Pengertian Gender Gender merupakan istilah yang dipahami oleh

advertisement
Pengertian Gender
Gender merupakan istilah yang dipahami oleh para pemikir kritis dalam studi
gender/seksualitas, yang mencangkup dua subpokok studi Feminisme dan Maskulinitas. Istilah
gender digunakan untuk menunjukkan proses pembagian orang/kelompok dan peran sosialnya
berdasarkan identitas seksual yang mereka miliki. Sedangkan penggunaan terminologi gender
dalam masyarakat Barat digunakan untuk menunjukkan dua kategori berbeda dan terpisah dari
kelompok manusia yang dibagi menjadi ‘pria dan ‘wanita’. Pembagian kelompok menjadi ‘pria’
dan ‘wanita’ tersebut tidak hanya memperlihatkan adanya perbedaan alami manusia (berdasarkan
jenis kelamin) tetapi juga menunjukkan adanya hierarki sosial dimana satu kategori dianggap
positif dan kategori lain dianggap negatif. Kategori/kelompok manusia yang dianggap lebih baik
atau positif lebih sering diasosiasikan kepada kategori/kelompok pria, sedangkan wanita justru
sebaliknya. Sebagai contoh, Cranny-Francis menyatakan bahwa orang lebih suka dipanggil
dengan menggunakan kata ‘buddy’ (yang berasal dari kata ‘brother’), sedangkan tidak ada
seorangpun yang ingin dipanggil ‘sissy’ (yang berasal dari kata ‘sister’).
Perubahan terminologi gender
Pengertian terminologi gender ini mengalami perubahan makna dari waktu ke waktu.
Awal mula pada 1960 dilakukan pemisahan yang jelas terhadap apa yang disebut maskulin atau
feminim. Kemudian banyak penulis yang mendeskripsikan gender sebagai sebuah identitas
sosial, dimana juga terdapat interaksi sosial dan institusi diantara dua katergori tersebut (pria dan
wanita). Sedangkan pandangan lain seperti yang dikemukakan Bob Connel’s menyatakan bahwa
gender merupakan sebuah konstruksi sosial. Perbedaan penggunaan terminologi di atas
menunjukkan penggunaan istilah gender kini lebih luas, tidak hanya untuk menunjukkan
perbedaaan karakteristik/kepribadian manusia yang diasosiasikan dengan pria dan wanita, juga
konstruksi sosial dan keberadaan dua kelompok sosial (pria dan wanita) yang menyebabkan
adanya relasi hierarkis diantara keduanya, juga peran sosial yang dihasilkan dari relasi tersebut.
Perdebatan mengenai Gender
•
Perdebatan 1
Istilah gender dominan digunakan untuk mencangkup semua analisis yang berkaitan
dengan identitas seks dan peran sosial yang dihasilkannya, juga diskusi mengenai relasi sosial di
dalam dan di antara dua kelompok yang diidentifikasi sebaga pria dan wanita. Pergeseran fokus
studi mengenai Wanita menjadi studi Gender ini banyak dikritik sebab dianggap akan
mengalihkan fokus utama dari permasalahan mengenai subordinasi wanita. Penggunaan istilah
gender yang dianggap lebih ‘netral’ ini diduga memiliki agenda politik tersembunyi, yaitu
sebagai kritik radikal terhadap Studi Wanita. Namun, penulis lain menganggap skeptis
perdebatan diatas sebab analisa gender seharusnya tidak hanya fokus pada salah satu kelompok
sosial, sedangkan kenyataan saat ini sebagian besar fokus gender masih pada permasalahan
wanita. Kritik terhadap studi Gender juga datang dari para penulis pria-gay, yang tidak meyakini
bahwa Studi Gender akan mampu mengangkat isu-isu mereka menjadi isu yang penting untuk
dikaji seperti halnya pada Studi Maskulinitas.
•
Perdebatan 2
Istilah gender juga menuai kritik karena dianggap terlalu ‘memisahkan’ karakteristik
aspek biologis/alami dan sosial yang dimiliki manusia. Studi Gender menolak perbedaan
karakteristik biologis merupakan aspek yang signifikan dalam menentukan identitas dan peran
sosial namun merupakan konstruksi sosial yang dibuat oleh masyarakat. Pernyataan diatas
merupakan kritik radikal terhadap pandangan kalangan konservatif yang berpendapat bahwa ciri
biologis/jenis kelamin menentukan pribadi individu dan perbedaan biologis tersebut
menunjukkan adanya suatu komposisi dalam masyarakat. Hal tersebut menimbulkan perdebatan
yang berulang-ulang dalam masyarakat Barat tentang apa yang sebenarnya menjadi perbedaan
sosial/kultural dan perbedaan biologis/natural atau dengan kata lain perdebatan tentang apa yang
disebut ‘nature’ dan ‘nurture’.
•
Perdebatan 3
Perdebatan selanjutnya terhadap istilah Gender adalah hubungannya dengan istilah ‘sex’
dan ‘sexuality’. Penulis yang menyatakan gender merupakan istilah yang berlawanan dari ‘sex’
dan ‘sexuality’ memberikan alasan bahwa perbedaan antara pria dan wanita bukanlah hal
sederhana yang dapat ditunjukkan oleh perbedaan bilogis/alami semata. Sedangkan penulis lain
beranggapan bahwa gender, sex, dan sexuality merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Hampir sebagian besar penulis studi Feminist dan studi Maskulinitas berpendapat
bahwa istilah gender terkait dengan sexuality. Bahkan banyak yang berasumsi bahwa istilah
gender ada lebih dahulu dan merupakan dasar dari identitas seksual dan peran sosial, sedangkan
istilah sexuality muncul belakangan sebagai bentukan gender. Sedangkan penulis studi Sexuality
menolak pernyataan diatas, dan menyatakan bahwa sexuality harus dikaji secara terpisah dan
merupakan hal yang lebih utama daripada gender.
Sikap/Pendirian Feminis (CRITICAL STANCE FEMINISM)
Feminis sama dengan dua bidang Gender/Seksualitas lainnya (Sexuality Studies dan
Masculinity Studies) yang memiliki landasan sejarah kritis. Feminis berawal dari kritiknya
terhadap mainstream, dari “norma”, juga tentang hal yang sifatnya “taken for granted”. Dengan
sikap skeptisnya, feminis mempertanyakan apakah dunia seperti adanya yang dikatakan orang.
Landasan kritiknya mengambil bentuk kritik terhadap misoginis: asumsi yang mengatakan
superioritas dan sentralitas laki-laki. Salah satu feminis Bev Thiele mengatakan bahwa teori
sosial dan politik telah, dan sebagian besar bagiannya masih, dituliskan laki-laki, untuk laki-laki
dan tentang laki-laki. Feminis adalah suatu teori kritis yang menolak apa yang dideskripsikan
laki-laki dalam pemikiran Barat bahwa bias tersebut telah membuat perempuan termarjinalisasi
untuk memahami kemanusiaan dan pemahaman yang terdistorsi laki-laki. Menurut mereka,
pemikiran Barat (untuk membicarakan laki-laki) telah diperlakukan secara universal.
Feminis memulainya dari posisi mempertanyakan serta kritis pada relasi dalam “social
arrangements” dan mengambil posisi sebagai penghubung yang sentral antara sex dan power
dalam masyarakat. Feminis membuat asumsi mainstream (laki-laki sentral dan perempuan
pelengkap/periferi) tidak lagi menjadi pusat. Feminis tidak hanya menggeser asumsi mengenai
apa yang sentral dan apa yang menjadi pinggiran tetapi juga menempatkan perempuan sebagai
pusat analisis. Jelas sekali, feminis berfokus pada kaum marjinal/periferi.
Selain feminis, dua sub-bidang gender lainnya, yaitu Studi Maskulinitas
(Masculinity
Studies)
dan
Studi
Seksualitas
(Sexuality Studies) juga memiliki sikapnya masing-masing terhadap mainstream. Jika Studi
Maskulinitas bersikap kritis pada sex dan power ketimbang pada marjinalisasi
(mengikuti pemikiran tradisional Barat yang berfokus pada laki-laki dan maskulinitas), Studi
Seksualitas tertarik pada isu identitas dan praktek yang termarjinalisasi, yaitu gay, lesbian,
bisexual, transgender dan intersex dan atau seksualitas yang disebut aneh (Queer Sexuality).
Namun, belakangan berkembang pemikiran dalam Studi Seksualitas yang memperhatikan
masalah heteroseksual, dengan seksualitas ‘mainstream’.
Disini, terlihat ketiga sub-bidang gender tersebut memiliki “social positioning” yang
berbeda. Namun, sikap kritis ketiganya menjadi bukti bagaimana feminis mengkritik mainstream
dengan berfokus pada posisi mainstream. Artinya, analisis kritis tentang maskulinitas dilihat dari
posisi laki-laki menjadi bagian yang diterima dalam bidang Gender/Seksualitas. Seiring
berjalannya waktu fokus pada laki-laki ini berubah seiring dengan pergerakan fokus yang
dianggap perlu sebagai pusat ketimbang periferi paralel: membalikkan pusat (decentring
mainstream) dalam relasinya dengan ‘ras/etnisitas. Teknik dalam bidang G/S telah membalikkan
asumsi mainstream (sex dan power) dengan berfokus pada mereka yang termarjinalkan. Hal ini
karena ekslusi terhadap marjinal dengan jelas mendemonstrasi aksi/tindakan dari power dalam
relasinya terhadap seks dan identitas/praktek seksual.
Ketiga pendekatan tersebut tidak hanya kritis tetapi juga menentang hierarki normatif
seks (sexed and sexual). Ketiga bidang tersebut menentang ‘norma’ natural dalam relasinya
terhadap gender dan seksualitas. Motivasi utama dari sikap tersebut adalah untuk menentang
status-quo, meskipun mendapatkan banyak penolakan. Teori G/S dan seluruh bidangnya
ditujukan untuk mengadakan reformasi sosial, paling tidak destabilisasi sosial. Sub-bidang G/S
telah menunjukkan beberapa level dari perubahan sosial yang melawan keberadaan hierarki sex
dan power.
Map of the gender/sexuality field: continuum and directions
Melihat bagaimana pemetaan bidang gender/seksualitas yang terdiri dari lima kontinum
ini adalah untuk melihat bagaimana perkembangan pemikiran feminis dalam memperjuangkan
perempuan dalam sistem yang malestream. Pemikiran dan konseptualisasi mengenai perempuan
dan masalahnya terus berubah, berkembang dan autentik dalam rangka memperjuangkan
perempuan pada zamannya. Disini, terlihat bagaimana kontinum tersebut mengantarkan feminis
pada masa post-modern dimana ketidakstabilan menjadi tujuan. Ini adalah pertanda dari sistem
yang coba ditentang dan diuji oleh feminismengalami gangguan. Malestream yang terus bertahan
(dan dipertahankan) akan diuji oleh feminis yang menghendaki ketidakstabilan dalam sistem
patriarkal.
Pada gelombang pertama (dimana pemikiran liberal amat berpengaruh), ahli teori masih
menggunakan term “human” untuk menggambarkan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan: yang ada hanyalah manusia universal (gender-neutral individuals). Disini, feminis
menemukan bahwa perempuan tidak memiliki hak suara, menjadi properti semenjak menikah
dan memiliki sedikit kontrol terhadap anak/tubuh mereka. Feminis menjadi advokat untuk
memampukan perempuan memiliki akses untuk menjadi masyarakat dewasa sepenuhnya dengan
masyarakat kapitalis liberal. Liberal feminis mengajukan perempuan inklusi dalam konsepsi
universal liberal dari term “human”.
3. (Multiple) differences: ‘race/ethnicity/imperialism and feminism’
Pandangan teoritis ini menghadirkan salah satu dari beberapa counter-arguments
menentang perbedaan gender (Gender Difference). Kehadiran feminis jenis REI ini adalah bukti
nyata tradisi Marxist/Sosialis. Feminis ini mengkritisi singular-group difference karena
beranggapan bahwa fokus terhadapnya akan menekan perbedaan yang lainnya dan
mempertahankan perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan sebagai kelompok yang
menyatu: tanpa mengaku bahwa perbedaan lokasi ‘rasial, etnis dan kultural’ mungkin telah
memasuki asumsi yang digeneralisasi mengenai relative power di antara kelompok tersebut.
Kategori antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dilihat sebagai identitas yang selalu sama dan
akan menghasilkan konsekuensi sosial yang sama dimanapun.
4. Relational power: Feminist Social Constructionism
Nama lainnya adalah materialis. Posisi ini menegaskan penolakannya terhadap Gender
Difference. Argumennya adalah ‘difference’ tidak melekat dalam diri/identitas, melainkan dibuat
dalam relasi kuasa. Bagi mereka, analisis Gender Difference tidak berpengaruh banyak:
sesungguhnya perempuan tidak termarjinalisasi karena berbeda, mereka dibuat berbeda karena
mengalami marjinalisasi. Pendekatan ini mendeskripsikan kebenaran dan kekuasaan dalam terms
makro universal. Kekuasaan dianggap sebagai dominasi yang negatif. Pendekatan ini juga
menolak humanisme modernis yang mengatakan bahwa ada nilai inti (core) bagi diri sendiri.
Mereka mengutarakan bahwa identitas dibuat dan dibuat berbeda oleh efek struktur sosial dari
kekuasaan (structuring social effects of power).
Seperti postmodern, social constructionism mengkritik pendekatan Emancipatory dan
Gender Difference dengan menganggap keduanya terlalu menekankan pada identitas yang tetap.
Pendekatan ini mengkritisi gagasan yang melekat tentang term “the human” atau kelompok
identitas sebagai “essensialis”, sebagai pendukung gagasan dari esensi dari diri atau inti diri.
Dengan menggunakan studi konkrit secara sosial dan historis, Social Constructionism terus
memusatkan perhatiannya untuk mengidentifikasi kategori-kategori.
5. Fluidity/Instability: Postmodern feminism
Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan dengan posisi utama pada tahun 1990-an
dan 2000-an. Pendekatan ini menawarkan multiplikasi gagasan tentang difference yang muncul
dalam pendekatan Group Difference. Terdapat ekspansi dari difference itu sendiri terhadap
difference, terhadap pluralitas yang menentang beberapa set identitas. Feminis postmodernis
tidak menginginkan perempuan untuk masuk/inklusi dalam kesempatan yang ada dari dunia lakilaki atau meluaskan dunia laki-laki dalam beberapa kemungkinan yang dapat menginklusi
perempuan. Mereka juga tidak membalikkan hierarki tradisional dan fokus terhadap
perempuan/feminin. Melainkan mereka terus mendestabilisasi konsepsi identitas (manusia atau
kelompok) dan identitas biner (seperti laki-laki dan perempuan).
Feminis postmodern memahami manusia tidak lebih dari produk sosial yang
diorganisasikan power. Gender adalah “topeng”, dan “topeng” tersebut harus ada. Tidak ada apaapa dibalik “topeng” ini, juga tidak ada apa-apa sebelum “topeng” ini. Feminis ini antiesensialis: tidak ada kebenaran autentik diri di bawah kekuasaan. Singkatnya, feminis
postmodern anti-generalis, anti-humanis (melawan ide dasar tentang adanya inti manusia/core
human nature atau agency).
Catatan kritis
Sikap feminis jelas kritis terhadap mainstream jelas menentang status-quo, mainstream
yang didominasi oleh pemikir dan pemikiran laki-laki untuk laki-laki. Ini menjadi pertanyaan
bagaimana feminis dapat melahirkan suatu sistem pemikiran yang autentik, yang lepas dari
kungkungan status-quo, mainstream, sehingga cita-cita perubahan sosial benar-benar tercapai.
Apakah feminis harus mampu melahirkan paradigma baru, yang mampu menyaingi paradigma
buatan tokoh sosial laki-laki, atau feminis hanya mengikuti saran dari salah satu aliran feminis
untuk sekedar hidup bersama laki-laki, hidup setara dan berdampingan? Bagaimana para feminis
berdamai dengan kenyataan ini?
Apa yang hendak dicari oleh para feminis postmo yang terus mendestabilisasi konsepsi
identitas biner? Bagaimanapun, konsepsi mengenai laki-laki dan perempuan memang tidak lepas
dari kekuasaan yang berada pada sistem. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah
dengan terus mendestabilisasi konsepsi identitas biner maka perempuan merasa terwakili?
Perempuan mana yang terwakili?
Bila pemikiran “Gender/Sexual Difference” enggan menekankan fokus mereka pada
hierarki perbedaan antara laki-laki dan perempuan, serta memilih untuk menawarkan modernis
dan postmodernis untuk tidak lagi menekankan fokus pada hierarki perbedaan tersebut, tetapi
merayakan pluralitas masyarakat, bukankah itu merupakan teori yang hendak melepaskan
tanggung jawabnya pada realita? Atas nama pluralitas, dominasi patriarkal tetap dilanggengkan.
Disini, pemikirannya amat bias malestream sehingga menawarkan untuk membayangkan
perempuan untuk berdamai dengan laki-laki: perempuan yang bisa hidup serasi dengan laki-laki.
Agar perempuan tidak menganggap dirinya sebagai elemen yang berbeda dari laki-laki, juga agar
perempuan tidak mendestabilisasi struktur sosial yang terbangun atas konseptualisasi laki-laki
mengenai dunia sosial. Alam pikiran seperti ini (membayangkan pluralitas) hanyalah anganangan, hanyalah angin surga dari malestream, atau bisa juga menjadi alternatif lain untuk
meyakinkan perempuan bahwa asumsi esensialis benar adanya, sehingga apa yang dicita-citakan
feminis untuk mengangkat hak perempuan terlenakan.
Download