AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 NEWSLETTER AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Edisi Khusus 25 Tahun Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Editorial: SAATNYA MEmBANGKITKAN KEmBALI ILmU PENGETAHUAN I ndonesia lahir dari sebuah gerakan intelektual, yang berakar pada kegelisahan kaum muda dan terpelajar akan bangsanya. Budi Utomo, organisasi pertama di Indonesia, bersama belasan organisasi lain pada masa itu kemudian mempelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Sutan Sjahrir merupakan kaum pemikir dan terpelajar. Hasilnya, pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Ilmu pengetahuan telah meletakkan fondasi dalam mendirikan negara ini. Namun kemudian isu politik dan ekonomi menjadi fokus dalam bangsa yang masih muda usianya, begitu hakikatnya. Rencana pembentukan suatu akademi ilmu pengetahuan yang sudah direncanakan sejak awal masa kemerdekaan, sekitar 1949, tertunda hingga lebih dari empat dasawarsa kemudian. Pengembangan ilmu pengetahuan tidak sesuai dengan harapan. Kita alpa bahwa tidak ada masyarakat yang bisa bertahan tanpa ilmu pengetahuan, begitu pula sebaliknya. Tak ada yang waktu yang lebih tepat untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu pengetahuan selain saat ini. Indonesia tidak lagi bisa menunggu. Kesadaran akan pentingnya peran sains dalam memajukan bangsa harus kita gaungkan sekarang. Itulah sebabnya, pada perayaan 25 Tahun AIPI kami mengangkat kembali empat penemuan besar dunia dalam sepuluh tahun terakhir yang lahir di bumi Indonesia. Semoga dapat menjadi sumber inspirasi bagi berkembangnya ilmu pengetahuan di negeri kita tercinta. Ketua AIPI, Profesor Sangkot Marzuki MERUNUT JEjAK SEjARAH PEmBENTUKAN AIPI “Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” – Pramoedya Ananta Toer Diterbitkan setiap tiga bulan oleh Sekretariat Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Kompleks Perpustakaan Nasional RI Jalan Medan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta Pusat, Indonesia Tel: +6221 34830019 Fax: +6221 3442319 E-mail: [email protected] Website: www.aipi.or.id BADAN PEKERJA AIPI Ketua Sangkot Marzuki Wakil Ketua Satryo Soemantri Brodjonegoro Sekretaris Jenderal Budhi M. Suyitno Ketua Komisi Mien A. Rifai (Ilmu Pengetahuan Dasar) Sjamsuhidajat (Ilmu Kedokteran) F.G Winarno (Ilmu Rekayasa) Taufik Abdullah (Ilmu Sosial) M. Amin Abdullah (Kebudayaan) AIPI NEWSLETTER Pembina Sangkot Marzuki Penulis Anggrita D. Cahyaningtyas Editor Uswatul Chabibah Desain & Tata Letak Sarifudin Anwar Penyumbang Bahan Nugraha Dian Putra Ramdani Pepi Oktayani Artikel dalam penerbitan ini ditulis oleh penulis, kecuali diberi byline dengan nama lain. Artikel boleh dikutip dengan menerangkan sumber tulisan. T idak banyak yang mengetahui sejarah terbentuknya AIPI, bahkan para anggotanya sendiri. Namun berkat tulisan yang kini tercetak di sebuah kertas kekuningan, sejarah tetap tersimpan. Setelah puluhan tahun, dokumen tentang rencana pembentukan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) akhirnya ditemukan oleh Profesor Mien A. Rifai di perpustakaan Herbarium Bogoriense pada penghujung 2014. Sebuah jurnal berjudul O.S.R News, kumpulan publikasi rutin dari Organization for Scientific Research in Indonesia (OSR) yang diterbitkan pada Mei 1950 menjelaskan tentang rencana pembentukan sebuah akademi ilmu pengetahuan, lengkap dengan bagan kerja dan hubungannya dengan pemerintah, universitas, dan sektor swasta. “Ternyata rencana pendirian akademi sudah dipikirkan masak-masak sejak sebelum penyerahan kedaulatan, sekitar tahun 1949,” kata Ketua AIPI, Profesor Sangkot Marzuki. Namun pendirian AIPI baru terlaksana pada 13 Oktober 1990 ketika Presiden Soeharto menandatangani Undang-Undang No.8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Persiapan dan proses pembuatan undang-undangnya sudah dilakukan sejak 1983 oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie bersama Ketua LIPI Samaun Samadikun serta Menteri Pendidikan Nasional, Fuad Hasan. Meski begitu, banyak pula yang belum paham pentingnya peran akademi ilmu pengetahuan dalam memajukan bangsa. “Waktu itu beberapa orang tanya, buat apa bikin akademi? Dikiranya saya mau buat sekolah D3,” kenang Presiden ke-3 Republik Indonesia, BJ Habibie, ketika ditemui di kediamannya pada penghujung Januari 2015. Berikut sejarah terbentuknya AIPI seperti yang telah dituliskan oleh Prof Mien A. Rifai berdasarkan berbagai dokumen: menyelenggarakan study tour, menjalin kontak dengan ilmuwan dan berbagai institusi untuk kerja sama di masa depan, serta mempublikasikan buletin berita. 1948 1956 Organisatie voor Natuurwetenschappelijke Onderzoek (ONO) terbentuk pada 1 Mei 1948 dan berkantor di Koningsplein Zuid 11. Organisasi tersebut merupakan lembaga ilmu pengetahuan kolaborasi Indonesia dan Belanda. Kegiatan yang sudah dilakukan di antaranya: menjalin hubungan dengan institusi negara maupun swasta di Indonesia dan Belanda, menarik anggota dari kedua negara untuk bekerja di Indonesia, mendelegasikan ilmuwan Indonesia untuk mengikuti kongres-kongres internasional, Presiden Soekarno menandatangani UndangUndang No.6 Tahun 1956 tentang pembentukan Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Institusi itu memiliki fungsi koordinasi untuk mempromosikan dan memimpin pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan; memberi masukan berbasis ilmu pengetahuan kepada pemerintah mengenai pembangunan nasional, mengkoordinir penelitian dan bekerja sama dengan berbagai institusi pemerintah dan swasta, mempublikasikan buku dan jurnal ilmiah, 1 | AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 1950 Seiring dengan penyerahan kedaulatan, ONO berganti nama menjadi Organization for Scientific Research (OSR). Buletin berita yang diterbitkan menjadi berbahasa Inggris. Pada buletin berita yang diterbitkan 1950, sebuah skema tentang OSR dan hubungannya dengan institusi lain turut dilansir. Pada bagan itu, telah terlihat rencana pembentukan Indonesian Academy of Sciences yang direncanakan memiliki dewan ilmu pengetahuan dan sastra. Keduanya akan menjalankan Organisasi Penelitian Ilmiah dan Organisasi Penelitian Kebudayaan. 1951 OSR berganti nama menjadi Organisasi Penjelidikan Ilmu Pengetahuan Alam (OPIPA) dan tetap berkantor di Koningsplein Zuid 11 yang kemudian berganti nama menjadi Jalan Merdeka Selatan 11. Organisasi tersebut mempublikasikan buletin berita dan dan buletin ilmiah secara rutin, biasanya berisi tulisan ilmuwan-ilmuwan Belanda. Mereka juga menjaga relasi dengan berbagai organisasi penelitian internasional. Meski organisasi ini sudah memiliki nama Indonesia, banyak peneliti dan institusi Indonesia merasa enggan diatur oleh institusi peninggalan pemerintahan kolonial. Akhirnya Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia membentuk komite berisi sembilan ilmuwan terkemuka yang dipimpin Prof. Dr. Sarwono Prawirohardjo untuk menyusun pembentukan dewan ilmu pengetahuan Indonesia yang baru. membantu pengelolaan perpustakaan, memberikan bantuan pendanaan untuk riset, serta meningkatkan hubungan bilateral dan multilateral dengan berbagai institusi ilmu pengetahuan internasional. MIPI direncanakan berkembang menjadi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. dipindahkan ke bawah lembaga pemerintahan yang baru dibentuk, yaitu Departemen Urusan Research Nasional (Durenas). Departemen ini kemudian mengambil alih fungsi MIPI dalam merancang kebijakan ilmu pengetahuan dan mengkoordinasikan arah pengembangan penelitian nasional. 1962 1966 MIPI bersama Departemen Kehakiman membuat naskah akademis dan rancangan undang-undang untuk menyiapkan pembentukan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Namun tidak ada tindak lanjut dari pemerintah maupun parlemen. Perombakan kabinet akibat runtuhnya era Demokrasi Terpimpin menjadikan Departemen Urusan Research Nasional ikut dibubarkan. Tugas dan fungsinya kemudian dialihkan ke insitusi baru bernama Lembaga Research Nasional (Lemrenas) berfungsi menjalankan tugas MIPI dan Lemrenas disertai tugas tambahan: menyiapkan pembentukan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1969 Komite yang dibentuk LIPI menyerahkan memorandum pembentukan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Namun tidak ada tindak lanjut yang dilakukan pemerintah terhadap memorandum tersebut. Selanjutnya gagasan pembentukan Akademi Illmu Pengetahuan Indonesia tertunda selama lebih dari sepuluh tahun. 1983 Menteri Negara Riset dan Teknologi membangkitkan kembali ide pendirian akademi ilmu pengetahuan dengan membentuk komite baru. Komite tersebut mempelajari kembali langkahlangkah yang dibutuhkan untuk mendirikan Akademi, menyiapkan naskah akademis baru, dan membuat Rancangan Undang-Undang tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1990 Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia akhirnya terbentuk pada 13 Oktober 1990 setelah Undang-Undang No.8 Tahun 1990 ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Sementara itu Dewan Perantjang Nasional—yang dibentuk pada 1959 oleh pemerintah untuk mengawal Demokrasi Terpimpin—malah mengubah MIPI menjadi lembaga pelaksana riset yang membawahi Lembaga Biologi Nasional (sebelumnya bernama Bogor Botanic Garden dan berada di bawah Departemen Pertanian). Selain itu, sejumlah lembaga riset nasional di bidang fisika, kimia, oseanologi, geologi, metalurgi, elektrinka, ekonomi, dan ilmu sosial juga ditempatkan di bawah MIPI. Di saat bersamaan, MIPI kemudian 1967 Perubahan politik di Indonesia membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) membatalkan UU No.6/1956 tentang pembentukan MIPI, Keputusan Presiden No. 94 Tahun 1962 tentang pembentukan Durenas, dan Keputusan Presiden No.188 Tahun 1966 tentang pembentukan Lemrenas. Sebagai gantinya, MPRS meminta pemerintah mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Akhirnya LIPI didirikan pada 23 Agustus 1967 melalui Keputusan Presiden No. 128 Tahun 1967. LIPI Kini, 25 tahun setelah didirikan, AIPI meluncurkan berbagai program unggulan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia, di antaranya dengan membentuk Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebuah badan kuasi-otonom yang akan menyediakan dana hibah untuk penelitian-penelitian dasar di Indonesia. Selain itu AIPI bersama jejaring ilmuwan muda Indonesia juga meluncurkan SAINS 2045, sebuah agenda ilmu pengetahuan yang disusun untuk menginspirasi ilmuwan Indonesia menggali berbagai isu untuk mencapai Indonesia yang sejahtera dan maju pada 2045, seabad setelah kemerdekaan. Peran para ilmuwan muda sebagai pelaku aktif penelitian di masa kini dan masa depan juga amat krusial untuk mengembangkan sains di Indonesia. Karena itulah AIPI menggagas pembentukan sebuah akademi ilmuwan muda untuk menjadi ujung tombak pengembangan ilmu pengetahuan. Mien A.Rifai/Anggrita D. C. AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 | 2 MENGUNjUNGI RUmAH “SAUDARA TUA” DI MAROs B ayangkan sebuah tempat di mana gununggunung kapur berdiri menghujam langit, di antara sawah nan hijau. Pemandangan itu dapat ditemui di Maros, Sulawesi Selatan, sekitar 1,5 jam perjalanan ke timur laut Makassar. Tak hanya memanjakan mata, Maros juga menyimpan salah satu jejak seni tertua yang pernah dibuat manusia modern, Homo sapiens. Di salah satu gua bernama Leang Petta Kere, terlihat cap-cap tangan berwarna merah pudar. Warnanya berasal dari ochre, sejenis batuan yang digunakan sebagai pewarna dalam seni prasejarah yang ditemukan di berbagai belahan dunia. Masih di gua yang sama, terlihat lukisan babi rusa dengan warna serupa. Tak terbayangkan bagaimana “saudara-saudara tua” kita dulu membuatnya. Lukisan itu berada di dalam sebuah ceruk, di pinggiran gua yang terletak di bibir tebing gunung kapur. Sudah sejak lama gunung-gunung kapur di Maros diketahui dihiasi sejumlah lukisan gua purba, berdasarkan laporan arkeolog Belanda, Heeren-Palm, pada 1950-an. Ada yang berupa cap tangan maupun lukisan binatang seperti babi rusa dan anoa. Namun baru pada Oktober 2014 nama Maros kembali bergaung. Sebabnya, lukisan gua yang awalnya disangka hanya berusia sekitar 10.000 tahun lalu itu ternyata paling tidak berusia sekitar 39.900 tahun. Fakta terbaru itu ditemukan oleh peneliti gabungan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan Center for Archaeological Science, University of Wollongong, Australia, yang kemudian dipublikasikan dalam jurnal Nature. Melalui metode uranium dating, mereka meneliti lapisan cave popcorn—sejenis lapisan mineral yang menutupi lukisan itu dan menemukan bahwa usia lukisan-lukisan itu jauh lebih tua dari yang diduga. Cap tangan di Leang Timpuseng malah diyakini sebagai cap tangan tertua di dunia, paling tidak berusia 39.900 tahun. “Apalagi metode uranium dating ini hanya memungkinkan kita menerka umur termudanya, bisa jadi umur lukisan ini lebih tua,” ujar Thomas Sutikna, arkeolog dari Puslit Arkenas yang turut meneliti lukisan gua di Maros. Temuan ini menunjukkan bahwa kreativitas manusia modern juga sudah mucul di kawasan Nusantara pada era yang sama dengan di Eropa. 3 | AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 Selama ini Eropa diyakini sebagai tempat pertama munculnya kreativitas dan seni, ditunjukkan oleh lukisan gua di El Castillo, Spanyol, yang selama ini dianggap tertua di dunia, berusia sekitar 40.800 tahun. Namun temuan di Maros membuka kemungkinan baru: kemampuan manusia menciptakan seni muncul pada era yang sama di tempat yang terpisah puluhan ribu kilometer. Temuan di Maros ini kemudian membuka penelitian-penelitian baru di Indonesia. Pasalnya lukisan gua serupa juga ditemukan di perbukitan karst Bone di sebelah timur Maros, bahkan di guagua di Kalimantan. Menyaksikan keindahan perbukitan kapur di Maros beserta lukisan gua di dalamnya melontarkan imajinasi ke masa puluhan ribu tahun silam. Namun mengingat banyaknya lukisan gua yang sudah memudar, beberapa malah dirusak oleh tangan jahil yang membuat coretan di sekitarnya, dibutuhkan usaha serius untuk melindungki kelestarian situs ini. Terlebih keberadaan tambang marmer dan pabrik semen di kawasan karst itu juga bisa merusak lukisanlukisan unik itu. Namun Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud, Harry Widiantoro, menyatakan bahwa moratorium tambang marmer dan pabrik semen di kawasan tersebut sudah diberlakukan. Pemerintah juga berencana membangun museum di kawasan tersebut dalam kurun waktu dua atau tiga tahun mendatang. Lukisan babirusa dan cap tangan di salah satu gua di Maros (The Guardian KinesRiza) HOMO FLORESIENSIS: SPEsIEs BARU ATAU HOMO SAPIENS AbNORMAL? Perbandingan tengkorak H. floresiensis dan H.sapiens, baik yang mengalami hipotiroidisme (kiri) maupun yang mengalami microchepaly (kanan) (Nature Education, Karen Baab, Peter Brown) Spesimen H. floresiensis paling utuh (Nature Education, William Jungers) P ublikasi tentang penemuan fosil tulangbelulang manusia purba berukuran kerdil di Liang Bua, Flores, pada 2004, menyentak dunia. Nama Hobbit alias Homo floresiensis kemudian disematkan untuk menyebut hominin mungil itu. Namun hingga lebih dari sepuluh tahun sejak pertama ditemukan, berbagai kontroversi masih menyelimutinya. Para peneliti yang menemukan fosil itu berargumen H. floresiensis merupakan spesies hominin baru. Berbagai kontroversi mencuat. Salah satu sanggahan yang muncul menyebutkan fosil itu merupakan Homo sapiens yang sakit, bisa mengalami microchepaly—kelainan perkembangan otak dan saraf—atau kretinisme. Pendapat ini didukung sejumlah peneliti, terutama arkeolog senior Indonesia (alm.) Profesor Teuku Jacob. Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Thomas Sutikna, mendukung pendapat paling awal. Dia yakin bahwa manusia kerdil yang hidup di Flores itu merupakan spesies tersendiri, meski baru satu spesimen utuh yang ditemukan. “Kami juga menemukan banyak spesimen dengan ukuran berbeda-beda di Liang Bua sehingga tidak mungkin berasal dari satu individu,” ujar arkeolog yang terlibat langsung dalam penelitian di Liang Bua, Flores, hasil kerja sama Puslit Arkenas dengan University of Wollongong, Australia, kepada AIPI, Selasa, 19 Mei 2015. Karakter gigi H. floresiensis juga dinilai sangat berbeda dengan manusia modern maupun H. erectus. Gigi premolar atau geraham kecil dari spesies ini memiliki dua akar. “Ini berbeda dengan karakteristik manusia modern, gigi seperti ini ditemuan pada genus Homo yang lebih tua seperti Homo habilis, bahkan Austrophitecus,” katanya. Fitur fisik lainnya, seperti kaki pendek dengan tangan yang panjang serta tulang pergelangan tangan yang berbeda dari manusia modern juga membuatnya yakin H. floresiensis merupakan spesies tersendiri. Pendapat berbeda diajukan Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harry Widiantoro. Menurutnya, fosil H. floresiensis yang menghuni Flores bisa jadi merupakan spesies H. sapiens yang abnormal, hasil penyesuaian diri dengan lingkungannya. “Terlebih di lokasi yang sama juga ditemukan fosil stegodon atau gajah purba yang kerdil, hanya sebesar kerbau,” katanya. Padahal tinggi stegodon normal bisa mencapai empat meter. Menurut Harry, proses pengkerdilan dalam evolusi bisa terjadi akibat kekurangan makanan dan isolasi dalam lingkungan tertentu. Terlebih, fosil hominin kerdil yang ditemukan di Liang Bua menunjukkan perkembangan yang normal, bukan diakibatkan oleh penyakit. Argumen lain yang membuatnya percaya bahwa H. floresiensis bukanlah spesies baru adalah karakteristiknya yang mirip dengan genus Homo yang lain. Analisis tengkorak dan rahang menunjukkan kemiripan dengan H. erectus, sementara giginya mirip dengan H. sapiens. Padahal menurutnya karakteristik spesies baru harus benar-benar berbeda, bukan campuran dari spesies lain. Dari segi kebudayaan, peralatan yang ditemukan di Liang Bua juga banyak ditemukan di gua-gua yang dihuni H. sapiens di Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, maupun Sumatra. Perdebatan tentang hominin kerdil ini sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Itulah sebabnya Harry mengusulkan pendekatan lain dalam meneliti asal-usul H. floresiensis. “Mungkin sudah saatnya melakukan pencarian genetis berbasis DNA,” ujar Harry. Dari sisi arkeologis, penelitian tentang Hobbit ini juga terus berlanjut. Pada 5 Mei 2015 lalu, Puslit Arkenas bersama Lembaga Smithsonian baru saja memulai penelitian lanjutan di Liang Bua. Rencananya, penelitian itu akan berlangsung selama sekitar dua bulan. Argumen pendukung dalam kontroversi Homo floresiensis Spesies Baru Terdapat banyak spesimen dalam berbagai ukuran (tulang mandibula, rahang bawah, tulang kaki dan tangan) Fosil geraham kecil dengan dua akar dan rahang tidak berdagu, bukan karakteristik Homo sapiens Karakteristik kaki pendek dan tangan panjang Bukan Spesies Baru Memiliki karakteristik mirip Homo erectus dan Homo sapiens Ditemukan di lokasi yang sama dengan gajah purba kerdil Peralatan yang digunakan mirip dengan yang digunakan H. sapiens AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 | 4 Dr. Josephine C.A. Joordens dan Professor Wil Roebroeks ketika wawancara di Jakarta PIThECANThROPUS ERECTUS SUDAH MENGENAL SENI? D i penghujung abad ke-19, dunia ilmu pengetahuan terguncang oleh penemuan Eugene Dubois, peneliti asal Belanda, di Trinil, Jawa Tengah. Dia menemukan fosil manusia purba yang memiliki karakteristik antara kera dan manusia modern: Pithecanthropus erectus, berarti manusia kera yang berdiri tegak, buah pertama dalam usaha pencarian the missing link dalam proses evolusi manusia. Namun, kiblat penelitian tentang evolusi dan peradaban kemudian bergeser. Fosil di Jawa gagal bersaing dengan banyaknya penemuan di Afrika dan Eropa, meski fosil “manusia Jawa” di Trinil itu ternyata merupakan Homo erectus pertama yang ditemukan. Lebih dari satu abad setelahnya, fosil-fosil dari Trinil kembali menghasilkan penemuan penting. Satu dari 166 cangkang kerang yang ditemukan di sana ternyata telah memiliki hiasan: sebuah pola zigzag yang diduga dibuat oleh H. erectus. Inilah pertama kalinya jejak seni ditemukan pada spesies manusia purba itu. Temuan Dr. Josephine C.A. Joordens dan Professor Wil Roebroeks tersebut dipublikasikan di jurnal Nature pada 2014. Berikut petikan wawancara AIPI dengan Dr. Josephine C.A. Joordens dan Professor Wil Roebroeks, dua 5 | AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 ahli arkeologi dari Universitas Leiden, Belanda, pada 24 April 2015 lalu. Kami mendengar bahwa temuan ini diawali dari ketidaksengajaan, bagaimana ceritanya? Benar. Penemuan ini diawali pada musim semi 2007. Saat itu seorang arkeolog asal Australia, Stephen Munro mengunjungi Naturalis Biodiversity Center di Leiden dan ingin melihat koleksi dari Trinil sebelum ia bertolak ke Afrika. Karena kunjungan itu sangat singkat, kami hanya memperlihatkan koleksi itu untuk dipotret. Beberapa waktu setelahnya kami mendapat kiriman foto, ternyata salah satu fosil kulit kerang kami memiliki ukiran, hal yang sebelumnya tidak kami ketahui. Dari situlah penelitian tentang ukiran ini kemudian dimulai. Saat ini fosil kulit kerang itu dipamerkan di Naturalis dengan sudut pencahayaan yang sesuai agar ukirannya terlihat jelas Bagaimana memastikan bahwa hiasan itu dibuat oleh H. erectus secara sengaja, bukan oleh hewan lain maupun manusia saat telah menjadi fosil? Kami mengundang Francesco D’errico dari Univeversity Bordeaux, dia sangat ahli menyelidiki mana fosil yang asli dengan tiruan. Kemudian kami mencoba membandingkan pola di fosil dengan pola yang kami buat sendiri di cangkang kerang. Ternyata tidak mudah membuat pola seperti itu di kulit kerang yang keras. Perlu gerakan yang stabil dan bertenaga disertai kontrol motorik yang baik, sehingga kami menyimpulkan ukiran tersebut dibuat dengan sengaja oleh manusia purba, bukan binatang. Selain itu pola di fosil juga sudah terkikis, tidak lagi sejelas ukiran baru. Jadi pola itu tidak dibuat oleh manusia modern setelah digali dari Trinil. Endapan fluvial yang berada di dalam cangkang kerang itu juga menunjukkan bahwa cangkang tersebut berasal dari waktu yang sama dengan fosil H. erectus di Trinil. Hanya saja, sampai sekarang kita belum tahu mengapa mereka membuat hiasan itu dan untuk apa. Apa implikasi dari temuan ini? Selama ini kemampuan membuat ukiran baru ditemukan pada manusia modern (Homo sapiens) dan Neanderthal. Ini pertama kalinya kemampuan membuat hiasan ditemukan di Homo erectus, spesies yang lebih tua. Mereka mungkin lebih cerdas daripada yang selama ini kita duga. Kami tertarik mencari tahu lebih banyak tentang asal-usul spesies ini, dari mana mereka berasal, dan bagaimana mereka menyebar di Indonesia dan sekitarnya. Asia Tenggara, terutama Indonesia, merupakan tempat yang sangat sesuai untuk mempelajarinya. Adakah kemungkinan menengok kembali situs di Trinil setelah penemuan ini? Tentu. Kami berencana melakukan penelitian bersama Pusat Arkeologi Nasional Indonesia di Trinil, di lokasi yang sama dengan Eugene Dubois. Kami sedang menyiapkannya bersama mitra kami, Prof. Truman Simanjuntak. Penelitian awalnya akan dimulai pertengahan tahun ini. Salah satu yang ingin kami ketahui adalah berapa sebenarnya usia lapisan tanah di sana. *** Anggrita D. Cahyaningtyas | Nature (518) 2014 MEmpELAjARI EVOLUsI MANUsIA LEWAT ANTROpOLOGI MOLEKULER U mumnya, masyarakat berpandangan bahwa proses evolusi manusia dipelajari melalui penelitian terhadap fosil-fosil berusia ribuan tahun. Padahal proses evolusi dan perkembangan peradaban manusia ternyata juga bisa diketahui dengan melacak jejak genetiknya lewat ilmu antropologi molekuler. Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merupakan tempat penting untuk mempelajari perkembangan peradaban dan kreativitas manusia modern alias Homo sapiens. Berbagai penelitian dunia tentang Asia, termasuk penelitian genom populasi Asia yang turut dipelopori ilmuwan Indonesia, menyimpulkan bahwa Asia Tenggara merupakan stasiun utama penyebaran manusia modern dari Afrika ke kawasan timur Asia hingga ke Papua, Australia, bahkan Amerika. Profesor Sangkot Marzuki, Ketua AIPI yang juga merupakan salah satu penggagas penelitian tentang genom manusia tersebut mengatakan, ide penelitian tentang pemetaan genetik populasi Asia itu pertama kali tercetus dalam pertemuan Human Genome Organization (HUGO) Pacific Meeting di Bali lebih dari sepuluh tahun lalu. Ide itu kemudian dimatangkan dalam pertemuan-pertemuan HUGO Pacific selanjutnya di Shanghai, Kuala Lumpur, dan Singapura, bersama Profesor Chen Zhu dari Cina, Profesor Yoshi Sakaki dari Jepang, dan Profesor Edison Liu dari Singapura. Terbentuklah konsorsium penelitian berisi 99 peneliti dari sekitar 30 institusi di Asia. Negara-negara yang terlibat di dalamnya berperan seimbang meski tak semuanya memiliki teknologi untuk analisis genom mutakhir. “Konsepnya, negara-negara yang terlibat dalam konsorsium itu bisa saling memanfaatkan keunggulan teknologi maupun keunggulan populasi mereka,” ujar Sangkot kepada AIPI, Kamis, 21 Mei 2015. Misalnya, peneliti dari Indonesia bisa membawa sampel mereka ke laboratorium di Singapura, Korea, maupun Jepang. Penelitian tersebut akhirnya melibatkan lebih dari dua ribu sampel genetik dari beberapa populasi etnik di Asia. “Yang mengesankan, kerja sama besar di Asia ini berjalan tanpa MoU (Memorandum of Understanding), walaupun ada persetujuan dan janji bahwa tidak akan ada yang membuat publikasi lebih dulu sebelum paper utama bersama diterbitkan,” katanya. Ternyata, walaupun semua data kasar pemeriksaan genom langsung dimasukkan ke dalam suatu database yang dapat dibuka oleh setiap anggota konsorsium, tidak ada seorang pun yang melanggar perjanjian. Hasilnya mencengangkan. Berdasarkan analisis variasi genetik sebelumnya, telah diketahui bahwa Homo sapiens muncul pertama kali di Afrika Timur sekitar 160.000-200.000 tahun lalu. Diperkirakan, mereka mulai menyebar keluar dari Afrika sekitar 100.000 tahun lalu, kemudian tiba di kawasan Nusantara sekitar 60.000 tahun silam. Saat itu Paparan Sunda belum tenggelam. Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih menyatu dengan daratan Asia. Dari situ, barulah mereka menyebar ke pulau-pulau lain. Kesimpulan bahwa migrasi Homo sapiens dari Afrika ke Asia menyelusuri jalur selatan, dengan Asia Tenggara Legenda • Leluhur orang Asia paling muda • Negrito-Melayu • Negrito-Filipina • Penduduk Indonesia timur dan penghuni awal Kepulauan Pasifik • • • • • Austronesia Austro-Asiatik Tai-Kadai Hmong-Mien Altaic Dugaan rute migrasi prasejarah populasi Asia sebagai stasiun utama, sebelum penyebaran ke utara Asia dan ke timur Kepulauan Nusantara, Papua dan Australia, berbeda dengan pandangan umum saat itu bahwa nenek moyang manusia modern bermigrasi dari Afrika terutama melalui jalur utara Eropa dan utara Asia. Akibatnya publikasi penelitian itu sempat terhambat hingga dua tahun sebelum akhirnya diterbitkan di jurnal Science, “Mapping Genetic Human Diversity in Asia” pada Desember 2009. Penelitian antropologi molekuler tentang jejak genetik manusia itu kini diteruskan untuk menyelidiki persebaran populasi penutur bahasa Austronesia yang menghuni sebagian besar wilayah Indonesia. Sebagian besar populasi etnis Indonesia saat inidi luar Papua, Maluku, dan bagian timur Nusa Tenggarabertutur dalam bahasa serumpun, yaitu Austronesia. Diperkirakan terjadi penyebaran besarbesaran penutur rumpun bahasa Austronesia yang ditaksir berlangsung sekitar 4.000 tahun silam. Jika terbukti benar, diaspora terbesar dalam sejarah umat manusia tersebutmelebihi separuh lingkar dunia, mulai dari Madagaskar di Afrika hingga Pulau Paskah di Pasifiksangat penting dalam menjelaskan asal-usul manusia Indonesia sekarang. AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 | 6 10 ANGGOTA BARU AIPI P ada perayaan ulang tahun ke-25nya, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengukuhkan 10 anggota baru yang terpilih pada 2015. Penghitungan suara dilakukan dalam Rapat Badan Pekerja Terbuka di kantor AIPI Medan Merdeka Selatan pada 14 April 2015. Dalam rapat tersebut, 10 calon anggota dinyatakan mendapatkan suara kuorum dan terpilih menjadi anggota baru. Ketua Panitia Ad Hoc Pemilihan Anggota Baru AIPI 2015, Profesor Daniel Murdiyarso mengatakan puas dengan hasil tersebut. “Semua berjalan lancar, hanya memang harus diingatkan terus ketika masa pemungutan suara,” ujarnya kepada AIPI, setelah proses penghitungan suara, April 2015. Proses penjaringan calon anggota telah dilakukan sejak November 2014. Selanjutnya, para Ketua Komisi mengajukan nama-nama kandidat untuk dipilih oleh 45 anggota AIPI yang memiliki hak suara. Proses pemungutan suara tersebut berlangsung selama Februari hingga Maret 2015. Seperti diamanatkan oleh undangundang pendiriannya: pemilihan anggota baru dimulai dengan pencalongan oleh tiga anggota, pencalonan tersebut kemudian harus mendapat dukungan seperempat total anggota, baru dapat diajukan ke tahap pemilihan. Untuk terpilih dan dapat diangkat sebagai anggota AIPI, calon harus mendapat dukungan sedikitnya dua pertiga anggota dalam pemilihan tertutup. Berikut sepuluh ilmuwan terkemuka Indonesia yang terpilih menjadi anggota baru AIPI 2014, dari 18 kandidat yang diajukan. 1. Profesor Hendra Gunawan adalah Guru Besar Matematika di Institut Teknologi Bandung. Selain di bidang matematika, Pro Hendra Gunawan memiliki ketertarikan besar dalam dunia pendidikan. Institusi: Departemen Matematika, Institut Teknologi Bandung. Bidang keahliannya mencakup analisis fungsional dan analisis Fourier beserta aplikasinya. Pada 2009, Prof. Hendra Gunawan dianugerahi Australian Alumni Award for Excellence in Education oleh Australia Education International di Jakarta. 2. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA adalah guru besar di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Sejumlah penghargaan yang pernah diterimanya dari dalam dan luar negeri di antaranya adalah Riset Unggulan Terpadu (1998-2001), Indonesian Toray Science Foundation (2002), ARMP II (2003); International Atomic Energy Agency/IAEA (2004-2009); dan Food Agriculture Organization/FAO (2008 dan 2009). Ia pernah menjadi anggota Tim Penyusun Rancangan Undang- 7 | AIPI Newsletter Vol.2 Mei 2015 undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (2003-2009) serta Koordinator Bidang Perencanaan dan Pengembangan Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (2008). tanah dan rekayasa untuk berbagai struktur tanah. Prof. Masyhur menjadi Delegasi Republik Indonesia untuk mengikuti 3rd World Conference on Disaster Risk Reduction 2015 sebagai wakil dari Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI). 3. Prof. Dr. Djoko Tjahjono Iskandar adalah herpetolog—pakar amfibi dan reptil—serta guru besar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Sepanjang kariernya, ia telah menemukan 30 spesies katak dan reptil. Beberapa spesies dinamakan sesuai namanya, seperti Luperosaurus iskandari, Fejervarya iskandari, Collocasiomya iskandari, dan Draco iskandari. Dia juga menemukan Limnonectes larvaepartus, katak bertaring dari Sulawesi , satu-satunya katak yang tidak bertelur melainkan melahirkan kecebong. Dia pernah dianugerahi Habibie Award di Bidang Ilmu Pengetahuan Dasar pada 2005. 7. Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, S.E., M.A. guru besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran, Bandung, adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia dalam Kabinet Bersatu II. Armida sering berkiprah sebagai konsultan untuk Bank Dunia dan Australian Agency for International Development (AusAID). Pada April 2014, ia merupakan Wakil Ketua the 1st High Level Meeting of the Global Partnership for Effective Development Cooperation. 4. Prof. Dr. Endang Sukara adalah ahli bioteknologi. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan menjadi Wakil Ketua Komisi Bioetik Pemerintah-UNESCO dan Ketua Komita Nasional Manusia dan Biosfer-Unesco. Selain itu Prof. Endang juga pernah menjadi anggota Dewan Penasihat Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam pelaksanaan Protokol Nagoya. Protokol tersebut mengatur akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati. 5. Prof.Dr.I Ketut Aria Pria Utama, M.Sc. merupakan guru besar bidang hidrodinamika di Jurusan Teknik Perkapalan, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya. Ia memiliki ketertarikan besar di bidang ketahanan dan tenaga kapal, perancangan kapal, pendidikan maritim, dan hukum maritim. Sejak 2005, Profesor Ketut menjabat sebagai sekretaris di Royal Institution of Naval Architecture (RINA) untuk Indonesia. Ia mengepalai Departemen Arsitektur Kapal di ITS sejak 2011. 6. Prof. Ir. Masyhur Irsyam, M.Se., Phd adalah guru besar di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. Ia merupakan ahli perilaku 8. Prof. Dewi Fortuna Anwar, M.A., adalah guru besar Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat ini ia juga merupakan Ketua Institut Demokrasi dan Hak Azasi Manusia di The Habibie Center. 9. Prof. Ramlan Surbakti, M.A., Ph.D, adalah guru besar bidang politik di Universitas Airlangga. Selain berkarier sebagai akademisi, ia juga pernah menajdi Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum pada periode 20042007 dan pernah menjadi Kepala Pusat Kajian Pengembangan Otonomi Daerah di Kementerian Negara Otonomi Daerah. 10. Yudi Latif, M.A., Ph.D., merupakan Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia) dan Direktur Eksekutif Reform Institute. Yudi juga aktif sebagai anggota ahli Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) sejak 2009. Ia juga Anggota Dewan Pendiri Nurcholis Majid Society.