dampak kebijakan perdagangan terhadap dinamika ekspor

advertisement
DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP
DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM INDONESIA
KE NEGARA-NEGARA IMPORTIR UTAMA
DWI WAHYUNIARTI PRABOWO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
i
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul
DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP DINAMIKA
EKSPOR KARET ALAM INDONESIA KE NEGARA-NEGARA
IMPORTIR UTAMA
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2006
Dwi Wahyuniarti Prabowo
NRP. A151020331
ii
ABSTRAK
DWI WAHYUNIARTI PRABOWO. Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap
Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia Ke Negara-Negara Importir Utama
(HERMANTO SIREGAR sebagai ketua, dan ERWIDODO sebagai anggota
Komisi Pembimbing).
Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan
orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan. Melalui perdagangan, hasil-hasil produksi
pertanian dapat diserap oleh pasar baik domestik maupun internasional. Secara
khusus perdagangan internasional dapat meningkatkan manfaat yang diterima dari
pengelolaan sumberdaya domestik di suatu negara. Penelitian ini bertujuan untuk:
(1) menganalisis tren atau kecenderungan dalam perdagangan karet alam antara
Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika Serikat
dan Jepang, dan negara pesaing utama yaitu Thailand sebagai pembanding, (2)
menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan dan
penawaran impor dan ekspor karet alam asal Indonesia dan responnya terhadap
perubahan pendapatan di negara importir dan harga dunia, dan (3) merumuskan
implikasi dari perubahan kebijakan perdagangan dan lingkungan ekonomi
terhadap arus perdagangan karet alam antara Indonesia dan negara-negara
importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang.
Faktor dominan yang mempengaruhi permintaan impor karet alam
Amerika Serikat adalah pendapatan domestik brutonya dengan respon yang
elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan koefisien
adjustment yang relatif besar nilainya. Sedangkan kuantitas impornya tidak
responsif terhadap perubahan harga riil impor karet alam Amerika
Nilai elastisitas harga ekspor karet alam Indonesia yang dibandingkan
dengan Thailand untuk pasar Amerika Serikat menunjukkan dominasi ekspor
karet alam Indonesia di pasar Amerika Serikat, sedangkan dominasi ekspor karet
alam Thailand adalah di pasar Jepang karena nilai elastisitasnya yang lebih tinggi
dari pada Indonesia. Secara umum nilai elastisitas harga ekspor karet alam adalah
inelastis pada jangka pendek dan elastis pada jangka panjang. Komoditas
perkebunan ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses produksinya
dari penanaman sampai tanaman tersebut dapat menghasilkan sehingga usahausaha yang dilakukan untuk meningkatkan kuantitas ekspor melalui peningkatkan
produksi dalam jangka pendek sulit dilakukan tetapi memungkinkan dalam jangka
panjang.
Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan dalam bentuk
depresiasi mata uang dan pengendalian inflasi lebih efektif untuk meningkatkan
volume ekspor dari pada dengan kebijakan perpajakan.
Kata kunci: Karet alam, ekspor, kointegrasi, error correction, permintaan dan
penawaran.
iii
© Hak cipta milik Dwi Wahyuniarti Prabowo, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
iv
DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP
DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM INDONESIA
KE NEGARA-NEGARA IMPORTIR UTAMA
Oleh:
DWI WAHYUNIARTI PRABOWO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
v
Judul Penelitian
: Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Dinamika
Ekspor Karet Alam Indonesia Ke Negara-Negara Importir
Utama
Nama Mahasiswa : Dwi Wahyuniarti Prabowo
Nomor Pokok
: A151020331
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec.
Ketua
Dr. Ir. Erwidodo, M.Sc.
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A.
Tanggal Ujian: 29 April 2006
Tanggal Lulus: 22 Juni 2006
vi
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena hanya karena rahmat,
karunia dan pertolongan-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tulisan dalam bentuk
tesis ini dengan judul “Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Dinamika
Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara-negara Importir Utama” merupakan
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hasil penelitian dalam bentuk tesis ini disadari memang masih belum
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
untuk kesempurnaan tulisan ini.
Pada kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak
yang telah banyak membantu dalam proses penulisan tesis ini terutama kepada:
1. Papa dan mama sebagai inspirasi, Mas Ari, Mbak Reiny dan keluarga besar
Chaidir Kimin Dalimunthe untuk kasih sayang, dukungan dan segalanya yang
tidak cukup diungkapkan dengan kata-kata.
2. Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing dan
Bapak Dr. Ir. Erwidodo, M.S sebagai anggota komisi pembimbing yang
dengan
sabar
memberikan
arahan,
bimbingan
dan
masukan
untuk
kesempurnaan tesis ini serta Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.Ec yang telah
bersedia menjadi penguji luar komisi.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. dan segenap staf pengajar dan
administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor atas ilmu pengetahuan dan bantuan yang diberikan
selama menyelesaikan studi.
4. Dr. Ir. Chairil Anwar, M.Sc dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia,
Sucinpak dari Bank of Thailand Data Management Department, David G.
Michels dari United State International Trade Commission, Toru Matsumaru
dari The Society Rubber Industry Japan, T. Iwase dan Y. Taniguchi dari The
Japan Manufacturers Association atas kesediannya untuk membantu.
vii
5. Teman-teman Program Studi EPN angkatan 2001 dan 2002 terutama Mimi,
Kak Chuzaimah, Mbak Yati, Adam, Andre, Kak Anna dan Ima atas bantuan
dan kebersamaannya.
6. Fia, Widya, Novi, Nisma, Mbak Herni dan semua teman-teman di Graha
Matudilipa untuk imbas kepanikan yang dirasakan.
7. Cici, Lili, Erin, Astried, Poppi, Ruby dan Volta untuk dukungan, pengertian
dan tidak jemu bertanya kapan tesis selesai serta persahabatannya selama lima
belas tahun ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga tulisan hasil penelitian dalam bentuk tesis ini dapat
memberikan manfaat kepada penulis dan semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Mei 2006
Dwi Wahyuniarti Prabowo
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 22 Juni 1978 sebagai anak kedua
dari dua bersaudara pasangan S. Koes Prabowo (Alm.) dan Noniar (Almh.).
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Adhiyaksa I Jambi pada tahun
1991. Pada tahun 1994 lulus dari sekolah menengah SMP Xaverius II Jambi dan
pada tahun 1997 menamatkan sekolah menegah atas dari SMU Negeri I Jambi.
Pada tahun 1997 penulis diterima sebagai mahasiswa S1 Program Studi
Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN) dan menamatkannya pada tahun 2002. Penulis mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studi program S2 pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun
2002.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xv
I. PENDAHULUAN...............................................................................................
1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian..........................................................................................
9
1.4. Kegunaan Penelitian .....................................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................
12
2.1. Perdagangan Internasional ................................................................12
2.1.1. Pandangan Merkantilis................................................................
13
2.1.2. Keunggulan Absolut ................................................................14
17
2.1.3. Keunggulan Komparatif................................................................
21
2.1.4. Heckscher-Ohlin ...............................................................................
23
2.1.5.Analisis Keseimbangan Parsial...........................................................
24
2.2. Hambatan dalam Perdagangan ................................................................
25
2.2.1. Hambatan Tarif .................................................................................
2.2.2. Hambatan Non-Tarif ................................................................29
35
2.3. Error Correction Model..............................................................................
38
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ................................................................
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..............................................................................
45
3.1. Kerangka Teoritis .......................................................................................
45
3.1.1. Permintaan.........................................................................................
45
3.1.2. Penawaran..........................................................................................
49
3.1.3. Kebijakan Perdagangan................................................................
54
3.2. Kerangka Operasional.................................................................................
57
x
3.3. Hipotesis................................................................................................
60
IV. METODE PENELITIAN...................................................................................
61
4.1. Jenis dan Sumber Data................................................................................
61
4.2. Spesifikasi Model .......................................................................................
64
4.2.1. Permintaan Impor...............................................................................
64
4.2.2. Permintaan Ekspor ................................................................ 65
4.2.3. Penawaran Impor ...............................................................................
65
4.2.4. Penawaran Ekspor..............................................................................
66
4.3. Prosedur Analisis ........................................................................................
66
4.3.1. Uji Unit Root .....................................................................................
67
4.3.2. Uji Kointegrasi...................................................................................
68
4.3.3. Metode Pendugaan Model................................................................
69
4.3.4. Uji Diagnostik....................................................................................
70
72
4.3.5. Simulasi ............................................................................................
V. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KARET ALAM................................
74
5.1. Produksi Karet Alam...................................................................................
74
5.2. Ekspor Karet Alam .....................................................................................
77
83
5.3. Konsumsi Karet Alam.................................................................................
84
5.4. Impor Karet Alam.......................................................................................
89
5.5. Persetujuan dalam Perdagangan Karet Alam Internasional ..........................
93
5.6. Kebijakan Perdagangan Karet Alam............................................................
VI. DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM ............................................................
96
6.1. Pengujian Unit Root....................................................................................
96
6.2. Pengujian Kointegrasi.................................................................................
98
6.3. Permintaan Impor Karet Alam ................................................................
100
6.3.1. Permintaan Impor Amerika Serikat ....................................................
100
6.3.2. Permintaan Impor Jepang................................................................
102
103
6.3.3. Elastisitas Harga Impor Karet Alam dan Pendapatan..........................
6.4. Permintaan Ekspor Karet Alam................................................................
106
6.4.1. Permintaan Ekspor Amerika Serikat...................................................
107
6.4.2. Permintaan Ekspor Jepang ................................................................
108
xi
6.4.3. Elastisitas Harga Relatif Karet Alam dan Permintaan
110
Impor................................................................................................
6.5. Penawaran Impor Karet Alam ................................................................
112
6.6. Penawaran Ekspor Karet Alam ................................................................
114
6.6.1. Penawaran Ekspor Indonesia..............................................................
115
6.6.2. Penawaran Ekspor Thailand ...............................................................
117
6.6.3. Elastisitas Harga Ekspor Riil Karet Alam................................118
VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN
LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR
KARET ALAM................................................................................................
121
7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan................................................................
121
123
7.2. Dampak Kenaikan Harga Karet Alam Dunia...............................................
126
7.3. Dampak Kenaikan Pendapatan dan Harga Karet Alam Dunia......................
128
7.4. Dampak Depresiasi Nilai Tukar Mata Uang ................................................
130
7.5. Dampak Inflasi ...........................................................................................
131
7.6. Dampak Pengenaan Pajak Ekspor ...............................................................
133
7.7. Kombinasi Depresiasi dan Inflasi................................................................
134
7.8. Kombinasi Pajak Ekspor dan Inflasi............................................................
VIII. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................
136
8.1. Simpulan ................................................................................................
136
8.2. Implikasi Kebijakan..................................................................................
139
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ................................................................140
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
141
LAMPIRAN................................................................................................
145
xii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Contoh Keunggulan Absolut..............................................................................
17
2.
Contoh Keunggulan Komparatif ................................................................18
3.
Dampak Pemberlakuan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan ..............................
27
4.
Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor terhadap Kesejahteraan.............................
29
5.
Dampak Pemberian Subsidi Ekspor terhadap Kesejahteraan ..............................
31
6.
Dampak Pemberlakuan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan ............................
34
7.
Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan...........................
35
8.
Data-data yang Digunakan.................................................................................
61
9.
63
Definisi Variabel ...............................................................................................
10. Produksi Karet Alam dari Negara Produsen Utama................................ 75
11. Volume dan Pangsa Ekspor Karet Alam ............................................................
78
12
81
Komposisi Ekspor Karet Alam Indonesia Menurut Jenis Mutu ..............................
13. Komposisi Ekspor Karet Alam Thailand Menurut Jenis Mutu................................
82
14. Konsumsi Karet Alam Dunia .............................................................................
83
15. Volume Impor Karet Alam Dunia ................................................................
85
16. Volume dan Pangsa Impor Karet Alam Amerika dan Jepang .............................
88
17. Hasil Uji Unit Root untuk Setiap Variabel .........................................................
97
18. Hasil Uji Kointegrasi .........................................................................................
99
19. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permintaan Impor ......................
103
20. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permintaan Ekspor.....................
110
21. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Impor.......................
113
22. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Ekspor .....................
118
23. Dampak Kenaikan Pendapatan di Negara Importir.............................................
121
24. Dampak Kenaikan Harga Karet Alam Dunia......................................................
124
25. Dampak Kenaikan Pendapatan dan Harga Karet Alam Dunia ............................
126
26. Dampak Depresiasi Rupiah terhadap US Dollar .................................................
128
27. Dampak Inflasi ................................................................................................
130
28. Dampak Pajak Ekspor........................................................................................
132
29. Dampak Depresiasi Rupiah dan Inflasi ..............................................................
133
30. Dampak Pajak Ekspor dan Inflasi ................................................................
135
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Keseimbangan parsial ........................................................................................
24
2.
Dampak pemberlakuan tarif impor................................................................
26
3.
Dampak pemberlakuan tarif ekspor................................................................
28
4.
Dampak pemberian subsidi ekspor................................................................
30
5.
Dampak pemberlakuan kuota impor................................................................
33
6.
Dampak pemberlakuan kuota ekspor................................................................
34
7.
Skema kerangka pemikiran penelitian................................................................
59
8.
Volume ekspor karet alam Indonesia ................................................................
79
9.
Perkembangan harga rataan ekspor karet alam Indonesia ................................
80
10
Volume impor karet alam Amerika Serikat ........................................................
86
11. Volume impor karet alam Jepang................................................................
87
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data dan Sumber Data dalam Logaritma ..........................................................
145
2.
Proses Penyusunan Analisis Uji Unit Root........................................................
150
3.
Contoh Hasil Uji Statistik Unit Root pada Variabel ................................ 151
4.
Hasil Estimasi Permintaan Impor Karet Alam Amerika Serikat ........................
153
5.
Hasil Estimasi Permintaan Impor Karet Alam Jepang ................................154
6.
Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Indonesia dari
Amerika Serikat ...............................................................................................
155
7.
Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Thailand dari Amerika
Serikat..............................................................................................................
156
8.
Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Indonesia dari Jepang...............
157
9.
Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Thailand dari Jepang................
158
10
Hasil Estimasi Penawaran Impor Karet Alam ke Amerika Serikat ....................
159
160
11. Hasil Estimasi Penawaran Impor Karet Alam ke Jepang ................................
161
12. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia................................
13. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika
Serikat..............................................................................................................
162
14. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke Jepang..................
163
15. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ................................
164
16. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ke Amerika
Serikat..............................................................................................................
165
17. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ke Jepang...................
166
xv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan
orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan. Pertanian yang ingin diwujudkan adalah pertanian
yang maju, efisien, dan tangguh sehingga mampu meningkatkan dan
menganekaragamkan hasil, meningkatkan mutu dan derajat pengolahan produksi
serta menunjang pembangunan wilayah. Melalui perdagangan, hasil-hasil
produksi pertanian dapat diserap oleh pasar baik domestik maupun internasional.
Secara khusus perdagangan internasional dapat meningkatkan pemberdayaan
sumberdaya domestik di suatu negara, sebagai sarana pelepasan atau penyaluran
surplus bagi komoditi-komoditi pertanian dan sebagai sumber devisa utama yang
pada akhirnya diharapkan memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi.
Karet sebagai salah satu komoditas unggulan nasional memberikan
sumbangan yang cukup besar bagi devisa negara dan memiliki prospek ekonomi
yang cukup baik karena mampu bertahan selama masa krisis ekonomi yang
melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Dalam konteks perkembangan
ekspor dunia terlihat bahwa pada periode tahun 1994-1998 ekspor karet dunia
mengalami pertumbuhan sebesar 0.29 persen per tahun. Laju permintaan dunia
adalah sebesar 2.5 persen per tahun sedangkan laju penawaran hanya 0.2 persen
per tahun. Sedangkan jumlah ekspor karet alam dari Indonesia cukup berfluktuasi
dari tahun ke tahun pada periode 1998-2002, namun secara umum mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 13.14 persen per tahun. Hal ini menunjukkan
1
peluang pasar bagi ekspor komoditas karet Indonesia masih terbuka. Perhatian
yang ditujukan dalam upaya merespon peluang pasar karet alam ini tidak hanya
dalam bentuk peningkatan produksi tetapi juga harus memperhatikan sisi
perdagangan (Deperindag, 2004).
Thailand memegang peranan penting dalam perdagangan karet pada akhir
tahun 1980-an disaat Malaysia mengalami stagnasi produksi. Pada tahun 1969
pangsa ekspor karet Thailand baru mencapai sekitar 9.57 persen dari ekspor karet
dunia namun pada tahun 1998 pangsa ekspornya tumbuh menjadi 40.78 persen.
Pada periode yang sama, pangsa ekspor karet Indonesia adalah 22.8 persen dan
36.39 persen. Sementara itu pangsa ekspor Malaysia turun dari 44.81 persen pada
tahun 1969 menjadi 9.45 persen pada tahun 1998. Namun produksi karet di ketiga
negara tersebut terus meningkat. Pada periode 2001-2003, produksi karet alam
Thailand mengalami peningkatan sebesar 9.15 persen dari 2 350 ribu ton pada
tahun 2001 menjadi 2 565 ribu ton di tahun 2003, produksi karet alam Indonesia
meningkat sebesar 8.96 persen dari 1 540 ribu ton menjadi 1 678 ribu ton.
Sedangkan Malaysia mengalami peningkatan produksi sebesar 18.72 persen.
Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris secara tradisional merupakan negara
pengimpor utama karet alam. Pada tahun 1969 ketiga negara mengimpor sekitar
37.10 persen dari impor karet alam dunia. Pada tahun 1998 pangsa impor ketiga
negara mengalami peningkatan menjadi 42.16 persen. Perubahan pangsa impor
ketiga negara tersebut terjadi karena adanya perluasan pasar ekspor oleh negaranegara produsen terutama Malaysia.
Data Departemen Perindustrian dan perdagangan menunjukkan bahwa
impor karet alam Amerika Serikat pada periode 1998-2002 cenderung meningkat
2
secara perlahan dengan tren sebesar 13.2 persen. Sejalan dengan kenaikan impor,
konsumsi karet alam juga mengalami peningkatan. Hal yang sama terjadi untuk
Jepang, namun hal tersebut tidak terjadi untuk Inggris. Impor karet alam Inggris
saat ini sedang dalam kecenderungan menurun. Ketiga negara tersebut merupakan
negara-negara pengimpor yang cukup penting bagi Indonesia.
Malaysia merupakan pesaing utama Indonesia dalam perebutan pangsa
ekspor pada ketiga pasar di atas. Namun diperkirakan bahwa perkembangan
ekspor karet Malaysia akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumberdaya dan
tingginya tingkat upah pekerja. Sedangkan Indonesia masih mempunyai potensi
untuk berkembang karena dukungan biaya produksi murah dan lahan yang
tersedia (Ditjenbun, 1998).
Upaya untuk merebut pasar ekspor dan meningkatkan serta menstabilkan
nilai ekspor terhambat oleh sifat dasar dari komoditas pertanian itu sendiri.
Komoditas pertanian yang dalam hal ini adalah komoditas primer, pada dasarnya
memiliki karakter permintaan dan penawaran yang inelastis dan tidak stabil yang
berakibat pada instabilitas harga. Permintaan yang inelastis disebabkan karena
perubahan pendapatan rumah tangga di negara maju sebagai importir tidak
menyebabkan perubahan yang nyata dalam pola konsumsi mereka. Sedangkan
penawaran
inelastis disebabkan karena
adanya kekakuan
internal atau
infleksibilitas dalam pengerahan sumberdaya khususnya dalam komoditi tanaman
keras yang memerlukan masa penanaman yang lama.
Putaran Uruguay yang ditandatangani pada tanggal 15 April 1994,
merupakan langkah besar menuju liberalisasi dalam perdagangan internasional.
Komoditas pertanian juga termasuk di dalam perjanjian liberalisasi tersebut.
3
Sama halnya seperti perjanjian Putaran Uruguay lainnya, liberalisasi pertanian
mulai efektif dilaksanakan pada tahun 1995 setelah terbentuknya World Trade
Organisation
(WTO),
dimana
negara-negara
maju
berkomitmen
untuk
memperluas pasar, mengurangi bantuan domestik, dan subsidi ekspor.
Perkembangan dalam perdagangan internasional ini tentunya akan mempengaruhi
arus perdagangan yang terjadi antar negara.
Potensi Indonesia untuk meningkatkan ekspor karet alam dengan
ketersediaan sumberdaya untuk meningkatkan produksi tidaklah cukup untuk
memicu peningkatan permintaan ekspor dan merebut pangsa pasar tanpa adanya
kegiatan pemasaran yang baik dan kebijakan perdagangan yang mendukung.
Oleh karena itu diperlukan informasi mengenai pola dari arus perdagangan karet
alam Indonesia yang dapat menangkap dampak jangka pendek dan jangka panjang
dari perubahan pendapatan dan harga yang dapat digunakan untuk melakukan
prediksi dan simulasi dalam berbagai alternatif kondisi yang mungkin terjadi.
1.2. Perumusan Masalah
Pada awal tahun 2001 produksi karet alam internasional mencapai 3 460
ribu ton dengan tingkat pertumbuhan negatif sebesar 2.73 persen per bulan. IRSG
(International Rubber Study Group) meramalkan bahwa dalam 4 bulan, produksi
karet alam internasional akan meningkat menjadi 7 117 ribu ton dengan komposisi
peningkatan masing-masing untuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand adalah
sebesar 853 ribu ton, 295 ribu ton, dan 1 182 ribu ton. Indonesia merupakan
negara yang masih mengalami pertumbuhan produksi positif, yaitu 0.69 persen
per bulan. Sedangkan Malaysia dan Thailand menurunkan produksinya dengan
4
laju 0.45 persen dan 6.63 persen per bulan. Pada tahun 2003 produksi karet alam
Thailand, Indonesia, dan Malaysia masing-masing telah mencapai 2 565 ribu ton,
1 678 ribu ton dan 647 ribu ton dimana Gapkindo memperkirakan pada tahun
2004 akan terjadi peningkatan produksi karet alam sebesar 8.19 persen untuk
Thailand, 6.07 persen untuk Indonesia, dan 7.88 persen untuk Malaysia
(Deperindag, 2004).
Jumlah produksi karet alam Indonesia yang cenderung meningkat
dihadapkan pada masalah penetrasi pasar dimana harus bersaing dengan negaranegara produsen lain dan fluktuasi harga. Untuk merumuskan langkah-langkah
pengembangan produksi maupun ekspor, diperlukan informasi mengenai pola
perilaku dan tren atau kecenderungan dalam penawaran dan permintaan ekspor
dan impor karet alam pada perdagangan antara Indonesia sebagai eksportir dengan
negara-negara importir utama baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Harga karet alam pada pasar internasional cenderung fluktuatif dan
merupakan ciri yang berkelanjutan. Karet alam mengalami harga tertinggi pada
tahun 1979 yaitu sebesar US$ 2 778 per ton. Sedangkan harga karet terendah
yang pernah dicapai terjadi pada tahun 2000 yaitu hanya US$ 490 per ton. Pada
tahun 1998 hingga kini harga karet alam sedang berada pada tingkat yang relatif
rendah dan cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2002 harga karet mencapai US$
830 per ton dan pada tahun 2003 sedikit mengalami peningkatan dimana harga
berkisar antara US$ 940-960 per ton. Sedangkan kenaikan harga dalam rupiah
lebih disebabkan oleh dampak depresiasi nilai tukar.
Fluktuasi harga berdampak pada arus perdagangan karet alam dan upaya
pengembangan ekspor karet alam Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa
5
yang memiliki konsekuensi pada perubahan lingkungan ekonomi atau kebijakan
perdagangan yang secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara importir terkait dengan
tingkat permintaan impor dari negara-negar tersebut. Untuk itu diperlukan
informasi mengenai seberapa besar dampak perubahan harga dan pertumbuhan
ekonomi di negara-negara importir serta berapa lama perubahan tersebut dapat
mempengaruhi arus perdagangan yang diperlihatkan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Negosiasi Perdagangan Multilateral dalam rangka Putaran Uruguay
akhirnya mencapai kesepakatan pada tanggal 15 Desember 1994. Dokumen akhir
Putaran Uruguay mencakup ruang lingkup yang lebih luas dari putaran perjanjian
perdagangan sebelumnya, yaitu meliputi berbagai aspek ekonomi yang secara
nyata akan berpengaruh terhadap perekonomian dunia termasuk bidang pertanian.
Sebelum Putaran Uruguay, pertanian adalah bidang diluar cakupan GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade), karena Amerika Serikat pada tahun
1950 dengan hak legal yang dimilikinya telah menghalangi pelaksanaan untuk
komoditas pertanian. Agreement on Agriculture (AoA) atau perjanjian pertanian
adalah salah satu isu yang menjadi perhatian. Sama halnya seperti perjanjian
Putaran Uruguay lainnya, AoA mulai efektif dilaksanakan pada tahun 1995
setelah terbentuknya World Trade Organization (WTO).
Persetujuan pada bidang pertanian, termasuk didalamnya karet alam,
mencakup aspek akses pasar (market acces), bantuan domestik (domestic
support), subsidi ekspor (export subsidy), perlakuan khusus (special and
differential treatment), dan ketentuan-ketentuan kesehatan (sanitary and
6
phytosanitary measures). Penerapan persetujuan bidang pertanian ini dimulai
tahun 1995 dimana komitmen negara-negara maju untuk memperluas pasar,
mengurangi bantuan domestik, dan subsidi ekspor diharapkan terpenuhi dalam
enam tahun, sedangkan komitmen negara-negara berkembang diharapkan selesai
dalam waktu sepuluh tahun.
Pada komoditas karet, liberalisasi perdagangan akan menurunkan tarif
impor sebesar 40 persen.
Negara-negara pengimpor karet seperti Amerika
Serikat, Jepang, dan Inggris akan menurunkan tarif impor dari 5.5 persen menjadi
3.2 persen. Penurunan tarif tersebut akan dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 1995. Pada sisi negara-negara pengekspor, hambatan untuk ekspor pernah
diterapkan dengan menggunakan instrumen pajak ekspor. Malaysia pernah
menerapkan pajak ekspor karet alam pada tingkat relatif tinggi, sedang dan rendah
dalam tiga periode yaitu tahun 1960-1983, 1984-1991, dan 1992-1998. Thailand
juga pernah menerapkan pajak ekspor karet dengan intensitas yang sama dengan
diatas pada periode tahun 1969-1982, 1983-1988, dan 1989-1998. Sedangkan
Indonesia pernah menerapkan pajak yaitu 10 persen pada tahun 1969-1975, 5
persen pada tahun 1976-1981, dan 0 persen sejak 1982 (Limbong, 1994).
Fluktuasi harga karet alam yang masih berlanjut mendorong Indonesia,
Malaysia, dan Thailand sebagai negara eksportir utama karet alam, sepakat untuk
membentuk International Tripartite Rubber Corporation (ITRO) yang disetujui
pada tanggal 12 Desember 2001. Organisasi baru ini bertujuan mengawasi
perdagangan dan produksi karet untuk mendongkrak harga karet alam di pasar
dunia. Program-program ITRO adalah dalam bentuk Supply Management Scheme
(SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). SMS adalah program
7
pengurangan produksi karet alam sebesar 4 persen yang dilaksanakan pada tahun
2002 dan 2003. Sedangkan AETS adalah program pengurangan ekspor karet
sebesar 10 persen yang dimulai pada 1 Januari 2002.
Perubahan dalam berbagai kebijakan perdagangan tersebut dapat
mempengaruhi arus perdagangan karet antara Indonesia dengan negara-negara
importir utama. Oleh karena itu perlu dikaji berapa besar pengaruh kebijakan
tersebut dan berapa lama dampak kebijakan tersebut terlihat nyata dalam arus
perdagangan karet Indonesia untuk mengetahui efektivitas kebijakan yang
dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan-permasalahan yang coba
dijawab dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana tren atau kecenderungan dalam perdagangan karet alam antara
Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika
Serikat dan Jepang, serta negara eksportir pesaing yaitu Thailand sebagai
pembanding.
2.
Bagaimana hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan dan
penawaran impor dan ekspor karet alam asal Indonesia dan responnya
terhadap perubahan pendapatan di negara importir dan harga dunia.
3.
Apa dampak dari perubahan kebijakan perdagangan dan lingkungan ekonomi
terhadap arus perdagangan karet alam antara Indonesia dan negara-negara
importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang.
8
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pola
perdagangan karet alam Indonesia ke negara-negara importir utama. Secara lebih
terinci, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis tren atau kecenderungan dalam perdagangan karet alam antara
Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika
Serikat dan Jepang, dan negara pesaing utama yaitu Thailand sebagai
pembanding.
2. Menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan
dan penawaran impor dan ekspor karet alam asal Indonesia dan responnya
terhadap perubahan pendapatan di negara importir dan harga dunia.
3. Merumuskan implikasi dari perubahan kebijakan perdagangan dan lingkungan
ekonomi terhadap arus perdagangan karet alam antara Indonesia dan negaranegara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
pemegang kebijakan yang terkait dengan pengembangan perkaretan dan
perdagangan Indonesia dalam penyusunan kebijakan dan implikasinya yang
berguna untuk pengembangan perkaretan Indonesia ke depan. Khususnya manfaat
penelitian ini dapat diterapkan pada strategi pengembangan permintaan dan
penawaran karet alam Indonesia maupun strategi peningkatan daya saing ekspor
karet alam Indonesia di pasar internasional.
9
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mencoba untuk membangun model ekonometrika dinamis
yang dapat menangkap efek jangka pendek dan jangka panjang dari perubahan
pendapatan dan harga pada perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat
dan Jepang yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi dan simulasi
kebijakan dalam berbagai alternatif kondisi yang diasumsikan. Secara khusus,
model respon perilaku dari importir dan eksportir karet alam yang dibangun harus
memperhatikan hubungan jangka panjang antara tingkat pertumbuhan ekonomi
importir dengan tingkat impor karet alam di negara-negara tersebut, dan
kemampuan negara pengekspor untuk mempengaruhi tingkat ekspor mereka.
Analisis struktur dan parameter dari hubungan perilaku jangka panjang
pada pasar karet alam Indonesia menggunakan model ekonometrika dinamis
dalam bentuk persamaan error correction model (ECM) yang merupakan suatu
pendekatan untuk menghadapi masalah non stasioner dari time series dan spurious
correlation yang sering dihadapi untuk data deret waktu dari arus perdagangan.
Sedangkan kointegrasi digunakan untuk memisahkan spesifikasi dan estimasi dari
hubungan ekonomi jangka panjang dan penyesuaian dinamis jangka pendek yang
menuju ke keseimbangan jangka panjang.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dibedakannya bentuk dan
kualitas dari jenis karet alam yang akan diekspor dan diperdagangkan.
Permintaan karet alam dibatasi pada dua negara importir utama yaitu Amerika
Serikat dan Jepang. Sedangkan penawaran karet alam berasal dari dua negara
eksportir utama yaitu Indonesia dan Thailand sebagai pembanding.
10
Penelitian ini tidak memasukkan Malaysia sebagai salah satu produsen dan
eksportir karet alam yang cukup besar dalam analisis. Malaysia tidak dimasukkan
karena telah mengalami reorientasi perdagangan karet alam yang dilakukan
dengan mengembangkan industri pengolahan karet alam domestiknya dan
mengekspor barang jadi dengan harapan lebih memberikan keuntungan. Saat ini
ekspor dan produksi karet alam Malaysia cenderung mengalami penurunan dari
tahun ke tahun.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perdagangan Internasional
Suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional, menurut Krugman
dan Obstfeld (2000) didasarkan oleh dua alasan, yang mana setiap alasan tersebut
memberikan kontribusi dalam mendatangkan manfaat bagi negara yang
melakukan perdagangan. Pertama, suatu negara terlibat dalam perdagangan
karena setiap negara berbeda satu dengan yang lain. Negara seperti individu dapat
memperoleh manfaat dari perbedaan dengan melakukan kesepakatan untuk
menghasilkan sesuatu yang dapat dilakukannya dengan baik, dengan kata lain
melakukan spesialisasi. Kedua, suatu negara melakukan perdagangan untuk
mencapai skala ekonomi dalam produksi. Jika setiap negara hanya menghasilkan
beberapa jenis produk tertentu, maka setiap negara dapat menghasilkan produk
dalam skala yang lebih besar dan lebih efisien dari pada jika mencoba
menghasilkan semua produk yang dibutuhkan.
Perdagangan internasional secara teori membahas hubungan ekonomi
antar negara di dunia yang merupakan refleksi dari munculnya saling
ketergantungan (interdependence) antara satu negara dengan negara lainnya
karena adanya perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi
(resources) yang dibutuhkan. Suatu negara mungkin memiliki sumber daya alam
yang melimpah tetapi tidak memiliki teknologi dan modal untuk memprosesnya,
sebaliknya negara lainnya miskin sumber daya alam tetapi memiliki teknologi
yang mampu menjadikan sumber daya alam tersebut lebih dekat pada penggunaan
akhir dan memiliki nilai guna yang lebih tinggi (Salvatore dalam Heriawan,
12
2002). Teori-teori perdagangan secara umum banyak memusatkan perhatian pada
persoalan pola perdagangan internasional yang dapat berbeda dan bergeser karena
perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi.
2.1.1. Pandangan Merkantilis
Pada awal perkembangannya, perdagangan internasional terjadi karena
masing-masing negara berkepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduknya dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari hubungan
perdagangan tersebut. Pandangan Merkantilis mulai populer pada abad 16.
Penganut pandangan ini berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi sebuah negara
untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor
dan sesedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya
digunakan untuk menguasai logam-logam mulia khususnya emas dan perak
sebagai simbol kekayaan dan kekuatan yang akan memberikan kemakmuran bagi
penduduknya. Dengan demikian pemerintah melakukan berbagai upaya untuk
mendorong ekspor sebesar-besarnya dan mengurangi serta membatasi impor
sehingga diharapkan dapat mendorong output dan kesempatan kerja nasional.
Pandangan Merkantilis tersebut mendorong berkembangnya kolonialisme pada
saat itu.
Pada saat ini kekayaan suatu negara diukur dengan cadangan sumber daya
manusia, hasil produksi manusia, serta kekayaan alam yang tersedia untuk
memproduksi barang dan jasa. Semakin besar cadangan tersebut maka akan
semakin besar arus barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga
akan semakin besar pula standar hidup masyarakat negara tersebut. Pemikiran
13
Merkantilis
berkembang
terutama
di
negara-negara
Barat.
Terdapat
kecenderungan munculnya kembali neomerkantilisme yang diakibatkan oleh
kenyataan semakin tingginya pengangguran yang sangat mengkhawatirkan
pemerintahan suatu negara. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan
retriksi terhadap impor agar dapat mendorong kembali produksi domestik dan
kesempatan kerja.
2.1.2. Keunggulan Absolut
Keunggulan absolut didasari oleh pemikiran bahwa dua negara akan
melakukan perdagangan secara sukarela jika keduanya mendapatkan keuntungan.
Jika salah satu negara memperoleh keuntungan sementara negara lainnya
mengalami kerugian, maka tidak akan terjadi perdagangan. Pemikiran ini
merupakan reaksi terhadap pandangan Merkantilis yang percaya bahwa suatu
negara hanya dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan
mengorbankan negara lain (zero-sum game).
Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations (1776) mengemukakan
bahwa suatu negara dapat mengkonsentrasikan untuk menghasilkan suatu barang
saja dan menjual sebagiannya untuk memperoleh barang lainnya dan tidak perlu
ada kekhawatiran atas perdagangan yang mereka lakukan. Menurut Adam Smith,
perdagangan antara dua negara didasarkan kepada keunggulan absolut.
Jika suatu negara lebih efisien dari pada negara lain dalam memproduksi
sebuah komoditi (memiliki keunggulan absolut), namun kurang efisien dibanding
dengan negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya (memiliki kerugian
absolut), maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara
14
masing-masing melakukan spesialisasi dalam komoditi yang memiliki keunggulan
absolut dan menukarnya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut.
Dengan proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang
paling efisien.
Secara umum keunggulan absolut suatu negara terjadi apabila untuk satu
unit masukan yang sama, negara tersebut dapat menghasilkan suatu barang dalam
jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan negara lain. Maka negara tersebut
akan melakukan spesialisasi untuk menghasilkan produk yang memiliki
keunggulan absolut tersebut. Atau dengan kata lain untuk menghasilkan satu unit
barang tertentu, suatu negara dapat menghasilkannya dengan jumlah jam tenaga
kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain sebagai cerminan
produktivitas.
Keunggulan absolut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut. Misalkan
ada dua negara yaitu Home dan Foreign yang menghasilkan dua komoditi yang
sama yaitu gandum dan kain. Teori diatas mengasumsikan bahwa hanya ada satu
faktor produksi yaitu tenaga kerja yang dinotasikan dengan L sebagai total sumber
daya yang digunakan. Teknologi dimasing-masing negara ditunjukkan oleh
produktivitas tenaga kerjanya dalam bentuk jumlah jam kerja yang dibutuhkan
untuk menghasilkan satu unit gandum dan kain yang dinotasikan oleh a LG dan
*
*
a LK untuk Home, sedangkan di Foreign dengan notasi a LG
dan a LK
.
Setiap perekonomian memiliki sumber daya yang terbatas, maka terdapat
batasan
dalam
menghasilkan
suatu
produk.
Terdapat
trade-off
dalam
memproduksi dua komoditi di suatu negara yang menggunakan satu faktor
produksi yang sama dimana untuk menghasilkan tambahan satu karung gandum
15
maka perekonomian harus mengorbankan satuan tertentu dari kain yang
dihasilkan. Trade-off ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva kemungkinan
produksi (production possibility frontier) yang menunjukkan jumlah maksimum
gandum yang dapat diproduksi pada jumlah tertentu kain yang dihasilkan. Ketika
hanya ada satu faktor produksi maka kurva kemungkinan produksi suatu
perekonomian akan berbentuk garis lurus. Jika QG adalah jumlah gandum yang
dihasilkan, dan Q K adalah jumlah kain yang dihasilkan, maka tenaga kerja yang
digunakan untuk menghasilkan gandum adalah a LG QG sedangkan tenaga kerja
yang digunakan untuk menghasilkan kain adalah a LK Q K . Maka batasan produksi
di suatu negara dapat dinyatakan sebagai berikut:
a LG QG + a LK Q K ≤ L
Pada saat kurva kemungkinan produksi merupakan garis lurus maka biaya
korbanan (opportunity cost) dari satu karung gandum dinyatakan dalam kain
adalah konstan. Opportunity cost ini dapat didefinisikan sebagai jumlah kain yang
dihasikan dalam perekonomian yang harus dikorbankan untuk menghasilkan
tambahan gandum. Untuk menghasilkan tambahan satu karung gandum akan
dibutuhkan a LG jam tenaga kerja. Setiap jam tenaga kerja ini dapat digunakan pula
untuk menghasilkan 1 a LK
meter kain maka opportunity cost dari gandum
dinyatakan oleh kain adalah a LG a LK .
Keunggulan absolut dapat diperlihatkan oleh ilustrasi numerik pada Tabel
1, dimana dua negara menghasilkan dua komoditi yang sama yaitu gandum dan
kain. Pada Tabel 1 terlihat bahwa keunggulan suatu negara dalam menghasilkan
16
suatu produk didasarkan pada produktifitas tenaga kerjanya yang ditunjukkan oleh
banyaknya jam kerja untuk menghasilkan satu unit produk.
Tabel 1. Contoh Keunggulan Absolut
Negara
Gandum
Kain
Home
a LG = 6 jam/ karung
a LK = 4 jam/ meter
Foreign
*
a LG
= 1 jam/ karung
*
a LK
= 5 jam/ meter
Sumber: Salvatore, 1997.
Home memiliki keunggulan absolut dalam menghasilkan kain karena jam kerja
yang digunakan untuk menghasilkan satu meter kain lebih rendah dari pada di
*
Foreign dimana a LK < a LK
. Sedangkan Foreign memiliki keunggulan absolut
dalam
menghasilkan
gandum
dimana
*
a LG > a LG
menunjukkan
bahwa
produktivitas di Home dalam menghasilkan gandum lebih rendah. Maka
berdasarkan pemikiran Adam Smith, sebaiknya Home berkonsentrasi untuk
menghasilkan dan mengekspor kain, dan mengimpor gandum dari Foreign untuk
memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Sedangkan Foreign berspesialisasi untuk
menghasilkan gandum dan mengimpor kain.
2.1.3. Keunggulan Komparatif
David Ricardo mengembangkan pemikiran baru mengenai keunggulan
komparatif berdasarkan pemahaman mengenai keunggulan absolut. Dasar
pemkiran tersebut
adalah bahwa perdagangan internasional tetap akan
memberikan manfaat pada suatu negara walaupun negara bersangkutan tidak
memiliki keunggulan absolut apapun, sepanjang masih ada perbedaan rasio harga
antara dua barang di negara-negara yang berdagang. Pada tahun 1817 David
17
Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principle of Political Economy and
Taxation, yang berisikan penjelasan mengenai hukum keunggulan komparatif.
Hukum keunggulan komparatif menyatakan bahwa meskipun suatu negara
kurang efisien atau tidak memiliki keunggulan absolut dibandingkan negara lain
dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih terdapat dasar untuk
melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang
tidak memiliki keunggulan absolut harus melakukan spesialisasi dalam
memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih
kecil dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar.
Komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil berarti memiliki keunggulan
komparatif.
Hukum keunggulan komparatif dari Ricardo didasarkan pada sejumlah
asumsi yang disederhanakan yaitu (1) hanya terdapat dua negara dan dua
komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang
sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya
produksi konstan, (5) tidak terdapat biaya transportasi, dan (6) tidak ada
perubahan teknologi. Sebagai ilustrasi, misalkan terdapat dua negara yaitu Home
dan Foreign yang menghasilkan dua produk yang sama yaitu gandum dan kain.
Produktifitas dalam menghasilkan gandum dan kain di masing-masing negara
diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Contoh Keunggulan Komparatif
Negara
Gandum
Kain
Home
a LG = 6 jam/ karung
a LK = 4 jam/ meter
Foreign
*
a LG
= 1 jam/ karung
*
a LK
= 2 jam/ meter
Sumber: Salvatore, 1997.
18
Perbedaan Tabel 2 dengan Tabel 1 adalah produktivitas Foreign dalam
menghasilkan kain meningkat dimana sebelumnya untuk menghasilkan satu meter
kain menghabiskan 5 jam tenaga kerja tetapi sekarang hanya membutuhkan 2 jam
tenaga kerja. Hal ini menyebabkan Home tidak memiliki keunggulan absolut
dalam menghasilkan gandum maupun kain. Namun itu tidak berarti bahwa Home
tidak dapat melakukan perdagangan karena masih ada keunggulan komparatif.
Produktivitas tenaga kerja dalam teori keunggulan komparatif dinyatakan
dalam bentuk relatif dimana produktivitas menggambarkan tingkat teknologi
tertentu di masing-masing negara. Komoditi yang memiliki keunggulan
komparatif ditunjukkan oleh produktivitas relatifnya yang lebih tinggi. Tabel 2
memperlihatkan bahwa produktivitas relatif dalam menghasilkan kain lebih tinggi
di Home dari pada menghasilkan gandum karena a LG a *LG > a LK a *LK atau
a LK a LG < a *LK a *LG dimana rasio kebutuhan tenaga kerja untuk menghasilkan
satu meter kain dibandingkan satu karung gandum lebih rendah di Home dari pada
di Foreign. Maka dapat disimpulkan bahwa Home memiliki keunggulan
komparatif dalam menghasilkan kain. Oleh karena itu Home berspesialisasi untuk
menghasilkan kain yang kelebihan produksinya akan diekspor, sedangkan gandum
akan diimpor dari Foreign yang lebih efisien dalam memproduksinya.
Kurva kemungkinan produksi mengilustrasikan berbagai kombinasi
produk yang dapat dihasilkan di dalam perekonomian. Untuk mengetahui apa
yang perekonomian produksi secara aktual dapat diperlihatkan oleh harga dalam
bentuk harga relatif dua produk dalam perekonomian yaitu harga suatu produk
yang dinyatakan oleh produk lain. Dalam perekonomian yang sederhana seperti
pada ilustrasi sebelumnya dimana tenaga kerja adalah satu-satunya faktor
19
produksi, penawaran gandum dan kain akan dinyatakan oleh perpindahan tenaga
kerja ke sektor mana yang memberikan upah tertinggi.
Jika dimisalkan PG dan PK adalah harga gandum dan harga kain, dan
tidak ada profit dalam model satu faktor ini, maka upah per jam di sektor gandum
akan sama dengan nilai dari berapa yang pekerja dapat hasilkan dalam satu jam.
Oleh karena itu tingkat upah pekerja per jam di sektor gandum dinyatakan oleh
PG a LG , sedangkan tingkat upah per jam di sektor kain dinyatakan oleh PK a LK .
Upah di sektor gandum akan lebih tinggi jika PG PK > a LG a LK , karena setiap
orang akan ingin bekerja pada industri yang menawarkan upah tertingi, maka
perekonomian akan berspesialisasi pada produksi gandum. Begitu pula sebaliknya
jika upah di sektor kain yang lebih tinggi. Opportunity cost dari gandum yang
dinyatakan oleh kain adalah a LG a LK , maka dapat disimpulkan bahwa
perekonomian akan berspesialisasi untuk menghasilkan gandum jika harga relatif
gandum lebih besar dari opportunity cost-nya, dan sebaliknya perekonomian akan
berspesialisasi untuk menghasilkan kain jika harga relatif gandum lebih rendah
dari opportunity cost-nya.
Dengan
adanya
perdagangan
internasional,
Home
tidak
harus
menghasilkan dua komoditi sendiri. Dua negara mendapatkan manfaat dari
perdagangan dengan adanya spesialisasi karena perdagangan dianggap sebagai
metode atau cara tidak langsung dari produksi. Akan tetapi teori keunggulan
komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo ini memiliki kelemahan. Pertama,
teori ini meramalkan tingkat spesialisasi yang ekstrim dimana dalam dunia nyata
sangat jarang ditemukan. Kedua, mengabaikan kemungkinan peranan skala
ekonomi sebagai penyebab perdagangan, sehingga model ini gagal menjelaskan
20
arus perdagangan yang cukup besar antar negara yang tampaknya sama.
Kelemahan ini memunculkan pemikiran baru yang dikenal dengan model
Heckscher-Ohlin (HO) yang menggunakan asumsi teknologi identik tetapi dengan
faktor produksi yang lebih dari satu (Siregar, 2000).
2.1.4. Heckscher-Ohlin
Para ekonom klasik sebelumnya beranggapan bahwa keunggulan
komparatif di suatu negara bersumber dari perbedaan tingkat produktivitas tenaga
kerja sebagai satu-satunya faktor produksi yang diperhitungkan secara eksplisit.
Namun dasar pemikiran tersebut tidak memberikan penjelasan rinci mengenai
penyebab
perbedaan
tingkat
produktivitas.
Heckscher-Ohlin
mencoba
mengembangkan pandangan klasik tersebut dengan menelaah penyebab
munculnya keunggulan komparatif bagi setiap negara dan dampak yang
ditimbulkan oleh perdagangan terhadap pendapatan faktor produksi di kedua
negara yang terlibat.
Faktor penentu utama keunggulan komparatif bagi masing-masing negara
yang merupakan landasan dalam melakukan perdagangan menurut HeckscherOhlin adalah kelimpahan faktor secara relatif atau kepemilikan faktor-faktor
produksi yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Atas dasar alasan
ini maka model H-O disebut juga sebagai Teori Kepemilikan Faktor (Factor
Endowment Theory) atau Teori Proporsi Faktor (Factor Proportion Theory).
Teori Heckscher-Ohlin atau teori kelimpahan faktor dalam Salvatore
(1997) didefinisikan ke dalam dua buah teorema yang saling berhubungan yaitu
teorema H-O dan teorema penyamaan harga faktor. Menurut teorema H-O suatu
21
negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap
faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu
bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditi yang produksinya
memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Teorema ini
menjelaskan bahwa kelimpahan faktor dan harganya secara relatif merupakan
penyebab perbedaan harga relatif antara dua negara yang menjadi dasar untuk
melakukan perdagangan.
Teorema penyamaan harga faktor (price factor equalization theorem)
hanya berlaku jika teorema H-O berlaku. Selanjutnya teorema ini lebih popular
dengan sebutan teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson (H-O-S). Teorema ini
mendefinisikan bahwa perdagangan internasional akan mendorong terjadinya
penyamaan harga-harga faktor, baik secara relatif maupun secara absolut di antara
negara-negara yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian harga-harga faktor
produksi baik secara relatif maupun absolut lambat laun akan sama besarnya
karena adanya perdagangan internasional.
Pengujian empiris pertama terhadap model H-O dilakukan oleh Leontif
untuk data-data perekonomian Amerika Serikat tahun 1947 yang hasilnya
kemudian lebih dikenal dengan sebutan paradox Leontif. Kesimpulan yang
dihasilkan Leontif adalah bahwa ternyata Amerika Serikat cenderung mengekspor
produk yang padat tenaga kerja dan mengimpor produk yang padat modal yang
bertentangan dengan prediksi model H-O. Namun berdasarkan studi terakhir,
kemunculan paradox tersebut bukanlah suatu hal yang aneh mengingat pada saat
itu terdapat hal-hal teknis dan berbagai bentuk keterbatasan metodologis serta
kelemahan analisis yang tidak dapat dihindari.
22
2.1.5. Analisis Keseimbangan Parsial
Tanpa adanya perdagangan internasional, harga-harga relatif dari berbagai
komoditi di masing-masing negara mencerminkan keunggulan komparatif yang
dimilikinya, yang merupakan dasar bagi berlangsungnya perdagangan yang
menguntungkan antara kedua belah pihak. Perbedaan harga komoditi di masingmasing negara disebabkan oleh adanya perbedaan pada faktor-faktor pembentuk
harga di dalam negeri seperti tingkat biaya produksi, jumlah produksi dan
konsumsi. Harga relatif komoditi dalam kondisi ekuilibrium pada saat
perdagangan internasional sudah berlangsung, tercapai dalam kurun waktu
tertentu yang merupakan hasil dari proses pertemuan kekuatan-kekuatan
penawaran dan permintaan. Analisis keseimbangan parsial mencoba untuk
menjabarkan proses penentuan harga komoditi relatif pada kondisi ekuilibrium
setelah terjadi perdagangan internasional.
Gambar 1 menunjukkan proses terciptanya harga komoditi relatif
ekuilibrium dengan adanya perdagangan ditinjau dari analisis keseimbangan
parsial. Dengan adanya perdagangan internasional, negara Home akan melakukan
produksi dan konsumsi gandum pada titik C berdasarkan harga relatif gandum
terhadap kain sebesar P3 , sedangkan Foreign akan melakukan produksi dan
konsumsi di titik C * berdasarkan harga relatif gandum sebesar P1 . Setelah
perdagangan berlangsung, harga relatif gandum akan berkisar antara P1 dan P3 ,
apabila kedua negara memiliki kekuatan perekonomian yang sama. Jika harga
berlaku di atas P1 maka Foreign akan menghasilkan gandum lebih banyak dari
permintaan domestik dimana kelebihan produksi tersebut akan diekspor ke Home.
Sedangkan jika harga yang berlaku lebih rendah dari P3 , maka Home akan
23
mengalami peningkatan permintaan domestik yang mendorong dilakukannya
impor gandum.
PG PK
Pasar di Negara
Foreign
Ekspor
P3
Pasar Dunia
PG PK
S
PG PK
ES
*
Pasar di Negara
Home
A
P2
A*
P1
B*
B
E*
E
Impor
C
*
D
ED
D*
0
S
C
P3
QG
QG
0
0
QG
Gambar 1. Keseimbangan Parsial
Sumber: Salvatore, 1997.
Kurva permintaan dan penawaran di pasar dunia menunjukkan bahwa saat
tingkat harga relatif di P2 , kuantitas impor komoditi yang diminta oleh Home
yaitu sebesar AB akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh
Foreign yaitu A* B * . Dengan demikian P2 adalah harga relatif ekuilibrium setelah
berlangsungnya
perdagangan
di
antara
kedua
negara
tersebut
dimana
EE * menunjukkan kuantitas perdagangan yang terjadi.
2.2. Hambatan dalam Perdagangan
Perkembangan pemikiran tentang perdagangan bebas, didasari oleh
harapan bahwa perdagangan bebas akan dapat memaksimalkan output dunia dan
memberikan manfaat bagi setiap negara yang terlibat. Tetapi dalam kenyataanya
masih banyak negara yang menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap
berlangsungnya perdagangan internasional yang disebut dengan kebijakan
24
perdagangan. Hambatan terhadap perdagangan terbagi dalam dua bentuk yaitu (1)
tarif, yang terkait dengan pengenaan pajak dan bea masuk pada barang yang
diperdagangkan, dan (2) non-tarif, yang berkaitan dengan berbagai instrumen
kebijakan yang kompleks untuk menyembunyikan motif proteksi.
2.2.1. Hambatan Tarif
Tarif menurut Krugman dan Obstfeld (2000) pada dasarnya adalah pajak
atau cukai yang bersifat diskriminatif yang dikenakan jika suatu komoditi
melintasi suatu daerah pabean. Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan
yang paling tua dan hambatan perdagangan paling transparan, yang secara
tradisional digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah. Ada dua macam
tarif yaitu tarif impor dan tarif ekspor atau pajak ekspor. Sedangkan jenis tarif
berdasarkan mekanisme penghitungannya yang pertama adalah tarif ad valorem
adalah pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang
yang diimpor. Kedua adalah tarif spesifik yang dikenakan sebagai beban tetap
pada setiap unit barang yang diimpor.
Sedangkan yang terakhir adalah tarif
campuran yang merupakan gabungan dari keduanya.
Tarif Impor
Definisi dari tarif impor adalah pajak yang dikenakan kepada komoditi
yang diimpor dari negara lain. Tarif impor umumnya digunakan untuk melindungi
produsen domestik dalam menghadapi persaingan dengan produk impor yang
lebih murah, selain itu juga sebagai salah satu sumber pemasukan bagi negara.
Secara grafis, dampak tarif impor diperlihatkan oleh Gambar 2 dengan asumsi,
25
hanya ada dua negara yaitu Home sebagai negara pengimpor dan Foreign sebagai
negara pengekspor, tarif yang diberlakukan adalah tarif spesifik, dan importir
adalah
negara
besar
dimana
perubahan pada
permintaan
impor
akan
mempengaruhi harga dunia.
Tarif impor yang diberlakukan akan menggeser kurva ED vertikal ke
bawah menjadi EDt sebesar jumlah tarif yang dikenakan. Hal ini menyebabkan
harga dunia turun dari PW menjadi Pt * dimana merupakan harga yang diterima
oleh eksportir yang menyebabkan turunnya kelebihan penawaran di Foreign
sebesar q3* − q 4* . Pada negara importir, produk impor menjadi relatif lebih mahal
dibandingkan dengan produk domestik sehingga jumlah barang yang diimpor
Home turun menjadi q 2 − q 3 . Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan tarif
impor terhadap suatu produk menyebabkan penurunan harga produk di negara
eksportir sehingga volume ekspor berkurang. Sedangkan di negara importir terjadi
kenaikan harga produk, penurunan konsumsi, peningkatan produksi domestik,
penurunan volume impor, dan adanya penerimaan pemerintah dari tarif.
Pasar Foreign
(eksportir)
P
P
S*
P
t
e
a
b
c d
S
Pt
ES
PW
Pt*
Pasar Home
(importir)
Pasar Dunia
g
E
h
f
i
j
k
D
ED
D*
0
q1*
q 2*
q3*
q4*
EDt
Q
0
Q1
Q0
Q
0
q1
Gambar 2. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor
Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992.
26
q2
q3
q4
Q
Tabel 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen
Surplus Produsen
Penerimaan Pemerintah
Net National Welfare
Eksportir
Importir
a
-(a + b + c + d)
-(b + c + d)
-(g + h + i + j)
g
i+k
k – (h + j)
Net World Welfare
-(b + d + h + j) = e + f
Sumber: Tweeten, 1992.
Pemberlakuan tarif impor memberikan dampak pada kesejahteraan baik di
negara eksportir, importir maupun dunia. Tabel 3 memperlihatkan bahwa di
negara eksportir terjadi penurunan kesejahteraan nasional sebesar (b + c +d).
Sedangkan dampak tarif impor terhadap kesejahteraan di negara importir
ditentukan oleh elastisitas penawaran ekspornya (ES). Semakin elastis kurva
penawaran ekspor maka daerah (h + j) akan lebih besar dari daerah k yang berarti
bahwa negara importir akan dirugikan dengan adanya tarif. Dampak tarif impor
secara umum, akan menurunkan kesejahteraan dunia karena produsen di negara
eksportir menerima harga yang lebih rendah sedangkan konsumen di negara
importir harus membayar harga yang lebih tinggi.
Tarif Ekspor
Definisi dari pajak atau tarif ekspor adalah pajak untuk semua komoditi
yang diekspor. Secara grafis, dampak tarif ekspor diperlihatkan oleh Gambar 3
dengan asumsi, hanya ada dua negara yaitu Home sebagai negara pengimpor dan
Foreign sebagai negara pengekspor, tarif yang diberlakukan adalah tarif spesifik,
dan eksportir adalah negara besar dimana perubahan pada jumlah ekspor dapat
mempengaruhi harga dunia.
27
Pasar Foreign
(eksportir)
P
P
Pte*
a
e
c d
f
S
Pte
ES
k
b
P
ES te
S*
PW
Pasar Home
(importir)
Pasar Dunia
g
E
h
i
j
te
D
ED
D
0
q1*
q 2*
q3*
q4*
*
Q
0
Q1
Q0
Q
0
q1
q2
q3
q4
Q
Gambar 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor
Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992.
Tarif ekspor yang diberlakukan akan menggeser kurva ES vertikal ke atas
menjadi ESte sebesar jumlah tarif yang dikenakan yang berakibat pada penurunan
penawaran. Pada kasus negara besar hal ini menyebabkan peningkatan harga
dunia dari PW menjadi Pte dimana merupakan harga yang diterima oleh importir
yang menyebabkan turunnya konsumsi dan naiknya produksi domestik di Home.
Pada negara eksportir harga domestik turun sehingga konsumsi domestik di
Foreign naik menjadi q 2* . Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan tarif ekspor
terhadap suatu produk menyebabkan penurunan harga produk domestik,
peningkatan biaya ekspor, naiknya konsumsi domestik di negara eksportir,
penurunan produksi domestik sehingga volume ekspor berkurang dan adanya
penerimaan pemerintah dari tarif. Sedangkan di negara importir terjadi kenaikan
harga produk, yang mendorong peningkatan produksi domestik dan penurunan
konsumsi sehingga menyebabkan penurunan volume impor.
28
Pada Tabel 4 diperlihatkan dampak dari tarif ekspor terhadap
kesejahteraan baik di negara eksportir, importir maupun bagi dunia, berdasarkan
ilustrasi pada Gambar 3.
Tabel 4. Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen
Surplus Produsen
Penerimaan Pemerintah
Net National Welfare
Eksportir
Importir
a
-(a + b + c + d)
c+k
k – (b + d)
-(g + h + i + j)
g
-(h + i + j)
Net World Welfare
-(b + d + h + j) = e + f
Sumber: Tweeten, 1992.
Tarif ekspor memberikan dampak terhadap penurunan kesejahteraan nasional di
negara importir sebesar daerah (h + i + j), sedangkan dampak tarif bagi
kesejahteraan di negara eksportir sangat tergantung pada elastisitas permintaan
dan penawaran. Jika pada tingkat pajak ekspor tertentu daerah (b + d) lebih besar
dari pada k, maka kesejahteraan nasional bersih bagi eksportir akan memburuk.
Pajak ekspor digunakan oleh suatu negara biasanya adalah untuk
melindungi konsumen domestik dari harga komoditas ekspor yang tinggi dan
untuk mendapatkan penerimaan bagi negara. Namun ternyata dampak dari tarif
ekspor secara umum, akan menurunkan kesejahteraan dunia karena produsen di
negara eksportir menerima harga yang lebih rendah sedangkan konsumen di
negara importir harus membayar harga yang lebih tinggi.
2.2.2. Hambatan Non-Tarif
Tarif adalah bentuk kebijakan perdagangan yang paling sederhana. Pada
perkembangan praktek perdagangan di dunia saat ini umumnya intervensi
pemerintah dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen kebijakan
29
lainnya seperti subsidi ekspor, kuota impor, konsep pembatasan ekspor secara
sukarela (voluntary export restraints), persyaratan kandungan lokal dan lain
sebagainya.
Subsidi Ekspor
Pada dasarnya menurut Salvatore (1997), subsidi ekspor adalah
pembayaran langsung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi
kepada para eksportir atau calon eksportir nasional dan/ atau pemberian pinjaman
berbunga rendah kepada para pengimpor asing dalam rangka memacu ekspor
suatu negara. Pemberian subsidi ini umumnya ditujukan untuk meningkatkan
pendapatan produsen yang akan mendorong peningkatan ekspor sehingga harga
dunia turun dan permintaan impor meningkat.
Pasar Foreign
(eksportir)
P
Pasar Home
(importir)
Pasar Dunia
P
P
S*
S
ES
Psu*
ES su
a
b
c
d
g
f
e
PW
su
i
j
k
l
Psu
ED
D*
0
q1* q 2*
q3* q 4* Q
0
Q0
Q1
D
Q
0
q1
q2
q3 q 4 Q
Gambar 4. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor
Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992.
Ilustrasi pemberian subsidi diperlihatkan oleh Gambar 4, dimana kebijakan
tersebut akan menggeser kurva penawaran ekspor ke kanan bawah yang
menunjukkan peningkatan dalam volume ekspor. Berdasarkan asumsi bahwa
30
negara pengekspor adalah negara besar maka harga dunia turun dari PW menjadi
Psu yang merupakan harga yang diterima oleh negara importir sehingga volume
perdagangan meningkat menjadi Q1 .
Dampak pemberian subsidi pada produsen di Foreign sebagai negara
eksportir sebesar su menyebabkan harga domestik meningkat menjadi Psu*
sehingga kelebihan penawaran yang dapat di ekspor meningkat menjadi q1* − q 4* ,
namun hal ini merugikan konsumen domestik karena harus membayar harga yang
lebih mahal untuk komoditi yang di ekspor yang berakibat pada turunnya surplus
konsumen di negara eksportir. Sedangkan di Home sebagai negara importir terjadi
peningkatan permintaan impor dari q 2 − q 3 menjadi q1 − q 4 karena turunnya harga
dunia.
Tabel 5. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen
Surplus Produsen
Penerimaan Pemerintah
Net National Welfare
Eksportir
Importir
-(a + b)
a+b+c
-(b + c + d + e + f + g)
-(b + d + e + f + g)
i+j+k
-(i + j)
k
Net World Welfare
-(b + d + j + l)
Sumber: Tweeten, 1992.
Tabel di atas menunjukkan dampak pemberian subsidi terhadap
kesejahteraan yang menunjukkan bahwa ternyata kebijakan ini merugikan
konsumen di negara eksportir karena surplus konsumen berkurang sebesar daerah
(a + b). Selain itu pemerintah juga mengalami peningkatan pengeluaran yang
cukup besar sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemberian subsidi
ekspor akan menurunkan tingkat kesejahteraan nasional di negara eksportir yang
ditunjukkan oleh daerah (b + d + e + f + g).
31
Kuota
Hambatan perdagangan dalam bentuk kuota adalah pembatasan secara
langsung terhadap jumlah ekspor atau impor. Kuota impor merupakan pembatasan
langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor dengan tujuan untuk melindungi
sektor industri domestik tertentu. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan
memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan
domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumlahnya langsung dibatasi.
Dampak kuota impor ternyata dapat menggagalkan mekanisme pasar, memicu
distorsi dan korupsi yang akhirnya menimbulkan pemborosan yang merugikan
perekonomian negara yang disebabkan oleh munculnya rent seeking karena
tergiur pada keuntungan monopoli yang cukup besar jika memiliki lisensi impor.
Sedangkan kuota ekspor saat ini yang penting adalah dalam bentuk
pembatasan ekspor secara sukarela (VER, Voluntary Export Restraints). Pada
bentuk pembatasan ekspor ini, suatu negara selaku pengimpor mendorong atau
bahkan memaksa negara lain untuk mengurangi ekspornya secara sukarela.
Dampak ekonomi jika pembatasan ekspor ini berhasil, hampir sama dengan
pemberlakukan kuota impor, perebedaannya adalah pembatasan ekspor ini
dilakukan oleh negara pengekspor sehingga dampak pendapatan berupa
terciptanya keuntungan monopoli akan diterima oleh pengekspor.
Secara grafis, pemberlakuan kuota impor dapat dijelaskan oleh Gambar 5.
Home sebagai negara importir diasumsikan adalah negara besar dalam
perdagangan sehingga dapat mempengaruhi harga dunia. Pembatasan impor yang
dilakukan negara importir sebesar
permintaan
ED
q1 − q 2
menyebabkan patahnya kurva
sehingga menjadi elastis sempurna yang menghasilkan
32
keseimbangan baru di Q1 dengan jumlah perdagangan yang lebih rendah.
Keseimbangan baru tersebut menghasilkan tingkat harga Pqu* yang lebih rendah
dari PW . Tingkat harga tersebut menyebabkan terjadinya kelebihan permintaan di
negara importir yang dapat dihilangkan pada tingkat harga domestik Pqu , pada
perpotongan kurva permintaan dengan kurva penawaran domestik yang baru.
Pengenaan kuota sama halnya dengan tarif impor yang menguntungkan produsen
namun merugikan konsumen karena konsumen harus menerima tingkat harga
yang lebih tinggi.
Pasar Foreign
(eksportir)
P
P
P
S*
S qu
Pqu
a b
c
S
ES
PW
Pqu*
Pasar Home
(importir)
Pasar Dunia
e
d
f
gh
i
ED
D*
0
q1*
q 2*
q3*
D
EDqu
q 4* Q
0
Q1
Q 0
Q0
q1
q 2 q3 q 4
Q
Gambar 5. Dampak Pemberlakuan Kuota Impor
Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992.
Tabel 6 menunjukkan dampak pemberlakuan kuota impor terhadap
kesejahteraan dimana negara eksportir secara nasional akan mengalami penurunan
kesejahteraan karena berkurangnya surplus produsen. Sedangkan bagi negara
importir, kuota akan bermanfaat jika daerah i lebih besar dari daerah (g + h).
Secara umum kuota atau pembatasan impor akan menurunkan kesejahteraan
dunia.
33
Tabel 6. Dampak Pemberlakuan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen
Surplus Produsen
Penerimaan Kuota
Net National Welfare
Eksportir
Importir
a
-(a + b + c + d)
-(b + c + d)
-(e + f + g + h)
e
f+i
i – (g + h)
Net World Welfare
-(b + d + g + h)
Sumber: Tweeten, 1992.
Sedangkan untuk pemberlakuan kuota ekspor dapat diperlihatkan oleh
Gambar 6. Pembatasan ekspor ini pada dasarnya adalah untuk menjamin
ketersediaan produk ekspor tersebut di dalam negeri, selain itu juga ditujukan
untuk pengawasan produksi dan pengendalian harga agar stabil. Kuota ekspor
yang dilakukan oleh negara Foreign selaku eksportir menyebabkan kurva ES
patah sehingga perdagangan terjadi dalam jumlah yang lebih sedikit dari q1* − q 4*
menjadi sebesar Q1 . Hal ini berdampak pada peningkatan harga dunia menjadi
Pqu sedangkan harga di negara eksportir turun. Kenaikan harga dunia tersebut
menyebabkan penurunan volume perdagangan.
Pasar Foreign
(eksportir)
P
P
S
Pqu
P
ES qu
*
S
ES
e
PW
a
Pqu*
Pasar Home
(importir)
Pasar Dunia
f
b c
g
h i
d
ED
D
*
Dqu
D*
0
q1* q 2* q3*
q 4* Q
0
Q1
Q0
Q
0
q1 q 2 q3 q 4
Gambar 6. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor
Sumber: Tweeten, 1992.
34
Q
Tabel 7. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen
Surplus Produsen
Penerimaan Kuota
Net National Welfare
Eksportir
Importir
a+b
-(a + b + c + d)
c+e
-d + e
-(f + g + h + i)
f
-(g + h + i)
Net World Welfare
-(d + g + i)
Sumber: Tweeten, 1992.
Pemberlakuan kuota ekspor meningkatkan surplus konsumen di negara
eksportir sebesar (a + b) karena harga yang diterima konsumen untuk komoditi
yang diekspor menjadi lebih rendah. Sebaliknya surplus produsen di negara
eksportir menurun cukup besar dan di negara importir total kesejahteraan
nasionalnya menurun sebesar (g + h + i). Secara umum kuota atau pembatasan
ekspor akan menurunkan kesejahteraan dunia.
2.3. Error Correction Model
Analisis regresi klasik dan permodelan yang digunakan oleh para ekonom
yang berkembang pada tahun 70 an, umumnya disebut dengan pendekatan specific
to general. Pandangan tradisional ini dalam analisisnya didasarkan pada data deret
waktu yang secara khusus diasumsikan stasioner. Namun dalam kenyataannya
data deret waktu yang digunakan dalam studi ekonomi empiris hampir selalu
menggunakan
variabel-variabel
yang
umumnya
tidak
stasioner
seperti
pendapatan, konsumsi, permintaan uang, tingkat harga, arus perdagangan, dan
nilai tukar mata uang. Hal ini, menurut Pesaran dan Smith dalam Siregar (2004)
menyebabkan model ekonomi klasik yang dihasilkan gagal memprediksi beberapa
resesi ekonomi yang terjadi karena tidak mencerminkan data sebenarnya sehingga
tidak efektif jika digunakan untuk tujuan peramalan dan evaluasi kebijakan.
35
Pengabaian terhadap sifat non stasioner dari data deret waktu menyebabkan
tingginya korelasi antara variabel dependen dan independen walaupun secara
aktual keduanya tidak terkait yang disebut dengan spurious correlation.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
memberikan perhatian terhadap sifat statistika dari data deret waktu yang terkait
dengan sifat non stasioner. Suatu data deret waktu Xt dikatakan stasioner jika:
a. E (Xt) = konstan untuk semua t
b. Var (Xt) = konstan untuk semua t
c. Cov (Xt, Xt+k) = konstan untuk semua t dan semua k ≠ 0
Pendekatan yang banyak digunakan untuk mengatasi spurious correlation adalah
dengan menarik difference atas variabel dependen dan independen. Misalkan
(Thomas, 1997):
Yt = β 1 + β 2 X t + ε t ............................................................................ (2.1)
Jika Y dan X pada persamaan di atas adalah variabel tren maka akan
menimbulkan keraguan dalam estimasi karena akan menimbulkan masalah
spurious correlation, maka di lag satu periode sebagai berikut:
Yt −1 = β 1 + β 2 X t −1 + ε t −1 ...................................................................... (2.2)
Pengurangan persamaan (2.1) dengan persamaan (2.2) menghasilkan:
∆Yt = β 2 ∆X t + υ t ............................................................................... (2.3)
Persamaan (2.3) di atas sudah bebas dari masalah spurious.
Pendekatan dengan difference ternyata menimbulkan beberapa masalah
yang tidak bisa diabaikan. Terjadi autokorelasi karena υ t = ε t − ε t −1 . Selain itu
juga hilangnya informasi mengenai keseimbangan jangka panjang karena model
tersebut hanya dapat menjelaskan hubungan jangka pendek. Oleh karena itu
36
model dengan difference tidak dapat digunakan untuk perencanaan kebijakan dan
peramalan dalam perdagangan produk pertanian yang membutuhkan informasi
jangka panjang.
Error Correction Model (ECM) merupakan model alternatif yang dapat
mengatasi kedua masalah tersebut dengan menggunakan pendekatan general to
specific. Model ini memiliki berbagai kegunaan, tetapi manfaat yang paling
penting adalah menyediakan suatu pendekatan dalam menghadapi masalah non
stasioner dari time series dan spurious correlation (Thomas, 1997).
Spesifikasi ECM dapat diperoleh dari parameterisasi model autoregressive
distributed lag (ARDL). Misalkan model ARDL yang menunjukkan hubungan
jangka pendek dengan menyertakan nilai bedakala adalah sebagai berikut:
y t = b0 + b1 xt + b2 xt −1 + µy t −1 + ε t , 0 < µ < 1 ................................... (2.4)
Setelah persamaan (2.4) diparameterisasi, maka diperoleh persamaan dalam
bentuk ECM:
∆y t = b1 ∆xt − λ ( y t −1 − β 0 − β 1 xt −1 ) + ε t ............................................... (2.5)
dimana: λ = 1 − µ , β 0 = b0 λ , β 1 = (b1 + b2 ) λ
Model ECM secara alami akan mencapai keseimbangan dalam jangka
panjang dimana λ menunjukkan kecepatan dalam mencapai keseimbangan.
Sedangkan ( y t −1 − β 0 − β 1 xt −1 ) menunjukkan
kombinasi
kointegrasi yang
variabel-variabel
merupakan kombinasi
linier
yang
disebut
non stasioner.
Kombinasi linier ini disebut error yang bersama λ membentuk mekanisme dalam
mengoreksi kesalahan untuk mencapai kondisi ekuilibrium dalam jangka panjang.
Jika kondisi ekuilibrium ditunjukkan oleh Yt −1 = β 0 + β 1 X t −1 maka apabila:
37
Yt −1 < β 0 + β 1 X t −1 ; error < 0, dikoreksi oleh − λ sehingga naik ke arah
ekuilibrium.
Yt −1 > β 0 + β 1 X t −1 ; error > 0, dikoreksi oleh − λ sehingga turun ke arah
ekuilibrium.
Mekanisme koreksi ini terjadi dengan syarat setiap variabel harus terintegrasi
dalam order yang sama.
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Syaraf (1985) bertujuan untuk memperoleh
perkiraan fungsi penawaran ekspor karet rakyat Indonesia ke negara-negara
konsumen. Untuk mendapatkan perkiraan fungsi tersebut dilakukan analisis
keeratan hubungan pengaruh peubah-peubah terhadap variasi volume penawaran
ekspor karet rakyat Indonesia dengan eksportir produsen karet rakyat. Analisis ini
diharapkan dapat menemukan peubah-peubah mana yang dominan pengaruhnya
bagi eksportir dalam memilih daerah pemasaran hasil yang menguntungkan.
Dalam analisis, dilakukan pengujian dengan menggunakan regresi linear
berganda. Pengujian dilakukan dengan dua tahap yakni, dengan menggunakan
data urut waktu untuk menguji peubah-peubah yang berpengaruh secara umum
dan menggunakan data seksi silang (cross section) untuk menguji peubah-peubah
yang bersifat khusus. Peubah bersifat khusus yang dimaksud adalah peubahpeubah yang mempengaruhi volume penawaran ekspor oleh eksportir yang
berhubungan dengan lokasi dan fasilitas pelabuhan ekspornya. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa jumlah produksi bahan olahan karet rakyat, harga karet alam
beda kala, harga karet sintetis, dan nilai tukar memiliki pengaruh positif terhadap
38
ekspor Indonesia. Sedangkan tingkat bunga berpengaruh positif terhadap ekspor
karet alam Indonesia ke Singapura, tetapi berpengaruh negatif terhadap ekspor ke
Amerika Serikat.
Hendratno (1989) melakukan penelitian terhadap perdagangan karet alam
TSR dan RSS+ Indonesia di dunia dengan membangun sistem pasar dunia yang
terdiri dari empat kelompok persamaan yaitu persamaan permintaan, penawaran,
harga, dan keseimbangan pasar. Pendekatan linear model AIDS (Almost Ideal
Demand System) digunakan untuk menentukan permintaan karet alam Indonesia.
Secara rinci, elastisitas share permintaan karet alam dari berbagai wilayah pasar
dihitung dengan menggunakan rumus elastisitas dari sistem permintaan model
Armington. Sedangkan formulasi penawaran karet alam Indonesia menggunakan
model autoregresif. Pengujian model dilakukan dengan metode OLS (Ordinary
Least Square) dan GLS (Generalized Least Square). Hasil yang diperoleh
menyatakan bahwa harga karet alam di pasar domestik, peubah trend, dan jumlah
penawaran atau produksi bedakala dapat menjelaskan 74 persen dari variasi
produksi karet alam di pasar domestik dan berpengaruh nyata pada taraf
kepercayaan 10 persen.
Penelitian yang dilakukan Limbong (1994) adalah mengenai keragaan
karet alam Indonesia ditinjau dari jenis pengusahaan dan wilayah produksi.
Penjelasan mengenai keragaan ini dilakukan dengan membangun model
ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri dari lima kelompok
persamaan yaitu persamaan luas areal karet, produktivitas produksi, ekspor karet,
dan harga karet alam. Dari analisis yang dilakukan ternyata bahwa dua peubah
bebas yang berpengaruh nyata terhadap ekspor karet adalah peubah impor karet
39
alam dunia dan nilai tukar. Selanjutnya pada pendugaan persamaan harga karet
alam di pasar domestik, yang mempunyai pengaruh nyata adalah nilai tukar dan
harga karet alam bedakala di pasar domestik. Elastisitas harga karet alam di pasar
domestik terhadap stok karet alam Indonesia untuk jangka pendek inelastis tetapi
untuk jangka panjang elastis.
Elwamendri (2000) melakukan penelitian mengenai perdagangan karet
alam antara negara produsen utama dan Amerika Serikat. Analisis dilakukan
dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang
terdiri dari tiga kelompok persamaan yaitu persamaan penawaran ekspor karet
alam spesifikasi teknis, permintaan impor karet spesifikasi teknis Amerika Serikat
dan harga ekspor karet spesifikasi teknis. Hasil analisis menunjukkan bahwa
kurva penawaran ekspor ketiga negara produsen utama ke Amerika Serikat
mempunyai kemiringan positif dengan elastisitas harga atas penawaran adalah
inelastis. Kurva permintaan impor karet spesifikasi teknis Amerika Serikat
bersifat inelastis. Sedangkan harga ekspor karet spesifikasi teknis di negara
produsen utama baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak responsif
terhadap perubahan harga di pasar Amerika Serikat. Dari angka-angka elastisitas
dapat diketahui bahwa harga ekspor karet spesifikasi teknis Indonesia lebih
responsif terhadap perubahan harga di Amerika Serikat dibandingkan dengan dua
negara produsen lainnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ermi Tety (2002) tentang penawaran
dan permintaan karet alam Indonesia di pasar domestik dan internasional, analisis
dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan
simultan. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa peubah-peubah yang
40
berpengaruh terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke masing-masing
negara tujuan ekspor (AS, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan) adalah harga
ekspor karet alam Indonesia, produksi, nilai tukar Rupiah terhadap US$, pajak
ekspor, dan jumlah ekspor karet alam bedakala ke masing-masing negara. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap penawaran karet alam negara-negara pesaing
Indonesia yaitu Thailand dan Malaysia adalah harga ekspor karet alam, produksi,
dan nilai tukar mata uang negara pengekspor. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku impor dari ke empat negara utama yaitu Amerika Serikat,
Jepang, Singapura, dan Korea Selatan adalah harga impor karet alam, harga impor
karet sintetis, nilai tukar, pendapatan perkapita masing-masing negara, dan jumlah
impor bedakala masing-masing negara. Untuk harga karet alam internasional
dipengaruhi oleh rasio total permintaan impor dan total penawaran ekspor serta
harga karet internasional bedakala
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap komoditas
karet alam memberikan gambaran mengenai faktor-faktor atau peubah-peubah
yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga karet alam. Pada
penelitian-penelitian tersebut terdapat perbedaan dalam model yang digunakan,
peubah dalam setiap persamaan, metode pendugaan parameter yang digunakan,
dan data yang dianalisis. Hal tersebut menyebabkan penelitian satu dengan
penelitian lainnya memiliki perbedaan dalam hasil analisis.
Kesimpulan umum yang dapat diambil dari penelitian-penelitian terdahulu
mengenai karet alam di atas adalah:
41
1. Model ekonometrika ekspor karet alam yang dibangun sebagian besar
merupakan formulasi dari model persamaan parsial dan model persamaan
simultan.
2. Data deret waktu dari variabel yang digunakan untuk perhitungan pendugaan
dalam penelitian-penelitian tersebut diasumsikan stasioner.
3. Karet alam yang dianalisis kebanyakan dianggap sebagai satu jenis mutu
komoditas, sedangkan harga karet alam didasarkan pada harga jenis lateks.
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penelitian ini mencoba untuk
menganalisis perdagangan karet alam dengan menggunakan model ekonometrika
dinamis. Bentuk pendekatan ekonometrika dinamis yang dapat mengatasi masalah
ketidakstasioneran adalah dengan menggunakan metode kointegrasi dan Error
Correction Model (ECM). Kointegrasi digunakan untuk memisahkan spesifikasi
dan estimasi dari hubungan ekonomi jangka panjang dan penyesuaian dinamis
jangka pendek yang menuju ke keseimbangan jangka panjang. Sedangkan ECM
digunakan untuk menyediakan suatu pendekatan dalam menghadapi masalah non
stasioner dari time series dan spurious correlation serta mengatasi kelemahan
teori ekonomi dalam mengidentifikasi pola waktu dan penyesuaian dinamis
(dynamic adjustment) dari proses pencapaian keseimbangan jangka panjang.
Sehingga dengan demikian dapat diketahui berapa lama suatu perubahan
memberikan dampak terhadap arus perdagangan karet alam Indonesia. Metode ini
telah dipakai dalam berbagai penelitian untuk masalah-masalah perdagangan
internasional antar negara.
Cantavella et al. (2001) melakukan penelitian mengenai perdagangan
negara-negara Uni Eropa dengan MERCOSUR dan NAFTA. Penelitian ini
42
bertujuan untuk menganalisis perbedaan yang sangat signifikan dalam perilaku
ekspor negara-negara Uni Eropa ke kawasan kerjasama regional di Amerika
(MERCOSUR dan NAFTA). Analisis dilakukan dengan mengestimasi fungsi
permintaan ekspor untuk periode 1967-1995. Hasil yang diperoleh menunjukkan
pola keseimbangan jangka panjang dari fungsi permintaan ekspor negara-negara
Uni Eropa ke kawasan MERCOSUR dan NAFTA. Dalam penelitian ini ECM
digunakan untuk menduga penyesuaian atau adjustment variabel-variabel menuju
keseimbangan jangka panjang. Ekspor negara-negara Uni Eropa menunjukkan
beragam perilaku arus perdagangan ke negara-negara MERCOSUR dan NAFTA
yang ditunjukkan oleh perbedaan dalam elastisitas harga dan pendapatan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Niemi (2003) adalah mengenai model
ekonometrika untuk peramalan arus perdagangan di pasar negara-negara Uni
Eropa untuk ekspor produk pertanian ASEAN. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk membangun suatu susunan dinamis model ekonometrika berdasarkan teori
yang dapat menangkap dampak jangka pendek dan jangka panjang dari perubahan
pendapatan dan harga, serta yang dapat digunakan untuk prediksi dan simulasi
kebijakan dalam berbagai kondisi alternatif yang diasumsikan. Pendekatan
ekonometrika yang digunakan adalah ECM dengan tujuan untuk menekankan
pada fungsi perdagangan dinamis. Model ekonometrik dibangun untuk tujuh
komoditas pertanian yaitu ubi kayu, coklat, kelapa, kelapa sawit, lada, karet, dan
teh. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kointegrasi dan ECM tepat untuk
mempelajari arus perdagangan yang memiliki data deret waktu non stasioner.
Hasil keseluruhan estimasi fungsi permintaan impor untuk komoditas pertanian
yang tercakup dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat respon permintaan
43
yang relatif lemah terhadap perubahan pendapatan di Uni Eropa. Hasil tersebut
juga menunjukkan sifat dasar respon harga yang inelastis pada permintaan impor
di Uni Eropa. Implikasi kebijakan dalam bentuk tarif dan non tarif ternyata tidak
terlalu signifikan di dalam merubah kuantitas impor yang diminta.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) mengenai pangsa
sektor pertanian jangka panjang dan dinamika ekspor pertanian, digunakan
aplikasi ECM dan VECM. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebijakan
yang dilakukan dari sisi supply berpotensi untuk dapat meningkatkan kinerja
ekspor dari komoditas pertanian tradisional begitu pula dengan non tradisional.
Pangsa pertanian jangka panjang adalah sebelas persen, dimana transisi kearah
tersebut harus dipersiapkan dengan baik terutama industri agar dapat
meningkatkan serapan surplus tenaga kerja dari pedesaan, menampung produkproduk pertanian dan meningkatkan prasarana pemasaran. Berdasarkan penelitian
ini ternyata metode yang digunakan potensial untuk peramalan berbagai
komoditas dengan sistem berukuran kecil, evaluasi kebijakan, dan untuk meneliti
mekanisme transmisi harga.
44
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
3.1.1. Permintaan
Importir diasumsikan melakukan pilihan diantara berbagai alternatif yang
tersedia dalam pola perilaku tertentu yang memberikan kepuasan terbesar dari
mengkonsumsi suatu komoditi tertentu (Henderson dan Quandt, 1980). Preferensi
importir untuk memutuskan memesan suatu komoditi yang berasal dari berbagai
negara yang berbeda dapat dijelaskan dengan pendekatan fungsi utilitas oleh
Leontif dan Sono dalam Niemi (2003). Menurut pendekatan ini, pengambilan
keputusan impor dapat dibagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama importir
memutuskan berapa banyak akan mengkonsumsi komoditi Q dan komoditikomoditi lain yang dikelompokkan dalam satu gabungan dengan notasi numeraire
N. Keputusan ini didasarkan kepada total pengeluaran dan harga komoditi
tersebut. Kedua, pilihan dibuat mengenai berapa banyak akan mengkonsumsi
suatu komoditi dari berbagai sumber (Q1, …, Qn). Komoditi yang diimpor dari
sumber yang berbeda dianggap sebagai komoditi yang berbeda. Fungsi utilitas
agregat yang digunakan adalah dalam bentuk constant elasticity of substitution
(CES) untuk mengurangi parameter yang harus diestimasi sehingga model
menjadi lebih sederhana dan mudah dikontrol (Winters dalam Niemi, 2003).
Permintaan Impor
Persamaan permintaan impor berasal dari maksimisasi persamaan utilitas
dengan kendala anggaran.
45
Max : U ( M j , N j ) = [π j M αj + (1 − π j ) N αj ]1 α ...................................... (3.1)
Kendala : Pj M j + N j = Y jn .................................................................. (3.2)
dimana:
U = total utilitas importir
M j = kuantitas dari komoditas tertentu yang diimpor oleh negara j
N j = kuantitas komoditas lain yang diimpor oleh negara j
Pj = harga rata-rata komoditas yang diimpor oleh negara j
Y jn = pendapatan nominal negara j
α = nilai constant elasticity of substitution antar sektor komoditas
α < 1 dan 0 < π < 1
Maksimisasi persamaan utilitas dilakukan oleh Niemi (2003) dengan metode
Lagrange. Hasil dari maksimisasi tersebut diperoleh persamaan permintaan impor
untuk negara j sebagai berikut:
 Pj
M dj = b1Y j 
D
 j




ε mp
.............................................................................. (3.3)
 Pj
dan N j = (1 − b1 )Y j 
D
 j




ε np
................................................................ (3.4)
dimana:
[
b1 = (1 − π j ) π j
](
1 1−α )
, Y j = Y jn D , ε mp = 1 (α − 1)
Y j = pendapatan riil negara j
D j = deflator negara j
ε mp = elastisitas harga permintaan impor untuk komoditi M
46
ε np = elastisitas harga permintaan impor untuk komoditi N
Permintaan Ekspor
Persamaan permintaan ekspor dapat dibangun dari maksimisasi persamaan
utilitas untuk pembelian jenis komoditas yang sama dengan pemasok yang
berbeda. Setelah didapatkan tingkat pengeluaran Ymn untuk komoditas M, maka
maksimisasi utilitas dari berapa banyak komoditi tersebut dibeli dari berbagai
alternatif pemasok yang dimisalkan dengan eksportir i dan pesaingnya k ke pasar
di negara importir j dengan harga ekspor Pi dan Pk yang diperlihatkan oleh
persamaan berikut:
Max : U m ( X 1 ,..., X n ) = [π ij X ijβ + (1 − π ij ) X kjβ ]i β ................................. (3.5)
Kendala : Pij X ij + Pkj X kj = Ymjn ............................................................ (3.6)
dimana:
Ymjn = anggaran untuk pembelian komoditas M oleh negara j
X ij = kuantitas komoditas yang diekspor dari negara i ke negara j
π ij = pangsa pasar relatif eksportir i di pasar j
β = nilai constant elasticity of substitution dalam suatu sektor komoditas
β < 1 dan
n
∑π
i =1
ij
=1
Maksimisasi persamaan utilitas diatas yang dilakukan oleh Niemi (2003) dengan
metode Lagrange menghasilkan persamaan permintaan ekspor dari negara i dan
pesaingnya k adalah sebagai berikut:
47
X ijd
 Pij
= b2 M j 
P
 j
dan X
d
kj
ε xp

 ............................................................................. (3.7)


 Pkj
= (1 − b2 ) M j 
P
 j




ε xp
.............................................................. (3.8)
dimana:
[
b2 = (1 − π ij ) π ij
](
1 1− β )
, ε xp = 1 (β − 1) , pangsa pasar eksportir
Pij = harga komoditas yang di impor dari negara i ke negara j
Pj = harga rata-rata dari komoditas yang diimpor negara j
ε xp = elastisitas harga dari permintaan ekspor
0 < b2 < 1
Tingkat dimana importir akan melakukan substitusi ekspor dari pemasok i
dengan pemasok lain misalkan k, dimana k = 1, …, n-1, untuk menjaga jumlah
total impor komoditi M yang tetap adalah sama dengan marginal rate of
substitution.
∂X kj
∂X ij
 π ij
=
1− π
ij

 X ij

 X
 kj




β −1
................................................................... (3.9)
Permintaan Dunia
Konsumsi sisa dunia (rest of the world) dinotasikan oleh C row yang
merupakan gabungan dari konsumsi selain yang diimpor oleh pasar j. Permintaan
ini dibangun dari konsumsi domestik komoditi yang diproduksi sendiri oleh pasar
j, konsumsi domestik dari negara-negara eksportir i, dan permintaan impor dari
pasar selain j. Asumsi yang digunakan adalah elastisitas substitusi dari semua
48
konsumen konstan. oleh karena itu persamaan konsumsi sisa dunia memiliki
kemiripan dengan persamaan permintaan impor yang diperlihatkan oleh rumus
berikut:
C row
P
= b3Yrow  row
 Drow
εp

 ....................................................................... (3.10)

Total konsumsi dunia dapat dihasilkan dari penjumlahan kuantitas yang
diminta oleh importir dan konsumsi sisa dunia yang ditunjukkan oleh persamaan
berikut:
m
C = ∑ M j + C row ............................................................................. (3.11)
j =1
dimana permintaan impor M j diperoleh dari persamaan (3.1) sedangkan konsumsi
sisa dunia C row diperoleh dari persamaan (3.10).
3.1.2. Penawaran
Secara tradisional penawaran dipengaruhi oleh perubahan harga dan
perubahan faktor-faktor lain selain harga. Variabel harga yang digunakan
biasanya dalam bentuk harga relatif yang dapat diartikan sebagai harga yang
dibayarkan relatif terhadap harga yang diterima, atau harga output relatif terhadap
harga input (Henderson dan Quandt, 1980). Selain harga terdapat faktor lain
seperti kondisi cuaca, kepemilikan sumber daya, teknologi, pertumbuhan GDP,
dan pertumbuhan populasi yang juga penting dalam menjelaskan penawaran
komoditas pertanian.
49
Penawaran Impor
Total penawaran dari komoditas yang diimpor ke pasar j tergantung pada
situasi baik di negara-negara pemasok maupun di negara pengimpor itu sendiri.
Pemasok luar negeri adalah semua produsen kecuali yang ada di negara importir.
Jumlah yang ingin di supply oleh produsen dipengaruhi oleh harga di pasar dunia
relatif terhadap tingkat harga umum. Selain itu juga dipengaruhi oleh cadangan
mata uang luar negeri di negara importir dan rasio harga impor dan harga dunia.
Persamaan penawaran impor untuk pasar j menurut Lord dalam Niemi (2003)
adalah sebagai berikut:
M sj = A( Pw Dw ) 1 (Pj Pw ) 2 FEX δj 3 .................................................. (3.12)
δ
δ
dimana:
M sj = penawaran impor di negara j
Dw
= tingkat harga umum dunia
Pj
= harga impor di pasar j
Pw
= harga dunia
FEX j = cadangan mata uang luar negeri di negara j
Penawaran impor negara j tergantung pada harga dunia dari komoditi yang
diperdagangkan yang mana mempengaruhi ketersediaan penawaran. Selain itu
juga dipengaruhi oleh harga impor relatif komoditas tersebut dan cadangan mata
uang luar negeri.
Impor satu komoditas tertentu hampir tidak dipengaruhi oleh perubahan
dalam cadangan mata uang luar negeri dari negara tersebut oleh karena itu
elastisitasnya akan bernilai nol. Sedangkan elastisitas harga relatif penawaran
50
impor akan mendekati tak hingga karena importir tidak memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi harga komoditi di pasar (Hickman dan Lau dalam Niemi,
2003). Harga impor dapat diperoleh dari invers persamaan penawaran impor.
Invers penawaran menunjukkan bahwa harga impor mempunyai respon yang
proportional terhadap pergerakan dalam harga dunia dari komoditi tersebut.
Pj = b4 Pw ......................................................................................... (3.13)
Konstanta b4 menunjukkan perbedaan antara kedua harga tersebut. Pada pasar
yang kompetitif, harga dari komoditas yang identik dan dinyatakan oleh mata
uang yang sama, dalam jangka panjang akan sama di dalam perdagangan
internasional. Namun adanya biaya transportasi, tarif, perbedaan metode dalam
penilaian, perjanjian pembelian dalam bentuk kontrak jangka panjang, informasi
yang tidak sempurna, dan lain sebagainya, dapat menyebabkan tidak berlakunya
hukum satu harga (Chu dan Krishnamurty dalam Niemi, 2003).
Penawaran Ekspor
Persamaan penawaran ekspor diperoleh dari proses minimisasi biaya yang
diawali dengan penentuan persamaan produksi yang menunjukkan kombinasi
input yang berupa kapital dan tenaga kerja untuk menghasilkan komoditi ekspor
(Lord dalam Niemi, 2003). Persamaan produksi adalah sebagai berikut:
X is = B( K ρ − Lρ )τ ρ ......................................................................... (3.14)
dimana:
B = exp(θ 0 + θ 1T + θ 2ψ )
T = variabel tren
ψ = major disturbance
51
X is = kuantitas komoditas yang diekspor dari negara i
K = jumlah kapital yang digunakan
L
= jumlah tenaga kerja yang digunakan
ρ = nilai constant elasticity of substitution
τ = return to scale
ρ < 1 dan τ > 0
Fungsi produksi yang digunakan adalah dalam bentuk constant elasticity of
substitution (CES).
Maksimisasi yang dilakukan untuk mendapatkan persamaan ekspor terbagi
dalam dua langkah. Pertama, adalah minimisasi biaya produksi pada tingkat
ekspor tertentu.
Kedua
adalah pemilihan
tingkat
ekspor
yang
paling
menguntungkan. Minimisasi biaya adalah sebagai berikut:
Min : C = PK K + PL L ....................................................................... (3.15)
Kendala : B ρ τ K ρ + B ρ τ Lρ = X ρτ ................................................... (3.16)
dimana:
C = biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi M
PK = harga kapital
PL = upah tenaga kerja
Solusi dari masalah diatas yang dilakukan oleh Niemi (2003) dengan
menggunakan metode Lagrange adalah:
C = B 1 τ X 1 τ ( PKρ
( ρ −1)
+ PLρ
( ρ −1) ( ρ −1) ρ
)
............................................... (3.17)
Eksportir memiliki kebebasan untuk memilih tingkat biaya dan output
serta tujuan akhir dari maksimisasi keuntungan. Kuantitas produk yang akan di
52
supply oleh eksportir dihasilkan oleh first order condition dari maksimisasi profit.
First order condition menghasilkan persamaan penawaran ekspor sebagai berikut:
P
X = b5  i
 Di
s
i
γ

 exp(Ï• 1T + Ï• 2ψ ) ........................................................ (3.18)

dimana :
γ = τ (1 − τ ) , Ï• 1 = θ 1 (1 − τ ) , Ï• 2 = θ 2 (1 − τ )
Pi = harga nominal komoditas ekspor dari negara i
Di = deflator negara i
γ = elastisitas harga penawaran ekspor
γ >0
Eksportir diasumsikan menghadapi decreasing return to scale dan penawaran
ekspor memiliki slop positif.
Penawaran Dunia
Produksi sisa dunia dinotasikan oleh Qrow yang mencakup semua produksi
selain yang diekspor oleh pasar j. Penawaran ini terdiri dari konsumsi domestik
negara eksportir dan produksi dari semua negara. Asumsi yang digunakan adalah
bahwa fungsi produksi dalam bentuk constant elasticity of substitution, maka
persamaan penawaran sisa dunia memiliki persamaan dengan penawaran ekspor
yang diperlihatkan oleh rumus berikut:
γ
Qrow
P
= b6   exp(σ 1T + σ 2W ) ....................................................... (3.19)
D
dimana:
γ > 0 dan σ 1 , σ 2 ≠ 0
53
Total penawaran eksportir dan produksi sisa dunia menghasilkan
persamaan penawaran agregat.
Q = ∑ i X is + Qrow ............................................................................ (3.20)
Penawaran ekspor X is diperoleh dari persamaan (3.18), sedangkan output sisa
dunia Qrow diperoleh dari persamaan (3.20).
3.1.3. Kebijakan Perdagangan
Hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional disebut
juga dengan kebijakan perdagangan. Hambatan terhadap perdagangan terbagi
dalam dua bentuk yaitu (1) tarif, yang terkait dengan pengenaan pajak dan bea
masuk pada barang yang diperdagangkan, dan (2) non-tarif, yang berkaitan
dengan berbagai instrumen kebijakan yang kompleks untuk menyembunyikan
motif proteksi. Kebijakan-kebijakan dalam perdagangan internasional baik yang
dilakukan oleh importir maupun eksportir, dapat dijelaskan oleh analisis
keseimbangan parsial. Analisis ini menggambarkan pertemuan dari penawaran
dan permintaan antar negara yang menyebabkan terjadinya perdagangan.
Tarif Impor
Pemberlakuan kebijakan tarif impor biasanya digunakan untuk melindungi
produsen dalam negeri. Analisis parsial menunjukkan bahwa tarif impor akan
menyebabkan bergesernya kurva excess demand ED vertikal ke bawah menjadi
EDt sebesar jumlah tarif yang dikenakan (Gambar 2). Hal ini berakibat kepada
meningkatnya harga domestik dari komoditas impor di negara importir.
54
Tarif yang diberlakukan dapat diperlihatkan oleh persamaan permintaan
impor maupun persamaan permintaan ekspor yang dinyatakan sebelumnya oleh
persamaan (3.3) dan (3.7) menjadi persamaan berikut:
 (1 + t ) Pj
M dj = b1Y j 
 D
j





ε mp
................................................................... (3.21)
 (1 + t ) Pij
dan X ijd = b2 M j 
 (1 + t ) P
j





ε xp
........................................................... (3.22)
dimana:
t = tarif impor yang diberlakukan oleh negara j
Tarif yang ditetapkan diasumsikan dalam bentuk tarif spesifik yang dikenakan
sebagai beban tetap pada setiap unit barang yang di impor.
Pajak Ekspor
Pembatasan ekspor yang dilakukan oleh suatu negara umumnya dilakukan
untuk menjaga ketersediaan komoditi dalam memenuhi kebutuhan domestik
selain itu juga untuk mempengaruhi harga dunia jika negara eksportir merupakan
pemasok besar komoditi tersebut. Seperti halnya tarif impor, pajak ekspor akan
mempengaruhi harga di negara eksportir dimana menggeser kurva ES vertikal ke
atas menjadi ESte sebesar jumlah tarif yang dikenakan yang berakibat pada
penurunan penawaran (Gambar 3).
Pajak ekspor akan mempengaruhi persamaan penawaran ekspor sehingga
persamaan (3.18) akan menjadi:
γ
 P ' (1 − te) 
 exp(Ï• 1T + Ï• 2ψ ) ............................................... (3.23)
X = b5  i
Di


s
i
55
dimana:
Pi ' = Pi * ER
te = pajak ekspor yang diberlakukan oleh negara i
Pengenaan pajak ekspor akan menyebabkan berkurangnya harga yang diterima
produsen karena pajak tersebut akan meningkatkan biaya marginal. Bentuk pajak
ekspor yang dibebankan adalah tarif spesifik dengan jumlah tertentu untuk setiap
unitnya.
Kuota Ekspor
Pembatasan ekspor juga dapat dilakukan dengan pemberlakuan kuota yang
merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diekspor dengan
tujuan yang hampir sama dengan pajak ekspor. Kuota ekspor yang dilakukan oleh
suatu negara menyebabkan kurva ES patah (Gambar 6) sehingga perdagangan
terjadi dalam jumlah yang lebih sedikit dari sebelumnya. Hal ini berdampak pada
peningkatan harga yang menyebabkan penurunan volume perdagangan.
Kuota ekspor akan mempengaruhi persamaan penawaran ekspor menjadi
sebagai berikut:
 Pi '
X − qu = b5 
 Di
s
i
γ

 exp(Ï• 1T + Ï• 2ψ ) ................................................. (3.24)

dimana:
qu = jumlah kuota ekspor yang diberlakukan negara i
Pemberlakuan kuota yang merupakan pembatasan terhadap ekspor suatu
komoditas tertentu oleh suatu negara secara langsung akan mengurangi penawaran
ekspor komoditi terkait negara tersebut. Kebijakan ini dianggap lebih efektif dari
56
pada pajak ekspor dalam mengurangi ekspor, namun hal ini dapat menimbulkan
penyelundupan.
3.2. Kerangka Operasional
Karet alam adalah komoditas yang memberikan sumbangan bagi devisa
negara dan memiliki prospek ekonomi yang cukup baik karena mampu bertahan
selama masa krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Dalam konteks
perkembangan ekspor dunia terlihat bahwa ekspor karet dunia mengalami
pertumbuhan setiap tahunnya. Sedangkan jumlah ekspor karet alam dari Indonesia
cukup berfluktuasi dari tahun ke tahun namun secara umum mengalami
pertumbuhan setiap tahun walaupun kecil. Hal ini menunjukkan peluang pasar
bagi ekspor komoditas karet Indonesia masih terbuka. Perhatian yang ditujukan
dalam upaya merespon peluang pasar karet alam ini tidak hanya dalam bentuk
peningkatan produksi tetapi juga harus memperhatikan sisi perdagangan.
Indonesia sebagai eksportir karet alam kedua terbesar di dunia memiliki
pesaing yang cukup berat dalam merebut pangsa pasar ekspor karet alam yang
berasal dari Thailand dan Malaysia sebagai eksportir pertama dan ketiga terbesar
di dunia. Sedangkan pasar impor karet alam dikuasai oleh dua negara besar yaitu
Amerika Serikat dan Jepang sebagai negara-negara tujuan ekspor karet alam
utama. Amerika Serikat dan Jepang secara tradisional merupakan negara
pengimpor utama karet. Data Departemen Perindustrian dan perdagangan
menunjukkan bahwa impor karet alam Amerika Serikat cenderung meningkat
secara perlahan. Sejalan dengan kenaikan impor, konsumsi karet alam juga
mengalami peningkatan. Hal yang sama terjadi juga untuk Jepang.
57
Besarnya arus perdagangan karet alam dipengaruhi oleh adanya
perubahan-perubahan dalam lingkungan perdagangan saat
ini. Berbagai
kebijakan-kebijakan perdagangan baik yang berasal dari negara-negara importir
maupun yang dilakukan oleh negara-negara eksportir mengalami perubahan
sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di lingkungan perdagangan.
Putaran Uruguay merupakan
langkah
besar
menuju
liberalisasi dalam
perdagangan internasional. Komoditas pertanian juga termasuk di dalam
perjanjian liberalisasi tersebut. Liberalisasi pertanian mulai efektif dilaksanakan
pada tahun 1995 setelah terbentuknya World Trade Organisation (WTO), dimana
negara-negara maju berkomitmen untuk memperluas pasar, mengurangi bantuan
domestik dan subsidi ekspor. Perkembangan dalam perdagangan internasional ini
tentunya akan mempengaruhi arus perdagangan yang terjadi antar negara dengan
dikuranginya tarif impor bagi komoditi karet alam ke negara-negara maju.
Selain itu juga terdapat kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negaranegara eksportir seperti yang dilakukan oleh Indonesia dan Thailand sebagai
negara eksportir utama karet alam yang sepakat untuk membentuk suatu
kesepakatan bersama dalam upaya mengatasi fluktuasi harga karet alam yang
masih berlanjut dimana harga karet alam cenderung turun dari tahun ke tahun.
Program-program yang dilakukan adalah berupa pengurangan produksi karet alam
dan pengurangan ekspor karet alam dalam jumlah tertentu untuk mendongkrak
harga karet alam.
Berdasarkan arus perdagangan karet alam yang terjadi antara Indonesia
dan Thailand dengan Amerika Serikat dan Jepang serta adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi besarnya arus perdagangan tersebut, maka dapat dibangun suatu
58
model pola perdagangan karet alam antar negara. Model pola perdagangan karet
alam ini dapat digunakan untuk prediksi jika terjadi shock dalam perdagangan
karet alam antar negara. Hasil prediksi tersebut diharapkan dapat memberikan
informasi bagi penyusunan kebijakan yang tepat dalam upaya peningkatan kinerja
ekspor karet alam Indonesia. Secara umum alur kerangka berfikir dari penelitian
ini dapat diperlihatkan oleh Gambar 7 berikut ini.
Perubahan
Lingkungan
Perdagangan
Harga Dunia
Cenderung Fluktuatif
Liberalisasi
Perdagangan
Eksportir Utama
- Thailand
- Indonesia
Arus Perdagangan
Karet Alam
Importir Utama
- Amerika Serikat
- Jepang
Kinerja Ekspor
Karet Alam
Indonesia
Kebijakan
Perdagangan dan
Perubahan
Lingkungan Ekonomi
Fluktuasi Harga
Karet Alam
Model Arus
Perdagangan
Pola Perdagangan Karet
Alam Indonesia dan
Pesaing
Perubahan
Pendapatan di
Negara Importir
Kebijakan
Perdagangan Karet
Alam Indonesia
Gambar 7. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
59
3.3. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan alur kerangka berfikir penelitian di
atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terjadi pergeseran tren dalam perdagangan karet alam antara Indonesia
dengan negara-negara utama pengimpor karet alam yaitu Amerika Serikat dan
Jepang, dan negara pesaing utama yaitu Thailand, mengalami peningkatan.
2. Perubahan pendapatan di negara-negara importir dan perubahan harga dunia
mempengaruhi hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan
dan penawaran impor dan ekspor karet alam asal Indonesia ke Amerika
Serikat dan Jepang.
3. Perubahan kebijakan perdagangan dan lingkungan ekonomi mempengaruhi
arus perdagangan karet alam antara Indonesia dan negara-negara importir
utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang.
60
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa data deret waktu (time series) triwulanan dari tahun 1995 sampai tahun
2004. Sumber dari data yang digunakan berasal dari berbagai terbitan, seperti
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Badan Pusat Statistik, International Monetary Fund, Gabungan
Perusahaan karet Indonesia, International Rubber Study Group, dan sumbersumber data lain. Data-data yang digunakan dengan besaran dan sumbernya
diperlihatkan oleh Tabel 8.
Tabel 8. Data-Data yang Digunakan
Data
XSI
XVI
XSIA
XSVIA
XSIJ
XSVIJ
PI
PSIA
PSIJ
ERIA
ERIJ
DI
XST
XVT
XSTA
XSVTA
XSTJ
XSVTJ
PT
PSTA
PSTJ
ERTA
ERTJ
DT
Kuantitas ekspor karet alam Indonesia
Nilai ekspor karet alam Indonesia
Kuantitas ekspor karet alam Indonesia ke AS
Nilai ekspor karet alam Indonesia ke AS
Kuantitas ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
Nilai ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
Harga ekspor karet alam Indonesia
Harga ekspor karet alam Indonesia ke AS
Harga ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
Nilai tukar Rupiah terhadap USD
Nilai tukar Rupiah terhadap Yen
Indeks harga konsumen Indonesia
Kuantitas ekspor karet alam Thailand
Nilai ekspor karet alam Thailand
Kuantitas ekspor karet alam Thailand ke AS
Nilai ekspor karet alam Thailand ke AS
Kuantitas ekspor karet alam Thailand ke Jepang
Nilai ekspor karet alam Thailand ke Jepang
Harga ekspor karet alam Thailand
Harga ekspor karet alam Thailand ke AS
Harga ekspor karet alam Thailand ke Jepang
Nilai tukar Bhat terhadap USD
Nilai tukar Bhat terhadap Yen
Indeks harga konsumen Thailand
61
Besaran
Kg
Rupiah
Kg
US Dollar
Kg
Yen
Rp/Kg
USD/Kg
Yen/Kg
Rp/USD
Rp/Yen
Kg
Bhat
Kg
US Dollar
Kg
Yen
Bhat/Kg
USD/Kg
Yen/Kg
Bhat/USD
Bhat/Yen
-
Sumber Data
Gapkindo
Gapkindo
Gapkindo
Gapkindo
Gapkindo
Gapkindo (diolah)
Gapkindo (diolah)
Gapkindo (diolah)
Gapkindo (diolah)
IFS-IMF
IFS-IMF (diolah)
IFS-IMF
Bank of Thailand
Bank of Thailand
Bank of Thailand
Bank of Thailand
Bank of Thailand
Bank of Thailand
BOT (diolah)
BOT (diolah)
BOT (diolah)
IFS-IMF
IFS-IMF (diolah)
IFS-IMF
Tabel 8. Lanjutan
Data
Besaran
Sumber Data
MDA
Kuantitas impor karet alam AS
Kg
USITC
MVA
Nilai impor karet alam AS
US Dollar USITC
XDIA
Kuantitas impor karet alam AS dari Indonesia
Kg
USITC
XDVIA Nilai impor karet alam AS dari Indonesia
US Dollar USITC
XDTA
Kuantitas impor karet alam AS dari Thailand
Kg
USITC
XDVTA Nilai impor karet alam AS dari Thailand
US Dollar USITC
PA
Harga impor karet alam AS
USD/Kg
USITC (diolah)
PDIA
Harga impor karet alam AS dari Indonesia
USD/Kg
USITC (diolah)
PDTA
Harga impor karet alam AS dari Thailand
USD/Kg
USITC (diolah)
YA
GDP Amerika Serikat
US Dollar IFS-IMF
DA
Indeks harga konsumen AS
IFS-IMF
MDJ
Kuantitas impor karet alam Jepang
Kg
JRMA
MVJ
Nilai impor karet alam Jepang
Yen
JRMA
XDIJ
Kuantitas impor karet alam Jepang dari Indonesia Kg
JRMA
XDVIJ
Nilai impor karet alam Jepang dari Indonesia
Yen
JRMA
XDTJ
Kuantitas impor karet alam Jepang dari Thailand Kg
JRMA
XDVTJ Nilai impor karet alam Jepang dari Thailand
Yen
JRMA
PJ
Harga impor karet alam Jepang
Yen/Kg
JRMA (diolah)
PDIJ
Harga impor karet alam Jepang dari Indonesia
Yen/Kg
JRMA (diolah)
PDTJ
Harga impor karet alam Jepang dari Thailand
Yen/Kg
JRMA (diolah)
YJ
GDP Jepang
Yen
IFS-IMF
ERJA
Nilai tukar Yen terhadap USD
Yen/USD
IFS-IMF
DJ
Indeks harga konsumen Jepang
IFS-IMF
PW
Harga karet alam dunia
USD/Kg
IFS-IMF
Keterangan:
- Gapkindo
: Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia
- IFS-IMF
: International Financial Statistics - International Monetary Fund
- BOT
: Bank of Thailand
- USITC
: United State International Trade Commission
- JRMA
: Japan Rubber Manufacturers Association
- IRSG
: International Rubber Study Group
Data perdagangan karet alam yang digunakan secara spesifik untuk
Indonesia berasal dari Gapkindo dan BPS. Data perdagangan Thailand berasal
dari Bank Sentral Thailand. Untuk negara importir yaitu Amerika Serikat, data
perdagangan karet alamnya berasal dari USITC, sedangkan Jepang datanya
berasal dari JRMA. Untuk menjaga agar data yang digunakan konsisten maka
dilakukan pengecekan silang dengan data perdagangan karet alam yang
diterbitkan oleh IRSG. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Lampiran 1.
62
Tabel 9. Definisi Variabel
Nama Variabel
MDA
YA
PADA
MDJ
YJ
PJDJ
XDIA
PDIAPA
XDIJ
PDIJPJ
XDTA
PDTAPA
XDTJ
PDTJPJ
PA
PJ
PW
XSI
PIDI
XSIA
PSIADI
XSIJ
PSIJDI
XST
PTDT
XSTA
PSTADT
XSTJ
PSTJDT
Definisi
Kuantitas impor KA Amerika Serikat
GDP Amerika Serikat
Harga impor riil KA Amerika Serikat
Kuantitas impor KA Jepang
GDP Jepang
Harga impor riil KA Jepang
Kuantitas impor KA AS dari Indonesia
Harga relatif KA dari Indonesia ke AS
Kuantitas impor KA Jepang dari Indonesia
Harga relatif KA dari Indonesia ke Jepang
Kuantitas impor KA AS dari Thailand
Harga relatif KA dari Thailand ke AS
Kuantitas impor KA Jepang dari Thailand
Harga relatif KA dari Thailand ke Jepang
Harga impor KA AS
Harga impor KA Jepang
Harga karet alam dunia
Kuantitas ekspor KA Indonesia
Harga ekspor riil KA Indonesia
Kuantitas ekspor KA Indonesia ke AS
Harga ekspor riil KA Indonesia ke AS
Kuantitas ekspor KA Indonesia ke Jepang
Harga ekspor riil KA Indonesia ke Jepang
Kuantitas ekspor KAThailand
Harga ekspor riil KA Thailand
Kuantitas ekspor KA Thailand ke AS
Harga ekspor riil KA Thailand ke AS
Kuantitas ekspor KA Thailand ke Jepang
Harga ekspor riil KA Thailand ke Jepang
Keterangan
PA*100/DA
PJ*100/DJ
PDIA/PA
PDIJ/PJ
PDTA/PA
PDTJ/PJ
PI*100/DI
(PIAS/ERIA)*100/DI
(PIJS/ERIJ)*100/DI
PT*100/DT
(PTAS/ERTA)*100/DT
(PTJS/ERTJ)*100/DT
Sedangkan variabel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data
yang secara spesifik diperlihatkan pada Tabel 8. Variabel yang disusun meliputi
dua negara eksportir karet alam utama yaitu Indonesia dan Thailand serta dua
negara importir karet alam utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Variabel
yang digunakan ada yang berasal dari data asli dan ada yang merupakan hasil
olahan dari data asli. Variabel-variabel tersebut digunakan untuk membangun
model persamaan permintaan impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang,
persamaan permintaan ekspor karet alam dari Amerika Serikat dan Jepang ke
63
Indonesia dan Thailand, persamaan penawaran impor karet alam Amerika Serikat
dan Jepang, dan persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia dan Thailand.
Secara lebih terinci, variabel yang digunakan diperlihatkan oleh Tabel 9.
4.2. Spesifikasi Model
Model arus perdagangan karet alam antara negara-negara eksportir utama
yaitu Indonesia dan Thailand dengan negara-negara importir utama yaitu Amerika
Serikat dan Jepang disusun dalam suatu persamaan tunggal dengan bentuk
constant elasticity of substitution yang diadaptasi dari persamaan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Niemi (2003). Model persamaan tersebut terbagi ke dalam
empat kelompok yaitu permintaan impor, permintaan ekspor, penawaran impor,
dan penawaran ekspor. Persamaan tersebut kemudian dilinierkan dalam bentuk
logaritma.
4.2.1. Permintaan Impor
Persamaan permintaan impor karet alam untuk Amerika Serikat dan
Jepang yang dinyatakan dalam bentuk logaritma adalah sebagai berikut:
LMDA = Lb1 + ε Ay LYA + ε Ap LPADA .................................................... (4.1)
LMDJ = Lb1 + ε Jy LYJ + ε Jp LPJDJ ................................................... (4.2)
dimana:
ε y = elastisitas pendapatan
ε p = elastisitas harga
64
Persamaan di atas merupakan bentuk linier dari persamaan permintaan impor (3.3)
dimana sudah dipisahkan berdasarkan dua pasar karet alam berdasarkan negara
importir yang berbeda.
4.2.2. Permintaan Ekspor
Persamaan permintaan ekspor karet alam dari Amerika Serikat dan Jepang
untuk Thailand dan Indonesia adalah sebagai berikut:
p
m
LXDIA = Lb 2 + ε IA
LMDA + ε IA
LPDIAPA ........................................ (4.3)
LXDIJ = Lb 2 + ε IJm LMDJ + ε IJp LPDIJPJ ......................................... (4.4)
p
m
LXDTA = Lb 2 + ε TA
LMDA + ε TA
LPDTAPA ..................................... (4.5)
m
LXDTJ = Lb 2 + ε TJ
LMDJ + ε TJp LPDTJPJ ...................................... (4.6)
dimana:
ε m = elastisitas permintaan impor
ε p = elastisitas harga ekspor
4.2.3. Penawaran Impor
Persamaan penawaran impor bertujuan untuk memperlihatkan berapa lama
harga karet alam di negara importir mampu menyesuaikan dengan perubahan
yang terjadi pada harga karet alam di pasar dunia. Oleh karena itu model
penawaran impor karet alam untuk Amerika Serikat dan Jepang dapat dinyatakan
oleh persamaan sebagai berikut:
LPA = Lb3 + LPW ............................................................................. (4.7)
65
LPJ = Lb3 + LPW ............................................................................. (4.8)
dimana:
PW = harga karet alam di pasar dunia
4.2.4. Penawaran Ekspor
Persamaan penawaran ekspor karet alam total untuk Thailand dan
Indonesia dan ke pasar Amerika Serikat dan Jepang adalah sebagai berikut:
LXSI = Lb5 + γLPIDI + Ï• 1T + Ï• 2ψ ................................................... ..(4.9)
LXSIA = Lb5 + γLPSIADI + Ï• 1T + Ï• 2ψ ............................................. (4.10)
LXSIJ = Lb5 + γLPSIJDI + Ï• 1T + Ï• 2ψ ............................................. (4.11)
LXST = Lb5 + γLPTDT + Ï• 1T + Ï• 2ψ ................................................ (4.12)
LXSTA = Lb5 + γLPSTADT + Ï• 1T + Ï• 2ψ .......................................... (4.13)
LXSTJ = Lb5 + γLPSTJDT + Ï•1T + Ï• 2ψ ........................................... (4.14)
dimana:
T = variabel tren
ψ = major disturbance
4.3. Prosedur Analisis
Penerapan model ekonometrika dinamis didahului dengan melakukan
pengujian terhadap data deret waktu yang digunakan. Pengujian yang dilakukan
adalah uji untuk mengetahui kestasioneran suatu data deret waktu dan
keterkaitannya dalam jangka panjang. Kemudian model yang dibangun diestimasi
dan dilakukan uji diagnostik.
66
4.3.1. Uji Unit Root
Pengujian unit root dilakukan untuk mengetahui apakah data deret waktu
yang digunakan stasioner atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan uji DickeyFuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Uji Dickey-Fuller (DF)
dilakukan dalam dua model yaitu:
1.
Intersep tanpa trend
∆X t = α + δX t −1 + ∈t ……………………………………………………..(4.15)
2.
Intersep dan trend
∆X t = α + βt + δX t −1 + ∈t ………………………………………………...(4.16)
Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) juga dilakukan dalam dua model menurut
Seddighi (2000) yaitu dengan:
1.
Intersep tanpa trend
q
∆X t = α + δX t −1 + ∑ δ j ∆X t − j +1 + ∈t ……………………………………..(4.17)
j =2
2.
Intersep dan trend
q
∆X t = α + βt + δX t −1 + ∑ δ j ∆X t − j +1 + ∈t …………………………….......(4.18)
j =2
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : δ = 0
Mengandung unit root
H1 : δ < 0
Tidak mengandung unit root
Penyisipan persamaan awal DF dengan beda kala dari variabel dependen
(lagged difference) adalah untuk mengeliminasi kemungkinan autokorelasi pada
error. Untuk mengetahui berapa banyak penambahan koefisien beda kala yang
harus dimasukkan dalam persamaan digunakan kriteria Akaike information
67
criterion (AIC) dan Schawrtz criterion (SC). Kemudian nilai kritis hasil uji
tersebut dibandingkan dengan nilai kritis MacKinnon 95 persen (α = 0.05). Jika t
hasil uji ADF lebih negatif dari pada τ tabel MacKinnon, maka tolak H 0 yang
berarti bahwa tidak terdapat unit root sehingga dapat disimpulkan data deret
waktu tersebut stasioner. Hal ini juga berlaku sebaliknya, jika tidak dapat menolak
H 0 maka dapat disimpulkan data tersebut tidak stasioner.
Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan uji derajat integrasi pada
variabel yang dinyatakan mengandung unit root atau tidak stasioner pada derajat
nol. Uji derajat integrasi penting untuk mengetahui berapa kali variabel harus didifference. Uji ini dilakukan dengan melakukan difference pada variabel non
stasioner sampai hasil uji Dickey-Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller
(ADF)-nya tidak lagi mengandung unit root atau berhasil menolak hipotesa nol
yang berarti bahwa variabel stasioner pada derajat integrasi tersebut.
4.3.2. Uji Kointegrasi
Pengujian kointegrasi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
antara variabel dalam jangka panjang. Uji ini dapat dilakukan dalam dua kondisi,
pertama jika terdapat beberapa variabel yang stasioner pada order yang sama I(1)
atau setelah dilakukan first difference. Kedua, adalah jika kombinasi linier
variabel-variabel dari model yang dibentuk stasioner pada I(0). Pengujian
dilekukan dengan pendekatan Engle-Granger dan Johansen ( Seddighi, 2000).
Langkah yang dilakukan pertama-tama adalah estimasi dengan OLS
terhadap variabel-variabel dalam model yang berorder sama dalam keseimbangan
jangka panjang sebagai berikut:
68
Yt = β 0 + β 1 X 1t + β 2 X 2t + ... + β k X kt + ∈t …………………………...(4.19)
Langkah selanjutnya dari perhitungan di atas dihasilkan residual et sebagai
estimasi dari equilibrium error ∈t . Kemudian dengan uji ADF residual tersebut
diuji stasioner dalam bentuk persamaan OLS sebagai berikut:
q
∆et = δet −1 + ∑ δ j ∆et − j +1 + υ t ………………………………………..(4.20)
j=2
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : δ = 0
Tidak ada kointegrasi
H1 : δ < 0
Ada kointegrasi
Jika tδ hasil uji ADF lebih negatif dari pada τ tabel MacKinnon, maka
tolak H 0 yang berarti bahwa terdapat kointegrasi antara variabel-variabel tersebut,
begitu pula sebaliknya. Hasil uji dapat diperoleh dari output program komputer
Interactive Econometric Analysis Microfit 4.0 untuk Windows.
4.3.3. Metode Pendugaan Model
Berdasarkan hasil uji unit root dan kointegrasi yang dilakukan, model
dasar dari permintaan impor, permintaan ekspor, penawaran impor, dan
penawaran ekspor karet alam dapat diestimasi. Metode estimasi model yang
diterapkan adalah metode Ordinary Least Squares (OLS) karena model yang
diestimasi dalam bentuk persamaan tunggal. Semua pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program komputer Interactive Econometric Analysis
Microfit 4.0 untuk Windows.
69
4.3.4. Uji Diagnostik
Uji diagnostik terhadap model dilakukan untuk menguji apakah model
sudah signifikan dan tidak melanggar asumsi-asumsi klasik dari model regresi
linier. Pengujian dilakukan untuk mengetahui serial correlation, functional form,
normality, dan heteroscedasticity.
Lagrange Multiplier Test
Metode pengujian ini adalah uji umum untuk mengetahui keberadaan
autokorelasi dengan mendeteksi order dari autokorelasi. Semakin banyak jumlah
observasi yang tersedia maka hasil uji ini akan semakin baik (Seddighi, 2000).
Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:
H 0 : ρ1 = ρ 2 = ρ 3 = ρ 4 = 0
H 1 : H 0 tidak benar
Uji statistik yang dilakukan adalah dengan uji chi square ( χ 2 ) . Jika dengan
menggunakan tingkat signifikansi 5 persen χ 2 > χ 2 (critical value 5%), maka
tolak H 0 pada taraf nyata 5 persen yang berarti bahwa terdapat autokorelasi. Hal
tersebut berlaku pula untuk sebaliknya.
Selain untuk menguji autokorelasi LM test juga digunakan untuk menguji
heteroskedastisitas dari ragam error (Thomas, 1997). Hipotesis yang digunakan
adalah:
H 0 : error homoskedastik
H 1 : error heteroskedastik
70
Uji statistik yang dilakukan adalah uji chi square ( χ 2 ) .
Jika dengan
menggunakan tingkat signifikansi 5 persen χ 2 > χ 2 (critical value 5%), maka
tolak H 0 pada taraf nyata 5 persen yang berarti bahwa terdapat masalah
heteroskedastik dimana ragam error tidak konstan. Hasil tersebut juga berlaku
sebaliknya.
RESET
Ramsey regression specification error test (RESET) digunakan untuk
menguji apakah ada variabel yang tidak dimasukkan ke dalam model dalam artian
terjadi kesalahan dalam functional form dimana kesalahan tersebut tertangkap
oleh random term dari dependen variabel (Seddighi, 2000). Pengujian diawali
dengan mengestimasi persamaan yang telah diretriksi. Hipotesis yang digunakan
adalah untuk menguji keberadaan parameter dari variabel yang digunakan untuk
meretriksi model.
Uji statistik yang dilakukan adalah uji chi square ( χ 2 ) . Jika dengan
menggunakan tingkat signifikansi 5 persen χ 2 > χ 2 (critical value 5%), maka
pada taraf nyata 5 persen ada variabel yang tidak dimasukkan ke dalam model dan
tertangkap oleh random term sehingga model belum tepat.
Jarque-Bera Test
Pengujian ini dilakukan untuk menguji asumsi dari model regresi linier
yaitu error terdistribusi normal. Uji JB dilakukan dengan memeriksa ketepatan
dan kurtosis dari distribusi residual OLS (Seddighi, 2000).
digunakan adalah:
71
Hipotesis yang
H 0 : error terdistribusi normal
H 1 : H 0 tidak benar
Uji statistik yang digunakan adalah sebagai berikut:
 µ 2 (µ / µ − 3) 2 
JB = n  3 3 + 4 2
 ………………………………………..(4.21)
24
 6µ 2

dimana:
JB = The Jarque-Bera Test
µ 2 = ∑ ei2 / n
µ 3 = ∑ ei3 / n
µ 4 = ∑ ei4 / n
Jika nilai JB yang dihasilkan lebih kecil dari pada nilai chi square ( χ 2 ) dengan
derajat bebas 2, maka tidak dapat menolak H 0 yang berarti bahwa asumsi
normalitas terpenuhi.
4.4. Simulasi
Penerapan model ekonometrika yang telah dibangun dapat dilakukan
dengan melakukan simulasi terhadap model persamaan yang telah diestimasi.
Simulasi tersebut berupa perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebijakan
perdagangan dan lingkungan ekonomi yang dilakukan untuk mengetahui dampak
dari perubahan-perubahan tersebut terhadap dinamika dan arus perdagangan karet
alam. Dalam penelitian ini skenario simulasi yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
72
1. Peningkatan pendapatan domestik bruto negara importir sebesar 5 persen.
Simulasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan yang terjadi pada
pendapatan terhadap arus perdagangan karet alam. Besaran simulasi
didasarkan pada rata-rata pertumbuhan pendapatan domestik bruto di negaranegara importir.
2. Peningkatan harga dunia sebesar 50 persen.
Simulasi ini untuk melihat respon perubahan harga terhadap permintaan
ekspor dan impor karet alam dengan besaran yang didasarkan pada penelitianpenelitian terdahulu.
3. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar sebesar 20 persen.
Simulasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh pelemahan Rupiah dimana
besarannya didasarkan pada rata-rata kondisi perekonomian Indonesia
beberapa tahun terakhir.
4. Inflasi sebesar 10 persen di Indonesia.
Simulasi ini didasarkan pada kondisi dan perkembangan ekonomi yang terjadi
di Indonesia dimana terjadi kecenderungan peningkatan inflasi .
5. Penerapan pajak ekspor sebesar 5 persen oleh Indonesia.
Kebijakan perdagangan ini merupakan salah satu upaya dari negara-negara
eksportir untuk menjaga kebutuhan domestik dan sebagai upaya untuk
meningkatkan harga karet alam. Nilai tersebut didasarkan pada tingkat pajak
ekspor karet alam yang pernah diterapkan oleh Indonesia.
6. Kombinasi 1 dan 2.
7. Kombinasi 3 dan 4.
8. Kombinasi 4 dan 5.
73
V. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KARET ALAM
Karet alam merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan
sebagai bahan baku industri strategis. Negara-negara berkembang pada umumnya
merupakan penghasil karet alam yang berasal dari perkebunan-perkebunan
negara, swasta, maupaun perkebunan rakyat. Sedangkan konsumen karet alam
umumnya adalah negara-negara industri maju. Konsumsi karet alam terus
meningkat seiring dengan peningkatan sektor industri dengan bahan baku karet
seperti bola, sarung tangan, benang, alat kontrasepsi, kateter, dan ban.
5.1. Produksi Karet Alam
Produksi karet alam dunia mengalami peningkatan sebesar 31.08 persen
dari total produksi dunia pada tahun 1995 sebesar 6 040 juta ton menjadi 7 917
juta ton pada tahun 2003. Besar produksi karet alam dunia terkonsentrasi pada tiga
negara produsen utama yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia dimana total
produksi ketiga negara tersebut pada tahun 2003 mencapai 71 persen dari total
produksi dunia. Pada tahun 1995 pangsa produksi karet alam Thailand adalah 29.9
persen, Indonesia sebesar 24.3 persen, dan Malaysia sebesar 18 persen dari total
produksi karet alam dunia. Namun pada tahun 2003, Thailand berhasil
meningkatkan pangsa produksinya menjadi 36.3 persen, sedangkan Indonesia dan
Malaysia mengalami penurunan pangsa produksi menjadi masing-masing 22.7
persen dan 11.6 persen.
Produksi karet alam dari masing-masing negara produsen secara umum
mengalami peningkatan yang cukup besar untuk periode 1995-2003 (Tabel 10).
74
Peningkatan produksi karet alam terbesar dialami oleh Thailand yaitu sebesar
59.06 persen. Besarnya peningkatan tersebut terkait dengan keberhasilan
pemerintah Thailand untuk meningkatkan produktivitas lahan karetnya yang
mencapai 1 650 kg per hektar per tahun. Walaupun biaya produksi variabel karet
alam Thailand lebih tinggi dari Indonesia karena upah buruh yang lebih mahal
namun biaya produksi tetapnya jauh lebih rendah dari Indonesia. Selain itu juga
karena adanya subsidi dari pemerintah untuk melindungi petani karet Thailand
dari penurunan harga pada tahun 1997 yang menyebabkan petani setempat dapat
mempertahankan produktivitasnya karena perkebunan karet alam di Thailand
didominasi oleh perkebunan rakyat. Tingginya biaya produksi tetap dalam
produksi karet alam Indonesia terkait dengan tingginya suku bunga serta
pungutan-pungutan baik resmi mau pun tidak resmi.
Tabel 10. Produksi Karet Alam dari Negara Produsen Utama
Negara
Thailand
Produksi (000 ton)
Pertumbuhan
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Per tahun (%)
1 805 1 971 2 032 2 076 2 155 2 346 2 357 2 459 2 871
6.08
(29.9)
(30.6)
(31.5)
(30.4)
(31.6)
(34.8)
(32.9)
(34.6)
(36.3)
Indonesia 1 467 1 527 1 505 1 714 1 599 1 501 1 607 1 632 1 798
(24.3)
Malaysia
India
China
Lainnya
Dunia
Sumber
Keterangan
(23.7)
(23.3)
(25.1)
(23.5)
(22.3)
(22.4)
(23.0)
(22.7)
1 089 1 082
971
886
769
615
547
589
917
(18.0)
(16.8)
(15.0)
(13.0)
(11.3)
(9.1)
(7.6)
(8.3)
(11.6)
499
540
580
591
620
629
632
640
708
(8.3)
(8.4)
(9.0)
(8.6)
(9.1)
(9.3)
(8.8)
(9.0)
(8.9)
424
430
444
450
460
445
451
468
499
(7.0)
(6.7)
(6.9)
(6.6)
(6.8)
(6.6)
(6.3)
(6.6)
(6.3)
756
890
928 1 123 1 207 1 219 1 576 1 322 1 124
(12.5)
(13.8)
(14.4)
(16.4)
(17.7)
(18.1)
(22.0)
(18.6)
-0.07
4.53
2.09
6.21
(14.2)
6 040 6 440 6 460 6 840 6 810 6 740 7 170 7 110 7 917
: International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005.
: Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
75
2.81
3.53
Pada kurun waktu 1995-2003 produksi karet alam Indonesia mengalami
peningkatan dari 1 467 juta ton menjadi 1 798 juta ton atau meningkat sebesar
22.56 persen. Namun peningkatan tersebut kurang berarti jika dibandingkan
dengan Thailand dan India yang dapat menggenjot produksinya dua kali lipat
lebih besar dari Indonesia. Peningkatan produksi karet alam Indonesia yang
kurang optimal disebabkan antara lain lambannya proses peremajaan kebun-kebun
karet tua terutama pada perkebunan karet rakyat yang terkait dengan pembiayaan.
Kebun karet alam Indonesia didominasi oleh perkebunan karet rakyat dimana para
petani yang mengusahakannya tidak mempunyai dana yang cukup untuk
meremajakan kebun karetnya yang sudah tua dan juga karena kekhawatiran akan
kehilangan sumber mata pencaharian selama proses peremajaan karena hidup
mereka sangat tergantung pada hasil sadapan.
Selain itu, rendahnya peningkatan produksi juga disebabkan oleh
rendahnya produktivitas kebun karet di Indonesia. Produktivitas perkebunan karet
di Indonesia hanya setengan dari produktivitas perkebunan karet Thailand yaitu
hanya 756 kg per hektar per tahun. Maraknya penebangan pohon karet dalam
sepuluh tahun terakhir turut menjadi penyebab rendahnya produksi. Alasan
penebangan pohon itu selain sebagai indikator prospek perkaretan dianggap
kurang menguntungkan juga untuk mengalihkan tanaman ke kelapa sawit karena
harga CPO yang lebih menggiurkan di pasar internasional.
Berbeda dengan negara-negara produsen karet alam yang lain, Malaysia
cenderung mengalami penurunan produksi. Produksi karet alam Malaysia yang
pada tahun 1995 sebesar 1 089 juta ton turun 15.79 persen menjadi 917 juta ton
pada tahun 2003. Penurunan produksi tersebut karena adanya konversi lahan
76
perkebunan karet menjadi perkebunan sawit karena sawit memberikan harga yang
lebih menarik. Selain itu juga karena semakin mahalnya upah buruh sadap di
Malaysia sehingga meningkatkan biaya produksi.
Produksi karet alam dunia mengalami pertumbuhan positif sebesar 3.53
persen per tahun. Pertumbuhan produksi terbesar dicapai oleh Thailand yang
dapat meningkatkan produksinya rata-rata 6.08 persen per tahun disusul oleh
Indonesia dan India. Sedangkan Malaysia mengalami pertumbuhan produksi yang
negatif atau menurun dengan rata-rata 0.07 persen per tahunnya. Namun produksi
Malaysia kembali mengalami peningkatan sejak tahun 2002 terkait dengan
peningkatan harga karet alam dunia mulai tahun tersebut.
5.2. Ekspor Karet Alam
Ekspor karet alam dunia didominasi oleh negara-negara produsen utama
yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Namun terjadi perubahan dalam
kecenderungan ekspor dari negara-negara tersebut karena adanya perubahan
dalam orientasi perdagangannya. Pada Tabel 11 diperlihatkan perubahan volume
ekspor dan pangsa pasar dari beberapa eksportir karet alam dan total ekspor dunia
untuk tiga tahun tertentu.
Ekspor karet alam dari Indonesia mengalami peningkatan dari 1 324 juta
ton pada tahun 1995 menjadi 1 453 juta ton di tahun 2001. Namun kontras dengan
peningkatan volume ekspor tersebut, pangsa ekspor karet alam Indonesia justru
mengalami penurunan dari 31.2 persen terhadap total ekspor dunia pada tahun
1995 menjadi 28.2 persen dari total ekspor dunia di tahun 2001. Sebaliknya
negara Thailand mengalami peningkatan pangsa pasar dari 38.5 persen pada tahun
77
1995 menjadi 39.6 persen di tahun 2001. Begitu pula dengan Vietnam sebagai
negara produsen karet alam baru dimana negara ini dapat meningkatkan pangsa
pasarnya pada kurun waktu 1999-2001 sebesar 3.75 persen.
Tabel 11. Volume dan Pangsa Ekspor Karet Alam dari Negara Eksportir Utama
Negara
Ekspor (000 ton)
1997
1998
1999
1 837 1 839 1 886
1995
1 636
1996
1 763
(38.5)
(40.2)
(40.1)
(39.0)
(40.4)
(43.8)
(39.6)
Indonesia
1 324
1 434
1 404
1 641
1 495
1 379
1 453
(31.2)
(32.7)
(30.7)
(34.8)
(32.0)
(27.9)
(28.2)
Malaysia
1 013
980
1 018
989
984
978
821
(23.8)
(22.3)
(22.2)
(21.0)
(21.1)
(19.8)
(15.9)
Thailand
Vietnam
Lainnya
Dunia
Sumber
Keterangan
2000
2 166
Pertumbuhan
2001 Per tahun (%)
2 042
3.96
82
195
194
191
230
269
293
(1.9)
(4.4)
(4.2)
(4.1)
(4.9)
(5.4)
(5.7)
195
18
127
50
75
148
551
(4.6)
(0.4)
(2.8)
(1.1)
(1.6)
(3.0)
(10.7)
4 250
4 390
4 580
4 710
4 670
4 940
5 160
1.97
-3.23
30.34
145.63
3.31
: International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005.
: Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
Seperti halnya dengan Indonesia, Malaysia juga mengalami penurunan
pangsa ekspor karet alamnya namun penurunan tersebut terjadi lebih signifikan
dari pada yang terjadi di Indonesia. Penurunan pangsa ekspor karet alam Malaysia
merupakan akibat dari menurunnya ekspor karet alam Malaysia yang pada tahun
1995 sebesar 1 013 juta ton menjadi hanya sebesar 821 juta ton di tahun 2001.
Penurunan ekspor karet alam Malaysia disebabkan oleh perubahan strategi
perdagangan karet alam sejak awal tahun 1980-an dari mengekspor karet alam
setengah jadi menjadi pengembangan industri produk barang jadi karet dalam
negeri. Karet alam yang diproduksi Malaysia saat ini lebih ditujukan untuk
memenuhi konsumsi industri dalam negeri dimana ekspor karet yang dilakukan
Malaysia lebih pada produk jadi yang memberikan nilai tambah lebih baik dari
pada ekspor karet alam mentah.
78
Grafik pada Gambar 8 menunjukkan fluktuasi volume ekspor karet alam
Indonesia selama 15 tahun dari tahun 1990 sampai tahun 2004. Grafik tersebut
terdiri dari total volume ekspor karet alam Indonesia, volume ekspor karet alam
Indonesia ke Amerika Serikat dan volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang.
Kedua negara ini merupakan tujuan ekspor utama dan pasar tradisional karet alam
Indonesia, maksudnya bahwa Amerika Serikat dan Jepang merupakan negaranegara yang secara historis sudah menjadi tujuan ekspor karet alam Indonesia
2000000
1800000
1600000
1400000
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
Total Ekspor
Amerika Serikat
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
Jepang
1990
Volume Ekspor (000 ton)
sejak lama.
Tahun
Gambar 8. Volume Ekspor Karet Alam Indonesia
Sumber: Gapkindo, 2005.
Ekspor karet alam Indonesia dalam kurun waktu lima belas tahun
mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4.32 persen per
tahunnya. Amerika Serikat dan Jepang sebagai negara tujuan ekspor tradisional
Indonesia secara rata-rata mengusai 51 persen dari total volume ekspor karet alam
Indonesia. Pertumbuhan rata-rata ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah
sebesar 2.06 persen per tahun sedangkan ke Jepang sebesar 17.2 persen per tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa pasar ekspor karet alam ke Jepang masih kecil
sehingga memiliki peluang untuk dapat ditingkatkan untuk menambah pangsa
pasar ekspor karet alam Indonesia ke Jepang.
79
3
2
1
4
20
0
20
0
20
0
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
20
0
20
0
19
9
19
9
19
9
19
9
19
9
19
9
19
9
19
9
19
9
0
Harga
19
9
Harga (US$/kg)
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
Tahun
Gambar 9. Perkembangan Harga Rataan Ekspor Karet Alam Indonesia
Sumber: Gapkindo, 2004.
Harga ekspor rataan karet alam Indonesia berfluktuasi dalam kurun waktu
lima belas tahun terakhir diperlihatkan oleh Gambar 9. Titik terendah terjadi pada
tahun 1993 yaitu hanya sebesar 0.08 US$/kg sedangkan titik tertinggi terjadi pada
tahun 1995 yang mencapai 1.48 US$/kg. Untuk tiga tahun terakhir tren
menunjukkan peningkatan harga, setelah sebelumnya harga kembali turun pada
tahun 2001 yang terkait dengan pembubaran INRO (International Natural Rubber
Organization). Pada saat dibubarkan, INRO melepaskan simpanan pengamannya
(buffer stock) ke pasar sehingga terjadi peningkatan penawaran karet alam di pasar
dunia yang berakibat pada tertekannya harga karet alam.
Komposisi karet alam Indonesia berdasarkan jenis mutu diperlihatkan oleh
Tabel 12. Secara umum ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh tiga jenis
mutu karet alam yaitu karet spesifikasi teknis TSR (Technical Specified Rubber)
yaitu dengan jenis mutu berdasarkan standar karet Indonesia atau SIR, karet sit
RSS (Ribed Smoked Sheet), dan lateks. Berdasarkan tingkat kualitas maka dapat
diurutkan dimana RSS merupakan jenis karet alam yang paling baik, kemudian
disusul TSR. Kualitas karet alam ini biasanya didasarkan pada kandungan air dan
80
kotoran di dalam produk tersebut, semakin baik kualitas mutu karet alam berarti
semakin rendah kandungan air dan kotoran dalam komoditi karet tersebut.
Tabel 12. Komposisi Ekspor Karet Alam Indonesia Menurut Jenis Mutu
Jenis
RSS
SIR
1995
65
1996
71
(4.9)
(5.0)
Ekspor (000 ton)
1997 1998 1999 2000
56
44
54
43
(4.0)
(2.7)
(3.6)
(3.1)
2001
33
(2.3)
Pertumbuhan
2002 Per tahun (%)
44
-2.98
(2.9)
1 231 1 337 1 325 1 579 1 425 1 322 1 405 1 436
Lateks
Lainnya
(93.0)
(93.2)
(94.4)
(96.2)
(95.3)
(95.9)
(96.7)
(96.1)
22
21
18
15
10
10
10
9
(1.7)
(1.5)
(1.3)
(0.9)
(0.7)
(0.7)
(0.7)
(0.6)
6
5
5
4
6
4
5
6
(0.5)
(0.3)
(0.4)
(0.2)
(0.4)
(0.3)
(0.3)
(0.4)
Total
1 324 1 434 1 404 1 642 1 495 1 379 1 453 1 495
Sumber
Keterangan
: Association of Natural Rubber Producing Countries, 2005.
: Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
2.63
-11.26
3.57
2.09
Ekspor karet alam Indonesia untuk periode tahun 1990 sampai 2002
didominasi oleh jenis karet TSR dimana pada tahun 2002 mencapai 96.1 persen
dari total ekspor. Sedangkan untuk jenis mutu karet RSS dan lateks mengalami
penurunan dimana pada tahun 2002 ekspor karet alam jenis tersebut hanya sebesar
masing-masing 2.9 dan 0.6 persen dari total ekspor karet alam Indonesia.
Penurunan ekspor karet alam Indonesia untuk jenis mutu RSS terkait dengan
meningkatnya permintaan industri terhadap jenis karet alam jenis spesifikasi
teknis yang lebih siap pakai. Ekspor karet alam Indonesia yang didominasi oleh
satu jenis mutu saja yaitu jenis SIR menunjukkan rendahnya diversifikasi produk
ekspor karet alam Indonesia sehingga ekspor karet sangat ditentukan oleh pasar
jenis karet spesifikasi teknis tersebut.
Berbeda dengan komposisi ekspor karet alam Indonesia, ekspor karet alam
asal Thailand lebih banyak didominasi oleh jenis karet alam sit asap atau RSS
kemudian disusul dengan karet spesifikasi teknis sesuai dengan standar karet
81
Thailand atau STR dan selanjutnya adalah lateks. Pada Tabel 13 diperlihatkan
komposisi ekspor karet alam Thailand berdasarkan jenis mutu serta pangsa
masing-masing jenis mutu karet alam tersebut terhadap total ekspor karet alam
dari Thailand.
Tabel 13. Komposisi Ekspor Karet AlamThailand Menurut Jenis Mutu
Ekspor (000 ton)
1995 1996 1997 1998 1999 2000
1 114 1 204 1 115 1 068 1 072 1 006
Jenis
RSS
STR
Crepe
Lateks
Lainnya
Pertumbuhan
2001 2002 Per tahun (%)
870 1 050
-0.31
(68.1)
(68.3)
(60.7)
(58.1)
(56.8)
(46.4)
(42.6)
(44.6)
279
260
442
480
541
808
763
829
(17.1)
(14.7)
(24.1)
(26.1)
(28.7)
(37.3)
(37.4)
(35.2)
6
3
2
3
32
42
4
6
(0.4)
(0.2)
(0.1)
(0.2)
(1.7)
(1.9)
(0.2)
(0.3)
169
203
225
246
217
285
348
382
(10.3)
(11.5)
(12.2)
(13.4)
(11.5)
(13.2)
(17.0)
(16.2)
68
93
53
42
24
25
57
87
(4.2)
(5.3)
(2.9)
(2.3)
(1.3)
(1.2)
(2.8)
(3.7)
Total
1 636 1 763 1 837 1 839 1 886 2 166 2 042 2 354
Sumber
Keterangan
: Association of Natural Rubber Producing Countries, 2005.
: Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
19.56
132.02
13.10
16.42
5.58
Ekspor karet alam jenis RSS terus mengalami penurunan dimana pada
tahun 1995 menguasai 68.1 persen pangsa ekspor sedangkan pada tahun 2002
hanya menguasai 44.6 persen dari pangsa ekspor dengan penurunan rata-rata per
tahun sebesar 0.31 persen. Sedangkan untuk jenis mutu karet lainnya yaitu STR
dan lateks terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata
pertahunnya masing-masing sebesar 19.56 dan 13.10 persen. Komposisi ekspor
ini menunjukkan diversifikasi ekspor karet alam Thailand yang baik sehingga
tidak terlalu tergantung pada satu jenis mutu saja sehingga fluktuasi harga di suatu
jenis mutu diharapkan tidak akan mengganggu pendapatan atau devisa dari ekspor
karet alam yang dilakukan.
82
5.3. Konsumsi Karet Alam
Konsumsi karet alam secara keseluruhan terus mengalami peningkatan per
tahunnya namun pada beberapa pasar mengalami stagnasi konsumsi karet alam
terkait dengan kejenuhan pasar di negara-negara importir tradisional. Perubahan
konsumsi karet alam dunia untuk tahun 1995 sampai tahun 2003 diperlihatkan
oleh Tabel 14 berikut ini. Saat ini konsumsi karet alam dunia di dominasi oleh
Amerika Serikat, Jepang, dan China.
Tabel 14. Konsumsi Karet Alam Dunia
Negara
Amerika
Jepang
China
India
Lainnya
Konsumsi (000 ton)
Pertumbuhan
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Per tahun (%)
1 003 1 001 1 044 1 157 1 117 1 193 972 1 104 1 042
0.96
(16.7)
(16.4)
(16.1)
(17.7)
(16.8)
(16.3)
(13.8)
(14.9)
(13.3)
692
715
713
707
734
752
729
738
792
(11.5)
(11.7)
(11.0)
(10.8)
(11.0)
(10.3)
(10.4)
(10.0)
(10.1)
780
810
910
839
(13.0)
(13.3)
(14.1)
(12.8)
(12.8)
(14.7)
(17.3)
(17.7)
(19.3)
517
558
572
580
619
638
631
679
725
(8.6)
(9.1)
(8.8)
(8.9)
(9.3)
(8.7)
(9.0)
(9.2)
(9.2)
852 1 080 1 215 1 310 1 513
3 008 3 026 3 231 3 257 3 338 3 667 3 483 3 559 3 784
(50.1)
Dunia
(49.5)
(49.9)
(49.8)
(50.1)
(50.0)
(49.5)
(48.2)
9.06
4.36
3.00
(48.2)
6 000 6 110 6 470 6 540 6 660 7 330 7 030 7 390 7 856
Sumber:
Keterangan:
1.75
3.50
International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005.
Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
Pada periode tahun 1995 sampai tahun 2003 terjadi peningkatan konsumsi
karet alam dunia sebesar 30.93 persen. Konsumsi dari masing-masing negara
konsumen karet alam juga mengalami peningkatan. Hal yang menarik terjadi pada
China dimana antara tahun 1995 sampai 2003 terjadi peningkatan konsumsi karet
alam yang cukup signifikan mencapai 93.97 persen bahkan lebih besar dari pada
konsumsi Amerika Serikat. Tingginya peningkatan tersebut merupakan indikasi
dari dinamisnya perekonomian di negara tersebut yang ditandai dengan tingginya
83
pertumbuhan ekonomi yang tercermin pada pertumbuhan produk domestik bruto
China yang hampir mencapai 10 persen per tahunnya.
Pertumbuhan konsumsi karet alam rata-rata dunia adalah sebesar 3.50
persen pertahunnya. Pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 9.06 persen dicapai oleh
China yang disusul oleh India sebesar 4.36 persen per tahun. Amerika Serikat
mempunyai pertumbuhan impor rata-rata terendah yaitu sebesar 0.96 persen
dimana pada tahun 2003 menguasai 13.3 persen dari total konsumsi karet alam
dunia.
Munculnya China sebagai negara yang mengkonsumsi karet alam cukup
besar menandai terjadinya pergesaran peta konsumsi karet alam dunia ke negaranegara berkembang terutama di pasar asia. Pasar karet alam di negara-negara
maju mengalami kejenuhan sedangkan di negara-negara berkembang terjadi
peningkatan permintaan yang cukup besar karena perkembangan industrialisasi
dan pasar produk hasil olahan karet yang besar karena tingginya populasi
penduduk di negara berkembang.
5.4. Impor Karet Alam
Volume impor karet alam dunia pada Tabel 15 menunjukkan untuk
periode tahun 1995 sampai tahun 2001 terjadi peningkatan impor sebesar 23.07
persen. Seperti halnya dengan konsumsi karet alam, impor karet alam dunia di
dominasi negara-negara konsumen utama namun memiliki kecenderungan yang
sedikit berbeda untuk negara-negara tertentu karena ada beberapa negara yang
bukan importir absolut sebab mereka juga merupakan produsen karet alam yang
cukup besar.
84
Amerika Serikat dan Jepang sebagai importir karet alam terbesar
mengalami kecenderungan menurun pada periode 1995 sampai 2001 baik dalam
jumlah maupun pangsa impornya. Pada tahun 1995 pangsa impor sebesar 24.3
persen namun pada tahun 2001 pangsa impornya turun menjadi 19.3 persen dari
total impor karet alam dunia. Hal yang sama terjadi untuk negara Jepang dimana
pada tahun 1995 pangsa impornya sebesar 16.5 persen dari total volume impor
dunia namun pada tahun 2001 turun menjadi hanya 13.7 persen. Salah satu negara
importir yang memiliki kecenderungan positif pada volume impor karet alamnya
adalah China. Pada tahun 1995 dengan total impor sebesar 297 juta ton, China
mempunyai pangsa impor karet alam sebesar 7.0 persen. Terjadi peningkatan
volume impor China yang cukup besar pada tahun 2001 menjadi 943 juta ton
dengan pangsa impor sebesar 18.1 persen dari total volume impor karet alam
dunia.
Tabel 15. Volume Impor Karet Alam Dunia
Negara
Amerika
Jepang
China
Korea
Lainnya
Dunia
Sumber:
Keterangan:
Impor (000 ton)
1997
1998
1999
1 044 1 177 1 116
Pertumbuhan
2001 Per tahun (%)
1 002
0.04
1995
1 026
1996
1 014
(24.3)
(23.1)
(23.5)
(24.9)
(23.7)
(21.6)
(19.3)
696
724
730
678
755
802
713
(16.5)
(16.5)
(16.4)
(14.3)
(16.1)
(14.6)
(13.7)
297
489
362
411
402
820
943
(7.0)
(11.1)
(8.2)
(8.7)
(8.5)
(14.9)
(18.1)
289
299
299
282
332
331
330
(6.8)
(6.8)
(6.7)
(6.0)
(7.1)
(6.0)
(6.3)
1 918
1 873
2005
2 188
2 097
2 361
2 213
(45.4)
(42.6)
(45.2)
(46.2)
(44.6)
(42.9)
(42.5)
4 226
4 399
4 440
4 736
4 702
5 506
5 201
2000
1 192
0.70
28.17
2.48
2.67
3.76
International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005.
Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
Fluktuasi total impor karet alam Amerika Serikat dan volume impor karet
alam Amerika Serikat dari Indonesia dan Malaysia selama 10 tahun dari 1995
sampai 2004 diperlihatkan oleh Gambar 10. Secara umum terjadi peningkatan
85
total volume impor Amerika Serikat dimana tahun 1995 besarnya adalah 1 044
juta ton menjadi 1 158 juta ton pada tahun 2004 atau mengalami peningkatan
Volume Impor (000 ton)
sebesar 10.91 persen.
1400
1200
1000
Total
800
Indonesia
600
Thailand
400
200
0
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Gambar 10. Volume Impor Karet Alam Amerika Serikat
Sumber: USITC, 2005.
Impor karet alam Amerika Serikat di dominasi oleh karet alam yang berasal dari
Indonesia dan Thailand. Impor karet alam Amerika Serikat dari Indonesia dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 8.29 persen.
Impor karet alam Amerika Serikat yang berasal dari Thailand untuk kurun waktu
sepuluh tahun terakhir juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu
sebesar 49.78 persen.
Fluktuasi volume total impor karet alam Jepang dan impor karet alam
Jepang dari Indonesia dan Thailand selama sepuluh tahun dari tahun 1995 sampai
tahun 2004 diperlihatkan oleh Gambar 11. Volume total impor karet alam Jepang
mengalami peningkatan dimana pada tahun 1995 besarnya impor karet alam
Jepang adalah 696 juta ton menjadi 850 juta ton pada tahun 2004 atau mengalami
peningkatan sebesar 22.12 persen. Peningkatan juga terjadi pada impor karet alam
Jepang yang berasal dari Indonesia. Pada tahun 1995 impor karet alam Jepang dari
Indonesia hanya sebesar 55 juta ton saja tetapi pada tahun 2004 jumlah impor
86
meningkat menjadi 225 juta ton dimana peningkatan tersebut besarnya mencapai
309.09 persen. peningkatan impor karet alam Jepang dari Indonesia yang cukup
signifikan tersebut karena Indonesia dapat mengisi pasokan karet alam yang
ditinggalkan oleh Malaysia yang telah mengurangi jumlah ekspor karet alamnya
Volume Impor (000 ton)
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
1000
800
Total
600
Indonesia
400
Thailand
200
0
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Gambar 11. Volume Impor Karet Alam Jepang
Sumber: JRMA, 2005.
Perubahan volume dan komposisi impor karet alam Amerika Serikat dan
Jepang untuk periode 1995 sampai 2004 diperlihatkan oleh Tabel 16. Volume
impor karet alam Amerika serikat terus mengalami peningkatan dengan
pertumbuhan pertahunnya sebesar 1.76 persen. Begitu pula dengan Jepang,
volume impornya meningkat dengan pertumbuhan per tahun sebesar 2.49 persen
dimana nilainya lebih tinggi dari pada pertumbuhan impor karet alam Amerika.
Impor karet alam Amerika Serikat paling besar berasal dari Indonesia
kemudian disusul oleh Thailand. Selama sepuluh tahun terakhir Impor karet alam
Amerika Serikat dari Indonesia mengalami pertumbuhan per tahun sebesar 1.76
persen. Pada tahun 1995 Indoneia menguasai 60.1 persen dari pangsa Amerika
Serikat namun pada tahun 2004 terjadi penurunan pangsa Indonesia menjadi 58.72
persen dengan pertumbuhan impor per tahunnya sebesar 1.27 persen. Sedangkan
87
Thailand pada tahun 1995 pangsanya di Amerika Serikat hanya sebesar 22 persen
yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 29.68 persen pada tahun 2004
dengan pertumbuhan impor yang cukup baik mencapai 8.64 persen per tahunnya.
Tabel 16. Volume dan Pangsa Impor Karet Alam Amerika Serikat dan Jepang
Negara
1995
2000
2004
000 ton Pangsa (%)
000 ton Pangsa (%)
Pertumbuhan
000 ton Pangsa (%) Per tahun (%)
Amerika Serikat
1044
100.00
1231
100.00
1158
100.00
1.76
- Indonesia
627
60.10
608
49.39
679
58.72
1.27
- Thailand
229
22.00
368
29.90
343
29.68
8.64
- Lainnya
188
18.01
255
20.71
136
11.74
-1.31
696
100.00
803
100.00
850
100.00
2.49
- Indonesia
55
7.91
144
17.98
225
26.51
20.39
- Thailand
548
78.83
522
64.97
523
61.52
-0.29
- Lainnya
93
13.36
Sumber: USITC dan JRMA, 2005.
137
17.06
102
12.00
28.34
Jepang
Pasar karet alam Jepang didominasi oleh karet alam asal Thailand disusul
oleh Indonesia. Impor karet alam Jepang pada periode tahun 1995 sampai tahun
2004 mengalami pertumbuhan sebesar 2.49 persen per tahun. Pangsa karet alam
Thailand di pasar Jepang pada tahun 1995 cukup besar yang mencapai 78.83
persen dari total impor Jepang namun pada tahun 2004 terjadi penurunan menjadi
61.52 persen dimana untuk periode 1995 sampai 2004 Thailand mempunyai
pertumbuhan impor karet alam ke Jepang yang negatif yaitu sebesar 0.29 persen.
Berbeda dengan Thailand, Impor karet alam Jepang yang berasal dari Indonesia
terus mengalami peningkatan dimana untuk periode sepuluh tahun terakhir
pertumbuhannya mencapai 20.39 persen per tahun. Pada tahun 1995 karet alam
Indonesia hanya menguasai pangsa Jepang sebesar 7.91 persen tetapi pada tahun
2004 pangsa karet alam Indonesia di pasar Jepang naik menjadi 26.51 persen dari
total impor karet alam Jepang.
88
5.5. Persetujuan dalam Perdagangan Karet Alam Internasional
Karet alam adalah salah satu komoditi pertanian yang sudah cukup lama
diperdagangkan di dunia. Masalah utama yang paling sering dihadapi dalam
perdagangan komoditi ini adalah tingkat harga yang berfluktuasi bahkan
cenderung menurun pada beberapa tahun terakhir. Fluktuasi harga umumnya
terjadi karena perubahan dalam tingkat permintaan dan penawaran di pasar dunia
sebagaimana sifat dasar dari komoditi pertanian primer yang dapat dipengaruhi
oleh perubahan cuaca. Selain itu juga karena ditemukannya karet sintetis yang
penggunaannya semakin berkembang sebagai komoditi substitusi karet alam
dalam proses produksi.
Persetujuan dalam perdagangan karet alam internasional umumnya
dilakukan dalam rangka mengatasi fluktuasi harga. Perjanjian internasional
mengenai karet alam, pertama kali dicetuskan oleh komisi perdagangan dan
pembangunan perserikatan bangsa-bangsa UNCTAD (United Nations Commision
for Trade and Development). Perjanjian tersebut lebih dikenal dengan sebutan
International Natural Rubber Agreement (INRA) yang pertama kali disetujui pada
tahun 1979. Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk menstabilisasi harga
karet alam di pasar internasional dalam jangka menengah atau jangka panjang
sebagai dampak dari keseimbangan pertumbuhan permintaan dan penawaran.
Instrumen yang dilakukan untuk mengintervensi pasar karet alam guna
tercapainya tujuan dari perjanjian tersebut adalah dengan menetapkan persediaan
penyangga (buffer stock). Kapasitas buffer stock yang disetujui adalah sebesar 550
ribu ton. Pelepasan dan pembelian buffer stock ini didasarkan pada harga referensi
yang secara periodik disesuaikan dengan tren pasar dari harga karet alam. Untuk
89
mengatur pelaksanaan instrumen ini, dibentuklah organisasi karet alam
internasional
INRO
(International
Natural
Rubber
Organisation)
yang
beranggotakan negara-negara eksportir dan importir karet alam dunia untuk
menjamin efektivitas instrumen yang dijalankannya. Perjanjian dalam bentuk
INRA ini mengalami dua kali penyesuaian yaitu pada tahun 1987 dan 1995.
Penyesuaian dilakukan dalam hal cara penentuan referensi harga untuk
menghindari adanya kepentingan politis dari negara-negara tertentu.
Negara-negara eksportir karet alam anggota INRO pada tahun 1998
mengusulkan peningkatan sebesar 5 persen pada harga referensi, terkait dengan
krisis ekonomi dan mata uang yang menimpa negara-negara di Asia tenggara.
Namun usulan tersebut ditolak oleh negara-negara importir karena bertentangan
dengan tren pasar sebagai dasar penentuan harga referensi. Sebagai tangapan dari
penolakan tersebut pada September 1999, tiga negara yaitu Malaysia, Thailand,
dan Sri Lanka memutuskan untuk menarik diri dari INRA. Pada bulan Desember
1999, dewan INRO akhirnya memutuskan untuk melikuidasi organisasi ini dan
buffer stock-nya menjadi sekitar 140 ribu ton. Produsen kemudian mengambil alih
cadangan tersebut untuk mengatur penjualannya agar tidak merusak pasar
sehingga anggota INRO mendapatkan harga yang adil. Dalam perkembangan
selanjutnya, tugas, dan tujuan dari INRO untuk menciptakan pembangunan pasar
karet alam internasional yang sehat, diambil alih oleh International Rubber Study
Group (IRSG) yang bermarkas di London. Saat ini IRSG menjadi satu-satunya
forum kerja sama internasional untuk komoditas karet alam.
Fluktuasi harga karet alam yang masih berlanjut mendorong Indonesia,
Malaysia, dan Thailand sebagai negara eksportir utama karet alam, sepakat untuk
90
membentuk International Tripartite Rubber Corporation (ITRO) melalui
Deklarasi Bersama Menteri Negara Produsen Utama Karet Alam Dunia pada
tanggal 12 Desember 2001. ITRO dipimpin oleh dewan pengurus dalm bentuk
International Tripartite Rubber Councl (ITRC) yang beranggotakan orang-orang
yang mewakili Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Organisasi baru ini bertujuan
mengawasi perdagangan dan produksi karet untuk mendongkrak harga karet alam
di pasar dunia. Kesepakatan ini direspon dengan Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan nomor 58/MPP/Krp/I/2002 pada tanggal 31 Januari 2002
mengenai penugasan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) sebagai
National Tripartite Rubber Corporation (NTRC).
Program-program yang disetujui ITRO untuk mencapai tujuannya adalah
dalam bentuk Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage
Scheme (AETS). SMS adalah program pengurangan produksi karet alam sebesar 4
persen yang dilaksanakan pada tahun 2002 dan 2003 dengan melakukan
penanaman kembali (peremajaan), diversifikasi komoditi lain dan mengurangi
penanaman baru. Sedangkan AETS adalah program pengurangan ekspor karet
sebesar 10 persen yang dimulai pada 1 Januari 2002. Pelaksanaan programprogram ini akan mendapatkan pengawasan dari organisasi yang dibentuk, dimana
efektivitasnya akan dievaluasi dalam rangka peningkatan harga karet. Penerapan
kesepakatan ITRO kemudian ditunda karena pada pertengahan tahun 2002 harga
karet alam membaik.
Untuk melengkapi kerjasama ITRC, ketiga negara tersebut sepakat pada
pertemuan tanggal 8 Agustus 2002 di Bali membentuk International Rubber
Consortium Limited (IRCo). Fungsinya adalah sebagai pelengkap dari skema
91
stabilisasi harga SMS dan AETS. Tujuan IRCo adalah melakukan kegiatan
strategic marked operation yang meliputi pembelian dan penjualan karet alam dan
bisnis terkait lainnya. Perusahaan patungan IRCo berkantor pusat di Bangkok,
Thailand. Sebagai shareholder dari perusahaan tersebut untuk pemerintah
Indonesia diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan, untuk pemerintah
Thailand diwakili oleh Menteri Pertanian dan Koperasi, dan untuk pemerintah
Malaysia diwakili oleh Menteri Perusahaan Utama Malaysia (Anwar, 2005).
Negara-negara ynag tergabung dalam ITRC sepakat untuk merem ekspor
dan memangkas produksi karet alam. Untuk memastikan efektifitas berbagai
skema yang direncanakan maka ITRC sepakat menetapkan harga referensi untuk
dijadikan patokan dalam melakukan langkah intervensi baik berupa melepas atau
menyerap pasokan karet alam. Harga referensi dalam kesepakatan awal adalah
US$ 0.8 sampai US$ 1.2 per kilogram. Tingkat harga tersebut memiliki beberapa
tahapan seperti halnya yang pernah diterapkan oleh INRO yaitu adanya tingkat
untuk boleh beli (may buy), harus beli (must buy), boleh jual (may sell), dan harus
jual (must sell).
Pada pertengahan tahun 2003, pelaksanaan SMS dan AETS ditunda
menyusul kenaikan harga karet alam di pasar dunia menyusul terjadinya perang
Irak-Amerika Serikat yang menyebabkan naiknya harga minyak bumi sebagai
bahan baku utama karet sintetis. Peningkatan harga juga dipicu oleh habisnya stok
karet Amerika Serikat yang disimpan untuk periode 50 tahun pada Oktober 2002
sehingga perdagangan dibiarkan berjalan sesuai dengan mekanisme pasar.
92
5.6. Kebijakan Perdagangan Karet Alam
Karet alam yang diperdagangkan saat ini umumnya sudah memasuki
tahapan perdagangan bebas tanpa hambatan dengan mengikuti mekanisme pasar.
Bagi negara-negara importir seperti Amerika Serikat dan Jepang, karet alam
diperdagangkan tanpa adanya hambatan baik berupa tarif maupun non tarif. Tidak
adanya pembatasan perdagangan karet alam di Amerika Serikat dan Jepang
karena kedua negara tersebut merupakan kosumen absolut yang tidak dapat
menghasilkan atau memproduksi karet alam sendiri sehingga jika dilakukan
hambatan terhadap impor karet alam akan merugikan industri dalam negerinya.
Upaya yang dilakukan oleh negara-negara importir dalam mendistorsi
pasar adalah bukan dalam bentuk kebijakan perdagangan tetapi dalam bentuk
penimbunan cadangan (stock). Pengadaan cadangan karet alam tersebut dilakukan
baik oleh negara konsumen maupun oleh pabrik-pabrik besar. Menurut IRSG
dalam Anwar (2005), cadangan karet alam dibedakan berdasarkan yang berada di
negara-negara produsen dan konsumen serta afloat/carrying stock yang ada di
pabrik-pabrik pengolahan barang jadi karet. Sejak tahun 1999 cadangan karet
alam di negara-negara konsumen meningkat sedangkan di negara-negara produsen
menurun, terkait dengan bubarnya INRO (International Natural Rubber
Organization). Dengan tidak adanya stock INRO maka untuk berjaga-jaga
terhadap ketidakpastian pasokan maka negara-negara konsumen melakukan
kebijakan tersebut.
Kebijakan perdagangan di negara eksportir yaitu Thailand adalah dalam
bentuk tarif atau pajak eskpor. Kebijakan tersebut diberlakukan oleh Thailand
dalam upaya untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik. Menurut Limbong
93
(1994), Thailand menerapkan pajak ekspor karet alam pada tingkat relatif tinggi,
sedang dan rendah dalam tiga periode yaitu tahun 1969-1982, 1983-1988, dan
1989-1998. Setelah periode tersebut pajak ekspor yang dibebankan pemerintah
Thailand terhadap eksportir karet alamnya adalah sebesar 0.9 Bhat per kilogram
(Bisnis Indonesia, 2003).
Indonesia pernah menerapkan pajak ekspor terhadap komoditas karet alam
yaitu sebesar 10 persen pada periode tahun 1969-1975, kemudian sebesar 5 persen
pada periode tahun 1976-1981 dan 0 persen sejak 1982 (Limbong, 1994). Saat ini
ekspor karet alam Indonesia tidak dibebani oleh tarif atau pajak ekspor oleh
pemerintah. Sedangkan untuk komodiats karet alam yang diimpor oleh Indonesia
dikenai oleh pajak impor yang besarnya adalah 5 persen dengan tujuan untuk
melindungi produsen dalam negeri.
Hasil produksi karet alam Indonesia saat ini kurang bisa diserap oleh pasar
domestik karena adanya pengenaan pajak pertambahan nilai. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan
jasa dan pajak penjulan atas barang mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000, komoditas karet
alam yang diperdagangkan di pasar domestik dikenai pajak pertambahan nilai
sebesar 10 persen. Hal ini menyebabkan bagi konsumen domestik karet alam
impor menjadi lebih murah dari pada karet alam yang di produksi di dalam negeri.
Berbagai upaya sedang dilakukan oleh masyarakat perkaretan Indonesia untuk
merubah keputusan yang merugikan ini.
Selain kebijakan perdagangan dalam hal pajak baik ekspor maupun impor,
pemerintah juga mengeluarkan keputusan yang terkait dengan upaya distorsi
94
perdagangan karet alam melalui pembentukan International Tripartite Rubber
Corporation (ITRO). Kesepakatan ini direspon dengan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan nomor 58/MPP/Krp/I/2002 pada tanggal 31
Januari 2002 mengenai penugasan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia
(Gapkindo) sebagai National Tripartite Rubber Corporation (NTRC).
95
VI. DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM
Dinamika ekspor karet alam diperlihatkan oleh hasil estimasi permintaan
impor karet alam untuk Amerika Serikat dan Jepang, permintaan ekspor Amerika
Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand, penawaran impor karet alam ke
pasar Amerika Serikat dan Jepang, dan penawaran ekspor karet alam Indonesia
dan Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang. Analisis yang dilakukan diawali
dengan melakukan uji unit root pada data deret waktu untuk mengetahui
stasioneritas data. Kemudian dilakukan uji kointegrasi untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antar variabel dalam jangka panjang. Selanjutnya berdasarkan
hasil uji tersebut dilakukan estimasi persamaan dalam bentuk error correction
model (ECM) dan bentuk autoregresif.
6.1. Pengujian Unit Root
Uji unit root dilakukan terhadap 29 variabel dari 14 persamaan. Langkah
yang dilakukan diawali dengan melihat kriteria Schwartz Bayesion Criterion
(SBC) terbesar dari nilai uji ADF untuk menentukan panjang lag optimal. Perintah
uji unit root dan contoh hasil ujinya pada program Microfit dapat dilihat pada
Lampiran 2 dan 3. Nilai statistik pada lag optimal kemudian dibandingkan dengan
nilai kritis yang relevan. Jika nilai statistik lag optimal lebih negatif dari pada nilai
kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen maka hipotesis nol ditolak yang
berarti bahwa variabel tersebut sudah stasioner. Hasil perhitungan uji DF dan
ADF pada setiap variabel untuk model 1 dengan intersep tanpa tren dan model 2
dengan intersep dan tren ditampilkan pada Tabel 17.
96
Tabel 17. Hasil Uji Unit Root untuk Setiap Variabel
Nama
Variabel
Model 1
Permintaan Impor
LMDA
-4.607
LYA
-1.165
LPADA
-1.857
LMDJ
-4.704
LYJ
-2.615
LPJDJ
-1.562
Permintaan Ekspor
Level
Model 2
SBC
-4.642
-1.724
-0.726
-5.963
-2.004
-0.749
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
3(0)
0(0)
-4.603
-4.989
-5.098
-4.728
-4.569
-6.584
-5.203
-5.665
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
-4.222
-3.560
-2.165
-2.892
-3.812
-4.283
-3.703
-4.071
-3.292
-3.899
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
-8.128
-6.974
-
-7.999
-6.887
-
-4.462
LXDTJ
-8.532
LPDTJPJ
-2.006
Penawaran Impor
-4.593
-8.477
-3.117
0(0)
0(0)
1(0)
-7.651
-7.672
0(0)
0(0)
0(0)
LPA
-1.412
LPJ
-1.546
LPW
-0.946
Penawaran Ekspor
-0.727
-0.688
-1.147
0(0)
0(0)
0(0)
-4.954
-4.725
-5.548
-6.506
-5.611
-6.078
0(0)
0(0)
0(0)
LXSI
LPIDI
LXSIA
LPSIADI
LXSIJ
LPSIJDI
LXST
LPTDT
LXSTA
LPSTADT
LXSTJ
LPSTJDT
-4.585
-2.795
-4.283
-2.912
-4.071
-2.322
-2.012
-1.375
-3.899
-1.706
-8.477
-1.365
0(0)
1(1)
0(0)
1(1)
0(0)
0(0)
3(3)
1(0)
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
-4.851
-4.415
-8.128
-5.422
-9.037
-4.047
-6.742
-4.479
-4.914
-4.393
-7.999
-5.035
-8.908
-4.664
-7.572
-4.918
2(2)
0(0)
0(0)
0(2)
2(2)
0(0)
0(0)
0(0)
LXDIA
LPDIAPA
LXDIJ
LPDIJPJ
LXDTA
LPDTAPA
-3.853
-2.951
-4.222
-3.064
-2.165
-2.440
-0.504
-1.615
-3.812
-1.594
-8.532
-1.122
First Difference
Model 1
Model 2
SBC
Keterangan:
Taraf nyata yang digunakan dalam uji ADF adalah 5 persen dengan nilai kritis untuk variabel in level Model
1 adalah -2.9472 dan Model 2 adalah -3.5426, sedangkan untuk variabel first difference Model 1 adalah
-2.9499 dan Model 2 adalah -3.5468.
Berdasarkan hasil uji unit root dari 29 variabel ternyata terdapat 11
variabel yang tidak mengandung unit root atau sudah stasioner. Variabel yang
stasioner adalah kuantitas impor karet alam Amerika Serikat, kuantitas impor
97
karet alam Jepang, kuantitas impor karet alam Amerika Serikat dari Indonesia,
harga relatif impor karet alam dari Indonesia ke Amerika Serikat, kuantitas impor
karet alam Amerika Serikat dari Thailand, harga impor relatif karet alamAmerika
Serikat dari Thailand, kuantitas impor karet alam Jepang dari Thailand, kuantitas
ekspor karet alam Indonesia, kuantitas ekspor karet alam Indonesia ke Amerika
Serikat, kuantitas ekspor karet alam Thailand ke Amerika serikat dan kuantitas
ekspor karet alam Thailand ke Jepang.
Selanjutnya dilakukan uji integrasi pada 18 variabel lain yang belum
stasioner pada derajat nol. Hasil uji integrasi yang dilakukan menunjukkan bahwa
semua variabel yang diobservasi setelah di-difference satu kali berhasil menolak
hipotesa nol. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut telah
stasioner pada derajat satu.
6.2. Pengujian Kointegrasi
Berdasarkan hasil uji unit root yang telah dilakukan sebelumnya seperti
hasil yang diperlihatkan pada Tabel 17, maka dilakukan uji kointegrasi terhadap
model persamaan permintaan dan penawaran impor dan ekspor yang sebagian
besar dari variabelnya mengandung unit root atau tidak stasioner. Uji kointegrasi
dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) dilakukan pada residual dari kombinasi
variabel-variabel persamaan yang memenuhi syarat tersebut.
Tujuh model persamaan yang diuji yaitu persamaan permintaan impor
karet alam dari Amerika Serikat, persamaan permintaan impor karet alam Jepang,
persamaan permintaan ekspor karet alam dari Jepang ke Indonesia, persamaan
penawaran impor karet alam Amerika Serikat, persamaan penawaran impor karet
98
alam Jepang, persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang, dan
persamaan penawaran ekspor karet alam total dari Thailand.
Tabel 18. Hasil Uji Kointegrasi
Uji ADF
Model 1
Model 2
Model Persamaan
Permintaan Impor
LMDA, LYA
LMDA, LYA, LPADA
LMDJ, LYJ
LMDJ, LYJ, LPJDJ
Permintaan Ekspor
LXDIJ, LMDJ
LXDIJ, LMDJ, LPDIJPJ
Penawaran Impor
LPA LPW
LPJ LPW
Penawaran Ekspor
LXSIJ, LPSIJDI
LXST, LPTDT
-4.214
-4.219
-5.518
-5.842
-4.557
-4.560
-6.352
-5.966
-5.115
-4.948
-5.120
-5.035
-4.758
-4.629
-5.825
-5.119
-5.373
-4.413
-5.307
-4.343
Keterangan:
Taraf nyata yang digunakan dalam uji ADF adalah 5 persen dengan nilai kritis untuk variabel in level Model
1 adalah -2.9591 dan Model 2 adalah -3.5615.
Hasil dari uji ADF pada residual untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antar variabel dalam jangka panjang dapat dilihat pada Tabel 18 di atas.
Hasil uji kointegrasi yang telh dilakukan menunjukkan bahwa variabel-variabel
dalam persamaan yang diuji memiliki hubungan dalam jangka panjang pada taraf
nyata 5 persen. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai statistik lag optimal yang lebih
negatif dari pada nilai kritis MacKinnon yang berarti berhasil menolak hipotesa
nol. Berdasarkan hasil uji kointegrasi ini dapat diambil kesimpulan bahwa ke
tujuh model persamaan yang telah diuji tersebut dapat diestimasi dalam bentuk
error correction model.
99
6.3. Permintaan Impor Karet Alam
Model permintaan impor karet alam yang dibangun pada penelitian ini
adalah berasal dari dua negara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang.
Secara umum spesifikasi persamaan ECM permintaan impor karet alam adalah
sebagai berikut:
dLMD j ,t = b0 + b1 dLY j ,t + b3 dLPj D j ,t + b4 ECM t −1 + ε t ……………….(6.1)
tanda harapan:
b1 > 0 , b3 < 0 , − 1 < b4 < 0
Persamaan (6.1) di atas memperlihatkan respon permintaan impor karet alam
terhadap perubahan pada pendapatan dan harga impor riil karet alam di negara
importir tersebut.
6.3.1. Permintaan Impor Karet alam Amerika Serikat
Persamaan permintaan impor karet alam Amerika Serikat berdasarkan
hasil estimasi adalah sebagai berikut:
dLMDAt = −7.25 + 1.14dLYAt − 0.07 dLPADAt − 0.16dD3
− 0.97 ECM t −1 ……………..……………………………....(6.2)
dimana:
D3
= dummy pembubaran INRO
Hasil estimasi yang lebih rinci bersama dengan hasil uji diagnostiknya
untuk persamaan (6.2) di atas dapat dilihat pada Lampiran 4. Uji diagnostik dari
persamaan tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah dalam serial
autokorelasi, functional form, ketidaknormalan residual, dan heteroskedastisitas
dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.54. Hasil dugaan persamaan
100
permintaan impor karet alam Amerika Serikat menunjukkan bahwa pendapatan
Amerika Serikat yang diwakili oleh pendapatan domestik bruto berpengaruh nyata
terhadap permintaan impor karet alam Amerika Serikat pada taraf nyata 5 persen
baik dalam jangka pendek mau pun dalam jangka panjang.
Sebaliknya hasil estimasi permintaan impor menunjukkan harga impor riil
karet alam Amerika Serikat dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang tidak
berpengaruh nyata terhadap permintaan impor karet alam Amerika Serikat pada
taraf 5 persen. Kedua koefisien variabel penjelas menunjukkan tanda yang sesuai
dengan harapan, yaitu positif untuk pendapatan yang mengindikasikan bahwa
semakin tinggi pendapatan Amerika Serikat maka semakin tinggi pula permintaan
impor karet alamnya. Sedangkan tanda yang negatif untuk koefisien harga impor
riil karet alam mengindikasikan pengaruh yang berlawanan dengan artian bahwa
semakin tinggi harga impor riil karet alam Amerika Serikat maka respon dari
permintaan impor karet alam Amerika Serikat menunjukkan arah sebaliknya yaitu
menurun.
Koefisien beda kala dari error correction term (ECT) menunjukkan nilai
yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien adjustment dari
permintaan impor karet alam Amerika Serikat yang dihasilkan cukup besar,
mendekati satu yaitu sebesar 0.97. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
permintaan impor karet alam Amerika Serikat untuk kembali ke keseimbangan
setelah terjadi perubahan pada harga impor riil karet alam Amerika Serikat dan
pendapatannya, cukup cepat atau kurang lebih satu periode data yaitu dalam tiga
bulan.
101
6.3.2. Permintaan Impor Karet Alam Jepang
Hasil estimasi persamaan permintaan impor karet alam Jepang adalah
sebagai berikut:
dLMDJ t = 4.01 + 0.67 dLYJ t − 0.01dLPJDJ t − 0.98ECM t −1 …….……(6.3)
Estimasi jangka panjang dan hasil uji diagnostik secara lebih lengkap
diperlihatkan pada Lampiran 5. Koefisien determinasi (R2) dari dugaan persamaan
permintaan impor karet alam Jepang adalah sebesar 0.51 dengan hasil uji
diagnostik menunjukkan tidak adanya masalah autokorelasi, functional form,
ketidaknormalan residual, dan heteroskedastisitas. Hasil estimasi persamaan
permintaan impor karet alam Jepang menunjukkan bahwa pendapatan negara
Jepang berpengaruh nyata terhadap permintaan impor karet alam Jepang baik
dalam jangka pendek mau pun dalam jangka panjang pada taraf nyata 5 persen.
Sedangkan untuk koefisien harga impor karet alam riil Jepang tidak
berpengaruh nyata atau tidak signifikan terhadap permintaan impor karet alam
Jepang dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Koefisien peubah
pendapatan Jepang bertanda positif sesuai dengan harapan. Begitu pula dengan
koefisien harga impor riil karet alam Jepang memiliki tanda yang sesuai dengan
dugaan yaitu negatif. Koefisien ECT yang dihasilkan signifikan pada tingkat taraf
nyata 5 persen dengan koefisien adjustment dari permintaan impor karet alam
Jepang adalah sebesar 0.98, dimana nilai tersebut hampir sama besar dengan
Amerika Serikat. Nilai ini menunjukkan besarnya kecepatan permintaan impor
karet alam Jepang untuk kembali ke kondisi keseimbangan setelah terjadi
perubahan terhadap pendapatan dan harga adalah selama 1.02 kali periode data.
102
6.3.3. Elastisitas Harga Impor Riil Karet Alam dan Pendapatan
Respon jangka pendek dan jangka panjang permintaan impor karet alam
terhadap perubahan pendapatan dan harga impor riil karet alam Amerika Serikat
dan Jepang diperlihatkan oleh Tabel 19. Permintaan impor karet alam Amerika
Serikat tidak responsif atau inelstis terhadap perubahan harga karet alam negara
tersebut yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas harga baik jangka pendek maupun
jangka panjang yang rendah dengan nilai yang lebih kecil dari satu.
Tabel 19. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permintaan Impor
Negara
Elastisitas Harga
Elastisitas Pendapatan
Jangka Pendek Jangka Panjang
Jangka Pendek Jangka Panjang
ECT
Amerika Serikat
-0.07
-0.08
1.14
1.17
-0.97
Jepang
-0.01
-0.02
0.67
0.68
-0.98
Dapat diartikan bahwa jika terjadi peningkatan harga karet alam di pasar Amerika
Serikat sebesar sepuluh persen maka akan mengakibatkan penurunan permintaan
impor karet alam Amerika Serikat dalam persentase yang lebih kecil dari
perubahan harga. Namun jika dibandingkan antara elastisitas jangka pendek
dengan elastisitas jangka panjangnya maka elastisitas jangka panjang lebih besar
yang menunjukkan permintaan impor lebih responsif pada jangka panjang dari
pada jangka pendek. Hal ini menurut Niemi (2003) memberikan implikasi bahwa
kebijakan intervensi berupa hambatan tarif atau non tarif tidak terlalu efektif
dalam merubah jumlah permintaan impor karet alam.
Elastisitas harga impor riil karet alam Jepang dalam jangka pendek mau
pun jangka panjang menunjukkan bahwa permintaan impor karet alam Jepang
tidak responsif terhadap perubahan harga impor rill karet alam Jepang karena
nilainya yang kurang dari satu. Permintaan impor karet alam Jepang menunjukkan
respon negatif terhadap perubahan harga impor riil karet alam Jepang yang sesuai
103
dengan hipotesa awal. Respon negatif harga dapat diartikan bahwa peningkatan
harga impor akan direspon dengan penurunan pada permintaan impor karet alam
Jepang.
Hasil estimasi yang menunjukkan tidak responsifnya permintaan ekspor
karet alam Amerika Serikat dan Jepang terhadap perubahan harga disebabkan oleh
adanya cadangan karet alam yang umumnya dimiliki oleh negara-negara
konsumen. Upaya pengadaan cadangan karet alam tersebut untuk mengantisipasi
harga karet alam yang fluktuatif dan ketidakpastian pasokan karet alam karena
adanya faktor cuaca. Cadangan karet alam dapat dibedakan berdasarkan yang ada
di negara-negara produsen dan konsumen serta cadangan yang ada di pabrikpabrik pengolahan barang jadi karet atau disebut juga dengan afloat stock. Sejak
tahun 1999 terjadi peningkatan cadangan karet alam di negara-negara konsumen,
sedangkan cadangan di negara-negara produsen mengalami penurunan (IRSG,
2004).
Permintaan impor karet alam yang tidak reponsif terhadap perubahan
harga juga disimpulkan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Elwamendri (2000),
menyatakan bahwa meskipun harga karet Amerika Serikat berpengaruh nyata
pada taraf satu persen akan tetapi impor karet Amerika Serikat tidak responsif
terhadap perubahan harga karet alam Amerika Serikat baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Hal yang sama juga dihasilkan oleh penelitian Tety
(2002), yang mengemukakan bahwa harga karet alam Amerika Serikat
berpengaruh nyata terhadap impor karet alam Amerika Serikat pada taraf nyata
sepuluh persen namun permintaan impornya tidak responsif baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang terhadap perubahan harga karet alam Amerika
104
Serikat. Sedangkan harga impor karet alam Jepang inelastis dan tidak berpengaruh
nyata terhadap permintaan impor karet alam dengan tanda yang negatif.
Permintaan impor karet alam Amerika Serikat responsif atau elastis
terhadap perubahan pendapatan Amerika Serikat dalam jangka pendek maupun
jangka panjang dengan tanda positif. Ini berarti bahwa peningkatan pertumbuhan
ekonomi Amerika Serikat akan cenderung meningkatkan permintaan karet alam
Amerika Serikat. Pertumbuhan pendapatan domestik bruto rata-rata per tahun dari
Amerika Serikat untuk sepuluh tahun terakhir adalah antara dua sampai lima
persen dimana pertumbuhan tersebut bersifat stabil. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Elwamendri (2000) dan Tety (2002) menunjukkan bahwa volume
impor tidak responsif terhadap perubahan pendapatan di Amerika Serikat.
Elastisitas pendapatannya berkisar antara 0.41 sampai 0.71. Perbedaan ini
disebabkan oleh asumsi yang digunakan pada penelitian sebelumnya dimana data
dianggap sudah stasioner sehingga koefisien yang dihasilkan tidak menunjukkan
hubungan yang sebenarnya.
Sedangkan permintaan impor karet alam Jepang walaupun berpengaruh
nyata pada taraf lima persen namun tidak responsif terhadap perubahan
pendapatan Jepang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang
ditunjukkan oleh nilai elastisitas yang lebih kecil dari satu. Hasil penelitian Tety
(2002) juga menunjukkan bahwa pendapatan Jepang berpengaruh pada taraf nyata
satu persen namun responnya inelastis terhadap permintaan impor karet alam
Jepang namun secara umum elastisitasnya lebih besar dari pada hasil penelitian
ini. Respon impor karet alam Jepang yang inelastis terhadap pendapatan Jepang
terkait dengan rendahnya pertumbuhan pendapatan Jepang dalam sepuluh tahun
105
terakhir dengan besar pendapatan rata-rata per tahunnya berada dibawah tiga
persen bahkan sempat negatif mulai tahun 1998 sampai tahun 2003 (IFS, 2005).
6.4. Permintaan Ekspor Karet Alam
Permintaan ekspor karet alam dibangun dalam empat persamaan yaitu
permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Amerika Serikat, permintaan ekspor
karet alam Thailand dari Amerika Serikat, permintaan ekspor karet alam
Indonesia dari Jepang dan permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang.
Secara umum model permintaan ekspor karet alam dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
dLXDij ,t = a 0 + a1dLXDij ( t −1) + a 2 dLMD j ,t + a3 LMD j (t −1) + a 4 dLPDij Pj ,t
+ a5 LPDij Pj (t −1) + ε t ………………………………………..(6.4)
dLXDij ,t = b0 + b1 dLMD j ,t + b2 dLPDij Pj ,t + b3 ECM t −1 + ε t …………...(6.5)
tanda harapan:
a1 , a 2 , a3 > 0 , a 4 , a 5 < 0 , b1 > 0 , b2 < 0 , dan − 1 < b3 < 0
Spesifikasi persamaan adalah dalam bentuk ECM untuk permintaan ekspor karet
alam Indonesia dari Jepang, sedangkan untuk permintaan ekspor Indonesia dari
Amerika Serikat, permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang dan Amerika
Serikat digunakan bentuk persamaan autoregresif karena hasil analisis unit root
dari variabel yang membangun persamaan tersebut menunjukkan hasil yang
stasioner. Persamaan diatas menunjukkan respon permintaan impor karet alam
dari Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand terhadap perubahan
dari permintaan impor dan harga relatif karet alam.
106
6.4.1. Permintaan Ekspor Karet Alam Amerika Serikat
Hasil estimasi dari persamaan permintaan ekspor karet alam Amerika
Serikat ke Indonesia dan Thailand adalah sebagai berikut:
dLXDIAt = 9.37 − 1.14 LXDIAt −1 + 0.67 dLMDAt + 0.62 LMDAt −1
− 0.51dLPDIAPAt − 0.82 LPDIAPAt −1 + 0.02 D1
− 0.25D3 + 0.18D 4 ……………………………………….(6.6)
dLXDTAt = 6.28 − 1.23LXDTAt −1 + 0.71dLMDA + 0.81LMDAt −1
− 0.04dLPDTAPAt −1 − 0.18 LPDTAPAt −1 + 0.09 D1
+ 0.28 D 2 − 0.14 D 4 ……………..………………………..(6.7)
dimana:
D1
= dummy krisis ekonomi
D2
= dummy Thailand keluar dari INRO
D3
= dummy pembubaran INRO
D4
= dummy pelaksanaan SMS dan AETS
Secara lebih rinci hasil estimasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.
Model yang diestimasi adalah dalam bentuk persamaan autoregresif karena
sebagian besar variabelnya sudah stasioner. Uji diagnostik yang dilakukan
menunjukkan bahwa kedua persamaan tersebut tidak memiliki masalah
autokerelasi, functional form, ketidaknormalan residual maupun heteroskedastis.
Koefisien determinasi (R2) dari dugaan persamaan permintaan ekspor
karet alam Indonesia dari Amerika Serikat besarnya adalah 0.73 yang berarti
bahwa permintaan ekspor dapat dijelaskan dengan baik oleh peubah penjelasnya.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa permintaan ekspor karet alam Indoesia dari
Amerika Serikat dan harga ekspor relatif karet alam Indonesia ke Amerika Serikat
107
signifikan pada taraf nyata 5 persen. Koefisien dugaan mempunyai tanda yang
sesuai dengan harapan yaitu negatif untuk harga ekspor relatif karet alam dan
positif untuk permintaan impor karet alam.
Estimasi persamaan permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke
Thailand menghasilkan koefisien determinasi sebesar 0.63. Koefisien duga dari
persamaan ini untuk harga ekspor relatif karet alam Thailand dan permintaan
Impor karet alam Amerika Serikat menunjukkan tanda sesuai dengan harapan.
Permintaan ekspor karet alam Thailand dari Amerika Serikat dan harga ekspor
relatif karet alam Thailand ke Amerika Serikat berpengaruh nyata pada taraf 5
persen terhadap permintaan ekspor karet alam Thailand oleh Amerika Serikat.
6.4.2. Permintaan Ekspor Karet Alam Jepang
Estimasi persamaan yang dilakukan untuk permintaan ekspor karet alam
Indonesia dari Jepang adalah dalam bentuk ECM sedangkan persamaan
permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang dilakukan dengan persamaan
autoregresif karena variablel-variabelnya yang stasioner berdasarkan hasil uji unit
root yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil estimasi dari persamaan-persamaan
tersebut adalah sebagai berikut:
dLXDIJ t = 1.83 + 0.60dLMDJ t − 0.81dLPDIJPJ t − 0.05dD1
+ 0.23dD3 + 0.42dD 4 − 0.79 ECM t −1 ……………………..(6.8)
dLXDTJ t = 4.63 − 1.37 LXDTJ t −1 + 1.01dLMDJ t + 1.10 LMDJ t −1
− 0.36dLPDTJPJ t − 0.69 LPDTJPJ t −1 − 0.05 D1
− 0.12 D 2 + 0.06 D 4 ………………………………………(6.9)
108
dimana:
D1
= dummy krisis ekonomi
D2
= dummy Thailand keluar dari INRO
D3
= dummy pembubaran INRO
D4
= dummy pelaksanaan SMS dan AETS
Hasil estimasi dan uji diagnostik dari kedua persamaan tersebut diperlihatkan
pada Lampiran 8 dan 9.
Persamaan permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang
menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.52. Tanda koefisien dugaan
untuk harga ekspor relatif karet alam Indonesia ke Jepang dan permintaan impor
karet alam Jepang sesuai dengan harapan. Permintaan impor karet alam Jepang
berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang
sedangkan harga ekspor relatif karet alam Indonesia ke Jepang juga berpengaruh
nyata pada taraf 5 persen. Koefisien ECT signifikan pada tingkat lima persen
dengan koefisien adjustment dari persamaan tersebut adalah sebesar 0.79 yang
menunjukkan kecepatan permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang
untuk kembali pada keseimbangan jika terjadi perubahan pada permintaan impor
karet alam Jepang dan harga ekspor relatif karet alam Indonesia ke Jepang adalah
selama 1.27 kali periode data.
Pada ekspor karet alam dari Thailand, permintaan impor karet alam Jepang
berpengaruh nyata pada permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang pada
taraf nyata 5 persen namun harga ekspor relatif karet alam dari Thailand tidak
berpengaruh nyata. Tanda koefisien dugaan dari permintaan impor karet alam
Jepang sesuai dengan harapan begitu pula pada harga ekspor karet alam Thailand
109
yang memberikan tanda negatif sesuai dengan harapan. Koefisien determinasi
(R2) untuk persamaan permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang adalah
sebesar 0.83.
6.4.3. Elastisitas Harga Relatif Karet Alam dan Permintaan Impor
Respon jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan ekspor karet
alam Amerika Serikat dan Jepang diperlihatkan oleh Tabel 20. Respon permintaan
ekspor karet alam Indonesia dan Thailand dari Amerika Serikat terhadap harga
ekspor relatif karet alam Indonesia dan Thailand baik jangka pendek maupun
jangka panjang adalah inelastis. Elastisitas harga ekspor karet alam dari Indonesia
untuk pasar Amerika Serikat lebih elastis dari pada Thailand yang berarti bahwa
permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat lebih responsif terhadap perubahan
harga ekspor relatif karet alam dari Indonesia. Hal ini menunjukkan pangsa pasar
karet alam Indonesia di pasar Amerika Serikat lebih besar dari pada pangsa ekspor
Thailand.
Tabel 20. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permintaan Ekspor
Negara
Elastisitas Harga
Elastisitas Permintaan Impor
Jangka Pendek Jangka Panjang
Jangka Pendek Jangka Panjang
Amerika Serikat
Indonesia
Thailand
-0.51
-0.04
-0.58
-0.12
0.67
0.71
1.33
1.53
Jepang
Indonesia
Thailand
-0.81
-0.36
-1.03
-0.55
0.60
1.01
0.77
1.89
Permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang tidak responsif
terhadap perubahan harga ekspor relatif karet alam Indonesia dalam jangka
pendek namun dalam jangka panjang responsif yang diperlihatkan oleh nilai
110
elastisitas yang lebih besar dari satu. Elastisitasnya bertanda negatif sesuai dengan
hipotesa yang berarti bahwa penurunan harga ekspor relatif karet alam Indonesia
akan direspon dengan peningkatan permintaan ekspor karet alam Jepang ke
Indonesia. Sedangkan respon permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang
terhadap perubahan harga ekspor relatif karet alam Thailand inelastis dengan kata
lain memperlihatkan nilai elastisitas yang rendah pada jangka pendek dan jangka
panjang. Sedangkan nilai elastisitasnya bertanda negatif yang sesuai dengan
hipotesis.
Permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Amerika Serikat tidak
responsif pada jangka pendek terhadap perubahan permintaan impor karet alam
Amerika Serikat akan tetapi elastis pada jangka panjang. Sedangkan permintaan
ekspor karet alam Thailand dari Amerika Serikat tidak responsif terhadap
perubahan permintaan impor karet alam Amerika Serikat dalam jangka pendek
namun responsif dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa
ekspor karet alam Thailand ke Amerika Serikat semakin besar yang menempatkan
Thailand menjadi pesaing ekspor karet alam ke Amerika Serikat yang harus
diperhitungkan walaupun saat ini Indonesia menguasai 58.72 persen pangsa karet
alam Amerika Serikat.
Respon permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang terhadap
perubahan permintaan impor karet alam Jepang inelastis atau lebih kecil dari satu
pada jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan permintaan karet alam
Thailand dari Jepang responsif baik pada jangka pendek mau pun jangka panjang
terhadap perubahan permintaan impor karet alam Jepang yang menunjukkan
dominasi Thailand di pasar karet alam Jepang. Respon permintaan ekspor karet
111
alam yang secara umum inelastis terhadap perubahan harga relatif karet alam
untuk masing-masing negara eksportir menurut Niemi (2003) menyebabkan
implikasi kebijakan yang meliputi kebijakan nilai tukar dan intervensi
perdagangan dalam bentuk tarif dan non tarif tidak akan terlalu efektif untuk
merubah kuantitas permintaan impor.
Permintaan ekspor karet alam Thailand yang lebih elastis terhadap
perubahan pada permintaan total impor karet alam Amerika Serikat maupun
Jepang sedangkan permintaan ekspor karet alam Indonesia lebih responsif
terhadap perubahan pada harga relatif. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan
ekspor karet alam ke Thailand lebih didasarkan pada kualitas sedangkan
permintaan ekspor karet alam Indonesia lebih didasarkan pada harga. Terlihat
bahwa komoditas ekspor karet alam asal Thailand lebih unggul dalam hal kualitas
sedangkan karet alam asal Indonesia unggul dalam hal harga.
6.5. Penawaran Impor Karet Alam
Persamaan penawaran impor karet alam dibangun untuk dua pasar yaitu
Amerika Serikat dan Jepang Spesifikasi ECM untuk persamaan harga dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
dLPj ,t = b0 + b1 dLPWt + b2 ECM t −1 + ε t ……………………………...(6.10)
tanda harapan:
b1 > 0 , − 1 < b2 < 0
Penawaran karet alam menunjukkan respon dari harga impor karet alam untuk
pasar Amerika Serikat dan Jepang terhadap perubahan harga karet alam di pasar
112
dunia. Persamaan penawaran impor untuk Amerika Serikat dan Jepang adalah
sebagai berikut:
dLPAt = −0.20 + 1.71dLPWt − 0.14dD3 + 0.16dD 4 − 0.44 ECM t −1 ….(6.11)
dLPJ t = 1.54 + 1.45dLPWt − 0.07 dD3 + 0.11dD 4 − 0.36 ECM t −1 ……(6.12)
dimana:
D3
= dummy pembubaran INRO
D4
= dummy pelaksanaan SMS dan AETS
Secara rinci hasil estimasi dan uji diagnostik persamaan di atas dapat dilihat pada
Lampiran 10 dan 11.
Uji diagnostik yang dilakukan untuk persamaan harga impor karet alam
Amerika Serikat dan Jepang menunjukkan tidak terdapat masalah baik
autokorelasi, functional form, ketidaknormalan residual maupun heteroskedastis
dengan hasil nilai koefisien determinasi sebesar 0.5 untuk persamaan penawaran
impor karet alam Amerika Serikat dan sebesar 0.53 untuk persamaan penawaran
impot karet alam Jepang. Hasil estimasi menunjukkan harga karet alam dunia
berpengaruh nyata terhadap harga impor karet alam Amerika serikat dan harga
impor karet alam Jepang pada taraf nyata 5 persen.
Tabel 21. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Impor
Elastisitas Harga Dunia
Negara
ECT
Jangka Pendek Jangka Panjang
Amerika Serikat
1.71
3.86
-0.44
Jepang
1.45
4.05
-0.36
Respon harga impor karet alam di pasar Amerika Serikat terhadap
perubahan harga karet alam dunia elastis baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Begitu pula dengan Jepang dimana harga impor karet alam Jepang
responsif terhadap perubahan yang terjadi pada harga karet alam dunia dalam
113
jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Tampak jelas bahwa besarnya
harga karet alam di suatu pasar regional sangat tergantung dan dipengaruhi oleh
besarnya harga karet alam dunia.
Koefisien adjustment untuk harga impor karet alam Amerika Serikat
adalah sebesar 0.44 dimana kecepatan penawaran impor karet alam Amerika
Serikat untuk kembali pada keseimbangan karena perubahan pada harga karet
alam dunia selama 2.27 kali periode data. Sedangkan penawaran impor karet alam
Jepang dapat kembali ke keseimbangan karena perubahan harga karet alam dunia
dalam waktu 2.78 kali periode data. Rata-rata lama waktu kembali kekesimbangan
adalah sekitar 7 bulan yang berarti bahwa perubahan yang terjadi pada harga karet
alam dunia akan direspon dengan baik oleh pasar regional di negara importir
dimana pasar akan kembali normal dalam jangka waktu tujuh bulan. Lamanya
waktu untuk kembali pada keseimbangan sejalan dengan hasil penelitian Niemi
(2003).
6.6. Penawaran Eskpor Karet Alam
Penawaran ekspor karet alam terdiri dari enam persamaan yaitu penawaran
ekspor karet alam Indonesia, penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika
Serikat dan Jepang, penawaran ekspor karet alam Thailand, penawaran ekspor
karet alam Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang. Spesifikasi persamaan dalam
bentuk ECM dan dalam bentuk persamaan autoregresif. Secara umum model
penawaran karet alam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
dLXS ij ,t = a 0 + a1 LXS ij ,(t −1) + a 2 dLPS ij Di ,t + a3 LPS ij Di ,(t −1) + a 4T + ε t (6.13)
dLXS ij ,t = b0 + b1dLPS ij Di ,t + b2 dT + b3 ECM t −1 + ε t ………………...(6.14)
114
tanda harapan:
a1 , a 2 , a3 , a 4 > 0 , b1 , b2 > 0 , − 1 < b3 < 0
Persamaan di atas menunjukkan respon penawaran karet alam Indonesia dan
Thailand ke negara importir Amerika Serikat dan Jepang terhadap perubahan pada
harga ekspor karet alam Indonesia dan Thailand. Hasil estimasi model persamaan
penawaran ekspor karet alam Indonesia dan Thailand diperlihatkan pada
Lampiran 12 sampai 17.
6.6.1. Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia
Persamaan penawaran ekspor total karet alam Indonesia, penawaran
ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan penawaran ekspor karet alam
Indonesia ke Jepang adalah sebagai berikut:
dLXSI t = 20.91 − 1.21LXSI t −1 + 0.44dLPIDI t +0.31LPIDI t −3 + 0.02T
− 0.01D1 − 0.17 D3 + 0.02 D 4 ……………………………..(6.15)
dLXSIAt = 18.42 − 1.11LXSIAt −1 + 0.21dLPSIADI t + 0.26 LPSIADI t −6
+ 0.01T + 0.12 D1 − 0.29 D3 + 0.04 D 4 ……………………(6.16)
dLXSIJ t = 19.44 − 0.43dLPSIJDI t + 0.01dT − 0.05dD1 + 0.09dD3
+ 0.32dD 4 − 0.93ECM t −1 ……………….………………..(6.17)
dimana:
D1
= dummy krisis ekonomi
D3
= dummy pembubaran INRO
D4
= dummy pelaksanaan SMS dan AETS
Hasil estimasi persamaan penawaran ekspor total karet alam Indonesia
menunjukkan bahwa harga ekspor karet alam Indonesia berpengaruh nyata
115
terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia pada taraf nyata 5 persen
dengan koefisien determinasi 0.75. Tanda koefisien harga riil ekspor karet alam
Indonesia sesuai dengan harapan. Terdapat hubungan positif antara harga riil
ekspor karet dan volume ekspor dimana peningkatan harga riil ekspor karet alam
Indonesia akan di respon dengan peningkatan pada penawaran karet alam
Indonesia.
Estimasi pada persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke
Amerika Serikat menunjukkan bahwa koefisien penawaran ekspor tersebut dapat
dijelaskan dengan baik oleh peubah penjelas dengan koefisien determinasi sebesar
0.74. Harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat berpengaruh
nyata terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat pada
taraf nyata 5 persen. Harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat
menunjukkan hubungan yang positif dengan penawaran ekspor karet alam
Indonesia ke Amerika Serikat yang sesuai dengan harapan.
Hasil estimasi terhadap persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia
ke Jepang menunjukkan bahwa harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
pada taraf nyata 5 persen. Penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang dapat
dijelaskan dengan baik oleh peubah penjelas dengan koefisien determinasi sebesar
0.56. Harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang mempunyai tanda yang
berbeda atau tidak sesuai dengan harapan dimana harga riil ekspor karet alam
mempunyai hubungan yang negatif terhadap penawaran ekspor karet alam
Indonesia ke Jepang.
116
6.6.2. Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand
Persamaan penawaran ekspor total karet alam Thailand, penawaran ekpor
Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang adalah sebagai berikut:
dLXSTt = 22.59 − 1.17 LXSTt −1 + 0.39dLPTDTt + 0.19 LPTDTt −1
+ 0.01T + 0.004dD1 + 0.28dD 2 + 0.04dD 4 ……….………(6.18)
dLXSTAt = 16.41 − 0.92 LXTAt −1 + 0.28dLPSTADTt + 0.04 LPSTADTt −1
+ 0.01T + 0.17 D1 + 0.32 D 2 + 0.09 D 4 ………….………..(6.19)
dLXSTJ t = 26.57 − 1.46 LXSTJ t −1 + 0.69dLPSTJDTt + 0.19 LPSTJDTt −1
+ 0.004T + 0.01D1 + 0.06 D 2 − 0.04 D 4 ………………….(6.20)
dimana:
D1
= dummy krisis ekonomi
D2
= dummy Thailand keluar dari INRO
D4
= dummy pelaksanaan SMS dan AETS
Penawaran total ekspor karet alam Thailand dapat di jelaskan dengan baik oleh
peubah penjelas dengan koefisien determinasi sebesar 0.89. Harga riil ekspor
karet alam Thailand tidak berpengaruh nyata pada penawaran ekspor karet alam
Thailand pada taraf nyata 5 persen dengan tanda koefisien sesuai dengan harapan.
Berdasarkan uji diagnostik terhadap model penawaran ekspor, tidak terdapat
masalah
autokorelasi,
functional
form,
ketidaknormalan
residual,
dan
heteroskedastis.
Hasil uji diagnostik terhadap persamaan penawaran ekspor karet alam
Thailand ke Amerika Serikat menunjukkan tidak terdapat masalah autokorelasi,
functional form, normalitas, dan heteroskedastis. Penawaran ekspor karet alam
Thailand ke Amerika Serikat dipengaruhi oleh harga riil ekspor karet alam
117
Thailand ke Amerika Serikat pada taraf nyata 5 persen dengan koefisien
determinasi sebesar 0.55. Tanda koefisien sesuai dengan harapan yaitu harga
ekspor mempunyai hubungan yang positif dengan penawaran ekspor.
Estimasi persamaan penawaran ekspor karet alam Thailand ke Jepang
menunjukkan bahwa penawaran ekspor tersebut dipengaruhi oleh harga riil ekspor
karet alam Thailand ke Jepang pada taraf nyata lima persen dimana penawaran
ekspor karet alam Thailand ke Jepang dapat dijelaskan dengan baik oleh peubah
penjelas dengan koefisien determinasi sebesar 0.77. Tanda koefisien harga ekspor
riil karet alam Thailand ke Jepang sesuai dengan harapan yaitu bertanda positif.
6.6.3. Elastisitas Harga Ekspor Riil Karet Alam
Respon penawaran ekspor karet alam Indonesia dan penawaran ekspor
karet alam Thailand terhadap perubahan harga ekspor riil karet alamnya
diperlihatkan oleh Tabel 22.
Tabel 22. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Ekspor
Elastisitas Harga
Negara
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Indonesia
0.44
1.22
Amerika Serikat
0.21
1.11
Jepang
-0.43
-0.46
Thailand
0.39
1.16
Amerika Serikat
0.04
0.92
Jepang
0.69
1.46
Elastisitas harga ekspor riil karet alam Indonesia tidak elastis terhadap
penawaran ekspor karet alam Indonesia dalam jangka pendek namun elastis dalam
jangka panjang dengan tanda positif yang sesuai dengan harapan. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan harga ekspor riil karet alam Indonesia akan
118
direspon dengan peningkatan penawarannya. Elastisitas harga ekspor karet alam
Indonesia ke Amerika Serikat inelastis pada jangka pendek tetapi elastis pada
jangka panjang dengan tanda positif yang sesuai dengan hipotesis. Nilai tersebut
menunjukkan dominasi ekspor karet alam Indonesia di pasar Amerika Serikat
dimana kuantitas ekspor karet alam Indonesia responsif terhadap perubahan yang
terjadi pada harga ekspor riil karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat.
Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang tidak
responsif terhadap perubahan harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Penawaran ekspor yang
tidak responsif terhdap perubahan harga ekspor riilnya karena pangsa pasar karet
alam Indonesia ke Jepang yang kecil. Pada tahun 1995 pangsa ekspor karet alam
Indonesia di pasar Jepang hanya sebesar 7.9 persen sedangkan pada tahun 2004
meningkat menjadi 25.6 persen. Sedangkan nilai elastisitas yang negatif pada
harga ekspor karet alam Indonesia tidak sesuai dengan hipotesis. Nilai elastisitas
yang negatif tersebut disebabkan oleh terjadinya pergeseran dominasi jenis mutu
karet alam yang diekspor oleh Indonesia ke Jepang dari jenis mutu sit asap (RSS)
menjadi karet jenis mutu spesifikasi teknis (TSR). Harga karet alam jenis mutu
TSR yang diekspor ke Jepang lebih murah dari pada harga karet jenis mutu RSS.
Hal ini menyebabkan seolah-olah penurunan harga ekspor yang terjadi
menyebabkan peningkatan dalam kuantitas ekspor karet alam ke Jepang karena
peningkatan kuantitas ekspor karet alam ke Jepang diiringi oleh penurunan dalam
nilai ekspornya.
Harga ekspor karet alam Thailand inelastis terhadap penawaran ekspor
karet alam Thailand pada jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang.
119
Elastisitas harga ekspor karet alam Thailand lebih besar pada penawaran ekspor
karet alam ke Jepang dari pada ke Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan
dominasi ekspor karet alam Thailand di pasar Jepang dimana kuantitas ekspor
karet alam ke Jepang responsif terhadap perubahan harga riil ekspornya.
Secara umum nilai elastisitas harga ekspor karet alam adalah inelastis pada
jangka pendek dan elastis pada jangka panjang. Hasil ini menunjukkan bahwa
komoditas karet alam merupakan produk tanaman keras hasil perkebunan.
Komoditas perkebunan ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses
produksinya dari penanaman sampai tanaman tersebut dapat menghasilkan
sehingga usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kuantitas ekspor
melalui peningkatkan produksi dalam jangka pendek sulit dilakukan tetapi
memungkinkan dalam jangka panjang.
Penawaran ekspor karet alam dari Indonesia dan Thailand tidak hanya
dipengaruhi oleh harga akan tetapi ada faktor lain yang mendistorsi pasar ekspor
karet alam. Faktor yang mendistorsi antara lain adalah adanya upaya dari negaranegara eksportir dengan sengaja untuk mengendalikan jumlah penawaran karet
alamnya. Pengendalian tersebut dilakukan melalui berbagai kesepakatan antar
negara sesama eksportir karet dalam bentuk kerjasama pengendalian persediaan.
Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang membentuk ITRO (International
Tripartite Rubber Organization) sepakat untuk mengurangi pasokan ekspor karet
alam sebesar 10 persen melalui badan usaha yang mereka bentuk yaitu IRCo
(International Rubber Consortium Limited) dengan melakukan pembelian dan
penjualan karet alam untuk menjaga stabilitas harga karet alam.
120
VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN
LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA
EKSPOR KARET ALAM
7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan
Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi
jika terjadi peningkatan pendapatan di negara importir Amerika Serikat dan
Jepang masing-masing sebesar 5 persen. Penentuan besaran kenaikan tersebut
didasarkan pada rata-rata pertumbuhan pendapatan domestik bruto negara-negara
importir per periode data. Perubahan yang terjadi pada arus perdagangan karet
alam karena terjadinya peningkatan pendapatan diperlihatkan oleh Tabel 23.
Tabel 23. Dampak Kenaikan Pendapatan 5 % di Negara Importir
Negara
Perubahan
(Ton)
(%)
Pertumbuhan per
Periode (%)
Pangsa
Pasar (%)
Permintaan Impor
- Amerika Serikat
- Jepang
16 029.8
6 345.3
5.73
3.31
0.05
0.04
-
Permintaan Ekspor AS
- Indonesia
- Thailand
13 139.6
6 988.8
8.69
10.71
0.07
0.10
57.72
26.31
Permintaan Ekspor Jepang
- Indonesia
- Thailand
1 163.5
14 777.4
10.26
12.76
0.11
0.09
19.85
75.95
Permintaan impor karet alam Amerika Serikat setelah terjadi kenaikan
lima persen pada pendapatan domestik brutonya mengalami peningkatan sebesar
16 029 ton atau mencapai 5.73 persen. Kenaikan permintaan impor dengan
persentase yang lebih besar dari pada kenaikan pendapatan mencerminkan tingkat
respon permintaan impor yang elastis terhadap perubahan pendapatan.
121
Peningkatan impor rata-rata karet alam Amerika Serikat per periode adalah
sebesar 0.05 persen.
Peningkatan yang terjadi pada pendapatan Amerika Serikat kemudian
ditransmisikan pada permintaan ekspor karet alam ke masing-masing negara
pengekspor melalui peningkatan permintaan impor karet alamnya. Permintaan
ekspor karet alam Amerika Serikat ke Indonesia mengalami peningkatan sebesar
8.69 persen jika pendapatan Amerika Serikat meningkat sebesar 5 persen dengan
pertumbuhan ekspornya sebesar 0.07 persen per periode. Permintaan ekspor karet
alam Amerika Serikat ke Indonesia lebih responsif pada jangka panjang dari pada
jangka pendek.
Permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Thailand juga
mengalami peningkatan sebesar 10.71 persen. Peningkatan permintan ekspor karet
alam yang terjadi untuk negara Thailand yang cukup besar dibandingkan
Indonesia disebabkan oleh respon permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat
ke Thailand terhadap perubahan pada permintaan impor Amerika Serikat yang
lebih besar dari pada Indonesia baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang. Hal ini menunjukkan bahwa Thailand mempunyai potensi untuk
meningkatkan pangsa pasar ekspor karet alamnya di pasar Amerika Serikat.
Peningkatan pada permintaan impor karet alam Jepang akibat peningkatan
pendapatan domestik brutonya sebesar 5 persen tidak begitu besar hanya 3.31
persen. Rendahnya peningkatan tersebut karena elatisitas pendapatan Jepang yang
nilainya kurang dari satu baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang sehingga besarnya respon permintaan impor lebih kecil dari pada
besarnya peningkatan pendapatan. Peningkatan yang terjadi pada pendapatan
122
Jepang kemudian ditransmisikan pada permintaan ekspor karet alam Jepang ke
masing-masing negara pengekspor yaitu Indonesia dan Thailand melalui
perubahan permintaan impor karet alam Jepang.
Peningkatan permintaan ekspor karet alam Jepang dari Indonesia dan
Thailand sebagai respon terhadap perubahan pendapatan Jepang masing-masing
sebesar 10.26 persen dan 12.76 persen dengan pertumbuhan ekspor per
periodenya sebesar 0.11 persen dan 0.09 persen. Fenomena ini menunjukkan
bahwa permintaan ekspor karet alam responsif terhadap perubahan pendapatan
domestik bruto. Respon permintaan ekspor karet alam Indonesia yang cukup besar
menunjukan adanya potensi bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya
di Jepang.
Pangsa pasar untuk masing-masing negara pengekspor karet alam ke
Amerika Serikat setelah terjadi peningkatan pendapatan masih didominasi oleh
ekspor karet alam Indonesia dengan besar pangsa pasar 57.72 persen untuk
Indonesia dan 26.31 persen untuk Thailand. Sedangkan jika terjadi peningkatan
pendapatan di Jepang maka pangsa ekspor Indonesia menjadi 19.85 persen dan
Thailand sebesar 75.95 persen dimana pasar Jepang didominasi oleh ekspor karet
alam asal Thailand. Jadi berdasarkan hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa
peningkatan pendapatan yang terjadi di negara-negara importir efektif untuk
meningkatkan permintaan ekspor karet alam ke masing-masing negara eksportir.
7.2. Dampak Kenaikan Harga Karet Alam Dunia
Dampak kenaikan harga karet alam dunia diketahui melalui simulasi
peningkatan harga karet alam dunia sebesar 50 persen. Simulasi harga dan besaran
123
peningkatan tersebut didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Sinuraya (2000) dan Anwar (2005) serta situasi perkembangan harga rataan karet
alam dunia. Perubahan arus perdagangan yang terjadi akibat peningkatan harga
karet alam dunia diperlihatkan pada Tabel 24.
Tabel 24. Dampak Kenaikan Harga Karet Alam Dunia Sebesar 50 %
Negara
Permintaan Impor
- Amerika Serikat
- Jepang
Perubahan
(Ton)
(%)
Pertumbuhan per Pangsa
Periode (%)
Pasar (%)
-13 060.3
-1 745.8
-4.74
-0.91
-0.050
-0.003
-
Permintaan Ekspor AS
- Indonesia
- Thailand
-7 972.1
-4 194.9
-4.87
-5.35
-0.064
-0.055
56.23
25.17
Permintaan Ekspor Jepang
- Indonesia
- Thailand
-1 200.6
-577.5
-2.50
-0.67
-0.024
-0.008
19.34
70.97
Simulasi diawali dengan pengaruh perubahan harga karet alam dunia
terhadap harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang melalui persamaan
penawaran impor karet alam kedua negara tersebut. Kemudian perubahan harga
impor akan mempengaruhi permintaan impor karet alam Amerika Serikat dan
Jepang yang selanjutnya ditransmisikan pada permintaan ekspor Amerika Serikat
dan Jepang ke Indonesia dan Thailand melalui perubahan harga ekspor relatif
karet alam di masing-masing pasar.
Harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang responsif terhadap
peningkatan harga karet alam dunia karena nilai elastisitas harga dunia yang
cukup besar. Namun pengaruh peningkatan harga impor karet alam terhadap
permintaan impor Amerika Serikat dan Jepang tidak responsif karena elastisitas
harga riilnya yang kurang dari satu. Tidak responsifnya permintaan impor
124
terhadap perubahan harga berakibat pada rendahnya perubahan permintaan ekspor
karet alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand.
Peningkatan harga karet alam dunia menyebabkan terjadinya penurunan
pada permintaan impor. Amerika Serikat mengalami penurunan permintaan impor
karet alam sebesar 4.87 persen sedangkan permintaan impor karet alam Jepang
penurunannya lebih kecil yaitu hanya 0.91 persen. Perbedaan tersebut disebabkan
karena elastisitas harga impor karet alam Amerika Serikat yang lebih besar dari
pada Jepang karena pasar karet alam Amerika Serikat yang sudah mulai jenuh.
Konsisten dengan penurunan yang terjadi pada permintaan impor,
permintaan ekspor karet alam ke negara-negara eksportir juga mengalami
penurunan akibat meningkatnya harga dunia. Permintaan ekspor karet alam
Amerika Serikat ke Indonesia turun sebesar 4.87 persen sedangkan ke Jepang juga
turun dengan besar 5.35 persen. Besarnya penurunan tersebut menunjukkan
bahwa permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Indonesia lebih kaku
dari pada permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Thailand.
Respon permintaan ekspor karet alam Jepang ke Thailand lebih kaku dari
pada permintaan ekspor karet alam Jepang ke Indonesia terhadap perubahan harga
karet alam dunia yang menunjukkan dominasi karet alam Thailand di pasar
Jepang. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya penurunan permintaan ekspor karet
alam Indonesia dari Jepang yang lebih besar dari pada Thailand. Penurunan
permintaan ekspor karet alam Indonesia ke Jepang adalah sebesar 2.5 persen
sedangkan Thailand hanya sebesar 0.67 persen.
Pasar karet alam Amerika Serikat masih didominasi oleh karet alam
Indonesia dengan menguasai 56.23 persen pangsa pasar, sedangkan Thailand
125
hanya 25.17 persen. Thailand masih mendominasi pasar karet alam Jepang dengan
menguasai 70.97 persen pangsa pasar sedangkan pangsa pasar ekspor karet alam
Indonesia ke Jepang hanya sebesar 19.34 persen saja. Pangsa pasar ekspor karet
alam dari Thailand dan Indonesia di pasar Jepang mengalami penurunan sebagai
akibat dari penurunan harga karet alam dunia.
7.3. Dampak Kenaikan Pendapatan dan Harga Karet Alam Dunia
Kombinasi kenaikan pendapatan domestik bruto sebesar 5 persen yang
terjadi pada negara-negara importir yaitu Amerika Serikat dan Jepang serta
terjadinya kenaikan harga karet alam dunia sebesar 50 persen, dilakukan untuk
melihat dampaknya terhadap permintaan impor dan permintaan ekspor karet alam
Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand terhadap shock yang
terjadi secara bersamaan. Hasil simulasi terhadap permintaan impor dan
permintaan ekspor ke masing-masing negara dapat diperlihatkan oleh Tabel 25.
Tabel 25. Dampak Kenaikan Pendapatan 5 % dan Harga Karet Alam Dunia 50%
Negara
Perubahan
(Ton)
(%)
Pertumbuhan per Pangsa
Periode (%)
Pasar (%)
Permintaan Impor
- Amerika Serikat
- Jepang
2 293.3
4 463 .3
0.72
2.36
0.01
0.03
-
Permintaan Ekspor AS
- Indonesia
- Thailand
3 007.9
1 651.3
2.19
3.01
0.01
0.03
57.13
25.91
Permintaan Ekspor Jepang
- Indonesia
- Thailand
256.5
8 583.4
6.61
7.81
0.06
0.06
19.48
73.57
Amerika Serikat mengalami peningkatan permintaan impor karet alam
sebesar 2 293.3 ton atau 0.72 persen. Permintaan impor karet alam Jepang juga
126
mengalami peningkatan sebesar 2.36 persen. pertumbuhan permintaan impor per
periode dari kedua negara tersebut konsisten dengan permintaan impornya yang
juga meningkat dengan besaran 0.01 persen untuk pasar Amerika Serikat dan 0.03
persen untuk pasar Jepang.
Permintaan ekspor karet alam dari Amerika Serikat ke Indonesia
meningkat sebesar 2.19 persen dengan pertumbuhan per periode sebesar 0.01
persen. Peningkatan tersebut lebih rendah dari pada naiknya permintaan ekspor
kareta alam Amerika Serikat ke Thailand. Peningkatan yang terjadi pada
pendapatan dan harga karet alam dunia menyebabkan permintaan ekspor karet
alam Amerika Serikat ke Thailand naik 3.01 persen dengan pertumbuhan sebesar
0.03 per periode.
Indonesia mengalami peningkatan permintaan ekspor karet alam dari
Jepang, begitu pula yang terjadi dengan permintaan ekspor karet alam Thailand.
Besarnya kenaikan permintaan ekspor karet alam Jepang untuk Indonesia adalah
sebesar 6.61 persen sedangkan Thailand naik 7.81 persen. kenaikan tersebut lebih
besar dari pada kenaikan yang terjadi pada permintaan ekspor karet alam dari
Amerika Serikat karena kenaikan permintaan impor karet alam Jepang yang lebih
besar dari pada Amerika Serikat yang disebabkan oleh nilai elastisitas harga impor
riil karet alam Jepang yang lebih besar.
Pangsa pasar ekspor karet alam secara umum mengalami peningkatan baik
di pasar Amerika Serikat maupun Jepang namun peningkatan tersebut lebih
rendah dari pada hasil simulasi pertama. Pasar karet alam Amerika Serikat masih
didominasi Indonesia dengan pangsa sebesar 57.13 persen sedangkan Thailand
pangsanya sebesar 25.91 persen. Sebaliknya pada pasar Jepang dominasi ekspor
127
di pegang Thailand dengan besar pangsa pasarnya adalah 73.57 persen dan
Indonesia hanya 19.47 persen.
Dampak kenaikan pendapatan dan harga karet alam dunia menunjukkan
arah yang saling berlawanan. Hasil akhir simulasi tersebut menunjukkan
peningkatan yang terjadi tidak hanya pada permintaan impor karet alam Amerika
Serikat dan Jepang tetapi juga terjadi peningkatan pada permintaan ekspor karet
alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand yang menunjukkan
bahwa dampak kenaikan pendapatan domestik bruto di negara-negara importir
lebih besar dari pada dampak kenaikan harga karet alam dunia terhadap
permintaan impor dan permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang
ke Indonesia dan Thailand. Jadi dapat disimpulkan bahwa peningkatan
pendapatan lebih efektif dari pada peningkatan harga karet alam dunia untuk
mempengaruhi permintaan impor dan permintaan ekspor karet alam.
7.4. Dampak Depresiasi Nilai Tukar Mata Uang
Skenario simulasi yang diterapkan pada persamaan penawaran ekspor total
karet alam Indonesia dan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika
Serikat dan Jepang adalah jika terjadi depresiasi nilai tukar mata uang Rupiah
terhadap US dollar sebesar 20 persen. Besaran tersebut didasarkan pada
perkembangan kondisi perekonomian di Indonesia dan penelitian–penelitian
sebelumnya. Hasil simulasi diperlihatkan oleh Tabel 26.
Tabel 26. Dampak Depresiasi Rupiah 20 % terhadap US Dollar
Negara
Penawaran Ekspor Indonesia
- Amerika Serikat
- Jepang
Perubahan
Pertumbuhan per
(Ton)
(%)
Periode (%)
159 420.1 5.87
3.19
7 628.6 4.89
0.05
-3 631.1 -9.84
-0.41
128
Pangsa
Ekspor (%)
44.56
9.94
Depresiasi mata uang Rupiah terhadap US Dollar menyebabkan komoditas
ekspor asal Indonesia relatif lebih murah dari pada produk negara lain yang tidak
mengalami depresiasi terutama untuk produk dengan kandungan lokal yang
tinggi. Jenis karet alam yang diekspor merupakan komoditas yang memiliki
kandungan lokal yang sangat besar, sehingga depresiasi mata uang yang terjadi
tidak mempengaruhi biaya produksinya malahan akan meningkatkan daya saing
ekspor produk tersebut melalui penawaran harga yang lebih bersaing.
Penawaran ekspor karet alam Indonesia secara keseluruhan maupun
spesifik pada pasar karet alam Amerika Serikat responsif terhadap depresiasi nilai
tukar mata uang Rupiah terhadap US dollar karena harga ekspor karet alam yang
elastis pada jangka panjang. Penawaran ekspor karet alam Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 5.87 persen dengan pertumbuhan ekspor per periode 3.19
persen. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke pasar Amerika
Serikat juga naik sebesar 4.89 persen.
Berbeda untuk penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang,
depresiasi menyebabkan penurunan volume ekspor karet alam Indonesia karena
elastisitas harganya yang negatif. Penurunan tersebut mengindikasikan adanya
pergeseran jenis karet alam yang di ekspor oleh Indonesia ke Jepang. Jenis karet
alam spesifikasi teknis (TSR) saat ini lebih diminati oleh pasar Jepang karena
harganya yang lebih murah dan lebih siap pakai dari pada jenis sit asap (RSS).
Pergesaran jenis karet alam yang diekspor ke Jepang menyebabkan seolah-oleh
peningkatan harga berakibat pada turunnya volume ekspor karena peningkatan
kuantitas ekspor diiringi oleh turunya nilai ekspor.
129
Pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang
terhadap total ekspor karet alam Indonesia akibat depresiasi nilai mata uang
Rupiah menunjukkan peningkatan. Ekspor karet alam Indonesia ke Amerika
Serikat mencapai 44.56 persen dari total ekspor karet alam Indonesia sedangkan
ke Jepang hanya 9.94 persen saja. Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat
merupakan tujuan ekspor karet alam Indonesia yang utama. Jadi dapat
disimpulkan bahwa depresiasi Rupiah secara umum memberikan dampak positif
terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia.
7.5. Dampak Inflasi
Simulasi dilakukan berupa pengenaan inflasi sebesar sepuluh persen pada
perekonomian Indonesia. Nilai inflasi yang digunakan untuk simulasi besarnya
didasarkan pada kondisi perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir.
Dampak inflasi terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia dan
penawaran ekspor karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat dan Jepang
dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Dampak Inflasi Sebesar 10%
Negara
Penawaran Ekspor Indonesia
- Amerika Serikat
- Jepang
Perubahan Pertumbuhan per
(Ton) (%)
Periode (%)
-64 612.2 -3.63
-3.09
-5 131.5 -3.22
-0.03
1 608.7 5.02
0.1
Pangsa
Ekspor (%)
37.26
9.34
Berdasarkan teori, inflasi akan berdampak negatif terhadap penawaran
ekspor karena harga domestik yang membaik. Hasil simulasi inflasi terhadap
penawaran ekspor karet alam Indonesia menunjukan pengaruh yang sesuai dengan
hipotesa dimana penawaran ekspor karet alam Indonesia turun sebesar 3.63
persen. Hasil yang konsisten juga terjadi pada penawaran ekspor karet alam
130
Indonesia untuk pasar Amerika Serikat dengan penurunan ekspor karet alam ke
pasar tersebut sebesar 3.22 persen dengan pertumbuhan ekspor per periode yang
negatif. Terjadi pertumbuhan total ekspor karet alam Indonesia per periode yang
juga negatif.
Sedangkan untuk pasar Jepang, kuantitas ekspor karet alam Indonesia
mengalami peningkatan. Perubahan penawaran ekspor karet alam Indonesia yang
tidak begitu besar dan pertumbuhan ekspor yang tetap positif terjadi karena
rendahnya konsumsi karet alam dalam negeri dimana industri yang menghasilkan
barang jadi karet belum berkembang sehingga peningkatan penawaran dalam
negeri karena peningkatan harga dalam negeri karena inflasi tidak dapat terserap
pasar domestik dengan baik.
Pada pasar karet alam di negara-negara importir terjadi penurunan pangsa
ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap total ekspor
karet alam Indonesia. Pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat
turun sebesar 6.18 persen menjadi 37.26 persen dari total ekspor karet alam
Indonesia. Sedangkan ekspor karet alam Indonesia ke Jepang sebesar 9.34 persen
dari total ekspor, naik sebesar 1.79 persen. Berdasarkan hasil simulasi dapat
disimpulkan bahwa penawaran ekspor karet alam Indonesia secara umum
memberikan respon yang negatif terhadap kenaikan inflasi yang terjadi dalam
perekonomian.
7.6. Dampak Pengenaan Pajak Ekspor
Simulasi dengan pengenaan pajak ekspor sebesar 5 persen didasarkan pada
asumsi bahwa perlu dilakukan pergeseran dan reorientasi strategi perdagangan
131
karet alam Indonesia dari bahan mentah menjadi produk olahan agar dapat
memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi devisa negara. Upaya tersebut
perlu didukung oleh ketersediaan pasokan karet alam untuk industri domestik
sehingga kemungkinan terjadi peningkatan terhadap konsumsi karet alam dalam
negeri dapat diantisipasi dengan baik. Pajak ekspor merupakan salah satu
kebijakan yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan karet alam bagi
pasar domestik. Hasil simulasi ini diperlihatkan oleh Tabel 28.
Tabel 28. Dampak Pajak Ekspor 5 %
Negara
Penawaran Ekspor Indonesia
- Amerika Serikat
- Jepang
Perubahan
Pertumbuhan per
(Ton)
(%)
Periode (%)
-43 236.8 -1.59
-3.12
-2 081.3 -1.33
819.4 2.22
-0.01
0.08
Pangsa
Ekspor (%)
37.23
8.6
Penerapan pajak ekspor menyebabkan menurunnya penawaran ekspor
karet alam Indonesia sebesar 1.59 persen. Akan tetapi terjadi peningkatan
penawaran ekspor karet alam Indonesia untuk pasar Jepang sebesar 2.22 persen
dengan pertumbuhan ekspor 0.08 persen per periode terkait dengan nilai elastisitas
harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang yang negatif. Sedangkan untuk
ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat mempunyai dampak yang
konsisten dengan penawaran total ekspor karet alam Indonesia. Pajak ekspor
menyebabkan penurunan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dengan
besaran 1.33 persen dan pertumbuhan ekspor karet alam yang negatif dengan
besaran 0.01 persen.
Pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat adalah sebesar
37.23 persen. Dimana penerapan pajak ekspor sebesar 5 persen menyebabkan
turunnya pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Sedangkan
pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Jepang terhadap total ekspor karet alam
132
Indonesia menjadi 8.60 persen yang terkait dengan nilai elastisitas harga riil
ekspor karet alam Indonesia ke Jepang yang bertanda negatif.
Berdasarkan hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa pajak ekspor kurang
efektif untuk menahan ekspor karet alam Indonesia. Hal ini disebabkan adanya
aturan pengenaan pajak terhadap konsumen karet alam dalam negeri berupa PPN
sebesar 10 persen sehingga harga karet alam domestik yang dihadapi oleh
produsen karet alam menjadi kurang menarik. Sedangkan impor karet alam dari
beberapa negara ke Indonesia hanya dikenai pajak impor sebesar 5 persen yang
menyebabkan konsumen karet alam domestik lebih memilih karet alam impor
karena harga yang ditawarkan akan lebih murah dari pada harga karet alam
domestik.
7.7. Kombinasi Depresiasi Rupiah terhadap US Dollar dan Inflasi
Depresiasi nilai tukar yang terjadi pada suatu negara biasanya akan diikuti
oleh inflasi di negara tersebut. Keduanya menurut hipotesa memberikan dampak
yang bertolak belakang terhadap ekspor komoditas pertanian. Hasil simulasi
kombinasi depresiasi nilai mata uang Rupiah dan inflasi terhadap total penawaran
ekspor karet alam Indonesia dan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke
Amerika Serikat dan Jepang ditunjukkan oleh Tabel 29.
Tabel 29. Dampak Depresiasi Rupiah 20% terhadap US Dollar dan Inflasi 10%
Negara
Penawaran Ekspor Indonesia
- Amerika Serikat
- Jepang
Pangsa
Perubahan
Pertumbuhan per
(Ton)
(%)
Periode (%)
Ekspor (%)
91 018.3 2.02
3.16
2 246.1 1.51
0.02
44.3
-3 628.6 -9.83
-0.4
9.81
Dampak simulasi tersebut tersebut menunjukkan bahwa penawaran ekspor
karet alam Indonesia mengalami peningkatan sebesar 2.02 persen dengan
133
pertumbuhan ekspor karet alam rata-rata per periode sebesar 3.16 persen.
Penawaran ekspor karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat juga mengalami
peningkatan sebesar 2 246.1 ton atau 1.51 persen. Sebaliknya terjadi penurunan
penawaran ekspor karet alam Indonesia untuk pasar Jepang sebesar 3 628.6 ton
dengan pertumbuhan ekspor yang negatif.
Pangsa pasar ekspor karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat dan
Jepang terhadap total ekspor karet alam Indonesia mengalami peningkatan.
Pangsa ekspor ke Amerika Serikat sebesar 44.30 persen. sedangkan pangsa ekspor
karet alam Indonesia ke Jepang sebesar 9.81 persen. Peningkatan ekspor karet
alam yang terjadi karena kombinasi kebijakan ini lebih kecil dari dampak tunggal
pada peningkatan yang terjadi karena depresiasi Rupiah terhadap US Dollar.
Hasil simulasi kombinasi depresiasi Rupiah dan inflasi menunjukkan
dampak positif terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia dan
penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Sedangkan dampak
negatif terjadi pada penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang karena nilai
elastisitas harganya yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon
penawaran ekspor karet alam Indonesia terhadap depresiasi Rupiah lebih besar
dari pada responnya terhadap inflasi dalam perekonomian Indonesia.
7.8. Kombinasi Pajak Eskpor dan Inflasi
Kombinasi simulasi kebijakan dilakukan untuk melihat dampak dua shock
yang terjadi bersamaan terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia,
penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Simulasi
yang dilakukan adalah dengan skenario jika dilakukan penerapan kebijakan pajak
134
ekspor sebesar 5 persen dimana terjadi inflasi dalam perekonomian sebesar 10
persen. Hasil simulasi ini diperlihatkan oleh Tabel 30.
Tabel 30. Dampak Pajak Ekspor 5 % dan Inflasi 10 %
Negara
Penawaran Ekspor Indonesia
- Amerika Serikat
- Jepang
Perubahan
Pertumbuhan per
Pangsa
(Ton)
(%)
Periode (%)
Ekspor (%)
-106 821.2 -5.16
-3.08
-7 144.3 -4.52
-0.05
37.36
2 463.9 7.35
0.13
9.69
Pada kombinasi simulasi ini berdasarkan hipotesa, penerapan pajak ekspor
dan inflasi memiliki dampak yang searah. Terlihat bahwa dampak simulasi yang
dilakukan menyebabkan penurunan penawaran ekspor karet alam Indonesia
sebesar 5.16 persen dengan pertumbuhan ekspor per periodenya sebesar 3.08
persen. Dampak dengan arah yang sama terjadi untuk penawaran ekspor karet
alam Indonesia ke Amerika Serikat yang juga turun dengan jumlah 7 144.3 ton
atau 4.52 persen. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
berubah sebesar 2 463.9 ton.
Pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat terhadap total
ekspor karet alam Indonesia konsisten dengan dampak simulasi ini terhadap
penawaran ekspor total karet alam Indonesia yaitu 37.36 persen. Sedangkan
pangsa ekspor karet alam ke Jepang menjadi 9.69 persen dari total ekspor karet
alam Indonesia. Penurunan tersebut menunjukkan dampak yang berlipat dari
pajak ekspor dan inflasi sehingga penurunan tersebut lebih besar dari pada
dampak tunggal dari simulasi pajak ekspor atau inflasi.
135
VIII. SIMPULAN DAN SARAN
8.1. Simpulan
Berdasarkan hasil estimasi dan pembahasan arus perdagangan karet alam,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ekspor karet alam dunia dalam sepuluh tahun terakhir secara umum
cenderung mengalami peningkatan. Hal yang sama juga terjadi pada kuantitas
produksi karet alam. Ekspor dan produksi karet alam dunia masih di dominasi
oleh Thailand, Indonesia, dan Malaysia, namun terdapat negara eksportir karet
alam baru yang mulai diperhitungkan yaitu Vietnam yang terus mengalami
peningkatan produksi dan ekspor. Malaysia yang selama ini produksi dan
ekspor karet alamnya mengalami penurunan, sejak tahun 2001 kembali
meningkat, terkait dengan membaiknya harga karet alam dunia.
2. Konsumsi dan impor karet alam dunia secara umum untuk sepuluh tahun
terakhir juga cenderung mengalami peningkatan. Konsumsi karet alam yang
semula didominasi oleh Amerika Serikat telah mengalami pergeseran, dimana
sejak tahun 2001 China menjadi negara konsumen karet alam terbesar di
dunia. Terjadi pergeseran pasar impor dan konsumsi karet alam dunia dari
negara-negara maju di utara ke negara-negara berkembang di daerah Asia
yang dipelopori oleh China dan India.
3. Perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang
menunjukkan tren yang terus meningkat dimana telah terjadi pergeseran jenis
karet alam yang diperdagangkan dari dominasi jenis mutu karet sit asap (RSS)
menjadi karet jenis mutu spesifikasi teknis (TSR) yang memiliki kualitas dan
136
harga jual yang lebih rendah namun memiliki keunggulan dari segi
pengemasan sehingga memudahkan industri pengolahan selaku konsumen.
Ekspor karet alam Thailand juga menunjukkan tren atau kecenderungan yang
juga meningkat, dengan diversifikasi ekspor jenis mutu karet alam yang lebih
baik dari pada Indonesia.
4. Faktor dominan yang mempengaruhi permintaan impor karet alam Amerika
Serikat adalah pendapatan domestik brutonya dengan respon yang elastis, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan kecepatan dari koefisien
adjustment yang relatif besar. Sedangkan kuantitas impornya tidak responsif
terhadap perubahan harga riil impor karet alam Amerika Serikat.
5. Secara umum permintaan impor karet alam Jepang tidak responsif terhadap
perubahan harga impor karet alam dan perubahan pendapatan domestik
brutonya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Elastisitas
pendapatannya lebih besar dari pada elastisitas harga, hal ini menunjukkan
bahwa dampak perubahan pada pendapatan akan lebih besar dari pada jika
terjadi perubahan pada harga impornya.
6. Permintaan ekspor karet alam Thailand lebih elastis terhadap perubahan pada
permintaan total impor karet alam Amerika Serikat maupun Jepang,
sedangkan permintaan ekspor karet alam Indonesia lebih responsif terhadap
perubahan pada harga relatif. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan ekspor
karet alam ke Thailand lebih didasarkan pada kualitas sedangkan permintaan
ekspor karet alam Indonesia lebih didasarkan pada harga.
7. Harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang responsif terhadap
perubahan harga karet alam dunia namun tidak dapat ditransmisikan dengan
137
baik pada permintaan impor dan ekspor karet alam Amerika Serikat dan
Jepang ke Indonesia dan Thailand di pasar karet alam karena perubahan rasio
harga yang inelastis. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia
responsif terhadap perubahan harga ekspor karet alam pada jangka panjang.
8. Nilai elastisitas harga ekspor karet alam Indonesia yang lebih besar
dibandingkan dengan Thailand untuk pasar Amerika Serikat menunjukkan
dominasi ekspor karet alam Indonesia di pasar Amerika Serikat. Sedangkan
dominasi ekspor karet alam Thailand adalah di pasar Jepang karena
elastisitasnya yang lebih besar dari pada Indonesia. Secara umum nilai
elastisitas harga ekspor karet alam adalah inelastis pada jangka pendek dan
elastis pada jangka panjang yang menunjukkan bahwa komoditas karet alam
merupakan produk tanaman keras hasil perkebunan. Komoditas perkebunan
ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses produksinya dari
penanaman sampai tanaman tersebut dapat menghasilkan sehingga usahausaha yang dilakukan untuk meningkatkan kuantitas ekspor melalui
peningkatkan produksi dalam jangka pendek sulit
dilakukan tetapi
memungkinkan dalam jangka panjang.
9. Distorsi pasar akibat kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan
ekonomi mempengaruhi volume perdagangan karet alam. Perubahan
pendapatan domestik bruto yang terjadi di negara importir efektif
mempengaruhi arus perdagangan karet alam disisi importir dibandingkan
dengan jika terjadi perubahan pada harga karet alam dunia.
10. Kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi dari sisi negara
eksportir ternyata menunjukkan bahwa distorsi melalui depresiasi mata uang
138
dan inflasi lebih besar pengaruhnya untuk meningkatkan volume ekspor dari
pada dengan pengenaan pajak.
8.2. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan maka implikasi kebijakan
yang dapat disarankan adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan upaya untuk mempertahankan dominasi pangsa pasar karet
alam Indonesia di Amerika Serikat dan mencari pasar baru bagi
pengembangan ekspor karet alam Indonesia mengingat mulai jenuhnya pasar
karet
alam
Amerika
Serikat.
Upaya
yang
dapat
dilakukan
untuk
mempertahankan pangsa di Amerika Serikat, karena volume impor karet
alamnya elastis terhadap perubahan pendapatan, adalah dengan kontinuitas
ketersediaan komoditas ekspor karet alam sehingga peningkatan pendapatan di
Amerika Serikat yang diharapkan dapat meningkatkan permintaan karet alam,
akan dapat segera direspon dan dipenuhi oleh eksportir.
2. Untuk pasar di Jepang perlu dilakukan penetrasi pasar melalui pendekatanpendekatan terhadap importir dengan misi perdagangan yang menawarkan
keunggulan karet alam Indonesia dari segi harga karena volume impor karet
alam Jepang yang elastis terhadap perubahan harga.
3. Peningkatan daya saing ekspor karet alam Indonesia untuk mempertahankan
dan memperluas pangsa pasar dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi
produksi dan peningkatan kualitas hasil olahan karet.
4. Perencanaan pengembangan ekspor karet alam Indonesia dapat diarahkan
pada industri barang jadi karet alam dalam negeri untuk mendapatkan nilai
139
tambah bagi devisa negara dan mengembangkan konsumsi karet alam dalam
negeri. Namun usaha tersebut harus didukung oleh perbaikan dalam peraturan
perundang-undangan terutama yang terkait
dengan pengenaan pajak
pertambahan nilai terhadap komoditas karet alam di pasar domestik dimana
nilainya dipertimbangkan kembali agar memberikan lingkungan perdagangan
karet alam domestik yang lebih kondusif.
5. Kerjasama perdagangan antar negara eksportir dapat terus dilakukan untuk
mengantisipasi dan mengendalikan fluktuasi harga karena penawaran dan
permintaan ekspor karet alam terdistorsi oleh adanya cadangan karet alam
yang dimiliki konsumen.
8.3. Saran Penelitian Lanjutan
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian lanjutan.
1. Penelitian ini tidak membedakan karet alam berdasarkan jenis mutunya. Perlu
dilakukan penelitian karet alam berdasarkan jenis mutu yang spesifik untuk
mengetahui jenis mutu karet yang berpotensi dikembangkan.
2. Fokus perdagangan dalam penelitian ini hanya pada negara importir karet
alam Indonesia tradisional yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Penelitian
lanjutan diharapkan dapat membahas pasar karet alam yang berpotensi yaitu
China dan India karena kedua negara tersebut tidak hanya sebagai konsumen
tetapi juga produsen karet alam.
140
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar International: Suatu Analisis
Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Association of Natural Rubber Producing Countries. 2005. Quarterly Natural Rubber
Statistical Bulletin. Volume 29(4) January 2005. Secretariat of The ANRPC,
Kuala Lumpur.
Balance of Payment Statistics Team Data Management Bank of Thailand. 2005. Export
and Import Commodity in Quantity and Value. (Website http://www.bot.or.th) (2
Juni 2005).
Biro Pusat Statistik. 2001. Statistik Tahunan Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
_______________. 2004. Statistik Tahunan Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Bisnis Indonesia. 27 Maret 2003. Skema Manajemen Supply Karet Ditunda. Bisnis
Indonesia, Jakarta.
Budiman, A.F.S. 2003. Recent Development In Natural Rubber Prices. International
Rubber Study Group, London.
Burger, K. and H.P. Smith. 2000. Natural Rubber in The Coming Decade, Policies and
Projections. Internasional Rubber Forum. International Rubber Study Group.
Antwerp, Belgium.
Cantavella, M., A. Cuadros, I. Fernandez and C. Suarez. 2001. The Atlantic Trade of the
European Union: MERCOSUR and NAFTA. Department of Economics and
International Economic Institute, Valencia.
Deliarnov. 2003. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Rajawali Pers, Jakarta.
Departemen Perdagangan. 1989. Perubahan Struktur Industri Karet Dunia dan
Dampaknya Terhadap Perkaretan Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Perdagangan, Jakarta.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 1997. Perkembangan Industri Karet dan
Barang Jadi Karet. Pusat Data dan Informasi Deperindag, Jakarta.
_____________________________________. 2004. Statistik Perdagangan Karet Alam.
Pusat Data dan Informasi Deperindag, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2001. Statistik Perkebunan Indonesia
1999-2001: Karet. Departemen Pertanian, Jakarta.
Dradjat, B. 2001. Perkembangan dan Prospek Komoditas Karet. Tinjauan Komoditas
Perkebunan 2. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia dan Direktorat Jenderal
Perkebunan, Bogor.
141
Elwamendri. 2000. Perdagangan Karet Alam Antara Negara Produsen Utama dan
Amerika Serikat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. John Wiley,
Alabama.
Gapkindo. 2004. Indonesia Natural Rubber Statistics Book . Gabungan Pengusaha Karet
Indonesia, Jakarta.
Girsang, E.S.U. 23 Agustus 2005. Sejuta Persoalan Hambat Produksi Karet. Bisnis
Indonesia, Jakarta.
Harris, R. 1999. Using Cointegration Analysis in Econometric Modelling, T.J. Press,
London.
Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory: A Mathematical
Approach. Third Edition. McGraw Hill, Singapore.
Hendratno, S. 1989. Analisis Pasar Karet Alam TSR dan RSS Indonesia. Tesis Magister
Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Heriawan, R. 2002. Dampak Pemberlakuan CEPT Pada Perkembangan Ekspor-Impor
Indonesia dan Implikasinya pada Daerah Potensi Ekspor. Tesis Magister Sains.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Honggokusumo, S. 2003. Perkembangan dan Prospek Pasar Karet Alam Dunia. Makalah
Seminar di Puslitbang Sembawa, 2 September 2003, Palembang.
International Monetary Fund (IMF). 2005. International Financial Statistics 1996-2005.
International Monetary Fund, Washington D.C.
International Rubber Study Group (IRSG). 1998. Rubber Statistical Bulletin, 52(6) March
1998. International Rubber Study Group, Wembley, London.
Japan Rubber Manufacturers Association. 2005. Report of Natural Rubber Japan Import.
(Website http://www.jrma.gr.jp) (23 Mei 2005).
Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2000. International Economics: Theory and Policy. Fifth
Edition. Addison-Wesley Publishing Company, Massachusetts.
Limbong, W.H. 1994. Keragaan Karet Alam Indonesia Ditinjau Dari Jenis Pengusahaan
dan Wilayah Produksi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Mankiw, N.G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Penerbit Airlangga, Jakarta.
Mubyarto dan Dewanta A.S. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Karet. Aditya Media,
Yogyakarta.
Niemi, J. 2003. Cointegration and Error Correction Modelling of Agricultural
Commodity Trade: The Case of ASEAN Agricultural Export to The EU. Faculty
of Agriculture and Forestry, University of Helsinki, Helsinki.
142
________. 2003. European Market for ASEAN Agricultural Exports: An Econometric
Model for Forecasting Trade Flows. International Conference Agricultural Policy
and The WTO. WTO, Capri.
Pesaran, B and M.H. Pesaran. 1997. Working with Microfit 4.0 Interactive Econometric
Analysis. Oxford University Press, New York.
Rao, B. 1994. Cointegration For The Applied Economist. St. Martin Press, New York.
Saleh, D. 1991. Optimalisasi Produksi dan Pemasaran Karet Alam Indonesia
dalam Dinamika Struktur Industri Karet Dunia. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Seddighi, H.R., K.A. Lawler and A.V. Katos. 2000. Econometrics: A Practical Approach.
Routledge, London.
Shigetomi, S. 1995. The Transmission of Information in The Transacting of Primary
Product: the Case of Quality Improvement in Thailand’s Natural Rubber
Production. The Developing Economies 33:203-221.
Sinuraya, J.F. 2000. Respon Produksi dan Ekspor Karet Sumatera Utara. Tesis Magister
Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Siregar, H. 2000. Alternative Theories of International Trade and Their Empirical
Support/Rejection: Is The Comparative Advantage Theory Absolute. Mimbar
Sosek. Vol (13): 57-65.
_________. 2004. Pangsa Sektor Pertanian Jangka Panjang dan Dinamika Ekspor
Pertanian: Aplikasi ECM dan VECM. Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian
dan Fakultas Ekonomi Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syaraf, A.U. 1985. Pendugaan Fungsi Suplai Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika
Serikat dan Singapura. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Tety, E. 2002. Penawaran dan Permintaan Karet Alam Indonesia di Pasar Domestik dan
Internasional. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics: An Introduction. Addison Wesley Longman
Limited, Harlow.
Tweeten, L. 1992. Agricultural Trade: Principles and Policies. West view Press, San
Fransisco.
United State International Trade Commission. 2005. Import Commodity Statistics.
(Website http://www.usitc.gov) (31 Mei 2005).
Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley and Sons, Singapore.
143
Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Kelapa
Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi Doktor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
144
LAMPIRAN
145
Lampiran 1. Data dan Sumber Data Dalam Log
Sumber Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo Diolah Diolah Diolah IFS-IMF Diolah
Tahun
XSI
XVI
XSIA
XSVIA
XSIJ
XSVIJ
PI
PIAS
PIJS
ERIA
ERIJ
1995Q1
19.51
27.71
18.87
19.36
15.94
21.03
8.20
0.49
5.09
7.70
3.13
1995Q2
19.57
27.81
18.90
19.43
16.00
20.98
8.24
0.53
4.99
7.71
3.27
1995Q3
19.67
27.68
18.87
19.17
16.40
21.23
8.01
0.30
4.84
7.72
3.18
1995Q4
19.70
27.71
18.80
19.08
17.02
21.88
8.01
0.29
4.86
7.74
3.12
1996Q1
19.63
27.80
18.86
19.29
16.77
21.85
8.17
0.43
5.08
7.75
3.09
1996Q2
19.71
27.80
18.80
19.14
17.08
22.08
8.09
0.33
5.00
7.76
3.08
1996Q3
19.73
27.69
18.90
19.11
17.16
22.07
7.96
0.20
4.91
7.76
3.07
1996Q4
19.71
27.68
18.92
19.14
17.29
22.24
7.97
0.22
4.95
7.76
3.04
1997Q1
19.71
27.68
18.87
19.06
17.01
22.00
7.97
0.19
4.99
7.78
2.99
1997Q2
19.62
27.54
18.71
18.84
16.99
21.91
7.92
0.12
4.92
7.80
3.01
1997Q3
19.70
27.64
18.88
18.89
17.17
21.94
7.93
0.01
4.77
7.93
3.16
1997Q4
19.68
27.89
18.84
18.75
16.83
21.63
8.22
-0.09
4.80
8.30
3.47
1998Q1
19.68
28.57
18.85
18.59
16.77
21.43
8.89
-0.27
4.65
9.15
4.30
1998Q2
19.58
28.50
18.73
18.43
16.36
20.89
8.92
-0.31
4.54
9.26
4.34
1998Q3
20.16
29.14
19.39
18.93
17.07
21.44
8.98
-0.45
4.37
9.41
4.47
1998Q4
19.80
28.25
18.98
18.48
17.21
21.41
8.45
-0.49
4.20
8.98
4.19
1999Q1
19.78
28.28
18.96
18.42
17.44
21.62
8.49
-0.54
4.18
9.08
4.32
1999Q2
19.67
28.06
18.88
18.29
17.09
21.29
8.39
-0.59
4.20
8.98
4.18
1999Q3
19.76
28.16
19.27
18.52
17.23
21.43
8.40
-0.76
4.20
8.93
4.19
1999Q4
19.74
28.05
19.20
18.45
17.27
21.26
8.32
-0.75
3.99
8.88
4.23
2000Q1
19.58
28.14
18.77
18.42
17.05
21.37
8.56
-0.35
4.32
8.91
4.23
2000Q2
19.63
28.25
18.73
18.33
17.39
21.63
8.62
-0.40
4.24
9.02
4.35
2000Q3
19.81
28.38
18.78
18.27
17.69
21.85
8.57
-0.51
4.17
9.07
4.39
2000Q4
19.59
28.23
18.77
18.27
17.39
21.58
8.64
-0.49
4.19
9.14
4.44
2001Q1
19.57
28.25
18.62
18.14
17.42
21.68
8.68
-0.49
4.26
9.19
4.42
2001Q2
19.64
28.37
18.61
18.02
17.31
21.50
8.73
-0.60
4.19
9.33
4.52
2001Q3
19.91
28.42
18.80
18.15
17.68
21.79
8.51
-0.66
4.11
9.17
4.37
2001Q4
19.69
28.24
18.65
17.96
17.34
21.44
8.55
-0.69
4.10
9.25
4.43
2002Q1
19.62
28.18
18.71
18.02
17.61
21.85
8.56
-0.69
4.24
9.23
4.34
2002Q2
19.80
28.45
18.96
18.48
17.69
22.14
8.64
-0.48
4.45
9.11
4.27
2002Q3
19.82
28.65
18.88
18.59
17.88
22.42
8.83
-0.29
4.54
9.10
4.32
2002Q4
19.70
28.66
18.67
18.50
17.86
22.68
8.96
-0.17
4.82
9.11
4.30
2003Q1
19.80
28.74
18.83
18.66
17.79
22.45
8.95
-0.17
4.67
9.09
4.32
2003Q2
19.77
28.71
18.85
18.74
17.70
22.50
8.94
-0.11
4.80
9.05
4.27
2003Q3
19.89
28.77
18.74
18.57
17.94
22.49
8.88
-0.17
4.56
9.04
4.27
2003Q4
19.92
28.94
18.87
18.89
18.00
22.68
9.02
0.02
4.69
9.05
4.36
2004Q1
19.85
29.06
18.90
19.08
17.74
22.61
9.22
0.18
4.87
9.04
4.37
2004Q2
19.96
29.22
18.83
18.98
17.97
22.87
9.26
0.15
4.90
9.11
4.41
2004Q3
20.05
29.30
18.90
19.05
17.91
22.66
9.25
0.15
4.75
9.12
4.42
2004Q4
20.00
29.27
18.85
19.02
17.75
22.59
9.27
0.16
4.85
9.12
4.46
Keterangan:
- Gapkindo
- IFS-IMF
- BOT
- USITC
- JRMA
: Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia
: International Financial Statistics-International Monetary Fund
: Central Bank of Thailand
: United State International Trade Commission
: Japan Rubber Manufacturers Association
146
Lampiran 1. Lanjutan
Sumber
IFS-IMF
BOT
BOT
Tahun
DI
XST
XVT
XSTA XSVTA XSTJ
BOT
BOT
BOT
1995Q1
3.75
19.98
23.56
18.12
18.51
1995Q2
3.78
19.81
23.49
17.86
1995Q3
3.79
19.93
23.39
1995Q4
3.80
19.86
1996Q1
3.85
1996Q2
BOT
Diolah Diolah Diolah IFS-IMF
XSVTJ
PT
PTAS
PTJS
ERTA
18.85
23.82
3.58
0.39
4.97
3.22
18.36
18.76
23.74
3.68
0.50
4.98
3.20
17.93
18.20
18.65
23.56
3.46
0.27
4.91
3.22
23.36
17.82
18.07
18.68
23.62
3.50
0.25
4.93
3.22
20.04
23.65
17.87
18.24
18.80
23.89
3.61
0.38
5.09
3.23
3.85
19.70
23.24
17.53
17.89
18.55
23.61
3.55
0.36
5.06
3.23
1996Q3
3.86
20.11
23.55
18.07
18.27
18.78
23.75
3.44
0.20
4.97
3.23
1996Q4
3.87
20.07
23.46
17.83
17.96
18.58
23.51
3.39
0.14
4.92
3.24
1997Q1
3.89
20.10
23.49
18.02
18.15
18.89
23.88
3.39
0.14
4.99
3.25
1997Q2
3.90
19.72
23.05
17.71
17.78
18.43
23.37
3.33
0.08
4.95
3.25
1997Q3
3.93
20.03
23.42
17.84
17.77
18.74
23.54
3.39
-0.08
4.80
3.50
1997Q4
3.96
20.06
23.53
18.10
17.89
18.74
23.50
3.46
-0.20
4.76
3.71
1998Q1
4.13
20.24
23.73
18.20
17.92
18.77
23.50
3.49
-0.28
4.73
3.85
1998Q2
4.30
19.81
23.12
18.04
17.68
18.36
22.98
3.31
-0.36
4.62
3.70
1998Q3
4.49
20.07
23.33
18.23
17.83
18.75
23.37
3.27
-0.40
4.62
3.72
1998Q4
4.53
19.94
23.08
17.96
17.54
18.52
22.93
3.13
-0.42
4.41
3.61
1999Q1
4.58
19.99
23.07
17.92
17.45
18.71
23.05
3.09
-0.47
4.34
3.61
1999Q2
4.57
19.81
22.86
17.80
17.26
18.48
22.83
3.05
-0.54
4.35
3.61
1999Q3
4.55
20.07
23.08
18.08
17.49
18.66
22.86
3.02
-0.59
4.20
3.64
1999Q4
4.55
20.26
23.39
18.21
17.71
18.78
22.93
3.13
-0.49
4.15
3.66
2000Q1
4.57
20.05
23.18
18.34
17.90
18.26
22.45
3.13
-0.44
4.19
3.63
2000Q2
4.59
20.24
23.44
18.42
18.00
18.84
23.12
3.20
-0.42
4.28
3.65
2000Q3
4.61
20.32
23.46
18.32
17.81
18.72
23.01
3.14
-0.51
4.29
3.71
2000Q4
4.65
20.43
23.64
18.05
17.55
18.82
23.13
3.21
-0.50
4.30
3.77
2001Q1
4.67
20.21
23.40
18.09
17.57
18.67
23.02
3.19
-0.52
4.35
3.77
2001Q2
4.70
20.14
23.31
18.20
17.59
18.58
22.91
3.17
-0.62
4.32
3.81
2001Q3
4.73
20.37
23.52
18.03
17.43
18.65
22.97
3.16
-0.60
4.32
3.80
2001Q4
4.77
20.36
23.40
17.98
17.28
18.45
22.68
3.04
-0.69
4.23
3.79
2002Q1
4.80
20.37
23.40
18.14
17.50
18.67
22.93
3.03
-0.64
4.26
3.78
2002Q2
4.81
20.20
23.39
18.23
17.77
18.52
22.87
3.19
-0.46
4.35
3.76
2002Q3
4.83
20.40
23.76
18.15
17.83
18.90
23.40
3.36
-0.32
4.49
3.74
2002Q4
4.86
20.46
23.94
18.14
17.93
18.75
23.41
3.48
-0.21
4.65
3.77
2003Q1
4.87
20.69
24.22
18.30
18.13
18.84
23.46
3.54
-0.17
4.63
3.76
2003Q2
4.87
20.31
23.90
17.95
17.85
18.68
23.43
3.59
-0.10
4.75
3.74
2003Q3
4.88
20.42
24.00
17.86
17.76
18.79
23.55
3.58
-0.10
4.76
3.72
2003Q4
4.90
20.43
24.19
17.94
18.07
18.62
23.47
3.77
0.13
4.85
3.68
2004Q1
4.93
20.48
24.28
18.16
18.35
18.64
23.54
3.80
0.19
4.90
3.67
2004Q2
4.95
20.29
24.14
17.86
17.68
18.60
23.57
3.85
-0.18
4.97
3.69
2004Q3
4.96
20.33
24.16
18.03
18.19
18.53
23.50
3.82
0.17
4.97
3.72
2004Q4
4.97
20.63
24.44
18.08
18.25
18.93
23.82
3.81
0.17
4.89
3.70
Keterangan:
- Gapkindo
- IFS-IMF
- BOT
- USITC
- JRMA
: Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia
: International Financial Statistics-International Monetary Fund
: Central Bank of Thailand
: United State International Trade Commission
: Japan Rubber Manufacturers Association
147
Lampiram 1. Lanjutan
Sumber
Diolah
USITC
USITC
USITC
USITC
Tahun
ERTJ
DT
MDA
MVA
XDIA
XDVIA
XDTA XDVTA
PA
PDIA
PDTA
1995Q1
-1.35
4.37
19.43
19.86
18.87
19.36
18.12
18.51
0.42
0.49
0.39
1995Q2
-1.23
4.39
19.46
20.08
18.90
19.43
17.86
18.36
0.62
0.53
0.50
1995Q3
-1.33
4.41
19.32
19.88
18.87
19.17
17.93
18.20
0.57
0.30
0.27
1995Q4
-1.40
4.43
19.30
19.67
18.80
19.08
17.82
18.07
0.37
0.29
0.25
1996Q1
-1.43
4.44
19.45
19.91
18.86
19.29
17.87
18.24
0.46
0.43
0.38
1996Q2
-1.45
4.45
19.26
19.77
18.80
19.14
17.53
17.89
0.50
0.33
0.36
1996Q3
-1.46
4.46
19.32
19.69
18.90
19.11
18.07
18.27
0.37
0.20
0.20
1996Q4
-1.49
4.47
19.44
19.76
18.92
19.14
17.83
17.96
0.32
0.22
0.14
1997Q1
-1.54
4.48
19.47
19.76
18.87
19.06
18.02
18.15
0.29
0.19
0.14
1997Q2
-1.53
4.49
19.35
19.62
18.71
18.84
17.71
17.78
0.27
0.12
0.08
1997Q3
-1.27
4.52
19.38
19.56
18.88
18.89
17.84
17.77
0.18
0.01
-0.08
1997Q4
-1.12
4.54
19.41
19.48
18.84
18.75
18.10
17.89
0.07
-0.09
-0.20
1998Q1
-1.00
4.57
19.48
19.45
18.85
18.59
18.20
17.92
-0.03
-0.27
-0.28
1998Q2
-1.21
4.59
19.44
19.40
18.73
18.43
18.04
17.68
-0.04
-0.31
-0.36
1998Q3
-1.23
4.60
19.61
19.44
19.39
18.93
18.23
17.83
-0.17
-0.45
-0.40
1998Q4
-1.18
4.59
19.54
19.30
18.98
18.48
17.96
17.54
-0.24
-0.49
-0.42
1999Q1
-1.15
4.59
19.46
19.13
18.96
18.42
17.92
17.45
-0.34
-0.54
-0.47
1999Q2
-1.18
4.58
19.42
19.06
18.88
18.29
17.80
17.26
-0.37
-0.59
-0.54
1999Q3
-1.09
4.59
19.47
19.08
19.27
18.52
18.08
17.49
-0.38
-0.76
-0.59
1999Q4
-0.99
4.59
19.53
19.15
19.20
18.45
18.21
17.71
-0.38
-0.75
-0.49
2000Q1
-1.05
4.60
19.65
19.39
18.77
18.42
18.34
17.90
-0.26
-0.35
-0.44
2000Q2
-1.02
4.60
19.68
19.44
18.73
18.33
18.42
18.00
-0.23
-0.40
-0.42
2000Q3
-0.97
4.61
19.34
19.08
18.78
18.27
18.32
17.81
-0.27
-0.51
-0.51
2000Q4
-0.93
4.61
19.47
19.16
18.77
18.27
18.05
17.55
-0.31
-0.49
-0.50
2001Q1
-1.01
4.62
19.37
19.10
18.62
18.14
18.09
17.57
-0.27
-0.49
-0.52
2001Q2
-0.99
4.63
19.25
18.95
18.61
18.02
18.20
17.59
-0.30
-0.60
-0.62
2001Q3
-1.00
4.63
19.47
19.05
18.80
18.15
18.03
17.43
-0.41
-0.66
-0.60
2001Q4
-1.03
4.62
19.25
18.81
18.65
17.96
17.98
17.28
-0.44
-0.69
-0.69
2002Q1
-1.11
4.62
19.38
18.89
18.71
18.02
18.14
17.50
-0.49
-0.69
-0.64
2002Q2
-1.09
4.63
19.50
19.11
18.96
18.48
18.23
17.77
-0.38
-0.48
-0.46
2002Q3
-1.04
4.63
19.77
19.28
18.88
18.59
18.15
17.83
-0.48
-0.29
-0.32
2002Q4
-1.04
4.63
19.44
19.33
18.67
18.50
18.14
17.93
-0.11
-0.17
-0.21
2003Q1
-1.02
4.64
19.55
19.48
18.83
18.66
18.30
18.13
-0.06
-0.17
-0.17
2003Q2
-1.03
4.65
19.52
19.55
18.85
18.74
17.95
17.85
0.03
-0.11
-0.10
2003Q3
-1.05
4.65
19.43
19.46
18.74
18.57
17.86
17.76
0.03
-0.17
-0.10
2003Q4
-1.01
4.65
19.28
19.38
18.87
18.89
17.94
18.07
0.10
0.02
0.13
2004Q1
-1.01
4.66
19.51
19.78
18.90
19.08
18.16
18.35
0.26
0.18
0.19
2004Q2
-1.00
4.67
19.53
19.88
18.83
18.98
17.86
17.68
0.34
0.15
-0.18
2004Q3
-0.98
4.68
19.36
19.68
18.90
19.05
18.03
18.19
0.32
0.15
0.17
2004Q4
-0.97
4.68
19.52
19.82
18.85
19.02
18.08
18.25
0.29
0.16
0.17
Keterangan:
- Gapkindo
- IFS-IMF
- BOT
- USITC
- JRMA
IFS-IMF USITC
USITC Diolah Diolah Diolah
: Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia
: International Financial Statistics-International Monetary Fund
: Central Bank of Thailand
: United State International Trade Commission
: Japan Rubber Manufacturers Association
148
Lampiran 1. Lanjutan
Sumber
JRMA
JRMA
JRMA
JRMA
Tahun
IFS-IMF IFS-IMF JRMA
YA
DA
MDJ
MVJ
XDIJ
XDVIJ
XDTJ XDVTJ
Diolah
Diolah
Diolah
PJ
PDIJ
1995Q1
22.84
4.47
19.04
24.01
15.94
21.03
18.85
PDTJ
23.82
0.40
5.09
1995Q2
22.84
4.48
18.91
23.96
16.00
20.98
4.97
18.76
23.74
0.62
4.99
1995Q3
22.85
4.49
18.95
23.95
16.40
4.98
21.23
18.65
23.56
0.45
4.84
1995Q4
22.86
4.49
18.99
23.94
4.91
17.02
21.88
18.68
23.62
0.33
4.86
1996Q1
22.86
4.50
19.08
4.93
24.18
16.77
21.85
18.80
23.89
0.44
5.08
1996Q2
22.87
4.51
5.09
18.84
23.95
17.08
22.08
18.55
23.61
0.43
5.00
1996Q3
22.88
5.06
4.52
19.11
24.17
17.16
22.07
18.78
23.75
0.36
4.91
1996Q4
4.97
22.89
4.52
19.00
23.99
17.29
22.24
18.58
23.51
0.27
4.95
4.92
1997Q1
22.89
4.53
19.15
24.19
17.01
22.00
18.89
23.88
0.24
4.99
4.99
1997Q2
22.91
4.53
18.83
23.85
16.99
21.91
18.43
23.37
0.24
4.92
4.95
1997Q3
22.92
4.54
18.99
23.91
17.17
21.94
18.74
23.54
0.15
4.77
4.80
1997Q4
22.92
4.54
19.10
24.01
16.83
21.63
18.74
23.50
0.07
4.80
4.76
1998Q1
22.94
4.54
19.10
23.92
16.77
21.43
18.77
23.50
-0.02
4.65
4.73
1998Q2
22.94
4.55
18.75
23.51
16.36
20.89
18.36
22.98
-0.15
4.54
4.62
1998Q3
22.95
4.55
18.97
23.66
17.07
21.44
18.75
23.37
-0.25
4.37
4.62
1998Q4
22.96
4.56
18.95
23.49
17.21
21.41
18.52
22.93
-0.24
4.20
4.41
1999Q1
22.97
4.56
19.10
23.54
17.44
21.62
18.71
23.05
-0.32
4.18
4.34
1999Q2
22.98
4.57
18.98
23.40
17.09
21.29
18.48
22.83
-0.38
4.20
4.35
1999Q3
22.98
4.58
18.96
23.29
17.23
21.43
18.66
22.86
-0.40
4.20
4.20
1999Q4
23.00
4.58
19.16
23.36
17.27
21.26
18.78
22.93
-0.45
3.99
4.15
2000Q1
23.00
4.59
19.10
23.37
17.05
21.37
18.26
22.45
-0.40
4.32
4.19
2000Q2
23.01
4.60
19.05
23.41
17.39
21.63
18.84
23.12
-0.31
4.24
4.28
2000Q3
23.01
4.61
19.10
23.47
17.69
21.85
18.72
23.01
-0.31
4.17
4.29
2000Q4
23.01
4.62
19.22
23.59
17.39
21.58
18.82
23.13
-0.32
4.19
4.30
2001Q1
23.01
4.63
19.02
23.44
17.42
21.68
18.67
23.02
-0.35
4.26
4.35
2001Q2
23.01
4.64
19.06
23.49
17.31
21.50
18.58
22.91
-0.38
4.19
4.32
2001Q3
23.01
4.64
19.05
23.60
17.68
21.79
18.65
22.97
-0.25
4.11
4.32
2001Q4
23.02
4.63
18.85
23.16
17.34
21.44
18.45
22.68
-0.51
4.10
4.23
2002Q1
23.03
4.64
18.98
23.32
17.61
21.85
18.67
22.93
-0.55
4.24
4.26
2002Q2
23.03
4.65
18.96
23.36
17.69
22.14
18.52
22.87
-0.44
4.45
4.35
2002Q3
23.03
4.65
19.15
23.64
17.88
22.42
18.90
23.40
-0.30
4.54
4.49
2002Q4
23.04
4.66
19.23
23.89
17.86
22.68
18.75
23.41
-0.15
4.82
4.65
2003Q1
23.04
4.67
19.11
23.78
17.79
22.45
18.84
23.46
-0.11
4.67
4.63
2003Q2
23.05
4.67
19.13
23.88
17.70
22.50
18.68
23.43
-0.03
4.80
4.75
2003Q3
23.06
4.67
19.16
23.94
17.94
22.49
18.79
23.55
0.01
4.56
4.76
2003Q4
23.08
4.67
19.06
23.83
18.00
22.68
18.62
23.47
0.08
4.69
4.85
2004Q1
23.08
4.68
19.16
23.94
17.74
22.61
18.64
23.54
0.20
4.87
4.90
2004Q2
23.09
4.70
19.17
23.98
17.97
22.87
18.60
23.57
0.22
4.90
4.97
2004Q3
23.10
4.70
19.18
24.02
17.91
22.66
18.53
23.50
0.25
4.75
4.97
2004Q4
23.11
4.71
19.19
24.05
17.75
22.59
18.93
23.82
0.27
4.85
4.89
Keterangan:
- Gapkindo
- IFS-IMF
- BOT
- USITC
- JRMA
JRMA
: Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia
: International Financial Statistics-International Monetary Fund
: Central Bank of Thailand
: United State International Trade Commission
: Japan Rubber Manufacturers Association
149
Lampiran 1. Lanjutan
Sumber IFS-IMF IFS-IMF IFS-IMF Diolah
Keterangan:
- Gapkindo
- IFS-IMF
- BOT
- USITC
- JRMA
Tahun
YJ
ERJA
DJ
PW
1995Q1
22.34
4.57
4.59
0.18
1995Q2
22.48
4.44
4.59
0.22
1995Q3
22.38
4.54
4.59
0.24
1995Q4
22.31
4.62
4.59
0.23
1996Q1
22.30
4.66
4.59
0.20
1996Q2
22.27
4.68
4.59
0.19
1996Q3
22.26
4.69
4.59
0.18
1996Q4
22.23
4.73
4.59
0.19
1997Q1
22.18
4.80
4.59
0.18
1997Q2
22.16
4.78
4.61
0.17
1997Q3
22.18
4.77
4.61
0.15
1997Q4
22.11
4.83
4.62
0.16
1998Q1
22.12
4.85
4.61
0.03
1998Q2
22.05
4.91
4.62
0.03
1998Q3
22.01
4.94
4.61
0.03
1998Q4
22.16
4.79
4.62
0.01
1999Q1
22.19
4.76
4.61
0.00
1999Q2
22.17
4.80
4.61
-0.01
1999Q3
22.23
4.73
4.61
-0.01
1999Q4
22.30
4.65
4.61
0.00
2000Q1
22.29
4.67
4.60
0.01
2000Q2
22.29
4.67
4.61
0.03
2000Q3
22.29
4.68
4.60
0.06
2000Q4
22.28
4.70
4.60
0.07
2001Q1
22.21
4.77
4.60
0.08
2001Q2
22.15
4.81
4.60
0.09
2001Q3
22.15
4.80
4.60
0.08
2001Q4
22.13
4.82
4.59
0.05
2002Q1
22.07
4.89
4.59
0.03
2002Q2
22.10
4.84
4.59
0.03
2002Q3
22.18
4.78
4.59
0.05
2002Q4
22.14
4.81
4.59
0.07
2003Q1
22.17
4.78
4.58
0.09
2003Q2
22.18
4.77
4.59
0.09
2003Q3
22.19
4.77
4.59
0.11
2003Q4
22.27
4.69
4.58
0.13
2004Q1
22.30
4.67
4.58
0.34
2004Q2
22.27
4.70
4.58
0.32
2004Q3
22.27
4.70
4.59
0.24
2004Q4
22.30
4.66
4.59
0.30
: Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia
: International Financial Statistics-International Monetary Fund
: Central Bank of Thailand
: United State International Trade Commission
: Japan Rubber Manufacturers Association
150
Lampiran 2. Proses Penyusunan Analisis Uji Unit Root Dengan Microfit 4.0
lmda=log(mda);
lya=log(ya);
pada=pa*100/da;
lpada=log(pada);
lmdj=log(mdj);
lyj=log(yj);
pjdj=pj*100/dj;
lpjdj=log(pjdj);
lxdia=log(xdia);
pdia=piad/eria;
pdiapa=pdia/pa;
lpdiapa=log(pdiapa);
lxdij=log(xdij);
pdij=pijd/erij;
pdijpj=pdij/pj;
lpdijpj=log(pdijpj);
lxdta=log(xdta);
pdta=ptad/erta;
pdtapa=pdta/pa;
lpdtapa=log(pdtapa);
lxdtj=log(xdtj);
pdtj=ptjd/ertj;
pdtjpj=pdtj/pj;
lpdtjpj=log(pdtjpj);
lpa=log(pa);
lpj=log(pj);
lpw=log(pw);
lxsi=log(xsi);
pidi=pi*100/di;
lpidi=log(pidi);
lxsia=log(xsia);
psia=pias*eria;
psiadi=psia*100/di;
lpsiadi=log(psiadi);
lxsij=log(xsij);
psij=pijs*erij;
psijdi=psij*100/di;
lpsijdi=log(psijdi);
lxst=log(xst);
ptdt=pt*100/dt;
lptdt=log(ptdt);
lxsta=log(xsta);
psta=ptas*erta;
pstadt=psta*100/dt;
lpstadt=log(pstadt);
lxstj=log(xstj);
pstj=ptjs*ertj;
pstjdt=pstj*100/dt;
lpstjdt=log(pstjdt);
adf lmda; adf lya; adf lpada;
adf lmdj; adf lyj; adf lpjdj;
adf lxdia; adf lpdiapa;
adf lxdij; adf lpdijpj;
adf lxdta; adf lpdtapa;
adf lxdtj; adf lpdtjpj;
adf lpa; adf lpj; adf lpw;
adf lxsi; adf lpidi;
adf lxsia; adf lpsiadi;
adf lxsij; adf lpsijdi;
adf lxst; adf lptdt;
adf lxsta; adf lpstadt;
adf lxstj; adf lpstjdt;
dlmda=lmda-lmda(-1); dlya=lya-lya(-1);
dlpada=lpada-lpada(-1);
dlmdj=lmdj-lmdj(-1); dlyj=lyj-lyj(-1);
dlpjdj=lpjdj-lpjdj(-1);
dlxdia=lxdia-lxdia(-1); dlpdiapa=lpdiapa-lpdiapa(-1);
dlxdij=lxdij-lxdij(-1); dlpdijpj=lpdijpj-lpdijpj(-1);
dlxdta=lxdta-lxdta(-1); dlpdtapa=lpdtapa-lpdtapa(-1);
dlxdtj=lxdtj-lxdtj(-1); dlpdtjpj=lpdtjpj-lpdtjpj(-1);
dlpa=lpa-lpa(-1); dlpj=lpj-lpj(-1); dlpw=lpw-lpw(-1);
dlxsi=lxsi-lxsi(-1); dlpidi=lpidi-lpidi(-1);
dlxsia=lxsia-lxsia(-1); dlpsiadi=lpsiadi-lpsiadi(-1);
dlxsij=lxsij-lxsij(-1); dlpsijdi=lpsijdi-lpsijdi(-1);
dlxst=lxst-lxst(-1); dlptdt=lptdt-lptdt(-1);
dlxsta=lxsta-lxsta(-1); dlpstadt=lpstadt-lpstadt(-1);
dlxstj=lxstj-lxstj(-1); dlpstjdt=lpstjdt-lpstjdt(-1);
adf dlya(4); adf dlpada(4);
adf dlyj(4); adf dlpjdj(4);
adf dlxdij(4); adf dlpdijpj(4);
adf dlpdtapa(4); adf dlpdtjpj(4);
adf dlpa(4); adf dlpj(4); adf dlpw(4);
adf dlpidi(4); adf dlpsiadi(4);
adf dlxsij(4); adf dlpsijdi(4);
adf dlxst(4); adf dlptdt(4);
adf dlxsta(4); adf dlpstadt(4);
adf dlpstjdt(4);
151
Lampiran 3. Contoh Hasil Uji Statistik Unit Root Pada Variabel
Unit root tests for variable LMDA
The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend
*******************************************************************************
35 observations used in the estimation of all ADF regressions.
Sample period from 1996Q2 to 2004Q4
*******************************************************************************
Test Statistic
LL
AIC
SBC
HQC
DF
-4.6070
26.3442
24.3442
22.7888
23.8073
ADF(1)
-3.3970
26.3921
23.3921
21.0591
22.5868
ADF(2)
-2.7242
26.4821
22.4821
19.3715
21.4083
ADF(3)
-2.6902
26.6861
21.6861
17.7977
20.3438
ADF(4)
-3.1893
28.2024
22.2024
17.5364
20.5917
*******************************************************************************
95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.9472
LL = Maximized log-likelihood
AIC = Akaike Information Criterion
SBC = Schwarz Bayesian Criterion
HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable LMDA
The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend
*******************************************************************************
35 observations used in the estimation of all ADF regressions.
Sample period from 1996Q2 to 2004Q4
*******************************************************************************
Test Statistic
LL
AIC
SBC
HQC
DF
-4.6424
26.6727
23.6727
21.3397
22.8674
ADF(1)
-3.4468
26.6834
22.6834
19.5727
21.6096
ADF(2)
-2.7686
26.7237
21.7237
17.8353
20.3814
ADF(3)
-2.7638
27.0117
21.0117
16.3456
19.4009
ADF(4)
-3.4331
29.1015
22.1015
16.6578
20.2223
*******************************************************************************
95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.5426
LL = Maximized log-likelihood
AIC = Akaike Information Criterion
SBC = Schwarz Bayesian Criterion
HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable LYA
The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend
*******************************************************************************
35 observations used in the estimation of all ADF regressions.
Sample period from 1996Q2 to 2004Q4
*******************************************************************************
Test Statistic
LL
AIC
SBC
HQC
DF
-1.1650
135.1016
133.1016
131.5463
132.5647
ADF(1)
-1.0486
135.6805
132.6805
130.3475
131.8752
ADF(2)
-.98180
135.7900
131.7900
128.6793
130.7162
ADF(3)
-.97718
135.8186
130.8186
126.9303
129.4764
ADF(4)
-.99638
136.1117
130.1117
125.4457
128.5010
*******************************************************************************
95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.9472
LL = Maximized log-likelihood
AIC = Akaike Information Criterion
SBC = Schwarz Bayesian Criterion
HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable LYA
The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend
*******************************************************************************
35 observations used in the estimation of all ADF regressions.
Sample period from 1996Q2 to 2004Q4
*******************************************************************************
Test Statistic
LL
AIC
SBC
HQC
DF
-1.7240
136.3221
133.3221
130.9890
132.5167
ADF(1)
-1.9170
137.3097
133.3097
130.1990
132.2358
ADF(2)
-2.0391
137.7340
132.7340
128.8457
131.3918
ADF(3)
-2.0049
137.7644
131.7644
127.0984
130.1537
ADF(4)
-2.3503
138.8918
131.8918
126.4481
130.0127
*******************************************************************************
95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.5426
LL = Maximized log-likelihood
AIC = Akaike Information Criterion
SBC = Schwarz Bayesian Criterion
HQC = Hannan-Quinn Criterion
152
Lampiran 3. Lanjutan
Unit root tests for variable DLYA
The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend
*******************************************************************************
34 observations used in the estimation of all ADF regressions.
Sample period from 1996Q3 to 2004Q4
*******************************************************************************
Test Statistic
LL
AIC
SBC
HQC
DF
-4.6034
130.9776
128.9776
127.4513
128.4571
ADF(1)
-3.1799
131.1271
128.1271
125.8376
127.3463
ADF(2)
-2.8190
131.1503
127.1503
124.0976
126.1092
ADF(3)
-2.0759
131.6543
126.6543
122.8384
125.3530
ADF(4)
-1.9325
131.6592
125.6592
121.0802
124.0976
*******************************************************************************
95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.9499
LL = Maximized log-likelihood
AIC = Akaike Information Criterion
SBC = Schwarz Bayesian Criterion
HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable DLYA
The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend
*******************************************************************************
34 observations used in the estimation of all ADF regressions.
Sample period from 1996Q3 to 2004Q4
*******************************************************************************
Test Statistic
LL
AIC
SBC
HQC
DF
-4.5692
131.1166
128.1166
125.8270
127.3358
ADF(1)
-3.1545
131.2304
127.2304
124.1777
126.1894
ADF(2)
-2.8064
131.2634
126.2634
122.4475
124.9621
ADF(3)
-2.0548
131.7164
125.7164
121.1374
124.1548
ADF(4)
-1.9163
131.7246
124.7246
119.3823
122.9027
*******************************************************************************
95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.5468
LL = Maximized log-likelihood
AIC = Akaike Information Criterion
SBC = Schwarz Bayesian Criterion
HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable DLPADA
The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend
*******************************************************************************
34 observations used in the estimation of all ADF regressions.
Sample period from 1996Q3 to 2004Q4
*******************************************************************************
Test Statistic
LL
AIC
SBC
HQC
DF
-4.9887
30.9165
28.9165
27.3902
28.3960
ADF(1)
-2.6865
32.8314
29.8314
27.5419
29.0506
ADF(2)
-2.2681
32.8707
28.8707
25.8179
27.8296
ADF(3)
-1.5951
33.7805
28.7805
24.9646
27.4791
ADF(4)
-1.5222
33.7904
27.7904
23.2113
26.2288
*******************************************************************************
95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.9499
LL = Maximized log-likelihood
AIC = Akaike Information Criterion
SBC = Schwarz Bayesian Criterion
HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable DLPADA
The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend
*******************************************************************************
34 observations used in the estimation of all ADF regressions.
Sample period from 1996Q3 to 2004Q4
*******************************************************************************
Test Statistic
LL
AIC
SBC
HQC
DF
-6.5837
36.0074
33.0074
30.7179
32.2266
ADF(1)
-3.9157
36.3097
32.3097
29.2570
31.2687
ADF(2)
-3.7036
36.7765
31.7765
27.9606
30.4752
ADF(3)
-2.9006
36.8433
30.8433
26.2643
29.2817
ADF(4)
-2.8440
36.9416
29.9416
24.5993
28.1197
*******************************************************************************
95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.5468
LL = Maximized log-likelihood
AIC = Akaike Information Criterion
SBC = Schwarz Bayesian Criterion
HQC = Hannan-Quinn Criterion
153
Lampiran 4. Hasil Estimasi Permintaan Impor Karet Alam Amerika Serikat
Error Correction Representation for the Selected ARDL Model
ARDL(1,0,0) selected
*******************************************************************************
Dependent variable is dLMDA
36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
dLYA
1.1421
.48713
2.3446[.026]
dLPADA
-.070505
.063177
-1.1160[.273]
dCONST
-7.2507
10.5950
-.68435[.499]
dD3
-.16100
.061043
-2.6374[.013]
ecm(-1)
-.97315
.16379
-5.9415[.000]
*******************************************************************************
List of additional temporary variables created:
dLMDA = LMDA-LMDA(-1)
dLYA = LYA-LYA(-1)
dLPADA = LPADA-LPADA(-1)
dCONST = CONST-CONST(-1)
dD3 = D3-D3(-1)
ecm = LMDA
-1.1737*LYA + .072450*LPADA +
7.4507*CONST +
.16544*D3
*******************************************************************************
R-Squared
.54161
R-Bar-Squared
.48247
S.E. of Regression
.10653
F-stat.
F( 4, 31)
9.1572[.000]
Mean of Dependent Variable .0061413
S.D. of Dependent Variable
.14809
Residual Sum of Squares
.35183
Equation Log-likelihood
32.2243
Akaike Info. Criterion
27.2243
Schwarz Bayesian Criterion
23.2655
DW-statistic
1.8954
*******************************************************************************
R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable
dLMDA and in cases where the error correction model is highly
restricted, these measures could become negative.
Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach
ARDL(1,0,0) selected
*******************************************************************************
Dependent variable is LMDA
36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
LYA
1.1737
.47578
2.4668[.019]
LPADA
-.072450
.064734
-1.1192[.272]
CONST
-7.4507
10.9137
-.68270[.500]
D3
-.16544
.061075
-2.7088[.011]
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
1.9482[.745]*F(
4, 27)=
.38618[.817]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
.20573[.650]*F(
1, 30)=
.17243[.681]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
3.0413[.219]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)= .2782E-4[.996]*F(
1, 34)= .2628E-4[.996]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
154
Lampiran 5. Hasil Estimasi Permintaan Impor Karet Alam Jepang
Error Correction Representation for the Selected ARDL Model
ARDL(1,0,0) selected
*******************************************************************************
Dependent variable is dLMDJ
36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
dLYJ
.66653
.25164
2.6488[.012]
dLPJDJ
-.014475
.066934
-.21625[.830]
dCONST
4.0066
5.4037
.74145[.464]
ecm(-1)
-.98318
.17118
-5.7437[.000]
*******************************************************************************
List of additional temporary variables created:
dLMDJ = LMDJ-LMDJ(-1)
dLYJ = LYJ-LYJ(-1)
dLPJDJ = LPJDJ-LPJDJ(-1)
dCONST = CONST-CONST(-1)
ecm = LMDJ
-.67794*LYJ + .014722*LPJDJ
-4.0751*CONST
*******************************************************************************
R-Squared
.51228
R-Bar-Squared
.46656
S.E. of Regression
.10781
F-stat.
F( 3, 32)
11.2038[.000]
Mean of Dependent Variable .0055844
S.D. of Dependent Variable
.14761
Residual Sum of Squares
.37191
Equation Log-likelihood
31.2252
Akaike Info. Criterion
27.2252
Schwarz Bayesian Criterion
24.0582
DW-statistic
2.0201
*******************************************************************************
R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable
dLMDJ and in cases where the error correction model is highly
restricted, these measures could become negative.
Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach
ARDL(1,0,0) selected
*******************************************************************************
Dependent variable is LMDJ
36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
LYJ
.67794
.24233
2.7976[.009]
LPJDJ
-.014722
.068193
-.21589[.830]
CONST
4.0751
5.3648
.75961[.453]
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
1.6758[.795]*F(
4, 28)=
.34177[.847]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
.11479[.735]*F(
1, 31)= .099160[.755]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
2.0910[.352]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
1.2904[.256]*F(
1, 34)=
1.2640[.269]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
155
Lampiran 6. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Indonesia dari
Amerika Serikat
Ordinary Least Squares Estimation
*******************************************************************************
Dependent variable is DLXDIA
39 observations used for estimation from 1995Q2 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
CONST
9.3705
6.1115
1.5333[.136]
LXDIA(-1)
-1.1370
.17065
-6.6625[.000]
DLMDA
.66879
.22522
2.9695[.006]
LMDA(-1)
.61700
.37586
1.6416[.111]
DLPDIAPA
-.51293
.25371
-2.0217[.052]
LPDIAPA(-1)
-.81858
.31805
-2.5737[.015]
D1
.019790
.072967
.27122[.788]
D3
-.25637
.060024
-4.2712[.000]
D4
.18373
.059401
3.0930[.004]
*******************************************************************************
R-Squared
.72960
R-Bar-Squared
.65750
S.E. of Regression
.10855
F-stat.
F( 8, 30)
10.1186[.000]
Mean of Dependent Variable -.4209E-3
S.D. of Dependent Variable
.18548
Residual Sum of Squares
.35350
Equation Log-likelihood
36.3784
Akaike Info. Criterion
27.3784
Schwarz Bayesian Criterion
19.8924
DW-statistic
2.2325
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
7.7928[.099]*F(
4, 26)=
1.6231[.198]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
1.4126[.235]*F(
1, 29)=
1.0899[.305]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
1.7591[.415]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
3.0102[.083]*F(
1, 37)=
3.0947[.087]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
156
Lampiran 7. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Thailand dari
Amerika Serikat
Ordinary Least Squares Estimation
*******************************************************************************
Dependent variable is DLXDTA
39 observations used for estimation from 1995Q2 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
CONST
6.2868
7.0818
.88774[.382]
LXDTA(-1)
-1.2310
.19021
-6.4720[.000]
DLMDA
.70901
.26783
2.6472[.013]
LMDA(-1)
.80950
.41971
1.9287[.063]
DLPDTAPA
-.044492
.23300
-.19096[.850]
LPDTAPA(-1)
-.17746
.30577
-.58036[.566]
D1
.092094
.071983
1.2794[.211]
D2
.27654
.066787
4.1407[.000]
D4
-.14264
.080212
-1.7783[.085]
*******************************************************************************
R-Squared
.62504
R-Bar-Squared
.52505
S.E. of Regression
.13865
F-stat.
F( 8, 30)
6.2510[.000]
Mean of Dependent Variable -.0011193
S.D. of Dependent Variable
.20119
Residual Sum of Squares
.57673
Equation Log-likelihood
26.8334
Akaike Info. Criterion
17.8334
Schwarz Bayesian Criterion
10.3473
DW-statistic
2.0245
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
2.8615[.581]*F(
4, 26)=
.51467[.726]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
1.3186[.251]*F(
1, 29)=
1.0148[.322]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
.78231[.676]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
.11410[.736]*F(
1, 37)=
.10856[.744]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
157
Lampiran 8. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Indonesia dari Jepang
Error Correction Representation for the Selected ARDL Model
ARDL(1,0,0) selected
*******************************************************************************
Dependent variable is dLXDIJ
36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
dLMDJ
.60488
.35379
1.7097[.098]
dLPDIJPJ
-.81277
.32412
-2.5076[.018]
dCONST
1.8322
6.1671
.29709[.769]
dD1
-.046160
.082296
-.56090[.579]
dD3
.23051
.10133
2.2748[.030]
dD4
.41973
.11925
3.5196[.001]
ecm(-1)
-.78805
.16541
-4.7641[.000]
*******************************************************************************
List of additional temporary variables created:
dLXDIJ = LXDIJ-LXDIJ(-1)
dLMDJ = LMDJ-LMDJ(-1)
dLPDIJPJ = LPDIJPJ-LPDIJPJ(-1)
dCONST = CONST-CONST(-1)
dD1 = D1-D1(-1)
dD3 = D3-D3(-1)
dD4 = D4-D4(-1)
ecm = LXDIJ
-.76756*LMDJ +
1.0314*LPDIJPJ
-2.3250*CONST + .058574*D1
-.29250*D3
-.53261*D4
*******************************************************************************
R-Squared
.52186
R-Bar-Squared
.42293
S.E. of Regression
.19250
F-stat.
F( 6, 29)
5.2753[.001]
Mean of Dependent Variable
.020244
S.D. of Dependent Variable
.25341
Residual Sum of Squares
1.0747
Equation Log-likelihood
12.1253
Akaike Info. Criterion
5.1253
Schwarz Bayesian Criterion
-.41701
DW-statistic
1.9102
*******************************************************************************
R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable
dLXDIJ and in cases where the error correction model is highly
restricted, these measures could become negative.
Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach
ARDL(1,0,0) selected
*******************************************************************************
Dependent variable is LXDIJ
36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
LMDJ
.76756
.41181
1.8639[.072]
LPDIJPJ
-1.0314
.47441
-2.1740[.038]
CONST
2.3250
7.8302
.29692[.769]
D1
-.058574
.10277
-.56995[.573]
D3
.29250
.10904
2.6824[.012]
D4
.53261
.15190
3.5064[.001]
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
2.8946[.576]*F(
4, 25)=
.54648[.703]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
1.1605[.281]*F(
1, 28)=
.93269[.342]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
2.0200[.364]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
6.4914[.011]*F(
1, 34)=
7.4795[.010]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
158
Lampiran 9. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Thailand dari Jepang
Ordinary Least Squares Estimation
*******************************************************************************
Dependent variable is DLXDTJ
39 observations used for estimation from 1995Q2 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
CONST
4.6332
5.6827
.81532[.421]
LXDTJ(-1)
-1.3716
.16805
-8.1618[.000]
DLMDJ
1.0036
.19794
5.0702[.000]
LMDJ(-1)
1.1031
.34189
3.2266[.003]
DLPDTJPJ
-.36257
.39977
-.90695[.372]
LPDTJPJ(-1)
-.68696
.43457
-1.5808[.124]
D1
-.049865
.048275
-1.0329[.310]
D2
-.12306
.058615
-2.0994[.044]
D4
.058160
.072120
.80643[.426]
*******************************************************************************
R-Squared
.83466
R-Bar-Squared
.79057
S.E. of Regression
.11234
F-stat.
F( 8, 30)
18.9307[.000]
Mean of Dependent Variable .0020749
S.D. of Dependent Variable
.24549
Residual Sum of Squares
.37864
Equation Log-likelihood
35.0388
Akaike Info. Criterion
26.0388
Schwarz Bayesian Criterion
18.5528
DW-statistic
1.8696
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
1.7314[.785]*F(
4, 26)=
.30197[.874]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
3.3902[.066]*F(
1, 29)=
2.7609[.107]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)= 10.9416[.004]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)= .0011156[.973]*F(
1, 37)= .0010585[.974]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
159
Lampiran 10. Hasil Estimasi Penawaran Impor Karet Alam Amerika Serikat
Error Correction Representation for the Selected ARDL Model
ARDL(1,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion
*******************************************************************************
Dependent variable is dLPA
32 observations used for estimation from 1996Q1 to 2003Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
dLPW
1.7086
.55054
3.1035[.004]
dCONST
-.20362
.056220
-3.6218[.001]
dD3
-.14466
.054341
-2.6622[.013]
dD4
.16465
.043733
3.7649[.001]
ecm(-1)
-.44243
.12996
-3.4045[.002]
*******************************************************************************
List of additional temporary variables created:
dLPA = LPA-LPA(-1)
dLPW = LPW-LPW(-1)
dCONST = CONST-CONST(-1)
dD3 = D3-D3(-1)
dD4 = D4-D4(-1)
ecm = LPA
-3.8618*LPW +
.46022*CONST +
.32698*D3
-.37215*D4
*******************************************************************************
R-Squared
.49082
R-Bar-Squared
.41539
S.E. of Regression
.079744
F-stat.
F( 4, 27)
6.5066[.001]
Mean of Dependent Variable -.0089594
S.D. of Dependent Variable
.10429
Residual Sum of Squares
.17169
Equation Log-likelihood
38.2384
Akaike Info. Criterion
33.2384
Schwarz Bayesian Criterion
29.5741
DW-statistic
2.2106
*******************************************************************************
R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable
dLPA and in cases where the error correction model is highly
restricted, these measures could become negative.
Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach
ARDL(1,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion
*******************************************************************************
Dependent variable is LPA
32 observations used for estimation from 1996Q1 to 2003Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
LPW
3.8618
.49324
7.8294[.000]
CONST
-.46022
.064107
-7.1789[.000]
D3
-.32698
.081066
-4.0334[.000]
D4
.37215
.13112
2.8382[.009]
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
2.7069[.608]*F(
4, 23)=
.53133[.714]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)= .0020930[.964]*F(
1, 26)= .0017006[.967]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
2.3839[.304]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)= .026084[.872]*F(
1, 30)= .024474[.877]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
160
Lampiran 11. Hasil Estimasi Penawaran Impor Karet Alam Jepang
Error Correction Representation for the Selected ARDL Model
ARDL(1,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion
*******************************************************************************
Dependent variable is dLPJ
32 observations used for estimation from 1996Q1 to 2003Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
dLPW
1.4511
.33153
4.3770[.000]
dCONST
1.5451
.39608
3.9010[.001]
dD3
-.072889
.040651
-1.7930[.084]
dD4
.10783
.037744
2.8569[.008]
ecm(-1)
-.35798
.088134
-4.0617[.000]
*******************************************************************************
List of additional temporary variables created:
dLPJ = LPJ-LPJ(-1)
dLPW = LPW-LPW(-1)
dCONST = CONST-CONST(-1)
dD3 = D3-D3(-1)
dD4 = D4-D4(-1)
ecm = LPJ
-4.0536*LPW
-4.3163*CONST +
.20361*D3
-.30122*D4
*******************************************************************************
R-Squared
.52584
R-Bar-Squared
.45559
S.E. of Regression
.067059
F-stat.
F( 4, 27)
7.4856[.000]
Mean of Dependent Variable -.0056667
S.D. of Dependent Variable
.090885
Residual Sum of Squares
.12142
Equation Log-likelihood
43.7822
Akaike Info. Criterion
38.7822
Schwarz Bayesian Criterion
35.1179
DW-statistic
1.9860
*******************************************************************************
R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable
dLPJ and in cases where the error correction model is highly
restricted, these measures could become negative.
Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach
ARDL(1,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion
*******************************************************************************
Dependent variable is LPJ
32 observations used for estimation from 1996Q1 to 2003Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
LPW
4.0536
.55862
7.2565[.000]
CONST
4.3163
.074973
57.5707[.000]
D3
-.20361
.091088
-2.2353[.034]
D4
.30122
.11056
2.7246[.011]
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
4.0210[.403]*F(
4, 23)=
.82636[.522]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
4.0141[.045]*F(
1, 26)=
3.7293[.064]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
.53311[.766]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
.37800[.539]*F(
1, 30)=
.35861[.554]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
161
Lampiran 12. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia
Ordinary Least Squares Estimation
*******************************************************************************
Dependent variable is DLXSI
34 observations used for estimation from 1996Q3 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
CONST
20.9123
2.9660
7.0508[.000]
LXSI(-1)
-1.2089
.17302
-6.9872[.000]
DLPIDI(-2)
.44492
.099696
4.4627[.000]
LPIDI(-3)
.31261
.10987
2.8452[.009]
T
.015483
.0052628
2.9420[.007]
D1
-.0097350
.041868
-.23251[.818]
D3
-.17474
.080452
-2.1719[.039]
D4
.021407
.072724
.29436[.771]
*******************************************************************************
R-Squared
.75103
R-Bar-Squared
.68400
S.E. of Regression
.090440
F-stat.
F( 7, 26)
11.2041[.000]
Mean of Dependent Variable .0084317
S.D. of Dependent Variable
.16088
Residual Sum of Squares
.21267
Equation Log-likelihood
38.0208
Akaike Info. Criterion
30.0208
Schwarz Bayesian Criterion
23.9153
DW-statistic
2.1803
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
5.8758[.209]*F(
4, 22)=
1.1491[.360]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
1.8488[.174]*F(
1, 25)=
1.4375[.242]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
2.0829[.353]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
.55586[.456]*F(
1, 32)=
.53186[.471]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
162
Lampiran 13. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke
Amerika Serikat
Ordinary Least Squares Estimation
*******************************************************************************
Dependent variable is DLXSIA
34 observations used for estimation from 1996Q3 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
CONST
18.4183
2.8991
6.3530[.000]
LXSIA(-1)
-1.1063
.16165
-6.8436[.000]
DLPSIADI(-2)
.21334
.12361
1.7259[.096]
LPSIADI(-6)
.26200
.10397
2.5201[.018]
T
.012262
.0060677
2.0209[.054]
D1
.10894
.056569
1.9257[.065]
D3
-.29983
.092357
-3.2464[.003]
D4
.046410
.089914
.51616[.610]
*******************************************************************************
R-Squared
.73769
R-Bar-Squared
.66707
S.E. of Regression
.11414
F-stat.
F( 7, 26)
10.4457[.000]
Mean of Dependent Variable .0015018
S.D. of Dependent Variable
.19782
Residual Sum of Squares
.33875
Equation Log-likelihood
30.1064
Akaike Info. Criterion
22.1064
Schwarz Bayesian Criterion
16.0009
DW-statistic
2.2082
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
6.4331[.169]*F(
4, 22)=
1.2835[.307]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
6.2555[.012]*F(
1, 25)=
5.6367[.026]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
6.1255[.047]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
1.5084[.219]*F(
1, 32)=
1.4855[.232]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
163
Lampiran 14. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke Jepang
Error Correction Representation for the Selected ARDL Model
ARDL(1,0) selected
*******************************************************************************
Dependent variable is dLXSIJ
36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
dLPSIJDI
-.42820
.14345
-2.9851[.006]
dCONST
19.4409
3.3017
5.8882[.000]
dT
.012811
.010061
1.2732[.213]
dD1
-.052592
.089050
-.59059[.559]
dD3
.094885
.13451
.70543[.486]
dD4
.31646
.14988
2.1114[.043]
ecm(-1)
-.92877
.16632
-5.5842[.000]
*******************************************************************************
List of additional temporary variables created:
dLXSIJ = LXSIJ-LXSIJ(-1)
dLPSIJDI = LPSIJDI-LPSIJDI(-1)
dCONST = CONST-CONST(-1)
dT = T-T(-1)
dD1 = D1-D1(-1)
dD3 = D3-D3(-1)
dD4 = D4-D4(-1)
ecm = LXSIJ +
.46104*LPSIJDI -20.9319*CONST -.013793*T + .056625*D1
-.
10216*D3
-.34073*D4
*******************************************************************************
R-Squared
.55659
R-Bar-Squared
.46484
S.E. of Regression
.18538
F-stat.
F( 6, 29)
6.0669[.000]
Mean of Dependent Variable
.020244
S.D. of Dependent Variable
.25341
Residual Sum of Squares
.99662
Equation Log-likelihood
13.4825
Akaike Info. Criterion
6.4825
Schwarz Bayesian Criterion
.94019
DW-statistic
2.1097
*******************************************************************************
R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable
dLXSIJ and in cases where the error correction model is highly
restricted, these measures could become negative.
Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach
ARDL(1,0) selected
*******************************************************************************
Dependent variable is LXSIJ
36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
LPSIJDI
-.46104
.15901
-2.8995[.007]
CONST
20.9319
1.4160
14.7822[.000]
T
.013793
.010017
1.3770[.179]
D1
-.056625
.093000
-.60888[.547]
D3
.10216
.14557
.70182[.488]
D4
.34073
.16787
2.0298[.052]
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
5.2955[.258]*F(
4, 25)=
1.0779[.388]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
2.6805[.102]*F(
1, 28)=
2.2526[.145]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
1.1627[.559]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
2.2230[.136]*F(
1, 34)=
2.2377[.144]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
164
Lampiran 15. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand
Ordinary Least Squares Estimation
*******************************************************************************
Dependent variable is DLXST
33 observations used for estimation from 1996Q4 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
CONST
22.5851
4.2625
5.2986[.000]
LXST(-1)
-1.1650
.21618
-5.3889[.000]
DLPTDT
.39277
.43156
.91012[.371]
LPTDT(-1)
.19265
.14485
1.3300[.196]
T
.0053086
.0087381
.60753[.549]
D1
.0049311
.067213
.073366[.942]
D2
.28086
.14954
1.8781[.072]
D4
.042082
.14037
.29979[.767]
*******************************************************************************
R-Squared
.61596
R-Bar-Squared
.50843
S.E. of Regression
.14039
F-stat.
F( 7, 25)
5.7283[.000]
Mean of Dependent Variable
.015687
S.D. of Dependent Variable
.20024
Residual Sum of Squares
.49274
Equation Log-likelihood
22.5458
Akaike Info. Criterion
14.5458
Schwarz Bayesian Criterion
8.5597
DW-statistic
2.0249
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)= 11.4311[.022]*F(
4, 21)=
2.7824[.053]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
1.0716[.301]*F(
1, 24)=
.80553[.378]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
.15305[.926]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
2.6210[.105]*F(
1, 31)=
2.6746[.112]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
165
Lampiran 16. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ke Amerika
Serikat
Ordinary Least Squares Estimation
*******************************************************************************
Dependent variable is DLXSTA
33 observations used for estimation from 1996Q4 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
CONST
16.4091
4.3836
3.7433[.001]
LXSTA(-1)
-.91707
.22921
-4.0010[.000]
DLPSTADT
.28454
.23911
1.1900[.245]
LPSTADT(-6)
.039832
.19057
.20901[.836]
T
.011395
.0086046
1.3243[.197]
D1
.16938
.074195
2.2829[.031]
D2
.31628
.15385
2.0558[.050]
D4
.090293
.12110
.74559[.463]
*******************************************************************************
R-Squared
.54751
R-Bar-Squared
.42082
S.E. of Regression
.13800
F-stat.
F( 7, 25)
4.3215[.003]
Mean of Dependent Variable .3437E-3
S.D. of Dependent Variable
.18133
Residual Sum of Squares
.47612
Equation Log-likelihood
23.1120
Akaike Info. Criterion
15.1120
Schwarz Bayesian Criterion
9.1259
DW-statistic
2.1126
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
4.5814[.333]*F(
4, 21)=
.84636[.512]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
4.7457[.029]*F(
1, 24)=
4.0311[.056]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
1.2846[.526]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
2.3655[.124]*F(
1, 31)=
2.3937[.132]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
166
Lampiran 17. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ke Jepang
Ordinary Least Squares Estimation
*******************************************************************************
Dependent variable is DLXSTJ
39 observations used for estimation from 1995Q2 to 2004Q4
*******************************************************************************
Regressor
Coefficient
Standard Error
T-Ratio[Prob]
CONST
26.5775
2.7705
9.5931[.000]
LXSTJ(-1)
-1.4578
.15104
-9.6520[.000]
DLPSTJDT
.68686
.24366
2.8190[.008]
LPSTJDT(-1)
.19323
.13174
1.4667[.153]
T
.0045055
.0057883
.77838[.442]
D1
.0079506
.059547
.13352[.895]
D2
.064695
.11230
.57608[.569]
D4
.036224
.10175
.35599[.724]
*******************************************************************************
R-Squared
.76546
R-Bar-Squared
.71250
S.E. of Regression
.13163
F-stat.
F( 7, 31)
14.4533[.000]
Mean of Dependent Variable .0020749
S.D. of Dependent Variable
.24549
Residual Sum of Squares
.53711
Equation Log-likelihood
28.2210
Akaike Info. Criterion
20.2210
Schwarz Bayesian Criterion
13.5667
DW-statistic
1.9277
*******************************************************************************
Diagnostic Tests
*******************************************************************************
*
Test Statistics *
LM Version
*
F Version
*
*******************************************************************************
*
*
*
*
* A:Serial Correlation*CHSQ(
4)=
3.8736[.423]*F(
4, 27)=
.74437[.570]*
*
*
*
*
* B:Functional Form
*CHSQ(
1)=
.68372[.408]*F(
1, 30)=
.53533[.470]*
*
*
*
*
* C:Normality
*CHSQ(
2)=
.34489[.842]*
Not applicable
*
*
*
*
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ(
1)=
.60953[.435]*F(
1, 37)=
.58745[.448]*
*******************************************************************************
A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation
B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values
C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals
D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
167
Download