Cakupan Vaksinasi Hepatitis B pada Mahasiswa Program Studi Ilmu

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyakit Hepatitis B
2.1.1 Pengertian
Hepatitis B adalah penyakit akibat infeksi Hepatitis B virus
yang dapat dipelajari dan diuji, memiliki efek morbiditas dan
mortalitas berhubungan dengan penyakit. Virus
Hepatitis
B
menyebabkan kerusakan sel hati (Smeltzer & Bare 2001). Hepatitis
B menjadi makin penting karena dapat menyebabkan penyakit
hati termasuk Hepatitis aktif kronik, sirosis hepatis dan karsino
hepatomegali. Penderita Hepatitis B akan menjadi carrier dan
menyebarkan infeksinya (Staf Pengajar Ilmu Keperawatan
Anak,
1985).
Data Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) tahun
2009, menyatakan penurunan yang berkelanjutan dalam insiden
semua jenis Hepatitis vuirus menyebabkan upaya pengawasan
harus ditingkatkan untuk memastikan pelaporan yang lengkap dan
akurat dari semua kasus Hepatitis. Dengan demikian, dampak
dari
strategi untuk
penyakit
ini dapat dipantau dan dievaluasi. Selain itu, sistem
penilaian terkait
infeksi
mencegah atau menghilangkan penularan
virus
dengan
Hepatitis
angka kesakitan
harus
dan kematian akibat
diperhatikan
agar
dapat
mengungkapkan jumlah penyakit kronis yang tetap di Amerika
Serikat.
7
2.1.2 Anatomi dan fungsi hati
2.1.2.1 Anatomi hati
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat
rata-rata sekitar 1.500 gr atau 2 % berat badan orang
dewasa normal. Hati merupakan organ lunak yang lentur
dan dibatasi oleh struktur di sekitarnya. Hati memilki
permukaan superior yang cembung dan terletak di
bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri.
Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan
atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas dan usus
(Price & Wilson, 2006).
Hati memilki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri.
Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior oleh fissura segmentalis dextra yang tidak
terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen
medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang
terlihat dari luar. Ligamentum falsiformis berjalan dari hati
ke diafragma dan dinding depan abdomen (Price &
Wilson, 2006).
Permukaan
hati
ditutupi
oleh
peritoneum
visceralis, kecuali daerah kecil dari permukaan posterior
yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa
ligamentum yang merupakan peritoneum membantu
menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan
ikat padat yang disebut sebagai Capsula GlissonI, yang
meliputi permukaan seluruh organ; bagian paling tebal
kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk
saluran empedu. Porta hepatis adalah fisura pada hati
tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta
tempat keluarnya duktus hepatika (Price & Wilson,
2006).
8
2.1.2.2 Fungsi hati
Selain merupakan organ parenkim yang paling
besar, hati juga menduduki urutan pertama dalam hal
jumlah, kerumitan dan ragam fungsi. Hati sangat penting
untuk mempertahankan hidup dan berperan dalam
hampir setiap fungsi metabolik tubuh dan terutama
bertanggung jawab atas lebih dari 500 aktivitas berbeda.
Fungsi utama hati adalah membentuk dan mengekskresi
empedu. Saluran empedu mengangkut empedu dan
kandung
empedu
menyimpan
serta
mengeluarkan
empedu ke dalam Duodenum sesuai kebutuhan. Hati
mensekresi sekitar 500-1000 ml cairan empedu kuning
setiap hari. Unsur utama empedu adalah air (97 %),
elektrolit, garam empedu, fosfolipid, (terutama lesitin),
kolesterol, garam anorganik, pigmen empedu (Price &
Wilson, 2006).
Garam empedu penting untuk pencernaan dan
absorpsi lemak dalam usus halus. Setelah garam
empedu diolah oleh bakteri dalam usus halus, sebagian
besar garam empedu akan direabsorpsi di ileum,
mengalami resirkulasi ke hati, serta kembali dikonjungasi
dan
disekresikan
ke
Duodenum
melalui
duktus
koledokus. Bilirubin (pigmen empedu) adalah hasil akhir
metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun
merupakan petunjuk adanya penyakit hati dan saluran
empedu
yang
penting
karena
bilirubin
cenderung
mewarnai jaringan dan jaringan yang kontak dengannya.
Hati
berperan
penting
dalam
metabolisme
tiga
makronutrien yang dihantarkan oleh vena porta paska
absorpsi di usus (Price & Wilson, 2006).
9
Bahan makanan tersebut adalah karbohidrat,
protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah
menjadi glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis).
Dari depo glikogen ini glukosa dilepaskan secara
konstan
ke
memenuhi
dalam
darah
kebutuhan
dimetabolisme
dalam
(glikogenolisis)
tubuh.
jaringan
Sebagian
untuk
untuk
glukosa
menghasilkan
panas dan energi, sisanya diubah menjadi glikogen dan
disimpan dalam jaringan subkutan. Hati juga mampu
mensintesis glukosa dari protein dan lemak (Price &
Wilson, 2006).
Peranan hati dalam metabolisme sangat penting
untuk kelangsungan hidup. Semua protein plasma
(kecuali gama globulin) disintesis oleh hati. Protein
tersebut
antara
lain
albumin
(diperlukan
untuk
mempertahankan tekanan osmotik koloid), protrombin,
fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain. Selain itu,
sebagian besar degradasi asam amino dimulai dalam
hati melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus
amino (NH2). Amonia (NH3) yang dilepaskan kemudian
disintesis menjadi urea dan diekskresi oleh ginjal dan
usus. Amonia (yang terbentuk dalam usus akibat kerja
bakteri pada protein) juga diubah menjadi urea di dalam
hati (Price & Wilson, 2006).
Fungsi
metabolisme
hati
yang
lain
adalah
metabolisme lemak; penimbunan vitamin, besi dan
tembaga; konjugasi dan ekskresi steroid adrenal dan
gonad, serta detoksifikasi sejumlah zat endogen dan
eksogen. Fungsi detoksifikasi sangat penting dan
dilakukan oleh enzim hati melalui oksidasi, reduksi,
hidrolisis atau konjugasi zat-zat yang dapat berbahaya
10
dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis
tidak aktif. Zat-zat endogen (seperti indol, skatol, dan
fenol yang dihasilkan oleh kerja bakteri pada asam
amino dalam usus besar) dan zat-zat eksogen (seperti
morfin, fenobarbital dan obat-obat lain), didetoksifikasi
dengan cara demikian (Price & Wilson, 2006).
Zat seperti etil alkohol, sekitar 80 % dimetabolisme
dalam hati. Alkohol yang tersisa diabsorpsi dalam
lambung atau diekskresi melalui ginjal, paru-paru dan
kulit. Alkohol diangkut ke hati dan dimetabolisme dalam
dua langkah proses yang melibatkan dehidrogenase
alkohol. Proses ini membentuk asetaldehid dan asetat.
Sebagian asetat yang terbentuk bergabung dengan
coenzim untuk membentuk asetol KoA yang mengalami
biosintesis menjadi asam lemak dan dapat menyebabkan
timbulnya penyakit perlemakan hati, stenosis hepatik,
atau efek toksik pada sel dan fungsi hati (Price & Wilson
2006).
2.1.3 Patofisologi
Virus harus dapat masuk ke aliran darah dengan
inokulasi langsung, melalui membran mukosa atau
merusak kulit untuk mencapai hati. Di hati, replikasi perlu
inkubasi 6 minggu sampai 6 bulan sebelum pejamu
mengalami gejala. Beberapa infeksi tidak terlihat untuk
mereka yang mengalami gejala, (asimptomatik) tingkat
kerusakan hati dan hubungannya dengan demam yang
diikuti ruam, kekuningan, artritis, nyeri perut, dan mual.
Pada kasus yang ekstrem, dapat terjadi kegagalan hati
diikuti dengan ensefopati (Smeltzer & Bare, 2001).
11
Virus Hepatitis mengganggu fungsi hati dan terus
menerus berkembang pada sel-sel hati. Akibat gangguan
ini, sistem kekebalan tubuh bekerja untuk memerangi
virus tersebut. Dalam proses itu, bisa terjadi kerusakan
yang
berujung
pada peradangan hati.
Perubahan
morfologik pada hati seringkali serupa untuk berbagai
virus yang berkelainan pada kasus yang klasik, ukuran
dan warna hati tampak normal, tetapi kadang-kadang
sedikit edema, membesar dan berwarna seperti empedu.
Secara
histologik,
terjadi
gangguan
hepatoselular,
nekrosis sel hati, serta peradangan perifer. Perubahan ini
reversibel (dapat kembali) sempurna bila fase akut
penyakit
mereda
pada
beberapa
kasus
nekrosis
(Elizabet, 2000).
2.1.4 Cara Penularan Hepatitis B
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa virus
ini dapat ditularkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui ibu hamil. Cara penularan Hepatitis B
dari ibu hamil kepada bayinya merupakan suatu jalur
yang sangat efektif bagi penyebaran virus kepada
keturunan manusia (Oswari, 1991).
Penularan Hepatitis B sangat berpotensi tinggi di
lingkungan kerja (rumah sakit). Petugas kesehatan
(dokter,
tim
bedah,
perawat
dan
bidan)
mereka
berpotensi tinggi tertular Hepatitis B karena sering
melakukan kontak langsung. Cleaning service juga
memiliki resiko tinggi tertular Hepatitis B (Unit Promosi
dan Pendidikan Kesehatan Kementrian Kesehatan,
Brunei Darussalam, 2001).
12
2.1.5 Gejala Hepatitis
Semua penyakit Hepatitis mempunyai gejala yang
hampir sama, sehingga secara klinis hampir tidak
mungkin dibedakan satu sama lain. Tim medis hanya
dapat memperkirakan saja jenis Hepatitis apa yang
diderita pasiennya dan untuk membedakan secara pasti
masih diperlukan bantuan melalui pemeriksaan darah
penderita. Gejala penderita Hepatitis B mula-mula
badannya terasa panas, mual, dan kadang-kadang
muntah, setelah beberapa hari air seninya berwarna
seperti teh tua, setelah itu kemudian sklera matanya
terlihat kuning, dan akhirnya seluruh tubuh menjadi
kuning (Oswari, 1991).
Orang-orang yang terjangkit virus Hepatitis B pada
awalnya tidak menunjukan gejala yang pasti. Namun,
dapat
terdeteksi
setelah
dilakukan
pemeriksaan
laboratorium. Tanda awal terjangkit Hepatitis B berupa
flu, keletihan, demam ringan, mual, kurang selera
makan, ruam dan sakit kuning (Unit Promosi dan
Pendidikan Kesehatan Kementrian Kesehatan, Brunei
Darussalam 2001).
13
2.1.6
Diagnosis
Dua transaminase yang sering digunakan dalam
menilai penyakit hati adalah serum glutamic acacetik
transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic
transaminase (SGPT). Serum transaminase adalah
indikator yang peka pada kerusakan sel hati. Pada
penderita Hepatitis B hasil pemeriksaan aktivitas SGOT
dibagi aktivitas SGPT meningkat lebih awal dan lebih
mencolok dibandingkan dengan SGOT, Alkali fosfatase
dan gamma GT biasanya normal atau sedikit meningkat,
kecuali pada sirosis. Bilirubin serum bervariasi, bahkan
dapat normal (Lopa dkk, 2007).
Tes serologik untuk Hepatitis B akan memberi
informasi diagnostik dan informasi tentang tingkat
penularan
dan
kemungkinan
tahap
penyakit.
Tes
dilakukan langsung berhubungan dengan virus dan
antibodi yang dihasilkan pejamu dalam merespons
protein yang terkandung didalam virus Hepatitis B. Virus
mempunyai inti dan bagian luar sebagai pelindung.
Protein berhubungan dengan bagian antigen inti dan
antigen permukaan. Tes laboratorium untuk antigen inti
tidak
tersedia,
tetapi
antigen
permukaan
sering
menunjukan adanya HBsAg, yang dapat dideteksi dalam
beberapa minggu awal infeksi. Peningkatan titer selama
beberapa minggu dan juga terjadi penurunan pada
tingkat yang tidak dapat dideteksi.
Adanya HBsAg
menandakan infeksi saat itu dan tingkat penularan relatif
tinggi. Antigen lain yang merupakan bagian dari virus
disebut e antigen (HBeAg). HBeAg adalah penanda
ketajaman yang sangat sensitif karena dapat dideteksi
14
dini pada waktu penyakit klinis dan pada saat ada faktor
risiko untuk menular (Smeltzer & Bare, 2001).
Antibodi HbcAg terdeteksi segera setelah adanya
HBsAg, selama fase akut infeksi. Antibodi IgM yang
mempunyai konotasi pada infeksi saat ini dan nilai
laboratoriumnya
membaiknya
akan
Hepatitis
berkurang
akut
berkaitan
fulminan.
dengan
Keseluruhan
antibodi diukur dengan antibodi IgM dan IgG akan tetap
ada selama beberapa dekade atau selama hidup
(Smeltzer & Bare, 2001).
Hal
ini
menandakan
bahwa
pejamu
pernah
terinfeksi. Dengan cara ini, tes HBcAb dapat digunakan
untuk menentukan epidemiologi untuk membandingkan
risiko di berbagai komunitas. Tanda awal penyembuhan
infeksi tampak dari antibodi HBcAg menurun. HBcAg
terdeteksi saat HBsAg telah ada dari pasien yang
terinfeksi. Selama gejala klinik meningkat, terdeteksi
antigen
permukaan
(HBsAg).
Adanya
antibodi
permukaan menandakan kekebalan dan resolusi. Pada
saat ini, pasien tidak dipertimbangkan menulari orang
lain (Smeltzer & Bare, 2001).
2.1.7 Respons Imunologi
Secara umum, sistem imun dibagi menjadi 2, yaitu
sistem imun non-spesifik dan sistem imun spesifik.
Sistem
imun
non-spesifik
merupakan
mekanisme
pertahanan alamiah yang dibawa sejak lahir (innate) dan
dapat ditujukan untuk berbagai macam agen infeksi atau
antigen. Sistem non-spesifik meliputi kulit, membran
mukosa,
sel-sel
fagosit,
komplemen,
lisozim,
dan
inteferon. Sistem imun ini merupakan garis pertahanan
15
pertama yang harus dihadapi oleh agen infeksi yang
masuk ke dalam tubuh. Jika sistem imun non-spesifik
tidak berhasil mengatasi patogen, barulah sistem imun
adaptif berperan (Training Reseource Sereies, 2002).
Sistem
imun
adaptif
merupakan
mekanisme
pertahanan yang ditujukan khusus untuk satu jenis
patogen. Sistem imun adaptif diperankan oleh sel T dan
sel B. Pertahanan oleh sel T dikenal sebagai imunitas
selular, sedangkan pertahanan sel B dikenal sebagai
imunitas humoral. Imunitas selular berperan mengatasi
patogen di dalam atau di luar sel. Dalam pemberian
vaksin, sistem imun adaptif inilah yang berperan untuk
memberikan kekebalan terhadap satu jenis patogen
melalui
mekanisme
memori
(Training
Reseource
Sereies, 2002).
Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T
naive, yaitu sel T yang belum pernah terpajan oleh
patogen. Jika terpajan patogen, sel T naive akan
berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori. Sel
efektor akan bermigrasi ke tempat-tempat infeksi dan
mengeliminasi patogen, sedangkan sel memori akan
berada di organ limfoid untuk kemudian berperan jika
terjadi pajanan patogen yang sama (Training Reseource
Sereies, 2002).
Sel B, jika terpajan oleh patogen, akan mengalami
transformasi, proliferasi dan diferensiasi menjadi sel
plasma yang akan memproduksi Imunoglobulin. Antibodi
akan
menetralkan
patogen
sehingga
kemampuan
menginfeksinya hilang. Proliferasi dan diferensiasi sel B
tidak hanya menjadi sel plasma tetapi juga sebagian
akan menjadi sel B memori terpajan pada patogen
16
serupa, akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi
seperti semula dan akan menghasilkan Ig yang lebih
banyak (Training Reseource Sereies, 2002).
Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan
patogen
pada
pajanan
yang
kedua.
artinya,
jika
seseorang yang sudah divaksinasi (sudah pernah
terpajan oleh patogen) terinfeksi atau terpajan oleh
patogen yang sama, akan lebih mudah bagi sitem imun
untuk dapat mengenali patogen tersebut. Selain itu,
respon imun pada pajanan yang kedua (respon imun
sekunder atau adaptif) lebih baik daripada respon imun
pada pajanan patogen yang pertama (respon imun
primer/innate). Sel T dan sel B yang terlibat lebih tinggi,
pembentukan antibodi lebih cepat dan bertahan lebih
lama, titer antibodi lebih banyak (terutama IgG) dan
afinitasnya makin meningkat penyakit akibat pajanan
patogen yang sama karena sistem imunnya telah
memiliki kemampuan mengenali yang lebih dibandingkan
mereka yang tidak divaksinasi (Training Reseource
Sereies, 2002).
Respons
imunologis
Hepatitis
B
mempunyai
hubungan yang erat dengan kerusakan sel hati.
Timbulnya respons ini akibat adanya antigen yang
terdapat di dalam virus yang memasuki sel hati. Namun,
pandangan bahwa virus Hepatitis B dapat merusak sel
hati tidak selamanya benar, karena sering didapatkan
HBsAg positif dalam sel hati penderita carrier penderita
Hepatitis B yang sehat (Staf Pengajar Ilmu Keperawatan
Anak, 1985).
Ada 4 tahap respons imunologis
17
1. HBsAg adalah penanda awal infeksi Hepatitis B.
HBsAg muncul hampir pada semua penderita yang
mengalami masa inkubasi (2-6 bulan) dan 2-8 minggu
sebelum terjadi perubahan biokimiawi dan ikterus.
Antigen akan tetap ada di dalam darah selama masa
akut dan menghilang pada masa konvalensi (Staf
Pengajar Ilmu Keperawatan Anak, 1985).
2. Segera
atau
sebelum
peningkatan
serum
transaminase akan terjadi peningkatan aktivitas DNA
polimerase dan akan menetap pada masa akut untuk
beberapa hari atau minggu, sedangkan pada carrier
dapat berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun (Staf
Pengajar Ilmu Keperawatan Anak, 1985).
3. Antibodi terhadap HBcAg yang merupakan salah satu
antigen terdapat dalam partikel inti. Dengan cara
biasa antigen ini tidak dapat dideteksi dalam darah
karena tertutup oleh HBsAg. HBcAg hanya dapat
dideteksi dalam jaringan hati dan baru timbul 2-10
minggu setelah muncul HBsAg dan dapat diketahui
pada masa akut dan beberapa tahun setelah masa
rekonvalensi. Titer antibodi HBcAg berhubungan
dengan jumlah dan lamanya pembelahan virus (Staf
Pengajar Ilmu Keperawatan Anak, 1985).
4. Antibodi terhadap HBsAg akan bertahan lama sampai
tahap lanjut dari Hepatitis B (Staf Pengajar Ilmu
Keperawatan Anak, 1985).
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan virus Hepatitis B adalah sangat
penting. Satu-satunya jalan untuk mencegah virus
Hepatitis B adalah dengan vaksinasi (Oswari, 1991).
18
Cara terbaik untuk mencegah Hepatitis B adalah
melalui imunisasi dengan vaksin Hepatitis B. Bila
vaksinasi dikelola dengan benar maka 95 % dapat efektif
terhadap infeksi Hepatitis B. Vaksinasi dapat diberikan
dengan aman untuk bayi, anak-anak, orang dewasa, dan
ibu hamil. Vaksinasi Hepatitis B merupakan salah satu
bentuk pencegahan dini terhadap penularan virus
Hepatitis B. Vaksin Hepatitis B diproduksi dari plasma
dengan teknologi DNA rekombinan yang aman dan
efektif. Sampai saat ini, lebih dari 1 miliar dosis vaksinasi
Hepatitis B telah diberikan kepada penderita maupun
kepada orang-orang yang mempunyai resiko tertular,
misalnya petugas kesehatan (Training Resource Series,
2002).
2.2
Vaksinasi
Vaksinasi adalah usaha untuk membuat anak atau orang
dewasa menjadi kebal terhadap penyakit tertentu. Penyakit yang
dikebalkan dengan vaksinasi pada umumnya penyakit yang
disebabkan oleh virus dan penyakitnya sendiri bila telah
menyerang manusia akan membawa akibat yang berat atau
kematian (Oswari, 1991).
Respon
terhadap
Hepatitis
B
dihasilkan
dengan
menggunakan antigen vaksinasi Hepatitis B untuk menstimulasi
produksi antibodi dan untuk memberikan perlindungan terhadap
infeksi. Keamanan dan keefektifannya mendekati 95 %. Karena
virus Hepatitis B mudah ditularkan dengan jarum suntik di area
perawatan kesehatan, maka vaksinasi Hepatitis B saat ini
direkomendasikan untuk semua petugas perawatan kesehatan.
Penurunan infeksi perinatal dan risiko penularan terjadi setelah
kelahiran, maka vaksinasi Hepatitis B diberikan secara rutin pada
19
bayi setelah lahir. respon individual setelah vaksinasi (yang
sebelumnya tidak terinfeksi) akan menyebabkan reaksi serologi
Hepatitis B yang positif HBsAg. Hal ini menjamin kekebalan yang
dihasilkan oleh vaksin yang dapat dibedakan dari sistem imun
yang ada dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2001).
Pada tahun 1980 di Amerika Serikat, penyakit Hepatitis B
sendiri telah menjadi penyakit pembunuh nomor satu, seperti
yang terjadi juga dengan AIDS. Di awal tahun 1981, Amerika
Serikat mengeluarkan kebijakan
pedoman untuk pemberian
vaksinasi Hepatitis B bagi orang-orang yang berpotensi tinggi
menularkan virus Hepatitis B yaitu laki-laki gay, pengguna
narkotika suntik, pekerja kesehatan, anak-anak perempuan yang
positif terjangkit Hepatitis B dan bayi baru lahir. Peraturan untuk
vaksinasi anak-anak telah dilaksanakan pada tahun 1990 sampai
tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa vaksinasi telah diterima
secara luas dan diwajibkan sebagai upaya pencegahan penyakit
Hepatitis B untuk anak-anak. Vaksinasi Hepatitis B yang dimulai
dari saat bayi lahir hingga pada usia dewasa (Conis, 2011).
Penelitian Yamazhan dkk, di Turki (2011) merupakan
survei nasional pertama pada mahasiswa keperawatan mengenai
tingkat pengetahuan virus Hepatitis B. Empat belas sekolah
keperawatan
dari
seluruh
wilayah
geografis
Turki
ikut
berpartisipasi dalam studi ini. Yamazhan dkk menunjukkan
perbedaan besar dalam skor pengetahuan antar sekolah.
Kurangnya
pengetahuan
ini
mempengaruhi
pelaksanaan
vaksinasi bagi mahasiswa. Sebaiknya, tahun pertama masuk
sekolah mahasiswa sudah mendapatkan pelajaran mengenai
vaksinasi Hepatitis B.
Di beberapa sekolah, mahasiswa keperawatan mulai
melakukan pelatihan klinis tentang virus Hepatitis B. Dengan
alasan, program pendidikan standar harus lebih intensif diarahkan
20
pada
mahasiswa
kesadaran
dan
keperawatan
kepatuhan
Turki
mereka
untuk
meningkatkan
mengenai
tindakan
pencegahan keselamatan yang universal sebelum memulai
pengalaman
kerja.
Hasil
dari
penelitian
Yamazhan
dkk,
menyatakan bahwa vaksinasi Hepatitis B merupakan bagian dari
program imunisasi nasional yang rutin dilaksanakan. Responden
penelitian ini juga meneliti usia yang lahir sebelum tahun 1998
yang berada pada resiko tinggi tertular Hepatitis B. Studi ini
mengungkapkan bahwa vaksinasi Hepatitis B untuk mahasiswa
keperawatan tergantung pada inisiatif dari instansi sekolah
tersebut
dan Departemen Kesehatan harus meningkatkan
kesadaran dan kampanye vaksinasi Hepatitis B bagi seluruh
masyarakat dan pekerja kesehatan.
Penelitian Schenkel dkk (2008), menunjukkan bahwa
pengetahuan tentang Hepatitis B dan faktor resiko di Jerman jauh
di bawah harapan yaitu 77 % dan perlu ditingkatkan. Cakupan
vaksinasi Hepatitis B pada kelompok sasaran tidak memuaskan,
sehingga dapat diupayakan angkah-langkah pendidikan untuk
meningkatkan serapan vaksinasi Hepatitis B yang berfokus pada
usia dewasa.
21
2.3
Klasifikasi bagi Vaksinasi Hepatitis B.
Macam-macam vaksinasi Hepatitis B (Oswari, 1991)
1.
Vaksin Hepatitis B dibuat dari darah manusia yang telah
kebal Hepatitis B, disuntikan kepada orang sehat sekali
sebulan sebanyak tiga kali.
2.
Vaksin Hepatitis B yg direkayasa dari sel ragi. Diberi kepada
penderita sebulan sekali sebanyak dua kali, lalu suntikan
ketiga baru diberi 5 bulan kemudian.
2.3.1 Cara Kerja Vaksinasi Hepatitis B
Melalui vaksinasi, sistem imun menjadi terpapar
dengan zat atau organisme patogen. Selanjutnya setelah
mengenali agen penyebab ini, sistem ini akan membantu
tubuh dalam membangun pertahanan diri terhadapnya
(MIMS Indonesia, 2011).
Pada vaksinasi, pertahanan tubuh spesifik inilah yang
dibangkitkan, sehingga kelak bila terpapar secara alamiah
tidak terkena penyakit. Respon imun adaptif (spesifik)
merupakan
respon
didapat
(acquired)
yang
timbul
terhadap antigen tertentu, terhadap bagian tubuh mana
yang
terpapar
sebelumnya.
Sistem
imun
spesifik:
Humoral: menggunakan Antibody yang bersifat sangat
spesifik. Seluler: melibatkan limfosit T. Sistem imun
spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen
terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya
(Dinejad, 2005).
Pemberian vaksinasi Hepatitis B ditujukan untuk
merangsang tubuh membentuk kekebalan (antibodi) yang
spesifik yang disebut Anti-HBs (serokonversi). Faktor
penting yang berpengaruh dalam proses imun terhadap
vaksinasi, antara lain antibodi maternal, sifat dan dosis
22
antigen, cara pemberian dan adjuvant. Kondisi penerima
vaksin juga berpengaruh misalnya, umur, status nutrisi,
genetik dan penyakit yang sedang diderita (Muazaroh,
2009).
2.3.2 Efek samping vaksinasi Hepatitis B
Kebanyakan efek samping dari vaksinasi, ringan dan
cepat hilang. Reaksi-reaksi setelah vaksinasi seperti:
demam, rasa sakit, merah dan bengkak di tempat
suntikan, kurang enak badan, dan sakit pada tulang sendi
(Victoria Human Services, 2003).
Agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, maka kebijakan harus diimplementasikan
agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Dari berbagai penelitian menunjukkan sebagian besar
infeksi virus hepatitis B dapat dicegah dengan melakukan
vaksinasi Hepatitis B. Demikian di Turki telah dilakukan
penelitian
nasional
mahasiswa
vaksinasi
pertama
keperawatan
yang
mengenai
serta cara penularan
meningkatkan
mengenai
kesadaran
tindakan
berpusat
dan
pencegahan
pada
pengetahuan
Hepatitis B,
kepatuhan
yang
untuk
mereka
menyeluruh
sebelum memulai pengalaman kerja.
WHO 2013, menemukan bahwa Papua Nugini
mewajibkan peningkatan cakupan vaksinasi. Pemerintah
Papua Nugini merencanakan program baru bagi petugas
kesehatan untuk melindungi pekerja kesehatan dari
konsekuensi pajanan virus Hepatitis B. Departemen
nasional kesehatan Papua Nugini dan mitra termasuk
WHO
dan
Australian
Government
Overseas
Aid
Programme (AusAID) meluncurkan program vaksinasi
23
Hepatitis B bagi petugas kesehatan pada tanggal 19
Febuari 2013. Vaksinasi Hepatitis B yang akan diberikan
kepada
semua
kader
petugas
kesehatan
karena
merekalah yang terlibat langsung dalam sistem pelayanan
kesehatan di 22 propinsi. Pemerintah Papua Nugini telah
memberikan vaksinasi Hepatitis B kepada semua staff
kesehatan di tempat kerja mereka. Petugas kesehatan
merupakan aset negara terhadap resiko infeksi virus yang
penularannya melalui darah; termasuk HIV, Hepatitis B,
dan Hepatitis C. Hal ini dikarenakan petugas kesehatan
sangat familiar dengan darah dan cairan tubuh penderita
dalam pekerjaan mereka.
Petugas kesehatan yang terinfeksi tidak hanya
menderita kesakitan atau kematian akibat infeksi tetapi
juga dapat menularkan virus Hepatitis B kepada anggota
staf lain dan pasien. Ini adalah program pertama skala
besar vaksinasi Hepatitis B yang khusus bertujuan untuk
melindungi
pekerja
kesehatan
di
Papua
Nugini.
Diperkirakan bahwa secara global sekitar 240 juta orang
berpotensi terinfeksi Hepatitis B. Oleh karena itu, penting
bahwa risiko infeksi Hepatitis B antar petugas kesehatan
diminimalkan dengan cara melakukan vaksinasi Hepatitis
B untuk penerapan kewaspadaan secara universal, dan
pasca pajajanan Hepatitis B.
Sedangkan
di
Indonesia,
pemerintah
tidak
mewajibkan berbagai jenis imunisasi harus dilakukan
semuanya. Hanya lima jenis imunisasi pada anak di
bawah satu tahun yang harus dilakukan, yakni BCG
(bacillus calmette-guerin), DPT (difteri pertusis tetanus),
polio, campak, dan hepatitis B (Menkes RI, 2005).
24
Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian
mengenai cakupan vaksinasi Hepatitis B pada mahasiswa
Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW angkatan 2009 dan
alasan yang mendasari.
25
Download