Untitled - DJPB@KKP

advertisement
BAB I
TEKNIK BUDIDAYA KERAPU
Oleh :
Ellis Mursitorini dan Putri Ramdhani
A. Habitat Alami dan Pemilihan Lokasi Usaha Budidaya Ikan Kerapu
Ikan Kerapu merupakan ikan demersal yang bersifat nocturnal (ak f pada malam
hari). Habitat alaminya adalah perairan laut dengan dasar berbatu karang, kedalaman
antara 40-60 meter atau daerah dangkal berbatu koral. Ikan-ikan muda biasanya hidup
pada kedalaman 0,5 m sampai 3 m.
Pemilihan lokasi budidaya harus memperha kan kondisi ekologis perairan yang sama
atau mendeka habitat alaminya. Kondisi lingkungan perlu mendapat perha an antara
lain:
1. Kondisi Lingkungan
Lingkungan perairan untuk usaha budidaya harus terlindung dari angin dan
gelombang kuat. Dengan kondisi ini diharapkan konstruksi rakit lebih tahan lama
(Gambar 2.1.). Gelombang yang kuat menyebabkan ikan dak dapat beris rahat di
dasar jaring dengan nyaman. Tinggi gelombang sebaiknya dak melebihi 0,5 meter di
sepanjang tahun.
Gambar 1.1. Lokasi pembangunan keramba sebaiknya berada di kawasan yang
perairannya tenang dan terlindung dari hempasan angin kuat
2. Kedalaman
1
Kedalaman perairan lokasi KJA sekurang-kurangnya 5 m. Kedalaman ini diukur
pada kondisi air surut terendah. Lebih dianjurkan pendirian KJA pada kedalaman lebih
dari 10 meter. Namun demikian, biaya yang menyertai pada kedalaman nggi akan
menjadi lebih besar.
3. Dasar Perairan
Sesuai habitat alaminya, pembangunan KJA sebaiknya di lokasi yang mempunyai
dasar karang hidup dan atau berpasir.
4. Jauh dari Buangan Limbah Pencemar
Lokasi budidaya kerapu harus jauh dari sumber-sumber limbah. Apapun jenis
limbahnya, baik organik maupun anorganik, dapat mempengaruhi keamanan ikan dan
konsumen. Limbah yang terakumulasi dalam tubuh ikan akan menyebabkan turunnya
kualitas produk. Untuk menghindari fluktuasi salinitas dan material bawaan dari
darat, sebaiknya lokasi KJA jauh dari muara-muara sungai yang besar.
5. Kecepatan Arus
Kecepatan arus diperlukan untuk proses pertukaran air di dalam KJA, sehingga air
yang ada dalam jaring selalu op mal bagi pertumbuhan ikan. Kecepatan arus yang
ideal berkisar antara 15 – 30 cm/de k.
6. Kecerahan
Kecerahan menunjukkan ngkat kejernihan air. Ikan kerapu menyukai perairan
yang jernih. Kecerahan yang direkomendasikan ga meter atau lebih.
7. Kondisi Air
Kondisi perairan yang dikehendaki untuk budidaya kerapu berupa perairan
berterumbu karang dan/atau berpasir dengan kisaran suhu antara 27 ° C sampai
dengan 31°C, salinitas antara 30 sampai dengan 33 ppt, kandungan oksigen terlarut
sekurang-kurangnya 5 ppm dan nilai pH antara 7,8 sampai 8,2.
B. Persiapan Sarana Budidaya
2
Pembesaran ikan kerapu dilakukan dalam KJA. KJA merupakan sebuah kantong jaring
atau waring berbingkai rakit (Gambar 2). Rakit dapat berupa rangkaian bambu, kayu atau
bahan sinte s yang diapungkan dan difiksasi menggunakan jangkar pada se ap sudutnya.
Selain berfungsi sebagai pembingkai, rakit juga dapat digunakan sebagai pusat ak vitas
sehari-hari pekerja. Pembuatan KJA harus memperha kan kekuatan dan ketahanan,
fungsi-fungsi pendukung budidaya serta ak vitas pekerja di atas KJA.
Pada fase pendederan dan penggelondongan pemeliharaan ikan dilakukan dalam
kantong waring (hapa/ jaring bagan), sedangkan pada fase pembesaran kantong terbuat
dari jaring. Bahan yang kuat dan tahan lama untuk kedua jenis kantong tersebut biasanya
terbuat dari polyetheline. Waring yang digunakan bermata 4 mm dan untuk mata jaring
sebesar 0,5 inci (Gambar 3).
Gambar 1.2
Pembuatan rakit harus
memperhatikan kekuatan dan daya
tahan serta memperhatikan fungsi
rakit sebagai pusat aktivitas
pekerja.
(Foto : Toha)
Gambar 1.3
Pemasangan jaring pada rakit.
Ikan kerapu fase pembesaran di
pelihara di dalam kantong jaring
bermata 0,5 inci
( Foto : Toha)
Beberapa sarana penunjang yang pen ng dalam usaha budidaya kerapu antara lain
sarana transportasi (perahu), sarana penyimpan pakan, sarana pembersih jaring, bak
pengobatan dan karan na, aerator serta fasilitas pembangkit listrik. Keberadaan bak
pengobatan dan bak karan na yang terabaikan akan menyebabkan kesulitan dalam
melakukan pengendalian penyakit.
C. Pemeliharaan di Karamba Jaring Apung
1. Kualitas Benih Tebar
3
Benih yang digunakan dalam usaha pembesaran di KJA, dapat berasal dari tangkapan
alam maupun dari hasil pembenihan. Kelemahan benih hasil penangkapan alam biasanya
ukuran kurang seragam dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat beradaptasi
dengan pakan buatan.
Beberapa kriteria kualitas benih tebar ikan kerapu yang dapat digunakan dalam
pembesaran adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
Ikan sehat dan bebas dari patogen berbahaya
Warna tubuh dak ada perubahan
Tidak ditemukan kelainan anatomis (
Ikan bergerombol, respon terhadap pakan ak f, serta sangat responsif terhadap
kejutan.
Gambar 1.4 Kualitas benih kerapu yang sehat ditunjukan dengan
gerakan responsif dan bergerombol. (Foto : Toha)
2. Fase Pendederan dan Penggelondongan
Pemeliharaan ikan kerapu pada fase pendederan dilakukan di dalam waring, biasanya
berukuran 1 m x 1 m x 1,5 meter. Pada fase ini ikan rentan terhadap penyakit. Selain
melakukan pemeriksaan ru n, apabila memiliki fasilitas yang memadai, mortalitas dapat
ditekan apabila pada fase ini ikan dipelihara di dalam bak terkendali. Kepadatan ikan di
KJA disesuaikan dengan ukuran ikan (Tabel 1).
Tabel.2.1. Kepadatan benih pendederan dan penggelondongan ikan kerapu bebek dan macan di
karamba jaring apung
4
Jenis Ikan
Kerapu Macan
Kerapu bebek
Kepada
Kepada
Ukura
tan
Ukura
tan
n
(ekor/ja
n
(ekor/ja
ring)
ring)
Pendederan
Bulan 1
4-5 cm 200-250 3-5 cm 250-300
Bulan 2
9-12 150-200 7-9 cm 200-250
cm
Bulan 3
9-12 150-200
cm
Penggelondongan
Bulan 1
15-25 100-150 15-25 100-150
gr
gr
Bulan 2
25-50 100-125 25-45 100-125
gr
gr
Bulan 3
50-10 75-100 45-75
100
0 gr
gr
Bulan 4
75-10
75
0 gr
Masa
Pemelih
araan
3. Pemeliharaan ikan pada fase pembesaran
Pemeliharaan pada fase pembesaran dilakukan di dalam jaring, biasanya berukuran 3
x 3 x 3 m3. Padat penebaran ikan berkisar antara 20-25 ekor/m 3. Lama pemeliharaan fase
pembesaran berlansung antara 5 bulan (kerapu macan) sampai dengan 10 bulan (kerapu
bebek). Pakan ikan rucah diberikan 1-2 kali perhari dengan sejumlah 5-7% dari berat
badan ikan.
Pada fase ini ikan lebih tahan penyakit dibandingkan dengan pemeliharaan pada fase
pendederan dan penggelondongan. Perkecualian pada ikan Kerapu Bebek, kema an
nggi terjadi ke ka ikan mememasuki ukuran sekitar 300 gram. Pada ukuran ini gonad
mulai berkembang dan ikan menjadi rentan terhadap penyakit.
Selama pemeliharaan dilakukan pergan an jaring, pemeriksaan penyakit ru n dan
perendaman dengan an ektoparasit. Kegiatan tersebut dilakukan 2 minggu sekali, atau
melihat keadaan jaring kondisi kesehatan ikan. Pemeriksaan kualitas air dilakukan secara
berkala terhadap suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, fospat dan amoniak. Sedangkan
untuk pemeriksaan penyakit secara ru n dilakukan dengan mengambil ikan sakit,
menunjukkan gejala sakit dan/atau baru saja ma .
5
BAB II
DIAGNOSA PENYAKIT IKAN KERAPU
Oleh :
Dinarti, Yan Evan dan Didik Santoso
A. Diagnosa Klinik
Diagnosa klinik merupakan metode untuk mengiden fikasi penyakit ikan
berdasarkan perubahan abnormal
ngkah laku
dan fisik tubuh ikan. Tingkat
kepercayaan hasil diagnosa tergantung pada keakuratan dalam pengumpulan data dan
informasi selama anamnesis.
Data dukung yang perlu digali selama anamnesis adalah status ikan dan kondisi
lingkungannya, melipu
spesies ikan, populasi, umur, data kualitas air dan metode
budidaya yang dilakukan. Selanjutnya dilakukan anamnesis terkait dengan sejarah
kejadian penyakit, gejala penyakit, insidensi, serta mortalitas dan morbiditasnya.
Data-data tersebut sangat membantu dalam diagnosa penyakit ikan (Tabel 2.1)
Tabel 2.1. Status dan riwayat ikan yang perlu diperha kan dalam diagnosa penyakit ikan kerapu
No.
1
Jenis
Pemerik-s
aan
Status
ikan
Materi
Pemeriksaan
Jenis
ikan
Umur
Lokasi
budidaya
2
Riwayat
kejadian
penyakit
Sejarah
kejadian
penyakit
Keterangan
Insidensi infestasi ektoparasit pada ikan kerapu macan lebih nggi daripada
Kerapu Bebek
Kejadian penyakit pada Kerapu Bebek seringkali dak diiku oleh perubahan
fisik yang jelas
Infeksi bakteri superfisial lebih sering ditemukan pada Kerapu Macan
dibandingkan Kerapu Bebek
Kerapu Bebek ukuran 250 - 350 gram sering terjadi penurunan ngkat
ketahanan tubuh
Kerapu Sunu lebih mudah stress dibandingkan jenis ikan kerapu lainnya
Infestasi parasit oleh cacing kulit dan insang (Benedenia sp.,
Pseudorhabdosynocus sp., Diplectanum sp., Haliothrema sp.) lebih sering
terjadi pada ikan yang berumur lebih dari 2 bulan
Penyakit parasit golongan protozoa (Trichodina sp. dan Cryptocaryon sp.) pada
ikan umur kurang dari 3 bulan dapat menyebabkan kema an massal
Penyakit VNN dan SGD pada ikan umur kurang dari 2 bulan dapat
menyebabkan kema an massal
Insidensi infestasi cacing kulit dan insang pada ikan yang dipelihara di KJA lebih
nggi daripada pemeliharaan pada bak terkontrol
Penyakit yang terjadi pada saat pemeriksaan sangat terkait dengan kejadian
penyakit sebelumnya
Patogen dapat menyebabkan penyakit secara perakut, akut maupun kronis
a. Perakut :
perubahan lingkungan yang ekstrim pada ukuran larva dan benih, senyawa
toksik, dan limbah dalam konsentrasi nggi
b. Akut: perubahan lingkungan yang ekstrim pada masa pendederan;
7
c.
kesalahan handling; infeksi bakteri, VNN dan Iridovirus, serta infestasi
Amyloodonium sp., Trichodina sp. dan Cryptocaryon sp.
Kronis : infestasi cacing kulit dan insang, penyakit nutrisi
Setelah anamnesis selesai, selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinis, melipu
pemeriksaan perubahan
ngkah laku dan pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan
patologi anatomi melipu pemeriksaan terhadap permukaan tubuh dan bedah bangkai.
Pemeriksaan permukaan tubuh melipu
pemeriksaan kelainan anatomi tubuh, warna
kulit, keadaan lendir, sisik, keadaan anggota gerak, dan kemungkinan terdapatnya
ektoparasit makroskopik. Pemeriksaan abnormalitas insang melipu : lesi, warna, keadaan
lendir, parasit, atau benda asing pada insang. Beberapa contoh perubahan spesifik yang
sering dijumpai pada ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Perubahan spesifik beberapa penyakit pen ng pada ikan kerapu
No.
1
2
Jenis
Pemeriksaan
Gejala klinis
Fisik
Materi
Pemeriksaan
Tingkah laku
Permukaan tubuh
Perubahan yang
Sering Terjadi
Ikan ma disertai gejala berputar,
meloncat atau gerak dak terkoordinasi
Ikan mengendap di dasar selama 2-3
minggu, selanjutnya ikan terlihat kembung
dan terbalik dipermukaan air dan
beberapa minggu kemudian ikan ma .
Terjadi kema an tanpa disertai perubahan
spesifik
Hiperemi pada bagian mandibula
Nekrosis pada sirip dan permukaan tubuh
Organ dalam
Nekrosis Insang disertai perubahan warna
menjadi kekuningan serta ruptur lamella
insang
Terdapat cairan pada rongga perut
berwarna keruh
Pembengkakan limpa dan ginjal
Kemungkinan
Jenis Penyakit
VNN,
Grouper
Iridovirus
VNN, Grouper
Iridovirus
Grouper
Iridovirus,
Streptococcus
sp.
Infeksi bakteri,
kesalahan
handling/
restrain
Tenacibaculum
mari mum
Infeksi bakteri
Infeksi Grouper
Iridovirus,
Streptococcus
spp., Vibrio spp.
Selain melakukan pemeriksaan ikan, perlu dilakukan pengamatan terhadap kondisi
perairan, termasuk sumber air dan perlakuan yang dilakukan. Hal ini bertujuan untuk
menganalisis sumber penularan dan penyebab penyakit secara menyeluruh.
B. Pengambilan Sampel
8
Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan dua metode, yaitu pengambilan secara
acak dan selek f. Pengambilan secara acak biasanya dilakukan dalam rangka studi
epidemiologi dan pengambilan sampel pada kelompok populasi tanpa gejala klinik.
Sedangkan untuk pengambilan selek f dilakukan dalam rangka diagnosa penyakit. Jumlah
pengambilan sampel secara acak dilakukan berdasarkan pada asumsi prevalensi pada
populasi (Tabel 4.).
Tabel 4. Jumlah pengambilan sampel secara acak berdasarkan asumsi prevalensi dan
populasi
Jumlah
Populasi
50
100
250
500
1000
2500
5000
10000
100000
1000000
>1000000
0.5
46
93
192
314
448
512
562
579
594
596
600
1.0
46
93
156
223
256
279
288
292
296
297
300
Prevalensi (dalam %)
2.0
3.0
4.0
46
37
37
76
61
50
110
75
62
127
88
67
136
92
69
142
95
71
145
96
71
146
96
72
147
97
72
147
97
72
150
100
75
5.0
29
43
49
54
55
56
57
57
57
57
60
10.0
20
23
25
26
27
27
27
27
27
27
30
C. Nekropsi dan Pengambilan Spesimen
Setelah pemeriksaan klinis selesai, dilakukan pengambilan spesimen berupa darah,
kerokan lendir kulit dan potongan insang. Selanjutnya ikan dinekropsi dan preparasi
organ dalam tubuh.
Gambar 2.1. Pengambilan darah ikan kerapu melalui intracardial
( Foto : Toha)
Nekropsi dilakukan dengan mema kan ikan terlebih dahulu dengan cara memutuskan
sambungan otak dengan sumsum tulang belakang. Kemudian ikan diletakkan pada papan
9
bedah dengan sisi kanan terletak dibagian bawah dan abdomen menghadap kearah
operator. Sebelum dilakukan pembedahan, operculum digun ng sehingga insang dapat
terlihat jelas. Pembedahan dilakukan dengan melakukan penyayatan dari lubang keluaran
dilanjutkan ke arah cavum branchialis melalui sepanjang sisi ventral tubuh. Penyayatan
ke dua dilakukan dari lubang keluaran ke arah depan disepanjang sisi dorsal cavum
abdominalis dan cavum branchialis. Setelah itu dilakukan penyayatan diantara kedua
ujung depan sayatan tersebut. Pemotongan harus dilakukan dengan ha -ha sehingga
dak merusak organ dalam, pembuluh darah besar dan terhindar dari kontaminasi isi
saluran pencernaan.
Gambar 2.2
Teknik nekropsi ikan.
(1) Pemotongan operculum;
(2) Pemotongan pada sisi ventral;
(3) Pemotongan pada sisi dorsal otot
daging yang menutupi cavum
abdominal dan cavum branchialis.
Foto : Toha
Pemeriksaan selama nekropsi dilakukan terhadap rongga perut dan dinding rongga
perut (warna, keadaan, atau mbunan cairan), organ dalam (ukuran, bentuk, warna dan
konsistensi) serta keberadaan endoparasit pada organ tubuh.
Pemeriksaan organ dalam tubuh, secara berturut-turut, dilakukan terhadap
gelembung renang, ha , lambung, limpa, usus, ginjal, dan terakhir jantung. Apabila
diperlukan, pada saat nekropsi ini juga dilakukan isolasi bakteri, terutama pada ha ,
limpa dan ginjal depan. Susunan organ dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 8.
10
Spesimen dapat disimpan dalam keadaan segar atau terfiksasi, tergantung pada jenis
pemeriksaan yang akan dilakukan. Spesimen untuk pemeriksaan parasitologi dan
bakteriologi berupa ikan hidup atau ikan ma segar. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kehilangan beberapa
informasi pen ng dalam pemeriksaan. Jika pemeriksaan dak dapat dilakukan sesegera
mungkin atau memerlukan bantuan instansi lain, pengiriman ikan dapat dilakukan dalam
bentuk ikan hidup.
Spesimen darah diambil dengan atau tanpa an koagulan dan dalam bentuk preparat
apus darah. Pembuatan preparat apus darah dilakukan seper pada Gambar 9. Preparat
apus darah tersebut harus difiksasi dengan methanol absolut.
Gambar 2.4 Teknik Pembuatan preparat apus
darah. (1) darah di teteskan pada permukaan
gelas objek. Kemudian sisi ujung gelas objek
lain ditempelkan pada permukaan gelas objek
pertama tepat didepantetesan darah; (2) ujung
gelas objek kedua ke belakang sehingga
tetesan darah menempel pada permukaan
belakangnya dan selanjutnya tetesan darah
ditarik ke depan secara cepat; (3) bentuk
sediaan preparat apus darah. Ilustrasi.
Gambar : Evan
Larutan fiksa f untuk pemeriksaan histopatologi adalah buffered formalin 10%.
Untuk ikan yang berukuran kurang dari 10 cm, dinding rongga perut disayat disepanjang sisi
ventralnya hingga mandibula. Pada ikan yang lebih besar, organ dipreparasi, kemudian
masing-masing organ dipotong dengan ukuran potongan maksimal 0.5 X 0.5 cm.
Organ-organ yang digunakan sebagai spesimen adalah saluran pencernaan, ha , limpa,
ginjal, jantung, mata, otak, dan insang. Organ tersebut dimasukkan dalam larutan buffered
formalin
dengan
perbandingan
volume
organ
dengan
volume
larutan
fiksa f
sekurang-kurangnya sebesar 1 : 10.
Untuk keperluan pemeriksaan Polymerase Chain Reac on (PCR) spesimen dapat
disimpan dalam keadaan beku atau dengan larutan fiksa f alcohol + glycerol dengan
Perbandingan volume organ dan larutan fiksa f yang digunakan sekurang-kurangnya 70 :
30.
D. Diagnosa Laboratorik
11
Pemeriksaan laboratorik digunakan sebagai alat untuk peneguhan diagnosa.
Pemeriksaan laboratorik antara lain melipu :
1. Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan memeriksa adanya perubahan abnormal
fisik tubuh ikan (lihat paada sub bab diagnosa klinik). Pada Pemeriksaan ini dapat
diiku
dengan penyiapan preparat apus dan tempel jaringan untuk pemeriksaan
mikroskopik langsung.
2. Pemeriksaan Mikroskopik Langsung (Direct Microscopy)
Pemeriksaan dilakukan terhadap preparat basah insang, potongan jaringan organ
dalam tubuh abnormal dan kerokan kulit. Beberapa materi yang terama antara lain
kelainan jaringan serta kemungkinan terdapatnya agen penyebab penyakit. Apabila
diperlukan, beberapa organ dapat dibuat preparat ulas dan tempel jaringan dan
dilakukan pewarnaan sederhana.
3. Pemeriksaan Parasitologi
Dilakukan untuk iden fikasi jenis/spesies parasit.
4. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan ini melipu isolasi, pemurnian koloni dan iden fikasi. Isolasi dilakukan
pada media umum dan media selek f. Media umum yang dapat digunakan, antara
lain Tryptone Soya Agar (TSA), Marine Agar (MA), Brain Heart Infusion Agar (BHIA),
atau Nutrient Agar (NA). Sedangkan media khusus yang biasa digunakan untuk isolasi
bakteri yang menyerang air laut adalah media selek f untuk Vibrio spp. (TCBSA),
Streptococcus spp. (KF medium).
5. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan abnormal pada ngkat sel
dan jaringan, sehingga diketahui kemungkinan penyebab penyakit serta
ngkat
keparahannya.
6. Pemeriksaan lain
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah banyak
berkembang metoda diagnosa modern, baik yang berbasis imunologi, biologi
molekuler maupun kultur sel.
7. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan laboratorik lain dapat dilakukan sebagai alat peneguhan diagnosa.
12
13
BAB.III
PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH KUALITAS AIR
(WATER QUALITY DISEASES)
Oleh :
Neizha Eka Putri, Irmayani Mulya dan Suzana Meidwi Ratriningrum
Penyakit yang disebabkan oleh kualitas air atau penyakit lingkungan termasuk ke dalam penyakit
non infeksi. Penyebabnya dapat berupa perubahan fisik maupun kimia air di atas nilai ambang batas
yang dapat ditoleransi oleh ikan, antara lain kandungan oksigen terlarut, ammonia, nitrit, ataupun
zat beracun lain yang masuk dalam perairan budidaya.
1. Gas Bubble Disease
Gas bubble disease merupakan penyakit yang diakibatkan oleh supersaturasi gas terlarut
(biasanya nitrogen, dan oksigen dan atau karbondioksida). Supersaturasi ini dapat disebabkan
oleh blooming alga atau kebocoran pompa atau sistem katup aerasi.
Penyakit ini muncul ke ka air mencapai keadaan sangat jenuh (super-saturated) terhadap
gas. Keadaan ini meyebabkan darah ikan juga mengalami kejenuhan, karena jumlah N2, O2, dan
CO2 dalam air yang berlebihan akan diambil oleh cairan tubuh ikan. Selanjutnya N2, O2 dan CO2
akan terakumulasi dalam darah dan jaringan tubuh ikan. Selanjutnya, karena tekanan di dalam
tubuh lebih nggi dari tekanan lingkungan di luar tubuh, gas-gas tersebut akan meyebabkan
terjadinya desakan keluar, sehingga banyak gas yang terperangkap dalam tubuh.
Gelembung gas yang terakumulasi dalam pembuluh darah dapat menyebabkan emboli pada
sistem sirkulasi. Selanjutnya akan terjadi aspiksia dan diiku oleh emfisema dan endema jaringan
memvaskularisasi organ-organ tubuh vital, maka akan meyebabkan kema an mendadak.
15
Emboli pada kasus gas bubble disease terutama terjadi di dalam pembuluh darah insang
(Gambar 2.1). Selanjutnya pada kasus yang parah akan diiku gelembung-gelembung gas
di bawah permukaan kulit pangkal sirip punggung dan sirip ekor, serta mata.
Pencegahan dan penanggulangan penyakit gelembung renang adalah dengan
pergan an air yang cukup, menghindari terjadinya blooming alga, penggunaan pompa
dan sistem jaringan air yang baik dan efisien, monitoring ru n kadar oksigen terlarut,
melakukan penambahan air secara perlahan disertai dengan aerasi secukupnya serta
mengupayakan pipa air masuk lebih nggi dari permukaan air.
2. Defisiensi Oksigen
Penyakit ini disebabkan padat penebaran yang nggi, kelebihan pakan, kurangnya
aerasi, sistem penyaringan yang kurang baik serta banyaknya kotoran di dasar bak
hingga menyebabkan terjadinya dekomposisi bahan organik. Gejala yang diperlihatkan
adalah ikan berada dipermukaan air, sulit bernafas, dan akhirnya menyebabkan
kema an dengan kondisi insang pucat, mulut operculum terbuka.
Apabila ikan menunjukkan gejala kekurangan oksigen, aerasi dinyalakan secukupnya.
Aerasi yang terlalu besar dapat berpotensi menimbulkan terjadinya gas bubble diseases.
Apabila penyebab utamanya adalah banyaknya kotoran di dasar bak, penyiponan
dilakukan perlahan-lahan dan lakukan pergan an air.
3. Keracunan
Keracunan biasanya terjadi karena senyawa toksik dalam media pemeliharaan dak
dapat ditoleransi oleh ikan. Senyawa ini dapat bersumber dari luar atau hasil reaksi
biokimiawi yang terjadi diperairan. Semua reaksi biokimiawi tersebut melibatkan
persenyawaan pen ng, antara lain persenyawaan karbon, nitrogen, phosphor dan sulfur.
Persenyawaan nitrogen merupakan salah satu persenyawaan pen ng yang perlu
diperha kan dalam usaha budidaya baik dalam bentuk gas nitrogen (N2), amonia (NH3),
nitrat (NO3) maupun nitrit (NO4-). Dari persenyawaan ini, ammonia dan nitrat, karena
karakteris k kimiawinya, merupakan persenyawaan yang berpotensi menyebabkan
keracunan.
Keracunan amonia dan nitrit terjadi karena meningkatnya kadar amonia dalam air.
Pada kondisi ini disamping menyebabkan keracunan pada ikan juga memberi peluang
berkembangnya bakteri tertentu. Hal ini terkait dengan penurunan status kesehatan
ikan. Indikasi keracunan amonia dan nitrit adalah terjadinya perubahan warna darah ikan
menjadi lebih tua atau kecoklatan
16
Darah Normal
Darah Keracunan Nitrit
Usaha budidaya laut di KJA sangat tergantung dengan siklus mikrobiologi perairan
laut. Plankton-plankton yang berada di peraiaran apabila mengalami pertumbuhan yang
di atas normal (blooming) akan menghasilkan toksin yang mema kan.
Red Tide merupakan suatu kondisi perubahan warna air laut secara mencolok dan
berbahaya yang disebabkan oleh blooming alga. Selain menghasilkan toksin, alga
tersebut juga dapat merusak jaringan insang. Sedangkan bloomimg alga berbahaya yang
dak menyebabkan perubahan ewarna yang mencolok biasa dikenal dengan is lah
Harmful Algal Blooms (HAB’s). Alga ini berbahaya terutama karena alga tersebut
memiliki toksin yang dapat terakumulasi secara terus menerus pada daging biota laut,
terutama kekerangan dan filter feeder.
Terdapat sekitar 31 spesies plankton yang menyebabkan terjadinya red
Terdapat kecenderungan siklus red
de.
de akan berulang se ap tahunnya. Faktor
predisposisi terjadinya red de adalah daerah terlindung dengan arus air yang lemah,
kaya bahan organik dan terjadinya factor pemicu pangadukan air laut. Plankton dengan
kepadatan yang sangat nggi terjadi pada permukaan air sampai dengan kedalaman 2
meter.
Usaha penanganan ikan terhadap kejadian red
de adalah dengan menurunkan
kedalaman jaring, mencegah ikan berenang di permukaan air dan menghen kan
pemberian pakan. Para pembudidaya perlu mengetahui pola arus dan pola kelimpahan
plankton tahunan, sehingga dapat dilakukan penanganan sebelum terjadinya kema an
17
BAB IV
PENYAKIT NUTRISI
(NUTRITIONAL DISEASES)
Oleh :
Rini Purnomowa dan Tanjung Penataseputro
A. Kebutuhan Nutrisi Ikan Kerapu
1. Protein dan Asam Amino
Ikan kerapu membutuhkan asupan protein yang nggi, dengan kisaran antara
47.8% sampai dengan 60%. Selain ketercukupan kebutuhan jumlah protein total,
kandungan asam amino esensial didalamnya harus terpenuhi. Kebutuhan asam amino
esensial diperoleh dari protein penyusun pakan maupun dengan penambahan asam
amino esensial komersial dalam pakan. Kebutuhan asam amino esensial kerapu antara
lain me onin, arginin,
rosin, treonin, his din, isoleusin, leusin, lisin, valin, dan
fenilalanin.
2. Lemak dan Asam Lemak
Lemak merupakan sumber energi dan asam lemak esensial serta sebagai
pembawa vitamin A, vitamin D, Vitamin E dan vitamin K. Asam lemak esensial pen ng
yang dibutuhkan oleh ikan kerapu adalah linolenic acid dan linoleic acid. Kebutuhan
lemak dalam pakan ikan kerapu berkisar antara 9% sampai 16% dari jumlah pakan,
dengan kandungan Ω3 HUFA minimal 2%.
Defisiensi asam lemak pada pakan dapat menimbulkan gangguan fungsi organ,
hambatan pertumbuhan, menurunkan konversi pakan maupun gangguan patologik.
Bahkan pada kejadian yang berat, kekurangan senyawa ini dapat menimbulkan
kema an.
3. Karbohidrat
Kebutuhan karbohidrat pada ikan kerapu rela f kecil karena
ngkat
pemanfaatannya dalam tubuh rela f rendah. Kandungan karbohidrat dalam pakan
dak boleh lebih dari 20%.
19
4. Vitamin
Berdasarkan kelarutannya, vitamin dibagi dua yaitu vitamin larut air dan vitamin
larut lemak. Secara garis besar fungsi vitamin dan kebutuhannya pada ikan laut
disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Jenis vitamin dan kebutuhannya dalam pakan (Watanabe 1988)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Nama Vitamin
Thiamine
Riboflavin
Pyridoxine
Niacin
Pantothenic acid
Ascorbic acid
Choline
Folic acid
Cyanocobalamine
Bio n
Inositol
Re nol
Cholecalferol
Tocopherol
Kebutuhan (mg/kg pakan)
10-12
20
10-20
50-100
10-40
100-150
800
5-10
0.01-0.02
0.1-0.2
200-400
1000-2000 IU
1600-2000 IU
30-50
Vitamin larut air digunakan dalam bentuk langsung atau sebagai enzim tertentu.
Misalnya pyridoxal phospate yang berfungsi sebagai koenzim
pada seluruh
transportasi asam amino dan thiamine sebagai koenzim untuk co-carboxylase.
Terdapat 4 jenis vitamin larut lemak, yaitu vitamin A, vitamin D, vitamin E dan
vitamin K. Vitamin A berfungsi sebagai pigmen penglihatan dan berperan dalam
metabolisme mucopolysaccharida, Vitamin E sebagai an oksidan metabolik, dan
Vitamin D berperan dalam homeostasis kalsium dan vitamin K berperan dalam sistem
transpot elektron.
5. Mineral
Kurang lebih terdapat 20 jenis mineral yang dibutuhkan untuk mempertahankan
struktur dan metabolisme fungsi tubuh. Mineral dak diproduksi oleh tubuh, sehingga
harus dipenuhi dari luar tubuh.
Kekurangan mineral pada tubuh dapat menyebabkan gangguan fungsi
metabolisme tubuh. Mineral utama yang diperlukan tubuh antara lain kalsium, klor,
magnesium, fospor, natrium, besi, tembaga, iodin, mangan, selenium, dan seng.
20
6. Keseimbangan Energi
Energi merupakan unsur pen ng dalam penyusunan pakan. Pakan yang baik
adalah pakan yang memiliki kandungan nutrisi dan energi yang seimbang serta sesuai
dengan kebutuhan. Kelebihan atau kekurangan energi dapat mengganggu laju
pertumbuhan ikan.
Kelebihan energi dalam pakan akan menyebabkan ikan merasa kenyang sebelum
kebutuhan komponen nutrisi lainnya terpenuhi. Sebaliknya apabila energi yang
terkandung dalam pakan terlalu rendah menyebabkan alihfungsi pemanfaatan protein
untuk memenuhi kebutuhan energi. Protein ini seharusnya digunakan untuk
pertumbuhan.
Sumber utama energi yang digunakan dalam pakan ikan kerapu adalah lemak.
Lemak merupakan sumber energi yang paling efisien. Energi ini diukur berdasarkan
energi tercerna (diges ble energy), yaitu energi yang terserap oleh saluran
pencernaan.
Energi tercerna
akan
digunakan untuk mempertahankan hidup
(maintenance), ak vitas sehari-hari, pertumbuhan dan reproduksi.
B. Penyakit Nutrisi Pada Ikan Kerapu
1. Kelaparan
Kelaparan merupakan kekurangan komponen utama pakan secara absolut, baik
secara kualitas maupun kuan tas, yaitu lemak, karbohidrat dan protein. Dengan
demikian, energi yang masuk dalam tubuh di bawah nilai ambang batas kebutuhan
minimal.
Perubahan klinis kelaparan sangat mudah dikenali. Ikan akan tampak kurus,
jumlah lemak abdominal sangat terbatas, distensi gelembung renang, serta atrofi
organ dalam. Gejala tersebut muncul tergantung pada derajat dan lamanya kelaparan
yang dialami.
Gambaran histopatologi ikan yang mengalami kelaparan berupa infiltrasi jaringan
ikat pada ha , limpa, dan ginjal; reduksi sarcoplasmik pada myofibril dengan disertai
vakuolisasi dan migrasi nuklei sarcolema; serta peningkatan melanomacrophage
center pada limpa. Sedangkan pada pemeriksaan preparat apus darah, perubahan
sitologik muncul berupa anisositosis eritrosit (bentuk eritrosit yang bervariasi) disertai
dengan peningkatam jumlah trombosit (Gambar.5.1.)
21
Gambar. 4.1 Gambaran preparat apus darah ikan yang mengalami kelaparan,
yaitu anisositosis erytrosit disertai dengan peningkatan jumlah
trombosit
2. Defisiensi Asam Lemak Essensial
Defisiensi asam lemak esensial menyebabkan gangguan pigmentasi kulit, erosi
sirip, kardiomiopa , dan gangguan ha . Gambaran histopatologi defisiensi asam lemak
berupa pembengkakan dan infiltrasi lemak pada hepatosit. Keadaan ini biasanya
diiku dengan anemia, sebagai akibat dari gangguan sekresi hemopoie n.
3. Lipoid Liver Disease (LLD)
Lipoid liver diseases (LLD) merupakan penimbunan lemak yang bersifat abnormal
dalam ha . Ada dua bentuk penimbunan lemak, yaitu infiltrasi atau deposit lemak
diantara sel-sel ha
serta degenerasi melemak. Degenerasi melemak merupakan
akumulasi lemak dalam sel ha . Sedangkan infiltrasi lemak merupakan akumulasi
lemak abnormal diantara sel dan jaringan sel ha .
Degenerasi melemak ha disebabkan oleh gangguan pembentukan lipoprotein.
Penyebab utama degenerasi ini adalah rendahnya nilai biologi protein. Nilai biologi
protein yang rendah dalam pakan terjadi karena ngginya kandungan lemak jenuh,
rendahnya kandungan asam lemak esensial, rendahnya kandungan asam amino
esensial atau kerusakan pakan.
Kejadian LLD yang berlanjut akan menyebabkan nekrosis. Hal ini terjadi karena
kerusakan pada ha akan merangsang sitokin inflamasi, melipu pelepasan IL-1, IL-6,
22
IL-8 dan factor nekrosis tumor (Tumor necrosing factor) terutama oleh sel Kupfer.
Kejadian ini akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah. Nekrosis ini akan
berlanjut menjadi sirosis hepa s (infiltrasi jaringan ikat di ha ).
Perubahan makroskopik pada kasus degenerasi melemak berupa perubahan
warna ha menjadi kekuningan. Infiltrasi lemak dak menunjukkan gejala yang nyata,
dan pada kasus yang parah tampak bentukan lemak diantara jaringan ha (Gambar
11). Penyayatan pada ha yang mengalami LLD, pada bidang sayatan akan tampak
lebih berminyak. Sedangkan pada ha
yang mengalami sirosis, ha
menjadi liat
dengan konsistensi yang lebih padat.
Perubahan histopatologi kasus infiltrasi lemak adalah tampak adanya akumulasi
lemak di antara sel/jaringan ha .
Gambar 4.2 Gambaran histopatologi lemak yang terbentuk di
antara jaringan hati (Foto : Toha dan Rini).
Perubahan
histologi
kasus
degenerasi
melemak
adalah
tampaknya
vakuola-vakuola besar pada sel ha . Pada kasus yang parah vakuola memenuhi
seluruh bagian sel, sehingga in
sel terdorong ke bagian tepi sel. Selanjutnya,
degenerasi melemak akan diiku dengan infiltrasi jaringan ikat di antara sel-sel ha
(Gambar 11).
23
Gambar 4.3 Gambaran histopatologi pada kasus
degenerasi
melemak.
(A)
Vakuola-vakuola besar pada sel
ha ; dan (B) Infiltrasi jaringan ikat
di antara sel-sel ha
(sirosis
hepa s).
Foto : Toha dan Rini
Terdapat beberapa penyakit lain sebagai diagnosa banding LLD, antara lain
aspergillosis dan keracunan akibat adanya senyawa toksik dalam pakan. Pada kasus
aspergillosis, dapat ditemukan jamur di pusat-pusat nekrosis. Sedangkan pada kasus
keracunan melalui pakan akan menyebabkan degenerasi melemak serta nekrosis
centrolobuler.
Pengobatan LLD dapat dilakukan dengan penambahan an oksidan metabolik
dalam pakan, antara lain kombinasi antara vitamin E dan selenium. An oksidan
sinte s lain yang dapat dipakai antara lain ethoxyquin, buthylhydroxytoluen (BHT),
atau buthylhydroxyanisole. Pengobatan akan memberikan respon apabila diiku
dengan perbaikan pakan dan apabila kasus penyakit belum sampai pada stadium
nekrosis atau sirosis hepa s. Pada stadium ini penyakit bersifat permanen.
Pemberian vitamin E dan selenium juga dapat dilakukan sebagai
ndakan
pencegahan. Pemberian obat-obatan untuk pengobatan dan pencegahan LLD harus
diiku dengan pemberian pakan dengan kecukupan kebutuhan asam lemak dan asam
amino esensial, keseimbangan dan keterpenuhan kebutuhan protein dan lemak, serta
pakan yang selalu terjaga kesegarannya.
4. Defisiensi Protein dan Asam Amino
Perubahan degenera f yang sering mengiku
kejadian defisiensi protein dan
asam amino adalah degenerasi melemak (lihat lipoid liver diseases). Diagnosa penyakit
akibat defisiensi protein dan asam amino rela f sulit, sebab beberapa indikasi yang
24
ada bersifat nonspesifik. Salah satu indikasi paling awal adalah hambatan
pertumbuhan.
Beberapa perubahan patologis, seper erosi sirip dorsal berhubungan dengan
defisiensi lisin, abnormalitas sendi punggung berhubungan dengan dengan defisiensi
triptopan, leusin, lisin, arginin, atau his din, katarak len s berhubungan dengan
defisiensi triptopan dan me onin. Namun demikian, perubahan tersebut dak bersifat
spesifik, sehingga perlu diperha kan penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala
sangat mirip sebagai diagnosa banding.
5. Ke dakseimbangan Karbohidrat
Ikan kerapu kurang mampu memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi.
6. Defisiensi Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral bersama-sama dengan enzim tubuh berfungsi sebagai
pengatur sistem metabolisme tubuh. Disamping pemberian suplemen mul vitamin
yang biasa digunakan pada hewan darat, ada beberapa vitamin yang harus
mendapatkan perha an khusus. Beberapa defisiensi vitamin, seper defisiensi vitamin
C, B-1, dan E sering menimbulkan masalah pada usaha budidaya laut.
Vitamin B-1 merupakan koenzim beberapa enzim esensial yang bekerja pada
metabolisme karbohidrat. Vitamin ini juga berperan dalam sistem reproduksi serta
fungsi-fungsi syaraf perifer dan syaraf pusat.
Pada usaha budidaya yang menggunakan ikan mentah sebagai sumber pakan,
kandungan
aminase dalam pakan menyebabkan rusaknya vitamin B1, srehingga
menyebabkan terjadinya defisiensi. Tingkat defisiensi tergantung pada jenis ikan rucah
yang digunakan sebagai pakan, mengingat kadar
aminase pada se ap jenis ikan
berbeda-beda. Ikan yang diketahui mengandung aminase dalam jumlah nggi adalah
daging ikan lemuru dan ikan sarden.
Defisiensi vitamin B-1 pada ikan kerapu menimbulkan gejala klinik berupa
haemoragi dan konges pada pangkal sirip punggung. Gejala lain yang muncul adalah
adanya gerakan hiperaksitabilitas atau gerakan dak terkoordinasi. Lesi histopatologi
25
yang umum dijumpai pada otak adalah hemoragi dan adanya degenerasi nuklei pada
daerah periventrikular.
Defisiensi vitamin C dapat menyebabkan gangguan perbaikan sel dan
abnormalitas sistem skeletal. Perubahan fisik defisiensi pada sistem skeletal berupa
lordosis, scoliosis, keroposan tulang, serta deformasi pada operculum dan lamella
insang. Defisiensi ini juga menyebabkan rendahnya respon perbaikan luka pada
permukaan tubuh, munculnya ulserasi atau fibroplasia dan penurunan sistem
kekebalan tubuh.
Vitamin E sangat berperan dalam metabolisme lemak. Kombinasi vitamin E dan
selenium merupakan senyawa an oksidan metabolik. Pemberian kombinasi tersebut
akan mengurangi kejadian degenerasi melemak akibat
ngginya kandungan lemak
jenuh dalam pakan. Pemberian suplemen ini diperlukan terutama sekali pada ikan-ikan
yang diberi pakan dengan pakan ikan rucah. Namun demikian, pemberian selenium
melalui pakan harus ha -ha karena pemberian yang overdosis (400 mikrogram dalam
sehari) dapat menyebabkan keracunan. Pemberian selenium yang sering digunakan
dan memberikan efek yang baik ialah sebanyak 200 mikrogram dalam sehari.
Defisiensi mineral dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Kebutuhan
mineral pada ikan dipenuhi terutama dari mineral yang terlarut dalam air.
Penambahan mineral yang berlebih dalam pakan dapat mengakibatkan hambatan
pertumbuhan. Defisisensi mineral biasanya terjadi bukan karena kadarnya yang
rendah, tetapi lebih disebabkan oleh ke dakseimbangan antara mineral dan nutrisi
lainnya.
26
BAB V
PENYAKIT PARASITER
Oleh :
Dwi Rahwanto, Tanjung Penata Seputro dan Putri Ramdhani
Parasit pada ikan kerapu dapat berupa parasit mul seluler (metazoa) maupun uniseluler
(protozoa). Manifestasi klinis bervariasi, mulai dari yang ringan sampai dengan kema an
massal. Prinsip dasar penanganan penyakit parasiter adalah dengan melakukan pemutusan
siklus hidup.
A. Parasit Metazoa
1. Monogenea insang
Terdapat
ga
genus
monogenea
yang
menyerang
insang,
yaitu
Pseudorhabdosynocus sp., Diplectanum sp., dan Haliotrema sp. Semua stadium parasit
bersifat mikroskopis dengan lokasi serangan pada
lamella insang (Gambar 5.1.)
Gambar 5.1. Gambaran trematoda insang diamati di bawah mikroskop
(Foto : Toha)
29
Telur
parasit
menempel
pada
dinding
bak
atau
jaring dengan bantuan filamen spiral yang ada pada bagian ujung telur (Gambar 5.2.).
Lima hari sejak telur dihasilkan oleh cacing dewasa, telur akan menetas menjadi
miracidium. Selanjutnya miracidium akan menempel pada tubuh inang dan berparasit
pada insang sampai dewasa. Cacing dewasa siap menghasilkan telur setelah kurang lebih
berumur 20 hari. Secara umum, siklus hidup trematoda insang dapat dilihat pada Gambar
5.3.
Gambar 5.2 Gambaran
mikroskopis telur trmatoda insang
(Foto : Toha)
Gambar 5.2 Gambaran Siklus
hidup trematoda
Sumber : http ://www.nobanis.org
30
Gambaran
histopatologi
infestasi
trematoda
insang dak spesifik. Perubahan yang sering dijumpai berupa hiperplasia epitel lamella
insang. Pada kasus berat terjadi ruptur epitel. Potongan parasit ditemukan di antara
lamella insang (Gambar 5.4.).
Diagnosa dilakukan secara mikroskopik langsung (direct microscopy) terhadap
Gambar
Gambaranlamella
histopatologi
insang
terinfestasi
trematoda
preparat lendir insang
dan5.4potongan
insang.
Pembedaan
terhadap
ke(A)gaproliferasi
genus
sel epitel; (B) potongan trematoda melintang; dan (C)potongan trematoda
parasit dilakukan membujur
dengan melakukan
(Foto : Toha)karakterisasi morfologi terhadap penis, kantong
telur, dan sucker parasit.
Stadium cacing dewasa dan oncomiracidium peka terhadap pengobatan, sedangkan
pada stadium telur kurang peka. Pengobatan dilakukan dengan melakukan perendaman
formalin dengan konsentrasi 75 ppm sampai dengan 200 ppm atau 150 ppm H2O2 selama
setengan sampai satu jam, tergantung pada kondisi ikan.
Setelah perendaman selesai dilakukan ikan dipindahkan
ke
bak pemeliharaan
lain atau
segera
lakukan
31
penggan an
jaring.
Lima
hari
kemudian
dilakukan
pengulangan perendaman untuk membunuh cacing yang baru menetas.
2. Monogenea kulit
Monogenea (capsalid) kulit merupakan parasit eksternal yang paling umum pada
budidaya ikan kerapu. Cacing berbentuk berbentuk oval dan pipih dengan sepasang
sucker bulat (anterior sucker) pada tepi bagian depan dan sebuah haptor besar
(opisthapthor) pada tepi bagian belakang.
Se daknya terdapat lima spesies trematoda kulit yang menyerang pada ikan
budidaya laut, dua diantaranya merupakan parasit pen ng pada usaha budidaya kerapu,
yaitu Neoenedenia girellae dan Benedenia epinepheli (Gambar.5.5) .
Gambar 5.5 Parasit Neobedenia girellae yang menginfeksi
ikan kerapu
Patogenisitas Neobenedenia girellae lebih
nggi dibandingkan dengan Benedenia
epinepheli. Neobenedenia girellae selain menginfestasi
kulit juga dapat menyerang mata. Capsalid selain
Neobenedenia girellae
dak meyerang mata. Infestasi
pada mata dapat menyebabkan kebutaan. Gejala klinis
32
yang di mbulkan berupa, menggesek-gesekkan badan pada dinding bak/jaring, luka pada
permukaan tubuh dan mata berwarna pu h keruh. Pada kasus yang berat ikan dapat
mengalami kebutaan.
Upaya pengendalian terhadap infeksi parasit ini, dilakukan dengan merendam dalam
air tawar selama 10 menit sampai dengan 15 menit atau dalam H2O2 150 ppm selama 30
menit. Selama perendaman dilakukan pelepasan parasit dengan cara mengusap
permukaan tubuh secara perlahan.
3. Isopoda
Isopoda merupakan parasit fakulta f, biasanya menyerang insang, rongga mulut dan
tenggorokan. Sampai saat ini belum ada senyawa yang efek f dalam pengobatan
serangan parasit tersebut. Penanganan dilakukan dengan mengambil parasit secara
manual.
Gambar 5.6 (A) Parasit isopoda
(B) Parasit isopeda yang menyerang rongga mulut ikan
kerapu
B. Protozoa
1. Cryptocaryoniosis
Cryptocaryoniosis disebabkan oleh Cryptocaryon
irritans. Parasit ini merupakan cilliata berukuran 0.3 –
0.5 mm dengan rambut getar di permukaannya. Penyakit
33
yang disebabkan oleh protozoa ini dikenal sebagai white spot disease (penyakit bin k
pu h).
Gambar 5.7. (A) Cryptocaryon irritans ; (B) Ikan kerapu yang terinfeksi parasit C.
irritans,terdapat bintik-bintik putih di seluruh permukaan tubuh.
Gejala klinis ikan yang terserang white spot disease antara lain hilangnya nafsu
makan, mata bengkak, sisik lepas disertai pendarahan dan terjadi pembusukan sirip.
Perubahan fisik yang khas adalah nekrosis berbentuk bin k pu h pada permukaan tubuh
yang cukup dalam. Sedangkan luka yang menyebar dan pendarahan pada kulit terjadi
karena ikan menggesek-gesekkan tubuhnya ke jaring atau dinding bak.
Cryptocaryon irritans dapat menginfestasi ikan kerapu pada berbagai stadia.
Serangan protozoa ini pernah terjadi pada hatchery, penggelondongan, dan pembesaran.
Faktor predisposisi infestasi parasit ini, antara lain kepadatan yang nggi, suhu air yang
cenderung turun, peningkatan bahan organik, serta stres dalam pemindahan dan
pengangkutan ikan.
Penularan penyakit bin k pu h dapat terjadi ikan
sakit ke ikan lainnya melalui media air. Throphont yang
matang meninggalkan ikan dan berenang bebas dan
kemudian membentuk kista yang dapat menghasilkan
34
200
atau
lebih
tomont.
Tomont
berkembang
menjadi
theront yang bersifat infek f (Gambar 19).
Gambar 5.8. Siklus hidup parasit C. irrtans. Sumber : http://atj.net.au/marineaquaria
Penanggulangan parasit C. irritans dilakukan dengan perendaman air tawar selama 5
menit atau dengan 100-150 ppm selama 15-30 menit, diulang selama 3 hari berturut.
Apabila terjadi luka pada permukaan tubuh, perendaman dapat dikombinasikan dengan
dalam larutan acriflavin 5-10 ppm.
2. Trichodiniasis
Trichodiniasis disebabkan oleh Trichodina spp,
merupakan parasit yang umum dijumpai pada ikan
tawar dan ikan laut. Parasit berbentuk bundar yang
menyerupai topi, simetris dengan ujung tumpul dan sisi
lateral berbentuk seper lonceng. Bergerak dengan bulu
35
getar (cilia) yang terdapat pada “aboral disk” dengan gerakan yang cepat di permukaan
tubuh, ingsang dan sirip ikan. Ciri khas patogen ini adalah cincin den kel yang dilengkapi
dengan tanduk dan pisau. Trichodina sp. menginfeksi dengan cara menempel di lapisan
epitel. Setelah menempel, parasit berputar-putar sehingga dapat merusak sel-sel di
sekitar tempat penempelannya dan memakan sel-sel epitel yang hancur. Selanjutnya
akan terjadi iritasi dan produksi lendir yang berlebihan. Infestasi pada ikan laut lebih
membahayakan daripada infestasi pada ikan air tawar. Kejadian infeksi yang berat dapat
menyebabkan gangguan pernafasan pada ikan.
Gejala klinis pada kasus yang ringan dak menunjukkan gejala klinik yang nyata.
Pada kasus yang berat, gejala yang mbul adalah warna tubuh terlihat pucat, produksi
lendir yang berlebihan dari insang dan permukaan tubuh serta ikan mengosokkan
tubuhnya pada dinding bak/jarring dan ikan terlihat kurus.
Pengobatan dilakukan dengan perendaman Formalin 25 ppm sampai dengan 30
ppm selama 12 jam dan dilakukan selama 1 hari sampai dua hari berturut-turut. Setelah
pengobatan selesai, ikan segera dipindahkan ke bak pemeliharaan yang bebas dari parasit.
3. Oodoniasis
Oodiniasis disebabkan oleh Amyloodinium ocellatum, termasuk anggota dari
Dinoflagellata. Stadium dewasa berparasit pada insang, selanjutnya setelah parasit tua
akan jatuh ke dasar bak dan membentuk kista. Selanjutnya setelah kurang lebih 3 hari,
kista akan melepaskan dinosphore. Dinospore tersebut selanjutnya akan berenang untuk
menemukan inangnya. Setelah inang ditemukan, selanjutnya dinospore akan melepaskan
flagelnya dan berparasit sampai stadium dewasa.
Gejala klinis ikan yang terserang, ikan akan berenang lemah di dasar bak atau
dipermukaan air. Ikan akan bernapas dengan cepat, karena terjadi infestasi parasit. Insang
akan terlihat anemik. Apabila infestasi berat, akan
menyebabkan kema an pada ikan.
Figure 2 – Electron micrograph of
a gill infested with Amyloodinium
ocellatum (round spheres)
showing the high level of infection
that can occur in gill tissue.
36
Pengobatan dilakukan dengan melakukan perendaman menggunakan CuSO4.5H2O
sebanyak 1,25 ppm (1,25 g/ton air) selama 1 sampai 2 jam. Selain itu dapat pula dilakukan
pengobatan menggunakan 250 ppm formalin selama 1 jam. Penggunaan formalin harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga suhunya stabil pada kisaran 28oC. Namun demikian
stadium kista
dak peka terhadap pengobatan, sehingga memerlukan pengulangan
perendaman. Pengobatan dengan pengulangan selama 7 sampai dengan 10 hari cukup
efek f untuk memutus siklus hidup parasit.
37
BAB. VI
PENYAKIT BAKTERIAL
Yan Evan, Dinarti, Swastika Dita Soraya dan Suherman
A.
Gejala Umum
Secara umum, berdasarkan penyebarannya dalam tubuh ikan, penyakit dapat bersifat lokal
atau sistemik. Sedangkan berdasar waktu serangnya, penyakit bersifat perakut, akut, atau
kronis.
Infeksi bakteri sistemik ditandai oleh pembengkakan organ-organ dalam tubuh disertai
peradangan mul fokal pada organ yang terserang. Ciri spesifik lainnya adalah akumulasi cairan
keruh pada rongga tubuh. Pernanahan akibat infeksi bakteri sering dijumpai di limpa, thymus,
ginjal, dan ha .
Gambar 6.1 Gambaran patologi anatomi ikan kerapu yang mengalami infeksi bakteri sistematik
(A) Pembengkakan pada hati disertai dengan lesi yang ersifat multifocal (tanda
panah); dan (B) Distensi gelembung renang (Foto : Toha)
B.
Jenis-jenis Penyakit Bakterial
1. Epitheliocys s
39
Epitheliocys s merupakan bakteri obligat intraseluler gram nega f dan menyerang
pada ikan air tawar maupun ikan laut. Infeksi pertama kali terjadi pada sel-sel epitelial
insang. Secara mikroskopik terlihat massa organisme berbentuk cocoid.
Pada infeksi ringan, dak ditemui adanya tanda-tanda infeksi eksternal. Tingkah laku
dan pergerakan ikan pun terlihat normal. Infeksi berat ditunjukan dengan diproduksinya
lendir secara berlebihan serta gangguan pada sistem respirasi.
Gambaran histopatologi penyakit epitheliocys s berupa hiperplasia epithelial dan
terjadi fusi adjecent lamella insang. Sel-sel yang terinfeksi mengalami hipertrofi dengan
ukuran diameter mencapai 220 sampai dengan 300 µm, tergantung stadium infeksi.
2. Vibriosis
Vibriosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Vibrio sp. Terdapat dua bentuk
vibriosis,
yaitu
vibriosis
hemoragi
eksternal
(vibriosis
gastrointes nal. Ikan yang mengalami vibriosis derma
derma
s)
dan
vibriosis
s menunjukkan perubahan fisik
berupa luka pada bagian superfisial tubuh. Luka yang terjadi berupa irregular necro c
hemoragica dan ulcerasi, kerusakan sirip dan kadang-kadang disertai perubahan mata
menjadi pu h dan menonjol. Sedangkan pada kasus vibriosis gastrointes nal
dak
ditemukan gejala eksternal, kecuali warna tubuh menjadi lebih gelap.
Produksi protease dan enzim ekstraseluler lain oleh Vibrio sp menyebabkan terjadinya
kerusakan otot, sehingga luka mejadi semakin melebar. Pada kasus yang melanjut, ak vitas
enzim ini menyebabkan ulcerasi dan putusnya sirip. Pada stadium ini infeksi akan berubah
bentuk menjadi infeksi sistemik, ditandai dengan konges , hemoragi dan nekrosis mul fokal
di ha serta pembengkakan di limpa, ha , dan ginjal. Perubahan patologis pada usus berupa
enteri s hemoragica.
Vibriosis gastrointes nal menunjukkan perubahan berupa gastri s dan enteri s yang
disertai hemoragi, kemudian melanjut menjadi infeksi sistemik. Pada kejadian kronis akan
terjadi anemia, ditandai dengan warna insang yang memucat.
40
Anggota spesies dalam genus Vibrio, sebagaimana bakteri dalam kelompok
Enterobacteriaceae lainnya, dapat ditumbuhkan dengan media selek f TCBS Agar. Koloni
yang tumbuh pada media berwarna kuning atau hijau, tergantung kemampuannya dalam
memanfaatkan glukosa.
Gambar 6.2
Koloni Vibrio pada media selektif
TCBSA (Foto : Toha)
3. Streptococcosis
Streptococcosis merupakan penyakit yang cukup berpotensi dalam penurunan
produk vitas usaha budidaya kerapu. Gejala umum infeksi berupa warna tubuh menjadi
gelap dan terjadi penurunan nafsu makan, kadang-kadang disertai hiperemi dan konges
pada bagian mandibula dan pangkal operculum. Penyakit ini juga dapat menyebabkan
opthalmi s dan meningi s. Mortalitas yang di mbulkan cukup nggi, berkisar antara 40%
sampai dengan 60%.
Perubahan pathologi anatomi infeksi Streptococcus sp. yang sering dijumpai pada
pemeriksaan bedah bangkai berupa pembengkakan limpa, ha , dan ginjal. Ha biasanya
mengalami mul fokal nekro k. Pada kasus berat kadang-kadang ditemukan akumulasi
cairan keruh pada rongga abdomen.
41
Pemeriksaan terhadap preparat apus darah, cairan abdomen serta preparat tempel
jaringan limpa, ginjal, thymus atau ha dapat dilakukan dalam diagnosa infeksi Streptococcus
sp. Dengan pewarnaan giemsa 10% akan ditemukan bakteri berbentuk kokus yang
mengelilingi sel atau berada diantara sel.
Gambar 6.4 Gambaran mikroskopik darah ikan kerapu yang terinfeksi Streptococcus spp.
Dengan pewarnaan Giemsa (A) preparat apus darah; (B dan C) preparat temple
jaringan (perbesaran 100 x 10 ). Foto Toha
Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan isolasi bakteri pada media selek f KF.
Pada media ini bakteri akan tumbuh dengan koloni berwarna pink sampai kemerahan
dengan bentuk koloni yang sangat halus. Hasil pewarnaan Gram, Streptococcus sp. tampak
sebagai bakteri kokus Gram posi f dengan koloni berbentuk rantai (Gambar 24). Pembedaan
spesies dapat dilakukan dengan uji biokimiawi seper yang tertera pada Tabel 6.
Gambar 6.5 Gambaran mikroskopik Steptococcus spp. dengan
pewarnaan gram (Perbesaran 100 x 10).
Tabel 6. Sifat biokimiawi genus Streptococcus yang menginfeksi ikan kerapu
42
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Parameter Uji
Pewarnaan gram
Mo litas
Oksidase
Oksida f – Fermenta f
Katalase
Media selek f KF
Bile Salt 40%
Pertumbuhan dalam
garam 6.5%
Sifat hemolisa
Kemampuan hidrolisa
aesculin
Pembentukan asam dari
manitol
Hasil Uji
Gram posi f, bentuk bulat,
dengan koloni membentuk
rantai
Non mo l
Nega f
Fermenta f
Nega f
Koloni berwarna merah
atau pink
S.
S. iniae
agalac ae
+
+
-
+
+
-
+
Infeksi Streptococcus sp. dapat dicegah
dengan
menghindari
pemberian
berlebihan, kepadatan yang terlalu
pakan
yang
nggi, serta
menghindari stres. Jika ikan yang terinfeksi
dak
mungkin lagi dioba , ikan harus segera diangkat
dan dimusnahkan untuk menghindari penularan ke
area yang lebih luas. Peningkatan daya tahan tubuh
dapat dilakukan dengan pemberian imunos mulan,
seper penggunaan vitamin C dan β-glukanserta vaksinasi.
4. Mycobacteriosis
Infeksi Mycobacterium sp. bersifat sistemik dan kronik. Perubahan fisik yang sering
muncul adalah ikan mengalami kekurusan. Gejala lain yang kadang mengiku adalah ulcerasi
pada permukaan tubuh dan eksoptalmia. Sedangkan pada organ dalam tubuh muncul gejala
spesifik berupa radang granulomatosa di limpa, ginjal dan ha . Peradangan dapat meluas ke
bagian tubuh lainnya, tergantung ngkat keparahan penyakit.
Gambaran patologi anatomi radang granulomatosa adalah adanya noduli yang
terlokalisasi dan berkonsistensi padat dan berwarna pu h sampai keabu-abuan. Sedangkan
gambaran histopatologi radang ini dicirikan dengan terbentuknya pusat nekrosis (terdiri dari
hancuran sel-sel darah pu h dan jaringan) yang dikelilingi oleh peradangan yang terlokalisasi
(terdiri dari jaringan ikat dan sel-sel radang mononuklear).
43
jaringan terhadap noduli yang diwarnai dengan metoda pewarnaan tahan asam (Ziehl
Nielsen). Dengan metode ini bakteri tampak berbentuk batang dan berwarna merah.
Pewarnaan yang sama juga dapat dilakukan terhadap sediaan histologi. Pada sediaan ini
bakteri terakumulasi pada pusat-pusat nekrosis.
5. Tenacibaculum mari num
Tenacibaculum mari num infeksinya bersifat lokal (terutama pada insang dan sirip)
dengan faktor predisposisi salinitas air dan kepadatan yang nggi. Dua gejala dominan yang
tampak adalah nekrosis ujung sirip dan permukaan tubuh atau nekrosis insang. Pada
kejadian melanjut, biasanya diiku dengan infeksi bakteri lain yang bersifat sistemik. Pada
kondisi ini, jika
dak segera dilakukan penanganan, akan menimbulkan kema an massal
dengan mortalitas mencapai 80% dalam beberapa hari.
Nekrosis pada insang merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada ikan kerapu.
Nekrosis ini ditandai dengan insang yang berwarna kuning. Pada kasus yang parah, lamella
insang akan lepas dari tulang penyangganya (archus branchialis).
Gambar 6.7 Hasil pemeriksaan patologi anatomi menunjukan insang yang
Infeksi pada permukaan
tubuh
ditandai
dengan archus
perubahan
warna
abu-abu
berwarna
kuning
dan terlepasnya
brachialis
(Foto :menjadi
Toha)
pada ujung sirip atau ekor. Infeksi lanjut ditunjukkan dengan terjadinya erosi disertai
44
hemoragi pada bagian tersebut. Pada infeksi yang lebih parah, sirip/ekor menjadi hilang dan
nekrosa dapat berlanjut sampai dengan otot.
Diagnosa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan tempel jaringan yang diwarnai
dengan giemsa 10% terhadap bagian-bagian tubuh yang mengalami nekrosis. Dengan
pemeriksaan ini bakteri nampak berbentuk batang panjang sampai filamen (Gambar 27).
Peneguhan diagnosa dilakukan dengan melakukan isolasi pada media selek f dan iden fikasi
dengan uji biokimiawi.
Gambar 6.8 Gambaran mikroskopik
Tenacibaculum maritinum.
(A) pemeriksaan secara langsung;
dan (B) pemeriksaan dengan metode
temple jaringan. ( Foto : Toha)
Diagnosa laboratorium dapat dilakukan dengan mengisolasi pada media Cytophaga
Agar. Pada media ini T. mari num akan tumbuh dengan koloni berwarna kuning. Bakteri ini
45
termasuk golongan bakteri Gram nega f yang berbentuk batang, bersifat oksidase dan
katalase posi f.
6. Pasteurellosis
Pada budidaya ikan, pasteurellosis disebabkan oleh bakteri Photobacterium damselae
subspesies piscicida. Bakteri ini merupakan salah satu agen yang dapat menghancurkan
budidaya ikan pada perairan laut. Untuk itu, sejak tahun 2006, Menteri Kelautan dan
Perikanan melalui Kepmenkp No. 17/Men/2006, telah menetapkan pasteurellosis sebagai
penyakit ikan karan na. Di Indonesia, penyakit ini sudah ditemukan di Pulau Jawa dan
Sumatera bagian utara yang menyerang ikan kerapu lumpur dan beberapa jenis ikan kakap.
Spesies bakteri ini menyebabkan infeksi akut dengan ngkat mortalitas yang nggi.
Photobacterium damselae subspesies piscicida merupakan bakteri Gram nega f dan
dak berflagel. Pada media agar darah akan terbentuk koloni yang kecil dan berwarna
abu-abu.
Gambaran patologi anatomi dan histopatologi yang pernah dilaporkan adalah adanya
peradangan sistemik pada organ visceral ikan, khususnya pada ginjal, limpa dan ha . Pada
ha dan limpa banyak ditemukan neutrofil dan makrofag yang merupakan tanda sep semia
non spesifik serta asteroid bodies. Perubahan pada ginjal yang ditemukan adalah deplesi dan
kerusakan jaringan hemopoie k ginjal.
Diagnosa laboratorium dilakukan dengan kultur bakteri pada agar darah, pemeriksaan
histopatologi, imunohistokimia, ELISA, PCR, serta kultur bakteri pada TSA dengan
penambahan NaCl 2%.
46
BAB. VII
PENYAKIT VIRAL
Oleh:
Muhammad Aziz Hakim, Indriasih dan Wiwin Wiyani
Terdapat ga jenis virus yang sering ditemukan pada usaha budidaya kerapu yaitu Viral Nervous Necrosis
Virus (VNNV), Grouper Iridovirus (GIV) dan Lympocys cvirus. Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV)
menyebabkan kema an massal pada stadia larva dan benih, sedangkan kema an yang disebabkan oleh
infeksi GIV terjadi pada stadia larva, benih maupun ikan dengan ukuran besar. Kema an akibat infeksi
Lympocys cvirus rela f rendah, walaupun demikian berpotensi menurunkan kualitas produk akibat lesi
yang di mbulkan pada permukaan tubuh.
1. Viral Nervous Necrosis (VNN)
Pada usaha budidaya kerapu, Viral Nervous Necrosis (VNN) atau Viral Encephalopathy and
Re nopathy (VER) merupakan penyakit ikan yang sangat merugikan. Penyakit ini disebabkan oleh
Nodavirus.
Penyakit VNN menyerang pada sistem syaraf pusat, re na mata serta organ reproduksi. Penyakit ini
umumnya dapat menginfeksi hampir pada seluruh fase pertumbuhan ikan dan pada stadia larva dan
benih mortalitasnya dapat mencapai 100% dalam tempo 1-2 minggu. Penularan penyakit ini dapat
terjadi secara ver kal maupun horizontal.
Gejala umum VNN antara lain nafsu makan menurun, ikan sangat lemah, dan warna tubuh pucat. Gejala
spesifik yang menyertai berupa pergerakan yang dak terkoordinasi, seper berenang dak terarah,
berputar-putar, hiperak f, terbalik, serta sering menghentakkan kepala ke atas permukaan air secara
sporadik. Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reac on (PCR)
dan histopathologi.
Gambar 7.1 Hasil pemeriksaan histopatologi ikan kerapu yang terkena penyakit VNN. (A) Vakuolisasi
otak; (B) Infiltrasi badan inklusi pada otak; dan (C) Vakuolisasi pada retina. Foto : Toha dan
Rini
Upaya pencegahan penyakit VNN dilakukan dengan seleksi terhadap induk dan larva yang bebas
VNN serta penerapan biosekuriti pada tempat budidaya.
2. Sleepy Grouper Diseases (SGD)
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi Grouper Iridovirus (GIV) lebih dikenal sebagai Sleepy
Grouper Diseases (SGD). Penyakit ini dapat bersifat akut sampai kronis dengan morbiditas dan
mortalitas yang bervariasi, antara 30% sampai dengan 100%, tergantung pada spesies, umur, infeksi lain
yang menyertai, serta kondisi lingkungan.
49
Penularan penyakit SGD terjadi melalui kontak langsung atau melalui air yang terkontaminasi.
Organ target penyakit ini adalah ginjal dan limpa. Pada kasus berat, infeksi dapat menyebar pada
organ-organ lain seperti ha , jantung, mus, lambung dan usus. Diagnosa dapat dilakukan dengan
pemeriksaan gejala klinis, pemeriksaan tempel jaringan serta Polymerase Chain Reac on (PCR).
Gejala klinis ikan yang terinfeksi Grouper Iridovirus (GIV), antara lain warna tubuh ikan gelap,
insang pucat, nafsu makan turun serta pergerakan renang yang lemah dan dak terkoordinasi. Gejala
spesifik yang sering muncul adalah ikan mengendap di dasar bak dengan keadaan terbaring pada salah
satu sisi tubuhnya (Gambar 7.2).
Gambar 7.2. Gejala klinis yang spesifik
berupa ikan mengendap di dasar
bak/wadah dengan posisi berbaring pada
salah satu sisi tubuhnya. (A) infeksi GIV
pada kerapu kertang; dan (B) infeksi GIV
pada kerapu macan. Foto :Toha dan Rini
Gambaran patologi anatomi pada kerapu kertang, kerapu macan, kerapu sunu, dan kerapu
lumpur dak jelas, kecuali tubuh menjadi lebih gelap. Sedangkan pada kerapu bebek ditemukan
hiperemi dan konges pada bagian mandibula untuk ikan berukuran besar atau seluruh bagian kepala
untuk ukuran benih.
50
Gambar (A) Pada ikan besar tidak
ditemukan perubahan
spesifik pada permukaan
tubuh
Gambar (B) Hiperemi pada bagian
mandibula
Gambar (C) Pada ukuran benih
hiperemi terjadi pada
seluruh bagian kepala
Perubahan patologi anatomi organ dalam tubuh pada stadium awal infeksi berupa
pembengkakan limpa dan ginjal (Gambar 32). Selanjutnya pada stadium lanjut limpa mengalami atrofi.
51
Gambaran sitologik terhadap preparat tempel jaringan limpa, thymus dan ginjal dengan metoda
pewarnaan Giemsa adalah ditemukannya sejumlah enlarged cell/giant cell serta badan inklusi yang
bersifat asidofilik.
Gambar 7.4 Perubahan spesifik inveksi GIV pada kerapu bebek (A). Tampak
terjadi pembengkakan limpa (B). Pada pemeriksaansiitologi tampak
sejumlah sel raksasa (giant cell). Foto : Toha
Gambaran histopathologi penyakit SGD sangat khas, yaitu terjadinya peradangan disertai
akumulasi benda inklusi intrasitoplasmik asidofilik pada ha , limpa, ginjal, insang, dan saluran
pencernaan.
Gambar 7.5 Histopatologi ginjal yang terinfeksi GIV dengan pewarnaan Heamatoksilin-Eosin. (A) Organ mengalami
multifokal nekrotik (10 x 10); (B) dan (C) Terdapat sejumlah badan inklusi intrasitoplasmik yang bersifat
asidofilik (40 x 10)
Secara umum, pengendalian penyakit Sleepy Grouper Diseases (SGD) dilakukan dengan sanitasi
dan penerapan biosekuriti yang ketat pada lingkungan budidaya, mengurangi padat tebar dan
mengurangi stres selama transportasi serta vaksinasi yang terprogram.
3. Lymphocys cosis
Lymphocys cosis merupakan penyakit ikan yang disebabkan oleh genus Lymphocys cvirus,
anggota Family Iridoviridae. Virus ini berukuran 180-200 mm. Perubahan klinis dan pathologik dari
infeksi virus ini adalah permukaan tubuh, limpa dan ginjal.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada awal infeksi adalah ditemukannya bin l-bin l kecil
berwarna merah muda atau abu-abu yang sering dijumpai pada bagian sirip punggung dan sirip ekor.
Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak sampai 60 (enampuluh) kali ukuran normal dan selanjutnya
52
membentuk kumpulan sel yang berupa benjolan menyerupai bunga kol. Dalam waktu beberapa minggu,
benjolan tersebut dapat membesar sampai 0.5 cm atau lebih dan selanjutnya akan pecah dan menjadi
sumber penular ikan lainnya.
Perbaikan kualitas air dan penanganan ikan yang baik dapat mengurangi dan mencegah
lymphocys cosis. Perlakuan karan na yang memadai serta penerapan biosekuriti juga dapat membantu
dalam pencegahan dan penyebaran penyakit.
Ikan yang mengidap penyakit ini harus segera diisolasi guna mencegah terjadinya penularan.
Pengobatan bersifat supor f, yaitu dengan melakukan pemberian imunos mulan agar kondisi ikan
cepat pulih dan nafsu makannya dapat meningkat kembali.
53
Download