PENDEKATAN FENOMENOLOGIS DALAM KAJIAN ISLAM Oleh: KHOEROH* ABSTRAK Fenomenologi adalah motode filsafat yang mempelajarai tentang gelaja-gejala yang tampak, melalui pendekatan empirik dan rasional.Osrang yang pertama mempelopori adalah Edmund Husserl, fenomenologi pada dasarnya adalah studi tentang kesadaran dan strukturnya. baru kemudian pada tahun 1933 muncul fenomenologi agama yang dipelopori G Vander Leeuwdengan bukunya Phenomenologie der Religion, oleh Bleker Fenomenologi agama diartikan sebagai studi pendekatan agama dengan acara membandingakan berbagai macam gejala bidang yang sama antara berbagai macam agama,misalnya cara penerimaan penganut, doa-doa inisiasi, upacara penguburan dan sebagainya. Apakah agama perlu dikaji karena kebenarannya bersifat absolud/mutlak ? Apa yang perlu dikaji dalam fenomenologi agama ?. Betul bahwa agama adalah mempunyai kebenaran mutlak yang tidak diragukan lagi, dan manusia wajib mempercayai/meyakini akan kebenaran itu, akan tapi yang menjadi objek penelitian melalui pendekatan fenomenologi agama adalah prilaku orang dalam menjalankan agama, bukan nilai-nilai yang terkandung didalam ajaran agama tersebut. Kalau agama tak lagi perlu dikaji karena kebenarannya adalah bersifat mutlak/absolut, sehingga objek penelitiannay adalah prilaku penganutnya, bukan nilainilai yang terkandung didalam ajaran agama, lalu apa peran ilmuwan agama (ulama)?. Peran ilmuwan agama adalah; 1).Disatu sisi ilmuwan agama bersikukuh pada posisinya sebagai seorang yang ahli agama (ulama) tanpa mau menjeburkan diri pada masalahmasalah diluar yang dikuasainya, karena dianggapnya dapat mempengaruhi tindakan pemisahan kajian agama dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. 2).Pada sisi yang lain ilmuwan agama hanya mampu menguraikan data-data masalah agama dan mampu menafsirkan serta meyakinkan kepada orang-orng yang beriman saja. Kata Kunci: Pendekatan Fenomenologis dan Kajian Islam BAB I PENDAHULUAN Fenomenologi adalah sebuah ”metode untuk mendekati gejala-gejala keagamaan”(Aslam Hady:1986:65),gejala-gejala yang dapat di dekati melalui pendekatan fenomenologi hanya terbatas pada gejala-gelaja yang nampak atau yang timbul dari pengalaman menjalankan ajaran agama, bukan pada asal-usul dari mana agama itu lahir. Pendekatan Fenomenoilogi pertama kali dimunculkan oleh seorang filosuf bernama Edmund Husserl (1859-1938).Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam kesadaran kita.Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut fenomena. Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya, dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama. Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi.Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain, M. Scheler dan Merleau- Ponty. Mereka mengatakan bahwa Kita harus memperkenalkan gejala- gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada kita kalau kita membuka diri untuknya.Kita harus “mengabstraksi” dari semua hal yang tidak hakiki.Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin Kita selidiki, mulai berbicara. Dan “bahasa” ini akan dapat dimengerti berkat intuisi Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk 1 epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.”(file:///H:/fenomenologi-3572675.htm, diakses tanggal,27 nopember 2010) Fenomenologi bagian dari ilmu filsafat,yang kira-kira lebih kurang 90-th yang lalu muncul, aliran Edmund ini dipelopori oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Husserl, yang kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya, diantaranya; Max Scheler (1874-1928),Kant, Nicola Hartman (1882 – 1950) ,lingkup kajiannya adalah membicarakan masalah fenomena atau gejala yang timbul, belakangan ini kenyataan pluralisme agama semakin disadari oleh banyak orang. Namun kesadaran semacam ini tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan lewat perkembangan pengetahuan dan peradaban bangsa- bangsa.Sejarah mencatat banyaknya peran dan perebutan kekuasaan atau pun perebutan pengaruh antar agama-agama di masa lampau.Itu berarti bahwa kemajemukan agama sebenarnya sudah lama dialami oleh bangsa-bangsa meskipun dalam perspektif pemikiran yang berbeda dari sekarang. Persoalan agama sendiri sebagai objek kajian filsafat sebenarnya baru dirintis oleh Hegel pada awal abat 19, sejak itu banyak pemikir mulai menaruh minat pada studi-studi agama. Pada mulanya studi-studi ini lebih bersifat apriori dan metafisik, dengan mengolah konsep-konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran agama. Minat para filusuf adalah menangkap apakah hakekat agama itu. Tetapi dengan latar belakang kemajuan ilmu-ilmu positif yang dengan marak saat itu, agama tidak jarang dilecehkan sebagai warisan budaya manusia yang belum kritis, khayalan manusia yang tersareng dari dunianya, sublimasi dari keinginan manusia yang tak kesampaian dan sebagainya. Kritik Agama yang bersifat metafisik ini kemudian diimbangi oleh minat agama dari jurusn lain, yakni yang dikembangkan oleh ilmu antropologi, etnologi, arkeologi, sosiologi dan filologi yang bergerak dalam penyelidikan suku-suku primitive. Rupanya bentuk-bentuk kehidupan baru ditanah-tanah koloni bagi orang eropa menimbulkan minat yang besar dalam studi, tak ketinggalan pula sering menjadi objek utamanya. Perbedaan yang sangat mencolok dari kelompok studi ini dibanding dengan kelompok filosuf ialah bahwa mereka lebih tertarik pada praktikpraktik peribadatan,ritual, upacara-upacara yang kongkrit dari pada konsep-konsep dan ajaran. Dan pada umumnya minat para ilmuwan di bidang agama ini ialah 2 mencari asal-usul agama dengan mengartikan kegiatan keagamaan sebagai kegiatan simbol, penuh arti. “Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Hasserl (1859-1938), yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya”(Mariasusai Dhavamony. 1995:6) Perumusan tentang apa itu fenomenologi agama selalu menjadi perdebatan hangat oleh para ahli filsafat ,dari perdebatan tersebut muncul seorang Professor. G. Vander Leeuw tahun 1933 menerbitkan sebuah buku, Phenomenologie der Religion, yang kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu model pendekatan fenomenologi masalah agama.Sejak itu banyak buku tentang fenomenologi agama ditulis. Dalam kaitannya dengan studi agama, makna istilah Fenomenologi tidak pernah terbakukan secara tegas. Oleh karena itu kita mesti memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menetukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologi terhadap agama .Meski demikian, bila dibanding dengan disiplindisipin dan pendekatan lain yang memberikan pemahaman tentang subjek (agama) …”pedekatan fenomenologi berperan dengan cara yang khas. Barangkali cara terbaik untuk menjelaskan mengapa mesti ada disiplin seperti fenomenologi agama….. adalah mempertentangkannya dengan pendekatan-pendekatan lain dan menggali alasan-alasan histories dan epistimotogis”( Peter Connolly (ed).2009:105) Bagi Bleeker, memberikan pandangannya bahwa fenomenologi agama adalah “ Studi pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa-doa inisiasi, upacara penguburan dan sebagainya, yang dicoba diperoleh dari sini adalah hakekat yang sama dari gejala-gelaja yang berbeda”( Mariasusai Dhavamony.1995:7). . 3 BAB II PENGERTIAN FENOMENOLOGI DAN FENOMENOLOGI AGAMA Ada beberapa pendapat para ahli akan diketengahkan untuk memperjelas tentang pengertian apa itu fenomenologi. Diantaranya adalah : Asmoro Achmadi , menjelaskan bahwa: “Fenomenologi berasal dari kata Fenomena yang berarti gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata atau semu. Juga dapat di artikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Dalam filasafat Fenomenologi, arti di atas berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati oleh indra,karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah dan tidak harus berupa kejadian-kejadian. Jadi, apa yang kelihatan dalam dirinya sendiri seperti apa adanya” (Asmoro Achmadi,.2001:122). Sementara Juhaya .S.Praja, mendefinikan, “fenomenologi berasal dari kata Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat….Dalam Bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau gejala sesuatu yang menampakkan diri” (Juhaya.S.Praja.2003:179). Lain halnya dengan Prof.Dr.N.Drijarkara.S.J. mengartikan, bahwa: “Fenomenologi , artinya sesuatu yang nampak, yang terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita: gejala. Jadi fenomenologi berarti; uraian atau percakapan tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menampakkan diri….dapat juga diartikan percakapan dengan fenomenon atau sesuatu yang sedang menggejala” ( N.Drijarkara.S.J.1978:117). Dari pendapat para ahli sebagaimana yang dikemukan di atas dapat ditarik benang merah bahwa; fenomenologi adalah suatu metode atau aliran yang mengkaji gejalagelaja yang tampak, yang terlihat terhadap suatu kejadian yang timbul/muncul dari dalam diri manusia yang dapat diamati dengan panca indra. Atau dapat juga diartikan fenomena.”segala sesutu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam 4 kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan”( Bernard Delfgaauw, ditejemahkan Soejono Soemargono.2001:105). Sedangkan yang demaksud dengan pendekatan Fenomenologi dalam kajian Agama adalah sebagai berikut: Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “proses, mendekati” perbuatan, cara Kebudayaan.1989:192). Dan Pendekatan diartikan sebagai suatu ( Departeman Pendidkan & Fenomenologi diartikan sebagai” Ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu filsafat atau bagian dari ilmu filsafat” ( Departeman Pendidkan & Kebudayaan.1989:241).Sedangkan agama adalah “kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dst) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewjiban yang bertalian dengan kepercayaan itu”( Departeman Pendidkan & Kebudayaan:198:9). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan Fenomenologi agama adalah sebuah kajian dengan menggunakan pendekatan filsafat sebagai sebuah ilmu, untuk mengkaji tentang fenomena-fenomena atau gejala–gejala agama yang muncul atau yang menampakkan diri. “Poin penting yang menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah : ephoce dan eidetic vision. Ephoce menunjukkan pada makna “pengurungan” (bracketing). Itu berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu….Sedangkan, eidetic vision berhungan dengan kemampuan “kemampuan “ untuk melihat apa yang sebenarnya ada disana” (Tholhatul Choir,Anwar Fanani, ….:31). Poin penting yang dimunculkan Edmund Husserl sehingga menjadi titik tolak metodologi fenomenologi agama adalah eiphoce yang diartikan sebagai “penundaan semua penilaian” atau dapat juga diartikan “pengurungan”, artinya adalah penundaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu, sedangkan Eidetic vision adalah berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa sebenarnya yang ada pada diri sesuatu . Untuk lebih jelas di bawah ini adalah beberapa karakteristik fenomenologi filosofis yang ada relefansinya dengan fenomenologi agama sebagai berikut: 5 1. Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman manusia. 2. Antireduksionisme. Pembebasan dari prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang lebih kuat tentang pengalaman terebut. 3. Intensionalitas, Caramenggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena . Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena…. 4. Pengurungan (epoche), Yaitu penundaan penilaian . hanya dengan mengurung keyakinan dan penilaian yang didasarkan atas pandangan alami yang tidak teruji. Seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya. 5. Eidetic vision. Adalah pemahaman kognitif (intuitif) tentang esensi, seringkali dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction . Esensi-esensi itu mengekspresikan “esensi” dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari sutu fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena jenis tertentu”.(Tholhatul Choir,Anwar Fanani......32-33) Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan pendekatan moderen terhadap agama . Terkadang para ilmuwan agama mengidentifikasi fenomenologi agama dalam wilayah umum sains agama. Dalam hal ini ada empat pengertian untuk mendefinisikan‟ fenomenologi agama‟ seperti yang dikemukana Douglas Allen; 1. Fenomenologi agama diartikan sebagai “sebuah investigasi terhadap fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa dinikmati. 2. …diartikan sebagai”sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda”. 6 3. … diartikan sebagai “ cabang disiplin atau metode khusus dalam kajian kajian agama. 4. …ada ilmuwan yang fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat,..ilmuwan ini mengidentifikasi banyak karyanya dengan fenomenologi filsafat”.(Tholhatul Choir,Anwar Fanani.: ….:36). Beberapa pengertian sebagaimana yang disampaikan di atas sebenarnya masih bersifat umum, karena karena tidak memasukkan unsur-unsur khas pendekatan fenomenologis dalam kajian agama, definisi yang tepat untuk menggambarkan fenomenologi agama menurut Thohatul Choir dan Anwar Fanani Adalah pengertian yang deberikan oleh James L.Cox, dengan menggunakan konsep Edmunt Hasserl, dimana Cox mendefinisikan fenomenologi agama : “sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedurephoce (penundaan) penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetic (melihat kedalam makna agama) dengan kajian berbagai ekspresi simbolik yang direspon oleh orang – orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka”.(Tholhatul Choir,Anwar Fanani.: ….:37). Mariasusai Dhavamony dalam bukunya fenomenologi agama, yang diterjemahkan oleh kelompok Driyarkara, mendefinisikan fenomenologi histories agama adalah : “Penyelidikan sistematis dari sejarah agama, yang bertugas mengklasifikasikan dan mengelompokkan menurut cara tertentu sejumlah data yang tersebar luas sehingga suatu pandangan yang menyeluruh dapat diperoleh isi agama-agama dalam makna relegius yang dikandungnya”.( Mariasusai Dhavomony.1995:25). Dari pengertian di atas, semakin jelas bahwa tugas fenomenlog disini adalah ”menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap pemahaman kita tentang humanitas dengan cara yang positif” (Peter Connolly.2009:107). Dari stetment ini menimbulkan pertanyaan. Apakah agama perlu dikaji karena kebenarannya bersifat absolud/mutlak ? jika demikian apa yang perlu dikaji dalam fenomenologi agama ?. Jawabanya adalah betul bahwa agama adalah 7 mempunyai kebenaran mutlak yang tidak diragukan lagi, dan manusia wajib mempercayai/meyakini akan kebenaran itu, tapi yang menjadi objek penelitian melalui pendekatan fenomenologi agama adalah prilaku orang dalam menjalankan agama itu. Lalu apa peran public ilmuwan agama?. Jawabannya adalah ada pada pembahasan di bawah ini. PERAN PUBLIK ILMUWAN AGAMA Untuk menjawab pertyanyaan di atas, menurut, MC Cutcheon, ada dua masalah yang dilakukan oleh ilmuwan agama : 1. Mereka bersikukuh pada otonomi disiplin keilmuan mereka. Hal ini memengaruhi tindakan pemisahan kajian agama secara kelembagaan dari disiplin ilmu lainnya .. 2. Deskripsi data agama dan tawaran interprestasi hanya dalam cara-cara yang bisa diafirmasi oleh orang beriman saja. MC Cutcheon menyamakan metode ini dengan “autobiografi refleksi” yang amereduksi peran ilmuwan hanya sebagai reporter yang mengulang klaim-klaim insider yang kurang penting”. (Tholhatul Choir da,Anwar Fanani...... ,…..:42-43). Peran public Ilmuwan agama sebagai mana yang disampaikan MC Cutcheon, membagi kedalam dua peran tersebut pada dasarnya adalah bahwa, disatu sisi ilmuwan agama bersikukuh pada posisinya sebagai seorang yang ahli agama (ulama) tanpa mau menjeburkan diri pada masalah-masalah diluar yang dikuasainya, karena dianggapnya dapat mempengaruhi tindakan pemisahan kajian agama dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya, fenomenolog Eliade menyatakan bahwa : “ilmuwan agama yang bersikukuh pada otonomi keilmuaanya dapat mempengaruhi tindakan pemisahan kajian agama dari sisiplin ilmu-ilmu lain dengan menetukan fukus agama sebagai yang tidak bisa diketahui, nonhistoris,suci transenden…. apa yang relegius itu baik, sehat, positif dan menyelamatkan. Tetapi ilmuwan yang beranggapan seperti itu berarti kehilangan kapasitas kritis untuk mengomentari realitas soisal agama sebagai factor yang 8 berkontribusi pada berbagai macam tindakan manusia, termasuk hubungan antara agama dan kekerasan”. (Tholhatul Choir da,Anwar Fanani...... ,…..:43). Pada sisi yang lain ilmuwan agama hanya mampu menguraikan data-data masalah agama dan mampu menafsirkan serta meyakinkan kepada orang-orng yang beriman saja, sehingga oleh MC Cutcheon mengatakan, ilmuwan hanya sebagai reporter, penyiar mengulangi pernyataan-pernyataan kepada orang yang beriman saja. “teori bahwa jantung agama adalah “keimanan personal, supranatural, suci atau transenden membawa kepada penafsiran agama yang sangat individualistis, yang menurut Mc Cutcheon terletak pada akar problematic antar agama dan dunia (sekuler). Dikotomi agama-sekuler itu didasari asumsi bahwa agama milik ruang privat. Agama menurut Mc Cutcheon, dijelaskan sebagai fariabel bebas yang menempati ruang bersih dari pandangan moral pribadi dan murni, yang menentang dan menyelamatkan dunia public politik dan ekonomi yang berantakan. Tantangan ilmuwan agama sekarang adalah ini adalah apakah mereka akan menerima peran public atau tidak?. Peran public disini bukan keterlibatan praktis terhadap isu-isu social dan politik, namun sebagai kritik untuk menyingkap mekanisme kekuatan dan control. Hal ini ditetapkan pertamakali pada cara di mana agama-agama dipelajari dan merujuk kepada pengujian diri yang kritis terhadap metode dan teori dan studi agama. Di sisi lain , David Chaidester memaparkan bahwa kontek-kontek social, histories dan politik dalam kajian agamamempengaruhi tafsiran ilmiyah dan menetapkan kategori-kategori yang melaluinya tafsiran-tafsiran tersebut disaring, ia menggaris bawai bahwa fakta kajian agama nampaknya sangat berbeda ketika dilihat dari sudut pandang kelompok terpinggirkan ketimbang dari sudut pandang struktur kekuasaan akademik yang berlaku di unifersitas-universitas di barat. PERKEMBANGAN HISTORIS FENOMENOLOGI AGAMA Segaimana telah disinggung di muka bahwa fenomenologi adalah sebuah metode untuk mengungkapkan/mendekati fenomena atau gejala yang tampak, yang timbul dari pengalaman menjalankan ajaran agama, sedangkan kunci untuk 9 membuka dalam mengkaji fenomena atau gejala yang nampak adalah dengan menggunakan pendekatan “empiris dan rasional”. “Empiris mengacu pada ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian sebagai suatu metode diderivasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan diterpakan kedalam ilmu social sebagai suatu pengujian terhadap struktur social dan perilaku manusia”. (Peter Connolly. 2009:106). Sedangkan yang dimaksud rasional adalah: “mengacu pada penelitian perilaku manusia sesuai dengan premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah” (Peter Connolly. 2009:107)Oleh karena itu rasional mengindikasikan agama sebagai suatu fenomena yang tidak berjalan sesuai dengan parameter-parameter tersebut. Ini memunculkan pertanyaan, apakah agama merupakn aktifitas rasional dan apakah agama harus difahami sebagai suatu wilayah pengetahuan atau dibiarkan sebagai suatu yang ketinggalan zaman. Lalu apakah fenomenologi histories agama itu sebenarnya ?. “ Fenomenologis histories agama adalah penyelidikan sistiomatis dari sejarah agama yang bertugas mengklasifikasikan dan mengelompokkan menurut cara tertentu sejumlah data yang tersebar luas sehingga suatu pandangan yang menyeluruh dapat diperoleh dari isi-isi agama-agama tersebut dan makna religius yang dikandungnya”(Mariasusai Dhavanmony.1995:25). Penyelidikan yang sistimatis mengenai sejarah agama untuk menggolonggolongkan atau mengelompokkan dengan cara tertentu yang tersebar luas sehingga diperoleh esensi agama yang dikandungnya, itu yang disebut dengan fenomenologi histories agama. Tindakan dan kepercayaan religius dalam setiap agama memang memperlihatkan kesamaannya tertentu dengan tindakan dan kepercayan dalam agama-agama lain. Sejarah sutau agama hanya membawa pada pengertian kekhususannya, sedangkan fenomenologi agama memperlihatkan pandangan sistematis dari fenomena-fenomena agama. Fenomenologi agama tidak bermaksud membandingkan agama sebagai satua-satauan besar melainkan hanya menarik fakta dan fenomena yang sama, yang dijumpai dalam agama-agama yang berlainan,mengumpulkan dan mempelajarinya perkelompok. 10 “fenomenologi historis agama tidak bermaksud memperbandingkan agamaagama satu sama lain sebagi kesatuan-kesatuan besar, melainkan hanya mengambil fakta dan fenomena yang serupa dalam sejarah berbagai agama, lalu mengumpulkan mereka dalam kelompok-kelompok. Dengan cara memperbandingkan, ilmu ini mencoba memahami makna religius yang mendasari pengelompkan data yang berhubungan satu sama lian, karena sebagai suatu kelompok data tersebut memberikan suatu kejelasan satu terhadap yang lain”. (Mariasusai Dhavanmony.1995:29). Sebenarnya bila kita telaah pendapat yang dikemukakan di atas jelas bahwa penyelidikan secara tersistem terhadap histories agama sama sekali tidak bertujuan untuk membandingkan satu agama dengan agama lain, yang diharapakan adalah menagmbil fakta dari fenomena-fenomena yang serupa dari histories berbagai agama yang diselidiki. Lalu mengelompokkan , kemudian difahami makna religiusnya yang mendasari pengelompokan data itu yang berhubungan satu sama lainnya. Tujuan fenomenolog mengungkap fenomenologi histories agama adalah tergantu dari sudut pandang mana fenomenolog melihat agama sebagi suatau fenomena histories „ karena hasilnya bisa berbeda-beda tergantung dengan pendekatan apa fenomenolog mengungkapkannya, menggunakan pendekatan filologi,arkeologi,etnologi, sosiologi atau psikologi . “Filologi berusaha mengintreprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan setepat-tepatnya. Arkeolog berusaha merekontruksi suatu kompleks tempat suci kuno atau menerangkan permasalahan suatu cerita dari mitos. Etnolog menerangkan pokok-pokok dari praktek-praktek relegius dan upacara-uparara orang-orang primitive. Sosiolog mencoba memahami struktur organisasi dari suatu kelompok masyarakat relegius dan hubungannya dengan kehidupan sekuler. Psikolog menganalisis pengalaman relegius dari berbagai macam orang”. (Mariasusai Dhavanmony.1995:31). Para ilmuwan di atas menyelidiki data relegius dalam jangkauan dan batas dari ilmu mereka masing-masing dengan menggunakan metode-metode yang sesuai dengan ilmu mereka. Karena penyelidikan-penyelidikan dan hasil-halinya dapat membantu memperluas dan memperdalam pengetahuan kita tentang data 11 relegius, namun belum menjelaskan sesuatu berkenaan dengan ciri khas dan hakikat dari data tersebut, yakni kereligiusannya, karena bidang ini ditangani oleh fenomenologi agama. BAB III KESIMPULAN Dari uraian yang dikemukan di atas, kesimpulan yang dapat ditarik adalah : 1. Fenomenologi berarti sebuah metode untuk mendekati gejala-gejala keagamaan yang muncul atau yang timbul kepermukaan dari pengalaman orang menjalankan ajaran agama. Bukan pada asal-usul dari mana agama itu lahir. 2. Pendekatan fenomenologi pertama kali dimunculkan oleh seorang ahli matematika, berkebangsaan Jerman bernama Edmund Husserl (1859 – 1938), dan ciri pemikirannya itu terangkum dalam kalimat Nach den sachen selbls (kembali pada benda-benada itu sendiri). Artinya dengan kalimat itu Husserl mengantarkan kepada kita untuk memahami terhadap realita, yang menampakkan diri kepada kita. 3. Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin ilmu dan pendekatan moderen terhadap agama, sehingga dapat didefinisikan bahwa fenomenologi agama adalah suatu pendekatan yang dipakai fenomenolog untuk memperhatikan bagaimana gejala-gejala atau fenomena-fenomena agama menampakkan diri . 4. Poin penting yang dimunculkan Edmund Husserl sehingga menjadi titik tolak metodologi fenomenologi agama adalah eiphoce yang diartikan sebagai “penundaan semua penilaian” atau dapat juga diartikan “pengurungan”, artinya adalah penundaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu, dan Eidetic vision adalah berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa sebenarnya yang ada dari sesuatu . 12 5. Fenomenologi adalah sebuah metode atau alat , maka untuk mengatahu perkembangan histories pendekatan fenomenologi agama dapat dibuka dengan menggunakan pendekatan “empiris dan rasional”. 6. Tujuan fenomenolog mengungkap fenomenologi histories agama adalah tergantu dari sudut pandang mana fenomenolog melihat agama sebagi suatau fenomena histories „ karena hasilnya bisa berbeda-beda tergantung dengan pendekatan apa fenomenolog mengungkapkannya. 7. Peran public ilmuwan agama, MC Cutcheon, membagi kedalam dua peran pertama, disatu sisi ilmuwan agama bersikukuh pada posisinya sebagai seorang yang ahli agama (ulama) tanpa mau menjeburkan diri pada masalahmasalah diluar yang dikuasainya, karena dianggapnya dapat mempengaruhi tindakan pemisahan kajian agama dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya, kedua;Pada sisi yang lain ilmuwan agama hanya mampu menguraikan datadata masalah agama dan mampu menafsirkan serta meyakinkan kepada orangorng yang beriman saja., sehingga oleh MC Cutcheon dikatakan, ilmuwan agama hanya sebagai reporter, penyiar mengulangi pernyataan-pernyataan kepada orang yang beriman saja. *Penulis adalah Kepala MIN Wanarejo Kantor Kementerian Agama Kab. Tebo. 13 DAFTAR PUSTAKA Aslam Hady. Pengantar Filsafat Agama Jakarta, Rajawali. 1886. Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum.Jakarta:Raja Ghafindo Persada. 2001. Connolly, Peter.(ed).2009.AnekaPendekatanStudiAgama.Yoryakarta:Cemerla. Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi AgamaYogyakarta: Kanisius. 1995. Delfgauw,Bernard. ditejemahkan Soejono Soemargono, Filsafat abat 20.Yogyakarta: Tiara wacana Yogya. 2001. Departeman Pendidikan & Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka. 1989. Hady, Aslam. Pengantar Filsafat Agama. Jakarta: Rajawali. 1986. N.Drijarkara.S.J. Percikan Filsafat. Jakarta: Pembangunan. 1978. S.Praja,Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika.,Jakarta:Pradana Media. 2003. 14