Jurnal Perempuan 48 - UN Women Asia

advertisement
No. 48, 2006
Dewan Redaksi
Gadis Arivia
Nur Iman Subono
Pemimpin Redaksi
Adriana Venny
Redaktur Pelaksana
Mariana Amiruddin
Redaksi
Mikael Johani
Henny Irawati
Sinta Situmorang
Sekretaris Redaksi
Suprihadi
Desain & Layout
Agus Wiyono
Penjualan & Sirkulasi
Budi Hermawan
Endang Setiyawati
Ardhiansyah
Percetakan
SMKG Desa Putera, Jakarta
Alamat Redaksi
Jl. Tebet Barat VIII No. 27
Jakarta Selatan 12810
Telp.: (021) 83702005 (hunting)
Faks: (021) 8302434
E-mail: [email protected]
Website: www.jurnalperempuan.com
Penerbit
YAYASAN JURNAL PEREMPUAN
Cetakan Pertama, Jakarta, Juli 2006
ISSN : 1410-153X
Didukung oleh
bermitra dengan
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak, mengkopi
sebagian atau keseluruhan tanpa seijin Yayasan Jurnal Perempuan.
Isi tulisan tidak harus mencerminkan pandangan redaksi.
• Daftar Isi •
D a f ta r I s i Edisi 48
Prolog
4
39
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang
Membebaskan
Misiyah
55
Ilmu Politik, Bias Gender, dan
Penelitian Feminis
Nur Iman Subono
69
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
79
Sinetron Feminisme dan
Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
Pentingnya Metodologi
Feminis di Indonesia
Topik Empu
7
Ilmu Pengetahuan +
Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
17
Feminisme: Ilmu
Pengetahuan Merindukan
Kebenaran
Mariana Amiruddin
Kliping
52
Penelitian yang Memakai
Pendekatan Feminis
Berita
27
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada
Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
92
Tema-tema Pokok Ilmuwan
Feminis
125 Manifesto Temu Nasional
Aktivis Perempuan Indonesia
Sumber foto/ilustrasi:
www.poptel.org.uk, www.wilsey.net, www.sigu7.jussieu.fr, www.komnasperempuan.or.id,
www.ic.arizona.edu, www.nicholsoncartoons.com.au, www.got.net, www.calpatriot.org,
feminist.stanford.edu, www.travellerspoint.com, www.af.mil, www.mccullagh.org,
www.radicalwomen.org, www.photojunkie.ca, www.clarkson.edu, www.n8w.com, kristevawww.transfinito.net, kristeva.blogs.com.jpg, whatnow.intrasun.tcnj.edu, www.royalgrafico.de, radicalgraphics.org
2
Jurnal Perempuan 48
• Daftar Isi •
128 Agenda Khusus: 12 Isu Kritis
Gerakan Perempuan Tahun
2006 - 2011
Cerita Perempuan
133 Kamar Kecil Milikku Sendiri
Virginia Woolf
Wawancara
96
Kristi Poerwandari (Ketua
Program Studi Pascasarjana
Kajian Wanita Universitas
Indonesia): “Membaca Kisah
Lady Di dengan Metode
Penelitian Feminis”
Tokoh Perempuan
103 Katakan dan Lawan: Bahasa
dan Perjuangan Feminisme
dalam Teori Julia Kristeva
Indah Lestari
Tips
150 Apikasi Kebijakan Gender
Budgeting sebagai Metodologi Feminis: Menghapus
Bentuk-bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan Melalui
Alokasi Anggaran Pemerintah
Kolom Budaya
164 Puisi
Serba-serbi
Profil
119 Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Henny Irawati
111
138
172
173
Kata dan Makna
Rak Buku
Surat Pembaca
Tentang Penulis
JURNAL PEREMPUAN mengundang anda menuliskan ide-ide kritis dan
pemikiran-pemikiran alternatif yang berkaitan dengan persoalan
perempuan dan isu-isu gender. Jumlah halaman tulisan 10-15 halaman
kuarto, spasi 2, dilengkapi dengan catatan belakang/daftar pustaka dan
biodata singkat penulis. Redaksi dapat menyingkat, mengubah dan
mengedit tulisan tanpa mengubah maksud dan isinya. Dianjurkan tulisan
dikirim dalam bentuk file dalam disket atau melalui e-mail dalam bentuk
attachment. Untuk tulisan yang dimuat akan disediakan honorarium yang
pantas. Tulisan yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kecuali atas
permintaan penulis dengan menyertakan perangko secukupnya.
Jurnal Perempuan 48
3
• Prolog •
Pentingnya Metodologi Feminis
di Indonesia
M
engapa Indonesia membutuhkan pendekatan baru dalam
penelitian-penelitian sosialnya? Karena banyaknya proyek
pembangunan yang gagal di Indonesia umumnya disebabkan perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam pertimbangan
pencarian solusi. Salah satu faktornya disebabkan karena para ahli
pembangunan salah dalam mengidentifikasi akar permasalahan.
Kemiskinan misalnya, sering dianggap netral gender, akibatnya angka
human development index terus terpuruk karena perempuan tidak pernah
dapat menikmati dampak pembangunan. Jaringan pengaman sosial
misalnya hanya ditujukan kepada laki-laki, padahal justru perempuanlah
penduduk miskin terbanyak dan pihak yang setiap hari harus memutar
otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Para tokoh feminis lalu menawarkan sebuah metode alternatif baru
yakni metodologi penelitian feminis yang berangkat dari keprihatinan
atas banyaknya penelitian tentang hubungan gender yang pada akhirnya
bias gender—dan ini memang sangat berkait dengan pandangan ilmu
sosial yang seksis. Meski banyak kaum positivis, terutama laki-laki, sulit
menerima metodologi ini, para tokoh feminis tetap sepakat bahwa
metodologi feminis akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas
rg
hidup perempuan.
radicalgraphics.o
Intinya metode baru ini harus
meng-ijinkan subjektivitas di mana
perempuan mempelajari perempuan
dalam proses interaktif tanpa kesenjangan subjek/ objek yang dimunculkan antara peneliti dan
yang diteliti. Judith Lorber menekankan bahwa metodologi feminis
lalu menjadi satu-satunya cara
untuk mengetuk masuk dan memahami kenyataan yang dialami
perempuan, dan dengan ini kaum
feminis memberikan kontribusi unik
4
Jurnal Perempuan 48
45
46
• Prolog •
pada ilmu sosial tentang pola keterkaitan antar sebab dan akibat dari
pertanyaan-pertanyaan yang belum terlihat oleh peneliti yang tidak
feminis.
Karenanya, dalam metodologi feminis pendekatan empati, participatory
dan in-depth interview kerap diperlukan. Bagi peneliti yang tidak feminis,
derai air mata dan isak tangis responden perempuan yang dianggap minor
justru sangat bernilai dan jadi fokus yang terus digali oleh peneliti feminis.
Sebab penindasan memiliki aspek lintas gender, dan hanya yang pernah
mengalaminyalah yang bisa mengkomunikasikannya.
Kerap juga metode penelitian yang diberlakukan selama ini sangat
rigid, scientific, dan tidak peduli akan pengalaman perempuan, lebihlebih karena secara kultur perempuan kerap dididik untuk menerima
bahwa laki-lakilah pemilik kebenaran. Ini lalu membuat perempuan
hilang rasa percaya diri dan langsung menyerahkan pendapatnya
kepada pihak laki-laki. Metodologi feminis justru sebaliknya, yang
dipentingkan adalah memecah kebekuan itu. Perempuan sebagai
informan penelitian harus dibuat menjadi merasa sangat nyaman dan
percaya bahwa mereka adalah individu-individu yang sangat relevan
dalam riset ini.
Peneliti feminis harus bisa menjadi sahabat, dan bukan orang asing
bagi informan perempuan. Apabila ia tidak mampu menempatkan diri,
bisa dipastikan ia akan gagal membuat analisa yang mendalam dalam
penelitian tentang kasus-kasus yang sangat sensitif bagi hidup
perempuan, misalnya: aborsi, lesbianitas, trafiking, pelecehan seksual,
ketidaksuburan, perkosaan, dan sebagainya.
Akhirnya, justru karena metodologi feminis belum populer di
Indonesia, kini sangatlah perlu untuk segera diimplementasikan
mengingat persoalan perempuan di Indonesia sudah sedemikian
mendesak untuk segera dipecahkan. Metodologi feminis kini wajib
dipahami oleh generasi muda, mahasiswa, pelajar dan seterusnya,
sebagai bekal mereka untuk menganalisa permasalahan gender dalam
pembangunan di masa depan. Jurnal Perempuan kali ini akan menjadi
literatur yang demikian penting bagi berbagai pihak: birokrat, akademisi,
politisi, dan seluruh komponen masyarakat serta para pengambil
keputusan untuk mengakomodir suara, pengalaman serta kebutuhan
perempuan—sebagai alat yang bisa memecahkan berbagai persoalan
sosial yang membelenggu bangsa. (Adriana Venny)
Jurnal Perempuan 48
5
www.poptel.org.uk
• Topik Empu •
Ilmu Pengetahuan +
Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
It is a subject on which nothing final can be known, as long as
those who alone can really know it, women themselves, have
given but little testimony, and that little, mostly suborned.
Tak akan pernah ada yang tahu jawabannya apa, selama
mereka yang benar-benar tahu, perempuan itu sendiri,
hampir tak pernah angkat suara, dan yang mau pun segera
dibungkam.1
Beberapa Konsep Dasar
Jika kita ditanya, “Apa sih ilmu pengetahuan itu?”, “Apakah
kebenaran?”, “Bagaimana ilmu pengetahuan dirumuskan atau
diciptakan?”, “Siapakah yang menciptakan?”, “Apakah ilmu pengetahuan itu benar adanya?”, “Bagaimana kita tahu kebenarannya?”, apa
jawaban kita? Sebagian dari kita mungkin menjawab, ya tentu ilmu
pengetahuan diciptakan oleh para ilmuwan, melalui proses ilmiah, dan,
setelah melalui berbagai uji kesahihan dan keandalan, maka baru dapat
Jurnal Perempuan 48
7
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
ditetapkan sebagai sebuah kerangka teoritik tertentu. Sebagian yang lain
mungkin akan mengatakan ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari
mana pun dan oleh siapa pun sebab kehidupan ini sendiri adalah sumber
ilmu pengetahuan. Jagad ilmu pengetahuan sedemikian luas, tak terbatas,
sama luas dan tak terbatasnya dengan alam semesta itu sendiri.
Dalam konteks ilmiah, kebenaran kita peroleh jika data empiris yang
dikumpulkan dari lapangan telah diolah menggunakan paradigma yang
quantifiable.2 Protokol pengambilan data yang rigid (sesuai rancangan
pengumpulan data), rumusan, dan kaidah-kaidah pengolahan data yang
akurat menjadi alat-alat kita untuk menemukan kebenaran yang
kemudian kita bangun menjadi sebuah ilmu pengetahuan.
Pertanyaannya, bagaimanakah dengan pengetahuan yang dibangun
dari data yang unquantifiable? Data berupa narasi tertulis atau narasi
hasil wawancara, misalnya? Apakah data semacam itu dapat dipercayai
“kebenarannya”? Apakah bangunan pengetahuan yang kita buat juga
dapat diklaim “kebenaran”nya? Apakah ia juga “benar” dalam konteks
yang berbeda? Semua pertanyaan itu hanya dapat terjawab bila kita
memahami, setidaknya, “tiga serangkai” terminologi popular dalam
pembentukan ilmu pengetahuan: metode, metodologi, dan epistemologi.
Metode adalah teknis pelaksanaan pengambilan data di lapangan,3
sedang metodologi lebih merupakan teori dan analisis tentang
bagaimana seharusnya riset akan dilakukan,4 atau ilmu tentang metodemetode yang berisi standar dan prinsip-prinsip dasar yang digunakan
sebagai pedoman penelitian.5 Sementara itu, epistemologi adalah teori
tentang ilmu pengetahuan, yang menjawab berbagai hal seputar
“siapakah orang yang tahu tentang fenomena yang kita teliti?” (apakah
laki-laki atau perempuan, atau keduanya?), “apa sajakah yang dapat
dijadikan sebagai bahan untuk diteliti?” (apakah hanya data empiris
yang dapat diangkakan? Atau pengalaman subjektif juga dapat dijadikan
bahan penelitian?), dan seterusnya.6
Tiga serangkai konsep dasar di atas akan diterjemahkan secara
berbeda, setiap kali dirunut ke atas mereka akan berujung pada induk
paradigma yang berbeda. Paradigma di sini adalah serangkaian
pandangan, keyakinan tentang dunia, termasuk metode yang diyakini
dapat membantu menciptakan dan menguatkan keyakinan tersebut.7
Setidaknya ada tiga paradigma yang menjadi wacana umum dalam
dunia ilmu pengetahuan, yaitu paradigma: 1) positivistik, 2) naturalistik,
8
Jurnal Perempuan 48
Elli Nur Hayati
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
dan 3) kritikal. Ketiganya memiliki cara pandang yang berbeda tentang
realitas dunia dan manusia (ontology), asumsi dasar tentang bagaimana
ilmu pengetahuan dibangun (epistemology), peran nilai-nilai dalam
pembangunan ilmu pengetahuan (axiology), tentang hukum sebabakibat, dan tentang generalisasi8.
Androsentrisme dan Krisis Representasi Perempuan
Representasi: dari mana kita bergerak dan untuk siapa. Dalam
wacana ilmu sosial, sejarah pembangunan ilmu pengetahuan adalah
ajang pergulatan wacana, mereka dikumpulkan, dianalisis, dan
disimpulkan berdasarkan kacamata rezim ilmuwan yang androsentris,
berpusat pada laki-laki.9 Produk pengetahuan yang dihasilkannya pun
menjadi sangat maskulin, karena memang berangkat dari pemikiran,
gagasan, dan pengalaman hidup laki-laki.10 Ketika rumusan pengetahuan tersebut kemudian dipergunakan sebagai acuan untuk membaca
gejala-gejala yang tampak dalam hidup sehari-hari, tampaklah
kesenjangan menyolok antara kelompok laki-laki dan perempuan.
Pembacaan yang salah fatal ini terjadi berkali-kali dalam bidang
psikologi, misalnya di studi Lawrence Kohlberg tentang moral judgment,
studi Erik Erikson tentang delapan tahapan perkembangan manusia
(eight stages of man),11 dan teori inferioritas perempuan dari laki-laki yang
digagas oleh Sigmund Freud. 12 Baik Kohlberg maupun Erikson
membangun teori perkembangan manusia berdasarkan riset mereka,
yang subjeknya semua laki-laki. Ketika temuan penelitian ini diterapkan
dan digeneralisasikan untuk menjadi acuan perkembangan anak-anak
pada umumnya, maka tampaklah kesenjangan itu: anak perempuan jadi
tampak lebih lambat berkembang dibanding anak laki-laki.
Selama berabad-abad wacana ilmu pengetahuan sosial telah
dibangun berdasarkan pengalaman, ekspresi pemikiran, dan persepsi
laki-laki tentang dunia, bahkan riset tentang masalah perempuan pun
seringkali dirancang, diinterpretasi, dan dianalisis berdasarkan cara
pandang yang maskulin, tidak berakar pada pengalaman hidup
perempuan itu sendiri.13 Pengalaman hidup, ide, pemikiran, serta
kebutuhan perempuan selama ini relatif absen dari riset ilmu sosial
karena kita hidup dalam dunia yang mengutamakan nilai-nilai,
perspektif, dan pengetahuan yang maskulin sebagai kebenaran yang
objektif. Itulah memang yang terjadi, seperti kata Protagoras (485-410
Jurnal Perempuan 48
9
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
Foto: Dok. YJP
SM), “man is the measure of all things”, “semuanya tergantung laki-laki”.14
Akibatnya, banyak sekali konsep-konsep kemanusiaan dalam ilmu sosial
yang “inadequately measured”, “menggantung”, karena standar
pengukurannya adalah sampel homogen, yang isinya laki-laki saja. Ini
adalah contoh saja dari kefatalan metodologis yang riil dari kecenderungan androsentisme dalam pembangunan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan seolah-olah hanya dikembangkan oleh laki-laki
saja: kebanyakan buku-buku teks ilmiah ditulis oleh laki-laki, teori-teori
baru digagas dan dikembangkan oleh laki-laki, hadiah nobel
dimenangkan oleh tokoh-tokoh negarawan dan ilmuwan terkemuka lakilaki. Perempuan seolah tenggelam, tak terdengar suaranya, tak terlihat
kiprahnya, tak teridentifikasi hasil karyanya. Pernahkah perempuan
menyumbangkan ilmu pengetahuan baru untuk masyarakat dan
negerinya?
Carol Gilligan, dalam tulisannya yang fenomenal Women’s Place in
Men’s Life Cycle, terbit tahun 1979, menyatakan bahwa perempuan telah
hilang dalam ranah ilmu pengetahuan, bahkan sebagai subjek penelitian
sekalipun. Mary Belenky dan kawan-kawannya psikolog feminis
Amerika Serikat tahun ‘70-an melakukan studi dengan mewawancarai
sekitar 135 orang perempuan dari berbagai macam latar belakang sosial,
ekonomi, pendidikan, dan profesi. Mereka melakukannya karena gelisah
10
Jurnal Perempuan 48
Elli Nur Hayati
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
melihat betapa banyak mahasiswi yang mereka bimbing mengeluh
merasa tidak kompeten dalam bidang akademik, tidak sekompeten para
mahasiswa. Itu sebabnya prestasi akademik mahasiswi-mahasiswi ini
tidak menonjol. Mereka sering mengutarakan bahwa hal yang lebih
berarti bagi hidup mereka bukanlah kehidupan akademik, namun
kehidupan nyata yang penuh dengan dinamika, persahabatan dengan
orang-orang di sekitarnya, juga krisis kehidupan.
Hasil wawancara Belenky dan koleganya menunjukkan ada sistem
yang salah dalam dunia akademik, yang memudahkan murid laki-laki
mengekspresikan kompetensi dan otoritasnya, dan menyulitkan murid
perempuan berlaku serupa. Murid perempuan lebih tidak percaya diri
dalam mengungkapkan pendapatnya karena merasa takut bila
diremehkan dan tidak didengarkan gagasan-gagasannya.15 Mereka
cenderung “diam” karena takut, khawatir tidak diterima, dihujat, dan
diremehkan. Menurut Mary Wollstonecraft,16 perempuan telah terlanjur
dididik menjadi makhluk emosi daripada rasio. Sekarang pendidikan
seharusnya mampu menjadikan perempuan berdaya, tidak lagi di bawah
otoritas laki-laki.
Feminisme Sebagai Alat Utama
Setelah berabad-abad mengabaikan eksistensi perempuan dalam
membangun ilmu pengetahuan, “menambahkan perempuan” (adding
women) – meminjam istilah Sandra Harding – dalam kajian dan analisis
ilmu pengetahuan menjadi agenda utama kita. Persoalannya, ilmu
pengetahuan yang selama ini dibangun atas dasar pengalaman hidup
dan pemikiran laki-laki telah menjadi tradisi metodologi yang baku,
diakui “kebenarannya” secara epistemologis sebagai alat untuk
membangun ilmu pengetahuan, dianggap sebagai sebuah metodologi
yang universal. Jika perempuan ditambahkan dalam khazanah itu,
apakah mungkin metodologi yang telah ada digunakan untuk
menganalisis dan membangun pengetahuan yang baru? Sebab, secara
empiris kita tahu bahwa secara biopsikososial laki-laki dan perempuan
berbeda. Perbedaan itu tentu efek pengalaman hidup, karena keduanya
dibesarkan dan dibentuk secara kontekstual oleh masyarakat di
sekitarnya sesuai dengan aturan, norma, dan harapan-harapan yang
didasarkan pada jenis kelamin mereka. Ini semua membuat laki-laki dan
perempuan memiliki pola pikir, perasaan, dan perilaku yang berbeda.
Jurnal Perempuan 48
11
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
Jadi, bagaimana cara “adding women” dalam khazanah pembangunan
ilmu pengetahuan? Perspektif feminis tampaknya alat yang tepat.
Patricia Maguire17 menyebutkan bahwa feminisme adalah terminologi
yang mencakup tiga komponen: a) keyakinan bahwa secara universal
perempuan ditindas dan dimanfaatkan, b) komitmen untuk memahami
dan mencari akar masalah yang menyebabkan hal itu, dan c) komitmen
untuk bekerja, secara individual maupun kelompok, untuk memperbaiki
situasi itu. Menurutnya, gagasan metodologi feminis merupakan
gabungan dari: 1) teori dan konsep tentang bagaimana suatu penelitian
(pengumpulan data) seharusnya dilakukan, dan 2) cara pandang yang
bisa melihat perempuan selama ini ditindas dan harus segera
dibebaskan. Untuk itu Shulamit Reinharz mengingatkan, kunci utama
untuk mengembangkan metodologi feminis sebetulnya adalah
bagaimana perspektif feminisnya nanti mewarnai penggunaan metodemetode penelitian yang telah ada.
Metodologi Feminis
Metodologi feminis diharapkan dapat mengatasi persoalan
androsentrisme dan representasi perempuan, mengakui perbedaan cara
berpikir dan berpengetahuan perempuan dan laki-laki, dan mempertimbangkan pengalaman hidup perempuan beserta keseluruhan subjektivitasnya mengartikan dunia dalam membangun pengetahuan. Kita telah
menyaksikan bagaimana selama ini perempuan tidak terepresentasikan,
tidak terdengar suaranya, dan terkooptasi oleh interpretasi universal
yang berstandar laki-laki dalam pembangunan ilmu pengetahuan.
Pengalaman itu menuntun kita untuk menggagas metodologi yang lebih
adil dan mampu menjawab keberbedaan yang tak terelakkan antara lakilaki dan perempuan.
Paradigma Metodologi Feminis
Ada enam unsurnya. Yang pertama, agenda. Membangun ilmu
pengetahuan tidak untuk keuntungan diri sendiri tetapi untuk
membangkitkan kesadaran publik yang lebih luas. Sandra Harding
menyebutkan hal ini sebagai penelitian untuk perempuan, penelitian
yang dilakukan untuk menguatkan kapasitasnya. Sulamit Reinharz
menggarisbawahi tujuan yang lebih luas dari penelitian untuk
perempuan ini, yaitu perubahan sosial (yang lebih baik) bagi kaum
12
Jurnal Perempuan 48
Elli Nur Hayati
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
www.calpatriot.org
perempuan. Penelitian yang mengandung asas manfaat bagi perempuan
ini disebut Handayani dan Sugiarti18 sebagai penelitian emansipatoris,
karena hasil riset benar-benar dapat dijadikan sebagai landasan aksi
bagi pemberdayaan perempuan.
Dua, etika. Protokolprotokol memastikan keetisan penelitian adalah
doing no harm (tidak menyakiti/melukai), autonomy (kebebasan memilih
bersedia atau tidak bersedia terlibat dalam penelitian), beneficence (manfaat), dan justice (keadilan). Dahlgren 19 menambahkan beberapa etika lain: (1) Kerahasiaan.
Perempuan yang terlibat dalam penelitian untuk membangun
pengetahuan, berhak sepenuhnya menyimpan pengalaman hidupnya.
Kesediaannya berbagi ilmu harus dibayar dengan jaminan dari peneliti
bahwa kerahasiaannya terjaga sepenuhnya. (2) Konsekuensi. Misalnya,
perempuan, sumber pengetahuan kita, mungkin butuh konseling atau
perawatan khusus lainnya karena mereka harus memberi keterangan
tentang masalah yang sedang kita pelajari. Kita juga harus dengan jujur
menyampaikan rencana ke depan dari penelitian yang akan kita lakukan
tersebut pada awal penelitian, seperti misalnya akan membukukan hasil
penelitian, mempublikasikan hasil penelitian, dll. (3) Authorship (hak
kepemilikan hasil penelitian). Hasil penelitian diakui sebagai milik
bersama antara peneliti dan informan. Jadi, peneliti bukanlah pemilik
100% dari hasil penelitiannya, karena ilmu yang diperoleh dari penelitian
tersebut didapatkan dari kebesaran hati informan/subjek yang kita teliti
untuk membagi ilmu pengalaman hidupnya kepada kita.
Unsur ketiga paradigma metodologi feminis adalah epistemologi. Kita
harus memakai pengalaman hidup, pemikiran, refleksi, interpretasi, dan
formulasi pengalaman perempuan sebagai titik tolak pijakan riset kita.
Intersubjektivitas, bersama-sama menggunakan pengetahuan dan
Jurnal Perempuan 48
13
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
pengalaman sangat mungkin disarankan untuk peneliti dan informan.20
Selain itu, kesejajaran antara peneliti dan informan juga sangat penting,
karena informanlah expert sebenarnya dalam bidang yang diteliti.
Unsur keempat, ontologi, adalah bagaimana kita memandang realitas
kehidupan. Penelitian feminis mengakui subjektivitas, 21 memprioritaskan women’s ways of knowing, dan menggunakan berbagai macam
metode untuk mengakses isu yang sensitif bagi perempuan dan mengkini-kan pengalaman perempuan.22 Selain itu keberagaman di muka bumi
ini diakui, tidak ada kebenaran tunggal yang universal.
Sedangkan aksiologi, unsur kelima, adalah bagaimana nilai-nilai
yang kita miliki mempengaruhi penelitian kita. Dalam metodologi
feminis, ilmu pengetahuan dipandang sebagai aktivitas yang tertanam
dalam konteks sosiohistoris dan dibentuk oleh kepedulian dan komitmen
personal, sehingga bias peneliti tidak dapat dihindari. Pre-understanding
tidak mungkin dihindari, tetapi harus diminimalisir.
Unsur keenam dan terakhir adalah metodologi. Kerangka konseptual
dan teoretis yang dipergunakan dalam meninjau tema penelitian adalah
konsep-konsep subordinasi, penindasan, hubungan kekuasaan, dan
sebagainya yang terkait dengan situasi perempuan sehari-hari.
Metodologi feminis juga terbuka setiap saat untuk berubah jika hal
tersebut diperlukan saat peneliti berada di lapangan. Fleksibilitas
perubahan berdasarkan kebutuhan di lapangan ini disebut emergent
design.23
Penutup
Rasanya kita sudah seharusnya terbuka dengan semua gagasangagasan di atas Kita hanya perlu merenung dan berendah hati untuk
mengakui bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang terus bergerak
dan berkembang. Walaupun terlambat, ia harus menerima perempuan.
Mencari kebenaran, mencari ilmu, memang sebuah proses yang tiada
henti. Jangan pernah berhenti!
Catatan Belakang
1
John Stuart Mill, On The Subjection of Women, Chicago dan London, University of
Chicago Press, 1970.
2
Semua data yang diperoleh dikonversikan ke dalam angka-angka dan diolah
14
Jurnal Perempuan 48
Elli Nur Hayati
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
menggunakan rumus tertentu, sehingga hasil temuan dan komposisi angkanya sah
untuk diinterpretasikan
3
Lihat Sandra Harding (ed.), Feminism and Methodology: Social Sciences Issue,
Bloomington dan Indianapolis, Indiana University Press, 1987 dan E. Kristi
Poerwandari, Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi, LPSP3 F. PsikologiUI, 1998.
4
Sandra Harding (ed.), op. cit.
5
E. Kristi Poerwandari, op. cit.
6
Sandra Harding (ed.), op. cit.
7
Lihat Yvonna S. Lincoln, Naturalistic Inquiry, California, Sage Publication, 1985.
8
Yvonna S. Lincoln, op. cit.
9
Lihat Shulamit Reinharz, Feminist Research Methods in Social Research, Oxford,
Oxford University Press, 1992.
10
Lihat Sandra Harding (ed.), op.cit., dan Jalaludin Rahmat, “Dari Psikologi Androsentris
ke Psikologi Feminis: Membongkar Mitos-Mitos tentang Perempuan” dalam Ulumul
Qur’an, No. 5 & 6, Vol. V, 1994.
11
Carol Travis, The Mismeasure of Woman, New York, Simon & Schuster, 1992.
12
M.F. Belenky, B.M. Clinchy, N.R. Goldberger & J.M. Tarule, Women’s Way of
Knowing: The Development of Self, Voice and Mind, USA, Basic Books, 1986.
13
Shulamith Reinharz, 1992, dan Jalaludin Rahmat, 1994.
14
Carol Travis, op. cit.
15
M.F. Belenky et al., op. cit.
16
Dalam Hunter College Women’s Studies Collective, Women’s Realities, Women’s
Choice, New York, Oxford University Press, 1995.
17
Patricia Maguire, Doing Participatory Research: A Feminist Approach, Amherst,
Massachusetts, Center for International Education, University of Massachusetts/
Amherst, 1987.
18
T. Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang, UMM
Press, 2002.
19
L. Dahlgren, M. Emmelin, A. Winvist, Qualitative Methodology for International
Public Health, Sweden, Umea University, 2004.
20
Vickie Rutledge Shields dan Brenda Dervin, “Sense-Making in Feminist Social Science
Research: A Call to Enlarge the Methodological Options of Feminist Studies,” dalam
Women’s Studies International Forum, 16(1), 1993, hal. 65-81.
21
D. Wolf (ed.), Feminist Dilemmas in Fieldwork, Boulder CO, Westview Press, 1996.
22
Shulamit Reinharz, op. cit.
23
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five
Traditions, Thousand Oaks, Sage Publication, 1998.
Jurnal Perempuan 48
15
feminist.stanford.edu
• Topik Empu •
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan
Merindukan Kebenaran
Mariana Amiruddin
O
tto Weininger dalam bukunya Sex and Character – yang telah
menjadi masterpiece era ilmu pengetahuan modern –
mengatakan, “Menjadi perempuan berarti menjadi seseorang
yang tak mampu membuat konsep, yang tak mungkin membuat
keputusan. Di dalam ‘pikirannya’ subjektif dan objektif bukanlah sesuatu
yang terpisah, maka ia tak mungkin dapat membuat keputusan, tak
mungkin dapat meraih kebenaran – walaupun ia selalu merindukannya.
Tidak ada perempuan yang benar-benar tertarik ilmu pengetahuan: kalau
ia berpikir begitu berarti ia berpura-pura, menipu diri sendiri dan priapria pintar (tapi psikologis amatiran).”1
Jurnal Perempuan 48
17
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Mariana Amiruddin
Dari pernyataan Weininger di atas jelas bahwa politik ilmu
pengetahuan memasukkan perempuan di wilayah ilmu pengetahuan
sekaligus mengeluarkan perempuan dari praktek ilmu pengetahuan.
Weininger, dalam mengembangkan “karakter ilmu pengetahuan”-nya,
meyakini penuh kemampuan dirinya untuk menjelaskan dan
mengkalkulasi sifat-sifat alamiah perempuan. Ia menggambarkan bahwa
perempuan berada di luar ilmu pengetahuan: ilmuwan selalu
merindukan kebenaran sedangkan perempuan hanya menginginkan
kebalikan dari kebenaran, penderitaan.
Selain milik Weininger, masih banyak lagi konsepsi tentang sifatsifat alamiah perempuan yang bias laki-laki, contohnya konsepsi
Sigmund Freud, ‘anatomi adalah takdir’ – yang mengeluarkan
perempuan dari seluruh proses penjelasan tentang ke-diri-annya.
Kebisuan perempuan didikte: dibuat menjadi objek studi. Perempuan
dikeluarkan dari ilmu pengetahuan dan tak pernah diikutsertakan dalam
penjelasan-penjelasan mengenainya.
Dalam dekade terakhir feminis telah mengembangkan kritik terhadap
ilmu pengetahuan semacam ini. Sekarang perempuan menyatakan
pikirannya, dengan cara pandang mereka sendiri, tentang praktek dan
politik ilmu pengetahuan yang seksis dan bias laki-laki. Perempuan,
melalui feminisme, bahkan telah membongkar hubungan yang kompleks
dalam masyarakat seperti persoalan rasis, kelas, dan bias-bias yang telah
dilahirkan oleh teori tradisional tentang sifat-sifat alamiah manusia.
Feminisme bisa melihat bagaimana bias-bias itu menyebar ke seluruh
bagian struktur ilmu pengetahuan. Kritik feminis menyebar dalam
masalah ideologi, politik, epistemologi, ekonomi, dan metafisika,
terutama yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan tradisional.
Metodologi Feminis
Analisis feminis tersebut kemudian menimbulkan sejumlah
pertanyaan sulit: apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan yang
konsisten dengan kritik feminis? Apakah pertanyaan-pertanyaan
perempuan membantu ilmu pengetahuan feminis? Apakah ada yang
disebut metode feminis? Apakah perempuan menyusun ilmu pengetahuan dengan cara yang berbeda dari laki-laki? Apakah ilmu
pengetahuan yang seksis selalu buruk?
18
Jurnal Perempuan 48
Mariana Amiruddin
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan metodologi.
Persoalan-persoalan yang memungkinkan kita untuk mulai bertanya.
Ada perbedaan antara metode, metodologi dan epistemologi. Metode
adalah sebuah teknik spesifik seperti ketika kita melakukan survei,
wawancara, atau etnografi, metodologi adalah teori atau konsepsi, dan
epistemologi adalah teori atas ilmu pengetahuan.2 Maka metodologi
feminis itu sendiri adalah satuan teori, konsepsi, dan gagasan tentang
ketertindasan dan pembebasan perempuan. Dalam metodologi feminis,
kata kunci yang digunakan adalah seks: dikotomi atau kategori yang
memisahkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan gender:
konstruksi sosial atas kategori seks yang menyimpan rangkaian konvensi
masyarakat tentang maskulinitas dan femininitas.
Sandra Harding3 mengatakan bahwa dalam dua dekade terakhir ini
pengertian gerakan moral dan politik perempuan justru telah diinspirasi
oleh kritik terhadap ilmu pengetahuan sosial dan biologi yang dilakukan
oleh peneliti tradisional dalam menjelaskan gender, seks, dan hubungan
antara dunia masyarakat dan alam. Di sinilah feminisme kemudian
menjawab pertanyaan-pertanyaan metodologinya, mendapatkan
pengetahuannya sendiri, dan kemudian mempraktekkannya dalam
berbagai metode penelitian.
Feminisme: Teori dan Praktek
Meskipun sejumlah teori feminis sudah mulai banyak diterapkan,
digunakan sebagai pisau analisis penelitian akademis, feminisme
sendiri masih belum sepenuhnya diakui sebagai kegiatan akademis.4
Banyak yang mengatakan bahwa feminisme semata-mata ideologi
yang mendorong gerakan sosial untuk memperjuangkan status
perempuan, artinya sifatnya sangat politis (dan tidak akademis). Karena
sifat politisnya maka feminisme dianggap sebagai sebuah “cara
pandang” atau perspektif yang sangat berpihak pada perempuan, sangat
subjektif, berlawanan dengan syarat ilmu pengetahuan yang diakui
selama ini: objektivitas. Kritik terhadap feminisme kemudian muncul
dengan argumen, “teori feminis hanya dapat digunakan oleh perempuan
feminis. Laki-laki dan perempuan yang tidak feminis tidak dapat
menggunakannya.”
Argumen tersebut menjadi tidak objektif dengan sendirinya sebab
Jurnal Perempuan 48
19
Mariana Amiruddin
marriottschool.byu.edu
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
bukankah ilmu pengetahuan tradisional selama ini juga subjektif, hanya
berpihak pada laki-laki, bukan perempuan? Argumen mereka sebetulnya
telah menuding dirinya sendiri. Tapi, apa yang dilakukan feminis
bukanlah suatu ‘perimbangan negatif’ dari apa yang telah dilakukan
laki-laki. Feminis memberi sumbangan positif bagi ilmu pengetahuan
mutakhir dengan menyelidiki sejarah pengetahuan yang tidak
melibatkan perempuan – pengetahuan yang hanya membuat kehidupan
perempuan menjadi lebih sulit.
Dalam mengatasi hal ini, feminisme mengembangkan strategi
metodologi untuk tidak memisahkan teori dan praktek dalam ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, selain hidup sebagai sebuah metodologi,
feminisme juga menjadi gerakan sosial. Maka kritik yang harus diajukan
pada Weininger bisa berupa pernyataan bahwa feminisme adalah
pengetahuan yang menghasilkan tindakan untuk mencapai kebenaran
dan mengungkap bahwa perempuan menderita bukan atas kesadarannya, melainkan karena kesadaran yang telah dibentuk masyarakat
terhadap perempuan. Masih banyak ilmuwan abad kini yang bernada
sama dengan Weininger. Feminis menganggap ilmuwan semacam itu
20
Jurnal Perempuan 48
Mariana Amiruddin
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
lebih mengandalkan “imajinasinya sendiri” terhadap keberadaan
perempuan, daripada sebagai sebuah “penelitian yang serius, mendalam
dan menyeluruh” terhadap perempuan.
Feminisme sebagai ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai pada
kritik. Berkat sejumlah argumentasi ilmiahnya, sejumlah universitas
akhirnya mau mendirikan program studi bernama Women’s Studies
(Kajian Perempuan), atau bisa juga disebut Kajian Feminis, salah satu di
antaranya menjadi program pasca sarjana di Universitas Indonesia.
Perjuangan feminis mengalami sejumlah tantangan dalam meraih
eksistensinya di ranah akademis karena pengetahuan akademis lebih
didominasi oleh pengalaman dan data riset yang berasal dari kaum
laki-laki. Metode riset seperti ini hanya menghasilkan generalisasi data
yang ditentukan oleh kaum laki-laki, sampelnya pun kebanyakan lakilaki (misalnya dalam ilmu sosiologi untuk kasus-kasus kontrasepsi,
keputusan bekerja dan berumah tangga). Pengalaman perempuan dalam
banyak metode riset dianggap tidak cukup penting sebagai topik
penelitian laki-laki.5 Naomi Black secara ekstrim mengatakan bahwa
penelitian feminis harus menekankan nilai subjektivitas dan pengalaman
pribadi 6 untuk membongkar kebusukan ilmu pengetahuan yang
diciptakan laki-laki.
Maka tidak mengherankan bila metodologi feminis banyak memilih
metode kualitatif daripada kuantitatif dalam penelitiannya untuk
menggali kedalaman data yang spesifik perempuan. Metodologi
maskulin berarti metodologi yang ‘hard’, cenderung memakai pendekatan
kuantitatif (terutama sekali dalam hal survei), sementara metodologi
feminis adalah metodologi ‘soft’, yang lebih memilih metode identifikasi
dan pendekatan kualitatif (terutama wawancara mendalam yang tidak
terstruktur).7
Peneliti Helen Roberts dan Michele Barrett dalam pengantar buku
mereka yang berjudul Women and Their Doctors: Power and Powerlessness in
The Research Process8 menyatakan bahwa beberapa tahun belakangan
para sosiolog feminis telah berhasil mengatasi persoalan mengapa
perempuan tidak muncul dalam penelitian sosiologi. Sebelum muncul
di buku ini, perhatian terhadap persoalan di atas baru ada pada tingkat
diskusi yang tidak formal, misalnya dalam pembahasan Asosiasi
Sosiologi Kaukus Perempuan Inggris tentang metodologi feminis yang
Jurnal Perempuan 48
21
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Mariana Amiruddin
menyatakan, setidaknya perempuan telah dituliskan sebagai subjek.9
Karena waktu itu (tahun 1977) Helen Roberts dan Michele Barrett
menggunakan analisis sosiologi feminis dalam penelitiannya, dapat
diduga hasilnya dikritik oleh para ilmuwan. Penelitian kualitatif yang
mereka lakukan dianggap tidak fokus pada ‘wacana intelektual’,
semuanya lebih cocok diterbitkan sebagai ‘wacana praktikal’. Menurut
para ilmuwan tersebut, penelitian Roberts dan Barett terlalu banyak
memasukkan masalah-masalah yang sifatnya politis-pribadi dalam
penelitian kualitatif mereka. Roberts dan Barett menanggapi, kritik seperti
ini muncul karena banyak ilmuwan sosial selalu memisahkan antara
kegiatan intelektual dengan praktek. “Padahal melalui penelitian
feminis, justru bukti-bukti yang muncul menunjukkan bahwa politik itu
sendiri selalu problematik (sebagaimana slogan feminis, “the personal is
political”’),” demikian kata mereka. Penelitian yang mereka lakukan
memang sengaja lebih menempatkan perempuan sebagai subjek, bukan
objek penelitian. Penelitian semacam ini menurut mereka justru dapat
menyumbangkan lebih banyak bukti dan data, melalui keterangan
individu-individu perempuan, mengenai persoalan politik.
Roberts dan Barrett memulai pengantar penelitiannya dengan
menyitir puisi Susan Griffin berjudul Voices yang menggambarkan tentang
seorang ibu yang tak sengaja, karena terbiasa, berbelanja untuk anakanaknya juga, padahal mereka semua telah meninggalkan rumah dua
tahun lalu. Ibu ini merasa seperti “one of those / eternal motion machines /
designed for an / obsolete task / that just keeps on / running”, “mesin non-stop
/ yang dirancang untuk / hal-hal tak berguna / dan tak pernah ada
akhirnya”, dan dia mengaku “When the / last baby stopped getting / up at
/ night, I didn’t stop ...”, “setelah / anakku terkecil tak lagi / bangun
tengah / malam, aku masih juga ...”, Tapi suaminya tidak pernah
mengerti tentang perasaannya ini, karena dia beroperasi menggunakan
logika yang sama sekali berbeda, logika laki-laki, “the logic of most of the
world”. Pembedaan logika perempuan dengan logika laki-laki ini
memberi usulan awal tentang metodologi pengalaman pribadi
perempuan.
Feminisme sebagai Epistemologi
Seperti yang telah dijelaskan, metodologi feminis pada dasarnya
22
Jurnal Perempuan 48
Mariana Amiruddin
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
berangkat dari epistemologi atau pengetahuan feminis yang memiliki
tiga unsur yaitu standpoint, empirisisme, dan pascamodernisme.10 Mengambil
penjelasan Sandra Harding11, teori standpoint dan pascamodernisme samasama mengandaikan adanya kekhususan epistemik; teori standpoint
mengandaikan kelebihpentingan satu situasi, yaitu situasi yang hanya
dialami perempuan (dan tak pernah dialami laki-laki) – misalnya
penindasan yang dialami perempuan jadi penting karena laki-laki tidak
pernah mengalami penindasan apapun – dan pascamodernisme bertekad
menerima beragam sudut pandang. Dalam epistemologi feminis,
keduanya (standpoint dan pascamodernisme) menolak adanya kesatuan
teori yang berlaku umum dan menolak epistemologi tradisional.
Dalam program epistemologi feminis pertanyaan pentingnya adalah
“suara siapa yang lebih didengar” dalam melahirkan teori? pengalaman
siapa yang dilibatkan? dan bagaimana otoritas epistemik ditetapkan
dan dipertahankan?12 Persoalan-persoalan yang diungkapkan dalam
epistemologi feminis jauh lebih mendasar karena menyelidikinya berarti
mencari siapa pembuat epistemologi yang dominan, membongkar
pembentukan teori dan pengetahuan, serta memposisikan ulang kegiatan
epistemik atau pengetahuan sehingga kita dapat melihat dan
menunjukkan ada pengalaman, pengetahuan, dan subyektivitas yang
selama ini terabaikan. Semua ini pada akhirnya akan berhubungan
dengan klaim kebenaran.
Epistemologi feminis menolak nilai-nilai universalitas, totalitas,
rasionalitas, dan esensialis karena nilai-nilai semacam inilah yang
membuat perempuan terabaikan. Filsafat feminis yang cenderung
pascamodernis menyatakan bahwa realitas perempuan tidak selalu
didasarkan pada kenyataan maupun kesadaran perempuan itu sendiri
tentang dirinya, dan bahwa tuduhan ilmuwan kalau perempuan adalah
manusia yang lebih “menggemari penderitaan daripada kerinduan atas
kebenaran” sebenarnya bukanlah realitas diri perempuan. Feminis
menegaskan melalui konsep pemikirannya bahwa identitas perempuan
bukan sesuatu yang secara otonom dibangun, melainkan dibentuk secara
sosial. Maka apa yang mereka simpulkan sebetulnya menunjukkan
kelemahan, ketidaktahuan bahwa produksi pengetahuan merupakan
praktek sosial yang terikat pada sejarah, ras, gender, dan kebudayaan
ilmuwan yang memproduksinya. Feminis kemudian menegaskan,
Jurnal Perempuan 48
23
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Mariana Amiruddin
pengetahuan bersifat konstruktivis, ia dibuat, bukan ditemukan. Oleh
karena itu bagi feminis seluruh pengalaman perempuan mengenai
realitas hidupnya perlu dikisahkan ulang.13 Bagi mereka, pengetahuan
merupakan produk sosial sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai
‘cermin realitas’. Apa yang termasuk pengetahuan dan apa yang tidak,
ditentukan oleh institusi sosial.
Penutup
Tulisan-tulisan tentang Feminisme dan Ilmu Pengetahuan, berhasil
mengungkap bagaimana “kekerasan simbolis” (meminjam istilah Pierre
Bourdieu) telah menjalar dalam kegiatan ilmu pengetahuan dan membuat
suara perempuan tidak terdengar. Kekerasan simbolik adalah kekerasan
tak kasat mata yang tidak dirasakan sebagai kekerasan, melainkan
sebagai sesuatu yang dianggap alamiah dan wajar.14 Kekerasan simbolik
digulirkan laki-laki dengan mendikte cara berpikir, bertindak, bahkan
cara berbahasa terhadap perempuan. Perempuan harus tunduk pada
kategori-kategori pengetahuan yang dibuat oleh laki-laki. Hal ini disebut
falosentrisme, situasi di mana laki-laki mendominasi pengetahuan,
bahasa, wacana, tindakan, dan menjadi pusat dan kriteria segala
sesuatu.
Seperti yang ditulis Dorothy Smith, feminisme adalah sebuah teori,
gerakan, epistemologi, metodologi, dan praktek yang sangat merindukan
kebenaran. Ia menginginkan konsep yang mengakui keberadaan dirinya,
sehingga nantinya keputusan-keputusan perempuan menjadi keputusan
yang berangkat dari nilai dan pengetahuan yang dicapainya sendiri,
bukan dari orang lain.
Feminisme adalah teori dan praktek politik yang
membebaskan semua perempuan: perempuan berwarna,
perempuan pekerja, perempuan miskin, perempuan
cacat, lesbian, perempuan lanjut usia–sebagaimana barat
memperlakukan perempuan heteroseksual kulit putih
dengan istimewa.15
Catatan Belakang
1
"A being like the female, without power of making cencepts, is unable to make
24
Jurnal Perempuan 48
Mariana Amiruddin
Feminisme:
Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
judgments. In her ‘mind’ subjective and objective are not separated; there is no
possibility of making judgments, and no possibility of reaching, or of desiring, truth.
No woman is really interested in science; she may deceive herself and many good
men, but bad psycologists, by thinking so.” Otto Weininger, Sex and Character,
New York: G.P. Putnam’s Sons, 1906, hal. 194.
2
Liz Stanley, “Methodology Matters!” dalam Victoria Roinson and Diane Richardson
(ed.), Introducing Women’s Studies, London, Macmillan Press LTD, 1997, hal. 198.
3
Sandra Harding, “Is There Feminist Method?” dalam Nancy Tuana (ed.), Feminism
and Science, USA, Indiana University Press, 1989, hal. 21.
4
Banyak mahasiswa yang datang ke kantor Jurnal Perempuan meminta bantuan
informasi tentang bagaimana analisis atau metodologi feminis digunakan dalam
penelitian skripsi mereka. Beberapa dosen pembimbing mereka menyetujui proposal
mahasiswa mereka untuk menggunakan feminisme sebagai alat analisis, tetapi begitu
mahasiswa mulai menggunakannya kebanyakan dosen pembimbing mereka menolak
dengan alasan, pertama, feminisme bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat bahkan,
lebih kasarnya, dianggap ‘tidak bermoral’ dan kedua, feminisme tidak dapat dipakai
dalam kegiatan ilmu pengetahuan.
5
Saparinah Sadli, “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya” dalam Jurnal
Stri: Jurnal Studi Wanita,Vol. 1, Jakarta, Januari 2002, hal. 1-23.
6
Naomi Black dalam Helen Roberts (ed.), Doing Feminist Research, London, Routledge
& Kegan Paul, 1995.
7
Sandra Harding, op.cit., hal. 19.
8
Helen Roberts (ed.) op.cit.,hal. 7.
9
Ibid., hal 9.
10
Dapat disebut sebagai postmodern.
11
Sandra Harding, The Science Question in Feminism, Ithaca, Cornell University Press,
1986.
12
Lorraine Code, “Voice and the Voice and the Voicelessness: Modest Proposal” dalam
Janet Kourany (ed.), Philosophy in A Feminist Voice, ,Princeton, Princeton University
Press, 1998.
13
‘Dikisahkan ulang’ adalah kata kunci dalam teori standpoint feminis.
14
Haryatmoko, “Dominasi Laki-laki Melalui Wacana” dalam Feminis Laki-laki: Solusi
atau Persoalan?, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.
15
Dikutip dari artikel Kum-Kum Bhavnani, “Women’s Studies and its Interconnection
with ‘Race’, Ethnicity and Sexuality” dalam Victoria Roinson and Diane Richardson
(ed.), op.cit., hal. 27.
Jurnal Perempuan 48
25
www.ic.arizona.edu
• Topik Empu •
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada
Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
“Untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus
mengubahnya.”
(Maria Mies, 1991)
S
ejauh ini adanya upaya-upaya untuk memetakan dan
memperkirakan arah perkembangan metodologi feminis, dan teori
feminis dalam cakupan yang lebih luas, senantiasa menemui
kesulitan besar. Mengapa? Apa sebetulnya persoalannya? Menurut saya
sedikitnya ada tiga: pertama, perbedaan pendekatan yang diterapkan para
feminis menyediakan potensi kontroversi dan konflik yang laten, yang
kemudian memicu pergesekan dalam teori-teori feminis.1 edua, metodologi,
epistemologi, dan metode feminis sejak awal bingung menentukan
bagaimana cara terbaik mengatasi cacat-cacat mendasar teori pengetahuan konvensional yang maskulin. 2 Ketiga, upaya perumusan
metodologi dan teori feminis itu sendiri masih tengah berlangsung, atau
bahkan baru dimulai. Problematis memang. Pertanyaan seperti,
Jurnal Perempuan 48
27
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
mungkinkah merumuskan suatu ilmu feminis?, ternyata menjadi soal
yang sangat berat.3 Shulamit Reinharz, Profesor Sosiologi dan Direktur
Kajian Perempuan di Brandeis University, menyatakan bahwa feminis
lebih merupakan sebuah perspektif, bukan metode.4
Metodologi feminis hidup sebagai kritik mendasar atas metodologi
ilmu modern (tradisional) yang mendevaluasi perempuan. Agenda besar
metodologi feminis adalah menyusun dasar-dasar konseptual bagi
aspirasi perempuan dalam konstruksi ilmu. Agenda ini dalam
prakteknya ditempuh melalui pendekatan dan pandangan yang berbedabeda. Karenanya, yang kita temui adalah kemajemukan. Dalam tulisan
ini, kita akan melihat titik tolak, tujuan, dan prinsip-prinsip yang menjadi
garis-garis besar yang menyatukan metodologi feminis. Garis-garis besar
ini muncul berulang kali dalam bentuk yang berbeda-beda dalam karyakarya feminis. Namun sebelum itu, kita perlu menegaskan kembali apa
yang dimaksud dengan “metodologi” dan mengenali epistemologi yang
mendasari metodologi feminis.
Ilmu dan Metodologi
Ilmu membutuhkan metode dan strategi untuk mendekati kenyataan
sosial sebelum akhirnya ia mampu menyusun penjelasan rasional
tentangnya. Tetapi tidak ada metode atau teknik ilmiah yang dapat
mengesahkan dan memungkinkan dirinya sendiri. Apakah realitas
sosial dapat dihadapi dengan cara tertentu atau cara yang lain, bukanlah
urusan ilmu. Pada prakteknya, aktivitas ilmiah adalah persoalan
bagaimana menerapkan teknik-teknik penelitian yang tepat dan
menjalankannya secara andal, menyediakan data-data yang dianggap
mewakili fakta, dan memberikan penilaian akhir terhadapnya. 5
Pada titik ini pembicaraan mengenai masalah metodologi dan
epistemologi jadi penting. Metodologi memiliki posisi yang fundamental
dalam struktur ilmu karena ia menyediakan dasar bagi ilmu sosial.
Metodologi bertugas menetapkan dan menguji metode-metode yang
digunakan, atau yang harus digunakan, oleh ilmu untuk menghasilkan
pengetahuan yang absah.6
Metodologi bertindak sebagai atasan aktivitas dan hasil-hasil kerja
ilmu. Hasil-hasil ilmu dianggap valid dan ilmiah asal mereka sesuai
dengan dan mengkonfirmasi prosedur yang digariskan metodologi. Tapi
sebaliknya, rumusan-rumusan metodologi tidak dapat diuji oleh
pengetahuan ilmiah. Akses terhadap rumusan metodologi sejauh ini
28
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
hanya ada pada cabang filsafat yang dikenal dengan sebutan
epistemologi.
Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Ia menentukan apa
itu pengetahuan dan bagaimana pengetahuan dimungkinkan. Epistemologi menurunkan protokol-protokol bagi pengetahuan berdasar konsepsi
“subjek” dan “objek” pengetahuan dan relasi antara keduanya. 7
Berdasarkan teori pengetahuan itulah metodologi dirumuskan, dan pada
gilirannya berdasarkan metodologi itulah ilmu dipraktekkan. Atas dasar
itu, kita memang perlu mengenali epistemologi feminis sebelum kita bisa
memahami metodologi feminis itu sendiri.
Epistemologi Feminis
Perhatian feminisme terhadap subjek yang sangat abstrak seperti
epistemologi berangkat dari kritik mereka terhadap konsep-konsep ilmu
modern. Feminisme mengkritik bahwa tendensi ilmu sosial tradisional
untuk mendiskreditkan posisi dan aspirasi perempuan berakar secara
mendalam pada epistemologi modern yang menopangnya. Kritik ini
mengalir dalam nadi metodologi feminis. Kata De Vaulth, “Jantung
metodologi feminis adalah bahwa aparat produksi ilmu telah
mengkontruksi dan melanggengkan penindasan terhadap perempuan.”8
Rumusan-rumusan epistemologi modern sudah sejak semula
didesain untuk tidak mengakomodasi unsur-unsur perempuan.
Ketersingkiran perempuan dari wacana ilmu dan penyingkiran simbolsimbol feminin bukan semata-mata masalah praktis belaka, seperti bahwa
kebanyakan ilmuwan yang ada ternyata laki-laki. Tapi lebih parah lagi,
merupakan masalah normatif-teoretis yang fundamental. Premis-premis
dasar epistemologi modern yang menopang ilmu sosial secara mendasar
menolak aspek-aspek feminin dalam pencapaian pengetahuan. Unsurunsur maskulin malah makin dikukuhkan sebagai prinsip pengetahuan.
Jadinya, ilmu sosial modern secara sistematis menyingkirkan
partisipasi dan kedudukan perempuan dalam memahami kehidupan
sosial. Coba kita periksa konsep-konsep kunci produk para pemikir
terbesar yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat. Sebut saja
misalnya konsep peran (Durkheim), kerja (Marx), hak milik (Marx dan
Engels), tindakan (Weber), dan kontrak sosial (Rousseau) yang ternyata
semuanya dirumuskan untuk laki-laki.9
Epistemologi modern menyelubungi tendensi ini dengan klaim
Jurnal Perempuan 48
29
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
universalisme dan objektivisme yang diembankannya pada ilmu. Dalam
paradigma modern, ilmu tidak saja dianggap ‘bebas nilai’ dan ‘objektif’
tetapi juga tidak berkaitan dengan ‘seks’. Ilmu, pendek kata, selalu ‘netral
(kalau soal) seks’ (sex-neutral). Nah, kritik feminisme justru bertolak dari
pengakuan bahwa ilmu dan rasionalitas yang menopangnya tidaklah
netral seks. Kritik feminisme melihat bahwa dalam perkembangan ilmu
dan teori-teori telah berkembang apa yang dapat disebut sex-blindness.
Pengetahuan dan Perubahan
www.nicholsoncartoons.com.au
Tema perubahan menjadi sentral dalam epistemologi feminis, ini
sangat berkaitan dengan tujuan-tujuan gerakan feminisme menuntut
perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat. Sedari awal, teori-teori
feminis dan epistemologinya tidak suka dengan status quo. Sebaliknya,
epistemologi feminis justru dirancang untuk melawan status quo dan
mencari berbagai kemungkinan untuk mengubahnya. Feminisme
menyadari kaitan mendalam antara pengetahuan dan perubahan.
Perubahan hakekatnya adalah prinsip epistemologi.
“Untuk mengetahui sesuatu,
seseorang harus mengubahnya”, demikian kata Maria
Mies.10
Perubahan bukan hanya
berarti menjadi inspirasi gerakan feminisme, tetapi lebih
dari itu, menjadi sumber
semangat ilmiah. Simak lagi
apa yang dikatakan Maria
Mies, “... perubahan status quo
menjadi titik awal penjelajahan ilmiah.”11
Perumusan epistemologi
dan metodologi feminis mau
tidak mau menuntut perumusan ulang ideal-ideal kehidupan sosial
supaya sesuai dengan tujuan feminisme. Rosalind Sydie menggariskan,
“... membayangkan seperti apa ilmu feminis sama halnya dengan
membayangkan masyarakat feminis.”12 Metodologi dan ilmu feminis
30
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
hanya mungkin dijalankan di bawah bayang-bayang bentuk masyarakat
yang diidam-idamkan. Simak di sini apa yang dikatakan Mies:13
Dalam usaha untuk menciptakan pengertian baru tentang
ilmu menurut konteks gerakan perempuan, ilmu feminis
harus memunculkan pemahaman baru tentang keseluruhan bentuk masyarakat, tentang hubungan antara
manusia dan alam, antar perempuan dan laki-laki,
manusia dan aktivitasnya, suatu pemahaman tentang
hubungan dengan tubuh, pemahaman baru yang
menyingkirkan eksploitasi.
Metodologi Feminis: Tujuan dan Feminisme Pengetahuan
Rosalind Sydie merumuskan agenda besar metodologi feminis sebagai
cara untuk mencari dasar-dasar keabsahan bagi pengalaman perempuan,
dan merumuskan jalan-jalan untuk mengkonstitusikan pengalaman ini
ke dalam proses “penemuan” dan “pendefinisian” realitas.14 Agenda
ini menuntut penyusunan dan pengorganisasian ulang tidak hanya
metodologi dan prinsip-prinsip ilmu konvensional, tapi juga bahasa,
rasionalitas, dan asas-asas budaya ilmiah di seputarnya.
Langkah pertama yang paling banyak diajukan untuk mencapai tujuan
ini ialah dengan mendefinisikan dan menata ulang konsep prosedur
ilmiah, menanggalkan atribut-atribut maskulinismenya. Brian Easlea
menyebut langkah ini sebagai ‘demaskulisasi ilmu’ (demasculisation of
sciences).15 Langkah ini ditempuh dengan menegakkan nilai-nilai feminin
dalam struktur ilmu dan membuka jalan bagi simbol-simbol perempuan
dalam prosedur produksi ilmu.
Logikanya, apabila ilmu tidak netral seks, bagaimana nilai-nilai dan
aspek-aspek feminin dan perempuan tersebut dilibatkan dalam proses
konstitusi pengetahuan?16 Salah satu contoh strategi seperti ini adalah
konsep “feminisme integratif” (integrative feminism) Angela Miles.17
Feminisme integratif memasukkan nilai-nilai perempuan seperti
memelihara, kerja sama, berbagi dan solidaritas sebagai norma-norma
dalam epistemologi feminis. Di jalan yang sama Vandana Shiva
merekomendasikan “pemulihan prinsip feminis”.18 Menurut Shiva,
memasukkan nilai-nilai perempuan seperti menjaga, merawat,
memelihara, dan nilai-nilai relasional lain akan secara radikal
mengubah karakter ilmu. Prinsip lain yang penting diintegrasikan dalam
Jurnal Perempuan 48
31
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
metodologi feminis adalah cinta,19 keterhubungan, dan kontekstualitas.20
Perempuan sebagai Titik Tolak
Perempuan sebagai “titik tolak”, demikian kata Sandra Harding.
Lebih persisnya, ia menegaskan bahwa metodologi feminis dimungkinkan dengan mengambil posisi dan pengalaman perempuan dalam
masyarakat dan budaya sebagai titik tolak penyelidikan ilmiah. Dari
sana kemudian kita bisa menemukan bahwa ada ciri-ciri khusus yang
dimiliki analisis sosial feminis, yang berbeda dengan analisis-analisis
lainnya. Untuk lebih mudahnya, kita bisa paparkan ciri-ciri tersebut
seperti ini:21
1. Pengalaman perempuan jadi sumber empiris dan sumber teoretis.
2. Analisis bertujuan menguntungkan perempuan.
3. Peneliti berada dalam ruang kritik yang sama dengan materinya.
Menurut ciri yang pertama, seperti yang dikatakan Harding,
pengalaman perempuan itu sendirilah yang akan mentransformasi
perhatian dan cara ilmu sosial mendefinisikan masalah dan tugastugasnya. Sebagai konsekuensinya, masalah yang dianggap penting
dalam ilmu sosial yang konvensional bisa jadi sekarang tidak lagi, dan
demikian juga sebaliknya. Pengalaman perempuan menyediakan dasardasar untuk menguji hipotesis yang berbicara tentangnya. Prosedur
pengujian seperti ini, menurut Dorothy Smith, bersifat teoretis sekaligus
praktis. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa konsep tentang
“perempuan” dan “pengalaman perempuan” tidak merujuk pada sebuah
ide umum tentang perempuan yang abstrak, melainkan pada konteks
yang konkret, kontekstual, dan tersituasikan. Perempuan selalu bersifat
konkret, terwujud, dan hadir.
Ciri kedua analisis feminis, ia ingin menetapkan sebuah penelitian
“untuk perempuan”. Kata Harding, “Jika seseorang memulai penelitian
dengan apa yang nampak dari perspektif perempuan, maka ia akan
terbawa untuk menyusun penelitian untuk perempuan”. Kembali
mengutip Dorothy Smith, kita perlu tegaskan bahwa ada perbedaan
yang sangat jelas antara ilmu atau penelitian “tentang perempuan”
dengan ilmu atau penelitian “untuk perempuan”.
Ciri ketiga merefleksikan pandangan mengenai subjek dalam
metodologi feminis yang memainkan posisi sangat menentukan. Subjek
dalam metodologi feminis mengekplisitkan dirinya dan menempatkan
32
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
subjektivitas sebagai prosedur mengetahui. Hal ini berarti kelas, ras,
gender, keyakinan, pengandaian-pengandaian pra-konsepsi yang
dimiliki peneliti harus ditempatkan dalam kerangka deskripsi yang ia
teliti. 22 Prosedur ini jelas menentang formula metodologi ilmiah
konvensional yang justru menghindarkan subjek dari ruang lingkup
penelitian, dengan alasan objektivitas.
Prosedur Metodologis dalam Penelitian Feminis
Ada baiknya di sini kita merujuk pada paparan Judith Cook dan
Mary Margareth Fonow. 23 Menurut mereka, ada empat prosedur
metodologis yang secara garis besar muncul dalam bentuk yang berbedabeda dan berulang-ulang dinyatakan dalam penelitian feminis. Keempat
prosedur ini dapat berjalan bersama-sama dalam satu proses. Mereka
adalah (a) refleksitas; (b) orientasi pada aksi; (c) pertimbangan pada
unsur afeksi; dan (d) pemanfaatan situasi yang tengah berlangsung.
Pertama, refleksi meminta peneliti untuk menyadari dengan terbuka
berlangsungnya proses mengetahui atau teoretisasi yang ia lakukan.
Cook dan Fonow menjelaskan, “Dengan refleksi kami bermaksud
memakai tendensi feminis untuk merefleksikan, menguji secara kritis
dan mengeksplorasi secara analitis prinsip dasar proses-proses
penelitian.”24 Refleksi ini melibatkan asumsi-asumsi tentang relasi
gender yang berlangsung di sekitar subjek penelitian.
Refleksi dapat mengambil tiga bentuk: (a) consciousness raising
(pengungkapan kesadaran). Metode ini dianggap khas dalam penelitian
feminis. Consciousness raising berarti proyeksi kesadaran oleh subjek,
terutama pada konteks subordinasi dan ketertindasan. Si peneliti diminta
untuk menyadari bagaimana proses atau jalan menuju pengetahuan
telah mempengaruhi ke”diri”annya. Berlawanan dengan epistemologi
modern yang yakin bahwa subjek pengetahuan sifatnya transenden
terhadap proses mengetahui, feminisme percaya bahwa relasi antara
subjek pengetahuan dengan proses pengetahuan berlangsung timbal
balik; (b) kolaborasi antara peneliti feminis. Subjek metodologi feminis
dalam tahap tertentu bersifat komunal. Banyak karya penting feminis
dilakukan lewat kolaborasi dua penulis feminis atau lebih; dan (c)
menaruh perhatian terhadap tahap-tahap penelitian yang tidak tampak
dan tersembunyi. Prosedur ini berguna untuk mengungkapkan dikotomi
seks dan ideologi seks tertentu yang bersemayam di balik konsep-konsep
Jurnal Perempuan 48
33
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
dan struktur ilmu.
Selanjutnya, prosedur kedua metodologi feminis mensyaratkan
orientasi pada aksi. Dorongan ini bukanlah hal baru dalam filsafat
ilmu. Namun penelitian feminis terarah pada ruang yang lebih luas.
Seperti dinyatakan Cook dan Fonow, “… tujuan penelitian feminis adalah
pembebasan … transformasi total patriarki dan menghimpun pemberdayaan perempuan ….” 25 Peneliti feminis dituntut untuk terlibat
langsung dalam gerakan sosial.
Keterikatan pada aksi mewakili beberapa asas dalam metodologi
feminis yakni (a) kontekstualitas dan ketersituasian dalam teori feminis;
(b) jarak antara subjek dan objek penelitian yang harus dikurangi; (c)
perwujudan sosok subjek yang hadir, konkret, dan menyejarah dalam
ruang waktu; dan (d) keterhubungan subjek penelitian, dengan segala
subjektivitasnya, dengan lingkungan historis di mana aktivitas ilmiah
berlangsung.
Prosedur metodologis ketiga memusatkan perhatian pada aspek
affection dalam aktivitas ilmiah. Menurut Ian Craib, selain memiliki
dimensi cognition, setiap versi ilmu sosial juga memiliki dimensi
affection.26 Menurut Cook dan Fonow, epistemologi feminis tidak hanya
mengakui dimensi affection dalam tindakan mengetahui, namun bahkan
mempertimbangkannya sebagai sumber penyelidikan ilmiah dan sebagai
unsur signifikan dalam memahami realitas sosial. 27
Pengalaman perempuan mengasuh merawat orang lain memiliki
implikasi epistemologis, di situ afection dan emosi memainkan peran
yang menentukan. 28 Pengalaman perempuan juga memunculkan
pertimbangan-pertimbangan moral yang fundamental bagi perempuan.29
Affection menjadi alat untuk memahami situasi-situasi khusus dalam
kehidupan perempuan. Emosi memiliki fungsi dalam memahami dunia.
Dalam metodologi feminis, perhatian pada unsur-unsur affection
akhirnya menjadi usaha untuk memulihkan kembali dimensi emosional
dalam rasionalitas yang terlalu maskulin. Respons emosional terhadap
dunia akan berubah apabila dunia dipahami secara berbeda.
Pada gilirannya, perubahan respons emosional ini akan memicu
proses penelitian yang baru dan perspektif baru. Dalam epistemologi
modern (maskulin), emosi menghalangi jalan menuju pengetahuan yang
valid, karena itu harus disapubersih dari rasio murni. Tapi feminisme
tahu, pembersihan seperti itu tidak benar-benar terjadi, yang terjadi tidak
34
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
lebih pengingkaran atas emosi itu. Bagi subjek penelitian feminis, emosi
menjadi bagian dari proses penyingkapan diri dalam setiap tahap
penelitian.
Prosedur keempat dalam metodologi feminis merekomendasikan
pemanfaatan situasi kongkret yang tengah dialami untuk memicu agenda
penelitian baru. Ilmu-ilmu sosial konvensional, seperti juga ilmu-ilmu
lainnya, memulai penelitiannya dengan perencanaan matang dan
dengan serangkaian konsep dan pendekatan yang siap pakai. Lebih
dari itu, kepentingan institusi-institusi modern seperti birokrasi, bisnis
kapitalis, militer, dan departemen pemerintah sejak semula telah
menyodorkan seperangkat masalah yang harus diteliti oleh ilmuwan
guna melancarkan fungsi regulasinya.30 Ada birokratisasi dalam cara
ilmu modern mendefinisikan berbagai masalah dan tujuan penelitiannya. Ini artinya, inisiatif penelitian dadakan dan tiba-tiba dalam konteks
seperti itu tidak akan populer, bahkan tidak bisa diterima.
Tidak demikian dengan metodologi feminis. Mereka tidak keberatan
inisiatif dan rancangan penelitian muncul tiba-tiba. Inisiatif ini dapat
muncul apabila seorang peneliti mengalami pengalaman-pengalaman
unik yang menurutnya penting dan mendesak untuk dipelajari.
Asumsinya, pengalaman kongkret dalam masyarakat menyediakan alatalat gratis tidak terbatas untuk memahami relasi sosial. Strategi ini
menandai sifat teori feminis yang kreatif, spontan, langsung, dan hidup
mengalir dalam situasi-situasi baru yang terus berubah.31 Pengalaman
sehari-hari merupakan salah satu sumber aktivitas ilmiah yang paling
penting. Stanley Liz dan Sue Wise mencontohkan bagaimana
pengalaman seksis yang mereka alami dalam aktivitas akademik tibatiba mendorong mereka untuk menganalisis proses kekuasaan perilaku
seksual laki-laki yang selama ini dianggap mapan dan normal. 32
Keempat prosedur metodologis feminis tersebut dekat bertaut dengan
subordinasi perempuan. Secara sederhana penjelasannya kira-kira
seperti ini: pertama, refleksi bertolak dari posisi ketertindasan perempuan.
Prinsip refleksi adalah mengungkap pandangan “dari bawah” yang
mengalir dari posisi perempuan yang dekat dengan ketidaksetaraan.
Kedua, orientasi pada aksi menghubungkan kedudukan hierarki
perempuan dalam kelas yang tidak diuntungkan dan menyediakan
peluang-peluang bagi pembebasannya. Ketiga, perhatian pada dimensi
affection mengungkapkan pengalaman-pengalaman khas kekerasan
Jurnal Perempuan 48
35
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
terhadap perempuan seperti perkosaan, diskriminasi, dan seksisme.
Keempat, pemanfaatan situasi kongkret waktu penelitian menghasilkan
pola pemahaman yang maju terus dan kritis, penting selama askes
terhadap pendanaan, kekuasaan, dan fasilitas ilmiah tidak selalu tersedia
untuk ilmuwan feminis.
Kesimpulan
Jika pun harus disimpulkan, kita bisa kembali mengatakan bahwa
metodologi dan epistemologi feminis kelihatannya memang mengisyaratkan suatu pandangan tertentu yang baru. Pandangan tersebut
menegaskan bahwa cara manusia mengetahui dunia merefleksikan
caranya dalam berhubungan dengan dunia.33 Artinya, kita harus selalu
memahami bahwa keterbukaan, kontekstualitas, keterhubungan,
pengakuan untuk emosi, pengalaman langsung, dan asas-asas lainnya
dalam metodologi feminis pada dasarnya mencerminkan tidak saja cara
perempuan mengetahui, tetapi juga cara perempuan hidup dalam
dunianya.
Catatan Belakang:
1
Alison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, New Jersey, Rauma and
Littlefield Publishers, 1988, hal. 361.
2
Sandra Harding (ed.), Feminism and Methodology: Social Sciences Issue, Bloomington
dan Indianapolis, Indiana University Press, 1987, hal. 1.
3
Ibid., hal. 188.
4
Lihat Shulamit Reinharz, Feminist Methods in Social Research, Oxford University
Press, 1992.
5
John A. Hughes, The Philosophy of Social Research, London dan New York, Longman
Group UK, 1990, hal. 11.
6
Bary Hindess, Philosophy and Methodology in the Social Science, The Harvestesth
Press, 1977, hal. 2-3.
7
Ibid., hal. 5.
8
Marjorie L. De Vaulth, Liberating Method: Feminism and Social Research, Philadelpia,
Temple University Press, 1999, hal. 30.
9
Moira Gatens, Feminism and Philosophy: Perspectives on Difference and Equality,
Bloomington dan Indianapolis, Indiana University Press, 1991, hal. 156.
10
Maria Mies, “Women’s Research or Feminist Research? The Debate Sorrounding
Feminist Sciences and Methodology”, dalam Judith Cook dan Mary M. Fonow
36
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?:
Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
(ed.), Beyond Methodology, Feminist Schoolarship as Lived Research, Indiana, Indiana
University Press, 1991, hal. 62.
11
Ibid., hal. 63.
12
Rosalind Sydie, Natural Women, Culture Men: A Feminist Perspective on Sociological
Theory, Ontario Methuen Publications, 1987, hal. 215.
13
Mies, op.cit., hal. 65.
14
Sydie, op.cit., hal. 211.
15
Lihat Brian Easlea, “The Masculine Image of Sciences: How Much does Gender
Really Matter?” dalam Harding (ed.), op.cit., hal. 152.
16
Sydie, op.cit., hal. 214-215; dan Elizabeth Fee, “Is Feminism a Threat to Scientific
Objectivity?”, dalam International Journal of Women’s Studies No. 4, 1981, hal. 383.
17
Angela Miles, “Sexuality, Diversity, dan Relativism: In the Women’s Liberation
Movement”, dalam Resource for Feminist Research, No. XIV, 1983, hal. 6-7.
18
Lihat Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India, Zed
Books, 1988.
19
Untuk diskusi tentang bagaimana prinsip cinta diintegrasikan dalam metodologi feminis
lihat Easlea, op.cit., hal. 152; dan Ursula Vogel, “Rationalism and Romanticism: Two
Strategies for Women’s Liberation” dalam Judith Evans (ed.), Feminism and Political
Theory, London, Sage, tanpa tahun, hal 39-41.
20
Untuk diskusi tentang prinsip keterhubungan dan kontekstualitas dalam metodologi
feminis bisa dilihat dalam Hilda Hein, “Women and Science; Fitting Men to Think
about Nature”, International Journal of Women’s Studies, No. 4, 1981, hal 376.
21
Harding (ed.), op.cit., hal. 6-10.
22
Ibid.
23
Cook dan Fonow, op.cit., hal. 2.
24
Ibid., hal. 2.
25
Ibid., hal. 6.
26
Ian Craib, Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, edisi kedua, St.
Martin’s Press, 1992, hal. 27.
27
Cook dan Fonow, op.cit., hal. 9.
28
Nancy Harstsock, “The Feminist Stand Point: Developing the Grand for a Specifically
Feminist Historical Materialism” dalam Harding (ed.), op.cit., hal. 169.
29
Carol Giligan, A Difference in Voice, Cambridge, Harvard University Press, 1982,
hal. 25.
30
Dorothy Smith, “Women’s Perspective as Radical Critique of Sociology” dalam
Harding (ed.), op.cit., hal. 87.
31
Cook dan Fonow, op.cit., hal. 12.
32
Stanley Liz dan Sue Wise, “Feminist Research, Feminist Consciousness and
Experience of Sexism,” dalam Cook dan Fonow (ed.)., op.cit., hal. 159.
33
Harding (ed.), op.cit., hal. 189; dan Smith, op.cit., hal. 93.
Jurnal Perempuan 48
37
www.travellerspoint.com
• Topik Empu •
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan
yang Membebaskan1
Misiyah
M
engenalkan konsep gender (jenis kelamin sosial) dan seks
(jenis kelamin biologis) umumnya adalah langkah awal setiap
proses pembelajaran yang mengangkat isu-isu perempuan.
Dalam berbagai kesempatan pelatihan kepekaan gender, peserta pelatihan
dengan sangat mudah menyepakati penanda biologis perempuan dan
laki-laki, yaitu perempuan memiliki vagina, rahim, dan payudara
berkelenjar mamae, sedangkan laki-laki mempunyai testis dan penis.
Namun demikian, tidak mudah bagi peserta untuk memahami bahwa
aktivitas mengandung (hamil), melahirkan, dan menyusui (selanjutnya
disebut 3M) seharusnya tidak dimasukkan dalam kategori seks, tapi
dalam kategori gender. Pengalaman KAPAL Perempuan 2 dalam
Jurnal Perempuan 48
39
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
mengembangkan Pendidikan Feminis selama ini menunjukkan bahwa
pada umumnya peserta menolak kategorisasi tersebut dengan alasan
3M merupakan kodrat, ketentuan yang harus dijalani oleh kaum
perempuan, bukan pilihan. Menurut peserta, jika 3M dianggap sebagai
konsep gender, mereka takut nanti perempuan akan punya pilihan untuk
melakukan atau menolak aktivitas 3M. Akibatnya, perempuan juga bebas
memilih untuk tidak kawin, tidak mau melahirkan, dan menyusui.
Kekhawatiran tersebut mencerminkan pikiran sebagian besar
masyarakat yang menganggap perempuan telah “kebablasan” dalam
menyikapi kesetaraan gender. Mereka tidak rela bergeser dari
pengetahuan yang selama ini telah mengakar dan dipercaya sebagai
kebenaran, sebagaimana dituturkan oleh N berikut ini:
Saya telah bertahun-tahun mengenal gender. Berkali-kali
pula mengikuti pelatihan gender. Saya juga menjadi
fasilitator training gender di komunitas-komunitas.
Sepanjang pelatihan yang saya ikuti, tidak pernah saya
mendapatkan pemahaman bahwa 3M tersebut masuk
kategori gender. Dan saya juga selalu mensosialisasikan
3M adalah termasuk seks. Sampai saat ini saya yakini
pengetahuan ini karena saya juga tidak menemukan
dalam buku-buku yang menyatakan bahwa 3M adalah
gender. Sumber-sumber ilmiah apa yang mendukung
pandangan KAPAL Perempuan bahwa 3M adalah
gender dan bukan seks?3
Sikap memegang teguh pengetahuan yang dianggap benar serta
keengganan untuk membenturkannya dengan realitas menunjukkan
kebekuan cara berpikir dan sikap kritis. Kebekuan itu diperkokoh oleh
keyakinan bahwa keabsahan pengetahuan semata-mata didasarkan
pada sumber-sumber tertulis (literatur) dan pandangan para pakar. Sikap
tersebut adalah dampak proses pendidikan baku yang terus menerus
ditanamkan pada masyarakat tentang otoritas sebuah pengetahuan bahwa pengetahuan harus lahir dari pemikiran yang rasional, objektif,
dan ilmiah. Hal ini digugat oleh Shulamit Reinharz:
… ilmu pengetahuan feminis berdasarkan suatu premis
bahwa pengalaman semua manusia adalah valid dan
tidak boleh dibuang dari pemahaman kita, sementara ilmu
40
Jurnal Perempuan 48
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
pengetahuan patriarkis berdasarkan pada premis bahwa
pengalaman dari hanya separuh dari penduduk dunia
perlu dipertimbangkan dan versi yang dihasilkan dari
situ bisa diterapkan pada pihak yang satunya, separuh
dari penduduk dunia lainnya ….4
Pada kenyataannya, pengalaman perempuan selalu dianggap
emosional dan terlalu subjektif untuk dijadikan landasan pengetahuan.
Ia dapat menjadi pengetahuan jika dimaknai dengan cara pandang lakilaki. Ketika perempuan menegaskan pentingnya memperhatikan
pengalaman dan menggunakan perspektif perempuan dalam kegiatan
analisis dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dia harus berhadapan
dengan klaim “tidak ilmiah”. Hal ini dipertegas oleh Saskia Wieringa,
yang mengemukakan temuannya bahwa:
Pengalaman perempuan tidak dipandang sebagai dasar
yang sah untuk membangun teori. Kehidupan perempuan
tidak dikaji; kenyataannya teori-teori “umum” sosial,
ekonomi, psikologi, dan sejarah didasarkan atas pengalaman-pengalaman laki-laki.5
Wieringa juga mengkritik Profesor Wertheim, seorang intelektual yang
dikaguminya, karena di dalam salah satu karyanya yang penting
mengenai Indonesia, masalah-masalah perempuan kurang mendapat
perhatian.
Ini membuktikan bahwa mengubah cara pandang memang sangat
sulit dilakukan. Pengetahuan arus utama (mainstream) dianggap sebagai
kebenaran tunggal bahkan sakral. Mengapa ini terjadi di masyarakat
Indonesia, bahkan di kalangan aktivis – para “pembaharu” itu? Untuk
menjawabnya, kita harus melihat paradigma-paradigma yang menjadi
latar belakang cara berpikir mereka.
Disadari atau tidak, paradigma ilmu-ilmu sosial pasti telah menuntun
cara pandang dan sikap hidup seseorang. Dalam analisis Habermas6,
ilmu-ilmu sosial pada dasarnya punya tiga paradigma. Pertama,
paradigma instrumental. Dalam paradigma ini, pengetahuan lebih
dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya.
Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, mirip
dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat yang
mengambil cara kerja ilmu alam, yang percaya pada universalisme dan
Jurnal Perempuan 48
41
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta
dengan nilai (value) agar diperoleh suatu pemahaman yang objektif
tentang realitas sosial. Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dari
paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, tradisi filsafat
yang lebih menekankan pada minat untuk memahami. Semboyannya
adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Ia hanya
ingin memahami secara sungguh-sungguh, bukan melakukan
pembebasan. Kelompok paradigma ini prinsipnya bebas nilai dan kontra
positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini sering dipahami
sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari berbagai
macam ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai dan
melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas).
Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subjek utama
yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan. Kelompok dalam paradigma
ini biasanya diwakili oleh critical theorists bermadzhab Frankfurt. Pada
area inilah teori-teori feminisme berkembang, ia menempatkan
perempuan sebagai subjek yang menjadi “korban” penindasan sekaligus
aktor untuk melakukan pembebasan. Relasi kuasa berbasis gender
menjadi dasar pijakan analisis teori-teori feminisme.
Metodologi Feminis: Pengalaman Perempuan merupakan Sumber
Pengetahuan
Berangkat dari paradigma terakhir di atas, metodologi feminis
dikembangkan dengan prinsip sebagai berikut:
Prinsip utama Metodologi Feminis adalah pengalaman
perempuan merupakan sumber pengetahuan. Pengalaman-pengalaman perempuan inilah yang digunakan
untuk menunjuk dan menganalisis struktur-struktur yang
lebih besar. Juga untuk menghargai subjektivitas
perempuan dan pengalaman hidup perempuan sebagai
dasar untuk pembelajaran – proses penegasan kembali
sumbangan perempuan pada pembentukan pengetahuan. 7
Bagaimana perempuan membentuk pengetahuan? Dalam perspektif
feminis, pengetahuan yang selama ini dianggap benar perlu dicocokkan
dengan pengalaman riil perempuan. Pada pembahasan awal tentang
pergeseran kategorisasi 3M dari kategori seks menjadi gender, dapat
42
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
kita lihat sumbangan metodologi feminis terhadap pengetahuan dan
pemberdayaan perempuan, yaitu terbukanya ruang “untuk memilih”
bagi perempuan untuk menjadi otonom atas tubuhnya sendiri. Menikah
atau tidak menikah, misalnya, menjadi pilihan. Perempuan tak lagi
dihantui tekanan yang diciptakan masyarakat. Ia juga jadi sadar bahwa
perempuan yang tidak melahirkan anak atas keputusan sendiri atau
karena “mandul” adalah perempuan yang sama nilainya dengan mereka
yang dapat melahirkan anak dan menyusuinya. Oleh karena itu, tidak
ada alasan melakukan poligami bagi laki-laki yang istrinya tidak mau
atau tidak bisa melahirkan anak. Artinya, Undang-Undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974 yang secara eksplisit melegitimasi poligami sudah
saatnya diubah menjadi undang-undang yang lebih memberikan
keadilan bagi perempuan.
Kita juga dapat belajar dari pertumbuhan sejarah aliran feminisme8
tentang pembentukan pengetahuan perempuan. Feminisme adalah
pemikiran yang dinamis. Berbagai varian alirannya muncul karena
kedinamisannya itu, ketanggapannya menyesuaikan diri dengan kondisi
dan status perempuan setempat. Feminisme radikal dan liberal, misalnya,
berkembang di negara-negara liberal. Feminisme sosialis dan marxis
berkembang untuk menggugat persoalan struktur kelas. Untuk menjawab
kebutuhan perempuan yang didiskriminasi karena warna kulit,
berkembang aliran feminis yang memberdayakan perempuan kulit
berwarna (black feminism), feminisme dunia ketiga/poskolonial menjawab
persoalan dunia ketiga/poskolonial, dan feminisme agama menjadi alat
bagi perempuan untuk mencari sumber-sumber penindasan berdasar
agama.
Untuk membantu menjelaskan bagaimana aliran-aliran ini muncul,
saya akan membahas mereka satu-satu:
Feminisme liberal. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan
kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional,
kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang
sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk
kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di
abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan
ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi
Jurnal Perempuan 48
43
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di
bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks
Indonesia, reformasi hukum yang beperspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari
pengalaman feminis liberal.
www.mccullagh.org
Feminisme Radikal. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa
penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh
perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan lakilaki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain
tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privatpublik. “The personal is political”9 menjadi gagasan anyar yang mampu
menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah
yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi
atau pandangan yang buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada
feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar
persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki UndangUndang RI No.23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT).10
44
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Feminis Marxis. Aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan
berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini – status perempuan jatuh
karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri
berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol
produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi
menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat –
borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat
dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Feminisme Sosialis. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap
feminisme marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul
sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme
runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas
perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender
untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan
feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan
perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan
feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan
itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling
mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat
keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh
negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin,
sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran
feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis
ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi
beban perempuan.
Feminisme Poskolonial. Dasar pandangan aliran ini berakar di
penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman
perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni)
berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama.
Jurnal Perempuan 48
45
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat
karena selain mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.
Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial
yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilainilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay
dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact
of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang
didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh
institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan”.11
Dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial kontemporer, feminisme
berkontribusi besar dalam melakukan dekonstruksi. Sebagai contoh,
digunakannya pendekatan feminis (feminist approach) dalam ilmu politik
dengan terminologinya “the personal is political”. Ilmu politik klasik
melihat relasi kuasa hanya terjadi dalam ranah publik, antara negara
dan rakyatnya, dan berorientasi pada kekuasaan (power). Dengan
menggunakan perspektif feminis, terbongkarlah kebekuan wacana ilmu
politik itu. Relasi politik menjadi tidak sekedar hubungan rakyat-negara
(yang terwujud dalam parlemen, kabinet, partai politik, dll.) tetapi juga
menyangkut relasi laki-perempuan/anak (baik dalam relasi negara yang
menindas perempuan maupun pada kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga), menghilangkan dikotomi publik-privat, serta mengubah
orientasi relasi politik dari kekuasaan menjadi kesetaraan.
Pendekatan feminis dalam ilmu politik juga dapat dilihat dalam
analisis anggaran berperspektif gender (gender budgeting) dan affirmative
action policy yang bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan publik
dan partisipasi politik perempuan.
Metodologi Feminis: Menuju Pembebasan Perempuan
Sebagai sebuah metodologi12 yang berakar pada feminisme, metodologi
feminis mengikatkan diri pada semangat yang berdasarkan (a) keyakinan
bahwa perempuan sedunia menghadapi berbagai bentuk penindasan atau
eksploitasi; (b) komitmen untuk menyingkap dan memahami akar berbagai
bentuk penindasan, dan mengapa penindasan itu bertahan; (c) komitmen
kerja dalam hidup sehari-hari, baik secara individual maupun kolektif,
untuk menghentikan segala bentuk penindasan.
46
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
www.got.net
Metodologi feminis mempunyai kejelasan posisi atau keberpihakan
dan berangkat dari pengalaman empiris. Hal ini berlawanan dengan
ilmu-ilmu sosial positivis, yang dengan mudah menjadi alat kekuasaan
karena mengagungkan netralitas dan menolak untuk berpihak. Netralitas
tidak mungkin terjadi dalam ilmu-ilmu sosial.
Pengetahuan yang dibentuk melalui metodologi feminis berujung
pada pembebasan perempuan dari ketertindasannya. Bagaimana
metodologi feminis menanggapi persoalan-persoalan perempuan di
Indonesia? Situasi perempuan Indonesia 13 dilihat dari Human
Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), yang salah satu
parameternya adalah kesetaraan gender, menunjukkan bahwa pada
tahun 2004 Indonesia berada pada peringkat 114 dari 189 negara. Dalam
bidang pendidikan, misalnya, angka putus sekolah anak perempuan
sangat tinggi. Sebagai perbandingan, dari 6 juta anak, untuk setiap 3
murid laki-laki ada 7 murid perempuan yang putus sekolah. Dari 44
juta anak usia sekolah, sekitar 47%
belum mendapatkan pendidikan
dasar dan 75% diantaranya adalah
perempuan. Dalam bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI)
di Indonesia adalah yang terburuk
di antara negara ASEAN, mencapai 396 per 100.000 kelahiran.
Pada ranah privat juga banyak
persoalan perempuan, tampak dari
masih tingginya kasus kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT). 14
Sedangkan di ranah publik, persoalan perempuan terbesar adalah
rendahnya partisipasi mereka dalam dunia politik. Misalnya, tidak ada
perempuan yang menjabat sebagai gubernur. Persentase perempuan
anggota MPR RI juga sangat rendah, hanya 9,2 % (bandingkan dengan
jumlah anggota laki-laki yang mencapai 90,8 %) dan jumlah anggota
perempuan di DPR RI hanya 9% (Cetro, 2001).
Apa arti data-data statistik tersebut? Bagi ilmu-ilmu sosial positivis,
data tersebut mungkin hanya angka yang diperbandingkan besar
Jurnal Perempuan 48
47
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
kecilnya untuk kepentingan generalisasi atau pembuktian. Sedangkan
dilihat dari perspektif feminis, data-data statistik tersebut adalah
tantangan dan ungkapan pengalaman perempuan yang harus diproses
agar melahirkan “pengetahuan perempuan” dan aksi-aksi untuk
membebaskannya. Oleh karena itu, angka-angka statistik ini perlu digali
lebih mendalam melalui metodologi feminis. Seperti kata Dale Spender:
Ketika kedua jenis kelamin bisa menggambarkan
pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan ketika
kedua versi itu dapat hidup bersama tanpa terbagi
menjadi unggul dan kalah, benar atau salah, aturan atau
pelanggar, maka sebagian dari mekanisme penindasan
terhadap perempuan telah dibuang.15
Metodologi KAPAL Perempuan
KAPAL Perempuan telah mengembangkan metodologi feminis untuk
mengurai mekanisme penindasan, membongkar kebisuan, dan menggali
pengalaman-pengalaman perempuan melalui Pendidikan Feminis.
Beberapa model Pendidikan Feminis yang dikembangkan antara lain
Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal, Pendidikan
Alternatif untuk Pencegahan Konflik dan Penciptaan Perdamaian,
Pendidikan Pengorganisasian bagi PRT (Pekerja Rumah Tangga) Migran,
dan lain-lain.16
Sebagai sebuah model pendidikan yang berakar pada metodologi
feminis, Pendidikan Feminis berkontribusi dalam mengurai persoalan
perempuan dan mengkaitkannya dengan kesadaran kritis atas relasi
kekuasaan yang menindas, sehingga mendorong terjadinya pembebasan
perempuan dari ketertindasan. Keberpihakan serta komitmen untuk
melakukan pembebasan bertumpu pada prinsip-prinsip di bawah ini:
(a) Pengalaman perempuan adalah sumber pengetahuan. Setiap
pengalaman subjektif perempuan sah atau valid untuk dijadikan
dasar membangun pengetahuan. Otoritas sebuah pengetahuan
adalah pengalaman perempuan itu sendiri, bukan diperoleh dari
hasil pikiran-pikiran yang dikembangkan semata-mata dari
belakang meja melalui penalaran-penalaran “ilmiah”.
(b) The personal is political. Pengalaman pribadi perempuan mempunyai
posisi politis yang sama pentingnya dengan pengalaman
48
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
masyarakat di ranah publik.
(c) Menggunakan kerangka analisis gender. Sebab akibat suatu
masalah diurai dengan membongkar relasi kuasa antara perempuan
dan laki-laki di ranah privat maupun publik.
(d) Berakar dari paham dan politik feminisme yang mementingkan
pengenalan alasan-alasan struktural sub-ordinasi, penaklukan,
perbudakan, dan pemerasan tenaga perempuan - sistem patriarki
itu tadi.
(e) Pengetahuan adalah alat pembebasan. Pengetahuan dibangun
dalam kerangka proses pembebasan perempuan. Pengetahuan
dijauhkan dari proses-proses melegitimasi kekuasaan yang
menindas.
(f) Berkeadilan gender. Keberpihakannya terhadap perempuan
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari
diskriminasi, kekerasan, dan penindasan perempuan. Pengetahuan
harus membawa perubahan menuju masyarakat yang berkeadilan
sosial dan berkeadilan gender.
Akumulasi prinsip-prinsip tersebut tentu bukan baku dan final, tetapi
dapat berkembang secara dinamis, seiring dengan situasi masyarakat
yang terus bergerak. Metodologi yang berpijak pada perspektif feminis
tidak pernah membekukan diri, namun selalu terbuka pada perkembangan situasi perempuan menantang jamannya.
Catatan Belakang
1
Artikel ini sebagian besar bersumber dari tesis penulis di Program S2 Sosiologi FISIP
Universitas Indonesia tahun 2006 yang berjudul Tinjauan Feminisme Poskolonial
tentang Kesadaran Kritis dan Otonomi Perempuan Indonesia – Studi Kasus:
Pendidikan Feminis KAPAL Perempuan untuk Pemimpin Lokal di Manado, Sulawesi
Utara.
2
KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan) adalah sebuah
organisasi perempuan yang menjadi wadah bagi para aktivisnya untuk mengembangkan
cara berpikir kritis masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan perempuan yang
merupakan mayoritas tetapi masih tertinggal dalam segala aspek kehidupan.
3
Catatan proses KAPAL Perempuan mengembangkan Pendidikan Feminis di wilayah
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa tahun 2000-2003. Ini pernyataan salah
satu peserta Pendidikan Feminis yang berasal dari Sumatra, tahun 2001. Hal yang
sama juga ditemui pada hampir setiap proses pembelajaran di wilayah Sulawesi,
Jurnal Perempuan 48
49
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
Kalimantan, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur dan Barat. Baca Yanti Muchtar dan
Misiyah, Modul Pelatihan untuk Menumbuhkan & Meningkatkan Sensitivitas
Keadilan Gender, Jakarta, KAPAL Perempuan, 2005, hal. 20-21.
4
Shulamit Reinharz, Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Jakarta, Women
Research Institute, 2005, hal. 7.
5
Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta,
Garba Budaya, 1999.
6
Dikutip dari tulisan Mansour Faqih, Pendidikan POPULER Membangun Masyarakat
Kritis, Yogyakarta, ReaD Book, INSIST dan PACT Indonesia, 2000. hal. 23-29.
Baca juga Fransisco Budi Hardiman “Habermas sebagai Generasi Baru Teori Kritis”
dalam Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen
Habermas, Yogyakarta, Buku Baik, 2004
7
Penjelasan lebih mendalam baca Modul Pendidikan Adil Gender, Jakarta, KAPAL
Perempuan, 2006 yang disusun oleh Lili Pulu, Yanti Muchtar, Salbiyah, dan Fitriani
Sunarto; dan baca pula Abha Bhaiya dan Kalyani Menon Sen, Feminism Training:
Precepts and Practices, tidak diterbitkan, 1996.
8
Baca Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan,
2003 dan Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive
Introduction, edisi kedua, Colorado, Westview Press, 1998.
9
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Carol Hanisch dalam artikelnya “Personal
Is Political” yang dimuat dalam Second Year: Women’s Liberation (sebuah jurnal
feminis yang dieditori oleh Shulamith Firestone dan Anne Koedt) pada tahun 1970.
Menurut Karlina Leksono, konsep the personal is political merupakan langkah
metodologis untuk menjawab pertanyaan, apakah identitas perempuan itu dan
bagaimana kembali mengambil wacana? Di bawah slogan feminis gelombang kedua,
pengalaman perempuan didefinisikan ulang ke dalam bahasa politis, dengan
menekankan hubungan antara kondisi material objektif lingkungan sosial dan
pengalaman subjektif personal. Di belakang slogan itu ada kesadaran bahwa pengalaman
perempuan terjadi di wilayah yang menurut tradisi didefinisikan sebagai wilayah
personal (emosional, khas, akrab), sehingga untuk mengetahui politik situasi
perempuan kita harus mengetahui kehidupan personal perempuan. Baca Karlina
Leksono, “Kapan Perempuan Boleh Menamakan Dunia”, artikel di Media Kerja
Budaya online. Diakses dari http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-arsip/kls/mkb-klskapanperempuanmenamakan.htm, tanggal 20 Desember 2005, jam 14.40 WIB.
10
Dalam pembahasan RUU ini di parlemen, banyak tentangan dari berbagai pihak yang
umumnya didasarkan pada argumen keagamaan, karena upaya untuk membongkar
kekerasan dalam rumah tangga dianggap membuka aib keluarga dan dianggap berdosa.
Salah satu contohnya, dalam rapat dengar pendapat RUU ini, seorang laki-laki anggota
DPR RI menolak keras RUU tersebut dengan pernyataan mengancam, “Untuk apa
ikut budaya Barat. Kita sudah punya hukum sendiri yang melindungi perempuan.
Ada hukum adat dan hukum Islam. Kalau saya pukul istri saya lalu ia melapor ke
orang lain, maka orang itu akan saya bunuh. Ini urusan intern dalam keluarga saya,
untuk apa orang lain ikut urusan rumah tangga saya,” tukas Mustopo dari Fraksi
TNI/Polri. (KOMPAS, Rabu, 25 Agustus 2004.)
50
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan:
Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
11
Dikutip dari Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing
Theory, Practicing Solidarity, Durham & London, Duke University Press, 2003, hal.
40.
12
“Metodologi secara umum merupakan proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan
untuk mendekati problem dan mencari jawaban.” David Silverman dalam Mulyana,
2001, hal. 145-146.
13
Data ini dipakai untuk Laporan Organisasi Non-Pemerintah tentang Pelaksanaan
Landasan Aksi Beijing 1995-2005: Indonesia, pada Sidang ke-49 Komisi Kedudukan
Perempuan PBB, New York, 28 Februari-11 Maret 2005 (49 th Session of the
United Nations Commission on the Status of WOMEN).
14
Data kekerasan terhadap perempuan merupakan data yang sulit dipastikan angkanya
karena kekerasan jenis ini adalah kejahatan yang paling ditutup rapat-rapat. Banyak
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tidak berani melapor karena sampai
saat ini mereka masih ditakut-takuti, diancam, dan disalahkan walaupun UU PKDRT
telah disahkan.
15
Dale Spender dalam Patricia Maguire, “Menuju Suatu Kerangka Penelitian Partisipatif
Feminis: Menantang Patriarki” dalam Pendidikan Populer: Dekolonisasi Metodologi,
Jurnal Wacana Edisi 15, Tahun IV, Yogyakarta, Insist Press, 2003, hal. 18.
16
Uraian mengenai program-program Pendidikan Feminis dapat dibaca dalam brosur
KAPAL Perempuan atau di situs www.kapalperempuan.org
DAPATKAN JURNAL PEREMPUAN EDISI 47
RUU APP:
Mengapa Perempuan Menolak?
Jurnal Perempuan edisi 47 kali ini
mengangkat isu RUU APP yang kontroversial
untuk menjelaskan lebih mendalam, “Mengapa
Perempuan Menolak” produk hukum yang
ternyata implikasinya menjadi diskriminatif
terhadap kehidupan perempuan. Produk
hukum tersebut akan menjepit perempuan
dalam dua wilayah yang membuat mereka –
untuk kesekian kalinya – diperlakukan
diskriminatif.
Harga Rp. 19.000
Jurnal Perempuan 48
51
• Kliping •
Penelitian yang Memakai
Pendekatan Feminis
F
eminist perspective atau pendekatan feminis, perspektif yang
didasarkan pada suatu kerangka teori feminis, mengusulkan
bahwa dalam kegiatan penelitian perempuan perlu diterima dan
dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi (kemampuan) untuk berkembang. Karakteristik perempuan yang tidak kompeten,
lemah, tidak mandiri lebih merupakan produk budaya yang meremehkan,
dan oleh karenanya perlu diimbangi dengan gambaran tentang
perempuan yang pintar, mandiri, cerdas, berani, mampu mengambil
keputusan, sukses, etis, dll. Kaum perempuan juga mempunyai
kemampuan untuk mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan
sangat bisa ikut memberi arah kepada pengembangan masyarakat,
ekonomi, politik, dan pribadi. Kaum perempuan memiliki berbagai macam
kualitas manusia yang bisa meningkatkan mutu hidupnya, seperti yang
dimiliki kaum laki-laki.
Kepercayaan dan sikap umum terhadap kaum perempuan banyak
dipengaruhi oleh mitos dan aneka stereotip negatif yang bersumber dari
pengaruh sosial budaya yang merugikan perkembangan status dan diri
perempuan. Semua itu dapat diubah atau dihilangkan. Selama ini ada
distorsi tentang apa dan siapa perempuan itu. Distorsi itu tidak dikoreksi
karena adanya kecenderungan di kalangan para peneliti untuk bersikap
androsentris. Meskipun penelitian yang memilih kaum perempuan
sebagai objek penelitian sudah banyak dan sejak lama dilakukan,
penelitian itu terbatas pada penelitian tentang perempuan. Penelitian
tentang perempuan selama ini hanya ditujukan untuk menjelaskan sesuatu
yang oleh penelitinya dianggap penting secara sepihak, kurang ditujukan
untuk lebih memahami responden sebagai subjek penelitian. Cara
analisisnya, kalaupun respondennya perempuan, lebih sering dengan
kerangka konseptual atau teoritis yang bersifat umum dan tidak memakai
kerangka teori feminis.
Perempuan lebih banyak dijadikan objek studi. Jarang sekali mereka
ditanya anggapannya, apalagi penghayatannya sebagai perempuan.
Apabila hasil suatu penelitian menghasilkan gambaran yang berbeda
52
Jurnal Perempuan 48
• Kliping •
tentang responden perempuan, temuan itu tidak dikaji lebih lanjut, hanya
dijadikan catatan kaki (kemudian dilupakan). Studi tentang perempuan
mencerminkan prasangka dan sikap yang berlaku dalam lingkungan
sosial budaya tertentu. Akibatnya, distorsi pandangan tentang
perempuan ikut mempengaruhi jalannya penelitian itu.
Berbagai macam penelitian tentang perempuan, yang tidak
menggunakan perempuan sebagai subjek penelitian, telah mendorong
ilmuwan feminis untuk mengembangkan riset dengan perspektif
perempuan. Penelitian itu dilakukan untuk perempuan (bukan hanya
untuk keperluan si peneliti). Mengingat tidak ada satu definisi baku
atau tunggal yang dianut oleh berbagai peneliti feminis, pendekatannya
juga amat bervariasi. Antara mereka yang sekedar menganggap dirinya
sebagai peneliti berperspektif perempuan dan mereka yang benar-benar
peneliti feminis sejati sulit sekali dibedakan. Untuk memberikan
gambaran singkat tentang ciri-ciri feminis, berikut ini saya kutipkan apa
yang dikatakan oleh beberapa orang peneliti yang benar-benar
berperspektif perempuan. Yang pertama adalah Lott (psikolog Amerika).
Ia beranggapan, “Kesarjanaan feminis dan penelitian empiris feminis ...
memiliki ciri khas yang membedakannya dari penelitian lain ... yaitu
pilihan masalah dan tujuan akhirnya.” Sementara sosiolog Liz Stanley
menulis, “Penelitian feminis mutlak dilakukan oleh peneliti utama
perempuan karena saya melihat hubungan langsung antara kesadaran
feminis dan feminisme.” Naomi Black, seorang ahli ilmu politik
mengatakan, “Penelitian feminis harus menekankan nilai subjektivitas
dan pengalaman pribadi.” Sementara pandangan khas sosiolog
biasanya mengatakan, “Dilema yang selalu dihadapi sarjana feminis
adalah bekerja dalam bidang ilmu tradisional sambil menemukan jalan
untuk menuju revolusi intelektual yang akan mengubah tradisi.”
Definisi macam-macam tentang riset berperspektif perempuan
tersebut sekaligus menggambarkan bahwa definisi feminisme yang
beragam juga berpengaruh pada pendekatan yang dipilih ilmuwan
feminis dalam melakukan penelitian. Dengan melakukan penelitian
berperspektif perempuan, peneliti yang bersangkutan juga dipaksa
menghadapi (kemudian mengkaji) dilema-dilema lain yang dihadapi
perempuan – yang sebelum ini mungkin tidak pernah diketahuinya.
Diambil dari tulisan Saparinah Sadli, “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya,”
di Jurnal Stri, Jurnal Studi Wanita Vol. 1. No. 1, Januari 2002, hal. 1-23.
Jurnal Perempuan 48
53
Foto: Dok. YJP
• Topik Empu •
Ilmu Politik, Bias Gender,
dan Penelitian Feminis
Nur Iman Subono
A
da dua cerita yang ingin saya ungkapkan sebagai pengantar
dalam tulisan ini. Yang pertama adalah pengalaman pribadi
penulis, dan yang kedua cerita teman baik saya. Yang pertama
kira-kira begini ceritanya: dalam satu seminar dengan pembicara
beberapa staf pengajar dari satu perguruan tinggi negeri ternama di
Indonesia, terjadi perdebatan ketika saya mendukung soal pemberlakuan
kuota 30% untuk perempuan di parlemen. Salah satu panelis menanyakan
kepada saya apakah saya yakin dan bisa memberikan jaminan atau
kepastian jika perempuan diberi kuota 30% akan ada sumber daya
manusianya untuk mengisi kuota tersebut. Pertanyaan tersebut, menurut
saya, memang agak aneh. Mengapa demikian? Saya kira saya sangat
Jurnal Perempuan 48
55
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
menyadari siapa diri saya, bukan pejabat apalagi penguasa, bagaimana
bisa memberikan jaminan dan kepastian tersebut? Saya balik bertanya,
apakah panelis tersebut yakin bahwa anggota-anggota parlemen saat ini
sudah hebat, bermoral, dan tangguh? Tidak ada jawaban. Dan kita pun
maklum, dari Sabang sampai Merauke, hampir semua anggota DPRD
tersangkut masalah korupsi, bahkan sebagian besar dari mereka sudah
jadi tersangka dan ditahan. Kita pun tahu mayoritas dari mereka adalah
laki-laki.
Sementara cerita yang kedua seperti ini:1pada waktu akhirnya
Megawati dilantik sebagai presiden menggantikan Abdurrahman Wahid,
datang seorang wartawati dari surat kabar berbahasa Inggris terkemuka
meminta waktu untuk mewawancarai teman baik saya. Si wartawati
bertanya, apakah Megawati memiliki kemampuan sebagai presiden
untuk memimpin Indonesia yang sedang dilanda krisis? Teman saya
bertanya balik ke wartawati tersebut, apakah pertanyaan yang sama
juga ditanyakan pada saat B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid menjadi
presiden? Kedua presiden terdahulu ini bisa dibilang “gagal” karena
yang duluan ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR, dan yang
belakangan diturunkan karena mendapat impeachment dari MPR.
Apa yang bisa kita pelajari dari dua kasus tersebut di atas? Apa
sebetulnya yang “salah” di sini? Mengapa ada pembedaan dalam melihat
peran dan posisi perempuan dalam politik dibandingkan dengan lakilaki?
Bias Gender: Ruang Publik dan Ruang Privat
Sadar atau tidak, ada bias gender dalam pertanyaan-pertanyaan
panelis dan wartawati tersebut. Apa sebetulnya bias gender? Biasanya
istilah ini disandingkan dengan istilah yang lain, yakni stereotip peran
seksual (sex role stereotyping). Apa pula arti stereotip peran seksual?
Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang
memadai atau bukti-bukti yang kuat, terhadap seseorang atau
sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender
laki-laki dan perempuan.2 Membatasi bahasannya hanya pada dunia
kerja, bias gender bisa juga berarti perlakuan tidak setara dalam
memberikan kesempatan kerja atau jabatan (promosi, upah atau gaji,
keuntungan, dan hak-hak istimewa), dan harapan-harapan terhadap
sikap dan tingkah laku yang didasarkan pada jenis kelamin seorang
56
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
karyawan atau sekelompok karyawan.3
Sementara itu kata “stereotip” menurut Webster’s Ninth New Collegiate
Dictionary (terbitan tahun 1984) adalah gambaran mental yang
distandarisasi dan diterima sebagai sesuatu yang wajar dan kemudian
direpresentasikan dalam pendapat yang sangat menyederhanakan atau
penilaian yang tidak kritis. Maka, “stereotip peran seksual” berarti ciriciri atau karakteristik yang dirujukkan pada seseorang atau sekelompok
masyarakat yang didasarkan pada jenis kelamin biologis mereka. 4
Bias ini sangat berkaitan dengan keyakinan adanya pemisahan
antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat dan
milik laki-laki, baik secara sosial-politik maupun ekonomi. Ruang privat
adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan beraktivitas. Yang
biasanya kita anggap bagian dari ruang pertama adalah, misalnya,
lembaga-lembaga publik, partai politik, parlemen, dan lainnya yang
sejenis. Sebaliknya, keluarga, merawat suami dan membesarkan serta
mendidik anak, aktivitas rumah tangga seperti memasak, belanja,
merapikan rumah, dan lainnya yang sejenis sering kita asumsikan
sebagai bagian dari ruang kedua. Pembagian ini menyebabkan, sebagai
konsekuensinya, masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi
perhatian dalam hubungan antar anggota keluarga (suami-istri atau
orang tua-anak).5
Atas dasar itu, tidak mengherankan juga apabila parlemen dan
jabatan kepresidenan selama ini dianggap sebagai ranahnya kaum lakilaki. Jika ada perempuan yang coba-coba masuk ke dalamnya, niscaya
ia akan ditanyai hal-hal yang tidak berkaitan dengan kapasitas dan
keahliannya. Sebaliknya, sudah seperti taken for granted saja bahwa lakilaki bisa dengan tenang menempati posisi sebagai anggota parlemen
atau presiden tanpa harus dipermasalahkan kapasitas dan keahliannya.
Kemudian jika mereka “gagal” seperti anggota-anggota parlemen yang
korup dan dua presiden laki-laki sebelumnya yang tidak bisa bertahan,
kesannya tidak terlalu “heboh”. Bayangkan jika mereka perempuan!
Ilmu Politik dan Bias Gender
Memang banyak faktor mengapa bias gender tersebut ada dan
dilestarikan dalam masyarakat kita. Patriarki penyebabnya, begitu kirakira komentar kalangan feminis radikal. Sudah banyak tulisan yang
bicara soal itu. Apa yang hendak diungkapkan di sini adalah bagaimana
Jurnal Perempuan 48
57
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
Foto: Dok. YJP
ilmu politik, salah satu anak kandung dari ilmu-ilmu sosial, langsung
maupun tidak, memberikan kontribusi dalam lahir dan berkembangnya
bias gender dalam dunia akademisi khususnya, dan masyarakat pada
umumnya. Sejauh ini, ilmu politik, khususnya yang berkembang di
jurusan politik di Indonesia pada umumnya memang tidak berhubungan
dengan persoalan gender.6
Ada beberapa bentuk bias gender dalam ilmu politik. Yang pertama,
biasanya pembicaraan mengenai politik selalu berkaitan dengan “the
exercise of power” yang ada di pemerintahan dan institusi-institusi publik
lainnya yang berkaitan. Tentu kita ingat kata-kata Harold Laswell yang
terkenal mengenai apa itu politik, yang kemudian menjadi judul
bukunya, “Who Gets What, When and How” (Siapa Dapat Apa, Kapan,
dan Bagaimana).7 Definisi politik seperti ini pada dasarnya menunjuk
kepada semua aktivitas yang terjadi dan berlangsung di ranah publik
yang notabene adalah dunianya laki-laki.
Definisi semacam ini, dari kacamata kalangan feminis, disebut
sebagai androsentrisme (male centredness), serangkaian nilai dari budaya
dominan yang didasarkan pada norma-norma
laki-laki.8 (Lihat juga Kata
& Makna – red.) Simak
saja misalnya, kalangan
feminis yang mengkritik
kalangan antropolog neoevolusionis yang mempromosikan paradigma
androsentris, “man as the
hunter” untuk menunjukkan bahwa semua perkembangan manusia dalam masyarakat bermula
dari kegiatan perburuan yang dilakukan laki-laki.9
Yang kedua berhubungan dengan pemikiran politik modern yang
menekankan pentingnya kewarganegaraan universal yang akan
memperluas hak semua orang untuk terlibat dalam partisipasi politik.
Memang kelihatannya ada prinsip keadilan di sini. Tapi nanti dulu,
setelah memeriksanya sejenak ternyata hakekat perluasan kewarga58
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
negaraan yang universal ini berasal dari pengalaman laki-laki. Di satu
sisi, saya melihat ada penekanan bahwa kewarganegaraan modern ini
ditampilkan memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang universal, tetapi
di sisi yang lain, saya pun menemukan bahwa nilai dan norma tersebut
sangat berkarakter maskulin, bahkan militeristik, seperti kebanggaan,
persaudaraan – “keutamaan laki-laki”, rasionalitas, kemandirian,
keagresifan, kekuatan, kekompetitifan, dan kekuatan tawar menawar di
antara aktor-aktor yang independen; wacana yang berkembang juga
selalu didasarkan pada rasionalitas. Ini semua selalu diasosiasikan
dengan laki-laki dan maskulinitas.10
Kemudian, ketiga, saya melihat masih berlanjutnya, meskipun sudah
banyak yang menggugat, nuansa seksisme dalam teori-teori politik,
khususnya yang berakar pada para pemikir sosial dan politik Barat.
Seksisme sendiri dapat diartikan sebagai hubungan sosial yang
menyokong otoritas laki-laki terhadap perempuan.11 Hubungan seperti
ini, menurut kalangan feminis, tidak hanya membatasi aktivitas
perempuan tetapi juga cara yang “menyimpang” dalam membuat
pembedaan antar gender, karena tidak sesuai dengan apa yang terjadi
dalam kenyataan sehari-hari. Ini merupakan hasil dari “konstruksi
sosial” yang “dibuat manusia” (baca: laki-laki). Perempuan menurut
mereka terlalu emosional, tidak rasional, untuk membuat keputusan atau
kebijakan yang penting dan strategis. Menurut Rousseau, perempuan
memang secara alamiah tidak pas untuk masuk dalam kepemimpinan
publik.12 Pada titik ini saya melihat ada kecenderungan mysogyny (sikap
tidak menyukai perempuan) dalam diri para pemikir besar tersebut.
Ironisnya, sebagian besar kalangan akademisi maupun politisi dewasa
ini, sadar maupun tidak, masih merujuk pada ide-ide atau pemikiran
mereka sebagai cerminan dari suara demokrasi. Padahal kita tahu bahwa
demokrasi tanpa suara perempuan di dalamnya bukanlah demokrasi
yang sejati.
Saya sendiri sering mendengar bahwa kalangan perempuan yang
bekerja di luar ranah domestik (privat) sering dipandang sebagai orangorang yang menakutkan. Mereka dianggap serakah dan tidak pernah
puas, tidak cukup bermoral atau beradab (biasanya ini diekspresikan
dengan idiom-idiom agama) untuk bisa memerintah atau memegang
kekuasaan politik secara formal. Tentu kita masih ingat bagaimana
Megawati dikritik dan dikecam pada saat ia mencalonkan diri sebagai
Jurnal Perempuan 48
59
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
presiden. Kritikan atau kecaman tersebut ditujukan pada dirinya sematamata karena ia seorang perempuan, tidak banyak yang mengkaitkannya
dengan kemampuan dan intelektualitasnya. Sementara itu, banyak
ilmuwan politik dan ilmuwan sosial lain tetap melihat bahwa
perempuan pada dasarnya memang tidak politis, dan juga tidak tertarik
pada politik. Mereka, kalangan perempuan ini, jika pada akhirnya tertarik
atau terlibat dalam politik, biasanya dipresentasikan sebagai kalangan
yang konservatif. Mereka umumnya lebih memilih politik “status-quo”
daripada perubahan yang reformis, apalagi radikal, dan watak dasarnya
biasanya adalah aktor politik yang lebih senang bermain “aman-aman”
saja.
Yang terakhir, keempat, umumnya teori-teori ilmu politik dan
metodologi politik yang konvensional juga memandang rendah atau
bahkan mengabaikan akibat-akibat dari hubungan, keyakinan, dan
ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Sejauh ini, kebanyakan
penelitian ilmu politik dan sosial sangat diwarnai dengan paradigma
positivisme yang melihat soal gender sebagai suatu kategori empiris
yang bisa diamati atau diukur. Umumnya kalangan positivis tidak bisa
menerima ide bahwa gender (yang diartikan sebagai peran sosial dan
perbedaan kekuasaan) akan mempengaruhi bagaimana kita berpikir dan
melihat dunia. Singkatnya, mereka tidak bisa memandang gender sebagai
sebuah konstruksi atau kategori teoritis, konseptual, analitis.
Padahal sedikitnya ada tiga asumsi yang bisa diungkapkan jika
sudah menyangkut perempuan dan politik. Pertama, politik, apa pun
definisinya, memiliki dampak atau pengaruh yang berbeda pada lakilaki dan perempuan. Kedua, politik, dalam proses-prosesnya, acapkali
mengubah hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Ketiga,
perempuan yang berpartisipasi sebagai subjek politik melakukan
aktivitas politik yang berbeda dengan laki-laki. Ketiga asumsi tersebut
sedikit banyak menegaskan lagi bahwa masalah hubungan gender dalam
kajian-kajian ilmu politik merupakan suatu keniscayaan jika memang
taruhannya adalah memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan
mendalam terhadap kehidupan politik dalam masyarakat dan negara.
Sampai di sini ada baiknya saya mengutip Will Kymlicka. 13
Menurutnya, para ahli ilmu politik arus utama telah gagal mempelajari
kepentingan dan keprihatinan kaum perempuan. Sejauh ini sebagian
besar teori-teori politik kontemporer, masih menurutnya, menyepakati
60
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
apa yang disebut sebagai “dataran egalitarian”, gagasan bahwa semua
anggota masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang sama atau
setara. Akan tetapi, nyatanya sampai detik ini sebagian besar filsafat
politik arus utama masih mempertahankan, atau setidak-tidaknya
menerima, adanya diskriminasi gender. Banyak kalangan feminis yang
menganggap bahwa prinsip-prinsip dalam ilmu politik atau filsafat
politik telah dibangun dan dikembangkan berdasarkan kepentingan dan
pengalaman kaum laki-laki, yang sudah pasti tidak dapat secara
memadai mengenali kebutuhan-kebutuhan perempuan, atau menjadikan
pengalaman kaum perempuan bagian darinya.14 Ini artinya berbagai
aspek pengetahuan dan kehidupan politik mengenai perempuan berada
dalam “kegelapan”, dan pada saat bersamaan intelektualitas
pemahaman pun terbatas hanya pada dunia laki-laki.
Pertanyaannya, mengapa demikian? Menurut kalangan feminis hal
ini sebagian besar disebabkan keyakinan kultural, dan juga jumlah
peneliti atau ilmuwan politik laki-laki yang lebih besar dibandingkan
jumlah peneliti atau ilmuwan politik perempuan. Akibatnya mudah
ditebak. Hasil-hasil kajian atau penelitian ilmu politik biasanya sangat
diwarnai dengan generalisasi yang berlebihan, yang didasarkan pada
pengalaman laki-laki dan diberlakukan terhadap semua orang dalam
masyarakat. Mereka umumnya mengabaikan peran gender dan
pembagian sosialnya yang mendasar dalam masyarakat, hanya hirau
pada persoalan-persoalan laki-laki, memakai perspektif laki-laki sebagai
sudut rujukan, dan menerima begitu saja peran gender yang tradisional.
Misalnya dalam ilmu politik, pusat perhatian umumnya hanya
diarahkan pada aktor-aktor politik (yang mayoritas adalah laki-laki)
yang berkiprah di parlemen, partai politik, atau organisasi masyarakat.
Semua itulah politik. Sebaliknya, mereka (mayoritas perempuan) yang
berkiprah dalam kehidupan sehari-hari mengelola rumah tangga,
mendidik anak, merawat suami, melakukan negosisasi di pasar, dan
seterusnya, dianggap sebagai makhluk non-politik, dan karenanya tidak
menjadi pusat perhatian dalam ilmu politik.
Penelitian Feminis
Jika memang demikian, what has to be done? Sebagaimana sudah
diungkapkan, ilmu politik, sebagaimana disiplin ilmu lainnya, memang
umumnya bias gender atau androsentris. Sekarang masalahnya,
Jurnal Perempuan 48
61
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
bagaimana melakukan perubahan, atau tepatnya dekonstruksi, dalam
ilmu politik sehingga wujud dan orientasinya benar-benar tidak hanya
bicara tentang perempuan tetapi untuk perempuan. Artinya, mengutip
Shulamit Reinharz, tujuan penelitian feminis, kewajibannya, adalah
melakukan tindakan dan membuat perubahan untuk kondisi seharihari perempuan.15 Lebih jauh lagi, semua metode yang dibangun harus
memungkinkan subjektivitas yang sadar di mana perempuan yang
mengkaji mengenai perempuan berada, suatu proses interaktif tanpa
adanya pemisahan semu subjek dan objek, antara peneliti dengan yang
diteliti. 16
Kita harus mempromosikan penelitian feminis yang memasukkan
perempuan dan gender menjadi bagian analisis utama ilmu politik.
Penelitian feminis dilaksanakan oleh (umumnya) perempuan, yang
dengan sadar mempromosikan identitas-diri mereka sebagai feminis,
dan menggunakan perspektif feminis. Mereka menggunakan berbagai
teknik penelitian yang metodologinya diberdayakan untuk memberikan
suara bagi perempuan. Pendekatan terhadap metodologi feminis ini
sedikitnya dilandasi oleh tiga hal berkaitan sebagai berikut:
(a) Koreksi total atau dekonstruksi terhadap berbagai perspektif dan
penelitian yang “male-oriented” (malestream) yang selama ini telah
mendominasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu politik. “Malestream
research” adalah penelitian yang konsep-konsep, teori-teori, maupun
kesimpulan-kesimpulannya sarat dengan prinsip-prinsip seksis.
(b) Penggunaan metode penelitian feminis yang berbeda dengan metode
penelitian konvensional. Perbedaan ini sebetulnya dilandasi
argumen bahwa metode penelitian yang ada sebelumnya tidak
terlalu baik atau tidak berhasil membantu peneliti mengungkapkan
realitas masyarakat, khususnya realitas perempuan. Dalam
kenyataannya, seperti yang dituliskan Women’s Way of Knowing, cara
perempuan belajar dan mengekspresikan dirinya berbeda dengan
laki-laki.
(c) Feminisme mengungkapkan sebuah teori pengetahuan (epistemologi) yang berbeda, dikenal dengan sebutan “standpoint epistemology”.
Menurut pandangan ini, jalan kehidupan sosial perempuan
memberikan mereka sebuah pandangan yang khas tentang
bagaimana masyarakat tersebut berjalan dan berkembang. Nancy
62
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
www.af.mil
Hartstock mengatakan ada persoalan “perbedaan” (difference) dalam
hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan, menurutnya
mengalami kondisi-kondisi spesifik dalam hidupnya seperti
mengandung, melahirkan, dan
memelihara anak, atau mengalami diskriminasi, marjinalisasi,
subordinasi, dan kekerasan
domestik. Karenanya, ilmu politik yang hanya berdasarkan
sudut pandang laki-laki sudah
pasti sangat tidak memadai
dalam melihat dan menganalisis
proses-proses politik yang ada.
Ini artinya, ilmu politik yang
benar-benar tidak bias gender
harus selalu mempertimbangkan kondisi-kondisi spesifik
perempuan tersebut.
Bagaimana Feminis Mengubah
Kajian Ilmu Politik
Satu hal yang harus kita sadari
sejak awal ketika kita membicarakan kalangan feminis atau perspektif
feminis adalah: mereka tidak pernah tampil sebagai suatu entitas yang
tunggal atau homogen. Meskipun demikian, menurut Alison Jaggar,
seorang feminis radikal, komitmen untuk menghapuskan subordinasi
perempuan telah menyatukan keragaman mazhab teori feminis yang
dianut kalangan feminis. Akan tetapi, kesepakatan itu segera menguap
begitu mereka mulai membahas subordinasi perempuan, dan soal
tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk menghapuskannya.17
Dalam ilmu politik, banyak kalangan feminis yang menggabungkan
elemen-elemen utama dari berbagai perspektif feminis tersebut. Sedikitnya
ada lima hal yang dilakukan kalangan feminis dalam melakukan
penerapan perspektif feminis dalam ilmu politik:
(a) Memperluas definisi politik dengan memasukkan keterlibatan
perempuan dalam gerakan sosial dan protes. Dengan begini
Jurnal Perempuan 48
63
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
(b)
(c)
(d)
(e)
64
kalangan perempuan lebih banyak tampil secara politis di
permukaan. Misalnya mereka, sebagaimana tercatat dalam sejarah,
menjadi pemain utama dalam gerakan perdamaian atau gerakan
anti-perang. Tentu kita masih ingat keterlibatan perempuan,
terutama ibu-ibu, dalam gerakan Suara Ibu Peduli menjelang awalawal goyahnya pemerintahan Presiden Soeharto.
Sebagai turunannya, mereka merobohkan pembedaan atau dikotomi
antara publik dan privat. Ini dilakukan terutama oleh kalangan
feminis radikal. Mereka juga mendefinisikan ulang arti politik.
Aktivitas perempuan seperti kegiatan memasak dalam demonstrasi
atau perjuangan bersenjata mereka masukkan menjadi bagian kajian
ilmu politik.
Secara keras menentang dan menolak ide warga negara universal
atau umum, yang sebenarnya adalah individual maskulin dengan
hak-hak istimewa. Iris Marion Young mengajukan ide warganegara
yang dibedakan (differentiated citizenship), dalam konsep ini
perempuan secara resmi dikenal dan diakui, dan terdapat
mekanisme untuk saling berkomunikasi di antara kelompokkelompok yang dibedakan tersebut.18
Selalu mengkritisi, menolak berbagai penjelasan dan pemahaman
ilmu politik yang bernuansa seksis. Tidak mengherankan juga jika
perempuan selama ini, dalam kajian ilmu politik, tidak terlalu tampil
dalam politik formal. Ada berbagai hambatan sistematik, struktural
yang menghalangi keterlibatan atau representasi perempuan dalam
politik. Perempuan juga tidak selalu memiliki watak yang
konservatif. Dalam banyak kasus, mereka banyak memberikan
dukungan pada partai-partai politik sayap kiri, dan sangat liberal
menanggapi problem-problem sosial seperti perdamaian, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan.
Sangat menentang metodologi dan epistemologi positivis yang
hanya memandang dan menggunakan gender sebagai kategori
empiris. Menurut mereka, gender harus digunakan sebagai kategori
analitis. Posisi perempuan yang subordinat dan marjinal dalam
politik sangat berkaitan dengan gender sebagai sebuah nilai dan
sistem kekuasaan yang mempengaruhi pemahaman, praktek, dan
kajian ilmu politik selama ini.
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
Penutup
Memang sudah banyak perubahan dalam perkembangan ilmu politik
selama ini. Salah satunya adalah memasukkan gender sebagai isu yang
penting dan sekaligus alat analisis dalam kajian ilmu politik. Akan tetapi,
tentu saja, konsep-konsep, teori-teori, definisi-definisi dalam ilmu politik
masih saja didominasi pemikiran-pemikiran arus utama yang berwatak
malestream. Konsep-konsep seperti demokrasi, keadilan, partisipasi dan
representasi politik, dan lainnya yang sejenis, nyatanya masih dalam
pigura malestream tersebut. Masih dibutuhkan perjuangan yang panjang
untuk mengubahnya. Perubahan tersebut langsung maupun tidak sangat
berkaitan dengan perubahan sosial-politik di tingkat masyarakat dan
negara. Jika kalangan perempuan masih mengalami marjinalisasi dan
subordinasi seperti yang kita lihat dan rasakan selama ini, sedikit banyak
ini disebabkan oleh perkembangan ilmu politik yang masih tidak sensitif
terhadap persoalan-persoalan perempuan. Masih suram memang,
namun bukan tanpa harapan.
Catatan Belakang
1
Cerita ini berasal dari teman baik saya, Gadis Arivia, mantan Direktur Eksekutif
Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) yang saat ini, disamping sebagai staf pengajar,
menjabat sebagai sekretaris jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
(FIB), Universitas Indonesia.
2
Sheryl Cooke-Sawyer, Gender Bias and Sex Role Stereotyping in Grade Seven History
Textbooks, London, The University of Western Ontario, 1998, hal. 1-2. Gender
sendiri adalah perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil
bentukan masyarakat. Bukan sesuatu yang biologis atau kodrat Tuhan, tetapi dibentuk
oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial dan budaya yang panjang.
3
Lihat Gerald N. Hill dan Kathleen T. Hill, The Free Dictionary dalam http://legaldictionary.thefreedictionary.com/gender+bias. Diakses 7/4/2006.
4
Sawyer, op.cit., hal. 2.
5
Anne Philip, The Politics of Presence: The Political Represetation of Gender, Ethnicity,
and Race, Oxford, Clarendon Press, 1998, hal. 2-7.
6
Ini hanya pengamatan pribadi sekilas, tidak berdasarkan hasil penelitian secara khusus.
Saya hanya mendasarkannya pada pembicaraan dengan beberapa staf pengajar
beberapa universitas di Indonesia dalam berbagai kesempatan yang sangat informal.
7
Harold D. Lasweel, Politics: Who Gets What, When, and How, New York, World
Publishing Co., 1972.
8
Istilah ini sendiri pertama kali digunakan oleh Charlotte Perkins Gilman (1911) untuk
Jurnal Perempuan 48
65
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
menunjukkan adanya bias laki-laki.
9
Maggie Humm, The Dictionary of Feminist Theory, edisi kedua, Columbus, Ohio
State University, 1989, hal. 9-10.
10
Lihat tulisan Adriana Venny, “Perempuan sebagai Warga Negara: Hak atau Kewajiban?”
dalam Jurnal Perempuan, no. 19, 2001, hal. 51-60.
11
Humm, op.cit., hal. 258.
12
Untuk karya feminis yang mengkritik dan menggugat pemikiran filsuf–filsuf besar
yang bersifat misogyny (benci perempuan) lihat Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif
Feminis, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. Lihat juga Rosemary Agonito,
History of Ideas on Women, New York, G.P. Putnam’s Sons, 1977.
13
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, Oxford,
Clarendon Press, 1990, hal. 238-239.
14
Ibid., hal. 238.
15
Lihat Shulamit Reinharz, Feminist Methods in Social Research, edisi pertama, Oxford
University Press, 1992, hal. 251.
16
Humm, op.cit., hal. 170.
17
Kymlicka, op.cit., hal. 238.
18
Lihat Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference, Princeton, Princeton
University Press, 1990.
Berita menjadikan
peristiwa mempunyai arti
Dapatkan rekaman berita perempua
n
di media massa melalui
Layanan Kliping
Berita Perempuan
Yayasan Jurnal Perempuan
Hubungi:
INDOK Yayasan Jurnal Perempuan
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)
Fax (021) 8302434
e-mail : [email protected]
66
Jurnal Perempuan 48
Politik, Bias
Gender, dan Penelitian
Ikuti terusIlmu
isu-isu
perempuan
lewat Feminis
edisi-edisi Jurnal Perempuan berikut:
Nur Iman Subono
Ketidakseriusan negara dalam menerapkan CEDAW
(Convention on Elimination of all forms of Discriminations
Againts Women) masih ditambah lagi dengan
tercetaknya berbagai peraturan daerah (Perda) dan
aneka rancangan undang-undang yang diskriminatif
terhadap perempuan termasuk RUU Anti Pornografi
dan Pornoaksi yang sebentar lagi bakal disahkan.
Padahal dalam CEDAW jelas dikemukakan bahwa setiap
produk perundang-undangan dan tata aturan haruslah
dikaji secara mendalam guna menghindari praktek
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Harga Rp. 19.000
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan:
Sejauh Mana Komitmen Negara?
Sudahkah Anggaran Kita
Sensitif Gender?
Tak heran Indonesia selalu menempati urutan
terendah dalam gender development index (GDI)
dari negara-negara tetangga di ASEAN, urutan
tertinggi dalam tingkat kematian ibu melahirkan,
tingkat partisipasi perempuan dalam dunia
pendidikan dan angkatan kerja dan masalah
busung lapar. Ini semua bersumber dari rendahnya
komitmen para pengambil keputusan untuk
mengimplemen-tasikan anggaran yang tanggap
gender.
Jurnal Perempuan 48
Harga Rp. 19.000
67
68
Jurnal Perempuan 48
• Topik Empu •
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
B
ila peradaban dapat dikembalikan pada sumber nilainya, yaitu
universitas, maka di kawasan itulah justru relasi kesetaraan
gender mengalami kemacetan akselerasi. Dibandingkan dengan
artikulasi feminisme oleh kalangan LSM misalnya, suara kampus hampir
tidak terdengar. Perhatian universitas sejauh ini terhadap masalah
kesetaraan gender nampaknya terlepas dari fakta-fakta empiris tentang
makin timpangnya kondisi kebijakan publik yang peka gender. Bila
universitas tidak bersuara terhadap ketimpangan gender dalam
pembuatan kebijakan anggaran di tingkat nasional sampai daerah, maka
universitas diam-diam makin menyumbang pada pola ketimpangan yang
sudah ada. Begitu juga sikap imparsial kalangan kampus terhadap
Jurnal Perempuan 48
69
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
berbagai Perda yang merendahkan perempuan: ini semua pertanda buruk
bagi masa depan politik perempuan, sekaligus masa depan demokrasi.
Tentu saja ada upaya intensif dari sejumlah aktivis perempuan yang
juga berkecimpung dalam pengajaran universitas untuk
memperkenalkan “paradigma feminis” dalam kurikulum universitas.
Tetapi selama dua dekade percobaan itu, sikap para akademis kampus
terhadap “masalah-masalah perempuan” belum juga menjadi
“paradigma akademis”. Bahkan tidak jarang dalam percakapan
akademis serius, isu feminisme menjadi bahan olok-olok ringan justru
di antara kalangan civitas academica itu sendiri.
Perlunya Metodologi Feminis
Perspektif perempuan di universitas agaknya masih dipandang
secara negatif dengan beragam motif oleh berbagai kalangan. Sekurangkurangnya ada tiga motif: pertama, perspektif ini dilihat sebagai
“keanehan akademis” oleh mereka yang tidak cukup kuat berpikir dalam
kerangka epistemologis baru. Kedua, perspektif ini dipandang sebagai
“barang impor dari Barat” bagi mereka yang antipati terhadap transmisi
pikiran global. Ketiga, perspektif ini sudah divonis sebagai “ajaran sesat”
oleh mereka yang berpikir dalam kerangka keyakinan final agamis.
Politik selalu membuat pendefinisian kawan-lawan. Sudut pandang
ini, oleh feminisme, dianggap sebagai sudut pandang laki-laki.
Pendefinisian semacam itu menimbulkan hierarki, penaklukan, dan
pengendalian. Itulah ciri masyarakat patriarkis. Di dalam konstruksi
itu, relasi sosial menjadi relasi dominasi. Yang paling berbahaya adalah
bila penolakan terhadap “paradigma perempuan” mengambil bentuk
penolakan agamis. Jadi tidak mungkin bagi kita untuk menguji suatu
metodologi karena semua orang bekerja dalam tata nilai yang finalistis.
Universitas adalah lembaga pertandingan konsep. Di dalamnya
dimungkinkan tolak-menolak argumen berdasarkan keterbukaan jalan
pikiran. Sebaliknya, doktrinasi metodologi, entah berbasis agama atau
nilai fundamental lain, tentu tidak mungkin dijadikan bahan
perselisihan akademis. Ini berarti kritik terhadap posisi metodologis
suatu perspektif harus disampaikan dengan semangat falibilis, mungkin
saja salah. Universitas harus memandang ilmu dari sudut persaingan
metodologisnya, bukan dari fondasi-fondasi metafisiknya.
Metodologi adalah urat nadi universitas. Ia membawa kita ke jawaban
70
Jurnal Perempuan 48
Rocky Gerung
Feminisme dan Universitas
persoalan penelitian melalui langkah-langkah logis. Dengan cara itu
ilmu dihubungkan dengan kehidupan. Karena itu, kedudukan
metodologi menjadi amat sentral (karena padanya tergantung sukses
tidaknya suatu penelitian). Tetapi ia juga tetap harus kritis (karena
padanya juga tergantung akibat-akibat etis suatu penelitian).
Dalam kedudukan universitas yang strategis itulah, persoalan
“metodologi feminis” menjadi amat penting. Artinya, hubungan ilmu
dan masyarakat yang diselenggarakan selama ini berdasarkan
metodologi konvensional, sudah lama diketahui mengandung “bias
positivisme”, yaitu kumpulan langkah penelitian yang didasarkan pada
asumsi bahwa dunia kehidupan dapat dikuantifikasi ke dalam
parameter-parameter universal. Kritik feminis memandang parameterparameter itu telah mengabaikan kondisi tak-terungkap di dalam dunia
kehidupan yang memang tidak mungkin dipahami melalui peralatan
akademis konvensional. Kaum feminis menghendaki suatu metodologi
lain yang memang dirancang berdasarkan kondisi tak terungkap itu,
sehingga memungkinkan perempuan mengartikulasikan
kepentingannya.
Tentu saja, pengetahuan semacam ini hanya mungkin dirumuskan
oleh kaum perempuan sendiri (karena memang keunikan
pengalamannya tidak dapat di’hermeneutisir’ kaum pria). Selain itu,
pengetahuan ini juga memerlukan kemasan naratif yang khusus, yaitu
tatabahasa metodologis yang disusun oleh knowledge perempuan sendiri.
Pendeknya, karena pengetahuan itu bertumpu pada pengalaman
perempuan, dan pengalamannya berkaitan dengan seluruh dimensi
ketubuhannya, maka sebuah metodologi feminis memang harus parsial.
Metodologi ini harus memihak pada suatu politik standpoint, yaitu
prinsip bahwa pengetahuan yang paling bermakna adalah yang
memperlihatkan kondisi dan kepentingan mereka yang tersisih dari relasi
politik.1
Karena itu, karakter kritis memang melekat kuat pada metodologi
feminis sejak, misalnya, Mary Wollstonecraft (A Vindication of the Rights
of Women, 1792) mengkritik karya-karya Milton, Pope, dan Rousseau,
atau pada Virginia Woolf (A Room of One’s Own, 1929 – lihat Cerper –
red.), yang mempersoalkan diskriminasi terhadap perempuan di bidang
pendidikan dan perkawinan, dan Simone de Beauvoir (The Second Sex,
1949) yang membahas citra perempuan dalam novel-novel D.H.
Jurnal Perempuan 48
71
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
Lawrence. Sejarah kritisisme ini memanjang sampai pada pendalaman
semiotik dan psikoanalisis seperti dilakukan Julia Kristeva, yang
berupaya mengartikulasikan kondisi keperempuanan yang tersudut oleh
tatanan simbolik monoteisme patriarkis. Kita mengenal Julia Kristeva
sebagai seorang filosof, psikoanalis, feminis, dan novelis. Perempuan
kelahiran Bulgaria ini (lahir 24 Juni
1941) tinggal di Perancis sejak
pertengahan 1960-an. Esei-eseinya
mendapatkan tempat penting
dalam ranah pemikiran posstrukturalis (lihat Tokoh – red.).
Pendek kata, kita harus tegaskan
kembali bahwa metodologi feminis
memang bertujuan politis. Ada upaya
atau semangat dalam metodologi ini
untuk
mengubah tatanan dan relasi sosial
g
r
n.o
me
o
yang merugikan perempuan.
alw
w
ww
.ra
dic
Minat mahasiswa
Itu semua masalah universitas sebagai
lembaga pendidikan. Bagaimana dengan
mahasiswanya sendiri? Bila minat akademis
terhadap metodologi feminisme dapat dilihat
melalui karya tulis mahasiswa, maka sebetulnya
gairah intelektual semacam itu masih ada, setidaknya
yang saya temui di Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia. Di bulan Juli ini saja misalnya, ada
dua skripsi mahasiswa di bidang itu. Yang pertama membahas novel
kontroversil Dan Brown, The Da Vinci Code, melalui kritik feminisme.2
Yang kedua mengulas film seri populer Desperate Housewives memakai
perspektif filsafat dan feminis liberal.3 Pendekatan feminisme di dua
skripsi itu berhasil memperlihatkan pada dunia akademis bahwa relasi
sosial yang disimbolkan dalam produk-produk kebudayaan (dalam hal
ini novel dan film), selalu dapat diurai lebih politis untuk maksudmaksud emansipasi perempuan melalui metodologi yang “feminis”.
Lihatlah skripsi buah karya Ikhaputri yang mengkaji novel
kontroversil Dan Brown. Dalam upayanya memperlihatkan segi politis
72
Jurnal Perempuan 48
Rocky Gerung
Feminisme dan Universitas
dari novel tersebut, ia telah memanfaatkan teori-teori bahasa mutakhir
dari Charles S. Peirce4 dan Julia Kristeva5 untuk menunjukkan bahwa
indoktrinasi kebudayaan melalui agama, tradisi, dan bahasa telah
berlangsung amat lama, membentuk suatu knowledge yang patriarkis.
Kisah Maria Magdalena (dalam tradisi kebudayaan agama Kristen)
sebagai perempuan pelacur yang bertobat, misalnya, oleh Dan Brown
telah ditafsirkan secara paradoksial, dengan menjadikan perempuan
itu seorang bangsawan istri Yesus. Kontroversi terhadap tafsir fiktif itu
sebetulnya hanya mau memulai jalan pikiran baru, yaitu perlunya
perspektif “standpoint” diperkenalkan pada masyarakat. Ikhaputri
menamai perspektif alternatif itu “kerinduan akan Herstory”. Dari segi
kritisisme, skripsi ini menjadi contoh dari upaya politis untuk
meredefinisikan semua hubungan sosial yang timpang, tidak hanya pada
hubungan gender. Perspektif “herstory”, sebagai tandingan atas
perspektif dominan “history”, bagaimanapun merupakan proyek
peradaban baru untuk menyusun ulang sejarah dan pengetahuan umum
yang amat bias patriarkis. Kita harus akui dan juga memberikan apresiasi
bahwa inilah sumbangan penting dari metodologi feminis.
Sekarang kita lihat skripsi buah karya Herlly Primadewi. Ternyata
endapan kisah di dalam film seri Desperate Housewives telah merangsang
keingintahuan intelektualnya untuk menghubung-hubungkan realitas
sosial kehidupan sehari-hari di dalam keluarga menjadi sebuah masalah
yang amat filosofis. Dengan memanfaatkan jalur pikiran feminis liberal
(dengan tokoh terkenalnya seperti Wollstonecraft dan Betty Friedan),
skripsi ini berupaya masuk ke dalam wilayah domestik, kemudian
mempersoalkan wilayah itu sebagai tempat di mana psikologi dan status
politik perempuan direndahkan ke tingkat “desperate”.
Pendefinisian perempuan seluas “keluarganya” justru menjadi
persoalan filosofis yang amat serius, karena di dalam konstruksi itu
relasi politik yang timpang telah bekerja menghasilkan kengerian hidup
bagi kaum perempuan di dalam rumahnya sendiri. Suatu habitat yang
amat menekan, jauh dari ideal yang digambarkan masyarakat. Suatu
kondisi kehilangan kemandirian (ekonomi, legal, dan intelektual) yang
diikuti berbagai gejala psikis yang berbahaya, telah berabad-abad
melembaga di dalam rumah tangga dan perkawinan. Apa yang oleh
Betty Friedan disebut “the problem that has no name”, di dalam analisis
Jurnal Perempuan 48
73
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
Herlly Primadewi justru merupakan sumber pengetahuan sejati tentang
konsep-konsep kekuasaan yang timpang di masyarakat. Feminisme
dalam pandangan skripsi itu adalah langkah yang harus menuntun
filsafat. Dengan kata lain, ada pemihakan amat kuat untuk
mendudukkan pengetahuan masyarakat di dalam konstruksi teoretis
tandingan, yaitu konstruksi “standpoint” yang memihak pada mereka
yang dirugikan.
Pada dua kasus kecil ini (kendati hanya pada tingkat skripsi
mahasiswa), amat terasa suatu gairah berpikir baru untuk memahami
dan mempersoalkan perspektif-perspektif yang telah baku, kemudian
mengubahnya menjadi suatu sikap subversif yang metodologis. Pada
tingkat ini, suatu lingkungan akademis yang sehat, yang mengandalkan
argumen sebagai alat kritisisme, memerlukan berbagai faktor pendukung
akademis resmi. Yang pertama adalah kultur riset di Universitas. Kultur
itu harus pertama-tama mendorong terbentuknya suatu “komunitas
pikiran”, yaitu komunitas yang bekerja tanpa dikendalikan oleh doktrindoktrin metafisik. Kebutuhan untuk mendorong perubahan sosial ke
arah relasi kekuasaan yang peka pada keadilan kaum perempuan tidak
saja sah secara historis (karena begitu lamanya bangunan peradaban
patriarkis itu bertahan), dan mendesak secara politik (karena
kesepakatan dunia beradab untuk melakukan kebijakan affirmative action),
tetapi juga tak terhindarkan secara akademis (karena produksi teoriteori feminis yang amat berlimpah dalam satu dekade ini).
Komunitas pikiran adalah langkah awal untuk membangun tradisi
kritisisme di universitas. Selanjutnya, kedua, kebutuhan akan hadir dan
berkembangnya metodologi kritis untuk menjalankan komunitas pikiran
itu. Dapat dikatakan bahwa sumber-sumber pikiran kritis feminisme
telah melampaui banyak teori kritis di masa lalu (marxisme sampai
psikoanalisis). Kemampuan metodologi feminis untuk memperalat teoriteori kritis itu, lalu menyusunnya dalam suatu perspektif baru, hanya
dapat diterangkan bila kita paham bahwa kualitas pengalaman
perempuan tentang masalah ketidakadilan sosial memang membentang
melampaui tinjauan-tinjauan parokial ilmu. Bahkan dimensi
kebudayaan yang selama ini bekerja sebagai background belief metodemetode analisis budaya, memerlukan investasi baru dari perspektif
feminis untuk mampu mengenali semiotika politik yang bekerja di
74
Jurnal Perempuan 48
Rocky Gerung
Feminisme dan Universitas
belakang relasi gender yang timpang itu.
Selain itu, ketiga, komunitas pikiran juga memerlukan prinsip
affirmative action. Yaitu upaya untuk mendahulukan proyek-proyek
penelitian yang berbasis pada teori “standpoint”. Feminisme di
Universitas harus diterima bukan dengan kecurigaan religius atau
arogansi patriarkis, tetapi sebagai metode alternatif yang perlu diberi
kesempatan untuk menerangkan ketidakadilan di berbagai bidang.
Penutup
Do you speak feminism? Inilah tuntutan universitas sekarang ini.
Percakapan politik global memerlukan tatabahasa komunikasi baru.
Ketegangan dan kekerasan internasional semakin memperlihatkan
lumpuhnya sistem internasional akibat orientasinya yang amat kuat
pada doktrin “balance of power”. Relasi politik semacam ini sangat
mengandalkan penumpukan kekuasaan negara untuk menjamin
“keamanan nasional”-nya. Struktur internasional semacam ini sangat
mengkhawatirkan untuk masa depan planet bumi. Bukan sekedar perang
dan akibat-akibatnya pada kemanusiaan yang perlu dicemaskan, tetapi
terutama besarnya sumberdaya yang harus disediakan planet bumi untuk
menopang tatabahasa kekuasaan dari sistem internasional sekarang ini.
Kondisi global semacam ini adalah dosa konsep kekuasaan yang
hierarkis.
Universitas adalah oase peradaban. Karena itu partisipasi universitas
mendorong wacana politik gender adalah kemestian historis yang
mendesak. Partisipasi itu berarti terasanya warna feminis dalam kajiankajian universitas. Universalisasi keadilan harus dimulai dari kepekaan
terhadap relasi politik yang timpang dalam berbagai hierarki sosial:
kelas, etnis, agama, dan lainnya. Feminisme adalah perspektif yang
mampu melatih civitas academica mengembangkan kepekaan sosial itu.
Dengan memperluas pemahaman itu, universitas dapat menyumbang
pada upaya penciptaan relasi keadilan sampai ke tingkat global.
Catatan Belakang
1
Lihat misalnya, Lynette Hunter, Critiques of Knowing, New York, Routledge, 1999.
2
Ikhaputri, Kerinduan akan “Herstory”: Sebuah Kajian Semiotik dan Feminisme
Jurnal Perempuan 48
75
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
dalam novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, skripsi Jurusan Filsafat FIB-UI,
tidak diterbitkan, Juli 2006.
3
Herlly Primadewi, Film Desperate Housewives dalam Kajian Filsafat dan Feminisme
Liberal, skripsi jurusan Filsafat FIB-UI, tidak diterbitkan, Juli 2006.
4
Untuk mengetahui lebih jauh lihat karya-karyanya antara lain, “The Fixation of
Belief”, Popular Science Monthly, 12, 1-15, 1877; “How to Make Our Ideas Clear”,
Popular Science Monthly, 12, 286-302, 1878; “F.R.L.” [First Rule of Logic], MS
tanpa nomor halaman, c. 1899. Yang lebih komprehensif antara lain, The Essential
Peirce, Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), Nathan Houser and
Christian Kloesel (ed.), Bloomington and Indianapolis, IN, Indiana University Press,
1992; dan The Essential Peirce, Selected Philosophical Writings, Volume 2 (1893–
1913), Peirce Edition Project (ed.), Bloomington and Indianapolis, IN, Indiana
University Press, 1998.
5
Untuk mengetahui lebih jauh lihat karya-karyanya antara lain, Julia Kristeva, “The
System and the Speaking Subject,” dan “From Symbol to Sign,” terj. Seán Hand
dalam Toril Moi (ed.), The Kristeva Reader, New York, Columbia UP, 1986; dan
Julia Kristeva, Strangers to Ourselves, terj. Leon S. Roudiez, New York, Columbia
UP, 1991.
Ikuti Jurnal Perempuan edisi 49 mendatang dengan tema
76
Jurnal Perempuan 48
Rocky Gerung
Feminisme dan Universitas
Jangan lewatkan VCD tentang “Kekerasan terhadap
Perempuan” yang diproduksi YJP pada tahun 2000
yang mengangkat tentang kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan di seluruh dunia. Beserta
komentar para tokoh seperti Nelson Mandela, Bianca
Jagger, Radhika Coomraswamy,
Hj. Khofifah Indar Parawangsa dan masih banyak lagi.
Film Director: Miranti Hidajadi
Harga Rp. 30.000
Perempuan di Wilayah Konflik. VCD yang diproduksi
YJP tahun 2002 ini mengangkat isu-isu perempuan di
tiga wilayah konflik di Indonesia: Aceh, Poso dan Papua.
Persoalan perempuan di barak pengungsian, masalah
trauma, jaminan rasa aman, pelecehan serta kekerasan
seksual menjadi tema utama dalam dokumentasi film ini.
Sebuah liputan yang perlu untuk diketahui berbagai kalangan.
Film Director: Angela Nicoara
Harga Rp. 30.000
Perdagangan perempuan dan anak masih saja marak, sekalipun upaya
membongkar praktek perdagangan itu sudah banyak dilakukan. Ini membuktikan
persoalannya memang pelik. Penanganannya hanya bisa dilakukan bila semua
pihak baik pejabat, akademisi, aparat, tokoh masyarakat,
profesional, LSM, media massa maupun elemen masyarakat
lainnya berkomitmen untuk memberantas perdagangan
perempuan dan anak.
Melalui penelitian dan kegiatannya di lapangan, Yayasan Jurnal
Perempuan (YJP) menampilkan dan mengemas persoalan
perdagangan perempuan dan anak dalam media VCD & DVD,
produksi YJP tahun 2003.
Harga Rp. 60.000
Film Director: Gadis Arivia
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.
Jl. Tebet Barat VIII No. 27
Jakarta Selatan 12810
Telp. Jurnal
: (021)
8370 2005 48
Perempuan
Fax
: (021) 830 2434
E-mail
: [email protected]
77
• Topik Empu •
Sinetron Feminisme
dan Sosiologi1
Widjajanti M. Santoso
K
ita sering mendengar bahwa feminisme adalah sebuah
pemikiran dan gerakan budaya yang unik.2 Maggie Humm,
seorang feminis dari University of East London, misalnya,
mengartikan feminisme sebagai gabungan antara doktrin persamaan hak
untuk perempuan (sebuah gerakan untuk mencapai hak asasi perempuan) dan sebuah ideologi untuk transformasi yang bertujuan
menciptakan sebuah dunia untuk perempuan yang baru. Tapi sebetulnya,
masih menurut Maggie Humm, tidak ada pemahaman atau definisi yang
tunggal mengenai apa itu feminisme.3
Meskipun demikian, pandangan yang mengartikan feminisme
sebagai sebuah pemikiran yang unik dan sebagai sebuah gerakan budaya
Jurnal Perempuan 48
79
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
ini kelihatannya juga merupakan pandangan ber-standpoint perempuan,
yang menggali sudut pandang perempuan dalam melihat sebuah
masalah. Kalangan feminis selalu merasa sangat perlu memperlihatkan
dan menjelaskan apa yang disebut patriarki. Upaya-upaya tersebut
mengharuskan perempuan untuk masuk ke ruang budaya siap dengan
paparan dan analisa tentang keberadaan patriarki. Pada saat yang sama,
ilmu-ilmu arus utama seperti sosiologi yang dari jauh hari sudah
menyatakan bahwa sebuah kajian harus objektif, menjaga jarak, tidak
melibatkan emosi, tentu melihat dengan waspada gerakan dan pemikiran
feminis ini. Tulisan ini merupakan deskripsi pengalaman menggunakan
feminis sosiologi, sebuah upaya dialogis yang bertujuan memadukan
sosiologi dengan feminisme.
Proses Dialogis Feminisme - Sosiologi
Bagaimana sebetulnya dialog antara feminisme dengan sosiologi ini
dimulai? Kita bisa mulai dengan (mencoba) memberi makna baru tentang
bagaimana sosiologi mengangkat permasalahan-permasalahannya.
Pada titik ini ada baiknya kita menyebut nama Dorothy Smith.
Menurutnya, sosiologi pada dasarnya bersifat ideologis. Ia menunjukkan
bahwa proses pembelajaran akademis sosiologi telah menghasilkan pola
berpikir dan pola pengambilan keputusan yang menjatuhkan vonis
bahwa permasalahan perempuan bukanlah masalah penting, ia hanya
bagian dari masalah lain yang lebih besar. Contohnya, perempuan sering
dianggap sekedar bagian dari variabel jenis kelamin.
Ia juga memperlihatkan bagaimana sebuah cara berpikir menjadi
dominan dan menjadi satu-satunya pegangan bagi mereka yang belajar
sosiologi (misalnya). Ada sebuah “relation of ruling” 4, yang membuat
sebuah cara berpikir yang dominan bisa mempertahankan kedudukan
tidak hanya melalui ilmunya, tetapi juga dengan menggunakan mereka
yang berkecimpung di dalam ilmu tersebut, seperti dosen dan mahasiswa.
Misalnya, mereka bisa mempengaruhi apa yang akan diprioritaskan
sebagai masalah sosial di dalam skema beasiswa. Sehingga, siapapun
yang berkecimpung dalam ilmu tersebut kemudian menganggap bahwa
cara pandang yang ada tidak bisa diutak-atik lagi.
Dorothy Smith mencoba mengatasi skenario di atas dengan memberi
‘makna baru’, dengan mengangkat standpoint perempuan sebagai sebuah
knowledge, sebuah pengetahuan yang selama ini tersingkirkan. Karl Marx
80
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
menamai seseorang yang memiliki pengetahuan sebagai the knower (yang
mengetahui).5 Perempuan, oleh Smith, dipandang sebagai the knower.
Perempuan memiliki pengalaman yang spesifik, karena dirinya
perempuan. Pengetahuan seperti ini jarang dipahami oleh publik yang
lebih besar, sehingga ia memang harus mulai masuk ke ruang publik.
Perempuan sebagai the knower adalah subjek yang memiliki otoritas,
karena pengalamannya merupakan bagian dari knowledge di ruang
publik yang belum tergali ataupun terungkapkan dengan baik.
Menggunakan pemikiran Smith ini, sinetron yang dianggap tidak
penting, hanya bagian biasa-biasa saja dari kehidupan masyarakat
Indonesia, menjadi hal yang penting untuk dikaji. Sinetron tidak hanya
bagian penting dari kehidupan sehari-hari, ia ternyata juga memberi
banyak informasi penting mengenai struktur yang lebih besar.
Mengangkat Standpoint Perempuan
Kita menggunakan pemikiran Dorothy Smith secara ontologis dan
epistemologis untuk mencari tahu sisi perempuan macam apa yang
ditunjukkan oleh sinetron, genre tontonan TV yang dianggap sebagai
konsumsi perempuan. Kita juga akan menggunakan pemikiran dari
feminis seperti Kate Millet, Effrat Tseëlon, Laura Mulvey, dan Hélène
Cixous. 6 Kajian yang menggunakan atau mengangkat standpoint
perempuan memiliki keunikannya sendiri. Kita bisa mengangkat
kehidupan manusia secara lebih rinci menggunakan standpoint
perempuan. Teori-teori feminis yang dikembangkan nama-nama di atas
bisa menunjukkan elemen-elemen penting mana yang perlu diamati dari
sinetron.
Metode teks digunakan untuk mengamati femininitas perempuan
Indonesia dalam tiga episode sinetron Inikah Rasanya. Metode teks adalah
mekanisme yang digunakan oleh pemikir feminis seperti Dorothy Smith
untuk mendekonstruksi tayangan TV seperti sinetron.7 Di Indonesia
kajian sinetron telah dimulai oleh Sita Aripurnami dan Saraswati
Sunindyo,8 yang melihat sinetron gaya Orde Baru dan di awal-awal
masa setelah keruntuhannya. Orde Baru ternyata memproduksi sinetron
yang sangat dipengaruhi pesan sponsor, sehingga isinya kurang lebih
menekankan cerita bapak bijak dan ibu sejati, dengan tokoh antagonis
(biasanya) perempuan yang suka berlaku curang dan sirik. Selain itu,
sinetron Orde Baru juga menggambarkan perempuan sebagai makhluk
Jurnal Perempuan 48
81
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
manja dan cengeng, selalu berderai air mata. Tapi ternyata keterbukaan
dan kebebasan pers serta booming media setelah Orde Baru jatuh membuat
produksi sinetron berubah.
Metode teks dipergunakan untuk men-teks-kan Inikah Rasanya adegan
demi adegan. Melalui paparan adegan tersebut, kajian ini memperlihatkan bahwa perempuan dalam sinetron ini ternyata tidak hanya
direpresentasikan sebagai korban, tapi juga sebagai pelaku kekerasan.
Perempuan pelaku kekerasan dalam Inikah Rasanya adalah seorang
janda. Ia menyiksa, secara psikologis maupun fisik, keponakannya yang
sudah yatim piatu, seorang gadis SMP. Unsur perempuan sebagai pelaku
kekerasan sangat menonjol. Di situ juga ditunjukkan tahapantahapannya, seperti mengapa janda ini menggunakan racun misalnya,
dan akhirnya tindakan kekerasan itu sendiri, yang sudah menjurus ke
tindakan kriminal seperti mencekik. Visualisasi kekerasan Inikah Rasanya
menunjukkan naturalisasi tindakan kriminal, menganggapnya sebagai
tindakan kekerasan ‘biasa’ saja.
Menonton sinetron dianggap sebagai aktivitas untuk mengisi waktu
luang, aktivitas perempuan. Selain itu sinetron juga dianggap mewakili
selera jutaan manusia, selera masyarakat. Pada titik ini, jika kita
menggunakan perspektif perempuan, maka pertanyaannya antara lain,
mengapa perempuan direpresentasikan sebagai pelaku kekerasan?
Mengapa perempuan diadu dengan perempuan dalam kondisi yang
tidak setara dan dalam dimensi kekerasan yang sangat mendalam?
Representasi seperti ini jelas-jelas memperlihatkan unsur misoginis
terhadap perempuan dan sangat merugikannya.
Penggambaran Inikah Rasanya tentang seorang perempuan janda
pelaku kekerasan menambah stigmatisasi status janda yang hidup subur
dalam masyarakat Indonesia. Janda, yang biasanya digambarkan
sebagai perempuan egois pengganggu rumah tangga, terlihat lebih jelek
lagi karena ia sekarang juga menjadi otak dari tindakan kekerasan yang
terjadi. Laki-laki dalam tindakan-tindakan kekerasan tersebut ternyata
hanya menjadi suruhan - visualisasi bapak yang bijak ala Orde Baru
hilang sama sekali dalam Inikah Rasanya.
Korban kekerasan itu sendiri adalah perempuan remaja yang tidak
berdaya, manis, disukai oleh teman-temannya, tetapi misterius. Sang
korban tidak manja dan jarang menangis. Kekerasan dilakoninya tanpa
82
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
www.photojunkie.ca
berusaha memberontak. Beberapa kali air matanya tumpah tapi tak
banyak. Sang korban tidak hanya berhadapan dengan tantenya yang
kepalanya penuh intrik, tetapi juga teman sekelas yang (juga)
menyiksanya. Tindakan kekerasan ini dipicu rebutan seorang laki-laki,
yang di sini direpresentasikan sebagai piala bergilir. Laki-laki tersebut
menggambarkan ketidakjelasan sikap sinetron ini memotret proses
memilih pasangan. Perempuan diperlihatkan mampu memilih dan
bertindak aktif untuk mendapatkan pasangannya, namun tindakan
aktifnya termasuk juga menyingkirkan perempuan yang dianggap
pesaingnya. Penggambaran perempuan bertarung melawan perempuan
ini di satu sisi mungkin ingin memperlihatkan bahwa perempuan sekarang bisa
menentukan keputusannya sendiri, namun
di sisi lain ia juga seperti mengejek bahwa
kemampuan tersebut masih harus diwujudkan dalam bentuk kasar, kekerasan.
Struktur Media yang Melanggengkan
Mereka yang berkiprah pada produksi
budaya biasanya memegang rating sebagai
ukuran selera masyarakat. Rating memperlihatkan mana sinetron yang disukai atau
paling tidak punya jumlah penonton lebih
tinggi dibanding program yang lain. Rating
menjadi ukuran tunggal selera masyarakat.
Padahal sebagian masyarakat sebenarnya
juga sering menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap tayangan sinetron, tapi protes
mereka tidak tercatat dalam rating. Rubrik
surat pembaca di koran dan majalah sering
memuat protes masyarakat tentang kekerasan tidak masuk akal yang
sering muncul di sinetron - kekerasan antar saudara kandung misalnya.9
Ini berarti media terikat pada jaringan proses produksi, jaringan yang
sangat kuat. Masyarakat dalam jaringan itu berada dalam posisi tidak
berdaya, meskipun sudah mulai tumbuh perlawanan berupa protes.
Televisi adalah sesuatu yang menyenangkan sekaligus menakutkan.
Ia mengisi waktu luang dan mengambil waktu-waktu lainnya, sehingga
Jurnal Perempuan 48
83
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
pemirsa tanpa terasa terpukau dan terpaku di depannya. Pola tayangan
televisi menghasilkan tanda-tanda beragam yang menghujani masyarakat.
Tanda dalam hal ini berupa gambar atau visualisasi, sehingga kalau orang
berbicara tentang kenyataan yang ditayangkan oleh televisi, ia sebetulnya
tidak lagi berbicara tentang kenyataan yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Tanda yang dihasilkan oleh televisi merupakan realitas itu
sendiri.10 Dan tanda-tanda ini kemudian dengan mudah dan murah
direproduksi oleh stasiun atau rumah produksi lainnya.
Pola reproduksi seperti ini terlihat dari latahnya produksi budaya
yang ada. Sinetron yang berhasil menghasilkan rating yang baik segera
ditiru oleh rumah produksi lainnya, sehingga yang terjadi adalah
rantaian reproduksi banal dari tanda-tanda yang ada. Sinetron tidak
pernah dimulai dengan pemikiran atau ide cerita yang menarik, malah
selalu mengikuti pola-pola yang sudah ada, seperti cerita remaja dan
kekerasan. Ini kelihatan dari, misalnya, sinetron bercerita dewasa yang
menggunakan remaja sebagai pemainnya. Tidak ada bedanya
sebenarnya apakah cerita tersebut dilakoni oleh sekelompok remaja atau
oleh orang dewasa, plot cerita ternyata sama saja, tidak terlihat ada alasan
khusus kenapa mereka memakai aktor-aktor remaja.
Mengikuti logika seperti ini, tidak aneh jika kekerasan telah menjadi
tanda yang dominan, semakin lama bentuknya semakin nyata. Cerita
yang mendapat rating tinggi ‘kebetulan’ adalah cerita yang memiliki
bumbu kekerasan, sebuah sinetron akan semakin memikat pemirsa
semakin banyak atau semakin kejam kekerasan di dalamnya. Dalam
lingkaran setan seperti ini, cerita tidak lagi penting. Kekerasan tidak
lagi jadi bumbu cerita, justru cerita yang jadi bumbu kekerasan.
Feminisme memberi Makna Baru
Sinetron yang diteropong dengan perspektif feminis memberi makna
‘baru’ tentang kekerasan, mempertanyakan apakah hal itu refleksi
misogini di tengah-tengah masyarakat. Memang tidak mudah menunjuk
satu agen spesifik yang memunculkan misogini tersebut, karena produksi
budaya seperti televisi merupakan hasil kerja banyak orang. Jika melihat
struktur produksi sinetron yang saling terkait erat maka kita tahu
pasarlah yang menentukan siklus produksi sinetron. Melalui rating,
produser sinetron melegitimasi selera masyarakat, yang kemudian
menjadi dasar bagi mereka untuk mengatakan bahwa sinetron yang
84
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
penuh kekerasan memang lebih diminati (sehingga tak bisa tidak mereka
produksi).
Meskipun legitimasi tersebut (bisa terdengar) meyakinkan, perspektif
feminis sinis terhadap kebenarannya, ia mempertanyakan mengapa
perempuan begitu dominan digambarkan sebagai pelaku kekerasan.
Perspektif feminis mengkhawatirkan representasi seperti ini telah
menjadi bagian dari femininitas perempuan Indonesia masa kini. Bentuk
femininitas seperti ini merugikan, perempuan digambarkan sebagai ratu
rumah tangga yang berkuasa secara otoriter – tidak pernah dijelaskan
penyebab kekerasan itu sendiri apa. Keluarga menjadi institusi yang
mengerikan, penuh ketidakjelasan, dan tidak ramah pada anak-anak.
Cerita sinetron juga sering menggambarkan keluarga tidak lengkap,
lelaki sebagai ayah atau suami hilang kemudian muncul lagi
menggandeng tangan perempuan ‘bermasalah’ seperti janda, yang lebih
tragisnya lagi (tentu saja) kemudian melakukan kekerasan pada anak
tirinya. Representasi seperti ini tidak ramah terhadap masyarakat yang
angka perceraiannya meningkat dan kondisi sosial ekonominya tidak
menentu. Dalam kondisi seperti ini masyarakat perlu makna, pengertian
baru tentang keluarga, yang bisa menolong keluarga yang kehilangan
lelakinya itu. Anggota keluarga terutama anak perlu diberi kesempatan
menerima apa yang dialaminya, supaya tidak gampang begitu saja
menyamakan dirinya dengan sosok anak yang jadi target kekerasan di
dalam sinetron tadi.Representasi macam ini juga tidak ramah terhadap
salah satu subgenre sinetron itu sendiri: opera sabun, yang menonjolkan
romantisme. Tayangan seperti ini seharusnya ramah perempuan karena
memberi perempuan kesempatan untuk menikmati sedikit romantisme
di tengah-tengah hidup yang keras. Tapi sinetron seperti Inikah Rasanya
sama sekali tidak mengelola romantisme, malah mengelola kekerasan.
Perempuan Indonesia harus sadar tayangan seperti ini tidak menguntungkan, demi kebaikan perempuan maupun masyarakat itu sendiri.
Posisi masyarakat dalam kungkungan media juga sangat lemah,
terlihat dari begitu gampangnya protes masyarakat lenyap dalam
struktur media yang sedang mereka lawan. Tentunya ada pertanyaan
lanjutan, seperti bagaimana (bisa) perempuan bereaksi terhadap hal ini,
posisi mereka di masyarakat saja sudah begitu lemah. Tapi (kelihatannya), menurut gambaran umum mengenai sinetron, fans terberat dari
tayangan ini adalah perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu,
Jurnal Perempuan 48
85
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
pemahaman baru tentang sinetron memang perlu, supaya perempuan
dan masyarakat memahami bahwa apa yang ditayangkan oleh sinetron
sering tidak baik untuk diri mereka sendiri.
Protes masyarakat harus berhadapan dengan bisnis kapitalis yang
sangat kuat. Media tidak hanya kuat di dalam bidang teknologi dan
keuangan, tapi juga dalam keahlian dan pengetahuan. Kenyataan itu
harus disadari oleh masyarakat, supaya mereka bisa menyusun strategi
untuk melawan. Seperti telah disinggung sedikit di atas, sudah mulai ada
bibit-bibit perlawanan yang muncul lewat surat pembaca. Selain itu,
perlawanan ini juga muncul sesekali melalui protes terhadap tayangan,
seperti yang pernah terjadi pada tayangan sinetron berjudul Bunglon.
Tayangan ini ditarik dari peredaran karena koalisi enam Lembaga
Swadaya Masyarakat yang peduli dengan hal ini mengirimkan surat
protes dan berhasil mendesak stasiun televisinya untuk menarik sinetron
itu.11 Tentu saja sinetron itu ternyata rating-nya yang tidak bagus juga,
sehingga stasiunnya juga tidak berkeras mempertahankannya. Tetap
saja, pengalaman tersebut memberikan masukan yang berarti tentang
bagaimana protes seharusnya diutarakan kepada stasiun televisi.
Masyarakat perlu benar-benar mempersiapkan diri untuk melakukan
protes melawan televisi. Hal ini bisa dilakukan dengan kegiatan melek
media, di sini perspektif feminis bisa mengajari bagaimana cara membaca
tayangan TV dengan lebih kritis. Pembacaan seperti ini tentu tidak biasa
dilakukan masyarakat, akan tetapi sangat penting diupayakan untuk
memberi gambaran pada mereka sendiri bahwa tayangan TV bukanlah
sekedar entertainment melainkan juga agen konstruksi sosial yang hidup
dan beredar ke mana-mana. Kita harus menyadari bahwa posisi media
tidak pernah bisa netral. Media akan menyisir dan menayangkan bentukbentuk yang disukainya. Pembacaan feminis akan memelekkan
masyarakat pada kenyataan bahwa tayangan yang mereka tonton tidak
muncul alami melainkan sudah melalui penyisiran dari media.
Pandangan feminis juga bisa menumbuhkan pemahaman baru
dengan membangkitkan semangat para perempuan sendiri untuk
menuliskan pengalamannya. Seperti telah disinggung pada awal tulisan,
pengalaman perempuan adalah standpoint yang penting, dan metode
teks bisa menjadi jembatan untuk mengangkat pengalaman perempuan
itu menjadi bahan yang layak untuk ilmu pengetahuan. Seperti telah
pula disinggung di dalam penjelasan mengenai teks, pengalaman
86
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
perempuan yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa, tidak
bagus, dan tidak layak dijadikan pengetahuan, sebenarnya adalah
pengalaman yang diperlukan oleh masyarakat pada umumnya.
Perspektif perempuan sangat sadar bahwa pengetahuan telah disisir
oleh pola-pola patriarki yang cenderung mendefinisikan pengalaman
perempuan sebagai sesuatu yang kurang berarti.
Pengalaman perempuan dengan demikian tidak hanya menjadi
marjinal posisinya di dalam masyarakat, ia juga tidak atau kurang
diangkat oleh perempuan itu sendiri. Bagi perempuan pada umumnya,
mengangkat pengalaman mereka sendiri menjadi teks dan masukan yang
bermakna bagi masyarakat bukanlah hal gampang. Perempuan terlalu
terbiasa menahan diri, memendam rasa, berpikir bahwa apa yang
dialaminya adalah beban dirinya sendiri.12 Pengalaman perempuan
seringkali dilihat sebagai sebuah kenistaan, sesuatu yang sebaiknya
dikubur, biar saja menjdi rahasia yang diketahui dan disimpan oleh
perempuan itu sendiri. Ada ketabuan yang membelenggu pengetahuan
tersebut.
Maka sama sekali tidak mudah bagi perempuan untuk mempertontonkan pengetahuan dan pengalamannya. Langkah pertama saja,
perempuan itu maju dan mengungkapkan pengalamannya, sudah
sangat sulit. Hélène Cixous pernah menyinggung masalah ini dan
mentransformasikannya ke dalam konsep écriture féminine. Menurutnya,
memang tidak mudah bagi perempuan untuk mengayun langkah
pertama itu.13 Akan tetapi dia juga menyatakan, apabila perempuan
tersebut berhasil melakukannya, maka ia akan merasakan timbulnya
kembali semangat hidup dan keinginan untuk membagi pengalamannya
dengan perempuan dan orang lain.
Perempuan yang mengutarakan pengalamannya di muka umum
akan merasa dia telah masuk ke dalam lubang yang gelap dan
menakutkan. Akan tetapi, bila ia teguh menjalani proses ini, suatu saat
ia bisa melihat ke belakang dan apa yang dilakukannya mungkin sekali
telah menjadi batu lompatan bagi perempuan lain untuk keluar dari
lubang itu. Teks pengalaman perempuan itu bisa diangkat dan dituliskan
kembali menjadi skenario sinetron, teater, ataupun film. Ini akan
memperkaya pengetahuan yang beredar di masyarakat. Bila perempuan
berhasil membuatnya maka masyarakat akan memiliki teks alternatif
tentang pengalaman hidup mereka.
Jurnal Perempuan 48
87
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
Pertemuan Asam dan Garam
Dalam konteks pemahaman akademis tentang feminisme dan
sosiologi, ada baiknya kita memakai metafora asam dan garam untuk
memberi gambaran bahwa dasar berpijak keduanya memang sangat
berbeda. Mungkin tidak hanya berbeda, mereka seakan-akan berada
dalam kubu yang berlawanan. Sosiologi sangat enggan menerima logikalogika feminisme. Sementara, kalangan feminis sangat ingin diterima
dalam khasanah akademis ‘arus utama’. Ini adalah tantangan yang
sangat sulit, karena ilmu ‘arus utama’ sering bersifat seksis. Semua
pemahamannya didasarkan pada pola pikir lelaki, salah satunya
pemahaman tentang apa yang disebut ilmu itu sendiri.
Karena pola pandang lelaki telah mendefinisikan apa yang
dinamakan ilmu itu sendiri, ia akhirnya mendorong karakter perempuan
dan pengalamannya keluar dari lingkup ilmu. Pemikiran sosiologi
feminis seperti yang diungkapkan Dorothy Smith adalah salah satu
upaya pemikir feminis untuk memasukkan pandangan feminisme ke
dalam lingkup itu.
Smith mengembangkan konsep dan pemikiran yang bisa meletakkan
masalah ‘remeh-temeh’ seperti sinetron menjadi unsur penting di dalam
kajian akademis. Konsep Smith, meskipun masih di dalam pemahaman
yang paling mendasar, telah memberikan gambaran yang cukup lengkap
bagaimana sinetron tidak hanya punya arti penting di dalam hidup
sehari-hari tetapi juga memiliki posisi di dalam struktur yang lebih besar.
Struktur besar ini kelihatannya bukan bagian dari kehidupan seharihari, akan tetapi keberadaannya menentukan kehidupan itu sendiri.
Struktur ini diwakili oleh mekanisme seperti rating dan pemahaman
patriarki yang hidup dan menjadi pedoman umum masyarakat
Indonesia. Di dalam struktur seperti ini, sulit bagi masyarakat, apalagi
perempuan, untuk menentukan posisi patriarki, semuanya terlihat
alamiah dan nyaman, terutama bagi perempuan itu sendiri. Konsep yang
diajukan Smith memberikan pemahaman bahwa kehidupan sehari-hari
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan struktur yang ada.
Pertemuan asam garam, feminisme dan sosiologi itu menjadi semakin
lengkap ketika sebagian pemikiran Hélène Cixous digunakan untuk
membantu menyadarkan dan memberdayakan perempuan. Pemikiran
Cixous mewakili salah satu pemikiran yang dikembangkan feminisme
untuk memahami dan mencoba mengatasi pengalaman perempuan itu
88
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
sendiri. Pada waktu kita menggunakan konsep-konsep Dorothy Smith,
sebagai feminis kita sudah mulai menyumbang pada konsepsi pemikiran
sosiologi, telah memberikan makna baru tentang proses bagaimana
sosiologi berkembang. Kemudian, penggunaan pemikiran feminis seperti
Cixous memberi masukan yang berbeda dari pemikiran Smith yang lebih
makro. Penggunaan kedua pemikiran ini membuat kita semakin paham
bahwa pengalaman perempuan memiliki arti penting tidak hanya untuk
kehidupan sehari-hari tetapi juga untuk struktur sosial yang lebih besar.
Pengalaman perempuan adalah pengetahuan yang tidak bisa ditolak lagi.
Catatan Belakang
1
Tulisan ini bagian dari disertasi penulis di jurusan Sosiologi FISIP-UI berjudul
“Femininitas Perempuan Indonesia pada Era Kebebasan Pers: Kajian Feminis Sosiologi
terhadap Sinetron”, tidak diterbitkan, Jurusan Sosiologi, FISIP-UI, 2006.
2
Mengenai hubungan unik sosiologi dengan feminisme lihat penjelasan mengenai
“cultural turn”, kalangan feminis mengubah haluan dari kajian sosiologis menjadi
kajian budaya supaya bisa mengolah konsep seperti subjektivitas yang kurang tergali
oleh aliran sosiologi ‘arus utama’. Lihat Stevi Jackson, “Feminist Sociology and
Sociological Feminism: Recovering the Social in Feminist Thought” dalam Sociological
Research Online, vol. 4 no. 3, 1999, http://www.socreonline.org.uk/socresonline/4/
3/jackson.html, diakses pada 16 Juni 2004.
3
Maggie Humm, The Dictionary of Feminist Theory, edisi kedua, Prentice Hall, 1995,
hal. 94-95.
4
Dorothy Smith, The Everyday World as Problematic: A Feminist Sociology, Toronto:
University of Toronto Press, 1991, hal. 160. Lihat juga Dorothy Smith, The Conceptual
Practice of Power: A Feminist Sociology of Knowlede, Boston, Northeastern
University Press, 1990, hal. 14.
5
Smith, 1990, The Conceptual ..., hal. 36.
6
Kate Millet memperkenalkan konsep sexual politics. Menurutnya, konsep ini
memperlihatkan bagaimana pendefinisian feminin dan maskulin ditempatkan dalan
stereotip peran lelaki dan perempuan pada kutub aktif-pasif. Kemudian, Laura
Mulvey mengatakan bahwa interpretasi seksual mempengaruhi cara visualisasi
tayangan film. Cara pandang lelaki dalam representasi film ini disebut dengan istilah
male gaze. Selanjutnya, Effrat Tseëlon memperlihatkan perbedaan antara male gaze
dan female gaze. Sementara itu, Hélène Cixous mengutarakan tentang écriture féminine
yang menekankan pentingnya perempuan menggali potensi dalam dirinya dan
mengeluarkannya dalam tulisan. Tulisan tentang Cixous diambil dari Susan Sellers
(ed.), The Hélène Cixous Reader, New York, Routledge, 1994.
7
Dorothy Smith, Texts, Facts and Femininity: Exploring the Relation of Ruling, London,
Routledge, 1990. Dalam tulisan ini, Smith memberi contoh kajian femininitas dari
Jurnal Perempuan 48
89
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
teks tertulis. Untuk meneliti sinetron, penulis dalam disertasi ini mengabungkan ide
Smith tentang teks (texts) dengan analisis semiotik sosial (social semiotic) Rick
Iedema. Lihat Rick Iedema, “Analysing Film and Television: a Social Semiotic Account
of Hospital, an Unhealthy Business”, dalam Theo Van Leeuwen and Carey Jewitt,
Handbook of Visual Analysis, London, Sage Publications, 2002.
8
Sita Aripurnami, “A Feminist Comment on the Sinetron Presentation of Indonesian
Women” dalam Laurie J. Sears (ed.), Fantasizing the Feminine in Indonesia, Durham,
Duke University Press, 1996 dan Saraswati Sunindyo, “Wacana Gender di TVRI
Antara Hegemoni Kolonialisme dan Hollywood” dalam Idi Subandy Ibrahim, Hanif
Suranto (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik
Orde Baru, Bandung, Rosdakarya, 1998.
9
Surat pembaca dari Karmadi, Warta Kota, 19 Mei 2005.
10
J. Baudrillard, “The Procession of Simulacra”, dalam J. Baudrillard, Simulations,
New York, Semiotext(e) Inc, 1983. Konsep simulasi pada dasarnya merujuk pada
bagaimana orang mereproduksi image yang lepas dari realitasnya.
11
Buku Putih Menolak Sinetron Remaja “Bunglon”, vol. 1, 7 Juli 2004 dan vol. 2, 21
Juli 2004.
12
Sellers (ed.), op.cit., hal. 97. Kondisi sosial yang menekan perempuan disebut Cixous
sebagai the law of silence, tantangan bagi perempuan untuk mengatasinya.
13
Ibid., hal. 95. Cixous menuliskan tentang pentingnya menulis bagi perempuan, ini
akan memberinya kesempatan untuk menemukan dirinya sendiri.
LAYANAN INFORMASI & DOKUMENTASI
YAYASAN JURNAL PEREMPUAN
Bagi Anda yang membutuhkan referensi, buku-buku, kliping dan
informasi lainnya yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dan
kesetaraan gender, YJP memberikan layanan baru yaitu Pusat
Informasi dan Dokumentasi. Daftarkan diri Anda untuk mendapatkan
layanan-layanan seperti:
1. Mendengarkan Program Radio Jurnal Perempuan
2. Menyaksikan film dokumenter produksi YJP, setiap hari Senin &
Kamis pk. 15.00
3. Keikutsertaan dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh YJP
4. Akses ke semua bahan koleksi perpustakaan YJP.
Informasi dan Dokumentasi YJP
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)
Fax (021) 8302434
E-mail : [email protected]
90
Jurnal Perempuan 48
U C A PA N T E R I M A K A S I H
Yayasan Jurnal Perempuan beserta Tim Konseling 21/ Community Education
(Commed) Anti Trafiking DKI Jakarta, menghaturkan terimakasih atas dukungan
moril dan materil dari mitra pendukung acara “Temu Muka Antar Pemuka Agama
(Interfaith) Dalam Upaya Pemberantasan Perdagangan Anak dan Perempuan di
Indonesia dan Dalam Rangka Memperingati Hari Anak 2006” yang diselenggarakan
pada tanggal 20 Juli, di Gendung Menza, Jl. Salemba Raya No. 18, Jakarta, sehingga
acara dapat terlaksana dengan sukses.
Para mitra pendukung:
1. Bapak H. Fauzan H, SH/ Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jakarta
2. Indonesia ACTS
3. Terre des Hommes (TDH) Netherlands
4. Friedrich-Ebert-Shiftung (FES)
5. International Organization For Migration (IOM)
6. International Catholic Migration Commission (ICMC)
7. Tim Konseling Community Education (Commed) 21 DKI Jakarta
8. Prof.DR. Amin Suma, SH, MA (Pengurus Dewan Dakwah Indonesia)
9. RM Sandiawan, SJ (Jaringan Relawan Kemanusiaan)
10. Pdt. Ester Ga (Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi / PERWATI)
11. Bapak I Gusti Ngurah Rai (Bimas Hindu Departemen Agama)
12. Bhikkuni Santini
13. Bapak Yahya Djanggola (PT Primatama Karya Persada)
14. Media Partner Elektronik dan Cetak
Semoga dukungan dan kerjasama yang baik ini dapat berlanjut
di masa mendatang.
www.clarkson.edu
• Berita •
Tema-tema Pokok
Ilmuwan Feminis
P
erspektif yang beraneka ragam dalam mengadakan riset sosial
berkaitan dengan banyaknya definisi feminisme, yang satu sama
lain berbeda. Dasar keanekaragaman itu adalah keyakinan bahwa
pemahaman tentang kehidupan perempuan dalam berbagai aspeknya
merupakan satu hal yang benar-benar penting dan perlu.
Karena feminisme tidak mempunyai satu pemimpin atau tokoh
panutan yang diterima secara bulat oleh semua ilmuwan feminis, tidak
mengherankan apabila tidak ada satu pun definisi baku tentang apa
yang disebut sebagai penelitian feminis atau penelitian berperspektif
perempuan.
Ilmuwan feminis biasanya menggunakan sejumlah metode penelitian.
Tidak ada satu cara penelitian khusus yang sepenuhnya mengandung
perspektif feminis, tetapi sejumlah cara yang sekaligus juga mencerminkan imajinasi para peneliti feminis untuk lebih memahami persoalan
perempuan. Misalnya, cara mereka menerapkan metode wawancara dan
melakukan riset memakai oral history. Ada yang menerapkannya tanpa
modifikasi, ada yang mengubah-ubahnya agar dalam penelitian
berikutnya para responden lebih dapat menjawab pertanyaan si peneliti.
Penelitian feminis melakukan kritik yang berkelanjutan terhadap
konsep atau teori sebelumnya yang non-feminis. Selain menggunakan
metode riset yang beraneka ragam, sesuai dengan keinginan mereka untuk
lebih memahami perempuan dan semua aspek kehidupannya, riset yang
dianggap androsentris (lihat Kata dan Makna – red.) mendapat perhatian
khusus dari peneliti feminis.
92
Jurnal Perempuan 48
• Berita •
Riset feminis diarahkan oleh teori-teori feminisme. Artinya, waktu
menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk risetnya para ilmuwan feminis
sering menggunakan kerangka pikir yang berasal dari teori feminis.
Contohnya, dalam melakukan suatu riset tentang pemerkosaan,
pertanyaan-pertanyaan itu akan sengaja disusun berdasarkan konsepkonsep tentang hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki,
dan tentang perbedaan gender antara si korban dan si pemerkosa. Hal
itu berbeda dari riset tradisional yang biasanya hanya akan bertumpu
pada kerangka konseptual tentang seksualitas, perilaku yang
menyimpang, atau jiwa yang tidak sehat.
Ilmuwan feminis membuka diri untuk pendekatan transdisipliner.
Sebuah riset mungkin memerlukan peneliti yang memiliki latar belakang
pendidikan ilmu sejarah, psikologi, seni, sosiologi, ilmu politik, biologi,
ekonomi, matematika, dan disiplin ilmiah lain. Jelas seorang peneliti
tidak akan bisa menguasai semua disiplin tersebut. Namun, peneliti
feminis harus menyadari: kaum perempuan memerlukan tinjauan dari
berbagai disiplin. Intinya, para peneliti feminis memerlukan perspektif
yang multidisipliner demi memperkaya pengetahuan disiplin ilmunya
sendiri. Umpamanya, seorang psikolog menaruh minat meneliti
persoalan psikologi perempuan, maka ia memerlukan pengetahuan
psikologi yang berperspektif perempuan. Dengan demikian ia menjadi
peka terhadap masalah dan pandangan dalam psikologi yang bersifat
seksis, dan peka terhadap perbedaan antara perempuan dan laki-laki,
baik ditinjau dari segi biologis, perilaku, maupun aspek peran sosial
yang diharapkan.
Ilmuwan feminis berusaha untuk mengadakan perubahan sosial.
Selain menekankan perspektif perempuan yang didasari oleh teori-teori
feminisme, banyak riset feminis juga bertujuan merangsang perubahan
sosial atau memberi masukan kepada para pembuat kebijakan. Sebagai
peneliti dan ilmuwan feminis, mereka merasa bertanggung jawab untuk
menyadarkan masyarakat akan masalah sosial tertentu (umpamanya,
secara kritis dan berdasarkan data konkrit menyoroti kondisi buruh
perempuan) atau menyumbangkan suatu gagasan, berdasarkan suatu
penelitian, mengenai apa yang perlu diubah dalam undang-undang atau
ketentuan hukum yang tengah berlaku. Misalnya, dengan meneliti secara
kritis berbagai kelemahan yang ada dalam UU Perkawinan 1974 dan
Peraturan Pemerintah No 10.
Jurnal Perempuan 48
93
• Berita •
Penelitian berperspektif feminis menerima dan mementingkan
keanekaragaman pengalaman perempuan. Bahkan ada yang menganggap bahwa keragaman tersebut merupakan kriteria utama dalam
riset feminis. Metode kasus dianggap dapat meningkatkan kualitas riset
karena dapat memberikan wawasan yang lebih tepat dalam mengkonsepkan sebuah masalah. Para peneliti feminis juga harus benar-benar
peka terhadap perbedaan pengalaman yang diakibatkan berbedanya
status sosial ekonomi seseorang, kesukuannya, latar belakang
pendidikannya, dan sebagainya.
Peneliti feminis mementingkan keterlibatan dirinya sebagai individu,
pengalaman pribadi peneliti dianggap sangat berharga. Ini sangat
berbeda dari kriteria riset non-feminis. Mereka pada umumnya
menganggap bahwa keterlibatan pribadi seorang peneliti justru akan
mencemari hasil risetnya. Peneliti non-feminis juga menuntut bahwa
penulisan laporan tidak menggunakan kata “saya”. Namun, dalam riset
feminis – suatu proyek riset yang berdasarkan pengalaman pribadi –
penyusunnya tidak begitu saja dicap non-ilmiah. Justru, pengalaman
pribadi diakui sebagai faktor perangsang penelitian yang sah. Gagasan
starting from one’s own experience kemudian dikembangkan untuk
menghadapi riset-riset yang androsentris.
Riset semacam ini juga melanggar ketentuan konvensional yang
beranggapan bahwa peneliti harus mengambil jarak agar hasilnya
obyektif dan netral. Peneliti feminis mementingkan keterlibatan
responden atau pihak yang diteliti, karena dalam suatu proses riset yang
interaktif yang justru terjadi adalah empati. Sebagai peneliti ia akan
‘masuk’ dalam kehidupan subyek yang diteliti sehingga terjadi
kekaburan antara hubungan formal dan hubungan personal. Laporan
yang ditulis pun akan berupa suatu narasi personal peneliti, dan subjek
yang diteliti menjadi “teman-teman”, subjek narasinya. Batas antara
peneliti dan subjek yang diteliti juga menjadi kabur karena peneliti secara
langsung membantu subjek yang sedang diriset (memberikan konseling
atau bantuan konkret lainnya). Dalam situasi yang demikian, rapport
(hubungan pribadi yang harmonis dan selaras) yang kemudian tercipta
akan memberikan rasa nyaman dan kelegaan tersendiri di hati peneliti
bahwa ia tidak pernah dan tidak mencoba mengeksploitasi subyek yang
sedang diteliti.
94
Jurnal Perempuan 48
• Berita •
Pembaca juga sengaja diajak menghayati kondisi subyek yang tengah
diteliti. Banyak periset berperspektif perempuan sengaja melaporkan
komentar orang-orang yang telah membaca hasil risetnya dalam
tulisannya. Alasannya agar pembaca bisa memahami kaum perempuan
yang dijadikan subyek penelitian itu dan mengutarakan pemahamannya.
Sebenarnya, pengadaan “hubungan” dengan sidang pembaca
merupakan tujuan dari semua penulis, baik yang feminis maupun non
feminis. Peneliti feminis memakai cara-cara yang beranekaragam untuk
melibatkan sidang pembacanya: mungkin untuk menumbuhkan
kesadaran para pembacanya, atau bisa juga untuk menunjukkan
berbagai macam distorsi yang selama ini disebabkan riset-riset yang
bersifat androsentris.
Diambil dari tulisan Saparinah Sadli, “Studi Wanita: Pengembangan dan
Tantangannya”, di Jurnal Stri, Jurnal Studi Wanita Vol. 1. No. 1, Januari 2002, hal. 123.
Yayasan Jurnal Perempuan
Mengundang anda penerbit
buku-buku berperspektif gender
untuk bergabung menjadi
Supplier Toko Buku
“Perempuan”
Alamat:
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)
Fax (021) 8302434
e-mail : [email protected]
Hubungi:
Wawan ([email protected])
(Bagian Pengembangan Produk)
Jurnal Perempuan 48
95
• Wawancara •
Kristi Poerwandari
Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Wanita Universitas
Indonesia:
“Membaca Kisah
Lady Di
dengan Metode
Penelitian Feminis”
Ketika jurnalis Jurnal Perempuan, Henny Irawati, bertanya
tentang Metodologi Penelitian Feminis, Kristi
Poerwandari yang saat ini menjabat Ketua Program Studi
Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia
menjawab dengan kisah tragis Lady Di. Siapa tak kenal
Lady Di atau Putri Diana dari Kerajaan Inggris ini?
Sebagian besar masyarakat dunia, mungkin,
bahkan memujanya. Apa pasal Kristi
Poerwandari yang juga Dosen Psikologi ini
mengaitkan kedua hal tersebut? Berikut
perbincangan mengenai Metodologi
Penelitian Feminis bersama Kristi
Poerwandari, suatu siang, di
kantornya.
Foto: Dok. YJP
96
Jurnal Perempuan 48
• Wawancara •
Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana kisah Lady Di ini bermula?
Kristi Poerwandari (KP): Waktu itu Lady Di meninggal. Di Fakultas
Psikologi, dalam pertemuan yang biasa kami buat sebulan sekali ada
satu Bapak menyatakan keinginannya membuat kajian tentang Lady
Di. Kemudian dibuatlah kajian tentang Lady Di menggunakan metode
yang sangat psikologis. Bahwa dia (Lady Di – red.) lahir dari keluarga
yang broken sehingga masuk kategori orang yang “bermasalah”, yang
dijelaskan secara mendetail, yang menurut aku masuk akal. Lalu dia
berkomentar begini, “Sayang sekali kemudian dia selingkuh.” Seketika
para perempuan yang berada dalam pertemuan itu protes. Kenapa
itu dipermasalahkan? Bukankah suaminya yang lebih dulu
berselingkuh? Begitu tanya saya. Kok tidak dipersoalkan suaminya
yang selingkuh duluan? Bapak itu menjawab, “O iya benar, suaminya
itu selingkuh. Tapi sebagai pria, kalau kita selingkuh bukan berarti
kita mengharapkan istri kita juga selingkuh.”
Ini standar ganda. Orang sering tidak ngeh tentang hal-hal seperti
itu. Kalau kita ingin orang paham Kajian Feminis atau Metode
Penelitian Feminis, kita harus bantu. Ada yang salah dengan kajiankajian yang konvensional itu. Kajian yang maskulin itu misalnya,
mengapa sensus hanya diwakili kepala keluarga? Mengapa kepala
keluarga harus laki-laki? Mengapa dalam sensus bencana itu yang
selalu dihitung 2000 KK. Aneh kan? KK? KK itu singkatan apa sih?
Kartu Keluarga? Kepala Keluarga? Itu sudah menunjukkan bias.
(JP): Jadi, kalau Metode Penelitian Feminis itu bagaimana?
(KP): Metodologi penelitian itu lain, menurut saya. Dia menunjukkan
karakteristik akademik suatu kajian, suatu lembaga. Bagaimana orang
bisa mengambil kesimpulan dari suatu fenomena? Bagaimana orang
bisa mengambil kesimpulan konseptual? Misalnya ada satu
perempuan mengalami sexual abuse di kantor, tidak bisa kemudian kita
simpulkan semua perempuan mengalami diskriminasi di dunia kerja.
Kalau saya lihat, penelitian itu punya ciri khas dalam mengumpulkan data atau mengambil kesimpulan. Kalau kita berbicara tentang
metode penelitian feminis berarti sejak awal kita tertarik pada topik,
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan, sampai mengumpulkan
konsep-konsep, kita mesti paham akan teks feminisnya. Sederhananya, itu memberdayakan perempuan.
Jurnal Perempuan 48
97
• Wawancara •
Metode Penelitian Feminis itu sangat kaya, tidak standar. Berbeda
dengan penelitian konvensional. Kalau yang konvensional itu standar:
wawancara, observasi untuk penelitian kualitatif, untuk yang
kuantitatif bikin kuesioner, skala.
(JP): Pada mulanya, bagaimana metode penelitian feminis ini muncul?
(KP): Sebenarnya, di dunia universitas atau di dunia akademik, tatanan
ilmu pengetahuan itu androsentris, berpusat pada kepentingan lakilaki. Contohnya, bias-bias yang ada di psikologi. Dulu, orang meneliti
pria, kemudian hasilnya digeneralisasi untuk perempuan. Atau
karena peneliti di zaman dulu banyak laki-laki, masalah-masalah
atau penelitian yang dikembangkan selalu yang menarik buat mereka
dan tidak mengakomodasi kepentingan kita. Artinya, yang penting
buat kita, mereka anggap tidak penting. Kekerasan terhadap
perempuan dan anak, misalnya, mereka selalu melihat bahwa dalam
diri perempuan dan anak tersebut memang ada karakteristik tertentu
yang menyebabkan orang ingin melakukan kekerasan, they blamed the
victim. Itu yang namanya perspektif. Bisa saja topiknya sama,
kekerasan terhadap perempuan dan anak, tapi cara memaknainya
berbeda. Cara mengajukan pertanyaannya juga berbeda. Misalnya,
“Hal-hal apa dalam diri perempuan yang menyebabkan ia cenderung
rentan kekerasan?” Itu kan pertanyaan yang malah menyalahkan
korbannya. Berbeda dengan, misalnya, kalau kita menanyakannya
begini, “Hal-hal apa yang melatarbelakangi pelaku melakukan
kekerasan seksual?”
Berbicara mengenai sejarah, pertama, di dunia akademik itu
penelitinya banyak yang berjenis kelamin laki-laki. Topik-topik yang
dikembangkan adalah topik yang mereka anggap penting. Contohnya
dalam ilmu psikologi, post power syndrome. Hal seperti itu penting
untuk perempuan tapi tidak terpikir oleh mereka. Jadi, cara
memandangnya pun bias kepentingan. Ada banyak kritik untuk
penelitian akademik yang konvensional, misalnya, gender tidak dilihat
sebagai alat analisis yang penting. Orang melihat gender itu dengan
pikiran, ya udah begitu aja. Mereka tidak menyadari ada ketidakseimbangan posisi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat.
Ini tidak mereka anggap sebagai kondisi yang bisa menjelaskan suatu
masalah. Kritik yang lain, ada standar ganda dan stereotip pada laki98
Jurnal Perempuan 48
Foto: Dok. YJP
• Wawancara •
Sedikit orang yang sungguhsungguh memiliki perspektif
feminis di bidangnya. Artinya,
cukup banyak akademisi yang
menganggap itu tidak perlu, atau
tidak mengerti kemudian
menolak, atau tidak mengerti
dan menganggap tidak perlu.
Jadi dia tidak mengerti, atau
mungkin dia merasa sudah tahu.
Dia berpikir, “Ah, sudah tahu.”
laki dan perempuan. Misalnya masalah seksualitas, mengapa orang
mempermasalahkan perempuan harus perawan atau tidak, sementara
laki-laki tidak dipertanyakan masih perjaka atau tidak? Perempuan
yang tidak “perawan” dilihat masyarakat “bukan perempuan baikbaik”, sebaliknya keperjakaan tidak pernah dipakai sebagai alat
evaluasi. Semua itu masuk dalam penelitian tanpa disadari oleh orang.
(JP): Siapa yang membidani Metode Penelitian Feminis?
(KP): Sebenarnya tidak ada. Berkembang sendiri-sendiri di ilmu yang
berbeda-beda. Kalau kita baca, misalnya, buku Shulamit Reinharz1
yang diterjemahkan oleh Woman Research Institute, dia bicara tentang
metode-metode feminis di berbagai bidang ilmu yang berkembang
dengan cara yang berbeda. Kelompok perempuan akademisi merasa
tidak puas dengan perkembangan ilmu yang ada, merasa perempuan
tidak terwakili secara benar, digambarkan secara salah atau distorsif
(melenceng dari yang sesungguhnya – red.), karena itu mereka
melakukan penelitian di bidang kajian mereka masing-masing antropologi, sosiologi, sastra. Saya tidak berani mengatakan ada yang
khusus membidani metode itu. Muncul begitu saja gerakan di masingmasing ilmu, kemudian mereka mengembangkannya.
(JP): Saat ini, sudah sampai sejauh mana perkembangan metodologi penelitian
feminis?
(KP): Saya tidak berani menggeneralisasi. Kalau pada penelitian yang
kualitatif, sifatnya lebih pada pendekatan penelitian, itu menurut saya.
Jurnal Perempuan 48
99
• Wawancara •
Penerimaan berbagai pihak sudah lebih baik sekarang tapi penelitian
kualitatif tidak otomatis menjadi feministik meskipun pendekatan yang
feminis itu dekat dengan yang kualitatif. Pendekatan kualitatif
cenderung bertanya secara dalam, mencoba menghayati, mencari tahu
penghayatan si perempuan itu, melihat inter-relasinya dengan orangorang yang terlibat dengan dia. Kompleksitas akan tertangkap dengan
memakai pendekatan seperti itu. Di beberapa tempat, metodologi
penelitian feminis sudah diterima lebih baik. Tapi saya rasa memang
masih perlu banyak diperjuangkan. Di dunia akademik itu sering
dipertanyakan, “Kajian Wanita? Apakah itu kajian akademis? Bukan
satu gerakan politis saja? Apakah itu satu bidang akademik yang
mapan?” Menurut mereka Kajian Wanita sekedar advokasi untuk
pemberdayaan perempuan.
(JP): Bagaimana pemetaan peneliti atau akademisi yang sudah berperspektif gender?
(KP): Sedikit orang yang sungguh-sungguh memiliki perspektif feminis
di bidangnya. Artinya, cukup banyak akademisi yang menganggap
itu tidak perlu, atau tidak mengerti kemudian menolak, atau tidak
mengerti dan menganggap tidak perlu. Jadi dia tidak mengerti, atau
mungkin dia merasa sudah tahu. Dia berpikir, “Ah, sudah tahu.”
Tapi kalau kita diskusi, kita akan melihat masih ada bias dalam
pemikirannya. Sayangnya, dia tidak menyadari itu. Seperti itu cukup
sering terjadi.
(JP): Apa argumen mereka?
(KP): Sains atau ilmu pengetahuan itu dianggap harus objektif, terukur,
tidak berpihak, netral, dan sebagainya. Sementara orang yang
mengklaim dirinya netral, sangat mungkin dia tidak netral.
Memangnya ada orang yang netral? Orang selalu mengambil pilihan.
Misalnya, dia bilang dia netral lalu dia ambil pendekatan positivistik
murni. Buat saya, dia tidak netral. Dia mengambil pilihan untuk
berjarak dengan objek penelitiannya, sehingga dalam posisi yang dia
bilang netral itu dia tidak akan paham apa penghayatan-penghayatan
terdalam dari orang ini. Mengapa dia tidak bisa keluar dari
kemiskinannya? Mengapa dia bertahan dalam keterpurukannya,
dalam sebuah relasi abusive (penuh pelecehan – red.). Tapi itulah yang
diyakini cukup banyak, saya tidak bilang semua, akademisi.
(JP): Bagaimana merespons hal tersebut?
100
Jurnal Perempuan 48
• Wawancara •
(KP): Saya pribadi coba berkompromi. Saya akan menunjukkan bahwa
Kajian Perempuan dengan metodologinya adalah suatu bidang yang
sangat akademik, sangat penting, dan sangat sulit. Pada mereka yang
suka bilang, “Oh, Kajian Wanita, kapan dibuat Kajian Laki-laki?”
Supaya saya bisa diterima sebagai peneliti kajian yang baik
tampaknya masyarakat butuh memperoleh bukti terlebih dahulu
bahwa saya adalah akademisi “yang baik”. Saya menulis buku tentang
penelitian kualitatif, hal-hal yang umum, sehingga orang berpikir
bahwa saya itu peneliti yang baik. Dengan begitu, saya bisa
menjalankan dua-duanya. Secara tidak langsung saya mengajak orang
untuk menyadari, “Eh, iya ya. Ternyata, misalnya, terapi yang
femininistik dan terapi yang tidak femininistik itu berbeda.” Orang
kemudian mengerti.
Cara yang lain, saya mencoba menjawab kritikan mereka. Saya
melihat kritik-kritik itu secara positif, semoga. Pertama, saya akan
masuk ke bahasanya. Saya akan melihat apa yang kurang dari cara
pikir kita. Tapi juga, menurut cara pikir kita sendiri, mereka kurang
atau tidak? Mengapa kita mengambil pendekatan seperti ini? Saya
akan jawab kita tidak bisa memakai model evaluasi yang kamu
lakukan, karena fenomena yang diteliti itu berbeda paradigma. Kita
pergunakan bahasa dia dulu, lalu kita mencoba memahami. “Oke,
kamu mengkritik kita karena cara yang begini, kamu menganggap
penelitian kami seperti ini. Saya paham kritik kamu tapi sekarang
kami akan membawa kamu pada penelitian kami yang dinamis, yang
tidak bisa dilihat secara mekanik. Jadi, yang kamu pakai itu tidak bisa
saya pakai karena standar yang kami pakai yang ini.”
(JP): Misanyal kita ingin mempelajari satu kajia, yang kita tahu masuk ke ranah
maskulin, tapi kita tetap ingin menggunakan perspektif gender, bagaimana?
(KP): Kajian Perempuan akan membuka kekurangan-kekurangan apa
yang ada di kajian yang konvensional itu. Di mana letak kesalahankesalahannya? Bagaimana penyimpulan yang dilakukan? Modelmodel standar ganda apa yang berlaku? Standar ganda itu tidak boleh
mewarnai pemikiran peneliti. Kalau tidak, hasilnya, ya, seperti Bapak
itu tadi. (Henny Irawati)
1
Shulamit Reinharz, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Jakarta, Women
Research Institute, 2005.
Jurnal Perempuan 48
101
kristeva-www.transfinito.net
• Tokoh
• Topik
Perempuan
Empu • •
Katakan dan Lawan:
Bahasa dan Perjuangan Feminisme
dalam Teori Julia Kristeva
Indah Lestari
N
ama Julia Kristeva sering disebut sebagai salah satu dari trio
French Feminists, bersama Hélène Cixous dan Luce Irigaray.
Secara intelektual ia memang dibesarkan di Prancis, walaupun
sebenarnya ia lahir tahun 1941 di Bulgaria dan baru pindah ke Paris
tahun 1966. Ia cepat membuktikan kecemerlangan pikirannya, misalnya
dengan menerbitkan esei Pour une Sémiologie des Paragrammes (1969) di
Tel Quel, salah satu jurnal garda depan terkemuka Prancis. Tel Quel juga
menerbitkan karya pemikir-pemikir Prancis lain seperti Roland Barthes,
Jacques Derrida, dan Gérard Genette. Ketika itu Strukturalisme,
pendekatan akademis yang menelusuri elemen-elemen dasar dari
terbentuknya struktur dan kemudian terciptanya makna, sedang chic.
Jurnal Perempuan 48
103
Indah Lestari
www.sigu7.jussieu.fr
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan
Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Roland Barthes, salah satu gembong Strukturalisme, malah menjadi
mentor Kristeva. Tahun 1974-1977 ketertarikan Julia Kristeva beralih lagi
dari linguistik/semiotik ke psikoanalisis dan feminisme.
Landasan Semiotik
Dari teori linguistik Saussure, kita tahu bahwa bahasa mempunyai
dua sisi, penanda dan petanda. Benda atau hal yang diwakili bahasa
adalah petanda, sedangkan katanya adalah penanda. Hubungan antara
acuan dan simbol ini semena-mena. Semiotik mempelajari bahasa
sebagai wacana yang diucapkan seseorang. Dengan itu ia dapat melihat
keragaman bahasa, berbeda dengan strukturalisme yang menempatkan
bahasa sebagai struktur homogen. Tetapi semiotik sebagai metabahasa
(membahas bahasa dengan bahasa), menyamaratakan segala bahasa
ketika mereka menjadi objeknya. Menurut Kristeva, dilema ini justru
menumbuhkan kreativitas yang tak pernah (bisa/boleh) berhenti sebab
seorang peneliti akan dituntut untuk berjarak dengan posisinya sendiri
dan posisi itu harus selalu diperbaharui dengan keragaman bahasa.
Ketertarikan Kristeva adalah produksi wacana seperti ini, yang selalu
menentang kebuntuan bahasa (yang tunduk, sekaligus subversif, pada
hukum), yang berani memikirkan bahasa untuk menentang bahasa itu
sendiri dan dengan demikian memposisikan dirinya di suatu tempat
yang labil.
104
Jurnal Perempuan 48
Indah Lestari
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan
Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Psikoanalisis & Bahasa
Konsep penanda dan petanda dalam bahasa bisa kita temukan dalam
teori Jacques Lacan yang menghubungkan teori psikoanalisis Sigmund
Freud dengan bahasa. Freud mengangkat peran ketaksadaran manusia
dalam menyimpan dan menentukan tindakannya. Kesadaran hanyalah
‘pucuk gunung es’, sebagian kecil dari psike manusia yang terdiri dari
id, ego, dan super-ego. Id bahkan sepenuhnya bersembunyi dalam
ketaksadaran.
Kalimat Lacan yang paling terkenal “the unconscious is structured like a
language”, “struktur bahasa adalah struktur ketaksadaran”, membawa
kita ke ranah bahasa. Ketika anak akhirnya bisa menyebut dirinya ‘aku’,
membedakan dirinya dari orang lain dan memilih identitasnya, ia
memasuki tatanan simbolik. Ia menjadi subjek yang berbicara. Menjadi
penanda berarti menjadi bukan petanda. Kristeva menerima konsep teori
Lacan tentang Tatanan Simbolik Falosentris dan menyarikan bahwa
perempuan tak punya akses ke bahasa.
Kemudian dalam disertasinya La Révolution du langage poétique,
(Revolusi Dalam Bahasa Puisi), Kristeva mengubah psikoanalisa Lacan
tentang Tatanan Imajiner dan Simbolik menjadi Semiotik dan Simbolik.
Semiotik di sini lain dengan semiotik yang mempelajari tanda. Semiotik
yang dikontraskan dengan Simbolik ini mencakup bahasa rangsangan,
impuls, erotik, ritme tubuh, gerakan-gerakan yang masih tersimpan dari
tahapan kanak-kanak.1 Semiotik berhubungan erat dengan tubuh
maternal/keibuan, sumber awal irama, nama, dan gerak manusia.
Dalam Powers of Horror, Kristeva menulis bahwa identitas seksual
anak secara spesifik dibentuk melalui perjuangan untuk lepas dari tubuh
ibu. Anak laki-laki bukan menolak tubuh ibu melainkan meng-abjekkannya. Abjeksi berarti mengobjekkan seseorang menjadi sesuatu yang
menjijikkan (tinja, darah, lendir). Sebaliknya, semakin anak perempuan
mengidentifikasi dirinya dengan tubuh ibunya, dia semakin sulit
menolak atau mengabjekkannya.2
Perjuangan Feminisme
Pandangan feminis Kristeva terangkum di eseinya, “Women’s Time”
(1979). Menurutnya ada tiga tahap feminisme. Tahap-tahap ini tidak
diurutkan berdasarkan waktu melainkan pola pikir, sehingga mereka
bisa tumpang-tindih atau maju-mundur.
Jurnal Perempuan 48
105
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan
Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Indah Lestari
Tahap pertama feminisme menginginkan kesetaraan di segala hal,
memperjuangkan hak pilih, persamaan upah, dll., dan mengabaikan
perbedaan jenis kelamin. Feminisme liberal ini mendambakan
masyarakat androgini, percampuran antara feminin dan maskulin.
Tahap kedua gerakan feminisme (muncul setelah tahun 1968)
menginginkan bahasa yang khas perempuan. Bahasa untuk pengalaman
intrasubjektif yang dibungkam budaya masa lalu, wacana yang lebih
dekat dengan tubuh dan emosi. Kristeva tidak setuju dengan ide écriture
féminine atau parler femme (penulisan feminin/tuturan perempuan) yang
banyak dibahas Cixous dan Irigaray. Ia menolak mendefinisikan
‘perempuan’ jika perempuan semata diposisikan sebagai lawan lakilaki secara biologis atau esensialis.
Di tahap kedua ini juga muncul paham feminisme radikal yang ingin
membangun ‘masyarakat perempuan’ sebagai tandingan masyarakat
patriarki. Feminisme jenis ini menekankan perbedaan intrinsik
perempuan dari laki-laki: jenis kelaminnya. Bagi feminisme radikal,
perempuan harus merebut kembali kuasa atas tubuh mereka sendiri. Di
masyarakat perempuan ini, jouissance atau kenikmatan feminin mereka
dijunjung. Jalan keluar dari patriarki dirintis melalui seksualitas lesbian
dan menjadi ibu. Tetapi menurut Kristeva, feminisme macam ini menjadi
sejenis seksisme, hanya bentuknya saja yang lain.
Kristeva juga mengkritik feminisme eksistensial (dan tokohnya seperti
Simone de Beauvoir) dan penolakan terhadap motherhood atau keibuan.
Dalam patriarki, perempuan direduksi hanya sebagai ibu yang
menjalankan fungsi reproduksi. Tetapi menurut Kristeva, reproduksi
juga bisa berbentuk penciptaan literer. Sastra bisa menguak pengetahuan
tertentu dan terkadang kebenaran tentang semesta yang terepresi, gelap,
rahasia, dan tak sadar—yang tidak pernah muncul dalam wacana
maskulin. Sastra menjadi ruang imajinasi dan kenikmatan dengan
mempermainkan tanda-tanda sosial yang menekan. Tapi Kristeva
mengakui bahwa penulis laki-laki pun menebar mode bahasa ini.
Semiotik memang tampak pada puisi Sylvia Plath, namun juga pada
novel Marcel Proust atau James Joyce. Teks semacam ini merombak
wacana falogosentris (teks yang falosentris, falus yang logosentris) dan
menawarkan subjektivitas yang selalu berproses.
Kristeva mendukung tahap ketiga feminisme yang mepertimbangkan
kembali identitas dan perbedaan, dan hubungan antara keduanya. Ini
106
Jurnal Perempuan 48
Indah Lestari
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan
Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
kristeva.blogs.com
pengaruh teori dekonstruksi Derrida yang mengemukakan bahasa
bergantung pada différance, istilah yang ia ciptakan sendiri untuk
menerangkan bahwa makna adalah hasil perbedaan (difference) antara
penanda sekaligus penundaan (deferral). Dengan ini penandaan menjadi
fleksibel dan makna beragam, tak bisa dipatok, sebab pembentukan
makna menjadi proses yang tak pernah berakhir. Kristeva lalu
mempertanyakan apa itu ‘perempuan’. Penanda ‘perempuan’ bisa
berarti macam-macam, tergantung pada konteks dan terbuka pada
pembacaan dan penafsiran ulang.
Pada tahap ini feminisme mulai sadar akan keragaman latar budaya
dan ras. Ia mulai menolak mengutamakan identitas di atas perbedaan
atau sebaliknya; feminisme menjelajahi identitas ganda, termasuk
identitas seksual. Sebab “apa artinya identitas, bahkan identitas seksual
dalam lingkup teoretis dan ilmiah jika identitas itu sendiri dipertanyakan?” tanya Kristeva dalam “Women’s Time”. Kristeva mengajukan
bahwa seksualitas beragam, sebanyak individu yang ada.
Representasi gender maskulin dan feminin sehari-hari ditampilkan
di media yang selalu kita temui, berita, iklan, film. Di area produksi
kultural, perempuan mulai bangkit aktif menghasilkan karya sastra.
Menulis adalah jalan untuk mendefinisikan ragam femininitas, peran
Jurnal Perempuan 48
107
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan
Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Indah Lestari
sosial, dan makna pengalaman perempuan yang spesifik dari segi sejarah
dan konteks lain. Tulisan bisa berarti suatu makna dan relasi kuasa
tertentu. Lalu mengapa sastra?
Kristeva menjawab dengan bertanya:
Apakah karena, di bawah pelototan norma-norma, sastra
mengungkap sebuah kenyataan, bahkan kebenaran itu
sendiri, tentang jagat yang selama ini tertekan, gelap,
rahasia, dan tak sadar akan dirinya sendiri? Karena ia
menggandakan kontrak sosial dengan cara mengatakan
yang tak dikatakan, yang aneh? Karena ia bermain-main
dengan abstraksi, menyulapnya jadi sumber kenikmatan
dan fantasi?
Pemikiran-pemikiran Kristeva berkembang sesuai waktu dan
subjektivitasnya.3 Setiap teori pasti memiliki kelemahan sehingga terbuka
terhadap kritik dan pendefinisian ulang. Namun pandangan Kristeva
tentang ‘perempuan’, feminisme, dan bahasa bisa menjadi pelajaran dan
pijakan untuk feminisme generasi sesudahnya.
Catatan Belakang
1
Okke K.S. Zaimar, “Julia Kristeva (1941): Penggagas Sémanalyse dan Intertekstualitas”
dalam Apsanti Sjokosujatno (ed.), Wanita dalam Kesusastraan Prancis, Magelang,
Indonesiatera, 2003, hal. 199.
2
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction,
Colorado, Westview Press, 1998, hal. 206.
3
Karya-karya Kristeva antara lain Semeiotike: recherches pour une sémanalyse (1969)
dan Polylogue (1977), yang sebagian diterjemahkan menjadi Desire in Language: A
Semiotic Approach to Literature and Art (1980). Tulisan lainnya: Des Chinoises
(1974; About Chinese Women), Au commencement était l’amour: psychanalyse et foi
(1985; In the Beginning Was Love: Psychoanalysis and Faith), Soleil noir: dépression
et mélancolie (1987; Black Sun: Depression and Melancholia), dan Étrangers à
nous-mêmes (1988; Strangers to Ourselves). Novel semiautobiografisnya antara lain
Les Samouraïs (1990; The Samurai), tentang unjuk rasa mahasiswa di akhir 1960an,
dan Le Vieil Homme et les loups (1991; The Old Man and the Wolves) dengan tokoh
Stephanie Delacour, seorang jurnalis Prancis, sebagai alter-ego Kristeva. The Kristeva
Reader, diedit oleh by Toril Moi, terbit pada tahun 1986 and The Portable Kristeva
pada 1997.
108
Jurnal Perempuan 48
Pandu
a
pentingnya
gerakan penyadaran
kesetaraan perempuan
dalam media...
[
Seri
Pemberdayaan
Perempuan
n Unt
uk J u
r nalis
]
Harga satuan Rp. 15.000
Harga paket (3 buku) Rp. 40.000
Dapatkan Buku Terbaru Yayasan Jurnal Perempuan
MENDENGARKAN PEREMPUAN
Dalam Program Radio Jurnal Perempuan, telah banyak
sekali isu-isu yang berkaitan dengan perempuan diangkat.
Di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap
perempuan baik ruang publik maupun domestik, tingginya
angka kematian ibu melahirkan dan praktek trafiking
(perdagangan perempuan dan anak) serta masih kerap
terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan, Radio Jurnal
Perempuan eksis untuk menjalankan fungsi raising
awareness (membangkitkan kesadaran masyarakat) akan
pentingnya penghormatan hak-hak perempuan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi
Bagian Pemasaran Yayasan Jurnal Perempuan
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Telp.
: (021) 8370 2005
Fax
: (021) 830 2434
E-mail
: [email protected]
whatnow.intrasun.tcnj.edu
• Kata dan Makna •
Kata dan Makna
Androcentric (Androsentris)
Berpusat pada laki-laki. Kata ini diperkenalkan oleh Lester F. Ward
dalam bukunya Pure Sociology, terbit tahun 1903. Menurut Lester, “teori
androsentris melihat jenis kelamin laki-laki sebagai yang terpenting dan
perempuan nomor dua.” Kata ini kemudian dipakai dan dipopulerkan
oleh Charlotte Perkins Gilman, yang memakai “Kebudayaan androsentris
kita” sebagai subjudul bukunya The Man-Made World, terbit tahun 1911.
Sejak itu, kata ini sering digunakan para feminis untuk menunjukkan
keberpihakan pada laki-laki di hampir segala hal. Padanannya adalah
falosentris dan maskulinis.
Jurnal Perempuan 48
111
• Kata dan Makna •
Science (Ilmu Pengetahuan) dan Feminisme
Ilmu Pengetahuan dan feminisme menurut Ruth Hubbard, Mary Sue
Henifin, dan Barbara Fried adalah, “Sebuah konstruksi manusia yang
muncul karena sebuah kondisi sejarah tertentu ketika dominasi lakilaki atas alam masih terlihat sebagai sesuatu yang baik dan perlu
diperjuangkan. Kondisi sekarang sudah berubah, dan kita tahu
perjalanan manusia sekarang mungkin sekali akan menghancurkan alam
daripada melestarikan atau memperbaikinya. Perempuan sudah sering
menyadari, lebih daripada laki-laki, bahwa kita adalah bagian dari alam
dan nasibnya ada di tangan-tangan manusia yang sering tidak peduli.”
Donna J. Haraway menyebutnya sebagai “sumber daya feminis”, tapi
Hugh Drummond malah berpikir ilmu pengetahuan “seperti cerita
khayalan tentang mengejar mimpi muluk .... Kenyataannya, di Harvard
dan di manapun, ilmu pengetahuan tergenggam erat di tangan laki-laki,
sementara perempuan, bersama dengan si miskin dan si hitam, biasanya
diteliti dan tak pernah meneliti.”
Virginia Woolf dengan sinis berkata, “Ilmu pengetahuan, kelihatannya, bukannya tak berjenis kelamin; dia laki-laki, seorang ayah, dan
kena sifilis pula.”
Menurut Barbara du Bois ilmu pengetahuan cenderung “melayani dan
menguatkan nilai-nilai sosial dan konsep-konsep kenyataan yang terlanjur
dominan – sesering bahkan lebih sering daripada menentang mereka.”
Ilmu pengetahuan juga bisa rasis. Carol Lee Sanchez keras
mengatakan, “Ilmu pengetahuan kulit putih mempelajari barang-barang
mati dan menciptakan racun-racun untuk membunuh dan menyiksa
binatang maupun manusia. Kalian menganggap itu kemajuan. Orang
Indian menganggapnya gila. Ilmu pengetahuan kami mempelajari
makhluk-makhluk hidup; bagaimana mereka bergaul dan bagaimana
mereka menjaga hidup yang seimbang. Ilmu pengetahuan kalian tidak
peduli – bahkan tidak percaya – tentang dunia roh: ilmu pengetahuan
kami percaya dan selalu berhubungan dengannya.”
Scientific Method (Metode Ilmu pengetahuan)
Judith Johnson mengkritik bahwa kebanyakan metode dalam ilmu
pengetahuan “tidak lebih dari menggunakan beberapa prinsip akal sehat
yang kita pakai sehari-hari secara lebih sistematis. Prinsip-prinsip ini
tidak bebas bias .... Siapapun, asal punya akal sehat pasti bisa melihat
112
Jurnal Perempuan 48
• Kata dan Makna •
pekerjaan ilmu pengetahuan yang buruk, asal pekerjaan itu dijelaskan
dengan jernih, dan asal ada cukup informasi supaya kita bisa menilainya.
Kebanyakan laporan tentang penelitian ilmu pengetahuan di media
massa tidak memenuhi kriteria-kriteria ini; biasanya, mereka hanya
mendaftar kesimpulan dan spekulasi ilmuwan-ilmuwan yang
mendukung status quo.”
Scientist (Ilmuwan)
Evelyn Fox Keller melihat ilmuwan seperti ini: “Seorang peneliti yang
menganggap problem sebagai “sesuatu yang harus ‘diserang’,
‘dihantam’, atau ‘ditaklukkan.’ Kalau tidak ada cara lain, ya kita harus
pakai ‘kekuatan brutal’, angkat ‘palu dan linggis’. Untuk ‘menakodai’
alam, untuk ‘menyerbu markas dan bentengnya,’ ilmu pengetahuan
kadang-kadang terdengar seperti medan perang. Kadang-kadang,
gambar-gambar itu jadi begitu parah, lebih parah daripada gambar
perang sebenarnya.” June Goodfield mengusulkan, untuk penelitian ilmu
pengetahuan “analogi paling tepat adalah cinta.” Katanya, “Kalau anda
benar-benar ingin tahu tentang tumor, anda harus jadi tumor.” Melihat
ilmu pengetahuan sebagai “memborgol alam dan menyiksanya sampai
mengaku” adalah sebuah bentuk pemerkosaan.
Sexism (Seksisme)
Kata yang dianalogikan dengan rasisme, pertama kali digunakan
tahun 1968 di Amerika dalam Gerakan Pembebasan Perempuan (Women’s
Liberation Movement), sekarang sudah jadi istilah umum.
Bisa didefinisikan sebagai sistem dan perbuatan yang mendiskriminasi seseorang berdasarkan jenis kelaminnya. Khususnya, kata ini berarti
prasangka tak adil terhadap perempuan, upaya memberi label negatif
atau stereotip terhadap perempuan, pendefinisian perempuan menurut
ketersediaan seksual dan penampilan mereka di mata laki-laki
(objektifikasi), dan semua asumsi baik sadar maupun tidak sadar yang
menyebabkan perempuan tidak diperlakukan sebagai manusia sepenuhnya, sementara laki-laki dianggap sebagai manusia yang sesungguhnya.
Walaupun laki-laki juga mengaku sebagai korban seksisme, baik
dalam hubungan pribadi maupun sebagai dampak program-program
affirmative action, kasus-kasus ini adalah contoh ‘inverse sexism’ (seksisme
terjungkir) atau ‘reverse sexism’ (seksisme terbalik), dan sebenarnya
Jurnal Perempuan 48
113
• Kata dan Makna •
merupakan reaksi terhadap seksisme terinstitusi yang menjajah semua
perempuan.
Seperti rasisme, seksisme juga menganggap ada superioritas yang
secara esensi bisa dilihat secara fisik. Tingkah laku seksis tidak perlu
pembenaran karena laki-laki dianggap secara alami lebih baik daripada
perempuan: dominasi laki-laki juga dilihat sebagai sesuatu yang alami,
dan karena itu, benar.
Dulu, seksisme ada tapi tidak bernama. Istilah ‘dominasi laki-laki’
fungsinya untuk menggambarkan kenyataan ini tanpa mengkritiknya.
Feminisme, dengan memberi nama seksisme, membuat seluruh sistem
ini menyolok mata dan karena itu lebih gampang untuk diubah.
Banyak teori berbeda-beda tentang seksisme, kebanyakan berdasar
pada perbedaan biologis yang menalikan perempuan dengan proses
reproduksi. Tentu saja laki-laki tidak mengalami ini. Beberapa feminis
radikal, seperti kebanyakan laki-laki seksis, menganggap dominasi lakilaki sebagai mandat biologis, sehingga satu-satunya jalan bagi
perempuan untuk bebas adalah melalui separatisme atau memisahkan
diri dari laki-laki. Lainnya, seperti Shulamith Firestone dan Marge Piercy,
berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki baru akan bebas dari tirani
sex-roles setelah tali antara jenis kelamin dan reproduksi telah diputuskan
oleh teknologi reproduksi mutakhir yang akan membebaskan perempuan
dari kewajiban hamil.
Juliet Mitchell, Nancy Chodorow, dan Dorothy Dinnerstein adalah
nama-nama paling terkenal yang menghubungkan kelatenan seksisme
bukan dengan biologi, melainkan sosiologi. Dinnerstein berteori bahwa
karena pengasuh utama hampir semua bayi adalah perempuan, maka
anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, memecahkan masalah
ambivalensi atau kebingungan mereka pada figur ibu dengan menolak
otoritas perempuan dan meminta perlindungan laki-laki. Untuk
mendobrak pola pikir ini, psikologi manusia harus diubah dengan
memulai sistem pengasuhan anak yang baru yang melibatkan laki-laki
dan perempuan secara seimbang.
Dalam bukunya Woman’s Creation, Elizabeth Fisher berargumen
bahwa seksisme, atau ‘domestifikasi perempuan’ menyusul setelah
domestifikasi binatang: bahwa saat manusia mulai memelihara binatang
(mungkin salah satu bentuk terawal dari hak milik pribadi) dan
mengembangbiakkan mereka, laki-laki mulai punya keinginan untuk
114
Jurnal Perempuan 48
• Kata dan Makna •
www.n8w.com
‘memiliki’ anak dan, sama dengan yang mereka lakukan pada binatang
yang mereka piara, mulai mengontrol kemampuan reproduksi
perempuan dengan mewajibkan perempuan menjaga kesucian dan
menekan nafsu seks.
Mereka yang menganggap seksisme sebagai paksaan kultural
menganjurkan reformasi hukum,
pendidikan, dan hubungan personal
yang sedikit demi sedikit akan
menghilangkan sex-roles yang rigid,
yang menjadi sebab sekaligus akibat
dari seksisme. Feminis Marxis dan
sosialis biasanya percaya bahwa
seksisme baru bisa dihilangkan
kalau sistem kelas dan kapitalisme telah tumbang.
Tapi, walaupun mereka banyak berbeda dalam soal teori bagaimana
seksisme muncul dan bagaimana ia dapat dihilangkan, semua feminis
setuju bahwa seksisme adalah sebuah kejahatan, dan bahwa feminisme
ada untuk memeranginya.
Theory (Teori) Feminis
Aslinya, dan biasanya, berarti “cara memandang, cara melihat,
sebuah perenungan.” Oxford English Dictionary selama beberapa abad
terakhir telah mencatat beberapa arti: (1) spekulasi, penglihatan,
tontonan; (2) gambaran mental; (3) konsep atau skema sesuatu yang
harus dilakukan, sebuah metode; (4) pernyataan sistematis tentang
peraturan dan prinsip-prinsip; skema atau sistem ide-ide atau
pernyataan tentang fakta atau fenomena; hipotesis yang didukung atau
dibuktikan oleh observasi atau eksperimen; pernyataan hukum-hukum,
prinsip, atau sebab umum; (5) abstraksi, kontras dengan praksis; (6)
spekulasi, dugaan, ide, dan pandangan atau pendapat individu. Istilah
feminist theory digunakan dalam berbagai cara yang mengambil artinya
dari semua definisi-definisi di atas, kadang sebagai penanda prinsipprinsip umum yang mencoba menjelaskan penjajahan universal terhadap
perempuan, kadang penanda untuk sebuah teori utuh seperti
psikoanalisis, dan kadang untuk formula-formula abstrak yang sama
sekali tidak faktual dan tidak bisa diterapkan. Dalam tulisan-tulisan
Jurnal Perempuan 48
115
• Kata dan Makna •
feminis, teori sering digunakan untuk memeriksa rantaian opresi
berdasar jenis kelamin, gender, ras, kelas, pilihan seksual, asal usul,
dan etnisitas; untuk men-demistifikasi; untuk memberi lebih banyak
perhatian pada pengetahuan subjektif; dan, kalau bisa, untuk
menerangkan pengalaman semua dan setiap perempuan. Ketidaksukaan
feminis pada teori biasanya adalah akibat skeptisisme mereka pada
Received Male Theory, bukan keinginan untuk menolak mungkin karena
kita tidak membuat pernyataan-pernyataan umum tentang pengalaman
perempuan. Tentang hal ini, Paula A. Treichler mengatakan, “Teori
feminis, yang mementingkan pengalaman individu dan bersama
perempuan dan perjuangan politik mereka, mencoba untuk membangun
cerita umum tentang pengalaman mereka dari kasus-kasus tunggal. Kita
masih mencari sifat dan bentuk kasus-kasus ini dan teori macam apa
yang nanti bisa kita buat.”
Frances Power Crabbe menyindir, “Dari semua teori tentang
perempuan sekarang, tidak ada yang lebih aneh daripada teori bahwa
kita perlu membuat teori tentang teori-teori itu. Bahwa perempuan adalah
makhluk domestik, sosial, atau politikal; bahwa dia adalah seorang
‘dewi’, atau sebuah ‘boneka’; ‘malaikat di rumah,’ atau ‘babu’ .... Tapi
karena belum ada yang pernah duduk tenang dan membuat hipotesis
yang sama tentang setengah lagi umat manusia, kita tidak bisa tidak
harus menyimpulkan bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih
misterius daripada laki-laki dan bahwa menurut orang banyak ia
memang terbuat dari semacam plastik, yang membuatnya gampang
dibekuk-bekuk supaya pas dengan teori kita tentang alam dan
peradaban.”
Lain halnya dengan Hillary Rose, “Teori-teori feminis tentang ilmu
pengetahuan adalah bagian dari produksi teori-teori feminis lain. Tidak
seperti pengetahuan ilmu pengetahuan yang abstrak dan asing,
metodologi feminis menggabungkan cara subjektif dan objektif
memandang dunia. Mulai dari dan selalu kembali ke pengalaman
kolektif tentang penindasan.”
Marilyn Frye menganggap teori feminis adalah usaha-usaha untuk
mengindentifikasi dan memasukkan semua aspek penindasan terhadap
perempuan. “Bayangkan sebuah sangkar burung. Kalau anda melihat
dekat-dekat satu kawat saja di sangkar itu, anda tidak akan bisa melihat
kawat-kawat yang lain. Kalau konsep anda tentang apa yang ada di
116
Jurnal Perempuan 48
• Kata dan Makna •
depan mata anda itu ditentukan oleh fokus myopis ini (lensa mata), anda
hanya akan melihat kawat satu itu, naik turun dari atas sampai ke bawah,
dan akan heran kenapa burung itu tidak terbang saja lewat kiri atau
kanan kawat itu dan pergilah ke mana.” Teori feminis mencoba “untuk
secara makroskopis melihat keseluruhan sangkar itu.”
Nancy Hartsock mengatakan, “Teori tidak hanya terlibat dalam
pemahaman kita tentang dunia, tapi pemahaman kita tentang dunia itu
sendiri sebuah pilihan politik juga .... Untuk seorang feminis, teori adalah
penjabaran tentang kegiatannya di dunia nyata. Fungsi teori karena itu
adalah untuk menerangkan apa yan kita tahu tahu tentang kegiatan
kita sehari-hari; untuk mengeluarkan dan menyadarkan filosofi apa yang
terajut dalam hidup kita.”
Nina Baym melihatnya sebagai ‘cara menjaga’. “Teori (literer) feminis
menghadapi penonton para akademis laki-laki bergengsi dan mencoba
mencuri perhatian mereka. Ia berhasil, sejauh yang saya lihat, asal ia
mengacuhkan dan membuang jejak langkah awal studi feminis literer,
menganggapnya ‘naif’ dan mendasarkan teori-teorinya pada teori-teori
lain yang sekarang sedang jadi tren di antara laki-laki yang membuat
teori itu: dekonstruksi misalnya, atau Marxisme. Teori-teori dasar ini
menunjukkan bukan hanya ketakmautahuan tentang tulisan perempuan;
mereka berasal dari diskursus patriarkis, mereka berbau misoginis.
Biasanya, pembuat teori-teori feminis menjewer saudara-saudara mereka
yang melenceng. Feminisme selalu dipecah dua antara pluralis dan
legalis. Para pluralis mengharapkan yang tidak diharapkan, mendukung
perbedaan; legalis mencari posisi yang tepat dan menata rapi perempuan
di situ. Teori memang legalistis; segala macam pelanggaran – salah teori,
kesalahan teoretis, ketakacuhan pada konsekuensi teoritis – sama saja
dengan kejahatan; teori itu seperti polisi.”
Audre Lorde mengatakan tidak masuk akal kalau seorang feminis
membangun sebuah teori menggunakan “alat-alat tuannya”: “Apa
artinya kalau alat-alat patriarki yang rasis digunakan untuk memeriksa
produk patriarki itu sendiri? Ya artinya kalaupun perubahan itu
mungkin dan dibolehkan, pasti akan sangat terbatas sekali.”
(Diterjemahkan oleh Mikael Johani dari Cheris Kramarae dan Paula A. Treichler, A
Feminist Dictionary, Boston dan London, Pandora Press, 1985 dan Lisa Tuttle,
Encyclopedia of Feminism, London, Arrow Books, 1987.)
Jurnal Perempuan 48
117
118
Jurnal Perempuan 48
Foto: Dok. YJP
• Profil •
Saparinah Sadli:
Women’s Studies di Indonesia
Henny Irawati
S
emangat yang membidani lahirnya Kajian Wanita atau Women’s
Studies (bisa juga disebut Kajian Perempuan atau Kajian Feminis)
di Indonesia tidak berbeda jauh dengan semangat bangkitnya
women’s studies di tempat-tempat lain, yakni semangat untuk mengenal
lebih jauh pengalaman kaum perempuan (Indonesia) dan untuk
menjadikan keberadaan kaum perempuan dan kondisi hidupnya lebih
kasat mata. Waktu lahir, women’s studies di Indonesia langsung memasuki
tahap keempat (menurut kategori Bogdon). Tahap ini ditandai ramainya
kegiatan penelitian tentang perempuan dengan fokus gender differences
(perbedaan gender) dan analisis ilmiah dengan perspektif perempuan1.
Tahap ini memang fase yang penting, mengingat penelitian-penelitian
Jurnal Perempuan 48
119
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Henny Irawati
sebelumnya lebih didominasi oleh laki-laki dan topik atau masalah yang
hanya penting untuk mereka. Penelitian-penelitian baru ini akan
menghasilkan berbagai data empiris berdasarkan pilihan topik atau
analisis hasil penelitian yang tidak androsentris (lihat Kata & Makna –
red.)
Permasalahan yang diangkat women’s studies di Indonesia awalnya
dipengaruhi oleh tema-tema dalam seminar yang diadakan menyambut
Dasawarsa Tahun Internasional Wanita pada tahun 1975 di Meksiko.
Saat itu tema-tema yang diangkat secara tidak langsung menyinggung
persoalan kaum perempuan di negara-negara berkembang. Topik yang
paling populer adalah perempuan dan pembangunan. Berdasarkan data
empiris yang didapatkan dari hasil penelitian sejak tahun ’70-an,
ilmuwan perempuan Barat yang aktif dalam gerakan women’s studies
menemukan bahwa banyak program pembangunan di negara
berkembang yang merugikan perempuan. Proses pembangunan
cenderung mengabaikan peran produktif yang secara tradisional telah
dimainkan oleh perempuan.
Dalam tulisannya di Jurnal Stri, Prof. Dr. Saparinah Sadli, yang biasa
disapa Ibu Sap, mencatat adanya beberapa kelompok women’s studies
yang berkembang di beberapa universitas. Mereka tergabung dalam
lembaga-lembaga tertentu seperti Lembaga Kependudukan Universitas
Gajah Mada, Lembaga Riset Universitas Brawijawa, dan Lembaga Riset
Universitas Hasanuddin. Perkembangan ini didukung ketentuan GBHN
1988 tentang perlunya didirikan Pusat Studi Wanita.
Kajian Wanita
Di Universitas Indonesia, pada tahun 1989 Prof. Dr. Sujudi, Rektor
UI waktu itu, menggagas berdirinya studi wanita di tingkat Pascasarjana
dengan nama Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas
Indonesia (selanjutnya disebut Kajian Wanita). Satu keputusan yang
menurut Ibu Sap sendiri tidak mengejutkan. Sejumlah dosen perempuan,
yang telah lama merintis mata ajaran pilihan seperti Wanita dan
Pembangunan di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dan
Psikologi Wanita di Fakultas Psikologi, menyambut hangat terobosan
ini. Dukungan penuh juga diberikan Pimpinan Program Pascasarjana
yang waktu itu dijabat Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat, Direktur, dan Prof.
Dr. Farid Moeloek, Wakil Direktur I. “Gagasan berdirinya Program Kajian
120
Jurnal Perempuan 48
Henny Irawati
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Wanita timbul ketika Program Studi Multidisiplin ingin ditumbuhkan.
Kita membutuhkan program-program studi yang perlu dan langsung
bisa dipakai atau digunakan di masyarakat. Bagi beberapa ilmuwan,
pertumbuhan ilmu itu selalu dilihat dari akar, batang, atau cabangnya.
Padahal perkembangan pemikiran ilmu yang baru mungkin saja tidak
tumbuh dari satu akar tapi dari beberapa, dan tentu saja ini menunjukkan
adanya kepentingan-kepentingan tertentu. Baik itu kepentingan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat maupun
kepentingan-kepentingan lainya,” demikian komentar Prof. Dr. Farid
Moeloek dalam buku Perjalanan 15 Tahun Program Kajian Wanita yang
terbit tahun 2005 kemarin.
Selain menjadi salah satu pengajar, Ibu Sap diserahi tampuk
kepemimpinan selama 10 tahun pertama (November 1990 sampai Mei
2000). Bukan tanggung jawab yang mudah. Antusiasme tidak serta merta
datang dari seluruh jajaran akademisi. Menurut Ibu Sap, Kajian Wanita
dirongrong sikap para akademisi yang meragukan kejelasan pohon ilmu
yang menjadi kiblat Kajian Wanita. Tapi Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat
mengatakan salah besar harus ada pohon ilmu. “Kenapa harus cari
yang ada pohon ilmu?” tanyanya, “itu tidak benar. Sekarang ilmu jadi
begitu berkembang, tidak perlu dari S1 yang sama. Bahwa untuk
pascasarjana harus sarjana dulu, itu benar. S3 harus S2 dulu. Tapi tak
usah dari bidang ilmu yang sama. Pemikiran itu yang harus diubah.”
Keraguan dan kendala hadir mengiringi perjalanan Kajian Wanita.
Satu komentar datang dari seorang dosen perempuan senior, “Sap,
jangan kamu jadikan mereka (mahasiswa) feminis,” demikian pesannya
pada acara pembukaan resmi Kajian Wanita. Ibu Sap terkejut mendengar
kalimat itu. Dalam sejarah perkembangannya, studi wanita di tingkat
universitas di luar negeri berkembang dengan bertumpu pada konsep
dan teori feminisme. Pesan tadi membuat Ibu Sap waktu itu bertanyatanya, apa salahnya menjadi feminis? “Feminisme masih belum diterima
seperti sekarang. Gerakan feminis masih dilihat sebagai “hantu”. Saya
disadarkan, jangankan kata feminis, kata gender saja belum diterima,”
ungkapnya baru-baru ini.
Kajian Wanita berdiri tanpa dibarengi kurikulum di tingkat
sebelumnya, S1. Ini tantangan tersendiri bagi Ibu Sap. Ia dipaksa
menghadapi mahasiswa-mahasiswa baru yang sebagian besar belum
pernah mempelajari women’s studies secara formal sebelumnya. “Orang
Jurnal Perempuan 48
121
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Henny Irawati
luar negeri yang dulu membantu saya menganggap saya punya ambisi
yang terlalu gila karena background-nya tidak ada,” kenangnya. Ibu Sap
menyadari justru mengembangkan perspektif gender dalam diri
mahasiswa itulah tantangan terbesarnya. Ia berinisiatif meluncurkan
program baru yang dinamai Latihan Sensitivitas Gender, diberikan
kepada setiap mahasiswa angkatan baru selama 5 hari. “Kalau dulu
tidak ada seperti itu. Latihan ini terbukti membantu sekali dalam
mengajar. Mereka lebih mudah menerima bahan ajaran yang diberikan.
Dulu kita tidak pernah memikirkan itu. Jadi susah sekali, apalagi dengan
latar belakang mereka yang berbeda-beda. Ada sosiologi, antropologi,
agama, pendidikan, dan lain-lain.” Akan tetapi, Ibu Sap optimis. Dan
terbukti, meskipun mahasiswa-mahasiswa baru tersebut tidak pernah
belajar women’s studies sebelumnya, mereka tetap dapat menyelesaikan
pendidikan di Kajian Wanita selama 4 semester dengan tesis-tesis yang
bagus.
Diakui oleh ibu Sap pada masa awal berdiri Kajian Wanita para
pengajar pun masih mencari sistem yang tepat untuk menyampaikan
materi-materi women’s studies. Kesulitan inilah yang membuat ibu Sap
punya ide untuk membuat suatu program kerjasama (linkage program).
Kajian Wanita bergandengan dengan Women’s Studies Memorial
University Of Newfoundland, Kanada, mencoba meningkatkan
profesionalitas dosen, staf administrasi, dan staf perpustakaan dalam
program “Support to Women’s Studies Graduate Programme at the University
of Indonesia”. Proyek yang dirancang dan dikembangkan selama dua
tahun (1990-1992) itu keseluruhan dananya ditanggung Canada
International Development Agency (CIDA). Dalam kurun empat tahun
setengah—dimulai pada bulan September 1992 dan berakhir pada bulan
April 1997—program tersebut mengadakan berbagai kegiatan, misalnya
pengiriman dua staf junior Kajian Wanita ke Memorial University untuk
studi tingkat S2 pada tahun 1993 dan 1994; pelatihan pengembangan
profesionalitas di Kanada bagi sejumlah staf Kajian Wanita; juga
penguatan pengembangan kurikulum, metode pengajaran, teori, dan
metode penelitian melalui serangkaian workshops.
Di samping itu, ada juga berbagai proyek penelitian yang dikerjakan.
Dalam hubungan kerjasama tersebut banyak pengalaman berarti dan
nyata yang didapat tentang, misalnya, kesetaraan, relasi setara, dan
kerjasama non-hierarkis – sejumlah prinsip yang mennjadi landasan
122
Jurnal Perempuan 48
Henny Irawati
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
perspektif feminis. Selain membantu “engendering” atau men’gender’kan
(meminjam istilah bu Sap) berbagai orang yang terlibat dalam Kajian
Wanita, kerjasama ini juga men’gender’kan kurikulum Kajian Wanita.
Perkembangan Pemikiran
www.komnasperempuan.or.id
Selepas menduduki kepemimpinan Kajian Wanita, Ibu Sap tetap
sibuk. Ia pernah memimpin Komnas Perempuan, dan masih dilibatkan
dalam proses kaderisasi. Ia juga mengajar di Kepolisian untuk mata
ajaran Hak Asasi Perempuan yang menjadi bagian dari mata ajaran
Hak Asasi Manusia.
Di luar kesibukan-kesibukan tersebut, Ibu Sap terlibat dalam riset
bersama World Health Organization tentang hak reproduksi perempuan.
Berdasarkan hasil risetnya, Ibu Sap mengungkapkan bahwa perempuan
Indonesia, ditinjau dari sisi kesehatan, sangat terpuruk. Angka Kematian
Ibu, yang dipergunakan sebagai indikator, sangat tinggi. Keadaan ini
bukan baru saja terjadi, tapi sudah 30 tahun terakhir ini. Padahal,
kesehatan perempuan yang rendah itu berdampak juga pada anak-anak
yang dilahirkan. Seharusnya menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi
prioritas, usulnya. Pendidikan untuk setiap anak perempuan juga. Dua
hal tersebut penting agar perempuan dapat memainkan perannya lebih
baik. Mereka juga akan menambah lapangan kerja untuk perempuan
Jurnal Perempuan 48
123
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Henny Irawati
yang sekarang sangat terbatas baik pilihan maupun keamanannya.
Tidak seharusnya, seperti yang terjadi selama ini, perempuan bekerja
tanpa perlindungan, padahal itu adalah hak yang seharusnya ia
dapatkan.
Namun, Ibu Sap menolak untuk bersikap pesimis. “Meskipun cuma
1%, kita tidak bisa menghapus kemajuan yang sudah diraih oleh
perempuan Indonesia. Kita pernah punya presiden perempuan, sekarang
ada menteri-menteri perempuan, anggota DPR perempuan juga ada,
meskipun kuantitasnya tidak mencapai kuota. Banyak juga perempuanperempuan yang aktif di ruang publik memperjuangkan hak perempuan.
Itu juga sesuatu yang harus diakui semua pihak.”
Ibu Sap pun angkat bicara tentang Perda-perda Syariat yang membelit
perempuan Indonesia, “Itulah konsekuensi dari otonomi daerah, Pusat
tidak mempunyai wewenang untuk menidakkan atau mengiyakan.
Mereka mempunyai kewenangan tersendiri. Masalahnya memang begitu
banyak perda mengatasnamakan agama, tapi disasar itu sebenarnya
perempuan, itu yang merisaukan. Misalnya perda Tangerang yang tidak
membolehkan perempuan ada di jalanan setelah jam 9 malam, itu kan
dibuat atas nama agama. Padahal sesungguhnya untuk meminggirkan
seksualitas perempuan.”
Begitu juga dengan RUU Pornografi. Masyarakat kita, menurut Ibu
Sap, dikacaukan oleh pengertian pornografi dan RUU pornografi. Mereka
tidak dapat membedakan dua hal tersebut. Ibu Sap yakin setiap
perempuan setuju pornografi itu harus dihapuskan karena pornografi
itu memojokkan dan melecehkan perempuan. Akan tetapi, dengan
adanya RUU tersebut perempuan malah makin dipojokkan dan
dilecehkan.
Usia boleh saja senja, namun ibu Sap terus meremajakan pemikiranpemikiran dan intelektualitasnya. Ia selalu mengikuti perkembangan
(dan kemunduran) hidup perempuan di Indonesia dan tetap aktif dalam
beragam organisasi, diskusi, dan penelitian. Semuanya untuk kesetaraan
dan kemajuan perempuan Indonesia.
Catatan Belakang
1
Diambil dari “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya” dalam Stri, Jurnal
Studi Wanita Vol. 1 No. 1, Januari 2002.
124
Jurnal Perempuan 48
Foto: Dok. YJP
• Berita •
Manifesto Temu Nasional
Aktivis Perempuan Indonesia
Kami, aktivis perempuan Indonesia yang berasal dari 28 provinsi,
berkumpul untuk menguatluaskan gerakan perempuan. Kami, bersama
seluruh kekuatan perempuan dan kekuatan sosial lain berupaya
melakukan perubahan tatanan masyarakat yang lebih adil, sejahtera dan
berdaulat. Kami berkumpul atas dasar kebutuhan bersama demi
kesamaan visi dan nilai-nilai yang menjunjung tinggi penghormatan atas
hak asasi perempuan, pluralisme, anti diskriminasi, anti kekerasan,
keadilan gender, dan keadilan sosial.
Persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan secara struktural, berakar
dari sistem budaya patriarkis yang membuat hubungan laki-laki dan
perempuan tidak setara. Hal ini sangat nampak pada kebijakan yang
tidak berpihak pada perempuan dan semakin lemahnya peran negara
untuk melindungi warganya akibat tekanan globalisasi. Dalam sektor
ekonomi, negara lebih memberikan perlindungan kepada pemilik modal
Jurnal Perempuan 48
125
• Berita •
daripada menjaga sumber daya alam dan mensejahterakan perempuan.
Pemiskinan secara struktural berakibat pada sulitnya perempuan
mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar. Perempuan
secara sistematis telah dikondisikan untuk tidak berpeluang memikirkan
wilayah publik dan mengambil keputusan yang sebenarnya juga
menentukan keberlangsungan hidupnya, serta tidak mempunyai posisi
sebagai pengambil keputusan bersama untuk sektor publik. Pelanggaranpelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Aceh, area konflik
maupun Peristiwa Mei 1998, juga belum mendapatkan penyelesaian yang
berarti.
Berdasarkan persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan, berbagai
kekuatan perempuan berkumpul di dalam Temu Nasional Aktivis
Perempuan Indonesia sebagai ajang konsolidasi gerakan perempuan,
untuk menciptakan sinergi antar organisasi perempuan sebagai
peneguhan terhadap apa yang telah diperjuangkan selama ini. Gerakan
perempuan sebagai bagian dari gerakan sosial memiliki agenda bersama
untuk membangun kesadaran kritis masyarakat berbasis gender. Kami
yakin perubahan terhadap kondisi perempuan tidak bisa dilakukan
sendiri, tapi harus bersama dengan seluruh elemen gerakan sosial. Kami
juga yakin bahwa demokrasi juga tidak akan pernah terwujud tanpa
keterlibatan perempuan.
Oleh karena itu kami, atas nama aktivis perempuan Indonesia, menuntut
kepada Negara untuk:
1.
Menjamin perlindungan terhadap perempuan dan kelompok
minoritas dari segala bentuk ancaman dan sub-ordinasi gender
berdasarkan ras, agama, etnis, kelas, usia, diffability, pilihan politik
dan orientasi seksual;
2.
Membuat kebijakan yang sensitif gender dan mengamandemen
kebijakan yang merugikan perempuan;
3.
Mengoptimalkan kebijakan pengarusutamaan gender dan penanggulangan kemiskinan serta menolak pembangunan berbasis utang;
126
Jurnal Perempuan 48
• Berita •
4.
Menghentikan dan menolak privatisasi di sektor strategis yang
didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, Perusahaan Multinasional dan WTO, melakukan upaya penghapusan utang
luar negeri (illegitimate debt) serta pemberantasan korupsi;
5.
Memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak warga
negara, perempuan dan masyarakat adat dalam mengelola sumber
daya alam untuk kesejahteraan masyarakat;
6.
Mengalokasikan anggaran yang sensitif gender dan berpihak pada
rakyat untuk peningkatan kesejahteraan;
7.
Pada bidang politik, Negara harus menjamin pemenuhan hak politik
perempuan melalui perubahan sistem, salah satunya dengan
melakukan revisi UU Pemilu supaya lebih akomodatif dan memberi
akses terhadap kepentingan perempuan;
8.
Menindak tegas lembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama
dalam melakukan tindakan-tindakan yang menghancurkan gerakan
perempuan, merongrong ideologi bangsa, dan mengancam NKRI;
9.
Menjamin perempuan mendapat kesempatan memperoleh pendidikan gratis dan berkualitas, dan pelayanan kesehatan yang sensitif
gender, termasuk pelayanan untuk kesehatan reproduksi dan
penderita HIV/AIDs;
10. Membangun sistem penanggulangan bencana alam dan konflik
sosial, termasuk pemulihan yang sensitif terhadap kelompok rentan,
khususnya perempuan;
11. Segera menuntaskan pelanggaran hak-hak asasi manusia/
perempuan di masa lalu.
Asrama Haji Pondok Gede, 31 Agustus 2006
Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia
Jurnal Perempuan 48
127
• Berita •
Agenda Khusus
12 Isu Kritis Gerakan Perempuan
Tahun 2006 - 2011
Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia telah menghasilkan 12
agenda khusus gerakan perempuan untuk tahun 2006-2011. Keduabelas
isu tersebut adalah :
1. Perempuan dan Kemiskinan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Mengkampanyekan penghapusan utang luar negeri
Advokasi anggaran (nasional dan daerah) yang respon gender dan
pro-poor
Mainstream data dasar penangggulangan kemiskinan dan data
terpilah
Review revisi kebijakan yang diskriminatif (yang tidak responsif
gender dan tidak pro-poor)
Kampanye dan advokasi pemberantasan korupsi
Mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berbasis gender
Mendorong lahirnya UU anti kemiskinan
Mendorong partisipasi perempuan dalam proses pembangunan
mulai perencanaan sampai pelaksanaan
2. Perempuan dan Hukum:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Mengembalikan semua aturan-aturan pada konstitusi UUD ’45 dan
amandemen berperspektif HAM
Advokasi kebijakan dan pelaku yang tidak responsif gender
Kampanye tentang hak-hak perempuan dalam hukum
Mengembangkan penyelesaian hukum alternatif yang sensitif
gender
Perlunya pendidikan kritis untuk masyarakat (paralegal)
Mendorong penyelesaian kasus HAM masa lalu di mana perempuan
menjadi korban
Menolak hukuman mati
128
Jurnal Perempuan 48
• Berita •
3. Perempuan dan Fundamentalisme:
1.
2.
3.
4.
5.
Membangun komunikasi berkelanjutan dengan kalangan “netral”
dan anti gerakan perempuan
Menginventarisir isu pemahaman agama yang universal dan lokal
dalam paradigma gender
Memproduksi dan mensosialisasikan tafsir agama berperspektif
gender yang belum tergali
Mempromosikan nilai-nilai pluralisme, kesetaraan dan keadilan
secara terus menerus
Menuntut negara dan ormas besar untuk memperbaiki
fundamentalisme garis keras
4. Perempuan dan Politik
1.
2.
3.
4.
5.
Menciptakan calon alternatif untuk duduk di eksekutif dan
legislatif—berikut sistem pendukungnya
Mengusulkan amandemen UU No 12 Tahun 2002 Tentang Pemilu
yang tidak berperspektif perempuan (misalnya pasal 30 dan
rekruitmen dengan sistem zigzag)
Mendorong bentuk affirmative action yang lain dalam rangka
membuka ruang yang lebih besar untuk terlibat dalam politik
misalnya terbukanya peluang untuk calon independen
Mendorong partai lokal yang berperspektif gender
Mengkritisi dan mendorong perubahan perda-perda yang menutup
ruang perempuan untuk menduduki jabatan publik
5. Perempuan dan Pendidikan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Menciptakan pendidikan alternatif yang berdasar pada nilai-nilai
pluralisme, kesetaraan dan keadilan
Mendesakkan diterapkannya pendidikan dasar 9 tahun yang gratis
dan berkualitas
Mendorong dan menaikkan alokasi anggaran pendidikan
Membuat kurikulum jangka panjang yang berperspektif gender
Mendorong pelaksanaan Program pendidikan khusus perempuan
yang termajinalkan (buta huruf dsb.)
Membangun pusat belajar tentang gender yang bisa diakses oleh
publik
Jurnal Perempuan 48
129
• Berita •
6. Perempuan dan Teknologi
1.
2.
3.
4.
Meningkatkan kapasitas perempuan dalam pemanfaatan berbagai
teknologi
Menggunakan teknologi untuk membangun simpul informasi dan
komunikasi
Memperkuat akses perempuan terhadap teknologi
Melakukan kampanye teknologi yang ramah perempuan
7. Perempuan dan Media
1.
2.
3.
4.
5.
Sosialisasi UU pers dan penyiaran yang berperspektif gender
(bekerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers).
Mendorong gerakan perempuan menggunakan media komunitas
dan media lokal sebagai media pencerahan
Melibatkan pers dalam kegiatan-kegiatan gerakan perempuan,
networking dengan asosiasi wartawan Indonesia
Mendorong perempuan untuk masuk pada industri media (investor,
pekerja media) dan melibatkan perempuan pelaku media untuk
melakukan perubahan
Membangun dan memperkuat perspektif gender bagi kalangan
media
8. Perempuan dan Budaya
1.
2.
3.
4.
5.
Menggali dan mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal yang
sensitif gender
Melakukan kajian kritis terhadap dokumen (teks/bacaan) dan nilainilai kearifan lokal
Melakukan kampanye nilai-nilai kearifan lokal yang sensitif gender
melalui kesenian (teks-teks & bacaan)
Memproduksi bacaan dan audio visual yang berkeadilan gender
Revitalisasi dan pelestarian nilai-nilai budaya dan situs-situs
sejarah
9. Perempuan dan Seksualitas
1.
2.
3.
Membangun media alternatif sebagai strategi terhadap media
mainstreaming
Membangun sangsi sosial dan code of conduct organisasi terhadap
aktivis yang melakukan pelecehan dan kekerasan seksual
Menggunakan metode yang sensitif terhadap seksualitas perempuan
(seperti peer educator/pendidikan sebaya, pendekatan partisipatoris)
130
Jurnal Perempuan 48
• Berita •
4.
Mengembangkan modul menjadi MATERI DIDIK SENDIRI, yang
dibangun berdasarkan pengalaman-pengalaman seksualitas
perempuan
10. Perempuan dan bencana
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Membuat database tentang bencana dan permasalahannya
Membangun manajemen dan melibatkan perempuan dalam
penanggulangan bencana yang berperspektif gender
Mendesak adanya UU yang melindungi perempuan dan anak
sebagai korban konflik
Mengkritisi dan mendesak RUU atau peraturan tentang penanggulangan bencana termasuk alokasi dana yang berperspektif gender
Membangun sinergi antar berbagai pihak dalam penanggulangan
bencana
Mendesak negara untuk menyediakan pelayanan trauma healing dan
psikososial
11. Perempuan dan SDA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Mengintegrasikan isu SDA dalam gerakan sosial lain
Mengkampanyekan hak asasi perempuan dalam pengelolaan SDA
Pengelolaan SDA berbasis komunitas yang responsif gender
(misalnya petani, nelayan, dll.)
Menuntut tanggungjawab negara dan korporasi yang merusak
lingkungan hidup dan melanggar hak asasi perempuan dan adat
Menolak pembayaran utang luar negeri yang bersumber dari
eksploitasi SDA
Advokasi kebijakan dan kasus pengelolaan SDA
12. Perempuan dan Globalisasi
1.
2.
3.
4.
5.
Mensosialisasikan isu globalisasi ekonomi dan moneter serta
dampaknya ke semua pihak sehingga menjadi isu bersama
Menolak 3 pilar (deregulasi, privatisasi dan liberalisasi) globalisasi
yang tidak berpihak kepada rakyat terutama perempuan
Seluruh aset industri, termasuk TNC & MNC harus dikelola dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk masyarakat lokal
Membangun jaringan perempuan melawan arus neo-lib
Kaderisasi dan transfer pengetahuan globalisasi ke kader aktiv=is
Jakarta, 31 Agustus 2006
Jurnal Perempuan 48
131
• Cerita Perempuan •
132
www.wilsey.net
Jurnal Perempuan 48
• Cerita Perempuan •
Kamar Kecil Milikku Sendiri
Virginia Woolf
Perempuan tak punya kesempatan menulis bukan hanya masalah
ilmu pengetahuan. Sudah lama jadi masalah sastra juga. Dalam
eseinya yang terkenal, A Room of One’s Own, Virginia Woolf
membayangkan seandainya Shakespeare punya adik
perempuan yang sejenius dia, bakal jadi apa?
T
api, kalian mungkin akan bertanya, kami ingin kamu bicara tentang
perempuan dan fiksi – apa hubungannya dengan punya kamar
milik sendiri? Aku akan coba jelaskan. Setelah kalian memintaku
bicara tentang perempuan dan fiksi, aku pergi duduk di tepi sungai dan
mulai berpikir tentang dua kata itu, perempuan, fiksi. Mungkin aku bisa
menyebutkan beberapa hal yang aku tahu tentang Fanny Burney;
beberapa hal lagi tentang Jane Austen; memuji Brontë bersaudara dan
membuat sketsa Haworth Parsonage putih diselimuti salju; menyindir
Nona Mitford kalau bisa; menyitir George Eliot; menyadur Mrs Gaskell;
sudah itu saja.
Tapi kemudian aku berpikir, tidak segampang itu. Perempuan dan
Jurnal Perempuan 48
133
• Cerita Perempuan •
fiksi bisa saja berarti, dan ini mungkin maksud kalian, perempuan dan
hidup mereka, atau mungkin perempuan dan fiksi macam apa yang
biasanya mereka tulis; atau mungkin juga berarti perempuan dan fiksi
yang ditulis tentang mereka, atau mungkin tiga hal itu sebenarnya adalah
hal yang satu, tak bisa dipisahkan, dan kalian ingin aku berkomentar
tentang itu. Tapi begitu aku mulai, hal ini menarik sekali, aku juga
langsung tahu, bakal ada masalah gawat. Perempuan dan fiksi adalah
masalah yang tak akan pernah ada akhirnya.
Aku tak akan pernah bisa memenuhi kewajiban seorang dosen untuk
menghadiahi kalian, setelah sejam aku berbicara di sini, sebutir
kebenaran murni yang bisa kalian selipkan di antara halaman buku
catatan dan simpan di dalam saku jaket selamanya. Satu-satunya hal
yang bisa aku lakukan adalah memberikan pendapatku tentang satu
hal sepele – seorang perempuan harus punya uang dan kamar kecil
miliknya sendiri supaya ia bisa menulis fiksi; dan aku tahu, ini berarti
teka-teki besar tentang hakikat perempuan dan hakikat fiksi tak akan
pernah terpecahkan. Aku sadar telah meninggalkan tanggung jawab
untuk menjawab dua pertanyaan ini – tapi untukku perempuan dan
fiksi memang teka-teki yang sampai sekarang tidak ada jawabannya.
...
Memikirkan tentang perempuan-perempuan yang harus kerja
bertahun-tahun dan tetap tidak bisa menabung sekedar dua ribu pound
pun, dan apa saja yang harus mereka kerjakan kalau mereka ingin
mengumpulkan tiga puluh ribu pound, kepala kita rasa-rasanya hampir
meledak. Betapa miskinnya manusia berjenis kelamin perempuan! Apa
yang selama ini dikerjakan ibu-ibu kita, sampai mereka tak punya sepenny pun untuk diwariskan? Membedaki hidung mereka? Sibuk
menonton etalase toko? Memamerkan lekuk tubuh mereka di bawah
matahari Monte Carlo?
...
Mungkin mereka akan menjawab begini: setiap penny yang aku dapat
pasti akan diambil suamiku, dan dibelanjakan semaunya dia juga –
mungkin untuk mendanai beasiswa atau menyumbang ke Balliol atau
Kings – jadi bekerja dan menghasilkan uang, kalaupun aku bisa
melakukan itu, tidak begitu menarik bagiku. Biarlah itu jadi urusan
suamiku saja.
134
Jurnal Perempuan 48
• Cerita Perempuan •
...
Aku pikir, sambil melihat buku-buku Shakespeare di rak, si pendeta
benar juga paling tidak dalam hal ini: tidak mungkin, sama sekali tidak
mungkin, seorang perempuan di jaman Shakespeare bisa menulis dramadrama seperti itu. Coba sekarang bayangkan, terlalu susah mencari tahu
benar tidaknya, bayangkan saja, Shakespeare punya adik perempuan
yang sangat berbakat, namanya Judith.
...
Shakespeare sendiri disekolahkan, pastinya,– ibunya ahli waris kaya
– di sekolah grammar, di situ dia belajar bahasa Latin – Ovid, Virgil,
Horace – dan dasar-dasar tata bahasa dan logika. (Kemudian dia) pindah
ke London, waktu itu pun kelihatannya dia sudah suka teater, sering
menawarkan diri menjaga kuda dekat pintu panggung. Kemudian dia
mulai kerja di situ, sukses jadi aktor, mondar-mandir di pusat jagat raya,
kenal semua orang, menulis di kamarnya dan memamerkan silat
lidahnya di jalanan, bahkan diundang ke istana ratu.
Sementara itu, adik perempuannya yang sangat berbakat tadi tetap
tinggal di rumah. Dia juga senang bertualang, berkhayal, mendambakan
bisa melihat dunia seperti abangnya. Tapi dia tak pernah disekolahkan.
Dia tak pernah mendapat kesempatan belajar tata bahasa maupun
logika, apalagi membaca Horace dan Virgil. Dia sekali-sekali akan
memungut buku yang tergeletak di kamar abangnya dan membaca
beberapa halaman. Tapi orangtuanya keburu memergoki dan
menyuruhnya menjahit kaus kaki, menjaga sup yang sedang masak,
dan melarangnya main-main dengan buku dan koran. Mereka akan
memarahinya, tak terlalu lama, karena mereka cukup pintar dan tahu
bagaimana rasanya hidup sebagai perempuan dan mereka sayang
padanya – bahkan mungkin sekali dia kesayangan bapaknya. Mungkin
kemudian dia naik ke loteng dan menulis beberapa halaman di situ, tapi
dia selalu hati-hati untuk menyembunyikan atau kalau perlu membakar
tulisan-tulisannya.
Tapi dia tak lama jadi remaja; bapak menjodohkannya dengan anak
seorang pemintal wol, tetangganya sendiri. Dia protes, aku benci
pernikahan!, dan sebagai ganjarannya bapak memukulinya. Kemudian
bapak menyerah. Dia memohon, Judith jangan sakiti hatiku, jangan buat
aku malu soal pernikahan ini. Bapak akan memberi kamu kalung dan
Jurnal Perempuan 48
135
• Cerita Perempuan •
rok cantik, katanya; air matanya menggenang. Mana mungkin Judith
tidak mematuhi bapaknya? Mana mungkin dia menyakiti hatinya?
Bakatnyalah yang memberinya kekuatan. Dia membungkus barangbarangnya dalam sebuah buntelan kecil, melorot turun lewat tambang
dari jendela kamarnya satu malam di musim panas, dan lari ke London.
Umurnya belum juga tujuh belas. Suaranya tak kalah merdu dibanding
burung-burung yang bernyanyi di gerumbul semak. Telinganya cepat
menangkap, persis seperti abangnya, irama kata-kata. Seperti abangnya
juga, dia senang teater. Dia berdiri tegak di pintu panggung; aku ingin
jadi aktor, katanya. Laki-laki di situ tertawa di depan hidungnya. Si
manajer – laki-laki gendut berbibir basah – terbahak. Dia berteriak
sesuatu tentang anjing pudel menari dan perempuan main sandiwara –
tak bakal ada perempuan, katanya, yang bisa jadi pemain sandiwara.
Dia memberi nasehat – kalian bisa membayangkan apa. Tak ada yang
mau melatih Judith. Tak ada yang mau melayaninya makan malam di
bar, dan semua orang menggodanya waktu berjalan sendirian tengah
malam.
Tapi bakat Judith memang untuk fiksi, dia rakus mengamati laki-laki
dan perempuan, mempelajari cara hidup mereka. Akhirnya – ingat, dia
masih sangat muda, wajahnya mirip abangnya, Shakespeare si pujangga,
mata abu-abu, dahi bulat – manajer tadi, Tuan Nick Greene, berbelas
kasihan; Tuan itu menghamilinya dan karena itu – siapa yang bisa
mengukur panas dan kebrutalan hati penyair yang terperangkap di
tubuh perempuan? – Judith bunuh diri satu malam di musim dingin
dan tubuhnya dikubur di persimpangan jalan dekat bar Elephant and
Castle. Sekarang bis-bis berhenti di situ, tepat di atas kuburannya.
Begitulah, kira-kira, ceritanya, menurutku, kalau seorang perempuan
di jaman Shakespeare ternyata sama jeniusnya seperti dia. Tapi aku
setuju dengan almarhum pendeta itu – tak bisa dibayangkan seorang
perempuan di jaman Shakespeare bisa sejenius dia. Seorang jenius seperti
Shakespeare tidak lahir di tengah-tengah buruh, jongos, orang-orang
tak berpendidikan. Dia tidak lahir di Inggris di tengah-tengah bangsa
Saxon atau Briton. Dia tidak lahir sekarang dari rahim kelas pekerja.
Mana mungkin ia lahir di antara perempuan yang dipaksa bekerja,
menurut Profesor Trevelyan, sejak mereka terlalu besar untuk tidur di
ranjang bayi, oleh orang tuanya, kuasa hukum, dan adat? Tapi seorang
jenius pasti ada juga di antara perempuan-perempuan itu, karena ia ada
136
Jurnal Perempuan 48
• Cerita Perempuan •
Kutipan ini d+iterjemahkan oleh Mikael Johani. Teks asli diambil dari A Room of One’s
Own by Virginia Woolf, diubah menjadi HTML oleh Steve Thomas, eBooks@Adelaide,
2004, http://etext.library.adelaide.edu.au/w/woolf/virginia/w91r/index.html.
Jurnal Perempuan 48
www.royal-grafico.de
juga di antara para buruh. Sekali-sekali seorang Emily Brontë atau Robert
Burns melesat keluar dan membuktikan ia ada. Hanya tak pernah sampai
ke dalam halaman-halaman buku.
Tapi, waktu kita membaca tentang nenek sihir, tentang perempuan
dirasuki setan, tentang perempuan tua penjual tanaman obat, atau
bahkan tentang ibu seorang laki-laki jagoan, aku pikir tokoh-tokoh itu
pasti jejak samar seorang novelis (di)gagal(kan), seorang penyair
(di)bisu(kan), Jane Austen gagu dan miskin, seorang lagi Emily Brontë
yang menyeret otaknya di atas tanah lembap Yorkshire, terseok-seok di
jalanan, gila tersiksa kutukan bakatnya.
Ya, aku hampir pasti kalau Anon, yang menulis begitu banyak syair
tanpa menandatanganinya, sebenarnya seorang perempuan. Perempuanlah, kata Edward Fitzgerald kalau tidak salah, yang menulis balada
dan lagu-lagu daerah, menyanyikannya untuk anak-anak mereka,
menyihir mereka sepanjang malam musim dingin.
137
• Rak Buku •
Quran Adil Bagi Perempuan?
Judul
: Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci
dengan Semangat Keadilan
Judul Asli : Qur’an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman’s
Perspective
Penulis
: Amina Wadud
Penerjemah : Abdullah Ali
Penyunting : Kurniawan Abdullah
Penerbit
: PT Serambi Ilmu Semesta
Terbit
: Cetakan 1, Jakarta, 2006
Tebal
: 232 Halaman
I
nilah buku yang menganalisa
konsep perempuan yang langsung digali dari Alquran. Amina
Wadud mengatakan mengkaji soal
gender dari sebuah naskah yang
berumur 14 abad memang unik,
terutama bila dilihat dari perspektif
kaum feminis yang menghendaki
pemutusan total dari masa lampau.
Namun dalam pembelaannya
terhadap Alquran, Amina Wadud
mengatakan: bukan teks Alquran
yang membatasi perempuan,
melainkan penafsiran terhadap
teks, yang dianggap lebih penting
daripada Alquran itu sendiri, yang
membatasinya. Bila dalam agama
lain, kaum feminis masih harus
memasukkan perempuan ke dalam
wacana agar mereka mendapatkan
legitimasi, maka dengan mema-
138
hami Alquran saja, perempuan
muslim, yang tidak terbelenggu oleh
penafsiran-penafsiran yang ekslusif
dan mengekang, bisa mendapatkan
kebebasan yang tak terbantahkan
(hal. 13).
Konsep perempuan yang tidak
muncul dalam Alquran, menurut
Amina Wadud disebabkan konsep
berbau gender memang tidak
muncul. Namun ihwal perempuan
harus diukur dari perspektif
Alquran sendiri, baik sebagai
kekuatan sejarah, politik, bahasa,
budaya, kecendekiawanan, dan
spiritualitas, maupun sebagai kitab
suci yang memberi petunjuk bagi
seluruh umat manusia. Dengan
mengkaji Alquran berikut prinsipprinsipnya tentang keadilan sosial
dan kesederajatan manusia, serta
Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku •
tujuannya untuk membimbing
manusia, Amina Wadud ingin
melontarkan beberapa pandangan
baru tentang peran perempuan.
Tafsir-tafsir yang dilakukan
terhadap Alquran dikategorikannya
ke dalam tiga kategori: tradisional,
reaktif, holistik. Tafsir kategori
pertama, semuanya ditulis dan
berasal dari pemikiran laki-laki.
Tafsir kategori kedua, yang telah
menyinggung masalah perempuan,
adalah reaksi para sarjana modern
terhadap keterpasungan perempuan
sebagai individu dan anggota
masyarakat. Kategori ketiga diisi
penafsiran yang mempertimbangkan ulang semua metode tafsir
Alquran di bidang sosial, moral,
ekonomi, dan politik modern,
termasuk di dalamnya isu perempuan. Amina Wadud membuat
wacana gender dan Islamnya
dengan menganalisa tafsir-tafsir
teks Alquran ini.
Ada empat bab yang mengulas
bagaimana persepsi tentang
perempuan mempengaruhi tafsir
Alquran: ihwal penciptaan
manusia (pada mulanya laki-laki
dan perempuan sederajat),
pandangan Alquran tentang
perempuan di dunia ini, penuturan
Alquran tentang akhirat sebagai
balasan yang adil, dan beberapa
kontroversi tentang hak dan peran
perempuan.
Tujuan penelitian ini adalah
Jurnal Perempuan 48
membahas beberapa aspek kesetaraan gender dalam Weltanschauung
Alquran. Jika tujuan masyarakat
Islam adalah memenuhi tujuan
Alquran yang berkaitan dengan
hak, tanggung jawab, potensi, dan
kapasitas dari semua anggotanya
yang sungguh-sungguh taat, maka
mereka yang benar-benar mengimani Alquran tentu akan berharap
agar perempuan mendapatkan
kesempatan untuk berkembang dan
produktif. Hal yang sama juga
diharapkan dari dan untuk laki-laki.
Dalam hal ini, laki-laki harusnya
juga turut bertanggung jawab
mengasuh anak dan merawat
keluarga di samping mengurusi
masalah-masalah materi. Keduanya, laki-laki dan perempuan,
seyogyanya saling melengkapi dan
menguntungkan satu sama lain,
tidak saja dalam keluarga namun
juga dalam masyarakat. Bukankah
keluarga adalah ajang awal melatih
potensi khilafah? Sebagaimana
sabda Nabi, “Orang terbaik di
antara kamu adalah yang paling
baik terhadap keluarganya.”
Amina Wadud percaya bahwa
Alquran dapat beradaptasi dengan
konteks perempuan modern
semulus ia beradaptasi dengan
komunitas muslim awal abad 14
abad silam (hal. 159). Melakukan
penafsiran yang sempit terhadap
Alquran sama dengan melakukan
kezaliman. Tidak ada satu komu139
• Rak Buku •
nitas yang serupa apalagi sama
dengan komunitas yang lainnya.
Tujuan Alquran sendiri adalah
menjunjung prinsip penting bagi
pengembangan manusia: keadilan,
persamaan, keseimbangan, tanggungjawab moral, kesadaran
spiritual, dan kemajuan umat
manusia.
Motivasi merupakan bagian
terpenting dari penelitian yang
dilakukan oleh Amina Wadud.
Berangkat dari sikap menentang
keras arogansi laki-laki yang
menuntut martabat dan kehormatan
yang tinggi untuk diri mereka
sendiri namun menolak hal yang
sama diberikan bagi manusia lain
(perempuan), maka sikap Amina
Wadud memberikan landasan sah
untuk menentang perlakuan tak
adil yang secara historis telah
dialami perempuan dan secara
hukum terus menggejala dalam
komunitas-komunitas muslim.
“Kesetaraan moral dan keagamaan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan merupakan ungkapan tertinggi dari nilai
kesetaraan ...” (hal. 168). Membaca
buku ini seperti melewati batas
wacana gender dan Islam melalui
jalan tol pemikiran yang begitu
analitis. (Yoke Sri Astuti)
Berdiri Tegak
Di Atas Puing-Puing Kehancuran
Judul
Penulis
Penerbit
Terbit
Tebal
T
: Melewati Lembah Air Mata
: Mundhi Sabda Hardiningtyas
: Gradien Books
: Cetakan Pertama, Yogyakarta,
2006
: 200 Halaman
idak terbilang jumlah sinetron
yang mendramatisir kekerasan
terhadap perempuan di dalam
140
rumah tangga. Namun pemunculan
novel ini patut diberi acungan
jempol, karena keberanian penulis
Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku •
mengungkap bagaimana hidup
sebagai korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) selama 9
tahun pernikahannya. Jelas, novel
ini patut dan harus dibaca oleh
setiap perempuan, setidaknya kita
dibawa dalam keseharian kehidupan rumah tangga dan konflik
suami istri yang tidak dapat
dihindari.
Kisah nyata penulis mengundang banyak opini publik, mulai
dari aktivis LSM dalam dan luar
negeri, psikolog, hingga rohaniawan, dengan perspektif gender
hingga teologi. Mbak Ning, demikian
nama tokoh dalam novel ini, bekerja
di beberapa LSM internasional di
Jakarta. Ia begitu menikmati dan
mensyukuri hidup ini dengan
modal ia selalu berusaha bersikap
cheerful, helpful dan friendly.
Pernikahan bagi kebanyakan
orang dianggap sebagai takdir Ilahi.
Bagi kebanyakan perempuan saat
ini, menikah adalah “the biggest
decision” atau bisa juga “the best
decision”. Bagi orang tua, pernikahan
itu ibarat takdir, suratan nasib, dan
sebaliknya bercerai adalah “dosa
dan aib keluarga”. Adakah katakata yang lebih bijak daripada kata
orang tua ini apabila perempuan
itu dalam pernikahannya harus
menjadi korban KDRT?
Keberanian Mbak Ning mengungkap kisah rumah tangganya
membuat rekan-rekan kerja dan
Jurnal Perempuan 48
teman-temannya di dalam dan luar
negeri terhenyak mengetahui
dirinya benar-benar menjadi korban
KDRT. Kekerasan fisik dan psikis
sudah menjadi kejadian sehari-hari
dalam kehidupan pernikahannya
dengan Arjuna, sosok pemuda
tampan yang menjadi suaminya.
Arjuna yang pada awalnya
memikat, selanjutnya berubah
menjadi seorang psikopat. Mbak
Ning masih berpikiran konvensional dan menjunjung tinggi janji
perkawinan, “... sampai kematian
memisahkan kita”. Sebagaimana
kebanyakan istri, ia berupaya
mempertahankan keutuhan rumah
tangga. Ia mencoba sekuat tenaga
berdamai dengan segala kekerasan
yang mewarnai rumah tangganya.
Saat ketegangan dalam rumah
tangga telah mencapai puncaknya
dan ia tidak dapat lagi mentolerir
kekerasan yang dilakukan Arjuna
– bahkan saat ia hamil anak kedua
dan ketiga – ia mulai menghadiri
konseling dengan LBH Apik. Ia
ikuti saran untuk lari membawa
ketiga anaknya ke kantor polisi,
melaporkan kasus kekerasan yang
dialaminya. Namun ia kecewa
dengan pelecehan verbal yang
dilakukan polisi saat membuat
berita acara. Semua memojokkan
dirinya dan mengatakan harusnya
ia menjadi istri yang lebih baik dan
melayani suami dengan benar.
Belum cukup sampai di sini, ia
141
• Rak Buku •
menjadi begitu murka saat dirinya
justru dihakimi dari berbagai
penjuru: “Hai, saya ini korban yang
sudah jatuh, tertimpa tangga dan
tercebur comberan, kenapa kalian
masih tega mencemooh dan
mengutuk saya?” Sungguh tidak
masuk akal, harusnya para
rohaniawan menolong dirinya
keluar dari kemelut, namun justru
ia dicekal dari kegiatan rohani. Ia
merasa para rohaniawan ikut
bersorak-sorai atas keterpurukan
dan dosa yang diperbuatnya, entah
dosa yang mana? (hal. 108). Tuhan
yang sangat ditakuti, dihujatnya
sebagai bukan lagi Sang Pengasih,
namun Tuhan yang suka mengutuk dan menghukum (hal. 115).
Kompleksitas yang dialaminya
berpengaruh secara psikologis
terhadap dirinya dan anakanaknya. Kerapkali ia melampiaskan kemarahannya atas
perlakuan Arjuna kepada Dika,
anak pertama yang menjadi saksi
KDRT yang dialaminya. Dika yang
jiwanya terluka begitu dalam selalu
mengharapkan kematian ayahnya.
Personality disorder yang dialami
Dika ditanggapi oleh psikolog
hanya dapat dipulihkan dengan
“kesembuhan Ilahi”.
Mbak Ning terus berkonsultasi
dengan pelbagai pihak, mulai dari
konselor senior hingga rohaniawan,
lewat berbagai cara mulai dari tatap
muka, telepon, sampai e-mail. Ia
142
tidak mau terpuruk, walau
ditinggalkan suami yang lari ke
perempuan lain, hutang menumpuk
sebesar 30 kali lipat dari gajinya,
dan status perceraiannya tidak
kunjung jelas. Ia bangkit dan
menjadi lebih kuat karena ditopang
oleh Tuhan yang kembali ditakutinya. Ia mulai menulis dan membagi
kisah kehidupannya dengan bakat
pemberian Tuhan. Dan buku
pertamanya, “Tangan Yang
Menenun” lahir, memberikan berkat
yang melimpah. Semuanya diyakininya datang dari Tuhan.
Menjadi single parent, sudah
pasti ia harus bekerja keras untuk
mencukupi kebutuhan anak baik
secara fisik, spiritual, moral, maupun
material. Setidaknya ia berharap
mereka dapat hidup layak. Saat
Dika menggugat status ’ayah’nya,
ia tersadar akan masa depan anakanaknya tanpa dirinya. Ia menjadi
begitu takut mati saat membayangkan Arjuna menjadi ahli
waris harta yang ditinggalkannya,
uang asuransi, bahkan menjadi
wali asuh ketiga anaknya. Ia harus
bercerai, itu merupakan keputusan
terbaik untuk menyelesaikan konflik
rumah tangganya. Ia bersyukur
keputusan ini didukung oleh
rohaniawan pembimbingnya.
Prinsip dasarnya adalah memberikan perlindungan hukum bagi
ketiga anaknya. Kepada kedua anak
laki-lakinya ditanamkan pemaJurnal Perempuan 48
• Rak Buku •
haman bahwa laki-laki tidak
berhak menghindar dari tanggung
jawab dan bisa menikah berkalikali. Dan kepada anak perempuannya ditanamkan pemahaman
bahwa pernikahan bukanlah
neraka yang yang harus dihindari.
Tapi, Mbak Ning sendiri, apakah
ia tetap menganggap pernikahan
sebagai neraka yang harus dihindari? Atau kembali mencari suami
yang kelak dapat memenuhi kriteria
sempurna? Dalam kalimat akhir
dari kisahnya ia menanggapi
pertanyaan itu dengan berkata:
“Kalau tidak ada laki-laki yang
sanggup menjadi suamiku, so what
gitu loh?” (hal. 197). Memang, seharusnya setiap perempuan dan istri
harus berani untuk berkata, seperti
Mbak Ning: tidak ada tempat untuk
kekerasan. Titik! (Yoke Sri Astuti)
Memerkarakan Praktek Poligami
Judul Buku
Editor
Penulis
Penerbit
Terbit
Tebal
: Wacana Poligami di Indonesia
: Rochayah Machali
: Anita Rahman dkk.
: Mizan
: Oktober 2005
: xxx + 138 halaman
T
erwujudnya masyarakat
berkeadilan gender di Indonesia tampaknya masih harus
menempuh jalan terjal dan berliku.
Sebab, selain dihadapkan pada
pekatnya budaya dan pemahaman
keagamaan arus utama yang
patriarkis, upaya-upaya tak kenal
letih dari para penyokong gerakan
keadilan gender juga masih
Jurnal Perempuan 48
dihambat secara politis oleh
beragam aturan hukum yang jelas
lebih banyak berpihak pada
kepentingan kaum laki-laki. Tak
mengherankan jika praktek-praktek
kekerasan (terselubung maupun
terang-terangan) atas kaum
perempuan sebenarnya masih terus
berlangsung.
Sebagai salah satu bentuk
143
• Rak Buku •
kekerasan atas perempuan, praktek
poligami merupakan contoh paling
gamblang sekaligus paling kontroversial yang bisa kita sebut. Karena
selain sejatinya tak seorang
perempuan pun mendambakan
poligami, dalam kenyataannya
hampir tak ada hal positif yang
bisa lahir dari praktek poligami
selain menyudutkan kaum perempuan dalam jelaga penderitaan. Tapi
masih ada juga sebagian masyarakat yang menganggapnya sebagai
kebajikan yang patut dirayakan.
Penyelenggaraan “Polygamy
Award” beberapa tahun lalu dan
masih berlangsungnya poligami di
sebagian pesantren, misalnya,
menunjukkan bahwa sebagian
masyarakat Indonesia menganggap
poligami itu lumrah, bahkan ideal.
Walaupun, ada juga suara-suara
lain yang menentangnya dengan
keras. Pendirian Posko AntiPoligami yang dikomandani oleh
Sinta Nuriyah Wahid di tengah
perhelatan Muktamar NU beberapa
waktu lalu merupakan contoh
penolakan poligami yang menarik
untuk dirujuk.
***
Buku berjudul Wacana Poligami
di Indonesia ini merupakan antologi
tulisan yang mengkaji kontroversi
wacana dan praktek poligami dari
perspektif sosial, politik, ideologi,
yuridis-normatif, hingga teologi. Dari
keenam tulisan dalam buku ini,
144
dengan jelas kita bisa melihat sikap
mendua dan saling bertentangan
yang ditunjukkan umat Islam
Indonesia dalam menilai poligami.
Sikap yang muasalnya memang
bukan saja berhulu pada ketidakseragaman pemahaman atas teksteks keagamaan tapi juga hadirnya
acuan yuridis-normatif yang jelasjelas masih membuka celah bagi
praktek poligami.
Asas monogami memang
mendasari isi Pasal 3 ayat (1),
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, tapi ternyata
efeknya hanya sampai di situ saja.
Bunyi ayat berikutnya (ayat 2) justru
membuka peluang bagi praktek
poligami. Secara eksplisit, Pasal 4
ayat (1) dan (2) membuka kesempatan bagi suami untuk mempraktekkan poligami ketika seorang
istri dianggap tidak mampu
menjalankan kewajibannya,
memiliki cacat tubuh atau penyakit
yang tak bisa disembuhkan, atau
tidak dapat melahirkan keturunan.
Tepatlah ketika para aktivis
perempuan menilai undangundang di atas sebagai sebuah
produk hukum yang bersifat
diskriminatif dan bias gender.
Mengunggulkan posisi dan
kepentingan kaum laki-laki di satu
sisi, sekaligus meminggirkan
kepentingan kaum perempuan di
sisi lain. Tersirat dengan jelas dalam
Undang-Undang Perkawinan
Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku •
tersebut bahwa tugas utama seorang
istri “tak lebih dari melayani”
suami dan karena itu mau tak mau
harus menerima poligami ketika
memiliki salah satu kelemahan
yang disebutkan di atas.
Selain aspek yuridis-normatif
seperti itu, sandaran teologis juga
bisa (dan biasa) dijadikan basis
argumen untuk melegalkan praktek
poligami. Padahal, melalui
pemahaman yang komprehensifkontekstual, tak sulit untuk
menyimpulkan bahwa monogamilah sejatinya asas perkawinan
yang diserukan ajaran Islam. Ingat
misalnya kisah murkanya Nabi
Muhammad ketika Ali ibn Abi
Thalib berencana untuk berpoligami
dan malah menyuruh Ali untuk
menceraikan istrinya jika masih
keukeuh untuk berpoligami.
Maraknya praktek poligami juga
kian dikokohkan oleh pelbagai
mitos dan logika bias gender yang
kerap dijadikan sebagai alat
pembenar. Mitos pertama, misalnya,
mengandaikan poligami sebagai
solusi bagi pelakunya untuk
menjauhi perselingkuhan atau zina.
Logika dari mitos yang biasanya
diteriakkan oleh para pelaku
poligami ini secara jelas memposisikan istri semata-mata sebagai
objek seksual dalam sebuah
perkawinan.
Ada juga mitos lain: jumlah
penduduk perempuan Indonesia
Jurnal Perempuan 48
yang konon jauh lebih banyak
dibandingkan jumlah laki-laki.
Padahal, mengacu sensus tahun
2000 saja, misalnya, jumlah
perempuan ternyata (hanya) 51%
dari seluruh penduduk Indonesia.
Mitos-mitos ini bisa berkembang
pesat di tengah masyarakat karena
rendahnya tingkat pendidikan perempuan – akibat lain ketimpangan
posisi antara laki-laki dan perempuan yang menghasilkan pendidikan diskriminatif dan bias gender.
***
Alhasil, untuk mewujudkan
masyarakat yang betul-betul mampu
merayakan kesetaraan posisi antara
perempuan dan laki-laki dalam
segala aspek, kita masih menghadapi banyak pekerjaan rumah
yang musti segera diselesaikan. Apa
yang dilakukan beberapa negara
seperti Yordania, Maroko, Turki,
dan Pakistan, yang memiliki aturan
hukum lebih tegas dalam membela
kepentingan perempuan, tampaknya layak diteladani negara
berpenduduk muslim terbesar di
dunia ini.
Semakin beradab sebuah
masyarakat, semakin langka
dijumpai praktek poligami. Hasil
kajian cukup komprehensif perihal
wacana dan praktek poligami di
Indonesia, seperti dihidangkan
sepanjang buku ini, barangkali bisa
kita jadikan salah satu titik-tolak
menuju ke situ. (Damanhuri)
145
• Rak Buku •
Kisah Pemberontakan
Perempuan Cina
Judul Buku
Judul Asli
Penulis
Penerjemah
Penerbit
Terbit
Tebal
S
: Snow Flower
: Snow Flower and The Secret Fan
: Lisa See
: A. Rahartati Bambang Haryo
: Qanita Mizan, Bandung
: Cetakan I, Juni 2006
: x + 556 Halaman
ampai tingkat tertentu, sastra
melukiskan kecenderungankecenderungan utama dalam
masyarakatnya, baik karena sebuah
teks dengan sadar atau tak sadar
mengungkapkannya, maupun
karena teks tersebut dengan sengaja
atau tanpa sengaja menghindari
atau mengelabuinya. Sebuah cerita
bisa saja melukiskan situasi
kejiwaan seorang individu, tetapi
situasi kejiwaan tersebut dapat
menjadi metafora untuk keadaan
masyarakat tempat tokoh bersangkutan hidup.
Novel Snow Flower karya Lisa
See, pengarang kelahiran Prancis
keturunan Cina ini, menyuguhkan
cerita yang banyak mengungkap
kepedihan kehidupan para
tokohnya, namun bukan berarti
146
novel ini menjadi novel yang
cengeng karena melalui para
tokohnya pula, tercermin ketegaran
dalam menghadapi penderitan,
baik dari kungkungan tradisi
maupun dari berbagai peristiwa
pahit yang harus mereka lalui.
Selain menyajikan cerita yang
menyentuh dan plot yang enak
diikuti, novel ini juga sarat dengan
budaya Cina abad ke-19, khususnya mengenai kehidupan kaum
perempuannya, yang ditampilkan
melalui penggambaran tradisi
pengikatan kaki, nu shu (rahasia
kaum perempuan yang tidak boleh
diketahui kaum lelaki), upacara
perjodohan hingga pernikahan,
serta kehidupan keseharian para
perempuan Cina dalam menjalani
siklus kehidupan mulai kecil hingga
Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku •
masa tuanya.
Salah satu hal yang paling
menarik dalam novel ini adalah
penggambaran mendetail tradisi
pengikatan kaki. “Hanya melalui
rasa sakit kaudapatkan kecantikan.
Hanya melalui penderitaan
kaudapatkan kedamaian”, demikian makna filosofis dari tradisi ini.
Mungilnya kaki seorang perempuan kelak akan ditunjukkan
sebagai bukti kepada calon mertua
dan ipar tentang kekuatan dalam
pengendalian diri, serta kemampuan untuk menahan penderitaan
dalam persalinan.
Di Cina masa lampau, kecantikan perempuan diukur dari
bentuk kakinya. Seorang gadis
dianggap cantik jika memiliki
telapak kaki kecil dengan bentuk
jari-jemari mengarah ke tumit
menyerupai kuncup bunga teratai.
Namun sayangnya, jalan untuk
mendapatkan kaki mungil itu
harus ditebus perempuan Cina
dengan penderitaan yang luar
biasa.
Melalui novel ini, Lisa See
seolah hendak menegaskan bahwa
setiap kebudayaan di setiap masa
memiliki definisi yang unik soal
kecantikan perempuan. Definisi
yang tak jarang justru menyiksa
perempuan itu sendiri.
Sikap dan pandangan hidup
masyarakat Cina abad ke-19
terhadap kaum perempuan pun
Jurnal Perempuan 48
tergambar dengan jelas dalam novel
ini. Perempuan Cina hidup dalam
kungkungan tradisi. Setelah
menjalani pengikatan kaki, hidup
mereka dihabiskan di ruang atas
dan dapur yang terpisah dari kaum
lelaki. Setelah menikah, mereka
harus hidup melayani suami,
mertua, hingga ipar-iparnya. Tugas
terberat mereka adalah melahirkan
anak laki-laki sebagai penerus
keluarga suami. Jika tidak berhasil,
mereka akan disisihkan dan dapat
digantikan posisinya sewaktuwaktu. Hal tersebut terjadi karena
dalam budaya Cina saat itu
melahirkan anak laki-laki adalah
fondasi bagi harga diri perempuan
sekaligus mahkota kemuliaan
baginya.
Kisah dalam novel ini dimulai
ketika seorang perempuan tua jatuh
pingsan di sebuah stasiun daerah
pedesaan Cina. Polisi menggeledah
barang-barang miliknya dan
menemukan selembar kertas berisi
kode rahasia. Perempuan itu
ditahan dan dicurigai sebagai
mata-mata musuh. Tetapi, para
cendekiawan yang mengurai
tulisan itu mendapati bahwa kode
tersebut adalah nu shu. Tulisan itu
digunakan oleh para perempuan
di derah terpencil di selatan
Provinsi Hunan, dan diyakini
berkembang seribu tahun yang lalu.
Novel berdasar penelitian mendalam Lisa Lee ini ditulis dengan
147
• Rak Buku •
gaya memoar seorang perempuan
berusia 80 tahun yang bernama
Lily, yang menceritakan pengalaman hidupnya bersama Bunga
Salju (snow flower), laotong(kembaran
sehati)-nya. Mereka berdua
dipertemukan sebagai sepasang
kembaran sehati oleh nasib dan
tradisi. Persaudaraan laotong
melibatkan dua orang gadis dari
desa yang berbeda dan berlangsung
seumur hidup. Kedua gadis tersebut
harus dilahirkan pada hari,
tanggal, bulan, dan tahun yang
sama. Lily dan Bunga Salju
memenuhi seluruh syarat sebagai
laotong.
Komunikasi Lily dan Bunga
Salju sebagai sepasang laotong
dikuriri sebuah kipas yang berisi
tulisan nu shu. Kipas inilah yang
kelak menjadi titik pijak persahabatan mereka. Perbedaan mereka
terletak pada status sosial. Lily
berasal dari keluarga petani
sederhana, sementara Bunga Salju
berasal dari keluarga terpandang
dan terpelajar. Tetapi, perbedaan
ini justru membuat mereka saling
melengkapi.
Lily memulai kisahnya pada
1828, ketika dia berusia 5 tahun dan
tinggal di desa Puwei, di barat daya
Cina. Kebebasan masa kecilnya tibatiba terampas ketika dia harus
menjalani pengikatan kaki. Harus,
karena perempuan Cina yang
kakinya tidak diikat atau berkaki
148
lebar adalah perempuan ‘rendahan’
yang nantinya hanya pantas
dijadikan pelayan atau ‘menantu
kecil’ yang tak berharga.
Ketika Bunga Salju dan Lily
telah berusia 11 tahun dan kaki
mereka telah membentuk bunga lili
yang indah, mereka pun masingmasing dijodohkan. Lily dijodohkan dengan anak kepala desa
Tongkou yang memiliki reputasi
sebagai keluarga terpelajar
sekaligus dihormati oleh masyarakatnya, sedangkan Bunga Salju
dijodohkan dengan anak seorang
tukang jagal. Sebuah perbedaan
nasib.
Novel ini menceritakan kisah
pemberontakan perempuan Cina
terhadap tradisi yang mengekang
dan menomorduakan perempuan.
Pemberontakan itu disalurkan
dengan sebuah tulisan rahasia
kaum hawa yang disebut nu shu.
Dengan nu shu, perempuan Cina
bisa berbagi cerita dengan temantemannya, termasuk mengungkapkan arti mencintai dan dicintai.
Dan masih banyak lagi tradisitradisi dan kultur masyarakat Cina
abad 19 yang terungkap dalam
novel ini. Walau sarat dengan
paparan budaya Cina yang eksotis,
novel ini tidaklah membosankan.
Secara piawai, Lisa See meramu
unsur-unsur tersebut menjadi
sebuah cerita yang anggun. (Nur
Faizah)
Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku •
Portal berita perempuan pertama
di Indonesia dengan corak
jurnalisme yang sensitif gender,
kami ingin menampilkan
kesetaraan dalam aktualitas.
Ikuti:
• Berita perempuan terkini
• Profil tokoh perempuan
• Artikel perempuan
• Feature perempuan
• Agenda-agenda YJP terbaru
• Konselling
• Produk-produk YJP
• Program-Program YJP
• dsb
Jurnal Perempuan 48
149
• Tips •
Apikasi Kebijakan Gender Budgeting sebagai
Metodologi Feminis:
Menghapus Bentuk-bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan Melalui Alokasi
Anggaran Pemerintah 1
Jurnal Perempuan edisi 46 yang mengangkat tema “Sudahkah Anggaran
Kita Sensitif Gender?” telah banyak membahas bagaimana anggaran yang
berkeadilan gender (gender budgeting) bisa menjadi sebuah alat analisa
dan praktek yang cukup efektif menjawab persoalan diskriminasi
terhadap perempuan. Dalam edisi tersebut telah dibahas pula bagaimana
untuk banyak negara gender budgeting terbukti bisa menjadi resep manjur
untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan, tingkat kekerasan
domestik, memerangi kebodohan perempuan dan bentuk-bentuk
kekerasan lainnya.
Gender budgeting adalah salah satu metodologi feminis dalam hal
kebijakan anggaran yang diterapkan agar pemerintah di sebuah negara
berkonsentrasi membantu kelompok yang kekurangan (kelompok
perempuan) dan menyediakan tempat untuk mereka. Dalam hal ini
pemerintah berkewajiban untuk memprioritaskan pelayanan terbaik
untuk kebutuhan dan keuntungan masyarakat. Dan kita tahu,
diskriminasi terhadap perempuan sering menjadi kendala utama dalam
mencapai hal ini.
Oleh karena itu, UNIFEM (United Nations Development Fund for Women)
melalui IWRAW (The International Women’s Rights Action Watch) – sebuah
organisasi internasional yang memperjuangkan hak-hak asasi
perempuan melalui CEDAW (lihat bawah) dan instrumen hak asasi
manusia internasional lainnya – membuat sebuah panduan tentang
budget checklist untuk pasal-pasal dalam Konvensi CEDAW atau Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan untuk
memudahkan aplikasi kebijakan ini.
IWRAW dan the Commonwealth Secretariat (1996) berhasil
menciptakan sebuah panduan atau metodologi yang sangat berguna
bagi Anda, terutama bagi Anda di lembaga pemerintah, LSM, Pusat Studi
Wanita, dan organisasi perempuan untuk membuat dan menilai laporanlaporan ke CEDAW. Panduan ini memuat banyak sekali pertanyaan
150
Jurnal Perempuan 48
• Tips •
tentang undang-undang, kebijakan dan program. Meski tidak terlalu
banyak membicarakan anggaran, panduan ini memberikan contoh
beberapa pertanyaan tentang anggaran yang bisa digunakan untuk
mengukur keadilan gendernya.
Panduan dari IWRAW/Commonwealth Secretariat ini menjadi salah
satu bahan masukan penting bagi pemerintah, LSM, dan organisasi
perempuan jika mereka ingin meneliti aspek-aspek anggaran CEDAW.
Berikut adalah tabel panduan pertanyaan-pertanyaan anggaran
sekaligus indikator yang dihasilkan untuk mengaplikasikan beberapa
pasal-pasal dalam CEDAW sebagai sebuah metodologi agar anggaran
memiliki respon terhadap kepentingan penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan.
Pasal 1: Batasan diskriminasi terhadap perempuan
Untuk keperluan Konvensi CEDAW istilah diskriminasi terhadap perempuan
adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang
diberlakukan atas dasar jenis kelamin yang bertujuan mengurangi atau
menghapuskan pengakuan atas, penikmatan, atau pelaksanaan oleh
perempuan tanpa mempertimbangkan status perkawinan mereka atau
atas dasar asas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi, dan
kebebasan atau kemerdekaan mereka dalam sektor politik, ekonomi, sosial,
budaya, hukum, dan lain-lain
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Adakah undang-undang anti diskriminasi? Jika ada, berapa besar dana
yang diberikan untuk melaksanakannya? Misalnya, adakah uang yang
dialokasikan untuk ombudsperson
kepada siapa seseorang dapat mendaftarkan tuntutan diskriminasi?
2. Adakah dana untuk badan-badan lain, misalnya komisi perempuan, yang
mendorong hak-hak perempuan?
Berapa banyak kasus diskriminasi yang
diajukan kepada ombudsperson dan
berapa banyak keluhan yang muncul dari
kaum perempuan dan berapa dari
laki-laki?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
yang menerima bantuan hukum untuk
membawa kasus diskriminasi ke muka
pengadilan? Berapa jumlah rata-rata
bantuan yang diterima perempuan dan
laki-laki tersebut dalam hal ini?
3. Adakah dana bantuan hukum unApa yang “diberikan” oleh komisi gender
tuk membantu orang membawa ka- atau badan sejenis? Misalnya, berapa
sus diskriminasi ke muka pengadilan? banyak proyek penelitian yang mereka
Jurnal Perempuan 48
151
• Tips •
danai? Berapa banyak kasus yang mereka
bawa ke mahkamah konstitusi atau
pengadilan lain? Berapa banyak lokakarya
peningkatan kesadaran yang mereka
adakan, dan berapa banyak perempuan
dan laki-laki yang hadir dalam lokakarya
tersebut?
Pasal 2: Kewajiban untuk menghapus diskriminasi
Negara mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bentuk
dan setuju untuk, dengan segala cara dan sesegera mungkin,
mengusahakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan,
dalam hal ini, menyatakan bahwa negara:
a) Akan mengakui asas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam
undang-undang atau peraturan negara dan melaksanakan asas-asas
tersebut;
b) Membuat kebijakan atau melaksanakan tindakan yang sesuai, termasuk
sangsi jika perlu, yang melarang semua diskriminasi terhadap
perempuan;
c) Menerapkan perlindungan hukum atas hak-hak perempuan sesuai asas
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta memastikan lewat unsur
peradilan nasional atau badan publik dilaksanakannya perlindungan
bagi perempuan terhadap tindak diskriminasi;
d) Menarik diri dari segala tindakan atau praktek-praktek diskriminasi
terhadap perempuan dan memastikan badan serta lembaga berwenang
publik bertindak sesuai dengan ketentuan ini;
e) Melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus praktek
diskriminasi terhadap perempuan oleh siapapun, organisasi atau
perusahaan manapun;
f) Melaksanakan semua tindakan yang perlu termasuk membuat kebijakan
untuk menghapus peraturan, undang-undang, ketentuan, kebiasaan,
dan praktek-praktek lama yang mendiskriminasi perempuan;
g) Menghapus semua ketentuan pidana yang bersifat diskriminatif
terhadap perempuan.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Berapa besar dana yang telah dialo- Berapa banyak (perempuan dan lakikasikan untuk melatih personil polisi, laki) anggota kepolisian, personil pepengadilan, penjara, dan kesehatan ngadilan, personil penjara, dan personil
zuntuk menangani kasus kekerasan kesehatan yang menerima pelatihan
berbasis gender?
penanganan kekerasan berbasis gender?
2. Apakah kementerian mengalokasikan Berapa banyak korban/korban selamat
dana untuk memberi nasehat atau kekerasan berbasis gender yang menebimbingan kepada korban kekerasan? rima layanan nasehat dan bimbingan
dari badan pemerintah?
152
Jurnal Perempuan 48
• Tips •
3. Apakah kementerian menyediakan
bantuan keuangan kepada NGO yang
menawarkan layanan kepada korban
dan perempuan yang berhasil selamat dari kekerasan berbasis gender?
4.
5.
Berapa jumlah LSM yang memberikan
layanan bagi korban kekerasan berbasis
gender yang menerima bantuan
finansial dari pemerintah?
Berapa rata-rata jumlah yang diterima
di kawasan pedesaan dan perkotaan?
Berapa jumlah orang dibantu oleh LSM
pedesaan dan perkotaan yang menerima bantuan finansial dari pemerintah?
Pasal 3: Pengembangan dan pemajuan perempuan
Negara wajib mengambil, dalam semua bidang khususnya bidang politik,
sosial, ekonomi dan budaya, semua tindakan yang perlu, termasuk
membuat peraturan, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan
perempuan secara penuh, yang tujuannya adalah menjamin pelaksanaan
dan penikmatan hak asasi dan hak dasar mereka sesuai asas kesetaraan
dengan laki-laki.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah pada programprogram untuk mengurangi beban
kerja tanpa bayaran perempuan –
misalnya penyediaan tenaga listrik
dan air bersih di dekat tempat tinggal, penyediaan tempat perawatan
dan penitipan anak setelah sekolah,
subsidi kepada LSM yang memberikan layanan kepada anak-anak?
2.
Berapa jumlah rumah tangga yang
memperoleh listrik dan air bersih
untuk pertama kalinya dalam tahun
anggaran tersebut?
3
Berapa jumlah anak yang mendatangi
tempat perawatan dan penitipan anak
sesuai sekolah?
Berapa jumlah LSM (di desa dan kota)
yang menerima bantuan penyediaan
perawatan dan penitipan anak usai
sekolah?
Pasal 4: Percepatan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
1. Semua tindakan sementara oleh negara yang ditujukan untuk
mempercepat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak akan
dianggap sebagai pelanggaran terhadap Konvensi CEDAW akan tetapi
dalam segala hal semua tindakan sementara yang menyebabkan tetap
bertahannya ketimpangan atau ketidaksejajaran tersebut harus
dihentikan setelah tujuan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
telah dicapai.
Jurnal Perempuan 48
153
• Tips •
2. Pelaksanakan tindakan khusus oleh negara, termasuk tindakan yang
direkomendasikan Konvensi CEDAW untuk melindungi kehamilan, tidak
akan dianggap diskriminatif.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan khusus perempuan, misalnya dana khusus bagi
perempuan untuk menikmati pendidikan lanjutan, atau mengambil
jurusan teknis?
2. Sudahkah pemerintah mengalokasikan skema kredit khusus bagi perempuan?
Berapa jumlah perempuan yang
tertolong oleh dana khusus? Berapa
jumlah rata-rata dana khusus tersebut?
Berapa jumlah perempuan dengan
dana khusus terdaftar dalam bidang
kajian yang berlainan?
Berapa jumlah perempuan pedesaan
dan perkotaan yang menerima kredit
dari skema kredit khusus? Berapa
jumlah rata-rata pinjaman tersebut?
Pasal 5: Peran jenis kelamin dan pelabelan negatif
Negara wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk:
a) mengubah pola sosial dan budaya yang mengatur tindak-tanduk
perempuan, guna menghapuskan kebiasaan yang penuh prasangka
serta praktek-praktek lain yang dilandasi gagasan tentang inferioritas
salah satu jenis kelamin dan stigma peran perempuan;
b) memastikan pendidikan keluarga mencakup pemahaman yang
memadai bahwa melahirkan adalah sebuah fungsi sosial dan
pengakuan atas kesamaan tanggungjawab antara perempuan dan lakilaki dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka, dengan
memahami bahwa kepentingan anak adalah yang paling utama
mengalahkan semua pertimbangan lain.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah buku bacaan yang dikaji
kan dana untuk meninjau kurikulum untuk memastikan buku-buku tersebut
sekolah, untuk memastikan kuriku- tidak mendorong gagasan yang bersifat
lum tersebut tidak bias gender?
seksis?
2. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah guru (perempuan dan
kan dana untuk melatih para guru
laki-laki) yang menerima pelatihan
agar peka gender dalam cara mereka kepekaan gender?
mengajar dan memperlakukan murid
perempuan dan laki-laki?
3. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah anak perempuan yang
kan dana untuk mendorong anak
telah menerima insentif untuk
perempuan untuk mengambil jumengambil jurusan non-tradisional?
rusan non-tradisional?
154
Jurnal Perempuan 48
• Tips •
4. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah pegawai negeri laki-laki
kan dana cuti melahirkan bagi pega- yang telah mengambil cuti melahirkan
wai negeri untuk mendorong laki- tanpa dan dengan bayaran?
laki memainkan peran sebagai perawat dan membesarkan anak-anak?
Pasal 6: Tekanan terhadap eksploitasi perempuan
Negara wajib mengambil semua tindakan yang perlu termasuk membuat
undang-undang untuk menekan semua bentuk perdagangan perempuan
dan eksploitasi perempuan dalam pelacuran.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk mengawasi, mengadili, dan menghukum praktek perdagangan perempuan dan
anak perempuan?
2 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk mengawasi, mengadili, dan menghukum
perempuan yang terlibat dalam
usaha seks komersial?
3 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk mengawasi, mengadili, dan menghukum
germo dan pihak lain yang meraup
keuntungan dari usaha seks
komersial?
4 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk badan
pemberi kerja yang membantu perempuan mencari jenis pekerjaan
lain?
5 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk pelatihanpelatihan, yang membantu perempuan memperoleh ketrampilan untuk melakukan pekerjaan lainnya?
Berapa jumlah pelaku perdagangan
manusia dan pelanggan yang dituntut,
dinyatakan bersalah dan dihukum?
Berapa jumlah pekerja seks komersial
yang telah dituntut, dinyatakan
bersalah dan dihukum?
Berapa jumlah perempuan yang hampir
terpaksa melakukan usaha seks
komersial dibantu badan pemberi kerja
pemerintah mendapatkan jenis
pekerjaan lain?
Berapa jumlah perempuan yang hampir
terpaksa melakukan usaha seks
komersial menerima pelatihan untuk
perkerjaan lain lewat programprogram pemerintah?
Pasal 7: Kehidupan politik dan publik
Negara wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik
di wilayah negara dan secara khusus menjamin hak yang sama bagi
perempuan, sesuai prinsip kesetaraan dengan laki-laki, untuk:
a) memberikan suara dalam semua pemilihan umum dan referendum dan
Jurnal Perempuan 48
155
• Tips •
untuk dipilih dalam semua badan hasil pemilihan umum;
b) ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya
dan menjabat jabatan publik serta melaksanakan fungsi publik pada
semua jenjang pemerintahan;
c) bergabung dengan LSM dan organisasi yang mengurusi kehidupan
publik dan politik negara.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Berapa jumlah dana yang dialokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
kan pemerintah untuk pendidikan yang melaksanakan berbagai bentuk
pemilih lewat beragam jenis media, program pemerintah untuk mendidik
dan ditujukan untuk beragam jenis pemilih?
pembaca/penonton/pendengar?
2. Berapa jumlah dana yang dialokasi- Berapa proporsi keanggotaan
kan pemerintah untuk merawat
perempuan dan laki-laki pada parlemen
anak-anak anggota parlemen atau
atau legislatif yang memanfaatkan dana
legislatif?
perawatan yang dibiayai pemerintah?
3. Berapa jumlah dana yang dialokasi- Berapa jumlah perempuan yang
kan pemerintah untuk pelatihan khu- dibantu lewat pelatihan khusus dan
sus dan tindakan-tindakan lain untuk tindakan lain untuk membantu mereka
memastikan perempuan menduduki meraih jabatan publik yang lebih
jabatan publik yang lebih tinggi?
tinggi?
4. Berapa jumlah alokasi dana gaji ma- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
sing-masing anggota legislatif atau yang menjadi anggota parlemen,
masing-masing anggota komisi
legislatif, atau anggota komisi
kemasyarakatan?
kemasyarakatan (dan memperoleh gaji
dan tunjangan)?
Pasal 8: Perwakilan dan partisipasi internasional
Negara wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk menjamin
atas dasar syarat dan ketentuan yang sama dengan laki-laki dan tanpa
diskriminasi, kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka di kancah
internasional dan ikut serta dalam proyek badan internasional.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan anggaran pelatihan khusus bagi
perempuan untuk memperoleh keterampilan mewakili negara mereka
secara internasional?
2. Berapa dana yang telah dialokasikan
oleh pemerintah untuk membantu
wakil internasionalnya dalam pengeluaran keluarga?
156
Beberapa Indikator Hasil Akhir
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
yang mewakili negara mereka di
kancah internasional pada tingkatan,
dan tingkat upah, yang berbeda-beda?
Jurnal Perempuan 48
• Tips •
Pasal 9: Kewarganegaraan
1. Negara memberi perempuan hak yang sama dengan laki-laki untuk
memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraan
mereka. Negara wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing
atau perubahan kewarganegaraan suami selama perkawinan tidak
dengan sendirinya mengubah kewarganegaraan isteri, atau
menganggapnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau
memaksanya memiliki kewarganegaraan yang sama dengan suami.
2. Negara memberi perempuan hak yang sama dengan laki-laki
menyangkut kewarganegaraan anak-anak mereka.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan anggaran untuk memberitahu
perempuan dan laki-laki hak-hak kewarganegaraan mereka, pasangan
mereka, dan anak-anak mereka?
2. Sudahkah pemerintah mengalokasikan anggaran untuk melatih pejabat
pemerintah sehingga mereka tidak
melakukan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki ketika mengurus permohonan kewarganegaraan
mereka?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
memohon agar kewarganegaraan
pasangan dan anak mereka diubah?
Berapa dari permohonan ini yang
diterima?
Berapa jumlah pejabat pemerintah
yang menerima pelatihan tentang cara
mengurus permohonan kewarganegaraan tanpa diskriminasi?
Pasal 10: Pendidikan
Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus
diskriminasi terhadap perempuan, untuk menjamin kesamaan hak mereka
dengan laki-laki di bidang pendidikan dan khususnya, atas dasar asas
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, untuk memastikan:
a) Syarat yang sama untuk panduan karir dan kejuruan, akses kepada
pendidikan, dan perolehan ijasah dari lembaga pendidikan di semua
kategori di desa ataupun di kota; kesetaraan ini harus dijamin dalam
pendidikan pra-sekolah, teknik umum, keahlian, perguruan tinggi
teknik, dan semua jenis pendidikan kejuruan;
b) Akses ke kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan
kualifikasi yang sama, dan lokasi serta perlengkapan sekolah dengan
standar kualitas yang sama;
c) Penghapusan segala bentuk stigma konsep peranan wanita pada semua
jenjang dan semua bentuk pendidikan dengan mendorong proses
belajar bersama dan bentuk pendidikan lain yang akan membantu
mencapai tujuan ini dan khususnya revisi buku acuan dan programprogram lain serta penyesuaian metode pengajaran;
d) Kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat bea siswa dan
hibah sejenis;
Jurnal Perempuan 48
157
• Tips •
e) Kesempatan yang sama untuk mengakses program untuk melanjutkan
pendidikan, termasuk program pemberantasan buta huruf orang
dewasa dan masyarakat khususnya yang ditujukan untuk memperkecil
kesenjangan pendidikan sedini mungkin antara laki-laki dan
perempuan;
f) Penurunan angka perempuan putus sekolah dan membuat program
untuk anak perempuan atau perempuan putus sekolah;
g) Kesempatan yang sama untuk ikut serta secara aktif pada olah raga
dan pendidikan jasmani;
h) Akses ke informasi pendidikan khusus untuk memastikan kesehatan
dan kesejahteraan keluarga, termasuk informasi dan saran tentang
perencanaan keluarga.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Berapa besar dana yang dialokasikan Berapa jumlah mahasiswa perempuan
pemerintah untuk masing-masing
dan laki-laki yang diterima untuk
jenjang pendidikan dan pelatihan
masing-masing jenjang pendidikan dan
dan masing-masing jenis lembaga? masing-masing jenis lembaga?
Berapa yang dialokasikan untuk setiap mahasiswa pada masing-masing
jenjang pendidikan dan pada masingmasing jenis lembaga?
2. Berapa besar dana yang dialokasikan Berapa jumlah mahasiswa perempuan
pemerintah sebagai anggaran khusus dan laki-laki yang menerima dana
dan kredit untuk bidang studi yang khusus dan pinjaman untuk bidang
berbeda pada jenjang yang berbeda? studi yang berbeda dan pada tiap jenis
lembaga? Berapakah jumlah rata-rata
untuk mahasiswa perempuan dan untuk
mahasiswa laki-laki dalam hal ini?
3. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah mahasiswi dan
kan dana untuk menampung maha- mahasiswa yang diberi penampungan
siswa pada jenjang yang berbeda?
gratis pada jenjang yang berbeda?
4. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah mahasiswi dan
kan dana untuk prasarana olahraga mahasiswa yang ikut serta dalam
yang berbeda?
cabang olahraga yang berbeda?
Pasal 11: Lapangan Kerja
1. Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang lapangan kerja
untuk menjamin, berdasar asas kesetaraan perempuan dan laki-laki,
persamaan hak-hak khususnya:
a. Hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia yang paling hakiki;
b. Hak untuk memperoleh kesempatan bekerja yang sama, termasuk
penetapan kriteria yang sama dalam seleksi suatu pekerjaan;
158
Jurnal Perempuan 48
• Tips •
c. Hak untuk memilih profesi dan pekerjaan, hak kenaikan jabatan,
jaminan kerja dan semua manfaat serta ketentuan pelayanan dan
hak untuk memperoleh pelatihan khusus dan pelatihan kembali,
termasuk magang, pelatihan khusus tingkat mahir dan pelatihan
pemutakhiran;
d. Hak atas imbalan yang sama, termasuk manfaat dan perlakuan yang
sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama juga kesetaraan
perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan;
e. Hak atas jaminan sosial khususnya menyangkut pensiun, pemutusan
hubungan kerja, sakit, cacat, hari tua, dan ketidakmampuan lainnya;f.
Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja,
termasuk perlindungan fungsi reproduksi.
2. Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar
perkawinan atau peristiwa melahirkan dan untuk menjamin efektifitas
hak untuk bekerja, negara wajib mengambil tindakan yang perlu:
a. Untuk melarang, dengan ancaman sangsi, pemecatan karena alasan
kehamilan atau melahirkan dan diskriminasi pemecatan karena
alasan status perkawinan;
b. Untuk memperkenalkan cuti melahirkan dengan bayaran atau
tunjangan sosial sejenis, tanpa kehilangan pekerjaan, tunjangan
senioritas atau sosial;
c. Untuk mendorong disediakannya layanan bantuan sosial yang
diperlukan sehingga orangtua dapat menggabungkan kewajiban
keluarga dan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam
kehidupan publik, khususnya dengan mempromosikan pembangunan dan pengembangan jaringan fasilitas penitipan anak;
d. Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama
kehamilan untuk jenis-jenis pekerjaan yang terbukti membahayakan
mereka.
3. Undang-undang perlindungan untuk hal-hal yang dicakup oleh pasal
ini wajib ditinjau secara periodik secara ilmiah dan teknis dan direvisi,
dibatalkan atau diperpanjang jika perlu.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana asuransi pengangguran
atau bentuk jaminan sosial lainnya?
Khususnya, sudahkah pemerintah
mengalokasikan dana jaminan sosial
untuk kehamilan dan melahirkan?
2. Sudahkah pemerintah mengalokasikan atau memberi subsidi perawatan
di tempat kerja?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
yang memperoleh manfaat dari masingmasing jenis jaminan sosial yang
didanai pemerintah tersebut? Berapa
rata-rata jumlah yang diterima?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
yang memanfaatkan dana perawatan
subsidi pemerintah di tempat kerja
bagi anak-anak mereka?
3. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
kan dana bagi lembaga/komisi yang yang dipekerjakan pada sektor-sektor
Jurnal Perempuan 48
159
• Tips •
meninjau dan membuat rekomendasi tentang upah dan kondisi kerja?
Jika ya, apakah lembaga/komisi ini
mencakup pembantu rumah tangga
atau pekerja informal lainnya?
4. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana bagi suatu lembaga atau
ombudsperson kepada siapa orang
mendaftarkan sengketa atau keluhan
terkait pekerjaan?
Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana untuk cuti melahirkan dengan bayaran penuh, cuti merawat
bayi, atau bantuan finansial lainnya
kepada pegawai negeri perempuan
yang memikul tugas melahirkan dan
membesarkan anak?
5.
6.
yang dikaji oleh lembaga/komisi yang
mengurusi masalah gaji dan kondisi
kerja?
Berapa jumlah perempuan, laki-laki,
dan anak-anak yang menerima layanan
kesehatan gratis dan berapa yang harus
membayar jasa tersebut?
Berapa jumlah pekerja kesehatan desa
dan masyarakat yang dipekerjakan
pemerintah?
Berapa jumlah perempuan dan bayi
mereka yang menerima perawatan
anti-retroviral untuk mencegah
penularan penyakit dari orangtua/ibu
kepada anak?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
lain yang menerima dukungan antiretroviral yang didanai pemerintah?
Pasal 13: Manfaat sosial dan ekonomi
Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus
diskriminasi terhadap perempuan pada wilayah kehidupan ekonomi dan
sosial lainnya untuk menjamin, atas dasar kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki, kesamaan hak, khususnya:
a) Hak atas tunjangan keluarga;
b) Hak atas kredit perbankan, hipotek, dan bentuk-bentuk bantuan
finansial lainnya;
c) Hak ikut serta dalam aktifitas rekreatif, olah raga dan semua aspek
kehidupan berbudaya.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
kan dana subsidi perumahan dan
penerima subsidi perumahan dan
tanah?
tanah? Berapa besarnya rata-rata untuk
perempuan dan laki-laki?
2. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
kan dana penyediaan pinjaman atau penerima pinjaman dan kredit dari
kredit kepada warganya?
anggaran pemerintah? Berapa besarnya
160
Jurnal Perempuan 48
• Tips •
rata-rata untuk perempuan dan lakilaki?
3. Sudahkah pemerintah memberi ke- Berapa jumlah pasangan, ibu tunggal,
ringanan pajak kepada orang-orang dan ayah tunggal penerima keringanan
yang memiliki anak?
pajak untuk anak-anak mereka?
4. Apakah orang yang telah menikah
Berapakah proporsi perempuan dan
dan tidak menikah diperlakukan ber- laki-laki yang berpartisipasi dalam
beda dalam hal pajak?
aktifitas olahraga nasional?
5. Berapa besar proporsi belanja pemerintah untuk olahraga yang umumnya dimainkan atau dinikmati lakilaki dibandingkan perempuan?
Pasal 13: Bantuan khusus untuk perempuan pedesaan
1. Negara wajib mempertimbangkan permasalahan khusus yang dihadapi
perempuan di pedesaan dan peranan penting yang dimainkan
perempuan pedesaan bagi kelangsungan ekonomi keluarga mereka,
termasuk pekerjaan mereka pada sektor informal, dan wajib melaksanakan
semua tindakan yang perlu untuk memastikan diterapkannya ketentuan
Konvensi CEDAW bagi semua perempuan di kawasan pedesaan.
2. Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan untuk
menjamin, atas dasar kesetaraan perempuan dan laki-laki, mereka ikut
serta dan memperoleh manfaat dari pembangunan desa dan secara khusus
memastikan hak-hak perempuan tersebut untuk:
a. Ikut serta dalam pengembangan dan pelaksanaan perencanaan
pembangunan pada semua tingkatan;
b. Memperoleh akses ke fasilitas kesehatan yang memadai, termasuk
informasi, bimbingan, dan layanan perencanaan keluarga;
c. Memperoleh manfaat langsung dari program jaminan sosial;
d. Memperoleh semua jenis pelatihan dan pendidikan, formal dan
informal, termasuk pelatihan dan pendidikan tentang melek huruf
dalam masyarakat, di antaranya, manfaat semua perluasan layanan
masyarakat untuk meningkatkan kelancaran teknis mereka;
e. Mengatur kelompok bantuan mandiri dan koperasi untuk memperoleh
akses yang sama terhadap kesempatan ekonomi lewat pemberian kerja
atau wiraswasta;
f. Ikut serta dalam semua aktivitas masyarakat;
g. Mempunyai akses kepada kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas
pemasaran dan teknologi yang tepat serta perlakuan yang sama dalam
reformasi tanah dan agraria termasuk skema perolehan tanah;
h. Menikmati kondisi hidup yang mencukupi, khususnya dalam hal papan,
sanitasi, listrik dan air bersih, sarana transportasi, dan komunikasi.
Jurnal Perempuan 48
161
• Tips •
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberpa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
kan dana kredit dan pinjaman permemperoleh manfaat dari kredit dan
tanian?
pinjaman pertanian subsidi
pemerintah? Berapa besaran rata-rata
untuk perempuan dan laki-laki?
2. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
kan dana layanan pengembangan
penerima layanan pengembangan
pertanian?
pertanian dari pemerintah?
3. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
kan dana untuk membantu petani
penerima bantuan teknologi dari
pedesaan dengan teknologi?
pemerintah?
4. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
kan dana untuk membantu petani
penerima bantuan pemasaran dari
pedesaan dengan pemasaran?
pemerintah?
Pasal 15: Kesetaraan di muka hukum dan semua perkara hukum
1. Negara wajib memperlakukan perempuan sama dengan laki-laki di
muka hukum;
2. Negara wajib memberikan kepada perempuan dalam semua perkara
hukum, kapasitas hukum yang sama dengan laki-laki serta kesempatan
yang sama untuk melaksanakannya. Negara secara khusus wajib
memberi perempuan hak yang sama untuk membuat perjanjian dan
mengurus harta benda dan memperlakukan mereka secara sama dalam
semua tahap acara di muka pengadilan atau mahkamah;
3. Negara setuju bahwa semua kontrak dan dokumen pribadi apapun
bentuknya yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan untuk
membatasi kapasitas hukum perempuan akan dianggap tidak berlaku
dan tidak sah;
4. Negara memberikan hak yang sama kepada laki-laki dan perempuan
dalam hal hukum yang menyangkut kepindahan seseorang dan pilihan
tempat tinggal serta domisili mereka.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana untuk membantu perempuan dan laki-laki membiayai
perceraian?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki
penerima bantuan finansial dari
pemerintah untuk menutup biaya
perceraian?
Pasal 16: Kesetaraan di dalam perkawinan dan undang-undang
keluarga
1. Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua hal yang
162
Jurnal Perempuan 48
• Tips •
menyangkut perkawinan dan hubungan keluarga serta, khususnya,
menjamin, atas dasar kesetaraan perempuan dan laki-laki:
a. Hak yang sama untuk memasuki suatu perkawinan;
b. Hak yang sama untuk secara bebas memilih pasangan dan masuk ke
dalam perkawinan hanya atas kemauan bebas dan penuh mereka
sendiri;
c. Hak dan tanggungjawab yang sama dalam suatu perkawinan dan
setelah suatu perkawinan berakhir;
d. Hak dan tanggungjawab yang sama sebagai orangtua tanpa
mempertimbangkan status perkawinan mereka dalam hal-hal yang
berhubungan dengan anak-anak; dalam segal hal kepentingan anak
wajib dinomorsatukan;
e. Hak yang sama untuk secara bebas dan bertanggungjawab
memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak mereka dan untuk
memperoleh akses kepada informasi, pendidikan, dan sarana-sarana
untuk membantu mereka melaksanakan hak-hak tersebut;
f. Hak dan tanggungjawab yang sama terkait perwalian, pengawasan,
pembimbingan serta pengangkatan anak atau lembaga sejenis lain
di mana konsep-konsep ini diakui undang-undang negara tersebut;
dan dalam segala hal kepentingan anak wajib dinomorsatukan;
g. Hak pribadi yang sama sebagai suami dan isteri termasuk hak untuk
memilih nama keluarga, profesi, dan pekerjaan;
h. Hak yang sama untuk kedua pasangan tersebut atas kepemilikan,
pengambilalihan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan
disposisi properti baik secara gratis atau dengan biaya tertentu.
2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak mempunyai pengaruh
hukum dan semua tindakan yang perlu, termasuk pengesahan, wajib
dilaksanakan untuk menetapkan usia minimal untuk menikah dan
menjadikan pendaftaran perkawinan sebagai suatu kewajiban.
No. Beberapa Pertanyaan Tentang
Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dibantu
kan dana untuk fasilitas khusus di
pemerintah memperoleh pembayaran
pengadilan cerai atau perkawinan? tunjangan anak dari ayah anak-anak
mereka?
2. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana untuk meninjau hukum
perkawinan adat, agama, dan umum?
3. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana untuk menegakkan undangundang dukungan/tunjangan anak?
1
(diambil dari Buku Panduan The International Women’s Rights Action Watch (IWRAW),
UNIFEM, Bab 5: Budget Checklists for CEDAW Articles)
Jurnal Perempuan 48
163
• Puisi •
Semua puisi dan data-data diambil dari buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan
Perempuan di Indonesia, terbitan Jakarta, keluaran Penerbit Garba Budaya dan Kalyanamitra
tahun 1999. Kutipan Buiten het Gareel di halaman 115, “Wanita” di halaman 403 (versi
Contemporary Progressive Indonesian Poetry di halaman 280), dan petikan “Kemerdekaan” di
halaman 346.
Lepas dari Kekangan
Kutipan dari Roman Buiten het Gareel1
Soewarsih Djojopoespito
“Tentang urusan cinta aku mau sepenuhnya atau tidak sama sekali.
Cinta macam apakah itu, jika kamu harus berbagi dalam segalanya?”
“Janganlah terlalu murung sebelum habis segala-galanya. Tapi memang,
poligami bisa mengubah manusia jadi binatang ... Barang siapa menepuk dada
sendiri sebagai revolusioner, tidak akan mungkin memandang perempuan
lebih rendah dari laki-laki.”
Soelastri, dengan sangat ironis, wajah penuh kerut-mirut dan mulut geram,
melirik suaminya tajam-tajam:
“Di mulut semua laki-laki mengiyakan. Tapi dalam perbuatan kalian
sewenang-wenang terhadap perempuan.”
Wanita
Damairia2
Kami bukan lagi
bunga pajangan
yang layu dalam jambangan.
Cantik dalam menurut
indah dalam menyerah
molek tidak menentang
ke neraka mesti mengikut
ke sorga hanya menumpang.
Kami bukan juga
bunga tercampak
dalam hidup terinjak-injak.
Penjual keringat murah
buruh separuh harga
tiada perlindungan
164
Jurnal Perempuan 48
• Puisi •
tiada persamaan,
sarat dimuati beban.
Kami telah berseru
dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan:
“Kami manusia”.
petikan dari “Kemerdekaan”
Sugiarti3
Kami bukan lagi
sekadar melahirkan calon prajurit.
Tapi kami sendiri adalah prajurit.
bukan sekadar istri pahlawan bangsa,
karena kami sendiri pahlawan bangsa
dan ketika benteng-benteng jaman dihancurkan
dan kaum pekerja bangkit berdiri di tanah air
tak lagi kita sekadar menengok ke kubur
membaca doa dan meratap bagi yang gugur
kita pun bagian barisan terdepan.
Catatan Sumber
1
Buku ini terbit dengan judul Buiten het Gareel, Indonesische Roman, Utrecht, penerbit
De Haan, 1940.
2
Damaira adalah nama pena penyair dan penulis cerpen Lekra, Sugiarti Siswadi yang
meninggal di Yogyakarta tahun 1983. “Wanita” dimuat pertama kali di majalah Api
Kartini, Maret 1959, halaman 2. Bandingkan baris 7-8 dengan ungkapan Jawa, swarga
nunut neraka katut, [perempuan] ke surga menumpang ke neraka ikut terbawa [lakilaki]. Dalam buku Saskia Wieringa puisi ini dimuat dua kali. Versi yang lain diambil dari
Contemporary Progressive Indonesian Poetry, terbitan Lekra tahun 1962, halaman 65,
tanpa judul, kata-katanya sama, hanya 4 stanza (kelompok baris) pertama digabung
menjadi dua, satu dengan dua, tiga dengan empat, sehingga total jumlah stanzanya jadi
tiga bukan lima.
3
Dan kali ini Sugiarti memakai nama (pertama) aslinya. “petikan dari ‘Kemerdekaan’” ini
menurut keterangan Saskia ia ambil juga dari bunga rampai Contemporary Progressive
Indonesian Poetry, halaman 66, satu halaman setelah versi “Wanita”-nya. Petikan dari
“Kemerdekaan” ini gayanya sangat mirip dengan “Wanita” (dimulai juga dengan “Kami
bukan lagi”). Tidak jelas apakah Sugiarti telah memanjangkan “Wanita” menjadi puisi
panjang berjudul “Kemerdekaan” (mungkin untuk keperluan bunga rampai ini) atau mereka
tetap dua puisi terpisah, hanya dimuat berurutan dua halaman.
Jurnal Perempuan 48
165
t
terbai ru
h
a
l
e
b
T
ter isme
bukug femin
n
tenta
Feminisme:
Sebuah Kata Hati
Karya: Dr. Gadis Arivia
”Buku ini merupakan koleksi tulisan
yang lengkap tentang isu-isu
feminisme. Apa yang dituangkan di
dalam buku ini ditulis oleh seorang
pemikir dan hati feminis. Penindasan
yang ditentang dan dipersoalkan oleh
seorang feminis mencerahkan dan
membebaskan kelompok-kelompok
tertindas lainnya”.
Harga Rp. 60.000
Dapatkan di toko buku,
bursa buku atau
Koperasi Mahasiswa terdekat
Departemen Filsafat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
!
Untuk pemesanan hubungi:
Ima 0812 981 1969
Marketing YJP (021) 8370 2005
Permohonan Maaf Kepada Pembaca JP
Redaksi memohon maaf atas keterlambatan Jurnal
Perempuan Edisi 48 ini, karena harus mengumpulkan
tulisan-tulisan sekaligus mematangkannya dengan waktu
yang lebih dari biasanya. Karena rencananya Jurnal
Perempuan tema ini akan dipakai untuk sosialisasi ke
berbagai Pusat Studi Wanita di Indonesia.
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan
setiap minggu di 187 Stasiun Radio kesayangan anda
di seluruh Indonesia
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
Stasiun Radio
GUNTUR
GLOBAL
DUTA DEWATA
SONORA 100,9 FM
HARMONI THE FAMILY RADIO STATION
SUARARIA SANTANA
SONORA JOGJA
PRIMA UNISI YOGYA
RRI YOGYAKARTA
SWARA GADJAH MADA FM
YASIKA FM
JAKARTA NEWS FM
SUARA METRO
SMART FM
SWARA SELEBES
GITASWARA PRAPITASARI/GSP
ANTASSALAM
MUSTIKA
BUK GAJAH MEGASWARATAMA (Radio BG)
RIA CINDELARAS
KELUARGA CIHANJUANG SEPULUH / KC-10
KAUMAN BOGOR/ERKAEM
MARITIM
SUARA GRAFIA
MARTHA FM
QUANTUM FM TASIKMALAYA
REKA KHARISMA SWARA
ALFINA 720 AM
ANITA
BAYUSAKTI
BIMASAKTI
BINTORO 1314 AM
BSP (SWARA BAHUREKSA)
CHANDRA POP
DAMASINTA FM
CANDI SEWU
CBS
DIAN SWARA
GIS
JPI FM
RIA FM FEMALE
SAS FM
MANDALIKA
POP JEPARA
PRIMA FM
MERAPI INDAH / RMI
GSM - FM
MULIA ARIFTA SWARAGRAHA
MURIA KUDUS
PERMATA
POLARIS
POP BREBES
POP KUDUS
POP PATI FM
POPFM PURWODADI
SUARA MRAPEN ABADI
POPFM PURWOREJO 93,4 FM
POPFM REMBANG
POP SEMARANG FM
CHANNEL 99 (eks RADIKS)
TOP FM - SEMARANG
“W” FM
IMELDA
168
POP SRAGEN FM
POP YOGYA FM
Frekuensi Propinsi
104.4 FM
96,5 FM
92,6 FM
101,1FM
98,1 FM
103,7 FM
97,4 FM
104,75 FM
91,1 FM
98,45 FM
95,3 FM
97,4 FM
91,0 FM
95, 9 FM
100,2 FM
100,9 FM
102,65 FM
107, 5 FM
87,60 FM
1134 KHz
106,15 FM
1134 AM
102,65 FM
98,5 FM
101, 3FM
94,6 FM
103,35 FM
720 AM
106, 6 FM
792 AM
98,8 FM
1314 AM
103, 8 FM
99,85 FM
101,6 FM
106,15 FM
91 FM
98,2 FM
90,4 FM
106,3 FM
98,8 FM
104,3 FM
12,78 AM
97, 3 FM
104 FM
104,9 FM
91,5 FM
101, 95 FM
1440 AM
900 AM
105,45 FM
95,3 FM
93,7 FM
91, 5 FM
94,6 FM
98,2 FM
93,4 FM
95,2FM
103,7 FM
99,15 FM
89,40 MHz
100,1 FM
104,4 FM
88, 8 FM
99,5 FM
Kota
Jadwal Siar
Bali
Singaraja
Jumat: 11:30
Bali
Tabanan
Minggu: 11:20
Bali
Denpasar
Minggu: 15:00
Bangka
Pangkalpinang
Minggu: 09:00
Banten
Serang
Rabu: 19:30
Bengkulu
Bengkulu
Setiap Hari: 15:30
DI Yogyakarta
Yogyakarta
Rabu: 09:00
DI Yogyakarta
Pasar Kembang Kamis: 13:05, Minggu: 10:00
DI Yogyakarta
Kota Baru
Sabtu: 09:00
DI Yogyakarta
Yogyakarta
Rabu: 06:30
DI Yogyakarta
Karangkajen
Jumat: 11:00
DKI Jakarta
Jakarta Selatan
Minggu: 11:00 & 17:00
DKI Jakarta
Jakarta Selatan
Minggu: 09:30 & 16:30
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
Minggu: 07:48
Gorontalo
Gorontalo
Sabtu: 18:00
Jambi
Jambi
Sabtu: 10:30
Jawa Barat
Bandung
Rabu: 16:30
Jawa Barat
Bandung
Senin: 19:15
Jawa Barat
Indramayu
Sabtu: 18:30
Jawa Barat
Indramayu
Kamis: 05:15
Jawa Barat
Indramayu
Sabtu: 10:00
Jawa Barat
Bogor
Sabtu: 11:00
Jawa Barat
Cirebon
Rabu: 08:00, Minggu: 20:00
Jawa Barat
Cirebon
Selasa:10:00
Jawa Barat
Tasikmalaya
Rabu: 17:00
Jawa Barat
Tasikmalaya
Kamis: 18:00
Jawa Barat
Garut
Kamis: 13:00
Jawa Tengah
Pemalang
Sabtu: 06:00
Jawa Tengah
Tegal
Rabu: 10:10
Jawa Tengah
Kroya
Minggu: 13:00
Jawa Tengah
Kebumen
Minggu: 10:00
Jawa Tengah
Demak
Sabtu:10:30
Jawa Tengah
Pekalongan
Sabtu: 10:30
Jawa Tengah
Pekalongan
Minggu: 07:30
Jawa Tengah
Pekalongan
Minggu: 07:30
Jawa Tengah
Klaten
Minggu: 11:30
Jawa Tengah
Banjarnegara
Sabtu: 12:45
Jawa Tengah
Purwokerto
Jumat: 10:00
Jawa Tengah
Wonogiri
Minggu: 09:00
Jawa Tengah
Solo
Sabtu: 07:00
Jawa Tengah
Solo
Senin 21:00
Jawa Tengah
Solo
Sabtu: 10:30
Jawa Tengah
Jepara
Minggu: 08:00
Jawa Tengah
Jepara
Minggu: 08:30
Jawa Tengah
Jepara
Sabtu: 06:00
Jawa Tengah
Muntilan
Selasa: 06:00
Jawa Tengah
Muntilan
Minggu: 10:30
Jawa Tengah
Kebumen
Rabu: 09:00, Minggu: 17:00
Jawa Tengah
Kudus
Sabtu: 08:50
Jawa Tengah
Kartasura
Sabtu: 12:00
Jawa Tengah
Magelang
Rabu: 09:00
Jawa Tengah
Brebes
Sabtu: 10:00
Jawa Tengah
Kudus
Minggu: 07:00
Jawa Tengah
Pati
Rabu: 09:00
Jawa Tengah
Purwodadi
Minggu: 06:45
Jawa Tengah
Purwodadi
Selasa: 08:00
Jawa Tengah
Purworejo
Minggu: 12:00
Jawa Tengah
Rembang
Minggu: 08:30
Jawa Tengah
Semarang
Minggu: 07:00
Jawa Tengah
Semarang
Minggu: 16:30
Jawa Tengah
Semarang
Senin: 09:00
Jawa Tengah
Semarang
Minggu: 09:00
Jawa Tengah Jurnal
Semarang
Selasa: 08.00
Perempuan
48- 09.00
Jawa Tengah
Sragen
Selasa:09:00
Jawa Tengah
Salam
Minggu: 13.30
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan
setiap minggu di 187 Stasiun Radio kesayangan anda
di seluruh Indonesia
No.
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
Stasiun Radio
PTPN RASITANIA
PURNAMASIDI
RONA PUSPITA AM.900
RPK FM
SATRIA FM
SBS - PURBALINGGA
SUARA GARUDA SAKTI
SWARA KRANGGAN PERSADA
WIJAYA
ZENITH
ANDIKA FM
ARUPADATU
BEST FM
DUTA CAKRAWALA SERASI FM (DCS)
GIGA FM
LIUR
Frekuensi Propinsi
99,6 FM
101,95 FM
101,6 FM
107,2 FM
648 AM
828 AM
1243 AM
882 AM
102,6 FM
702 AM
106,5 FM
94,00 FM
103 FM
101,6 FM
99,85 FM
90, 9 FM
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Timur
Kota
Surakarta
Wonosobo
Kendal
Temanggung
Aji Barang
Purbalingga
Blora
Temanggung
Cilacap
Salatiga
Kediri
Mojokerto
Jember
Madiun
Sidoarjo
Tulungagung
Jadwal Siar
Sabtu: 10:30
Sabtu: 17:00
Jumat: 19:30
Jumat: 09:00
Sabtu: 12:00
Sabtu: 06:00
Minggu: 08:00
Kamis: 19:30
Minggu: 13:00
Sabtu: 09:00
Senin: 11:45
Kamis: 12:00
Senin: 07:20
Rabu: 09:00
Kamis: 06:00 &
Jumat: 12:00
82 MITRA ADI SWARA
104, 5 FM Jawa Timur
Malang
Senin, Kamis: 11:45
91.45 FM Jawa Timur
Pasuruan
Jumat: 07:00
83 PASURUAN WARNA PESONA (Warna 91.45 FM)
101,3 FM Jawa Timur
Jember
Rabu, Kamis: 05:45
84 PROSALINA
85 CITRA
98,2 FM Jawa Timur
Jombang
Sabtu: 17:00
93,5FM Jawa Timur
Kediri
Minggu: 18:00
86 SABDOTOMO
105, 10 FM Jawa Timur
Kediri
Senin - Jam: 09.30
87 BONANSA
88 SONORA
98,0 FM Jawa Timur
Surabaya
Rabu: 09.00
96,4 MHz Jawa Timur
Banyuwangi
Rabu: 08:15
89 SUARA MANDALA
95.6 FM Jawa Timur
Banyuwangi
Senin : Jam 08,00
90 RADIO SWARA WANGI
91 SWARA KARIMATA
100,2 FM Jawa Timur
Pamekasan - Madura
Minggu: 16:15
98,8 FM Jawa Timur
Mojokerto
Kamis & Sabtu: 08:00
92 WIKA FM 98,8
102,3 FM Kalimantan Barat
Singkawang
Kamis: 10:00
93 ARYA BOMANTARA
94 BIMAREKSA
104,4 FM Kalimantan Barat
Sanggau
Rabu: 09:00
95 DERMAGA
936 AM Kalimantan Barat
Pontianak
Selasa: 11:00
828 KHZ Kalimantan Barat
Pontianak
Kamis: 11:30
96 MAHKOTA NGABANG GEMASWARA
97 PRIMADONA
99,1 FM Kalimantan Barat
Pontianak
Rabu & Sabtu: 09:00
98 RADIO PEMERINTAH DAERAH KETAPANG
1088 AM Kalimantan Barat
Pontianak
Sabtu: 14:00
96, 7 FM Kalimantan Barat
Pontianak
Sabtu: 09:00
99 SONORA
100 VOLARE
103, 4 FM Kalimantan Barat
Pontianak
Rabu: 08:00
101 RAMA
107,5 FM Kalimantan Barat
Pontianak
Senin: 10.00
738 AM Kalimantan Barat
Mempawah
Selasa: 10:00
102 MELATI GRAMEDYA
103 POLAREKSA
104,15 MHz Kalimantan Barat
Sintang
Senin: 09:30
104 DBS / DIRGANTARA PERMAI
101,6 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin
Sabtu: 09:00
102, 7 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin
Sabtu: 10:00
105 NUSANTARA ANTIK
106 SMART (RADIO SWARA MAIDA ARTANUSA)
100,1 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin
Minggu: 11:30
107 GEMAYA REKAYASA
104,7 FM Kalimantan Timur Balikpapan
Kamis: 09:00
101,3 FM Kalimantan Timur Balikpapan
Senin: 11:00
108 SWARA MEDIA SENTRANADA
109 MESRA/DAYAPENCA PUTERA
102,3 FM Kalimantan Timur Samarinda
Minggu, Senin: 09:30
110 BORNEO RADIO CHANNEL
96 FM Kalimantan Timur Samarinda
Selasa: 18:15
97,6 FM Kalimantan Timur Samarinda
Selasa: 12:30
111 RRI - SAMARINDA
112 RASUBHA
100,2 AM Lampung
Bandar Lampung
Rabu: 11:00
113 SUARA WAJAR
96, 8 FM Lampung
Bandar Lampung
Jumat: 10:05
Bastiong - Ternate
Kamis: 10:00
114 ISTANA BAHARA SWARA (RADIO ISTANA) 101 MHZ 101,25 FM Maluku
115 MILENIA
104,75 FM Maluku
Ternate
116 GEMA HIKMAH
103 FM Maluku
Ternate
Kamis: 08:30
103 FM Maluku
Ambon
Kamis: 07:30
117 SANGKAKALA
118 SWARA INDONESIANA
107,2 FM Maluku
Tidore
Kamis: 09:30
119 GEMA PERTIWI
104,6 FM Maluku
Halmahera Selatan
Rabu, Kamis, Jumat:
09:00, Sabtu: 10:00
120 ADYEMAJA
104,4 FM NAD
Lhokseumawe
Kamis: 09:00
121 KAZUMA BAWANASWARA
- NAD
Lhokseumawe
Senin: 19:30
NAD
Lhokseumawe
Minggu : 7.45
122 PRO 2 FM
123 ANDYTA RASISONIA
105,10 FM NAD
Bireun
Rabu, Minggu: 16:00
124 BAITURRAHMAN
98,5 FM NAD
Banda Aceh
Minggu: 09:00
106, 10 MHz NAD
Langsa
Jumat: 13:30
125 GYPSI
126 MEGAPHONE
105,60 FM NAD
Pidie
Sabtu:169
09:00, Minggu:
Jurnal Perempuan 48
11:00, Senin: 10:00
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan
setiap minggu di 187 Stasiun Radio kesayangan anda
di seluruh Indonesia
No.
Stasiun Radio
Frekuensi Propinsi
127
128
129
130
131
SUARA MAHARDIKA GEMPITA
CITRASUARA NUANSA LOMBOK / CNL
MITRA IDOLA KITA
SWARA MAYA PESONA INDAH
BAYU GITHA SWARA
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
KENANGAN
96, 5 FM
GYPSI FM
94,5 FM
OISVIRA FM
95,1 FM
KISSORA GRAHA PERSADA
105,1 FM
NADA MUDA CAKRAWALA (RADIO CAKRAM)
97,05 FM
PEMERINTAH DAERAH - NGADA
SONIA
102,9 MHz
TIRILOLOK
100,9 FM
ARTHUR PERKASA
105,1 FM
MOVE FM 1003 MHZ
103 FM
SUARA KASIH AGUNG (RSKA)
106,5 FM
VOP FM
100,2 FM
CITRA DAYANG SURI
104,8 FM
MELODY
88,80 FM
SHINE 92.5 FM
92,5 FM
CYNTHIA RHAMA BROADCASTING CORP.
100,2 FM
GEMA BENTARA
107 FM
KENCANA RIA INDAH SUARA
102,3 FM
SORERAM 1044 AM
1044 AM
SWARAKHARISMA TRISAD/STAR 107,5 FM
107,5 FM
BHARATA RASIHIMA
106,5 FM
MAKARA FM
103,6 FM
RINA BESTARI
738 KHz
MERCURIUS TOP FM
104,4 FM
SMART (RADIO MAKASSAR ARTATIARA)
100,9 FM
SWARA SENTOSA PRATAMA
103,7 FM
BEST FM
101,6 FM
MALEO
103, 7 FM
NEBULA NADA
101FM
NUGRAHA TOP
102,6 MHz
BULAVA
100,2 FM
GEMA ANGKASA SWARA ALKHAIRAT FM
1170 AM
SWARA PRAJA MUKTI / RADIO PEMDA POSO
97,8 FM
SUARA PUBLIKA
103,35 FM
SWARA RAMAYANA JELITA
1404 AM
BITTARO
1341 KHz
GEMA KENDARI FM
92, 40 MHz
SUARA ALAM
99,2 FM
AL-KHAIRAT (RAL)
102,65 FM
GITA LESTARI
105,10 FM
KOSMO FEMALE
96,1 FM
ROM 2 FM
101,6 FM
SMART(SWARA MANADO RADIO TRENDI) 100,9 FM
101,2 FM
SWARA CITRA ESA ENANG
104,4 FM
SWARA MAESAAN WAYA / MERSI
98, 5 FM
SWARA NUR HADDAD FM
100 MHz
BIMANTARA
98,8 FM
BUKIT TINGGI
101,5 FM
GEMA KARANG PUTIH (CLASSY 103 FM)
103,4 FM
SUSHI FM
100,2 FM
SONORA PALEMBANG (PT RADIO GEMA ATMAJAYA)
102,6 FM
SMART (SWARA MAQEBA ARTATIARA)
101,9 FM
ADI UTAMA LAKSAMANA (RAU 104.75 FM)
104,75 FM
LA FEMME
88 FM
MASS (MADINA SORA SERE)
101 FM
170
YASKA
JAYA
100,2 FM
95,3 FM
792 AM
98,8 FM
93,00 FM
NAD
NTB
NTB
NTB
NTB
Kota
Blang Pidie
Mataram
Selong
Lombok
Lombok
Jadwal Siar
Minggu: 10:00
Senin: 09:00
Jumat: 17:30
Selasa: 17:30
Minggu Jam : 10.00
Kamis Jam : 19.00
NTB
Sumbawa Barat
Selasa:17:00
NTB
Sumbawa
Minggu: 08:00 & 19:30
NTB
Sumbawa
Jumat: 17:00
NTT
Kupang
Rabu: 14:00
NTT
Maumere-Flores Rabu: 18:00, Sabtu: 07:30
NTT
Flores
Senin: 18:30
NTT
Maumere
Sabtu: 08:30
NTT
Kupang
Senin: 10:30
Papua
Jayapura
Selasa: 10:00
Papua
Jayapura
Jumat: 17:00
Papua
Jayapura
Selasa: 09:00
Papua
Jayapura
Rabu: 15:06
Riau
Dumai
Minggu: 08:00
Riau
Dumai
Senin: 19:00
Riau
Dumai
Kamis: 21:00
Riau
Pekanbaru
Selasa: 13:00
Riau
Batam
Rabu: 10:00
Riau
Batam
Kamis: 12:00
Riau
Pekanbaru
Kamis: 15:05
Riau
Bengkalis
Jumat: 10:00 & 18:00
Sulawesi Selatan Makassar
Minggu: 13:00
Sulawesi Selatan Kota Palopo
Sabtu: 10:00
Sulawesi Selatan Tana Toraja
Sabtu: 17:45
Sulawesi Selatan Makassar
Rabu: 08:00
Sulawesi Selatan Makassar
Jumat: 15:00
Sulawesi Selatan Makassar
Minggu: 09:00 & 20:00
Sulawesi Tengah
Palu
Sabtu: 15:30, Minggu: 09:00
Sulawesi Tengah
Tojo Unauna
Kamis:11:00
Sulawesi Tengah
Palu
Senin & Kamis: 09:30
Sulawesi Tengah
Palu
Senin, Rabu & Jumat: 11:30
Sulawesi Tengah
Poso
Kamis: 20:30
Sulawesi Tengah
Palu
Minggu: 13:00
Sulawesi Tengah
Poso
Rabu: 10:15
Sulawesi Tengah
Palu
Senin: 13:00
Sulawesi Tengah
Palu
Selasa: 14:30
Sulawesi Tengah
Toli-Toli
Selasa: 11:00
Sulawesi Tenggara Kendari
Jum’at & Minggu: 09:40
Sulawesi Tenggara Kendari
Sabtu: 10:00
Sulawesi Utara
Menado
Rabu: 10:15
Sulawesi Utara
Bitung
Rabu: 18:00
Sulawesi Utara
Manado
Sabtu: 08:00
Sulawesi Utara
Manado
Rabu: 17:30
Sulawesi Utara
Manado
Sabtu: 11:35
Sulawesi Utara
Manado
Rabu: 18:30
Sulawesi Utara
Manado
Minggu: 15:00, Senin: 07:00
Sulawesi Utara
Bolaang Mongondow
Senin & Kamis: 11:15
Sumatera Barat
Bukittinggi
Junat: 10:00
Sumatera Barat
Bukit Tinggi
Rabu: 10:00
Sumatera Barat
Padang
Selasa: 11:00
Sumatera Barat
Padang
Minggu: 20:00
Sumatera Selatan Palembang
Minggu: 09:30
Sumatera Selatan Palembang
Selasa: 19:00
Sumatera Utara
Pdg Sidempuan
Jumat: 20:00
Sumatera Utara
Medan
Rabu: 18:00
Sumatera Utara
Mandailing Natal
Senin: 10:30
Jurnal
Perempuan Sabtu:
4809:30
Sumatera Utara
Terbing Tinggi
Jangan lewatkan tema-tema menarik
tentang isu-isu perempuan
yang dikemas oleh
Radio Jurnal Perempuan, berikut ini:
RJP-327
Pendampingan Perempuan Positif HIV
RJP-328
Masalah Perempuan dan Pendidikan
RJP-329
Perempuan dan Musik
RJP-330
Reproduksi Perempuan Positif HIV
RJP-331
Pengamen Perempuan
RJP-332
Setahun lebih Paska Pemberlakuan Undang Undang PKDRT
RJP-333
Perempuan Bermotor
RJP-334
Keterwakilan Perempuan dalam Pengambilan Kebijakan Publik
Anda bisa mendapatkan
rekaman kaset program Radio
Jurnal Perempuan dengan
tema-tema yang anda inginkan
seharga Rp. 15.000,- per kaset.
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.
Jl. Tebet Barat VIII No. 27
Jakarta Selatan 12810
Telp.
: (021) 8370 2005
Fax
: (021) 830 2434
E-mail
: [email protected]
Surat Pembaca Feminis Laki-laki
Salam kenal. Menurut saya Jurnal Perempuan merupakan wadah
yang bagus untuk memberikan pemahaman tentang peran dan fungsi
perempuan yang selama ini dianaktirikan oleh sistem partriarki. Namun
satu yang saya sesalkan, sepeninggal Mansour Fakih, belum ada figur
seorang laki-laki yang menonjol dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan. Karena bagi saya, bukan hanya perempuan yang berhak
memperjuangkan hak perempuan, tapi juga laki-laki. Saya harap jurnal
perempuan juga membahasnya.
Agri ([email protected])
Terimakasih Agri. Dulu kami pernah menerbitkan JP “Male Doing
Feminism, Why Not?”. Tapi baiklah akan menjadi agenda JP untuk melihat
perkembangan partisipasi kaum laki-laki dalam perjuangan kaum perempuan.
JP RUU APP
Saya seorang muslimah sangat kagum dengan jerih payah saudarasaudara saya yang memperjuangkan perempuan seperti Anda (redaksi
JP). Tapi sayang kenapa harus menentang Hukum Tuhan. Sungguh saya
sangat kecewa. Terlebih lagi saat saya membuka JP edisi terbaru, saya
membaca pernyataan sikap MENOLAK RUU APP. Bukankah Allah SWT
membuat peraturan hidup, termasuk cara berpakaian, yang termaktub
dalam kalam-nya itu untuk melindungi dan memenuhi hak perempuan?
Raa ([email protected])
Raa yang baik, senang sekali Anda telah membaca jurnal kami edisi RUU
APP. Berharap Anda benar-benar membacanya.
JP Pertambangan
Sudah dua tahun saya selalu membeli buku tentang perempuan
karena saya ingin belajar dan ingin mengetahui banyak masalah
perempuan, setelah kemarin saya masuk di salah satu toko buku di
Yogyakarta saya menemukan JP berjudul sangat menarik, “Perempuan
di Pertambangan”. Kebetulan saya berasal dari Papua, daerah yang rawan
sekali dengan kekerasan yang disebabkan oleh berbagai hal mulai dari
militer sampai perusahaan. Demikian, maju terus. JP adalah inspirasiku.
Mekaa ([email protected])
Terimakasih Mekaa. Salam untuk perempuan-perempuan Papua yang
perkasa.
172
Jurnal Perempuan 48
Tentang Penulis Damanhuri. Wartawan freelance; tengah menempuh S2 di Universitas Islam
Negeri Malang. Sebelumnya sempat menempuh program S2 jurusan Filsafat
Islam di Islamic College for Advanced Studies (ICAS)-Paramadina, Jakarta. Kini
juga terlibat aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung.
Elli Nur Hayati. Adalah Direktur di RAnnisa (Rifka Annisa) dan Staf Pengajar
di Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Menyelesaikan program S1 di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta dan program S2 dalam bidang Public Health di Umea University,
Swedia.
Henny Irawati. Lulusan Universitas Padjajaran Bandung, anggota Kelompok
Belajar Nalar atau Institut Nalar Jatinangor. Sekarang bekerja di Yayasan
Jurnal Perempuan sebagai penanggungjawab jurnal perempuan online.
Indah Lestari. Freelance translator yang sedang menerjemahkan novel-novel
sastra Afrika Selatan untuk penerbit Jalasutra dan menyunting terjemahan
novel-novel Arab klasik untuk Ilman Books; sehari-harinya bekerja di
Tempo.
Mariana Amiruddin. Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan dan Manajer
Program Yayasan Jurnal Perempuan. Menyelesaikan program S2 di Program
Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia.
Mikael Johani. Sebelumnya penyunting di Metafor Publishing, Jakarta. Kini
bekerja sebagai Editor Jurnal Perempuan di Yayasan Jurnal Perempuan.
Misiyah. Menempuh S-1 di Fakultas Ilmu Politik Universitas Jember dan
menyelesaikan S2 di Program Pasca Sarjana Sosiologi FISIP Universitas
Indonesia. Pendiri KAPAL Perempuan, sejak tahun 2000 bekerja di KAPAL
Perempuan Jakarta.
Nur Faizah. Alumnus Jurusan Akhwal Assakhsiyyah Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, pengurus Pondok Pesantren Putri “Nurul
Ummah” Kotagede Yogyakarta.
Nur Iman Subono. Staf pengajar tetap di Jurusan Ilmu Politik, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia, mengajar Pascasarjana
Kajian Wanita dan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Selain
itu bekerja sebagai peneliti pada Perkumpulan DEMOS, Lembaga Kajian
Demokrasi dan Hak Asasi.
Rahmad Hidayat. Lulusan S1 Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, aktif
di Lembaga Kajian dan Pengembangan Ilmu (LKPI) di Surabaya. Bukunya
berjudul “Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori
Sosial Maskulin” telah diterbitkan oleh Penerbit Jendela tahun 2004.
Rocky Gerung. Pengamat masalah sosial dan politik dan pengajar filsafat
di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Widjajanti M. Santoso. Peneliti di Pusat Pengembangan Kemasyarakatan
dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan pengajar
Gender dan Kemiskinan di Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia.
Yoke Sri Astuti. Lulusan Filsafat Universitas Indonesia, kini bekerja sebagai
Manager Office dan Implementasi di Yayasan Jurnal Perempuan.
Jurnal Perempuan 48
173
Dapatkan
di toko buku terdekat, di kota anda!
JAKARTA
TB. GRAMEDIA: Jl. Matraman Raya No. 46-48 Jakarta Pusat, Jl. Melawai III
No. 12-18 Blok M Jakarta Selatan, Gd. HERO Jl. Gatot Subroto Kav. 64 Jakarta
Selatan, Mall Kelapa Gading Jl. Raya Kelapa Gading Jakarta Utara, Mal Cempaka
Mas Jl. Letjend. Suprapto No. 1 Jakarta Pusat, TB. GUNUNG AGUNG: Blok M
Plaza Jl. Bulungan Jakarta Selatan, TB. KARISMA: Mall Taman Anggrek lt. 3
Jl. S. Parman Slipi Jakarta Barat, Mall Puri Indah lt 1 No. 134 Kebon Jeruk
Jakarta Barat, Cijantung Mal Jl. Raya Bogor, Ruko Cibubur Indah Jl. Raya
Cibubur, Hero Plaza Jl. Raya Kalimalang, Citra Mall lt. 5 Klender Jl. I Gusti
Ngurah Rai, Jl. Raya Cilandak KKO Cilandak Timur. TB. NEWS STAND: Pasar
Festival Jl. HR. Rasuna Said TB. BENGKEL DEKLAMASI TIM Jl. Cikini Raya
Jakarta Pusat, JAKARTA BOOK CENTER Jl. Raya Kalibata Jakarta Selatan,
Toko ANEKA Univ. ATMAJAYA Jl. Jend. Sudirman Jakarta Selatan, TB.
KALAM Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta Timur. TB. Pro27 STT Jakarta Jl.
Proklamasi No. 27 Jakarta Pusat, BOOK UNIVERSE Gd. Sarinah Lt. 6 Jl. MH.
Thamrin No. 11 Jakarta Pusat, PUSAT STUDI WANITA UI Gd. Rektorat lt.
4 Jl. Salemba Raya Jakarta Pusat, The News Stand WTC Gd. WTC (Basement)
Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jakarta Selatan, Lobby HOTEL MANDARIN Jl. MH.
Thamrin Kav. 1 Jakarta Pusat, The News Stand 99 Ranch market Jl. Sultan
Iskandar Muda No. 21 Pondok Indah, KEDAI BUKU SINAU Jl. Bekasi Timur
No 32. Jakarta Timur, TB. Gabe Jaya Jl. Kramat Raya No. 4-6, Jakarta Pusat.
KOPERASI MAHASISWA: Univ. MUHAMMADIYAH Jl. Ciputat Raya Jakarta
Selatan. Bukafe Duren Tiga Jl. Duren Tiga Raya No. 6A Jaksel, Telp. 7942462.
Counter PT Akses Media Favorite Jl. Pulo Kambing 1/24 Pulo Gadung Jaktim,
MP Book Point Jl. Puri Mutiara Raya 72,Cipete,Jakarta Selatan.
BALI
TB. GRAMEDIA: DUTA PLAZA Jl. Dewi Sartika Denpasar, MALL BALI GALERIA
Lt. 2 Blok D. Jl. Raya By-Pass, Ngurah Rai, Kuta 80361
BALIKPAPAN
TB. GRAMEDIA Balikpapan Center Lt. 1, Jl. Jend. Sudirman
BANDUNG
TB. GRAMEDIA Istana Plaza Jl. Pasar Kaliki No.121-123, TB. Kecil (d.h.
PASAR BUKU) Jl. Kyai Gede Utama No. 8, TB. LITERA Jl. Ciembeluit No.
155, TB. Ultimus Jl. Karapitan 127, TB. Cahaya Media Jl. Raya BandungSumedang Km 21 No. 161 A UNPAD Jatinangor. Institut Perempuan Jl.
Dago Pojok No. 85, Cablong
BANJARMASIN
TB. GRAMEDIA Jl Veteran No. 61
DEPOK
TB. GRAMEDIA: Cinere Mal Jl. Raya Cinere, Jl. Margonda Raya Km. 4 Pondok
Cina Beji, Depok, TB. KARISMA: Mall Cinere lt. Dasar Jl. Raya Cinere, Borobudur
Dept. Store Lt.1 Jl. Margonda Raya No. 166. KOPERASI MAHASISWA:
Fak. SASTRA UI Depok, Fak. HUKUM UI Depok, Fak. EKONOMI UI
Depok, Departemen Filsafat -FIB UI Gd. III lt. 2 Kampus UI Depok, Toko
Buku Bloc Kampus FISIP UI Depok
JEMBER
TB. GRAMEDIA Jl. Trunojoyo No. 85
KEBUMEN
INDIPT Jl. Tentara Pelajar Gg Srandil No 2
KENDARI
Ade Agency Jl. Sasarani No.301, Solidaritas Perempuan Kendari Jl.
Beringin No.2
KUPANG
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 163
LAMPUNG
TB. GRAMEDIA Jl. Raden Intan No. 66 Tanjung Karang.
MALANG
TB. GRAMEDIA Mitra II Lt. 2 & 3, Jl. Letjen Sutoyo No. 32-34. Kedai Buku
SINAU, Jl. Bogor Atas No. 1C (Samping SMA Sriwedari).
MATARAM
Kedai Seni Mana Jl. Pemuda No. 20 NTB, Jl. Majapahit (Taman Budaya)
MEDAN
PIKIR MEDAN Jl. Sei Musi No. 59 Medan 20154, Telp. (061) 4158918
PADANG
TB. GRAMEDIA Jl. Damar No. 63
PALEMBANG
TB. GRAMEDIA Jl. Kol. Atmo No. 45
PONTIANAK
EQUAL Agency Jl. Ya’ M. Sabran Gg. Sutra No. 9 Rt. 05 Rw.03, Kel. Tanjung
Hulu.
PURWOKERTO
TB. GANESHA Jl. Overste Isdiman No. 1A
RIAU
TB. GRAMEDIA Jl. Jendaral Sudirman No 245. Pekanbaru
SAMARINDA
TB Gramedia Jl. S. Parman Mal Lembuswana Blok B. No 02
SALATIGA
KOPERASI MAHASISWA: TB. WANCANA MULIA Univ. Satya Wacana Jl.
Diponegoro No. 52-60.
SEMARANG
TB. GRAMEDIA Jl. Pandanaran No.122, TB. KARISMA HERO Jl. Sultan
Agung No. 90, TB. MERBABU Jl. Pandanaran No. 108, LBH Semarang Jl.
Parang Kembang No. 14, Bumi Tlogosari, KOSUMA UNDIP Jl. Hayam Wuruk
No. 1, LRC-KJHAM Jl. Lemah Gempal 2 No 766 A, Warung Buku Perdikan
Jl. Bedagan 481.
SOLO
TB. SINAR BARU Jl. Kebangkitan Nasional Kios No. 84-86
SURABAYA
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Basuki Rahmad No. 95; Jl. Manyar Kertoarjo No.16.;
TB. Toga Mas Super Bookstore Gedung Surabaya Indah Jl. Embong
Malang 33-37
TANGERANG
TB. GRAMEDIA: Bintaro Jaya Plaza Jl. Bintaro Utara Sektor III A Bintaro, Mall
WTC Matahari 2nd Floor Jl. Raya Serpong No. 39 Km. 8, LIPPO Supermall
Unit G No. 11-12 Karawaci Tangerang. GRIA BUKU (1) Jl. Ibn Batutah No.1
BBS (Depan Koperasi UIN) Ciputat.(2) Jl. Pesanggrahan No. 74 (samping
Kampus UIN) Ciputat.
YOGYAKARTA
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 54-56 TB. SOSIAL AGENCY Jl
Gejayen Mrican No. 43, Jl. Prof. Herman Yohanes No. 1170, Jl. Laksada
Adisucipto No. 22, TB. Social Agency Baru - Sagan Jl. Kaliurang Km. 8,5
No. 25 Jogjakarta, TB. TOGA MAS Jl. Gejayan Mrican No.1, TB. INSIST
Perum Sawitsari Jl. Kemuning No. B7, LSPPA Jl. Mangkunegaran Kidul No.
21, KOPERASI MAHASISWA Univ. Gajah Mada Jl. Bulaksumur H-7. GALERI
SATUNAMA Jl. Sambisari No. 99 Desa Duwet RT 07/34, Sendangadi, Sleman,
Jogjakarta, Telp. (0274) 867745-47
Download