EKSPLORASI AGENS ANTAGONIS YANG BERPOTENSI MENEKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh: Nanang Sariyanto A06400020 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK NANANG SARIYANTO. Eksplorasi Agens Antagonis yang Berpotensi Menekan Penyakit Layu Fusarium pada Pisang. Dibimbing oleh EFI TODING TONDOK. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi agens antagonis yang berpotensi menekan penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) pada pisang (Musa sp). Calon agens antagonis ini diisolasi dari rizosfer tanaman pisang sehat. Pisang sehat ini tumbuh pada campuran media kotoran kambing, sampah dapur dan kotoran ayam. Sampel tanah diambil dengan cara mengambil dari lima titik sekeliling rumpun tanaman pisang sebanyak 1 kg, kemudian tanah tersebut dicampur, diambil 10 gram, selanjutnya dilakukan pengenceran berseri hingga 10-8 untuk mendapatkan calon agens antagonis dari kelompok aktinomiset dan bakteri tahan panas. Isolasi calon agens antagonis dari rizosfer pisang dengan campuran rabuk atau pupuk kandang kambing didapatkan 91 isolat, kemudian diikuti dari rabuk media campuran sampah dapur sebanyak 45 isolat dan kotoran ayam 32 isolat. Uji in vitro dilakukan sebagai seleksi awal isolat yang berpotensi menekan penyakit Foc. Dari uji in vitro, didapatkan 10 isolat yang menekan pertumbuhan Foc yaitu dari kelompok bakteri tahan panas : BYG01, BKK07, BKG11, BYG02, BYG07, BKK02, BSD07 dan BSD03 dan dari kelompok aktinomiset yaitu: AKG06, ASD04 dan AYG03. Setelah mendapatkan isolat yang berpotensi tersebut, maka dilakukan uji lanjutan secara in vivo pada jaringan tanaman pisang. Setiap perlakuan dari isolat maupun untuk kontrol negatif (tanpa infestasi Foc) dan kontrol positif (infestasi Foc) diulang sebanyak 10 tanaman pisang. Sebelum tanaman pisang di transplanting di polibag, media tanah seberat 2 kg diinfestasi inokulum patogen Foc dari perbanyakan 10 g jerami padi dengan kepadatan koloni 1,68.104 propagul/g, kemudian dibiarkan selama 5 hari. Setelah itu, media tanah sudah siap untuk ditanam pisang kultur jaringan (kultivar Cavendish) dari aklimatisasi selama 47 hari setelah pisang tersebut direndam pada suspensi agens antagonis BKK07 dengan kepadatan 5.5 x 1010 cfu/ml dan BKG 11 sebanyak 6.9 x 1010 cfu/ml selama 24 jam. Pengamatan dilakukan selama 65 hari setelah tanam. Peubah yang diamati dalam uji in vivo ini adalah keparahan penyakit dan tinggi tanaman. Hasil uji in vivo perlakuan infestasi isolat BKK07 dengan nilai skoring rata-rata sebesar 3,3 tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (Foc). Sedangkan isolat BKG11 dengan nilai skoring 2, menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan kontrol Foc (3,8), tetapi masih berbeda nyata dengan kontrol negatif pada α=5%. Sedangkan hasil pengamatan peubah tinggi tanaman dengan perlakuan BKK07 dan BKG11 menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap kontrol negatif (54.50 cm). Namun bila dibandingkan dengan tanaman pisang pada perlakuan terhadap kontrol Foc hanya perlakuan BKK 07 yang berbeda nyata. Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : EKSPLORASI AGENS ANTAGONIS YANG BERPOTENSI MENEKAN PENYAKIT FUSARIUM PADA PISANG : Nanang Sariyanto : A06400020 Menyetujui, Dosen Pembimbing Efi Toding Tondok, SP, MSc.Agr NIP 132 158 759 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr. NIP 130 422 698 Tanggal Lulus : ..................................... RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 23 November 1981 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bp. W. Prapto Suwito dan Ibu Tuginem. Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri 1 Gondang, Sragen. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Di IPB penulis aktif sebagai staff Forum Kajian Pertanian BEM Fakultas Pertanian IPB tahun 2002-2003, Praktek Kerja Lapang di OISCA International cabang Karanganyar, Surakarta pada tahun 2002-2003, penulis pernah menjadi Asisten Dosen mata kuliah Ilmu Penyakit Tumbuhan Umum pada tahun 20022003. Dan Magang Kerja di perusahaan M&Y Shimota Farm Co. Ltd, Jepang pada tahun 2004-2005. PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT yang atas kuasa dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul, ” Eksplorasi Agens Antagonis yang Berpotensi Menekan Penyakit Fusarium pada Pisang”, sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana. Penelitian ini di lakukan di laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB dari bulan November 2003 sampai Juni 2004 dan dilanjutkan lagi pada bulan September hingga bulan Desember 2005. Penulisan skripsi ini tentu membutuhkan ketekunan dan kesabaran serta adanya perhatian dan sumbangsih dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan terima kasih kepada : Orangtua yang kucintai Bp. W. Prapto Suwito dan Ibu Tuginem, mas Wardoyo, mas Warsito, (Alm.) mas Winarno, dan adikku Retno Kanthiningsih. Mereka semua senantiasa memberikan terus perhatian, dorongan semangat dan kasih sayang selama penulis belajar. Aku bangga mejadi bagian dari keluarga ini. Ibu Efi Toding Tondok, SP, MSc.Agr atas perhatian, bantuan, dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ibu Dr. Endang Sri Ratna, selaku dosen penguji tamu serta atas perhatian dan bimbingannya. Dosen dan staff karyawan Departemen Proteksi Tanaman. Mr dan Mrs Masuo Shimota, Nojojo-san, Senmu dan staff karyawan di Perusahaan M&Y Shimota Farm Co. Ltd. Bp. Ir. Fahrizal Hazra,MSc (Ferry Sensei). Imam, Novan, Dini, Hari, Edwin Zawe dan Ocha. Mugito (Sengkuni), Agus (Rahwono), den bagus Herik Sugeru dan Mr_Punk atas kebersamaan, gelak tawa dan obrolan khayalan masa depan dan petuah hidup. Mbak Ana, mbak Nia, Iik, Simon, Ichan, Ola, Ayu, Yayah, Isti, Bp Kosim, Bp Dadang dan semua warga lab Mikologi, terima kasih atas bantuan selama penelitian. Simbah Nang, Pakde, mbokde, paklik, bulik, mas Wawan, Rudi , Dewi dan semua familiku yang telah membantu baik materi maupun non materi. Dan semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung maupun tidak langsung, dari lubuk hati yang dalam, saya menghaturkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala amal ibadah dan kebaikannya kepada mereka semua. Kesalahan dalam penulisan skripsi ini tentu datang dari saya pribadi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat sebagai mana mestinya. Bogor, Januari 2006 Nanang Sariyanto i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................ 1 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang ........................................................................................... 4 Fusarium oxysporum f.sp. cubense (E.F Smith) Synd & Hans. .................. 4 Siklus Penyakit dan Epidemiologi ............................................................... 5 Gejala Serangan Penyakit ............................................................................ 6 Pengendalian Hayati..................................................................................... 6 Agens Antagonis Bakteri Tahan Panas......................................................................... 7 Aktinomiset ...................................................................................... 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 10 Perbanyakan F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) ......................................... 10 Isolasi dan Perbanyakan Mikroorganisme Calon Antagonis ...................... 10 Screening Isolat Secara in vitro................................................................... 11 Uji Agens Antagonis Secara in vivo............................................................ 13 ii Peubah yang Diamati Tinggi Tanaman .............................................................................. 15 Keparahan Penyakit ........................................................................ 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Pengujian Isolat Agens Antagonis Secara in vitro....... 16 Uji Agens Antagonis Secara in vivo................................................ 22 Pembahasan..................................................................................................25 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 30 LAMPIRAN iii DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah isolat yang diperoleh selama isolasi calon agens antagonis dari berbagai media tanam pisang dengan bahan organik berbeda ...............................16 2. Rata-rata persen penghambatan pertumbuhan patogen Foc oleh bakteri tahan panas dan aktinomiset secara in vitro...........................................................19 3. Nilai rata-rata tinggi tanaman dan nilai skoring pisang pada uji in vivo................24 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pengukuran daya hambat calon agens antagonis terhadap pertumbuhan Foc secara uji in vitro....................................................................................................13 2. Hasil uji antagonisme bakteri terhadap Foc secara in vitro ...................................18 3. Hasil uji antagonisme aktinomiset terhadap Foc secara in vitro............................21 4. Uji antagonisme bakteri terhadap Foc secara in vivo pada tanaman pisang kultivar Cavendish ......................................................................................22 5. Bonggol pisang hasil uji in vivo yang diukur keparahan penyakitnya...................24 EKSPLORASI AGENS ANTAGONIS YANG BERPOTENSI MENEKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG Oleh: Nanang Sariyanto A06400020 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang (Musa spp.) merupakan salah satu komoditi hortikultura penting di Indonesia yang diusahakan secara meluas di dataran rendah sampai dataran tinggi. Tanaman pisang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi serta mempunyai prospek sebagai komoditi ekspor. Pisang segar di Indonesia dari tahun 1993 hingga 1997 menempati urutan pertama dari volume dan nilai ekspor buah, diikuti oleh buah manggis dan mangga (Rahmalia 2001). Di Indonesia luas lahan kebun pisang yang ada sampai tahun 2001 seluas 76.923 ha dengan produksi 4.300.422 ton. Namun penanaman pisang pada daerah sentra produksi pisang tersebar dengan kepemilikan lahan yang kecil, kurang diolah dengan tehnologi yang maju dan mutunya terutama penampilan luarnya kurang menarik. Selain itu kendala utama yang dihadapi di beberapa sentra produksi pisang dalam 10 tahun terakhir adalah serangan penyakit layu fusarium. Penyakit itu disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht f. sp. cubense (E.F.Smith) Synd. & Hans. (DEPTAN 2001). Dalam hal ini pengembangan perkebunan pisang dalam skala besar-besaran akan menghadapi kendala dan ancaman serius dari penyakit layu fusarium ini. Penyakit layu fusarium sudah menjadi masalah yang utama di berbagai pertanaman pisang dunia. Penyakit tersebut telah meluas baik pada pertanaman pisang pekarangan maupun perkebunan. Pada tahun 1890 hingga tahun 1960 penyakit layu fusarium telah menghancurkan 40. 000 ha tanaman pisang rentan Gros Michel di Amerika Latin dan Carribean. Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit layu panama karena penyakit layu fusarium tersebut pertama kali epidemik di negara Panama (Moore et al. 2001). Menurut Muharam et al. (1992), di Indonesia penyakit ini telah menyebar luas di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Beberapa tahun terakhir ini, penyakit tersebut telah menyebabkan kerusakan di pertanaman pisang dan mengakibatkan kerugian besar di beberapa daerah sentra produksi pisang seperti Lampung, Mojokerto, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Oleh karena itu dikhawatirkan Indonesia juga akan menjadi sumber Foc ( Sulyo 1992; Djatnika & Wakiah 2 1992). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit layu fusarium mempunyai potensi untuk terus berkembang dan menjadi salah satu kendala yang harus dipertimbangkan dalam rangka pengembangan pisang secara besar-besaran. Penyakit layu fusarium ini dapat menjadi epidemik yang akan menyebar di perkebunan Sumatra, Indonesia dan Johor, Malaysia dalam waktu dekat (Moore, et al. 2001). Beberapa teknik pengendalian telah dilakukan seperti fungisida, kultur teknis dan kultivar yang resisten, tetapi masih juga menjadi masalah. Penggunaan fungisida diketahui selain memberikan dampak positif juga dapat memberikan ancaman terhadap kualitas lingkungan, keseimbangan ekosistem maupun kesehatan manusia. Di samping itu perlakuan fungisida dapat merangsang timbulnya strain/ras cendawan baru yang lebih resisten terhadap fungisida dan matinya mikroorganisme yang berguna dalam tanah serta yang lebih berbahaya adalah terdapatnya residu pestisida pada buah pisang yang akan dikonsumsi oleh manusia dan akhirnya dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan (Susanna 2000). Alternatif pengendalian lain yaitu penggunaan mikroorganisme antagonis yang relatif belum banyak dilakukan di Indonesia. Menurut Cook dan Baker (1983), usaha penanggulangan penyakit tanaman dengan cara biologis mempunyai peluang yang cukup cerah karena organismenya telah tersedia di alam dan aktivitasnya dapat distimulasi dengan memodifikasi lingkungan maupun tanaman inang. Keuntungan dalam menggunakan mikroorganisme antagonis sebagai pengendalian biologis antara lain : aman terhadap lingkungan, tidak ada efek residu, aplikasinya bersifat berkelanjutan, sustainabel karena yang digunakan organisme hidup yang dapat memperbanyak diri sehingga dapat mengurangi aplikasi yang berulang-ulang, serta kompatibel dengan pengendalian lain. Keanekaragaman dari mikroorganisme antagonistik dan kekayaan sumber daya alam dalam tanah pertanian sebenarnya menjanjikan peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengendalian hayati terhadap penyakit tanaman (Sitepu 1995 dalam Susanna 2000). 3 Tujuan Penelitian Untuk mengekplorasi calon agens antagonis dari kelompok aktinomiset dan bakteri tahan panas yang berpotensi dalam menekan penyakit layu F. oxysporum f.sp. cubense (Foc). Manfaat Penelitian Untuk memperoleh beberapa isolat calon agens antagonis yang berpotensi (tinggi) dan efektif dalam menekan penyakit Foc. 4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang Tanaman pisang merupakan tanaman serba guna, mulai dari akar (rhizome) sampai daun dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bonggol pisang banyak mengandung air dan pati (kaya karbohidrat), jika dikeringkan akan menjadi bahan baku sabun dan pupuk kalium. Air yang terkandung di bonggol dapat digunakan sebagai obat (anti sakit perut, amandel, dan pendarahan usus). Batang digunakan sebagai serat (bahan baku kain) dan pakan ternak. Daunnya dapat digunakan untuk membungkus berbagai makanan. Produk utama tanaman pisang adalah buahnya. Buah pisang dimanfaatkan dalam keadaan segar (buah meja) atau olahan (plantain). Buah pisang dapat diproses menjadi tepung pisang, sale, kripik, dan dodol. Jantung (bunga) pisang dari beberapa kultivar tertentu dapat dimanfaatkan sebagai sayuran (Suketi & Gunawan 1999). Tanaman pisang dapat tumbuh baik pada berbagai tanah, namun akan lebih optimal bila ditanam pada tanah liat berkapur atau alluvial. Rentang pH yang dikehendaki berkisar antara 4,5 – 7,5. Pada tanah yang lapisan top soil tebal dan banyak humus, tanaman pisang dapat tumbuh secara optimal. Suhu yang dikehendaki untuk pertumbuhan yang normal antara 18 oC sampai 38 oC. Akan tetapi suhu 27 oC merupakan suhu yang optimal untuk pertumbuhan tanaman pisang. Selain hal itu tanaman pisang juga membutuhkan air kurang lebih sebanyak 25 mm/minggu atau membutuhkan curah hujan antara 1.500 – 2.500 mm/tahun (Kurnia 2003). Fusarium oxysporum f.sp. cubense (E.F. Smith) Synd. & Hans (Foc). F.oxysporum f.sp.cubense (Foc) merupakan patogen tular tanah (soil borne) yang bersifat penghuni tanah (soil inhabitant) dan memiliki ras fisiologi yang berbeda. Patogen ini dapat menimbulkan penyakit yang bersifat monosiklik sehingga strategi pengendalian yang efektif hingga kini belum ditemukan. Sebagai penghuni tanah, patogen Foc dapat bertahan dalam berbagai tanah untuk puluhan tahun walaupun tanpa tanaman inang. 5 Dahulu cendawan ini dikenal sebagai Fusarium cubense E.F. Smith. Cendawan ini termasuk dalam fungi imperfek. Cendawan membentuk konidium pada suatu badan yang disebut sporodokium yang dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tangkai yang telah tua. Konidiofor bercabang dan rata-rata mempunyai panjang 70 μm, cabang-cabang samping biasanya bersel satu, panjang sampai 14 μm, konidium terbentuk pada ujung cabang utama dan pada cabang samping. Mikrokonidium bersel satu atau dua, hialin, jorong atau agak memanjang, berukuran 5-7 x 2,5-3 μm. Makrokonidium berbentuk sabit, bertangkai kecil, kebanyakan bersel 4, berukuran 22-36 x 4-5 μm. Klamidospora bersel satu, jorong atau bulat, berukuran 7-13 x 7-8 μm, terbentuk di tengah hifa atau pada makrokonidium, seringkali berpasangan (Semangun 1994). Konidianya biasanya mempunyai 3-5 septa dan sel apikal yang tipis serta sel dasarnya yang berbentuk kaki. Klamidosporanya dapat berbentuk tunggal atau berpasangan (Ploetz 1994). Siklus Penyakit dan Epidemiologi Penyakit ini terutama menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit di dekatnya (Semangun 1994). Selain itu penularan dapat juga terjadi melalui bibit, tanah yang terinfestasi, tanah yang melekat pada alat-alat pertanian, perendaman tanah, aliran air pada permukaan tanah serta sisa-sisa tanaman sakit (Sulyo dan Muharam et al. 1992). Penyakit menyebar cepat pada tanah-tanah bertekstur ringan atau berpasir yang memiliki drainase jelek dan masam (Muharam et al. 1992). F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) termasuk cendawan yang bersifat soil-borne yang dapat bertahan hidup lebih lama di dalam tanah dalam bentuk klamidiospora sampai adanya rangsangan untuk berkecambah yang berasal dari jaringan tanaman segar yang belum terkolonisasi cendawan patogen atau ekskresi akar (Semangun 1994). Cendawan penyebab penyakit ini masuk ke dalam akar melalui lubang-lubang alami atau luka, lambat laun masuk ke bonggol. Patogen berkembang sangat cepat menuju batang sampai ke jaringan pembuluh sebelum masuk ke batang semu palsu. Pada tingkat infeksi lanjut miselium akan meluas dari jaringan pembuluh ke 6 parenkim, selanjutnya patogen membentuk konidia dalam jaringan tanaman dan mikrokonidia dapat terangkut melalui xilem dalam arus transpirasi (Sulyo 1992). Gejala Serangan Penyakit Gejala yang tampak pada tanaman sakit berupa tepi daun-daun bawah berwarna kuning tua kemudian menjadi coklat dan mengering. Rata-rata lapisan luar batang palsu terbelah dari permukaan tanah. Pada bagian dalam, apabila dibelah terlihat garis-garis coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai. Berkas pembuluh akar tidak berubah warnanya, namun sering akar tanaman sakit berwarna hitam dan membusuk (akan tampak pada tanaman yang berumur 5-10 bulan) (Semangun 1994). Gejala dari layu fusarium pada awalnya terjadinya penguningan tepi daun pada daun-daun yang lebih tua. Gejala menguning berkembang dari daun tertua menuju ke daun-daun termuda. Daun-daun yang terserang secara berangsurangsur layu pada tangkainya atau yang lebih umum pada dasar ibu tulang daun dan menggantung ke bawah menutupi batang semu (Eliza 2004). Mekanisme kelayuan pada tanaman uji yang terinfestasi Foc, karena cendawan yang dapat hidup di dalam tanah dapat menyerang tanaman. Selanjutnya berpenetrasi ke dalam akar, dari akar cendawan tumbuh dan berkembang hingga mencapai bonggol pisang. Akhirnya di dalam bonggol dan pembuluh xylem cendawan ini berkolonisasi dan menginfestasi secara cepat. Akibatnya akar tanaman dan bonggol serta pembuluhnya terinfeksi Foc. Infeksi Foc pada tanaman pisang, akan menganggu proses penyerapan, transportasi air dan zat makanan di dalam tanah, sehingga tanaman menjadi layu dan akhirnya mati (Maimunah 1999). Pengendalian Hayati Pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum dalam keadaan aktif maupun dorman atau aktivitas patogen sebagai parasit oleh satu atau lebih organisme yang berlangsung secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau agens antagonis dengan introduksi secara massal satu atau lebih 7 organisme antagonis (Cook & Baker 1983). Agens pengendalian hayati potensial meliputi : 1) mikroorganisme antagonis; 2) metabolit toksik yang merupakan metabolit-metabolit sekunder tanaman; dan 3) manipulasi tanaman inang (Wilson 1991 dalam Susanna 2002). Selanjutnya dijelaskan bahwa mikroorganisme antagonis ini dapat langsung menghambat patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi dengan patogen-patogen terhadap makanan atau tempat, menginduksi proses ketahanan dalam inang serta langsung berinteraksi dengan patogen. Agens Antagonis Bakteri Tahan Panas Disebut sebagai bakteri tahan panas karena bakteri ini memiliki endospora yang tahan terhadap panas, sehingga dapat bertahan hidup lebih lama. Bakteri pembentuk endospora ada yang bersifat aerobik dan ada yang bersifat anaerobik. Bakteri ini beserta endopsoranya tersebar luas di dalam tanah. Sel bakteri ini pada umumnya berbentuk batang, ada yang motil karena memiliki flagella dan ada juga yang nonmotil dan dengan reaksi gram yang umumnya positif. Selain di tanah, bakteri ini ada juga yang hidupnya di air dan lingkungan akuatik lainnya. Beberapa genus yang termasuk ke dalam kelompok bakteri ini adalah Bacillus spp. yang bersifat aerobik dan Clostridium yang bersifat anaerobik. Bacillus merupakan genus dengan bentuk sel batang dengan ukuran 0,3-2,2 μm x 1,27-7,0 μm. Sebagian besar spesiesnya bersifat motil dengan flagellum khas lateral, membentuk endospora tetapi tidak lebih dari satu dalam satu sel sporangium. Reaksi gramnya adalah gram positif, bersifat kemoorganotrof, metabolismenya dengan respirasi sejati atau fermentasi sejati atau kedua-duanya. Bakteri ini bersifat aerobik sejati atau anaerobik fakultatif dan umumnya dijumpai dalam tanah (Pelczar & Chan 1986). Mikroorganisme dari kelompok bakteri banyak yang mempunyai peranan sebagai agens pengendali biologi secara potensial dalam menekan penyakit layu yang disebabkan oleh patogen tular tanah (Foc). Bakteri yang mempunyai potensi agens antagonis antara lain: Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. Bakteri P. fluorescens merupakan komponen agens antagonis yang penting dalam rizosfer 8 tanah. Bakteri agens antagonis tersebut dapat menekan cendawan atau bakteri lain dengan antibiosis, kompetisi nutrisi atau parasitisme langsung. Umumnya aktifitas organisme yang satu dengan organisme yang lain, akan saling bersaing terhadap tempat, udara, air dan bahan makanan (nutrient) (Susanna 2000). Aktinomiset Aktinomiset adalah mikroorganisme yang mampu menghasilkan hifa yang bercabang dan berkembang menjadi miselium di dalam tanah. Hifa tersebut bisa berukuran panjang, walaupun ada beberapa kelompok aktinomiset yang filamennya berukuran pendek. Genus Streptomyces termasuk ke dalam kelas aktinomiset yang merupakan kelompok bakteri berhifa dengan diameter 0,5 – 1,0 μm, aerob, gram positif dan berproduksi dengan spora yang dihasilkan miselium aerial. Miselium aerial dan miselium substrat yang berpigmen memberi karakteristik warna dan koloni Streptomyces. Keberadaan Streptomyces menjadi sangat penting karena kemampuan menghasilkan sejumlah metabolit sekuder. Beberapa antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces antara lain: eritromisin, kanamisin, neomisin, streptomisin dan tetrasilin (Medigan et al. dalam Yuliani 1999). Ordo aktinomicetales telah mendapatkan perhatian khusus, sebab beberapa strain aktinomiset berkapasitas dalam memproduksi metabolisme yang bersifat racun. Ada sebanyak 3 – 4 isolat Streptomycetes yang telah dilaporkan mampu menghasilkan agens antimikrobial yang dikenal sebagai antibiotik. Seperti Streptomyses scabies dan S. ipomoea yang mempunyai kemampuan sebagai agens antagonis terhadap patogen yang disebabkan oleh penyakit tular tanah (soil borne) (Alexander 1978). Streptomyces ambofaciens mampu mengontrol penyakit kekeringan yang disebabkan oleh Pythium sp. pada tomat dan penyakit layu fusarium pada tanaman kapas (Redd & Rao dalam Syefiyanah 2000). Di bidang farmasi Streptomyces sp. juga dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli (penyebab diare). Antibiotik yang dihasilkan tersebut juga bermanfaat dalam dunia industri makanan dan minuman, campuran pakan ternak serta agens bakterial dalam deterjen (Widuretno 2000). 9 Kelompok bakteri ini besar lagi amat beragam. Ciri pemersatu ialah pleomorfisme sel-selnya dan kecenderungan membentuk hifa bercabang. Pada beberapa kelompok taksonomi (famili) hifa-hifa itu bersatu membentuk miselium. Ciri utamanya antara lain: morfologi sel sangat beragam dan pleomorfik, bentuk batang tak beraturan dan filamen bercabang, struktur miselium nonmotil; gram positif; aerobik, anerobik fakultatif. Habitatnya di tanah, lingkungan akuatik, air, dan binatang (termasuk manusia) (Pelczar & Chan 1986). Walaupun aktinomiset dikelompokkan ke dalam bakteri, namun aktinomiset tersebut mempunyai dua sifat yang hampir mirip dengan cendawan antara lain: 1) Bagian miselium aktinomiset mempunyai karakteristik yang luas atau mirip dengan cendawan; 2) Seperti cendawan, beberapa aktinomiset mempunyai bentuk miselium antena sebagai konidia. Keunikan lain aktinomiset sehingga dikelompokkan ke dalam bakteri antara lain: beberapa genus aktinomiset berflagella, mempunyai komposisi membran sel mirip bakteri dan sensitif antibakterial (Alexander 1978). 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Penelitian berlangsung dari bulan November 2003 sampai bulan Juni 2004 dan dilanjutkan lagi pada bulan September hingga bulan Desember 2005. Perbanyakan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Sumber inokulum F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) berasal dari koleksi Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Isolat Foc itu telah diuji ras dan patogenesitasnya. Kemudian isolat Foc tersebut diperbanyak di media PDA untuk uji in vitro berikutnya. Sedangkan untuk pengujian in vivo, isolat Foc tersebut diperbanyak di media jerami padi dengan cara jerami padi dipotong kecil-kecil, lalu diblender hingga cukup halus. Jerami tersebut kemudian direndam dalam air selama 24 jam. Jerami yang telah direndam tersebut diperas dan dimasukkan ke dalam wadah untuk disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 20 menit. Setelah jerami tersebut steril, maka siap untuk diinokulasi dengan Foc. Foc diperbanyak di PDA dalam cawan selama 5 hari. Ke dalam cawan tersebut ditambahkan air steril ± 3 ml, lalu diaduk hingga merata dengan spatula. Inokulum Foc tersebut dimasukkan ke dalam jerami padi. Inkubasi dilaksanakan pada suhu ruang selama 30 hari. Isolasi dan Perbanyakan Mikroorganisme Calon Antagonis Isolat mikroorganisme calon antagonis diisolasi dari tanah rhizosfer tanaman pisang dengan metode pengenceran berseri. Sampel tanah diambil dari lima titik sekeliling tanah rhizosfer tanaman pisang sehat yang media tanahnya mengandung bahan organik yaitu dari sampah dapur, kotoran kambing dan kotoran ayam. Tanah sampel tersebut diambil pada daerah yang berbeda yaitu Gunung Gede, Karawang dan Darmaga. Masing-masing sampel tanah diambil sebanyak 1 kg dengan kedalaman 0-30 cm dari lima titik sekeliling tanaman pisang tersebut. Kemudian sampel tanah dicampur sampai merata (homogen). 11 Sebanyak 10 g contoh tanah disuspensikan dengan 90 ml air steril dalam erlenmeyer kapasitas 250 ml. Suspensi tersebut dikocok dengan menggunakan rotary shaker berkecepatan 200 rpm selama 15 menit, selanjutnya dipindahkan sebanyak 1 ml ke dalam 9 ml air steril pada tabung reaksi. Dengan demikian diperoleh tingkat pengenceran 10-2 dan seterusnya dilakukan pengenceran dengan cara yang sama dan diperoleh suspensi 10-3 , 10-4 , 10-5 sampai 10-8. Untuk mendapatkan aktinomisetes, tiap 0,5 ml masing-masing suspensi dari tingkat pengenceran 10-5 dan 10-6 dituang ke dalam cawan petri yang berisi media PDA. Kemudian suspensi pada permukaan media diratakan dengan spatula dan dibiarkan hingga kering. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu ruang selama 2-3 hari, masing-masing pengenceran tersebut diulang sebanyak 4 kali. Mikroorganisme yang tumbuh kemudian dimurnikan dengan memindahkan isolat ke media PDA lain dengan mengambil mikroorganisme yang berbeda-beda berdasarkan warna dan bentuk koloni yang ada. Mikroorganisme yang telah diperoleh dimurnikan. Selanjutnya dibuat kultur sediaan pada PDA miring dan disimpan untuk pengujian selanjutnya. Isolat bakteri tahan panas diperoleh dari suspensi hasil pengenceran 10-7 dan 10-8. Selanjutnya dipanaskan pada air dengan suhu 80oC selama 30 menit, setelah itu suspensi dibiarkan hingga dingin. Suspensi diambil sebanyak 0,5 ml dan disebar pada medium Tryptic Soy Agar 0,1 (TSA) dalam cawan petri, kemudian diratakan dengan spatula dan dibiarkan hingga kering. Setelah kering cawan diinkubasikan selama 48 jam pada suhu kamar. Pemurnian beberapa macam bakteri dilakukan setelah 48 jam berdasarkan bentuk dan warna koloni yang berbeda dengan cara menggoreskan koloni tunggal bakteri dengan metode kuadran pada medium TSA 0,1. Setelah benar-benar murni dan didapatkan koloni tunggal maka isolat disimpan dalam media NA miring untuk pengujian berikutnya. Screening Isolat Secara in vitro Uji ini dilakukan untuk memilih beberapa isolat sebagai kandidat agens antagonis yang berpotensi menekan penyakit F. oxysporum f.sp. cubense (Foc). 12 Hal pertama yang dilakukan pada uji ini yaitu perbanyakan biakan Foc yang telah diisolasi pada media PDA. Pada uji bakteri tahan panas, potongan medium PDA berdiameter 0,5 cm yang telah ditumbuhi Foc diletakkan di tepi cawan petri (diameter 9 cm) dengan jarak 3 cm dari tepi cawan petri tersebut yang telah berisi medium PDA. Setelah 2 hari bakteri antagonis diinokulasi pada sisi yang berlawan dengan Foc dengan jarak 3 cm. Selanjutnya diamati perkembangan pertumbuhan Foc selama satu minggu untuk melihat ada tidaknya zona hambatan di antara koloni bakteri dan Foc tersebut. Daya hambat calon agens antagonis dikelompokkan berdasarkan (1) tidak terdapat zona bening diantara koloni patogen dan koloni; (2) terdapat zona bening di antara koloni patogen dan koloni bakteri sampai satu minggu, kemudian koloni patogen mampu melewati koloni bakteri dan (3) terdapat zona bening di antara koloni patogen dan koloni bakteri sampai lebih dari dua minggu (Maria 2002). Pada uji lanjutan, bakteri antagonis yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan patogen ditandai dengan adanya zona bening selama seminggu. Kemudian isolat yang berpotensi tersebut diuji kembali untuk dihitung persentase perkembangan zona hambatannya. Uji lanjut ini dilakukan dengan cara biakan Foc diletakkan pada cawan petri yang berisi media PDA pada satu sisinya dan diinkubasikan selama 2 hari. Kemudian bakteri antagonis diletakkan pada sisi yang berlawanan dengan cara digoreskan. Screening isolat aktinomiset dilakukan dengan metode yang sama pada isolat bakteri tahan panas. Pengamatan dilakukan setiap hari selama seminggu setelah pemberian calon antagonis. Kemudian diukur zona hambatan (zona bening diantara Foc dengan bakteri antagonis) dan jari-jari koloni Foc. Persentase penghambatan pertumbuhan koloni patogen dihitung dengan menggunakan rumus Fokkema (1976) dengan melakukan pengukuran jari-jari koloni patogen Foc yang menjauhi agens antagonis (P1) dan jari-jari koloni patogen Foc yang mendekati agens antagonis (P2) (Maria 2002). 13 % penghambatan = (P1 − P2 ) × 100% P1 Keterangan: : Fusarium oxysporium f.sp. P2 cubense (Foc) : Isolat calon agens antagonis P1 3cm 3cm P1 : Kontrol P2 : Zona terhambat 3cm Gambar 1. Pengukuran daya hambat calon agens antagonis terhadap pertumbuhan Foc secara in vitro. Uji Agens Antagonis Secara in vivo Sebelum melakukan uji agens antagonis secara in-vivo, maka terlebih dahulu perlu memperbanyak suspensi calon agens antagonis. Agens antagonis yang berpotensi ini diperoleh setelah melalui tahap screening. Agens antagonis dari bakteri dan aktinomiset ditumbuhkan di dalam cawan yang telah diberi NA. Bakteri dan aktinomyset antagonis diambil dari biakan dan digoreskan pada media NA, lalu diinkubasi selama 24-48 jam. Setelah agens antagonis tersebut tumbuh, maka media NA diberi air steril secukupnya dan dikerok dengan spatula hingga agens antagonis tersebut terkelupas (metode pemanenan). Kemudian suspensi yang diperoleh dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang telah berisi air steril 150 ml. Suspensi tersebut kemudian dikocok dengan rotary shaker dengan kecepatan 130 rpm selama 48 jam. Untuk menghitung kepadatan koloni dalam suspensi tersebut dilakukan pengenceran hingga 10-8 . Hasil pengenceran dari 10-6 hingga 10-8 diambil sebanyak 0,1 ml, kemudian dituangkan pada media NA, diaduk dengan spatula hingga rata dan kering. Masing-masing pengenceran tersebut diulang sebanyak 5 cawan petri. Jumlah koloni dihitung setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Sedangkan untuk menghitung jumlah koloni Foc dengan 14 cara mengambil 1 g jerami padi yang telah ditumbuhi Foc dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi air steril 9 ml. Di kocok kemudian diambil ± 1 ml dan dihitung jumlah propagul dengan alat haemacytometer. Uji in vivo ini dilakukan dua kali percobaan. Uji in vivo pertama digunakan agens antagonis aktinomiset (ASD 04, AYG 03 dan AKG 06) dan bakteri tahan panas (BKK 07, BYG 01 dan BKG 11). Pada uji in vivo pertama, tanaman pisang hasil kultur jaringan dilukai dengan memotong akarnya dan dicelupkan saja pada suspensi agens antagonis tersebut, tanpa perendaman yang lama. Foc diinfestasikan ke dalam media tanah dan dibiarkan selama 2 minggu sebelum ditanami pisang. Hasil pengamatan dahulu menunjukkan semua pisang menunjukkan layu fusarium yang parah dan akhirnya tanaman pisang perlakuan mati. Untuk itu pada percobaan in vivo yang kedua, infestasi Foc ke dalam media tanah dikurangi konsentrasinya dan waktu inkubasi Foc dalam tanah diperpendek. Untuk uji in vivo yang kedua agens antagonis yang digunakan dalam uji ini dipilih isolat yang terbaik dari uji in vitro yaitu dari kelompok bakteri (BKK 07 dan KKG 11). Tanaman pisang untuk percobaan ini dari varietas Cavendish yang berasal dari hasil kultur jaringan. Sebelum digunakan pisang tersebut terlebih dahulu diaklimatisasi pada media arang sekam steril selama 48 hari. Kemudian akar tanaman pisang dibersihkan dengan air dan dilukai dengan cara memotong pada ujung akarnya, lalu direndam di dalam suspensi bakteri selama 24 jam. Media tumbuh tanaman pisang berasal dari tanah kebun dan dicampur dengan pupuk bokashi dengan perbandingan 4:1, dimasukkan ke plastik polibag dengan berat 2 kg tanah. Sebelum tanaman pisang dipindahkan ke polibag, media tanah tersebut infestasikan inokulum patogen Foc dari perbanyakan jerami padi sebanyak 10 gram dengan kepadatan koloni 1,68 x 104 propagul/g, sehingga dalam satu polibag tanah terdapat 1,68 x 105 propagul kemudian dibiarkan selama 5 hari. Setelah itu, media tanah sudah siap untuk ditanami pisang kultur jaringan dari aklimatisasi yang telah direndam pada suspensi agen antagonis BKK 07 dengan kepadatan koloni sebanyak 5,5 x 1010 cfu/ml dan BKG 11 sebanyak 6,9 x 1010 cfu/ml selama 24 jam. Pengamatan dilakukan hingga 65 hari setelah penanaman. 15 Peubah yang Diamati Tinggi Tanaman Tinggi tanaman pisang diukur dari pangkal batang dekat tanah hingga ujung daun tertinggi. Pengukuran tinggi tanaman ini dilakukan pada hari ke-65 sebelum tanaman tersebut dipanen untuk menghitung persen keparahan penyakit. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh introduksi mikroorganisme antagonis terhadap tinggi tanaman perlakuan. Keparahan Penyakit Keparahan penyakit ini dihitung dengan cara memotong bonggol pisang yang telah berumur 65 hari setelah tanam. Nilai skoring (skala diskolorisasi) dihitung dengan metode Corderio (1994) dalam Susanna (2000): 0 = tidak ada diskolorisasi pada bonggol pisang (v =0) 1 = diskolorisasi 0 < v ≤ 10% 2 = diskolorisasi 10% < v ≤ 33% 3 = diskolorisasi 33% < v ≤ 66% 4 = diskolorisasi 66% < v ≤ 100% 5 = diskolorisasi 100% 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Pengujian Isolat Agens Antagonis Secara in vitro Isolasi calon agens antagonis dilakukan dari media tanah rizosfer tanaman pisang sehat. Calon agens antagonis yang diinginkan adalah dari kelompok bakteri dan aktinomiset. Tiap isolat dibedakan berdasarkan warna, bentuk koloni, dan elevasi koloninya. Jumlah isolat calon agens antagonis yang diperoleh selama mengisolasi calon agens antagonis sebanyak 168 isolat, bakteri tahan panas 75 isolat dan aktinomiset sebanyak 93 isolat. Tabel 1. Jumlah isolat yang diperoleh selama isolasi calon agens antagonis dari berbagai media tanam pisang dengan bahan organik berbeda Media Bakteri tahan panas Aktinomiset Total Kotoran ayam 11 21 32 Kotoran kambing 40 51 91 Sampah dapur 24 21 45 Setelah mendapatkan isolat calon agens antagonis tersebut, dilakukan screening dengan patogen F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) secara in vitro. Dari screening tersebut didapatkan 10 isolat berpotensi menekan penyakit Foc yaitu dari kelompok bakteri tahan panas: BYG01, BKK07, BKG11, BYG02, BYG07, BKK02, BSD07 dan BSD03. Untuk isolat yang diperoleh dari kelompok aktinomiset yaitu: AKG06, ASD04 dan AYG03. Isolat yang berpotensi tersebut di uji lagi untuk menghitung daya hambatnya secara in vitro. Hasil pengamatan uji in vitro dilakukan untuk mengetahui kemampuan daya hambat calon antagonis terhadap patogen Foc secara in vitro sebelum dilakukan uji in vivo pada tanaman pisang. Dari hasil uji in vitro tersebut isolat yang menunjukkan kemampuan antibiosis yang tertinggi didapatkan dari isolat secara berurutan pada hari ke-7 yaitu: BKK07 dengan daya hambat sebesar (55,80%), BSD03 (49,80%), BKK02 (44,74%), BYG07 41,76%), BKG11 (38,15%), BYG01 (36,76%), BSD07 (35,89%) dan BYG02 (33,24%) (Tabel 1 & 17 Grafik 1). Kemampuan calon antagonis dalam menghambat patogen Foc yang ditunjukkan dengan adanya zona hambat itu, karena antagonis tersebut mampu memproduksi antimikrobial atau yang lebih dikenal sebagai antibiotik (Gambar Persen Penghambatan Foc test 2). BYG01 BKG11 60 BYG02 BSD07 BYG07 BKK07 BKK02 BSD03 50 40 30 20 10 0 2 3 4 5 6 Pengamatan hari ke- 7 Grafik 1. Persen penghambatan bakteri terhadap pertumbuhan Foc secara in vitro. Namun isolat BSD07 dan BKK07 ini pada hari ke-6 sudah menunjukkan penurunan daya hambat terhadap patogen. Pertumbuhan hifa patogen Foc secara perlahan tidak terhambat dengan kehadiran bakteri antagonis. Hal ini diduga produksi senyawa antifungal (antibiotik) pada bakteri antagonis tersebut sudah menurun dan penekanan pertumbuhan hifa patogen Foc juga menurun. Karena antimikrobial yang dihasilkan dipengaruhi oleh: konsentrasi atau intensitas zat antimikrobial, jumlah mikroorganisme, spesies mikroorganisme menunjukkan kerentanan yang berbeda-beda terhadap sarana fisik dan kimia, dan adanya bahan organik asing yang dapat menurunkan dengan nyata keeektifan zat kimia antimikrobial dengan cara menginaktifkan bahan-bahan tersebut atau melindungi mikroorganisme dari padanya (Pelczar & Chan 1986). Sedangkan isolat bakteri antagonis yang lain menghambat Foc hingga lebih seminggu. 18 a b Gambar 2. Hasil uji bakteri terhadap Foc secara in vitro (a: bakteri antagonis b: Foc) a b Gambar 2. Hasil uji bakteri terhadap Foc secara in vitro (a: bakteri antagonis b: Foc) 19 Tabel 2 . Rata-rata persen penghambatan pertumbuhan patogen Foc oleh bakteri tahan panas dan aktinomiset secara in vitro. Rata-rata % penghambatan Foc pada hari ke- Isolat 2 3 4 BYG07 19.40cb 30.78cbd 36.39cb BKK02 26.71b 35.64b BYG02 20.41cb BSD07 5 6 7 39.56cbd 41.28cde 41.76ed 35.54cb 41.81cb 43.83cd 44.74cd 25.13cd 28.84cb 33.52cd 32.70e 33.24f 14.79cd 24.68cd 27.04cde 32.77cd 37.01de 35.89ef BYG01 15.46cd 22.71ed 28.29cde 31.16d 34.97de 36.76edf BKG11 6.10ed 9.34fg 19.94de 30.66d 38.59de 38.15edf BSD03 3.63e 33.40cb 40.65b 47.83b 49.61cb 49.80cb BKK07 7.15ed 24.75cd 35.49cb 47.80b 56.36b 55.80b BSD07 14.79cd 24.68cd 27.04cde 32.77cd 37.01de 35.89ef ASD04 8.65ed 14.01ef 25.14de 36.62cd 37.85de 38.19edf AKG06 3.20e 3.46g 18.64e 32.30cd 42.15cd 51.42cb AYG03 39,00a 46,86a 55,67a 64,66a 69,16a 70,67a Angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan (α=0.05). Hasil pengamatan dalam uji in vitro menunjukkan isolat ASD04, AKG06 dan AYG03 mempunyai persen daya hambat pada hari ke-7 sebesar 38.19%, 51.42% dan 70,67%. Aktinomiset ini mampu menekan pertumbuhan hifa patogen Foc selama seminggu lebih. Hal ini ditunjukkan dengan adanya zona hambatan antara aktinomiset dengan patogen Foc (Grafik 2 & Gambar 3). Zona hambat tersebut terjadi karena aktinomiset mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan zat antimikrobial. Isolat AYG03 dan AKG06 mempunyai kemampuan sebagai agens antagonis terhadap patogen Foc pada uji in vitro yang ditunjukkan dengan konsistensinya dalam menekan menekan patogen Foc dari hari ke-2 hingga hari ke-7. Isolat ini lebih baik dibandingkan dengan isolat ASD04, karena isolat ini pada hari ke-5 produktivitasnya dalam menghasilkan antibiotik mulai sedikit dibandingkan pada hari sebelumnya. Persen penghambatan Foc 20 ASD04 80 AKG06 AYG03 60 40 20 0 2 3 4 5 6 7 Pengamatan hari keGrafik 2. Persen penghambatan aktinomiset terhadap pertumbuhan Foc secara in vitro. Pada persen daya penghambatan calon antagonis tersebut menunjukkan zona hambat yang jelas seperti yang diungkapkan oleh Maria (2002) bahwa kriteria keefektifan hasil uji antagonisme secara in vitro dalam screening ini dilihat dari terbentuk atau tidaknya zona hambatan, yaitu zona bening di antara patogen dan calon agens antagonis. Oleh karena itu isolat ini diuji lanjut dalam uji in vivo pada tanaman pisang. Senyawa antifungal yang dihasilkan oleh bakteri antagonis tersebut secara umum mengakibatkan terjadinya pertumbuhan hifa yang abnormal (malformasi) (Eliza 2004). 21 a b Gambar 3. Hasil uji aktinomiset terhadap Foc secara in vitro (a: aktinomiset antagonis, b: Foc) Ordo aktinomiset juga menghasilkan strain yang mempunyai kapasitas metabolisme yang bersifat antimikrobial (antibiotik). Senyawa tersebut dapat menekan pertumbuhan populasi bakteri dan cendawan. Senyawa antibiotik ini sangat baik sebagai agen pengendali hayati penyakit tanaman tular tanah (soil borne) seperti potato scab dan potato pox yang dapat dikendalikan dengan Streptomyces scabies dan S . ipomoaea (Alexander 1977). Antibiotik ini dalam dunia kesehatan juga sangat baik digunakan. Antibiotik yang dihasilkan Sreptomyces sp. dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli (penyebab diare) ( Widuretno 2000). Antibiotik tersebut di isolasi dari mikroorganisme tanah (Marois 1993). 22 Uji Agens Antagonis Secara in vivo Setelah isolat yang berpotensi menekan Foc secara in vitro diperoleh, maka dilanjutkan dengan uji antagonis secara in vivo pada tanaman pisang. Uji in vivo ini dilakukan di luar rumah kaca dalam plastik polibag selama 65 hari (Gambar 4). Gambar 4. Uji antagonisme bakteri terhadap Foc secara in vivo pada tanaman pisang kultivar Cavendish. Pada uji in vivo yang pertama, tanaman pisang menunjukkan layu fusarium yang parah dan akhirnya tanaman uji mati. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tanaman pisang perlakuan tersebut mati, antara lain: infestasi Foc ke dalam media tanah terlalu banyak dan dibiarkan selama 2 minggu sebelum ditanami pisang. Infestasi Foc tersebut lebih dulu melakukan proliferasi dan sangat virulen di dalam media tanah. Kultivar pisang yang digunakan dalam perlakuan adalah pisang kultivar ambon (hijau) yang rentan terhadap patogen Foc (Maimunah 1999). Selain itu, akar tanaman pisang uji sebelum ditanam hanya dicelupkan ke suspensi agens antagonis tanpa perendaman dalam waktu yang 23 lama, sehingga suspensi tersebut mungkin hanya melapisi permukaan akar tanaman pisang. Oleh karena itu dalam percobaan uji in vivo yang kedua, infestasi Foc ke dalam media tanah dikurangi dan masa inkubasi Foc diperpendek. Akar tanaman uji dicelupkan ke dalam suspensi antagonis dalam waktu yang lebih lama. Isolat yang digunakan pada uji in vivo kedua ini adalah BKK07 dan BKG11. Tiap-tiap perlakuan isolat tersebut diulang dengan tanaman pisang sebanyak 10 tanaman. Begitu juga untuk kontrol positif (infestasi Foc) dan kontrol negatif (tanpa infestasi Foc) masing-masing di ulang sebanyak 10 tanaman pisang. Pada uji in vivo kedua ini hanya menggunakan isolat dari BKK07 dan BKG11. Untuk isolat aktinomiset (ASD04, AYG03 dan AKG06) dan isolat bakteri (BSD03, BKK02, BYG07, BYG01 dan BSD07) tidak disertakan dalam uji ini karena isolat-isolat tersebut mati selama penyimpanan. Peubah yang diamati sebagai indikator keefektifan antagonis yang diuji adalah indeks persentase keparahan panyakit dan tinggi tanaman. Keparahan penyakit dilihat dari persentase keparahan penyakit pada bonggol pisang yang terinfeksi berdasarkan pengamatan gejala internal. Gejala internal diamati dengan memotong secara membujur bagian pangkal bonggol dan dihitung nilai skoring (skala diskolorisasi) dengan metode Corderio (1994). Tinggi tanaman diamati untuk mengetahui korelasi terhadap ada tidaknya pengaruh introduksi agens antagonis dan patogen Foc terhadap tinggi tanaman pisang. Hasil pengamatan keparahan penyakit setelah 65 hari perlakuan berbedabeda (Gambar 4). Hasil uji in vivo perlakuan infestasi isolat BKK07 dengan nilai skoring rata-rata sebesar 3,3 tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (Foc). Sedangkan isolat BKG11 dengan nilai skoring 2, menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan kontrol Foc (3,8), tetapi masih berbeda nyata dengan kontrol negatif pada α=5% (Tabel 2). Hasil pengamatan peubah tinggi tanaman dengan perlakuan BKK07 dan BKG11 menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap kontrol negatif (54.50 cm). Namun bila dibandingkan dengan tanaman pisang pada perlakuan terhadap kontrol Foc hanya perlakuan BKK07 yang berbeda nyata (Tabel 2). Hal ini berarti 24 introduksi mikroorganisme ke dalam media tanah tanaman uji tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Tabel 3. Nilai rata-rata tinggi tanaman dan nilai skoring pisang pada uji in vivo Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Nilai skoring Kontrol 54.50 a 0.6 c BKK07 + Foc 55.80 a 3.3 a BKG11 + Foc 52.50 ab 2.0 b Foc 48.70 b 3.8 a Angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan (α=0.05). a. b. c. d. Gambar 5. Bonggol pisang hasil uji in vivo yang diukur keparahan penyakitnya (nilai skoring), (a : BKG11; b: BKK07; c: Foc; d: KONTROL). 25 Pembahasan Calon agens antagonis yang diisolasi dari rizosfer tanaman pisang dengan campuran rabuk atau pupuk kandang kambing didapatkan sebanyak 91 isolat, kemudian diikuti oleh media campuran sampah dapur sebanyak 45 isolat dan paling sedikit dari kotoran ayam sebanyak 32 isolat. Rabuk kambing/domba mempunyai protein yang tinggi (Sutedjo et al. 1991). Tingginya kandungan protein pada kotoran kambing tersebut diduga karena pakan kambing yang berupa dedaunan berasal dari berbagai tumbuhan (beraneka ragam). Hal ini berbeda dengan pakan ayam yang biasanya berupa pellet yang sudah diatur komposisinya agar diserap maksimum oleh ayam, sehingga kotoran yang dihasilkannya pun tidak banyak kandungan proteinnya. Bila rabuk tersebut dijadikan kompos dengan mempertahankan kondisi-kondisi kelembaban dan aerasi yang baik maka ragam bahan organik tersebut akan diserbu oleh sejumlah mikroorganisme yang beragam pula di dalam tanah. Berbagai mikroorganisme dalam tanah berperan dalam dekomposisi rabuk kandang dan menyebabkan dengan cepat penghancuran atau perombakan karbohidrat dan berbagai protein (Sutedjo et al. 1991). Dengan tingginya keragaman mikroorganisme dalam tanah maka akan terjadi buffer ekologi yang stabil, kecil kemungkinan suatu mikroba tertentu akan lebih dominan dari yang lainnya, termasuk patogen, sehingga akan kecil peluang munculnya penyakit pada tanaman (tanaman sehat). Bakteri tahan panas mempunyai kemampuan untuk menghasilkan endospora (spora dalam sel vegetatif). Spora tersebut sangat resisten terhadap kondisi-kondisi fisik yang kurang menguntungkan seperti suhu tinggi, kekeringan serta terhadap bahan-bahan kimia (desinfektan) (Pelczar & Chan 1986). Bakteri ini juga mempunyai kemampuan untuk memproduksi antibakterial (antibiotik). Adanya senyawa metabolit yang dihasilkan antagonis bakteri tersebut diharapkan dapat menekan patogen dan mampu menetralisir toksin yang dikeluarkan oleh patogen (Foc) (Kasutjianingati 2004). Namun di sisi lain bakteri antagonis dari rizosfer juga mempunyai kelemahan yaitu bakteri (antagonis) tersebut hanya melindungi lapisan akar atau jaringan tanaman, sehingga sangat kurang signifikan dalam menekan patogen (Foc). Berbeda dengan bakteri endofitik yang mampu hidup di jaringan internal tanpa menimbulkan gangguan pada inangnya. Naim 26 (2003) melaporkan bahwa bakteri yang membentuk endospora dapat menjadi suatu masalah dalam dunia indutri pangan karena endospora tersebut dapat bertahan hidup ketika makanan diproses dan bila memungkinkan untuk tumbuh menjadi bentuk vegetatif. Namun hal ini merupakan keuntungan bagi pengendalian hayati dengan bakteri pembentuk endospora karena dapat disimpan dalam waktu yang lama atau dapat di bawa ke tempat jauh tanpa terjadi perubahan atau kematian sel bakteri tersebut karena panas atau nutrisi yang berkurang. Para peneliti dari USA lebih mengenal sebagai Streptomycetes dari pada aktinomiset. Streptomiset merupakan penghasil utama dari antibiotik yang banyak digunakan bagi manusia, dunia kesehatan, pertanian (sebagai anti-agens parasitik) dan beberapa enzim penting dalam dunia makanan dan industri lainnya. Senyawa bioaktif yang dihasilkan aktinomiset dapat bersifat antimikrob (antibakteri dan anti fungi), herbisida maupun enzim (Suhartono 2005). Antibiotik adalah substansi organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dengan konsentrasi rendah dapat menghambat atau membasmi pertumbuhan mikroorganisme yang lain (Imas et al. 1989). Namun kelemahan dari aktinomiset ini adalah pertumbuhan dan produksi dari antibiotiknya sangat lambat pada media agar. Pada uji in vitro aktinomiset digunakan media PDA. Hal ini diduga akan mempengaruhi kemampuan aktinomiset dalam memproduksi antibiotik. Proliferasinya yang lambat dan produksi antibiotiknya yang dipengaruhi media tumbuh menjadi kendala dalam penggunaan aktinomiset sebagai agens pengendali hayati. Mekanisme kerja zat antimikrobial dalam menghambat mikroorganisme lain yaitu dengan merusakan dinding sel, merubah permeabilitas sel, merusak membran inti sehingga akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel, menghambat kerja enzim, dan menghambat sistensis asam nukleat dan protein, bila terjadi kerusakan RNA, DNA dan protein tersebut akan mengakibatkan kerusakan total pada sel (Pelczar & Chan 1986). Ada beberapa kemungkinan antibiotik yang diproduksi (bakteri dan aktinomiset) kurang efektif terhadap patogen (Foc) diantaranya: konsentrasi antibiotiknya rendah dan terurai oleh mikroorganisme lain. Selain itu ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan internal dalam menyangkut 27 perkembangan mikroorganisme antagonis dalam menekan penyakit layu fusarium ini yaitu: pH tanah, suhu, kelembaban, sifat fisik dan kimia tanah. Dan faktor eksternal seperti kurangnya sinar matahari dan kurangnya nutrisi dalam tanah (Kasutjianingati 2004). Pada percobaan in vivo yang kedua ini media tanah menggunakan perbandingan tanah dan bokashi sebesar 4:1 tanpa pemberian pupuk susulan untuk menambah nutrisi bagi media tanah. Pada tanaman yang mendapatkan perlakuan patogen walaupun juga mendapatkan perlakuan agens antagonis tetap menunjukkan gejala layu. Hal ini dapat terjadi mungkin karena kultivar pisang uji sangat rentan dan patogen yang diinfestasikan dalam tanah sangat virulen dan lebih dulu melakukan proliferasi. Sedangkan agens antagonis yang diintroduksi setelah infestasi patogen tidak sepenuhnya menekan populasi patogen (Susanna 2000). Ada beberapa faktor yang menentukan bertahannya suatu patogen di dalam tanah, sehingga berpengaruh terhadap perlakuan antara lain: (1) kemampuan bertahan dari patogen itu sendiri, (2) kemampuan antagonisme mikroorganisme yang lain dalam tanah, (3) pengaruh lingkungan tanah (Baker et al. 1967 dalam Maria 2002). Tanah yang digunakan dalam perlakuan ini tidak disterilkan terlebih dahulu, dimaksudkan untuk mengkondisikan tanah seperti di lapang. Hal ini dibuktikan pada bonggol dan akar tanaman pisang kontrol negatif (tanpa infestasi Foc) adanya warna hitam pada bonggol pembuluh pisang tersebut. Kelemahan dalam penelitian ini antara lain: (1) jumlah konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme antagonis belum diketahui secara pasti untuk menekan penyakit layu fusarium ini, (2) spesies mikroorganisme antagonis yang didapat tidak dilakukan identifikasi terlebih dahulu sehingga tidak diketahui mekanisme cara kerja zat antimikrobial dalam menghambat patogen (Foc), (3) Penggunaan media tumbuh untuk mikroorganisme aktinomiset dan bakteri antagonis mungkin belum sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme tersebut untuk memproduksi antibiotik, (4) letak pemotongan bongol pisang untuk skoring keparahan penyakit yang kurang tepat, (5) Skoring tersebut sebenarnya cocok untuk tanaman pisang dewasa, karena tanaman pisang hasil kultur jaringan tersebut rentan atau perlu modifikasi metode skoring untuk tanaman pisang hasil kultur jaringan. 28 Menurut Susanna (2000), untuk mendapatkan hasil yang lebih baik mungkin dapat dilakukan dengan melihat waktu yang tepat untuk aplikasi agens antagonis, kombinasi antar agens antagonis yang kompatibel, konsentrasi agens antagonis ditingkatkan, mengaplikasi ulang agens antagonis pada waktu tertentu untuk peningkatan populasinya, setelah infestasi agens antagonis diberi waktu yang lebih lama agar berkembang agens antagonis menjadi lebih baik dan dapat beradaptasi dengan sempurna atau aplikasi agens antagonis dilakukan lebih awal pada bibit tanaman (aklimatisasi) sebelum ditanam. Selain itu kondisi fisik dan kimia rizosfer dapat mempengaruhi kemampuan agens antagonis dalam menekan perkembangan patogen dalam tanah. Fisik dan kimia tanah yang sesuai bagi agens antagonis akan dapat menunjang aktifitas agens antagonis tersebut dalam menekan patogen Foc. 29 KESIMPULAN Isolasi calon agens antagonis pada rizosfer tanah pisang dengan campuran rabuk atau pupuk kandang kambing didapatkan sebanyak 91 isolat, kemudian diikuti dari rabuk sampah dapur sebanyak 45 isolat dan kotoran ayam 32 isolat. Hasil penelitian ini pada screening in vitro, agens antagonis yang diperoleh dari kelompok bakteri BYG01, BKK07, BKG11, BYG02, BYG07, BKK02, BSD07 dan BSD03 serta dari kelompok aktinomiset AKG06, ASD04 dan AYG03 menunjukkan kemampuannya dalam menekan patogen Foc secara in vitro. Hasil uji in vivo perlakuan infestasi isolat BKK07 dengan nilai skoring ratarata sebesar 3,3 tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (Foc). Sedangkan isolat BKG11 dengan nilai skoring 2, menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan kontrol Foc (3,8), tetapi masih berbeda nyata dengan kontrol negatif pada α=5%. Sedangkan hasil pengamatan peubah tinggi tanaman dengan perlakuan BKK07 dan BKG11 menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap kontrol negatif (54.50 cm). Namun bila dibandingkan dengan tanaman pisang pada perlakuan terhadap kontrol Foc hanya perlakuan BKK07 yang berbeda nyata. Hal ini berarti introduksi mikroorganisme ke dalam media tanah tanaman uji tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. SARAN Tingginya mikroba tanah dengan pupuk kandang kambing dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memilih pupuk kandang yang akan digunakan. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai media tumbuh bagi agens antagonis dari kelompok aktinomiset dan bakteri tahan panas untuk mengoptimumkan produksi antibiotiknya. Aplikasi agens antagonis yang berpotensi menekan penyakit Foc secara in vivo perlu mempertimbangkan aspek konsentrasi, waktu dan cara aplikasi, kombinasi antar agens antagonis yang kompatibel dengan cara kerja yang berbeda, modifikasi metode skoring yang cocok untuk pisang hasil kultur jaringan serta perlu mempertimbangkan aspek lingkungan (pH tanah, suhu, kelembaban, sifat fisik dan kimia tanah). 30 DAFTAR PUSTAKA Alexander M. 1978. Introduction to Soil Microbiology. Second Edition. New Delhi: Willey Estern Limited. Baker KF and Cook RJ. 1983. Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. Minnesota: The American Phytopathology Society Press. [DEPTAN 2001]. Apresiasi Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu/ Tehnologi file Maju Pisang. http://database.deptan.go.id/%5Cimage%5C 000200.0001c1.doc. Djatnika dan Wakiah. 1992. Pengendalian penyakit layu pisang dengan cara biologi. Dalam: Prosiding Seminar Sehari. Pisang Sebagai Komoditas Andalan Prospek dan Kendalanya. Cianjur: Sub Balai Penelitian Hortikultura. Gunawan dan Suketi. 1999. Prospek Pengembangan Pisang di Indonesia. Jurusan BDP. Fakultas Pertanian. Bogor: IPB. Imas T, Hadioetomo RS, Gunawan AW, Setiadi Y. 1989. Bahan Pengajaran Mikrobiologi Tanah II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor: IPB. Kasutjianingati. 2004. Pembiakan mikroorganisme genotipe pisang (Musa spp.) dan potensi bakteri endofit terhadap layu fusarium (Fusarium oxysporum f.sp. cubense). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor: IPB. Kurnia N. 2003. Kesesuaian lahan untuk tanaman pisang pada profil tanah yang di ambil di tiga Kecamatan, Kabupaten Lebak dan potensi pengembangannya untuk pisang Ambon Kuning.[Skripsi]. Program Studi Ilmu Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Maimunah. 1999. Evaluasi resistensi lima kultivar pisang (Musa spp.) terhadap tiga macam isolat dan diferensiasi isolat Fusarium oxysporum f.sp. cubense sebagai penyebab penyakit layu. [Tesis]. Program Pascasarjana. Bogor: IPB. Maria PD. 2002. Eksplorasi dan uji antagonisme bakteri rhizosfer tanah dan endofit akar untuk pengendalian penyakit layu (Fusarium oxysporum f.sp. cubense) pada pisang (Musa paradisiaca).[Skripsi]. HPT. Fakultas Pertanian. IPB. Marois JJ. 1993. Biological Control of Disease Caused by Fusarium oxysporium f.sp. cubense. Editor: Ploetz RC. Fusarium Wilt of Banana. Minnesota: The American Phytopathological Society Press. 31 Moore NY, Pegg KG, Buddenhagen IW, Bentley S. 2001. Fusarium Wilt Banana: A Diverse Clonal Pathogen of A Domesticated Clonal Host. Editor: Summerel BA, Leslie JF, Backhouse D, Bryden WL, Burgess LW. Fusarium: Paul E Nelson Memorial Symposium. Minnesota: The American Phytopathology Society Press. Muharam A, Sulyo Y, Djatnika dan Marwoto B.1992. Identifikasi dan daerah pencar penyakit penting pada pisang. Dalam: prosiding seminar sehari. pisang sebagai komoditas andalan prospek dan kendalanya. Cianjur: Sub Balai Penelitian Hortikultura. Naim R. 2003. Endospora: Aspek kesehatan, industri pangan. www.kompas.com/kompas-cetak/0301/27/iptek/97493.htm [27 Januari 2006]. Pelczar MJ and Chan ECS.1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi I. Hadioetomo HS, Imas T, Angka SL. Terjemahan dari Element of Microbiology. Jakarta: UI Press. Ploetz RC. 1994. Banana: Compendium of Tropical Fruit Disease. Minnesota: The American Phytopathology Society Press. Rahmalia R. 2001. Produksi, konsumsi, eksport dan harga pisang Indonesia.[Skripsi]. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor: IPB. Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suhartono. 2005. Pencirian aktinomiset isolat lokal sebagai penghasil senyawa antibakteri: bioessei, analisis asam diaminopimelat dan bioautografi. [Skripsi]. Departemen Biologi. FMIPA. Bogor: IPB. Susanna. 2000. Analisis keefektifan mikroorganisme antagonis dalam mengendalikan Fusarium oxysporum f.sp. cubense pada pisang (Musa sapientum L.). [Tesis]. Program Pascasarjana. Bogor: IPB. Sutedjo MM, Kartasapoetra AG, Sastroatmojo RSD. 1991. Mikrobiologi Tanah. Jakarta: Penerbit Rineka. Syefiyanah. 2000. Antibiosis isolat Streptomyces sp. terhadap patogen Kedelai Bacillus glycine. [Skripsi]. Jurusan Biologi. FMIPA. Bogor: IPB. Widuretno D. 2000. Penapisan isolat Streptomyces sp. penghasil senyawa penghambat Escherichia coli resisten ampisilin. [Skripsi]. Jurusan Biologi. FMIPA. Bogor: IPB. Yuliani E. 1999. Biodiversitas dan karakterisisasi senyawa antibakteri dari Streptomyces sp. [Skripsi]. Jurusan Biologi. FMIPA. Bogor: IPB. Lampiran. Hasil uji bakteri antagonis terhadap Foc secara in vivo pada pengamatan tinggi tanaman di tanaman pisang kultivar Cavendish. Gambar 1. Uji antagonisme bakteri terhadap Foc secara in vivo pada tanaman pisang kultivar Cavendish (pengamatan tinggi tanaman antara: Foc, Kontrol, BKK07, BKG11) Gambar 2. Uji antagonisme bakteri terhadap Foc secara in vivo pada tanaman pisang kultivar Cavendish (pengamatan tinggi tanaman antara: Kontrol dan BKK07) Gambar 3. Uji antagonisme bakteri terhadap Foc secara in vivo pada tanaman pisang kultivar Cavendish (pengamatan tinggi tanaman antara: Kontrol dan BKG11)