KHOEROH* ABSTRAK Fenomenologi adalah

advertisement
PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
DALAM KAJIAN ISLAM
Oleh:
KHOEROH*
ABSTRAK
Fenomenologi adalah motode filsafat yang mempelajarai tentang gelaja-gejala yang
tampak, melalui pendekatan empirik dan rasional.Osrang yang pertama mempelopori
adalah Edmund Husserl, fenomenologi pada dasarnya adalah studi tentang kesadaran
dan strukturnya. baru kemudian pada tahun 1933 muncul fenomenologi agama yang
dipelopori G Vander Leeuwdengan bukunya Phenomenologie der Religion, oleh Bleker
Fenomenologi agama diartikan sebagai studi pendekatan agama dengan acara
membandingakan berbagai macam gejala bidang yang sama antara berbagai macam
agama,misalnya cara penerimaan penganut, doa-doa inisiasi, upacara penguburan dan
sebagainya.
Apakah agama perlu dikaji karena kebenarannya bersifat absolud/mutlak ? Apa
yang perlu dikaji dalam fenomenologi agama ?. Betul bahwa agama adalah mempunyai
kebenaran mutlak yang tidak diragukan lagi, dan manusia wajib mempercayai/meyakini
akan kebenaran itu, akan tapi yang menjadi objek penelitian melalui pendekatan
fenomenologi agama adalah prilaku orang dalam menjalankan agama, bukan nilai-nilai
yang terkandung didalam ajaran agama tersebut.
Kalau agama tak lagi perlu dikaji karena kebenarannya adalah bersifat
mutlak/absolut, sehingga objek penelitiannay adalah prilaku penganutnya, bukan nilainilai yang terkandung didalam ajaran agama, lalu apa peran ilmuwan agama (ulama)?.
Peran ilmuwan agama adalah; 1).Disatu sisi ilmuwan agama bersikukuh pada posisinya
sebagai seorang yang ahli agama (ulama) tanpa mau menjeburkan diri pada masalahmasalah diluar yang dikuasainya, karena dianggapnya dapat mempengaruhi tindakan
pemisahan kajian agama dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. 2).Pada sisi yang lain
ilmuwan agama hanya mampu menguraikan data-data masalah agama dan mampu
menafsirkan serta meyakinkan kepada orang-orng yang beriman saja.
Kata Kunci: Pendekatan Fenomenologis dan Kajian Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomenologi adalah sebuah ”metode untuk mendekati gejala-gejala
keagamaan”(Aslam Hady:1986:65),gejala-gejala yang dapat di dekati melalui
pendekatan fenomenologi hanya terbatas pada gejala-gelaja yang nampak atau
yang timbul dari pengalaman menjalankan ajaran agama, bukan pada asal-usul dari
mana agama itu lahir. Pendekatan Fenomenoilogi pertama kali dimunculkan oleh
seorang filosuf bernama Edmund Husserl (1859-1938).Di mana ciri khas
pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam
filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada
benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk
memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan
bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya,
usaha untuk kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali
kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam kesadaran kita.Apa yang tampil
kepada kita itulah yang disebut fenomena. Fenomenologi secara khusus berbicara
tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul
pada Kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu
menyatakan dirinya, dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka
fenomenologi merupakan filsafat utama. Eksistensialisme berhubungan erat
dengan fenomenologi.Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu
ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya
antara lain, M. Scheler dan Merleau- Ponty. Mereka mengatakan bahwa Kita harus
memperkenalkan gejala- gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak
harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori umum. Setiap
benda mempunyai
“hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada kita kalau kita membuka
diri untuknya.Kita harus “mengabstraksi” dari semua hal yang tidak hakiki.Kalau
segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin Kita
selidiki, mulai berbicara. Dan “bahasa” ini akan dapat dimengerti berkat intuisi
Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk
1
epistemologi,
psikologi,
antropologi,
studi
agama-agama
dan
etika.”(file:///H:/fenomenologi-3572675.htm, diakses tanggal,27 nopember 2010)
Fenomenologi bagian dari ilmu filsafat,yang kira-kira lebih kurang 90-th yang lalu
muncul, aliran
Edmund
ini dipelopori oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama
Husserl,
yang
kemudian
dikembangkan
oleh
murid-muridnya,
diantaranya; Max Scheler (1874-1928),Kant, Nicola Hartman (1882 – 1950)
,lingkup kajiannya adalah membicarakan masalah fenomena atau gejala yang
timbul, belakangan ini kenyataan pluralisme agama semakin disadari oleh banyak
orang. Namun kesadaran semacam ini tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba,
melainkan
lewat
perkembangan
pengetahuan
dan
peradaban
bangsa-
bangsa.Sejarah mencatat banyaknya peran dan perebutan kekuasaan atau pun
perebutan pengaruh antar agama-agama di masa lampau.Itu berarti bahwa
kemajemukan agama sebenarnya sudah lama dialami oleh bangsa-bangsa
meskipun dalam perspektif pemikiran yang berbeda dari sekarang.
Persoalan agama sendiri sebagai objek kajian filsafat sebenarnya baru dirintis oleh
Hegel pada awal abat 19, sejak itu banyak pemikir mulai menaruh minat pada
studi-studi agama. Pada mulanya studi-studi
ini lebih bersifat apriori dan
metafisik, dengan mengolah konsep-konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan
ajaran agama. Minat para filusuf adalah menangkap apakah hakekat agama itu.
Tetapi dengan latar belakang kemajuan ilmu-ilmu positif yang dengan marak saat
itu, agama tidak jarang dilecehkan sebagai warisan budaya manusia yang belum
kritis, khayalan manusia yang tersareng dari dunianya, sublimasi dari keinginan
manusia yang tak kesampaian dan sebagainya.
Kritik Agama yang bersifat metafisik ini kemudian diimbangi oleh minat
agama dari jurusn lain, yakni yang dikembangkan oleh ilmu antropologi, etnologi,
arkeologi, sosiologi dan filologi yang bergerak dalam penyelidikan suku-suku
primitive. Rupanya bentuk-bentuk kehidupan baru ditanah-tanah koloni bagi orang
eropa menimbulkan minat yang besar dalam studi, tak ketinggalan pula sering
menjadi objek utamanya. Perbedaan yang sangat mencolok dari kelompok studi ini
dibanding dengan kelompok filosuf ialah bahwa mereka lebih tertarik pada praktikpraktik peribadatan,ritual, upacara-upacara yang kongkrit dari pada konsep-konsep
dan ajaran. Dan pada umumnya minat para ilmuwan di bidang agama ini ialah
2
mencari asal-usul agama dengan mengartikan kegiatan keagamaan sebagai
kegiatan simbol, penuh arti.
“Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Hasserl (1859-1938), yang
memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam
pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi
haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang
harus menampakkan dirinya”(Mariasusai Dhavamony. 1995:6)
Perumusan tentang apa itu fenomenologi agama selalu menjadi perdebatan
hangat oleh para ahli filsafat ,dari perdebatan tersebut muncul seorang Professor.
G. Vander Leeuw tahun 1933 menerbitkan sebuah buku, Phenomenologie der
Religion, yang kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu model pendekatan
fenomenologi masalah agama.Sejak itu banyak buku tentang fenomenologi agama
ditulis.
Dalam kaitannya dengan studi agama, makna istilah Fenomenologi tidak pernah
terbakukan secara tegas. Oleh karena itu kita mesti memulai dengan kehati-hatian
dalam
upaya
menetukan
faktor-faktor
yang
termuat
dalam
pendekatan
fenomenologi terhadap agama .Meski demikian, bila dibanding dengan disiplindisipin dan pendekatan lain yang memberikan pemahaman tentang subjek (agama)
…”pedekatan fenomenologi berperan dengan cara yang khas. Barangkali cara
terbaik untuk menjelaskan mengapa mesti ada disiplin
seperti fenomenologi
agama….. adalah mempertentangkannya dengan pendekatan-pendekatan lain dan
menggali alasan-alasan histories dan epistimotogis”( Peter Connolly (ed).2009:105)
Bagi Bleeker, memberikan pandangannya bahwa fenomenologi agama adalah
“ Studi pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam
gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara
penerimaan penganut, doa-doa inisiasi, upacara penguburan dan sebagainya, yang
dicoba diperoleh dari sini adalah hakekat yang sama dari gejala-gelaja yang
berbeda”( Mariasusai Dhavamony.1995:7).
.
3
BAB II
PENGERTIAN FENOMENOLOGI DAN FENOMENOLOGI AGAMA
Ada beberapa pendapat para ahli akan diketengahkan untuk memperjelas tentang
pengertian
apa itu
fenomenologi. Diantaranya adalah : Asmoro Achmadi ,
menjelaskan bahwa: “Fenomenologi berasal dari kata Fenomena yang berarti
gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata atau semu. Juga dapat di artikan sebagai
ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Dalam filasafat Fenomenologi,
arti di atas berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak
perlu harus diamati oleh indra,karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah
dan tidak harus berupa kejadian-kejadian. Jadi, apa yang kelihatan dalam dirinya
sendiri seperti apa adanya” (Asmoro Achmadi,.2001:122).
Sementara Juhaya .S.Praja, mendefinikan,
“fenomenologi berasal dari kata Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak
yang terlihat….Dalam Bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau gejala
sesuatu yang menampakkan diri” (Juhaya.S.Praja.2003:179).
Lain halnya dengan Prof.Dr.N.Drijarkara.S.J. mengartikan, bahwa:
“Fenomenologi , artinya sesuatu yang nampak, yang terlihat karena bercahaya.
Dalam bahasa kita: gejala. Jadi fenomenologi berarti; uraian atau percakapan
tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menampakkan diri….dapat juga
diartikan percakapan dengan fenomenon atau sesuatu yang sedang menggejala”
( N.Drijarkara.S.J.1978:117).
Dari pendapat para ahli sebagaimana yang dikemukan di atas dapat ditarik benang
merah bahwa; fenomenologi adalah suatu metode atau aliran yang mengkaji gejalagelaja yang tampak, yang terlihat terhadap suatu kejadian yang timbul/muncul dari
dalam diri manusia yang dapat diamati dengan panca indra. Atau dapat juga
diartikan fenomena.”segala sesutu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam
4
kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu
yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan”( Bernard
Delfgaauw, ditejemahkan Soejono Soemargono.2001:105).
Sedangkan yang demaksud dengan pendekatan Fenomenologi dalam kajian
Agama adalah sebagai berikut:
Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia,
“proses,
mendekati”
perbuatan,
cara
Kebudayaan.1989:192). Dan
Pendekatan diartikan sebagai suatu
(
Departeman
Pendidkan
&
Fenomenologi diartikan sebagai” Ilmu tentang
perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang
mendahului ilmu filsafat atau bagian dari ilmu filsafat” ( Departeman Pendidkan
& Kebudayaan.1989:241).Sedangkan agama adalah “kepercayaan kepada Tuhan
(dewa, dst) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewjiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu”( Departeman Pendidkan & Kebudayaan:198:9).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan Fenomenologi agama
adalah sebuah kajian dengan menggunakan pendekatan filsafat sebagai sebuah
ilmu, untuk mengkaji tentang fenomena-fenomena
atau gejala–gejala agama
yang muncul atau yang menampakkan diri.
“Poin penting yang menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi
fenomenologi agama adalah : ephoce dan eidetic vision. Ephoce menunjukkan
pada makna “pengurungan” (bracketing). Itu berarti ketiadaan praduga-praduga
yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu….Sedangkan,
eidetic vision berhungan dengan kemampuan “kemampuan “ untuk melihat apa
yang sebenarnya ada disana” (Tholhatul Choir,Anwar Fanani, ….:31).
Poin penting yang dimunculkan Edmund Husserl sehingga menjadi titik
tolak metodologi fenomenologi agama adalah eiphoce yang diartikan sebagai
“penundaan semua penilaian” atau dapat juga diartikan “pengurungan”, artinya
adalah penundaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang
diambil dari sesuatu, sedangkan Eidetic vision adalah berhubungan dengan
kemampuan untuk melihat apa sebenarnya yang ada pada diri sesuatu . Untuk
lebih jelas di bawah ini adalah beberapa karakteristik fenomenologi filosofis yang
ada relefansinya dengan fenomenologi agama sebagai berikut:
5
1. Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak
fenomena, cara tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial
pada dasar pengalaman manusia.
2. Antireduksionisme.
Pembebasan
dari
prakonsepsi
tidak
kritis
yang
menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena,
lalu memberikan ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman
dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang lebih kuat tentang pengalaman
terebut.
3. Intensionalitas, Caramenggambarkan bagaimana kesadaran membentuk
fenomena . Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna
sebuah fenomena….
4. Pengurungan (epoche), Yaitu penundaan penilaian . hanya dengan
mengurung keyakinan dan penilaian yang didasarkan atas pandangan alami
yang tidak teruji. Seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena
pengalaman dan memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.
5. Eidetic
vision. Adalah pemahaman kognitif (intuitif) tentang esensi,
seringkali dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction . Esensi-esensi itu
mengekspresikan “esensi” dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak
berubah dari sutu fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena
sebagai fenomena jenis tertentu”.(Tholhatul Choir,Anwar Fanani......32-33)
Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan
pendekatan moderen terhadap agama . Terkadang para ilmuwan agama
mengidentifikasi fenomenologi agama dalam wilayah umum sains agama. Dalam
hal ini ada empat pengertian untuk mendefinisikan‟ fenomenologi agama‟ seperti
yang dikemukana Douglas Allen;
1. Fenomenologi agama diartikan sebagai “sebuah investigasi terhadap
fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang
bisa dinikmati.
2. …diartikan sebagai”sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe
fenomena agama yang berbeda”.
6
3. … diartikan sebagai “ cabang disiplin atau metode khusus dalam kajian kajian
agama.
4. …ada ilmuwan yang fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi
filsafat,..ilmuwan ini mengidentifikasi banyak karyanya dengan fenomenologi
filsafat”.(Tholhatul Choir,Anwar Fanani.: ….:36).
Beberapa pengertian sebagaimana yang disampaikan di atas sebenarnya
masih bersifat umum, karena karena tidak memasukkan unsur-unsur khas
pendekatan fenomenologis dalam kajian agama, definisi yang tepat untuk
menggambarkan fenomenologi agama menurut Thohatul Choir dan Anwar Fanani
Adalah pengertian yang deberikan oleh James L.Cox, dengan menggunakan
konsep Edmunt Hasserl, dimana Cox mendefinisikan fenomenologi agama :
“sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedurephoce (penundaan)
penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetic (melihat kedalam makna
agama) dengan kajian berbagai ekspresi simbolik yang direspon oleh orang –
orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka”.(Tholhatul Choir,Anwar
Fanani.: ….:37).
Mariasusai Dhavamony dalam bukunya fenomenologi agama, yang
diterjemahkan oleh kelompok Driyarkara, mendefinisikan fenomenologi histories
agama adalah :
“Penyelidikan sistematis dari sejarah agama, yang bertugas mengklasifikasikan
dan mengelompokkan menurut cara tertentu sejumlah data yang tersebar luas
sehingga suatu pandangan yang menyeluruh dapat diperoleh isi agama-agama
dalam makna relegius yang dikandungnya”.( Mariasusai Dhavomony.1995:25).
Dari pengertian di atas, semakin jelas bahwa tugas fenomenlog disini adalah
”menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi
terhadap pemahaman kita tentang humanitas dengan cara yang positif” (Peter
Connolly.2009:107).
Dari stetment ini menimbulkan pertanyaan. Apakah agama perlu dikaji
karena kebenarannya bersifat absolud/mutlak ? jika demikian apa yang perlu
dikaji dalam fenomenologi agama ?. Jawabanya adalah betul bahwa agama adalah
7
mempunyai kebenaran mutlak yang tidak diragukan lagi, dan manusia wajib
mempercayai/meyakini akan kebenaran itu, tapi yang menjadi objek penelitian
melalui
pendekatan
fenomenologi
agama
adalah
prilaku
orang dalam
menjalankan agama itu. Lalu apa peran public ilmuwan agama?. Jawabannya
adalah ada pada pembahasan di bawah ini.
PERAN PUBLIK ILMUWAN AGAMA
Untuk menjawab pertyanyaan di atas, menurut, MC Cutcheon, ada dua
masalah yang dilakukan oleh ilmuwan agama :
1. Mereka bersikukuh pada otonomi disiplin keilmuan mereka. Hal ini
memengaruhi tindakan pemisahan kajian agama secara kelembagaan dari
disiplin ilmu lainnya ..
2. Deskripsi data agama dan tawaran interprestasi hanya dalam cara-cara yang
bisa diafirmasi oleh orang beriman saja. MC Cutcheon menyamakan metode
ini dengan “autobiografi refleksi” yang amereduksi peran ilmuwan hanya
sebagai reporter yang mengulang klaim-klaim insider yang kurang penting”.
(Tholhatul Choir da,Anwar Fanani...... ,…..:42-43).
Peran public Ilmuwan agama sebagai mana yang disampaikan MC Cutcheon,
membagi kedalam dua peran tersebut pada dasarnya adalah bahwa, disatu sisi
ilmuwan agama bersikukuh pada posisinya sebagai seorang yang ahli agama
(ulama) tanpa mau menjeburkan diri pada
masalah-masalah diluar yang
dikuasainya, karena dianggapnya dapat mempengaruhi tindakan pemisahan kajian
agama dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya, fenomenolog Eliade menyatakan
bahwa :
“ilmuwan
agama
yang
bersikukuh
pada
otonomi
keilmuaanya
dapat
mempengaruhi tindakan pemisahan kajian agama dari sisiplin ilmu-ilmu lain
dengan menetukan fukus agama sebagai yang tidak bisa diketahui, nonhistoris,suci transenden…. apa yang relegius itu baik, sehat, positif dan
menyelamatkan. Tetapi ilmuwan yang beranggapan seperti itu berarti kehilangan
kapasitas kritis untuk mengomentari realitas soisal agama sebagai factor yang
8
berkontribusi pada berbagai macam tindakan manusia, termasuk hubungan antara
agama dan kekerasan”. (Tholhatul Choir da,Anwar Fanani...... ,…..:43).
Pada sisi yang lain ilmuwan agama hanya mampu menguraikan data-data
masalah agama dan mampu menafsirkan serta meyakinkan kepada orang-orng
yang beriman saja, sehingga oleh MC Cutcheon mengatakan, ilmuwan hanya
sebagai reporter, penyiar mengulangi pernyataan-pernyataan kepada orang yang
beriman saja. “teori bahwa jantung agama adalah “keimanan personal,
supranatural, suci atau transenden membawa kepada penafsiran agama yang
sangat individualistis, yang menurut Mc Cutcheon terletak pada akar problematic
antar agama dan dunia (sekuler). Dikotomi agama-sekuler itu didasari asumsi
bahwa agama milik ruang privat. Agama menurut Mc Cutcheon, dijelaskan
sebagai fariabel bebas yang menempati ruang bersih dari pandangan moral
pribadi dan murni, yang menentang dan menyelamatkan dunia public politik dan
ekonomi yang berantakan.
Tantangan ilmuwan agama sekarang adalah ini adalah apakah mereka akan
menerima peran public atau tidak?. Peran public disini bukan keterlibatan praktis
terhadap isu-isu social dan politik, namun sebagai kritik untuk menyingkap
mekanisme kekuatan dan control. Hal ini ditetapkan pertamakali pada cara di
mana agama-agama dipelajari dan merujuk kepada pengujian diri yang kritis
terhadap metode dan teori dan studi agama. Di sisi lain , David Chaidester
memaparkan bahwa kontek-kontek social, histories dan politik dalam kajian
agamamempengaruhi tafsiran ilmiyah dan menetapkan kategori-kategori yang
melaluinya tafsiran-tafsiran tersebut disaring, ia menggaris bawai bahwa fakta
kajian agama nampaknya sangat berbeda ketika dilihat dari sudut pandang
kelompok terpinggirkan ketimbang dari sudut pandang
struktur kekuasaan
akademik yang berlaku di unifersitas-universitas di barat.
PERKEMBANGAN HISTORIS FENOMENOLOGI AGAMA
Segaimana telah disinggung di muka bahwa fenomenologi adalah sebuah
metode untuk mengungkapkan/mendekati fenomena atau gejala yang tampak, yang
timbul dari pengalaman menjalankan ajaran agama, sedangkan kunci untuk
9
membuka dalam mengkaji fenomena atau gejala yang nampak adalah dengan
menggunakan pendekatan “empiris dan rasional”.
“Empiris
mengacu pada ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian
sebagai suatu metode diderivasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan diterpakan
kedalam ilmu social sebagai suatu pengujian terhadap struktur social dan perilaku
manusia”. (Peter Connolly. 2009:106).
Sedangkan yang dimaksud rasional adalah: “mengacu pada penelitian perilaku
manusia sesuai dengan premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah” (Peter
Connolly. 2009:107)Oleh karena itu rasional mengindikasikan agama sebagai suatu
fenomena yang tidak berjalan sesuai dengan parameter-parameter tersebut.
Ini memunculkan pertanyaan, apakah agama merupakn aktifitas rasional dan
apakah agama harus difahami sebagai suatu wilayah pengetahuan atau dibiarkan
sebagai suatu yang ketinggalan zaman. Lalu apakah fenomenologi histories agama
itu sebenarnya ?.
“ Fenomenologis histories agama adalah penyelidikan sistiomatis dari sejarah
agama yang bertugas mengklasifikasikan dan mengelompokkan menurut cara
tertentu sejumlah data yang tersebar luas sehingga suatu pandangan yang
menyeluruh dapat diperoleh dari isi-isi agama-agama tersebut dan makna religius
yang dikandungnya”(Mariasusai Dhavanmony.1995:25).
Penyelidikan yang sistimatis mengenai sejarah agama untuk menggolonggolongkan atau mengelompokkan dengan cara tertentu yang tersebar luas sehingga
diperoleh esensi agama yang dikandungnya, itu yang disebut dengan fenomenologi
histories agama. Tindakan dan kepercayaan religius dalam setiap agama memang
memperlihatkan kesamaannya tertentu dengan tindakan dan kepercayan dalam
agama-agama lain. Sejarah sutau agama
hanya membawa pada pengertian
kekhususannya, sedangkan fenomenologi agama memperlihatkan pandangan
sistematis dari fenomena-fenomena agama. Fenomenologi agama tidak bermaksud
membandingkan agama sebagai satua-satauan besar melainkan hanya menarik
fakta dan fenomena yang sama, yang dijumpai dalam agama-agama yang
berlainan,mengumpulkan dan mempelajarinya perkelompok.
10
“fenomenologi historis agama tidak bermaksud memperbandingkan agamaagama satu sama lain sebagi kesatuan-kesatuan besar, melainkan hanya mengambil
fakta dan fenomena yang serupa dalam sejarah berbagai agama, lalu
mengumpulkan
mereka
dalam
kelompok-kelompok.
Dengan
cara
memperbandingkan, ilmu ini mencoba memahami makna religius yang mendasari
pengelompkan data yang berhubungan satu sama lian, karena sebagai suatu
kelompok data tersebut memberikan suatu kejelasan satu terhadap yang lain”.
(Mariasusai Dhavanmony.1995:29).
Sebenarnya bila kita telaah pendapat yang dikemukakan di atas jelas bahwa
penyelidikan secara tersistem terhadap histories agama sama sekali tidak bertujuan
untuk membandingkan satu agama dengan agama lain, yang diharapakan adalah
menagmbil fakta dari fenomena-fenomena yang serupa dari histories berbagai
agama yang diselidiki. Lalu mengelompokkan , kemudian difahami makna
religiusnya yang mendasari pengelompokan data itu yang berhubungan satu sama
lainnya.
Tujuan fenomenolog mengungkap fenomenologi histories agama adalah
tergantu dari sudut pandang mana fenomenolog melihat agama sebagi suatau
fenomena histories „ karena hasilnya bisa berbeda-beda tergantung dengan
pendekatan apa fenomenolog mengungkapkannya, menggunakan pendekatan
filologi,arkeologi,etnologi, sosiologi atau psikologi .
“Filologi berusaha mengintreprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan
agama dengan setepat-tepatnya. Arkeolog berusaha merekontruksi suatu kompleks
tempat suci kuno atau menerangkan permasalahan suatu cerita dari mitos. Etnolog
menerangkan pokok-pokok dari praktek-praktek relegius dan upacara-uparara
orang-orang primitive. Sosiolog mencoba memahami struktur organisasi dari suatu
kelompok masyarakat relegius
dan hubungannya dengan kehidupan sekuler.
Psikolog menganalisis pengalaman relegius dari berbagai macam orang”.
(Mariasusai Dhavanmony.1995:31).
Para ilmuwan di atas menyelidiki data relegius dalam jangkauan dan batas
dari ilmu mereka masing-masing dengan menggunakan metode-metode yang
sesuai dengan ilmu mereka. Karena penyelidikan-penyelidikan dan hasil-halinya
dapat membantu memperluas dan memperdalam pengetahuan kita tentang data
11
relegius, namun belum menjelaskan sesuatu berkenaan dengan ciri khas dan
hakikat dari data tersebut, yakni kereligiusannya, karena bidang ini ditangani oleh
fenomenologi agama.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang dikemukan di atas, kesimpulan yang dapat ditarik adalah :
1. Fenomenologi berarti sebuah metode untuk mendekati gejala-gejala
keagamaan yang muncul atau yang timbul kepermukaan dari pengalaman
orang menjalankan ajaran agama. Bukan pada asal-usul dari mana agama itu
lahir.
2. Pendekatan fenomenologi pertama kali dimunculkan oleh seorang ahli
matematika, berkebangsaan Jerman bernama Edmund Husserl (1859 – 1938),
dan ciri pemikirannya itu terangkum dalam kalimat Nach den sachen selbls
(kembali pada benda-benada itu sendiri). Artinya dengan kalimat itu Husserl
mengantarkan kepada kita
untuk memahami terhadap realita, yang
menampakkan diri kepada kita.
3. Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin ilmu dan pendekatan
moderen terhadap agama, sehingga dapat didefinisikan bahwa fenomenologi
agama
adalah
suatu
pendekatan
yang
dipakai
fenomenolog
untuk
memperhatikan bagaimana gejala-gejala atau fenomena-fenomena agama
menampakkan diri .
4. Poin penting yang dimunculkan Edmund Husserl sehingga menjadi titik tolak
metodologi fenomenologi agama
adalah eiphoce yang diartikan sebagai
“penundaan semua penilaian” atau dapat juga diartikan “pengurungan”,
artinya adalah penundaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi
pemahaman yang diambil dari sesuatu, dan
Eidetic vision adalah
berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa sebenarnya yang ada
dari sesuatu .
12
5. Fenomenologi adalah sebuah metode atau alat , maka
untuk mengatahu
perkembangan histories pendekatan fenomenologi agama dapat dibuka
dengan menggunakan pendekatan “empiris dan rasional”.
6. Tujuan fenomenolog mengungkap fenomenologi histories agama adalah
tergantu dari sudut pandang mana fenomenolog melihat agama sebagi suatau
fenomena histories „ karena hasilnya bisa berbeda-beda tergantung dengan
pendekatan apa fenomenolog mengungkapkannya.
7. Peran public ilmuwan agama, MC Cutcheon, membagi kedalam dua peran
pertama, disatu sisi ilmuwan agama bersikukuh pada posisinya sebagai
seorang yang ahli agama (ulama) tanpa mau menjeburkan diri pada masalahmasalah diluar yang dikuasainya, karena dianggapnya dapat mempengaruhi
tindakan pemisahan kajian agama dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya,
kedua;Pada sisi yang lain ilmuwan agama hanya mampu menguraikan datadata masalah agama dan mampu menafsirkan serta meyakinkan kepada orangorng yang beriman saja., sehingga oleh MC Cutcheon dikatakan, ilmuwan
agama hanya sebagai reporter, penyiar mengulangi pernyataan-pernyataan
kepada orang yang beriman saja.
*Penulis adalah Kepala MIN Wanarejo Kantor Kementerian Agama Kab.
Tebo.
13
DAFTAR PUSTAKA
Aslam Hady. Pengantar Filsafat Agama Jakarta, Rajawali. 1886.
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum.Jakarta:Raja Ghafindo Persada. 2001.
Connolly, Peter.(ed).2009.AnekaPendekatanStudiAgama.Yoryakarta:Cemerla.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi AgamaYogyakarta: Kanisius. 1995.
Delfgauw,Bernard. ditejemahkan Soejono Soemargono, Filsafat abat 20.Yogyakarta:
Tiara wacana Yogya. 2001.
Departeman Pendidikan & Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai
Pustaka. 1989.
Hady, Aslam. Pengantar Filsafat Agama. Jakarta: Rajawali. 1986.
N.Drijarkara.S.J. Percikan Filsafat. Jakarta: Pembangunan. 1978.
S.Praja,Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika.,Jakarta:Pradana Media. 2003.
14
Download