Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Kelompok Pada umumnya orang sering menyebutkan bahwa orang Jepang suka bekerja keras, suka berkelompok, dan sebagainya. Orang Jepang pada umumnya cenderung kuat rasa keterikatannya terhadap kelompok dimana dia berada, terutama perusahaan tempat kerjanya. Bilamana perusahaannya menghadapi masalah atau tugas mendesak dan harus segera dituntaskan, maka para karyawan merasa terpanggil untuk ikut memikul beban kerja bersama-sama, dengan mengesampingkan kepentingan dan kesenangan pribadinya. Kesetiaan kelompok tidak terbatas diperusahaan atau di kantor saja. Bisa saja dalam kelompok klub olahraga, klub kesenian, kelompok ketetanggaan, kelompok kelas di sekolah, kelompok seangkatan di universitas (Davies, 2002:13). Orang yang masuk dalam sebuah kelompok, atau memang tergabung dalam sebuah kelompok seperti kelompok ketetanggan, merasa adalah kewajibannya untuk bertindak seirama dengan kemauan kelompok dan tidak bertindak menonjolkan diri atau lain sendiri karena hal itu akan mengundang rasa kurang senang kelompoknya. Dijelaskan oleh Enomoto dalam Madubrangti (2002:15) yaitu: Kesadaran akan adanya sruktur sosial dalam berinteraksi dengan orang lain pada waktu melakukan kegiatan terdapat dalam kegiatan berkelompok. Di dalam kegiatan berkelompok, setiap individu diberi kesempatan yang sama untuk menjadi senior atau atasan. Kesempatan ini pada akhirnya dapat membentuk jiwa kepemimpinan yang lahir dari pelatihan-pelatihan dan pendidikan dan disebut juga dengan kesadaran stratifikasi. Kesadaran stratifikasi dalam kehidupan berkelompok pada masyarakat Jepang menciptakan kerukunan bersama sebagai harmoni kelompok yang melahirkan rasa 12 saling memiliki dan rasa kebersatuan sesuai dengan status dan peran di dalam kelompok. Kesadaran stratifikasi, rasa memiliki, dan rasa kebersatuan ini menjadi nilai budaya masyarakat Jepang yang lahir dari pembinaan, pendidikan, atau pelatihan. Nilai ini ditanamkan pada anak mereka karena anak adalah generasi penerus masyarakatnya (Madubrangti, 2008:15) Dijelaskan juga oleh Madubrangti (2008:15) yaitu walaupun dikatakan bahwa masyarakat Jepang masa kini sudah berubah dan tidak lagi memiliki nilai budaya seperti yang dimiliki oleh orang-orang dari generasi terdahulunya, kehidupan kelompok yang didasari dengan nilai budaya tersebut masih berkembang dan tumbuh di lingkungan masyarakat Jepang hingga kini. Hal ini dapat dilihat dari dalam organisasi sekolah melalui kehidupan anak dalam menjalani sekolah di Jepang. Guru sekolah mengajarkan kebutuhan dan kepentingan yang sudah menjadi kebutuhan dalam masyarakatnya. Pendidikan yang diperoleh oleh orang terdahulu diajarkan pula kepada anak-anak sebagai generasi penerusnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang Jepang untuk diteruskan kepada anak agar mematuhi aturan, ini pola yang dijadikan pedoman menyeluruh bagi kehidupan masyarakat Jepang menjadi kebudayaannya. Prestasi seorang individu dalam kelompok bukan lagi prestasi pribadi yang bersangkutan tapi menjadi prestasi kelompoknya. Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme, apalagi yang mencolok seperti dalam masyarakat Barat. Masyarakat Jepang selalu menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan, dan alam. 13 2.1.1 Teori Kelompok Remaja Groupisme merupakan suatu hal yang sering ditemukan pada remaja Jepang dan remaja Jepang seringkali memang terlihat berkelompok dan jarang terlihat sendirian. Individualisme yang sering nampak pada remaja di Amerika, jarang terlihat di kalangan remaja Jepang (Ortiz, 1997:2). Kemudian menurut Tobin, Wu dan Davidson (1989) groupisme itu mendukung masa transisi seorang anak mulai dari kehidupannya di lingkungan keluarga sampai kepada lingkungan yang lebih rumit seperti sekolah dan masyarakat dengan cara menawarkan suatu interaksi emosional antara murid dan juga interaksi murid terhadap gurunya, serta untuk meresmikan suatu hubungan orientasi berkelompok, bukan orientasi individual. Dalam masyarakat Jepang kontemporer, kaum muda Jepang mempelajari hubungan keluarga di rumah dan hubungan berkelompok di sekolah, lalu peran sekolah adalah untuk mengubah seorang anak yang tadinya belum mandiri dan juga egois menjadi kaum muda yang lebih suka berkelompok dan siap untuk berfungsi di dalam kehidupan berkelompok dan masyarakat (Tobin, 1989:70). Bagi remaja Jepang, kelompoknya tersebut seringkali dijadikan wadah untuk mencurahkan seluruh isi hati dan tempat untuk memperoleh identitas. Oleh karena itu remaja Jepang mendambakan teman kelompok yang periang, humoris, setia, ramah, pintar, adil, dan bertanggung jawab (Kumagai, 1996:78). Kaum remaja Jepang selalu menemukan kesenangan bila sedang bersama dengan teman-temannya, oleh karena itu remaja Jepang rata-rata memiliki kelompok sahabat dekat yang cukup besar sehingga kehidupan sehari-harinya jadi lebih menyenangkan. Seorang remaja tentunya sangat 14 takut bila dikucilkan oleh teman-teman kelompoknya, oleh karena itu dia menjadi sangat intim dan terikat teman-teman sekelompoknya. Menurut Mighwar dalam Valentina (2006:42) mengenai kelompok remaja adalah sebagai berikut: Sahabat karib merupakan kelompok masa remaja yang memiliki ikatan persahabatan yang sangat kuat dan biasanya beranggotakan 2-3 remaja dengan jenis kelamin dan minat yang sama. Sedangkan komplotan sahabat biasanya terdiri dari 4-5 remaja yang timbul dari penyatuan dua pasang sahabat karib saat tahun-tahun pertama masa remaja awal. Komplotan sahabat ini seringkali melakukan berbgai aktivitas bersama-sama yang cenderung manghabiskan waktu, sehingga sering terjadi kelompok dengan orang tua masing-masing. Kemudian, kelompok banyak remaja merupakan sekumpulan banyak remaja dari berbagai jenis kelamin, kemampuan dan minat. Karena besarnya kelompok ini jarak emosi antar anggota agak renggang, namun mereka tetap memiliki kesamaan yaitu rasa takut diabaikan oleh anggota kelompoknya. Kelompok yang lebih besar lagi yaitu kelompok yang terorganisasi deng an kelompok yang terorganisasi, terdiri dari para remaja, baik yang telah memiliki sahabat dalam kelompok terdahulu maupun belum mempunyai kelompok. Kelompok ini sengaja dibentuk oleh orang dewasa melalui lembaga-lembaga khusus, seperti sekolah dan lembaga keagamaan karena kesadaran orang dewasa akan perlunya para remaja untuk membentuk penyesuaian pribadi dan sosial, penerimaan dan berperan dalam suatu kelompok. Sedangkan geng , biasanya terdiri dari remaja dengan berbagai jenis kelamin atau jenis kelamin sama. Kelompok ini terbentuk dengan sendirinya dan seringkali merupakan akibat pelarian dari empat jenis kelompok sebelumnya. Remaja yang tergabung dalam kelompok ini biasanya adalah remaja yang telah diusir dari kelompok terdahulunya dan bertemu dengan remaja lain dengan nasib serupa, kemudian membentuk suatu kelompok baru yang sering kali berperilaku negatif, seperti mengganggu kelompok lain untuk balas dendam. 2.1.2 Konsep Remaja Jepang Masa Kini Menurut Setiono (2002 : 34) masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi resmi sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun, namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan 15 sudah siap menghadapi orang dewasa. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukkan nilai diri mereka. Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalaha-masalah popular yang berkenaan dengan lingkungan mereka. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana dan absolut yang diberikan pada mereka selam ini tampa bantahan. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkanya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Baginya dunia menjadi luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanan. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan“ yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “Pemberontakan“ remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama nini diterima bulat-bulat. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilainilai yang ditanamkan oleh orang tua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut. 16 Masa remaja merupakan masa penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan cepatnya. Pernyataan Csikszentmihalyi dan Larson (1984) mengenai perubahan mood (suasana hati) remaja adalah: Remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah mood dari “senang luar biasa” ke “Sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood swing yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka. Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka sendiri. Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran.Pada saat itu, remaja akan mulai sadar bahwa orang lain ternyata memilki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi ataupun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan anganangan mereka dengan kenyataan. Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “Tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi 17 orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya diri, dan mampu bertanggung jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab inilah yang dibutuhkan sebagai dasar pembentukkan jati diri positif pada remaja. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapai masalah itu sebagai “seseorang yang baru”. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idolanya” untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja. Pendapat Setiono (2002) mengenai pembentukkan jati diri kaum remaja adalah sebagai berikut: Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah “Siapakah saya?” Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa mereka bisa berbeda dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan apabila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Tujuannya hanyalah ingin menemukan jati diri atau identitasnya sendiri. Banyak orangtua khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya. Dalam proses “percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja takut jika orang tua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki control terhadap anak remaja mereka. Pada saat inilah, kehilangan komunikasi antar remaja dan orangtuanya mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi. 2.1.3 Teori Psikologi Remaja Istilah remaja dalam bahasa Inggris disebut dengan youth atau Seinen dalam istilah bahasa Jepang. Menurut Sarwono (2003:47) masa remaja adalah masa yang pasti dialami oleh setiap orang. Pada tahapan ini seorang remaja adalah orang yang sangat 18 peka terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya secara biologis maupun dengan sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Remaja sebagaimana manusia lain adalah mahkluk monodualis, yang berarti selain sebagai mahkluk individu mereka juga mahkluk sosial yang mau membutuhkan orang lain dan dipengaruhi oleh keadaan sosial yang ada disekelilingnya karena hal ini usia remaja sangat rentan terhadap lingkungan sosialnya. Biasanya mereka mudah sekali terbawa arus pergaulan. Terdapat kategori untuk remaja yang dibagi menjadi dua yaitu remaja awal dan remaja akhir berdasarkan usia mereka. Remaja awal yaitu remaja yang usianya mulai berkisar antara 10-14 tahun dan remaja akhir pada umur 15-24 tahun. Dijelaskan dalam Sarwono (2003:10) sebagai berikut: Batasan umur remaja menurut WHO dibagi menjadi dua bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-24 tahun. Pada usia tersebut merupakan usia belasan yang tidak menyenangkan karena pada usia ini terjadi banyak perubahan seperti pada fisik, psikis, maupun sosial. Pada usia remaja kebutuhan untuk afiliatif biasanya ekstrem tinggi, yang menandakan keterikatan emosional, bela pati yang tinggi, bahkan fanatisme kuat terhadap teman sebaya. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Menurut Ekowarni (1993: 24) dikatakan bahwa pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku mengganggu. Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat kepribadian yang kurang baik akan memicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku karena lingkungan, pendidikan, serta industrialisasi mempunyai keterkaitan dalam pembentukan diri dalam remaja. Dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut: Terdapat keterkaitan yang mendalam antara faktor-faktor lingkungan seperti peranan 19 pendidikan, kehidupan perkotaan, industrialisasi dengan pembentukkan diri dalam remaja (Munesuke, 1994:539). Kesamaan dari para remaja yang memiliki perilaku menyimpang adalah kebanyakan dari mereka kurang mampu berkomunikasi dengan orang lain dan cenderung menarik diri dari pergaulan ataupun di jauhi oleh teman-temannya. Selain remaja-remaja yang berasal dari keluarga miskin, tidak menutup kemungkinan jika remaja dengan perilaku menyimpang berasal dari keluarga menengah ke atas yang tidak bermasalah, unsur dasar seperti kekurangan perhatian dan kasih sayang orang tua akibat kesibukan orang tua ataupun perceraian pun tetap menjadi faktor pemicu ketidak seimbangan perkembangan mental remaja selain faktor-faktor yang dijelaskan dalam kutipan diatas. Dalam pembentukkan jati diri, para remaja sangat membutuhkan arahan dalam menentukan yang terbaik. Akan tetapi kurangnya komunikasi seakan membuat remaja ini bertindak sediri dengan mencari perhatian lebih yang ternyata berlawanan dengan budaya dan masyarakatnya. Dijelaskan Erikson dalam Semiun (2003:321) berikut: Remaja tidak dapat membiarkan dirinya untuk tidak menjadi apa-apa, ia berjuang agar dirinya diperhatikan meskipun ia berfungsi dalam cara berlawanan dengan apa yang diterima oleh masyarakat atau kebudayaannya. Dan ini yang disebut dengan identitas negatif. Selain komunikasi, penghargaan dari pergaulan dan lingkungan sekitar terhadap remaja sangatlah penting. Baik buruknya reaksi yang diberikan terhadap remaja itu akan mempengaruhi kejiwaannya. Jika reaksi yang diterima remaja adalah sebuah reaksi buruk maka remaja akan menganggap diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki pengaruh. Menurut Schofield dalam Semiun (2003:321) dijelaskan: 20 Sekurang-kurangnya sebagian dari diri seseorang yang mengalami sebagai seorang pribadi tergantung dari reaksi orang-orang lain terhadap dirinya. Kalau hubungan antar pribadi yang bermakna tidak ada, maka individu tidak dapat melihat dirinya sebagai orang yang berbeda atau orang yang memililki pengaruh. Ini terjadi bila orang-orang memperlakukannya sebagai objek atau benda bukan manusia. Proses ini disebut depersonalisasi Perkembangan biologis yang menunjukkan remaja bukan lagi anak-anak turut membebani emosi mereka. Pertumbuhan fisik ke arah orang dewasa sering dianggap oleh remaja sebagai bukti bahwa mereka sudah dewasa. Hal ini mengakibatkan remaja mencari identitas dirinya, dan karena itu keputusan yang diambil biasanya dikatakan emosional. Terutama bila terjadi permasalahan dengan keluarga masyarakat. Remaja yang tertekan seringkali menggunakan emosi untuk menyelesaikan masalahnya. (Rosman, 2003:28) Remaja memiliki tugas-tugas yang harus mereka lakukan antara lain menerima kondisi fisik dan memanfaatkannya secara positif dan efektif, menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin manapun, menerima peran jenis kelamin masing-masing, berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab, mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya. Berhasil atau tidaknya tugas-tugas pengembangan pada remaja sangat dipengaruhi faktor-faktor individu remaja, orang tua, teman, sekolah, masyarakat dan sebagainya. Seorang remaja membutuhkan seorang sahabat, karena memasuki usia remaja, mereka sedang mengalami krisis relasi. Misalnya, relasi dengan orangtua yang kurang sehat. Orangtua tidak punya waktu untuk berbicara dengan anak remajanya. Akibatnya, 21 orang tua kehilangan wibawa terhadap anak-anaknya. Padahal, perhatian merupakan salah satu kebutuhan remaja. (Manati, 2006). 2.1.4 Tabiat Remaja yang Kekanak-kanakan Kumagai (1996:73) menyatakan bahwa pada umumnya generasi Jepang yang lahir sesudah tahun 1960 an memiliki karakteristik dan tabiat yang kurang lebih mirip, karena sesudah tahun tersebut penduduk Jepang sudah tidak lagi merasakan bencana kemiskinan maupun kelaparan dikarenakan perekonomiannya yang sudah jauh lebih baik, maka banyak generasi muda Jepang yang memiliki sifat emosional, banyak tingkah dan kurang menanggapi segala sesuatu secara serius serta kurang mempedulikan hal-hal yang tidak menarik atau menyenangkan bagi mereka. Kaum remaja Jepang juga merupakan kaum yang sangat tergantung pada kehidupan berkelompok dan sangat mudah terpengaruh oleh teman-temannya, oleh karena itu seringkali mereka terjerat oleh hal-hal yang kurang terpuji karena mereka sudah terlanjur dalam kelompok yang kurang baik. Kaum remaja di Jepang juga tidak jauh berbeda dengan kaum remaja di negara lainnya dalam sifat kekanak-kanakan, kurang komitmen atau termotivasi dalam melakukan hal-hal tertentu, terutama dalam hal pelajaran. Seperti kaum remaja pada umumnya, tentunya remaja Jepang juga terkadang merasakan ketidak inginan untuk beranjak dewasa. Hal itu seringkali disebabkan oleh terlalu banyak tuntutan dan tekanan yang dirasakan yang berasal dari berbagai penjuru, termasuk orangtua, guru dan anggota keluarga lainnya yang sudah lebih dewasa dan tentunya tuntutan tersebut bisa berupa semakin besarnya tanggung jawab yang harus dihadapi seiring dengan bertambahnya usia dan kelak cepat atau lambat, mereka tidak akan bisa merasakan kebebasan sebesar waktu mereka masih remaja. 22 2.2 Teori Shuudan Shugi Menurut Nakane (1984:1-8) Jepang memiliki stuktur masyarakat yang unik yaitu struktur masyarakat kelompok atau lazimnya diesebut sebagai Shuudan shugi. Yang dimaksud dengan struktur masyarakat kelompok adalah stuktur yang lebih mengutamakan individu sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat dibandingkan dengan sebagai sebuah personal. Masyarakat Jepang mengelompokkan diri mereka dengan orang-orang di sekitarnya sesuai dengan kriteria tertentu seperti tingkatan pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, diakui ke dalam suatu kelompok masyarakat tertentu menjadi prioritas utama bagi individu demi mendapatkan identitas diri. Ketika seseorang diakui oleh suatu kelompok masyarakat maka pada saat itulah dia menjadi manusia seutuhnya. Sejak masa kanak-kanak, individu Jepang diajarkan sebuah prisip sosial yang disebut shuudan ishiki atau dengan kata lain kesadaran untuk hidup berkelompok. Misalnya saja, ketika duduk dibangku TK mereka akan membentuk kelompok bermain yang disebut kumi/gumi. Jika seorang anak sudah bergabung dengan salah satu kumi maka dia tidak bisa seenaknya bergabung dalam permainan yang dilakukan oleh kumi yang lain. Bagi mereka, anggota dari kumi diluar kelompok bermain adalah orang asing (Iwama,1993:75). Menginjak usia SD, pertemanan kelompok ini memperluas wilayahnya selain sebagai kelompok bermain. Anak-anak yang berasal dari TK yang sama cenderung akan bergabung menjadi satu kelompok. Mereka kemudian akan membentuk kelompok makan siang, kelompok belajar, atau kelompok tamasya dan sebagainya, yang terbentuk sejak mereka pertama kali menginjak bangku pendidikan sekolah dasar. Hanya bersama 23 kelompok-kelompok inilah mereka akan menghabiskan masa SD mereka. Pertemanan kelompok macam ini akan terus berlanjut hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan universitas dan tempat kerja. Semakin tinggi jenjang kehidupan yang dimasuki maka akan semakin ketat dan beragam pula kriteria yang dituntut agar bisa bergabung dengan satu kelompok tertentu, terutama ketika seseorang menginjak usia remaja. Hal ini terlihat jelas di kelompok-kelompok yang terbentuk semasa SMA, misalnya kelompok murid populer, kelompok murid pandai, kelompok OSIS, bahkan kelompok yang terbentuk karena anggotanya tergabung dala satu ekstra kurikuler yang sama. Shuudan shugi merupakan paham berkelompok yang dikenal sebagai bentuk budaya orang Jepang. Dijelaskan dalam kutipan berikut: Orang Jepang berpaham kelompok dimana pandangan tersebut dianut oleh orang Jepang yaitu adanya pandangan mengenai ciri khas bahwa orang Jepang harus memiliki pandangan berkelompok.Shuudan shugi muncul dari penelitian yang luas berawal dari ilmu psikologi masyarakat, ilmu mengenai masyarakat, dan ilmu mengenai budaya masyarakat (Yoshino, 1992:19). Shuudan shugi dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Shudan Shikou Kehidupan masyarakat Jepang ini semakin berkembang dan berubah menjadi masyarakat industri dan kini memasuki masyarakat teknologi canggih. Perkembangan dan perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang dibangun oleh kesatuan konsep kerja kelompok dalam mengatur kehidupan sosialnya sebagai kerangka berpikirnya, yaitu orientasi kelompok dalam mengatur kehidupan sosialnya sebagai kerangka berpikirnya, yaitu orientasi kelompok (Shuudan Shikou). Seperti dijelaskan Kawamoto dalam Madubrangti (2008:17) Orientasi berkelompok adalah kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam satu kesatuan kehidupan kelompok atau masyarakat. 24 Orang Jepang ketika berinteraksi dengan sesamanya di dalam berbagai kegiatan kelompok menunjukkan sikap keberadaannya dalam kelompok. Mereka berusaha keras menjalankan tugas sebagai tugas dan kewajibannya yang menjadi tanggung jawabnya dalam melakukan kegiatan agar mereka memperoleh hasil yang menguntungkan bagi kelompoknya. Hamaguchi dalam Madubrangti (2008:18) menjelaskan bahwa kegiatan tersebut dilandasi oleh orientasi kelompok yang mampu mewujudkan keseimbangan dalam mengatur kehidupan sosial masyarakatnya, karena orang Jepang dalam melakukan kegiatan-kegiatan kelompok menunjukkan sikap konsisten dalam mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan kelompok atau masyarakatnya. Hal ini terlihat pada orang Jepang masa kini. 2. Shudan seikatsu Mengenai pengertian shuudan seikatsu., Kawamoto dalam Madubrangti (2008:19) menjelaskan yaitu: Kehidupan kelompok (Shuudan seikatsu) adalah kehidupan sosial yang berlangsung atas dasarnya adanya kerja sama kelompok yang didasari atas kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok yang diikat oleh aturan, sistem, pola, dan pedoman tentang kehidupan dalam bekerja sama di dalam kelompok atau masyarakatnya. Adanya kesadaran tinggi dalam menjalankan kewajibannya menimbulkan rasa tanggung jawab di setiap individu yang termasuk dalam sebuah kelompok. Seperti dijelaskan Shimahara dalam Madubrangti (2008: 19) yaitu pembagian kerja yang merata sesuai dengan tugas dan kewajibannya merupakan sistem berkelompok dalam melakukan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk kepentingan dan kesejahteraan kelompoknya. Hal ini menimbulkan rasa tanggung jawab para anggota kelompok 25 terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Mereka berusaha keras menjalankan tugas dan kewajiban sebagai tanggung jawabnya agar kelompok memperoleh hasil yang menguntungkan bagi diri anggota kelompok dan kelompoknya. 3. Shuudan Ishiki Selain kehidupan berkelompok (Shuudan seikatsu) terdapat juga kesadaran berkelompok orang Jepang atau disebut dengan shuudan Ishiki (Ikeno, 2002:195). Dalam masyarakatnya, Jepang berpedoman pada sebuah kelompok merupakan hal yang sangat penting dan memberikan prioritasnya terhadap kelompok daripada diri sendiri. Kebanyakan masyarakat Jepang menyadari bahwa kebaikan yang sangat penting itu adalah dengan menyatakan setia kepada nilai-nilai kelompok yang diikutinya. Seperti dijelaskan dalam kutipan berikut: Most Japanese society, people are primary group oriented and give more priority to group harmony than individuals. Most Japanese consider it an important virtue to adhere to values of the groups to which they belong to (Ikeno,2002:195). Kebanyakan dari masyarakat Jepang, penting bagi mereka untuk berpedoman pada sebuah kelompok dan memberikan prioritasnya secara lebih kepada kelompok daripada diri sendiri. Kebanyakan dari masyarakat Jepang menyadari bahwa suatu kebaikan yang sangat penting adalah setia kepada nilai-nilai dari kelompok yang diikutinya (Ikeno, 2002:195). Berdasarkan penjelasan di atas, loyalitas kepada kelompoknya menciptakan sebuah perasaan solidaritas dan mengedepankan konsep dari kesadaran berkelompok pun bisa dilihat dari berbagai aspek dalam kehidupan seperti perayaan masturi ataupun kegiatan undokai di sekolah-sekolah Jepang. Di Jepang sendiri, para anggota kelompok menciptakan kode bersikap dalam kelompok mereka sendiri, dan kesadaran 26 berkelompok telah menjadi dasar bagi masyarakat Jepang itu sendiri (Ikeno,2002:195). Dijelaskan oleh Takeuchi dalam Ikeno (2002:196) yaitu: Japanese in group are usually indifferent to outsiders. However, when outsiders are invited to come with appointments, they are threated courteously as formal guest. If they should try to join one’s group without any contact, however, they would never have a warm welcome and might secretly become people who should be refused admittance and excluded from the group. Dalam sebuah kelompok orang Jepang sangat membedakan diri dengan masyarakat luar. Bagaimanapun juga, ketika orang luar diundang datang dengan menggunakan janji terlebih dahulu maka mereka akan memperlakukannya dengan ramah dan sangat formal sebagai tamu. Akan tetapi, jika orang luar mencoba untuk menjadi bagian dari kelompok tanpa adanya hubungan terlebih dahulu maka orang-orang dalam kelompok tersebut tidak akan memberikan sambutan yang hangat dan akan melakukan penolakan untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas maka dalam sebuah kelompok yang tinggi tersebut tidak sembarangan orang bisa langsung menjadi anggota kelompok tersebut tampa adanya hubungan dengan anggota kelompok terlebih dahulu. Akan tetapi tidak semua kehidupan berkelompok dalam masyarakat Jepang menghasilkan sesuatu yang positif. Ada juga dampak negatif yang dihasilkan oleh kehidupan berkelompok. Seperti dijelaskan oleh Ikeno (2002:197) sebagai berikut: Such group protection also causes individuals to refrain from becoming independent, however, and there many examples of groupism working negatively. Ikeno (2002:197) Seperti halnya perlindungan dari sebuah kelompok juga menyebabkan individuindividu menahan diri dari pemikiran yang mandiri. Bagaimanapun juga banyak sekali contoh-contoh dari kelompok yang melakukan hal-hal negatif. 27