Perkembangan patogenesis dan pengobatan Asma Bronkial

advertisement
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Perkembangan patogenesis dan pengobatan
Asma Bronkial
Meiyanti, Julius I. Mulia
Bagian Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT
Asthma bronchiale is a chronic respiratory disease that still considered as a world health
problem. Statistic shown that its prevalent rises in this last decade. The pathogenesis of asthma
bronchiale indicate that chronic inflammation play a role in the cause of the disease, its involving
cells to release various mediators that lead the symptoms. Hence the management of asthma
bronchiale consists of drugs to relief and to control the inflammation. Inhalation corticosteroid is one
of the drug of choice in asthma bronchiale therapy , its safe to be used in long term therapy.(J
Kedokter Trisakti 2000;19(3):125-132)
Key words :management, asthma bronchiale, corticosteroid
ABSTRAK
Asma bronkial merupakan penyakit saluran nafas kronis yang masih menjadi masalah kesehatan
dunia. Statistik menunjukkan prevalensi asma meningkat pada dekade terakhir. Patogenesis
menunjukkan penyebab utama terjadinya asma bronkial adalah inflamasi kronis, yang melibatkan
pelepasan mediator dari sel inflamasi sehingga menimbulkan berbagai gejala. Manajemen asma
bronkial terdiri dari obat untuk menghilangkan dan mengendalikan inflamasi. Kortikosteroid inhalasi
merupakan salah satu obat pilihan dalam pengobatan asma. Obat ini aman digunakan untuk terapi
jangka panjang.
Kata kunci: manajemen, asma bronkial, kortokosteroid
PENDAHULUAN
Asma bronkial merupakan kelainan
saluran napas kronik yang merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat di dunia.
Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia,
baik laki-laki maupun perempuan. (1) Dalam
dekade terakhir ini prevalensi asma bronkial
cenderung meningkat, sehingga masalah
penanggulangan asma menjadi masalah yang
menarik.
Pada saat ini tersedia banyak jenis obat
asma yang dapat diperoleh di Indonesia, tetapi
hal ini tidak mengurangi jumlah penderita
asma. Beberapa negara melaporkan terjadinya
peningkatan morbiditas dan mortalitas
penderita asma (1). Hal ini antara lain
disebabkan karena kurang tepatnya penatalaksanaan
atau
kepatuhan
penderita.
Bertambahnya pengetahuan dalam patogenesis
asma mempunyai dampak positip terhadap
penatalaksanaan asma. Ketika asma dianggap
hanya sebagai suatu penyakit alergi, anti
histamin dan kortikosteroid merupakan obat
yang selalu digunakan dalam penatalaksanaan
asma. Saat ini telah ditemukan konsep baru
patogenesis
asma
bronkial
sehingga
mempengaruhi pola pengobatan asma.
PATOGENESIS ASMA
Asma merupakan penyakit inflamasi
kronis yang melibatkan beberapa sel.
Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya
beberapa macam mediator yang dapat
mengaktivasi sel target di saluran nafas dan
J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 125
.d o
m
w
o
.c
C
m
Manajemen asma bronkial
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran
mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mukus,
dan stimulasi refleks saraf . Pada asma terjadi
mekanisme hiperresponsif bronkus dan
inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran
mikrovaskuler, dan mekanisme saraf. (2)
Hiperresponsif bronkus adalah respon
bronkus yang berlebihan akibat berbagai
rangsangan dan menyebabkan penyempitan
bronkus. Peningkatan respons bronkus
biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi
virus pada saluran nafas atas, atau paparan
bahan
kimia.
Hiperesponsif
bronkus
dihubungkan dengan proses inflamasi saluran
napas. Pemeriksaan histopatologi pada
penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang,
kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret
yang sangat kental. Meskipun ada beberapa
bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon
inflamasi pada asma mempunyai ciri khas
yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T
disertai pelepasan epitel bronkus .
Pada saluran napas banyak didapatkan sel
mast, terutama di epitel bronkus dan dinding
alveolus, sel mast mengandung neutral
triptase. Triptase mempunyai bermacam
aktivitas proteolitik antara lain aktivasi
komplemen, pemecahan fibrinogen dan
pembentukan kinin. Sel mast mengeluarkan
berbagai
mediator
seperti
histamin,
prostaglandin-D2 (PGD2), dan Leukotrien-C4
(LTC4) yang berperan pada bronkokonstriksi.
Sel mast juga mengeluarkan enzim tripase
yang dapat memecah peptida yang disebut
vasoactive intestinal peptide (VIP) dan
heparin. VIP bersifat sebagai bronkodilator .
Heparin berperan dalam mekanisme anti
inflamasi , heparin mengubah basic protein
yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi tidak
aktif.
Makrofag terdapat pada lumen saluran
nafas dalam jumlah banyak, diaktivasi oleh Ig
E dependent mechanism sehingga makrofag
berperan dalam proses inflamasi
pada
penderita asma. Makrofag melepaskan
mediator
seperti
tromboksan
A2,
prostaglandin,
platelet activating factor,
leukotrien-B4 (LTB4), tumor necrosis factor
(TNF), interleukin-1
(IL-1),
reaksi
126 J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3
w
komplemen dan radikal bebas oksigen.
Berbeda dengan sel mast, pelepasan mediator
oleh makrofag
dapat dihambat dengan
pemberian steroid tetapi tidak oleh golongan
agonis beta-2. (3)
Infiltrasi eosinofil di saluran napas,
merupakan gambaran khas untuk penderita
asma. Inhalasi alergen menyebabkan peningkatan eosinofil pada cairan bilasan
bronkoalveolar pada saat itu dan beberapa saat
sesudahnya (reaksi lambat).
Terdapat
hubungan langsung antara jumlah eosinofil
pada darah perifer dan pada bilasan
bronkoalveolar dengan hiperresponsif bronkus.
Eosinofil melepaskan mediator seperti LTC4,
platelet activating factor (PAF), radikal bebas
oksigen, mayor basic protein (MBP), dan
eosinofil derived neurotoxin (EDN) yang
bersifat sangat toksik untuk saluran napas. (2,3)
Neutrofil banyak dijumpai pada asma
yang diakibatkan oleh kerja. Neutrofil diduga
menyebabkan kerusakan epitel oleh karena
pelepasan metabolit oksigen, protease dan
bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber
mediator seperti prostaglandin, tromboxan,
leukotrien-B4 (LTB4), dan PAF.
Limfosit T diduga mempunyai peranan
penting dalam respon inflamasi asma, karena
masuknya antigen ke dalam tubuh melalui
antigen reseptor complemen-D3 (CD3). Secara
fungsional CD3 dibagi menjadi 2 yaitu CD4
dan CD8. Limfosit T CD4 setelah diaktivasi
oleh antigen, akan melepaskan mediator
protein yang disebut limfokin. Limfokin dapat
mengumpulkan
dan
mengaktifkan
sel
granulosit. Limfosit T
CD4 merupakan
sumber terbesar dari IL-5. Zat IL-5 dapat
merangsang maturasi dan produksi sel
granulosit dari sel prekursor, memperpanjang
kehidupan sel granulosit dari beberapa hari
sampai beberapa minggu, bersifat kemotaksis
untuk sel eosinofil, merangsang eosinofil
untuk meningkatkan aktivitas respon efektor,
mengaktivasi limfosit B untuk membuat
antibodi yang dapat menimbulkan respon
imun. (1,3)
Kerusakan sel epitel saluran napas dapat
disebabkan oleh karena basic protein yang
dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan
.d o
m
Meiyanti, Mulia
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
radikal bebas oksigen dari bermacam-macam
sel inflamasi dan mengakibatkan edema
mukosa . Sel epitel sendiri juga mengeluarkan
mediator. Kerusakan pada epitel bronkus
merupakan kunci terjadinya hiperresponsif
bronkus, ini mungkin dapat menerangkan
berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus
oleh karena paparan ozon, infeksi virus, dan
alergen. Pada manusia, epitel bronkus dan
trakea dapat membentuk PGE2 dan PGF2 alfa
serta 12 dan 15 hydroxyicosotetraenoic (12HETE dan 15-HETE). 15-HETE bersifat
kemotaksis terhadap eosinofil. Kerusakan
epitel mempunyai peranan terhadap terjadinya
hiperresponsif bronkus melalui cara pelepasan
epitel
yang
menyebabkan
hilangnya
pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan
iritan akan langsung mengenai submukosa
yang seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel
bronkus meningkatkan kepekaan otot polos
bronkus
terhadap
bahan
spasmogen.
Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung
saraf perifer langsung terkena paparan atau
teraktivasi oleh mediator inflamasi sehingga
mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui
mekanisme akson refleks. Sel epitel mungkin
dapat memproduksi enzim yang merusak
mediator,
yaitu
neutral
actoenzym
endopeptidase yang dapat merusak bradikinin
dan substan-P. (2,4)
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler
terjadi pada pembuluh darah venula akhir
kapiler. Beberapa mediator seperti histamin,
bradikinin, dan leukotrin dapat menyebabkan
kontraksi sel endotel sehingga terjadi
ekstravasasi
makromolekul.
Kebocoran
mikrovaskuler mengakibatkan edema saluran
napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti
penebalan submukosa. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas dan
merangsang konstraksi otot polos bronkus.
Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada saluran
napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid
pada malam hari mengakibatkan terjadinya
pelepasan
mediator
dan
peningkatan
kebocoran mikrovaskuler , hal ini berperan
dalam terjadinya asma pada malam hari. (4)
Pengaruh mekanisme saraf otonom pada
127 J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3
w
hiperresponsif bronkus dan patogenesis asma
masih belum jelas, hal ini dikarenakan
perubahan pada tonus bronkus terjadi sangat
cepat. Peranan saraf otonom kolinergik,
adrenergik, dan nonadrenergik
terhadap
saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa
mediator inflamasi mempunyai efek pada
pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan
terjadinya reaksi reseptor saraf otonom . Saraf
otonom mengatur fungsi saluran nafas melalui
berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran
napas, sekresi mukosa, aliran darah,
permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan
pelepasan sel inflamasi. Peran saraf kolinergik
paling
dominan
sebagai
penyebab
bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa rangsangan yang
disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin,
histamin dan bradikinin akan merangsang saraf
aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi .
Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan
karena rangsangan reseptor sensorik pada
saluran napas (reseptor iritan, C-fibre) oleh
mediator inflamasi. (2,4)
Mekanisme adrenergik meliputi saraf
simpatis, katekolamin yang beredar dalam
darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor
beta adrenergik.
Pemberian obat agonis
adrenergik memperlihatkan perbaikan gejala
pada penderita asma, hal ini menunjukkan
adanya defek mekanisme adrenergik pada
penderita asma. Saraf adrenergik tidak
mengendalikan otot polos saluran napas secara
langsung, tetapi melalui katekolamin yang
beredar dalam darah. (2,4)
DIAGNOSA DAN KLASIFIKASI ASMA
BRONKIAL
Diagnosa penyakit asma bronkial perlu
dipikirkan bilamana ada gejala batuk yang
disertai dengan wheezing (mengi) yang
karakteristik dan timbul secara episodik.
Gejala batuk terutama terjadi pada malam atau
dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan
aktivitas fisik. Adanya riwayat penyakit atopik
pada pasien atau keluarganya memperkuat
dugaan adanya penyakit asma. Pada anak dan
dewasa muda gejala asma sering terjadi
.d o
m
Meiyanti, Mulia
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
akibat hiperaktivitas bronkus terhadap alergen,
banyak diantaranya dimulai dengan adanya
eksim, rinitis, konjungtivitis, atau urtikaria.
Penderita asma yang tidak memberikan reaksi
terhadap tes kulit maupun uji provokasi
bronkus, tetapi mendapat serangan asma
sesudah infeksi saluran napas, disebut asma
idiosinkrasi. Dermatitis atopik dan alergi
makanan merupakan penyakit alergi yang
pertama kali muncul pada usia tahun pertama
anak, kemudian dapat berkembang menjadi
alergi respiratorik. Penyakit penyerta seperti
otitis media, konjungtivitis,
rinitis, polip
hidung, sinusitis, atau hiperplasia tonsil sering
ditemukan. Diagnosis asma dapat ditegakkan
melalui gejala klinis, gambaran radiologis paru
dan test provokasi. Uji faal paru dilakukan
untuk menentukan berat ringannya obstruksi
saluran napas, variasi dari fungsi saluran
napas, evaluasi hasil terapi, dan beratnya
serangan asma. Variasi nilai arus puncak
ekspirasi (APE)
20% antara pagi dan sore
hari mempunyai nilai diagnostik terhadap
asma, dan dapat menentukan derajat
hiperreaktivitas bronkus.
Hal lain yang
mendukung diagnosa asma antara lain: adanya
variasi pada arus puncak ekspirasi (APE) 15
% pada pagi dan sore hari, kenaikan 15%
pada APE atau volume ekspirasi detik 1
(VEP1) setelah pemberian bronkodilator
secara inhalasi,
penurunan > 20% VEP1
setelah uji provokasi bronkus. (5) Uji kulit
dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan
diagnostik pada asma ekstrinsik alergi.
Keadaan alergi ini dihubungkan dengan
adanya produksi antibodi Ig E. Uji provokasi
128 J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3
w
bronkus dapat menentukan derajat beratnya
hiperreaktivitas bronkus. Untuk uji provokasi
dapat dilakukan inhalasi dengan histamin,
metakolin, sulfur dioksis, air dingin, atau
dengan latihan fisik.
Pemeriksaan radiologis dilakukan hanya
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
penyakit paru lain. Pemeriksaan patologi
ditemukan adanya hipertrofi otot polos
bronkus, peningkatan sekresi mukus dalam
lumen bronkus, edema pada mukosa saluran
nafas, inflamasi pada dinding dan lumen
saluran napas dengan infiltrasi sel eosinofil
dan netrofil. (5,6)
Kay (6) membagi obstruksi bronkus atas 3
fase utama yaitu fase cepat (spasmogenik),
fase lambat menetap (late,sustained), fase
subakut/kronik. Fase cepat identik dengan
respon awal yang terlihat pada uji provokasi
bronkus. Ciri utamanya adalah pelepasan
histamin sebagai mediator utama yang
mengakibatkan spasme otot polos bronkus,
reaksi ini terjadi sangat cepat dan berakhir
setelah 1-2 jam. Reaksi dapat menghilang
dengan sendirinya atau kemudian diikuti fase
lambat menetap. Fase lambat menetap ditandai
oleh spasme bronkus dan akumulasi sel-sel
neutrofil, dengan mediator utamanya adalah
leukotrin, prostaglandin dan tromboksan.
Serangan dapat berlangsung 6-8 jam atau
lebih. Pada fase subakut, reaksi inflamasi
merupakan ciri utamanya dan terdapat infiltrasi
eosinofil dan sel mononuklear. Fase lambat
menetap
dan
fase
subakut
sangat
mempengaruhi terjadinya asma kronis.
.d o
m
Meiyanti, Mulia
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
w
(7)
Tabel 1 : Klasifikasi asma menurut derajat penyakit
Derajat asma
Gambaran Klinis praterapi
Gejala intermiten < 1x
perminggu
Eksaserbasi beberapa jambeberapa
hari
Gejala asma malam , 2x
perbulan
Antara eksaserbasi paru
normal
dan tanpa gejala
Gejala >
Persisten ringan 1xperminggu,<1x/hari
Eksaserbasi dapat
mengganggu
Intermiten
aktivitas dan tidur
Gejala asma malam >
2x/bulan
Persisten sedang Gejala setiap hari
Eksaserbasi dapat
mengganggu
aktivitas dan tidur
Gejala asma malam >
1x/minggu
Persisten berat Gejala terus menerus
Sering eksaserbasi
Gejala asma malam sering
Fungsi paru
Pengobatan
APE atau VEP 1 80 Inhalasi agonis B-2 jangka
%
pendek
Kortikosteroid oral (eksaserbasi)
Variasi diurnal
20%
APE atau VEP 1 > 80
%
Bronkodilator jangka pendek +
obat anti inflamasi
Variasi diurnal 20-30
%
APE atau VEP 1 60- Setiap hari memakai agonis B-2
80 %
jangka
pendek, bronkodilator jangka
Variasi diurnal >30 % pendek+
kortikosteroid inhalasi+
bronkodilator
jangka panjang (asma malam)
APE atau VEP 1 < 60 Bronkodilator jangka pendek +
%
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi+
bronkodiVariasi diurnal > 30 lator jangka panjang+
%
kortikosteroid
oral jangka panjang
PENATALAKSANAAN ASMA BRONKIAL
Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar
penderita dapat hidup normal, bebas dari
serangan asma serta memiliki faal paru
senormal mungkin, mengurangi reaktifasi
saluran napas, sehingga menurunkan angka
perawatan dan angka kematian akibat asma. (8)
Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma
dalam jangka pendek dapat menyebabkan
129 J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3
kematian , sedangkan jangka panjang dapat
mengakibatkan peningkatan serangan atau
terjadi obstruksi paru yang menahun. Untuk
pengobatan asma perlu diketahui juga
perjalanan penyakit, pemilihan obat yang tepat,
cara untuk menghindari faktor pencetus.
Dalam penanganan pasien asma penting
diberikan penjelasan tentang cara penggunaan
.d o
m
Meiyanti, Mulia
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
obat yang benar, pengenalan dan pengontrolan
faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan
dalam rumah seperti tungau debu rumah,
alergen dari hewan, jamur, dan alergen di
luar rumah seperti zat yang berasal dari tepung
sari, jamur, polusi udara. Obat aspirin dan anti
inflamasi non steroid dapat menjadi faktor
pencetus asma. Olah raga dan peningkatan
aktivitas secara bertahap dapat mengurangi
gejala asma. Psikoterapi dan fisioterapi perlu
diberikan pada penderita asma.
Obat
asma
digunakan
untuk
menghilangkan dan mencegah timbulnya
gejala dan obstruksi saluran pernafasan. Pada
saat ini obat asma dibedakan dalam dua
kelompok besar yaitu reliever dan controller.
Reliever
adalah
obat
yang
cepat
menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi
saluran napas . Controller adalah obat yang
digunakan untuk mengendalikan asma yang
persisten. Obat yang termasuk golongan
reliever adalah agonis beta-2, antikolinergik,
teofilin,dan kortikosteroid sistemik. Agonis
beta-2 adalah bronkodilator yang paling kuat
pada pengobatan asma. Agonis Beta-2
mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan
permeabilitas kapiler , dan mencegah
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Golongan agonis beta-2 merupakan stabilisator
yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan ini
tidak dapat mencegah respon lambat maupun
menurunkan hiperresponsif bronkus. Obat
agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin,
fenoterol,
prokaterol
dan
isoprenalin,
merupakan obat golongan simpatomimetik .
Efek samping obat golongan agonis beta-2
dapat berupa gangguan kardiovaskuler,
peningkatan tekanan darah, tremor, palpitasi,
takikardi dan sakit kepala . Pemakaian agonis
beta-2 secara reguler hanya diberikan pada
penderita asma kronik berat yang tidak dapat
lepas dari bronkodilator. ( 5,8,9 )
Antikolinergik dapat digunakan sebagai
bronkodilator, misalnya ipratropium bromid
dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid
mempunyai efek menghambat reseptor
kolinergik
sehingga
menekan
enzim
guanilsiklase dan menghambat pembentukan
cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi
130 J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3
w
adalah rasa kering di mulut dan tenggorokan.
Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan
dengan kerja obat agonis beta- 2 yang
diberikan secara inhalasi. Ipratropium bromid
digunakan sebagai obat tambahan jika
pemberian agonis beta-2 belum memberikan
efek yang optimal. Penambahan obat ini
terutama bermanfaat untuk penderita asma
dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem
atau pada penderita yang disertai dengan
bronkitis yang kronis.
Obat golongan xantin seperti teofilin dan
aminofilin adalah obat bronkodilator yang
lemah, tetapi jenis ini banyak digunakan oleh
pasien karena efektif, aman , dan harganya
murah . Dosis teofilin peroral 4 mg/kgBB/kali,
pada orang dewasa biasanya diberikan 125-200
mg/kali. Efek samping yang ditimbulkan pada
pemberian teofilin peroral terutama mengenai
sistem gastrointestinal seperti mual, muntah,
rasa kembung dan nafsu makan berkurang.
Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada
pemberian teofilin dengan dosis tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi , takikardi
dan aritmia, stimulasi sistem saraf pusat . ( 5,8,9)
Obat yang termasuk dalam golongan
controller adalah obat anti inflamasi seperti
kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium
nedokromil , dan antihistamin aksi lambat.
Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin
lepas lambat dapat juga digunakan sebagai
controller.
Natrium kromoglikat dapat
mencegah bronkikonstriksi respon cepat atau
lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita
asma. Natrium kromoglikat
lebih sering
digunakan pada anak karena dianggap lebih
aman daripada kortikosteroid . Perkembangan
terbaru natrium kromoglikat menghasilkan
natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini
digunakan sebagai tambahan pada penderita
asma
yang
sudah
mendapat
terapi
kortikosteroid tetapi belum mendapat hasil
yang optimal.
Antihistamin tidak digunakan sebagai
obat utama untuk mengobati asma., biasanya
hanya diberikan pada pasien yang mempunyai
riwayat penyakit atopik seperti rinitis alergi.
Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada
sebagian penderita asma dengan dasar alergi
.d o
m
Meiyanti, Mulia
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
dapat mengurangi gejala asma.
Kortikosteroid merupakan anti inflamasi
yang paling kuat . Kortikosteroid menekan
respons inflamasi dengan cara mengurangi
kebocoran
mikrovaskuler,
menghambat
produksi dan sekresi sitokin, mencegah
kemotaksis dan aktivitas sel inflamasi,
mengurangi sel inflamasi, dan menghambat
sintesis leukotrin.
Kortikosteroid dapat
meningkatkan sensitifitas otot pernafasan yang
dipengaruhi oleh stimulasi beta-2 melalui
peningkatan
reseptor
beta
adrenergik.
Pemberian steroid dianjurkan dengan dosis
seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid
peroral dapat diberikan secara intermiten
beberapa hari dalam sebulan atau dosis tunggal
pagi selang sehari (alternate day), atau dosis
(8,9,10)
tunggal
pagi
hari.
Pemberian
kortikosteroid peroral sering menimbulkan
efek samping pada saluran cerna seperti
gastritis, penurunan daya tahan tubuh,
osteoporosis, peningkatan kadar gula darah
dan tekanan darah, gangguan psikiatri,
hipokalemi, moonface, retensi natrium dan
cairan, obesitas, cushing syndrom , bullneck
dan yang paling ditakutkan adalah terjadinya
supresi kelenjar adrenal. (10) Efek samping
timbul terutama pada pemberian sistemik
dalam jangka lama, maka lebih baik diberikan
obat steroid kerja pendek misalnya prednison,
hidrokortison,
atau
metilprednisolon
.
Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral ,
kemudian diturunkan secara bertahap 50%
setiap 3-5 hari. Hidrokortison diberikan 4
mg/kgBB
secara
bolus
diikuti
3mg/kgBB/6jam. Metilprednisolon diberikan
50-100 mg/6 jam secara intravena. Sekarang
ini
tersedia kortikosteroid dalam bentuk
inhalasi seperti budesonide, fluticasone. Dosis
budesonide inhalasi untuk orang dewasa
bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah
400-1600 mikrogram /hari dibagi dalam 2-4
dosis, sedangkan untuk anak dianjurkan 200400 mikrogram/hari dibagi dalam 2-4 dosis.
Pemberian kortikosteroid secara inhalasi lebih
baik dibandingkan pemberian secara sistemik,
karena konsentrasi obat yang tinggi pada
tempat pemberian langsung dibawa melalui
pernafasan dan bekerja langsung pada saluran
131 J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3
w
napas sehingga memberikan efek samping
sistemik yang lebih kecil. (7,11,12) Penelitian dari
Agertoft dan
Pedersen (13) menunjukkan
bahwa
pemakaian
budesonide
tidak
mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan
pertama untuk menggantikan steroid sistemik
pada penderita asma kronik yang berat. Efek
samping yang sering ditimbulkan dapat berupa
kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara
serak, infeksi paru, dan kerusakan mukosa.
Pernah dilaporkan efek samping dispnoe dan
bronkospasme pada penggunaan kortikosteroid
inhalasi. Dalam beberapa penelitian diketahui
bahwa penggunaan kortikosteroid secara
inhalasi tidak menyebabkan terjadinya
osteoporosis, gangguan pertumbuhan, dan
gangguan toleransi glukosa. (7,11,13)
Pemberian kortikosteroid sistemik lebih
sering menimbulkan efek samping, maka
sekarang dikembangkan pemberian obat secara
inhalasi. Keuntungan pemberian obat inhalasi
yaitu mula kerja yang cepat karena obat
bekerja langsung pada target organ, diperlukan
dosis yang kecil secara lokal, dan efek
samping yang minimal. Dengan demikian
untuk mengatasi asma kortikosteroid inhalasi
merupakan pilihan yang lebih baik.
PENUTUP
Konsep baru patogenesis asma bronkial
menunjukkan bahwa asma bronkial diakibatkan oleh inflamasi kronis saluran nafas.
Obat anti inflamasi seperti kortikosteroid
merupakan pilihan yang baik dalam pengobatan asma. Penggunaan kortikosteroid
jangaka panjang pada penderita asma dapat
menimbulkan
banyak
efek
samping.
Pemberian kortikosteroid secara inhalasi
tampaknya lebih efektif dan aman daripada
pemberian secara sistemik.
Ucapan Terima Kasih
.d o
m
Meiyanti, Mulia
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.
Elly Herwana, M.Biomed, staf Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti atas
bantuan dan saran yang diberikan dalam
penyusunan makalah ini.
w
6.
7.
8.
Daftar Pustaka.
1.
2.
3.
4.
5.
Taufik,
Yunus
F,
Nawas
A,
Mangunnegoro H. Kematian pada asma
bronkial. J Respir Indo 1999;19: 119-24.
Supartini N, Santoso DI, Kardjito T.
Konsep baru patogenesis asma bronkial.
J Respir Indo 1995;15:156-62.
Jenkins CR. Asthma and the leukotriene
inhibitors. Medical Progress 2000;15:
27-32
Barnes PJ. New concept in pathogenesis
of bronchial hyperesponsiveness and
asthma. J Allergy Clin Immunol
1989;83:1013-23
Rogayah R. Penatalaksanaan asma
bronkial prabedah.
J Respir Indo
1995;15:177-81.
132 J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3
9.
10.
11.
12.
13.
Kay AB. Asthma and inflammation. J
Allergy Clin Immunol 1991;5:893-910.
Park CS. Use of inhaled corticosteroids
in adult with asthma. Medical Progress
1999;20:17-20.
Surjanto E, Hambali S, Subroto H.
Pengobatan jalan untuk asma. J Respir
Indo 1988;8:30-5.
Alpers JH. The Changing approach to the
pharmacotherapy of asthma.
Feek MC. Oral corticosteroid use.
Medicine Digest Asia 1992;10:1720.Medical Progress 1995;22:18-25.
Brogden RN, Tavish DM. Budesonide its
use
updated.
Medical
Progress
1993;20:19-21.
Ikhsan M, Yunus F, Mangunnegoro H.
Efek beklometason dipropionat dan
ketotifen terhadap hiperaktivitas bronkus
pada penderita asma. J Rerpir Indo
1995;15:146-55.
Agertoft L, Pedersen S. Effect of long
term treatment with inhaled budesonide
on adult height in children with asthma.
N Engl J Med 2000;343:1064-9.
.d o
m
Meiyanti, Mulia
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
Download