DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM INDONESIA KE NEGARA-NEGARA IMPORTIR UTAMA DWI WAHYUNIARTI PRABOWO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM INDONESIA KE NEGARA-NEGARA IMPORTIR UTAMA Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Mei 2006 Dwi Wahyuniarti Prabowo NRP. A151020331 ii ABSTRAK DWI WAHYUNIARTI PRABOWO. Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia Ke Negara-Negara Importir Utama (HERMANTO SIREGAR sebagai ketua, dan ERWIDODO sebagai anggota Komisi Pembimbing). Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Melalui perdagangan, hasil-hasil produksi pertanian dapat diserap oleh pasar baik domestik maupun internasional. Secara khusus perdagangan internasional dapat meningkatkan manfaat yang diterima dari pengelolaan sumberdaya domestik di suatu negara. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis tren atau kecenderungan dalam perdagangan karet alam antara Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika Serikat dan Jepang, dan negara pesaing utama yaitu Thailand sebagai pembanding, (2) menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan dan penawaran impor dan ekspor karet alam asal Indonesia dan responnya terhadap perubahan pendapatan di negara importir dan harga dunia, dan (3) merumuskan implikasi dari perubahan kebijakan perdagangan dan lingkungan ekonomi terhadap arus perdagangan karet alam antara Indonesia dan negara-negara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Faktor dominan yang mempengaruhi permintaan impor karet alam Amerika Serikat adalah pendapatan domestik brutonya dengan respon yang elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan koefisien adjustment yang relatif besar nilainya. Sedangkan kuantitas impornya tidak responsif terhadap perubahan harga riil impor karet alam Amerika Nilai elastisitas harga ekspor karet alam Indonesia yang dibandingkan dengan Thailand untuk pasar Amerika Serikat menunjukkan dominasi ekspor karet alam Indonesia di pasar Amerika Serikat, sedangkan dominasi ekspor karet alam Thailand adalah di pasar Jepang karena nilai elastisitasnya yang lebih tinggi dari pada Indonesia. Secara umum nilai elastisitas harga ekspor karet alam adalah inelastis pada jangka pendek dan elastis pada jangka panjang. Komoditas perkebunan ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses produksinya dari penanaman sampai tanaman tersebut dapat menghasilkan sehingga usahausaha yang dilakukan untuk meningkatkan kuantitas ekspor melalui peningkatkan produksi dalam jangka pendek sulit dilakukan tetapi memungkinkan dalam jangka panjang. Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan dalam bentuk depresiasi mata uang dan pengendalian inflasi lebih efektif untuk meningkatkan volume ekspor dari pada dengan kebijakan perpajakan. Kata kunci: Karet alam, ekspor, kointegrasi, error correction, permintaan dan penawaran. iii © Hak cipta milik Dwi Wahyuniarti Prabowo, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya. iv DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM INDONESIA KE NEGARA-NEGARA IMPORTIR UTAMA Oleh: DWI WAHYUNIARTI PRABOWO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 v Judul Penelitian : Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia Ke Negara-Negara Importir Utama Nama Mahasiswa : Dwi Wahyuniarti Prabowo Nomor Pokok : A151020331 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Ketua Dr. Ir. Erwidodo, M.Sc. Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A. Tanggal Ujian: 29 April 2006 Tanggal Lulus: 22 Juni 2006 vi PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena hanya karena rahmat, karunia dan pertolongan-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tulisan dalam bentuk tesis ini dengan judul “Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara-negara Importir Utama” merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian dalam bentuk tesis ini disadari memang masih belum sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penulisan tesis ini terutama kepada: 1. Papa dan mama sebagai inspirasi, Mas Ari, Mbak Reiny dan keluarga besar Chaidir Kimin Dalimunthe untuk kasih sayang, dukungan dan segalanya yang tidak cukup diungkapkan dengan kata-kata. 2. Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Erwidodo, M.S sebagai anggota komisi pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan, bimbingan dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini serta Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.Ec yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. dan segenap staf pengajar dan administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas ilmu pengetahuan dan bantuan yang diberikan selama menyelesaikan studi. 4. Dr. Ir. Chairil Anwar, M.Sc dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Sucinpak dari Bank of Thailand Data Management Department, David G. Michels dari United State International Trade Commission, Toru Matsumaru dari The Society Rubber Industry Japan, T. Iwase dan Y. Taniguchi dari The Japan Manufacturers Association atas kesediannya untuk membantu. vii 5. Teman-teman Program Studi EPN angkatan 2001 dan 2002 terutama Mimi, Kak Chuzaimah, Mbak Yati, Adam, Andre, Kak Anna dan Ima atas bantuan dan kebersamaannya. 6. Fia, Widya, Novi, Nisma, Mbak Herni dan semua teman-teman di Graha Matudilipa untuk imbas kepanikan yang dirasakan. 7. Cici, Lili, Erin, Astried, Poppi, Ruby dan Volta untuk dukungan, pengertian dan tidak jemu bertanya kapan tesis selesai serta persahabatannya selama lima belas tahun ini. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata, semoga tulisan hasil penelitian dalam bentuk tesis ini dapat memberikan manfaat kepada penulis dan semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Mei 2006 Dwi Wahyuniarti Prabowo viii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 22 Juni 1978 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan S. Koes Prabowo (Alm.) dan Noniar (Almh.). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Adhiyaksa I Jambi pada tahun 1991. Pada tahun 1994 lulus dari sekolah menengah SMP Xaverius II Jambi dan pada tahun 1997 menamatkan sekolah menegah atas dari SMU Negeri I Jambi. Pada tahun 1997 penulis diterima sebagai mahasiswa S1 Program Studi Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan menamatkannya pada tahun 2002. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi program S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002. ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv I. PENDAHULUAN............................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang.............................................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................... 9 1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................................... 9 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................................. 10 II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 12 2.1. Perdagangan Internasional ................................................................12 2.1.1. Pandangan Merkantilis................................................................ 13 2.1.2. Keunggulan Absolut ................................................................14 17 2.1.3. Keunggulan Komparatif................................................................ 21 2.1.4. Heckscher-Ohlin ............................................................................... 23 2.1.5.Analisis Keseimbangan Parsial........................................................... 24 2.2. Hambatan dalam Perdagangan ................................................................ 25 2.2.1. Hambatan Tarif ................................................................................. 2.2.2. Hambatan Non-Tarif ................................................................29 35 2.3. Error Correction Model.............................................................................. 38 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ................................................................ III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................................. 45 3.1. Kerangka Teoritis ....................................................................................... 45 3.1.1. Permintaan......................................................................................... 45 3.1.2. Penawaran.......................................................................................... 49 3.1.3. Kebijakan Perdagangan................................................................ 54 3.2. Kerangka Operasional................................................................................. 57 x 3.3. Hipotesis................................................................................................ 60 IV. METODE PENELITIAN................................................................................... 61 4.1. Jenis dan Sumber Data................................................................................ 61 4.2. Spesifikasi Model ....................................................................................... 64 4.2.1. Permintaan Impor............................................................................... 64 4.2.2. Permintaan Ekspor ................................................................ 65 4.2.3. Penawaran Impor ............................................................................... 65 4.2.4. Penawaran Ekspor.............................................................................. 66 4.3. Prosedur Analisis ........................................................................................ 66 4.3.1. Uji Unit Root ..................................................................................... 67 4.3.2. Uji Kointegrasi................................................................................... 68 4.3.3. Metode Pendugaan Model................................................................ 69 4.3.4. Uji Diagnostik.................................................................................... 70 72 4.3.5. Simulasi ............................................................................................ V. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KARET ALAM................................ 74 5.1. Produksi Karet Alam................................................................................... 74 5.2. Ekspor Karet Alam ..................................................................................... 77 83 5.3. Konsumsi Karet Alam................................................................................. 84 5.4. Impor Karet Alam....................................................................................... 89 5.5. Persetujuan dalam Perdagangan Karet Alam Internasional .......................... 93 5.6. Kebijakan Perdagangan Karet Alam............................................................ VI. DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM ............................................................ 96 6.1. Pengujian Unit Root.................................................................................... 96 6.2. Pengujian Kointegrasi................................................................................. 98 6.3. Permintaan Impor Karet Alam ................................................................ 100 6.3.1. Permintaan Impor Amerika Serikat .................................................... 100 6.3.2. Permintaan Impor Jepang................................................................ 102 103 6.3.3. Elastisitas Harga Impor Karet Alam dan Pendapatan.......................... 6.4. Permintaan Ekspor Karet Alam................................................................ 106 6.4.1. Permintaan Ekspor Amerika Serikat................................................... 107 6.4.2. Permintaan Ekspor Jepang ................................................................ 108 xi 6.4.3. Elastisitas Harga Relatif Karet Alam dan Permintaan 110 Impor................................................................................................ 6.5. Penawaran Impor Karet Alam ................................................................ 112 6.6. Penawaran Ekspor Karet Alam ................................................................ 114 6.6.1. Penawaran Ekspor Indonesia.............................................................. 115 6.6.2. Penawaran Ekspor Thailand ............................................................... 117 6.6.3. Elastisitas Harga Ekspor Riil Karet Alam................................118 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM................................................................................................ 121 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan................................................................ 121 123 7.2. Dampak Kenaikan Harga Karet Alam Dunia............................................... 126 7.3. Dampak Kenaikan Pendapatan dan Harga Karet Alam Dunia...................... 128 7.4. Dampak Depresiasi Nilai Tukar Mata Uang ................................................ 130 7.5. Dampak Inflasi ........................................................................................... 131 7.6. Dampak Pengenaan Pajak Ekspor ............................................................... 133 7.7. Kombinasi Depresiasi dan Inflasi................................................................ 134 7.8. Kombinasi Pajak Ekspor dan Inflasi............................................................ VIII. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 136 8.1. Simpulan ................................................................................................ 136 8.2. Implikasi Kebijakan.................................................................................. 139 8.3. Saran Penelitian Lanjutan ................................................................140 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 141 LAMPIRAN................................................................................................ 145 xii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Contoh Keunggulan Absolut.............................................................................. 17 2. Contoh Keunggulan Komparatif ................................................................18 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan .............................. 27 4. Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor terhadap Kesejahteraan............................. 29 5. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor terhadap Kesejahteraan .............................. 31 6. Dampak Pemberlakuan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan ............................ 34 7. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan........................... 35 8. Data-data yang Digunakan................................................................................. 61 9. 63 Definisi Variabel ............................................................................................... 10. Produksi Karet Alam dari Negara Produsen Utama................................ 75 11. Volume dan Pangsa Ekspor Karet Alam ............................................................ 78 12 81 Komposisi Ekspor Karet Alam Indonesia Menurut Jenis Mutu .............................. 13. Komposisi Ekspor Karet Alam Thailand Menurut Jenis Mutu................................ 82 14. Konsumsi Karet Alam Dunia ............................................................................. 83 15. Volume Impor Karet Alam Dunia ................................................................ 85 16. Volume dan Pangsa Impor Karet Alam Amerika dan Jepang ............................. 88 17. Hasil Uji Unit Root untuk Setiap Variabel ......................................................... 97 18. Hasil Uji Kointegrasi ......................................................................................... 99 19. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permintaan Impor ...................... 103 20. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permintaan Ekspor..................... 110 21. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Impor....................... 113 22. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Ekspor ..................... 118 23. Dampak Kenaikan Pendapatan di Negara Importir............................................. 121 24. Dampak Kenaikan Harga Karet Alam Dunia...................................................... 124 25. Dampak Kenaikan Pendapatan dan Harga Karet Alam Dunia ............................ 126 26. Dampak Depresiasi Rupiah terhadap US Dollar ................................................. 128 27. Dampak Inflasi ................................................................................................ 130 28. Dampak Pajak Ekspor........................................................................................ 132 29. Dampak Depresiasi Rupiah dan Inflasi .............................................................. 133 30. Dampak Pajak Ekspor dan Inflasi ................................................................ 135 xiii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Keseimbangan parsial ........................................................................................ 24 2. Dampak pemberlakuan tarif impor................................................................ 26 3. Dampak pemberlakuan tarif ekspor................................................................ 28 4. Dampak pemberian subsidi ekspor................................................................ 30 5. Dampak pemberlakuan kuota impor................................................................ 33 6. Dampak pemberlakuan kuota ekspor................................................................ 34 7. Skema kerangka pemikiran penelitian................................................................ 59 8. Volume ekspor karet alam Indonesia ................................................................ 79 9. Perkembangan harga rataan ekspor karet alam Indonesia ................................ 80 10 Volume impor karet alam Amerika Serikat ........................................................ 86 11. Volume impor karet alam Jepang................................................................ 87 xiv DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data dan Sumber Data dalam Logaritma .......................................................... 145 2. Proses Penyusunan Analisis Uji Unit Root........................................................ 150 3. Contoh Hasil Uji Statistik Unit Root pada Variabel ................................ 151 4. Hasil Estimasi Permintaan Impor Karet Alam Amerika Serikat ........................ 153 5. Hasil Estimasi Permintaan Impor Karet Alam Jepang ................................154 6. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Indonesia dari Amerika Serikat ............................................................................................... 155 7. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Thailand dari Amerika Serikat.............................................................................................................. 156 8. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Indonesia dari Jepang............... 157 9. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Thailand dari Jepang................ 158 10 Hasil Estimasi Penawaran Impor Karet Alam ke Amerika Serikat .................... 159 160 11. Hasil Estimasi Penawaran Impor Karet Alam ke Jepang ................................ 161 12. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia................................ 13. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat.............................................................................................................. 162 14. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke Jepang.................. 163 15. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ................................ 164 16. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ke Amerika Serikat.............................................................................................................. 165 17. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ke Jepang................... 166 xv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Pertanian yang ingin diwujudkan adalah pertanian yang maju, efisien, dan tangguh sehingga mampu meningkatkan dan menganekaragamkan hasil, meningkatkan mutu dan derajat pengolahan produksi serta menunjang pembangunan wilayah. Melalui perdagangan, hasil-hasil produksi pertanian dapat diserap oleh pasar baik domestik maupun internasional. Secara khusus perdagangan internasional dapat meningkatkan pemberdayaan sumberdaya domestik di suatu negara, sebagai sarana pelepasan atau penyaluran surplus bagi komoditi-komoditi pertanian dan sebagai sumber devisa utama yang pada akhirnya diharapkan memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi. Karet sebagai salah satu komoditas unggulan nasional memberikan sumbangan yang cukup besar bagi devisa negara dan memiliki prospek ekonomi yang cukup baik karena mampu bertahan selama masa krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Dalam konteks perkembangan ekspor dunia terlihat bahwa pada periode tahun 1994-1998 ekspor karet dunia mengalami pertumbuhan sebesar 0.29 persen per tahun. Laju permintaan dunia adalah sebesar 2.5 persen per tahun sedangkan laju penawaran hanya 0.2 persen per tahun. Sedangkan jumlah ekspor karet alam dari Indonesia cukup berfluktuasi dari tahun ke tahun pada periode 1998-2002, namun secara umum mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 13.14 persen per tahun. Hal ini menunjukkan 1 peluang pasar bagi ekspor komoditas karet Indonesia masih terbuka. Perhatian yang ditujukan dalam upaya merespon peluang pasar karet alam ini tidak hanya dalam bentuk peningkatan produksi tetapi juga harus memperhatikan sisi perdagangan (Deperindag, 2004). Thailand memegang peranan penting dalam perdagangan karet pada akhir tahun 1980-an disaat Malaysia mengalami stagnasi produksi. Pada tahun 1969 pangsa ekspor karet Thailand baru mencapai sekitar 9.57 persen dari ekspor karet dunia namun pada tahun 1998 pangsa ekspornya tumbuh menjadi 40.78 persen. Pada periode yang sama, pangsa ekspor karet Indonesia adalah 22.8 persen dan 36.39 persen. Sementara itu pangsa ekspor Malaysia turun dari 44.81 persen pada tahun 1969 menjadi 9.45 persen pada tahun 1998. Namun produksi karet di ketiga negara tersebut terus meningkat. Pada periode 2001-2003, produksi karet alam Thailand mengalami peningkatan sebesar 9.15 persen dari 2 350 ribu ton pada tahun 2001 menjadi 2 565 ribu ton di tahun 2003, produksi karet alam Indonesia meningkat sebesar 8.96 persen dari 1 540 ribu ton menjadi 1 678 ribu ton. Sedangkan Malaysia mengalami peningkatan produksi sebesar 18.72 persen. Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris secara tradisional merupakan negara pengimpor utama karet alam. Pada tahun 1969 ketiga negara mengimpor sekitar 37.10 persen dari impor karet alam dunia. Pada tahun 1998 pangsa impor ketiga negara mengalami peningkatan menjadi 42.16 persen. Perubahan pangsa impor ketiga negara tersebut terjadi karena adanya perluasan pasar ekspor oleh negaranegara produsen terutama Malaysia. Data Departemen Perindustrian dan perdagangan menunjukkan bahwa impor karet alam Amerika Serikat pada periode 1998-2002 cenderung meningkat 2 secara perlahan dengan tren sebesar 13.2 persen. Sejalan dengan kenaikan impor, konsumsi karet alam juga mengalami peningkatan. Hal yang sama terjadi untuk Jepang, namun hal tersebut tidak terjadi untuk Inggris. Impor karet alam Inggris saat ini sedang dalam kecenderungan menurun. Ketiga negara tersebut merupakan negara-negara pengimpor yang cukup penting bagi Indonesia. Malaysia merupakan pesaing utama Indonesia dalam perebutan pangsa ekspor pada ketiga pasar di atas. Namun diperkirakan bahwa perkembangan ekspor karet Malaysia akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumberdaya dan tingginya tingkat upah pekerja. Sedangkan Indonesia masih mempunyai potensi untuk berkembang karena dukungan biaya produksi murah dan lahan yang tersedia (Ditjenbun, 1998). Upaya untuk merebut pasar ekspor dan meningkatkan serta menstabilkan nilai ekspor terhambat oleh sifat dasar dari komoditas pertanian itu sendiri. Komoditas pertanian yang dalam hal ini adalah komoditas primer, pada dasarnya memiliki karakter permintaan dan penawaran yang inelastis dan tidak stabil yang berakibat pada instabilitas harga. Permintaan yang inelastis disebabkan karena perubahan pendapatan rumah tangga di negara maju sebagai importir tidak menyebabkan perubahan yang nyata dalam pola konsumsi mereka. Sedangkan penawaran inelastis disebabkan karena adanya kekakuan internal atau infleksibilitas dalam pengerahan sumberdaya khususnya dalam komoditi tanaman keras yang memerlukan masa penanaman yang lama. Putaran Uruguay yang ditandatangani pada tanggal 15 April 1994, merupakan langkah besar menuju liberalisasi dalam perdagangan internasional. Komoditas pertanian juga termasuk di dalam perjanjian liberalisasi tersebut. 3 Sama halnya seperti perjanjian Putaran Uruguay lainnya, liberalisasi pertanian mulai efektif dilaksanakan pada tahun 1995 setelah terbentuknya World Trade Organisation (WTO), dimana negara-negara maju berkomitmen untuk memperluas pasar, mengurangi bantuan domestik, dan subsidi ekspor. Perkembangan dalam perdagangan internasional ini tentunya akan mempengaruhi arus perdagangan yang terjadi antar negara. Potensi Indonesia untuk meningkatkan ekspor karet alam dengan ketersediaan sumberdaya untuk meningkatkan produksi tidaklah cukup untuk memicu peningkatan permintaan ekspor dan merebut pangsa pasar tanpa adanya kegiatan pemasaran yang baik dan kebijakan perdagangan yang mendukung. Oleh karena itu diperlukan informasi mengenai pola dari arus perdagangan karet alam Indonesia yang dapat menangkap dampak jangka pendek dan jangka panjang dari perubahan pendapatan dan harga yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi dan simulasi dalam berbagai alternatif kondisi yang mungkin terjadi. 1.2. Perumusan Masalah Pada awal tahun 2001 produksi karet alam internasional mencapai 3 460 ribu ton dengan tingkat pertumbuhan negatif sebesar 2.73 persen per bulan. IRSG (International Rubber Study Group) meramalkan bahwa dalam 4 bulan, produksi karet alam internasional akan meningkat menjadi 7 117 ribu ton dengan komposisi peningkatan masing-masing untuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand adalah sebesar 853 ribu ton, 295 ribu ton, dan 1 182 ribu ton. Indonesia merupakan negara yang masih mengalami pertumbuhan produksi positif, yaitu 0.69 persen per bulan. Sedangkan Malaysia dan Thailand menurunkan produksinya dengan 4 laju 0.45 persen dan 6.63 persen per bulan. Pada tahun 2003 produksi karet alam Thailand, Indonesia, dan Malaysia masing-masing telah mencapai 2 565 ribu ton, 1 678 ribu ton dan 647 ribu ton dimana Gapkindo memperkirakan pada tahun 2004 akan terjadi peningkatan produksi karet alam sebesar 8.19 persen untuk Thailand, 6.07 persen untuk Indonesia, dan 7.88 persen untuk Malaysia (Deperindag, 2004). Jumlah produksi karet alam Indonesia yang cenderung meningkat dihadapkan pada masalah penetrasi pasar dimana harus bersaing dengan negaranegara produsen lain dan fluktuasi harga. Untuk merumuskan langkah-langkah pengembangan produksi maupun ekspor, diperlukan informasi mengenai pola perilaku dan tren atau kecenderungan dalam penawaran dan permintaan ekspor dan impor karet alam pada perdagangan antara Indonesia sebagai eksportir dengan negara-negara importir utama baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Harga karet alam pada pasar internasional cenderung fluktuatif dan merupakan ciri yang berkelanjutan. Karet alam mengalami harga tertinggi pada tahun 1979 yaitu sebesar US$ 2 778 per ton. Sedangkan harga karet terendah yang pernah dicapai terjadi pada tahun 2000 yaitu hanya US$ 490 per ton. Pada tahun 1998 hingga kini harga karet alam sedang berada pada tingkat yang relatif rendah dan cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2002 harga karet mencapai US$ 830 per ton dan pada tahun 2003 sedikit mengalami peningkatan dimana harga berkisar antara US$ 940-960 per ton. Sedangkan kenaikan harga dalam rupiah lebih disebabkan oleh dampak depresiasi nilai tukar. Fluktuasi harga berdampak pada arus perdagangan karet alam dan upaya pengembangan ekspor karet alam Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa 5 yang memiliki konsekuensi pada perubahan lingkungan ekonomi atau kebijakan perdagangan yang secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara importir terkait dengan tingkat permintaan impor dari negara-negar tersebut. Untuk itu diperlukan informasi mengenai seberapa besar dampak perubahan harga dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara importir serta berapa lama perubahan tersebut dapat mempengaruhi arus perdagangan yang diperlihatkan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Negosiasi Perdagangan Multilateral dalam rangka Putaran Uruguay akhirnya mencapai kesepakatan pada tanggal 15 Desember 1994. Dokumen akhir Putaran Uruguay mencakup ruang lingkup yang lebih luas dari putaran perjanjian perdagangan sebelumnya, yaitu meliputi berbagai aspek ekonomi yang secara nyata akan berpengaruh terhadap perekonomian dunia termasuk bidang pertanian. Sebelum Putaran Uruguay, pertanian adalah bidang diluar cakupan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), karena Amerika Serikat pada tahun 1950 dengan hak legal yang dimilikinya telah menghalangi pelaksanaan untuk komoditas pertanian. Agreement on Agriculture (AoA) atau perjanjian pertanian adalah salah satu isu yang menjadi perhatian. Sama halnya seperti perjanjian Putaran Uruguay lainnya, AoA mulai efektif dilaksanakan pada tahun 1995 setelah terbentuknya World Trade Organization (WTO). Persetujuan pada bidang pertanian, termasuk didalamnya karet alam, mencakup aspek akses pasar (market acces), bantuan domestik (domestic support), subsidi ekspor (export subsidy), perlakuan khusus (special and differential treatment), dan ketentuan-ketentuan kesehatan (sanitary and 6 phytosanitary measures). Penerapan persetujuan bidang pertanian ini dimulai tahun 1995 dimana komitmen negara-negara maju untuk memperluas pasar, mengurangi bantuan domestik, dan subsidi ekspor diharapkan terpenuhi dalam enam tahun, sedangkan komitmen negara-negara berkembang diharapkan selesai dalam waktu sepuluh tahun. Pada komoditas karet, liberalisasi perdagangan akan menurunkan tarif impor sebesar 40 persen. Negara-negara pengimpor karet seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris akan menurunkan tarif impor dari 5.5 persen menjadi 3.2 persen. Penurunan tarif tersebut akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 1995. Pada sisi negara-negara pengekspor, hambatan untuk ekspor pernah diterapkan dengan menggunakan instrumen pajak ekspor. Malaysia pernah menerapkan pajak ekspor karet alam pada tingkat relatif tinggi, sedang dan rendah dalam tiga periode yaitu tahun 1960-1983, 1984-1991, dan 1992-1998. Thailand juga pernah menerapkan pajak ekspor karet dengan intensitas yang sama dengan diatas pada periode tahun 1969-1982, 1983-1988, dan 1989-1998. Sedangkan Indonesia pernah menerapkan pajak yaitu 10 persen pada tahun 1969-1975, 5 persen pada tahun 1976-1981, dan 0 persen sejak 1982 (Limbong, 1994). Fluktuasi harga karet alam yang masih berlanjut mendorong Indonesia, Malaysia, dan Thailand sebagai negara eksportir utama karet alam, sepakat untuk membentuk International Tripartite Rubber Corporation (ITRO) yang disetujui pada tanggal 12 Desember 2001. Organisasi baru ini bertujuan mengawasi perdagangan dan produksi karet untuk mendongkrak harga karet alam di pasar dunia. Program-program ITRO adalah dalam bentuk Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). SMS adalah program 7 pengurangan produksi karet alam sebesar 4 persen yang dilaksanakan pada tahun 2002 dan 2003. Sedangkan AETS adalah program pengurangan ekspor karet sebesar 10 persen yang dimulai pada 1 Januari 2002. Perubahan dalam berbagai kebijakan perdagangan tersebut dapat mempengaruhi arus perdagangan karet antara Indonesia dengan negara-negara importir utama. Oleh karena itu perlu dikaji berapa besar pengaruh kebijakan tersebut dan berapa lama dampak kebijakan tersebut terlihat nyata dalam arus perdagangan karet Indonesia untuk mengetahui efektivitas kebijakan yang dilakukan. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan-permasalahan yang coba dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tren atau kecenderungan dalam perdagangan karet alam antara Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika Serikat dan Jepang, serta negara eksportir pesaing yaitu Thailand sebagai pembanding. 2. Bagaimana hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan dan penawaran impor dan ekspor karet alam asal Indonesia dan responnya terhadap perubahan pendapatan di negara importir dan harga dunia. 3. Apa dampak dari perubahan kebijakan perdagangan dan lingkungan ekonomi terhadap arus perdagangan karet alam antara Indonesia dan negara-negara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. 8 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola perdagangan karet alam Indonesia ke negara-negara importir utama. Secara lebih terinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis tren atau kecenderungan dalam perdagangan karet alam antara Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika Serikat dan Jepang, dan negara pesaing utama yaitu Thailand sebagai pembanding. 2. Menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan dan penawaran impor dan ekspor karet alam asal Indonesia dan responnya terhadap perubahan pendapatan di negara importir dan harga dunia. 3. Merumuskan implikasi dari perubahan kebijakan perdagangan dan lingkungan ekonomi terhadap arus perdagangan karet alam antara Indonesia dan negaranegara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemegang kebijakan yang terkait dengan pengembangan perkaretan dan perdagangan Indonesia dalam penyusunan kebijakan dan implikasinya yang berguna untuk pengembangan perkaretan Indonesia ke depan. Khususnya manfaat penelitian ini dapat diterapkan pada strategi pengembangan permintaan dan penawaran karet alam Indonesia maupun strategi peningkatan daya saing ekspor karet alam Indonesia di pasar internasional. 9 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mencoba untuk membangun model ekonometrika dinamis yang dapat menangkap efek jangka pendek dan jangka panjang dari perubahan pendapatan dan harga pada perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi dan simulasi kebijakan dalam berbagai alternatif kondisi yang diasumsikan. Secara khusus, model respon perilaku dari importir dan eksportir karet alam yang dibangun harus memperhatikan hubungan jangka panjang antara tingkat pertumbuhan ekonomi importir dengan tingkat impor karet alam di negara-negara tersebut, dan kemampuan negara pengekspor untuk mempengaruhi tingkat ekspor mereka. Analisis struktur dan parameter dari hubungan perilaku jangka panjang pada pasar karet alam Indonesia menggunakan model ekonometrika dinamis dalam bentuk persamaan error correction model (ECM) yang merupakan suatu pendekatan untuk menghadapi masalah non stasioner dari time series dan spurious correlation yang sering dihadapi untuk data deret waktu dari arus perdagangan. Sedangkan kointegrasi digunakan untuk memisahkan spesifikasi dan estimasi dari hubungan ekonomi jangka panjang dan penyesuaian dinamis jangka pendek yang menuju ke keseimbangan jangka panjang. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dibedakannya bentuk dan kualitas dari jenis karet alam yang akan diekspor dan diperdagangkan. Permintaan karet alam dibatasi pada dua negara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Sedangkan penawaran karet alam berasal dari dua negara eksportir utama yaitu Indonesia dan Thailand sebagai pembanding. 10 Penelitian ini tidak memasukkan Malaysia sebagai salah satu produsen dan eksportir karet alam yang cukup besar dalam analisis. Malaysia tidak dimasukkan karena telah mengalami reorientasi perdagangan karet alam yang dilakukan dengan mengembangkan industri pengolahan karet alam domestiknya dan mengekspor barang jadi dengan harapan lebih memberikan keuntungan. Saat ini ekspor dan produksi karet alam Malaysia cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perdagangan Internasional Suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional, menurut Krugman dan Obstfeld (2000) didasarkan oleh dua alasan, yang mana setiap alasan tersebut memberikan kontribusi dalam mendatangkan manfaat bagi negara yang melakukan perdagangan. Pertama, suatu negara terlibat dalam perdagangan karena setiap negara berbeda satu dengan yang lain. Negara seperti individu dapat memperoleh manfaat dari perbedaan dengan melakukan kesepakatan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat dilakukannya dengan baik, dengan kata lain melakukan spesialisasi. Kedua, suatu negara melakukan perdagangan untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi. Jika setiap negara hanya menghasilkan beberapa jenis produk tertentu, maka setiap negara dapat menghasilkan produk dalam skala yang lebih besar dan lebih efisien dari pada jika mencoba menghasilkan semua produk yang dibutuhkan. Perdagangan internasional secara teori membahas hubungan ekonomi antar negara di dunia yang merupakan refleksi dari munculnya saling ketergantungan (interdependence) antara satu negara dengan negara lainnya karena adanya perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi (resources) yang dibutuhkan. Suatu negara mungkin memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak memiliki teknologi dan modal untuk memprosesnya, sebaliknya negara lainnya miskin sumber daya alam tetapi memiliki teknologi yang mampu menjadikan sumber daya alam tersebut lebih dekat pada penggunaan akhir dan memiliki nilai guna yang lebih tinggi (Salvatore dalam Heriawan, 12 2002). Teori-teori perdagangan secara umum banyak memusatkan perhatian pada persoalan pola perdagangan internasional yang dapat berbeda dan bergeser karena perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi. 2.1.1. Pandangan Merkantilis Pada awal perkembangannya, perdagangan internasional terjadi karena masing-masing negara berkepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari hubungan perdagangan tersebut. Pandangan Merkantilis mulai populer pada abad 16. Penganut pandangan ini berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya digunakan untuk menguasai logam-logam mulia khususnya emas dan perak sebagai simbol kekayaan dan kekuatan yang akan memberikan kemakmuran bagi penduduknya. Dengan demikian pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mendorong ekspor sebesar-besarnya dan mengurangi serta membatasi impor sehingga diharapkan dapat mendorong output dan kesempatan kerja nasional. Pandangan Merkantilis tersebut mendorong berkembangnya kolonialisme pada saat itu. Pada saat ini kekayaan suatu negara diukur dengan cadangan sumber daya manusia, hasil produksi manusia, serta kekayaan alam yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa. Semakin besar cadangan tersebut maka akan semakin besar arus barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga akan semakin besar pula standar hidup masyarakat negara tersebut. Pemikiran 13 Merkantilis berkembang terutama di negara-negara Barat. Terdapat kecenderungan munculnya kembali neomerkantilisme yang diakibatkan oleh kenyataan semakin tingginya pengangguran yang sangat mengkhawatirkan pemerintahan suatu negara. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan retriksi terhadap impor agar dapat mendorong kembali produksi domestik dan kesempatan kerja. 2.1.2. Keunggulan Absolut Keunggulan absolut didasari oleh pemikiran bahwa dua negara akan melakukan perdagangan secara sukarela jika keduanya mendapatkan keuntungan. Jika salah satu negara memperoleh keuntungan sementara negara lainnya mengalami kerugian, maka tidak akan terjadi perdagangan. Pemikiran ini merupakan reaksi terhadap pandangan Merkantilis yang percaya bahwa suatu negara hanya dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan mengorbankan negara lain (zero-sum game). Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations (1776) mengemukakan bahwa suatu negara dapat mengkonsentrasikan untuk menghasilkan suatu barang saja dan menjual sebagiannya untuk memperoleh barang lainnya dan tidak perlu ada kekhawatiran atas perdagangan yang mereka lakukan. Menurut Adam Smith, perdagangan antara dua negara didasarkan kepada keunggulan absolut. Jika suatu negara lebih efisien dari pada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi (memiliki keunggulan absolut), namun kurang efisien dibanding dengan negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya (memiliki kerugian absolut), maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara 14 masing-masing melakukan spesialisasi dalam komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarnya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Dengan proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Secara umum keunggulan absolut suatu negara terjadi apabila untuk satu unit masukan yang sama, negara tersebut dapat menghasilkan suatu barang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan negara lain. Maka negara tersebut akan melakukan spesialisasi untuk menghasilkan produk yang memiliki keunggulan absolut tersebut. Atau dengan kata lain untuk menghasilkan satu unit barang tertentu, suatu negara dapat menghasilkannya dengan jumlah jam tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain sebagai cerminan produktivitas. Keunggulan absolut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut. Misalkan ada dua negara yaitu Home dan Foreign yang menghasilkan dua komoditi yang sama yaitu gandum dan kain. Teori diatas mengasumsikan bahwa hanya ada satu faktor produksi yaitu tenaga kerja yang dinotasikan dengan L sebagai total sumber daya yang digunakan. Teknologi dimasing-masing negara ditunjukkan oleh produktivitas tenaga kerjanya dalam bentuk jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit gandum dan kain yang dinotasikan oleh a LG dan * * a LK untuk Home, sedangkan di Foreign dengan notasi a LG dan a LK . Setiap perekonomian memiliki sumber daya yang terbatas, maka terdapat batasan dalam menghasilkan suatu produk. Terdapat trade-off dalam memproduksi dua komoditi di suatu negara yang menggunakan satu faktor produksi yang sama dimana untuk menghasilkan tambahan satu karung gandum 15 maka perekonomian harus mengorbankan satuan tertentu dari kain yang dihasilkan. Trade-off ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier) yang menunjukkan jumlah maksimum gandum yang dapat diproduksi pada jumlah tertentu kain yang dihasilkan. Ketika hanya ada satu faktor produksi maka kurva kemungkinan produksi suatu perekonomian akan berbentuk garis lurus. Jika QG adalah jumlah gandum yang dihasilkan, dan Q K adalah jumlah kain yang dihasilkan, maka tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan gandum adalah a LG QG sedangkan tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan kain adalah a LK Q K . Maka batasan produksi di suatu negara dapat dinyatakan sebagai berikut: a LG QG + a LK Q K ≤ L Pada saat kurva kemungkinan produksi merupakan garis lurus maka biaya korbanan (opportunity cost) dari satu karung gandum dinyatakan dalam kain adalah konstan. Opportunity cost ini dapat didefinisikan sebagai jumlah kain yang dihasikan dalam perekonomian yang harus dikorbankan untuk menghasilkan tambahan gandum. Untuk menghasilkan tambahan satu karung gandum akan dibutuhkan a LG jam tenaga kerja. Setiap jam tenaga kerja ini dapat digunakan pula untuk menghasilkan 1 a LK meter kain maka opportunity cost dari gandum dinyatakan oleh kain adalah a LG a LK . Keunggulan absolut dapat diperlihatkan oleh ilustrasi numerik pada Tabel 1, dimana dua negara menghasilkan dua komoditi yang sama yaitu gandum dan kain. Pada Tabel 1 terlihat bahwa keunggulan suatu negara dalam menghasilkan 16 suatu produk didasarkan pada produktifitas tenaga kerjanya yang ditunjukkan oleh banyaknya jam kerja untuk menghasilkan satu unit produk. Tabel 1. Contoh Keunggulan Absolut Negara Gandum Kain Home a LG = 6 jam/ karung a LK = 4 jam/ meter Foreign * a LG = 1 jam/ karung * a LK = 5 jam/ meter Sumber: Salvatore, 1997. Home memiliki keunggulan absolut dalam menghasilkan kain karena jam kerja yang digunakan untuk menghasilkan satu meter kain lebih rendah dari pada di * Foreign dimana a LK < a LK . Sedangkan Foreign memiliki keunggulan absolut dalam menghasilkan gandum dimana * a LG > a LG menunjukkan bahwa produktivitas di Home dalam menghasilkan gandum lebih rendah. Maka berdasarkan pemikiran Adam Smith, sebaiknya Home berkonsentrasi untuk menghasilkan dan mengekspor kain, dan mengimpor gandum dari Foreign untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Sedangkan Foreign berspesialisasi untuk menghasilkan gandum dan mengimpor kain. 2.1.3. Keunggulan Komparatif David Ricardo mengembangkan pemikiran baru mengenai keunggulan komparatif berdasarkan pemahaman mengenai keunggulan absolut. Dasar pemkiran tersebut adalah bahwa perdagangan internasional tetap akan memberikan manfaat pada suatu negara walaupun negara bersangkutan tidak memiliki keunggulan absolut apapun, sepanjang masih ada perbedaan rasio harga antara dua barang di negara-negara yang berdagang. Pada tahun 1817 David 17 Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principle of Political Economy and Taxation, yang berisikan penjelasan mengenai hukum keunggulan komparatif. Hukum keunggulan komparatif menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien atau tidak memiliki keunggulan absolut dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang tidak memiliki keunggulan absolut harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar. Komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil berarti memiliki keunggulan komparatif. Hukum keunggulan komparatif dari Ricardo didasarkan pada sejumlah asumsi yang disederhanakan yaitu (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak terdapat biaya transportasi, dan (6) tidak ada perubahan teknologi. Sebagai ilustrasi, misalkan terdapat dua negara yaitu Home dan Foreign yang menghasilkan dua produk yang sama yaitu gandum dan kain. Produktifitas dalam menghasilkan gandum dan kain di masing-masing negara diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Contoh Keunggulan Komparatif Negara Gandum Kain Home a LG = 6 jam/ karung a LK = 4 jam/ meter Foreign * a LG = 1 jam/ karung * a LK = 2 jam/ meter Sumber: Salvatore, 1997. 18 Perbedaan Tabel 2 dengan Tabel 1 adalah produktivitas Foreign dalam menghasilkan kain meningkat dimana sebelumnya untuk menghasilkan satu meter kain menghabiskan 5 jam tenaga kerja tetapi sekarang hanya membutuhkan 2 jam tenaga kerja. Hal ini menyebabkan Home tidak memiliki keunggulan absolut dalam menghasilkan gandum maupun kain. Namun itu tidak berarti bahwa Home tidak dapat melakukan perdagangan karena masih ada keunggulan komparatif. Produktivitas tenaga kerja dalam teori keunggulan komparatif dinyatakan dalam bentuk relatif dimana produktivitas menggambarkan tingkat teknologi tertentu di masing-masing negara. Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif ditunjukkan oleh produktivitas relatifnya yang lebih tinggi. Tabel 2 memperlihatkan bahwa produktivitas relatif dalam menghasilkan kain lebih tinggi di Home dari pada menghasilkan gandum karena a LG a *LG > a LK a *LK atau a LK a LG < a *LK a *LG dimana rasio kebutuhan tenaga kerja untuk menghasilkan satu meter kain dibandingkan satu karung gandum lebih rendah di Home dari pada di Foreign. Maka dapat disimpulkan bahwa Home memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan kain. Oleh karena itu Home berspesialisasi untuk menghasilkan kain yang kelebihan produksinya akan diekspor, sedangkan gandum akan diimpor dari Foreign yang lebih efisien dalam memproduksinya. Kurva kemungkinan produksi mengilustrasikan berbagai kombinasi produk yang dapat dihasilkan di dalam perekonomian. Untuk mengetahui apa yang perekonomian produksi secara aktual dapat diperlihatkan oleh harga dalam bentuk harga relatif dua produk dalam perekonomian yaitu harga suatu produk yang dinyatakan oleh produk lain. Dalam perekonomian yang sederhana seperti pada ilustrasi sebelumnya dimana tenaga kerja adalah satu-satunya faktor 19 produksi, penawaran gandum dan kain akan dinyatakan oleh perpindahan tenaga kerja ke sektor mana yang memberikan upah tertinggi. Jika dimisalkan PG dan PK adalah harga gandum dan harga kain, dan tidak ada profit dalam model satu faktor ini, maka upah per jam di sektor gandum akan sama dengan nilai dari berapa yang pekerja dapat hasilkan dalam satu jam. Oleh karena itu tingkat upah pekerja per jam di sektor gandum dinyatakan oleh PG a LG , sedangkan tingkat upah per jam di sektor kain dinyatakan oleh PK a LK . Upah di sektor gandum akan lebih tinggi jika PG PK > a LG a LK , karena setiap orang akan ingin bekerja pada industri yang menawarkan upah tertingi, maka perekonomian akan berspesialisasi pada produksi gandum. Begitu pula sebaliknya jika upah di sektor kain yang lebih tinggi. Opportunity cost dari gandum yang dinyatakan oleh kain adalah a LG a LK , maka dapat disimpulkan bahwa perekonomian akan berspesialisasi untuk menghasilkan gandum jika harga relatif gandum lebih besar dari opportunity cost-nya, dan sebaliknya perekonomian akan berspesialisasi untuk menghasilkan kain jika harga relatif gandum lebih rendah dari opportunity cost-nya. Dengan adanya perdagangan internasional, Home tidak harus menghasilkan dua komoditi sendiri. Dua negara mendapatkan manfaat dari perdagangan dengan adanya spesialisasi karena perdagangan dianggap sebagai metode atau cara tidak langsung dari produksi. Akan tetapi teori keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo ini memiliki kelemahan. Pertama, teori ini meramalkan tingkat spesialisasi yang ekstrim dimana dalam dunia nyata sangat jarang ditemukan. Kedua, mengabaikan kemungkinan peranan skala ekonomi sebagai penyebab perdagangan, sehingga model ini gagal menjelaskan 20 arus perdagangan yang cukup besar antar negara yang tampaknya sama. Kelemahan ini memunculkan pemikiran baru yang dikenal dengan model Heckscher-Ohlin (HO) yang menggunakan asumsi teknologi identik tetapi dengan faktor produksi yang lebih dari satu (Siregar, 2000). 2.1.4. Heckscher-Ohlin Para ekonom klasik sebelumnya beranggapan bahwa keunggulan komparatif di suatu negara bersumber dari perbedaan tingkat produktivitas tenaga kerja sebagai satu-satunya faktor produksi yang diperhitungkan secara eksplisit. Namun dasar pemikiran tersebut tidak memberikan penjelasan rinci mengenai penyebab perbedaan tingkat produktivitas. Heckscher-Ohlin mencoba mengembangkan pandangan klasik tersebut dengan menelaah penyebab munculnya keunggulan komparatif bagi setiap negara dan dampak yang ditimbulkan oleh perdagangan terhadap pendapatan faktor produksi di kedua negara yang terlibat. Faktor penentu utama keunggulan komparatif bagi masing-masing negara yang merupakan landasan dalam melakukan perdagangan menurut HeckscherOhlin adalah kelimpahan faktor secara relatif atau kepemilikan faktor-faktor produksi yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Atas dasar alasan ini maka model H-O disebut juga sebagai Teori Kepemilikan Faktor (Factor Endowment Theory) atau Teori Proporsi Faktor (Factor Proportion Theory). Teori Heckscher-Ohlin atau teori kelimpahan faktor dalam Salvatore (1997) didefinisikan ke dalam dua buah teorema yang saling berhubungan yaitu teorema H-O dan teorema penyamaan harga faktor. Menurut teorema H-O suatu 21 negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Teorema ini menjelaskan bahwa kelimpahan faktor dan harganya secara relatif merupakan penyebab perbedaan harga relatif antara dua negara yang menjadi dasar untuk melakukan perdagangan. Teorema penyamaan harga faktor (price factor equalization theorem) hanya berlaku jika teorema H-O berlaku. Selanjutnya teorema ini lebih popular dengan sebutan teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson (H-O-S). Teorema ini mendefinisikan bahwa perdagangan internasional akan mendorong terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara relatif maupun secara absolut di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian harga-harga faktor produksi baik secara relatif maupun absolut lambat laun akan sama besarnya karena adanya perdagangan internasional. Pengujian empiris pertama terhadap model H-O dilakukan oleh Leontif untuk data-data perekonomian Amerika Serikat tahun 1947 yang hasilnya kemudian lebih dikenal dengan sebutan paradox Leontif. Kesimpulan yang dihasilkan Leontif adalah bahwa ternyata Amerika Serikat cenderung mengekspor produk yang padat tenaga kerja dan mengimpor produk yang padat modal yang bertentangan dengan prediksi model H-O. Namun berdasarkan studi terakhir, kemunculan paradox tersebut bukanlah suatu hal yang aneh mengingat pada saat itu terdapat hal-hal teknis dan berbagai bentuk keterbatasan metodologis serta kelemahan analisis yang tidak dapat dihindari. 22 2.1.5. Analisis Keseimbangan Parsial Tanpa adanya perdagangan internasional, harga-harga relatif dari berbagai komoditi di masing-masing negara mencerminkan keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang merupakan dasar bagi berlangsungnya perdagangan yang menguntungkan antara kedua belah pihak. Perbedaan harga komoditi di masingmasing negara disebabkan oleh adanya perbedaan pada faktor-faktor pembentuk harga di dalam negeri seperti tingkat biaya produksi, jumlah produksi dan konsumsi. Harga relatif komoditi dalam kondisi ekuilibrium pada saat perdagangan internasional sudah berlangsung, tercapai dalam kurun waktu tertentu yang merupakan hasil dari proses pertemuan kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Analisis keseimbangan parsial mencoba untuk menjabarkan proses penentuan harga komoditi relatif pada kondisi ekuilibrium setelah terjadi perdagangan internasional. Gambar 1 menunjukkan proses terciptanya harga komoditi relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan ditinjau dari analisis keseimbangan parsial. Dengan adanya perdagangan internasional, negara Home akan melakukan produksi dan konsumsi gandum pada titik C berdasarkan harga relatif gandum terhadap kain sebesar P3 , sedangkan Foreign akan melakukan produksi dan konsumsi di titik C * berdasarkan harga relatif gandum sebesar P1 . Setelah perdagangan berlangsung, harga relatif gandum akan berkisar antara P1 dan P3 , apabila kedua negara memiliki kekuatan perekonomian yang sama. Jika harga berlaku di atas P1 maka Foreign akan menghasilkan gandum lebih banyak dari permintaan domestik dimana kelebihan produksi tersebut akan diekspor ke Home. Sedangkan jika harga yang berlaku lebih rendah dari P3 , maka Home akan 23 mengalami peningkatan permintaan domestik yang mendorong dilakukannya impor gandum. PG PK Pasar di Negara Foreign Ekspor P3 Pasar Dunia PG PK S PG PK ES * Pasar di Negara Home A P2 A* P1 B* B E* E Impor C * D ED D* 0 S C P3 QG QG 0 0 QG Gambar 1. Keseimbangan Parsial Sumber: Salvatore, 1997. Kurva permintaan dan penawaran di pasar dunia menunjukkan bahwa saat tingkat harga relatif di P2 , kuantitas impor komoditi yang diminta oleh Home yaitu sebesar AB akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh Foreign yaitu A* B * . Dengan demikian P2 adalah harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan di antara kedua negara tersebut dimana EE * menunjukkan kuantitas perdagangan yang terjadi. 2.2. Hambatan dalam Perdagangan Perkembangan pemikiran tentang perdagangan bebas, didasari oleh harapan bahwa perdagangan bebas akan dapat memaksimalkan output dunia dan memberikan manfaat bagi setiap negara yang terlibat. Tetapi dalam kenyataanya masih banyak negara yang menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional yang disebut dengan kebijakan 24 perdagangan. Hambatan terhadap perdagangan terbagi dalam dua bentuk yaitu (1) tarif, yang terkait dengan pengenaan pajak dan bea masuk pada barang yang diperdagangkan, dan (2) non-tarif, yang berkaitan dengan berbagai instrumen kebijakan yang kompleks untuk menyembunyikan motif proteksi. 2.2.1. Hambatan Tarif Tarif menurut Krugman dan Obstfeld (2000) pada dasarnya adalah pajak atau cukai yang bersifat diskriminatif yang dikenakan jika suatu komoditi melintasi suatu daerah pabean. Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan hambatan perdagangan paling transparan, yang secara tradisional digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah. Ada dua macam tarif yaitu tarif impor dan tarif ekspor atau pajak ekspor. Sedangkan jenis tarif berdasarkan mekanisme penghitungannya yang pertama adalah tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang yang diimpor. Kedua adalah tarif spesifik yang dikenakan sebagai beban tetap pada setiap unit barang yang diimpor. Sedangkan yang terakhir adalah tarif campuran yang merupakan gabungan dari keduanya. Tarif Impor Definisi dari tarif impor adalah pajak yang dikenakan kepada komoditi yang diimpor dari negara lain. Tarif impor umumnya digunakan untuk melindungi produsen domestik dalam menghadapi persaingan dengan produk impor yang lebih murah, selain itu juga sebagai salah satu sumber pemasukan bagi negara. Secara grafis, dampak tarif impor diperlihatkan oleh Gambar 2 dengan asumsi, 25 hanya ada dua negara yaitu Home sebagai negara pengimpor dan Foreign sebagai negara pengekspor, tarif yang diberlakukan adalah tarif spesifik, dan importir adalah negara besar dimana perubahan pada permintaan impor akan mempengaruhi harga dunia. Tarif impor yang diberlakukan akan menggeser kurva ED vertikal ke bawah menjadi EDt sebesar jumlah tarif yang dikenakan. Hal ini menyebabkan harga dunia turun dari PW menjadi Pt * dimana merupakan harga yang diterima oleh eksportir yang menyebabkan turunnya kelebihan penawaran di Foreign sebesar q3* − q 4* . Pada negara importir, produk impor menjadi relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk domestik sehingga jumlah barang yang diimpor Home turun menjadi q 2 − q 3 . Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan tarif impor terhadap suatu produk menyebabkan penurunan harga produk di negara eksportir sehingga volume ekspor berkurang. Sedangkan di negara importir terjadi kenaikan harga produk, penurunan konsumsi, peningkatan produksi domestik, penurunan volume impor, dan adanya penerimaan pemerintah dari tarif. Pasar Foreign (eksportir) P P S* P t e a b c d S Pt ES PW Pt* Pasar Home (importir) Pasar Dunia g E h f i j k D ED D* 0 q1* q 2* q3* q4* EDt Q 0 Q1 Q0 Q 0 q1 Gambar 2. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992. 26 q2 q3 q4 Q Tabel 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Pemerintah Net National Welfare Eksportir Importir a -(a + b + c + d) -(b + c + d) -(g + h + i + j) g i+k k – (h + j) Net World Welfare -(b + d + h + j) = e + f Sumber: Tweeten, 1992. Pemberlakuan tarif impor memberikan dampak pada kesejahteraan baik di negara eksportir, importir maupun dunia. Tabel 3 memperlihatkan bahwa di negara eksportir terjadi penurunan kesejahteraan nasional sebesar (b + c +d). Sedangkan dampak tarif impor terhadap kesejahteraan di negara importir ditentukan oleh elastisitas penawaran ekspornya (ES). Semakin elastis kurva penawaran ekspor maka daerah (h + j) akan lebih besar dari daerah k yang berarti bahwa negara importir akan dirugikan dengan adanya tarif. Dampak tarif impor secara umum, akan menurunkan kesejahteraan dunia karena produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih rendah sedangkan konsumen di negara importir harus membayar harga yang lebih tinggi. Tarif Ekspor Definisi dari pajak atau tarif ekspor adalah pajak untuk semua komoditi yang diekspor. Secara grafis, dampak tarif ekspor diperlihatkan oleh Gambar 3 dengan asumsi, hanya ada dua negara yaitu Home sebagai negara pengimpor dan Foreign sebagai negara pengekspor, tarif yang diberlakukan adalah tarif spesifik, dan eksportir adalah negara besar dimana perubahan pada jumlah ekspor dapat mempengaruhi harga dunia. 27 Pasar Foreign (eksportir) P P Pte* a e c d f S Pte ES k b P ES te S* PW Pasar Home (importir) Pasar Dunia g E h i j te D ED D 0 q1* q 2* q3* q4* * Q 0 Q1 Q0 Q 0 q1 q2 q3 q4 Q Gambar 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992. Tarif ekspor yang diberlakukan akan menggeser kurva ES vertikal ke atas menjadi ESte sebesar jumlah tarif yang dikenakan yang berakibat pada penurunan penawaran. Pada kasus negara besar hal ini menyebabkan peningkatan harga dunia dari PW menjadi Pte dimana merupakan harga yang diterima oleh importir yang menyebabkan turunnya konsumsi dan naiknya produksi domestik di Home. Pada negara eksportir harga domestik turun sehingga konsumsi domestik di Foreign naik menjadi q 2* . Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan tarif ekspor terhadap suatu produk menyebabkan penurunan harga produk domestik, peningkatan biaya ekspor, naiknya konsumsi domestik di negara eksportir, penurunan produksi domestik sehingga volume ekspor berkurang dan adanya penerimaan pemerintah dari tarif. Sedangkan di negara importir terjadi kenaikan harga produk, yang mendorong peningkatan produksi domestik dan penurunan konsumsi sehingga menyebabkan penurunan volume impor. 28 Pada Tabel 4 diperlihatkan dampak dari tarif ekspor terhadap kesejahteraan baik di negara eksportir, importir maupun bagi dunia, berdasarkan ilustrasi pada Gambar 3. Tabel 4. Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor terhadap Kesejahteraan Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Pemerintah Net National Welfare Eksportir Importir a -(a + b + c + d) c+k k – (b + d) -(g + h + i + j) g -(h + i + j) Net World Welfare -(b + d + h + j) = e + f Sumber: Tweeten, 1992. Tarif ekspor memberikan dampak terhadap penurunan kesejahteraan nasional di negara importir sebesar daerah (h + i + j), sedangkan dampak tarif bagi kesejahteraan di negara eksportir sangat tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran. Jika pada tingkat pajak ekspor tertentu daerah (b + d) lebih besar dari pada k, maka kesejahteraan nasional bersih bagi eksportir akan memburuk. Pajak ekspor digunakan oleh suatu negara biasanya adalah untuk melindungi konsumen domestik dari harga komoditas ekspor yang tinggi dan untuk mendapatkan penerimaan bagi negara. Namun ternyata dampak dari tarif ekspor secara umum, akan menurunkan kesejahteraan dunia karena produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih rendah sedangkan konsumen di negara importir harus membayar harga yang lebih tinggi. 2.2.2. Hambatan Non-Tarif Tarif adalah bentuk kebijakan perdagangan yang paling sederhana. Pada perkembangan praktek perdagangan di dunia saat ini umumnya intervensi pemerintah dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen kebijakan 29 lainnya seperti subsidi ekspor, kuota impor, konsep pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restraints), persyaratan kandungan lokal dan lain sebagainya. Subsidi Ekspor Pada dasarnya menurut Salvatore (1997), subsidi ekspor adalah pembayaran langsung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi kepada para eksportir atau calon eksportir nasional dan/ atau pemberian pinjaman berbunga rendah kepada para pengimpor asing dalam rangka memacu ekspor suatu negara. Pemberian subsidi ini umumnya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan produsen yang akan mendorong peningkatan ekspor sehingga harga dunia turun dan permintaan impor meningkat. Pasar Foreign (eksportir) P Pasar Home (importir) Pasar Dunia P P S* S ES Psu* ES su a b c d g f e PW su i j k l Psu ED D* 0 q1* q 2* q3* q 4* Q 0 Q0 Q1 D Q 0 q1 q2 q3 q 4 Q Gambar 4. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992. Ilustrasi pemberian subsidi diperlihatkan oleh Gambar 4, dimana kebijakan tersebut akan menggeser kurva penawaran ekspor ke kanan bawah yang menunjukkan peningkatan dalam volume ekspor. Berdasarkan asumsi bahwa 30 negara pengekspor adalah negara besar maka harga dunia turun dari PW menjadi Psu yang merupakan harga yang diterima oleh negara importir sehingga volume perdagangan meningkat menjadi Q1 . Dampak pemberian subsidi pada produsen di Foreign sebagai negara eksportir sebesar su menyebabkan harga domestik meningkat menjadi Psu* sehingga kelebihan penawaran yang dapat di ekspor meningkat menjadi q1* − q 4* , namun hal ini merugikan konsumen domestik karena harus membayar harga yang lebih mahal untuk komoditi yang di ekspor yang berakibat pada turunnya surplus konsumen di negara eksportir. Sedangkan di Home sebagai negara importir terjadi peningkatan permintaan impor dari q 2 − q 3 menjadi q1 − q 4 karena turunnya harga dunia. Tabel 5. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor terhadap Kesejahteraan Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Pemerintah Net National Welfare Eksportir Importir -(a + b) a+b+c -(b + c + d + e + f + g) -(b + d + e + f + g) i+j+k -(i + j) k Net World Welfare -(b + d + j + l) Sumber: Tweeten, 1992. Tabel di atas menunjukkan dampak pemberian subsidi terhadap kesejahteraan yang menunjukkan bahwa ternyata kebijakan ini merugikan konsumen di negara eksportir karena surplus konsumen berkurang sebesar daerah (a + b). Selain itu pemerintah juga mengalami peningkatan pengeluaran yang cukup besar sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemberian subsidi ekspor akan menurunkan tingkat kesejahteraan nasional di negara eksportir yang ditunjukkan oleh daerah (b + d + e + f + g). 31 Kuota Hambatan perdagangan dalam bentuk kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah ekspor atau impor. Kuota impor merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor dengan tujuan untuk melindungi sektor industri domestik tertentu. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumlahnya langsung dibatasi. Dampak kuota impor ternyata dapat menggagalkan mekanisme pasar, memicu distorsi dan korupsi yang akhirnya menimbulkan pemborosan yang merugikan perekonomian negara yang disebabkan oleh munculnya rent seeking karena tergiur pada keuntungan monopoli yang cukup besar jika memiliki lisensi impor. Sedangkan kuota ekspor saat ini yang penting adalah dalam bentuk pembatasan ekspor secara sukarela (VER, Voluntary Export Restraints). Pada bentuk pembatasan ekspor ini, suatu negara selaku pengimpor mendorong atau bahkan memaksa negara lain untuk mengurangi ekspornya secara sukarela. Dampak ekonomi jika pembatasan ekspor ini berhasil, hampir sama dengan pemberlakukan kuota impor, perebedaannya adalah pembatasan ekspor ini dilakukan oleh negara pengekspor sehingga dampak pendapatan berupa terciptanya keuntungan monopoli akan diterima oleh pengekspor. Secara grafis, pemberlakuan kuota impor dapat dijelaskan oleh Gambar 5. Home sebagai negara importir diasumsikan adalah negara besar dalam perdagangan sehingga dapat mempengaruhi harga dunia. Pembatasan impor yang dilakukan negara importir sebesar permintaan ED q1 − q 2 menyebabkan patahnya kurva sehingga menjadi elastis sempurna yang menghasilkan 32 keseimbangan baru di Q1 dengan jumlah perdagangan yang lebih rendah. Keseimbangan baru tersebut menghasilkan tingkat harga Pqu* yang lebih rendah dari PW . Tingkat harga tersebut menyebabkan terjadinya kelebihan permintaan di negara importir yang dapat dihilangkan pada tingkat harga domestik Pqu , pada perpotongan kurva permintaan dengan kurva penawaran domestik yang baru. Pengenaan kuota sama halnya dengan tarif impor yang menguntungkan produsen namun merugikan konsumen karena konsumen harus menerima tingkat harga yang lebih tinggi. Pasar Foreign (eksportir) P P P S* S qu Pqu a b c S ES PW Pqu* Pasar Home (importir) Pasar Dunia e d f gh i ED D* 0 q1* q 2* q3* D EDqu q 4* Q 0 Q1 Q 0 Q0 q1 q 2 q3 q 4 Q Gambar 5. Dampak Pemberlakuan Kuota Impor Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992. Tabel 6 menunjukkan dampak pemberlakuan kuota impor terhadap kesejahteraan dimana negara eksportir secara nasional akan mengalami penurunan kesejahteraan karena berkurangnya surplus produsen. Sedangkan bagi negara importir, kuota akan bermanfaat jika daerah i lebih besar dari daerah (g + h). Secara umum kuota atau pembatasan impor akan menurunkan kesejahteraan dunia. 33 Tabel 6. Dampak Pemberlakuan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Kuota Net National Welfare Eksportir Importir a -(a + b + c + d) -(b + c + d) -(e + f + g + h) e f+i i – (g + h) Net World Welfare -(b + d + g + h) Sumber: Tweeten, 1992. Sedangkan untuk pemberlakuan kuota ekspor dapat diperlihatkan oleh Gambar 6. Pembatasan ekspor ini pada dasarnya adalah untuk menjamin ketersediaan produk ekspor tersebut di dalam negeri, selain itu juga ditujukan untuk pengawasan produksi dan pengendalian harga agar stabil. Kuota ekspor yang dilakukan oleh negara Foreign selaku eksportir menyebabkan kurva ES patah sehingga perdagangan terjadi dalam jumlah yang lebih sedikit dari q1* − q 4* menjadi sebesar Q1 . Hal ini berdampak pada peningkatan harga dunia menjadi Pqu sedangkan harga di negara eksportir turun. Kenaikan harga dunia tersebut menyebabkan penurunan volume perdagangan. Pasar Foreign (eksportir) P P S Pqu P ES qu * S ES e PW a Pqu* Pasar Home (importir) Pasar Dunia f b c g h i d ED D * Dqu D* 0 q1* q 2* q3* q 4* Q 0 Q1 Q0 Q 0 q1 q 2 q3 q 4 Gambar 6. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor Sumber: Tweeten, 1992. 34 Q Tabel 7. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Kuota Net National Welfare Eksportir Importir a+b -(a + b + c + d) c+e -d + e -(f + g + h + i) f -(g + h + i) Net World Welfare -(d + g + i) Sumber: Tweeten, 1992. Pemberlakuan kuota ekspor meningkatkan surplus konsumen di negara eksportir sebesar (a + b) karena harga yang diterima konsumen untuk komoditi yang diekspor menjadi lebih rendah. Sebaliknya surplus produsen di negara eksportir menurun cukup besar dan di negara importir total kesejahteraan nasionalnya menurun sebesar (g + h + i). Secara umum kuota atau pembatasan ekspor akan menurunkan kesejahteraan dunia. 2.3. Error Correction Model Analisis regresi klasik dan permodelan yang digunakan oleh para ekonom yang berkembang pada tahun 70 an, umumnya disebut dengan pendekatan specific to general. Pandangan tradisional ini dalam analisisnya didasarkan pada data deret waktu yang secara khusus diasumsikan stasioner. Namun dalam kenyataannya data deret waktu yang digunakan dalam studi ekonomi empiris hampir selalu menggunakan variabel-variabel yang umumnya tidak stasioner seperti pendapatan, konsumsi, permintaan uang, tingkat harga, arus perdagangan, dan nilai tukar mata uang. Hal ini, menurut Pesaran dan Smith dalam Siregar (2004) menyebabkan model ekonomi klasik yang dihasilkan gagal memprediksi beberapa resesi ekonomi yang terjadi karena tidak mencerminkan data sebenarnya sehingga tidak efektif jika digunakan untuk tujuan peramalan dan evaluasi kebijakan. 35 Pengabaian terhadap sifat non stasioner dari data deret waktu menyebabkan tingginya korelasi antara variabel dependen dan independen walaupun secara aktual keduanya tidak terkait yang disebut dengan spurious correlation. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memberikan perhatian terhadap sifat statistika dari data deret waktu yang terkait dengan sifat non stasioner. Suatu data deret waktu Xt dikatakan stasioner jika: a. E (Xt) = konstan untuk semua t b. Var (Xt) = konstan untuk semua t c. Cov (Xt, Xt+k) = konstan untuk semua t dan semua k ≠ 0 Pendekatan yang banyak digunakan untuk mengatasi spurious correlation adalah dengan menarik difference atas variabel dependen dan independen. Misalkan (Thomas, 1997): Yt = β 1 + β 2 X t + ε t ............................................................................ (2.1) Jika Y dan X pada persamaan di atas adalah variabel tren maka akan menimbulkan keraguan dalam estimasi karena akan menimbulkan masalah spurious correlation, maka di lag satu periode sebagai berikut: Yt −1 = β 1 + β 2 X t −1 + ε t −1 ...................................................................... (2.2) Pengurangan persamaan (2.1) dengan persamaan (2.2) menghasilkan: ∆Yt = β 2 ∆X t + υ t ............................................................................... (2.3) Persamaan (2.3) di atas sudah bebas dari masalah spurious. Pendekatan dengan difference ternyata menimbulkan beberapa masalah yang tidak bisa diabaikan. Terjadi autokorelasi karena υ t = ε t − ε t −1 . Selain itu juga hilangnya informasi mengenai keseimbangan jangka panjang karena model tersebut hanya dapat menjelaskan hubungan jangka pendek. Oleh karena itu 36 model dengan difference tidak dapat digunakan untuk perencanaan kebijakan dan peramalan dalam perdagangan produk pertanian yang membutuhkan informasi jangka panjang. Error Correction Model (ECM) merupakan model alternatif yang dapat mengatasi kedua masalah tersebut dengan menggunakan pendekatan general to specific. Model ini memiliki berbagai kegunaan, tetapi manfaat yang paling penting adalah menyediakan suatu pendekatan dalam menghadapi masalah non stasioner dari time series dan spurious correlation (Thomas, 1997). Spesifikasi ECM dapat diperoleh dari parameterisasi model autoregressive distributed lag (ARDL). Misalkan model ARDL yang menunjukkan hubungan jangka pendek dengan menyertakan nilai bedakala adalah sebagai berikut: y t = b0 + b1 xt + b2 xt −1 + µy t −1 + ε t , 0 < µ < 1 ................................... (2.4) Setelah persamaan (2.4) diparameterisasi, maka diperoleh persamaan dalam bentuk ECM: ∆y t = b1 ∆xt − λ ( y t −1 − β 0 − β 1 xt −1 ) + ε t ............................................... (2.5) dimana: λ = 1 − µ , β 0 = b0 λ , β 1 = (b1 + b2 ) λ Model ECM secara alami akan mencapai keseimbangan dalam jangka panjang dimana λ menunjukkan kecepatan dalam mencapai keseimbangan. Sedangkan ( y t −1 − β 0 − β 1 xt −1 ) menunjukkan kombinasi kointegrasi yang variabel-variabel merupakan kombinasi linier yang disebut non stasioner. Kombinasi linier ini disebut error yang bersama λ membentuk mekanisme dalam mengoreksi kesalahan untuk mencapai kondisi ekuilibrium dalam jangka panjang. Jika kondisi ekuilibrium ditunjukkan oleh Yt −1 = β 0 + β 1 X t −1 maka apabila: 37 Yt −1 < β 0 + β 1 X t −1 ; error < 0, dikoreksi oleh − λ sehingga naik ke arah ekuilibrium. Yt −1 > β 0 + β 1 X t −1 ; error > 0, dikoreksi oleh − λ sehingga turun ke arah ekuilibrium. Mekanisme koreksi ini terjadi dengan syarat setiap variabel harus terintegrasi dalam order yang sama. 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Syaraf (1985) bertujuan untuk memperoleh perkiraan fungsi penawaran ekspor karet rakyat Indonesia ke negara-negara konsumen. Untuk mendapatkan perkiraan fungsi tersebut dilakukan analisis keeratan hubungan pengaruh peubah-peubah terhadap variasi volume penawaran ekspor karet rakyat Indonesia dengan eksportir produsen karet rakyat. Analisis ini diharapkan dapat menemukan peubah-peubah mana yang dominan pengaruhnya bagi eksportir dalam memilih daerah pemasaran hasil yang menguntungkan. Dalam analisis, dilakukan pengujian dengan menggunakan regresi linear berganda. Pengujian dilakukan dengan dua tahap yakni, dengan menggunakan data urut waktu untuk menguji peubah-peubah yang berpengaruh secara umum dan menggunakan data seksi silang (cross section) untuk menguji peubah-peubah yang bersifat khusus. Peubah bersifat khusus yang dimaksud adalah peubahpeubah yang mempengaruhi volume penawaran ekspor oleh eksportir yang berhubungan dengan lokasi dan fasilitas pelabuhan ekspornya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa jumlah produksi bahan olahan karet rakyat, harga karet alam beda kala, harga karet sintetis, dan nilai tukar memiliki pengaruh positif terhadap 38 ekspor Indonesia. Sedangkan tingkat bunga berpengaruh positif terhadap ekspor karet alam Indonesia ke Singapura, tetapi berpengaruh negatif terhadap ekspor ke Amerika Serikat. Hendratno (1989) melakukan penelitian terhadap perdagangan karet alam TSR dan RSS+ Indonesia di dunia dengan membangun sistem pasar dunia yang terdiri dari empat kelompok persamaan yaitu persamaan permintaan, penawaran, harga, dan keseimbangan pasar. Pendekatan linear model AIDS (Almost Ideal Demand System) digunakan untuk menentukan permintaan karet alam Indonesia. Secara rinci, elastisitas share permintaan karet alam dari berbagai wilayah pasar dihitung dengan menggunakan rumus elastisitas dari sistem permintaan model Armington. Sedangkan formulasi penawaran karet alam Indonesia menggunakan model autoregresif. Pengujian model dilakukan dengan metode OLS (Ordinary Least Square) dan GLS (Generalized Least Square). Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa harga karet alam di pasar domestik, peubah trend, dan jumlah penawaran atau produksi bedakala dapat menjelaskan 74 persen dari variasi produksi karet alam di pasar domestik dan berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 10 persen. Penelitian yang dilakukan Limbong (1994) adalah mengenai keragaan karet alam Indonesia ditinjau dari jenis pengusahaan dan wilayah produksi. Penjelasan mengenai keragaan ini dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri dari lima kelompok persamaan yaitu persamaan luas areal karet, produktivitas produksi, ekspor karet, dan harga karet alam. Dari analisis yang dilakukan ternyata bahwa dua peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap ekspor karet adalah peubah impor karet 39 alam dunia dan nilai tukar. Selanjutnya pada pendugaan persamaan harga karet alam di pasar domestik, yang mempunyai pengaruh nyata adalah nilai tukar dan harga karet alam bedakala di pasar domestik. Elastisitas harga karet alam di pasar domestik terhadap stok karet alam Indonesia untuk jangka pendek inelastis tetapi untuk jangka panjang elastis. Elwamendri (2000) melakukan penelitian mengenai perdagangan karet alam antara negara produsen utama dan Amerika Serikat. Analisis dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri dari tiga kelompok persamaan yaitu persamaan penawaran ekspor karet alam spesifikasi teknis, permintaan impor karet spesifikasi teknis Amerika Serikat dan harga ekspor karet spesifikasi teknis. Hasil analisis menunjukkan bahwa kurva penawaran ekspor ketiga negara produsen utama ke Amerika Serikat mempunyai kemiringan positif dengan elastisitas harga atas penawaran adalah inelastis. Kurva permintaan impor karet spesifikasi teknis Amerika Serikat bersifat inelastis. Sedangkan harga ekspor karet spesifikasi teknis di negara produsen utama baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak responsif terhadap perubahan harga di pasar Amerika Serikat. Dari angka-angka elastisitas dapat diketahui bahwa harga ekspor karet spesifikasi teknis Indonesia lebih responsif terhadap perubahan harga di Amerika Serikat dibandingkan dengan dua negara produsen lainnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ermi Tety (2002) tentang penawaran dan permintaan karet alam Indonesia di pasar domestik dan internasional, analisis dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa peubah-peubah yang 40 berpengaruh terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor (AS, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan) adalah harga ekspor karet alam Indonesia, produksi, nilai tukar Rupiah terhadap US$, pajak ekspor, dan jumlah ekspor karet alam bedakala ke masing-masing negara. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap penawaran karet alam negara-negara pesaing Indonesia yaitu Thailand dan Malaysia adalah harga ekspor karet alam, produksi, dan nilai tukar mata uang negara pengekspor. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku impor dari ke empat negara utama yaitu Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan adalah harga impor karet alam, harga impor karet sintetis, nilai tukar, pendapatan perkapita masing-masing negara, dan jumlah impor bedakala masing-masing negara. Untuk harga karet alam internasional dipengaruhi oleh rasio total permintaan impor dan total penawaran ekspor serta harga karet internasional bedakala Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap komoditas karet alam memberikan gambaran mengenai faktor-faktor atau peubah-peubah yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga karet alam. Pada penelitian-penelitian tersebut terdapat perbedaan dalam model yang digunakan, peubah dalam setiap persamaan, metode pendugaan parameter yang digunakan, dan data yang dianalisis. Hal tersebut menyebabkan penelitian satu dengan penelitian lainnya memiliki perbedaan dalam hasil analisis. Kesimpulan umum yang dapat diambil dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai karet alam di atas adalah: 41 1. Model ekonometrika ekspor karet alam yang dibangun sebagian besar merupakan formulasi dari model persamaan parsial dan model persamaan simultan. 2. Data deret waktu dari variabel yang digunakan untuk perhitungan pendugaan dalam penelitian-penelitian tersebut diasumsikan stasioner. 3. Karet alam yang dianalisis kebanyakan dianggap sebagai satu jenis mutu komoditas, sedangkan harga karet alam didasarkan pada harga jenis lateks. Berdasarkan kesimpulan di atas maka penelitian ini mencoba untuk menganalisis perdagangan karet alam dengan menggunakan model ekonometrika dinamis. Bentuk pendekatan ekonometrika dinamis yang dapat mengatasi masalah ketidakstasioneran adalah dengan menggunakan metode kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Kointegrasi digunakan untuk memisahkan spesifikasi dan estimasi dari hubungan ekonomi jangka panjang dan penyesuaian dinamis jangka pendek yang menuju ke keseimbangan jangka panjang. Sedangkan ECM digunakan untuk menyediakan suatu pendekatan dalam menghadapi masalah non stasioner dari time series dan spurious correlation serta mengatasi kelemahan teori ekonomi dalam mengidentifikasi pola waktu dan penyesuaian dinamis (dynamic adjustment) dari proses pencapaian keseimbangan jangka panjang. Sehingga dengan demikian dapat diketahui berapa lama suatu perubahan memberikan dampak terhadap arus perdagangan karet alam Indonesia. Metode ini telah dipakai dalam berbagai penelitian untuk masalah-masalah perdagangan internasional antar negara. Cantavella et al. (2001) melakukan penelitian mengenai perdagangan negara-negara Uni Eropa dengan MERCOSUR dan NAFTA. Penelitian ini 42 bertujuan untuk menganalisis perbedaan yang sangat signifikan dalam perilaku ekspor negara-negara Uni Eropa ke kawasan kerjasama regional di Amerika (MERCOSUR dan NAFTA). Analisis dilakukan dengan mengestimasi fungsi permintaan ekspor untuk periode 1967-1995. Hasil yang diperoleh menunjukkan pola keseimbangan jangka panjang dari fungsi permintaan ekspor negara-negara Uni Eropa ke kawasan MERCOSUR dan NAFTA. Dalam penelitian ini ECM digunakan untuk menduga penyesuaian atau adjustment variabel-variabel menuju keseimbangan jangka panjang. Ekspor negara-negara Uni Eropa menunjukkan beragam perilaku arus perdagangan ke negara-negara MERCOSUR dan NAFTA yang ditunjukkan oleh perbedaan dalam elastisitas harga dan pendapatan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Niemi (2003) adalah mengenai model ekonometrika untuk peramalan arus perdagangan di pasar negara-negara Uni Eropa untuk ekspor produk pertanian ASEAN. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun suatu susunan dinamis model ekonometrika berdasarkan teori yang dapat menangkap dampak jangka pendek dan jangka panjang dari perubahan pendapatan dan harga, serta yang dapat digunakan untuk prediksi dan simulasi kebijakan dalam berbagai kondisi alternatif yang diasumsikan. Pendekatan ekonometrika yang digunakan adalah ECM dengan tujuan untuk menekankan pada fungsi perdagangan dinamis. Model ekonometrik dibangun untuk tujuh komoditas pertanian yaitu ubi kayu, coklat, kelapa, kelapa sawit, lada, karet, dan teh. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kointegrasi dan ECM tepat untuk mempelajari arus perdagangan yang memiliki data deret waktu non stasioner. Hasil keseluruhan estimasi fungsi permintaan impor untuk komoditas pertanian yang tercakup dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat respon permintaan 43 yang relatif lemah terhadap perubahan pendapatan di Uni Eropa. Hasil tersebut juga menunjukkan sifat dasar respon harga yang inelastis pada permintaan impor di Uni Eropa. Implikasi kebijakan dalam bentuk tarif dan non tarif ternyata tidak terlalu signifikan di dalam merubah kuantitas impor yang diminta. Pada penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) mengenai pangsa sektor pertanian jangka panjang dan dinamika ekspor pertanian, digunakan aplikasi ECM dan VECM. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebijakan yang dilakukan dari sisi supply berpotensi untuk dapat meningkatkan kinerja ekspor dari komoditas pertanian tradisional begitu pula dengan non tradisional. Pangsa pertanian jangka panjang adalah sebelas persen, dimana transisi kearah tersebut harus dipersiapkan dengan baik terutama industri agar dapat meningkatkan serapan surplus tenaga kerja dari pedesaan, menampung produkproduk pertanian dan meningkatkan prasarana pemasaran. Berdasarkan penelitian ini ternyata metode yang digunakan potensial untuk peramalan berbagai komoditas dengan sistem berukuran kecil, evaluasi kebijakan, dan untuk meneliti mekanisme transmisi harga. 44 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Permintaan Importir diasumsikan melakukan pilihan diantara berbagai alternatif yang tersedia dalam pola perilaku tertentu yang memberikan kepuasan terbesar dari mengkonsumsi suatu komoditi tertentu (Henderson dan Quandt, 1980). Preferensi importir untuk memutuskan memesan suatu komoditi yang berasal dari berbagai negara yang berbeda dapat dijelaskan dengan pendekatan fungsi utilitas oleh Leontif dan Sono dalam Niemi (2003). Menurut pendekatan ini, pengambilan keputusan impor dapat dibagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama importir memutuskan berapa banyak akan mengkonsumsi komoditi Q dan komoditikomoditi lain yang dikelompokkan dalam satu gabungan dengan notasi numeraire N. Keputusan ini didasarkan kepada total pengeluaran dan harga komoditi tersebut. Kedua, pilihan dibuat mengenai berapa banyak akan mengkonsumsi suatu komoditi dari berbagai sumber (Q1, …, Qn). Komoditi yang diimpor dari sumber yang berbeda dianggap sebagai komoditi yang berbeda. Fungsi utilitas agregat yang digunakan adalah dalam bentuk constant elasticity of substitution (CES) untuk mengurangi parameter yang harus diestimasi sehingga model menjadi lebih sederhana dan mudah dikontrol (Winters dalam Niemi, 2003). Permintaan Impor Persamaan permintaan impor berasal dari maksimisasi persamaan utilitas dengan kendala anggaran. 45 Max : U ( M j , N j ) = [π j M αj + (1 − π j ) N αj ]1 α ...................................... (3.1) Kendala : Pj M j + N j = Y jn .................................................................. (3.2) dimana: U = total utilitas importir M j = kuantitas dari komoditas tertentu yang diimpor oleh negara j N j = kuantitas komoditas lain yang diimpor oleh negara j Pj = harga rata-rata komoditas yang diimpor oleh negara j Y jn = pendapatan nominal negara j α = nilai constant elasticity of substitution antar sektor komoditas α < 1 dan 0 < π < 1 Maksimisasi persamaan utilitas dilakukan oleh Niemi (2003) dengan metode Lagrange. Hasil dari maksimisasi tersebut diperoleh persamaan permintaan impor untuk negara j sebagai berikut:  Pj M dj = b1Y j  D ï£ j     ε mp .............................................................................. (3.3)  Pj dan N j = (1 − b1 )Y j  D ï£ j     ε np ................................................................ (3.4) dimana: [ b1 = (1 − π j ) π j ]( 1 1−α ) , Y j = Y jn D , ε mp = 1 (α − 1) Y j = pendapatan riil negara j D j = deflator negara j ε mp = elastisitas harga permintaan impor untuk komoditi M 46 ε np = elastisitas harga permintaan impor untuk komoditi N Permintaan Ekspor Persamaan permintaan ekspor dapat dibangun dari maksimisasi persamaan utilitas untuk pembelian jenis komoditas yang sama dengan pemasok yang berbeda. Setelah didapatkan tingkat pengeluaran Ymn untuk komoditas M, maka maksimisasi utilitas dari berapa banyak komoditi tersebut dibeli dari berbagai alternatif pemasok yang dimisalkan dengan eksportir i dan pesaingnya k ke pasar di negara importir j dengan harga ekspor Pi dan Pk yang diperlihatkan oleh persamaan berikut: Max : U m ( X 1 ,..., X n ) = [π ij X ijβ + (1 − π ij ) X kjβ ]i β ................................. (3.5) Kendala : Pij X ij + Pkj X kj = Ymjn ............................................................ (3.6) dimana: Ymjn = anggaran untuk pembelian komoditas M oleh negara j X ij = kuantitas komoditas yang diekspor dari negara i ke negara j π ij = pangsa pasar relatif eksportir i di pasar j β = nilai constant elasticity of substitution dalam suatu sektor komoditas β < 1 dan n ∑π i =1 ij =1 Maksimisasi persamaan utilitas diatas yang dilakukan oleh Niemi (2003) dengan metode Lagrange menghasilkan persamaan permintaan ekspor dari negara i dan pesaingnya k adalah sebagai berikut: 47 X ijd  Pij = b2 M j  P ï£ j dan X d kj ε xp   ............................................................................. (3.7)    Pkj = (1 − b2 ) M j  P ï£ j     ε xp .............................................................. (3.8) dimana: [ b2 = (1 − π ij ) π ij ]( 1 1− β ) , ε xp = 1 (β − 1) , pangsa pasar eksportir Pij = harga komoditas yang di impor dari negara i ke negara j Pj = harga rata-rata dari komoditas yang diimpor negara j ε xp = elastisitas harga dari permintaan ekspor 0 < b2 < 1 Tingkat dimana importir akan melakukan substitusi ekspor dari pemasok i dengan pemasok lain misalkan k, dimana k = 1, …, n-1, untuk menjaga jumlah total impor komoditi M yang tetap adalah sama dengan marginal rate of substitution. ∂X kj ∂X ij  π ij = 1− π ij ï£ ï£¶ï£« X ij   X ï£¸ï£ kj     β −1 ................................................................... (3.9) Permintaan Dunia Konsumsi sisa dunia (rest of the world) dinotasikan oleh C row yang merupakan gabungan dari konsumsi selain yang diimpor oleh pasar j. Permintaan ini dibangun dari konsumsi domestik komoditi yang diproduksi sendiri oleh pasar j, konsumsi domestik dari negara-negara eksportir i, dan permintaan impor dari pasar selain j. Asumsi yang digunakan adalah elastisitas substitusi dari semua 48 konsumen konstan. oleh karena itu persamaan konsumsi sisa dunia memiliki kemiripan dengan persamaan permintaan impor yang diperlihatkan oleh rumus berikut: C row P = b3Yrow  row ï£ Drow εp   ....................................................................... (3.10)  Total konsumsi dunia dapat dihasilkan dari penjumlahan kuantitas yang diminta oleh importir dan konsumsi sisa dunia yang ditunjukkan oleh persamaan berikut: m C = ∑ M j + C row ............................................................................. (3.11) j =1 dimana permintaan impor M j diperoleh dari persamaan (3.1) sedangkan konsumsi sisa dunia C row diperoleh dari persamaan (3.10). 3.1.2. Penawaran Secara tradisional penawaran dipengaruhi oleh perubahan harga dan perubahan faktor-faktor lain selain harga. Variabel harga yang digunakan biasanya dalam bentuk harga relatif yang dapat diartikan sebagai harga yang dibayarkan relatif terhadap harga yang diterima, atau harga output relatif terhadap harga input (Henderson dan Quandt, 1980). Selain harga terdapat faktor lain seperti kondisi cuaca, kepemilikan sumber daya, teknologi, pertumbuhan GDP, dan pertumbuhan populasi yang juga penting dalam menjelaskan penawaran komoditas pertanian. 49 Penawaran Impor Total penawaran dari komoditas yang diimpor ke pasar j tergantung pada situasi baik di negara-negara pemasok maupun di negara pengimpor itu sendiri. Pemasok luar negeri adalah semua produsen kecuali yang ada di negara importir. Jumlah yang ingin di supply oleh produsen dipengaruhi oleh harga di pasar dunia relatif terhadap tingkat harga umum. Selain itu juga dipengaruhi oleh cadangan mata uang luar negeri di negara importir dan rasio harga impor dan harga dunia. Persamaan penawaran impor untuk pasar j menurut Lord dalam Niemi (2003) adalah sebagai berikut: M sj = A( Pw Dw ) 1 (Pj Pw ) 2 FEX δj 3 .................................................. (3.12) δ δ dimana: M sj = penawaran impor di negara j Dw = tingkat harga umum dunia Pj = harga impor di pasar j Pw = harga dunia FEX j = cadangan mata uang luar negeri di negara j Penawaran impor negara j tergantung pada harga dunia dari komoditi yang diperdagangkan yang mana mempengaruhi ketersediaan penawaran. Selain itu juga dipengaruhi oleh harga impor relatif komoditas tersebut dan cadangan mata uang luar negeri. Impor satu komoditas tertentu hampir tidak dipengaruhi oleh perubahan dalam cadangan mata uang luar negeri dari negara tersebut oleh karena itu elastisitasnya akan bernilai nol. Sedangkan elastisitas harga relatif penawaran 50 impor akan mendekati tak hingga karena importir tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga komoditi di pasar (Hickman dan Lau dalam Niemi, 2003). Harga impor dapat diperoleh dari invers persamaan penawaran impor. Invers penawaran menunjukkan bahwa harga impor mempunyai respon yang proportional terhadap pergerakan dalam harga dunia dari komoditi tersebut. Pj = b4 Pw ......................................................................................... (3.13) Konstanta b4 menunjukkan perbedaan antara kedua harga tersebut. Pada pasar yang kompetitif, harga dari komoditas yang identik dan dinyatakan oleh mata uang yang sama, dalam jangka panjang akan sama di dalam perdagangan internasional. Namun adanya biaya transportasi, tarif, perbedaan metode dalam penilaian, perjanjian pembelian dalam bentuk kontrak jangka panjang, informasi yang tidak sempurna, dan lain sebagainya, dapat menyebabkan tidak berlakunya hukum satu harga (Chu dan Krishnamurty dalam Niemi, 2003). Penawaran Ekspor Persamaan penawaran ekspor diperoleh dari proses minimisasi biaya yang diawali dengan penentuan persamaan produksi yang menunjukkan kombinasi input yang berupa kapital dan tenaga kerja untuk menghasilkan komoditi ekspor (Lord dalam Niemi, 2003). Persamaan produksi adalah sebagai berikut: X is = B( K ρ − Lρ )τ ρ ......................................................................... (3.14) dimana: B = exp(θ 0 + θ 1T + θ 2ψ ) T = variabel tren ψ = major disturbance 51 X is = kuantitas komoditas yang diekspor dari negara i K = jumlah kapital yang digunakan L = jumlah tenaga kerja yang digunakan ρ = nilai constant elasticity of substitution τ = return to scale ρ < 1 dan τ > 0 Fungsi produksi yang digunakan adalah dalam bentuk constant elasticity of substitution (CES). Maksimisasi yang dilakukan untuk mendapatkan persamaan ekspor terbagi dalam dua langkah. Pertama, adalah minimisasi biaya produksi pada tingkat ekspor tertentu. Kedua adalah pemilihan tingkat ekspor yang paling menguntungkan. Minimisasi biaya adalah sebagai berikut: Min : C = PK K + PL L ....................................................................... (3.15) Kendala : B ρ τ K ρ + B ρ τ Lρ = X ρτ ................................................... (3.16) dimana: C = biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi M PK = harga kapital PL = upah tenaga kerja Solusi dari masalah diatas yang dilakukan oleh Niemi (2003) dengan menggunakan metode Lagrange adalah: C = B 1 τ X 1 τ ( PKρ ( ρ −1) + PLρ ( ρ −1) ( ρ −1) ρ ) ............................................... (3.17) Eksportir memiliki kebebasan untuk memilih tingkat biaya dan output serta tujuan akhir dari maksimisasi keuntungan. Kuantitas produk yang akan di 52 supply oleh eksportir dihasilkan oleh first order condition dari maksimisasi profit. First order condition menghasilkan persamaan penawaran ekspor sebagai berikut: P X = b5  i ï£ Di s i γ   exp(Ï• 1T + Ï• 2ψ ) ........................................................ (3.18)  dimana : γ = τ (1 − τ ) , Ï• 1 = θ 1 (1 − τ ) , Ï• 2 = θ 2 (1 − τ ) Pi = harga nominal komoditas ekspor dari negara i Di = deflator negara i γ = elastisitas harga penawaran ekspor γ >0 Eksportir diasumsikan menghadapi decreasing return to scale dan penawaran ekspor memiliki slop positif. Penawaran Dunia Produksi sisa dunia dinotasikan oleh Qrow yang mencakup semua produksi selain yang diekspor oleh pasar j. Penawaran ini terdiri dari konsumsi domestik negara eksportir dan produksi dari semua negara. Asumsi yang digunakan adalah bahwa fungsi produksi dalam bentuk constant elasticity of substitution, maka persamaan penawaran sisa dunia memiliki persamaan dengan penawaran ekspor yang diperlihatkan oleh rumus berikut: γ Qrow P = b6   exp(σ 1T + σ 2W ) ....................................................... (3.19) ï£D dimana: γ > 0 dan σ 1 , σ 2 ≠ 0 53 Total penawaran eksportir dan produksi sisa dunia menghasilkan persamaan penawaran agregat. Q = ∑ i X is + Qrow ............................................................................ (3.20) Penawaran ekspor X is diperoleh dari persamaan (3.18), sedangkan output sisa dunia Qrow diperoleh dari persamaan (3.20). 3.1.3. Kebijakan Perdagangan Hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional disebut juga dengan kebijakan perdagangan. Hambatan terhadap perdagangan terbagi dalam dua bentuk yaitu (1) tarif, yang terkait dengan pengenaan pajak dan bea masuk pada barang yang diperdagangkan, dan (2) non-tarif, yang berkaitan dengan berbagai instrumen kebijakan yang kompleks untuk menyembunyikan motif proteksi. Kebijakan-kebijakan dalam perdagangan internasional baik yang dilakukan oleh importir maupun eksportir, dapat dijelaskan oleh analisis keseimbangan parsial. Analisis ini menggambarkan pertemuan dari penawaran dan permintaan antar negara yang menyebabkan terjadinya perdagangan. Tarif Impor Pemberlakuan kebijakan tarif impor biasanya digunakan untuk melindungi produsen dalam negeri. Analisis parsial menunjukkan bahwa tarif impor akan menyebabkan bergesernya kurva excess demand ED vertikal ke bawah menjadi EDt sebesar jumlah tarif yang dikenakan (Gambar 2). Hal ini berakibat kepada meningkatnya harga domestik dari komoditas impor di negara importir. 54 Tarif yang diberlakukan dapat diperlihatkan oleh persamaan permintaan impor maupun persamaan permintaan ekspor yang dinyatakan sebelumnya oleh persamaan (3.3) dan (3.7) menjadi persamaan berikut:  (1 + t ) Pj M dj = b1Y j   D j ï£ ï£¶    ε mp ................................................................... (3.21)  (1 + t ) Pij dan X ijd = b2 M j   (1 + t ) P j ï£ ï£¶    ε xp ........................................................... (3.22) dimana: t = tarif impor yang diberlakukan oleh negara j Tarif yang ditetapkan diasumsikan dalam bentuk tarif spesifik yang dikenakan sebagai beban tetap pada setiap unit barang yang di impor. Pajak Ekspor Pembatasan ekspor yang dilakukan oleh suatu negara umumnya dilakukan untuk menjaga ketersediaan komoditi dalam memenuhi kebutuhan domestik selain itu juga untuk mempengaruhi harga dunia jika negara eksportir merupakan pemasok besar komoditi tersebut. Seperti halnya tarif impor, pajak ekspor akan mempengaruhi harga di negara eksportir dimana menggeser kurva ES vertikal ke atas menjadi ESte sebesar jumlah tarif yang dikenakan yang berakibat pada penurunan penawaran (Gambar 3). Pajak ekspor akan mempengaruhi persamaan penawaran ekspor sehingga persamaan (3.18) akan menjadi: γ  P ' (1 − te)   exp(Ï• 1T + Ï• 2ψ ) ............................................... (3.23) X = b5  i Di ï£ ï£¸ s i 55 dimana: Pi ' = Pi * ER te = pajak ekspor yang diberlakukan oleh negara i Pengenaan pajak ekspor akan menyebabkan berkurangnya harga yang diterima produsen karena pajak tersebut akan meningkatkan biaya marginal. Bentuk pajak ekspor yang dibebankan adalah tarif spesifik dengan jumlah tertentu untuk setiap unitnya. Kuota Ekspor Pembatasan ekspor juga dapat dilakukan dengan pemberlakuan kuota yang merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diekspor dengan tujuan yang hampir sama dengan pajak ekspor. Kuota ekspor yang dilakukan oleh suatu negara menyebabkan kurva ES patah (Gambar 6) sehingga perdagangan terjadi dalam jumlah yang lebih sedikit dari sebelumnya. Hal ini berdampak pada peningkatan harga yang menyebabkan penurunan volume perdagangan. Kuota ekspor akan mempengaruhi persamaan penawaran ekspor menjadi sebagai berikut:  Pi ' X − qu = b5  ï£ Di s i γ   exp(Ï• 1T + Ï• 2ψ ) ................................................. (3.24)  dimana: qu = jumlah kuota ekspor yang diberlakukan negara i Pemberlakuan kuota yang merupakan pembatasan terhadap ekspor suatu komoditas tertentu oleh suatu negara secara langsung akan mengurangi penawaran ekspor komoditi terkait negara tersebut. Kebijakan ini dianggap lebih efektif dari 56 pada pajak ekspor dalam mengurangi ekspor, namun hal ini dapat menimbulkan penyelundupan. 3.2. Kerangka Operasional Karet alam adalah komoditas yang memberikan sumbangan bagi devisa negara dan memiliki prospek ekonomi yang cukup baik karena mampu bertahan selama masa krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Dalam konteks perkembangan ekspor dunia terlihat bahwa ekspor karet dunia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Sedangkan jumlah ekspor karet alam dari Indonesia cukup berfluktuasi dari tahun ke tahun namun secara umum mengalami pertumbuhan setiap tahun walaupun kecil. Hal ini menunjukkan peluang pasar bagi ekspor komoditas karet Indonesia masih terbuka. Perhatian yang ditujukan dalam upaya merespon peluang pasar karet alam ini tidak hanya dalam bentuk peningkatan produksi tetapi juga harus memperhatikan sisi perdagangan. Indonesia sebagai eksportir karet alam kedua terbesar di dunia memiliki pesaing yang cukup berat dalam merebut pangsa pasar ekspor karet alam yang berasal dari Thailand dan Malaysia sebagai eksportir pertama dan ketiga terbesar di dunia. Sedangkan pasar impor karet alam dikuasai oleh dua negara besar yaitu Amerika Serikat dan Jepang sebagai negara-negara tujuan ekspor karet alam utama. Amerika Serikat dan Jepang secara tradisional merupakan negara pengimpor utama karet. Data Departemen Perindustrian dan perdagangan menunjukkan bahwa impor karet alam Amerika Serikat cenderung meningkat secara perlahan. Sejalan dengan kenaikan impor, konsumsi karet alam juga mengalami peningkatan. Hal yang sama terjadi juga untuk Jepang. 57 Besarnya arus perdagangan karet alam dipengaruhi oleh adanya perubahan-perubahan dalam lingkungan perdagangan saat ini. Berbagai kebijakan-kebijakan perdagangan baik yang berasal dari negara-negara importir maupun yang dilakukan oleh negara-negara eksportir mengalami perubahan sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di lingkungan perdagangan. Putaran Uruguay merupakan langkah besar menuju liberalisasi dalam perdagangan internasional. Komoditas pertanian juga termasuk di dalam perjanjian liberalisasi tersebut. Liberalisasi pertanian mulai efektif dilaksanakan pada tahun 1995 setelah terbentuknya World Trade Organisation (WTO), dimana negara-negara maju berkomitmen untuk memperluas pasar, mengurangi bantuan domestik dan subsidi ekspor. Perkembangan dalam perdagangan internasional ini tentunya akan mempengaruhi arus perdagangan yang terjadi antar negara dengan dikuranginya tarif impor bagi komoditi karet alam ke negara-negara maju. Selain itu juga terdapat kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negaranegara eksportir seperti yang dilakukan oleh Indonesia dan Thailand sebagai negara eksportir utama karet alam yang sepakat untuk membentuk suatu kesepakatan bersama dalam upaya mengatasi fluktuasi harga karet alam yang masih berlanjut dimana harga karet alam cenderung turun dari tahun ke tahun. Program-program yang dilakukan adalah berupa pengurangan produksi karet alam dan pengurangan ekspor karet alam dalam jumlah tertentu untuk mendongkrak harga karet alam. Berdasarkan arus perdagangan karet alam yang terjadi antara Indonesia dan Thailand dengan Amerika Serikat dan Jepang serta adanya faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya arus perdagangan tersebut, maka dapat dibangun suatu 58 model pola perdagangan karet alam antar negara. Model pola perdagangan karet alam ini dapat digunakan untuk prediksi jika terjadi shock dalam perdagangan karet alam antar negara. Hasil prediksi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi bagi penyusunan kebijakan yang tepat dalam upaya peningkatan kinerja ekspor karet alam Indonesia. Secara umum alur kerangka berfikir dari penelitian ini dapat diperlihatkan oleh Gambar 7 berikut ini. Perubahan Lingkungan Perdagangan Harga Dunia Cenderung Fluktuatif Liberalisasi Perdagangan Eksportir Utama - Thailand - Indonesia Arus Perdagangan Karet Alam Importir Utama - Amerika Serikat - Jepang Kinerja Ekspor Karet Alam Indonesia Kebijakan Perdagangan dan Perubahan Lingkungan Ekonomi Fluktuasi Harga Karet Alam Model Arus Perdagangan Pola Perdagangan Karet Alam Indonesia dan Pesaing Perubahan Pendapatan di Negara Importir Kebijakan Perdagangan Karet Alam Indonesia Gambar 7. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian 59 3.3. Hipotesis Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan alur kerangka berfikir penelitian di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Terjadi pergeseran tren dalam perdagangan karet alam antara Indonesia dengan negara-negara utama pengimpor karet alam yaitu Amerika Serikat dan Jepang, dan negara pesaing utama yaitu Thailand, mengalami peningkatan. 2. Perubahan pendapatan di negara-negara importir dan perubahan harga dunia mempengaruhi hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan dan penawaran impor dan ekspor karet alam asal Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. 3. Perubahan kebijakan perdagangan dan lingkungan ekonomi mempengaruhi arus perdagangan karet alam antara Indonesia dan negara-negara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. 60 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data deret waktu (time series) triwulanan dari tahun 1995 sampai tahun 2004. Sumber dari data yang digunakan berasal dari berbagai terbitan, seperti Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pusat Statistik, International Monetary Fund, Gabungan Perusahaan karet Indonesia, International Rubber Study Group, dan sumbersumber data lain. Data-data yang digunakan dengan besaran dan sumbernya diperlihatkan oleh Tabel 8. Tabel 8. Data-Data yang Digunakan Data XSI XVI XSIA XSVIA XSIJ XSVIJ PI PSIA PSIJ ERIA ERIJ DI XST XVT XSTA XSVTA XSTJ XSVTJ PT PSTA PSTJ ERTA ERTJ DT Kuantitas ekspor karet alam Indonesia Nilai ekspor karet alam Indonesia Kuantitas ekspor karet alam Indonesia ke AS Nilai ekspor karet alam Indonesia ke AS Kuantitas ekspor karet alam Indonesia ke Jepang Nilai ekspor karet alam Indonesia ke Jepang Harga ekspor karet alam Indonesia Harga ekspor karet alam Indonesia ke AS Harga ekspor karet alam Indonesia ke Jepang Nilai tukar Rupiah terhadap USD Nilai tukar Rupiah terhadap Yen Indeks harga konsumen Indonesia Kuantitas ekspor karet alam Thailand Nilai ekspor karet alam Thailand Kuantitas ekspor karet alam Thailand ke AS Nilai ekspor karet alam Thailand ke AS Kuantitas ekspor karet alam Thailand ke Jepang Nilai ekspor karet alam Thailand ke Jepang Harga ekspor karet alam Thailand Harga ekspor karet alam Thailand ke AS Harga ekspor karet alam Thailand ke Jepang Nilai tukar Bhat terhadap USD Nilai tukar Bhat terhadap Yen Indeks harga konsumen Thailand 61 Besaran Kg Rupiah Kg US Dollar Kg Yen Rp/Kg USD/Kg Yen/Kg Rp/USD Rp/Yen Kg Bhat Kg US Dollar Kg Yen Bhat/Kg USD/Kg Yen/Kg Bhat/USD Bhat/Yen - Sumber Data Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo (diolah) Gapkindo (diolah) Gapkindo (diolah) Gapkindo (diolah) IFS-IMF IFS-IMF (diolah) IFS-IMF Bank of Thailand Bank of Thailand Bank of Thailand Bank of Thailand Bank of Thailand Bank of Thailand BOT (diolah) BOT (diolah) BOT (diolah) IFS-IMF IFS-IMF (diolah) IFS-IMF Tabel 8. Lanjutan Data Besaran Sumber Data MDA Kuantitas impor karet alam AS Kg USITC MVA Nilai impor karet alam AS US Dollar USITC XDIA Kuantitas impor karet alam AS dari Indonesia Kg USITC XDVIA Nilai impor karet alam AS dari Indonesia US Dollar USITC XDTA Kuantitas impor karet alam AS dari Thailand Kg USITC XDVTA Nilai impor karet alam AS dari Thailand US Dollar USITC PA Harga impor karet alam AS USD/Kg USITC (diolah) PDIA Harga impor karet alam AS dari Indonesia USD/Kg USITC (diolah) PDTA Harga impor karet alam AS dari Thailand USD/Kg USITC (diolah) YA GDP Amerika Serikat US Dollar IFS-IMF DA Indeks harga konsumen AS IFS-IMF MDJ Kuantitas impor karet alam Jepang Kg JRMA MVJ Nilai impor karet alam Jepang Yen JRMA XDIJ Kuantitas impor karet alam Jepang dari Indonesia Kg JRMA XDVIJ Nilai impor karet alam Jepang dari Indonesia Yen JRMA XDTJ Kuantitas impor karet alam Jepang dari Thailand Kg JRMA XDVTJ Nilai impor karet alam Jepang dari Thailand Yen JRMA PJ Harga impor karet alam Jepang Yen/Kg JRMA (diolah) PDIJ Harga impor karet alam Jepang dari Indonesia Yen/Kg JRMA (diolah) PDTJ Harga impor karet alam Jepang dari Thailand Yen/Kg JRMA (diolah) YJ GDP Jepang Yen IFS-IMF ERJA Nilai tukar Yen terhadap USD Yen/USD IFS-IMF DJ Indeks harga konsumen Jepang IFS-IMF PW Harga karet alam dunia USD/Kg IFS-IMF Keterangan: - Gapkindo : Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia - IFS-IMF : International Financial Statistics - International Monetary Fund - BOT : Bank of Thailand - USITC : United State International Trade Commission - JRMA : Japan Rubber Manufacturers Association - IRSG : International Rubber Study Group Data perdagangan karet alam yang digunakan secara spesifik untuk Indonesia berasal dari Gapkindo dan BPS. Data perdagangan Thailand berasal dari Bank Sentral Thailand. Untuk negara importir yaitu Amerika Serikat, data perdagangan karet alamnya berasal dari USITC, sedangkan Jepang datanya berasal dari JRMA. Untuk menjaga agar data yang digunakan konsisten maka dilakukan pengecekan silang dengan data perdagangan karet alam yang diterbitkan oleh IRSG. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. 62 Tabel 9. Definisi Variabel Nama Variabel MDA YA PADA MDJ YJ PJDJ XDIA PDIAPA XDIJ PDIJPJ XDTA PDTAPA XDTJ PDTJPJ PA PJ PW XSI PIDI XSIA PSIADI XSIJ PSIJDI XST PTDT XSTA PSTADT XSTJ PSTJDT Definisi Kuantitas impor KA Amerika Serikat GDP Amerika Serikat Harga impor riil KA Amerika Serikat Kuantitas impor KA Jepang GDP Jepang Harga impor riil KA Jepang Kuantitas impor KA AS dari Indonesia Harga relatif KA dari Indonesia ke AS Kuantitas impor KA Jepang dari Indonesia Harga relatif KA dari Indonesia ke Jepang Kuantitas impor KA AS dari Thailand Harga relatif KA dari Thailand ke AS Kuantitas impor KA Jepang dari Thailand Harga relatif KA dari Thailand ke Jepang Harga impor KA AS Harga impor KA Jepang Harga karet alam dunia Kuantitas ekspor KA Indonesia Harga ekspor riil KA Indonesia Kuantitas ekspor KA Indonesia ke AS Harga ekspor riil KA Indonesia ke AS Kuantitas ekspor KA Indonesia ke Jepang Harga ekspor riil KA Indonesia ke Jepang Kuantitas ekspor KAThailand Harga ekspor riil KA Thailand Kuantitas ekspor KA Thailand ke AS Harga ekspor riil KA Thailand ke AS Kuantitas ekspor KA Thailand ke Jepang Harga ekspor riil KA Thailand ke Jepang Keterangan PA*100/DA PJ*100/DJ PDIA/PA PDIJ/PJ PDTA/PA PDTJ/PJ PI*100/DI (PIAS/ERIA)*100/DI (PIJS/ERIJ)*100/DI PT*100/DT (PTAS/ERTA)*100/DT (PTJS/ERTJ)*100/DT Sedangkan variabel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data yang secara spesifik diperlihatkan pada Tabel 8. Variabel yang disusun meliputi dua negara eksportir karet alam utama yaitu Indonesia dan Thailand serta dua negara importir karet alam utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Variabel yang digunakan ada yang berasal dari data asli dan ada yang merupakan hasil olahan dari data asli. Variabel-variabel tersebut digunakan untuk membangun model persamaan permintaan impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang, persamaan permintaan ekspor karet alam dari Amerika Serikat dan Jepang ke 63 Indonesia dan Thailand, persamaan penawaran impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang, dan persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia dan Thailand. Secara lebih terinci, variabel yang digunakan diperlihatkan oleh Tabel 9. 4.2. Spesifikasi Model Model arus perdagangan karet alam antara negara-negara eksportir utama yaitu Indonesia dan Thailand dengan negara-negara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang disusun dalam suatu persamaan tunggal dengan bentuk constant elasticity of substitution yang diadaptasi dari persamaan dalam penelitian yang dilakukan oleh Niemi (2003). Model persamaan tersebut terbagi ke dalam empat kelompok yaitu permintaan impor, permintaan ekspor, penawaran impor, dan penawaran ekspor. Persamaan tersebut kemudian dilinierkan dalam bentuk logaritma. 4.2.1. Permintaan Impor Persamaan permintaan impor karet alam untuk Amerika Serikat dan Jepang yang dinyatakan dalam bentuk logaritma adalah sebagai berikut: LMDA = Lb1 + ε Ay LYA + ε Ap LPADA .................................................... (4.1) LMDJ = Lb1 + ε Jy LYJ + ε Jp LPJDJ ................................................... (4.2) dimana: ε y = elastisitas pendapatan ε p = elastisitas harga 64 Persamaan di atas merupakan bentuk linier dari persamaan permintaan impor (3.3) dimana sudah dipisahkan berdasarkan dua pasar karet alam berdasarkan negara importir yang berbeda. 4.2.2. Permintaan Ekspor Persamaan permintaan ekspor karet alam dari Amerika Serikat dan Jepang untuk Thailand dan Indonesia adalah sebagai berikut: p m LXDIA = Lb 2 + ε IA LMDA + ε IA LPDIAPA ........................................ (4.3) LXDIJ = Lb 2 + ε IJm LMDJ + ε IJp LPDIJPJ ......................................... (4.4) p m LXDTA = Lb 2 + ε TA LMDA + ε TA LPDTAPA ..................................... (4.5) m LXDTJ = Lb 2 + ε TJ LMDJ + ε TJp LPDTJPJ ...................................... (4.6) dimana: ε m = elastisitas permintaan impor ε p = elastisitas harga ekspor 4.2.3. Penawaran Impor Persamaan penawaran impor bertujuan untuk memperlihatkan berapa lama harga karet alam di negara importir mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada harga karet alam di pasar dunia. Oleh karena itu model penawaran impor karet alam untuk Amerika Serikat dan Jepang dapat dinyatakan oleh persamaan sebagai berikut: LPA = Lb3 + LPW ............................................................................. (4.7) 65 LPJ = Lb3 + LPW ............................................................................. (4.8) dimana: PW = harga karet alam di pasar dunia 4.2.4. Penawaran Ekspor Persamaan penawaran ekspor karet alam total untuk Thailand dan Indonesia dan ke pasar Amerika Serikat dan Jepang adalah sebagai berikut: LXSI = Lb5 + γLPIDI + Ï• 1T + Ï• 2ψ ................................................... ..(4.9) LXSIA = Lb5 + γLPSIADI + Ï• 1T + Ï• 2ψ ............................................. (4.10) LXSIJ = Lb5 + γLPSIJDI + Ï• 1T + Ï• 2ψ ............................................. (4.11) LXST = Lb5 + γLPTDT + Ï• 1T + Ï• 2ψ ................................................ (4.12) LXSTA = Lb5 + γLPSTADT + Ï• 1T + Ï• 2ψ .......................................... (4.13) LXSTJ = Lb5 + γLPSTJDT + Ï•1T + Ï• 2ψ ........................................... (4.14) dimana: T = variabel tren ψ = major disturbance 4.3. Prosedur Analisis Penerapan model ekonometrika dinamis didahului dengan melakukan pengujian terhadap data deret waktu yang digunakan. Pengujian yang dilakukan adalah uji untuk mengetahui kestasioneran suatu data deret waktu dan keterkaitannya dalam jangka panjang. Kemudian model yang dibangun diestimasi dan dilakukan uji diagnostik. 66 4.3.1. Uji Unit Root Pengujian unit root dilakukan untuk mengetahui apakah data deret waktu yang digunakan stasioner atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan uji DickeyFuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Uji Dickey-Fuller (DF) dilakukan dalam dua model yaitu: 1. Intersep tanpa trend ∆X t = α + δX t −1 + ∈t ……………………………………………………..(4.15) 2. Intersep dan trend ∆X t = α + βt + δX t −1 + ∈t ………………………………………………...(4.16) Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) juga dilakukan dalam dua model menurut Seddighi (2000) yaitu dengan: 1. Intersep tanpa trend q ∆X t = α + δX t −1 + ∑ δ j ∆X t − j +1 + ∈t ……………………………………..(4.17) j =2 2. Intersep dan trend q ∆X t = α + βt + δX t −1 + ∑ δ j ∆X t − j +1 + ∈t …………………………….......(4.18) j =2 Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : δ = 0 Mengandung unit root H1 : δ < 0 Tidak mengandung unit root Penyisipan persamaan awal DF dengan beda kala dari variabel dependen (lagged difference) adalah untuk mengeliminasi kemungkinan autokorelasi pada error. Untuk mengetahui berapa banyak penambahan koefisien beda kala yang harus dimasukkan dalam persamaan digunakan kriteria Akaike information 67 criterion (AIC) dan Schawrtz criterion (SC). Kemudian nilai kritis hasil uji tersebut dibandingkan dengan nilai kritis MacKinnon 95 persen (α = 0.05). Jika t hasil uji ADF lebih negatif dari pada τ tabel MacKinnon, maka tolak H 0 yang berarti bahwa tidak terdapat unit root sehingga dapat disimpulkan data deret waktu tersebut stasioner. Hal ini juga berlaku sebaliknya, jika tidak dapat menolak H 0 maka dapat disimpulkan data tersebut tidak stasioner. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan uji derajat integrasi pada variabel yang dinyatakan mengandung unit root atau tidak stasioner pada derajat nol. Uji derajat integrasi penting untuk mengetahui berapa kali variabel harus didifference. Uji ini dilakukan dengan melakukan difference pada variabel non stasioner sampai hasil uji Dickey-Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF)-nya tidak lagi mengandung unit root atau berhasil menolak hipotesa nol yang berarti bahwa variabel stasioner pada derajat integrasi tersebut. 4.3.2. Uji Kointegrasi Pengujian kointegrasi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel dalam jangka panjang. Uji ini dapat dilakukan dalam dua kondisi, pertama jika terdapat beberapa variabel yang stasioner pada order yang sama I(1) atau setelah dilakukan first difference. Kedua, adalah jika kombinasi linier variabel-variabel dari model yang dibentuk stasioner pada I(0). Pengujian dilekukan dengan pendekatan Engle-Granger dan Johansen ( Seddighi, 2000). Langkah yang dilakukan pertama-tama adalah estimasi dengan OLS terhadap variabel-variabel dalam model yang berorder sama dalam keseimbangan jangka panjang sebagai berikut: 68 Yt = β 0 + β 1 X 1t + β 2 X 2t + ... + β k X kt + ∈t …………………………...(4.19) Langkah selanjutnya dari perhitungan di atas dihasilkan residual et sebagai estimasi dari equilibrium error ∈t . Kemudian dengan uji ADF residual tersebut diuji stasioner dalam bentuk persamaan OLS sebagai berikut: q ∆et = δet −1 + ∑ δ j ∆et − j +1 + υ t ………………………………………..(4.20) j=2 Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : δ = 0 Tidak ada kointegrasi H1 : δ < 0 Ada kointegrasi Jika tδ hasil uji ADF lebih negatif dari pada τ tabel MacKinnon, maka tolak H 0 yang berarti bahwa terdapat kointegrasi antara variabel-variabel tersebut, begitu pula sebaliknya. Hasil uji dapat diperoleh dari output program komputer Interactive Econometric Analysis Microfit 4.0 untuk Windows. 4.3.3. Metode Pendugaan Model Berdasarkan hasil uji unit root dan kointegrasi yang dilakukan, model dasar dari permintaan impor, permintaan ekspor, penawaran impor, dan penawaran ekspor karet alam dapat diestimasi. Metode estimasi model yang diterapkan adalah metode Ordinary Least Squares (OLS) karena model yang diestimasi dalam bentuk persamaan tunggal. Semua pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer Interactive Econometric Analysis Microfit 4.0 untuk Windows. 69 4.3.4. Uji Diagnostik Uji diagnostik terhadap model dilakukan untuk menguji apakah model sudah signifikan dan tidak melanggar asumsi-asumsi klasik dari model regresi linier. Pengujian dilakukan untuk mengetahui serial correlation, functional form, normality, dan heteroscedasticity. Lagrange Multiplier Test Metode pengujian ini adalah uji umum untuk mengetahui keberadaan autokorelasi dengan mendeteksi order dari autokorelasi. Semakin banyak jumlah observasi yang tersedia maka hasil uji ini akan semakin baik (Seddighi, 2000). Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H 0 : ρ1 = ρ 2 = ρ 3 = ρ 4 = 0 H 1 : H 0 tidak benar Uji statistik yang dilakukan adalah dengan uji chi square ( χ 2 ) . Jika dengan menggunakan tingkat signifikansi 5 persen χ 2 > χ 2 (critical value 5%), maka tolak H 0 pada taraf nyata 5 persen yang berarti bahwa terdapat autokorelasi. Hal tersebut berlaku pula untuk sebaliknya. Selain untuk menguji autokorelasi LM test juga digunakan untuk menguji heteroskedastisitas dari ragam error (Thomas, 1997). Hipotesis yang digunakan adalah: H 0 : error homoskedastik H 1 : error heteroskedastik 70 Uji statistik yang dilakukan adalah uji chi square ( χ 2 ) . Jika dengan menggunakan tingkat signifikansi 5 persen χ 2 > χ 2 (critical value 5%), maka tolak H 0 pada taraf nyata 5 persen yang berarti bahwa terdapat masalah heteroskedastik dimana ragam error tidak konstan. Hasil tersebut juga berlaku sebaliknya. RESET Ramsey regression specification error test (RESET) digunakan untuk menguji apakah ada variabel yang tidak dimasukkan ke dalam model dalam artian terjadi kesalahan dalam functional form dimana kesalahan tersebut tertangkap oleh random term dari dependen variabel (Seddighi, 2000). Pengujian diawali dengan mengestimasi persamaan yang telah diretriksi. Hipotesis yang digunakan adalah untuk menguji keberadaan parameter dari variabel yang digunakan untuk meretriksi model. Uji statistik yang dilakukan adalah uji chi square ( χ 2 ) . Jika dengan menggunakan tingkat signifikansi 5 persen χ 2 > χ 2 (critical value 5%), maka pada taraf nyata 5 persen ada variabel yang tidak dimasukkan ke dalam model dan tertangkap oleh random term sehingga model belum tepat. Jarque-Bera Test Pengujian ini dilakukan untuk menguji asumsi dari model regresi linier yaitu error terdistribusi normal. Uji JB dilakukan dengan memeriksa ketepatan dan kurtosis dari distribusi residual OLS (Seddighi, 2000). digunakan adalah: 71 Hipotesis yang H 0 : error terdistribusi normal H 1 : H 0 tidak benar Uji statistik yang digunakan adalah sebagai berikut:  µ 2 (µ / µ − 3) 2  JB = n  3 3 + 4 2  ………………………………………..(4.21) 24  6µ 2  dimana: JB = The Jarque-Bera Test µ 2 = ∑ ei2 / n µ 3 = ∑ ei3 / n µ 4 = ∑ ei4 / n Jika nilai JB yang dihasilkan lebih kecil dari pada nilai chi square ( χ 2 ) dengan derajat bebas 2, maka tidak dapat menolak H 0 yang berarti bahwa asumsi normalitas terpenuhi. 4.4. Simulasi Penerapan model ekonometrika yang telah dibangun dapat dilakukan dengan melakukan simulasi terhadap model persamaan yang telah diestimasi. Simulasi tersebut berupa perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebijakan perdagangan dan lingkungan ekonomi yang dilakukan untuk mengetahui dampak dari perubahan-perubahan tersebut terhadap dinamika dan arus perdagangan karet alam. Dalam penelitian ini skenario simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: 72 1. Peningkatan pendapatan domestik bruto negara importir sebesar 5 persen. Simulasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan yang terjadi pada pendapatan terhadap arus perdagangan karet alam. Besaran simulasi didasarkan pada rata-rata pertumbuhan pendapatan domestik bruto di negaranegara importir. 2. Peningkatan harga dunia sebesar 50 persen. Simulasi ini untuk melihat respon perubahan harga terhadap permintaan ekspor dan impor karet alam dengan besaran yang didasarkan pada penelitianpenelitian terdahulu. 3. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar sebesar 20 persen. Simulasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh pelemahan Rupiah dimana besarannya didasarkan pada rata-rata kondisi perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir. 4. Inflasi sebesar 10 persen di Indonesia. Simulasi ini didasarkan pada kondisi dan perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia dimana terjadi kecenderungan peningkatan inflasi . 5. Penerapan pajak ekspor sebesar 5 persen oleh Indonesia. Kebijakan perdagangan ini merupakan salah satu upaya dari negara-negara eksportir untuk menjaga kebutuhan domestik dan sebagai upaya untuk meningkatkan harga karet alam. Nilai tersebut didasarkan pada tingkat pajak ekspor karet alam yang pernah diterapkan oleh Indonesia. 6. Kombinasi 1 dan 2. 7. Kombinasi 3 dan 4. 8. Kombinasi 4 dan 5. 73 V. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KARET ALAM Karet alam merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan sebagai bahan baku industri strategis. Negara-negara berkembang pada umumnya merupakan penghasil karet alam yang berasal dari perkebunan-perkebunan negara, swasta, maupaun perkebunan rakyat. Sedangkan konsumen karet alam umumnya adalah negara-negara industri maju. Konsumsi karet alam terus meningkat seiring dengan peningkatan sektor industri dengan bahan baku karet seperti bola, sarung tangan, benang, alat kontrasepsi, kateter, dan ban. 5.1. Produksi Karet Alam Produksi karet alam dunia mengalami peningkatan sebesar 31.08 persen dari total produksi dunia pada tahun 1995 sebesar 6 040 juta ton menjadi 7 917 juta ton pada tahun 2003. Besar produksi karet alam dunia terkonsentrasi pada tiga negara produsen utama yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia dimana total produksi ketiga negara tersebut pada tahun 2003 mencapai 71 persen dari total produksi dunia. Pada tahun 1995 pangsa produksi karet alam Thailand adalah 29.9 persen, Indonesia sebesar 24.3 persen, dan Malaysia sebesar 18 persen dari total produksi karet alam dunia. Namun pada tahun 2003, Thailand berhasil meningkatkan pangsa produksinya menjadi 36.3 persen, sedangkan Indonesia dan Malaysia mengalami penurunan pangsa produksi menjadi masing-masing 22.7 persen dan 11.6 persen. Produksi karet alam dari masing-masing negara produsen secara umum mengalami peningkatan yang cukup besar untuk periode 1995-2003 (Tabel 10). 74 Peningkatan produksi karet alam terbesar dialami oleh Thailand yaitu sebesar 59.06 persen. Besarnya peningkatan tersebut terkait dengan keberhasilan pemerintah Thailand untuk meningkatkan produktivitas lahan karetnya yang mencapai 1 650 kg per hektar per tahun. Walaupun biaya produksi variabel karet alam Thailand lebih tinggi dari Indonesia karena upah buruh yang lebih mahal namun biaya produksi tetapnya jauh lebih rendah dari Indonesia. Selain itu juga karena adanya subsidi dari pemerintah untuk melindungi petani karet Thailand dari penurunan harga pada tahun 1997 yang menyebabkan petani setempat dapat mempertahankan produktivitasnya karena perkebunan karet alam di Thailand didominasi oleh perkebunan rakyat. Tingginya biaya produksi tetap dalam produksi karet alam Indonesia terkait dengan tingginya suku bunga serta pungutan-pungutan baik resmi mau pun tidak resmi. Tabel 10. Produksi Karet Alam dari Negara Produsen Utama Negara Thailand Produksi (000 ton) Pertumbuhan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Per tahun (%) 1 805 1 971 2 032 2 076 2 155 2 346 2 357 2 459 2 871 6.08 (29.9) (30.6) (31.5) (30.4) (31.6) (34.8) (32.9) (34.6) (36.3) Indonesia 1 467 1 527 1 505 1 714 1 599 1 501 1 607 1 632 1 798 (24.3) Malaysia India China Lainnya Dunia Sumber Keterangan (23.7) (23.3) (25.1) (23.5) (22.3) (22.4) (23.0) (22.7) 1 089 1 082 971 886 769 615 547 589 917 (18.0) (16.8) (15.0) (13.0) (11.3) (9.1) (7.6) (8.3) (11.6) 499 540 580 591 620 629 632 640 708 (8.3) (8.4) (9.0) (8.6) (9.1) (9.3) (8.8) (9.0) (8.9) 424 430 444 450 460 445 451 468 499 (7.0) (6.7) (6.9) (6.6) (6.8) (6.6) (6.3) (6.6) (6.3) 756 890 928 1 123 1 207 1 219 1 576 1 322 1 124 (12.5) (13.8) (14.4) (16.4) (17.7) (18.1) (22.0) (18.6) -0.07 4.53 2.09 6.21 (14.2) 6 040 6 440 6 460 6 840 6 810 6 740 7 170 7 110 7 917 : International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005. : Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa. 75 2.81 3.53 Pada kurun waktu 1995-2003 produksi karet alam Indonesia mengalami peningkatan dari 1 467 juta ton menjadi 1 798 juta ton atau meningkat sebesar 22.56 persen. Namun peningkatan tersebut kurang berarti jika dibandingkan dengan Thailand dan India yang dapat menggenjot produksinya dua kali lipat lebih besar dari Indonesia. Peningkatan produksi karet alam Indonesia yang kurang optimal disebabkan antara lain lambannya proses peremajaan kebun-kebun karet tua terutama pada perkebunan karet rakyat yang terkait dengan pembiayaan. Kebun karet alam Indonesia didominasi oleh perkebunan karet rakyat dimana para petani yang mengusahakannya tidak mempunyai dana yang cukup untuk meremajakan kebun karetnya yang sudah tua dan juga karena kekhawatiran akan kehilangan sumber mata pencaharian selama proses peremajaan karena hidup mereka sangat tergantung pada hasil sadapan. Selain itu, rendahnya peningkatan produksi juga disebabkan oleh rendahnya produktivitas kebun karet di Indonesia. Produktivitas perkebunan karet di Indonesia hanya setengan dari produktivitas perkebunan karet Thailand yaitu hanya 756 kg per hektar per tahun. Maraknya penebangan pohon karet dalam sepuluh tahun terakhir turut menjadi penyebab rendahnya produksi. Alasan penebangan pohon itu selain sebagai indikator prospek perkaretan dianggap kurang menguntungkan juga untuk mengalihkan tanaman ke kelapa sawit karena harga CPO yang lebih menggiurkan di pasar internasional. Berbeda dengan negara-negara produsen karet alam yang lain, Malaysia cenderung mengalami penurunan produksi. Produksi karet alam Malaysia yang pada tahun 1995 sebesar 1 089 juta ton turun 15.79 persen menjadi 917 juta ton pada tahun 2003. Penurunan produksi tersebut karena adanya konversi lahan 76 perkebunan karet menjadi perkebunan sawit karena sawit memberikan harga yang lebih menarik. Selain itu juga karena semakin mahalnya upah buruh sadap di Malaysia sehingga meningkatkan biaya produksi. Produksi karet alam dunia mengalami pertumbuhan positif sebesar 3.53 persen per tahun. Pertumbuhan produksi terbesar dicapai oleh Thailand yang dapat meningkatkan produksinya rata-rata 6.08 persen per tahun disusul oleh Indonesia dan India. Sedangkan Malaysia mengalami pertumbuhan produksi yang negatif atau menurun dengan rata-rata 0.07 persen per tahunnya. Namun produksi Malaysia kembali mengalami peningkatan sejak tahun 2002 terkait dengan peningkatan harga karet alam dunia mulai tahun tersebut. 5.2. Ekspor Karet Alam Ekspor karet alam dunia didominasi oleh negara-negara produsen utama yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Namun terjadi perubahan dalam kecenderungan ekspor dari negara-negara tersebut karena adanya perubahan dalam orientasi perdagangannya. Pada Tabel 11 diperlihatkan perubahan volume ekspor dan pangsa pasar dari beberapa eksportir karet alam dan total ekspor dunia untuk tiga tahun tertentu. Ekspor karet alam dari Indonesia mengalami peningkatan dari 1 324 juta ton pada tahun 1995 menjadi 1 453 juta ton di tahun 2001. Namun kontras dengan peningkatan volume ekspor tersebut, pangsa ekspor karet alam Indonesia justru mengalami penurunan dari 31.2 persen terhadap total ekspor dunia pada tahun 1995 menjadi 28.2 persen dari total ekspor dunia di tahun 2001. Sebaliknya negara Thailand mengalami peningkatan pangsa pasar dari 38.5 persen pada tahun 77 1995 menjadi 39.6 persen di tahun 2001. Begitu pula dengan Vietnam sebagai negara produsen karet alam baru dimana negara ini dapat meningkatkan pangsa pasarnya pada kurun waktu 1999-2001 sebesar 3.75 persen. Tabel 11. Volume dan Pangsa Ekspor Karet Alam dari Negara Eksportir Utama Negara Ekspor (000 ton) 1997 1998 1999 1 837 1 839 1 886 1995 1 636 1996 1 763 (38.5) (40.2) (40.1) (39.0) (40.4) (43.8) (39.6) Indonesia 1 324 1 434 1 404 1 641 1 495 1 379 1 453 (31.2) (32.7) (30.7) (34.8) (32.0) (27.9) (28.2) Malaysia 1 013 980 1 018 989 984 978 821 (23.8) (22.3) (22.2) (21.0) (21.1) (19.8) (15.9) Thailand Vietnam Lainnya Dunia Sumber Keterangan 2000 2 166 Pertumbuhan 2001 Per tahun (%) 2 042 3.96 82 195 194 191 230 269 293 (1.9) (4.4) (4.2) (4.1) (4.9) (5.4) (5.7) 195 18 127 50 75 148 551 (4.6) (0.4) (2.8) (1.1) (1.6) (3.0) (10.7) 4 250 4 390 4 580 4 710 4 670 4 940 5 160 1.97 -3.23 30.34 145.63 3.31 : International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005. : Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa. Seperti halnya dengan Indonesia, Malaysia juga mengalami penurunan pangsa ekspor karet alamnya namun penurunan tersebut terjadi lebih signifikan dari pada yang terjadi di Indonesia. Penurunan pangsa ekspor karet alam Malaysia merupakan akibat dari menurunnya ekspor karet alam Malaysia yang pada tahun 1995 sebesar 1 013 juta ton menjadi hanya sebesar 821 juta ton di tahun 2001. Penurunan ekspor karet alam Malaysia disebabkan oleh perubahan strategi perdagangan karet alam sejak awal tahun 1980-an dari mengekspor karet alam setengah jadi menjadi pengembangan industri produk barang jadi karet dalam negeri. Karet alam yang diproduksi Malaysia saat ini lebih ditujukan untuk memenuhi konsumsi industri dalam negeri dimana ekspor karet yang dilakukan Malaysia lebih pada produk jadi yang memberikan nilai tambah lebih baik dari pada ekspor karet alam mentah. 78 Grafik pada Gambar 8 menunjukkan fluktuasi volume ekspor karet alam Indonesia selama 15 tahun dari tahun 1990 sampai tahun 2004. Grafik tersebut terdiri dari total volume ekspor karet alam Indonesia, volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang. Kedua negara ini merupakan tujuan ekspor utama dan pasar tradisional karet alam Indonesia, maksudnya bahwa Amerika Serikat dan Jepang merupakan negaranegara yang secara historis sudah menjadi tujuan ekspor karet alam Indonesia 2000000 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 Total Ekspor Amerika Serikat 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 Jepang 1990 Volume Ekspor (000 ton) sejak lama. Tahun Gambar 8. Volume Ekspor Karet Alam Indonesia Sumber: Gapkindo, 2005. Ekspor karet alam Indonesia dalam kurun waktu lima belas tahun mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4.32 persen per tahunnya. Amerika Serikat dan Jepang sebagai negara tujuan ekspor tradisional Indonesia secara rata-rata mengusai 51 persen dari total volume ekspor karet alam Indonesia. Pertumbuhan rata-rata ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah sebesar 2.06 persen per tahun sedangkan ke Jepang sebesar 17.2 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasar ekspor karet alam ke Jepang masih kecil sehingga memiliki peluang untuk dapat ditingkatkan untuk menambah pangsa pasar ekspor karet alam Indonesia ke Jepang. 79 3 2 1 4 20 0 20 0 20 0 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 20 0 20 0 19 9 19 9 19 9 19 9 19 9 19 9 19 9 19 9 19 9 0 Harga 19 9 Harga (US$/kg) 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 Tahun Gambar 9. Perkembangan Harga Rataan Ekspor Karet Alam Indonesia Sumber: Gapkindo, 2004. Harga ekspor rataan karet alam Indonesia berfluktuasi dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir diperlihatkan oleh Gambar 9. Titik terendah terjadi pada tahun 1993 yaitu hanya sebesar 0.08 US$/kg sedangkan titik tertinggi terjadi pada tahun 1995 yang mencapai 1.48 US$/kg. Untuk tiga tahun terakhir tren menunjukkan peningkatan harga, setelah sebelumnya harga kembali turun pada tahun 2001 yang terkait dengan pembubaran INRO (International Natural Rubber Organization). Pada saat dibubarkan, INRO melepaskan simpanan pengamannya (buffer stock) ke pasar sehingga terjadi peningkatan penawaran karet alam di pasar dunia yang berakibat pada tertekannya harga karet alam. Komposisi karet alam Indonesia berdasarkan jenis mutu diperlihatkan oleh Tabel 12. Secara umum ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh tiga jenis mutu karet alam yaitu karet spesifikasi teknis TSR (Technical Specified Rubber) yaitu dengan jenis mutu berdasarkan standar karet Indonesia atau SIR, karet sit RSS (Ribed Smoked Sheet), dan lateks. Berdasarkan tingkat kualitas maka dapat diurutkan dimana RSS merupakan jenis karet alam yang paling baik, kemudian disusul TSR. Kualitas karet alam ini biasanya didasarkan pada kandungan air dan 80 kotoran di dalam produk tersebut, semakin baik kualitas mutu karet alam berarti semakin rendah kandungan air dan kotoran dalam komoditi karet tersebut. Tabel 12. Komposisi Ekspor Karet Alam Indonesia Menurut Jenis Mutu Jenis RSS SIR 1995 65 1996 71 (4.9) (5.0) Ekspor (000 ton) 1997 1998 1999 2000 56 44 54 43 (4.0) (2.7) (3.6) (3.1) 2001 33 (2.3) Pertumbuhan 2002 Per tahun (%) 44 -2.98 (2.9) 1 231 1 337 1 325 1 579 1 425 1 322 1 405 1 436 Lateks Lainnya (93.0) (93.2) (94.4) (96.2) (95.3) (95.9) (96.7) (96.1) 22 21 18 15 10 10 10 9 (1.7) (1.5) (1.3) (0.9) (0.7) (0.7) (0.7) (0.6) 6 5 5 4 6 4 5 6 (0.5) (0.3) (0.4) (0.2) (0.4) (0.3) (0.3) (0.4) Total 1 324 1 434 1 404 1 642 1 495 1 379 1 453 1 495 Sumber Keterangan : Association of Natural Rubber Producing Countries, 2005. : Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa. 2.63 -11.26 3.57 2.09 Ekspor karet alam Indonesia untuk periode tahun 1990 sampai 2002 didominasi oleh jenis karet TSR dimana pada tahun 2002 mencapai 96.1 persen dari total ekspor. Sedangkan untuk jenis mutu karet RSS dan lateks mengalami penurunan dimana pada tahun 2002 ekspor karet alam jenis tersebut hanya sebesar masing-masing 2.9 dan 0.6 persen dari total ekspor karet alam Indonesia. Penurunan ekspor karet alam Indonesia untuk jenis mutu RSS terkait dengan meningkatnya permintaan industri terhadap jenis karet alam jenis spesifikasi teknis yang lebih siap pakai. Ekspor karet alam Indonesia yang didominasi oleh satu jenis mutu saja yaitu jenis SIR menunjukkan rendahnya diversifikasi produk ekspor karet alam Indonesia sehingga ekspor karet sangat ditentukan oleh pasar jenis karet spesifikasi teknis tersebut. Berbeda dengan komposisi ekspor karet alam Indonesia, ekspor karet alam asal Thailand lebih banyak didominasi oleh jenis karet alam sit asap atau RSS kemudian disusul dengan karet spesifikasi teknis sesuai dengan standar karet 81 Thailand atau STR dan selanjutnya adalah lateks. Pada Tabel 13 diperlihatkan komposisi ekspor karet alam Thailand berdasarkan jenis mutu serta pangsa masing-masing jenis mutu karet alam tersebut terhadap total ekspor karet alam dari Thailand. Tabel 13. Komposisi Ekspor Karet AlamThailand Menurut Jenis Mutu Ekspor (000 ton) 1995 1996 1997 1998 1999 2000 1 114 1 204 1 115 1 068 1 072 1 006 Jenis RSS STR Crepe Lateks Lainnya Pertumbuhan 2001 2002 Per tahun (%) 870 1 050 -0.31 (68.1) (68.3) (60.7) (58.1) (56.8) (46.4) (42.6) (44.6) 279 260 442 480 541 808 763 829 (17.1) (14.7) (24.1) (26.1) (28.7) (37.3) (37.4) (35.2) 6 3 2 3 32 42 4 6 (0.4) (0.2) (0.1) (0.2) (1.7) (1.9) (0.2) (0.3) 169 203 225 246 217 285 348 382 (10.3) (11.5) (12.2) (13.4) (11.5) (13.2) (17.0) (16.2) 68 93 53 42 24 25 57 87 (4.2) (5.3) (2.9) (2.3) (1.3) (1.2) (2.8) (3.7) Total 1 636 1 763 1 837 1 839 1 886 2 166 2 042 2 354 Sumber Keterangan : Association of Natural Rubber Producing Countries, 2005. : Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa. 19.56 132.02 13.10 16.42 5.58 Ekspor karet alam jenis RSS terus mengalami penurunan dimana pada tahun 1995 menguasai 68.1 persen pangsa ekspor sedangkan pada tahun 2002 hanya menguasai 44.6 persen dari pangsa ekspor dengan penurunan rata-rata per tahun sebesar 0.31 persen. Sedangkan untuk jenis mutu karet lainnya yaitu STR dan lateks terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata pertahunnya masing-masing sebesar 19.56 dan 13.10 persen. Komposisi ekspor ini menunjukkan diversifikasi ekspor karet alam Thailand yang baik sehingga tidak terlalu tergantung pada satu jenis mutu saja sehingga fluktuasi harga di suatu jenis mutu diharapkan tidak akan mengganggu pendapatan atau devisa dari ekspor karet alam yang dilakukan. 82 5.3. Konsumsi Karet Alam Konsumsi karet alam secara keseluruhan terus mengalami peningkatan per tahunnya namun pada beberapa pasar mengalami stagnasi konsumsi karet alam terkait dengan kejenuhan pasar di negara-negara importir tradisional. Perubahan konsumsi karet alam dunia untuk tahun 1995 sampai tahun 2003 diperlihatkan oleh Tabel 14 berikut ini. Saat ini konsumsi karet alam dunia di dominasi oleh Amerika Serikat, Jepang, dan China. Tabel 14. Konsumsi Karet Alam Dunia Negara Amerika Jepang China India Lainnya Konsumsi (000 ton) Pertumbuhan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Per tahun (%) 1 003 1 001 1 044 1 157 1 117 1 193 972 1 104 1 042 0.96 (16.7) (16.4) (16.1) (17.7) (16.8) (16.3) (13.8) (14.9) (13.3) 692 715 713 707 734 752 729 738 792 (11.5) (11.7) (11.0) (10.8) (11.0) (10.3) (10.4) (10.0) (10.1) 780 810 910 839 (13.0) (13.3) (14.1) (12.8) (12.8) (14.7) (17.3) (17.7) (19.3) 517 558 572 580 619 638 631 679 725 (8.6) (9.1) (8.8) (8.9) (9.3) (8.7) (9.0) (9.2) (9.2) 852 1 080 1 215 1 310 1 513 3 008 3 026 3 231 3 257 3 338 3 667 3 483 3 559 3 784 (50.1) Dunia (49.5) (49.9) (49.8) (50.1) (50.0) (49.5) (48.2) 9.06 4.36 3.00 (48.2) 6 000 6 110 6 470 6 540 6 660 7 330 7 030 7 390 7 856 Sumber: Keterangan: 1.75 3.50 International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005. Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa. Pada periode tahun 1995 sampai tahun 2003 terjadi peningkatan konsumsi karet alam dunia sebesar 30.93 persen. Konsumsi dari masing-masing negara konsumen karet alam juga mengalami peningkatan. Hal yang menarik terjadi pada China dimana antara tahun 1995 sampai 2003 terjadi peningkatan konsumsi karet alam yang cukup signifikan mencapai 93.97 persen bahkan lebih besar dari pada konsumsi Amerika Serikat. Tingginya peningkatan tersebut merupakan indikasi dari dinamisnya perekonomian di negara tersebut yang ditandai dengan tingginya 83 pertumbuhan ekonomi yang tercermin pada pertumbuhan produk domestik bruto China yang hampir mencapai 10 persen per tahunnya. Pertumbuhan konsumsi karet alam rata-rata dunia adalah sebesar 3.50 persen pertahunnya. Pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 9.06 persen dicapai oleh China yang disusul oleh India sebesar 4.36 persen per tahun. Amerika Serikat mempunyai pertumbuhan impor rata-rata terendah yaitu sebesar 0.96 persen dimana pada tahun 2003 menguasai 13.3 persen dari total konsumsi karet alam dunia. Munculnya China sebagai negara yang mengkonsumsi karet alam cukup besar menandai terjadinya pergesaran peta konsumsi karet alam dunia ke negaranegara berkembang terutama di pasar asia. Pasar karet alam di negara-negara maju mengalami kejenuhan sedangkan di negara-negara berkembang terjadi peningkatan permintaan yang cukup besar karena perkembangan industrialisasi dan pasar produk hasil olahan karet yang besar karena tingginya populasi penduduk di negara berkembang. 5.4. Impor Karet Alam Volume impor karet alam dunia pada Tabel 15 menunjukkan untuk periode tahun 1995 sampai tahun 2001 terjadi peningkatan impor sebesar 23.07 persen. Seperti halnya dengan konsumsi karet alam, impor karet alam dunia di dominasi negara-negara konsumen utama namun memiliki kecenderungan yang sedikit berbeda untuk negara-negara tertentu karena ada beberapa negara yang bukan importir absolut sebab mereka juga merupakan produsen karet alam yang cukup besar. 84 Amerika Serikat dan Jepang sebagai importir karet alam terbesar mengalami kecenderungan menurun pada periode 1995 sampai 2001 baik dalam jumlah maupun pangsa impornya. Pada tahun 1995 pangsa impor sebesar 24.3 persen namun pada tahun 2001 pangsa impornya turun menjadi 19.3 persen dari total impor karet alam dunia. Hal yang sama terjadi untuk negara Jepang dimana pada tahun 1995 pangsa impornya sebesar 16.5 persen dari total volume impor dunia namun pada tahun 2001 turun menjadi hanya 13.7 persen. Salah satu negara importir yang memiliki kecenderungan positif pada volume impor karet alamnya adalah China. Pada tahun 1995 dengan total impor sebesar 297 juta ton, China mempunyai pangsa impor karet alam sebesar 7.0 persen. Terjadi peningkatan volume impor China yang cukup besar pada tahun 2001 menjadi 943 juta ton dengan pangsa impor sebesar 18.1 persen dari total volume impor karet alam dunia. Tabel 15. Volume Impor Karet Alam Dunia Negara Amerika Jepang China Korea Lainnya Dunia Sumber: Keterangan: Impor (000 ton) 1997 1998 1999 1 044 1 177 1 116 Pertumbuhan 2001 Per tahun (%) 1 002 0.04 1995 1 026 1996 1 014 (24.3) (23.1) (23.5) (24.9) (23.7) (21.6) (19.3) 696 724 730 678 755 802 713 (16.5) (16.5) (16.4) (14.3) (16.1) (14.6) (13.7) 297 489 362 411 402 820 943 (7.0) (11.1) (8.2) (8.7) (8.5) (14.9) (18.1) 289 299 299 282 332 331 330 (6.8) (6.8) (6.7) (6.0) (7.1) (6.0) (6.3) 1 918 1 873 2005 2 188 2 097 2 361 2 213 (45.4) (42.6) (45.2) (46.2) (44.6) (42.9) (42.5) 4 226 4 399 4 440 4 736 4 702 5 506 5 201 2000 1 192 0.70 28.17 2.48 2.67 3.76 International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005. Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa. Fluktuasi total impor karet alam Amerika Serikat dan volume impor karet alam Amerika Serikat dari Indonesia dan Malaysia selama 10 tahun dari 1995 sampai 2004 diperlihatkan oleh Gambar 10. Secara umum terjadi peningkatan 85 total volume impor Amerika Serikat dimana tahun 1995 besarnya adalah 1 044 juta ton menjadi 1 158 juta ton pada tahun 2004 atau mengalami peningkatan Volume Impor (000 ton) sebesar 10.91 persen. 1400 1200 1000 Total 800 Indonesia 600 Thailand 400 200 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 10. Volume Impor Karet Alam Amerika Serikat Sumber: USITC, 2005. Impor karet alam Amerika Serikat di dominasi oleh karet alam yang berasal dari Indonesia dan Thailand. Impor karet alam Amerika Serikat dari Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 8.29 persen. Impor karet alam Amerika Serikat yang berasal dari Thailand untuk kurun waktu sepuluh tahun terakhir juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar 49.78 persen. Fluktuasi volume total impor karet alam Jepang dan impor karet alam Jepang dari Indonesia dan Thailand selama sepuluh tahun dari tahun 1995 sampai tahun 2004 diperlihatkan oleh Gambar 11. Volume total impor karet alam Jepang mengalami peningkatan dimana pada tahun 1995 besarnya impor karet alam Jepang adalah 696 juta ton menjadi 850 juta ton pada tahun 2004 atau mengalami peningkatan sebesar 22.12 persen. Peningkatan juga terjadi pada impor karet alam Jepang yang berasal dari Indonesia. Pada tahun 1995 impor karet alam Jepang dari Indonesia hanya sebesar 55 juta ton saja tetapi pada tahun 2004 jumlah impor 86 meningkat menjadi 225 juta ton dimana peningkatan tersebut besarnya mencapai 309.09 persen. peningkatan impor karet alam Jepang dari Indonesia yang cukup signifikan tersebut karena Indonesia dapat mengisi pasokan karet alam yang ditinggalkan oleh Malaysia yang telah mengurangi jumlah ekspor karet alamnya Volume Impor (000 ton) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 1000 800 Total 600 Indonesia 400 Thailand 200 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 11. Volume Impor Karet Alam Jepang Sumber: JRMA, 2005. Perubahan volume dan komposisi impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang untuk periode 1995 sampai 2004 diperlihatkan oleh Tabel 16. Volume impor karet alam Amerika serikat terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan pertahunnya sebesar 1.76 persen. Begitu pula dengan Jepang, volume impornya meningkat dengan pertumbuhan per tahun sebesar 2.49 persen dimana nilainya lebih tinggi dari pada pertumbuhan impor karet alam Amerika. Impor karet alam Amerika Serikat paling besar berasal dari Indonesia kemudian disusul oleh Thailand. Selama sepuluh tahun terakhir Impor karet alam Amerika Serikat dari Indonesia mengalami pertumbuhan per tahun sebesar 1.76 persen. Pada tahun 1995 Indoneia menguasai 60.1 persen dari pangsa Amerika Serikat namun pada tahun 2004 terjadi penurunan pangsa Indonesia menjadi 58.72 persen dengan pertumbuhan impor per tahunnya sebesar 1.27 persen. Sedangkan 87 Thailand pada tahun 1995 pangsanya di Amerika Serikat hanya sebesar 22 persen yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 29.68 persen pada tahun 2004 dengan pertumbuhan impor yang cukup baik mencapai 8.64 persen per tahunnya. Tabel 16. Volume dan Pangsa Impor Karet Alam Amerika Serikat dan Jepang Negara 1995 2000 2004 000 ton Pangsa (%) 000 ton Pangsa (%) Pertumbuhan 000 ton Pangsa (%) Per tahun (%) Amerika Serikat 1044 100.00 1231 100.00 1158 100.00 1.76 - Indonesia 627 60.10 608 49.39 679 58.72 1.27 - Thailand 229 22.00 368 29.90 343 29.68 8.64 - Lainnya 188 18.01 255 20.71 136 11.74 -1.31 696 100.00 803 100.00 850 100.00 2.49 - Indonesia 55 7.91 144 17.98 225 26.51 20.39 - Thailand 548 78.83 522 64.97 523 61.52 -0.29 - Lainnya 93 13.36 Sumber: USITC dan JRMA, 2005. 137 17.06 102 12.00 28.34 Jepang Pasar karet alam Jepang didominasi oleh karet alam asal Thailand disusul oleh Indonesia. Impor karet alam Jepang pada periode tahun 1995 sampai tahun 2004 mengalami pertumbuhan sebesar 2.49 persen per tahun. Pangsa karet alam Thailand di pasar Jepang pada tahun 1995 cukup besar yang mencapai 78.83 persen dari total impor Jepang namun pada tahun 2004 terjadi penurunan menjadi 61.52 persen dimana untuk periode 1995 sampai 2004 Thailand mempunyai pertumbuhan impor karet alam ke Jepang yang negatif yaitu sebesar 0.29 persen. Berbeda dengan Thailand, Impor karet alam Jepang yang berasal dari Indonesia terus mengalami peningkatan dimana untuk periode sepuluh tahun terakhir pertumbuhannya mencapai 20.39 persen per tahun. Pada tahun 1995 karet alam Indonesia hanya menguasai pangsa Jepang sebesar 7.91 persen tetapi pada tahun 2004 pangsa karet alam Indonesia di pasar Jepang naik menjadi 26.51 persen dari total impor karet alam Jepang. 88 5.5. Persetujuan dalam Perdagangan Karet Alam Internasional Karet alam adalah salah satu komoditi pertanian yang sudah cukup lama diperdagangkan di dunia. Masalah utama yang paling sering dihadapi dalam perdagangan komoditi ini adalah tingkat harga yang berfluktuasi bahkan cenderung menurun pada beberapa tahun terakhir. Fluktuasi harga umumnya terjadi karena perubahan dalam tingkat permintaan dan penawaran di pasar dunia sebagaimana sifat dasar dari komoditi pertanian primer yang dapat dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Selain itu juga karena ditemukannya karet sintetis yang penggunaannya semakin berkembang sebagai komoditi substitusi karet alam dalam proses produksi. Persetujuan dalam perdagangan karet alam internasional umumnya dilakukan dalam rangka mengatasi fluktuasi harga. Perjanjian internasional mengenai karet alam, pertama kali dicetuskan oleh komisi perdagangan dan pembangunan perserikatan bangsa-bangsa UNCTAD (United Nations Commision for Trade and Development). Perjanjian tersebut lebih dikenal dengan sebutan International Natural Rubber Agreement (INRA) yang pertama kali disetujui pada tahun 1979. Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk menstabilisasi harga karet alam di pasar internasional dalam jangka menengah atau jangka panjang sebagai dampak dari keseimbangan pertumbuhan permintaan dan penawaran. Instrumen yang dilakukan untuk mengintervensi pasar karet alam guna tercapainya tujuan dari perjanjian tersebut adalah dengan menetapkan persediaan penyangga (buffer stock). Kapasitas buffer stock yang disetujui adalah sebesar 550 ribu ton. Pelepasan dan pembelian buffer stock ini didasarkan pada harga referensi yang secara periodik disesuaikan dengan tren pasar dari harga karet alam. Untuk 89 mengatur pelaksanaan instrumen ini, dibentuklah organisasi karet alam internasional INRO (International Natural Rubber Organisation) yang beranggotakan negara-negara eksportir dan importir karet alam dunia untuk menjamin efektivitas instrumen yang dijalankannya. Perjanjian dalam bentuk INRA ini mengalami dua kali penyesuaian yaitu pada tahun 1987 dan 1995. Penyesuaian dilakukan dalam hal cara penentuan referensi harga untuk menghindari adanya kepentingan politis dari negara-negara tertentu. Negara-negara eksportir karet alam anggota INRO pada tahun 1998 mengusulkan peningkatan sebesar 5 persen pada harga referensi, terkait dengan krisis ekonomi dan mata uang yang menimpa negara-negara di Asia tenggara. Namun usulan tersebut ditolak oleh negara-negara importir karena bertentangan dengan tren pasar sebagai dasar penentuan harga referensi. Sebagai tangapan dari penolakan tersebut pada September 1999, tiga negara yaitu Malaysia, Thailand, dan Sri Lanka memutuskan untuk menarik diri dari INRA. Pada bulan Desember 1999, dewan INRO akhirnya memutuskan untuk melikuidasi organisasi ini dan buffer stock-nya menjadi sekitar 140 ribu ton. Produsen kemudian mengambil alih cadangan tersebut untuk mengatur penjualannya agar tidak merusak pasar sehingga anggota INRO mendapatkan harga yang adil. Dalam perkembangan selanjutnya, tugas, dan tujuan dari INRO untuk menciptakan pembangunan pasar karet alam internasional yang sehat, diambil alih oleh International Rubber Study Group (IRSG) yang bermarkas di London. Saat ini IRSG menjadi satu-satunya forum kerja sama internasional untuk komoditas karet alam. Fluktuasi harga karet alam yang masih berlanjut mendorong Indonesia, Malaysia, dan Thailand sebagai negara eksportir utama karet alam, sepakat untuk 90 membentuk International Tripartite Rubber Corporation (ITRO) melalui Deklarasi Bersama Menteri Negara Produsen Utama Karet Alam Dunia pada tanggal 12 Desember 2001. ITRO dipimpin oleh dewan pengurus dalm bentuk International Tripartite Rubber Councl (ITRC) yang beranggotakan orang-orang yang mewakili Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Organisasi baru ini bertujuan mengawasi perdagangan dan produksi karet untuk mendongkrak harga karet alam di pasar dunia. Kesepakatan ini direspon dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 58/MPP/Krp/I/2002 pada tanggal 31 Januari 2002 mengenai penugasan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) sebagai National Tripartite Rubber Corporation (NTRC). Program-program yang disetujui ITRO untuk mencapai tujuannya adalah dalam bentuk Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). SMS adalah program pengurangan produksi karet alam sebesar 4 persen yang dilaksanakan pada tahun 2002 dan 2003 dengan melakukan penanaman kembali (peremajaan), diversifikasi komoditi lain dan mengurangi penanaman baru. Sedangkan AETS adalah program pengurangan ekspor karet sebesar 10 persen yang dimulai pada 1 Januari 2002. Pelaksanaan programprogram ini akan mendapatkan pengawasan dari organisasi yang dibentuk, dimana efektivitasnya akan dievaluasi dalam rangka peningkatan harga karet. Penerapan kesepakatan ITRO kemudian ditunda karena pada pertengahan tahun 2002 harga karet alam membaik. Untuk melengkapi kerjasama ITRC, ketiga negara tersebut sepakat pada pertemuan tanggal 8 Agustus 2002 di Bali membentuk International Rubber Consortium Limited (IRCo). Fungsinya adalah sebagai pelengkap dari skema 91 stabilisasi harga SMS dan AETS. Tujuan IRCo adalah melakukan kegiatan strategic marked operation yang meliputi pembelian dan penjualan karet alam dan bisnis terkait lainnya. Perusahaan patungan IRCo berkantor pusat di Bangkok, Thailand. Sebagai shareholder dari perusahaan tersebut untuk pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan, untuk pemerintah Thailand diwakili oleh Menteri Pertanian dan Koperasi, dan untuk pemerintah Malaysia diwakili oleh Menteri Perusahaan Utama Malaysia (Anwar, 2005). Negara-negara ynag tergabung dalam ITRC sepakat untuk merem ekspor dan memangkas produksi karet alam. Untuk memastikan efektifitas berbagai skema yang direncanakan maka ITRC sepakat menetapkan harga referensi untuk dijadikan patokan dalam melakukan langkah intervensi baik berupa melepas atau menyerap pasokan karet alam. Harga referensi dalam kesepakatan awal adalah US$ 0.8 sampai US$ 1.2 per kilogram. Tingkat harga tersebut memiliki beberapa tahapan seperti halnya yang pernah diterapkan oleh INRO yaitu adanya tingkat untuk boleh beli (may buy), harus beli (must buy), boleh jual (may sell), dan harus jual (must sell). Pada pertengahan tahun 2003, pelaksanaan SMS dan AETS ditunda menyusul kenaikan harga karet alam di pasar dunia menyusul terjadinya perang Irak-Amerika Serikat yang menyebabkan naiknya harga minyak bumi sebagai bahan baku utama karet sintetis. Peningkatan harga juga dipicu oleh habisnya stok karet Amerika Serikat yang disimpan untuk periode 50 tahun pada Oktober 2002 sehingga perdagangan dibiarkan berjalan sesuai dengan mekanisme pasar. 92 5.6. Kebijakan Perdagangan Karet Alam Karet alam yang diperdagangkan saat ini umumnya sudah memasuki tahapan perdagangan bebas tanpa hambatan dengan mengikuti mekanisme pasar. Bagi negara-negara importir seperti Amerika Serikat dan Jepang, karet alam diperdagangkan tanpa adanya hambatan baik berupa tarif maupun non tarif. Tidak adanya pembatasan perdagangan karet alam di Amerika Serikat dan Jepang karena kedua negara tersebut merupakan kosumen absolut yang tidak dapat menghasilkan atau memproduksi karet alam sendiri sehingga jika dilakukan hambatan terhadap impor karet alam akan merugikan industri dalam negerinya. Upaya yang dilakukan oleh negara-negara importir dalam mendistorsi pasar adalah bukan dalam bentuk kebijakan perdagangan tetapi dalam bentuk penimbunan cadangan (stock). Pengadaan cadangan karet alam tersebut dilakukan baik oleh negara konsumen maupun oleh pabrik-pabrik besar. Menurut IRSG dalam Anwar (2005), cadangan karet alam dibedakan berdasarkan yang berada di negara-negara produsen dan konsumen serta afloat/carrying stock yang ada di pabrik-pabrik pengolahan barang jadi karet. Sejak tahun 1999 cadangan karet alam di negara-negara konsumen meningkat sedangkan di negara-negara produsen menurun, terkait dengan bubarnya INRO (International Natural Rubber Organization). Dengan tidak adanya stock INRO maka untuk berjaga-jaga terhadap ketidakpastian pasokan maka negara-negara konsumen melakukan kebijakan tersebut. Kebijakan perdagangan di negara eksportir yaitu Thailand adalah dalam bentuk tarif atau pajak eskpor. Kebijakan tersebut diberlakukan oleh Thailand dalam upaya untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik. Menurut Limbong 93 (1994), Thailand menerapkan pajak ekspor karet alam pada tingkat relatif tinggi, sedang dan rendah dalam tiga periode yaitu tahun 1969-1982, 1983-1988, dan 1989-1998. Setelah periode tersebut pajak ekspor yang dibebankan pemerintah Thailand terhadap eksportir karet alamnya adalah sebesar 0.9 Bhat per kilogram (Bisnis Indonesia, 2003). Indonesia pernah menerapkan pajak ekspor terhadap komoditas karet alam yaitu sebesar 10 persen pada periode tahun 1969-1975, kemudian sebesar 5 persen pada periode tahun 1976-1981 dan 0 persen sejak 1982 (Limbong, 1994). Saat ini ekspor karet alam Indonesia tidak dibebani oleh tarif atau pajak ekspor oleh pemerintah. Sedangkan untuk komodiats karet alam yang diimpor oleh Indonesia dikenai oleh pajak impor yang besarnya adalah 5 persen dengan tujuan untuk melindungi produsen dalam negeri. Hasil produksi karet alam Indonesia saat ini kurang bisa diserap oleh pasar domestik karena adanya pengenaan pajak pertambahan nilai. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjulan atas barang mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000, komoditas karet alam yang diperdagangkan di pasar domestik dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Hal ini menyebabkan bagi konsumen domestik karet alam impor menjadi lebih murah dari pada karet alam yang di produksi di dalam negeri. Berbagai upaya sedang dilakukan oleh masyarakat perkaretan Indonesia untuk merubah keputusan yang merugikan ini. Selain kebijakan perdagangan dalam hal pajak baik ekspor maupun impor, pemerintah juga mengeluarkan keputusan yang terkait dengan upaya distorsi 94 perdagangan karet alam melalui pembentukan International Tripartite Rubber Corporation (ITRO). Kesepakatan ini direspon dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 58/MPP/Krp/I/2002 pada tanggal 31 Januari 2002 mengenai penugasan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) sebagai National Tripartite Rubber Corporation (NTRC). 95 VI. DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM Dinamika ekspor karet alam diperlihatkan oleh hasil estimasi permintaan impor karet alam untuk Amerika Serikat dan Jepang, permintaan ekspor Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand, penawaran impor karet alam ke pasar Amerika Serikat dan Jepang, dan penawaran ekspor karet alam Indonesia dan Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang. Analisis yang dilakukan diawali dengan melakukan uji unit root pada data deret waktu untuk mengetahui stasioneritas data. Kemudian dilakukan uji kointegrasi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel dalam jangka panjang. Selanjutnya berdasarkan hasil uji tersebut dilakukan estimasi persamaan dalam bentuk error correction model (ECM) dan bentuk autoregresif. 6.1. Pengujian Unit Root Uji unit root dilakukan terhadap 29 variabel dari 14 persamaan. Langkah yang dilakukan diawali dengan melihat kriteria Schwartz Bayesion Criterion (SBC) terbesar dari nilai uji ADF untuk menentukan panjang lag optimal. Perintah uji unit root dan contoh hasil ujinya pada program Microfit dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Nilai statistik pada lag optimal kemudian dibandingkan dengan nilai kritis yang relevan. Jika nilai statistik lag optimal lebih negatif dari pada nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa variabel tersebut sudah stasioner. Hasil perhitungan uji DF dan ADF pada setiap variabel untuk model 1 dengan intersep tanpa tren dan model 2 dengan intersep dan tren ditampilkan pada Tabel 17. 96 Tabel 17. Hasil Uji Unit Root untuk Setiap Variabel Nama Variabel Model 1 Permintaan Impor LMDA -4.607 LYA -1.165 LPADA -1.857 LMDJ -4.704 LYJ -2.615 LPJDJ -1.562 Permintaan Ekspor Level Model 2 SBC -4.642 -1.724 -0.726 -5.963 -2.004 -0.749 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 3(0) 0(0) -4.603 -4.989 -5.098 -4.728 -4.569 -6.584 -5.203 -5.665 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) -4.222 -3.560 -2.165 -2.892 -3.812 -4.283 -3.703 -4.071 -3.292 -3.899 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) -8.128 -6.974 - -7.999 -6.887 - -4.462 LXDTJ -8.532 LPDTJPJ -2.006 Penawaran Impor -4.593 -8.477 -3.117 0(0) 0(0) 1(0) -7.651 -7.672 0(0) 0(0) 0(0) LPA -1.412 LPJ -1.546 LPW -0.946 Penawaran Ekspor -0.727 -0.688 -1.147 0(0) 0(0) 0(0) -4.954 -4.725 -5.548 -6.506 -5.611 -6.078 0(0) 0(0) 0(0) LXSI LPIDI LXSIA LPSIADI LXSIJ LPSIJDI LXST LPTDT LXSTA LPSTADT LXSTJ LPSTJDT -4.585 -2.795 -4.283 -2.912 -4.071 -2.322 -2.012 -1.375 -3.899 -1.706 -8.477 -1.365 0(0) 1(1) 0(0) 1(1) 0(0) 0(0) 3(3) 1(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) -4.851 -4.415 -8.128 -5.422 -9.037 -4.047 -6.742 -4.479 -4.914 -4.393 -7.999 -5.035 -8.908 -4.664 -7.572 -4.918 2(2) 0(0) 0(0) 0(2) 2(2) 0(0) 0(0) 0(0) LXDIA LPDIAPA LXDIJ LPDIJPJ LXDTA LPDTAPA -3.853 -2.951 -4.222 -3.064 -2.165 -2.440 -0.504 -1.615 -3.812 -1.594 -8.532 -1.122 First Difference Model 1 Model 2 SBC Keterangan: Taraf nyata yang digunakan dalam uji ADF adalah 5 persen dengan nilai kritis untuk variabel in level Model 1 adalah -2.9472 dan Model 2 adalah -3.5426, sedangkan untuk variabel first difference Model 1 adalah -2.9499 dan Model 2 adalah -3.5468. Berdasarkan hasil uji unit root dari 29 variabel ternyata terdapat 11 variabel yang tidak mengandung unit root atau sudah stasioner. Variabel yang stasioner adalah kuantitas impor karet alam Amerika Serikat, kuantitas impor 97 karet alam Jepang, kuantitas impor karet alam Amerika Serikat dari Indonesia, harga relatif impor karet alam dari Indonesia ke Amerika Serikat, kuantitas impor karet alam Amerika Serikat dari Thailand, harga impor relatif karet alamAmerika Serikat dari Thailand, kuantitas impor karet alam Jepang dari Thailand, kuantitas ekspor karet alam Indonesia, kuantitas ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat, kuantitas ekspor karet alam Thailand ke Amerika serikat dan kuantitas ekspor karet alam Thailand ke Jepang. Selanjutnya dilakukan uji integrasi pada 18 variabel lain yang belum stasioner pada derajat nol. Hasil uji integrasi yang dilakukan menunjukkan bahwa semua variabel yang diobservasi setelah di-difference satu kali berhasil menolak hipotesa nol. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut telah stasioner pada derajat satu. 6.2. Pengujian Kointegrasi Berdasarkan hasil uji unit root yang telah dilakukan sebelumnya seperti hasil yang diperlihatkan pada Tabel 17, maka dilakukan uji kointegrasi terhadap model persamaan permintaan dan penawaran impor dan ekspor yang sebagian besar dari variabelnya mengandung unit root atau tidak stasioner. Uji kointegrasi dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) dilakukan pada residual dari kombinasi variabel-variabel persamaan yang memenuhi syarat tersebut. Tujuh model persamaan yang diuji yaitu persamaan permintaan impor karet alam dari Amerika Serikat, persamaan permintaan impor karet alam Jepang, persamaan permintaan ekspor karet alam dari Jepang ke Indonesia, persamaan penawaran impor karet alam Amerika Serikat, persamaan penawaran impor karet 98 alam Jepang, persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang, dan persamaan penawaran ekspor karet alam total dari Thailand. Tabel 18. Hasil Uji Kointegrasi Uji ADF Model 1 Model 2 Model Persamaan Permintaan Impor LMDA, LYA LMDA, LYA, LPADA LMDJ, LYJ LMDJ, LYJ, LPJDJ Permintaan Ekspor LXDIJ, LMDJ LXDIJ, LMDJ, LPDIJPJ Penawaran Impor LPA LPW LPJ LPW Penawaran Ekspor LXSIJ, LPSIJDI LXST, LPTDT -4.214 -4.219 -5.518 -5.842 -4.557 -4.560 -6.352 -5.966 -5.115 -4.948 -5.120 -5.035 -4.758 -4.629 -5.825 -5.119 -5.373 -4.413 -5.307 -4.343 Keterangan: Taraf nyata yang digunakan dalam uji ADF adalah 5 persen dengan nilai kritis untuk variabel in level Model 1 adalah -2.9591 dan Model 2 adalah -3.5615. Hasil dari uji ADF pada residual untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel dalam jangka panjang dapat dilihat pada Tabel 18 di atas. Hasil uji kointegrasi yang telh dilakukan menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam persamaan yang diuji memiliki hubungan dalam jangka panjang pada taraf nyata 5 persen. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai statistik lag optimal yang lebih negatif dari pada nilai kritis MacKinnon yang berarti berhasil menolak hipotesa nol. Berdasarkan hasil uji kointegrasi ini dapat diambil kesimpulan bahwa ke tujuh model persamaan yang telah diuji tersebut dapat diestimasi dalam bentuk error correction model. 99 6.3. Permintaan Impor Karet Alam Model permintaan impor karet alam yang dibangun pada penelitian ini adalah berasal dari dua negara importir utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Secara umum spesifikasi persamaan ECM permintaan impor karet alam adalah sebagai berikut: dLMD j ,t = b0 + b1 dLY j ,t + b3 dLPj D j ,t + b4 ECM t −1 + ε t ……………….(6.1) tanda harapan: b1 > 0 , b3 < 0 , − 1 < b4 < 0 Persamaan (6.1) di atas memperlihatkan respon permintaan impor karet alam terhadap perubahan pada pendapatan dan harga impor riil karet alam di negara importir tersebut. 6.3.1. Permintaan Impor Karet alam Amerika Serikat Persamaan permintaan impor karet alam Amerika Serikat berdasarkan hasil estimasi adalah sebagai berikut: dLMDAt = −7.25 + 1.14dLYAt − 0.07 dLPADAt − 0.16dD3 − 0.97 ECM t −1 ……………..……………………………....(6.2) dimana: D3 = dummy pembubaran INRO Hasil estimasi yang lebih rinci bersama dengan hasil uji diagnostiknya untuk persamaan (6.2) di atas dapat dilihat pada Lampiran 4. Uji diagnostik dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah dalam serial autokorelasi, functional form, ketidaknormalan residual, dan heteroskedastisitas dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.54. Hasil dugaan persamaan 100 permintaan impor karet alam Amerika Serikat menunjukkan bahwa pendapatan Amerika Serikat yang diwakili oleh pendapatan domestik bruto berpengaruh nyata terhadap permintaan impor karet alam Amerika Serikat pada taraf nyata 5 persen baik dalam jangka pendek mau pun dalam jangka panjang. Sebaliknya hasil estimasi permintaan impor menunjukkan harga impor riil karet alam Amerika Serikat dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan impor karet alam Amerika Serikat pada taraf 5 persen. Kedua koefisien variabel penjelas menunjukkan tanda yang sesuai dengan harapan, yaitu positif untuk pendapatan yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendapatan Amerika Serikat maka semakin tinggi pula permintaan impor karet alamnya. Sedangkan tanda yang negatif untuk koefisien harga impor riil karet alam mengindikasikan pengaruh yang berlawanan dengan artian bahwa semakin tinggi harga impor riil karet alam Amerika Serikat maka respon dari permintaan impor karet alam Amerika Serikat menunjukkan arah sebaliknya yaitu menurun. Koefisien beda kala dari error correction term (ECT) menunjukkan nilai yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien adjustment dari permintaan impor karet alam Amerika Serikat yang dihasilkan cukup besar, mendekati satu yaitu sebesar 0.97. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan permintaan impor karet alam Amerika Serikat untuk kembali ke keseimbangan setelah terjadi perubahan pada harga impor riil karet alam Amerika Serikat dan pendapatannya, cukup cepat atau kurang lebih satu periode data yaitu dalam tiga bulan. 101 6.3.2. Permintaan Impor Karet Alam Jepang Hasil estimasi persamaan permintaan impor karet alam Jepang adalah sebagai berikut: dLMDJ t = 4.01 + 0.67 dLYJ t − 0.01dLPJDJ t − 0.98ECM t −1 …….……(6.3) Estimasi jangka panjang dan hasil uji diagnostik secara lebih lengkap diperlihatkan pada Lampiran 5. Koefisien determinasi (R2) dari dugaan persamaan permintaan impor karet alam Jepang adalah sebesar 0.51 dengan hasil uji diagnostik menunjukkan tidak adanya masalah autokorelasi, functional form, ketidaknormalan residual, dan heteroskedastisitas. Hasil estimasi persamaan permintaan impor karet alam Jepang menunjukkan bahwa pendapatan negara Jepang berpengaruh nyata terhadap permintaan impor karet alam Jepang baik dalam jangka pendek mau pun dalam jangka panjang pada taraf nyata 5 persen. Sedangkan untuk koefisien harga impor karet alam riil Jepang tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan terhadap permintaan impor karet alam Jepang dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Koefisien peubah pendapatan Jepang bertanda positif sesuai dengan harapan. Begitu pula dengan koefisien harga impor riil karet alam Jepang memiliki tanda yang sesuai dengan dugaan yaitu negatif. Koefisien ECT yang dihasilkan signifikan pada tingkat taraf nyata 5 persen dengan koefisien adjustment dari permintaan impor karet alam Jepang adalah sebesar 0.98, dimana nilai tersebut hampir sama besar dengan Amerika Serikat. Nilai ini menunjukkan besarnya kecepatan permintaan impor karet alam Jepang untuk kembali ke kondisi keseimbangan setelah terjadi perubahan terhadap pendapatan dan harga adalah selama 1.02 kali periode data. 102 6.3.3. Elastisitas Harga Impor Riil Karet Alam dan Pendapatan Respon jangka pendek dan jangka panjang permintaan impor karet alam terhadap perubahan pendapatan dan harga impor riil karet alam Amerika Serikat dan Jepang diperlihatkan oleh Tabel 19. Permintaan impor karet alam Amerika Serikat tidak responsif atau inelstis terhadap perubahan harga karet alam negara tersebut yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas harga baik jangka pendek maupun jangka panjang yang rendah dengan nilai yang lebih kecil dari satu. Tabel 19. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permintaan Impor Negara Elastisitas Harga Elastisitas Pendapatan Jangka Pendek Jangka Panjang Jangka Pendek Jangka Panjang ECT Amerika Serikat -0.07 -0.08 1.14 1.17 -0.97 Jepang -0.01 -0.02 0.67 0.68 -0.98 Dapat diartikan bahwa jika terjadi peningkatan harga karet alam di pasar Amerika Serikat sebesar sepuluh persen maka akan mengakibatkan penurunan permintaan impor karet alam Amerika Serikat dalam persentase yang lebih kecil dari perubahan harga. Namun jika dibandingkan antara elastisitas jangka pendek dengan elastisitas jangka panjangnya maka elastisitas jangka panjang lebih besar yang menunjukkan permintaan impor lebih responsif pada jangka panjang dari pada jangka pendek. Hal ini menurut Niemi (2003) memberikan implikasi bahwa kebijakan intervensi berupa hambatan tarif atau non tarif tidak terlalu efektif dalam merubah jumlah permintaan impor karet alam. Elastisitas harga impor riil karet alam Jepang dalam jangka pendek mau pun jangka panjang menunjukkan bahwa permintaan impor karet alam Jepang tidak responsif terhadap perubahan harga impor rill karet alam Jepang karena nilainya yang kurang dari satu. Permintaan impor karet alam Jepang menunjukkan respon negatif terhadap perubahan harga impor riil karet alam Jepang yang sesuai 103 dengan hipotesa awal. Respon negatif harga dapat diartikan bahwa peningkatan harga impor akan direspon dengan penurunan pada permintaan impor karet alam Jepang. Hasil estimasi yang menunjukkan tidak responsifnya permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang terhadap perubahan harga disebabkan oleh adanya cadangan karet alam yang umumnya dimiliki oleh negara-negara konsumen. Upaya pengadaan cadangan karet alam tersebut untuk mengantisipasi harga karet alam yang fluktuatif dan ketidakpastian pasokan karet alam karena adanya faktor cuaca. Cadangan karet alam dapat dibedakan berdasarkan yang ada di negara-negara produsen dan konsumen serta cadangan yang ada di pabrikpabrik pengolahan barang jadi karet atau disebut juga dengan afloat stock. Sejak tahun 1999 terjadi peningkatan cadangan karet alam di negara-negara konsumen, sedangkan cadangan di negara-negara produsen mengalami penurunan (IRSG, 2004). Permintaan impor karet alam yang tidak reponsif terhadap perubahan harga juga disimpulkan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Elwamendri (2000), menyatakan bahwa meskipun harga karet Amerika Serikat berpengaruh nyata pada taraf satu persen akan tetapi impor karet Amerika Serikat tidak responsif terhadap perubahan harga karet alam Amerika Serikat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal yang sama juga dihasilkan oleh penelitian Tety (2002), yang mengemukakan bahwa harga karet alam Amerika Serikat berpengaruh nyata terhadap impor karet alam Amerika Serikat pada taraf nyata sepuluh persen namun permintaan impornya tidak responsif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap perubahan harga karet alam Amerika 104 Serikat. Sedangkan harga impor karet alam Jepang inelastis dan tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan impor karet alam dengan tanda yang negatif. Permintaan impor karet alam Amerika Serikat responsif atau elastis terhadap perubahan pendapatan Amerika Serikat dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan tanda positif. Ini berarti bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat akan cenderung meningkatkan permintaan karet alam Amerika Serikat. Pertumbuhan pendapatan domestik bruto rata-rata per tahun dari Amerika Serikat untuk sepuluh tahun terakhir adalah antara dua sampai lima persen dimana pertumbuhan tersebut bersifat stabil. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Elwamendri (2000) dan Tety (2002) menunjukkan bahwa volume impor tidak responsif terhadap perubahan pendapatan di Amerika Serikat. Elastisitas pendapatannya berkisar antara 0.41 sampai 0.71. Perbedaan ini disebabkan oleh asumsi yang digunakan pada penelitian sebelumnya dimana data dianggap sudah stasioner sehingga koefisien yang dihasilkan tidak menunjukkan hubungan yang sebenarnya. Sedangkan permintaan impor karet alam Jepang walaupun berpengaruh nyata pada taraf lima persen namun tidak responsif terhadap perubahan pendapatan Jepang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas yang lebih kecil dari satu. Hasil penelitian Tety (2002) juga menunjukkan bahwa pendapatan Jepang berpengaruh pada taraf nyata satu persen namun responnya inelastis terhadap permintaan impor karet alam Jepang namun secara umum elastisitasnya lebih besar dari pada hasil penelitian ini. Respon impor karet alam Jepang yang inelastis terhadap pendapatan Jepang terkait dengan rendahnya pertumbuhan pendapatan Jepang dalam sepuluh tahun 105 terakhir dengan besar pendapatan rata-rata per tahunnya berada dibawah tiga persen bahkan sempat negatif mulai tahun 1998 sampai tahun 2003 (IFS, 2005). 6.4. Permintaan Ekspor Karet Alam Permintaan ekspor karet alam dibangun dalam empat persamaan yaitu permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Amerika Serikat, permintaan ekspor karet alam Thailand dari Amerika Serikat, permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang dan permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang. Secara umum model permintaan ekspor karet alam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: dLXDij ,t = a 0 + a1dLXDij ( t −1) + a 2 dLMD j ,t + a3 LMD j (t −1) + a 4 dLPDij Pj ,t + a5 LPDij Pj (t −1) + ε t ………………………………………..(6.4) dLXDij ,t = b0 + b1 dLMD j ,t + b2 dLPDij Pj ,t + b3 ECM t −1 + ε t …………...(6.5) tanda harapan: a1 , a 2 , a3 > 0 , a 4 , a 5 < 0 , b1 > 0 , b2 < 0 , dan − 1 < b3 < 0 Spesifikasi persamaan adalah dalam bentuk ECM untuk permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang, sedangkan untuk permintaan ekspor Indonesia dari Amerika Serikat, permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang dan Amerika Serikat digunakan bentuk persamaan autoregresif karena hasil analisis unit root dari variabel yang membangun persamaan tersebut menunjukkan hasil yang stasioner. Persamaan diatas menunjukkan respon permintaan impor karet alam dari Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand terhadap perubahan dari permintaan impor dan harga relatif karet alam. 106 6.4.1. Permintaan Ekspor Karet Alam Amerika Serikat Hasil estimasi dari persamaan permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Indonesia dan Thailand adalah sebagai berikut: dLXDIAt = 9.37 − 1.14 LXDIAt −1 + 0.67 dLMDAt + 0.62 LMDAt −1 − 0.51dLPDIAPAt − 0.82 LPDIAPAt −1 + 0.02 D1 − 0.25D3 + 0.18D 4 ……………………………………….(6.6) dLXDTAt = 6.28 − 1.23LXDTAt −1 + 0.71dLMDA + 0.81LMDAt −1 − 0.04dLPDTAPAt −1 − 0.18 LPDTAPAt −1 + 0.09 D1 + 0.28 D 2 − 0.14 D 4 ……………..………………………..(6.7) dimana: D1 = dummy krisis ekonomi D2 = dummy Thailand keluar dari INRO D3 = dummy pembubaran INRO D4 = dummy pelaksanaan SMS dan AETS Secara lebih rinci hasil estimasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7. Model yang diestimasi adalah dalam bentuk persamaan autoregresif karena sebagian besar variabelnya sudah stasioner. Uji diagnostik yang dilakukan menunjukkan bahwa kedua persamaan tersebut tidak memiliki masalah autokerelasi, functional form, ketidaknormalan residual maupun heteroskedastis. Koefisien determinasi (R2) dari dugaan persamaan permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Amerika Serikat besarnya adalah 0.73 yang berarti bahwa permintaan ekspor dapat dijelaskan dengan baik oleh peubah penjelasnya. Hasil estimasi menunjukkan bahwa permintaan ekspor karet alam Indoesia dari Amerika Serikat dan harga ekspor relatif karet alam Indonesia ke Amerika Serikat 107 signifikan pada taraf nyata 5 persen. Koefisien dugaan mempunyai tanda yang sesuai dengan harapan yaitu negatif untuk harga ekspor relatif karet alam dan positif untuk permintaan impor karet alam. Estimasi persamaan permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Thailand menghasilkan koefisien determinasi sebesar 0.63. Koefisien duga dari persamaan ini untuk harga ekspor relatif karet alam Thailand dan permintaan Impor karet alam Amerika Serikat menunjukkan tanda sesuai dengan harapan. Permintaan ekspor karet alam Thailand dari Amerika Serikat dan harga ekspor relatif karet alam Thailand ke Amerika Serikat berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap permintaan ekspor karet alam Thailand oleh Amerika Serikat. 6.4.2. Permintaan Ekspor Karet Alam Jepang Estimasi persamaan yang dilakukan untuk permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang adalah dalam bentuk ECM sedangkan persamaan permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang dilakukan dengan persamaan autoregresif karena variablel-variabelnya yang stasioner berdasarkan hasil uji unit root yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil estimasi dari persamaan-persamaan tersebut adalah sebagai berikut: dLXDIJ t = 1.83 + 0.60dLMDJ t − 0.81dLPDIJPJ t − 0.05dD1 + 0.23dD3 + 0.42dD 4 − 0.79 ECM t −1 ……………………..(6.8) dLXDTJ t = 4.63 − 1.37 LXDTJ t −1 + 1.01dLMDJ t + 1.10 LMDJ t −1 − 0.36dLPDTJPJ t − 0.69 LPDTJPJ t −1 − 0.05 D1 − 0.12 D 2 + 0.06 D 4 ………………………………………(6.9) 108 dimana: D1 = dummy krisis ekonomi D2 = dummy Thailand keluar dari INRO D3 = dummy pembubaran INRO D4 = dummy pelaksanaan SMS dan AETS Hasil estimasi dan uji diagnostik dari kedua persamaan tersebut diperlihatkan pada Lampiran 8 dan 9. Persamaan permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.52. Tanda koefisien dugaan untuk harga ekspor relatif karet alam Indonesia ke Jepang dan permintaan impor karet alam Jepang sesuai dengan harapan. Permintaan impor karet alam Jepang berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang sedangkan harga ekspor relatif karet alam Indonesia ke Jepang juga berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Koefisien ECT signifikan pada tingkat lima persen dengan koefisien adjustment dari persamaan tersebut adalah sebesar 0.79 yang menunjukkan kecepatan permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang untuk kembali pada keseimbangan jika terjadi perubahan pada permintaan impor karet alam Jepang dan harga ekspor relatif karet alam Indonesia ke Jepang adalah selama 1.27 kali periode data. Pada ekspor karet alam dari Thailand, permintaan impor karet alam Jepang berpengaruh nyata pada permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang pada taraf nyata 5 persen namun harga ekspor relatif karet alam dari Thailand tidak berpengaruh nyata. Tanda koefisien dugaan dari permintaan impor karet alam Jepang sesuai dengan harapan begitu pula pada harga ekspor karet alam Thailand 109 yang memberikan tanda negatif sesuai dengan harapan. Koefisien determinasi (R2) untuk persamaan permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang adalah sebesar 0.83. 6.4.3. Elastisitas Harga Relatif Karet Alam dan Permintaan Impor Respon jangka pendek dan jangka panjang dari permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang diperlihatkan oleh Tabel 20. Respon permintaan ekspor karet alam Indonesia dan Thailand dari Amerika Serikat terhadap harga ekspor relatif karet alam Indonesia dan Thailand baik jangka pendek maupun jangka panjang adalah inelastis. Elastisitas harga ekspor karet alam dari Indonesia untuk pasar Amerika Serikat lebih elastis dari pada Thailand yang berarti bahwa permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat lebih responsif terhadap perubahan harga ekspor relatif karet alam dari Indonesia. Hal ini menunjukkan pangsa pasar karet alam Indonesia di pasar Amerika Serikat lebih besar dari pada pangsa ekspor Thailand. Tabel 20. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permintaan Ekspor Negara Elastisitas Harga Elastisitas Permintaan Impor Jangka Pendek Jangka Panjang Jangka Pendek Jangka Panjang Amerika Serikat Indonesia Thailand -0.51 -0.04 -0.58 -0.12 0.67 0.71 1.33 1.53 Jepang Indonesia Thailand -0.81 -0.36 -1.03 -0.55 0.60 1.01 0.77 1.89 Permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang tidak responsif terhadap perubahan harga ekspor relatif karet alam Indonesia dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang responsif yang diperlihatkan oleh nilai 110 elastisitas yang lebih besar dari satu. Elastisitasnya bertanda negatif sesuai dengan hipotesa yang berarti bahwa penurunan harga ekspor relatif karet alam Indonesia akan direspon dengan peningkatan permintaan ekspor karet alam Jepang ke Indonesia. Sedangkan respon permintaan ekspor karet alam Thailand dari Jepang terhadap perubahan harga ekspor relatif karet alam Thailand inelastis dengan kata lain memperlihatkan nilai elastisitas yang rendah pada jangka pendek dan jangka panjang. Sedangkan nilai elastisitasnya bertanda negatif yang sesuai dengan hipotesis. Permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Amerika Serikat tidak responsif pada jangka pendek terhadap perubahan permintaan impor karet alam Amerika Serikat akan tetapi elastis pada jangka panjang. Sedangkan permintaan ekspor karet alam Thailand dari Amerika Serikat tidak responsif terhadap perubahan permintaan impor karet alam Amerika Serikat dalam jangka pendek namun responsif dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa ekspor karet alam Thailand ke Amerika Serikat semakin besar yang menempatkan Thailand menjadi pesaing ekspor karet alam ke Amerika Serikat yang harus diperhitungkan walaupun saat ini Indonesia menguasai 58.72 persen pangsa karet alam Amerika Serikat. Respon permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang terhadap perubahan permintaan impor karet alam Jepang inelastis atau lebih kecil dari satu pada jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan permintaan karet alam Thailand dari Jepang responsif baik pada jangka pendek mau pun jangka panjang terhadap perubahan permintaan impor karet alam Jepang yang menunjukkan dominasi Thailand di pasar karet alam Jepang. Respon permintaan ekspor karet 111 alam yang secara umum inelastis terhadap perubahan harga relatif karet alam untuk masing-masing negara eksportir menurut Niemi (2003) menyebabkan implikasi kebijakan yang meliputi kebijakan nilai tukar dan intervensi perdagangan dalam bentuk tarif dan non tarif tidak akan terlalu efektif untuk merubah kuantitas permintaan impor. Permintaan ekspor karet alam Thailand yang lebih elastis terhadap perubahan pada permintaan total impor karet alam Amerika Serikat maupun Jepang sedangkan permintaan ekspor karet alam Indonesia lebih responsif terhadap perubahan pada harga relatif. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan ekspor karet alam ke Thailand lebih didasarkan pada kualitas sedangkan permintaan ekspor karet alam Indonesia lebih didasarkan pada harga. Terlihat bahwa komoditas ekspor karet alam asal Thailand lebih unggul dalam hal kualitas sedangkan karet alam asal Indonesia unggul dalam hal harga. 6.5. Penawaran Impor Karet Alam Persamaan penawaran impor karet alam dibangun untuk dua pasar yaitu Amerika Serikat dan Jepang Spesifikasi ECM untuk persamaan harga dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: dLPj ,t = b0 + b1 dLPWt + b2 ECM t −1 + ε t ……………………………...(6.10) tanda harapan: b1 > 0 , − 1 < b2 < 0 Penawaran karet alam menunjukkan respon dari harga impor karet alam untuk pasar Amerika Serikat dan Jepang terhadap perubahan harga karet alam di pasar 112 dunia. Persamaan penawaran impor untuk Amerika Serikat dan Jepang adalah sebagai berikut: dLPAt = −0.20 + 1.71dLPWt − 0.14dD3 + 0.16dD 4 − 0.44 ECM t −1 ….(6.11) dLPJ t = 1.54 + 1.45dLPWt − 0.07 dD3 + 0.11dD 4 − 0.36 ECM t −1 ……(6.12) dimana: D3 = dummy pembubaran INRO D4 = dummy pelaksanaan SMS dan AETS Secara rinci hasil estimasi dan uji diagnostik persamaan di atas dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. Uji diagnostik yang dilakukan untuk persamaan harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang menunjukkan tidak terdapat masalah baik autokorelasi, functional form, ketidaknormalan residual maupun heteroskedastis dengan hasil nilai koefisien determinasi sebesar 0.5 untuk persamaan penawaran impor karet alam Amerika Serikat dan sebesar 0.53 untuk persamaan penawaran impot karet alam Jepang. Hasil estimasi menunjukkan harga karet alam dunia berpengaruh nyata terhadap harga impor karet alam Amerika serikat dan harga impor karet alam Jepang pada taraf nyata 5 persen. Tabel 21. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Impor Elastisitas Harga Dunia Negara ECT Jangka Pendek Jangka Panjang Amerika Serikat 1.71 3.86 -0.44 Jepang 1.45 4.05 -0.36 Respon harga impor karet alam di pasar Amerika Serikat terhadap perubahan harga karet alam dunia elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Begitu pula dengan Jepang dimana harga impor karet alam Jepang responsif terhadap perubahan yang terjadi pada harga karet alam dunia dalam 113 jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Tampak jelas bahwa besarnya harga karet alam di suatu pasar regional sangat tergantung dan dipengaruhi oleh besarnya harga karet alam dunia. Koefisien adjustment untuk harga impor karet alam Amerika Serikat adalah sebesar 0.44 dimana kecepatan penawaran impor karet alam Amerika Serikat untuk kembali pada keseimbangan karena perubahan pada harga karet alam dunia selama 2.27 kali periode data. Sedangkan penawaran impor karet alam Jepang dapat kembali ke keseimbangan karena perubahan harga karet alam dunia dalam waktu 2.78 kali periode data. Rata-rata lama waktu kembali kekesimbangan adalah sekitar 7 bulan yang berarti bahwa perubahan yang terjadi pada harga karet alam dunia akan direspon dengan baik oleh pasar regional di negara importir dimana pasar akan kembali normal dalam jangka waktu tujuh bulan. Lamanya waktu untuk kembali pada keseimbangan sejalan dengan hasil penelitian Niemi (2003). 6.6. Penawaran Eskpor Karet Alam Penawaran ekspor karet alam terdiri dari enam persamaan yaitu penawaran ekspor karet alam Indonesia, penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang, penawaran ekspor karet alam Thailand, penawaran ekspor karet alam Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang. Spesifikasi persamaan dalam bentuk ECM dan dalam bentuk persamaan autoregresif. Secara umum model penawaran karet alam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: dLXS ij ,t = a 0 + a1 LXS ij ,(t −1) + a 2 dLPS ij Di ,t + a3 LPS ij Di ,(t −1) + a 4T + ε t (6.13) dLXS ij ,t = b0 + b1dLPS ij Di ,t + b2 dT + b3 ECM t −1 + ε t ………………...(6.14) 114 tanda harapan: a1 , a 2 , a3 , a 4 > 0 , b1 , b2 > 0 , − 1 < b3 < 0 Persamaan di atas menunjukkan respon penawaran karet alam Indonesia dan Thailand ke negara importir Amerika Serikat dan Jepang terhadap perubahan pada harga ekspor karet alam Indonesia dan Thailand. Hasil estimasi model persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia dan Thailand diperlihatkan pada Lampiran 12 sampai 17. 6.6.1. Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia Persamaan penawaran ekspor total karet alam Indonesia, penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang adalah sebagai berikut: dLXSI t = 20.91 − 1.21LXSI t −1 + 0.44dLPIDI t +0.31LPIDI t −3 + 0.02T − 0.01D1 − 0.17 D3 + 0.02 D 4 ……………………………..(6.15) dLXSIAt = 18.42 − 1.11LXSIAt −1 + 0.21dLPSIADI t + 0.26 LPSIADI t −6 + 0.01T + 0.12 D1 − 0.29 D3 + 0.04 D 4 ……………………(6.16) dLXSIJ t = 19.44 − 0.43dLPSIJDI t + 0.01dT − 0.05dD1 + 0.09dD3 + 0.32dD 4 − 0.93ECM t −1 ……………….………………..(6.17) dimana: D1 = dummy krisis ekonomi D3 = dummy pembubaran INRO D4 = dummy pelaksanaan SMS dan AETS Hasil estimasi persamaan penawaran ekspor total karet alam Indonesia menunjukkan bahwa harga ekspor karet alam Indonesia berpengaruh nyata 115 terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia pada taraf nyata 5 persen dengan koefisien determinasi 0.75. Tanda koefisien harga riil ekspor karet alam Indonesia sesuai dengan harapan. Terdapat hubungan positif antara harga riil ekspor karet dan volume ekspor dimana peningkatan harga riil ekspor karet alam Indonesia akan di respon dengan peningkatan pada penawaran karet alam Indonesia. Estimasi pada persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat menunjukkan bahwa koefisien penawaran ekspor tersebut dapat dijelaskan dengan baik oleh peubah penjelas dengan koefisien determinasi sebesar 0.74. Harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat pada taraf nyata 5 persen. Harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat menunjukkan hubungan yang positif dengan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat yang sesuai dengan harapan. Hasil estimasi terhadap persamaan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang menunjukkan bahwa harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang pada taraf nyata 5 persen. Penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang dapat dijelaskan dengan baik oleh peubah penjelas dengan koefisien determinasi sebesar 0.56. Harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang mempunyai tanda yang berbeda atau tidak sesuai dengan harapan dimana harga riil ekspor karet alam mempunyai hubungan yang negatif terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang. 116 6.6.2. Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand Persamaan penawaran ekspor total karet alam Thailand, penawaran ekpor Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang adalah sebagai berikut: dLXSTt = 22.59 − 1.17 LXSTt −1 + 0.39dLPTDTt + 0.19 LPTDTt −1 + 0.01T + 0.004dD1 + 0.28dD 2 + 0.04dD 4 ……….………(6.18) dLXSTAt = 16.41 − 0.92 LXTAt −1 + 0.28dLPSTADTt + 0.04 LPSTADTt −1 + 0.01T + 0.17 D1 + 0.32 D 2 + 0.09 D 4 ………….………..(6.19) dLXSTJ t = 26.57 − 1.46 LXSTJ t −1 + 0.69dLPSTJDTt + 0.19 LPSTJDTt −1 + 0.004T + 0.01D1 + 0.06 D 2 − 0.04 D 4 ………………….(6.20) dimana: D1 = dummy krisis ekonomi D2 = dummy Thailand keluar dari INRO D4 = dummy pelaksanaan SMS dan AETS Penawaran total ekspor karet alam Thailand dapat di jelaskan dengan baik oleh peubah penjelas dengan koefisien determinasi sebesar 0.89. Harga riil ekspor karet alam Thailand tidak berpengaruh nyata pada penawaran ekspor karet alam Thailand pada taraf nyata 5 persen dengan tanda koefisien sesuai dengan harapan. Berdasarkan uji diagnostik terhadap model penawaran ekspor, tidak terdapat masalah autokorelasi, functional form, ketidaknormalan residual, dan heteroskedastis. Hasil uji diagnostik terhadap persamaan penawaran ekspor karet alam Thailand ke Amerika Serikat menunjukkan tidak terdapat masalah autokorelasi, functional form, normalitas, dan heteroskedastis. Penawaran ekspor karet alam Thailand ke Amerika Serikat dipengaruhi oleh harga riil ekspor karet alam 117 Thailand ke Amerika Serikat pada taraf nyata 5 persen dengan koefisien determinasi sebesar 0.55. Tanda koefisien sesuai dengan harapan yaitu harga ekspor mempunyai hubungan yang positif dengan penawaran ekspor. Estimasi persamaan penawaran ekspor karet alam Thailand ke Jepang menunjukkan bahwa penawaran ekspor tersebut dipengaruhi oleh harga riil ekspor karet alam Thailand ke Jepang pada taraf nyata lima persen dimana penawaran ekspor karet alam Thailand ke Jepang dapat dijelaskan dengan baik oleh peubah penjelas dengan koefisien determinasi sebesar 0.77. Tanda koefisien harga ekspor riil karet alam Thailand ke Jepang sesuai dengan harapan yaitu bertanda positif. 6.6.3. Elastisitas Harga Ekspor Riil Karet Alam Respon penawaran ekspor karet alam Indonesia dan penawaran ekspor karet alam Thailand terhadap perubahan harga ekspor riil karet alamnya diperlihatkan oleh Tabel 22. Tabel 22. Elastisitas Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Ekspor Elastisitas Harga Negara Jangka Pendek Jangka Panjang Indonesia 0.44 1.22 Amerika Serikat 0.21 1.11 Jepang -0.43 -0.46 Thailand 0.39 1.16 Amerika Serikat 0.04 0.92 Jepang 0.69 1.46 Elastisitas harga ekspor riil karet alam Indonesia tidak elastis terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia dalam jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang dengan tanda positif yang sesuai dengan harapan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga ekspor riil karet alam Indonesia akan 118 direspon dengan peningkatan penawarannya. Elastisitas harga ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat inelastis pada jangka pendek tetapi elastis pada jangka panjang dengan tanda positif yang sesuai dengan hipotesis. Nilai tersebut menunjukkan dominasi ekspor karet alam Indonesia di pasar Amerika Serikat dimana kuantitas ekspor karet alam Indonesia responsif terhadap perubahan yang terjadi pada harga ekspor riil karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang tidak responsif terhadap perubahan harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Penawaran ekspor yang tidak responsif terhdap perubahan harga ekspor riilnya karena pangsa pasar karet alam Indonesia ke Jepang yang kecil. Pada tahun 1995 pangsa ekspor karet alam Indonesia di pasar Jepang hanya sebesar 7.9 persen sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 25.6 persen. Sedangkan nilai elastisitas yang negatif pada harga ekspor karet alam Indonesia tidak sesuai dengan hipotesis. Nilai elastisitas yang negatif tersebut disebabkan oleh terjadinya pergeseran dominasi jenis mutu karet alam yang diekspor oleh Indonesia ke Jepang dari jenis mutu sit asap (RSS) menjadi karet jenis mutu spesifikasi teknis (TSR). Harga karet alam jenis mutu TSR yang diekspor ke Jepang lebih murah dari pada harga karet jenis mutu RSS. Hal ini menyebabkan seolah-olah penurunan harga ekspor yang terjadi menyebabkan peningkatan dalam kuantitas ekspor karet alam ke Jepang karena peningkatan kuantitas ekspor karet alam ke Jepang diiringi oleh penurunan dalam nilai ekspornya. Harga ekspor karet alam Thailand inelastis terhadap penawaran ekspor karet alam Thailand pada jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. 119 Elastisitas harga ekspor karet alam Thailand lebih besar pada penawaran ekspor karet alam ke Jepang dari pada ke Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan dominasi ekspor karet alam Thailand di pasar Jepang dimana kuantitas ekspor karet alam ke Jepang responsif terhadap perubahan harga riil ekspornya. Secara umum nilai elastisitas harga ekspor karet alam adalah inelastis pada jangka pendek dan elastis pada jangka panjang. Hasil ini menunjukkan bahwa komoditas karet alam merupakan produk tanaman keras hasil perkebunan. Komoditas perkebunan ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses produksinya dari penanaman sampai tanaman tersebut dapat menghasilkan sehingga usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kuantitas ekspor melalui peningkatkan produksi dalam jangka pendek sulit dilakukan tetapi memungkinkan dalam jangka panjang. Penawaran ekspor karet alam dari Indonesia dan Thailand tidak hanya dipengaruhi oleh harga akan tetapi ada faktor lain yang mendistorsi pasar ekspor karet alam. Faktor yang mendistorsi antara lain adalah adanya upaya dari negaranegara eksportir dengan sengaja untuk mengendalikan jumlah penawaran karet alamnya. Pengendalian tersebut dilakukan melalui berbagai kesepakatan antar negara sesama eksportir karet dalam bentuk kerjasama pengendalian persediaan. Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang membentuk ITRO (International Tripartite Rubber Organization) sepakat untuk mengurangi pasokan ekspor karet alam sebesar 10 persen melalui badan usaha yang mereka bentuk yaitu IRCo (International Rubber Consortium Limited) dengan melakukan pembelian dan penjualan karet alam untuk menjaga stabilitas harga karet alam. 120 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi jika terjadi peningkatan pendapatan di negara importir Amerika Serikat dan Jepang masing-masing sebesar 5 persen. Penentuan besaran kenaikan tersebut didasarkan pada rata-rata pertumbuhan pendapatan domestik bruto negara-negara importir per periode data. Perubahan yang terjadi pada arus perdagangan karet alam karena terjadinya peningkatan pendapatan diperlihatkan oleh Tabel 23. Tabel 23. Dampak Kenaikan Pendapatan 5 % di Negara Importir Negara Perubahan (Ton) (%) Pertumbuhan per Periode (%) Pangsa Pasar (%) Permintaan Impor - Amerika Serikat - Jepang 16 029.8 6 345.3 5.73 3.31 0.05 0.04 - Permintaan Ekspor AS - Indonesia - Thailand 13 139.6 6 988.8 8.69 10.71 0.07 0.10 57.72 26.31 Permintaan Ekspor Jepang - Indonesia - Thailand 1 163.5 14 777.4 10.26 12.76 0.11 0.09 19.85 75.95 Permintaan impor karet alam Amerika Serikat setelah terjadi kenaikan lima persen pada pendapatan domestik brutonya mengalami peningkatan sebesar 16 029 ton atau mencapai 5.73 persen. Kenaikan permintaan impor dengan persentase yang lebih besar dari pada kenaikan pendapatan mencerminkan tingkat respon permintaan impor yang elastis terhadap perubahan pendapatan. 121 Peningkatan impor rata-rata karet alam Amerika Serikat per periode adalah sebesar 0.05 persen. Peningkatan yang terjadi pada pendapatan Amerika Serikat kemudian ditransmisikan pada permintaan ekspor karet alam ke masing-masing negara pengekspor melalui peningkatan permintaan impor karet alamnya. Permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8.69 persen jika pendapatan Amerika Serikat meningkat sebesar 5 persen dengan pertumbuhan ekspornya sebesar 0.07 persen per periode. Permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Indonesia lebih responsif pada jangka panjang dari pada jangka pendek. Permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Thailand juga mengalami peningkatan sebesar 10.71 persen. Peningkatan permintan ekspor karet alam yang terjadi untuk negara Thailand yang cukup besar dibandingkan Indonesia disebabkan oleh respon permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Thailand terhadap perubahan pada permintaan impor Amerika Serikat yang lebih besar dari pada Indonesia baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa Thailand mempunyai potensi untuk meningkatkan pangsa pasar ekspor karet alamnya di pasar Amerika Serikat. Peningkatan pada permintaan impor karet alam Jepang akibat peningkatan pendapatan domestik brutonya sebesar 5 persen tidak begitu besar hanya 3.31 persen. Rendahnya peningkatan tersebut karena elatisitas pendapatan Jepang yang nilainya kurang dari satu baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang sehingga besarnya respon permintaan impor lebih kecil dari pada besarnya peningkatan pendapatan. Peningkatan yang terjadi pada pendapatan 122 Jepang kemudian ditransmisikan pada permintaan ekspor karet alam Jepang ke masing-masing negara pengekspor yaitu Indonesia dan Thailand melalui perubahan permintaan impor karet alam Jepang. Peningkatan permintaan ekspor karet alam Jepang dari Indonesia dan Thailand sebagai respon terhadap perubahan pendapatan Jepang masing-masing sebesar 10.26 persen dan 12.76 persen dengan pertumbuhan ekspor per periodenya sebesar 0.11 persen dan 0.09 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa permintaan ekspor karet alam responsif terhadap perubahan pendapatan domestik bruto. Respon permintaan ekspor karet alam Indonesia yang cukup besar menunjukan adanya potensi bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya di Jepang. Pangsa pasar untuk masing-masing negara pengekspor karet alam ke Amerika Serikat setelah terjadi peningkatan pendapatan masih didominasi oleh ekspor karet alam Indonesia dengan besar pangsa pasar 57.72 persen untuk Indonesia dan 26.31 persen untuk Thailand. Sedangkan jika terjadi peningkatan pendapatan di Jepang maka pangsa ekspor Indonesia menjadi 19.85 persen dan Thailand sebesar 75.95 persen dimana pasar Jepang didominasi oleh ekspor karet alam asal Thailand. Jadi berdasarkan hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan yang terjadi di negara-negara importir efektif untuk meningkatkan permintaan ekspor karet alam ke masing-masing negara eksportir. 7.2. Dampak Kenaikan Harga Karet Alam Dunia Dampak kenaikan harga karet alam dunia diketahui melalui simulasi peningkatan harga karet alam dunia sebesar 50 persen. Simulasi harga dan besaran 123 peningkatan tersebut didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sinuraya (2000) dan Anwar (2005) serta situasi perkembangan harga rataan karet alam dunia. Perubahan arus perdagangan yang terjadi akibat peningkatan harga karet alam dunia diperlihatkan pada Tabel 24. Tabel 24. Dampak Kenaikan Harga Karet Alam Dunia Sebesar 50 % Negara Permintaan Impor - Amerika Serikat - Jepang Perubahan (Ton) (%) Pertumbuhan per Pangsa Periode (%) Pasar (%) -13 060.3 -1 745.8 -4.74 -0.91 -0.050 -0.003 - Permintaan Ekspor AS - Indonesia - Thailand -7 972.1 -4 194.9 -4.87 -5.35 -0.064 -0.055 56.23 25.17 Permintaan Ekspor Jepang - Indonesia - Thailand -1 200.6 -577.5 -2.50 -0.67 -0.024 -0.008 19.34 70.97 Simulasi diawali dengan pengaruh perubahan harga karet alam dunia terhadap harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang melalui persamaan penawaran impor karet alam kedua negara tersebut. Kemudian perubahan harga impor akan mempengaruhi permintaan impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang yang selanjutnya ditransmisikan pada permintaan ekspor Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand melalui perubahan harga ekspor relatif karet alam di masing-masing pasar. Harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang responsif terhadap peningkatan harga karet alam dunia karena nilai elastisitas harga dunia yang cukup besar. Namun pengaruh peningkatan harga impor karet alam terhadap permintaan impor Amerika Serikat dan Jepang tidak responsif karena elastisitas harga riilnya yang kurang dari satu. Tidak responsifnya permintaan impor 124 terhadap perubahan harga berakibat pada rendahnya perubahan permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand. Peningkatan harga karet alam dunia menyebabkan terjadinya penurunan pada permintaan impor. Amerika Serikat mengalami penurunan permintaan impor karet alam sebesar 4.87 persen sedangkan permintaan impor karet alam Jepang penurunannya lebih kecil yaitu hanya 0.91 persen. Perbedaan tersebut disebabkan karena elastisitas harga impor karet alam Amerika Serikat yang lebih besar dari pada Jepang karena pasar karet alam Amerika Serikat yang sudah mulai jenuh. Konsisten dengan penurunan yang terjadi pada permintaan impor, permintaan ekspor karet alam ke negara-negara eksportir juga mengalami penurunan akibat meningkatnya harga dunia. Permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Indonesia turun sebesar 4.87 persen sedangkan ke Jepang juga turun dengan besar 5.35 persen. Besarnya penurunan tersebut menunjukkan bahwa permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Indonesia lebih kaku dari pada permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Thailand. Respon permintaan ekspor karet alam Jepang ke Thailand lebih kaku dari pada permintaan ekspor karet alam Jepang ke Indonesia terhadap perubahan harga karet alam dunia yang menunjukkan dominasi karet alam Thailand di pasar Jepang. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya penurunan permintaan ekspor karet alam Indonesia dari Jepang yang lebih besar dari pada Thailand. Penurunan permintaan ekspor karet alam Indonesia ke Jepang adalah sebesar 2.5 persen sedangkan Thailand hanya sebesar 0.67 persen. Pasar karet alam Amerika Serikat masih didominasi oleh karet alam Indonesia dengan menguasai 56.23 persen pangsa pasar, sedangkan Thailand 125 hanya 25.17 persen. Thailand masih mendominasi pasar karet alam Jepang dengan menguasai 70.97 persen pangsa pasar sedangkan pangsa pasar ekspor karet alam Indonesia ke Jepang hanya sebesar 19.34 persen saja. Pangsa pasar ekspor karet alam dari Thailand dan Indonesia di pasar Jepang mengalami penurunan sebagai akibat dari penurunan harga karet alam dunia. 7.3. Dampak Kenaikan Pendapatan dan Harga Karet Alam Dunia Kombinasi kenaikan pendapatan domestik bruto sebesar 5 persen yang terjadi pada negara-negara importir yaitu Amerika Serikat dan Jepang serta terjadinya kenaikan harga karet alam dunia sebesar 50 persen, dilakukan untuk melihat dampaknya terhadap permintaan impor dan permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand terhadap shock yang terjadi secara bersamaan. Hasil simulasi terhadap permintaan impor dan permintaan ekspor ke masing-masing negara dapat diperlihatkan oleh Tabel 25. Tabel 25. Dampak Kenaikan Pendapatan 5 % dan Harga Karet Alam Dunia 50% Negara Perubahan (Ton) (%) Pertumbuhan per Pangsa Periode (%) Pasar (%) Permintaan Impor - Amerika Serikat - Jepang 2 293.3 4 463 .3 0.72 2.36 0.01 0.03 - Permintaan Ekspor AS - Indonesia - Thailand 3 007.9 1 651.3 2.19 3.01 0.01 0.03 57.13 25.91 Permintaan Ekspor Jepang - Indonesia - Thailand 256.5 8 583.4 6.61 7.81 0.06 0.06 19.48 73.57 Amerika Serikat mengalami peningkatan permintaan impor karet alam sebesar 2 293.3 ton atau 0.72 persen. Permintaan impor karet alam Jepang juga 126 mengalami peningkatan sebesar 2.36 persen. pertumbuhan permintaan impor per periode dari kedua negara tersebut konsisten dengan permintaan impornya yang juga meningkat dengan besaran 0.01 persen untuk pasar Amerika Serikat dan 0.03 persen untuk pasar Jepang. Permintaan ekspor karet alam dari Amerika Serikat ke Indonesia meningkat sebesar 2.19 persen dengan pertumbuhan per periode sebesar 0.01 persen. Peningkatan tersebut lebih rendah dari pada naiknya permintaan ekspor kareta alam Amerika Serikat ke Thailand. Peningkatan yang terjadi pada pendapatan dan harga karet alam dunia menyebabkan permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat ke Thailand naik 3.01 persen dengan pertumbuhan sebesar 0.03 per periode. Indonesia mengalami peningkatan permintaan ekspor karet alam dari Jepang, begitu pula yang terjadi dengan permintaan ekspor karet alam Thailand. Besarnya kenaikan permintaan ekspor karet alam Jepang untuk Indonesia adalah sebesar 6.61 persen sedangkan Thailand naik 7.81 persen. kenaikan tersebut lebih besar dari pada kenaikan yang terjadi pada permintaan ekspor karet alam dari Amerika Serikat karena kenaikan permintaan impor karet alam Jepang yang lebih besar dari pada Amerika Serikat yang disebabkan oleh nilai elastisitas harga impor riil karet alam Jepang yang lebih besar. Pangsa pasar ekspor karet alam secara umum mengalami peningkatan baik di pasar Amerika Serikat maupun Jepang namun peningkatan tersebut lebih rendah dari pada hasil simulasi pertama. Pasar karet alam Amerika Serikat masih didominasi Indonesia dengan pangsa sebesar 57.13 persen sedangkan Thailand pangsanya sebesar 25.91 persen. Sebaliknya pada pasar Jepang dominasi ekspor 127 di pegang Thailand dengan besar pangsa pasarnya adalah 73.57 persen dan Indonesia hanya 19.47 persen. Dampak kenaikan pendapatan dan harga karet alam dunia menunjukkan arah yang saling berlawanan. Hasil akhir simulasi tersebut menunjukkan peningkatan yang terjadi tidak hanya pada permintaan impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang tetapi juga terjadi peningkatan pada permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand yang menunjukkan bahwa dampak kenaikan pendapatan domestik bruto di negara-negara importir lebih besar dari pada dampak kenaikan harga karet alam dunia terhadap permintaan impor dan permintaan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand. Jadi dapat disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan lebih efektif dari pada peningkatan harga karet alam dunia untuk mempengaruhi permintaan impor dan permintaan ekspor karet alam. 7.4. Dampak Depresiasi Nilai Tukar Mata Uang Skenario simulasi yang diterapkan pada persamaan penawaran ekspor total karet alam Indonesia dan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang adalah jika terjadi depresiasi nilai tukar mata uang Rupiah terhadap US dollar sebesar 20 persen. Besaran tersebut didasarkan pada perkembangan kondisi perekonomian di Indonesia dan penelitian–penelitian sebelumnya. Hasil simulasi diperlihatkan oleh Tabel 26. Tabel 26. Dampak Depresiasi Rupiah 20 % terhadap US Dollar Negara Penawaran Ekspor Indonesia - Amerika Serikat - Jepang Perubahan Pertumbuhan per (Ton) (%) Periode (%) 159 420.1 5.87 3.19 7 628.6 4.89 0.05 -3 631.1 -9.84 -0.41 128 Pangsa Ekspor (%) 44.56 9.94 Depresiasi mata uang Rupiah terhadap US Dollar menyebabkan komoditas ekspor asal Indonesia relatif lebih murah dari pada produk negara lain yang tidak mengalami depresiasi terutama untuk produk dengan kandungan lokal yang tinggi. Jenis karet alam yang diekspor merupakan komoditas yang memiliki kandungan lokal yang sangat besar, sehingga depresiasi mata uang yang terjadi tidak mempengaruhi biaya produksinya malahan akan meningkatkan daya saing ekspor produk tersebut melalui penawaran harga yang lebih bersaing. Penawaran ekspor karet alam Indonesia secara keseluruhan maupun spesifik pada pasar karet alam Amerika Serikat responsif terhadap depresiasi nilai tukar mata uang Rupiah terhadap US dollar karena harga ekspor karet alam yang elastis pada jangka panjang. Penawaran ekspor karet alam Indonesia mengalami peningkatan sebesar 5.87 persen dengan pertumbuhan ekspor per periode 3.19 persen. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat juga naik sebesar 4.89 persen. Berbeda untuk penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang, depresiasi menyebabkan penurunan volume ekspor karet alam Indonesia karena elastisitas harganya yang negatif. Penurunan tersebut mengindikasikan adanya pergeseran jenis karet alam yang di ekspor oleh Indonesia ke Jepang. Jenis karet alam spesifikasi teknis (TSR) saat ini lebih diminati oleh pasar Jepang karena harganya yang lebih murah dan lebih siap pakai dari pada jenis sit asap (RSS). Pergesaran jenis karet alam yang diekspor ke Jepang menyebabkan seolah-oleh peningkatan harga berakibat pada turunnya volume ekspor karena peningkatan kuantitas ekspor diiringi oleh turunya nilai ekspor. 129 Pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap total ekspor karet alam Indonesia akibat depresiasi nilai mata uang Rupiah menunjukkan peningkatan. Ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat mencapai 44.56 persen dari total ekspor karet alam Indonesia sedangkan ke Jepang hanya 9.94 persen saja. Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor karet alam Indonesia yang utama. Jadi dapat disimpulkan bahwa depresiasi Rupiah secara umum memberikan dampak positif terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia. 7.5. Dampak Inflasi Simulasi dilakukan berupa pengenaan inflasi sebesar sepuluh persen pada perekonomian Indonesia. Nilai inflasi yang digunakan untuk simulasi besarnya didasarkan pada kondisi perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir. Dampak inflasi terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia dan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat dan Jepang dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Dampak Inflasi Sebesar 10% Negara Penawaran Ekspor Indonesia - Amerika Serikat - Jepang Perubahan Pertumbuhan per (Ton) (%) Periode (%) -64 612.2 -3.63 -3.09 -5 131.5 -3.22 -0.03 1 608.7 5.02 0.1 Pangsa Ekspor (%) 37.26 9.34 Berdasarkan teori, inflasi akan berdampak negatif terhadap penawaran ekspor karena harga domestik yang membaik. Hasil simulasi inflasi terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia menunjukan pengaruh yang sesuai dengan hipotesa dimana penawaran ekspor karet alam Indonesia turun sebesar 3.63 persen. Hasil yang konsisten juga terjadi pada penawaran ekspor karet alam 130 Indonesia untuk pasar Amerika Serikat dengan penurunan ekspor karet alam ke pasar tersebut sebesar 3.22 persen dengan pertumbuhan ekspor per periode yang negatif. Terjadi pertumbuhan total ekspor karet alam Indonesia per periode yang juga negatif. Sedangkan untuk pasar Jepang, kuantitas ekspor karet alam Indonesia mengalami peningkatan. Perubahan penawaran ekspor karet alam Indonesia yang tidak begitu besar dan pertumbuhan ekspor yang tetap positif terjadi karena rendahnya konsumsi karet alam dalam negeri dimana industri yang menghasilkan barang jadi karet belum berkembang sehingga peningkatan penawaran dalam negeri karena peningkatan harga dalam negeri karena inflasi tidak dapat terserap pasar domestik dengan baik. Pada pasar karet alam di negara-negara importir terjadi penurunan pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap total ekspor karet alam Indonesia. Pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat turun sebesar 6.18 persen menjadi 37.26 persen dari total ekspor karet alam Indonesia. Sedangkan ekspor karet alam Indonesia ke Jepang sebesar 9.34 persen dari total ekspor, naik sebesar 1.79 persen. Berdasarkan hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa penawaran ekspor karet alam Indonesia secara umum memberikan respon yang negatif terhadap kenaikan inflasi yang terjadi dalam perekonomian. 7.6. Dampak Pengenaan Pajak Ekspor Simulasi dengan pengenaan pajak ekspor sebesar 5 persen didasarkan pada asumsi bahwa perlu dilakukan pergeseran dan reorientasi strategi perdagangan 131 karet alam Indonesia dari bahan mentah menjadi produk olahan agar dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi devisa negara. Upaya tersebut perlu didukung oleh ketersediaan pasokan karet alam untuk industri domestik sehingga kemungkinan terjadi peningkatan terhadap konsumsi karet alam dalam negeri dapat diantisipasi dengan baik. Pajak ekspor merupakan salah satu kebijakan yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan karet alam bagi pasar domestik. Hasil simulasi ini diperlihatkan oleh Tabel 28. Tabel 28. Dampak Pajak Ekspor 5 % Negara Penawaran Ekspor Indonesia - Amerika Serikat - Jepang Perubahan Pertumbuhan per (Ton) (%) Periode (%) -43 236.8 -1.59 -3.12 -2 081.3 -1.33 819.4 2.22 -0.01 0.08 Pangsa Ekspor (%) 37.23 8.6 Penerapan pajak ekspor menyebabkan menurunnya penawaran ekspor karet alam Indonesia sebesar 1.59 persen. Akan tetapi terjadi peningkatan penawaran ekspor karet alam Indonesia untuk pasar Jepang sebesar 2.22 persen dengan pertumbuhan ekspor 0.08 persen per periode terkait dengan nilai elastisitas harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang yang negatif. Sedangkan untuk ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat mempunyai dampak yang konsisten dengan penawaran total ekspor karet alam Indonesia. Pajak ekspor menyebabkan penurunan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dengan besaran 1.33 persen dan pertumbuhan ekspor karet alam yang negatif dengan besaran 0.01 persen. Pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat adalah sebesar 37.23 persen. Dimana penerapan pajak ekspor sebesar 5 persen menyebabkan turunnya pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Sedangkan pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Jepang terhadap total ekspor karet alam 132 Indonesia menjadi 8.60 persen yang terkait dengan nilai elastisitas harga riil ekspor karet alam Indonesia ke Jepang yang bertanda negatif. Berdasarkan hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa pajak ekspor kurang efektif untuk menahan ekspor karet alam Indonesia. Hal ini disebabkan adanya aturan pengenaan pajak terhadap konsumen karet alam dalam negeri berupa PPN sebesar 10 persen sehingga harga karet alam domestik yang dihadapi oleh produsen karet alam menjadi kurang menarik. Sedangkan impor karet alam dari beberapa negara ke Indonesia hanya dikenai pajak impor sebesar 5 persen yang menyebabkan konsumen karet alam domestik lebih memilih karet alam impor karena harga yang ditawarkan akan lebih murah dari pada harga karet alam domestik. 7.7. Kombinasi Depresiasi Rupiah terhadap US Dollar dan Inflasi Depresiasi nilai tukar yang terjadi pada suatu negara biasanya akan diikuti oleh inflasi di negara tersebut. Keduanya menurut hipotesa memberikan dampak yang bertolak belakang terhadap ekspor komoditas pertanian. Hasil simulasi kombinasi depresiasi nilai mata uang Rupiah dan inflasi terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia dan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang ditunjukkan oleh Tabel 29. Tabel 29. Dampak Depresiasi Rupiah 20% terhadap US Dollar dan Inflasi 10% Negara Penawaran Ekspor Indonesia - Amerika Serikat - Jepang Pangsa Perubahan Pertumbuhan per (Ton) (%) Periode (%) Ekspor (%) 91 018.3 2.02 3.16 2 246.1 1.51 0.02 44.3 -3 628.6 -9.83 -0.4 9.81 Dampak simulasi tersebut tersebut menunjukkan bahwa penawaran ekspor karet alam Indonesia mengalami peningkatan sebesar 2.02 persen dengan 133 pertumbuhan ekspor karet alam rata-rata per periode sebesar 3.16 persen. Penawaran ekspor karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat juga mengalami peningkatan sebesar 2 246.1 ton atau 1.51 persen. Sebaliknya terjadi penurunan penawaran ekspor karet alam Indonesia untuk pasar Jepang sebesar 3 628.6 ton dengan pertumbuhan ekspor yang negatif. Pangsa pasar ekspor karet alam Indonesia ke pasar Amerika Serikat dan Jepang terhadap total ekspor karet alam Indonesia mengalami peningkatan. Pangsa ekspor ke Amerika Serikat sebesar 44.30 persen. sedangkan pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Jepang sebesar 9.81 persen. Peningkatan ekspor karet alam yang terjadi karena kombinasi kebijakan ini lebih kecil dari dampak tunggal pada peningkatan yang terjadi karena depresiasi Rupiah terhadap US Dollar. Hasil simulasi kombinasi depresiasi Rupiah dan inflasi menunjukkan dampak positif terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia dan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Sedangkan dampak negatif terjadi pada penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang karena nilai elastisitas harganya yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon penawaran ekspor karet alam Indonesia terhadap depresiasi Rupiah lebih besar dari pada responnya terhadap inflasi dalam perekonomian Indonesia. 7.8. Kombinasi Pajak Eskpor dan Inflasi Kombinasi simulasi kebijakan dilakukan untuk melihat dampak dua shock yang terjadi bersamaan terhadap total penawaran ekspor karet alam Indonesia, penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Simulasi yang dilakukan adalah dengan skenario jika dilakukan penerapan kebijakan pajak 134 ekspor sebesar 5 persen dimana terjadi inflasi dalam perekonomian sebesar 10 persen. Hasil simulasi ini diperlihatkan oleh Tabel 30. Tabel 30. Dampak Pajak Ekspor 5 % dan Inflasi 10 % Negara Penawaran Ekspor Indonesia - Amerika Serikat - Jepang Perubahan Pertumbuhan per Pangsa (Ton) (%) Periode (%) Ekspor (%) -106 821.2 -5.16 -3.08 -7 144.3 -4.52 -0.05 37.36 2 463.9 7.35 0.13 9.69 Pada kombinasi simulasi ini berdasarkan hipotesa, penerapan pajak ekspor dan inflasi memiliki dampak yang searah. Terlihat bahwa dampak simulasi yang dilakukan menyebabkan penurunan penawaran ekspor karet alam Indonesia sebesar 5.16 persen dengan pertumbuhan ekspor per periodenya sebesar 3.08 persen. Dampak dengan arah yang sama terjadi untuk penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat yang juga turun dengan jumlah 7 144.3 ton atau 4.52 persen. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Jepang berubah sebesar 2 463.9 ton. Pangsa ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat terhadap total ekspor karet alam Indonesia konsisten dengan dampak simulasi ini terhadap penawaran ekspor total karet alam Indonesia yaitu 37.36 persen. Sedangkan pangsa ekspor karet alam ke Jepang menjadi 9.69 persen dari total ekspor karet alam Indonesia. Penurunan tersebut menunjukkan dampak yang berlipat dari pajak ekspor dan inflasi sehingga penurunan tersebut lebih besar dari pada dampak tunggal dari simulasi pajak ekspor atau inflasi. 135 VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil estimasi dan pembahasan arus perdagangan karet alam, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ekspor karet alam dunia dalam sepuluh tahun terakhir secara umum cenderung mengalami peningkatan. Hal yang sama juga terjadi pada kuantitas produksi karet alam. Ekspor dan produksi karet alam dunia masih di dominasi oleh Thailand, Indonesia, dan Malaysia, namun terdapat negara eksportir karet alam baru yang mulai diperhitungkan yaitu Vietnam yang terus mengalami peningkatan produksi dan ekspor. Malaysia yang selama ini produksi dan ekspor karet alamnya mengalami penurunan, sejak tahun 2001 kembali meningkat, terkait dengan membaiknya harga karet alam dunia. 2. Konsumsi dan impor karet alam dunia secara umum untuk sepuluh tahun terakhir juga cenderung mengalami peningkatan. Konsumsi karet alam yang semula didominasi oleh Amerika Serikat telah mengalami pergeseran, dimana sejak tahun 2001 China menjadi negara konsumen karet alam terbesar di dunia. Terjadi pergeseran pasar impor dan konsumsi karet alam dunia dari negara-negara maju di utara ke negara-negara berkembang di daerah Asia yang dipelopori oleh China dan India. 3. Perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang menunjukkan tren yang terus meningkat dimana telah terjadi pergeseran jenis karet alam yang diperdagangkan dari dominasi jenis mutu karet sit asap (RSS) menjadi karet jenis mutu spesifikasi teknis (TSR) yang memiliki kualitas dan 136 harga jual yang lebih rendah namun memiliki keunggulan dari segi pengemasan sehingga memudahkan industri pengolahan selaku konsumen. Ekspor karet alam Thailand juga menunjukkan tren atau kecenderungan yang juga meningkat, dengan diversifikasi ekspor jenis mutu karet alam yang lebih baik dari pada Indonesia. 4. Faktor dominan yang mempengaruhi permintaan impor karet alam Amerika Serikat adalah pendapatan domestik brutonya dengan respon yang elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan kecepatan dari koefisien adjustment yang relatif besar. Sedangkan kuantitas impornya tidak responsif terhadap perubahan harga riil impor karet alam Amerika Serikat. 5. Secara umum permintaan impor karet alam Jepang tidak responsif terhadap perubahan harga impor karet alam dan perubahan pendapatan domestik brutonya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Elastisitas pendapatannya lebih besar dari pada elastisitas harga, hal ini menunjukkan bahwa dampak perubahan pada pendapatan akan lebih besar dari pada jika terjadi perubahan pada harga impornya. 6. Permintaan ekspor karet alam Thailand lebih elastis terhadap perubahan pada permintaan total impor karet alam Amerika Serikat maupun Jepang, sedangkan permintaan ekspor karet alam Indonesia lebih responsif terhadap perubahan pada harga relatif. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan ekspor karet alam ke Thailand lebih didasarkan pada kualitas sedangkan permintaan ekspor karet alam Indonesia lebih didasarkan pada harga. 7. Harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang responsif terhadap perubahan harga karet alam dunia namun tidak dapat ditransmisikan dengan 137 baik pada permintaan impor dan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand di pasar karet alam karena perubahan rasio harga yang inelastis. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia responsif terhadap perubahan harga ekspor karet alam pada jangka panjang. 8. Nilai elastisitas harga ekspor karet alam Indonesia yang lebih besar dibandingkan dengan Thailand untuk pasar Amerika Serikat menunjukkan dominasi ekspor karet alam Indonesia di pasar Amerika Serikat. Sedangkan dominasi ekspor karet alam Thailand adalah di pasar Jepang karena elastisitasnya yang lebih besar dari pada Indonesia. Secara umum nilai elastisitas harga ekspor karet alam adalah inelastis pada jangka pendek dan elastis pada jangka panjang yang menunjukkan bahwa komoditas karet alam merupakan produk tanaman keras hasil perkebunan. Komoditas perkebunan ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses produksinya dari penanaman sampai tanaman tersebut dapat menghasilkan sehingga usahausaha yang dilakukan untuk meningkatkan kuantitas ekspor melalui peningkatkan produksi dalam jangka pendek sulit dilakukan tetapi memungkinkan dalam jangka panjang. 9. Distorsi pasar akibat kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi mempengaruhi volume perdagangan karet alam. Perubahan pendapatan domestik bruto yang terjadi di negara importir efektif mempengaruhi arus perdagangan karet alam disisi importir dibandingkan dengan jika terjadi perubahan pada harga karet alam dunia. 10. Kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi dari sisi negara eksportir ternyata menunjukkan bahwa distorsi melalui depresiasi mata uang 138 dan inflasi lebih besar pengaruhnya untuk meningkatkan volume ekspor dari pada dengan pengenaan pajak. 8.2. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan maka implikasi kebijakan yang dapat disarankan adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan upaya untuk mempertahankan dominasi pangsa pasar karet alam Indonesia di Amerika Serikat dan mencari pasar baru bagi pengembangan ekspor karet alam Indonesia mengingat mulai jenuhnya pasar karet alam Amerika Serikat. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan pangsa di Amerika Serikat, karena volume impor karet alamnya elastis terhadap perubahan pendapatan, adalah dengan kontinuitas ketersediaan komoditas ekspor karet alam sehingga peningkatan pendapatan di Amerika Serikat yang diharapkan dapat meningkatkan permintaan karet alam, akan dapat segera direspon dan dipenuhi oleh eksportir. 2. Untuk pasar di Jepang perlu dilakukan penetrasi pasar melalui pendekatanpendekatan terhadap importir dengan misi perdagangan yang menawarkan keunggulan karet alam Indonesia dari segi harga karena volume impor karet alam Jepang yang elastis terhadap perubahan harga. 3. Peningkatan daya saing ekspor karet alam Indonesia untuk mempertahankan dan memperluas pangsa pasar dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi produksi dan peningkatan kualitas hasil olahan karet. 4. Perencanaan pengembangan ekspor karet alam Indonesia dapat diarahkan pada industri barang jadi karet alam dalam negeri untuk mendapatkan nilai 139 tambah bagi devisa negara dan mengembangkan konsumsi karet alam dalam negeri. Namun usaha tersebut harus didukung oleh perbaikan dalam peraturan perundang-undangan terutama yang terkait dengan pengenaan pajak pertambahan nilai terhadap komoditas karet alam di pasar domestik dimana nilainya dipertimbangkan kembali agar memberikan lingkungan perdagangan karet alam domestik yang lebih kondusif. 5. Kerjasama perdagangan antar negara eksportir dapat terus dilakukan untuk mengantisipasi dan mengendalikan fluktuasi harga karena penawaran dan permintaan ekspor karet alam terdistorsi oleh adanya cadangan karet alam yang dimiliki konsumen. 8.3. Saran Penelitian Lanjutan Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan. 1. Penelitian ini tidak membedakan karet alam berdasarkan jenis mutunya. Perlu dilakukan penelitian karet alam berdasarkan jenis mutu yang spesifik untuk mengetahui jenis mutu karet yang berpotensi dikembangkan. 2. Fokus perdagangan dalam penelitian ini hanya pada negara importir karet alam Indonesia tradisional yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Penelitian lanjutan diharapkan dapat membahas pasar karet alam yang berpotensi yaitu China dan India karena kedua negara tersebut tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga produsen karet alam. 140 DAFTAR PUSTAKA Anwar, C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar International: Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Association of Natural Rubber Producing Countries. 2005. Quarterly Natural Rubber Statistical Bulletin. Volume 29(4) January 2005. Secretariat of The ANRPC, Kuala Lumpur. Balance of Payment Statistics Team Data Management Bank of Thailand. 2005. Export and Import Commodity in Quantity and Value. (Website http://www.bot.or.th) (2 Juni 2005). Biro Pusat Statistik. 2001. Statistik Tahunan Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. _______________. 2004. Statistik Tahunan Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Bisnis Indonesia. 27 Maret 2003. Skema Manajemen Supply Karet Ditunda. Bisnis Indonesia, Jakarta. Budiman, A.F.S. 2003. Recent Development In Natural Rubber Prices. International Rubber Study Group, London. Burger, K. and H.P. Smith. 2000. Natural Rubber in The Coming Decade, Policies and Projections. Internasional Rubber Forum. International Rubber Study Group. Antwerp, Belgium. Cantavella, M., A. Cuadros, I. Fernandez and C. Suarez. 2001. The Atlantic Trade of the European Union: MERCOSUR and NAFTA. Department of Economics and International Economic Institute, Valencia. Deliarnov. 2003. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Rajawali Pers, Jakarta. Departemen Perdagangan. 1989. Perubahan Struktur Industri Karet Dunia dan Dampaknya Terhadap Perkaretan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Jakarta. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 1997. Perkembangan Industri Karet dan Barang Jadi Karet. Pusat Data dan Informasi Deperindag, Jakarta. _____________________________________. 2004. Statistik Perdagangan Karet Alam. Pusat Data dan Informasi Deperindag, Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2001. Statistik Perkebunan Indonesia 1999-2001: Karet. Departemen Pertanian, Jakarta. Dradjat, B. 2001. Perkembangan dan Prospek Komoditas Karet. Tinjauan Komoditas Perkebunan 2. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia dan Direktorat Jenderal Perkebunan, Bogor. 141 Elwamendri. 2000. Perdagangan Karet Alam Antara Negara Produsen Utama dan Amerika Serikat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. John Wiley, Alabama. Gapkindo. 2004. Indonesia Natural Rubber Statistics Book . Gabungan Pengusaha Karet Indonesia, Jakarta. Girsang, E.S.U. 23 Agustus 2005. Sejuta Persoalan Hambat Produksi Karet. Bisnis Indonesia, Jakarta. Harris, R. 1999. Using Cointegration Analysis in Econometric Modelling, T.J. Press, London. Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory: A Mathematical Approach. Third Edition. McGraw Hill, Singapore. Hendratno, S. 1989. Analisis Pasar Karet Alam TSR dan RSS Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heriawan, R. 2002. Dampak Pemberlakuan CEPT Pada Perkembangan Ekspor-Impor Indonesia dan Implikasinya pada Daerah Potensi Ekspor. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Honggokusumo, S. 2003. Perkembangan dan Prospek Pasar Karet Alam Dunia. Makalah Seminar di Puslitbang Sembawa, 2 September 2003, Palembang. International Monetary Fund (IMF). 2005. International Financial Statistics 1996-2005. International Monetary Fund, Washington D.C. International Rubber Study Group (IRSG). 1998. Rubber Statistical Bulletin, 52(6) March 1998. International Rubber Study Group, Wembley, London. Japan Rubber Manufacturers Association. 2005. Report of Natural Rubber Japan Import. (Website http://www.jrma.gr.jp) (23 Mei 2005). Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2000. International Economics: Theory and Policy. Fifth Edition. Addison-Wesley Publishing Company, Massachusetts. Limbong, W.H. 1994. Keragaan Karet Alam Indonesia Ditinjau Dari Jenis Pengusahaan dan Wilayah Produksi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mankiw, N.G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Penerbit Airlangga, Jakarta. Mubyarto dan Dewanta A.S. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Karet. Aditya Media, Yogyakarta. Niemi, J. 2003. Cointegration and Error Correction Modelling of Agricultural Commodity Trade: The Case of ASEAN Agricultural Export to The EU. Faculty of Agriculture and Forestry, University of Helsinki, Helsinki. 142 ________. 2003. European Market for ASEAN Agricultural Exports: An Econometric Model for Forecasting Trade Flows. International Conference Agricultural Policy and The WTO. WTO, Capri. Pesaran, B and M.H. Pesaran. 1997. Working with Microfit 4.0 Interactive Econometric Analysis. Oxford University Press, New York. Rao, B. 1994. Cointegration For The Applied Economist. St. Martin Press, New York. Saleh, D. 1991. Optimalisasi Produksi dan Pemasaran Karet Alam Indonesia dalam Dinamika Struktur Industri Karet Dunia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga, Jakarta. Seddighi, H.R., K.A. Lawler and A.V. Katos. 2000. Econometrics: A Practical Approach. Routledge, London. Shigetomi, S. 1995. The Transmission of Information in The Transacting of Primary Product: the Case of Quality Improvement in Thailand’s Natural Rubber Production. The Developing Economies 33:203-221. Sinuraya, J.F. 2000. Respon Produksi dan Ekspor Karet Sumatera Utara. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, H. 2000. Alternative Theories of International Trade and Their Empirical Support/Rejection: Is The Comparative Advantage Theory Absolute. Mimbar Sosek. Vol (13): 57-65. _________. 2004. Pangsa Sektor Pertanian Jangka Panjang dan Dinamika Ekspor Pertanian: Aplikasi ECM dan VECM. Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian dan Fakultas Ekonomi Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syaraf, A.U. 1985. Pendugaan Fungsi Suplai Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Singapura. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tety, E. 2002. Penawaran dan Permintaan Karet Alam Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics: An Introduction. Addison Wesley Longman Limited, Harlow. Tweeten, L. 1992. Agricultural Trade: Principles and Policies. West view Press, San Fransisco. United State International Trade Commission. 2005. Import Commodity Statistics. (Website http://www.usitc.gov) (31 Mei 2005). Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley and Sons, Singapore. 143 Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 144 LAMPIRAN 145 Lampiran 1. Data dan Sumber Data Dalam Log Sumber Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo Gapkindo Diolah Diolah Diolah IFS-IMF Diolah Tahun XSI XVI XSIA XSVIA XSIJ XSVIJ PI PIAS PIJS ERIA ERIJ 1995Q1 19.51 27.71 18.87 19.36 15.94 21.03 8.20 0.49 5.09 7.70 3.13 1995Q2 19.57 27.81 18.90 19.43 16.00 20.98 8.24 0.53 4.99 7.71 3.27 1995Q3 19.67 27.68 18.87 19.17 16.40 21.23 8.01 0.30 4.84 7.72 3.18 1995Q4 19.70 27.71 18.80 19.08 17.02 21.88 8.01 0.29 4.86 7.74 3.12 1996Q1 19.63 27.80 18.86 19.29 16.77 21.85 8.17 0.43 5.08 7.75 3.09 1996Q2 19.71 27.80 18.80 19.14 17.08 22.08 8.09 0.33 5.00 7.76 3.08 1996Q3 19.73 27.69 18.90 19.11 17.16 22.07 7.96 0.20 4.91 7.76 3.07 1996Q4 19.71 27.68 18.92 19.14 17.29 22.24 7.97 0.22 4.95 7.76 3.04 1997Q1 19.71 27.68 18.87 19.06 17.01 22.00 7.97 0.19 4.99 7.78 2.99 1997Q2 19.62 27.54 18.71 18.84 16.99 21.91 7.92 0.12 4.92 7.80 3.01 1997Q3 19.70 27.64 18.88 18.89 17.17 21.94 7.93 0.01 4.77 7.93 3.16 1997Q4 19.68 27.89 18.84 18.75 16.83 21.63 8.22 -0.09 4.80 8.30 3.47 1998Q1 19.68 28.57 18.85 18.59 16.77 21.43 8.89 -0.27 4.65 9.15 4.30 1998Q2 19.58 28.50 18.73 18.43 16.36 20.89 8.92 -0.31 4.54 9.26 4.34 1998Q3 20.16 29.14 19.39 18.93 17.07 21.44 8.98 -0.45 4.37 9.41 4.47 1998Q4 19.80 28.25 18.98 18.48 17.21 21.41 8.45 -0.49 4.20 8.98 4.19 1999Q1 19.78 28.28 18.96 18.42 17.44 21.62 8.49 -0.54 4.18 9.08 4.32 1999Q2 19.67 28.06 18.88 18.29 17.09 21.29 8.39 -0.59 4.20 8.98 4.18 1999Q3 19.76 28.16 19.27 18.52 17.23 21.43 8.40 -0.76 4.20 8.93 4.19 1999Q4 19.74 28.05 19.20 18.45 17.27 21.26 8.32 -0.75 3.99 8.88 4.23 2000Q1 19.58 28.14 18.77 18.42 17.05 21.37 8.56 -0.35 4.32 8.91 4.23 2000Q2 19.63 28.25 18.73 18.33 17.39 21.63 8.62 -0.40 4.24 9.02 4.35 2000Q3 19.81 28.38 18.78 18.27 17.69 21.85 8.57 -0.51 4.17 9.07 4.39 2000Q4 19.59 28.23 18.77 18.27 17.39 21.58 8.64 -0.49 4.19 9.14 4.44 2001Q1 19.57 28.25 18.62 18.14 17.42 21.68 8.68 -0.49 4.26 9.19 4.42 2001Q2 19.64 28.37 18.61 18.02 17.31 21.50 8.73 -0.60 4.19 9.33 4.52 2001Q3 19.91 28.42 18.80 18.15 17.68 21.79 8.51 -0.66 4.11 9.17 4.37 2001Q4 19.69 28.24 18.65 17.96 17.34 21.44 8.55 -0.69 4.10 9.25 4.43 2002Q1 19.62 28.18 18.71 18.02 17.61 21.85 8.56 -0.69 4.24 9.23 4.34 2002Q2 19.80 28.45 18.96 18.48 17.69 22.14 8.64 -0.48 4.45 9.11 4.27 2002Q3 19.82 28.65 18.88 18.59 17.88 22.42 8.83 -0.29 4.54 9.10 4.32 2002Q4 19.70 28.66 18.67 18.50 17.86 22.68 8.96 -0.17 4.82 9.11 4.30 2003Q1 19.80 28.74 18.83 18.66 17.79 22.45 8.95 -0.17 4.67 9.09 4.32 2003Q2 19.77 28.71 18.85 18.74 17.70 22.50 8.94 -0.11 4.80 9.05 4.27 2003Q3 19.89 28.77 18.74 18.57 17.94 22.49 8.88 -0.17 4.56 9.04 4.27 2003Q4 19.92 28.94 18.87 18.89 18.00 22.68 9.02 0.02 4.69 9.05 4.36 2004Q1 19.85 29.06 18.90 19.08 17.74 22.61 9.22 0.18 4.87 9.04 4.37 2004Q2 19.96 29.22 18.83 18.98 17.97 22.87 9.26 0.15 4.90 9.11 4.41 2004Q3 20.05 29.30 18.90 19.05 17.91 22.66 9.25 0.15 4.75 9.12 4.42 2004Q4 20.00 29.27 18.85 19.02 17.75 22.59 9.27 0.16 4.85 9.12 4.46 Keterangan: - Gapkindo - IFS-IMF - BOT - USITC - JRMA : Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia : International Financial Statistics-International Monetary Fund : Central Bank of Thailand : United State International Trade Commission : Japan Rubber Manufacturers Association 146 Lampiran 1. Lanjutan Sumber IFS-IMF BOT BOT Tahun DI XST XVT XSTA XSVTA XSTJ BOT BOT BOT 1995Q1 3.75 19.98 23.56 18.12 18.51 1995Q2 3.78 19.81 23.49 17.86 1995Q3 3.79 19.93 23.39 1995Q4 3.80 19.86 1996Q1 3.85 1996Q2 BOT Diolah Diolah Diolah IFS-IMF XSVTJ PT PTAS PTJS ERTA 18.85 23.82 3.58 0.39 4.97 3.22 18.36 18.76 23.74 3.68 0.50 4.98 3.20 17.93 18.20 18.65 23.56 3.46 0.27 4.91 3.22 23.36 17.82 18.07 18.68 23.62 3.50 0.25 4.93 3.22 20.04 23.65 17.87 18.24 18.80 23.89 3.61 0.38 5.09 3.23 3.85 19.70 23.24 17.53 17.89 18.55 23.61 3.55 0.36 5.06 3.23 1996Q3 3.86 20.11 23.55 18.07 18.27 18.78 23.75 3.44 0.20 4.97 3.23 1996Q4 3.87 20.07 23.46 17.83 17.96 18.58 23.51 3.39 0.14 4.92 3.24 1997Q1 3.89 20.10 23.49 18.02 18.15 18.89 23.88 3.39 0.14 4.99 3.25 1997Q2 3.90 19.72 23.05 17.71 17.78 18.43 23.37 3.33 0.08 4.95 3.25 1997Q3 3.93 20.03 23.42 17.84 17.77 18.74 23.54 3.39 -0.08 4.80 3.50 1997Q4 3.96 20.06 23.53 18.10 17.89 18.74 23.50 3.46 -0.20 4.76 3.71 1998Q1 4.13 20.24 23.73 18.20 17.92 18.77 23.50 3.49 -0.28 4.73 3.85 1998Q2 4.30 19.81 23.12 18.04 17.68 18.36 22.98 3.31 -0.36 4.62 3.70 1998Q3 4.49 20.07 23.33 18.23 17.83 18.75 23.37 3.27 -0.40 4.62 3.72 1998Q4 4.53 19.94 23.08 17.96 17.54 18.52 22.93 3.13 -0.42 4.41 3.61 1999Q1 4.58 19.99 23.07 17.92 17.45 18.71 23.05 3.09 -0.47 4.34 3.61 1999Q2 4.57 19.81 22.86 17.80 17.26 18.48 22.83 3.05 -0.54 4.35 3.61 1999Q3 4.55 20.07 23.08 18.08 17.49 18.66 22.86 3.02 -0.59 4.20 3.64 1999Q4 4.55 20.26 23.39 18.21 17.71 18.78 22.93 3.13 -0.49 4.15 3.66 2000Q1 4.57 20.05 23.18 18.34 17.90 18.26 22.45 3.13 -0.44 4.19 3.63 2000Q2 4.59 20.24 23.44 18.42 18.00 18.84 23.12 3.20 -0.42 4.28 3.65 2000Q3 4.61 20.32 23.46 18.32 17.81 18.72 23.01 3.14 -0.51 4.29 3.71 2000Q4 4.65 20.43 23.64 18.05 17.55 18.82 23.13 3.21 -0.50 4.30 3.77 2001Q1 4.67 20.21 23.40 18.09 17.57 18.67 23.02 3.19 -0.52 4.35 3.77 2001Q2 4.70 20.14 23.31 18.20 17.59 18.58 22.91 3.17 -0.62 4.32 3.81 2001Q3 4.73 20.37 23.52 18.03 17.43 18.65 22.97 3.16 -0.60 4.32 3.80 2001Q4 4.77 20.36 23.40 17.98 17.28 18.45 22.68 3.04 -0.69 4.23 3.79 2002Q1 4.80 20.37 23.40 18.14 17.50 18.67 22.93 3.03 -0.64 4.26 3.78 2002Q2 4.81 20.20 23.39 18.23 17.77 18.52 22.87 3.19 -0.46 4.35 3.76 2002Q3 4.83 20.40 23.76 18.15 17.83 18.90 23.40 3.36 -0.32 4.49 3.74 2002Q4 4.86 20.46 23.94 18.14 17.93 18.75 23.41 3.48 -0.21 4.65 3.77 2003Q1 4.87 20.69 24.22 18.30 18.13 18.84 23.46 3.54 -0.17 4.63 3.76 2003Q2 4.87 20.31 23.90 17.95 17.85 18.68 23.43 3.59 -0.10 4.75 3.74 2003Q3 4.88 20.42 24.00 17.86 17.76 18.79 23.55 3.58 -0.10 4.76 3.72 2003Q4 4.90 20.43 24.19 17.94 18.07 18.62 23.47 3.77 0.13 4.85 3.68 2004Q1 4.93 20.48 24.28 18.16 18.35 18.64 23.54 3.80 0.19 4.90 3.67 2004Q2 4.95 20.29 24.14 17.86 17.68 18.60 23.57 3.85 -0.18 4.97 3.69 2004Q3 4.96 20.33 24.16 18.03 18.19 18.53 23.50 3.82 0.17 4.97 3.72 2004Q4 4.97 20.63 24.44 18.08 18.25 18.93 23.82 3.81 0.17 4.89 3.70 Keterangan: - Gapkindo - IFS-IMF - BOT - USITC - JRMA : Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia : International Financial Statistics-International Monetary Fund : Central Bank of Thailand : United State International Trade Commission : Japan Rubber Manufacturers Association 147 Lampiram 1. Lanjutan Sumber Diolah USITC USITC USITC USITC Tahun ERTJ DT MDA MVA XDIA XDVIA XDTA XDVTA PA PDIA PDTA 1995Q1 -1.35 4.37 19.43 19.86 18.87 19.36 18.12 18.51 0.42 0.49 0.39 1995Q2 -1.23 4.39 19.46 20.08 18.90 19.43 17.86 18.36 0.62 0.53 0.50 1995Q3 -1.33 4.41 19.32 19.88 18.87 19.17 17.93 18.20 0.57 0.30 0.27 1995Q4 -1.40 4.43 19.30 19.67 18.80 19.08 17.82 18.07 0.37 0.29 0.25 1996Q1 -1.43 4.44 19.45 19.91 18.86 19.29 17.87 18.24 0.46 0.43 0.38 1996Q2 -1.45 4.45 19.26 19.77 18.80 19.14 17.53 17.89 0.50 0.33 0.36 1996Q3 -1.46 4.46 19.32 19.69 18.90 19.11 18.07 18.27 0.37 0.20 0.20 1996Q4 -1.49 4.47 19.44 19.76 18.92 19.14 17.83 17.96 0.32 0.22 0.14 1997Q1 -1.54 4.48 19.47 19.76 18.87 19.06 18.02 18.15 0.29 0.19 0.14 1997Q2 -1.53 4.49 19.35 19.62 18.71 18.84 17.71 17.78 0.27 0.12 0.08 1997Q3 -1.27 4.52 19.38 19.56 18.88 18.89 17.84 17.77 0.18 0.01 -0.08 1997Q4 -1.12 4.54 19.41 19.48 18.84 18.75 18.10 17.89 0.07 -0.09 -0.20 1998Q1 -1.00 4.57 19.48 19.45 18.85 18.59 18.20 17.92 -0.03 -0.27 -0.28 1998Q2 -1.21 4.59 19.44 19.40 18.73 18.43 18.04 17.68 -0.04 -0.31 -0.36 1998Q3 -1.23 4.60 19.61 19.44 19.39 18.93 18.23 17.83 -0.17 -0.45 -0.40 1998Q4 -1.18 4.59 19.54 19.30 18.98 18.48 17.96 17.54 -0.24 -0.49 -0.42 1999Q1 -1.15 4.59 19.46 19.13 18.96 18.42 17.92 17.45 -0.34 -0.54 -0.47 1999Q2 -1.18 4.58 19.42 19.06 18.88 18.29 17.80 17.26 -0.37 -0.59 -0.54 1999Q3 -1.09 4.59 19.47 19.08 19.27 18.52 18.08 17.49 -0.38 -0.76 -0.59 1999Q4 -0.99 4.59 19.53 19.15 19.20 18.45 18.21 17.71 -0.38 -0.75 -0.49 2000Q1 -1.05 4.60 19.65 19.39 18.77 18.42 18.34 17.90 -0.26 -0.35 -0.44 2000Q2 -1.02 4.60 19.68 19.44 18.73 18.33 18.42 18.00 -0.23 -0.40 -0.42 2000Q3 -0.97 4.61 19.34 19.08 18.78 18.27 18.32 17.81 -0.27 -0.51 -0.51 2000Q4 -0.93 4.61 19.47 19.16 18.77 18.27 18.05 17.55 -0.31 -0.49 -0.50 2001Q1 -1.01 4.62 19.37 19.10 18.62 18.14 18.09 17.57 -0.27 -0.49 -0.52 2001Q2 -0.99 4.63 19.25 18.95 18.61 18.02 18.20 17.59 -0.30 -0.60 -0.62 2001Q3 -1.00 4.63 19.47 19.05 18.80 18.15 18.03 17.43 -0.41 -0.66 -0.60 2001Q4 -1.03 4.62 19.25 18.81 18.65 17.96 17.98 17.28 -0.44 -0.69 -0.69 2002Q1 -1.11 4.62 19.38 18.89 18.71 18.02 18.14 17.50 -0.49 -0.69 -0.64 2002Q2 -1.09 4.63 19.50 19.11 18.96 18.48 18.23 17.77 -0.38 -0.48 -0.46 2002Q3 -1.04 4.63 19.77 19.28 18.88 18.59 18.15 17.83 -0.48 -0.29 -0.32 2002Q4 -1.04 4.63 19.44 19.33 18.67 18.50 18.14 17.93 -0.11 -0.17 -0.21 2003Q1 -1.02 4.64 19.55 19.48 18.83 18.66 18.30 18.13 -0.06 -0.17 -0.17 2003Q2 -1.03 4.65 19.52 19.55 18.85 18.74 17.95 17.85 0.03 -0.11 -0.10 2003Q3 -1.05 4.65 19.43 19.46 18.74 18.57 17.86 17.76 0.03 -0.17 -0.10 2003Q4 -1.01 4.65 19.28 19.38 18.87 18.89 17.94 18.07 0.10 0.02 0.13 2004Q1 -1.01 4.66 19.51 19.78 18.90 19.08 18.16 18.35 0.26 0.18 0.19 2004Q2 -1.00 4.67 19.53 19.88 18.83 18.98 17.86 17.68 0.34 0.15 -0.18 2004Q3 -0.98 4.68 19.36 19.68 18.90 19.05 18.03 18.19 0.32 0.15 0.17 2004Q4 -0.97 4.68 19.52 19.82 18.85 19.02 18.08 18.25 0.29 0.16 0.17 Keterangan: - Gapkindo - IFS-IMF - BOT - USITC - JRMA IFS-IMF USITC USITC Diolah Diolah Diolah : Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia : International Financial Statistics-International Monetary Fund : Central Bank of Thailand : United State International Trade Commission : Japan Rubber Manufacturers Association 148 Lampiran 1. Lanjutan Sumber JRMA JRMA JRMA JRMA Tahun IFS-IMF IFS-IMF JRMA YA DA MDJ MVJ XDIJ XDVIJ XDTJ XDVTJ Diolah Diolah Diolah PJ PDIJ 1995Q1 22.84 4.47 19.04 24.01 15.94 21.03 18.85 PDTJ 23.82 0.40 5.09 1995Q2 22.84 4.48 18.91 23.96 16.00 20.98 4.97 18.76 23.74 0.62 4.99 1995Q3 22.85 4.49 18.95 23.95 16.40 4.98 21.23 18.65 23.56 0.45 4.84 1995Q4 22.86 4.49 18.99 23.94 4.91 17.02 21.88 18.68 23.62 0.33 4.86 1996Q1 22.86 4.50 19.08 4.93 24.18 16.77 21.85 18.80 23.89 0.44 5.08 1996Q2 22.87 4.51 5.09 18.84 23.95 17.08 22.08 18.55 23.61 0.43 5.00 1996Q3 22.88 5.06 4.52 19.11 24.17 17.16 22.07 18.78 23.75 0.36 4.91 1996Q4 4.97 22.89 4.52 19.00 23.99 17.29 22.24 18.58 23.51 0.27 4.95 4.92 1997Q1 22.89 4.53 19.15 24.19 17.01 22.00 18.89 23.88 0.24 4.99 4.99 1997Q2 22.91 4.53 18.83 23.85 16.99 21.91 18.43 23.37 0.24 4.92 4.95 1997Q3 22.92 4.54 18.99 23.91 17.17 21.94 18.74 23.54 0.15 4.77 4.80 1997Q4 22.92 4.54 19.10 24.01 16.83 21.63 18.74 23.50 0.07 4.80 4.76 1998Q1 22.94 4.54 19.10 23.92 16.77 21.43 18.77 23.50 -0.02 4.65 4.73 1998Q2 22.94 4.55 18.75 23.51 16.36 20.89 18.36 22.98 -0.15 4.54 4.62 1998Q3 22.95 4.55 18.97 23.66 17.07 21.44 18.75 23.37 -0.25 4.37 4.62 1998Q4 22.96 4.56 18.95 23.49 17.21 21.41 18.52 22.93 -0.24 4.20 4.41 1999Q1 22.97 4.56 19.10 23.54 17.44 21.62 18.71 23.05 -0.32 4.18 4.34 1999Q2 22.98 4.57 18.98 23.40 17.09 21.29 18.48 22.83 -0.38 4.20 4.35 1999Q3 22.98 4.58 18.96 23.29 17.23 21.43 18.66 22.86 -0.40 4.20 4.20 1999Q4 23.00 4.58 19.16 23.36 17.27 21.26 18.78 22.93 -0.45 3.99 4.15 2000Q1 23.00 4.59 19.10 23.37 17.05 21.37 18.26 22.45 -0.40 4.32 4.19 2000Q2 23.01 4.60 19.05 23.41 17.39 21.63 18.84 23.12 -0.31 4.24 4.28 2000Q3 23.01 4.61 19.10 23.47 17.69 21.85 18.72 23.01 -0.31 4.17 4.29 2000Q4 23.01 4.62 19.22 23.59 17.39 21.58 18.82 23.13 -0.32 4.19 4.30 2001Q1 23.01 4.63 19.02 23.44 17.42 21.68 18.67 23.02 -0.35 4.26 4.35 2001Q2 23.01 4.64 19.06 23.49 17.31 21.50 18.58 22.91 -0.38 4.19 4.32 2001Q3 23.01 4.64 19.05 23.60 17.68 21.79 18.65 22.97 -0.25 4.11 4.32 2001Q4 23.02 4.63 18.85 23.16 17.34 21.44 18.45 22.68 -0.51 4.10 4.23 2002Q1 23.03 4.64 18.98 23.32 17.61 21.85 18.67 22.93 -0.55 4.24 4.26 2002Q2 23.03 4.65 18.96 23.36 17.69 22.14 18.52 22.87 -0.44 4.45 4.35 2002Q3 23.03 4.65 19.15 23.64 17.88 22.42 18.90 23.40 -0.30 4.54 4.49 2002Q4 23.04 4.66 19.23 23.89 17.86 22.68 18.75 23.41 -0.15 4.82 4.65 2003Q1 23.04 4.67 19.11 23.78 17.79 22.45 18.84 23.46 -0.11 4.67 4.63 2003Q2 23.05 4.67 19.13 23.88 17.70 22.50 18.68 23.43 -0.03 4.80 4.75 2003Q3 23.06 4.67 19.16 23.94 17.94 22.49 18.79 23.55 0.01 4.56 4.76 2003Q4 23.08 4.67 19.06 23.83 18.00 22.68 18.62 23.47 0.08 4.69 4.85 2004Q1 23.08 4.68 19.16 23.94 17.74 22.61 18.64 23.54 0.20 4.87 4.90 2004Q2 23.09 4.70 19.17 23.98 17.97 22.87 18.60 23.57 0.22 4.90 4.97 2004Q3 23.10 4.70 19.18 24.02 17.91 22.66 18.53 23.50 0.25 4.75 4.97 2004Q4 23.11 4.71 19.19 24.05 17.75 22.59 18.93 23.82 0.27 4.85 4.89 Keterangan: - Gapkindo - IFS-IMF - BOT - USITC - JRMA JRMA : Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia : International Financial Statistics-International Monetary Fund : Central Bank of Thailand : United State International Trade Commission : Japan Rubber Manufacturers Association 149 Lampiran 1. Lanjutan Sumber IFS-IMF IFS-IMF IFS-IMF Diolah Keterangan: - Gapkindo - IFS-IMF - BOT - USITC - JRMA Tahun YJ ERJA DJ PW 1995Q1 22.34 4.57 4.59 0.18 1995Q2 22.48 4.44 4.59 0.22 1995Q3 22.38 4.54 4.59 0.24 1995Q4 22.31 4.62 4.59 0.23 1996Q1 22.30 4.66 4.59 0.20 1996Q2 22.27 4.68 4.59 0.19 1996Q3 22.26 4.69 4.59 0.18 1996Q4 22.23 4.73 4.59 0.19 1997Q1 22.18 4.80 4.59 0.18 1997Q2 22.16 4.78 4.61 0.17 1997Q3 22.18 4.77 4.61 0.15 1997Q4 22.11 4.83 4.62 0.16 1998Q1 22.12 4.85 4.61 0.03 1998Q2 22.05 4.91 4.62 0.03 1998Q3 22.01 4.94 4.61 0.03 1998Q4 22.16 4.79 4.62 0.01 1999Q1 22.19 4.76 4.61 0.00 1999Q2 22.17 4.80 4.61 -0.01 1999Q3 22.23 4.73 4.61 -0.01 1999Q4 22.30 4.65 4.61 0.00 2000Q1 22.29 4.67 4.60 0.01 2000Q2 22.29 4.67 4.61 0.03 2000Q3 22.29 4.68 4.60 0.06 2000Q4 22.28 4.70 4.60 0.07 2001Q1 22.21 4.77 4.60 0.08 2001Q2 22.15 4.81 4.60 0.09 2001Q3 22.15 4.80 4.60 0.08 2001Q4 22.13 4.82 4.59 0.05 2002Q1 22.07 4.89 4.59 0.03 2002Q2 22.10 4.84 4.59 0.03 2002Q3 22.18 4.78 4.59 0.05 2002Q4 22.14 4.81 4.59 0.07 2003Q1 22.17 4.78 4.58 0.09 2003Q2 22.18 4.77 4.59 0.09 2003Q3 22.19 4.77 4.59 0.11 2003Q4 22.27 4.69 4.58 0.13 2004Q1 22.30 4.67 4.58 0.34 2004Q2 22.27 4.70 4.58 0.32 2004Q3 22.27 4.70 4.59 0.24 2004Q4 22.30 4.66 4.59 0.30 : Gabungan Pengusaha Karet Alam Indonesia : International Financial Statistics-International Monetary Fund : Central Bank of Thailand : United State International Trade Commission : Japan Rubber Manufacturers Association 150 Lampiran 2. Proses Penyusunan Analisis Uji Unit Root Dengan Microfit 4.0 lmda=log(mda); lya=log(ya); pada=pa*100/da; lpada=log(pada); lmdj=log(mdj); lyj=log(yj); pjdj=pj*100/dj; lpjdj=log(pjdj); lxdia=log(xdia); pdia=piad/eria; pdiapa=pdia/pa; lpdiapa=log(pdiapa); lxdij=log(xdij); pdij=pijd/erij; pdijpj=pdij/pj; lpdijpj=log(pdijpj); lxdta=log(xdta); pdta=ptad/erta; pdtapa=pdta/pa; lpdtapa=log(pdtapa); lxdtj=log(xdtj); pdtj=ptjd/ertj; pdtjpj=pdtj/pj; lpdtjpj=log(pdtjpj); lpa=log(pa); lpj=log(pj); lpw=log(pw); lxsi=log(xsi); pidi=pi*100/di; lpidi=log(pidi); lxsia=log(xsia); psia=pias*eria; psiadi=psia*100/di; lpsiadi=log(psiadi); lxsij=log(xsij); psij=pijs*erij; psijdi=psij*100/di; lpsijdi=log(psijdi); lxst=log(xst); ptdt=pt*100/dt; lptdt=log(ptdt); lxsta=log(xsta); psta=ptas*erta; pstadt=psta*100/dt; lpstadt=log(pstadt); lxstj=log(xstj); pstj=ptjs*ertj; pstjdt=pstj*100/dt; lpstjdt=log(pstjdt); adf lmda; adf lya; adf lpada; adf lmdj; adf lyj; adf lpjdj; adf lxdia; adf lpdiapa; adf lxdij; adf lpdijpj; adf lxdta; adf lpdtapa; adf lxdtj; adf lpdtjpj; adf lpa; adf lpj; adf lpw; adf lxsi; adf lpidi; adf lxsia; adf lpsiadi; adf lxsij; adf lpsijdi; adf lxst; adf lptdt; adf lxsta; adf lpstadt; adf lxstj; adf lpstjdt; dlmda=lmda-lmda(-1); dlya=lya-lya(-1); dlpada=lpada-lpada(-1); dlmdj=lmdj-lmdj(-1); dlyj=lyj-lyj(-1); dlpjdj=lpjdj-lpjdj(-1); dlxdia=lxdia-lxdia(-1); dlpdiapa=lpdiapa-lpdiapa(-1); dlxdij=lxdij-lxdij(-1); dlpdijpj=lpdijpj-lpdijpj(-1); dlxdta=lxdta-lxdta(-1); dlpdtapa=lpdtapa-lpdtapa(-1); dlxdtj=lxdtj-lxdtj(-1); dlpdtjpj=lpdtjpj-lpdtjpj(-1); dlpa=lpa-lpa(-1); dlpj=lpj-lpj(-1); dlpw=lpw-lpw(-1); dlxsi=lxsi-lxsi(-1); dlpidi=lpidi-lpidi(-1); dlxsia=lxsia-lxsia(-1); dlpsiadi=lpsiadi-lpsiadi(-1); dlxsij=lxsij-lxsij(-1); dlpsijdi=lpsijdi-lpsijdi(-1); dlxst=lxst-lxst(-1); dlptdt=lptdt-lptdt(-1); dlxsta=lxsta-lxsta(-1); dlpstadt=lpstadt-lpstadt(-1); dlxstj=lxstj-lxstj(-1); dlpstjdt=lpstjdt-lpstjdt(-1); adf dlya(4); adf dlpada(4); adf dlyj(4); adf dlpjdj(4); adf dlxdij(4); adf dlpdijpj(4); adf dlpdtapa(4); adf dlpdtjpj(4); adf dlpa(4); adf dlpj(4); adf dlpw(4); adf dlpidi(4); adf dlpsiadi(4); adf dlxsij(4); adf dlpsijdi(4); adf dlxst(4); adf dlptdt(4); adf dlxsta(4); adf dlpstadt(4); adf dlpstjdt(4); 151 Lampiran 3. Contoh Hasil Uji Statistik Unit Root Pada Variabel Unit root tests for variable LMDA The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 35 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1996Q2 to 2004Q4 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -4.6070 26.3442 24.3442 22.7888 23.8073 ADF(1) -3.3970 26.3921 23.3921 21.0591 22.5868 ADF(2) -2.7242 26.4821 22.4821 19.3715 21.4083 ADF(3) -2.6902 26.6861 21.6861 17.7977 20.3438 ADF(4) -3.1893 28.2024 22.2024 17.5364 20.5917 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.9472 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable LMDA The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 35 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1996Q2 to 2004Q4 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -4.6424 26.6727 23.6727 21.3397 22.8674 ADF(1) -3.4468 26.6834 22.6834 19.5727 21.6096 ADF(2) -2.7686 26.7237 21.7237 17.8353 20.3814 ADF(3) -2.7638 27.0117 21.0117 16.3456 19.4009 ADF(4) -3.4331 29.1015 22.1015 16.6578 20.2223 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.5426 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable LYA The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 35 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1996Q2 to 2004Q4 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -1.1650 135.1016 133.1016 131.5463 132.5647 ADF(1) -1.0486 135.6805 132.6805 130.3475 131.8752 ADF(2) -.98180 135.7900 131.7900 128.6793 130.7162 ADF(3) -.97718 135.8186 130.8186 126.9303 129.4764 ADF(4) -.99638 136.1117 130.1117 125.4457 128.5010 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.9472 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable LYA The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 35 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1996Q2 to 2004Q4 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -1.7240 136.3221 133.3221 130.9890 132.5167 ADF(1) -1.9170 137.3097 133.3097 130.1990 132.2358 ADF(2) -2.0391 137.7340 132.7340 128.8457 131.3918 ADF(3) -2.0049 137.7644 131.7644 127.0984 130.1537 ADF(4) -2.3503 138.8918 131.8918 126.4481 130.0127 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.5426 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion 152 Lampiran 3. Lanjutan Unit root tests for variable DLYA The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 34 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1996Q3 to 2004Q4 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -4.6034 130.9776 128.9776 127.4513 128.4571 ADF(1) -3.1799 131.1271 128.1271 125.8376 127.3463 ADF(2) -2.8190 131.1503 127.1503 124.0976 126.1092 ADF(3) -2.0759 131.6543 126.6543 122.8384 125.3530 ADF(4) -1.9325 131.6592 125.6592 121.0802 124.0976 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.9499 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable DLYA The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 34 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1996Q3 to 2004Q4 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -4.5692 131.1166 128.1166 125.8270 127.3358 ADF(1) -3.1545 131.2304 127.2304 124.1777 126.1894 ADF(2) -2.8064 131.2634 126.2634 122.4475 124.9621 ADF(3) -2.0548 131.7164 125.7164 121.1374 124.1548 ADF(4) -1.9163 131.7246 124.7246 119.3823 122.9027 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.5468 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable DLPADA The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 34 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1996Q3 to 2004Q4 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -4.9887 30.9165 28.9165 27.3902 28.3960 ADF(1) -2.6865 32.8314 29.8314 27.5419 29.0506 ADF(2) -2.2681 32.8707 28.8707 25.8179 27.8296 ADF(3) -1.5951 33.7805 28.7805 24.9646 27.4791 ADF(4) -1.5222 33.7904 27.7904 23.2113 26.2288 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.9499 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable DLPADA The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 34 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1996Q3 to 2004Q4 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -6.5837 36.0074 33.0074 30.7179 32.2266 ADF(1) -3.9157 36.3097 32.3097 29.2570 31.2687 ADF(2) -3.7036 36.7765 31.7765 27.9606 30.4752 ADF(3) -2.9006 36.8433 30.8433 26.2643 29.2817 ADF(4) -2.8440 36.9416 29.9416 24.5993 28.1197 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.5468 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion 153 Lampiran 4. Hasil Estimasi Permintaan Impor Karet Alam Amerika Serikat Error Correction Representation for the Selected ARDL Model ARDL(1,0,0) selected ******************************************************************************* Dependent variable is dLMDA 36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] dLYA 1.1421 .48713 2.3446[.026] dLPADA -.070505 .063177 -1.1160[.273] dCONST -7.2507 10.5950 -.68435[.499] dD3 -.16100 .061043 -2.6374[.013] ecm(-1) -.97315 .16379 -5.9415[.000] ******************************************************************************* List of additional temporary variables created: dLMDA = LMDA-LMDA(-1) dLYA = LYA-LYA(-1) dLPADA = LPADA-LPADA(-1) dCONST = CONST-CONST(-1) dD3 = D3-D3(-1) ecm = LMDA -1.1737*LYA + .072450*LPADA + 7.4507*CONST + .16544*D3 ******************************************************************************* R-Squared .54161 R-Bar-Squared .48247 S.E. of Regression .10653 F-stat. F( 4, 31) 9.1572[.000] Mean of Dependent Variable .0061413 S.D. of Dependent Variable .14809 Residual Sum of Squares .35183 Equation Log-likelihood 32.2243 Akaike Info. Criterion 27.2243 Schwarz Bayesian Criterion 23.2655 DW-statistic 1.8954 ******************************************************************************* R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable dLMDA and in cases where the error correction model is highly restricted, these measures could become negative. Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach ARDL(1,0,0) selected ******************************************************************************* Dependent variable is LMDA 36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] LYA 1.1737 .47578 2.4668[.019] LPADA -.072450 .064734 -1.1192[.272] CONST -7.4507 10.9137 -.68270[.500] D3 -.16544 .061075 -2.7088[.011] ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 1.9482[.745]*F( 4, 27)= .38618[.817]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= .20573[.650]*F( 1, 30)= .17243[.681]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 3.0413[.219]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .2782E-4[.996]*F( 1, 34)= .2628E-4[.996]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 154 Lampiran 5. Hasil Estimasi Permintaan Impor Karet Alam Jepang Error Correction Representation for the Selected ARDL Model ARDL(1,0,0) selected ******************************************************************************* Dependent variable is dLMDJ 36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] dLYJ .66653 .25164 2.6488[.012] dLPJDJ -.014475 .066934 -.21625[.830] dCONST 4.0066 5.4037 .74145[.464] ecm(-1) -.98318 .17118 -5.7437[.000] ******************************************************************************* List of additional temporary variables created: dLMDJ = LMDJ-LMDJ(-1) dLYJ = LYJ-LYJ(-1) dLPJDJ = LPJDJ-LPJDJ(-1) dCONST = CONST-CONST(-1) ecm = LMDJ -.67794*LYJ + .014722*LPJDJ -4.0751*CONST ******************************************************************************* R-Squared .51228 R-Bar-Squared .46656 S.E. of Regression .10781 F-stat. F( 3, 32) 11.2038[.000] Mean of Dependent Variable .0055844 S.D. of Dependent Variable .14761 Residual Sum of Squares .37191 Equation Log-likelihood 31.2252 Akaike Info. Criterion 27.2252 Schwarz Bayesian Criterion 24.0582 DW-statistic 2.0201 ******************************************************************************* R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable dLMDJ and in cases where the error correction model is highly restricted, these measures could become negative. Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach ARDL(1,0,0) selected ******************************************************************************* Dependent variable is LMDJ 36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] LYJ .67794 .24233 2.7976[.009] LPJDJ -.014722 .068193 -.21589[.830] CONST 4.0751 5.3648 .75961[.453] ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 1.6758[.795]*F( 4, 28)= .34177[.847]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= .11479[.735]*F( 1, 31)= .099160[.755]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 2.0910[.352]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 1.2904[.256]*F( 1, 34)= 1.2640[.269]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 155 Lampiran 6. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Indonesia dari Amerika Serikat Ordinary Least Squares Estimation ******************************************************************************* Dependent variable is DLXDIA 39 observations used for estimation from 1995Q2 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] CONST 9.3705 6.1115 1.5333[.136] LXDIA(-1) -1.1370 .17065 -6.6625[.000] DLMDA .66879 .22522 2.9695[.006] LMDA(-1) .61700 .37586 1.6416[.111] DLPDIAPA -.51293 .25371 -2.0217[.052] LPDIAPA(-1) -.81858 .31805 -2.5737[.015] D1 .019790 .072967 .27122[.788] D3 -.25637 .060024 -4.2712[.000] D4 .18373 .059401 3.0930[.004] ******************************************************************************* R-Squared .72960 R-Bar-Squared .65750 S.E. of Regression .10855 F-stat. F( 8, 30) 10.1186[.000] Mean of Dependent Variable -.4209E-3 S.D. of Dependent Variable .18548 Residual Sum of Squares .35350 Equation Log-likelihood 36.3784 Akaike Info. Criterion 27.3784 Schwarz Bayesian Criterion 19.8924 DW-statistic 2.2325 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 7.7928[.099]*F( 4, 26)= 1.6231[.198]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 1.4126[.235]*F( 1, 29)= 1.0899[.305]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 1.7591[.415]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 3.0102[.083]*F( 1, 37)= 3.0947[.087]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 156 Lampiran 7. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Thailand dari Amerika Serikat Ordinary Least Squares Estimation ******************************************************************************* Dependent variable is DLXDTA 39 observations used for estimation from 1995Q2 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] CONST 6.2868 7.0818 .88774[.382] LXDTA(-1) -1.2310 .19021 -6.4720[.000] DLMDA .70901 .26783 2.6472[.013] LMDA(-1) .80950 .41971 1.9287[.063] DLPDTAPA -.044492 .23300 -.19096[.850] LPDTAPA(-1) -.17746 .30577 -.58036[.566] D1 .092094 .071983 1.2794[.211] D2 .27654 .066787 4.1407[.000] D4 -.14264 .080212 -1.7783[.085] ******************************************************************************* R-Squared .62504 R-Bar-Squared .52505 S.E. of Regression .13865 F-stat. F( 8, 30) 6.2510[.000] Mean of Dependent Variable -.0011193 S.D. of Dependent Variable .20119 Residual Sum of Squares .57673 Equation Log-likelihood 26.8334 Akaike Info. Criterion 17.8334 Schwarz Bayesian Criterion 10.3473 DW-statistic 2.0245 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 2.8615[.581]*F( 4, 26)= .51467[.726]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 1.3186[.251]*F( 1, 29)= 1.0148[.322]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= .78231[.676]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .11410[.736]*F( 1, 37)= .10856[.744]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 157 Lampiran 8. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Indonesia dari Jepang Error Correction Representation for the Selected ARDL Model ARDL(1,0,0) selected ******************************************************************************* Dependent variable is dLXDIJ 36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] dLMDJ .60488 .35379 1.7097[.098] dLPDIJPJ -.81277 .32412 -2.5076[.018] dCONST 1.8322 6.1671 .29709[.769] dD1 -.046160 .082296 -.56090[.579] dD3 .23051 .10133 2.2748[.030] dD4 .41973 .11925 3.5196[.001] ecm(-1) -.78805 .16541 -4.7641[.000] ******************************************************************************* List of additional temporary variables created: dLXDIJ = LXDIJ-LXDIJ(-1) dLMDJ = LMDJ-LMDJ(-1) dLPDIJPJ = LPDIJPJ-LPDIJPJ(-1) dCONST = CONST-CONST(-1) dD1 = D1-D1(-1) dD3 = D3-D3(-1) dD4 = D4-D4(-1) ecm = LXDIJ -.76756*LMDJ + 1.0314*LPDIJPJ -2.3250*CONST + .058574*D1 -.29250*D3 -.53261*D4 ******************************************************************************* R-Squared .52186 R-Bar-Squared .42293 S.E. of Regression .19250 F-stat. F( 6, 29) 5.2753[.001] Mean of Dependent Variable .020244 S.D. of Dependent Variable .25341 Residual Sum of Squares 1.0747 Equation Log-likelihood 12.1253 Akaike Info. Criterion 5.1253 Schwarz Bayesian Criterion -.41701 DW-statistic 1.9102 ******************************************************************************* R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable dLXDIJ and in cases where the error correction model is highly restricted, these measures could become negative. Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach ARDL(1,0,0) selected ******************************************************************************* Dependent variable is LXDIJ 36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] LMDJ .76756 .41181 1.8639[.072] LPDIJPJ -1.0314 .47441 -2.1740[.038] CONST 2.3250 7.8302 .29692[.769] D1 -.058574 .10277 -.56995[.573] D3 .29250 .10904 2.6824[.012] D4 .53261 .15190 3.5064[.001] ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 2.8946[.576]*F( 4, 25)= .54648[.703]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 1.1605[.281]*F( 1, 28)= .93269[.342]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 2.0200[.364]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 6.4914[.011]*F( 1, 34)= 7.4795[.010]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 158 Lampiran 9. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Karet Alam Thailand dari Jepang Ordinary Least Squares Estimation ******************************************************************************* Dependent variable is DLXDTJ 39 observations used for estimation from 1995Q2 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] CONST 4.6332 5.6827 .81532[.421] LXDTJ(-1) -1.3716 .16805 -8.1618[.000] DLMDJ 1.0036 .19794 5.0702[.000] LMDJ(-1) 1.1031 .34189 3.2266[.003] DLPDTJPJ -.36257 .39977 -.90695[.372] LPDTJPJ(-1) -.68696 .43457 -1.5808[.124] D1 -.049865 .048275 -1.0329[.310] D2 -.12306 .058615 -2.0994[.044] D4 .058160 .072120 .80643[.426] ******************************************************************************* R-Squared .83466 R-Bar-Squared .79057 S.E. of Regression .11234 F-stat. F( 8, 30) 18.9307[.000] Mean of Dependent Variable .0020749 S.D. of Dependent Variable .24549 Residual Sum of Squares .37864 Equation Log-likelihood 35.0388 Akaike Info. Criterion 26.0388 Schwarz Bayesian Criterion 18.5528 DW-statistic 1.8696 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 1.7314[.785]*F( 4, 26)= .30197[.874]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 3.3902[.066]*F( 1, 29)= 2.7609[.107]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 10.9416[.004]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .0011156[.973]*F( 1, 37)= .0010585[.974]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 159 Lampiran 10. Hasil Estimasi Penawaran Impor Karet Alam Amerika Serikat Error Correction Representation for the Selected ARDL Model ARDL(1,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion ******************************************************************************* Dependent variable is dLPA 32 observations used for estimation from 1996Q1 to 2003Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] dLPW 1.7086 .55054 3.1035[.004] dCONST -.20362 .056220 -3.6218[.001] dD3 -.14466 .054341 -2.6622[.013] dD4 .16465 .043733 3.7649[.001] ecm(-1) -.44243 .12996 -3.4045[.002] ******************************************************************************* List of additional temporary variables created: dLPA = LPA-LPA(-1) dLPW = LPW-LPW(-1) dCONST = CONST-CONST(-1) dD3 = D3-D3(-1) dD4 = D4-D4(-1) ecm = LPA -3.8618*LPW + .46022*CONST + .32698*D3 -.37215*D4 ******************************************************************************* R-Squared .49082 R-Bar-Squared .41539 S.E. of Regression .079744 F-stat. F( 4, 27) 6.5066[.001] Mean of Dependent Variable -.0089594 S.D. of Dependent Variable .10429 Residual Sum of Squares .17169 Equation Log-likelihood 38.2384 Akaike Info. Criterion 33.2384 Schwarz Bayesian Criterion 29.5741 DW-statistic 2.2106 ******************************************************************************* R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable dLPA and in cases where the error correction model is highly restricted, these measures could become negative. Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach ARDL(1,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion ******************************************************************************* Dependent variable is LPA 32 observations used for estimation from 1996Q1 to 2003Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] LPW 3.8618 .49324 7.8294[.000] CONST -.46022 .064107 -7.1789[.000] D3 -.32698 .081066 -4.0334[.000] D4 .37215 .13112 2.8382[.009] ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 2.7069[.608]*F( 4, 23)= .53133[.714]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= .0020930[.964]*F( 1, 26)= .0017006[.967]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 2.3839[.304]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .026084[.872]*F( 1, 30)= .024474[.877]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 160 Lampiran 11. Hasil Estimasi Penawaran Impor Karet Alam Jepang Error Correction Representation for the Selected ARDL Model ARDL(1,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion ******************************************************************************* Dependent variable is dLPJ 32 observations used for estimation from 1996Q1 to 2003Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] dLPW 1.4511 .33153 4.3770[.000] dCONST 1.5451 .39608 3.9010[.001] dD3 -.072889 .040651 -1.7930[.084] dD4 .10783 .037744 2.8569[.008] ecm(-1) -.35798 .088134 -4.0617[.000] ******************************************************************************* List of additional temporary variables created: dLPJ = LPJ-LPJ(-1) dLPW = LPW-LPW(-1) dCONST = CONST-CONST(-1) dD3 = D3-D3(-1) dD4 = D4-D4(-1) ecm = LPJ -4.0536*LPW -4.3163*CONST + .20361*D3 -.30122*D4 ******************************************************************************* R-Squared .52584 R-Bar-Squared .45559 S.E. of Regression .067059 F-stat. F( 4, 27) 7.4856[.000] Mean of Dependent Variable -.0056667 S.D. of Dependent Variable .090885 Residual Sum of Squares .12142 Equation Log-likelihood 43.7822 Akaike Info. Criterion 38.7822 Schwarz Bayesian Criterion 35.1179 DW-statistic 1.9860 ******************************************************************************* R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable dLPJ and in cases where the error correction model is highly restricted, these measures could become negative. Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach ARDL(1,0) selected based on Schwarz Bayesian Criterion ******************************************************************************* Dependent variable is LPJ 32 observations used for estimation from 1996Q1 to 2003Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] LPW 4.0536 .55862 7.2565[.000] CONST 4.3163 .074973 57.5707[.000] D3 -.20361 .091088 -2.2353[.034] D4 .30122 .11056 2.7246[.011] ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 4.0210[.403]*F( 4, 23)= .82636[.522]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 4.0141[.045]*F( 1, 26)= 3.7293[.064]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= .53311[.766]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .37800[.539]*F( 1, 30)= .35861[.554]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 161 Lampiran 12. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia Ordinary Least Squares Estimation ******************************************************************************* Dependent variable is DLXSI 34 observations used for estimation from 1996Q3 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] CONST 20.9123 2.9660 7.0508[.000] LXSI(-1) -1.2089 .17302 -6.9872[.000] DLPIDI(-2) .44492 .099696 4.4627[.000] LPIDI(-3) .31261 .10987 2.8452[.009] T .015483 .0052628 2.9420[.007] D1 -.0097350 .041868 -.23251[.818] D3 -.17474 .080452 -2.1719[.039] D4 .021407 .072724 .29436[.771] ******************************************************************************* R-Squared .75103 R-Bar-Squared .68400 S.E. of Regression .090440 F-stat. F( 7, 26) 11.2041[.000] Mean of Dependent Variable .0084317 S.D. of Dependent Variable .16088 Residual Sum of Squares .21267 Equation Log-likelihood 38.0208 Akaike Info. Criterion 30.0208 Schwarz Bayesian Criterion 23.9153 DW-statistic 2.1803 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 5.8758[.209]*F( 4, 22)= 1.1491[.360]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 1.8488[.174]*F( 1, 25)= 1.4375[.242]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 2.0829[.353]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .55586[.456]*F( 1, 32)= .53186[.471]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 162 Lampiran 13. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat Ordinary Least Squares Estimation ******************************************************************************* Dependent variable is DLXSIA 34 observations used for estimation from 1996Q3 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] CONST 18.4183 2.8991 6.3530[.000] LXSIA(-1) -1.1063 .16165 -6.8436[.000] DLPSIADI(-2) .21334 .12361 1.7259[.096] LPSIADI(-6) .26200 .10397 2.5201[.018] T .012262 .0060677 2.0209[.054] D1 .10894 .056569 1.9257[.065] D3 -.29983 .092357 -3.2464[.003] D4 .046410 .089914 .51616[.610] ******************************************************************************* R-Squared .73769 R-Bar-Squared .66707 S.E. of Regression .11414 F-stat. F( 7, 26) 10.4457[.000] Mean of Dependent Variable .0015018 S.D. of Dependent Variable .19782 Residual Sum of Squares .33875 Equation Log-likelihood 30.1064 Akaike Info. Criterion 22.1064 Schwarz Bayesian Criterion 16.0009 DW-statistic 2.2082 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 6.4331[.169]*F( 4, 22)= 1.2835[.307]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 6.2555[.012]*F( 1, 25)= 5.6367[.026]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 6.1255[.047]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 1.5084[.219]*F( 1, 32)= 1.4855[.232]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 163 Lampiran 14. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke Jepang Error Correction Representation for the Selected ARDL Model ARDL(1,0) selected ******************************************************************************* Dependent variable is dLXSIJ 36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] dLPSIJDI -.42820 .14345 -2.9851[.006] dCONST 19.4409 3.3017 5.8882[.000] dT .012811 .010061 1.2732[.213] dD1 -.052592 .089050 -.59059[.559] dD3 .094885 .13451 .70543[.486] dD4 .31646 .14988 2.1114[.043] ecm(-1) -.92877 .16632 -5.5842[.000] ******************************************************************************* List of additional temporary variables created: dLXSIJ = LXSIJ-LXSIJ(-1) dLPSIJDI = LPSIJDI-LPSIJDI(-1) dCONST = CONST-CONST(-1) dT = T-T(-1) dD1 = D1-D1(-1) dD3 = D3-D3(-1) dD4 = D4-D4(-1) ecm = LXSIJ + .46104*LPSIJDI -20.9319*CONST -.013793*T + .056625*D1 -. 10216*D3 -.34073*D4 ******************************************************************************* R-Squared .55659 R-Bar-Squared .46484 S.E. of Regression .18538 F-stat. F( 6, 29) 6.0669[.000] Mean of Dependent Variable .020244 S.D. of Dependent Variable .25341 Residual Sum of Squares .99662 Equation Log-likelihood 13.4825 Akaike Info. Criterion 6.4825 Schwarz Bayesian Criterion .94019 DW-statistic 2.1097 ******************************************************************************* R-Squared and R-Bar-Squared measures refer to the dependent variable dLXSIJ and in cases where the error correction model is highly restricted, these measures could become negative. Estimated Long Run Coefficients using the ARDL Approach ARDL(1,0) selected ******************************************************************************* Dependent variable is LXSIJ 36 observations used for estimation from 1996Q1 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] LPSIJDI -.46104 .15901 -2.8995[.007] CONST 20.9319 1.4160 14.7822[.000] T .013793 .010017 1.3770[.179] D1 -.056625 .093000 -.60888[.547] D3 .10216 .14557 .70182[.488] D4 .34073 .16787 2.0298[.052] ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 5.2955[.258]*F( 4, 25)= 1.0779[.388]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 2.6805[.102]*F( 1, 28)= 2.2526[.145]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 1.1627[.559]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 2.2230[.136]*F( 1, 34)= 2.2377[.144]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 164 Lampiran 15. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand Ordinary Least Squares Estimation ******************************************************************************* Dependent variable is DLXST 33 observations used for estimation from 1996Q4 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] CONST 22.5851 4.2625 5.2986[.000] LXST(-1) -1.1650 .21618 -5.3889[.000] DLPTDT .39277 .43156 .91012[.371] LPTDT(-1) .19265 .14485 1.3300[.196] T .0053086 .0087381 .60753[.549] D1 .0049311 .067213 .073366[.942] D2 .28086 .14954 1.8781[.072] D4 .042082 .14037 .29979[.767] ******************************************************************************* R-Squared .61596 R-Bar-Squared .50843 S.E. of Regression .14039 F-stat. F( 7, 25) 5.7283[.000] Mean of Dependent Variable .015687 S.D. of Dependent Variable .20024 Residual Sum of Squares .49274 Equation Log-likelihood 22.5458 Akaike Info. Criterion 14.5458 Schwarz Bayesian Criterion 8.5597 DW-statistic 2.0249 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 11.4311[.022]*F( 4, 21)= 2.7824[.053]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 1.0716[.301]*F( 1, 24)= .80553[.378]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= .15305[.926]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 2.6210[.105]*F( 1, 31)= 2.6746[.112]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 165 Lampiran 16. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ke Amerika Serikat Ordinary Least Squares Estimation ******************************************************************************* Dependent variable is DLXSTA 33 observations used for estimation from 1996Q4 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] CONST 16.4091 4.3836 3.7433[.001] LXSTA(-1) -.91707 .22921 -4.0010[.000] DLPSTADT .28454 .23911 1.1900[.245] LPSTADT(-6) .039832 .19057 .20901[.836] T .011395 .0086046 1.3243[.197] D1 .16938 .074195 2.2829[.031] D2 .31628 .15385 2.0558[.050] D4 .090293 .12110 .74559[.463] ******************************************************************************* R-Squared .54751 R-Bar-Squared .42082 S.E. of Regression .13800 F-stat. F( 7, 25) 4.3215[.003] Mean of Dependent Variable .3437E-3 S.D. of Dependent Variable .18133 Residual Sum of Squares .47612 Equation Log-likelihood 23.1120 Akaike Info. Criterion 15.1120 Schwarz Bayesian Criterion 9.1259 DW-statistic 2.1126 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 4.5814[.333]*F( 4, 21)= .84636[.512]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 4.7457[.029]*F( 1, 24)= 4.0311[.056]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 1.2846[.526]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 2.3655[.124]*F( 1, 31)= 2.3937[.132]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 166 Lampiran 17. Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Karet Alam Thailand ke Jepang Ordinary Least Squares Estimation ******************************************************************************* Dependent variable is DLXSTJ 39 observations used for estimation from 1995Q2 to 2004Q4 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] CONST 26.5775 2.7705 9.5931[.000] LXSTJ(-1) -1.4578 .15104 -9.6520[.000] DLPSTJDT .68686 .24366 2.8190[.008] LPSTJDT(-1) .19323 .13174 1.4667[.153] T .0045055 .0057883 .77838[.442] D1 .0079506 .059547 .13352[.895] D2 .064695 .11230 .57608[.569] D4 .036224 .10175 .35599[.724] ******************************************************************************* R-Squared .76546 R-Bar-Squared .71250 S.E. of Regression .13163 F-stat. F( 7, 31) 14.4533[.000] Mean of Dependent Variable .0020749 S.D. of Dependent Variable .24549 Residual Sum of Squares .53711 Equation Log-likelihood 28.2210 Akaike Info. Criterion 20.2210 Schwarz Bayesian Criterion 13.5667 DW-statistic 1.9277 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 4)= 3.8736[.423]*F( 4, 27)= .74437[.570]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= .68372[.408]*F( 1, 30)= .53533[.470]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= .34489[.842]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .60953[.435]*F( 1, 37)= .58745[.448]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values 167