Gambar 1).
Penambahan bahan organik sebagai bahan pembawa Trichoderma sp.,
pernah dilaporkan di samping berperan sebagai sumber hara tanaman, sekaligus
sebagai sumber energi bagi mikroba (Tian et al.1997). Menurut Joshi et al, (2010)
bahwa aplikasi Trichoderma sp. pada bahan organik dapat bertindak sebagai
dekomposer. Aplikasi bahan organik selain menyediakan nutrisi bagi tanaman juga
digunakan oleh mikroba yang ada di rhizosfer untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Cook dan Baker (1983) melaporkan bahwa Trichoderma sp.
dapat menguraikan bahan organik dalam tanah menjadi nutrisi yang mudah
diserap oleh tanaman, dan dapat sebagai sumber nutrisi mikroorganisme
antagonis sehingga mampu meningkatkan aktivitas sebagai antagonis dengan
menstimulasi dormansi propagul patogen serta menghasilkan efek fungistasis bagi
patogen tular tanah. Hal ini sejalan dengan Chen dan Nelson, (2012) bahwa
biakan Trichoderma sp. dalam bahan organik yang diberikan ke areal pertanaman,
dapat berlaku sebagai biodekomposer, sehingga dapat mendekomposisi limbah
organik menjadi kompos. Kompos yang terbentuk berfungsi dalam perbaikan
struktur tanah, tekstur tanah, aerasi dan peningkatan daya resap tanah terhadap
air. Kompos juga merupakan media yang efektif dalam mengurangi tingkat
keparahan suatu
penyakit tanaman. Tumbuhan yang mendapatkan hara
seimbang dan semua kebutuhan hara tersedia dengan jumlah yang cukup, akan
lebih mampu melindungi tanaman dari infeksi dibandingkan dengan bila salah satu
hara atau lebih dalam keadaan kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian,
158
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
kompos berupa bahan organik dari gulma yang sudah terdekomposisi oleh
Trichoderma spp.. secara langsung menjadi media yang efektif dalam mengurangi
tingkat keparahan suatu penyakit tanaman.
Menurut Driesche dan Bellows (1996), untuk meningkatkan efektifitas
Trichoderma sp. rhizosfer sebaiknya mengandung sumber karbon dan nitrogen
yang mudah dimetabolisme untuk menghasilkan asam amino, gula sederhana dan
eksudat akar yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba.
Menurut Chen dan Nelson, (2012) sebelum masuk ke dalam tanaman, mikroba
patogen, maupun mikroba antagonis yang ada di sekitar spermosfer saling
berkompetisi dalam menggunakan sumber karbon dari bahan organik.
Gambar 1. Intensitas penyakit layu Fusarium, tinggi tanaman dan jumlah anakan
setelah uji aplikasi Trichoderma spp. menggunakan media aplikatif
Hasil pengujian perlakuan dosis kiambang terbukti dengan bertambahnya
dosis kiambang akan meningkatkan kemampuan untuk menghambat
perkembangan penyakit baik pada fase lacak maupun fase tanam di lapang.
Penambahan dosis kiambang juga akan meningkatkan tinggi tanaman, berat
basah dan berat kering tanaman. Pada fase lacak, intensitas penyakit terendah
2,00% pada dosis kiambang K4 (500 gr) namun tidak berbeda nyata dibanding
perlakuan K3 (400 gr) dengan intensitas penyakit 2,50%. Pada fase tanam,
perlakuan K1 (200 gr kiambang) mampu menghambat perkembangan penyakit
layu disbanding control, namun penambahan dosis kiambang setelah 300 gr (K2)
tidak berbeda nyata dibanding K 3 dan K4. Pengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman tanpak jelas pada K2 (300gr kiambang) menghasilkan tinggi tanaman,
berat basah dan berat kering yang meningkat. Penambahan dosis hingga 500 gr
(K4) memperlihatkan tinggi tanaman tertinggi 58,83, berat basah tertinggi 27,52 gr
dan berat kering 5,99 gr (Gabar 2). Dengan demikian dapat dianjurkan pada fase
lacak dan tanamm untuk melakukan pemberian 300 gr kiambang sebagai media
159
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
aplikatif Trichoderma spp.. di lahan padang surut, dengan hasil pengurangan
intensitas penyakit sebesar 6,20%, penambahan tinggi tanaman 22,50 cm,
penambahan berat basah 13,44 gr dan berat kering 3,54 gr.
Gambar 2. Rata-rata intensitas serangan penyakit layu padi, tinggi tanaman, berat
basah dan berat kering tanaman setelah aplikasi perlakuan dosis media
aplikatif kiambang
Rendahnya intensitas penyakit layu pada tanaman setelah aplikasi
Trichoderma spp.. pada media aplikatif akibat penambahan bahan organik berupa
gulma air yang sudah terdekomposisi oleh Trichoderma spp. akan menyediakan
nutrisi dari luar untuk membantu perkecambahan antagonis sampai stabilnya
pertumbuhan antagonis. Peningkatan jumlah bahan yang sudah terdekomposisi
dengan kandungan C/N ratio yang tinggi akan memacu produksi antibiotik oleh
Trichoderma spp. (Benhamou dan Chet dalam Pal dan Gardener, 2006). Menurut
Woo et al (2006), Trichoderma spp. menghasilkan enzim pendegradasi dinding sel
patogen dalam proses mikoparasit, serta menghasilkan antibiotik seperti gliovirin,
gliotoxin, viridin, pyrones, peptaibols (Vey et al., 2001). Menurut Xiao-Yan et al.
160
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
(2006), Trichoderma koningii SMF2 menghasilkan antibiotik Trichokonin yang
dapat mengendalikan beberapa jenis bakteri dan jamur. Ditambahkan Howard et
al. (2000), antagonis menghasilkan fitoaleksin terpenoid yang dapat menginduksi
ketahanan tanaman secara sistemik. Gliotoksin (epidithiodiketopiperazine) dan
viridin merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh Trichoderma virens. Pada
substrat bahan organik tepung tapioca, dihasilkan gliotoksin tertinggi yaitu sebesar
64 mg/l, dan pada ampas tebu dihasilkan 36 mg/l. Sedangkan pada sekam,
kacang hijau, dan bekatul, produksinya lebih rendah (Anitha dan Murugesan,
2005).
Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa pengomposan enceng gondok,
kayapu dan kiambang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara. Menurut
Suryatna (1976) dalam Norhasanah (2005), dalam 100 gram berat basah eceng
gondok terkandung 0,04% Nitrogen, 0,05% P2O5, 0,20% K2O, 3,5% bahan organik,
dan 95,3% air.
Kiambang mengandung nutrisi yang cukup baik dengan
kandungan bahan organik berbentuk nitrogen 4,5%, fosfor 0,5 – 0,9 % dan Kalium
2,0 – 4,5 %. Sedangkan pada kayapu memiliki kandungan C dan N total cukup
tinggi (40,5% dan 1,8%)
Trichoderma viride mampu menghancurkan selulosa tingkat tinggi dan
memiliki kemampuan mensintesis beberapa faktor esensial untuk melarutkan
bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. Selain itu Trichoderma
viride merupakan cendawan yang potensial memproduksi selulase dalam jumlah
yang relatif banyak untuk mendegradasi selulosa (Joshi et al., 2010). Selulosa
pada bahan organik gulma air tidak bisa di serap langsung oleh tanaman, Namun
setelah diuraikan oleh enzim kompleks selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma
sp. menjadi glukosa sederhana yang dapat diserap oleh tanaman dan Trichoderma
spp. . Enzim ini berfungsi sebagai agen pengurai yang spesifik untuk
menghidrolisis ikatan kimia dari selulosa dan turunannya. Trichoderma viride dan
Trichoderma reesei merupakan kelompok cendawan tanah sebagai penghasil
selulase yang paling efisien. Enzim selulase yang dihasilkan Trichoderma viride
dapat memecah selulosa menjadi glukosa (Harman et al., 1998). Lebih jauh
Mishra et al., (2011) mengemukakan bahwa Trichoderma menghasilkan selulase
lengkap dengan semua komponen-komponen yang dibutuhkan untuk hidrolisis
total selulosa kristal dan protein selulosa yang dihasilkan cukup tinggi. Miselium
Trichoderma dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk
enzim selulase (pendegradasi selulosa) dan kitinase (pendegradsi kitin. Selulase
yang dihasilkan oleh Trichoderma viride mengandung komponen terbesar berupa
selobiase dan β-1,4-glukan-selobiohidrolase (C1), sementara β-1,4-glukanselobiohidrolase (Cx) terdapat dalam jumlah kecil (Elad, 1986).
161
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 1. Pengaruh gulma kiambang terhadap intensitas penyakit layu Fusarium
dan pertumbuhan Tanaman
Tahap Penanaman
Berat Berat Populasi
Tanam
Basah
Kering Antagonis
Tinggi
Intensitas Tinggi
Intensitas
(g)
(g)
(107/ml)
Tanaman
Serangan Tanaman Serangan
(cm)
(%)
(cm)
(%)
Semai
Perlakuan
Kontrol
Rhizoctonia
solani (K-)
Kontrol
Trichoderma
viride (K+)
22,00 c
17,17 a
7,50 b
36,33 a
14,08
a
2,45 a
7,56 a
16,50 bc
20,11 b
3,75 ab
40,49 b
16,02
a
3,19
ab
38,33 b
Trichoderma
viride + 200
g Kiambang
(T200)
12,00 b
19,.35 b
2,50 a
41,75 c
19,14
b
3,29
ab
47,44 bc
Trichoderma
viride + 300
g Kiambang
(T300)
6,00 a
20,59 b
1,75 a
44,13 d
20,40
b
3,52
ab
47,33 bc
Trichoderma
viride + 400
g Kiambang
(T400)
2,50 a
20,83 b
1,30 a
47,81 e
20,53
b
3,89
ab
52,34 bc
Trichoderma
viride + 500
g Kiambang
(T500)
2,00 a
21,06 b
1,30 a
52,83 f
24,52
c
4,79 b
68,33 c
Kesimpulan
Aplikasi Trichoderma spp.. dengan media aplikatif gulma dapat
meningkatkan daya hambat terhadap perkembangan penyakit layu fusarium,
meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan, berat basah dan berat kering
tanaman.
162
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Daftar pustaka
Anitha, R. Dr., and K. Murugesan . 2005. Production of gliotoxin on natural
substrates by Trichoderma virens. Journal of Basic Microbiology 45 (1) : 1219
Budi, I.S. and Mariana, 2013. Biocontrol for Rhizoctonia stem rot disease by using
combination of specific endophyte in paddy tidal swamp. Agrivita 35 : 304310
Budi, I.S. dan Mariana. 2009. Pengendalian hayati penyakit layu dan busuk
batang padi di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dengan
memanfaatkan mikroba antagonis. Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru.
Chen, M, H. dan Nelson, E, B. 2012. Microbiological-induced carbon competition in
the stermosphere leads to pathogen and disease suppression in a municipal
biosolids compost. Taiwan Agricultural Research Institute. Zhongzheng,
Taiwan.
Chen, M, H. dan Nelson, E, B. 2012. Microbiological-induced carbon competition in
the stermosphere leads to pathogen and disease suppression in a municipal
biosolids compost. Taiwan Agricultural Research Institute. Zhongzheng,
Taiwan.
Cook, R. J and K.F. Baker. 1974. Biological Control of Plant Pathogen. W. H.
Freeman & Company. San Fransisco.
Cook, R.J. and R. Baker. 1983. Isolation and Biocontrol Potential of Trichoderma
hamatum from Soil Naturally Supressive to Rhizoctonia solani. Phytopathol.
93: 119 - 121.
Daniele, P., P. Ilaria., M.L. Claudia., M. Lorenza., and S. Federica. 2011.
Trichoderma artoviride SC1 for Biocontrol of Fungal Disease in Plant. Patent
Publication. Unied Stated of America.
Elad, Y. 1986. Mechanisms of interactions between rhizosphere micro-organisms
and soil-borne plants pathogens, pp. 238-239. In Driesche Roy. G. V dan
Bellows, S. Thomas jr. Biological Control. Chapman & Hall Press. United
States of America.
Hayati, A., A. Syukur., B. Hendro dan B. Heru., 2012. Pengaruh pemberian bahan
organik in situ dan pemupukan Urea terhadap ketersediaan Nitrogen dan
pertumbuhan padi di lahan pasang surut. Agroscientiae 19 : 49-59.
Harman, G.E., 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma spp.
Phytopatology 96 : 190-194.
Hjeljoid, L.G., A. Stensvand, and A. Traonsmo. 2001. Antagonism of nutrient –
activated conidia of Trichoderma harzianum (artoviride) P1 againts Botrytis
cynerea. Phytopathology. 91: 1172-1180.
163
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Joshi, BB., R.P. Bhatt dan D. Bahukhandi. 2010. Antagonistic and Plant Growth
activity Trichoderma isolates of Western Himalayas. Journal of
Environmental Biology. India.
Norhasanah, 2005. Pengaruh Takaran Bokhasi Eceng Gondok terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L) Varietas Martapura
di Sawah Irigasi. Fakultas Pertanian, Univ. Lambung Mangkurat,
Banjarbaru. Kalimantan Selatan.
Pal, K. K. and B. McSpadden Gardener, 2006. Biological Control of Plant
Pathogens The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI-A-2006-1117-02.
Paustian, K., and J. Schnürer. 1987. Fungal growth response to carbon and
nitrogen limitation: A theoretical model. Soil Biol. Biochem. 19: 613-620.
Vey, A., R.E. Hoagland dan T.M. Butt. 2001. Toxic metabolites of fungal biocontrol
agents. Fungi as Biocontrol Agents: Progress,Problems and Potential (Butt
TM, Jackson C &Magan N, eds), pp. 311–346. CAB International, Bristol
Woo, SL., F. Scala., M. Ruocco., M. Lorito. 2006.The molecular biology of the
interactions between Trichoderma spp., phytopathogenic fungi, and plants.
Phytopathology 96:181–185
Xiao-Yan, S. S Qing-Tao, XieShu-Tao, Chen Xiu-Lan, Sun Cai-Yun and Zhang
Yu-Zhong. 2006. Broad-spectrum antimicrobial activityand high stability of
TrichokoninsfromTrichodermakoningii SMF2 against plant pathogens.
FEMS MicrobiolLett 260 : 119–125.
164
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENINGKATAN KUALITAS MIKROBA INDIGINOUS LAHAN BASAH SUB
OPTIMAL UNTUK PERTUMBUHAN KELAPA SAWIT DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT FASE PRE NURSERY
Jamzuri Hadie dan Ismed Setya Budi
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
Jl. A. Yani Po Box 1028, Banjarbaru 70714
Telpon: +6281933753340 email: [email protected]
Abstrak
Intervensi penanaman kelapa sawit bukan hanya di lahan kering tapi
sudah mendominasi lahan basah. Ketergantungan yang tinggi pada pestisida
mengakibatkan kontaminasi pestisida pada kelapa sawit dan lahan pertanian
terus meningkat. Alternatif pengendalian dengan peningkatan kualitas mikroba
indiginous sebagai biopestisida dan biofertilizer perlu segera dilakukan. Hasil
identifikasi ditemukan tiga patogen menyerang daun kelapa sawit adalah
Curvularia sp., Fusarium sp dan Diplodia sp. Hasil eksplorasi pada beberapa
lahan perkebunan besar kelapa sawit di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah, dan berdasarkan uji in-vitro ditemukan empat isolat jamur dengan daya
hambat tertinggi (Trichoderma sp LB-2.7, Trichoderma sp LB-1.4, Acremonium
sp LB-2.2 dan Gliocladium sp LB-1.8) dengan kemampuan daya hambat
berkisar antara 66,75 – 84,30%. Hasil uji in-vivo pada fase pre nursery terbukti
isolat mampu sebagai antagonis terhadap bercak daun Curvularia sp dan busuk
pangkal batang Ganoderma sp. Semua isolat uji dapat memacu pertumbuhan
tinggi tanaman dan berat basah tanaman.
Kata kunci: mikroba indiginous, lahan basah, kelapa sawit
Pendahuluan
Kelapa sawit merupakan komoditas ekonomi unggulan koridor
Kalimantan sesuai MP3EI (Master Plant Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia). Penanaman kelapa sawit terus berkembang pesat dengan
membuka lahan-lahan baru, termasuk di lahan basah sub optimal menjadi
alternatif keterbatasan luas lahan.
Penanaman secara monokultur dalam skala luas berakibat gangguan
hama penyakit bertambah berat. Saat ini pengembangan kelapa sawit sangat
tergantung pada pupuk sintetis dan pestisida dalam jumlah besar, akibatnya
terjadi kontaminasi pada hasil tanaman dan lingkungan, Padahal tuntutan
terhadap produk kelapa sawit bebas pestisida menjadi syarat mutlak agar laku
di pasar dunia.
165
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gangguan penyakit pada fase pre nursery seperti Lethal Yellowing yang
disebabkan oleh Phytoplasma, busuk pangkal batang akibat Ganoderma sp.,
busuk daun antraknosa akibat Botryodiplodia spp., Melanconium elaeidis dan
Glomerella cingulata, bercak daun yang disebabkan oleh Curvularia spp.,
Drechslera halodes, Cochliobolus carbonus, Cochliobolus sp, Cercospora
elaeidis,dan Pestalotiopsis sp., penyakit garis kuning daun yang disebabkan
oleh Fusarium oxysporum f.sp. elaeidis, karat daun yang disebabkan oleh
Cephaleuros virescen, (Winardi, 2011), sangat menentukan kualitas produk
kelapa sawit selanjutnya
Alternatif pengelolaan penyakit yang menguntungkan secara ekonomis
dan secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan yakni dengan
memanfaatkan agens pengendali alami spesifik lokasi berupa mikroba
indiginous. Pengembangan pengendalian menggunakan antagonis di daerah
tropis mempunyai masa depan yang baik, mengingat kondisi lingkungan di
daerah tropis sangat mendukung untuk berkembangnya antagonis lebih baik
(Hadi et al., 1975; Arifin et al., 1989). Menurut Baker dan Cook, (1982) jamur
yang dapat digunakan sebagai agen pengendali terhadap patogen tanaman
tular tanah ialah Trichoderma spp., Gliocladium sp., Penicillium sp., dan
Metarrhizium sp. Khusus untuk pengendalian Ganoderma pseudoferreum pada
teh dapat dengan menggunakan jamur Penicillium sp., Fusarium sp., Mucor sp.
dan Rhizopus sp (Arifin et al., 1989).
Uji kemampuan mikroba indiginous sebagai biopestisida dan biofertilizer
pada tanaman kelapa sawit pada tanaman fase pre nursery perlu dipelajari dan
diharapkan dengan penggunaan bibit kelapa sawit sehat berkualitas hasil dari
introduksi mikroba antagonis akan mampu meningkatkan produksi baik
kuantitas maupun kualitas secara berkelanjutan. Terjadi penghematan biaya
produksi mengingat biaya pembelian pestisida dan pupuk sintetis merupakan
pengeluaran terbesar pada penanaman kelapa sawit.
Metode penelitian
Penelitian diawali dengan pengamatan gejala penyakit dan eksplorasi
antagonis di beberapa perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan
Selatan dan Tengah. Perbanyakan patogen dan antagonis sesuai prosedur
Homby (Tuite, 1970) dan dilanjutkan dengan metode teknik cawan
pengenceran (dilution plate technique). (Sands dan Rovira, 1970; Bashan et
al., 1993). Antagonis yang didapat selanjutnya diperbanyak menurut metode
Menge dan Timmer (1982), sedangkan pemeriksaan tanaman terinfeksi dengan
prosedur Ferguson & Woodhead (1982).
Uji in-vitro untuk mengetahui daya hambat antagonis terhadap patogen
dilakukan dengan cara menginokulasikan isolat yang ada secara berpasangan
dengan metode oposisi langsung (Fokhema et al., 1959). Sedangkan uji in-vivo
terhadap kemampuan antagonis terpilih dilakukan dengan menginokulasikan
166
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
tanaman pada tanah steril di rumah kaca. Inokulasi Ganoderma sp dengan
meletakkan potongan tanaman bergejala pada tanah sedangkan inokulasi
Curvularia sp dengan menyemprotkan suspensi pada permukaan tanaman.
Pengamatan dilakukan satu dan dua bulan setelah inokulasi Percobaan dengan
rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Perbedaan di antara perlakuan
diuji menurut uji jarak berganda Duncan.
Hasil dan pembahasan
Gejala penyakit yang terlihat sebagian besar berupa gejala pada daun
berupa bercak-bercak kuning kecoklatan dengan bentuk tak beraturan, helaian
daun yang menguning, dan juga ditemukan tanaman kerdil. Setiap lokasi
pengambilan sampel tidak ada lokasi yang bebas penyakit. Ada ada 3 macam
patogen dominan yang selalu ada. Intensitas penyakit tertinggi pada serangan
patogen Curvularia sp. dengan rata-rata 66,40% (Tabel 1).
Tabel 1. Intensitas penyakit dominan pada fase pre nursery
No Gejala penyakit dan
Lokasi Pengambilan Sampel
penyebabnya
1
2
3
Fusarium sp
Curvularia sp
Diplodia sp.
PT. Mondrat intan barakat, PT
Subur agro makmur, PTPN
XIII,PT Hasnur citra terpadu PT
Sentosa sukses utama,PT. Putra
bangun
persada,PT.
Laguna
Mandiri, PT Sinar Surya Jorong,
PT Emida Jorong, PT Kintap Jaya
Wattindo, PT Tiga Daun Kapuas,
PT Alam raya kencana mas, PT
Agro Bukit, PT Pola kahuripan inti
sawit, PT Subur maju makmur,
PT Sajang heulang, PT Buana
Karya dan PT Matahari kahuripan
Indonesia,
Intensitas
Serangan
(%)
24,50
66,40
33,25
167
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Fusarium solani yang ditemukan memiliki ciri-ciri miselium berwarna
putih seperti kapas pada media biakan, makrospora berbentuk bulan sabit,
bersekat 2 sampai 5, spora terbentuk secara tunggal. Konidiofor ramping dan
pendek, bercabang-cabang dengan tegap dan berkelompok membentuk
sporodochia. Klamidospora berwarna cokelat dengan ukuran diameter 6-7,3
µm. Menurut Watanabe (2002), ukuran klamidospora F. solani adalah 50-165 x
2,4-4,3 µm. Diameter spora sebesar 10-25 µm. Mikro konidia berukuran 7,215 x 2,4-3,9 µm dan makro konidia berukuran 31,5-59,4 x 4,6-6,2 µm. Gejala
serangan F. solani pada tanaman kelapa sawit terlihat daun bercak-bercak
terang lalu coklat kehitaman, mengering mulai dari ujung daun dan daun bagian
bawah kering.
Curvularia sp yang ditemukan memiliki ciri miselium berwarna putih
kecoklatan dan pada bagian awal peletakan miselium berwarna putih pada
media biakan. Konidiofor berwarna cokelat gelap, sederhana, tegak, berdinding
tebal. Bagian samping konidia terlihat jernih. Konidia silendris, berwarna
cokelat gelap, memiliki 4 sel, 2 sel pada bagian tengah besar dengan hilum
basal, sporanya besar sehingga sangat terlihat jelas bentuk-bentuknya.
Klamidospora berbentuk bulat telur, berwarna pucat sampai coklat gelap.
Menurut Watanabe (2002), ukuran klamidospora sebesar 90-142,5 x 5-10 µm,
konidia berukuran 21,3-28,8 x 7,3-8,8 µm dan klamidospora berukuran 10-11,3
µm.
Tanaman terserang Diplodia sp. memiliki ciri miselium berwarna putih
kecoklatan, pertumbuhan miselium jarang-jarang, pada bagian miselium
terdapat warna hitam, hifa tumbuh panjang dan tidak bersekat. Piknidia
berdiameter 3 mm, berwarna cokelat dengan bagian leher silendris. Konidiofor
hialine dengan ukuran 22 x 4 µm, sederhana, meruncing menuju bagian ujung.
Konidia berukuran 18-24,5 x 10-13 µm, berwarna cokelat, bersel dua dengan
bentuk elips atau oval yang tebal, konidia muda bercampur dengan hialine.
Gejala serangan Diplodia sp. pada tanaman kelapa sawit terlihat daun kering
seperti terbakar yangdimulai dari ujung daun, akar membusuk, daun muda lebih
cepat mati, warna hijau daun tua memudar dan jaringan akar yang sakit
menguning.
Hasil uji daya hambat dari masing antagonis terhadap patogen bercak
daun (Curvularia sp) dan busuk batang (Ganoderma sp) memperlihatkan
bahwa daya hambat berkisar antara 66,75 – 84,30% (Tabel 2).
168
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 2. Daya hambat antagonis terpilih terhadap patogen Curvularia sp dan
busuk batang Ganoderma sp.
Antagonis
Trichoderma sp
2.7
Acremonium sp
2.2
Trichoderma sp
1.4
Gliocladium sp
1.8
LB-
Daya Hambat (%) Terhadap Patogen
Curvularia sp
Busuk batang
Ganoderma sp
78,50
80,25
LB-
75,20
81,50
LB-
72,80
84,30
LB-
66,75
79,91
Trichoderma sp LB2.7
Acremonium sp LB2.2
Trichoderma sp LB1.4
Gliocladium sp LB1.8
Mekanisme Antagonis
Mekanisme Antagonis
kompetisi ruang,
mikoparasit
mikoparasit, antibiosis
kompetisi ruang,
mikoparasit
mikoparasit, antibiosis
antibiosis, over growth
over growth
antibiosis
antibiosis
Mekanisme antagonis berupa kompetisi ruang, terjadi setelah
pertumbuhan jamur antagonis mendominasi ruang dan pertumbuhan hifa
selanjutnya menutupi (over growth) koloni Ganoderma sp. Pertumbuhan hifa
Trichoderma dapat menahan perkembangan Ganoderma tanpa menutupi koloni
Ganoderma, terutama pada batas pertemuan koloni yang terdekat. Mekanisme
antagonis dengan kompetisi ruang dan nutrisi ini merupakan salah satu
mekanisme penting karena suatu organisme tidak dapat bertindak sebagai
agen pengendali hayati apabila tidak dapat berkompetisi dalam hal ruang
maupun nutrisi dengan competitor lain di rhizosfer (Howell, 2003). Bahkan
Mastouri et al. (2010) mengemukakan bahwa jamur endofit Trichoderma
harzianum T 22 dapat berkompetisi dengan baik pada rhizosfer.
Keuntungan pengendalian dengan menggunakan mikroba yang
diaplikasi ke biji berpotensi untuk berkembang ke akar sehingga memperluas
jangkauan dampak perlindungan terhadap patogen akar (Callan et al., 1997;
Komedahl & Windels, 1981). Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
efisiensi pengendalian secara hayati meningkat apabila antagonis yang
169
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
digunakan memiliki kemampuan tumbuh di rizosfir dan mempunyai kemampuan
persistensi yang tinggi (Mangenot & Diem, 1979).
Menurut Lifshitz et al. (1986), miselium Trichoderma sp. yang kontak
dengan miselium dari Phytium sp akan mengalami lisis dan hampa, sedangkan
Elad et al. (1983) memperlihatkan bahwa hifa jamur Trichoderma spp.
membentuk suatu struktur mirip dengan appresorium dan membentuk jarum
penetrasi yang masuk ke dalam hifa jamur R. solani setelah keduanya
berkontak.
Pada tanaman terinfeksi, juga ditemukan tubuh buah (basidokarp) .
Kemunculan basidiokarp ini merupakan diagnosis yang nyata bahwa pokok
kelapa sawit telah diserang Ganoderma sp. Pada permukaan bawah
basidiokarp, terdapat beribu-ribu pori pori. Dalam pori pori ini terdapat
basidiospora. Tanaman yang terserang akan mati dalam jangka waktu satu
hingga tiga tahun setelah gejala penyakit pada daun dan pelepah. Ganoderma
yang berada dalam akar dan batang akan terus mengkolonisasi seluruh batang
sehingga jaringan yang terserang hancur. Menurut Alexopoulus et al. (1997)
identifikasi ganoderma dapat ditentukan dengan melihat tubuh buah
Gambar 1. Daya hambat isolat jamur Trichoderma sp terhadap Curvularia sp
dan Ganoderma sp.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada uji oposisi langsung antara
Trichoderma dan Ganoderma, ternyata dipisahkan oleh zona bening pada
pertemuan hifa. Hal ini diduga isolate Trichoderma mengeluarkan zat yang
dapat menghambat hifa Ganoderma sp.. Kemampuan Trichoderma sebagai
antagonis telah banyak dilaporkan. Berbagai mekanisme antagonis yang
digunakan Trichoderma dalam menyerang inangnya diantaranya adalah
sebagai kompetitor yang kuat, menghasilkan antibiotik dan bersifat hiperparasit.
Trichoderma sp. lebih dominan berinteraksi secara antibiosis. Sifat enzim
ekstraseluler yang bersifat amilolitik, pektinolitik, proteolitik, dan selulolitik pada
170
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
T. viride dan zat volatile seperti alkil piron pada T. harzianum. Enzim khitinase
dihasilkan oleh T. harzianum dapat merusak dinding jamur yang mengandung
khitin Enzim β 1-3 glukanase dapat merusak dinding sel jamur yang
mengandung β 1,3 – glukan. Hifa dari F. moniliforme mengalami lisis dan
mengakibatkan berkurangnya diameter koloni dalam 6 – 14 hari inkubasi bila
dibiakkan bersama dengan T. viride (Yates et al., 1999). Dengan demikian
Trichoderma sp. sebagai agen antagonis berperanan sebagai agen kontrol
biologi untuk jamur lain yang patogenik/toksigenik yang dinding selnya
mengandung chitin, glucan dan protein. Zat anthraquinone dihasilkan oleh T.
polysporum berefek antibiosis terhadap jamur lain..Selain itu mekanisme
hiperparasit yaitu yaitu dengan cara membelit hifa dari jamur lain, dalam hal ini
seperti yang terjadi terhadap jamur Fusarium oxysporum, F. solani dan F.
roseum
Tabel 3. Pengaruh perlakuan jamur antagonis terhadap pertumbuhan bibit
kelapa sawit
Perlakuan
Rerata Pertumbuhan Tanaman
Tinggi Tanaman (cm)
Berat Basah (gr)
Kontrol
Trichoderma sp LB-2.7
16,50
24,90
27,65
36,90
Acremonium sp LB-2.2
Trichoderma sp LB-1.4
Gliocladium sp LB-1.8
19,25
27,53
21,30
34,75
32,30
30,75
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian tahun pertama ini adalah:
1. Patogen dominan pada fase pre nursery adalah Curvularia sp, Fusarium sp
dan Diplodia sp., sedangkan pada tanaman di lapang terlihat gangguan
pathogen Ganoderma sp selalu ada pada tanaman diperkebunan tua
2. Antagonis terbaik adalah Trichoderma sp LB-2.7, Trichoderma sp LB-1.4,
Acremonium sp LB-2.2 dan Gliocladium sp LB-1.8 dengan kemampuan
daya hambat berkisar antara 66,75 – 84,30%.
3. Hasil uji in-vivo pada fase pre nursery terbukti isolat mampu sebagai
antagonis terhadap bercak daun Curvularia sp dan busuk pangkal batang
Ganoderma sp. dan dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman dan berat
basah tanaman.
Daftar pustaka
Atlas, R.M. 1989. Microbiology Fundamental and Aplication. 2.td
Maxmillan Publ.Co. N.Y. pp. 807
Ed.
171
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Alabouvette, C., C. Steinberg, C. Olivain & P. Lemanceau. 2003. Biocontrol of
vascular diseases – the Fusarium example. Proc. 8th International
Congress of Plant Pathology. Christchurch, New Zealand.
Balai Karantina Pertanian. 2012. Laporan Pemantauan OPTK Kalimantan
Selatan. Balai Karantina Pertanian. Banjarmasin.
Baker, K.F. and R.J. Cook. 1996. The nature and Practice of Biological Control
of Plant Pathogen 3nd . The Amer. Phytopathol. Soc. pp. 367
Chao, W.L., E.B. Nelson, G.E. Harman and H.C. Hoch. 1986. Colonization of
the Rhizosphere by Biological Control Agent Applied to Seed.
Phytopathol. 96:60-65
Chet, I and R. Baker. 1983. Isolation and Biocontrol Potential of Trichoderma
hamatum from Soil Naturally Supressive to Rhizoctonia solani.
Phytopathol. 93: 119 - 121.
Cappucino, J.G. and N. Sherman 1992. Microbiology Laboratory Manual 3nd
Ed. The Benyamin/Cummings Publ. Co. Inc. NY. pp 298
Cook, R.J. and K.F. Baker. 1983a . Nature and Practice for Biological Control of
Plant Pathogen. Phytopathol. 20 : 128
Cook, R.J. and R. Baker. 1983b.
Isolation and biocontrol potential of
Trichoderma hamatum from soil naturally supressive to Rhizoctonia
solani. Phytopathol. 93: 119 - 121.
Delp, B.R., L.J. Stowell and J.J. Marois. 1986. Evaluation of field sampling
techniques for estimation of disease incidence. Phytopathol. 76: 1299 1305.
Harman, G.E., I. Chet and R. Baker. 1981. Factors affecting Trichoderma
hamatum applied to seeds as a biocontrol agent. Phytopathol. 7: 569 572.
Howell, C.R. 1982. Effect of Gliocladium virens on the Pytium ultimum,
Rhizoctonia solani and damping-off of cotton Seeding. Phytopathol. 72:
496 - 498.
Johnson, L.F.. 1974. Methods for research on the ecology of soil-borne plant
pathogens. Burgess Publ. Co. USA. pp.110.
Khan, S.U. 1978. The Interaction of Oorganic Matter with Pesticides. In: Soil
Organic Matter (Eds M. Schnitzer and S.U.Khan) Elsivier Scientific
Publishing Company. New York, pp 137 – 171.
Lakeman, J.P. and N.J. Fokkema. 1982. Potential for biological control of plant
diseases on the phylloplane. An. Rev. Phytopathol. 92:167-192.
Lumsden, R.D. and Locke. 1989. Biological control of damping-off caused by
Pythium ultimum and Rhizoctonia solani with Gliocladium virens in
soilles mix. Phytopathol. 79: 361 - 366.
Mao, W., J.A. Lewis, P.K. Hebber and R.D. Lumsden. 1997. Seed treatment
with a fungal or a bacterial antagonist for reducing corn dumping-off
172
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
caused by species of Phytium and Fusarium. Plant Disease 81: 450 454
Navaratman, S.J. 1961. Succesfull inoculation of oil palms with a pure culture
of Ganoderma lucidum. Malay. Agric.J. 43 : 233-238
Navaratman, S.J and K.L. Chee . 1965. Root inoculation of oil palm seedling
with Ganoderma sp. Plant Disease 49 : 1011-1012
Papavizas, G.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium biology, ecology and
potential for Biocontrol Soil Born Disease Laboratory. Phytophatol. 75: 93
- 121.
Stevenson, F.J. 1976. Bound and conjugated pesticides residues. ACS Symp.
Ser., 29:180-207.
Tuite, J. 1970. Plant Pathological Methode Fungi and Bacteria. Burgess Publ.
Co. Minneapolis. pp. 232
Ulhoa, C.J. and J.F. Peberdy. 1992. Purification and some properties of
extracellular chitinase produced by Trichoderma harzianum. Enzyme
Microb. Technol. 14: 236 - 241.
Unterstenhofer. 1976 The Basic Principles of Crop Protection. Field Trials.
Pelenzenschutz-Nachrichten Bayer. pp. 164.
Van der Gon, H.A.C.D., and H.U. Neue. 1995. Influence of organic matter
incoporation on the methane emission from wetland rice field. Global
Biogeochem. Cycles 9:11-22.
Winardi, A. 2011. Penyakit-penyakit Tanaman Kelapa dan Kelapa
Sawit.<http://agungwinardi.blog.com/penyakit_kelapa&kelapa_sawit/scrib
d.inc> .Diakses 23 juni 2012.
Young, R.N., Mohamed, A.M.O. and Warkentin, B.P. 1992. Principle of
Contaminant Transport in Soils. Elsevier, Amsterdam.
173
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGGUNAAN VARIETAS TAHAN DALAM PENGELOLAAN PENYAKIT
HAWAR DAUN BAKTERI DAN BLAS DALAM SISTEM USAHATANI PADI
Ida Bagus Kade Suastika dan A.A.N.B. Kamandalu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Jln. By Pass Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar.
P.O. BOX:3480. Telp.(0361)720498, Fax. (0361)720498,
Email:[email protected]
Abstrak
Usahatani padi dan komoditas lainnya tidak terlepas dari adanya
serangan penyakit yang dapat mempengaruhi hasil dan secara ekonomi
merugikan. Namun keberadaanya perlu dikendalikan dalam suatu tatanan
keseimbangan ekologis dan tidak saling merugikan. Diantaranya pemerintah
telah melarang peredaran 57 jenis pestisida serta upaya pengendalian secara
terpadu, dalam hal ini salah satu komponennya adalah penggunaan varietas
tahan. Dibanding dengan pengendalian secara kimiawi, penggunaan varietas
tahan relatif murah, tidak menimbulkan polusi lingkungan, dan umumnya
kompatibel dengan taktik pengendalian lainnya. Pengendalian penyakit hawar
daun bakteri dan blas yang selama ini dianggap paling efektif adalah dengan
varietas tahan. Namun teknologi ini dibatasi dengan adanya kemampuan
patogen membentuk patotipe dan ras baru yang lebih virulen yang
menyebabkan pergeseran dominasi patotipe dan ras patogen ini terjadi dari
waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan varietas tahan di suatu saat tetapi rentan
di saat yang lain dan tahan di suatu wilayah tetapi rentan di wilayah lain.
Program penelitian yang perlu dilakukan antara lain mengembangkan varietas
tahan dan pemetaan penyebaran patogen sebagai dasar penentuan
penanaman suatu varietas disuatu wilayah berdasarkan kesesuaian sifat tahan
suatu varietas terhadap patotipe dan ras patogen yang ada di wilayah tersebut
dalam pengendalian penyakit hawar daun bakteri dan blas.
Kata kunci: varietas tahan, penyakit hawar daun bakteri dan blas
Pendahuluan
Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk
Indonesia dan dunia. Oleh karna itu, padi perlu selalu diupayakan dalam
stabilitas produksinya. Salah satu kendala produksi padi adalah cekaman biotik
seperti gangguan hama dan penyakit. Hawar daun bakteri (HDB) dan blas
adalah merupakan salah satu penyakit yang sangat penting di negara-negara
penghasil padi di Asia, termasuk Indonesia (Ou, 1985; Mew et al. 1993). Di
Asia, serangan HDB yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv
oryzae (Xoo) dapat mengurangi hasil padi 50% sampai 80% (Makino et al.,
174
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
2006). Suparyono dan Sudir (1992) melaporkan serangan penyakit HDB dapat
menurunkan hasil hingga 35,8%. Penyebab penyakit ini dapat menginfeksi
pada semua fase pertumbuhan tanaman padi, mulai dari pesemaian sampai
menjelang panen. Gejala infeksi terutama pada tanaman muda menyebabkan
daun layu, mengering dan akhirnya mati, yang dikenal sebagai kresek (Reddy,
1984; Ou, 1985). Pada tanaman yang lebih tua (fase generatif), menyebabkan
gejala daun menjadi kuning dan kemudian mati yang dikenal sebagai hawar
(blight). Penyebab penyakit HDB memiliki banyak patotipe (strain) dan dapat
menyerang padi pada berbagai stadia tumbuh, sehingga sulit dikendalikan
(Suparyono et al., 2004). Sampai saat ini lebih dari 30 ras dari (Xoo) dan lebih
dari 25 gen ketahanan (gen R) terhadap HDB telah diidentifikasi (Lee et al.,
2003; Yang et al., 2002). Ras Xoo yang sebelumnya tidak menonjol suatu
ketika akan menjadi menonjol apabila mendapat inang yang cocok (Sudir dan
Suparyono, 2001). Selama ini, pengendalian HDB dilakukan dengan modifikasi
kultur teknis, terutama pengaturan penggunaan dosis pupuk N dan penanaman
varietas tahan (Qi and Mew 1989: Sudir, 2011).
Hasil pengendalian
pengurangan penggunaan dosis pupuk N sangat terbatas dan sering bersifat
lokal sehingga dihadapkan kesulitan teknis relatif tinggi. Sementara,
penggunaan varietas tahan dihadapkan pada beragamnya patotipe yang
menyebabkan ketahanan varietas dibatasi waktu dan tempat (Ogawa, 1993;
Suparyono et al., 2003). Oleh karena itu program pemuliaan padi, untuk
mengendalikan penyakit HDB secara berkesinambungan, pemantauan struktur
dan dominasi patotipe bakteri Xoo serta pencarian gen ketahanan baru perlu
terus dilakukan.
Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae merupakan
salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi padi di Indonesia.
Secara umum ada dua jenis serangan blas, yaitu blas daun yang menyerang
tanaman pada saat fase vegetatif dan blas leher malai yang menyerang pada
fase pembungaan (Bonman, 1992). Penyakit blas khususnya blas leher menjadi
tantangan yang lebih serius karena banyak ditemukan menyerang beberapa
varietas padi sawah. Penyakit ini dapat menyerang semua fase pertumbuhan
tanaman padi dari pesemaian, stadia vegetatif dan stadia generatif dengan
menyerang leher dan cabang malai (OU, 1985). Serangan serius pada fase
vegetatif dapat menyebabkan tanaman mati dan fase generatif dapat
menyebabkan leher malai dan bulir padi yang hampa menjadi patah. Pada
varietas rentan dan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan
cendawan blas dapat menyebabkan petani gagal panen atau puso. Penyebaran
penyakit blas sangat luas dan bersifat dedtruktif jika kondisi lingkungan
menguntungkan (Scardaci et al., 1997). Kehilangan hasil yang diakibatkan
oleh penyakit ini berkisar antara 1-50% (Koga, 2001).
Pengendalian
menggunakan varietas tahan dibatasi oleh kemampuan penyakit blas
membentuk ras baru dalam waktu singkat.
175
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tampaknya bahwa dengan cara
memanipulasi agro-ekosistem
pertanaman padi akan memberikan kontribusi nyata terhadap masalah
penyakit. Sebuah kombinasi dari beberapa faktor dapat berkontribusi pada
peningkatan masalah penyakit di daerah-daerah, seperti penanaman terusmenerus dan tidak serempak, peningkatan penggunaan pupuk nitrogen,
peningkatan penggunaan pestisida, pengurangan keragaman varietas dan
penanaman berketahanan gen sempit secara luas.
Sejak pendekatan bersama untuk mengelola hama/penyakit seperti
ketergantungan pada ketahanan tanaman atau pestisida saja tidak memadai,
sebuah program pengendalian terpadu skala luas untuk hama wereng coklat
dan virus kerdil rumput sudah dimulai sejak musim tanam 1978/79. Program ini
terdiri dari penanaman tanaman tahan, tanam serentak secara luas dan
pergiliran dengan tanaman non padi, sanitasi selektif dan penggunaan pestisida
bijaksana yang didasarkan pada pengamatan. Hasilnya sangat memuaskan,
tetapi banyak kendala sosial-ekonomi serta teknis masih perlu diatasi.
Untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh patogen yang
mampu membentuk patotipe dan ras seperti HDB dan blas berikut ini adalah
diskusi tentang peran dan keterbatasan menggunakan ketahanan tanaman
sebagai salah satu taktik yang paling penting dalam strategi mengelola penyakit
padi di Indonesia. Dalam hal ini akan dibahas ide ketahanan “durable” terhadap
penyakit.
Ketahanan tanaman
Dibanding dengan pegendalian kimia penggunaan varietas tahan relatif
murah, tidak menimbulkan polusi lingkungan, dan umumnya kompatibel dengan
taktik pengendalian lainnya. Ketahanan tanaman telah banyak digunakan
sebagi upaya pengendalian berbagai patogen tanaman. Baru-baru ini telah
dilaporkan upaya pengendalian menggunakan ketahanan tanaman terhadap
penyakit padi. Badan litbang Kementerian Pertanian telah melepas berbagai
varietas padi yang memiliki ketahanan terhadap HDB patotipe tertentu,
diantaranya varietas Membramo, Cibodas, Ciherang, Sintanur, Cigeulis, Inpari
5, Inpari 6, Inpari 7, dan Inpari 8 tahan terhadap HDB patotipe III. Sedangkan
varietas Inpari 4 tahan terhadap HDB patotipe III dan IV, Angke, Conde, dan
Inpari 6 tahan terhadap HDB patotipe III, IV, dan VIII (Suprihatno, et al., 2011).
Tahun 2012 Badan litbang Kementerian Pertanian kembali melepas berbagai
varietas padi yang memiliki ketahanan terhadap patotipe HDB dan ras blas
tertentu disajika pada Tabel 1.
176
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 1. Beberapa varietas padi Badan Litbang Kementerian Pertanian yang
tahan terhadap HDB dan blas.
Respon ketahanan
Respon ketahanan blas
HDB
No.
Varietas
Patotipe
Ras
III
IV
VIII
033
073
133
173
1. Ciherang
T
R
R
2. Mekongga
AT
-3. Inpari 1
T
T
T
4. Inpari 2
AT
AR
AR
5. Inpari 3
AT
AR
AR
6. Inpari 4
T
AR
T
7. Inpari 5
T
AT
AT
8. Inpari 6
T
T
T
9. Inpari 7
AT
AR
AR
10. Inpari 8
AT
AR
AR
11. Inpari 9
AT
AR
AR
12. Inpari 10
AT
AR
13. Inpari 11
T
AT
AT
T
R
T
R
14. Inpari 12
AR
AR
AR
T
AT
AT
15. Inpari 13
AR
AR
AR
T
AT
AT
AT
16. Inpari 14
AT
AT
AT
T
AT
AT
17. Inpari 15
AT
AT
AT
T
AT
AT
AT
18. Inpari 16
T
AR
AR
T
AT
R
R
19. Inpari 17
T
T
T
T
AT
T
R
20 Inpari 18
T
AT
R
21. Inpari 19
T
AT
R
22. Inpari 20
T
AR
AR
AR
R
R
R
23. Inpari Sidenuk
AT
R
AR
R
R
R
R
24. Inpari 21
T
AR
AR
T
AT
AT
R
25. Inpari 22
T
AR
AR
T
AT
T
AT
26. Inpari 23
T
AT
R
27. Inpari 24
T
AT
AR
28. Inpari 25
T
AT
AT
29. Inpari 26
T
AR
AR
T
AT
R
AT
30.. Inpari 27
T
AR
AR
R
T
R
AT
31. Inpari 28
T
AR
AR
AT
AT
R
R
32. Inpari 29
AR
R
R
33. Inpari 30
AR
R
R
Ciherang Sub 1
Sumber: Badan Litbang Kementerian Pertanian (2012); T = Tahan; AT = Agak
tahan, AR = Agak rentan; R = rentan
177
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kesesuaian penanaman varietas tahan dengan keadaan patotipe
patogen, berdampak terhadap efektifitas pengendalian penyakit HDB, sehingga
intensitas penyakit dapat ditekan, umur ketahanan varietas terhadap penyakit
HDB dapat diperpanjang dan mengurangi kehilangan hasil. Penggunaan
varietas tahan dihadapkan pada beragamnya patotipe yang menyebabkan
ketahanan varietas dibatasi waktu dan tempat (Ogawa, 1993; Suparyono et al.,
2003). Oleh karena itu program pemuliaan padi, untuk mengendalikan penyakit
HDB secara berkesinambungan, pemantauan struktur dan dominasi patotipe
bakteri Xoo serta pencarian gen ketahanan baru perlu terus dilakukan.
Sementara penanaman varietas campuran membuat kondisi lingkungan
tidak homogen atau adanya keragaman pada populasi inang menghambat
virulensi patogen blas (Garrett and Mundt, 1999). Dengan demikian akan
mengurangi tekanan seleksi terhadap patogen blas. Penanaman bermacammacam varietas yang memiliki ketahanan terhadap penyakit blas berbeda pada
suatu hamparan pertanaman padi diharapkan dapat diperoleh ketahanan yang
stabil.
Hawar daun bakteri
Salah satu penyakit endemik yang paling penting di seluruh negara
penghasil padi adalah hawar daun bakteri, Xanthomonas oryzae. Patogen ini
menyebabkan kerugian serius pada upaya pengembangan varietas modern
seperti IR 5 dan IR 8 yang sangat rentan terhadap HDB (Oka, 1986). Di sisi lain
berbagai varietas modern nasional Pelita 1/1 dipilih untuk ketahanan terhadap
HDB dalam kondisi lapangan yang berbeda, yang dirilis pada tahun 1969,
masih mempertahankan ketahanan. Ratusan varietas padi lokal dan varietas
nasional yang diperbaiki menunjukkan perbedaan derajat reaksi terhadap
penyakit, tetapi kebanyakan bereaksi agak rentan sampai sangat tahan,
mengindikasikan bahwa ras patogen masih ada. Varietas Inpari 13 yang dilepas
tahun 2010 dengan ketahanan agak rentan terhadap HDB, ditingkat lapangan
masih menunjukkan reaksi agak rentan sampai hari ini (Suastika, 2014)
(Gambar 1). Dari 77 isolat bakteri yang dikumpulkan dari Jawa, Bali,
Kalimantan dan Sulawesi Selatan 46 isolat termasuk patotipe III, 24 isolat
patotipe IV dan hanya satu isolat termasuk patotipe V (Suparyono, 1983). Sudir
et al., (2009) melaporkan bahwa pada musim tanam 2007 penyakit HDB di
beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah
didominasi oleh kelompok patotipe VIII. Sedangkan Sudir dan Handoko (2012)
melaporkan bahwa dari 127 isolat bakteri yang dikumpulkan dari beberapa
kabupaten di Jawa Timur, 30 isolat termasuk patotipe III, 43 isolat patotipe IV
dan 49 isolat termasuk patotipe VIII. Dari hasil identifikasi pathogen HDB yang
dilakukan oleh Sudir dan Handoko (2012) didapatkan bahwa HDB patotipe III
ditemukan di sembilan wilayah kabupaten yaitu Bondowoso, Jember,
Banyuwangi, Malang, Lumajang, Blitar, Ponorogo, dan Madiun serta dominan
178
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
ditemukan di Kabupaten Banyuwangi dan Malang. Patotipe IV ditemukan di 12
wilayah kabupaten yaitu Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Malang, Lumajang,
Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Magetan, Madiun, Kediri, serta
dominan di enam kabupaten yaitu Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo,
Madium, dan Kediri. Patotipe VIII dominan
ditemukan di lima wilayah
kabupaten yaitu Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, dan Jember.
Gambar 1. Varietas Inpari 13 dengan intensitas penyakit hawar daun
bakteri yang tinggi
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap variasi patotipe suatu
patogen di suatu tempat, diantaranya adalah fenomena adult-plant resistance,
mutasi dan sifat heterogen alamiah yang ada pada populasi patogen. Adutplant resistance, yaitu sifat tahan yang muncul saat tanaman sudah berumur
tertentu dan sangat berpengaruh terhadap keparahan penyakit dan penurunan
hasil (Hwang et al., 1987). Fenomena serupa sebagai akibat dari proses mutasi
virulensi dua patotipe Puccinia graminis f.sp. tritici yang diisolasi selama tahun
1984 dari kultivar SST 44 dan Gamka, yang sebelumnya tahan dan keduanya
menunjukkan peningkatan virulensi untuk gen tahan Sr24 (Le Roux and
Rijkenberg, 1987). Patotipe yang meningkat virulensinya itu disebut sebagai
2SA100 dan 2SA101. Keduanya ini merupakan mutan (hasil mutasi) dari tipe
sebelumnya. Kemungkinan lain adalah adanya karakter heterogenisitas yang
bersifat alamiah dari suatu populasi mikroorganisme. Hal ini seperti dilaporkan
Malvick and Moore (1988) bahwa kajian population dynamic and diversity of
Pseudomonas syringae pada kebun maple dan pear, menunjukkan isolat dari
kedua kebun bervariasi, relatif terhadap patogenisitas dan analisis potongan
DNA. Suparyono et al. (2003) melaporkan bahwa keberagaman varietas padi
dengan latar belakang genotype yang berbeda berpengaruh terhadap
keberagaman patotipe patogen. Selain itu dominasi patotipe Xoo di musim
hujan dan musim kemarau pada daerah sentra produksi padi di Jawa Barat,
Jawa Tengah, DIY, dan JAWA Timur juga dilaporkan berbeda. Pada musim
kemarau dominasi patotipe Xoo kelompok III dan VIII berimbang yaitu berturutturut 42,7% dan 42,0%. Pada nusim hujan dominasi patotipe berubah yaitu
179
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
patotipe VIII sangat dominan (63%), diikuti patotipe IV (29%), dan patotipe III
(9%). Perubahan ini menunjukkan adanya perubahan virulensim, pada musim
hujan virulensi bakteri Xoo lebih tinggi dibanding pada musim kemarau. Hal ini
diduga disebabkan pada musim hujan kondisi lingkungan terutama kelembaban
relatif lebih mendukung terhadap virulensi bakteri Xoo dibandingkan pada
musim kemarau. Bakteri Xoo berkembang dengan baik pada kondisi
kelembaban tinggi (> 90%) dan suhu antara 25o – 30oC (Ou, 1985).
Pengelompokan patogen digunakan untuk identifikasi bahan genetik
sebagai bagian dari program pemuliaan ketahanan terhadap patogen.
Blas padi, Pyricularia oryzae
Blas padi, Piricularia oryzae, adalah kendala nomor satu pada
pengembangan dan intensifikasi budaya padi gogo di Indonesia. Varietas padi
gogo Gata dan Gati yang dilepas pada tahun 1976 dilaporkan rentan terhadap
blas daun dan blas leher di Kertamulya. (Oka, 1986). Tahun 1976, Pelita 1/1
dan Sentral Bodas mengalami kerusakan di Ciparay. C4-63 juga diserang berat
oleh blas di pulau Buru dan di Tulung Agung pada tahun 1975. IR30, 32, 36,
dan 38 juga mengalami kerusakan di kawasan padi Palembang dalam tahun
1977-1981. Di sisi lain IR42 ditemukan tahan terhadap ledakan di sana, tapi
sangat rentan di Kendari (Sulawesi) (Oka, 1986). Namun demikian, hasil
monitoring perkembangan penyakit blas yang dilakukan akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa penyakit blas telah meluas dari padi gogo ke padi sawah,
sehingga IR64 telah terserang penyakit blas. Perkembangan selular dan
morfologi P. grisea sangat adaptif pada tanaman padi yang diinfeksinya, di
samping itu cendawan patogen ini juga mempunyai keragaman genetik yang
tinggi (Dean et al., 1994). Oleh karena itu, pengembangan varietas padi tahan
blas yang bersifat langgeng dan memiliki ketahanan horisontal perlu dilakukan.
Perbedaan reaksi varietas terhadap blas di lapangan menunjukkan
adanya ras patogen. Saat ini di Indonesia 19 ras patogen telah diidentifikasi
dan penyebarannya juga telah ditentukan. Lima diantaranya diklasifikasikan
sebagai ras dominan yaitu ras 041, ras 033, ras 073, ras 133, dan 173 (Santoso
dan Anggiani, 2011).
Pemuliaan untuk ketahanan terhadap blast padi telah dilakukan sejak
tahun 1970-an. Sekitar 17.000 varietas dan galur lokal dan memperkenalkan
telah diuji untuk ketahanan terhadap ledakan. Indonesia berpartisipasi dalam
International Rice ledakan Pembibitan (IRBN) dikoordinasikan oleh IRRI sejak
1976 (Oka, 1986). Saat ini Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian melakukan pemuliaan padi
tahan terhadap penyakit blas melalui analisis pemetaan QTL (quantitative trait
loci) tahan blas yang berasal dari Oryza rufipogon, IR64 dan tetua pemulih IR64
dan membandingkan spektrum ketahanan serta pengendalian gen (Utami, dkk.
2008). Berdasarkan analisi pemetaan QTL tahan blas yang berasal dari O.
180
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
rufipogon, IR64, dan tetua pemulih IR64 masing-masing berkontribusi dalam
membentuk sifat ketahanan terhadap ras 001, ras 173, dan ras 033.
Dilaporkan juga bahwa berdasarkan hasil uji perbandingan reaksi spesifik gen
ketahanan yang berasal dari varietas padi IR64 dan Oryza rufipogon, maka gen
ketahanan yang berasal dari IR64 bersifat spesifik ras atau mempunyai
spektrum ketahanan yang spesifik terhadap ras tertentu, sedangkan gen
ketahanan yang berasal dari O. rufipogon mempunyai spektrum ketahanan
yang lebih luas atau bersifat tidak ras spesifik.
Ketahanan “durable”
Penggunaan tanaman tahan dalam program pengelolaan penyakit padi
dalam skala luas memberikan sumbangan nyata menekan wabah epidemi
patogen seperti HDB dan blas. Namun, karena varietas yang ada hanya
memiliki satu dan atau beberapa gen utama untuk ketahanan mereka memiliki
rentang hidup yang pendek. Varietas tersebut memicu perkembangan patotipe
dan ras baru dari ledakan HDB dan blas yang mampu menyerang tanaman
tahan. Tampaknya mengandalkan dasar genetik sempit untuk ketahanan tidak
menjamin hubungan yang stabil antara tanaman padi dan penyakit. Ini mungkin
benar berkaitan dengan jenis epidemi penyakit seperti HDB dan blas yang
ditandai dengan kemampuan membentuk variasi patotipe dan ras disuatu
tempat dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fenomena adult-plant
resistance, mutasi dan sifat heterogen alamiah yang ada pada populasi
patogen (Hwang et al., 1987; Le Roux and Rijkenberg, 1987; Malvick and
Moore, 1988; Suparyono et al. 2003).
Untuk sistem pertanian, patahnya ketahanan dari beberapa varietas oleh
penyakit mungkin memiliki konsekuensi. Dibutuhkan waktu untuk penggantian
varietas rentan dengan yang tahan. Jumlah benih yang cukup harus dibuat
tersedia bagi petani. Ini juga membutuhkan waktu dan prosedur panjang. Juga
perlu program penyuluhan terus-menerus dan intensif untuk meyakinkan para
petani mengapa penggantian harus dilakukan dan bagaimana kinerja varietas
unggul baru. Varietas unggul baru mungkin tidak selalu memuaskan para petani
berkaitan dengan berbagai karakter agronomi dan rasa, yang membuat kembali
menggunakan varietas lama meskipun resiko terserang penyakit sangat besar.
Ada bahaya bahwa mereka kehilangan kepercayaan secara bertahap dalam
teknologi padi baru dan penyebarluasannya .
Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi berkelanjutan,
ketahanan varietas harus tahan lama, yang menjamin hubungan tanaman inang
penyakit seimbang. Hal ini dapat dicapai melalui perluasan dasar genetik untuk
ketahanan varietas dengan penggabungan gen ketahanan vertikal dan
horisontal atau menggunakan tanaman berketahanan horisontal. Piramiding
genes atau multiple resistance untuk ktahanan utama biotipe hama tertentu
mungkin adalah cara lain untuk menyeimbangkan hubungan tanaman inang
181
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
hama/penyakit (Oka, 1986). Strategi ini telah penuh semangat dikejar oleh IRRI
dan program pemuliaan ketahanan nasional untuk beberapa hama/penyakit
padi utama. Sebagai contoh tipe ketahanan horisontal dari varietas padi lokal
Kencana terhadap wereng coklat biotypes 1, 2 dan 3 telah diidentifikasi (Oka,
1986). Strategi ini juga telah penuh semangat dikejar oleh Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian untuk ketahanan terhadap penyakit blas melalui analisis pemetaan
quantitative trait loci (QTL) dan membandingkan spektrum ketahanan serta
pengendalian gen. Utami dkk. (2008) melaporkan bahwa berdasarkan analisi
pemetaan QTL tahan blas yang berasal dari O. rufipogon, IR64, dan tetua
pemulih IR64 masing-masing berkontribusi dalam membentuk sifat ketahanan
terhadap ras 001, ras 173, dan ras 033. Dilaporkan juga bahwa berdasarkan
hasil uji perbandingan reaksi spesifik gen ketahanan yang berasal dari varietas
padi IR64 dan Oryza rufipogon, maka gen ketahanan yang berasal dari IR64
bersifat spesifik ras atau mempunyai spektrum ketahanan yang spesifik
terhadap ras tertentu, sedangkan gen ketahanan yang berasal dari O. rufipogon
mempunyai spektrum ketahanan yang lebih luas atau bersifat tidak ras spesifik.
Ketahanan varietas Pelita terhadap hawar daun bakteri dikendalikan oleh
satu atau dua gen (Arya, 1978). Pelita tahan terhadap HDB patotipe III, tetapi
rentan terhadap patotipe IV (Osamu and Hartini,1978). Patotipe III menyebar
luas di dunia. Hal ini menjelaskan bahwa Pelita tahan di beberapa tempat,
tetapi hubungan Pelita dengan HDB patotipe III belum diketahui. Namun,
seperti yang ditunjukkan oleh Suparyono (1983) penyebaran patotipe HDB
dapat berubah. Pada tahun 1980 dari 65 isolat BLB lebih dari 80% terdiri dari
patotipe III, 4,87% patotipe IV dan juga 4,87% patotipe VI. Setelah dua tahun,
60% isolat ditemukan patotipe VI, sedangkan patotipe III dan IV sedikit masingmasing 9,23% dan 3%. Oleh karena itu, mengetahui dinamika patotipe dan luas
penyebaran mereka untuk program pemuliaan ketahanan terhadap HDB sangat
penting. Hal yang sama berlaku untuk penyakit lain dan biotipe hama serangga.
Variabilitas genetik yang tinggi dari tanaman padi harus memungkinkan
pemuliaan varietas modern dengan beberapa gen ketahanan atau varietas
dengan tingkat ketahanan agak tahan terhadap hama dan kondisi lingkungan
yang merugikan (Arya, 1978)). Metode skrining varietas untuk tingkat
ketahanan agak tahan terhadap BPH telah dikembangkan oleh IRRI (Heinrichs
et al., 1985). Di samping metode pemuliaan konvensional, teknik pemuliaan
inovatif seperti pemuliaan padi hibrida, hibridisasi jauh, pemuliaan mutasi, dan
kultur jaringan sangat diharapkan (Anonimus, 1980). Upaya ini membutuhkan
kerjasama antara para ilmuwan dari disiplin terkait
182
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Daftar pustaka
Anonim, 1980. Innovative approaches to rice breeding. Slected papers from
1979 International Rice Research Conference, IRRI, Los Banos,
Philippines. 182.
Arya, Nyoman. 1978. Pewarisan sifat ketahanan tanaman padi terhadap
penyakit bakteri kresek, Xanthomonas oryzae (Uyeda et Ishiyama)
Dowson. Universitas Udayana. Tesis.
Badan Litbang Kementerian Pertanian, 2012. Deskripsi Varietas Unggul Padi.
Bonman, J.M. 1992. Durable resistance to rice blast-environmental influences.
Euphytica 63: 115-123.
Dean, R.A., Y.H. Lee, T.K. Mitchell, and D.S. Whitehead. 1994. Signaling
system and gene expression regulating appressorium formation in
Magnaporthe grisea. Rice Blast Disease. Philippines: CAB International.
IRRI 2:23-26.
Garrett, K.A. and C.C. Mundt. 1999. Epidemiology in mixed host population.
Phytopathology 89:984-990.
Heinrichs, E.A., F.G. Medrano and HR. Rapause. 1985. Genetic Evaluation for
insect Resistance in Rice . IRRI. Los Banos, Philippines. 35 p.
Hwang, B.K., Koh, Y.K., and H.S. Chung. 1987. Effect of adult-plant resistance
on blast severity and yield of rice. Plant Disease 71:1035-1038.
Le Roux, J. and Reijkenberg. 1987. Pathotypes of Puccinia graminis f.sp. tritici
with increased virulence for Sr24. Plant Disease 71:1115-1119.
Lee, K.S., S. Patotipeabandith, E.R. Angeles, and G.S. Khush. 2003.
Inheritance of resistance to bacterial blight in 21 cultivals of rice.
Phytopathology 93:147-152.
Makino, S., A. Sugio, F. White, and A.J. Bogdanovel. 2006. Inhibition of
resistance gene-mediated defense in rice by Xanthomonas oryzae pv.
Oryzicola. Molec. Plant-Microbe Interact. 19(3):240-249.
Malvick. D.K. and L.W. Moore. 1988. Population dynamics and diversity of
Pseudomonas syringae on maple and pear trees and associated
grasses. Phytophatology 78:1366-1370.
Mew, T.W., A.M. Alvares, J.E. Leach, and J. Swings. 1993. Focus on bacterial
blight of rice. Plant Dis.77:5-12.
Koga, H. 2001. Cytological aspect of infection by the rice blast fungus
Pyricularia oryzae. In. Sreenivasaprasad S. and R. Johnson (eds). Major
Fungal Disease of Rice Recent Advances. Kluwer Academic Publishes. p.
87-110.
Oka, I.N. 1986. Plant resistance in rice pest management in farming sistem in
Indonesia. Indonesian Agricultural Research and Development Journal 1 :
20-25.
183
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Osamu, H. and Hartini, R.H. 1978. Resistance of some varieties to bacterial leaf
blight and a new pathogenic group of the causal bacterium, Xanthomonas
oryzae. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor. No. 44:17.
Ou, S.H. 1985. Disease 2nd Ed. Commomwealth Mycological Institute. Kew
England. pp.380.
Ogawa, T. 1993. Methods and strategy for monitoring race distribution and
identification of resistance genes to bacterial leaf blight Xanthomonas
campestris pv. oryzae in rice. JARQ 27: 71-80
Qi, Z. and T.W. Mew. 1989. Types of resistance in rice to bacterial blight. In:
Bacterial Blight of Rice. IRRI. Manila Philipines. P.125-134.
Reddy, P.R. 1984. Kresk phase of bacterial blight of rice. Oryza, 21:179-187.
Santoso dan Anggiani Nasution, 2011. Seleksi galur-galur hasil pemuliaan
untuk ketahanan blas berbeda. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian
Padi Nasional 2010. Buku 1. Editor: B. Suprihatno, Aan A. Dradjat,
Satoto, Baehaki, Sudir. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.hal. 557-563.
Scardaci, S.C., R.K. Webster, C.A. Greer, J.E. Hill, J.F. Williams, R.G. Mutters,
D.M. Brandon, K.S. McKenzie, and J.J. Oster. 1997. Rice blast: a new
disease in California. Agronomy Fact Sheet Series 1997-2. Department of
Agronomy and Range Science, University of Calofornia. Davis. 30p.
Suastika, I.B.K., A.A.N. B. Kamandalu, dan S.N. Aryawati. 2014. Karakter
agronomi dan ketahanan beberapa varietas unggul baru padi terhadap
hawar daun bakteri. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Inovasi
Spesifik Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan
Selatan. Banjarbaru, 6-7 Agustus 2014.
Sudir, Suprihatno dan Triny S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas
oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di daerah
sentra produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian 28 : 131-138
Sudir, 2011. Pengaruh varietas, populasi tanaman, dan waktu pemberian pupuk
N terhadap penyakit padi. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi
Nasional 2010. Buku 1. Editor: B. Suprihatno, Aan A. Dradjat, Satoto,
Baehaki, Sudir. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang
Pertanian. Kementerian Pertanian. hal. 593-603.
Suparyono, 1983. Pergeseran patotipe, Xanthomonas campestris pv. oryzae
penyebab busuk daun padi. Kongres Fitopatologi ke VI. Medan, 21-23
September 1983. 7 p.
Suparyono dan Sudir. 1992. Perkembangan penyakit bakteri hawar daun pada
stadia tumbuh yang berbeda dan pengaruhnya terhadap hasil padi.
Media Penelitian Sukamandi 12:6-9.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar
daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal
Penelitian Pertanian. 22(1):45-50
184
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profil of Xanthomonas
campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java.
Indonesia Journal of Agricultural Science 5 : 63-69.
Suprihatno, B., Daradjat, A.A., Satoto, Suwarno, Erwina Lubis, Baehaki, S.E.,
Sudir, Indrasari, S.D., Samaullah, I Putu Wardana dan Made Jana
Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 115
hal.
Utami, D.W., S. Moeljopawiro, H. Aswidinnoor, Asep Setiawan, dan I. Hanarida.
2008. Blast resistance genes in wild rice Oryza rufifogon and rice cultivar
IR64. Indonesian Journal of Agriculture 1 : 71-76.
Yang, Z., X. Sun, S. Wang, and Q. Zhang. 2003. Genetic and physical mapping
of a new gen for bacterial blight resistance in rice. Theor. Appl.
Genet.106 : 1467-1472.
185
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU PISANG PADA TANAMAN PISANG
(Musa paradisiaca, Linn.) MELALUI PENERAPAN BUDIDAYA
TANAMAN SEHAT DENGAN METODE PENGENDALIAN HAMA TERPADU
(PHT) DI KABUPATEN TANAH DATAR PROPINSI SUMATERA BARAT
Enie Tauruslina Amarullah, Azwar, Enwidarti
Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat
E-mail : [email protected]
Abstrak
Pisang (Musa paradisiaca Linn.) merupakan tanaman asli daerah Asia
Tenggara yang sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Produksi
buah pisang di Sumatera Barat mengalami penurunan yang sangat drastis bahkan
bisa dikatakan nyaris punah. Hal ini disebabkan oleh adanya out break serangan
penyakit layu pisang secara eksplosif yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia
solanacearum E.F.Smith dan jamur Fusarium oxysporum Schlecht f.sp cubense
(FOC). Tujuan dari pengkajian ini adalah 1) mendapatkan tanaman pisang yang
tahan terhadap penyakit layu melalui penerapan budidaya tanaman sehat dengan
metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan 2) mendapatkan kebun contoh
tanaman pisang di Sumatera Barat. Pengakajian ini dilaksanakan pada bulan
Maret sampai Desember 2013 di daerah endemik penyakit layu pisang di
Sumatera Barat. Metode yang digunakan adalah metode survei berdasarkan
metode gugus bertahap dan teknik penerapan PHT. Metode survei dilaksanakan di
daerah endemik penyakit layu bakteri dan penyakit layu fusarium (lokasi pengamatan)
berdasarkan luas lahan, letak lokasi dan responden (kelompok tani). Pemilihan lokasi
survei berdasarkan 1 (satu) hamparan minimal 0,75-2 ha, kebun dikelola dengan baik
dan petani pemilik/penggarap. Metode budidaya tanaman pisang menggunakan
penerapan PHT seperti persiapan tanam, bibit yang digunakan, pengendalian dengan
agens hayati Trichoderma harzianum, Pseudomonas fluoresence, pemeliharaan
dan pemupukan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa dari 9 (sembilan) lokasi
survei didapatkan 3 (tiga) kebun contoh tanaman pisang yaitu kecamatan
Batipuh (1 lokasi) dan Sungai Tarab (2 lokasi) di Kabupaten Tanah Datar
Propinsi Sumatera Barat yang memperlihatkan tidak ditemukan
serangan
penyakit layu bakteri dan layu fusarium. Kebun contoh ini digunakan sebagai
sampel kebun pisang dalam pengendalian penyakit layu pisang di Sumatera Barat.
Kata kunci : penyakit layu pisang, budidaya tanaman sehat dan pengendalian
hama terpadu
186
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pendahuluan
Tanaman pisang (Musa paradisiaca Linn.) merupakan jenis buahbuahan yang mempunyai banyak manfaat baik untuk kepentingan konsumsi
maupun industri sehingga keberadaannya mempunyai nilai ekonomis dan
strategis yang relatif tinggi. Dalam skala usaha kecil dan menengah sebagian
petani telah menjadikan tanaman pisang sebagai bentuk usaha tani berupa
kebun yang dijadikan sebagai sumber kehidupan dan penyangga ekonomi
keluarga. Dalam skala industri, tanaman pisang dijadikan sebuah pilihan bisnis
baik dalam negeri maupun untuk ekspor bahan jadi olahan yang masih sangat
menjanjikan untuk diusahakan karena dari segi break event point (BEP) nya
cukup tinggi. Di Sumatera Barat, pisang yang bisa langsung dikonsumsi tanpa
dimasak banyak dijual di pasaran dan juga banyak dikonsumsi sehari-hari oleh
masyarakat sebagai buah-buahan (Soedjanaatmadja dkk, 2008). Pisang
merupakan urutan pertama sekitar 45 % yang dikonsumsi masyarakat
Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2012) total produksi pisang di
Indonesia mencapai 6,1 juta ton. Produksi pisang di Sumatera Barat menurun
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 produksi 91.938 ton, tahun 2010 produksi
100.525 ton, tahun 2011 produksi 13.385 ton dan tahun 2012 produksi 137.348
ton (Badan Pusat Statistik, 2012). Penurunan produksi pisang umumnya
disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit (BPS, 2002).
Di Sumatera Barat, produksi pisang mengalami penurunan yang sangat
drastis bahkan bisa dikatakan nyaris punah. Hal ini disebabkan oleh adanya out
break serangan penyakit layu pisang secara eksplosif yang disebabkan oleh
bakteri Ralstonia solanacearum E.F.Smith dan cendawan Fusarium oxysporum
Schlecht f.sp cubense (FOC),
Salah satu penyakit penting yang dapat menurunkan produksi pisang
adalah penyakit layu bakteri oleh bakteri Ralstonia solanacearum ras 2 dan
dikenal sebagai penyakit moko. Penyakit layu bakteri di Indonesia termasuk
urutan pertama dalam daftar prioritas penyakit yang menyerang tanaman
(Anonim, 1991 dalam Hermanto 2001). Berdasarkan jumlah kerugian dan
luasnya serangan yang dikemukakan oleh Gedde (1992, cit Supriadi, 2000)
menempatkan R. solanacearum pada urutan ke enam dari 68 organisme
pengganggu tumbuhan (OPT) di Indonesia. Penyakit layu bakteri mulai
berkembang di Sumatera Barat tahun 1996. Pada tahun 2002, diketahui bahwa
penyakit ini sedikitnya menyerang 1 juta rumpun pisang dan hampir
memusnahkan perkebunan pisang. Daerah sentra pertanaman pisang di
Sumatera Barat dan merupakan daerah endemik penyakit layu seperti di
Kabupaten Agam, Tanah Datar, Solok, dan Padang Pariaman (Djoni, 2003).
Sampai saat ini pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman pisang
belum ditemukan metode yang efektif. Beberapa penelitian dan pengendalian
penyakit layu pada tanaman pisang sudah dirintis dengan beberapa cara antara
lain 1) Program pengendalian terpadu berupa kultur teknis dan pengendalian
187
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
kimiawi, 2) Pemindahan sifat ketahanan terhadap penyakit dari pisang liar
kepada pisang budidaya melalui persilangan antar jenis (Ortis dan Vuylsteke,
1995), 3) Pembentukan mutan yang tahan terhadap penyakit melalui induksi
mutan, 4) Rekayasa genetik (Brimecombe et al. 2001), 5) Mencegah penularan
penyakit dengan cara pembungkusan buah sehingga terlindungi dari serangga
pengunjung bunga dan sterilisasi alat-alat pertanian yang akan digunakan
dengan larutan desinfektan (Sahlan dkk, 1996), 6) Penggunaan bibit pisang
yang sehat dan bebas penyakit seperti bibit hasil kultur jaringan dan 7)
Penggunaan agens hayati (Rivai dan Habazar, 2002).
Salah satu alternatif untuk pengendalian penyakit ini yang ramah
lingkungan dengan mengoptimalkan fungsi penggunaan agens hayati.
Pengendalian penyakit dengan menggunakan agens hayati yang telah
dikembangkan hingga saat ini umumnya masih bersifat langsung terhadap
patogen melalui mekanisme kompetisi, antibiosis dan parasitisme (Yusriadi dkk,
1997). Aspek lain dari pengendalian secara hayati yang masih belum banyak
diteliti adalah pengendalian secara tidak langsung dengan mekanisme induksi
ketahanan atau sering juga disebut imunisasi. Tuzu dan Kuc (1990)
mengemukakan bahwa ketahanan tanaman dapat terinduksi dengan inokulasi
patogen, bukan patogen dan metabolit mikroorganisme. Satu jenis agen
penginduksi dapat mengimunisasi tanaman terhadap berbagai jenis patogen.
Sumardiyono dkk (2000) melaporkan bahwa Pesudomonas berfluresensi yang
diisolasi dari daerah perakaran Mimosa invisa secara in planta mampu
menginduksi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit layu bakteri R.
solanacearum dan layu Fusarium oleh Fusarium oxysporum f.sp cubense.
Di Sumatera Barat, mengingat begitu pentingnya ketahanan tanaman
pisang terhadap penyakit layu pisang maka salah satu upaya dilakukan
penerapan budidaya tanaman sehat dengan metode Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) yang bertujuan untuk mendapatkan tanaman pisang yang tahan
terhadap penyakit layu dan kebun contoh tanaman pisang di Sumatera Barat.
Metodologi
Pengkajian ini terdiri atas 2 tahap, yaitu :
1. Metode Survei
Metode survei dilaksanakan selama 3 (tiga) hari dari tanggal 5 s/d 7
Maret 2013 pada daerah endemik penyakit layu pisang di Sumatera Barat.
Metode survei yang dilaksanakan menggunakan metode sampel
bertingkat/gugus bertahap (multistage sampling). Metode ini dilakukan
berdasarkan kondisi lapangan secara geografis tanaman sangat sedikit,
populasi sangat menyebar dan meliputi area yang sangat luas (Amiyella
Endista, 2014). Metode yang berdasarkan lokasi survei meliputi kondisi
lapangan (calon lokasi) seperti letak lokasi, luas lahan, petani (calon
responden) dan pH tanah. Pemilihan lokasi survei berdasarkan 1 (satu)
188
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
hamparan minimal 0,75-2 ha, kebun dikelola dengan baik dan petani
pemilik/penggarap. Survei ini untuk melihat faktor aspek kelayakan lokasi dan
petani lahan. Nilai pH yang ideal akan mempengaruhi tingkat penyerapan unsur
hara oleh akar tanaman dapat mencapai 5,5-6,0 (Balitro, 2011).
2. Metode PHT (Penerapan Budidaya Tanaman Sehat)
a. Pembersihan Lahan
Melakukan pembabatan, penebangan semak, kayu-kayuan, penyiangan
gulma dan lahan semuanya dibersihkan lalu ditumpuk dan dibusukkan diantara
lajur pertanaman serta mengeradikasi sisa tanaman pisang sakit.
b. Plotting
Plotting dilakukan untuk menentukan jarak tanam/titik utama pembuatan
lubang tanam. Jarak tanam yang dilaksanakan adalah 4 x 4 m2.
c. Pembuatan Lubang Tanam
Lahan yang digunakan umumnya tanah bertekstur gembur dan subur.
Lubang tanam dibuat dengan ukuran ± 60 x 60 cm dengan kedalaman 50 cm.
Dalam pembuatan lubang tanam sebaiknya dipisahkan letaknya antara tanah
galian bagian atas (tanah olah) dan tanah bagian bawah (tanah dasar),
selanjutnya lubang tanam dibiarkan terbuka > 1 minggu.
d. Penimbunan Lubang Tanam
Lubang tanam yang telah dibiarkan terbuka selanjutnya dilakukan
penimbunan kembali. Pada timbunan tanah bagian atas diberikan campuran 40
kg pupuk kandang dan ¼ kg agens hayati Trichoderma harzianum lalu aduk
rata. Masukkan timbunan tanah bagian bawah terlebih dahulu ke dalam lubang
tanam lalu masukkan tanah bagian atas, selanjutnya lakukan pemadatan tanah
lalu beri tanda pengenal seperti ajir lalu tanah dibiarkan dingin selama 2
minggu.
e. Sumber Bibit
Pastikan bibit berasal dari kawasan/lokasi/ rumpun yang sehat. Bibit
yang akan digunakan minimal 3 helai daun pedang dengan ukuran tinggi
tanaman 80-100 cm dan berada dalam kondisi fisik yang sehat. Bibit diproses
dengan alat-alat steril (desinfektan), selanjutnya bibit dipisahkan dari induknya
bersihkan bonggol dari akar dan tanah kemudian dibungkus dengan kantong
plastik. Dalam proses pengangkutan, posisi batang selalu dalam keadaan
berdiri, hindari terjadinya himpitan terhadap batang dan selalu dialas dengan
plastik. Pada saat di lokasi, letakkan bibit dialas plastik pada tempat yang teduh
dan posisi bibit tetap berdiri.
189
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
f. Sanitasi Bibit Pisang Sebelum Tanam
Bibit pisang yang ditanam terlebih dahulu dilepaskan plastik yang
menutup bonggol. Sebelumnya sediakan campuran larutan agens hayati
Pseudomonas fluorescens (Pf) sebanyak 1 liter yang ditambahkan air sebanyak
10 liter. Lakukan perendaman bonggol dengan larutan agens hayati tersebut
selama 15 menit. Dalam penggunaan Pf, cara perendaman dilaporkan lebih
efektif dibandingkan dengan pencelupan (Anonim, 2007)
Perendaman bonggol secara massal dilakukan ke dalam lubang tanah
yang berukuran 1 m x 2 m dengan kedalaman 1 m dan telah diberi lembaran
plastik hitam berukuran 10 meter pada bagian alasnya. Bibit pisang yang
direndam secara massal sebanyak 15 - 20 bibit pisang dalam 1 kali rendaman.
g. Tanam Bibit Pisang
Lubang tanam bibit pisang yang ditimbun sebelumnya dibuka kembali.
Bibit pisang yang telah disanitasi dengan larutan Pf dimasukkan ke dalam
lubang tanam yang disesuaikan dengan ukuran bonggol pisang dengan
kedalaman ± 25 cm. Bibit pisang ditanam tegak lurus dan bonggolnya ditimbun
dengan tanah sampai ketebalan 10 cm lalu dipadatkan dan selanjutnya berikan
air sisa rendaman bibit. Bibit cadangan disediakan sebanyak 5 – 10 % dari
jumlah bibit.
h. Pengaturan Air
Pengaturan drainase bagi tanaman diusahakan berfungsi secara
optimal. Lakukan pembuangan air tergenang atau penyiraman tanaman jika
terlihat tanaman kekurangan air.
i. Penyulaman
Penyulaman dilakukan pada tanaman mati (perlakuan sesuai dengan
proses tanam). Penyulaman tanaman pada saat tanam dilakukan disamping
tanaman mati. Tanaman mati diletakkan dan dimasukkan dalam lobang diluar
lokasi lahan tanaman pisang.
k. Penyiangan
Pembersihan rumpun tanaman dari tanaman gulma dan semua bahan
yang tidak bermanfaat.
l. Penjarangan Anakan
Penjarangan anakan dilakukan pada rumpun tanaman yang mempunyai
anakan banyak dan hanya 2-3 batang pisang yang dipelihara. Jumlah batang
tersebut dipelihara selama generasi anakan. Anakan dari sisa penjarangan
anakan dapat dijadikan sumber bibit.
190
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
m. Pemupukan Susulan
Pemupukan susulan dilakukan pada saat bulan ke 13 dengan
memberikan pupuk kandang sebanyak 20 kg dan ditambahkan agens hayati
Trichoderma sp sebanyak ½ kg. Pemberian pupuk susulan dilakukan dengan
membuat parit disekeliling rumpun dengan kedalaman ± 25 cm dan jarak dari
rumpun ± 50 cm.
n. Penggerodongan Buah
Pada saat sisir pertama terbentuk, maka lakukan penggerodongan calon
tandan dengan plastik. Pemasangan plastik diusahakan longgar dengan
mempertimbangkan besarnya buah dan selanjutnya ikat pada pangkal tandan.
o. Pemotongan Jantung
Pada saat pembentukan sisir berhenti, lakukan pemotongan
bunga/jantung tanaman pisang dengan menggunakan sabit yang steril
(didesinfektan) dan selanjutnya diikat dengan tali.
p. Pemotongan Batang Bekas
Tanaman pisang yang telah dipanen, pada bagian batang tanaman
dipotong hingga pangkal tanaman dan dimasukkan ke dalam tanah ± 20 cm
(dijadikan kompos).
Hasil dan pembahasan
1. Metode Survei
Survei lokasi dilakukan berdasarkan metode sampel bertingkat/gugus
bertahap (multistage sampling). Pengambilan sampel dengan teknik ini
dilakukan berdasarkan tingkat wilayah secara bertahap. Hal ini memungkinkan
untuk dilaksanakan bila populasi terdiri dari bermacam-macam tingkat wilayah.
Pelaksanaannya dengan membagi wilayah menjadi sub-sub wilayah, dan tiap
sub wilayah dibagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan ditetapkan
sebagai sampel. Oleh sebab itu, pengambilan sampel semacam ini sering
disebut area sampling atau pengambilan sampel menurut wilayah (Anonim,
2009a).
Survei ini dilaksanakan pada 9 (sembilan) lokasi daerah endemik sentra
produksi pisang di 2 (dua) kecamatan, Batipuh dan Sungai Tarab Kabupaten
Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat (Gambar 1) dan didapatkan 3 (tiga)
lokasi survei. Secara berurutan, 3 (tiga) lokasi yang didapatkan adalah
Kelompok Tani Sarumpun Jorong Jambu Nagari Batipuh Ateh Kecamatan
Batipuh, Kelompok Tani Sejahtera Jorong Gurun Nagari Gurun dan Kelompok
Tani Hidayah Jorong Sungai Tarab Nagari Sungai Tarab Kecamatan Sungai
Tarab.
191
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kondisi lahan di Kelompok Tani Sarumpun adalah lahan kosong dengan
tumbuhan semak kecil sampai sedang dengan kemiringan tanah 20
20-500,
Kelompok Tani Sejahtera adalah sebagian lahan gurun yang datar dan
sebagian lahan kosong dengan kemiringan
kemiring
100 dan Kelompok Tani Hidayah
adalah lahan produktif dan sebelumnya lahan sentra pertanaman pisang yang
terserang out break penyakit layu pisang. Luas lahan setiap kelompok adalah
1,75 - 2 ha. Pengukuran
gukuran pH tanah di 3 (tiga) lokasi berkisar 5,3 – 5,9.
Pengukuran pH tanah sudah sesuai dengan pH ideal untuk pertanaman pisang
di Sumatera Barat yaitu 5,0
5 – 6,0 (Balitro, 2011) (Gambar 2).
Gambar 1.
Survei Lokasi
Gambar 2.
Pengukuran pH
tanah
2. Metode PHT (Penerapan
Penerapan Budidaya Tanaman Sehat)
Dari hasil survei didapatkan 3 (tiga) lokasi yang merupakan daerah
endemis penyakit layu pisang untuk menerapkan metode PHT melalui
penerapan budidaya tanaman sehat,
sehat yang dilakukan beberapa tahap dimulai
dari pembersihan lahan sampai pemupukan susulan (ses
(sesuai dengan
metodologi).
Plotting dilaksanakan pada lahan seluas 1,75 - 2 ha dan jumlah bibit
pisang yang ditanam sebanyak 1.000
1
bibit,, sedangkan varietas yang ditanam
adalah varietas pisang ambon. Lahan
ahan yang digunakan umumnya tanah
bertekstur gembur dan subur Kondisi lahan tersebut untuk menanam bibit
pisang karena tanaman pisang rakus makanan sehingga sebaiknya pisang
ditanam di tanah berhumus dengan pemupukan (Anonim, 2009b)).
Penggunaan agens hayati Trichoderma harzianum yang diberikan ke
dalam lubang tanam sebagai agens pengendali hayati jamur patogen pada
tanaman, pertumbuhannya cepat dan tidak menjadi penyakit untuk tanaman
tingkat
tinggi
(Purwantisari
dan
Hastuti,
2009
dalam
http://warasfarm.wordpress.com/2013/ 06/02/penyakit-layu-fusarium
06/02/penyakit
fusarium-penyakit-
192
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
panama-pada-pohon-pisang/). Pemberian campuran ¼ kg Trichoderma
harzianum dan 40 kg pupuk kandang ke dalam lubang tanam (Gambar 3).
Gambar 3. Pembuatan lubang tanam
Sumber bibit pisang sehat di kelompok tani Sarumpun Gadang
Kecamatan Batipuh berasal dari Kampung Pisang Ngarai Sihanok Kota
Bukittinggi, kelompok tani Hidayah dan Sejahtera bibit berasal dari Kecamatan
Payakumbuh Kabupaten Limapuluh Kota Propinsi Sumatera Barat. Bibit pisang
sehat tersebut pada bagian bonggolnya ditutup dengan plastik (Gambar 4 dan
5).
Gambar 4.
Sumber pisang sehat
Gambar 5.
Bibit pisang sehat
Perlakuan bibit sebelum tanam menggunakan larutan Pf sebagai upaya
pengendalian penyakit layu (Gambar 6). Pemanfaatan agens hayati Pf menjadi
sangat penting seperti penggunaan bakteri antagonis yang hidup di daerah
perakaran, mempunyai prospek yang dapat berfungsi untuk menekan penyakit
dan dapat mendorong pertumbuhan tanaman (Freeman et al., 2002 cit.
Anonim, 2013).
193
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 6. Sanitasi bibit pisang
Gambar 7. Tanam bibit pisang
Pada ketiga lokasi tersebut dilakukan
penyulaman bibit yang
disebabkan lahan mengalami kekeringan karena curah hujan berkurang. Bibit
yang disulam memperlihatkan, 1) bonggol bibit yang ditanam memperlihatkan
kematian, 2) bibit yang patah pucuknya, 3) batang pecah dan dilakukan
pemotongan batang bibit sampai batas bagian yang rusak sehingga tunas dan
daun baru mampu tumbuh. Bibit yang digunakan adalah bibit cadangan.
Kondisi lahan Kecamatan Sungai Tarab di kelompok tani Sejahtera
terlihat keadaan cuaca tidak memungkinkan sehingga tidak dilakukan
penyiangan. Hal ini dapat mengakibatkan tingkat penguapan air tanah semakin
tinggi yang dapat mengakibatkan tanah menjadi kering. Tanaman pisang akan
tumbuh subur dan berproduksi dengan baik selama pengairannya dan kondisi
cuaca cukup (Anonim, 2011a). Di Kecamatan Batipuh kelompok tani Sarumpun
Gadang sebagian lahan dilakukan sistem tanam model tumpangsari (doublecropping) dengan tanaman semusim seperti cabai, bawang daun dan lobak,
sedangkan kelompok tani Hidayah dilakukan tumpangsari dengan tanaman
talas dan jagung.
Pada lahan pertanaman pisang yang dilakukan tumpangsari terlihat
bahwa pertumbuhan tanaman lebih baik, hal ini disebabkan kelembaban tanah
terjaga. Menurut Mutsaers et al.(1993) cit. Arsana (2004), menjelaskan bahwa
manfaat melakukan tumpangsari (double-cropping) diantaranya a) penggunaan
sumberdaya alam lebih optimal seperti sinar matahari, nutrisi dan air dan b)
meningkatkan produktivitas tenaga kerja dibandingkan pertanaman monokultur.
194
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 8.
Tumpangsari tanaman pisang
dan tanaman sayuran
Pemupukan
susulan
dilaksanakan
setelah
penyiangan
dan
pembumbunan. Pemupukan susulan dilakukan pada saat bulan ke 13 dengan
memberikan pupuk kandang sebanyak 20 kg yang ditambahkan agens hayati
Trichoderma sp. sebanyak ½ kg.
Kebun Pisang di Kec. Batipuh
(Keltan Sarumpun Gadang)
Kebun Pisang di Kec.Sei Tarab
(Keltan Sejahtera)``
Kebun Pisang di Kec.Sei Tarab
(Keltan Hidayah
Gambar 9. Kebun contoh tanaman pisang sehat di Kabupaten Tanah Datar Propinsi
Sumatera Barat
Pengamatan intensitas serangan penyakit layu pisang pada 3 (tiga)
kebun contoh pertanaman pisang di Kecamatan Batipuh (1 lokasi) dan
Kecamatan Sungai Tarab (2 lokasi) Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera
Barat menunjukkan tidak ditemukan serangan penyakit layu (Gambar 9). Hal ini
berdasarkan pertumbuhan tanaman pisang baik, yang ditunjukkan pada
pertumbuhan batang normal dan daun tanaman terlihat kehijauan. Dengan
demikian, kebun contoh ini dapat dijadikan sumber bibit pisang sehat untuk
mengendalikan penyakit layu bakteri dan layu fusarium.
195
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kesimpulan
Hasil kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Mendapatkan tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit layu bakteri
Ralstonia solanacearum E.F.Smith dan layu fusarium Fusarium oxysporum
Schlecht f.sp cubense (FOC).
2. Mendapatkan kebun contoh tanaman pisang sehat di Kabupaten Tanah
Datar Provinsi Sumatera Barat.
Daftar pustaka
Anonim, 2007. Penanggulangan penyakit layu pisang. <http://insidewinme
.blogspot.com/2007/11/penanggulangan-penyakit-layu-pisang.html
>.
Diakses 12 September 2014.
Anonim, 2009a. Teknik Pengambilan Sampel. <http://agenta08.wordpress.com/
2009/01/24/teknik-pengambilan-sampel>. Diakses 6 September 2014.
Anonim,
2009b.
Pisang.
<http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/
pisang.pdf>. Diakses 6 September 2014
Anonim, 2011a. Budidaya Pisang.<http://budidaya-news.blogspot.com/2011/12
/budidaya-pisang.html>. Diakses 6 September 2014.
Anonim. 2011b. SOP Pisang. Sumatera Barat
Anonim, 2013. Penyakit Layu Fuarium Penyakit Panaman Pada Pohon Pisang.
<http:// warasfarm. wordpress. com/2013/06/02/ penyakit-layu-fusariumpenyakit-panama-pada-pohon-pisang/>. Diakses 12 September 2014.
Amiyella
Endista.<http://www.slideshare.net/riswan78/teknik-pengambilansampel>.Diakses 1 September 2104.
Arsana, IG.K.D. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani di Lahan Kering Dataran
Medium Beriklim Basah. Prosiding Semnas Optimalisasi Pemanfaatan
Sumberdaya Lokal untuk Mendukung Pembangunan Pertanian.
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian
Banjarnahor, G. Kristian, 2013. Pengukuran pH Tanah Untuk pH sederhana
(Laporan Praktikum). Universitas Lampung Bandar Lampung.
Badan Pusat Statistik, 2002. Produksi Tanaman Sayuran Dan BuahBuahan. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat, 2002. Sumatera Barat
dalam Angka.
Badan Pusat Statistik, 2012. Produksi Tanaman Sayuran Dan BuahBuahan. Jakarta.
Brimecombe, M.J., De Leij-F.A.AM., J.M., 2001. Nematode Community
structure as a Sensitive Indicator of Microbial Perturbation Indused by
a genetically modified Pseudomonas fluorescens Strain. University of
surre. surrey.
Djoni, 2003. Ditemukan Penangkal Penyakit Layu Pohon Pisang. Kompas. 16
Januari 2003.
196
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Habazar, T dan F, Rivai, 2000. Dasar-Dasar Bakteri Patogenik Tumbuhan. Fakultas
Pertanian Universitas Andalas. Padang.
Habazar, T., 2001. Aspek Imunisasi Dalam Pengendalian Penyakit Tanaman
Secara Hayati. Orasi Ilmiah Pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke- 47.
30 November 2001. Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
Sahlan, Nurhardi dan C , Hermanto, 1996. Penyakit-Penyakit Utama Tanaman
Pisang. Balai Penelitian Buah Pisang. Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Hortikultura.
Salisbury, F.B., C.W, Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. ITB, Bandung.
Sitompul, S.M. dan Guritno B , 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada Press, Yogyakarta.
Sumardiyono, C., B, Hadisutrisno., S, Subandiah., S.M., Widyastuti. 2000.
Mekanisme Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Pseudomonas solanacearum
dan Layu Fusarium oxysporum f.sp.cubense pada Pisang dengan
Rhizobakteria . Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada.
Sunarjono, H., 2000.
Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar
Swadaya , Jakarta.
Supriadi, 2000. Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Pada Tumbuhan
Obat dan Strategi Penanggulangannya. Bogor: Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat.
Yusrial., B, Tjahno., M.S, Sinaga., M. Mahmut, 1997. Dampak Introduksi
Mikroorganisme Antagonis terhadap Perkembangan Penyakit Layu Bakteri
Ralstonia solanacearum, E.F. Smith Pada Kacang Tanah. Buletin Hama dan
Penyakit Tumbuhan. Bogor.
197
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGARUH APLIKASI FUNGISIDA BERBAHAN AKTIF METALAKSIL DAN
DIMETOMORF TERHADAP FISIOLOGI TANAMAN JAGUNG DAN
PENYAKIT BULAI
Muji Winarno dan Christanti Sumardiyono
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Penyakit bulai merupakan penyakit utama pada tanaman jagung di
Indonesia maupun dinegara lain didunia. Penyebab penyakit bulai pada
tanaman jagung adalah Peronosclerospora maydis, yang menginfeksi melalui
stomata.Stomata merupakan bagian penting dalam proses infeksi jamur ke
jaringan tumbuhan. Pengendalian penyakit bulai saat ini masih menggunakan
bahan kimia berupa fungisida,diantaranya adalahfungisida berbahan aktif
metalaksil dan dimetomorf. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh fungisida metalaksil dan dimetomorf terhadap kerapatan dan panjang
stomata daun jagung, serta proses pembentukankonidium jamur P. maydis.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
dengan dua perlakuan dan lima ulangan. Sebelum ditanam, benih jagung
terlebih dahulu diperlakukan secara seed treatment dengan fungisida metalaksil
dan dimetomorf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian fungisida
berbahan aktif metalaksil dan dimetomorf mempengaruhi kerapatan dan
panjang stomata daun jagung, sehingga berpeluang menghambat infeksi jamur
P. maydis penyebab penyakit bulai. Kerapatan stomata daun jagung yang
tanamannya diperlakukan fungisida metalaksil dan dimetomorf sebesar 551,57
dan 572,75 per mm2,lebih sedikit dibandingkan kontrol sebesar 638,80 per
mm2. Panjang stomata daun jagung yang tanamannya diperlakukan fungisida
metalaksil dan dimetomorf sebesar 35,42 µm dan 29,80 µm, lebih kecil
dibandingkan kontrol sebesar 38,97 µm. Proses pembentukan konidium jamur
P. maydis terjadi pada pukul 02.00. Pada pukul 04.00 konidium mulai keluar
dari stomata, dan pukul 06.00 konidium terlepas dari konidiofor.
Kata kunci : penyakit bulai, jagung, metalaksil, anatomi daun
Pendahuluan
Di Indonesia salah satu penyakit utama tanaman jagung adalah penyakit
bulai. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan hingga mencapai 100%.
Gejala yang ditunjukkan pada tanaman jagung berupa klorosis pada bagian
pangkal daun dan seringkali dibatasi oleh tulang daun (Wakman et al., 2007).
Penyakit bulai disebabkan jamur Peronsoclerospora maydis yang menginfeksi
melalui stomata (Surtikanti, 2008).
198
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Stomata merupakan suatu lubang kecil yang terdapat pada permukaan
daun. Stomata mempunyai peran penting dalam proses metabolisme tanaman,
yaitu berfungsi sebagai pintu masuknya CO2 ke jaringan daun untuk fotosintesis
dan mengeluarkan air yang digunakan untuk transpirasi (Salisbury dan Ross,
1995). Selain itu, stomata dapat juga sebagai tempat masuknya suatu patogen
ke dalam badan tumbuhan. Beberapa jamur dapat menginfeksi badan
tumbuhan dengan cara masuk melalui stomata (Semangun, 2001).
Pengendalian penyakit bulai sampai saat ini masih menggunakan
pestisida sintetik. Fungisida yang digunakan untuk pengendalian penyakit bulai
merupakan fungisida sistemik dan masuk ke dalam jaringan tanaman.
Fungisida ini dapat membunuh atau inaktivasi patogen dalam inang. Selain
mempengaruhi perkembangan patogen, fungisida juga dapat berpengaruh
terhadap inang (Sumardiyono, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh fungisida metalaksil dan dimetomorf terhadap fisiologi tanaman
jagung dan penyakit bulai.
Bahan dan metode
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi Pestisida Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada, dan Rumah Kaca di Banguntapan mulai
bulan Februari sampai April 2014. Rancangan percobaan yang digunakan
adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan dua perlakuan dan lima
ulangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA jika berbeda
nyata dilanjutkan dengan uji DMRT 5%.
Biji jagung manis terlebih dahulu diaplikasikan dengan fungisida
berbahan aktif metalaksil dan dimetomorf dengan dosis aplikasi metalaksil
adalah 2,5 g/kg dan dimetomorf 5 g/kg. Inokulasi jamur Peronosclerospora
maydis dilakukan dengan sumber inokulum dari Klaten terhadap tanaman
jagung yang berumur 10 hari setelah tanam pada sore hari. Pengamatan
meliputi panjang stomata, kerapatan stomata dan waktu masuknya jamur
patogen ke jaringan tumbuhan. Pengamatan mekanisme masuknya jamur
patogen ke jaringan tumbuhan dilakukan dengan cara mengambil daun jagung
yang bergejala kemudian dimasukkan ke toples yang sudah diberi kapas
basah. Selanjutnya dilakukan fiksasi dengan alkohol 50% pada interval dua
jam, dimulai jam 18.00 sampai 06.00.
Pengamatan kerapatan dan panjang stomata dilakukan dengan
mengoleskan kutek bening pada sisi bawah daun, dibiarkan beberapa menit
hingga kutek agak kering dan diberi selotip. Kemudian selotip ditarik secara
perlahan dan diletakkan diatas gelas obyek. Setelah itu ditutup dengan
menggunakan cover glass. Pengamatan kerapatan dan panjang stomata
dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada perbesaran 100x dan 400x
pada luas bidang pandang (mm2 luas daun). Penghitungan dilakukan pada 10
199
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
bidang pandang yang berbeda. penghitungan kerapatan stomata dengan rumus
sebagai berikut:
Hasil dan pembahasan
Pengamatan kerapatan dan panjang stomata dilakukan pada umur 10
hari setelah tanam. Hal ini karena pada hari ke 10 adalah bertepatan dengan
waktu inokulasi jamur P. maydis ke tanaman, ketika jamur mulai membentuk
tabung kecambah (apresorium) pada saat pagi hari untuk menginfeksi ke dalam
tubuh tanaman jagung melalui stomata.
Hasil pengamatan kerapatan stomata daun jagung yang tanamannya
diaplikasikan fungisida metalaksil dan dimetomorf dibandingkan dengan kontrol
adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Pengaruh aplikasi fungisida metalaksil dan dimetomorf terhadap
kerapatan stomata daun jagung
Rerata kerapatan
No Jenis Perlakuan
stomata (
1
Kontrol
638,80a
2
Metalaksil
551,57b
3
Dimetomorf
572,75b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom kerapatan
stomata tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Tabel 2. Pengaruh aplikasi fungisida metalaksil dan dimetomorf terhadap
panjang stomata daun jagung
No Jenis Perlakuan
Rerata panjang
stomata (µm)
1
Kontrol
38,97a
2
Metalaksil
3
Dimetomorf
35,42b
29,80c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom panjang stomata
tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Pengamatan pada kerapatan stomata daun jagung menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan kerapatan stomata antara tanaman kontrol dengan
tanaman yang diberikan perlakuan fungisida (Tabel 1). Kerapatan stomata pada
daun jagung termasuk sangat tinggi yaitu lebih dari 500 per mm2. Hal ini sesuai
dengan penelitian Haryati (2010) yang menyatakan bahwa kerapatan stomata
200
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
kategori rendah adalah < 200 per mm2, sedang adalah 300 – 500 mm2 dan
kategori tinggi > 500 per mm2.
Kerapatan stomata pada tanaman yang diberi perlakuan fungisida
dimetomorf dan metalaksil menjadi lebih rendah dibandingkan kontrol. Diduga
bahwa pemberian fungisida dapat menimbulkan perubahan anatomi antara lain
kerapatan stomata menjadi lebih rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian
Öztürk (2006) bahwa selain indeks membuka dan menutupnya stomata,
kerapatan stomata juga menurun pada tanaman tomat yang diaplikasikan
dengan fungisida berbahan aktif fosetyl-Al 80% dibandingkan dengan tanaman
kontrol.
Kerapatan stomata yang rendah diduga dapat berperan sebagai
mekanisme pertahanan struktural terhadap infeksi patogen. Menurut Yudiwanti
(2007) bahwa kerapatan stomata yang rendah dapat memberikan pengaruh
yang sama dengan stomata yang membuka sempit, yaitu meningkatkan
ketahanan tanaman. Kerapatan stomata yang rendah dapat mengurangi
peluang infeksi konidia jamur P. maydis untuk menginfeksi jaringan tanaman
melalui stomata. Oleh karena itu tanaman dengan karakteristik berupa
kerapatan stomata yang rendah berasosiasi positif dengan sifat tahan.
Pada pengamatan panjang stomata, antara kontrol dengan tanaman
yang diaplikasikan fungisida terdapat perbedaan nyata, dimana panjang
stomata pada kontrol lebih besar dibanding tanaman yang diaplikasikan
fungisida (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fungisida diduga
dapat memengaruhi ukuran stomata. Menurut Öztürk (2006) bahwa fungisida
triazol dapat menyebabkan perubahan ukuran stomata pada beberapa
tanaman.
Pengamatan mekanisme infeksi terhadap jamur P.maydis dilakukan
pada interval waktu 2 jam, dimulai pukul 18.00, 20.00, 22.00, 00.00, 02.00,
04.00, dan 06.00 WIB. Berdasarkan hasil pengamatan, pembentukan konidiofor
terjadi pada jam 00.00 WIB, sedangkan sporulasi jamur P.maydis mulai pada
malam hari sekitar pukul 02.00-06.00 WIB (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan
penelitian Surtikanti (2012) bahwa jamur menginfeksi tanaman jagung muda.
Konidium yang lepas dari konidiofor di waktu pagi apabila jatuh pada air gutasi
pada pucuk tanaman jagung yang baru tumbuh akan berkecambah dan
menginfeksi melalui stomata terus berkembang sampai titik tumbuh dan
seterusnya menebar secara sistemik. Pada pagi hari, sering dijumpai air yang
keluar dari permukaan daun melalui proses gutasi.
201
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
a
b
c
d
1
13 µm
58,7 µm
e
f
3
2
140 µm
141 µm
g
139 µm
Gambar 1. Pembentukan konidiofor dan konidium jamur P. maydis mulai jam
18.00-06.00 (perbesaran 40x); a) jam 18.00. b) jam 20.00, c) jam 22.00, d) jam
00.00, e) jam 02.00, f) jam 04.00, g) jam 06.00; 1) stomata, 2) konidium, 3)
konidiofor
202
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kesimpulan
1. Pemberian fungisida berbahan aktif metalaksil dan dimetomorf berpengaruh
positif terhadap kerapatan dan panjang stomata daun jagung menjadi lebih
kecil, sehingga berpeluang menghambat infeksi jamur P. maydis penyebab
penyakit bulai.
2. Mekanisme infeksi jamur P. maydis melalui stomata yang terjadi pada pagi
hari, dimana konidiofor mulai keluar dari stomata pukul 00.00, dan sporulasi
konidium jamur terjadi mulai pukul 02.00 – 06.00 WIB.
Daftar pustaka
Haryanti, S. 2010. Jumlah dan Distribusi Stomata pada Daun Beberapa
Spesies Tanaman Dikotil dan Monokotil. Buletin Anatomi dan Fisiologi
Vol. XVIII, No. 2, Oktober 2010. Diakses tanggal 15 Juni 2014
Öztürk. (2006). The effect of Equation Pro (Fungicide) Application on stomata in
tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) plants. Ankara Univ. J. of Agric.
Sci. 12 (2): 195-202.
Salisbury, F.B & C.W Ross. 1995. Plant Physiology. 3 ed. Wadsworth
Publishing Co.Belmont California
Semangun, H. 2001. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta. 449 hal
Sumardiyono, C. 2013. Pengantar Toksikologi Fungisida. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. Hal 69-70
Sumardiyono, C., A. Wibowo, A. Widiastuti, dan D. Yudhistira. Uji Ketahanan P.
maydis penyebab bulai jagung terhadap fungisida metalaksil. Hibah
Penelitian. 2012. 12p
Surtikanti, 2012. Penyakit Bulai pada Tanaman Jagung. Suara Perlindungan
Tanaman Vol.2.,No.1
Wakman, W., A.H. Talanca, Surtikanti, dan Azri. 2007. Pengamatan penyakit
bulai pada tanaman jagung di lokasi Primatani di Kabupaten
Bengkayang, Kalimantan Barat, pada tgl. 26-27 Juni 2007. Seminar
mingguan Balitsereal.
Wakman, W. 2008. Pengendalian Penyakit Bulai pada Jagung di Bengkayang,
Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan
PEI PFI XIX Komisariat daerah Sulawesi Selatan, 5 November 2008
203
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KAJIAN DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA PADA
BAWANG MERAH TERHADAP RESIDU YANG DITIMBULKANNYA
Renny Utami Somantri, Kgs. Abdul Kodir, Syahri dan Sidiq Hanapi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jl. Kol H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang Telp. (0711) 410155
Email: [email protected]
Abstrak
Penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak terkendali dapat
memberikan risiko keracunan bagi petani. Penggunaan pestisida sintetis dapat
meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian,
sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi
mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di dalamnya. Selain itu,
pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan resistensi, resurjensi dan
ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh alami hama penyakit. Bahaya
pestisida tidak hanya secara langsung bagi petani saat menyemprot tetapi juga
risiko residu yang ditimbulkannya pada tanah, tanaman dan produk yang
dihasilkannya. Kajian dilaksanakan di Desa Tungku Jaya, Kec. Sodoh Buay
Rayap, Kabupaten OKU, Sumatera Selatan pada bulan Juni 2014. Metode
yang digunakan yakni metode survei dan wawancara langsung dengan
kelompok tani bawang merah serta dilakukan pengambilan sampel bawang
merah untuk dianalisis residunya. Wawancara dilakukan untuk mengetahui
prosedur penggunaan pestisida yang dilakukan petani.
Hasil kajian
menunjukkan bahwa sebagian besar petani masih melakukan penyemprotan
pestisida dengan dosis dan frekuensi aplikasi yang tidak tepat. Bahkan,
beberapa petani melakukan pencampuran 2-3 jenis pestisida dalam satu kali
aplikasi dengan alasan mengurangi tenaga dan biaya penyemprotan. Hasil
analisis residu pestisida pada umbi bawang merah yang dihasilkan
menunjukkan kandungan pestisida berbahan aktif propineb mencapai 0,026
mg/kg dan abamektin mencapai 0,024 mg/kg, sedangkan pestisida golongan
organofosfat maupun karbamat tidak terdeteksi.
Kata kunci: bawang merah, dampak penggunaan, residu, pestisida.
Pendahuluan
Bawang merah (Allium ascalonicum L.)
merupakan salah satu
komoditas unggulan di masyarakat, karena selain digunakan sebagai bumbu
masakan sehari-hari, bawang merah mengandung senyawa yang bermanfaat
bagi kesehatan dan berkhasiat sebagai zat anti kanker, pengganti antibiotik,
penurun tekanan darah, kolesterol, serta penurun kadar gula darah (Irawan,
204
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
2014). Menurut penelitian, bawang merah mengandung zat besi, magnesium,
fosfor, kalium, mangan dan vitamin seperti A, B6 dan C (Anonim, 2014).
Pada periode 2009-2013, produksi bawang merah di Sumatera Selatan
berfluktuasi. Tahun 2009, dihasilkan 17 ton bawang merah dari luas panen 7
ha. Tahun berikutnya tingkat produksi meningkat menjadi 74 ton seiring
dengan bertambahnya luas panen menjadi 31 ha. Dua tahun berturut-turut
kemudian terjadi penurunan luas panen menjadi masing-masing 8 dan 5 ha
pada tahun 2011 dan 2012. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan
produksi bawang merah menjadi 37 dan 17 ton. Tahun 2013 lalu produksi dan
luas panen bawang merah di Sumatera Selatan meningkat tajam yaitu sebesar
218 ton dari 30 ha areal panen, dengan produktivitas 7,26 ton/ha (BPS, 2014).
Seperti komoditas hortikultura lainnya, bawang merah sangat fluktuatif
harga maupun produksinya. Hal ini terjadi karena pasokan produksi yang tidak
seimbang antara panenan pada musimnya serta panenan di luar musim, salah
satu diantaranya disebabkan tingginya intensitas serangan hama dan penyakit
terutama bila penanaman dilakukan di luar musim.
Untuk mengatasi
permasalahan tersebut tindakan penggunaan pestisida kimiawi menjadi pilihan
utama di kalangan petani.
Penggunaan pestisida sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sama
halnya dengan mengobati tanaman. Beberapa petani misalnya bahkan
melakukan penyemprotan pestisida hingga 3 kali dalam seminggu dan bahkan
terkadang mencampur 2-3 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi. Disamping
karena keterbatasan pengetahuan petani, penggunaan pestisida yang terusmenerus ini dikarenakan beberapa faktor yang dianggap petani memberikan
kemudahan bila mereka menggunakan pestisida kimia dibanding penggunaan
bahan lainnya. Kemudahan tidak sekadar aplikasinya tetapi juga kemudahan
dalam mendapatkannya sehingga penggunaan pestisida sintetis di Indonesia
berkembang sangat pesat dan tercatat ada sebanyak 2.810 jenis pestisida yang
beredar di tahun 2013 (Anonim, 2013).
Bahaya pestisida tidak hanya secara langsung bagi petani saat
menyemprot tetapi juga risiko residu yang ditimbulkannya pada tanah, tanaman
dan produk yang dihasilkannya. Miskiyah dan Munarso (2009) menemukan
adanya residu pestisida golongan organoklorin, organofosfat dan karbamat
pada cabai merah, selada dan bawang merah di tingkat petani pedagang,
maupun pasar swalayan yang berada di Bandungan dan Brebes Jawa Tengah
serta Cianjur Jawa Barat. Oleh karena, kajian ini dilakukan dalam rangka
mengetahui dampak penggunaan pestisida dalam budidaya bawang merah
terhadap residu yang ditimbulkannya.
Metodologi
Kajian dilaksanakan di Desa Tungku Jaya, Kec. Sodoh Buay Rayap,
Kabupaten OKU, Sumatera Selatan yang merupakan salah satu lokasi
205
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
penghasil bawang merah di Propinsi Sumatera Selatan. Kajian dilaksanakan
pada bulan Juni 2014. Metode yang digunakan yakni metode survei dan
wawancara langsung dengan kelompok tani serta dilakukan pengambilan
sampel bawang merah untuk dianalisis residunya. Data yang dikumpulkan di
antaranya adalah karateristik responden, faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan pestisda, eksisting teknologi budidaya terutama dalam
penggunaan pestisida, riwayat serangan OPT, serta residu pestisida pada
umbi bawang merah. Analisis residu dilakukan dengan metode High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) di Laboratorium Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian (Balingtan) Jakenan. Hasil analisis residu dibandingkan
dengan BMR yang mengacu pada SNI 7313:2008 (BSN, 2008).
Hasil dan pembahasan
A. Karakteristik Lokasi Pengkajian dan Responden
Penanaman bawang merah di lokasi penelitian dilakukan selama 2
musim tanam yang diikuti dengan penanaman komoditas cabai merah.
Penanaman bawang merah umumnya dilakukan di sekitar areal perkebunan
karet rakyat, dengan topografi lahan yang miring (Gambar 1). Luas areal
pertanaman bawang merah berkisar antara 0,25-1 ha dengan prouktivitas ratarata 4,5-4,7 tha.
Hasil identifikasi karakter responden menunjukkan bahwa sebagian
besar petani merupakan petani cabai dan hanya sebagian kecil yang menanam
bawang. Menurut mereka penanaman bawang merah dikakukan setelah
adanya program pengembangan kawasan hortikultura yang dilakukan oleh
dinas pertanian. Adapun karakteristik responden disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1. Lokasi pertanaman bawang di Desa Tungku Jaya Kab. OKU
206
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 1. Karakteristik petani bawang merah Desa Tungku Jaya, Kec. Sodoh
Buay Rayap, Kabupaten OKU, Sumatera Selatan yang merupakan
responden penelitian
No. Kategori
Jumlah
1.
Jenis Kelamin
- Laki-laki (orang)
20
- Perempuan (orang)
2.
Jumlah penanam bawang merah (orang)
6
3.
Usia (tahun)
18-55
4.
Pengalaman usahatani
< 5 tahun (%)
95
> 5 tahun (%)
5
Berdasarkan karakter petani yang ditunjukkan pada Tabel 1, dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pengalaman usahatani
yang singkat yakni 95% petani memiliki pengalaman <5 tahun. Pengalaman
yang relatif singkat ini akan mempengaruhi cara budidaya yang mereka
lakukan, sehingga tidak jarang dalam menggunakan pestisida maupun pupuk
hanya dicoba-coba tanpa memperhatikan dosis atau konsentrasi aplikasi yang
dianjurkan. Namun demikian, pengetahuan petani juga akan sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya.
B. Perilaku Petani dalam Menggunakan Pestisida
Perilaku petani bawang merah dalam menggunakan pestisida disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Perilaku petani bawang merah dalam menggunakan pestisida
No.
Persentase
(%)
Persepsi petani terhadap-
Tanggapan petani
1.
Cara memilih jenis pestisida
Sesuai hama/penyakit
100
2.
Alasan menggunakan
pestisida
Ampuh dalam mengatasi
hama/penyakit
100
3.
Tahu
Pengetahuan petani terhadap
Tidak tahu
pestisida alami
4.
Penggunaan pestisida alami
di tingkat petani
5.
Waktu aplikasi pestisida
Tidak Pernah
Benih
Pertanaman
33,3
66,7
100
16,7
100
207
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tahu
6.
7.
8.
9.
10.
Pengetahuan terhadap
dampak negatif pestisida
Tidak tahu
Mencampur beberapa jenis Pernah
pestisida dalam satu kali
aplikasi
2 jenis
Jumlah pestisida yang
dicampur
3 jenis
Pemakaian alat pelindung
a. Sarung tangan
b. Masker
c. Pelindung mata
d. Pelindung kepala
e. Sepatu boot
f. Pakaian kerja (pakaian
lengan panjang)
Penyemprotan saat angin
kencang
16,7
83,3
100
66,7
33,3
0
16,7
0
100
16,7
100
Kadang-kadang
16,7
Tidak pernah
83,3
Kurangnya pengetahuan petani mengenai prosedur aplikasi pestisida
yang tepat ternyata sangat mempengaruhi perilakunya. Pestisida sangat
intensif diaplikasikan pada saat pertanaman dan masih jarang diaplikasikan
pada benih. Beberapa tindakan buruk yang biasa dilakukan petani di antaranya
semua petani bawang merah di lokasi ini biasanya mencampur beberapa jenis
pestisida dalam satu kali aplikasi. Bahkan sebanyak 33,3% petani mencampur
hingga 3 jenis pestisida secara bersamaan baik itu dalam satu kelompok seperti
3 jenis insektisida maupun dari beberapa jenis seperti insektisida+fungisida.
Petani beranggapan bahwa dengan mencampur beberapa jenis pestisida
dalam satu kali penyemprotan dapat meningkatkan efektivitas daya bunuh
pestisida tersebut serta menghemat biaya dan tenaga untuk menyemprot. Hasil
penelitian Basuki (2009) menunjukkan bahwa petani bawang merah di Brebes
dan Cirebon sudah biasa mencampurkan 2−3 jenis insektisida untuk
mengendalikan ulat bawang (Spodoptera exigua). Sebagian petani
mencampurkan insektisida yang bersifat sinergis, walaupun tanpa mereka
sadari. Namun, banyak juga yang menggunakan campuran insektisida yang
berlawanan cara kerjanya (antagonis).
Dalam hal penggunaan pakaian pelindung saat menyemprot, petani
bawang merah masih jarang menggunakannya. Pakaian pelindung sangat
penting dalam aplikasi pestisida karena untuk mencegah terjadinya keracunan
pada petani yang menyemprot. Petani umumnya masih menganggap enteng
pekerjaan penyemprotan pestisida ini. Djojosumarto (2008) menyatakan bahwa
208
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
pekerjaan yang paling sering menimbulkan kontaminasi adalah saat
mengaplikasikan terutama menyemprotkan pestisida. Hasil kajian menunjukkan
pakaian pelindung seperti masker, pelindung mata, sarung tangan dan sepatu
boot masih belum dilakukan petani. Pakaian kerja maupun pelindung kepala
yang umumnya digunakan berbahan kain yang mudah ditembus oleh cairan
pestisida.
C. Batas Maksimum Residu (BMR) Beberapa Pestisida pada Produk
Pertanian
Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil
pertanian baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
penggunaan pestisida, mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa
hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pengotor yang dapat
memberikan pengaruh toksikologik. Tingkat bahaya residu pestisida pada suatu
bahan digambarkan BMR (batas maksimum residu) yaitu konsentrasi
maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui
sebagai konsentrasi yang dapat diterima pada hasil pertanian yang dinyatakan
dalam miligram residu pestisida per kilogram hasil pertanian. Batas maksimum
jenis-jenis residu pestisida yang diperbolehkan terkandung dalam produkproduk hasil pertanian sesuai SNI 7313:2008 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai BMR beberapa jenis pestisida pada komoditas sayuran
No
Komoditas
1
Kentang
2
Tomat
3
Bawang
merah
Jenis Pestisida
Abamektin
Aldikarb
Ditiokarbamat
Fipronil
Imidakloprid
Karbendazim
Karbofuran
Klorpirifos
Profenofos
Abamektin
Ditiokarbamat
Endosulfan
Imidakloprid
Karbenzadim
Batas Maksimum
Residu (mg/kg)
0,01
0,5
0,2
0,02
0,5
3
0,5
2
0,05
0,02
2
0,5
0,5
0,5
Profenofos
2
Hidrazida maleat
15
209
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
4
Cabai merah
5
Kubis
Bendiokarb
Profenofos
Abamektin
Asefat
Karbofuran
0,2
5
0,05
2
0,5
Sumber: SNI 7313:2008
Beberapa jenis pestisida yang umum digunakan petani bawang merah di
lokasi pengkajian ditampilkan pada Gambar 2.
120
100
100
100
80
50
60
40
33,3
33,3
16,7
20
16,7
0
Gambar 2. Jumlah pengguna pestisida berdasarkan bahan aktifnya
Berdasarkan hasil penelitian yang ditampilkan pada Gambar 2, dapat
diketahui bahwa pestisida yang paling banyak digunakan petani yakni
propenofos dan karbofuran (100% petani) dan terendah adalah mankozeb dan
abamektin (16,7% petani). Aplikasi pestisida dalam setiap musim tanamnya di
lokasi ini berkisar antara 4-7 kali penyemprotan untuk setiap jenis pestisida.
Bahkan dalam setiap kali penyemprotan biasanya petani mencampur 2-3 jenis
pestisida. Hasil analisis residu pestisida sampel bawang merah, diperoleh
kandungan residu pestisida seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan residu beberapa jenis pestisida pada umbi bawang merah.
No.
1.
2.
3.
4.
Bahan aktif
Propineb
Profenofos
Karbofuran
Abamektin
Kandungan residu (mg/Kg)
0,026
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
0,024
Tabel 3 menunjukkan bahwa beberapa jenis pestisida masih tersisa
pada umbi bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pestisida yang
petaninya paling banyak menggunakan yakni profenofos dan karbofuran
210
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
(Gambar 2) ternyata tidak terdeteksi kandungan residunya pada bawang
merah. Hal ini bisa disebabkan karena intensitas aplikasi pestisida yang tidak
terlalu sering maupun disebabkan karena pestisida tersebut umumnya
digunakan pada stadia awal pertumbuhan tanaman sehingga residu pestisida
kemungkinan telah hilang.
Pestisida yang terdeteksi kandungannya yakni propineb dan profenofos.
Pestisida propineb yang berfungsi untuk mengendalikan penyakit yang
disebabkan jamur masih terdapat pada umbi dengan kandungan 0,026 mg/Kg.
Kandungan residu ini masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan batas
maksimum residu (BMR) yang disyaratkan untuk beberapa jenis sayuran yakni
hanya 0,02 mg/Kg. Propineb [polymeric zinc propylene-bis-(dithiocarbamate)]
[(C5H8N2S4Zn)x] merupakan salah satu fungisida golongan ditiokarbamat
(Aktar et al., 2009). Residu pestisida berbahan aktif propineb ini masih bisa
bertahan hingga 20 hari setelah aplikasi terakhir. Hayes (1991) menambahkan
propineb bersifat neurotoksik dan menyebabkan sindrom kelenjar vaskular.
Adanya kandungan propineb yang melebihi BMR ini tentunya akan sangat
berbahaya bagi konsumen.
Selain itu, residu pestisida lainnya yang terkandung dalam umbi bawang
merah adalah abamektin. Kandung abamektin yang terdeteksi yakni 0,024
mg/kg. Abamektin merupakan salah satu bahan aktif insektisida yang umumnya
digunakan petani untuk mengendalikan hama. Kaspi dan Parrella (2005)
menyatakan abametktin dapat mengendalikan pengorok daun, tungau, thrip,
kutu daun, dan ulat Lepidoptera. Menurut Udiarto dan Setiawati (2006),
penggunaan pestisida abamektin yang berlebihan dapat berakibat pada
munculnya resistensi dan resurjensi hama. Menurutnya resistensi terhadap
abamektin terjadi pada hama Plutella xylostella strain Garut dan Pengalengan.
Kesimpulan
Pestisida yang paling banyak digunakan petani di antaranya profenofos,
karbofuran, fipronil, propineb, abamektin. Dalam satu kali aplikasi biasanya
pestisida dicampur sebanyak 2-3 jenis dengan alasan mengurangi tenaga dan
biaya penyemprotan. Hasil analisis residu pestisida pada umbi bawang merah
yang dihasilkan menunjukkan kandungan pestisida berbahan aktif propineb
mencapai 0,026 mg/kg dan abamektin mencapai 0,024 mg/kg, sedangkan
pestisida golongan organofosfat maupun karbamat tidak terdeteksi.
Daftar pustaka
Aktar, M.W., M. Paramavisam and D. Sengupta. 2009. Persistence and
Dissipation of Propineb-A Dithiocarbamate Fungicide in Potato under
East-Indian Climatic Conditions. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43: 50 – 55.
Anonim 2008. SNI 7313:2008 Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil
Pertanian. Badan Standarisasi Nasional
211
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Anonim 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Direktorat Pupuk
dan Pestisida. Kementerian Pertanian. 64 hal.
Basuki, R.S. 2009. Pengetahuan petani dan keefektifan penggunaan insektisida
oleh petani dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn pada
tanaman bawang merah di Brebes dan Cirebon. Jurnal Hortikultura
19(4): 459−474.
Djojosumarto. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
Hayes, W.J. 1991. Fungicides and related compounds: Dithiocarbamates, pp
1436-145. In W.J. Hayes and E.R. Laws, (eds.). Handbook of Pesticides
Toxicology. Academic Press, San Diego
Kaspi, R., and M.P. Parrella. 2005. Abamectin compatibility with the leafminer
parasitoid Diglyphus isaea. Biological Control 35: 172–179.
Miskiyah dan S.J. Munarso. 2009. Kontaminasi Residu Pestisida pada Cabai
Merah, Selada dan Bawang Merah (Studi Kasus di Bandungan dan
Brebes Jawa Tengah serta Cianjur Jawa Barat). J.Hort.19 (1):101-111,
2009.
Yuntari, M.G.C., B. Widianarko, dan H.R. Sunoko. 2013. Tingkat Pengetahuan
Petani dalam Menggunakan Pestisida (Studi Kasus di Desa Curut
Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan). Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013. 7 hal.
212
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
DETEKSI SPESIES NEMATODA PURU AKAR (Meloidogyne spp.) PADA
TANAMAN SOLANACEAE DENGAN TEKNIK PCR
Siti Halimah, Siwi Indarti, Bellarminus Triman, Tri Joko
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) merupakan nematoda parasit
tumbuhan utama pada tanaman famili Solanaceae. Lebih dari 90 spesies telah
diidentifikasi secara morfologi. Deteksi secara morfologi membutuhkan
ketrampilan karena nematoda puru akar memiliki morfologi hampir sama dan
variasi intraspesies sangat tinggi. Deteksi secara PCR merupakan salah satu
teknik deteksi yang cepat dan akurat. Penelitian ini bertujuan menerapkan
teknik PCR dalam deteksi spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.)
pada berbagai tanaman inang dan mengetahui spesies-spesies nematoda puru
akar yang berasosiasi dengan tanaman famili Solanaceae. Sampel akar
bergejala puru diambil dari tanaman tomat, terong, cabai, tembakau, kentang,
dan gulma ciplukan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten
Magelang dan Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah. Identifikasi
dilakukan dengan ekstraksi-isolasi nematoda puru akar, ekstrasi DNA
nematoda puru akar dengan metode CTAB, PCR dengan primer MiF/MiR,
Far/Rar/, dan Fjav/Rjav, serta elektroforesis hasil PCR. Hasil PCR multipleks
menunjukkan bahwa pada semua sampel terdeteksi adanya nematoda
Meloidogyne spp. yang teramplifikasi pada kisaran 550-800bp. Hasil PCR
simpleks menunjukkan nematoda M. incognita dapat teramplifikasi dengan
primer MiF/MiR pada ukuran berkisar 550-800bp. Deteksi dengan sidik pantat
menunjukkan bahwa terdapat nematoda M. incognita pada tanaman terong dan
cabai, serta nematoda M. javanica pada tanaman cabai besar.
Kata kunci : deteksi molekuler, Meloidogyne spp., solanaceae.
Pendahuluan
Nematoda puru akar merupakan kelompok besar nematoda parasit
tumbuhan yang telah tersebar di daerah tropis serta memiliki kisaran inang
sangat luas. Lebih dari 90 spesies nematoda puru akar masuk dalam genus
Meloidogyne tetapi terdapat empat spesies utama yang mudah ditemui, yaitu
Meloidogyne incognita, M. javavica, M. arenaria, dan M. hapla (Gharabadiyan
et al., 2012).
Tanaman yang terinfeksi oleh nematoda puru akar
mengalami
gangguan penyerapan air, nutrisi, translokasi mineral, dan fotosintesis. Pada
tanaman menunjukkan gejala klorosis, nekrotik, dan kerdil pada tanaman
213
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
dengan terbentuknya banyak puru akar (Anwar dan McKenry, 2010). Nematoda
parasit tumbuhan dapat menyebabkan kerusakan dengan kehilangan hasil
mencapai 40 sampai 50% atau lebih apabila kerusakan sangat berat (John dan
Wright, 2011).
Deteksi nematoda puru akar dapat menjadi salah satu dasar pada
pengendalian nematoda parasit tanaman (Luc et al., 1995). Terdapat beberapa
teknik untuk mengidentifikasi nematoda puru akar antara lain sidik pantat
(perineal patterns), gejala pada akar, scanning menggunakan mikroskop
elektron, diagnosis karakter, bentuk puru, isozyme phenotyping, dan identifikasi
secara molekuler. Identifikasi spesies nematoda puru akar berdasarkan
karakter morfologi membutuhkan banyak keterampilan dan hasil yang diperoleh
mudah tidak jelas (Haroon et al., 2003). Identifikasi secara morfologi spesies
nematoda Meloidogyne spp. memiliki karakter yang sangat mirip dan variasi
intraspesies yang sangat tinggi. Identifikasi Meloidogyne spp. dengan
menggunakan isozyme phenotyping bersifat cepat dan akurat, namun hanya
terbatas untuk nematoda betina (Hu et al., 2011). Diagnosis berdasarkan
analisis DNA secara molekuler dapat menjadi alternatif. Hal ini dikarenakan
proses yang cepat, akurat, dan sensitif adalah prasyarat untuk diagnosis yang
dapat dipercaya (Tesarova et al., 2003).
Metode untuk identifikasi nematoda puru akar berdasarkan Polymerase
Chain Reaction (PCR) pertama kali dilaporkan oleh Harris et al. (1990), yang
telah berhasil mengamplifikasi DNA mitokondria dari singel L2 yang
dihancurkan dalam air steril dan ditambahkan kedalam reaksi PCR. Adam et al.
(2007) dengan membuat kunci identifikasi molekuler dan ukuran pita DNA untuk
Meloidogyne spp. Pada tahun 2011, Hu et al., menggunakan metode multipleks
PCR untuk identifikasi nematode puru akar dengan reaksi bersama dan deteksi
Meloidogyne spp. menggunakan ekstraksi DNA langsung dari gall tunggal.
Referensi mengenai identifikasi spesies nematoda Meloidogyne spp.
secara molekuler pada tanaman Solanaceae belum banyak dilakukan di
Indonesia. Hal ini dikarenakan teknik identifikasi yang banyak digunakan adalah
secara morfologi dan morfometri. Oleh karena itu, proses deteksi secara
molekuler dengan teknik PCR perlu dilakukan sehingga dapat membantu serta
mempercepat langkah deteksi dalam upaya tindakan pengendalian nematoda
Meloidogyne spp. pada tanaman Solanaceae.
Bahan dan metode
1. Bahan
Sampel nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) betina dewasa pada
tanaman tomat (Solanum lycopersicum), cabai (Capsicum annum), terong
(Solanum melongena), kentang (Solanum tuberosum), tembakau (Nicotiana
tabacum L.), dan ciplukan (Physalis angulata). Lokasi pengambilan sampel
214
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
dilakukan dibeberapa wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
Temanggung, serta Ngablak, Magelang, Jawa Tengah.
2. Metode Penelitian
Deteksi spesies nematoda puru akar secara molekuler dan morfologi
dilakukan di Laboratorium Nematologi, Laboratorium Bakteriologi, dan
Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan Klinik, Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
A. Ekstraksi DNA nematoda puru akar menggunakan metode CTAB
Ekstraksi-isolasi nematoda puru akar dilakukan berdasarkan metode Barker
et al. (1985) yang telah dimodifikasi dengan mengeluarkan nematoda betina
dari akar dengan jarum nematoda dan pengait nematoda. Nematoda sebanyak
20 ekor dibersihkan dengan air steril kemudian dipindahkan dalam tabung
ependorf ukuran 1,5 ml. Nematoda dihancurkan di dalam tabung ependorf
menggunakan batang plastik dan diberi buffer ekstraksi CTAB sebanyak 700 µl.
Sampel diinkubasi dalam waterbath (65 0C selama 30 menit). Tabung diambil
dan disentrifus 5000 rpm selama 5 menit. Ekstrak sampel ditambah kloroform :
isoamilalkohol (24:1). Tabung disentrifus 12000 rpm selama 10 menit. Sampel
disentrifus 12000 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan dipindahkan ke
tabung baru. Sampel ditambah larutan ethanol absolute dingin. Sampel
disimpan dalam freezer -20 0C semalam. Sampel disentrifus pada 12000 rpm
selama 10 menit dan supernatan dibuang. Tabung yang mengandung pelet
DNA dituangi etanol 70% dingin. Tabung disentrifus pada 12000 rpm selama 10
menit dan supernatan dibuang. Selanjutnya pelet dikeringanginkan dan
ditambah buffer TE sebanyak 20-100 µl tergantung besarnya pelet DNA, lalu
tabung digoyang agar pelet tersuspensi secara sempurna dalam buffer TE
(Subandiyah, 2003).
B. PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR Multipleks : komposisi yang digunakan meliputi 2 μl DNA sampel,
12,5 μl Go Taq®Green Master Mix (Promega),1 μl MiF, 1 μl MiR, 1 μl Fjav, 1 μl
Rjav, 1 μl Far, 1 μl Rar, 4,5 μl Aquabides. PCR Simpleks : komposisi yang
digunakan meliputi 2 μl DNA sampel, 12,5 μl Go Taq®Green Master Mix
(Promega),1 μl MiF, 1 μl MiR, dan 8,5 μl Aquabides.
Amplifikasi DNA dilakukan dengan denaturasi awal pada 94ºC selama 3
menit, kemudian dilanjutkan dengan 35 siklus yang melalui tiga tahapan,
denaturation pada 94°C selama 30 detik, anneling pada 58°C selama 1 menit
dan extention pada 72°C selama 1 menit. Siklus terakhir pada 72°C selama 10
menit, kemudian siklus berakhir dengan suhu 4ºC (Devran dan Söğüt, 2009).
DNA hasil PCR dimasukkan dalam sumuran gel agarose 1% dan
dielektroforesis dengan tegangan sebesar 60 volt, 400 ma selama 50 menit.
Hasil elektroforesis divisualisasi dengan mesin UV dan didokumentasi (Hikmia
215
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
et al. cit Halimah et al., 2013). Hasil visualisasi PCR dilanjutkan dengan analisis
hasil PCR berdasarkan ukuran panjang basa DNA (Tabel 1).
Tabel 1. Ukuran panjang basa DNA Meloidogyne spp.
Spesies
Primer set (5’-3’)
Amplicon
lenght
M.
arenaria
Reference
Far: TCGGCGATAGAGGTAAATGAC
Rar: TCGGCGATAGACACTACAACT
420 bp
Zijlstra et al., 2000
MiF: GTGAGGATTCAGCTCCCCAG
MiR:
ACGAGGAACATACTTCTCCGTCC
M.
Fjav: GGTGCGCGATTGAACTGAGC
javanica
Rjav:
CAGGCCCTTCAGTGGAACTATAC
Sumber : Perry et al., (2009)
955 bp
Meng et al., 2004
670 bp
Zijlstra et al., 2000
M.
incognita
C. Deteksi Nematoda Puru Akar Secara Morfologi Dengan Sidik Pantat
Deteksi secara morfologi berdasarkan metode Taher et al., (2012) yang
dimodifikasi yaitu dengan nematoda Meloidogyne spp. betina dipotong pada
bagian posterior menggunakan pisau yang telah dimodifikasi. Bagian yang telah
terpotong dibersihkan dan dipindah ke larutan asam laktat dan dipindah ke
larutan gliserin. Sidik pantat yang telah diperoleh diamati dengan mikroskop
kemudian dilakukan dokumentasi menggunakan kamera optiLab.
Hasil dan pembahasan
1. Deteksi Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) berdasarkan
gejala serangan pada tanaman soalanaceae
Gejala serangan nematoda puru akar pada beberapa tanaman famili
Solanacea dapat dilihat pada Gambar 1. Nezriyetti dan Novita (2012)
mengemukakan bahwa tanaman yang terserang nematoda puru akar memiliki
pertumbuhannya terhambat, tanaman kerdil, daun menguning, keriting dan
membengkok, layu, gosong dan akhirnya gugur. Gejala serangan di bawah
permukaan tanah pada akar ditemui adanya puru akar. Tanaman tomat yang
terserang Meloidogyne spp. mengalami pembengkakan pada bagian akar
(Gambar 1.B.) Akar tanaman terong (Gambar 1.F.), cabai (Gambar 1.D.),
tembakau (Gambar 1.H.), dan ciplukan (Gambar 1.J.), puru yang terbentuk
hanya sedikit. Umbi kentang yang terserang nematoda puru akar mengalami
malformasi pada permukaan kulit, yaitu terdapat bintil. Vovlas et al. (2005),
menyatakan nematoda betina dan massa telur terdapat pada bawah lapisan
epidermis. Massa telur yang menetas menjadi larva stadia dua (2) dan bibit
kentang menjadi sumber inokulum pada lahan tanam yang baru.
216
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 1. A-J. Gejala serangan nematoda puru akar (Meloidogyne
(Meloidogyne spp.) pada
sampel tanaman pada permukaan tanah dan akar famili solanacea; A
A-B:
tanaman tomat; C-D:
D: tanaman cabai; E-F:
E F: tanaman terong; G: umbi kentang; H:
tanaman tembakau; I-J:
J: gulma ciplukan.
2. Deteksi
eteksi Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne
(
spp.) dengan teknik
PCR
Hasil PCR multipleks menunjukkan pita DNA sampel nematoda puru akar
pada tanaman Soalanaceae hanya berhasil mengamplifikasi satu band
dengan kisaran ukuran 550-800
550 800 bp yang terlihat pada Gambar 2. Pita DNA
Meloidogyne spp. yang teramplifikasi tersebut memiliki 3 variasi ukuran.
Sampel nomor 1,2,3,10, dan 11 teramplifikasi pada ukuran basa ±550 bp.
Sampel nomor 4, 6, dan 8 teramplifikasi pada ukuran basa ±750 bp. Sampel
nomor 7 dan 9 teramplifikasi pada ukuran ±800bp. Sampel
Sampel nomor 5 tidak
menunjukkan hasil. Ukuran pita DNA yang teramplifikasi tersebut mendekati
ukuran pita DNA Meloidogyne javanica yaitu 720bp (Adam et al
al., 2007).
Diduga pada hasil tersebut terdapat variasi genetik akibat perbedaan inang.
Gambar 2. Visualisasi
alisasi hasil amplifikasi DNA Meloidogyne incognita pada
tanaman solanaceae; M: marker 1 kb (Vivantis); 1-2:
2: sampel tanaman
terong; 3-5:
5: sampel tanaman cabai: 6-8:
6 8: sampel tanaman tomat; 9: sampel
gulma ciplukan; 10: sampel umbi kentang; 11: sampel tanaman tembakau.
Penelitian ulang dilakukan dengan menggunakan satu set primer pada
masing-masing
masing sampel DNA. Dari tiga set primer yang digunakan, hanya
217
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
primer MiF/MiR yang dapat mengamplifikasi DNA sampel dengan target
nematoda M. incognita.. Hasil PCR ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3.. Visualisasi hasil PCR DNA Meloidogyne spp. dengan primer
MiF/MiR berdasarkan tanaman sampel; A: tomat; B: cabai; C: terong; D:
kentang; E: tembakau; F: ciplukan. Marker 1 kb (Vivantis).
Visualisasi hasil PCR simpleks menggunakan
menggunakan primer Mi mampu
mengamplifikasi DNA sampel dengan 3 variasi ukuran seperti pada hasil
PCR secara multipleks. Ukuran pita yang dihasilkan terdapat pada kisaran
550-800 bp. Hu et al.,
., (2011), mengemukakan bahwa M. incognita dapat
teramplifikasi menggunakan primer MiF/MiR pada ukuran pita 955 bp. Hal
serupa terjadi pada penelitian Tesarova (2003) bahwa ukuran 436 bp dengan
primer bukan Mi yang seharusnya dihasilkan oleh M. incognita memiliki
ukuran yang sama dengan M. arenaria dan M. javanica.
Hasil penelitian Qiu et al.. (2006) juga menunjukkan bahwa dari 15
sampel yang digunakan hanya satu sampel yang teramplifikasi dengan
primer Mi. Primer tersebut memungkinkan dapat mengamplifikasi DNA
sampel non target. Devran dan Söğüt (2009)
(2009) menambahkan primer tersebut
tidak spesifik untuk mengidentifikasi M. incognita.. Dalam penelitiannya, DNA
M. javanica yang merupakan DNA non-target
non target berhasil teramplifikasi dengan
primer ini.
Untuk mendukung hasil identifikasi secara molekuler dilakukan
identifikasi nematoda puru akar secara morfologi yaitu dengan sidik pantat
(perinneal pattern).
). Dari beberapa sampel nematoda betina yang diisolasi
dari akar dan umbi kentang, diperoleh hasil seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Pola perinneal pattern nematoda puru akar; a: M. incognita
incognita; b: M.
javanica; c: M. arenaria;; d: M. hapla (Eisenback, 1981 cit Taher et al., 2012);
e: M. incognita dari umbi kentang; f-g:
f M. incognita dari akar tanaman terong;
h: M. javanica dari akar tanaman cabai; perbesaran 400x.
218
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pola perinneal pattern pada Gambar 4. menunjukkan bahwa pada
tanaman terong dan umbi kentang telah terserang oleh nematoda M.
incognita. Pada akar tanaman cabai diperoleh satu nematoda M. javanica
dan dua nematoda M. incognita dari tiga ulangan sidik pantat. Pada deteksi
nematoda secara molekuler tidak diperoleh pita DNA nematoda M. javanica
tetapi nematoda M. incognita. Hal ini terjadi diduga konsentrasi DNA
nematoda M. javanica tidak mencukupi untuk PCR sehingga hanya DNA
nematoda M. incognita yang dapat teramplifikasi.
Kesimpulan
1. Deteksi spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) pada tanaman
famili Solanaceae dapat dilakukan secara molekuler dengan primer spesifik
spesies.
2. Hasil PCR menunjukkan tanaman tomat, cabai, terong, tembakau, umbi
kentang, dan ciplukan dapat berasosiasi dengan nematoda Meloidogyne
incognita.
Daftar pustaka
Adam, M. A. M., M. S. Phillips, dan V. C. Blok. 2007. Molecular diagnostic key
for identification of single juvenils of seven common and economically
important species of root-knot nemtode (Meloidogyne spp.). Journal of
Plant Pathology. 56: 190-197.
Anwar, S.A. dan M. V. McKenry. 2010. Incidence and reproduction of
Meloidogyne incognita on vegetable crop genotypes. Pakistan Journal
Zoological. 42(2): 135-141.
Barker, K.R., C.C. Carter, dan J.N. Sasser. 1985. An Advanced Treatise on
Meloidogyne volume II: Methodology. North Caroline State Uniersity
Graphics, North Caroline USA.
Devran Z., dan M.A. Söğüt. 2009. Population and identification of root-knot
nematodes from Turkey. Journal of Nematology. 41(2): 128-133.
Gharabadiyan, F., S. Jamali, A. A. Yazdi, dan A. Eskandari. 2012. Source of
resistance to root-knot nematode (Meloidogyne javanica) in tomato
cultivars. Journal of Agriculture Technology. 8 (6): 2011-2021.
Halimah, Supramana, dan G. Suastika. 2013. Identifikasi spesies Meloidogyne
pada wortel berdasarkan sikuen nukleotida. Jurnal Fitopatologi. 9(1) : 16.
Haroon S., A. El-Ghor, M. A. El-Rheem, dan A. Abdella. 2003. Identification of
different root-knot nematodes and detection on intraspecific and
intrapopulation genetic variabilities between different nematode sample
using RAPD technique. Arab Journal Biotechnology. 6(2): 247-266.
219
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Harris, T. S., L.J. Sandal, T. O. Powers. 1990. Identification of single
Meloidogyne juvenils by polymerase chain reaction amplification of
mitochondrial DNA. Journal of Nematology. 22: 518-524.
Hu, M. X., K. Zhuo, dan J. L. Liao. 2011. Multiplex PCR for the simultaneous
identification and detection of Meloidogyne incognita, M. enterolobii, and
M. javanica using DNA extracted directly from individuals galls. Journal of
Phytopathology. 101(11): 1270-1277.
John, T. M. dan M. G. Wright. 2011. Fungi and theri use in the possible control
of nematodes in Botswana soils. The African Journal of Plant Science
and Biotechnology. 5: 33-40.
Luc, M., R.A. Sikora, dan J. Bridge. 1995. Nematoda Parasitik Tumbuhan di
Pertanian Subtropik dan Tropik. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Nezriyetti dan T. Novita. 2012. Efektivitas ekstrak daun jarak pagar (Jatropa
curcas L.) dalam menghambat perkembangan nematoda puru akar
Meloidogyne spp. pada tanaman tomat. Biospecies. 5(2): 35-39.
Perry R. N., M. Moens, dan J. L., Starr. 2009. Root-knot Nematodes. CAB
International.
Powers, T. O., Harris T. S. 1993. A polymerase chain reaction method for
identification of five major Meloidogyne species. Journal of Nematology.
25(1):1-6.
Qiu J.J., B.B. Westerdahl, C. Anderson, dan V.M. Williamson. 2006. Sensitive
PCR detection of Meloidogyne arenaria, M. incognita, dan M. javanica
extracted from soil. Journal of Nematology. 38(4): 434-441.
Subandiyah, S. 2003. Cara Kerja Ekstraksi DNA menggunakan CTAB.
Workshop and training course on molecular detection for plant and
environmental protection. Fakultas Pertanian. Univesitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. 15-20 Desember 20013.
Taher M., Supramana, dan G. Suastika. 2012. Identifikasi Meloidogyne
penyebab umbi bercabang pada wortel di dataran tinggi Dieng. Jurnal
Fitopatologi Indonesia. 8(1): 16-21.
Tesarova, B., M. Zouhar, P. Rysanek. 2003. Development of PCR for specific
determination of root-knot nematode Meloidogyne incognita. Plant
Protection Science. 39: 23–28.
Vovlas, N., D. Mifsud, B. B. Landa, and P. Castilo. 2005. Pathogenicity of the
root-knot nematode Meloidogyne javanica on potato. Plant Pathology.
54: 657-664.
220
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PETANI
PADI IRIGASI DALAM MENGGUNAKAN PESTISIDA
(Kasus: Desa Srikaton, Kec. Buay Madang Timur, Kab. OKU Timur)
Syahri, Renny Utami Somantri dan Sidiq Hanapi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jl. Kol H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang Telp. (0711) 410155
Email: [email protected]
Abstrak
Penggunaan pestisida di kalangan petani padi khususnya lahan irigasi
sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sama halnya dengan mengobati
tanaman. Beberapa petani misalnya bahkan melakukan penyemprotan
pestisida hingga 3 kali dalam seminggu dan bahkan terkadang mencampur 2-3
jenis pestisida dalam satu kali aplikasi. Tujuan kajian ini untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam menggunakan pestisida
kimiawi serta aplikasi yang diterapkannya. Kajian dilaksanakan di sentra
pertanaman padi irigasi yakni Desa Srikaton, Kec. Buay Madang Timur,
Kabupaten OKU Timur, Propinsi Sumatera Selatan pada bulan Juni 2014.
Kajian dilakukan dengan metode wawancara dengan 20 orang anggota
Gapoktan, 2 orang petugas lapang, serta pengamatan langsung pada
pertanaman padi.
Hasil kajian menunjukkan walaupun dengan tingkat
pendidikan yang tinggi (76,5% berpendidikan SMA) serta pengalaman
usahatani yang lama (64,7% berpengalaman usahatani >10 tahun) ternyata
petani di lokasi ini masih melakukan prosedur penggunaan pestisida yang
kurang tepat. Sebanyak 69,2% petani biasanya mencampur 2-3 jenis pestisida
dalam satu kali aplikasi tanpa memperhatikan dosis maupun bahan aktifnya.
Ada sebanyak 38,5% petani masih melakukan penyemprotan berlawanan
dengan arah angin. Bahkan, hasil pengkajian menunjukkan bahwa sebagian
besar petani tidak mengetahui pestisida alami (64,7% petani) dan hanya 35,3%
yang mengetahui. Mereka beranggapan bahwa pestisida alami kurang efektif
dalam mengendalikan hama dibanding pestisida kimia (94,2% petani) serta
pestisida alami lebih sulit diperoleh dibandingkan pestisida kimia (41,2%
petani).
Kata kunci: padi irigasi, pestisida, petani.
Pendahuluan
Beras mempunyai peranan penting dalam kehidupan rakyat dan
perekonomian Indonesia. Selain bersifat strategis, juga merupakan barometer
kecukupan pangan khususnya di daerah pedesaan, serta merupakan bahan
makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Erwidodo dan
221
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pribadi (2004), memperkirakan Indonesia masih akan menghadapi defisit beras
untuk beberapa tahun mendatang karena pengelolaan lahan pertanian masih
belum optimal. Makarim et al. (2000) menyatakan bahwa belum optimalnya
produktivitas padi di lahan sawah, antara lain disebabkan oleh rendahnya
efisiensi pemupukan, kahat unsur mikro, sifat fisik tanah tidak optimal,
penggunaan benih kurang bermutu, varietas yang dipilih kurang adaptif, belum
efektifnya pengendalian hama penyakit, dan pengendalian gulma kurang
optimal. Produktivitas padi irigasi dapat terus ditingkatkan dengan menerapkan
paket teknologi seperti pemupukan dengan takaran tinggi, penambahan bahan
organik melalui pengembalian sisa-sisa bahan organik, dan pengaturan
pemberian air irigasi (Hikmatullah et al., 2002).
Upaya peningkatan mutu dan produktivitas padi di lahan irigasi tidak
terlepas dari penggunaan pestisida untuk membasmi hama tanaman. Namun,
penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak terkendali dapat memberikan
risiko keracunan bagi petani. Menurut Wiratno et al. (2013), penggunaan
pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahuntahun setelah pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat
menurunnya populasi mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di
dalamnya. Selain itu, pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan
resistensi, resurjensi dan ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh
alami hama.
Penggunaan pestisida di kalangan petani sudah menjadi kebiasaan dan
dianggap sama halnya dengan mengobati tanaman. Beberapa petani misalnya
bahkan melakukan penyemprotan pestisida hingga 3 kali dalam seminggu dan
bahkan terkadang mencampur 2-3 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi.
Disamping karena keterbatasan pengetahuan petani, penggunaan pestisida
yang terus-menerus ini dikarenakan beberapa faktor yang dianggap petani
memberikan kemudahan bila mereka menggunakan pestisida kimia dibanding
penggunaan bahan lainnya. Kemudahan tidak sekadar aplikasinya tetapi juga
kemudahan dalam mendapatkannya.
Selain itu, adanya efek langsung
terhadap hama penyakit sasaran setelah diaplikasikan pestisida semakin
menambah kepercayaan petani untuk tetap menjadikan pestisida kimiawi di
urutan teratas.
Bahaya pestisida tidak hanya secara langsung bagi petani
saat menyemprot tetapi juga risiko residu yang ditimbulkannya pada tanah,
tanaman dan produk yang dihasilkannya. Oleh karena, tulisan ini dibuat untuk
memberikan informasi mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi aplikasi
pestisida di tingkat petani serta sejauhmana kesesuaian aplikasi yang petani
lakukan dengan pedoman yang telah ada.
Metodologi
Kajian dilaksanakan di lokasi sentra pertanaman padi irigasi yakni Desa
Srikaton, Kec. Buay Madang Timur, Kabupaten OKU Timur, Propinsi Sumatera
222
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Selatan pada bulan Juni 2014. Pengkajian dilakukan dengan metode
wawancara dengan anggota Gapoktan serta pengamatan langsung pada
pertanaman padi. Petani yang diwawancari berjumlah sebanyak 17 orang yang
dipilih secara sengaja serta 2 orang petugas lapang (PPL/PHP). Wawancara
dilakukan untuk mengetahui karakteristik responden, cara budidaya terutama
dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penggunaan
pestisida, penggunaan pestisida alami di tingkat petani..
Hasil dan pembahasan
A. Karakteristik Responden
Adapun karakteristik responden secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik petani padi di Desa Srikaton
No. Kategori
1.
Jenis Kelamin
- Laki-laki (orang)
- Perempuan (orang)
2.
Usia (tahun)
3.
Luas lahan milik sendiri (ha)
4.
Pengalaman usahatani
< 10 tahun (%)
>10 tahun (%)
5.
Pendidikan
- SD (%)
- SMP (%)
- SMA (%)
- S1 (%)
6.
Jumlah anggota keluarga yang membantu bertani
(orang)
Jumlah
17
23-64
0,25-1,5
35,3
64,7
5,8
5,8
76,5
11,6
1-6
Tabel 1 memperlihatkan bahwa sebagian besar petani merupakan usia
produktif dengan kepemilikan lahan yang kecil hingga cukup luas yakni 0,25-1,5
ha. Sebagian besar petani cukup berpengalaman dalam budidaya tanaman, hal
ini terlihat dari pengalaman usahatani mereka yakni 64,7% di antaranya telah
bertani > 10 tahun. Pengalaman bertani ini juga didukung dengan tingkat
pendidikan yang tinggi dari petani yakni lebih dari 50% di antaranya
berpendidikan SMA dan bahkan 11,6% berpendidikan S1. Menurut Parera
(2004), salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan terhadap
kesehatan adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan responden yang ratarata rendah akan menyebabkan kemampuan responden untuk memahami
informasi tentang pestisida menjadi berkurang dan berdampak pada rendahnya
tingkat pengetahuan responden tentang pestisida.
223
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
B. Eksisting Teknologi Budidaya Padi
Penanaman padi dilakukan hampir sepanjang tahun atau dengan indeks
pertanaman 300 (IP 300). Pola tanam yang diterapkan di desa ini yakni padipadi-padi. Beberapa VUB padi yang pernah ditanam di antaraya varietas Inpari
1, 3, 4, 6, 9, 10, 12,13, dan Inpari 15, Mekongga, Situbagendit, Ciliwung, dan
varietas Ciherang. Dari semua varietas yang ditanam tersebut, yang saat ini
paling disukai petani adalah varietas Ciliwung dan Ciherang (Gambar 1). Hal ini
disebabkan kedua varietas tersebut telah terbukti secara terus-menerus mampu
berproduksi tinggi yaitu 6-7 ton/ha dan mudah dijual. Pupuk yang digunakan di
antaranya pupuk Phonska 250 kg/ha, urea 150-200 kg, SP-36 100 kg/ha.
Penentuan dosis pupuk ini hanya didasarkan pada kebiasaan yang mereka
anggap memberikan hasil yang baik sehingga kebutuhan pupuk pada setiap
musimnya akan sama.
50,0
45,0
40,0
35,0
30,0
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
47,1
23,5
11,8
Ciherang
Ciliwung
5,9
5,9
Inpara 6
Inpari 12
5,9
Mekongga
Situ
Bagendit
Gambar 1. Beberapa varietas padi yang ditanam oleh petani di Desa Srikaton
Pengendalian hama penyakit umumnya masih sangat bergantung pada
penggunaan pestisida sintetis. Petani belum pernah mengaplikasikan
biopestisida dikarenakan ketersediaan biopestisida di lapangan masih sangat
sedikit dan sulit ditemukan di kios-kios desa. Pestisida kimia sintetis yang
sering digunakan di antaraya adalah insektisida berbahan aktif klorantraniliprol
+ thiamethoksam dengan dosis 7,5 cc/15 l air, klorantraniliprol 15-30 cc/15 l air
untuk mengendalikan hama penggerek batang, wereng, dana walang sangit,
fungisida difenokonazol 10 cc/15 l air yang digunakan untuk mengendalikan
penyakit blas (patah leher), serta penggunaan copper oxysulfate sebanyak 2030 cc/15 l air untuk mencegah serangan penyakit kresek.
C.
Riwayat Serangan OPT Padi di Desa Srikaton dan Upaya
Pengendaliannya
Berdasarkan laporan Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BPTPH) Propinsi Sumatera Selatan (2014), Kecamatan Buay
224
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Madang Timur merupakan daerah endemis kresek dengan luas serangan
kresek sebanyak 121,5 ha. Sedangkan hasil wawancara diketahui bahwa hama
dan penyakit utama menyerang tanaman padi di antaranya adalah tikus,
penggerek batang padi, keong mas dan penyakit kresek yang dijumpai pada
musim tanam sebelumnya. Berdasarkan informasi, tahun 2013 serangan
penyakit patah leher sangat parah sehingga menyebabkan kerugian yang
besar, dimana dari setiap 1 bahu lahan (0,72 ha) hanya dihasilkan 15 karung
gabah, padahal jika kondisi normal biasanya dihasilkan sebanyak 60-70 karung.
Oleh karena itulah petani menggunakan pestisida untuk mengendalikannya.
Penggunaan pestisida kimia di tingkat petani sangat intensif dilakukan sejak
persemaian hingga panen (Gambar 2). Namun jarang dilakukan saat
penyimpanan dikarenakan hasil panen biasanya tidak dijadikan benih dan akan
segera digunakan dalam jangka waktu yang tidak lama.
Gambar 2.Jenis pestisida dan waktu penggunaan berdasarkan stadia tumbuh
tanaman padi.
D. Pemilihan Pestisida di Tingkat Petani
Beberapa faktor yang menjadi alasan petani dalam memilih pestisida
adalah tingginya serangan hama penyakit padi di lokasi pengkajian sehingga
mereka mengalami ketergantungan untuk menggunakan pestisida kimia dalam
mengendalikannya. Faktor-faktor yang menyebabkan petani memilih pestisida
kimia dijasikan pada Tabel 2.
Tabel 2.Faktor-faktor yang menyebabkan petani menggunakan pestisida
No.
Kriteria penilaian
1.
Harga pestisida kimia
2.
Alasan utama
menggunakan pestisida
kimia
Persentase
(%)
35,3
64,7
Tanggapan petani
Murah/terjangkau
Mahal
Ampuh mengendalikan OPT
Mudah
diperoleh
diaplikasikan
70,6
dan
76,5
225
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Sesuai jenis OPT
88,2
Sering digunakan petani lain
11,8
Berdasarkan kebiasaan
23,5
4.
Asal informasi
penggunaan pestisida
yang dipilih
Pedagang/formulator
PPL/PHP
Petani/poktan lainnya
47,1
52,9
35,3
5.
Pengetahuan pada
pestisida alami
Tahu
35,3
Tidak tahu
64,7
Penggunaan pestisida
alami di tingkat petani
Pernah
23,5
3.
6.
7.
8.
Jenis pestisida yang
dipilih
Tidak Pernah
Efektivitas pestisida alami Lebih efektif
dibandingkan kimia
Kurang efektif
Susah diperoleh
Alasan tidak
menggunakan pestisida
Harga mahal
alami
Tidak efektif
70,5
5,8
94,2
41,2
11,8
47
Berdasarkan Tabel 2, lebih dari 50% petani beranggapan bahwa harga
pestisida kimia relatif mahal (64,7% petani). Namun demikian, alasan utama
petani padi irigasi masih tetap menggunakan pestisida kimia adalah karena
pestisida mudah diperoleh dan diaplikasikan (76,5% petani) serta ampuh dalam
memberantas OPT (70,6% petani). Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian
besar petani telah memilih pestisida berdasarkan jenis OPT yang menyerang,
hal ini karena menurut mereka informasi mengenai jenis pestisida tersebut
sebagian besar berasal dari petugal lapang (PPL/PHP). Laba dan Trisawa
(2008) menyatakan penggunaan pestisida dapat menimbulkan dampak
terhadap hama utama serta organisme bukan sasaran. Isenring (2010)
menambahkan penggunaan pestisida dengan bahan aktif yang sangat toksik
dan sulit terdegradasi juga menimbulkan berbagai dampak negatif pada
lingkungan, seperti hilangnya keragaman hayati, menurunnya populasi
organisme berguna seperti musuh alami, dan pencemaran lingkungan. Karena
alasan tersebut, maka dalam penggunaan pestisida harus memperhatikan halhal sebagai berikut: a) Pestisida hanya digunakan sebagai alternatif terakhir,
apabila belum ditemukan cara pengendalian daya racun rendah dan bersifat
selektif, b) apabila terpaksa menggunakan pestisida, maka gunakan Pestisida
yang mempunyai daya racun rendah dan bersifat selektif, c) apabila terpaksa
menggunakan pestisida, lakukan secara bijaksana yakni dengan menerapkan
226
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
prinsip 5 (lima) tepat: tepat sasaran, tepat jenis, tepat waktu, tepat
dosis/konsentrasi, dan tepat cara (Anonim, 2011).
Dengan berdasarkan berbagai kajian di atas, maka penggunaan
pestisida alami mutlak diperlukan sebagai tindakan yang lebih aman terhadap
lingkungan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa sebagian besar petani tidak
mengetahui pestisida alami (64,7% petani) dan hanya 35,3% yang mengetahui.
Akan tetapi, hanya 23,5% saja dari petani yang tahu yang menggunakan
pestisida alami. Mereka beranggapan bahwa pestisida alami kurang efektif
dalam mengendalikan hama dibanding pestisida kimia (94,2% petani) serta
pestisida alami lebih sulit diperoleh dibandingkan pestisida kimia (41,2%
petani). Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah dengan mengenalkan
pestisida alami secara terus-menerus kepada petani serta berusaha untuk
meyakinkan petani bahwa pestisida alami juga mampu memberikan hasil yang
bagus untuk mengendalikan OPT serta mudah diperoleh dan diaplikasikan di
lapangan.
E. Prosedur Penggunaan Pestisida
Kesalahan dalam prosedur penggunaan pestisida kimiawi akan
berdampak buruk. Penilaian terhadap prosedur penggunaan pestisida petani
kentang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Penilaian terhadap prosedur penggunaan pestisida pada petani
kentang
Persentase
No.
Persepsi petani terhadapTanggapan petani
(%)
1. Mencampur beberapa jenis Pernah
94,1
pestisida dalam satu kali Tidak pernah
5,9
aplikasi
2. Alasan mencampur pestisida Lebih efektif
29,4
Menghemat biaya/tenaga
70,6
aplikasi
4. Penggunaan alat pelindung
a. Sarung tangan
11,8
b. Masker
23,5
c. Pelindung mata
0
d. Pelindung kepala (topi)
52,9
e. Sepatu boot
5,9
f. Pakaian kerja (pakaian
100
bertani lengan panjang)
Beberapa hal buruk yang dilakukan petani dalam menggunakan
pestisida kimia adalah kebiasan mereka dalam mencampur beberapa jenis
pestisida dalam satu kali aplikasi (94,1% petani pernah mencampur pestisida)
227
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
dengan alasan menghemat biasa/tenaga aplikasi dan tanpa memperhatikan
jenis/bahan aktif pestisida tersebut. Dalam hal penggunaan pakaian pelindung
saat menyemprot, petani masih jarang menggunakannya. Pakaian pelindung
sangat penting dalam aplikasi pestisida karena untuk mencegah terjadinya
keracunan pada petani yang menyemprot. Petani umumnya masih
menganggap enteng pekerjaan penyemprotan pestisida ini. Djojosumarto
(2008) menyatakan bahwa pekerjaan yang paling sering menimbulkan
kontaminasi adalah saat mengaplikasikan terutama menyemprotkan pestisida.
Penyemprotan pestisida yang tidak memenuhi aturan akan mengakibatkan
banyak dampak, di antaranya dampak kesehatan bagi manusia yaitu timbulnya
keracunan pada petani itu sendiri (Djafaruddin, 2008). Hasil kajian
menunjukkan >50% petani masih belum menggunakan sarung tangan, masker,
dan pelindung mata, sepatu boot dalam menyemprot. Menurut mereka hampir
100% di antaranya telah menggunakan pelindung kepala dan pakaian kerja
saat menyemprot. Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan sebagian
besar petani belum menerapkan penggunaan pakaian pelindung secara
sempurna. Pakaian kerja maupun pelindung kepala yang umumnya digunakan
berbahan kain yang mudah ditembus oleh cairan pestisida. Padahal pestisida
dapat masuk ke tubuh manusia atau hewan kontaminasi lewat kulit. Pestisida
yang menempel di permukaan kulit dapat meresap ke dalam tubuh dan
menimbulkan keracunan (Kementerian Pertanian, 2011).
Kesimpulan
Alasan utama petani padi irigasi menggunakan pestisida kimia dalam
mengendalikan OPT adalah karena pestisida mudah diperoleh dan
diaplikasikan (76,5% petani) serta ampuh dalam memberantas OPT (70,6%
petani). Sebagian besar petani telah memilih pestisida berdasarkan jenis OPT
yang menyerang dan informasinya diperoleh dari petugas lapang (PPL/PHP).
Sebanyak 64,7% petani tidak mengetahui pestisida alami, mereka beranggapan
bahwa pestisida alami kurang efektif dalam mengendalikan hama dibanding
pestisida kimia (94,2% petani) serta pestisida alami lebih sulit diperoleh
dibandingkan pestisida kimia (41,2% petani).
Daftar pustaka
Anonim. 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Anonim 2011.
Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Direktorat Pupuk dan
Pestisida. Kementerian Pertanian. 64 hal.
Djojosumarto. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
Erwidodo dan P. Pribadi. 2004. Permintaan dan Produksi Beras Nasional:
Surplus atau Defisit?. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia.
228
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Penyunting: Fasisal Kasryno, E. Pasandaran, AM Fagi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Hikmatullah, Sawiyo, N. Suharta. 2002. Potens dan Kendala Pengembangan
Sumber Daya Lahan untuk Pencetakan Sawah Irigasi di Luar Jawa.
Jurnal Litbang Pertanian 21: 115-123.
Isenring, R. 2010. Pesticides and the loss of biodiversity. How intensive
pesticide use affects wildlife population and species diversity. Pesticide
Action Network, Europe. 26 pp. Development House 56−64 Leonard
Street, London EC2A 4LT. www.pan-europe.info.
Laba, IW dan I.M. Trisawa. 2008. Tinjauan masalah serangga hama dan
pengelolaannya. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi
Indonesia Cabang Palembang dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia
Komda Sumsel. Palembang, 18 Oktober 2008.
Makarim, A.K, S. Abdurachman, dan S. Purba. 2000. Efisiensi input tanaman
pangan melalui prescription farming. Dalam: A.K. Makarim dkk. (Eds).
Tonggak Kemajuan Penelitian Tanaman Pangan. Konsep dan strategi
Peningkatan Produksi Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Parera, G.S. 2004. Sehat Suatu Pilihan Bebas. Indomedia. Pawukir. Enny
S.dan Joko Mariyono. 2002. Hubungan antara penggunaan pestisida
dan dampak kesehatan: studi kasus di dataran tinggi Sumatra Barat.
Jurnal Manusia dan Lingkungan.
Supriadi.
2013.
Optimasi pemanfaatan beragam jenis pestisida untuk
mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Jurnal Litbang Pertanian
32 : 1-9.
Wiratno, Siswanto, dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian,
formulasi, dan pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 32 : 150-155.
229
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
UJI METODE INOKULASI PADA BAWANG MERAH DENGAN Fusarium
spp.
1
Ayu Lestiyani, 2Arif Wibowo, 2Siti Subandiyah
1
Mahasiswa Pascasarja Program studi Fitopatologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada. Email: [email protected]
2
Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah
Mada
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji beberapa metode inokulasi dan
kerapatan populasi Fusarium spp. dalam menimbulkan gejala penyakit moler
pada bawang merah. Penelitian ini terdiri dari uji patogenisitas 3 spesies
Fusarium sp. (F. oxysporum, F. solani dan F. acutatum) yang diinokulasikan
dengan perendaman umbi dan penyiraman menggunakan suspensi spora
kerapatan 106 dan diinkubasi 7 hari. Metode inokulasi yaitu injeksi (50µl),
perendaman, dan penyiraman (50 mL) dengan kerapatan spora 103, 106, dan
109 serta media beras (10 g, 20 g dan 30 g). Pengamatan dilakukan setiap 7
hari selama 6 minggu dengan menghitung persentase tanaman sakit. Masingmasing perlakuan terdiri dari 3 tanaman dalam 1 pot dengan 3 ulangan.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dan apabila terdapat beda nyata dilakukan uji DMRT 5%. F. acutatum
menimbulkan gejala moler dengan daun yang menguning dan terpelintir
sedangkan F. solani menimbulkan gejala hampir mirip dengan F. oysporum
yang memperlihatkan gejala daun menguning kemudian mengering dan apabila
umbi dipotong horisontal terlihat bercak berwarna coklat. Pada F. solani umbi
yang dihasilkan lebih kecil. Metode perendaman bawang merah ke dalam
suspensi konidia F. acutatum cepat memperlihatkan gejala dengan waktu
inkubasi 1 minggu. Metode penyiraman menimbulkan gejala yang paling lama 3
minggu. Semua metode inokulasi memiliki keefektifan yang sama karena pada
minggu terakhir pengamatan persentase tanaman sakit mencapai 100%.
Kata kunci: metode inokulasi, Fusarium solani, F. acutatum, F.
oxysporum, persentase tanaman sakit
Pendahuluan
Bawang merah (Allium cepa L. var. Agregatum (L.) merupakan spesies
dari keluarga Alliaceae yang banyak dibudidayakan di seluruh dunia terutama di
Asia dan Eropa (Rukmana, 1994). Serangan patogen tanaman merupakan
salah satu kendala yang sering dihadapi dalam budidaya bawang merah. Salah
satu penyakit yang sering dijumpai pada tanaman bawang merah adalah
penyakit moler, yang diduga disebabkan oleh Fusarium oxysporum (Anonim,
230
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
2003). Menurut Wiyatiningsih (2003), penyakit moler pada bawang merah
disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cepae. Survei penyakit dilakukan
pada wilayah Kalpitiya pada tahun 1992-1993, menunjukkan bahwa umbi yang
membusuk disebabkan oleh Fusarium spp., dan daun yang membengkok
disebabkan oleh F. oxysporum f.sp. cepae (Kuruppu, 1999).
Penyakit moler telah menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil
umbi lapis hingga 50%. Gejala penyakit moler pada bawang merah diawali
dengan menguningnya daun dan terpelintir kemudian tanaman layu. Umbi lapis
yang dihasilkan lebih kecil dan lebih sedikit dibandingkan yang sehat (Suryanto,
2010; Wiyatiningsih, 2003).
Pengetahuan metode inokulasi dan kerapatan spora pada Fusarium yang
menyebabkan penyakit moler pada bawang merah cukup penting untuk para
peneliti. Pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan
tanaman terhadap penyakit moler dan berguna dalam mengetahui karakteristik
patogenisitas Fusarium spp.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji beberapa metode inokulasi dan
kerapatan populasi spora Fusarium spp. dalam menimbulkan gejala penyakit
moler pada tanaman bawang. Sehingga dapat memberikan pengetahuan
terhadap peneliti metode inokulasi yang efektif yang nantinya berguna dalam
menyeleksi ketahanan tanaman dan patogenisitas Fusarium spp.
Bahan dan Metode
Jamur Fusarium spp. yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan
dari koleksi Laboratorium Klinik Penyakit Tumbuhan. Terdapat 3 spesies yang
digunakan yaitu F. oxysporum, F. solani dan F. acutatum. Ketiga isolat tersebut
merupakan hasil isolasi bawang merah yang bergejala moler.
1. Uji patogenisitas 3 spesies Fusarium
Tiga spesies Fusarium diinokulasikan pada umbi bawang merah
dengan metode penyiraman tanah steril dengan suspensi spora dengan
kerapatan 106. Penyiraman ini dilakukan satu minggu sebelum tanam dan
saat umbi akan ditanam, umbi bawang merah disterilkan dengan NaOCl
0,1% selama 45 menit dan direndam dalam suspensi spora dengan
kerapatan 106. Pengamatan dilakukan 1 minggu setelah tanam dan dilihat
perbedaaan gejala masing-masing perlakuan.
2. Uji metode inokulasi
Metode inokulasi yang dilakukan terdapat empat metode yaitu
dengan cara diinjeksikan, direndam, disiram, dan dengan media beras.
Umbi bawang yang akan digunakan direndam dalam NaOCl 0,1% selama
45 menit dan dibilas air steril. Kemudian bawang tersebut dikering anginkan
231
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
sebelum akhirnya ditanam atau diperlakukan. Cara kerja keempat metode
tersebut adalah:
a. Metode injeksi
Umbi bawang ditanam pada tanah steril hingga berumur 1
minggu. Suspensi konidia di suntikan pada umbi yang akan terbentuk
sebanyak 50 µl dengan kerapatan spora 103, 106, dan 109.
b. Metode perendaman
Umbi bawang yang telah steril direndam dengan suspensi konidia
dengan kerapatan yang berbeda yaitu 103, 106, dan 109. Perendaman
dilakukan selama 60 menit. Setalah direndam dengan suspensi konidia,
bawang ditanam pada tanah steril dan diamati perkembangan gejalanya.
c. Metode penyiraman
Tanah steril disiram dengan suspensi konidia dengan kerapatan
3
10 , 106, dan 109 satu minggu sebelum bawang ditanam. Diinkubasikan
selama 1 minggu, selama inkubasi tanah harus dijaga agar tetap
lembab. Kemudian umbi bawang dapat ditanam dan diamati
perkembangan gejalanya.
d. Metode dengan menggunakan media beras
Beras yang telah dicuci bersih, disterilkan, dan diinokulasi dengan
Fusarium, kemudian diinkubasikan selama satu minggu atau sampai
permukaan beras tertutupi miselium. Inokulum ditimbang seberat 10 g,
20 g dan 30 g, kemudian dipendam dalam tanah di dalam pot. Bawang
dapat langsung ditanam pada tanah tersebut dan diamati gejala yang
ditimbulkan.
Pengamatan dilakukan setiap 7 hari selama 6 minggu dan
dihitung persentase tanaman sakit dengan rumus sebagai berikut:
Persentase tanaman sakit = × 100%
Keterangan:
n = jumlah tanaman yang menunjukkan gejala
N = total tanaman
Masing-masing perlakuan terdiri dari 3 tanaman bawang merah
dalam 1 pot dengan 3 ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan apabila terdapat beda
nyata dilakukan uji DMRT 5%.
Hasil dan pembahasan
F. oxysporum, F. solani dan F. acutatum menimbulkan gejala yang
berbeda. F. oxysporum memperlihatkan gejala daun yang menguning kemudian
mengering dan apabila umbi dipotong horisontal akan terlihat bercak berwarna
232
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
coklat. F. solani menimbulkan gejala yang hampir mirip dengan F. oysporum,
umbi pada F. solani lebih kecil dan lebih busuk bila dibandingkan umbi yang
diinokulasi dengan F. oxysporum. Daun bawang merah yang diinokulasi
dengan F. solani lebih cepat menguning dan layu bila dibandingkan dengan
bawang merah yang diinokulasi dengan F. oxysporum. Bawang merah yang
diinokulasi dengan F. acutatum menimbulkan gejala moler dengan daun yang
menguning dan terpelintir (Gambar 1).
Gambar 1. Gejala pada bawang merah setelah diinokulasi Fusarium spp.
(a) F. oxysporum (b) F. acutatum (c) F. solani
Pada uji patogenisitas ini, bawang merah yang diinokulasi dengan F.
acutatum memiliki gejala yang mirip dengan gejala moler di lapangan. Karena
pertimbangan ini, F. acutatum digunakan untuk uji metode inokulasi. Semua uji
metode inokulasi dapat menyebabkan timbulnya gejala moler. Gejala moler
sangat terlihat jelas pada metode perendaman, injeksi penyiraman dan media
beras dengan gejala daun menguning dan terpelintir dan perpanjangan yang
abnormal, kemudian daun menguning dan umbi membusuk seperti yang
dijelaskan oleh Kuruppu (1999), Suryanto (2010) dan Wiyatiningsih (2003)
(Gambar 2).
233
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 2. Gejala moler dengan metode inokulasi yang berbeda
Keterangan: (a) kontrol umur 3 minggu, (b) metode injeksi umur 2
minggu (c) metode perendaman umur 1 minggu (d)
metode penyiraman umur 3 minggu (e) metode media
beras umur 1 minggu
Dilihat dari waktu inkubasi, perendaman menjadi metode inokulasi yang
paling cepat dalam menimbulkan gejala penyakit moler karena hanya
membutuhkan waktu inkubasi 1 minggu sedangkan metode penyiraman
membutuhkan waktu yang paling lama dibandingkan metode inokulasi lain yaitu
3 minggu (Tabel 5.1). Hal ini seperti pernyataan Suryanto (2010) bahwa infeksi
penyakit melalui bibit akan muncul gejala pada umur 7-14 hari setelah tanam.
Sedangkan bila infeksi melalui tanah, gejala akan muncul setelah 30 hari
setelah tanam. Pada pengamatan gejala pada saat inokulasi melalui
perendaman umbi, gejala muncul setelah 7 hari dan metode penyiraman
menimbulkan gejala setelah umur 3 minggu atau 21 hari.
Namun apabila dilihat dari kejadian penyakit dengan kerapatan spora
yang sama pada saat inokulasi, injeksi menimbulkan kejadian penyakit yang
lebih tinggi dibandingkan perendaman dan penyiraman. Metode injeksi hanya
membutuhkan waktu inkubasi 2 minggu dengan kerapatan spora 106 dapat
menimbulkan persentase tanaman sakit hingga 100% (Tabel 5.1). Hal yang
sama ditunjukkan pada penelitian Trapero et al. (2013) dengan jumlah inokulum
yang sama, metode injeksi memperlihatkan gejala yang cepat.
234
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 1. Nilai kejadian penyakit setelah diinokulasi dengan beberapa metode
Kerapatan
waktu
Persentase
Metode inokulasi spora/jumlah
inkubasi
tanaman sakit
inokulum
(minggu)
(%)
3
10
1
11,11 cd
6
Injeksi
10
2
77,78 ab
9
10
2
100 a
3
10
1
44,44 bcd
6
Perendaman
10
1
44,44 bcd
9
10
1
66,67 abc
103
3
22,22 bcd
6
Penyiraman
10
3
66,67 abc
9
10
3
33,33 bcd
10 g
1
22,22 bcd
Media beras
20 g
1
55,56 abcd
30 g
1
66,67 abc
kontrol
0
6
0d
0
6
0d
0
6
0d
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan DMRT aras 5% dan data
ditransformasi ke Arc Sin√
Munculnya gejala pada setiap metode inokulasi tidak bersamaan karena
memiliki waktu inkubasi yang berbeda dan menimbulkan persentase penyakit
yang berbeda pula, namun pada pengamatan minggu terakhir yaitu minggu ke6 memperlihatkan persentase tanaman sakit hingga 100% (Gambar 5.3).
235
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
120
Injeksi 10ᵌ
Injeksi 10⁶
100
perentase tanaman sakit (%)
Injeksi 10⁹
Rendam 10ᵌ
80
Rendam 10⁶
Rendam 10⁹
60
Siram 10ᵌ
Siram 10⁶
40
Siram 10⁹
media beras 10 g
20
media beras 20 g
media beras 30 g
0
0
1
2
3
minggu ke-
4
5
6
kontrol
Gambar 5.3. Perkembangan penyakit moler pada bawang merah selama 6
minggu yang diinokulasi F. acutatum dengan beberapa metode
Gejala muncul paling lama yaitu pada minggu ke-3 bila diinokulasi
dengan metode penyiraman. Meskipun membutuhkan waktu inkubasi lama
namun memiliki laju infeksi yang cepat. Hal ini terlihat pada pengamatan
minggu ke-4, persentase tanaman sakit telah mencapai 100% (Gambar 5.3).
Laju infeksi yang cepat ini dikarenakan jumlah spora yang meningkat karena
masa inkubasi yang lama. Pada ketersediaan nutrisi yang tidak terbatas, makin
lama masa inkubasi akan semakin banyak jumlah spora yang dihasilkan, hifa
yang terbentuk juga lebih banyak, perkembangan lebih cepat dan infeksi
meningkat (Winarsih dan Baon, 1999).
Kesimpulan
1. Metode perendaman bawang merah ke dalam suspensi konidia cepat
menimbulkan gejala karena waktu inkubasi yang singkat yaitu 1 minggu.
2. Metode penyiraman suspensi spora ke dalam tanah steril menimbulkan
gejala yang paling lama karena membutuhkan waktu inkubasi hingga 3
minggu.
3. Semua metode inokulasi memiliki keefektifan yang sama karena pada
minggu terakhir pengamatan persentase tanaman sakit mencapai 100%.
236
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Daftar Pustaka
Anonim.
2003. Metode
Pengamatan
OPT
Tanaman
sayuran.
<http://www.deptan.go.id>. Diakses 1 Maret 2014.
Kuruppu, P.U. First Report of Fusarium oxysporum Causing a Leaf Twisting
Disease Allium cepa var. ascalonicum in Sri Lanka. Plant Disease 83:
695.
Lefebvre V, Daubeze AM, Van der Voort RJ, Peleman J, Bardin M and Palloix
A. 2003. QTLs for resistance to powdery mildew in pepper under natural
and artificial infections. Theoretical and Applied Genetics 107: 661–666.
Leslie, J.F. dan B.A. Summerell. 2006. The Fusarium Laboratory Manual.
Blackwell Publishing Ltd, Garsington Road, Oxford.
Linde, M dan T. Debener. 2003. Isolation and identification of eight races of
powdery mildew of roses (Podosphaera pannosa) (Wallr.:Fr.) de Bary
and the genetic analysis of the resistance gene Rpp1. Theoretical and
Applied Genetics 107: 256–262.
Munkvold, G.P., R. L. Hellmich dan W.B. Showers. 1997. Reduced Fusarium
ear rot and symptomless infection in kernels of maize genetically
engineered for European corn borer resistance Phytopathology 87:10711077.
Rukmana, R. 1994. Bawang Merah, Budidaya dan Pengolahan Pascapanen.
Kanisius. Yogyakarta.
Schaafsam ,A.W., J.D.Miller,M.E., dan R.J. Ewing.1993. Ear rot development
and mycotoxin production in corn in relation to inoculation method, corn
hybrid, and species of Fusarium. Journal Plant Pathology 15: 185-192
Suryanto, W.A. 2010. Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Hortikultura dan
Perkebunan. Kanisius, Yogyakarta.
Trapero, C., C.M. Diez, L. Rallo, D. Barranco, F.J. Lopez-Escudero. 2012.
Effective inoculation methods to screen for resistance to Verticillium wilt
in olive. Scientia Horticulturae 162: 252-259.
Winarsih, S. dan J. B. Baon. 1999. Pengaruh masa inkubasi dan jumlah spora
terhadap infeksi mikoriza dan pertumbuhan planlet kopi. Pelita
Perkebunan 15 : 13 – 21
Wiyatiningsih, S., 2003. Kajian Asosiasi Phytophthora sp. dan Fusarium
oxysporum f. sp. cepae Penyebab Penyakit Moler pada Bawanng Merah.
Jurnal Pertanian MAPETA 5: 1-6
237
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KETAHANAN TOMAT TERIMBAS ASAM FUSARAT
TERHADAP Fusarium oxysporum PADA TIGA LOKASI
DENGAN KETINGGIAN BERBEDA
Abdul Azis Ambar dan Nur Ilmi
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Parepare
Abstrak
Penyakit layu fusarium tomat disebabkan oleh Fusarium oxysporum,
merupakan penyakit penting tomat. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat
ketahanan tomat terhadap F. oxysporum pada lokasi berbeda. Penelitian ini
menggunakan suspensi isolat F. oxysporum hasil monospora (1 x 106
konidium/ml) dan tomat yang berumur 4 minggu. Akar bibit tomat direndam
dalam suspensi selama 30 menit, sebelumnya bibit tersebut telah diaplikasikan
dengan asam fusarat secara kultur pada berbagai konsentrasi (T0=0, T1=1,
T2=2, T3=3 ppm), kemudian di tanam dalam polibag yang telah berisi
campuran tanah dan pupuk. Hasil uji ketahanan tomat terhadap F.oxysporum
pada perlakuan (T2) memperlihat tingkat ketahanan yang tinggi, dibanding
perlakuan lainnya pada 3 lokasi yang berbeda, dengan indikator intensitas
penyakit, masing-masing sebesar 3,73 % (200 m dpl; Kota Parepare); 2,08 %
(400 m dpl; Kab. Sidrap), dan 21,46 % (600 m dpl; Kab. Enrekang) berbeda
nyata dengan kontrol. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tingkat ketahanan
tomat pada 3 lokasi berbeda memberikan kategori ketahanan berupa tahan
pada ketinggian 200 dan 400 m dpl (Kota Parepare dan Kab. Sidrap),
sedangkan Moderat 600 m dpl (Kab. Enrekang).
Kata kunci: ketahanan tomat, Fusarium oxysporum, lokasi, asam fusarat.
Pendahuluan
Layu fusarium tomat disebabkan oleh Fusarium oxysporum, merupakan
penyakit penting di kawasan tropika. Tingkat kerugian penyakit oleh F.
oxysporum ini cukup besar, seperti yang terjadi di Lembang dan Pacet (16,7%),
dan Malang (10,25%) (Manohara, 1977 & Susilowati, 1982 cit. Semangun,
1996). Pengamatan penulis tahun 2001 di daerah Kopeng menemukan
kerugian mencapai > 75% dan tahun 2005 menjumpai F. oxysporum telah
menyerang benih tomat di pesemaian (Malino dan Enrekang; Sulawesi Selatan)
dengan intensitas penyakit mencapai 20%.
Gejala yang ditimbulkan oleh F. oxysporum berupa kelayuan, dan
pertama kali tampak pada daun bagian bawah. Proses kelayuan berlanjut
sampai seluruh daun layu, dan akhirnya mati (Ambar et al., 2010). Kadangkadang kelayuan didahului dengan menguningnya daun, tanaman kerdil, dan
merana pertumbuhannya (Ambar et al., 2002).
238
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pemanfaatan asam fusarat dalam penelitian ini akan membantu
memberi informasi mengenai kemampuan isolat dalam menginfeksi tomat yang
telah diimbas oleh asam fusarat. Hasil percobaan mengenai perkembangan
penyakit layu fusarium cabe di beberapa topoklimat Yogyakarta membuktikan
bahwa laju infeksi F. oxysporum beragaman, meskipun gradien yang tampak
tidak sepenuhnya berkesesuaian dengan ketinggian tempat (Gunadi, 1997).
Penelitian ini mempunyai tujuan menguji tingkat ketahanan tomat yang
telah diimbas dengan asam fusarat terhadap F. oxysporum pada ketinggian
tempat berbeda.
Metode penelitian
a. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Agroteknologi UMPAR dan daerah
pada ketinggian 200; 400; dan 600 m dpl, dari bulan Oktober - Desember 2013.
b. Tahapan Penelitian
1. Isolasi dan Koleksi Isolat F. oxysporum
F. oxysporum diisolasi dari tanaman tomat bergejala layu. Isolasi
dilakukan dengan cara: permukaan akar dan batang didesinfeksi dengan
alkohol 70%, kemudian dipotong-potong dengan ukuran 0,5 cm. Potongan
tersebut direndam dalam larutan Natriumhipoklorit (Bayclin® ) 0,5% selama 3
menit lalu dibilas dengan air steril, kemudian diletakkan pada medium potato
dextrose agar (PDA) dalam cawan petri dan diinkubasikan pada suhu 25OC.
Isolat monospora diisolasi dari kultur yang telah dimurnikan dengan
menggunakan metode Toussoun & Nelson (1976) yang dimodifikasi oleh
Ambar (2002). Suspensi konidium diambil dengan jarum ose dan digoreskan
dengan bentuk huruf S pada medium PDA dalam cawan petri, kemudian
diinkubasikan pada suhu kamar.
Konidium tunggal yang sudah mulai
berkecambah dipindahkan ke medium PDA lainnya sebagai biakan isolat
monospora. Semua pengujian dalam penelitian ini menggunakan isolat hasil
isolasi monospora.
2. Penyiapan Bibit Tomat
Benih tomat disemaikan pada medium campuran tanah : pupuk organik
(2 : 1) setelah direndam dalam larutan asam fusarat pada konsentrasi T0 =
kontrol; T1 = 1 ppm; T2 = 2 ppm; T3 = 3 ppm.
3. Uji Ketahanan terhadap F. oxysporum pada Ketinggian Berbeda
Setelah tomat berumur 4 minggu di persemaian, bibit berserta akarnya
dicabut. Ujung akar dipotong, kemudian direndam dalam suspensi konidium
(30 menit; 1 x 106 mikrokonidium/ml air steril), lalu diinkubasi selama 6 hari. Air
239
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
steril digunakan sebagai kontrol. Semua bibit ditanam pada ketinggian 200,
400, dan 600 m dpl.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan uji
lanjut Duncan. Perlakuan sebanyak 5 kali dengan 3 perlakuan dengan 1
kontrol. Setiap unit perlakuan terdiri dari 7 tanaman. Pengamatan dilakukan
pada hari ke-3 setelah aplikasi dengan interval waktu 1 minggu, selama 5
minggu. Intensitas penyakit dihitung dengan menggunakan rumus:
∑ (n x v)
IP=
X 100% (Gao et al., 1995)
ZxN
dengan, IP: Intensitas penyakit (%),
n: Jumlah tanaman tiap kategori
serangan, N: Jumlah tanaman yang diamati, v: Nilai skoring kategori serangan,
Z: Nilai skoring kategori serangan tertinggi. Sistem skoring yang digunakan: 0=
tanaman sehat (tidak ada kelayuan); 1= 0 – 25 % daun layu; 2= 25 – 50 % daun
layu; 3= 50 – 75 % daun layu; 3= 75 – 100 % daun layu (tanaman mati). Untuk
mengukur tingkat ketahanan tomat terhadap F. oxysforum, digunakan kriteria
sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria Ketahanan Tanaman yang Terserang F. oxysporum
1 - 20%
Tahan
41 - 60%
Rentan
21 - 40%
Moderat
61 - 100%
Sangat rentan
Hasil dan pembahasan
a. Isolasi dan Koleksi isolat Fusarium oxysporum f.sp lycopersici
Patogen diisolasi dari tanaman tomat yang menunjukkan gejala layu
fusarium. Isolat yang diisolasi merujuk pada jamur F. oxysporum, setelah
dicocokkan secara morfologi dengan kriteria yang digunakan Booth (1971)
Gambar 1. Hasil isolasi monospora isolat F. oxysporum.
b. Uji Ketahanan Tomat pada Ketinggian Berbeda
Hasil uji ketahanan tomat yang telah diimbas dengan asam fusarat pada
ketinggian berbeda di rumah kasa memperlihatkan tingkat ketahanan yang
berbeda. Tingkat ketahanan tomat pada ketinggian berbeda dilihat pada Tabel
2 (a, b, dan c).
240
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 2. Uji ketahanan tomat terhadap Fusarium oxysporum pada ketinggian
berbeda (200, 400, dan 600 m dpl) dengan mengamati intensitas
penyakit (%) yang timbul setelah diimbas dengan asam fusarat.
a. 200 m dpl (Kota Parepare)
Perlakuan
Kontrol
T1
T2
T3
I
1,66
1,04
0,43
1,51
II
2,92
2,8
1,66
1,85
Minggu KeIII
4,76b
1,51a
1,04a
1,51a
IV
2,92
2,57
2,57
3,79
Minggu KeIII
1,39
1,04
0,76
1,48
IV
2,08b
1,59ab
0,92a
2,77b
V
b
6,67
4,05ab
3,73a
5,55b
b. 400 m dpl (Kabupaten Sidrap)
Perlakuan
Kontrol
T1
T2
T3
c.
I
0,92
0,76
0,51
0,59
II
0,83
0,89
0,64
0,91
V
b
6,15
2,59a
2,08a
2,85a
600 m dpl (Kabupaten Enrekang)
Minggu KeI
II
III
IV
V
b
b
b
Kontrol
35,78
42,92
46,83
50,00
64,35b
T1
17,92ab
14,30a
25,43ab
21,46
32,15ab
T2
7.10a
14,30a
21,46a
25,00
21,46a
T3
17,92ab
28,63ab
32,17b
2146
37.75ab
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada
aras 5% dari setiap Tabel 2.
Perlakuan
Berdasarkan Tabel 2. terlihat bahwa ketahanan tanaman dari
pengimbasan asam fusarat adalah berbeda nyata dengan kontrol, terutama
pada perlakuan T2. Ketahanan tanaman tertinggi di perlihatkan dengan tingkat
intensitas penyakit secara berturut-turut: T2
(21,46%), T1 (32,15%),
T3(37,35%), dan T0 (64,35%). Perbedaan tingkat ketahanan ini sangat
bergantung pada 3 komponen penting, yaitu interaksi antara konsentrasi asam
fusarat, tomat, dan lingkungan (Alon, et al., 1973)
241
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Terjadinya perbedaan perbedaan tingkat ketahanan disebabkan oleh
kemampuan tomat mengenali senyawa kimia lebih awal yang berimplikasi
terhadap pembentukan sistem pertahanan fisik dan kimiawi (Ambar, et al.,
2010). Sheng Huang (2001) menyatakan kerentanan tanaman berkorelasi
positif dengan ketidakmampuan mengenali senyawa toksik. Pada tahun 1899,
Smith menyatakan penyebab utama kelayuan lebih didominasi oleh metabolit
sekunder jamur yang menginfeksi jaringan vasikular (MacHardy dan Beckman,
1981). Sejalan dengan itu, Morillo et al. (1999) menyatakan kombinasi
senyawa kimia dapat mendegradasi dinding sel sampai isi sel tanaman,
sedangkan konsentrasi yang non toksik justru dapat merangsang peningkatan
pertahanan tanaman (sheng Huang, 2001)
A
B
D
C
Gambar 2. Intensitas serangan F. oxysporum pada tomat yang telah diimbas
dengan asam fusarat konsentrasi (A = 0 ppm); (B = 1 ppm); (C = 2
ppm); dan (D = 3 ppm)
Umumnya tanaman tahan mempunyai kemampuan mengenali
patogennya atau senyawa kimia lebih awal dibandingkan tanaman rentan.
Kegagalan tanaman menghambat penyebaran F. oxysporum kemungkinan
disebabkan tanaman kurang mampu mengenali patogennya lebih awal,
sehingga terlambat menghasilkan penghambat sebagai respon ketahanan
(Beckman et al., 1982 cit. Salerno et al., 2004).
Pada data dari Tabel 2. intensitas serangan paling rendah terjadi pada
perlakuan 2 ppm di semua lokasi percobaan, ini sesuai hasil penelitian
pendahuluan yang dilakukan oleh Panguriseng (2012) bahwa kemampuan
bertahan tomat yang diinduksikan asam fusarat 2 ppm lebih baik dibanding
konsentrasi lainnya yang dilakukan secara in vitro.
Rendahnya tingkat ketahanan tomat pada ketinggian 600 m dpl
(moderat) dibanding ketahanan tomat pada 200 m dpl dan 400 m dpl (tahan),
disebabkan oleh isolat yang digunakan adalah isolat yang berasal dari
ketinggian tempat 600 m dpl (Kabupaten Enrekang), sehingga lebih besar
peluangya untuk beradaptasi dengan lingkungan, bahkan lingkungan tersebut
telah mendukung untuk aktivitas jamur F.oxysporum dibanding ketika berada di
lokasi yang baru dikenalinya.
242
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kesimpulan dan saran
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebgai berikut:
1. Tomat yang telah diaplikasi asam fusarat memberikan efek ketahanan
terhadap serangan F. oxysporum pada daerah ketinggian yang berbeda.
2. Tomat yang diaplikasikan asam fusarat konsentrasi 2 ppm memperlihatkan
kriteria ketahanan yang bersifat tahan (200 m dpl dan 400 m dpl) dan
Moderat (600 m dpl).
Daftar pustaka
Alon, H., J.Katan, & N. Kedar, 1973. Factors Affecting Penetrance of
Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici in Tomatoes.
Phytophatology 64: 455 – 461.
Ambar, A.A., Ambarwati H.T.J., Nursamsi P., & Arif W., 2002. Karakterisasi
Fusarium oxysporum Penyebab Penyakit Layu pada Tomat. Tesis S2
UGM (tidak dipublikasi).
Ambar, A.A. , Ahmadi P., Bambang H., Nursamsi P., 2010. Tanggapan Tomat
Varietas Tahan dan Rentan terhadap Asam Fusarat dan Fusarium
oxysporum f.sp. Lycopersici. Disertasi S3 UGM (tidak dipublikasi).
Gao, H., C.H. Beckman, & W.C. Mueller, 1995. The Nature of Tolerance to
Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici in Polygenically Field-Resistant
Marglobe Tomato Plant. Physiological and Molecular Plant Pathology
46: 401 – 412.
MacHardy, W.E., & C.H. Beckman, 1981. Vascular Wilt Fusaria: Infection and
Pathogenesis in Fusarium: Diseases, Biology, and Taxonomy. The
Pennsylvania State University Press, University Park and London.
Morillo, I., L. Cavallarin., & B.S. Segundo., 1999. Cytology of Infection of Maize
by Fusarium moniliforme and Immunolocalization of the PathogenesisRelated PRms Protein. Phytopathology 89: 737 – 747.
Panguriseng, A., A.A. Ambar, Muhammad A.A., 2012. Uji Ketahanan Tomat
(Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap Asam Fusarat pada Medium
Murashige dan Skoog secara In-Vitro. Skripsi S1 Umpar (tidak
dipublikasi)
Salerno, I.M., S. Gianninazzi, C. Arnould, & V.G. Pearson, 2004. Ultrastructural
and Cell Wall Modification during Infection of Eucalyptus viminalis
Roots by a Pathogenic Fusarium oxysporum Strain. J. Gen Plant
Pathol 70: 145 – 152.
Semangun, H., 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Sheng Huang, J., 2001. Plant Pathogenesis and Resistance: Biochemistry and
Physiology of Plant-Microbe Interactions. Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht, Boston, London.
243
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
UJI ANTAGONISME CENDAWAN ENDOFIT TERHADAP GANODERMA
PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG TANAMAN KELAPA
SAWIT
Lisnawita1, Hamidah Hanum1, &Ahmad Rafiqi Tantawi2
1
Program studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
2
Program studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Medan Area
E-mail : [email protected]
Abstrak
Busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma
merupakan penyakit penting pada tanaman kelapa sawit di Sumatera Utara yang
tidak saja menyerang tanaman di perkebunan besar tetapi juga perkebunan
rakyat. Saat ini penyakit BPB tidak saja menyerang tanaman menghasilkan atau
tanaman tua yang ditanam pada lahan bekas replanting tetapi juga menyerang
tanaman yang belum menghasilkan. Akibatnya produksi kelapa sawit dapat turun
hingga 35%. Kuranganya pengetahuan petani tentang penyakit ini ditambah
dengan kompleknya pengendalian BPB karena penyakit berada diantara akar dan
tanah menyebabkan sampai saat ini tidak ada tindakan pengendalian yang
dilakukan oleh petani. Lima jenis cendawan endofit yaitu Trichoderma sp1.,
Trichoderma sp2., Aspergillus sp., Fusarium sp., dan Penicillium sp. yang berasal
dari akar tanaman kelapa sawit sehat telah digunakan dalam penelitian ini yang
bertujuan untuk mengetahui potensi cendawan endofit dalam menekan
perkembangan Ganoderma Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Penyakit
Tumbuhan Fakultas Pertanian USU. Hasil penelitian menunjukkan tiga jenis
cendawan endofit yaitu Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., dan Aspergillus sp.
mampu menghambat perkembangan Ganoderma secara in vitro.
Kata kunci : Ganoderma, kelapa sawit, uji antagonisme
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu Negara penghasil dan eksportir minyak
sawit yang diperhitungkan di dunia. Dalam kurun waktu 40 tahun, luas areal
kelapa sawit di Indonesia naik dari 135 ribu hektar pada tahun 1970 menjadi 8,91
juta hektar pada tahun 2011 (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2013).
Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit
terbesar dunia dengan jumlah CPO mencapai 20,4 juta ton (Badrun,2010). Salah
satu provinsi yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit terbesar kedua di
Indonesia setelah Riau adalah Provinsi Sumatera Utara dengan total luas areal
hampir 1,2 juta hektar (Anonim, 2012). Dari luas areal tersebut lebih dari 405 ribu
hektar merupakan perkebunan kelapa sawit rakyat (Anonim, 2013).
Sama seperti tanaman lainnya kelapa sawit juga tidak lepas dari gangguan
organisme pengganggu tanaman. Salah satu penyakit yang saat ini menjadi
244
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
permasalahan serius yang dihadapi
perkebunan kelapa sawit khususnya
perkebunan rakyat di Sumatera Utara adalah penyakit busuk pangkal batang
(BPB) yang disebabkan oleh patogen tular tanah Ganoderma. Awalnya penyakit
BPB menyerang tanaman menghasilkan saja dengan tingkat kejadian penyakit di
bawah satu persen. Namunsejak beberapa tahun terakhir, BPBtidak hanya
menyerang tanaman kelapa sawit tua tetapi juga menyerang tanaman kelapa
sawit yang belum menghasilkan. Kejadian penyakit BPB berkorelasi positif
dengan generasi kebun kelapa sawit (Treu, 1998; Susanto, 2009). Hasil sensus
yang dilakukan oleh Bah Lias estate (PT. PP. London Sumatera Indonesia)
didapat pada tanaman berumur di bawah 6 tahun mempunyai tingkat kejadian
penyakit 0-1,5%. Kejadian penyakit akan meningkat drastis pada tanaman
berumur di atas 16 tahun yaitu mencapai 13-87%. Di beberapa perkebunan di
Indonesia, penyakit ini telah menyebabkan kematian kelapa sawit hingga 80%
atau lebih dari populasi kelapa sawit (Susanto, 2002). Survei kejadian penyakit
yang dilakukan peneliti pada beberapa perkebunan rakyat di Desa Bukit Kijang,
Sumatera Utara didapat penyakit telah menyerang disebagian besar perkebunan
rakyat dengan tingkat kejadian penyakit 071-50% pada umur tanaman di bawah 5
tahungenerasi kedua hingga tanaman tua (33 tahun) generasi pertama (Lisnawita
et al. 2014).
Berbagai strategi pengendalian telah dilakukan untuk mengendalikan BPB
antara lain kultur teknis dan penggunaan pestisida kimia. Namun kompleksnya
pengendalian BPB karena penyakit berada diantara akar dan tanah menyebabkan
sampai saat ini belum ada tindakan pengendalian yang memberikan hasil yang
memuaskan. Pengendalian penyakit yang dilakukan dengan menggunakan
pestisida kimia sintetis tidak saja menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan
tetapi juga pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (Sapak
et al.,2008). Oleh karena itu perlu dicari alternatif pengendalian yang lebih ramah
lingkungan salah satunya pengendalian biologis dengan pemanfaatan cendawan
endofit.
Cendawan endofit merupakanmikroorganisme yang terdapat di dalamsuatu
sistem jaringan tumbuhan sepertibiji, daun, bunga, ranting, batang danakar dan
tidak menyebabkan kerugian pada tanaman.Mikroba endofit dapat melindungi
tanaman inang dari serangan patogen dengan senyawa yang dikeluarkannya,
berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif dan dapat
berfungsi untuk membunuh patogen(Prihatiningtias& Wahyuningsih. 2005).
Berbagai cendawan endofit telah dilaporkan efektif sebagai agens biokontrol
diantaranya Trichoderma (Sariah, 2003) dan Penicillium (Dharmaputra et al.,
1989) yang menunjukkan reaksi antagonistik dengan Ganoderma.Serratia spp.,
Burkholderia spp.,Pseudomonas spp., Bacillus spp. danFusarium spp. yang
diketahui mampu menginduksi ketahanan tanaman dan aktifitas biologis lainnya
seperti menghasilkan antibiotik dan lisis (Kloepper et al., 1992: Dorworth & Callan,
1996).
245
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan cendawan endofit asal kelapa sawit dan melihat kemampuannya
menghambat perkembangan Ganoderma secara in vitro.
Bahan dan metode
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara yang berlangsung dari bulan Juli sampai
dengan September 2014.
B. Metode Penelitian
Pengambilan akar dan isolasi cendawan endofit
Eksplorasi cendawan endofit dilakukan dengan mengambil akar tanaman
sawit sehat berumur sekitar 17 tahun dari pertanaman kelapa sawit di Desa
Gunung Melayu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Sampel akar diambil
sekitar 0.2 m dari pangkal batang dengan ke dalaman 20-30 cm. Akar diambil dari
3 titik untuk setiap pohon sampel dengan mengambil akar primer dan sekunder
(Bivi et al., 2010). Sampel akar dimasukkan dalam plastik potilen. Label identitas
seperti lokasi, tanggal pengambilan, dan nomor sampel ditulis pada setiap plastik.
Selanjutnya semua sampel dibawa ke laboratorium. Eksplorasi cendawan endofit
dilakukan dengan membersihkan akar di bawah air mengalir kemudian
dikeringkan dengan kertas tissu. Akar dipotong kecil dengan ukuran kurang lebih
5 cm. Akar disarterilisasi permukaan dengan menggunakan NaOCl 5,25% selama
5 menit, dilanjutkan dengan etanol 95% selama 30 detik. Setelah itu dibilas
dengan air steril sebanyak 3 kali. Untuk mengetahui apakah sterilisasi permukaan
berhasil atau tidak, diuji dengan meletakkan akar yang telah steril di dalam cawan
petri yang berisi media PDA ditambah dengan Calmisetin dan Penicillin dan
diinkubasi selama 48 jam. Jika tidak ditemukan mikroorganisme kontaminan, akar
dibelah dua dan diletakkan dalam media PDA dengan bagian dalam potongan
menghadap ke media. Jamur yang tumbuh di reisolasi dalam PDA baru hingga
diperoleh biakan murni. Selanjutnya biakan diidentifikasi sampai tingkat genus
dan disimpan sebelum digunakan.
Isolasi dan perbanyakan Ganoderma
Isolasi Ganoderma dilakukan dari basidiokarp (tubuh buah) Ganoderma
yang berasal dari tanaman kelapa sawit di Desa Gunung Melayu, Kabupaten
Asahan, Sumatera Utara.Basidiokarp dibawa ke laboratorium dan dibersihkan di
bawah air mengalir. Setelah itu dikeringanginkan dengan meletakkannya di atas
tissu. Basidiokarp dipotong-potong dengan ukuran sekitar 1x1 cm dan disterilisasi
permukaan dengan menggunakan NaOCl 5,25% selama 5 menit, dilanjutkan
dengan etanol 95% selama 30 detik. Setelah itu dibilas dengan air steril sebanyak
3 kali. Potongan basidiokarp ditumbuhkanpada media PDA dan diinkubasi pada
suhu kamar. Jamur yang tumbuh direisolasi pada media PDA yang baru hingga
246
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
menjadi biakan murni. Selanjutnya biakan diidentifikasi untuk memastikan jamur
tersebut
rsebut adalah Ganoderma dan disimpan sebagai sumber inokulum.
Penapisan cendawan endofit melawan Ganoderma secara in vitro
Isolat cendawan endofit ditapis untuk melihat aktifitas antagonistiknya
terhadap Ganoderma secara in vitrodengan metode dua kultur (dual
(
culture
method) (Fokkema, 1978).
Menghitung zona hambatan
Biakan Ganoderma dan cendawan endofit diletakkan dalam media PDA dengan
posisi hadap-hadapan masing
masing-masing
masing berjarak sekitar 3 cm dari pinggir cawan
petri berdiameter 9 cm. Pengamatan terhadap zona hambatan dilakukan setiap
hari dengan mengukur luas
zona hambatan (mm). Pengamatan dihentikan setelah salah satu perlakuan pada
cawan petri penuh.
Hasil dan pembahasan
A. Isolasi
solasi cendawan endofit
Hasil eksplorasi cendawan endofit dari akar tanaman kelapa sawit sehat di
perkebunan Desa Gunung Melayu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara diperoleh
empat belas isolat cendawan endofit. Selanjutnya keempat belas isolat tersebut
dilakukan identifikasi berdas
berdasarkan
arkan karakter morfologi seperti warna koloni, tekstur
koloni, kecepatan pertumbuhan di media PDA, serta pengamatan secara
mikroskopis. Hasil identifikasi diperoleh lima isolat cendawan endofit yaitu :
Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., Aspergillus sp., Fusarium sp., dan
Penicillium sp (Gambar 1)). Setiap isolat dibuat biakan murni dan digunakan pada
uji penapisan untuk melihat kemampuannya dalam menghambat
hambat perkembangan
Ganoderma.
a
b
c
d
e
a
f
g
h
i
j
Gambar 1.. Cendawan endofit : a, f : Aspergillus sp., b, g : Trichoderma sp1., c, h :
Trichoderma sp
sp2, d, i: Penicillium sp., e,j : Fusarium sp.
247
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
B. Isolasi dan perbanyakan Ganoderma
Hasil isolasi dan iden
identifikasi
ifikasi cendawan busuk pangkal batang yang
dilakukan dengan mengambil tubuh buah cendawan dari tanaman sawit di
perkebunan kelapa sawit di Desa Gunung Melayu, Kabupaten Asahan, Sumatera
Utara didapat bahwa cendawan tersebut adalah Ganoderma.
Ganoderma Tubuh buah
(basidiokarp) sangat bervariasi, ada yang bertangkai atau tidak, tumbuh horizontal
atau vertikal, ada yang rata atau mengembung, dan ada yang terbentuk lingkaran
konsentris (Treu 1998).. Konveks atau permukaan atas licin seperti pernis dengan
warna kehitaman sampai
ampai cokelat (Gambar 2a)tampak
tampak mengkilap khususnya pada
basidiokarp muda, memiliki zona
zona-zona, dan kurang rata.. Pada biakan murni
terlihat miselium berwarna putih, permukaan halus (Gambar 2b) (Holliday, 1980).
1980)
Jika miselium dilihat di bawah mikroskop bisa terlihat ada atau tidak ada clamp
connection (Gambar 2c).
c).Basidiokarp
Basidiokarp yang dibentuk seringkali berdekatan,
bersambungan, dan salingmenutupi sehingga menjadi suatu susunan yang besar.
Permukaan bawah basidiokarp berwarna putih pucat,memiliki lapisan pori yang
yan
merupakan tempat pembentukan basidium danbasidiospora
danbasidiospora.
b
a
c
Gambar 2. Ganoderma sp. a. Tubuh buah, b. Biakan murni, c. Mikroskopis
C. Uji penapisan cendawan endofit melawan Ganoderma secara in vitro
Pengujian dengan menggunakan metode dua kultur untuk melihat
kemampuan cendawan endofit dalam menekan pertumbuhan Ganoderma. Pada
pengujian digunakan lima cendawan endofit yang digunakan yaitu : Trichoderma
sp1., Trichoderma sp2.,
p2., dan Aspergillus sp.Semua
Semua isolat cendawan endofit yang
digunakan memberi tingkat kemampuan menghambat perkembangan Ganoderma
yang berbeda-beda. Hasil pengujian secara in vitro dapat dilihat 3 cendawan
endofit yaitu masing-masing
masing Trichoderma sp1., Trichoderma sp2.,, dan Aspergillus
sp. mempunyai kemampuan menghambat perkembangan Ganoderma.
Cendawan
endawan ini menyebabkan perkembanga
perkembangan
n Ganoderma tertekan. Pertumbuhan
248
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Ganoderma menjadi terhambat dan kalah dibandingkan pertumbuhan cendawan
endofit. Sebaliknya 2 cendawan endofit lainnya yaitu Penicillium sp. dan Fusarium
sp. tidak mampu menghambat perkembangan Ganoderma yang ditandai dengan
Ganoderma tetap tumbuh dengan baik hingga akhir pengamatan Gambar 3).
1
2
1
1
1
2
2
2
2
1
Gambar 3. Uji antagonistik antara Ganoderma sp. dan cendawan endofit (7 HSI) :
a. Ganoderma sp. (1) vs Fusarium sp. (2)
b. Ganoderma sp. (1) vs Peicillium sp. (2)
c. Ganoderma sp. (1) vs Aspergillussp. (2)
d. Ganoderma sp. (1) vsTrichoderma sp1. (2)
e. Ganoderma sp.(1) vs Trichoderma sp2. (2)
Tabel 1. Zona hambatan (inhibiting zone) (mm) uji antagonistik cendawan endofit
dan Ganoderma dengan metode dua kultur
Perlakuan
Zona hambatan (7 hsi)
Tricoderma sp1. vs Ganoderma
0.71c
Tricoderma sp2. vs Ganoderma
0.71c
Penicillum sp. vs Ganoderma
3.00a
Aspergillus sp. vs Ganoderma
2.00b
Fusarium sp. vs Ganoderma
3.00a
Ganoderma
0.00d
Keterangan : hsi = hari setelah inokulasi. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan
Hasil pengamatan daya hambat cendawan endofit terhadap pertumbuhan
jamur Ganodermasetelah dianalisis ragam menujukkan hasil yang berpengaruh
nyata. Hasil uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1.
Cendawan endofit memberikan hasil yang berbeda nyata dalam menghambat
perkembangan Ganoderma. Sebaliknya pada perlakuan Ganoderma saja zona
hambatan tidak ada (0.00).
249
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kelima
cendwan
endofit
mampu
menghambat
perkembangan
Ganodermadengan zona hambatan antara 0.71-3 mm, namun cendawan endofit
Trichoderma sp1. , Trichoderma sp2, dan Aspergillus sp. memiliki daya hambat
yang lebih tinggi terhadap Ganoderma dibanding Fusarium sp. dan Penicillium sp.
Hasil ini menunjukkan Trichoderma sp. dan Aspergillus sp. memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam menghambat perkembangan Ganoderma. Menurut
Habazar dan Yaherwandi (2006) Trichoderma spp. menghasilkan enzim kitinase
yang mampu menghidrolisis kitin dari dinding hifa jamur patogen sehingga
menyebabkan lisis. Rogis et al. (2007) menegaskan bahwa kitinase merupakan
enzim yang penting dalam pengendalian jamur patogen karena aktifitas enzim ini
dapat menyebabkan terurainya dinding sel hifa serta perubahan komposisi
sitoplasma sel jamur patogenik yang menginfeksi tanaman dan merangsang
respon resistensi dari tanaman. Menurut Nugroho et al. (2003) kemampuan T.
viride menghasilkan kitinase sangat bervariasi antar strain, mungkin disebabkan
perbedaan pada gen yang mengkodenya. Variasi ini tidak saja terlihat pada
jumlah kitinase, tetapi juga jenis enzim yang dihasilkan. Beberapa studi
meyakinkan enzim kitinase yang dihasilkan oleh genus Trichoderma spp.lebih
efektif dibandingkan dengan enzim kitinase yang dihasilkan oleh organism lain
untuk menghambat berbagai cendawan patogenik tumbuhan (Lorito et al., 1994).
Beberapa studi juga melaporkan enzim kitinase yang dihasilkan oleh Trichoderma
memainkan peranan penting pada beberapa cendawan patogen tumbuhan seperti
Sclerotium rolfsii and Rhizoctonia solani,(Haran et al., 1996; Harman et al., 1993).
Kesimpulan
Eksplorasi cendawan endofit dari akar kelapa sawit sehat diperoleh 5 jenis
cendawan endofit yaitu : Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., Aspergillus sp.,
Fusarium sp., dan Penicillium sp. Trichoderma sp1., Trichoderma sp2.,
Aspergillus sp. mempunyai kemampuan menghambat perkembangan cendawan
Ganoderma berdasarkan uji secara in vitro.
Daftar pustaka
Anonim. 2012.Luas areal kelapa sawit menurut Provinsi di Indonesia, 2008-2012.
<www.deptan.go.id> . Diakses 13 Desember 2013.
Anonim. 2013. <www.sumut.bps.go.id.>.Diakses 13 Desember 2013.
Badrun M. 2010. Tonggak Perubahan : melalui PIR kelapa sawit membangun
negeri. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik
Indonesia : Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi. 242 hal.
Bivi MR., MSN Farhana, A Khairulmazmi and A Idris. 2010. Control of Ganoderma
boninense: a causal agent of basal stem rotdisease in oil palm with
endophyte bacteria In Vitro. Int. J. Agric. Biol. 12: 833–839.
Dharmaputra OS., HS Tjitrosomo and AL Abadi. 1989. Antagonisticeffect of four
fungal isolates to Ganoderma boninense, the causalagent of basal stem
rot of oil palm. J. Biotrop 3: 41–49.
250
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Dorworth CE and BE Callan. 1996. Manipulation of endophytic fungi topromote
their utility as vegetation biocontrol agents. In: Redlin, S.C.and L.M. Carris
(eds.), Endophytic Fungi in Grasses and Woody Plants-Systematics,
Ecology and Evolution, pp: 209–218. APS Press,New York
Fokkema, NJ. 1978. Fungal antagonism in the phylosphere. Ann. Appl. Biol. 89:
115-117.
Rogis A., T Pameskas &Mucharromah. 2007. Karakteristik dan uji efikasi senyawa
bahan alami chitosan terhadap patogen pasca panen antraknosa
Colletrotichum musae. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 9: 58-63.
Habazar T dan Yaherwandi. 2006. Pengendalian Hayati Hama dan Penyakit
Tumbuhan. Andalas University Press, Padang.
Haran S., Schickler H., Oppenheim A., and Chet I. 1996. Differential expression of
Trichoderma harzianum chitinases during mycoparasitism. Phytopathology
86:980-985.
Harman GE., Hayes CK., Lorito M., Broadway RM., Di Pietro A., Peterbauer C &
Tronsmo A. 1993. Chitinolytic enzymes of Trichoderma harzianum:
Purification of chitobiosidase and endochitinase. Phytopathology 83:313318.
Kloepper JW., G Wei and S Tuzun. 1992. Rhizosphere populationdynamics and
internal colonization of cucumber by plant growthpromotingrhizobacteria
which induce systemic resistance to Colletotrichum orbiculare. In: Tjamos,
E.S. (ed.). Biological Controlof Plant Disease, pp: 185–191. Plenum Press,
New York.
Lorito M., Hayes CK., Zoina A., Scala F., Del Sorbo G., Woo SL & Harman GE.
1994. Potential of genes andgene products from Trichoderma sp. and
Gliocladium sp. for the development of biological pesticides.Mol
Biotechnol. 2: 209-217.
Nugroho TT., M Ali Ginting., C Wahyuningsih & Dahliaty. 2003. Isolasi dan
karekterisasi sebagai kitinase Trichoderma viride TNJ 63. Jurnal Natur
Indonesia 5 : 101-106.
Prihatiningtias W., Wahyuningsih MSH. 2005. Prospek mikroba endofit sebagai
sumber senyawa bioaktif. Abstrak. <www.mot.farmasi.ugm.ac.id.>
Diakses 1 Desember 2013.
Susanto A. 2002. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat.
penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit. Institut Pertanian.
Disertasi.
Susanto A. 2009. Basal stem rot in Indonesia: Biology, economic importance,
epidemiology, detection and control. In: Proceedings of the International
Workshop of Awareness, Detection and Control of Oil Palm Devastating
Diseases. 6 November 2009. Kuala Lumpur, Malaysia.
Sapak Z, Meon S and Ahmad ZAM. 2008. Effect of endophytic bacteria on growth
and suppression of Ganoderma infection in oil palm. Int. J. Agri. Biol. 10
:127-132
251
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Sariah M. 2003. The potential of biological management of basal stem rotof oil
palm seedlings by calcium nitrate. The Planter 73: 359–361
Treu R. 1998. Macrofungi in oil palm plantations of south-east Asia. Mycologist,
12:10-14.
Ucapan TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Kompetitip Nasional pada
skem Hibah MP3EI tahun 2014. Penulis mengucapkan terima kasih atas
dukungan dananya.
252
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kajian Induced Resistance Anggrek Phalaenopsis amabilis secara In Vitro
terhadap Fusarium oxysporum penyebab Penyakit Busuk Daun
R.Soelistijono1), A. Priyatmojo2), D.S. Utami1)
1) Staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan Surakarta
2) Staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Abstrak
Anggrek Phalaenopsis amabilis atau yang lebih dikenal sebagai anggrek
bulan merupakan anggrek plasma nutfah yang berasal dari Indonesia. Anggrek ini
bersifat rentan terhadap jamur patogen. Fusarium oxysporum merupakan jamur
patogen yang paling banyak menyerang anggrek P. amabilis dibandingkan dengan
jamur patogen lainnya. Serangan F. oxysporum akan menyebabkan daun
membusuk dan bewarna kuning. Sampai saat ini belum diketahui pengendalian
secara hayati terhadap F. oxisporum. Prainokulasi mikoriza Rhizoctonia spp.
binukleat (BNR) secara in vitro pada seedling anggrek P. amabilis, dapat
menghambat infeksi berikutnya oleh F. oxysporum. Mekanisme ketahanan
terimbas pada tanaman anggrek P. amabilis terhadap F. oxysporum berupa
mekanisme ketahanan struktural seperti lignifikasi dan pembentukan struktur
peloton. Indeks keparahan penyakit (DSI) menunjukkan bahwa P. amabilis yang
diprainokulasi dengan Rhizoctonia mikoriza dapat meningkatkan ketahanannya
terhadap F. oxysporum dibandingkan dengan P. amabilis yang tidak diprainokulasi.
Hasil analisis struktur DNA menunjukkan bahwa anggrek P. amabilis yang berasal
dari Kaliurang, Sleman, Surakarta, dan Tawangmangu secara genetik berbeda.
Kata kunci: induced resistance, P. amabilis, F. oxysporum
Pendahuluan
P. amabilis L. Blume merupakan salah satu anggrek yang merupakan
plasma nutfah Indonesia dan merupakan salah satu genus Phalaenopsis yang
dianggap penting karena peranannya sebagai indukan dalam menghasilkan
berbagai hasil persilangan/hibrida. P. amabilis mempunyai hubungan yang erat
dengan jamur mikoriza (orchid mycorrhiza) dalam siklus hidupnya. Hal ini
disebabkan karena biji anggrek membutuhkan mikoriza dalam penyediaan unsur
hara dari lingkungan untuk perkecambahannya (Smith & Read, 2008). Rhizoctonia
mikoriza mampu bersimbiosis dengan jaringan akar anggrek dan membentuk lilitan
hifa yang menggumpal pada jaringan korteks akar yang disebut peloton (Smith &
Read, 2008). Sesudah protocorm berkembang menjadi tanaman sempurna yang
dikenal sebagai plantlet, maka jaringan hifa Rhizoctonia mikoriza akan tetap
253
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
berada di bagian korteks akar anggrek.
Pada tanaman anggrek, F. oxysporum akan menyebabkan penyakit busuk
pada daun. Gejalanya berupa daun dan umbi batang menguning, berkeriput, tipis
dan bengkok, leher daun membusuk mencapai rhizoma dan umbi batang.
Penetrasi miselium F. oxysporum ke dalam tanaman melalui mulut kulit, lentisel
atau penetrasi miselium menembus lamella tengah di antara sel-sel penyusun
jaringan epidermis. Pada bagian daun anggrek penetrasi F. oxysporum dapat
terjadi melalui celah yang terbentuk pada saat pembentukan percabangan daun. F.
oxysporum memiliki 2 macam konidium, yang besar disebut makrokonidium,
berbentuk sabit atau berbentuk kait dengan ujung yang runcing dan konidium yang
kecil, mikrokonidium, mempunyai ukuran lebih kecil dan ukuran sekat lebih sedikit
(Semangun, 1996; Agrios, 2005).
Rhizoctonia spp. binukleat (BNR/binukleat Rhizoctonia) tidak mempunyai
kemampuan penghambatan antagonis terhadap F. oxysporum secara dual culture
pada medium agar. Perlakuan preinokulasi BNR pada seedling Spathoglottis
plicata dapat menghambat infeksi berikutnya oleh Rhizoctonia solani (Soelistijono,
2013). Hasil tersebut menunjukkan bahwa preinokulasi BNR mampu mengimbas
ketahanan S. plicata. Mekanisme pengimbasan ketahanan yang diduga terdapat
pada anggrek P. amabilis yang diinokulasi Rhizoctonia mikoriza adalah terjadinya
lignifikasi di bagian daun.
Bahan dan metode
A. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian perbanyakan P. amabilis secara in vitro, isolasi dan identifikasi
Rhizoctonia mikoriza dan F. oxysporum, pengamatan lignifikasi, peloton dan
indeks keparahan penyakit, dilakukan di laboratorium Penyakit Tumbuhan, Kultur
Jaringan, dan rumah kasa Fakultas Pertanian UTP. Penelitian dimulai bulan Maret
2013 dan berakhir bulan Desember 2013.
B. Metode
Isolasi F. oxysporum dilakukan pada daun P. amabilis yang bergejala busuk
dari berbagai tempat yang terinfeksi F. oxysporum menurut metode Bayman et al.
(Chung, 2011). Identifikasi miselium F. oxysporum dilakukan menurut Barnett &
Hunter (1972). Penentuan F. oxysporum sebagai patogen busuk daun P. amabilis
dilakukan dengan Postulat Koch. Isolasi Rhizoctonia mikoriza dilakukan dari akar
P. amabilis dari berbagai lokasi di Tawangmangu, Surakarta, Kaliurang, dan
Sleman menurut metode Bayman et al. yang dimodifikasi pada bagian akar (Otero,
2002). Sklerotium dan miselium Rhizoctonia mikoriza diidentifikasi berdasar
menurut Barnett & Hunter (1972) meliputi: (1) bentuk sklerotium, (2) warna
254
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
sklerotium (3) bentuk percabangan hifa, dan (4) jumlah inti. Pengamatan struktur
peloton pada akar P. amabilis menggunakan metode Kormanik & McGraw
(Schenck, 1982). Tingkat keparahan penyakit (DSI) menurut Sneh et al. yang
dimodifikasi (2004). Ekstraksi DNA Rhizoctonia sp. patogen dan Rhizoctonia
mikoriza dilakukan dengan metode CTAB 2% (Weiland, 2007). Amplikasi DNA
menurut Wyss, P., and Bonafante, P. (1993).
Hasil dan pembahasan
1. Isolasi dan identifikasi Fusarium sp.
Isolasi Fusarium sp. patogen dari beberapa lokasi pada P. amabilis yang
mengalami gejala penyakit busuk daun (Gambar 1).
A
B
Gambar 1. Gejala penyakit busuk daun oleh F. oxysporum pada daun
Phalaenopsis amabilis
Pengamatan pada warna koloni F. oxysporum yang diperoleh menunjukkan
menunjukkan bentuk makrokonidia yang berbeda-beda antara masing-masing
isolat. Isolat F1, F2, F3, dan F4 memiliki mikrokonidia dan hanya isolat F4 yang
memiliki makrokonidia. Menurut Agrios (2005) hanya Fusarium sp. yang memiliki
bentuk mikrokonidia yang bersifat patogenik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
semua isolat Fusarium sp. (F1, F2, F3, dan F4) semuanya bersifat patogenik
sehingga perlu dilakukan uji virulensi.
F1
F2
F3
F4
Gambar 2. Bentuk makrokonidia dan mikrokonidia Fusarium sp. (F1, F2, F3dan
F4).
Hasil analisis sidik ragam uji virulensi berbagai isolat Fusarium spp.
menunjukkan virulensi isolat F1 tidak berbeda nyata dengan F2 dan F3, isolat F2
255
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
tidak berbeda nyata dengan F1 dan berbeda nyata dengan F3 dan F4, sedangkan
isolat F4 tidak berbeda nyata dengan F3 tetapi berbeda nyata dengan F2 dan F1.
Hal tersebut dikarenakan isolat F4 merupakan F. oxysporum yang memiliki
makrokonidia, sedangkan isolat F1, F2 dan F3 dan kemampuan virulensi Fusarium
ditentukan oleh mikrokonia, tidak ditentukan oleh makrokonidia. Walaupun
perlakuan isolat F4 tidak berbeda nyata dengan F3 tetapi F4 mempunyai nilai DSI
yang tertinggi yaitu 2,9 dibandingkan isolat F3 maupun isolat lainnya.
2. Isolasi Rhizoctonia mikoriza
Isolasi Rhizoctonia mikoriza dari akar P. amabilis di berbagai diperoleh
isolat M1, M2, M3, dan M4. Isolat M1, M2, M3 dan M4 yang sebagian besar
memiliki warna koloni putih kecoklatan/coklat muda. Hyakumachi et al.(2005)
menemukan bahwa dari 670 isolat Rhizoctonia spp., 168 berwarna coklat muda
hingga coklat dan 502 berwarna putih, sedangkan Agustini et al. (2009)
menemukan hal yang berbeda di kebun raya Cycloops Jayapura, bahwa 10 isolat
mikoriza anggrek yang diperoleh warna koloni bervariasi dari putih hingga hitam.
Oleh karena itu berdasarkan pengamatan secara morfologi warna koloni isolat
Rhizoctonia mikoriza tidak dapat digunakan sebagai pembeda antar masingmasing isolat.
3. Pertumbuhan vegetatif
Pertumbuhan vegetatif anggrek P. amabilis menunjukkan hasil yang
berbeda antara perlakuan yang ditumbuhkan di dataran rendah (Surakarta)
dengan yang ditumbuhkan di dataran sedang (Sleman) dapat dilihat pada Gambar
3.
Gambar 3. Pertumbuhan daun P. amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Sleman
dan Surakarta
Secara keseluruhan daun anggrek P. amabilis yang ditumbuhkan di wilayah
Sleman memiliki pertumbuhan daun yang lebih cepat dibandingkan dengan P.
256
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Surakarta. Hal tersebut dikarenakan
anggrek P. amabilis merupakan anggrek epifit, sehingga hanya membutuhkan air
sedikit untuk penyerapan unsur haranya. Bilamana anggrek P. amabilis
ditumbuhkan di wilayah Sleman, maka kebutuhan air sudah tercukupi karena di
wilayah Sleman curah hujan cukup tinggi, sedangkan bila ditumbuhkan di wilayah
Surakarta, maka pertubuhan vegetatifnya akan lebih rendah. Hal tersebut
dikarenakan di wilayah Surakarta curah hujan sedikit dan suhu udara yang tinggi
akan menyebabkan laju evaporasi yang tinggi. Laju evaporasi yang tinggi akan
menyebabkan dehidrasi bagi tanaman yang akan berpengaruh pada pertumbuhan
dan perkembangan fase vegetatifnya.
4. Pengamatan lignifikasi pada daun anggrek P. amabilis
Untuk mengetahui terjadinya ketahanan secara struktural pada akar P.
amabilis dapat dilihat terjadinya lignifikasi pada bagian daun dan akar anggrek P.
amabilis (Gambar 4).
A
B
Gambar 4. Lignifikasi pada daun anggrek Phalaenopsis amabilis di wilayah
Sleman (A) dan Surakarta (B).
Dari gambar 4 terlihat bahwa lignifikasi pada daun anggrek P. amabilis di
wilayah Sleman maupun Surakarta tidak menunjukkan perbedaan satu dengan
lainnya. Hal tersebut diduga karena Rhizoctonia mikoriza yang diinduksi mampu
berasosiasi dengan anggrek P. amabilis dibagian akar dan bersifat sistemik. Hal
ini membuktikan bahwa induksi Rhizoctonia mikoriza mempunyai kemampuan
sebagai inducer ketahanan terimbas, dan ini menunjukkan bahwa proses
lignifikasi pada daun P. amabilis terjadi sebagai respons ketahanan tanaman
secara struktural terhadap infeksi F. oxysporum. Lignin merupakan senyawa
polimer yang sulit ditembus oleh hifa jamur patogen karena tersusun dari
beberapa monomer senyawa fenol yaitu alkohol koniferil, kumaril dan sinapil yang
dibentuk dari asam kumarat melalui jalur fenilpropanoid (Patel et al. 2007).
257
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
5. Penghitungan nilai DSI pada daun anggrek P. amabilis
Untuk mengetahui tingkat ketahanan P. amabilis hasil pengimbasan setiap
perlakuan dapat dihitung tingkat keparahan penyakitnya menurut Sneh et al.
(2004) (Gambar 5).
Gambar 5. Indeks keparahan penyakit (DSI) pada Phalaenopsis amabilis yang
diinokulasi dengan Fusarium oxysporum di wilayah Sleman dan
Surakarta
Berdasarkan nilai DSI tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengimbasan
Rhizoctonia mikoriza secara in vitro dapat meningkatkan ketahanan P. amabilis
terhadap infeksi F. oxysporum di wilayah Sleman. Diduga pengimbasan
Rhizoctonia mikoriza secara in vitro akan menyebabkan P. amabilis mampu
memproduksi metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan F. oxysporum. Nilai
ketahanan anggrek P. amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Surakarta memiliki
nilai DSI yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anggrek P. amabilis yang
ditumbuhkan di wilayah Sleman. Akan tetapi hal tersebut tidaklah bersifat mutlak,
karena suhu udara di daerah Surakarta lebih tinggi sehingga kelembaban
udaranya lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah Sleman. Nilai kelembaban
yang rendah akan mengurangi kemampuan jamur patogen untuk menginfeksi
tanaman (Semangun, 1996). Hal tersebut yang menyebabkan anggrek P. amabilis
yang ditumbuhkan di wilayah Surakarta kelihatan lebih mampu bertahan terhadap
F. oxysporum.
258
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
6. Pengamatan struktur DNA P. amabilis
100BpPhl1Phl2Phl3Phl4
Gambar 6. Analisis DNA anggrek P. amabilis dengan teknik RAPD dan
menggunakan marker OPB 11. Keterangan: (100 Bp) marker
100 Bp; (Phl1) P. amabilis dari Tawangmangu; (Phl2) P. amabilis
dari Surakarta; (Phl3) P. amabilis dari Kaliurang, dan (Phl4) P.
amabilis dari Sleman.
Dari gambar 6 terlihat bahwa P. amabilis yang berasal dari Tawangmangu,
Kaliurang, Surakarta, dan Sleman memiliki kesamaan pita DNA sebesar 600 bp.
Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa P. amabilis yang berasal dari Surakarta
memiliki ciri yang berbeda dari anggrek lainnya yaitu adanya pta DNA pada 300
bp. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa walaupun merupakan
spesies yang sama akan tetapi anggrek P. amabilis berbeda secara genetik
dengan P. amabilis lainnya.
Kesimpulan
1. Terbentuk lignifikasi dan struktur peloton pada P. amabilis yang diinduksi
dengan Rhizoctonia mikoriza sebagai respon terhadap infeksi F. oxysporum.
2. Pertumbuhan vegetatif P. amabilis yang diinduksi dengan Rhizoctonia mikoriza
lebih baik disbanding yang tidak diinduksi.
3. Terjadi penurunan indeks keparahan penyakit (DSI) pada Phalaenopsis amabilis
yang diinduksi dengan Rhizoctonia mikoriza.
4. Terdapat perbedaan secara genetik antara Phalaenopsis amabilis yang bersifat
tahan terhadap Fusarium oxysporum dengan yang bersifat rentan.
Ucapan terima kasih.
Didalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dirjen
DIKTI yang telah membiayai peneliitian berdasarkan surat Surat Perjanjian
Pelaksanaan Penelitian Hibah Bersaing Nomor: 010/K6/KL/SP/2013 tanggal 16
Mei 2013.
259
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Daftar pustaka
Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. 4th ed. Academic Press. New York.
Agustini, V., Supeni S., and Suharno. 2009. Mycorrhiza Association of Terestrial
Orchids of Cycloops Nature Reserve. Jayapura. Biodiversitas 10 : 175 – 180.
Barnett, H. L. and B. B. Hunter. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi, 3rd
Edition. Burgess Publishing Company. Minneapolis, Minnesota.
W. C. Chung, L. W. Chen, J. H. Huang, H. C. Huang, and W. H. Chung. 2011. A
new forma spesialis of Fusarium solani causing leaf yellowing of
Phalaenopsis. Plant Pathology 60 : 244-252.
Hyakumachi M., A. Priyatmojo, M. Kubota and H. Fukui. 2005. New Anastomosis
Group, AG-T and AG-U, of Binucleate Rhizoctonia spp. Causing Root and
Stem Rot of Cut-Flower and Miniatur Roses. Phytopatology 95 : 784-792.
Otero, J. T., J. D. Ackerman and P. Bayman. 2002. Diversity and host specificity of
endophytic Rhizoctonia-like fungi from tropical orchids. American Journal of
Botany 89 : 1852 – 1858.
Patel VK, RSS Yadav and KDS Yadav. 2007. Enzymatic characteristic of lignin
peroxidases of indigenous lignolitic fungal strains-1. Indian Journal of
Biotechnology 6 : 553-556.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 754 h.
Smith, S.E. and D. J. Read. 2008. Mycorrhiza Symbiosis, 3rd Edition. Academic
Press. New York. 805 p.
Sneh, B., E. Yamoah and A. Stewart. 2004. Hypovirulent Rhizoctonia spp. isolates
from New Zealand soils protect radish seedlings against damping-off caused
by R. solani. New Zealand Plant Protection 57 : 54 – 58.
Soelistijono, 2013. Pengimbasan Ketahanan Anggrek Spathoglottis plicata
terhadap Penyakit Busuk Akar Rhizoctonia solani menggunakan Rhizoctonia
Mikoriza In Vitro. Disertasi. Tidak untuk dipublikasikan.
260
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGENDALIAN PENYAKIT HAWAR PELEPAH DENGAN Trichoderma sp.
PADA SISTEM TANAM PADI LOKAL LAHAN RAWA
Mariana
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
Jalan Ahmad Yani km. 36 kode pos 70714 Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Telp. 085732719460. e-mail :[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengendalian Trichoderma sp terhadap
penyakit hawar pelepah daun padi yang disebabkan oleh Rhizoctonia sp di lahan
rawa. Lokasi penanaman untuk lahan rawa pasang surut di desa Karang Indah
Kabupaten Barito Kuala, untuk lahan rawa lebak di desa Banua Rantau Kabupaten
Tabalong Kalimantan Selatan. Penelitian diawali dengan eksplorasi jamur
antagonis di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. Daya antagonis diuji secara
in vitro dengan uji berpasangan. Perlakuan yang diuji di lapang adalah waktu
aplikasi Trichoderma yaitu pada tiap tahap pindah tanam lokal di lahan rawa, (I.
teradak, II. ampak, III. lacak, IV. olah tanah dan V. tanam).
Pada perlakuan
teradak, aplikasi dilakukan dengan perendaman benih dalam suspensi konidia
Trichoderma sp, sedang perlakuan lainnya dengan cara penyiraman. Pada
perlakuan olah tanah, suspensi disiramkan ke cacahan gulma sesuai dengan cara
olah tanah lokal. Kerapatan suspensi konidia adalah 3 x 107konidia/ml. Hasil
eksplorasi menunjukkan ada 43 isolat yang berpotensi sebagai agens pengendali
hayati. Hasil seleksi 12 isolat terpilih adalah 2 isolat dengan daya hambat tertinggi,
dan hasil identifikasi 2 isolat tersebut adalah Trichoderma sp. Hasil penelitian di
lahan pasang surut maupun di lahan lebak menunjukkan bahwa aplikasi pada
perendaman benih dan pada saat olah tanah menunjukkan intensitas penyakit
hawar pelepah daun terendah (0,42% - 2,20%), yang berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. (6,4% - 8,18%).
Kata kunci : hawar pelepah, Trichoderma sp, lahan rawa
Pendahuluan
Masalah utama dalam pertanian saat ini adalah penggunaan pupuk dan
pestisida kimia. Tercatat lebih dari 40% pertanian di dunia menggunakannya.
Solusi untuk mengurangi dampak negatif bahan kimia tersebut adalah dengan
menggunakan agens hayati. Efektivitas agens pengendali hayati secara
fundamental berbeda dengan fungisida kimia karena perlu tumbuh dan
261
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
berkembang biak. Dinamika populasi dari agens pengendali hayati dalam
agroekosistem sangat mempengaruhi efektivitasnya. Pengendalian hayati akan
berjalan baik apabila populasi antagonis sudah mencapai jumlah inokulum
potensial, periode survival, dan distribusi (Lo et al., 1998).
Kondisi ekologis pertanian di lahan rawa mempunyai karakter yang spesifik.
Pada lahan rawa lebak, kondisi lahan pada musim hujan terus menerus tergenang.
Penanaman padi hanya dilakukan pada saat musim kemarau. Pada lahan rawa
pasang surut, lahan akan tergenangi pada saat air pasang dan permukaan air
akan turun pada saat air surut. Selain kondisi lahan rawa yang spesifik, sistem
bertanam padi di lahan rawa juga spesifik. Petani padi di lahan rawa Kalimantan
Selatan mempunyai kearifan lokal yaitu menggunakan sistem tanam dengan
empat kali pindah tanam yang mengikuti pola dari pasang dan surutnya air di lahan
(teradak, ampak, lacak, dan tanam). keadaan ini memungkinkan inokulum mikroba
patogen sekaligus antogonisnya yang sudah berkoevolusi turut serta, sehingga
diduga membantu pengendalian patogen yang akan menyerang. Kearifan lokal
pengolahan tanah menggunakan alat tajak untuk membersihkan gulma pada saat
air tergenang menghasilkan puntalan gulma yang digunakan sebagai pupuk hijau.
Keadaan kaya bahan organik ini sangat mungkin untuk mengaktifkan dan
menambah daya antagonis dari mikroba pengendali hayati yang ada di situ. Di
lain pihak penggunaan pestisida dan pupuk sintetis mempunyai efek sebaliknya
sehingga populasi mikroba antagonis dapat berkurang.
Kearifan budaya lokal dalam budidaya tanaman padi belum pernah diteliti
terutama dalam kaitannya dengan pengelololaan penyakit yang menyerang.
Mengingat pada sistem budidaya ini intensitas penyakit lebih rendah dibanding
sistem konvensional.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dinamika populasi mikroba
antagonis dalam sistem tanam lokal untuk mengendalikan penyakit utama padi di
lahan rawa, Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah : 1. Survey intensitas
penyakit utama tanaman padi di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. 2.
Eksplorasi mikroba antagonis yang ada pada sistem budidaya lokal di lahan rawa
pasang surut dan rawa lebak. 3. Mempelajari dinamika populasi mikroba
antagonis pada sistem budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut dan rawa
lebak.
Bahan dan cara kerja
Penelitian ini dilaksanakan di lahan rawa Kalimantan Selatan yaitu rawa
lebak (Desa Banua Lawas, Kabupaten Hulu Sungai Utara) dan rawa pasang surut
(Desa Mandastana, Kabupaten Barito Kuala) serta di Laboratorium Fitopatologi
262
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat dari bulan Maret - bulan
Nopember 2011
Survei intensitas penyakit utama padi dilakukan pada enam lokasi lahan
petani di lahan rawa Kalimantan Selatan. Intensitas penyakit dihitung menurut
metode survey lapang penyakit padi IRRI (1996). Patogen diisolasi, dimurnikan
dengan media PDA (potato dextrose agar) dan diidentifikasi berdasarkan
Compendium of Soil Fungi (Domsch et al., 1980) dan Illustrated Genera of
Imperfect Fungi (Barnett, 1969).
Eksplorasi cendawan antagonis di lahan rawa lebak dilakukan pada lebak
dalam, lebak tengahan dan lebak dangkal/pematang. Sedangkan di lahan rawa
pasang surut dilakukan di rawa pasang surut langsung dan pasang surut tidak
langsung. Sampel eksplorasi diisolasi menurut prosedur Homby (Tuite, 1970) dan
dilanjutkan dengan metode pengenceran (dilution plate technique) pada 10-2
sampai 10-4 (Singleton et al.,2001). Media biakan yang digunakan untuk isolasi
dan pemurnian adalah potato dextrose agar. Untuk menghambat pertumbuhan
kontaminan digunakan streptomycin sulfat. Seluruh isolat murni hasil eksplorasi
diseleksi berdasarkan kecepatan pertumbuhan, ketebalan isolat, dan viabilitasnya.
Dua belas cendawan hasil seleksi diuji daya antagonisnya dengan menghitung
persentase hambatannya terhadap Rhizoctonia sp. Uji anatagonis menggunakan
metode oposisi langsung antara patogen dengan antagonisnya (Dennis and
Webster 1971). Pengujian ini dirancang dengan rancangan acak lengkap dan 3
kali ulangan. Isolat cendawan yang paling tinggi persentase hambatannya
diidentifikasi berdasarkan Compendium of Soil Fungi (Domsch et al., 1980) dan
Illustrated Genera of Imperfect Fungi (Barnett, 1969).
Uji lapang waktu aplikasi didahului dengan menanam padi varietas lokal
Siam Unus Mutiara dengan mengikuti proses budidaya padi lokal lahan rawa. Baik
di lahan rawa lebak maupun rawa pasang surut. Cendawan antagonis
diaplikasikan pada setiap tahap proses pindah tanam lokal. Ada empat perlakuan
aplikasi. Aplikasi I diawali dengan merendam benih padi pada suspensi biakan
Trichoderma dengan kerapatan spora 2,3 x 107 spora/ml. Ini dinamakan aplikasi
pada saat teradak. Aplikasi II pada pindah tanam selanjutnya adalah dengan
merendam akar dalam suspensi Trichoderma. Aplikasi III saat pengolahan tanah,
Trichoderma diaplikasikan pada puntalan rumput saat puntalan rumput
dihamparkan di atas tanah. Aplikasi IV yaitu pada saat pindah tanam terakhir (final
transplanting). Pengamatan intensitas penyakit dilakukan pada tanaman mulai
keluar malai yaitu 2 minggu setelah aplikasi terakhir.
263
Prosiding Seminar Nasional
nal PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil
Penyakit busuk pelepah, blas, bercak cercospora dan bercak coklat
merupakan penyakit utama padi di lahan rawa lebak maupun rawa pasang surut
pada musim tanam 2011. Penyakit Tungro hanya terdapat di lahan pasang surut
dengan intensitas 7,8% -12,4%.
12,4%. Intensitas penyakit masih tergolong rendah yyaitu
berkisar antara 6 % - 17,8 % . Intensitas penyakit tertinggi adalah penyakit busuk
pelepah yaitu 12,1% – 15 % di lahan
laha lebak dan 14% - 15% di lahan pasang surut.
surut
.
Intensitas Penyakit (%)
di lahan Lebak
15
10
5
BPL1
BPL2
BPL3
BLL1
BLL2
BLL3
BCL1
BCL2
BCL3
BCeL1
BCeL2
BCeL3
0
intensitas penyakit (%)
di lahan pasang surut
BPS1
BPS2
BPS3
BLS1
BLS2
BLS3
BCS1
BCS2
BCS3
TS1
TS2
TS3
20
15
10
5
0
Gambar 1 Intensitas penyakit utama padi di lahan rawa pada MT 2011
Keterangan : BP = Busuk pelepah, BL = Blas, BC= Bercak coklat, Bce= Bercak
Cercospora, T= Tungro, L= Lebak, S = Pasang surut
Dari hasil
asil ekplorasi cendawan antagonis di lahan rawa pasang surut dan
rawa lebak Kalimantan Selatan diperoleh 43 isolat, yang terdiri dari 2 isolat dari
rawa lebak dalam (watun III), 12 isolat dari lebak tengahan dan pematang (watun I
dan II), serta 29 isolat dari rawa pasang surut
surut.
264
Prosiding Seminar Nasional
nal PFI Komda Joglosemar 2014
A. Daya Antagonis
Hasil pengujian daya antagonis terhadap 12 isolat terseleksi didap
didapatkan 2
isolat (PS1 dan LB4) yang memiliki daya hambat yang tinggi dan tidak berbeda
nyata terhadap Rhizoctonia solani penyebab busuk pelepah (Gambar 2.). PS1
berasal dari rawa pasang surut dan LB 4 berasal dari rawa lebak.
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
% Daya Hambat
20,00
10,00
0,00
PS1 LB4 LB2 PS4 LB6 PS10PS21LB11 LB8 PS3 LB5 LB1
Jenis Isolat
Gambar 2. Hasil uji daya antagonis pada 12 isolat terseleksi dengan R.
solani
Pengamatan morfologi koloni isolat PS1 dan LB4 dan pengamatan
mikroskopis menunjukkan bahwa kedua isolat mempunyai karakteristik yang
sama. Pada medium PDA kultur tumbuh dengan cepat, Pengamatan terhadap
suhu inkubasi menunjukkan kultur tidak dapat tumbuh pada 35oC. Pada awal
pertumbuhan berwarna putih, lama kelamaan berubah menjadi hijau, dan akhirnya
berwarna hijau tua. Permukaaan koloni seperti kapas, dan adanya pustule yang
terbentuk mengelilingi koloni seperti kapas. Pertumbuhan koloni juga sama yaitu
berbentuk cicin konsentris
onsentris (Gambar 3A ). Pada biakan yang sudah berumur lebih
dari 7 hari tercium bau seperti bau minyak kelapa. Bau ini akan semakin jelas
pada biakan menggunakan media beras. Berdasarkan karakter tersebut maka
koloni tersebut adalah Trichoderma sp.
Hasil karakterisasi mikroskopik berdasarkan analisa pada konidiofor, dan
percabangan konidiofor menurut literatur menunjukkan bahwa kedua iso
isolat
tersebut adalah Trichoderma.
Trichoderm Konidofor bercabang banyak. Pada cabang utama
dari konidiofor terdapat cabang
cabang-cabang
cabang sisi lateral. Cabang primer maupun
sekunder tersebut timbul pada sudut 90o dari sumbu utama (Gambar 3 B
B).
Konidiofor hyalin, bercabang, dan biasanya rangkaian konidia berkelompok
berbentuk piramid (Gambar 3 C)
C).
265
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
A
B
C
Gambar 3. Morfologi koloni dan morfologi mikroskopik isolat terbaik
A. Koloni isolat PS1 dan LB4 .B. percabangan konidiofor membentuk
sudut 90o ,C. Konidiofor dalam rangkaian piramid.
Tabel 1.Intensitas penyakit busuk pelepah ( %) setelah aplikasi
Trichoderma pada masing masing tahap penanaman lokal
Saat Aplikasi
Tanpa Trichoderma
Olah tanah
Teradak
Ampak
Lacak
Tanam
Lahan rawa
Pasang surut
7.64b
0.42a
1.32a
7.06b
7.84b
6.82b
lebak
8.12b
1.44a
2.20a
6.40b
7.00b
8.18b
Pembahasan
Intensitas penyakit yang terdapat di lahan rawa tergolong rendah. Salah satu
factor penyebab rendahnya intensitas penyakit ini adalah bekerjanya
mikroorganisme yang ada di sekitar tanaman. Cendawan antagonis yang berhasil
diisolasi di lahan rawa cukup beragam (43 isolat) ada 12 isolat berpotensi sebagai
agens antagonis. Mikroba antagonis yang berkembang di lahan, mempunyai peran
penting dalam menentukan intensitas penyakit. Mikroba ini berperan dalam
menekan populasi mikroba yang ada di tanah maupun yang berada di atas tanah.
Beberapa spesies Trichoderma biasanya ditemukan di tanah.dan telah terbukti
dapat mengendalikan beberapa jenis penyakit padi, dan tanaman lainnya.
Pengendalian penyakit busuk pelepah yang disebabkan Rhizoctonia solani pada
tanaman padi oleh mikroba tanah antagonis telah dibuktikan oleh beberapa hasil
penelitian, bahkan lebih baik dari fungisida sintetik. Trichodema harzianum, T.
266
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
virens dan T. atrovitide merupakan agens biokontrol yang sangat baik dalam
mengendalikan busuk pelepah. T. harzianum AS 12-2 yang paling effektif dan
lebih baik daripada fungisida propiconazole (Naeimi et al, 2010). Tiga strain T.
koningii menghasilkan toksin yang kuat, dapat menghambat 79% pertumbuhan
hifa R. solani. T. harzianum Th-9 dapat menurunkan viabilitas sklerotia R. solani
sebesar 81.8% dan T. koningii, TK-5 sebesar 53%. Pengamatan dengan
mikroskop elektron menunjukkan, T. harzianum Th-9 tumbuh menuju dan
melingkar di sekitar sel inang, menembus dan menghancurkan hifa. Penetrasi
pada sel inang nampaknya dengan kekuatan mekanis. (Melo and Faull, 2000) Di
lahan pasang surut, Trichoderma juga telah terbukti dapat mengendalikan penyakit
busuk pelepah (Prayudi, 2000). Aplikasi Trichoderma asperellum(strain T-34)pada
kompos dapat menekan intensitas penyakit karena Rhizoctonia sampai 53 %
(Trillas et al., 2006).
Intensitas penyakit daun juga tergolong rendah. Hal ini karena mikroba
tanah juga dapat mengendalikan penyakit yang ada di daun, seperti blas, bercak
coklat dan bercak cercospora. Mikroba yang ada di tanah dapat masuk ke dalam
tanaman mencapai daun secara endofit (Dongyi and Kelemu, 2004). Seperti yang
dikemukakan oleh Oliveres et al. (1996) bahwa infeksi Hidrospirillium pada biji
tanaman padi terjadi melalui akar kemudian ditranslokasikan melalui xilem ke
seluruh bagian tanaman. Dari penelitian lain Trichoderma juga dapat
mengendalikan penyakit bercak daun Cercospora beticola pada tanaman bit gula
(Galletti et al., 2008). Penyakit blas pada padi juga terbukti dapat dikendalikan
oleh mikroba antagonis. Li et al. (2011) membuktikan bahwa suspensi filtrat kultur
Streptomyces globisporus JK-1 pada 108 cfu/ml dapat menekan intensitas penyakit
blas akibat inokulasi Magnaporthe oryzae 5 × 105 spora/ml. Trichoderma juga
efektif mengendalikan bakteri Xanthomonas oryzae pv. Oryzae penyebab hawar
daun padi (Prasad and Sinha, 2012).
Peran mikroba antagonis dalam menekan intensitas penyakit juga terbukti
pada beberapa hasil penelitian. Pada uji di lapang, terbukti Trichoderma spp. dan
Gliocladium spp. mampu untuk mengendalikan jamur akar putih (Rigidoporus
microporus (Swartz:Fr) van Ov.) pada tanaman karet (Jayasuriya and
Thennakoon, 2007), dan juga efektif mengendalikan Ganoderma boninensis pada
kelapa sawit (Zainudin, et al., 2008). Aplikasi empat isolat Trichoderma juga
dapat menekan penyakit busuk akar putih pada alpukat (Rosa and Herrera, 2009).
Suspensi konidia atau filtrat kultur Colletotrichum fragariae (M23) yang avirulen
dapat menurunkan intensitas
penyakit antraknosa pada strawberry yang
diinokulasi isolat virulen Colletotrichum acutatum (M11). Fenomena ketahanan
terimbas menyebabkan penekanan intensitas penyakit tersebut (Chalfoun et al,
2011). Tanaman pepaya yang diinokulasi dengan Glomus mosseae + T.
267
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
harzianum, dapat menurunkan intensitas penyakit busuk akar karena
Phytophthora parasitica var. nicotianae. Menurut Elad et al. (1983) penyelimutan
biji kapas dengan Trichoderma spp. dapat mengurangi intensitas penyakit akibat
Rhizoctonia solani sebesar 83 % di rumah kaca dan 47 – 60 % di lapang.
Cendawan antagonis hasil ekplorasi di lahan rawa pasang surut dan rawa
lebak Kalimantan Selatan cukup bervariasi (43 isolat). Tetapi pada rawa lebak
dalam dan lebak tengahan, keragaman cukup rendah. Rendahnya keragaman ini
karena pada saat melakukan pengambilan sampel, lahan rawa lebak tergenang
tinggi, terutama pada lebak dalam dan lebak tengahan, sedangkan pada lebak
pematang (watun I) sebagian masih ada yang agak kering. Pada saat penelitian,
watun III terus menerus tergenang air, Hal ini mengakibatkan hanya mikroba
anaerob sejati saja yang bisa bertahan hidup di watun III tersebut. Hasil penelitian
Kyuma, (2004) membuktikan bahwa populasi cendawan menurun drastis akibat
penggenangan. Watun III hanya dapat ditanami pada musim kemarau, pada
musim tanam saat penelitian, tidak dapat ditanami akibat hujan terjadi sepanjang
tahun.
Dua belas isolat berpotensi memiliki kemampuan antagonis. Hal ini dilihat
dari kecepatan pertumbuhan koloninya, dan kemampuannya mengeluarkan
eksudat yang dapat menahan perkembangan mikroba lain saat dilakukan isolasi
dan pemurnian. Mekanisme antagonis dari mikroba yang tumbuh dengan cepat
adalah kompetisi ruang dan nutrisi. Ini merupakan salah satu mekanisme penting
karena suatu organisme tidak dapat bertindak sebagai agens pengendali hayati
apabila tidak dapat berkompetisi dalam hal ruang maupun nutrisi dengan
kompetitor lain di rhizosfer ( Howell, 2003). Demikian pula, Lo et al. (1998)
mengemukakan bahwa Trichoderma harzianum strain 1295-22 merupakan
mikroba rhizosfer dan filoplan yang kompeten dan dapat bertindak sebagai agens
biokontrol yang kuat.
Sejalan dengan sebagian besar hasil hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya, pada penelitian ini cendawan yang mempunyai daya
hambat tertinggi adalah Trichoderma spp. Namun cendawan hasil penelitian ini
merupakan isolat lokal yang berasal dan sudah beradaptasi dengan lahan rawa
lebak dan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Aplikasi Trichoderma sp. di
lahan menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa aplikasi Trichoderma (kontrol),
populasi Trichoderma di lahan rawa berkembang cukup baik. Trichoderma dapat
mempertahankan populasi sampai mencapai inokulum potensial nya karena
mampu berkompetisi dengan baik pada lingkungan lahan rawa, sehingga mampu
berkembang sampai akhir pengamatan. Hasil pengamatan intensitas penyakit
menunjukkan populasi Trichoderma di lahan rawa ternyata masih mencukupi untuk
menahan serangan penyakit busuk pelepah. Menurut Harman (2006) Trichoderma
268
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
secara endofit masuk ke dalam tanaman sehingga dapat mengendalikan patogen
yang sudah masuk ke dalam tanaman. Selain itu keberadaannya pada rhizosfer
tanaman juga dapat mengendalikan patogen yang ada di rhizosfer tanaman
tersebut, karena Trichoderma merupakan mikroba antagonis pada rhizosfer yang
kompeten dan agens biokontrol yang kuat. Selain itu Trichoderma juga dapat
meningkatkan kelarutan unsur hara dan meningkatkan menyerapan hara
sehingga dapat meningkatkan vigor tanaman.
Aplikasi Trichoderma pada perlakuan teradak dan pada perlakuan olah
tanah, intensitas penyakit nya tidak berbeda nyata. Kedua cara aplikasi ini
menunjukkan peningkatan populasi Trichoderma yang terus meningkat dengan
peningkatan yang lebih tinggi dibanding cara aplikasi lainnya. Intesitas penyakit
pada perlakuan teradak yaitu perendaman benih dengan Trichoderma dapat
menurunkan intensitas penyakit busuk pangkal batang sampai 1,32% di lahan
pasang surut dan 2,22 % di lahan rawa lebak. Perendaman benih padi dalam
suspensi trichoderma menyebabkan Trichoderma dapat masuk ke dalam jaringan
padi sebagai endofit. Hasil penelitian Howellet al. (2000) menunjukkan bahwa
perlakuan benih kapas dengan T. virens menstimulasi sintesa terpenoid dan
peningkatan aktivitas peroksidase pada akar dan hipokotil kapas. Bioassay daya
racun terpenoid terhadap R. solani menunjukkan bahwa produk antara berupa
deoxyhemigossypol dan hemigossypol merupakan penghambat yang sangat kuat
bagi R. solani.
Mastouri et al. (2010) membuktikan bahwa perlakuan benih
dengan Trichoderma harzianum T 22 membuat jamur ini secara endofit dapat
tumbuh dengan baik pada kondisi diinokulasi dengan Pythium ultimum, dan pada
kondisi salinitas, suhu, serta tekanan osmotik diluar optimum.
Ucapan terima kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional dalam Hibah Fundamental sebagai
penyandang dana sehingga kegiatan ini dapat terlaksana
Daftar pustaka
Barnett, H.L. 1969. Illustrated genera of imperfect fungi.Second Edition. Burgess
Publishing Company. USA.
Chalfoun, N.R., A.P. Castagnaro, J.C. Díaz Ricci,. 2011. Induced resistance
activated by a culture filtrate derived from an avirulent pathogen as a
mechanism of biological control of anthracnose in strawberry. Biological
Control 58 : 319-329.
Dennis, C. and J. Webster. 1971. Antagonistic properties of species groups of
Trichoderma. III. Hyphal interaction. Trans. Brit. Mycol. Soc. 57: 363-369.
269
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Domsch, K.H., W. Gams, T. Anderson, and H. Anderson. 1980. Compendiun of
soil fungi.Volume 1. Academic Press. London.
Elad, Y., A. Kalton and I. Chet. 1983. Control of Rhizoctonia solani in Cotton by
Seedcoating with Trichoderma spp. Spores. Plant and Soil. 66: 279 – 281.
Galletti,S., P. L. Burzi , C. Cerato, S. Marinello, E. Sala. 2008. Trichoderma as
a potential biocontrol agent for Cercospora leaf spot of sugar beet.
Biological Control 53: 917–930.
Harman, G. E. 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma spp.
Phytopathology 96 :190-194.
Howell, C. R. L. E. Hanson, R. D. Stipanovic, and L. S. Puckhaber. 2000. Induction
of Terpenoid Synthesis in Cotton Roots and Control of Rhizoctonia solani by
Seed Treatment with Trichoderma virens. Phytopathology 90: 248-252.
Howell. C. R. 2003. Mechanisms Employed by Trichoderma Species in the
Biological Control of Plant Diseases: The History and Evolution of Current
Concepts. Plant Disease 87 : 4-10.
Howell C.R. 2006. Understanding the Mechanisms Employed by Trichoderma
virens to Effect Biological Control of Cotton Diseases. Phytophatology 9 :
178 – 180.
Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto University Press, Kyoto.
Mastouri, F., T. Björkman, and G. E. Harman. 2010. Seed Treatment with
Trichoderma harzianum Alleviates Biotic, Abiotic, and Physiological
Stressesin Germinating Seeds and Seedlings. Phytopathology 100: 12131221.
Melo, I. S. andFaull, J. L. 2000.Parasitism of Rhizoctonia solani by strains of
Trichoderma spp. Scientia Agricola. 57 : 55-59.
Naeimi, S., S.M. Okhovvat, M.J.-Nikkhah, C.Vágvölgyi, V. Khosravi And L.
Kredics. 2010. Biological control of Rhizoctonia solani AG1-1A, the causal
agent of rice sheath blight with Trichoderma strains. Phytopathol. Mediterr
49 : 287−300.
Prasad, G.G. dan Sinha A.P. 2010. Comparative antagonistic potential of
Trichoderma spp. against Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Annals of Plant
Protection Sciences 18: 456-463.
Prayudi, B. 2000.Toleransi padi local rawa pasang surut terhadap penyakit
hawarpelepah daun padi.(Rhizoctonia solani). Bul. Agron. 28 : 37 -40.
Rosa, D. R. and C. J. L. Herrera.2009. Evaluation of Trichoderma spp. as
biocontrol agents against avocado white root rot. Biological Control 51 : 66
– 71.
Singleton, L.L.Mihail, J.D. and Rush C.M. 2001.Methods fo Reseach on Soilborne
Phytopathogenic Fungi. APS Press.St., Paul Minnesota.
270
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Trillas, M.I.E. Casanova, L. Cotxarrera, J. Ordovás, C. Borrero, M. Avilés.
2006.Composts from agricultural waste and the Trichoderma asperellum
strain T-34 suppress Rhizoctonia solani in cucumber seedlings. Biological
Control 39 : 32-38.
Zainudin,M., N. A. Izzati and F. Abdullah. 2008. Disease Suppression in
Ganoderma-infected Oil Palm Seedlings Treated with Trichoderma
harzianum. Plant Protect. Sci. Vol. 44 : 101–107.
271
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
IDENTIFIKASI GALUR PLANLET VANILI (Vanilla planifolia Andrews)
RESISTEN TERHADAP INFEKSI Fusarium oxysporum f. sp. vanillae
HASIL SELEKSI IN VITRO DENGAN ASAM FUSARAT
1
2
3
Endang Nurcahyani , Bambang Hadisutrisno , Issirep Sumardi , & E. Suharyanto
3
1Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Lampung
2 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas
Gadjah Mada
3
Laboratorium Struktur dan Perkembangan Tumbuhan, Fakultas Biologi,
Universitas Gadjah Mada
Email: [email protected]
Abstrak
Kendala produksi dalam budidaya vanili (Vanilla planifolia Andrews)
salah satunya diakibatkan oleh penyakit busuk batang. Penyakit ini disebabkan
oleh jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillae (Fov) yang sampai sekarang
masih belum bisa diatasi secara efektif. Penggunaan kultivar vanili yang tahan
Fov dengan hasil tinggi diharapkan merupakan alternatif pengendalian penyakit
yang penting. Planlet vanili yang tahan terhadap infeksi Fov telah diinisiasi dan
diseleksi secara in vitro dalam medium MS dengan penambahan asam fusarat
(AF) pada konsentrasi yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi galur planlet vanili
tahan Fov secara in vitro; 2) mengetahui karakter ekspresi spesifik planlet vanili
tahan Fov meliputi kadar fenol total dan aktivitas enzim peroksidase. Hasil
penelitian menunjukkan: 1) secara in vitro, terdapat 17,14% galur (90 ppm),
12,00% galur (100 ppm), dan 10,59% galur (110 ppm) planlet vanili tahan Fov;
2) semakin meningkat konsentrasi AF maka meningkat pula kandungan fenol
total dan aktivitas enzim peroksidase pada planlet vanili tahan Fov.
Kata kunci: Vanilla planifolia, penyakit busuk batang vanili, Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae, in vitro, asam fusarat
Pendahuluan
Vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan tanaman yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi dan merupakan salah satu tanaman perkebunan penting di
Indonesia (Hadipoentyanti et al., 2007). Di pasaran internasional vanili
Indonesia dikenal dengan sebutan Java Vanilla Beans karena mempunyai
kualitas terbaik dengan kadar vanillin 2,75%, sedang pesaing utama adalah
Madagaskar dengan kadar vanillin 1,91 -1,98%, Sri Langka 1,48%, dan
Meksiko 1,89-1,98% (Hadisutrisno, 2004).
Masalah paling berat yang dihadapi petani vanili saat ini adalah penyakit
busuk batang (BBV) yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp.
272
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
vanillae (Fov) (Jayasekhar et al., 2008). Salah satu alternatif cara yang mungkin
efisien dan efektif untuk mengendalikan jamur Fov antara lain adalah dengan
menggunakan kultivar yang tahan terhadap jamur tersebut. Pengembangan
kultivar vanili tahan Fov tersebut dapat dilakukan antara lain dengan metode
seleksi in vitro yaitu mengkulturkan eksplan berupa jaringan atau organ pada
medium yang mengandung asam fusarat (AF) konsentrasi selektif.
Asam fusarat merupakan metabolit yang dihasilkan oleh beberapa
spesies jamur dari genus Fusarium. Asam ini dapat bersifat toksin (konsentrasi
lebih dari 10-5 M) sehingga menghambat pertumbuhan dan regenerasi biakan
(Landa et al., 2002; Bouizgarne et al., 2006), tetapi pada konsentrasi yang non
toksik (di bawah 10-6 M) justru membantu mengimbas sintesis fitoaleksin, suatu
bentuk respon tanaman untuk menghambat aktivitas patogen (Bouizgarne et
al., 2006). Beberapa parameter dapat menggambarkan terjadinya mekanisme
ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen antara lain peningkatan senyawa
fenol, peningkatan enzim peroksidase (termasuk kelompok PR-protein), dan
adanya lignifikasi (Agrawal et al., 1999; Lea & Leegood, 1999).
Total fenol pada jaringan dan organ tanaman olive (Olea europaea L.)
telah dilaporkan oleh Del Rio et al. (2003) yang mengatakan bahwa data dari
analisis HPLC-MS menunjukkan peningkatan fenol total pada perlakuan
Brotomax (senyawa anti jamur Phytophthora sp.) secara signifikan.
Selain peningkatan senyawa fenol, enzim peroksidase (termasuk
kelompok PR-protein) merupakan salah satu senyawa yang dapat
menggambarkan mekanisme ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen
(Vidhyasekaran, 1999). Infeksi tanaman oleh berbagai patogen seperti jamur,
bakteri, dan virus dapat menyebabkan terbentuknya PR-protein (Park et al.,
2004; Edreva, 2005). Sintesis dan akumulasi PR-protein ini sangat berperan
penting dalam pertahanan tanaman terhadap patogen. Hal ini sudah
diidentifikasi pada akar tanaman pisang yang terinfeksi oleh Fusarium
oxysporum f.sp cubense (Saravanan et al., 2004).
Penggunaan AF dalam konsentrasi yang toleran sejauh ini belum
dilaporkan secara pasti dan tepat untuk pengimbasan ketahanan planlet vanili
terhadap Fov. Planlet vanili yang tahan terhadap infeksi Fov telah diinisiasi dan
diseleksi secara in vitro dalam medium MS dengan penambahan asam fusarat
(AF) pada konsentrasi yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk: 1)
mengidentifikasi galur planlet vanili yang tahan Fov secara in vitro; 2)
mengetahui karakter ekspresi spesifik planlet vanili tahan Fov meliputi kadar
fenol total dan aktivitas enzim peroksidase.
Bahan dan metode
Bahan-bahan yang dipakai dalam penelitian ini antara lain adalah planlet
vanili (Vanilla planifolia) steril dalam botol kultur yang diperoleh dari Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Dinas Pertanian, Perkebunan, dan
273
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kehutanan , Kabupaten Magelang, asam fusarat murni yang diproduksi oleh
Sigma chemical Co. {Fusaric acid (5-butylpicolinic acid) from Giberella fujikuroi},
medium Murashige & Skoog (MS), alkohol 70 %, pirogalol.
Medium MS ditambah asam fusarat (AF) dengan konsentrasi 0, 90, 100,
110, dan 120 ppm. Eksplan yang digunakan berupa nodus batang. Setiap botol
kultur ditanami 5 eksplan dan setiap perlakuan dilakukan 175 ulangan. Total
eksplan yang ditanam adalah sebanyak 875 eksplan (175 botol kultur). Planlet
yang mampu hidup hasil seleksi AF selanjutnya disubkultur ke dalam medium
multiplikasi selama 12 minggu. Setelah pertumbuhan planlet mencapai
permukaan botol dilakukan uji ketahanannya terhadap Fov menurut metode
Hadisutrisno (1995). Intensitas penyakit dihitung berdasarkan jumlah daun yang
menunjukkan gejala daun kuning (layu) dengan indeks kelayuan menurut He et
al. (2002) yang dimodifikasi. Tingkat ketahanan tanaman ditentukan
berdasarkan skoring dengan mengacu pada ketentuan Wibowo (2002).
Karakter planlet vanili yang berhubungan dengan ketahanan terhadap
Fov dapat ditinjau antara lain dari kadar fenol total dan aktivitas enzim
peroksidase. Analisis senyawa fenol total menggunakan metode Singleton &
Rossi (Aberouman & Deokule, 2008). Aktivitas enzim peroksidase dianalisis
dengan metode dari Saravanan et al. (2004). Aktivitas enzim dihitung dalam
U/mg/min. Satu unit adalah aktivitas berubahnya OD 420 nm pada
spektrofotometer per menit.
Hasil dan pembahasan
Hasil pengamatan persentase jumlah planlet hidup pada medium
multiplikasi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase jumlah planlet vanili yang hidup pada medium multiplikasi
Konsentrasi
AF
(ppm)
0
90
100
110
I
100,00
27,14
14,00
12,94
Persentase jumlah planlet hidup minggu
II
III
IV
100,00
25,00
14,00
12,94
100,00
25,00
14,00
12,94
98,89
23,57
13,00
12,94
XII
88,89
17,14
12,00
10,59
Keterangan: Jumlah awal planlet vanili pada medium multiplikasi tergantung jumlah planlet
yang diperoleh pada seleksi dengan AF masing-masing perlakuan
Hasil seleksi in vitro dengan AF yang disubkultur pada medium
multiplikasi menghasilkan jumlah planlet vanili hidup sebesar 17,14% galur (90
ppm), 12,00% galur (100 ppm), dan 10,59% galur (110 ppm) yang insensitif
terhadap AF (Tabel 1). Fenotip insensitif terhadap AF dapat terjadi sebagai
akibat adanya aktivasi gen peroksidase untuk mendetoksifikasi toksin
274
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
(Jayasankar et al., 2000; Saravanan, 2004; Svabova dan Lebeda, 2005),
sehingga planlet tetap dapat hidup.
Setelah diperoleh planlet-planlet yang tahan terhadap AF pada seleksi
dengan AF, selanjutnya diuji ketahanannya terhadap jamur Fusarium
oxysporum f. sp. vanillae (Fov) (Tabel 2).
Tabel 2. Intensitas penyakit hasil uji ketahanan dan tingkat ketahanan vanili pada
setiap perlakuan asam fusarat
Hari pengamatan
5
IP
Kriteria
IP
(%)
Ketahanan
(%)
Kontrol
62,50
Rentan
91,67
90 ppm
31,25
Moderat
33.33
100 ppm
33,33
Moderat
41,67
110 ppm
00,00
Tahan
25,00
Keterangan: IP= Intensitas Penyakit
Perlakuan
13
Kriteria
Ketahanan
Rentan
Moderat
Moderat
Tahan
21
IP
(%)
93,75
41,67
50,00
25,00
Kriteria
Ketahanan
Rentan
Moderat
Moderat
Tahan
29
IP
(%)
100,00
50,00
50,00
25,00
Kriteria
Ketahanan
Rentan
Moderat
Moderat
Tahan
Berdasarkan data intensitas penyakit dan kategori ketahanannya, dapat
diketahui pula bahwa perlakuan AF 110 ppm mampu mengimbas ketahanan
yang paling baik, dapat menekan intensitas penyakit hingga 25% dan
menaikkan kriteria menjadi tahan. Hal ini menunjukkan bahwa AF mampu
mengimbas ketahanan planlet vanili terhadap penyakit layu Fusarium.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Arai dan Takeuchi (1993)
yang menyatakan bahwa toksin murni AF dapat digunakan sebagai komponen
seleksi karena adanya korelasi antara ketahanan terhadap toksin dengan
ketahanan terhadap penyakit. Hasil penelitian ini juga mendukung pernyataan
Agrios (2005) yang menyatakan bahwa ekspresi dari pengimbasan ketahanan
adalah dengan menurunnya intensitas penyakit.
Karakter planlet vanili yang khusus dan berhubungan dengan ketahanan
terhadap Fov dapat ditinjau antara lain dari kadar fenol total dan aktivitas
enzim peroksidase. Hasil analisis senyawa fenol disajikan pada Tabel 3
dibawah ini.
Tabel 3. Kadar fenol total (%) planlet vanili yang tidak diimbas (kontrol) dan diimbas
asam fusarat (90, 100, dan 110 ppm)
Perlakuan (ppm)
Rata-rata kandungan fenol total (%)
a
0 ppm
4,39 ± 0,02
b
90 ppm
5,34 ± 0,01
c
100 ppm
5,52 ± 0,02
d
110 ppm
5,87 ± 0,01
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada satu kolom berbeda nyata
berdasarkan uji Duncan pada derajat kepercayaan 95%, setelah
x+1
ditransformasikan ke √
275
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda
K
Joglosemar 2014
Aktivitas PO (Unit/mg/menit)
Berdasarkan Tabel 3,
3, terlihat jelas peningkatan kadar fenol total dari
sekitar 4,39% pada kontrol,
kontrol, meningkat menjadi 5,34% pada cekaman AF 90
ppm, diikuti 5,52% pada 100 ppm dan 5,87% pada 110 ppm. Hal ini
membuktikan bahwa akibat semakin tinggi konsentrasi cekaman AF maka
makin meningkat pula kandungan fenol total yang dihasilkan.
Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Khan et al. (2005) pada
ada tanaman chickpea yang diinfeksi dengan Fusarium
oxysporum f.sp. ciceris.
ciceris. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa terjadi
peningkatkan fenol total sekitar 16-17%.
16 17%. Kadar fenol total juga dilaporkan oleh
Harni et al. (2012), pada tanaman nilam yang diinfeksi oleh bakteri endofit dan
nematoda menunjukkan bahwa ada indikasi peningkatan
peningkatan kandungan fenol oleh
Achromobacter xylosoxidans.
xylosoxidans
Aktivitas
ktivitas enzim peroksidase sebagai suatu mekanisme ketahanan planlet
vanili terhadap Fov telah diukur dengan menggunakan metode Saravanan et.
al. (2004) pada planlet vanili yang diimbas asam fusarat
fusarat (konsentrasi 90 ppm,
100 ppm, dan 110 ppm), dan kontrol. Hasil penelitian yang berupa histogram
dari aktivitas enzim peroksidase disajikan pada Gambar
Gamb 1.
0,5
0,4
0,3
0,2
Aktivitas Peroksidase
0,1
0
0
90
100
110
Konsentrasi Asam Fusarat (ppm)
Gambar 1. Aktivitas enzim peroksidase planlet vanili yang tidak diimbas (kontrol) dan diimbas
asam fusarat (90, 100, dan 110 ppm), umur 12 minggu
Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat diketahui adanya indikasi
peningkatan aktivitas enzim peroksidase yang signifikan dari tiga konsentrasi
cekaman AF yang berbeda. Pada konsentrasi AF 90 ppm menghasilkan
aktivitas peroksidase 0,25 U/mg/min, konsentrasi 100 ppm menyebabkan
aktivitas peroksidase 0,34 U/mg/min dan pada konsentrasi AF 110 ppm
menghasilkan 0,36 U/mg/min.
g/min. Pada kontrol, aktivitas peroksidase sebesar 0,12
U/mg/min. Satu unit aktivitas enzim adalah perubahan absorbansi pada
spektrofotometer pada satu mg protein per menit. Hasil penelitian tersebut
membuktikan adanya peningkatan konsentrasi cekaman AF ak
akan
meningkatkan pula aktivitas enzim peroksidase.
276
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jang et
al. (2004) yang meneliti aktivitas enzim peroksidase pada ketela rambat
(Ipomoea batatas) setelah diinfeksi dengan bakteri Pectobacterium
chrysanthemi dengan lama waktu yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa
aktivitas peroksidase meningkat 3-4 kali. Aktivitas enzim peroksidase juga
pernah diteliti oleh Popa et al. (2009), pada transforman Eustoma grandiflorum
yang diimbas strain Agrobacterium rhizogenes yang berbeda. Hasil
menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas peroksidase 1-2,5 kali pada genotip
Heidi pink, 1-2 kali pada Heidi blue dan 3,1-10,8 kali pada Echo white. Hadi
(2003), menyatakan bahwa tanaman karet yang tahan terhadap Corynespora
sp. mempunyai aktivitas enzim peroksidase yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol.
Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di muka dapat diambil
kesimpulan dan saran sebagai berikut.
1. Secara in vitro, terdapat 17,14% galur (90 ppm), 12,00% galur (100 ppm),
dan 10,59% galur (110 ppm) planlet vanili tahan Fov.
2. Semakin meningkat konsentrasi AF maka meningkat pula kandungan fenol
total dan aktivitas enzim peroksidase pada planlet vanili tahan Fov.
Daftar pustaka
Aberouman AA & Deokule SS. 2008. Comparison of Phenolic Compounds of
Some Edible Plants of Iran and India. Pakistan Journal of Nutrition 7:
582-585.
Agrawal AA, Tuzun S, & Bent E. 1999. Induced Plant Defenses Againts
Phatogens and Herbivores, Biochemistry, Ecology, and Agriculture. APS
Press, St. Paul, Minnesota.
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Academic Press, New York.
Arai M & Takeuchi M. 1993. Influence of Fusarium Wilt toxin(s) on Carnation
cell. Plant Cells, Tissue and Organ Culture : 287 – 293.
Bouizgarne, B, Bouteau HEM, Frankart C, Reboutier D, Madiona K, Pennarun
AM, Monestiez M, Trouverie J, Amiar Z, Briand J, Brault M, Rona JP,
Ouhdouch Y, & Hadrami EI. 2006. Early Physiological Responses of
Arabidopsis thaliana Cells to Fusaric Acid : Toxic and Signallling Effects.
New Phytologist 169: 209 – 218.
Del-Rio JA, Baidez AG, Botia JM, & Orturio A. 2003. Enhancement of Phenolic
Compounds in Olive Plants (Olea europaea L.) and Their Influence on
Resistance Against Phytophthora sp. Food Chemistry 83:75-78.
Edreva A. 2005. Pathogenesis-Related Protein: Research Progress in The Last
15 Years. Gen. Appl. Plant Physiology 31 : 105-124.
277
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hadi H. 2003. Analisis Genetik Sifat Ketahanan Tanaman Karet Terhadap
Penyakit Gugur Daun Corynespora. Institut Pertanian Bogor. Disertasi.
Hadipoentyanti E, Ruhnayat A, Udarno L. 2007. Booklet Teknologi Unggulan
Tanaman Perkebunan: Vanili. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. 21 p.
Hadisutrisno B. 2004. Taktik dan Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi
Gangguan Penyakit Layu Fusarium. Makalah Simposium Nasional I di
Purwokerto, 2-3 Maret.
Harni R, Supramana, Sinaga MS, Giyanto, & Supriadi. 2012. Mekanisme
Bakteri Endofit mengendalikan nematoda Pratylenchus brachyurus Pada
Tanaman Nilam. Bul. Littro 23 : 102-114.
He CY, Hsiang T, & Wolyn DJ. 2002. Induction of Systemic Disease Resistance
and Pathogen Defence Responses in Asparagus officinalis Inoculated
with Pathogenic Strains of Fusarium oxysporum. Plant Pathology 51:
225-230.
Jang IC, Park SY, Kim KY, Kwon SY, Kim JG, & Kwak SS. 2004. Differential
Expression of 10 Sweetpotato Peroxidase Genes in Response to
Bacterial Pathogen, Pectobacterium chrysanthemi. Plant Physiology and
Biochemistry 42: 451-455.
Jayasankar S, Li Z, & Gray DJ. 2000. In Vitro Selection of Vitis vinifera
‘Chardonnay’ with Elsinoe ampelina Culture Filtrate is Accompanied by
Fungal Resistance and Enhanced Secretion of Chitinase. Planta. 211:
200-208.
Jayasekhar M, Manonmani K, & Justin CGL. 2008. Development of Integrated
Biocontrol Strategy for The Management of Stem Rot Disease (Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae) of Vanilla. Agric. Sci. Digest. 28 : 109-111.
Khan IA, Alam SS, Haq A, & Jabbar A. 2005. Biochemistry of Resistance in
Chicpea Against Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f. sp.
ciceris. Pak. J. Bot. 37: 97-104.
Landa BB, Cachinero-Diaz JM, Lemanceu P, Jimenez-Diaz RM, & Alabouvette
C, 2002. Effect of Fusaric Acid and Phytoanticipins on Growth of
Rhizobacteria and Fusarium oxysporum. Canadian Journal of
Microbiology 48: 971-985.
Lea P. & Leegood RC. 1999. Plant Biochemistry and Molecular Biology. 2nd ed.
John Wiley & Sons Ltd. Chichester. 364 p.
Park CJ, An JM, Shin YC, Kim KJ, Lee BJ, & Paek KH. 2004. Molecular
Characterization of Pepper Germin-Like Protein as The Novel PR-16
Family of Pathogenesis-Related Proteins Isolated During The resistance
response to Viral and Bacterial Infection. Planta 219 :797-806.
Popa G, Brezeanu A, Cornea CP, & Boe JP. 2009. Peroxidase Activity in
Eustoma grandiflorum Plants Transformed by Agrobacterium rhizogenes.
Rom. J. Biol.–Plant Biol 54:41-46.
278
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Saravanan T, Bhaskaran R, & Muthusamy M. 2004. Pseudomonas fluorescens
Induced Enzymological Changes in Banana Roots (cv. Rasthali) against
Fusarium Wilt Disease. Plant Pathology Journal 3: 72-80.
Svabova L & Lebeda A. 2005. In vitro Selection for Improved Plant Resistance
to Toxin-Producing Pathogens. J. Phytopathol. 153: 52-64.
Vidhyasekaran P. 1997. Fungal Pathogenesis in Plants and Crops, Molecular
Biology and Host Defense Mechanism. Marcel Dekker. New York.
Wibowo A. 2002. Pengendalian Penyakit Layu Fusarium pada Pisang dengan
Menggunakan Isolat Nonpatogenik Fusarium sp. Jurnal Fitopatologi
Indonesia 6: 65-70.
279
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
EFFECT OF BINUCLEATE RHIZOCTONIA AND STEM ROT ( Fusarium
oxysporum f.sp.vanillae ) OF VANILLA (Vanilla planifolia Andrews) AT
ANDISOL SOIL
Haryuni
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan Surakarta.
Abstract
This study aims to determine the vanilla plant resistance to stem rot
pathogen that has been inoculated with F. oxysporum f.sp.vanillae with the fungi
binucleate Rhizoctonia at Andisol soil. The study was conducted at the Faculty of
Agriculture, Tunas Pembangunan University at Surakarta and the village of Jambu,
Bedono Semarang. The study was designed with a single randomized block design
, consisting of 2 factors. The first factor was binucleate Rhizoctonia inoculation (M )
there were 3 levels: without inoculation of binucleat Rhizoctonia (M0); inoculated
binucleate Rhizoctonia 10 g (M1 ), and inoculated binucleate Rhizoctonia 25 g
(M2). The second factor was F. oxysporum f.sp.vanillae inoculation treatments (F)
there were 4 levels, without inoculated of F. oxysporum f.sp.vanillae (F0),
inoculated with F. oxysporum f.sp.vanillae 14 days inoculation of binucleate
Rhizoctonia (F1 ), inoculated fungus F. oxysporum f.sp.vanillae after 21 days
inoculated fungi binucleate Rhizoctonia (F2), and inoculated fungi of F. oxysporum
f.sp.vanillae after 28 days inoculated fungi binucleate Rhizoctonia (F3 ). The
results showed that Andisol soil binucleate Rhizoctonia inoculated in plants as
mycorrhizal enhances and vanilla growth ( plant height , fresh weight plants, dry
weight plants, root fresh weight, root dry weight, number of leaves, root volume),
inhibited development of F. oxysporum f.sp.vanillae which indicated by an
increase in asam amino, phosphor in the soil , phosphor of root tissue , but
decreased of proline and glucose.
Key words: andisol soil, Fusarium oxysporum f.sp.vanillae, binucleate
Rhizoctonia, mycorrhizae.
Pendahuluan
Indonesia merupakan produsen vanili terbesar pada tahun 2007-2011.
Kenaikan produksi pada tahun 2007 mencapai 3,177 ton dan pada tahun 2011
mencapai 3.500 ton. Meskipun mengalami kenaikan namun relatif kecil yaitu 10%
dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2010, produksi vanili Indonesia menurun
drastis sebesar 22% dari tahun sebelumnya yaitu dari 3.341 ton menjadi 2.600 ton.
Hal ini dikarenakan banyak petani yang gagal panen akibat serangan penyakit
280
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
busuk batang serta menurunnya minat petani untuk menanam vanili karena harga
vanili di pasaran yang tidak stabil dan cenderung menurun (Nuzula, 2013).
Luas areal penanaman vanili di Indonesia adalah 15.937 ha sebagian besar
kurang produktif penyebabnya adalah serangan jamur Fusarium oxysporum f. sp.
vanillae yang menyebabkan penyakit busuk batang/BBV (Ruhnayat, 2004). Lebih
dari 80 % tanaman vanili di Indonesia terinfeksi BBV. Tingkat kematian mencapai
50-100 % dan mengurangi umur produksi dari 10 kali panen menjadi dua kali
bahkan tidak dapat berproduksi (Hadisutrisno, 2005, Hadipoentyanti et al., 2006).
Tanaman vanili dikembangbiakkan secara generatif dan vegetatif. bibit berasal
dari benih dan setek yang diambil dari sulur yang mata tunasnya belum pernah
berbuah. Keuntungan dari setek tersebut adalah tanaman akan berbuah 1 – 2
tahun setelah tanam. Teknik tersebut memerlukan bahan tanam yang sehat dan
tahan terhadap pathogen busuk batang (BBV). Jamur patogen BBV memiliki
struktur bertahan berupa klamidospora, bertahan sebagai saprofit selama 2-4
tahun di dalam tanah dan tergolong air borne pathogen dan soil borne pathogen
(Semangun, 2001).
Penggunaan Rhizoctonia binukleat sebagai orchid mikorisa memerlukan data
uji simbiosis dan interaksinya dengan tanaman dan patogen. Adanya interaksi
antara agensia pengendali hayati dengan patogen dapat diketahui melalui
kemampuan akivitas metabolit yang dihasilkan dari simbiosis kedua jamur
tersebut. Menurut Haryuni (2012), peranan penting mikoriza bagi tanaman karena
dapat membantu pertumbuhan tanaman efektif dalam penyerapan unsur hara
makro, mikro dan meningkatkan ketahanan terhadap patogen sehingga tanaman
dapat hidup pada kondisi ekstrim.
BBV diakibatkan patogen terbawa tanah, media tumbuh kurang tepat, dan
ketahanan tanaman rendah.. Pengendalian hayati yang sudah dilakukan dengan
jamur antagonis menunjukkan tingkat ketahanan menurun, jamur Rhizoctonia
binukleat sebagai mikorisa diharapkan mampu mengendalikan patogen akar.
Sehingga menjaga kelestarian lingkungan hidup, aman bagi kesehatan manusia
dan menghemat devisa negara dengan mengurangi penggunaan pestisida.
Kualitas bahan tanam dan pemilihan media pertumbuhan bibit diharapkan mampu
memberikan kontribusi keberhasilan tanaman, bertambahnya umur produksi,
meningkatkan kualitas hasil dan produktifitasnya
Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi masalah BBV dengan cara
peningkatan ketahanan vanili terhadap penyakit busuk batang yang melalui
inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat yang berperan sebagai mikoriza pada jenis
tanah Andisol
281
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Bahan dan metode
Penelitian ini dilaksanakan di desa Bedono, Jambu Kabupaten Semarang
dan di Laboratorium Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Tunas
Pembangunan Surakarta pada tanggal 14 Maret sampai dengan 25 September
2013, pada ketinggian 200 meter diatas permukaan laut. Bahan yang digunakan
benih vanili, jamur Rhizoctonia binukleat, jamur F. oxysporum f.sp. vanillae,
polibag ukuran (12 x 15 cm), timbangan, paranet, penggaris, tali, dan bambu.
Jamur Rhizoctonia binukleat diperbanyak dari medium seleksi terpilih
(jagung tumbuk). Hifa yang terbentuk digunakan sebagai penular dalam penelitian.
Jumlah penular yang digunakan untuk menjamin terbentuknya asosiasi
Rhizoctonia binukleat terdiri atas tanpa diinokulasi (M0), diinokulasi 10g (M1), dan
25 g (M2), inokulasi jamur F. oxysporum f.sp. vanillae berbeda-beda yaitu tanpa
inokulasi (F0), diinokulasi 14 hari setelah inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat (F1)
diinokulasi 21 setelah inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat (F2), diinokulasi 21
setelah inokulasi jamur R. binukleat (F2) diinokulasi 28 setelah inokulasi jamur
Rhizoctonia binukleat (F3). Dengan jenis tanah Andisol benih yang digunakan
berumur 4 bulan berasal dari kultur jaringan. Penelitian diakhiri setelah berumur 5
bulan dari saat inokulasi pertama. Dengan variabel tersebut di atas unit-unit
penelitian disusun dengan rancangan acak lengkap. Tiap unit penelitian terdiri dari
10 bibit vanili yang ditanam dalam pot plastik berisi 500 g medium tanah.
Sedangkan unit sampling terdiri dari keseluruhan individu dalam unit penelitian.
Pengamatan meliputi tinggi bibit, jumlah daun, diameter bibit, bobot segar
bibit, bobot kering bibit, bobot basah akar, bobot kering akar, volume akar, kadar
prolin, daun, kadar glukosa, kadar protein, kadar fosfor jaringan tanaman.
Data yang diperoleh diamati secara visual, dan dianalisis dengan sidik
ragam (Anova), dan dilanjutkan dengan Uji Duncan (DMRT) dengan taraf nyata 5
%.
Hasil dan pembahasan
Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan Fusarium oxysporum f.sp.
vanilllae pada vanili berperan sebagai mikoriza dan berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman baik di tanah andisol.
A. Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi Fusarium
oxysporum f.sp. vanilllae terhadap pertumbuhan tanaman vanili pada
tanah Andisol
Tabel 1. menunjukkan bahwa tinggi tanaman dipengaruhi oleh jenis tanah,
inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi F.oxysporum f.sp. vanilllae. Hasil
analisis menunjukkan terjadi interaksi yang nyata sampai sangat nyata pada taraf
282
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
uji 5% pada perlakuan inokulasi Rhizoctonia binukleat, dan F. oxysporyum f.sp.
vanillae terhadap parameter tinggi tanaman, bobot segar benih, bobot kering
benih, bobot segar akar, bobot kering akar, dan volume akar kecuali pada
perlakuan jumlah daun, daun diameter batang menunjukkan berbeda tidak nyata.
Inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat pada benih vanili menunjukkan
adanya peningkatan pertumbuhan, hal ini sesuai dengan pendapat Haryuni (2012)
bahwa jamur Rhizoctonia binukleat berperan sebagai mikoriza ditunjukkan dengan
adanya peloton yang terdapat di dalam jaringan akar. Tanah sangat penting bagi
pertumbuhan, perkembangan, dan hasil tanaman dipengarui oleh pengelolaannya.
Tanah andisol kaya akan hara tetapi karena berada di daerah pegunungan dengan
kemiringan tertentu sehingga akan berakibat terhadap menurunnya tingkat
kesuburan apabila terjadi kesalahan pemilihan komoditas tanaman. Hasil analisis
yang tersaji pada tabel 1. menunjukkan berbeda nyata terhadap tinggi tanaman
pada interaksi antara inokulasi Rhizoctonia binukleat dan F. oxysporyum f.sp.
vanillae. Hal ini karena hara dan air yang diperoleh tanaman berasal dari tanah
yang diperoleh dari inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat, jamur tersebut di dalam
perakaran membentuk peloton (Haryuni, 2012) yang mampu menyimpan dan
menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Usaha untuk meningkatkan
kesuburan tanah dapat dilakukan melalui aplikasi mikoriza yang berfungsi sebagai
bahan organik pada transport unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro di
dalam tanah ke akar tanaman. Selain itu mikoriza juga menyediakan bahan-bahan
yang dibutuhkan mikroba tanah sehingga dapat menjaga kelangsungan hidup
mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman, salah satunya adalah sebagai
pengurai bahan organik. Keberadaan mikroba pengurai bahan organik, dapat
berfungsi sebagai perekat yang mengikat butir-butir tanah menjadi butiran yang
lebih besar, sehingga hara tanah dalam bentuk tersedia (Dearnaley, 2007; Haryuni
& Supriyadi, 2008; Lingga & Marsono cit. Cepy & Wangiyana, 2011; Haryuni,
2012).
Tabel 1. Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi Fusarium
oxysporum f.sp. vanilllae terhadap pertumbuhan tanaman pada tanah
Andisol
M0F0
Tinggi
tanaman
(cm)
31.67 cde
Bobot
segar
benih(g)
21.10 ab
Parameter Pengamatan
bobot
bobot
kering
segar
benih (g)
akar (g)
10.80 ab
3.80 a
bobot
kering
akar (g)
1.93 ab
M0F1
35.63 ef
22.10 ab
11.17 abc
1.87 ab
Perlakuan
3.83 a
volume
akar
(g)
4.17
abcd
3.67
abcd
jumlah
daun
(g)
8.67 a
diameter
batang
(g)
0,46 a
8.33 a
0,44 a
283
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
M0F2
33.90 def
23.73 abc
3.90 a
1.80 ab
17.63 a
12.07
abcd
8.83 a
M0F3
29.33 bcd
3.47 a
1.67 a
M1F0
33.00 de
44.10 ij
22.10 ij
3.50 def
M1F1
43.60 gh
31.93 def
15.63 cdef
7.10
cdefg
6.27 ab
M1F2
36.33 df
3.90 efg
7.83 efgh
M2F0
30.50
abcd
49.27 h
17.00
efgh
18.40 fghi
6.67 bc
M1F3
33.17
defg
37.17 fgh
48.43 j
24.57 j
8.50 h
4.17
efgh
5.40 i
M2F1
39.73 fg
17.13 fgh
32.10 cde
16.87 efg
7.53
defgh
7.73 gh
3.57 def
M2F2
36.40
efgh
32.10 def
M2F3
27.83 bcd
41.17 ghij
20.57 ghij
8.13 a
4.70 ghi
3.33 cde
2.60 bc
3.33
abcd
5.00
bcde
5.27 cde
3.00
abcd
3.17
abcd
5.50 de
5.70 de
3.33
abcd
3.67
abcd
6.83 e
9.00 a
0,45 a
8.33 a
0,43 a
16.67
a
10.33
a
11.67
a
12.33
a
15.33
a
12.67
a
12.67
a
15.00
a
0,49 a
0,41 a
0,42 a
0,42 a
0,46 a
0,42 a
0,41 a
0,42 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom adalah
berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%. M0= tanpa
Rhizoctonia binukleat M1= diinokulasi Rhizoctonia binukleat 15 g M2=
diinokulasi Rhizoctonia binukleat 25 g, F0=tanpa diinokulasi Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae, F1= diinokulasi F.oxysporum f.sp. vanillae 14
hari setelah diinokulasi Rhizoctonia. binukleat, F2= diinokulasi F. f.sp.
vanillae 21 hari setelah diinokulasi Rhizoctonia binukleat, F3=
diinokulasi F.oxysporum f.sp. vanillea 28 hari setelah diinokulasi
Rhizoctonia binukleat
Keberadaan mikoriza pada akar tanaman dapat meningkatkan penyerapan
hara tanaman (terutama yang immobile) dan air, memacu pertumbuhan akar
tanaman dari hormon tumbuh yang dihasilkan, melindungi tanaman dari keracunan
logam berat, dan meningkatkan ketahanan tanaman dari patogen. Adanya asosiasi
simbiotik ini mengakibatkan pertumbuhan dan hasil tanaman meningkat. Keadaan
tanah sangat berpengaruh terhadap daya eksplorasi akar, bahkan kemungkinan
terjadi kerusakan. Daya eksplorasi akar terhambat, maka akan mengurangi total
luas permukaan akar yang dapat berhubungan langsung dengan tanah. Didukung
pendapat dari Lingga & Marsono cit.Cepy & Wangiyana, (2011) sirkulasi udara
pada tanah yang berjalan sangat lambat, menyebabkan akar tidak mendapatkan
oksigen yang cukup sehingga respirasi akar berjalan tidak optimal. Dengan kondisi
seperti ini akar tidak dapat berkembang dengan baik.
284
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Akar merupakan organ vegetatif utama yang memasok air, unsur hara serta
bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Jika akar tidak berkembang dengan baik maka kemampuan akar dalam
menyerap air dan unsur hara akan menurun, sehingga menyebabkan tanaman
tidak akan mendapat air dan unsur hara secara optimal (Gardner et al. 1991).
Peran mikoriza menambah permukaan akar melalui pembentukan hifa
ekternalnya, sehingga jangkaun serapan terhadap hara dan air meningkat.
Hifa eksternal pada mikoriza menyebabkan penyerapan hara terutama
fosfor menjadi lebih besar dibanding dengan tanaman yang tidak bermikoriza.
Peningkatan serapan dikarenakan miseliumnya meningkatkan area permukaan
serapan hara tanah oleh tanaman. Sesuai pendapat dari Kumalawati (2006)
bahwa pertumbuhan tanaman vanili dapat terhambat bahkan mengalami
gangguan jika terinfeksi penyakit busuk batang vanili (BBV). Jamur Rhizoctonia
binukleat termasuk ke dalam golongan Plant Growth Promoting Fungi ( PGPF)
sehingga selain menyimpan air juga mengangkut hara dari tanah ke jaringan
tanaman, melalui permukaan akar pada bagiani sel-sel epidermis dan rambut akar
(modifikasi sel epidermis dan hifa mikoriza). Kemudian diangkut ke dalam
pembuluh xilem melalui proses osmosis dan dibawa ke seluruh jaringan tanaman
(Kristiansen, 2001; Krishna, 2005; Gronberg et al, 2006).
B. Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi Fusarium
oxysporum f.sp. vanilllae terhadap pertumbuhan tanaman vanili pada
tanah Andiso
Tabel 2. Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae terhadap pembentukan protein, glukosa,
prolin, P tersedia tanah, P jaringan akar tanaman pada tanah Andisol
Perlakuan
Glukosa
(%)
3.32 de
3.11 de
0.54
0.84
ab
cd
M0F2
Protein
(%)
4.76 gh
10.4 k
5
2.00 bc
3.00
d
2.58
j
M0F3
1.83
bc
3.07
d
2.14
i
M1F0
0.95
a
1.60
a
0.93
cd
e
M0F0
M0F1
Prolin
P Tersedia
Tanah
6.33
a
6.95
ab
c
7.26
bc
d
7.16
ab
c
8.03
de
P jaringan
akar
0.95
a
1.00
a
1.50
b
1.83
bc
2.00
c
285
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
M1F1
M1F2
2.16
3.16
bcd
ef
1.97
1.70
abc 4.23
ab 0.93
M1F3
M2F0
5.79
1.00
ij
a
1.44
2.30
a
c
0.60
1.10
m
cd
e
b
efg
9.43
8.37
f
e
2.15
2.16
c
c
6.58
7.13
ab 2.82
d
ab 3.16
de
c
M2F1
3.31 ef
1.97 abc 1.20
fgh 34.42 m
3.31
e
M2F2
2.15 bcd 1.41 a
1.38
h
7.58
cd 3.31
e
e
M2F3
1.50 ab
2.26 c
0.33
a
7.08
ab 3.49
e
c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
adalah berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%.
M0= tanpa Rhizoctonia binukleat M1= diinokulasi Rhizoctonia
binukleat 15 g/polibag, M2= diinokulasi Rhizoctonia binukleat 25
g/polibag, F0= tanpa diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp.
vanillae, F1= diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae 14 hari
setelah diinokulasi Rhizoctonia binukleat, F2= diinokulasi Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae 21 hari setelah diinokulasi Rhizoctonia
binukleat, F3= diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae 28
hari setelah diinokulasi Rhizoctonia binukleat
Tabel 2. menunjukkan bahwa kadar protein yang terdapat di perakaran
vanili berbeda sangat nyata pada perlakuan inokulasi Rhizoctonia binukleat
mikoriza, dan inokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae. Hara yang tersedia di
dalam tanah merupakan hara yang dapat dimanfaatkan oleh akar tanaman melalui
hifa eksternal mikoriza (Haryuni, 2012). Didukung pendapat dari Utomo cit.
Nurhayati (2009) yang menyatakan bahwa kemampuan tanah menyimpan air
tersedia merupakan fungsi dari tekstur dan struktur tanah. Defisiensi hara tanah
menghambat pembelahan sel dan pertumbuhan tanaman. Sehingga terjadi
defisiensi senyawa protein dan meningkatkan nisbah C/N, dan peningkatan
kandungan selulosa dan lignin akibat penumpukan karbohidrat. Hal tersebut
menyebabkan tanaman kekurangan nitrogen, kering, tidak sekulen, dan sudut
daun terhadap batang sangat runcing (Kirkham, 1990; Taiz & Zeiger, 2002;
Purwanto, 2003; Hong Bo et al., 2008).
Perlakuan yang diinokulasi dengan Rhizoctonia binukleat memperlihatkan
nilai protein total yang lebih tinggi dari tanaman yang tidak bermikoriza. Hal ini
menujukkan bahwa tanaman vanili telah mengalami perubahan metabolisme hara
untuk membentuk komponen penyusun tubuhnya termasuk protein. Tanaman
286
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
yang diinokulasi dengan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
menunjukkan
pembentukan protein dan mengalami penurunan dengan peningkatan saat
inokulasi F .oxysporum f.sp. vanillae (Tabel 2.). Agrios (1998) menyatakan bahwa
sel dan jaringan yang dirusak dari tumbuhan sakit biasanya menjadi lemah atau
hancur oleh agensia penyebab penyakit. Kemampuan sel dan jaringan dalam
melaksanakan fungsi-fungsi fisiologis yang normal menjadi menurun atau terhenti
sama sekali, dan akibatnya pertumbuhan tanaman terganggu atau mati.
Ketahanan tanaman terhadap serangan patogen lebih tinngi pada tanaman yang
diinokulasi Rhizoctonia binukleat daripada yang tidak diinokulasi, hal ini
disebabkan karena perubahan morfologi kemudian terjadi penebalan dinding sel
melalui proses lignifikasi dan produksi polisakarida, sehingga menyebabkan sistem
vasculer yang lebih kuat, aliran nutrient mengakibatkan kekuatan yang lebih tinggi
pada tanaman bermikoriza dan mengurangi infeksi patogen (Suhardi, 1990).
Glukosa yang terbentuk pada tanaman menunjukkan berbeda sangat nyata
terhadap jenis inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat dan inokulasi F. oxysporum
f.sp. vanillae (Tabel 2.). Penelitian ini menunjukkan bahwa pengubahan amilum
menjadi glukosa dipengaruhi oleh jenis tanah, faktor lingkungan yaitu cahaya dan
suhu dimana tanaman tersebut ditanam. Lokasi penelitian mempunyai ketinggian
800 m diatas permukaan laut sehingga penyinaran matahari lebih rendah dan
pembentukan glukosa lebih lambat. Inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat mampu
memacu pembentukan glukosa dan cenderung menurun dengan selang waktu
inokulasi jamur F.oxysporum f.sp. vanilla. Hifa eksternal jamur mikoriza mampu
menyerap hara di dalam tanah yang digunakan sebagai bahan metabolisme
tanaman yang diubah menjadi glukosa (Kasiamdari, 2000; Kabirun, 2004; Haryuni,
2012).
Prolin merupakan salah satu senyawa yang ditunjukkan tanaman karena
mengalami kekurangan air. Kekurangan air merupakan salah satu pemacu
menurunnya ketahanan tanaman. Tabel 2. Menunjukkan bahwa kadar prolin
berbeda sangat nyata, inokulasi patogen F. oxysporum f.sp. vanilllae (F)
meningkatkan kadar prolin tanan. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan air
pada proses metabolism terhambat dengan keberadaan patogen di dalam
tanaman. Menurut Meyer & Boyer cit. Prihastanti (2013), tanaman yang berada
pada kondisi kurang air akan memberikan respon tertentu baik secara morfologis,
anatomis maupun fisiologis, dimana terdapat dua mekanisme utama yang mungkin
terjadi pada tanaman, yaitu: (a) tanaman berusaha menghindari cekaman, baik
dengan cara melakukan perubahan struktur morfologi dan anatomi, maupun
dengan meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan cara mengatur laju
transpirasi, dan (b) meningkatkan toleransi terhadap cekaman kekeringan melalui
perubahan kimia sel, baik dalam bentuk peningkatan akumulasi senyawa terlarut
287
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
yang berperan sebagai pengatur tekanan osmotik sel (osmotic adjustment),
dengan mengakumulasi senyawa kimia, proline dan gula. Pasokan air yang tidak
mencukupi pada tanaman berakibat terjadinya perubahan-perubahan fisiologi
sebagai bentuk adaptasi. Salah satu bentuk adaptasi tersebut adalah
mempertahankan tekanan turgor. Metabolisme tanaman terjadi perubahan pada
perubahan kimia sel. Proline bebas sering terakumulasi selama tanaman
mengalami kekurangan air (Aspinall & Paleg 1981).
Mikoriza membantu meningkatkan penyerapan air dan unsur hara terutama
P, pembentukan vitamin dan zat pengatur tumbuh (sitokinin dan giberelin),
Meningkatkan produksi hormon auksin, menjamin terselanggaranya proses
biogeokemis, dan mengeluarkan enzim Phosphatase yang mampu melepaskan P
dari ikatan-ikatan spesifik sehingga tersedia bagi tanaman. Infeksi mikoriza
diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena adanya peningkatan
dalam pengambilan nutrien (Khairul, 2001; Hapsoh, 2008; Jayanegara, 2011).
Pengambilan nitrogen, phospor, dan potasium dibatasi oleh tingkat difusi dari
masing-masing nutrien di dalam tanah. Namun dengan adanya mikoriza dapat
meningkatkan pengambilan nutrien melalui akar karena bidang penyerapan oleh
hifa mikoriza yang lebih luas, sehingga pertumbuhan tanaman yang diinokulasi
mikoriza akan lebih baik daripada tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza.
Fosfor (P) tersedia pada tanah menunjukkan berbeda sangat nyata. Pada
tanah Andisol lebih sering terkena hujan sehingga kecukupan air tersebut
sebagian melarutkan kadar P tanah sebelum dimanfaatkan oleh akar tanaman.
Inokulasi mikoriza meningkatkan ketersediaan P dalam tanah yang dibutuhkan
tanaman karena mikoriza dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan fosfat
dengan cara mempengaruhi jalinan hifa eksternal yang diproduksi secara intensif
sehingga tanaman mampu meningkatkan penyerapan unsur hara dan air
(Sieverding,1991)
dan
memodifikasi
fisiologis
akar
sehingga
dapat
mengeksresikan asam-asam organik dan fosfatase asam ke dalam tanah (Abbott
et al., cit. Kabirun, 2004). Fosfatase asam adalah suatu enzim yang dapat mamacu
proses mineralisasi P organik dengan mengkatalisis pelepasan P dari kompleks
organik menjadi kompleks anorganik.
Inokulasi F.oxysporum f.sp. vanilllae mempengaruhi P tersedia dimana
mengalami penurunan pada peningkatan waktu inokulasi. Hal tersebut karena P
yang diambil dari dalam tanah sebagian dimanfaatkan oleh jamur patogen untuk
berkembang di dalam tubuh tanaman inang. Interaksi mikoriza dengan sejumlah
organisme tanah berkembang melalui populasi spora (predasi, penyebaran dan
perkecambahan), kolonisasi akar dan pertumbuhan hifa eksternal (Baon, 1995).
Fosfor (P) jaringan akar menunjukkan tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata
terhadap inokulasi F.oxysporum f.sp. vanilllae (Tabel 2). P jaringan akar adalah P
288
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
yang mampu diserap dan disimpan di dalam perakaran tanaman (Haryuni, 2012).
Peningkatan penyerapan P pada tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza
disebabkan oleh hifa eksternal yang berkembang di dalam tanah sehingga dapat
memperluas jangkauan akar untuk memperoleh hara terutama P dalam tanah.
Jangkauan akar tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza meningkat 200-300
kali lebih luas dibandingkan tanpa mikoriza. Asosiasi tersebut meningkatkan
efisiensi pemupukan P sehingga dapat dikurangi kebutuhannya (Kabirun, 2012).
Mikoriza melalui hifa eksternalnya mengambil P tersedia di dalam tanah kemudian
disimpan di dalam perakaran (Haryuni, 2012).
Pada budidaya pertanian, mikoriza berperan sebagai mikrobia antagonis
terhadap patogen terbawa tanah dan nematoda dengan menghasilkan antibiotik,
mempengaruhi sporulasi patogen, bersaing untuk mendapatkan tempat infeksi dan
substrat, membentuk lignin, mendorong pembentukan fitoaleksin, menginduksi
pembentukan kitinase dan mempengaruhi siklus hidup nematod (Kabirun, 2012).
Hal tersebut yang menyebabkan tanaman yang bermikoriza mempunyai
ketahanan terhadap patogen yang lebih tinggi dibandingkan tanpa mikoriza
(Haryuni, 2012). Selain itu mikoriza juga berperanan sangat penting pada agregasi
tanah dengan menghasilkan glokoprotein glomalin dan hifa eksternal.Bahan
tersebut dapat menyatukan mikroagregat tanah menjadi makroagregat yang stabil.
Pembentukan agregat tanah berfungsi mengendalikan erosi tanah terutama di
tanah marginal (Kabirun, 2012). Kasiamdari (2000) menyebutkan Rhizoctonia
anggrek merupakan mikoriza anggrekan yaitu mikoriza endotrof yang jamurnya
berada di dalam sel akar, tidak membentuk selimut di luar jaringan akar. Suatu
tanda yang khas dari mikoriza anggrekan adalah terbentuknya banyak lilitan
(bongkol) benang jamur yang berada dalam ruang sel akar. Karena sering kali
berbentuk seperti bola kecil dengan lilitan yang disebut sebagai peloton. Peloton
tidak bisa bertahan lama karena segera mengalami lisis.
Kesimpulan
1. Rhizoctonia binukleat berperan sebagai mikoriza
2. Inokulasi mikoriza berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan
3. Inokulasi mikoriza mampu menghambat perkembangan jamur Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae (BBV) ditunjukkan dengan peningkatan pada
parameter pertumbuhan, protein, posfor dalam tanah, posfor jaringan akar,
sedangkan kadar prolin dan kadar glukosa mengalami penurunan
Ucapan terimakasih
Terimakasih kepada Dirjen Dikti melalui Dana Penelitian Hibah Bersaing
dengan nomor kontrak 010/K6/KL/SP/2013 Tanggal 16 Mei 2013.
289
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Daftar pustaka
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. 3d Ed. Academic. Press, San Diego,
Ali Mustofa Nuzula. 2013. Permintaan Ekspor Vanili Indonesia Ke Amerika Serikat
Dengan Pendekatan Error Correction Model. Skripsi. Jurusan Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Diakses
tanggal 23 Agustus 2014.
Aspinall D, Paleg LG. 1981. Proline accumulation: physiological aspects, in:
L.Paleg, D. Aspinall (Eds.). The Physiology and Biochmistry of Drought
Resistance in Plants, Academic Press, Sidney.
Baon, J.B. 1995. Intraspesifik Variation in Growth Response of Theobromae
Cacao L. Makalah disampaikan pada Second Conference in Agriculture
Bioteknology.Jakarta.
Cepy & Wangiyana.W. Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) Di
Media Vertisol Dan Entisol Pada Berbagai Teknik Pengaturan Air Dan Jenis
Pupuk. Crop Agro 4 : 49-56.
Dearnaley, J.D. W. 2007. Further advances in orchid mycorrhizal research.
Mycorrhiza 17: 475-486.
Gardner, W.S., Herche, L.R., St. John, P.A. And Seitzinger,S.P., 1991. High
Performance Liquid Chromatographic Determination Of 15NH4:
[15NH4+15NH4] Ion Ratios In Seawater For Isotope Dilution Experiments.
Anal. Chem. 63: 1838-1843.
Grönberg, H., G. Kaparakis, & R. Sen. 2006. Binucleate Rhizoctonia (Ceratorhiza
spp.) as non-mycorrhizal endophytes alter Pinus sylvestris L. seedling root
architecture and affect growth of rooted cuttings. Scandinavian Journal of
Forest Research 21: 450-457.
Hadisutrisno B. 2005. Budidaya Vanili Tahan Busuk Batang. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hadipoentyanti, E., L. Udarno, D. Seswita, A. Ruhnayat, Sukarman, Emmyzar, M.
Tombe, R. Rosman, Ma’mun, L. Mauludi, D. Manohara dan M. Rizal. 2006.
Status Teknologi Tanaman Vanili. Prosiding Status Tek-nologi Tanaman
Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Parungkuda Sukabumi. 26
September 2006. Puslitbangbun. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Aneka Tanaman Industri. 58-80.
Hapsoh. 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Budidaya Kedelai Di
Lahan Kering. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang
Ilmu Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Haryuni & Supriyadi. T., 2008. Effektivitas Mikorisa Endo Berbagai Jenis Tanah
Terhadap Ketahanan Semi Jati (Tectona grandis) Akibat Jamur Fusarium
sp. Jurnal Agrineca 8. : 5-9.
290
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Haryuni. 2012. Kajian Rhizoctonia binukleat sebagai mikoriza dan peranannya
dalam meningkatkan Ketahanan bibit Vanili (Vanilla planifolia Andrews)
terhadap Cekaman kekeringan. Universitas Gadjah Mada. Disertasi. Tidak
dipublikasikan.
Hong-Bo, S., C. Li-Ye, C.A. Jaleel, Z. Chang-Xing. 2008. Water-deficit stressinduced anatomical changes in higher plants. C.R. Biologies 331:215- 225.
Kabirun. 2004. Peranan Mikoriza Arbuskula pada Pertanian Berkelanjutan.
Makalah Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Mikrobiologi pada Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Khairul, U. 2001. Pemanfaatan bioteknologi untuk meningkatkan produksi
pertanian.<http://belimbingpaser.blogspot.com/2012/11/makalah-tanah-danpemupukan-pupuk.html.> Diakses 25 Juli 2014.
Kirkham MB. 1990. Plant response to water deficits di dalam Stewart BA, Nielsen
DR, editors. Irrigation of Agricultural Crops. Wisconsin: Madison hlm 323342.
Kasiamdari, R.S. 2000. Binukleat Rhizoctonia isolate from mycorrhizal pot culturs:
Its morphological characteristics and pathogenicity. Jurnal Biologi 2:615628.
Krishna, K.R. 2005. Mycorrhizas A Molecular Analysis. Publishedby Science
Publishers,Inc., NH, USA. 305 p.
Kristiansen, K.A., D.L. Taylor., H.N. Rasmussens, & Rosendahl. 2001.
Identification of mycorrhizal fungi from single pelotons of Dactylorhiza
majalis (Orchidaceae) using single-strand conformation polymorphism and
mitochondrial ribosomal large subunit DNA sequences. Journal Molecular
Ecologys 10: 2089-2093.
Kumalawati, Z. 2006. Ketahanan Bibit Vanili (Vanilla Planifolia Andrews) Terhadap
Penyakit Busuk Batang (Fusarium Oxysporum F.Sp Vanillae) Yang
Diaplikasi Mikoriza (Glomus Fasciculatus). Jurnal Agrisistem 2: 76-86.
Jayanegara. C.M. 2011. Pengaruh Pemberian Mikoriza Vesikular Arbuskular (Mva)
Dan Berbagai Dosis Pupuk Kompos Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil
Tanaman Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench). Upny_ac.id. Diakses tgl
25 Desember 2013 [Skripsi].
Lingga, P. dan Marsono, 2000. Petunjuk Penggunaan Pupuk (edisi revisi).
Penebar Swadaya. Jakarta. 150p.
Prihastanti, E. 2013. Peranan Dan Pola Akumulasi Proline Tanaman Pada
Adaptasi Cekaman Kekeringan. Seminar Nasional Pendidikan Biologi.
Biologi, Sains, Lingkungan, Dan Pembelajarannya Menuju Pembangunan
Karakter. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 417-420.
291
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Purwanto. E. 2003. Photosynthesis activity of soybean (Glycine max L.) under
drought stress. Agrosains 5
Ruhnayat, A. 2004. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Bertanam Vanili Si
Emas Hijau nan Wangi. Agromedia Pustaka, Jakarta. 51 hal.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta 754.
Suhardi, 1990. Pedoman Kuliah Mikoriza V.A. Proyek Peningkatan Perguruan
Tinggi UGM PAU-Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sieverding, E. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza management in tropical
agroecosystem. Technical Cooperation. Federal Republik of Germany.
Taiz, L., E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sinauer Associates Inc.
Publisher.Sunderland, Massachusetts.
292
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGUJIAN KETAHANAN VARIETAS KOMERSIAL DAN GALUR
HARAPAN CABAI MERAH TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA
(Colletotrichum spp) SKALA LABORATORIUM
Ineu Sulastrini, T.S Uhan dan R Kirana
Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji ketahanan
varietas/galur/asesi hasil para pemulia terhadap penyakit antraknos. Pengujian
antraknos di laboratorium dilakukan terhadap 0537-1558, 0836-6729-1, 08366741-2, 0707-7212-B, 0707-7514-B, 0707-7540-B, 0707-7651-B, CO 4871, Jati
Laba IV, Hot Beauty, Tit Super IV, TM 999, Keriting Cipanas, Branang, Gentari,
Tanjung-1, Tanjung-2, Lembang-1dan Inko99. Isolat yang digunakan adalah
hasil survai dari daerah Cirebon dan Subang yang merupakan sentra cabai
merah. Hasil survey di sentra pertanaman cabai di Cirebon dan Subang,
teridentifikasi cendawan P. capsici penyebab penyakit hawar Phytophthora
sebanyak 60 sampai 62,50% dan cendawan Colletotrichum spp penyebab
penyakit antraknos pada cabai sebesar 75,5 – 87,5%. Jenis spesies dari
daerah Cirebon, didapat 100% C. acutatum, sedangkan dari daerah Subang
teridentifikasi 3 spesies, yaitu C. acutatum sebanyak 54,17%, C.
gloeosporioides 12,5% dan C. capsici 33,33%. Dari 19 asesi/galur/varietas
yang diuji peka terhadap cendawan C. acutatum dan asesi no. 0836-6729-1,
0836-6741-2, 0707-7212-B dan CO 4871tahan terhadap cendawan C capsici di
laboratorium.
Kata kunci : antraknos, ketahanan, cabai
Pendahuluan
Cabai merupakan komoditas andalan bagi pelaku agribisnis dalam skala
kecil maupun skala besar. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata produksi dalam 10
tahun terakhir mencapai 676827 ton/tahun yang merupakan komoditas nomor
empat setelah kubis, kentang dan bawang merah (Anonim, 2008). Usaha tani
cabai mempunyai risiko yang cukup tinggi karena demikian tingginya serangan
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang mampu menyebabkan
kegagalan panen (Buxton, 1990). Untuk mengurangi kegagala panen, petani
menggunakan pestisida secara intensif. Hasil penelitian Adiyoga et al. (1999)
dan Soetiarso et al. (1999) menunjukkan bahwa penggunaan pestisida pada
tingkat petani di Brebes sudah melebihi kebutuhan optimum tanaman,
akibatnya biaya produksi meningkat dan budidaya bawang merah dan cabai
merah tidak lagi efisien.
293
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
OPT utama pada cabai antara lain adalah serangan penyakit antraknosa
yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum spp. Penyakit ini dapat
menyerang seluruh bagian tanaman seperti batang, daun, biji dan buah cabai
pada stadia hijau maupun merah. Pengendalian terhadap penyakit terbut paling
banyak dilakukan petani adalah dengan penyemprotan menggunakan pestisida
kimia, termasuk insektisida dan fungisida (Suhardi, 1991; Vos, 1994 dan
Purwati, 1997). Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia antara lain
munculnya patogen patotipe baru (Winarno et al., 1995). Salah satu
pengendalian yang aman bagi lingkungan dan masyarakat adalah dengan
menggunakan varietas tahan antraknosa. Balitsa terus mengembangkan
varietas/galur/asesi baru yang tahan antraknosa disamping berpotensi hasil
tinggi. Hasil dari para pemulia cabai perlu diuji ketahanannya terhadap
antraknosa, sehingga dapat mengurangi penggunaan pestisida dan dapat
meningkatkan nilai tambah bagi petani serta aman bagi lingkungan dan
manusia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji ketahanan
varietas/galur/asesi hasil para pemulia terhadap penyakit antraknosa, sehingga
diharapkan didapat 1 atau lebih varietas baru yang tahan/agak tahan
antraknosa.
Bahan dan metode
Pengujian dilakukan di laboratorium Penyakit dan Rumah Kasa Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Waktu pelaksanaan dimulai pada bulan Juni
sampai Nopember 2012. Varietas/galur/asesi cabai yang diuji terdapat 19,
yaitu 0537-1558, 0836-6729-1, 0836-6741-2, 0707-7212-B, 0707-7514-B,
0707-7540-B, 0707-7651-B, CO 4871, Jati Laba IV, Hot Beauty, Tit Super IV,
TM 999, Keriting Cipanas, Branang, Gentari, Tanjung-1, Tanjung-2, Lembang1dan Inko99.
Masing-masing var/galur/asesi cabai ditanam dalam polibag di Rumah
Kasa dengan jumlah tanaman cabai 5–10 tanaman/ perlakuan. Satu polibag
ditanam satu tanaman cabai dengan media tanam campuran tanah dan pupuk
kandang (1:1) yang telah diserilkan. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan
penyemprotan insektisida Kelthane karena adanya serangan hama Thrips sp.
dan tidak dilakukan peenyemprotan dengan fungisida. Penyiraman dan
penyiangan dilakukan apabila diperlukan sedangkan pemupukan dilakukan
setiap 10 hari sekali dengan cara disiramkan (10 g NPK/L air).Pengujian
dilakukan pada buah stadia merah dengan 5 buah per perlakuan dan 3
ulangan, menggunakan metode AVRDC, 1998. Isolat yang digunakan adalah
isolat hasil survai dari sentra produksi cabai Cirebon dan Subang.
Evaluasi untuk perkembangan penyakit dilakukan dengan cara :
Mengukur perkembangan lesion pada 5 hari setelah inokulasi. Apabila luas
294
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
nekrosis/lesio ≥4 mm pada tempat yang diinokulasi-injeksi, maka perkembangan
penyakit dinyatakan positif. Insidensi penyakit antraknosa, dihitung dengan rumus :
Kategori ketahanan : Tahan ( 0-20%); Toleran (20-50%) dan Peka (> 50%)
Sebaiknya diikutsertakan varietas cabai merah yang tahan dan peka
terhadap penyakit antraknosa.
Pengamatan dilakukan dengan mengukur
diameter lesio pada buah cabai yang yang diinokulasi.
Hasil dan pembahasan
A. Pengumpulan isolat penebab antraknosa
Survey dilakukan untuk mengumpulkan isolat penyebab antraknosa dari
sentra pertanaman cabai merah di daerah Cirebon dan Subang. Sampel yang
diduga terserang penyakit antraknosa dikumpulkan kemudian diidentifikasi dan
dimurnikan di laboratorium Penyakit Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Jenis
sampel yang didapat terdiri dari batang tanaman dan buah cabai. Dari sampel
batang yang dikumpulkan di sentra cabai merah di Cirebon terdapat 62,50%
teridentifikasi cendawan Phytophthora capsici penyebab penyakit hawar
Phytophthora pada tanaman cabai dan 12,5% terserang penyakit antraknosa
(Tabel 1.). Pada sampel buah cabai 87,5% teridentifikasi penyakit antraknosa
dan 9,7 % positif terserang penyakit hawar Phytophthora. Sampel yang berhasil
dikumpulkan dari daerah Subang teridentifikasi 60% cendawan P capsici pada
sampel batang dan 12,5% pada sampel buah cabai merah. Cendawan
Colletotrichum spp. pada sampel buah cabai merah teridentifikasi sebanyak
75,5% dan 8,33% terserang Alternaria spp. Gejala Alternaria secara visual
hampir mirip dengan gejala C capsici salah satu penyebab penyakit
antraknosa.
Tabel 1. Status Penyakit pada tanaman cabai di Sentra Produksi Cirebon dan
Subang.
Subang (%)
Cirebon (%)
No.
Jenis Penyakit
Batang
buah
Batang buah
Phytophthora capsici
1
62,5
9,7
60
12,5
Colletotrichum spp.
2
12,5
87,1
0
75,5
Alternaria sp
3
0
0
0
8,33
295
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Colletorichum spp pada buah Gejala Phytopthora capsici pada tanaman cabai
cabai
merah
Gambar 1. Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai merah dan
Phytopthora capsici pada tanaman cabai merah di lapangan.
Hasil identifikasi secara morfologi pada sampel batang maupun buah
cabai merah dari daerah Cirebon, didapat 100% Colletotrichum acutatum.
Sedangkan dari daerah Subang teridentifikasi 3 spesies, yaitu C. acutatum
sebanyak 54,17%, Colletotrchum gloeosporioides 12,5% dan Colletotrichum
capsici 33,33% (Tabel 2.).
Tabel 2. Jenis spesies Colletotrichum spp.yang teridentifikasi pada sampel.
Cirebon (%)
Subang (%)
No.
Jenis Penyakit
Batang
buah
Batang
buah
C. acutatum
1
100
100
0
54,17
C. gloeosporioides
2
0
0
0
12,5
C. capsici
3
0
0
0
33,33
B. Uji ketahanan terhadap penyakit antraknosa
Hasil identifikasi dan uji patogenisitas pada isolat antraknosa yang
didapat dari hasil survai di sentra produksi cabai merah Cirebon dan Subang,
maka didapat 2 isolat yang digunakan untuk pengujian ketahanan
var/galur/asesi terhadap penyakit antraknosa, yaitu isolat C acutatum dari
Cirebon dan C capsici dari Subang. Uji ketahanan cabai terhadap penyakit
antraknosa di lakukan pada buah cabai stadia merah dengan menggunakan 2
spesies, yaitu C. acutatum dan C. capsici. Hasil pengujian ketahanan pada 19
asesi/galur/varietas, semua buah cabai merah dari var/galur/asesi yang
diinokulasi-injeksi
dengan
inokulum
C.
acutatum
memperlihatkan
perkembangan nekrosis/lesion > 4 mm pada 5 hari setelah inokulasi (Tabel 3.).
Sedangkan buah cabai merah dari var/galur/asesi yang diinokulasi/injeksi
dengan inokulum C capsici memperlihatkan asesi no. 0836-6729-1, 0836-67412, 0707-7212-B dan CO 4871 perkembangan nekrosis/lesio < 4 mm.
296
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tabel 3. Rataan diameter lesio (cm) pada 5 hari setelah inokulasi dan Status
Resistensi asesi/galur/varietas cabai yang diuji terhadap penyakit
antraknosa
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Asesi/galur/varietas
0537-1558
0836-6729-1
0836-6741-2
0707-7212-B
0707-7514-B
0707-7540-B
0707-7651-B
CO 4871
Jati Laba IV
Hot Beauty
Tit Super IV
TM 999
Keriting Cipanas
Branang
Gentari
Tanjung-1
Tanjung-2
Lembang-1
Inko99
Diameter
nekrosis/lesio
(cm)
C. acutatum
0,85
0,88
0,58
0,74
0,65
0,78
0,52
1,01
2,31
0,98
0,80
1,07
1,03
0,56
0,60
0,75
2,46
0,72
0,97
R
( %)
0
20
33.33
20,00
26.67
6.67
40
6,66
0
6.67
6.67
0
0
20,00
40
6,67
0
13.33
0
Diameter
nekrosis/lesio
(cm)
C. capsici
0,45
0,38
0,21
0,38
0,52
0.51
0,46
0,36
1,75
0,76
0,61
0,94
1,16
0,63
0,76
0,67
2,13
0.66
0,90
R
(%)
26.67
53.33
66,67
56,67
20
13,33
46.67
53.33
0
20
6.67
0
0
6.67
26,67
20
0
20
0
Menurut Anonim (1998) suatu asesi/galur/varietas dikatakan tahan
apabila diameter nekrosis/lesio pada 5 hari setelah inokulasi kurang dari sama
dengan 4 mm. Apabila diameter lesio lebih besar dari 4 mm, positif untuk
berkembangnya penyakit tersebut. Dengan demikian semua var/galur/asesi
yang diuji peka terhadap cendawan C. acutatum dan asesi no. 0836-6729-1,
0836-6741-2, 0707-7212-B dan CO 4871tahan terhadap cendawan C. capsici di
laboratorium.
Kesimpulan
Dari hasil survey di sentra pertanaman cabai di Cirebon dan Subang,
teridentifikasi cendawan P. capsici penyebab penyakit hawar Phytophthora
sebanyak 60 sampai 62,50% dan cendawan Colletotrichum spp penyebab
penyakit antraknosa pada cabai sebesar 75,5 – 87,5%. Jenis spesies dari
daerah Cirebon, didapat 100% C. acutatum, sedangkan dari daerah Subang
teridentifikasi 3 spesies, yaitu C. acutatum sebanyak 54,17%, C.
gloeosporioides 12,5% dan C. capsici 33,33%. Dari 19 asesi/galur/varietas
yang diuji peka terhadap cendawan C. acutatum dan asesi no. 0836-6729-1,
297
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
0836-6741-2, 0707-7212-B dan CO 4871 tahan terhadap cendawan C capsici di
laboratorium.
Daftar pustaka
Adiyoga W, R.S. Basuki, Y. Hilman & B.K. Udiarto. 1999. Studi lini dasar
pengembangan teknologi pengendalian hama terpadu pada tanaman
cabai di Jawa Barat. J. Hort. 9 :67-83.
Adiyoga W & T.A. Soetiarso. 1999. Strategi Petani dalam Pengelolaan Resiko
pada Usahatani Cabai. J. Hort. 8 :1299-1311.
Anonim, 1998. Pepper resistance to anthracnose. AVRDC Report.
Anonim . 2008. Pasokan dan harga cabe serta bawang merah : menjelang hari
raya keagamaan tahun 2008. <http://www.hortikultura.deptan.go.id
/index.php?itemid=214&id=188&option=com_content&task=view>.
Diakses 20 Januari 2013.
Purwati. 1997. Pengendalian Penyakit Embun Tepung pada Anggur. Teknologi
dan Informasi Pertanian 2 :13-16.
Suhadi. 1989. Antraknosa pada tanaman cabai (Capsicum annuum) L. Taksiran
kehilangan hasil. Prosiding Seminar Ilmiah PFI ke X, Denpasar.
Soetiarso, T.A. Purwanto & A. Hidayat. 1999. Identifikasi usahatani tumpang
gilir bawang merah dan cabai merah guna menunjang pengendalian
hama terpadu di Brebes. J.Hort. 8 :1312-1329.
298
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
EVALUASI KETAHANAN VARIETAS/GALUR HARAPAN BAWANG MERAH
TERHADAP PENYAKIT EMBUN BULU (Peronospora destructor) DI
LAPANGAN
Ineu Sulastrini dan Iteu M Hidayat
Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementrian Pertanian
Jl.Tangkuban Parahu no. 517 Lembang-Bandung Barat
Phone/Fax 022-2786245/022-2786416
Email: [email protected]
Abstrak
Penyakit embun bulu (downy mildew) merupakan penyakit penting pada
family bawang-bawangan termasuk tanaman bawang merah. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengevaluasi status ketahanan dari beberapa
varietas bawang merah yang sudah komersial dan galur harapan terhadap
penyakit embun bulu yang disebabkan oleh cendawan Peronospora destructor.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 18
perlakuan dan 2 ulangan. Populasi tanaman setiap perlakuan adalah 100
dengan jarak tanam 15 x15 cm. Inokulasi dilakukan secara alami pada musim
pancaroba dari musim kemarau ke musim penghujan. Berdasarkan intensitas
serangan penyakit embun bulu dan AUDPC dapat menentukan status
ketahanan beberapa varietas bawang merah yang sudah komersial dan galur
harapan di lapangan.
Kata kunci : evaluasi, Peronospora destructor dan bawang merah
Pendahuluan
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang
mempunyai arti penting bagi petani maupun masyarakat pada umumnya, selain
nilai ekonomis tinggi juga kandungan gizinya yang tinggi dan dapat dijadikan
obat. Dalam dekade terakhir ini permintaan akan bawang merah untuk
konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan. Permintaan bawang
merah yang terus meningkat, perlu diimbangi dengan peningkatan produksi
bawang merah. Permasalahan dalam meningkatkan produksi bawang merah di
Indonesia adalah bibit sulit diperoleh saat menjelang musim tanam, harga bibit
mahal, produktivitas rendah karena adanya serangan hama dan penyakit di
lapangan maupun di penyimpanan, dan harga jual murah saat panen. Faktor
penyakit ini adalah yang paling penting yang terkait dengan produktivitas
rendah dalam bawang. Bawang rentan terhadap berbagai penyakit daun, umbi
299
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
dan akar patogen yang dapat mengurangi hasil dan kualitas (Cramer 2000).
Salah satu mikroorganisme yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia
adalah cendawan Peronospora destructor (Berk.) Caps. merupakan penyebab
terjadinya penyakit embun bulu (downy mildew) pada tanaman bawangbawangan, seperti pada bawang merah maupun bawang daun. Penyakit ini
telah menyebar di hampir seluruh sentra produksi keluarga bawang-bawangan
di seluruh dunia yang menyebabkan kehilangan hasil dan kualitas umbi yang
menurun (Lorbeer, Andaloro,1984; Anonim., 2003) dengan kehilangan hasil
pada umbi dapat mencapai 60-75% (Develash and Sugha, 1997). Kerugian ini
disebabkan karena serangan penyakit embun bulu yang tinggi menyebabkan
terjadi defoliasi awal, diameter umbi menjadi lebih kecil, dan kualitas umbi yang
buruk (Lorbeer, Andaloro,1984). Kerugian dalam produksi benih sering
disebabkan karena patahnya batang bunga yang terinfeksi dan daya kecambah
dari benih yang dihasilkan rendah, karena benih yang dipanen dari batang
bunga yang terinfeksi (Schwartz, Mohan, 1995). Serangan dari patogen embun
bulu ini akan lebih berat dan dapat menyebabkan kerugian serius dalam waktu
singkat pada musim dingin dengan kondisi cuaca lembab (Hoffmann et al.,
1996). Gejala pertama sering muncul pada daun yang lebih tua, dan ditandai
dengan timbulnya bercak kuning kehijauan sampai coklat. Apabila cuaca
lembab dan suhu rendah, maka bercak akan berkembang dengan tumbuhnya
massa spora jamur yang berwarna abu-abu sampai keunguan menyelimuti
daun yang terinfeksi, daun menjadi mengkerut dan jaringan daun mati.
Penelitian mengenai penyakit embun bulu pada bawang merah di
Indonesia belum banyak dilaporkan karena bukan penyakit utama yang
menyerang tanaman bawang merah. Namun demikian dengan kondisi
perubahan cuaca yang sulit diprediksi tidak menutup kemungkinan akan
terjadinya ledakan serangan penyakit tersebut. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, maka diperlukan adanya penelitian pengendalian penyakit embun bulu
yang ramah lingkungan. Berdasarkan berbagai kendala dan informasi yang ada
maka usahatani bawang merah harus dimulai dengan menanam varietas tahan
terhadap penyakit embun bulu dan tersedianya bibit/benih berkualitas dan
sehat agar bisa berproduksi lebih tinggi. Sampai saat ini,varietas yang tahan
penyakit embun bulu masih sulit didapat, oleh karena itu perlu ada upaya
penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan varietas bawang merah yang
tahan/toleran penyakit embun bulu dengan produktivitas yang tinggi diatas ratarata produktivitas nasional.
Di lain pihak banyak varietas bawang merah lokal yang biasa di tanam
petani yang beradaptasi baik, namun status ketahanannya terhadap penyakit
embun bulu perlu diteliti. Diharapkan dari varietas lokal yang tahan/toleran
penyakit embun bulu dapat dijadikan tetua untuk mendapatkan varietas baru
yang tahan/toleran penyakit embun bulu dan berproduksi tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi status ketahanan
300
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
varietas lokal komersial/galur harapan terhadap penyakit embun bulu
(Peronospora destructor) skala lapangan.
Bahan dan metode
Penelitian untuk mengevaluasi status ketahanan varietas/galur harapan
terhadap penyakit embun bulu dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian
Tanaman Sayuran pada ketinggian 1200 m dpl. Waktu pelaksanaan penelitian
dilakukan pada musim pancaroba dari musim kemarau ke musim hujan, yaitu
pada bulan September sampai Nopember 2011.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok dengan 18 perlakuan dan 2 ulangan. Perlakuan yang diuji adalah
varietas lokal komersial yang sudah sering ditanam petani hasil pengumpulan
dari sentra produksi daerah Majalengka, Brebes dan Nganjuk. Adapun varietas
yang berhasil dikumpulkan ada 18( Tabel 1).
Tabel 1. Varietas bawang merah dan asal daerah
No.
Varietas komersial
Asal daerah
1
Galur Harapan No. 1
Brebes
2
Galur Harapan No. 3
Brebes
3
Galur Harapan No. 5
Brebes
4
Bali karet
Nganjuk
5
Bali karet
Majalengka
6
Batu ijo
Nganjuk
7
Batu putih
Nganjuk
8
Bauji
Nganjuk
9
Bima
Nganjuk
10
Bima Brebes
Nganjuk
11
Biru
Nganjuk
12
Katumi
Nganjuk
13
Maja
Nganjuk
14
Maja
Majalengka
15
Nanjung
Nganjuk
16
Thailand
Brebes
17
Sumenep
Nganjuk
18
Sumenep
Majalengka
301
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pengujian di lapangan dilakukan dalam bentuk bedengan dengan luas
2,25 m², jarak tanam 15 x 15 cm, jarak antar perlakuan 50 cm dan jarak antar
ulangan 1m, dengan jumlah tanaman per perlakuan/bedengan adalah 100.
Ukuran umbi bibit adalah 5-10 g/umbi (Stallen et al, 1991). Pemupukan dasar
dilakukan 7 hari sebelum tanam dengan menggunakan pupuk kandang kuda
(15 ton/ha), SP-36 (200 kg/ha) dan setengah dosis NPK mutiara (600 kg/ha).
Pengapuran dilakukan 7 hari sebelum tanam dengan kapur dolomite (2 ton/ha).
Pupuk susulan menggunakan setengah dosis NPK mutiara diberikan masingmasing pada umur 15 dan 30 hari setelah tanam.
Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali sebanyak 6 kali pengamatan
dan dimulai pada umur tanaman 11 hari setelah tanam dimana benih sudah
bertunas sebanyak 80%. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah
intensitas serangan penyakit embun bulu di lapangan dan hasil panen. Jumlah
tanaman contoh sebanyak 10 tanaman yang dipilih secara acak sistematis.
Pengamatan terhadap penyakit embun bulu, dilakukan pada setiap tanaman
contoh dengan cara skoring dan dihitung dengan menggunakan rumus
(Anonim, 2011) :
∑nxv
P = -------------- x 100 %
ZxN
Keterangan :
P : Intensitas/tingkat kerusakan tanaman
n : Jumlah tanaman yang memiliki skoring yang sama
v : Nilai skala pada setiap katagori serangan
Z : Skala katagori serangan tertinggi
N : Jumlah tanaman yang diamati
Nilai katagori serangan (v) :
0 : Sehat (tidak ada serangan)
1 : ≤ 20 % terserang
2 : > 20 - ≤ 40 % terserang
3 : > 40 - ≤ 60 % terserang
4 : > 60 - ≤ 80 % terserang
5 : > 80 - ≤ 100 % terserang
302
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Derajat ketahanan bawang merah terhadap cendawan P. destructor
ditentukan berdasarkan intensitas serangan penyakit tersebut (Anonim., 2011):
Intensitas serangan
(%)
Derajat ketahanan
0
Tanaman imun
1 – 10%
Sangat tahan
11 – 25%
Agak tahan
26 – 50%
Rentan
> 50%
Sangat rentan
AUDPC (Area Under the Disease Progress Curve) dihitung dari
perkembangan intensitas serangan penyakit embun bulu yang dimaksudkan
untuk membandingkan antar varietas yang diuji, dengan menggunakan metode
aturan titik tengah (Campbell dan Madden, 1990) dengan rumus:
n 1
AUDPC 
 yi  yi
2
i 1
 
 1

 ti

1
 ti 
Dimana "t" adalah waktu dalam hari setiap pengamatan, "y" adalah intensitas
serangan pada tanaman bawang merah pada setiap pengamatan dan "n"
adalah jumlah pengamatan.
Hasil dan pembahasan
Hasil survey pengumpulan bawang merah varietas lokal ke daerah
Majalengka, Brebes dan Nganjuk didapatkan 15 varietas komersial dan 3 galur
harapan hasil silangan pemulia bawang merah. Dari 18 varietas tersebut diatas
kemudian diuji ketahanannya terhadap penyakit embun bulu P. destructor
yang merupakan salah satu penyakit yang menyerang pada bawang merah.
Pada saat survey dilakukan, sangat sulit untuk mendapatkan benih bawang
merah komersial karena pada saat itu belum saatnya musim tanam dan
kebanyakan petani sudah tidak lagi menyimpan benih varietas lokal. Petani
beralih ke benih impor seperti Thailand, Ilokos dan lainnya dengan alasan
produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal. Benih bawang
merah varietas lokal yang di kumpulkan dari petani penangkar kualitasnya juga
kurang baik, banyak benih yang tidak tumbuh. Kemungkinan lain adalah benihbenih tersebut masih beradaptasi karena pengujian dilakukan di Lembang yang
merupakan dataran tinggi sedangkan kebanyakan benih dari dataran rendah.
Seperti varietas kuning, tidak berumbi ketika ditanam di Lembang, tapi
bunganya banyak. Varietas Manjung, Biru dan Bauji ketika pada penanaman
pertama pertumbuhannya kurang baik. Akan tetapi pada pengujian kedua
pertumbuhannya lebih baik meskipun belum optimal. Pengujian ketahanan
303
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
bawang merah terhadap P destructor dilakukan pada materi benih bawang
merah hasil penanaman di Lembang.
A. Penanaman berbagai varietas lokal bawang merah
Hasil pengamatan selama pertanaman bawang merah terdapat adanya
serangan penyakit embun bulu (downy mildew) yang cukup tinggi, karena pada
saat itu terjadi perubahan musim dari musim kemarau ke musim penghujan,
dimana kelembaban udara pada malam hari lebih tinggi dari siang hari. Kondisi
udara lembab dan suhu malam hari yang relatif rendah sangat optimal untuk
perkembangan penyakit tanaman (Bagus et al., 2005). Berdasarkan intensitas
serangan penyakit embun bulu dan AUDPC, maka didapat 9 varietas dan galur
harapan dengan tingkat derajat ketahanan agak tahan dan 9 varietas dengan
katagori derajat ketahanan rentan. Namun demikian pada galur harapan no.5
dan varietas Maja (Majalengka) dan Manjung mempunyai nilai dikatagorikan
agak tahan sedangkan nilai AUDPC nya lebih besar dari nilai rata-rata AUDPC.
Hal ini kemungkinan karena persentase intensitas serangan terhadap penyakit
embun bulu mendekati nilai dengan katagori rentan.
Tabel 2. Intensitas serangan cendawan P destructor, AUDPC pada berbagai
varietas lokal bawang merah (%).
No. Varietas dan
Asal
Intensitas
AUDPC
Derajat
galur harapan
sampel
serangan pada
Ketahanan
46 HST (%)
Lapangan
1
No.2
Brebes
23
700
Agak tahan
2
No.3
Brebes
20
675.5
Agak tahan
3
No.5
Brebes
21
703.5*
Agak tahan
4
Bali Karet
Nganjuk
28
714*
Rentan
5
Bali Karet
Majalengka
40
784*
Rentan
6
Batu ijo
Nganjuk
29
710.5*
Rentan
7
Batu putih
Nganjuk
29
689.5
Rentan
8
Bauji
Nganjuk
32
717.5*
Rentan
9
Bima
Nganjuk
30
728*
Rentan
10
Bima Brebes
Nganjuk
30
717.5*
Rentan
11
Biru
Nganjuk
33
721*
Rentan
12
Katumi
Nganjuk
26
721*
Rentan
13
Maja
Nganjuk
22
682.5
Agak tahan
14
Maja
Majalengka
24
710.5*
Agak tahan
15
Manjung
Nganjuk
25
707*
Agak tahan
16
Thailand
Nganjuk
24
633.5
Agak tahan
17
Sumenep
Nganjuk
22
665
Agak tahan
18
Sumenep
Majalengka
22
665
Agak tahan
Keterangan : * nilai AUDPC > nilai rata-rata AUDPC (702)
304
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
B. Hasil panen
Hasil panen bawang merah pada varietas Batu putih lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas lainnya yang diuji, hal ini kemungkinan karena
umbi varietas Batu putih, Batu ijo dan Bali karet lebih besar dibandingkan
dengan umbi pada varietas lainnya yang dievaluasi yang lainnya.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Tabel 3 . Hasil panen berbagai varietas bawang merah.
Varietas dan galur
Asal sampel
Hasil panen
harapan
sampel
(g/plot)
No.2
Brebes
231
No.3
Brebes
152
No.5
Brebes
249
Bali Karet
Nganjuk
466
Bali Karet
Majalengka
567
Batu ijo
Nganjuk
424
Batu putih
Nganjuk
738
Bauji
Nganjuk
207
Bima
Nganjuk
151
Bima Brebes
Nganjuk
221
Biru
Nganjuk
367
Katumi
Nganjuk
165
Maja
Nganjuk
359
Maja
Majalengka
166
Manjung
Nganjuk
328
Thailand
Nganjuk
254
Sumenep
Nganjuk
302
Sumenep
Majalengka
318
Kesimpulan
Dari 18 varietas lokal yang diuji ketahanannya terhadap cendawan P.
destructor, terdapat 9 varietas dan galur harapan dengan derajat ketahanan
agak tahan dan 9 varietas dengan derajat ketahanan rentan. Galur harapan
No.2, No. 3 dan No.5, varietas Maja yang berasal dari Nganjuk dan Majalengka,
Manjung, Thailand dan Sumenep yang berasal dari Nganjuk dan Majalengka
mempunyai derajat ketahanan agak tahan. Sedangkan yang mempunyai
serajat ketahanan rentan adalah varietas Bali karet yang berasal dari Nganjuk
dan Majalengka, Batu ijo, Batu putih, Bauji, Bima, Bima Brebes, Biru dan
Katumi.
305
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Daftar pustaka
Anonim.2011. Pedoman Pelepasan Varietas Unggul Baru Hortikultura.
Direktorat Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura.
Bagus KU, Setiawati W dan E Suryaningsih. 2005. Panduan Teknis PTT
Bawang Merah No. 2, Pengenalan Hama dan Penyakit pada Tanaman
Bawang Merah dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Campbell, C.L., L. V. Madden. 1990. Introduction to Plant Disease
Epidemiology. John Wiley & Sons, New York City.
Cramer, C.S. (2000). Breeding and genetics of Fusarium basal rot resistance in
onion. Euphytica. 115:159-166.
Develash R. K., Sugha S. K..1997.
Management of downy mildew
(Peronospora destructor) of onion (Allium cepa). Crop Protection : 63–67
Hoffmann M. P., Petzoldt C. H., Frodsham A. C. 1996. Integrated Pest
Management for Onions. New York State IPM Program Publication, No.
119. – 78 p.
Lorbeer J., and Andaloro J. 1984. Diseases of Onions. Downy Mildew.
<http://www.nysaes.cornell.edu/ent/hortcrops/english/dmildew.html>.
Stallen, M.P.K. and Yusdar Hilman. 1991. Effect of plant density and bulb size
on yield and quality of shallot. Bul.Penel.Hort. XX (EK. No. 1) : 117-125.
Anonim.
2003.
Crop
Profile
for
Onion.<http://pestdaa.ncsu.edu
/cropprofiles/docs/-txonions.html>.
306
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
SELEKSI IN VITRO JAMUR ENDOFIT YANG BERPOTENSI SEBAGAI AGEN
BIOKONTROL JAMUR Fusarium oxysporum f. sp. cubense PENYEBAB
PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN PISANG
Jumsu Trisno, Suardi Gani, dan Yuda Pratama
Prodi Agroekoteknologi, Jurusan HPT, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas,
Kampus Limau Manis Padang, 25163
Email: [email protected]
Abstrak
Jamur endofit mempunyai potensi besar dan banyak dikembangkan sebagai
agen biokontrol patogen penyebab penyakit tanaman. Seleksi jamur endofit lokal
dan indigenus diperlukan untuk mendapatkan isolat dan spesies yang potensial
untuk aplikasi di lapangan. Isolat jamur endofit diseleksi dari akar tanaman pisang
sehat dari lahan endemik penyakit layu fusarium di Kabupaten Padang Pariaman
Sumatera Barat. Pengambilan sapel akar dilakukan dengan metode acak terpilih
(Purposive Random Sampling). Pengujian kemampuan biokontrol dilakukan degan
uji biakan ganda. Kemampuan biokontrol dinilai berdasarkan kemampuan daya
hambat, antibiosis, invasi dan daya parasitisme. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 35 isolat hasil isolasi, masing-masing mempunyai kemampuan daya
hambat yang beragam (26,67 – 66,67%). Seleksi berdasarkan kemampuan daya
hambat (lebih dari 50%), kemampuan invasi dan antibiosis didapatkan 6 (enam)
isolat yang potensial untuk dikembankan sebagai agen biokontrol jamur Fusarium
oxysporum f.sp. cubense. Hasil identifikasi dari 6 isolat tersebut didapatkan 4 isolat
adalah genus Trichoderma dan 2 isolat adalah genus Aspergilus.
Kata kunci: jamur endofit, biokontrol, Fusarium oxysporum f. sp. cubense
(Foc)
Pendahuluan
Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu tanaman hortikultura
unggulan yang bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai prospek sebagai komoditas
ekspor Indonesia (Anonim., 2014). Di Sumatera Barat, produksi pisang menempati
urutan pertama (total produksi sebesar 138.068 ton) diikuti markisah, durian,
alpukat dan jeruk (Anonim., 2013).
Kendala utama dalam budidaya tanaman pisang pada 20 tahun terakhir
adalah penyakit layu tanaman pisang. Penyakit layu tanaman pisang dapat
disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) dan bakteri
Ralstonia solanacearum ras 4 ( Semangun, 2005). Jamur Foc adalah penyebab
307
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
utama turunnya produksi pisang di Indonesia dengan kerugian hasil mencapai
100% (Nasir dan Junjunidang, 2002).
Sampai saat ini penyakit layu fusarium sangat sulit dikendalikan, karena
belum ditemukan kultivar pisang komersil yang tahan, dan dapat menyerang
semua stadium pertumbuhan. Foc dapat membentuk struktur klamidospora yang
mampu bertahan hidup lebih dari 20 tahun dalam tanah tanpa tanaman inang
(Ploetz, 1994). Penggunaan fungisida maupun kultur teknis tidak efektif, karena
sekali tanah terinfeksi patogen, maka untuk beberapa tahun tidak dapat
dikendalikan dengan fumigasi ataupun eradikasi.
Salah satu cara pengendalian yang banyak dikembangkan saat ini adalah
pemanfaatan agen pengendali hayati di antaranya adalah jamur endofit. Jamur ini
dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu
menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Strobel, 2004). Interkasi dari
beberapa jamur endofit dengan tumbuhan inang mampu melindungi tumbuhan
inangnya dari beberapa patogen virulen, baik bakteri maupun jamur (Purwanto,
2008).
Peran jamur endofit dalam mengendalikan penyakit layu Fusarium pada
tanaman pisang secara in vitro telah dilakukan oleh Sudantha dan Ernawati (2012)
dengan jamur Trichoderma viride isolat ENDO-20, T. koningii isolat ENDO-21 dan
T. polysporum isolat ENDO-22 mampu menghambat pertumbuhan Foc sebesar
44,44 - 45,22%. Mekanisme hambatan jamur endofit tersebut melalui kompetesi
ruang, mikoparasit dan antibiosis. Mekanisme penghambatan ini diduga terjadi
pada jaringan tanaman pisang, sehingga perlakuan dengan ketiga isolat jamur
endofit tersebut menyebabkan bibit pisang menjadi tahan terhadap serangan Foc.
Berdasarkan potensi jamur endofit dalam menekan pertumbuhan jamur Foc, maka
penelitian dilakukan dengan tujuan mendapatkan jamur endofit lokal yang
potensial sebagai biokontrol jamur Foc di Sumatera Barat.
Metode penelitian
a. Sampel Jamur Endofit
Sampel jamur endofit diambil dari akar tanaman pisang sehat di lahan
endemik penyakit layu Fusarium di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat.
Penentuan tanaman sampel menggunakan metoda purposive random sampling.
Akar tanaman pisang yang digunakan adalah akar utama yang keluar dari bonggol
yang didapat dengan cara menggali areal perakaran sedalam 20 – 30 cm.
b. Isolasi Jamur Endofit
Isolasi jamur endofit menggunakan metode tanam langsung pada media
PDA. Akar tanaman pisang dipotong 1 cm, ptotongan akar disterilisasi dengan
308
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
aqaudes steril dan alkohol 70% , dengan tahapan sebagai berikut: potongan akar
dicuci dengan aquades steril, kemudian dimasukkan dalam alkohol 70% selama
satu menit, dan kembali dicuci dengan cara direndam dalam aquades selama 1
menit. Potongan akar langsung ditanam pada media PDA dan diinkubasi 48 jam.
Jamur yang tumbuh dengan karakter berbeda (warna koloni) dipindahkan masingmasingnya ke media PDA baru sampai didapatkan biakan murni.
c. Penyediaan Jamur Fusarium oxysporum f.sp cubense
F. oxysporum f.sp cubense (Foc) yang digunakan berasal dari koleksi
Laborarium Fitopatologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Andalas. Isolat Foc dari kultur stok diremajakan dengan
memindahkan potongan hifa ke media PDA dan diinkubasi 7 hari.
d. Uji Biokontrol
Kemampuan biokontrol jamur endofit diuji dengan biakan ganda (dual
culture) (Nurbailis, 2008). Tahapan pengujian secara singkat sebagai berikut: petri
kaca yang telah berisi media PDA ditandai dan diukur dengan menggunakan
penggaris dan pulpen untuk mengukur posisi kedua potongan. Potongan Foc
diambil dengan corkborer berdiameter 0,5 cm lalu diletakkan di sisi kiri petri kaca
dengan jarak 3 cm dari ujung petri. Pada sisi lain diletakkan jamur endofit dengan
jarak 3 cm dari ujung petri. Biakan diinkubasi dan diamati pertumbuhan jamur Foc
dan jamur endofit sampai seluruh petri dipenuhi kedua jamur.
e. Uji daya Parasitisme
Uji daya parasitisme dilakukan pada jamur yang menunjukkan kemampuan
dalam menginvasi Foc. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode
slide culture, masing-masing jamur endofit dan Foc ditumbuhkan berdekatan pada
gelas objek yang telah dilapisi dengan PDA tipis kemudian di tutup dengan gelas
penutup. Gelas objek tersebut ditempatkan pada petri kaca yang sebelumnya telah
dialasi dengan tisu basah dan pipet minuman. Biakan diinkubasi selama 2 hari.
Kemampuan parasitasi diamati menggunakan mikroskopis binokuler.
f. Analisis Kemampuan Biokontrol
Kemampuan biokontol masing-masing jamur endefit dinilai berdasarkan: (a)
persentase (%)
penekanan pertumbuhan jamur patogen Foc, dihitung
menggunakan rumus 1, (b) antibiosis, dinilai berdasarkan adanya zona bening
(hambatan) diantara biakan jamur endofit dan Foc, (c) parasitisme, dinilai ada
tidaknya jamur endofit memarasit dan melisis dinding sel jamur Foc.
309
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Hasil dan pembahasan
a. Isolasi Jamur Endofit
Hasil isolasi jamur endofit dari akar tanaman pisang dari Nagari Simpang
Tiga Kayu Gadang Kab. Padang Pariaman Sumatera Barat didapatkan 35 isolat,
dengan karakter morfologi yang beragam. Pada umumnya warna koloni isolat yang
didapatkan adalah hijau tua, hijau kekuningan, putih kehijauan dan hitam (Gambar
1).
A
B
C
D
Gambar 1. Isolat jamur endofit akar tanaman pisang, dengan karakter warna koloni
yang berbeda (7 hsi). A. Koloni hijau tua, B. Koloni hijau kekuningan, C.
Koloni warna hitam dan D. Koloni warna putih kehijauan
b. Kemampuan Biokontrol Jamur Endofit
Hasil uji kemampuan 35 isolat jamur endofit dalam menghambar
pertumbuhan jamur Foc menunjukkan hasil yang beragam, dengan persentase
daya hambat terendah adalah 26,67 % (isolat PA. 1.4) dan tertinggi 66,67 %.
(isolat PC. 1.2). Seleksi berdasarkan kemampuan daya hambat lebih besar dari
50% didapatkan 14 isolat. Dari 14 isolat jamur endofit tersebut, apabila dinilai
berdasarkan kemampuan invasinya terhadap Foc didapatkan 3 isolat dengan
kemampuan invasi yang tinggi (skala invasi 4), yaitu isolat PA.2.3, PB. 2.1, dan
PE. 2.2. Dua isolat yaitu isolat dan isolat mempunyai kemampuan antibiosis. Serta
satu isolat (PD.2.2) di samping mempunyai kemampuan daya hambat lebih dari 50
% juga bersifat antibiosis dan kemampuan invasi (pada skala invasi 1).
Kemampuan biokontrol dari 6 isolat ini dirangkum pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil seleksi kemampuan biokontrol jamur endofit tanaman pisang
kabuapten Padang Pariaman Sumatera Barat.
Mekanisme Biokontrol
No
Kompetisi Antibiosis
Invasi
Parasitisme
Isolat
.
(mikroskopis
)
1 PA 2.1
+
2 PA 2.3
+
+
+
3 PB 2.1
+
+
+
4 PB 1.6
+
310
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
5 PD 2.2
+
+
6 PE 2.2
+
Keterangan: +: ada
-:: sangat kecil / tidak ada
+
+
+
+
Isolat-isolat
isolat dengan kemampuan invasi, selanjutnya dilihat kemampuan
parasitismenya dengan metode slite culture dan diamati dibawah mikroskop. Hasil
slite cultur menunjukkan bahwa isolat dengan kemampuan invasi mampu
memparasitasi hifa Foc. Isolat PA 2.3 menunjukkan terjadinya
terjadi
pemecahan dinding
sel hifa Foc akibat dari penetrasi. Pada isolat PB 2.1 dapat dilihat penetrasi jamur
endofit ke dalam hifa Foc lalu menembus keluar secara vertikal. Sedangkan pada
isolat PD 2.2 terlihat bahwa hifa jamur endofit melilit dan tumbuh di atas hifa Foc.
Pada isolat PE 2.2, hifa jamur endofit mampu menempel pada hifa Foc (Gambar
2).
A
B
C
D
Gambar 2. Mekanisme parasitasi jamur endofit terhadap jamur foc. (A
A). Isolat PA.
2.3, (B). Isolat PB.2.1,
PB.2.1 (C). Isolat PD.2.2 dan (D). Isolat PE.2.2
c. Identifkasi Jamur Endofit
Hasil identifikasi dari 6 isolat potensial biokontrol terseb
tersebut
ut didapatkan 2
isolat, yaitu adalah genus Aspergillus dan 4 isolat yaitu genus Trichodema.
Karakter mikroskopis kedua genus ditampilkan pada Gambar 3.
a
b
a
b
c
A
B
Gambar
ambar 3. Bentuk mikroskopis jamur endofit tanaman pisang. (A). Genus
Aspergillus,(a:
(a: konidia, b: vesikel dan c: konidiofor) dan (B). Genus
Trichoderma (a: fialit dan b: konidiofor).
konidiofor)
311
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Jamur endofit yang diisolasi dari akar tanaman pisang sehat mempunyai
keanekaragaman yang tinggi (jenis dan populasi). Dari satu jenis tanaman pisang
didapat 7 – 8 isolat jamur endofit dengan karakter morfologi yang berbeda. Strobel
(2003), mengatakan bahwa, daerah rhizosfer merupakan daerah yang kaya
mikroba. Mikroba tersebut dapat diisolasi dari tanah, permukaan akar ataupun dari
jaringan akar (endofit). Mikroba endofit hidup di dalam jaringan internal tumbuhan
hidup tanpa menyebabkan efek negatif pada jaringan tumbuhan dan menunjukkan
kemungkinan adanya hubungan simbiosis mutualisme antara mikroba endofit dan
inangnya. Purwanto (2008), mengatakan bahwa asosiasi beberapa jamur endofit
dengan tumbuhan inang mampu melindungi tumbuhan inangnya dari beberapa
patogen virulen, baik bakteri maupun jamur. Strobel (2004) menambahkan jamur
endofit dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu
menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika.
Kemampuan dari masing-masing jamur endofit dalam menghambat
pertumbuhan Foc berbeda-beda. Beberapa isolat dapat menghambat
pertumbuhan Foc dengan mekanisme antibiosis, invasi, dan parasitisme (Tabel 1).
Isolat dengan kemampuan antibiosis diduga menghasilkan metabolik anti jamur,
sebagaimana yang dikemukan oleh Strobel (2003), bahwa senyawa yang
dikeluarkan mikroba endofit berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan
senyawa bioaktif dan dapat berfungsi untuk membunuh patogen. Habazar (2005)
menambahakan mikroba di daerah rhizosfir selain mampu menghasilkan senyawa
antibiotik, juga mampu berkompetensi, menghasilkan enzim kitinase, penyebab lisis
hipopatogen, pemicu pertumbuhan dan penginduksi ketahanan tanaman.
Isolat-isolat jamur endofit dari tanaman pisang sehat yang mempunyai
kemampuan biokontrol terhadap Foc pada umumnya adalah genus Trichoderma
dan Aspergillus (Gambar 3). Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Purwantisari
dan Rini (2009) dari rhizosfir kentang organik didapatkan genus Tricoderma,
Peniciilium, dan Mucor yang berpotensi sebagai biokontrol. Sariani (2010)
menemukan genus Trichoderma, Gliocladium dan Rhizopus dari rhizosfir kentang.
Trisno et al. (2014), menemukan genus Trichoderma, Aspergillus dan Penicillium
dari rhizosfir tanaman Krisan yang berpotensi sebagai biokontrol Fusarium
oxysporum.
Kesimpulan
Hasil isolasi jamur endofit dari akar tanaman pisang sehat didapat 35 isolat
dengan karakter yang beragam dan persentase (%) kemampuan daya hambat
Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) berkisar antara 26,67 – 66,67%. Seleksi
berdasarkan kemampuan daya hambat (lebih dari 50%), kemampuan invasi dan
antibiosis didapatkan 6 (enam) isolat yang potensial untuk dikembankan sebagai
312
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
agen biokontrol Foc. Hasil identifikasi dari 6 isolat tersebut didapatkan 4 isolat
adalah genus Trichoderma dan 2 isolat adalah genus Aspergilus.
Daftar Pustaka
Anonim. 2013. Perkembangan Tanaman di Sumatera Barat pada Tahun 2012.
Laporan Tahunan. Padang.
Anonim. 2014. Produk Ekspor Pertanian Indonesia. <http: // www.bps.go.id>.
Diakses 02 April 2014.
Habazar, T. 2005. Pemanfaatan dan Pengembangan Bakteri Sebagai Agens
Pengendali Hayati. Makalah dalam Pelatihan Pertanian Berkelanjutan,
Padang 16-19 November 2005. Padang.
Nasir, N. dan Jumjunidang. 2002. Strategi Jangka Pendek Menahan Laju
Perluasan Serangan Penyakit Layu Pisang. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Pengendalian Penyakit Layu Pisang, Padang 22-23
Oktober 2002. Padang. 10 hal.
Ploetz, RC. 1994. Banana: Compendium of Tropical Fruit Disease. Minnesota: The
American Phytopathology Society Press.
Purwantisari, S dan Rini BH. 2009. Isolasi dan Identifikasi Jamur Indigenus
Rhizosfir Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa
Pakis, Magelang. Jurnal BIOMA 11:43-53.
Purwanto, R. 2008. Peranan Mikroorganisme Endofit sebagai Penghasil Antibiotik.
Smart Ekselensia. Jakarta.
Sariani. 2010. Keragaman Cendawan Antagonis pada Rhizosfir Kentang dan Uji
Efektifitasnya Terhadap Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum)
secara in vitro. Universitas Hasanuddin. Skripsi.
Semangun, H. 2005. Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Strobel, G.A. 2003. Endophytes as sources of bioactive products. Journal of Natural
Products 66:127-138.
Strobel, G.A. 2004. Natural products from endophytic microorganism. Journal of
Natural Products 67:257-268.
Sudantha, IM. dan Ernawati, NML. 2012. Peran Jamur Endofit Trichoderma sp.
untuk Meningkatkan Ketahanan Terinduksi Bibit Pisang Terhadap Penyakit
Layu Fusarium. Jurnal Agroteksos 22 : 79-90.
Trisno, J. Adrinal dan Liza, EY. 2014. Keragaman Jamur Rhizosfir dan
Potensinya sebagai Biokontrol Jamur Fusarium oxysporum Penyebab
Penyakit Layu Tanaman Krisan (Chrysantemum sp). Makalah dalam
semiloka FKPTPI, Padang 8 – 10 September 2014. Padang.
313
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGARUH PUPUK HAYATI TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT
LAYU FUSARIUM PADA TOMAT
Marlina Puspita Sari1, Bambang Hadisutrisno2, Arif Wibowo2
1)
Mahasiswa Program Studi Fitopatologi Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada
2)
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pupuk hayati
Omega dalam menghambat pertumbuhan vegetatif Fusarium oxysporum f.sp.
lycopersici dan menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat.
Pupuk hayati Omega merupakan hasil samping dari produksi jamu yang
berbahan dasar tanaman obat dan rempah-rempah. Pupuk hayati ini banyak
mengandung unsur hara mikro dan makro, nutrisi serta mikroorganismemikroorganisme yang menguntungkan bagi tanaman. Dalam penelitian ini
dilakukan dua pengujian yaitu : uji in vitro dan uji in vivo. Uji in vitro dilakukan
dengan menambahkan 1 ml pupuk hayati Omega, fungisida Mankozeb (Dithane
M-45) atau air steril dalam 9 ml PDA yang digunakan untuk menumbuhkan
Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici. Pada uji in vivo, inokulasi dilakukan
dengan metode perendaman akar sebelum bibit dipindah tanam dengan
kerapatan suspensi Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici 106 sel/ml. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pupuk hayati Omega berpengaruh terhadap
pertumbuhan vegetatif Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dan
perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Pertumbuhan vegetatif
Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada medium yang ditambah dengan
pupuk hayati Omega jauh lebih lambat apabila dibandingkan dengan perlakuan
lain. Secara in vivo, tomat yang diperlakukan dengan pupuk hayati Omega
menunjukkan intensitas penyakit dan laju perkembangan penyakit layu
Fusarium yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan perlakuan lain.
Intensitas penyakit layu Fusarium pada tomat yang diinokulasi Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersici tanpa diperlakukan dengan pupuk hayati Omega
maupun fungisida kimia, menunjukkan intensitas penyakit layu Fusarium
tertinggi, mencapai 32,29 % pada minggu ke-9.
Kata kunci : tomat, Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici, pupuk hayati
Pendahuluan
Tomat memiliki nilai ekonomi tinggi dan khasiat untuk
kesehatan.Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal
Hortikultura telah terjadi penurunan produksi tomat pada beberapa provinsi di
314
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Indonesia dalam selang tahun 2008-2012. Salah satu penyakit utama yang
menurunkan hasil produksi tomat adalah layu Fusarium, yang disebabkan oleh
jamur Fusarium oxysporumf.sp. lycopersici (Christopher et al., 2010).
Pengendalian yang sering dilakukan adalah dengan fungisida kimia, akan tetapi
penggunaan bahan kimia secara terus-menerus berdampak negatif terutama
bagi lingkungan. Pertanian organik mulai banyak diminati karena lebih aman
dan ramah lingkungan. Berbagai pupuk organik dan pupuk hayati mulai banyak
bermunculan sebagai alternatif pengganti pupuk kimia dan pestisida kimia
(Paryono et al., 2012). Pupuk hayati Omega yang diproduksi oleh PT
Sidomuncul sudah diakui sebagai pupuk hayati, dan perlu dikaji potensinya
untuk menekan berbagai patogen utama. Pupuk hayati Omega mengandung
berbagai nutrisi dan mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman (Anonim,
2013). Kandungan nutrisi dan mikroorganisme pada pupuk hayati Omega selain
dapat menambah nutrisi dalam tanah juga berpotensi sebagai agens
pengendali hayati yang dapat menekan perkembangan penyakit layu Fusarium
pada tomat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pupuk
hayati Omega dalam menghambat pertumbuhan vegetatif jamur Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersicidan mengetahui kemampuan pupuk hayati Omega
dalam menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat.
Bahan dan metode
A. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pupuk hayati
Omega yang diperoleh dari PT. Sidomuncul Semarang, fungisida berbahan
aktif Mankozeb (Dithane M-45) , air steril, Potato Dextrose Agar, tanah steril,
bibit tomat kultivar dataran rendah Diana, isolat Fusarium oxysporum f.sp.
lycopersici (Fol) asal Temanggung.Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah cawan petri, lampu bunsen, pipet ukur, tabung erlenmeyer, autoklaf,
dan pot plastik berdiameter 16 cm.
B. Tata Laksana Penelitian
Penelitian ini terdiri atas penelitian in vitro, yaitu pengujian pupuk hayati
sebagai penghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici
dan in vivo, berupa peran pupuk hayati dalam menekan perkembangan
penyakit layu Fusarium pada bibit tomat.
1. Pengujian pupuk hayati sebagai penghambat pertumbuhan jamur Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersici
Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian pupuk hayati
sebagai penghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp.
lycopersiciadalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan, tiap-
315
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
tiap perlakuan terdapat 10 ulangan. Inokulum yang digunakan adalah biakan
murni Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici (Fol) asal Temanggung yang
berumur 2 minggu dalam cawan petri. Mula-mula dipersiapkan 9 ml PDA dalam
tabung reaksikemudian ditambahkan 1 ml larutan pupuk hayati Omega
konsentrasi 2,5 ml/l (A), larutan fungisida mankozeb konsentrasi 2 g/l (B) atau
air steril (perlakuan kontrol/C) lalu dihomogenkan dengan vortex. Setelah
homogen medium dituang ke dalam cawan petri dan ditunggu hingga memadat.
Pada biakan murni jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dibuat
lubang dengan menggunakan bor gabus berdiameter 0,5 cm, kemudian
inokulum berupa potongan agar beserta miselium berdiameter 0,5 cm tersebut
diletakkan pada pusat agar plate yang telah diberi perlakuan A, B atau C
(Mohana & Ravessha, 2007). Diameter koloni Fusarium oxysporum f.sp.
lycopersici pada masing-masing perlakuan diukur setiap hari mulai 1 hari
setelah inokulasi hingga hari ke 7, atau sampai salah satu koloninya telah
mencapai pinggir cawan petri. Hasil pengamatan dibandingkan satu sama lain.
2. Pengujian peran pupuk hayati Omega dalam menekan perkembangan
penyakit layu Fusarium pada tomat
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan, tiap-tiap perlakuan terdapat 16 ulangan.
Penelitian ini dilakukan di rumah kasa Condongcatur Sleman (113 m dpl)
dengan suhu rata-rata bulanan 25,8oC.
Inokulasi dilakukan dengan metode perendaman akar sebelum bibit
dipindah tanam. Inokulum yang digunakan adalah suspensi konidium Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersici
dengan kerapatan yang diatur hingga 106
konidium/ml. Inokulasi ke bibit tomat berumur 3 minggu, dilakukan pada pukul
17.00 (Hadisutrisno,1995). Akar bibit tomat dibersihkan, dipotong sehingga
tinggal 1-2 cm, selanjutnya direndam selama 30 menit dalam suspensi
konidium atau air steril (sesuai perlakuan) kemudian ditanam dalam pot
berdiameter 16 cm.
Macam perlakuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
P01 : Tanaman tidak diinokulasi dengan Fol (Perlakuan kontrol negatif)
P02 : Tanaman diinokulasi dengn Fol (Perlakuan kontrol positif)
P1 : Tanaman diinokulasi Fol dan diberi pupuk hayati Omega
P2 : Tanaman diinokulasi Fol dan diperlakukan dengan fungisida berbahan
aktif mankozeb (Dithane M-45)
Penyemprotan tanaman baik dengan pupuk hayati Omega maupun
fungisida Mankozeb dilakukan satu minggu sekali dengan konsentrasi larutan
pupuk Omega adalah 2,5 ml/L dan konsentrasi larutan fungisida mankozeb
adalah 2 g/l. Dosis pupuk hayati Omega adalah 35 ml/25 pot sedangkan dosis
fungisida Mankozeb adalah 12,5 ml/25 pot. Pengamatan yang dilakukan
316
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
meliputi tinggi tanaman, jumlah daun dan intensitas penyakit layu Fusarium
yang diamati dengan metode skoring.
Hasil pengamatan dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA) dan
apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan Uji DMRT (Duncan’s New
Multiple Range Test) pada derajat kepercayaan 95 %.
Hasil dan pembahasan
A. Pengaruh pupuk hayati Omega terhadap pertumbuhan Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersici
Hasil pengamatan pengaruh pupuk hayati Omega terhadap
pertumbuhan F. oxysporum f.sp. lycopersici secara in vitro disajikan dalam
Tabel 1 dan Gambar 1.
Tabel 1 Diameter koloni Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada hari ke-7
Perlakuan
Diameter Koloni (cm)
A (Pupuk Hayati Omega)
2,05 b
B (Fungisida Mankozeb)
2,59 b
C (Kontrol)
7,04 a
Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada derajat kepercayaan 95 %
Tabel 1 menunjukkan bahwa diameter koloni jamur F. oxysporum f.sp.
lycopersici pada medium yang diberi pupuk hayati Omega lebih kecil
dibandingkan dengan kontrol dan medium yang diberi fungisida kimia berbahan
aktif Mankozeb. Berdasarkan hasil analisis dengan DMRT pada derajat
kepercayaan 95 %, terdapat perbedaan yang nyata antara diameter koloni
jamur F.oxysporumf.sp. lycopersici pada medium yang diberi pupuk Omega
dengan diameter koloni jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici pada perlakuan
kontrol. Tampak bahwa pertumbuhan vegetatif jamur F. oxysporum f.sp.
lycopersici pada medium PDA yang ditambah dengan pupuk hayati Omega
terhambat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme
yang terkandung dalam pupuk hayati Omega, di antaranya Pseudomonas
fluorescens.
Menurut
Soesanto (2008),
Pseudomonas
fluorescens
mampumenghasilkan metabolit sekunder berupa siderofor dan beberapa
senyawa antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan patogen.
Berdasarkan hasil uji DMRT, diameter koloni jamur pada medium yang
diberi pupuk hayati Omega tidak berbeda nyata dengan diameter koloni jamur
pada medium yang diberi fungisida kimia berbahan aktif mankozeb (Dithane M45), hal ini menunjukkan bahwa pupuk hayati Omega memiliki kemampuan
yang setara dengan fungisida kimia berbahan aktif Mankozeb dalam
menghambat pertumbuhan F. oxysporum f.sp. lycopersici secara in vitro.
317
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan miselium Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersici selama 7 hari pada perlakuan kontrol jauh lebih
cepat dibandingkan pada perlakuan pupuk hayati Omega dan fungisida
berbahan aktif Mankozeb. Hal ini menunjukkan bahwa secara in vitro, pupuk
hayati Omega dapat menghambat pertumbuhan vegetatif jamur F. oxysporum
f.sp. lycopersici, namun hasil ini perlu dikaji lagi melalui aplikasi langsung pada
tomat melalui uji in vivo.
+ Mankozeb
Kontrol
+Omega
Gambar 1 Penghambatan pertumbuhan vegetatif Fusarium oxysporum f.sp.
lycopersici pada berbagai perlakuan
B. Pengaruh pupuk hayati Omega terhadap perkembangan penyakit layu
Fusarium pada tomat
Hasil pengamatan pengaruh pupuk hayati Omega terhadap
perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat disajikan dalam Tabel 2 dan
Gambar 2.
Tabel 2 Rerata intensitas penyakit layu Fusarium pada minggu ke-9
Perlakuan
Intensitas Penyakit (%)
P01 : Kontrol negatif
18.32 bc
P02 : Kontrol positif
32.29 a
P1 : Pupuk Omega
11.71 c
P2 : Fungisida Dithane
24.78 ab
Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada derajat kepercayaan 95 %
318
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pada Tabel 2 tampak bahwa tomat yang diinokulasi dengan F.
oxysporum f.sp. lycopersici dan diperlakukan dengan pupuk Omega (P1)
memiliki intensitas penyakit layu Fusarium paling rendah dibandingkan dengan
perlakuan-perlakuan lain. Kandungan pupuk hayati Omega khususnya
kandungan mikroorganisme memegang peranan utama dalam penekanan laju
perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Pupuk hayati Omega
sangat kaya akan kandungan mikroorganisme, di antaranya Azotobacter
chroococcum, Azospirillum lipoferum, Aspergillus niger, Lactobacillus
acidophilus, Pseudomonas fluorescens dan Cellulomonas cellulans (Anonim,
2013). Menurut Soesanto (2008) Pseudomonas fluorescens mampu
menghasilkan metabolit sekunder berupa siderofor, pterin, pirol, penazin dan
beberapa senyawa antibiotik yang berperan secara langsung atau hanya
menghambat pertumbuhan patogen. Beberapa di antaranya berperan sebagai
anti jamur, seperti asam fenazin-l-karboksilat (PCA) dan HCN yang bersifat
toksin terhadap jamur patogen.
Selain kandungan mikroorganisme, pupuk hayati Omega juga
mengandung unsur-unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman,
diantaranya unsur N, P dan K (Anonim, 2013). Hal inilah yang menyebabkan
intensitas penyakit layu Fusarium yang diperlakukan dengan pupuk hayati
Omega lebih rendah dibandingkan laju infeksi penyakit layu Fusarium pada
perlakuan lain. Selain itu kandungan nutrisi dan mikroorganisme pada pupuk
hayati Omega mampu membuat tomat dapat tumbuh dengan sehat, tanaman
yang sehat lebih tahan terhadap infeksi jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici
penyebab penyakit layu Fusarium.
Pada tomat yang tidak diinokulasi F. oxysporum f.sp. lycopersici,
terdapat tomat yang bergejala layu Fusarium meskipun tanah yang digunakan
sudah disterilkan terlebih dahulu dengan uap panas. Intensitas penyakit layu
Fusarium pada tomat yang tidak diinokulasi F. oxysporum f.sp. lycopersici ini
rendah sehingga tidak terlalu berpengaruh.Kemunculan gejala layu Fusarium ini
mungkin disebabkan oleh adanya jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici yang
masih bertahan dalam tanah yang sudah disterilkan. Menurut Sastrahidayat
(1990), F.oxysporum f.sp. lycopersici dapat bertahan lamadalam tanah,
sehingga tanah yang sudah terinfestasi sukar dibebaskan kembali dari jamur
ini. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan F. oxysporum f.sp. lycopersici
mampu membentuk struktur tahan berupa klamidiospora yang dapat bertahan
pada kondisi ekstrim seperti suhu tinggi (Semangun, 2007).
Pada tomat yang diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. lycopersici tanpa
diberi perlakuan apapun (Gambar 2 P02) banyak yang layu dan mati karena
penyakit layu Fusarium. Pada tomat yang diinokulasi F. oxysporum f.sp.
lycopersici dan diperlakukan dengan fungisida kimia berbahan aktif mankozeb
(Gambar 2 P1) pertumbuhannya kurang baik, banyak tanaman yang bergejala
layu Fusarium dan terdapat tanaman yang mati. Hal ini menunjukkan bahwa
319
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
penggunaan fungisida kimia berbahan aktif Mankozeb untuk menekan
perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat masih kurang efektif . Hal ini
sejalan dengan pernyataan Soesanto (2008) yang mengemukakan bahwa
penggunaan fungisida kimia belum mampu mengendalikan patogen yang dapat
membentuk struktur tahan seperti F. oxysporum f.sp. lycopersici.
P01
P02
P1
P2
Gambar 2 P01: Tomat tanpa diinokulasi Fol (Kontrol negatif), P02 : Tomat
diinokulasi Fol (Kontrol positif), P1 : Tomat diinokulasi Fol dan
diperlakukan dengan pupuk hayati Omega, P2 : Tomat diinokulasi
Fol dan diperlakukan dengan fungisida kimia
Kesimpulan
1. Pupuk hayati Omega mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersici secara in vitro.
2. Pemberian pupuk hayati Omega dapat memperlambat kemunculan gejala
penyakit layu Fusarium pada tomat yang diinokulasi F. oxysporum f.sp.
lycopersici.
3. Pupuk hayati Omega dapat menekan perkembangan penyakit layu
Fusarium pada tomat yang sudah diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp.
lycopersici.
Daftar pustaka
Anonim. 2013. Company Profile PT Sidomuncul Pupuk Nusantara. PT
Sidomuncul Pupuk Nusantara, Semarang.
Christopher , R. D. J., R. T. Suthin, S. Usha & R. Udhayakumar. 2010. Role of
Defense Enzymes Activity in Tomato as Induced by Trichoderma virens
320
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Against Fusarium Wilt Caused by Fusarium oxysporum f sp.
lycopersici. Journal of Biopesticides 3: 158 – 162.
Hadisutrisno, B. 1995. Pengendalian Hayati Penyakit Busuk Batang Vanili.
Buletin Azolla 2: 15-21.
Mohana, D. C. & K. A. Raveesha. 2007. Anti-fungal Evaluation of Some Plant
Extracts Against Some Plant Pathogenic Field and Storage Fungi.
Journal of Agricultural Technology 4 : 119-137.
Paryono, T. J., Samijan, A. Sahru & S. Sisca. 2012. Pertanian Organik
(Persyaratan, Budidaya dan Sertifikasi). Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Jawa Tengah.
Sastrahidayat, I. R. 1990. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya.
Semangun, H. 2007. Penyakit – Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia
(edisi Kedua). Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Soesanto.L.2008.Pengantar pengendalian hayati penyakit tanaman, Suplemen
ke Gulma dan Nematoda. Rajawali Press, Jakarta.
321
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KAJIAN EKOLOGI Mycosphaerella musicola JAMUR PENYEBAB
PENYAKIT SIGATOKA PADA TANAMAN PISANG SECARA IN VITRO
Rabiyatul Adauwiyah1, Mariana2, Ismed Fachruzi3
1
Prodi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian UNLAM
Prodi Ilmu Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian UNLAM
3
Prodi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNLAM
Email : [email protected]
2
Abstrak
Tanaman pisang dapat terserang hama dan patogen tanaman. Penyakit
bercak daun sigatoka merupakan penyakit yang harus diwaspadai karena dapat
menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas buah pisang. Hingga sekarang
penyakit ini masih kurang mendapat perhatian, padahal Mycosphaerella
musicola merupakan patogen tanaman yang menyebabkan buah matang
sebelum waktunya, menghasilkan buah yang kecil dan pematangan buah yang
tidak seragam. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati
Fakultas Pertanian UNLAM Banjarbaru, untuk mengetahui pengaruh ekologi
(suhu, pH media, dan lama penyinaran) terhadap pertumbuhan Mycosphaerella
musicola secara in vitro. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan. Perlakuan yang diuji adalah
suhu (15o C, 20 o C, 25 o C, 30 o C, dan 35 o C), pH media (4,5,6,7, dan 8), dan
lama penyinaran (24 jam gelap, 24 jam terang, dan 12 jam terang 12 jam
gelap), dengan parameter pengamatan berupa pertumbuhan koloni jamur.
Analisis regresi polynomial menunjukkan bahwa M. musicola dapat tumbuh
dengan baik pada suhu optimal 24,5 oC dengan predeksi kisaran suhu optimal
22,1oC-27oC. Toleransi suhu pertumbuhan 20oC-30oC. pH media optimal 5,6
dengan prediksi kisaran pH optimal 5,04-6,16. Toleransi pH pertumbuhan 4-8.
Penyinaran tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan.
Kata kunci : ekologi, Mycosphaerella musicola, pisang
Pendahuluan
Pada tahun 2009 hingga 2010 produksi pisang di Indonesia turun hingga
618.460 ton (Anonim, 2012), sedangkan di Kalimantan Selatan produksi pisang
turun hingga 26.890 ton pada tahun 2009-2011(Anonim, 2012). Penurunan
produksi ini disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya serangan hama dan
patogen pada tanaman. Salah satu penyakit pada tanaman pisang di Indonesia
yang menyebabkan kerugian dan harus diwaspadai adalah penyakit bercak
daun sigatoka. Menurut Hermanto (2012), serangan penyakit sigatoka sebesar
12% dari seluruh hama dan penyakit utama pada tanaman pisang di Indonesia.
Walaupun demikian, penyakit ini hingga sekarang masih kurang mendapat
322
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
perhatian. Penyakit bercak daun sigatoka ini menyebabkan tanaman
meranggas, rusak dan mati, serta dapat berakibat kehilangan hasil, karena
fungsi daun dalam fotosintesis terganggu. Gangguan fotosintesis
menghasilkan buah yang kecil-kecil, pemasakan buah tertunda, dan
menyebabkan buah jatuh akibatnya produksi (kualitas dan kuantitas) menjadi
menurun, buah masak sebelum waktunya, bahkan pada serangan berat
mengakibatkan kematian tanaman (Carlier, 2000).
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui toleransi suhu pertumbuhan dan suhu optimal
Mycosphaerella spp secara in vitro.
2. Menentukan toleransi pH media dan optimal untuk pertumbuhan
Mycosphaerella spp. secara in vitro.
3. Mengetahui penyinaran optimal untuk pertumbuhan Mycosphaerella spp.
secara in vitro
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktor
tunggal, yang terdiri dari tiga perlakuan yaitu suhu (20 oC, 25 oC, 30 oC, 35 oC,
40 oC), cahaya (24 jam terang, 24 jam gelap, 12 jam terang dan 12 jam gelap),
dan pH media (4, 5, 6, 7, 8). Isolat Mycosphaerella sp. didapat dari daerah
yang berlahan rawa.
1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi dan
Laboratorium Pengendalian Hayati Fakultas Pertanian Universitas Lambung
Mangkurat Banjarbaru, mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan April
2014.
2. Pelaksanaan penelitian
a. Pengujian cendawan Mycosphaerella sp.
1. Suhu
Pengujian pengaruh temperatur pada ekologi Mycosphaerella
musicola., dilakukan dengan melakukan inkubasi isolat M. musicola.,
dalam cawan petri, pada inkubator dengan perlakuan suhu antara 15°C35°C dengan interval suhu 5°C (15oC, 20oC, 25oC, 30oC, 35oC).
2. Cahaya
Pengujian pengaruh cahaya terhadap ekologi Mycosphaerella
musicola dilakukan dengan perlakuan terang 24 jam, gelap 24 jam dan
gelap 12 jam, terang 12 jam. Pengamatan terhadap perkembangan
323
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
diameter isolat jamur tiap 24 jam sekali selama 15 hari pada suhu
ruangan 28oC-30oC.
3. pH media
Pengujian pengaruh pH (konsentrasi) dilakukan dengan
melakukan perubahan kondisi medium PDA sebagai perlakuan, yaitu pH
4, 5, 6, 7, dan 8 dengan melakukan penambahan 0,1 M HCl untuk
menurunkan pH dan 0,1 M NaOH untuk menaikkan pH. Pengamatan
terhadap perkembangan diameter pertumbuhan isolat jamur setiap 24
jam sekali selama 15 hari pada suhu ruang 28-30oC.
3. Parameter Pengamatan
Pengamatan ini dilakukan dengan mengamati pertumbuhan dan
perkembangan
Mycosphaerella
musicola.
Pengamatan
terhadap
perkembangan isolat jamur dilakukan dengan mengamati perkembangan
diameter pertumbuhan jamur setiap 24 jam sekali selama 15 hari di dalam
cawan petri yang berukuran 9 cm, pengamatan ini dilakukan dengan
menggunakan jangka sorong/penggaris dan kaca pembesar.
4. Analisis Data
Analisis pengaruh suhu, cahaya, dan pH media terhadap perkembangan
Mycosphaerella musicola dengan hasil pengamatan yang sudah dilakukan
selama 15 hari. Untuk mengetahui hubungan antara 3 percobaan tersebut
diteruskan dengan uji Regresi Linear Sederhana.
Hasil dan pembahasan
Hasil pengamatan pertumbuhan koloni jamur Mycosphaerella musicola
pada media PDA pada perlakuan pH, suhu, dan lama penyinaran yang diamati
selama 15 hari menunjukkan respon yang berbeda (Gambar 9, 10, 11). Hasil
analisis regresi menunjukkan bahwa perlakuan suhu (Gambar 9) dan pH
(Gambar 10) memiliki hubungan yang kuat (r = lebih dari 0,5) terhadap
pertumbuhan Mycosphaerella musicola, namun cahaya (Gambar 11) memiliki
hubungan yang lemah (r = kurang dari 0.5).
324
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
A. Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Jamur Mycosphaerella
musicola.
10
8
diamerer koloni
(cm)
6
4
2
y = -0,026x2 + 1,279x - 12,23
y = -0,067x
3,295x - 33,04
R² 2=+0,727
R² = 0,822
y = -0,070x2 + 3,426x - 34,27
R² = 0,814
y = -0,060x2 + 2,944x - 29,46
R² = 0,829
y = -0,057x2 + 2,782x - 27,77
R² = 0,829
y = -0,047x2 + 2,314x - 22,97
R² = 0,837
y = -0,051x2 + 2,519x - 25,06
R² = 0,833
y = -0,034x2 + 1,677x - 16,47
R² = 0,847
y = -0,018x2 + 0,877x - 8,3
R² = 0,745
y = -0,075x2 + 3,678x - 36,92
R² = 0,821
y = -0,076x2 + 3,740x - 37,42
R² = 0,832
y = -0,073x2 + 3,575x - 35,83
R² = 0,820
y = -0,064x2 + 3,159x - 31,65
R² = 0,826
y = -0,041x2 + 1,996x - 19,67
R² = 0,839
pengamatan hari ke-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0
0
5
10
15
y = -0,003x2 + 0,183x - 1,345
R² = 0,345
-2
20
25
30
35
40
suhu (o)
Gambar 1. Kurva pertumbuhan Mycosphaerella musicola dengan perlakuan suhu selama 15 hari
pengamatan.
Suhu perlakuan minimal adalah suhu 15 oC dan suhu perlakuan
maksimal adalah 35 oC. Suhu minimal untuk pertumbuhan koloni M. musicola
terjadi pada suhu 15 oC dan 35 oC dengan suhu maksimal pertumbuhan jamur
yaitu 25 oC. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan
regresi sehingga diperoleh hasil prediksi suhu optimum dengan suhu 24,5 oC,
dengan variasi 10 % kisaran suhu dari 22,05 oC sampai 26,95 oC. Sedangkan
toleransi pertumbuhan M. musicola berkisar antara suhu 16 oC sampai 32,5 oC.
Menurut Day (1974); Garraway dan Evans (1984); Alexopoulus et al. (1995),
suhu merupakan faktor lingkungan abiotik yang terpenting karena dapat
mempengaruhi setiap fungsi kehidupan. Cochrane cit. Horsfall dan Cowling
(1979), Mo Young cit. Budi (2009) menyatakan suhu mempengaruhi
325
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
pertumbuhan jamur, karena secara fisiologis suhu dapat mempengaruhi
aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim dan sintesis asam amino, dinding
sel, transportasi substrat, serta komponen dalam selnya. Menurut Bilgrami dan
Vermi (1981) sebagian besar enzim berfungsi dalam mitokondria, aktifitas enzim
ini dipengaruhi oleh kondisi suhu. Mitokondria merupakan tempat untuk
respirasi sel, pada saat respirasi tersebut dihasilkan energi yang akan
digunakan untuk pertumbuhan M. musicola.
B. Pengaruh pH Terhadap Pertumbuhan Jamur Mycosphaerella musicola.
10
9
8
7
diameter koloni
(cm)
pengamatan hari ke-
y = -0,275x2 + 2,77x + 1,57
R² = 0,688
y = -0,387x2 + 4,192x - 3,175
R² = 0,712
y = -0,348x2 + 3,751x - 2,384
R² = 0,748
y = -0,437x2 + 5,017x - 7,89
R² = 0,751
y = -0,385x2 + 4,568x - 9,074
R² = 0,741
y = -0,532x2 + 6,145x - 11,66
R² = 0,888
y = -0,239x2 + 2,771x - 5,360
R² = 0,791
y = -0,042x2 + 0,529x - 0,427
R² = 0,112
6
5
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
y = -0,201x2 + 1,928x + 4,159
R² = 0,633
y = -0,298x2 + 3,116x + 0,110
R² = 0,661
y = -0,378x2 + 4,177x - 4,006
R² = 0,672
y = -0,437x2 + 4,932x - 6,89
R² = 0,775
y = -0,494x2 + 5,783x - 11,44
R² = 0,842
y = -0,283x2 + 3,374x - 6,763
R² = 0,779
4
3
2
y = -0,185x2 + 1,723x + 4,745
R² = 0,626
1
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
pH
Gambar 2. Kurva pertumbuhan Mycosphaerella musicola dengan perlakuan pH selama 15 hari
pengamatan.
326
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pada penelitian ini pH minimum perlakuan yaitu pH 4, dan pH maksimum
perlakuan yaitu 8. pH minimum pertumbuhan koloni M. musicola terjadi pada
pH 7 dan 8, sedangkan pH pertumbuhan maksimal jamur yaitu 5. Berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan persamaan regresi diperoleh hasil prediksi
pH optimum dengan pH 5.6, dengan variasi 10 % kisaran pH 5,04 sampai 6,16.
Sedangkan toleransi pertumbuhan M. musicola yaitu berkisar antara pH 4
sampai 8. Menurut Fardiaz (1987), jamur lazimnya dapat berkembangbiak
dengan baik pada media yang mengandung karbohidrat tinggi dengan kisaran
pH antara 5-6. Sarles et al. cit. Pratomo (2006) menambahkan, semua jenis
jamur mempunyai pH optimum, di mana mereka dapat tumbuh baik, pH
minimum di mana sebagian besar reaksinya asam dan jamur akan tumbuh, dan
pH maksimum di mana sebagian besar reaksinya alkali atau basa yang
memungkinkan jamur tumbuh (Carlile et al. 2001).
327
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
C. Pengaruh Lama
Penyinaran
Mycosphaerella musicola.
Terhadap
Pertumbuhan
Jamur
Pengamatan hari ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
10
y = -0,066x2 + 0,283x + 7,483
R² = 0,001
9
y = 0,05x + 7,25
R² = 0,001
diameter koloni
(cm)
8y = -0,033x2 + 0,25x + 6,333
R² = 0,017
y = -0,1x2 + 0,566x + 5,5
7
R² = 0,052
y = -0,075x2 + 0,508x + 4,866
R² = 0,101
6
y = -0,308x2 + 1,325x + 3,433
R² = 0,125
y5= -0,075x2 + 0,425x + 3,35
R² = 0,099
y = -0,05x2 + 0,316x + 2,733
4
R² = 0,114
y = -0,291x2 + 1,158x + 1,266
R² = 0,301
y3= 0,066x2 - 0,283x + 1,4
R² = 0,25
2
1
0
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
lama penyinaran
ket : 1 = 24 jam terang, 2 = 24 jam gelap, 3 = 12 jam terang, 12 jam gelap
Gambar 3.
Kurva pertumbuhan Mycosphaerella musicola dengan perlakuan lama
penyinaran dari hari ke 11-15 hari pengamatan.
Hasil penelitian yang didapat dengan melihat persamaan regresi,
pertumbuhan koloni M. musicola tidak dipengaruhi oleh lamanya penyinaran.
Hal ini dinyatakan dari persamaan yang dilihat dari nilai R2 = 0.087, yang
menunjukkan keeratan hubungan tersebut sangat lemah. Menurut Cooke cit.
Budi (2009) hal ini terjadi karena adanya perbedaan sensitifitas dari jamur
terhadap adanya penyinaran. Pada penelitian ini terbukti bahwa jamur M.
musicola tidak sensitif dengan adanya cahaya yang diberikan.
Lama
penyinaran berpengaruh terhadap kehidupan jamur, karena lama penyinaran
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hifa dan sporangiofor yang
328
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
bersifat fototropisme dan fototaksis, akibat dari terpengaruhnya fotoreseptor
yang ada dalam sel jamur.
Menurut Moore L (1972) cahaya berpengaruh terhadap proses infeksi,
sporulasi, pelepasan spora, serta penyebaran spora. Banyak patogen yang
memerlukan cahaya dengan gelombang tertentu untuk bersporulasi dan untuk
pelepasan sporanya. Radiasi cahaya mempunyai peranan bagi perkembangan
epidemi dan biologi patogen. Siklus hidup patogen dapat berubah dengan
berubahnya periode cahaya terang dan gelap. Infektivitas konidia beberapa
patogen dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Jamur dapat dipengaruhi oleh
cahaya dalam beberapa cara yaitu, cahaya dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan, kapasitas sintesa pada jamur, mempengaruhi pembentukan
struktur reproduktif, cahaya dapat pula mengontrol pergerakan phototropik dari
struktur reproduksi.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas maka didapat kesimpulan
sebagai berikut :
1. Suhu optimal pertumbuhan M. musicola yaitu 24,5 °C, dengan kisaran
suhu optimal antara 22,05 °C - 26.95 °C. Toleransi suhu pertumbuhan M.
musicola yaitu 16 °C - 32.5 °C.
2. pH optimal pertumbuhan M. musicola yaitu 5.6, dengan pH optimal yaitu
berkisar antara 5.04 – 6.16. Toleransi pH pertumbuhan M. musicola yaitu
berkisar antara 4-8.
3. Lama penyinaran terbaik untuk pertumbuhan M. musicola yaitu terjadi
pada perlakuan dengan menggunakan 24 jam gelap, lama penyinaran
tidak berhubungan dengan pertumbuhan M. musicola.
Daftar pustaka
Alexopoulos C.J., C.W Mims, dan M. Blackwell 1996. Introductory Mycology 4th
Ed. Canada: John Wiley & Sons,Inc.
Budi I. S. 2009. Pertumbuhan Isolat Asal Lahan Pasang Surut Batola Sebagai
Agens Penyebab Penyakit Batang Kenaf (Hibiscus cannabinus L.).
Jurnal Entomologi Kalimantan 3 :21-31.
Bilgrami, K.S. and R.N. Verma. 1981. Physiology of fungi. Vikas Publ. House
PVT Ltd.
Carlile M.J., S.C. Watkinson, and G.W. Goodway. 2001. The Fungi. London:
Academic Press.
Day, P.R. 1974. Genetic of Host Parasite Interaction. W.H Freeman and Coand
Co S.F.
Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: Lembaga
Sumberdaya Informasi- Institut Pertanian Bogor.
329
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Garraway M.O. and R.C. Evans. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. New
York: John Wiley and Sons.
Horsfall, J.G. and E.B Cowling. 1979. Plant Disease : An Advance Treatise.
Acad. Press. N. Y.
Moore E, Landecker. 1972. Fundamentals of The Fungi. New Jersey: PrenticeHall, Inc.
Pratomo, R. 2006. Pengaruh Macam, pH, dan Penggoyangan Media Terhadap
Pertumbuhan Cendawan Rhizoctonia sp. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Skripsi
330
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENYAKIT VIRUS BUNCHY TOP PADA TANAMAN PISANG,
VIRULENSI DAN CARA PENGENDALIANNYA
Yulianto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Ungaran
Kotak Pos 101 Ungaran 50501
Abstrak
Penyakit bunchy top (penyakit kerdil, penyakit pucuk menjurai) pada
tanaman pisang yang disebabkan oleh “Banana Bunchy Top Virus (BBTV)”
adalah salah satu penyakit utama yang sangat virulen dan merugikan. Di
Indonesia penyakit bunchy top tergolong “baru”, karena pertama kali dilaporkan
keberadaannya pada tahun 1970an di Cimahi dan Padalarang Jawa Barat.
Saat ini penyakit bunchy top telah tersebar di sentra-sentra penghasil pisang di
Indonesia. Penyakit bunchy top mudah dikenali karena tanaman yang sakit
menjadi kerdil. Gejala penyakit diawali dengan terbentuknya garis-garis pendek
berwarna hijau tua yang terputus-putus diselingi titik-titik sehingga seperti kode
Morse. Gejala tersebut terdapat di antara dan sejajar tulang-tulang daun
sekunder. Kadang-kadang jika daun diterawangkan, tulang-tulang daun tampak
transparan (vein clearing). Daun-daun muda yang muncul kemudian tumbuh
tegak, kaku, lebih pendek, lebih sempit, dengan tangkai daun lebih pendek dari
pada yang normal. Pada sepanjang tepi daun terjadi khlorosis (menguning),
mengering, dan daun menjadi rapuh dan mudah patah. Tanaman yang sakit
parah menjadi terhambat pertumbuhannya dan daun-daun membentuk roset
pada ujung batang semunya. Jika infeksi telah terjadi ketika tanaman masih
muda, tanaman menjadi kerdil dan tidak berbuah. Penyakit ini menyebar hingga
jauh ke tempat lain melalui bibit-bibit tanaman pisang yang dijual dan diambil
dari rumpun yang telah terinfeksi. Virus penyebab penyakit bunchy top
ditularkan melalui serangga aphis Pentalonia nigronervosa Coq. sebagai
vektornya. Inang alternatif virus bunchy top adalah abaca (Musa textiles),
Heliconia spp., dan Canna spp. Cara pengendalian penyakit bunchy top yang
dianjurkan adalah: a) sanitasi kebun dan memusnahkan (eradikasi) tanaman
inang, b) menanam bibit sehat dan tidak berasal dari rumpun sakit, c)
membongkar rumpun sakit dan mencacahnya agar tidak ada tunas yang hidup,
d) pengendalian serangga vektor, e) pemanfaatan musuh alami serangga
vektor, f) sosialisasi cara pengendalian ke semua pihak yang terlibat dalam
pengembangan komoditas pisang. Jenis-jenis pisang yang rentan terhadap
penyakit bunchy top adalah: cavendis, muli, janten, ambon, raja sere, raja
331
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
nangka, kepok, dan lilin. Sedangkan jenis-jenis yang tahan adalah pisang
tanduk, susu, dan rejang.
Kata kunci: pisang, bunchy top, virulensi, pengendalian.
Pendahuluan
Tanaman pisang menempati posisi penting bagi masyarakat di Indonesia
karena berperan sebagai bagian dari pola makan budaya lokal bagi masyarakat
di perkotaan maupun pedesaan. Tanaman ini juga bagian penting dari wilayah
di Asia Tenggara, Papua Nugini dan Australia bagian utara. Bagian tanaman
yang dimanfaatkan bukan hanya buahnya saja, melainkan juga daun dan
pelepah batang semunya. Saat ini pertanaman pisang di Indonesia menghadapi
ancaman serius yang sama dengan negara lain karena telah berjangkitnya
beberapa penyakit sistemik yang menyebabkan tanaman pisang tidak
berproduksi bahkan dapat mematikan tanaman. Mengenal penyebab dan gejala
penyakitnya sangat penting bagimasyarakat agar dapat melakukan
pengendalian secara tepat dan benar.
Penyakit-penyakit utama tanaman pisang yang sering berjangkitdi
Indonesia adalah: a)Penyakit layu vaskular yang disebabkan jamur Fusarium
oxysporum (Tropical Race 4), b) Penyakit darah, c) Layu Xanthomonas,
disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. musacearum, d) Penyakit
kerdil pisang (bunchy top), disebabkan virus Banana Bunchy Top (BBTV).
Kerdil pisang (bunchy top) merupakan penyakit “baru” di Indonesia, yang
pada tahun 1978 untuk pertama kalinya dilaporkan terdapat di sekitar Cimahi
dan Padalarang (Kabupaten Bandung) (Sulyo et al., 1978). Pada tahun 1982
diketahui bahwa penyakit bunchy top juga telah terdapat di Kabupaten
Banyuwangi. Selain pada pisang, penyakit bunchy top juga terdapat pada
abaca (Musa textilis) (Hutagalung et al., 1982).
Gejala penyakit
Pada tanaman yang sakit bunchy top, daun daun muda tampak lebih
tegak, pendek, lebih sempit dan tangkainya lebih pendek dari yang normal,
daun menguning sepanjang tepi lalu mengering, daun menjadi rapuh dan
mudah patah, tanaman terlambat pertumbuhannya dan daun-daun membentuk
roset pada ujung batang palsunya (Gambar 1). Jika pangkal daun nomor 2 atau
3 dari tanaman yang dicurigai sakit dilihat permukaan bawahnya dengan cara
diterawangkan, tampak adanya garis-garis hijau tua sempit yang terputus-putus
dalam garis pendek diselingi titik-titik seperti kode Morse, terdapat diantara dan
sejajar dengan tulang-tulang daun sekunder. Pada lembaran daun di dekat ibu
tulang daun terdapat bercak/garis bengkok hijau gelap. Kadang-kadang tulang
daun menjadi jernih (vein clearing) yang tampak jelas jika diterawangkan.
Sebagai gejala pertama terjadinya infeksi, pada cuaca yang sejuk tulang daun
yang menjadi jernih tadi akan tampak lebih jelas. Dalam perkembangan gejala
332
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
selanjutnya, daun–daun
daun yang muncul berikutnya tumbuh lebih tegak, lebih
pendek, lebih sempit, tangkai daun lebih pendek. Ketika tanaman semakin tua,
pertumbuhan daun menjadi terhambat, berukuran kecil, kaku dan mengarah ke
atas, tanaman menjadi kerdil. Penyakit bunchy top membuat tanaman pisang
menjadi seperti sapu, sehingga tidak bisa menghasilkan buah terutama jika
tanaman telah terinfeksi ketika masih muda (Semangun, 2007)
2007
Gambar 1. Tanaman pisang sakit bunchy top, daun-daunnya
daunnya membentuk roset
Cara penyebaran dan penularan penyakit
Penyebaran penyakit ini sangat cepat karena disebarkan oleh serangga
penular (vektor) yaitu aphis Pentalonia nigronervosa Coq. Penyakit kerdil
pisang disebabkan oleh Banana Bunchy Top Virus (BBTV).
BBTV). Penyebaran
penyakit meliputi daerah-daerah
daerah
penghasil pisang di Asia Tenggara, Asia
Selatan, dan Pasifik, Australia, serta di beberapa negara Afrika (Salam, 2012).
333
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 2. Aphis Pentalonia nigronervosa Coq. vektor virus bunchy top pisang
(Sumber: Nelson, 2007)
Oleh karena penyakit bunchy top dapat terbawa melalui bibit pisang
yang diambil dari rumpun terserang virus tersebut, maka penjualan dan
penanaman bibit-bibit
bibit terinfeksi tersebut ke daerah-daerah
daerah daerah non endemis secara
tidak sadar ikut menyebarluaskan penyakit bunchy top.. Penjualan bibit
bibit-bibit
tanaman hias yang dapat menjadi inang alternatif virus bunchy top seperti
berbagai jenis tanaman Canna dan Heliconia juga berpotensi menyebar
luaskan penyakit bunchy top terutama jika bibit-bibit
bibit tanaman tersebut telah
terinfeksi virus BBTV.
Kerugian yang diakibatkan
Penyakit bunchy top mengakibatkan tanaman pisang menjadi kerdil dan
tidak menghasilkan buah. Hampir semua jenis pisang yang dibudidayakan di
Indonesia rentan terhadap penyakit bunchy top.. Kondisi demikian akan
mengancam keberlanjutan potensi
pote
daerah-daerah
daerah penghasil pisang karena bisa
mengakibatkan kepunahan. Prasetyo dan Sudiono (2004) melaporkan bahwa
penyakit bunchy top di Lampung telah menginfeksi berbagai jenis pisang yang
dibudidayakan, yang meliputi: janten (55,23%), muli (38,88%), kepok (30,47%),
ambon (21,52%), raja sere (19,76%), nangka 4,64%), dan lilin (3,84%).
Daun pisang pada tanaman yang sakit bunchy top tidak dapat
dimanfaatkan untuk keperluan membungkus makanan dan keperluan lainnya,
karena daun-daunnya
daunnya kecil-kecil,
kecil
kaku,, rapuh mudah sobek, khlorosis dan
mengering. Oleh karena tanaman yang sakit menjadi kerdil, maka pelepah
batang semu pisang menjadi pendek-pendek
pendek pendek dan tidak dapat dimanfaatkan.
Jika tanaman pisang telah terinfeksi virus penyebab penyakit bunchy top,
maka anakan pada rumpun pisang juga terinfeksi virus bunchy top
top. Bibit-bibit
pisang yang diambil dari rumpun yang terjangkiti penyakit bunchy top akan
menyebarluaskan penyakit bunchy top ke daerah-daerah
daerah lain yang mungkin
masih bebas dari penyakit bunchy top.
334
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Rekomendasi cara pengendalian
Pengendalian penyakit bunchy top hendaknya dilaksanakan dengan
menerapkan pengendalian secara terpadu menggunakan cara-cara yang tidak
saling bertentangan. Tanaman pisang yang telah terinfeksi penyakit bunchy top
sangat kecil kemungkinannya untuk dapat disembuhkan. Oleh karena itu,
pengendalian penyakit bunchy top tidak ditujukan untuk penyembuhan tanaman
sakit, namun lebih ditujukan untuk pencegahan terjadinya penularan atau
penyebaran penyakit tersebut. Adapun cara-cara pengendalian penyakit yang
dianjurkan adalah:
1. Pelaksanaan budidaya tanaman sehat. Budidaya tanaman sehat dimulai
dengan penanaman bibit sehat, tidak terjangkiti penyakit. Ketahanan
pertanaman pisang terhadap penyakit bunchy top dapat meningkat jika
kebutuhan pertanaman untuk hidup sehat terpenuhi. Tanaman pisang
akan tumbuh subur dan kuat jika kebutuhan hara esensialnya terpenuhi
dan tidak terjadi persaingan di antara tanaman dalam satu rumpun.
Menyisakan 1 – 2 tanaman berbunga dan 1 – 2 anakan per rumpun
merupakan cara yang dianjurkan untuk mencegah terjadinya persaingan
hara dan ruang tumbuh tanaman. Ketersediaan hara sesuai kebutuhan
tanaman pisang dilakukan melalui pengelolaan pemupukan tanaman.
Agar pertumbuhan akar dapat optimal, perlu dilakukan pembumbunan
tanaman dan pengelolaan pengairan.
2. Sanitasi linkungan kebun. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk
membersihkan kebun dari keberadaan tanaman inang virus bunchy top
dan vektornya. Tanaman inang yang dapat menjadi sumber inokulum
dan sekaligus digunakan sebagai tempat bertahan bagi virus dan
vektornya adalah: tanaman pisang sakit, Heliconia spp., Canna spp., dan
Abaca. Disamping itu, sanitasi kebun dilakukan untuk membersihkan
kebun dari gulma-gulma yang keberadaannya menjadi pesaing
perolehan hara bagi tanaman pisang dan meningkatkan kelembapan
lingkungan yang mendukung perkembangan patogen dan serangga
vektor. Yang perlu diperhatikan ketika melakukan sanitasi kebun adalah
mencuci alat pertanian yang digunakan untuk membersihkan tanaman
sakit dengan sabun atau deterjen sebelum digunakan untuk merawat
tanaman sehat, sehingga tidak menularkan penyakit pisang.
3. Eradikasi tanaman sakit. Keberadaan tanaman sakit akan menjadi
sumber penular virus bunchy top bagi tanaman pisang di sekelilingnya
terutama jika terdapat serangga vektornya. Eradikasi yang dilakukan
melalui cara membongkar rumpun tanaman sakit dan memusnahkannya,
sebaiknya dilakukan sedini mungkin ketika mulai terdapat tanaman
pisang yang menunjukkan gejala terjangkiti penyakit bunchy top.
Rumpun pisang sakit yang dibongkar kemudian dicacah hingga tidak
memungkinkan tumbuh bibit dari bonggolnya. Cacahan tanaman sakit
335
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
4.
5.
6.
7.
segera dibenamkan ke dalam tanah atau dibakar dan jangan sampai
terjadi ceceran potongan tanaman sakit yang tertinggal di kebun.
Penanaman kembali dapat dilakukan di samping rumpun yang
dieradikasi setelah bibitnya diaplikasi agensia hayati dan solarisasi
lubang tanam. Penanaman kembali disarankan dilakukan 6 bulan
setelah eradikasi.
Penanaman kultivar tahan. Pengendalian penyakit bunchy top melalui
penanaman varietas tahan, adalah cara pengendalian penyakit yang
murah, aman, mudah dilaksanakan, dan efektif. Namun demikian, jumlah
pilihan kultivar pisang yang tahan terhadap penyakit bunchy top sangat
terbatas. Kultivar pisang yang dilaporkan tahan terhadap penyakit
bunchy top adalah pisang tanduk, susu, dan rejang (Prasetyo dan
Sudiono, 2004). Dari hasil penelitian Sulyo et al. (1992) diketahui bahwa
kultivar Klutuk, Jimbluk, Kapas, dan Seribu tahan terhadap penyakit
bunchy top.
Pengendalian serangga penular (vektor). Penyakit virus kerdil pisang
ditularkan melalui serangga penular, yaitu aphis Pentalonia
nigronervosa. Untuk mencegah agar penyakit bunchy top tidak menular
ke tanaman pisang lainnya, maka perlu dilakukan pengendalian
serangga penularnya. Cara pengendalian yang dapat dilakukan, yaitu: a)
secara mekanis melalui eradikasi tanaman pisang yang menjadi tempat
berkembang biak aphis tersebut, b) secara hayati menggunakan musuh
alami serangga aphis, yaitu apliasi jamur Beauveria bassiana, c) secara
kimiawi menggunakan insektisida sistemik berbahan aktif imidakloprid.
Penanaman bibit bebas penyakit. Bibit pisang yang bebas penyakit
dapat diperoleh dari anakan pada rumpun pisang sehat di daerah non
endemis penyakit bunchy top. Oleh karena bibit pisang banyak
diperdagangkan, maka perlu diberikan pemahaman kepada penjual bibit
pisang agar tidak menjual bibit yang dibudidayakan dari kebun yang
sudah terjangkit penyakit bunchy top. Cara demikian dimaksudkan untuk
menghindarkan penanaman bibit sakit ke daerah yang masih bebas
(mencegah pemindahan bibit dari daerah endemis ke non endemis).
Pencegahan penyebaran penyakit bunchy top ke suatu wilayah atau
pulau yang masih bebas, dapat dilakukan melalui pengawasan
masuknya bibit-bibit tanaman pisang oleh lembaga karantina tumbuhan
baik di pelabuhan laut maupun pelabuhan udara.
Bibit pisang yang bebas penyakit bunchy top dapat dibuat melalui kultur
jaringan. Bibit bebas penyakit bunchy top bukan berarti tahan terhadap
penyakit tersebut. Dalam prakteknya, bibit pisang yang dibuat melalui
kultur jaringan adalah jenis pisang yang rentan terhadap penyakit bunchy
top. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadi penularan penyakit bunchy
336
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
top pada pisang yang bebas penyakit tersebut perlu dilakukan
pengawalan dan pencegahan penularan.
8. Pengembangan sistem pola tanam pisang multi kultivar. Ketahanan
kultivar-kultivar pisang terhadap penyakit bunchy top bervariasi dan
bersifat spesifik lokasi. Diduga virus penyebab penyakit bunchy top
memiliki strain yang banyak dengan tingkat virulensi yang berbeda
terhadap kultivar pisang yang berbeda. Untuk mencegah kehancuran
pertanaman pisang yang dibudidayakan akibat serangan suatu strain
virus bunchy top, disarankan untuk tidak menanam suatu kultivar pisang
secara monokultur. Pertanaman multi-kultivar pisang memiliki
kemampuan menghadapi serangan suatu strain virus bunchy top lebih
baik daripada pertanaman mono-kultivar. Penanaman macam-macam
kultivar pisang disesuaikan dengan preferensi konsumen.
Persilangan untuk menghasilkan jenis pisang tahan penyakit
Tanaman pisang yang tumbuh di Indonesia sebagian besar adalah
tanaman asli Indonesia. Diantara berbagai jenis pisang tersebut, sekitar 20
jenis pisang telah menjadi jenis pisang yang dibudidayakan dan ratusan jenis
lainnya yang masih liar. Ketahanan jenis-jenis tanaman pisang tersebut
terhadap penyakit bunchy top sangat bervariasi dan berpotensi untuk menjadi
indukan dalam upaya pemuliaan guna menghasilkan jenis yang unggul. Jenisjenis pisang yang di budidayakan di Indonesia banyak yang rentan terhadap
penyakit bunchy top dan hanya sedikit yang tahan terhadap penyakit tersebut
(Prasetyo dan Sudiono, 2004). Jenis-jenis pisang liar umumnya tahan terhadap
penyakit bunchy top. Oleh karena itu, jenis-jenis pisang liar dapat digunakan
sebagai induk tahan untuk disilangkan dengan pisang yang rentan tetapi
memiliki keunggulan rasa buah yang manis.
Sejauh ini, LIPI telah melakukan penyilangan beberapa jenis pisang.
Misalnya saja, penyilangan antara pisang madu dari Sumatera Barat dengan
pisang liar Musa acuminata malaccensis. Hasilnya adalah pisang enak dari segi
rasa, tampilan bagus, bentuknya besar (satu tandan berisi bertumpuk-tumpuk),
sekaligus tahan terhadap penyakit layu Fusarium dan hama lainnya. Saat ini,
pihaknya juga masih terus mencari indukan sampai semua sifat unggul pisang
terkumpul di indukan yang terpilih. Hasil penelitian tersebut diperkirakan baru
bisa dinikmati 5 – 10 tahun lagi. Targetnya adalah terciptanya pisang tahan
penyakit serta lezat cita rasa buahnya (Anonim, 2012).
337
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Kesimpulan
Penyakit bunchy top pada tanaman pisang sangat virulen karena jika
tanaman pisang telah terinfeksi ketika masih muda tidak akan menghasilkan
buah, tanaman menjadi kerdil, daun kecil-kecil dan rapuh, pelepah-pelepah
menjadi pendek sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Penyakit bunchy top telah
tersebar luas di Indonesia dan hampir semua jenis-jenis pisang yang
dibudidayakan rentan terhadap penyakit ini. Pengendalian penyakit bunchytop
dapat dilakukan melalui: a) eradikasi, b) penanaman bibit bebas penyakit, c)
varietas tahan, d) musuh alami vektor yaitu jamur Beauveria bassiana, e)
sanitasi kebun dari inang alternatif virus bunchy top, f) menghindarkan
pemindahan bahan-bahan tanaman terinfeksi dari daerah endemis ke daerah
non endemis, g) pengembangan sistem pola tanam pisang multi varietas, dan
h) melakukan sosialisasi pengendalian ke semua pihak yang terlibat dalam
pengembangan komoditas pisang.
Daftar pustaka
Anonim. 2012. Lipi Terus Ciptakan Pisang Unggul Tahan Penyakit. <
http://www.antaranews.com/berita/30-8-2012/330247/lipi-terus-ciptakan pisang-unggul-tahan-penyakit>.
Hutagalung, Y. Sulyo, dan Zubir. 1982. Observasi penyakit tanaman pisang di
daerah Kecamatan Ciputat, Padalarang, dan Cimahi. Laporan Subbalai
Tan. Pangan, Segunung, dan Pusat Karantina Pertanian. Jakarta.
Nelson, S.C. 2007. Alate. <http://www.hawaiiplantdisease.net/glossary/
Alate.htm>
Prasetyo, J. dan Sudiono. 2004. Pemetaan persebaran penyakit bunchy top
pada tanaman pisang di Provinsi Lampung. Jurnal Hama dan Penyakit
Tumbuhan Tropika. Vol. 4. No. 2.
Salam, A. 2012. Hama, Penyakit dan Pengendalian Produk Pada Pisang.
<http://dipertanaknunukan.blogspot.com/2012/04/hama-penyakit-danpengendalian-produk.html>.
Semangun. 2007. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Edisi II.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sulyo, Y. 1992. Informasi mengenai hasil-hasil penelitian penyakit pisang
mutakhir. Pros. Sem. Pisang Sebagai Komoditas Andalan. Segunung : 8
– 22.
Sulyo, Y., A. Muharam, dan M. Winarno. 1992. Evaluasi ketahanan varietasvarietas pisang terhadap virus bunchy top. Pros. Sem. Pisang Sebagai
Komoditas Andalan. Segunung: 38 – 48.
338
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
DETEKSI DAN EVALUASI SERANGAN PENYAKIT Grapevine Fanleaf
Virus (GFLV) PADA SEPULUH VARIETAS ANGGUR YANG DITANAM
BERSAMA KENIKIR (Tagetes erecta)
Sri Widyaningsih dan M.E. Dwiastuti
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro)
Jl. Raya Tlekung-Junrejo, No. 1, Batu, Jawa Timur
Abstrak
Grapevine Fanleaf Virus (GLFV) merupakan penyakit yang
mengganggu pertumbuhan tanaman anggur dan menyebabkan kerugian
yang besar, ditularkan oleh vektor nematoda Xiphinema index. Kenikir
(Tagetes erecta) dapat digunakan untuk mengendalikan populasi
nematoda. Penelitian ini bertujuan untuk deteksi dan evaluasi ketahanan
sepuluh varietas anggur terhadap penyakit GFLV yang ditanam bersama
kenikir sebagai tanaman border antar tanaman dan antar varietas.
Penelitian di laksanakan di kebun plasma nutfah anggur Balitjestro, pada
bulan Januari-Februari 2012. Tanaman anggur berumur 10 tahun, ditanam
berbaris tiap varietas, sedangkan kenikir ditanam rata-rata dua kali setiap
tahunnya. Sampel yang diambil berasal dari pohon yang bergejala dan
tidak bergejala, masing-masing empat ulangan. Deteksi dan evaluasi
ketahanan antar varietas dilakukan dengan pengamatan gejala visual,
pengukuran panjang ruas batang, panjang tangkai (sulur) dan metode
ELISA pada beberapa bagian tanaman anggur. Hasil menunjukkan
karakteristik daun, ukuran ruas batang dan panjang tangkai yang
bergejala GFLV tergantung pada jenis varietas. Deteksi dengan ELISA
menunjukkan varietas BS 85 (Probolinggo Super), BS 89 (Prabu Bestari),
BS 6 (Bali), dan BS 5 (Isabella) positif terinfeksi oleh GFLV, sedangkan 6
varietas yang lain bebas dari infeksi GFLV. Penggunaan kenikir sebagai
tanaman border mampu mengurangi kecepatan penyebaran penyakit
antar varietas.
Kata kunci : deteksi, GFLV, varietas, anggur, kenikir
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman jenis buah
yang berasal dari daerah subtropis yang tinggi. Tanaman anggur
merupakan tanaman subtropis yang sudah beradaptasi di Indonesia sejak
tahun 1880. Tanaman anggur sudah cukup lama dibudidayakan oleh
petani di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Timur sejak tahun 1882
(Winarno, 1991). Tanaman anggur merupakan tanaman yang telah
beradaptasi di Indonesia, tetapi tanaman ini rentan terhadap penyakit.
339
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Grapevine Fanleaf Virus (GLFV) yang disebabkan oleh serangan virus
yang tergolong sebagai “nepovirus”, yaitu penyebaran virus melalui
perantara nematoda (AGF, 2010). Menurut Rukmana (1999), penyebab
penyakit daun kipas anggur ini ditularkan oleh nematoda tanah Xiphinema
index.
Gejala yang ditimbulkan dari serangan GFLV adalah terdapat
perubahan warna pada daun (variasi klorotik), warna kuning pada daun
dan spot mosaik dengan bentuk yang berbeda, urat daun mengkerut dan
seakan-akan menyerupai kipas yang terbuka (Sutic et al., 1999). Menurut
Andret-Link (2004) penyakit ini menyebabkan penurunan hasil sampai
80%, memperpendek umur produksi dan mempercepat kematian
tanaman.
Metode deteksi yang dilakukan antara lain penularan virus dari
tanaman terinfeksi ke tanaman sehat, melalui okulasi atau penyambungan
atau dengan mengolesi permukaan daun yang sehat dengan cairan (sap)
tanaman terinfeksi (Agrios, 2005), pengamatan terhadap batang atas yang
telah berkayu, disambungkan pada batang bawah tanaman indikator, dan
deteksi secara molekular menggunakan jaringan tanaman (Rowhani et al.
1993). Menurut Rowhani (2005) belum ada metode deteksi penyakit virus
pada anggur yang lengkap dan mendalam, masing-masing metode
mempunyai kelemahan.
Di Indonesia belum pernah dilakukan deteksi secara detail, pada
umumnya deteksi hanya berdasarkan gejala yang muncul. Deteksi
berdasarkan gejala sering hasilnya rancu dengan gejala abnormalitas
tanaman yang lain misalnya keracunan senyawa kimia oleh pestisida atau
gejala akibat serangan hama thrips dan defisiensi unsur hara (Pearson
and Goheen 1998).
Pengendalian penyakit ini umumnya dilakukan dengan cara aplikasi
nematisida untuk membunuh nematoda tanah, mencabut dan
memusnahkan tanaman yang sakit berat, serta pembongkaran tanaman
untuk diremajakan dengan bibit bebas virus (Rukmana, 1999).
Pengendalian lain dengan melibatkan pengetahuan molekuler dilakukan
untuk mengubah fungsi protein GFLV tersebut agar tidak merusak
tanaman anggur. Pendekatan lain pada bidang transgenik tumbuhan ialah
dengan memanfaatkan akar batang bawah transgenik untuk menekan
perkembangan GFLV (Andret-Link et al., 2004).
Pengendalian vektor diduga berpengaruh menekan perkembangan
penyakit GFLV. Kenikir (Tagetes sp.) mempunyai kemampuan meracun
yang tinggi terhadap nematoda parasitik tanaman dan mampu menekan
nematoda pada spektrum yang luas. Kenikir mempunyai kemampuan
alelopati yaitu mengeluarkan senyawa yang toksik terhadap tanaman lain,
mikroorganisme atau mikroorganisme yang lain seperti nematoda (Wang
340
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
et al. 2007). Penggunaan kenikir dilaporkan juga lebih efektif dibandingkan
penggunaan nematisida atau fumigasi tanah yang juga mempunyai
pengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil panen (Hooks
et al., 2010). Tujuan penelitian ini adalah untuk deteksi dan evaluasi
ketahanan sepuluh varietas anggur terhadap penyakit GFLV yang ditanam
bersama kenikir sebagai tanaman border antar tanaman dan antar
varietas.
Metodologi
Penelitian dilaksanakan di kebun plasma nutfah anggur dataran
tinggi dan Laboratorium fitopatologi Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan
Buah Subtropika (Balitjestro), Batu, Jawa Timur, pada bulan JanuariFebruari 2012. Sepuluh varietas tanaman anggur yang diamati adalah BS
85 (Probolinggo Super), BS 45 (Carolina), BS 88 (Kediri Kuning), BS 86
(JestroAg86), BS 89 (Prabu Bestari), BS 60 (JestroAg60), BS 6 (Bali), BS
9 (Delawere), BS 5 (Isabella), dan BS 29 (White Malaga). Setiap varietas
diamati dan ditentukan sebagai tanaman bergejala dan tidak, berdasarkan
kenampakan visual pada daun, masing-masing 4 tanaman. Kemudian
dilakukan pengukuran panjang ruas batang yang terletak 10 cm dari ujung
cabang utama dan panjang tangkai (sulur) yang muncul pada jarak 100
cm dari ujung tangkai utama.
Tanaman sampel bergejala kemudian dideteksi dengan uji ELISA
secara komposit pada setiap varietas. Bagian tanaman yang diuji dibagi
menjadi 4 bagian sebagai berikut : 1 : tangkai ujung, 2 : daun ujung, 3 :
ruas ujung, 4 : daun ke-5. Sampel dibersihkan, diiris kecil-kecil kemudian
ditimbang sebanyak 0,6 gram, digerus dan ditambah buffer grinding
sebanyak 0,4 ml per sampel. Cairan disaring dengan kertas saring dan
dimasukkan dalam tabung mikro, lalu disentrifuse 0 rpm selama 5 menit
dan diinkubasi 4 jam dalam kulkas. Setelah diinkubasi, suspensi diambil
sebanyak 100 µl dengan mikropipet dan dimasukkan ke dalam plate
(plate sudah dibersihkan dengan PBST 3 kali selama 3 menit) dan
diinkubasi pada inkubator selama 24 jam dengan suhu 30oC. Selanjutnya
dibersihkan dengan PBST sebanyak 4 kali masing-masing 3 menit, lalu
dikeringkan dengan tissue (dengan menepuk-nepukkan plate ke tissue
yang dialasi kain sebanyak 5-6 kali, lalu tissue diganti sebanyak 3 kali).
Setelah dikeringkan dengan tissue, disiapkan conjugate buffer (campuran
larutan aquabides 3760 µl dengan ecl botol A dan botol B sebanyak 940
µl (Agdia, Amerika)) untuk membuat PNP substrat. Conjugate buffer
ditambah dengan 1 tablet PNP sehingga didapatkan PNP substrat.
Selanjutnya PNP substrat sebanyak 5 µl dimasukkan pada tiap lubang
plate dengan menggunakan mikropipet. Ditunggu selama 30 menit agar
terjadi reaksi, lalu dimasukkan larutan NaOH 1 tetes dan ditunggu selama
341
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
30 menit hingga terjadi perubahan warna. Hasil dibaca dengan ELISA
reader untuk melihat nilai absorbansi tiap sampel.
Ruas
Daun
Hasil dan pembahasan
A. Karakterisasi Gejala pada Daun dan Ruas Daun
Pengamatan yang dilakukan untuk melakukan deteksi penyakit
GFLV adalah melakukan pengamatan dan penentuan tanaman anggur
yang terserang virus tersebut. Penentuan ini dilakukan secara morfologis,
dengan melihat karakter daun dan ruas daunnya.
Hasil pengamatan karakteristik daun dan ruas daun pada 10 varietas
anggur bergejala terinfeksi GFLV ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik daun 10 varietas tanaman anggur bergejala GFLV
Varietas
Karakter
BS BS BS BS BS BS BS BS
85
45 88
86
89 60
6
9
Ukuran Kecil
√
√
√
Bentuk Kipas
√
√
√
√
√
Mozaik
√
√
√
√
√
√
√
√
Permukaan tidak
√
√
√
√
√
√
√
√
rata
Zig zag
√
√
√
√
Bertunas banyak
√
√
√
√
√
√
√
√
Menurut Rowhani et al. (1993), penyakit yang disebabkan oleh GFLV
menimbulkan gejala bentuk daun yang seperti kipas, daun berwarna
kuning mosaik atau degenerasi seperti daun kipas yang disebabkan oleh
malformasi dan diskolorasi daun. Akibatnya, pada tanaman anggur yang
terinfeksi produksi buah anggur menurun. Daun anggur yang mengalami
gejala mosaik berdampak pada aktivitas daun dalam reaksi fotokimia.
Menurut Varadi et al. (2007), pada daun yang hijau menunjukkan energi
cahaya yang diserap oleh kloroplas sangat tinggi. Aklimasi dari
mekanisme pertahanan tanaman dapat mempertahankan aktivitas
fotosintesis yang tinggi. Apabila terjadi penguningan terhadap daun, maka
akan terjadi penurunan asimilasi fotosintetik CO2, dan proses disipasi
energi non fotokimia juga akan menurun. Hal tersebut akan menyebabkan
turunnya aktivitas tanaman sehingga tanaman tidak dapat tumbuh secara
maksimal dan dapat rusak atau mati.
B. Pengaruh GFLV pada Panjang Ruas dan Tangkai Tanaman Anggur
Pengamatan panjang ruas dan tangkai tanaman anggur dilakukan
untuk melihat pertumbuhan tanaman anggur yang sehat dan yang sakit.
Hasil pengukuran panjang ruas pada 10 varietas tanaman anggur,
342
BS
5
√
√
BS
29
√
√
√
√
√
√
√
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
diperoleh panjang ruas yang berbeda untuk tanaman anggur yang sehat
dan terinfeksi. Data panjang ruas daun dalam 10 cm panjang batang
menunjukkan bahwa pada umumnya panjang ruas daun untuk anggur
yang sehat lebih panjang daripada anggur yang terinfeksi. Hal tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan panjang ruas daun dalam 10 cm pada
tanaman anggur sehat dan tanaman anggur bergejala
GFLV.
Pengukuran panjang ruas daun dalam 10 cm menunjukkan bahwa
hampir seluruh varietas anggur kecuali BS 60 mempunyai panjang ruas
yang lebih panjang pada tanaman sehat dibandingkan tanaman yang
terinfeksi. Sementara panjang ruas untuk varietas BS 60 menunjukkan hal
yang sebaliknya, sehingga diduga varietas ini lebih toleran terhadap
infeksi GFLV.
Hasil pengukuran panjang tangkai daun dalam 100 cm, pada 8
varietas menunjukkan panjang ruas tanaman anggur sehat lebih panjang
dibandingkan tanaman yang terinfeksi, kecuali pada varietas BS 9 dan 29
(Gambar 2).
Pengukuran panjang ruas daun dalam 10 cm dan 100 cm dilakukan
untuk melihat pengaruh serangan virus GFLV terhadap pertumbuhan
tanaman anggur. Pengukuran dalam 10 cm yang dimulai dari ujung
percabangan daun ini merupakan pengukuran yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh infeksi virus pada bagian meristem. Menurut
Andret-link (2004), pertumbuhan cabang daun akan sangat tinggi pada
bagian dekat ujung percabangan, karena ujung percabangan merupakan
bagian meristem tumbuhan.
343
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 2. Perbandingan panjang tangkai daun dalam 100 cm
tangkai utama pada tanaman anggur sehat dan
tanaman anggur bergejala GFLV
C. Pengujian ELISA pada 10 Varietas Tanaman Anggur Bergejala
GFLV
Uji ELISA pada tanaman anggur ini merupakan uji serologi untuk
mendeteksi ada tidaknya infeksi virus terhadap tanaman anggur.
Pengujian ini dilakukan secara serologi., P.rinsip kerja ELISA yaitu
antibodi (protein) virus yang spesifik terabsorbansi pada permukaan
lubang polystyrene microtiter plate. Antibodi tersebut akan menangkap
antigen (virus yang terdapat dalam sampel). Selanjutnya virus tersebut
akan bereaksi dengan spesifik antibodi yang telah dilabel dengan enzim
alkalin fosfatase. Ada tidaknya virus dalam sampel ditandai dengan
berubahnya warna menjadi kuning setelah diberi penyangga substrat yang
mengandung P-Nitrophenyl Phosphate. Perubahan warna terjadi karena
P-Nitrophenyl diubah menjadi P-Nitrophenol yang intensitas warna
kuningnya sebanding dengan banyaknya antigen yang tertangkap oleh
antibodi (Clark & Adams, 1977).
Hasil pada Gambar 3 menunjukkan nilai absorbansi yang
divisualisasi dengan menggunakan ELISA reader. Beberapa varietas
anggur seperti BS 85, BS 88, BS 89, BS 6, dan BS 5 memiliki nilai Uji
ELISA yang tinggi untuk bagian tangkai ujung dan daun ujung. Bila
dipergunakan rumus 2x nilai NC (NC=0.0215), maka batas nilai infeksi
sebesar 0.043, sehingga nilai Uji ELISA untuk beberapa bagian varietas
anggur yang melebihi batas nilai infeksi sebesar 0.043 antara lain tangkai
ujung BS 85, tangkai ujung dan daun ujung BS 89, tangkai ujung dan
daun ujung BS 6, serta tangkai ujung dan daun ujung BS 5. Nilai Uji
ELISA yang tinggi dan melebihi dari batas nilai infeksi itu menunjukkan
bahwa varietas anggur tersebut positif terinfeksi oleh GFLV.
344
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Menurut Acdiainc (2012), uji ini bereaksi dengan semua isolat GFLV
yang diujikan. Reaksi ELISA sangat kuat, OD (optical density) pada nilai
405 nm berada dalam kisaran 9,300-3,000 tergantung pada titer virus
dalam sampel yang diuji. Sensitivitas ELISA sangat tinggi, virus GFLV
dapat dideteksi secara konsisten dalam jaringan tanaman yang terinfeksi
pada pengenceran 1:270 – 1:810.
Gambar 3. Nilai absorbansi hasil uji ELISA pada tanaman anggur
(nilai NC = 0.0215, nilai PC = 0.056)
Penggunaan kenikir sebagai border membantu mengurangi
kecepatan penyebaran penyakit antar varietas, meskipun terdapat
kemunculan gejala yang menyerupai gejala serangan GFLV (Tabel 1),
tetapi ketika dilakukan pengujian dengan ELISA menunjukkan 6 varietas
belum terinfeksi GFLV.
Kesimpulan
1. Sepuluh varietas anggur memiliki ciri-ciri gejala serangan patogen
penyebab penyakit Grapevine fanleaf virus yang hampir sama, yaitu
ukuran daun yang kecil, bentuk daun yang mirip kipas atau setengah
membuka, mozaik, permukaan daun yang tak rata, ruas daun yang zig
zag, dan terdapat banyak tunas pada ruas batang.
2. Hasil uji ELISA menunjukkan bahwa varietas anggur yang terinfeksi
GFLV adalah BS 85 (Probolinggo Super), BS 89 (Prabu Bestari), BS 6
345
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
(Bali), dan BS 5 (Isabella), dengan infeksi terjadi pada tangkai ujung
dan atau daun ujung.
3. Penggunaan kenikir sebagai border antar tanaman dan antar varietas
membantu mengurangi penyebaran penyakit GFLV pada sampel yang
diamati.
Daftar Pustaka
Andret-Link,P, C. Laporte, L. Valat, C. Ritzenthaler, G. Demangeat, E.
Vigne, V. Laval, P. Pfeiffer, C. Stussi-Garaud & M. Fuchs. 2004.
Grapevine fanleaf virus: still a major threat to the grapevine industry.
J Plant Pathol., 86 : 183–195.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, Fifth editions, Elsevier Academic
Press, New York.
AGF. 2010. Grape Virus Diseases. <http://www.agf.gov.bc.ca
/cropprot/grapeipm/virus.htm>.Diakses 21 Maret 2012.
Acdiainc. 2012. Grapevine Fanleaf Virus (GFLV) - TAS ELISA.
<http://www.acdiainc.com/GFLV-TAS.htm>. Diakses 15 Maret 2012.
Clark, M.F. and A.N. Adams. 1977. Characteristics of the micro-plate
method of enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of
plant viruses. East Malling Research Station, Inggris.
Hooks, C.R.R., K.H Wang, A. Ploeg and R. McSorley. 2010. Using
marigold (Tagetes spp.) as a cover crop to protect crops from plantparasitic nematodes. Applied Soil Ecology 46 : 307-320.
Pearson, RC and A.C. Goheen. 1998. Compedium of grape diseases.APS
Press, USA.
Rowhani, A., C. Chay, D. A. Golino, and B. W. Falk. 1993. Development of
a polymerase chain reaction technique for the detection of Grapevine
fanleaf virus in grapevine tissue. Phytopathology 83: 749-753.
Rukmana, R. 1999. ANGGUR, Budi Daya & Penanganan Pascapanen.
Kanisius, Yogyakarta.
Rowhani, A.,J.K. Uyemoto, D.A. Golino and G.P. Martelli. 2005. Pathogen
testing and certification of Vitis and Prunus species. Annu Rev
Phytopathology 43 : 61-278.
Sutic, D.D., R.E. Ford and M.T. Tosic. 1999. Handbook of plant virus
diseases. CRC Press. New York.
Váradi, Gy., E. Hideg, B. Bálo. 2007. GFLV (Grapevine Fanleaf Virus)
induced injury in vine leaves. Research Institute for Viticulture &
Enology. Hungaria.
Winarno. 1991. Asal usul tanaman anggur dan penyebarannya, dalam
Budidaya Tanaman Anggur. Puslitbanghorti , Jakarta.
346
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Wang, K.H, C.R Hooks and A. Ploeg. 2007. Protecting Crops from
Nematode Pests: Using Marigold as an Alternative to Chemical
Nematicides. Plant Disease (35). Cooperative of Hawai’i.
347
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS DAN PLASMANUTFAH PADI
TERHADAP PENYAKIT VIRUS KERDIL RUMPUT DAN EFFEKTIVITASNYA
SEBAGAI SUMBER INOKULUM
Suprihanto1, Susamto Somowiyarjo2, Sedyo Hartono2, dan Y. Andi Trisyono2
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi/ Mahasiswa S3 Fitopatologi UGM
2
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Seiring dengan adanya perubahan iklim dewasa ini, perkembangan wereng
batang coklat pada tanaman padi ternyata diikuti oleh adanya serangan virus yang
ditularkannya. Penyakit virus kerdil rumput (rice grassy stunt virus) merupakan
salah satu penyakit virus padi yang ditularkan wereng batang coklat. Sampai saat
ini belum ada informasi tentang varietas tahan terhadap penyakit ini. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan beberapa varietas dan
plasmanutfah padi terhadap penyakit virus kerdil rumput dan efektivitasnya sebagai
sumber inokulum. Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Fakultas Pertanian
UGM dan di rumah plastik Karang Tempel, Pedukuhan Kaliputih, Pendowoharjo,
Sewon, Bantul pada bulan September 2013-Maret 2014. Sebanyak 14
varietas/plasmanutfah padi dan 1 varietas rentan TN 1 digunakan dalam penelitian.
Penularan dilakukan dengan menggunakan vektor wereng batang coklat (WBC)
instar 2. Periode makan akuisisi diberikan selama 3 hari, setelah melalui masa
inkubasi 10 hari, WBC viruliverus digunakan untuk inokulasi pada varietas yang
diuji selama 24 jam dengan 3 ekor WBC/tanaman. Penularan dilakukan sebanyak
10 tanaman pada masing-masing varietas yang diuji. Selanjutnya tanaman di
tanam dalam pot dan dipelihara. Pengamatan dilakukan dengan skoring sesuai
Standard Evaluation System for Rice IRRI. Hasil penghitungan indeks penyakit
selanjutnya digunakan untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman. Enam
varietas padi yang mewakili reaksi tahan, agak tahan dan rentan, dipilih dan
digunakan sebagai sumber inokulum untuk ditularkan pada tanaman padi TN1
kembali untuk mengetahui tingkat efektivitasnya sebagai sumber inokulum virus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 14 varietas yang diuji, 4 varietas bereaksi
tahan terhadap RGSV (Mentikwangi, Rojolele, Utri Merah, dan Oryza nivara), 9
varietas agak tahan (IR64, Tetep, Ciherang, IR42, Inpari 2, Situ Bagendit,
Swarnalata, Inpari 13, dan Mahsuri) sedangkan 1 varietas rentan yaitu Inpari 1.
Hasil uji penularan kembali pada varietas rentan (TN1) menunjukkan bahwa
Varietas Mentikwangi, Inpari 13, dan Situ Bagendit mempunyai efektivitas yang
cukup rendah sebagai sumber inokulum.
Kata kunci: ketahanan, plasmanutfah padi, virus, kerdil rumput
348
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Pendahuluan
Akibat adanya perubahan iklim dewasa ini telah terjadi serangan hama
tanaman padi yang juga merupakan vektor virus yang menyerang pada tanaman
padi, sehingga kerusakan yang ditimbulkan menjadi berlipat. Wereng coklat selain
berperan sebagai hama utama, juga berperan dalam menularkan beberapa virus
tanaman padi, antara virus kerdil hampa atau rice ragged stunt virus (RRSV) dan
virus kerdil rumput atau rice grassy stunt virus (RGSV) (Hibino, 1996). Penyakit
virus kerdil rumput dan kerdil hampa akhir-akhir ini menjadi masalah di beberapa
negara, seperti China, Vietnam, Philippina, Indonesia, dan Thailan (Zhou GH.,
2010). Virus kerdil rumput dan kerdil hampa ditularkan secara persisten oleh WBC
dan juga spesies Nilaparvata lainya (Shikata et al., 1980).
Serangan penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa dapat terjadi secara
bersama-sama ataupun secara terpisah. Khusus untuk serangan virus kerdil
rumput, akan menunjukkan gejala penghambatan pertumbuhan, anakannya
banyak, daunnya menjadi pendek dan sempit, dan tumbuhnya tegak serta
berwarna hijau pucat atau kuning pucat. Seringkali pada daunnya terdapat bintikbintik atau bercak coklat tua. Kadangkala daunnya dapat tetap hijau jika diberi
pupuk nitrogen yang cukup (Ling, 1972).
Di Indonesia, perkembangan penyakit kerdil hampa (RRSV) dan kerdil
rumput (RGSV) terjadi pada tahun 1970-an. Sejak tahun 2006 wereng coklat juga
menularkan virus kerdil rumput tipe 2 yang meluas di sentra produksi padi di pulau
Jawa, bahkan pada awal 2008 ditemukan di Simalungun Sumatra Utara (Baehaki,
2008). Dari tahun 2005 sampai 2010 serangan penyakit virus kerdil rumput dan
kerdil hampa selalu ditemukan di Indonesia. Tahun 2005 luas serangan virus kerdil
rumput di Indonesia mencapai 1.038 ha dan 550 ha mengalami puso. Berikutnya
dilaporkan tahun 2006 sampai 2010 berturut-turut luas serangan virus kerdil rumput
mencapai 131 ha, 143 ha, 152 ha, 129 ha dan 342 ha (Ditlin 2010).
Penyebaran penyakit virus kerdil rumput dapat diminimalisir dengan
pengendalian terhadap vektornya secara kimiawi menggunakan insektisida, dan
sanitasi lahan segera setelah panen untuk menurunkan sumber inokulum. Tetapi
penggunaan insektisida mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai
alternatif pengendalian yang lain adalah penggunaan varietas tahan (Nuque et al.
1982). Tetapi sampai saat ini informasi tentang varietas tahan di Indonesia masih
sangat sedikit. Informasi varietas ataupun plasmanutfah padi tahan virus kerdil
rumput sangat diperlukan selain untuk pengendalian penyakit secara langsung,
juga sebagai bahan tetua dalam perakitan varietas tahan. Beberapa varietas padi
yang pernah dilaporkan bereaksi tahan terhadap virus kerdil rumput dan kerdil
hampa adalah varietas lokal Sikembiri Putih dan Siansirnun (Satomi, 1972 dalam
Muhsin dan Widiarta, 2009). Spesias padi liar, Oryza nivara dilaporkan tahan
terhadap virus kerdil rumput yang dapat digunakan sebagai tetua tahan dalam
pemuliaan untuk perakitan varietas (Khush and Ling, 1974).
349
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan beberapa varietas
dan plasmanutfah padi terhadap penyakit virus kerdil rumput dan efektivitasnya
sebagai sumber inokulum.
Bahan dan metode
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Fakultas Pertanian UGM dan di
rumah plastik Karang Tempel, Pedukuhan Kaliputih, Pendowoharjo, Sewon, Bantul,
DI Yogyakarta pada bulan September 2013-Maret 2014.
B. Uji Ketahanan Varietas dan Plasmanutfah Padi
Sumber inokulum virus kerdil rumput yang digunakan dalam penelitian
adalah inokulum dari virus kerdil rumput yang diambil dari Bodeh, Ambarketawang,
Gamping, Sleman, Yogyakarta yang sudah dipisahkan dari infeksi virus kerdil
hampa dan dipelihara pada varietas padi rentan TN1. Vektor yang digunakan
adalah wereng batang coklat(WBC) yang dikoleksi dari lahan yang sama dan
diperbanyak dalam kurungan serangga di rumah kaca.
Sebanyak 15 varietas/plasmanutfah padi digunakan dalam uji ketahan
terhadap virus kerdil rumput, yang terdiri dari: IR64 (aksesi 6613), Ciherang (aksesi
4842), IR42 (aksesi 77009), Inpari 1 (aksesi 6613), Inpari 2 (aksesi 6614), Inpari 13
(aksesi 7313), Situ Bagendit (aksesi 1483), Mentik Wangi (aksesi 1754), Rojolele
(aksesi 4204), Tetep (aksesi 4215), Utri Merah (aksesi 2353), Swarnalata, Mahsuri
(aksesi 635), Oryza nivara (aksesi 102164) dan sebagai kontrol menggunakan
varietas rentan TN1. Semua varietas yang diuji diperoleh dari koleksi plasmanutfah
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang (Jawa Barat). Penularan
dilakukan dengan cara instar 2 WBBC diberi kesempatan melakukan pemerolehan
virus kerdil rumput pada inokulum tanaman sakit selama 3 hari, kemudian wereng
dipindahkan pada tanaman sehat, setelah 10 hari masa inkubasi, wereng
viruliverus diberikan kesempatan melakukan inokulasi pada varietas yang diuji
selama 24 jam dengan kepadatan populasi 3 ekor WBC/tanaman. Inokulasi
dilakukan dalam tabung uji dengan 1 tanaman/tabung. Penularan dilakukan pada
sebanyak 10 tanaman pada masing-masing varietas yang diuji. Selanjutnya
tanaman di tanam dalam pot dan dipelihara. Pengamatan dilakukan pada satu
bulan setelah inokulasi terhadap gejala yang muncul selanjutnya dihitung
keberadaan penyakit dan indeks penyakitnya untuk menentukan tingkat ketahanan
tanaman. Pengamatan dilakukan dengan skoring sesuai Standard Evaluation
System for Rice, IRRI (1996). Skala skor 1 apabila tanpa gejala; skor 3 apabila
tanaman tetap hijau, dengan helaian daun sempit, tidak ada penurunan tinggi
tanaman, dan beberapa anakan kecil; skor 5 apabila tanaman tetap hijau dengan
helaian daun sempit, terjadi 1-10% penurunan tinggi tanaman, dan dengan banyak
anakan kecil; skor 7 apabila tanaman hijau sampai kuning dan daun sempit dengan
beberapa bercak karat, terjadi 11-30% penurunan tinggi tanaman, dan banyak
anakan kecil; dan skor 9 apabila tanaman hijau sampai kuning dan daun sempit
350
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
dengan banyak bercak karat, lebih dari 30% penurunan tinggi tanaman, dan
banyak anakan kecil.
Hasil skoring kemudian digunakan untuk menghitung indeks penyakit (IP)
dengan rumus:
=
(3) + (5) + (7) + (9)
Dengan n(3), n(5), n(7), dan n(9) adalah jumlah tanaman yang menunjukkan
reaksi gejala masing-masing dengan skor 3, 5, 7, dan 9, sedangakan tn adalah
total tanaman yang diamati.
Respon ketahanan tanaman digolongkan berdasarkan perhitungan indeks
penyakit (IP) dengan kriteria tahan jika IP= 0–3, agak tahan jika IP= >3–6 dan
rentan jika IP= >6–9.
C. Efektivitas Beberapa Varietas sebagai Sumber Inokulum
Sebanyak enam varietas tanaman padi dipilih yang menunjukkan reaksi
tahan, agak tahan dan rentan, serta kontrol rentan TN1 dari hasil uji ketahanan dan
digunakan sebagai sumber inokulum untuk ditularkan pada tanaman padi TN1
kembali. Penularan dilakukan dengan cara yang sama (metode test tube) terhadap
10 tanaman padi TN1 untuk masing-masing sumber inokulum. Tanaman yang telah
diinokulasi ditanam dalam baki plastik dengan 10 tanaman/baki. Perlakuan tersebut
diulang sebanyak 3 kali dan pertanaman ditata dalam rancangan acak kelompok.
Pengamatan dilakukan terhadap masa inkubasi penyakit, tinggi tanaman, dan
gejala visual. Pengamatan terhadap gejala visual yang muncul akan dilakukan
dengan skoring. Pengamatan tinggi tanaman, dan skoring gejala dilakukan pada 1
bulan setelah inokulasi. Selanjutnya dihitung prosentase punularan dan indeks
penyakitnya sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas varietas padi sebagai
sumber inokulum virus kerdil rumput.
Hasil dan pembahasan
A. Ketahanan Varietas/Aksesi Plasmanutfah
Varietas dan aksesi plasmanutfah padi yang digunakan dalam uji ketahanan
terhadap penyakit virus kerdil rumput ini sebagian adalah varietas yang memiliki
latar belakang ketahanan terhadap wereng batang coklat yaitu varietas: IR64,
Ciherang, IR42, Inpari 1, Inpari 2, dan Inpari 13 (Suprihatno et al. 2011). Varietas
Swarnalata juga merupakan varietas padi tahan wbc mengandung gen bph6 dan
biasanya dipakai sebagai varietas diferensial terhadap dalam uji biotipe WBC
(Baehaki dan Munawar, 2009). Oleh karena itu adanya informasi tentang
ketahanan varietas-varietas tersebut terhadap penyakit virus kerdil rumput akan
melengkapi data dukung varietas sebagai komponen pengendalian WBC dan virus
yang ditularkannya.
Dari 14 varietas/aksesi plasmanutfah yang diuji, 3 aksesi menunjukkan
reaksi tahan, 9 aksesi agak tahan, dan sisanya rentan terhadap penyakit virus
351
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
kerdil rumput (Tabel 1). Aksesi yang menunjukkan reaksi tahan yaitu: Mentik
Wangi, Rojolele, Utri Merah dan padi liar O. nivara. Keempat aksesi ini dapat
digunakan sebagai bahan perakitan varietas tahan virus kerdil rumput. Khusus
untuk O. nivara, dilaporkan mempunyai gen ketahanan terhadap virus kerdil rumput
(Khush and Ling 1974). Nuque et al. (1982) melaporkan bahwa ketahanan
terhadap virus kersil rumput (RGSV) pada O. nivara dikendalikan oleh satu gen
dominan. Mentik Wangi dan Rojolele merupakan varietas lokal yang masih banyak
ditanam terutama di Jawa Tengah dan DIY. Utri Merah merupakan aksesi
plasmanutfah yang diketahui mempunyai ketahanan terhadap penyakit tungro
(Chowdhury 1999).
Beberapa varietas yang merupakan varietas unggul tahan wereng terbukti
mempunyai respon agak tahan terhadap virus kerdil rumput, kecuali Inpari 1 yang
mempunyai respon rentan. Meskipun IR64 dan Ciherang mempunyai reaksi agak
tahan terhadap virus kerdil rumput, tetapi keberadaan penyakitnya mencapai 90%
atau lebih sehingga sebaiknya dihindari untuk ditanam di daerah endemis penyakit
kerdil rumput. Dari varietas yang mempunyai ketahanan terhadap WBC, varietas
Swarnalata yang paling baik ketahanannya terhadap kerdil rumput, yang
ditunjukkan dengan tingkat keberadaan penyakitnya yang cukup rendah (45%) dan
indeks penyakitnya yang juga rendah (3,2). Sedangkan Inpari 1 merupakan
varietas yang menunjukkan reaksi rentan terhadap virus kerdil rumput hampir sama
dengan TN1 dengan keberadaan penyakit juga mencapai 100%.
Tabel 1. Respon ketahanan varietas/aksesi plasmanutfah terhadap penyakit virus
kerdil rumput pada 30 hari setelah inokulasi
No. Varietas/Plasmanutfah
No.
KP (%)
IP
Ketahanan
Aksesi
1.
IR64
6613
90
4,80
AT
2.
Ciherang
4842
95
4,65
AT
3.
IR42
7009
75
3,85
AT
4.
Inpari 1
6613
100
6,10
R
5.
Inpari 2
6614
65
3,65
AT
6.
Inpari 13
7313
80
3,30
AT
7.
Situ Bagendit
1483
70
3,60
AT
8.
Mentik Wangi
1754
40
2,00
T
9.
Rojolele
4204
55
2,39
T
10. Tetep
4215
85
5,56
AT
11. Utri Merah
2353
65
2,95
T
12. Swarnalata
45
3,20
AT
13. Mahsuri
635
70
4,50
AT
Oryza
nivara
14.
102164
30
1,20
T
15. TN1
100
7,3
R
16. Kontrol TN1 Sehat
0
0
-
352
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Keterangan: KP= keberadaan penyakit, IP= indeks penyakit, T= tahan, AT= agak
tahan, R= rentan
B. Efektivitas Beberapa Varietas sebagai Sumber Inokulum
Kuantitas sumber infeksi penyakit virus tanaman padi dapat dikurangi
dengan penggunaan varietas tahan yang dapat mengurangi infeksi maupun
perbanyakan virus di dalam tanaman sehingga proporsi vektor untuk mendapatkan
virus berkurang. Namun demikian, respon varietas yang secara visual tidak
menunjukkan gejala ataupun bergejala ringan ketika terinfeksi virus seringkali dapat
menjadi sumber inokulum yang baik di lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas yang menunjukkan reaksi
tahan terhadap virus kerdil rumput (RGSV) dapat menjadi sumber inokulum ketika
ditularkan pada tanaman lain yang rentan. Oryza nivara dan Mentik Wangi yang
pada pengujian ketahanan terhadap virus kerdil rumput menunjukkan respon tahan,
ternyata dapat menjadi sumber inokulum bagi pertanaman yang lain. Dilihat dari
masa inkubasi penyakit virus kerdil rumput yang relatif cepat pada Varietas TN1, O.
nivara menunjukkan sebagai sumber inokulum yang baik. Masa inkubasi penyakit
kerdil rumput dengan sumber inokulum dari O. nivara cukup pendek (19 – 30 hari)
hampir sama dengan sumber inokulum varietas yang rentan TN1 dan Inpari 1,
tetapi jika dilihat dari rata-ratanya (27,33 hari) menunjukkan berbeda nyata dengan
sumber inokulum TN1 (24,53 hari). Rata-rata masa inkubasi paling lama terjadi
pada pertanaman yang diinokulasi dari sumber inokulum Mentik Wangi yang
berbeda nyata dibandingkan Inpari 1 dan kontrol rentan TN1 (Tabel 2).
Tabel 2. Masa inkubasi penyakit virus kerdil rumput dan tinggi tanaman pada
pengamatan 30 HSI tanaman TN1 yang diinokulasi dengan berbagai
varietas sebagai sumber inokulum
Sumber
Masa Inkubasi
Rata-rata Masa
Tinggi Tanaman
Inokulum
(hari)
Inkubasi (hari)
(Cm)
Inpari I
19 – 30
26,77 b
37,75 bc
IR64
23 – 36
28,63 ab
36,95 bc
Situ Bagendit
21 - 30
27,98 ab
41,32 ab
Inpari 13
21 – 30
29,13 ab
43,40 ab
Mentik Wangi
23 – 30
29,61 a
44,20 ab
O. nivara
19 – 30
27,33 ab
32,45 c
TN1
19 – 30
24,53 c
31,17 c
Kontrol
TN1
47,03 a
Sehat
Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
353
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Tinggi tanaman pada 30 hari setelah inokulasi virus kerdil rumput dari
sumber inokulum varietas yang berbeda menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
nyata. Rata-rata tinggi tanaman yang diinokulasi virus dari sumber inokulum O.
nivara menunjukkan paling rendah dibandingkan dari sumber inokulum lainnya.
Apabila dibandingkan kontrol sehat, terjadi penurunan tinggi tanaman sebesar 31%
oleh infeksi virus kerdil rumput dari sumber inokulum O. nivara, hampir sama
dengan penurunan tinggi tanaman oleh infeksi virus dari sumber inokulum varietas
rentan (TN1) yang mencapai 33,72%. Tinggi tanaman hasil infeksi dari sumber
inokulum O. nivara berbeda nyata dengan tinggi tanaman terinfeksi dari sumber
inokulum Situ Bagendit, Inpari 13 dan Mentik Wangi (Tabel 3). Bahkan tinggi
tanaman pada pertanaman hasil inokulasi dari ketiga sumber inokulum tersebut
tidak berbeda nyata dengan kontrol tanaman sehat. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun O. nivara merupakan varietas tahan virus kerdil rumput, tetapi dapat
menjadi sumber inokulum yang efektif, sedangkan varietas Situ Bagendit, Inpari 13,
dan Mentik wangi merupakan sumber inokulum yang kurang efektif.
Tabel 3. Prosentase penularan dan indeks penyakit virus kerdil rumput pada
pengamatan 30 HSI tanaman TN1 yang diinokulasi dengan berbagai
varietas sebagai sumber inokulum
Sumber Inokulum
Prosentase Penularan
Indeks Penyakit
(%)
Inpari I
100 a
6,33 ab
IR64
100 a
7,33 a
Situ Bagendit
70
bc
4,63 bc
Inpari 13
66,67 c
3,60 c
Mentik Wangi
56,67 c
2,90 c
O. nivara
86,67 ab
6,93 a
TN1
100 a
8,07 a
Kontrol TN1 Sehat
0
d
0
d
Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Hasil penghitungan prosentase penularan dari berbagai varietas sebagai
sumber inokulum menunjukkan bahwa varietas Mentik Wangi, Inpari 13, dan Situ
Bagendit merupakan varietas yang efektivitasnya sebagai sumber inokulum cukup
rendah dibandingkan yang lain. Hal ini didukung pula oleh hasil penghitungan
indeks penyakit yang juga paling rendah pada pertanaman hasil inokulasi dari
sumber inokulum ketiga varietas tersebut (Tabel 4). Sedangkan untuk sumber
inokulum varietas O. nivara, Inpari 1 dan IR64 menyebabkan respon yang tidak
berbeda nyata pada prosentase penularannya dibandingkan kontrol sumber
inokulum varietas rentan TN1. Dapat dikatakan bahwa ketiga varietas ini sama
efektifnya sebagai sumber inokulum dibandingkan TN1. Oleh karena itu, meskipun
O. nivara dan IR64 mempunyai ketahanan terhadap virus kerdil rumput, tetapi
354
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
mempunyai efektivitas yang baik sebagai sumber inokulum, sehingga dalam
perakitan varietas jika digunakan sebagai tetua tahan perlu adanya perbaikan
dengan varietas tahan lain sebagai tetua tahan, sedangkan IR64 tidak disarankan
ditanam di daaerah endemi penyakit virus kerdil rumput.
Kesimpulan
Dari 14 varietas yang diuji ketahanan terhadap virus kerdil rumput (RGSV), 4
varietas bereaksi tahan, yaitu: Mentikwangi, Rojolele, Utri Merah, dan Oryza
nivara; 9 varietas agak tahan, yaitu: IR64, Tetep, Ciherang, IR42, Inpari 2, Situ
Bagendit, Swarnalata, Inpari 13, dan Mahsuri; sedangkan 1 varietas rentan, yaitu
Inpari 1. Hasil uji penularan kembali pada varietas rentan (TN1) menunjukkan
bahwa Varietas Mentikwangi, Inpari 13, dan Situ Bagendit mempunyai efektivitas
yang cukup rendah sebagai sumber inokulum.
Daftar pustaka
Baehaki S.E. 2008. Perubahan wereng cokelat mencapaibiotipe 4 di beberapa
daerah sentra produksi padi. Prosiding Simposium PEI Cabang Bogor. 18-20
Maret 2008.
Baehaki S.E. dan Munawar D., 2009. Uji biotipe wereng coklat, Nilaparvata lugens
STAL. Di sentra produksi padi. Dalam: Suprihatno B., Daradjat A.A., Satoto,
Baehaki S.E., Suharto H., dan Suprihanto (Eds.). Inovasi Teknologi Padi
Mengantisipasi Perubahan Iklim Global mendukung Ketahanan Pangan.
Buku 1. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi.
Chowbury AK. 1999. Evaluating rice germplasm for resistance to rice tungro
disease in West Bengal, India. Dalam: Chancellor TCB., O. Azzzam and KL.
Heong (Eds). Rice Tungro Disease Management. International Rice
Research Institute.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2010. Laporan tahunan luas dan
intensitas serangan hama utama tanaman padi di Indonesia. Ditlin Tanaman
Pangan. Jakarta.
Hibino H. 1996. Biology and epidemiology of rice viruses. Annu. Rev. Phytopathol.
34: 249-274.
IRRI, 1996. Standard Evaluation System for Rice. IRRI, P.O. Box 9333, 1099.
Manila.Philippines.
Khush G.S. and K.C. Ling, 1974. Inheritance of resistance to grassy stunt virus and
its vector in rice. J. Hhered. 65: 14-136.
Ling, KC. 1972. Rice virus Diseases. The IRRI. Los Banos, Laguna, Philippines.
Muhsin, M. dan Widiarta I.N., 2009. Pengendalian penyakit tungro dan penyakit
virus tanaman padi lainnya. Dalam: Daradjat A.A., Setyono A., Makarim
A.K., dan Hasanuddin A (Ed). 2009. Padi: Inovasi Teknologi Produksi Buku
2. LIPI press, Jakarta. p. 473-498
355
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Nuque F.L., Aguiero V.M., and Ou S.H. 1982. Inheritance of resistance to grassy
stunt virus in rice. Plant Disease 66: 63-64.
Shikata E, Senboku T, Ishimizu T. 1980. The causal agent of rice grassy stunt
diseases. Jpn. Acad. 56 Ser. B. P89-94
Suprihatno B., Daradjat A.A., Satoto, Suwarno, Lubis E., Baehaki S.E., Sudir,
Indrasari S.D., Wardana IP., dan Mejana M.J. 2011. Deskripsi Varietas Padi.
Edisi Revisi. Balai Besar Penelitian tanaman Padi.
Zhou GH. 2010. Introduction to new rice dwafr disease and its patogent Southern
rice black-streaked dwarf virus. Chinese Sci. Bull. Desember 2008. 53 (23):
3677- 3685.
356
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
PENGGUNAAN MIKOVIRUS SEBAGAI AGENS PENGENDALIAN HAYATI
PENYAKIT JAMUR PADA TANAMAN
Supyani, H.S.Gutomo, Sri Widadi
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta
Abstrak
Jamur merupakan patogen terpenting pada tanaman pertanian. Semua
kelompok komoditas tanaman, yaitu padi-padian, hortikultura, tanaman
perkebunan, tanaman hias, dan lain-lain dapat diserangnya, dan menyebabkan
kerugian yang besar. Secara umum, sampai sekarang belum ditemukan
metode pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan terhadap penyakitpenyakit yang disebabkan oleh jamur. Akhir-akhir ini metode pengendalian
hayati merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana di dalam pengendalian
penyakit tanaman. Di luar negeri, penggunaan mikovirus (virus yang
menginfeksi jamur) untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan
oleh jamur (mikovirokontrol) sudah dilakukan. Salah satu contohnya adalah
pengendalian penyakit Hawar Kastanye yang disebabkan oleh jamur
Cryphonectria parasitica dengan menggunakan virus Cryphonectria hypovirus 1
(Anggota Famili Reoviridae). Cara ini sudah lama berhasil dilakukan di Eropa
dan Amerika. Sekarang ini mikovirokontrol sudah mulai dikembangkan pada
berbagai jamur patogen yang lain.Indonesia merupakan salah satu negara
dengan kekayaan hayati tertinggi di dunia. Indonesia merupakan satu dari 17
negara yang dikategorikan sebagai negara dengan megabiodiversitas dan dua
dari hanya 25 hotspot dunia berada di negara kita. Berdasarkan realitas
tersebut diperkirakan terdapat banyak mikovirus di alam yang dapat
dikembangkan sebagai agens pengendalian hayati. Eksplorasi yang telah
dilakukan pada jamur Rhizoctonia dan Fusarium di daerah Eks Karisidenan
Surakarta mengindikasikan adanya mikovirus pada jamur Fusarium.
Kata kunci: mikovirus, agens pengendalian hayati, jamur
Pendahuluan
Jamur merupakan patogen terpenting pada tanaman pertanian. Jamur
dapat mengifeksi semua kelompok komoditas tanaman, yaitu padi-padian,
hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman hias, dan lain-lain. Infeksi jamur
pada berbagai tanaman tersebut menyebabkan penyakit dan kerugian yang
besar (Semangun, 1996; Agrios, 1988). Secara umum, sampai sekarang
belum ditemukan cara pengendalian yang efektif serta ramah lingkungan
terhadap penyakit-penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Di era pasar
bebas dan pertanian berkelanjutan sekarang ini penggunaan pestisida non-
357
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
organik sudah sangat dibatasi dan merupakan alternatif terakhir (Untung,
2003).
Jamur, seperti halnya organisme eukariotik yang lain, dapat terinfeksi
oleh sejumlah virus, dan mikovirus (virus yang menginfeksi jamur) telah
ditemukan pada semua kelompok mayoritas jamur (Ghabrial, 2001). Sampai
dengan tahun 2005, lebih dari 200 mikovirus telah diidentifikasi (Fauquet et al.,
2005). Mikovirus pada jamur-jamur patogen tanaman juga sudah banyak yang
diidentifikasi. Berdasarkan perkiraan besarnya jumlah spesies jamur di alam
(sekitar 10.000 spesies yang telah diketahui dan jauh lebih banyak lagi spesies
yang belum diketahui), diperkirakan ada jauh lebih besar jumlah mikovirus yang
belum dikenali di alam. Sampling secara ekstensif terhadap isolat-isolat jamur
di lapang menunjukkan relatif tinginya frekuemsi infeksi virus, yaitu berturutturut sekitar 65%, 20%, dan 2-28% untuk Helicobasidium mompa, Rosellinia
necatrix dan Cryphonectria parasitica (Ghabrial, 2001).
Kebanyakan mikovirus menginfeksi inangnya tanpa menyebabkan
perubahan fenotip pada inangnya (tanpa gejala). Sebagian yang lainnya dapat
menyebabkan perubahan karakter biologi diantaranya berupa penurunan
virulensi jamur inangnya
(menyebabkan hipovirulensi) (Ghabrial, 2001;
Fauquet et al, 2005). Dari sudut pandang perlindungan tanaman, mikovirus
yang demikian ini dapat dimanfaatkan sebagai agens pengendalian hayati
penyakit jamur pada tanaman. Hingga kini telah lebih dari 10 sistem
hipovirulensi (mikovirus yang menyebabkan hipovirulen inangnya) yang telah
dipelajari, yang meliputi lebih dari 8 spesies jamur dan 10 spesies virus (Nuss,
2005).
Pemanfaatan mikovirus sebagai agens pengendalian hayati yang telah
berhasil dengan baik di lapangan adalah penggunaan Cryphonectria hypovirus
1 (CHV-1), suatu anggota famili Hypoviridae untuk mengendalikan penyakit
hawar daun kastanye (chestnut blight) yang disebabkan oleh jamur
Cryphonectria parasitica. Cara ini berhasil dengan baik di Amerika dan
beberapa lokasi di Eropa (Milgroom et al., 2004; Enebak et al, 1994). Sampai
sekarang, mikovirus-mikovirus yang lain mulai ditemukan, dikarakterisasi, serta
dikembangkan sebagai agens pengendalian hayati. Untuk mengendalikan
jamur yang sama, sekarang mulai dikembangkan mikovirus yang lain yaitu
Mycoreovirus-1 (MyRV1), suatu anggota Reoviridae (Supyani et al., 2007;
Hillman et al, 2004; Suzuki et al, 2004). Kerabat dekat dari MyRV1 tersebut,
Mycoreovirus-3 (MyRV3) juga telah dikembangkan untuk mengendalikan
penyakit busuk akar putih pada tanaman keras yang disebabkan oleh jamur
Rosellinia necatrix (Ascomycetes) (Kanematsu et al., 2004).
Pada jamur Fusarium, sampai sekarang paling tidak sudah dilaporkan
ada empat mikovirus yang berasosiasi dengan hipovirulensi. Keempat
mikovirus tersebut adalah Fusarium oxysporum Skippy virus yang diisolasi dari
Fusarium oxysporum fsp. lycopersici (Anaya & Roncero, 1995), Fusarium poae
358
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
virus 1 yang diisolasi dari jamur Fusarium poae (Compel et al., 1999), Fusarium
solani virus 1 (Partitiviridae) yang diisolasi dari jamur Fusarium solaini fsp.
robiniae (Nogawa et al., 1996), dan Fusarium graminearum virus-DK21 yang
diisolasi dari jamur Fusarium graminearum (Chu et al., 2002). Selain itu juga
telah ditemukan mikovirus pada jamur Rhizoctonia dan jamur-jamur yang lain.
`Di Indonesia, upaya pemanfaatan mikovirus sebagai agens pengendalian
hayati baru mulai dirintis. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan
untuk mengetahui adanya mikovirus di lapangan. Mengingat Fusarium
merupakan jamur patogen penting pada tanaman di Indonesia, maka jamur
tersebut dipilih sebagai model.
Metode penelitian
A. Koleksi isolat-isolat jamur Fusarium
Isolat-isolat jamur Fusarium dikoleksi dari daerah-daerah endemi jamur
Fusarium di Jawa Tengah. Tanaman yang menunjukkan gejala infeksi
Fusarium dipilih/ditandai. Kemudian bagian batang tanaman yang sakit (busuk
kering) dipotong, dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label,
kemudian secepatnya dimasukkan ke dalam termos pendingin. Setelah sampai
di laboratorium, sampel-sampel tanaman segera dipindah ke refrigerator
bersuhu 4oC. Selanjutnya jamurnya ditumbuhkan pada media buatan.
B. Kultur isolat-isolat jamur Fusarium pada media buatan
Kultur isolat-isolat jamur Fusarium secara umum dilakukan menurut cara
Streets (1972). Permukaan jaringan yang sakit disterilkan dengan
5%
PURELOX. Bagian kecil dari daerah perbatasan antara jaringan sakit dan sehat
dipotong, lalu diambil dan diletakkan di tengah petridis berdiameter 10 mm yang
mengandung 28 ml PDA (potato dextrose agar). Seluruh isolat diberi nomor
identitas sesuai dengan identitas yang tertera pada label saat isolasi dari
lapang. Biakan diinkubasikan di rak percobaan pada suhu ruang selama 7
sampai 10 hari.
C. Karakterisasi morfologi isolat-isolat jamur Fusarium
Karakterisasi morfologi koloni jamur dilakukan menurut cara Hillman, et al.
(1990). Potongan biakan berukuran 3x3x3 mm kubik diambil dari bagian tepi
biakan stok berumur 1 minggu, lalu ditanam pada bagian tengah petridis
berdiameter 10 mm yang mengandung 28 ml PDA. Biakan lalu diinkubasikan di
rak percobaan pada suhu dan kelembaban ruangan. Biakan diamati pada hari
ke 5, 7 dan 10. Karakter yang diamati dan dicatat antara lain adalah: diameter
koloni, warna koloni, tekstur permukaan koloni dan kuantitas miselium udara.
Apabila dari isolat-isolat yang damati ditemukan isolat-isolat dengan morfologi
yang berbeda, maka isolat-isolat yang bersangkutan ditandai/dipilih dan
didokumentasikan. Isolat-isolat terpilih selanjutnya diuji virulensinya.
359
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
D. Uji virulensi
Uji Virulensi dilakukan menurut cara Elliston (1985). Buah apel yang sudah
masak didesinfeksi permukaannya dengan 5% PURELOX. Buah apel lalu
dilubangi permukaannya dengan ukuran diameter 7 mm sedalam 3-4 mm
menggunakan alat pelubang gabus. Inokulum yang berupa potongan biakan
jamur dimasukkan ke dalam masing-masing lubang dengan posisi menghadap
ke dalam, lalu ditekan dengan spatula steril sampai terjadi kontak yang
sempurna dengan jaringan apel. Bagian yang diinokulasi lalu dibalut dengan
parafilm untuk mencegah kering, lalu buah apel diinkubasi di atas baki plastik
pada suhu dan kelembaban ruang. Diameter lesio diukur pada hari ke 5, 7, 9,
dan 12.
E. Ekstraksi RNA total
Ekstraksi RNA total dilakukan menggunakan TRIzol®RNA Extraction Kit
buatan InvitrogenTM mengikuti petunjuk dari perusahaan. Biakan Fusarium pada
20 ml media potato dextrose broth (PDB) berumur 10 hari dipanen dengan
cara disaring menggunakan Miracloth (Calbiochem). Miselium (≈75 mg)
dihaluskan dengan mortar and pestle dengan bantuan nitrogen cair. Preparasi
lalu diproses sesuai prosedur di dalam panduan dari perusahaan. RNA total
yang telah diperoleh disuspensikan di dalam 30 µl air steril yang telah
diperlakukan dengan DEPC. RNA total
dianalisa dengan elektroforesis
memakai 1 % gel agarose di dalam buffer TBE. RNA kemudian di cat dengan
etidium bromida dan difoto.
Hasil dan pembahasan
A. Koleksi Isolat-isolat Fusarium dari Lapang dan Kultur Isolat-isolat
Fusarium pada Media Buatan
Mula-mula isolat-isolat Fusarium dikoleksi dari daerah sentra pertanaman
cabai di daerah Boyolali, Jawa Tengah. Dari daerah ini diperoleh sebanyak 100
isolat. Isolat-isolat Fusarium juga dikoleksi dari daerah sentra pertanaman jahe
di daerah Salatiga, Jawa Tengah. Dari daerah ini diperoleh sebanyak 100
isolat. Selain itu, isolat-isolat Fusarium juga dikoleksi dari daerah sentra
produksi kentang di dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Dari Dieng terkumpul
sebanyak 172 isolat jamur. Sehingga, dari ketiga komoditas tersebut di atas,
total terkumpul sebanyak 372 isolat.
B. Karakterisasi Fenotip Isolat-isolat Fusarium
Ke-372 isolat Fusarium yang telah diperoleh dilakukan karakterisasi
fenotip. Masing-masing isolat dikulturkan pada media PDA di dalam petridis
berukuran 900 x 15 mm dan diinkubasikan di atas meja pada suhu ruang
selama 1 minggu (Gambar 1 Kiri). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
isolat-isolat tersebut menampakkan fenotip koloni yang beragam. Berdasarkan
360
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
profil koloninya, ke-372 isolat tersebut dapat dikelompokkan menjadi 5
kelompok fenotip koloni yang berbeda. Adapun deskripsi masing-masing
kelompok fenotip tersebut adalah sebagai berikut (Gambar 1 Kanan):
 Kelompok A. Koloni halus tipis, krem, sedikit miselium udara putih.
 Kelompok B. Koloni halus, ungu, banyak miselium udara putih.
 Kelompok C. Koloni tebal, pink, muselium udara putih.
 Kelompok D. Koloni agak tipis, putih kotor, banyak miselium udara
seperti kapas.
 Kelompok E. Koloni agak kasar, putih kotor, membentuk cincin, miselium
udara.
Berdasarkan karakter fenotipnya, terpilih 30 isolat Fusarium yang
mengindikasikan hipovirulen.
C. Uji virulensi
Uji virulensi dilakukan dengan cara menginokulasikan ke-30 isolat terpilih
pada buah apel, masing-masing isolat diulang sebanyak tiga kali (Gambar 2
Kiri). Hasil uji menunjukkan bahwa ke-30 isolat tersebut mempunyai virulensi
yang beragam. Tingkat virulensi tertinggi ditemukan pada isolat A2 yang
mewakili isolat virulen. Sedangkan isolat-isolat B6, C15, D19, and E20
merupakan isolat-isolat hipovirulent (Gambar 3). Terhadap isolat-isolat
hipovirulen tersebut di atas selanjutnya dilakukan ekstraksi RNA total untuk
mengetahui keberadaan genom virusnya.
D. Ekstraksi RNA total
Hasil ekstraksi RNA total terhadap miselia isolat-isolat Fusarium terpilih
disajilan pada gambar 2 Kanan. Isolat C15 menampakkan profil RNA total yang
berbeda dari isolat-isolat terpilih yang lain. Pada isolat ini terlihat ada dua pita
tebal berukuran pendek. Dua pita tersebut diduga genom atau bagian genom
mikovirus. Penelitian masih dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang
kedua pita tersebut.
361
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Gambar 1. Kiri, Isolat-isolat
isolat Fusarium dikulturkan pada media PDA di dalam
petridis berukuran 900 x 15 mm dan diinkubasikan di atas meja
pada suhu ruang selama 1 minggu.
Keterangan: Kanan, Lima group isolat-isolat
isolat
Fusarium berdasarkan morfologi
koloni.
A.
Koloni halus tipis, krem, sedikit miselium udara putih.
B.
Koloni halus, ungu, banyak miselium udara putih.
C.
Koloni tebal, pink, muselium udara putih.
D.
Koloni agak tipis, putih kotor, banyak miselium udara seperti kapas.
E.
Koloni agak kasar, putih kotor, membentuk cincin, miselium udara.
Gambar 2. Kiri, Uji virulensi dilakukan dengan cara menginokulasikan Isolat
Isolatisolat Fusarium pada buah apel, masing-masing
masing isolat diulang
sebanyak tiga kali.
kali
Keterangan: Kanan, Elektroforesis RNA total yang diekstraksi dari miselia
isolat-isolat Fusarium terpilih pada1%
pada1 gel agarose dalam bufer T
TBE. Lajur A2 :
362
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
isolat virulen, lajur B6 - E20 : isolat-isolat hipovirulen. Tanda strip menunjukkan
RNA ribosom jamur. Strip atas, 28s ribosomal RNA (2.5 kbp); strip bawah, 18s
ribosomal RNA (2.0 kbp). Tanda panah menunjukkan (putative) RNA mikovirus.
Gambar 3. Karakter biologi isolat-isolat jamur Fusarium terpilih.virulen (A2),
hipovirulent (B6, C15, D19, and E20). Atas: Profil koloni pada
media PDA. Bawah: Uji virulensi menggunakan buah apel.
Daftar pustaka
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology, 3rd. ed. Academic Press, Inc.: New York.
803pp.
Anaya, N and Roncaro, M.I. 1995. Skippy, a retroransposon from the fungal
plant pathogen Fusarium oxysporum. Mol. Gen. Genet. 249 : 637-647.
Chu,Y.-M., Joen, J.-J., Yea, S.-J., Kim,Y.-H., Yun, S.-H., et al. 2002. Doublestranded RNA mycovirus from Fusarium graminearum. Appl. Environ.
Microbiol. 68 : 2529-2534.
Compel, P., Papp, I., Bibo, M., Felute, C., and Hornok, L.1999. Genetic
interrelationships and genome organization of dsRNA elements of Fusarium
poae. Virus Genes 18 : 49-56.
Elliston, J.E. 1985. Characteristics of dsRNA-free and dsRNA-containing strains
of Endothia parasitica in relation to hypovirulence. Phytopathology 82:151157.
Enebak, S.A., Hillman, B.I., and MacDonald, W.L. 1994. A hypovirulent
Cryphonectria parasitica isolate with multiple, genetically unique dsRNA
segments. MPMI 7 : 590-595.
Farr, D. F., G. F. Bills, G. P. Chamuris, and A. Y. Rossman. 1989. Fungi on
Plants and Plant Products in the United States. APS Press. St. Paul,
Minnesota.
363
Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014
Fauquet, C. M., Mayo, M.A., Maniloff, J., Desselberger, U., and Ball, L.A. 2005.
Virus Taxonomy: Eighth Report of the International Committee for the
Taxonomy of Viruses. Academic Press, San Diego.
Ghabrial, S. A. 2001. Fungal viruses. In O. Maloy and T. Murray, eds.
Encyclopedia of Plant Pathology . John Wiley & Sons, New Yor 1: 478-483.
Hillman, B. I., Supyani, S., Kondo, H. and Suzuki, N. 2004. A reovirus of the
fungus Cryphonectria parasitica that is infectious as particles and related to
the Coltivirus genus of animal pathogens. J Virol 78, 892–898.
Hillman, B.I., Shapira, R., and Nuss, D.L. 1990. Hypovirulence-associated
suppresion of host functions in Chryphonectria parasitica can be partially
relieved by high light intensity. Phytopathology 80: 950-956.
Kanematsu, S., Arakawa, M., Oikawa, Y. and 10 other authors. 2004. A reovirus
causes hypovirulence of Rosellinia necatrix. Phytopathology 94: 561–568.
Milgroom, M. G. and Cortesi, P. 2004. Biological Control of Chestnut Blight with
Hypovirulence: A Critical Analysis. Annual Review of Phytopathology Vol.
42: 311-338.
Nogawa, M., Kageyama, T., Nakatani, A., Taguchi, G., Shimosaka, M., and
Okazaki, M. 1996. Cloning and characterization of mycovirus dsRNA from
the plant pathogenic fungus Fusarium solaini fsp. robiniae.Biosci.
Biothechnol. Biochem 60 : 784-788.
Nuss, D.L. 2005. Hypovirulence: Mycoviruses at the fungal-plant interface.
Nature 3: 632-642.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Streets, R.B. 1972. Diagnosis of Plant Diseases. The University of Arizona
Press, USA.
Supyani, Hillman, B.I., and Suzuki, N. 2007. Baculovirus expression of all the
mycoreovirus 1 genome segments and identification of the
guanylyltransferase-encoding segment. Journal of general Virology 88, 342350.
Suzuki, N., S. Supyani, K. Maruyama, and B. I. Hillman. 2004. Complete
genome sequence of Mycoreovirus-1/Cp9B21, a member of a novel genus
within the family Reoviridae, isolated from the chestnut blight fungus
Cryphonectria parasitica. J Gen Virol 85:3437-3448.
Untung, K. 2003. Optimalisasi pemanfaatan novel technologies dalam
mendukung
sistem
perlindungan
tanaman
menuju
pertanian
berkelanjutan.Simposium Nasional Perlindungan Tanaman Indonesia.
Yogyakarta, 10 Maret.
364
Download