newsletter

advertisement
AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015
NEWSLETTER
AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Edisi Khusus 25 Tahun
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Editorial:
SAATNYA MEmBANGKITKAN
KEmBALI ILmU PENGETAHUAN
I
ndonesia lahir dari sebuah gerakan intelektual, yang berakar
pada kegelisahan kaum muda dan terpelajar akan bangsanya.
Budi Utomo, organisasi pertama di Indonesia, bersama belasan
organisasi lain pada masa itu kemudian mempelopori gerakan
kebangsaan Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Bung
Karno, Bung Hatta, dan Sutan Sjahrir merupakan kaum pemikir
dan terpelajar. Hasilnya, pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan. Ilmu pengetahuan telah meletakkan
fondasi dalam mendirikan negara ini.
Namun kemudian isu politik dan ekonomi menjadi fokus
dalam bangsa yang masih muda usianya, begitu hakikatnya.
Rencana pembentukan suatu akademi ilmu pengetahuan yang
sudah direncanakan sejak awal masa kemerdekaan, sekitar
1949, tertunda hingga lebih dari empat dasawarsa kemudian.
Pengembangan ilmu pengetahuan tidak sesuai dengan harapan.
Kita alpa bahwa tidak ada masyarakat yang bisa bertahan tanpa
ilmu pengetahuan, begitu pula sebaliknya.
Tak ada yang waktu yang lebih tepat untuk membangkitkan
semangat pengembangan ilmu pengetahuan selain saat ini.
Indonesia tidak lagi bisa menunggu. Kesadaran akan pentingnya
peran sains dalam memajukan bangsa harus kita gaungkan
sekarang. Itulah sebabnya, pada perayaan 25 Tahun AIPI kami
mengangkat kembali empat penemuan besar dunia dalam
sepuluh tahun terakhir yang lahir di bumi Indonesia. Semoga
dapat menjadi sumber inspirasi bagi berkembangnya ilmu
pengetahuan di negeri kita tercinta.
Ketua AIPI, Profesor Sangkot Marzuki
MERUNUT JEjAK SEjARAH
PEmBENTUKAN AIPI
“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi,
sampai jauh, jauh di kemudian hari.” – Pramoedya Ananta Toer
Diterbitkan setiap tiga bulan
oleh Sekretariat Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Kompleks Perpustakaan
Nasional RI
Jalan Medan Merdeka Selatan
No. 11, Jakarta Pusat, Indonesia
Tel: +6221 34830019
Fax: +6221 3442319
E-mail: [email protected]
Website: www.aipi.or.id
BADAN PEKERJA AIPI
Ketua
Sangkot Marzuki
Wakil Ketua
Satryo Soemantri Brodjonegoro
Sekretaris Jenderal
Budhi M. Suyitno
Ketua Komisi
Mien A. Rifai
(Ilmu Pengetahuan Dasar)
Sjamsuhidajat
(Ilmu Kedokteran)
F.G Winarno
(Ilmu Rekayasa)
Taufik Abdullah
(Ilmu Sosial)
M. Amin Abdullah
(Kebudayaan)
AIPI NEWSLETTER
Pembina
Sangkot Marzuki
Penulis
Anggrita D. Cahyaningtyas
Editor
Uswatul Chabibah
Desain & Tata Letak
Sarifudin Anwar
Penyumbang Bahan
Nugraha Dian Putra
Ramdani
Pepi Oktayani
Artikel dalam penerbitan ini
ditulis oleh penulis, kecuali
diberi byline dengan nama lain.
Artikel boleh dikutip dengan
menerangkan sumber tulisan.
T
idak banyak yang mengetahui sejarah
terbentuknya AIPI, bahkan para anggotanya
sendiri. Namun berkat tulisan yang kini tercetak
di sebuah kertas kekuningan, sejarah tetap
tersimpan. Setelah puluhan tahun, dokumen
tentang rencana pembentukan Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI) akhirnya ditemukan
oleh Profesor Mien A. Rifai di perpustakaan
Herbarium Bogoriense pada penghujung 2014.
Sebuah jurnal berjudul O.S.R News, kumpulan
publikasi rutin dari Organization for Scientific
Research in Indonesia (OSR) yang diterbitkan
pada Mei 1950 menjelaskan tentang rencana
pembentukan sebuah akademi ilmu pengetahuan,
lengkap dengan bagan kerja dan hubungannya
dengan pemerintah, universitas, dan sektor
swasta. “Ternyata rencana pendirian akademi
sudah dipikirkan masak-masak sejak sebelum
penyerahan kedaulatan, sekitar tahun 1949,” kata
Ketua AIPI, Profesor Sangkot Marzuki.
Namun pendirian AIPI baru terlaksana pada
13 Oktober 1990 ketika Presiden Soeharto
menandatangani Undang-Undang No.8 Tahun
1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Persiapan dan proses pembuatan
undang-undangnya sudah dilakukan sejak 1983
oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ
Habibie bersama Ketua LIPI Samaun Samadikun
serta Menteri Pendidikan Nasional, Fuad Hasan.
Meski begitu, banyak pula yang belum paham
pentingnya peran akademi ilmu pengetahuan
dalam memajukan bangsa. “Waktu itu beberapa
orang tanya, buat apa bikin akademi? Dikiranya
saya mau buat sekolah D3,” kenang Presiden ke-3
Republik Indonesia, BJ Habibie, ketika ditemui di
kediamannya pada penghujung Januari 2015.
Berikut sejarah terbentuknya AIPI seperti
yang telah dituliskan oleh Prof Mien A. Rifai
berdasarkan berbagai dokumen:
menyelenggarakan study tour, menjalin kontak
dengan ilmuwan dan berbagai institusi untuk
kerja sama di masa depan, serta mempublikasikan
buletin berita.
1948
1956
Organisatie voor Natuurwetenschappelijke
Onderzoek (ONO) terbentuk pada 1 Mei 1948
dan berkantor di Koningsplein Zuid 11. Organisasi
tersebut merupakan lembaga ilmu pengetahuan
kolaborasi Indonesia dan Belanda. Kegiatan
yang sudah dilakukan di antaranya: menjalin
hubungan dengan institusi negara maupun
swasta di Indonesia dan Belanda, menarik
anggota dari kedua negara untuk bekerja di
Indonesia, mendelegasikan ilmuwan Indonesia
untuk mengikuti kongres-kongres internasional,
Presiden Soekarno menandatangani UndangUndang No.6 Tahun 1956 tentang pembentukan
Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI).
Institusi itu memiliki fungsi koordinasi untuk
mempromosikan dan memimpin pengembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan; memberi
masukan berbasis ilmu pengetahuan kepada
pemerintah mengenai pembangunan nasional,
mengkoordinir penelitian dan bekerja sama
dengan berbagai institusi pemerintah dan
swasta, mempublikasikan buku dan jurnal ilmiah,
1 | AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015
1950
Seiring dengan penyerahan kedaulatan, ONO
berganti nama menjadi Organization for Scientific
Research (OSR). Buletin berita yang diterbitkan
menjadi berbahasa Inggris. Pada buletin berita
yang diterbitkan 1950, sebuah skema tentang
OSR dan hubungannya dengan institusi lain
turut dilansir. Pada bagan itu, telah terlihat
rencana pembentukan Indonesian Academy of
Sciences yang direncanakan memiliki dewan
ilmu pengetahuan dan sastra. Keduanya akan
menjalankan Organisasi Penelitian Ilmiah dan
Organisasi Penelitian Kebudayaan.
1951
OSR berganti nama menjadi Organisasi
Penjelidikan Ilmu Pengetahuan Alam (OPIPA) dan
tetap berkantor di Koningsplein Zuid 11 yang
kemudian berganti nama menjadi Jalan Merdeka
Selatan 11. Organisasi tersebut mempublikasikan
buletin berita dan dan buletin ilmiah secara rutin,
biasanya berisi tulisan ilmuwan-ilmuwan Belanda.
Mereka juga menjaga relasi dengan berbagai
organisasi penelitian internasional.
Meski organisasi ini sudah memiliki nama
Indonesia, banyak peneliti dan institusi
Indonesia merasa enggan diatur oleh institusi
peninggalan pemerintahan kolonial. Akhirnya
Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
Republik Indonesia membentuk komite berisi
sembilan ilmuwan terkemuka yang dipimpin Prof.
Dr. Sarwono Prawirohardjo untuk menyusun
pembentukan dewan ilmu pengetahuan Indonesia
yang baru.
membantu pengelolaan perpustakaan,
memberikan bantuan pendanaan untuk
riset, serta meningkatkan hubungan
bilateral dan multilateral dengan
berbagai institusi ilmu pengetahuan
internasional. MIPI direncanakan
berkembang menjadi Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
dipindahkan ke bawah lembaga
pemerintahan yang baru dibentuk, yaitu
Departemen Urusan Research Nasional
(Durenas). Departemen ini kemudian
mengambil alih fungsi MIPI dalam
merancang kebijakan ilmu pengetahuan
dan mengkoordinasikan arah
pengembangan penelitian nasional.
1962
1966
MIPI bersama Departemen Kehakiman
membuat naskah akademis dan
rancangan undang-undang untuk
menyiapkan pembentukan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Namun
tidak ada tindak lanjut dari pemerintah
maupun parlemen.
Perombakan kabinet akibat runtuhnya
era Demokrasi Terpimpin menjadikan
Departemen Urusan Research Nasional
ikut dibubarkan. Tugas dan fungsinya
kemudian dialihkan ke insitusi baru
bernama Lembaga Research Nasional
(Lemrenas)
berfungsi menjalankan tugas MIPI dan
Lemrenas disertai tugas tambahan:
menyiapkan pembentukan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
1969
Komite yang dibentuk LIPI menyerahkan
memorandum pembentukan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Namun tidak ada tindak lanjut yang
dilakukan pemerintah terhadap
memorandum tersebut. Selanjutnya
gagasan pembentukan Akademi Illmu
Pengetahuan Indonesia tertunda
selama lebih dari sepuluh tahun.
1983
Menteri Negara Riset dan Teknologi
membangkitkan kembali ide pendirian
akademi ilmu pengetahuan dengan
membentuk komite baru. Komite
tersebut mempelajari kembali langkahlangkah yang dibutuhkan untuk
mendirikan Akademi, menyiapkan
naskah akademis baru, dan membuat
Rancangan Undang-Undang tentang
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
1990
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
akhirnya terbentuk pada 13 Oktober
1990 setelah Undang-Undang No.8
Tahun 1990 ditandatangani oleh
Presiden Republik Indonesia
Sementara itu Dewan Perantjang
Nasional—yang dibentuk pada 1959
oleh pemerintah untuk mengawal
Demokrasi Terpimpin—malah
mengubah MIPI menjadi lembaga
pelaksana riset yang membawahi
Lembaga Biologi Nasional (sebelumnya
bernama Bogor Botanic Garden
dan berada di bawah Departemen
Pertanian). Selain itu, sejumlah
lembaga riset nasional di bidang fisika,
kimia, oseanologi, geologi, metalurgi,
elektrinka, ekonomi, dan ilmu sosial
juga ditempatkan di bawah MIPI.
Di saat bersamaan, MIPI kemudian
1967
Perubahan politik di Indonesia
membuat Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) membatalkan
UU No.6/1956 tentang pembentukan
MIPI, Keputusan Presiden No. 94 Tahun
1962 tentang pembentukan Durenas,
dan Keputusan Presiden No.188 Tahun
1966 tentang pembentukan Lemrenas.
Sebagai gantinya, MPRS meminta
pemerintah mendirikan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Akhirnya LIPI didirikan pada 23
Agustus 1967 melalui Keputusan
Presiden No. 128 Tahun 1967. LIPI
Kini, 25 tahun setelah didirikan,
AIPI meluncurkan berbagai program
unggulan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan di Indonesia, di antaranya
dengan membentuk Dana Ilmu
Pengetahuan Indonesia, sebuah badan
kuasi-otonom yang akan menyediakan
dana hibah untuk penelitian-penelitian
dasar di Indonesia. Selain itu AIPI
bersama jejaring ilmuwan muda
Indonesia juga meluncurkan SAINS
2045, sebuah agenda ilmu pengetahuan
yang disusun untuk menginspirasi
ilmuwan Indonesia menggali berbagai
isu untuk mencapai Indonesia yang
sejahtera dan maju pada 2045,
seabad setelah kemerdekaan. Peran
para ilmuwan muda sebagai pelaku
aktif penelitian di masa kini dan
masa depan juga amat krusial untuk
mengembangkan sains di Indonesia.
Karena itulah AIPI menggagas
pembentukan sebuah akademi ilmuwan
muda untuk menjadi ujung tombak
pengembangan ilmu pengetahuan.
Mien A.Rifai/Anggrita D. C.
AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 | 2
MENGUNjUNGI
RUmAH “SAUDARA TUA”
DI MAROs
B
ayangkan sebuah tempat di mana gununggunung kapur berdiri menghujam langit, di
antara sawah nan hijau. Pemandangan itu dapat
ditemui di Maros, Sulawesi Selatan, sekitar 1,5
jam perjalanan ke timur laut Makassar. Tak hanya
memanjakan mata, Maros juga menyimpan salah
satu jejak seni tertua yang pernah dibuat manusia
modern, Homo sapiens.
Di salah satu gua bernama Leang Petta Kere,
terlihat cap-cap tangan berwarna merah pudar.
Warnanya berasal dari ochre, sejenis batuan
yang digunakan sebagai pewarna dalam seni
prasejarah yang ditemukan di berbagai belahan
dunia. Masih di gua yang sama, terlihat lukisan
babi rusa dengan warna serupa. Tak terbayangkan
bagaimana “saudara-saudara tua” kita dulu
membuatnya. Lukisan itu berada di dalam sebuah
ceruk, di pinggiran gua yang terletak di bibir tebing
gunung kapur.
Sudah sejak lama gunung-gunung kapur di
Maros diketahui dihiasi sejumlah lukisan gua
purba, berdasarkan laporan arkeolog Belanda,
Heeren-Palm, pada 1950-an. Ada yang berupa
cap tangan maupun lukisan binatang seperti babi
rusa dan anoa. Namun baru pada Oktober 2014
nama Maros kembali bergaung. Sebabnya, lukisan
gua yang awalnya disangka hanya berusia sekitar
10.000 tahun lalu itu ternyata paling tidak berusia
sekitar 39.900 tahun.
Fakta terbaru itu ditemukan oleh peneliti
gabungan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
(Puslit Arkenas) dan Center for Archaeological
Science, University of Wollongong, Australia, yang
kemudian dipublikasikan dalam jurnal Nature.
Melalui metode uranium dating, mereka meneliti
lapisan cave popcorn—sejenis lapisan mineral
yang menutupi lukisan itu dan menemukan bahwa
usia lukisan-lukisan itu jauh lebih tua dari yang
diduga. Cap tangan di Leang Timpuseng malah
diyakini sebagai cap tangan tertua di dunia, paling
tidak berusia 39.900 tahun. “Apalagi metode
uranium dating ini hanya memungkinkan kita
menerka umur termudanya, bisa jadi umur lukisan
ini lebih tua,” ujar Thomas Sutikna, arkeolog dari
Puslit Arkenas yang turut meneliti lukisan gua di
Maros.
Temuan ini menunjukkan bahwa kreativitas
manusia modern juga sudah mucul di kawasan
Nusantara pada era yang sama dengan di Eropa.
3 | AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015
Selama ini Eropa diyakini sebagai tempat pertama
munculnya kreativitas dan seni, ditunjukkan oleh
lukisan gua di El Castillo, Spanyol, yang selama
ini dianggap tertua di dunia, berusia sekitar
40.800 tahun. Namun temuan di Maros membuka
kemungkinan baru: kemampuan manusia
menciptakan seni muncul pada era yang sama
di tempat yang terpisah puluhan ribu kilometer.
Temuan di Maros ini kemudian membuka
penelitian-penelitian baru di Indonesia. Pasalnya
lukisan gua serupa juga ditemukan di perbukitan
karst Bone di sebelah timur Maros, bahkan di guagua di Kalimantan.
Menyaksikan keindahan perbukitan kapur
di Maros beserta lukisan gua di dalamnya
melontarkan imajinasi ke masa puluhan ribu
tahun silam. Namun mengingat banyaknya
lukisan gua yang sudah memudar, beberapa
malah dirusak oleh tangan jahil yang membuat
coretan di sekitarnya, dibutuhkan usaha serius
untuk melindungki kelestarian situs ini. Terlebih
keberadaan tambang marmer dan pabrik semen
di kawasan karst itu juga bisa merusak lukisanlukisan unik itu. Namun Direktur Pelestarian Cagar
Budaya dan Permuseuman Kemendikbud, Harry
Widiantoro, menyatakan bahwa moratorium
tambang marmer dan pabrik semen di kawasan
tersebut sudah diberlakukan. Pemerintah juga
berencana membangun museum di kawasan
tersebut dalam kurun waktu dua atau tiga tahun
mendatang.
Lukisan babirusa dan
cap tangan di salah satu
gua di Maros
(The Guardian KinesRiza)
HOMO FLORESIENSIS:
SPEsIEs BARU ATAU
HOMO SAPIENS
AbNORMAL?
Perbandingan tengkorak
H. floresiensis dan H.sapiens,
baik yang mengalami
hipotiroidisme (kiri) maupun
yang mengalami microchepaly
(kanan) (Nature Education,
Karen Baab, Peter Brown)
Spesimen H. floresiensis paling
utuh (Nature Education, William
Jungers)
P
ublikasi tentang penemuan fosil tulangbelulang manusia purba berukuran kerdil di
Liang Bua, Flores, pada 2004, menyentak dunia.
Nama Hobbit alias Homo floresiensis kemudian
disematkan untuk menyebut hominin mungil itu.
Namun hingga lebih dari sepuluh tahun sejak
pertama ditemukan, berbagai kontroversi masih
menyelimutinya. Para peneliti yang menemukan
fosil itu berargumen H. floresiensis merupakan
spesies hominin baru.
Berbagai kontroversi mencuat. Salah satu
sanggahan yang muncul menyebutkan fosil
itu merupakan Homo sapiens yang sakit,
bisa mengalami microchepaly—kelainan
perkembangan otak dan saraf—atau kretinisme.
Pendapat ini didukung sejumlah peneliti, terutama
arkeolog senior Indonesia (alm.) Profesor Teuku
Jacob.
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (Puslit Arkenas), Thomas Sutikna,
mendukung pendapat paling awal. Dia yakin
bahwa manusia kerdil yang hidup di Flores itu
merupakan spesies tersendiri, meski baru satu
spesimen utuh yang ditemukan. “Kami juga
menemukan banyak spesimen dengan ukuran
berbeda-beda di Liang Bua sehingga tidak mungkin
berasal dari satu individu,” ujar arkeolog yang
terlibat langsung dalam penelitian di Liang Bua,
Flores, hasil kerja sama Puslit Arkenas dengan
University of Wollongong, Australia, kepada AIPI,
Selasa, 19 Mei 2015.
Karakter gigi H. floresiensis juga dinilai sangat
berbeda dengan manusia modern maupun H.
erectus. Gigi premolar atau geraham kecil dari
spesies ini memiliki dua akar. “Ini berbeda dengan
karakteristik manusia modern, gigi seperti ini
ditemuan pada genus Homo yang lebih tua seperti
Homo habilis, bahkan Austrophitecus,” katanya.
Fitur fisik lainnya, seperti kaki pendek dengan
tangan yang panjang serta tulang pergelangan
tangan yang berbeda dari manusia modern juga
membuatnya yakin H. floresiensis merupakan
spesies tersendiri.
Pendapat berbeda diajukan Direktur
Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harry
Widiantoro. Menurutnya, fosil H. floresiensis yang
menghuni Flores bisa jadi merupakan spesies H.
sapiens yang abnormal, hasil penyesuaian diri
dengan lingkungannya. “Terlebih di lokasi yang
sama juga ditemukan fosil stegodon atau gajah
purba yang kerdil, hanya sebesar kerbau,” katanya.
Padahal tinggi stegodon normal bisa mencapai
empat meter. Menurut Harry, proses pengkerdilan
dalam evolusi bisa terjadi akibat kekurangan
makanan dan isolasi dalam lingkungan tertentu.
Terlebih, fosil hominin kerdil yang ditemukan
di Liang Bua menunjukkan perkembangan yang
normal, bukan diakibatkan oleh penyakit.
Argumen lain yang membuatnya percaya
bahwa H. floresiensis bukanlah spesies baru
adalah karakteristiknya yang mirip dengan genus
Homo yang lain. Analisis tengkorak dan rahang
menunjukkan kemiripan dengan H. erectus,
sementara giginya mirip dengan H. sapiens.
Padahal menurutnya karakteristik spesies baru
harus benar-benar berbeda, bukan campuran dari
spesies lain. Dari segi kebudayaan, peralatan yang
ditemukan di Liang Bua juga banyak ditemukan
di gua-gua yang dihuni H. sapiens di Sulawesi
Selatan, Kalimantan Timur, maupun Sumatra.
Perdebatan tentang hominin kerdil ini sudah
berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Itulah
sebabnya Harry mengusulkan pendekatan lain
dalam meneliti asal-usul H. floresiensis. “Mungkin
sudah saatnya melakukan pencarian genetis
berbasis DNA,” ujar Harry. Dari sisi arkeologis,
penelitian tentang Hobbit ini juga terus berlanjut.
Pada 5 Mei 2015 lalu, Puslit Arkenas bersama
Lembaga Smithsonian baru saja memulai
penelitian lanjutan di Liang Bua. Rencananya,
penelitian itu akan berlangsung selama sekitar dua
bulan.
Argumen pendukung dalam kontroversi Homo floresiensis
Spesies Baru
Terdapat banyak spesimen dalam berbagai ukuran (tulang mandibula,
rahang bawah, tulang kaki dan tangan)
Fosil geraham kecil dengan dua akar dan rahang tidak berdagu, bukan
karakteristik Homo sapiens
Karakteristik kaki pendek dan tangan panjang
Bukan Spesies Baru
Memiliki karakteristik mirip Homo erectus dan Homo sapiens
Ditemukan di lokasi yang sama dengan gajah purba kerdil
Peralatan yang digunakan mirip dengan yang digunakan H. sapiens
AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 | 4
Dr. Josephine C.A. Joordens dan
Professor Wil Roebroeks
ketika wawancara di Jakarta
PIThECANThROPUS ERECTUS
SUDAH MENGENAL SENI?
D
i penghujung abad ke-19, dunia
ilmu pengetahuan terguncang oleh
penemuan Eugene Dubois, peneliti
asal Belanda, di Trinil, Jawa Tengah.
Dia menemukan fosil manusia purba
yang memiliki karakteristik antara kera
dan manusia modern: Pithecanthropus
erectus, berarti manusia kera yang
berdiri tegak, buah pertama dalam
usaha pencarian the missing link
dalam proses evolusi manusia. Namun,
kiblat penelitian tentang evolusi dan
peradaban kemudian bergeser. Fosil di
Jawa gagal bersaing dengan banyaknya
penemuan di Afrika dan Eropa, meski
fosil “manusia Jawa” di Trinil itu
ternyata merupakan Homo erectus
pertama yang ditemukan.
Lebih dari satu abad setelahnya,
fosil-fosil dari Trinil kembali
menghasilkan penemuan penting.
Satu dari 166 cangkang kerang yang
ditemukan di sana ternyata telah
memiliki hiasan: sebuah pola zigzag
yang diduga dibuat oleh H. erectus.
Inilah pertama kalinya jejak seni
ditemukan pada spesies manusia purba
itu. Temuan Dr. Josephine C.A. Joordens
dan Professor Wil Roebroeks tersebut
dipublikasikan di jurnal Nature pada
2014. Berikut petikan wawancara AIPI
dengan Dr. Josephine C.A. Joordens
dan Professor Wil Roebroeks, dua
5 | AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015
ahli arkeologi dari Universitas Leiden,
Belanda, pada 24 April 2015 lalu.
Kami mendengar bahwa temuan
ini diawali dari ketidaksengajaan,
bagaimana ceritanya?
Benar. Penemuan ini diawali pada
musim semi 2007. Saat itu seorang
arkeolog asal Australia, Stephen Munro
mengunjungi Naturalis Biodiversity
Center di Leiden dan ingin melihat
koleksi dari Trinil sebelum ia bertolak
ke Afrika. Karena kunjungan itu sangat
singkat, kami hanya memperlihatkan
koleksi itu untuk dipotret. Beberapa
waktu setelahnya kami mendapat
kiriman foto, ternyata salah satu fosil
kulit kerang kami memiliki ukiran, hal
yang sebelumnya tidak kami ketahui.
Dari situlah penelitian tentang ukiran ini
kemudian dimulai.
Saat ini fosil kulit kerang itu
dipamerkan di Naturalis dengan
sudut pencahayaan yang sesuai agar
ukirannya terlihat jelas
Bagaimana memastikan bahwa
hiasan itu dibuat oleh H. erectus
secara sengaja, bukan oleh hewan lain
maupun manusia saat telah menjadi
fosil?
Kami mengundang Francesco D’errico
dari Univeversity Bordeaux, dia sangat
ahli menyelidiki mana fosil yang
asli dengan tiruan. Kemudian kami
mencoba membandingkan pola di fosil
dengan pola yang kami buat sendiri
di cangkang kerang. Ternyata tidak
mudah membuat pola seperti itu di
kulit kerang yang keras. Perlu gerakan
yang stabil dan bertenaga disertai
kontrol motorik yang baik, sehingga
kami menyimpulkan ukiran tersebut
dibuat dengan sengaja oleh manusia
purba, bukan binatang. Selain itu pola
di fosil juga sudah terkikis, tidak lagi
sejelas ukiran baru. Jadi pola itu tidak
dibuat oleh manusia modern setelah
digali dari Trinil. Endapan fluvial yang
berada di dalam cangkang kerang itu
juga menunjukkan bahwa cangkang
tersebut berasal dari waktu yang sama
dengan fosil H. erectus di Trinil. Hanya
saja, sampai sekarang kita belum tahu
mengapa mereka membuat hiasan itu
dan untuk apa.
Apa implikasi dari temuan ini?
Selama ini kemampuan membuat
ukiran baru ditemukan pada manusia
modern (Homo sapiens) dan
Neanderthal. Ini pertama kalinya
kemampuan membuat hiasan
ditemukan di Homo erectus, spesies
yang lebih tua. Mereka mungkin lebih
cerdas daripada yang selama ini kita
duga.
Kami tertarik mencari tahu lebih
banyak tentang asal-usul spesies
ini, dari mana mereka berasal,
dan bagaimana mereka menyebar
di Indonesia dan sekitarnya. Asia
Tenggara, terutama Indonesia,
merupakan tempat yang sangat sesuai
untuk mempelajarinya.
Adakah kemungkinan menengok
kembali situs di Trinil setelah
penemuan ini?
Tentu. Kami berencana melakukan
penelitian bersama Pusat Arkeologi
Nasional Indonesia di Trinil, di lokasi
yang sama dengan Eugene Dubois.
Kami sedang menyiapkannya bersama
mitra kami, Prof. Truman Simanjuntak.
Penelitian awalnya akan dimulai
pertengahan tahun ini. Salah satu
yang ingin kami ketahui adalah berapa
sebenarnya usia lapisan tanah di sana.
***
Anggrita D. Cahyaningtyas | Nature (518) 2014
MEmpELAjARI
EVOLUsI
MANUsIA
LEWAT
ANTROpOLOGI
MOLEKULER
U
mumnya, masyarakat
berpandangan bahwa proses
evolusi manusia dipelajari melalui
penelitian terhadap fosil-fosil berusia
ribuan tahun. Padahal proses evolusi
dan perkembangan peradaban
manusia ternyata juga bisa diketahui
dengan melacak jejak genetiknya
lewat ilmu antropologi molekuler.
Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
merupakan tempat penting untuk
mempelajari perkembangan peradaban
dan kreativitas manusia modern alias
Homo sapiens. Berbagai penelitian
dunia tentang Asia, termasuk
penelitian genom populasi Asia yang
turut dipelopori ilmuwan Indonesia,
menyimpulkan bahwa Asia Tenggara
merupakan stasiun utama penyebaran
manusia modern dari Afrika ke kawasan
timur Asia hingga ke Papua, Australia,
bahkan Amerika.
Profesor Sangkot Marzuki, Ketua
AIPI yang juga merupakan salah satu
penggagas penelitian tentang genom
manusia tersebut mengatakan, ide
penelitian tentang pemetaan genetik
populasi Asia itu pertama kali tercetus
dalam pertemuan Human Genome
Organization (HUGO) Pacific Meeting
di Bali lebih dari sepuluh tahun lalu.
Ide itu kemudian dimatangkan dalam
pertemuan-pertemuan HUGO Pacific
selanjutnya di Shanghai, Kuala Lumpur,
dan Singapura, bersama Profesor Chen
Zhu dari Cina, Profesor Yoshi Sakaki dari
Jepang, dan Profesor Edison Liu dari
Singapura. Terbentuklah konsorsium
penelitian berisi 99 peneliti dari sekitar
30 institusi di Asia.
Negara-negara yang terlibat di
dalamnya berperan seimbang meski
tak semuanya memiliki teknologi untuk
analisis genom mutakhir. “Konsepnya,
negara-negara yang terlibat
dalam konsorsium itu bisa saling
memanfaatkan keunggulan teknologi
maupun keunggulan populasi mereka,”
ujar Sangkot kepada AIPI, Kamis, 21 Mei
2015. Misalnya, peneliti dari Indonesia
bisa membawa sampel mereka ke
laboratorium di Singapura, Korea,
maupun Jepang. Penelitian tersebut
akhirnya melibatkan lebih dari dua ribu
sampel genetik dari beberapa populasi
etnik di Asia.
“Yang mengesankan, kerja sama
besar di Asia ini berjalan tanpa MoU
(Memorandum of Understanding),
walaupun ada persetujuan dan janji
bahwa tidak akan ada yang membuat
publikasi lebih dulu sebelum paper
utama bersama diterbitkan,” katanya.
Ternyata, walaupun semua data
kasar pemeriksaan genom langsung
dimasukkan ke dalam suatu database
yang dapat dibuka oleh setiap anggota
konsorsium, tidak ada seorang pun
yang melanggar perjanjian. Hasilnya
mencengangkan. Berdasarkan analisis
variasi genetik sebelumnya, telah
diketahui bahwa Homo sapiens
muncul pertama kali di Afrika Timur
sekitar 160.000-200.000 tahun
lalu. Diperkirakan, mereka mulai
menyebar keluar dari Afrika sekitar
100.000 tahun lalu, kemudian tiba
di kawasan Nusantara sekitar 60.000
tahun silam. Saat itu Paparan Sunda
belum tenggelam. Sumatra, Jawa dan
Kalimantan masih menyatu dengan
daratan Asia. Dari situ, barulah mereka
menyebar ke pulau-pulau lain.
Kesimpulan bahwa migrasi Homo
sapiens dari Afrika ke Asia menyelusuri
jalur selatan, dengan Asia Tenggara
Legenda
•
Leluhur orang Asia
paling muda
• Negrito-Melayu
• Negrito-Filipina
• Penduduk Indonesia
timur dan penghuni
awal Kepulauan Pasifik
•
•
•
•
•
Austronesia
Austro-Asiatik
Tai-Kadai
Hmong-Mien
Altaic
Dugaan rute migrasi prasejarah populasi Asia
sebagai stasiun utama, sebelum
penyebaran ke utara Asia dan ke timur
Kepulauan Nusantara, Papua dan
Australia, berbeda dengan pandangan
umum saat itu bahwa nenek moyang
manusia modern bermigrasi dari Afrika
terutama melalui jalur utara Eropa
dan utara Asia. Akibatnya publikasi
penelitian itu sempat terhambat
hingga dua tahun sebelum akhirnya
diterbitkan di jurnal Science, “Mapping
Genetic Human Diversity in Asia”
pada Desember 2009. Penelitian
antropologi molekuler tentang jejak
genetik manusia itu kini diteruskan
untuk menyelidiki persebaran populasi
penutur bahasa Austronesia yang
menghuni sebagian besar wilayah
Indonesia.
Sebagian besar populasi etnis
Indonesia saat inidi luar Papua,
Maluku, dan bagian timur Nusa
Tenggarabertutur dalam bahasa
serumpun, yaitu Austronesia.
Diperkirakan terjadi penyebaran besarbesaran penutur rumpun bahasa
Austronesia yang ditaksir berlangsung
sekitar 4.000 tahun silam. Jika terbukti
benar, diaspora terbesar dalam sejarah
umat manusia tersebutmelebihi
separuh lingkar dunia, mulai dari
Madagaskar di Afrika hingga Pulau
Paskah di Pasifiksangat penting
dalam menjelaskan asal-usul manusia
Indonesia sekarang.
AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 | 6
10 ANGGOTA BARU AIPI
P
ada perayaan ulang tahun ke-25nya,
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
mengukuhkan 10 anggota baru yang
terpilih pada 2015. Penghitungan suara
dilakukan dalam Rapat Badan Pekerja
Terbuka di kantor AIPI Medan Merdeka
Selatan pada 14 April 2015. Dalam rapat
tersebut, 10 calon anggota dinyatakan
mendapatkan suara kuorum dan terpilih
menjadi anggota baru. Ketua Panitia Ad
Hoc Pemilihan Anggota Baru AIPI 2015,
Profesor Daniel Murdiyarso mengatakan
puas dengan hasil tersebut. “Semua
berjalan lancar, hanya memang harus
diingatkan terus ketika masa pemungutan
suara,” ujarnya kepada AIPI, setelah proses
penghitungan suara, April 2015.
Proses penjaringan calon anggota
telah dilakukan sejak November 2014.
Selanjutnya, para Ketua Komisi mengajukan
nama-nama kandidat untuk dipilih oleh
45 anggota AIPI yang memiliki hak suara.
Proses pemungutan suara tersebut
berlangsung selama Februari hingga Maret
2015. Seperti diamanatkan oleh undangundang pendiriannya: pemilihan anggota
baru dimulai dengan pencalongan oleh tiga
anggota, pencalonan tersebut kemudian
harus mendapat dukungan seperempat
total anggota, baru dapat diajukan ke
tahap pemilihan. Untuk terpilih dan dapat
diangkat sebagai anggota AIPI, calon harus
mendapat dukungan sedikitnya dua pertiga
anggota dalam pemilihan tertutup.
Berikut sepuluh ilmuwan terkemuka
Indonesia yang terpilih menjadi anggota baru
AIPI 2014, dari 18 kandidat yang diajukan.
1. Profesor Hendra
Gunawan adalah Guru
Besar Matematika
di Institut Teknologi
Bandung. Selain di bidang
matematika, Pro Hendra
Gunawan memiliki
ketertarikan besar dalam
dunia pendidikan.
Institusi: Departemen Matematika,
Institut Teknologi Bandung. Bidang
keahliannya mencakup analisis fungsional
dan analisis Fourier beserta aplikasinya.
Pada 2009, Prof. Hendra Gunawan
dianugerahi Australian Alumni Award for
Excellence in Education oleh Australia
Education International di Jakarta.
2. Prof. Dr. Ir. Muladno,
MSA adalah guru besar
di Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.
Sejumlah penghargaan
yang pernah diterimanya
dari dalam dan luar negeri
di antaranya adalah
Riset Unggulan Terpadu (1998-2001),
Indonesian Toray Science Foundation
(2002), ARMP II (2003); International
Atomic Energy Agency/IAEA (2004-2009);
dan Food Agriculture Organization/FAO
(2008 dan 2009). Ia pernah menjadi
anggota Tim Penyusun Rancangan Undang-
7 | AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015
undang Peternakan dan Kesehatan Hewan
(2003-2009) serta Koordinator Bidang
Perencanaan dan Pengembangan Komite
Nasional Pengendalian Flu Burung dan
Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi
Influenza (2008).
tanah dan rekayasa untuk berbagai struktur
tanah. Prof. Masyhur menjadi Delegasi
Republik Indonesia untuk mengikuti
3rd World Conference on Disaster Risk
Reduction 2015 sebagai wakil dari Ikatan
Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI).
3. Prof. Dr. Djoko
Tjahjono Iskandar adalah
herpetolog—pakar amfibi
dan reptil—serta guru
besar di Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati, Institut
Teknologi Bandung.
Sepanjang kariernya, ia
telah menemukan 30 spesies katak dan
reptil. Beberapa spesies dinamakan sesuai
namanya, seperti Luperosaurus iskandari,
Fejervarya iskandari, Collocasiomya
iskandari, dan Draco iskandari. Dia juga
menemukan Limnonectes larvaepartus,
katak bertaring dari Sulawesi , satu-satunya
katak yang tidak bertelur melainkan
melahirkan kecebong. Dia pernah
dianugerahi Habibie Award di Bidang Ilmu
Pengetahuan Dasar pada 2005.
7. Prof. Dr. Armida
Salsiah Alisjahbana,
S.E., M.A. guru besar
di Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, Universitas
Padjadjaran, Bandung,
adalah Menteri
Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional Republik Indonesia
dalam Kabinet Bersatu II. Armida sering
berkiprah sebagai konsultan untuk
Bank Dunia dan Australian Agency for
International Development (AusAID). Pada
April 2014, ia merupakan Wakil Ketua
the 1st High Level Meeting of the Global
Partnership for Effective Development
Cooperation.
4. Prof. Dr. Endang
Sukara adalah ahli
bioteknologi. Ia pernah
menjabat sebagai Wakil
Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dan menjadi Wakil
Ketua Komisi Bioetik
Pemerintah-UNESCO dan Ketua Komita
Nasional Manusia dan Biosfer-Unesco.
Selain itu Prof. Endang juga pernah menjadi
anggota Dewan Penasihat Menteri Negara
Lingkungan Hidup dalam pelaksanaan
Protokol Nagoya. Protokol tersebut
mengatur akses pada sumber daya genetik
dan pembagian keuntungan yang adil dari
pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman
Hayati.
5. Prof.Dr.I Ketut Aria
Pria Utama, M.Sc.
merupakan guru besar
bidang hidrodinamika
di Jurusan Teknik
Perkapalan, Institut
Teknologi Sepuluh
November (ITS),
Surabaya. Ia memiliki ketertarikan besar
di bidang ketahanan dan tenaga kapal,
perancangan kapal, pendidikan maritim,
dan hukum maritim. Sejak 2005, Profesor
Ketut menjabat sebagai sekretaris di
Royal Institution of Naval Architecture
(RINA) untuk Indonesia. Ia mengepalai
Departemen Arsitektur Kapal di ITS sejak
2011.
6. Prof. Ir. Masyhur
Irsyam, M.Se., Phd
adalah guru besar di
Fakultas Teknik Sipil
dan Lingkungan, Institut
Teknologi Bandung. Ia
merupakan ahli perilaku
8. Prof. Dewi Fortuna
Anwar, M.A., adalah
guru besar Deputi Bidang
Ilmu Pengetahuan
Sosial dan Kemanusiaan
(IPSK), Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
(LIPI). Saat ini ia juga
merupakan Ketua Institut Demokrasi dan
Hak Azasi Manusia di The Habibie Center.
9. Prof. Ramlan Surbakti,
M.A., Ph.D, adalah guru
besar bidang politik di
Universitas Airlangga.
Selain berkarier
sebagai akademisi, ia
juga pernah menajdi
Wakil Ketua Komisi
Pemilihan Umum pada periode 20042007 dan pernah menjadi Kepala Pusat
Kajian Pengembangan Otonomi Daerah di
Kementerian Negara Otonomi Daerah.
10. Yudi Latif, M.A.,
Ph.D., merupakan Ketua
Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan-Indonesia
(PSIK-Indonesia) dan
Direktur Eksekutif Reform
Institute. Yudi juga aktif
sebagai anggota ahli
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
(KID) sejak 2009. Ia juga Anggota Dewan
Pendiri Nurcholis Majid Society.
Download