bab v hasil dan pembahasan

advertisement
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Karakteristik vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur
tumbuhan yang menggambarkan kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi
(F), frekuensi relatif (FR), dominasi (D), dominasi relatif (DR) dan indeks nilai
penting (INP). Menurut Soegianto (1994) dalam Sandika (2008), parameter
kuantitatif yang dapat digunakan untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat
penguasaan) jenis-jenis dalam suatu komunitas tumbuhan adalah INP. Sutisna
(1981) dalam Sandika (2008) juga menyatakan bahwa suatu jenis dapat dikatakan
berperan jika nilai INP pada tingkat semai/tumbuhan bawah dan pancang lebih
dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15%. Berdasarkan
hasil analisis vegetasi, jenis yang terdapat pada lahan pasca terbakar yaitu kayu
putih, keliat, sengon, dan akasia daun lebar, sedangkan pada lahan tidak terbakar
yaitu keliat, concong belut, akasia daun kecil, dan gmelina. INP pada lahan pasca
terbakar dan tidak terbakar dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Indeks nilai penting pada lahan pasca terbakar
Nama Jenis
Jumlah
1. Tingkat pancang
Kayu putih
(M. cajuputi)
5
Keliat
(M. tomentosa)
1
Total
6
2. Tingkat tiang
Kayu Putih
(M. cajuputi)
Sengon
(F.moluccana)
Akasia daun lebar
(A. mangium)
Total
K(ind/ha)
KR(%)
400
83,33
80
480
6
F
FR(%)
D (m2/ha)
DR(%)
INP(%)
0,4
66,67
-
-
150,00
16,67
100,00
0,2
0,6
33,33
100,00
-
-
50,00
200,00
120
75,00
0,6
60,00
17554,14
64,00
199,00
1
20
12,50
0,2
20,00
5732,48
20,90
53,40
1
8
20
160
12,50
100,00
0,2
1,0
20,00
100,00
4141,72
27428,34
15,10
100,00
47,60
300,00
3. Tingkat pohon
Akasia daun lebar
(A. mangium)
11
55
100,00
1,0 100,00 43032,25
100,00
300,00
Total
11
55
100,00
1,0 100,00 43032,25
100,00
300,00
K = kerapatan; KR = kerapatan relatif; F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; D = dominasi; DR =
dominasi relatif; INP = indeks nilai penting
Pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada tingkat pancang di lahan
pasca terbakar menunjukkan tanaman kayu putih memiliki indeks nilai penting
23
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman keliat, sedangkan di lahan tidak
terbakar tanaman concong belut memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman keliat. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kayu
putih mendominasi pada satuan luas 5 x 5 m (tingkat pancang) di lahan pasca
terbakar, dan tanaman concong belut yang mendominasi pada satuan luas 5 x 5m
di lahan tidak terbakar. Pada tingkat tiang di lahan pasca terbakar menunjukkan
bahwa tanaman kayu putih memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman lain, sedangkan di lahan tidak terbakar tanaman
akasia daun kecil memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanaman lain. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kayu putih putih
mendominasi pada satuan luas 10 x 10 m (tingkat tiang) di lahan pasca terbakar,
dan tanaman akasia daun lebar yang mendominasi pada satuan luas 10 x 10 m di
lahan tidak terbakar.
Tabel 3 Indeks nilai penting pada lahan tidak terbakar
Nama Jenis
Jumlah
1. Tingkat pancang
Keliat
(M. tomentosa)
2
Congcong belut
(B. ovata)
12
Total
14
2. Tingkat tiang
Akasia daun kecil
(A.auriculiformis)
Gmelina
(G. arborea)
Total
K(ind/ha)
KR (%)
F
FR(%)
D (m2/ha)
DR(%)
INP(%)
160
14,29
0,2
20,00
-
-
34,29
960
1120
85,71
100,00
0,8
1,0
80,00
100,00
-
-
165,71
200,00
2
40
66,67
0,4
66,67
10375,80
74,68
208,02
1
3
20
60
33,33
100,00
0,2
0,6
33,33
100,00
3517,52
13893,32
25,32
100,00
91,98
300,00
3. Tingkat pohon
Akasia daun kecil
(A.auriculiformis)
53
265
100,00 1,0 100,00 209840,80 100,00
300,00
Total
53
265
100,00 1,0 100,00 209840,80 100,00
300,00
K = kerapatan; KR = Kerapatan relatif; F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; D = dominasi; DR =
dominasi relatif; INP = indeks nilai penting
Pada tingkat pohon, terdapat jenis akasia daun lebar di lahan pasca terbakar
dan akasia daun kecil di lahan tidak terbakar. Hal ini dapat dikatakan bahwa pada
satuan luas 20 x 20 m, tanaman akasia daun lebar mendominasi tanaman pada
lahan pasca terbakar dan akasia daun kecil mendominasi tanaman pada lahan
pasca terbakar. Namun, jenis akasia daun kecil memiliki kerapatan yang lebih
tinggi yaitu sebesar 265 individu/ha pada lahan tidak terbakar dibandingkan
24
dengan tanaman akasia daun lebar pada lahan pasca terbakar yaitu sebesar 55
individu/ha. Perbedaan nilai kerapatan masing-masing jenis disebabkan adanya
perbedaan penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan (Arrijani et al.
2006).
5.2
Karbon tersimpan atas permukaan pada lokasi penelitian
Menurut Hairiah et al. (2011), salah satu cara untuk mengendalikan
perubahan iklim adalah mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O)
dengan mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan
populasi pepohonan di luar hutan. Pengukuran jumlah karbon tersimpan dalam
tubuh tanaman hidup pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknnya CO2 di
atmosfer yang diserap oleh tanaman. Karbon tersimpan yang diukur pada
penelitian ini adalah karbon di atas permukaan yang meliputi karbon tersimpan
pada vegetasi tingkat pohon, serasah dan vegetasi tingkat tumbuhan bawah.
5.2.1 Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat pohon
Menurut Adinugroho (2006), yang dimaksud vegetasi pada tingkat ini
adalah semua vegetasi dengan tinggi >1,5 m yang sering dikenal vegetasi tingkat
pancang, tiang, dan pohon. Karbon tersimpan yang terdapat dalam setiap jenis
pohon pada lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar dapat dilihat pada Tabel
4. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari 5 jenis individu yang terdapat pada lahan
pasca terbakar, karbon tersimpan terbesar terdapat pada jenis akasia daun lebar
yaitu sebesar 16,35 ton/ha. Hal ini disebabkan jenis akasia daun lebar pada lahan
pasca terbakar, memiliki rata-rata diameter setinggi dada dan tinggi lebih besar
dibandingkan dengan yang lain yaitu 16,97 cm dan 11,29 m kecuali untuk
tanaman sengon yang memiliki rata-rata diameter 19,11 cm dan rata-rata tinggi
16,00 m. Namun, jenis akasia daun lebar ini memiliki jumlah individu yang lebih
tinggi yaitu sebesar 35 pohon/plot dibandingkan dengan tanaman sengon yang
hanya memiliki 1 pohon/plot. Pada lahan tidak terbakar, karbon tersimpan
terbesar terdapat pada jenis akasia daun kecil sebesar 93,35 ton/ha. Hal ini karena
jenis akasia daun kecil memiliki diameter rata-rata dan tinggi rata-rata yang lebih
tinggi dibandingkan dengan tanaman jenis lain yaitu 28,00 cm dan 18,13 m serta
didukung oleh banyaknya pohon akasia daun kecil yang terdapat pada lahan tidak
terbakar.
25
Tabel 4 Karbon tersimpan tiap jenis pohon
Jumlah
individu
Nama Jenis
a. Lahan pasca terbakar
Akasia daun lebar (A. mangium)
Kayu Putih (M. cajuputi)
Rata-rata
diameter (cm)
Rata-rata
tinggi (m)
Karbon
(ton/ha)
Keliat (M. tomentosa)
Sungkay (P. canescens)
Sengon (F. moluccana)
Total
35
52
22
16,97
9,60
6,34
11,29
9,38
7,32
16,35
4,33
0,35
6
1
116
4,67
19,11
7,00
16,00
0,06
0,24
21,32
b. Lahan tidak terbakar
Akasia daun kecil (A. auriculiformis)
Keliat (M. tomentosa)
Gmelina (G. arborea)
Sungkay (P. canescens)
Congcong belut (B. ovata)
Bungur (L. speciosa)
Total
67
14
6
1
15
1
104
28,00
7,28
10,03
15,29
3,97
8,28
18,13
6,55
8,33
9,50
5,62
7,50
93,35
0,37
0,64
0,13
0,13
0,05
94,68
Hasil penelitian Gintings (1997) dalam Masripatin et al. (2011), karbon
tersimpan di atas permukaan tanah pada hutan tanaman akasia daun lebar umur 6
tahun di Benakat, Sumatera Selatan adalah 91,2 ton/ha, serta karbon tersimpan di
atas permukaan tanah pada hutan tanaman sungkay umur 10–25 tahun di Benakat,
Sumatera Selatan dan stasiun penelitian hutan tanjungan Lampung adalah berkisar
antara 35,7–71,8 ton/ha.
Hasil penelitian Gintings (1997) dan Siregar et al.
(2006) dalam Masripatin et al. (2011), karbon tersimpan di atas permukaan tanah
pada hutan tanaman sengon umur 14–25 tahun di Jawa Timur dan Jawa Barat
adalah berkisar antara 112,8–122,7 ton/ha. Hasil-hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa karbon tersimpan baik pada hutan tanaman akasia daun
lebar, sungkay maupun sengon lebih besar dibandingkan dengan kandungan
karbon tersimpan pada jenis akasia daun lebar, sungkay dan sengon di lokasi
penelitian. Hal ini diduga karena perbedaan umur dan jumlah tegakan yang
terdapat pada masing-masing lokasi. Selain itu disebabkan juga oleh perbedaan
kondisi lingkungan pada masing-masing lokasi.
Pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa karbon tersimpan pada pohon di
lahan pasca terbakar lebih rendah yaitu sebesar 21,32 ton/ha dibandingkan dengan
karbon tersimpan pada pohon di lahan tidak terbakar yaitu sebesar 94,68 ton/ha.
Hal ini disebabkan kerapatan individu pohon dan banyaknya jenis individu pohon
pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar.
26
Menurut Hairiah et al. (2007), jumlah karbon tersimpan ditentukan oleh
keragaman dan kerapatan tumbuhan, jenis tanah, dan cara pengelolaan. Walaupun
total jumlah individu pada lahan tidak terbakar lebih sedikit dibandingkan dengan
lahan tidak terbakar, tetapi rata-rata diameter dan tinggi pada lahan tidak terbakar
lebih besar dibandingkan lahan pasca terbakar. Hal inilah yang mempengaruhi
kerapatan individu pada luasan plot penelitian, sehingga dapat dikatakan bahwa
kerapatan individu pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan
lahan pasca terbakar.
Kerapatan kayu (wood density) juga mempengaruhi besarnya karbon
tersimpan pada pohon. Berdasarkan tabel kerapatan kayu (Tabel 1) terlihat bahwa
jenis-jenis individu pada lahan tidak terbakar memiliki kerapatan kayu yang lebih
tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis individu pada lahan pasca terbakar. Salah
satu jenis yang terdapat pada lahan tidak terbakar memiliki kerapatan kayu
tertinggi yaitu jenis concong belut dengan kerapatan kayu sebesar 0,73 g/cm3.
Menurut Novita (2010), potensi biomassa dapat mempengaruhi potensi selulosa,
lignin, zat ekstraktif dan hemiselulosa yang pada akhirnya mempengaruhi
kandungan karbon tersimpan pada pohon. Selain itu, beberapa faktor yang
mempengaruhi biomassa tegakan hutan antara lain: umur tegakan hutan,
perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan, serta faktor iklim seperti
suhu dan curah hujan. Perbedaan umur tegakan juga mempengaruhi perbedaan
kandungan karbon tersimpan pada kedua lokasi tersebut. Tegakan pada lahan
tidak terbakar telah ditanam sejak tahun 1997 (berumur 15 tahun), sedangkan
pada lahan pasca terbakar baru ditanam sejak tahun 2006 (berumur 6 tahun),
sehingga menyebabkan kandungan karbon tersimpan pada lahan tidak terbakar
lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar.
Tabel 5 menunjukkan bahwa karbon memiliki korelasi positif yang kuat
baik dengan tinggi pohon yaitu sebesar 0,74 maupun dengan diameter pohon yaitu
sebesar 0,91 (korelasi kuat jika angka mendekati 1, korelasi lemah jika angka
mendekati 0). Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pohon dan semakin
besar diameter pohon, maka semakin besar karbon tersimpan yang terkandung
pada pohon tersebut.
27
Tabel 5 Korelasi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan diameter pada
berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang
Parameter Karbon‐Tinggi pohon Karbon‐Diameter pohon ** nyata atau signifikan pada taraf 5%
Koefisien korelasi
0,74**
0,91**
Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh beberapa persamaan regresi
dengan R-square yang berbeda-beda (Lampiran 2, 3, 4, 5, 6, 7). Persamaan
diperoleh dari hasil analisis kuadratik. Persamaan regresi ini didasarkan pada
parameter tinggi dan diameter setinggi dada (DBH). Hasil analisis regresi dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil analisis regresi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan
DBH
pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang
Persamaan regresi
R‐square (%) C = ‐0,542 – 1,859 DBH + 0,3570 DBH2
93,40 C = 43,36 – 16,39 T + 1,493 T2 60,50 95,30 C = ‐0,276 – 0,8035 DBH + 0,2360 DBH2
48,60 C = 92,18 – 28,31 T + 2,084 T2 96,60 C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2
2 54,20 C = 19,17 – 9,72 T + 1,226 T
C = karbon (kg); DBH = diameter setinggi dada (cm); T = tinggi pohon (m)
Tabel 6 menunjukkan bahwa persamaan regresi yang dapat digunakan
berdasarkan nilai R-square tertinggi (96,60%) adalah C = 4,31 – 3,023 DBH +
0,4118 DBH2, dengan hubungan regerasinya dapat dilihat pada gambar 6.
1400
C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2
Karbon (kg)
1200
1000
800
600
400
200
0
0
10
20
30
40
50
60
Diameter (cm)
Gambar 6 Hubungan regresi antara karbon dan diameter pada berbagai jenis
pohon di lahan pasca tambang
28
R-square menunjukkan keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh peubah
X. Pada persamaan regresi ini, peubah X menunjukkan DBH dan peubah Y
menunjukkan kandungan karbonnya. Hal ini menunjukkan bahwa 96,60% dari
kandungan karbon tersimpan pada suatu pohon dapat dijelaskan oleh DBH dari
pohon tersebut.
5.2.2 Karbon tersimpan pada serasah
Menurut Hairiah et al. (2011), serasah meliputi bagian tanaman yang telah
gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.
Biomassa serasah memberikan sumbangan yang relatif kecil dibandingkan dengan
pohon. Hal ini disebabkan ukuran bentuk dan berat serasah jauh lebih kecil
dibandingkan dengan pohon. Karbon tersimpan pada serasah dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7 Karbon tersimpan pada serasah
Plot
Bagian
tanama
n
a. Lahan pasca terbakar
1
Serasah
2
Serasah
3
Serasah
4
Serasah
5
Serasah
Total (kg)
Total (ton/ha)
b. Lahan tidak terbakar
1
Serasah
2
Serasah
3
Serasah
4
Serasah
5
Serasah
Total (kg)
Total (ton/ha)
Berat kering
daun (kg)
C tersimpan
pada daun (kg)
Berat kering
ranting (kg)
C tersimpan pada
ranting (kg)
0,08
0,28
0,11
0,02
0,10
0,60
0,30
0,02
0,08
0,03
0,01
0,03
0,18
0,09
0,05
0,14
0,09
0,13
0,14
0,54
0,27
0,02
0,04
0,03
0,04
0,04
0,16
0,08
0,32
0,28
0,18
0,21
0,38
1,36
0,68
0,09
0,08
0,05
0,06
0,11
0,41
0,20
0,52
0,17
0,04
0,17
0,21
1,11
0,56
0,16
0,05
0,01
0,05
0,06
0,33
0,17
Tabel 7 menunjukkan bahwa kandungan karbon serasah daun lebih tinggi
dibandingkan dengan serasah ranting baik pada lahan pasca terbakar maupun pada
lahan tidak terbakar. Hal ini disebabkan berat kering pada serasah daun lebih
tinggi dibandingkan dengan berat kering pada serasah ranting, sehingga
29
mempengaruhi besarnya biomassa dan kandungan karbon tersimpan baik pada
daun maupun ranting. Menurut Nilamsari (2000), serasah daun lebih sering gugur
dibandingkan dengan serasah lain karena bentuk daun yang lebar dan tipis
sehingga mudah digugurkan.
Berdasarkan lokasi, kandungan karbon baik pada serasah daun maupun
serasah ranting pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan
pasca terbakar. Menurut Tresnawan (2002) dalam Novita (2010), adanya variasi
produksi serasah dipengaruhi oleh faktor kompetisi cahaya dan kerapatan tajuk.
Adanya celah yang disebabkan oleh kebakaran akan mempercepat cahaya
matahari ke lantai hutan yang merangsang kegiatan metabolisme dekomposer
untuk mempercepat perombakan bahan organik menjadi CO2, sehingga
menyebabkan kandungan serasah pada lahan pasca terbakar lebih sedikit
dibandingakan dengan lahan tidak terbakar. Hal ini akan mempengaruhi besarnya
biomassa dan kandungan karbon tersimpan pada kedua lokasi tersebut.
5.2.3 Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat tumbuhan bawah
Menurut Hairiah et al. (2011), tumbuhan bawah meliputi semak belukar
yang berdiameter batang <5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau
gulma. Tumbuhan bawah banyak tumbuh pada masing-masing lokasi. Walupun
pada lahan pasca terbakar pernah mengalami kebakaran, banyak tumbuhan bawah
yang tumbuh pada lahan tersebut. Hal ini disebabkan banyaknya cahaya yang
masuk pada lahan pasca terbakar, sehingga memungkinkan banyaknya tumbuhan
bawah yang tumbuh pada lahan tersebut. Biomassa tumbuhan bawah juga
memberikan sumbangan yang relatif kecil dibandingkan dengan pohon. Hal ini
juga disebabkan ukuran bentuk dan berat tumbuhan bawah yang lebih kecil
dibandingkan dengan pohon. Namun, tumbuhan bawah mengandung karbon
terikat yang cukup tinggi dibandingkan dengan karbon terikat pada serasah. Hal
ini terkait dengan kandungan biomassa pada tumbuhan bawah lebih tinggi
dibandingkan dengan serasah. Menurut Novita (2010), cukup besarnya kandungan
biomassa pada tumbuhan bawah dipengaruhi oleh celah yang terbentuk akibat
penebangan yang mengakibatkan masuknya cahaya ke lantai hutan. Karbon
tersimpan pada tumbahan bawah dapat dilihat pada Tabel 8.
30
Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan karbon tersimpan pada tumbuhan
bawah di lahan pasca terbakar lebih tinggi yaitu sebesar 0,30 ton/ha dibandingkan
dengan lahan tidak terbakar yaitu sebesar 0,29 ton/ha. Hal ini disebabkan oleh
celah yang
ditimbulkan dari kebakaran tersebut, sehingga mempengaruhi
besarnya biomassa dan kandungan karbon tersimpan pada tumbuhan bawah
tersebut. Tumbuhan bawah dalam pertumbuhannya, sangat memerlukan sinar
matahari untuk berfotosintesis dan perkecambahan (Novita 2010).
Tabel 8 Karbon tersimpan pada tumbuhan bawah
PLOT
Bagian tanaman
Berat kering (kg)
a. Lahan pasca terbakar
1
Tumbuhan bawah
2
Tumbuhan bawah
3
Tumbuhan bawah
4
Tumbuhan bawah
5
Tumbuhan bawah
Total (kg)
Total (ton/ha)
b. Lahan tidak terbakar
1
Tumbuhan bawah
2
Tumbuhan bawah
3
Tumbuhan bawah
4
Tumbuhan bawah
5
Tumbuhan bawah
Total (kg)
Total (ton/ha)
C tersimpan (kg)
0,47
0,27
0,37
0,69
0,53
2,33
1,17
0,12
0,07
0,10
0,18
0,14
0,61
0,30
0,38
0,17
0,76
0,75
0,19
2,24
1,12
0,10
0,04
0,20
0,19
0,05
0,58
0,29
Berdasarkan hasil karbon yang diperoleh baik dari pohon, serasah, maupun
tumbuhan bawah, dapat diperoleh total karbon tersimpan pada atas permukaan di
lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar masing-masing sebesar 21,79
ton/han dan 95,34 ton/ha. Hal ini menunjukkan adanya penurunan karbon sebesar
77,14%. Jika dipersentasikan masing-masing kandungan karbon tersimpan pada
masing-masing lokasi dapat terlihat pada Gambar 7.
31
Tumbu
han
bawah
1,38%
Serasah
0,78%
Pohon
97,84%
Serasah
0,39%
Tumbu
han
bawah
0,30%
Pohon
99,31%
a
b
Gambar 7 Karbon pada lahan pasca terbakar (a), dan karbon pada lokasi yang
tidak terbakar (b)
Pada Gambar 7 terlihat bahwa kandungan karbon tersimpan pada pohon
mendominasi kandungan karbon tersimpan di atas permukaan tanah baik di lahan
pasca terbakar maupun pada lahan tidak terbakar. Pada lahan pasca terbakar,
persentase kandungan karbon pada pohon sebesar 97,84% (21,32 ton/ha), serasah
sebesar 0,78% (0,17 ton/ha), dan tumbuhan bawah sebesar 1,38% (0,30 ton/ha).
Pada lahan tidak terbakar, persentase kandungan karbon pada pohon sebesar
99,31% (94,68 ton/ha), serasah sebesar 0,39% (0,37 ton/ha), dan tumbuhan bawah
sebesar 0,30% (0,29 ton/ha). Ini menunjukkan bahwa serasah dan tumbuhan
bawah menyumbangkan kandungan karbon tersimpan di atas permukaan yang
sangat kecil dibandingkan dengan kandungan tersimpan pada pohon. Hal ini
karena pohon mampu menyerap CO2 melalui proses fotosintesis dan didukung
dengan ukuran bentuk batang pohon yang besar, sehingga mampu menyimpan
karbon tersimpan yang besar. Menurut Hairiah et al. (2011), proporsi terbesar
penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan.
5.3
Kualitas Tempat Tumbuh
Berdasarkan komposisi partikel tanah pada Tabel 9, tekstur tanah pada
kedua lokasi hampir semuanya memiliki kelas tekstur liat kecuali untuk kelas
tekstur pada plot 3 di lahan pasca terbakar yaitu lempung berliat dan kelas tekstur
pada plot 3 di lahan tidak terbakar yaitu lempung liat berdebu. Hal ini akan
meyebabkan tanah di kedua lokasi ini memiliki sistem aerasi dan drainase yang
kurang optimal. Aerasi dan drainase akan mempengaruhi proses sirkulasi air,
udara, dan hara di dalam tanah. Jika aerasi dan drainasenya kurang baik, maka
akan mempengaruhi pertumbuhan vegetasinya, sehingga akan mempengaruhi
besar biomassanya. Menurut Lubis (2011), faktor pendukung atau parameter
32
untuk menilai kondisi hutan adalah kualitas tempat tumbuh. Jika sifat-sifat
tanahnya baik maka kualitas tempat tumbuhnya juga baik sehingga akan
mempengaruhi kondisi hutannya.
Menurut Hairiah et al. (2011), penyimpanan karbon pada suatu lahan
menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, karena biomassa pohon
meningkat. Hasil analisis tanah yang terdiri dari sifat fisik tanah (tekstur dan
bobot isi) dan sifat kimia tanah (pH, C-organik, Ca, Mg, K, dan KTK) pada lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Tekstur tanah dapat mempengaruhi tingkat
kesuburan tanah. Hal ini karena tekstur tanah akan menentukan ukuran dan
jumlah pori-pori tanah yang berpengaruh pada siklus air dan udara di dalam tanah.
Tanah yang didominasi pasir akan lebih banyak mempunyai pori-pori makro,
tanah yang didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso, sedangkan
yang didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro atau tidak porous
(Hanafiah 2005).
Tabel 9 Hasil analisis sifat-sifat tanah pada lokasi penelitian
Lokasi Tekstur pH 1:1 H2O a. Lahan pasca terbakar (KTU) Plot 1 Liat 4,30sm Plot 2 Liat 4,10sm Plot 3 Lempung 4,30sm berliat Plot 4 Liat 4,20sm Plot 5 Liat 4,00sm Rata‐
4,18sm rata Walkley & Black C‐
organik (%)
N NH4OAc pH 7.0
Ca
2,07s
0,48sr
0,40sr 0,72sr
3,24r
0,33sr 1,21s
1,21s
1,11s 0,35s
0,15r
0,35s 1,12r
1,04r
1,02r 1,82sr
1,07sr
1,44 sr 4,00t
1,90s
1,89 s 0,36s
0,23r
0,29 r Mg
K
Bobot Isi Bahan Orga‐
nik (%) %
17,05s 15,86r 11,91r 1,68 1,70 1,59 3,60
0,84
0,70
16,28r 15,28r 15,28r 1,51 1,51 1,60 1,95
1,81
1,78
KTK (me/100 g)
b. Lahan tidak terbakar (LIMOA) 1,20r
3,11r
7,80t
0,18r
16,67r 1,57 2,09
Plot 1 Liat 4,40sm 1,52r
3,38r
8,26st 0,25r
18,99s 1,62 2,64
Plot 2 Liat 4,30sm 5,43st 4,58r 8,30st 0,20r 21,32s 1,59 9,45
Plot 3 Lempung 4,60m liat berdebu 5,43st
1,85sr
4,14t
0,32s
19,77s 1,32 9,45
Plot 4 Liat 3,90sm 5,75st
4,49r
4,15t
0,32s
19,56s 1,43 10,01
Plot 5 LIat 3,80sm 3,87t 3,48r 6,53t 0,254 19,26s 1,51 6,73
Rata‐
4,2sm rata r
sm = sangat masam; m = masam; am = agak masam; n = netral; aa = agak alkalis; a = alakalis; sr
= sangat rendah; r = rendah; s = sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi (Hardjowigeno 1995)
33
Berdasarkan Tabel 9 dan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Lampiran 8),
terlihat bahwa nilai rata-rata pH untuk lahan pasca terbakar adalah 4,18 yang
tergolong sangat masam dengan kisaran nilai pH antara 4,00–4,30, sedangkan
pada lahan tidak terbakar nilai rata-rata pH adalah 4,20 yang tergolong sangat
masam dengan kisaran nilai pH antara 3,80–4,60. Hal ini menunjukkan pH pada
lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar sama-sama tergolong sangat masam.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (1991), penyebab utama dari
reaksi tanah menjadi masam adalah
karena keberadaan Al yang tinggi dan
dibarengi oleh kehilangan basa-basa akibat curah hujan yang tinggi. Kelarutan Al
yang tinggi dapat bersifat meracun bagi tanaman. Keracunan Al menyebabkan
gangguan terhadap akar tanaman baik fisiologi maupun morfologinya. Gangguan
sistem perakaran ini, akan menghambat serapan hara dan air sehingga terjadilah
gangguan pertumbuhan dari penurunan produksi pada tanah masam. Pada kedua
lokasi penelitian menunjukkan pH yang sangat masam. Hal ini diduga adanya
keberadaan Al yang tinggi pada tanah di kedua lokasi tersebut yang akan
menyebabkan gangguan pada sistem perakaran, sehingga akan menghambat
serapan hara dan air yang akan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Jika terjadi
gangguan pertumbuhan maka biomassa dan kandungan karbon tersimpannya
menurun.
Tabel 9 juga menunjukkan bahwa rata-rata C-organik tanah pada lahan
pasca terbakar yaitu sebesar 1,02% yang tergolong rendah dengan kisaran antara
0,40–2,07%, sedangkan rata-rata C-organik tanah pada lahan tidak terbakar
sebesar 3,87% yang tergolong tinggi dengan kisaran antara 1,20–5,75%.
Berdasarkan hasil C-organik tanahnya dapat diperoleh bahan organik di kedua
lokasi tersebut. Bahan organik rata-rata pada lahan pasca terbakar sebesar 1,78%,
sedangkan bahan organik rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 6,73%. Hal
ini menunjukkan bahwa tanah pada lahan tidak terbakar memiliki bahan organik
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pada lahan pasca terbakar, sehingga
dapat dikatakan bahwa tanah pada lahan tidak terbakar lebih subur dibandingkan
dengan lahan pasca terbakar. Hal ini terkait dengan banyaknya serasah pada lahan
tidak terbakar, sehingga menyebabkan tanahnya menjadi subur. Menurut Lubis
(2011), pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya terhadap
34
pertumbuhan tanaman yaitu sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur
tanah,sumber unsur hara N, P, S, unsur mikro dan lain-lain, menambah
kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk
menahan unsur-unsur hara (KTK tanah menjadi tinggi), dan sumber energi bagi
mikroorganisme.
Kalsium (Ca) rata-rata untuk lahan pasca terbakar adalah 1,44 me/100 g
yang tergolong sangat rendah dengan kisaran antara 0,33–3,24 me/100 g,
sedangkan Ca rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 3,48 me/100 g yang
tergolong rendah dengan kisaran antara 1,85–4,58 me/100 g. Menurut Hanafiah
(2005), Ca berperan dalam struktur dan permeabilitas membran, terutama karena
fungsinya sebagai pengikat antar molekul-molekul fosfolipid-fospolipid/protein
penyusunnya, dan sebagai aktivator beberapa enzim.
Magnesium (Mg) rata-rata untuk lahan pasca terbakar adalah 1,89 me/100 g
yang tergolong sedang dengan kisaran antara 1,11–4,00 me/100 g, sedangkan Mg
rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 6,53 me/100 g yang tergolong tinggi
dengan kisaran antara 4,14–8,26 me/100 g. Menurut Hanafiah (2005), Mg
berfungsi sebagai penyusun klorofil dan aktivator enzim-enzim dalam reaksi
fotosintesis, respirasi dan sintesis DNA/RNA, serta sebagai pemicu penyediaan
energi kimia dari ATP yang dibutuhkan dalam berbagai reaksi, seperti pada proses
fermentasi glukosa.
Kalium (K) rata-rata pada lahan pasca terbakar adalah 0,29 me/100 g yang
tergolong rendah dengan kisaran antara 0,15–0,36 me/100 g, sedangkan kalium
rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 0,254 me/100 g yang tergolong rendah
dengan kisaran antara 0,18–0,32 me/100 g(s). Menurut Hanafiah (2005), K
berfungsi sebagai aktivator enzim dalam proses fotosintesis dan respirasi,
translokasi karbohidrat, sintesis protein dan pati. Selain itu K juga berperan dalam
proses buka tutup stomata, karena fungsinya dalam pengaturan potensi osmotik
sel-sel.
Kapasitas Tukar Kation (KTK) rata-rata pada lahan pasca terbakar adalah
15,28 me/100 g yang tergolong rendah dengan kisaran antara 11,91–17,05 me/100
g, sedangkan KTK rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 19,26 me/100 g
yang tergolong sedang dengan kisaran antara 16,67–21,32 me/100 g. KTK adalah
35
kemampuan permukaan koloid tanah menyerap dan mempertukarkan kation (Ca,
Mg, K, Na, NH4, Al, Fe, dan H) yang dinyatakan dalam me/100 g koloid. Secara
umum dikatakan bahwa semakin tinggi kadar liat semakin tinggi pula KTK
(Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 1991). Jenis partikel tanah akan
berpengaruh terhadap pertukaran kation-kation dalam tanah. Tanah yang
didominasi oleh partikel liat akan memiliki kemampuan menjarap kation-kation
lebih banyak, karena partikel liat memiliki lebih banyak pori-pori mikro tempat
berlangsungnya pertukaran kation-kation tanah, sedangkan jenis partikel pasir
pertukaran kationnya akan sulit terjadi. Semakin tinggi nilai KTK maka serapan
kation-kation hara akan semakin meningkat (Sugirahayu 2011).
Bulk density (bobot isi) menunjukkan bobot massa tanah pada kondisi
lapangan yang telah dikeringovenkan per satuan volume. Berdasarkan hasil
analisis bobot isi rata-rata untuk lahan pasca terbakar adalah 1,60% dengan
kisaran antara 1,51–1,70%, sedangkan bobot isi rata-rata pada lahan tidak terbakar
sebesar 1,51% dengan kisaran antara 1,32–1,62%. Menurut Sugirahayu (2011),
nilai bobot isi dipengaruhi oleh tekstur tanah. Ukuran partikel-partikel yang
ditunjukkan dalam tekstur tanah akan mempengaruhi nilai bobot isi tanah. Bobot
isi pada lahan pasca terbakar lebih tinggi dibanding dengan lahan tidak terbakar.
Hal ini dapat dikatakan bahwa lahan pasca terbakar memiliki tanah yang lebih
padat dibandingan dengan lahan tidak terbakar. Keadaan tanah yang padat dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman karena akar-akarnya tidak dapat berkembang
dengan baik (Sugirahayu 2011).
Download