Keabsahan Tindakan Pemerintahan Tindakan pemerintahan dijalankan berdasarkan norma wewenang pemerintah, baik yang diperoleh secara atribusi, delegasi maupun mandat. Wewenang atribusi : wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan. Disebut dengan asas legalitas. Wewenang delegasi : wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Wewenang mandat : pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang tegas oleh peraturan perundang-undangan. Wewenang pemerintah yang diperoleh secara atribusi adalah wewenang pemerintah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu segala tindakan hukum pemerintah harus selalu berdasarkan pada peraturanan perundang-undangan yang berlaku/ berpedoman pada norma wewenang yang ada dalam peraturan perundang-undangan dimaksud dan tidak boleh bertentangan dengan norma wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan merupakan norma dasar dalam menjalankan wewenang pemerintahaan. Norma dasar wewenang ini disebut legalitas (legaliteit), artinya sahnya suatu tindakan pemerintahan apabila didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan, yang memberikan wewenang untuk bertindak. Asas legalitas (legaliteit beginsel) menjadi salah satu unsur yang harus dijunjung tinggi dalam negara hukum. ten Berge menyatakan bahwa di dalam negara hukum mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut : Asas legalitas. Bahwa pembatasan kebebasan warga negara harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum, yang memberikan jaminan dari tindakan yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Perlindungan hak – hak asasi Keterikatan pemerintah pada hukum Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar, yaitu melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah. Pengawasan oleh Hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat ditunjukkan jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan dan ditegakkan oleh organ-organ pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka. Kesimpulan : tindakan hukum pemerintah yang tidak mendasarkan pada asas legalitas (legaliteit beginsel) atau peraturan perundang-undangan, merupakan tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang yang berakibata cacat yuridis tindakan hukum yang dilakukan. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dalam hukum administrasi dikenal adanya prinsip “dat het bestuur aan de wet is onderwopen” dan “het legaliteits beginsel houdt in dat alleburgers bindende bepalingenop de wet moeten berusten”. Prinsip ini dikemukakan oleh D.D. Stout yang artinya, pemerintah itu tunduk kepada undang-undang. Asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa asas legalitas, merupakan salah satu asas yang diikuti dalam negara hukum dan digunakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan pemerintahan. L. Prakke en C.A.J.M. Kortmann menyebutkan, bahwa asas legalitas (legaliteit beginsel) merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem kontinental. Dalam negara hukum asas legalitas digunakan sebagai dasar dalam penerapan hukum (toespassing), sehingga menurut Indroharto penerapan asas legalitas akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan berlakunya kesamaan perlakuan. Selain itu asas legalitas untuk memberikan jaminan kedudukan hukum bagi warga negara terhadap pemerintah. Berpijak pada pemikiran di atas dapat dipahami, bahwa asas legalitas berkait erat dengan suatu wewenang untuk bertindak, dimana wewenang dimaksud diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian suatu tindakan pemerintah yang tidak didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang untuk bertindak, maka sebagai tindakan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad). Mengambil perbandingan peraturan perundang-undangan di Belanda (wet AROB) sebagai alasan untuk mengajukan gugatan pemerintah ada 4(empat) yaitu : a. Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan b. Keputusan tata usaha negara tersebut mengandung unsur penyalahgunaan wewenang (detournemen de pouvoir) c. Keputusan tata usaha negara tersebut mengandung unsur sewenang-wenang (kennelijk onredelijk) d. Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan AAUPB. Oleh karena norma wewenang sebagai norma pemerintahan, maka untuk mengukur keabsahan tindak pemerintah dapat menggunakan 2 (dua) alat ukur, yaitu : 1) Peraturan perundang-undangan 2) Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) Di dalam hukum positif Indonesia, kedua alat ukur dimaksud diatur dalam Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 UU dimaksud memuat alasan-alasan yang digunakan untuk menggugat pemerintah atas dikeluarkannya Keputusan TUN yang menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkena Keputusan TUN dimaksud. Secara lengkap substansi Pasal 53 dimaksud sebagai berikut : Pasal 53: Ayat (1) : orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal, tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Ayat (2) : alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang diduga itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan AAUPB. Sebelum pasal 53 ayat (2) undang-Undang No. 5 tahun 1986 diubah dengan undang-Undang no. 9 tahun 2004 tentang PTUN, alasan tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang masuk sebagai alasan gugatan, karena dalam undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tersebut belum secara tegas menyebutkan unsur AAUPB, sehingga alasan mengajukan gugatan sebelum perubahan, meliputi : a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan perundang-undangan; b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut mengandung unsur penyalahgunaan wewenang; dan c. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut mengandung unsur sewenang-wenang. Setelah adanya perubahan yakni dengan undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang PTUN, maka alasan huruf b dan c masuk dalam rumusan Pasal 53 ayat (2) huruf b yakni “Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan AAUPB. Ada suatu kerancuan di dalam hukum positif Indonesia khususnya dalam memaknai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dan “Asas-asas umum penyelenggaraan negara”, karena kedua asas tersebut dimaknai sama. Hal itu sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN. Dalam Penjelasan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik” adalah meliputi : a. Asas kepastian hukum b. Asas tertib penyelenggaraan negara c. Asas kepentingan umum d. Asas keterbukaan e. Asas proporsionalitas f. Asas profesionalitas g. Asas akuntabilitas Dalam pasal 53 ayat (2) huruf b tersebut ditegaskan memiliki unsur yang sama dengan yang dimaksud dalam pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan demikian secara jelas dan tegas “AAUPB” dimaknai sama dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara”. Secara teoritis, AAUPB memiliki perbedaan yang mendasar dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Menurut Philipus M.Hadjon, penjelasan tersebut sangat menyesatkan dan salah karena tidak membedakan “penyelenggara negara” dan “pemerintah”. Bahwa AAUPB pada dasarnya merupakan hukum tidak tertulis. Asas-asas penyelenggaraan negara bukanlah asas penyelenggaraan pemerintahan, karena penyelenggaraan negara masuk pada lingkup Hukum Tata Negara yang meliputi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisiil (Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dalam pasal tersebut ditegaskan, bahwa yang dimaksud Penyelenggara Negara, meliputi : Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara (sebelum amandemen terhadap UUD 1945); Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; Menteri; Gubernur; Pejabat Negara yang lain sesuai perundang-undangan yang berlaku; dan dengan peraturan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Substansi pasal dimaksud mengandung pengertian, bahwa penyelenggara negara meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisiil yang masuk dalam lingkup Hukum Tata Negara (HTN), sedangkan asas penyelenggaraan pemerintah masuk pada lingkup Hukum Administrasi (Hukum Tata Usaha Negara) yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif saja. Dengan demikian dapat dipahami secara jelas, bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik tidak sama dengan asas-asas penyelenggaraan negara. Dewasa ini dalam memaknai asas-asas umum pemerintahan yang baik rupa-rupanya telah dikaitkan dengan “general principle of good governance” bukan “general principle of good administration”. Masih terjadi suatu perdebatan makna apakah istilah governance sama dengan istilah administration. Dilihat dari sudut pandang hukum administrasi, konsep good governance berkaitan erat dengan aktivitas pelaksanaan fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Oleh karena itu good governance bersangkut-paut dengan penyelenggaraan tugas dasar pemerintah yang meliputi : a) Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the security of all persons and society itself); b) Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan masyarakat (to manage an effective framework for the public sector, the private sector and civil society); c) Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance with the wishes of population). Kesimpulan, bahwa berdasarkan hukum positif Indonesia, alat ukur keabsahan keputusan tata usaha negara dan tindak pemerintahan, meliputi : peraturan perundang-undangan yang memberi wewenang pemerintah untuk bertindak dan AAUPB. Peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. UU No.11 tahun 2012, hierarkhinya, sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar; 2. Undang-Undang/Perpu 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah Tindakan Maladministrasi Istilah maladministrasi (maladministration) dalam Blac’k Law Dictionary diartikan “poor management or regulation”, dan dalam kamus istilah populer mengandung arti “administrasi yang buruk atau pemerintahan buruk”. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiyati memberi arti yang lebih tegas “the concept of maladministration is related to administrative behaviour. Maladministration as derived from latin mal – malum meaning bad or evil and administration administrare meaning service. In thus sense, maladministration stands for bad service”, dan oleh Soenaryati Hartono “maladministrasi” diartikan secara umum sebagai perilaku yang tidak wajar (termasuk penundaan pemberian pelayanan), kurang sopan dan tidak peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif, dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang atau fakta tidak masuk akal, berdasarkan tindakan unreasonable, unjust oppressive dan diskriminatif. Kesimpulan : maladministrasi adalah suatu tindakan atau perilaku administrasi oleh penyelenggara administrasi negara (pejabat pemerintahan) dalam proses pemberian pelayanan umum yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum yang berlaku atau melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang atas tindakan tersebut menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi masyarakat, dengan kata lain melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan administrasi. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati ada 2 (dua) alasan yang mendasar menggunaan istilah maladministrasi, yakni : 1. to make a clear distinction between the creteria of review as conducted by the administrative court and the creteria of review as conducted by the National Ombudsman. The creteria of review of administrative action by the administrative court is based the principle of legality. 2. The concept of maladministration is related to administrative behaviour. Maladministration as derived from latin mal-malum meaning bad or evil and administration-administrare meaning service. In thus sense, maladministration stands for bad service. Secara teoritis, maladministrasi dapat terjadi akibat adanya tindakan hukum pemerintah atau administrasi negara, yang dalam negara hukum setiap tindakan hukum pemerintah tersebut harus selalu didasarkan pada asas legalitas (legalitiet beginsel) atau perundang-undangan yang berlaku. Kategori maladministrasi : tindakan hukum dimaksud bertentangan dengan kaidah atau norma dalam menjalankan pemerintahan termasuk norma hukum, sehingga menurut Soenaryati Hartono, tindakan atau perilaku maladministrasi bukan sekedar merupakan penyimpangan dari prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas pejabat atau aparat negara atau aparat penegak hukum, tetapi juga dapat merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad), detournement de pouvior atau detournement de prosedure yang sudah lama (sejak tahun 1924) dikenal oleh hukum Indonesia. Menurut “Klasifikasi Crossman” sebagaimana disitir Anton Sujata, tindakan-tindakan maladministrasi antara lain mencakup : 1. Berprasangka; 2. Kelalaian; 3. Kurang peduli; 4. Keterlambatan; 5. Bukan wewenangnya; 6. Tindakan tidak layak; 7. Jahat; 8. Kejam; dan 9. Semena-mena. Berdasarkan laporan Public Commissioner for Administration (PCA) pada tahun 1993, tindakan-tindakan maladministrasi yang lain seperti; a. Sikap kasar; b. Keengganan memperlakukan pengadu sebagai insan yang memiliki hak; c. Menolak memberi jawaban atas pertanyaan yang beralasan; d. Melalaikan keharusan memberitahu pengadu akan hak-haknya; e. Dengan sengaja memberi nasihat yang menyesatkan atau tidak lengkap; f. Mengabaikan nasihat yang sah atau pertimbangan yang membatalkan yang dapat menimbulkan perasaan tidak enak pada pihak yang memberikan nasihat atau pertimbangan tadi; g. Menawarkan tidak ada pemulihan atau pemulihan yang tidak proporsional; h. Menunjukkan sikap prasangka atas alasan warna kulit, seks, atau alasan lain; i. Cacat prosedur; j. Kegagalan managemen dalam memantau kepatuhan melalui prosedur yang memadai; dan k. Sikap berpihak. Komisi Ombudsman Nasional juga memberi indikator bentukbentuk maladministration, antar lain : melakukan tindakan yang janggal (inappropriate), menyimpamng (deviate), sewenangwenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irrgular/illegatimate), penyalahgunaan wewenang (abuse of power) atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) dan pelanggaran ketentuan (equity). Di samping itu Anton Sujata beserta timnya memaparkan beberapa jenis maladministrasi dalam bukunya ombudsman Indonesia (masa lalu, sekarang dan masa mendatang) sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiyati, antara lain : 1. Pemalsuan/persekongkolan/forgery (conspiracy); 2. Intervensi (intervention); 3. Penanganan berlarut/tidak menangani (undue delay); 4. Inkompetensi (incompetency); 5. Penyalahgunaan wewenang/berlebihan (abuse of power); 6. Nyata-nyata berpihak (impartiality); 7. Menerima imbalan (uang, hadiah, fasilitas/praktik KKN/bribblety/corruption, collution, nepotisme practices); 8. Penggelapan barang bukti/penguasaan tanpa hak (illegal possession and ownersing); 9. Bertindak tidak layak(misleading practices); 10. Melalaikan kewajiban (unfulfil obligation); 11. Lain-lain (others) Soenaryati Hartono, merumuskan 20 substansi permasalahan yang menjadi kompetensi Ombudsman, meliputi : 1. Penundaan berlarut; 2. Tidak menangani; 3. Persekongkolan; 4. Pemalsuan; 5. Diluar kompetensi; 6. Tidak kompeten (tidak mampu atau tidak cakap); 7. Penyahgunaan wewenang; 8. Bertindak sewenang-wenang; 9. Permintaan imbalan uang/korupsi; 10. Kolusi dan nepotisme; 11. Penyimpangan prosedur; 12. Melalaikan kewajiban; 13. Bertindak tidak layak/tidak patut; 14. Penggelapan barang bukti; 15. Penguasaan tanpa hak; 16. Bertindak tidak adil; 17. Intervensi; 18. Nyata-nyata berpihak; 19. Pelanggaran undang-undang; 20. Perbuatan melawan hukum (bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan kepatutan) Tindakan maladministrasi memiliki kaitan erat dengan sikap dan perilaku penyelenggara administrasi negara (pemerintahan) sebagai subyek hukum, yang secara teori pemerintah memiliki kedudukan khusus (de overhead als bijzonder persoon), sebagai satu-satunya pihak yang diserahi kewajiban untuk mengatur dan menyelenggarakan kepentingan umum dimana dalam rangka menjalankan kewajiban ini kepada pemerintah diberikan wewenang membuat peraturan perundang-undangan, menggunakan paksaan pemerintah, atau menerapkan sanksi-sanksi hukum, sehingga penyelenggara pemerintahan memiliki pengaruh yang sangat dominan. Apabila wewenang tersebut melekat suatu tanggung jawab atau akuntabilitas kepada masyarakat, sehingga tindakan maladministrasi sebagai tindakan bertentangan denagn kehendak rakyat, maka tindakan maladministrasi sebagai tolok ukur moralitas suatu pemerintahan, dimana pemerintahan dinilai baik apabila tidak terjadi maladministrasi, dan dinilai buruk apabila pemerintahan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang masuk pada rincian tindakan maladministrasi di atas. Tindakan maladministrasi bertentangan dengan konsep good governance karena esensi good governance sebagai kaidah etika atau moral dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, sedangkan maladministrasi nyata-nyata sebagai tindakan administrasi yang bertentangan dengan etika atau moral dan hukum. SF. Marbun dkk menyatakan bahwa sikap tindak administrasi negara dalam menjalankan fungsinya melaksanakan pelayanan publik, harus tetaplah berdasarkan hukum yang berlaku dan prinsipprinsip hukum umum yang diterima. Sjachran Basah, mengemukakan bahwa ”Dalam menjalankan tugas-tugas servis publik itu secara aktif, maka bagi administrasi negara timbul konsekuensi khusus, yaitu diperlukan Freies Ermessen yang memungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tap MPR No. II/MPR/1978) dan kepada hukum (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945) yang merupakan tolak ukur penting, dalam menentukan batas toleransi tindakan-tindakan administrasi negara, sehingga bagi mereka yamng terkena tindakan itu tidak dirugikan”. Kesimpulan : untuk mewujudkan pemerintahan yan baik, harus mampu mencegah dan menghindarkan tindakan maladministrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan tindakan maldministrasi merupakan tindakan yang bertentangan dengan moral dan hukum.