PENGENDALIAN PENYAKIT PADA TANAMAN PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Joglosemar Dan Universitas Gadjah Mada FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSTAS GADJAH MADA 2015 i PENGENDALIAN PENYAKIT PADA TANAMAN PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN PENULIS Arif Wibowo ISBN 978-602-71784-0-3 Dewan Redaksi Achmadi Priyatmojo Tri Joko Suryanti Ani Widiastuti Redaksi Pelaksana Norman Yudi Nugroho Utami Handayani Ahmad Khoirudin Asrofi Andika Febrianto PENERBIT PERHIMPUNAN FITOPATOLOGI INDONESIA REDAKSI Jl. Flora No.1, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 Telp/Fax (0274) 523926, E-mail : [email protected] ii KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena telah memberi rahmat dan karunianya sehingga pada kesempatan ini Perhimpunan Fitopatologi Indonesia dapat melaksanakan Seminar Nasional dengan topik “Pengendalian Penyakit Pada Tanaman Pertanian Yang Ramah Lingkungan” Seminar Nasional ini disamping bertujuan sebagai media pertemuan antar peneliti di bidang Fitopatologi di seluruh Indonesia dalam menyebar-luaskan hasil penelitiannya juga dimaksudkan sebagai media informasi kepada masyarakat umum untuk mengetahui teknik-tenik yang terbaru dalam pengelolaan penyakit tumbuhan yang ramah kepada lingkungan. Pelaksanaan Seminar Nasional kali ini dihadiri oleh lebih dari 150 peserta dari berbagai institusi di Indoneia yang membawakan 73 makalah dari berbagai bidang keahlian yaitu mikologi, bakteriologi, virologi, nematologi serta pengendalian penyakit. PFI berharap agar di masa mendatang Seminar Nasional ini dapat dilaksanakan secara rutin dengan mengusung topik yang berbeda yang merupakan permasalahan nasional dibidang Fitopatologi. Yogyakarta, 20 September 2014 Penulis iii DAFTAR ISI Halaman Judul ............................................................................................... i Kata Pengantar .............................................................................................. iii Daftar Isi ......................................................................................................... iv 1. Pengendalian Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan dengan Penerapan Prinsip Epidemiologi manfaat (Suatu telaah pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan) Bambang Hadisutrisno ........................................................................ 1 2. Pengelolaan Kesehatan Benih Kentang Guna Mendukung Sistem Produksi yang Optimal dan Ramah Lingkungan Baharuddin ........................................................................................... 13 3. Peranan Faktor Lingkungan Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas axonopodis pv. allii) Pada Tanaman Bawang Merah Asrul, Bambang Hadisutrisno, Triwidodo Arwiyanto dan Jaka Widada ......................................................................................... 15 4. Komposisi Dan Sebaran Patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae Penyebab Penyakit Hawar Daun Bakteri Di Sentra Produksi Padi Di Provinsi Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta Dini Yuliani dan Sudir .......................................................................... 26 5. Waktu Aplikasi Dan Jenis Bakterisida Terhadap Keparahan Penyakit Hawar Daun Bakteri Dan Hasil Padi Dini Yuliani dan Sudir .......................................................................... 36 6. Kajian Penggunaan Biorasional Untuk Mengendalikkan Hawar Daun Bakteri (HDB) Padi Agus Nurawan dan Nandang Sunandar ............................................. 48 iv 7. Pemanfaatan Bakteriofage Asal Daun Kubis Untuk Mengendalikan Penyakit Busuk Hitam Kubis Mukhamad Kurniarrokhman, Sri Widadi dan Supyani ...................... 55 8. Pemanfaatan Bakteriofage Tanah Indigenus Sebagai Pengendali Busuk Hitam Kubis Neny Saputri, Sri Widadi dan Supyani ............................................... 62 9. Karakter Bacillus subtilis B315 sebagai antibakteri Ralstonia solanacearum dan antijamur Colletotrichum sp. Nur Prihatiningsih dan Heru Adi Djatmiko......................................... 70 10. Intersepsi Temuan OPTK A1 dan A2 pada Ekspor Impor Komoditas Hasil Pertanian Melalui BBKP Surabaya Tahun 2014 Purwati .................................................................................................. 79 11. Peningkatan Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Virus Kuning Melalui PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) Dari Agensia Hayati Pseudomonas fluorescens Dan Trichoderma harzianum Sri Murtiati dan Hairil Anwar ............................................................... 88 12. Formulasi Pseudomonad fluorescens Pf-122 dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai Cabai Yenny Wuryandari, Sri Wiyatiningsih dan Maruto ............................ 98 13. Kunci Identifikasi Mobil Untuk Spesies Pratylenchus filipjev, 1936 (Nematoda: Pratylenchidae) Abdul Gafur .......................................................................................... 109 14. Keefektifan Fungi Mikoriza Arbuskular Dan Gliocladium fimbriatum Dalam Mencegah Busuk Pangkal Batang (Botryodiplodia theobromae) Pada Jeruk Almira Pintari Supraba dan Meity Suradji Sinaga ............................. 116 v 15. Pengaruh Aplikasi Jamur Mikoriza Arbuskular terhadap Penurunan Perkembangan Penyakit pada Bibit Tebu Ambar Swastiningrum dan Bambang Hadisutrisno ......................... 130 16. Pengaruh Kombinasi Cara Pengairan Dan Tipe Varietas Padi Terhadap Keparahan Penyakit Hawar Upih Bambang Nuryanto, Achmadi Priyatmojo, Bambang Hadisutrisno, dan Bambang Hendro Sunarminto ............................. 137 17. Analisis Populasi Nematoda Parasit Pada Lahan Tanaman Tomat Dengan Sistem Tanam Monokultur Dan Polikultur Ankardiansyah Pandu Pradana, Diana Putri dan Abdul Munif ..................................................................................................... 147 18 Peningkatan Daya Antagonis Dengan Penambahan Gulma Sebagai Media Aplikatif Ismed Setya Budi ................................................................................. 156 19. Peningkatan Kualitas Mikroba Indiginous Lahan Basah Sub Optimal Untuk Pertumbuhan Kelapa Sawit Dan Pengendalian Penyakit Fase Pre Nursery Jamzuri Hadie Dan Ismed Setya Budi ................................................ 165 20. Penggunaan Varietas Tahan Dalam Pengelolaan Penyakit Hawar Daun Bakteri Dan Blas Dalam Sistem Usaha Tani Padi Ida Bagus Kade Suastika dan A.A.N.B. Kamandalu ......................... 174 21. Pengendalian Penyakit Layu Pisang Pada Tanaman Pisang (Musa paradisiaca, Linn) Melalui Penerapan Budidaya Tanaman Sehat Dengan Metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Di Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat Enie Taurslina Amarullah, Azwar dan Enwidarti ............................... 186 vi 22. Pengaruh Aplikasi Fungisida Berbahan Aktif Metalaksil Dan Dimetomorf Terhadap Fisiologi Tanaman Jagung Dan Penyakit Bulai Muji Winarno dan Christanti Sumardiyono........................................ 198 23. Kajian Dampak Penggunaan Pestisida Pada Bawang Merah Terhadap Residu Yang Ditimbulkannya Renny Utami Somantri, Kgs. Abdul Kodir, Syahri dan Sidiq Hanapi ......................................................................................... 204 24. Deteksi Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) Pada Tanaman Solanaceae Dengan Teknik PCR Siti Halimah .......................................................................................... 213 25. Kajian Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Petani PadiIrigasi Dalam Menggunakan Pestisida (Kasus: Desa Srikaton, Kec. Buay Madang Timur, Kab. Oku Timur Syahri, Renny Utami Somantri dan Sidiq Hanapi.............................. 221 26. Uji Metode Inokulasi Pada Bawang Merah Dengan Fusarium spp. Ayu Lestiyani, Arif Wibowo dan Siti Subandiyah .............................. 230 27. Ketahanan Tomat Terimbas Asam Fusarat Terhadap Fusarium oxysporum Pada Tiga Lokasi Dengan Ketinggian Berbeda Abdul Azis Ambar dan Nur Ilmi .......................................................... 238 28. Uji Antagonisme Cendawan Endofit Terhadap Ganoderma Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Kelapa Sawit Lisnawita, Hamidah Hanum dan Ahmad Rafiqi Tantawi ................... 244 vii 29. Kajian Induced Resistance Anggrek Phalaenopsis amabilis secara In Vitro terhadap Fusarium oxysporum penyebab Penyakit Busuk Daun R.Soelistijono, A, Priyatmojo dan D.S. Utami .................................... 253 30. Pengendalian Penyakit Hawar Pelepah dengan Trichoderma sp. Pada Sistem Tanam Padi Loka lLahan Rawa Mariana ................................................................................................. 261 31 Identifikasi Galur Planlet Vanili (Vanilla planifolia Andrews) ResistenTerhadap Infeksi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Hasil Seleksi In Vitro Dengan Asam Fusarat Endang Nurcahyani, Bambang Hadisutrisno, Issirep Sumardi dan E. Suharyanto ................................................................ 272 32. Effect Of Binucleate Rhizoctonia And Stem Rot (Fusarium oxysporum f.sp. vanillae) of Vanilla (Vanilla planifolia Andrews) At Andisol Soil Haryuni ................................................................................................. 280 33. Pengujian Harapan Ketahanan Cabai Merah Varietas Komersial Terhadap Penyakit Dan Galur Antraknos (Colletotrichum spp) Skala Laboratorium Ineu Sulastrini, T.S Uhandan dan R Kirana ....................................... 293 34. Evaluasi Ketahanan Varietas/Galur Harapan Bawang Merah Terhadap Penyakit Embun Bulu (Peronospora destructor) Di Lapangan Ineu Sulastrini dan Iteu M. Hidayat..................................................... 299 35. Seleksi In Vitro Jamur Endofit Yang Berpotensi Sebagai Agen Biokontrol Jamur Fusarium oxysporum f. sp. cubense Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang Jumsu Trisno , Suardi Gani, dan Yuda Pratama ............................... 307 viii 36. Pengaruh Pupuk Hayati Terhadap Perkembangan Penyakit Layu Fusarium Pada Tomat Marlina Puspita Sari, Bambang Hadisutrsisno dan Arif Wibowo ................................................................................................. 314 37. Kajian Ekologi Jamur Mycosphaerella spp. Penyebab Penyakit Sigatoka Pada Tanaman Pisang Secara In Vitro Rabiyatul Adauwiyah, Mariana dan Ismed Fachruzi ......................... 322 38. Penyakit Virus Bunchy Top Pada Tanaman Pisang, Virulensi Dan Cara Pengendaliannya Yulianto ................................................................................................. 331 39. Deteksi Dan Evaluasi Serangan Penyakit Grapevine Fanleaf Virus (GFLV) Pada Sepuluh Varietas Anggur Yang Ditanam Bersama Kenikir (Tagetes erecta) Sri Widyaningsih dan M.E. Dwiastuti ................................................. 339 40. Ketahanan Beberapa Varietas Dan Plasmanutfah Padi Terhadap Penyakit Virus Kerdil Rumput Dan Effektivitasnya Sebagai Sumber Inokulum Suprihanto, Susamto Somowiyarjo, Sedyo Hartono dan Y. Andi Trisyono .................................................................................. 348 41. Penggunaan Mikovirus Sebagai Agens Pengendalian Hayati Penyakit Jamur Pada Tanaman Supyani, H.S.Gutomo, dan Sri Widadi ............................................... 357 ix Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pengendalian Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan dengan Penerapan Prinsip Epidemiologi Suatu telaah manfaat pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan Bambang Hadisutrisno1 dan Didik Setyo Heriyanto2 1) Laboratorium Mikologi Pertanian-Fakultas Pertanian UGM 2) Bagian Patologi Anatomi-Fakultas Kedokteran UGM Intisari Kecepatan pertambahan penduduk yang lebih tinggi daripada kecepatan pertambahan produksi pangan, ditambah lagi dengan realita ketahanan pangan Indonesia di kawasan Asean yang cukup rendah (skor di atas 25 dikategorikan lemah, dan Indonesia skornya 66), memusatkan perhatian masyarakat untuk meningkatkan produksi pangan, baik kuantitas maupun kualitas. Permasalahanpermasalahan yang menyebabkan menurunnya atau rendahnya produksi dicari solusi pemecahannya, termasuk masalah tidak tercapainya sasaran target oleh adanya gangguan hama dan penyakit. Kenyataan ini memicu masyarakat untuk melakukan berbagai usaha dalam menekan gangguan hama dan penyakit tanaman. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di lapangan pengendalian penyakit tanaman masih banyak yang bertumpu dengan penggunaan pestisida, padahal dampak pestisida terhadap risiko kesehatan manusia cukup besar. Dengan memperhatikan dampak negatif pestisida terhadap kesehatan ini, maka pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan dengan meminimalkan penggunaan pestisida, mutlak diperlukan. Pertanaman yang bersifat pertanian univarietas atau monokultur seperti tanaman perkebunan mempunyai risiko tinggi mendapat gangguan penyakit tanaman, tetapi dilihat dari lingkungan dan ekosistemnya, pengendalian penyakit yang ramah lingkungan dengan pemanfaatan agens pengendali hayati pada tanaman perkebunan lebih baik dibandingkan penggunaan pestisida kimiawi. Dalam manajemen pengendalian penyakit tumbuhan, perlu penerapan strategi dan taktik. Secara epidemiologis, strategi yang dapat dilakukan adalah mengurangi inokulum awal, mengurangi laju infeksi, dan mengurangi lamanya epidemi, sedangkan taktik yang dapat digunakan adalah ekslusi, avoidan, eradikasi, proteksi, resistensi dan terapi. Baik strategi maupun taktik dalam pengendalian dapat dilakukan dengan berbagai cara yang tidak harus mengandalkan penggunaan pestisida kimiawi. Pemanfaatan jamur mikoriza arbuskular yang unggul dan legal dapat disarankan untuk dicoba, karena 1 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 selain sebagai pupuk hayati beberapa di antaranya berpotensi sebagai agens pengendali hayati. Pendahuluan Dalam masyarakat modern di era globalisasi ada 3 prinsip yang dianut oleh masyarakat terkait dengan pola makan, yaitu cepat, tepat dan selaras dengan selera. Kebiasaan serba cepat efisen dan efektif dalam setiap langkah, mengharuskan manusia untuk bersikap demikian. Namun, tanpa disadari pola makan yang demikian itu mengandung risiko besar bagi kesehatan, terutama peluangnya untuk terkena berbagai macam penyakit degeneratif, seperti jantung, kanker, dan stroke. Pola makan yang benar agar terhindar dari penyakit defisiensi dan penyakit degeneratif yaitu jumlah karbohidrat yang dikonsumsi ≥ 70% total kebutuhan kalori, jumlah lemak yang dikonsumsi < 30% total kalori yang terdiri < 10% asam lemak jenuh, 10% asam lemak tidak jenuh tunggal dan >10% asam lemak tidak jenuh ganda. Penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan kanker, sekarang ini merupakan pembunuh yang ke-2 atau ke-3. Mengkonsumsi produk pertanian yang mengandung residu pestisida, merupakan salah satu penyebab terkena oleh penyakit degeneratif di atas. Memang harus disadari bahwa, kehilangan hasil akibat penyakit tanaman rata-rata mencapai 11,8% dan karena hama mencapai 12,2 % pada berbagai tanaman penting di seluruh dunia. Kehilangan hasil akibat gangguan penyakit pada tanaman padi rata-rata mencapai 15,1 % dari potensi hasilnya. Tidak disangkal lagi masyarakat berusaha mengurangi terjadinya kehilangan hasil tersebut dengan melakukan berbagai cara pengendalian. Realita di lapangan, pengendalian penyakit tumbuhan masih lebih bertumpu pada penggunaan fungisida, baik secara terjadwal maupun tergantung kondisi cuaca. Pemilihan varietas tanaman oleh petani lebih berorientasi pada produksi dan permintaan pasar, bukan karena ketahanannya terhadap organism pengganggu tanaman (OPT). Belum banyak petani yang membuat perencanaan pengelolaan OPT mulai awal sebelum dilakukan praktek penanaman. Panitia meminta penulis untuk menyampaikan materi dengan topik Pengendalian Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan, suatu judul yang menarik, tetapi sesederhana itukah dalam aplikasinya di masyarakat? Bagaimana petani melakukan penyemprotan fungisida bawang merahnya bila terkena penyakit bercak ungu atau antraknose? Perlakuan oleh masyarakat untuk kentang di lapangan bila terkena potato blight? Meskipun disadari bahwa pestisida berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Dengan menguraikan dampak negatif pestisida bagi kesehatan manusia, akan menjadi 2 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 daya-dorong tersendiri untuk mau melakukan pengendalian penyakit tumbuhan yang ramah lingkungan. Dampak pengendalian kimiawi terhadap kesehatan manusia Pestisida yang digunakan dalam pengendalian kimiawi dapat berdampak pada lingkungan, kesehatan manusia dll., namun dalam makalah ini yang akan dikemukakan adalah dampak pestisida terhadap kesehatan manusia. Beberapa contoh dampak pestisida terhadap kesehatan manusia, dapat dikemukakan seperti berikut ini. Pestisida Menyebabkan Kemandulan Salah satu pestisida adalah atrazine, yaitu herbisida yang banyak digunakan di lahan tebu dan sering terdeteksi dalam air keran. Para ilmuwan dan dokter mengemukakan bahwa pestisida ini meningkatkan risiko keguguran dan kemandulan, melalui penurunan kualitas dan mobilitas sperma. Bahaya Pestisida Pada Kehamilan, Bayi, dan Anak Ibu hamil yang mengkonsumsi produk pertanian yang mengandung residu pestisida tinggi, dapat menyebabkan bayi yang dikandungnya menderita cacat lahir, seperti spina bifida, bibir sumbing, kaki pengkor, dan sindrom down. Untuk memperkecil risiko, ibu hamil harus selektif dalam mengkonsumsi makanan dan minuman. Paparan pestisida selama 3 bulan sebelum konsepsi dan selama kehamilan akan meningkatkan risiko keguguran spontan pada ibu hamil. Selain itu, bayi yang dilahirkan berisiko terkena leukimia dan kecerdasannya dapat terganggu. Bila terpapar pestisida sejak awal kehamilan akan berpengaruh pada pembentukan janin dalam kandungan. Residu pestisida dapat meningkatkan risiko kelainan bawaan tertentu selama perkembangan janin. Apalagi selama perkembangannya janin belum mampu mendetoksifikasi racun yang ada, sementara otak dan system saraf sendiri masih terus berkembang sampai anak berusia 12 tahun. Pada anak, paparan pestisida dapat menurunkan stamina tubuh, perhatian, dan daya konsentrasi. Begitu pun memori dan koordinasi tangan-mata yang terganggu, serta semakin besar kesulitan anak dalam membuat gambar atau garis sederhana. Anak yang terpapar residu pestisida sejak balita, ketika menginjak usia SD kecerdasannya akan menurun. Hasil penelitian yang dilakukan di Meksiko terhadap anak yang mengkonsumsi anggur disemprot pestisida dan yang tidak disemprot pestisida, menunjukkan perbedaan kognitif yang signifikan. Pestisida ini dari jenis fungisida dalam upaya mengendalikan penyakit mildew yang disebabkan oleh Plasmopara viticola. 3 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pengaruh Pestisida Terhadap Perubahan Hormon Paparan pestisida dalam tubuh secara terus-menerus dalam waktu sekitar 20-30 tahun akan menyebabkan perubahan hormonal dan system reproduksi. Pada anak laki-laki diistilahkan dengan demasculinisation, yaitu hilangnya sifatsifat maskulin, sementara pada anak perempuan diistilahkan dengan defeminisasion. Anak mengalami perubahan orientasi seksualnya. Pestisida Menyebabkan Diabetes Bertahun-tahun ilmuwan percaya ada hubungan antara diabetes dengan pestisida. Menurut jurnal yang diterbitkan di Diabetes Care, orang yang mengalami kelebihan berat badan dan dalam tubuhnya terdapat pestisida golongan organoklorin berisiko tinggi terkena diabetes. Untuk menghindarinya, konsumsi makanan organik dan hindari penyegar udara kimia dan produk-produk artifisial yang beraroma. Tanaman yang dipupuk dan dikendalikan terhadap gangguan dengan pupuk dan pestisida organik, akan menghasilkan produk pertanian organik. Pestisida Menyebabkan Kanker Pestisida cukup erat hubungannya dengan kanker. Lebih dari 260 pestisida berkaitan dengan beragam jenis kanker seperti limfoma, leukemia, sarcoma, jaringan lunak, otak, kanker hati, dan kanker paru-paru. Kanker timbul akibat kerusakan genetik yang berdampak tidak terkendalinya pertumbuhan sel. Kerusakan genetik tersebut dapat disebabkan faktor lingkungan eksternal, seperti infeksi virus, bahan makanan, zat kimia/obat-obatan, faktor internal seperti efek genetik. Faktor lingkungan seperti kebiasaan makan (makanan awetan, ikan asin, makanan siap saji, pemanis dan pengawet), gaya hidup (rokok, alkohol, dan kebiasaan lainnya), dan kebersihan, sangat besar pengaruhnya terhadap timbulnya kanker. Pestisida menyebabkan Obesitas Kadang-kadang pestisida bertindak sebagai hormon palsu dalam tubuh. Hormon ini mengganggu kemampuan tubuh untuk mengatur pengeluaran hormon yang sehat. Menurut penelitian yang dimuat jurnal Environmental Health Perspectives, lebih dari 50 jenis pestisida diklasifikasikan sebagai pengganggu hormon, di antaranya dapat memicu sindrom metabolik dan obesitas. 4 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pestisida Menyebabkan Parkinson Penyakit gangguan degeneratif sistem saraf pusat atau yang sering mengganggu penderita dalam keterampilan motorik, pidato atau Parkinson sangat berhubungan dengan paparan pestisida. Penelitian yang dilakukan menunjukkan penyakit ini berkaitan erat dengan paparan pestisida dalam jangka waktu yang panjang. Dari uraian di atas tampak bahwa pestisida, yang meliputi fungisida, insektisida, herbisida dan racun pengganggu yang lain mempunyai dampak atau risiko yang tinggi bagi kesehatan manusia. Dalam kaitannya dengan pengendalian penyakit tanaman, sudah selayaknya harus dicari alternatif lain yang tidak mengandalkan pestisida, dengan memperhatikan taktik dan strategi pengendalian. Setelah mengetahui dampak pestisida terhadap kesehatan manusia, maka perlu dibahas Filosofi Pengelolaan (Manajemen) Penyakit Tanaman. Filosofi Pengelolaan Penyakit Tanaman Untuk mencegah terjadinya epidemi penyakit tanaman, perlu diperhatikan taktik dan strategi pengendaliannya. Secara epidemiologi, dengan menggunakan peubah (variabel) populasi inokulum awal (xo), dan laju infeksi (r), dapat disusun konsep strategi pengendaliannya. Pestisida dalam Pengendalian Penyakit Jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam pengendalian penyakit tumbuhan, sangat bervariasi, misalnya.: 1. Fungisida yang digunakan untuk jamur jumlahnya cukup banyak 2. Nematisida untuk nematoda beberapa saja 3. Bakterisida untuk bakteri beberapa saja 4. Algisida untuk Algae sangat sedikit jumlahnya 5. Racun untuk Tanaman Tinggi Parasit (?) 6. Protozoisida (?) 7. Virisida (?) 8. Viroisida (?) 9. Fitoplasmasida (?) 10. Riketsiasida (?) Data kuantitatif jenis pestisida yang digunakan sulit dikemukakan, karena setiap saat banyak berubah, namun sebagai perbandingan antar jenis pestisida, data kualitatif di atas dapat digunakan. 5 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Sistem Pertanian Berkelanjutan dan Pengendalian Hama Terpadu Dalam pertanian berkelanjutan, ada tiga indikator besar yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Lingkungannya lestari, 2. Ekonomi masyarakat (petani) nya meningkat, dan 3. Secara sosial diterima oleh masyarakat petani. Agar suatu kegiatan pertanian dapat dikategorikan pertanian berkelanjutan, maka ketiga indikator tersebut harus terpenuhi. Seharusnya dengan menerapkan Pengendalian “Hama” Terpadu, pengertian pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan sudah tercakup di dalamnya, karena antara Sistem Pertanian Berkelanjutan dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) saling berkaitan. Sasaran PHT adalah: 1. Produktivitas pertanian yang mantap dan tinggi, 2. Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3. Populasi OPT dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada aras yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4. Pengurangan risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Dari uraian yang dikemukakan di muka dapat diketahui bahwa pengendalian penyakit tumbuhan yang bertumpu pada penggunaan pestisida kimiawi, mempunyai risiko yang besar terhadap pencemaran lingkungan dan terjadinya penyakit-penyakit degeneratif pada manusia. Penerapan pengendalian penyakit tumbuhan yang berporos pada PHT merupakan pengendalian yang ramah lingkungan, dan dapat menekan timbulnya beberapa penyakit degeneratif seperti yang diuraikan di muka. Bagaimana realita dan pelaksanaannya di lapangan? Penulis mencoba membahasnya dengan pendekatan epidemiologis, suatu ilmu yang penulis tekuni. . Prinsip Pengelolaan Penyakit Tumbuhan Untuk mengelola penyakit tumbuhan secara berkesinambungan, maka diperlukan strategi dan taktik pengendalian. 1. Strategi Strategi adalah ilmu dan seni yang menggunakan semua sumber daya untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu, atau rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk memecahkan masalah khusus. Jadi strategi merupakan tindakan yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah yang sifatnya jangka panjang. Ada tiga strategi yang dapat dilakukan, yaitu: a.. Strategi untuk mengurangi inokulum awal (Xo) b. Strategi untuk mengurangi laju infeksi (r), dan c. Strategi untuk mengurangi lamanya epidemi (t) 6 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Untuk inokulum awal (Xo) dan laju infeksi (r), istilah mengurangi sering diganti menekan, sedangkan untuk waktu atau lamanya epidemi (t) diganti memodifikasi lama epidemi. 2. Taktik Taktik adalah tindakan yang bersistem untuk mencapai tujuan atau mengatasi masalah dan merupakan pelaksanaan strategi, sehingga taktik sifatnya jangka pendek Taktik pengendalian penyakit tumbuhan pada prinsipnya ada enam, yaitu: a. ekslusi, b. avoidan, c. eradikasi, d. proteksi, e. resistensi, dan f. terapi. Keenam taktik pengendalian di atas akan dibahas dalam penerapan prinsip epidemiologi dalam pengendalian penyakit tumbuhan. Penerapan Prinsip Epidemiologi dalam Pengendalian 1. Ekslusi (Exclusion) untuk menekan inokulum awal (Xo) Ekslusi dianggap sebagai tindakan pertahanan pertama dalam manajemen penyakit terpadu. Konsep ini cukup sederhana yaitu menjaga patogen keluar dari lahan produksi tanaman sehingga inokulum awal (Xo) disimpan di nol. Ekslusi sering pula diartikan sebagai mencegah masuknya inokulum. 2. Penghindaran (Avoidance) untuk menekan Xo dan menurunkan t Jika ancaman penyakit tidak dapat dicegah keluar dari lahan produksi tanaman dengan ekslusi, maka dilakukan usaha untuk menghindari risiko penyakit dalam bentuk Xo yang sangat rendah. Mencegah terjadinya penyakit dengan memilih waktu tanam, memilih lokasi, atau memilih lingkungan yang tidak mendukung infeksi, dapat pula dikategorikan penghindaran. Prinsip pengelolaan penyakit seperti ini dikenal sebagai penghindaran, didefinisikan sebagai penggunaan taktik manajemen dengan menghindari daerah penanaman yang memiliki risiko penyakit tinggi. Penghindaran dapat juga untuk mempengaruhi t yakni dengan memilih waktu, musim, atau tempat dengan jumlah inokulum penyakit rendah atau memilih tempat yang memiliki lingkungan tidak mendukung infeksi. 7 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 3. Eradikasi (Eradication) untuk menekan Xo dan menurunkan r Eradikasi yaitu suatu praktek mengurangi inokulum awal (Xo) pada sumbernya. Contoh tindakan eradikasi adalah tindakan pembenaman, pembakaran, atau penghilangan sisa-sisa tanaman sakit di lapangan. Menghilangkan gulma dan tanaman inang alternatif yang berfungsi sebagai sumber inokulum awal di lokasi lapangan, termasuk tindakan eradikasi. Tindakan eradikasi seperti ini selain menekan Xo dapat juga menekan r. Praktek-praktek lain yang mengurangi inokulum awal antara lain rotasi tanaman, penggunaan agens pengendalian hayati, fumigasi tanah, sterilisasi uap atau pasteurisasi, solarisasi, dan penggunaan pupuk hijau. Praktekpraktek ini mengurangi jumlah inokulum awal dalam tanah. 4. Proteksi (Protection) menekan Xo dan menekan r Ketika patogen tanaman tidak dapat diekslusi, ditekan, atau dihindari, maka tindakan berikutnya terhadap patogen adalah "Proteksi", yaitu taktik yang memberikan penghalang fisik atau kimia untuk melindungi tanaman. Taktik ini seperti umumnya mengurangi inokulum awal, tetapi perlindungan diarahkan pada titik infeksi tanaman (yaitu perlindungan dari serangan infeksi potensial), dan tidak langsung pada sumber inokulum di lapangan. Contohnya adalah perlakuan benih, dan penggunaan mulsa plastik. Penggunaan mulsa plastik dalam budidaya melon ternyata cukup menarik. Penutupan mulsa yang semula bertujuan untuk menekan gulma, ternyata juga dapat menekan laju infeksi penyakit busuk Fusarium, salah satu penyakit utama pada melon dan cucurbitacae lainnya. Hal terakhir ini menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik, melalui pengaruh tidak langsung yaitu mengaktifir jasad antagonistik dapat menekan laju infeksi (r). . 5. Ketahanan (Resistance) Maksudnya adalah penggunaan varietas tahan. Resistensi atau ketahanan inang umumnya mempengaruhi inokulum awal dengan menekan Xo ke nilai nol atau hampir nol, atau menekan laju infeksi (r). Ketika Xo mendekati nol, maka epidemi tidak dapat berkembang. Ketahanan dapat berperan sebagai berikut: a. Ketahanan menekan inokulum awal (Xo) Ketika ketahanan kultivar atau varietas inang, efektif dalam menekan inokulum awal hingga nol untuk beberapa jenis (ras) patogen tetapi terbatas, maka kemudian ketahanan tersebut didefinisikan sebagai "strain-spesifik". 8 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 b.Ketahanan menekan laju infeksi (r) Ketahanan tanaman inang mengurangi laju infeksi atau laju perkembangan penyakit (r) dapat memiliki manfaat luar biasa dalam mengurangi risiko penyakit, dan secara tidak langsung akan meningkatkan hasil. c.Ketahanan inang mempengaruhi waktu (t) Penggunaan kultivar/varietas mengurangi periode waktu (t) yakni periode selama inang dan patogen populasi berinteraksi dapat mengurangi tingkat akhir dari intensitas penyakit. 6. Terapi (Therapy) Terapi sebagai prinsip manajemen penyakit dapat mengurangi Xo, dan dalam beberapa kasus juga dapat mengurangi r. Tindakan terapi dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: a. Terapi panas dapat menekan Xo Prinsip utama dari terapi panas adalah melebihi titik inaktivasi patogen, tetapi tidak melampaui ambang batas toleransi panas dari jaringan inang. b. Menghilangkan bagian banaman terinfeksi dapat menekan Xo dan menurunkan r. Menghilangkan bagian tanaman yang terinfeksi bertujuan untuk mengurangi inokulum awal dan r. Sebagai contohnya, menghilangkan daun tembakau yang sakit patik (Cercospora) merupakan tindakan untuk mengurangi inokulum awal (Xo) dan laju infeksi (r). Menghilangkan bagian tanaman yang sakit juga meningkatkan waktu kelangsungan hidup tanaman yang sakit. Contoh lain yang menarik dalam taktik ini adalah pembuangan daun krisan mulai dari bawah dekat permukaan tanah menyebabkan intensitas penyakit karat pada krisan dapat ditekan hingga 80,05% dengan keefektifan relatif pengendalian sebesar 64,17%. Model Monosiklik dan Polisiklik Dalam perkembangannya didasarkan pada siklus infeksinya, penyakit dapat dipilahkan menjadi penyakit yang memiliki model monosiklik dan model polisiklik. Model Monosiklik Dalam Model Monosiklik, dapat digambarkan dalam persamaan x = Q R t. Dari model epidemik monosiklik tersebut tampak bahwa Q, R dan t memiliki bobot yang setara dalam mmpengaruhi nilai x. Pengurangan terhadap inokulum awal atau terhadap laju infeksi akan menyebabkan penurunan dalam tingkatan penyakit 9 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 dengan proporsi yang sama pada setiap waktu t, selama epidemi berlangsung. Jika t dapat dikurangi (misalnya, dengan memperpendek musim tanam), maka penyakit juga akan mengalami penurunan secara proporsional. Penyakit monosiklik umumnya termasuk model Monomolekular, namun, sering pula termasuk dalam model Gompertz dan Logistik, seperti yang terjadi pada perkembangan penyakit busuk pangkal batang lada yang disebabkan oleh Phytophthora capsici di Sulawesi Tenggara. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi lingkungan yang mendukung maka siklus infeksinya menjadi berulang, artinya tanaman sakit dapat menghasilkan inokulum yang dapat menginfeksi tanaman di sekitarnya. Contoh lain yang menarik untuk dibahas adalah penyakit kuning pada lada. Penyakit kuning ini semula penyebabnya diduga nematoda Meloidogyne incognita, ternyata terbukti penyebabnya adalah interaksi antara M. incognita dan Fusarium solani, yang bila keduanya menginfeksi secara bersamaan akan menimbulkan keparahan yang lebih tinggi. F. solani yang mempunyai konidium bertipe slime spore; mudah lengket pada organ serangga penyebar, meningkatkan perhatian epidemiolog bahwa penyakit kuning dalam keadaan tertentu harus diwaspada sebagai polisiklik.ogis2013 Model Polisiklik Untuk model polisiklik, berlaku persamaan x = x0e rt 1. Jika r sangat tinggi, penekanan Xo akan menunda epidemi. 2. Jika r sangat tinggi, Xo harus ditekan sampai tingkatan yang sangat rendah agar berpengaruh nyata terhadap epidemi. 3. Pengurangan terhadap r memiliki pengaruh yang relatif lebih besar terhadap epidemi daripada pengurangan Xo. 4. Pengurangan terhadap Xo merupakan strategi yang baik hanya jika r bernilai rendah atau jika, pengurangan xo juga dibarengi dengan pengurangan r Dari uraian di atas tampak bahwa strategi pengendalian penyakit tanaman, baik melalui penekanan inokulum awal, kecepatan perkembangan penyakit (laju infeksi) maupun modifikasi waktu epidemi, dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang tidak harus bertumpu dengan penggunaan pestisida kimiawi. Dengan sangat mencemati dampak negatif penggunaan pestisida kimiawi terhadap kesehatan manusia, sudah saatnya pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan perlu digalakkan kembali. 10 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Penutup 1. Memperhatikan dampak negatif pestisida terhadap kesehatan, pengendalian penyakit tanaman ramah lingkungan yang meminimalkan penggunan pestisida, mutlak diperlukan. 2. Pertanaman yang bersifat pertanian univarietas atau monokultur misalnya tanaman perkebunan mempunyai risiko tinggi mendapat gangguan penyakit tanaman 3. Dilihat dari lingkungan dan ekosistemnya pengendalian penyakit ramah lingkungan dengan pemanfaatan agens pengendali hayati pada tanaman perkebunan lebih baik dibandingkan penggunaan pestisida kimiawi 4. Dalam manajemen pengendalian penyakit tumbuhan , perlu penerapan strategi dan taktik. Strategi yang dapat dilakukan adalah:mengurangi inokulum awal, mengurangi laju infeksi, dan mengurangi lamanya epidemi. Taktik yang dapat digunakan, yaitu : ekslusi, avoidan, eradikasi, proteksi, resistensi, dan terapi 5. Pemanfaatan Mikoriza (jenis Glomus) dalam pengelolaan tanaman, dapat dianjurkan, dengan tetap mengetrapkan Sistem Pengendalian Hama Terpadu Daftar Pustaka Bande, L.O.S. 2012. Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada di Sulawesi Tenggara. Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Pertanian UGM. Tidak dipublikasikan. Hadisutrisno, B. 2014. Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati dan Jamur Mikoriza dalam Pengendalian Penyakit Hortikultura yang Ramah Lingkungan. Materi Penyuluhan pada Diskusi dengan Petani PHT di Menado tanggal 12-13 Mei 2014 Hadisutrisno, B. 2014. Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati dan Jamur Mikoriza dalam Pengendalian Penyakit Hortikultura yang Ramah Lingkungan. Materi Penyuluhan pada Diskusi dengan Petani PHT di Kalimantan Timur tanggal 21-23 Juni 2014. Hadisutrisno, B. 2014. Pemanfaatan Agens Pengendali Hayati dan Jamur Mikoriza dalam Pengendalian Penyakit Hortikultura yang Ramah Lingkungan. Materi Penyuluhan pada Diskusi dengan Petani PHT di Mataram Nusa Tenggara Barat tanggal 14-16 Agustus 2014 Manici, L. M., F. Caputo & G. Baruzzi, 2005. Additional Experiences to Elucidate Microbial Component of Soil Suppressiveness towards Strawberry Black Root Complex. Annual Applied Biology 146: 421-431. 11 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Mazzola, M., 2004. Assessment and Management of Soil Microbial Community Structure for Disease Suppression. Ann. Rev. Phytopathol 42: 35-59. Milgroom, M.G., & T. L. Peever, 2003. Population Biology of Plant Pathogens. The Synthesis of Plant Disease Epidemiology and Population Genetics. Plant Disease 87 : 608-617. Neher, D.A., & C. L. Campbell, 1997. Analysis of Disease Progress Curves Using Nonlinear Regression. In. Frand, L.J. & Neher, D. A. (Eds). Exercises in Plant Disease Epidemiology. APS Press. St. Paul, Minnesota. Neher, D.A., K. L. Reynolds, & C. L. Campbell, 1997. Analysis of Disease Progress Curves Using Liniear Models. In. Frand, L.J. & Neher, D. A. (Eds). Exercises in Plant Disease Epidemiology. APS Press. St. Paul, Minnesota. Martini, T. 2014. Kajian Pengendalian Penyakit Karat Krisan Berdasarkan Prinsip Epidemi. Disertasi. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan. Sofia Mubarika, 2003. Penanggulangan Kanker Menuju Indonesia Sehat 2010. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada 28 April 2003, Tidak dipublikasikan. Suryanti, 2014. Kajian Inang Patogen pada Penyakit Kuning Lada, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Pertanian UGM. Tidak dipublikasikan. Wiryatun, Lestariana. 2003 Tinjauan biokimiawi pola makan untuk mencegah penyakit defisiensi dan penyakit degeneratif. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada 29 Maret 2003. Tidak dipublikasikan 12 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 MANAGEMENT OF HEALTHY POTATO SEED TO SUPPORT ENVIRONMENT FRIENDLY AND OPTIMAL PRODUCTION SYSTEM Baharuddin, Ach. Syaifuddin, Jayadi, Tutik Kuswinanti, Mu’minah2, Henry Kesulya3 1 Faculty of Agriculture, Hasanuddin University, Makassar 90245 2 Politani Negeri Pangkep 3 Faculty of Agriculture, Pattimura University, Ambon Abstract Availability of seed potatoes in Indonesia is far from adequate. It is only 10% from the total national requirement of 120,000 tonnes/year. This situation give impact on the low productivity, 12 tonnes/ha of potential 40 tonnes/ha. To support the availability of seed potatoes, several technological innovation need to be applied such as: an early detection of viruses and other pathogens using PCR technique to produce patogen-free planlets, application of aeroponic technology from tissue culture cuttings, use of Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), bioactivator, biopesticides, organic fertilizer as well as botanical plant growth regulators. Through the utilization of these technology packages, it is expected can support the availability of seed potatoes in 7 seed rights: the type, variety, quantity, quality, time, place and price. Over the past 12 years, the Center for Potato Studies (CPS) of Hasanuddin University has conducted several research activities in the development of potato production through environmental friendly technologies. The results of the optimization of seed potatoes production in each development region has acquired a healthy seed production system with the chain propagation models and measurable. The Chain of production of plantlets, sticks of acclimatization, sticks of production to the amount of seed produced G0 and G1 were 2000 bottles : 14,000 sticks of acclimatization : 33,000 sticks production : 100,000 bulbs G0 : G1 500,000 . Furthermore, seed production system of G2 , G3 and G4 in field i.e. 50 tons : 500 tons : 5000 ton /season To increase the capacity of seed potato production in the Seed Horticulture Office (BBH) partners in 10 districts of Sulawesi corridor, some technology packages has been applied to improve the production of potato seed. Several technologies and it products has been integratelly used. Two of them have been registered by the Directorate General of the Ministry of Justice and Human Rights. One local potato variety named “Kalosi” have been registered by the Ministry of Agriculture with the numbers: 0085/B.Kn/DKEKG/2013. Aeroponic system can stimulate 5-10 fold seed production (up to 100 knols/plant), larger and 2-3 times more uniform 13 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 tuber size, free from pathogens, saving nutrients trough circulatory system and can produce seed at any time. G0 is the direct product that can be planted for the production G2 in the field without going through the G1. Thereby it can saving 6 months time. Hopefully, through this program high quality seed potatoes will be produced continously and gradually in the 10 districts partner, such as: G0 (nucleus seed), G2 (basic seed), G3 (foundation seed) and G4 (spread seed). The prediction of multiple outcomes : from 1.000.000 of G0 can produce 500 tons of G2 furthermore 5000 tons of G3, and 50.000 tons of G4 on every planting season, with estimated value of Rp. 5 trillion. This production can cover the need of seed in 33,000 hectares of potato planting areas in Sulawesi economic corridor. Keywords: Tissue culture, potato aeroponic technology, pathogen detection, bioactivator, microbial antagonists, botanical pesticides, PGPR. 14 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PERANAN FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI (Pantoea ananatis) PADA TANAMAN BAWANG MERAH Asrul1), Bambang Hadisutrisno2),, Triwidodo Arwiyanto2) dan Jaka Widada2) 1) Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Kota Palu Jln. Soekarno Hatta KM 5 Palu Timur,Kota Palu 2) Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jln. Flora 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui peranan faktor lingkungan terhadap penyakit hawar daun bakteri (Pantoea ananatis) pada bawang merah. Penelitian dilaksanakan di beberapa sentra produksi bawang merah (Bantul, Cirebon, Tegal, Nganjuk dan Sigi) pada akhir musim kemarau (Agustus – September) 2012 dan di laboratorium bakteriologi, Fakultas Pertanian, UGM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan, seperti curah hujan, suhu dan kelembapan udara, suhu dan kelembapan tanah, pH, jenis tanah di lokasi pengamatan sangat mendukung terjadinya epidemi penyakit hawar daun bakteri. Demikian pula umur dan kultivar bawang merah yang digunakan petani sangat mempengaruhi terjadinya gejala penyakit hawar daun bakteri. Hal ini dibuktikan dengan tingginya intensitas penyakit hawar daun bakteri dan densitas patogeniknya, meskipun di beberapa tempat memiliki curah hujan yang rendah. Gejala penyakit hawar daun bakteri ditemukan pada saat bawang merah berumur lebih dari 40 hari. Semua kultivar bawang merah yang ditanam petani seperti bima curut, bauji, biru-sawah dan palasa sangat rentan terhadap penyakit tersebut. Kata kunci : iklim, hawar daun bakteri, Pantoea ananatis Pendahuluan Pantoea ananatis merupakan bakteri penyebab penyakit hawar daun (Gitaitis & Gay, 1997; Schwartz et al., 2003) dan busuk tengah umbi pada bawang bombay (Allium cepa L.) (Walcott et al., 2002; Carr et al., 2013). Menurut Brewster (2008), bakteri patogenik yang menginfeksi bawang bombay dapat menyerang dan menginfeksi bawang merah, termasuk spesies anggota genus Allium lainnya. Sebagai contoh, bakteri P. ananatis tercatat sebagai patogen penyebab penyakit hawar daun pada bawang bombay di daerah iklim subtropik tetapi dapat pula menimbulkan penyakit yang sama pada bawang merah didaerah iklim tropik (Asrul, 2014). Di lapangan, serangan P. ananatis menyebabkan kehilangan hasil 15 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 panen mencapai 80 - 100%, sedangkan di tempat penyimpanan diperkirakan berkisar antara 20 - 25% (Walcott et al., 2002). Dengan demikian, penyakit hawar daun bakteri Pantoea dapat berpotensi menimbulkan kerusakan yang parah baik di daerah iklim subtropik maupun tropik. Iklim tropik seperti Indonesia merupakan daerah yang cocok bagi perkembangan penyakit tanaman seperti tersedianya air dan cahaya matahari yang cukup sepanjang tahun,suhu dan kelembapan udara yang tinggi dan konstan, curah hujan yang cukup besar dan panjang hari yang lebih lama (Semangun, 1989). Faktor lingkungan yang berperan besar terhadap insiden dan keparahan penyakit hawar daun bakteri adalah suhu udara dan curah hujan yang tinggi terutama saat periodepembentukan umbi bawang merah. Kisaran suhu udara maksimal untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri patogenik hawar daun bakteri berkisar antara 28 – 35OC (Schwartz et al., 2003). Curah hujan memiliki peranan dalam meningkatkan kelembapan udara sehingga sangat cocok untuk perkembangan bakteri patogenik. Menurut Schroeder & Schwartz (2011), kelembapan udara yang sesuai bagi pertumbuhanP. ananatisbila lebih dari 75%. Dengan demikian, penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan P. ananatis dapat menimbulkan permasalahan yang serius pada bawang merah terutama didaerah dengan kondisi suhu dan kelembapan udara lingkungan yang tinggi. Oleh karena itu, kajian peranan lingkungan terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada tanaman bawang merah perlu dilakukan untuk membantu mengembangkan suatu teknik pengendalian yang lebih efisien dan efektif sehingga dapat menekan perkembangan penyakit tersebut. Metode penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di lapangan dan di laboratorium. Penelitian lapangan menggunakan metode survei dan dilaksanakan di lima daerah sentra produksi bawang merah yakni di Desa Kalirahayu (Cirebon), Dukuhturi (Tegal), Sukomoro (Nganjuk), Tirtomulyo (Bantul) dan Sidera (Sigi) pada bulan Agustus – September 2012 (akhir musim kemarau). Penentuan Desa berdasarkan metode purposive sampling. Survey dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer / sekunder, wawancara dan pengamatan lapangan (gejala dan tanda penyakit, intensitas pemyakit). Penghitungan intensitas penyakit hawar daun bakteri pada bawang merah yang diamati di lapangan, dihitung menggunakan rumus : = ∑( . ) 100% . 16 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Keterangan : IP = intensitas penyakit n = jumlah daun bergejala hawar dengan nilai skor ke i v = nilai skor daun bergejala hawar daun ke i N = jumlah total daun yang di amati Z = nilai skor tertinggi Skoring penyakit hawar daun bakteri sebagai berikut: 0 = tidak ada bercak water soaked; 1 = 1 - 15% bercak water soaked; 3 = 16 - 30% bercak water soaked; 5 = 31 - 45% bercak water soaked; 7 = 45 – 60% bercak water soaked; dan 9 = > 60% bercak water soaked, nekrosis, dan mati pucuk. Kriteria intensitas penyakit dikelompokkan menjadi sehat (0), ringan (1 – 15%), agak ringan (16 – 30%), sedang (31 – 45%); agak tinggi (46 - 60%) dan tinggi (> 60%). Penelitian di laboratorium dilakukan untuk mengamati morfologi koloni bakteri patogenik yang diisolasi dari tanah pertanaman bawang merah sakit dan dihitung kerapatan, atau kepadatan populasinya (densitas). Koloni Xanthomonas axonopodis pv. allii dicirikan dengan bentuk yang bundar, permukaan cembung, tepi rata, berlendir (mucoid), mengkilap, halus dan berwarna kuning atau krem. Perhitungan densitas patogenik dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Count) dan teknik pengenceran menurut Arwiyanto et al. (1997) menggunakan medium selektif SX yang telah dimodifikasi. Pengamatan terhadap variabel densitas patogenik dilakukan setelah 72 jam dan dihitung dengan rumus: = ℎ ℎ ℎ = X = Densitas bakteri (cfu/g kering tanah); cfu = colony-forming unit m = cfu / g basah tanah a = Jumlah unit koloni yang tumbuh U = Tingkat pengenceran sampel Isolasi bakteri patogenik dari dalam tanah ini dilakukan untuk mengetahui dan memastikan keberadaan bakteri patogenik pada lahan pertanaman bawang merah sakit. Data hasil pengamatan yang diperoleh dari lapangan, diolah dengan menggunakan teknik tabulasi sederhana yang disajikan dalam bentuk nilai ratarata (persentase).Selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tampilan tabel. 17 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil dan pembahasan Intensitas penyakit hawar daun bakteri di Kabupaten Cirebon, Tegal, Nganjuk, Bantul dan Sigi sangat tinggi dan hampir merata (seragam), yakni berkisar antara 77,98 - 83,66% (Tabel 1). Keadaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor densitas patogenik dalam tanah, kultivar bawang merah, umur tanaman dan didukung dengan kondisi lingkungan setempat. Tabel 1. Rata-rata intensitas penyakit pada berbagai lokasi penelitian. Kultivar Intensitas Umur tanaman Desa bawang penyakit (hari) merah (%) Kalirahayu Bima curut + 41 81,43 (Cirebon) Sidapurna Bima curut + 54 80,81 (Tegal) Sukomoro Bauji + 52 83,31 (Nganjuk) Tirtomulyo Biru-sawah + 43 78,04 (Bantul) Sidera Palasa + 55 83,64 (Sigi)) Sumber: data primer Densitas patogenik yang ditemukan pada masing-masing lahan bawang merah cukup tinggi dan relatif hampir sama, yakni 107 cfu/g, sedangkan densitas patogenik minimal untuk menimbulkan gejala penyakit adalah 104 cfu/g. Menurut Brown et al. (1980) cit. Jahudin et al. (2007), densitas patogenik di dalam tanah sangat menentukan tingkat intensitas penyakit tanaman. Semakin besar densitas patogenik dalam tanah maka akan semakin tinggi intensitas penyakitnya. Massa bakteri patogenik akan terbawa bersama tanah melalui percikan air hujan / siraman yang jatuh di permukaan tanah dan mengenai daun yang paling dekat dengan permukaan tanah sehingga menyebabkan infeksi tanaman. Intensitas penyakit hawar daun bakteri yang sangat tinggi mengindikasikan bahwa seluruh kultivar bawang merah yang digunakan petani sangat rentan terhadap penyakit tersebut (Tabel 1). Menurut Agrios (2005) ketahanan terhadap infeksi penyakit kemungkinan merupakan sifat genetik dari tanaman. Pada tanaman rentan tidak memiliki atau mewarisi gen ketahanan sehingga tidak mampu mengatasi serangan patogen. Dalam hubungan antara kultivar bawang merah dengan bakteri patogenik, kultivar bawang merah mempunyai gen rentan 18 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 (resesif) berinteraksi secara kompatibel terhadap patogenik yang memiliki gen virulen (resesif) sehingga menyebabkan timbulnya gejala penyakit. Interaksi ini dikenal dengan hipotesis “gene for gene hypothesis”, yakni setiap gen yang menentukan ketahanan pada inang, terdapat satu gen yang menentukan virulensi pada patogenik untuk mengatasi gen ketahanan inang tersebut (Semangun, 1996). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa gejala penyakit hawar daun bakteri terlihat saat bawang merah berumur antara 40 – 50 hari setelah tanam (hst) (Tabel 1) dengan intensitas penyakit tergolong sangat tinggi. Selanjutnya, pada bawang merah berumur kurang dari 40 hst belum memperlihatkan gejala penyakit hawar daun bakteri. Diduga hal ini berkaitan dengan reaksi ketahanan bawang merah terhadap serangan patogen berdasarkan umur tanaman. Shahbazi et al. (2010) menyatakan, reaksi ketahanan tanaman berkorelasi dengan umur tanaman karena umumnya ketahanan akan menurun seiring dengan pertambahan umur tanaman. Pada jaringan sel daun yang masih muda, senyawa fenol berada dalam konsentrasi yang tinggi sehingga lebih tahan. Sebaliknya, bila jaringan sel daun muda tumbuh menjadi lebih tua (dewasa) maka tingkat ketahanannya menurun secara teratur (Agrios, 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa bawang merah yang telah berumur tua sangat rentan terhadap serangan bakteri P. ananatis. Keadaan ini sesuai dengan laporan Gitaitis et al. (2003), bahwa keparahan penyakit hawar daun P. ananatis seringkali terjadi padakultivar yang telah berumur panen. Dengan demikian, serangan bakteri patogenik pada bawang merah berumur tua kemungkinan akan memberikan tingkat keparahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang berumur muda. Tabel 2. Keadaan lingkungan disekitar pertanaman bawang merah pada berbagai lokasi penelitian Komponen lingkungan Ketinggian tempat (m / dpl)1) Intensitas cahaya (lux) Suhu udara (OC) Desa Tirtomulyo Kalirahayu Sidapurna Sukomoro (Bantul) (Cirebon) (Tegal) (Nganjuk) Sidera (Sigi) 0 – 15 0 - 25 0 – 50 0 - 54 0 - 250 42.566 46.766 43.133 49.600 52.833 29,04 29,57 29,76 30,79 32,40 19 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kelembaban udara (%) 72,68 71,09 72,26 67,96 61,68 Suhu tanah (OC) 22,11 23,8 22,28 25,03 29,39 Kelembaban tanah (%) 32,34 35,60 32,50 30,78 28,28 Curah hujan1) (mm/bln) 12,36 11,33 3,62 200,49 63,41 pH tanah 6,3 - 6,7 6,2 - 6,8 6,5 - 6,8 6,2 - 6,9 6,4 - 7,0 Jenis tanah Latosol Alluvial Alluvial Alluvial Inseptisol Suhu udara di seluruh lokasi penelitian cukup tinggi, yakni antara 29,04 – 32,40 C dan berada di dataran rendah (Tabel 2). Menurut de la Pena & Hughes (2007), daerah tropik yang berada di dataran rendah mempunyai suhu udara lebih tinggi (udaranya lebih panas) daripada di dataran tinggi Suhu udara ini tidak hanya berada pada kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan bawang merah tetapi juga sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan patogenik hawar daun bakteri. Suhu udara yang cocok bagi pertumbuhan bawang merah berkisar antara 25 – 32OC (Sumarni & Rosliani, 1995), sedangkan suhu udara yang sesuai bagi pertumbuhan bakteri P.ananatis adalah antara 28 – 35OC (Schwartz et al.,2003). Pada kondisi tersebut memungkinkan bawang merah dapat tumbuh dan berkembang, sedangkan bakteri patogenik akan selalu bertahan hidup dan menghasilkan banyak keturunan. Dengan demikian, kondisi suhu udara di lokasi penelitian telah mendukung keberadaan penyakit tersebut. Hasil pengamatan intensitas cahaya di lokasi penelitian cenderung tinggi, yakni rata-rata berkisar antara 42.566 – 52.833 lux, dengan intensitas penyakit yang dijumpai di seluruh lahan pertanaman bawang merah juga sangat tinggi (Tabel 2). Diduga sel bakteri patogenik telah masuk dan berada di dalam tubuh tanaman saat matahari belum bersinar sehingga lebih terlindungi dari cahaya langsung karena dalam jaringan tanaman sudah cukup lembab bagi pertumbuhan patogen untuk mengadakan infeksi. Menurut Semangun (1996), pengaruh O 20 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 intensitas cahaya terhadap penyakit tumbuhan dapat terjadi bila patogennya berada di permukaan tubuh tanaman. Sel bakteri yang berada pada permukaan daun akan mengalami kerusakan bila terkena sinar cahaya langsung. Cahaya matahari diketahui mempunyai daya bakterisidal karena memiliki spektrum ultraviolet yang berkemampuan memenetrasi dinding sel bakteri sehingga menjadi rusak. Radiasi ultraviolet yang diterima akan mengubah komposisi asam nukleat bakteri sehingga tidak mampu melakukan replikasi yang berakibat pada kematian sel. Dengan tingginya intensitas penyakit di lapangan kemungkinan bakteri patogenik terhindar dari penyinaran matahari secara langsung saat masuk ke dalam jaringan tanaman . Curah hujan di Desa Kalirahayu, Sidapurna, Tirtomulyo, dan Sidera, umumnya tergolong rendah, yakni berkisar antara 3,61 – 63,41 mm per bulan, sedangkan di Desa Sukomoro curah hujan tergolong cukup tinggi, yakni 200 mm per bulan (Tabel 2).Meskipun curah hujan tergolong rendah akan tetapi intensitas penyakit hawar daun bakteri yang ditemukan di empat Desa tersebut sangat tinggi pada akhir musim kemarau (bulan Agustus dan September). Curah hujan yang rendah menciptakan cuaca lembab agak kering dan udara terasa panas (suhu tinggi) diikuti kelembapan udara yang tinggi. Keadaan ini sangat ideal bagi pertumbuhan bakteri patogenik dan mendorong perkembangan penyakit hawar daun bakteri. Suhu udara yang tinggi kemungkinan telah mempercepat perkembangbiakan bakteri patogenikdan perkembangan gejala penyakit pada daun yang terinfeksi. Dipihak lain, curah hujan yang tinggi di Desa Sukomoro sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri P. ananatis. Schwartz et al. (2003) melaporkan bahwa intensitas penyakit hawar daun bakteri pada bawang bombay mencapai maksimum saat curah hujan lebih dari 100 mm per bulan dan menurun ketika curah hujan menjadi 57 mm per bulan. Curah hujan yang tinggi memiliki peranan dalam meningkatkan kelembapan udara danmemacu perkembangan penyakit hawar daun bakteri. Kelembapan udara di seluruh lokasi penelitian relatif cukup tinggi, yakni berkisar antara 61,68 – 72,68%(kelembapan udara > 60%) sehinggasangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan bakteri patogenik hawar daun bakteri. Schroeder & Schwartz (2011) melaporkan,perkembangan penyakit hawar daunsangat sesuai apabila kelembapan udara lebih dari 75%.Namun gejala penyakit tersebut dapat pula berkembang pada kelembapan udara rendah, yakni antara 40 - 60% (Azad et al., 2000) dengan pemunculan gejala menjadi lebih lambat. Pada kelembapan udara yang tinggi akan mempercepat pertumbuhan bakteri P. ananatis untuk membentuk populasi yang lebih banyak sehingga meningkatkan keparahan penyakit di pertanaman bawang merah. 21 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Suhu tanah diseluruh lokasi penelitian berkisar antara 22,11 - 29,39% (Tabel 2). Suhu tanah yang rendah umumnya memperlambat perkembangan bakteri patogenik dan menurunkan keparahan penyakit. Sebaliknya, pada kondisi suhu tanah yang hangat, bakteri patogenik tumbuh dan berkembang lebih cepat dan menyebabkan penyakit yang lebih ganas. Bila suhu tanah berada di atas kisaran 30 – 33OC, umumnya patogenik tanaman akan mati meskipun setiap patogenik, gulma dan organisme tanah lainnya mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap suhu tanah (Elmore et al., 1997). Dengan demikian, kisaran suhu tanah di lokasi penelitian berada pada kisaran yang sesuai dan mendukung bagi perkembangan patogenik hawar daun bakteri karena densitas patogenik yang dijumpai cukup tinggi. Kelembapan tanah di lokasi penelitian tampak bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya, yakni berkisar antara 28,28 35,60% (Tabel 2). Keberadaan P. ananatispada kondisi kelembapan tanah yang terlalu rendah, atau tinggi, menyebabkan penurunan hasil dan kualitas umbi yang buruk (Diaz-Perez et al., 2004). Kemungkinan pada kelembapan tanah yang tinggi akan lebih meningkatkan resiko perkembangan dan penyebaran bakteri P. ananatis. Secara umum, suhu dan kelembapan tanah yang tinggi merupakan kondisi yang disukai bakteri P. ananatis untuk mengadakan infeksi (Diaz-Perez et al., 2004). Dengan demikian, kondisi kelembapan tanah di lokasi penelitian ini sangatmendukung keberadaan patogen hawar daun untuk mengadakan infeksi bawang merah. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya densitas patogenik di seluruh lokasi penelitian. Derajat keasaman (pH) tanahdiseluruh lokasi penelitian berada pada kisaran 6,2 – 7,0 (Tabel 2). Keberadaan bakteri patogenik yang ditemukan dengan densitas tinggi (107 cfu/g tanah) mengindikasikan bahwa patogenik mampu tumbuh dan berkembang, serta beradaptasi dengan baik pada kisaran pH tersebut. Menurut Thiel (1999), pertumbuhan bakteri di dalam tanah cenderung lebih stabil pada kisaran pH antara 6–8. Secara umum, bakteri mampu bertahan hidup lebih baik pada pH basa daripada pH asam. Pada pH yang lebih tinggi pertumbuhan bakteri patogenik akan lebih cepat sehingga menghasilkan turunan yang lebih banyak (Rousk et al., 2009). Sebaliknya, bila tingkat keasaman tanah lebih rendah maka proses pembentukan ATP oleh sel bakteri untuk kebutuhan energinya dan transportasi zat – zat ke dalam sel bakteri akan terganggu sehingga menghambat proses pertumbuhan sel dan akhirnya densitas bakteri akan menurun bahkan terhenti sama sekali. Hasil analisis tekstur tanah menunjukkan bahwatanah aluvial di Kabupaten Cirebon mempunyai kelas tekstur geluh lempungan, sedangkan di Kabupaten Tegal dan Nganjuk berkelas tekstur lempung. Kedua kelas tekstur ini lebih didominasi fraksi liat (lempung), yakni antara 37,97 – 67,87%, diikuti fraksi debu 22 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 sebesar 21,09 – 39,60% dan fraksi pasir sebanyak 11,04 – 29,09%, memiliki tekstur halus dan sebagian besar merupakan tanah bekas sawah (Tabel 3).Tanahtanah yang didominasi fraksi liat umumnya mempunyai sirkulasi udara (aerasi) dan air (draenase) dalam tanah terhambat (jelek). Menurut Hanafih (2012), aerasi tanah yang jelek menyebabkan akitivitas mikrobia yang terkait dengan kesuburan tanah menjadi tertekan. Drainase tanah yang buruk menyebabkan kelembapan tanah di sekitar pertanaman bawang merah meningkat. Tabel 3. Hasil analisis tekstur tanah dari 5 lokasi pertanaman bawang merah Desa Kalirahayu (Cirebon) Sidapurna (Tegal) Sukomoro (Nganjuk) Tirtomulyo (Bantul) Sidera (Sigi) Jenis tanah1 Kelas tekstur2 Liat (%) Debu (%) Pasir (%) Aluvial 37,97 32,93 29,09 Aluvial Geluh berlempung Lempung 42,45 39,60 17,95 Aluvial Lempung 67,87 21,09 11,04 Latosol Geluh 18,32 34,43 47,25 Inceptisol Geluh 25,60 31,89 42,51 Sumber: data dinas pertanian1) dan hasil analisa Laboratorium Illmu Tanah, Fakultas Pertanian, UGM2) Bakteri patogenik gejala hawar daun bakteri dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi kelembapan tanah yang rendah hingga tinggi (Gitaitis et al., 2004). Pada kelembapan tanah yang tinggi akan lebih meningkatkan resiko perkembangan dan penyebaran bakteri P. ananatis (Schwartz et al. 2003) Oleh karena itu, kondisi kelembapan tanah di lokasi penelitian sangat membantu dan mendukung keberadaan patogen hawar daun bakteri untuk menginfeksi bawang merah. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya intensitas penyakit dengan densitas patogen yang besar dalam tanah dan ditemukan menyebar di seluruh lokasi penelitian. Jenis tanah latosol di Kabupaten Bantul dan inseptisol di Kabupaten Sigi memiliki kelas tekstur yang sama, yakni geluh yang didominasi fraksi pasir (42,52 – 47,25%), diikuti fraksi debu (31,89 – 34,43%) dan liat (18,32 – 25,60%) (Tabel 3). 23 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tanah bertekstur pasir kurang mampu menahan dan menyimpan air, serta mudah mengalami penguapan karena pori-porinya cukup besar sehingga tanah cenderung lebih cepat kering. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap suhu tanah yang cenderung lebih hangat (tinggi). Menurut Diaz-Perez et al. (2003), kecepatan serangan bakteri P. ananatis pada bawang bombay dipengaruhi oleh suhu tanah yang tinggi.Kondisi suhu tanah yang hangat ini telah mendukung keberadaan patogenik di dalam tanah dengan densitas patogenik yang cukup besar. Kesimpulan 1. Intensitas penyakit yang tinggi (77,98 – 83,68%) di lapangan dan densitas patogenik (107 cfu/g) yang besar di dalam tanah mengindikasikan bahwa bakteri patogenik hawar daun dapat tumbuh dan berkembang, serta beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan (tropis) pertanaman bawang merah di Indonesia 2. Intensitas penyakit dan densitas patogenik hawar daun bakteri bawang merah dalam tanah dipengaruhi oleh kultivar bawang merah, umur tanaman dan lingkungan setempat. 3. Gejala penyakit hawar daun bakteri mulai terlihat saat bawang merah berumur lebih dari 40 hari, atau menjelang panen. 4. Semua kultivar bawang merah yang ditanam petani seperti bima curut, bauji, biru-sawah dan palasa sangat rentan terhadap patogenik penyakit hawar daun bakteri. Daftar pustaka Arwiyanto, T., Handini, E. dan Martoredjo, T. 1997. Dinamika populasi Pseudomonas solanacearum pada rizosfer tanaman bukan inang. J. Perlindungan Tanaman Indonesia 3 : 81 – 85. Brewster, J. L. 2008. Onions and other vegetable alliums. Library congress Catalonging-in-Publication Data. Cambridge, USA. Gent, D. H., Schwartz, H. F., Ishimaru, C. A., Louws, F. J., Cramer, R. A. & Lawrence, C. B. 2004. Polyphasic characterization of Xanthomonas strains from onion. Plant Disease 94: 184 – 195. Gillings, M. and Holley, M. 1997. Repetitive element PCR fingerprinting (Rep-PCR) using enterobacterial repetitive intergenic consensus (ERIC) primers is not necessarily direct at ERIC elements. Letter in Applied Microbiology 25: 17 21. Gitaitis, R. D., Walcott, R. R., Sanders, H. R., Zolobowska, L. and Diaz-Perez, J. C. 2004. Effects of mulch and irrigation system on sweet onion: II. the 24 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 epidemiology of center rot. Journal of the American Society for Horticultural Science 129 : 225 - 230. McDonald, M. R, M.A. Jaime and M. H.Y. Hovius. 2004. Management of Diseases of Onions and Garlic. In: Naqwi, S. A. M. 2004. Diseases of fruiets and vegetables: diagnosis and management. Kluwer Academic Publishers. The Netherlands. 149 – 200 pp. Schaad, N. W. and White, W. C. 1990. A selective medium for soil isolation and enumeration of Xanthomonas campestris. Phytopathology 64: 876 – 880. Schwartz, H. F., Otto, K. L. and Gent, D. H. 2003. Relation of temperature and rainfall to development of Xanthomonas and Pantoea leaf blights of onion in Colorado. Plant Disease 87: 11 – 14. Schroeder, B. K. and Schwartz, H. F. 2011. Bacterial Diseases. Onion ipmPIPE Diagnostic Pocket Series, USA. Walcott, R. R., Gitaitis, R. D., Castro, A. C., Sanders, F. H. and Diaz-Perez, J. C. 2002. Natural infestation of onion seed by Pantoea ananatis causal agent of center rot. Plant Disease 86: 106 – 111. 25 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KOMPOSISI DAN SEBARAN PATOTIPE Xanthomonas oryzae pv. oryzae PENYEBAB PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI DI SENTRA PRODUKSI PADI DI PROVINSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Dini Yuliani dan Sudir Balai Besar Penelitian Tanaman Padi JL. Raya IX Sukamandi Subang 41256, email: [email protected] Abstrak Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya produksi padi berdasarkan potensi hasilnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran penyakit HDB di sentra produksi padi di Prop. Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta yang dilaksanakan pada musim kemarau 2013 dan musim hujan 2013/2014.Penelitian meliputi 3 tahapan yaitu pengamatan penyakit HDB dan pengambilan sampel daun sakit di lapangan, isolasi bakteri Xoo di laboratorium dan pengujian patotipe Xoo di rumah kaca. Lokasi pengamatan penyakit HDB dan pengambilan sampel tanaman sakit dilakukan di 16 kabupaten di Jawa Tengah dan 3 kabupaten di Yogyakarta. Hasil pemantauan menunjukkan keparahan penyakit HDB mencapai > 80% terdapatdi Ds. Kebon Agung, KecamatanKajen, Kabupaten Pekalongan, Prop. Jawa Tengah dan Ds. Sekarsuli, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Prop.Yogyakarta. Hasil isolasi Xoo diperoleh 414 isolat dari Jawa Tengah dan 66 isolat dari Yogyakarta.Hasil pengujianterhadap isolate Xoo Jawa Tengah teridentifikasi 81 isolat (20%) patotipe III, 162 isolat (39%) patotipe IV, dan 171 isolat (41%) patotipe VIII. Hasil pengujian terhadap isolat Xoo Yogyakarta diperoleh 39 isolat (59,1%) patotipe III, 18 isolat (27,3%) patotipe IV, dan 9 isolat (13,6%) patotipe VIII. Hawar daun bakteri di Jawa Tengah didominasi oleh Xoo patotipe VIII, sedangkan di Yogyakarta didominasi oleh Xoo patotipe III.Informasi sebaran patotipe Xoo bermanfaat dalam pemilihan dan penggunaan varietas tahan yang spesifik dengan lokasi masing-masing daerah endemis HDB. Kata kunci: sebaran, hawar daun bakteri, padi, Jawa Tengah, Yogyakarta Pendahuluan Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo), merupakan salah satu penyakit penting di negara penghasil padi di Asia, termasuk di Indonesia (Nayak et al. 2008). Selama ini, pengendalian penyakit HDB yang paling efektif adalah dengan menanam varietas tahan. Namun penggunaan varietas tahan dihadapkan pada keragaman patotipe bakteri Xoo 26 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 sehingga ketahanan varietas dibatasi oleh waktu dan tempat (Suparyono et al. 2003). Suatu varietas tahan di suatu tempat pada waktu tertentu dapat bereaksi rentan pada waktu dan tempat lain. Oleh karena itu penanaman varietas tahan harus disesuaikan dengan keberadaan patotipe Xoo yang ada. Hifni (1995), melaporkan bahwa pada periode tahun 80-an patotipe Xoo didominasi oleh patotipe III, sedangkan pada awal tahun 90-an dominasi bergeser ke patotipe IV. Suparyono et al. (2004), melaporkan pada awal tahun 2000-an di beberapa sentra produksi padi di Jawa, Xoo didominasi oleh patotipe VIII. Sementara, Sudir et al. (2009), melaporkan bahwa di sentra produksi padi P. Jawa telah teridentifikasi 3 patotipe Xoo utama yaitu patotipe III, IV, dan VIII. Informasi tentang peta komposisi patotipe dan dominasi penyakit HDB di suatu ekosistem padi (spatial dan temporal) menjadi sangat diperlukan sebagai dasar penentuan strategi pengendalian penyakit. Selain itu, pemantauan keadaan patotipe HDB sebagai dasar penanaman varietas tahan sangat diperlukan. Oleh karena itu, pemantauan struktur dan dominasi patotipe bakteri Xoo sebagai dasar perakitan varietas tahan sesuai keadaan patogen dilapangan untuk pengendalian penyakit HDB yang berkesinambungan sangat diperlukan terutama di daerah-daerah sentra produksi padi di Jawa. Bahan dan metode A. Pengambilan sampel tanaman sakit. Sampling dilakukan pada 2-5 kabupaten di Prop. Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta pada MK 2013 dan MH 2013/2014.Tiap kabupaten diambil 3 kecamatan dan tiap kecamatan diambil 2 desa. Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan pada fase generatif pada hamparan sawah seluas ± 0,1-0,5 ha. Tiap hamparan di bagi menjadi 3 bagian,tiap bagiandijadikan ulangan.Tiap ulangan ditarik garis diagonal, diambil 10 rumpun sampeldandiamati keparahan penyakit HDB serta diambil sampel daunsakit.Sampel daun sakit dimasukkan ke dalam amplop yang diberi keterangan lokasi, varietas,dan skor keparahan. B. Isolasi penyebab penyakit. Isolasi Xoo dilaksanakan dengan metode leaf washing. Sampel daun sakit dipotong kecil ±1 mm kemudian dicuci dengan air destilasi steril. Air cucian ditampung dalam gelas erlenmayer dan diencerkan hingga 10-6, kemudian diambil ±1 cc serta ditanam dalam cawan petri yang berisi media Wakimoto. Inkubasi dilaksanakan di laboratorium pada suhu kamar. Koloni tunggal khas Xoo dipindah ke media Wakimoto miring dan diperbanyak. 27 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 C. Pengujian patotipe patogen. Pengujian patotipe Xoo dilakukan di rumah kaca pada 5 varietas diferensial yang memiliki latar belakang genetik ketahanan terhadap Xoo berbeda. Tiap varietas diferensial ditanam sebanyak 3 pot dan diinokulasi Xoo dengan metode gunting pada stadium primordia. Ujung daun padi dipotong ± 5-10 cm dengan gunting inokulasi berisi suspensi Xoo umur 48 jam dengan kepekatan 108 cfu. Inokulasi dilakukan menjelang sore (jam 15.00-17.30 WIB). D. Pengamatan penyakit HDB. Pengamatan keparahan dilakukan dengan mengukur panjang gejala pada 15 HSI. Keparahan penyakit adalah rasio antara panjang gejala dengan panjang daun yang diinokulasi dikali 100%. Keparahan penyakit < 11% tergolong tahan, sedangkan keparahan> 11% tergolong rentan (Suparyono et al. 2003). Pengelompokan patotipeXoo berdasar pada nilai interaksi antara varietas diferensial dengan isolat Xoo (Tabel 1). Tabel 1. Pengelompokan patotipe Xoo berdasar interaksi antara varietas diferensial asal Jepang dengan isolat Xoo No. 1 2 3 4 5 Genotipe Gen tahan Kinmaze Kogyoku Tetep Wase Aikoku Java 14 Tidak ada Xa-1, Xa-12 Xa-1, Xa-2 Xa-3 (Xa-12) Xa-1, Xa-2, dan Xa12 Kelompok patotipe Reaksi ketahanan terhadap bakteri Xoo R T T T T R R T T T R R R T T R R R R R R T T R T I II III IV V R T R T T R R R T R R R R R T R R T R T R T R R T R R T R R VI VII VIII IX X XI XII T = tahan, keparahan penyakit ≤ 11%, R = rentan, keparahan penyakit > 11% (Suparyono et al. 2003). Hasil dan pembahasan A. Sebaran penyakit HDB di Propinsi Jawa Tengah pada MK 2013 Pemantauan penyakit HDB pada MK 2013 di Prop. Jawa Tengah dilakukan di 9 kabupaten yaitu Pemalang, Pekalongan, Batang, Demak, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, dan Blora (Tabel 2). Penyakit HDB, di Kabupaten Pemalang ditemukan dengan keparahan 10,6-68,0%. Keparahan penyakit HDB di Kabupaten Pekalongan14,4-84,4%, sedangkan di Kabupaten sebesar 27,5-44,4%. Di Kabupaten Demak, penyakit HDB ditemukan dengan keparahan 4,4-5,0%, sedangkan di Kabupaten Jepara sebesar 0,0-43,0%.Keparahan penyakit HDB di KabupatenKudus sebesar 10,0-33,5%. Di Kabupaten Pati, keparahan penyakit 28 T T T R T Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 HDB cukup rendah 0,0-26,4%, sedangkan di Kabupaten Rembang 0,0-56,7%. Di Kabupaten Blora, penyakit HDB hanya ditemukan di satu lokasi yaitu di Ds. Medang Kecamatan Blora pada varietas Ciherang dengan keparahan 30,7%. Tabel 2. Sebaran penyakit HDB di beberapa daerah Kabupaten di Jawa Tengah pada MK 2013 Kabupaten Pemalang Kecamatan Pemalang Pemalang Pekalongan Batang Demak Jepara Kudus Pati Petarukan Petarukan Petarukan Bodeh Bodeh Kedungwuni Kedungwuni Doro Doro Kajen Kajen Batang Batang Subah Subah Demak Mijen Mijen Welahan Tahunan Jepara Kalinyamat Pecangaan Jekulo Bae Pati Pati Tambakromo Tambakromo Desa Pekunden Kulon Pekunden Wetan Petarukan Kecapang Iser Pendowo Kelang Pakis Putih Langkap Kutosari Doro Kebon Agung Sangkanjoyo Kesepuhan Depok Kalimanggis Jatisari Sedugenting Ngelo Wetan Bakung Kalipucang Ngabul Mulyoharjo Margoyoso Pengging Hadipolo Gondangmani Kalidoro Wetan Kalidoro Kulon Karangmulyo Karangawen Varietas Keparahan Penyakit (%) Si Denuk 20,9 Ciherang 13,3 Ciherang Ciherang Si Denuk Si Denuk Ciherang IR64 Ciherang Si Denuk Si Denuk Bondoyudo St. Bagendit Si Denuk IR64 Ciherang W. Apoburu Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Mekongga 10,6 54,4 36,3 68,0 27,0 20,2 45,4 40,4 31,5 84,4 14,4 44,4 33,9 33,5 27,5 4,8 4,4 5,0 5,4 16,3 4,1 43,0 0,0 33,5 10,0 Sintanur 26,4 Mekongga Ciherang St. Bagendit 6,5 0,0 0,0 29 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Rembang Blora Gabus Gabus Winong Winong Sulang Sulang Rembang Rembang Pamotan Pamotan Blora Blora Tunjungan Tunjungan Ngawen Gondang Koripan Pagendisan Winong Karanganyar Sulang Parerejo Tireman Pamotan Japerejo Medang Komahan Sembung Adirejo Sambiroto IR64 Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Mekongga Ciherang St. Bagendit Si Denuk Ciherang Ciherang Ciherang IR64 Ciherang 0,0 6,9 0,0 6,1 0,0 25,7 32,1 0,0 16,3 56,7 30,7 0,0 0,0 0,0 0,0 B. Sebaran penyakit HDB di Propinsi Jawa Tengah pada MH 2013/2014 Pemantauan penyakit padi di Prop. Jawa Tengah pada musim hujan (MH) 2013/2014 dilakukan di Kabupaten Banyumas, Cilacap, Kebumen, Klaten, Sukoharjo, dan Sragen (Tabel 3). Penyakit HDB, di Kabupaten Cilacap ditemukan dengan keparahan 7,0-31,9%. Di Kabupaten Banyumas, keparahan penyakit 14,140,4%. Di Kabupaten Kebumen, keparahan penyakit ditemukan sebesar 11,514,0%. Di Kabupaten Klaten, keparahan HDB 5,7-13,9%. di Kabupaten Boyolali, keparahan HDB 7,0-10,4%. Di Kabupaten Sukoharjo, keparahan HDB4,6-15,4%. Di Kabupaten Sragen, penyakit HDB ditemukan dengan keparahan 3,5-14,1%. Tabel 3. Sebaran penyakit HDB di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah, pada MH 2013/2014 Kabupaten Kecamatan Desa Varietas Cilacap Maos Maos Maos Maos Maos Maos Maos Kawunganten Kawunganten Kawunganten Kawunganten Maos Lor Karangkemiri Karangrena Karangrena Karangrena Karangrena Karangrena Karangpucung Karangpucung Jayagiri Bojong Ciherang Situbagendit Ciherang Ciherang Situbagendit Galur Galur Ciherang Muncul Ciherang Ciherang Keparahan Penyakit (%) 31,9 19,6 14,6 15,0 7,0 13,9 19,4 10,6 30,7 14,3 15,6 30 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Banyumas Kebumen Klaten Klaten Boyolali Sampang Sampang Kebasen Kebasen Kebasen Kemranjen Kemranjen Sumpyuh Sumpyuh Kutowinangun Kutowinangun Kutowinangun Kutowinangun Prembun Prembun Prembun Klaten Selatan Klaten Selatan Klaten Selatan Klaten Selatan Klaten Selatan Kebonarum Kebonarum Kebonarum Kebonarum Ngawen Ngawen Ngawen Ngawen Juwiring Juwiring Juwiring Juwiring Juwiring Banyudono Banyudono Banyudono Banyudono Banyudono Banyudono Sawit Sawit Sampang Karangasem Bangsal Kaliwedi Adisana Kacila Kedungpring Sumpyuh Kradenan Kutowinangun Mekarsari Ngaran Ngaran Prembun Sidomangu Sidomangu Jetis Jetis Truno Truno Juragan Cinde Sambeng Kebonarum Kluneng Getak Getak Senden Senden Juwiring Juwiring Juwiring Juwiring Juwiring Kuwiran Cangkringan Cangkringan Ngaru Ngaru Ngaru Sawit Kemasan Muncul Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang IR64 Ciherang IR64 IR64 Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Muncul Ciherang Muncul Ciherang Situ Bagendit Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Membramo IR64 Membramo Ciherang Situ Bagendit Ciherang Situ Bagendit Situ Bagendit Situ Bagendit Situ Bagendit Membramo Membramo Situ Bagendit Sintanur Membramo Situ Bagendit 12,6 12,8 40,4 23,0 37,8 14,1 38,2 12,4 17,6 11,5 12,3 11,9 11,9 13,4 14,0 13,9 6,7 9,3 13,9 12,6 13,5 5,7 7,4 12,2 18,0 9,8 10,6 14,3 13,9 10,4 9,1 12,4 12,0 14,3 8,3 9,1 10,7 6,9 9,4 10,4 7,6 7,0 31 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Sukoharjo Sukoharjo Sragen Grogol Grogol Grogol Grogol Sukoharjo Sukoharjo Sukoharjo Sukoharjo Tawangsari Tawangsari Tawangsari Sambungmacan Sambungmacan Sambungmacan Sambungmacan Sambungmacan Sambungmacan Telukan Telukan Telukan Telukan Jetis Carikan Combangan Combangan Pojok Dalangan Tawangsari Jatisumo Jatisumo Jatisumo Banaran Banaran Sumberagung Situ Bagendit Ciherang Ciherang Membramo Ciherang Situ Bagendit Situ Bagendit Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Membramo IR64 IR64 Mentik Inpari4 12,2 11,5 11,1 15,4 9,1 11,9 4,6 12,6 3,0 10,0 2,0 13,5 14,1 9,6 9,4 3,5 6,5 C. Sebaran penyakit HDB di Propinsi D.I. Yogyakarta Pemantauan penyakit HDB pada MK 2013 dilakukan di 2 kabupaten yaitu Sleman dan Bantul. Di Kabupaten Sleman, pengamatan dilakukan di Kecamatan Berbah, Kalitirto, dan Prambanan. Di Kabupaten Bantul, pengamatan dilakukan di Kecamatan Pleret, Sewon, dan Piyungan. Penyakit HDB dengan keparahan 27,088,2% diperoleh di Kabupaten Sleman, sedangkan di Kabupaten Bantul sebesar 4,8-32,6%. Pemantauan penyakit HDB pada MH 2013/2014 dilakukan di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulonprogo. Di KabupatenSleman, pengamatan dilakukan di Kecamatan Godean dan Moyudan. PengamatanDi Kabupaten Bantul dilakukan di Kecamatan Banguntapan dan Sedayu, sedangkan di Kabupaten Kulonprogo pengamatan di Kecamatan Nanggulan dan Sentolo. Di Kabupaten Sleman, keparahan HDB 0,0-13,3%, di Kabupaten Bantulsebesar 0,0-22,2%, sedangkan di Kabupaten Kulonprogo 4,4% (Tabel 4). Tabel 4.Keparahan penyakit HDB di beberapa sentra produksi padi di Yogyakarta. Kabupaten Sleman Kecamatan Berbah Berbah Berbah Kalitirto Prambanan Godean Desa Sendangtirto Sekarsuli Sekarsuli Jarakan Madurejo Sidorejo Varietas Sintanur Mekongga Ciherang Sintanur Ketan Ciherang Keparahan Penyakit (%) 63,7 57,8 88,2 34,1 27,0 8,9 32 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Bantul Kulonprogo Godean Godean Moyudan Moyudan Moyudan Pleret Pleret Sewon Piyungan Piyungan Banguntapan Banguntapan Banguntapan Sedayu Sedayu Sedayu Sedayu Sedayu Nanggulan Nanggulan Sentolo Sidoluhur Joglo Nalangan Kruwet Sumberagung Kedaton Segoroyoso Pacar Banyakan Sitimulyo Jambidan Potorono Wirokerten Kalaan Argosari Sedayu Argorejo Argorejo Wijimulyo Ploso Banguncipto Ciherang St. Bagendit St. Bagendit St. Bagendit IR64 Situbagendit Situbagendit Situbagendit Ciherang Ciherang Ciherang St. Bagendit St. Bagendit Ciherang IR64 IR42 IR64 St. Bagendit Ciherang Muncul Ciherang 13,3 0 0 0 4,4 11,7 17,0 4,8 32,6 29,3 8,9 7,8 0 5,6 14,4 0 22,2 0 4,4 0 0 D. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) Hasil koleksi daun sakit HDB dari Jawa Tengah diperolehsebanyak 426 sampel, sedangkan D.I. Yogyakarta sebanyak 66 sampel. Hasil isolasi Xoo diperoleh 414 isolat Jawa Tengah dan 66 isolat Yogyakarta. Hasil pengujian isolat Xoo Jawa Tengah teridentifikasi 81 isolat (20%) patotipe III, 162 isolat (39%) patotipe IV, dan 171 isolat (41%) patotipe VIII. Hasil pengujian terhadap isolat XooYogyakarta diperoleh 39 isolat (59,1%) patotipe III, 18 isolat (27,3%) patotipe IV, dan 9 isolat (13,6%) patotipe VIII. Penyakit HDB di Jawa Tengah didominasi oleh Xoo patotipe VIII, sedangkan di Yogyakarta didominasi oleh Xoo patotipe III. Tabel 5. Komposisi patotipe Xoo di kabupaten di Prop.Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Kabupaten Jawa Tengah Pemalang Pekalongan Batang Demak Jumlah sampel Jumlah isolat III 45 58 19 3 45 57 19 0 2 (4,4) 2 (3,5) 7 (36,8) - Jumlah Patotipe (%) IV 31 (68,9) 31 (54,4) 7 (36,8) - VIII 12 (26,7) 24 (42,1) 5 (26,4) - 33 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kudus Jepara Pati Rembang Blora Cilacap Banyumas Kebumen Klaten Boyolali Sukoharjo Sragen JUMLAH : 11 46 17 20 5 40 21 24 39 21 39 18 426 11 43 17 18 2 40 21 24 39 21 39 18 414(100%) 2 (18,2) 5 (11,6) 4 (23,5) 6 (33,3) 1 (50) 11(27,5) 3 (14) 10 (42) 1 (2,6) 10 (47,6) 14 (35,9) 3 (16,7) 81(20) 2 (18,2) 21 (48,8) 3 (17,6) 3 (16,7) 0 (0) 8 (20) 7 (33) 1(4) 27 (69,2) 7 (33,3) 5 (12,8) 9 (50,0) 162(39) 7 (63,6) 17 (39,5) 10 (58,8) 9 (50) 1 (50) 21 (52,5) 11 (53) 13 (54) 11 (28,2) 4 (19,1) 20 (51,3) 6 (33,3) 171(41) Sleman 35 Bantul 31 66 JUMLAH: - = tidak diperoleh data 35 31 66(100%) 19 (54,3) 20 (64,5) 39 (59,1) 11 (31,4) 7 (22,6) 18(27,3) 5 (14,3) 4 (12,9) 9(13,6) D.I. Yogyakarta Kesimpulan Keparahan penyakit HDB mencapai > 80% terdapat di Ds. Kebon Agung, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan, Prop. Jawa Tengah dan Ds. Sekarsuli, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Prop. Yogyakarta.Hasil isolasi bakteri Xoo diperoleh 414 isolat dari Prop. Jawa Tengah dan 66 isolat dari D.I. Yogyakarta. Hasil pengujian terhadap isolat Xooasal Jawa Tengah teridentifikasi 81 isolat (20%) patotipe III, 162 isolat (39%) patotipe IV, dan 171 isolat (41%) patotipe VIII. Hasil pengujian terhadap isolat Xooasal Yogyakarta diperoleh 39 isolat (59,1%) patotipe III, 18 isolat (27,3%) patotipe IV, dan 9 isolat (13,6%) patotipe VIII. Hawar daun bakteri di Prop. Jawa Tengah didominasi oleh Xoo patotipe VIII, sedangkan di D.I. Yogyakarta didominasi oleh Xoo patotipe III. Daftar pustaka Hifni, H. R. 1995. Variasi patogen hawar daun bakteri di Indonesia. Dalam Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. Nayak, D. , M.L. Shanti, L.K. Bose, U.D. Singh and P. Nayak. 2008. Pathogenicity association in Xanthomonas oryzaepv. oryzae the causal organism of rice bacterial blight disease. Asian Research Publishing Network (ARPN). and Biol. Science: 12-27. 34 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Sudir, Suprihanto dan Triny S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di daerah sentra produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28 (3) : 131-138. Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian 22 : 45-50. Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomoas campestris pv.oryzae,isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian Jurnal of Agricultural Science 5 : 63-69. 35 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 WAKTU APLIKASI DAN JENIS BAKTERISIDA TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI DAN HASIL PADI Dini Yuliani dan Sudir Balai Besar Penelitian Tanaman Padi JL. Raya IX Sukamandi Subang 41256, email: [email protected] Abstrak Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan kendala utama budidaya tanaman padi di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Pengendalian penyakit HDB dengan teknik pemupukan bersifat lokal dan terbatas, sedangkan taktik penggunaan varietas cukup efektif namun memiliki keterbatasan waktu dan tempat. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengendalian lain yang efektif dan efisien yaitu penggunaan jenis bakterisida dengan waktu aplikasi yang tepat. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan BB Padi Sukamandi pada musim kemarau (MK) 2012 dan musim hujan (MH) 2012/2013. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap penyakit HDB. Percobaan ditata dalam rancangan Split Plot dengan 3 ulangan. Petak utama adalah waktu aplikasi: (1). Tanaman padi diinokulasi Xoo kemudian satu hari berikutnya disemprot bakterisida, dan (2). Tanaman padi disemprot bakterisida kemudian satu hari berikutnya diinokulasi Xoo. Isolat Xoo yang digunakan adalah patotipe IV merupakan patotipe Xoo yang paling ganas. Anak petak terdiri dari 4 perlakuan bakterisida yaitu: (1). Asam Khloro Bromo Iso Sianurik, (2). Streptomycin Sulfate 7%, (3). Tembaga Oksida 56%, dan (4). Kontrol. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan dengan mengukur gejala penyakit yang muncul pada 2 dan 3 minggu setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu aplikasi bakterisida sebelum inokulasi Xoo memiliki keparahan penyakit HDB yang lebih rendah dibandingkan aplikasi bakterisida setelah inokulasi Xoo. Jenis bakterisida yang efektif untuk menekan keparahan penyakit pada MK 2012 yaitu Tembaga Oksida 56%, sedangkan pada MH 2012/2013 yaitu Asam Khloro Bromo Iso Sianurik. Hasil tanaman padi pada MK 2012 lebih tinggi dibandingkan MH 2012/2013. Kata Kunci: waktu aplikasi, jenis bakterisida, hawar daun bakteri Pendahuluan Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan kendala utama pada seluruh sentra padi dunia tersebar luas di Indonesia, India, Thailand, Filipina, Jepang, Cina, Amerika Serikat, Meksiko, Madagaskar, Nigeria, Senegal, Mali dan Australia (Agarwal and Sinclair, 1987 dalam Rachmawati, 2009). Penyakit ini disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) yang tersebar di 36 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 berbagai ekosistem dan dapat menyerang semua stadium tumbuh tanaman padi. Penyakit HDB menghasilkan dua gejala khas yaitu kresek dan hawar. Kresek adalah gejala yang terjadi pada tanaman padi berumur < 30 hari setelah tanam (HST). Sementara, hawar merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah mencapai fase anakan maksimum sampai pemasakan (Suparyono et al. 2004). Baik kresek maupun hawar memiliki gejala yang sama yaitu daun-daun berwarna hijau kelabu, melipat dan menggulung. Dalam keadaan parah, seluruh daun menggulung, layu dan mati mirip tanaman yang terkena air panas (Semangun, 2004). Kehilangan hasil akibat penyakit HDB mencapai 20-30% bahkan mencapai 50% di Jepang. Di India, keparahan penyakit HDB 7-39% menyebabkan kehilangan hasil 22.000-105.000 ton (Rajarajeswari and Muralidharani, 2006). Di daerah tropis seperti Indonesia kerusakan pertanaman padi lebih besar dibandingkan daerah sub-tropis (Khaeruni, 2001). Luas serangan HDB di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 110.248 ha diantaranya mengalami puso seluas 12 ha. Luas serangan HDB yang paling parah berdasarkan provinsi yaitu Jawa Barat 40.486 ha, Jawa Tengah 30.029 ha, Jawa Timur 23.504 ha, Banten 3.745 ha dan Sulawesi Tenggara 2.678 ha (Anonim, 2011). Intensitas serangan HDB tidak hanya dipengaruhi oleh ketahanan varietas dan virulensi patogen, tetapi juga dipengaruhi oleh teknik bercocok tanam yang diterapkan petani. Penyakit HDB memiliki hubungan yang jelas dengan pemupukan nitrogen (N). Pemberian pupuk N dengan dosis anjuran dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan produktivitas tanaman. Sebaliknya pemupukan N dengan dosis tinggi akan meningkatkan kerentanan tanaman terhadap patogen (Khaeruni, 2001). Namun pengendalian melalui pemupukan terbatas dan bersifat lokal, sehingga dihadapkan pada kesulitan teknis yang relatif tinggi. Taktik penggunaan varietas efektif namun memiliki keterbatasan waktu dan tempat dikarenakan patogen memiliki banyak patotipe. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengendalian lain yang efektif dan efisien yaitu penggunaan jenis bakterisida dengan waktu aplikasi yang tepat. Bakterisida adalah suatu zat yang bersifat racun, menghambat pertumbuhan, mempengaruhi tingkah laku, penghambat makan, serta aktivitas lainnya yang dapat mempengaruhi OPT. Pengendalian HDB secara kimiawi dapat dilakukan dengan pelapisan benih padi menggunakan bleaching powder (100 μg/ml) dan zinc sulfate 2% (Anonim, 2008). Sigee (1993) menyatakan, bahan aktif pada bakterisida dilepaskan dalam bentuk agens toksik berupa ion yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri hingga menyebabkan sel bakteri patogen mati, pada kondisi lain bakterisida tidak membunuh secara langsung tetapi mempengaruhi metabolisme tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. 37 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Penyakit HDB dapat dikendalikan dengan cara relatif aman terhadap lingkungan dengan menggunakan bakterisida dengan waktu dan aplikasi yang tepat sehingga kehilangan hasil oleh penyakit ini dapat ditekan (Sudir dan Suprihanto, 2008). Aplikasi bakterisida sintetis umumnya dengan penyemprotan langsung di lapang pada kondisi tanaman terserang penyakit yang disebabkan oleh patogen bakteri. Teknik pengendalian ini diharapkan mampu menekan kehilangan hasil akibat penyakit HDB dan mampu mendukung usaha pertanian berkelanjutan. Namun hasil penelitian mengenai waktu aplikasi dan jenis bakterisida masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap keparahan penyakit HDB dan hasil padi pada dua musim tanam. Bahan dan metode A. Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan BB Padi, Kab. Subang Jawa Barat pada musim kemarau (MK) 2012 dan musim hujan (MH) 2012/2013. B. Rancangan Percobaan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan petak terpisah dengan 3 ulangan. Petak percobaan berukuran 2 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Petak utama adalah: (1). Tanaman padi diinokulasi isolat Xoo kemudian 1 hari berikutnya disemprot bakterisida, dan (2). Tanaman padi disemprot bakterisida kemudian 1 hari berikutnya diinokulasi isolat Xoo. Anak petak terdiri dari 4 perlakuan yaitu: (1). Asam Khloro Bromo Iso Sianurik (Puanmur 50 SP), (2). Streptomycin Sulfate 7% (Plantomycin 7 SP), (3). Tembaga Oksida 56% (Nordox 56 WP), dan (4). Kontrol. C. Cara Tanam dan Pemeliharaan Tanaman. Varietas Ciherang dipilih karena merupakan varietas yang rentan terhadap HDB patotipe IV. Bibit padi ditanam saat bibit berumur 21 hari setelah sebar. Seluruh plot diberi pupuk nitrogen (N) dan Posfor (P) sesuai dengan dosis rekomendasi. Pemupukan N dalam bentuk Urea diberikan secara bertahap 3 kali, masing-masing 1/3 bagian diberikan pada umur tanaman padi 10-12 HST, fase pembentukan anakan aktif, dan primordia. Pupuk P diaplikasikan seluruhnya pada pemupukan pertama. Untuk memacu perkembangan penyakit HDB tanaman tidak dipupuk KCl. Pemeliharaan tanaman dilakukan menurut standar bercocok tanam padi. D. Inokulasi Xoo. Sebanyak 20 rumpun tanaman per petak yang terbagi pada lima titik diagonal, masing-masing 4 rumpun per titik diinokulasi dengan bakteri Xoo patotipe IV. Inokulasi dilakukan pada saat pertanaman menjelang stadium 38 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 primordia dengan metode gunting. Tanaman sampel digunting seluruh ujung daunnya sepanjang kira-kira 10 cm dengan gunting inokulasi yang berisi suspensi bakteri Xoo umur 48 jam dengan kepekatan 108 cfu. Inokulasi dilakukan menjelang sore hari sekitar pukul 14.00 – 17.30 WIB. E. Pengamatan Penyakit. Pengamatan keparahan penyakit HDB dilakukan pada 20 rumpun sampel per petak yang telah diinokulasi Xoo. Pengamatan dilakukan dengan mengukur 5 daun bergejala terpanjang/rumpun pada umur 2 dan 3 minggu setelah inokulasi (MSI). Keparahan penyakit adalah rasio dari panjang gejala HDB dibagi panjang daun yang diinokulasi dikali 100%. Pengamatan keparahan penyakit berdasarkan Standard Evaluation Sytem for Rice (Anonim, 1996) tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Keparahan Penyakit HDB berdasarkan SES for Rice Nilai Skala Luas gejala/keparahan penyakit (%) 0 1 3 5 7 9 Tidak ada gejala Keparahan 1-6% Keparahan > 6-12% Keparahan > 12-25% Keparahan > 25-50% Keparahan > 50-100% F. Pengamatan Komponen Hasil. Pengamatan komponen hasil berdasarkan standar IRRI untuk padi (Anonim, 1996) terhadap bobot gabah kering giling, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, bobot gabah isi, bobot gabah hampa, dan bobot 1000 butir. Data hasil didapatkan dari hasil panen per plot dengan meninggalkan dua baris pinggir. Bobot gabah kering giling dihitung setelah gabah padi memiliki kadar air 14%. G. Analisis Data. Pengaruh waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap keparahan penyakit HDB dan komponen hasil padi dianalisis secara statistik dengan metode sidik ragam ANOVA. Pengaruh perlakuan dievaluasi berdasarkan nilai F hitung. Perbedaan antar perlakuan diuji lanjut dengan DMRT pada taraf 5% (Gomez and Gomez, 1995). 39 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil dan pembahasan A. Keparahan Penyakit HDB MK 2012 Hasil analisis sidik ragam pengujian waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap HDB pada musim kemarau (MK) 2012 menunjukkan bahwa waktu aplikasi dan jenis bakterisida berbeda nyata (P<0,001) namun tidak terjadi interaksi antara keduanya (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa keparahan penyakit HDB pada MK 2012 dipengaruhi oleh waktu aplikasi dan jenis bakterisida secara terpisah. Tabel 2. Sidik ragam waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap HDB, Sukamandi MK 2012. Sumber Keragaman DB Pengamatan 1 Pengamatan 2 Waktu Aplikasi 1 * * Jenis Bakterisida 3 * * Ulangan 2 tn tn Waktu x Jenis 3 tn tn 2 R 0,96 0,93 CV (%) 7,47 7,26 * = berbeda nyata, tn= tidak berbeda nyata pada taraf LSD 5% Hasil pengamatan pada MK 2012 menunjukkan bahwa waktu aplikasi bakterisida sebelum inokulasi Xoo memiliki keparahan penyakit HDB yang lebih rendah dibandingkan dengan aplikasi bakterisida setelah inokulasi Xoo pada 2 dan 3 MSI berturut-turut sebesar 3,09 dan 5,27% (Tabel 3). Jenis bakterisida berpengaruh terhadap keparahan penyakit HDB. Bakterisida tembaga oksida 56% memiliki keparahan penyakit HDB paling rendah dibandingkan bakterisida lainnya sebesar 2,80% (2 MSI) dan 4,90% (3 MSI). Tembaga oksida 56% merupakan bakterisida yang memiliki mekanisme kerja sebagai racun kontak untuk patogen. Bahan aktif pada racun kontak akan menghambat bakteri untuk melakukan infeksi pada tanaman padi. Bakterisida lainnya yaitu Streptomycin Sulfate 7% dan Asam Khloro Bromo Iso Sianurik memiliki cara kerja sebagai racun sistemik. Bakterisida jenis ini akan bekerja apabila racun yang disemprotkan ke bagian tanaman sudah terserap masuk ke dalam jaringan tanaman baik melalui akar maupun daun sehingga dapat membunuh patogen yang berada di dalam jaringan tanaman, seperti bakteri/cendawan. 40 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 3. Waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap rata-rata intensitas penyakit HDB, Sukamandi MK 2012. Intensitas Penyakit (%) Perlakuan Waktu Aplikasi Sebelum inokulasi Xoo Setelah inokulasi Xoo Jenis Bakterisida Streptomycin Sulfate 7% Asam Khloro Bromo Iso Sianurik Tembaga Oksida 56% Kontrol Keterangan: Angka yang selajur yang berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan 2 MSI 3 MSI 3,09 b 4,22 a 5,27 b 6,76 a 3,40 c 3,84 b 6,08 b 6,33 ab 2,80 d 4,90 c 4,58 a 6,77 a diikuti oleh huruf yang sama tidak Komponen hasil tanpa inokulasi Xoo pada MK 2012 menunjukkan waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak interaksi antara keduanya. Waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo diperoleh bobot gabah kering giling, jumlah gabah hampa, bobot gabah hampa, dan bobot 1000 butir lebih tinggi dibandingkan dengan waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo menunjukkan jumlah gabah isi dan bobot gabah isi lebih tinggi dibandingkan dengan waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo (Tabel 4). Jenis bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap komponen hasil tanpa inokulasi Xoo pada MK 2012 kecuali pada bobot gabah kering giling. Bobot gabah kering giling, jumlah gabah isi, dan bobot 1000 butir tertinggi dijumpai pada bakterisida Tembaga Oksida 56% masing-masing sebesar 292,75 kg, 728,67 butir, dan 27,82 gram. Jumlah gabah hampa tertinggi diperoleh pada bakterisida Streptomycin Sulfate 7% sebesar 173,33 butir. Bobot gabah isi tertinggi sebesar 20,22 gram pada jenis bakterisida Asam Khloro Bromo Iso Sianurik. Bobot gabah hampa tertinggi pada perlakuan kontrol yaitu 0,83 gram. Tabel 4. Komponen hasil tanpa inokulasi Xoo, Sukamandi MK 2012. Perlakuan BGKG JGI JGH BGI BGH (kg) (butir) (butir) (gr) (gr) 1000 butir (gr) Waktu Aplikasi Sebelum inokulasi Xoo 282,21 a 713,25 a 169,17 a 19,88 a 0,85 a 27,59 a 41 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Setelah inokulasi Xoo 261,17 a Jenis Bakterisida Streptomycin Sulfate 7% 261,42 b 720,83 a 158,08 a 20,20 a 0,73 a 27,47 a 711,67 173,33 19,85 0,75 27,55 a a a a a Asam Khloro Bromo Iso 270,92 b 725,83 161,00 20,22 0,72 27,79 a Sianurik a a a a Tembaga Oksida 56% 292,75 a 728,67 164,00 20,00 0,73 27,82 a a a a a Kontrol 261,67 b 726,67 156,17 20,15 0,83 27,61 a a a a a Keterangan: Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan, BGKG: bobot gabah kering giling, JGI: jumlah gabah isi, JGH: jumlah gabah hampa, BGI: bobot gabah isi, BGH: bobot gabah hampa. Komponen hasil dengan inokulasi Xoo pada MK 2012 menunjukkan bahwa waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak interaksi antara keduanya. Waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo diperoleh bobot gabah kering giling, bobot gabah hampa, dan bobot 1000 butir lebih tinggi dibandingkan dengan waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo menunjukkan jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan bobot gabah isi lebih tinggi dibandingkan dengan waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo (Tabel 5). Jenis bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap komponen hasil dengan inokulasi Xoo pada MK 2012. Bakterisida Asam Khloro Bromo Iso Sianurik memberikan jumlah gabah isi dan bobot gabah isi tertinggi dibandingkan perlakuan bakterisida lainnya. Pada bakterisida Tembaga Oksida 56% dijumlah bobot gabah kering giling sebesar 232,33 kg. Jumlah gabah hampa, bobot gabah hampa, dan bobot 1000 butir tertinggi dijumpai pada perlakuan kontrol (Tabel 5). Tabel 5. Komponen hasil dengan inokulasi Xoo, Sukamandi MK 2012. Perlakuan BGKG JGI JGH BGI BGH (kg) (butir) (butir) (gr) (gr) 1000 butir (gr) Waktu Aplikasi Sebelum inokulasi Xoo Setelah inokulasi Xoo 231,08 a 225,58 a 710,92 a 720,67 a 181,92 a 201,17 a 19,78 a 19,91 a 0,87 a 0,84 a 27,51 a 27,12 a Jenis Bakterisida 42 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Streptomycin Sulfate 7% 230,58 710,33 193,00 19,78 0,88 27,35 a a a a a a Asam Khloro Bromo Iso 231,83 716,00 196,00 19,83 0,75 27,36 a Sianurik a a a a a Tembaga Oksida 56% 232,33 700,67 167,00 14,92 0,85 26,38 a a a a a a Kontrol 218,58 711,50 210,17 19,77 1,05 27,54 a a a a a a Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan, BGKG: bobot gabah kering giling, JGI: jumlah gabah isi, JGH: jumlah gabah hampa, BGI: bobot gabah isi, BGH: bobot gabah hampa. B. Keparahan Penyakit HDB MH 2012/2013 Hasil analisis sidik ragam pengujian waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap HDB pada musim hujan (MH) 2012/2013 menunjukkan bahwa waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata (P<0,001) dan tidak terjadi interaksi antara keduanya (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa keparahan penyakit HDB pada MH 2012/2013 tidak dipengaruhi oleh waktu aplikasi dan jenis bakterisida. Tabel 6. Analisis sidik ragam waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap hawar daun bakteri, Sukamandi MH 2012/2013. Sumber Keragaman DB Pengamatan 1 Pengamatan 2 Waktu Aplikasi 1 tn tn Jenis Bakterisida 3 tn tn Ulangan 2 tn tn Waktu x Jenis 3 tn tn 2 R 0,84 0,95 CV (%) 17,95 12,74 * = berbeda nyata, tn= tidak berbeda nyata pada taraf LSD 5% Hasil pengamatan pada MH 2012/2013 menunjukkan bahwa waktu aplikasi bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit HDB pada 2 dan 3 MSI. Namun aplikasi bakterisida sebelum inokulasi Xoo memiliki keparahan penyakit HDB relatif lebih rendah dibandingkan aplikasi setelah inokulasi Xoo berturut-turut sebesar 3,90 dan 6,03% (Tabel 7). Jenis bakterisida tidak berpengaruh terhadap keparahan penyakit HDB. Bakterisida Asam Khloro Bromo Iso Sianurik memiliki keparahan penyakit HDB paling rendah dibandingkan bakterisida lainnya sebesar 3,87% (2 MSI) dan 5,84% (3 MSI). 43 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 7. Waktu aplikasi dan jenis bakterisida terhadap rata-rata intensitas penyakit hawar daun bakteri, Sukamandi MH 2012/2013. Intensitas Penyakit (%) Perlakuan 2 MSI 3 MSI Waktu Aplikasi Sebelum inokulasi Xoo 3,90 a Setelah inokulasi Xoo 4,00 a Jenis Bakterisida Streptomycin Sulfate 7% 3,64 a Asam Khloro Bromo Iso 3,87 a Sianurik Tembaga Oksida 56% 4,04 a Kontrol 4,27 a Keterangan: Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan. 6,03 a 6,43 a 6,18 a 5,84 a 6,19 a 6,72 a yang sama tidak Komponen hasil tanpa inokulasi Xoo pada MH 2012/2013 menunjukkan waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak interaksi antara keduanya. Waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo diperoleh bobot gabah kering giling (237,41 kg) dan bobot 1000 butir (27,55 gram) lebih tinggi dibandingkan waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, bobot gabah isi, dan bobot gabah hampa paling tinggi diperoleh pada waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo (Tabel 8). Jenis bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap komponen hasil tanpa inokulasi Xoo. Bakterisida Streptomycin Sulfate 7% memberikan hasil bobot gabah kering giling dan jumlah gabah hampa yang tertinggi dibandingkan perlakuan bakterisida lainnya. Pada bakterisida Asam Khloro Bromo Iso Sianurik diperoleh bobot gabah hampa dan bobot 1000 butir tertinggi masing-masing sebesar 2,37 gram dan 27,54 gram. Jumlah gabah isi dan bobot gabah isi tertinggi dijumpai pada bakterisida Tembaga Oksida 56%. Jumlah gabah hampa tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 315,33 butir (Tabel 8). Tabel 8. Kohasil tanpa inokulasi Xoo, Sukamandi MH 2012/2013 Perlakuan BGKG JGI JGH BGI BGH (kg) (butir) (butir) (gr) (gr) 1000 butir (gr) Waktu Aplikasi Sebelum inokulasi Xoo Setelah inokulasi Xoo 237,41 a 219,03 1.074,75 a 1.130,67 272,17 a 288,33 28,56 a 30,44 1,92 b 2,52 27,55 a 27,31 a 44 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 a a a a a Jenis Bakterisida Streptomycin Sulfate 7% 231,78 1.140,83 309,67 30,14 2,28 27,28 a a a a a a Asam Khloro Bromo Iso 227,14 1.069,33 264,17 28,59 2,37 27,59 a Sianurik a a a a a Tembaga Oksida 56% 225,01 1.147,17 231,83 30,55 1,90 27,30 a a a a a a Kontrol 228,97 1.053,50 315,33 28,73 2,32 27,54 a a a a a a Keterangan: Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan, BGKG: bobot gabah kering giling, JGI: jumlah gabah isi, JGH: jumlah gabah hampa, BGI: bobot gabah isi, BGH: bobot gabah hampa. Komponen hasil dengan inokulasi Xoo pada MH 2012/2013 menunjukkan waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak interaksi antara keduanya. Waktu aplikasi sebelum inokulasi Xoo diperoleh jumlah gabah isi, bobot gabah isi, dan bobot 1000 butir lebih tinggi dibandingkan waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Bobot gabah kering giling, jumlah gabah hampa, dan bobot gabah hampa tertinggi dijumpai waktu aplikasi setelah inokulasi Xoo. Jenis bakterisida tidak berpengaruh nyata terhadap komponen hasil dengan inokulasi Xoo. Bakterisida Streptomycin Sulfate 7% memberikan hasil bobot gabah isi tertinggi dibandingkan perlakuan bakterisida lainnya sebesar 27,61 gram. Pada bakterisida Asam Khloro Bromo Iso Sianurik diperoleh jumlah gabah hampa tertinggi sebesar 424,50 butir dan bobot 1000 butir tertinggi sebesar 27,47 gram. Jumlah gabah isi dan bobot gabah kering giling tertinggi dijumpai pada bakterisida Tembaga Oksida 56%. Bobot gabah hampa tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 3,19 gram (Tabel 9). Tabel 9. Kohasil dengan inokulasi Xoo, Sukamandi MH 2012/2013 Perlakuan BGKG JGI JGH BGI BGH (kg) (butir) (butir) (gr) (gr) 1000 butir (gr) Waktu Aplikasi Sebelum inokulasi Xoo Setelah inokulasi Xoo 186,43 a 194,84 a 1.025,75 a 920,25 b 348,83 a 412,58 a 27,27 a 25,81 a 2,60 a 27,35 a 2,95 a 27,30 a Jenis Bakterisida 45 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Streptomycin Sulfate 7% 193,62 998,83 a 362,00 27,61 2,70 27,28 a a a a ab Asam Khloro Bromo Iso 191,74 932,83 a 424,50 26,08 2,88 27,47 a Sianurik a a a ab Tembaga Oksida 56% 196,10 1.012,17 360,83 27,31 2,33 b 27,26 a a a a a Kontrol 181,07 948,70 a 375,50 25,17 3,19 a 27,29 a a a a Keterangan: Angka yang selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Duncan, BGKG: bobot gabah kering giling, JGI: jumlah gabah isi, JGH: jumlah gabah hampa, BGI: bobot gabah isi, BGH: bobot gabah hampa. Kesimpulan Waktu aplikasi bakterisida sebelum inokulasi Xoo memiliki keparahan penyakit HDB yang lebih rendah dibandingkan aplikasi bakterisida setelah inokulasi Xoo. Jenis bakterisida yang efektif untuk menekan keparahan penyakit pada MK 2012 yaitu Tembaga Oksida 56%, sedangkan pada MH 2012/2013 yaitu Asam Khloro Bromo Iso Sianurik. Waktu aplikasi dan jenis bakterisida tidak berbeda nyata dan tidak ada interaksi antara keduanya terhadap komponen hasil baik perlakuan inokulasi Xoo maupun tanpa inokulasi Xoo pada dua musim tanam. Namun, secara umum hasil tanaman padi pada MK 2012 lebih tinggi dibandingkan MH 2012/2013. Daftar pustaka Anonim. 1996. Standard Evaluation System for Rice. IRRI. Los Banos. Philippines. Anonim. 2008. Bacterial Leaf Blight: Diagnostic Summary. <http://www.knowledgebank.irri.org/RiceDoctor/Fact_Sheets/Diseases/ Bacterial_Leaf_Blight.htm#Common>. Diakses pada 22 Mei 2014 Anonim. 2011. Laporan Tahunan 2010 Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Dirjen Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Gomez, A.K. and A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian. (Terjemahan oleh Enang Sjamsudin & Justika Baharsjah). Edisi 11. UI Press, Jakarta. Khaeruni, A. 2001. Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi: Masalah dan Upaya Pemecahannya. IPB Press. Bogor. Rachmawati, A.Y. 2009. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning Plus Bakterisida Sintetis atau Nabati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Terbawa Benih serta Meningkatkan Viabilitas dan Vigor benih Padi (Oryza sativa L.). Skripsi Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 46 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Rajarajeswari, N.V.L., and K. Muralidharan. 2006. Assessments of farm yield and district production loss from bacterial leaf blight epidemics in rice. Crop Protection 25: 244–252. Semangun H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sigee, D.C. 1993. Bacterial Plant Pathology: Cell and Molecular Aspect. First Edition. Cambridge University Press. England. 325 p. Sudir dan Suprihanto. 2008. Pengaruh jenis dan waktu aplikasi bakterisida antagonis terhadap penyakit hawar daun bakteri Xanthomonas oryzae pv. oyzae pada tanaman padi. prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian J. Agric. Sci. 5 : 63-69. 47 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014 KAJIAN PENGGUNAAN BIORASIONAL UNTUK MENGENDALIKKAN HAWAR DAUN BAKTERI (HDB) PADI Agus Nurawan dan Nandang Sunandar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Barat Jl.Kayuambon No.80, Lembang Kabupaten Bandung Barat. 40391 Email : [email protected] Abstrak Pengkajian penggunaan biorasional untuk mengendalikan penyakit Hawar Daun Bakteri telah dilakukan di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur. Lokasi tersebut merupakan daerah endemik HDB padi. Biorasional yang digunakan, berasal dari Balai Besar Biogen yang mengandung inokulum Serratia marescens, Bacillus firmus dan Burkholderia sp. Biorasional tersebut disamping untuk mengendalikan penyakit HDB juga salah satu inokulumnya mengandung mikroorganisme yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Pengkajian tersebut bertujuan untuk mengetahui efektifitas biorasional untuk mengendalikan HDB dan varietas inpari HDB di lapangan dan pengaruhnya terhadap peningkatan produktivitas padi. Pengkajian menggunakan analisis deskriptif membandingkan antara 2 perlakuan yaitu Biorasional dan varietas Inpari HDB dengan kontrol, setiap petak terdiri 3 sampel tanaman dan ulangan sebanyak 16 kali. Varietas yang digunakan adalah Inpari 20, jarak tanam 30 x 15 cm dan selokan 60 cm menggunakan sistim jajar legowo 2 : 1. Dosis biorasional adalah 2 gram per liter air, diaplikasikan pada umur 14, 28 dan 42 HST (Hari Setelah Tanam). Parameter yang diamati meliputi daya hambat terhadap penyakit HDB, tinggi tanaman, jumlah anakan produktivitas dan komponen hasil tanaman pada saat panen. Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa pemberian biorasional dapat menurunkan intensitas serangan HDB dari 20% menurun menjadi 0,71% sedangkan kontrol tetap 20%. Berdasarkan hasil pengamatan agronomis tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan serta komponen hasil pada umumnya penggunaan biorasional lebih unggul dibandingkan dengan kontrol. Hasil evaluasi terhadap respons petani menunjukkan bahwa petani sangat suka menggunakan biorasional ini karena lebih efisien, dan mudah cara penggunaannya. Kata kunci : biorasional, padi, hawar daun bakteri 48 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014 PENDAHULUAN Dalam melakukan budidaya tanaman padi baik di lahan sawah maupun di lahan kering (padi gogo), banyak dihadapi kendala seperti dampak fenomena iklim, kebanjiran dan lain-lain. Salah satu kendala yang sangat penting adalah gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT terdiri dari serangan hama maupun serangan patogen penyebab penyakit. Penyakit penting yang menyerang tanaman padi adalah blast yang disebabkan oleh patogen Pyricularia oryzae dan penyakit pangkal batang yang disebabkan oleh Rhizoctonia sp. Akan tetapi ada salah satu penyakit yang sewaktu-waktu muncul dan berbahaya adalah penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv oryzae (XOO) (Hifni et al. 1996). Gejala penyakit ini berupa bercak-bercak pada daun warna coklat kemerahan, pada serangan yang parah seluruh permukaan daun tertutup bercak sehingga daun terganggu dalam melakukan fotosintesis, dan akhirnya tanaman produktivitasnya menurun dan bahkan dapat menimbulkan puso. Beberapa tempat dilaporkan, kerugian yang ditimbulkan sangat beragam tergantung tergantung varietas padi yang ditanam. Kerugian yang ditimbulkan sebagai contoh di Jepang dapat menurunkan hasil sampai dengan 50% (Yusida, et al. 1994). Di beberapa negara Asia, HDB berkembang menjadi penyakit yang serius pada lahan sawah terutama setelah diintroduksikannya varietas IR-64, serta teknik budidaya baru dengan pemupukan nitrogen yang tinggi. Berbagai cara pengendalian sudah dilakukan oleh petani terutama yang paling praktis yaitu menggunakan pestisida (fungisida, bakterisida, dll), namun semua itu harus menggunakan dana yang cukup besar, disamping bila tidak bijak dalam mengaplikasikannya dapat mencemari lingkungan, residu pada hasil panen dan serangga menjadi imun. Beberapa kerugian lainnya terbunuhnya seranggaserangga non target yang justru berguna dalam menunjang kesimbangan hayati di lapangan. Sejak digulirkannya program dan konsep Pengendalian Hama terpadu (PHT), beberapa jenis pestisida ada yang dilarang beredar karena berpotensi membunuh serangga berguna dan mencemari lingkungan. Berbagai cara pengendalian sudah dicoba, misalnya dengan pestisida nabati, agensia hayati, menggunakan musuh alami yang dianggap ramah lingkungan. Untuk mengendalikan penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) salah satunya dengan biorasional. Biorasional pestisida disebut juga biopestisida, yaitu pestisida yang berasal dari alam yang tidak memiliki pengaruh terhadap manusia, lingkungan dan organisme yang bermanfaat dan mengandung substansi aktif seperti bakteri, cendawan, protozoa, feromon, zat pengatur tumbuh (Williamson, 1999 cit. Samudra, et al., 2012). Biorasional yang digunakan dalam pengkajian ini mengandung Bacillus firmus, Burkholderia sp dan Serratia marescens yang efektif mengendalikan beberapa penyakit padi seperti hawar pelepah daun. 49 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014 Bahan dan metode Pengkajian dilakukan dilakukan di Kelompok Tani Mandiri, Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, yang dilakukan pada April sampai dengan September 2013. Bahan yang digunakan terdiri atas biorasional yang hasil penelitian dari Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Bogor. Perlakuan tediri atas : 1) perlakuan biorasional, 2) varietas Inpari HDB, dan 3) kontrol dan 16 kali ulangan. Menggunakan lahan petani seluas 4 ha, perlakuan biorasional diberikan dengan dosis 2 gr/liter air, diaplikasikan pada umur 14, 28 dan 42 HST dalam 1 ha menggunakan cairan semprot 200 liter. Setiap petak perlakuan ditentukan 3 tanaman sampel untuk diamati. Varietas yang digunakan adalah Inpari 20, jarak tanam 30 x 15 cm dan selokan 60 cm menggunakan sistim jajar legowo 2 : 1. Pengamatan fase vegetatif dilakukan pada umur 30, 45 dan 65 HST, dan pengamatan intensitas serangan HDB umur 80-90 HST. Hal-hal yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, daya hambat terhadap penyakit HDB, dan produksi. Hasil dan pembahasan Pengkajian teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan di lahan sawah irigasi dilaksanakan di lahan petani seluas 4 hektar dengan jumlah koperator petani sebanyak 7 orang. Adapun benih padi yang digunakan yaitu benih padi varietas Inpari 20 dan varietas Inpari HDB. Varietas inpari 20 dan HDB dipilih karena tekstur berasnya pulen, rasa nasi enak, toleran rebah, potensi hasil cukup tinggi (8,8 ton/ha), agak tahan terhadap wereng batang coklat biotipe 1, tahan terhadap hawar daun bakteri dan sesuai ditanam pada ekosistem sawah dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl yang diaplikasikan menggunakan teknologi PTT tanpa menggunakan pupuk kimia sintetis (Anonim, 2011). Adapun jumlah tanaman yang dijadikan sampel sebanyak 3 rumpun per petak (tabel 1). Tabel 1. Jumlah sampel pada masing-masing perlakuan Jumlah sampel Jumlah Perlakuan per petak Total sampel petak sawah sawah Biorasional 39 3 117 pestisida Inpari HDB 8 3 24 Kontrol 16 3 48 50 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014 Data pengamatan agronomis tanaman pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 2 . Tabel 2. Rerata tinggi tanaman (cm) pada umur 30, 45 dan 65 HST Tinggi tanaman (cm) Perlakuan 30 HST 45 HST 65 HST Biorasional 34,82 59,28 79,05 Varietas HDB 38,58 71,63 96,42 Kontrol 10,77 62,94 83,58 Biorasional Inpari HDB Kontrol 96,42 96,42 71,63 59,28 51,74 65,23 38,58 34,82 10,77 0 0 1 0 2 3 4 Berdasarkan hasil pengamatan, tinggi tanaman tertinggi dihasilkan oleh padi varietas HDB. Hal ini disebabkan Inpari HDB memang mempunyai potensi tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 20. Jumlah anakan, biorasional tidak berpengaruh langsung terhadap jumlah anakan tersebut. Tabel 3. Rerata Jumlah Anakan Tanaman pada umur 30, 45 dan 65 HST Jumlah anakan Perlakuan 30 HST 45 HST 65 HST Anakan produktif Biorasional 16,53 8,41 25,76 30,63 Varietas 29,13 7,33 26,67 29,13 HDB Kontrol 16,04 33,60 35,60 20,54 51 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014 Jumlah anakan 30 HST Jumlah anakan 45 HST 29,12 26,27 25,76 Jumlah anakan 65 HST 28,23 26,2 23,06 8,4 Biorasional 10,26 7,33 Inpari HDB Kontrol Kecamatan Haurwangi merupakan daerah endemik HDB, pada periode pengkajian berdasarkan hasil pengamatan secara acak, rata-rata rata rata prosentase serangannya adalah 20%. Hasil Pengamatan pada pengkajian penggunaan Biorasional pestisida, intensitas serangan HDB di lokasi pengkajian menunjukkan serangan tertinggi pada tanaman kontrol (8,94%). (8,94%). Sedangkan serangan penyakit HDB terendah pada tanaman yang telah diaplikasikan biorasional (0,71%). Jenis varietas padi antara perlakuan kontrol dan biorasional adalah Inpari 20. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi biorasional mampu menekan perkembangan serangan penyakit HDB. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Samudra, (2012) isolat Burkholderia sp menunjukkan penekanan terhadap penyakit HDB paling tinggi dibandingkan senyawa kimia CuSo4 (9,3%). 52 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014 Tabel 4. Rata-rata hasil ubinan dan rata-rata hasil (ton/ha) Gabah Kering Panen (GKP). Rata-rata hasil Rata-rata Rata-rata 2 No. Perlakuan ubinan (kg/10 m ) jumlah hasil (ton/ha) rumpun GKP 1. Kontrol 7,00 105 7,00 2. Biorasional 8,45 201 8,45 3. Inpari HDB 7,30 7,30 Pada tabel 3, dapat dilihat hasil ubinan (ton/ha) yang diperoleh pada masing-masing perlakuan. Hasil tertinggi Gabah Kering Panen (GKP) didapat dari perlakuan biorasional pestisida (8,45 ton/ha) sedangkan hasil terendah didapat dari perlakuan kontrol (7,00 ton/ha). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh antara perlakuan dengan biorasional pestisida dengan kontrol. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Syakti, (2009), Burkholderia sp dapat berfungsi sebagai agent bioremediasi dan mampu mengeliminir penyakit yang disebabkan oleh jamur dan mikroorganisme lainnya yang membahayakan bagi pertumbuhan tanaman. Kesimpulan 1. Teknologi pengendalian penyakit hawar daun bakteri (HDB) dengan menggunakan biorasional pestisida mampu menekan perkembangan penyakit HDB pada pertanaman padi varietas Inpari 20 dengan persentase serangan 0,71% dibandingkan dengan penggunaan varietas Inpari HDB (6,022%) dan kontrol (8,94%). 2. Hasil ubinan gabah kering panen (GKP) ton/ha pada varietas Inpari 20 yang telah diberi perlakuan biorasional pestisida menunjukkan hasil paling tinggi (8,45 ton/ha) dibandingkan hasil ubinan pada varietas Inpari HDB (7,3 ton/ha) dan kontrol (7 ton/ha). Daftar Pustaka Anonim. 2011. Deskripsi varietas padi. Badan Litbang pertanian.Puslibang Tanaman Pangan. Hifni, H.R., E. Mihardja., Sutarno, Yusida dan K. Karin. 1996. Penyakit hawar daun bakteri pada padi sawah. Maqsalah dan pemecahannya. Buletin Agrobio 1 : 18-23. Samudra, Yadi, Tri P, Ifa M., Dodin, K. Wartono, Wawam, Nrjani, dan Triny S.K. 2012.Pengendalian penggerek batang kuning dan hawar daun bakteri dengan biorasional pestisida. Laporan akhir Insentif peningkatan kemampuan peneliti dan perekayasa. Kerjasama kementan dan kemen Ristek dan teknologi. 53 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 20014 Syakti, A.D., 2009. Manfaat rumput laut dalam meremediasi tanah terkontaminasi pestisida dan jamur patogen. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Jenderal Sudirman. 54 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PEMANFAATAN BAKTERIOFAGE ASAL DAUN KUBIS UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK HITAM KUBIS Mukhamad Kurniarrokhman, Sri Widadi, Supyani Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta Abstrak Tanaman kubis merupakan komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Peningkatan produktivitas kubis sering terkendala adanya penyakit, seperti busuk hitam kubis yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campertris (Xcc). Salah satu langkah pengendalian yaitu menggunakan bakteriofage atau virus yang menginfeksi bakteri. Bakteriofage menjadi inovasi dalam pengendalian hayati karena dapat menekan penggunaan pestisida kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengenceran bakteriofage dan selang waktu inokulasi bakteriofage terhadap munculnya gejala; dan intensitas penyakit busuk hitam kubis. Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu isolasi bakteriofage asal daun kubis bergejala busuk hitam dan pengujian bakteriofage pada tanaman kubis. Pengujian bakteriofage disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan tingkat pengenceran bakteriofage dan selang waktu inokulasi bakteriofage terhadap bakteri Xcc. Analisis data menggunakan uji ANOVA pada taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan Uji Taraf Berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test). Hasil penelitian menunjukan inokulasi bakteriofage pada berbagai pengenceran dapat menekan munculnya gejala dan intensitas penyakit busuk hitam kubis. Sedangkan berbagai tingkat pengenceran bakteriofage tidak menunjukan pengaruh nyata terhadap perkembangan intensitas penyakit busuk hitam kubis. Perlakuan inokulasi pada berbagai pengenceran dengan selang waktu pemberian bakteriofage tidak memiliki korelasi nyata. Kata kunci: bakteriofage, busukhitam, kubis, Xanthomonas campestris pv. campestris PENDAHULUAN Busuk hitam kubis (black rot) merupakan penyakit penting dalam budidaya kubis. Di Indonesia, penyakit busuk hitam kubis pertama kali dilaporkan pada tahun 1931 terdapat di Sumatra Utara. Pada tahun 1932 terdapat busuk hitam di Sumatra Barat dan Yogyakarta. Penyakit busuk hitam disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris (Xcc) (Semangun 2000). Pengendalian terhadap penyakit busuk hitam kubis selama ini masih menggunakan pestisida kimia dan penggunaanya secara terus menerus dapat 55 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satu inovasi untuk mengendalikan busuk hitam kubis yaitu menggunakan bakteriofage atau virus penginfeksi bakteri. Penelitian Rahmawati (2012), menunjukkan bahwa bakteriofage memiliki kemampuan dalam menekan serangan penyakit busuk hitam kubis. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari bakteriofage asal daun kubis untuk mengendalikan penyakit busuk hitam kubis. Bahan dan metode A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai Mei 2014 di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Laboratorim Biologi Tanah, dan Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Uji kinerja bakteriofage ini dilakukan di rumah plastik di Desa Gerdu, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. B. Isolasi Bakteri Xanthomonas campestris Isolasi ini bertujuan untuk mendapatkan bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris (Xcc). Daun kubis yang bergejala busuk hitam kubis diambil dari lahan pertanaman kubis di Tawangmangu. Bakteri yang didapat dari daun kubis kemudian ditumbuhkan pada media YPG (Yeast Peptone Glukose) dan di inkubasikan selama 48 jam pada suhu ruang. Identifikasi bakteri Xcc dilakukan dengan cara pengamatan koloni dan uji KOH 3% untuk mengetahui sifat gram bakteri, C. Isolasi Bakteriofage Bakteriofage diisolasi dari daun kubis bergejala busuk hitam di Tawangmangu. Bakteri Xanthomonas campestris ditumbuhkan pada media YPG cair 300 ml yang telah di gojok selama 24 jam pada suhu ruang. Sampel daun kubis bergejala busuk hitam di timbang 50 gram dan dimasukan kedalam biakan bakteri, kemudian di gojok selama 24 jam. Suspensi YPG cair didiamkan ± 1 jam kemudian di ambil supernatant yang berada pada lapisan atas sebanyak 10 ml. Supernatant yang sudah diambil lalu dicentrifuse dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatant di saring menggunakan syringe filter 0,2 µm sehingga didapatkan larutan bakteriofage. D. Uji Plak Uji plak bertujuan untuk mengetahui adanya bakteriofage yang menginfeksi bakteri Xanthomonas campestris. Larutan bakteriofage yang telah di dapat diencerkan berseri sepersepuluh hingga pengenceran 10-5. Larutan bakteriofage pada tiap pengenceran dicampurkan dengan larutan bakteri 56 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Xanthomonas campestris ke dalam minitube. Diambil sebanyak 200 µm menggunakan micropipet dan dituang ke dalam media YPG, diratakan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Plak dapat diamati yaitu berupa zona bening yang terbentuk pada tiap-tiap pengenceran. E. Uji Kinerja Bakteriofage di Lapang Uji bakteriofage bertujuan untuk mengetahui pengaruh bakteriofage terhadap munculnya gejala dan intensitas penyakit busuk hitam kubis. Bakteriofage diambil dari plak yang terbentuk. Plak yang diambil dari media dimasukan ke dalam YPG cair yang telah berisi bakteri Xanthomonas campestris selanjutnya digojok selama 24 x 2 jam dan didiamkan kurang lebih 1-2 jam hingga terbentuk supernatant dan pelet. Supernatant diambil sebanyak 10 ml dan diencerkan berseri hingga 10-5. Supernatant yang telah diencerkan pada pengenceran 10-1, 10-3, dan 10-5 dimasukan ke dalam mini sprayer agar memudahkan proses penyemprotan kepada tanaman kubis untuk proses inokulasi. Hasil dan pembahasan A. Pengamatan Xanthomonas campestris Koloni bakteri Xanthomonas campestris pada media menunjukan ciri-ciri memiliki tepian rata dan permukaan datar, berwarna putih kekuningan, terlihat transparan apabila diterawang. Bakteri Xanthomonas campestris memiliki sifat gram negatif, maka untuk mengetahui sifat gram bakteri tersebut dilakukan uji KOH 3%. Berdasarkan uji tersebut koloni bakteri memiliki sifat gram negatif. Uji karakteristik koloni juga dilakukan terhadap biakan murni bakteri Xanthomonas campestris. Pada murni koloni yang terbentuk memiliki diameter rata-rata 3 mm. Karakteristik pembentukan koloni tersebut mengindentifikasi bakteri Xanthomonas campestris menurut Streets (1972). Biakan murni bakteri Xanthomonas campestris di simpan guna untuk dilakukan uji lapang. B. Pengamatan Bakteriofage Berdasarkan hasil uji plak dapat di sajikan pada gambar 1. Zona bening pada media menunjukan bahwa bakteriofage asal daun kubis dapat menyebabkan lisis pada bakteri Xanthomonas campestris yang ditumbuhkan pada media. Plak yang terbentuk berupa zona bening dan zona keruh yang terdapat di tengah zona bening. Hal ini membuktikan bahwa adanya jenis strain bakteriofage yang berbeda dari sumber isolat yang di ambil. Marvin dan Hohn (1969) menjelaskan bahwa bakteriofage yang virulen memiliki siklus lisis yang menyebabkan pecahnya sel bakteri sehingga zona bening dapat terlihat, sedangkan bakteriofage resisten parsial memiliki siklus lisogeni sehingga menimbulkan bintik keruh di tengah zona bening. 57 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 1. Hasil Uji Plak C. Saat Muncul Gejala Tabel saat muncul gejala disajikan pada tabel 1. Gejala penyakit busuk hitam kubis lebih cepat terlihat pada perlakuan tanpa pemberian bakteriofage dibandingkan dengan memberikan bakteriofage. Pengamatan saat muncul gejala dilakukan dari hari ke 1 sampai pada hari ke-8. Perlakuan tanpa bakteriofage menunjukan tanaman yang menunjukan gejala terlihat lebih banyak dibandingkan pada perlakuan pemberian bakteriofage. Tabel 1. Saat Muncul Gejala Busuk Hitam Kubis. Saat Muncul Gejala (HSI) Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Bersamaan 4 4 3 Selang 3 jam 3 4 Tanpa Selang 1 Bakteriofage hari 1 1 (aquadest) Selang 3 hari 1 1 Bersamaan 5 Selang 3 jam Pengenceran Selang 1 -1 10 hari 2 Selang 3 hari Bersamaan 5 4 Selang 3 jam Pengenceran Selang 1 -3 10 hari 2 Selang 3 hari 58 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pengenceran 10-5 Bersamaan Selang 3 jam Selang 1 hari Selang 3 hari - - - - - - - 2 - - 1 1 Kemunculan gejala busuk hitam kubis pada perlakuan selang waktu pamberian bakteriofage dan bakteri X.campestris menunjukan hasil yang bervariasi, hal ini di duga bakteri X. campestris yang disemprotkan dengan hand sprayer terbawa angin dan mengenai tanaman kubis yang diberi perlakuan yang lain. Secara keseluruhan, pemberian bakteriofage dapat menekan munculnya gejala busuk hitam kubis. Hal ini membuktikan bahwa bateriofage dapat menginfeksi bakteri X. campestris di luar jaringan tumbuhan. D. Insiden Penyakit Presentase insiden penyakit di sajikan pada gambar 2. Pemberian bakteriofage dengan pengenceran 10-1 dan 10-5 dapat menurunkan presentase insiden penyakit menjadi 11,34% sedangkan tanaman yang tidak diberi bakteriofage menunjukan nilai insiden penyakit sebesar 54,81%. Supiyani et al. (2012) dalam penelitiannya menyatakan perlakuan tanpa bakteriofage menunjukan presentase insiden penyakit sebesar 61,18% dibandingkan dengan pemberian bakteriofage asal daun kubis sakit sebesar 22,2%.. Hasil pemberian bakteriofage pada berbagai tingkat pengenceran tidak berpengaruh terhadap presentase insiden penyakit. Gambar 2. Presentase Insiden Penyakit Selain faktor pengenceran bakteriofage, persentase insiden penyakit juga dipengaruhi oleh selang waktu inokulasi bakteriofage dan bakteri X. campestris. Presentase insiden penyakit paling rendah ditunjukan pada 59 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 pemberian bakteriofage dan bakteri X. campestris dengan selang waktu 3 jam, yaitu sebesar 12,38%. Hasil presentase insiden penyakit tertinggi pada perlakuan selang waktu 1 hari yaitu sebesar 33%. E. Keparahan Penyakit Pengamatan dilakukan secara diskriptif dengan melihat gejala serangan busuk hitam kubis yang terlihat kemudian menentukan presentase dengan skor yang telah ditentukan. Presentase keparahan penyakit dapat dilihat pada gambar 3. Berdasarkan hasil pengamatan, pemberian bakteriofage berpengaruh terhadap penekanan keparahan penyakit busuk hitam kubis. Bakteriofage pada berbagai tingkat pengenceran dapat menekan keparahan penyakit sebesar 10,5%-11,56%. Presentase keparahan penyakit pada parameter selang waktu menunjukan bahwa pada selang waktu 3 jam menunjukan presentase terendah yaitu 2,84%. Perlakuan selang waktu 1 hari menunjukan presentase keparahan penyakit tertinggi yaitu 10,25%. Pengaruh selang waktu terhadap keparahan penyakit busuk hitam kubis dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Gambar 3. Presentase Keparahan Penyakit Kesimpulan Kemampuan bakteriofage asal daun kubis bergejala busuk hitam kubis berpengaruh dalam menurunkan penyakit busuk hitam kubis. .Pengenceran bakteriofage tidak menunjukan pengaruh terhadap intensitas penyakit busuk hitam kubis. Perlakuan inokulasi pada berbagai pengenceran dengan selang waktu pemberian bakteriofage tidak memiliki korelasi. Daftar pustaka Marvin, D.A. dan Hohn B. 1969. Filamentous bacterial viruses. Bacteriological reviews 33 : 172–209 Rahmawati Y, Sri Widadi, Sumijati, dan Supiyani. 2012. Explorasi Bakteriofage Virulen Terhadap Xantomonas campetris pv. campetris Asal 60 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tawangmangu Dalam Pengendalian Penyakit Busuk Hitam Kubis. Skripsi. UNS Surakarta. Semangun H 2000. Penyakit-penyakit Penting Tanaman Holtikultura di Indonesia. Edisi keempat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Streets, R.B. 1972. Diagnosis of Plant Diseases. The University of Arizona Press, USA. Supiyani, Nugroho A, Widadi S 2012. Pemanfaatan Bakteriofage Asal Kopeng Untuk Mengendalikan Busuk Hitam Kubis. Seminar nasional fakultas pertanian Universitas Jendral Soedirman: Purwokerto, 19 September 2012. 61 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PEMANFAATAN BAKTERIOFAGE TANAH INDIGENUS SEBAGAI PENGENDALI BUSUK HITAM KUBIS Neny Saputri , Sri Widadi, Supyani Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta Abstrak Kubis merupakan tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan di daerah dataran tinggi. Salah satu kendala dalam membudidayakannya adalah penyakit busuk hitam kubis (black rot). Gejala awal busuk hitam adalah klorosis di tepi daun kemudian berlanjut hingga membentuk huruf V pada pertulangan daun. Busuk hitam kubis ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris (Xcc). Xcc menginfeksi jaringan xylem menjadi berwarna kehitaman. Pengendalian penyakit bisa dilakukan dengan memanfaatkan agens hayati, bakteriofage (fage). Penelitian dilakukan untuk mengetahui kenampakan visual dari hasil infeksi fage terhadap Xcc, serta kemampuan fage dalam mengendalikan busuk hitam di lapang. Penelitian dimulai dari eksplorasi dan isolasi Xcc; eksplorasi fage; uji plaq; dan preparasi dan aplikasi lapang. Dari uji plaq, diperoleh plaq (zona lisis) yang berarti bakteriofage memang ada. Warna kultur cair Xcc dengan fage lebih terang dibanding kultur Xcc tanpa fage. Uji kemampuan fage dalam mengendalikan busuk hitam kubis menggunakan RAL 3 faktor yaitu selang waktu aplikasi fage dengan Xcc (bersamaan, 3 jam, 1 hari); fage yang digunakan (stok lama, stok baru); dan tingkat pengenceran fage (100, 10-2, 104 ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa inkubasi patogen paling lama 11,06 hari pada perlakuan aplikasi fage dan Xcc secara bersamaan. Intensitas penyakit terendah terdapat pada tingkat pengenceran 100 yaitu 8,53%, berbeda signifikan terhadap tingkat pengenceran lain 10-2 dan 10-4 masing-masing 12,39% dan 13,41%. Ini menunjukkan bahwa fage dapat mengurangi intensitas penyakit busuk hitam kubis. Kata kunci: bakteriofage, busuk hitam kubis, Xanthomonas campestris pv. campestris Pendahuluan Kubis merupakan tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan di daerah dataran tinggi dan memiliki permintaan pasar yang cukup tinggi karena dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan. Usaha pembudidayaannya sering terdapat kendala, salah satunya adalah penyakit busuk hitam kubis yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris (Xcc). Bakteri yang menginfeksi jaringan xylem ini menyebabkan daun mengalami klorosis, 62 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 berlanjut hingga membentuk huruf V (mengikuti jaringan xylem) dan terus menjalar ke jaringan xylem lainnya. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan lebih dari 50% pada kondisi yang lembab dan panas (Babadost 1999), sehingga dibutuhkan cara untuk mengendalikan penyakit tersebut. Cara pengendalian yang ramah lingkungan dan sesuai dengan konsep PHT adalah penggunaan agens hayati, diantaranya bakteriofage (fage). Fage adalah virus yang menginfeksi bakteri secara spesifik, menyebabkan pecahnya dinding sel (lisis) bakteri akibat aktivitas litiknya. Dilihat dari kemampuan fage, dapat dimanfaatkan dalam pengendalian bakteri patogen. Maka dari itu dilakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan fage dalam mengendalikan Xcc, baik secara in-vitro maupun in-vivo. Bahan dan metode Penelitian dimulai dari eksplorasi dan isolasi Xcc; karaktersasi Xcc; eksplorasi fage; uji plaq; preparasi aplikasi lapang; dan aplikasi lapang. Eksplorasi dilakukan untuk mencari sampel bergejala busuk hitam juga sumber fage. Isolasi Xcc dilakukan untuk mendapatkan biakan murni dan dijadikan sebagai bahan untuk uji plaq. Karakterisasi Xcc dilakukan untuk mengetahui gram bakteri berdasarkan pengamatan morfologi koloni dan pengujian KOH. Uji plaq dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat fage yang menginfeksi bakteri Xcc. Preparasi aplikasi lapang meliputi pembuatan rumah kasa, penyediaan tanaman kubis berumur ± 6 minggu yang ditanam di media dalam polybag, dan pembuatan suspensi Xcc dan fage. Aplikasi di lapang dimulai pukul 19.00 WIB dilakukan dengan cara 10 ml suspensi fage dan 10 ml suspensi Xcc disemprotkan ke sekitar hidatoda kubis sesuai dengan rancangan percobaan. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 faktor perlakuan dan 2 kontrol. 1. Kontrol, a) positif: menggunakan aquadest tanpa Xcc dan fage; b) menggunakan aquadest, Xcc, tanpa fage 2. Selang waktu aplikasi fage dan inokulasi Xcc pada daun kubis T1 = Fage dan Xcc diaplikasikan secara bersamaan; T2 = Aplikasi fage kemudian inokulasi Xcc selang 3 jam; dan T3 = Aplikasi fage kemudian inokulasi Xcc selang 1 hari 3. Sumber Fage V1 = fage yang sudah disimpan; dan V2 = fage baru 4. Tingkat pengenceran Fage asal tanah P1 = 100; P2 = 10-2; dan P3 = 10-4 Masing-masing kombinasi perlakuan dibuat 3 ulangan. Data yang diambil dari uji lapang ini adalah masa inkubasi patogen dan intensitas penyakit. Kemudian data dianalisis menggunakan uji unianova taraf 5% dan dilanjutkan dengan uji DMRT apabila diperoleh hasil yang signifikan. 63 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil dan pembahasan A. Kondisi Pertanaman Kubis di Tawangmangu Kubis (Brassica oleracea) banyak dibudidayakan di Tawangmangu, baik yang ditanam secara monokultur ataupun tumpangsari. Pada musim penghujan, terdapat kendala yang banyak ditemukan di pertanaman kubis yaitu penyakit busuk hitam (black rot), bahkan pada suatu lahan ditemukan kubis yang seluruhnya tidak dapat dipanen. Berdasarkan hasil pengamatan, bakteri Xcc menyebabkan beberapa kerugian seperti terhambatnya fungsi daun untuk berfotosintesis karena daun mengalami kerusakan (klorosis dan nekrosis), tidak sempurnanya pembentukan krop kubis, dan akibatnya kubis tidak layak untuk dipanen. B. Karakterisasi Xcc Pengamatan morfologi koloni bakteri hasil isolasi menunjukkan bahwa koloni berupa lendir, berbentuk bulat, cembung, dan berwarna kuning pucat, keterangan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Popović et al (2013). Dengan pengujian KOH 3 % menunjukkan bakteri hasil isolasi bersifat gram negatif. Dari ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa isolat tersebut adalah isolat Xcc, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suslow et al (1981) yang melakukan pembuktian bakteri gram negatif. C. Uji Plaq Adanya fage ditandai dengan munculnya plaq (zona bening) (gambar 1a) pada media agar yang ditumbuhi Xcc secara merata (bacterial lawn). Menurut Kusnadi et al. (2003), pada saat partikel virus memulai infeksinya pada lapisan sel inang yang tumbuh menyebar di permukaan medium, zona lisis akan muncul sehingga terlihat wilayah yang terang pada lapisan sel inang. Satu plaq (zona bening) diasumsikan sebagai satu partikel fage. a b Keterangan: a. Zona bening (plaq) menunjukkan adanya fage b. Xcc yang tidak terinfeksi fage Gambar 1. Uji Plaq 64 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 D. Pembiakan Fage Kultur fage berasal dari plaq yang diambil dan dibiakkan di medium cair yang telah ditumbuhi Xcc. Kultur fage warnanya lebih bening dibanding dengan kultur Xcc sebelum diberi fage. Hal ini diduga karena fage yang menyebabkan lisisnya Xcc membuat jumlah koloni Xcc lebih sedikit dibanding dengan media yang hanya ditumbuhi Xcc. Menurut Golkar et al (2013), fage litik merusak metabolisme bakteri dan menyebabkan bakteri lisis. Fage litik digunakan untuk terapi pengendalian bakteri patogen. Selain warna yang dibandingkan, endapan dari biakan juga dibandingkan. Endapan dari kultur fage lebih banyak daripada endapan kultur Xcc tanpa fage. Diduga endapan merupakan dinding sel Xcc yang rusak akibat aktivitas fage dalam sel bakteri. Dugaan tersebut dikuatkan oleh Fischetti (2008), fage mengeluarkan enzim lisin (lysin) yang berfungsi untuk merusak dinding sel bakteri sehingga fage bisa melangsungkan keturunannya (progeni). E. Aplikasi Fage dan Xcc di Tanaman Kubis 1. Masa inkubasi Masa inkubasi menurut Agrios (2005) adalah interval waktu antara inokulasi patogen dan munculnya gejala penyakit. Menurut Bila et al (2013), pada suhu ruang 20℃ - 25℃ gejala busuk hitam muncul 5 – 14 hari setelah inokulasi Xcc. Berdasarkan uji Duncan taraf 5% (Gambar 3) gejala busuk hitam muncul berkisar 9 – 12 hari dari keseluruhan kombinasi perlakuan kecuali kontrol positif (tanpa perlakuan). Hal ini bisa diartikan bahwa aplikasi fage untuk mengendalikan Xcc belum bisa menghambat munculnya gejala busuk hitam. Akan tetapi, jika masa inkubasi patogen dibandingkan antar kombinasi perlakuan, menunjukkan hasil yang berbeda nyata yaitu antara perlakuan T3V2P3 (6,67 hsi) dengan T1V1P2 (10,67 hsi), T2V1P1 (10,67 hsi), T3V1P3 (10,67 hsi), T1V2P2 (11,67 hsi), T1V1P1 (12 hsi), T1V2P3 (12 hsi). 65 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 3. Histogram pengaruh semua perlakuan terhadap masa inkubasi Xcc - Keterangan: Kpositif adalah kontrol hanya menggunakan aquadest tanpa inokulasi fage dan Xcc, Knegatif adalah kontrol menggunakan aquadest dan Xcc (tanpa fage), T adalah selang waktu aplikasi fage dan inokulasi Xcc pada daun kubis (T1 = bersamaan; T2 = selang 3 jam; T3 = selang 1 hari), V adalah sumber fage (V1 = yang telah disimpan; V2 = baru). - Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%. Bar adalah standard error yang menunjukkan sebaran data. Hsi Xcc adalah hari setelah inokulasi Xcc. Masa inkubasi (hsi) Masa inkubasi jika dilihat dari masing-masing faktor perlakuan, berdasarkan uji Duncan taraf 5%, perlakuan selang waktu aplikasi antara fage dengan Xcc memiliki pengaruh yang nyata terhadap masa inkubasi Xcc (Gambar 4), sedangkan untuk tingkat pengenceran fage (P) dan sumber fage (V) tidak berpengaruh nyata terhadap masa inkubasi Xcc. Fage yang diaplikasikan secara bersamaan dengan inokulasi Xcc (T1) masa inkubasi Xccnya lebih lama yaitu 11,06 hsi dibanding dengan faktor perlakuan lain seperti selang 3 jam (T2) dengan masa inkubasi 9,44 hsi, atau selang 1 hari (T3) dengan masa inkubasi 9,22 hsi. 20 10 0 11,06 b 9,44 a 9,22 a Bersamaan (T1) Selang 3 jam (T2) Selang 1 hari (T3) Selang waktu aplikasi antara bakteriofage dengan Xcc Gambar 4. Pengaruh selang waktu aplikasi fage dengan Xcc terhadap masa inkubasi Xcc Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%. 66 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 2. Keparahan Penyakit/Intensitas Penyakit Aplikasi fage sebagai upaya pengendalian Xcc penyebab busuk hitam menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding dengan kubis yang hanya diinokulasikan Xcc dan tanpa aplikasi fage, meskipun gejala penyakit masih muncul. Berdasarkan uji Duncan taraf 5%, keparahan penyakit dari seluruh kombinasi perlakuan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol negatif (hanya diinokulasikan Xcc tanpa fage) dengan nilai 23,13%, akan tetapi, intensitas penyakit antar perlakuan tidak berbeda nyata dan hanya terdapat kecenderungan intensitas penyakit lebih rendah pada perlakuan yang menggunakan fage dengan tingkat pengenceran 100 baik pada perlakuan yang diaplikasikan secara bersamaan, selang 3 jam, maupun 1 hari. Gambar 5. Histogram pengaruh semua perlakuan terhadap masa inkubasi Xcc - Keterangan: Kpositif adalah kontrol hanya menggunakan aquadest tanpa inokulasi fage dan Xcc, Knegatif adalah kontrol menggunakan aquadest dan Xcc (tanpa fage), T adalah selang waktu aplikasi fage dan inokulasi Xcc pada daun kubis (T1 = bersamaan; T2 = selang 3 jam; T3 = selang 1 hari), V adalah sumber fage (V1 = yang telah disimpan; V2 = baru). - Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%. Bar adalah standard error. Hsi Xcc adalah hari setelah inokulasi Xcc. Jika intensitas penyakit dilihat per faktor perlakuan, maka perlakuan yang memiliki hasil berbeda nyata adalah tingkat pengenceran fage (P) sedangkan 2 faktor perlakuan lain tidak memiliki hasil yang berbeda nyata. Dilihat dari gambar 6, intensitas penyakit pada perlakuan tingkat pengenceran fage 100 (P1) lebih rendah yaitu 8,53% dibanding dengan perlakuan pengenceran 10-2 dan pengenceran 10-4 dengan nilai masing-masing 12,39% dan 13,41%. Dari hasil tersebut, diduga fage yang terdapat pada pengenceran 67 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 100 lebih banyak dibanding dengan pengenceran yang lain sehingga fage akan lebih mampu menghambat pertumbuhan Xcc. Gambar 6. Pengaruh tingkat pengenceran terhadap keparahan penyakit Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%. P1 = pengenceran 100; P2 = pengenceran 10-2; P3 = pengenceran 10-4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas, diperoleh beberapa kesimpulan: 1. Hasil uji plaq dan pembandingan kultur fage dengan Xcc menunjukkan bahwa fage dapat menghambat dan merusak sel bakteri. 2. Penggunaan fage belum bisa menghambat masa inkubasi patogen (Xcc), akan tetapi terdapat kecenderungan masa inkubasi lebih lama pada pengaplikasian fage dengan Xcc secara bersamaan. 3. Fage pada pengenceran 100 mampu mengurangi intensitas penyakit busuk hitam kubis. Daftar pustaka Agrios, G.N. 2004. Plant Pathology Fifth Edition. Elsevier Academic Press. California. Babadoost, M. 1999. Black Rot of Cabbage and Other Crucifers. <http://ipm.illinois.edu/>. Diakses 07 September 2013. Bila J, Mortensen CN, Andresen M, Vicente, Wulff EG 2013. Xanthomonas campestris pv. campestris race 1 is the main causal agent of black rot of Brassicas in Southern Mozambique. African Journal of Biotechnology 12: 602-610. Fischetti VA . 2008. Bacteriophage Lysins as Effective Antibacterials. Curr Opin Microbiol. 11: 393 – 400. Golkar Z, Bagasra O, Jamil N 2013. Experimental Phage Therapy on Multiple Drug Resistant Pseudomonas aeruginosa Infection in Mice. J Antivir Antiretrovir S10- 005. Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi A, Purwianingsih W, Rochintaniawati D 2003. Mikrobiologi. FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Popović T, Jošić D, Starović M, Milovanović P, Dolovac N, Poštić D, Stanković S 2013. Phenotypic and Genotypic Characterization of Xanthomonas 68 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 campestris Strains Isolated from Cabbage, Kale and Broccoli. Arch. Biol. Sci., Belgrade 65 : 585-593. Suslow TV, Schroth MN, Isaka M 1982. Application of rapid method for gram differentiation of plant pathogenic and saprophytic bacteria without staining. Phytopathology 72: 917-918. 69 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KARAKTER Bacillus subtilis B315 SEBAGAI ANTIBAKTERI Ralstonia solanacearum DAN ANTIJAMUR Colletotrichum sp. Nur Prihatiningsih dan Heru Adi Djatmiko Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Surel: [email protected] Abstrak Bacillus subtilis B315 adalah bakteri antagonis yang berpotensi sebagai agens pengendali hayati patogen tanaman. Tujuan penelitian ini adalah 1) menguji kemampuan B. subtilis B315 sebagai antibakteri dan antijamur patogen tanamanin vitro,2) mendeteksi karakter antimikrobial dari B. subtilis B315. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman dan di Laboratorium Riset Terpadu Unsoed selama 6 bulan. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan menumbuhkan secara berlapis terhadap R. solanacearum dan dual culture terhadap Colletotrichum sp. Rancangan yang digunakan adalah acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 8 ulangan. Perlakuan 1 adalah B. subtilis B1, perlakuan 2 adalah B. Subtilis B46 dan perlakuan 3 adalah B. Subtilis B315 ditumbuhkan secara berlapis dengan R. solanacearum dan pada unit penelitian lain ketiga isolat B. Subtilis ditumbuhkan berhadapan dengan Colletotrichum sp. Pengujian karakter antimikrobial dilakukan dengan mengekstrak B. subtilis B315 untuk mendeteksi enzim yang dihasilkan selanjutnya dianalisis dengan FTIR (Fourier Transform-infra Red). Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. subtilis B315 mampu menekan pertumbuhan R solanacearum dan jamur Colletotrichum sp. dengan zona hambatan 14 mm dan persentase hambatan 63,6%. Karakter B. subtilis B315 sebagai agens antimikrobial ditunjukkan dengan dihasilkannya enzim protease dengan aktivitas 166,03 unit/ml. Hasil analisis dengan FTIR menunjukkan bahwa B. subtilis B315 menghasilkan gugus fungsi alifatik alkena, karbonil, nitro dan ester. Kata kunci: Bacillus subtilis, karakter antimikrobial, Ralstonia solanacearum, Colletotrichum sp. Pendahuluan Salah satu mikroba antagonis yang sebagai kandidat agens pengendali hayati adalah Bacillus subtilis yang mewakili bakteri Gram positif (Chen et al., 2008). B. subtilis adalah bakteri antagonis yang telah diketahui mampu mengendalikan beberapa patogen baik jamur maupun bakteri, dengan cara menghambat pertumbuhannya. Beberapa jamur patogen yang dihambat pertumbuhannya oleh B. subtilis seperti Botryris cinerea, Fusarium oxysporum, 70 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 F. solani, F. verticilloides, F. equiseti (Killani et al., 2011; Wang et al., 2013). Beberapa bakteri patogen yang telah diketahui terhambat pertumbuhannya oleh B. subtilis adalah Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dan Ralstonia solanacearum (Agustiansyah et al., 2013). Mekanisme pengendalian oleh B. subtilis sebagai aktivitas langsung yaitu antibiosis, parasitisme dan penginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen serta kompetisi langsung (Janisiewiez et al., 2000).Mekanisme antibiosis terlihat dengan terbentuknya zona hambatan, yang menunjukkan adanya suatu senyawa yang dihasilkan sebagai metabolit sekunder dan berfungsi sebagai aktivitas antibiosis. Senyawa tersebut berupa enzim, toksin, dan antibiotik. Menurut Morikawa (2006) B. subtilis mensekresikan enzim amylase, protease, pullulanase, chitinase, xylanase, dan lipase. Sebanyak 60% secara komersial dihasilkan sebagai industri produksi enzim. Raltonia solanacearum adalah bakteri penyebab layu pada beberapa tanaman. Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum (Yabuuchi et al., 1995) pada tanaman kentang merupakan penyakit penting yang ke dua setelah hawar daun oleh jamur Phytophthora infestans di daerah tropis dan sub-tropis (Champoiseau et al., 2010). Serangan bakteri ini dapat menyebabkan tanaman layu bahkan kematian tanaman, sehingga kerugian hasil dapat mencapai 50-100% (Muthoni et al., 2012). Penyakit layu bakteri menunjukkan penyebaran yang luas. Bakteri patogennya mempunyai kisaran inang luas, hampir 200 spesies tanaman dapat terserang oleh R. solanacearum dan lebih dari 50 famili (Hayward, 1991). R. solanacearum mempunyai kisaran inang yang luas, termasuk patogen tular tanah, menyebabkan penyakit layu bakteri ini sulit dikendalikan (Win and Ranamukhaarachchi, 2006). Colletotrichum sp. adalah jamur penyebab penyakit antraknosa pada cabai. Menurut Susheela (2012) penyakit antraknosa merupakan penyakit yang cukup serius karena dapat menurunkan hasil 50-100%. Penyebab penyakit cabai di Indonesia terdeteksi ada 3 spesies Colletotrichum yang utama yaitu C.acutatum, C. gloeosporioides dan C. capsici (Than et al., 2008). Di dunia penyakit antraknosa pada cabai disebabkan oleh 5 spesies Colletotrichum yaitu C. capsici (Sydow) Butl. & Bisby, C. gloeosporioides (Pent.) Penz. & Sacc., C. acutatum Simmonds, C. coccodes (Walir) Hughes, dan C. graminicola (Ces.) Wils, (Rajapakse and Ranasinghe, 2002). Penyakit antraknosa juga termasuk penyakit yang sulit dikendalikan karena Colletotrichum mempunyai patogenisitas yang kuat, mudah disebarkan oleh angin, sehingga cepat menular. Kondisi lingkungan seperti musim hujan mendukung perkembangan patogen, maka gejala antraknosa cepat sekali menyebar ke tanaman lain (Semangun, 2007, Herwidyarti et a.l, 2013). Penyakit antraknosa dikenal dengan istilah penyakit patek. Semua tahap pertumbuhan bisa terserang penyakit ini, termasuk tahap pasca panen. Gejala yang tampak terjadi pada buah yang masih muda (hijau) sampai dengan yang 71 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 masak (merah). Buah yang masak ada yang menjadi kecil, terdapat cekungan melingkar hingga 30 mm. Pusat luka menjadi berwarna coklat sampai hitam, dengan jaringan di sekitarnya berwarna lebih ringan mengelilingi pusat luka membentuk cincin konsentris (Semangun, 2007). Tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan B. subtilis B315 sebagai antibakteri dan antijamur patogen tanaman in vitro serta mendeteksi karakter antimikrobial dari B. subtilis B315. Bahan dan metode A. Penyiapan isolat bakteri dan jamur Tiga isolat B.subtilis yang digunakan adalah B. subtilis B1, B46 dan B315. B. subtilis B1 diisolasi dari rizosfer padi, sedangkan B46 dan B315 diisolasi dari rizosfer kentang sehat. R. solanacearum yang digunakan berasal dari tanaman kentang layu dan Colletotrichum sp. dari cabai yang terserang antraknosa. Medium yang digunakan untuk memelihara isolat bakteri adalah YPGA (yeast pepton glucose agar), dan untuk jamur adalah PDA (potato dextrose agar). B. Pengujian penghambatan in vitro Pengujian penghambatan B. subtilis sterhadap R. solanacearum dilakukan dengan perlakuan 3 isolat B. subtilis B1, B46 dan B315 menggunakan metode yang dikemukakan oleh Ghosh, et al.(2007) dengan dua lapis medium. Pengujian penghambatan B. subtilis terhadap jamur Colletotrichum sp. dilakukan seperti metode yang dikemukakan oleh Killaniet al. (2011; Wang et al, 2013), dengan menumbuhkan secara berhadapan (dual culture) dalam cawan petri berdiameter 9 cm Inokulasi antagonis dilakukan setelah potongan miselium Colletotrichum sp dari biakan murni, yang dipotong menggunakan bor gabus diameter 5 mm diletakkan di tengah cawan petri bermedium PDA, satu ose biakan murni digoreskan secara berhadapan dengan potongan miselium Colletotrichum sp. Perlakuan ini diulang 8 kali menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Perlakuan diinkubasi pada suhu 28+2oC diamati sampai dengan 7 hari. Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase penghambatan sebagai berikut (Wang et al., 2013) I= x100% I: penghambatan C: pertumbuhan miselium jamur kontrol (berlawanan arah dengan antagonis) T: pertumbuhan miselium jamur perlakuan (mengarah ke antagonis) C. Karakter B. subtilis sebagai antimikrobial Setelah pengujian in vitro diketahui bahwa B. subtilis mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum dan Colletotrichum sp. maka 72 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan ethyl acetat untuk melihat senyawa apa yang dihasilkan oleh B subtils B315 sebagai karakter aktivitas antibakteri dan antijamur (Kumar et al.,2009). Selanjutnya dideteksi gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectrum) yang menunjukkan aktivitas atau karakter B. subtilis B315 sebagai mekanisme antibiosis dalam pengendalian patogen menurut Kumar et al. (2009). B. subtilis B315 ditumbuhkan pada medium YP cair digojog selama 3 hari 250 rpm, kemudian disentrifuse pada suhu 4oC selama 15 menit. Supernatan bebas sel yang diperoleh diekstrak dengan ethyl acetat, kemudian diuapkan dengan vacum rotary evaporator pada 77oC. Crude extract kemudian dideterminasi gugus fungsinya sebagai senyawa antibakteri dan antijamur dengan FTIR pada bilangan gelombang 4000-120 (cm-1). Hasil dan pembahasan Penghambatan pertumbuhan R. solanacearum dan Colletotrichum sp. oleh B. subtilis B315 dapat dilihat dalam Tabel 1. Tiga isolat B. subtilis menunjukkan berbeda sangat nyata pada penghambatan terhadap R. solanacearum dan Colletotrichum sp. B. subtilis B315 menunjukkan penghambatan terbaik terhadap R. solanacearum dan Colletotrichum sp. Tabel 1. Penghambatan R. solanacearum dan Colletotrichum sp. oleh B. subtilis Perlakuan Zona hambatan (mm) Persentase hambatan (%) terhadap R. terhadap Colletotrichum sp. solanacearum B1 5c 39,4 c B46 12,6 b 57,4 b B315 14,0 a 63,6 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Newman-Keuls 5% Terbentuknya zona hambatan menunjukkan bahwa mekanisme B. subtilis sebagai agens hayati adalah antibiosis. Hasil pengamatan uji antibiosis B. subtilis B315 terhadap R. Solanacearum menunjukkan zona hambatan terbesar 14 mm. Hasil penelitian Kumar et al. (2009) menunjukkan bahwa B. subtilis MTCC-8114 yang diisolasi dari sampel tanah menunjukkan zona hambatan 14-16 mm dengan metode inokulasi spot. Penghambatan terhadap jamur Colletotrichum sp. menunjukkan bahwa B. subtilis B315 mampu menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. dengan persentase 63,6%. Hasil penelitian Chaurasia et al.(2005) menunjukkan bahwa B. subtilis mampu menghambat jamur patogen Alternaria alternata, Fusarium oxysporum, Paecilomyces variotii dengan persentase penghambatan berturut-turut adalah 73 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 65,20%, 60,0% dan 62,80%. Selanjutnya dikatakan bahwa mekanisme penghambatannya adalah dihasilkan senyawa volatil yang dapat menginduksi terjadinya abnormalitas morfologi dari struktur jamur misalnya terjadinya septa yang tidak teratur, percabangan yang tidak teratur, pembengkakan hifa, penghambatan pertumbuhan, dan perkecambahan spora. Gambar 1. Zona hambatan B. subtilis B315dan B46 terhadap R. solanacearum Gambar 2. Penghambatan pertumbuhan Colletotrichum sp. oleh B. subtilis B315, B46 dan B1 setelah 4 hari inkubasi Senyawa yang dihasilkan B. subtilis B315 dapat terdeteksi setelah kultur B. subtilis bebas sel diekstrak dengan ethyl asetat. Analisis enzim protease yang dihasilkan B. subtilis B315 dilakukan setelah mendapatkan persamaan regresi dari nilai absorbansi larutan standar tirosin (Gambar 3). Aktivitas enzim protease dihitung berdasarkan persamaan regresi linear larutan standar tirosin dengan memasukkan nilai absorbansi sampel, lama inkubasi dan jumlah enzim yang digunakan. Hasil perhitungan enzim protease menunjukkan aktivitas sebesar 166,03 unit/ml setiap 30 menit dengan panjang gelombang 275 nm (Tabel 2). Hasil penelitian Hageman et al. (1984) menunjukkan bahwa B. subtilis menghasilkan enzim protease 1,9 unit/ml dengan absorbansi pada 335 nm per jam. Kumar et al. (2002) menyebutkan bahwa B. subtilis menghasilkan antibiotik peptida bersifat antijamur dengan aktivitas 135 g/ml dan 145 g/ml. 74 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 0,12 y = -0,0004 + 0,655 x R² = 0,9824 Absorbans 0,1 0,08 0,06 abs 0,04 Linear (abs) 0,02 0 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16 Konsentrasi larutan standar tirosin mg/ml Gambar 3. Regresi absorbans larutan standar tirosin Tabel 2. Nilai aktivitas enzim protease dari B. subtilis B315 Sampel Nilai X (Nilai aktivitas X (Nilai aktivitas absorbans protease) dari protease) dari λ 275 nm persamaan persamaan regresi regresi (μg/ml) (mg/ml) 1 0,337 0,5151 515,1 2 0,309 0,4724 472,4 3 0,308 0,4708 470,8 Rata-rata X (Nilai aktivitas protease) : 30 x 10 (unit/ml) 183,70 157,47 156,93 166,03 75 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Transmitans (%) FTIR (Fourier Transform-Infra Red) Spectroscopy atau spektroskopi infra merah Bilangan gelombang (cm-1) Gambar 4. Daerah gugus fungsi dari ekstrak B. subtilis B315 Bilangan gelombang dan gugus fungsidari ekstrak B. Subtilis B315 dapat dilihat dalam Tabel 3. yang menunjukkan nilai daerah bilangan gelombang dengan gugus fungsi yang terbentuk dan kelompok senyawa yang dihasilkan. Tabel 3. Gugus fungsi dan senyawa yang dihasilkan oleh B. subtilis B315 berdasarkan bilangan gelombang yang dianalisis dengan FTIR Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi Senyawa 2983,22 C-H Alifatik alkena 1737,46 C=O Karbonil 1373,38 NO2 Nitro simetris 1232,22 C-O Ester Hasil analisis gugus fungsi dari B. subtilis B315 dengan FTIR menunjukkan gugus fungsi alifatik alkena (C-H) pada bilangan gelombang 2983,22 cm-1. Berdasarkan hasil penelitian Kumar et al. (2009) gugus fungsi alifatik (C-H) berkaitan dengan dominansi asam amino hidrofobik seperti Val, Leu dan Ileu atau dalam strukturnya berisi asam lemak. Perlu penelitian lanjutan untuk mendeteksi struktur kimia, sehinggan diketahui macam senyawa yang dihasilkan B. subtilis B315. 76 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut 1. B. subtilis B315 dapat menghambat R. solanacearum dan Colletotrichum sp. in vitro dengan zona hambatan 14 mm dan persentase penghambatan penghambatan 63,6% 2. B. subtilis B315 menghasilkan enzim protease sebagai karakter antimikrobial dengan aktivitas 166,03 unit/ml 3. Berdasarkan analisiss FTIR, B subtilis B315 menghasilkan senyawa dengan gugus fungsi alifatik alkena, karbonil, nitro, dan ester. DAFTAR PUSTAKA Agustiansyah, S. Ilyas, Sudarsono, dan M. Machmud. 2013. Karakterisasi Rizobakteri yang berpotensi mengendalikan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi. Jurnal. HPT Tropika 13 : 42-51 Champoiseau, P.G., J.B. Jones, T.M. Momol, J. Pingsheng, C. Allen, D.J. Norman, &K. Caldwell. 2010. Ralstonia solanacearum Race 3 biovar 2 causing brown rot of potato, bacterial wilt of tomato and southern wilt of geranium. American Phytopathological Society. Madison, WI Chaurasia, B., A. Pandey, L.M.S. Paini, P. Trivedi, B. Kumar, N. Colvin. 2005. Diffusible and volatile compounds produced by an antagonistic Bacillus subtilis strain cause structural deformations in pathogenic fungi in vitro. Microbial Research 160: 75-81 Ghosh, S., A. Sinha & C. Sahu. 2007. Isolation of putative probionts from the intestines of Indian mayor carps. The Israel Journal of AquacultureBamigdeh 59: 127-132 Hageman, J.H., G.W. Shankweiler, P.R. Wall, K. Franich, G.W. McCowan, S.M. Cauble, J. Grajeda & C. Quinones. 1984. Single, chemically defined sporulation medium for Bacillus subtilis: Growth, sporulation and extracellular protease production Hayward, A.C. 1991. Biology and apidemiology of bacterial wilt caused ny Pseudomonas solanacearum. Annual Review of Phytopathology.2:6587 Herwidyarti, K.H., S. Ratih & D.R.J. Sembodo. 2013. Keparahan penyakit antraknosa pada cabai (Capsicum annuum L.) dan berbagai jenis gulma. Jurnal Agrotek Tropika 1: 102-106 Janisiewiez, W.J., T.J. Tworkoski and C. Sharer. 2000. Characterizing the mechanism of biological control of postharvest disease on fruits with a simple method to study competition for nutrients. Phytopathology 90: 1196-1200 77 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Killiani. A.S., R.C. Abaidoo, A.K. Akintokun and M.A. Abiala. 2011. Antagonistic Effect of Indigenous Bacillus subtilis on Root-/Soil-borne Fungal Pathogens of Cowpea. Researcher 3 : 11-18 Kumar, A., P. Saini & J.N. Shrivastava. 2009. Production of peptide antifungal antibiotic and biocontrol activity of Bacillus subtilis. Indian Journal of Experimental Biology 47:57-62 Morikawa, M. 2006. "Beneficial Biofilm Formation by Industrial Bacteria Bacillus subtilis and Related Species". Journal of Bioscience and Bioengineering 101 : 1-8. Muthoni, J., M.W. Mbiyu & D.O. Nyamongo. 2010. A review of potato seed systems and germplasm conservation in Kenya. Journal of Agricultural and Food Information 11: 157-167 Rajapakse, R.G.A.S., & J.A.D.A.R. Ranasinghe. 2002. Development of variety screening method for anthracnose disease of chilli (Capsicum annum L.) under field conditions. Tropical Agricultural Research and Extension 5 : 7-11 Semangun, H. 2007.Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Susheela, K. 2012. Evaluation of screening methods for anthracnose disease in chilli. Pest Management in Horticultural Ecosystems 18: 188-193 Than, Po.Po., H. Prihastuti, S. Phoulivong, P.W.J. Taylor, K.D. Hyde. 2008. Chilli anthracnose disease caused by Colletotrichum species. Journal of Zhejiang University Science B 9: 764-778 Wang, H.K., R.F. Xiao and W. Qi. 2013. Antifungal Activity of Bacillus coagulans TQ33, Isolated from Skimmed Milk Powder, against Botrytis cinerea. Food Tachnol. Biotechnol 51: 78-83 Yabuuchi, E., Y. Kosako, .I Yano, H. Hotta & Y. Nishiuchi. 1995. Transfer of two Burkholderia and an Alcaligenes species to Ralstonia genus nov.: proposal of Ralstonia pickettii (Ralston, Palleroni and Donderoff 1973) comb.nov., Ralstonia solanacearum (Smith 1896) comb. Nov. And Ralstonia eutropha (Davis 1969) comb.nov. Microbiology and Immunology 39: 897-904. 78 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 INTERSEPSI TEMUAN OPTK A1 DAN A2 PADA EKSPOR IMPOR KOMODITAS HASIL PERTANIAN MELALUI BBKP SURABAYA TAHUN 2014 Purwati POPT Pertama BBKP Surabaya, Jl. Prapat Kurung Utara No. 6 Surabaya Abstrak Tanah air Indonesia memiliki sumberdaya hayati berupa anekaragam jenis hewan, ikan dan tumbuhan yang perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya. Dengan meningkatnya lalu lintas antar negara dan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Indonesia dalam rangka perdagangan, pertukaran dan penyebarannya OPT dan OPTK yang dapat merusak SDA hayati. Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya sebagai salah satu UPT Badan Karantina Pertanian mengemban amanah suci mencegah masuk dan tersebarnya OPTK berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Lalu lintas perdagangan dunia melalui ekspor maupun impor berpotensi sekali membawa serta OPTK yang telah ada di negara asal namun masih belum terdapat di Indonesia. Selama Januari hingga Agustus 2014 ini BBKP Surabaya telah mendeteksi temuan OPTK baik dari kategori OPTK A1 maupun OPTK A2 yang terbawa masuk ke Indonesia melalui komoditas hasil pertanian yang di impor ke Indonesia melalui pengujian laboratorium dengan berbagai metoda pengujian sesuai target OPTK sasaran sesuai Permentan 93 Tahun 2011. OPTK yang telah ditemukan antara lain (1) Aphelenchoides fragariae (OPTK A1) ditemukan 4 kali pada umbi bawang putih (Cina), 1 kali pada umbi bawang merah (India, Thailand, Vietnam), 3 kali pada umbi bawang bombay (India, Selandia Baru), (2) Ditylenchus destructor (OPTK A1) ditemukan 20 kali pada umbi bawang putih (Cina), (3) Ditylenchus dipsaci (OPTK A1) ditemukan 17 kali pada umbi bawang putih (Cina), (4) Pratylenchus penetrans (OPTK A2) ditemukan 82 kali pada umbi bawang putih (Cina, Taiwan), 2 kali pada umbi bawang merah (Thailand), 1 kali pada umbi bawang bombay (India, Cina), (5) Pratylenchus vulnus (OPTK A1) ditemukan 7 kali pada umbi bawang putih (Cina), (6) Burkholderia glumae (OPTK A2) ditemukan 3 kali pada benih Padi (Cina), (7) Sphacelothecha reiliana (OPTK A1) ditemukan 1 kali pada gandum (Rusia dan Australia), (8) Stenocarpella macrospora (OPTK A1) ditemukan 1 kali pada gandum (Australia), dan 2 kali pada benih jagung (Argentina), (9) Tilletia indica ditemukan 1 kali pada gandun (India) dan (10) Tilletia laevis ditemukan 3 kali pada gandum (India). Sedangkan pada komoditas ekspor telah ditemukan 2 OPTK A2 yaitu Meliodogyne hapla pada Jahe yang 79 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 diekspor ke Pakistan dan Thailand, dan Pratylenchus penetrans pada jahe yang diekspor ke Pakistan dan Bangladesh. Kata kunci : Intersepsi, OPTK A1, OPTK A2, Ekspor, Impor, BBKP Surabaya Pendahuluan Tanah air Indonesia memiliki berbagai jenis sumberdaya alam hayati berupa anekaragam jenis hewan, ikan dan tumbuhan yang perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya. Sumberdaya alam hayati tersebut merupakan salah satu modal dasar sekaligus sebagai factor dominan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tanah air Indonesia atau sebagian pulau-pulau di Indonesia masih bebas dari organisme pengganggu tumbuhan yang memiliki potensi untuk merusak kelestarian sumberdaya alam hayati. Dengan meningkatnya lalu lintas komoditas hasil pertanian antar negara dan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Indonesia dalam rangka perdagangan, pertukaran dan penyebarannya semakin membuka peluang bagi kemungkinan masuk dan menyebarnya organisme pengganggu tumbuhan yang dapat merusak sumberdaya alam hayati. Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya sebagai salah satu UPT Badan Karantina Pertanian mengemban amanah suci mencegah masuk OPTK ke wilayah negara RI dan mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain dan mencegah keluarnya dari wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Lalu lintas perdagangan dunia baik melalui kegiatan ekspor maupun impor beraneka jenis komoditas terutama komoditas hasil pertanian baik yang berupa hasil tanaman hidup maupun hasil tanaman mati baik yang belum diolah maupun yang sudah diolah sangat berpotensi sekali membawa serta OPT yang telah ada di negara asal namun masih belum terdapat di Indonesia. Selama Januari hingga Agustus 2014 ini BBKP Surabaya telah mendeteksi temuan OPTK baik dari kategori OPTK A1 maupun OPTK A2 yang terbawa masuk ke Indonesia melalui komoditas hasil pertanian yang di impor ke Indonesia melalui pengujian laboratorium dengan berbagai metoda pengujian sesuai target OPTK sasaran sesuai Permentan 93 Tahun 2011. Komoditas hasil pertanian yang paling banyak ditemukannya OPTK baik kategori A1 maupun A2 adalah umbi lapis (umbi bawang putih, bawang merah dan bawang bombay, terutamanya umbi bawang putih), biji gandum, benih jagung, dan benih padi. 80 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil dan pembahasan A. Hasil Intersepsi Berdasarkan hasil pengujian kesehatan tumbuhan di Laboratorium Entomologi, Mikologi, Nematologi, Serologi BBKP Surabaya selama Januari 2013 hingga Juni 2014 diperoleh hasil inetrsepsi sebagai berikut : Tabel 1. Temuan OPTK pada Komoditas Impor Melalui BBKP Surabaya Januari 2013- Juni 2014 No OPTK Temuan Media Negara Asal Frekuensi Pembawa Aphelenchoides fragariae Bawang putih 1. Cina 4 (A1/II) Bawang merah India, Thailand, 1 Vietnam Bawang India, Selandia 3 bombay Baru Ditylenchus destructor Bawang putih 2. Cina 20 (A1/II) 3. Ditylenchus dipsaci (A1/II) Bawang putih Cina 17 Pratylenchus penetrans Bawang putih 4. Cina, Taiwan 82 (A2/II) Bawang merah Thailand 2 Bawang India, Cina 1 bombay Pratylenchus vulnus (A1/II) 5. Bawang putih Cina 7 Bulkhoderia glumae (A2) 6. Benih Padi Cina 3 Sphacelotheca reiliana (A1 7. Gandum Rusia, Australia 1 Stenocarpella macrospora Gandum 8. Australia 1 (A1) Benih Jagung Argentina 2 Tilletia indica 9. Gandum India 1 Tabel 2. Temuan OPT Pada Komoditas Ekspor Melalui BBKP Surabaya Januari 2013-Juni 2014 No Temuan OPT Media Pembawa Negara Tujuan Meloidogyne hapla 1. Jahe Segar Pakistan, Thailand Pratylenchus penetrans 2. Jahe Segar Pakistan, Bangladesh 81 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 B. Pembahasan OPTK yang ditemukan pada komoditas impor maupun ekspor kebanyakan OPTK golongan nematoda. Penemuan OPTK nematoda pada komoditas impor antara lain : Aphelenchoide fragariae (A1/II), Ditylenchus destructor (A1/II), Ditylenchus dipsaci (A1/II), Pratylenchus penetrans (A2/II), Pratylenchus vulnus (A1/II), sedangkan penemuan OPTK nematoda pada komoditas ekspor antara lain : Meloidogyne hapla, dan Pratylenchus penetrans. Penemuan OPTK nematoda tersebut biasa ditemukan pada umbi lapis terutama paling banyak dan paling sering ditemukan di perakaran umbi bawang putih yang masih terdapat pada kiriman umbi bawang putih yang masuh dari negara China. Berdasarkan Tabel 1 diatas terlihat bahwa pada umbi bawang putih dari China selama Januari 2013Juni 2014 telah ditemukan sebanyak 4 kali Aphelenchoides faragariae, 20 kali Ditylenchus destructor, 17 kali Ditylenchus dipsaci, 82 kali Pratylenchus penetrans, dan 7 kali Pratylenchus vulnus. Hal ini sangat mengancam dan membahayakan kelestarian sumber daya alam hayati Indonesia terutama komoditas pertanian family Liliaceae yang cukup luas pertanaman umbi lapis terutama umbi bawang merah di Indonesia karena nematoda tersebut selain dapat menginfeksi umbi bawang putih juga dapat menginfeksi perakaran pada umbi lapis yang lain baik umbi bawang merah maupun umbi bawang bombay. A. fragariae memiliki bentuk tubuh ramping (langsing), daerah vulva terletak 2/3 dari panjang tubuh diukur dari bagian anterior (daerah kepala), bentuk stilet ramping dan pan jang dengan basal knop kecil tapi jelas. Bentuk metacarpus besar dan menempati ¾ atau lebih dari lebar esophagus, bentuk ujung ekor menyerupai kerucut tajam dan memanjang dengan ujung meruncing seperti duri tumpul seperti yang terligat pada gambar 1 berikut ini : ABXJK A ABXJK B ABXJK C ABXJK D Gambar 1. Aphelenchoides fragariae (a,b) tampaak kepala (c) tampak ekor (d) tampak utuh (Sumber : Dokumentasi Laboratorium Nematologi BBKP Surabaya; M = 40x) Selain A. fragariae paling sering diketemukan nematoda D. destructor dan D. dipsaci pada media pembawa umbi bawang putih impor dari China. D. destructor memiliki diameter 0,8-1,4 mm dan 23-47 mm, memiliki bentuk tubuh 82 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 langsing dengan panjang tubuh 0,6-1,5 mm. Kerangka kepala sedikit berskelerotin, mulut datar dan rendah, sedikit atau tidak berlekuk terhadap tubuhnya, Stilet memiliki kekuatan lemah sedang panjang stilet 10-14 µm, kepala sedikit mengeras, mempunyai basal knop kecil, pada esophagus memiliki median bulbus berotot, istmusnya berangsur meluas membentuk basal bulbus, berkembang menjadi gelembung menjorok ke bagian usus, pada nematoda betina, ada kantong vulva memanjang yang terletak ¾ panjang tubuh, dengan ciri khas pada ujung ekor bulat sempit, pada nematoda jantan mempunyai abdomen melengkung spikula, anterior diperluas, nematoda tidak mampu bertahan pada kekeringan, nematoda menyerang umbi bawang putih melalui lentisel lalu berkembangbiak dengan cepat menyerang seluruh umbi, D. destructor dapat berkembang dalam umbi setelah dipanen (Celletti, 2009 dalam CABI, 2014). Bentuk dewasa nematota D. destructor ditunjukkan pada gambar 2 berikut ini : A B Gambar 2. Nematoda dewasa D. destructor (Sumber : Dokumentasi Laboratorium Nematologi BBKP Surabaya; M = 40x) Pada nematoda Ditylenchus dipsaci memiliki cir khas pada D. destructor jantan memiliki alat kelamin berupa bursa panjang, ramping, sspikula sedikit lebih luas dari spikula D. destructor, nematoda ini memiliki ketahanan terhadap kondisi kering, dan dapat terisolasi dari bahan tanaman yang benar-benar kering, dan nematoda D. dipsaci bersifat ektoparasitik pada batang dan daun. Oleh karena dapat tahan pada kondisi kering maka kemungkinan terbawanya pada perakaran umbi bawang putih sangat besar kemungkinannya. Gambar 3. Dewasa D. dipsaci (Sumber : Dokumentasi Laboratorium Nematologi BBKP Surabaya; M = 40x) 83 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gejala serangan nematoda D. dipsaci maupun D. destructor adalah tanaman inang berubah menjadi kuning kecoklatan, mengecil dan mati, pola sebaran tanaman secara acak yang mungkin menunjukkan benih terinfeksi, pada umbi bawang putih terdapat bagian yang berkilau, daun menggulung, distorsi dan batang, daun dan akar dengan mudah terpisah umbi yang mirip dengan gejala basal rot, infeksinya dapat menjadi celah masuknya pathogen cendawan. Nematoda selanjutnya yang telah ditemukan oleh laboratorium nematologi BBKP Surabaya yaitu P. penetrans yang memiliki karakteristik sebagai berikut : tubuh kecil (panjangnya kurang dari 1 mm), bila mati karena diperlakukan dengan panas secara berhati-hati maka tubuhnya sedikit bengkok paada bagian ventral, tidak ada taanda-tanda seksual diformisme pad bagian anterior tubuhnya, kepalanya rendah dan datar, ujung anteriornya seperti topi hitam yang datar, mulutnya terbagi atas 2,3 atau 4 anulus dan lurus dengan garis tubuh serta mengalami sklerotisasi yang kuat, panjang stilet ±20µm (±2x lebar kepala), stilet mengalami sklerotisasi sedang dengan basal knob berbetuk bulat dan bagian anteriornya konkaf, esophagus tumbuh baik pada nematoda jantan maupun betina, media bulbus berkembang baik dengan lobus kelenjar esophagus dorsal menjorok ke usus pada bagian ventral. Bentuk morfologi nematoda Pratylenchus penetrans terlihat sebagai berikut : Gambar 4. P. penetrans (Sumber : Dokumentasi Laboratorium Nematologi BBKP Surabaya; M = 40x) OPTK selanjutnya yang ditemukan yaitu P. vulnus yang ditemukan 7 kali pada bawang putih asal Cina. Perbedaan yang tampak jelas antara Pratylenchus vulnus dan Pratylenchus penetrans terutama tampak terlihat pada knop yang membelah menjadi dua bagian dan pada bagian ekor yaitu pada P. vulnus knop pada stilet lebih besar bagian kanan daripada bagian kiri dan isi tubuh pada bagian yang mendekati ujung ekor sedikit jarang, sedangkan pada P. penetrans knop paada stylet lebih besar pada bagian kiri daripada bagian kanan dan isi tubuh di bagian yang mendekati ujung ekor hampir terisi penuh. OPTK golongan cendawan yang telah diketemukan pada komoditas impor yang masuk melalui BBKP Surabaya yaitu Bulkhoderia glumae, Sphacelotheca reiliana, Stenocarpella macrospora, Tilletia indica. Pada impor benih padi asal 84 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Cina telah diketemukan sebanyak 3 kali B. glumae, dan ditemukan Sphacelotheca reiliana pada biji gandum konsumsi asal Rusia dan Australia sebanyak 1 kali (gambar 5). Gambar 5. Sphacelotheca reiliana (Sumber : Dokumentasi Laboratorium Mikologi BBKP Surabaya; M = 40x) OPTK selanjutnya yang telah ditemukan oleh analis laboratorium BBKP Surabaya adalah cendawan Stenocarpella macrospora yang ditemukan pada pemasukan biji gandum asal Australia sebanyak 1 x dan pemasukan benih jagung asal Argentina sebanyak 2x dengan gambar S. macrospora seperti gambar 6 berikut ini : Gambar 6. Stenocarpella macrospora (Sumber : Dokumentasi Laboratorium Mikologi BBKP Surabaya; M = 40x) OPTK berikutnya yang telah ditemukan oleh laboratorium mikologi BBKP Surabaya yaitu cendawan Tilletia indica yang ditemukan sebanyak 1x pada pengujian sample biji gandum asal India. Gambar 7. Cendawan Tilletia indica (Sumber : Dokumentasi Laboratorium Mikologi BBKP Surabaya; M = 40x) 85 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 OPTK terakhir yang telah berhasil ditemukan oleh laboratorium mikologi BBKP Surabaya yaitu cendawan T. laevis yang ditemukan sebanyak 3x pada pemasukan biji gandum asal India ke Indonesia melalui BBKP Surabaya. Berikut ini gejala seranggan cendawan Tilletia laevis pada biji gandum asal India. Gambar 8. Gejala infeksi Tilletia laevis pada biji gandum asal India Sedangkan temuan OPTK yang terbawa pada komoditas yang akan di ekspor ke negara lain yaitu Meloidogyne hapla dan Pratylenchus penetrans yang diketemukan pada komoditas jahe segar yang akan diekspor ke Pakistan dan Bangladesh. Terhadap temuan hasil laboratorium tersebut ditindaklanjuti dengan perlakuan penyemprotan air bersih dengan pompa hidrolik bertekanan tinggi kemudian dikeringanginkan selama 12-24 jam terhadap komoditas yang akan dikirim sebelum dimuat kedalam container. Hal ini untuk mencegah keluarnya atau terbawanya kedua spesies nematoda tersebut keluar drai wilayah Indonesia yang merupakan salah satu tugas pokok fungsi utama karantina tumbuhan sesuai dengan jaminan kesehatan tumbuhan terhadap komoditas yang dikirim yang dinyatakan pada Phytosanitary Certificate yang menyertai kiriman komoditas jahe segar tersebut ke Pakistan dan Bangladesh. Gambar 9. Meloidogyne hapla Dengan sering kalinya diketemukan temuan OPTK yang terbawa masuk melalui komoditas yang di Impor dari negara lain ke Indonesia maka Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya telah mengirimkan Notification Non Compliance (NNC) ke negara asal komoditas yang diketemukan OPTK tersebut memberitahukan bahwa PC yang meryertai komoditas tersebut tidak valid karena masih diketemukannya OPTK yang terbawa pada komoditas kiriman negara 86 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 tersebut agar untuk pengiriman berikutnya dapat lebih baik dan lebih diawasi dalam perlakuan yang diberikan di negara asal sebelum dikirim ke Indonesia. Terhadap komoditas yang diketemukan OPTK tersebut segera dilakukan tindakan karantina berupa perlakuan (treatment) berupa fumigasi dengan metil bromide dosis 16 gram/m3 selama 2 jam untuk komoditas umbi bawang putih dengan pertimbangan dengan dosis 12 gram/m3 tersebut nematoda yang terbawa pada akar umbi bawang putih dapat mati namun tidak sampai merusak umbi bawang putih, bila dosis yang digunakan lebih dari 16 gram/m3 dan lebih dari 2 jam maka kemungkinan besar umbi bawang putih akan menghitam dan rusak. Sedangkan untuk perlakuan terhadap OPTK pada biji gandum diberi perlakuan pemusnahan terhadap kulit luar (sampah) biji gulma setelah dipisahkan antara kulit luar biji gandum dengan bagian dalam biji gandum, karena OPTK Tilletia indica, dan Tilletia laevis berada di permukaan kulit luar biji gandum sehingga langsung diberi tindakan karantina berupa pemusnahan kulit luar biji gandum setelah dilakukan pemisahan dengan mesin-mesin pabrik. Alasan pemusnahan terhadap kulit luar biji gandum yang positif OPTK dilakukan karena mengingat proses pengolahan biji gandum tersebut dari container langsung masuk ke silo-silo mesin pabrik perusahaan besar tidak di distribusikan langsung namun sebagai bahan baku tepung terigu sehingga pengumpulan kulit luar biji gandum dapat terkendali dan tidak ada yang lolos tercecer sehingga lebih efektif dan efisien membunuh OPTK secara cepat di tempat pemasukan jangan sampai masuk ke wilayah Indonesia. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Perlu diwaspadai penemuan 8 spesies OPTK A1 dan 2 spesies OPTK A2 telah terintroduksi masuk ke RI melalui umbi bawang putih, bawang merah, bawang bombay, biji gandum, benih padi dan benih jagung. 2. Telah dilakuan perlakuan fumigasi Metil Bromida pd dosis 16 gr/m3 selama 2 jam pada umbi lapis. 3. Telah dilakukan NNC ke karantina negara asal terhadap jaminan Phytosanitary Certificate nya sesuai hasil uji laboratorium OPTK di Surabaya. Daftar pustaka Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93 Tahun 2011 tentang jenis-jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina. Kementerian Pertanian. 87 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENINGKATAN KETAHANAN TANAMAN CABAI TERHADAP PENYAKIT VIRUS KUNING MELALUI PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) DARI AGENS HAYATI Pseudomonas fluorescens DAN Trichoderma harzianum Sri Murtiati dan Hairil Anwar BPTP Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidamulya, Ungaran Tlp. 0246924965 Email : [email protected] Abstrak Infeksi virus kuning pada tanaman cabai (Pepper Yellow Leaf Curl Virus) menyebabkan penurunan hasil terutama pada musim kemarau. Penyakit ini hanya dapat ditularkan oleh serangga vektor kutu kebul (Bemisia tabaci L.) dan bukan merupakan penyakit terbawa benih (seed born diseases). Penyakit virus kuning ini menyebabkan perubahan fisiologi pada proses fotosintesis yang dapat menurunkan produksi tanaman cabai. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia untuk pengendalian secara terus-menerus dapat mengakibatkan pencemaran tanah. Salah satu sistem pengendalian yang diterapkan adalah Pengendalian Hama Terpadu (PHT) melalui pemanfaatan mikroba antagonis yang berguna secara maksimaldengan menggunakan bahan–bahan organik. Mikroba antagonis yang digunakan sebagai agens pengendali hayati ditambahkan pada bahan organik dapat digunakan untuk PGPR, sehingga meningkatkan ketahanan tanaman dari serangan penyakit virus kuning pada tanaman cabai. Agens hayati lebih efektif apabila diaplikasikan sebagai perlakuan preventif sebelum penyakit berkembang dan aplikasi lanjutan untuk memperoleh penekanan penyakit yang dapat bertahan lama. Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma harzianum adalah kelompok agens hayati yang mempunyai kemampuan sebagai agen biokontroldan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Kedua agens hayati tersebut mampu memproduksi beberapa metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar (Zat Pengatur Tumbuh) yang berperan sebagai PGPR dan menghasilkan senyawa kimia antibiotik sebagai pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai.Selain itu P. flourescensadalah bakteri yang berperan sebagai jasad renik pelarut fosfat dengan menyerap residunya untuk mengurangi pencemaran tanah dan lingkungan. Hubungan antara bakteri dan jamur yang menguntungkan mampu memberikan pengaruh positif terhadap ketahanan tanaman, pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi. Kata kunci : virus kuning, agens hayati, PGPR 88 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pendahuluan Rendahnya produksi cabai ini disebabkan oleh banyaknya faktor, salah satu diantaranya adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) berupa mikroorganisme (virus, bakteri dan Jamur) (Duriat et al., 2004). Salah satu penyakit virus yang menyerang tanaman cabai seperti Pepper Yellow Leaf Curl Virus (PYLCV) adalah penyebab penyakit kuning pada cabai (Habazar dan Hidrayani, 2005). Penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai di Indonesia telah menyebar dengan cepat keberbagai sentral tanaman cabai di Indonesia, seperti Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan telah meresahkan petani serta sangat mempengaruhi produksi cabai. Penyakit ini merupakan jenis penyakit virus yang menyerang tanaman dengan kisaran inang cukup luas pada tanaman budidaya maupun gulma disekitar tanaman, infeksi pada jaringan inang hanya dilakukan oleh serangga vektor (Bemisia tabaci), satu vektor yang viruliferous dilaporkan mampu menularkan virus (Aidawati et al. 2006). Akibat serangannya dapat menghilangkan hasil cabai antara 20-100% (Setiawati, 2003). Gejala penyakit pada tanaman cabai berupa bercak kuning di sekitar tulang daunmenebal dan helai daun menggulung ke atas (cupping). Gejala lanjut penyakit ini menunjukan daun-daun muda menjadi kecil-kecil, helai daun berwarna kuning cerah atau hijau muda yang berseling dengan warna kuning dan cerah yang akhirnya tanaman kerdil (Sulandari et al., 2001). Daun-daun muda yang kecil dan berwarna kuning, ini akan mengganggu proses fotosintesis pada tanaman.Penelitian yang dilakukan oleh Nur Aeni (2007) memperlihatkan bahwa laju asimilasi bersih tanaman sehat lebih tinggi dibandingkan dengan laju asimilasi bersih tanaman terinfeksi virus kuning cabai. Kemampuan agens hayati menghasilkan beberapa keuntungan baik terhadap pertumbuhan tanaman maupun dalam menekan kejadian penyakit di lapang. Salah satu mikroorganisme yang punya potensi untuk dikembangkan sebagai agen hayati adalah Pseudomonas fluorescens. Bakteri ini juga berperan sebagai pemacu pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobakteria), karena menghasilkan zat pengatur tumbuh (ZPT) dan dapat pula meningkatkan ketersediaan hara melalui produksi asam organik (Linderman and Paulizt, 1985). Disamping bakteri, mikroorganisme lain yang digunakan untuk menekan penyakit virus kuning adalah Trichoderma harzianum. Oleh karena itu, mekanisme perlindungan tanaman oleh T. harzianum tidak hanya menginfeksi patogen pengganggu, tetapi juga melibatkan produksi beberapa metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar, dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri (Shoresh and Harman, 2008). 89 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Dengan penambahan biofertilizer dari agens hayati P. fluorescens dan T. harzianum mampu memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan ketahanan tanaman cabai. Tanaman cabai yang mempunyai ketahanan yang tinggi akan menekan penyakit virus kuning sehingga proses fisiologis pada tanaman tidak terganggu. Proses asimilasi yang tinggi pada tanaman akan meningkatkan produksi tanaman cabai. Pembahasan A. Gejala Infeksi Virus Kuning dan Gangguan Fisiologis Tanaman Cabai 1. Gejala Penyakit Virus Kuning Masuknya serangga vektor yang menyebarkan virus ke dalam tanaman cabai adalah salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam epidemi penyakit kuning cabai yang disebabkan oleh kutu kebul (Bemisia tabaci). Serangga ini termasuk dalam kelompok serangga penusuk penghisap. Secara mekanik virus ini tidak dapat ditularkan melalui biji. Masa inkubasi virus ini antara 15-29 hari setelah inokulasi. Tanaman cabai yang terinfeksi berat tidak dapat menghasilkan bunga dan buah. Bila serangan terjadi pada fase vegetatif jumlah tunas menjadi lebih banyak namun pertumbuhan tanaman kerdil. Mekanisme infeksi virus dalam tubuh tanaman hingga memunculkan gejala berupa daun menjadi berwarna kuning, kerdil dan menggulung ke atas (cupping). Semua gejala yang muncul adalah akibat dari terhambatnya aliran nutrisi (fotosintat) dari source ke sink karena virus yang ada di dalam tanaman menguasai floem (floem limited virus). Tanaman yang terinfeksi pada awal pertumbuhan tidak akan menghasilkan buah dan tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal. Jika tanaman terinfeksi saat memasuki fase generatif maka buah yang dihasilkan akan berbentuk kerdil dan bertekstur keras. Aktivitas kutu kebul baru meningkat setelah tanaman mulai berbunga hingga awal pengisian buah. Meningkatnya aktivitas vektor tersebut karena meningkatnya jumlah makanan yang tersedia (Hirano et al.,1993). Virus tersebut melakukan replikasi sel yang bergerak dan masuk ke dalam floem, sehingga menyebar ke dalam tubuh tanaman. Virus yang masuk ke floem akan bergerak bersama aliran di dalam floem dan menyebar ke seluruh tubuh tumbuhan. Meskipun demikian, banyak tanaman yang gagal diinfeksi oleh virus. Perubahan warna daun hanya akan terjadi jika suhu lingkungan di atas 25ºC dan intensitasnya akan meningkat jika suhu lingkungan mencapai 40ºC (Dawson, 1999). Fase selanjutnya virus bergerak dari sel ke sel yang lain hingga mencapai floem sehingga dapat bergerak cepat ke dalam daun-daun muda yang masih berkembang. Di sinilah biasanya gejala daun berubah menjadi kuning, mengeriting dan menjadi kerdil akan tampak, sehingga penyakit kuning cabai ini sering juga disebut sebagai jambul amerika karena 90 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 yang menguning hanya daun bagian atas atau daun muda saja (Dawson, 1999). Gambar. Gejala Penyakit Virus Kuning Tanaman Cabai (koleksi pribadi) 2. Gangguan Fisiologis Tanaman Cabai Proses fisiologi yang terganggu terjadi setelah virus masuk ke dalam tanaman, karena virus tersebut akan mereplikasi dirinya sehingga jumlah mereka mencukupi untuk menguasai tubuh tanaman. Menurut Te’csi, et al. (1996) virus yang sudah dapat masuk ke dalam tubuh tanaman akan melakukan replikasi dan pembentukan protein virus. Virus yang menginfeksi tanaman melakukan replikasi sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas enzim anaplerotik, laju fotosintesis dan kandungan pati. Apabila sintesis virus menurun, laju fotosintesis dan kandungan pati dalam daun akanmenurun, sedangkan glikolisis dan respirasi dalam mitokondria akan meningkat. Kloroplas merupakan organel utama yang diserang oleh virus tumbuhan. Penurunan laju fotosintesis disebabkan karena bentuk kloroplas yang abnormal, dengan ukuran yang relatif lebih kecil dan jumlah tilakoid pada setiap grana yang menurun akibat infeksi virus. Kerusakan utama akibat infeksi virus pada tanaman adalah akumulasi klorofil, yang menyebabkan penurunan laju fotosintesis karena penurunan kemampuan mengabsorsi cahaya. Perubahan ini ditunjukkan dengan terjadinya klorosis pada daun (Funayama dan Terashima, 2006). Klorosis atau warna daun menguning pada tanaman yang terinfeksi terjadi karena terhambatnya pembentukan klorofil pada daun sehingga mengakibatkan akumulasi gula. Menurut Funayama dan Terashima (2006) klorosis pada daun tanaman yang terinfeksi terjadi karena pembentukan klorofil terhambat sehingga laju pembentukan klorofil sama atau lebih kecil 91 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 dibandingkan dengan laju degradasi klorofil. Kandungan nitrogen daun pada tanaman terinfeksi lebih rendah dibandingkan dengan daun tanaman yang tidak terinfeksi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tanaman yang terinfeksi virus lebih banyak mengalokasikan nitrogen untuk bertahan dan replikasi virus dalam tubuh tanaman. Apabila jumlah nitrogen dalam daun rendah dan tanaman terkena cahaya matahari dengan intensitas tinggi maka daun akan mengalami penurunan protein klorofil daun (Funayama dan Terashima, 2006). Laju asimilasi bersih adalah laju penimbunan bahan kering per satuan luas daun per satuan waktu (Gardner et al., 1991), yang merupakan ukuran rata-rata efisiensi fotosintesis daun dalam satu tanaman. Efisiensi laju asimilasi bersih dipengaruhi oleh besarnya radiasi matahari, kemampuan daun untuk berfotosintesis, nilai indeks luas daun dan pemerataan radiasi matahari ke seluruh permukaan daun. Laju asimilasi bersih tertinggi dicapai pada saat tanaman masih kecil karena sebagian besar daunnya terkena sinar matahari secara langsung. Semakin banyak daun yang terlindungi maka laju asimilasi bersih akan menurun. Tanaman yang terinfeksi virus kuning cabai akan mempunyai daun yang bentuknya tidak normal, terutama apabila tanaman terinfeksi sebelum memasuki fase generatif. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap indeks luas daun tanaman. Jika indeks luas daunnya rendah dan kandungan klorofilnya juga rendah maka jumlah fotosintat yang dihasilkan untuk pertumbuhan tanaman juga akan menurun. Dalam kondisi ini, hasil fotosintat tidak hanya digunakan oleh tanaman untuk tumbuh namun juga sebagian besar energinya dipakai oleh virus untuk hidup dan terus mereplikasi diri. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Aeni (2007) memperlihatkan bahwa laju asimilasi bersih tanaman sehat lebih tinggi dibandingkan dengan laju asimilasi bersih tanaman terinfeksi virus kuning cabai. Hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil produksi tanaman. Buah cabai yang dihasilkan oleh tanaman sehat memilki jumlah dan berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah dan berat buah yang dihasilkan oleh tanaman terinfeksi virus. B. Peranan Agens Hayati P. fluorescens dan T. harzianum Untuk PGPR dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman 1. Agens Hayati P. fluorescens Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) adalah rizosfer tanah yang mengelilingi akar dan dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Interaksi ini ditandai dengan adanya pemanfaatan eksudat akar yang dikeluarkan akar oleh mikroorganisme dan sebaliknya metabolisme di perakaran dipengaruhi oleh kerja mikroorganisme. Eksudat akar adalah asam amino, asam organik, karbohidrat, gula, vitamin, mucilage dan protein. Eksudat akar sebagai pengirim pesan untuk merangsang interaksi biologi maupun fisik di antara akar dan organisme perakaran. Modifikasi biologi dan 92 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 fisika tanah dari rizosfer memberi kontribusi bagi pertumbuhan akar tanaman agar tetap survive (Kelly, 2005). Bakteri-bakteri yang hidup di sekitar perakaran ada yang menguntungkan. Dalam Supriadi (2006) jenis-jenis agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti salah satunya P. fluorescens. Selanjutnya menurut Minorsky (2008), bakteri P. fluorescens yang diisolasi dari perakaran tanaman Graminae menunjukan adanya kolonisasi yang dapat meningkatkan hasil, menambah jumlah bunga, menambah jumlah buah, dan berat buah. Kemampuan untuk menfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, memproduksi senyawa siderofor dan hidrogen sianida (HCN), enzim kitinase, protease, dan selulosa merupakan karakteristik rizobakteri yang diinginkan (Zhang, 2004). Salah satu kemampuan rizobakteri dari kelompok Bacillus spp. dan Pseudomonas spp. yang telah dilaporkan adalah mampu melarutkan fosfat (Faccini et al., 2004). Selain itu P. fluorescens merupakan salah satu mikroorganisme antagonis yang diteliti secara intensif dan berpotensi besar untuk pengendalian beberapa penyakit (Hasanuddin, 2003). Bakteri P. fluorescens mempunyai kemampuan dalam menghasilkan siderofor yang berguna sebagai pengkhelat besi ketika konsentrasi besi rendah. Sebaliknya apabila konsentrasi besi tinggi, pyoverdine tidak diperlukan sehingga koloni bakteri tidak akan berpendar di bawah sinar ultraviolet. Di samping itu P. fluorescens juga menghasilkan viscosin yang dapat meningkatkan antivirality. Metabolit sekunder yang dihasilkan P. fluorescens memainkan peranan penting dalam menekan perkembangan penyakit tanaman seperti antibiotik . Hasil aplikasi P. fluorescens pada tanaman cabai menunjukkan bahwa tanaman yang diaplikasikan memperlihatkan pertumbuhan yang bagus, dilihat dari tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah dan berat kering tanaman serta hasil buah. Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun tanaman Cabai Sesuai Perlakuan Perlakuan Tinggi Peningkatan tanaman (cm) (%) Jumlah daun Peningkatan (%) A (Kontrol) 40,88 0,00 52,00 0,00 B (Pf) 50,88 24,46 59,10 13,65 C (Pestisida) 49,77 21,75 55,56 6,85 93 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 2. Rata-Rata Berat Basah dan Berat Kering Tanaman Cabai dengan Aplikasi dan Tanpa Aplikasi Pf Berat basah Peningkatan Berat kering Peningkatan Perlakuan (kg) (%) (kg) (%) A (Kontrol) 31,4 0,00 7,3 0,00 B (Pf) 58,4 85,99 13,55 85,62 C (Pestisida) 43,9 39,81 13,08 79,18 Sumber : Nurbailis et al., 2010 2. Agens Hayati T. harzianum Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah adalah jamur T. harzianum karena disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Di samping kemampuan sebagai pengendali hayati, T.harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman, pertumbuhan tanaman dan hasil produksi tanaman, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah utama tanaman cabai yaitu tingginya serangan hama dan penyakit yang secara ekonomis dapat menurunkan produkitivitas, penggunaan pestisida kimia yang kurang bijaksana berdampak pada lingkungan dan tidak aman untuk dikonsumsi. Sifat ini menandakan bahwa T. harzianum berperan sebagai plant growth enhancer. Menurut Windham et al. , (1986), bahwa Trichoderma spp. menghasilkan metabolit sekunder yang berperan sebagai faktor pengatur tumbuh tanaman. Trichoderma spp. adalah salah satu jamur tanah yang bersifat antagonis terhadap patogen tular tanah bahkan telah dilaporkan juga bahwa jamur ini mampu menginduksi ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Harman, 2000). Keberhasilan penggunaan Trichoderma spp. untuk pengendalian penyakit tanaman baik di rumah kaca, pada pembibitan maupun di lapangan telah banyak dilaporkan (Howell,1887; Harman, 2000; Nurbailis et al, 2008). Ini menunjukkan bahwa aktivitas enzim pertahanan meningkat pada jaringan akar dan daun, sehingga terjadi induksi ketahanan tanaman. Selain itu, T. harzianum menginduksi resistensi lokal dan sistematis untuk berbagai patogen tanaman (Hoitink et al., 2006). Penelitian terbaru dari Shoresh et al. (2010), menunjukkan bahwa cendawan tersebut memicu tanaman memproduksi berbagai senyawa, yang tidak saja mengatasi gangguan patogen, tetapi juga mengatasi berbagai stress lingkungan. Peranan T. Harzianum selain sebagai agen pengendali organisme juga sangat besar dalam menjaga kesuburan tanah karena memiliki potensi sebagai kompos aktif. 94 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Dengan memanfaatkan T. harzianum akan meningkatkan ketahanan tanaman melalui perakaran kuat dan pertumbuhan tanaman yang baik akan menekan penyakit virus kuning pada tanaman cabai. Di samping itu kerusakan tanah oleh pupuk dan pestisida kimia dan menyebabkan lingkungan perakaran tanah stress dapat diperbaiki dengan agens hayati. Kesimpulan Penyakit infeksi virus kuning yang disebabkan oleh serangga vektor Bemisia tabaci mempunyai gejala daun berubah menjadi kuning, mengeriting dan menjadi kerdil serta mengganggu proses fisiologis tumbuhan. Penyakit virus kuningdapat dikendalikan dengan meningkatkan ketahanan tanaman melalui plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dari agens hayati Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma harzianum. Kedua agens hayati tersebut selain sebagai pengendali hayati juga meningkatkan produksi tanaman cabai. Daftar pustaka Aidawati, N. 2006. Keanekaragaan Begomovirus pada Tomat dan Serangga Vektornya, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae). Serta Pengujian Ketahanan Genotipe Tomat Terhadap Strain Begomovirus. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dawson W., 1999. Tobacco Mosaic Virus Virulence and Avirulence. Phil. Trans.vol 354, p.645-651. The Royal Society, London. Duriat, AS., N. Gunaneni dan Wulandari. 2004. Induksi resistensi sistemik terhadap virus dan vektor virus CMV. Laboran Penelitian APBN. J.3.1. 20 hlm Faccini G, Garzon S, Martines M, Varela A. 2004. Evaluation of the effects of a dual inoculum of phosphate-solubilizing bacteria and Azotobacter chroococcum in creolo potato (Solanum phureya) var. YemadeHuevo. <http:\www.ag.auburn.edu /argentina/pdfmanuscripts/faccini.pdf >. Funayama S. and Terashima I. 2006. Effect of Eupatorium Yellow Vein Virus Infection on Photosynthetic Rate, Chlorophyll Content and Chloroplast Structure in Leaves of Euphatorium makinoi During Leaf Development. Functional Plant Biology. P.165-175. Gardner, F. P. , R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plants. The Lowa State University Press. Habazar, T. dan Hidrayani.2005. Penyakit Virus Kuning Keriting Daun Pada Cabai dan Cabai Berta Teknik Pengendaliannya. Diskusi Pemecahan Masalah Actual Upaya Pengendalian Virus Kuning Keriting Daun (Yellow leaf Curl Virus) pada Cabai dan cabai di Padang, Sumatera Barat 28 Mei 2005. 95 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Harman, G. E. 2000. Changes in Perceptions Derived from Research on Trichoderma harzianum T-22. Plant Disease / April 2000. Publication No. D-2000-0208-01F. Hasanudin, 2003. Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Hirano, K., E. Budiyanto, dan S. Winarni. 1993. Biologocal Characteristics and Forecasting Outbreaks of The Whitefly, Bemisia tabaci, a vector of Virus Disease in Soybean Fields. Food Fertilizer and Technology Center. <http://www.fffc.agnet.org /library/abstract/tb135.html>. Hoitink HAJ, LV Madden & AE Dorrance . 2006. Systemic resistance induced by Trichoderma spp: Interactions between the host, the pathogen, the biocontrol agent, and soil organic matter quality. Phytopathol 96 : 186189. Kelly Rebecca Lines, 2005, The Rizosfer. Soil Biology Basic. Interact with plant roots. New Department of Primary Industries. Lindermann, R.G. and T.C. Paulitz. 1990. Mycorhizal rhizobacterial. in. Biological Control of Soil Born Pathogens. D. Homby. (Ed.). 267-283 CAB. International, Wellingford, England. Minorsky Peter V. 2008. On The Inside. Division of Health Professions and Natural Sciences Mercy College Dobbs Ferry, New York 10522. Nurbailis, Trizelia, Reflin, Haliatur Rahma. 2010. Pemanfaatan Jerami Padi Sebagai Medium Perbanyakan Trichoderma harzianumdan Aplikasinya Pada Tanaman Cabai. Kumpulan Artikel Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Andalas. Fakultas Pertanian Lokasi Kota Padang, Sumatera Barat. Nur Aeni, A. 2007. Kajian Kestabilan Produktivitas Cabai Keriting Di Daerah Endemis Virus Kuning dengan Optimalisasi Nutrisi Tanaman. Tesis. UGM. Setiawati, W. 2003. Pengendalian Kutu Kebul (B. tabaci) pada Tanaman Cabai. Seminar Sehari mengeni Pengenalan dan Pengendalian Virus Kuning pada Tanaman Cabai, Jakarta, 20 Februari 2003. Shoresh M & GE Harman (2008). The relationship between increased growth and resistance induced in plants by root colonizing microbes. Plant Signaling & Behavior 3 :737-739 Shoresh M, GE Harman & F Mastouri (2010). Induced systemic resistance and plant responses to fungal biocontrol agents. Ann Rev Phytopathol 48: 1-23. Sulandari, S., Rusmilah, S., S. S. Hidayat, Jumanto, H., dan Sumartono, S. 2001. Deteksi Virus Gemini pada Cabai di Daerah Istimewa Jogjakarta. Prosiding Konggres Nasional XVI. PFI. Bogor. 22-24 Agustus. 96 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Supriadi., 2006. Analisis Resiko Agens Hayati Untuk Pengendalian Patogen Pada Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 25. Té’csi, L. I., Smith, A. M., Maule, A. J. & Leegood, R. C. 1996. A spatial analysis of physiological changes associated with infection of cotyledons of marrow plants with cucumber mosaic virus. Plant physiol. 111, p.975985. Windham, M. T., Elad, Y., Baker, R. 1986. A. Mechanims for Increased Plant growth Induces by Trichoderma spp. Phytopathology 76 : 518-821. Zhang Yilan. 2004. Biocontrol of Sclerotinia stem Rot of Canola by Bacterial Antagonists and Study of Biocontrol Mechanisms Involved. University of Manitoba. Thesis. 97 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 FORMULASI PSEUDOMONAD FLUORESCENS PF-122 DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI CABAI Yenny Wuryandari, Sri Wiyatiningsih, Maruto Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur Abstrak Pemanfaatan mikroorganisme selain bertujuan untuk meminimalkan penggunaan bahan kimia dalam sistem pengendalian terpadu penyakit tanaman sekaligus untuk memacu pertumbuhan tanaman.Di antara Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), pseudomonad fluoresen mendapat banyak perhatian karena pseudomonad fluoresen tertentu menunjukkan kemampuannya dalam menekan perkembangan beberapa penyakit tumbuhan dan menginduksi ketahanan tanaman. Suatu formulasi agensia pengendali biologi tanamanyang efisien diperlukan untuk aplikasi dalam skala besar di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa formula berbahan aktif pseudomonad fluoresen Pf-122 yang paling baik dalam menginduksi atau memacu pertumbuhan semai cabai. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yaitu yang terdiri dari 4 perlakuan. Keempat perlakuan tersebut adalah formula serbuk, granul, pelet, dan formula cair. Semua formula berbahan aktif pseudomonad fluorescens pf-122. Apabila ditinjau dari hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah daun, panjang akar, dan berat basah akar semai menunjukkan bahwa pemberian formula serbuk hasilnya paling baik dibandingkan dengan kontrol dan formula lain. Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman pada persemaian, pemberian formula serbuk tertinggi yaitu 12,04 cm kemudian diikuti formula pelet sebesar 11,18 cm, sedangkan untuk pengamatan berat basah daun, panjang akar, dan berat basah akar hasil tertinggi adalah formula serbuk kemudian diikuti formula granul. Adapun pemberian formula cair, menunjukkan hasil paling kecil mendekati kontrol hampir pada semua parameter pengamatan. Dengan demikian untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai pada tingkat persemaian, aplikasi pseudomonad fluorescens dalam bentuk formula serbuk lebih dianjurkan. Kata kunci: formulasi, pseudomonad fluorescens, semai 98 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pendahuluan Tanaman cabai merupakan salah satu dari beberapa tanaman hortikultura yang potensial dikembangkan. Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Meskipun fluktuasi harga yang terjadi seringkali tidak menentu namun bisnis cabai di Indonesia masih tetap menarik perhatian petani hortikultura. Sampai saat ini kebutuhan cabai masih meningkat, akan tetapi poduksi cabai masih rendah (Anonim, 2009). Sekalipun cabai mempunyai prospek permintaan yang baik, tetapi sektor budidayanya cabai masih menghadapi berbagai kendala (Rosmahani, 2006). Salah satu kendala yang sangat mempengaruhi produksi cabai adalah penyakit utama yaitu panyakit layu Ralstonia solanacearum dan layu jamur Fusarium oxysporum. Kerugian akibat penyakit ini semakin tinggi karena sering kali keduanya secara bersama menyerang tanaman cabai. Pengendalian hayati dapat meningkatkan hasil dengan menekan atau merusak inokulum pathogen, melindungi tanaman melawan infeksi, dan meningkatkan kemampuan tanaman untuk tahan terhadap pathogen atau mengimbas ketahanan tanaman. Pengendalian hayati dengan mikroorganisme yang bermanfaat akan memacu pertumbuhan akar, akar menjadi lebih banyak (Podile and Kishore, 2007). Di antara Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), pseudomonad fluoresen mendapat banyak perhatian. Strain dari pseudomonad fluoresen tertentu menunjukkan kemampuannya dalam menekan perkembangan beberapa penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh pathogen dan memacu pertumbuhan tanaman (Fukui et al., 1994; Raaijmakers et al., 1995; Schippers, 1992). Pengendalian hayati patogen tanaman oleh rhizobakteria dapat didasarkan pada produksi metabolit bakteri seperti siderofor, antibiotik, dan hydrogen cyanida. Rhizobakteria juga mampu memacu pertumbuhan tanamana dengan memproduksi zat pengatur tumbuh seperti turunan auxin (Pinton et al, 2001). Sebagian besar rhizobakteria seperti Pseudomonas, Bacillus, Azotobacter memproduksi senyawa pemacu pertumbuhan seperti Indolacetic acid (IAA), gibberellin, substansi sperti cytokinin (Brimecombe et al., 2001). Bakteri mampu memacu ketahanan sistemik tanaman dengan memproduksi fitohormon, melarutkan fosfat anorganik dan meningkatkan pengikatan Fe dengan siderofor (Podile & Kishore 2007 ; Haas and Defago 2005). Bakteri genus pseudomonas juga memproduksi senyawa antimikroba atau senyawa penghambat yang berperan sebagai agens hayati seperti phenazine, pyrrolnitrin, pyluteorin, phloroglucinols, cyclic lipopeptides, dan hydrogen cyanida (Haas and Defago, 2005). 99 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Rhizobakteria yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam memperbaiki tanaman. Rhizobakteria juga mungkin membebaskan fosfat anorganik yang dapat larut ke dalam tanah. Salah satu cara untuk memperbaiki defisiensi fosfor pada tanaman adalah dengan inokulasi tanah dengan mikroorganisme pelarut fosfat. Salah satu bakteri yang merupakan pelarut potensial dari fosfat adalah Pseudomonas dan Bacillus (Beattie, 2007). Pada penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa pengujian dengan metode pencelupan akar tanaman cabai dengan bakteri pseudomonad fluorescens isolat Pf122 dapat menekan penyakit layu utama sebesar 54,11%, dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman (Wuryandari et al., 2012). Aplikasi yang telah dilakukan adalah dengan cara pencelupan akar. Cara pencelupan akar tersebut masih ada kelemahannya atau belum optimum karena tidak praktis dalam skala lapang, sehingga masih harus dikembangkan dengan pembuatan formula yang tepat untuk memproteksi penyakit dan sekaligus untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai. Pengendalian biologi menggunakan mikroorganisme antagonis yang telah diformulasikan diharapkan dapat mengendalikan penyakit dan dapat memacu pertumbuhan tanaman secara efektif dan efisien. Penelitian terdahulu yaitu penelitian Hibah Bersaing telah dilakukan penelitian pembuatan formula. Hasil penelitian dengan formula menggunakan Pf-122, bahan aditif CMC dengan glukosa ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman, untuk semua parameter agronomis yang diamati menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dan berbeda nyata dengan kontrol tanpa pemberian Pf-122 (Wuryandari et al., 2009). Formulasi yang telah dibuat dan dilakukan penelitian dalam bentuk pil-benih dan pelet dangan bahan pembawa pupuk kandang bukan produksi dari Pabrik Mini UPN ”Veteran” Jawa Timur. Hasil yang diperoleh belum menunjukkan hasil yang optimal. Cara pembuatan formula pil-benih cukup sulit pembuatannya serta belum mengoptimalkan bahan pembawa pupuk organik yang telah tersedia di UPN ”Veteran” Jawa Timur yaitu produk pupuk organik Pabrik Mini. Beberapa produk usaha Unit Produksi pupuk organik yang dihasilkan oleh Pabrik Mini Pupuk Organik di UPN ”Veteran ” Jawa Timur yaitu antara lain pupuk kompos dari limbah tanaman (serbuk), pupuk organik kombinasi kompos dan kotoran sapi (pelet), pupuk organomineral (granul) dan pupuk cair (cair). Produkproduk yang dihasilkan tersebut adalah pupuk yang berasal dari bahan organik berfungsi menambah nutrisi dalam tanah. Produksi dan pemasaran pupuk organik di Pabrik Mini UPN masih belum maksimal. Pengembangan dan peningkatan produk pupuk organik Pabrik Mini masih sangat diperlukan penyempurnaan atau penambahan nilai plus dengan mensinergikan menjadi suatu formula dengan mengkombinasi antara pupuk organik dengan biopestisida. Pada akhirnya 100 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 diharapkan akan diperoleh satu formula yang terbaik untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit dan peningkatan pertumbuhan cabai. Bahan dan metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Tanaman, Pabrik Mini, dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian, UPN “Veteran” Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan. Keempat perlakuan tersebut adalah bentuk formula dengan bahan aktif bakteri pseudomonad fluorescens yaitu Formula serbuk, pelet, granul, dan cair. Setiap perlakuan terdapat tiga ulangan. Proses pembuatan formula dilakukan dengan mengkombinasikan bahan pembawa berupa pupuk organik produk Pabrik Mini UPN Jatim, serta inokulum rhizobakteria pseudomonad fluorescens 122. Bahan pembawa formulasi yang digunakan antara lain 3 produk pupuk organik produk Pabrik Mini UPN Jatim yaitu 1). Pupuk Kompos berupa serbuk, 2). Pupuk kandang berupa pelet, 3). Pupuk organomineral berupa granul,dan 4). Pupuk organik cair. Masing-masing pupuk tersebut selanjutnya dicampur dengan rhizobakteria pseudomonad fluoresen dengan konsentrasi 1010 CFU/ml dimasukkan pada alat pembuat pupuk atau formula pupuk di pabrik sehingga campuran yang terbentuk berupa beberapa formula yaitu serbuk, granul, pelet dan cair. Formulasi tersebut digunakan sebagai perlakuan untuk pengujian selanjutnya. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh formula terhadap pertumbuhan semai cabai tanpa adanya infestasi bakteri patogen. Cara pengujiannya : formula diberikan pada tanah media tanam di polibag sebelum benih cabai disemaikan. Dosis pemberian pada media semai adalah dalam setiap 5 kg media diberi formula sebanyak 50 gr, sedangkan yang cair diberi 50 ml.Pengamatan dilakukan pada umur 40 hari. Parameter yang diamati meliputi; tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah daun,panjang akar, dan berat basah akarsemai cabai. Semua uji disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan dan data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian. Hasil dan Pembahasan Hasil agronomis yang diperoleh dari keempat formula, terhadap pertumbuhan tanaman cabai pada fase persemaian yang meliputi tinggi semai, jumlah daun, berat basah daun, panjang akar dan berat basah akar terlihat pada Gambar 1, 2 dan Tabel 1. 101 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 1. Pertumbuhan tanaman cabai pada umur semai 40 hari yang media tanamnya diperlakukan dengan formula berbahan aktif Pseudomonad fluorescens 122 Gambar 2. Pertumbuhan akar tanaman cabai pada umur semai 40 hari yang media tanamnya diperlakukan dengan formula berbahan aktif Pseudomonad fluorescens 122 102 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 1. Rata-rata rata tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah daun, panjang akar, dan berat basah akar pada tanaman cabai yang diperlakukan dengan formula berbahan aktif pseudomonad fluorescens 122 Tinggi tanaman Perlakuan Serbuk Pelet Granul Cair Kontrol 12,06 b 11,18 ab 10,74 a 10,85 a 10,11 a Berat basah daun Jumlah daun 5,44 a 5,13 a 5,37 a 4,48 a 4,17 a 4,61 d 3,36 c 3,55 c 1,91 b 1,45 a Panjang akar 0,17 b 0,08 a 0,09 a 0,09 a 0,06 a Berat basah akar 0,0072 b 0,0070 b 0,0080 b 0,0050 a 0,0038 a Apabila ditinjau dari hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman, berat basah daun dan panjang akar menunjukkan bahwa tanaman yang diperlakukan dengan formula berbahan aktif Pseusomonad fluorescens 122 yang formula serbuk menunjukkan hasil yang paling baik dibandingkan dengan kontrol, kemudian diikuti formula pelet, granul dan cair (Gambar 3, 5, dan 6). ). Sedangkan untuk jumlah daun dan berat kering akar tanaman cabai pada persemaian tidak ada beda nyata dibandingkan dengan k kontrol dan formula lain (Gambar 4 dan 6). Tinggi Tanaman (cm) 12,50 12,00 11,50 11,00 10,50 10,00 9,50 9,00 Serbuk Pelet Granul Cair Kontrol Perlakuan Gambar 3. Rata-rata rata tinggi tanaman cabai pada persemaian yang diperlakukan dengan formula berbahan aktif pseudomonad fluorescens s 122 103 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 6,00 Jumlah daun 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Serbuk Pelet Granul Cair Kontrol Perlakuan Gambar 4. Rata-rata rata jumlah daun tanaman tanaman cabai pada persemaian yang diperlakukan dengan formulaberbahan aktif pseudomonad fluoresc cens 122 5,00 Berat basah Daun (gram) 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Serbuk Pelet Granul Cair Kontrol Perlakuan Gambar 5. Rata-rata rata berat basah daun tanaman cabai ada persemaian setelah diperlakukan dengan formula berbahan aktif pseudomonad fluorescens 122 104 Panjang Akar (cm) Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 0,18 0,16 0,14 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 Serbuk Pelet Granul Cair Kontrol Perlakuan Berat Basah Akar (gr) Gambar 6. Rata-rata rata panjang akar tanaman cabai pada persemaian setelah diperlakukan dengan formula berbahan aktif pseudomonadfluorescens 0,0090 0,0080 0,0070 0,0060 0,0050 0,0040 0,0030 0,0020 0,0010 0,0000 Perlakuan Gambar 7. Rata-rata rata berat basah akar tanaman cabai ada persemaian yang diperlakukan dengan formula pseudomonad fluorescens s 122 Hasil pertumbuhan tanaman cabai pada fase semai, dengan pemberian formula serbuk menunjukkan hasil yang paling baik pada hampir semua parameter pertumbuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa aplikasi formula serbuk lebih berpotensi atau lebih memacu pertumbuhan tanaman. Pada formula formula serbuk, 105 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 kemungkinan pseudomonan fluorescens 122 lebih dapat berkembang dan populasinya lebih tinggi dibandingkan pada formula lain dan kontrol. Pada formula serbuk kondisi lebih besar porositasnya, sehingga kebutuhan oksigen lebih tercukupi. Hal itu mungkin dapat mendukung pertumbuhan sehingga meningkatkan populasi bakteri dengan lebih baik. Populasi bakteri pseudomonad fluorescens 122 yang tinggi dalam sistem perakaran tanaman cabai akan lebih dapat memacu pertumbuhan tanaman karena bakteri dapat mengikat fosfor dan menghasilkan hormon pertumbuhan untuk tanaman. Seperti hasil penelitian sebelumnya bahwa mikroorganisme tanah yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam memperbaiki tanaman (Beattie, 2007). Mikroorganisme tanah juga mungkin membebaskan fosfat anorganik yang dapat larut ke dalam tanah. Salah satu cara untuk memperbaiki defisiensi fosfor pada tanaman adalah dengan inokulasi tanah dengan mikroorganismepelarut fosfat. Salah satu bakteri yang merupakan pelarut potensial dari fosfat adalah Pseudomonas dan Bacillus (Beattie, 2007). Banyak genus bakteri, salah satu diantaranya adalah Pseudomonas, menghasilkan suatu senyawa giberelin dan yang serupa giberelin yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Bakteri ini juga mempengaruhi perkembangan rambut akar, sekresi getah, perkembangan akar lateral (Brimecombe,2001). Mengingat bahwa salah satu kelebihan dari bakteri pseudomonad fluorescens adalah dapat mengimbas ketahanan tanaman, maka ada kemungkinan populasi pseudomonad fluorescens 122 yang tinggi pada formula serbuk dapat meningkatkan pertumbuhan dan tidak menghambat pertumbuhan tanaman. Keberadaan mikroorganisme dalam tanah media tanam yang beragam dapat berinteraksi dengan pseudomonad fluorescens.Interaksi antara pseudomonad fluorescens 122 dengan mikroorganisme ini dapat mempengaruhi peningkatan pertumbuhan tanaman. Seperti pendapat peneliti sebelumnya, bahwa Rhizobakteria mampu memacu pertumbuhan tanamana dengan memproduksi zat pengatur tumbuh seperti turunan auxin (Pinton et al., 2001). Sebagian besar rhizobakteria seperti Pseudomonas, Bacillus, Azotobacter memproduksi senyawa pemacu pertumbuhan seperti Indolacetic acid (IAA), gibberellin, substansi sperti cytokinin (Brimecombe et al, 2001).Bakteri mampu memacu ketahanan sistemik tanaman dengan memproduksi fitohormon, melarutkan fosfat an organik, meningkatkan pengikatan Fe dengan siderofor (Podile and Kishore 2007 ; Haas and Defago 2005).Rhizobakteria yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam memperbaiki tanaman. Rhizobakteria juga mungkin membebaskan fosfat anorganik yang dapat larut ke dalam tanah. Salah satu cara untuk memperbaiki defisiensi fosfor pada tanaman adalah dengan inokulasi tanah dengan 106 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 mikroorganisme pelarut fosfat. Salah satu bakteri yang merupakan pelarut potensial dari fosfat adalah Pseudomonas dan Bacillus (Beattie, 2007). Kesimpulan Aplikasi dengan formula serbuk berbahan aktif pseudomonad fluoresen Pf 122 menunjukkan hasil yang paling baik dalam memacu pertumbuhan semai tanaman cabai dibandingkan dengan control dan formula yang lain. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dapat terlaksana atas biaya Hibah Penelitian Unggulan Perguruan TinggiSurat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian, Nomor : 32/SP2H/P/K7?KM/2014.Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Daftar pustaka Anonim. 2009. Budidaya Cabai Merah Keriting di lahan kering. <http://www.mojokertokota.go.id>. Beattie, G.A. 2007. Plant-Associated Bacteria: Survey, molecular phylogenygenomics and Recent Advances. In : Gnanamanickam, S.S. (ed.). PlantAssociated Bacteria. SpringerThe Netherlands Brimecombe, M.J., De Leij, F.A., and Lynch, J.M., 2001. The Effect of Root Exudates on Rhizosphere Microbiae Populations. In: Pinton, R., Varanini, Z., Nanipieri, P. The Rhizophere. Biochemistry and Organic Substances at the Soil-Plant Interface . Marcel Dekker, Inc. New York – Basel.H. 95-140. Fukui, R., Schroth, M.N., Hendson, M. & Hancock, J.G. 1994. Interaction between Strain of Pseudomonas in Sugar Beet Spermosphere and Their Relationship to Pericarp Colonization by Pythium ultimum in Soil. Phytopathology 84: 1330-1332. Haas, D & Defago, G. 2005. Biological Control of Soil Borne Pathogens by fluorescent pseudomonads. Nat Rev Microbial. In : Allen, C., Prior, P., Hayward, A.C. 2005. Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. The American Phytopathological Society 3.307-319. Liu, L., Kloepper, J.W., and Tuzun, S. 1995. Induction of Systemic Resistance in Cucumber by Plant Growth Promoting Rhizobacteria : Duration of 107 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Protection and Effect of Host Resistance on Protection and Root Colonization. Phytopathology 85: 1064-1068. Pinton, R., Varanini,Z., and Nanipieri, P., 2001. The Rhizophere as a site of Biochemical Interactions Among Soil Components, Plants, and Microorganisms. In: Pinton, R., Varanini, Z., Paulo Nanipieri, P.. The Rhizophere. Biochemistry and Organic Substances at the Soil-Plant Interface. Marcel Dekker, Inc. New York–Basel. H. 1 – 18 Podile, A.R. and Kishore, G.K. 2007. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria.p. 195-230. In : Gnanamanickam, S.S. (ed.). Plant-Associated Bacteria. Springer. The Netherlands. Raaijmakers, J.M., Leeman, M., Van Oorschot, M.M.P., Van der Sluis, I., Schipper, B., and Bakker, P.A.H.M. 1995. Dose-response relationships in biological control of fusarium wilt of radish by Pseudomonas spp. Phytopathology 85: 1075-1081. Rao,S,N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman (edisi kedua). Universitas Indonesia Press. 351 hal. Wuryandari, Y; Purnawati, A& Siswanto. 2009. Viabilitas Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-122 dalam Beberapa Formula. Jurnal Berkala Hayati Mipa Biologi UNAIR 14. Wuryandari, Y; Purnawati, A& Siswanto.2011. Effect of Formulation with Pseudomonad fluorescens Isolate Pf-122 for Progress of Tobacco Bacterial Wilt Disease. The International Seminar on Natural Resources, Climate Change, and Food Security in Developing Countries. ISBN 978-602-891593-9. Wuryandari, Y; Wiyatiningsih, S& Sulistyono, A. 2012. Induksi Pertumbuhan dan Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Utama Layu Ralstonia solanacearum dan Fusarium oxysporum menggunakan Rhizobacteria. Lap Pen. Strategis Nasional. Dikti 2012. Jakarta. 108 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KUNCI IDENTIFIKASI MOBIL UNTUK SPESIES PRATYLENCHUS FILIPJEV, 1936 (NEMATODA: PRATYLENCHIDAE) Abdul Gafur Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat Jalan Ahmad Yani km 36 Banjarbaru, Kalimantan Selatan Email: [email protected] /[email protected] Abstrak Pratylenchus merupakan salah satu genus terpenting nematoda parasit tumbuhan. Dengan jumlah spesies yang besar, tetapi variasi morfologi yang relatif kecil, identifikasi spesies merupakan salah satu kesulitan utama untuk berbagai kajian seperti keanekaragaman, biologi, dan ekologi terkait genus ini.Hal ini dapat menjadi kendala bagi upaya pengembangan pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan terhadap genus ini. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, telah dibuat kunci identifikasi berbasis-komputer untuk Pratylenchus. Kunci ini dibuat dengan format SAIKS berdasarkan matriks yang mencakup 11 karakter morfologi dan 73 spesies. Dengan kunci ini, identifikasi dapat dimulai dari karakter mana saja, dan dilanjutkan dengan karakter apa saja, tanpa urutan tertentu. Setiap kali ada karakter yang dipilih, kemungkinan spesies berkurang hingga akhirnya tersisa satu spesies yang menandakan identifikasi telah dilakukan.Sebaliknya, daftar karakter suatu spesies dapat dengan mudah ditampilkan. Dibandingkan dengan kunci dikotomik, kunci ini lebih fleksibel dan lebih mudah dipakai. Dibandingkan dengan kunci berbasiskomputer lain, kunci ini lebih mudah dibawa karena dapat digunakan dengan komputer jinjing, tablet dan bahkan telepon pintar berkat formatnya yang cross platform. Selain bermanfaat bagi peneliti, kunci ini juga dapat diharapkan lebih menarik dan lebih membantu untuk dipergunakan dalam pelatihan identifikasi Pratylenchus. Kata kunci: Pratylenchus, identifikasi, SAIKS Pendahuluan Nematoda dari genus Pratylenchus (nematoda peluka-akar) sudah diakui merupakan salah satu masalah utama bagi tanaman ekonomi. Genus ini menduduki posisi kedua setelah nematoda puru-akar (Meloidogyne spp.) dan nematoda kista (Heterodera spp.) dalam hal kerugian ekonomi yang ditimbulkannya di seluruh dunia (Davis & MacGuidwin, 2005; Castillo and Vovlas, 2007). Hal itu dikarenakan kisaran inangnya yang sangat luas, sekitar 400 spesies tumbuhan (Davis and MacGuidwin, 2005) serta oleh 109 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 penyebarannya yang sangat luas di hampir seluruh lingkungan tropis, temperata, dan dingin, bahkan hingga Antartika (Castillo and Vovlas, 2007). Identifikasi genus Pratylenchus tidak mudah dilakukan akibat adanya tumpang tindih karakter morfologi yang besar dan keanekaragaman morfologi yang kecil di antara spesies-spesiesnya (Roman & Hirschmann, 1969; Ryss, 2002). Selain itu, jumlah spesiesnya tergolong besar, dengan lebih dari 100 spesies telah dideskripsikan (Siddiqi, 2000) dan lebih dari 70 dinyatakan valid (Palomares-Rius et al., 2010). Secara tradisional dalam nematologi identifikasi dilakukan dengan alat bantu kunci dikotomik (Fortuner, 1989). Begitu pula dengan identifikasi Pratylenchus. Kunci dikotomik untuk genus ini telah dibuat, misalnya oleh Filho & Huang (1989) dan Loof (1991), dan yang terakhir oleh Palomares-Rius dkk. (2010) yang juga menyusun kunci tabular untuk genus ini. Adanya kunci tabular memungkinkan identifikasi secara politetik, yakni digunakannya beberapa karakter sekaligus (Pankhurst, 1978), alih-alih satu per satu seperti pada kunci dikotomik yang monotetik. Karenanya ini memungkinkan terbentuknya kunci identifikasi yang politomik. Karena kunci politomik dalam bentuk tercetak dirasa kurang praktis, terutama apabila takson yang dicakup banyak, maka dikembangkan kunci yang terkomputerisasi. Sejumlah perangkat lunak khusus telah dikembangkan untuk membuat dan menjalankan kunci identifikasi dengan komputer. Masing-masing dengan kelebihan sendiri-sendiri. Namun, umumnya memiliki kekurangan yang sama, yaitu mengharuskan pengguna memasang program tersebut di komputernya, baik untuk membuat maupun untuk menjalankan kunci identifikasi yang dibuat. Karena itu, format SAIKS yang tidak menuntut program khusus untuk membuat dan menjalankan kunci menjadi menarik. Kelebihan lain format ini adalah kunci yang dibuat dapat dijalankan pada komputer desktop maupun laptop, bahkan tablet dan telepon pintar, dengan berbagai sistem operasi yang ada saat ini. Bahan dan metode Kunci dibuat dengan data awal berupa kunci tabular yang disusun oleh Castillo & Vovlas (2007), yang mencakup 11 karakter (Tabel 1) dan 68 spesies Pratylenchus. Kemudian ditambahkan 5 spesies baru yang ditemukan sesudahnya. Dengan demikian, secara keseluruhan kunci yang dibuat mencakup 73 spesies Pratylenchus. Kunci dibuat dalam format SAIKS ((c) 2006 Greg Alexander) dengan mesin utama file ‘saiks.js’ dan ‘saiks.css’. Pembuatan kunci identifikasi Pratylenchus dilakukan dengan pertama-tama membuat file gerbang ‘pratylenchus.html’ (Gambar 1). Data untuk kunci identifikasi tercantum dalam file teks ‘pratylenchus.js’ yang memuat daftar karakter dan wujud karakter yang dipakai serta daftar spesies dan skor tiap spesies untuk tiap karakter (Gambar 2). 110 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 1. Sebagian dari isi file gerbang kunci identifikasi Pratylenchus spp dalam format html. Gambar 2. Sebagian dari isi file ‘pratylenchus.js’ yang dibuat dengan program Notepad. Sebagai langkah terakhir, kunci identifikasi yang dibuat diujicoba secara offline dan online dengan komputer desktop, laptop, tablet, dan telepon pintar dengan berbagai sistem operasi (Windows, Unix, iOS, android, dan 111 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Blackberry) dan beberapa program browser (Explorer, Firefox, Chrome, Opera, dan Dolphin). A. Kunci identifikasi Pratylenchus spp. Kunci dapat diakses secara offline dengan menjalankan file ‘pratylenchus.html’ yang, beserta file-file pendukung, sudah disalin ke komputer. Selain itu, kunci juga dapat dijalankan secara online melalui situs http://www.nematoda.gafura.net atau langsung ke laman http://gafura.net /nematoda/pratylenchus.html. Program browser akan menampilkan halaman pembuka seperti pada Gambar 3. Gambar 3. Tampilan pembuka kunci identifikasi Pratylenchus spp. Di bawah bagian judul terdapat dua tombol: ‘RESET’ dan ‘How to use’. Tombol pertama jika diklik akan memulai proses identifikasi dari awal. Yang kedua berisi petunjuk pemakaian kunci secara umum. Di bawahnya lagi terdapat dua buah tabel. Tabel di kiri merupakan tabel karakter dan wujud karakternya, sedangkan tabel di kanan adalah tabel spesies. Untuk menggunakan kunci identifikasi pertama-tama pengguna memilih (mengklik) salah satu pilihan wujud karakter yang tersedia untuk salah satu dari 11 karakter yang tersedia pada tabel kiri. Setiap kali pengguna mengklik salah 112 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 satu wujud karakter, maka nama spesies di tabel kanan yang cocok dengan pilihan itu akan tersorot hijau dan yang tidak cocok tersorot merah. Selanjutnya, pengguna memilih salah satu alternatif dari karakter karakter yang lain, sehingga nama spesies yang tersorot merah semakin banyak. Begitu seterusnya hingga tersisa hanya satu spesies yang tersorot hijau dan semua yang lain tersorot merah, yang berarti identifikasi telah berhasil. Untuk setiap karakter pengguna boleh memilih lebih dari satu pilihan, yang diartikan bahwa spesimen-spesimen yang diidentifikasi memperlihatkan lebih dari satu wujud karakter untuk karakter yang bersangkutan. ‘Show chars’ di bagian paling kanan jika dipilih akan menyebabkan wujud-wujud karakter yang relevan di tabel kiri tersorot hijau untuk spesies yang dipilih. Ujicoba yang sudah dilakukan dengan kunci identifikasi Pratylenchus menunjukkan bahwa kunci ini berjalan dengan baik pada semua mesin komputer yang ada saat ini dan berbagai sistem operasi yang banyak beredar saat ini (Windows, Unix, MacOS) dengan berbagai program browser yang ada (Explorer, Firefox, Chrome, Opera, dan Dolphin). Bahkan, kunci juga sudah diujicoba dan dapat dijalankan dengan gadget (tablet dan telepon pintar) dengan sistem operasi Android, Windows Phone, dan Blackberry serta beberapa program browser (Explorer, Chrome, MiniOpera, dan Dolphin). Hasil dan pembahasan Kunci identifikasi Pratylenchus dibuat dalam format SAIKS yang memungkinkan suatu karakter ditampilkan memiliki 3 atau lebih wujud (multiwujud). Hal ini merupakan kelebihan dibandingkan kunci dikotomi yang hanya memberikan dua alternatif untuk setiap langkah, dan bahkan dari sebagian format kunci terkomputerisasi lain (misalnya SLIKS). Selain itu, format SAIKS tidak mensyaratkan instalasi program khusus untuk membuat maupun menjalankan kunci. Program dapat dibuat dengan editor teks apa saja. Kunci yang dihasilkan dapat dijalankan dengan program browser apapun yang biasanya sudah terpasang bersama pemasangan sistem operasi atau yang bisa diunduh secara cuma-cuma. Karena itu, kunci yang dibuat dalam format SAIKS memiliki kompatibilitas dan portabilitas yang tinggi. Selama koneksi internet tersedia, kunci yang dihasilkan dapat dipergunakan di mana saja secara online. Secara offline, kunci dapat disalin ke komputer atau gadget yang sesuai lalu dapat dijalankan kapan saja dan di mana saja. Meskipun demikian, ada beberapa keterbatasan yang terlihat, baik yang terkait dengan format SAIKS secara umum maupun yang spesifik untuk kunci Pratylenchus yang dibuat. Yang pertama adalah bahwa nama-nama spesies yang cocok dengan karakter dan wujud karakter yang dipilih hanya ditandai dengan disorot warna hijau, untuk membedakan dengan yang disorot merah. 113 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Muncul kesulitan manakala kunci memuat banyak spesies, dan nama-nama spesies yang disorot hijau saling berjauhan. Dalam hal ini pengguna harus menggulung layar berkali-kali untuk melihat spesies-spesies mana saja yang terpilih. Dalam kasus seperti ini ada kemungkinan bahwa satu atau lebih spesies sebenarnya terpilih, tetapi terlangkaui oleh pengguna. Bahkan mungkin saja terjadi pengguna mengira identifikasi sudah tercapai, karena ia mengira tinggal satu nama yang disorot hijau, padahal masih ada nama lain yang disorot tetapi terlangkaui akibat letaknya terlalu jauh. Semakin kecil layar yang dipakai masalah ini semakin terasa, dan karenanya pengguna yang memakai telepon pintar akan paling merasakan kesulitan ini. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, perlu diusahakan agar nama spesies yang terpilih setiap kali suatu wujud karakter diklik tidak sekedar disorot berbeda, tetapi ditampilkan tersendiri dan nama spesies yang tidak cocok menjadi tidak tampil. Ini seperti yang diperlihatkan oleh kunci dengan format SLIKS atau MEKA. Selain mengatasi kesulitan tadi, untuk penyempurnaan di masa mendatang bisa ditambahkan gambar-gambar yang mendukung pemahaman mengenai suatu karakter atau wujud karakter. Gambar seperti itu bisa dimunculkan dengan meng-klik suatu bagian tertentu dari kunci. Selain itu, gambar yang berkaitan dengan ciri-ciri setiap spesies juga bisa ditambahkan. Caranya misalnya dengan meng-klik nama spesies yang tertera di daftar. Terlepas dari adanya keterbatasan tadi, kunci identifikasi Pratylenchus ini diharapkan dapat membantu para peneliti dalam mengidentifikasi spesiesspesies Pratylenchus dengan lebih mudah. Selain itu, kunci yang sifatnya interaktif ini akan dapat lebih membangkitkan minat dan semangat para mahasiswa atau peserta pelatihan identifikasi dalam berlatih mengidentifikasi Pratylenchus. Daftar pustaka Cafe Filho AC and Huang CS. 1989. Description of Pratylenchus pseudofallax n. sp. with a key to species of the genus Pratylenchus Filipjev, 1936 (Nematoda: Pratylenchidae). Revue de Nematologie 12: 7-15. Castillo P and Vovlas N. 2007. Pratylenchus (Nematoda: Pratylenchidae): Diagnosis, Biology, Pathogenicity and Management. Brill, LeidenBoston. Davis EL and MacGuidwin AE. 2005. "Lesion nematode disease. The Plant Health Instructor." Retrieved 18/08/2014, from apsnet.org. Fortuner R. 1989. A New Description of The Process of Identification of Plant Parasitic Nematode Genera. Nematode Identification and Expert System Technology. R. Fortuner (Ed.). Plenum Publishing, New York: 35-44. 114 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Loof PAA. 1991. The Family Pratylenchidae Thorne, 1949. Manual of Agricultural Nematology. W. R. Nickle (Ed.). Marcel Dekker, Inc., New York: 363-421. Palomares-Rius JE, Castillo P, Liebanas G, Vovlas N, Landa BB, Navas-Cortes JA and Subbotin SA. 2010. Description of Pratylenchus hispaniensis n. sp. from Spain and considerations on the phylogenetic relationship among selected genera in the family Pratylenchidae. Nematology 12 : 429-451. Pankhurst RJ. (1978). Biological Identification: The principles and practice of identification methods in biology. University Park Press, Baltimore. Roman J and Hirschmann H. 1969. Morphology and morphometrics of six species of Pratylenchus. Journal of Nematology 1: 363-386. Ryss AY. 2002. Genus Pratylenchus Filipjev: multientry and monoentry keys and diagnostic relationships (Nematoda: Tylenchida: Pratylenchidae). Zoosystematica Rossica 10: 241-255. Siddiqi MR. 2000. Tylenchida. Parasites of Plants and Insects.Second edition. CABI Publishing, New York. 115 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KEEFEKTIFAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN Gliocladium fimbriatum DALAM MENCEGAH BUSUK PANGKAL BATANG (Botryodiplodia theobromae) PADA JERUK Almira Pintari Supraba dan Meity Suradji Sinaga E-mail: [email protected] Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jl. Raya Dramaga Kampus IPB, Dramaga-Bogor 16680, Jawa Barat-Indonesia No. Tlp. (0251) 8622642. E-mail: [email protected] Abstrak Saat ini, di Indonesia, busuk pangkal batang (Botryodiplodia theobromae) adalah penyakit tumbuhan paling penting pada jeruk karena dapat menghilangkan produksi buah jeruk sebesar 200 555 ton. Keparahan penyakit yang tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman jeruk. Beberapa penelitian telah melaporkan keberhasilan agens biokontrol dalam mengendalikan patogen tumbuhan terutama patogen atular tanah. Oleh karena itu, dilakukan percobaan rumah kaca yang bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA), Gliocaldium fimbriatum, dan kombinasinya dalam mencegah penyakit busuk pangkal batang bibit jeruk siam (Citrus nobilis). Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan G. fimbriatum diinfestasikan di daerah rizosfir bibit jeruk. Setelah seminggu perlakuan agens antagonis, Botryodiplodia theobromae diinokulasikan dengan tehnik pelukaan pada batang bawah bibit jeruk 15 cm di atas permukaan tanah. Peubah yang diamati adalah periode laten, kejadian penyakit, keparahan penyakit, laju infeksi, dan asosiasi FMA dalam akar (%). Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan FMA, Gliocladium fimbriatum, dan kombinasinya merupakan perlakuan yang efektif dan efisien secara nyata dalam menekan keparahan penyakit, serta memperbaiki vigor tanaman jeruk. Kata kunci : Botryodiplodia theobromae, busuk pangkal batang, fungi mikoriza arbuskular (FMA), Gliocladium fimbriatum, jeruk. Pendahuluan Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Adapun manfaat dari jeruk, yaitu sebagai bahan dasar makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik. Menurut data Badan Pusat Statistik (2013), produksi buah jeruk di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 1 611 784 ton, sedangkan pada tahun 2013, produksi buah jeruk menurun menjadi 1 411 229 ton (Anonim, 2014). Menurunnya produksi buah jeruk dapat diakibatkan adanya serangan hama dan patogen tanaman. Penyakit tumbuhan penting yang dapat menyerang pohon jeruk adalah penyakit busuk pangkal batang. Phytophthora palmivora dan Botryodiplodia theobromae adalah 116 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 patogen penyebab penyakit busuk pangkal batang pada jeruk (Sinaga et al., 2009). Saat ini, di sentra produksi buah jeruk Indonesia, kejadian penyakit busuk pangkal batang lebih banyak disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae (Sinaga et al., 2009). Tingkat keparahan penyakit yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada pohon jeruk, hal ini menjadi kendala utama bagi para petani jeruk untuk memproduksi buah jeruk yang berkualitas, apabila petani tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, maka cara yang dilakukan adalah mengimpor buah jeruk dari luar Indonesia. Impor jeruk pada tahun 2012 mencapai 179 000 ton (Anonim, 2013). Sinaga et al. (2009) melakukan pemuliaan dengan cara menghasilkan varietas dan kultivar baru batang bawah (rootstock) tanaman jeruk yang tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik di lahan marginal, terutama tahan terhadap penyakit busuk pangkal batang. Selain memiliki sifat tahan terhadap busuk pangkal batang, tanaman batang bawah jeruk tersebut memiliki kompatibilitas genetik yang tinggi dengan batang atas (scion), serta mempunyai sistem perakaran batang bawah yang bagus. Saat ini, batang bawah jeruk sudah tidak banyak digunakan dalam mencegah serangan patogen busuk pangkal batang, hal ini dikarenakan keberadaan inokulum B. theobromae yang semakin banyak di lapangan. Pengendalian hayati sudah banyak dilakukan untuk mengatasi masalah penyakit tumbuhan. Saat ini, banyak petani jeruk yang belum mengenal pemanfaatan agens hayati untuk mengendalikan busuk pangkal batang jeruk. Pengendalian hayati pada prinsipnya adalah pengurangan kepadatan inokulum atau aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit menggunakan satu atau lebih organisme (Cook & Baker, 1996). Mikroorganisme yang telah banyak dilaporkan berpontensi mengendalikan patogen tular tanah adalah Gliocladium, Trichoderma, Bacillus, dan Pseudomonas flourescens (Agrios, 2005). Gliocladium sp. merupakan jamur saprofitik yang sangat aktif sebagai dekomposer, mampu mengkoloni rizosfir tanaman, menghasilkan enzim selulotik, serta daya tumbuh dan reproduksinya cepat (Pradikta, 2008). Kelebihan lainnya adalah toleran terhadap senyawa metabolit toksik organisme lain, tidak bersifat toksik terhadap tanaman, dan tingkat persistensi yang tinggi setelah diinfestasikan ke dalam tanah (Wiyono dan Sinaga, 1994). Gliocladium spp. dapat mematikan dan menghancurkan hifa patogen dengan mengeluarkan antibiotik dan enzim, memiliki sistem hiperparasit dengan melilit hifa patogen sebagai inang, serta hidup dan berkembang pada sel inang yang telah mati (Sinaga, 1992), serta memacu mekanisme pertahanan terhadap patogen (Conteras-Cornejo et al., 2009). 117 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Selain G. fimbriatum, jamur mikoriza arbuskular (JMA) juga digunakan untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang jeruk. Mikoriza adalah bentuk simbiosis mutualisme antara jamur dan akar tanaman (Brundrett, 2004). Adanya asosiasi JMA dengan akar tanaman dapat membentuk struktur ketahanan terhadap penetrasi patogen dan menginduksi ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal batang (Sinaga et al., 2009). Akar yang terkolonisasi mikoriza dapat terlindungi dari patogen tanaman (Morin et al., 1999). Ryglewicz dan Anderson (1996) menyatakan, mikoriza berkontribusi terhadap pasokan karbon dalam tanah dengan cara mengubah kualitas dan kuantitas bahan organik tanah. Inokulasi mikoriza mampu meningkatkan ketersediaan hara mineral bagi tanaman, baik berupa unsur makro maupun mikro, terutama meningkatkan ketersediaan fosfor dan nitrogen bagi tanaman yang terinfeksi patogen (Yuliawati, 2002). Mikoriza dapat bekerja sama dengan mikroorganisme tanah lainnya untuk mendekomposisi hara bagi tanaman (Brundret et al. 1996). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan JMA, Gliocladium fimbriatum, dan kombinasinya dalam mencegah penyakit busuk pangkal batang bibit jeruk siam (Citrus nobilis) secara in vivo. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam penyusunan strategi pengendalian busuk pangkal batang jeruk (Botryodiplodia theobromae). Bahan dan metode A. Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2013 hingga April 2014 di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman dan Rumah Kaca University Farm, Unit Lapangan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor B. Metode Penelitian Perbanyakan G. fimbriatum Isolat G. fimbriatum diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gliocladium fimbriatum ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Selanjutnya, biakan diinfestasikan ke dalam medium campuran jagung pipil dan dedak dengan perbandingan 1:1 di dalam kantung plastik tahan panas, dengan masing-masing kantung plastik berisi 300 g medium Medium yang sudah steril diinokulasi dengan biakan murni G. fimbriatum kemudian diinkubasi selama 2 minggu, hingga miselium G. fimbriatum memenuhi seluruh permukaan medium. Peremajaan Isolat B. theobromae Isolat B. theobromae diperoleh dari Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 118 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Isolat B. theobromae ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 5 hari, dan siap untuk digunakan sebagai inokulum. Persiapan Media Pembibitan dan Perawatan Bibit jeruk yang digunakan adalah jenis jeruk siam (Citrus nobilis) berumur 4 bulan, bibit jeruk diperoleh dari kebun petani di Cijeruk, Bogor. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah steril, pupuk kandang, dan pupuk kompos. Campuran media tanam steril dimasukkan ke dalam polybag berukuran 30 x 30 cm. Bibit jeruk disiram dan dirawat selama 9 minggu di rumah kaca. Inokulasi JMA dan G. fimbriatum pada bibit jeruk Inokulum JMA diperoleh dari BPTPH Serpong, merupakan JMA jenis Glomus sp. Inokulasi JMA dilakukan di daerah rizosfir sebanyak 5 g, bersamaan dengan penanaman bibit jeruk di media tanam steril. Aplikasi G. fimbriatum sebanyak 10 per tanaman pada daerah rizosfer dilakukan 2 minggu setelah inokulasi JMA. Inokulasi B. theobromae Inokulasi B. theobromae mengacu pada prosedur Retnosari 2011 yang sudah dimodifikasi. Inokulasi B. theobromae dilakukan satu minggu setelah aplikasi agens hayati. Batang bibit jeruk dicuci menggunakan kloroks 0.5% untuk menghilangkan kontaminan pada batang, kemudian dibilas dengan air steril. Biakan B. theobromae yang berumur 5 hari diinokulasikan dengan teknik pelukaan pada batang bawah bibit jeruk 15 cm di atas permukaan tanah, kemudian ditutup dengan kapas steril dan diselotip. Inkubasi dilakukan selama 2 minggu. Perlakuan inokulasi B. theobromae terdiri dari 5 perlakuan dan 5 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 3 unit tanaman. Pengamatan keparahan dan kejadian penyakit dilakukan pada hari ke 21, 28, 35, 42, 49, dan 56 setelah inokulasi. Adapun kombinasi perlakuan dalam pengujian ini adalah: Kontrol-B-G-FMA : Kontrol (-), tanpa inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular. Kontrol+B-G-FMA : Kontrol (+), inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular. B+FMA : Inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular. B+G : Inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum. B+G+FMA : Inokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular. 119 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 C. Pengamatan Peubah yang diukur yaitu periode laten (hsi), kejadian penyakit %KjP, keparahan penyakit %KpP, laju infeksi, dan tingkat asosiasi FMA (%). Pengamatan periode laten dilakukan pada hari setelah inokulasi, hingga gejala pertama busuk pangkal batang muncul pada tanaman. Tingkat keparahan dan kejadian penyakit diukur berdasarkan gejala yang muncul pada batang tanaman. Metode pemberian skor skala 0 sampai 4 digunakan untuk menentukan %KpP (Tabel 1). Kejadian dan keparahan penyakit busuk pangkal batang dihitung dengan persamaan: KjP = kejadian penyakit KpP= keparahan penyakit vi = nilai skor dari masing-masing kategori V = nilai skor tertinggi N = jumlah tanaman yang diamati ni = jumlah batang terinfeksi n = jumlah tanaman terinfeksi Tabel 1 Skoring penyakit busuk pangkal batang jeruk berdasarkan luas gejala Nilai skor 0 Luas gejala (cm2) 0≤x<1 1 1≤x<2 2 2≤x<4 3 4≤x<6 4 6≤x≤10 Keterangan Tidak ada gejala atau gejala bukan disebabkan oleh infeksi B. Theobromae Gejala hanya meluas hingga 20% (ringan) Gejala hanya meluas hingga 40% (sedang) Gejala hanya meluas hingga 60% (berat) Gejala meluas hingga 100% (sangat berat) Pengamatan tingkat asosiasi JMA enggunakan prosedur yang dilakukan Brundrett et al. (1996), yaitu dengan proses pencucian jaringan sel dan pewarnaan. Akar jeruk dicuci terlebih dahulu menggunakan air mengalir, selanjutnya potong bagian akar sekunder dengan panjang 1 cm sebanyak 0.1 g. Potongan akar dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% (w/v) dan dipanaskan menggunakan boiling bath pada suhu 95 °C selama 1 jam. Akar yang masih berwarna gelap, dimasukkan ke dalam larutan 10% H2O2 (v/v) selama 10 menit, 120 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 selanjutnya akar direndam di dalam larutan 5% HCl (v/v) selama 10 menit. Akar diwarnai menggunakan larutan trypan blue 0.05% (w/v) di dalam larutan lactid acid glycerol yang terdiri dari campuran asam laktat, gliserol, dan aquades dengan perbandingan 1:1:1 (v/v), lalu dipanaskan pada suhu 85 °C selama 15 menit. Akar dicuci di bawah air mengalir hingga bersih sebelum dipindahkan ke dalam larutan yang berbeda. Akar yang telah diwarnai, disimpan di dalam larutan 50% gliserol (v/v) selama 24 jam, kemudian akar disebar secara merata di cawan petri berdiameter 14 cm yang sudah diberi gridline berukuran 0.8 x 0.8 cm. Tingkat asosiasi FMA (Smith & Dickson 1997) = Keterangan : A = jumlah akar yang terinfeksi x gridline (0.8 cm) x B = jumlah total akar x gridline (0.8 cm) x (panjang akar terinfeksi) (panjang akar total terinfeksi dan yang tidak terinfeksi) Laju infeksi busuk pangkal batang jeruk dihitung dengan persamaan: , dengan r adalah laju infeksi, e adalah bilangan hasil konversi sebesar 2.30259, t adalah selang waktu pengamatan, Xt adalah keparahan penyakit pada waktu-t, dan Xo adalah keparahan penyakit pada pengamatan sebelumnya. D. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pengujian in vitro dilakukan sebanyak 3 perlakuan dan 5 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 3 unit cawan. Adapun jenis perlakuannya yaitu, Kontrol, hanya pembiakan Botryodiplodia theobromae (BT) dan uji daya hambat Gliocladium fimbriatum terhadap B. theobromae (GF+BT) . Pengujian in vivo dilakukan sebanyak 5 perlakuan dan 5 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 3 unit tanaman. Adapun jenis perlakuannya, yaitu kontrol (-), tanpa inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular (Kontrol-B-G-FMA), kontrol (+), inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular (Kontrol+B-G-FMA), inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum (B+G), inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular (B+FMA), sertainokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Aruskular (B+G+FMA). Data yang diperolah ditabulasi menggunakan Microsoft Excel 2007 dan dianalisis dengan Statistical Analysis System (SAS) for Windows versi 9.13. Perlakuan yang berpengaruh nyata akan diuji lanjut menggunakan uji selang berganda Duncan dengan taraf α = 0.05. 121 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil dan pembahasan A. Keefektifan Penghambatan B. theobormae oleh G. fimbriatum secara in vivo Gejala serangan dapat terlihat pada bagian batang utama dan ranting. Menurut Kalie (2000), Botryodiplodia theobromae dapat menyerang ranting dan cabang-cabang kecil hingga kering dan mati. Gejala busuk pangkal batang jeruk dapat berupa blendok atau gummosis berwarna kuning keemasan, blendok tersebut keluar melalui luka pada batang (Gambar 1a dan b), hal ini terjadi akibat proses pertahanan histologis dari tanaman, setelah itu penyakit tidak akan berkembang. Diplodia basah terjadi apabila cabang atau ranting yang terserang mengeluarkan blendok berwarna kuning keemasan (DBPT 1994). Menurut Sinaga et al. (2009), Botryodiplodia theobromae mudah menyebar melalui tanah, percikan air hujan, dan alat-alat pertanian. Adapun gejala berupa bercak nekrotik hitam pada batang ( Gambar 1c), di daerah bercak nekrotik batang mengalami pembusukan dan terlihat miselium B. theobromae yang berwarna kehitaman. Tingkat infeksi yang tinggi akan menyebabkan batang pecah (Gambar 2d), buah, daun, dan ranting berguguran, kemudian tanaman akan mati. Gejala Diplodia kering terjadi apabila kulit batang atau cabang yang terserang tidak mengeluarkan blendok atau gummosis, tetapi kulit batang akan mengelupas dan mengering, sehingga gejala awal akan sulit diamati (DBPT 1994). a b c d Gambar 1 Gejala busuk pangkal batang jeruk pada minggu ke-4 setelah inokulasi. Batang jeruk yang mengeluarkan blendok atau gummosis (a dan b), bercak nekrotik hitam (c), batang jeruk yang pecah (d) Pengamatan keparahan dan kejadian penyakit busuk pangkal batang dihitung berdasarkan gejala yang muncul pada batang dan ranting. Pengamatan dilakukan pada hari ke 21, 28, 35, 42, 49, dan 56 setelah inokulasi. 122 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 2 Pengaruh infestasi G. fimbriatum, Fungi Mikoriza Arbuskular, dan kombinasinya terhadap luas gejala busuk pangkal batang dan tangkai kering Perlakuan Kontrol-B-G-FMA Kontrol+B-G-FMA B+G B+FMA B+G+FMA Kontrol-B-G-FMA Kontrol+B-G-FMA B+G B+FMA B+G+FMA Luas gejala dan jumlah tangkai kering pada hari ke21 28 35 42 49 56 2 1 Luas gejala (cm ) 0.00a 0.11a 0.11b 0.31a 0.31a 0.48b 0.78a 0.88a 1.11a 2.31a 2.92a 5.22a 0.16a 0.23a 0.25b 0.77a 0.77ab 1.00b 0.19a 0.17a 0.17b 0.61a 0.61a 0.72b 0.28a 0.38a 0.41ab 2.08a 2.13ab 2.72ab Rata-rata jumlah tangkai kering 0 0 0 0 0 4 0 0 0 1 2 5 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 3 a Kontrol-B-G-FMA= Kontrol (-), tanpa B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, Kontrol+B-G-FMA= Kontrol (+), inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, B+G= inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum, B+FMA= inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular, B+G+FMA= inokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular. 1 Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Nilai Duncan pada taraf nyata 0.05. Perlakuan Kontrol-B-G-FMA, B+G, B+FMA, dan B+G+FMA menunjukkan luas gejala yang lebih sempit dibandingkan dengan Kontrol+B-GFMA (Tabel 2). Perlakuan kombinasi infestasi G. fimbriatum dan FMA menunjukkan luas gejala yang lebih lebar dibandingkan dengan perlakuan tunggal infestasi G. fimbriatum maupun FMA, hal ini akan dihubungkan dengan rekomendasi pengendalian busuk pangkal batang yang efektif dan efisien. Rata-rata jumlah ranting kering terbanyak dimiliki oleh perlakuan Kontrol+B-GFMA. Hal ini diduga karena B. theobromae dapat menyerang hingga ke bagian xylem batang, sehingga menghambat aliran air dari akar menuju ke batang, kemudian daun, bunga, dan ranting akan berguguran. Perluasan kulit yang mengering akan sangat cepat, dan apabila menggelang pada tanaman, daun 123 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 akan mengalami kekeringan, ranting atau pohon akan mengalami kematian (Anonim, 1994). Tabel 3 Pengaruh JMA dan G. Fimbriatum terhadap periode laten, kejadian penyakit, keparahan penyakit, dan laju infeksi busuk pangkal batang (B. theobromae). Perlakuana Kejadian Keparahan Laju infkesi1 Penyakit penyakit 1 (%) (%)1 Kontrol-B-G-FMA 53.60a 26.66b 10.00c 0.10b Kontrol+B-G-FMA 23.60b 100.00a 48.33a 0.27a B+G 26.60b 100.00a 26.67b 0.16ab B+FMA 31.40b 100.00a 26.67b 0.14ab B+G+FMA 23.60b 100.00a 31.67b 0.17ab a Kontrol-B-G-FMA= Kontrol (-), tanpa B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, Kontrol+B-G-FMA= Kontrol (+), inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, B+G= inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum, B+FMA= inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular, B+G+FMA= inokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular. 1 Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Nilai Duncan pada taraf nyata 0.05. Periode laten (hsi)1 Periode laten tercepat terjadi pada perlakuan Kontrol-B-G-FMA (Tabel 3), hal ini diduga karena patogen lebih cepat beradaptasi menginfeksi batang bibit jeruk tanpa diinfestasikan agens hayati. Periode laten terlambat mencapai 23-31 hari setelah inokulasi, yaitu terjadi pada perlakuan infestasi G. fimbriatum, FMA, dan kombinasinya. Semakin lama gejala penyakit yang muncul pada batang, maka semakin baik pengaruhnya terhadap penekanan penyakit busuk pangkal batang. Gliocladium fimbriatum, FMA, dan kombinasinya mampu menghambat perkembangan B. theobromae. Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens merupakan agens antagonis yang baik dalam menekan pertumbuhan patogen (Retnosari 2011). Adanya asosiasi FMA dengan akar tanaman dapat membentuk struktur ketahanan terhadap penetrasi patogen dan menginduksi ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal batang (Sinaga et al. 2009). Semua tanaman yang diinokulasi dengan agens hayati menunjukkan tingkat keparahan penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan Kontrol+B-G-FMA (Tabel 3). Pradikta (2008) dalam penelitiannya menyatakan, 124 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 bercak nekrotik tertinggi pada akar kelapa sawit mencapai 73.37%, terjadi pada inokulasi Ganoderma boninense tanpa infestasi Gliocladium virens. Gliocladium sp. dapat memproduksi metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar, serta memacu pertahanan terhadap patogen (Conteras-Cornejo et al. 2009). Kejadian penyakit dari perlakuan Kontrol+B-G-FMA tidak berbeda nyata dengan perlakuan B+G, B+FMA, dan B+G+FMA. Gejala busuk pangkal batang yang muncul pada perlakuan Kontrol-B-G-FMA diduga disebabkan oleh Phytopthora palmivora. Botryodiplodia theobromae dan Phytophthora palmivora menunjukkan gejala yang serupa, tetapi gejala yang ditimbulkan B. theobromae lebih banyak menyebabkan batang pecah kulit. Nilai rata-rata laju infeksi pada perlakuan B+G, B+FMA, dan B+G+FMA secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan Kontrol+B-G-FMA (Tabel 3). Nilai rata-rata laju infeksi yang lebih rendah dari 0.5 disebabkan oleh patogen yang tidak terlalu agresif, varietas inang tahan, serta faktor lingkungan eksternal dan internal yang tidak mendukung perkembangan patogen (Manengkey & Senewe 2011). Perbandingan dengan kontrol menunjukkan bahwa dari ketiga perlakuan tahan terhadap infeksi busuk pangkal batang. Pengamatan tinggi tajuk tanaman dilakukan saat minggu keenam. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan untuk mengetahui pengaruh G. fimbriatum, dan JMA dalam memperbaiki vigor tanaman. Pertumbuhan tajuk tanaman terlihat lebih baik jika diinfestasikan G. fimbriatum, FMA, dan kombinasinya. Sinaga et al. (2003) menyatakan, secara umum, tanaman yang diinfestasikan Gliocladium memiliki vigor yang lebih baik. Gliocladium cukup berperan dalam proses pelapukan yang membantu menyuburkan dan meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Wiyono dan Sinaga 1994). Mikoriza akan meningkatkan kesuburan tanah di sekitar perakaran (Sieverding 1991). Pemberian mikoriza mampu meningkatkan ketersediaan hara mineral bagi tanaman, baik berupa unsur makro maupun mikro, terutama meningkatkan ketersediaan fosfor dan nitrogen bagi tanaman yang terinfeksi (Yuliawati, 2002). Menurut Wright dan Uphadhyaya (1998), mikoriza melalui akar eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein glomalin dan asam-asam organik yang akan mengikat butir-butir tanah menjadi agregat mikro, kemudian agregrat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap tanaman. Tingkat asosiasi FMA ditentukan berdasarkan kemampuan FMA dalam mengkolonisasi akar jeruk. Saat pengamatan tidak ditemukan struktur arbuskular di dalam jaringan tanaman, hal ini diduga karena proses pencucian yang masih belum baik. Arbuskular adalah hifa bercabang yang berkembang di dalam sel korteks akar. Fungsi dari arbuskular adalah sebagai jembatan transfer unsur hara antar inang dan mikrosimbion (Brundrett, 2004). Fungi Mikoriza Arbuskular yang diinfestasikan sudah berasosiasi dengan akar tanaman. Bentuk asosiasi FMA pada perakaran ditandai dengan warna 125 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 yang lebih gelap pada jaringan akar (Gambar 2a dan b). Struktur gelap sepanjang jaringan akar merupakan hifa mikoriza (Gambar 4a), sedangkan struktur bulat pada jaringan tanaman merupakan spora dari FMA yang berupa vesikel (Gambar 2b). Fungi Mikoriza Arbuskular membentuk struktur vesikel secara interseluler dan intraseluler (Pradikta 2008). Vesikel adalah struktur mikoriza yang terbentuk setelah pembentukan arbuskular pada ujung hifa, di dalam vesikel terdapat nutrisi cadangan bagi FMA saat penyuplaian metabolit dari tanaman (Brundrett, 2004). Hifa mikoriza yang berkembang secara internal dan eksternal pada jaringan kortikel akar, menunjukkan adanya pembentukkan mekanisme pertahanan fisik oleh FMA terhadap serangan Ganoderma boninense (Pradikta 2008). Akar yang terkolonisasi mikoriza melindungi tanaman dari patogen (Morin et al. 1999). Mikoriza dapat memperlebar zona penangkapan fosfor di dalam tanah (Brundrett et al. 1996). Gambar 2 Bentuk asosiasi FMA pada akar sekunder jeruk yang diamati di bawah mikroskop binokuler menggunakan gridline intersection method. Struktur hifa FMA (a) dan struktur vesikel FMA (b) Tabel 4 Pengaruh perlakuan Fungi Mikoriza Arbuskular, G. fimbriatum, dan kombinasinya terhadap tingkat asosiasi Fungi Mikoriza Arbuskular Perlakuana Kontrol-B-G-FMA Kontrol+B-GFMA B+G B+FMA B+G+FMA a Asosiasi FMA Kolonisasi FMA (%) Panjang akar terkolonisasi (cm2) 3.16 1.89 0.00 0.00 6.90 30.69 10.11 3.77 19.49 5.66 Kontrol-B-G-FMA= Kontrol (-), tanpa B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, Kontrol+B-G-FMA= Kontrol (+), inokulasi B. theobromae, tanpa infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular, B+G= inokulasi B. theobromae dan infestasi G. fimbriatum, 126 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 B+FMA= inokulasi B. theobromae dan infestasi Fungi Mikoriza Arbuskular, B+G+FMA= inokulasi B. theobromae, kombinasi infestasi G. fimbriatum dan Fungi Mikoriza Arbuskular. Tingkat asosiasi FMA tertinggi terjadi pada perlakuan B+FMA (Tabel 4). Semakin tinggi tingkat asosiasi FMA, maka semakin baik pula pengaruhnya terhadap peningkatan vigor tanaman dan penekanan penyakit busuk pangkal batang jeruk. Introduksi FMA pada tanaman pisang saat pembibitan dapat meningkatkan persentase asosiasi FMA dibandingkan tanpa introduksi FMA (Huda, 2010). Ryglewicz dan Anderson (1996) menyatakan, mikoriza berkontribusi terhadap pasokan karbon dalam tanah dengan cara mengubah kualitas dan kuantitas bahan organik tanah. Fungi Mikoriza Arbuskular juga membantu meningkatkan penyerapan air, asimilasi karbon, fitohormon (Brundrett 1991), dan akumulasi hara (Lewis & Koide, 1990). Mikoriza dapat memperluas permukaan akar untuk menyerap hara dari dalam tanah (Lambers et al., 2008). Perlakuan B+G dan B+G+FMA menunjukkan tingkat asosiasi yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B+FMA (Tabel 4). Asosiasi FMA berjalan lebih lambat jika dikombinasikan dengan Gliocladium virens karena terjadi kompetisi antara G.virens dan FMA (Pradikta, 2008). Perlakuan tunggal FMA menghasilkan persentase asosiasi FMA pada bibit akar vanili lebih tinggi dibandingkan perlakuan FMA dengan mikroba antagonis (Kumalawati, 2006). Kesimpulan Berdasarkan hasil uji in vivo, perlakuan infestasi Gliocladium fimbriatum, Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA), dan kombinasinya mampu menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang jeruk, sekaligus memperbaiki vigor tanaman. Daftar pustaka Anonim. 2013. Impor buah-buahan menurut provinsi. <http://www.bps.go.id.> . Diakses 2014 Desember 2014. Anonim. 2014. Produksi buah-buahan menurut provinsi <http://www.bps.go.id.> . Diakses 2014 Desember 2014. Anonim. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan Secara Terpadu pada Tanaman Jeruk. Jakarta : Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Agrios GN. 2005. Plant Pathology 5th edition. Elsevier Academic Press, London Bundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Foresty and Agriculture. ACIAR Monograph 32. Canberra (AUS): Australian Centre for International Agricultural Research. Conteras-Cornejo HA, Marcias-Rodrigues L, Cortes-Penagos C, Lopez-Bucio J. 2009. Trichoderma maviresns, a Plant Benefecial Fungus, Enhances 127 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Biomass Production and Promotes Lateral Root Growth Through an Auxin-Dependent Mechanism in Arabipsis. Plant Physiologist 149: 15791592. Cook RJ, Baker KF. 1996. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. The American Phytophatological Society, St Paul, Minnesota. Huda M. 2010. Pengendalian layu fusarium pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.) secara kultur teknis dan hayati. Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Istikorini Y. 2008. Potensi cendawan endofit untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai (Capsicum annuum L.) Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Kumalawati Z. 2006. Analisis potensi sinergisme Radophulus similis Cobb. dan Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp cubense (E.F. Smith) Synd. & Hans. dalam perkembangan layu fusarium pada pisang. Bull. 10: 17-21. Manengkey GSJ, Senewe E. 2011. Intensitas dan laju infeksi penyakit karat daun Uromycesphaseoli pada tanaman kacang merah. Eugenia 17: 218223. Morin C, Samson J, Dessureault M. 1999. Protection of black spruce seedlings against Cylindrocladium root rot with ectomycorrhizal fungi. Canadian Journal of Botani 77: 169-174. Pradikta. 2008. Peran fungi mikoriza arbuskular dan Gliocladium virens dalam pencegahan penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit. Institut Pertanian Bogor.Skripsi Retnosari E. 2011. Identifikasi penyebab busuk pangkal batang jeruk (Citrus spp.) serta uji antagonism in vitro dengan Trichoderma harzianum dan Gliocladium fimbriatum. Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Ryglewicz PT, Anderson CP. 1994. Mycorrhizae alter quality and quantity of carbon below ground. Nature 369: 58-60. Sieverding. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystem. Technical Coorporation, Eschburn. Sinaga MS. 1992. Biokontrol sebagai salah satu komponen pengendalian penyakit secara terpadu. Makalah disampaikan dalam seminar Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia Cabang Bogor, 5 November 1992. Sinaga MS, Bonny PWS, A Susanto. 2003. Keragaman mikroorganisme rhizosfer kelapa sawit dan patogenesitas Ganoderma boninense Pat. Sebagai dasar pengendalian penyakit busuk pangkal batang. Laporan Akhir Hibah Bersaing IX. Bogor Sinaga MS, Suryowiyono, Husni A, Kosmiatin M. 2009. Pemanfaatan batang bawah jeruk mutan dan mikoriza arbuskular untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang phytophthora pada tanaman jeruk. J Litbang Pertanian. 29 :45-47. 128 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Yayu SN. 2012. Karakteristik cendawan Botryodiplodia theobromae dan Rhizoctonia solani dari berbagai tanaman inang berdasarkan morfologi dan pola RAPD-PCR Institut Pertanian Bogor. Skripsi Yuliawati. 2002. Pengaruh zeolit , vermikompos, inokulan endomikoriza dan Gliocladium sp. pada pertumbuhan tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Institut Pertanian Bogor. Skripsi Wiyono S, Sinaga MS. 1994. Keefektifan Gliocladium fimbriatum Gilman & Abbott terhadap patogen busuk batang pada kedelai dan toleransinya terhadap pestisida. Bul. HPT 7 :5-10. 129 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGARUH APLIKASI JAMUR MIKORIZA ARBUSKULA TERHADAP PENURUNAN PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA BIBIT TEBU Ambar Swastiningrum dan Bambang Hadisutrisno Prodi Fitopatologi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jl. Flora Bulaksumur, Yogyakarta 55581 Telp/Fax:0274-523926. Abstrak Tebu merupakan bahan baku utama gula dan menempati 60% dari kebutuhan gula dunia. Indonesia telah mencanangkan program Swasembada Gula Nasional pada tahun 2014. Namun, target tersebut belum terpenuhi karena adanya kendala keterbatasan lahan dan gangguan penyakit. Salah satu penyakit yang menyebabkan kerugian hingga 50% adalah penyakit karat daun (Puccinia melanocephala). Jamur Mikoriza Arbuskula (JMA) yang dapat berasosiasi dan bersimbiosis dengan 97% famili tanaman tingkat tinggi berguna untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, meningkatkan serapan hara dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan maupun serangan patogen, sehingga JMA berpotensi diaplikasikan pada lahan marginal untuk budidaya tebu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi JMA terhadap penurunan perkembangan penyakit pada bibit tebu. Penelitian menggunakan inokulan mikoriza yang berasal dari 4 lokasi yaitu Moyudan Sleman, Palingan Kulonprogo, Klaten, Batang dan ditambah inokulan campuran dari keempatnya. Tahapan penelitian meliputi aplikasi inokulan mikoriza pada bibit tebu, invetarisasi gejala penyakit, dan pengamatan perkembangan penyakit utama, yakni penyakit karat jingga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan penyakit pada bibit tebu yang diinokulasi dengan JMA mengalami penurunan dibandingkan kontrol, ditandai dengan intensitas penyakit karat jingga lebih rendah dibandingkan kontrol atau bibit tebu tanpa inokulasi JMA. Kata kunci: jamur mikoriza arbuskula (JMA), Puccinia melanocephala, penyakit karat jingga, tebu Pendahuluan Tebu merupakan bahan baku utama gula dan menempati 60% dari kebutuhan gula dunia, karena dapat tumbuh di berbagai negara. Produk utama berupa sukrosa atau gula yang menjadi bahan dasar untuk berbagai produk makanan dan minuman, selain sebagai pemanis, juga berfungsi sebagai pengawet. Produk sampingan dari produksi gula, yakni molase, digunakan dalam penyulingan alkohol dan sebagai tambahan pakan ternak yang penting. 130 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tebu dapat diolah untuk menghasilkan bahan bakar bermotor berupa alkohol atau etanol. Berkembangnya tema biofuel di seluruh dunia, menjadikan tebu sebagai salah satu komoditas utama (Biovision Foundation, 2014). Indonesia telah mencanangkan Program Swasembada Gula Nasional berupa taksasi produksi 5,7 juta ton pada tahun 2014, hingga saat ini jumlah yang dicapai masih dalam kisaran 2,6 juta ton per tahun. Target produksi gula 5,7 juta ton, idealnya membutuhkan tambahan lahan 350 ribu hektar. Areal panen tebu secara nasional tahun 2014 diperkirakan seluas 472.792 hektar dengan produktivitas 26,18 juta ton/ha. Jumlah ini hanya mencukupi kebutuhan tebu nasional (2,60 juta ton), namun belum dapat mencapai target swasembada (Adig, 2014). Selain masalah lahan, organisme penganggu tanaman (OPT) menjadi salah satu penentu keberhasilan peningkatan produktivitas tebu. Beberapa contoh penyakit pada tebu seperti penyakit mozaik, penyakit busuk akar oleh cendawan Pythium sp, penyakit blendok oleh bakteri dan penyakit pokahbung oleh cendawan Gibbrella monoliformis (Sutarman, 2011), penyakit nanas oleh Ceratocystis paradoxa (Raid, 2012a), busuk merah (red rot) disebabkan cendawan Glomerella tucumanensis (Raid, 2012b), daun kuning oleh pytoplasm (Comstock et.al, 2011). Penyakit karat (rust) yang disebabkan Puccinia melanocephala berpotensi menyebabkan kerugian hingga 50% pada varietas yang paling rentan (Santiago & Rosetto, 2014). Pengendalian hayati menjadi praktik kunci dalam pertanian berkelanjutan ramah lingkungan. Salah satunya menggunakan Jamur Mikoriza Arbuskula (JMA) yang dapat berasosiasi dan bersimbiosis dengan 97% famili tanaman tingkat tinggi. JMA terbukti berperan dalam perbaikan nutrisi tanaman maupun peran proteksi dalam simbiosis (Aguilar-Barea, 1997 dan Madjid, 2009). Penelitian ini lebih terfokus pada peran mikoriza dalam mengendalikan patogen dan meningkatkan kesehatan bibit tebu, sehingga tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi JMA terhadap perkembangan penyakit pada bibit tebu. Metode penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Plastik di Condong Catur dan Laboratorium Mikologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Inokulum mikoriza yang digunakan berasal dari 4 lokasi yaitu Moyudan Sleman, Palingan Kulonprogo, Klaten, Batang dan ditambah inokulum campuran dari keempatnya. Inokulum tersebut telah diperbanyak pada media zeolit sebelum diaplikasikan pada bibit tebu (varietas PS 862 berumur 2 bulan) yang ditanam pada media tanah steril+ kompos. Aplikasi dilakukan dua kali, yaitu pada saat pindah tanam pertama (polibag ukuran 1 kg) dan pindah tanam 131 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 kedua (polibag ukuran 10 kg). Dosis mikoriza yang digunakan sebanyak 20 spora mikoriza per polibag. Penelitian disusun dalam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak menggunakan tujuh perlakuan dan tiga ulangan (blok). Tiap ulangan terdiri dari delapan polibag tebu. Rancangan ini dipilih karena adanya kondisi pencahayaan yang beragam di lahan (Gomez & Gomez, 2010). Parameter yang diamati adalah pertumbuhan bibit yang meliputi tinggi tanaman, panjang ruas dan jumlah daun. Pengamatan gejala penyakit dilakukan untuk menentukan penyakit utama bibit tebu. Selanjutnya intensitas penyakit utaman digunakan sebagai parameter utntuk mengetahui peranan JMA terhadap intensitas penyakit pada bibit tebu. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam pada jenjang nyata 5%. Jika berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji DMRT untuk mengetahui beda nyata pada masing-masing perlakuan. Hasil dan pembahasan Beberapa gejala penyakit yang ditemukan di lapangan adalah busuk merah (red rot) pada tulang daun dan pelepah daun disebabkan jamur Glomerella tucumanensis, bercak daun (eye spot) disebabkan Helminthosporium sacchari dan karat daun yang disebabkan oleh Puccinia melanocephala. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa gejala yang paling banyak dijumpai pada bibit tebu adalah penyakit karat daun, sehingga penyakit utama yang diamati perkembangannya adalah karat jingga, dengan menghitung jumlah pustul pada permukaan daun. Jamur karat jingga termasuk parasit obligat. Jamur membentuk urediospora yang berwarna kuning atau jingga. Sepanjang daur hidupnya membentuk lima macam spora. Jamur karat jingga membentuk urediospora di bawah epidermis yang lalu mendesak epidermis hingga sobek (Semangun, 1996). Serangan jamur karat menimbulkan gejala nekrotik pada daun yang menyebabkan fotosintesis tanaman terhambat disebabkan zona daun hijau berkurang dan terjadi kompetisi fotosintat sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu. Cara kerja JMA terhadap tanaman inang melewati beberapa tahapan, yaitu: tahap pengenalan inang, dimana spora akan menemukan permukaan akar tanaman inang dan mengenalinya. Bila tanaman inang tersebut kompatibel bagi spora JMA, maka spora akan berkecambah, lalu membentuk apresorium pada bagian epidermis sel akar, melakukan penetrasi masuk menembus korteks, membentuk koil atau tabung untuk melewati antar sel dan membentuk arbuskular dan vesikel di dalam sel inang (Peterson et. al., 2004 & Brundrett et.al., 1996). 132 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Jamur mikoriza arbuskula berperan terhadap kesehatan tanaman melalui beberapa mekanisme yang terlibat, meliputi perlindungan fisik, interaksi kimia dan efek tidak langsung (Fitter dan Garbaye 1994 dalam Pal, et al, 2006). Lebih lanjut melalui perubahan sistem perakaran, aktifitas metabolisme berupa perubahan komposisi kimia pada jaringan (Morris dan Ward 1992), perbaikan nutrisi tanaman, , kompetisi nutrisi dan tempat infeksi, kompensasi kerusakan, perubahan populasi mikroba di rizosfer (Barea dan Aguilar, 1997), serta menginduksi mekanisme ketahanan (Azcon-Aguilar et. al., 2002, Wehner et.al. 2009) untuk meningkatkan resistensi tanaman terhadap stress biotik dan abiotik (Bonfante et al, 2009; Linderman 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan penyakit pada bibit tebu yang diinokulasi dengan JMA mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan dengan rerata intensitas penyakit karat jingga pada bibit yang diinokulasi JMA lebih rendah dibandingkan kontrol atau tebu tanpa inokulasi JMA. Bibit tebu yang diinokulasi dengan JMA menunjukkan rerata intensitas yang berbeda nyata dibandingkan bibit tebu tanpa inokulasi JMA (Tabel 1). Tabel. 1 Rerata Intensitas Penyakit Karat Daun Tebu Perlakuan 10 MST 13 MST Tanpa inokulasi JMA + tanpa pupuk NPK 15.56 ab 19.21 a Tanpa inokulasi JMA + pupuk NPK 20.73 a 16.12 a Inokulasi JMA Moyudan Sleman (MS)+ pupuk NPK 11.70 b 6.92 b Inokulasi JMA Palingan Kulonprogo (PKP) + pupuk 10.13 b 8.08 b NPK Inokulasi JMA Klaten (KLT) + Pupuk NPK 9.34 b 6.17 b Inokulasi JMA Batang (BTG) + Pupuk NPK 10.96 b 5.61 b Inokulasi JMA campuran (MC) + Pupuk NPK 8.20 b 6.39 b Keterangan: Huruf yang sama pada angka di setiap kolom menunjukkan tidak beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%. Simbiosis JMA dengan akar tanaman mampu mengaktivasi ketahanan tanaman baik secara lokal maupun sistemik (Lioussanne et al, 2009). Salah satu respon ketahanan yang ditunjukkan oleh tanaman adalah dengan terbentuknya senyawa fenol seperti Asam Salisilat (SA). (Pozo et al, 2009). SA merupakan senyawa yang dibentuk tanaman ketika terjadi infeksi untuk mengaktivasi gen-gen ketahanan tanaman dalam menghadapi serangan patogen (Vidhyasekaran, 2008). Fitohormon lainnya yang banyak ditemukan dalam interaksi JMA-inang adalah asam jasmonat, yang mengatur respon perlukaan dan ketahanan terhadap luka akibat cahaya dan patogen (Pozo dan Azcón- Aguilar, 2007; Ton et.al., 2002; Glazebrook, 2005). Konsentrasi asam 133 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 jasmonat diketahui meningkat pada tanaman dengan mikoriza simbion (Hause et. al., 2002; Vierheilig, 2002; Stumpe et.al., 2005). Selanjutnya JMA cenderung memiliki peran dalam induksi enzim hidrolitik, peningkatan level PR protein dan fitoaleksin (Khan, 2010) yang berperan menghambat perkembangan patogen pada tanaman inang. Parameter pertumbuhan bibit tebu meliputi tinggi tanaman (total), tinggi ruas, dan jumlah daun. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan bibit tebu secara umum menunjukkan beda nyata antara bibit tebu yang diinokulasi JMA dengan bibit tebu tanpa inokulasi JMA. Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Bibit Tebu Jumlah Daun) 12 MST Perlakuan Tanpa inokulasi JMA + tanpa pupuk NPK (Tinggi Tanaman, Tinggi Ruas, TT 221,65a Tanpa inokulasi JMA + pupuk NPK 204,34ab Inokulasi JMA Moyudan Sleman (MS)+ pupuk 246,14b NPK Inokulasi JMA Palingan Kulonprogo (PKP) + 249,11b pupuk NPK Inokulasi JMA Klaten (KLT) + Pupuk NPK 255,94b Inokulasi JMA Batang (BTG) + Pupuk NPK 236,32b Inokulasi JMA campuran (MC) + Pupuk NPK 245,21b Keterangan: Huruf yang sama pada angka di setiap kolom beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%. TR 60,82a JD 15,17a 51,70ab 14,50ab 73,23b 16,50b 77,84b 17,67b 78,75b 16,28b 68,75b 15,44b 67,67b 16,39b menunjukkan tidak Kolonisasi JMA pada perakaran sangat berguna untuk meningkatkan serapan hara, khususnya unsur fosfat (P). Bolan (1991) dalam Mustal (2010), melaporkan bahwa kecepatan masuknya hara P ke dalam hifa JMA dapat mencapai enam kali lebih cepat pada akar tanaman yang terinfeksi JMA dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi JMA. Jaringan hifa eksternal JMA mampu memperluas bidang serapan dan meningkatkan serapan nitrogen (N) dan kalium (K). Beberapa unsur tersebut merupakan unsur hara esensial bagi tanaman. JMA juga berperan dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. JMA menghasilkan enzim fosfatase yang dapat melepaskan unsur P yang terikat unsur Al dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur sehingga P akan tersedia bagi tanaman. JMA juga berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu membuat tanah menjadi gembur. Menurut Wright dan Uphadhyaya (1998) dalam Mustal (2010), JMA melalui akar eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein glomalin dan asam- asam organik yang akan mengikat 134 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 butir- butir tanah menjadi agregat mikro. Selanjutnya melalui proses mekanis oleh hifa eksternal, agregat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap tanaman. Sifat fisik dan kimia tanah yang baik akan menyediakan nutrisi yang mendukung pertumbuhan bibit tebu. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1. Perkembangan penyakit pada bibit tebu yang diinokulasi dengan jamur mikoriza arbuskula mengalami penurunan dibandingkan kontrol yang ditunjukkan dengan intensitas penyakit karat jingga lebih rendah dibandingkan kontrol atau bibit tebu yang tidak diinokulasi jamur mikoriza arbuskula. Hal ini menunjukkan jamur mikoriza arbuskula berpotensi sebagai agen pengendali hayati. 2. Bibit tebu yang diinokulasi dengan jamur mikoriza arbuskula mengalami pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Daftar pustaka Adig. 2014. Ikhwal Target Swasembada Gula 2014. <http://www.ptpn11.com/ikhwal-target-swasembada-gula-2014.html>. Diakses 18 Agustus 2014. Aguilar C. A. & J.M. Barea. Arbuscular mycorrhizas and biological control of soil-borne plant pathogens – an overview of the mechanisms involved. February 1997, Volume 6, pp 457-464 Arya, A., C. Arya, and R. Misra. 2010. Mechanism of Action in Arbuskular Mycorrhizal Symbionts to Control Fungal Diseases. CAB International. USA. Biovision Foundation. 2014. General Information and Agronomic Aspects. <http://www.infonet-biovision.org/default/ct/134/crops#1847>. Bonfante, P., R. Balestrini, A. Genre, & L. Lanfranco. 2009. Establishment and Functioning of Arbuscular Mycorrhizas. In H. Deising (Ed). 2009. Plant Relationship, 2nd Ed. The Mycota V. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Brundrett, M., N. Bougher, B. Del, T. Grove, and N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR: Canberra. Comstock, J.C. R.A Gilbert and D.C. Odero. 2011. Sugarcane Yellow Leaf Disease. Florida Sugarcane Handbook. SS-AGR-256. <http://EDIS.ifas.ufl.edu.> Diakses 13 Agustus 2014. Giovannetti, M. & B. Mosse. 1980. An Evaluation of Techniques for Measuring Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Infection in Roots. New Phytol. 84:489500. Gomez, K.A., A.A. Gomez. 2010. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian Edisi Kedua. Terjemahan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 135 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Indrawanto, C., Purwono., Siswanto., Syakir., Rumini. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Khan, H. 2010. Arbuscular Mycorrhizal Fungi-Induced Signalling In Plant Defence Against Phytopathogens. Journal of Phytology 7 : 53-69. Linderman, R. G. 1994. Role of AM fungi in biocontrol. Pages 1-25 in: Mycorrhizae and Plant Health. F. L. Pfleger and R. G. Linderman, eds. APS Press, St. Paul, MN. Lioussanne et al, L., M. Jolicoeur, & M. St. Arnaud. 2009. Role of the Modification in Root Exudation Induced by Arbuscular Mycorrhizal Colonization on the Intraradical Growth of Phytophthora nicotianae in Tomato. <http://www.springerlink.com.pp.13-20>. Mustal. 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula untuk meningkatkan Hasil Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian 29. Pal, K. K. and B. McSpadden Gardener, 2006. Biological Control of Plant Pathogens. The Plant Health Peterson R. Larry,Hugues B. Massicotte,Lewis H. Melville. 2004. Mycorrhizas: Anatomy and Cell Biology. CABI Publishing, Canada. Pozo, M.J., A. Verhage, J.G. Andrade, J.M. Garcia, & C.A. Aguilar. 2009. Priming Plant Defence Against Pathogens by Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Pozo, María J., and Concepción Azcón-Aguilar. 2007. Unraveling MycorrhizaInduced Resistance. Current Opinion in Plant Biology 10: 393398. Raid, R.N. 2012a. Pineapple Diseases of Sugar. Florida Sugarcane Handbook. SS-AGR-205.< http://EDIS.ifas.ufl.edu>. Diakses 13 Agustus 2014. Raid, R.N. 2012b. Sugarcane Red Rot Diseases. Florida Sugarcane Handbook. SS-AGR-205.< http://EDIS.ifas.ufl.edu>. Diakses 13 Agustus 2014. Santiago and Rosetto, 2014. 2014. Penyakit Tebu [Terjemahan]. <http://www.portalsaofrancisco.com.br>. Diakses 17 September 2014. Schenck, N.C. 1982. Methods and Principles of Mycorrhizal Research. The American Phythopathological Society, Minnesota. Semangun, H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sutarman, A. 2011. Pengendalian Penyakit pada Tanaman Tebu. <http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/pengendalian-penyakitpadatanaman-tebu>. Diakses 13 Agustus 2014 Vidhyasekaran, P. 2008. Fungal Pathogenesis in Plant and Crops. Molekular Biology and Host Defense Mechanism. 2nd Ed. CRC Press, USA. Whardhika, 2014. Eksplorasi Mikoriza Arbuskula yang Mampu Meningkatkan Pertumbuhan dan Kesehatan Tebu. Universitas Gadjah Mada. Tesis. 136 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGARUH KOMBINASI CARA PENGAIRAN DAN TIPE VARIETAS PADI TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT HAWAR UPIH Bambang Nuryanto*1), Achmadi Priyatmojo2), Bambang Hadisutrisno2), dan Bambang Hendro Sunarminto2) 1) Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jl. Raya IX Sukamandi Subang, Jawa Barat 41256 2) Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281 *) Penulis untuk korespondensi. E-mail: [email protected] Abstrak Penyakit hawar upih padi disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani Kühn. sulit dikendalikan karena inokulum selalu tersedia di sawah sepanjang musim, baik dalam bentuk miselium maupun sklerotium. Pengendalian penyakit ini dapat diupayakan dengan mengelola lingkungan, agar kondisi iklim di bawah kanopi tanaman tidak cocok untuk perkembangan penyakitnya. Penelitian dengan memodifikasi teknik budidaya padi bertujuan untuk mempelajari efektivitas penerapan kombinasi cara pengairan dan tipe tanaman padi dalam menekan keparahan penyakit hawar upih. Percobaan lapang di persawahan Dukuh Bakungan (185 m di atas permukaan laut), Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ditata dalam rancangan petak terpisah dengan pola rancangan acak kelompok (RAK). Petak utama menempatkan cara pengairan sedangkan anak petak menempatkan varietas padi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa cara pengairan dengan penggenangan dalam parit keliling dan penggenangan 1 kali/minggu, nyata menekan keparahan penyakit hawar upih sebesar 14,84% dan 21,64% pada tanaman padi yang diinokulasi serta 35,32% dan 36,05% pada tanaman padi yang tidak diinokulasi. Penggunaan varietas Cimelati dibandingkan Ciherang dapat menekan keparahan penyakit hawar upih sebesar 6,05% pada tanaman padi yang diinokulasi dan 25,02% pada tanaman padi yang tidak diinokulasi, sedangkan bila dibandingkan dengan hibrida Maro dapat menekan sebesar 11,22% pada tanaman padi yang diinokulasi dan 38,99% pada tanaman padi yang tidak diinokulasi. Kombinasi antara cara pengairan yang tidak selalu tergenang dan penggunaan varietas Cimelati dapat menjadi komponen pengendali penyakit hawar upih padi karena menekan tingkat keparahan penyakit hawar upih dan kehilangan hasil padi. Kata kunci: hawar upih padi, pengairan, varietas 137 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pendahuluan Peningkatan produksi padi terus diupayakan melalui penggunaan varietas unggul, peningkatan intensitas tanam, dan teknologi budidaya, namun demikian, perkembangan beberapa penyakit yang semakin tinggi frekuensinya menyebabkan produksi padi tidak stabil bahkan dapat mengalami gagal panen (Fukui et al., 2003). Praktek budidaya padi unggul agar dapat berproduksi secara optimum harus didukung dengan teknologi pemupukan (Kasno, 2007), akibatnya di lapangan ada kecenderungan penggunaan pupuk urea melebihi dosis anjuran. Menurut Winarso (2005), kandungan nitrogen yang tinggi dalam jaringan tanaman padi menyebabkan tanaman tersebut rentan terhadap gangguan penyakit. Penyakit hawar upih disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani Kühn. menyebar luas di daerah pertanian padi yang intensif dan berkembang semakin parah, pada varietas padi tipe anakan banyak (Nuryanto, 2011). Gangguan penyakit ini menyebabkan tanaman padi menjadi mudah rebah, sehingga proses pengisian malai tidak sempurna dan banyak terbentuk gabah hampa. Kerusakan seperti ini sangat menurunkan produksi padi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Menurut Inagaki (2001), kehilangan hasil padi akibat gangguan penyakit hawar upih rata-rata di beberapa daerah penghasil beras dunia berkisar 20–35%. Varietas padi yang secara genetik tahan terhadap penyakit hawar upih, sampai saat ini belum tersedia di Indonesia, karena perakitan varietas tahan hawar upih masih susah dilakukan (Pinson et al., 2005). Meskipun demikian, varietas padi yang ditanam petani mempunyai tanggapan yang berbeda-beda terhadap perkembangan penyakit hawar upih di lapangan. Penyakit hawar upih berkembang parah pada tanaman padi tipe pendek dan berdaun lebat, seperti IR64, terutama bila ditanam pada daerah yang tergenang. Varietas Cisadane dibandingkan dengan IR64, memperlihatkan tingkat keparahan hawar upih yang lebih rendah. Cisadane merupakan varietas padi tipe tanaman tinggi dan anakan sedikit (Nuryanto, 2003). Fenotipe tanaman berkaitan dengan perubahan kondisi suhu dan kelembaban lingkungan yang terjadi di bawah kanopi. Suhu dan kelembaban lingkungan pertanaman mempengaruhi perkembangan jamur R. solani (Bolton et al., 2010) Persawahan dengan sistem drainase jelek banyak terjadi genangan air memicu penyakit hawar upih berkembang lebih parah, hal ini diduga berkaitan dengan kelembaban lingkungan pertanaman. Fagi & Kartaatmadja (2004) menyatakan bahwa pada sawah yang diari setinggi kurang lebih 1 cm, tanaman padi tumbuh dengan sehat dan hasil padi dapat lebih tinggi dibanding dengan cara penggenangan 5 cm terus menerus. Syamsuddin (2008) melaporkan bahwa pengairan padi sawah melalui cara penggenangan dalam parit menyebabkan kandungan lengas tanah lebih rendah dari cara sawah, dan pada jenis tanah regosol dengan lebar bedengan 1–4 m menyebabkan kadar lengas 138 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 tanah berada di sekitar kapasitas lapangan. Penerapan cara pengairan yang menggenang terus-menerus pada pertanaman padi varietas tipe pendek anakan banyak yang dipupuk nitrogen dosis tinggi, menyebabkan penyakit hawar upih berkembang semakin parah. Menurut Prasad & Eizenga (2008), kerentanan padi terhadap penyakit hawar upih juga dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman. Pemilihan varietas padi yang dapat menekan laju perkembangan penyakit menjadi komponen penting dalam pengendalian hawar upih secara terpadu, di samping itu penggunaan varietas tahan dapat dikombinasikan dengan teknik pengendalian cara lain. Penelitian modifikasi cara budidaya padi sawah melalui pengaturan pengairan dan pemilihan varietas bertujuan untuk mengetahui efektivitas pengaruh cara pengairan dengan tipe varietas padi terhadap penekanan keparahan penyakit hawar upih dan hasil padi. BAHAN DAN metode Percobaan dilakukan di persawahan petani Dukuh Bakungan (185 m dari permukaan laut/dpl.), Kelurahan Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada bulan April–Agustus 2010. Bibit padi umur 21 hari ditanam di sawah dengan jumlah 3 bibit tiap lubang dan ditanam dengan jarak 20x20 cm. Pertanaman dipupuk dengan Urea, SP36, dan KCl masing-masing dengan dosis 250,100, dan 50 kg/ha. Percobaan menggunakan rancangan split-plot dengan pola acak kelompok (RAK), diulang 3 kal. Petak utama adalah 3 macam cara pengairan yaitu 1) penggenangan dalam parit keliling, 2) penggenangan 1 minggu sekali, dan 3) penggenangan terus menerus. Air genangan dalam parit dipertahankan pada ketinggian rata dengan permukaan tanah. Pengaturan pengairan diterapkan mulai dari stadium tanaman anakan maksimum sampai pengisian malai. Anak petak adalah 3 macam varietas padi, yaitu 1) Ciherang mewakili varietas padi tipe pendek anakan banyak, 2) Cimelati mewakili varietas padi tipe tinggi anakan sedikit, dan 3 ) Maro mewakili padi hibrida. Tiap unit perlakuan diterapkan pada petak tanaman seluas 3x10 m2. Sejumlah 20 rumpun tanaman padi diinokulasi dengan inokulum jamur R. solani dalam campuran dedak dan sekam (1:1) yang telah berumur 3 hari. Inokulasi dilakukan pada stadium primordia (bunting awal), dengan cara menyisipkan inokulum R. solani sebanyak 25 g/rumpun disela-sela batang padi, kira-kira berada 5 cm di atas permukaan air sawah. Batang padi dalam satu rumpun yang diinokulasi diikat dengan karet gelang tepat di atas bagian yang diinokulasi. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan pada 1 minggu menjelang panen, dengan menggunakan metode pengamatan penyakit hawar upih menurut Ahn et al. (1986). 139 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Persentase keparahan penyakit dihitung berdasarkan pada tinggi relatif keberadaan gejala dibandingkan dengan tinggi tanaman padi pada rumpun yang diamati. Rata-rata persentase keparahan penyakit per petak perlakuan dihitung dengan menjumlahkan persentase keparahan tiap rumpun sampel kemudian dibagi dengan jumlah rumpun sampel. Suhu dan kelembaban udara di bawah kanopi tanaman diukur pada tiap stadium pertumbuhan tanaman. Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan waktu siang hari pukul 09.0010.00 WIB, dengan cara menempatkan termohigrometer (TFA Dostmann/Wertheim, Germany) di bawah kanopi tanaman selama 15 menit, kemudian dialakukan pembacaan skala suhu dan kelembaban pada alat. Hasil padi diamati dengan cara mengukur berat gabah isi dan hampa dari 50 rumpun sampel tiap petak serta berat 1000 butir gabah. Data hasil pengamatan dianalisis dengan program Statistical Analysis System (SAS). Pengaruh perlakuan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan perlakuan yang berpengaruh nyata dianalisis lanjut dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada derajat kesalahan 0,05. Hasil dan pembahasan Penyakit hawar upih berkembang dengan baik, hal ini menunjukkan kondisi lingkungan pada lokasi percobaan cocok untuk perkembangan penyakit. Lokasi percobaan di persawahan daerah rendah (185 m dpl.) yang lingkungannya kondusif untuk perkembangan penyakit hawar upih. Nuryanto (2014) menyatakan penyakit hawar upih berkembang baik di persawahan dan semakin parah di daerah rendah (0–200 m dpl). Budidaya padi sawah di sekitar percobaan dilakukan dengan waktu tanam tidak serempak, hal ini juga mendukung ketersediaan inokulum penyakit hawar upih sepanjang musim. Analisis varian menunjukkan bahwa perlakuan cara pengairan dan tipe varietas padi nyata menekan keparahan penyakit hawar upih dan penurunan hasil padi, akan tetapi tidak terdapat interaksi antara cara pengairan dengan varietas terhadap keparahan penyakit dan hasil padi. A. Keparahan penyakit. Penyakit hawar upih berkembang dengan baik dan menimbulkan variasi keparahan pada tiap perlakuan cara pengairan. Data pengamatan disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Keparahan penyakit hawar upih pada berbagai cara pengairan Keparahan penyakit (%) pada tanaman Perlakuan Diinokulasi Tidak diinokulasi Penggenangan keliling dalam parit 48,11 b 12,36 b 140 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Penggenangan 1 kali seminggu 44,27 b 12,22 b Penggenangan terus 56,50 a 19,11 a ) CV (%)* 6,31 9,.21 Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut BNT 0,05 *) Koefisien keragaman Perlakuan tiga macam cara pengairan menyebabkan perbedaan tingkat keparahan penyakit hawar upih. Pada kondisi ketersediaan inokulum penyakit yang melimpah dan didukung oleh periode kebasahan jaringan tanaman yang lama, menyebabkan penyakit berkembang lebih parah, seperti yang dikemukakan oleh Groth & bond (2007), bahwa keparahan penyakit hawar upih tergantung oleh jumlah inokulum awal yang tersedia dan kondisi lingkungan akibat dari manajemen budidaya seperti pengairan. Pada tanaman yang tidak dilakukan inokulasi, keparahan penyakit terlihat rendah. Gejala penyakit mulai terlihat saat tanaman berada pada akhir stadium pengisian malai. Munculnya gejala penyakit pada tanaman padi, membuktikan bahwa pada lahan sawah telah terdapat sumber inokulum walaupun dalam jumlah yang terbatas. Pada perlakuan penggenangan terusmenerus, penyakit terlihat lebih parah. Groth & Lee (2003) melaporkan bahwa dalam kondisi sumber inokulum awal penyakit rendah, tetapi pengairan dilakukan dengan cara penggenangan terus-menerus seperti yang umumnya dilakukan petani, penyakit hawar upih mempunyai peluang berkembang lebih pesat. Semua varietas padi yang diuji terkena gejala hawar, berarti tidak ada yang tahan. Tingkat keparahan penyakit hawar upih yang ditimbulkan mencerminkan tanggapan ketahanan dari tiap varietas yang diuji, seperti yang disajikan dalam (Tabel 2). Tabel 2. Keparahan penyakit hawar upih pada varietas yang diuji Varietas Keparahan penyakit (%) pada tanaman Diinokulasi Ciherang Cimelati Hibrida (Maro) 50,56 b 47,50 c 52,83 a Tidak diinokulasi 14,67 b 11,00 c 18,03 a CV (%)*) 6,31 9,.21 Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut BNT 0,05 *) Koefisien keragaman 141 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Varietas Cimelati bila dibandingkan dengan Ciherang (varietas yang umum ditanaman petani) dan hibrida Maro, menampilkan keparahan hawar upih yang lebih rendah. Cimelati merupakan salah satu varietas padi yang mempunyai tipe tanaman anakan sedikit. Tipe tanaman seperti ini menyebabkan kondisi lingkungan di bawah kanopi tanaman kurang cocok untuk perkembangan penyakit hawar upih. Penggunaan varietas Cimelati dapat menekan keparahan penyakit hawar upih. Tingkat penekanan keparahan penyakit oleh varietas Cimelati pada tanaman yang diinokulasi lebih kecil dibanding dengan penekanan keparahan penyakit pada tanaman yang tidak diinokulasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada keadaan gangguan penyakit semakin berat, penekanan keparahan penyakit semakin menurun. Penggunaan salah satu varietas yang dianggap tahan hanya mampu menekan penyakit dari salah satu komponen epidemiknya saja, sedangkan dari sisi komponen epidemik lainnya masih dapat mendukung perkembangan penyakit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cara pengairan berpengaruh nyata terhadap kelembaban di bawah kanopi tanaman tetapi tidak berpengaruh terhadap suhu (Tabel 3). Tabel 3. Suhu dan kelembaban lingkungan di bawah kanopi tanaman pada berbagai cara pengairan Perlakuan Suhu (oC) Penggenangan dalam parit keliling Penggenangan 1 kali seminggu Penggenangan terus 28,77 a 95,11 b 29,00 a 28,67 a 93,64 b 97,89 a Kelembaban (%) CV (%)*) 5,66 6,12 Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut BNT 0,05 *) Koefisien keragaman Suhu lingkungan tidak berbeda nyata, hal ini karena perlakuan cara pengairan tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan, sehingga pancaran sinar matahari dan hembusan angin mempunyai pengaruh yang relatif sama pada tiap petak perlakuan. Pada kondisi seperti ini suhu dibawah kanopi tanaman lebih dipengaruhi oleh cuaca disekitarnya. Kelembaban lingkungan di bawah kanopi tanaman nyata dipengaruhi oleh cara pengairan. Penggenangan terus menerus di lahan sawah menyebabkan terbentuk uap air, sehingga lingkungan di bawah kanopi tanaman kelembabannya tinggi. Jumlah anakan, suhu, dan kelembaban lingkungan di bawah kanopi tanaman nyata dipengaruhi oleh varietas (Tabel 4). 142 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 4. Suhu dan kelembaban lingkungan di bawah kanopi tanaman serta jumlah anakan pada tiga varietas padi. Varietas Ciherang Cimelati Hibrida (Maro) Jumlah anakan 16,53 b 13,04 c 18,07 a Suhu (oC) Kelembaban (%) 28,67 b 28,11 c 29,67 a 95,44 b 93,56 c 96,56 a CV (%)*) 8,49 5,66 6,12 Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut BNT 0,05 *) Koefisien keragaman Pada padi hibrida Maro jumlah anakan tanaman lebih banyak dari kedua varietas uji lainnya. Menurut Suprihatno et al. (2007), secara genetik padi hibrida Maro mempunyai anakan lebih banyak. Anakan tanaman lebih banyak menyebabkan kondisi pertanaman lebih rapat (Jia et al. 2003), sehingga suhu dan kelembaban di bawah kanopi tanaman hibrida Maro lebih tinggi dibanding Ciherang dan Cimelati. B. Produksi Padi Produksi padi merupakan interaksi dari potensi genetik suatu tanaman dengan daya dukung lingkungan. Cara pengairan dalam budidaya padi merupakan daya dukung lingkungan yang ikut menentukan pencapaian hasil suatu varietas padi sawah. Perbedaan hasil panen akibat dari perlakuan cara pengairan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Komponen hasil padi pada berbagai cara pengairan Berat gabah kering pada Tanaman diinokulasi Tanaman tidak diinokulasi Perlakuan 50 1000 Hampa 50 1000 Hampa rumpun butir (g) (g) rumpun butir (g) (g) (kg) (kg) Penggenanganparit keliling Penggenangan sekali seminggu Penggenangan terus 1,03 a 29,89 a 134,44 b 1,19 a 31,00 a 126,22 a 1,06 a 30,11 a 132,89 b 1,16 a 31,11 a 134,78 a 0,82 b 28,89 b 159,00 a 1,17 a 30,22 b 133,11 a CV (%)*) 5,92 1,25 4,17 7,89 11,69 5,11 Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut BNT 0,05 *) Koefisien keragaman 143 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pada tanaman yang diinokulasi, pengairan dengan cara penggenangan lahan sawah terus-menerus mengakibatkan berat gabah yang dipanen dari 50 rumpun dan berat gabah 1000 butir menunjukkan paling rendah serta berat gabah hampa paling tinggi. Penurunan hasil dan peningkatan gabah hampa berkaitan dengan gangguan penyakit yang parah sehingga produksi menurun secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan ini juga diperkuat oleh data hasil panen pada tanaman yang tidak diinokulasi. Pada tanaman yang tidak diinokulasi perlakuan cara pengairan berpengaruh nyata terhadap berat gabah 1000 butir. Berat gabah 1000 butir terendah didapatkan pada perlakuan pengairan cara penggenangan terus-menerus, dan berbeda nyata dengan perlakuan cara pengairan yang lain. Hal ini membuktikan bahwa cara pengairan mempengaruhi tingkat kebernasan gabah. Varietas yang diuji pengaruh terhadap komponen hasil padi (Tabel 6). Pada tanaman yang diinokulasi, berat gabah dari 50 rumpun yang tertinggi didapatkan dari varietas Cimelati dan secara statistik berbeda nyata dengan hibrida Maro tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Ciherang. Tabel 6. Komponen hasil padi pada varietas yang diuji Berat gabah kering pada Tanaman diinokulasi Tanaman tidak diinokulasi Varietas 50 rumpun 1000 butir Hampa 50 rumpun 1000 butir Hampa (kg) (g) (g) (kg) (g) (g) Ciherang 1,00 ab Cimelati 1,04 a Hibrida (Maro) 0,97 b 29,78 b 134,12 b 30,44 a 136,11 b 28,67 c 147,11 a 1,18 a 1,16 a 1,19 a 31,11 a 31,44 a 29,78 b 131,78 b 126,56 b 135,78 a CV (%)*) 5,92 11,25 4,17 7,89 11,69 5,11 Data yang diikuti huruf sama dalam satu lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut BNT 0,05 *) Koefisien keragaman Pada tanaman yang tidak diinokulasi, varietas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap berat gabah yang dipanen dari 50 rumpun. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada kondisi tekanan penyakit rendah semua varietas yang diuji menampilkan hasil yang sebanding, namun pada tanaman yang diinokulasi hasil padi dipengaruhi oleh adanya gangguan penyakit, sehingga hasil dapat berbeda nyata dari tiap varietas. Hasil padi di samping dipengaruhi oleh potensi hasil suatu varietas, juga dipengaruhi oleh tanggap ketahanan varietas tersebut terhadap penyakit yang diinokulasikan. Keparahan penyakit hawar upih dalam kategori berat menyebabkan kerebahan tanaman, sehingga pengisian malai tidak sempurna, hasil panen menurun, dan banyak terbentuk gabah hampa, (Kumar et al., 2004). 144 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kesimpulan 1. Pengairan dengan cara penggenangan dalam parit keliling dan penggenangan sekali seminggu dapat diggunakan sebagai komponen pengendali penyakit hawar upih karena menekan kelembaban lingkungan di sekitar tanaman. 2. Pengairan dengan cara penggenangan terus menerus dapat memicu perkembangan pesat penyakit hawar upih, walaupun kondisi sumber inokulum awal penyakit sedikit. 3. Penggunaan varietas Cimelati dapat mengurangi kerapatan tanaman di lapangan, sehingga menekan suhu dan kelembaban lingkungan di bawah kanopi tanaman 4. Kombinasi antara cara pengairan yang tidak menggenangi lahan terusmenerus dan penggunaan varietas padi tipe anakan sedikit dapat menekan keparahan penyakit hawar upih dan menekan kehilangan hasil padi. Daftar pustaka Ahn, S.W., R.C. delta Pena, B.L. Candole, T.W. Mew. 1986. A new scale for rise sheath blight (ShB) disease assessment. International Rice Research News 11:17-18 Banu, S.P., M.A. Shaaheed, A.A. Siddique, M.A. Nahar, H.U. Ahmed, M.H. Devare, J.M. Duxbury, and J.G. Lauren. 2003. Soil biological health: A major factor in increasing the productivity of the rice-wheath cropping system. International Rice Research News 30:5-11 Fagi, A.M. and S. Kartaatmadja. 2004. Teknologi budidaya padi: Perkembangan dan Peluang. In: Kasryno, F., E. Pasandaran, A.M. Fagi (eds.) Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Fukui, S., S. Hartono, N. Iwamoto. 2003. Risk and rice farming intensification in rural Java. In: Hayashi, Y., S. Manuwoto, S. Hartono. (eds.) Sustainable Agriculture in Rural Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Pp 217-233 Groth, D.E. and F. Lee. 2003. Rice diseases, In: C.W. Smith & R.H. Dilday (eds), Rice origin, history, technology, and production. John Wiley & Sons. Hobokem. N.J. pp. 413-436 Groth, D.E. and J.A. Bond. 2007. Effects of cultivar and fungicides on rice sheath blight, yield, and quality. Plant Dis. 91:1647-1650 Inagaki, K. 2001. Outbreaks of rice sclerotium disease in paddy fields and physiological and ecological characteristics of this causal fungi. Sci. Rep., Fac. Agric., Meijo Univ. 37:57-66 Jia, Y., F. Correa-Victoria, A. McClung, L. Zhu, G. Liu, Y. Wamishe, J. Xie, M.A. Marchetti, S.R.M. Pinson, J.N. Rutger, and J.C. Correl. 2007. Rapid 145 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 determination of rice cultivar responses to the sheath blight pathogen Rhizoctonia solani using micro-chamber screening method. Plant Dis. 91:485-489 Kasno, A. 2007. Produksi padi dan serapan hara N, P, dan K lahan sawah dengan pupuk majemuk. Jurnal Akta Agrosia 2:181-188 Kumar, P.R.B., K.R.N. Reddy, and K.S. Rao, 2009. Sheath blight disease of Oryza sativa and its management by biocontrol and chemical control invitro. EJEAFChe 8:639-646 Nuryanto, B. 2003. Pengelolaan komponen epidemik untuk menekan hawar pelepah daun padi (Rhizoctonia solani). Institut Pertanian Bogor. Tesis Nuryanto, B. 2011. Varietas, kompos dan cara pengairan sebagai komponen pengendali penyakit hawar upih. Universitas Gadjah Mada. Disertasi. Nuryanto, B. 2014. Pengaruh tinggi tempat dan tipe tanaman padi terhadap keparahan penyakit hawar pelepah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 33:1-8 Pinson, S.R.M., F.M. Capdevielle, J.H. Oard. 2005. Confirming QTLs and finding additional loci conditioning sheath blight resistance in rice using recombinant inbred lines. Crop Sci. 45:503-510 Prasad, B. & G.C. Eizenga. 2008. Rice sheath blight disease resistance identified in Oryza spp. Accessions. Plant Dis. 92:1503-1509 Radjgukguk, B. 2004. Developing sustainable agriculture of tropical peatland. wise use of peatland. In: Juhani Paivaven. (eds.) Procedings of the 12th International Peath Congress. Tempere, Finland. 6-11 June 2004 Setiabudi, D. & S. Kartaatmadja. 2002. Efisiensi penggunaan air dan hubungannya dengan produktivitas padi sawah di wilayah layanan irigasi waduk pondok. Ngawi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 21:11-17 Snyder, C.S. & N.A. Slaton. 2002. Rice Production in the United States – An overview. Better Crops International. 16:30-35 Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, S.E. Baehaki, N. Widiarta, A. Setyono, S.D. Indrasari, O.S. Lesmana, H. Sembiring. 2007. Deskripsi varietas padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Syamsuddin. 2008. Pertumbuhan dan hasil padi pada dua jenis tanah dan berbagaui lebar bedengan sistem genangan dalam parit. Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah: Dasar kesehatan dan kualitas tanah. Gava Media. Yogyakarta. 146 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Analisis Populasi Nematoda Parasit Pada Lahan Tanaman Tomat Dengan Sistem Tanam Monokultur Dan Polikultur Ankardiansyah Pandu Pradana, Diana Putri, Abdul Munif Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 Abstrak Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra produksi tomat di Jawa Barat. Pada tahun 2011-2012 luas lahan tomat di Jawa Barat meningkat 6,31%, namun produksi menurun 17,14%. Survei ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan kelimpahan nematoda pada tanaman tomat serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman tomat. Contoh tanah diambil dari dua petak lahan yang diperlakukan dengan sistem tanam monokultur dan polikultur. Survei dilaksanakan di Desa Pasir Kampung Kabupaten Cianjur - Jawa Barat, dan analisis di Laboratorium Nematologi Departemen Proteksi Tanaman IPB. Setiap petak tanah diambil 10 contoh tanah. Variabel yang diamati pada survei adalah: genus nematoda, kerapatan dan penyebaran nematoda, frekuensi penyebaran nematoda, nilai dominansi nematoda serta pengaruh kerapatan nematoda parasit tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tinggi tanaman tomat. Hasil survei menunjukkan bahwa pada setiap contoh tanah mengandung nematoda parasit. Terdapat tujuh genus nematoda parasit pada kedua lahan, yaitu Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., Rotylenchus sp., Ditylenchus sp., Helicotylenchus sp., Hoplolaimus sp., dan Xiphinema sp. Nematoda dari genus Meloidogyne spp. memiliki kerapatan tertinggi dibandingkan dengan nematoda lain. Pada lahan monokultur penyebaran Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., Rotylenchus sp., Ditylenchus sp. mencapai 100%, sedangkan pada lahan polikultur nematoda yang memiliki penyebaran hingga 100% adalah Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., Rotylenchus sp. Kerapatan tujuh nematoda tersebut memiliki pengaruh terhadap tingkat kerusakan akar dan tinggi tanaman tomat. Semakin melimpah jumlah nematoda parasit tanaman, tingkat kerusakan akar semakin tinggi. Semakin rendah jumlah nematoda parasit tanaman, tanaman tomat berkembang lebih tinggi. Kata kunci: monokultur, nematoda parasit tanaman, polikultur, tomat 147 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pendahuluan Tomat (Lycopersicum escelentum Mill.) merupakan salah satu tanaman hortilkultura yang banyak ditanam oleh masyarakat Indonesia (Semangun 2000). Sebagai bahan makanan, tomat mengandung gizi yang tinggi. Disamping dikonsumsi sebagai sayur dan buah segar, tomat banyak dijual untuk bahan baku industri. Anonim (2013a) melaporkan bahwa produksi tomat di jawa barat tahun 2007-2012 mengalami fluktuasi hasil. Pada tahun 2011-2012 produksi tomat di jawa barat mengalami penurunan hasil 17,14%, sedangkan luas lahan yang ditanami tomat meningkat 6,31%. Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya hasil produksi tomat adalah penyakit tanaman karena nematoda (Calvin dan Cook 2005). Kehilangan hasil akibat serangan nematoda di seluruh dunia dapat mencapai US$ 80 milyar per tahun (Price 2000). Sementara itu kerugian ekonomi akibat serangan nematoda di Indonesia belum dapat diperkirakan dengan pasti mengingat belum adanya penelitian yang komprehensif dalam bidang ini (Mustika 2005). Serangan nematoda mengakibatkan berkurangnya fungsi akar secara normal, mengakibatkan pengangkutan unsur hara ke bagian jaringan tanaman di atas permukaan tanah makin berkurang (Dropkin 1991). Menurut Mulyadi (2009) apabila tanaman terserang oleh nematoda, sistem perakaran yang normal akan berkurang dan menyebabkan jaringan berkas pengangkut mengalami gangguan, akibatnya tanaman mudah layu khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil, pertumbuhan terhambat dan mengalami klorosis. Di lapangan, penyakit karena nematoda diperparah dengan infeksi sekunder dari patogen lain. Keparahan layu karena R. solanacearum dan F. oxysporum semakin meningkat dengan keberadaan nematoda puru akar Meloidogyne incoqnita (Khan dan Akram 2000; Carneiro et al. 2010). Salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi resiko kerusakan dan kerugian akibat nematoda adalah dengan pengendalian yang tepat. Agar pengendalian tepat sasaran dan teknik maka diperlukan informasi mengenai kepadatan dan keragaman nematoda pada suatu lahan (Panggeso 2010). Survei ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui : 1) Kepadatan populasi dan keragaman genus nematoda parasit tanaman di daerah perakaran tanaman tomat pada sistem tanam monokultur dan polikultur, 2) Pengaruh nematoda parasit tanaman terhadap pertumbuhan dan tingkat kerusakan akar tanaman tomat. 148 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Bahan dan metode Survei dilaksanakan pada tanggal 6 Desember 2013 di lahan pertanian Desa Pasir Kampung, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Lokasi survei berada di ketinggian 1398 meter diatas permukaan laut. A. Rancangan Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara acak menggunakan model bintang. Pada setiap titik diambil satu sampel, dan pada bagian tengah titik diambil dua sampel. Titik sampel berada di dalam tanaman border. Sampel yang diambil adalah tanah disekitar tanaman tomat dengan kedalaman 13 cm. Tanah yang telah diambil kemudian dimasukkan kedalam plastik yang telah diberi kode TMx dan TPx. TM adalah kode untuk sampel yang diambil dari lahan tanaman tomat yang menggunakan sistem tanam monokultur, dan TP adalah kode untuk sampel yang diambil dari lahan tanaman tomat yang menggunakan sistem tanam polikultur, sedangkan x adalah kode untuk nomor sampel. B. Ekstraksi Nematoda Ekstraksi nematoda dilakukan menggunakan metode FlotasiSentrifugasi. Tanah sampel diambil 100 ml menggunakan gelas ukur, kemudian tanah dimasukkan kedalam wadah berisi 800 ml air bersih dan didiamkan selama 20 detik. Cairan dituangkan melalui saringan bertingkat (20, 50, dan 500 mesh). Hasil penyaringan pada 500 mesh dimasukkan kedalam centrifuge tube, kemudian suspensi di sentrifugasi selama 5 menit. Setelah di sentrifugasi cairan dibuang dengan hati-hati hingga menyisakan endapan, kemudian endapan dicampur dengan gula 40% dan diaduk. Suspensi di sentrifugasi selama 1 menit, kemudian larutan gula berisi nematoda disaring dan dicuci dengan saringan 500 mesh. Hasil saringan dimasukkan dalam botol koleksi untuk dilakukan pengamatan. C. Penghitungan Kepadatan Nematoda Kepadatan populasi nematoda diamati dibawah mikroskop stereo. Seluruh suspensi hasil ekstraksi dituangkan kedalam cawan petri yang telah diberi garis pembatas, kemudian suspensi diamati dibawah mikroskop stereo dengan perbesaran 40x dengan bantuan counter. Kepadatan yang dihitung adalah kepadatan absolut (kepadatan total), kepadatan nematoda parasit tanaman, dan kepadatan nematoda non parasit tanaman. Peubah yang diamati didasarkan kepada penelitian Norton (1978) yaitu: 1. KPA = 2. KPR = 3. FA = x 100% 149 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 4. FR = 5. D = x 100% √ x 100% Keterangan: KPA : Kerapatan populasi absolut KPR : Kerapatan populasi relatif FA : Frekuensi absolut FR : Frekuensi relatif F : Frekuensi seluruh spesies nematoda D : Nilai dominansi N : Σ seluruh spesies nematoda N : Σ suatu spesies nematoda S : Σ seluruh sampel s : Σ sampel yang mengandung nematoda D. Pengamatan Morfologi Nematoda Nematoda yang berhasil di ekstrak kemudian dikait menggunakan pengkait nematoda dibawah mikroskop stereo dengan perbesaran 40x. Nematoda yang berhasil dikait diletakkan di atas kaca preparat yang telah ditetesi air, kemudian ditutup menggunakan cover glass. Nematoda diamati dibawah mikroskop compound dengan perbesaran 100 x 10. Morfologi yang diamati adalah: bibir, stilet, posisi esofagus terhadap usus, vulva, ekor dan anulasi. E. Pengukuran Komponen Pertumbuhan dan Kerusakan Akar Tanaman Tomat Komponen pertumbuhan tanaman tomat yang diukur adalah tinggi tanaman dan tingkat kerusakan akar. Tinggi tanaman tomat diukur dari ujung tanaman yang berada tepat diatas permukaan tanah sampai ujung tanaman yang paling atas. Pengukuran kerusakan akar dilakukan pada akhir survei dengan cara mencabut akar dari media tanam. Setelah dipisahkan dari media tanam, akar dibersihkan, kemudian diukur intensitas kerusakannya menurut skala Zeck (1971) (Gambar 1). 150 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 1. Skala Kerusakan Zeck ( Zeck, 1971) Hasil A. Kerapatan Populasi Nematoda di Lahan Monokultur dan Polikultur Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah populasi nematoda parasit dan non parasit di lahan monokultur. Pada lahan monokultur rata-rata jumlah nematoda non parasit lebih tinggi 28,6% dibandingkan nematoda parasit pada lahan yang sama. Pada lahan dengan sistem tanam polikultur perbandingannya lebih kecil dibandingkan lahan monokultur, yaitu nematoda non parasit lebih banyak 23% dibandingkan nematoda parasit. Pada lahan dengan sistem tanam monokultur, kepadatan absolut nematoda lebih lebih tinggi 3,93% dibandingkan dengan kepadatan absolut nematoda pada lahan dengan sistem tanam polikultur. Meskipun demikian, keberadaan nematoda parasit antara lahan dengan sistem tanam monokultur dan polikultur menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, yaitu pada lahan dengan sistem tanam monokultur jumlah nematoda parasit lebih banyak 10,1% dibandingkan dengan sistem polikultur (Tabel 1). Tabel 1. Kerapatan populasi nematoda di dua lahan Lahan Monokultur Lahan Polikultur Variabel Nematoda Nematoda Nematoda Nematoda Pengamatan Parasit Non Parasit Parasit Non Parasit KPA 77,20 105,90 69,40 104,40 KPR (%) 42,16 57,84 39,93 60,07 FA (%) 100,00 100,00 100,00 100,00 FR (%) 50,00 50,00 50,00 50,00 151 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 B. Keragaman Genus Nematoda Parasit Tanaman di Lahan Monokultur dan Polikultur Berdasarkan pengamatan morfologi terhadap sampel, diketahui terdapat 7 genus nematoda parasit yang terdapat pada lahan monokultur dan polikultur. Nematoda parasit yang berhasil di identifikasi adalah nematoda dari genus Meloidogyne spp., Xiphinema sp., Pratylenchus sp., Hoplolaimus sp., Rotylenchulus sp., Helicotylenchus sp., dan Ditylenchus sp. Setiap sampel bernomor ganjil diambil dan diencerkan hingga 80 ml, kemudian diambil 10 ml suspensi nematoda dan diamati. Berdasar pengamatan tersebut, nematoda yang paling banyak ditemui secara berurutan adalah: Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., Rotylenchulus sp., Ditylenchus sp., Helicotylenchus sp., Hoplolaimus sp., dan Xiphinema sp (Tabel 2). Tabel 2. Kerapatan populasi nematoda parasit tanaman di dua lahan pada 10 ml suspensi KPA KPR FA (%) FR (%) D (%) Nematoda LM LP LM LP LM LP LM LP LM LP Meloidogyne 6,2 6,6 0,3483 0,3882 100 100 16,129 17,241 62,00 66,00 spp. Pratylenchus 3,8 3,2 0,2135 0,1882 100 100 16,129 17,241 38,00 32,00 sp. Rotylenchus 3,0 2,6 0,1685 0,1529 100 100 16,129 17,241 30,00 26,00 sp. Ditylenchus sp. 1,6 1,8 0,0899 0,1059 100 80 16,129 13,793 16,00 16,10 Helicotylenchus 1,4 1,2 0,0787 0,0706 80 80 12,903 13,793 12,52 10,73 sp. Hoplolaimus 1,2 1,0 0,0674 0,0588 80 60 12,903 10,345 10,73 7,75 sp. Xiphinema sp. 0,6 0,6 0,0337 0,0353 60 60 9,677 10,345 4,65 4,65 Keterangan : KPA = Kerapatan Populasi Absolut, KPR = Kerapatan Populasii Relatif, FA = Frekuensi Absolut, FR = Frekuensi Relatif, D = Nilaii Dominansi, LM = Lahan Monokultur, LP = Lahan Polikultur C. Pengaruh Kerapatan Populasi Nematoda Parasit Terhadap Kerusakan Akar dan Pertumbuhan Tanaman Tomat Berdasar hasil pengamatan diatas diketahui bahwa kerapatan populasi nematoda parasit tanaman pada tanah di sekitar tanaman tomat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan akar tanaman. Semakin tinggi kerapatan populasi nematoda parasit, semakin tinggi tingkat kerusakan akar tanaman. Namun demikian terdapat beberapa sampel yang memiliki kerapatan tinggi namun tingkat kerusakan akarnya lebih rendah daripada sampel yang memiliki kerapatan nematoda parasit lebih rendah. Hal demikian diduga karena 152 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 keragaman mikroorganisme tanah seperti bakteri atau cendawan antagonis pada tanah sampel tersebut tinggi. Pada lahan monokultur tingkat kerusakan akar tertinggi yang ditemui berada pada skala 6, sedangkan pada lahan polikultur kerusakan tertinggi berada pada skala 4. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem tanam monokultur dapat mengurangi resiko kerusakan akar akibat serangan nematoda parasit tanaman. Secara keseluruhan tingkat kerusakan akar pada sistem tanam polikultur lebih rendah 39,4% dibandingkan tingkat kerusakan akar pada sistem tanam monokultur. Rata-rata tingkat kerusakan akar pada lahan monokultur berada pada skala 3,3, sedangkan rata-rata kerusakan akar pada lahan polikultur berada pada skala 2 (Tabel 3). Tabel 3. Tingkat Kerusakan Akar Berdasar Skala Zeck (1970) Lahan Monokultur Lahan Polikultur No Sampel KPA TKA TT (Cm) KPA TKA TT (Cm) 1 21 1 157 106 2 182 2 233 5 58 39 1 177 3 19 4 147 73 2 165 4 128 3 95 53 3 196 5 151 6 110 30 1 188 6 21 3 174 52 2 185 7 94 3 108 64 2 167 8 78 4 162 91 2 135 9 23 3 180 143 4 120 10 4 1 176 43 1 155 Keterangan: KPA = Kerapatan Populasi Absolut Nematoda Parasit, TKA = Tingkat Kerusakan Akar Berdasar Skala Zeck (1970), TT = Tinggi Tanaman Pembahasan Sistem tanam monokultur memungkinkan bagi nematoda untuk berkembang lebih baik pada suatu lahan. Hal tersebut dikarenakan inang dari suatu nematoda tersedia dalam jumlah melimpah pada suatu musim. Hal ini sejalan dengan laporan Lisnawita (2003) yang melaporkan bahwa berbagai teknik budidaya pertanian yang kurang tepat seperti pemilihan waktu, jenis tanaman, pemilihan bahan kimia, pemupukan, pengairan, dan sistem tanam yang tidak tepat dapat mempengaruhi keseimbangan mikroba tanah dan akhirnya mengakibatkan kerugian ekonomi. Hasil survei diatas menunjukkan bahwa Meloidogyne spp. memiliki kerapatan populasi tertinggi, daerah sebar luas dan nilai dominansi tertinggi. Meloidogyne spp. menjadi nematoda paling dominan diduga karena genus ini memiliki daya adaptasi tinggi. Tingginya daya adaptasi Meloidogyne spp. 153 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 dikarenakan nematoda ini memiliki keragaman morfologi yang tinggi, dan memiliki inang yang banyak (Dropkin 1991). Nematoda dengan kerapatan, daerah sebar, dan dominansi terendah adalah Xiphinema sp. Diduga rendahnya kerapatan, daerah sebar, dan dominansi Xiphinema sp. karena genus ini memiliki waktu reproduksi yang panjang. Xiphinema sp memiliki daur hidup sampai dengan dua tahun untuk setiap generasi (Anonim, 2013b). Di kedua jenis lahan dominansi nematoda parasit tidak berbeda jauh. Hal ini diduga karena kedua lahan berada pada kondisi lingkungan yang sama, memiliki jarak yang dekat, diolah dengan alat pertanian yang sama, dan sumber air irigasi untuk kedua lahan berasal dari sumber yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Muin (2008) yang menyatakan bahwa perpindahan nematoda dapat dipengaruhi oleh pembawa pasif, seperti air, alat pertanian dan angin. Beberapa peniliti lain juga mengemukakan pendapat yang sama, yaitu Norton (1978) dan Mulyadi (2009). Kerusakan akar tanaman akibat serangan nematoda memiliki pengaruh langsung pada pertumbuhan tanaman. Tanaman yang terserang nematoda pertumbuhannya menjadi tidak normal karena akar tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik apabila akar rusak. Salah satu gejala akibat serangan nematoda adalah pertumbuhan tanaman terhambat (kerdil, layu, bahkan sampai mati) dan penurunan hasil budidaya (Dropkin 1991, Semangun 1996, Mulyadi 2009, Soesanto dan Rahayuniati 2013). Daftar pustaka Anonim. 2013a. Hortikultura. <http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel =1&kat =3&id_subyek=55>. Diakses 20 Febuari 2014. Anonim. 2013b. Xiphinema. <http://www.cals.ncsu.edu/pgg /dan_webpage/ Nematodes/Ectos/Xiphinema.htm>. Diakses 20 Febuari 2014. Calvin dan Cook. 2005. North American greenhouse tomatoes emerge as a major market force. Amber Waves 3: 20–27. Carniero FF, Ramalho MAP, Pereira MJZ. 2010. Fusarium oxysporum f. sp. phaseoli and Meloidogyne incognita interaction in common bean. Crop Breeding and Applied Biotechnology 10: 271-274. Dropkin VH. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Khan MR, Akram M. 2000. Effects of certain antagonistic fungi and rhizobacteria on wilt disease complex of tomato caused by Meloidogyne incognita and Fusarium oxysporum f.sp.lycopersici. Nematol medit. 28: 139-144 Lisnawita. 2003. Pengelolaan tanah sehat dan pengaruhnya terhadap nematoda parasit tumbuhan <http://repository.usu.ac.id/bitstream /123456789/1129/1/hpt-lisnawita2.pdf>. Diakses 20 Febuari 2014. 154 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Muin A. 2008. Nematologi Tumbuhan; Biologi, Ekologi, dan Pengendalian. Bogor: IPB Press. Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mustika I. 2005. Konsepsi dan strategi pengendalian nematoda parasit tananam perkebunan di Indonesia. Perspektif 4: 20 – 23. Norton CD. 1978. Ecology of Plant Parasitic Nematodes. New York: John Wiley and Sons. Panggeso J. 2010. Analisis kerapatan populasi nematoda parasitik pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) asal Kabupaten Sigi Biromaru. J. Agroland 17 : 198-04. Price TV. 2000. Plant parasitic nematodes. Integrated pest management for smallholder estate crops project. Plant Quarantine Component 4: 173-180. Semangun, H. 1996. Pengantar Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soesanto L, Ruth FR. 2013. Penyakit Karena Bakteri, Virus, Nematoda dan Kahat hara – Kompedium Penyakit-Penyakit Kacang Tanah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Zeck WM. 1971. A rating scheme for field evaluation of root-knot nematode infestations. Bayer PflSchutz. Nachr. 1:141-144 155 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENINGKATAN DAYA ANTAGONIS DENGAN PENAMBAHAN GULMA SEBAGAI MEDIA APLIKATIF Ismed Setya Budi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Po Box 1028, Banjarbaru 70714 Telpon: +6281933753340 email: [email protected] Abstrak Pengendalian hayati menggunakan mikroba antagonis memerlukan media aplikatif agar terjadi peningkatan efektivitas, efisiensi dan kemudahan aplikasi ditingkat petani. Penelitian ini dilaksanakan di lahan pasang surut Desa Mandastana Kabupaten Barito Kuala, dengan tujuan penelitian untuk melihat pengaruh penambahan bahan organik gulma untuk pengendalian penyakit layu fusarium. Hasil eksplorasi dari empat tife lahan pasang surut didapatkan 4 isolat unggul terpilih adalah Trichoderma viride PS-2.1, Pseudomonas fluorescens PS4,8 , FNP PS-1,5 dan Bacillus sp PS-3.14. Daya antagonis tertinggi pada aplikasi kombinasi dua antagonis (T. viride PS-2.1 + P. fluorescent PS-4.8), dan (T. viride PS-2.1+ FNP PS-1.5), lebih baik dibanding aplikasi antagonis tunggal. Penggunaan media aplikatif hydrilla, enceng gondok, kayapu dan kiambang mampu meningkatkan daya hambat terhadap intensitas penyakit layu dan juga dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan, berat basah dan berat kering tanaman serta terjadi peningkatan pH dan N. Kata kunci: antagonis, bahan organik, layu fusarium, padi Pendahuluan Lahan pasang surut tidak lagi didominasi penanaman varietas padi lokal tapi padi unggul juga semakin meningkat. Akibat penanaman terus menerus sepanjang musim maka gangguan patogen tular tanah seperti Rhizoctonia sp. dan Fusarium sp terus bertambah hebat (Budi dan Mariana, 2009). Budidaya tanaman sehat dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati spesifik lokasi perlu digali untuk menjawab tantangan gangguan penyakit tanaman di lahan padang surut. Menurut Harman (2006), antagonis Trichoderma spp.. telah terbukti dapat mengendalikan berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur, bakteri dan virus. Menurut Budi dan Mariana (2013), hasil eksplorasi antagonis dari empat tipe lahan pasang surut ditemukan Fusarium non pathogen dan beberapa Trichoderma sp yang berbeda kemampuan daya hambatnya terhadap patogen Rhizoctonia solani. 156 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Selain berfungsi sebagai agens pengendali hayati, Trichoderma spp. juga telah terbukti dapat memacu peningkatan pertumbuhan tanaman (Budi dan Mariana, 2013). Penambahan Trichoderma hamatum 382 pada kompos dapat memacu ketahanan tanaman terhadap Botritys blight pada tanaman Begonia (Horst et al., 2005). Jamur Trichoderma spp.. selain sebagai agen hayati dalam menekan penyakit tanaman juga dapat sebagai stimulator pertumbuhan tanaman karena kemampuannya menguraikan bahan organik untuk nutrisi tanaman (Daniele et al., 2011), Gulma air seperti enceng gondok, kayapu dan kiambang melimpah berada di sekitar pertanaman padi, sesungguhnya berpotensi untuk digunakan sebagai bahan organik sumber nutrisi bagi tanaman dan pertumbuhan agens hayati. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas antagonis Trichoderma spp. setelah dilakukan perbanyakan pada gulma enceng gondok, kiambang dan Kayuapu sebagai media aplikatif pengendalian hayati di lahan pasang surut. Metode penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Karang Indah, Kelurahan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian tahap I (fase taradak) pada bulan Desember 2013 dan tahap II (fase lacak dan tanam) pada bulan Januari – Maret 2014. Isolat Trichoderma spp. asal lahan pasang surut dari koleksi Laboratorium Hayati Fakultas Pertanian Unlam, dilakukan perbanyakan pada media PDA. Varietas padi IR-42 dari petani dan gulma air dari lahan pasang surut (eceng gondok, kayapu dan kiambang). Gulma dihaluskan/dicacah hingga berukuran 0,51 cm dan dikering anginkan sebelum diinokulasi Trichoderma spp. Penelitian tahap pertama menggunakan metode percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan yaitu Trichoderma spp.+ enceng gondok (T+EG), perlakuan Trichoderma sp. + Kayapu (T+KA), perlakuan Trichoderma sp. + kiambang (T+KY). Aplikasi dilakukan 7 hari sebelum semai sebanyak 250 gram. Pengukuran intensitas penyakit dilakukan sebanyak 2 kali disertai pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan. Sedangkan penelitian tahap lanjutan menguji perlakuan berat media aplikatif kiambang, yaitu: Trichoderma spp. + kiambang 200 gram (K1), Trichoderma spp.. + 300 gram (K2), Trichoderma spp. + 400 gram (K3), dan Trichoderma spp. + 500 gram (K4). Sebagai kontrol positif hanya diaplikasi Trichoderma spp. (KT) sedangkan kontrol negatif hanya diaplikasi patogen Fusarium (KP). Selanjutnya data di uji kehomogenan dengan ragam Bartlett, sedangkan perbedaan di antara perlakuan diuji menurut uji jarak berganda Duncan (DMRT) taraf 5%. 157 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil dan pembahasan Hasil pengamatan pengaruh penambahan media aplikatif gondok, kayapu dan kiambang terhadap kemampuan Trichoderma spp. menghambat perkembangan penyakit layu fusarium pada padi di lahan pasang surut cukup besar. Terjadi peningkatan kemampuan daya antagonis dalam menghambat perkembangan penyakit layu Fusarium. Terbukti pula dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan terjadinya peningkatan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang terbentuk. Pada media aplikatif enceng gondok hanya mengakibatkan intensitas penyakit 22,82%, pada kayapu sebesar 22,50%, pada kiambang 12,56%, sedangkan pada kontrol (tanpa antagonis) intensitas penyakit mencapai 42,70%. Dibanding tanpa penambahan media aplikatif (aplikasi hanya suspensi Trichoderma spp.) maka penambahan tinggi tanaman terjadi cukup singnifikan pada perlakuan media aplikatif kiambang dengan terjadi peningkatan penambahan tinggi tanaman sebesar 10,73 cm. Demikian pula pada hasil pengamatan terhadap jumlah anakan, tertinggi pada perlakuan aplikasi pada media aplikatif kiambang yakni sebesar 1,08 batang, sedangkan pada pada perlakuan media aplikatif gulma lainnya tidak berbeda nyata dibanding kontrol (Gambar 1). Penambahan bahan organik sebagai bahan pembawa Trichoderma sp., pernah dilaporkan di samping berperan sebagai sumber hara tanaman, sekaligus sebagai sumber energi bagi mikroba (Tian et al.1997). Menurut Joshi et al, (2010) bahwa aplikasi Trichoderma sp. pada bahan organik dapat bertindak sebagai dekomposer. Aplikasi bahan organik selain menyediakan nutrisi bagi tanaman juga digunakan oleh mikroba yang ada di rhizosfer untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Cook dan Baker (1983) melaporkan bahwa Trichoderma sp. dapat menguraikan bahan organik dalam tanah menjadi nutrisi yang mudah diserap oleh tanaman, dan dapat sebagai sumber nutrisi mikroorganisme antagonis sehingga mampu meningkatkan aktivitas sebagai antagonis dengan menstimulasi dormansi propagul patogen serta menghasilkan efek fungistasis bagi patogen tular tanah. Hal ini sejalan dengan Chen dan Nelson, (2012) bahwa biakan Trichoderma sp. dalam bahan organik yang diberikan ke areal pertanaman, dapat berlaku sebagai biodekomposer, sehingga dapat mendekomposisi limbah organik menjadi kompos. Kompos yang terbentuk berfungsi dalam perbaikan struktur tanah, tekstur tanah, aerasi dan peningkatan daya resap tanah terhadap air. Kompos juga merupakan media yang efektif dalam mengurangi tingkat keparahan suatu penyakit tanaman. Tumbuhan yang mendapatkan hara seimbang dan semua kebutuhan hara tersedia dengan jumlah yang cukup, akan lebih mampu melindungi tanaman dari infeksi dibandingkan dengan bila salah satu hara atau lebih dalam keadaan kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian, 158 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 kompos berupa bahan organik dari gulma yang sudah terdekomposisi oleh Trichoderma spp.. secara langsung menjadi media yang efektif dalam mengurangi tingkat keparahan suatu penyakit tanaman. Menurut Driesche dan Bellows (1996), untuk meningkatkan efektifitas Trichoderma sp. rhizosfer sebaiknya mengandung sumber karbon dan nitrogen yang mudah dimetabolisme untuk menghasilkan asam amino, gula sederhana dan eksudat akar yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Menurut Chen dan Nelson, (2012) sebelum masuk ke dalam tanaman, mikroba patogen, maupun mikroba antagonis yang ada di sekitar spermosfer saling berkompetisi dalam menggunakan sumber karbon dari bahan organik. Gambar 1. Intensitas penyakit layu Fusarium, tinggi tanaman dan jumlah anakan setelah uji aplikasi Trichoderma spp. menggunakan media aplikatif Hasil pengujian perlakuan dosis kiambang terbukti dengan bertambahnya dosis kiambang akan meningkatkan kemampuan untuk menghambat perkembangan penyakit baik pada fase lacak maupun fase tanam di lapang. Penambahan dosis kiambang juga akan meningkatkan tinggi tanaman, berat basah dan berat kering tanaman. Pada fase lacak, intensitas penyakit terendah 2,00% pada dosis kiambang K4 (500 gr) namun tidak berbeda nyata dibanding perlakuan K3 (400 gr) dengan intensitas penyakit 2,50%. Pada fase tanam, perlakuan K1 (200 gr kiambang) mampu menghambat perkembangan penyakit layu disbanding control, namun penambahan dosis kiambang setelah 300 gr (K2) tidak berbeda nyata dibanding K 3 dan K4. Pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman tanpak jelas pada K2 (300gr kiambang) menghasilkan tinggi tanaman, berat basah dan berat kering yang meningkat. Penambahan dosis hingga 500 gr (K4) memperlihatkan tinggi tanaman tertinggi 58,83, berat basah tertinggi 27,52 gr dan berat kering 5,99 gr (Gabar 2). Dengan demikian dapat dianjurkan pada fase lacak dan tanamm untuk melakukan pemberian 300 gr kiambang sebagai media 159 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 aplikatif Trichoderma spp.. di lahan padang surut, dengan hasil pengurangan intensitas penyakit sebesar 6,20%, penambahan tinggi tanaman 22,50 cm, penambahan berat basah 13,44 gr dan berat kering 3,54 gr. Gambar 2. Rata-rata intensitas serangan penyakit layu padi, tinggi tanaman, berat basah dan berat kering tanaman setelah aplikasi perlakuan dosis media aplikatif kiambang Rendahnya intensitas penyakit layu pada tanaman setelah aplikasi Trichoderma spp.. pada media aplikatif akibat penambahan bahan organik berupa gulma air yang sudah terdekomposisi oleh Trichoderma spp. akan menyediakan nutrisi dari luar untuk membantu perkecambahan antagonis sampai stabilnya pertumbuhan antagonis. Peningkatan jumlah bahan yang sudah terdekomposisi dengan kandungan C/N ratio yang tinggi akan memacu produksi antibiotik oleh Trichoderma spp. (Benhamou dan Chet dalam Pal dan Gardener, 2006). Menurut Woo et al (2006), Trichoderma spp. menghasilkan enzim pendegradasi dinding sel patogen dalam proses mikoparasit, serta menghasilkan antibiotik seperti gliovirin, gliotoxin, viridin, pyrones, peptaibols (Vey et al., 2001). Menurut Xiao-Yan et al. 160 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 (2006), Trichoderma koningii SMF2 menghasilkan antibiotik Trichokonin yang dapat mengendalikan beberapa jenis bakteri dan jamur. Ditambahkan Howard et al. (2000), antagonis menghasilkan fitoaleksin terpenoid yang dapat menginduksi ketahanan tanaman secara sistemik. Gliotoksin (epidithiodiketopiperazine) dan viridin merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh Trichoderma virens. Pada substrat bahan organik tepung tapioca, dihasilkan gliotoksin tertinggi yaitu sebesar 64 mg/l, dan pada ampas tebu dihasilkan 36 mg/l. Sedangkan pada sekam, kacang hijau, dan bekatul, produksinya lebih rendah (Anitha dan Murugesan, 2005). Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa pengomposan enceng gondok, kayapu dan kiambang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara. Menurut Suryatna (1976) dalam Norhasanah (2005), dalam 100 gram berat basah eceng gondok terkandung 0,04% Nitrogen, 0,05% P2O5, 0,20% K2O, 3,5% bahan organik, dan 95,3% air. Kiambang mengandung nutrisi yang cukup baik dengan kandungan bahan organik berbentuk nitrogen 4,5%, fosfor 0,5 – 0,9 % dan Kalium 2,0 – 4,5 %. Sedangkan pada kayapu memiliki kandungan C dan N total cukup tinggi (40,5% dan 1,8%) Trichoderma viride mampu menghancurkan selulosa tingkat tinggi dan memiliki kemampuan mensintesis beberapa faktor esensial untuk melarutkan bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. Selain itu Trichoderma viride merupakan cendawan yang potensial memproduksi selulase dalam jumlah yang relatif banyak untuk mendegradasi selulosa (Joshi et al., 2010). Selulosa pada bahan organik gulma air tidak bisa di serap langsung oleh tanaman, Namun setelah diuraikan oleh enzim kompleks selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma sp. menjadi glukosa sederhana yang dapat diserap oleh tanaman dan Trichoderma spp. . Enzim ini berfungsi sebagai agen pengurai yang spesifik untuk menghidrolisis ikatan kimia dari selulosa dan turunannya. Trichoderma viride dan Trichoderma reesei merupakan kelompok cendawan tanah sebagai penghasil selulase yang paling efisien. Enzim selulase yang dihasilkan Trichoderma viride dapat memecah selulosa menjadi glukosa (Harman et al., 1998). Lebih jauh Mishra et al., (2011) mengemukakan bahwa Trichoderma menghasilkan selulase lengkap dengan semua komponen-komponen yang dibutuhkan untuk hidrolisis total selulosa kristal dan protein selulosa yang dihasilkan cukup tinggi. Miselium Trichoderma dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase (pendegradasi selulosa) dan kitinase (pendegradsi kitin. Selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma viride mengandung komponen terbesar berupa selobiase dan β-1,4-glukan-selobiohidrolase (C1), sementara β-1,4-glukanselobiohidrolase (Cx) terdapat dalam jumlah kecil (Elad, 1986). 161 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 1. Pengaruh gulma kiambang terhadap intensitas penyakit layu Fusarium dan pertumbuhan Tanaman Tahap Penanaman Berat Berat Populasi Tanam Basah Kering Antagonis Tinggi Intensitas Tinggi Intensitas (g) (g) (107/ml) Tanaman Serangan Tanaman Serangan (cm) (%) (cm) (%) Semai Perlakuan Kontrol Rhizoctonia solani (K-) Kontrol Trichoderma viride (K+) 22,00 c 17,17 a 7,50 b 36,33 a 14,08 a 2,45 a 7,56 a 16,50 bc 20,11 b 3,75 ab 40,49 b 16,02 a 3,19 ab 38,33 b Trichoderma viride + 200 g Kiambang (T200) 12,00 b 19,.35 b 2,50 a 41,75 c 19,14 b 3,29 ab 47,44 bc Trichoderma viride + 300 g Kiambang (T300) 6,00 a 20,59 b 1,75 a 44,13 d 20,40 b 3,52 ab 47,33 bc Trichoderma viride + 400 g Kiambang (T400) 2,50 a 20,83 b 1,30 a 47,81 e 20,53 b 3,89 ab 52,34 bc Trichoderma viride + 500 g Kiambang (T500) 2,00 a 21,06 b 1,30 a 52,83 f 24,52 c 4,79 b 68,33 c Kesimpulan Aplikasi Trichoderma spp.. dengan media aplikatif gulma dapat meningkatkan daya hambat terhadap perkembangan penyakit layu fusarium, meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan, berat basah dan berat kering tanaman. 162 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Daftar pustaka Anitha, R. Dr., and K. Murugesan . 2005. Production of gliotoxin on natural substrates by Trichoderma virens. Journal of Basic Microbiology 45 (1) : 1219 Budi, I.S. and Mariana, 2013. Biocontrol for Rhizoctonia stem rot disease by using combination of specific endophyte in paddy tidal swamp. Agrivita 35 : 304310 Budi, I.S. dan Mariana. 2009. Pengendalian hayati penyakit layu dan busuk batang padi di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dengan memanfaatkan mikroba antagonis. Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru. Chen, M, H. dan Nelson, E, B. 2012. Microbiological-induced carbon competition in the stermosphere leads to pathogen and disease suppression in a municipal biosolids compost. Taiwan Agricultural Research Institute. Zhongzheng, Taiwan. Chen, M, H. dan Nelson, E, B. 2012. Microbiological-induced carbon competition in the stermosphere leads to pathogen and disease suppression in a municipal biosolids compost. Taiwan Agricultural Research Institute. Zhongzheng, Taiwan. Cook, R. J and K.F. Baker. 1974. Biological Control of Plant Pathogen. W. H. Freeman & Company. San Fransisco. Cook, R.J. and R. Baker. 1983. Isolation and Biocontrol Potential of Trichoderma hamatum from Soil Naturally Supressive to Rhizoctonia solani. Phytopathol. 93: 119 - 121. Daniele, P., P. Ilaria., M.L. Claudia., M. Lorenza., and S. Federica. 2011. Trichoderma artoviride SC1 for Biocontrol of Fungal Disease in Plant. Patent Publication. Unied Stated of America. Elad, Y. 1986. Mechanisms of interactions between rhizosphere micro-organisms and soil-borne plants pathogens, pp. 238-239. In Driesche Roy. G. V dan Bellows, S. Thomas jr. Biological Control. Chapman & Hall Press. United States of America. Hayati, A., A. Syukur., B. Hendro dan B. Heru., 2012. Pengaruh pemberian bahan organik in situ dan pemupukan Urea terhadap ketersediaan Nitrogen dan pertumbuhan padi di lahan pasang surut. Agroscientiae 19 : 49-59. Harman, G.E., 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma spp. Phytopatology 96 : 190-194. Hjeljoid, L.G., A. Stensvand, and A. Traonsmo. 2001. Antagonism of nutrient – activated conidia of Trichoderma harzianum (artoviride) P1 againts Botrytis cynerea. Phytopathology. 91: 1172-1180. 163 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Joshi, BB., R.P. Bhatt dan D. Bahukhandi. 2010. Antagonistic and Plant Growth activity Trichoderma isolates of Western Himalayas. Journal of Environmental Biology. India. Norhasanah, 2005. Pengaruh Takaran Bokhasi Eceng Gondok terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L) Varietas Martapura di Sawah Irigasi. Fakultas Pertanian, Univ. Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Kalimantan Selatan. Pal, K. K. and B. McSpadden Gardener, 2006. Biological Control of Plant Pathogens The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI-A-2006-1117-02. Paustian, K., and J. Schnürer. 1987. Fungal growth response to carbon and nitrogen limitation: A theoretical model. Soil Biol. Biochem. 19: 613-620. Vey, A., R.E. Hoagland dan T.M. Butt. 2001. Toxic metabolites of fungal biocontrol agents. Fungi as Biocontrol Agents: Progress,Problems and Potential (Butt TM, Jackson C &Magan N, eds), pp. 311–346. CAB International, Bristol Woo, SL., F. Scala., M. Ruocco., M. Lorito. 2006.The molecular biology of the interactions between Trichoderma spp., phytopathogenic fungi, and plants. Phytopathology 96:181–185 Xiao-Yan, S. S Qing-Tao, XieShu-Tao, Chen Xiu-Lan, Sun Cai-Yun and Zhang Yu-Zhong. 2006. Broad-spectrum antimicrobial activityand high stability of TrichokoninsfromTrichodermakoningii SMF2 against plant pathogens. FEMS MicrobiolLett 260 : 119–125. 164 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENINGKATAN KUALITAS MIKROBA INDIGINOUS LAHAN BASAH SUB OPTIMAL UNTUK PERTUMBUHAN KELAPA SAWIT DAN PENGENDALIAN PENYAKIT FASE PRE NURSERY Jamzuri Hadie dan Ismed Setya Budi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Po Box 1028, Banjarbaru 70714 Telpon: +6281933753340 email: [email protected] Abstrak Intervensi penanaman kelapa sawit bukan hanya di lahan kering tapi sudah mendominasi lahan basah. Ketergantungan yang tinggi pada pestisida mengakibatkan kontaminasi pestisida pada kelapa sawit dan lahan pertanian terus meningkat. Alternatif pengendalian dengan peningkatan kualitas mikroba indiginous sebagai biopestisida dan biofertilizer perlu segera dilakukan. Hasil identifikasi ditemukan tiga patogen menyerang daun kelapa sawit adalah Curvularia sp., Fusarium sp dan Diplodia sp. Hasil eksplorasi pada beberapa lahan perkebunan besar kelapa sawit di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, dan berdasarkan uji in-vitro ditemukan empat isolat jamur dengan daya hambat tertinggi (Trichoderma sp LB-2.7, Trichoderma sp LB-1.4, Acremonium sp LB-2.2 dan Gliocladium sp LB-1.8) dengan kemampuan daya hambat berkisar antara 66,75 – 84,30%. Hasil uji in-vivo pada fase pre nursery terbukti isolat mampu sebagai antagonis terhadap bercak daun Curvularia sp dan busuk pangkal batang Ganoderma sp. Semua isolat uji dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman dan berat basah tanaman. Kata kunci: mikroba indiginous, lahan basah, kelapa sawit Pendahuluan Kelapa sawit merupakan komoditas ekonomi unggulan koridor Kalimantan sesuai MP3EI (Master Plant Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Penanaman kelapa sawit terus berkembang pesat dengan membuka lahan-lahan baru, termasuk di lahan basah sub optimal menjadi alternatif keterbatasan luas lahan. Penanaman secara monokultur dalam skala luas berakibat gangguan hama penyakit bertambah berat. Saat ini pengembangan kelapa sawit sangat tergantung pada pupuk sintetis dan pestisida dalam jumlah besar, akibatnya terjadi kontaminasi pada hasil tanaman dan lingkungan, Padahal tuntutan terhadap produk kelapa sawit bebas pestisida menjadi syarat mutlak agar laku di pasar dunia. 165 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gangguan penyakit pada fase pre nursery seperti Lethal Yellowing yang disebabkan oleh Phytoplasma, busuk pangkal batang akibat Ganoderma sp., busuk daun antraknosa akibat Botryodiplodia spp., Melanconium elaeidis dan Glomerella cingulata, bercak daun yang disebabkan oleh Curvularia spp., Drechslera halodes, Cochliobolus carbonus, Cochliobolus sp, Cercospora elaeidis,dan Pestalotiopsis sp., penyakit garis kuning daun yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. elaeidis, karat daun yang disebabkan oleh Cephaleuros virescen, (Winardi, 2011), sangat menentukan kualitas produk kelapa sawit selanjutnya Alternatif pengelolaan penyakit yang menguntungkan secara ekonomis dan secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan yakni dengan memanfaatkan agens pengendali alami spesifik lokasi berupa mikroba indiginous. Pengembangan pengendalian menggunakan antagonis di daerah tropis mempunyai masa depan yang baik, mengingat kondisi lingkungan di daerah tropis sangat mendukung untuk berkembangnya antagonis lebih baik (Hadi et al., 1975; Arifin et al., 1989). Menurut Baker dan Cook, (1982) jamur yang dapat digunakan sebagai agen pengendali terhadap patogen tanaman tular tanah ialah Trichoderma spp., Gliocladium sp., Penicillium sp., dan Metarrhizium sp. Khusus untuk pengendalian Ganoderma pseudoferreum pada teh dapat dengan menggunakan jamur Penicillium sp., Fusarium sp., Mucor sp. dan Rhizopus sp (Arifin et al., 1989). Uji kemampuan mikroba indiginous sebagai biopestisida dan biofertilizer pada tanaman kelapa sawit pada tanaman fase pre nursery perlu dipelajari dan diharapkan dengan penggunaan bibit kelapa sawit sehat berkualitas hasil dari introduksi mikroba antagonis akan mampu meningkatkan produksi baik kuantitas maupun kualitas secara berkelanjutan. Terjadi penghematan biaya produksi mengingat biaya pembelian pestisida dan pupuk sintetis merupakan pengeluaran terbesar pada penanaman kelapa sawit. Metode penelitian Penelitian diawali dengan pengamatan gejala penyakit dan eksplorasi antagonis di beberapa perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan Selatan dan Tengah. Perbanyakan patogen dan antagonis sesuai prosedur Homby (Tuite, 1970) dan dilanjutkan dengan metode teknik cawan pengenceran (dilution plate technique). (Sands dan Rovira, 1970; Bashan et al., 1993). Antagonis yang didapat selanjutnya diperbanyak menurut metode Menge dan Timmer (1982), sedangkan pemeriksaan tanaman terinfeksi dengan prosedur Ferguson & Woodhead (1982). Uji in-vitro untuk mengetahui daya hambat antagonis terhadap patogen dilakukan dengan cara menginokulasikan isolat yang ada secara berpasangan dengan metode oposisi langsung (Fokhema et al., 1959). Sedangkan uji in-vivo terhadap kemampuan antagonis terpilih dilakukan dengan menginokulasikan 166 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 tanaman pada tanah steril di rumah kaca. Inokulasi Ganoderma sp dengan meletakkan potongan tanaman bergejala pada tanah sedangkan inokulasi Curvularia sp dengan menyemprotkan suspensi pada permukaan tanaman. Pengamatan dilakukan satu dan dua bulan setelah inokulasi Percobaan dengan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Perbedaan di antara perlakuan diuji menurut uji jarak berganda Duncan. Hasil dan pembahasan Gejala penyakit yang terlihat sebagian besar berupa gejala pada daun berupa bercak-bercak kuning kecoklatan dengan bentuk tak beraturan, helaian daun yang menguning, dan juga ditemukan tanaman kerdil. Setiap lokasi pengambilan sampel tidak ada lokasi yang bebas penyakit. Ada ada 3 macam patogen dominan yang selalu ada. Intensitas penyakit tertinggi pada serangan patogen Curvularia sp. dengan rata-rata 66,40% (Tabel 1). Tabel 1. Intensitas penyakit dominan pada fase pre nursery No Gejala penyakit dan Lokasi Pengambilan Sampel penyebabnya 1 2 3 Fusarium sp Curvularia sp Diplodia sp. PT. Mondrat intan barakat, PT Subur agro makmur, PTPN XIII,PT Hasnur citra terpadu PT Sentosa sukses utama,PT. Putra bangun persada,PT. Laguna Mandiri, PT Sinar Surya Jorong, PT Emida Jorong, PT Kintap Jaya Wattindo, PT Tiga Daun Kapuas, PT Alam raya kencana mas, PT Agro Bukit, PT Pola kahuripan inti sawit, PT Subur maju makmur, PT Sajang heulang, PT Buana Karya dan PT Matahari kahuripan Indonesia, Intensitas Serangan (%) 24,50 66,40 33,25 167 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Fusarium solani yang ditemukan memiliki ciri-ciri miselium berwarna putih seperti kapas pada media biakan, makrospora berbentuk bulan sabit, bersekat 2 sampai 5, spora terbentuk secara tunggal. Konidiofor ramping dan pendek, bercabang-cabang dengan tegap dan berkelompok membentuk sporodochia. Klamidospora berwarna cokelat dengan ukuran diameter 6-7,3 µm. Menurut Watanabe (2002), ukuran klamidospora F. solani adalah 50-165 x 2,4-4,3 µm. Diameter spora sebesar 10-25 µm. Mikro konidia berukuran 7,215 x 2,4-3,9 µm dan makro konidia berukuran 31,5-59,4 x 4,6-6,2 µm. Gejala serangan F. solani pada tanaman kelapa sawit terlihat daun bercak-bercak terang lalu coklat kehitaman, mengering mulai dari ujung daun dan daun bagian bawah kering. Curvularia sp yang ditemukan memiliki ciri miselium berwarna putih kecoklatan dan pada bagian awal peletakan miselium berwarna putih pada media biakan. Konidiofor berwarna cokelat gelap, sederhana, tegak, berdinding tebal. Bagian samping konidia terlihat jernih. Konidia silendris, berwarna cokelat gelap, memiliki 4 sel, 2 sel pada bagian tengah besar dengan hilum basal, sporanya besar sehingga sangat terlihat jelas bentuk-bentuknya. Klamidospora berbentuk bulat telur, berwarna pucat sampai coklat gelap. Menurut Watanabe (2002), ukuran klamidospora sebesar 90-142,5 x 5-10 µm, konidia berukuran 21,3-28,8 x 7,3-8,8 µm dan klamidospora berukuran 10-11,3 µm. Tanaman terserang Diplodia sp. memiliki ciri miselium berwarna putih kecoklatan, pertumbuhan miselium jarang-jarang, pada bagian miselium terdapat warna hitam, hifa tumbuh panjang dan tidak bersekat. Piknidia berdiameter 3 mm, berwarna cokelat dengan bagian leher silendris. Konidiofor hialine dengan ukuran 22 x 4 µm, sederhana, meruncing menuju bagian ujung. Konidia berukuran 18-24,5 x 10-13 µm, berwarna cokelat, bersel dua dengan bentuk elips atau oval yang tebal, konidia muda bercampur dengan hialine. Gejala serangan Diplodia sp. pada tanaman kelapa sawit terlihat daun kering seperti terbakar yangdimulai dari ujung daun, akar membusuk, daun muda lebih cepat mati, warna hijau daun tua memudar dan jaringan akar yang sakit menguning. Hasil uji daya hambat dari masing antagonis terhadap patogen bercak daun (Curvularia sp) dan busuk batang (Ganoderma sp) memperlihatkan bahwa daya hambat berkisar antara 66,75 – 84,30% (Tabel 2). 168 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 2. Daya hambat antagonis terpilih terhadap patogen Curvularia sp dan busuk batang Ganoderma sp. Antagonis Trichoderma sp 2.7 Acremonium sp 2.2 Trichoderma sp 1.4 Gliocladium sp 1.8 LB- Daya Hambat (%) Terhadap Patogen Curvularia sp Busuk batang Ganoderma sp 78,50 80,25 LB- 75,20 81,50 LB- 72,80 84,30 LB- 66,75 79,91 Trichoderma sp LB2.7 Acremonium sp LB2.2 Trichoderma sp LB1.4 Gliocladium sp LB1.8 Mekanisme Antagonis Mekanisme Antagonis kompetisi ruang, mikoparasit mikoparasit, antibiosis kompetisi ruang, mikoparasit mikoparasit, antibiosis antibiosis, over growth over growth antibiosis antibiosis Mekanisme antagonis berupa kompetisi ruang, terjadi setelah pertumbuhan jamur antagonis mendominasi ruang dan pertumbuhan hifa selanjutnya menutupi (over growth) koloni Ganoderma sp. Pertumbuhan hifa Trichoderma dapat menahan perkembangan Ganoderma tanpa menutupi koloni Ganoderma, terutama pada batas pertemuan koloni yang terdekat. Mekanisme antagonis dengan kompetisi ruang dan nutrisi ini merupakan salah satu mekanisme penting karena suatu organisme tidak dapat bertindak sebagai agen pengendali hayati apabila tidak dapat berkompetisi dalam hal ruang maupun nutrisi dengan competitor lain di rhizosfer (Howell, 2003). Bahkan Mastouri et al. (2010) mengemukakan bahwa jamur endofit Trichoderma harzianum T 22 dapat berkompetisi dengan baik pada rhizosfer. Keuntungan pengendalian dengan menggunakan mikroba yang diaplikasi ke biji berpotensi untuk berkembang ke akar sehingga memperluas jangkauan dampak perlindungan terhadap patogen akar (Callan et al., 1997; Komedahl & Windels, 1981). Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa efisiensi pengendalian secara hayati meningkat apabila antagonis yang 169 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 digunakan memiliki kemampuan tumbuh di rizosfir dan mempunyai kemampuan persistensi yang tinggi (Mangenot & Diem, 1979). Menurut Lifshitz et al. (1986), miselium Trichoderma sp. yang kontak dengan miselium dari Phytium sp akan mengalami lisis dan hampa, sedangkan Elad et al. (1983) memperlihatkan bahwa hifa jamur Trichoderma spp. membentuk suatu struktur mirip dengan appresorium dan membentuk jarum penetrasi yang masuk ke dalam hifa jamur R. solani setelah keduanya berkontak. Pada tanaman terinfeksi, juga ditemukan tubuh buah (basidokarp) . Kemunculan basidiokarp ini merupakan diagnosis yang nyata bahwa pokok kelapa sawit telah diserang Ganoderma sp. Pada permukaan bawah basidiokarp, terdapat beribu-ribu pori pori. Dalam pori pori ini terdapat basidiospora. Tanaman yang terserang akan mati dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun setelah gejala penyakit pada daun dan pelepah. Ganoderma yang berada dalam akar dan batang akan terus mengkolonisasi seluruh batang sehingga jaringan yang terserang hancur. Menurut Alexopoulus et al. (1997) identifikasi ganoderma dapat ditentukan dengan melihat tubuh buah Gambar 1. Daya hambat isolat jamur Trichoderma sp terhadap Curvularia sp dan Ganoderma sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada uji oposisi langsung antara Trichoderma dan Ganoderma, ternyata dipisahkan oleh zona bening pada pertemuan hifa. Hal ini diduga isolate Trichoderma mengeluarkan zat yang dapat menghambat hifa Ganoderma sp.. Kemampuan Trichoderma sebagai antagonis telah banyak dilaporkan. Berbagai mekanisme antagonis yang digunakan Trichoderma dalam menyerang inangnya diantaranya adalah sebagai kompetitor yang kuat, menghasilkan antibiotik dan bersifat hiperparasit. Trichoderma sp. lebih dominan berinteraksi secara antibiosis. Sifat enzim ekstraseluler yang bersifat amilolitik, pektinolitik, proteolitik, dan selulolitik pada 170 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 T. viride dan zat volatile seperti alkil piron pada T. harzianum. Enzim khitinase dihasilkan oleh T. harzianum dapat merusak dinding jamur yang mengandung khitin Enzim β 1-3 glukanase dapat merusak dinding sel jamur yang mengandung β 1,3 – glukan. Hifa dari F. moniliforme mengalami lisis dan mengakibatkan berkurangnya diameter koloni dalam 6 – 14 hari inkubasi bila dibiakkan bersama dengan T. viride (Yates et al., 1999). Dengan demikian Trichoderma sp. sebagai agen antagonis berperanan sebagai agen kontrol biologi untuk jamur lain yang patogenik/toksigenik yang dinding selnya mengandung chitin, glucan dan protein. Zat anthraquinone dihasilkan oleh T. polysporum berefek antibiosis terhadap jamur lain..Selain itu mekanisme hiperparasit yaitu yaitu dengan cara membelit hifa dari jamur lain, dalam hal ini seperti yang terjadi terhadap jamur Fusarium oxysporum, F. solani dan F. roseum Tabel 3. Pengaruh perlakuan jamur antagonis terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit Perlakuan Rerata Pertumbuhan Tanaman Tinggi Tanaman (cm) Berat Basah (gr) Kontrol Trichoderma sp LB-2.7 16,50 24,90 27,65 36,90 Acremonium sp LB-2.2 Trichoderma sp LB-1.4 Gliocladium sp LB-1.8 19,25 27,53 21,30 34,75 32,30 30,75 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian tahun pertama ini adalah: 1. Patogen dominan pada fase pre nursery adalah Curvularia sp, Fusarium sp dan Diplodia sp., sedangkan pada tanaman di lapang terlihat gangguan pathogen Ganoderma sp selalu ada pada tanaman diperkebunan tua 2. Antagonis terbaik adalah Trichoderma sp LB-2.7, Trichoderma sp LB-1.4, Acremonium sp LB-2.2 dan Gliocladium sp LB-1.8 dengan kemampuan daya hambat berkisar antara 66,75 – 84,30%. 3. Hasil uji in-vivo pada fase pre nursery terbukti isolat mampu sebagai antagonis terhadap bercak daun Curvularia sp dan busuk pangkal batang Ganoderma sp. dan dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman dan berat basah tanaman. Daftar pustaka Atlas, R.M. 1989. Microbiology Fundamental and Aplication. 2.td Maxmillan Publ.Co. N.Y. pp. 807 Ed. 171 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Alabouvette, C., C. Steinberg, C. Olivain & P. Lemanceau. 2003. Biocontrol of vascular diseases – the Fusarium example. Proc. 8th International Congress of Plant Pathology. Christchurch, New Zealand. Balai Karantina Pertanian. 2012. Laporan Pemantauan OPTK Kalimantan Selatan. Balai Karantina Pertanian. Banjarmasin. Baker, K.F. and R.J. Cook. 1996. The nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogen 3nd . The Amer. Phytopathol. Soc. pp. 367 Chao, W.L., E.B. Nelson, G.E. Harman and H.C. Hoch. 1986. Colonization of the Rhizosphere by Biological Control Agent Applied to Seed. Phytopathol. 96:60-65 Chet, I and R. Baker. 1983. Isolation and Biocontrol Potential of Trichoderma hamatum from Soil Naturally Supressive to Rhizoctonia solani. Phytopathol. 93: 119 - 121. Cappucino, J.G. and N. Sherman 1992. Microbiology Laboratory Manual 3nd Ed. The Benyamin/Cummings Publ. Co. Inc. NY. pp 298 Cook, R.J. and K.F. Baker. 1983a . Nature and Practice for Biological Control of Plant Pathogen. Phytopathol. 20 : 128 Cook, R.J. and R. Baker. 1983b. Isolation and biocontrol potential of Trichoderma hamatum from soil naturally supressive to Rhizoctonia solani. Phytopathol. 93: 119 - 121. Delp, B.R., L.J. Stowell and J.J. Marois. 1986. Evaluation of field sampling techniques for estimation of disease incidence. Phytopathol. 76: 1299 1305. Harman, G.E., I. Chet and R. Baker. 1981. Factors affecting Trichoderma hamatum applied to seeds as a biocontrol agent. Phytopathol. 7: 569 572. Howell, C.R. 1982. Effect of Gliocladium virens on the Pytium ultimum, Rhizoctonia solani and damping-off of cotton Seeding. Phytopathol. 72: 496 - 498. Johnson, L.F.. 1974. Methods for research on the ecology of soil-borne plant pathogens. Burgess Publ. Co. USA. pp.110. Khan, S.U. 1978. The Interaction of Oorganic Matter with Pesticides. In: Soil Organic Matter (Eds M. Schnitzer and S.U.Khan) Elsivier Scientific Publishing Company. New York, pp 137 – 171. Lakeman, J.P. and N.J. Fokkema. 1982. Potential for biological control of plant diseases on the phylloplane. An. Rev. Phytopathol. 92:167-192. Lumsden, R.D. and Locke. 1989. Biological control of damping-off caused by Pythium ultimum and Rhizoctonia solani with Gliocladium virens in soilles mix. Phytopathol. 79: 361 - 366. Mao, W., J.A. Lewis, P.K. Hebber and R.D. Lumsden. 1997. Seed treatment with a fungal or a bacterial antagonist for reducing corn dumping-off 172 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 caused by species of Phytium and Fusarium. Plant Disease 81: 450 454 Navaratman, S.J. 1961. Succesfull inoculation of oil palms with a pure culture of Ganoderma lucidum. Malay. Agric.J. 43 : 233-238 Navaratman, S.J and K.L. Chee . 1965. Root inoculation of oil palm seedling with Ganoderma sp. Plant Disease 49 : 1011-1012 Papavizas, G.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium biology, ecology and potential for Biocontrol Soil Born Disease Laboratory. Phytophatol. 75: 93 - 121. Stevenson, F.J. 1976. Bound and conjugated pesticides residues. ACS Symp. Ser., 29:180-207. Tuite, J. 1970. Plant Pathological Methode Fungi and Bacteria. Burgess Publ. Co. Minneapolis. pp. 232 Ulhoa, C.J. and J.F. Peberdy. 1992. Purification and some properties of extracellular chitinase produced by Trichoderma harzianum. Enzyme Microb. Technol. 14: 236 - 241. Unterstenhofer. 1976 The Basic Principles of Crop Protection. Field Trials. Pelenzenschutz-Nachrichten Bayer. pp. 164. Van der Gon, H.A.C.D., and H.U. Neue. 1995. Influence of organic matter incoporation on the methane emission from wetland rice field. Global Biogeochem. Cycles 9:11-22. Winardi, A. 2011. Penyakit-penyakit Tanaman Kelapa dan Kelapa Sawit.<http://agungwinardi.blog.com/penyakit_kelapa&kelapa_sawit/scrib d.inc> .Diakses 23 juni 2012. Young, R.N., Mohamed, A.M.O. and Warkentin, B.P. 1992. Principle of Contaminant Transport in Soils. Elsevier, Amsterdam. 173 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGGUNAAN VARIETAS TAHAN DALAM PENGELOLAAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI DAN BLAS DALAM SISTEM USAHATANI PADI Ida Bagus Kade Suastika dan A.A.N.B. Kamandalu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jln. By Pass Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar. P.O. BOX:3480. Telp.(0361)720498, Fax. (0361)720498, Email:[email protected] Abstrak Usahatani padi dan komoditas lainnya tidak terlepas dari adanya serangan penyakit yang dapat mempengaruhi hasil dan secara ekonomi merugikan. Namun keberadaanya perlu dikendalikan dalam suatu tatanan keseimbangan ekologis dan tidak saling merugikan. Diantaranya pemerintah telah melarang peredaran 57 jenis pestisida serta upaya pengendalian secara terpadu, dalam hal ini salah satu komponennya adalah penggunaan varietas tahan. Dibanding dengan pengendalian secara kimiawi, penggunaan varietas tahan relatif murah, tidak menimbulkan polusi lingkungan, dan umumnya kompatibel dengan taktik pengendalian lainnya. Pengendalian penyakit hawar daun bakteri dan blas yang selama ini dianggap paling efektif adalah dengan varietas tahan. Namun teknologi ini dibatasi dengan adanya kemampuan patogen membentuk patotipe dan ras baru yang lebih virulen yang menyebabkan pergeseran dominasi patotipe dan ras patogen ini terjadi dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan varietas tahan di suatu saat tetapi rentan di saat yang lain dan tahan di suatu wilayah tetapi rentan di wilayah lain. Program penelitian yang perlu dilakukan antara lain mengembangkan varietas tahan dan pemetaan penyebaran patogen sebagai dasar penentuan penanaman suatu varietas disuatu wilayah berdasarkan kesesuaian sifat tahan suatu varietas terhadap patotipe dan ras patogen yang ada di wilayah tersebut dalam pengendalian penyakit hawar daun bakteri dan blas. Kata kunci: varietas tahan, penyakit hawar daun bakteri dan blas Pendahuluan Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan dunia. Oleh karna itu, padi perlu selalu diupayakan dalam stabilitas produksinya. Salah satu kendala produksi padi adalah cekaman biotik seperti gangguan hama dan penyakit. Hawar daun bakteri (HDB) dan blas adalah merupakan salah satu penyakit yang sangat penting di negara-negara penghasil padi di Asia, termasuk Indonesia (Ou, 1985; Mew et al. 1993). Di Asia, serangan HDB yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo) dapat mengurangi hasil padi 50% sampai 80% (Makino et al., 174 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 2006). Suparyono dan Sudir (1992) melaporkan serangan penyakit HDB dapat menurunkan hasil hingga 35,8%. Penyebab penyakit ini dapat menginfeksi pada semua fase pertumbuhan tanaman padi, mulai dari pesemaian sampai menjelang panen. Gejala infeksi terutama pada tanaman muda menyebabkan daun layu, mengering dan akhirnya mati, yang dikenal sebagai kresek (Reddy, 1984; Ou, 1985). Pada tanaman yang lebih tua (fase generatif), menyebabkan gejala daun menjadi kuning dan kemudian mati yang dikenal sebagai hawar (blight). Penyebab penyakit HDB memiliki banyak patotipe (strain) dan dapat menyerang padi pada berbagai stadia tumbuh, sehingga sulit dikendalikan (Suparyono et al., 2004). Sampai saat ini lebih dari 30 ras dari (Xoo) dan lebih dari 25 gen ketahanan (gen R) terhadap HDB telah diidentifikasi (Lee et al., 2003; Yang et al., 2002). Ras Xoo yang sebelumnya tidak menonjol suatu ketika akan menjadi menonjol apabila mendapat inang yang cocok (Sudir dan Suparyono, 2001). Selama ini, pengendalian HDB dilakukan dengan modifikasi kultur teknis, terutama pengaturan penggunaan dosis pupuk N dan penanaman varietas tahan (Qi and Mew 1989: Sudir, 2011). Hasil pengendalian pengurangan penggunaan dosis pupuk N sangat terbatas dan sering bersifat lokal sehingga dihadapkan kesulitan teknis relatif tinggi. Sementara, penggunaan varietas tahan dihadapkan pada beragamnya patotipe yang menyebabkan ketahanan varietas dibatasi waktu dan tempat (Ogawa, 1993; Suparyono et al., 2003). Oleh karena itu program pemuliaan padi, untuk mengendalikan penyakit HDB secara berkesinambungan, pemantauan struktur dan dominasi patotipe bakteri Xoo serta pencarian gen ketahanan baru perlu terus dilakukan. Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae merupakan salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi padi di Indonesia. Secara umum ada dua jenis serangan blas, yaitu blas daun yang menyerang tanaman pada saat fase vegetatif dan blas leher malai yang menyerang pada fase pembungaan (Bonman, 1992). Penyakit blas khususnya blas leher menjadi tantangan yang lebih serius karena banyak ditemukan menyerang beberapa varietas padi sawah. Penyakit ini dapat menyerang semua fase pertumbuhan tanaman padi dari pesemaian, stadia vegetatif dan stadia generatif dengan menyerang leher dan cabang malai (OU, 1985). Serangan serius pada fase vegetatif dapat menyebabkan tanaman mati dan fase generatif dapat menyebabkan leher malai dan bulir padi yang hampa menjadi patah. Pada varietas rentan dan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan cendawan blas dapat menyebabkan petani gagal panen atau puso. Penyebaran penyakit blas sangat luas dan bersifat dedtruktif jika kondisi lingkungan menguntungkan (Scardaci et al., 1997). Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh penyakit ini berkisar antara 1-50% (Koga, 2001). Pengendalian menggunakan varietas tahan dibatasi oleh kemampuan penyakit blas membentuk ras baru dalam waktu singkat. 175 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tampaknya bahwa dengan cara memanipulasi agro-ekosistem pertanaman padi akan memberikan kontribusi nyata terhadap masalah penyakit. Sebuah kombinasi dari beberapa faktor dapat berkontribusi pada peningkatan masalah penyakit di daerah-daerah, seperti penanaman terusmenerus dan tidak serempak, peningkatan penggunaan pupuk nitrogen, peningkatan penggunaan pestisida, pengurangan keragaman varietas dan penanaman berketahanan gen sempit secara luas. Sejak pendekatan bersama untuk mengelola hama/penyakit seperti ketergantungan pada ketahanan tanaman atau pestisida saja tidak memadai, sebuah program pengendalian terpadu skala luas untuk hama wereng coklat dan virus kerdil rumput sudah dimulai sejak musim tanam 1978/79. Program ini terdiri dari penanaman tanaman tahan, tanam serentak secara luas dan pergiliran dengan tanaman non padi, sanitasi selektif dan penggunaan pestisida bijaksana yang didasarkan pada pengamatan. Hasilnya sangat memuaskan, tetapi banyak kendala sosial-ekonomi serta teknis masih perlu diatasi. Untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh patogen yang mampu membentuk patotipe dan ras seperti HDB dan blas berikut ini adalah diskusi tentang peran dan keterbatasan menggunakan ketahanan tanaman sebagai salah satu taktik yang paling penting dalam strategi mengelola penyakit padi di Indonesia. Dalam hal ini akan dibahas ide ketahanan “durable” terhadap penyakit. Ketahanan tanaman Dibanding dengan pegendalian kimia penggunaan varietas tahan relatif murah, tidak menimbulkan polusi lingkungan, dan umumnya kompatibel dengan taktik pengendalian lainnya. Ketahanan tanaman telah banyak digunakan sebagi upaya pengendalian berbagai patogen tanaman. Baru-baru ini telah dilaporkan upaya pengendalian menggunakan ketahanan tanaman terhadap penyakit padi. Badan litbang Kementerian Pertanian telah melepas berbagai varietas padi yang memiliki ketahanan terhadap HDB patotipe tertentu, diantaranya varietas Membramo, Cibodas, Ciherang, Sintanur, Cigeulis, Inpari 5, Inpari 6, Inpari 7, dan Inpari 8 tahan terhadap HDB patotipe III. Sedangkan varietas Inpari 4 tahan terhadap HDB patotipe III dan IV, Angke, Conde, dan Inpari 6 tahan terhadap HDB patotipe III, IV, dan VIII (Suprihatno, et al., 2011). Tahun 2012 Badan litbang Kementerian Pertanian kembali melepas berbagai varietas padi yang memiliki ketahanan terhadap patotipe HDB dan ras blas tertentu disajika pada Tabel 1. 176 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 1. Beberapa varietas padi Badan Litbang Kementerian Pertanian yang tahan terhadap HDB dan blas. Respon ketahanan Respon ketahanan blas HDB No. Varietas Patotipe Ras III IV VIII 033 073 133 173 1. Ciherang T R R 2. Mekongga AT -3. Inpari 1 T T T 4. Inpari 2 AT AR AR 5. Inpari 3 AT AR AR 6. Inpari 4 T AR T 7. Inpari 5 T AT AT 8. Inpari 6 T T T 9. Inpari 7 AT AR AR 10. Inpari 8 AT AR AR 11. Inpari 9 AT AR AR 12. Inpari 10 AT AR 13. Inpari 11 T AT AT T R T R 14. Inpari 12 AR AR AR T AT AT 15. Inpari 13 AR AR AR T AT AT AT 16. Inpari 14 AT AT AT T AT AT 17. Inpari 15 AT AT AT T AT AT AT 18. Inpari 16 T AR AR T AT R R 19. Inpari 17 T T T T AT T R 20 Inpari 18 T AT R 21. Inpari 19 T AT R 22. Inpari 20 T AR AR AR R R R 23. Inpari Sidenuk AT R AR R R R R 24. Inpari 21 T AR AR T AT AT R 25. Inpari 22 T AR AR T AT T AT 26. Inpari 23 T AT R 27. Inpari 24 T AT AR 28. Inpari 25 T AT AT 29. Inpari 26 T AR AR T AT R AT 30.. Inpari 27 T AR AR R T R AT 31. Inpari 28 T AR AR AT AT R R 32. Inpari 29 AR R R 33. Inpari 30 AR R R Ciherang Sub 1 Sumber: Badan Litbang Kementerian Pertanian (2012); T = Tahan; AT = Agak tahan, AR = Agak rentan; R = rentan 177 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kesesuaian penanaman varietas tahan dengan keadaan patotipe patogen, berdampak terhadap efektifitas pengendalian penyakit HDB, sehingga intensitas penyakit dapat ditekan, umur ketahanan varietas terhadap penyakit HDB dapat diperpanjang dan mengurangi kehilangan hasil. Penggunaan varietas tahan dihadapkan pada beragamnya patotipe yang menyebabkan ketahanan varietas dibatasi waktu dan tempat (Ogawa, 1993; Suparyono et al., 2003). Oleh karena itu program pemuliaan padi, untuk mengendalikan penyakit HDB secara berkesinambungan, pemantauan struktur dan dominasi patotipe bakteri Xoo serta pencarian gen ketahanan baru perlu terus dilakukan. Sementara penanaman varietas campuran membuat kondisi lingkungan tidak homogen atau adanya keragaman pada populasi inang menghambat virulensi patogen blas (Garrett and Mundt, 1999). Dengan demikian akan mengurangi tekanan seleksi terhadap patogen blas. Penanaman bermacammacam varietas yang memiliki ketahanan terhadap penyakit blas berbeda pada suatu hamparan pertanaman padi diharapkan dapat diperoleh ketahanan yang stabil. Hawar daun bakteri Salah satu penyakit endemik yang paling penting di seluruh negara penghasil padi adalah hawar daun bakteri, Xanthomonas oryzae. Patogen ini menyebabkan kerugian serius pada upaya pengembangan varietas modern seperti IR 5 dan IR 8 yang sangat rentan terhadap HDB (Oka, 1986). Di sisi lain berbagai varietas modern nasional Pelita 1/1 dipilih untuk ketahanan terhadap HDB dalam kondisi lapangan yang berbeda, yang dirilis pada tahun 1969, masih mempertahankan ketahanan. Ratusan varietas padi lokal dan varietas nasional yang diperbaiki menunjukkan perbedaan derajat reaksi terhadap penyakit, tetapi kebanyakan bereaksi agak rentan sampai sangat tahan, mengindikasikan bahwa ras patogen masih ada. Varietas Inpari 13 yang dilepas tahun 2010 dengan ketahanan agak rentan terhadap HDB, ditingkat lapangan masih menunjukkan reaksi agak rentan sampai hari ini (Suastika, 2014) (Gambar 1). Dari 77 isolat bakteri yang dikumpulkan dari Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi Selatan 46 isolat termasuk patotipe III, 24 isolat patotipe IV dan hanya satu isolat termasuk patotipe V (Suparyono, 1983). Sudir et al., (2009) melaporkan bahwa pada musim tanam 2007 penyakit HDB di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah didominasi oleh kelompok patotipe VIII. Sedangkan Sudir dan Handoko (2012) melaporkan bahwa dari 127 isolat bakteri yang dikumpulkan dari beberapa kabupaten di Jawa Timur, 30 isolat termasuk patotipe III, 43 isolat patotipe IV dan 49 isolat termasuk patotipe VIII. Dari hasil identifikasi pathogen HDB yang dilakukan oleh Sudir dan Handoko (2012) didapatkan bahwa HDB patotipe III ditemukan di sembilan wilayah kabupaten yaitu Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Malang, Lumajang, Blitar, Ponorogo, dan Madiun serta dominan 178 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 ditemukan di Kabupaten Banyuwangi dan Malang. Patotipe IV ditemukan di 12 wilayah kabupaten yaitu Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Malang, Lumajang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Magetan, Madiun, Kediri, serta dominan di enam kabupaten yaitu Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madium, dan Kediri. Patotipe VIII dominan ditemukan di lima wilayah kabupaten yaitu Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, dan Jember. Gambar 1. Varietas Inpari 13 dengan intensitas penyakit hawar daun bakteri yang tinggi Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap variasi patotipe suatu patogen di suatu tempat, diantaranya adalah fenomena adult-plant resistance, mutasi dan sifat heterogen alamiah yang ada pada populasi patogen. Adutplant resistance, yaitu sifat tahan yang muncul saat tanaman sudah berumur tertentu dan sangat berpengaruh terhadap keparahan penyakit dan penurunan hasil (Hwang et al., 1987). Fenomena serupa sebagai akibat dari proses mutasi virulensi dua patotipe Puccinia graminis f.sp. tritici yang diisolasi selama tahun 1984 dari kultivar SST 44 dan Gamka, yang sebelumnya tahan dan keduanya menunjukkan peningkatan virulensi untuk gen tahan Sr24 (Le Roux and Rijkenberg, 1987). Patotipe yang meningkat virulensinya itu disebut sebagai 2SA100 dan 2SA101. Keduanya ini merupakan mutan (hasil mutasi) dari tipe sebelumnya. Kemungkinan lain adalah adanya karakter heterogenisitas yang bersifat alamiah dari suatu populasi mikroorganisme. Hal ini seperti dilaporkan Malvick and Moore (1988) bahwa kajian population dynamic and diversity of Pseudomonas syringae pada kebun maple dan pear, menunjukkan isolat dari kedua kebun bervariasi, relatif terhadap patogenisitas dan analisis potongan DNA. Suparyono et al. (2003) melaporkan bahwa keberagaman varietas padi dengan latar belakang genotype yang berbeda berpengaruh terhadap keberagaman patotipe patogen. Selain itu dominasi patotipe Xoo di musim hujan dan musim kemarau pada daerah sentra produksi padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan JAWA Timur juga dilaporkan berbeda. Pada musim kemarau dominasi patotipe Xoo kelompok III dan VIII berimbang yaitu berturutturut 42,7% dan 42,0%. Pada nusim hujan dominasi patotipe berubah yaitu 179 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 patotipe VIII sangat dominan (63%), diikuti patotipe IV (29%), dan patotipe III (9%). Perubahan ini menunjukkan adanya perubahan virulensim, pada musim hujan virulensi bakteri Xoo lebih tinggi dibanding pada musim kemarau. Hal ini diduga disebabkan pada musim hujan kondisi lingkungan terutama kelembaban relatif lebih mendukung terhadap virulensi bakteri Xoo dibandingkan pada musim kemarau. Bakteri Xoo berkembang dengan baik pada kondisi kelembaban tinggi (> 90%) dan suhu antara 25o – 30oC (Ou, 1985). Pengelompokan patogen digunakan untuk identifikasi bahan genetik sebagai bagian dari program pemuliaan ketahanan terhadap patogen. Blas padi, Pyricularia oryzae Blas padi, Piricularia oryzae, adalah kendala nomor satu pada pengembangan dan intensifikasi budaya padi gogo di Indonesia. Varietas padi gogo Gata dan Gati yang dilepas pada tahun 1976 dilaporkan rentan terhadap blas daun dan blas leher di Kertamulya. (Oka, 1986). Tahun 1976, Pelita 1/1 dan Sentral Bodas mengalami kerusakan di Ciparay. C4-63 juga diserang berat oleh blas di pulau Buru dan di Tulung Agung pada tahun 1975. IR30, 32, 36, dan 38 juga mengalami kerusakan di kawasan padi Palembang dalam tahun 1977-1981. Di sisi lain IR42 ditemukan tahan terhadap ledakan di sana, tapi sangat rentan di Kendari (Sulawesi) (Oka, 1986). Namun demikian, hasil monitoring perkembangan penyakit blas yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penyakit blas telah meluas dari padi gogo ke padi sawah, sehingga IR64 telah terserang penyakit blas. Perkembangan selular dan morfologi P. grisea sangat adaptif pada tanaman padi yang diinfeksinya, di samping itu cendawan patogen ini juga mempunyai keragaman genetik yang tinggi (Dean et al., 1994). Oleh karena itu, pengembangan varietas padi tahan blas yang bersifat langgeng dan memiliki ketahanan horisontal perlu dilakukan. Perbedaan reaksi varietas terhadap blas di lapangan menunjukkan adanya ras patogen. Saat ini di Indonesia 19 ras patogen telah diidentifikasi dan penyebarannya juga telah ditentukan. Lima diantaranya diklasifikasikan sebagai ras dominan yaitu ras 041, ras 033, ras 073, ras 133, dan 173 (Santoso dan Anggiani, 2011). Pemuliaan untuk ketahanan terhadap blast padi telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Sekitar 17.000 varietas dan galur lokal dan memperkenalkan telah diuji untuk ketahanan terhadap ledakan. Indonesia berpartisipasi dalam International Rice ledakan Pembibitan (IRBN) dikoordinasikan oleh IRRI sejak 1976 (Oka, 1986). Saat ini Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian melakukan pemuliaan padi tahan terhadap penyakit blas melalui analisis pemetaan QTL (quantitative trait loci) tahan blas yang berasal dari Oryza rufipogon, IR64 dan tetua pemulih IR64 dan membandingkan spektrum ketahanan serta pengendalian gen (Utami, dkk. 2008). Berdasarkan analisi pemetaan QTL tahan blas yang berasal dari O. 180 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 rufipogon, IR64, dan tetua pemulih IR64 masing-masing berkontribusi dalam membentuk sifat ketahanan terhadap ras 001, ras 173, dan ras 033. Dilaporkan juga bahwa berdasarkan hasil uji perbandingan reaksi spesifik gen ketahanan yang berasal dari varietas padi IR64 dan Oryza rufipogon, maka gen ketahanan yang berasal dari IR64 bersifat spesifik ras atau mempunyai spektrum ketahanan yang spesifik terhadap ras tertentu, sedangkan gen ketahanan yang berasal dari O. rufipogon mempunyai spektrum ketahanan yang lebih luas atau bersifat tidak ras spesifik. Ketahanan “durable” Penggunaan tanaman tahan dalam program pengelolaan penyakit padi dalam skala luas memberikan sumbangan nyata menekan wabah epidemi patogen seperti HDB dan blas. Namun, karena varietas yang ada hanya memiliki satu dan atau beberapa gen utama untuk ketahanan mereka memiliki rentang hidup yang pendek. Varietas tersebut memicu perkembangan patotipe dan ras baru dari ledakan HDB dan blas yang mampu menyerang tanaman tahan. Tampaknya mengandalkan dasar genetik sempit untuk ketahanan tidak menjamin hubungan yang stabil antara tanaman padi dan penyakit. Ini mungkin benar berkaitan dengan jenis epidemi penyakit seperti HDB dan blas yang ditandai dengan kemampuan membentuk variasi patotipe dan ras disuatu tempat dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fenomena adult-plant resistance, mutasi dan sifat heterogen alamiah yang ada pada populasi patogen (Hwang et al., 1987; Le Roux and Rijkenberg, 1987; Malvick and Moore, 1988; Suparyono et al. 2003). Untuk sistem pertanian, patahnya ketahanan dari beberapa varietas oleh penyakit mungkin memiliki konsekuensi. Dibutuhkan waktu untuk penggantian varietas rentan dengan yang tahan. Jumlah benih yang cukup harus dibuat tersedia bagi petani. Ini juga membutuhkan waktu dan prosedur panjang. Juga perlu program penyuluhan terus-menerus dan intensif untuk meyakinkan para petani mengapa penggantian harus dilakukan dan bagaimana kinerja varietas unggul baru. Varietas unggul baru mungkin tidak selalu memuaskan para petani berkaitan dengan berbagai karakter agronomi dan rasa, yang membuat kembali menggunakan varietas lama meskipun resiko terserang penyakit sangat besar. Ada bahaya bahwa mereka kehilangan kepercayaan secara bertahap dalam teknologi padi baru dan penyebarluasannya . Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi berkelanjutan, ketahanan varietas harus tahan lama, yang menjamin hubungan tanaman inang penyakit seimbang. Hal ini dapat dicapai melalui perluasan dasar genetik untuk ketahanan varietas dengan penggabungan gen ketahanan vertikal dan horisontal atau menggunakan tanaman berketahanan horisontal. Piramiding genes atau multiple resistance untuk ktahanan utama biotipe hama tertentu mungkin adalah cara lain untuk menyeimbangkan hubungan tanaman inang 181 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 hama/penyakit (Oka, 1986). Strategi ini telah penuh semangat dikejar oleh IRRI dan program pemuliaan ketahanan nasional untuk beberapa hama/penyakit padi utama. Sebagai contoh tipe ketahanan horisontal dari varietas padi lokal Kencana terhadap wereng coklat biotypes 1, 2 dan 3 telah diidentifikasi (Oka, 1986). Strategi ini juga telah penuh semangat dikejar oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian untuk ketahanan terhadap penyakit blas melalui analisis pemetaan quantitative trait loci (QTL) dan membandingkan spektrum ketahanan serta pengendalian gen. Utami dkk. (2008) melaporkan bahwa berdasarkan analisi pemetaan QTL tahan blas yang berasal dari O. rufipogon, IR64, dan tetua pemulih IR64 masing-masing berkontribusi dalam membentuk sifat ketahanan terhadap ras 001, ras 173, dan ras 033. Dilaporkan juga bahwa berdasarkan hasil uji perbandingan reaksi spesifik gen ketahanan yang berasal dari varietas padi IR64 dan Oryza rufipogon, maka gen ketahanan yang berasal dari IR64 bersifat spesifik ras atau mempunyai spektrum ketahanan yang spesifik terhadap ras tertentu, sedangkan gen ketahanan yang berasal dari O. rufipogon mempunyai spektrum ketahanan yang lebih luas atau bersifat tidak ras spesifik. Ketahanan varietas Pelita terhadap hawar daun bakteri dikendalikan oleh satu atau dua gen (Arya, 1978). Pelita tahan terhadap HDB patotipe III, tetapi rentan terhadap patotipe IV (Osamu and Hartini,1978). Patotipe III menyebar luas di dunia. Hal ini menjelaskan bahwa Pelita tahan di beberapa tempat, tetapi hubungan Pelita dengan HDB patotipe III belum diketahui. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Suparyono (1983) penyebaran patotipe HDB dapat berubah. Pada tahun 1980 dari 65 isolat BLB lebih dari 80% terdiri dari patotipe III, 4,87% patotipe IV dan juga 4,87% patotipe VI. Setelah dua tahun, 60% isolat ditemukan patotipe VI, sedangkan patotipe III dan IV sedikit masingmasing 9,23% dan 3%. Oleh karena itu, mengetahui dinamika patotipe dan luas penyebaran mereka untuk program pemuliaan ketahanan terhadap HDB sangat penting. Hal yang sama berlaku untuk penyakit lain dan biotipe hama serangga. Variabilitas genetik yang tinggi dari tanaman padi harus memungkinkan pemuliaan varietas modern dengan beberapa gen ketahanan atau varietas dengan tingkat ketahanan agak tahan terhadap hama dan kondisi lingkungan yang merugikan (Arya, 1978)). Metode skrining varietas untuk tingkat ketahanan agak tahan terhadap BPH telah dikembangkan oleh IRRI (Heinrichs et al., 1985). Di samping metode pemuliaan konvensional, teknik pemuliaan inovatif seperti pemuliaan padi hibrida, hibridisasi jauh, pemuliaan mutasi, dan kultur jaringan sangat diharapkan (Anonimus, 1980). Upaya ini membutuhkan kerjasama antara para ilmuwan dari disiplin terkait 182 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Daftar pustaka Anonim, 1980. Innovative approaches to rice breeding. Slected papers from 1979 International Rice Research Conference, IRRI, Los Banos, Philippines. 182. Arya, Nyoman. 1978. Pewarisan sifat ketahanan tanaman padi terhadap penyakit bakteri kresek, Xanthomonas oryzae (Uyeda et Ishiyama) Dowson. Universitas Udayana. Tesis. Badan Litbang Kementerian Pertanian, 2012. Deskripsi Varietas Unggul Padi. Bonman, J.M. 1992. Durable resistance to rice blast-environmental influences. Euphytica 63: 115-123. Dean, R.A., Y.H. Lee, T.K. Mitchell, and D.S. Whitehead. 1994. Signaling system and gene expression regulating appressorium formation in Magnaporthe grisea. Rice Blast Disease. Philippines: CAB International. IRRI 2:23-26. Garrett, K.A. and C.C. Mundt. 1999. Epidemiology in mixed host population. Phytopathology 89:984-990. Heinrichs, E.A., F.G. Medrano and HR. Rapause. 1985. Genetic Evaluation for insect Resistance in Rice . IRRI. Los Banos, Philippines. 35 p. Hwang, B.K., Koh, Y.K., and H.S. Chung. 1987. Effect of adult-plant resistance on blast severity and yield of rice. Plant Disease 71:1035-1038. Le Roux, J. and Reijkenberg. 1987. Pathotypes of Puccinia graminis f.sp. tritici with increased virulence for Sr24. Plant Disease 71:1115-1119. Lee, K.S., S. Patotipeabandith, E.R. Angeles, and G.S. Khush. 2003. Inheritance of resistance to bacterial blight in 21 cultivals of rice. Phytopathology 93:147-152. Makino, S., A. Sugio, F. White, and A.J. Bogdanovel. 2006. Inhibition of resistance gene-mediated defense in rice by Xanthomonas oryzae pv. Oryzicola. Molec. Plant-Microbe Interact. 19(3):240-249. Malvick. D.K. and L.W. Moore. 1988. Population dynamics and diversity of Pseudomonas syringae on maple and pear trees and associated grasses. Phytophatology 78:1366-1370. Mew, T.W., A.M. Alvares, J.E. Leach, and J. Swings. 1993. Focus on bacterial blight of rice. Plant Dis.77:5-12. Koga, H. 2001. Cytological aspect of infection by the rice blast fungus Pyricularia oryzae. In. Sreenivasaprasad S. and R. Johnson (eds). Major Fungal Disease of Rice Recent Advances. Kluwer Academic Publishes. p. 87-110. Oka, I.N. 1986. Plant resistance in rice pest management in farming sistem in Indonesia. Indonesian Agricultural Research and Development Journal 1 : 20-25. 183 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Osamu, H. and Hartini, R.H. 1978. Resistance of some varieties to bacterial leaf blight and a new pathogenic group of the causal bacterium, Xanthomonas oryzae. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor. No. 44:17. Ou, S.H. 1985. Disease 2nd Ed. Commomwealth Mycological Institute. Kew England. pp.380. Ogawa, T. 1993. Methods and strategy for monitoring race distribution and identification of resistance genes to bacterial leaf blight Xanthomonas campestris pv. oryzae in rice. JARQ 27: 71-80 Qi, Z. and T.W. Mew. 1989. Types of resistance in rice to bacterial blight. In: Bacterial Blight of Rice. IRRI. Manila Philipines. P.125-134. Reddy, P.R. 1984. Kresk phase of bacterial blight of rice. Oryza, 21:179-187. Santoso dan Anggiani Nasution, 2011. Seleksi galur-galur hasil pemuliaan untuk ketahanan blas berbeda. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Buku 1. Editor: B. Suprihatno, Aan A. Dradjat, Satoto, Baehaki, Sudir. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.hal. 557-563. Scardaci, S.C., R.K. Webster, C.A. Greer, J.E. Hill, J.F. Williams, R.G. Mutters, D.M. Brandon, K.S. McKenzie, and J.J. Oster. 1997. Rice blast: a new disease in California. Agronomy Fact Sheet Series 1997-2. Department of Agronomy and Range Science, University of Calofornia. Davis. 30p. Suastika, I.B.K., A.A.N. B. Kamandalu, dan S.N. Aryawati. 2014. Karakter agronomi dan ketahanan beberapa varietas unggul baru padi terhadap hawar daun bakteri. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Inovasi Spesifik Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru, 6-7 Agustus 2014. Sudir, Suprihatno dan Triny S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di daerah sentra produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian 28 : 131-138 Sudir, 2011. Pengaruh varietas, populasi tanaman, dan waktu pemberian pupuk N terhadap penyakit padi. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Buku 1. Editor: B. Suprihatno, Aan A. Dradjat, Satoto, Baehaki, Sudir. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. hal. 593-603. Suparyono, 1983. Pergeseran patotipe, Xanthomonas campestris pv. oryzae penyebab busuk daun padi. Kongres Fitopatologi ke VI. Medan, 21-23 September 1983. 7 p. Suparyono dan Sudir. 1992. Perkembangan penyakit bakteri hawar daun pada stadia tumbuh yang berbeda dan pengaruhnya terhadap hasil padi. Media Penelitian Sukamandi 12:6-9. Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian. 22(1):45-50 184 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profil of Xanthomonas campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesia Journal of Agricultural Science 5 : 63-69. Suprihatno, B., Daradjat, A.A., Satoto, Suwarno, Erwina Lubis, Baehaki, S.E., Sudir, Indrasari, S.D., Samaullah, I Putu Wardana dan Made Jana Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 115 hal. Utami, D.W., S. Moeljopawiro, H. Aswidinnoor, Asep Setiawan, dan I. Hanarida. 2008. Blast resistance genes in wild rice Oryza rufifogon and rice cultivar IR64. Indonesian Journal of Agriculture 1 : 71-76. Yang, Z., X. Sun, S. Wang, and Q. Zhang. 2003. Genetic and physical mapping of a new gen for bacterial blight resistance in rice. Theor. Appl. Genet.106 : 1467-1472. 185 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU PISANG PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca, Linn.) MELALUI PENERAPAN BUDIDAYA TANAMAN SEHAT DENGAN METODE PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) DI KABUPATEN TANAH DATAR PROPINSI SUMATERA BARAT Enie Tauruslina Amarullah, Azwar, Enwidarti Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat E-mail : [email protected] Abstrak Pisang (Musa paradisiaca Linn.) merupakan tanaman asli daerah Asia Tenggara yang sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Produksi buah pisang di Sumatera Barat mengalami penurunan yang sangat drastis bahkan bisa dikatakan nyaris punah. Hal ini disebabkan oleh adanya out break serangan penyakit layu pisang secara eksplosif yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum E.F.Smith dan jamur Fusarium oxysporum Schlecht f.sp cubense (FOC). Tujuan dari pengkajian ini adalah 1) mendapatkan tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit layu melalui penerapan budidaya tanaman sehat dengan metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan 2) mendapatkan kebun contoh tanaman pisang di Sumatera Barat. Pengakajian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Desember 2013 di daerah endemik penyakit layu pisang di Sumatera Barat. Metode yang digunakan adalah metode survei berdasarkan metode gugus bertahap dan teknik penerapan PHT. Metode survei dilaksanakan di daerah endemik penyakit layu bakteri dan penyakit layu fusarium (lokasi pengamatan) berdasarkan luas lahan, letak lokasi dan responden (kelompok tani). Pemilihan lokasi survei berdasarkan 1 (satu) hamparan minimal 0,75-2 ha, kebun dikelola dengan baik dan petani pemilik/penggarap. Metode budidaya tanaman pisang menggunakan penerapan PHT seperti persiapan tanam, bibit yang digunakan, pengendalian dengan agens hayati Trichoderma harzianum, Pseudomonas fluoresence, pemeliharaan dan pemupukan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa dari 9 (sembilan) lokasi survei didapatkan 3 (tiga) kebun contoh tanaman pisang yaitu kecamatan Batipuh (1 lokasi) dan Sungai Tarab (2 lokasi) di Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat yang memperlihatkan tidak ditemukan serangan penyakit layu bakteri dan layu fusarium. Kebun contoh ini digunakan sebagai sampel kebun pisang dalam pengendalian penyakit layu pisang di Sumatera Barat. Kata kunci : penyakit layu pisang, budidaya tanaman sehat dan pengendalian hama terpadu 186 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pendahuluan Tanaman pisang (Musa paradisiaca Linn.) merupakan jenis buahbuahan yang mempunyai banyak manfaat baik untuk kepentingan konsumsi maupun industri sehingga keberadaannya mempunyai nilai ekonomis dan strategis yang relatif tinggi. Dalam skala usaha kecil dan menengah sebagian petani telah menjadikan tanaman pisang sebagai bentuk usaha tani berupa kebun yang dijadikan sebagai sumber kehidupan dan penyangga ekonomi keluarga. Dalam skala industri, tanaman pisang dijadikan sebuah pilihan bisnis baik dalam negeri maupun untuk ekspor bahan jadi olahan yang masih sangat menjanjikan untuk diusahakan karena dari segi break event point (BEP) nya cukup tinggi. Di Sumatera Barat, pisang yang bisa langsung dikonsumsi tanpa dimasak banyak dijual di pasaran dan juga banyak dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat sebagai buah-buahan (Soedjanaatmadja dkk, 2008). Pisang merupakan urutan pertama sekitar 45 % yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2012) total produksi pisang di Indonesia mencapai 6,1 juta ton. Produksi pisang di Sumatera Barat menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 produksi 91.938 ton, tahun 2010 produksi 100.525 ton, tahun 2011 produksi 13.385 ton dan tahun 2012 produksi 137.348 ton (Badan Pusat Statistik, 2012). Penurunan produksi pisang umumnya disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit (BPS, 2002). Di Sumatera Barat, produksi pisang mengalami penurunan yang sangat drastis bahkan bisa dikatakan nyaris punah. Hal ini disebabkan oleh adanya out break serangan penyakit layu pisang secara eksplosif yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum E.F.Smith dan cendawan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp cubense (FOC), Salah satu penyakit penting yang dapat menurunkan produksi pisang adalah penyakit layu bakteri oleh bakteri Ralstonia solanacearum ras 2 dan dikenal sebagai penyakit moko. Penyakit layu bakteri di Indonesia termasuk urutan pertama dalam daftar prioritas penyakit yang menyerang tanaman (Anonim, 1991 dalam Hermanto 2001). Berdasarkan jumlah kerugian dan luasnya serangan yang dikemukakan oleh Gedde (1992, cit Supriadi, 2000) menempatkan R. solanacearum pada urutan ke enam dari 68 organisme pengganggu tumbuhan (OPT) di Indonesia. Penyakit layu bakteri mulai berkembang di Sumatera Barat tahun 1996. Pada tahun 2002, diketahui bahwa penyakit ini sedikitnya menyerang 1 juta rumpun pisang dan hampir memusnahkan perkebunan pisang. Daerah sentra pertanaman pisang di Sumatera Barat dan merupakan daerah endemik penyakit layu seperti di Kabupaten Agam, Tanah Datar, Solok, dan Padang Pariaman (Djoni, 2003). Sampai saat ini pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman pisang belum ditemukan metode yang efektif. Beberapa penelitian dan pengendalian penyakit layu pada tanaman pisang sudah dirintis dengan beberapa cara antara lain 1) Program pengendalian terpadu berupa kultur teknis dan pengendalian 187 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 kimiawi, 2) Pemindahan sifat ketahanan terhadap penyakit dari pisang liar kepada pisang budidaya melalui persilangan antar jenis (Ortis dan Vuylsteke, 1995), 3) Pembentukan mutan yang tahan terhadap penyakit melalui induksi mutan, 4) Rekayasa genetik (Brimecombe et al. 2001), 5) Mencegah penularan penyakit dengan cara pembungkusan buah sehingga terlindungi dari serangga pengunjung bunga dan sterilisasi alat-alat pertanian yang akan digunakan dengan larutan desinfektan (Sahlan dkk, 1996), 6) Penggunaan bibit pisang yang sehat dan bebas penyakit seperti bibit hasil kultur jaringan dan 7) Penggunaan agens hayati (Rivai dan Habazar, 2002). Salah satu alternatif untuk pengendalian penyakit ini yang ramah lingkungan dengan mengoptimalkan fungsi penggunaan agens hayati. Pengendalian penyakit dengan menggunakan agens hayati yang telah dikembangkan hingga saat ini umumnya masih bersifat langsung terhadap patogen melalui mekanisme kompetisi, antibiosis dan parasitisme (Yusriadi dkk, 1997). Aspek lain dari pengendalian secara hayati yang masih belum banyak diteliti adalah pengendalian secara tidak langsung dengan mekanisme induksi ketahanan atau sering juga disebut imunisasi. Tuzu dan Kuc (1990) mengemukakan bahwa ketahanan tanaman dapat terinduksi dengan inokulasi patogen, bukan patogen dan metabolit mikroorganisme. Satu jenis agen penginduksi dapat mengimunisasi tanaman terhadap berbagai jenis patogen. Sumardiyono dkk (2000) melaporkan bahwa Pesudomonas berfluresensi yang diisolasi dari daerah perakaran Mimosa invisa secara in planta mampu menginduksi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit layu bakteri R. solanacearum dan layu Fusarium oleh Fusarium oxysporum f.sp cubense. Di Sumatera Barat, mengingat begitu pentingnya ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit layu pisang maka salah satu upaya dilakukan penerapan budidaya tanaman sehat dengan metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang bertujuan untuk mendapatkan tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit layu dan kebun contoh tanaman pisang di Sumatera Barat. Metodologi Pengkajian ini terdiri atas 2 tahap, yaitu : 1. Metode Survei Metode survei dilaksanakan selama 3 (tiga) hari dari tanggal 5 s/d 7 Maret 2013 pada daerah endemik penyakit layu pisang di Sumatera Barat. Metode survei yang dilaksanakan menggunakan metode sampel bertingkat/gugus bertahap (multistage sampling). Metode ini dilakukan berdasarkan kondisi lapangan secara geografis tanaman sangat sedikit, populasi sangat menyebar dan meliputi area yang sangat luas (Amiyella Endista, 2014). Metode yang berdasarkan lokasi survei meliputi kondisi lapangan (calon lokasi) seperti letak lokasi, luas lahan, petani (calon responden) dan pH tanah. Pemilihan lokasi survei berdasarkan 1 (satu) 188 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 hamparan minimal 0,75-2 ha, kebun dikelola dengan baik dan petani pemilik/penggarap. Survei ini untuk melihat faktor aspek kelayakan lokasi dan petani lahan. Nilai pH yang ideal akan mempengaruhi tingkat penyerapan unsur hara oleh akar tanaman dapat mencapai 5,5-6,0 (Balitro, 2011). 2. Metode PHT (Penerapan Budidaya Tanaman Sehat) a. Pembersihan Lahan Melakukan pembabatan, penebangan semak, kayu-kayuan, penyiangan gulma dan lahan semuanya dibersihkan lalu ditumpuk dan dibusukkan diantara lajur pertanaman serta mengeradikasi sisa tanaman pisang sakit. b. Plotting Plotting dilakukan untuk menentukan jarak tanam/titik utama pembuatan lubang tanam. Jarak tanam yang dilaksanakan adalah 4 x 4 m2. c. Pembuatan Lubang Tanam Lahan yang digunakan umumnya tanah bertekstur gembur dan subur. Lubang tanam dibuat dengan ukuran ± 60 x 60 cm dengan kedalaman 50 cm. Dalam pembuatan lubang tanam sebaiknya dipisahkan letaknya antara tanah galian bagian atas (tanah olah) dan tanah bagian bawah (tanah dasar), selanjutnya lubang tanam dibiarkan terbuka > 1 minggu. d. Penimbunan Lubang Tanam Lubang tanam yang telah dibiarkan terbuka selanjutnya dilakukan penimbunan kembali. Pada timbunan tanah bagian atas diberikan campuran 40 kg pupuk kandang dan ¼ kg agens hayati Trichoderma harzianum lalu aduk rata. Masukkan timbunan tanah bagian bawah terlebih dahulu ke dalam lubang tanam lalu masukkan tanah bagian atas, selanjutnya lakukan pemadatan tanah lalu beri tanda pengenal seperti ajir lalu tanah dibiarkan dingin selama 2 minggu. e. Sumber Bibit Pastikan bibit berasal dari kawasan/lokasi/ rumpun yang sehat. Bibit yang akan digunakan minimal 3 helai daun pedang dengan ukuran tinggi tanaman 80-100 cm dan berada dalam kondisi fisik yang sehat. Bibit diproses dengan alat-alat steril (desinfektan), selanjutnya bibit dipisahkan dari induknya bersihkan bonggol dari akar dan tanah kemudian dibungkus dengan kantong plastik. Dalam proses pengangkutan, posisi batang selalu dalam keadaan berdiri, hindari terjadinya himpitan terhadap batang dan selalu dialas dengan plastik. Pada saat di lokasi, letakkan bibit dialas plastik pada tempat yang teduh dan posisi bibit tetap berdiri. 189 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 f. Sanitasi Bibit Pisang Sebelum Tanam Bibit pisang yang ditanam terlebih dahulu dilepaskan plastik yang menutup bonggol. Sebelumnya sediakan campuran larutan agens hayati Pseudomonas fluorescens (Pf) sebanyak 1 liter yang ditambahkan air sebanyak 10 liter. Lakukan perendaman bonggol dengan larutan agens hayati tersebut selama 15 menit. Dalam penggunaan Pf, cara perendaman dilaporkan lebih efektif dibandingkan dengan pencelupan (Anonim, 2007) Perendaman bonggol secara massal dilakukan ke dalam lubang tanah yang berukuran 1 m x 2 m dengan kedalaman 1 m dan telah diberi lembaran plastik hitam berukuran 10 meter pada bagian alasnya. Bibit pisang yang direndam secara massal sebanyak 15 - 20 bibit pisang dalam 1 kali rendaman. g. Tanam Bibit Pisang Lubang tanam bibit pisang yang ditimbun sebelumnya dibuka kembali. Bibit pisang yang telah disanitasi dengan larutan Pf dimasukkan ke dalam lubang tanam yang disesuaikan dengan ukuran bonggol pisang dengan kedalaman ± 25 cm. Bibit pisang ditanam tegak lurus dan bonggolnya ditimbun dengan tanah sampai ketebalan 10 cm lalu dipadatkan dan selanjutnya berikan air sisa rendaman bibit. Bibit cadangan disediakan sebanyak 5 – 10 % dari jumlah bibit. h. Pengaturan Air Pengaturan drainase bagi tanaman diusahakan berfungsi secara optimal. Lakukan pembuangan air tergenang atau penyiraman tanaman jika terlihat tanaman kekurangan air. i. Penyulaman Penyulaman dilakukan pada tanaman mati (perlakuan sesuai dengan proses tanam). Penyulaman tanaman pada saat tanam dilakukan disamping tanaman mati. Tanaman mati diletakkan dan dimasukkan dalam lobang diluar lokasi lahan tanaman pisang. k. Penyiangan Pembersihan rumpun tanaman dari tanaman gulma dan semua bahan yang tidak bermanfaat. l. Penjarangan Anakan Penjarangan anakan dilakukan pada rumpun tanaman yang mempunyai anakan banyak dan hanya 2-3 batang pisang yang dipelihara. Jumlah batang tersebut dipelihara selama generasi anakan. Anakan dari sisa penjarangan anakan dapat dijadikan sumber bibit. 190 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 m. Pemupukan Susulan Pemupukan susulan dilakukan pada saat bulan ke 13 dengan memberikan pupuk kandang sebanyak 20 kg dan ditambahkan agens hayati Trichoderma sp sebanyak ½ kg. Pemberian pupuk susulan dilakukan dengan membuat parit disekeliling rumpun dengan kedalaman ± 25 cm dan jarak dari rumpun ± 50 cm. n. Penggerodongan Buah Pada saat sisir pertama terbentuk, maka lakukan penggerodongan calon tandan dengan plastik. Pemasangan plastik diusahakan longgar dengan mempertimbangkan besarnya buah dan selanjutnya ikat pada pangkal tandan. o. Pemotongan Jantung Pada saat pembentukan sisir berhenti, lakukan pemotongan bunga/jantung tanaman pisang dengan menggunakan sabit yang steril (didesinfektan) dan selanjutnya diikat dengan tali. p. Pemotongan Batang Bekas Tanaman pisang yang telah dipanen, pada bagian batang tanaman dipotong hingga pangkal tanaman dan dimasukkan ke dalam tanah ± 20 cm (dijadikan kompos). Hasil dan pembahasan 1. Metode Survei Survei lokasi dilakukan berdasarkan metode sampel bertingkat/gugus bertahap (multistage sampling). Pengambilan sampel dengan teknik ini dilakukan berdasarkan tingkat wilayah secara bertahap. Hal ini memungkinkan untuk dilaksanakan bila populasi terdiri dari bermacam-macam tingkat wilayah. Pelaksanaannya dengan membagi wilayah menjadi sub-sub wilayah, dan tiap sub wilayah dibagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan ditetapkan sebagai sampel. Oleh sebab itu, pengambilan sampel semacam ini sering disebut area sampling atau pengambilan sampel menurut wilayah (Anonim, 2009a). Survei ini dilaksanakan pada 9 (sembilan) lokasi daerah endemik sentra produksi pisang di 2 (dua) kecamatan, Batipuh dan Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat (Gambar 1) dan didapatkan 3 (tiga) lokasi survei. Secara berurutan, 3 (tiga) lokasi yang didapatkan adalah Kelompok Tani Sarumpun Jorong Jambu Nagari Batipuh Ateh Kecamatan Batipuh, Kelompok Tani Sejahtera Jorong Gurun Nagari Gurun dan Kelompok Tani Hidayah Jorong Sungai Tarab Nagari Sungai Tarab Kecamatan Sungai Tarab. 191 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kondisi lahan di Kelompok Tani Sarumpun adalah lahan kosong dengan tumbuhan semak kecil sampai sedang dengan kemiringan tanah 20 20-500, Kelompok Tani Sejahtera adalah sebagian lahan gurun yang datar dan sebagian lahan kosong dengan kemiringan kemiring 100 dan Kelompok Tani Hidayah adalah lahan produktif dan sebelumnya lahan sentra pertanaman pisang yang terserang out break penyakit layu pisang. Luas lahan setiap kelompok adalah 1,75 - 2 ha. Pengukuran gukuran pH tanah di 3 (tiga) lokasi berkisar 5,3 – 5,9. Pengukuran pH tanah sudah sesuai dengan pH ideal untuk pertanaman pisang di Sumatera Barat yaitu 5,0 5 – 6,0 (Balitro, 2011) (Gambar 2). Gambar 1. Survei Lokasi Gambar 2. Pengukuran pH tanah 2. Metode PHT (Penerapan Penerapan Budidaya Tanaman Sehat) Dari hasil survei didapatkan 3 (tiga) lokasi yang merupakan daerah endemis penyakit layu pisang untuk menerapkan metode PHT melalui penerapan budidaya tanaman sehat, sehat yang dilakukan beberapa tahap dimulai dari pembersihan lahan sampai pemupukan susulan (ses (sesuai dengan metodologi). Plotting dilaksanakan pada lahan seluas 1,75 - 2 ha dan jumlah bibit pisang yang ditanam sebanyak 1.000 1 bibit,, sedangkan varietas yang ditanam adalah varietas pisang ambon. Lahan ahan yang digunakan umumnya tanah bertekstur gembur dan subur Kondisi lahan tersebut untuk menanam bibit pisang karena tanaman pisang rakus makanan sehingga sebaiknya pisang ditanam di tanah berhumus dengan pemupukan (Anonim, 2009b)). Penggunaan agens hayati Trichoderma harzianum yang diberikan ke dalam lubang tanam sebagai agens pengendali hayati jamur patogen pada tanaman, pertumbuhannya cepat dan tidak menjadi penyakit untuk tanaman tingkat tinggi (Purwantisari dan Hastuti, 2009 dalam http://warasfarm.wordpress.com/2013/ 06/02/penyakit-layu-fusarium 06/02/penyakit fusarium-penyakit- 192 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 panama-pada-pohon-pisang/). Pemberian campuran ¼ kg Trichoderma harzianum dan 40 kg pupuk kandang ke dalam lubang tanam (Gambar 3). Gambar 3. Pembuatan lubang tanam Sumber bibit pisang sehat di kelompok tani Sarumpun Gadang Kecamatan Batipuh berasal dari Kampung Pisang Ngarai Sihanok Kota Bukittinggi, kelompok tani Hidayah dan Sejahtera bibit berasal dari Kecamatan Payakumbuh Kabupaten Limapuluh Kota Propinsi Sumatera Barat. Bibit pisang sehat tersebut pada bagian bonggolnya ditutup dengan plastik (Gambar 4 dan 5). Gambar 4. Sumber pisang sehat Gambar 5. Bibit pisang sehat Perlakuan bibit sebelum tanam menggunakan larutan Pf sebagai upaya pengendalian penyakit layu (Gambar 6). Pemanfaatan agens hayati Pf menjadi sangat penting seperti penggunaan bakteri antagonis yang hidup di daerah perakaran, mempunyai prospek yang dapat berfungsi untuk menekan penyakit dan dapat mendorong pertumbuhan tanaman (Freeman et al., 2002 cit. Anonim, 2013). 193 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 6. Sanitasi bibit pisang Gambar 7. Tanam bibit pisang Pada ketiga lokasi tersebut dilakukan penyulaman bibit yang disebabkan lahan mengalami kekeringan karena curah hujan berkurang. Bibit yang disulam memperlihatkan, 1) bonggol bibit yang ditanam memperlihatkan kematian, 2) bibit yang patah pucuknya, 3) batang pecah dan dilakukan pemotongan batang bibit sampai batas bagian yang rusak sehingga tunas dan daun baru mampu tumbuh. Bibit yang digunakan adalah bibit cadangan. Kondisi lahan Kecamatan Sungai Tarab di kelompok tani Sejahtera terlihat keadaan cuaca tidak memungkinkan sehingga tidak dilakukan penyiangan. Hal ini dapat mengakibatkan tingkat penguapan air tanah semakin tinggi yang dapat mengakibatkan tanah menjadi kering. Tanaman pisang akan tumbuh subur dan berproduksi dengan baik selama pengairannya dan kondisi cuaca cukup (Anonim, 2011a). Di Kecamatan Batipuh kelompok tani Sarumpun Gadang sebagian lahan dilakukan sistem tanam model tumpangsari (doublecropping) dengan tanaman semusim seperti cabai, bawang daun dan lobak, sedangkan kelompok tani Hidayah dilakukan tumpangsari dengan tanaman talas dan jagung. Pada lahan pertanaman pisang yang dilakukan tumpangsari terlihat bahwa pertumbuhan tanaman lebih baik, hal ini disebabkan kelembaban tanah terjaga. Menurut Mutsaers et al.(1993) cit. Arsana (2004), menjelaskan bahwa manfaat melakukan tumpangsari (double-cropping) diantaranya a) penggunaan sumberdaya alam lebih optimal seperti sinar matahari, nutrisi dan air dan b) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dibandingkan pertanaman monokultur. 194 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 8. Tumpangsari tanaman pisang dan tanaman sayuran Pemupukan susulan dilaksanakan setelah penyiangan dan pembumbunan. Pemupukan susulan dilakukan pada saat bulan ke 13 dengan memberikan pupuk kandang sebanyak 20 kg yang ditambahkan agens hayati Trichoderma sp. sebanyak ½ kg. Kebun Pisang di Kec. Batipuh (Keltan Sarumpun Gadang) Kebun Pisang di Kec.Sei Tarab (Keltan Sejahtera)`` Kebun Pisang di Kec.Sei Tarab (Keltan Hidayah Gambar 9. Kebun contoh tanaman pisang sehat di Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat Pengamatan intensitas serangan penyakit layu pisang pada 3 (tiga) kebun contoh pertanaman pisang di Kecamatan Batipuh (1 lokasi) dan Kecamatan Sungai Tarab (2 lokasi) Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat menunjukkan tidak ditemukan serangan penyakit layu (Gambar 9). Hal ini berdasarkan pertumbuhan tanaman pisang baik, yang ditunjukkan pada pertumbuhan batang normal dan daun tanaman terlihat kehijauan. Dengan demikian, kebun contoh ini dapat dijadikan sumber bibit pisang sehat untuk mengendalikan penyakit layu bakteri dan layu fusarium. 195 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kesimpulan Hasil kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Mendapatkan tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum E.F.Smith dan layu fusarium Fusarium oxysporum Schlecht f.sp cubense (FOC). 2. Mendapatkan kebun contoh tanaman pisang sehat di Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Daftar pustaka Anonim, 2007. Penanggulangan penyakit layu pisang. <http://insidewinme .blogspot.com/2007/11/penanggulangan-penyakit-layu-pisang.html >. Diakses 12 September 2014. Anonim, 2009a. Teknik Pengambilan Sampel. <http://agenta08.wordpress.com/ 2009/01/24/teknik-pengambilan-sampel>. Diakses 6 September 2014. Anonim, 2009b. Pisang. <http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/ pisang.pdf>. Diakses 6 September 2014 Anonim, 2011a. Budidaya Pisang.<http://budidaya-news.blogspot.com/2011/12 /budidaya-pisang.html>. Diakses 6 September 2014. Anonim. 2011b. SOP Pisang. Sumatera Barat Anonim, 2013. Penyakit Layu Fuarium Penyakit Panaman Pada Pohon Pisang. <http:// warasfarm. wordpress. com/2013/06/02/ penyakit-layu-fusariumpenyakit-panama-pada-pohon-pisang/>. Diakses 12 September 2014. Amiyella Endista.<http://www.slideshare.net/riswan78/teknik-pengambilansampel>.Diakses 1 September 2104. Arsana, IG.K.D. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani di Lahan Kering Dataran Medium Beriklim Basah. Prosiding Semnas Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Lokal untuk Mendukung Pembangunan Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Banjarnahor, G. Kristian, 2013. Pengukuran pH Tanah Untuk pH sederhana (Laporan Praktikum). Universitas Lampung Bandar Lampung. Badan Pusat Statistik, 2002. Produksi Tanaman Sayuran Dan BuahBuahan. Jakarta. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat, 2002. Sumatera Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik, 2012. Produksi Tanaman Sayuran Dan BuahBuahan. Jakarta. Brimecombe, M.J., De Leij-F.A.AM., J.M., 2001. Nematode Community structure as a Sensitive Indicator of Microbial Perturbation Indused by a genetically modified Pseudomonas fluorescens Strain. University of surre. surrey. Djoni, 2003. Ditemukan Penangkal Penyakit Layu Pohon Pisang. Kompas. 16 Januari 2003. 196 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Habazar, T dan F, Rivai, 2000. Dasar-Dasar Bakteri Patogenik Tumbuhan. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang. Habazar, T., 2001. Aspek Imunisasi Dalam Pengendalian Penyakit Tanaman Secara Hayati. Orasi Ilmiah Pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke- 47. 30 November 2001. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Sahlan, Nurhardi dan C , Hermanto, 1996. Penyakit-Penyakit Utama Tanaman Pisang. Balai Penelitian Buah Pisang. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hortikultura. Salisbury, F.B., C.W, Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. ITB, Bandung. Sitompul, S.M. dan Guritno B , 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Sumardiyono, C., B, Hadisutrisno., S, Subandiah., S.M., Widyastuti. 2000. Mekanisme Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Pseudomonas solanacearum dan Layu Fusarium oxysporum f.sp.cubense pada Pisang dengan Rhizobakteria . Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada. Sunarjono, H., 2000. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya , Jakarta. Supriadi, 2000. Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Pada Tumbuhan Obat dan Strategi Penanggulangannya. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Yusrial., B, Tjahno., M.S, Sinaga., M. Mahmut, 1997. Dampak Introduksi Mikroorganisme Antagonis terhadap Perkembangan Penyakit Layu Bakteri Ralstonia solanacearum, E.F. Smith Pada Kacang Tanah. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan. Bogor. 197 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGARUH APLIKASI FUNGISIDA BERBAHAN AKTIF METALAKSIL DAN DIMETOMORF TERHADAP FISIOLOGI TANAMAN JAGUNG DAN PENYAKIT BULAI Muji Winarno dan Christanti Sumardiyono Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Abstrak Penyakit bulai merupakan penyakit utama pada tanaman jagung di Indonesia maupun dinegara lain didunia. Penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung adalah Peronosclerospora maydis, yang menginfeksi melalui stomata.Stomata merupakan bagian penting dalam proses infeksi jamur ke jaringan tumbuhan. Pengendalian penyakit bulai saat ini masih menggunakan bahan kimia berupa fungisida,diantaranya adalahfungisida berbahan aktif metalaksil dan dimetomorf. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fungisida metalaksil dan dimetomorf terhadap kerapatan dan panjang stomata daun jagung, serta proses pembentukankonidium jamur P. maydis. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan dua perlakuan dan lima ulangan. Sebelum ditanam, benih jagung terlebih dahulu diperlakukan secara seed treatment dengan fungisida metalaksil dan dimetomorf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian fungisida berbahan aktif metalaksil dan dimetomorf mempengaruhi kerapatan dan panjang stomata daun jagung, sehingga berpeluang menghambat infeksi jamur P. maydis penyebab penyakit bulai. Kerapatan stomata daun jagung yang tanamannya diperlakukan fungisida metalaksil dan dimetomorf sebesar 551,57 dan 572,75 per mm2,lebih sedikit dibandingkan kontrol sebesar 638,80 per mm2. Panjang stomata daun jagung yang tanamannya diperlakukan fungisida metalaksil dan dimetomorf sebesar 35,42 µm dan 29,80 µm, lebih kecil dibandingkan kontrol sebesar 38,97 µm. Proses pembentukan konidium jamur P. maydis terjadi pada pukul 02.00. Pada pukul 04.00 konidium mulai keluar dari stomata, dan pukul 06.00 konidium terlepas dari konidiofor. Kata kunci : penyakit bulai, jagung, metalaksil, anatomi daun Pendahuluan Di Indonesia salah satu penyakit utama tanaman jagung adalah penyakit bulai. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan hingga mencapai 100%. Gejala yang ditunjukkan pada tanaman jagung berupa klorosis pada bagian pangkal daun dan seringkali dibatasi oleh tulang daun (Wakman et al., 2007). Penyakit bulai disebabkan jamur Peronsoclerospora maydis yang menginfeksi melalui stomata (Surtikanti, 2008). 198 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Stomata merupakan suatu lubang kecil yang terdapat pada permukaan daun. Stomata mempunyai peran penting dalam proses metabolisme tanaman, yaitu berfungsi sebagai pintu masuknya CO2 ke jaringan daun untuk fotosintesis dan mengeluarkan air yang digunakan untuk transpirasi (Salisbury dan Ross, 1995). Selain itu, stomata dapat juga sebagai tempat masuknya suatu patogen ke dalam badan tumbuhan. Beberapa jamur dapat menginfeksi badan tumbuhan dengan cara masuk melalui stomata (Semangun, 2001). Pengendalian penyakit bulai sampai saat ini masih menggunakan pestisida sintetik. Fungisida yang digunakan untuk pengendalian penyakit bulai merupakan fungisida sistemik dan masuk ke dalam jaringan tanaman. Fungisida ini dapat membunuh atau inaktivasi patogen dalam inang. Selain mempengaruhi perkembangan patogen, fungisida juga dapat berpengaruh terhadap inang (Sumardiyono, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungisida metalaksil dan dimetomorf terhadap fisiologi tanaman jagung dan penyakit bulai. Bahan dan metode Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi Pestisida Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, dan Rumah Kaca di Banguntapan mulai bulan Februari sampai April 2014. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan dua perlakuan dan lima ulangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT 5%. Biji jagung manis terlebih dahulu diaplikasikan dengan fungisida berbahan aktif metalaksil dan dimetomorf dengan dosis aplikasi metalaksil adalah 2,5 g/kg dan dimetomorf 5 g/kg. Inokulasi jamur Peronosclerospora maydis dilakukan dengan sumber inokulum dari Klaten terhadap tanaman jagung yang berumur 10 hari setelah tanam pada sore hari. Pengamatan meliputi panjang stomata, kerapatan stomata dan waktu masuknya jamur patogen ke jaringan tumbuhan. Pengamatan mekanisme masuknya jamur patogen ke jaringan tumbuhan dilakukan dengan cara mengambil daun jagung yang bergejala kemudian dimasukkan ke toples yang sudah diberi kapas basah. Selanjutnya dilakukan fiksasi dengan alkohol 50% pada interval dua jam, dimulai jam 18.00 sampai 06.00. Pengamatan kerapatan dan panjang stomata dilakukan dengan mengoleskan kutek bening pada sisi bawah daun, dibiarkan beberapa menit hingga kutek agak kering dan diberi selotip. Kemudian selotip ditarik secara perlahan dan diletakkan diatas gelas obyek. Setelah itu ditutup dengan menggunakan cover glass. Pengamatan kerapatan dan panjang stomata dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada perbesaran 100x dan 400x pada luas bidang pandang (mm2 luas daun). Penghitungan dilakukan pada 10 199 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 bidang pandang yang berbeda. penghitungan kerapatan stomata dengan rumus sebagai berikut: Hasil dan pembahasan Pengamatan kerapatan dan panjang stomata dilakukan pada umur 10 hari setelah tanam. Hal ini karena pada hari ke 10 adalah bertepatan dengan waktu inokulasi jamur P. maydis ke tanaman, ketika jamur mulai membentuk tabung kecambah (apresorium) pada saat pagi hari untuk menginfeksi ke dalam tubuh tanaman jagung melalui stomata. Hasil pengamatan kerapatan stomata daun jagung yang tanamannya diaplikasikan fungisida metalaksil dan dimetomorf dibandingkan dengan kontrol adalah sebagai berikut: Tabel 1. Pengaruh aplikasi fungisida metalaksil dan dimetomorf terhadap kerapatan stomata daun jagung Rerata kerapatan No Jenis Perlakuan stomata ( 1 Kontrol 638,80a 2 Metalaksil 551,57b 3 Dimetomorf 572,75b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom kerapatan stomata tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. Tabel 2. Pengaruh aplikasi fungisida metalaksil dan dimetomorf terhadap panjang stomata daun jagung No Jenis Perlakuan Rerata panjang stomata (µm) 1 Kontrol 38,97a 2 Metalaksil 3 Dimetomorf 35,42b 29,80c Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom panjang stomata tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. Pengamatan pada kerapatan stomata daun jagung menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kerapatan stomata antara tanaman kontrol dengan tanaman yang diberikan perlakuan fungisida (Tabel 1). Kerapatan stomata pada daun jagung termasuk sangat tinggi yaitu lebih dari 500 per mm2. Hal ini sesuai dengan penelitian Haryati (2010) yang menyatakan bahwa kerapatan stomata 200 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 kategori rendah adalah < 200 per mm2, sedang adalah 300 – 500 mm2 dan kategori tinggi > 500 per mm2. Kerapatan stomata pada tanaman yang diberi perlakuan fungisida dimetomorf dan metalaksil menjadi lebih rendah dibandingkan kontrol. Diduga bahwa pemberian fungisida dapat menimbulkan perubahan anatomi antara lain kerapatan stomata menjadi lebih rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Öztürk (2006) bahwa selain indeks membuka dan menutupnya stomata, kerapatan stomata juga menurun pada tanaman tomat yang diaplikasikan dengan fungisida berbahan aktif fosetyl-Al 80% dibandingkan dengan tanaman kontrol. Kerapatan stomata yang rendah diduga dapat berperan sebagai mekanisme pertahanan struktural terhadap infeksi patogen. Menurut Yudiwanti (2007) bahwa kerapatan stomata yang rendah dapat memberikan pengaruh yang sama dengan stomata yang membuka sempit, yaitu meningkatkan ketahanan tanaman. Kerapatan stomata yang rendah dapat mengurangi peluang infeksi konidia jamur P. maydis untuk menginfeksi jaringan tanaman melalui stomata. Oleh karena itu tanaman dengan karakteristik berupa kerapatan stomata yang rendah berasosiasi positif dengan sifat tahan. Pada pengamatan panjang stomata, antara kontrol dengan tanaman yang diaplikasikan fungisida terdapat perbedaan nyata, dimana panjang stomata pada kontrol lebih besar dibanding tanaman yang diaplikasikan fungisida (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fungisida diduga dapat memengaruhi ukuran stomata. Menurut Öztürk (2006) bahwa fungisida triazol dapat menyebabkan perubahan ukuran stomata pada beberapa tanaman. Pengamatan mekanisme infeksi terhadap jamur P.maydis dilakukan pada interval waktu 2 jam, dimulai pukul 18.00, 20.00, 22.00, 00.00, 02.00, 04.00, dan 06.00 WIB. Berdasarkan hasil pengamatan, pembentukan konidiofor terjadi pada jam 00.00 WIB, sedangkan sporulasi jamur P.maydis mulai pada malam hari sekitar pukul 02.00-06.00 WIB (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan penelitian Surtikanti (2012) bahwa jamur menginfeksi tanaman jagung muda. Konidium yang lepas dari konidiofor di waktu pagi apabila jatuh pada air gutasi pada pucuk tanaman jagung yang baru tumbuh akan berkecambah dan menginfeksi melalui stomata terus berkembang sampai titik tumbuh dan seterusnya menebar secara sistemik. Pada pagi hari, sering dijumpai air yang keluar dari permukaan daun melalui proses gutasi. 201 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 a b c d 1 13 µm 58,7 µm e f 3 2 140 µm 141 µm g 139 µm Gambar 1. Pembentukan konidiofor dan konidium jamur P. maydis mulai jam 18.00-06.00 (perbesaran 40x); a) jam 18.00. b) jam 20.00, c) jam 22.00, d) jam 00.00, e) jam 02.00, f) jam 04.00, g) jam 06.00; 1) stomata, 2) konidium, 3) konidiofor 202 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kesimpulan 1. Pemberian fungisida berbahan aktif metalaksil dan dimetomorf berpengaruh positif terhadap kerapatan dan panjang stomata daun jagung menjadi lebih kecil, sehingga berpeluang menghambat infeksi jamur P. maydis penyebab penyakit bulai. 2. Mekanisme infeksi jamur P. maydis melalui stomata yang terjadi pada pagi hari, dimana konidiofor mulai keluar dari stomata pukul 00.00, dan sporulasi konidium jamur terjadi mulai pukul 02.00 – 06.00 WIB. Daftar pustaka Haryanti, S. 2010. Jumlah dan Distribusi Stomata pada Daun Beberapa Spesies Tanaman Dikotil dan Monokotil. Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol. XVIII, No. 2, Oktober 2010. Diakses tanggal 15 Juni 2014 Öztürk. (2006). The effect of Equation Pro (Fungicide) Application on stomata in tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) plants. Ankara Univ. J. of Agric. Sci. 12 (2): 195-202. Salisbury, F.B & C.W Ross. 1995. Plant Physiology. 3 ed. Wadsworth Publishing Co.Belmont California Semangun, H. 2001. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 449 hal Sumardiyono, C. 2013. Pengantar Toksikologi Fungisida. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 69-70 Sumardiyono, C., A. Wibowo, A. Widiastuti, dan D. Yudhistira. Uji Ketahanan P. maydis penyebab bulai jagung terhadap fungisida metalaksil. Hibah Penelitian. 2012. 12p Surtikanti, 2012. Penyakit Bulai pada Tanaman Jagung. Suara Perlindungan Tanaman Vol.2.,No.1 Wakman, W., A.H. Talanca, Surtikanti, dan Azri. 2007. Pengamatan penyakit bulai pada tanaman jagung di lokasi Primatani di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, pada tgl. 26-27 Juni 2007. Seminar mingguan Balitsereal. Wakman, W. 2008. Pengendalian Penyakit Bulai pada Jagung di Bengkayang, Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat daerah Sulawesi Selatan, 5 November 2008 203 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KAJIAN DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA PADA BAWANG MERAH TERHADAP RESIDU YANG DITIMBULKANNYA Renny Utami Somantri, Kgs. Abdul Kodir, Syahri dan Sidiq Hanapi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang Telp. (0711) 410155 Email: [email protected] Abstrak Penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak terkendali dapat memberikan risiko keracunan bagi petani. Penggunaan pestisida sintetis dapat meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di dalamnya. Selain itu, pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan resistensi, resurjensi dan ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh alami hama penyakit. Bahaya pestisida tidak hanya secara langsung bagi petani saat menyemprot tetapi juga risiko residu yang ditimbulkannya pada tanah, tanaman dan produk yang dihasilkannya. Kajian dilaksanakan di Desa Tungku Jaya, Kec. Sodoh Buay Rayap, Kabupaten OKU, Sumatera Selatan pada bulan Juni 2014. Metode yang digunakan yakni metode survei dan wawancara langsung dengan kelompok tani bawang merah serta dilakukan pengambilan sampel bawang merah untuk dianalisis residunya. Wawancara dilakukan untuk mengetahui prosedur penggunaan pestisida yang dilakukan petani. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar petani masih melakukan penyemprotan pestisida dengan dosis dan frekuensi aplikasi yang tidak tepat. Bahkan, beberapa petani melakukan pencampuran 2-3 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi dengan alasan mengurangi tenaga dan biaya penyemprotan. Hasil analisis residu pestisida pada umbi bawang merah yang dihasilkan menunjukkan kandungan pestisida berbahan aktif propineb mencapai 0,026 mg/kg dan abamektin mencapai 0,024 mg/kg, sedangkan pestisida golongan organofosfat maupun karbamat tidak terdeteksi. Kata kunci: bawang merah, dampak penggunaan, residu, pestisida. Pendahuluan Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas unggulan di masyarakat, karena selain digunakan sebagai bumbu masakan sehari-hari, bawang merah mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan dan berkhasiat sebagai zat anti kanker, pengganti antibiotik, penurun tekanan darah, kolesterol, serta penurun kadar gula darah (Irawan, 204 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 2014). Menurut penelitian, bawang merah mengandung zat besi, magnesium, fosfor, kalium, mangan dan vitamin seperti A, B6 dan C (Anonim, 2014). Pada periode 2009-2013, produksi bawang merah di Sumatera Selatan berfluktuasi. Tahun 2009, dihasilkan 17 ton bawang merah dari luas panen 7 ha. Tahun berikutnya tingkat produksi meningkat menjadi 74 ton seiring dengan bertambahnya luas panen menjadi 31 ha. Dua tahun berturut-turut kemudian terjadi penurunan luas panen menjadi masing-masing 8 dan 5 ha pada tahun 2011 dan 2012. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi bawang merah menjadi 37 dan 17 ton. Tahun 2013 lalu produksi dan luas panen bawang merah di Sumatera Selatan meningkat tajam yaitu sebesar 218 ton dari 30 ha areal panen, dengan produktivitas 7,26 ton/ha (BPS, 2014). Seperti komoditas hortikultura lainnya, bawang merah sangat fluktuatif harga maupun produksinya. Hal ini terjadi karena pasokan produksi yang tidak seimbang antara panenan pada musimnya serta panenan di luar musim, salah satu diantaranya disebabkan tingginya intensitas serangan hama dan penyakit terutama bila penanaman dilakukan di luar musim. Untuk mengatasi permasalahan tersebut tindakan penggunaan pestisida kimiawi menjadi pilihan utama di kalangan petani. Penggunaan pestisida sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sama halnya dengan mengobati tanaman. Beberapa petani misalnya bahkan melakukan penyemprotan pestisida hingga 3 kali dalam seminggu dan bahkan terkadang mencampur 2-3 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi. Disamping karena keterbatasan pengetahuan petani, penggunaan pestisida yang terusmenerus ini dikarenakan beberapa faktor yang dianggap petani memberikan kemudahan bila mereka menggunakan pestisida kimia dibanding penggunaan bahan lainnya. Kemudahan tidak sekadar aplikasinya tetapi juga kemudahan dalam mendapatkannya sehingga penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat pesat dan tercatat ada sebanyak 2.810 jenis pestisida yang beredar di tahun 2013 (Anonim, 2013). Bahaya pestisida tidak hanya secara langsung bagi petani saat menyemprot tetapi juga risiko residu yang ditimbulkannya pada tanah, tanaman dan produk yang dihasilkannya. Miskiyah dan Munarso (2009) menemukan adanya residu pestisida golongan organoklorin, organofosfat dan karbamat pada cabai merah, selada dan bawang merah di tingkat petani pedagang, maupun pasar swalayan yang berada di Bandungan dan Brebes Jawa Tengah serta Cianjur Jawa Barat. Oleh karena, kajian ini dilakukan dalam rangka mengetahui dampak penggunaan pestisida dalam budidaya bawang merah terhadap residu yang ditimbulkannya. Metodologi Kajian dilaksanakan di Desa Tungku Jaya, Kec. Sodoh Buay Rayap, Kabupaten OKU, Sumatera Selatan yang merupakan salah satu lokasi 205 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 penghasil bawang merah di Propinsi Sumatera Selatan. Kajian dilaksanakan pada bulan Juni 2014. Metode yang digunakan yakni metode survei dan wawancara langsung dengan kelompok tani serta dilakukan pengambilan sampel bawang merah untuk dianalisis residunya. Data yang dikumpulkan di antaranya adalah karateristik responden, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan pestisda, eksisting teknologi budidaya terutama dalam penggunaan pestisida, riwayat serangan OPT, serta residu pestisida pada umbi bawang merah. Analisis residu dilakukan dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) Jakenan. Hasil analisis residu dibandingkan dengan BMR yang mengacu pada SNI 7313:2008 (BSN, 2008). Hasil dan pembahasan A. Karakteristik Lokasi Pengkajian dan Responden Penanaman bawang merah di lokasi penelitian dilakukan selama 2 musim tanam yang diikuti dengan penanaman komoditas cabai merah. Penanaman bawang merah umumnya dilakukan di sekitar areal perkebunan karet rakyat, dengan topografi lahan yang miring (Gambar 1). Luas areal pertanaman bawang merah berkisar antara 0,25-1 ha dengan prouktivitas ratarata 4,5-4,7 tha. Hasil identifikasi karakter responden menunjukkan bahwa sebagian besar petani merupakan petani cabai dan hanya sebagian kecil yang menanam bawang. Menurut mereka penanaman bawang merah dikakukan setelah adanya program pengembangan kawasan hortikultura yang dilakukan oleh dinas pertanian. Adapun karakteristik responden disajikan pada Tabel 1. Gambar 1. Lokasi pertanaman bawang di Desa Tungku Jaya Kab. OKU 206 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 1. Karakteristik petani bawang merah Desa Tungku Jaya, Kec. Sodoh Buay Rayap, Kabupaten OKU, Sumatera Selatan yang merupakan responden penelitian No. Kategori Jumlah 1. Jenis Kelamin - Laki-laki (orang) 20 - Perempuan (orang) 2. Jumlah penanam bawang merah (orang) 6 3. Usia (tahun) 18-55 4. Pengalaman usahatani < 5 tahun (%) 95 > 5 tahun (%) 5 Berdasarkan karakter petani yang ditunjukkan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pengalaman usahatani yang singkat yakni 95% petani memiliki pengalaman <5 tahun. Pengalaman yang relatif singkat ini akan mempengaruhi cara budidaya yang mereka lakukan, sehingga tidak jarang dalam menggunakan pestisida maupun pupuk hanya dicoba-coba tanpa memperhatikan dosis atau konsentrasi aplikasi yang dianjurkan. Namun demikian, pengetahuan petani juga akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. B. Perilaku Petani dalam Menggunakan Pestisida Perilaku petani bawang merah dalam menggunakan pestisida disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perilaku petani bawang merah dalam menggunakan pestisida No. Persentase (%) Persepsi petani terhadap- Tanggapan petani 1. Cara memilih jenis pestisida Sesuai hama/penyakit 100 2. Alasan menggunakan pestisida Ampuh dalam mengatasi hama/penyakit 100 3. Tahu Pengetahuan petani terhadap Tidak tahu pestisida alami 4. Penggunaan pestisida alami di tingkat petani 5. Waktu aplikasi pestisida Tidak Pernah Benih Pertanaman 33,3 66,7 100 16,7 100 207 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tahu 6. 7. 8. 9. 10. Pengetahuan terhadap dampak negatif pestisida Tidak tahu Mencampur beberapa jenis Pernah pestisida dalam satu kali aplikasi 2 jenis Jumlah pestisida yang dicampur 3 jenis Pemakaian alat pelindung a. Sarung tangan b. Masker c. Pelindung mata d. Pelindung kepala e. Sepatu boot f. Pakaian kerja (pakaian lengan panjang) Penyemprotan saat angin kencang 16,7 83,3 100 66,7 33,3 0 16,7 0 100 16,7 100 Kadang-kadang 16,7 Tidak pernah 83,3 Kurangnya pengetahuan petani mengenai prosedur aplikasi pestisida yang tepat ternyata sangat mempengaruhi perilakunya. Pestisida sangat intensif diaplikasikan pada saat pertanaman dan masih jarang diaplikasikan pada benih. Beberapa tindakan buruk yang biasa dilakukan petani di antaranya semua petani bawang merah di lokasi ini biasanya mencampur beberapa jenis pestisida dalam satu kali aplikasi. Bahkan sebanyak 33,3% petani mencampur hingga 3 jenis pestisida secara bersamaan baik itu dalam satu kelompok seperti 3 jenis insektisida maupun dari beberapa jenis seperti insektisida+fungisida. Petani beranggapan bahwa dengan mencampur beberapa jenis pestisida dalam satu kali penyemprotan dapat meningkatkan efektivitas daya bunuh pestisida tersebut serta menghemat biaya dan tenaga untuk menyemprot. Hasil penelitian Basuki (2009) menunjukkan bahwa petani bawang merah di Brebes dan Cirebon sudah biasa mencampurkan 2−3 jenis insektisida untuk mengendalikan ulat bawang (Spodoptera exigua). Sebagian petani mencampurkan insektisida yang bersifat sinergis, walaupun tanpa mereka sadari. Namun, banyak juga yang menggunakan campuran insektisida yang berlawanan cara kerjanya (antagonis). Dalam hal penggunaan pakaian pelindung saat menyemprot, petani bawang merah masih jarang menggunakannya. Pakaian pelindung sangat penting dalam aplikasi pestisida karena untuk mencegah terjadinya keracunan pada petani yang menyemprot. Petani umumnya masih menganggap enteng pekerjaan penyemprotan pestisida ini. Djojosumarto (2008) menyatakan bahwa 208 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 pekerjaan yang paling sering menimbulkan kontaminasi adalah saat mengaplikasikan terutama menyemprotkan pestisida. Hasil kajian menunjukkan pakaian pelindung seperti masker, pelindung mata, sarung tangan dan sepatu boot masih belum dilakukan petani. Pakaian kerja maupun pelindung kepala yang umumnya digunakan berbahan kain yang mudah ditembus oleh cairan pestisida. C. Batas Maksimum Residu (BMR) Beberapa Pestisida pada Produk Pertanian Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida, mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologik. Tingkat bahaya residu pestisida pada suatu bahan digambarkan BMR (batas maksimum residu) yaitu konsentrasi maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima pada hasil pertanian yang dinyatakan dalam miligram residu pestisida per kilogram hasil pertanian. Batas maksimum jenis-jenis residu pestisida yang diperbolehkan terkandung dalam produkproduk hasil pertanian sesuai SNI 7313:2008 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai BMR beberapa jenis pestisida pada komoditas sayuran No Komoditas 1 Kentang 2 Tomat 3 Bawang merah Jenis Pestisida Abamektin Aldikarb Ditiokarbamat Fipronil Imidakloprid Karbendazim Karbofuran Klorpirifos Profenofos Abamektin Ditiokarbamat Endosulfan Imidakloprid Karbenzadim Batas Maksimum Residu (mg/kg) 0,01 0,5 0,2 0,02 0,5 3 0,5 2 0,05 0,02 2 0,5 0,5 0,5 Profenofos 2 Hidrazida maleat 15 209 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 4 Cabai merah 5 Kubis Bendiokarb Profenofos Abamektin Asefat Karbofuran 0,2 5 0,05 2 0,5 Sumber: SNI 7313:2008 Beberapa jenis pestisida yang umum digunakan petani bawang merah di lokasi pengkajian ditampilkan pada Gambar 2. 120 100 100 100 80 50 60 40 33,3 33,3 16,7 20 16,7 0 Gambar 2. Jumlah pengguna pestisida berdasarkan bahan aktifnya Berdasarkan hasil penelitian yang ditampilkan pada Gambar 2, dapat diketahui bahwa pestisida yang paling banyak digunakan petani yakni propenofos dan karbofuran (100% petani) dan terendah adalah mankozeb dan abamektin (16,7% petani). Aplikasi pestisida dalam setiap musim tanamnya di lokasi ini berkisar antara 4-7 kali penyemprotan untuk setiap jenis pestisida. Bahkan dalam setiap kali penyemprotan biasanya petani mencampur 2-3 jenis pestisida. Hasil analisis residu pestisida sampel bawang merah, diperoleh kandungan residu pestisida seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan residu beberapa jenis pestisida pada umbi bawang merah. No. 1. 2. 3. 4. Bahan aktif Propineb Profenofos Karbofuran Abamektin Kandungan residu (mg/Kg) 0,026 Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 0,024 Tabel 3 menunjukkan bahwa beberapa jenis pestisida masih tersisa pada umbi bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pestisida yang petaninya paling banyak menggunakan yakni profenofos dan karbofuran 210 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 (Gambar 2) ternyata tidak terdeteksi kandungan residunya pada bawang merah. Hal ini bisa disebabkan karena intensitas aplikasi pestisida yang tidak terlalu sering maupun disebabkan karena pestisida tersebut umumnya digunakan pada stadia awal pertumbuhan tanaman sehingga residu pestisida kemungkinan telah hilang. Pestisida yang terdeteksi kandungannya yakni propineb dan profenofos. Pestisida propineb yang berfungsi untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan jamur masih terdapat pada umbi dengan kandungan 0,026 mg/Kg. Kandungan residu ini masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan batas maksimum residu (BMR) yang disyaratkan untuk beberapa jenis sayuran yakni hanya 0,02 mg/Kg. Propineb [polymeric zinc propylene-bis-(dithiocarbamate)] [(C5H8N2S4Zn)x] merupakan salah satu fungisida golongan ditiokarbamat (Aktar et al., 2009). Residu pestisida berbahan aktif propineb ini masih bisa bertahan hingga 20 hari setelah aplikasi terakhir. Hayes (1991) menambahkan propineb bersifat neurotoksik dan menyebabkan sindrom kelenjar vaskular. Adanya kandungan propineb yang melebihi BMR ini tentunya akan sangat berbahaya bagi konsumen. Selain itu, residu pestisida lainnya yang terkandung dalam umbi bawang merah adalah abamektin. Kandung abamektin yang terdeteksi yakni 0,024 mg/kg. Abamektin merupakan salah satu bahan aktif insektisida yang umumnya digunakan petani untuk mengendalikan hama. Kaspi dan Parrella (2005) menyatakan abametktin dapat mengendalikan pengorok daun, tungau, thrip, kutu daun, dan ulat Lepidoptera. Menurut Udiarto dan Setiawati (2006), penggunaan pestisida abamektin yang berlebihan dapat berakibat pada munculnya resistensi dan resurjensi hama. Menurutnya resistensi terhadap abamektin terjadi pada hama Plutella xylostella strain Garut dan Pengalengan. Kesimpulan Pestisida yang paling banyak digunakan petani di antaranya profenofos, karbofuran, fipronil, propineb, abamektin. Dalam satu kali aplikasi biasanya pestisida dicampur sebanyak 2-3 jenis dengan alasan mengurangi tenaga dan biaya penyemprotan. Hasil analisis residu pestisida pada umbi bawang merah yang dihasilkan menunjukkan kandungan pestisida berbahan aktif propineb mencapai 0,026 mg/kg dan abamektin mencapai 0,024 mg/kg, sedangkan pestisida golongan organofosfat maupun karbamat tidak terdeteksi. Daftar pustaka Aktar, M.W., M. Paramavisam and D. Sengupta. 2009. Persistence and Dissipation of Propineb-A Dithiocarbamate Fungicide in Potato under East-Indian Climatic Conditions. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43: 50 – 55. Anonim 2008. SNI 7313:2008 Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. Badan Standarisasi Nasional 211 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Anonim 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Direktorat Pupuk dan Pestisida. Kementerian Pertanian. 64 hal. Basuki, R.S. 2009. Pengetahuan petani dan keefektifan penggunaan insektisida oleh petani dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn pada tanaman bawang merah di Brebes dan Cirebon. Jurnal Hortikultura 19(4): 459−474. Djojosumarto. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Hayes, W.J. 1991. Fungicides and related compounds: Dithiocarbamates, pp 1436-145. In W.J. Hayes and E.R. Laws, (eds.). Handbook of Pesticides Toxicology. Academic Press, San Diego Kaspi, R., and M.P. Parrella. 2005. Abamectin compatibility with the leafminer parasitoid Diglyphus isaea. Biological Control 35: 172–179. Miskiyah dan S.J. Munarso. 2009. Kontaminasi Residu Pestisida pada Cabai Merah, Selada dan Bawang Merah (Studi Kasus di Bandungan dan Brebes Jawa Tengah serta Cianjur Jawa Barat). J.Hort.19 (1):101-111, 2009. Yuntari, M.G.C., B. Widianarko, dan H.R. Sunoko. 2013. Tingkat Pengetahuan Petani dalam Menggunakan Pestisida (Studi Kasus di Desa Curut Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013. 7 hal. 212 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 DETEKSI SPESIES NEMATODA PURU AKAR (Meloidogyne spp.) PADA TANAMAN SOLANACEAE DENGAN TEKNIK PCR Siti Halimah, Siwi Indarti, Bellarminus Triman, Tri Joko Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Abstrak Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) merupakan nematoda parasit tumbuhan utama pada tanaman famili Solanaceae. Lebih dari 90 spesies telah diidentifikasi secara morfologi. Deteksi secara morfologi membutuhkan ketrampilan karena nematoda puru akar memiliki morfologi hampir sama dan variasi intraspesies sangat tinggi. Deteksi secara PCR merupakan salah satu teknik deteksi yang cepat dan akurat. Penelitian ini bertujuan menerapkan teknik PCR dalam deteksi spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) pada berbagai tanaman inang dan mengetahui spesies-spesies nematoda puru akar yang berasosiasi dengan tanaman famili Solanaceae. Sampel akar bergejala puru diambil dari tanaman tomat, terong, cabai, tembakau, kentang, dan gulma ciplukan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah. Identifikasi dilakukan dengan ekstraksi-isolasi nematoda puru akar, ekstrasi DNA nematoda puru akar dengan metode CTAB, PCR dengan primer MiF/MiR, Far/Rar/, dan Fjav/Rjav, serta elektroforesis hasil PCR. Hasil PCR multipleks menunjukkan bahwa pada semua sampel terdeteksi adanya nematoda Meloidogyne spp. yang teramplifikasi pada kisaran 550-800bp. Hasil PCR simpleks menunjukkan nematoda M. incognita dapat teramplifikasi dengan primer MiF/MiR pada ukuran berkisar 550-800bp. Deteksi dengan sidik pantat menunjukkan bahwa terdapat nematoda M. incognita pada tanaman terong dan cabai, serta nematoda M. javanica pada tanaman cabai besar. Kata kunci : deteksi molekuler, Meloidogyne spp., solanaceae. Pendahuluan Nematoda puru akar merupakan kelompok besar nematoda parasit tumbuhan yang telah tersebar di daerah tropis serta memiliki kisaran inang sangat luas. Lebih dari 90 spesies nematoda puru akar masuk dalam genus Meloidogyne tetapi terdapat empat spesies utama yang mudah ditemui, yaitu Meloidogyne incognita, M. javavica, M. arenaria, dan M. hapla (Gharabadiyan et al., 2012). Tanaman yang terinfeksi oleh nematoda puru akar mengalami gangguan penyerapan air, nutrisi, translokasi mineral, dan fotosintesis. Pada tanaman menunjukkan gejala klorosis, nekrotik, dan kerdil pada tanaman 213 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 dengan terbentuknya banyak puru akar (Anwar dan McKenry, 2010). Nematoda parasit tumbuhan dapat menyebabkan kerusakan dengan kehilangan hasil mencapai 40 sampai 50% atau lebih apabila kerusakan sangat berat (John dan Wright, 2011). Deteksi nematoda puru akar dapat menjadi salah satu dasar pada pengendalian nematoda parasit tanaman (Luc et al., 1995). Terdapat beberapa teknik untuk mengidentifikasi nematoda puru akar antara lain sidik pantat (perineal patterns), gejala pada akar, scanning menggunakan mikroskop elektron, diagnosis karakter, bentuk puru, isozyme phenotyping, dan identifikasi secara molekuler. Identifikasi spesies nematoda puru akar berdasarkan karakter morfologi membutuhkan banyak keterampilan dan hasil yang diperoleh mudah tidak jelas (Haroon et al., 2003). Identifikasi secara morfologi spesies nematoda Meloidogyne spp. memiliki karakter yang sangat mirip dan variasi intraspesies yang sangat tinggi. Identifikasi Meloidogyne spp. dengan menggunakan isozyme phenotyping bersifat cepat dan akurat, namun hanya terbatas untuk nematoda betina (Hu et al., 2011). Diagnosis berdasarkan analisis DNA secara molekuler dapat menjadi alternatif. Hal ini dikarenakan proses yang cepat, akurat, dan sensitif adalah prasyarat untuk diagnosis yang dapat dipercaya (Tesarova et al., 2003). Metode untuk identifikasi nematoda puru akar berdasarkan Polymerase Chain Reaction (PCR) pertama kali dilaporkan oleh Harris et al. (1990), yang telah berhasil mengamplifikasi DNA mitokondria dari singel L2 yang dihancurkan dalam air steril dan ditambahkan kedalam reaksi PCR. Adam et al. (2007) dengan membuat kunci identifikasi molekuler dan ukuran pita DNA untuk Meloidogyne spp. Pada tahun 2011, Hu et al., menggunakan metode multipleks PCR untuk identifikasi nematode puru akar dengan reaksi bersama dan deteksi Meloidogyne spp. menggunakan ekstraksi DNA langsung dari gall tunggal. Referensi mengenai identifikasi spesies nematoda Meloidogyne spp. secara molekuler pada tanaman Solanaceae belum banyak dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan teknik identifikasi yang banyak digunakan adalah secara morfologi dan morfometri. Oleh karena itu, proses deteksi secara molekuler dengan teknik PCR perlu dilakukan sehingga dapat membantu serta mempercepat langkah deteksi dalam upaya tindakan pengendalian nematoda Meloidogyne spp. pada tanaman Solanaceae. Bahan dan metode 1. Bahan Sampel nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) betina dewasa pada tanaman tomat (Solanum lycopersicum), cabai (Capsicum annum), terong (Solanum melongena), kentang (Solanum tuberosum), tembakau (Nicotiana tabacum L.), dan ciplukan (Physalis angulata). Lokasi pengambilan sampel 214 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 dilakukan dibeberapa wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Temanggung, serta Ngablak, Magelang, Jawa Tengah. 2. Metode Penelitian Deteksi spesies nematoda puru akar secara molekuler dan morfologi dilakukan di Laboratorium Nematologi, Laboratorium Bakteriologi, dan Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan Klinik, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. A. Ekstraksi DNA nematoda puru akar menggunakan metode CTAB Ekstraksi-isolasi nematoda puru akar dilakukan berdasarkan metode Barker et al. (1985) yang telah dimodifikasi dengan mengeluarkan nematoda betina dari akar dengan jarum nematoda dan pengait nematoda. Nematoda sebanyak 20 ekor dibersihkan dengan air steril kemudian dipindahkan dalam tabung ependorf ukuran 1,5 ml. Nematoda dihancurkan di dalam tabung ependorf menggunakan batang plastik dan diberi buffer ekstraksi CTAB sebanyak 700 µl. Sampel diinkubasi dalam waterbath (65 0C selama 30 menit). Tabung diambil dan disentrifus 5000 rpm selama 5 menit. Ekstrak sampel ditambah kloroform : isoamilalkohol (24:1). Tabung disentrifus 12000 rpm selama 10 menit. Sampel disentrifus 12000 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan dipindahkan ke tabung baru. Sampel ditambah larutan ethanol absolute dingin. Sampel disimpan dalam freezer -20 0C semalam. Sampel disentrifus pada 12000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Tabung yang mengandung pelet DNA dituangi etanol 70% dingin. Tabung disentrifus pada 12000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Selanjutnya pelet dikeringanginkan dan ditambah buffer TE sebanyak 20-100 µl tergantung besarnya pelet DNA, lalu tabung digoyang agar pelet tersuspensi secara sempurna dalam buffer TE (Subandiyah, 2003). B. PCR (Polymerase Chain Reaction) PCR Multipleks : komposisi yang digunakan meliputi 2 μl DNA sampel, 12,5 μl Go Taq®Green Master Mix (Promega),1 μl MiF, 1 μl MiR, 1 μl Fjav, 1 μl Rjav, 1 μl Far, 1 μl Rar, 4,5 μl Aquabides. PCR Simpleks : komposisi yang digunakan meliputi 2 μl DNA sampel, 12,5 μl Go Taq®Green Master Mix (Promega),1 μl MiF, 1 μl MiR, dan 8,5 μl Aquabides. Amplifikasi DNA dilakukan dengan denaturasi awal pada 94ºC selama 3 menit, kemudian dilanjutkan dengan 35 siklus yang melalui tiga tahapan, denaturation pada 94°C selama 30 detik, anneling pada 58°C selama 1 menit dan extention pada 72°C selama 1 menit. Siklus terakhir pada 72°C selama 10 menit, kemudian siklus berakhir dengan suhu 4ºC (Devran dan Söğüt, 2009). DNA hasil PCR dimasukkan dalam sumuran gel agarose 1% dan dielektroforesis dengan tegangan sebesar 60 volt, 400 ma selama 50 menit. Hasil elektroforesis divisualisasi dengan mesin UV dan didokumentasi (Hikmia 215 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 et al. cit Halimah et al., 2013). Hasil visualisasi PCR dilanjutkan dengan analisis hasil PCR berdasarkan ukuran panjang basa DNA (Tabel 1). Tabel 1. Ukuran panjang basa DNA Meloidogyne spp. Spesies Primer set (5’-3’) Amplicon lenght M. arenaria Reference Far: TCGGCGATAGAGGTAAATGAC Rar: TCGGCGATAGACACTACAACT 420 bp Zijlstra et al., 2000 MiF: GTGAGGATTCAGCTCCCCAG MiR: ACGAGGAACATACTTCTCCGTCC M. Fjav: GGTGCGCGATTGAACTGAGC javanica Rjav: CAGGCCCTTCAGTGGAACTATAC Sumber : Perry et al., (2009) 955 bp Meng et al., 2004 670 bp Zijlstra et al., 2000 M. incognita C. Deteksi Nematoda Puru Akar Secara Morfologi Dengan Sidik Pantat Deteksi secara morfologi berdasarkan metode Taher et al., (2012) yang dimodifikasi yaitu dengan nematoda Meloidogyne spp. betina dipotong pada bagian posterior menggunakan pisau yang telah dimodifikasi. Bagian yang telah terpotong dibersihkan dan dipindah ke larutan asam laktat dan dipindah ke larutan gliserin. Sidik pantat yang telah diperoleh diamati dengan mikroskop kemudian dilakukan dokumentasi menggunakan kamera optiLab. Hasil dan pembahasan 1. Deteksi Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) berdasarkan gejala serangan pada tanaman soalanaceae Gejala serangan nematoda puru akar pada beberapa tanaman famili Solanacea dapat dilihat pada Gambar 1. Nezriyetti dan Novita (2012) mengemukakan bahwa tanaman yang terserang nematoda puru akar memiliki pertumbuhannya terhambat, tanaman kerdil, daun menguning, keriting dan membengkok, layu, gosong dan akhirnya gugur. Gejala serangan di bawah permukaan tanah pada akar ditemui adanya puru akar. Tanaman tomat yang terserang Meloidogyne spp. mengalami pembengkakan pada bagian akar (Gambar 1.B.) Akar tanaman terong (Gambar 1.F.), cabai (Gambar 1.D.), tembakau (Gambar 1.H.), dan ciplukan (Gambar 1.J.), puru yang terbentuk hanya sedikit. Umbi kentang yang terserang nematoda puru akar mengalami malformasi pada permukaan kulit, yaitu terdapat bintil. Vovlas et al. (2005), menyatakan nematoda betina dan massa telur terdapat pada bawah lapisan epidermis. Massa telur yang menetas menjadi larva stadia dua (2) dan bibit kentang menjadi sumber inokulum pada lahan tanam yang baru. 216 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 1. A-J. Gejala serangan nematoda puru akar (Meloidogyne (Meloidogyne spp.) pada sampel tanaman pada permukaan tanah dan akar famili solanacea; A A-B: tanaman tomat; C-D: D: tanaman cabai; E-F: E F: tanaman terong; G: umbi kentang; H: tanaman tembakau; I-J: J: gulma ciplukan. 2. Deteksi eteksi Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne ( spp.) dengan teknik PCR Hasil PCR multipleks menunjukkan pita DNA sampel nematoda puru akar pada tanaman Soalanaceae hanya berhasil mengamplifikasi satu band dengan kisaran ukuran 550-800 550 800 bp yang terlihat pada Gambar 2. Pita DNA Meloidogyne spp. yang teramplifikasi tersebut memiliki 3 variasi ukuran. Sampel nomor 1,2,3,10, dan 11 teramplifikasi pada ukuran basa ±550 bp. Sampel nomor 4, 6, dan 8 teramplifikasi pada ukuran basa ±750 bp. Sampel nomor 7 dan 9 teramplifikasi pada ukuran ±800bp. Sampel Sampel nomor 5 tidak menunjukkan hasil. Ukuran pita DNA yang teramplifikasi tersebut mendekati ukuran pita DNA Meloidogyne javanica yaitu 720bp (Adam et al al., 2007). Diduga pada hasil tersebut terdapat variasi genetik akibat perbedaan inang. Gambar 2. Visualisasi alisasi hasil amplifikasi DNA Meloidogyne incognita pada tanaman solanaceae; M: marker 1 kb (Vivantis); 1-2: 2: sampel tanaman terong; 3-5: 5: sampel tanaman cabai: 6-8: 6 8: sampel tanaman tomat; 9: sampel gulma ciplukan; 10: sampel umbi kentang; 11: sampel tanaman tembakau. Penelitian ulang dilakukan dengan menggunakan satu set primer pada masing-masing masing sampel DNA. Dari tiga set primer yang digunakan, hanya 217 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 primer MiF/MiR yang dapat mengamplifikasi DNA sampel dengan target nematoda M. incognita.. Hasil PCR ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3.. Visualisasi hasil PCR DNA Meloidogyne spp. dengan primer MiF/MiR berdasarkan tanaman sampel; A: tomat; B: cabai; C: terong; D: kentang; E: tembakau; F: ciplukan. Marker 1 kb (Vivantis). Visualisasi hasil PCR simpleks menggunakan menggunakan primer Mi mampu mengamplifikasi DNA sampel dengan 3 variasi ukuran seperti pada hasil PCR secara multipleks. Ukuran pita yang dihasilkan terdapat pada kisaran 550-800 bp. Hu et al., ., (2011), mengemukakan bahwa M. incognita dapat teramplifikasi menggunakan primer MiF/MiR pada ukuran pita 955 bp. Hal serupa terjadi pada penelitian Tesarova (2003) bahwa ukuran 436 bp dengan primer bukan Mi yang seharusnya dihasilkan oleh M. incognita memiliki ukuran yang sama dengan M. arenaria dan M. javanica. Hasil penelitian Qiu et al.. (2006) juga menunjukkan bahwa dari 15 sampel yang digunakan hanya satu sampel yang teramplifikasi dengan primer Mi. Primer tersebut memungkinkan dapat mengamplifikasi DNA sampel non target. Devran dan Söğüt (2009) (2009) menambahkan primer tersebut tidak spesifik untuk mengidentifikasi M. incognita.. Dalam penelitiannya, DNA M. javanica yang merupakan DNA non-target non target berhasil teramplifikasi dengan primer ini. Untuk mendukung hasil identifikasi secara molekuler dilakukan identifikasi nematoda puru akar secara morfologi yaitu dengan sidik pantat (perinneal pattern). ). Dari beberapa sampel nematoda betina yang diisolasi dari akar dan umbi kentang, diperoleh hasil seperti pada Gambar 4. Gambar 4. Pola perinneal pattern nematoda puru akar; a: M. incognita incognita; b: M. javanica; c: M. arenaria;; d: M. hapla (Eisenback, 1981 cit Taher et al., 2012); e: M. incognita dari umbi kentang; f-g: f M. incognita dari akar tanaman terong; h: M. javanica dari akar tanaman cabai; perbesaran 400x. 218 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pola perinneal pattern pada Gambar 4. menunjukkan bahwa pada tanaman terong dan umbi kentang telah terserang oleh nematoda M. incognita. Pada akar tanaman cabai diperoleh satu nematoda M. javanica dan dua nematoda M. incognita dari tiga ulangan sidik pantat. Pada deteksi nematoda secara molekuler tidak diperoleh pita DNA nematoda M. javanica tetapi nematoda M. incognita. Hal ini terjadi diduga konsentrasi DNA nematoda M. javanica tidak mencukupi untuk PCR sehingga hanya DNA nematoda M. incognita yang dapat teramplifikasi. Kesimpulan 1. Deteksi spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) pada tanaman famili Solanaceae dapat dilakukan secara molekuler dengan primer spesifik spesies. 2. Hasil PCR menunjukkan tanaman tomat, cabai, terong, tembakau, umbi kentang, dan ciplukan dapat berasosiasi dengan nematoda Meloidogyne incognita. Daftar pustaka Adam, M. A. M., M. S. Phillips, dan V. C. Blok. 2007. Molecular diagnostic key for identification of single juvenils of seven common and economically important species of root-knot nemtode (Meloidogyne spp.). Journal of Plant Pathology. 56: 190-197. Anwar, S.A. dan M. V. McKenry. 2010. Incidence and reproduction of Meloidogyne incognita on vegetable crop genotypes. Pakistan Journal Zoological. 42(2): 135-141. Barker, K.R., C.C. Carter, dan J.N. Sasser. 1985. An Advanced Treatise on Meloidogyne volume II: Methodology. North Caroline State Uniersity Graphics, North Caroline USA. Devran Z., dan M.A. Söğüt. 2009. Population and identification of root-knot nematodes from Turkey. Journal of Nematology. 41(2): 128-133. Gharabadiyan, F., S. Jamali, A. A. Yazdi, dan A. Eskandari. 2012. Source of resistance to root-knot nematode (Meloidogyne javanica) in tomato cultivars. Journal of Agriculture Technology. 8 (6): 2011-2021. Halimah, Supramana, dan G. Suastika. 2013. Identifikasi spesies Meloidogyne pada wortel berdasarkan sikuen nukleotida. Jurnal Fitopatologi. 9(1) : 16. Haroon S., A. El-Ghor, M. A. El-Rheem, dan A. Abdella. 2003. Identification of different root-knot nematodes and detection on intraspecific and intrapopulation genetic variabilities between different nematode sample using RAPD technique. Arab Journal Biotechnology. 6(2): 247-266. 219 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Harris, T. S., L.J. Sandal, T. O. Powers. 1990. Identification of single Meloidogyne juvenils by polymerase chain reaction amplification of mitochondrial DNA. Journal of Nematology. 22: 518-524. Hu, M. X., K. Zhuo, dan J. L. Liao. 2011. Multiplex PCR for the simultaneous identification and detection of Meloidogyne incognita, M. enterolobii, and M. javanica using DNA extracted directly from individuals galls. Journal of Phytopathology. 101(11): 1270-1277. John, T. M. dan M. G. Wright. 2011. Fungi and theri use in the possible control of nematodes in Botswana soils. The African Journal of Plant Science and Biotechnology. 5: 33-40. Luc, M., R.A. Sikora, dan J. Bridge. 1995. Nematoda Parasitik Tumbuhan di Pertanian Subtropik dan Tropik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nezriyetti dan T. Novita. 2012. Efektivitas ekstrak daun jarak pagar (Jatropa curcas L.) dalam menghambat perkembangan nematoda puru akar Meloidogyne spp. pada tanaman tomat. Biospecies. 5(2): 35-39. Perry R. N., M. Moens, dan J. L., Starr. 2009. Root-knot Nematodes. CAB International. Powers, T. O., Harris T. S. 1993. A polymerase chain reaction method for identification of five major Meloidogyne species. Journal of Nematology. 25(1):1-6. Qiu J.J., B.B. Westerdahl, C. Anderson, dan V.M. Williamson. 2006. Sensitive PCR detection of Meloidogyne arenaria, M. incognita, dan M. javanica extracted from soil. Journal of Nematology. 38(4): 434-441. Subandiyah, S. 2003. Cara Kerja Ekstraksi DNA menggunakan CTAB. Workshop and training course on molecular detection for plant and environmental protection. Fakultas Pertanian. Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 15-20 Desember 20013. Taher M., Supramana, dan G. Suastika. 2012. Identifikasi Meloidogyne penyebab umbi bercabang pada wortel di dataran tinggi Dieng. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8(1): 16-21. Tesarova, B., M. Zouhar, P. Rysanek. 2003. Development of PCR for specific determination of root-knot nematode Meloidogyne incognita. Plant Protection Science. 39: 23–28. Vovlas, N., D. Mifsud, B. B. Landa, and P. Castilo. 2005. Pathogenicity of the root-knot nematode Meloidogyne javanica on potato. Plant Pathology. 54: 657-664. 220 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PETANI PADI IRIGASI DALAM MENGGUNAKAN PESTISIDA (Kasus: Desa Srikaton, Kec. Buay Madang Timur, Kab. OKU Timur) Syahri, Renny Utami Somantri dan Sidiq Hanapi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang Telp. (0711) 410155 Email: [email protected] Abstrak Penggunaan pestisida di kalangan petani padi khususnya lahan irigasi sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sama halnya dengan mengobati tanaman. Beberapa petani misalnya bahkan melakukan penyemprotan pestisida hingga 3 kali dalam seminggu dan bahkan terkadang mencampur 2-3 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi. Tujuan kajian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam menggunakan pestisida kimiawi serta aplikasi yang diterapkannya. Kajian dilaksanakan di sentra pertanaman padi irigasi yakni Desa Srikaton, Kec. Buay Madang Timur, Kabupaten OKU Timur, Propinsi Sumatera Selatan pada bulan Juni 2014. Kajian dilakukan dengan metode wawancara dengan 20 orang anggota Gapoktan, 2 orang petugas lapang, serta pengamatan langsung pada pertanaman padi. Hasil kajian menunjukkan walaupun dengan tingkat pendidikan yang tinggi (76,5% berpendidikan SMA) serta pengalaman usahatani yang lama (64,7% berpengalaman usahatani >10 tahun) ternyata petani di lokasi ini masih melakukan prosedur penggunaan pestisida yang kurang tepat. Sebanyak 69,2% petani biasanya mencampur 2-3 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi tanpa memperhatikan dosis maupun bahan aktifnya. Ada sebanyak 38,5% petani masih melakukan penyemprotan berlawanan dengan arah angin. Bahkan, hasil pengkajian menunjukkan bahwa sebagian besar petani tidak mengetahui pestisida alami (64,7% petani) dan hanya 35,3% yang mengetahui. Mereka beranggapan bahwa pestisida alami kurang efektif dalam mengendalikan hama dibanding pestisida kimia (94,2% petani) serta pestisida alami lebih sulit diperoleh dibandingkan pestisida kimia (41,2% petani). Kata kunci: padi irigasi, pestisida, petani. Pendahuluan Beras mempunyai peranan penting dalam kehidupan rakyat dan perekonomian Indonesia. Selain bersifat strategis, juga merupakan barometer kecukupan pangan khususnya di daerah pedesaan, serta merupakan bahan makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Erwidodo dan 221 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pribadi (2004), memperkirakan Indonesia masih akan menghadapi defisit beras untuk beberapa tahun mendatang karena pengelolaan lahan pertanian masih belum optimal. Makarim et al. (2000) menyatakan bahwa belum optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara lain disebabkan oleh rendahnya efisiensi pemupukan, kahat unsur mikro, sifat fisik tanah tidak optimal, penggunaan benih kurang bermutu, varietas yang dipilih kurang adaptif, belum efektifnya pengendalian hama penyakit, dan pengendalian gulma kurang optimal. Produktivitas padi irigasi dapat terus ditingkatkan dengan menerapkan paket teknologi seperti pemupukan dengan takaran tinggi, penambahan bahan organik melalui pengembalian sisa-sisa bahan organik, dan pengaturan pemberian air irigasi (Hikmatullah et al., 2002). Upaya peningkatan mutu dan produktivitas padi di lahan irigasi tidak terlepas dari penggunaan pestisida untuk membasmi hama tanaman. Namun, penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak terkendali dapat memberikan risiko keracunan bagi petani. Menurut Wiratno et al. (2013), penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahuntahun setelah pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di dalamnya. Selain itu, pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan resistensi, resurjensi dan ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh alami hama. Penggunaan pestisida di kalangan petani sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sama halnya dengan mengobati tanaman. Beberapa petani misalnya bahkan melakukan penyemprotan pestisida hingga 3 kali dalam seminggu dan bahkan terkadang mencampur 2-3 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi. Disamping karena keterbatasan pengetahuan petani, penggunaan pestisida yang terus-menerus ini dikarenakan beberapa faktor yang dianggap petani memberikan kemudahan bila mereka menggunakan pestisida kimia dibanding penggunaan bahan lainnya. Kemudahan tidak sekadar aplikasinya tetapi juga kemudahan dalam mendapatkannya. Selain itu, adanya efek langsung terhadap hama penyakit sasaran setelah diaplikasikan pestisida semakin menambah kepercayaan petani untuk tetap menjadikan pestisida kimiawi di urutan teratas. Bahaya pestisida tidak hanya secara langsung bagi petani saat menyemprot tetapi juga risiko residu yang ditimbulkannya pada tanah, tanaman dan produk yang dihasilkannya. Oleh karena, tulisan ini dibuat untuk memberikan informasi mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi aplikasi pestisida di tingkat petani serta sejauhmana kesesuaian aplikasi yang petani lakukan dengan pedoman yang telah ada. Metodologi Kajian dilaksanakan di lokasi sentra pertanaman padi irigasi yakni Desa Srikaton, Kec. Buay Madang Timur, Kabupaten OKU Timur, Propinsi Sumatera 222 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Selatan pada bulan Juni 2014. Pengkajian dilakukan dengan metode wawancara dengan anggota Gapoktan serta pengamatan langsung pada pertanaman padi. Petani yang diwawancari berjumlah sebanyak 17 orang yang dipilih secara sengaja serta 2 orang petugas lapang (PPL/PHP). Wawancara dilakukan untuk mengetahui karakteristik responden, cara budidaya terutama dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penggunaan pestisida, penggunaan pestisida alami di tingkat petani.. Hasil dan pembahasan A. Karakteristik Responden Adapun karakteristik responden secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik petani padi di Desa Srikaton No. Kategori 1. Jenis Kelamin - Laki-laki (orang) - Perempuan (orang) 2. Usia (tahun) 3. Luas lahan milik sendiri (ha) 4. Pengalaman usahatani < 10 tahun (%) >10 tahun (%) 5. Pendidikan - SD (%) - SMP (%) - SMA (%) - S1 (%) 6. Jumlah anggota keluarga yang membantu bertani (orang) Jumlah 17 23-64 0,25-1,5 35,3 64,7 5,8 5,8 76,5 11,6 1-6 Tabel 1 memperlihatkan bahwa sebagian besar petani merupakan usia produktif dengan kepemilikan lahan yang kecil hingga cukup luas yakni 0,25-1,5 ha. Sebagian besar petani cukup berpengalaman dalam budidaya tanaman, hal ini terlihat dari pengalaman usahatani mereka yakni 64,7% di antaranya telah bertani > 10 tahun. Pengalaman bertani ini juga didukung dengan tingkat pendidikan yang tinggi dari petani yakni lebih dari 50% di antaranya berpendidikan SMA dan bahkan 11,6% berpendidikan S1. Menurut Parera (2004), salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan terhadap kesehatan adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan responden yang ratarata rendah akan menyebabkan kemampuan responden untuk memahami informasi tentang pestisida menjadi berkurang dan berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan responden tentang pestisida. 223 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 B. Eksisting Teknologi Budidaya Padi Penanaman padi dilakukan hampir sepanjang tahun atau dengan indeks pertanaman 300 (IP 300). Pola tanam yang diterapkan di desa ini yakni padipadi-padi. Beberapa VUB padi yang pernah ditanam di antaraya varietas Inpari 1, 3, 4, 6, 9, 10, 12,13, dan Inpari 15, Mekongga, Situbagendit, Ciliwung, dan varietas Ciherang. Dari semua varietas yang ditanam tersebut, yang saat ini paling disukai petani adalah varietas Ciliwung dan Ciherang (Gambar 1). Hal ini disebabkan kedua varietas tersebut telah terbukti secara terus-menerus mampu berproduksi tinggi yaitu 6-7 ton/ha dan mudah dijual. Pupuk yang digunakan di antaranya pupuk Phonska 250 kg/ha, urea 150-200 kg, SP-36 100 kg/ha. Penentuan dosis pupuk ini hanya didasarkan pada kebiasaan yang mereka anggap memberikan hasil yang baik sehingga kebutuhan pupuk pada setiap musimnya akan sama. 50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 47,1 23,5 11,8 Ciherang Ciliwung 5,9 5,9 Inpara 6 Inpari 12 5,9 Mekongga Situ Bagendit Gambar 1. Beberapa varietas padi yang ditanam oleh petani di Desa Srikaton Pengendalian hama penyakit umumnya masih sangat bergantung pada penggunaan pestisida sintetis. Petani belum pernah mengaplikasikan biopestisida dikarenakan ketersediaan biopestisida di lapangan masih sangat sedikit dan sulit ditemukan di kios-kios desa. Pestisida kimia sintetis yang sering digunakan di antaraya adalah insektisida berbahan aktif klorantraniliprol + thiamethoksam dengan dosis 7,5 cc/15 l air, klorantraniliprol 15-30 cc/15 l air untuk mengendalikan hama penggerek batang, wereng, dana walang sangit, fungisida difenokonazol 10 cc/15 l air yang digunakan untuk mengendalikan penyakit blas (patah leher), serta penggunaan copper oxysulfate sebanyak 2030 cc/15 l air untuk mencegah serangan penyakit kresek. C. Riwayat Serangan OPT Padi di Desa Srikaton dan Upaya Pengendaliannya Berdasarkan laporan Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Propinsi Sumatera Selatan (2014), Kecamatan Buay 224 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Madang Timur merupakan daerah endemis kresek dengan luas serangan kresek sebanyak 121,5 ha. Sedangkan hasil wawancara diketahui bahwa hama dan penyakit utama menyerang tanaman padi di antaranya adalah tikus, penggerek batang padi, keong mas dan penyakit kresek yang dijumpai pada musim tanam sebelumnya. Berdasarkan informasi, tahun 2013 serangan penyakit patah leher sangat parah sehingga menyebabkan kerugian yang besar, dimana dari setiap 1 bahu lahan (0,72 ha) hanya dihasilkan 15 karung gabah, padahal jika kondisi normal biasanya dihasilkan sebanyak 60-70 karung. Oleh karena itulah petani menggunakan pestisida untuk mengendalikannya. Penggunaan pestisida kimia di tingkat petani sangat intensif dilakukan sejak persemaian hingga panen (Gambar 2). Namun jarang dilakukan saat penyimpanan dikarenakan hasil panen biasanya tidak dijadikan benih dan akan segera digunakan dalam jangka waktu yang tidak lama. Gambar 2.Jenis pestisida dan waktu penggunaan berdasarkan stadia tumbuh tanaman padi. D. Pemilihan Pestisida di Tingkat Petani Beberapa faktor yang menjadi alasan petani dalam memilih pestisida adalah tingginya serangan hama penyakit padi di lokasi pengkajian sehingga mereka mengalami ketergantungan untuk menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikannya. Faktor-faktor yang menyebabkan petani memilih pestisida kimia dijasikan pada Tabel 2. Tabel 2.Faktor-faktor yang menyebabkan petani menggunakan pestisida No. Kriteria penilaian 1. Harga pestisida kimia 2. Alasan utama menggunakan pestisida kimia Persentase (%) 35,3 64,7 Tanggapan petani Murah/terjangkau Mahal Ampuh mengendalikan OPT Mudah diperoleh diaplikasikan 70,6 dan 76,5 225 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Sesuai jenis OPT 88,2 Sering digunakan petani lain 11,8 Berdasarkan kebiasaan 23,5 4. Asal informasi penggunaan pestisida yang dipilih Pedagang/formulator PPL/PHP Petani/poktan lainnya 47,1 52,9 35,3 5. Pengetahuan pada pestisida alami Tahu 35,3 Tidak tahu 64,7 Penggunaan pestisida alami di tingkat petani Pernah 23,5 3. 6. 7. 8. Jenis pestisida yang dipilih Tidak Pernah Efektivitas pestisida alami Lebih efektif dibandingkan kimia Kurang efektif Susah diperoleh Alasan tidak menggunakan pestisida Harga mahal alami Tidak efektif 70,5 5,8 94,2 41,2 11,8 47 Berdasarkan Tabel 2, lebih dari 50% petani beranggapan bahwa harga pestisida kimia relatif mahal (64,7% petani). Namun demikian, alasan utama petani padi irigasi masih tetap menggunakan pestisida kimia adalah karena pestisida mudah diperoleh dan diaplikasikan (76,5% petani) serta ampuh dalam memberantas OPT (70,6% petani). Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar petani telah memilih pestisida berdasarkan jenis OPT yang menyerang, hal ini karena menurut mereka informasi mengenai jenis pestisida tersebut sebagian besar berasal dari petugal lapang (PPL/PHP). Laba dan Trisawa (2008) menyatakan penggunaan pestisida dapat menimbulkan dampak terhadap hama utama serta organisme bukan sasaran. Isenring (2010) menambahkan penggunaan pestisida dengan bahan aktif yang sangat toksik dan sulit terdegradasi juga menimbulkan berbagai dampak negatif pada lingkungan, seperti hilangnya keragaman hayati, menurunnya populasi organisme berguna seperti musuh alami, dan pencemaran lingkungan. Karena alasan tersebut, maka dalam penggunaan pestisida harus memperhatikan halhal sebagai berikut: a) Pestisida hanya digunakan sebagai alternatif terakhir, apabila belum ditemukan cara pengendalian daya racun rendah dan bersifat selektif, b) apabila terpaksa menggunakan pestisida, maka gunakan Pestisida yang mempunyai daya racun rendah dan bersifat selektif, c) apabila terpaksa menggunakan pestisida, lakukan secara bijaksana yakni dengan menerapkan 226 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 prinsip 5 (lima) tepat: tepat sasaran, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis/konsentrasi, dan tepat cara (Anonim, 2011). Dengan berdasarkan berbagai kajian di atas, maka penggunaan pestisida alami mutlak diperlukan sebagai tindakan yang lebih aman terhadap lingkungan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa sebagian besar petani tidak mengetahui pestisida alami (64,7% petani) dan hanya 35,3% yang mengetahui. Akan tetapi, hanya 23,5% saja dari petani yang tahu yang menggunakan pestisida alami. Mereka beranggapan bahwa pestisida alami kurang efektif dalam mengendalikan hama dibanding pestisida kimia (94,2% petani) serta pestisida alami lebih sulit diperoleh dibandingkan pestisida kimia (41,2% petani). Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah dengan mengenalkan pestisida alami secara terus-menerus kepada petani serta berusaha untuk meyakinkan petani bahwa pestisida alami juga mampu memberikan hasil yang bagus untuk mengendalikan OPT serta mudah diperoleh dan diaplikasikan di lapangan. E. Prosedur Penggunaan Pestisida Kesalahan dalam prosedur penggunaan pestisida kimiawi akan berdampak buruk. Penilaian terhadap prosedur penggunaan pestisida petani kentang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Penilaian terhadap prosedur penggunaan pestisida pada petani kentang Persentase No. Persepsi petani terhadapTanggapan petani (%) 1. Mencampur beberapa jenis Pernah 94,1 pestisida dalam satu kali Tidak pernah 5,9 aplikasi 2. Alasan mencampur pestisida Lebih efektif 29,4 Menghemat biaya/tenaga 70,6 aplikasi 4. Penggunaan alat pelindung a. Sarung tangan 11,8 b. Masker 23,5 c. Pelindung mata 0 d. Pelindung kepala (topi) 52,9 e. Sepatu boot 5,9 f. Pakaian kerja (pakaian 100 bertani lengan panjang) Beberapa hal buruk yang dilakukan petani dalam menggunakan pestisida kimia adalah kebiasan mereka dalam mencampur beberapa jenis pestisida dalam satu kali aplikasi (94,1% petani pernah mencampur pestisida) 227 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 dengan alasan menghemat biasa/tenaga aplikasi dan tanpa memperhatikan jenis/bahan aktif pestisida tersebut. Dalam hal penggunaan pakaian pelindung saat menyemprot, petani masih jarang menggunakannya. Pakaian pelindung sangat penting dalam aplikasi pestisida karena untuk mencegah terjadinya keracunan pada petani yang menyemprot. Petani umumnya masih menganggap enteng pekerjaan penyemprotan pestisida ini. Djojosumarto (2008) menyatakan bahwa pekerjaan yang paling sering menimbulkan kontaminasi adalah saat mengaplikasikan terutama menyemprotkan pestisida. Penyemprotan pestisida yang tidak memenuhi aturan akan mengakibatkan banyak dampak, di antaranya dampak kesehatan bagi manusia yaitu timbulnya keracunan pada petani itu sendiri (Djafaruddin, 2008). Hasil kajian menunjukkan >50% petani masih belum menggunakan sarung tangan, masker, dan pelindung mata, sepatu boot dalam menyemprot. Menurut mereka hampir 100% di antaranya telah menggunakan pelindung kepala dan pakaian kerja saat menyemprot. Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan sebagian besar petani belum menerapkan penggunaan pakaian pelindung secara sempurna. Pakaian kerja maupun pelindung kepala yang umumnya digunakan berbahan kain yang mudah ditembus oleh cairan pestisida. Padahal pestisida dapat masuk ke tubuh manusia atau hewan kontaminasi lewat kulit. Pestisida yang menempel di permukaan kulit dapat meresap ke dalam tubuh dan menimbulkan keracunan (Kementerian Pertanian, 2011). Kesimpulan Alasan utama petani padi irigasi menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan OPT adalah karena pestisida mudah diperoleh dan diaplikasikan (76,5% petani) serta ampuh dalam memberantas OPT (70,6% petani). Sebagian besar petani telah memilih pestisida berdasarkan jenis OPT yang menyerang dan informasinya diperoleh dari petugas lapang (PPL/PHP). Sebanyak 64,7% petani tidak mengetahui pestisida alami, mereka beranggapan bahwa pestisida alami kurang efektif dalam mengendalikan hama dibanding pestisida kimia (94,2% petani) serta pestisida alami lebih sulit diperoleh dibandingkan pestisida kimia (41,2% petani). Daftar pustaka Anonim. 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Anonim 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Direktorat Pupuk dan Pestisida. Kementerian Pertanian. 64 hal. Djojosumarto. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Erwidodo dan P. Pribadi. 2004. Permintaan dan Produksi Beras Nasional: Surplus atau Defisit?. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. 228 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Penyunting: Fasisal Kasryno, E. Pasandaran, AM Fagi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hikmatullah, Sawiyo, N. Suharta. 2002. Potens dan Kendala Pengembangan Sumber Daya Lahan untuk Pencetakan Sawah Irigasi di Luar Jawa. Jurnal Litbang Pertanian 21: 115-123. Isenring, R. 2010. Pesticides and the loss of biodiversity. How intensive pesticide use affects wildlife population and species diversity. Pesticide Action Network, Europe. 26 pp. Development House 56−64 Leonard Street, London EC2A 4LT. www.pan-europe.info. Laba, IW dan I.M. Trisawa. 2008. Tinjauan masalah serangga hama dan pengelolaannya. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Palembang dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Sumsel. Palembang, 18 Oktober 2008. Makarim, A.K, S. Abdurachman, dan S. Purba. 2000. Efisiensi input tanaman pangan melalui prescription farming. Dalam: A.K. Makarim dkk. (Eds). Tonggak Kemajuan Penelitian Tanaman Pangan. Konsep dan strategi Peningkatan Produksi Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Parera, G.S. 2004. Sehat Suatu Pilihan Bebas. Indomedia. Pawukir. Enny S.dan Joko Mariyono. 2002. Hubungan antara penggunaan pestisida dan dampak kesehatan: studi kasus di dataran tinggi Sumatra Barat. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Supriadi. 2013. Optimasi pemanfaatan beragam jenis pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 32 : 1-9. Wiratno, Siswanto, dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian, formulasi, dan pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 32 : 150-155. 229 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 UJI METODE INOKULASI PADA BAWANG MERAH DENGAN Fusarium spp. 1 Ayu Lestiyani, 2Arif Wibowo, 2Siti Subandiyah 1 Mahasiswa Pascasarja Program studi Fitopatologi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Email: [email protected] 2 Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji beberapa metode inokulasi dan kerapatan populasi Fusarium spp. dalam menimbulkan gejala penyakit moler pada bawang merah. Penelitian ini terdiri dari uji patogenisitas 3 spesies Fusarium sp. (F. oxysporum, F. solani dan F. acutatum) yang diinokulasikan dengan perendaman umbi dan penyiraman menggunakan suspensi spora kerapatan 106 dan diinkubasi 7 hari. Metode inokulasi yaitu injeksi (50µl), perendaman, dan penyiraman (50 mL) dengan kerapatan spora 103, 106, dan 109 serta media beras (10 g, 20 g dan 30 g). Pengamatan dilakukan setiap 7 hari selama 6 minggu dengan menghitung persentase tanaman sakit. Masingmasing perlakuan terdiri dari 3 tanaman dalam 1 pot dengan 3 ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan apabila terdapat beda nyata dilakukan uji DMRT 5%. F. acutatum menimbulkan gejala moler dengan daun yang menguning dan terpelintir sedangkan F. solani menimbulkan gejala hampir mirip dengan F. oysporum yang memperlihatkan gejala daun menguning kemudian mengering dan apabila umbi dipotong horisontal terlihat bercak berwarna coklat. Pada F. solani umbi yang dihasilkan lebih kecil. Metode perendaman bawang merah ke dalam suspensi konidia F. acutatum cepat memperlihatkan gejala dengan waktu inkubasi 1 minggu. Metode penyiraman menimbulkan gejala yang paling lama 3 minggu. Semua metode inokulasi memiliki keefektifan yang sama karena pada minggu terakhir pengamatan persentase tanaman sakit mencapai 100%. Kata kunci: metode inokulasi, Fusarium solani, F. acutatum, F. oxysporum, persentase tanaman sakit Pendahuluan Bawang merah (Allium cepa L. var. Agregatum (L.) merupakan spesies dari keluarga Alliaceae yang banyak dibudidayakan di seluruh dunia terutama di Asia dan Eropa (Rukmana, 1994). Serangan patogen tanaman merupakan salah satu kendala yang sering dihadapi dalam budidaya bawang merah. Salah satu penyakit yang sering dijumpai pada tanaman bawang merah adalah penyakit moler, yang diduga disebabkan oleh Fusarium oxysporum (Anonim, 230 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 2003). Menurut Wiyatiningsih (2003), penyakit moler pada bawang merah disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cepae. Survei penyakit dilakukan pada wilayah Kalpitiya pada tahun 1992-1993, menunjukkan bahwa umbi yang membusuk disebabkan oleh Fusarium spp., dan daun yang membengkok disebabkan oleh F. oxysporum f.sp. cepae (Kuruppu, 1999). Penyakit moler telah menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil umbi lapis hingga 50%. Gejala penyakit moler pada bawang merah diawali dengan menguningnya daun dan terpelintir kemudian tanaman layu. Umbi lapis yang dihasilkan lebih kecil dan lebih sedikit dibandingkan yang sehat (Suryanto, 2010; Wiyatiningsih, 2003). Pengetahuan metode inokulasi dan kerapatan spora pada Fusarium yang menyebabkan penyakit moler pada bawang merah cukup penting untuk para peneliti. Pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan tanaman terhadap penyakit moler dan berguna dalam mengetahui karakteristik patogenisitas Fusarium spp. Penelitian ini bertujuan untuk menguji beberapa metode inokulasi dan kerapatan populasi spora Fusarium spp. dalam menimbulkan gejala penyakit moler pada tanaman bawang. Sehingga dapat memberikan pengetahuan terhadap peneliti metode inokulasi yang efektif yang nantinya berguna dalam menyeleksi ketahanan tanaman dan patogenisitas Fusarium spp. Bahan dan Metode Jamur Fusarium spp. yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari koleksi Laboratorium Klinik Penyakit Tumbuhan. Terdapat 3 spesies yang digunakan yaitu F. oxysporum, F. solani dan F. acutatum. Ketiga isolat tersebut merupakan hasil isolasi bawang merah yang bergejala moler. 1. Uji patogenisitas 3 spesies Fusarium Tiga spesies Fusarium diinokulasikan pada umbi bawang merah dengan metode penyiraman tanah steril dengan suspensi spora dengan kerapatan 106. Penyiraman ini dilakukan satu minggu sebelum tanam dan saat umbi akan ditanam, umbi bawang merah disterilkan dengan NaOCl 0,1% selama 45 menit dan direndam dalam suspensi spora dengan kerapatan 106. Pengamatan dilakukan 1 minggu setelah tanam dan dilihat perbedaaan gejala masing-masing perlakuan. 2. Uji metode inokulasi Metode inokulasi yang dilakukan terdapat empat metode yaitu dengan cara diinjeksikan, direndam, disiram, dan dengan media beras. Umbi bawang yang akan digunakan direndam dalam NaOCl 0,1% selama 45 menit dan dibilas air steril. Kemudian bawang tersebut dikering anginkan 231 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 sebelum akhirnya ditanam atau diperlakukan. Cara kerja keempat metode tersebut adalah: a. Metode injeksi Umbi bawang ditanam pada tanah steril hingga berumur 1 minggu. Suspensi konidia di suntikan pada umbi yang akan terbentuk sebanyak 50 µl dengan kerapatan spora 103, 106, dan 109. b. Metode perendaman Umbi bawang yang telah steril direndam dengan suspensi konidia dengan kerapatan yang berbeda yaitu 103, 106, dan 109. Perendaman dilakukan selama 60 menit. Setalah direndam dengan suspensi konidia, bawang ditanam pada tanah steril dan diamati perkembangan gejalanya. c. Metode penyiraman Tanah steril disiram dengan suspensi konidia dengan kerapatan 3 10 , 106, dan 109 satu minggu sebelum bawang ditanam. Diinkubasikan selama 1 minggu, selama inkubasi tanah harus dijaga agar tetap lembab. Kemudian umbi bawang dapat ditanam dan diamati perkembangan gejalanya. d. Metode dengan menggunakan media beras Beras yang telah dicuci bersih, disterilkan, dan diinokulasi dengan Fusarium, kemudian diinkubasikan selama satu minggu atau sampai permukaan beras tertutupi miselium. Inokulum ditimbang seberat 10 g, 20 g dan 30 g, kemudian dipendam dalam tanah di dalam pot. Bawang dapat langsung ditanam pada tanah tersebut dan diamati gejala yang ditimbulkan. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari selama 6 minggu dan dihitung persentase tanaman sakit dengan rumus sebagai berikut: Persentase tanaman sakit = × 100% Keterangan: n = jumlah tanaman yang menunjukkan gejala N = total tanaman Masing-masing perlakuan terdiri dari 3 tanaman bawang merah dalam 1 pot dengan 3 ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan apabila terdapat beda nyata dilakukan uji DMRT 5%. Hasil dan pembahasan F. oxysporum, F. solani dan F. acutatum menimbulkan gejala yang berbeda. F. oxysporum memperlihatkan gejala daun yang menguning kemudian mengering dan apabila umbi dipotong horisontal akan terlihat bercak berwarna 232 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 coklat. F. solani menimbulkan gejala yang hampir mirip dengan F. oysporum, umbi pada F. solani lebih kecil dan lebih busuk bila dibandingkan umbi yang diinokulasi dengan F. oxysporum. Daun bawang merah yang diinokulasi dengan F. solani lebih cepat menguning dan layu bila dibandingkan dengan bawang merah yang diinokulasi dengan F. oxysporum. Bawang merah yang diinokulasi dengan F. acutatum menimbulkan gejala moler dengan daun yang menguning dan terpelintir (Gambar 1). Gambar 1. Gejala pada bawang merah setelah diinokulasi Fusarium spp. (a) F. oxysporum (b) F. acutatum (c) F. solani Pada uji patogenisitas ini, bawang merah yang diinokulasi dengan F. acutatum memiliki gejala yang mirip dengan gejala moler di lapangan. Karena pertimbangan ini, F. acutatum digunakan untuk uji metode inokulasi. Semua uji metode inokulasi dapat menyebabkan timbulnya gejala moler. Gejala moler sangat terlihat jelas pada metode perendaman, injeksi penyiraman dan media beras dengan gejala daun menguning dan terpelintir dan perpanjangan yang abnormal, kemudian daun menguning dan umbi membusuk seperti yang dijelaskan oleh Kuruppu (1999), Suryanto (2010) dan Wiyatiningsih (2003) (Gambar 2). 233 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 2. Gejala moler dengan metode inokulasi yang berbeda Keterangan: (a) kontrol umur 3 minggu, (b) metode injeksi umur 2 minggu (c) metode perendaman umur 1 minggu (d) metode penyiraman umur 3 minggu (e) metode media beras umur 1 minggu Dilihat dari waktu inkubasi, perendaman menjadi metode inokulasi yang paling cepat dalam menimbulkan gejala penyakit moler karena hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 minggu sedangkan metode penyiraman membutuhkan waktu yang paling lama dibandingkan metode inokulasi lain yaitu 3 minggu (Tabel 5.1). Hal ini seperti pernyataan Suryanto (2010) bahwa infeksi penyakit melalui bibit akan muncul gejala pada umur 7-14 hari setelah tanam. Sedangkan bila infeksi melalui tanah, gejala akan muncul setelah 30 hari setelah tanam. Pada pengamatan gejala pada saat inokulasi melalui perendaman umbi, gejala muncul setelah 7 hari dan metode penyiraman menimbulkan gejala setelah umur 3 minggu atau 21 hari. Namun apabila dilihat dari kejadian penyakit dengan kerapatan spora yang sama pada saat inokulasi, injeksi menimbulkan kejadian penyakit yang lebih tinggi dibandingkan perendaman dan penyiraman. Metode injeksi hanya membutuhkan waktu inkubasi 2 minggu dengan kerapatan spora 106 dapat menimbulkan persentase tanaman sakit hingga 100% (Tabel 5.1). Hal yang sama ditunjukkan pada penelitian Trapero et al. (2013) dengan jumlah inokulum yang sama, metode injeksi memperlihatkan gejala yang cepat. 234 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 1. Nilai kejadian penyakit setelah diinokulasi dengan beberapa metode Kerapatan waktu Persentase Metode inokulasi spora/jumlah inkubasi tanaman sakit inokulum (minggu) (%) 3 10 1 11,11 cd 6 Injeksi 10 2 77,78 ab 9 10 2 100 a 3 10 1 44,44 bcd 6 Perendaman 10 1 44,44 bcd 9 10 1 66,67 abc 103 3 22,22 bcd 6 Penyiraman 10 3 66,67 abc 9 10 3 33,33 bcd 10 g 1 22,22 bcd Media beras 20 g 1 55,56 abcd 30 g 1 66,67 abc kontrol 0 6 0d 0 6 0d 0 6 0d Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan DMRT aras 5% dan data ditransformasi ke Arc Sin√ Munculnya gejala pada setiap metode inokulasi tidak bersamaan karena memiliki waktu inkubasi yang berbeda dan menimbulkan persentase penyakit yang berbeda pula, namun pada pengamatan minggu terakhir yaitu minggu ke6 memperlihatkan persentase tanaman sakit hingga 100% (Gambar 5.3). 235 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 120 Injeksi 10ᵌ Injeksi 10⁶ 100 perentase tanaman sakit (%) Injeksi 10⁹ Rendam 10ᵌ 80 Rendam 10⁶ Rendam 10⁹ 60 Siram 10ᵌ Siram 10⁶ 40 Siram 10⁹ media beras 10 g 20 media beras 20 g media beras 30 g 0 0 1 2 3 minggu ke- 4 5 6 kontrol Gambar 5.3. Perkembangan penyakit moler pada bawang merah selama 6 minggu yang diinokulasi F. acutatum dengan beberapa metode Gejala muncul paling lama yaitu pada minggu ke-3 bila diinokulasi dengan metode penyiraman. Meskipun membutuhkan waktu inkubasi lama namun memiliki laju infeksi yang cepat. Hal ini terlihat pada pengamatan minggu ke-4, persentase tanaman sakit telah mencapai 100% (Gambar 5.3). Laju infeksi yang cepat ini dikarenakan jumlah spora yang meningkat karena masa inkubasi yang lama. Pada ketersediaan nutrisi yang tidak terbatas, makin lama masa inkubasi akan semakin banyak jumlah spora yang dihasilkan, hifa yang terbentuk juga lebih banyak, perkembangan lebih cepat dan infeksi meningkat (Winarsih dan Baon, 1999). Kesimpulan 1. Metode perendaman bawang merah ke dalam suspensi konidia cepat menimbulkan gejala karena waktu inkubasi yang singkat yaitu 1 minggu. 2. Metode penyiraman suspensi spora ke dalam tanah steril menimbulkan gejala yang paling lama karena membutuhkan waktu inkubasi hingga 3 minggu. 3. Semua metode inokulasi memiliki keefektifan yang sama karena pada minggu terakhir pengamatan persentase tanaman sakit mencapai 100%. 236 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Daftar Pustaka Anonim. 2003. Metode Pengamatan OPT Tanaman sayuran. <http://www.deptan.go.id>. Diakses 1 Maret 2014. Kuruppu, P.U. First Report of Fusarium oxysporum Causing a Leaf Twisting Disease Allium cepa var. ascalonicum in Sri Lanka. Plant Disease 83: 695. Lefebvre V, Daubeze AM, Van der Voort RJ, Peleman J, Bardin M and Palloix A. 2003. QTLs for resistance to powdery mildew in pepper under natural and artificial infections. Theoretical and Applied Genetics 107: 661–666. Leslie, J.F. dan B.A. Summerell. 2006. The Fusarium Laboratory Manual. Blackwell Publishing Ltd, Garsington Road, Oxford. Linde, M dan T. Debener. 2003. Isolation and identification of eight races of powdery mildew of roses (Podosphaera pannosa) (Wallr.:Fr.) de Bary and the genetic analysis of the resistance gene Rpp1. Theoretical and Applied Genetics 107: 256–262. Munkvold, G.P., R. L. Hellmich dan W.B. Showers. 1997. Reduced Fusarium ear rot and symptomless infection in kernels of maize genetically engineered for European corn borer resistance Phytopathology 87:10711077. Rukmana, R. 1994. Bawang Merah, Budidaya dan Pengolahan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. Schaafsam ,A.W., J.D.Miller,M.E., dan R.J. Ewing.1993. Ear rot development and mycotoxin production in corn in relation to inoculation method, corn hybrid, and species of Fusarium. Journal Plant Pathology 15: 185-192 Suryanto, W.A. 2010. Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Kanisius, Yogyakarta. Trapero, C., C.M. Diez, L. Rallo, D. Barranco, F.J. Lopez-Escudero. 2012. Effective inoculation methods to screen for resistance to Verticillium wilt in olive. Scientia Horticulturae 162: 252-259. Winarsih, S. dan J. B. Baon. 1999. Pengaruh masa inkubasi dan jumlah spora terhadap infeksi mikoriza dan pertumbuhan planlet kopi. Pelita Perkebunan 15 : 13 – 21 Wiyatiningsih, S., 2003. Kajian Asosiasi Phytophthora sp. dan Fusarium oxysporum f. sp. cepae Penyebab Penyakit Moler pada Bawanng Merah. Jurnal Pertanian MAPETA 5: 1-6 237 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KETAHANAN TOMAT TERIMBAS ASAM FUSARAT TERHADAP Fusarium oxysporum PADA TIGA LOKASI DENGAN KETINGGIAN BERBEDA Abdul Azis Ambar dan Nur Ilmi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Parepare Abstrak Penyakit layu fusarium tomat disebabkan oleh Fusarium oxysporum, merupakan penyakit penting tomat. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat ketahanan tomat terhadap F. oxysporum pada lokasi berbeda. Penelitian ini menggunakan suspensi isolat F. oxysporum hasil monospora (1 x 106 konidium/ml) dan tomat yang berumur 4 minggu. Akar bibit tomat direndam dalam suspensi selama 30 menit, sebelumnya bibit tersebut telah diaplikasikan dengan asam fusarat secara kultur pada berbagai konsentrasi (T0=0, T1=1, T2=2, T3=3 ppm), kemudian di tanam dalam polibag yang telah berisi campuran tanah dan pupuk. Hasil uji ketahanan tomat terhadap F.oxysporum pada perlakuan (T2) memperlihat tingkat ketahanan yang tinggi, dibanding perlakuan lainnya pada 3 lokasi yang berbeda, dengan indikator intensitas penyakit, masing-masing sebesar 3,73 % (200 m dpl; Kota Parepare); 2,08 % (400 m dpl; Kab. Sidrap), dan 21,46 % (600 m dpl; Kab. Enrekang) berbeda nyata dengan kontrol. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tingkat ketahanan tomat pada 3 lokasi berbeda memberikan kategori ketahanan berupa tahan pada ketinggian 200 dan 400 m dpl (Kota Parepare dan Kab. Sidrap), sedangkan Moderat 600 m dpl (Kab. Enrekang). Kata kunci: ketahanan tomat, Fusarium oxysporum, lokasi, asam fusarat. Pendahuluan Layu fusarium tomat disebabkan oleh Fusarium oxysporum, merupakan penyakit penting di kawasan tropika. Tingkat kerugian penyakit oleh F. oxysporum ini cukup besar, seperti yang terjadi di Lembang dan Pacet (16,7%), dan Malang (10,25%) (Manohara, 1977 & Susilowati, 1982 cit. Semangun, 1996). Pengamatan penulis tahun 2001 di daerah Kopeng menemukan kerugian mencapai > 75% dan tahun 2005 menjumpai F. oxysporum telah menyerang benih tomat di pesemaian (Malino dan Enrekang; Sulawesi Selatan) dengan intensitas penyakit mencapai 20%. Gejala yang ditimbulkan oleh F. oxysporum berupa kelayuan, dan pertama kali tampak pada daun bagian bawah. Proses kelayuan berlanjut sampai seluruh daun layu, dan akhirnya mati (Ambar et al., 2010). Kadangkadang kelayuan didahului dengan menguningnya daun, tanaman kerdil, dan merana pertumbuhannya (Ambar et al., 2002). 238 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pemanfaatan asam fusarat dalam penelitian ini akan membantu memberi informasi mengenai kemampuan isolat dalam menginfeksi tomat yang telah diimbas oleh asam fusarat. Hasil percobaan mengenai perkembangan penyakit layu fusarium cabe di beberapa topoklimat Yogyakarta membuktikan bahwa laju infeksi F. oxysporum beragaman, meskipun gradien yang tampak tidak sepenuhnya berkesesuaian dengan ketinggian tempat (Gunadi, 1997). Penelitian ini mempunyai tujuan menguji tingkat ketahanan tomat yang telah diimbas dengan asam fusarat terhadap F. oxysporum pada ketinggian tempat berbeda. Metode penelitian a. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Agroteknologi UMPAR dan daerah pada ketinggian 200; 400; dan 600 m dpl, dari bulan Oktober - Desember 2013. b. Tahapan Penelitian 1. Isolasi dan Koleksi Isolat F. oxysporum F. oxysporum diisolasi dari tanaman tomat bergejala layu. Isolasi dilakukan dengan cara: permukaan akar dan batang didesinfeksi dengan alkohol 70%, kemudian dipotong-potong dengan ukuran 0,5 cm. Potongan tersebut direndam dalam larutan Natriumhipoklorit (Bayclin® ) 0,5% selama 3 menit lalu dibilas dengan air steril, kemudian diletakkan pada medium potato dextrose agar (PDA) dalam cawan petri dan diinkubasikan pada suhu 25OC. Isolat monospora diisolasi dari kultur yang telah dimurnikan dengan menggunakan metode Toussoun & Nelson (1976) yang dimodifikasi oleh Ambar (2002). Suspensi konidium diambil dengan jarum ose dan digoreskan dengan bentuk huruf S pada medium PDA dalam cawan petri, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar. Konidium tunggal yang sudah mulai berkecambah dipindahkan ke medium PDA lainnya sebagai biakan isolat monospora. Semua pengujian dalam penelitian ini menggunakan isolat hasil isolasi monospora. 2. Penyiapan Bibit Tomat Benih tomat disemaikan pada medium campuran tanah : pupuk organik (2 : 1) setelah direndam dalam larutan asam fusarat pada konsentrasi T0 = kontrol; T1 = 1 ppm; T2 = 2 ppm; T3 = 3 ppm. 3. Uji Ketahanan terhadap F. oxysporum pada Ketinggian Berbeda Setelah tomat berumur 4 minggu di persemaian, bibit berserta akarnya dicabut. Ujung akar dipotong, kemudian direndam dalam suspensi konidium (30 menit; 1 x 106 mikrokonidium/ml air steril), lalu diinkubasi selama 6 hari. Air 239 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 steril digunakan sebagai kontrol. Semua bibit ditanam pada ketinggian 200, 400, dan 600 m dpl. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan uji lanjut Duncan. Perlakuan sebanyak 5 kali dengan 3 perlakuan dengan 1 kontrol. Setiap unit perlakuan terdiri dari 7 tanaman. Pengamatan dilakukan pada hari ke-3 setelah aplikasi dengan interval waktu 1 minggu, selama 5 minggu. Intensitas penyakit dihitung dengan menggunakan rumus: ∑ (n x v) IP= X 100% (Gao et al., 1995) ZxN dengan, IP: Intensitas penyakit (%), n: Jumlah tanaman tiap kategori serangan, N: Jumlah tanaman yang diamati, v: Nilai skoring kategori serangan, Z: Nilai skoring kategori serangan tertinggi. Sistem skoring yang digunakan: 0= tanaman sehat (tidak ada kelayuan); 1= 0 – 25 % daun layu; 2= 25 – 50 % daun layu; 3= 50 – 75 % daun layu; 3= 75 – 100 % daun layu (tanaman mati). Untuk mengukur tingkat ketahanan tomat terhadap F. oxysforum, digunakan kriteria sebagai berikut: Tabel 1. Kriteria Ketahanan Tanaman yang Terserang F. oxysporum 1 - 20% Tahan 41 - 60% Rentan 21 - 40% Moderat 61 - 100% Sangat rentan Hasil dan pembahasan a. Isolasi dan Koleksi isolat Fusarium oxysporum f.sp lycopersici Patogen diisolasi dari tanaman tomat yang menunjukkan gejala layu fusarium. Isolat yang diisolasi merujuk pada jamur F. oxysporum, setelah dicocokkan secara morfologi dengan kriteria yang digunakan Booth (1971) Gambar 1. Hasil isolasi monospora isolat F. oxysporum. b. Uji Ketahanan Tomat pada Ketinggian Berbeda Hasil uji ketahanan tomat yang telah diimbas dengan asam fusarat pada ketinggian berbeda di rumah kasa memperlihatkan tingkat ketahanan yang berbeda. Tingkat ketahanan tomat pada ketinggian berbeda dilihat pada Tabel 2 (a, b, dan c). 240 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 2. Uji ketahanan tomat terhadap Fusarium oxysporum pada ketinggian berbeda (200, 400, dan 600 m dpl) dengan mengamati intensitas penyakit (%) yang timbul setelah diimbas dengan asam fusarat. a. 200 m dpl (Kota Parepare) Perlakuan Kontrol T1 T2 T3 I 1,66 1,04 0,43 1,51 II 2,92 2,8 1,66 1,85 Minggu KeIII 4,76b 1,51a 1,04a 1,51a IV 2,92 2,57 2,57 3,79 Minggu KeIII 1,39 1,04 0,76 1,48 IV 2,08b 1,59ab 0,92a 2,77b V b 6,67 4,05ab 3,73a 5,55b b. 400 m dpl (Kabupaten Sidrap) Perlakuan Kontrol T1 T2 T3 c. I 0,92 0,76 0,51 0,59 II 0,83 0,89 0,64 0,91 V b 6,15 2,59a 2,08a 2,85a 600 m dpl (Kabupaten Enrekang) Minggu KeI II III IV V b b b Kontrol 35,78 42,92 46,83 50,00 64,35b T1 17,92ab 14,30a 25,43ab 21,46 32,15ab T2 7.10a 14,30a 21,46a 25,00 21,46a T3 17,92ab 28,63ab 32,17b 2146 37.75ab Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada aras 5% dari setiap Tabel 2. Perlakuan Berdasarkan Tabel 2. terlihat bahwa ketahanan tanaman dari pengimbasan asam fusarat adalah berbeda nyata dengan kontrol, terutama pada perlakuan T2. Ketahanan tanaman tertinggi di perlihatkan dengan tingkat intensitas penyakit secara berturut-turut: T2 (21,46%), T1 (32,15%), T3(37,35%), dan T0 (64,35%). Perbedaan tingkat ketahanan ini sangat bergantung pada 3 komponen penting, yaitu interaksi antara konsentrasi asam fusarat, tomat, dan lingkungan (Alon, et al., 1973) 241 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Terjadinya perbedaan perbedaan tingkat ketahanan disebabkan oleh kemampuan tomat mengenali senyawa kimia lebih awal yang berimplikasi terhadap pembentukan sistem pertahanan fisik dan kimiawi (Ambar, et al., 2010). Sheng Huang (2001) menyatakan kerentanan tanaman berkorelasi positif dengan ketidakmampuan mengenali senyawa toksik. Pada tahun 1899, Smith menyatakan penyebab utama kelayuan lebih didominasi oleh metabolit sekunder jamur yang menginfeksi jaringan vasikular (MacHardy dan Beckman, 1981). Sejalan dengan itu, Morillo et al. (1999) menyatakan kombinasi senyawa kimia dapat mendegradasi dinding sel sampai isi sel tanaman, sedangkan konsentrasi yang non toksik justru dapat merangsang peningkatan pertahanan tanaman (sheng Huang, 2001) A B D C Gambar 2. Intensitas serangan F. oxysporum pada tomat yang telah diimbas dengan asam fusarat konsentrasi (A = 0 ppm); (B = 1 ppm); (C = 2 ppm); dan (D = 3 ppm) Umumnya tanaman tahan mempunyai kemampuan mengenali patogennya atau senyawa kimia lebih awal dibandingkan tanaman rentan. Kegagalan tanaman menghambat penyebaran F. oxysporum kemungkinan disebabkan tanaman kurang mampu mengenali patogennya lebih awal, sehingga terlambat menghasilkan penghambat sebagai respon ketahanan (Beckman et al., 1982 cit. Salerno et al., 2004). Pada data dari Tabel 2. intensitas serangan paling rendah terjadi pada perlakuan 2 ppm di semua lokasi percobaan, ini sesuai hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Panguriseng (2012) bahwa kemampuan bertahan tomat yang diinduksikan asam fusarat 2 ppm lebih baik dibanding konsentrasi lainnya yang dilakukan secara in vitro. Rendahnya tingkat ketahanan tomat pada ketinggian 600 m dpl (moderat) dibanding ketahanan tomat pada 200 m dpl dan 400 m dpl (tahan), disebabkan oleh isolat yang digunakan adalah isolat yang berasal dari ketinggian tempat 600 m dpl (Kabupaten Enrekang), sehingga lebih besar peluangya untuk beradaptasi dengan lingkungan, bahkan lingkungan tersebut telah mendukung untuk aktivitas jamur F.oxysporum dibanding ketika berada di lokasi yang baru dikenalinya. 242 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kesimpulan dan saran Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebgai berikut: 1. Tomat yang telah diaplikasi asam fusarat memberikan efek ketahanan terhadap serangan F. oxysporum pada daerah ketinggian yang berbeda. 2. Tomat yang diaplikasikan asam fusarat konsentrasi 2 ppm memperlihatkan kriteria ketahanan yang bersifat tahan (200 m dpl dan 400 m dpl) dan Moderat (600 m dpl). Daftar pustaka Alon, H., J.Katan, & N. Kedar, 1973. Factors Affecting Penetrance of Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici in Tomatoes. Phytophatology 64: 455 – 461. Ambar, A.A., Ambarwati H.T.J., Nursamsi P., & Arif W., 2002. Karakterisasi Fusarium oxysporum Penyebab Penyakit Layu pada Tomat. Tesis S2 UGM (tidak dipublikasi). Ambar, A.A. , Ahmadi P., Bambang H., Nursamsi P., 2010. Tanggapan Tomat Varietas Tahan dan Rentan terhadap Asam Fusarat dan Fusarium oxysporum f.sp. Lycopersici. Disertasi S3 UGM (tidak dipublikasi). Gao, H., C.H. Beckman, & W.C. Mueller, 1995. The Nature of Tolerance to Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici in Polygenically Field-Resistant Marglobe Tomato Plant. Physiological and Molecular Plant Pathology 46: 401 – 412. MacHardy, W.E., & C.H. Beckman, 1981. Vascular Wilt Fusaria: Infection and Pathogenesis in Fusarium: Diseases, Biology, and Taxonomy. The Pennsylvania State University Press, University Park and London. Morillo, I., L. Cavallarin., & B.S. Segundo., 1999. Cytology of Infection of Maize by Fusarium moniliforme and Immunolocalization of the PathogenesisRelated PRms Protein. Phytopathology 89: 737 – 747. Panguriseng, A., A.A. Ambar, Muhammad A.A., 2012. Uji Ketahanan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap Asam Fusarat pada Medium Murashige dan Skoog secara In-Vitro. Skripsi S1 Umpar (tidak dipublikasi) Salerno, I.M., S. Gianninazzi, C. Arnould, & V.G. Pearson, 2004. Ultrastructural and Cell Wall Modification during Infection of Eucalyptus viminalis Roots by a Pathogenic Fusarium oxysporum Strain. J. Gen Plant Pathol 70: 145 – 152. Semangun, H., 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sheng Huang, J., 2001. Plant Pathogenesis and Resistance: Biochemistry and Physiology of Plant-Microbe Interactions. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Boston, London. 243 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 UJI ANTAGONISME CENDAWAN ENDOFIT TERHADAP GANODERMA PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG TANAMAN KELAPA SAWIT Lisnawita1, Hamidah Hanum1, &Ahmad Rafiqi Tantawi2 1 Program studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2 Program studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Medan Area E-mail : [email protected] Abstrak Busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma merupakan penyakit penting pada tanaman kelapa sawit di Sumatera Utara yang tidak saja menyerang tanaman di perkebunan besar tetapi juga perkebunan rakyat. Saat ini penyakit BPB tidak saja menyerang tanaman menghasilkan atau tanaman tua yang ditanam pada lahan bekas replanting tetapi juga menyerang tanaman yang belum menghasilkan. Akibatnya produksi kelapa sawit dapat turun hingga 35%. Kuranganya pengetahuan petani tentang penyakit ini ditambah dengan kompleknya pengendalian BPB karena penyakit berada diantara akar dan tanah menyebabkan sampai saat ini tidak ada tindakan pengendalian yang dilakukan oleh petani. Lima jenis cendawan endofit yaitu Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., Aspergillus sp., Fusarium sp., dan Penicillium sp. yang berasal dari akar tanaman kelapa sawit sehat telah digunakan dalam penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui potensi cendawan endofit dalam menekan perkembangan Ganoderma Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian USU. Hasil penelitian menunjukkan tiga jenis cendawan endofit yaitu Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., dan Aspergillus sp. mampu menghambat perkembangan Ganoderma secara in vitro. Kata kunci : Ganoderma, kelapa sawit, uji antagonisme Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu Negara penghasil dan eksportir minyak sawit yang diperhitungkan di dunia. Dalam kurun waktu 40 tahun, luas areal kelapa sawit di Indonesia naik dari 135 ribu hektar pada tahun 1970 menjadi 8,91 juta hektar pada tahun 2011 (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2013). Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar dunia dengan jumlah CPO mencapai 20,4 juta ton (Badrun,2010). Salah satu provinsi yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit terbesar kedua di Indonesia setelah Riau adalah Provinsi Sumatera Utara dengan total luas areal hampir 1,2 juta hektar (Anonim, 2012). Dari luas areal tersebut lebih dari 405 ribu hektar merupakan perkebunan kelapa sawit rakyat (Anonim, 2013). Sama seperti tanaman lainnya kelapa sawit juga tidak lepas dari gangguan organisme pengganggu tanaman. Salah satu penyakit yang saat ini menjadi 244 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 permasalahan serius yang dihadapi perkebunan kelapa sawit khususnya perkebunan rakyat di Sumatera Utara adalah penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh patogen tular tanah Ganoderma. Awalnya penyakit BPB menyerang tanaman menghasilkan saja dengan tingkat kejadian penyakit di bawah satu persen. Namunsejak beberapa tahun terakhir, BPBtidak hanya menyerang tanaman kelapa sawit tua tetapi juga menyerang tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan. Kejadian penyakit BPB berkorelasi positif dengan generasi kebun kelapa sawit (Treu, 1998; Susanto, 2009). Hasil sensus yang dilakukan oleh Bah Lias estate (PT. PP. London Sumatera Indonesia) didapat pada tanaman berumur di bawah 6 tahun mempunyai tingkat kejadian penyakit 0-1,5%. Kejadian penyakit akan meningkat drastis pada tanaman berumur di atas 16 tahun yaitu mencapai 13-87%. Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini telah menyebabkan kematian kelapa sawit hingga 80% atau lebih dari populasi kelapa sawit (Susanto, 2002). Survei kejadian penyakit yang dilakukan peneliti pada beberapa perkebunan rakyat di Desa Bukit Kijang, Sumatera Utara didapat penyakit telah menyerang disebagian besar perkebunan rakyat dengan tingkat kejadian penyakit 071-50% pada umur tanaman di bawah 5 tahungenerasi kedua hingga tanaman tua (33 tahun) generasi pertama (Lisnawita et al. 2014). Berbagai strategi pengendalian telah dilakukan untuk mengendalikan BPB antara lain kultur teknis dan penggunaan pestisida kimia. Namun kompleksnya pengendalian BPB karena penyakit berada diantara akar dan tanah menyebabkan sampai saat ini belum ada tindakan pengendalian yang memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian penyakit yang dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia sintetis tidak saja menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan tetapi juga pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (Sapak et al.,2008). Oleh karena itu perlu dicari alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan salah satunya pengendalian biologis dengan pemanfaatan cendawan endofit. Cendawan endofit merupakanmikroorganisme yang terdapat di dalamsuatu sistem jaringan tumbuhan sepertibiji, daun, bunga, ranting, batang danakar dan tidak menyebabkan kerugian pada tanaman.Mikroba endofit dapat melindungi tanaman inang dari serangan patogen dengan senyawa yang dikeluarkannya, berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif dan dapat berfungsi untuk membunuh patogen(Prihatiningtias& Wahyuningsih. 2005). Berbagai cendawan endofit telah dilaporkan efektif sebagai agens biokontrol diantaranya Trichoderma (Sariah, 2003) dan Penicillium (Dharmaputra et al., 1989) yang menunjukkan reaksi antagonistik dengan Ganoderma.Serratia spp., Burkholderia spp.,Pseudomonas spp., Bacillus spp. danFusarium spp. yang diketahui mampu menginduksi ketahanan tanaman dan aktifitas biologis lainnya seperti menghasilkan antibiotik dan lisis (Kloepper et al., 1992: Dorworth & Callan, 1996). 245 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Berdasarkan uraian di atas penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan cendawan endofit asal kelapa sawit dan melihat kemampuannya menghambat perkembangan Ganoderma secara in vitro. Bahan dan metode A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang berlangsung dari bulan Juli sampai dengan September 2014. B. Metode Penelitian Pengambilan akar dan isolasi cendawan endofit Eksplorasi cendawan endofit dilakukan dengan mengambil akar tanaman sawit sehat berumur sekitar 17 tahun dari pertanaman kelapa sawit di Desa Gunung Melayu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Sampel akar diambil sekitar 0.2 m dari pangkal batang dengan ke dalaman 20-30 cm. Akar diambil dari 3 titik untuk setiap pohon sampel dengan mengambil akar primer dan sekunder (Bivi et al., 2010). Sampel akar dimasukkan dalam plastik potilen. Label identitas seperti lokasi, tanggal pengambilan, dan nomor sampel ditulis pada setiap plastik. Selanjutnya semua sampel dibawa ke laboratorium. Eksplorasi cendawan endofit dilakukan dengan membersihkan akar di bawah air mengalir kemudian dikeringkan dengan kertas tissu. Akar dipotong kecil dengan ukuran kurang lebih 5 cm. Akar disarterilisasi permukaan dengan menggunakan NaOCl 5,25% selama 5 menit, dilanjutkan dengan etanol 95% selama 30 detik. Setelah itu dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali. Untuk mengetahui apakah sterilisasi permukaan berhasil atau tidak, diuji dengan meletakkan akar yang telah steril di dalam cawan petri yang berisi media PDA ditambah dengan Calmisetin dan Penicillin dan diinkubasi selama 48 jam. Jika tidak ditemukan mikroorganisme kontaminan, akar dibelah dua dan diletakkan dalam media PDA dengan bagian dalam potongan menghadap ke media. Jamur yang tumbuh di reisolasi dalam PDA baru hingga diperoleh biakan murni. Selanjutnya biakan diidentifikasi sampai tingkat genus dan disimpan sebelum digunakan. Isolasi dan perbanyakan Ganoderma Isolasi Ganoderma dilakukan dari basidiokarp (tubuh buah) Ganoderma yang berasal dari tanaman kelapa sawit di Desa Gunung Melayu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.Basidiokarp dibawa ke laboratorium dan dibersihkan di bawah air mengalir. Setelah itu dikeringanginkan dengan meletakkannya di atas tissu. Basidiokarp dipotong-potong dengan ukuran sekitar 1x1 cm dan disterilisasi permukaan dengan menggunakan NaOCl 5,25% selama 5 menit, dilanjutkan dengan etanol 95% selama 30 detik. Setelah itu dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali. Potongan basidiokarp ditumbuhkanpada media PDA dan diinkubasi pada suhu kamar. Jamur yang tumbuh direisolasi pada media PDA yang baru hingga 246 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 menjadi biakan murni. Selanjutnya biakan diidentifikasi untuk memastikan jamur tersebut rsebut adalah Ganoderma dan disimpan sebagai sumber inokulum. Penapisan cendawan endofit melawan Ganoderma secara in vitro Isolat cendawan endofit ditapis untuk melihat aktifitas antagonistiknya terhadap Ganoderma secara in vitrodengan metode dua kultur (dual ( culture method) (Fokkema, 1978). Menghitung zona hambatan Biakan Ganoderma dan cendawan endofit diletakkan dalam media PDA dengan posisi hadap-hadapan masing masing-masing masing berjarak sekitar 3 cm dari pinggir cawan petri berdiameter 9 cm. Pengamatan terhadap zona hambatan dilakukan setiap hari dengan mengukur luas zona hambatan (mm). Pengamatan dihentikan setelah salah satu perlakuan pada cawan petri penuh. Hasil dan pembahasan A. Isolasi solasi cendawan endofit Hasil eksplorasi cendawan endofit dari akar tanaman kelapa sawit sehat di perkebunan Desa Gunung Melayu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara diperoleh empat belas isolat cendawan endofit. Selanjutnya keempat belas isolat tersebut dilakukan identifikasi berdas berdasarkan arkan karakter morfologi seperti warna koloni, tekstur koloni, kecepatan pertumbuhan di media PDA, serta pengamatan secara mikroskopis. Hasil identifikasi diperoleh lima isolat cendawan endofit yaitu : Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., Aspergillus sp., Fusarium sp., dan Penicillium sp (Gambar 1)). Setiap isolat dibuat biakan murni dan digunakan pada uji penapisan untuk melihat kemampuannya dalam menghambat hambat perkembangan Ganoderma. a b c d e a f g h i j Gambar 1.. Cendawan endofit : a, f : Aspergillus sp., b, g : Trichoderma sp1., c, h : Trichoderma sp sp2, d, i: Penicillium sp., e,j : Fusarium sp. 247 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 B. Isolasi dan perbanyakan Ganoderma Hasil isolasi dan iden identifikasi ifikasi cendawan busuk pangkal batang yang dilakukan dengan mengambil tubuh buah cendawan dari tanaman sawit di perkebunan kelapa sawit di Desa Gunung Melayu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara didapat bahwa cendawan tersebut adalah Ganoderma. Ganoderma Tubuh buah (basidiokarp) sangat bervariasi, ada yang bertangkai atau tidak, tumbuh horizontal atau vertikal, ada yang rata atau mengembung, dan ada yang terbentuk lingkaran konsentris (Treu 1998).. Konveks atau permukaan atas licin seperti pernis dengan warna kehitaman sampai ampai cokelat (Gambar 2a)tampak tampak mengkilap khususnya pada basidiokarp muda, memiliki zona zona-zona, dan kurang rata.. Pada biakan murni terlihat miselium berwarna putih, permukaan halus (Gambar 2b) (Holliday, 1980). 1980) Jika miselium dilihat di bawah mikroskop bisa terlihat ada atau tidak ada clamp connection (Gambar 2c). c).Basidiokarp Basidiokarp yang dibentuk seringkali berdekatan, bersambungan, dan salingmenutupi sehingga menjadi suatu susunan yang besar. Permukaan bawah basidiokarp berwarna putih pucat,memiliki lapisan pori yang yan merupakan tempat pembentukan basidium danbasidiospora danbasidiospora. b a c Gambar 2. Ganoderma sp. a. Tubuh buah, b. Biakan murni, c. Mikroskopis C. Uji penapisan cendawan endofit melawan Ganoderma secara in vitro Pengujian dengan menggunakan metode dua kultur untuk melihat kemampuan cendawan endofit dalam menekan pertumbuhan Ganoderma. Pada pengujian digunakan lima cendawan endofit yang digunakan yaitu : Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., p2., dan Aspergillus sp.Semua Semua isolat cendawan endofit yang digunakan memberi tingkat kemampuan menghambat perkembangan Ganoderma yang berbeda-beda. Hasil pengujian secara in vitro dapat dilihat 3 cendawan endofit yaitu masing-masing masing Trichoderma sp1., Trichoderma sp2.,, dan Aspergillus sp. mempunyai kemampuan menghambat perkembangan Ganoderma. Cendawan endawan ini menyebabkan perkembanga perkembangan n Ganoderma tertekan. Pertumbuhan 248 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Ganoderma menjadi terhambat dan kalah dibandingkan pertumbuhan cendawan endofit. Sebaliknya 2 cendawan endofit lainnya yaitu Penicillium sp. dan Fusarium sp. tidak mampu menghambat perkembangan Ganoderma yang ditandai dengan Ganoderma tetap tumbuh dengan baik hingga akhir pengamatan Gambar 3). 1 2 1 1 1 2 2 2 2 1 Gambar 3. Uji antagonistik antara Ganoderma sp. dan cendawan endofit (7 HSI) : a. Ganoderma sp. (1) vs Fusarium sp. (2) b. Ganoderma sp. (1) vs Peicillium sp. (2) c. Ganoderma sp. (1) vs Aspergillussp. (2) d. Ganoderma sp. (1) vsTrichoderma sp1. (2) e. Ganoderma sp.(1) vs Trichoderma sp2. (2) Tabel 1. Zona hambatan (inhibiting zone) (mm) uji antagonistik cendawan endofit dan Ganoderma dengan metode dua kultur Perlakuan Zona hambatan (7 hsi) Tricoderma sp1. vs Ganoderma 0.71c Tricoderma sp2. vs Ganoderma 0.71c Penicillum sp. vs Ganoderma 3.00a Aspergillus sp. vs Ganoderma 2.00b Fusarium sp. vs Ganoderma 3.00a Ganoderma 0.00d Keterangan : hsi = hari setelah inokulasi. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan Hasil pengamatan daya hambat cendawan endofit terhadap pertumbuhan jamur Ganodermasetelah dianalisis ragam menujukkan hasil yang berpengaruh nyata. Hasil uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1. Cendawan endofit memberikan hasil yang berbeda nyata dalam menghambat perkembangan Ganoderma. Sebaliknya pada perlakuan Ganoderma saja zona hambatan tidak ada (0.00). 249 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kelima cendwan endofit mampu menghambat perkembangan Ganodermadengan zona hambatan antara 0.71-3 mm, namun cendawan endofit Trichoderma sp1. , Trichoderma sp2, dan Aspergillus sp. memiliki daya hambat yang lebih tinggi terhadap Ganoderma dibanding Fusarium sp. dan Penicillium sp. Hasil ini menunjukkan Trichoderma sp. dan Aspergillus sp. memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghambat perkembangan Ganoderma. Menurut Habazar dan Yaherwandi (2006) Trichoderma spp. menghasilkan enzim kitinase yang mampu menghidrolisis kitin dari dinding hifa jamur patogen sehingga menyebabkan lisis. Rogis et al. (2007) menegaskan bahwa kitinase merupakan enzim yang penting dalam pengendalian jamur patogen karena aktifitas enzim ini dapat menyebabkan terurainya dinding sel hifa serta perubahan komposisi sitoplasma sel jamur patogenik yang menginfeksi tanaman dan merangsang respon resistensi dari tanaman. Menurut Nugroho et al. (2003) kemampuan T. viride menghasilkan kitinase sangat bervariasi antar strain, mungkin disebabkan perbedaan pada gen yang mengkodenya. Variasi ini tidak saja terlihat pada jumlah kitinase, tetapi juga jenis enzim yang dihasilkan. Beberapa studi meyakinkan enzim kitinase yang dihasilkan oleh genus Trichoderma spp.lebih efektif dibandingkan dengan enzim kitinase yang dihasilkan oleh organism lain untuk menghambat berbagai cendawan patogenik tumbuhan (Lorito et al., 1994). Beberapa studi juga melaporkan enzim kitinase yang dihasilkan oleh Trichoderma memainkan peranan penting pada beberapa cendawan patogen tumbuhan seperti Sclerotium rolfsii and Rhizoctonia solani,(Haran et al., 1996; Harman et al., 1993). Kesimpulan Eksplorasi cendawan endofit dari akar kelapa sawit sehat diperoleh 5 jenis cendawan endofit yaitu : Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., Aspergillus sp., Fusarium sp., dan Penicillium sp. Trichoderma sp1., Trichoderma sp2., Aspergillus sp. mempunyai kemampuan menghambat perkembangan cendawan Ganoderma berdasarkan uji secara in vitro. Daftar pustaka Anonim. 2012.Luas areal kelapa sawit menurut Provinsi di Indonesia, 2008-2012. <www.deptan.go.id> . Diakses 13 Desember 2013. Anonim. 2013. <www.sumut.bps.go.id.>.Diakses 13 Desember 2013. Badrun M. 2010. Tonggak Perubahan : melalui PIR kelapa sawit membangun negeri. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia : Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi. 242 hal. Bivi MR., MSN Farhana, A Khairulmazmi and A Idris. 2010. Control of Ganoderma boninense: a causal agent of basal stem rotdisease in oil palm with endophyte bacteria In Vitro. Int. J. Agric. Biol. 12: 833–839. Dharmaputra OS., HS Tjitrosomo and AL Abadi. 1989. Antagonisticeffect of four fungal isolates to Ganoderma boninense, the causalagent of basal stem rot of oil palm. J. Biotrop 3: 41–49. 250 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Dorworth CE and BE Callan. 1996. Manipulation of endophytic fungi topromote their utility as vegetation biocontrol agents. In: Redlin, S.C.and L.M. Carris (eds.), Endophytic Fungi in Grasses and Woody Plants-Systematics, Ecology and Evolution, pp: 209–218. APS Press,New York Fokkema, NJ. 1978. Fungal antagonism in the phylosphere. Ann. Appl. Biol. 89: 115-117. Rogis A., T Pameskas &Mucharromah. 2007. Karakteristik dan uji efikasi senyawa bahan alami chitosan terhadap patogen pasca panen antraknosa Colletrotichum musae. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 9: 58-63. Habazar T dan Yaherwandi. 2006. Pengendalian Hayati Hama dan Penyakit Tumbuhan. Andalas University Press, Padang. Haran S., Schickler H., Oppenheim A., and Chet I. 1996. Differential expression of Trichoderma harzianum chitinases during mycoparasitism. Phytopathology 86:980-985. Harman GE., Hayes CK., Lorito M., Broadway RM., Di Pietro A., Peterbauer C & Tronsmo A. 1993. Chitinolytic enzymes of Trichoderma harzianum: Purification of chitobiosidase and endochitinase. Phytopathology 83:313318. Kloepper JW., G Wei and S Tuzun. 1992. Rhizosphere populationdynamics and internal colonization of cucumber by plant growthpromotingrhizobacteria which induce systemic resistance to Colletotrichum orbiculare. In: Tjamos, E.S. (ed.). Biological Controlof Plant Disease, pp: 185–191. Plenum Press, New York. Lorito M., Hayes CK., Zoina A., Scala F., Del Sorbo G., Woo SL & Harman GE. 1994. Potential of genes andgene products from Trichoderma sp. and Gliocladium sp. for the development of biological pesticides.Mol Biotechnol. 2: 209-217. Nugroho TT., M Ali Ginting., C Wahyuningsih & Dahliaty. 2003. Isolasi dan karekterisasi sebagai kitinase Trichoderma viride TNJ 63. Jurnal Natur Indonesia 5 : 101-106. Prihatiningtias W., Wahyuningsih MSH. 2005. Prospek mikroba endofit sebagai sumber senyawa bioaktif. Abstrak. <www.mot.farmasi.ugm.ac.id.> Diakses 1 Desember 2013. Susanto A. 2002. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat. penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit. Institut Pertanian. Disertasi. Susanto A. 2009. Basal stem rot in Indonesia: Biology, economic importance, epidemiology, detection and control. In: Proceedings of the International Workshop of Awareness, Detection and Control of Oil Palm Devastating Diseases. 6 November 2009. Kuala Lumpur, Malaysia. Sapak Z, Meon S and Ahmad ZAM. 2008. Effect of endophytic bacteria on growth and suppression of Ganoderma infection in oil palm. Int. J. Agri. Biol. 10 :127-132 251 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Sariah M. 2003. The potential of biological management of basal stem rotof oil palm seedlings by calcium nitrate. The Planter 73: 359–361 Treu R. 1998. Macrofungi in oil palm plantations of south-east Asia. Mycologist, 12:10-14. Ucapan TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Kompetitip Nasional pada skem Hibah MP3EI tahun 2014. Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dananya. 252 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kajian Induced Resistance Anggrek Phalaenopsis amabilis secara In Vitro terhadap Fusarium oxysporum penyebab Penyakit Busuk Daun R.Soelistijono1), A. Priyatmojo2), D.S. Utami1) 1) Staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan Surakarta 2) Staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Abstrak Anggrek Phalaenopsis amabilis atau yang lebih dikenal sebagai anggrek bulan merupakan anggrek plasma nutfah yang berasal dari Indonesia. Anggrek ini bersifat rentan terhadap jamur patogen. Fusarium oxysporum merupakan jamur patogen yang paling banyak menyerang anggrek P. amabilis dibandingkan dengan jamur patogen lainnya. Serangan F. oxysporum akan menyebabkan daun membusuk dan bewarna kuning. Sampai saat ini belum diketahui pengendalian secara hayati terhadap F. oxisporum. Prainokulasi mikoriza Rhizoctonia spp. binukleat (BNR) secara in vitro pada seedling anggrek P. amabilis, dapat menghambat infeksi berikutnya oleh F. oxysporum. Mekanisme ketahanan terimbas pada tanaman anggrek P. amabilis terhadap F. oxysporum berupa mekanisme ketahanan struktural seperti lignifikasi dan pembentukan struktur peloton. Indeks keparahan penyakit (DSI) menunjukkan bahwa P. amabilis yang diprainokulasi dengan Rhizoctonia mikoriza dapat meningkatkan ketahanannya terhadap F. oxysporum dibandingkan dengan P. amabilis yang tidak diprainokulasi. Hasil analisis struktur DNA menunjukkan bahwa anggrek P. amabilis yang berasal dari Kaliurang, Sleman, Surakarta, dan Tawangmangu secara genetik berbeda. Kata kunci: induced resistance, P. amabilis, F. oxysporum Pendahuluan P. amabilis L. Blume merupakan salah satu anggrek yang merupakan plasma nutfah Indonesia dan merupakan salah satu genus Phalaenopsis yang dianggap penting karena peranannya sebagai indukan dalam menghasilkan berbagai hasil persilangan/hibrida. P. amabilis mempunyai hubungan yang erat dengan jamur mikoriza (orchid mycorrhiza) dalam siklus hidupnya. Hal ini disebabkan karena biji anggrek membutuhkan mikoriza dalam penyediaan unsur hara dari lingkungan untuk perkecambahannya (Smith & Read, 2008). Rhizoctonia mikoriza mampu bersimbiosis dengan jaringan akar anggrek dan membentuk lilitan hifa yang menggumpal pada jaringan korteks akar yang disebut peloton (Smith & Read, 2008). Sesudah protocorm berkembang menjadi tanaman sempurna yang dikenal sebagai plantlet, maka jaringan hifa Rhizoctonia mikoriza akan tetap 253 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 berada di bagian korteks akar anggrek. Pada tanaman anggrek, F. oxysporum akan menyebabkan penyakit busuk pada daun. Gejalanya berupa daun dan umbi batang menguning, berkeriput, tipis dan bengkok, leher daun membusuk mencapai rhizoma dan umbi batang. Penetrasi miselium F. oxysporum ke dalam tanaman melalui mulut kulit, lentisel atau penetrasi miselium menembus lamella tengah di antara sel-sel penyusun jaringan epidermis. Pada bagian daun anggrek penetrasi F. oxysporum dapat terjadi melalui celah yang terbentuk pada saat pembentukan percabangan daun. F. oxysporum memiliki 2 macam konidium, yang besar disebut makrokonidium, berbentuk sabit atau berbentuk kait dengan ujung yang runcing dan konidium yang kecil, mikrokonidium, mempunyai ukuran lebih kecil dan ukuran sekat lebih sedikit (Semangun, 1996; Agrios, 2005). Rhizoctonia spp. binukleat (BNR/binukleat Rhizoctonia) tidak mempunyai kemampuan penghambatan antagonis terhadap F. oxysporum secara dual culture pada medium agar. Perlakuan preinokulasi BNR pada seedling Spathoglottis plicata dapat menghambat infeksi berikutnya oleh Rhizoctonia solani (Soelistijono, 2013). Hasil tersebut menunjukkan bahwa preinokulasi BNR mampu mengimbas ketahanan S. plicata. Mekanisme pengimbasan ketahanan yang diduga terdapat pada anggrek P. amabilis yang diinokulasi Rhizoctonia mikoriza adalah terjadinya lignifikasi di bagian daun. Bahan dan metode A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian perbanyakan P. amabilis secara in vitro, isolasi dan identifikasi Rhizoctonia mikoriza dan F. oxysporum, pengamatan lignifikasi, peloton dan indeks keparahan penyakit, dilakukan di laboratorium Penyakit Tumbuhan, Kultur Jaringan, dan rumah kasa Fakultas Pertanian UTP. Penelitian dimulai bulan Maret 2013 dan berakhir bulan Desember 2013. B. Metode Isolasi F. oxysporum dilakukan pada daun P. amabilis yang bergejala busuk dari berbagai tempat yang terinfeksi F. oxysporum menurut metode Bayman et al. (Chung, 2011). Identifikasi miselium F. oxysporum dilakukan menurut Barnett & Hunter (1972). Penentuan F. oxysporum sebagai patogen busuk daun P. amabilis dilakukan dengan Postulat Koch. Isolasi Rhizoctonia mikoriza dilakukan dari akar P. amabilis dari berbagai lokasi di Tawangmangu, Surakarta, Kaliurang, dan Sleman menurut metode Bayman et al. yang dimodifikasi pada bagian akar (Otero, 2002). Sklerotium dan miselium Rhizoctonia mikoriza diidentifikasi berdasar menurut Barnett & Hunter (1972) meliputi: (1) bentuk sklerotium, (2) warna 254 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 sklerotium (3) bentuk percabangan hifa, dan (4) jumlah inti. Pengamatan struktur peloton pada akar P. amabilis menggunakan metode Kormanik & McGraw (Schenck, 1982). Tingkat keparahan penyakit (DSI) menurut Sneh et al. yang dimodifikasi (2004). Ekstraksi DNA Rhizoctonia sp. patogen dan Rhizoctonia mikoriza dilakukan dengan metode CTAB 2% (Weiland, 2007). Amplikasi DNA menurut Wyss, P., and Bonafante, P. (1993). Hasil dan pembahasan 1. Isolasi dan identifikasi Fusarium sp. Isolasi Fusarium sp. patogen dari beberapa lokasi pada P. amabilis yang mengalami gejala penyakit busuk daun (Gambar 1). A B Gambar 1. Gejala penyakit busuk daun oleh F. oxysporum pada daun Phalaenopsis amabilis Pengamatan pada warna koloni F. oxysporum yang diperoleh menunjukkan menunjukkan bentuk makrokonidia yang berbeda-beda antara masing-masing isolat. Isolat F1, F2, F3, dan F4 memiliki mikrokonidia dan hanya isolat F4 yang memiliki makrokonidia. Menurut Agrios (2005) hanya Fusarium sp. yang memiliki bentuk mikrokonidia yang bersifat patogenik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua isolat Fusarium sp. (F1, F2, F3, dan F4) semuanya bersifat patogenik sehingga perlu dilakukan uji virulensi. F1 F2 F3 F4 Gambar 2. Bentuk makrokonidia dan mikrokonidia Fusarium sp. (F1, F2, F3dan F4). Hasil analisis sidik ragam uji virulensi berbagai isolat Fusarium spp. menunjukkan virulensi isolat F1 tidak berbeda nyata dengan F2 dan F3, isolat F2 255 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 tidak berbeda nyata dengan F1 dan berbeda nyata dengan F3 dan F4, sedangkan isolat F4 tidak berbeda nyata dengan F3 tetapi berbeda nyata dengan F2 dan F1. Hal tersebut dikarenakan isolat F4 merupakan F. oxysporum yang memiliki makrokonidia, sedangkan isolat F1, F2 dan F3 dan kemampuan virulensi Fusarium ditentukan oleh mikrokonia, tidak ditentukan oleh makrokonidia. Walaupun perlakuan isolat F4 tidak berbeda nyata dengan F3 tetapi F4 mempunyai nilai DSI yang tertinggi yaitu 2,9 dibandingkan isolat F3 maupun isolat lainnya. 2. Isolasi Rhizoctonia mikoriza Isolasi Rhizoctonia mikoriza dari akar P. amabilis di berbagai diperoleh isolat M1, M2, M3, dan M4. Isolat M1, M2, M3 dan M4 yang sebagian besar memiliki warna koloni putih kecoklatan/coklat muda. Hyakumachi et al.(2005) menemukan bahwa dari 670 isolat Rhizoctonia spp., 168 berwarna coklat muda hingga coklat dan 502 berwarna putih, sedangkan Agustini et al. (2009) menemukan hal yang berbeda di kebun raya Cycloops Jayapura, bahwa 10 isolat mikoriza anggrek yang diperoleh warna koloni bervariasi dari putih hingga hitam. Oleh karena itu berdasarkan pengamatan secara morfologi warna koloni isolat Rhizoctonia mikoriza tidak dapat digunakan sebagai pembeda antar masingmasing isolat. 3. Pertumbuhan vegetatif Pertumbuhan vegetatif anggrek P. amabilis menunjukkan hasil yang berbeda antara perlakuan yang ditumbuhkan di dataran rendah (Surakarta) dengan yang ditumbuhkan di dataran sedang (Sleman) dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Pertumbuhan daun P. amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Sleman dan Surakarta Secara keseluruhan daun anggrek P. amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Sleman memiliki pertumbuhan daun yang lebih cepat dibandingkan dengan P. 256 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Surakarta. Hal tersebut dikarenakan anggrek P. amabilis merupakan anggrek epifit, sehingga hanya membutuhkan air sedikit untuk penyerapan unsur haranya. Bilamana anggrek P. amabilis ditumbuhkan di wilayah Sleman, maka kebutuhan air sudah tercukupi karena di wilayah Sleman curah hujan cukup tinggi, sedangkan bila ditumbuhkan di wilayah Surakarta, maka pertubuhan vegetatifnya akan lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan di wilayah Surakarta curah hujan sedikit dan suhu udara yang tinggi akan menyebabkan laju evaporasi yang tinggi. Laju evaporasi yang tinggi akan menyebabkan dehidrasi bagi tanaman yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan fase vegetatifnya. 4. Pengamatan lignifikasi pada daun anggrek P. amabilis Untuk mengetahui terjadinya ketahanan secara struktural pada akar P. amabilis dapat dilihat terjadinya lignifikasi pada bagian daun dan akar anggrek P. amabilis (Gambar 4). A B Gambar 4. Lignifikasi pada daun anggrek Phalaenopsis amabilis di wilayah Sleman (A) dan Surakarta (B). Dari gambar 4 terlihat bahwa lignifikasi pada daun anggrek P. amabilis di wilayah Sleman maupun Surakarta tidak menunjukkan perbedaan satu dengan lainnya. Hal tersebut diduga karena Rhizoctonia mikoriza yang diinduksi mampu berasosiasi dengan anggrek P. amabilis dibagian akar dan bersifat sistemik. Hal ini membuktikan bahwa induksi Rhizoctonia mikoriza mempunyai kemampuan sebagai inducer ketahanan terimbas, dan ini menunjukkan bahwa proses lignifikasi pada daun P. amabilis terjadi sebagai respons ketahanan tanaman secara struktural terhadap infeksi F. oxysporum. Lignin merupakan senyawa polimer yang sulit ditembus oleh hifa jamur patogen karena tersusun dari beberapa monomer senyawa fenol yaitu alkohol koniferil, kumaril dan sinapil yang dibentuk dari asam kumarat melalui jalur fenilpropanoid (Patel et al. 2007). 257 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 5. Penghitungan nilai DSI pada daun anggrek P. amabilis Untuk mengetahui tingkat ketahanan P. amabilis hasil pengimbasan setiap perlakuan dapat dihitung tingkat keparahan penyakitnya menurut Sneh et al. (2004) (Gambar 5). Gambar 5. Indeks keparahan penyakit (DSI) pada Phalaenopsis amabilis yang diinokulasi dengan Fusarium oxysporum di wilayah Sleman dan Surakarta Berdasarkan nilai DSI tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengimbasan Rhizoctonia mikoriza secara in vitro dapat meningkatkan ketahanan P. amabilis terhadap infeksi F. oxysporum di wilayah Sleman. Diduga pengimbasan Rhizoctonia mikoriza secara in vitro akan menyebabkan P. amabilis mampu memproduksi metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan F. oxysporum. Nilai ketahanan anggrek P. amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Surakarta memiliki nilai DSI yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anggrek P. amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Sleman. Akan tetapi hal tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena suhu udara di daerah Surakarta lebih tinggi sehingga kelembaban udaranya lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah Sleman. Nilai kelembaban yang rendah akan mengurangi kemampuan jamur patogen untuk menginfeksi tanaman (Semangun, 1996). Hal tersebut yang menyebabkan anggrek P. amabilis yang ditumbuhkan di wilayah Surakarta kelihatan lebih mampu bertahan terhadap F. oxysporum. 258 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 6. Pengamatan struktur DNA P. amabilis 100BpPhl1Phl2Phl3Phl4 Gambar 6. Analisis DNA anggrek P. amabilis dengan teknik RAPD dan menggunakan marker OPB 11. Keterangan: (100 Bp) marker 100 Bp; (Phl1) P. amabilis dari Tawangmangu; (Phl2) P. amabilis dari Surakarta; (Phl3) P. amabilis dari Kaliurang, dan (Phl4) P. amabilis dari Sleman. Dari gambar 6 terlihat bahwa P. amabilis yang berasal dari Tawangmangu, Kaliurang, Surakarta, dan Sleman memiliki kesamaan pita DNA sebesar 600 bp. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa P. amabilis yang berasal dari Surakarta memiliki ciri yang berbeda dari anggrek lainnya yaitu adanya pta DNA pada 300 bp. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa walaupun merupakan spesies yang sama akan tetapi anggrek P. amabilis berbeda secara genetik dengan P. amabilis lainnya. Kesimpulan 1. Terbentuk lignifikasi dan struktur peloton pada P. amabilis yang diinduksi dengan Rhizoctonia mikoriza sebagai respon terhadap infeksi F. oxysporum. 2. Pertumbuhan vegetatif P. amabilis yang diinduksi dengan Rhizoctonia mikoriza lebih baik disbanding yang tidak diinduksi. 3. Terjadi penurunan indeks keparahan penyakit (DSI) pada Phalaenopsis amabilis yang diinduksi dengan Rhizoctonia mikoriza. 4. Terdapat perbedaan secara genetik antara Phalaenopsis amabilis yang bersifat tahan terhadap Fusarium oxysporum dengan yang bersifat rentan. Ucapan terima kasih. Didalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dirjen DIKTI yang telah membiayai peneliitian berdasarkan surat Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Hibah Bersaing Nomor: 010/K6/KL/SP/2013 tanggal 16 Mei 2013. 259 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Daftar pustaka Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. 4th ed. Academic Press. New York. Agustini, V., Supeni S., and Suharno. 2009. Mycorrhiza Association of Terestrial Orchids of Cycloops Nature Reserve. Jayapura. Biodiversitas 10 : 175 – 180. Barnett, H. L. and B. B. Hunter. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi, 3rd Edition. Burgess Publishing Company. Minneapolis, Minnesota. W. C. Chung, L. W. Chen, J. H. Huang, H. C. Huang, and W. H. Chung. 2011. A new forma spesialis of Fusarium solani causing leaf yellowing of Phalaenopsis. Plant Pathology 60 : 244-252. Hyakumachi M., A. Priyatmojo, M. Kubota and H. Fukui. 2005. New Anastomosis Group, AG-T and AG-U, of Binucleate Rhizoctonia spp. Causing Root and Stem Rot of Cut-Flower and Miniatur Roses. Phytopatology 95 : 784-792. Otero, J. T., J. D. Ackerman and P. Bayman. 2002. Diversity and host specificity of endophytic Rhizoctonia-like fungi from tropical orchids. American Journal of Botany 89 : 1852 – 1858. Patel VK, RSS Yadav and KDS Yadav. 2007. Enzymatic characteristic of lignin peroxidases of indigenous lignolitic fungal strains-1. Indian Journal of Biotechnology 6 : 553-556. Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 754 h. Smith, S.E. and D. J. Read. 2008. Mycorrhiza Symbiosis, 3rd Edition. Academic Press. New York. 805 p. Sneh, B., E. Yamoah and A. Stewart. 2004. Hypovirulent Rhizoctonia spp. isolates from New Zealand soils protect radish seedlings against damping-off caused by R. solani. New Zealand Plant Protection 57 : 54 – 58. Soelistijono, 2013. Pengimbasan Ketahanan Anggrek Spathoglottis plicata terhadap Penyakit Busuk Akar Rhizoctonia solani menggunakan Rhizoctonia Mikoriza In Vitro. Disertasi. Tidak untuk dipublikasikan. 260 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGENDALIAN PENYAKIT HAWAR PELEPAH DENGAN Trichoderma sp. PADA SISTEM TANAM PADI LOKAL LAHAN RAWA Mariana Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Jalan Ahmad Yani km. 36 kode pos 70714 Banjarbaru Kalimantan Selatan. Telp. 085732719460. e-mail :[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mempelajari pengendalian Trichoderma sp terhadap penyakit hawar pelepah daun padi yang disebabkan oleh Rhizoctonia sp di lahan rawa. Lokasi penanaman untuk lahan rawa pasang surut di desa Karang Indah Kabupaten Barito Kuala, untuk lahan rawa lebak di desa Banua Rantau Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Penelitian diawali dengan eksplorasi jamur antagonis di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. Daya antagonis diuji secara in vitro dengan uji berpasangan. Perlakuan yang diuji di lapang adalah waktu aplikasi Trichoderma yaitu pada tiap tahap pindah tanam lokal di lahan rawa, (I. teradak, II. ampak, III. lacak, IV. olah tanah dan V. tanam). Pada perlakuan teradak, aplikasi dilakukan dengan perendaman benih dalam suspensi konidia Trichoderma sp, sedang perlakuan lainnya dengan cara penyiraman. Pada perlakuan olah tanah, suspensi disiramkan ke cacahan gulma sesuai dengan cara olah tanah lokal. Kerapatan suspensi konidia adalah 3 x 107konidia/ml. Hasil eksplorasi menunjukkan ada 43 isolat yang berpotensi sebagai agens pengendali hayati. Hasil seleksi 12 isolat terpilih adalah 2 isolat dengan daya hambat tertinggi, dan hasil identifikasi 2 isolat tersebut adalah Trichoderma sp. Hasil penelitian di lahan pasang surut maupun di lahan lebak menunjukkan bahwa aplikasi pada perendaman benih dan pada saat olah tanah menunjukkan intensitas penyakit hawar pelepah daun terendah (0,42% - 2,20%), yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. (6,4% - 8,18%). Kata kunci : hawar pelepah, Trichoderma sp, lahan rawa Pendahuluan Masalah utama dalam pertanian saat ini adalah penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Tercatat lebih dari 40% pertanian di dunia menggunakannya. Solusi untuk mengurangi dampak negatif bahan kimia tersebut adalah dengan menggunakan agens hayati. Efektivitas agens pengendali hayati secara fundamental berbeda dengan fungisida kimia karena perlu tumbuh dan 261 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 berkembang biak. Dinamika populasi dari agens pengendali hayati dalam agroekosistem sangat mempengaruhi efektivitasnya. Pengendalian hayati akan berjalan baik apabila populasi antagonis sudah mencapai jumlah inokulum potensial, periode survival, dan distribusi (Lo et al., 1998). Kondisi ekologis pertanian di lahan rawa mempunyai karakter yang spesifik. Pada lahan rawa lebak, kondisi lahan pada musim hujan terus menerus tergenang. Penanaman padi hanya dilakukan pada saat musim kemarau. Pada lahan rawa pasang surut, lahan akan tergenangi pada saat air pasang dan permukaan air akan turun pada saat air surut. Selain kondisi lahan rawa yang spesifik, sistem bertanam padi di lahan rawa juga spesifik. Petani padi di lahan rawa Kalimantan Selatan mempunyai kearifan lokal yaitu menggunakan sistem tanam dengan empat kali pindah tanam yang mengikuti pola dari pasang dan surutnya air di lahan (teradak, ampak, lacak, dan tanam). keadaan ini memungkinkan inokulum mikroba patogen sekaligus antogonisnya yang sudah berkoevolusi turut serta, sehingga diduga membantu pengendalian patogen yang akan menyerang. Kearifan lokal pengolahan tanah menggunakan alat tajak untuk membersihkan gulma pada saat air tergenang menghasilkan puntalan gulma yang digunakan sebagai pupuk hijau. Keadaan kaya bahan organik ini sangat mungkin untuk mengaktifkan dan menambah daya antagonis dari mikroba pengendali hayati yang ada di situ. Di lain pihak penggunaan pestisida dan pupuk sintetis mempunyai efek sebaliknya sehingga populasi mikroba antagonis dapat berkurang. Kearifan budaya lokal dalam budidaya tanaman padi belum pernah diteliti terutama dalam kaitannya dengan pengelololaan penyakit yang menyerang. Mengingat pada sistem budidaya ini intensitas penyakit lebih rendah dibanding sistem konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dinamika populasi mikroba antagonis dalam sistem tanam lokal untuk mengendalikan penyakit utama padi di lahan rawa, Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah : 1. Survey intensitas penyakit utama tanaman padi di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. 2. Eksplorasi mikroba antagonis yang ada pada sistem budidaya lokal di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. 3. Mempelajari dinamika populasi mikroba antagonis pada sistem budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. Bahan dan cara kerja Penelitian ini dilaksanakan di lahan rawa Kalimantan Selatan yaitu rawa lebak (Desa Banua Lawas, Kabupaten Hulu Sungai Utara) dan rawa pasang surut (Desa Mandastana, Kabupaten Barito Kuala) serta di Laboratorium Fitopatologi 262 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat dari bulan Maret - bulan Nopember 2011 Survei intensitas penyakit utama padi dilakukan pada enam lokasi lahan petani di lahan rawa Kalimantan Selatan. Intensitas penyakit dihitung menurut metode survey lapang penyakit padi IRRI (1996). Patogen diisolasi, dimurnikan dengan media PDA (potato dextrose agar) dan diidentifikasi berdasarkan Compendium of Soil Fungi (Domsch et al., 1980) dan Illustrated Genera of Imperfect Fungi (Barnett, 1969). Eksplorasi cendawan antagonis di lahan rawa lebak dilakukan pada lebak dalam, lebak tengahan dan lebak dangkal/pematang. Sedangkan di lahan rawa pasang surut dilakukan di rawa pasang surut langsung dan pasang surut tidak langsung. Sampel eksplorasi diisolasi menurut prosedur Homby (Tuite, 1970) dan dilanjutkan dengan metode pengenceran (dilution plate technique) pada 10-2 sampai 10-4 (Singleton et al.,2001). Media biakan yang digunakan untuk isolasi dan pemurnian adalah potato dextrose agar. Untuk menghambat pertumbuhan kontaminan digunakan streptomycin sulfat. Seluruh isolat murni hasil eksplorasi diseleksi berdasarkan kecepatan pertumbuhan, ketebalan isolat, dan viabilitasnya. Dua belas cendawan hasil seleksi diuji daya antagonisnya dengan menghitung persentase hambatannya terhadap Rhizoctonia sp. Uji anatagonis menggunakan metode oposisi langsung antara patogen dengan antagonisnya (Dennis and Webster 1971). Pengujian ini dirancang dengan rancangan acak lengkap dan 3 kali ulangan. Isolat cendawan yang paling tinggi persentase hambatannya diidentifikasi berdasarkan Compendium of Soil Fungi (Domsch et al., 1980) dan Illustrated Genera of Imperfect Fungi (Barnett, 1969). Uji lapang waktu aplikasi didahului dengan menanam padi varietas lokal Siam Unus Mutiara dengan mengikuti proses budidaya padi lokal lahan rawa. Baik di lahan rawa lebak maupun rawa pasang surut. Cendawan antagonis diaplikasikan pada setiap tahap proses pindah tanam lokal. Ada empat perlakuan aplikasi. Aplikasi I diawali dengan merendam benih padi pada suspensi biakan Trichoderma dengan kerapatan spora 2,3 x 107 spora/ml. Ini dinamakan aplikasi pada saat teradak. Aplikasi II pada pindah tanam selanjutnya adalah dengan merendam akar dalam suspensi Trichoderma. Aplikasi III saat pengolahan tanah, Trichoderma diaplikasikan pada puntalan rumput saat puntalan rumput dihamparkan di atas tanah. Aplikasi IV yaitu pada saat pindah tanam terakhir (final transplanting). Pengamatan intensitas penyakit dilakukan pada tanaman mulai keluar malai yaitu 2 minggu setelah aplikasi terakhir. 263 Prosiding Seminar Nasional nal PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil Penyakit busuk pelepah, blas, bercak cercospora dan bercak coklat merupakan penyakit utama padi di lahan rawa lebak maupun rawa pasang surut pada musim tanam 2011. Penyakit Tungro hanya terdapat di lahan pasang surut dengan intensitas 7,8% -12,4%. 12,4%. Intensitas penyakit masih tergolong rendah yyaitu berkisar antara 6 % - 17,8 % . Intensitas penyakit tertinggi adalah penyakit busuk pelepah yaitu 12,1% – 15 % di lahan laha lebak dan 14% - 15% di lahan pasang surut. surut . Intensitas Penyakit (%) di lahan Lebak 15 10 5 BPL1 BPL2 BPL3 BLL1 BLL2 BLL3 BCL1 BCL2 BCL3 BCeL1 BCeL2 BCeL3 0 intensitas penyakit (%) di lahan pasang surut BPS1 BPS2 BPS3 BLS1 BLS2 BLS3 BCS1 BCS2 BCS3 TS1 TS2 TS3 20 15 10 5 0 Gambar 1 Intensitas penyakit utama padi di lahan rawa pada MT 2011 Keterangan : BP = Busuk pelepah, BL = Blas, BC= Bercak coklat, Bce= Bercak Cercospora, T= Tungro, L= Lebak, S = Pasang surut Dari hasil asil ekplorasi cendawan antagonis di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak Kalimantan Selatan diperoleh 43 isolat, yang terdiri dari 2 isolat dari rawa lebak dalam (watun III), 12 isolat dari lebak tengahan dan pematang (watun I dan II), serta 29 isolat dari rawa pasang surut surut. 264 Prosiding Seminar Nasional nal PFI Komda Joglosemar 2014 A. Daya Antagonis Hasil pengujian daya antagonis terhadap 12 isolat terseleksi didap didapatkan 2 isolat (PS1 dan LB4) yang memiliki daya hambat yang tinggi dan tidak berbeda nyata terhadap Rhizoctonia solani penyebab busuk pelepah (Gambar 2.). PS1 berasal dari rawa pasang surut dan LB 4 berasal dari rawa lebak. 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 % Daya Hambat 20,00 10,00 0,00 PS1 LB4 LB2 PS4 LB6 PS10PS21LB11 LB8 PS3 LB5 LB1 Jenis Isolat Gambar 2. Hasil uji daya antagonis pada 12 isolat terseleksi dengan R. solani Pengamatan morfologi koloni isolat PS1 dan LB4 dan pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa kedua isolat mempunyai karakteristik yang sama. Pada medium PDA kultur tumbuh dengan cepat, Pengamatan terhadap suhu inkubasi menunjukkan kultur tidak dapat tumbuh pada 35oC. Pada awal pertumbuhan berwarna putih, lama kelamaan berubah menjadi hijau, dan akhirnya berwarna hijau tua. Permukaaan koloni seperti kapas, dan adanya pustule yang terbentuk mengelilingi koloni seperti kapas. Pertumbuhan koloni juga sama yaitu berbentuk cicin konsentris onsentris (Gambar 3A ). Pada biakan yang sudah berumur lebih dari 7 hari tercium bau seperti bau minyak kelapa. Bau ini akan semakin jelas pada biakan menggunakan media beras. Berdasarkan karakter tersebut maka koloni tersebut adalah Trichoderma sp. Hasil karakterisasi mikroskopik berdasarkan analisa pada konidiofor, dan percabangan konidiofor menurut literatur menunjukkan bahwa kedua iso isolat tersebut adalah Trichoderma. Trichoderm Konidofor bercabang banyak. Pada cabang utama dari konidiofor terdapat cabang cabang-cabang cabang sisi lateral. Cabang primer maupun sekunder tersebut timbul pada sudut 90o dari sumbu utama (Gambar 3 B B). Konidiofor hyalin, bercabang, dan biasanya rangkaian konidia berkelompok berbentuk piramid (Gambar 3 C) C). 265 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 A B C Gambar 3. Morfologi koloni dan morfologi mikroskopik isolat terbaik A. Koloni isolat PS1 dan LB4 .B. percabangan konidiofor membentuk sudut 90o ,C. Konidiofor dalam rangkaian piramid. Tabel 1.Intensitas penyakit busuk pelepah ( %) setelah aplikasi Trichoderma pada masing masing tahap penanaman lokal Saat Aplikasi Tanpa Trichoderma Olah tanah Teradak Ampak Lacak Tanam Lahan rawa Pasang surut 7.64b 0.42a 1.32a 7.06b 7.84b 6.82b lebak 8.12b 1.44a 2.20a 6.40b 7.00b 8.18b Pembahasan Intensitas penyakit yang terdapat di lahan rawa tergolong rendah. Salah satu factor penyebab rendahnya intensitas penyakit ini adalah bekerjanya mikroorganisme yang ada di sekitar tanaman. Cendawan antagonis yang berhasil diisolasi di lahan rawa cukup beragam (43 isolat) ada 12 isolat berpotensi sebagai agens antagonis. Mikroba antagonis yang berkembang di lahan, mempunyai peran penting dalam menentukan intensitas penyakit. Mikroba ini berperan dalam menekan populasi mikroba yang ada di tanah maupun yang berada di atas tanah. Beberapa spesies Trichoderma biasanya ditemukan di tanah.dan telah terbukti dapat mengendalikan beberapa jenis penyakit padi, dan tanaman lainnya. Pengendalian penyakit busuk pelepah yang disebabkan Rhizoctonia solani pada tanaman padi oleh mikroba tanah antagonis telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, bahkan lebih baik dari fungisida sintetik. Trichodema harzianum, T. 266 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 virens dan T. atrovitide merupakan agens biokontrol yang sangat baik dalam mengendalikan busuk pelepah. T. harzianum AS 12-2 yang paling effektif dan lebih baik daripada fungisida propiconazole (Naeimi et al, 2010). Tiga strain T. koningii menghasilkan toksin yang kuat, dapat menghambat 79% pertumbuhan hifa R. solani. T. harzianum Th-9 dapat menurunkan viabilitas sklerotia R. solani sebesar 81.8% dan T. koningii, TK-5 sebesar 53%. Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan, T. harzianum Th-9 tumbuh menuju dan melingkar di sekitar sel inang, menembus dan menghancurkan hifa. Penetrasi pada sel inang nampaknya dengan kekuatan mekanis. (Melo and Faull, 2000) Di lahan pasang surut, Trichoderma juga telah terbukti dapat mengendalikan penyakit busuk pelepah (Prayudi, 2000). Aplikasi Trichoderma asperellum(strain T-34)pada kompos dapat menekan intensitas penyakit karena Rhizoctonia sampai 53 % (Trillas et al., 2006). Intensitas penyakit daun juga tergolong rendah. Hal ini karena mikroba tanah juga dapat mengendalikan penyakit yang ada di daun, seperti blas, bercak coklat dan bercak cercospora. Mikroba yang ada di tanah dapat masuk ke dalam tanaman mencapai daun secara endofit (Dongyi and Kelemu, 2004). Seperti yang dikemukakan oleh Oliveres et al. (1996) bahwa infeksi Hidrospirillium pada biji tanaman padi terjadi melalui akar kemudian ditranslokasikan melalui xilem ke seluruh bagian tanaman. Dari penelitian lain Trichoderma juga dapat mengendalikan penyakit bercak daun Cercospora beticola pada tanaman bit gula (Galletti et al., 2008). Penyakit blas pada padi juga terbukti dapat dikendalikan oleh mikroba antagonis. Li et al. (2011) membuktikan bahwa suspensi filtrat kultur Streptomyces globisporus JK-1 pada 108 cfu/ml dapat menekan intensitas penyakit blas akibat inokulasi Magnaporthe oryzae 5 × 105 spora/ml. Trichoderma juga efektif mengendalikan bakteri Xanthomonas oryzae pv. Oryzae penyebab hawar daun padi (Prasad and Sinha, 2012). Peran mikroba antagonis dalam menekan intensitas penyakit juga terbukti pada beberapa hasil penelitian. Pada uji di lapang, terbukti Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. mampu untuk mengendalikan jamur akar putih (Rigidoporus microporus (Swartz:Fr) van Ov.) pada tanaman karet (Jayasuriya and Thennakoon, 2007), dan juga efektif mengendalikan Ganoderma boninensis pada kelapa sawit (Zainudin, et al., 2008). Aplikasi empat isolat Trichoderma juga dapat menekan penyakit busuk akar putih pada alpukat (Rosa and Herrera, 2009). Suspensi konidia atau filtrat kultur Colletotrichum fragariae (M23) yang avirulen dapat menurunkan intensitas penyakit antraknosa pada strawberry yang diinokulasi isolat virulen Colletotrichum acutatum (M11). Fenomena ketahanan terimbas menyebabkan penekanan intensitas penyakit tersebut (Chalfoun et al, 2011). Tanaman pepaya yang diinokulasi dengan Glomus mosseae + T. 267 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 harzianum, dapat menurunkan intensitas penyakit busuk akar karena Phytophthora parasitica var. nicotianae. Menurut Elad et al. (1983) penyelimutan biji kapas dengan Trichoderma spp. dapat mengurangi intensitas penyakit akibat Rhizoctonia solani sebesar 83 % di rumah kaca dan 47 – 60 % di lapang. Cendawan antagonis hasil ekplorasi di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak Kalimantan Selatan cukup bervariasi (43 isolat). Tetapi pada rawa lebak dalam dan lebak tengahan, keragaman cukup rendah. Rendahnya keragaman ini karena pada saat melakukan pengambilan sampel, lahan rawa lebak tergenang tinggi, terutama pada lebak dalam dan lebak tengahan, sedangkan pada lebak pematang (watun I) sebagian masih ada yang agak kering. Pada saat penelitian, watun III terus menerus tergenang air, Hal ini mengakibatkan hanya mikroba anaerob sejati saja yang bisa bertahan hidup di watun III tersebut. Hasil penelitian Kyuma, (2004) membuktikan bahwa populasi cendawan menurun drastis akibat penggenangan. Watun III hanya dapat ditanami pada musim kemarau, pada musim tanam saat penelitian, tidak dapat ditanami akibat hujan terjadi sepanjang tahun. Dua belas isolat berpotensi memiliki kemampuan antagonis. Hal ini dilihat dari kecepatan pertumbuhan koloninya, dan kemampuannya mengeluarkan eksudat yang dapat menahan perkembangan mikroba lain saat dilakukan isolasi dan pemurnian. Mekanisme antagonis dari mikroba yang tumbuh dengan cepat adalah kompetisi ruang dan nutrisi. Ini merupakan salah satu mekanisme penting karena suatu organisme tidak dapat bertindak sebagai agens pengendali hayati apabila tidak dapat berkompetisi dalam hal ruang maupun nutrisi dengan kompetitor lain di rhizosfer ( Howell, 2003). Demikian pula, Lo et al. (1998) mengemukakan bahwa Trichoderma harzianum strain 1295-22 merupakan mikroba rhizosfer dan filoplan yang kompeten dan dapat bertindak sebagai agens biokontrol yang kuat. Sejalan dengan sebagian besar hasil hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, pada penelitian ini cendawan yang mempunyai daya hambat tertinggi adalah Trichoderma spp. Namun cendawan hasil penelitian ini merupakan isolat lokal yang berasal dan sudah beradaptasi dengan lahan rawa lebak dan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Aplikasi Trichoderma sp. di lahan menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa aplikasi Trichoderma (kontrol), populasi Trichoderma di lahan rawa berkembang cukup baik. Trichoderma dapat mempertahankan populasi sampai mencapai inokulum potensial nya karena mampu berkompetisi dengan baik pada lingkungan lahan rawa, sehingga mampu berkembang sampai akhir pengamatan. Hasil pengamatan intensitas penyakit menunjukkan populasi Trichoderma di lahan rawa ternyata masih mencukupi untuk menahan serangan penyakit busuk pelepah. Menurut Harman (2006) Trichoderma 268 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 secara endofit masuk ke dalam tanaman sehingga dapat mengendalikan patogen yang sudah masuk ke dalam tanaman. Selain itu keberadaannya pada rhizosfer tanaman juga dapat mengendalikan patogen yang ada di rhizosfer tanaman tersebut, karena Trichoderma merupakan mikroba antagonis pada rhizosfer yang kompeten dan agens biokontrol yang kuat. Selain itu Trichoderma juga dapat meningkatkan kelarutan unsur hara dan meningkatkan menyerapan hara sehingga dapat meningkatkan vigor tanaman. Aplikasi Trichoderma pada perlakuan teradak dan pada perlakuan olah tanah, intensitas penyakit nya tidak berbeda nyata. Kedua cara aplikasi ini menunjukkan peningkatan populasi Trichoderma yang terus meningkat dengan peningkatan yang lebih tinggi dibanding cara aplikasi lainnya. Intesitas penyakit pada perlakuan teradak yaitu perendaman benih dengan Trichoderma dapat menurunkan intensitas penyakit busuk pangkal batang sampai 1,32% di lahan pasang surut dan 2,22 % di lahan rawa lebak. Perendaman benih padi dalam suspensi trichoderma menyebabkan Trichoderma dapat masuk ke dalam jaringan padi sebagai endofit. Hasil penelitian Howellet al. (2000) menunjukkan bahwa perlakuan benih kapas dengan T. virens menstimulasi sintesa terpenoid dan peningkatan aktivitas peroksidase pada akar dan hipokotil kapas. Bioassay daya racun terpenoid terhadap R. solani menunjukkan bahwa produk antara berupa deoxyhemigossypol dan hemigossypol merupakan penghambat yang sangat kuat bagi R. solani. Mastouri et al. (2010) membuktikan bahwa perlakuan benih dengan Trichoderma harzianum T 22 membuat jamur ini secara endofit dapat tumbuh dengan baik pada kondisi diinokulasi dengan Pythium ultimum, dan pada kondisi salinitas, suhu, serta tekanan osmotik diluar optimum. Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional dalam Hibah Fundamental sebagai penyandang dana sehingga kegiatan ini dapat terlaksana Daftar pustaka Barnett, H.L. 1969. Illustrated genera of imperfect fungi.Second Edition. Burgess Publishing Company. USA. Chalfoun, N.R., A.P. Castagnaro, J.C. Díaz Ricci,. 2011. Induced resistance activated by a culture filtrate derived from an avirulent pathogen as a mechanism of biological control of anthracnose in strawberry. Biological Control 58 : 319-329. Dennis, C. and J. Webster. 1971. Antagonistic properties of species groups of Trichoderma. III. Hyphal interaction. Trans. Brit. Mycol. Soc. 57: 363-369. 269 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Domsch, K.H., W. Gams, T. Anderson, and H. Anderson. 1980. Compendiun of soil fungi.Volume 1. Academic Press. London. Elad, Y., A. Kalton and I. Chet. 1983. Control of Rhizoctonia solani in Cotton by Seedcoating with Trichoderma spp. Spores. Plant and Soil. 66: 279 – 281. Galletti,S., P. L. Burzi , C. Cerato, S. Marinello, E. Sala. 2008. Trichoderma as a potential biocontrol agent for Cercospora leaf spot of sugar beet. Biological Control 53: 917–930. Harman, G. E. 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma spp. Phytopathology 96 :190-194. Howell, C. R. L. E. Hanson, R. D. Stipanovic, and L. S. Puckhaber. 2000. Induction of Terpenoid Synthesis in Cotton Roots and Control of Rhizoctonia solani by Seed Treatment with Trichoderma virens. Phytopathology 90: 248-252. Howell. C. R. 2003. Mechanisms Employed by Trichoderma Species in the Biological Control of Plant Diseases: The History and Evolution of Current Concepts. Plant Disease 87 : 4-10. Howell C.R. 2006. Understanding the Mechanisms Employed by Trichoderma virens to Effect Biological Control of Cotton Diseases. Phytophatology 9 : 178 – 180. Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto University Press, Kyoto. Mastouri, F., T. Björkman, and G. E. Harman. 2010. Seed Treatment with Trichoderma harzianum Alleviates Biotic, Abiotic, and Physiological Stressesin Germinating Seeds and Seedlings. Phytopathology 100: 12131221. Melo, I. S. andFaull, J. L. 2000.Parasitism of Rhizoctonia solani by strains of Trichoderma spp. Scientia Agricola. 57 : 55-59. Naeimi, S., S.M. Okhovvat, M.J.-Nikkhah, C.Vágvölgyi, V. Khosravi And L. Kredics. 2010. Biological control of Rhizoctonia solani AG1-1A, the causal agent of rice sheath blight with Trichoderma strains. Phytopathol. Mediterr 49 : 287−300. Prasad, G.G. dan Sinha A.P. 2010. Comparative antagonistic potential of Trichoderma spp. against Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Annals of Plant Protection Sciences 18: 456-463. Prayudi, B. 2000.Toleransi padi local rawa pasang surut terhadap penyakit hawarpelepah daun padi.(Rhizoctonia solani). Bul. Agron. 28 : 37 -40. Rosa, D. R. and C. J. L. Herrera.2009. Evaluation of Trichoderma spp. as biocontrol agents against avocado white root rot. Biological Control 51 : 66 – 71. Singleton, L.L.Mihail, J.D. and Rush C.M. 2001.Methods fo Reseach on Soilborne Phytopathogenic Fungi. APS Press.St., Paul Minnesota. 270 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Trillas, M.I.E. Casanova, L. Cotxarrera, J. Ordovás, C. Borrero, M. Avilés. 2006.Composts from agricultural waste and the Trichoderma asperellum strain T-34 suppress Rhizoctonia solani in cucumber seedlings. Biological Control 39 : 32-38. Zainudin,M., N. A. Izzati and F. Abdullah. 2008. Disease Suppression in Ganoderma-infected Oil Palm Seedlings Treated with Trichoderma harzianum. Plant Protect. Sci. Vol. 44 : 101–107. 271 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 IDENTIFIKASI GALUR PLANLET VANILI (Vanilla planifolia Andrews) RESISTEN TERHADAP INFEKSI Fusarium oxysporum f. sp. vanillae HASIL SELEKSI IN VITRO DENGAN ASAM FUSARAT 1 2 3 Endang Nurcahyani , Bambang Hadisutrisno , Issirep Sumardi , & E. Suharyanto 3 1Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung 2 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada 3 Laboratorium Struktur dan Perkembangan Tumbuhan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected] Abstrak Kendala produksi dalam budidaya vanili (Vanilla planifolia Andrews) salah satunya diakibatkan oleh penyakit busuk batang. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillae (Fov) yang sampai sekarang masih belum bisa diatasi secara efektif. Penggunaan kultivar vanili yang tahan Fov dengan hasil tinggi diharapkan merupakan alternatif pengendalian penyakit yang penting. Planlet vanili yang tahan terhadap infeksi Fov telah diinisiasi dan diseleksi secara in vitro dalam medium MS dengan penambahan asam fusarat (AF) pada konsentrasi yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi galur planlet vanili tahan Fov secara in vitro; 2) mengetahui karakter ekspresi spesifik planlet vanili tahan Fov meliputi kadar fenol total dan aktivitas enzim peroksidase. Hasil penelitian menunjukkan: 1) secara in vitro, terdapat 17,14% galur (90 ppm), 12,00% galur (100 ppm), dan 10,59% galur (110 ppm) planlet vanili tahan Fov; 2) semakin meningkat konsentrasi AF maka meningkat pula kandungan fenol total dan aktivitas enzim peroksidase pada planlet vanili tahan Fov. Kata kunci: Vanilla planifolia, penyakit busuk batang vanili, Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, in vitro, asam fusarat Pendahuluan Vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan merupakan salah satu tanaman perkebunan penting di Indonesia (Hadipoentyanti et al., 2007). Di pasaran internasional vanili Indonesia dikenal dengan sebutan Java Vanilla Beans karena mempunyai kualitas terbaik dengan kadar vanillin 2,75%, sedang pesaing utama adalah Madagaskar dengan kadar vanillin 1,91 -1,98%, Sri Langka 1,48%, dan Meksiko 1,89-1,98% (Hadisutrisno, 2004). Masalah paling berat yang dihadapi petani vanili saat ini adalah penyakit busuk batang (BBV) yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. 272 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 vanillae (Fov) (Jayasekhar et al., 2008). Salah satu alternatif cara yang mungkin efisien dan efektif untuk mengendalikan jamur Fov antara lain adalah dengan menggunakan kultivar yang tahan terhadap jamur tersebut. Pengembangan kultivar vanili tahan Fov tersebut dapat dilakukan antara lain dengan metode seleksi in vitro yaitu mengkulturkan eksplan berupa jaringan atau organ pada medium yang mengandung asam fusarat (AF) konsentrasi selektif. Asam fusarat merupakan metabolit yang dihasilkan oleh beberapa spesies jamur dari genus Fusarium. Asam ini dapat bersifat toksin (konsentrasi lebih dari 10-5 M) sehingga menghambat pertumbuhan dan regenerasi biakan (Landa et al., 2002; Bouizgarne et al., 2006), tetapi pada konsentrasi yang non toksik (di bawah 10-6 M) justru membantu mengimbas sintesis fitoaleksin, suatu bentuk respon tanaman untuk menghambat aktivitas patogen (Bouizgarne et al., 2006). Beberapa parameter dapat menggambarkan terjadinya mekanisme ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen antara lain peningkatan senyawa fenol, peningkatan enzim peroksidase (termasuk kelompok PR-protein), dan adanya lignifikasi (Agrawal et al., 1999; Lea & Leegood, 1999). Total fenol pada jaringan dan organ tanaman olive (Olea europaea L.) telah dilaporkan oleh Del Rio et al. (2003) yang mengatakan bahwa data dari analisis HPLC-MS menunjukkan peningkatan fenol total pada perlakuan Brotomax (senyawa anti jamur Phytophthora sp.) secara signifikan. Selain peningkatan senyawa fenol, enzim peroksidase (termasuk kelompok PR-protein) merupakan salah satu senyawa yang dapat menggambarkan mekanisme ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Vidhyasekaran, 1999). Infeksi tanaman oleh berbagai patogen seperti jamur, bakteri, dan virus dapat menyebabkan terbentuknya PR-protein (Park et al., 2004; Edreva, 2005). Sintesis dan akumulasi PR-protein ini sangat berperan penting dalam pertahanan tanaman terhadap patogen. Hal ini sudah diidentifikasi pada akar tanaman pisang yang terinfeksi oleh Fusarium oxysporum f.sp cubense (Saravanan et al., 2004). Penggunaan AF dalam konsentrasi yang toleran sejauh ini belum dilaporkan secara pasti dan tepat untuk pengimbasan ketahanan planlet vanili terhadap Fov. Planlet vanili yang tahan terhadap infeksi Fov telah diinisiasi dan diseleksi secara in vitro dalam medium MS dengan penambahan asam fusarat (AF) pada konsentrasi yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi galur planlet vanili yang tahan Fov secara in vitro; 2) mengetahui karakter ekspresi spesifik planlet vanili tahan Fov meliputi kadar fenol total dan aktivitas enzim peroksidase. Bahan dan metode Bahan-bahan yang dipakai dalam penelitian ini antara lain adalah planlet vanili (Vanilla planifolia) steril dalam botol kultur yang diperoleh dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Dinas Pertanian, Perkebunan, dan 273 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kehutanan , Kabupaten Magelang, asam fusarat murni yang diproduksi oleh Sigma chemical Co. {Fusaric acid (5-butylpicolinic acid) from Giberella fujikuroi}, medium Murashige & Skoog (MS), alkohol 70 %, pirogalol. Medium MS ditambah asam fusarat (AF) dengan konsentrasi 0, 90, 100, 110, dan 120 ppm. Eksplan yang digunakan berupa nodus batang. Setiap botol kultur ditanami 5 eksplan dan setiap perlakuan dilakukan 175 ulangan. Total eksplan yang ditanam adalah sebanyak 875 eksplan (175 botol kultur). Planlet yang mampu hidup hasil seleksi AF selanjutnya disubkultur ke dalam medium multiplikasi selama 12 minggu. Setelah pertumbuhan planlet mencapai permukaan botol dilakukan uji ketahanannya terhadap Fov menurut metode Hadisutrisno (1995). Intensitas penyakit dihitung berdasarkan jumlah daun yang menunjukkan gejala daun kuning (layu) dengan indeks kelayuan menurut He et al. (2002) yang dimodifikasi. Tingkat ketahanan tanaman ditentukan berdasarkan skoring dengan mengacu pada ketentuan Wibowo (2002). Karakter planlet vanili yang berhubungan dengan ketahanan terhadap Fov dapat ditinjau antara lain dari kadar fenol total dan aktivitas enzim peroksidase. Analisis senyawa fenol total menggunakan metode Singleton & Rossi (Aberouman & Deokule, 2008). Aktivitas enzim peroksidase dianalisis dengan metode dari Saravanan et al. (2004). Aktivitas enzim dihitung dalam U/mg/min. Satu unit adalah aktivitas berubahnya OD 420 nm pada spektrofotometer per menit. Hasil dan pembahasan Hasil pengamatan persentase jumlah planlet hidup pada medium multiplikasi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase jumlah planlet vanili yang hidup pada medium multiplikasi Konsentrasi AF (ppm) 0 90 100 110 I 100,00 27,14 14,00 12,94 Persentase jumlah planlet hidup minggu II III IV 100,00 25,00 14,00 12,94 100,00 25,00 14,00 12,94 98,89 23,57 13,00 12,94 XII 88,89 17,14 12,00 10,59 Keterangan: Jumlah awal planlet vanili pada medium multiplikasi tergantung jumlah planlet yang diperoleh pada seleksi dengan AF masing-masing perlakuan Hasil seleksi in vitro dengan AF yang disubkultur pada medium multiplikasi menghasilkan jumlah planlet vanili hidup sebesar 17,14% galur (90 ppm), 12,00% galur (100 ppm), dan 10,59% galur (110 ppm) yang insensitif terhadap AF (Tabel 1). Fenotip insensitif terhadap AF dapat terjadi sebagai akibat adanya aktivasi gen peroksidase untuk mendetoksifikasi toksin 274 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 (Jayasankar et al., 2000; Saravanan, 2004; Svabova dan Lebeda, 2005), sehingga planlet tetap dapat hidup. Setelah diperoleh planlet-planlet yang tahan terhadap AF pada seleksi dengan AF, selanjutnya diuji ketahanannya terhadap jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillae (Fov) (Tabel 2). Tabel 2. Intensitas penyakit hasil uji ketahanan dan tingkat ketahanan vanili pada setiap perlakuan asam fusarat Hari pengamatan 5 IP Kriteria IP (%) Ketahanan (%) Kontrol 62,50 Rentan 91,67 90 ppm 31,25 Moderat 33.33 100 ppm 33,33 Moderat 41,67 110 ppm 00,00 Tahan 25,00 Keterangan: IP= Intensitas Penyakit Perlakuan 13 Kriteria Ketahanan Rentan Moderat Moderat Tahan 21 IP (%) 93,75 41,67 50,00 25,00 Kriteria Ketahanan Rentan Moderat Moderat Tahan 29 IP (%) 100,00 50,00 50,00 25,00 Kriteria Ketahanan Rentan Moderat Moderat Tahan Berdasarkan data intensitas penyakit dan kategori ketahanannya, dapat diketahui pula bahwa perlakuan AF 110 ppm mampu mengimbas ketahanan yang paling baik, dapat menekan intensitas penyakit hingga 25% dan menaikkan kriteria menjadi tahan. Hal ini menunjukkan bahwa AF mampu mengimbas ketahanan planlet vanili terhadap penyakit layu Fusarium. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Arai dan Takeuchi (1993) yang menyatakan bahwa toksin murni AF dapat digunakan sebagai komponen seleksi karena adanya korelasi antara ketahanan terhadap toksin dengan ketahanan terhadap penyakit. Hasil penelitian ini juga mendukung pernyataan Agrios (2005) yang menyatakan bahwa ekspresi dari pengimbasan ketahanan adalah dengan menurunnya intensitas penyakit. Karakter planlet vanili yang khusus dan berhubungan dengan ketahanan terhadap Fov dapat ditinjau antara lain dari kadar fenol total dan aktivitas enzim peroksidase. Hasil analisis senyawa fenol disajikan pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Kadar fenol total (%) planlet vanili yang tidak diimbas (kontrol) dan diimbas asam fusarat (90, 100, dan 110 ppm) Perlakuan (ppm) Rata-rata kandungan fenol total (%) a 0 ppm 4,39 ± 0,02 b 90 ppm 5,34 ± 0,01 c 100 ppm 5,52 ± 0,02 d 110 ppm 5,87 ± 0,01 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada satu kolom berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada derajat kepercayaan 95%, setelah x+1 ditransformasikan ke √ 275 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda K Joglosemar 2014 Aktivitas PO (Unit/mg/menit) Berdasarkan Tabel 3, 3, terlihat jelas peningkatan kadar fenol total dari sekitar 4,39% pada kontrol, kontrol, meningkat menjadi 5,34% pada cekaman AF 90 ppm, diikuti 5,52% pada 100 ppm dan 5,87% pada 110 ppm. Hal ini membuktikan bahwa akibat semakin tinggi konsentrasi cekaman AF maka makin meningkat pula kandungan fenol total yang dihasilkan. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2005) pada ada tanaman chickpea yang diinfeksi dengan Fusarium oxysporum f.sp. ciceris. ciceris. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa terjadi peningkatkan fenol total sekitar 16-17%. 16 17%. Kadar fenol total juga dilaporkan oleh Harni et al. (2012), pada tanaman nilam yang diinfeksi oleh bakteri endofit dan nematoda menunjukkan bahwa ada indikasi peningkatan peningkatan kandungan fenol oleh Achromobacter xylosoxidans. xylosoxidans Aktivitas ktivitas enzim peroksidase sebagai suatu mekanisme ketahanan planlet vanili terhadap Fov telah diukur dengan menggunakan metode Saravanan et. al. (2004) pada planlet vanili yang diimbas asam fusarat fusarat (konsentrasi 90 ppm, 100 ppm, dan 110 ppm), dan kontrol. Hasil penelitian yang berupa histogram dari aktivitas enzim peroksidase disajikan pada Gambar Gamb 1. 0,5 0,4 0,3 0,2 Aktivitas Peroksidase 0,1 0 0 90 100 110 Konsentrasi Asam Fusarat (ppm) Gambar 1. Aktivitas enzim peroksidase planlet vanili yang tidak diimbas (kontrol) dan diimbas asam fusarat (90, 100, dan 110 ppm), umur 12 minggu Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat diketahui adanya indikasi peningkatan aktivitas enzim peroksidase yang signifikan dari tiga konsentrasi cekaman AF yang berbeda. Pada konsentrasi AF 90 ppm menghasilkan aktivitas peroksidase 0,25 U/mg/min, konsentrasi 100 ppm menyebabkan aktivitas peroksidase 0,34 U/mg/min dan pada konsentrasi AF 110 ppm menghasilkan 0,36 U/mg/min. g/min. Pada kontrol, aktivitas peroksidase sebesar 0,12 U/mg/min. Satu unit aktivitas enzim adalah perubahan absorbansi pada spektrofotometer pada satu mg protein per menit. Hasil penelitian tersebut membuktikan adanya peningkatan konsentrasi cekaman AF ak akan meningkatkan pula aktivitas enzim peroksidase. 276 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jang et al. (2004) yang meneliti aktivitas enzim peroksidase pada ketela rambat (Ipomoea batatas) setelah diinfeksi dengan bakteri Pectobacterium chrysanthemi dengan lama waktu yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa aktivitas peroksidase meningkat 3-4 kali. Aktivitas enzim peroksidase juga pernah diteliti oleh Popa et al. (2009), pada transforman Eustoma grandiflorum yang diimbas strain Agrobacterium rhizogenes yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas peroksidase 1-2,5 kali pada genotip Heidi pink, 1-2 kali pada Heidi blue dan 3,1-10,8 kali pada Echo white. Hadi (2003), menyatakan bahwa tanaman karet yang tahan terhadap Corynespora sp. mempunyai aktivitas enzim peroksidase yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di muka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut. 1. Secara in vitro, terdapat 17,14% galur (90 ppm), 12,00% galur (100 ppm), dan 10,59% galur (110 ppm) planlet vanili tahan Fov. 2. Semakin meningkat konsentrasi AF maka meningkat pula kandungan fenol total dan aktivitas enzim peroksidase pada planlet vanili tahan Fov. Daftar pustaka Aberouman AA & Deokule SS. 2008. Comparison of Phenolic Compounds of Some Edible Plants of Iran and India. Pakistan Journal of Nutrition 7: 582-585. Agrawal AA, Tuzun S, & Bent E. 1999. Induced Plant Defenses Againts Phatogens and Herbivores, Biochemistry, Ecology, and Agriculture. APS Press, St. Paul, Minnesota. Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Academic Press, New York. Arai M & Takeuchi M. 1993. Influence of Fusarium Wilt toxin(s) on Carnation cell. Plant Cells, Tissue and Organ Culture : 287 – 293. Bouizgarne, B, Bouteau HEM, Frankart C, Reboutier D, Madiona K, Pennarun AM, Monestiez M, Trouverie J, Amiar Z, Briand J, Brault M, Rona JP, Ouhdouch Y, & Hadrami EI. 2006. Early Physiological Responses of Arabidopsis thaliana Cells to Fusaric Acid : Toxic and Signallling Effects. New Phytologist 169: 209 – 218. Del-Rio JA, Baidez AG, Botia JM, & Orturio A. 2003. Enhancement of Phenolic Compounds in Olive Plants (Olea europaea L.) and Their Influence on Resistance Against Phytophthora sp. Food Chemistry 83:75-78. Edreva A. 2005. Pathogenesis-Related Protein: Research Progress in The Last 15 Years. Gen. Appl. Plant Physiology 31 : 105-124. 277 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hadi H. 2003. Analisis Genetik Sifat Ketahanan Tanaman Karet Terhadap Penyakit Gugur Daun Corynespora. Institut Pertanian Bogor. Disertasi. Hadipoentyanti E, Ruhnayat A, Udarno L. 2007. Booklet Teknologi Unggulan Tanaman Perkebunan: Vanili. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 21 p. Hadisutrisno B. 2004. Taktik dan Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Gangguan Penyakit Layu Fusarium. Makalah Simposium Nasional I di Purwokerto, 2-3 Maret. Harni R, Supramana, Sinaga MS, Giyanto, & Supriadi. 2012. Mekanisme Bakteri Endofit mengendalikan nematoda Pratylenchus brachyurus Pada Tanaman Nilam. Bul. Littro 23 : 102-114. He CY, Hsiang T, & Wolyn DJ. 2002. Induction of Systemic Disease Resistance and Pathogen Defence Responses in Asparagus officinalis Inoculated with Pathogenic Strains of Fusarium oxysporum. Plant Pathology 51: 225-230. Jang IC, Park SY, Kim KY, Kwon SY, Kim JG, & Kwak SS. 2004. Differential Expression of 10 Sweetpotato Peroxidase Genes in Response to Bacterial Pathogen, Pectobacterium chrysanthemi. Plant Physiology and Biochemistry 42: 451-455. Jayasankar S, Li Z, & Gray DJ. 2000. In Vitro Selection of Vitis vinifera ‘Chardonnay’ with Elsinoe ampelina Culture Filtrate is Accompanied by Fungal Resistance and Enhanced Secretion of Chitinase. Planta. 211: 200-208. Jayasekhar M, Manonmani K, & Justin CGL. 2008. Development of Integrated Biocontrol Strategy for The Management of Stem Rot Disease (Fusarium oxysporum f.sp. vanillae) of Vanilla. Agric. Sci. Digest. 28 : 109-111. Khan IA, Alam SS, Haq A, & Jabbar A. 2005. Biochemistry of Resistance in Chicpea Against Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f. sp. ciceris. Pak. J. Bot. 37: 97-104. Landa BB, Cachinero-Diaz JM, Lemanceu P, Jimenez-Diaz RM, & Alabouvette C, 2002. Effect of Fusaric Acid and Phytoanticipins on Growth of Rhizobacteria and Fusarium oxysporum. Canadian Journal of Microbiology 48: 971-985. Lea P. & Leegood RC. 1999. Plant Biochemistry and Molecular Biology. 2nd ed. John Wiley & Sons Ltd. Chichester. 364 p. Park CJ, An JM, Shin YC, Kim KJ, Lee BJ, & Paek KH. 2004. Molecular Characterization of Pepper Germin-Like Protein as The Novel PR-16 Family of Pathogenesis-Related Proteins Isolated During The resistance response to Viral and Bacterial Infection. Planta 219 :797-806. Popa G, Brezeanu A, Cornea CP, & Boe JP. 2009. Peroxidase Activity in Eustoma grandiflorum Plants Transformed by Agrobacterium rhizogenes. Rom. J. Biol.–Plant Biol 54:41-46. 278 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Saravanan T, Bhaskaran R, & Muthusamy M. 2004. Pseudomonas fluorescens Induced Enzymological Changes in Banana Roots (cv. Rasthali) against Fusarium Wilt Disease. Plant Pathology Journal 3: 72-80. Svabova L & Lebeda A. 2005. In vitro Selection for Improved Plant Resistance to Toxin-Producing Pathogens. J. Phytopathol. 153: 52-64. Vidhyasekaran P. 1997. Fungal Pathogenesis in Plants and Crops, Molecular Biology and Host Defense Mechanism. Marcel Dekker. New York. Wibowo A. 2002. Pengendalian Penyakit Layu Fusarium pada Pisang dengan Menggunakan Isolat Nonpatogenik Fusarium sp. Jurnal Fitopatologi Indonesia 6: 65-70. 279 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 EFFECT OF BINUCLEATE RHIZOCTONIA AND STEM ROT ( Fusarium oxysporum f.sp.vanillae ) OF VANILLA (Vanilla planifolia Andrews) AT ANDISOL SOIL Haryuni Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan Surakarta. Abstract This study aims to determine the vanilla plant resistance to stem rot pathogen that has been inoculated with F. oxysporum f.sp.vanillae with the fungi binucleate Rhizoctonia at Andisol soil. The study was conducted at the Faculty of Agriculture, Tunas Pembangunan University at Surakarta and the village of Jambu, Bedono Semarang. The study was designed with a single randomized block design , consisting of 2 factors. The first factor was binucleate Rhizoctonia inoculation (M ) there were 3 levels: without inoculation of binucleat Rhizoctonia (M0); inoculated binucleate Rhizoctonia 10 g (M1 ), and inoculated binucleate Rhizoctonia 25 g (M2). The second factor was F. oxysporum f.sp.vanillae inoculation treatments (F) there were 4 levels, without inoculated of F. oxysporum f.sp.vanillae (F0), inoculated with F. oxysporum f.sp.vanillae 14 days inoculation of binucleate Rhizoctonia (F1 ), inoculated fungus F. oxysporum f.sp.vanillae after 21 days inoculated fungi binucleate Rhizoctonia (F2), and inoculated fungi of F. oxysporum f.sp.vanillae after 28 days inoculated fungi binucleate Rhizoctonia (F3 ). The results showed that Andisol soil binucleate Rhizoctonia inoculated in plants as mycorrhizal enhances and vanilla growth ( plant height , fresh weight plants, dry weight plants, root fresh weight, root dry weight, number of leaves, root volume), inhibited development of F. oxysporum f.sp.vanillae which indicated by an increase in asam amino, phosphor in the soil , phosphor of root tissue , but decreased of proline and glucose. Key words: andisol soil, Fusarium oxysporum f.sp.vanillae, binucleate Rhizoctonia, mycorrhizae. Pendahuluan Indonesia merupakan produsen vanili terbesar pada tahun 2007-2011. Kenaikan produksi pada tahun 2007 mencapai 3,177 ton dan pada tahun 2011 mencapai 3.500 ton. Meskipun mengalami kenaikan namun relatif kecil yaitu 10% dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2010, produksi vanili Indonesia menurun drastis sebesar 22% dari tahun sebelumnya yaitu dari 3.341 ton menjadi 2.600 ton. Hal ini dikarenakan banyak petani yang gagal panen akibat serangan penyakit 280 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 busuk batang serta menurunnya minat petani untuk menanam vanili karena harga vanili di pasaran yang tidak stabil dan cenderung menurun (Nuzula, 2013). Luas areal penanaman vanili di Indonesia adalah 15.937 ha sebagian besar kurang produktif penyebabnya adalah serangan jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillae yang menyebabkan penyakit busuk batang/BBV (Ruhnayat, 2004). Lebih dari 80 % tanaman vanili di Indonesia terinfeksi BBV. Tingkat kematian mencapai 50-100 % dan mengurangi umur produksi dari 10 kali panen menjadi dua kali bahkan tidak dapat berproduksi (Hadisutrisno, 2005, Hadipoentyanti et al., 2006). Tanaman vanili dikembangbiakkan secara generatif dan vegetatif. bibit berasal dari benih dan setek yang diambil dari sulur yang mata tunasnya belum pernah berbuah. Keuntungan dari setek tersebut adalah tanaman akan berbuah 1 – 2 tahun setelah tanam. Teknik tersebut memerlukan bahan tanam yang sehat dan tahan terhadap pathogen busuk batang (BBV). Jamur patogen BBV memiliki struktur bertahan berupa klamidospora, bertahan sebagai saprofit selama 2-4 tahun di dalam tanah dan tergolong air borne pathogen dan soil borne pathogen (Semangun, 2001). Penggunaan Rhizoctonia binukleat sebagai orchid mikorisa memerlukan data uji simbiosis dan interaksinya dengan tanaman dan patogen. Adanya interaksi antara agensia pengendali hayati dengan patogen dapat diketahui melalui kemampuan akivitas metabolit yang dihasilkan dari simbiosis kedua jamur tersebut. Menurut Haryuni (2012), peranan penting mikoriza bagi tanaman karena dapat membantu pertumbuhan tanaman efektif dalam penyerapan unsur hara makro, mikro dan meningkatkan ketahanan terhadap patogen sehingga tanaman dapat hidup pada kondisi ekstrim. BBV diakibatkan patogen terbawa tanah, media tumbuh kurang tepat, dan ketahanan tanaman rendah.. Pengendalian hayati yang sudah dilakukan dengan jamur antagonis menunjukkan tingkat ketahanan menurun, jamur Rhizoctonia binukleat sebagai mikorisa diharapkan mampu mengendalikan patogen akar. Sehingga menjaga kelestarian lingkungan hidup, aman bagi kesehatan manusia dan menghemat devisa negara dengan mengurangi penggunaan pestisida. Kualitas bahan tanam dan pemilihan media pertumbuhan bibit diharapkan mampu memberikan kontribusi keberhasilan tanaman, bertambahnya umur produksi, meningkatkan kualitas hasil dan produktifitasnya Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi masalah BBV dengan cara peningkatan ketahanan vanili terhadap penyakit busuk batang yang melalui inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat yang berperan sebagai mikoriza pada jenis tanah Andisol 281 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Bahan dan metode Penelitian ini dilaksanakan di desa Bedono, Jambu Kabupaten Semarang dan di Laboratorium Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan Surakarta pada tanggal 14 Maret sampai dengan 25 September 2013, pada ketinggian 200 meter diatas permukaan laut. Bahan yang digunakan benih vanili, jamur Rhizoctonia binukleat, jamur F. oxysporum f.sp. vanillae, polibag ukuran (12 x 15 cm), timbangan, paranet, penggaris, tali, dan bambu. Jamur Rhizoctonia binukleat diperbanyak dari medium seleksi terpilih (jagung tumbuk). Hifa yang terbentuk digunakan sebagai penular dalam penelitian. Jumlah penular yang digunakan untuk menjamin terbentuknya asosiasi Rhizoctonia binukleat terdiri atas tanpa diinokulasi (M0), diinokulasi 10g (M1), dan 25 g (M2), inokulasi jamur F. oxysporum f.sp. vanillae berbeda-beda yaitu tanpa inokulasi (F0), diinokulasi 14 hari setelah inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat (F1) diinokulasi 21 setelah inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat (F2), diinokulasi 21 setelah inokulasi jamur R. binukleat (F2) diinokulasi 28 setelah inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat (F3). Dengan jenis tanah Andisol benih yang digunakan berumur 4 bulan berasal dari kultur jaringan. Penelitian diakhiri setelah berumur 5 bulan dari saat inokulasi pertama. Dengan variabel tersebut di atas unit-unit penelitian disusun dengan rancangan acak lengkap. Tiap unit penelitian terdiri dari 10 bibit vanili yang ditanam dalam pot plastik berisi 500 g medium tanah. Sedangkan unit sampling terdiri dari keseluruhan individu dalam unit penelitian. Pengamatan meliputi tinggi bibit, jumlah daun, diameter bibit, bobot segar bibit, bobot kering bibit, bobot basah akar, bobot kering akar, volume akar, kadar prolin, daun, kadar glukosa, kadar protein, kadar fosfor jaringan tanaman. Data yang diperoleh diamati secara visual, dan dianalisis dengan sidik ragam (Anova), dan dilanjutkan dengan Uji Duncan (DMRT) dengan taraf nyata 5 %. Hasil dan pembahasan Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan Fusarium oxysporum f.sp. vanilllae pada vanili berperan sebagai mikoriza dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman baik di tanah andisol. A. Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi Fusarium oxysporum f.sp. vanilllae terhadap pertumbuhan tanaman vanili pada tanah Andisol Tabel 1. menunjukkan bahwa tinggi tanaman dipengaruhi oleh jenis tanah, inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi F.oxysporum f.sp. vanilllae. Hasil analisis menunjukkan terjadi interaksi yang nyata sampai sangat nyata pada taraf 282 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 uji 5% pada perlakuan inokulasi Rhizoctonia binukleat, dan F. oxysporyum f.sp. vanillae terhadap parameter tinggi tanaman, bobot segar benih, bobot kering benih, bobot segar akar, bobot kering akar, dan volume akar kecuali pada perlakuan jumlah daun, daun diameter batang menunjukkan berbeda tidak nyata. Inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat pada benih vanili menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan, hal ini sesuai dengan pendapat Haryuni (2012) bahwa jamur Rhizoctonia binukleat berperan sebagai mikoriza ditunjukkan dengan adanya peloton yang terdapat di dalam jaringan akar. Tanah sangat penting bagi pertumbuhan, perkembangan, dan hasil tanaman dipengarui oleh pengelolaannya. Tanah andisol kaya akan hara tetapi karena berada di daerah pegunungan dengan kemiringan tertentu sehingga akan berakibat terhadap menurunnya tingkat kesuburan apabila terjadi kesalahan pemilihan komoditas tanaman. Hasil analisis yang tersaji pada tabel 1. menunjukkan berbeda nyata terhadap tinggi tanaman pada interaksi antara inokulasi Rhizoctonia binukleat dan F. oxysporyum f.sp. vanillae. Hal ini karena hara dan air yang diperoleh tanaman berasal dari tanah yang diperoleh dari inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat, jamur tersebut di dalam perakaran membentuk peloton (Haryuni, 2012) yang mampu menyimpan dan menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Usaha untuk meningkatkan kesuburan tanah dapat dilakukan melalui aplikasi mikoriza yang berfungsi sebagai bahan organik pada transport unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro di dalam tanah ke akar tanaman. Selain itu mikoriza juga menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan mikroba tanah sehingga dapat menjaga kelangsungan hidup mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman, salah satunya adalah sebagai pengurai bahan organik. Keberadaan mikroba pengurai bahan organik, dapat berfungsi sebagai perekat yang mengikat butir-butir tanah menjadi butiran yang lebih besar, sehingga hara tanah dalam bentuk tersedia (Dearnaley, 2007; Haryuni & Supriyadi, 2008; Lingga & Marsono cit. Cepy & Wangiyana, 2011; Haryuni, 2012). Tabel 1. Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi Fusarium oxysporum f.sp. vanilllae terhadap pertumbuhan tanaman pada tanah Andisol M0F0 Tinggi tanaman (cm) 31.67 cde Bobot segar benih(g) 21.10 ab Parameter Pengamatan bobot bobot kering segar benih (g) akar (g) 10.80 ab 3.80 a bobot kering akar (g) 1.93 ab M0F1 35.63 ef 22.10 ab 11.17 abc 1.87 ab Perlakuan 3.83 a volume akar (g) 4.17 abcd 3.67 abcd jumlah daun (g) 8.67 a diameter batang (g) 0,46 a 8.33 a 0,44 a 283 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 M0F2 33.90 def 23.73 abc 3.90 a 1.80 ab 17.63 a 12.07 abcd 8.83 a M0F3 29.33 bcd 3.47 a 1.67 a M1F0 33.00 de 44.10 ij 22.10 ij 3.50 def M1F1 43.60 gh 31.93 def 15.63 cdef 7.10 cdefg 6.27 ab M1F2 36.33 df 3.90 efg 7.83 efgh M2F0 30.50 abcd 49.27 h 17.00 efgh 18.40 fghi 6.67 bc M1F3 33.17 defg 37.17 fgh 48.43 j 24.57 j 8.50 h 4.17 efgh 5.40 i M2F1 39.73 fg 17.13 fgh 32.10 cde 16.87 efg 7.53 defgh 7.73 gh 3.57 def M2F2 36.40 efgh 32.10 def M2F3 27.83 bcd 41.17 ghij 20.57 ghij 8.13 a 4.70 ghi 3.33 cde 2.60 bc 3.33 abcd 5.00 bcde 5.27 cde 3.00 abcd 3.17 abcd 5.50 de 5.70 de 3.33 abcd 3.67 abcd 6.83 e 9.00 a 0,45 a 8.33 a 0,43 a 16.67 a 10.33 a 11.67 a 12.33 a 15.33 a 12.67 a 12.67 a 15.00 a 0,49 a 0,41 a 0,42 a 0,42 a 0,46 a 0,42 a 0,41 a 0,42 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom adalah berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%. M0= tanpa Rhizoctonia binukleat M1= diinokulasi Rhizoctonia binukleat 15 g M2= diinokulasi Rhizoctonia binukleat 25 g, F0=tanpa diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, F1= diinokulasi F.oxysporum f.sp. vanillae 14 hari setelah diinokulasi Rhizoctonia. binukleat, F2= diinokulasi F. f.sp. vanillae 21 hari setelah diinokulasi Rhizoctonia binukleat, F3= diinokulasi F.oxysporum f.sp. vanillea 28 hari setelah diinokulasi Rhizoctonia binukleat Keberadaan mikoriza pada akar tanaman dapat meningkatkan penyerapan hara tanaman (terutama yang immobile) dan air, memacu pertumbuhan akar tanaman dari hormon tumbuh yang dihasilkan, melindungi tanaman dari keracunan logam berat, dan meningkatkan ketahanan tanaman dari patogen. Adanya asosiasi simbiotik ini mengakibatkan pertumbuhan dan hasil tanaman meningkat. Keadaan tanah sangat berpengaruh terhadap daya eksplorasi akar, bahkan kemungkinan terjadi kerusakan. Daya eksplorasi akar terhambat, maka akan mengurangi total luas permukaan akar yang dapat berhubungan langsung dengan tanah. Didukung pendapat dari Lingga & Marsono cit.Cepy & Wangiyana, (2011) sirkulasi udara pada tanah yang berjalan sangat lambat, menyebabkan akar tidak mendapatkan oksigen yang cukup sehingga respirasi akar berjalan tidak optimal. Dengan kondisi seperti ini akar tidak dapat berkembang dengan baik. 284 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Akar merupakan organ vegetatif utama yang memasok air, unsur hara serta bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Jika akar tidak berkembang dengan baik maka kemampuan akar dalam menyerap air dan unsur hara akan menurun, sehingga menyebabkan tanaman tidak akan mendapat air dan unsur hara secara optimal (Gardner et al. 1991). Peran mikoriza menambah permukaan akar melalui pembentukan hifa ekternalnya, sehingga jangkaun serapan terhadap hara dan air meningkat. Hifa eksternal pada mikoriza menyebabkan penyerapan hara terutama fosfor menjadi lebih besar dibanding dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Peningkatan serapan dikarenakan miseliumnya meningkatkan area permukaan serapan hara tanah oleh tanaman. Sesuai pendapat dari Kumalawati (2006) bahwa pertumbuhan tanaman vanili dapat terhambat bahkan mengalami gangguan jika terinfeksi penyakit busuk batang vanili (BBV). Jamur Rhizoctonia binukleat termasuk ke dalam golongan Plant Growth Promoting Fungi ( PGPF) sehingga selain menyimpan air juga mengangkut hara dari tanah ke jaringan tanaman, melalui permukaan akar pada bagiani sel-sel epidermis dan rambut akar (modifikasi sel epidermis dan hifa mikoriza). Kemudian diangkut ke dalam pembuluh xilem melalui proses osmosis dan dibawa ke seluruh jaringan tanaman (Kristiansen, 2001; Krishna, 2005; Gronberg et al, 2006). B. Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi Fusarium oxysporum f.sp. vanilllae terhadap pertumbuhan tanaman vanili pada tanah Andiso Tabel 2. Pengaruh inokulasi Rhizoctonia binukleat dan aplikasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae terhadap pembentukan protein, glukosa, prolin, P tersedia tanah, P jaringan akar tanaman pada tanah Andisol Perlakuan Glukosa (%) 3.32 de 3.11 de 0.54 0.84 ab cd M0F2 Protein (%) 4.76 gh 10.4 k 5 2.00 bc 3.00 d 2.58 j M0F3 1.83 bc 3.07 d 2.14 i M1F0 0.95 a 1.60 a 0.93 cd e M0F0 M0F1 Prolin P Tersedia Tanah 6.33 a 6.95 ab c 7.26 bc d 7.16 ab c 8.03 de P jaringan akar 0.95 a 1.00 a 1.50 b 1.83 bc 2.00 c 285 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 M1F1 M1F2 2.16 3.16 bcd ef 1.97 1.70 abc 4.23 ab 0.93 M1F3 M2F0 5.79 1.00 ij a 1.44 2.30 a c 0.60 1.10 m cd e b efg 9.43 8.37 f e 2.15 2.16 c c 6.58 7.13 ab 2.82 d ab 3.16 de c M2F1 3.31 ef 1.97 abc 1.20 fgh 34.42 m 3.31 e M2F2 2.15 bcd 1.41 a 1.38 h 7.58 cd 3.31 e e M2F3 1.50 ab 2.26 c 0.33 a 7.08 ab 3.49 e c Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom adalah berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%. M0= tanpa Rhizoctonia binukleat M1= diinokulasi Rhizoctonia binukleat 15 g/polibag, M2= diinokulasi Rhizoctonia binukleat 25 g/polibag, F0= tanpa diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, F1= diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae 14 hari setelah diinokulasi Rhizoctonia binukleat, F2= diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae 21 hari setelah diinokulasi Rhizoctonia binukleat, F3= diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae 28 hari setelah diinokulasi Rhizoctonia binukleat Tabel 2. menunjukkan bahwa kadar protein yang terdapat di perakaran vanili berbeda sangat nyata pada perlakuan inokulasi Rhizoctonia binukleat mikoriza, dan inokulasi Fusarium oxysporum f.sp. vanillae. Hara yang tersedia di dalam tanah merupakan hara yang dapat dimanfaatkan oleh akar tanaman melalui hifa eksternal mikoriza (Haryuni, 2012). Didukung pendapat dari Utomo cit. Nurhayati (2009) yang menyatakan bahwa kemampuan tanah menyimpan air tersedia merupakan fungsi dari tekstur dan struktur tanah. Defisiensi hara tanah menghambat pembelahan sel dan pertumbuhan tanaman. Sehingga terjadi defisiensi senyawa protein dan meningkatkan nisbah C/N, dan peningkatan kandungan selulosa dan lignin akibat penumpukan karbohidrat. Hal tersebut menyebabkan tanaman kekurangan nitrogen, kering, tidak sekulen, dan sudut daun terhadap batang sangat runcing (Kirkham, 1990; Taiz & Zeiger, 2002; Purwanto, 2003; Hong Bo et al., 2008). Perlakuan yang diinokulasi dengan Rhizoctonia binukleat memperlihatkan nilai protein total yang lebih tinggi dari tanaman yang tidak bermikoriza. Hal ini menujukkan bahwa tanaman vanili telah mengalami perubahan metabolisme hara untuk membentuk komponen penyusun tubuhnya termasuk protein. Tanaman 286 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 yang diinokulasi dengan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae menunjukkan pembentukan protein dan mengalami penurunan dengan peningkatan saat inokulasi F .oxysporum f.sp. vanillae (Tabel 2.). Agrios (1998) menyatakan bahwa sel dan jaringan yang dirusak dari tumbuhan sakit biasanya menjadi lemah atau hancur oleh agensia penyebab penyakit. Kemampuan sel dan jaringan dalam melaksanakan fungsi-fungsi fisiologis yang normal menjadi menurun atau terhenti sama sekali, dan akibatnya pertumbuhan tanaman terganggu atau mati. Ketahanan tanaman terhadap serangan patogen lebih tinngi pada tanaman yang diinokulasi Rhizoctonia binukleat daripada yang tidak diinokulasi, hal ini disebabkan karena perubahan morfologi kemudian terjadi penebalan dinding sel melalui proses lignifikasi dan produksi polisakarida, sehingga menyebabkan sistem vasculer yang lebih kuat, aliran nutrient mengakibatkan kekuatan yang lebih tinggi pada tanaman bermikoriza dan mengurangi infeksi patogen (Suhardi, 1990). Glukosa yang terbentuk pada tanaman menunjukkan berbeda sangat nyata terhadap jenis inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat dan inokulasi F. oxysporum f.sp. vanillae (Tabel 2.). Penelitian ini menunjukkan bahwa pengubahan amilum menjadi glukosa dipengaruhi oleh jenis tanah, faktor lingkungan yaitu cahaya dan suhu dimana tanaman tersebut ditanam. Lokasi penelitian mempunyai ketinggian 800 m diatas permukaan laut sehingga penyinaran matahari lebih rendah dan pembentukan glukosa lebih lambat. Inokulasi jamur Rhizoctonia binukleat mampu memacu pembentukan glukosa dan cenderung menurun dengan selang waktu inokulasi jamur F.oxysporum f.sp. vanilla. Hifa eksternal jamur mikoriza mampu menyerap hara di dalam tanah yang digunakan sebagai bahan metabolisme tanaman yang diubah menjadi glukosa (Kasiamdari, 2000; Kabirun, 2004; Haryuni, 2012). Prolin merupakan salah satu senyawa yang ditunjukkan tanaman karena mengalami kekurangan air. Kekurangan air merupakan salah satu pemacu menurunnya ketahanan tanaman. Tabel 2. Menunjukkan bahwa kadar prolin berbeda sangat nyata, inokulasi patogen F. oxysporum f.sp. vanilllae (F) meningkatkan kadar prolin tanan. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan air pada proses metabolism terhambat dengan keberadaan patogen di dalam tanaman. Menurut Meyer & Boyer cit. Prihastanti (2013), tanaman yang berada pada kondisi kurang air akan memberikan respon tertentu baik secara morfologis, anatomis maupun fisiologis, dimana terdapat dua mekanisme utama yang mungkin terjadi pada tanaman, yaitu: (a) tanaman berusaha menghindari cekaman, baik dengan cara melakukan perubahan struktur morfologi dan anatomi, maupun dengan meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan cara mengatur laju transpirasi, dan (b) meningkatkan toleransi terhadap cekaman kekeringan melalui perubahan kimia sel, baik dalam bentuk peningkatan akumulasi senyawa terlarut 287 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 yang berperan sebagai pengatur tekanan osmotik sel (osmotic adjustment), dengan mengakumulasi senyawa kimia, proline dan gula. Pasokan air yang tidak mencukupi pada tanaman berakibat terjadinya perubahan-perubahan fisiologi sebagai bentuk adaptasi. Salah satu bentuk adaptasi tersebut adalah mempertahankan tekanan turgor. Metabolisme tanaman terjadi perubahan pada perubahan kimia sel. Proline bebas sering terakumulasi selama tanaman mengalami kekurangan air (Aspinall & Paleg 1981). Mikoriza membantu meningkatkan penyerapan air dan unsur hara terutama P, pembentukan vitamin dan zat pengatur tumbuh (sitokinin dan giberelin), Meningkatkan produksi hormon auksin, menjamin terselanggaranya proses biogeokemis, dan mengeluarkan enzim Phosphatase yang mampu melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik sehingga tersedia bagi tanaman. Infeksi mikoriza diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena adanya peningkatan dalam pengambilan nutrien (Khairul, 2001; Hapsoh, 2008; Jayanegara, 2011). Pengambilan nitrogen, phospor, dan potasium dibatasi oleh tingkat difusi dari masing-masing nutrien di dalam tanah. Namun dengan adanya mikoriza dapat meningkatkan pengambilan nutrien melalui akar karena bidang penyerapan oleh hifa mikoriza yang lebih luas, sehingga pertumbuhan tanaman yang diinokulasi mikoriza akan lebih baik daripada tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza. Fosfor (P) tersedia pada tanah menunjukkan berbeda sangat nyata. Pada tanah Andisol lebih sering terkena hujan sehingga kecukupan air tersebut sebagian melarutkan kadar P tanah sebelum dimanfaatkan oleh akar tanaman. Inokulasi mikoriza meningkatkan ketersediaan P dalam tanah yang dibutuhkan tanaman karena mikoriza dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan fosfat dengan cara mempengaruhi jalinan hifa eksternal yang diproduksi secara intensif sehingga tanaman mampu meningkatkan penyerapan unsur hara dan air (Sieverding,1991) dan memodifikasi fisiologis akar sehingga dapat mengeksresikan asam-asam organik dan fosfatase asam ke dalam tanah (Abbott et al., cit. Kabirun, 2004). Fosfatase asam adalah suatu enzim yang dapat mamacu proses mineralisasi P organik dengan mengkatalisis pelepasan P dari kompleks organik menjadi kompleks anorganik. Inokulasi F.oxysporum f.sp. vanilllae mempengaruhi P tersedia dimana mengalami penurunan pada peningkatan waktu inokulasi. Hal tersebut karena P yang diambil dari dalam tanah sebagian dimanfaatkan oleh jamur patogen untuk berkembang di dalam tubuh tanaman inang. Interaksi mikoriza dengan sejumlah organisme tanah berkembang melalui populasi spora (predasi, penyebaran dan perkecambahan), kolonisasi akar dan pertumbuhan hifa eksternal (Baon, 1995). Fosfor (P) jaringan akar menunjukkan tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata terhadap inokulasi F.oxysporum f.sp. vanilllae (Tabel 2). P jaringan akar adalah P 288 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 yang mampu diserap dan disimpan di dalam perakaran tanaman (Haryuni, 2012). Peningkatan penyerapan P pada tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza disebabkan oleh hifa eksternal yang berkembang di dalam tanah sehingga dapat memperluas jangkauan akar untuk memperoleh hara terutama P dalam tanah. Jangkauan akar tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza meningkat 200-300 kali lebih luas dibandingkan tanpa mikoriza. Asosiasi tersebut meningkatkan efisiensi pemupukan P sehingga dapat dikurangi kebutuhannya (Kabirun, 2012). Mikoriza melalui hifa eksternalnya mengambil P tersedia di dalam tanah kemudian disimpan di dalam perakaran (Haryuni, 2012). Pada budidaya pertanian, mikoriza berperan sebagai mikrobia antagonis terhadap patogen terbawa tanah dan nematoda dengan menghasilkan antibiotik, mempengaruhi sporulasi patogen, bersaing untuk mendapatkan tempat infeksi dan substrat, membentuk lignin, mendorong pembentukan fitoaleksin, menginduksi pembentukan kitinase dan mempengaruhi siklus hidup nematod (Kabirun, 2012). Hal tersebut yang menyebabkan tanaman yang bermikoriza mempunyai ketahanan terhadap patogen yang lebih tinggi dibandingkan tanpa mikoriza (Haryuni, 2012). Selain itu mikoriza juga berperanan sangat penting pada agregasi tanah dengan menghasilkan glokoprotein glomalin dan hifa eksternal.Bahan tersebut dapat menyatukan mikroagregat tanah menjadi makroagregat yang stabil. Pembentukan agregat tanah berfungsi mengendalikan erosi tanah terutama di tanah marginal (Kabirun, 2012). Kasiamdari (2000) menyebutkan Rhizoctonia anggrek merupakan mikoriza anggrekan yaitu mikoriza endotrof yang jamurnya berada di dalam sel akar, tidak membentuk selimut di luar jaringan akar. Suatu tanda yang khas dari mikoriza anggrekan adalah terbentuknya banyak lilitan (bongkol) benang jamur yang berada dalam ruang sel akar. Karena sering kali berbentuk seperti bola kecil dengan lilitan yang disebut sebagai peloton. Peloton tidak bisa bertahan lama karena segera mengalami lisis. Kesimpulan 1. Rhizoctonia binukleat berperan sebagai mikoriza 2. Inokulasi mikoriza berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan 3. Inokulasi mikoriza mampu menghambat perkembangan jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae (BBV) ditunjukkan dengan peningkatan pada parameter pertumbuhan, protein, posfor dalam tanah, posfor jaringan akar, sedangkan kadar prolin dan kadar glukosa mengalami penurunan Ucapan terimakasih Terimakasih kepada Dirjen Dikti melalui Dana Penelitian Hibah Bersaing dengan nomor kontrak 010/K6/KL/SP/2013 Tanggal 16 Mei 2013. 289 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Daftar pustaka Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. 3d Ed. Academic. Press, San Diego, Ali Mustofa Nuzula. 2013. Permintaan Ekspor Vanili Indonesia Ke Amerika Serikat Dengan Pendekatan Error Correction Model. Skripsi. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Diakses tanggal 23 Agustus 2014. Aspinall D, Paleg LG. 1981. Proline accumulation: physiological aspects, in: L.Paleg, D. Aspinall (Eds.). The Physiology and Biochmistry of Drought Resistance in Plants, Academic Press, Sidney. Baon, J.B. 1995. Intraspesifik Variation in Growth Response of Theobromae Cacao L. Makalah disampaikan pada Second Conference in Agriculture Bioteknology.Jakarta. Cepy & Wangiyana.W. Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) Di Media Vertisol Dan Entisol Pada Berbagai Teknik Pengaturan Air Dan Jenis Pupuk. Crop Agro 4 : 49-56. Dearnaley, J.D. W. 2007. Further advances in orchid mycorrhizal research. Mycorrhiza 17: 475-486. Gardner, W.S., Herche, L.R., St. John, P.A. And Seitzinger,S.P., 1991. High Performance Liquid Chromatographic Determination Of 15NH4: [15NH4+15NH4] Ion Ratios In Seawater For Isotope Dilution Experiments. Anal. Chem. 63: 1838-1843. Grönberg, H., G. Kaparakis, & R. Sen. 2006. Binucleate Rhizoctonia (Ceratorhiza spp.) as non-mycorrhizal endophytes alter Pinus sylvestris L. seedling root architecture and affect growth of rooted cuttings. Scandinavian Journal of Forest Research 21: 450-457. Hadisutrisno B. 2005. Budidaya Vanili Tahan Busuk Batang. Penebar Swadaya. Jakarta. Hadipoentyanti, E., L. Udarno, D. Seswita, A. Ruhnayat, Sukarman, Emmyzar, M. Tombe, R. Rosman, Ma’mun, L. Mauludi, D. Manohara dan M. Rizal. 2006. Status Teknologi Tanaman Vanili. Prosiding Status Tek-nologi Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Parungkuda Sukabumi. 26 September 2006. Puslitbangbun. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. 58-80. Hapsoh. 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Budidaya Kedelai Di Lahan Kering. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Haryuni & Supriyadi. T., 2008. Effektivitas Mikorisa Endo Berbagai Jenis Tanah Terhadap Ketahanan Semi Jati (Tectona grandis) Akibat Jamur Fusarium sp. Jurnal Agrineca 8. : 5-9. 290 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Haryuni. 2012. Kajian Rhizoctonia binukleat sebagai mikoriza dan peranannya dalam meningkatkan Ketahanan bibit Vanili (Vanilla planifolia Andrews) terhadap Cekaman kekeringan. Universitas Gadjah Mada. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Hong-Bo, S., C. Li-Ye, C.A. Jaleel, Z. Chang-Xing. 2008. Water-deficit stressinduced anatomical changes in higher plants. C.R. Biologies 331:215- 225. Kabirun. 2004. Peranan Mikoriza Arbuskula pada Pertanian Berkelanjutan. Makalah Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Mikrobiologi pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Khairul, U. 2001. Pemanfaatan bioteknologi untuk meningkatkan produksi pertanian.<http://belimbingpaser.blogspot.com/2012/11/makalah-tanah-danpemupukan-pupuk.html.> Diakses 25 Juli 2014. Kirkham MB. 1990. Plant response to water deficits di dalam Stewart BA, Nielsen DR, editors. Irrigation of Agricultural Crops. Wisconsin: Madison hlm 323342. Kasiamdari, R.S. 2000. Binukleat Rhizoctonia isolate from mycorrhizal pot culturs: Its morphological characteristics and pathogenicity. Jurnal Biologi 2:615628. Krishna, K.R. 2005. Mycorrhizas A Molecular Analysis. Publishedby Science Publishers,Inc., NH, USA. 305 p. Kristiansen, K.A., D.L. Taylor., H.N. Rasmussens, & Rosendahl. 2001. Identification of mycorrhizal fungi from single pelotons of Dactylorhiza majalis (Orchidaceae) using single-strand conformation polymorphism and mitochondrial ribosomal large subunit DNA sequences. Journal Molecular Ecologys 10: 2089-2093. Kumalawati, Z. 2006. Ketahanan Bibit Vanili (Vanilla Planifolia Andrews) Terhadap Penyakit Busuk Batang (Fusarium Oxysporum F.Sp Vanillae) Yang Diaplikasi Mikoriza (Glomus Fasciculatus). Jurnal Agrisistem 2: 76-86. Jayanegara. C.M. 2011. Pengaruh Pemberian Mikoriza Vesikular Arbuskular (Mva) Dan Berbagai Dosis Pupuk Kompos Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench). Upny_ac.id. Diakses tgl 25 Desember 2013 [Skripsi]. Lingga, P. dan Marsono, 2000. Petunjuk Penggunaan Pupuk (edisi revisi). Penebar Swadaya. Jakarta. 150p. Prihastanti, E. 2013. Peranan Dan Pola Akumulasi Proline Tanaman Pada Adaptasi Cekaman Kekeringan. Seminar Nasional Pendidikan Biologi. Biologi, Sains, Lingkungan, Dan Pembelajarannya Menuju Pembangunan Karakter. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 417-420. 291 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Purwanto. E. 2003. Photosynthesis activity of soybean (Glycine max L.) under drought stress. Agrosains 5 Ruhnayat, A. 2004. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Bertanam Vanili Si Emas Hijau nan Wangi. Agromedia Pustaka, Jakarta. 51 hal. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta 754. Suhardi, 1990. Pedoman Kuliah Mikoriza V.A. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi UGM PAU-Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sieverding, E. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza management in tropical agroecosystem. Technical Cooperation. Federal Republik of Germany. Taiz, L., E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sinauer Associates Inc. Publisher.Sunderland, Massachusetts. 292 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGUJIAN KETAHANAN VARIETAS KOMERSIAL DAN GALUR HARAPAN CABAI MERAH TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum spp) SKALA LABORATORIUM Ineu Sulastrini, T.S Uhan dan R Kirana Balai Penelitian Tanaman Sayuran Email: [email protected] Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji ketahanan varietas/galur/asesi hasil para pemulia terhadap penyakit antraknos. Pengujian antraknos di laboratorium dilakukan terhadap 0537-1558, 0836-6729-1, 08366741-2, 0707-7212-B, 0707-7514-B, 0707-7540-B, 0707-7651-B, CO 4871, Jati Laba IV, Hot Beauty, Tit Super IV, TM 999, Keriting Cipanas, Branang, Gentari, Tanjung-1, Tanjung-2, Lembang-1dan Inko99. Isolat yang digunakan adalah hasil survai dari daerah Cirebon dan Subang yang merupakan sentra cabai merah. Hasil survey di sentra pertanaman cabai di Cirebon dan Subang, teridentifikasi cendawan P. capsici penyebab penyakit hawar Phytophthora sebanyak 60 sampai 62,50% dan cendawan Colletotrichum spp penyebab penyakit antraknos pada cabai sebesar 75,5 – 87,5%. Jenis spesies dari daerah Cirebon, didapat 100% C. acutatum, sedangkan dari daerah Subang teridentifikasi 3 spesies, yaitu C. acutatum sebanyak 54,17%, C. gloeosporioides 12,5% dan C. capsici 33,33%. Dari 19 asesi/galur/varietas yang diuji peka terhadap cendawan C. acutatum dan asesi no. 0836-6729-1, 0836-6741-2, 0707-7212-B dan CO 4871tahan terhadap cendawan C capsici di laboratorium. Kata kunci : antraknos, ketahanan, cabai Pendahuluan Cabai merupakan komoditas andalan bagi pelaku agribisnis dalam skala kecil maupun skala besar. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata produksi dalam 10 tahun terakhir mencapai 676827 ton/tahun yang merupakan komoditas nomor empat setelah kubis, kentang dan bawang merah (Anonim, 2008). Usaha tani cabai mempunyai risiko yang cukup tinggi karena demikian tingginya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang mampu menyebabkan kegagalan panen (Buxton, 1990). Untuk mengurangi kegagala panen, petani menggunakan pestisida secara intensif. Hasil penelitian Adiyoga et al. (1999) dan Soetiarso et al. (1999) menunjukkan bahwa penggunaan pestisida pada tingkat petani di Brebes sudah melebihi kebutuhan optimum tanaman, akibatnya biaya produksi meningkat dan budidaya bawang merah dan cabai merah tidak lagi efisien. 293 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 OPT utama pada cabai antara lain adalah serangan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum spp. Penyakit ini dapat menyerang seluruh bagian tanaman seperti batang, daun, biji dan buah cabai pada stadia hijau maupun merah. Pengendalian terhadap penyakit terbut paling banyak dilakukan petani adalah dengan penyemprotan menggunakan pestisida kimia, termasuk insektisida dan fungisida (Suhardi, 1991; Vos, 1994 dan Purwati, 1997). Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia antara lain munculnya patogen patotipe baru (Winarno et al., 1995). Salah satu pengendalian yang aman bagi lingkungan dan masyarakat adalah dengan menggunakan varietas tahan antraknosa. Balitsa terus mengembangkan varietas/galur/asesi baru yang tahan antraknosa disamping berpotensi hasil tinggi. Hasil dari para pemulia cabai perlu diuji ketahanannya terhadap antraknosa, sehingga dapat mengurangi penggunaan pestisida dan dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani serta aman bagi lingkungan dan manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji ketahanan varietas/galur/asesi hasil para pemulia terhadap penyakit antraknosa, sehingga diharapkan didapat 1 atau lebih varietas baru yang tahan/agak tahan antraknosa. Bahan dan metode Pengujian dilakukan di laboratorium Penyakit dan Rumah Kasa Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Waktu pelaksanaan dimulai pada bulan Juni sampai Nopember 2012. Varietas/galur/asesi cabai yang diuji terdapat 19, yaitu 0537-1558, 0836-6729-1, 0836-6741-2, 0707-7212-B, 0707-7514-B, 0707-7540-B, 0707-7651-B, CO 4871, Jati Laba IV, Hot Beauty, Tit Super IV, TM 999, Keriting Cipanas, Branang, Gentari, Tanjung-1, Tanjung-2, Lembang1dan Inko99. Masing-masing var/galur/asesi cabai ditanam dalam polibag di Rumah Kasa dengan jumlah tanaman cabai 5–10 tanaman/ perlakuan. Satu polibag ditanam satu tanaman cabai dengan media tanam campuran tanah dan pupuk kandang (1:1) yang telah diserilkan. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyemprotan insektisida Kelthane karena adanya serangan hama Thrips sp. dan tidak dilakukan peenyemprotan dengan fungisida. Penyiraman dan penyiangan dilakukan apabila diperlukan sedangkan pemupukan dilakukan setiap 10 hari sekali dengan cara disiramkan (10 g NPK/L air).Pengujian dilakukan pada buah stadia merah dengan 5 buah per perlakuan dan 3 ulangan, menggunakan metode AVRDC, 1998. Isolat yang digunakan adalah isolat hasil survai dari sentra produksi cabai Cirebon dan Subang. Evaluasi untuk perkembangan penyakit dilakukan dengan cara : Mengukur perkembangan lesion pada 5 hari setelah inokulasi. Apabila luas 294 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 nekrosis/lesio ≥4 mm pada tempat yang diinokulasi-injeksi, maka perkembangan penyakit dinyatakan positif. Insidensi penyakit antraknosa, dihitung dengan rumus : Kategori ketahanan : Tahan ( 0-20%); Toleran (20-50%) dan Peka (> 50%) Sebaiknya diikutsertakan varietas cabai merah yang tahan dan peka terhadap penyakit antraknosa. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter lesio pada buah cabai yang yang diinokulasi. Hasil dan pembahasan A. Pengumpulan isolat penebab antraknosa Survey dilakukan untuk mengumpulkan isolat penyebab antraknosa dari sentra pertanaman cabai merah di daerah Cirebon dan Subang. Sampel yang diduga terserang penyakit antraknosa dikumpulkan kemudian diidentifikasi dan dimurnikan di laboratorium Penyakit Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Jenis sampel yang didapat terdiri dari batang tanaman dan buah cabai. Dari sampel batang yang dikumpulkan di sentra cabai merah di Cirebon terdapat 62,50% teridentifikasi cendawan Phytophthora capsici penyebab penyakit hawar Phytophthora pada tanaman cabai dan 12,5% terserang penyakit antraknosa (Tabel 1.). Pada sampel buah cabai 87,5% teridentifikasi penyakit antraknosa dan 9,7 % positif terserang penyakit hawar Phytophthora. Sampel yang berhasil dikumpulkan dari daerah Subang teridentifikasi 60% cendawan P capsici pada sampel batang dan 12,5% pada sampel buah cabai merah. Cendawan Colletotrichum spp. pada sampel buah cabai merah teridentifikasi sebanyak 75,5% dan 8,33% terserang Alternaria spp. Gejala Alternaria secara visual hampir mirip dengan gejala C capsici salah satu penyebab penyakit antraknosa. Tabel 1. Status Penyakit pada tanaman cabai di Sentra Produksi Cirebon dan Subang. Subang (%) Cirebon (%) No. Jenis Penyakit Batang buah Batang buah Phytophthora capsici 1 62,5 9,7 60 12,5 Colletotrichum spp. 2 12,5 87,1 0 75,5 Alternaria sp 3 0 0 0 8,33 295 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Colletorichum spp pada buah Gejala Phytopthora capsici pada tanaman cabai cabai merah Gambar 1. Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai merah dan Phytopthora capsici pada tanaman cabai merah di lapangan. Hasil identifikasi secara morfologi pada sampel batang maupun buah cabai merah dari daerah Cirebon, didapat 100% Colletotrichum acutatum. Sedangkan dari daerah Subang teridentifikasi 3 spesies, yaitu C. acutatum sebanyak 54,17%, Colletotrchum gloeosporioides 12,5% dan Colletotrichum capsici 33,33% (Tabel 2.). Tabel 2. Jenis spesies Colletotrichum spp.yang teridentifikasi pada sampel. Cirebon (%) Subang (%) No. Jenis Penyakit Batang buah Batang buah C. acutatum 1 100 100 0 54,17 C. gloeosporioides 2 0 0 0 12,5 C. capsici 3 0 0 0 33,33 B. Uji ketahanan terhadap penyakit antraknosa Hasil identifikasi dan uji patogenisitas pada isolat antraknosa yang didapat dari hasil survai di sentra produksi cabai merah Cirebon dan Subang, maka didapat 2 isolat yang digunakan untuk pengujian ketahanan var/galur/asesi terhadap penyakit antraknosa, yaitu isolat C acutatum dari Cirebon dan C capsici dari Subang. Uji ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa di lakukan pada buah cabai stadia merah dengan menggunakan 2 spesies, yaitu C. acutatum dan C. capsici. Hasil pengujian ketahanan pada 19 asesi/galur/varietas, semua buah cabai merah dari var/galur/asesi yang diinokulasi-injeksi dengan inokulum C. acutatum memperlihatkan perkembangan nekrosis/lesion > 4 mm pada 5 hari setelah inokulasi (Tabel 3.). Sedangkan buah cabai merah dari var/galur/asesi yang diinokulasi/injeksi dengan inokulum C capsici memperlihatkan asesi no. 0836-6729-1, 0836-67412, 0707-7212-B dan CO 4871 perkembangan nekrosis/lesio < 4 mm. 296 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tabel 3. Rataan diameter lesio (cm) pada 5 hari setelah inokulasi dan Status Resistensi asesi/galur/varietas cabai yang diuji terhadap penyakit antraknosa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Asesi/galur/varietas 0537-1558 0836-6729-1 0836-6741-2 0707-7212-B 0707-7514-B 0707-7540-B 0707-7651-B CO 4871 Jati Laba IV Hot Beauty Tit Super IV TM 999 Keriting Cipanas Branang Gentari Tanjung-1 Tanjung-2 Lembang-1 Inko99 Diameter nekrosis/lesio (cm) C. acutatum 0,85 0,88 0,58 0,74 0,65 0,78 0,52 1,01 2,31 0,98 0,80 1,07 1,03 0,56 0,60 0,75 2,46 0,72 0,97 R ( %) 0 20 33.33 20,00 26.67 6.67 40 6,66 0 6.67 6.67 0 0 20,00 40 6,67 0 13.33 0 Diameter nekrosis/lesio (cm) C. capsici 0,45 0,38 0,21 0,38 0,52 0.51 0,46 0,36 1,75 0,76 0,61 0,94 1,16 0,63 0,76 0,67 2,13 0.66 0,90 R (%) 26.67 53.33 66,67 56,67 20 13,33 46.67 53.33 0 20 6.67 0 0 6.67 26,67 20 0 20 0 Menurut Anonim (1998) suatu asesi/galur/varietas dikatakan tahan apabila diameter nekrosis/lesio pada 5 hari setelah inokulasi kurang dari sama dengan 4 mm. Apabila diameter lesio lebih besar dari 4 mm, positif untuk berkembangnya penyakit tersebut. Dengan demikian semua var/galur/asesi yang diuji peka terhadap cendawan C. acutatum dan asesi no. 0836-6729-1, 0836-6741-2, 0707-7212-B dan CO 4871tahan terhadap cendawan C. capsici di laboratorium. Kesimpulan Dari hasil survey di sentra pertanaman cabai di Cirebon dan Subang, teridentifikasi cendawan P. capsici penyebab penyakit hawar Phytophthora sebanyak 60 sampai 62,50% dan cendawan Colletotrichum spp penyebab penyakit antraknosa pada cabai sebesar 75,5 – 87,5%. Jenis spesies dari daerah Cirebon, didapat 100% C. acutatum, sedangkan dari daerah Subang teridentifikasi 3 spesies, yaitu C. acutatum sebanyak 54,17%, C. gloeosporioides 12,5% dan C. capsici 33,33%. Dari 19 asesi/galur/varietas yang diuji peka terhadap cendawan C. acutatum dan asesi no. 0836-6729-1, 297 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 0836-6741-2, 0707-7212-B dan CO 4871 tahan terhadap cendawan C capsici di laboratorium. Daftar pustaka Adiyoga W, R.S. Basuki, Y. Hilman & B.K. Udiarto. 1999. Studi lini dasar pengembangan teknologi pengendalian hama terpadu pada tanaman cabai di Jawa Barat. J. Hort. 9 :67-83. Adiyoga W & T.A. Soetiarso. 1999. Strategi Petani dalam Pengelolaan Resiko pada Usahatani Cabai. J. Hort. 8 :1299-1311. Anonim, 1998. Pepper resistance to anthracnose. AVRDC Report. Anonim . 2008. Pasokan dan harga cabe serta bawang merah : menjelang hari raya keagamaan tahun 2008. <http://www.hortikultura.deptan.go.id /index.php?itemid=214&id=188&option=com_content&task=view>. Diakses 20 Januari 2013. Purwati. 1997. Pengendalian Penyakit Embun Tepung pada Anggur. Teknologi dan Informasi Pertanian 2 :13-16. Suhadi. 1989. Antraknosa pada tanaman cabai (Capsicum annuum) L. Taksiran kehilangan hasil. Prosiding Seminar Ilmiah PFI ke X, Denpasar. Soetiarso, T.A. Purwanto & A. Hidayat. 1999. Identifikasi usahatani tumpang gilir bawang merah dan cabai merah guna menunjang pengendalian hama terpadu di Brebes. J.Hort. 8 :1312-1329. 298 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 EVALUASI KETAHANAN VARIETAS/GALUR HARAPAN BAWANG MERAH TERHADAP PENYAKIT EMBUN BULU (Peronospora destructor) DI LAPANGAN Ineu Sulastrini dan Iteu M Hidayat Balai Penelitian Tanaman Sayuran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian Jl.Tangkuban Parahu no. 517 Lembang-Bandung Barat Phone/Fax 022-2786245/022-2786416 Email: [email protected] Abstrak Penyakit embun bulu (downy mildew) merupakan penyakit penting pada family bawang-bawangan termasuk tanaman bawang merah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi status ketahanan dari beberapa varietas bawang merah yang sudah komersial dan galur harapan terhadap penyakit embun bulu yang disebabkan oleh cendawan Peronospora destructor. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 18 perlakuan dan 2 ulangan. Populasi tanaman setiap perlakuan adalah 100 dengan jarak tanam 15 x15 cm. Inokulasi dilakukan secara alami pada musim pancaroba dari musim kemarau ke musim penghujan. Berdasarkan intensitas serangan penyakit embun bulu dan AUDPC dapat menentukan status ketahanan beberapa varietas bawang merah yang sudah komersial dan galur harapan di lapangan. Kata kunci : evaluasi, Peronospora destructor dan bawang merah Pendahuluan Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai arti penting bagi petani maupun masyarakat pada umumnya, selain nilai ekonomis tinggi juga kandungan gizinya yang tinggi dan dapat dijadikan obat. Dalam dekade terakhir ini permintaan akan bawang merah untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan. Permintaan bawang merah yang terus meningkat, perlu diimbangi dengan peningkatan produksi bawang merah. Permasalahan dalam meningkatkan produksi bawang merah di Indonesia adalah bibit sulit diperoleh saat menjelang musim tanam, harga bibit mahal, produktivitas rendah karena adanya serangan hama dan penyakit di lapangan maupun di penyimpanan, dan harga jual murah saat panen. Faktor penyakit ini adalah yang paling penting yang terkait dengan produktivitas rendah dalam bawang. Bawang rentan terhadap berbagai penyakit daun, umbi 299 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 dan akar patogen yang dapat mengurangi hasil dan kualitas (Cramer 2000). Salah satu mikroorganisme yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia adalah cendawan Peronospora destructor (Berk.) Caps. merupakan penyebab terjadinya penyakit embun bulu (downy mildew) pada tanaman bawangbawangan, seperti pada bawang merah maupun bawang daun. Penyakit ini telah menyebar di hampir seluruh sentra produksi keluarga bawang-bawangan di seluruh dunia yang menyebabkan kehilangan hasil dan kualitas umbi yang menurun (Lorbeer, Andaloro,1984; Anonim., 2003) dengan kehilangan hasil pada umbi dapat mencapai 60-75% (Develash and Sugha, 1997). Kerugian ini disebabkan karena serangan penyakit embun bulu yang tinggi menyebabkan terjadi defoliasi awal, diameter umbi menjadi lebih kecil, dan kualitas umbi yang buruk (Lorbeer, Andaloro,1984). Kerugian dalam produksi benih sering disebabkan karena patahnya batang bunga yang terinfeksi dan daya kecambah dari benih yang dihasilkan rendah, karena benih yang dipanen dari batang bunga yang terinfeksi (Schwartz, Mohan, 1995). Serangan dari patogen embun bulu ini akan lebih berat dan dapat menyebabkan kerugian serius dalam waktu singkat pada musim dingin dengan kondisi cuaca lembab (Hoffmann et al., 1996). Gejala pertama sering muncul pada daun yang lebih tua, dan ditandai dengan timbulnya bercak kuning kehijauan sampai coklat. Apabila cuaca lembab dan suhu rendah, maka bercak akan berkembang dengan tumbuhnya massa spora jamur yang berwarna abu-abu sampai keunguan menyelimuti daun yang terinfeksi, daun menjadi mengkerut dan jaringan daun mati. Penelitian mengenai penyakit embun bulu pada bawang merah di Indonesia belum banyak dilaporkan karena bukan penyakit utama yang menyerang tanaman bawang merah. Namun demikian dengan kondisi perubahan cuaca yang sulit diprediksi tidak menutup kemungkinan akan terjadinya ledakan serangan penyakit tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka diperlukan adanya penelitian pengendalian penyakit embun bulu yang ramah lingkungan. Berdasarkan berbagai kendala dan informasi yang ada maka usahatani bawang merah harus dimulai dengan menanam varietas tahan terhadap penyakit embun bulu dan tersedianya bibit/benih berkualitas dan sehat agar bisa berproduksi lebih tinggi. Sampai saat ini,varietas yang tahan penyakit embun bulu masih sulit didapat, oleh karena itu perlu ada upaya penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan varietas bawang merah yang tahan/toleran penyakit embun bulu dengan produktivitas yang tinggi diatas ratarata produktivitas nasional. Di lain pihak banyak varietas bawang merah lokal yang biasa di tanam petani yang beradaptasi baik, namun status ketahanannya terhadap penyakit embun bulu perlu diteliti. Diharapkan dari varietas lokal yang tahan/toleran penyakit embun bulu dapat dijadikan tetua untuk mendapatkan varietas baru yang tahan/toleran penyakit embun bulu dan berproduksi tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi status ketahanan 300 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 varietas lokal komersial/galur harapan terhadap penyakit embun bulu (Peronospora destructor) skala lapangan. Bahan dan metode Penelitian untuk mengevaluasi status ketahanan varietas/galur harapan terhadap penyakit embun bulu dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada ketinggian 1200 m dpl. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada musim pancaroba dari musim kemarau ke musim hujan, yaitu pada bulan September sampai Nopember 2011. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 18 perlakuan dan 2 ulangan. Perlakuan yang diuji adalah varietas lokal komersial yang sudah sering ditanam petani hasil pengumpulan dari sentra produksi daerah Majalengka, Brebes dan Nganjuk. Adapun varietas yang berhasil dikumpulkan ada 18( Tabel 1). Tabel 1. Varietas bawang merah dan asal daerah No. Varietas komersial Asal daerah 1 Galur Harapan No. 1 Brebes 2 Galur Harapan No. 3 Brebes 3 Galur Harapan No. 5 Brebes 4 Bali karet Nganjuk 5 Bali karet Majalengka 6 Batu ijo Nganjuk 7 Batu putih Nganjuk 8 Bauji Nganjuk 9 Bima Nganjuk 10 Bima Brebes Nganjuk 11 Biru Nganjuk 12 Katumi Nganjuk 13 Maja Nganjuk 14 Maja Majalengka 15 Nanjung Nganjuk 16 Thailand Brebes 17 Sumenep Nganjuk 18 Sumenep Majalengka 301 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pengujian di lapangan dilakukan dalam bentuk bedengan dengan luas 2,25 m², jarak tanam 15 x 15 cm, jarak antar perlakuan 50 cm dan jarak antar ulangan 1m, dengan jumlah tanaman per perlakuan/bedengan adalah 100. Ukuran umbi bibit adalah 5-10 g/umbi (Stallen et al, 1991). Pemupukan dasar dilakukan 7 hari sebelum tanam dengan menggunakan pupuk kandang kuda (15 ton/ha), SP-36 (200 kg/ha) dan setengah dosis NPK mutiara (600 kg/ha). Pengapuran dilakukan 7 hari sebelum tanam dengan kapur dolomite (2 ton/ha). Pupuk susulan menggunakan setengah dosis NPK mutiara diberikan masingmasing pada umur 15 dan 30 hari setelah tanam. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali sebanyak 6 kali pengamatan dan dimulai pada umur tanaman 11 hari setelah tanam dimana benih sudah bertunas sebanyak 80%. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah intensitas serangan penyakit embun bulu di lapangan dan hasil panen. Jumlah tanaman contoh sebanyak 10 tanaman yang dipilih secara acak sistematis. Pengamatan terhadap penyakit embun bulu, dilakukan pada setiap tanaman contoh dengan cara skoring dan dihitung dengan menggunakan rumus (Anonim, 2011) : ∑nxv P = -------------- x 100 % ZxN Keterangan : P : Intensitas/tingkat kerusakan tanaman n : Jumlah tanaman yang memiliki skoring yang sama v : Nilai skala pada setiap katagori serangan Z : Skala katagori serangan tertinggi N : Jumlah tanaman yang diamati Nilai katagori serangan (v) : 0 : Sehat (tidak ada serangan) 1 : ≤ 20 % terserang 2 : > 20 - ≤ 40 % terserang 3 : > 40 - ≤ 60 % terserang 4 : > 60 - ≤ 80 % terserang 5 : > 80 - ≤ 100 % terserang 302 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Derajat ketahanan bawang merah terhadap cendawan P. destructor ditentukan berdasarkan intensitas serangan penyakit tersebut (Anonim., 2011): Intensitas serangan (%) Derajat ketahanan 0 Tanaman imun 1 – 10% Sangat tahan 11 – 25% Agak tahan 26 – 50% Rentan > 50% Sangat rentan AUDPC (Area Under the Disease Progress Curve) dihitung dari perkembangan intensitas serangan penyakit embun bulu yang dimaksudkan untuk membandingkan antar varietas yang diuji, dengan menggunakan metode aturan titik tengah (Campbell dan Madden, 1990) dengan rumus: n 1 AUDPC yi yi 2 i 1 1 ti 1 ti Dimana "t" adalah waktu dalam hari setiap pengamatan, "y" adalah intensitas serangan pada tanaman bawang merah pada setiap pengamatan dan "n" adalah jumlah pengamatan. Hasil dan pembahasan Hasil survey pengumpulan bawang merah varietas lokal ke daerah Majalengka, Brebes dan Nganjuk didapatkan 15 varietas komersial dan 3 galur harapan hasil silangan pemulia bawang merah. Dari 18 varietas tersebut diatas kemudian diuji ketahanannya terhadap penyakit embun bulu P. destructor yang merupakan salah satu penyakit yang menyerang pada bawang merah. Pada saat survey dilakukan, sangat sulit untuk mendapatkan benih bawang merah komersial karena pada saat itu belum saatnya musim tanam dan kebanyakan petani sudah tidak lagi menyimpan benih varietas lokal. Petani beralih ke benih impor seperti Thailand, Ilokos dan lainnya dengan alasan produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal. Benih bawang merah varietas lokal yang di kumpulkan dari petani penangkar kualitasnya juga kurang baik, banyak benih yang tidak tumbuh. Kemungkinan lain adalah benihbenih tersebut masih beradaptasi karena pengujian dilakukan di Lembang yang merupakan dataran tinggi sedangkan kebanyakan benih dari dataran rendah. Seperti varietas kuning, tidak berumbi ketika ditanam di Lembang, tapi bunganya banyak. Varietas Manjung, Biru dan Bauji ketika pada penanaman pertama pertumbuhannya kurang baik. Akan tetapi pada pengujian kedua pertumbuhannya lebih baik meskipun belum optimal. Pengujian ketahanan 303 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 bawang merah terhadap P destructor dilakukan pada materi benih bawang merah hasil penanaman di Lembang. A. Penanaman berbagai varietas lokal bawang merah Hasil pengamatan selama pertanaman bawang merah terdapat adanya serangan penyakit embun bulu (downy mildew) yang cukup tinggi, karena pada saat itu terjadi perubahan musim dari musim kemarau ke musim penghujan, dimana kelembaban udara pada malam hari lebih tinggi dari siang hari. Kondisi udara lembab dan suhu malam hari yang relatif rendah sangat optimal untuk perkembangan penyakit tanaman (Bagus et al., 2005). Berdasarkan intensitas serangan penyakit embun bulu dan AUDPC, maka didapat 9 varietas dan galur harapan dengan tingkat derajat ketahanan agak tahan dan 9 varietas dengan katagori derajat ketahanan rentan. Namun demikian pada galur harapan no.5 dan varietas Maja (Majalengka) dan Manjung mempunyai nilai dikatagorikan agak tahan sedangkan nilai AUDPC nya lebih besar dari nilai rata-rata AUDPC. Hal ini kemungkinan karena persentase intensitas serangan terhadap penyakit embun bulu mendekati nilai dengan katagori rentan. Tabel 2. Intensitas serangan cendawan P destructor, AUDPC pada berbagai varietas lokal bawang merah (%). No. Varietas dan Asal Intensitas AUDPC Derajat galur harapan sampel serangan pada Ketahanan 46 HST (%) Lapangan 1 No.2 Brebes 23 700 Agak tahan 2 No.3 Brebes 20 675.5 Agak tahan 3 No.5 Brebes 21 703.5* Agak tahan 4 Bali Karet Nganjuk 28 714* Rentan 5 Bali Karet Majalengka 40 784* Rentan 6 Batu ijo Nganjuk 29 710.5* Rentan 7 Batu putih Nganjuk 29 689.5 Rentan 8 Bauji Nganjuk 32 717.5* Rentan 9 Bima Nganjuk 30 728* Rentan 10 Bima Brebes Nganjuk 30 717.5* Rentan 11 Biru Nganjuk 33 721* Rentan 12 Katumi Nganjuk 26 721* Rentan 13 Maja Nganjuk 22 682.5 Agak tahan 14 Maja Majalengka 24 710.5* Agak tahan 15 Manjung Nganjuk 25 707* Agak tahan 16 Thailand Nganjuk 24 633.5 Agak tahan 17 Sumenep Nganjuk 22 665 Agak tahan 18 Sumenep Majalengka 22 665 Agak tahan Keterangan : * nilai AUDPC > nilai rata-rata AUDPC (702) 304 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 B. Hasil panen Hasil panen bawang merah pada varietas Batu putih lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya yang diuji, hal ini kemungkinan karena umbi varietas Batu putih, Batu ijo dan Bali karet lebih besar dibandingkan dengan umbi pada varietas lainnya yang dievaluasi yang lainnya. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Tabel 3 . Hasil panen berbagai varietas bawang merah. Varietas dan galur Asal sampel Hasil panen harapan sampel (g/plot) No.2 Brebes 231 No.3 Brebes 152 No.5 Brebes 249 Bali Karet Nganjuk 466 Bali Karet Majalengka 567 Batu ijo Nganjuk 424 Batu putih Nganjuk 738 Bauji Nganjuk 207 Bima Nganjuk 151 Bima Brebes Nganjuk 221 Biru Nganjuk 367 Katumi Nganjuk 165 Maja Nganjuk 359 Maja Majalengka 166 Manjung Nganjuk 328 Thailand Nganjuk 254 Sumenep Nganjuk 302 Sumenep Majalengka 318 Kesimpulan Dari 18 varietas lokal yang diuji ketahanannya terhadap cendawan P. destructor, terdapat 9 varietas dan galur harapan dengan derajat ketahanan agak tahan dan 9 varietas dengan derajat ketahanan rentan. Galur harapan No.2, No. 3 dan No.5, varietas Maja yang berasal dari Nganjuk dan Majalengka, Manjung, Thailand dan Sumenep yang berasal dari Nganjuk dan Majalengka mempunyai derajat ketahanan agak tahan. Sedangkan yang mempunyai serajat ketahanan rentan adalah varietas Bali karet yang berasal dari Nganjuk dan Majalengka, Batu ijo, Batu putih, Bauji, Bima, Bima Brebes, Biru dan Katumi. 305 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Daftar pustaka Anonim.2011. Pedoman Pelepasan Varietas Unggul Baru Hortikultura. Direktorat Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura. Bagus KU, Setiawati W dan E Suryaningsih. 2005. Panduan Teknis PTT Bawang Merah No. 2, Pengenalan Hama dan Penyakit pada Tanaman Bawang Merah dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Campbell, C.L., L. V. Madden. 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John Wiley & Sons, New York City. Cramer, C.S. (2000). Breeding and genetics of Fusarium basal rot resistance in onion. Euphytica. 115:159-166. Develash R. K., Sugha S. K..1997. Management of downy mildew (Peronospora destructor) of onion (Allium cepa). Crop Protection : 63–67 Hoffmann M. P., Petzoldt C. H., Frodsham A. C. 1996. Integrated Pest Management for Onions. New York State IPM Program Publication, No. 119. – 78 p. Lorbeer J., and Andaloro J. 1984. Diseases of Onions. Downy Mildew. <http://www.nysaes.cornell.edu/ent/hortcrops/english/dmildew.html>. Stallen, M.P.K. and Yusdar Hilman. 1991. Effect of plant density and bulb size on yield and quality of shallot. Bul.Penel.Hort. XX (EK. No. 1) : 117-125. Anonim. 2003. Crop Profile for Onion.<http://pestdaa.ncsu.edu /cropprofiles/docs/-txonions.html>. 306 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 SELEKSI IN VITRO JAMUR ENDOFIT YANG BERPOTENSI SEBAGAI AGEN BIOKONTROL JAMUR Fusarium oxysporum f. sp. cubense PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN PISANG Jumsu Trisno, Suardi Gani, dan Yuda Pratama Prodi Agroekoteknologi, Jurusan HPT, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Kampus Limau Manis Padang, 25163 Email: [email protected] Abstrak Jamur endofit mempunyai potensi besar dan banyak dikembangkan sebagai agen biokontrol patogen penyebab penyakit tanaman. Seleksi jamur endofit lokal dan indigenus diperlukan untuk mendapatkan isolat dan spesies yang potensial untuk aplikasi di lapangan. Isolat jamur endofit diseleksi dari akar tanaman pisang sehat dari lahan endemik penyakit layu fusarium di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Pengambilan sapel akar dilakukan dengan metode acak terpilih (Purposive Random Sampling). Pengujian kemampuan biokontrol dilakukan degan uji biakan ganda. Kemampuan biokontrol dinilai berdasarkan kemampuan daya hambat, antibiosis, invasi dan daya parasitisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 35 isolat hasil isolasi, masing-masing mempunyai kemampuan daya hambat yang beragam (26,67 – 66,67%). Seleksi berdasarkan kemampuan daya hambat (lebih dari 50%), kemampuan invasi dan antibiosis didapatkan 6 (enam) isolat yang potensial untuk dikembankan sebagai agen biokontrol jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hasil identifikasi dari 6 isolat tersebut didapatkan 4 isolat adalah genus Trichoderma dan 2 isolat adalah genus Aspergilus. Kata kunci: jamur endofit, biokontrol, Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) Pendahuluan Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu tanaman hortikultura unggulan yang bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai prospek sebagai komoditas ekspor Indonesia (Anonim., 2014). Di Sumatera Barat, produksi pisang menempati urutan pertama (total produksi sebesar 138.068 ton) diikuti markisah, durian, alpukat dan jeruk (Anonim., 2013). Kendala utama dalam budidaya tanaman pisang pada 20 tahun terakhir adalah penyakit layu tanaman pisang. Penyakit layu tanaman pisang dapat disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) dan bakteri Ralstonia solanacearum ras 4 ( Semangun, 2005). Jamur Foc adalah penyebab 307 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 utama turunnya produksi pisang di Indonesia dengan kerugian hasil mencapai 100% (Nasir dan Junjunidang, 2002). Sampai saat ini penyakit layu fusarium sangat sulit dikendalikan, karena belum ditemukan kultivar pisang komersil yang tahan, dan dapat menyerang semua stadium pertumbuhan. Foc dapat membentuk struktur klamidospora yang mampu bertahan hidup lebih dari 20 tahun dalam tanah tanpa tanaman inang (Ploetz, 1994). Penggunaan fungisida maupun kultur teknis tidak efektif, karena sekali tanah terinfeksi patogen, maka untuk beberapa tahun tidak dapat dikendalikan dengan fumigasi ataupun eradikasi. Salah satu cara pengendalian yang banyak dikembangkan saat ini adalah pemanfaatan agen pengendali hayati di antaranya adalah jamur endofit. Jamur ini dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Strobel, 2004). Interkasi dari beberapa jamur endofit dengan tumbuhan inang mampu melindungi tumbuhan inangnya dari beberapa patogen virulen, baik bakteri maupun jamur (Purwanto, 2008). Peran jamur endofit dalam mengendalikan penyakit layu Fusarium pada tanaman pisang secara in vitro telah dilakukan oleh Sudantha dan Ernawati (2012) dengan jamur Trichoderma viride isolat ENDO-20, T. koningii isolat ENDO-21 dan T. polysporum isolat ENDO-22 mampu menghambat pertumbuhan Foc sebesar 44,44 - 45,22%. Mekanisme hambatan jamur endofit tersebut melalui kompetesi ruang, mikoparasit dan antibiosis. Mekanisme penghambatan ini diduga terjadi pada jaringan tanaman pisang, sehingga perlakuan dengan ketiga isolat jamur endofit tersebut menyebabkan bibit pisang menjadi tahan terhadap serangan Foc. Berdasarkan potensi jamur endofit dalam menekan pertumbuhan jamur Foc, maka penelitian dilakukan dengan tujuan mendapatkan jamur endofit lokal yang potensial sebagai biokontrol jamur Foc di Sumatera Barat. Metode penelitian a. Sampel Jamur Endofit Sampel jamur endofit diambil dari akar tanaman pisang sehat di lahan endemik penyakit layu Fusarium di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Penentuan tanaman sampel menggunakan metoda purposive random sampling. Akar tanaman pisang yang digunakan adalah akar utama yang keluar dari bonggol yang didapat dengan cara menggali areal perakaran sedalam 20 – 30 cm. b. Isolasi Jamur Endofit Isolasi jamur endofit menggunakan metode tanam langsung pada media PDA. Akar tanaman pisang dipotong 1 cm, ptotongan akar disterilisasi dengan 308 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 aqaudes steril dan alkohol 70% , dengan tahapan sebagai berikut: potongan akar dicuci dengan aquades steril, kemudian dimasukkan dalam alkohol 70% selama satu menit, dan kembali dicuci dengan cara direndam dalam aquades selama 1 menit. Potongan akar langsung ditanam pada media PDA dan diinkubasi 48 jam. Jamur yang tumbuh dengan karakter berbeda (warna koloni) dipindahkan masingmasingnya ke media PDA baru sampai didapatkan biakan murni. c. Penyediaan Jamur Fusarium oxysporum f.sp cubense F. oxysporum f.sp cubense (Foc) yang digunakan berasal dari koleksi Laborarium Fitopatologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Isolat Foc dari kultur stok diremajakan dengan memindahkan potongan hifa ke media PDA dan diinkubasi 7 hari. d. Uji Biokontrol Kemampuan biokontrol jamur endofit diuji dengan biakan ganda (dual culture) (Nurbailis, 2008). Tahapan pengujian secara singkat sebagai berikut: petri kaca yang telah berisi media PDA ditandai dan diukur dengan menggunakan penggaris dan pulpen untuk mengukur posisi kedua potongan. Potongan Foc diambil dengan corkborer berdiameter 0,5 cm lalu diletakkan di sisi kiri petri kaca dengan jarak 3 cm dari ujung petri. Pada sisi lain diletakkan jamur endofit dengan jarak 3 cm dari ujung petri. Biakan diinkubasi dan diamati pertumbuhan jamur Foc dan jamur endofit sampai seluruh petri dipenuhi kedua jamur. e. Uji daya Parasitisme Uji daya parasitisme dilakukan pada jamur yang menunjukkan kemampuan dalam menginvasi Foc. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode slide culture, masing-masing jamur endofit dan Foc ditumbuhkan berdekatan pada gelas objek yang telah dilapisi dengan PDA tipis kemudian di tutup dengan gelas penutup. Gelas objek tersebut ditempatkan pada petri kaca yang sebelumnya telah dialasi dengan tisu basah dan pipet minuman. Biakan diinkubasi selama 2 hari. Kemampuan parasitasi diamati menggunakan mikroskopis binokuler. f. Analisis Kemampuan Biokontrol Kemampuan biokontol masing-masing jamur endefit dinilai berdasarkan: (a) persentase (%) penekanan pertumbuhan jamur patogen Foc, dihitung menggunakan rumus 1, (b) antibiosis, dinilai berdasarkan adanya zona bening (hambatan) diantara biakan jamur endofit dan Foc, (c) parasitisme, dinilai ada tidaknya jamur endofit memarasit dan melisis dinding sel jamur Foc. 309 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Hasil dan pembahasan a. Isolasi Jamur Endofit Hasil isolasi jamur endofit dari akar tanaman pisang dari Nagari Simpang Tiga Kayu Gadang Kab. Padang Pariaman Sumatera Barat didapatkan 35 isolat, dengan karakter morfologi yang beragam. Pada umumnya warna koloni isolat yang didapatkan adalah hijau tua, hijau kekuningan, putih kehijauan dan hitam (Gambar 1). A B C D Gambar 1. Isolat jamur endofit akar tanaman pisang, dengan karakter warna koloni yang berbeda (7 hsi). A. Koloni hijau tua, B. Koloni hijau kekuningan, C. Koloni warna hitam dan D. Koloni warna putih kehijauan b. Kemampuan Biokontrol Jamur Endofit Hasil uji kemampuan 35 isolat jamur endofit dalam menghambar pertumbuhan jamur Foc menunjukkan hasil yang beragam, dengan persentase daya hambat terendah adalah 26,67 % (isolat PA. 1.4) dan tertinggi 66,67 %. (isolat PC. 1.2). Seleksi berdasarkan kemampuan daya hambat lebih besar dari 50% didapatkan 14 isolat. Dari 14 isolat jamur endofit tersebut, apabila dinilai berdasarkan kemampuan invasinya terhadap Foc didapatkan 3 isolat dengan kemampuan invasi yang tinggi (skala invasi 4), yaitu isolat PA.2.3, PB. 2.1, dan PE. 2.2. Dua isolat yaitu isolat dan isolat mempunyai kemampuan antibiosis. Serta satu isolat (PD.2.2) di samping mempunyai kemampuan daya hambat lebih dari 50 % juga bersifat antibiosis dan kemampuan invasi (pada skala invasi 1). Kemampuan biokontrol dari 6 isolat ini dirangkum pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil seleksi kemampuan biokontrol jamur endofit tanaman pisang kabuapten Padang Pariaman Sumatera Barat. Mekanisme Biokontrol No Kompetisi Antibiosis Invasi Parasitisme Isolat . (mikroskopis ) 1 PA 2.1 + 2 PA 2.3 + + + 3 PB 2.1 + + + 4 PB 1.6 + 310 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 5 PD 2.2 + + 6 PE 2.2 + Keterangan: +: ada -:: sangat kecil / tidak ada + + + + Isolat-isolat isolat dengan kemampuan invasi, selanjutnya dilihat kemampuan parasitismenya dengan metode slite culture dan diamati dibawah mikroskop. Hasil slite cultur menunjukkan bahwa isolat dengan kemampuan invasi mampu memparasitasi hifa Foc. Isolat PA 2.3 menunjukkan terjadinya terjadi pemecahan dinding sel hifa Foc akibat dari penetrasi. Pada isolat PB 2.1 dapat dilihat penetrasi jamur endofit ke dalam hifa Foc lalu menembus keluar secara vertikal. Sedangkan pada isolat PD 2.2 terlihat bahwa hifa jamur endofit melilit dan tumbuh di atas hifa Foc. Pada isolat PE 2.2, hifa jamur endofit mampu menempel pada hifa Foc (Gambar 2). A B C D Gambar 2. Mekanisme parasitasi jamur endofit terhadap jamur foc. (A A). Isolat PA. 2.3, (B). Isolat PB.2.1, PB.2.1 (C). Isolat PD.2.2 dan (D). Isolat PE.2.2 c. Identifkasi Jamur Endofit Hasil identifikasi dari 6 isolat potensial biokontrol terseb tersebut ut didapatkan 2 isolat, yaitu adalah genus Aspergillus dan 4 isolat yaitu genus Trichodema. Karakter mikroskopis kedua genus ditampilkan pada Gambar 3. a b a b c A B Gambar ambar 3. Bentuk mikroskopis jamur endofit tanaman pisang. (A). Genus Aspergillus,(a: (a: konidia, b: vesikel dan c: konidiofor) dan (B). Genus Trichoderma (a: fialit dan b: konidiofor). konidiofor) 311 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Jamur endofit yang diisolasi dari akar tanaman pisang sehat mempunyai keanekaragaman yang tinggi (jenis dan populasi). Dari satu jenis tanaman pisang didapat 7 – 8 isolat jamur endofit dengan karakter morfologi yang berbeda. Strobel (2003), mengatakan bahwa, daerah rhizosfer merupakan daerah yang kaya mikroba. Mikroba tersebut dapat diisolasi dari tanah, permukaan akar ataupun dari jaringan akar (endofit). Mikroba endofit hidup di dalam jaringan internal tumbuhan hidup tanpa menyebabkan efek negatif pada jaringan tumbuhan dan menunjukkan kemungkinan adanya hubungan simbiosis mutualisme antara mikroba endofit dan inangnya. Purwanto (2008), mengatakan bahwa asosiasi beberapa jamur endofit dengan tumbuhan inang mampu melindungi tumbuhan inangnya dari beberapa patogen virulen, baik bakteri maupun jamur. Strobel (2004) menambahkan jamur endofit dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika. Kemampuan dari masing-masing jamur endofit dalam menghambat pertumbuhan Foc berbeda-beda. Beberapa isolat dapat menghambat pertumbuhan Foc dengan mekanisme antibiosis, invasi, dan parasitisme (Tabel 1). Isolat dengan kemampuan antibiosis diduga menghasilkan metabolik anti jamur, sebagaimana yang dikemukan oleh Strobel (2003), bahwa senyawa yang dikeluarkan mikroba endofit berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif dan dapat berfungsi untuk membunuh patogen. Habazar (2005) menambahakan mikroba di daerah rhizosfir selain mampu menghasilkan senyawa antibiotik, juga mampu berkompetensi, menghasilkan enzim kitinase, penyebab lisis hipopatogen, pemicu pertumbuhan dan penginduksi ketahanan tanaman. Isolat-isolat jamur endofit dari tanaman pisang sehat yang mempunyai kemampuan biokontrol terhadap Foc pada umumnya adalah genus Trichoderma dan Aspergillus (Gambar 3). Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Purwantisari dan Rini (2009) dari rhizosfir kentang organik didapatkan genus Tricoderma, Peniciilium, dan Mucor yang berpotensi sebagai biokontrol. Sariani (2010) menemukan genus Trichoderma, Gliocladium dan Rhizopus dari rhizosfir kentang. Trisno et al. (2014), menemukan genus Trichoderma, Aspergillus dan Penicillium dari rhizosfir tanaman Krisan yang berpotensi sebagai biokontrol Fusarium oxysporum. Kesimpulan Hasil isolasi jamur endofit dari akar tanaman pisang sehat didapat 35 isolat dengan karakter yang beragam dan persentase (%) kemampuan daya hambat Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) berkisar antara 26,67 – 66,67%. Seleksi berdasarkan kemampuan daya hambat (lebih dari 50%), kemampuan invasi dan antibiosis didapatkan 6 (enam) isolat yang potensial untuk dikembankan sebagai 312 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 agen biokontrol Foc. Hasil identifikasi dari 6 isolat tersebut didapatkan 4 isolat adalah genus Trichoderma dan 2 isolat adalah genus Aspergilus. Daftar Pustaka Anonim. 2013. Perkembangan Tanaman di Sumatera Barat pada Tahun 2012. Laporan Tahunan. Padang. Anonim. 2014. Produk Ekspor Pertanian Indonesia. <http: // www.bps.go.id>. Diakses 02 April 2014. Habazar, T. 2005. Pemanfaatan dan Pengembangan Bakteri Sebagai Agens Pengendali Hayati. Makalah dalam Pelatihan Pertanian Berkelanjutan, Padang 16-19 November 2005. Padang. Nasir, N. dan Jumjunidang. 2002. Strategi Jangka Pendek Menahan Laju Perluasan Serangan Penyakit Layu Pisang. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengendalian Penyakit Layu Pisang, Padang 22-23 Oktober 2002. Padang. 10 hal. Ploetz, RC. 1994. Banana: Compendium of Tropical Fruit Disease. Minnesota: The American Phytopathology Society Press. Purwantisari, S dan Rini BH. 2009. Isolasi dan Identifikasi Jamur Indigenus Rhizosfir Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa Pakis, Magelang. Jurnal BIOMA 11:43-53. Purwanto, R. 2008. Peranan Mikroorganisme Endofit sebagai Penghasil Antibiotik. Smart Ekselensia. Jakarta. Sariani. 2010. Keragaman Cendawan Antagonis pada Rhizosfir Kentang dan Uji Efektifitasnya Terhadap Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum) secara in vitro. Universitas Hasanuddin. Skripsi. Semangun, H. 2005. Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Strobel, G.A. 2003. Endophytes as sources of bioactive products. Journal of Natural Products 66:127-138. Strobel, G.A. 2004. Natural products from endophytic microorganism. Journal of Natural Products 67:257-268. Sudantha, IM. dan Ernawati, NML. 2012. Peran Jamur Endofit Trichoderma sp. untuk Meningkatkan Ketahanan Terinduksi Bibit Pisang Terhadap Penyakit Layu Fusarium. Jurnal Agroteksos 22 : 79-90. Trisno, J. Adrinal dan Liza, EY. 2014. Keragaman Jamur Rhizosfir dan Potensinya sebagai Biokontrol Jamur Fusarium oxysporum Penyebab Penyakit Layu Tanaman Krisan (Chrysantemum sp). Makalah dalam semiloka FKPTPI, Padang 8 – 10 September 2014. Padang. 313 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGARUH PUPUK HAYATI TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TOMAT Marlina Puspita Sari1, Bambang Hadisutrisno2, Arif Wibowo2 1) Mahasiswa Program Studi Fitopatologi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Email : [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pupuk hayati Omega dalam menghambat pertumbuhan vegetatif Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dan menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Pupuk hayati Omega merupakan hasil samping dari produksi jamu yang berbahan dasar tanaman obat dan rempah-rempah. Pupuk hayati ini banyak mengandung unsur hara mikro dan makro, nutrisi serta mikroorganismemikroorganisme yang menguntungkan bagi tanaman. Dalam penelitian ini dilakukan dua pengujian yaitu : uji in vitro dan uji in vivo. Uji in vitro dilakukan dengan menambahkan 1 ml pupuk hayati Omega, fungisida Mankozeb (Dithane M-45) atau air steril dalam 9 ml PDA yang digunakan untuk menumbuhkan Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici. Pada uji in vivo, inokulasi dilakukan dengan metode perendaman akar sebelum bibit dipindah tanam dengan kerapatan suspensi Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici 106 sel/ml. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pupuk hayati Omega berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Pertumbuhan vegetatif Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada medium yang ditambah dengan pupuk hayati Omega jauh lebih lambat apabila dibandingkan dengan perlakuan lain. Secara in vivo, tomat yang diperlakukan dengan pupuk hayati Omega menunjukkan intensitas penyakit dan laju perkembangan penyakit layu Fusarium yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan perlakuan lain. Intensitas penyakit layu Fusarium pada tomat yang diinokulasi Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici tanpa diperlakukan dengan pupuk hayati Omega maupun fungisida kimia, menunjukkan intensitas penyakit layu Fusarium tertinggi, mencapai 32,29 % pada minggu ke-9. Kata kunci : tomat, Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici, pupuk hayati Pendahuluan Tomat memiliki nilai ekonomi tinggi dan khasiat untuk kesehatan.Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura telah terjadi penurunan produksi tomat pada beberapa provinsi di 314 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Indonesia dalam selang tahun 2008-2012. Salah satu penyakit utama yang menurunkan hasil produksi tomat adalah layu Fusarium, yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporumf.sp. lycopersici (Christopher et al., 2010). Pengendalian yang sering dilakukan adalah dengan fungisida kimia, akan tetapi penggunaan bahan kimia secara terus-menerus berdampak negatif terutama bagi lingkungan. Pertanian organik mulai banyak diminati karena lebih aman dan ramah lingkungan. Berbagai pupuk organik dan pupuk hayati mulai banyak bermunculan sebagai alternatif pengganti pupuk kimia dan pestisida kimia (Paryono et al., 2012). Pupuk hayati Omega yang diproduksi oleh PT Sidomuncul sudah diakui sebagai pupuk hayati, dan perlu dikaji potensinya untuk menekan berbagai patogen utama. Pupuk hayati Omega mengandung berbagai nutrisi dan mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman (Anonim, 2013). Kandungan nutrisi dan mikroorganisme pada pupuk hayati Omega selain dapat menambah nutrisi dalam tanah juga berpotensi sebagai agens pengendali hayati yang dapat menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pupuk hayati Omega dalam menghambat pertumbuhan vegetatif jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersicidan mengetahui kemampuan pupuk hayati Omega dalam menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Bahan dan metode A. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pupuk hayati Omega yang diperoleh dari PT. Sidomuncul Semarang, fungisida berbahan aktif Mankozeb (Dithane M-45) , air steril, Potato Dextrose Agar, tanah steril, bibit tomat kultivar dataran rendah Diana, isolat Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici (Fol) asal Temanggung.Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, lampu bunsen, pipet ukur, tabung erlenmeyer, autoklaf, dan pot plastik berdiameter 16 cm. B. Tata Laksana Penelitian Penelitian ini terdiri atas penelitian in vitro, yaitu pengujian pupuk hayati sebagai penghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dan in vivo, berupa peran pupuk hayati dalam menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada bibit tomat. 1. Pengujian pupuk hayati sebagai penghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian pupuk hayati sebagai penghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersiciadalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan, tiap- 315 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 tiap perlakuan terdapat 10 ulangan. Inokulum yang digunakan adalah biakan murni Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici (Fol) asal Temanggung yang berumur 2 minggu dalam cawan petri. Mula-mula dipersiapkan 9 ml PDA dalam tabung reaksikemudian ditambahkan 1 ml larutan pupuk hayati Omega konsentrasi 2,5 ml/l (A), larutan fungisida mankozeb konsentrasi 2 g/l (B) atau air steril (perlakuan kontrol/C) lalu dihomogenkan dengan vortex. Setelah homogen medium dituang ke dalam cawan petri dan ditunggu hingga memadat. Pada biakan murni jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dibuat lubang dengan menggunakan bor gabus berdiameter 0,5 cm, kemudian inokulum berupa potongan agar beserta miselium berdiameter 0,5 cm tersebut diletakkan pada pusat agar plate yang telah diberi perlakuan A, B atau C (Mohana & Ravessha, 2007). Diameter koloni Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada masing-masing perlakuan diukur setiap hari mulai 1 hari setelah inokulasi hingga hari ke 7, atau sampai salah satu koloninya telah mencapai pinggir cawan petri. Hasil pengamatan dibandingkan satu sama lain. 2. Pengujian peran pupuk hayati Omega dalam menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan, tiap-tiap perlakuan terdapat 16 ulangan. Penelitian ini dilakukan di rumah kasa Condongcatur Sleman (113 m dpl) dengan suhu rata-rata bulanan 25,8oC. Inokulasi dilakukan dengan metode perendaman akar sebelum bibit dipindah tanam. Inokulum yang digunakan adalah suspensi konidium Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dengan kerapatan yang diatur hingga 106 konidium/ml. Inokulasi ke bibit tomat berumur 3 minggu, dilakukan pada pukul 17.00 (Hadisutrisno,1995). Akar bibit tomat dibersihkan, dipotong sehingga tinggal 1-2 cm, selanjutnya direndam selama 30 menit dalam suspensi konidium atau air steril (sesuai perlakuan) kemudian ditanam dalam pot berdiameter 16 cm. Macam perlakuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : P01 : Tanaman tidak diinokulasi dengan Fol (Perlakuan kontrol negatif) P02 : Tanaman diinokulasi dengn Fol (Perlakuan kontrol positif) P1 : Tanaman diinokulasi Fol dan diberi pupuk hayati Omega P2 : Tanaman diinokulasi Fol dan diperlakukan dengan fungisida berbahan aktif mankozeb (Dithane M-45) Penyemprotan tanaman baik dengan pupuk hayati Omega maupun fungisida Mankozeb dilakukan satu minggu sekali dengan konsentrasi larutan pupuk Omega adalah 2,5 ml/L dan konsentrasi larutan fungisida mankozeb adalah 2 g/l. Dosis pupuk hayati Omega adalah 35 ml/25 pot sedangkan dosis fungisida Mankozeb adalah 12,5 ml/25 pot. Pengamatan yang dilakukan 316 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 meliputi tinggi tanaman, jumlah daun dan intensitas penyakit layu Fusarium yang diamati dengan metode skoring. Hasil pengamatan dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA) dan apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan Uji DMRT (Duncan’s New Multiple Range Test) pada derajat kepercayaan 95 %. Hasil dan pembahasan A. Pengaruh pupuk hayati Omega terhadap pertumbuhan Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici Hasil pengamatan pengaruh pupuk hayati Omega terhadap pertumbuhan F. oxysporum f.sp. lycopersici secara in vitro disajikan dalam Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1 Diameter koloni Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada hari ke-7 Perlakuan Diameter Koloni (cm) A (Pupuk Hayati Omega) 2,05 b B (Fungisida Mankozeb) 2,59 b C (Kontrol) 7,04 a Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada derajat kepercayaan 95 % Tabel 1 menunjukkan bahwa diameter koloni jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici pada medium yang diberi pupuk hayati Omega lebih kecil dibandingkan dengan kontrol dan medium yang diberi fungisida kimia berbahan aktif Mankozeb. Berdasarkan hasil analisis dengan DMRT pada derajat kepercayaan 95 %, terdapat perbedaan yang nyata antara diameter koloni jamur F.oxysporumf.sp. lycopersici pada medium yang diberi pupuk Omega dengan diameter koloni jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici pada perlakuan kontrol. Tampak bahwa pertumbuhan vegetatif jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici pada medium PDA yang ditambah dengan pupuk hayati Omega terhambat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang terkandung dalam pupuk hayati Omega, di antaranya Pseudomonas fluorescens. Menurut Soesanto (2008), Pseudomonas fluorescens mampumenghasilkan metabolit sekunder berupa siderofor dan beberapa senyawa antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan patogen. Berdasarkan hasil uji DMRT, diameter koloni jamur pada medium yang diberi pupuk hayati Omega tidak berbeda nyata dengan diameter koloni jamur pada medium yang diberi fungisida kimia berbahan aktif mankozeb (Dithane M45), hal ini menunjukkan bahwa pupuk hayati Omega memiliki kemampuan yang setara dengan fungisida kimia berbahan aktif Mankozeb dalam menghambat pertumbuhan F. oxysporum f.sp. lycopersici secara in vitro. 317 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan miselium Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici selama 7 hari pada perlakuan kontrol jauh lebih cepat dibandingkan pada perlakuan pupuk hayati Omega dan fungisida berbahan aktif Mankozeb. Hal ini menunjukkan bahwa secara in vitro, pupuk hayati Omega dapat menghambat pertumbuhan vegetatif jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici, namun hasil ini perlu dikaji lagi melalui aplikasi langsung pada tomat melalui uji in vivo. + Mankozeb Kontrol +Omega Gambar 1 Penghambatan pertumbuhan vegetatif Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada berbagai perlakuan B. Pengaruh pupuk hayati Omega terhadap perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat Hasil pengamatan pengaruh pupuk hayati Omega terhadap perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat disajikan dalam Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2 Rerata intensitas penyakit layu Fusarium pada minggu ke-9 Perlakuan Intensitas Penyakit (%) P01 : Kontrol negatif 18.32 bc P02 : Kontrol positif 32.29 a P1 : Pupuk Omega 11.71 c P2 : Fungisida Dithane 24.78 ab Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada derajat kepercayaan 95 % 318 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pada Tabel 2 tampak bahwa tomat yang diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. lycopersici dan diperlakukan dengan pupuk Omega (P1) memiliki intensitas penyakit layu Fusarium paling rendah dibandingkan dengan perlakuan-perlakuan lain. Kandungan pupuk hayati Omega khususnya kandungan mikroorganisme memegang peranan utama dalam penekanan laju perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Pupuk hayati Omega sangat kaya akan kandungan mikroorganisme, di antaranya Azotobacter chroococcum, Azospirillum lipoferum, Aspergillus niger, Lactobacillus acidophilus, Pseudomonas fluorescens dan Cellulomonas cellulans (Anonim, 2013). Menurut Soesanto (2008) Pseudomonas fluorescens mampu menghasilkan metabolit sekunder berupa siderofor, pterin, pirol, penazin dan beberapa senyawa antibiotik yang berperan secara langsung atau hanya menghambat pertumbuhan patogen. Beberapa di antaranya berperan sebagai anti jamur, seperti asam fenazin-l-karboksilat (PCA) dan HCN yang bersifat toksin terhadap jamur patogen. Selain kandungan mikroorganisme, pupuk hayati Omega juga mengandung unsur-unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman, diantaranya unsur N, P dan K (Anonim, 2013). Hal inilah yang menyebabkan intensitas penyakit layu Fusarium yang diperlakukan dengan pupuk hayati Omega lebih rendah dibandingkan laju infeksi penyakit layu Fusarium pada perlakuan lain. Selain itu kandungan nutrisi dan mikroorganisme pada pupuk hayati Omega mampu membuat tomat dapat tumbuh dengan sehat, tanaman yang sehat lebih tahan terhadap infeksi jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici penyebab penyakit layu Fusarium. Pada tomat yang tidak diinokulasi F. oxysporum f.sp. lycopersici, terdapat tomat yang bergejala layu Fusarium meskipun tanah yang digunakan sudah disterilkan terlebih dahulu dengan uap panas. Intensitas penyakit layu Fusarium pada tomat yang tidak diinokulasi F. oxysporum f.sp. lycopersici ini rendah sehingga tidak terlalu berpengaruh.Kemunculan gejala layu Fusarium ini mungkin disebabkan oleh adanya jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici yang masih bertahan dalam tanah yang sudah disterilkan. Menurut Sastrahidayat (1990), F.oxysporum f.sp. lycopersici dapat bertahan lamadalam tanah, sehingga tanah yang sudah terinfestasi sukar dibebaskan kembali dari jamur ini. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan F. oxysporum f.sp. lycopersici mampu membentuk struktur tahan berupa klamidiospora yang dapat bertahan pada kondisi ekstrim seperti suhu tinggi (Semangun, 2007). Pada tomat yang diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. lycopersici tanpa diberi perlakuan apapun (Gambar 2 P02) banyak yang layu dan mati karena penyakit layu Fusarium. Pada tomat yang diinokulasi F. oxysporum f.sp. lycopersici dan diperlakukan dengan fungisida kimia berbahan aktif mankozeb (Gambar 2 P1) pertumbuhannya kurang baik, banyak tanaman yang bergejala layu Fusarium dan terdapat tanaman yang mati. Hal ini menunjukkan bahwa 319 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 penggunaan fungisida kimia berbahan aktif Mankozeb untuk menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat masih kurang efektif . Hal ini sejalan dengan pernyataan Soesanto (2008) yang mengemukakan bahwa penggunaan fungisida kimia belum mampu mengendalikan patogen yang dapat membentuk struktur tahan seperti F. oxysporum f.sp. lycopersici. P01 P02 P1 P2 Gambar 2 P01: Tomat tanpa diinokulasi Fol (Kontrol negatif), P02 : Tomat diinokulasi Fol (Kontrol positif), P1 : Tomat diinokulasi Fol dan diperlakukan dengan pupuk hayati Omega, P2 : Tomat diinokulasi Fol dan diperlakukan dengan fungisida kimia Kesimpulan 1. Pupuk hayati Omega mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici secara in vitro. 2. Pemberian pupuk hayati Omega dapat memperlambat kemunculan gejala penyakit layu Fusarium pada tomat yang diinokulasi F. oxysporum f.sp. lycopersici. 3. Pupuk hayati Omega dapat menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada tomat yang sudah diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. lycopersici. Daftar pustaka Anonim. 2013. Company Profile PT Sidomuncul Pupuk Nusantara. PT Sidomuncul Pupuk Nusantara, Semarang. Christopher , R. D. J., R. T. Suthin, S. Usha & R. Udhayakumar. 2010. Role of Defense Enzymes Activity in Tomato as Induced by Trichoderma virens 320 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Against Fusarium Wilt Caused by Fusarium oxysporum f sp. lycopersici. Journal of Biopesticides 3: 158 – 162. Hadisutrisno, B. 1995. Pengendalian Hayati Penyakit Busuk Batang Vanili. Buletin Azolla 2: 15-21. Mohana, D. C. & K. A. Raveesha. 2007. Anti-fungal Evaluation of Some Plant Extracts Against Some Plant Pathogenic Field and Storage Fungi. Journal of Agricultural Technology 4 : 119-137. Paryono, T. J., Samijan, A. Sahru & S. Sisca. 2012. Pertanian Organik (Persyaratan, Budidaya dan Sertifikasi). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah. Sastrahidayat, I. R. 1990. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya. Semangun, H. 2007. Penyakit – Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia (edisi Kedua). Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Soesanto.L.2008.Pengantar pengendalian hayati penyakit tanaman, Suplemen ke Gulma dan Nematoda. Rajawali Press, Jakarta. 321 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KAJIAN EKOLOGI Mycosphaerella musicola JAMUR PENYEBAB PENYAKIT SIGATOKA PADA TANAMAN PISANG SECARA IN VITRO Rabiyatul Adauwiyah1, Mariana2, Ismed Fachruzi3 1 Prodi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian UNLAM Prodi Ilmu Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian UNLAM 3 Prodi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNLAM Email : [email protected] 2 Abstrak Tanaman pisang dapat terserang hama dan patogen tanaman. Penyakit bercak daun sigatoka merupakan penyakit yang harus diwaspadai karena dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas buah pisang. Hingga sekarang penyakit ini masih kurang mendapat perhatian, padahal Mycosphaerella musicola merupakan patogen tanaman yang menyebabkan buah matang sebelum waktunya, menghasilkan buah yang kecil dan pematangan buah yang tidak seragam. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati Fakultas Pertanian UNLAM Banjarbaru, untuk mengetahui pengaruh ekologi (suhu, pH media, dan lama penyinaran) terhadap pertumbuhan Mycosphaerella musicola secara in vitro. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan. Perlakuan yang diuji adalah suhu (15o C, 20 o C, 25 o C, 30 o C, dan 35 o C), pH media (4,5,6,7, dan 8), dan lama penyinaran (24 jam gelap, 24 jam terang, dan 12 jam terang 12 jam gelap), dengan parameter pengamatan berupa pertumbuhan koloni jamur. Analisis regresi polynomial menunjukkan bahwa M. musicola dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimal 24,5 oC dengan predeksi kisaran suhu optimal 22,1oC-27oC. Toleransi suhu pertumbuhan 20oC-30oC. pH media optimal 5,6 dengan prediksi kisaran pH optimal 5,04-6,16. Toleransi pH pertumbuhan 4-8. Penyinaran tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan. Kata kunci : ekologi, Mycosphaerella musicola, pisang Pendahuluan Pada tahun 2009 hingga 2010 produksi pisang di Indonesia turun hingga 618.460 ton (Anonim, 2012), sedangkan di Kalimantan Selatan produksi pisang turun hingga 26.890 ton pada tahun 2009-2011(Anonim, 2012). Penurunan produksi ini disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya serangan hama dan patogen pada tanaman. Salah satu penyakit pada tanaman pisang di Indonesia yang menyebabkan kerugian dan harus diwaspadai adalah penyakit bercak daun sigatoka. Menurut Hermanto (2012), serangan penyakit sigatoka sebesar 12% dari seluruh hama dan penyakit utama pada tanaman pisang di Indonesia. Walaupun demikian, penyakit ini hingga sekarang masih kurang mendapat 322 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 perhatian. Penyakit bercak daun sigatoka ini menyebabkan tanaman meranggas, rusak dan mati, serta dapat berakibat kehilangan hasil, karena fungsi daun dalam fotosintesis terganggu. Gangguan fotosintesis menghasilkan buah yang kecil-kecil, pemasakan buah tertunda, dan menyebabkan buah jatuh akibatnya produksi (kualitas dan kuantitas) menjadi menurun, buah masak sebelum waktunya, bahkan pada serangan berat mengakibatkan kematian tanaman (Carlier, 2000). Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui toleransi suhu pertumbuhan dan suhu optimal Mycosphaerella spp secara in vitro. 2. Menentukan toleransi pH media dan optimal untuk pertumbuhan Mycosphaerella spp. secara in vitro. 3. Mengetahui penyinaran optimal untuk pertumbuhan Mycosphaerella spp. secara in vitro Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktor tunggal, yang terdiri dari tiga perlakuan yaitu suhu (20 oC, 25 oC, 30 oC, 35 oC, 40 oC), cahaya (24 jam terang, 24 jam gelap, 12 jam terang dan 12 jam gelap), dan pH media (4, 5, 6, 7, 8). Isolat Mycosphaerella sp. didapat dari daerah yang berlahan rawa. 1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi dan Laboratorium Pengendalian Hayati Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan April 2014. 2. Pelaksanaan penelitian a. Pengujian cendawan Mycosphaerella sp. 1. Suhu Pengujian pengaruh temperatur pada ekologi Mycosphaerella musicola., dilakukan dengan melakukan inkubasi isolat M. musicola., dalam cawan petri, pada inkubator dengan perlakuan suhu antara 15°C35°C dengan interval suhu 5°C (15oC, 20oC, 25oC, 30oC, 35oC). 2. Cahaya Pengujian pengaruh cahaya terhadap ekologi Mycosphaerella musicola dilakukan dengan perlakuan terang 24 jam, gelap 24 jam dan gelap 12 jam, terang 12 jam. Pengamatan terhadap perkembangan 323 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 diameter isolat jamur tiap 24 jam sekali selama 15 hari pada suhu ruangan 28oC-30oC. 3. pH media Pengujian pengaruh pH (konsentrasi) dilakukan dengan melakukan perubahan kondisi medium PDA sebagai perlakuan, yaitu pH 4, 5, 6, 7, dan 8 dengan melakukan penambahan 0,1 M HCl untuk menurunkan pH dan 0,1 M NaOH untuk menaikkan pH. Pengamatan terhadap perkembangan diameter pertumbuhan isolat jamur setiap 24 jam sekali selama 15 hari pada suhu ruang 28-30oC. 3. Parameter Pengamatan Pengamatan ini dilakukan dengan mengamati pertumbuhan dan perkembangan Mycosphaerella musicola. Pengamatan terhadap perkembangan isolat jamur dilakukan dengan mengamati perkembangan diameter pertumbuhan jamur setiap 24 jam sekali selama 15 hari di dalam cawan petri yang berukuran 9 cm, pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan jangka sorong/penggaris dan kaca pembesar. 4. Analisis Data Analisis pengaruh suhu, cahaya, dan pH media terhadap perkembangan Mycosphaerella musicola dengan hasil pengamatan yang sudah dilakukan selama 15 hari. Untuk mengetahui hubungan antara 3 percobaan tersebut diteruskan dengan uji Regresi Linear Sederhana. Hasil dan pembahasan Hasil pengamatan pertumbuhan koloni jamur Mycosphaerella musicola pada media PDA pada perlakuan pH, suhu, dan lama penyinaran yang diamati selama 15 hari menunjukkan respon yang berbeda (Gambar 9, 10, 11). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perlakuan suhu (Gambar 9) dan pH (Gambar 10) memiliki hubungan yang kuat (r = lebih dari 0,5) terhadap pertumbuhan Mycosphaerella musicola, namun cahaya (Gambar 11) memiliki hubungan yang lemah (r = kurang dari 0.5). 324 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 A. Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Jamur Mycosphaerella musicola. 10 8 diamerer koloni (cm) 6 4 2 y = -0,026x2 + 1,279x - 12,23 y = -0,067x 3,295x - 33,04 R² 2=+0,727 R² = 0,822 y = -0,070x2 + 3,426x - 34,27 R² = 0,814 y = -0,060x2 + 2,944x - 29,46 R² = 0,829 y = -0,057x2 + 2,782x - 27,77 R² = 0,829 y = -0,047x2 + 2,314x - 22,97 R² = 0,837 y = -0,051x2 + 2,519x - 25,06 R² = 0,833 y = -0,034x2 + 1,677x - 16,47 R² = 0,847 y = -0,018x2 + 0,877x - 8,3 R² = 0,745 y = -0,075x2 + 3,678x - 36,92 R² = 0,821 y = -0,076x2 + 3,740x - 37,42 R² = 0,832 y = -0,073x2 + 3,575x - 35,83 R² = 0,820 y = -0,064x2 + 3,159x - 31,65 R² = 0,826 y = -0,041x2 + 1,996x - 19,67 R² = 0,839 pengamatan hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 0 5 10 15 y = -0,003x2 + 0,183x - 1,345 R² = 0,345 -2 20 25 30 35 40 suhu (o) Gambar 1. Kurva pertumbuhan Mycosphaerella musicola dengan perlakuan suhu selama 15 hari pengamatan. Suhu perlakuan minimal adalah suhu 15 oC dan suhu perlakuan maksimal adalah 35 oC. Suhu minimal untuk pertumbuhan koloni M. musicola terjadi pada suhu 15 oC dan 35 oC dengan suhu maksimal pertumbuhan jamur yaitu 25 oC. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan regresi sehingga diperoleh hasil prediksi suhu optimum dengan suhu 24,5 oC, dengan variasi 10 % kisaran suhu dari 22,05 oC sampai 26,95 oC. Sedangkan toleransi pertumbuhan M. musicola berkisar antara suhu 16 oC sampai 32,5 oC. Menurut Day (1974); Garraway dan Evans (1984); Alexopoulus et al. (1995), suhu merupakan faktor lingkungan abiotik yang terpenting karena dapat mempengaruhi setiap fungsi kehidupan. Cochrane cit. Horsfall dan Cowling (1979), Mo Young cit. Budi (2009) menyatakan suhu mempengaruhi 325 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 pertumbuhan jamur, karena secara fisiologis suhu dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim dan sintesis asam amino, dinding sel, transportasi substrat, serta komponen dalam selnya. Menurut Bilgrami dan Vermi (1981) sebagian besar enzim berfungsi dalam mitokondria, aktifitas enzim ini dipengaruhi oleh kondisi suhu. Mitokondria merupakan tempat untuk respirasi sel, pada saat respirasi tersebut dihasilkan energi yang akan digunakan untuk pertumbuhan M. musicola. B. Pengaruh pH Terhadap Pertumbuhan Jamur Mycosphaerella musicola. 10 9 8 7 diameter koloni (cm) pengamatan hari ke- y = -0,275x2 + 2,77x + 1,57 R² = 0,688 y = -0,387x2 + 4,192x - 3,175 R² = 0,712 y = -0,348x2 + 3,751x - 2,384 R² = 0,748 y = -0,437x2 + 5,017x - 7,89 R² = 0,751 y = -0,385x2 + 4,568x - 9,074 R² = 0,741 y = -0,532x2 + 6,145x - 11,66 R² = 0,888 y = -0,239x2 + 2,771x - 5,360 R² = 0,791 y = -0,042x2 + 0,529x - 0,427 R² = 0,112 6 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 y = -0,201x2 + 1,928x + 4,159 R² = 0,633 y = -0,298x2 + 3,116x + 0,110 R² = 0,661 y = -0,378x2 + 4,177x - 4,006 R² = 0,672 y = -0,437x2 + 4,932x - 6,89 R² = 0,775 y = -0,494x2 + 5,783x - 11,44 R² = 0,842 y = -0,283x2 + 3,374x - 6,763 R² = 0,779 4 3 2 y = -0,185x2 + 1,723x + 4,745 R² = 0,626 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 pH Gambar 2. Kurva pertumbuhan Mycosphaerella musicola dengan perlakuan pH selama 15 hari pengamatan. 326 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pada penelitian ini pH minimum perlakuan yaitu pH 4, dan pH maksimum perlakuan yaitu 8. pH minimum pertumbuhan koloni M. musicola terjadi pada pH 7 dan 8, sedangkan pH pertumbuhan maksimal jamur yaitu 5. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan regresi diperoleh hasil prediksi pH optimum dengan pH 5.6, dengan variasi 10 % kisaran pH 5,04 sampai 6,16. Sedangkan toleransi pertumbuhan M. musicola yaitu berkisar antara pH 4 sampai 8. Menurut Fardiaz (1987), jamur lazimnya dapat berkembangbiak dengan baik pada media yang mengandung karbohidrat tinggi dengan kisaran pH antara 5-6. Sarles et al. cit. Pratomo (2006) menambahkan, semua jenis jamur mempunyai pH optimum, di mana mereka dapat tumbuh baik, pH minimum di mana sebagian besar reaksinya asam dan jamur akan tumbuh, dan pH maksimum di mana sebagian besar reaksinya alkali atau basa yang memungkinkan jamur tumbuh (Carlile et al. 2001). 327 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 C. Pengaruh Lama Penyinaran Mycosphaerella musicola. Terhadap Pertumbuhan Jamur Pengamatan hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 10 y = -0,066x2 + 0,283x + 7,483 R² = 0,001 9 y = 0,05x + 7,25 R² = 0,001 diameter koloni (cm) 8y = -0,033x2 + 0,25x + 6,333 R² = 0,017 y = -0,1x2 + 0,566x + 5,5 7 R² = 0,052 y = -0,075x2 + 0,508x + 4,866 R² = 0,101 6 y = -0,308x2 + 1,325x + 3,433 R² = 0,125 y5= -0,075x2 + 0,425x + 3,35 R² = 0,099 y = -0,05x2 + 0,316x + 2,733 4 R² = 0,114 y = -0,291x2 + 1,158x + 1,266 R² = 0,301 y3= 0,066x2 - 0,283x + 1,4 R² = 0,25 2 1 0 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 lama penyinaran ket : 1 = 24 jam terang, 2 = 24 jam gelap, 3 = 12 jam terang, 12 jam gelap Gambar 3. Kurva pertumbuhan Mycosphaerella musicola dengan perlakuan lama penyinaran dari hari ke 11-15 hari pengamatan. Hasil penelitian yang didapat dengan melihat persamaan regresi, pertumbuhan koloni M. musicola tidak dipengaruhi oleh lamanya penyinaran. Hal ini dinyatakan dari persamaan yang dilihat dari nilai R2 = 0.087, yang menunjukkan keeratan hubungan tersebut sangat lemah. Menurut Cooke cit. Budi (2009) hal ini terjadi karena adanya perbedaan sensitifitas dari jamur terhadap adanya penyinaran. Pada penelitian ini terbukti bahwa jamur M. musicola tidak sensitif dengan adanya cahaya yang diberikan. Lama penyinaran berpengaruh terhadap kehidupan jamur, karena lama penyinaran mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hifa dan sporangiofor yang 328 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 bersifat fototropisme dan fototaksis, akibat dari terpengaruhnya fotoreseptor yang ada dalam sel jamur. Menurut Moore L (1972) cahaya berpengaruh terhadap proses infeksi, sporulasi, pelepasan spora, serta penyebaran spora. Banyak patogen yang memerlukan cahaya dengan gelombang tertentu untuk bersporulasi dan untuk pelepasan sporanya. Radiasi cahaya mempunyai peranan bagi perkembangan epidemi dan biologi patogen. Siklus hidup patogen dapat berubah dengan berubahnya periode cahaya terang dan gelap. Infektivitas konidia beberapa patogen dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Jamur dapat dipengaruhi oleh cahaya dalam beberapa cara yaitu, cahaya dapat mempengaruhi laju pertumbuhan, kapasitas sintesa pada jamur, mempengaruhi pembentukan struktur reproduktif, cahaya dapat pula mengontrol pergerakan phototropik dari struktur reproduksi. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas maka didapat kesimpulan sebagai berikut : 1. Suhu optimal pertumbuhan M. musicola yaitu 24,5 °C, dengan kisaran suhu optimal antara 22,05 °C - 26.95 °C. Toleransi suhu pertumbuhan M. musicola yaitu 16 °C - 32.5 °C. 2. pH optimal pertumbuhan M. musicola yaitu 5.6, dengan pH optimal yaitu berkisar antara 5.04 – 6.16. Toleransi pH pertumbuhan M. musicola yaitu berkisar antara 4-8. 3. Lama penyinaran terbaik untuk pertumbuhan M. musicola yaitu terjadi pada perlakuan dengan menggunakan 24 jam gelap, lama penyinaran tidak berhubungan dengan pertumbuhan M. musicola. Daftar pustaka Alexopoulos C.J., C.W Mims, dan M. Blackwell 1996. Introductory Mycology 4th Ed. Canada: John Wiley & Sons,Inc. Budi I. S. 2009. Pertumbuhan Isolat Asal Lahan Pasang Surut Batola Sebagai Agens Penyebab Penyakit Batang Kenaf (Hibiscus cannabinus L.). Jurnal Entomologi Kalimantan 3 :21-31. Bilgrami, K.S. and R.N. Verma. 1981. Physiology of fungi. Vikas Publ. House PVT Ltd. Carlile M.J., S.C. Watkinson, and G.W. Goodway. 2001. The Fungi. London: Academic Press. Day, P.R. 1974. Genetic of Host Parasite Interaction. W.H Freeman and Coand Co S.F. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: Lembaga Sumberdaya Informasi- Institut Pertanian Bogor. 329 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Garraway M.O. and R.C. Evans. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. New York: John Wiley and Sons. Horsfall, J.G. and E.B Cowling. 1979. Plant Disease : An Advance Treatise. Acad. Press. N. Y. Moore E, Landecker. 1972. Fundamentals of The Fungi. New Jersey: PrenticeHall, Inc. Pratomo, R. 2006. Pengaruh Macam, pH, dan Penggoyangan Media Terhadap Pertumbuhan Cendawan Rhizoctonia sp. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Skripsi 330 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENYAKIT VIRUS BUNCHY TOP PADA TANAMAN PISANG, VIRULENSI DAN CARA PENGENDALIANNYA Yulianto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Ungaran Kotak Pos 101 Ungaran 50501 Abstrak Penyakit bunchy top (penyakit kerdil, penyakit pucuk menjurai) pada tanaman pisang yang disebabkan oleh “Banana Bunchy Top Virus (BBTV)” adalah salah satu penyakit utama yang sangat virulen dan merugikan. Di Indonesia penyakit bunchy top tergolong “baru”, karena pertama kali dilaporkan keberadaannya pada tahun 1970an di Cimahi dan Padalarang Jawa Barat. Saat ini penyakit bunchy top telah tersebar di sentra-sentra penghasil pisang di Indonesia. Penyakit bunchy top mudah dikenali karena tanaman yang sakit menjadi kerdil. Gejala penyakit diawali dengan terbentuknya garis-garis pendek berwarna hijau tua yang terputus-putus diselingi titik-titik sehingga seperti kode Morse. Gejala tersebut terdapat di antara dan sejajar tulang-tulang daun sekunder. Kadang-kadang jika daun diterawangkan, tulang-tulang daun tampak transparan (vein clearing). Daun-daun muda yang muncul kemudian tumbuh tegak, kaku, lebih pendek, lebih sempit, dengan tangkai daun lebih pendek dari pada yang normal. Pada sepanjang tepi daun terjadi khlorosis (menguning), mengering, dan daun menjadi rapuh dan mudah patah. Tanaman yang sakit parah menjadi terhambat pertumbuhannya dan daun-daun membentuk roset pada ujung batang semunya. Jika infeksi telah terjadi ketika tanaman masih muda, tanaman menjadi kerdil dan tidak berbuah. Penyakit ini menyebar hingga jauh ke tempat lain melalui bibit-bibit tanaman pisang yang dijual dan diambil dari rumpun yang telah terinfeksi. Virus penyebab penyakit bunchy top ditularkan melalui serangga aphis Pentalonia nigronervosa Coq. sebagai vektornya. Inang alternatif virus bunchy top adalah abaca (Musa textiles), Heliconia spp., dan Canna spp. Cara pengendalian penyakit bunchy top yang dianjurkan adalah: a) sanitasi kebun dan memusnahkan (eradikasi) tanaman inang, b) menanam bibit sehat dan tidak berasal dari rumpun sakit, c) membongkar rumpun sakit dan mencacahnya agar tidak ada tunas yang hidup, d) pengendalian serangga vektor, e) pemanfaatan musuh alami serangga vektor, f) sosialisasi cara pengendalian ke semua pihak yang terlibat dalam pengembangan komoditas pisang. Jenis-jenis pisang yang rentan terhadap penyakit bunchy top adalah: cavendis, muli, janten, ambon, raja sere, raja 331 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 nangka, kepok, dan lilin. Sedangkan jenis-jenis yang tahan adalah pisang tanduk, susu, dan rejang. Kata kunci: pisang, bunchy top, virulensi, pengendalian. Pendahuluan Tanaman pisang menempati posisi penting bagi masyarakat di Indonesia karena berperan sebagai bagian dari pola makan budaya lokal bagi masyarakat di perkotaan maupun pedesaan. Tanaman ini juga bagian penting dari wilayah di Asia Tenggara, Papua Nugini dan Australia bagian utara. Bagian tanaman yang dimanfaatkan bukan hanya buahnya saja, melainkan juga daun dan pelepah batang semunya. Saat ini pertanaman pisang di Indonesia menghadapi ancaman serius yang sama dengan negara lain karena telah berjangkitnya beberapa penyakit sistemik yang menyebabkan tanaman pisang tidak berproduksi bahkan dapat mematikan tanaman. Mengenal penyebab dan gejala penyakitnya sangat penting bagimasyarakat agar dapat melakukan pengendalian secara tepat dan benar. Penyakit-penyakit utama tanaman pisang yang sering berjangkitdi Indonesia adalah: a)Penyakit layu vaskular yang disebabkan jamur Fusarium oxysporum (Tropical Race 4), b) Penyakit darah, c) Layu Xanthomonas, disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. musacearum, d) Penyakit kerdil pisang (bunchy top), disebabkan virus Banana Bunchy Top (BBTV). Kerdil pisang (bunchy top) merupakan penyakit “baru” di Indonesia, yang pada tahun 1978 untuk pertama kalinya dilaporkan terdapat di sekitar Cimahi dan Padalarang (Kabupaten Bandung) (Sulyo et al., 1978). Pada tahun 1982 diketahui bahwa penyakit bunchy top juga telah terdapat di Kabupaten Banyuwangi. Selain pada pisang, penyakit bunchy top juga terdapat pada abaca (Musa textilis) (Hutagalung et al., 1982). Gejala penyakit Pada tanaman yang sakit bunchy top, daun daun muda tampak lebih tegak, pendek, lebih sempit dan tangkainya lebih pendek dari yang normal, daun menguning sepanjang tepi lalu mengering, daun menjadi rapuh dan mudah patah, tanaman terlambat pertumbuhannya dan daun-daun membentuk roset pada ujung batang palsunya (Gambar 1). Jika pangkal daun nomor 2 atau 3 dari tanaman yang dicurigai sakit dilihat permukaan bawahnya dengan cara diterawangkan, tampak adanya garis-garis hijau tua sempit yang terputus-putus dalam garis pendek diselingi titik-titik seperti kode Morse, terdapat diantara dan sejajar dengan tulang-tulang daun sekunder. Pada lembaran daun di dekat ibu tulang daun terdapat bercak/garis bengkok hijau gelap. Kadang-kadang tulang daun menjadi jernih (vein clearing) yang tampak jelas jika diterawangkan. Sebagai gejala pertama terjadinya infeksi, pada cuaca yang sejuk tulang daun yang menjadi jernih tadi akan tampak lebih jelas. Dalam perkembangan gejala 332 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 selanjutnya, daun–daun daun yang muncul berikutnya tumbuh lebih tegak, lebih pendek, lebih sempit, tangkai daun lebih pendek. Ketika tanaman semakin tua, pertumbuhan daun menjadi terhambat, berukuran kecil, kaku dan mengarah ke atas, tanaman menjadi kerdil. Penyakit bunchy top membuat tanaman pisang menjadi seperti sapu, sehingga tidak bisa menghasilkan buah terutama jika tanaman telah terinfeksi ketika masih muda (Semangun, 2007) 2007 Gambar 1. Tanaman pisang sakit bunchy top, daun-daunnya daunnya membentuk roset Cara penyebaran dan penularan penyakit Penyebaran penyakit ini sangat cepat karena disebarkan oleh serangga penular (vektor) yaitu aphis Pentalonia nigronervosa Coq. Penyakit kerdil pisang disebabkan oleh Banana Bunchy Top Virus (BBTV). BBTV). Penyebaran penyakit meliputi daerah-daerah daerah penghasil pisang di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Pasifik, Australia, serta di beberapa negara Afrika (Salam, 2012). 333 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 2. Aphis Pentalonia nigronervosa Coq. vektor virus bunchy top pisang (Sumber: Nelson, 2007) Oleh karena penyakit bunchy top dapat terbawa melalui bibit pisang yang diambil dari rumpun terserang virus tersebut, maka penjualan dan penanaman bibit-bibit bibit terinfeksi tersebut ke daerah-daerah daerah daerah non endemis secara tidak sadar ikut menyebarluaskan penyakit bunchy top.. Penjualan bibit bibit-bibit tanaman hias yang dapat menjadi inang alternatif virus bunchy top seperti berbagai jenis tanaman Canna dan Heliconia juga berpotensi menyebar luaskan penyakit bunchy top terutama jika bibit-bibit bibit tanaman tersebut telah terinfeksi virus BBTV. Kerugian yang diakibatkan Penyakit bunchy top mengakibatkan tanaman pisang menjadi kerdil dan tidak menghasilkan buah. Hampir semua jenis pisang yang dibudidayakan di Indonesia rentan terhadap penyakit bunchy top.. Kondisi demikian akan mengancam keberlanjutan potensi pote daerah-daerah daerah penghasil pisang karena bisa mengakibatkan kepunahan. Prasetyo dan Sudiono (2004) melaporkan bahwa penyakit bunchy top di Lampung telah menginfeksi berbagai jenis pisang yang dibudidayakan, yang meliputi: janten (55,23%), muli (38,88%), kepok (30,47%), ambon (21,52%), raja sere (19,76%), nangka 4,64%), dan lilin (3,84%). Daun pisang pada tanaman yang sakit bunchy top tidak dapat dimanfaatkan untuk keperluan membungkus makanan dan keperluan lainnya, karena daun-daunnya daunnya kecil-kecil, kecil kaku,, rapuh mudah sobek, khlorosis dan mengering. Oleh karena tanaman yang sakit menjadi kerdil, maka pelepah batang semu pisang menjadi pendek-pendek pendek pendek dan tidak dapat dimanfaatkan. Jika tanaman pisang telah terinfeksi virus penyebab penyakit bunchy top, maka anakan pada rumpun pisang juga terinfeksi virus bunchy top top. Bibit-bibit pisang yang diambil dari rumpun yang terjangkiti penyakit bunchy top akan menyebarluaskan penyakit bunchy top ke daerah-daerah daerah lain yang mungkin masih bebas dari penyakit bunchy top. 334 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Rekomendasi cara pengendalian Pengendalian penyakit bunchy top hendaknya dilaksanakan dengan menerapkan pengendalian secara terpadu menggunakan cara-cara yang tidak saling bertentangan. Tanaman pisang yang telah terinfeksi penyakit bunchy top sangat kecil kemungkinannya untuk dapat disembuhkan. Oleh karena itu, pengendalian penyakit bunchy top tidak ditujukan untuk penyembuhan tanaman sakit, namun lebih ditujukan untuk pencegahan terjadinya penularan atau penyebaran penyakit tersebut. Adapun cara-cara pengendalian penyakit yang dianjurkan adalah: 1. Pelaksanaan budidaya tanaman sehat. Budidaya tanaman sehat dimulai dengan penanaman bibit sehat, tidak terjangkiti penyakit. Ketahanan pertanaman pisang terhadap penyakit bunchy top dapat meningkat jika kebutuhan pertanaman untuk hidup sehat terpenuhi. Tanaman pisang akan tumbuh subur dan kuat jika kebutuhan hara esensialnya terpenuhi dan tidak terjadi persaingan di antara tanaman dalam satu rumpun. Menyisakan 1 – 2 tanaman berbunga dan 1 – 2 anakan per rumpun merupakan cara yang dianjurkan untuk mencegah terjadinya persaingan hara dan ruang tumbuh tanaman. Ketersediaan hara sesuai kebutuhan tanaman pisang dilakukan melalui pengelolaan pemupukan tanaman. Agar pertumbuhan akar dapat optimal, perlu dilakukan pembumbunan tanaman dan pengelolaan pengairan. 2. Sanitasi linkungan kebun. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan kebun dari keberadaan tanaman inang virus bunchy top dan vektornya. Tanaman inang yang dapat menjadi sumber inokulum dan sekaligus digunakan sebagai tempat bertahan bagi virus dan vektornya adalah: tanaman pisang sakit, Heliconia spp., Canna spp., dan Abaca. Disamping itu, sanitasi kebun dilakukan untuk membersihkan kebun dari gulma-gulma yang keberadaannya menjadi pesaing perolehan hara bagi tanaman pisang dan meningkatkan kelembapan lingkungan yang mendukung perkembangan patogen dan serangga vektor. Yang perlu diperhatikan ketika melakukan sanitasi kebun adalah mencuci alat pertanian yang digunakan untuk membersihkan tanaman sakit dengan sabun atau deterjen sebelum digunakan untuk merawat tanaman sehat, sehingga tidak menularkan penyakit pisang. 3. Eradikasi tanaman sakit. Keberadaan tanaman sakit akan menjadi sumber penular virus bunchy top bagi tanaman pisang di sekelilingnya terutama jika terdapat serangga vektornya. Eradikasi yang dilakukan melalui cara membongkar rumpun tanaman sakit dan memusnahkannya, sebaiknya dilakukan sedini mungkin ketika mulai terdapat tanaman pisang yang menunjukkan gejala terjangkiti penyakit bunchy top. Rumpun pisang sakit yang dibongkar kemudian dicacah hingga tidak memungkinkan tumbuh bibit dari bonggolnya. Cacahan tanaman sakit 335 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 4. 5. 6. 7. segera dibenamkan ke dalam tanah atau dibakar dan jangan sampai terjadi ceceran potongan tanaman sakit yang tertinggal di kebun. Penanaman kembali dapat dilakukan di samping rumpun yang dieradikasi setelah bibitnya diaplikasi agensia hayati dan solarisasi lubang tanam. Penanaman kembali disarankan dilakukan 6 bulan setelah eradikasi. Penanaman kultivar tahan. Pengendalian penyakit bunchy top melalui penanaman varietas tahan, adalah cara pengendalian penyakit yang murah, aman, mudah dilaksanakan, dan efektif. Namun demikian, jumlah pilihan kultivar pisang yang tahan terhadap penyakit bunchy top sangat terbatas. Kultivar pisang yang dilaporkan tahan terhadap penyakit bunchy top adalah pisang tanduk, susu, dan rejang (Prasetyo dan Sudiono, 2004). Dari hasil penelitian Sulyo et al. (1992) diketahui bahwa kultivar Klutuk, Jimbluk, Kapas, dan Seribu tahan terhadap penyakit bunchy top. Pengendalian serangga penular (vektor). Penyakit virus kerdil pisang ditularkan melalui serangga penular, yaitu aphis Pentalonia nigronervosa. Untuk mencegah agar penyakit bunchy top tidak menular ke tanaman pisang lainnya, maka perlu dilakukan pengendalian serangga penularnya. Cara pengendalian yang dapat dilakukan, yaitu: a) secara mekanis melalui eradikasi tanaman pisang yang menjadi tempat berkembang biak aphis tersebut, b) secara hayati menggunakan musuh alami serangga aphis, yaitu apliasi jamur Beauveria bassiana, c) secara kimiawi menggunakan insektisida sistemik berbahan aktif imidakloprid. Penanaman bibit bebas penyakit. Bibit pisang yang bebas penyakit dapat diperoleh dari anakan pada rumpun pisang sehat di daerah non endemis penyakit bunchy top. Oleh karena bibit pisang banyak diperdagangkan, maka perlu diberikan pemahaman kepada penjual bibit pisang agar tidak menjual bibit yang dibudidayakan dari kebun yang sudah terjangkit penyakit bunchy top. Cara demikian dimaksudkan untuk menghindarkan penanaman bibit sakit ke daerah yang masih bebas (mencegah pemindahan bibit dari daerah endemis ke non endemis). Pencegahan penyebaran penyakit bunchy top ke suatu wilayah atau pulau yang masih bebas, dapat dilakukan melalui pengawasan masuknya bibit-bibit tanaman pisang oleh lembaga karantina tumbuhan baik di pelabuhan laut maupun pelabuhan udara. Bibit pisang yang bebas penyakit bunchy top dapat dibuat melalui kultur jaringan. Bibit bebas penyakit bunchy top bukan berarti tahan terhadap penyakit tersebut. Dalam prakteknya, bibit pisang yang dibuat melalui kultur jaringan adalah jenis pisang yang rentan terhadap penyakit bunchy top. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadi penularan penyakit bunchy 336 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 top pada pisang yang bebas penyakit tersebut perlu dilakukan pengawalan dan pencegahan penularan. 8. Pengembangan sistem pola tanam pisang multi kultivar. Ketahanan kultivar-kultivar pisang terhadap penyakit bunchy top bervariasi dan bersifat spesifik lokasi. Diduga virus penyebab penyakit bunchy top memiliki strain yang banyak dengan tingkat virulensi yang berbeda terhadap kultivar pisang yang berbeda. Untuk mencegah kehancuran pertanaman pisang yang dibudidayakan akibat serangan suatu strain virus bunchy top, disarankan untuk tidak menanam suatu kultivar pisang secara monokultur. Pertanaman multi-kultivar pisang memiliki kemampuan menghadapi serangan suatu strain virus bunchy top lebih baik daripada pertanaman mono-kultivar. Penanaman macam-macam kultivar pisang disesuaikan dengan preferensi konsumen. Persilangan untuk menghasilkan jenis pisang tahan penyakit Tanaman pisang yang tumbuh di Indonesia sebagian besar adalah tanaman asli Indonesia. Diantara berbagai jenis pisang tersebut, sekitar 20 jenis pisang telah menjadi jenis pisang yang dibudidayakan dan ratusan jenis lainnya yang masih liar. Ketahanan jenis-jenis tanaman pisang tersebut terhadap penyakit bunchy top sangat bervariasi dan berpotensi untuk menjadi indukan dalam upaya pemuliaan guna menghasilkan jenis yang unggul. Jenisjenis pisang yang di budidayakan di Indonesia banyak yang rentan terhadap penyakit bunchy top dan hanya sedikit yang tahan terhadap penyakit tersebut (Prasetyo dan Sudiono, 2004). Jenis-jenis pisang liar umumnya tahan terhadap penyakit bunchy top. Oleh karena itu, jenis-jenis pisang liar dapat digunakan sebagai induk tahan untuk disilangkan dengan pisang yang rentan tetapi memiliki keunggulan rasa buah yang manis. Sejauh ini, LIPI telah melakukan penyilangan beberapa jenis pisang. Misalnya saja, penyilangan antara pisang madu dari Sumatera Barat dengan pisang liar Musa acuminata malaccensis. Hasilnya adalah pisang enak dari segi rasa, tampilan bagus, bentuknya besar (satu tandan berisi bertumpuk-tumpuk), sekaligus tahan terhadap penyakit layu Fusarium dan hama lainnya. Saat ini, pihaknya juga masih terus mencari indukan sampai semua sifat unggul pisang terkumpul di indukan yang terpilih. Hasil penelitian tersebut diperkirakan baru bisa dinikmati 5 – 10 tahun lagi. Targetnya adalah terciptanya pisang tahan penyakit serta lezat cita rasa buahnya (Anonim, 2012). 337 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Kesimpulan Penyakit bunchy top pada tanaman pisang sangat virulen karena jika tanaman pisang telah terinfeksi ketika masih muda tidak akan menghasilkan buah, tanaman menjadi kerdil, daun kecil-kecil dan rapuh, pelepah-pelepah menjadi pendek sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Penyakit bunchy top telah tersebar luas di Indonesia dan hampir semua jenis-jenis pisang yang dibudidayakan rentan terhadap penyakit ini. Pengendalian penyakit bunchytop dapat dilakukan melalui: a) eradikasi, b) penanaman bibit bebas penyakit, c) varietas tahan, d) musuh alami vektor yaitu jamur Beauveria bassiana, e) sanitasi kebun dari inang alternatif virus bunchy top, f) menghindarkan pemindahan bahan-bahan tanaman terinfeksi dari daerah endemis ke daerah non endemis, g) pengembangan sistem pola tanam pisang multi varietas, dan h) melakukan sosialisasi pengendalian ke semua pihak yang terlibat dalam pengembangan komoditas pisang. Daftar pustaka Anonim. 2012. Lipi Terus Ciptakan Pisang Unggul Tahan Penyakit. < http://www.antaranews.com/berita/30-8-2012/330247/lipi-terus-ciptakan pisang-unggul-tahan-penyakit>. Hutagalung, Y. Sulyo, dan Zubir. 1982. Observasi penyakit tanaman pisang di daerah Kecamatan Ciputat, Padalarang, dan Cimahi. Laporan Subbalai Tan. Pangan, Segunung, dan Pusat Karantina Pertanian. Jakarta. Nelson, S.C. 2007. Alate. <http://www.hawaiiplantdisease.net/glossary/ Alate.htm> Prasetyo, J. dan Sudiono. 2004. Pemetaan persebaran penyakit bunchy top pada tanaman pisang di Provinsi Lampung. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. Vol. 4. No. 2. Salam, A. 2012. Hama, Penyakit dan Pengendalian Produk Pada Pisang. <http://dipertanaknunukan.blogspot.com/2012/04/hama-penyakit-danpengendalian-produk.html>. Semangun. 2007. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Edisi II. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sulyo, Y. 1992. Informasi mengenai hasil-hasil penelitian penyakit pisang mutakhir. Pros. Sem. Pisang Sebagai Komoditas Andalan. Segunung : 8 – 22. Sulyo, Y., A. Muharam, dan M. Winarno. 1992. Evaluasi ketahanan varietasvarietas pisang terhadap virus bunchy top. Pros. Sem. Pisang Sebagai Komoditas Andalan. Segunung: 38 – 48. 338 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 DETEKSI DAN EVALUASI SERANGAN PENYAKIT Grapevine Fanleaf Virus (GFLV) PADA SEPULUH VARIETAS ANGGUR YANG DITANAM BERSAMA KENIKIR (Tagetes erecta) Sri Widyaningsih dan M.E. Dwiastuti Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Jl. Raya Tlekung-Junrejo, No. 1, Batu, Jawa Timur Abstrak Grapevine Fanleaf Virus (GLFV) merupakan penyakit yang mengganggu pertumbuhan tanaman anggur dan menyebabkan kerugian yang besar, ditularkan oleh vektor nematoda Xiphinema index. Kenikir (Tagetes erecta) dapat digunakan untuk mengendalikan populasi nematoda. Penelitian ini bertujuan untuk deteksi dan evaluasi ketahanan sepuluh varietas anggur terhadap penyakit GFLV yang ditanam bersama kenikir sebagai tanaman border antar tanaman dan antar varietas. Penelitian di laksanakan di kebun plasma nutfah anggur Balitjestro, pada bulan Januari-Februari 2012. Tanaman anggur berumur 10 tahun, ditanam berbaris tiap varietas, sedangkan kenikir ditanam rata-rata dua kali setiap tahunnya. Sampel yang diambil berasal dari pohon yang bergejala dan tidak bergejala, masing-masing empat ulangan. Deteksi dan evaluasi ketahanan antar varietas dilakukan dengan pengamatan gejala visual, pengukuran panjang ruas batang, panjang tangkai (sulur) dan metode ELISA pada beberapa bagian tanaman anggur. Hasil menunjukkan karakteristik daun, ukuran ruas batang dan panjang tangkai yang bergejala GFLV tergantung pada jenis varietas. Deteksi dengan ELISA menunjukkan varietas BS 85 (Probolinggo Super), BS 89 (Prabu Bestari), BS 6 (Bali), dan BS 5 (Isabella) positif terinfeksi oleh GFLV, sedangkan 6 varietas yang lain bebas dari infeksi GFLV. Penggunaan kenikir sebagai tanaman border mampu mengurangi kecepatan penyebaran penyakit antar varietas. Kata kunci : deteksi, GFLV, varietas, anggur, kenikir Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman jenis buah yang berasal dari daerah subtropis yang tinggi. Tanaman anggur merupakan tanaman subtropis yang sudah beradaptasi di Indonesia sejak tahun 1880. Tanaman anggur sudah cukup lama dibudidayakan oleh petani di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Timur sejak tahun 1882 (Winarno, 1991). Tanaman anggur merupakan tanaman yang telah beradaptasi di Indonesia, tetapi tanaman ini rentan terhadap penyakit. 339 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Grapevine Fanleaf Virus (GLFV) yang disebabkan oleh serangan virus yang tergolong sebagai “nepovirus”, yaitu penyebaran virus melalui perantara nematoda (AGF, 2010). Menurut Rukmana (1999), penyebab penyakit daun kipas anggur ini ditularkan oleh nematoda tanah Xiphinema index. Gejala yang ditimbulkan dari serangan GFLV adalah terdapat perubahan warna pada daun (variasi klorotik), warna kuning pada daun dan spot mosaik dengan bentuk yang berbeda, urat daun mengkerut dan seakan-akan menyerupai kipas yang terbuka (Sutic et al., 1999). Menurut Andret-Link (2004) penyakit ini menyebabkan penurunan hasil sampai 80%, memperpendek umur produksi dan mempercepat kematian tanaman. Metode deteksi yang dilakukan antara lain penularan virus dari tanaman terinfeksi ke tanaman sehat, melalui okulasi atau penyambungan atau dengan mengolesi permukaan daun yang sehat dengan cairan (sap) tanaman terinfeksi (Agrios, 2005), pengamatan terhadap batang atas yang telah berkayu, disambungkan pada batang bawah tanaman indikator, dan deteksi secara molekular menggunakan jaringan tanaman (Rowhani et al. 1993). Menurut Rowhani (2005) belum ada metode deteksi penyakit virus pada anggur yang lengkap dan mendalam, masing-masing metode mempunyai kelemahan. Di Indonesia belum pernah dilakukan deteksi secara detail, pada umumnya deteksi hanya berdasarkan gejala yang muncul. Deteksi berdasarkan gejala sering hasilnya rancu dengan gejala abnormalitas tanaman yang lain misalnya keracunan senyawa kimia oleh pestisida atau gejala akibat serangan hama thrips dan defisiensi unsur hara (Pearson and Goheen 1998). Pengendalian penyakit ini umumnya dilakukan dengan cara aplikasi nematisida untuk membunuh nematoda tanah, mencabut dan memusnahkan tanaman yang sakit berat, serta pembongkaran tanaman untuk diremajakan dengan bibit bebas virus (Rukmana, 1999). Pengendalian lain dengan melibatkan pengetahuan molekuler dilakukan untuk mengubah fungsi protein GFLV tersebut agar tidak merusak tanaman anggur. Pendekatan lain pada bidang transgenik tumbuhan ialah dengan memanfaatkan akar batang bawah transgenik untuk menekan perkembangan GFLV (Andret-Link et al., 2004). Pengendalian vektor diduga berpengaruh menekan perkembangan penyakit GFLV. Kenikir (Tagetes sp.) mempunyai kemampuan meracun yang tinggi terhadap nematoda parasitik tanaman dan mampu menekan nematoda pada spektrum yang luas. Kenikir mempunyai kemampuan alelopati yaitu mengeluarkan senyawa yang toksik terhadap tanaman lain, mikroorganisme atau mikroorganisme yang lain seperti nematoda (Wang 340 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 et al. 2007). Penggunaan kenikir dilaporkan juga lebih efektif dibandingkan penggunaan nematisida atau fumigasi tanah yang juga mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil panen (Hooks et al., 2010). Tujuan penelitian ini adalah untuk deteksi dan evaluasi ketahanan sepuluh varietas anggur terhadap penyakit GFLV yang ditanam bersama kenikir sebagai tanaman border antar tanaman dan antar varietas. Metodologi Penelitian dilaksanakan di kebun plasma nutfah anggur dataran tinggi dan Laboratorium fitopatologi Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro), Batu, Jawa Timur, pada bulan JanuariFebruari 2012. Sepuluh varietas tanaman anggur yang diamati adalah BS 85 (Probolinggo Super), BS 45 (Carolina), BS 88 (Kediri Kuning), BS 86 (JestroAg86), BS 89 (Prabu Bestari), BS 60 (JestroAg60), BS 6 (Bali), BS 9 (Delawere), BS 5 (Isabella), dan BS 29 (White Malaga). Setiap varietas diamati dan ditentukan sebagai tanaman bergejala dan tidak, berdasarkan kenampakan visual pada daun, masing-masing 4 tanaman. Kemudian dilakukan pengukuran panjang ruas batang yang terletak 10 cm dari ujung cabang utama dan panjang tangkai (sulur) yang muncul pada jarak 100 cm dari ujung tangkai utama. Tanaman sampel bergejala kemudian dideteksi dengan uji ELISA secara komposit pada setiap varietas. Bagian tanaman yang diuji dibagi menjadi 4 bagian sebagai berikut : 1 : tangkai ujung, 2 : daun ujung, 3 : ruas ujung, 4 : daun ke-5. Sampel dibersihkan, diiris kecil-kecil kemudian ditimbang sebanyak 0,6 gram, digerus dan ditambah buffer grinding sebanyak 0,4 ml per sampel. Cairan disaring dengan kertas saring dan dimasukkan dalam tabung mikro, lalu disentrifuse 0 rpm selama 5 menit dan diinkubasi 4 jam dalam kulkas. Setelah diinkubasi, suspensi diambil sebanyak 100 µl dengan mikropipet dan dimasukkan ke dalam plate (plate sudah dibersihkan dengan PBST 3 kali selama 3 menit) dan diinkubasi pada inkubator selama 24 jam dengan suhu 30oC. Selanjutnya dibersihkan dengan PBST sebanyak 4 kali masing-masing 3 menit, lalu dikeringkan dengan tissue (dengan menepuk-nepukkan plate ke tissue yang dialasi kain sebanyak 5-6 kali, lalu tissue diganti sebanyak 3 kali). Setelah dikeringkan dengan tissue, disiapkan conjugate buffer (campuran larutan aquabides 3760 µl dengan ecl botol A dan botol B sebanyak 940 µl (Agdia, Amerika)) untuk membuat PNP substrat. Conjugate buffer ditambah dengan 1 tablet PNP sehingga didapatkan PNP substrat. Selanjutnya PNP substrat sebanyak 5 µl dimasukkan pada tiap lubang plate dengan menggunakan mikropipet. Ditunggu selama 30 menit agar terjadi reaksi, lalu dimasukkan larutan NaOH 1 tetes dan ditunggu selama 341 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 30 menit hingga terjadi perubahan warna. Hasil dibaca dengan ELISA reader untuk melihat nilai absorbansi tiap sampel. Ruas Daun Hasil dan pembahasan A. Karakterisasi Gejala pada Daun dan Ruas Daun Pengamatan yang dilakukan untuk melakukan deteksi penyakit GFLV adalah melakukan pengamatan dan penentuan tanaman anggur yang terserang virus tersebut. Penentuan ini dilakukan secara morfologis, dengan melihat karakter daun dan ruas daunnya. Hasil pengamatan karakteristik daun dan ruas daun pada 10 varietas anggur bergejala terinfeksi GFLV ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik daun 10 varietas tanaman anggur bergejala GFLV Varietas Karakter BS BS BS BS BS BS BS BS 85 45 88 86 89 60 6 9 Ukuran Kecil √ √ √ Bentuk Kipas √ √ √ √ √ Mozaik √ √ √ √ √ √ √ √ Permukaan tidak √ √ √ √ √ √ √ √ rata Zig zag √ √ √ √ Bertunas banyak √ √ √ √ √ √ √ √ Menurut Rowhani et al. (1993), penyakit yang disebabkan oleh GFLV menimbulkan gejala bentuk daun yang seperti kipas, daun berwarna kuning mosaik atau degenerasi seperti daun kipas yang disebabkan oleh malformasi dan diskolorasi daun. Akibatnya, pada tanaman anggur yang terinfeksi produksi buah anggur menurun. Daun anggur yang mengalami gejala mosaik berdampak pada aktivitas daun dalam reaksi fotokimia. Menurut Varadi et al. (2007), pada daun yang hijau menunjukkan energi cahaya yang diserap oleh kloroplas sangat tinggi. Aklimasi dari mekanisme pertahanan tanaman dapat mempertahankan aktivitas fotosintesis yang tinggi. Apabila terjadi penguningan terhadap daun, maka akan terjadi penurunan asimilasi fotosintetik CO2, dan proses disipasi energi non fotokimia juga akan menurun. Hal tersebut akan menyebabkan turunnya aktivitas tanaman sehingga tanaman tidak dapat tumbuh secara maksimal dan dapat rusak atau mati. B. Pengaruh GFLV pada Panjang Ruas dan Tangkai Tanaman Anggur Pengamatan panjang ruas dan tangkai tanaman anggur dilakukan untuk melihat pertumbuhan tanaman anggur yang sehat dan yang sakit. Hasil pengukuran panjang ruas pada 10 varietas tanaman anggur, 342 BS 5 √ √ BS 29 √ √ √ √ √ √ √ Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 diperoleh panjang ruas yang berbeda untuk tanaman anggur yang sehat dan terinfeksi. Data panjang ruas daun dalam 10 cm panjang batang menunjukkan bahwa pada umumnya panjang ruas daun untuk anggur yang sehat lebih panjang daripada anggur yang terinfeksi. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Perbandingan panjang ruas daun dalam 10 cm pada tanaman anggur sehat dan tanaman anggur bergejala GFLV. Pengukuran panjang ruas daun dalam 10 cm menunjukkan bahwa hampir seluruh varietas anggur kecuali BS 60 mempunyai panjang ruas yang lebih panjang pada tanaman sehat dibandingkan tanaman yang terinfeksi. Sementara panjang ruas untuk varietas BS 60 menunjukkan hal yang sebaliknya, sehingga diduga varietas ini lebih toleran terhadap infeksi GFLV. Hasil pengukuran panjang tangkai daun dalam 100 cm, pada 8 varietas menunjukkan panjang ruas tanaman anggur sehat lebih panjang dibandingkan tanaman yang terinfeksi, kecuali pada varietas BS 9 dan 29 (Gambar 2). Pengukuran panjang ruas daun dalam 10 cm dan 100 cm dilakukan untuk melihat pengaruh serangan virus GFLV terhadap pertumbuhan tanaman anggur. Pengukuran dalam 10 cm yang dimulai dari ujung percabangan daun ini merupakan pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh infeksi virus pada bagian meristem. Menurut Andret-link (2004), pertumbuhan cabang daun akan sangat tinggi pada bagian dekat ujung percabangan, karena ujung percabangan merupakan bagian meristem tumbuhan. 343 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 2. Perbandingan panjang tangkai daun dalam 100 cm tangkai utama pada tanaman anggur sehat dan tanaman anggur bergejala GFLV C. Pengujian ELISA pada 10 Varietas Tanaman Anggur Bergejala GFLV Uji ELISA pada tanaman anggur ini merupakan uji serologi untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi virus terhadap tanaman anggur. Pengujian ini dilakukan secara serologi., P.rinsip kerja ELISA yaitu antibodi (protein) virus yang spesifik terabsorbansi pada permukaan lubang polystyrene microtiter plate. Antibodi tersebut akan menangkap antigen (virus yang terdapat dalam sampel). Selanjutnya virus tersebut akan bereaksi dengan spesifik antibodi yang telah dilabel dengan enzim alkalin fosfatase. Ada tidaknya virus dalam sampel ditandai dengan berubahnya warna menjadi kuning setelah diberi penyangga substrat yang mengandung P-Nitrophenyl Phosphate. Perubahan warna terjadi karena P-Nitrophenyl diubah menjadi P-Nitrophenol yang intensitas warna kuningnya sebanding dengan banyaknya antigen yang tertangkap oleh antibodi (Clark & Adams, 1977). Hasil pada Gambar 3 menunjukkan nilai absorbansi yang divisualisasi dengan menggunakan ELISA reader. Beberapa varietas anggur seperti BS 85, BS 88, BS 89, BS 6, dan BS 5 memiliki nilai Uji ELISA yang tinggi untuk bagian tangkai ujung dan daun ujung. Bila dipergunakan rumus 2x nilai NC (NC=0.0215), maka batas nilai infeksi sebesar 0.043, sehingga nilai Uji ELISA untuk beberapa bagian varietas anggur yang melebihi batas nilai infeksi sebesar 0.043 antara lain tangkai ujung BS 85, tangkai ujung dan daun ujung BS 89, tangkai ujung dan daun ujung BS 6, serta tangkai ujung dan daun ujung BS 5. Nilai Uji ELISA yang tinggi dan melebihi dari batas nilai infeksi itu menunjukkan bahwa varietas anggur tersebut positif terinfeksi oleh GFLV. 344 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Menurut Acdiainc (2012), uji ini bereaksi dengan semua isolat GFLV yang diujikan. Reaksi ELISA sangat kuat, OD (optical density) pada nilai 405 nm berada dalam kisaran 9,300-3,000 tergantung pada titer virus dalam sampel yang diuji. Sensitivitas ELISA sangat tinggi, virus GFLV dapat dideteksi secara konsisten dalam jaringan tanaman yang terinfeksi pada pengenceran 1:270 – 1:810. Gambar 3. Nilai absorbansi hasil uji ELISA pada tanaman anggur (nilai NC = 0.0215, nilai PC = 0.056) Penggunaan kenikir sebagai border membantu mengurangi kecepatan penyebaran penyakit antar varietas, meskipun terdapat kemunculan gejala yang menyerupai gejala serangan GFLV (Tabel 1), tetapi ketika dilakukan pengujian dengan ELISA menunjukkan 6 varietas belum terinfeksi GFLV. Kesimpulan 1. Sepuluh varietas anggur memiliki ciri-ciri gejala serangan patogen penyebab penyakit Grapevine fanleaf virus yang hampir sama, yaitu ukuran daun yang kecil, bentuk daun yang mirip kipas atau setengah membuka, mozaik, permukaan daun yang tak rata, ruas daun yang zig zag, dan terdapat banyak tunas pada ruas batang. 2. Hasil uji ELISA menunjukkan bahwa varietas anggur yang terinfeksi GFLV adalah BS 85 (Probolinggo Super), BS 89 (Prabu Bestari), BS 6 345 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 (Bali), dan BS 5 (Isabella), dengan infeksi terjadi pada tangkai ujung dan atau daun ujung. 3. Penggunaan kenikir sebagai border antar tanaman dan antar varietas membantu mengurangi penyebaran penyakit GFLV pada sampel yang diamati. Daftar Pustaka Andret-Link,P, C. Laporte, L. Valat, C. Ritzenthaler, G. Demangeat, E. Vigne, V. Laval, P. Pfeiffer, C. Stussi-Garaud & M. Fuchs. 2004. Grapevine fanleaf virus: still a major threat to the grapevine industry. J Plant Pathol., 86 : 183–195. Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, Fifth editions, Elsevier Academic Press, New York. AGF. 2010. Grape Virus Diseases. <http://www.agf.gov.bc.ca /cropprot/grapeipm/virus.htm>.Diakses 21 Maret 2012. Acdiainc. 2012. Grapevine Fanleaf Virus (GFLV) - TAS ELISA. <http://www.acdiainc.com/GFLV-TAS.htm>. Diakses 15 Maret 2012. Clark, M.F. and A.N. Adams. 1977. Characteristics of the micro-plate method of enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. East Malling Research Station, Inggris. Hooks, C.R.R., K.H Wang, A. Ploeg and R. McSorley. 2010. Using marigold (Tagetes spp.) as a cover crop to protect crops from plantparasitic nematodes. Applied Soil Ecology 46 : 307-320. Pearson, RC and A.C. Goheen. 1998. Compedium of grape diseases.APS Press, USA. Rowhani, A., C. Chay, D. A. Golino, and B. W. Falk. 1993. Development of a polymerase chain reaction technique for the detection of Grapevine fanleaf virus in grapevine tissue. Phytopathology 83: 749-753. Rukmana, R. 1999. ANGGUR, Budi Daya & Penanganan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta. Rowhani, A.,J.K. Uyemoto, D.A. Golino and G.P. Martelli. 2005. Pathogen testing and certification of Vitis and Prunus species. Annu Rev Phytopathology 43 : 61-278. Sutic, D.D., R.E. Ford and M.T. Tosic. 1999. Handbook of plant virus diseases. CRC Press. New York. Váradi, Gy., E. Hideg, B. Bálo. 2007. GFLV (Grapevine Fanleaf Virus) induced injury in vine leaves. Research Institute for Viticulture & Enology. Hungaria. Winarno. 1991. Asal usul tanaman anggur dan penyebarannya, dalam Budidaya Tanaman Anggur. Puslitbanghorti , Jakarta. 346 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Wang, K.H, C.R Hooks and A. Ploeg. 2007. Protecting Crops from Nematode Pests: Using Marigold as an Alternative to Chemical Nematicides. Plant Disease (35). Cooperative of Hawai’i. 347 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS DAN PLASMANUTFAH PADI TERHADAP PENYAKIT VIRUS KERDIL RUMPUT DAN EFFEKTIVITASNYA SEBAGAI SUMBER INOKULUM Suprihanto1, Susamto Somowiyarjo2, Sedyo Hartono2, dan Y. Andi Trisyono2 1 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi/ Mahasiswa S3 Fitopatologi UGM 2 Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Abstrak Seiring dengan adanya perubahan iklim dewasa ini, perkembangan wereng batang coklat pada tanaman padi ternyata diikuti oleh adanya serangan virus yang ditularkannya. Penyakit virus kerdil rumput (rice grassy stunt virus) merupakan salah satu penyakit virus padi yang ditularkan wereng batang coklat. Sampai saat ini belum ada informasi tentang varietas tahan terhadap penyakit ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan beberapa varietas dan plasmanutfah padi terhadap penyakit virus kerdil rumput dan efektivitasnya sebagai sumber inokulum. Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Fakultas Pertanian UGM dan di rumah plastik Karang Tempel, Pedukuhan Kaliputih, Pendowoharjo, Sewon, Bantul pada bulan September 2013-Maret 2014. Sebanyak 14 varietas/plasmanutfah padi dan 1 varietas rentan TN 1 digunakan dalam penelitian. Penularan dilakukan dengan menggunakan vektor wereng batang coklat (WBC) instar 2. Periode makan akuisisi diberikan selama 3 hari, setelah melalui masa inkubasi 10 hari, WBC viruliverus digunakan untuk inokulasi pada varietas yang diuji selama 24 jam dengan 3 ekor WBC/tanaman. Penularan dilakukan sebanyak 10 tanaman pada masing-masing varietas yang diuji. Selanjutnya tanaman di tanam dalam pot dan dipelihara. Pengamatan dilakukan dengan skoring sesuai Standard Evaluation System for Rice IRRI. Hasil penghitungan indeks penyakit selanjutnya digunakan untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman. Enam varietas padi yang mewakili reaksi tahan, agak tahan dan rentan, dipilih dan digunakan sebagai sumber inokulum untuk ditularkan pada tanaman padi TN1 kembali untuk mengetahui tingkat efektivitasnya sebagai sumber inokulum virus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 14 varietas yang diuji, 4 varietas bereaksi tahan terhadap RGSV (Mentikwangi, Rojolele, Utri Merah, dan Oryza nivara), 9 varietas agak tahan (IR64, Tetep, Ciherang, IR42, Inpari 2, Situ Bagendit, Swarnalata, Inpari 13, dan Mahsuri) sedangkan 1 varietas rentan yaitu Inpari 1. Hasil uji penularan kembali pada varietas rentan (TN1) menunjukkan bahwa Varietas Mentikwangi, Inpari 13, dan Situ Bagendit mempunyai efektivitas yang cukup rendah sebagai sumber inokulum. Kata kunci: ketahanan, plasmanutfah padi, virus, kerdil rumput 348 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Pendahuluan Akibat adanya perubahan iklim dewasa ini telah terjadi serangan hama tanaman padi yang juga merupakan vektor virus yang menyerang pada tanaman padi, sehingga kerusakan yang ditimbulkan menjadi berlipat. Wereng coklat selain berperan sebagai hama utama, juga berperan dalam menularkan beberapa virus tanaman padi, antara virus kerdil hampa atau rice ragged stunt virus (RRSV) dan virus kerdil rumput atau rice grassy stunt virus (RGSV) (Hibino, 1996). Penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa akhir-akhir ini menjadi masalah di beberapa negara, seperti China, Vietnam, Philippina, Indonesia, dan Thailan (Zhou GH., 2010). Virus kerdil rumput dan kerdil hampa ditularkan secara persisten oleh WBC dan juga spesies Nilaparvata lainya (Shikata et al., 1980). Serangan penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa dapat terjadi secara bersama-sama ataupun secara terpisah. Khusus untuk serangan virus kerdil rumput, akan menunjukkan gejala penghambatan pertumbuhan, anakannya banyak, daunnya menjadi pendek dan sempit, dan tumbuhnya tegak serta berwarna hijau pucat atau kuning pucat. Seringkali pada daunnya terdapat bintikbintik atau bercak coklat tua. Kadangkala daunnya dapat tetap hijau jika diberi pupuk nitrogen yang cukup (Ling, 1972). Di Indonesia, perkembangan penyakit kerdil hampa (RRSV) dan kerdil rumput (RGSV) terjadi pada tahun 1970-an. Sejak tahun 2006 wereng coklat juga menularkan virus kerdil rumput tipe 2 yang meluas di sentra produksi padi di pulau Jawa, bahkan pada awal 2008 ditemukan di Simalungun Sumatra Utara (Baehaki, 2008). Dari tahun 2005 sampai 2010 serangan penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa selalu ditemukan di Indonesia. Tahun 2005 luas serangan virus kerdil rumput di Indonesia mencapai 1.038 ha dan 550 ha mengalami puso. Berikutnya dilaporkan tahun 2006 sampai 2010 berturut-turut luas serangan virus kerdil rumput mencapai 131 ha, 143 ha, 152 ha, 129 ha dan 342 ha (Ditlin 2010). Penyebaran penyakit virus kerdil rumput dapat diminimalisir dengan pengendalian terhadap vektornya secara kimiawi menggunakan insektisida, dan sanitasi lahan segera setelah panen untuk menurunkan sumber inokulum. Tetapi penggunaan insektisida mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai alternatif pengendalian yang lain adalah penggunaan varietas tahan (Nuque et al. 1982). Tetapi sampai saat ini informasi tentang varietas tahan di Indonesia masih sangat sedikit. Informasi varietas ataupun plasmanutfah padi tahan virus kerdil rumput sangat diperlukan selain untuk pengendalian penyakit secara langsung, juga sebagai bahan tetua dalam perakitan varietas tahan. Beberapa varietas padi yang pernah dilaporkan bereaksi tahan terhadap virus kerdil rumput dan kerdil hampa adalah varietas lokal Sikembiri Putih dan Siansirnun (Satomi, 1972 dalam Muhsin dan Widiarta, 2009). Spesias padi liar, Oryza nivara dilaporkan tahan terhadap virus kerdil rumput yang dapat digunakan sebagai tetua tahan dalam pemuliaan untuk perakitan varietas (Khush and Ling, 1974). 349 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan beberapa varietas dan plasmanutfah padi terhadap penyakit virus kerdil rumput dan efektivitasnya sebagai sumber inokulum. Bahan dan metode A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Fakultas Pertanian UGM dan di rumah plastik Karang Tempel, Pedukuhan Kaliputih, Pendowoharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta pada bulan September 2013-Maret 2014. B. Uji Ketahanan Varietas dan Plasmanutfah Padi Sumber inokulum virus kerdil rumput yang digunakan dalam penelitian adalah inokulum dari virus kerdil rumput yang diambil dari Bodeh, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta yang sudah dipisahkan dari infeksi virus kerdil hampa dan dipelihara pada varietas padi rentan TN1. Vektor yang digunakan adalah wereng batang coklat(WBC) yang dikoleksi dari lahan yang sama dan diperbanyak dalam kurungan serangga di rumah kaca. Sebanyak 15 varietas/plasmanutfah padi digunakan dalam uji ketahan terhadap virus kerdil rumput, yang terdiri dari: IR64 (aksesi 6613), Ciherang (aksesi 4842), IR42 (aksesi 77009), Inpari 1 (aksesi 6613), Inpari 2 (aksesi 6614), Inpari 13 (aksesi 7313), Situ Bagendit (aksesi 1483), Mentik Wangi (aksesi 1754), Rojolele (aksesi 4204), Tetep (aksesi 4215), Utri Merah (aksesi 2353), Swarnalata, Mahsuri (aksesi 635), Oryza nivara (aksesi 102164) dan sebagai kontrol menggunakan varietas rentan TN1. Semua varietas yang diuji diperoleh dari koleksi plasmanutfah Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang (Jawa Barat). Penularan dilakukan dengan cara instar 2 WBBC diberi kesempatan melakukan pemerolehan virus kerdil rumput pada inokulum tanaman sakit selama 3 hari, kemudian wereng dipindahkan pada tanaman sehat, setelah 10 hari masa inkubasi, wereng viruliverus diberikan kesempatan melakukan inokulasi pada varietas yang diuji selama 24 jam dengan kepadatan populasi 3 ekor WBC/tanaman. Inokulasi dilakukan dalam tabung uji dengan 1 tanaman/tabung. Penularan dilakukan pada sebanyak 10 tanaman pada masing-masing varietas yang diuji. Selanjutnya tanaman di tanam dalam pot dan dipelihara. Pengamatan dilakukan pada satu bulan setelah inokulasi terhadap gejala yang muncul selanjutnya dihitung keberadaan penyakit dan indeks penyakitnya untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman. Pengamatan dilakukan dengan skoring sesuai Standard Evaluation System for Rice, IRRI (1996). Skala skor 1 apabila tanpa gejala; skor 3 apabila tanaman tetap hijau, dengan helaian daun sempit, tidak ada penurunan tinggi tanaman, dan beberapa anakan kecil; skor 5 apabila tanaman tetap hijau dengan helaian daun sempit, terjadi 1-10% penurunan tinggi tanaman, dan dengan banyak anakan kecil; skor 7 apabila tanaman hijau sampai kuning dan daun sempit dengan beberapa bercak karat, terjadi 11-30% penurunan tinggi tanaman, dan banyak anakan kecil; dan skor 9 apabila tanaman hijau sampai kuning dan daun sempit 350 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 dengan banyak bercak karat, lebih dari 30% penurunan tinggi tanaman, dan banyak anakan kecil. Hasil skoring kemudian digunakan untuk menghitung indeks penyakit (IP) dengan rumus: = (3) + (5) + (7) + (9) Dengan n(3), n(5), n(7), dan n(9) adalah jumlah tanaman yang menunjukkan reaksi gejala masing-masing dengan skor 3, 5, 7, dan 9, sedangakan tn adalah total tanaman yang diamati. Respon ketahanan tanaman digolongkan berdasarkan perhitungan indeks penyakit (IP) dengan kriteria tahan jika IP= 0–3, agak tahan jika IP= >3–6 dan rentan jika IP= >6–9. C. Efektivitas Beberapa Varietas sebagai Sumber Inokulum Sebanyak enam varietas tanaman padi dipilih yang menunjukkan reaksi tahan, agak tahan dan rentan, serta kontrol rentan TN1 dari hasil uji ketahanan dan digunakan sebagai sumber inokulum untuk ditularkan pada tanaman padi TN1 kembali. Penularan dilakukan dengan cara yang sama (metode test tube) terhadap 10 tanaman padi TN1 untuk masing-masing sumber inokulum. Tanaman yang telah diinokulasi ditanam dalam baki plastik dengan 10 tanaman/baki. Perlakuan tersebut diulang sebanyak 3 kali dan pertanaman ditata dalam rancangan acak kelompok. Pengamatan dilakukan terhadap masa inkubasi penyakit, tinggi tanaman, dan gejala visual. Pengamatan terhadap gejala visual yang muncul akan dilakukan dengan skoring. Pengamatan tinggi tanaman, dan skoring gejala dilakukan pada 1 bulan setelah inokulasi. Selanjutnya dihitung prosentase punularan dan indeks penyakitnya sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas varietas padi sebagai sumber inokulum virus kerdil rumput. Hasil dan pembahasan A. Ketahanan Varietas/Aksesi Plasmanutfah Varietas dan aksesi plasmanutfah padi yang digunakan dalam uji ketahanan terhadap penyakit virus kerdil rumput ini sebagian adalah varietas yang memiliki latar belakang ketahanan terhadap wereng batang coklat yaitu varietas: IR64, Ciherang, IR42, Inpari 1, Inpari 2, dan Inpari 13 (Suprihatno et al. 2011). Varietas Swarnalata juga merupakan varietas padi tahan wbc mengandung gen bph6 dan biasanya dipakai sebagai varietas diferensial terhadap dalam uji biotipe WBC (Baehaki dan Munawar, 2009). Oleh karena itu adanya informasi tentang ketahanan varietas-varietas tersebut terhadap penyakit virus kerdil rumput akan melengkapi data dukung varietas sebagai komponen pengendalian WBC dan virus yang ditularkannya. Dari 14 varietas/aksesi plasmanutfah yang diuji, 3 aksesi menunjukkan reaksi tahan, 9 aksesi agak tahan, dan sisanya rentan terhadap penyakit virus 351 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 kerdil rumput (Tabel 1). Aksesi yang menunjukkan reaksi tahan yaitu: Mentik Wangi, Rojolele, Utri Merah dan padi liar O. nivara. Keempat aksesi ini dapat digunakan sebagai bahan perakitan varietas tahan virus kerdil rumput. Khusus untuk O. nivara, dilaporkan mempunyai gen ketahanan terhadap virus kerdil rumput (Khush and Ling 1974). Nuque et al. (1982) melaporkan bahwa ketahanan terhadap virus kersil rumput (RGSV) pada O. nivara dikendalikan oleh satu gen dominan. Mentik Wangi dan Rojolele merupakan varietas lokal yang masih banyak ditanam terutama di Jawa Tengah dan DIY. Utri Merah merupakan aksesi plasmanutfah yang diketahui mempunyai ketahanan terhadap penyakit tungro (Chowdhury 1999). Beberapa varietas yang merupakan varietas unggul tahan wereng terbukti mempunyai respon agak tahan terhadap virus kerdil rumput, kecuali Inpari 1 yang mempunyai respon rentan. Meskipun IR64 dan Ciherang mempunyai reaksi agak tahan terhadap virus kerdil rumput, tetapi keberadaan penyakitnya mencapai 90% atau lebih sehingga sebaiknya dihindari untuk ditanam di daerah endemis penyakit kerdil rumput. Dari varietas yang mempunyai ketahanan terhadap WBC, varietas Swarnalata yang paling baik ketahanannya terhadap kerdil rumput, yang ditunjukkan dengan tingkat keberadaan penyakitnya yang cukup rendah (45%) dan indeks penyakitnya yang juga rendah (3,2). Sedangkan Inpari 1 merupakan varietas yang menunjukkan reaksi rentan terhadap virus kerdil rumput hampir sama dengan TN1 dengan keberadaan penyakit juga mencapai 100%. Tabel 1. Respon ketahanan varietas/aksesi plasmanutfah terhadap penyakit virus kerdil rumput pada 30 hari setelah inokulasi No. Varietas/Plasmanutfah No. KP (%) IP Ketahanan Aksesi 1. IR64 6613 90 4,80 AT 2. Ciherang 4842 95 4,65 AT 3. IR42 7009 75 3,85 AT 4. Inpari 1 6613 100 6,10 R 5. Inpari 2 6614 65 3,65 AT 6. Inpari 13 7313 80 3,30 AT 7. Situ Bagendit 1483 70 3,60 AT 8. Mentik Wangi 1754 40 2,00 T 9. Rojolele 4204 55 2,39 T 10. Tetep 4215 85 5,56 AT 11. Utri Merah 2353 65 2,95 T 12. Swarnalata 45 3,20 AT 13. Mahsuri 635 70 4,50 AT Oryza nivara 14. 102164 30 1,20 T 15. TN1 100 7,3 R 16. Kontrol TN1 Sehat 0 0 - 352 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Keterangan: KP= keberadaan penyakit, IP= indeks penyakit, T= tahan, AT= agak tahan, R= rentan B. Efektivitas Beberapa Varietas sebagai Sumber Inokulum Kuantitas sumber infeksi penyakit virus tanaman padi dapat dikurangi dengan penggunaan varietas tahan yang dapat mengurangi infeksi maupun perbanyakan virus di dalam tanaman sehingga proporsi vektor untuk mendapatkan virus berkurang. Namun demikian, respon varietas yang secara visual tidak menunjukkan gejala ataupun bergejala ringan ketika terinfeksi virus seringkali dapat menjadi sumber inokulum yang baik di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas yang menunjukkan reaksi tahan terhadap virus kerdil rumput (RGSV) dapat menjadi sumber inokulum ketika ditularkan pada tanaman lain yang rentan. Oryza nivara dan Mentik Wangi yang pada pengujian ketahanan terhadap virus kerdil rumput menunjukkan respon tahan, ternyata dapat menjadi sumber inokulum bagi pertanaman yang lain. Dilihat dari masa inkubasi penyakit virus kerdil rumput yang relatif cepat pada Varietas TN1, O. nivara menunjukkan sebagai sumber inokulum yang baik. Masa inkubasi penyakit kerdil rumput dengan sumber inokulum dari O. nivara cukup pendek (19 – 30 hari) hampir sama dengan sumber inokulum varietas yang rentan TN1 dan Inpari 1, tetapi jika dilihat dari rata-ratanya (27,33 hari) menunjukkan berbeda nyata dengan sumber inokulum TN1 (24,53 hari). Rata-rata masa inkubasi paling lama terjadi pada pertanaman yang diinokulasi dari sumber inokulum Mentik Wangi yang berbeda nyata dibandingkan Inpari 1 dan kontrol rentan TN1 (Tabel 2). Tabel 2. Masa inkubasi penyakit virus kerdil rumput dan tinggi tanaman pada pengamatan 30 HSI tanaman TN1 yang diinokulasi dengan berbagai varietas sebagai sumber inokulum Sumber Masa Inkubasi Rata-rata Masa Tinggi Tanaman Inokulum (hari) Inkubasi (hari) (Cm) Inpari I 19 – 30 26,77 b 37,75 bc IR64 23 – 36 28,63 ab 36,95 bc Situ Bagendit 21 - 30 27,98 ab 41,32 ab Inpari 13 21 – 30 29,13 ab 43,40 ab Mentik Wangi 23 – 30 29,61 a 44,20 ab O. nivara 19 – 30 27,33 ab 32,45 c TN1 19 – 30 24,53 c 31,17 c Kontrol TN1 47,03 a Sehat Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT. 353 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Tinggi tanaman pada 30 hari setelah inokulasi virus kerdil rumput dari sumber inokulum varietas yang berbeda menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata. Rata-rata tinggi tanaman yang diinokulasi virus dari sumber inokulum O. nivara menunjukkan paling rendah dibandingkan dari sumber inokulum lainnya. Apabila dibandingkan kontrol sehat, terjadi penurunan tinggi tanaman sebesar 31% oleh infeksi virus kerdil rumput dari sumber inokulum O. nivara, hampir sama dengan penurunan tinggi tanaman oleh infeksi virus dari sumber inokulum varietas rentan (TN1) yang mencapai 33,72%. Tinggi tanaman hasil infeksi dari sumber inokulum O. nivara berbeda nyata dengan tinggi tanaman terinfeksi dari sumber inokulum Situ Bagendit, Inpari 13 dan Mentik Wangi (Tabel 3). Bahkan tinggi tanaman pada pertanaman hasil inokulasi dari ketiga sumber inokulum tersebut tidak berbeda nyata dengan kontrol tanaman sehat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun O. nivara merupakan varietas tahan virus kerdil rumput, tetapi dapat menjadi sumber inokulum yang efektif, sedangkan varietas Situ Bagendit, Inpari 13, dan Mentik wangi merupakan sumber inokulum yang kurang efektif. Tabel 3. Prosentase penularan dan indeks penyakit virus kerdil rumput pada pengamatan 30 HSI tanaman TN1 yang diinokulasi dengan berbagai varietas sebagai sumber inokulum Sumber Inokulum Prosentase Penularan Indeks Penyakit (%) Inpari I 100 a 6,33 ab IR64 100 a 7,33 a Situ Bagendit 70 bc 4,63 bc Inpari 13 66,67 c 3,60 c Mentik Wangi 56,67 c 2,90 c O. nivara 86,67 ab 6,93 a TN1 100 a 8,07 a Kontrol TN1 Sehat 0 d 0 d Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT. Hasil penghitungan prosentase penularan dari berbagai varietas sebagai sumber inokulum menunjukkan bahwa varietas Mentik Wangi, Inpari 13, dan Situ Bagendit merupakan varietas yang efektivitasnya sebagai sumber inokulum cukup rendah dibandingkan yang lain. Hal ini didukung pula oleh hasil penghitungan indeks penyakit yang juga paling rendah pada pertanaman hasil inokulasi dari sumber inokulum ketiga varietas tersebut (Tabel 4). Sedangkan untuk sumber inokulum varietas O. nivara, Inpari 1 dan IR64 menyebabkan respon yang tidak berbeda nyata pada prosentase penularannya dibandingkan kontrol sumber inokulum varietas rentan TN1. Dapat dikatakan bahwa ketiga varietas ini sama efektifnya sebagai sumber inokulum dibandingkan TN1. Oleh karena itu, meskipun O. nivara dan IR64 mempunyai ketahanan terhadap virus kerdil rumput, tetapi 354 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 mempunyai efektivitas yang baik sebagai sumber inokulum, sehingga dalam perakitan varietas jika digunakan sebagai tetua tahan perlu adanya perbaikan dengan varietas tahan lain sebagai tetua tahan, sedangkan IR64 tidak disarankan ditanam di daaerah endemi penyakit virus kerdil rumput. Kesimpulan Dari 14 varietas yang diuji ketahanan terhadap virus kerdil rumput (RGSV), 4 varietas bereaksi tahan, yaitu: Mentikwangi, Rojolele, Utri Merah, dan Oryza nivara; 9 varietas agak tahan, yaitu: IR64, Tetep, Ciherang, IR42, Inpari 2, Situ Bagendit, Swarnalata, Inpari 13, dan Mahsuri; sedangkan 1 varietas rentan, yaitu Inpari 1. Hasil uji penularan kembali pada varietas rentan (TN1) menunjukkan bahwa Varietas Mentikwangi, Inpari 13, dan Situ Bagendit mempunyai efektivitas yang cukup rendah sebagai sumber inokulum. Daftar pustaka Baehaki S.E. 2008. Perubahan wereng cokelat mencapaibiotipe 4 di beberapa daerah sentra produksi padi. Prosiding Simposium PEI Cabang Bogor. 18-20 Maret 2008. Baehaki S.E. dan Munawar D., 2009. Uji biotipe wereng coklat, Nilaparvata lugens STAL. Di sentra produksi padi. Dalam: Suprihatno B., Daradjat A.A., Satoto, Baehaki S.E., Suharto H., dan Suprihanto (Eds.). Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global mendukung Ketahanan Pangan. Buku 1. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Chowbury AK. 1999. Evaluating rice germplasm for resistance to rice tungro disease in West Bengal, India. Dalam: Chancellor TCB., O. Azzzam and KL. Heong (Eds). Rice Tungro Disease Management. International Rice Research Institute. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2010. Laporan tahunan luas dan intensitas serangan hama utama tanaman padi di Indonesia. Ditlin Tanaman Pangan. Jakarta. Hibino H. 1996. Biology and epidemiology of rice viruses. Annu. Rev. Phytopathol. 34: 249-274. IRRI, 1996. Standard Evaluation System for Rice. IRRI, P.O. Box 9333, 1099. Manila.Philippines. Khush G.S. and K.C. Ling, 1974. Inheritance of resistance to grassy stunt virus and its vector in rice. J. Hhered. 65: 14-136. Ling, KC. 1972. Rice virus Diseases. The IRRI. Los Banos, Laguna, Philippines. Muhsin, M. dan Widiarta I.N., 2009. Pengendalian penyakit tungro dan penyakit virus tanaman padi lainnya. Dalam: Daradjat A.A., Setyono A., Makarim A.K., dan Hasanuddin A (Ed). 2009. Padi: Inovasi Teknologi Produksi Buku 2. LIPI press, Jakarta. p. 473-498 355 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Nuque F.L., Aguiero V.M., and Ou S.H. 1982. Inheritance of resistance to grassy stunt virus in rice. Plant Disease 66: 63-64. Shikata E, Senboku T, Ishimizu T. 1980. The causal agent of rice grassy stunt diseases. Jpn. Acad. 56 Ser. B. P89-94 Suprihatno B., Daradjat A.A., Satoto, Suwarno, Lubis E., Baehaki S.E., Sudir, Indrasari S.D., Wardana IP., dan Mejana M.J. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Edisi Revisi. Balai Besar Penelitian tanaman Padi. Zhou GH. 2010. Introduction to new rice dwafr disease and its patogent Southern rice black-streaked dwarf virus. Chinese Sci. Bull. Desember 2008. 53 (23): 3677- 3685. 356 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 PENGGUNAAN MIKOVIRUS SEBAGAI AGENS PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT JAMUR PADA TANAMAN Supyani, H.S.Gutomo, Sri Widadi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta Abstrak Jamur merupakan patogen terpenting pada tanaman pertanian. Semua kelompok komoditas tanaman, yaitu padi-padian, hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman hias, dan lain-lain dapat diserangnya, dan menyebabkan kerugian yang besar. Secara umum, sampai sekarang belum ditemukan metode pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan terhadap penyakitpenyakit yang disebabkan oleh jamur. Akhir-akhir ini metode pengendalian hayati merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana di dalam pengendalian penyakit tanaman. Di luar negeri, penggunaan mikovirus (virus yang menginfeksi jamur) untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur (mikovirokontrol) sudah dilakukan. Salah satu contohnya adalah pengendalian penyakit Hawar Kastanye yang disebabkan oleh jamur Cryphonectria parasitica dengan menggunakan virus Cryphonectria hypovirus 1 (Anggota Famili Reoviridae). Cara ini sudah lama berhasil dilakukan di Eropa dan Amerika. Sekarang ini mikovirokontrol sudah mulai dikembangkan pada berbagai jamur patogen yang lain.Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati tertinggi di dunia. Indonesia merupakan satu dari 17 negara yang dikategorikan sebagai negara dengan megabiodiversitas dan dua dari hanya 25 hotspot dunia berada di negara kita. Berdasarkan realitas tersebut diperkirakan terdapat banyak mikovirus di alam yang dapat dikembangkan sebagai agens pengendalian hayati. Eksplorasi yang telah dilakukan pada jamur Rhizoctonia dan Fusarium di daerah Eks Karisidenan Surakarta mengindikasikan adanya mikovirus pada jamur Fusarium. Kata kunci: mikovirus, agens pengendalian hayati, jamur Pendahuluan Jamur merupakan patogen terpenting pada tanaman pertanian. Jamur dapat mengifeksi semua kelompok komoditas tanaman, yaitu padi-padian, hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman hias, dan lain-lain. Infeksi jamur pada berbagai tanaman tersebut menyebabkan penyakit dan kerugian yang besar (Semangun, 1996; Agrios, 1988). Secara umum, sampai sekarang belum ditemukan cara pengendalian yang efektif serta ramah lingkungan terhadap penyakit-penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Di era pasar bebas dan pertanian berkelanjutan sekarang ini penggunaan pestisida non- 357 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 organik sudah sangat dibatasi dan merupakan alternatif terakhir (Untung, 2003). Jamur, seperti halnya organisme eukariotik yang lain, dapat terinfeksi oleh sejumlah virus, dan mikovirus (virus yang menginfeksi jamur) telah ditemukan pada semua kelompok mayoritas jamur (Ghabrial, 2001). Sampai dengan tahun 2005, lebih dari 200 mikovirus telah diidentifikasi (Fauquet et al., 2005). Mikovirus pada jamur-jamur patogen tanaman juga sudah banyak yang diidentifikasi. Berdasarkan perkiraan besarnya jumlah spesies jamur di alam (sekitar 10.000 spesies yang telah diketahui dan jauh lebih banyak lagi spesies yang belum diketahui), diperkirakan ada jauh lebih besar jumlah mikovirus yang belum dikenali di alam. Sampling secara ekstensif terhadap isolat-isolat jamur di lapang menunjukkan relatif tinginya frekuemsi infeksi virus, yaitu berturutturut sekitar 65%, 20%, dan 2-28% untuk Helicobasidium mompa, Rosellinia necatrix dan Cryphonectria parasitica (Ghabrial, 2001). Kebanyakan mikovirus menginfeksi inangnya tanpa menyebabkan perubahan fenotip pada inangnya (tanpa gejala). Sebagian yang lainnya dapat menyebabkan perubahan karakter biologi diantaranya berupa penurunan virulensi jamur inangnya (menyebabkan hipovirulensi) (Ghabrial, 2001; Fauquet et al, 2005). Dari sudut pandang perlindungan tanaman, mikovirus yang demikian ini dapat dimanfaatkan sebagai agens pengendalian hayati penyakit jamur pada tanaman. Hingga kini telah lebih dari 10 sistem hipovirulensi (mikovirus yang menyebabkan hipovirulen inangnya) yang telah dipelajari, yang meliputi lebih dari 8 spesies jamur dan 10 spesies virus (Nuss, 2005). Pemanfaatan mikovirus sebagai agens pengendalian hayati yang telah berhasil dengan baik di lapangan adalah penggunaan Cryphonectria hypovirus 1 (CHV-1), suatu anggota famili Hypoviridae untuk mengendalikan penyakit hawar daun kastanye (chestnut blight) yang disebabkan oleh jamur Cryphonectria parasitica. Cara ini berhasil dengan baik di Amerika dan beberapa lokasi di Eropa (Milgroom et al., 2004; Enebak et al, 1994). Sampai sekarang, mikovirus-mikovirus yang lain mulai ditemukan, dikarakterisasi, serta dikembangkan sebagai agens pengendalian hayati. Untuk mengendalikan jamur yang sama, sekarang mulai dikembangkan mikovirus yang lain yaitu Mycoreovirus-1 (MyRV1), suatu anggota Reoviridae (Supyani et al., 2007; Hillman et al, 2004; Suzuki et al, 2004). Kerabat dekat dari MyRV1 tersebut, Mycoreovirus-3 (MyRV3) juga telah dikembangkan untuk mengendalikan penyakit busuk akar putih pada tanaman keras yang disebabkan oleh jamur Rosellinia necatrix (Ascomycetes) (Kanematsu et al., 2004). Pada jamur Fusarium, sampai sekarang paling tidak sudah dilaporkan ada empat mikovirus yang berasosiasi dengan hipovirulensi. Keempat mikovirus tersebut adalah Fusarium oxysporum Skippy virus yang diisolasi dari Fusarium oxysporum fsp. lycopersici (Anaya & Roncero, 1995), Fusarium poae 358 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 virus 1 yang diisolasi dari jamur Fusarium poae (Compel et al., 1999), Fusarium solani virus 1 (Partitiviridae) yang diisolasi dari jamur Fusarium solaini fsp. robiniae (Nogawa et al., 1996), dan Fusarium graminearum virus-DK21 yang diisolasi dari jamur Fusarium graminearum (Chu et al., 2002). Selain itu juga telah ditemukan mikovirus pada jamur Rhizoctonia dan jamur-jamur yang lain. `Di Indonesia, upaya pemanfaatan mikovirus sebagai agens pengendalian hayati baru mulai dirintis. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk mengetahui adanya mikovirus di lapangan. Mengingat Fusarium merupakan jamur patogen penting pada tanaman di Indonesia, maka jamur tersebut dipilih sebagai model. Metode penelitian A. Koleksi isolat-isolat jamur Fusarium Isolat-isolat jamur Fusarium dikoleksi dari daerah-daerah endemi jamur Fusarium di Jawa Tengah. Tanaman yang menunjukkan gejala infeksi Fusarium dipilih/ditandai. Kemudian bagian batang tanaman yang sakit (busuk kering) dipotong, dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, kemudian secepatnya dimasukkan ke dalam termos pendingin. Setelah sampai di laboratorium, sampel-sampel tanaman segera dipindah ke refrigerator bersuhu 4oC. Selanjutnya jamurnya ditumbuhkan pada media buatan. B. Kultur isolat-isolat jamur Fusarium pada media buatan Kultur isolat-isolat jamur Fusarium secara umum dilakukan menurut cara Streets (1972). Permukaan jaringan yang sakit disterilkan dengan 5% PURELOX. Bagian kecil dari daerah perbatasan antara jaringan sakit dan sehat dipotong, lalu diambil dan diletakkan di tengah petridis berdiameter 10 mm yang mengandung 28 ml PDA (potato dextrose agar). Seluruh isolat diberi nomor identitas sesuai dengan identitas yang tertera pada label saat isolasi dari lapang. Biakan diinkubasikan di rak percobaan pada suhu ruang selama 7 sampai 10 hari. C. Karakterisasi morfologi isolat-isolat jamur Fusarium Karakterisasi morfologi koloni jamur dilakukan menurut cara Hillman, et al. (1990). Potongan biakan berukuran 3x3x3 mm kubik diambil dari bagian tepi biakan stok berumur 1 minggu, lalu ditanam pada bagian tengah petridis berdiameter 10 mm yang mengandung 28 ml PDA. Biakan lalu diinkubasikan di rak percobaan pada suhu dan kelembaban ruangan. Biakan diamati pada hari ke 5, 7 dan 10. Karakter yang diamati dan dicatat antara lain adalah: diameter koloni, warna koloni, tekstur permukaan koloni dan kuantitas miselium udara. Apabila dari isolat-isolat yang damati ditemukan isolat-isolat dengan morfologi yang berbeda, maka isolat-isolat yang bersangkutan ditandai/dipilih dan didokumentasikan. Isolat-isolat terpilih selanjutnya diuji virulensinya. 359 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 D. Uji virulensi Uji Virulensi dilakukan menurut cara Elliston (1985). Buah apel yang sudah masak didesinfeksi permukaannya dengan 5% PURELOX. Buah apel lalu dilubangi permukaannya dengan ukuran diameter 7 mm sedalam 3-4 mm menggunakan alat pelubang gabus. Inokulum yang berupa potongan biakan jamur dimasukkan ke dalam masing-masing lubang dengan posisi menghadap ke dalam, lalu ditekan dengan spatula steril sampai terjadi kontak yang sempurna dengan jaringan apel. Bagian yang diinokulasi lalu dibalut dengan parafilm untuk mencegah kering, lalu buah apel diinkubasi di atas baki plastik pada suhu dan kelembaban ruang. Diameter lesio diukur pada hari ke 5, 7, 9, dan 12. E. Ekstraksi RNA total Ekstraksi RNA total dilakukan menggunakan TRIzol®RNA Extraction Kit buatan InvitrogenTM mengikuti petunjuk dari perusahaan. Biakan Fusarium pada 20 ml media potato dextrose broth (PDB) berumur 10 hari dipanen dengan cara disaring menggunakan Miracloth (Calbiochem). Miselium (≈75 mg) dihaluskan dengan mortar and pestle dengan bantuan nitrogen cair. Preparasi lalu diproses sesuai prosedur di dalam panduan dari perusahaan. RNA total yang telah diperoleh disuspensikan di dalam 30 µl air steril yang telah diperlakukan dengan DEPC. RNA total dianalisa dengan elektroforesis memakai 1 % gel agarose di dalam buffer TBE. RNA kemudian di cat dengan etidium bromida dan difoto. Hasil dan pembahasan A. Koleksi Isolat-isolat Fusarium dari Lapang dan Kultur Isolat-isolat Fusarium pada Media Buatan Mula-mula isolat-isolat Fusarium dikoleksi dari daerah sentra pertanaman cabai di daerah Boyolali, Jawa Tengah. Dari daerah ini diperoleh sebanyak 100 isolat. Isolat-isolat Fusarium juga dikoleksi dari daerah sentra pertanaman jahe di daerah Salatiga, Jawa Tengah. Dari daerah ini diperoleh sebanyak 100 isolat. Selain itu, isolat-isolat Fusarium juga dikoleksi dari daerah sentra produksi kentang di dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Dari Dieng terkumpul sebanyak 172 isolat jamur. Sehingga, dari ketiga komoditas tersebut di atas, total terkumpul sebanyak 372 isolat. B. Karakterisasi Fenotip Isolat-isolat Fusarium Ke-372 isolat Fusarium yang telah diperoleh dilakukan karakterisasi fenotip. Masing-masing isolat dikulturkan pada media PDA di dalam petridis berukuran 900 x 15 mm dan diinkubasikan di atas meja pada suhu ruang selama 1 minggu (Gambar 1 Kiri). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut menampakkan fenotip koloni yang beragam. Berdasarkan 360 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 profil koloninya, ke-372 isolat tersebut dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok fenotip koloni yang berbeda. Adapun deskripsi masing-masing kelompok fenotip tersebut adalah sebagai berikut (Gambar 1 Kanan): Kelompok A. Koloni halus tipis, krem, sedikit miselium udara putih. Kelompok B. Koloni halus, ungu, banyak miselium udara putih. Kelompok C. Koloni tebal, pink, muselium udara putih. Kelompok D. Koloni agak tipis, putih kotor, banyak miselium udara seperti kapas. Kelompok E. Koloni agak kasar, putih kotor, membentuk cincin, miselium udara. Berdasarkan karakter fenotipnya, terpilih 30 isolat Fusarium yang mengindikasikan hipovirulen. C. Uji virulensi Uji virulensi dilakukan dengan cara menginokulasikan ke-30 isolat terpilih pada buah apel, masing-masing isolat diulang sebanyak tiga kali (Gambar 2 Kiri). Hasil uji menunjukkan bahwa ke-30 isolat tersebut mempunyai virulensi yang beragam. Tingkat virulensi tertinggi ditemukan pada isolat A2 yang mewakili isolat virulen. Sedangkan isolat-isolat B6, C15, D19, and E20 merupakan isolat-isolat hipovirulent (Gambar 3). Terhadap isolat-isolat hipovirulen tersebut di atas selanjutnya dilakukan ekstraksi RNA total untuk mengetahui keberadaan genom virusnya. D. Ekstraksi RNA total Hasil ekstraksi RNA total terhadap miselia isolat-isolat Fusarium terpilih disajilan pada gambar 2 Kanan. Isolat C15 menampakkan profil RNA total yang berbeda dari isolat-isolat terpilih yang lain. Pada isolat ini terlihat ada dua pita tebal berukuran pendek. Dua pita tersebut diduga genom atau bagian genom mikovirus. Penelitian masih dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang kedua pita tersebut. 361 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Gambar 1. Kiri, Isolat-isolat isolat Fusarium dikulturkan pada media PDA di dalam petridis berukuran 900 x 15 mm dan diinkubasikan di atas meja pada suhu ruang selama 1 minggu. Keterangan: Kanan, Lima group isolat-isolat isolat Fusarium berdasarkan morfologi koloni. A. Koloni halus tipis, krem, sedikit miselium udara putih. B. Koloni halus, ungu, banyak miselium udara putih. C. Koloni tebal, pink, muselium udara putih. D. Koloni agak tipis, putih kotor, banyak miselium udara seperti kapas. E. Koloni agak kasar, putih kotor, membentuk cincin, miselium udara. Gambar 2. Kiri, Uji virulensi dilakukan dengan cara menginokulasikan Isolat Isolatisolat Fusarium pada buah apel, masing-masing masing isolat diulang sebanyak tiga kali. kali Keterangan: Kanan, Elektroforesis RNA total yang diekstraksi dari miselia isolat-isolat Fusarium terpilih pada1% pada1 gel agarose dalam bufer T TBE. Lajur A2 : 362 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 isolat virulen, lajur B6 - E20 : isolat-isolat hipovirulen. Tanda strip menunjukkan RNA ribosom jamur. Strip atas, 28s ribosomal RNA (2.5 kbp); strip bawah, 18s ribosomal RNA (2.0 kbp). Tanda panah menunjukkan (putative) RNA mikovirus. Gambar 3. Karakter biologi isolat-isolat jamur Fusarium terpilih.virulen (A2), hipovirulent (B6, C15, D19, and E20). Atas: Profil koloni pada media PDA. Bawah: Uji virulensi menggunakan buah apel. Daftar pustaka Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology, 3rd. ed. Academic Press, Inc.: New York. 803pp. Anaya, N and Roncaro, M.I. 1995. Skippy, a retroransposon from the fungal plant pathogen Fusarium oxysporum. Mol. Gen. Genet. 249 : 637-647. Chu,Y.-M., Joen, J.-J., Yea, S.-J., Kim,Y.-H., Yun, S.-H., et al. 2002. Doublestranded RNA mycovirus from Fusarium graminearum. Appl. Environ. Microbiol. 68 : 2529-2534. Compel, P., Papp, I., Bibo, M., Felute, C., and Hornok, L.1999. Genetic interrelationships and genome organization of dsRNA elements of Fusarium poae. Virus Genes 18 : 49-56. Elliston, J.E. 1985. Characteristics of dsRNA-free and dsRNA-containing strains of Endothia parasitica in relation to hypovirulence. Phytopathology 82:151157. Enebak, S.A., Hillman, B.I., and MacDonald, W.L. 1994. A hypovirulent Cryphonectria parasitica isolate with multiple, genetically unique dsRNA segments. MPMI 7 : 590-595. Farr, D. F., G. F. Bills, G. P. Chamuris, and A. Y. Rossman. 1989. Fungi on Plants and Plant Products in the United States. APS Press. St. Paul, Minnesota. 363 Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014 Fauquet, C. M., Mayo, M.A., Maniloff, J., Desselberger, U., and Ball, L.A. 2005. Virus Taxonomy: Eighth Report of the International Committee for the Taxonomy of Viruses. Academic Press, San Diego. Ghabrial, S. A. 2001. Fungal viruses. In O. Maloy and T. Murray, eds. Encyclopedia of Plant Pathology . John Wiley & Sons, New Yor 1: 478-483. Hillman, B. I., Supyani, S., Kondo, H. and Suzuki, N. 2004. A reovirus of the fungus Cryphonectria parasitica that is infectious as particles and related to the Coltivirus genus of animal pathogens. J Virol 78, 892–898. Hillman, B.I., Shapira, R., and Nuss, D.L. 1990. Hypovirulence-associated suppresion of host functions in Chryphonectria parasitica can be partially relieved by high light intensity. Phytopathology 80: 950-956. Kanematsu, S., Arakawa, M., Oikawa, Y. and 10 other authors. 2004. A reovirus causes hypovirulence of Rosellinia necatrix. Phytopathology 94: 561–568. Milgroom, M. G. and Cortesi, P. 2004. Biological Control of Chestnut Blight with Hypovirulence: A Critical Analysis. Annual Review of Phytopathology Vol. 42: 311-338. Nogawa, M., Kageyama, T., Nakatani, A., Taguchi, G., Shimosaka, M., and Okazaki, M. 1996. Cloning and characterization of mycovirus dsRNA from the plant pathogenic fungus Fusarium solaini fsp. robiniae.Biosci. Biothechnol. Biochem 60 : 784-788. Nuss, D.L. 2005. Hypovirulence: Mycoviruses at the fungal-plant interface. Nature 3: 632-642. Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Streets, R.B. 1972. Diagnosis of Plant Diseases. The University of Arizona Press, USA. Supyani, Hillman, B.I., and Suzuki, N. 2007. Baculovirus expression of all the mycoreovirus 1 genome segments and identification of the guanylyltransferase-encoding segment. Journal of general Virology 88, 342350. Suzuki, N., S. Supyani, K. Maruyama, and B. I. Hillman. 2004. Complete genome sequence of Mycoreovirus-1/Cp9B21, a member of a novel genus within the family Reoviridae, isolated from the chestnut blight fungus Cryphonectria parasitica. J Gen Virol 85:3437-3448. Untung, K. 2003. Optimalisasi pemanfaatan novel technologies dalam mendukung sistem perlindungan tanaman menuju pertanian berkelanjutan.Simposium Nasional Perlindungan Tanaman Indonesia. Yogyakarta, 10 Maret. 364