JURNAL SOSIAL DAN POLITIK PEMAKNAAN PAKAIAN MINIM BAGI SISWI DI SMA ISLAM SURABAYA Oleh Ta’wil Hanifadiyatna Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga ABSTRAK Tulisan ini di tunjukan untuk mengetahui bagaimana perkembangan berbusana yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Terutama perkembangan busana dalam busana minim yang dipakai oleh hampir semua kalangan perempuan di dunia. Disini saya ingin meneliti perkembangan busana minim yang di gunakan oleh para perempuan yang mengetahui tentang adab atau tata cara berbusana yang baik dan benar menurut agama islam namun masih tetap memakai pakaian yang minim dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini di khususkan kepada para siswi SMA di sekolah yang berbasis agama Islam, salah satunya di SMA Muhammadiyah II Surabaya. Perkembangan yang sangat pesat disebabkan oleh globalisasi khususnya dalam berbusana. Globalisasi merupakan sebuah proses menuju sistem kehidupan yang lebih global, terbuka secara luas dalam berbagai ospek dan segi kehidupan manusia, baik di bidang ekonomi, sosial budaya, teknologi dan sebagainya. Globalisasi merupakan ruang keterbukaan yang berdampak pada semakin luar dan bebasnya akses sebuah negara ke negara lainnya. Tulisan ini hendak mengkaji pemaknaan siswi SMA islam dalam mengenakan pakaian minim dengan menggunakan teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Seperti dari eksternalisasi, obyektivasi, dan Internalisasi. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif. Dari ketiga pemaknaan masing-masing informan tersebut peneliti mendapat kesimpulan bahwa siswi-siswi SMA Islam yang memakai pakaian minim mengaku bahwa memaknai pakaian minim adalah untuk mendapatkan kebebasan dalam melakukan aktifitasnya dan dapat mengkspresikan dirinya sendiri lalu sebagian siswi-siswi SMA islam yang memaknai pakaian minim adalah kebanggan tersendiri apabila memperlihatkan bagian tubuhnya yang dianggap terbaik dan bagus. Kata Kunci : Pakaian minim, Siswi SMA Islam, Konstruksi sosial Pendahuluan Globalisasi informasi merupakan salah satu bagian penting yang sudah cukup dirasakan oleh manusia melalui adanya jaringan internet yang terhubung secara luas di seluruh dunia. Pengaruh globalisasi ini secara khusus juga dirasakan oleh kalangan remaja sebagai kalangan dari usia pancaroba dan peralihan. Usia yang rentan dengan budaya coba-coba dan memiliki rasa keingintahuan yang cukup besar. Dengan adanya teknologi yang berkembang ini termasuk penggunaan internet yang sangat berpengaruh dalam kalangan kawula muda. Dengan internet para remaja menjadi cakap dalam penguasaan berbagai bidang teknologi. Pengaruh kedua dari globalisasi yang bersifat positif ini yaitu meningkatkan kreatifitas dan ruang berkarya para generasi muda. Masuknya berbagai budaya asing, serta berbagai sistem kehidupan ekonomi dari luar akan memperkaya ruang kreatifitas para remaja tanah air. Para remaja akan lebih tebuka wawasannya dan daya pikirannya terhadap budaya-budaya luar. Ruang belajar dan mempelajari hal-hal baru yang ia terima dari budaya asing disatu sisi akan sangat berimbas pada daya kreatifitas para remaja. Dari kreatifitas itulah para remaja di Indonesia mulai memberikan karya seni yang baru dengan mencontoh budaya luar. Dengan adanya pengaruh positif yang meningkatkan kreatifitas inilah kita dapat melihat adanya pengaruh negatif yang muncul dalam era globalisasi sekarang. Banyak sekali jika dilihat di televisi, remaja-remaja putri yang biasa di sebut girlband yang memakai busana mini, seperti rok mini ataupun hotpants yang menari-nari dengan riangnya tanpa mempedulikan kalau mereka telah memperlihatkan bagian tubuh mereka sendiri. Ruang kebebasan berbudaya yang di usung oleh semangat globalisasi terakadang membawa sebagian remaja larut dalam kehidupan hingar bingar remaja. Tidak sedikit remaja-remaja putri yang melupakan aturan-aturan tentang sopan santun berbusana. Indonesia adalah negara yang sopan dalam berbusana oleh karena itu penggunaan rok mini atau hot pants ini dianggap tidak sesuai dengan budaya berpakaian di Indonesia. Dalam kasus kejahatan pemerkosaan. Para korban yang kebanyakan menggunakan rok mini tersebut mendapatkan perlakuan yang sangat tidak bermoral diperkosa bahkan sampai dibunuh. Tetapi kejadian seperti itu kita tidak bisa mempermasalahkan siapa yang bersalah. Karena jika di lihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan tidak terlalu berbeda. Apabila dilihat dari sudut pandang perempuan mungkin saja mereka santai dalam menggunakan rok mini dan mungkin ini akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi perempuan meskipun bisa menjadi bumerang karena perempuan yang senang memakai rok mini di tempat umum akan memperlihatkan bagian tubuhnya terkespos dan bisa menjadi korban tindak kejahatan karena kejahatan bisa terjadi karena adanya kesempatan. Mungkin ini juga yang terjadi pada korban pemerkosaan yang memakai rok mini. Pelaku akan mendapat kesempatan dan peluang untuk memperkosa si korban yang bisa jadi diakibatkan karena pelaku terpancing oleh pakaian korban yang memakai rok mini ditambah suasana sepi yang mendukung aksi pelaku melancarkan kejahatan. Salah satu upaya dalam mengatasi fenomena adanya pakaian minim ini adalah melalui media pendidikan yaitu sekolah, dimana sekolah mengajarkan para anak didiknya agar bisa menggunakan pakaian yang sopan dan rapi. Hal ini juga pertama-tama di terapkan oleh sekolahsekolah yang berbasis agama Islam. Di sekolah Islam, para pelajar putrinya diharuskan mengenakan pakaian muslim yaitu menggunakan jilbab dan tertutup. Menggunakan pakaian muslim di sekolah merupakan salah satu bentuk pendidikan moral yang diberikan oleh pihak sekolah kepada anak didiknya terutama dalam hal mengenakan pakaian yang baik dan benar sesuai dengan aturan yang diajarkan oleh agama. Di mana negara Indonesia ini merupakan negara yang sebagian besar penduduknya menganut ajaran Islam yang mengajarkan umatnya agar mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup. Mengenakan pakaian muslim juga diterapkan di sekolah-sekolah yang berbasis pendidikan Islam. Tidak hanya di ajarkan tentang ilmu agama, melainkan para siswinya juga harus mengenakan seragam tertutup atau berjilbab di dalam lingkungan sekolahnya. Pihak sekolah sendiri memiliki aturan pakaian bagi anak didiknya dalam mengenakan pakaian. Adapun peraturan yang biasa sering diterapkan oleh pihak sekolah antara lain seperti tidak boleh memakai seragam yang ketat yang bisa memperlihatkan bentuk tubuhnya bagi pelajar putri. Hal ini dilakukan pihak sekolah agar anak didiknya mendapatkan pendidikan akhlak yang baik, terutama dalam berbusana. Pemakaian busana muslim yang di anjurkan oleh pihak sekolahsekolah berbasis Islam biasanya juga dilakukan agar anak didiknya terhindar dari perilaku kejahatan seperti pemerkosaan dan penculikan. Aturan di sekolah dalam mengenakan pakaian tertutup bagi pelajar putri ini tidak juga diterapkan oleh mereka saat berada di luar lingkungan sekolahnya. Hal ini menunjukkan bahwa aturan mengenakan pakaian tertutup hanya berlaku pada saat mereka berada di lingkungan sekolah saja. Padahal di lingkungan sekolah mereka sendiri telah diajarkan dan dibuat sebuah peraturan dalam mengenakan pakaian yang baik dan sopan. Karena sekolah mereka merupakan sekolah yang kental sekali dengan ajaran-ajaran agamanya. Namun faktanya banyak remaja putri yang mengenakan pakaian-pakain minim seperti pakaian minim dan hot pants apabila berada di luar dari lingkungan sekolahnya. Hal ini yang menyebabkan seorang pelajar putri yang seharusnya sudah memiliki pengetahuan agama yang cukup baik tetapi mereka masih saja melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan sekolah dalam berbusana. Tulisan ini menggunakan tipe deskriptif karena dapat memberikan gambaran secara terperinci data yang telah terkumpul tanpa bermaksud membuat sebuah generalisasi. Dalam pengertian berusaha untuk menggambarkan konstruksi sosial pelajar siswi Islam yang memakai jilbab di lingkungan sekolahnya tetapi mereka juga memakai pakaian yang minim pada saat di luar lingkungan sekolahnya, khususnya di daerah Surabaya. Kajian Pustaka Dalam tulisan ini digunakan teori Peter L. Berger mengenai konstruksi realitas secara sosial. Teori ini nantinya digunakan untuk mengamati dan mempelajari tentang konstruksi social yang menjadi isu dalam penelitian. Mengacu pada bukunya Invitation to Sociology tidak hanya memuat perihal kesadaran sosiologis saja, tetapi juga pandangan Peter Berger tentang hubungan di antara individu dan masyarakat yang berpangkal pada gagasan bahwa masyarakat merupakan penjara, yang membatasi ruang gerak individu. Namun tidak selamanya individu penghuninya menganggapnya sebagai belenggu. Malah sering kali kehadiran belenggu ini diterima begitu saja (taken for granted), tidak di pertanyakan, oleh si individu. Meski begitu, dengan keterbatasan ini, si individu masih memiliki kesanggupan untuk memilih tindakan yang hendak diambilnya. Berger mendasarkan diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan yaitu “realitas” dan “pengetahuan”. “Realitas” dianggap sebagai “a quality pertaining to phenomena that we recognize as having a being independent of our volition” ( kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada di luar kehendak kita). Maksudnya realitas merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai kekuatan memaksa kesadaran masing-masing individu. Suka atau tidak suka, realitas tetap ada. Sedangkan “pengetahuan” di artikan sebagai “he certainty that phenomena are real and that they possed specific characteristic”(keyakinan bahwa suatu fenomena itu nyata dan memiliki karakteristik tertentu), maksudnya pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran. Sosiolog pada masanya, Berger menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena itu, Berger menjadikan interaksi sosial sebagai subject matter sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan individu dengan masyarakat. Individu adalah acting subject, makhluk hidup yang senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan. Secara konseptual Berger membagi Interaksi sosial sebagai subject matter menjadi 3 macam, yaitu: (1) interaksi yang beorientasi pada posisi manusia dalam masyarakat, disini dikenal istilah (common sense), dimana manusia menempatkan diri sendiri di dalam konfigurasi sebagaimana diartikan oleh orang yang tidak kita kenal adalah salah satu aspek yang penting dari apa yang secara euphemistic disebut bertumbuh dewasa. (2) interaksi yang berorientasi pada posisi masyarakat dalam manusia. (3) interaksi yang berorientasi pada posisi masyarakat sebagai drama. (humanisme sosiologi). Dalam buku Margaret M. Poloma, terdapat 3 tahap konstruksi sosial Berger, Yaitu: 1. ekstrenalisasi: penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk dunia manusia 2. objektivasi: interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, 3. internalisasi: individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial, tempat individu menjadi anggotanya. Makna Pemakaian Pakaian Minim Fenomena pemakaian busana minim di Indonesia sudah sangat banyak sekali dan dianggap biasa dalam keseharian pemakaiannya, dari Ibu-ibu sampai anak-anak kecil banyak sekali yang memakainya. Entah itu di dalam lingkungan rumah saja, atau dipakai pada waktu keluar rumah seperti jalan-jalan, ke mall, dan bepergian ketempat umum lainnya. Danyang dianggap tidak biasa yaitu fenomena pakaian minim ini merambah ke anak-anak SMA yang dulunya memakai jilbab lalu melepas jilbabnya untuk memakai pakaian minim. Sebagian siswi SMA yang dulunya memakai jilbab dari kecil lalu melepasnya pada waktu SMA. Alasan seseorang menggunakan pakaian minim menurut dia karena dia ingin merasakan kebebasan dan bisa mengekrepsikan dirinya sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Seorang anak perempuan pernah berfikir bahwa dia masih memiliki banyak sifat-sifat dan juga sikap yang belum cocok untuk mengenakan jilbab, oleh karena itu dia melepas jilbabnya pada saat masih remaja. Bagi para remaja putri yang diberi kebebasan sejak kecil ternyata lebih cenderung memakai pakaian minim dari kecil karena memang orangtua tidak terlalu memperhatikannya, walaupun sempat menasihati agar tidak terlalu sering memakai pakaian minim tetapi karena sifatnya yang selalu di manja maka dari itu orangtuanya mengalah dengan sifat anaknya. Walaupun para remaja putri bersekolah disekolah Islam dan memakai jilbab didalam sekolah tetapi itu bukanlah sifatnya dan diamereka tetap memakai pakaian minim di luar lingkungan sekolahnya, karena alasannya untuk masuk Islam karena paksaan dari orangtuanya. Mereka lebih mendapat kebebasan dalam mengekspresikan dirinya apabila memakai pakaian yang menurutnya lebih modis. Walaupun mereka bersekolah di sekolah Islam dan kesehariannya memakai pakaian yang pendek-pendek tetapi hubungan dengan teman-temannya tetap terjalin dengan baik. Keluarga yang ketat dalam mengajarkan aajaran agama Islam khususnya perilaku berbusana muslim pada anaknya sejak kecil lebih mempengaruhi perilaku anak ketika remaja dalam memakai pakaian yang baik dan benar di bandingkan keluarga yang tidak terlalu ketat atau memberi kebebasan kepada anaknya dalam berperilaku. 1. Teman-teman sepergaulan sangat berpengaruh terhadap perilaku berpakaian minim terhadap remaja walaupun keluarganya sangat ketat dalam mengajarkan ajaran-ajaran Islam. 2. Keluarga yang membebaskan anaknya dalam berbusana akan mempengaruhi perilaku anak ketika remaja dalam berpakaian. Dari ulasan diatas ternyata, para pemakai pakaian minim yang latarbelakang keluarganya memberikan kebebasan pada anaknya, disana juga mendapat kesempatan bagi sang anak untuk melakukan keinginannya tanpa larangan khususnya dalam hal berbusana. Dan keluarga yang berlatar belakang sangat kental akan ajaran Islam lebih menekankan tentang aturan-aturan dalam Islam. Jadi, perilaku yang didapat didalam keluarga juga ikut dalam perkembangan psikologis anak. DISKUSI TEORITIK Berger menjelaskan di dalam teori konstruksi realitasnya bahwa manusia akan mengekternalisasikan dirinya ke dalam dunia sosial baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Kemudian objektivasi adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif bagi manusia sebagai faktisasi yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Proses terakhir adalah dunia objektif itu akan dimasukkan kembali ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial yang dinamakan dengan internalisasi. Berhubungan dengan pernyataan tentang Agama Islam, sedikit pemaparan tentang konsep dari agama secara universal yang mengacu pada sudut pandang pembahasan sosiologi agama, bahwa agama merupakan institusi. Artinya, hasil kreasi dan ciptaan masyarakat melalui tiga tahapan proses dialektika simultan, eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Pada dasarnya, institusi agama bersifat artificial, sehingga selalu mengalami proses dialektika yang tidak ada hentinya. Karena keempat proses tersebutlah maka struktur, kenyataan dan pengetahuan yang ada dalam masyarakat tidak berhenti pada satu titik saja, melainkan selalu bersifat dinamis, dengan proses perubahan yang tiada henti. Beragam pakaian minim yang dikenakan masyarakat di Indonesia, khususnya para siswisiswi sekolah Islam di luar lingkungan sekolahnya dengan berbagai variasi pemakain model busana minim yang dikenakannya. Beragam pula alasan mereka dalam memaknai dan mengambil keputusan untuk mengenakan pakaian minim. Berkaitan dengan makna, siswi-siswi yang mengenakan pakaian minim tersebut memiliki pemahaman dan pemaknaan masing-masing dalam hal berpakaian. Proses pembentukan makna atau konstruksi sosial yang akan dipaparkan dalam bab ini yaitu hasil dari proses wawancara mendalam. Melalui wawancara mendalam, akan dipaparkan konstruksi-konstruksi pengetahuan individu tentang busana muslim yang mereka kenakan. Konstruksi subyektif tersebut diletakkan ke dalam konteks interaksi intersubyektif. Analisis pada bab 4 ini sebisa mungkin disusun secara sistematis. Awal mula analisisnya yaitu dari pemahaman siswi-siswi SMA Islam dalam tentang berbusana dalam Islam kemudian pemakaian pakaian minim atau lebih tepatnya tentang apa alasan siswi-siswi SMA Islam mengenakan pakaian minuim, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis konstruksi pakaian minim atau tepatnya tentang bagaimana siswi SMA Islam memaknai pakaian minim. Banyak alasan para siswi SMA Islam dalam memakai pakaian minim. Biasanya para siswi SMA Islam mendapatkan pengajaran tentang tata cara dan hukum di Islam. Bagaimana cara berbusana yang baik dan benar, namun kenyataannya sebagian siswi SMA Islam tetap memakai pakaian minim apabila sudah tidak didalam lingkungan sekolahnya. Proses dialektika Berger mengacu pada bagaimana individu akan mengkonstruksikan realitas sosial yang ada di sekitarnya melalui tiga momen yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi adalah sebuah hubungan dialektik dalam kenyataan sosial. Keempat momen ini akan terus berjalan seiring dengan perkembangan individu menjadi manusia didalam masyarakat sehingga keempatnya akan saling menjalin dan tak akan pernah putus. Berger menjelaskan di dalam teori konstruksi realitasnya bahwa manusia akan mengeksternalisasikan dirinya kedalam dunia sosial baik dalam kegiatan mental ataupun fisik. Eksternalisasi merupakan momen awal sesorang dalam mengkonstruksi realitas sosial yang ada di sekitarnya. Eksternalisasi adalah ekspresi diri manusia kedalam dunia sosial, melalui berbagai produk kegiatan yang di hasilkan. Proses tersebut berhubungan erat dengan masyarakat sebagai produk manusia, yang berarti bahwa proses pembentukan diri seorang perempuan muslim dimana ia menghasilkan dirinya sendiri, selalu dan tidak boleh tidak merupakan satu kegiatan sosial. Pemakaian pakaian minim akan meleburkan dirinya kedalam dunia soalnya melalui produk-produk ciptaanya karena pada dasarnya manusia itu menghasilkan suatu lingkaran yang manusiawi. Pembentukan diri seorang perempuan pemakain pakaian minim akan selalu berhubungan dengan lingkungan sosialnya dimana lingkungan tersebut besar pengaruhnya terhadap hassil produk-produk aktivitas sosialnya. Seorang perempuan muslim yang memutuskan untuk mengenakan pakaian minim bisa dipengaruhi oleh lingkungan dan juga manusianya. Menurut Berger, hubungan manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan dunia. Proses menjadi manusia berlangsung dalam hubungan timbal balik dengan lingkungannya yang merupakan lingkungan alam dan lingkungan manusia. Artinya, manusia yang sedang berkembang itu tidak hanya berhubungan secara timbal balik dengan suatu lingkungan alam tertentu, tetapi dengan suatu tatanan budaya yang spesifik. Dalam hal kemungkinan dan keragaman cara-cara untuk menjadi manusia dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan yang ganda ini, organisme manusia menunjukkan suatu kekenyalan yang sangat besar dalam tanggapannya kepada kekuatan-kekuatan lingkungan yang bekerja terhadapnya. Pengalaman siswi-siswi SMA Islam tentang awal munculnya ketertarikan atau dorongan untuk mengenakan pakaian minim menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan alam dan lingkungan manusia juga ikut mempengaruhi keputusannya dalam merubah penampilan dengan mengenakan pakaian minim. Pengaruh ajakan serta dorongan dari orang lain memiliki kekuatan besar terhadap tanggapan-tanggapan pemakai akaian minim dalam proses pembentukan sosialnya. Realitas subyektif pada diri pemakai pakaian minim merupakan hasil bentukan sosialnya dan juga erat kaitannya dengan eksternalisasi sebagai produk sosial ciptaan manusia. Proses itu juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang manusiawi yang selalu berubah-ubah disekitarnya. Para pemakai pakaian minim dalam menciptakan suatu lingkungan manusiawi tidak mungkin jika mereka merasa dalam keadaan yang tertutup dan mengisolasi dirinya dengan lingkungan sekitar yang juga berpegaruh dalam proses bentukan sosial oleh pemakai pakaian minim itu sendiri. Setiap individu dilahirkan sebagai makhluk sosial yang memerlukan bantuan orang lain. Para pemakai pakaian minim bersama lingkungannya akan mengupayakan terciptanya kegiatankegiatan sosial dengan tujuan untuk tetap menjaga kestabilan lingkungan hidupnya, bukan malah menarik diri dari pergaulan dan lingkungan. Kestabilan sosial tidak akan mungkin dicapai jika individu bekerja sendiri-sendiri dan tidak berusaha ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di lingkungannya. Melalui cara itulah, individu mampu bekerja sama untuk menghasilkan produkroduk kegiatan sosial di lingkunganna sehingga menjadi manusia yang berkualitas dan berguna bagi sesamanya. Pembentukan diri dari para pemakai pakaian minim tidak mungkin berhasil jika mereka berada dalam suatu keadaan yang terisolasi dan menutup diri dengan orang lain. Para pemakai pakaian minim dengan turut tinggi dalam berbagai berbagai aktivitas sosial di lingkungannya akan menciptakan suatu lingkungan yang manusiawi bagi sesamanya. Lingkungan yang tertib dan stabil akan membawa masyarakatnya mencapai terbentuk suatu tatanan sosial sebagai produk dari eksternalisasi. Tatanan sosial erat hubungannya dengan dunia kelembagaan. Dunia kelembagaan merupakan aktivitas manusia yang diobjektivikasi. Momen kedua dari proses dialektika Peter L. Berger yaitu proses obyektivasi dari dunia kelembagaan. Obyektivasi mendefinisikan bahwa manusia melihat realitas objektif dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga sosial. Seperti halnya dalam realitas objektif dimana tidak selamanya perilaku manusia selalu berada dalam keadaan yang stabil dan fungsional karena memang organisme manusia tidak memiliki sarana biologis yang diperlukan untuk memberikan stabilitas bagi perilaku manusiawi tersebut. Eksistensi manusia, jika dikembalikan pada sumber- sumber daya organismisnya sendiri, akan merupakan eksistensi dalam semacam khaos. Tetapi khaos seperti itu secara empiris tidak bisa dijumpai, walaupun secara teoritis manusia dapat membayangkannya. Eksistensi para pemakai pakaian minim sebagai makhluk hidup di bumi ini berlangsung dalam konteks kebebasan dan kestabilan. Maksudnya, seorang pemakai pakaian minim merasa bebas dalam melakukan kegiatan yang diinginkannya tanpa harus adanya peraturan yang mengikat. Dan juga para pemakai pakaian minim harus mengontrol dirinya agar tidak terlalu bebas dalam melakukan sesuatu yang negatif. Semua itu dilakukan di kalangan masyarakat sekitar atau lingkungan sosialnya guna menjaga kestabilan tersebut. Para pemakai pakaian minim cenderung akan lebih tidak teratur daripada para pemakai busana muslim, karena dalam memakai pakaian minim tidak ada peraturan-peraturan yang mengikat dan larangan-larangan dalam melakukan sesuatu. Tatanan sosial mencakup dunia kelembagaan yang akan memperoleh sifat objektif dari proses objektivasi yang dibangun individu. Dunia kelembagaan sendiri adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi begitu juga dengan setiap lembaganya. Realitas objektif yang menempatkan individu pada sektor yang problematis sekalipun hendaknya sebagai mahkluk sosial individu mampu menyesuaikannya dengan realitas kehidupan seharí-hari yang rutin baginya karena tidak selamanya realitas itu berjalan mulus dan lancar. Individu dalam perjalanan hidupnya akan menemui problematika yang memotong kelancaran jalan hidupnya. Namun, manusia sebagai mahkluk hidup yang paling istimewa diberikan kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup lainnya yakni kemampuan menganalisis masalah melalui akal dan pikirannya sehingga dia akan mengintegrasikan realitas rutinnya tadi dengan realitas yang problematis itu. Pemaparan tersebut berhubungan dengan para siswi-siswi SMA Islam pemakai pakaian minim yang mana setelah mereka memutuskan untuk berpenampilan memakai pakaian minim mengakui bahwa selama ini mereka mengaku belum pernah merasakan adanya sektor problematis dalam hidupnya yang berkaitan dengan pakaian minim yang mereka kenakan dalam hubungan sosial di lingkungannya. Momen terakhir dalam dialektika ini yaitu internalisasi. Internalisasi yaitu penyerapan kembali dunia sosial objektif kedalam kesadaran melalui sosialisasi. Masyarakat berada baik sebagai kenyataan objektif maupun subjektif, begitu juga kehidupan para pemakai pakaian minim baik yang mengenakan pakaian minim sejak masih kecil ataupun pemakai pakaian minim yang dulunya pernah menggunakan busana muslim dengan berbagai variasi pemakaiannya. Sebagai seorang individu yang hidup di lingkungan masyarakat, individu tidak akan pernah lepas dari orang lain yang bepengaruh dalam proses pembentukan identitasnya. Berger menyatakan, individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Ia dilahirkan dengan suatu kecenderungan ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Oleh karena itu, dalam kehidupan setiap individu memang ada suatu urutan waktu dan selama itu ia diimbas kedalam partisipasi dalam dialektika masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah internalisasi yakni pemahaman mengenai individu seara pribadi dan pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang bermakna dari kenyataan sosial. Seorang perempuan yang dalam hal ini mereka yang mengenakan pakaian minim masuk kedalam suatu struktur sosial yang objektif dimana mereka bertemu dengan orang-orang yang berpengaruh dan bertugas mensosialisasikannya. Orang-orang yang berpengaruh itu mengirimkan peranan-peranan melalui nilai-nilai kehidupan baik secara agama ataupun sosial. Dengan proses internalisasi inilah, pemakai pakaian minim memahami bahwa mereka adalah makhluk kultur sosial yang mengikuti perkembangan zaman. Dengan kata lain, diri mereka itu merupakan suatu entitas yang direflesikan, yang memantulkan sikap yang mula-mula diambil oleh orang-orang yang berpengaruh terhadap diri itu, individu menjadi sebagaimana mereka disapa oleh orang-orang yang berpengaruh padanya. Ini bukan suatu proses mekanitis dan sepihak. Ia melibatkan suatu dialektika antara identifikasi oleh orang lain dan identifikasi oeh dirinya sendiri, antara identitas yang diberikan secara objektid dan identitas yang diperoleh secara subjektif. Dialektika yang berlangsung kapanpun individu mengindentifikasikan diri terhadap orang-orang yang berpengaruh, merupakan jenis partikulasi dalam kehidupan individu dari dialektika umum masyarakat. Melalui proses internalisasi inilah akan terus berkembang seiring dengan proses identifikasi diri para pemakai pakaian minim. Melalui proses identifikasi diri dengan orangorang yang berpengaruh itulah seorang pemakai pakaian minim menjadi mampu mengidentifikasi dirinya sendiri untuk memperoleh suatu identitas yang secara objektif dan masuk akal. Apabila mengacu pada dialektika Peter Berger, momen awal masing-masing individu dalam memaknai dan memahami realitas sehari-hari yaitu melalui eksternalisasi. Proses tersebut berhubungan sangat erat terhadap masyarakat sebagai produk manusia, yang artinya bahwa proses pembentukan diri individu dimana mereka menghasilkan dirinya sendiri, dan pasti merupakan satu kegiatan sosial. Individu akan menyatukan diri dengan dunia sosialna melalui produk-produk ciptannya karena pada intinya manusia akan menghasilkan suatu lingkungan yang manusiawi. Para siswi SMA Islam mengkonstruksi realitas pakaian minim melalui dialektika Berger pada umumnya karena masing-masing telah mengeksternalisasikan dirinya ke dalam dunia sosial dengan identitasnya sebagai seorang pelajar yang mengikuti trend yang telah ada. Pada dasarnya perkembangan manusia sudah berlangsung sejak ia ada di dalam kandungan dan ketika ia telah dilahirkan di muka bumi proses pembentukan dirinya terjadi bersamaan dengan hubungan timbal balik yang di hasilkannya bersama lingkungan alam dan lingkungan manusianya. Hubungan timbal balik pemakai pakaian minim terhadap lingkungannya mempengaruhi kehidupan pribadi dalam segi nilai-nilai kebebasan. Seperti yang dikemukakan oleh Peter L. Berger bahwa individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat tanpa sosialitas, namun dia dilahirkan dengan suatu kecenderungan ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Oleh karena itu, dalam kehidupan setiap individu memang ada suatu urutan waktu dan selama itu ia diimbas kedalam partisipasi dalam dialektika masyarakat. Dialektika Peter L. Berger ini dikenal dengan internalisasi yakni pemahaman mengenai individu secara pribadi dan pemahaman mengenai dunia sebagai suatu yang maknawi dari kenyataan sosial.