Geseran kimia - kimia disekitar kita

advertisement
SPEKTROSKOPI 1H NMR
A. PENDAHULUAN
Spektroskopi 1H NMR mampu menyuguhkan informasi yang cukup detail mengenai
struktur molekul suatu senyawa organik. Lingkungan kimia proton dalam molekul dapat
digambarkan secara jelas. Sementara posisinya dalam ruang masih terbatas
digambarkan. Di awal penemuan alat ini hingga akhir tahun 1950-an telah memberikan
perubahan yang sangat besar dalam perkembangan ilmu kimia organik.
doblet,
triplet,
3H
3H
OH
singlet
1H
2-butanol
quintet
2H
multiplet
1H
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
ppm
Gambar 4.1 Spektrum 1H NMR 2-butanol
Spektrum 1H NMR (Gambar 4.1) menunjukkan dengan jelas masing-masing jenis,
jumlah dan lingkungan kimia proton (hidrogen) senyawa 2-butanol. Gugus metil C-1,
metin C-2, metilen C-3, dan metil C-4 berturut-turut muncul dalam bentuk sinyal doblet
3H, multiplet 1H, quintet 2H, dan triplet 3H. Sementara proton dari gugus OH muncul
dalam bentuk singlet 1H.
B. KONSEP DASAR RESONANSI MAGNET INTI
Saat berputar pada sumbunya, inti atom memiliki sifat yang disebut spin inti. Inti atom
yang memiliki bilangan massa ganjil dan nomer atom ganjil atau salah satunya,
memiliki momen spin angular dan momen magnet tertentu. Banyaknya keadaan spin
inti yang dimungkinkan, ditentukan dan dikuantitasi berdasarkan bilangan spin magnet
inti (I). Keadaan spin yang dimungkin dari setiap inti dengan harga spin magnet inti (I)
adalah 2I + 1. Untuk inti hidrogen yang memiliki harga I = ½ , akan memiliki 2 keadaan
spin inti, yaitu - ½ dan + ½. Berikut ini harga bilangan quantum spin dari beberapa inti.
Tabel 4.1. Harga Bilangan Quantum Spin dari Beberapa Inti
HARGA BILANGAN QUANTUM SPIN DARI BEBERAPA INTI
Unsur
Bilangan Quantum
Spin Inti
Jumlah Keadaan
Spin
1
1H
2
1H
12
6C
13
6C
14
7N
16
8O
½
1
0
½
1
0
2
3
0
2
3
0
17
8O
5
19
9F
31
15P
/2
½
½
6
2
2
35
17Cl
3
/2
4
Keadaan spin inti memiliki tingkat energi yang berbeda dalam medan magnet, karena
inti atom merupakan sebuah partikel bermuatan dan semua partikel yang bergerak akan
menimbulkan medan magnet disekitarnya. Karenanya, inti atom memiliki momen
magnet () akibat muatan dan spin intinya. Inti hidrogen memiliki spin
- ½
(berlawanan arah) dan + ½ (searah jarum jam), serta momen magnet inti () dalam dua
arah yang berlawanan.
Fenomena resonansi magnet inti akan terjadi jika inti yang berada dalam lingkungan
medan magnet, menyerap energi dan spin intinya mengalami perubahan orientasi
sehubungan medan magnet tersebut. Besarnya energi yang diserap inti supaya proses
resonansi terjadi, adalah sama dengan besarnya selisih energi antara dua keadaan spin
inti, yaitu keadaan searah medan magnet (+½) dengan keadaan berlawanan arah medan
magnet (-½). Besarnya selisih energi ini merupakan fungsi dari medan magnet luar (B0).
Semakin besar medan magnet luar yang mempengaruhi inti semakin besar pula selisih
energi keadaan dua spin inti. Selain dipengaruhi medan magnet luar, selisih energi
keadaan dua spin inti juga dipengaruhi oleh apa yang disebut dengan rasio magnetogirik
(). Setiap inti memiliki rasio momen magnet dengan momentum angular yang berbedabeda karena perbedaan massa dan muatan masing-masing inti.
Ediserap = (Ekeadaan -½ - Ekeadaan +½) = h
∆E = f (B0)
∆E = f ( B0) = h
Karena harga momentum angular inti sama dengan h/2, maka
∆E =  (h/2) B0 = h
 = (/2) B0
Jika harga tetapan dari  suatu proton dimasukkan dalam persamaan diatas, maka suatu
proton yang tidak terlindungi (unshielding) akan menyerap frekuensi radiasi sebesar
42,6 MHz pada medan magnet 1 Tesla (10.000 Gauss) atau menyerap frekuensi radiasi
60,0 MHz pada medan magnet 1,41 Tesla (14.100 Gauss). Tabel berikut menunjukkan
hubungan frekuensi radiasi yang diserap dengan kuat medan magnet dari beberapa inti
untuk proses resonansi.
Tabel 4.2. Frekuensi dan Kuat Medan Magnet Untuk Resonansi Setiap Inti
Isotop
1
2
H
H
C
13
Kelimpahan
dialam (%)
Kuat medan, B0
(Tesla*)
Frekuensi, 
(MHz)
1,00
1,41
2,35
4,70
7,05
1,00
1,00
1,41
2,35
4,70
7,05
1,00
1,00
42,6
60,0
100,0
200,0
300,0
6,5
10,7
15,1
25,0
50,0
75,0
40,0
17,2
99,98
0,0156
1,108
19
F
100,0
P
100,0
* 1 Tesla = 10.000 Gauss
31
Rasio Magnetogirik, 
(radian/Tesla)
267,53
41,1
67,28
251,7
108,3
Untuk sebuah proton, jika kuat medan magnet 1,41 T dan resonansi terjadi pada
frekuensi 60 MHz, ∆E dari dua keadaan spin inti +½ dan -½ adalah 2.39 x 10-5 kJ/mol.
Selisih energi ini sangat kecil sehingga distribusi spin inti pada keadaan +½ dan -½
hampir sama atau kelimpahan spin inti pada keadaan berenergi rendah sedikit lebih
banyak dibandingkan pada keadaan berenergi tinggi. Distribusi spin inti pada dua
keadaan ini dapat dihitung dengan persamaan distribusi Boltzman.
N -1/2
= e- AE / k T = e- h v / k T
N +1/2
h = 6,624 x 10 -34 J dt
k = 1,380 x 10 -23 J/K molekul
T = temperatur absolut (K)
Misalkan pada temperatur 298 K (25 0C) dan frekuensi alat (instrumen) 60,0 MHz,
harga N-½ / N +½ adalah 0,999991. Hal ini berarti kelimpahan inti pada keadaan +½
dan -½ perbandingannya adalah 1.000.000 : 1.000.009 atau dengan kata lain pada
keadaan berenergi rendah terdapat kelebihan inti sebanyak 9 buah. Dengan cara
perhitungan yang sama, dapat diketahui bahwa peningkatan frekuensi alat yang
digunakan akan meningkatkan kelebihan spin inti pada keadaan berenergi rendah (+½).
Dengan meningkatnya kelebihan inti pada keadaan +½ akan meningkatkan sensitivitas
alat dan sinyal resonansi makin kuat karena jumlah spin inti yang mengalami transisi
meningkat.
Tabel 4.3. Variasi Kelebihan Inti 1H berenergi Rendah dengan Frekuensi Alat
Frekuensi (MHz)
20
40
60
80
100
200
300
600
Kelebihan Inti
3
6
9
12
16
32
48
96
C. JUMLAH SINYAL PROTON
Lingkungan kimia masing-masing proton berpengaruh terhadap berapa jumlah sinyal
proton yang muncul pada spektrum 1H NMR. Proton yang berada dalam lingkungan
kimia yang sama disebut disebut proton ekivalen secara kimia. Sebagai contoh, 1-bromo
propana memiliki tiga macam proton yang ekivalen secara kimia. Tiga proton metil
akan ekivalen karena rotasi ikatan C – C. Begitupula dua proton metilen pada C-2 dan
dua proton metilen pada C-1. Karenanya, spektrum 1H NMR dari 1-bromopropana akan
menghasilkan tiga sinyal proton yang masing-masing akan dihasilkan oleh proton metil
dari C-3, proton metilen dari C-2, dan proton metilen dari C-1.
2-bromopropana memiliki dua set proton yang ekivalen sehingga akan menghasilkan
dua sinyal proton pada spektrum 1H NMR. Dua gugus metil (C-1 dan C-3) akan
menghasilkan satu sinyal proton karena adanya simetri dari C-2. Sinyal proton yang lagi
satu adalah sinyal proton metin (C-2). Beberapa contoh senyawa lainnya terdapat pada
Gambar berikut.
a
b
CH3
CH2
a
c
CH2Br
CH3
a
a
CH3
CH3
b
CH
a
O
CH3
Br
3 sinyal
2 sinyal
1 sinyal
a
b
a
a
b
b
CH3
CH2
CH3
CH3
CH2
CH2
2 sinyal
a
a
CH3
2 sinyal
H
b
CH3
H
H
a
CH3
b
CH3
b
a
2 sinyal
H
a
CH3
H
O
CH2
b
CH3
a
H
d
CH3
H
a
H
b
H
c
4 sinyal
c
NO 2
H
a
Ha
H
b
Hb
H
a
H
H
a
Ha
H
a
H
H
a
H
H a
1 sinyal
c
CH3
3 sinyal
2 sinyal
a
b
a
NO 2
NO 2
3 sinyal
1 sinyal
a
a
Gambar 4.2. Hubungan Struktur Senyawa dengan Jumlah Sinyal Proton
D. GESERAN KIMIA PROTON
Geseran kimia berhubungan dengan frekuensi Larmor dari spin inti pada lingkungan
kimianya. Frekuensi Larmor adalah frekuensi presesi dari inti dalam lingkungan medan
magnet statis (tetap). Karena frekuensi Larmor berbanding lurus dengan kuat medan
magnet, maka geseran kimia tidak memiliki nilai absolut. Selisih frekuensi (dalam
satuan Hz) diukur dari resonansi senyawa standar TMS pada 1H dan
13
C NMR, dibagi
dengan nilai absolute frekuensi Larmor standar (dalam satuan MHz). Oleh karena itu,
geseran kimia dinyatakan dalam satuan bagian per juta (part per million = ppm), yaitu
hasil Hz / MHz atau 1 / 106.
Geseran kimia pada prinsipnya disebabkan elektron yang menyelimuti molekul
sehingga timbul efek shielding terhadap spin inti. Lebih jelasnya, elektron
menyebabkan efek shielding apabila arahnya berlawanan dengan arah medan magnet
luar, yang selanjutnya menyebabkan frekuensi presesi dari spin inti berkurang
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Geseran Kimia Proton
1. Keelektronegatifan atom atau gugus tetangga
Kerapatan awan elektron yang mengelilingi suatu proton akan berpengaruh terhadap
seberapa mudah proton tersebut untuk beresonansi. Awan elektron yang tebal akan
mengurangi efek medan magnet luar terhadap proton tersebut. Akibatnya, agar dapat
beresonansi diperlukan medan magnet yang lebih kuat dibandingkan dengan proton
yang kerapatan elektron lebih rendah. Proton yang kerapatan elektronnya lebih
tinggi biasanya disebut proton terlindungi (shielding), sementara yang sebaliknya
disebut proton tak terlindungi (deshielding). Sinyal proton terlindungi akan muncul
pada geseran kimia yang lebih rendah dibandingkan sinyal roton tak terlindungi.
Tinggi rendahnya kerapatan elektron disekitar proton sangat dipengaruhi oleh
keelektronegatifan atom atau gugus tetangganya. Meningkatnya keelektronegatifan
atom atau gugus tetangga akan mengurangi kerapatan elektron yang menyelimuti
suatu proton sehingga akan muncul pada geseran kimia yang lebih besar. Hal
sebaliknya akan terjadi jika kerapatan elektron atom atau gugus tetangga bertambah.
Tabel berikut menunjukan hubungan keelektronegatifan atom atau gugus tetangga
terhadap geseran kimia proton.
Tabel 4.4. Hubungan Keelektronegatifan Atom Tetangga dengan Geseran Kimia
No
Senyawa
Geseran Kimia ( )
Kelektronegatifan
1
CH3F
4.26
F : 3.98
2
CH3Cl
3.05
Cl : 3.16
3
CH3Br
2.68
Br : 2.96
4
CH3I
2.16
I : 2.66
5
CH2Cl2
5.30
6
CHCl3
7.27
7
CH3CCl3
2.70
8
(CH3)4C
0.86
C : 2.55
9
(CH3)4Si
0.00 *
Si : 1.90
* TMS (tetrametilsilan) sebagai pembanding
2. Efek Hibridisasi
Hibridisasi atom karbon dimana proton itu terikat juga berpengaruh terhadap
geseran kimianya. Kerapatan elektron yang menyelimuti proton sp3 akan lebih teal
(tinggi) dibandingkan dengan proton pada karbon sp2 dan sp. Karenanya, proton sp3
akan muncul pada geseran kimia yang lebih kecil (mengalami efek shielding), yaitu
pada  0 - 2 ppm. Hal yang kontradiktif justru terlihat pada proton yang terikat pada
karbon sp2 dengan karbon sp. Kerapatan elektron yang menyelimuti proton pada
karbon sp lebih rendah dibandingkan proton pada karbon sp2, sehingga geseran
kimia proton sp seharusnya lebih besar dibandingkan dengan proton sp2. Geseran
kimia proton sp2 dan sp berturut-turut adalah 4,5 - 7 ppm dan 2 - 3 ppm. Hal ini
terjadi karena adanya awan elektron tak simetris (efek anisotropi). Jenis proton yang
terikat pada karbon sp3 mulai CH3, CH2, dan CH, juga memiliki tren geseran kimia
kimia yang menarik. Perubahan dari CH3, CH2, CH akan dibarengi dengan
berkurangnya kerapatan elektron yang menglilingi proton, sehingga geseran
kimianya semakin besar.
3. Proton asam, proton ikatan hidrogen dan proton yang dapat ditukar
Kerapatan elektron yang menyelimuti proton asam sangat rendah, sehingga untuk
beresonansi memerlukan medan magnet yang sangat kecil. Geseran kimia proton
asam berkisar pada 10 -12 ppm.
Proton yang berada dalam bentuk ikatan hidrogen memiliki geseran kimia yang
bervariasi dengan kisaran geseran kimia yang besar. Temperatur dan konsentrasi
sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen semakin
lemah seiring dengan naiknya temperatur, sehingga kerapatan elektron yang
menyelimuti proton semakin bertambah. Hal ini akan menyebabkan perubahan
geseran kimia menjadi lebih kecil. Seperti efek temperatur, perubahan konsentrasi
akan mempengaruhi eksistensi ikatan hidrogen. Semakin encer konsentrasi suatu
larutan akan menyebabkan jarak antar molekul semakin jauh, sehingga peluang
terbentuknya ikatan hidrogen semakin kecil. Semakin encer konsentrasi larutan akan
menyebabkan penurunan geseran kimia proton. Geseran kimia proton dalam larutan
pekat berkisar 4 - 5 ppm, sementara dalam larutan encer berkisar 0,5 - 1,0 ppm.
Untuk proton yang dapat ditukar, geseran kimianya sangat bervariasi mengingat
pertukaran dapat terjadi antar proton dalam molekul yang berbeda dan antar proton
dengan pelarut. Bahkan pertukaran proton dengan pelarut dapat menghilangkan
sinyal proton tersebut, karena pelarut yang lazim digunakan dalam pengukuran
1
H NMR adalah pelarut terdeuterosasi. Pada pelarut terdeuterosasi, semua proton
disubstitusi dengan deuterium (2H) yang tidak terdeteksi dalam 1H NMR, sehingga
diharapkan tidak menggangu sinyal proton dari sampel yang diukur.
4. Efek anisotropi
Ada anomali geseran kimia proton yang terikat pada atom karbon dengan sistem tak
jenuh (memiliki elektron ). Misalnya proton pada benzena. Dalam lingkungan
medan magnet, elektron  dari cincin aromatik akan terinduksi untuk berputar
sekitar cincin. Perputaran elektron ini disebut putaran arus (ring current). Perputaran
elektron ini akan menimbulkan medan magnet, yang nantinya berpengaruh terhadap
ketebalan elektron yang mengelilingi proton benzena. Efek anisotropi ini akan
menyebabkan efek deshielding (berkurangnya ketebalan elektron) disekitar proton
benzena.
Akibatnya,
proton
benzena
menjadi
lebih
mudah
beresonansi
dibandingkan proton alkena. Hal yang sama juga terjadi pada proton dari aldehid.
Adanya elektron  pada gugus karbonil menimbulkan efek deshielding, sehingga
proton aldehid beresonansi pada energi yang rendah. Sementara proton yang secara
stereokimia berada diatas cincin benzena (aromatik) dan proton pada alkuna akan
mengalami efek shieding. Perputaran elektron  justru menambah ketebalan awan
elektron yang mengelilinginya, sehingga memerlukan energi yang lebih tinggi untuk
beresonansi. Efek anisotropi elengkapnya digambarkan pada Gambar berikut.
Gambar 4.3. Efek anisotropi pada proton benzena dan alkena
E. INTEGRASI PROTON
Spektrometer NMR memiliki kemampuan secara elektronik untuk mengintegrasikan
luas area dibawah puncak. Garis integral akan muncul pada spektrum dari setiap puncak
yang tingginya sebanding dengan luas area puncak tersebut. Pada spektrometer NMR
yang modern, garis itegral biasanya tidak dimunculkan, tetapi luas area dari setiap
puncak akan ditampilkan dalam bentuk angka. Luas area dibawah puncak sebanding
dengan jumlah hidrogen (proton) dari puncak tersebut. Luas area masing-masing
puncak dalam satu spektrum dibandingkan satu sama lain sehingga diperoleh
perbandingan angka bulat sederhana. Misalnya pada 1-bromo-2,2-dimetilpropana akan
terdapat dua sinyal proton yang mewakili proton CH2, dan CH3 dengan perbandingan
tinggi puncak integral 1,6 : 7,0 atau 1 : 4,4. Untuk memperoleh perbandingan bulat
sederhana, dilakukan perkalian 2 sehingga diperoleh rasio 2 : 8,8. Jika dibulatkan akan
menjadi 2 : 9 (kesalahan pengukuran integral sekitar 10 % karena eksperimen error).
Gambar 4.4. Pengukuran rasio integral dari 1-bromo-2,2-dimetilpropana
F. KOPLING SPIN-SPIN
Kopling scalar atau tak langsung dari spin inti melalui ikatan kovalen akan
menyebabkan terjadinya splitting (pembelahan) sinyal NMR menjadi multiplet pada
spektroskopi NMR resolusi tinggi. Kopling dipol atau kopling secara langsung diantara
spin inti melalui ruang hanya dapat teramati pada NMR padatan. Dalam larutan, kopling
dipole akan hilang akibat adanya pergerakan molekul.
Kopling konstan
Kopling konstan adalah perbedaan frekuensi (J) dalam satuan Hz antara dua garis
multiplet sederhana. Besarnya harga kopling konstan tidak tergantung pada kuat medan
magnet. Besarnya harga kopling konstan menunjukkan seberapa kuat suatu inti
dipengaruhi oleh spin inti tetangganya. Kopling konstan merupakan bukti adanya
interaksi antar inti yang berdekatan. Pada spektroskopi NMR resolusi tinggi, kopling
dapat terjadi melalui satu ikatan (kopling sederhana), dua ikatan (kopling geminal), tiga
ikatan (kopling vicinal), empat dan lima ikatan (kopling jarak jauh). Kopling dapat
terjadi antar inti 1H, 2D, 13C, 19F, dan 31P. Namun, kopling yang akan dibahas pada bab
ini adalah kopling antar 1H dengan 1H, dan terbatas dalam bentuk kopling dua ikatan
dan kopling tiga ikatan.
J = 7,0 Hz
J = 7,0 Hz
J = 7,0 Hz
2.0
1.0 ppm
Gambar 4.5. Ilustrasi tentang kopling konstan
Perubahan harga kopling konstan biasanya menandakan (ciri) dari struktur molekul atau
menandakan posisi stereokimia dari kedua inti. Cis-alkena dengan trans-alkena dapat
dibedakan dengan memperhatikan harga kopling konstan proton vinilnya. Sudut
dihedral () antara dua proton yang saling kopling akan menentukan besarnya harga
kopling. Secara matematis, hubungan antar sudut dihedral () kedua proton dengan
harga tetapan kopling digambarkan dalam bentuk kurva Karplus. Besarnya harga
kopling juga dapat dihitung dengan persamaan Karplus yaitu :
JHH = A + B cos  + C cos 2
(dimana A=7, B= -1, C =5)

H
H
Sudut dihedral ()
Gambar 4.6. Hubungan sudut dihedral proton () dengan harga kopling (J)
Hubungan antara sudut dihedral proton () dengan harga kopling terlihat jelas pada
senyawa turunan ter-butilsikloheksana. Gugus ter-butil merupakan gugus yang besar
sehingga akan memilih konformasi equatorial untuk mengurangi energi tolakan dalam
molekul. Dua proton bertetangga dengan sudut dihedral yang berbeda akan
menghasilkan kopling konstan yang berbeda pula.
a,a
e,e
HA
HA
(H3C)3C
(H3C)3C
HB
HB
J = 10 - 14 Hz

J = 4 - 5 Hz


a,e
(H3C)3C
HA
HB
J = 4 - 5 Hz

Tabel 4.6. Jenis dan Harga Kopling Konstan (Hz) Yang Lazim dijumpai
Beberapa Tetapan Kopling Tiga Ikatan (JXY)
H–C–C–H
6 – 8 Hz
C–C–C–H
5 Hz
F–C–C–H
5 – 20 Hz
13
19
F – C – C – 19F
P–C–C–H
31
P–O–C–H
H–C=C–H
cis
6 – 15 Hz
trans 11 – 18 Hz
cis
18 Hz
trans
40 Hz
cis
30 – 40 Hz
trans
-120 Hz
H – C = C – 19F
19
F – C = C – 19F
-3 – (-20) Hz
13 Hz
5 – 13 Hz
19
31
Tabel 4.7. Variasi Harga Kopling dengan Sudut Velensi dari Alkena Siklik (Hz)
H
H
H
H
0-2
2-4
H
H
H
H
H
H
5-7
8 - 11
6 - 15
E. PEMECAHAN SPIN INTI
Pemecahan spin inti terjadi karena dalam medan magnet, spin inti proton tetangga dapat
mempengaruhi efek medan magnet yang diterima oleh suatu proton yang diamati. Spin
inti proton tetangga ini dapat memperkuat dan memperlemah medan magnet luar yang
dirasakan suatu proton, akibatnya proton tersebut selain akan mengalami efek shielding
juga akan mengalami efek deshielding. Efek shielding akan terjadi bila spin inti proton
tetangga posisinya berlawanan arah dengan arah medan magnet luar. Hal sebaliknya
terjadi bila spin inti proton tetangga searah dengan arah medan magnet luar. Adanya
gangguan ini akan dapat memberikan informasi tentang jumlah proton tetangga dari
proton yang diamati.
E.1 Pemecahan Spin Orde Satu (n+1)
Proton yang mengikuti aturan pemecahan spin orde satu akan mempunyai sinyal proton
dengan multiplisitas n+1, dimana n merupakan jumlah proton tetangga. Dalam hal ini,
harga selisih frekuensi antara geseran kimia dua inti yang berinteraksi jauh lebih besar
dari harga konstanta kopling (∆/J > 10). Sebagai contoh sinyal proton CH3 dan CH2
pada spektrum 1H NMR dari etil bromida. Sinyal proton CH3 muncul triplet (tiga
puncak) akibat pemecahan proton tetangganya CH2 (memiliki 2 proton), begitu pula
dengan proton CH2 yang muncul kuartet (empat puncak) akibat pemecahan proton CH3
(memiliki 3 proton). Sementara sesama proton CH2 dan CH3 tidak terjadi pemecahan
karena identik secara kimia.
CH3 – CH2 - Br
CH3
CH2
3.0
4.0
5.0
2.0
1.0
0.0
Gambar 4.7. Spektrum 1H NMR etilbromida
Secara umum pemecahan spin orde satu mengikuti aturan segitiga Pascal, baik dari segi
multiplisitas (jumlah) maupun dari intensitas puncak. Sinyal proton doblet (dua puncak)
memiliki intensitas puncak relatif 1 : 1, sinyal proton triplet (tiga puncak) memiliki
intensitas relatif 1 : 2 : 1, dan begitu seterusnya seperti tertera pada tabel berikut.
Tabel 4.8. Intensitas Relatif dan Pola Umum Pemecahan Spin Proton
Jumlah Proton
tetangga
Sinyal
proton
0
1
2
3
4
5
6
Singlet
Doblet
Triplet
Kuartet
Kuintet
Sektet
Septet
Intensitas relatif
1
1
1
1
1
1
1
3
4
5
6
1
2
6
10
15
1
3
1
4
10
20
1
5
15
1
6
1
E.2 Pemecahan Multiplikatif
Jika perbedaan geseran kimia dua inti yang berintaraksi kurang dari 10 kali harga
konstanta kopling (J), maka spektrum dengan pemecahan multiplikatif (orde dua) yang
terlihat. Seperti halnya pemecahan orde satu, setiap inti memecah spektrum inti
tetangganya menjadi dua. Namun karena harga konstanta koplingnya berbeda-beda,
peluang berhimpitnya puncak dalam satu sinyal inti menjadi lebih kecil, sehingga
peluang menemukan sinyal inti yang mengikuti pola segitiga Pascal semakin kecil pula.
Sebagai contoh adalah spektrum 1H NMR vinil etanoat berikut. Proton b dan c berbeda
secara kimia maupun magnetik sehingga memiliki geseran kimia dan konstanta kopling
yang berbeda. Antara proton b, c, dan d terjadi saling kopling sehingga tiap proton
memiliki multiplisitas doblet-doblet.
Hb
C
Hc
Hd
C
CH3
2,15 ppm
singlet
a
O
C
CH3
O
Hd
7,28 ppm
dd 7,0 dan 14 Hz
Hc
4,88 ppm
dd 1,5 dan 14 Hz
Gambar 4.8. Spektrum 1H NMR viniletanoat
Hb
4,05 ppm
dd 1,5 dan 7,0 Hz
F. Sistem Homotopik, Enansiotopik, dan Diastereotopik Proton
Saat analisis spektrum NMR dimana terdapat dua proton terikat pada satu atom karbon
(proton geminal) atau ada dua gugus metil terikat pada satu atom karbon (gugus metil
geminal), seringkali muncul pertanyaan apakah kedua proton tersebut identik atau tidak
identik. Untuk mengetahui jawabannya, perlu dilakukan analisa apakah proton atau
gugus metil tersebut termasuk kategori homotopik, enansiotopik, atau diastereotopik
proton/metil.
H
H
Proton geminal
H3C
CH3
Gugus metil geminal
Homotopik proton
Homotopik proton selalu identik, tidak ada kopling sesamanya sehingga memberikan
satu serapan pada NMR. Cara sederhana untuk mengetahui homotopik proton adalah
dengan cara mengganti salah satu proton dengan gugus lain. Lakukan penggantian pada
salah satu proton secara bergantian sehingga akan diperoleh dua molekul yang lain.
Analisa hubungan kedua molekul yang dihasilkan, apakah identik atau bukan.
Homotopik metil juga dapat diuji dengan cara yang sama.
Enansiotopik proton
Enansiotopik proton akan memberikan satu serapan NMR, tetapi akan berbeda jika
ditempatkan dalam lingkungan kiral atau direaksikan dengan reagen kiral. Pengujian
enansiotopik proton atau enansiotopik gugus metil juga dilakukan dengan cara yang
sama pada pengujian homotopik proton.
Diastereotopik proton
Diastereotopik proton merupakan tidak identik proton, sehingga memberikan serapan
yang berbeda pada NMR dan akan mengalami pembelahan (spliting) satu sama lain
sebesar tetapan kopling konstan geminal.
HA diganti
HA
X
HB
D
H
H
D
X
X
X
X
X
Homotopik
HA
X
HB diganti
Identik (tidak kiral)
HB
D
H
H
D
Y
X
Y
X
Y
Enansiotopik
Enansiomer
HA
HB
D
H
H
D
X
Y*
X
Y*
X
Y*
Diastereotopik
(Y* = suatu pusat kiral)
Diastereomer
Gambar 4.9. Analisis homotopik, enansiotopik, dan diastereotopik proton
G. Benzena Tersubstitusi
Cincin fenil umum ditemukan pada senyawa organik, sehingga pengetahuan tentang
serapan NMR dari senyawa-senyawa ini sangat penting. Selain adanya efek anisotropi
yang mampu mempengaruhi geseran kimia proton pada cincin fenil, keberadaan
substituen juga sangat berpengaruh. Substituen yang bersifat pendorong elektron seperti
gugus metoksi dan amino, mampu menggeser geseran kimia proton kearah shielding,
sebaliknya substituen yang bersifat penarik elektron akan memberikan efek deshielding.
Pada tabel berikut digambarkan pengaruh substituen terhadap geseran kimia proton dari
1,4-disubstitusi benzena dengan dua subsituen yang sama. Karena keempat proton
benzena secara kimia dan magnetik sama, tentu hanya satu sinyal proton aromatik yang
muncul pada spektrum 1H NMR senyawa tersebut.
Tabel 4.9 Pengaruh substituen terhadap geseran kimia proton benzena-1,4-disubstitusi
Subsituen X
 (ppm)
Karakter X
6,80
6,60
6,36
7,05
7,32
8,20
8,48
Pendorong elektron
Pendorong elektron
Pendorong elektron
Pendorong elektron
- OCH3
- OH
- NH2
- CH3
-H
- CO2H
- NO2
X
X
Penarik elektron
Penarik elektron
Monosubstitusi benzena
Pada monosubstitusi benzena, baik yang memilki substituen pendorong atau penarik
elektron, kelima proton aromatik (2H orto, 2H meta, dan 1H para) akan muncul berupa
singlet jika spektrum diukur pada 60 MHz. Hal ini sangat lazim meskipun proton orto,
meta dan para tidak ekivalen secara kimia. Penyebab utamanya adalah ketidakmampuan
alat untuk membedakan perbedaan geseran kimia proton tersebut yang cukup kecil.
Akan tetapi bila spektrum diukur dengan alat 300 MHz atau lebih, ketiga jenis proton
tersebut akan muncul terpisah, dan urutan posisinya dipengaruhi oleh karakter
substituen apakah pendorong atau penarik elektron. Proton aromatik posisi orto akan
muncul paling shielding bila substituen pada cincin aromatik bersifat sebagai pendorong
elektron karena resonansi akan meningkatkan kerapatan elektron diposisi tersebut.
Sebaliknya akan paling deshielding jika substituennya bersifat penarik elektron karena
kerapatan elektron diposisi tersebut berkurang. Hal ini dapat dijelaskan dengan
menggambarkan resonansi elektron antara substituen dengan cincin aromatik.
CH 3
O
+
CH 3
+
O
_
:
+
:
CH 3
:
:
:O
CH 3
O
_
:
:
:
_
H
H
O
:
H
_
:
: :
:
_
: :
O
: :
:
H
_
O :
O
+
+
+
Gambar 4.10 Resonansi gugus pendorong elektron (atas) dan gugus penarik elektron
(bawah) dengan cincin aromatik.
Karena proton-proton aromatik pada monosubstitusi benzena berbeda secara kimia,
tentu antara proton-proton tersebut akan terjadi kopling satu sama lain, dan secara
umum akan mengikuti aturan pemecahan orde dua. Dua proton posisi orto terhadap
substituen (H2 dan H6) akan muncul doblet doblet akibat kopling orto dengan H3 dan
kopling meta dengan H4. Sementara dua proton posisi meta terhadap subtituen (H3 dan
H5) akan muncul triplet akibat kopling orto dengan H2 atau H6 dan H4, begitupula satu
proton posisi para terhadap substituen (H4) yang muncul triplet akibat kopling dengan
(H3 dan H5).
Para-disubstitusi benzena dan pola substitusi lainnya
Pada cincin aromatik 1,4-disubstitusi dengan dua substituen yang sama, keempat proton
aromatik akan muncul singlet karena keempatnya identik secara kimia dan magnetik.
Sementara bila kedua substituen berbeda, akan muncul dua sinyal proton aromatik yang
mewakili masing-masing dua proton (H2 dengan H6 dan H3 dengan H5) dengan
multiplisitas doblet kopling orto. Untuk benzena dengan jumlah substituen yang lebih
banyak, biasanya multiplisitas sinyal proton akan lebih rumit. Namun dengan
pemahaman prinsip-prinsip simetri dan harga kopling (orto, meta dan para), hal tersebut
akan menjadi lebih mudah. Apalagi kopling para biasanya tidak teramati sehingga
harganya nol, sehingga cukup memperhitungkan kopling orto (J = 7-10 Hz) dan kopling
meta (J = 2-3 Hz).
A
1
Kedua substituen sama
Multiplisitas proton singlet 4 H
2
6
3
5
4
A
A
1
Kedua substituen berbeda
Multiplisitas proton
doblet 2H (J orto) untuk H2 dan H6
doblet 2H (J orto) untuk H3 dan H5
2
6
3
5
4
B
A
1
6
C
2
3
5
4
B
Ketiga substituen sama atau berbeda
Multiplisitas proton
doblet 1H (J meta) untuk H3
doblet doblet 1H (J orto dan J meta) untuk H5
doblet 1H (J orto) untuk H6
Gambar 4.11 Hubungan pola substitusi dengan multiplisitas proton aromatik.
H. Pelarut Dalam 1H NMR
Pelarut diperlukan dalam pengukuran sampel padatan dan cairan kental. Agar proton
yang terdapat dalam pelarut tidak mengganggu sinyal proton sampel, maka proton yang
ada dalam pelarut harus diganti dengan deuterium (2H atau D). Spin inti deuterium
beresonansi pada frekuensi yang berbeda dengan proton, sehingga tidak muncul pada
spektrum
1
H NMR. Akan tetapi, sedikit gangguan lain muncul seiring dengan
penggunaan pelarut terdeuterisasi. Proton-proton dalam sampel yang bersifat asam,
yaitu proton yang terikat pada atom hetero O, N, dan S dapat mengalami pertukaran
dengan deuterium pelarut polar seperti D2O dan CD3OD, sehingga tidak muncul dalam
spektrum. Masalah ini dapat diatasi dengan mengganti pelarut yang digunakan, bahkan
dengan menggunakan dua pelarut ini secara terpisah akan mampu mengidentifikasi
keberadaan gugus O–H, N–H, dan S–H dalam sampel.
RXH +
D2O

RXD +
DOH (dimana X = O, N, dan S)
Tabel 4.10 Geseran kimia air terlarut dalam pelarut terdeuterasi
Pelarut
Kloroform-d (CDCl3)
Benzena-d6 (C6D6)
Aseton-d6
Metilenklorida-d2 (CH2Cl2)
Dimetilformamida-d7
Piridin-d5
Toluena-d8
Metanol-d4 (CD3OD)
Asetonitril-d3
Dimetilsulfoksida-d6
Air-d2 (D2O)
 (ppm)
1,50
0,40
2,75
1,55
3,00
5,00
0,1-0,2
4,90
2,10
3,35
4,75 (DOH)
I. LATIHAN SOAL-SOAL
1. Berapakah jumlah sinyal proton pada senyawa-senyawa berikut :
a. CH3CH2CH3
b. CH3CH2CH2CH3
c. CH 3
CH
CH 2
CH 3
CH 3
d. CH 3
g. CH 3
CH
CH
CH 3
CH 3
C
CH
CH 3
e. CH3OCH2CH2CH3
f. CH 3
CH
CH 3
O
CH 3
h. CH2=CH2
i. CH 3
CH 3
j. CH 3
C
C
CH 2
CH 3
O
C
CH
k. HO
CH 3
C
CH 2
CH 3
l.
O
OH
m.
n.
CH 2Br
o.
H3C
CH 3
H3C
CH 2CH 3
2. Ada 3 isomer diklorosiklopropana (C3H4Cl2). Data spektrum 1H NMR senyawasenyawa tersebut menunjukkan bahwa senyawa A memiliki 1 sinyal proton, B
memiliki 2 sinyal proton, dan C memiliki 3 sinyal proton. Tuliskanlah rumus
struktur dari ketiga senyawa tersebut !
3. Tuliskan urutan sinyal proton pada masing-masing senyawa berikut mulai yang
paling deshielding hingga yang paling shielding !
a. 1-butanol
b. dietil eter
c. asam propanoat
d. propana
e. butanon
f. metilbenzena
g. nitrobenzena
h. 2-klorobutana
i. propanaldehid
j. 2,4-dimetilbenzena
4. Suatu sinyal proton muncul pada 600 Hz kearah deshielding dari TMS pada
spektrometer NMR dengan frekuensi operasi 300 MHz.
a. Berapakah geseran kimia proton tersebut ?
b. Berapakah geseran kimia proton tersebut pada instrumen dengan frekuensi
operasi 100 MHz ?
c. Berapa Hertz sinyal proton tersebut kearah deshielding dari TMS pada
instrumen 100 MHz ?
5. Gambarkan spektrum 1H NMR dari senyawa-senyawa pada soal nomer 3 diatas.
Lengkapi data spektrum dengan harga geseran kimia, multiplisitas, dan harga
kopling, serta integrasi relatif masing-masing sinyal proton !
6. Tentukanlah rumus struktur dari suatu senyawa keton memiliki rumus molekul
C6H12O. Data spektrum 1H NMR menunjukkan ada 5 sinyal proton pada geseran
kimia  0,9 (t, 3H); 1,3 (sext, 2H); 1,5 (quint, 2H); 2,1 (s, 3H); dan 2,4 (t, 2H).
7. Spektrum 1H NMR dua asam karboksilat dengan rumus molekul C3H5O2Cl.
Tentukanlah struktur molekul kedua asam tersebut sesuai dengan data spektrum
berikut!
a
b.
8. Tentukanlah struktur molekul senyawa berikut !
RM C9H12
9. Tentukanlah struktur molekul senyawa berikut !
RM C5H10O
10. Tentukanlah struktur molekul senyawa berikut !
RM C5H10O
J. DAFTAR PUSTAKA
Breitmaier, E., Structure Elucidaton by NMR in Organic Chemistry, A Practical Guide,
translated by Julia Wade, John Wiley and Sons, Chichester, 1993
Pavia, D.L., Lampman, G.M., and Kriz, G.S., 1996, Introduction to Spectroscopy, A
Guide for Students of Organic Chemistry, 2nd edition, Saunders College
Publishing, USA,
Silverstein RM, Bassler GC, Morrill TC, 1991, Spectrometric Identification of Organic
Compounds, 5th ed., John Wiley & Sons, USA
Cresswell, CJ., Runquist, OA., Campbell, MM., 1982, Analisis Spektrum Senyawa
Organik, (diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro),
Penerbit ITB, Bandung
Dudley W., and Fleming I., 1995, Spectroscopic Methods in Organic Chemistry,
McGraw Hill Higher Education
Bruice PY, 2005, Organic Chemistry, 4th ed, John Wiley & Sons, USA
Download