BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur tumbuhan yang menggambarkan kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), dominasi (D), dominasi relatif (DR) dan indeks nilai penting (INP). Menurut Soegianto (1994) dalam Sandika (2008), parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) jenis-jenis dalam suatu komunitas tumbuhan adalah INP. Sutisna (1981) dalam Sandika (2008) juga menyatakan bahwa suatu jenis dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai/tumbuhan bawah dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15%. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jenis yang terdapat pada lahan pasca terbakar yaitu kayu putih, keliat, sengon, dan akasia daun lebar, sedangkan pada lahan tidak terbakar yaitu keliat, concong belut, akasia daun kecil, dan gmelina. INP pada lahan pasca terbakar dan tidak terbakar dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2 Indeks nilai penting pada lahan pasca terbakar Nama Jenis Jumlah 1. Tingkat pancang Kayu putih (M. cajuputi) 5 Keliat (M. tomentosa) 1 Total 6 2. Tingkat tiang Kayu Putih (M. cajuputi) Sengon (F.moluccana) Akasia daun lebar (A. mangium) Total K(ind/ha) KR(%) 400 83,33 80 480 6 F FR(%) D (m2/ha) DR(%) INP(%) 0,4 66,67 - - 150,00 16,67 100,00 0,2 0,6 33,33 100,00 - - 50,00 200,00 120 75,00 0,6 60,00 17554,14 64,00 199,00 1 20 12,50 0,2 20,00 5732,48 20,90 53,40 1 8 20 160 12,50 100,00 0,2 1,0 20,00 100,00 4141,72 27428,34 15,10 100,00 47,60 300,00 3. Tingkat pohon Akasia daun lebar (A. mangium) 11 55 100,00 1,0 100,00 43032,25 100,00 300,00 Total 11 55 100,00 1,0 100,00 43032,25 100,00 300,00 K = kerapatan; KR = kerapatan relatif; F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; D = dominasi; DR = dominasi relatif; INP = indeks nilai penting Pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada tingkat pancang di lahan pasca terbakar menunjukkan tanaman kayu putih memiliki indeks nilai penting 23 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman keliat, sedangkan di lahan tidak terbakar tanaman concong belut memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman keliat. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kayu putih mendominasi pada satuan luas 5 x 5 m (tingkat pancang) di lahan pasca terbakar, dan tanaman concong belut yang mendominasi pada satuan luas 5 x 5m di lahan tidak terbakar. Pada tingkat tiang di lahan pasca terbakar menunjukkan bahwa tanaman kayu putih memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain, sedangkan di lahan tidak terbakar tanaman akasia daun kecil memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kayu putih putih mendominasi pada satuan luas 10 x 10 m (tingkat tiang) di lahan pasca terbakar, dan tanaman akasia daun lebar yang mendominasi pada satuan luas 10 x 10 m di lahan tidak terbakar. Tabel 3 Indeks nilai penting pada lahan tidak terbakar Nama Jenis Jumlah 1. Tingkat pancang Keliat (M. tomentosa) 2 Congcong belut (B. ovata) 12 Total 14 2. Tingkat tiang Akasia daun kecil (A.auriculiformis) Gmelina (G. arborea) Total K(ind/ha) KR (%) F FR(%) D (m2/ha) DR(%) INP(%) 160 14,29 0,2 20,00 - - 34,29 960 1120 85,71 100,00 0,8 1,0 80,00 100,00 - - 165,71 200,00 2 40 66,67 0,4 66,67 10375,80 74,68 208,02 1 3 20 60 33,33 100,00 0,2 0,6 33,33 100,00 3517,52 13893,32 25,32 100,00 91,98 300,00 3. Tingkat pohon Akasia daun kecil (A.auriculiformis) 53 265 100,00 1,0 100,00 209840,80 100,00 300,00 Total 53 265 100,00 1,0 100,00 209840,80 100,00 300,00 K = kerapatan; KR = Kerapatan relatif; F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; D = dominasi; DR = dominasi relatif; INP = indeks nilai penting Pada tingkat pohon, terdapat jenis akasia daun lebar di lahan pasca terbakar dan akasia daun kecil di lahan tidak terbakar. Hal ini dapat dikatakan bahwa pada satuan luas 20 x 20 m, tanaman akasia daun lebar mendominasi tanaman pada lahan pasca terbakar dan akasia daun kecil mendominasi tanaman pada lahan pasca terbakar. Namun, jenis akasia daun kecil memiliki kerapatan yang lebih tinggi yaitu sebesar 265 individu/ha pada lahan tidak terbakar dibandingkan 24 dengan tanaman akasia daun lebar pada lahan pasca terbakar yaitu sebesar 55 individu/ha. Perbedaan nilai kerapatan masing-masing jenis disebabkan adanya perbedaan penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan (Arrijani et al. 2006). 5.2 Karbon tersimpan atas permukaan pada lokasi penelitian Menurut Hairiah et al. (2011), salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim adalah mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O) dengan mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan. Pengukuran jumlah karbon tersimpan dalam tubuh tanaman hidup pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknnya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Karbon tersimpan yang diukur pada penelitian ini adalah karbon di atas permukaan yang meliputi karbon tersimpan pada vegetasi tingkat pohon, serasah dan vegetasi tingkat tumbuhan bawah. 5.2.1 Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat pohon Menurut Adinugroho (2006), yang dimaksud vegetasi pada tingkat ini adalah semua vegetasi dengan tinggi >1,5 m yang sering dikenal vegetasi tingkat pancang, tiang, dan pohon. Karbon tersimpan yang terdapat dalam setiap jenis pohon pada lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar dapat dilihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari 5 jenis individu yang terdapat pada lahan pasca terbakar, karbon tersimpan terbesar terdapat pada jenis akasia daun lebar yaitu sebesar 16,35 ton/ha. Hal ini disebabkan jenis akasia daun lebar pada lahan pasca terbakar, memiliki rata-rata diameter setinggi dada dan tinggi lebih besar dibandingkan dengan yang lain yaitu 16,97 cm dan 11,29 m kecuali untuk tanaman sengon yang memiliki rata-rata diameter 19,11 cm dan rata-rata tinggi 16,00 m. Namun, jenis akasia daun lebar ini memiliki jumlah individu yang lebih tinggi yaitu sebesar 35 pohon/plot dibandingkan dengan tanaman sengon yang hanya memiliki 1 pohon/plot. Pada lahan tidak terbakar, karbon tersimpan terbesar terdapat pada jenis akasia daun kecil sebesar 93,35 ton/ha. Hal ini karena jenis akasia daun kecil memiliki diameter rata-rata dan tinggi rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jenis lain yaitu 28,00 cm dan 18,13 m serta didukung oleh banyaknya pohon akasia daun kecil yang terdapat pada lahan tidak terbakar. 25 Tabel 4 Karbon tersimpan tiap jenis pohon Jumlah individu Nama Jenis a. Lahan pasca terbakar Akasia daun lebar (A. mangium) Kayu Putih (M. cajuputi) Rata-rata diameter (cm) Rata-rata tinggi (m) Karbon (ton/ha) Keliat (M. tomentosa) Sungkay (P. canescens) Sengon (F. moluccana) Total 35 52 22 16,97 9,60 6,34 11,29 9,38 7,32 16,35 4,33 0,35 6 1 116 4,67 19,11 7,00 16,00 0,06 0,24 21,32 b. Lahan tidak terbakar Akasia daun kecil (A. auriculiformis) Keliat (M. tomentosa) Gmelina (G. arborea) Sungkay (P. canescens) Congcong belut (B. ovata) Bungur (L. speciosa) Total 67 14 6 1 15 1 104 28,00 7,28 10,03 15,29 3,97 8,28 18,13 6,55 8,33 9,50 5,62 7,50 93,35 0,37 0,64 0,13 0,13 0,05 94,68 Hasil penelitian Gintings (1997) dalam Masripatin et al. (2011), karbon tersimpan di atas permukaan tanah pada hutan tanaman akasia daun lebar umur 6 tahun di Benakat, Sumatera Selatan adalah 91,2 ton/ha, serta karbon tersimpan di atas permukaan tanah pada hutan tanaman sungkay umur 10–25 tahun di Benakat, Sumatera Selatan dan stasiun penelitian hutan tanjungan Lampung adalah berkisar antara 35,7–71,8 ton/ha. Hasil penelitian Gintings (1997) dan Siregar et al. (2006) dalam Masripatin et al. (2011), karbon tersimpan di atas permukaan tanah pada hutan tanaman sengon umur 14–25 tahun di Jawa Timur dan Jawa Barat adalah berkisar antara 112,8–122,7 ton/ha. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karbon tersimpan baik pada hutan tanaman akasia daun lebar, sungkay maupun sengon lebih besar dibandingkan dengan kandungan karbon tersimpan pada jenis akasia daun lebar, sungkay dan sengon di lokasi penelitian. Hal ini diduga karena perbedaan umur dan jumlah tegakan yang terdapat pada masing-masing lokasi. Selain itu disebabkan juga oleh perbedaan kondisi lingkungan pada masing-masing lokasi. Pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa karbon tersimpan pada pohon di lahan pasca terbakar lebih rendah yaitu sebesar 21,32 ton/ha dibandingkan dengan karbon tersimpan pada pohon di lahan tidak terbakar yaitu sebesar 94,68 ton/ha. Hal ini disebabkan kerapatan individu pohon dan banyaknya jenis individu pohon pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar. 26 Menurut Hairiah et al. (2007), jumlah karbon tersimpan ditentukan oleh keragaman dan kerapatan tumbuhan, jenis tanah, dan cara pengelolaan. Walaupun total jumlah individu pada lahan tidak terbakar lebih sedikit dibandingkan dengan lahan tidak terbakar, tetapi rata-rata diameter dan tinggi pada lahan tidak terbakar lebih besar dibandingkan lahan pasca terbakar. Hal inilah yang mempengaruhi kerapatan individu pada luasan plot penelitian, sehingga dapat dikatakan bahwa kerapatan individu pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar. Kerapatan kayu (wood density) juga mempengaruhi besarnya karbon tersimpan pada pohon. Berdasarkan tabel kerapatan kayu (Tabel 1) terlihat bahwa jenis-jenis individu pada lahan tidak terbakar memiliki kerapatan kayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis individu pada lahan pasca terbakar. Salah satu jenis yang terdapat pada lahan tidak terbakar memiliki kerapatan kayu tertinggi yaitu jenis concong belut dengan kerapatan kayu sebesar 0,73 g/cm3. Menurut Novita (2010), potensi biomassa dapat mempengaruhi potensi selulosa, lignin, zat ekstraktif dan hemiselulosa yang pada akhirnya mempengaruhi kandungan karbon tersimpan pada pohon. Selain itu, beberapa faktor yang mempengaruhi biomassa tegakan hutan antara lain: umur tegakan hutan, perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan, serta faktor iklim seperti suhu dan curah hujan. Perbedaan umur tegakan juga mempengaruhi perbedaan kandungan karbon tersimpan pada kedua lokasi tersebut. Tegakan pada lahan tidak terbakar telah ditanam sejak tahun 1997 (berumur 15 tahun), sedangkan pada lahan pasca terbakar baru ditanam sejak tahun 2006 (berumur 6 tahun), sehingga menyebabkan kandungan karbon tersimpan pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar. Tabel 5 menunjukkan bahwa karbon memiliki korelasi positif yang kuat baik dengan tinggi pohon yaitu sebesar 0,74 maupun dengan diameter pohon yaitu sebesar 0,91 (korelasi kuat jika angka mendekati 1, korelasi lemah jika angka mendekati 0). Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pohon dan semakin besar diameter pohon, maka semakin besar karbon tersimpan yang terkandung pada pohon tersebut. 27 Tabel 5 Korelasi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan diameter pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang Parameter Karbon‐Tinggi pohon Karbon‐Diameter pohon ** nyata atau signifikan pada taraf 5% Koefisien korelasi 0,74** 0,91** Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh beberapa persamaan regresi dengan R-square yang berbeda-beda (Lampiran 2, 3, 4, 5, 6, 7). Persamaan diperoleh dari hasil analisis kuadratik. Persamaan regresi ini didasarkan pada parameter tinggi dan diameter setinggi dada (DBH). Hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil analisis regresi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan DBH pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang Persamaan regresi R‐square (%) C = ‐0,542 – 1,859 DBH + 0,3570 DBH2 93,40 C = 43,36 – 16,39 T + 1,493 T2 60,50 95,30 C = ‐0,276 – 0,8035 DBH + 0,2360 DBH2 48,60 C = 92,18 – 28,31 T + 2,084 T2 96,60 C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2 2 54,20 C = 19,17 – 9,72 T + 1,226 T C = karbon (kg); DBH = diameter setinggi dada (cm); T = tinggi pohon (m) Tabel 6 menunjukkan bahwa persamaan regresi yang dapat digunakan berdasarkan nilai R-square tertinggi (96,60%) adalah C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2, dengan hubungan regerasinya dapat dilihat pada gambar 6. 1400 C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2 Karbon (kg) 1200 1000 800 600 400 200 0 0 10 20 30 40 50 60 Diameter (cm) Gambar 6 Hubungan regresi antara karbon dan diameter pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang 28 R-square menunjukkan keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh peubah X. Pada persamaan regresi ini, peubah X menunjukkan DBH dan peubah Y menunjukkan kandungan karbonnya. Hal ini menunjukkan bahwa 96,60% dari kandungan karbon tersimpan pada suatu pohon dapat dijelaskan oleh DBH dari pohon tersebut. 5.2.2 Karbon tersimpan pada serasah Menurut Hairiah et al. (2011), serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah. Biomassa serasah memberikan sumbangan yang relatif kecil dibandingkan dengan pohon. Hal ini disebabkan ukuran bentuk dan berat serasah jauh lebih kecil dibandingkan dengan pohon. Karbon tersimpan pada serasah dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Karbon tersimpan pada serasah Plot Bagian tanama n a. Lahan pasca terbakar 1 Serasah 2 Serasah 3 Serasah 4 Serasah 5 Serasah Total (kg) Total (ton/ha) b. Lahan tidak terbakar 1 Serasah 2 Serasah 3 Serasah 4 Serasah 5 Serasah Total (kg) Total (ton/ha) Berat kering daun (kg) C tersimpan pada daun (kg) Berat kering ranting (kg) C tersimpan pada ranting (kg) 0,08 0,28 0,11 0,02 0,10 0,60 0,30 0,02 0,08 0,03 0,01 0,03 0,18 0,09 0,05 0,14 0,09 0,13 0,14 0,54 0,27 0,02 0,04 0,03 0,04 0,04 0,16 0,08 0,32 0,28 0,18 0,21 0,38 1,36 0,68 0,09 0,08 0,05 0,06 0,11 0,41 0,20 0,52 0,17 0,04 0,17 0,21 1,11 0,56 0,16 0,05 0,01 0,05 0,06 0,33 0,17 Tabel 7 menunjukkan bahwa kandungan karbon serasah daun lebih tinggi dibandingkan dengan serasah ranting baik pada lahan pasca terbakar maupun pada lahan tidak terbakar. Hal ini disebabkan berat kering pada serasah daun lebih tinggi dibandingkan dengan berat kering pada serasah ranting, sehingga 29 mempengaruhi besarnya biomassa dan kandungan karbon tersimpan baik pada daun maupun ranting. Menurut Nilamsari (2000), serasah daun lebih sering gugur dibandingkan dengan serasah lain karena bentuk daun yang lebar dan tipis sehingga mudah digugurkan. Berdasarkan lokasi, kandungan karbon baik pada serasah daun maupun serasah ranting pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar. Menurut Tresnawan (2002) dalam Novita (2010), adanya variasi produksi serasah dipengaruhi oleh faktor kompetisi cahaya dan kerapatan tajuk. Adanya celah yang disebabkan oleh kebakaran akan mempercepat cahaya matahari ke lantai hutan yang merangsang kegiatan metabolisme dekomposer untuk mempercepat perombakan bahan organik menjadi CO2, sehingga menyebabkan kandungan serasah pada lahan pasca terbakar lebih sedikit dibandingakan dengan lahan tidak terbakar. Hal ini akan mempengaruhi besarnya biomassa dan kandungan karbon tersimpan pada kedua lokasi tersebut. 5.2.3 Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat tumbuhan bawah Menurut Hairiah et al. (2011), tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang <5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Tumbuhan bawah banyak tumbuh pada masing-masing lokasi. Walupun pada lahan pasca terbakar pernah mengalami kebakaran, banyak tumbuhan bawah yang tumbuh pada lahan tersebut. Hal ini disebabkan banyaknya cahaya yang masuk pada lahan pasca terbakar, sehingga memungkinkan banyaknya tumbuhan bawah yang tumbuh pada lahan tersebut. Biomassa tumbuhan bawah juga memberikan sumbangan yang relatif kecil dibandingkan dengan pohon. Hal ini juga disebabkan ukuran bentuk dan berat tumbuhan bawah yang lebih kecil dibandingkan dengan pohon. Namun, tumbuhan bawah mengandung karbon terikat yang cukup tinggi dibandingkan dengan karbon terikat pada serasah. Hal ini terkait dengan kandungan biomassa pada tumbuhan bawah lebih tinggi dibandingkan dengan serasah. Menurut Novita (2010), cukup besarnya kandungan biomassa pada tumbuhan bawah dipengaruhi oleh celah yang terbentuk akibat penebangan yang mengakibatkan masuknya cahaya ke lantai hutan. Karbon tersimpan pada tumbahan bawah dapat dilihat pada Tabel 8. 30 Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan karbon tersimpan pada tumbuhan bawah di lahan pasca terbakar lebih tinggi yaitu sebesar 0,30 ton/ha dibandingkan dengan lahan tidak terbakar yaitu sebesar 0,29 ton/ha. Hal ini disebabkan oleh celah yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut, sehingga mempengaruhi besarnya biomassa dan kandungan karbon tersimpan pada tumbuhan bawah tersebut. Tumbuhan bawah dalam pertumbuhannya, sangat memerlukan sinar matahari untuk berfotosintesis dan perkecambahan (Novita 2010). Tabel 8 Karbon tersimpan pada tumbuhan bawah PLOT Bagian tanaman Berat kering (kg) a. Lahan pasca terbakar 1 Tumbuhan bawah 2 Tumbuhan bawah 3 Tumbuhan bawah 4 Tumbuhan bawah 5 Tumbuhan bawah Total (kg) Total (ton/ha) b. Lahan tidak terbakar 1 Tumbuhan bawah 2 Tumbuhan bawah 3 Tumbuhan bawah 4 Tumbuhan bawah 5 Tumbuhan bawah Total (kg) Total (ton/ha) C tersimpan (kg) 0,47 0,27 0,37 0,69 0,53 2,33 1,17 0,12 0,07 0,10 0,18 0,14 0,61 0,30 0,38 0,17 0,76 0,75 0,19 2,24 1,12 0,10 0,04 0,20 0,19 0,05 0,58 0,29 Berdasarkan hasil karbon yang diperoleh baik dari pohon, serasah, maupun tumbuhan bawah, dapat diperoleh total karbon tersimpan pada atas permukaan di lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar masing-masing sebesar 21,79 ton/han dan 95,34 ton/ha. Hal ini menunjukkan adanya penurunan karbon sebesar 77,14%. Jika dipersentasikan masing-masing kandungan karbon tersimpan pada masing-masing lokasi dapat terlihat pada Gambar 7. 31 Tumbu han bawah 1,38% Serasah 0,78% Pohon 97,84% Serasah 0,39% Tumbu han bawah 0,30% Pohon 99,31% a b Gambar 7 Karbon pada lahan pasca terbakar (a), dan karbon pada lokasi yang tidak terbakar (b) Pada Gambar 7 terlihat bahwa kandungan karbon tersimpan pada pohon mendominasi kandungan karbon tersimpan di atas permukaan tanah baik di lahan pasca terbakar maupun pada lahan tidak terbakar. Pada lahan pasca terbakar, persentase kandungan karbon pada pohon sebesar 97,84% (21,32 ton/ha), serasah sebesar 0,78% (0,17 ton/ha), dan tumbuhan bawah sebesar 1,38% (0,30 ton/ha). Pada lahan tidak terbakar, persentase kandungan karbon pada pohon sebesar 99,31% (94,68 ton/ha), serasah sebesar 0,39% (0,37 ton/ha), dan tumbuhan bawah sebesar 0,30% (0,29 ton/ha). Ini menunjukkan bahwa serasah dan tumbuhan bawah menyumbangkan kandungan karbon tersimpan di atas permukaan yang sangat kecil dibandingkan dengan kandungan tersimpan pada pohon. Hal ini karena pohon mampu menyerap CO2 melalui proses fotosintesis dan didukung dengan ukuran bentuk batang pohon yang besar, sehingga mampu menyimpan karbon tersimpan yang besar. Menurut Hairiah et al. (2011), proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. 5.3 Kualitas Tempat Tumbuh Berdasarkan komposisi partikel tanah pada Tabel 9, tekstur tanah pada kedua lokasi hampir semuanya memiliki kelas tekstur liat kecuali untuk kelas tekstur pada plot 3 di lahan pasca terbakar yaitu lempung berliat dan kelas tekstur pada plot 3 di lahan tidak terbakar yaitu lempung liat berdebu. Hal ini akan meyebabkan tanah di kedua lokasi ini memiliki sistem aerasi dan drainase yang kurang optimal. Aerasi dan drainase akan mempengaruhi proses sirkulasi air, udara, dan hara di dalam tanah. Jika aerasi dan drainasenya kurang baik, maka akan mempengaruhi pertumbuhan vegetasinya, sehingga akan mempengaruhi besar biomassanya. Menurut Lubis (2011), faktor pendukung atau parameter 32 untuk menilai kondisi hutan adalah kualitas tempat tumbuh. Jika sifat-sifat tanahnya baik maka kualitas tempat tumbuhnya juga baik sehingga akan mempengaruhi kondisi hutannya. Menurut Hairiah et al. (2011), penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, karena biomassa pohon meningkat. Hasil analisis tanah yang terdiri dari sifat fisik tanah (tekstur dan bobot isi) dan sifat kimia tanah (pH, C-organik, Ca, Mg, K, dan KTK) pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Tekstur tanah dapat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Hal ini karena tekstur tanah akan menentukan ukuran dan jumlah pori-pori tanah yang berpengaruh pada siklus air dan udara di dalam tanah. Tanah yang didominasi pasir akan lebih banyak mempunyai pori-pori makro, tanah yang didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso, sedangkan yang didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro atau tidak porous (Hanafiah 2005). Tabel 9 Hasil analisis sifat-sifat tanah pada lokasi penelitian Lokasi Tekstur pH 1:1 H2O a. Lahan pasca terbakar (KTU) Plot 1 Liat 4,30sm Plot 2 Liat 4,10sm Plot 3 Lempung 4,30sm berliat Plot 4 Liat 4,20sm Plot 5 Liat 4,00sm Rata‐ 4,18sm rata Walkley & Black C‐ organik (%) N NH4OAc pH 7.0 Ca 2,07s 0,48sr 0,40sr 0,72sr 3,24r 0,33sr 1,21s 1,21s 1,11s 0,35s 0,15r 0,35s 1,12r 1,04r 1,02r 1,82sr 1,07sr 1,44 sr 4,00t 1,90s 1,89 s 0,36s 0,23r 0,29 r Mg K Bobot Isi Bahan Orga‐ nik (%) % 17,05s 15,86r 11,91r 1,68 1,70 1,59 3,60 0,84 0,70 16,28r 15,28r 15,28r 1,51 1,51 1,60 1,95 1,81 1,78 KTK (me/100 g) b. Lahan tidak terbakar (LIMOA) 1,20r 3,11r 7,80t 0,18r 16,67r 1,57 2,09 Plot 1 Liat 4,40sm 1,52r 3,38r 8,26st 0,25r 18,99s 1,62 2,64 Plot 2 Liat 4,30sm 5,43st 4,58r 8,30st 0,20r 21,32s 1,59 9,45 Plot 3 Lempung 4,60m liat berdebu 5,43st 1,85sr 4,14t 0,32s 19,77s 1,32 9,45 Plot 4 Liat 3,90sm 5,75st 4,49r 4,15t 0,32s 19,56s 1,43 10,01 Plot 5 LIat 3,80sm 3,87t 3,48r 6,53t 0,254 19,26s 1,51 6,73 Rata‐ 4,2sm rata r sm = sangat masam; m = masam; am = agak masam; n = netral; aa = agak alkalis; a = alakalis; sr = sangat rendah; r = rendah; s = sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi (Hardjowigeno 1995) 33 Berdasarkan Tabel 9 dan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Lampiran 8), terlihat bahwa nilai rata-rata pH untuk lahan pasca terbakar adalah 4,18 yang tergolong sangat masam dengan kisaran nilai pH antara 4,00–4,30, sedangkan pada lahan tidak terbakar nilai rata-rata pH adalah 4,20 yang tergolong sangat masam dengan kisaran nilai pH antara 3,80–4,60. Hal ini menunjukkan pH pada lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar sama-sama tergolong sangat masam. Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (1991), penyebab utama dari reaksi tanah menjadi masam adalah karena keberadaan Al yang tinggi dan dibarengi oleh kehilangan basa-basa akibat curah hujan yang tinggi. Kelarutan Al yang tinggi dapat bersifat meracun bagi tanaman. Keracunan Al menyebabkan gangguan terhadap akar tanaman baik fisiologi maupun morfologinya. Gangguan sistem perakaran ini, akan menghambat serapan hara dan air sehingga terjadilah gangguan pertumbuhan dari penurunan produksi pada tanah masam. Pada kedua lokasi penelitian menunjukkan pH yang sangat masam. Hal ini diduga adanya keberadaan Al yang tinggi pada tanah di kedua lokasi tersebut yang akan menyebabkan gangguan pada sistem perakaran, sehingga akan menghambat serapan hara dan air yang akan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Jika terjadi gangguan pertumbuhan maka biomassa dan kandungan karbon tersimpannya menurun. Tabel 9 juga menunjukkan bahwa rata-rata C-organik tanah pada lahan pasca terbakar yaitu sebesar 1,02% yang tergolong rendah dengan kisaran antara 0,40–2,07%, sedangkan rata-rata C-organik tanah pada lahan tidak terbakar sebesar 3,87% yang tergolong tinggi dengan kisaran antara 1,20–5,75%. Berdasarkan hasil C-organik tanahnya dapat diperoleh bahan organik di kedua lokasi tersebut. Bahan organik rata-rata pada lahan pasca terbakar sebesar 1,78%, sedangkan bahan organik rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 6,73%. Hal ini menunjukkan bahwa tanah pada lahan tidak terbakar memiliki bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pada lahan pasca terbakar, sehingga dapat dikatakan bahwa tanah pada lahan tidak terbakar lebih subur dibandingkan dengan lahan pasca terbakar. Hal ini terkait dengan banyaknya serasah pada lahan tidak terbakar, sehingga menyebabkan tanahnya menjadi subur. Menurut Lubis (2011), pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya terhadap 34 pertumbuhan tanaman yaitu sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah,sumber unsur hara N, P, S, unsur mikro dan lain-lain, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (KTK tanah menjadi tinggi), dan sumber energi bagi mikroorganisme. Kalsium (Ca) rata-rata untuk lahan pasca terbakar adalah 1,44 me/100 g yang tergolong sangat rendah dengan kisaran antara 0,33–3,24 me/100 g, sedangkan Ca rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 3,48 me/100 g yang tergolong rendah dengan kisaran antara 1,85–4,58 me/100 g. Menurut Hanafiah (2005), Ca berperan dalam struktur dan permeabilitas membran, terutama karena fungsinya sebagai pengikat antar molekul-molekul fosfolipid-fospolipid/protein penyusunnya, dan sebagai aktivator beberapa enzim. Magnesium (Mg) rata-rata untuk lahan pasca terbakar adalah 1,89 me/100 g yang tergolong sedang dengan kisaran antara 1,11–4,00 me/100 g, sedangkan Mg rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 6,53 me/100 g yang tergolong tinggi dengan kisaran antara 4,14–8,26 me/100 g. Menurut Hanafiah (2005), Mg berfungsi sebagai penyusun klorofil dan aktivator enzim-enzim dalam reaksi fotosintesis, respirasi dan sintesis DNA/RNA, serta sebagai pemicu penyediaan energi kimia dari ATP yang dibutuhkan dalam berbagai reaksi, seperti pada proses fermentasi glukosa. Kalium (K) rata-rata pada lahan pasca terbakar adalah 0,29 me/100 g yang tergolong rendah dengan kisaran antara 0,15–0,36 me/100 g, sedangkan kalium rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 0,254 me/100 g yang tergolong rendah dengan kisaran antara 0,18–0,32 me/100 g(s). Menurut Hanafiah (2005), K berfungsi sebagai aktivator enzim dalam proses fotosintesis dan respirasi, translokasi karbohidrat, sintesis protein dan pati. Selain itu K juga berperan dalam proses buka tutup stomata, karena fungsinya dalam pengaturan potensi osmotik sel-sel. Kapasitas Tukar Kation (KTK) rata-rata pada lahan pasca terbakar adalah 15,28 me/100 g yang tergolong rendah dengan kisaran antara 11,91–17,05 me/100 g, sedangkan KTK rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 19,26 me/100 g yang tergolong sedang dengan kisaran antara 16,67–21,32 me/100 g. KTK adalah 35 kemampuan permukaan koloid tanah menyerap dan mempertukarkan kation (Ca, Mg, K, Na, NH4, Al, Fe, dan H) yang dinyatakan dalam me/100 g koloid. Secara umum dikatakan bahwa semakin tinggi kadar liat semakin tinggi pula KTK (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 1991). Jenis partikel tanah akan berpengaruh terhadap pertukaran kation-kation dalam tanah. Tanah yang didominasi oleh partikel liat akan memiliki kemampuan menjarap kation-kation lebih banyak, karena partikel liat memiliki lebih banyak pori-pori mikro tempat berlangsungnya pertukaran kation-kation tanah, sedangkan jenis partikel pasir pertukaran kationnya akan sulit terjadi. Semakin tinggi nilai KTK maka serapan kation-kation hara akan semakin meningkat (Sugirahayu 2011). Bulk density (bobot isi) menunjukkan bobot massa tanah pada kondisi lapangan yang telah dikeringovenkan per satuan volume. Berdasarkan hasil analisis bobot isi rata-rata untuk lahan pasca terbakar adalah 1,60% dengan kisaran antara 1,51–1,70%, sedangkan bobot isi rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 1,51% dengan kisaran antara 1,32–1,62%. Menurut Sugirahayu (2011), nilai bobot isi dipengaruhi oleh tekstur tanah. Ukuran partikel-partikel yang ditunjukkan dalam tekstur tanah akan mempengaruhi nilai bobot isi tanah. Bobot isi pada lahan pasca terbakar lebih tinggi dibanding dengan lahan tidak terbakar. Hal ini dapat dikatakan bahwa lahan pasca terbakar memiliki tanah yang lebih padat dibandingan dengan lahan tidak terbakar. Keadaan tanah yang padat dapat mengganggu pertumbuhan tanaman karena akar-akarnya tidak dapat berkembang dengan baik (Sugirahayu 2011).