BAB I TEKNIK BUDIDAYA KERAPU Oleh : Ellis Mursitorini dan Putri Ramdhani A. Habitat Alami dan Pemilihan Lokasi Usaha Budidaya Ikan Kerapu Ikan Kerapu merupakan ikan demersal yang bersifat nocturnal (ak f pada malam hari). Habitat alaminya adalah perairan laut dengan dasar berbatu karang, kedalaman antara 40-60 meter atau daerah dangkal berbatu koral. Ikan-ikan muda biasanya hidup pada kedalaman 0,5 m sampai 3 m. Pemilihan lokasi budidaya harus memperha kan kondisi ekologis perairan yang sama atau mendeka habitat alaminya. Kondisi lingkungan perlu mendapat perha an antara lain: 1. Kondisi Lingkungan Lingkungan perairan untuk usaha budidaya harus terlindung dari angin dan gelombang kuat. Dengan kondisi ini diharapkan konstruksi rakit lebih tahan lama (Gambar 2.1.). Gelombang yang kuat menyebabkan ikan dak dapat beris rahat di dasar jaring dengan nyaman. Tinggi gelombang sebaiknya dak melebihi 0,5 meter di sepanjang tahun. Gambar 1.1. Lokasi pembangunan keramba sebaiknya berada di kawasan yang perairannya tenang dan terlindung dari hempasan angin kuat 2. Kedalaman 1 Kedalaman perairan lokasi KJA sekurang-kurangnya 5 m. Kedalaman ini diukur pada kondisi air surut terendah. Lebih dianjurkan pendirian KJA pada kedalaman lebih dari 10 meter. Namun demikian, biaya yang menyertai pada kedalaman nggi akan menjadi lebih besar. 3. Dasar Perairan Sesuai habitat alaminya, pembangunan KJA sebaiknya di lokasi yang mempunyai dasar karang hidup dan atau berpasir. 4. Jauh dari Buangan Limbah Pencemar Lokasi budidaya kerapu harus jauh dari sumber-sumber limbah. Apapun jenis limbahnya, baik organik maupun anorganik, dapat mempengaruhi keamanan ikan dan konsumen. Limbah yang terakumulasi dalam tubuh ikan akan menyebabkan turunnya kualitas produk. Untuk menghindari fluktuasi salinitas dan material bawaan dari darat, sebaiknya lokasi KJA jauh dari muara-muara sungai yang besar. 5. Kecepatan Arus Kecepatan arus diperlukan untuk proses pertukaran air di dalam KJA, sehingga air yang ada dalam jaring selalu op mal bagi pertumbuhan ikan. Kecepatan arus yang ideal berkisar antara 15 – 30 cm/de k. 6. Kecerahan Kecerahan menunjukkan ngkat kejernihan air. Ikan kerapu menyukai perairan yang jernih. Kecerahan yang direkomendasikan ga meter atau lebih. 7. Kondisi Air Kondisi perairan yang dikehendaki untuk budidaya kerapu berupa perairan berterumbu karang dan/atau berpasir dengan kisaran suhu antara 27 ° C sampai dengan 31°C, salinitas antara 30 sampai dengan 33 ppt, kandungan oksigen terlarut sekurang-kurangnya 5 ppm dan nilai pH antara 7,8 sampai 8,2. B. Persiapan Sarana Budidaya 2 Pembesaran ikan kerapu dilakukan dalam KJA. KJA merupakan sebuah kantong jaring atau waring berbingkai rakit (Gambar 2). Rakit dapat berupa rangkaian bambu, kayu atau bahan sinte s yang diapungkan dan difiksasi menggunakan jangkar pada se ap sudutnya. Selain berfungsi sebagai pembingkai, rakit juga dapat digunakan sebagai pusat ak vitas sehari-hari pekerja. Pembuatan KJA harus memperha kan kekuatan dan ketahanan, fungsi-fungsi pendukung budidaya serta ak vitas pekerja di atas KJA. Pada fase pendederan dan penggelondongan pemeliharaan ikan dilakukan dalam kantong waring (hapa/ jaring bagan), sedangkan pada fase pembesaran kantong terbuat dari jaring. Bahan yang kuat dan tahan lama untuk kedua jenis kantong tersebut biasanya terbuat dari polyetheline. Waring yang digunakan bermata 4 mm dan untuk mata jaring sebesar 0,5 inci (Gambar 3). Gambar 1.2 Pembuatan rakit harus memperhatikan kekuatan dan daya tahan serta memperhatikan fungsi rakit sebagai pusat aktivitas pekerja. (Foto : Toha) Gambar 1.3 Pemasangan jaring pada rakit. Ikan kerapu fase pembesaran di pelihara di dalam kantong jaring bermata 0,5 inci ( Foto : Toha) Beberapa sarana penunjang yang pen ng dalam usaha budidaya kerapu antara lain sarana transportasi (perahu), sarana penyimpan pakan, sarana pembersih jaring, bak pengobatan dan karan na, aerator serta fasilitas pembangkit listrik. Keberadaan bak pengobatan dan bak karan na yang terabaikan akan menyebabkan kesulitan dalam melakukan pengendalian penyakit. C. Pemeliharaan di Karamba Jaring Apung 1. Kualitas Benih Tebar 3 Benih yang digunakan dalam usaha pembesaran di KJA, dapat berasal dari tangkapan alam maupun dari hasil pembenihan. Kelemahan benih hasil penangkapan alam biasanya ukuran kurang seragam dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat beradaptasi dengan pakan buatan. Beberapa kriteria kualitas benih tebar ikan kerapu yang dapat digunakan dalam pembesaran adalah sebagai berikut : a. b. c. d. Ikan sehat dan bebas dari patogen berbahaya Warna tubuh dak ada perubahan Tidak ditemukan kelainan anatomis ( Ikan bergerombol, respon terhadap pakan ak f, serta sangat responsif terhadap kejutan. Gambar 1.4 Kualitas benih kerapu yang sehat ditunjukan dengan gerakan responsif dan bergerombol. (Foto : Toha) 2. Fase Pendederan dan Penggelondongan Pemeliharaan ikan kerapu pada fase pendederan dilakukan di dalam waring, biasanya berukuran 1 m x 1 m x 1,5 meter. Pada fase ini ikan rentan terhadap penyakit. Selain melakukan pemeriksaan ru n, apabila memiliki fasilitas yang memadai, mortalitas dapat ditekan apabila pada fase ini ikan dipelihara di dalam bak terkendali. Kepadatan ikan di KJA disesuaikan dengan ukuran ikan (Tabel 1). Tabel.2.1. Kepadatan benih pendederan dan penggelondongan ikan kerapu bebek dan macan di karamba jaring apung 4 Jenis Ikan Kerapu Macan Kerapu bebek Kepada Kepada Ukura tan Ukura tan n (ekor/ja n (ekor/ja ring) ring) Pendederan Bulan 1 4-5 cm 200-250 3-5 cm 250-300 Bulan 2 9-12 150-200 7-9 cm 200-250 cm Bulan 3 9-12 150-200 cm Penggelondongan Bulan 1 15-25 100-150 15-25 100-150 gr gr Bulan 2 25-50 100-125 25-45 100-125 gr gr Bulan 3 50-10 75-100 45-75 100 0 gr gr Bulan 4 75-10 75 0 gr Masa Pemelih araan 3. Pemeliharaan ikan pada fase pembesaran Pemeliharaan pada fase pembesaran dilakukan di dalam jaring, biasanya berukuran 3 x 3 x 3 m3. Padat penebaran ikan berkisar antara 20-25 ekor/m 3. Lama pemeliharaan fase pembesaran berlansung antara 5 bulan (kerapu macan) sampai dengan 10 bulan (kerapu bebek). Pakan ikan rucah diberikan 1-2 kali perhari dengan sejumlah 5-7% dari berat badan ikan. Pada fase ini ikan lebih tahan penyakit dibandingkan dengan pemeliharaan pada fase pendederan dan penggelondongan. Perkecualian pada ikan Kerapu Bebek, kema an nggi terjadi ke ka ikan mememasuki ukuran sekitar 300 gram. Pada ukuran ini gonad mulai berkembang dan ikan menjadi rentan terhadap penyakit. Selama pemeliharaan dilakukan pergan an jaring, pemeriksaan penyakit ru n dan perendaman dengan an ektoparasit. Kegiatan tersebut dilakukan 2 minggu sekali, atau melihat keadaan jaring kondisi kesehatan ikan. Pemeriksaan kualitas air dilakukan secara berkala terhadap suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, fospat dan amoniak. Sedangkan untuk pemeriksaan penyakit secara ru n dilakukan dengan mengambil ikan sakit, menunjukkan gejala sakit dan/atau baru saja ma . 5 BAB II DIAGNOSA PENYAKIT IKAN KERAPU Oleh : Dinarti, Yan Evan dan Didik Santoso A. Diagnosa Klinik Diagnosa klinik merupakan metode untuk mengiden fikasi penyakit ikan berdasarkan perubahan abnormal ngkah laku dan fisik tubuh ikan. Tingkat kepercayaan hasil diagnosa tergantung pada keakuratan dalam pengumpulan data dan informasi selama anamnesis. Data dukung yang perlu digali selama anamnesis adalah status ikan dan kondisi lingkungannya, melipu spesies ikan, populasi, umur, data kualitas air dan metode budidaya yang dilakukan. Selanjutnya dilakukan anamnesis terkait dengan sejarah kejadian penyakit, gejala penyakit, insidensi, serta mortalitas dan morbiditasnya. Data-data tersebut sangat membantu dalam diagnosa penyakit ikan (Tabel 2.1) Tabel 2.1. Status dan riwayat ikan yang perlu diperha kan dalam diagnosa penyakit ikan kerapu No. 1 Jenis Pemerik-s aan Status ikan Materi Pemeriksaan Jenis ikan Umur Lokasi budidaya 2 Riwayat kejadian penyakit Sejarah kejadian penyakit Keterangan Insidensi infestasi ektoparasit pada ikan kerapu macan lebih nggi daripada Kerapu Bebek Kejadian penyakit pada Kerapu Bebek seringkali dak diiku oleh perubahan fisik yang jelas Infeksi bakteri superfisial lebih sering ditemukan pada Kerapu Macan dibandingkan Kerapu Bebek Kerapu Bebek ukuran 250 - 350 gram sering terjadi penurunan ngkat ketahanan tubuh Kerapu Sunu lebih mudah stress dibandingkan jenis ikan kerapu lainnya Infestasi parasit oleh cacing kulit dan insang (Benedenia sp., Pseudorhabdosynocus sp., Diplectanum sp., Haliothrema sp.) lebih sering terjadi pada ikan yang berumur lebih dari 2 bulan Penyakit parasit golongan protozoa (Trichodina sp. dan Cryptocaryon sp.) pada ikan umur kurang dari 3 bulan dapat menyebabkan kema an massal Penyakit VNN dan SGD pada ikan umur kurang dari 2 bulan dapat menyebabkan kema an massal Insidensi infestasi cacing kulit dan insang pada ikan yang dipelihara di KJA lebih nggi daripada pemeliharaan pada bak terkontrol Penyakit yang terjadi pada saat pemeriksaan sangat terkait dengan kejadian penyakit sebelumnya Patogen dapat menyebabkan penyakit secara perakut, akut maupun kronis a. Perakut : perubahan lingkungan yang ekstrim pada ukuran larva dan benih, senyawa toksik, dan limbah dalam konsentrasi nggi b. Akut: perubahan lingkungan yang ekstrim pada masa pendederan; 7 c. kesalahan handling; infeksi bakteri, VNN dan Iridovirus, serta infestasi Amyloodonium sp., Trichodina sp. dan Cryptocaryon sp. Kronis : infestasi cacing kulit dan insang, penyakit nutrisi Setelah anamnesis selesai, selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinis, melipu pemeriksaan perubahan ngkah laku dan pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan patologi anatomi melipu pemeriksaan terhadap permukaan tubuh dan bedah bangkai. Pemeriksaan permukaan tubuh melipu pemeriksaan kelainan anatomi tubuh, warna kulit, keadaan lendir, sisik, keadaan anggota gerak, dan kemungkinan terdapatnya ektoparasit makroskopik. Pemeriksaan abnormalitas insang melipu : lesi, warna, keadaan lendir, parasit, atau benda asing pada insang. Beberapa contoh perubahan spesifik yang sering dijumpai pada ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Perubahan spesifik beberapa penyakit pen ng pada ikan kerapu No. 1 2 Jenis Pemeriksaan Gejala klinis Fisik Materi Pemeriksaan Tingkah laku Permukaan tubuh Perubahan yang Sering Terjadi Ikan ma disertai gejala berputar, meloncat atau gerak dak terkoordinasi Ikan mengendap di dasar selama 2-3 minggu, selanjutnya ikan terlihat kembung dan terbalik dipermukaan air dan beberapa minggu kemudian ikan ma . Terjadi kema an tanpa disertai perubahan spesifik Hiperemi pada bagian mandibula Nekrosis pada sirip dan permukaan tubuh Organ dalam Nekrosis Insang disertai perubahan warna menjadi kekuningan serta ruptur lamella insang Terdapat cairan pada rongga perut berwarna keruh Pembengkakan limpa dan ginjal Kemungkinan Jenis Penyakit VNN, Grouper Iridovirus VNN, Grouper Iridovirus Grouper Iridovirus, Streptococcus sp. Infeksi bakteri, kesalahan handling/ restrain Tenacibaculum mari mum Infeksi bakteri Infeksi Grouper Iridovirus, Streptococcus spp., Vibrio spp. Selain melakukan pemeriksaan ikan, perlu dilakukan pengamatan terhadap kondisi perairan, termasuk sumber air dan perlakuan yang dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menganalisis sumber penularan dan penyebab penyakit secara menyeluruh. B. Pengambilan Sampel 8 Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan dua metode, yaitu pengambilan secara acak dan selek f. Pengambilan secara acak biasanya dilakukan dalam rangka studi epidemiologi dan pengambilan sampel pada kelompok populasi tanpa gejala klinik. Sedangkan untuk pengambilan selek f dilakukan dalam rangka diagnosa penyakit. Jumlah pengambilan sampel secara acak dilakukan berdasarkan pada asumsi prevalensi pada populasi (Tabel 4.). Tabel 4. Jumlah pengambilan sampel secara acak berdasarkan asumsi prevalensi dan populasi Jumlah Populasi 50 100 250 500 1000 2500 5000 10000 100000 1000000 >1000000 0.5 46 93 192 314 448 512 562 579 594 596 600 1.0 46 93 156 223 256 279 288 292 296 297 300 Prevalensi (dalam %) 2.0 3.0 4.0 46 37 37 76 61 50 110 75 62 127 88 67 136 92 69 142 95 71 145 96 71 146 96 72 147 97 72 147 97 72 150 100 75 5.0 29 43 49 54 55 56 57 57 57 57 60 10.0 20 23 25 26 27 27 27 27 27 27 30 C. Nekropsi dan Pengambilan Spesimen Setelah pemeriksaan klinis selesai, dilakukan pengambilan spesimen berupa darah, kerokan lendir kulit dan potongan insang. Selanjutnya ikan dinekropsi dan preparasi organ dalam tubuh. Gambar 2.1. Pengambilan darah ikan kerapu melalui intracardial ( Foto : Toha) Nekropsi dilakukan dengan mema kan ikan terlebih dahulu dengan cara memutuskan sambungan otak dengan sumsum tulang belakang. Kemudian ikan diletakkan pada papan 9 bedah dengan sisi kanan terletak dibagian bawah dan abdomen menghadap kearah operator. Sebelum dilakukan pembedahan, operculum digun ng sehingga insang dapat terlihat jelas. Pembedahan dilakukan dengan melakukan penyayatan dari lubang keluaran dilanjutkan ke arah cavum branchialis melalui sepanjang sisi ventral tubuh. Penyayatan ke dua dilakukan dari lubang keluaran ke arah depan disepanjang sisi dorsal cavum abdominalis dan cavum branchialis. Setelah itu dilakukan penyayatan diantara kedua ujung depan sayatan tersebut. Pemotongan harus dilakukan dengan ha -ha sehingga dak merusak organ dalam, pembuluh darah besar dan terhindar dari kontaminasi isi saluran pencernaan. Gambar 2.2 Teknik nekropsi ikan. (1) Pemotongan operculum; (2) Pemotongan pada sisi ventral; (3) Pemotongan pada sisi dorsal otot daging yang menutupi cavum abdominal dan cavum branchialis. Foto : Toha Pemeriksaan selama nekropsi dilakukan terhadap rongga perut dan dinding rongga perut (warna, keadaan, atau mbunan cairan), organ dalam (ukuran, bentuk, warna dan konsistensi) serta keberadaan endoparasit pada organ tubuh. Pemeriksaan organ dalam tubuh, secara berturut-turut, dilakukan terhadap gelembung renang, ha , lambung, limpa, usus, ginjal, dan terakhir jantung. Apabila diperlukan, pada saat nekropsi ini juga dilakukan isolasi bakteri, terutama pada ha , limpa dan ginjal depan. Susunan organ dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 8. 10 Spesimen dapat disimpan dalam keadaan segar atau terfiksasi, tergantung pada jenis pemeriksaan yang akan dilakukan. Spesimen untuk pemeriksaan parasitologi dan bakteriologi berupa ikan hidup atau ikan ma segar. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kehilangan beberapa informasi pen ng dalam pemeriksaan. Jika pemeriksaan dak dapat dilakukan sesegera mungkin atau memerlukan bantuan instansi lain, pengiriman ikan dapat dilakukan dalam bentuk ikan hidup. Spesimen darah diambil dengan atau tanpa an koagulan dan dalam bentuk preparat apus darah. Pembuatan preparat apus darah dilakukan seper pada Gambar 9. Preparat apus darah tersebut harus difiksasi dengan methanol absolut. Gambar 2.4 Teknik Pembuatan preparat apus darah. (1) darah di teteskan pada permukaan gelas objek. Kemudian sisi ujung gelas objek lain ditempelkan pada permukaan gelas objek pertama tepat didepantetesan darah; (2) ujung gelas objek kedua ke belakang sehingga tetesan darah menempel pada permukaan belakangnya dan selanjutnya tetesan darah ditarik ke depan secara cepat; (3) bentuk sediaan preparat apus darah. Ilustrasi. Gambar : Evan Larutan fiksa f untuk pemeriksaan histopatologi adalah buffered formalin 10%. Untuk ikan yang berukuran kurang dari 10 cm, dinding rongga perut disayat disepanjang sisi ventralnya hingga mandibula. Pada ikan yang lebih besar, organ dipreparasi, kemudian masing-masing organ dipotong dengan ukuran potongan maksimal 0.5 X 0.5 cm. Organ-organ yang digunakan sebagai spesimen adalah saluran pencernaan, ha , limpa, ginjal, jantung, mata, otak, dan insang. Organ tersebut dimasukkan dalam larutan buffered formalin dengan perbandingan volume organ dengan volume larutan fiksa f sekurang-kurangnya sebesar 1 : 10. Untuk keperluan pemeriksaan Polymerase Chain Reac on (PCR) spesimen dapat disimpan dalam keadaan beku atau dengan larutan fiksa f alcohol + glycerol dengan Perbandingan volume organ dan larutan fiksa f yang digunakan sekurang-kurangnya 70 : 30. D. Diagnosa Laboratorik 11 Pemeriksaan laboratorik digunakan sebagai alat untuk peneguhan diagnosa. Pemeriksaan laboratorik antara lain melipu : 1. Pemeriksaan Makroskopik Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan memeriksa adanya perubahan abnormal fisik tubuh ikan (lihat paada sub bab diagnosa klinik). Pada Pemeriksaan ini dapat diiku dengan penyiapan preparat apus dan tempel jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik langsung. 2. Pemeriksaan Mikroskopik Langsung (Direct Microscopy) Pemeriksaan dilakukan terhadap preparat basah insang, potongan jaringan organ dalam tubuh abnormal dan kerokan kulit. Beberapa materi yang terama antara lain kelainan jaringan serta kemungkinan terdapatnya agen penyebab penyakit. Apabila diperlukan, beberapa organ dapat dibuat preparat ulas dan tempel jaringan dan dilakukan pewarnaan sederhana. 3. Pemeriksaan Parasitologi Dilakukan untuk iden fikasi jenis/spesies parasit. 4. Pemeriksaan Mikrobiologi Pemeriksaan ini melipu isolasi, pemurnian koloni dan iden fikasi. Isolasi dilakukan pada media umum dan media selek f. Media umum yang dapat digunakan, antara lain Tryptone Soya Agar (TSA), Marine Agar (MA), Brain Heart Infusion Agar (BHIA), atau Nutrient Agar (NA). Sedangkan media khusus yang biasa digunakan untuk isolasi bakteri yang menyerang air laut adalah media selek f untuk Vibrio spp. (TCBSA), Streptococcus spp. (KF medium). 5. Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan abnormal pada ngkat sel dan jaringan, sehingga diketahui kemungkinan penyebab penyakit serta ngkat keparahannya. 6. Pemeriksaan lain Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah banyak berkembang metoda diagnosa modern, baik yang berbasis imunologi, biologi molekuler maupun kultur sel. 7. Pemeriksaan Lain Pemeriksaan laboratorik lain dapat dilakukan sebagai alat peneguhan diagnosa. 12 13 BAB.III PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH KUALITAS AIR (WATER QUALITY DISEASES) Oleh : Neizha Eka Putri, Irmayani Mulya dan Suzana Meidwi Ratriningrum Penyakit yang disebabkan oleh kualitas air atau penyakit lingkungan termasuk ke dalam penyakit non infeksi. Penyebabnya dapat berupa perubahan fisik maupun kimia air di atas nilai ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ikan, antara lain kandungan oksigen terlarut, ammonia, nitrit, ataupun zat beracun lain yang masuk dalam perairan budidaya. 1. Gas Bubble Disease Gas bubble disease merupakan penyakit yang diakibatkan oleh supersaturasi gas terlarut (biasanya nitrogen, dan oksigen dan atau karbondioksida). Supersaturasi ini dapat disebabkan oleh blooming alga atau kebocoran pompa atau sistem katup aerasi. Penyakit ini muncul ke ka air mencapai keadaan sangat jenuh (super-saturated) terhadap gas. Keadaan ini meyebabkan darah ikan juga mengalami kejenuhan, karena jumlah N2, O2, dan CO2 dalam air yang berlebihan akan diambil oleh cairan tubuh ikan. Selanjutnya N2, O2 dan CO2 akan terakumulasi dalam darah dan jaringan tubuh ikan. Selanjutnya, karena tekanan di dalam tubuh lebih nggi dari tekanan lingkungan di luar tubuh, gas-gas tersebut akan meyebabkan terjadinya desakan keluar, sehingga banyak gas yang terperangkap dalam tubuh. Gelembung gas yang terakumulasi dalam pembuluh darah dapat menyebabkan emboli pada sistem sirkulasi. Selanjutnya akan terjadi aspiksia dan diiku oleh emfisema dan endema jaringan memvaskularisasi organ-organ tubuh vital, maka akan meyebabkan kema an mendadak. 15 Emboli pada kasus gas bubble disease terutama terjadi di dalam pembuluh darah insang (Gambar 2.1). Selanjutnya pada kasus yang parah akan diiku gelembung-gelembung gas di bawah permukaan kulit pangkal sirip punggung dan sirip ekor, serta mata. Pencegahan dan penanggulangan penyakit gelembung renang adalah dengan pergan an air yang cukup, menghindari terjadinya blooming alga, penggunaan pompa dan sistem jaringan air yang baik dan efisien, monitoring ru n kadar oksigen terlarut, melakukan penambahan air secara perlahan disertai dengan aerasi secukupnya serta mengupayakan pipa air masuk lebih nggi dari permukaan air. 2. Defisiensi Oksigen Penyakit ini disebabkan padat penebaran yang nggi, kelebihan pakan, kurangnya aerasi, sistem penyaringan yang kurang baik serta banyaknya kotoran di dasar bak hingga menyebabkan terjadinya dekomposisi bahan organik. Gejala yang diperlihatkan adalah ikan berada dipermukaan air, sulit bernafas, dan akhirnya menyebabkan kema an dengan kondisi insang pucat, mulut operculum terbuka. Apabila ikan menunjukkan gejala kekurangan oksigen, aerasi dinyalakan secukupnya. Aerasi yang terlalu besar dapat berpotensi menimbulkan terjadinya gas bubble diseases. Apabila penyebab utamanya adalah banyaknya kotoran di dasar bak, penyiponan dilakukan perlahan-lahan dan lakukan pergan an air. 3. Keracunan Keracunan biasanya terjadi karena senyawa toksik dalam media pemeliharaan dak dapat ditoleransi oleh ikan. Senyawa ini dapat bersumber dari luar atau hasil reaksi biokimiawi yang terjadi diperairan. Semua reaksi biokimiawi tersebut melibatkan persenyawaan pen ng, antara lain persenyawaan karbon, nitrogen, phosphor dan sulfur. Persenyawaan nitrogen merupakan salah satu persenyawaan pen ng yang perlu diperha kan dalam usaha budidaya baik dalam bentuk gas nitrogen (N2), amonia (NH3), nitrat (NO3) maupun nitrit (NO4-). Dari persenyawaan ini, ammonia dan nitrat, karena karakteris k kimiawinya, merupakan persenyawaan yang berpotensi menyebabkan keracunan. Keracunan amonia dan nitrit terjadi karena meningkatnya kadar amonia dalam air. Pada kondisi ini disamping menyebabkan keracunan pada ikan juga memberi peluang berkembangnya bakteri tertentu. Hal ini terkait dengan penurunan status kesehatan ikan. Indikasi keracunan amonia dan nitrit adalah terjadinya perubahan warna darah ikan menjadi lebih tua atau kecoklatan 16 Darah Normal Darah Keracunan Nitrit Usaha budidaya laut di KJA sangat tergantung dengan siklus mikrobiologi perairan laut. Plankton-plankton yang berada di peraiaran apabila mengalami pertumbuhan yang di atas normal (blooming) akan menghasilkan toksin yang mema kan. Red Tide merupakan suatu kondisi perubahan warna air laut secara mencolok dan berbahaya yang disebabkan oleh blooming alga. Selain menghasilkan toksin, alga tersebut juga dapat merusak jaringan insang. Sedangkan bloomimg alga berbahaya yang dak menyebabkan perubahan ewarna yang mencolok biasa dikenal dengan is lah Harmful Algal Blooms (HAB’s). Alga ini berbahaya terutama karena alga tersebut memiliki toksin yang dapat terakumulasi secara terus menerus pada daging biota laut, terutama kekerangan dan filter feeder. Terdapat sekitar 31 spesies plankton yang menyebabkan terjadinya red Terdapat kecenderungan siklus red de. de akan berulang se ap tahunnya. Faktor predisposisi terjadinya red de adalah daerah terlindung dengan arus air yang lemah, kaya bahan organik dan terjadinya factor pemicu pangadukan air laut. Plankton dengan kepadatan yang sangat nggi terjadi pada permukaan air sampai dengan kedalaman 2 meter. Usaha penanganan ikan terhadap kejadian red de adalah dengan menurunkan kedalaman jaring, mencegah ikan berenang di permukaan air dan menghen kan pemberian pakan. Para pembudidaya perlu mengetahui pola arus dan pola kelimpahan plankton tahunan, sehingga dapat dilakukan penanganan sebelum terjadinya kema an 17 BAB IV PENYAKIT NUTRISI (NUTRITIONAL DISEASES) Oleh : Rini Purnomowa dan Tanjung Penataseputro A. Kebutuhan Nutrisi Ikan Kerapu 1. Protein dan Asam Amino Ikan kerapu membutuhkan asupan protein yang nggi, dengan kisaran antara 47.8% sampai dengan 60%. Selain ketercukupan kebutuhan jumlah protein total, kandungan asam amino esensial didalamnya harus terpenuhi. Kebutuhan asam amino esensial diperoleh dari protein penyusun pakan maupun dengan penambahan asam amino esensial komersial dalam pakan. Kebutuhan asam amino esensial kerapu antara lain me onin, arginin, rosin, treonin, his din, isoleusin, leusin, lisin, valin, dan fenilalanin. 2. Lemak dan Asam Lemak Lemak merupakan sumber energi dan asam lemak esensial serta sebagai pembawa vitamin A, vitamin D, Vitamin E dan vitamin K. Asam lemak esensial pen ng yang dibutuhkan oleh ikan kerapu adalah linolenic acid dan linoleic acid. Kebutuhan lemak dalam pakan ikan kerapu berkisar antara 9% sampai 16% dari jumlah pakan, dengan kandungan Ω3 HUFA minimal 2%. Defisiensi asam lemak pada pakan dapat menimbulkan gangguan fungsi organ, hambatan pertumbuhan, menurunkan konversi pakan maupun gangguan patologik. Bahkan pada kejadian yang berat, kekurangan senyawa ini dapat menimbulkan kema an. 3. Karbohidrat Kebutuhan karbohidrat pada ikan kerapu rela f kecil karena ngkat pemanfaatannya dalam tubuh rela f rendah. Kandungan karbohidrat dalam pakan dak boleh lebih dari 20%. 19 4. Vitamin Berdasarkan kelarutannya, vitamin dibagi dua yaitu vitamin larut air dan vitamin larut lemak. Secara garis besar fungsi vitamin dan kebutuhannya pada ikan laut disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Jenis vitamin dan kebutuhannya dalam pakan (Watanabe 1988) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Nama Vitamin Thiamine Riboflavin Pyridoxine Niacin Pantothenic acid Ascorbic acid Choline Folic acid Cyanocobalamine Bio n Inositol Re nol Cholecalferol Tocopherol Kebutuhan (mg/kg pakan) 10-12 20 10-20 50-100 10-40 100-150 800 5-10 0.01-0.02 0.1-0.2 200-400 1000-2000 IU 1600-2000 IU 30-50 Vitamin larut air digunakan dalam bentuk langsung atau sebagai enzim tertentu. Misalnya pyridoxal phospate yang berfungsi sebagai koenzim pada seluruh transportasi asam amino dan thiamine sebagai koenzim untuk co-carboxylase. Terdapat 4 jenis vitamin larut lemak, yaitu vitamin A, vitamin D, vitamin E dan vitamin K. Vitamin A berfungsi sebagai pigmen penglihatan dan berperan dalam metabolisme mucopolysaccharida, Vitamin E sebagai an oksidan metabolik, dan Vitamin D berperan dalam homeostasis kalsium dan vitamin K berperan dalam sistem transpot elektron. 5. Mineral Kurang lebih terdapat 20 jenis mineral yang dibutuhkan untuk mempertahankan struktur dan metabolisme fungsi tubuh. Mineral dak diproduksi oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar tubuh. Kekurangan mineral pada tubuh dapat menyebabkan gangguan fungsi metabolisme tubuh. Mineral utama yang diperlukan tubuh antara lain kalsium, klor, magnesium, fospor, natrium, besi, tembaga, iodin, mangan, selenium, dan seng. 20 6. Keseimbangan Energi Energi merupakan unsur pen ng dalam penyusunan pakan. Pakan yang baik adalah pakan yang memiliki kandungan nutrisi dan energi yang seimbang serta sesuai dengan kebutuhan. Kelebihan atau kekurangan energi dapat mengganggu laju pertumbuhan ikan. Kelebihan energi dalam pakan akan menyebabkan ikan merasa kenyang sebelum kebutuhan komponen nutrisi lainnya terpenuhi. Sebaliknya apabila energi yang terkandung dalam pakan terlalu rendah menyebabkan alihfungsi pemanfaatan protein untuk memenuhi kebutuhan energi. Protein ini seharusnya digunakan untuk pertumbuhan. Sumber utama energi yang digunakan dalam pakan ikan kerapu adalah lemak. Lemak merupakan sumber energi yang paling efisien. Energi ini diukur berdasarkan energi tercerna (diges ble energy), yaitu energi yang terserap oleh saluran pencernaan. Energi tercerna akan digunakan untuk mempertahankan hidup (maintenance), ak vitas sehari-hari, pertumbuhan dan reproduksi. B. Penyakit Nutrisi Pada Ikan Kerapu 1. Kelaparan Kelaparan merupakan kekurangan komponen utama pakan secara absolut, baik secara kualitas maupun kuan tas, yaitu lemak, karbohidrat dan protein. Dengan demikian, energi yang masuk dalam tubuh di bawah nilai ambang batas kebutuhan minimal. Perubahan klinis kelaparan sangat mudah dikenali. Ikan akan tampak kurus, jumlah lemak abdominal sangat terbatas, distensi gelembung renang, serta atrofi organ dalam. Gejala tersebut muncul tergantung pada derajat dan lamanya kelaparan yang dialami. Gambaran histopatologi ikan yang mengalami kelaparan berupa infiltrasi jaringan ikat pada ha , limpa, dan ginjal; reduksi sarcoplasmik pada myofibril dengan disertai vakuolisasi dan migrasi nuklei sarcolema; serta peningkatan melanomacrophage center pada limpa. Sedangkan pada pemeriksaan preparat apus darah, perubahan sitologik muncul berupa anisositosis eritrosit (bentuk eritrosit yang bervariasi) disertai dengan peningkatam jumlah trombosit (Gambar.5.1.) 21 Gambar. 4.1 Gambaran preparat apus darah ikan yang mengalami kelaparan, yaitu anisositosis erytrosit disertai dengan peningkatan jumlah trombosit 2. Defisiensi Asam Lemak Essensial Defisiensi asam lemak esensial menyebabkan gangguan pigmentasi kulit, erosi sirip, kardiomiopa , dan gangguan ha . Gambaran histopatologi defisiensi asam lemak berupa pembengkakan dan infiltrasi lemak pada hepatosit. Keadaan ini biasanya diiku dengan anemia, sebagai akibat dari gangguan sekresi hemopoie n. 3. Lipoid Liver Disease (LLD) Lipoid liver diseases (LLD) merupakan penimbunan lemak yang bersifat abnormal dalam ha . Ada dua bentuk penimbunan lemak, yaitu infiltrasi atau deposit lemak diantara sel-sel ha serta degenerasi melemak. Degenerasi melemak merupakan akumulasi lemak dalam sel ha . Sedangkan infiltrasi lemak merupakan akumulasi lemak abnormal diantara sel dan jaringan sel ha . Degenerasi melemak ha disebabkan oleh gangguan pembentukan lipoprotein. Penyebab utama degenerasi ini adalah rendahnya nilai biologi protein. Nilai biologi protein yang rendah dalam pakan terjadi karena ngginya kandungan lemak jenuh, rendahnya kandungan asam lemak esensial, rendahnya kandungan asam amino esensial atau kerusakan pakan. Kejadian LLD yang berlanjut akan menyebabkan nekrosis. Hal ini terjadi karena kerusakan pada ha akan merangsang sitokin inflamasi, melipu pelepasan IL-1, IL-6, 22 IL-8 dan factor nekrosis tumor (Tumor necrosing factor) terutama oleh sel Kupfer. Kejadian ini akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah. Nekrosis ini akan berlanjut menjadi sirosis hepa s (infiltrasi jaringan ikat di ha ). Perubahan makroskopik pada kasus degenerasi melemak berupa perubahan warna ha menjadi kekuningan. Infiltrasi lemak dak menunjukkan gejala yang nyata, dan pada kasus yang parah tampak bentukan lemak diantara jaringan ha (Gambar 11). Penyayatan pada ha yang mengalami LLD, pada bidang sayatan akan tampak lebih berminyak. Sedangkan pada ha yang mengalami sirosis, ha menjadi liat dengan konsistensi yang lebih padat. Perubahan histopatologi kasus infiltrasi lemak adalah tampak adanya akumulasi lemak di antara sel/jaringan ha . Gambar 4.2 Gambaran histopatologi lemak yang terbentuk di antara jaringan hati (Foto : Toha dan Rini). Perubahan histologi kasus degenerasi melemak adalah tampaknya vakuola-vakuola besar pada sel ha . Pada kasus yang parah vakuola memenuhi seluruh bagian sel, sehingga in sel terdorong ke bagian tepi sel. Selanjutnya, degenerasi melemak akan diiku dengan infiltrasi jaringan ikat di antara sel-sel ha (Gambar 11). 23 Gambar 4.3 Gambaran histopatologi pada kasus degenerasi melemak. (A) Vakuola-vakuola besar pada sel ha ; dan (B) Infiltrasi jaringan ikat di antara sel-sel ha (sirosis hepa s). Foto : Toha dan Rini Terdapat beberapa penyakit lain sebagai diagnosa banding LLD, antara lain aspergillosis dan keracunan akibat adanya senyawa toksik dalam pakan. Pada kasus aspergillosis, dapat ditemukan jamur di pusat-pusat nekrosis. Sedangkan pada kasus keracunan melalui pakan akan menyebabkan degenerasi melemak serta nekrosis centrolobuler. Pengobatan LLD dapat dilakukan dengan penambahan an oksidan metabolik dalam pakan, antara lain kombinasi antara vitamin E dan selenium. An oksidan sinte s lain yang dapat dipakai antara lain ethoxyquin, buthylhydroxytoluen (BHT), atau buthylhydroxyanisole. Pengobatan akan memberikan respon apabila diiku dengan perbaikan pakan dan apabila kasus penyakit belum sampai pada stadium nekrosis atau sirosis hepa s. Pada stadium ini penyakit bersifat permanen. Pemberian vitamin E dan selenium juga dapat dilakukan sebagai ndakan pencegahan. Pemberian obat-obatan untuk pengobatan dan pencegahan LLD harus diiku dengan pemberian pakan dengan kecukupan kebutuhan asam lemak dan asam amino esensial, keseimbangan dan keterpenuhan kebutuhan protein dan lemak, serta pakan yang selalu terjaga kesegarannya. 4. Defisiensi Protein dan Asam Amino Perubahan degenera f yang sering mengiku kejadian defisiensi protein dan asam amino adalah degenerasi melemak (lihat lipoid liver diseases). Diagnosa penyakit akibat defisiensi protein dan asam amino rela f sulit, sebab beberapa indikasi yang 24 ada bersifat nonspesifik. Salah satu indikasi paling awal adalah hambatan pertumbuhan. Beberapa perubahan patologis, seper erosi sirip dorsal berhubungan dengan defisiensi lisin, abnormalitas sendi punggung berhubungan dengan dengan defisiensi triptopan, leusin, lisin, arginin, atau his din, katarak len s berhubungan dengan defisiensi triptopan dan me onin. Namun demikian, perubahan tersebut dak bersifat spesifik, sehingga perlu diperha kan penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala sangat mirip sebagai diagnosa banding. 5. Ke dakseimbangan Karbohidrat Ikan kerapu kurang mampu memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi. 6. Defisiensi Vitamin dan Mineral Vitamin dan mineral bersama-sama dengan enzim tubuh berfungsi sebagai pengatur sistem metabolisme tubuh. Disamping pemberian suplemen mul vitamin yang biasa digunakan pada hewan darat, ada beberapa vitamin yang harus mendapatkan perha an khusus. Beberapa defisiensi vitamin, seper defisiensi vitamin C, B-1, dan E sering menimbulkan masalah pada usaha budidaya laut. Vitamin B-1 merupakan koenzim beberapa enzim esensial yang bekerja pada metabolisme karbohidrat. Vitamin ini juga berperan dalam sistem reproduksi serta fungsi-fungsi syaraf perifer dan syaraf pusat. Pada usaha budidaya yang menggunakan ikan mentah sebagai sumber pakan, kandungan aminase dalam pakan menyebabkan rusaknya vitamin B1, srehingga menyebabkan terjadinya defisiensi. Tingkat defisiensi tergantung pada jenis ikan rucah yang digunakan sebagai pakan, mengingat kadar aminase pada se ap jenis ikan berbeda-beda. Ikan yang diketahui mengandung aminase dalam jumlah nggi adalah daging ikan lemuru dan ikan sarden. Defisiensi vitamin B-1 pada ikan kerapu menimbulkan gejala klinik berupa haemoragi dan konges pada pangkal sirip punggung. Gejala lain yang muncul adalah adanya gerakan hiperaksitabilitas atau gerakan dak terkoordinasi. Lesi histopatologi 25 yang umum dijumpai pada otak adalah hemoragi dan adanya degenerasi nuklei pada daerah periventrikular. Defisiensi vitamin C dapat menyebabkan gangguan perbaikan sel dan abnormalitas sistem skeletal. Perubahan fisik defisiensi pada sistem skeletal berupa lordosis, scoliosis, keroposan tulang, serta deformasi pada operculum dan lamella insang. Defisiensi ini juga menyebabkan rendahnya respon perbaikan luka pada permukaan tubuh, munculnya ulserasi atau fibroplasia dan penurunan sistem kekebalan tubuh. Vitamin E sangat berperan dalam metabolisme lemak. Kombinasi vitamin E dan selenium merupakan senyawa an oksidan metabolik. Pemberian kombinasi tersebut akan mengurangi kejadian degenerasi melemak akibat ngginya kandungan lemak jenuh dalam pakan. Pemberian suplemen ini diperlukan terutama sekali pada ikan-ikan yang diberi pakan dengan pakan ikan rucah. Namun demikian, pemberian selenium melalui pakan harus ha -ha karena pemberian yang overdosis (400 mikrogram dalam sehari) dapat menyebabkan keracunan. Pemberian selenium yang sering digunakan dan memberikan efek yang baik ialah sebanyak 200 mikrogram dalam sehari. Defisiensi mineral dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Kebutuhan mineral pada ikan dipenuhi terutama dari mineral yang terlarut dalam air. Penambahan mineral yang berlebih dalam pakan dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan. Defisisensi mineral biasanya terjadi bukan karena kadarnya yang rendah, tetapi lebih disebabkan oleh ke dakseimbangan antara mineral dan nutrisi lainnya. 26 BAB V PENYAKIT PARASITER Oleh : Dwi Rahwanto, Tanjung Penata Seputro dan Putri Ramdhani Parasit pada ikan kerapu dapat berupa parasit mul seluler (metazoa) maupun uniseluler (protozoa). Manifestasi klinis bervariasi, mulai dari yang ringan sampai dengan kema an massal. Prinsip dasar penanganan penyakit parasiter adalah dengan melakukan pemutusan siklus hidup. A. Parasit Metazoa 1. Monogenea insang Terdapat ga genus monogenea yang menyerang insang, yaitu Pseudorhabdosynocus sp., Diplectanum sp., dan Haliotrema sp. Semua stadium parasit bersifat mikroskopis dengan lokasi serangan pada lamella insang (Gambar 5.1.) Gambar 5.1. Gambaran trematoda insang diamati di bawah mikroskop (Foto : Toha) 29 Telur parasit menempel pada dinding bak atau jaring dengan bantuan filamen spiral yang ada pada bagian ujung telur (Gambar 5.2.). Lima hari sejak telur dihasilkan oleh cacing dewasa, telur akan menetas menjadi miracidium. Selanjutnya miracidium akan menempel pada tubuh inang dan berparasit pada insang sampai dewasa. Cacing dewasa siap menghasilkan telur setelah kurang lebih berumur 20 hari. Secara umum, siklus hidup trematoda insang dapat dilihat pada Gambar 5.3. Gambar 5.2 Gambaran mikroskopis telur trmatoda insang (Foto : Toha) Gambar 5.2 Gambaran Siklus hidup trematoda Sumber : http ://www.nobanis.org 30 Gambaran histopatologi infestasi trematoda insang dak spesifik. Perubahan yang sering dijumpai berupa hiperplasia epitel lamella insang. Pada kasus berat terjadi ruptur epitel. Potongan parasit ditemukan di antara lamella insang (Gambar 5.4.). Diagnosa dilakukan secara mikroskopik langsung (direct microscopy) terhadap Gambar Gambaranlamella histopatologi insang terinfestasi trematoda preparat lendir insang dan5.4potongan insang. Pembedaan terhadap ke(A)gaproliferasi genus sel epitel; (B) potongan trematoda melintang; dan (C)potongan trematoda parasit dilakukan membujur dengan melakukan (Foto : Toha)karakterisasi morfologi terhadap penis, kantong telur, dan sucker parasit. Stadium cacing dewasa dan oncomiracidium peka terhadap pengobatan, sedangkan pada stadium telur kurang peka. Pengobatan dilakukan dengan melakukan perendaman formalin dengan konsentrasi 75 ppm sampai dengan 200 ppm atau 150 ppm H2O2 selama setengan sampai satu jam, tergantung pada kondisi ikan. Setelah perendaman selesai dilakukan ikan dipindahkan ke bak pemeliharaan lain atau segera lakukan 31 penggan an jaring. Lima hari kemudian dilakukan pengulangan perendaman untuk membunuh cacing yang baru menetas. 2. Monogenea kulit Monogenea (capsalid) kulit merupakan parasit eksternal yang paling umum pada budidaya ikan kerapu. Cacing berbentuk berbentuk oval dan pipih dengan sepasang sucker bulat (anterior sucker) pada tepi bagian depan dan sebuah haptor besar (opisthapthor) pada tepi bagian belakang. Se daknya terdapat lima spesies trematoda kulit yang menyerang pada ikan budidaya laut, dua diantaranya merupakan parasit pen ng pada usaha budidaya kerapu, yaitu Neoenedenia girellae dan Benedenia epinepheli (Gambar.5.5) . Gambar 5.5 Parasit Neobedenia girellae yang menginfeksi ikan kerapu Patogenisitas Neobenedenia girellae lebih nggi dibandingkan dengan Benedenia epinepheli. Neobenedenia girellae selain menginfestasi kulit juga dapat menyerang mata. Capsalid selain Neobenedenia girellae dak meyerang mata. Infestasi pada mata dapat menyebabkan kebutaan. Gejala klinis 32 yang di mbulkan berupa, menggesek-gesekkan badan pada dinding bak/jaring, luka pada permukaan tubuh dan mata berwarna pu h keruh. Pada kasus yang berat ikan dapat mengalami kebutaan. Upaya pengendalian terhadap infeksi parasit ini, dilakukan dengan merendam dalam air tawar selama 10 menit sampai dengan 15 menit atau dalam H2O2 150 ppm selama 30 menit. Selama perendaman dilakukan pelepasan parasit dengan cara mengusap permukaan tubuh secara perlahan. 3. Isopoda Isopoda merupakan parasit fakulta f, biasanya menyerang insang, rongga mulut dan tenggorokan. Sampai saat ini belum ada senyawa yang efek f dalam pengobatan serangan parasit tersebut. Penanganan dilakukan dengan mengambil parasit secara manual. Gambar 5.6 (A) Parasit isopoda (B) Parasit isopeda yang menyerang rongga mulut ikan kerapu B. Protozoa 1. Cryptocaryoniosis Cryptocaryoniosis disebabkan oleh Cryptocaryon irritans. Parasit ini merupakan cilliata berukuran 0.3 – 0.5 mm dengan rambut getar di permukaannya. Penyakit 33 yang disebabkan oleh protozoa ini dikenal sebagai white spot disease (penyakit bin k pu h). Gambar 5.7. (A) Cryptocaryon irritans ; (B) Ikan kerapu yang terinfeksi parasit C. irritans,terdapat bintik-bintik putih di seluruh permukaan tubuh. Gejala klinis ikan yang terserang white spot disease antara lain hilangnya nafsu makan, mata bengkak, sisik lepas disertai pendarahan dan terjadi pembusukan sirip. Perubahan fisik yang khas adalah nekrosis berbentuk bin k pu h pada permukaan tubuh yang cukup dalam. Sedangkan luka yang menyebar dan pendarahan pada kulit terjadi karena ikan menggesek-gesekkan tubuhnya ke jaring atau dinding bak. Cryptocaryon irritans dapat menginfestasi ikan kerapu pada berbagai stadia. Serangan protozoa ini pernah terjadi pada hatchery, penggelondongan, dan pembesaran. Faktor predisposisi infestasi parasit ini, antara lain kepadatan yang nggi, suhu air yang cenderung turun, peningkatan bahan organik, serta stres dalam pemindahan dan pengangkutan ikan. Penularan penyakit bin k pu h dapat terjadi ikan sakit ke ikan lainnya melalui media air. Throphont yang matang meninggalkan ikan dan berenang bebas dan kemudian membentuk kista yang dapat menghasilkan 34 200 atau lebih tomont. Tomont berkembang menjadi theront yang bersifat infek f (Gambar 19). Gambar 5.8. Siklus hidup parasit C. irrtans. Sumber : http://atj.net.au/marineaquaria Penanggulangan parasit C. irritans dilakukan dengan perendaman air tawar selama 5 menit atau dengan 100-150 ppm selama 15-30 menit, diulang selama 3 hari berturut. Apabila terjadi luka pada permukaan tubuh, perendaman dapat dikombinasikan dengan dalam larutan acriflavin 5-10 ppm. 2. Trichodiniasis Trichodiniasis disebabkan oleh Trichodina spp, merupakan parasit yang umum dijumpai pada ikan tawar dan ikan laut. Parasit berbentuk bundar yang menyerupai topi, simetris dengan ujung tumpul dan sisi lateral berbentuk seper lonceng. Bergerak dengan bulu 35 getar (cilia) yang terdapat pada “aboral disk” dengan gerakan yang cepat di permukaan tubuh, ingsang dan sirip ikan. Ciri khas patogen ini adalah cincin den kel yang dilengkapi dengan tanduk dan pisau. Trichodina sp. menginfeksi dengan cara menempel di lapisan epitel. Setelah menempel, parasit berputar-putar sehingga dapat merusak sel-sel di sekitar tempat penempelannya dan memakan sel-sel epitel yang hancur. Selanjutnya akan terjadi iritasi dan produksi lendir yang berlebihan. Infestasi pada ikan laut lebih membahayakan daripada infestasi pada ikan air tawar. Kejadian infeksi yang berat dapat menyebabkan gangguan pernafasan pada ikan. Gejala klinis pada kasus yang ringan dak menunjukkan gejala klinik yang nyata. Pada kasus yang berat, gejala yang mbul adalah warna tubuh terlihat pucat, produksi lendir yang berlebihan dari insang dan permukaan tubuh serta ikan mengosokkan tubuhnya pada dinding bak/jarring dan ikan terlihat kurus. Pengobatan dilakukan dengan perendaman Formalin 25 ppm sampai dengan 30 ppm selama 12 jam dan dilakukan selama 1 hari sampai dua hari berturut-turut. Setelah pengobatan selesai, ikan segera dipindahkan ke bak pemeliharaan yang bebas dari parasit. 3. Oodoniasis Oodiniasis disebabkan oleh Amyloodinium ocellatum, termasuk anggota dari Dinoflagellata. Stadium dewasa berparasit pada insang, selanjutnya setelah parasit tua akan jatuh ke dasar bak dan membentuk kista. Selanjutnya setelah kurang lebih 3 hari, kista akan melepaskan dinosphore. Dinospore tersebut selanjutnya akan berenang untuk menemukan inangnya. Setelah inang ditemukan, selanjutnya dinospore akan melepaskan flagelnya dan berparasit sampai stadium dewasa. Gejala klinis ikan yang terserang, ikan akan berenang lemah di dasar bak atau dipermukaan air. Ikan akan bernapas dengan cepat, karena terjadi infestasi parasit. Insang akan terlihat anemik. Apabila infestasi berat, akan menyebabkan kema an pada ikan. Figure 2 – Electron micrograph of a gill infested with Amyloodinium ocellatum (round spheres) showing the high level of infection that can occur in gill tissue. 36 Pengobatan dilakukan dengan melakukan perendaman menggunakan CuSO4.5H2O sebanyak 1,25 ppm (1,25 g/ton air) selama 1 sampai 2 jam. Selain itu dapat pula dilakukan pengobatan menggunakan 250 ppm formalin selama 1 jam. Penggunaan formalin harus dilakukan sedemikian rupa sehingga suhunya stabil pada kisaran 28oC. Namun demikian stadium kista dak peka terhadap pengobatan, sehingga memerlukan pengulangan perendaman. Pengobatan dengan pengulangan selama 7 sampai dengan 10 hari cukup efek f untuk memutus siklus hidup parasit. 37 BAB. VI PENYAKIT BAKTERIAL Yan Evan, Dinarti, Swastika Dita Soraya dan Suherman A. Gejala Umum Secara umum, berdasarkan penyebarannya dalam tubuh ikan, penyakit dapat bersifat lokal atau sistemik. Sedangkan berdasar waktu serangnya, penyakit bersifat perakut, akut, atau kronis. Infeksi bakteri sistemik ditandai oleh pembengkakan organ-organ dalam tubuh disertai peradangan mul fokal pada organ yang terserang. Ciri spesifik lainnya adalah akumulasi cairan keruh pada rongga tubuh. Pernanahan akibat infeksi bakteri sering dijumpai di limpa, thymus, ginjal, dan ha . Gambar 6.1 Gambaran patologi anatomi ikan kerapu yang mengalami infeksi bakteri sistematik (A) Pembengkakan pada hati disertai dengan lesi yang ersifat multifocal (tanda panah); dan (B) Distensi gelembung renang (Foto : Toha) B. Jenis-jenis Penyakit Bakterial 1. Epitheliocys s 39 Epitheliocys s merupakan bakteri obligat intraseluler gram nega f dan menyerang pada ikan air tawar maupun ikan laut. Infeksi pertama kali terjadi pada sel-sel epitelial insang. Secara mikroskopik terlihat massa organisme berbentuk cocoid. Pada infeksi ringan, dak ditemui adanya tanda-tanda infeksi eksternal. Tingkah laku dan pergerakan ikan pun terlihat normal. Infeksi berat ditunjukan dengan diproduksinya lendir secara berlebihan serta gangguan pada sistem respirasi. Gambaran histopatologi penyakit epitheliocys s berupa hiperplasia epithelial dan terjadi fusi adjecent lamella insang. Sel-sel yang terinfeksi mengalami hipertrofi dengan ukuran diameter mencapai 220 sampai dengan 300 µm, tergantung stadium infeksi. 2. Vibriosis Vibriosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Vibrio sp. Terdapat dua bentuk vibriosis, yaitu vibriosis hemoragi eksternal (vibriosis gastrointes nal. Ikan yang mengalami vibriosis derma derma s) dan vibriosis s menunjukkan perubahan fisik berupa luka pada bagian superfisial tubuh. Luka yang terjadi berupa irregular necro c hemoragica dan ulcerasi, kerusakan sirip dan kadang-kadang disertai perubahan mata menjadi pu h dan menonjol. Sedangkan pada kasus vibriosis gastrointes nal dak ditemukan gejala eksternal, kecuali warna tubuh menjadi lebih gelap. Produksi protease dan enzim ekstraseluler lain oleh Vibrio sp menyebabkan terjadinya kerusakan otot, sehingga luka mejadi semakin melebar. Pada kasus yang melanjut, ak vitas enzim ini menyebabkan ulcerasi dan putusnya sirip. Pada stadium ini infeksi akan berubah bentuk menjadi infeksi sistemik, ditandai dengan konges , hemoragi dan nekrosis mul fokal di ha serta pembengkakan di limpa, ha , dan ginjal. Perubahan patologis pada usus berupa enteri s hemoragica. Vibriosis gastrointes nal menunjukkan perubahan berupa gastri s dan enteri s yang disertai hemoragi, kemudian melanjut menjadi infeksi sistemik. Pada kejadian kronis akan terjadi anemia, ditandai dengan warna insang yang memucat. 40 Anggota spesies dalam genus Vibrio, sebagaimana bakteri dalam kelompok Enterobacteriaceae lainnya, dapat ditumbuhkan dengan media selek f TCBS Agar. Koloni yang tumbuh pada media berwarna kuning atau hijau, tergantung kemampuannya dalam memanfaatkan glukosa. Gambar 6.2 Koloni Vibrio pada media selektif TCBSA (Foto : Toha) 3. Streptococcosis Streptococcosis merupakan penyakit yang cukup berpotensi dalam penurunan produk vitas usaha budidaya kerapu. Gejala umum infeksi berupa warna tubuh menjadi gelap dan terjadi penurunan nafsu makan, kadang-kadang disertai hiperemi dan konges pada bagian mandibula dan pangkal operculum. Penyakit ini juga dapat menyebabkan opthalmi s dan meningi s. Mortalitas yang di mbulkan cukup nggi, berkisar antara 40% sampai dengan 60%. Perubahan pathologi anatomi infeksi Streptococcus sp. yang sering dijumpai pada pemeriksaan bedah bangkai berupa pembengkakan limpa, ha , dan ginjal. Ha biasanya mengalami mul fokal nekro k. Pada kasus berat kadang-kadang ditemukan akumulasi cairan keruh pada rongga abdomen. 41 Pemeriksaan terhadap preparat apus darah, cairan abdomen serta preparat tempel jaringan limpa, ginjal, thymus atau ha dapat dilakukan dalam diagnosa infeksi Streptococcus sp. Dengan pewarnaan giemsa 10% akan ditemukan bakteri berbentuk kokus yang mengelilingi sel atau berada diantara sel. Gambar 6.4 Gambaran mikroskopik darah ikan kerapu yang terinfeksi Streptococcus spp. Dengan pewarnaan Giemsa (A) preparat apus darah; (B dan C) preparat temple jaringan (perbesaran 100 x 10 ). Foto Toha Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan isolasi bakteri pada media selek f KF. Pada media ini bakteri akan tumbuh dengan koloni berwarna pink sampai kemerahan dengan bentuk koloni yang sangat halus. Hasil pewarnaan Gram, Streptococcus sp. tampak sebagai bakteri kokus Gram posi f dengan koloni berbentuk rantai (Gambar 24). Pembedaan spesies dapat dilakukan dengan uji biokimiawi seper yang tertera pada Tabel 6. Gambar 6.5 Gambaran mikroskopik Steptococcus spp. dengan pewarnaan gram (Perbesaran 100 x 10). Tabel 6. Sifat biokimiawi genus Streptococcus yang menginfeksi ikan kerapu 42 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Parameter Uji Pewarnaan gram Mo litas Oksidase Oksida f – Fermenta f Katalase Media selek f KF Bile Salt 40% Pertumbuhan dalam garam 6.5% Sifat hemolisa Kemampuan hidrolisa aesculin Pembentukan asam dari manitol Hasil Uji Gram posi f, bentuk bulat, dengan koloni membentuk rantai Non mo l Nega f Fermenta f Nega f Koloni berwarna merah atau pink S. S. iniae agalac ae + + - + + - + Infeksi Streptococcus sp. dapat dicegah dengan menghindari pemberian berlebihan, kepadatan yang terlalu pakan yang nggi, serta menghindari stres. Jika ikan yang terinfeksi dak mungkin lagi dioba , ikan harus segera diangkat dan dimusnahkan untuk menghindari penularan ke area yang lebih luas. Peningkatan daya tahan tubuh dapat dilakukan dengan pemberian imunos mulan, seper penggunaan vitamin C dan β-glukanserta vaksinasi. 4. Mycobacteriosis Infeksi Mycobacterium sp. bersifat sistemik dan kronik. Perubahan fisik yang sering muncul adalah ikan mengalami kekurusan. Gejala lain yang kadang mengiku adalah ulcerasi pada permukaan tubuh dan eksoptalmia. Sedangkan pada organ dalam tubuh muncul gejala spesifik berupa radang granulomatosa di limpa, ginjal dan ha . Peradangan dapat meluas ke bagian tubuh lainnya, tergantung ngkat keparahan penyakit. Gambaran patologi anatomi radang granulomatosa adalah adanya noduli yang terlokalisasi dan berkonsistensi padat dan berwarna pu h sampai keabu-abuan. Sedangkan gambaran histopatologi radang ini dicirikan dengan terbentuknya pusat nekrosis (terdiri dari hancuran sel-sel darah pu h dan jaringan) yang dikelilingi oleh peradangan yang terlokalisasi (terdiri dari jaringan ikat dan sel-sel radang mononuklear). 43 jaringan terhadap noduli yang diwarnai dengan metoda pewarnaan tahan asam (Ziehl Nielsen). Dengan metode ini bakteri tampak berbentuk batang dan berwarna merah. Pewarnaan yang sama juga dapat dilakukan terhadap sediaan histologi. Pada sediaan ini bakteri terakumulasi pada pusat-pusat nekrosis. 5. Tenacibaculum mari num Tenacibaculum mari num infeksinya bersifat lokal (terutama pada insang dan sirip) dengan faktor predisposisi salinitas air dan kepadatan yang nggi. Dua gejala dominan yang tampak adalah nekrosis ujung sirip dan permukaan tubuh atau nekrosis insang. Pada kejadian melanjut, biasanya diiku dengan infeksi bakteri lain yang bersifat sistemik. Pada kondisi ini, jika dak segera dilakukan penanganan, akan menimbulkan kema an massal dengan mortalitas mencapai 80% dalam beberapa hari. Nekrosis pada insang merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada ikan kerapu. Nekrosis ini ditandai dengan insang yang berwarna kuning. Pada kasus yang parah, lamella insang akan lepas dari tulang penyangganya (archus branchialis). Gambar 6.7 Hasil pemeriksaan patologi anatomi menunjukan insang yang Infeksi pada permukaan tubuh ditandai dengan archus perubahan warna abu-abu berwarna kuning dan terlepasnya brachialis (Foto :menjadi Toha) pada ujung sirip atau ekor. Infeksi lanjut ditunjukkan dengan terjadinya erosi disertai 44 hemoragi pada bagian tersebut. Pada infeksi yang lebih parah, sirip/ekor menjadi hilang dan nekrosa dapat berlanjut sampai dengan otot. Diagnosa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan tempel jaringan yang diwarnai dengan giemsa 10% terhadap bagian-bagian tubuh yang mengalami nekrosis. Dengan pemeriksaan ini bakteri nampak berbentuk batang panjang sampai filamen (Gambar 27). Peneguhan diagnosa dilakukan dengan melakukan isolasi pada media selek f dan iden fikasi dengan uji biokimiawi. Gambar 6.8 Gambaran mikroskopik Tenacibaculum maritinum. (A) pemeriksaan secara langsung; dan (B) pemeriksaan dengan metode temple jaringan. ( Foto : Toha) Diagnosa laboratorium dapat dilakukan dengan mengisolasi pada media Cytophaga Agar. Pada media ini T. mari num akan tumbuh dengan koloni berwarna kuning. Bakteri ini 45 termasuk golongan bakteri Gram nega f yang berbentuk batang, bersifat oksidase dan katalase posi f. 6. Pasteurellosis Pada budidaya ikan, pasteurellosis disebabkan oleh bakteri Photobacterium damselae subspesies piscicida. Bakteri ini merupakan salah satu agen yang dapat menghancurkan budidaya ikan pada perairan laut. Untuk itu, sejak tahun 2006, Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Kepmenkp No. 17/Men/2006, telah menetapkan pasteurellosis sebagai penyakit ikan karan na. Di Indonesia, penyakit ini sudah ditemukan di Pulau Jawa dan Sumatera bagian utara yang menyerang ikan kerapu lumpur dan beberapa jenis ikan kakap. Spesies bakteri ini menyebabkan infeksi akut dengan ngkat mortalitas yang nggi. Photobacterium damselae subspesies piscicida merupakan bakteri Gram nega f dan dak berflagel. Pada media agar darah akan terbentuk koloni yang kecil dan berwarna abu-abu. Gambaran patologi anatomi dan histopatologi yang pernah dilaporkan adalah adanya peradangan sistemik pada organ visceral ikan, khususnya pada ginjal, limpa dan ha . Pada ha dan limpa banyak ditemukan neutrofil dan makrofag yang merupakan tanda sep semia non spesifik serta asteroid bodies. Perubahan pada ginjal yang ditemukan adalah deplesi dan kerusakan jaringan hemopoie k ginjal. Diagnosa laboratorium dilakukan dengan kultur bakteri pada agar darah, pemeriksaan histopatologi, imunohistokimia, ELISA, PCR, serta kultur bakteri pada TSA dengan penambahan NaCl 2%. 46 BAB. VII PENYAKIT VIRAL Oleh: Muhammad Aziz Hakim, Indriasih dan Wiwin Wiyani Terdapat ga jenis virus yang sering ditemukan pada usaha budidaya kerapu yaitu Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV), Grouper Iridovirus (GIV) dan Lympocys cvirus. Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV) menyebabkan kema an massal pada stadia larva dan benih, sedangkan kema an yang disebabkan oleh infeksi GIV terjadi pada stadia larva, benih maupun ikan dengan ukuran besar. Kema an akibat infeksi Lympocys cvirus rela f rendah, walaupun demikian berpotensi menurunkan kualitas produk akibat lesi yang di mbulkan pada permukaan tubuh. 1. Viral Nervous Necrosis (VNN) Pada usaha budidaya kerapu, Viral Nervous Necrosis (VNN) atau Viral Encephalopathy and Re nopathy (VER) merupakan penyakit ikan yang sangat merugikan. Penyakit ini disebabkan oleh Nodavirus. Penyakit VNN menyerang pada sistem syaraf pusat, re na mata serta organ reproduksi. Penyakit ini umumnya dapat menginfeksi hampir pada seluruh fase pertumbuhan ikan dan pada stadia larva dan benih mortalitasnya dapat mencapai 100% dalam tempo 1-2 minggu. Penularan penyakit ini dapat terjadi secara ver kal maupun horizontal. Gejala umum VNN antara lain nafsu makan menurun, ikan sangat lemah, dan warna tubuh pucat. Gejala spesifik yang menyertai berupa pergerakan yang dak terkoordinasi, seper berenang dak terarah, berputar-putar, hiperak f, terbalik, serta sering menghentakkan kepala ke atas permukaan air secara sporadik. Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reac on (PCR) dan histopathologi. Gambar 7.1 Hasil pemeriksaan histopatologi ikan kerapu yang terkena penyakit VNN. (A) Vakuolisasi otak; (B) Infiltrasi badan inklusi pada otak; dan (C) Vakuolisasi pada retina. Foto : Toha dan Rini Upaya pencegahan penyakit VNN dilakukan dengan seleksi terhadap induk dan larva yang bebas VNN serta penerapan biosekuriti pada tempat budidaya. 2. Sleepy Grouper Diseases (SGD) Penyakit yang disebabkan oleh infeksi Grouper Iridovirus (GIV) lebih dikenal sebagai Sleepy Grouper Diseases (SGD). Penyakit ini dapat bersifat akut sampai kronis dengan morbiditas dan mortalitas yang bervariasi, antara 30% sampai dengan 100%, tergantung pada spesies, umur, infeksi lain yang menyertai, serta kondisi lingkungan. 49 Penularan penyakit SGD terjadi melalui kontak langsung atau melalui air yang terkontaminasi. Organ target penyakit ini adalah ginjal dan limpa. Pada kasus berat, infeksi dapat menyebar pada organ-organ lain seperti ha , jantung, mus, lambung dan usus. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan gejala klinis, pemeriksaan tempel jaringan serta Polymerase Chain Reac on (PCR). Gejala klinis ikan yang terinfeksi Grouper Iridovirus (GIV), antara lain warna tubuh ikan gelap, insang pucat, nafsu makan turun serta pergerakan renang yang lemah dan dak terkoordinasi. Gejala spesifik yang sering muncul adalah ikan mengendap di dasar bak dengan keadaan terbaring pada salah satu sisi tubuhnya (Gambar 7.2). Gambar 7.2. Gejala klinis yang spesifik berupa ikan mengendap di dasar bak/wadah dengan posisi berbaring pada salah satu sisi tubuhnya. (A) infeksi GIV pada kerapu kertang; dan (B) infeksi GIV pada kerapu macan. Foto :Toha dan Rini Gambaran patologi anatomi pada kerapu kertang, kerapu macan, kerapu sunu, dan kerapu lumpur dak jelas, kecuali tubuh menjadi lebih gelap. Sedangkan pada kerapu bebek ditemukan hiperemi dan konges pada bagian mandibula untuk ikan berukuran besar atau seluruh bagian kepala untuk ukuran benih. 50 Gambar (A) Pada ikan besar tidak ditemukan perubahan spesifik pada permukaan tubuh Gambar (B) Hiperemi pada bagian mandibula Gambar (C) Pada ukuran benih hiperemi terjadi pada seluruh bagian kepala Perubahan patologi anatomi organ dalam tubuh pada stadium awal infeksi berupa pembengkakan limpa dan ginjal (Gambar 32). Selanjutnya pada stadium lanjut limpa mengalami atrofi. 51 Gambaran sitologik terhadap preparat tempel jaringan limpa, thymus dan ginjal dengan metoda pewarnaan Giemsa adalah ditemukannya sejumlah enlarged cell/giant cell serta badan inklusi yang bersifat asidofilik. Gambar 7.4 Perubahan spesifik inveksi GIV pada kerapu bebek (A). Tampak terjadi pembengkakan limpa (B). Pada pemeriksaansiitologi tampak sejumlah sel raksasa (giant cell). Foto : Toha Gambaran histopathologi penyakit SGD sangat khas, yaitu terjadinya peradangan disertai akumulasi benda inklusi intrasitoplasmik asidofilik pada ha , limpa, ginjal, insang, dan saluran pencernaan. Gambar 7.5 Histopatologi ginjal yang terinfeksi GIV dengan pewarnaan Heamatoksilin-Eosin. (A) Organ mengalami multifokal nekrotik (10 x 10); (B) dan (C) Terdapat sejumlah badan inklusi intrasitoplasmik yang bersifat asidofilik (40 x 10) Secara umum, pengendalian penyakit Sleepy Grouper Diseases (SGD) dilakukan dengan sanitasi dan penerapan biosekuriti yang ketat pada lingkungan budidaya, mengurangi padat tebar dan mengurangi stres selama transportasi serta vaksinasi yang terprogram. 3. Lymphocys cosis Lymphocys cosis merupakan penyakit ikan yang disebabkan oleh genus Lymphocys cvirus, anggota Family Iridoviridae. Virus ini berukuran 180-200 mm. Perubahan klinis dan pathologik dari infeksi virus ini adalah permukaan tubuh, limpa dan ginjal. Gejala klinis yang dapat ditemukan pada awal infeksi adalah ditemukannya bin l-bin l kecil berwarna merah muda atau abu-abu yang sering dijumpai pada bagian sirip punggung dan sirip ekor. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak sampai 60 (enampuluh) kali ukuran normal dan selanjutnya 52 membentuk kumpulan sel yang berupa benjolan menyerupai bunga kol. Dalam waktu beberapa minggu, benjolan tersebut dapat membesar sampai 0.5 cm atau lebih dan selanjutnya akan pecah dan menjadi sumber penular ikan lainnya. Perbaikan kualitas air dan penanganan ikan yang baik dapat mengurangi dan mencegah lymphocys cosis. Perlakuan karan na yang memadai serta penerapan biosekuriti juga dapat membantu dalam pencegahan dan penyebaran penyakit. Ikan yang mengidap penyakit ini harus segera diisolasi guna mencegah terjadinya penularan. Pengobatan bersifat supor f, yaitu dengan melakukan pemberian imunos mulan agar kondisi ikan cepat pulih dan nafsu makannya dapat meningkat kembali. 53